Pendekar Super Sakti Jilid 07
Pemuda itu adalah Hoa-san Gi-hiap dan gadis itu bukan lain adalah sumoi-nya, Hoa-san Kiam-li. Mereka berdua baru saja pulang dari penyelidikan mereka ke gedung tempat tinggal puteri Mancu. Ketika memasuki piauw-kiok, mereka melihat pertandingan itu dan terkejut sekali menyaksikan suheng mereka terancam bahaya.
Hoa-san Gi-hiap yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi dari pada Tan-piauwsu, sekali pandang saja maklum bahwa pemuda rambut panjang itu memiliki sinking yang luar biasa sekali dan bahwa untuk menolong suheng-nya, jalan satu-satunya hanya menyambar tubuhnya dan membawanya pergi. Maka ia cepat meloncat, menggunakan ginkang-nya dan untung ia tidak terlambat sehingga Tan-piauwsu terhindar dari bencana maut.
"Siapakah engkau yang datang membikin kacau di sini?" Hoa-san Gi-hiap menegur setelah ia menurunkan tubuh Tan Bu Kong yang segera bersila di lantai sambil mengatur napas untuk melawan hawa dingin yang menerobos masuk melalui pundaknya.
"Hemmm, dan kau sendiri siapa berani berlancang tangan mencampuri urusan orang lain?" Han Han juga menegur.
Dua orang muda itu berhadapan, saling memandang dengan sinar mata tajam. Mereka sama tinggi, hanya Han Han kalah gemuk karena dia memang agak kurus, sama tampan dan usia mereka pun agaknya sebaya.
Para murid Hoa-san-pai dan para pengawal memandang dengan hati tegang. Pemuda rambut riap-riapan itu lihai sekali, akan tetapi mereka pun maklum bahwa pemuda tokoh Hoa-san-pai itu memiliki ilmu kepandaian yang jauh melampaui tingkat Tan-piawsu sendiri. Juga Hoa-san Kiam-li amat lihai sehingga dengan adanya dua orang muda itu, hati mereka menjadi lega.
Han Han dan jago muda Hoa-san-pai itu masih saling berpandangan, tidak menjawab pertanyaan masing-masing yang sama maksudnya. Akan tetapi pandang mata mereka kini berubah, tidak lagi penuh penasaran dan kemarahan seperti tadi, melainkan penuh keheranan, keraguan dan menduga-duga.
"Ya Tuhan...! Bukankah kau... kau Sie Han? Yang dahulu disebut Han Han, jembel baik budi yang membagi-bagi roti?" Hoa-san Gi-hiap berseru penuh keheranan.
"Dan kau..., jembel cilik nakal, kau Wan Sin Kiat yang dahulu kepingin menjadi perwira! Benarkah?" teriak Han Han.
Dua orang muda itu saling pandang, kemudian tertawa bergelak lalu saling tubruk, saling rangkul sambil tertawa-tawa! Semua orang yang berada di situ memandang dengan mata terbelalak. Mereka tertegun dan hanya dapat mernandang dua orang muda yang tadinya diharapkan akan bertanding dengan hebat kini malah berpelukan dan tertawa-tawa itu.
"Koko, siapakah dia ini? Jembel cilik nakal? Kawan jembelmu di waktu kecil? Wah, ketika aku dahulu menjadi jembel cilik, aku tidak punya sahabat baik!" kata Lulu yang menghampiri mereka.
Han Han masih tertawa-tawa ketika ia melepaskan rangkulannya dari pundak Sin Kiat atau Hoa-san Gi-hiap itu. Ia lalu menoleh kepada adiknya.
"Lulu, dia ini bernama Wan Sin Kiat, sahabat baikku, seorang jantan tulen! Sin Kiat, ini Adikku, namanya Lulu. Manis, ya?"
Sin Kiat yang tentu saja tidak biasa dengan sikap tulus wajar seperti itu menjura kepada Lulu dengan muka merah. Jantungnya terasa seperti copot tersendal ke luar oleh sinar mata yang menyorot dari sepasang mata yang seperti bintang kembar itu. Ia menahan napas karena harus ia akui bahwa selama hidupnya belum pernah ia bertemu dengan seorang dara sejelita ini. Dan dara ini adik Han Han!
Setelah menjura dengan hormat tanpa dibalas oleh Lulu yang hanya memandang kagum melihat wajah tampan dan sikap halus ramah itu, Sin Kiat menoleh kepada sumoi-nya yang juga sudah menghampiri mereka. "Han Han, dia adalah Sumoi-ku, namanya Lu Soan Li. Sumoi, inilah Sie Han, sahabat baikku di waktu kecil!"
Han Han masih ingat untuk melakukan penghormatan dengan merangkap kedua tangan di depan dada, akan tetapi mulutnya langsung menyatakan isi hatinya tanpa disadarinya,
"Nona cantik sekali!"
Lu Soan Li menjadi merah mukanya, semerah udang direbus, sedangkan semua orang mendengarkan sambil menahan napas. Namun ternyata Soan Li tidak marah, hanya tersenyum dan membalas penghormatan Han Han.
"Sute! Apa artinya ini? Dia... dia sahabatmu?" Tiba-tiba Tan Bu Kong menegur dan piauwsu ini sudah dapat berdiri, memandang dengan mata terbelalak penuh rasa heran dan penasaran.
Sin Kiat teringat akan suheng-nya. "Suheng, dia ini Sie Han, sahabatku. Han Han, dia ini Tan-suheng. Eh, mengapa kau tadi bertempur melawan Suheng? Kau hebat bukan main, untung aku keburu datang. Kenapakah kau memusuhi Suheng-ku yang baik hati ini?"
Alis Han Han berkerut. "Ah, dia Suheng-mu, Sin Kiat? Hemmm, sungguh-sungguh tidak menyenangkan sekali. Harap kau ingat akan persahabatan kita dan jangan mencampuri urusan ini. Aku datang hendak membunuh orang jahat ini!"
"Eh, apa artinya ini? Han Han, mengapa begitu?"
"Sute, mengapa engkau begini lemah? Biar pun di waktu kecil sahabat, akan tetapi sekarang dia musuh besar kita! Dia seorang kejam yang telah membunuh kedua Suheng-mu Lie Cit San dan Ok Sun!"
Sin Kiat dan Soan Li melangkah mundur sampai tiga tindak dengan muka pucat. Apa lagi Sin Kiat, dia terheran-heran dan sejenak menjadi bingung mendengar keterangan yang baginya seperti halilintar menyambar ini. "Han Han! Benarkah itu? Engkau yang membunuh dua orang Suheng-ku yang mengawal kereta?"
Han Han mengangguk. "Benar, Sin Kiat. Dan aku akan membunuh Tan-piauwsu ini pula, harap engkau jangan mencampurinya!"
Dengan wajah pucat Sin Kiat memandang sahabatnya di waktu kecil itu. "Han Han, benarkah engkau menjadi begini kejam sekarang? Ceritakan mengapa engkau membunuh dua orang Suheng-ku yang mengawal kereta dan mengapa pula kau hendak membunuh Tan-suheng. Aku sudah mendengar penuturan para pengawal Pek-eng-piauwkiok, akan tetapi sepak terjangmu sungguh membuat aku tidak mengerti."
"Sin Kiat, bukan urusanmu. Minggirlah!"
"Tidak! Kalau kau tidak mau memberi penjelasan, lebih baik kau membunuh aku pula, dan tentu akan kucoba melawanmu sekuatku."
Mereka berpandangan pula. Han Han menghela napas. "Engkau keras kepala seperti dulu! Aku membunuh dua orang piauwsu itu karena mereka jahat, mereka menyembunyikan jenazah dua orang dari Siauw-lim Chit-kiam dalam kereta, melarang orang-orang Siauw-lim-pai melihat jenazah, sehingga aku menjadi tertipu pula, membantu mereka dan kesalahan tangan membunuh tujuh murid Siauw-lim-pai yang tidak berdosa. Karena itu aku membunuh dua orang piauwsu itu dan kini aku akan membunuh pula Tan-piauwsu yang sebagai pemimpin menjadi biang keladi utama!"
Sin Kiat mengangkat tangannya. "Wah, semua adalah kesalah-pahaman yang amat besar! Semua adalah sahabat-sahabat, baik antara Siauw-lim-pai dengan Hoa-san-pai, mau pun antara engkau pribadi dengan kami. Kita semua telah menjadi korban perbuatan terkutuk, korban tipu muslihat yang dipasang oleh puteri Mancu yang lihai itu. Tan-suheng, Han Han tidak dapat dipersalahkan telah membunuh Lie-suheng dan Ok-suheng setelah dia membantu mereka menghadapi orang-orang Siauw-lim-pai. Han Han, akulah yang menanggung bahwa kami semua, terutama Tan-suheng, sama sekali tidak bersalah dalam urusan dua jenazah dalam peti. Mari kita bicara dan dengarlah penuturanku."
Sin Kiat menggandeng tangan Han Han, menariknya duduk menghadapi meja besar di ruangan itu. Lulu mengikuti kakaknya, dan Soan Li juga mengikuti suheng-nya, kedua orang gadis ini tidak ikut bicara karena maklum betapa tegangnya urusan antara mereka itu.
Setelah mereka mengambil tempat duduk, Wan Sin Kiat menceritakan semua peristiwa yang terjadi dari semula. Ketika gadis Mancu yang ternyata adalah Puteri Nirahai seperti yang dia ketahui dari hasil penyelidikannya hari itu, mendatangi Pek-eng-piauwkiok mengirimkan dua buah peti dengan biaya mahal namun dengan janji takkan dibuka dan apa bila tidak sampai di tempatnya, Pek-eng-piauwkiok akan dibasmi dan dianggap pemberontak.
"Kami tidak mungkin dapat menolak permintaannya yang luar biasa itu, Sie-enghiong," Tan-piauwsu memotong cerita sute-nya, "karena mengingat bahwa dia itu adalah seorang puteri Kaisar sehingga apa bila kami menolak, tentu kami akan dicap menentang pemerintah. Dan sebagai orang-orang gagah yang memegang teguh janji, tentu saja para pembantuku tidak mau membuka peti-peti itu, biar pun dengan taruhan nyawa karena hal itu telah menjadi tugas mereka. Kalau saja kami tahu bahwa isi dua buah peti adalah jenazah manusia, apa lagi jenazah kedua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam yang terkenal, biar dihukum mati sekali pun tentu saja kami tidak sudi menerima permintaan puteri iblis itu."
Wan Sin Kiat lalu melanjutkan ceritanya tentang pengawal kereta yang dihadang oleh anak-anak murid Siauw-lim-pai, juga tentang suheng-nya, Teng Lok yang membayangi Puteri Nirahai dan kemudian terbuntung lengannya. Ia menutup penuturannya dengan kata-kata, "Nah, kau kini mengerti Han Han, bahwa peristiwa ini sama sekali bukanlah kesalahan pihak kami, juga terutama sekali bukan kesalahan Tan-piauwsu. Semua ini tentu telah diatur oleh puteri iblis itu yang sengaja hendak mengadu domba antara pihak Hoa-san-pai dan pihak Siauw-lim-pai. Siasat kejinya itu pasti akan berhasil baik dan kedua pihak tentu melakukan pertandingan saling membunuh dalam hutan itu kalau saja tidak muncul engkau yang mengacaukan semua rencana keji itu. Akan tetapi biar pun mengacau, tetap saja merugikan kedua pihak karena engkau yang masuk pula dalam perangkap telah membunuh tujuh anak murid Siauw-lim-pai dan dua orang murid Hoa-san-pai. Keadaan ini gawat sekali, Han Han. Betapa pun juga, pihak Siauw-lim-pai tentu tidak mau menerima kematian tujuh orang murid mereka sebagai tambahan kematian dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam. Bagi mereka hal itu merupakan mala petaka hebat dan tentu saja semua kesalahan ditimpakan kepada Hoa-san-pai karena engkau sendiri pun tentu dianggap seorang dari Hoa-san-pai, atau setidaknya menjadi pembantu Hoa-san-pai."
Han Han bukan seorang bodoh. Setelah mendengar penuturan itu, ia segera dapat melihat dan mengerti. Mudah saja diperkirakan bagaimana jalannya tipu muslihat yang licin itu. Hatinya merasa menyesal dan kecewa sekali. Nasibnya benar-benar amat buruk. Dia telah membunuh tujuh orang murid Siauw-lim-pai yang tidak berdosa karena salah sangka. Kemudian dalam marahnya oleh kesalahan tangan itu, ia membunuh pula dua orang murid Hoa-san-pai yang ternyata kemudian tidak berdosa pula! Han Han mengerutkan keningnya, menggeleng kepala dan berkata.
“Aahhh... kalau begitu semua kesalahan tertimpa di pundakku! Baik Siauw-lim-pai mau pun Hoa-san-pai tentu menyalahkan aku karena aku telah membunuh anak murid mereka. Tan-piauwsu, harap kau maafkan kekasaranku tadi." Ia bangkit menjura kepada Tan-piauwsu yang cepat membalas.
Piauwsu ini memandang kagum dan menghela napas karena selama hidupnya baru sekali ini ia bertemu seorang pemuda yang demikian anehnya dan demikian kuat sinkang-nya. "Engkau juga tidak boleh terlalu disalahkan, Sie-enghiong. Andai kata engkau tidak turun tangan dan terlibat dalam urusan ini, kurasa antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai tetap saja akan terjadi pertentangan yang mungkin membawa akibat lebih parah dan lebih berlarut-larut lagi."
Sejenak keadaan menjadi sunyi, semua orang tenggelam dalam lamunan masing-masing menghadapi urusan yang amat tidak menyenangkan hati itu. Tiba-tiba terdengar suara Lulu.
"Wah, sialan benar, Koko! Kau membantu rombongan piauwsu ternyata salah tangan membunuh murid-murid Siauw-lim-pai yang tak berdosa! Kemudian kau membunuh dua orang piauwsu untuk membela kematian murid-murid Siauw-lim-pai dan ternyata yang kau bunuh itu juga tidak bersalah! Itulah kalau kau terlalu bernafsu untuk menolong orang, Koko! Sekarang semua kesalahan ditimpakan kepadamu!"
Semua orang tertegun. Dara remaja yang cantik jelita ini bicaranya amat kasar, jujur dan tanpa sungkan-sungkan lagi. Akan tetapi Sin Kiat memandang dengan mata kagum. Semenjak tadi, tiap kali ia memandang Lulu jantungnya berdebar tidak karuan dan setiap gerak-gerik Lulu selalu menarik hatinya, bahkan ketika Lulu mencela Han Han, ia tersenyum dan di dalam hati membenarkan dara ini seribu prosen!
Memang demikianlah kalau cinta kasih telah mencengkeram hati seorang pemuda. Apa pun yang dilakukan, diucapkan dan dipikir dara yang dicintanya, selalu benar dan menarik hati! Tanpa disadarinya sendiri, sekali bertemu dengan Lulu, Wan Sin Kiat pendekar muda Hoa-san-pai ini telah bertekuk lutut, hatinya jungkir-balik dalam cengkeraman asmara.
"Menurut pendapat saya, Saudara Sie tidaklah salah. Dia melakukan pembunuhan-pembunuhan itu dalam pertempuran dan dengan dasar hendak berbuat baik. Pembunuhan atas diri tujuh orang murid Siauw-lim-pai terjadi karena Saudara Sie mengira mereka itu perampok yang hendak mengganggu rombongan pengawal Pek-eng-piauwkiok. Kemudian pembunuhan yang dia lakukan atas diri kedua orang Suheng kami pun didasari pendapat bahwa mereka berdua itu amat jahat terhadap orang-orang Siauw-lim-pai. Hanya sayang sekali bahwa Saudara Sie terlalu terburu nafsu. Andai kata tidak terburu nafsu dan agak sabar sambil meneliti keadaan, belum tentu terjadi hal yang amat menyedihkan ini." Ucapan yang keluar dari mulut Lu Soan Li terdengar sungguh-sungguh, pandang matanya yang ditujukan kepada Han Han penuh simpati dan pembelaan.
Hal ini terasa pula oleh Han Han sehingga ia bangkit menjura kepada nona itu sambil berkata, "Nona Lu benar-benar amat adil dan aku mengucapkan terima kasih, juga aku harus mengakui semua kelancanganku yang telah mengakibatkan bencana ini. Biarlah akan kuhadapi semua akibatnya, bahkan aku akan menghadap Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai untuk menerima hukuman kalau perlu!"
Jawaban ini memancing keluar sinar mata yang penuh kekaguman dari pandang mata Lu Soan Li. Seperti halnya suheng-nya yang sekaligus tergila-gila kepada Lulu, gadis pendekar Hoa-san-pai ini pun amat tertarik akan pribadi Han Han yang aneh dan penuh dengan sifat-sifat liar ganas namun gagah perkasa.
"Ah, engkau tidak boleh dipersalahkan, Han Han!" Tiba-tiba Wan Sin Kiat berkata. "Yang bersalah adalah Puteri Nirahai yang seperti iblis betina itu! Aku bersama Sumoi sehari tadi pergi menyelidik dan mendapat kabar bahwa dia itu adalah puteri selir Kaisar Mancu bernama Nirahai dan bahwa kini dia sedang pergi ke kota raja; agaknya untuk melaporkan hasil muslihatnya kepada Kaisar. Terkutuk benar puteri Mancu itu. Dan orang-orang Mancu memang amat jahat, penjajah laknat yang sepatutnya dibasmi dari muka Bumi ini!" Dalam kemarahan terhadap penjajah Mancu, Sin Kiat bangkit dari kursinya. Memang semua anak murid Hoa-san-pai adalah patriot-patriot yang merasa marah melihat tanah air dijajah bangsa Mancu sehingga menimbulkan rasa benci kepada bangsa Mancu.
Tiba-tiba semua orang, terutama sekali Sin Kiat sendiri, dikejutkan oleh bentakan Lulu yang sudah bangkit berdiri pula kemudian bertolak pinggang. Matanya yang lebar memancarkan kemarahan, sepasang pipinya menjadi merah sekali, mulutnya yang kecil cemberut, kepalanya bergerak-gerak sehingga rambut yang dikepang dua itu bergoyang, satu di depan dada, yang lain di belakang punggung. Manis bukan main dalam pandangan Sin Kiat, akan tetapi pada saat itu pemuda ini memandang terbelalak dengan kaget mendengar bentakan Lulu.
"Eihhh…… eihhhhh..., seenaknya saja membuka mulut, ya?!" Telunjuk tangan kirinya diangkat menuding ke arah hidung Sin Kiat, sedangkan tangan kanannya masih bertolak pinggang. "Wan Sin Kiat, apakah engkau hendak menyamakan satu bangsa manusia dengan seladang gandum saja?"
Sin Kiat terbelalak heran. "Apa... apa... maksudmu, Nona...?" Baru sekali ini selama hidupnya, pendekar muda yang biasanya lincah, ramah, tabah dan pandai bicara itu kehilangan akal dan menjadi gugup.
Lulu memandang tajam dengan sepasang matanya yang lebar dan indah sehingga Sin Kiat menjadi makin bingung dan gugup, seolah-olah menjadi seorang pesakitan yang menghadapi jaksa penuntut. "Kalau ada beberapa batang gandum yang busuk, orang menganggap seladang gandum itu busuk. Akan tetapi kalau ada beberapa orang Mancu jahat, apakah patut kalau seluruh bangsa Mancu dianggap jahat semua? Kalau begitu, karena aku mendengar bahwa banyak bangsa Han yang menjadi pengkhianat bangsa, semua bangsa Han adalah pengkhianat, termasuk engkau! Dan aku tahu bahwa banyak sekali perampok bangsa Han, maka semua bangsa Han adalah perampok, termasuk engkau! Ada pula bangsa Han yang jahat sekali maka semua bangsa Han adalah jahat, terutama engkau! Begitukah pendapatmu??"
Muka Sin Kiat menjadi merah, kemudian pucat, dan dengan gugup ia berkata, "Tentu saja tidak, dan... ehhh, itu lain lagi... akan tetapi... ahhh, mengapa kau marah-marah karena aku mencela bangsa Mancu yang menjadi musuh kita, Nona?"
"Tentu saja marah! Kau mengatakan aku jahat dan patut dibasmi dari muka bumi, dan kau masih bertanya mengapa aku marah? Hayo, kau basmilah aku! Kau kira aku takut padamu?” bibir itu bergerak mencela, namun justru terlihat amat indah bagi yang Wan Sin Kiat yang dicelanya.
Han Han hanya memandang sambil tersenyum. Rasakan kau, Sin Kiat, pikirnya dengan hati geli. Rasakan kau menghadapi adikku yang liar ini. Ketemu tanding kau!
"Eh, kapan aku mengatakan demikian, Nona? Bagaimana ini, Han Han?"
"Tak usah mencari pelindung! Dan seorang laki-laki tidak patut plin-plan, bicara mencla-mencle! Bukankah kau tadi mengatakan bahwa semua bangsa Mancu jahat dan patut dibasmi dari muka bumi ini?"
"Benar demikian, akan tetapi tidak menyangkut dirimu, Nona...”
"Kau bilang semua bangsa Mancu dan kini mengatakan tidak menyangkut diriku? Aku seorang gadis Mancu, tahukah engkau??"
“Aihhh...!" Sin Kiat terkejut sekali dan semua orang yang berada di situ pun terkejut, cepat bangkit berdiri dalam keadaan siap siaga. Kalau gadis ini seorang Mancu, berarti bahwa rahasia Pek-eng-piauwkiok sebagai anggota pejuang menjadi bocor!
"Hayo, siapa yang menganggap aku jahat dan patut dibasmi? Maju! Aku tidak takut!!" bentak Lulu dengan mata dilebarkan dan sikap mengancam.
Lu Soan Li yang sejak tadi memperhatikan Han Han secara diam-diam dan melihat betapa pemuda rambut terurai itu tersenyum-senyum geli, dapat lebih dulu menguasai hatinya. Ia melangkah maju dan memegang pundak Lulu sambil berkata, "Aihhh, Adik Lulu yang baik, siapa sih yang mau memusuhimu? Suheng telah salah bicara, apakah kau begini kejam untuk menekannya? Lihat, dia sudah amat menyesal dan kebingungan!"
Dengan muka merah Wan Sin Kiat lalu menjura. "Harap Nona Sie suka memaafkan mulutku yang lancang."
Lulu cemberut dan mengerling ke arah pemuda tinggi besar itu. "Habis, kau terlalu menghina sih...!”
Han Han tertawa, lalu berkata nyaring setelah menyaksikan ketegangan membayang di wajah semua orang yang hadir, "Tak perlu disembunyikan, memang Adikku ini adalah seorang gadis Mancu, akan tetapi sekarang telah menjadi Adikku, she Sie dan namanya tetap Lulu. Hendaknya diketahui bahwa semenjak kecil, Adikku ini hidup sebatang-kara dan menderita karena Ayah bundanya dan seluruh keluarganya dibasmi habis oleh para pejuang."
"Ahhhhh...!" seruan ini keluar dari mulut Sin Kiat.
"Apa ah-ah-uh-uh-uh sejak tadi? Biar keluargaku dibunuh habis oleh orang Han, aku tidak begitu tolol untuk menganggap semua orang Han musuh-musuhku yang harus kubasmi habis dari muka bumi!"
Wajah Sin Kiat makin merah dan ia benar-benar terpukul. Seolah-olah dibuka matanya betapa kelirunya mendendam kepada bangsa lain hanya karena terjadi perang, karena sesungguhnya tidak semua orang dari sesuatu bangsa itu jahat semua atau baik semua.
"Aku telah mengaku salah, harap Nona maafkan dan mau hukum apa pun juga aku siap menerimanya."
Han Han tersenyum lebar. "Lulu, dia sudah mengaku salah dan minta dihukum. Hayo, kau hukumlah dia kalau kau mau!"
Aneh sekali, digoda kakaknya begini, Lulu yang biasanya lincah dan nakal kini hanya cemberut, kemudian melengos dengan kedua pipinya merah. Semua orang merasa lega bahwa tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, akan tetapi tetap saja masih ada rasa tegang di antara mereka setelah mendengar bahwa dara jelita itu adalah seorang gadis Mancu. Mereka semua telah menjadi korban kekejian seorang puteri Mancu, kini di situ terdapat seorang gadis Mancu, bagaimana mereka tidak akan menjadi gelisah dan tidak enak hati?
"Keadaan menyedihkan seperti yang kini timbul dalam hati Sin Kiat dan Lulu adalah akibat perang yang terkutuk!" demikian Han Han berkata setelah semua orang duduk kembali. "Perang yang hanya dicetuskan oleh beberapa gelintir orang yang berambisi, yang memperebutkan kekuasaan dan kedudukan, membakar hati semua rakyat, menimbulkan kekejaman-kekejaman, menimbulkan dendam, menimbulkan kebencian antara bangsa yang sesungguhnya adalah sesama manusia. Perang menjadikan keluargaku terbasmi orang-orang Mancu dan sebaliknya menjadikan keluarga Adikku Lulu terbasmi oleh orang-orang Han. Yang suka akan perang hanyalah mereka yang rnenginginkan kedudukan tinggi dan kemuliaan di kerajaan. Dengan dalih membela nusa bangsa, mereka ini mempergunakan kekuatan rakyat yang sebetulnya membenci perang karena perang hanya mendatangkan mala petaka bagi rakyat jelata, sebaliknya mendatangkan kemuliaan duniawi bagi para penggerak perang yang mendapat kemenangan! Rakyat Mancu ditipu oleh para pimpinan mereka, dijadikan bala tentara yang setiap saat kehilangan nyawanya. Sebaliknya rakyat pribumi ditipu oleh pimpinan mereka, dijadikan pula tentara yang mengorbankan nyawa. Dalihnya berlainan, namun selalu yang muluk-muluk memabukkan dan membodohi rakyat, padahal semua itu hanya ditujukan kepada pamrih yang satu, yaitu kemuliaan dan kemenangan bagi para pimpinan!"
Mendengar ucapan penuh nafsu dari pemuda aneh yang rambutnya terurai kacau itu, Tan-piauwsu sendiri melongo. Ucapan itu mengandung penuh kepahitan, namun memang pada kenyataannya demikianlah. Dan pendirian seperti yang diucapkan pemuda ini bahkan menjadi pendirian pula dari banyak partai persilatan termasuk Hoa-san-pai sendiri ketika terjadi perang saudara. Akan tetapi hanya dalam perang saudara saja para tokoh kang-ouw tidak suka mencampurkan diri, diperalat oleh mereka yang memperebutkan kedudukan dengan saling bunuh antara sebangsa sendiri!
Akan tetapi sekarang yang menjajah negara adalah bangsa Mancu sehingga pendapat Han Han itu lebih luas lagi, tidak lagi mengenal bangsa melainkan berlaku untuk seluruh manusia sedunia! Ia maklum bahwa tentu bocah itu terpengaruh oleh kasih sayangnya terhadap adik angkatnya, gadis Mancu itu sehingga pertalian persaudaraan antara mereka melenyapkan rasa benci kepada bangsa Mancu, sungguh pun keluarganya sendiri terbasmi oleh orang-orang Manchu.
"Tepat sekali, Koko!" Lulu bersorak girang. "Aku akan senang sekali melihat para kaisar yang gendut karena banyak makan dan terlalu senang hidupnya, berikut semua pembesar-pembesar tinggi mengadakan perang sendiri, tidak membawa-bawa rakyat jelata! Biarkan mereka itu berperang, kaisar lawan kaisar, menteri lawan menteri, dan pembesar lawan pembesar. Tentu badut-badut itu akan terkencing-kencing ketakutan menghadapi ancaman maut!"
Kembali semua orang terheran. Tidak ada yang mau membantah pendapat dua orang muda yang aneh itu karena mereka tidak ingin timbulnya satu kesalah-pahaman lagi. Bahkan Tan-piauwsu lalu membelokkan percakapan.
"Yang terpenting sekarang kita harus menghadapi kenyataan. Tak dapat disangkal lagi bahwa pihak Siauw-lim-pai tentu akan memusuhi Sie-enghiong, juga pihak pimpinan. Hoa-san-pai akan salah paham terhadap Sie-enghiong. Oleh karena itu saya harap Ji-wi suka sementara tinggal di sini menanti datangnya mereka itu. Saya yakin bahwa orang-orang Siauw-lim-pai tentu akan datang ke sini, mengingat bahwa peristiwa ini timbul dari Pek-eng-piauwkiok yang membawa dua peti jenazah. Kalau Sie-enghiong berada di sini, ada kami yang akan menjadi saksi dan yang akan menerangkan duduknya perkara sebenarnya sehingga semua pihak mengerti bahwa yang menjadi biang keladinya adalah puteri Mancu itu."
Han Han mengerutkan keningnya. "Akan tetapi kami tidak suka mengganggu Cu-wi sekalian. Lebih baik aku dan Adikku pergi, karena aku pun ingin sekali bertemu dengan puteri Mancu yang demikian lihainya. Tentang kemarahan pihak Siauw-lim-pai mau pun pimpinan Hoa-san-pai, biarlah kami sendiri yang menanggungnya."
Wan Sin Kiat memegang tangan sahabatnya itu. "Aih, Han Han. Mengapa kau banyak sungkan? Kita berada di antara sahabat sendiri. Aku ingin sekali bercakap-cakap denganmu. Tinggallah di sini barang sepekan. Apakah engkau sudah melupakan sahabatmu ini? Sahabat senasib sependeritaan di waktu kecil? Aku ingin mendengar semua pengalamanmu, juga ingin menceritakan pengalaman-pengalamanku. Demi persahabatan kita, kuharap kau dan Nona Sie sudi untuk tinggal beberapa hari lamanya di sini."
Berat juga rasanya hati Han Han untuk menolak. Apa lagi ketika Lu Soan Li merangkul Lulu dan berkata, "Adik yang manis, kuharap kau tidak menolak undangan kami. Aku ingin sekali belajar satu dua pukulan darimu yang lihai agar bertambah pengertianku!"
"Aih, Cici. Engkau merendahkan diri. Sebagai tokoh Hoa-san-pai, agaknya aku yang harus berguru kepadamu!" Dua orang gadis itu bersendau-gurau, keduanya sama muda remaja, sama cantik jelita.
Han Han merasa kasihan kepada adiknya dan tidak tega untuk memaksanya pergi sekarang juga. Sudah terlalu lama Lulu tinggal menyendiri di pulau, terlalu lama jauh dari pergaulan mesra. Kini bertemu dengan gadis Hoa-san-pai itu, timbul kegembiraan hati Lulu dan sebaiknya kalau mereka tinggal di situ beberapa lamanya. Juga ia tidak dapat membantah bahwa ia merasa amat suka kepada sahabat lamanya yang kini telah menjadi seorang pemuda tampan yang gagah perkasa itu, di samping merasa suka kepada Lu Soan Li yang cantik manis, pendiam dan memiliki sifat-sifat gagah dalam gerak-geriknya.
Demikianlah, Han Han dan Lulu tinggal di Pek-eng-piauwkiok, dijamu dan diperlakukan dengan manis dan hormat oleh Tan-piauwsu dan para anah buahnya. Mereka telah melupakan rasa dendam bahwa pemuda ini telah membunuh Lie Cit San dan Ok Sun. Kini mereka maklum bahwa pemuda ini melakukan hal itu tanpa dasar membenci Hoa-san-pai. Bahkan tadinya pemuda itu membantu Lie Cit San dan Ok Sun menghadapi orang-orang Siauw-lim-pai sehingga membunuh tujuh orang murid Siauw-lim-pai. Kemudian pemuda itu membunuh dua orang tokoh Hoa-san-pai itu hanya karena menganggap mereka ini jahat. Semua terjadi karena kesalah-pahaman, terjadi sebagai akibat dari pada tipu muslihat keji yang diatur oleh Puteri Nirahai yang selain lihai juga amat cerdik itu.
Lulu benar-benar mendapatkan kegembiraan di tempat ini. Dia merupakan sahabat yang amat cocok dengan Lu Soan Li, bahkan ia bersikap manis terhadap Wan Sin Kiat. Juga Han Han merasa suka kepada Lu Soan Li yang manis budi dan pendiam. Empat orang muda ini setiap hari berkumpul, bercakap-cakap dan Han Han mendengarkan penuturan Wan Sin Kiat dengan hati tertarik.
Dari penuturan tokoh muda Hoa-san-pai itu, ternyata bahwa tidak lama setelah berpisah dari Han Han, Wan Sin Kiat bertemu dengan seorang tosu aneh. Sesungguhnya tosu ini adalah seorang tokoh Hoa-san-pai, akan tetapi berbeda dengan tokoh-tokoh Hoa-san-pai yang lain, tokoh ini adalah seorang tosu perantau yang selain wataknya aneh juga memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi karena ilmu-ilmunya dari Hoa-san-pai mendapat kemajuan pesat setelah ia banyak merantau dan menyempurnakan ilmu-ilmunya dengan membandingkannya dengan ilmu dari lain golongan. Tosu ini berjuluk Im-yang Seng-cu. Selain Sin Kiat, dia juga mengambil seorang murid wanita, yaitu Lu Soan Li yang hidupnya juga sudah sebatang-kara, ditinggal mati keluarganya dalam sebuah bencana banjir Sungai Huang-ho.
Berkat gemblengan suhu mereka yang memiliki kesaktian melebihi tokoh-tokoh Hoa-san-pai lainnya, Sin Kiat dan Soan Li menjadi jago muda yang lihai sekali, sehingga biar pun menurut tingkat mereka itu terhitung masih sute dan sumoi dari Tan-piauwsu, akan tetapi dalam ilmu silat, mereka jauh melampaui tingkat kepandaian sang suheng ini.
Sudah banyak mereka melakukan perbuatan-perbuatan menggemparkan dunia kang-ouw dengan sepak terjang mereka sebagai pendekar-pendekar muda yang perkasa, bahkan semenjak ada gerakan perjuangan melawan pemerintah penjajah Mancu, kedua orang muda ini sudah banyak berjasa. Tentu saja ketika menceritakan pengalamannya Sin Kiat tidak menceritakan tentang perjuangan ini, khawatir kalau-kalau akan membikin hati Lulu menjadi tidak enak. Apa lagi karena ia mengenal pendirian Han Han yang agaknya tidak ingin melibatkan dirinya dalam urusan perang. Ia hanya menceritakan tentang pertemuannya dengan Im-yang Seng-cu, kemudian betapa bersama sumoi-nya dia digembleng oleh gurunya sambil merantau sampai jauh ke selatan dan ke barat.
Diceritakannya pula pertandingan-pertandingan melawan kaum penjahat dalam usaha mereka membasmi kejahatan sehingga Sin Kiat mendapat julukan Hoa-san Gi-hiap dan sumoi-nya dijuluki Hoa-san Kiam-li. Nama mereka terkenal di dunia kang-ouw sebagai tokoh-tokoh muda Hoa-san-pai yang mengagumkan.
Han Han dan Lulu mendengarkan dengan amat tertarik. Apa lagi Lulu. Dia mendengarkan penuturan pemuda tampan tinggi besar itu seperti mendengar dongeng yang amat menarik hati. Ia seolah-olah berubah menjadi arca, pandang matanya melekat dan bergantung kepada bibir Sin Kiat yang bergerak-gerak ketika bercerita.
Baru setelah selesai cerita itu, Lulu menghela napas panjang, memejamkan matanya sejenak lalu berkata, "Wahhh kalian hebat sekali...! Kalian ini pendekar-pendekar muda yang amat mengagumkan...!"
Ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Sin Kiat, Lulu melihat betapa pandang mata pemuda itu bersinar-sinar, wajahnya berseri-seri seolah-olah ucapan Lulu tadi mendatangkan rasa bahagia yang luar biasa. Tentu saja Lulu tidak mengerti atau dapat menduga akan isi hati Sin Kiat, hanya dia pada saat itu merasa betapa wajah pemuda ini sungguh tampan dan gagah. Entah mengapa, jantungnya berdebar dan pipinya tiba-tiba terasa panas.
Untuk menghindarkan perasaan yang tidak dikenalnya ini, Lulu berpaling kepada Soan Li dan berkata, "Enci Soan Li, engkau hebat sekali, lain waktu kau harus memberi pelajaran ilmu pedang kepadaku!"
Soan Li merangkulnya dan mengerling kepada Han Han. "Adik Lulu, engkau seperti mutiara terpendam, tidak dikenal akan tetapi dalam hal kepandaian, agaknya aku boleh berguru kepadamu!"
"Wah, Adikku dan aku ini sama sekali tidak memiliki kepandaian, mana dapat dibandingkan dengan Sin Kiat dan kau, Nona Lu?" Han Han berkata sambil tersenyum. Gadis itu memandangnya dan sejenak pandang mata mereka bertemu, bertaut dan seolah-olah ada sesuatu yang membuat mereka sukar sekali untuk melepaskan pandang mata mereka dari pertemuan yang melekat itu.
Lulu bertepuk tangan. "Hi-hik, dari tadi tiada hentinya kalian saling memandang saja. Ada apakah dengan Enci Soan Li, Koko? Dan mengapa kau mengerling saja kepada Kakakku, Enci Soan Li?"
"Ihhh, genit kau, Adik Lulu!" Soan Li menjadi merah sekali mukanya dan ia mencubit paha Lulu sehingga gadis ini menjerit.
Han Han juga merasa betapa mukanya menjadi panas, maka ia tertawa dan memandang, "Lulu, kita mempunyai mata untuk memandang! Apa salahnya dipakai memandang sesuatu yang indah dan menarik?"
Ucapan Han Han yang terus terang ini membuat Soan Li menjadi makin malu dan jengah lagi. Dia sendiri diam-diam menjadi amat heran akan diri sendiri. Sudah banyak kali terjadi ia menjadi marah-marah kalau mendengar ada laki-laki mengeluarkan ucapan-ucapan tentang dirinya, memuji-muji kecantikannya dan sebagainya. Bahkan ada laki-laki kurang ajar yang dibunuhnya hanya karena mengeluarkan ucapan-ucapan yang bermaksud kotor dan kurang ajar.
Kini, mendengar ucapan-ucapan Han Han yang memuji kecantikannya dengan blak-blakan di depan banyak orang ketika mereka diperkenalkan, kini secara terang-terangan pula dalam menjawab godaan Lulu, mengapa dia tidak marah malah menjadi... berdebar jantungnya, berdebar karena girang?
Akan tetapi pemuda ini lain dari pada laki-laki lain, dia membela perasaannya sendiri yang tidak wajar. Pemuda ini secara terang-terangan menyatakan isi hatinya, tanpa tedeng aling-aling, akan tetapi juga bersih dari pada niat-niat kurang ajar. Hal ini dapat dilihat dari pancaran pandang matanya yang wajar dan biasa, sinar mata kagum yang tidak ditutup-tutupi, seperti kewajaran sinar mata orang mengagumi bintang di langit atau mawar di taman.
Sin Kiat hanya tersenyum saja melihat sumoi-nya digoda Lulu, kemudian ia berkata kepada Han Han, "Han Han, sekarang tiba giliranmu untuk bercerita kepada kami. Tentu pengalamanmu amat menarik hati, terutama tentang pertemuan dengan Adikmu, dan tentang Gurumu. Melihat akan kelihaianmu, Gurumu ini tentu amat sakti."
"Nanti dulu, Sin Kiat. Aku teringat akan ketekadan hatimu dahulu. Bukankah kau dahulu pernah menyatakan kepadaku bahwa engkau ingin menjadi seorang perwira Mancu? Kenapa sekarang engkau sebaliknya malah menjadi orang yang memusuhi perwira-perwira Mancu?"
Sin Kiat menarik napas panjang. "Ada sebabnya memang. Ingatkah engkau dahulu betapa kau telah membelaku ketika aku dipukuli oleh bangsawan muda Ouwyang Seng murid datuk hitam Kang-thouw-kwi itu? Nah, semenjak itu aku berbalik haluan, apa lagi setelah bertemu dengan Suhu, menerima pelajaran dan juga mendengarkan wejangan-wejangannya. Han Han, sekarang ceritakanlah kepadaku, bagaimana engkau bertemu dengan Nona Lulu?"
"Wah, aku menjadi kikuk sekali kau sebut Nona! Usiamu tentu tidak banyak selisihnya dengan Han-koko, maka aku akan menyebutmu Wan-koko dan kau pun menyebut aku Adik seperti biasa Koko menyebutku. Kalau tidak mau, aku selamanya tidak akan mau bicara denganmu!" Tiba-tiba Lulu berkata kepada Sin Kiat. Pemuda ini menjadi merah mukanya, namun hatinya menjadi girang bukan main.
"Baiklah, Lulu-moi, dan terima kasih atas kebaikanmu," Sin Kiat berdiri dan menjura.
"Wah, kebetulan sekali usul Lulu ini. Aku pun hendak mencontohnya dan kuminta Nona Lu Soan Li juga jangan bersungkan-sungkan lagi, mulai sekarang mau tak mau kusebut Moi-moi dan harap suka menyebut Kakak kepadaku!”
Jantung di dalam dada Soan Li berdebar. Dia merasa makin suka kepada kakak beradik yang baru dikenalnya ini. Mereka berdua itu begitu jujur, begitu polos, dan juga ia dapat menduga bahwa mereka itu memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa sekali.
"Terima kasih atas kebaikanmu, Han-twako."
"Sebetulnya tidak ada yang banyak dapat diceritakan tentang kami berdua," kata Han Han. "Engkau sudah tahu bahwa aku dahulu di waktu kecilku adalah seorang bocah jembel seperti engkau, Sin Kiat. Dan aku bertemu dengan adikku Lulu ini yang juga seorang bocah jembel setelah hidup terlunta-lunta karena keuarganya terbasmi semua. Nah, kami saling bertemu dan mengangkat saudara, sampai sekarang kami menjadi kakak beradik yang tak pernah berpisahan."
"Han-twako, belehkah aku mengetahui, siapakah Suhu-mu yang mulia?" tiba-tiba Soan Li bertanya mendahului suheng-nya, karena ia ingin sekali mendengar siapa adanya guru dari pemuda yang amat mengagumkan hatinya ini.
Han Han dan Lulu saling berpandangan sejenak. Mereka berdua selama ini berlatih di Pulau Es, berlatih tanpa guru, hanya mempelajari ilmu dari kitab-kitab dan berlatih secara ngawur. Ataukah beruang itu dapat dianggap menjadi guru mereka? Ah, tidak, beruang itu hanya teman berlatih. Guru mereka adalah penghuni-penghuni Pulau Es, pemilik-pemilik istana yang meninggalkan kitab-kitab pelajaran, akan tetapi siapakah dia itu?
Han Han memiliki pikiran yang tidak lumrah, dapat berpikir cepat melebihi manusia biasa, dapat mengambil keputusan yang amat tepat dalam sedetik dua detik pemikiran saja. Ia tahu bahwa Sin Kiat dan Soan Li adalah murid-murid Hoa-san-pai yang menentang Mancu, dan dia tidak boleh sekali-kali memperlihatkan sikap bermusuh atau mengaku sebagai pihak yang bermusuhan.
Dia telah belajar ilmu dari Lauw-pangcu, kemudian mencuri ilmu dari Kang-thouw-kwi Gak Liat. Akan tetapi dua orang ini tidak boleh dia sebut-sebut, karena menyebut nama Lauw-pangcu berarti menyinggung hati Lulu, menyebut Kang-thouw-wi Gak Liat sebagai guru lebih tidak mungkin lagi karena Setan Botak itu adalah kaki tangan Mancu. Dan dia tidak suka berbohong maka ia mendapat jalan tengah yang baik.
"Guruku adalah Suhu Siangkoan Lee..."
"Ahhh...!" Sin Kiat dan Soan Li benar-benar terkejut mendengar ini. "Ma-bin Lo-mo…?”
Han Han memandang wajah Sin Kiat. "Benar, mengapa? Apakah kau mengenal Suhu? Dia juga seorang yang amat setia kepada Kerajaan Beng-tiauw, bahkan kalau tidak salah dia bekas menteri..."
"Tentu saja kami telah mendengar namanya. Ah, Ma-bin Lo-mo, seorang di antara datuk-datuk hitam yang amat sakti. Pantas saja kau begini lihai, Han Han. Kiranya engkau murid tokoh besar itu!"
Lulu yang mendengarkan ucapan Han Han itu pun diam saja, hanya memandang dengan sinar mata nakal. Ia menganggap bahwa kakaknya ini tidak terlalu berbohong, karena memang kakaknya menjadi murid banyak orang sakti, di antaranya Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee yang hampir membunuhnya, bahkan yang telah berusaha membakar mereka berdua di perahu. Ia tidak mengerti mengapa kakaknya seolah-olah tidak mau bercerita terus terang bahwa mereka berdua telah belajar ilmu di Pulau Es.
Biar pun Lulu dan Han Han baru tinggal di Pek-eng-piauwkiok selama beberapa hari, namun hubungan empat orang muda ini menjadi amat akrab. Apa lagi karena di situ ada Lulu yang wataknya lincah jenaka, yang nakal dan tak pernah malu-malu, jujur dan tidak mengenal palsu, sebentar saja rasa jengah yang membatasi pergaulan mereka menjadi lenyap. Berkat kelincahan Lulu, Lu Soan Li menjadi tidak malu-malu lagi terhadap Han Han, juga Sin Kiat makin tertarik kepada gadis Mancu yang benar-benar telah menjatuhkan hatinya itu.
Sepekan kemudian, ketika Lulu sedang mengumpulkan bunga-bunga yang dipetiknya dalam taman bunga tak jauh dari gedung Pek-eng-piauwkiok, ia dikejutkan oleh suara Sin Kiat, "Wah, Lulu-moi, setiap pagi kau tentu berada di sini memetik bunga!"
Dara jelita itu menoleh dan tersenyum. Bagi Sin Kiat, senyumnya amat manis dan hangat, sehangat matahari di pagi hari itu. Taman bunga itu menjadi makin cerah dan makin jernih bagi Sin Kiat.
"Tentu saja, Twako. Bertahun-tahun aku tidak berkesempatan melihat bunga, sekarang ada begini banyak bunga indiah di sini. Dahulu aku hanya melihat bunga-bunga es melulu..." Tiba-tiba gadis itu teringat akan larangan kakaknya untuk bercerita kepada siapa juga tentang Pulau Es, maka ia terikejut dan menghentikan kata-katanya.
Akan tetapi Sin Kiat telah mendengar kalimat terakhir itu dan dia mendekat. "Bunga es? Apa maksudmu, Moi-moi?"
"Eh... oh... tidak apa-apa..." Lulu yang biasanya amat jujur polos dan tidak biasa membohong itu menjadi gagap. Ia sama sekali tidak senang untuk menyembunyikan atau merahasiakan sesuatu, karena untuk ini, terpaksa ia harus pula membohong, padahal ketidak-wajaran ini terasa amat asing dan amat sukar baginya.
Sin Kiat memandang tajam, hatinya merasa tidak enak, bahkan sakit karena ia mengerti bahwa dara yang dikaguminya ini menyembunyikan sesuatu dari padanya dan hal ini menimbulkan kesan bahwa Lulu tidak menaruh kepercayaan penuh kepadanya! Dengan nada sedih ia lalu berkata, tanpa disadarinya ia memegang kedua tangan Lulu yang penuh bunga.
"Moi-moi, mengapa engkau tidak percaya kepadaku? Ahhh, sungguh mati, aku tidak ingin memaksamu untuk membuka sesuatu yang kau rahasiakan, akan tetapi... ah, ketidak-percayaanmu ini menyakitkan hatiku, Moi-moi. Tidak tahukah engkau, tidak merasakah engkau betapa aku…… aku cinta kepadamu, Lulu?"
Lulu tersenyum dan dengan gerakan halus menarik tangannya sehingga terlepas dari genggaman jari tangan pemuda itu, yang membuat jantungnya berdebar tidak karuan.
"Aku merasakan itu dan aku tahu, Twako. Akan tetapi, tidak kelirukah cintamu itu kau jatuhkan atas diriku? Ingat, aku seorang gadis Mancu, musuhmu!"
Sin Kiat memandang penuh keharuan. "Moi-moi, tak dapatkah kau memaafkan kesalahan ucapanku ketika pertama kali kita bertemu? Tidak, aku tidak memusuhi seluruh bangsa Mancu, dan aku hanya akan menentang yang jahat, siapa pun dia dan bangsa apa pun dia. Engkau bagiku bukan bangsa apa-apa, engkau adalah Lulu, satu-satunya gadis yang pernah dan akan menjadi pujaan hatiku, menjadi satu-satunya wanita yang kucinta!"
Tiba-tiba Lulu tertawa. Hati Sin Kiat makin sakit, mengira bahwa dara yang dicintanya ini mentertawakan pernyataan cinta kasihnya! Tidak ada hal yang lebih menyakitkan hati bagi seorang pria dari pada cinta kasihnya ditertawai oleh wanita yang dicintanya.
"Hi-hi-hik, alangkah lucunya!"
"Apa yang lucu, Moi-moi? Mengapa engkau tertawa?" Sin Kiat bertanya, mukanya menjadi agak pucat.
"Habis, lucu sekali sih! Engkau dan Sumoi-mu keduanya telah jatuh cinta kepada aku dan Kakakku, bukankah ini lucu sekali namanya?"
Sin Kiat memandang wajah jelita itu dengan kaget. "Apa? Sumoi mencinta Kakakmu? Ah, bagaimana engkau bisa tahu?"
"Apa sih sukarnya mengetahui itu? Aku tahu bahwa Sumoi-mu mencinta Han-koko dan bahwa engkau mencintaku. Mau bukti? Mari, kau ikut denganku!"
Lulu menancapkan bunga-bunga yang dipetiknya di atas tanah, kemudian ia memegang tangan Sin Kiat dan menarik pemuda itu, diajak pergi ke sebelah selatan taman bunga, di mana terdapat pondok yang bercat kuning dan disebut pondok Cahaya Matahari karena pondok ini menghadap ke timur dan setiap pagi menerima sinar matahari sepenuhnya. Memang pondok ini dipergunakan untuk mandi cahaya matahari oleh keluarga Tan-piauwsu.
Sin Kiat menjadi tegang dan juga girang. Ia merasa betapa kulit telapak tangan yang halus dan hangat menggandengnya. Akan tetapi ia pun gelisah kalau mengingat bahwa perbuatan dara ini menggandengnya terdorong oleh sifatnya yang polos dan kekanak-kanakan, bukan sekali-kali terdorong oleh cinta kasih seperti yang ia harapkan.
Setelah mereka tiba di pondok, Lulu menaruh telunjuknya di depan mulut sebagai isyarat agar pemuda itu tidak mengeluarkan suara berisik, kemudian berindap-indap ia mengajak Sin Kiat memasuki pondok dari pintu belakang, terus menembus sampai ke ruangan depan pondok. Lulu berhenti dan memandang Sin Kiat dengan sinar mata penuh kebanggaan dan kemenangan. Tangan kanannya bertolak pinggang, sedangkan tangan kiri menuding ke sebelah luar di mana tampak Han Han duduk di atas anak tangga pondok itu sambil bercakap-cakap dengan Soan Li dalam suasana mesra dan ramah.
"Nah, betul tidak keteranganku? Itu mereka mengobrol dengan asyiknya! Sumoi-mu mencinta Kakakku dan setiap pagi mereka berdua tentu duduk dan mengobrol mesra di situ. Semenjak semula sudah kuduga, dalam pertemuan pertama mereka sudah saling lirak-lirik, hi-hik!"
"Wah, ini sama sekali tidak boleh...!" kata Sin Kiat dengan alis dikerutkan.
"Apa kau bilang? Apanya dan mengapa tidak boleh? Jangan main-main kau, ya? Apa kau hendak menghina Kakakku? Menganggap Kakakku kurang berharga untuk Sumoi-mu?" Kini Lulu menghadapi Sin Kiat dengan mata terbelalak marah, kedua tangan di pinggang, sikapnya menantang.
"Bukan..., bukan begitu, akan tetapi Sumoi... dia... dia telah ditunangkan oleh Suhu... dia sudah mempunyai calon suami..."
Kini Lulu yang terbelalak kaget. "Apa kau bilang? Dan engkau calon suaminya?"
"Bukan, bukan! Calon suaminya adalah seorang sastrawan..."
"Taihiap...! Para pimpinan Hoa-san-pai telah tiba, Taihiap diminta untuk menyambut...!" Seruan ini keluar dari mulut seorang anak buah Pek-eng-piauwkiok yang datang berlari-lari. Ia berteriak-teriak sehingga tidak saja Sin Kiat dan Lulu yang menengok kaget dan percakapan mereka terputus, juga Han Han dan Soan Li menjadi kaget dan menengok, lalu menghampiri mereka.
Sepintas lalu Sin Kiat melihat betapa wajah sumoi-nya berseri-seri, agak kemerahan sehingga hatinya makin tidak enak. Dia akan merasa bahagia sekali kalau sumoi-nya dapat menjadi calon isteri Han Han, andai kata dia belum bertunangan. Akan tetapi sumoi-nya telah ditunangkan kepada orang lain! Berbeda dengan wajah Soan Li, Lulu mau pun Sin Kiat melihat betapa wajah Han Han biasa saja.
Semua urusan mengenai sumoi-nya itu segera terhapus dari ingatan Sin Kiat karena pada saat itu ada urusan yang lebih gawat, yaitu dengan datangnya para pimpinan Hoa-san-pai yang tentu akan timbul persoalan yang amat gawat dengan Han Han.
"Han Han, tokoh-tokoh Hoa-san-pai telah tiba, sebaiknya engkau bersamaku pergi menyambut mereka agar persoalan ini lekas beres."
Han Han mengangguk, sikapnya tenang sekali, berbeda dengan Sin Kiat dan sumoi-nya yang mengerutkan kening dan kelihatan gelisah. Han Han sudah membunuh dua orang murid Hoa-san-pai, apa pun alasannya, tentu akan membikin hati para pimpinan Hoa-san-pai menjadi tidak puas. Sungguh pun Sin Kiat dan Soan Li merupakan dua orang tokoh Hoa-san-pai, namun mereka tidak banyak mengenal para pimpinan Hoa-san-pai karena mereka itu digembleng oleh guru mereka, Im-yang Seng-cu, dalam perantauan dan hanya satu kali mereka disuruh guru mereka pergi menghadap ketua Hoa-san-pai di Puncak Hoa-san. Maka hanya ketua Hoa-san-pai saja yang mereka kenal, sedangkan para susiok (paman guru) lainnya, mereka tidak kenal.
Ketika empat orang muda itu tiba di ruangan dalam yang lebar, di situ Tan-piauwsu dan para sute-nya telah menghadap tiga orang tosu tua dengan sikap hormat. Sin Kiat dan Soan Li sebagai murid-murid Hoa-san-pai, cepat melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan tiga orang tosu itu yang duduk berjajar di atas bangku-bangku kehormatan.
"Suhu dan Ji-wi Supek (Dua Uwa Guru), ini adalah Sute Wan Sin Kiat dan Sumoi Lu Soan Li," Tan-piauwsu memperkenalkan dua orang muda itu.
“Hemmm...!” Tosu yang berjenggot pendek, guru Tan Bu Kong, mengangguk-angguk dan berkata, "Agaknya kalian inikah murid-murid Sute Im-yang Seng-cu?"
"Tidak salah dugaan Sam-wi Supek. Teecu berdua adalah murid-murid Suhu Im-yang Seng-cu. Teecu berdua menghaturkan hormat kepada Sam-wi Supek," kata Sin Kiat sambil memberi hormat, yang dicontoh oleh Soan Li.
"Bagus! Kalian tidak mengecewakan menjadi murid-murid Hoa-san-pai. Pinto telah mendengar akan sepak-terjang kalian di dunia kang-ouw," kata tosu ke dua yang lebih tua dan yang didahinya terdapat cacat bekas luka memanjang. "Duduklah baik-baik di bangku di pinggir sana." Tosu ini menunjuk bangku-bangku dengan sikap tidak begitu mengacuhkan. Betapa pun juga, dua orang muda ini hanyalah murid-murid keponakan mereka, dan mereka bertiga datang untuk membereskan urusan yang amat gawat.
Dengan sikap hormat Sin Kiat dan Soan Li duduk di atas bangku-bangku yang ditunjuk oleh tosu codet (luka di dahi) itu. Diam-diam Han Han, terutama sekali Lulu, merasa tidak puas menyaksikan sikap angkuh Si Tosu terhadap sahabat-sahabat baik mereka. Akan tetapi mereka tidak peduli dan hanya berdiri di pinggiran, tidak jauh dari tempat duduk dua orang sahabat mereka itu. Tiga orang tosu tua yang melihat Han Han dan Lulu tidak mengacuhkannya pula karena mereka ini mengira bahwa Han Han dan Lulu tentulah orang-orang muda tak berarti, anggota keluarga atau pembantu-pembantu di Pek-eng-piauwkiok.
Tiga orang tosu Hoa-san-pai ini adalah tosu-tosu tingkat tiga, karena mereka ini adalah murid-murid langsung dari ketua Hoa-san-pai, yaitu yang bernama Thian Cu Cinjin, seorang tosu yang amat sakti dan sudah berusia tinggi. Mereka bertiga ini adalah kakak beradik seperguruan. Yang paling tua adalah tosu tinggi kurus yang berjenggot panjang bernama atau lebih tepat berjuluk Bhok Seng-cu, yang ke dua adalah tosu codet yang luka dahinya, berjuluk Kong Seng-cu, ada pun tosu ke tiga adalah guru dari Tan-piauwsu yang berjuluk Lok Seng-cu.
Mereka ini rata-rata sudah berusia enam puluh tahun lebih, namun masih nampak sehat, berwibawa, dan penuh semangat karena sesungguhnya tiga orang tosu inilah yang bertugas untuk melaksanakan segala peraturan di Hoa-san-pai. Mungkin karena terpengaruh tugas mereka yang harus dilaksanakan secara baik-baik dan penuh disiplin, maka tiga orang tosu ini sudah biasa berwatak keras asal benar!
Mereka bertiga tidak begitu ramah ketika diperkenalkan kepada Sin Kiat dan Soan Li, karena sesungguhnya mereka bertiga tidak suka kepada Im-yang Seng-cu, tokoh Hoa-san-pai yang dianggap menyeleweng, yaitu menyeleweng dari pada aturan Hoa-san-pai, tidak suka menjadi tosu di Hoa-san-pai melainkan lebih suka mengembara dan berkeluyuran! Juga perasaan tidak suka ini timbul pula karena Im-yang Seng-cu dianggap tidak setia kepada Hoa-san-pai, mempelajari ilmu silat-ilmu silat lain golongan, bahkan berani ‘mengawinkan’ iImu silat Hoa-san-pai yang asli dengan ilmu silat golongan lain. Apa lagi kalau diingat bahwa mereka itu tidaklah seguru dengan Im-yang Seng-cu karena Im-yang Seng-cu bukanlah murid Thian Cu Cinjin, melainkan murid dari Tee Cu Cinjin yang sudah meninggal dunia, yaitu sute dari Thian Cu Cinjin.
"Tan Bu Kong, kami sudah mendengar akan pelaporanmu dari mulut utusan Pek-eng-piauwkiok. Karena mengingat akan gawatnya persoalan, maka kami bertiga datang sendiri untuk memberi hukuman kepada dia yang berdosa. Benarkah bahwa kedua orang Sute-mu Lie Cit San dan Ok Sun dibunuh orang?"
Mendengar pertanyaan ini, berkerut alis Wan Sin Kiat. Para supek-nya ini ternyata adalah orang-orang yang berhati keras dan yang dipentingkan adalah urusan kematian anak murid Hoa-san-pai, padahal di balik urusan ini tersembunyi hal yang lebih gawat lagi, yaitu ancaman permusuhan dengan pihak Siauw-lim-pai. Ataukah mungkin laporan utusan Tan-piauwsu yang tidak jelas menyampaikan laporan? Namun, ia tidak berani mengganggu, hanya mendengarkan saja.
"Benar, Suhu. Sute Lie Cit San dan Sute Ok Sun tewas, bahkan Sute Teng Lok juga terluka hebat, buntung lengannya. Semua ini terjadi karena tipu muslihat keji seorang gadis Mancu, seorang puteri Kaisar sendiri yang bernama Puteri Nirahai...”
"Siapakah yang membunuh dan melukai Sute-sute-mu? Apakah dia murid Siauw-lim-pai?”
"Bukan, Suhu. Memang terjadi bentrokan dengan pihak Siauw-lim-pai, akan tetapi semua itu adalah akibat tipu muslihat keji Puteri Mancu Nirahai. Sebaiknya teecu menceritakan asal mula terjadinya perkara yang hebat ini." Melihat betapa tiga orang tosu tua itu diam saja dan semua memandang kepadanya, Tan Bu Kong segera menceritakan asal mula terjadinya peristiwa itu.
Betapa puteri itu datang mengirim dua buah peti ke selatan dan betapa dia tidak berani menolak karena tidak ingin dicurigai oleh pemerintah Mancu akan perjuangan Hoa-san-pai menentang penjajah. Kemudian betapa Teng Lok sampai buntung lengannya ketika menyelidiki keadaan puteri aneh itu. Diceritakannya pula betapa rombongan piauwsu yang mengantar dua buah peti ke selatan, di tengah jalan dihadang oleh anak-anak murid Siauw-im-pai yang memaksa mereka membuka peti sehingga terjadi pertempuran.
"Pinto telah mendengar penuturan itu dari utusanmu, tak perlu diulangi lagi," Lok Seng-cu memotong tak sabar sambil menggerakkan tangan kirinya ke atas sehingga ujung lengan bajunya bergetar dan bergoyang. "Pinto hanya tertarik mendengar akan kematian murid-murid Lie Cit San dan Ok Sun. Siapakah yang membunuh mereka?"
Berkerut kening Han Han. Ingin ia melangkah maju dan menjawab pertanyaan itu, mengaku bahwa dialah yang membunuh dua orang murid Hoa-san-pai itu. Akan tetapi ketika bertemu pandang dengan Wan Sin Kiat, ia melihat pemuda itu menggeleng-geleng kepala perlahan sehingga ia membatalkan niatnya.
Tan-piauwsu juga bingung sekali atas pertanyaan gurunya yang mendesak-desak itu, seolah-olah tidak hendak memberi kesempatan kepadanya untuk menjelaskan semua agar kesalahan tangan Han Han itu dapat diperingan dengan alasan kuat. Akan tetapi piauwsu ini sudah merasa yakin akan kebersihan hati Han Han dalam pembunuhan terhadap dua orang sute-nya itu. Ia memberanikan hatinya dan melanjutkan ceritanya.
"Pertempuran berat sebelah itu tentu akan berakibat terbasminya semua anak buah piauwsu yang mengawal kalau saja tidak secara kebetulan muncul seorang pendekar muda yang membantu pihak Hoa-san-pai dan pemuda itu memukul tewas tujuh orang anak murid Siauw-lim-pai. Kemudian pihak Siauw-lim-pai memaksa membuka dua buah peti kiriman puteri Mancu dan isinya ternyata adalah..."
"Mayat-mayat Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek, dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam! Pinto sudah tahu semua akan hal itu. Bu Kong, katakan, siapa yang membunuh dua orang Sute-mu?"
"Pendekar muda yang tadinya membantu Hoa-san-pai dan membunuh tujuh orang Siauw-lim-pai ketika melihat bahwa dua peti itu berisi mayat tokoh-tokoh Siauw-lim, menjadi menyesal dan marah sekali, mengira bahwa pihak Hoa-san-pai yang bersalah, maka dalam kemarahannya ia turun tangan membunuh kedua orang Sute, tidak tahu bahwa baik pihak Siauw-lim-pai mau pun pihak Hoa-san-pai tidak bersalah karena mereka semua telah termasuk dalam perangkap dan siasat adu domba puteri Mancu itu..."
"Tan Bu Kong! Engkau berpihak kepada siapakah? Katakan, di mana adanya orang yang membunuh dua orang murid Hoa-san-pai itu!" bentak Lok Seng-cu dengan nada marah sehingga Tan-piauwsu menjadi jeri dan menundukkan mukanya.
"Totiang, akulah orangnya yang membunuh dua orang muridmu itu!" Tiba-tiba terdengar suara Han Han memecah kesunyian sehingga suasana menjadi tambah sunyi lagi karena kini kesunyian itu dicekam ketegangan yang memuncak ketika tiga orang tosu tua itu menoleh dan memandang kepada Han Han penuh perhatian. Han Han sudah melangkah maju dengan sikap tenang, kemudian berdiri menghadapi tiga orang Hoa-san-pai itu sambil melanjutkan kata-katanya.
"Memang aku yang telah membunuh mereka, hal ini tidak kupungkiri dan aku mohon maaf kepada Totiang bertiga sebagai guru-guru mereka. Aku merasa menyesal sekali telah membunuh mereka berdua seperti rasa penyesalanku telah membunuh tujuh orang murid Siauw-lim-pai yang tak bersalah. Akan tetapi aku tidak merasa bersalah karena aku membunuh dua orang murid Hoa-san-pai dengan persangkaan bahwa Hoa-san-pailah yang membunuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai dan kusangka bersikap palsu sehingga menyebabkan aku kesalahan tangan membunuh murid-murid Siauw-lim-pai. Hal itu telah terjadi di luar kesadaranku, dan aku pasti akan mencari biang keladinya, Puteri Mancu itu. Nah, kurasa cukup lama aku tinggal di sini bersama Adikku. Tan-piauwsu, dan juga kalian berdua, Sin Kiat dan Adik Lu Soan Li, aku harus pergi dari sini setelah bertemu dengan tokoh-tokoh Hoa-san-pai dan minta maaf. Aku hendak pergi menemui pimpinan Siauw-lim-pai untuk menjelaskan persoalan. Sampai jumpa kembali..."
"Berhenti!" Tiba-tiba Bhok Seng-cu yang tinggi kurus dan berjenggot panjang membentak. Suaranya mengejutkan semua orang karena mengandung getaran yang menusuk rongga dada, tanda bahwa kakek ini telah mempergunakan khikang yang amat kuat.
Han Han yang tadinya sudah melangkah hendak keluar diikuti oleh Lulu, berhenti dan membalikkan tubuhnya. Sikapnya tenang saja, demikian pula dengan Lulu sehingga Bhok Seng-cu sendiri menjadi terheran-heran. Hampir semua yang hadir di situ, kecuali Wan Sin Kiat dan Lu Soan Li yang rnemiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi, menjadi pucat sekali wajah mereka karena pengaruh bentakan tadi, akan tetapi dua orang muda ini sama sekali tidak terpengaruh, kaget sedikit pun tidak!
“Orang muda, apakah sedemikian murahnya kau menghargai nyawa dua orang anak murid kami? Cukup dengan pernyataan menyesal dan minta maaf? Sungguh engkau memandang rendah kepada Hoa-san-pai!" kata Bhok Seng-cu dengan alis terangkat.
"Habis apa yang harus kulakukan,Totiang? Aku telah lama menanti kedatangan Totiang di sini, hal itu karena aku memandang Hoa-san-pai," jawab Han Han dengan sikap yang masih tenang. Pandang mata pemuda ini bertemu dengan pandang mata Bhok Seng-cu dan kakek Hoa-san-pai ini bergidik dan mengalihkan pandang matanya.
"Hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa!" bentak Lok Seng-cu, guru Tan-piauwsu yang menjadi marah sekali kalau teringat betapa murid-muridnya terbunuh hanya oleh seorang pemuda yang tak di kenaI sama sekali, bukan pula murid Siauw-lim-pai, bahkan seorang pemuda yang kelihatannya liar. Andai kata kedua orang muridnya tewas di tangan seorang tokoh besar, atau setidaknya oleh anak murid Siauw-lim-pai yang pandai, dia tidak akan begitu malu.
"Suheng," katanya kepada Bhok Seng-cu. “Bukan hal yang mustahil kalau pemuda ini menjadi kaki tangan Mancu yang sengaja membunuh murid-murid Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai agar taktik adu domba berhasil baik. Bocah setan ini tak boleh diberi ampun!"
"Suhu dan Ji-wi Supek, Han Han bukanlah kaki tangan Mancu...!" Tiba-tiba Wan Sin Kiat berseru dari tempat duduknya karena tidak tahan lagi mendengar ucapan-ucapan suhu-nya dan supek-nya yang nadanya menekan Han Han. "Teecu mengenal dia baik-baik semenjak dia masih kanak-kanak karena dia adalah sahabat baik teecu di waktu kecil."
"Wan Sin Kiat! Tak patut engkau sebagai anak murid Hoa-san-pai bicara seperti itu terhadap seorang yang telah membunuh dua orang Suheng-mu! Di mana kesetiaanmu terhadap Hoa-san-pai? Apakah kalau dia ini menjadi sahabat baikmu di waktu kecil, lalu tak mungkin lagi menjadi kaki tangan Mancu? Pandangan picik sekali!" bentak Bhok Seng-cu sambil menatap wajah pemuda itu dengan mata melotot.
Sin Kiat menunduk, akan tetapi ia menjawab dengan suara tenang, "Maaf, Supek. Bukan karena itu, melainkan karena dia adalah murid Ma-bin Lo-mo Siang-koan Lee..."
"Ahhhhh !" Seruan ini keluar dari mulut ketiga orang tosu tua itu karena mereka benar-benar merasa kaget sekali mendengar bahwa pemuda ini adalah murid seorang di antara tokoh-tokoh datuk hitam yang amat terkenal itu.
Mereka pun maklum bahwa biar pun seorang tokoh datuk hitam, namun Siang-koan Lee bukanlah seorang yang tunduk kepada pemerintah penjajah Mancu. Kini mereka kembali memandang kepada Han Han penuh perhatian dan dengan pandang mata agak meragu. Akan tetapi hanya sebentar saja mereka meragu karena segera terdengar suara Bhok Seng-cu yang kaku dan tegas.
"Kalau dia murid Ma-bin Lo-mo, memang bukan kaki tangan Mancu. Akan tetapi biar pun demikian, dia telah membunuh dua orang murid Hoa-san-pai, dan dia harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Biar pun murid Ma-bin Lo-mo tidak boleh menghina kami orang-orang Hoa-san-pai!"
"Suheng, nanti dulu, Suheng!" Tiba-tiba Kong Seng-cu berkata dan tiba-tiba tubuh tosu ini sudah bangkit berdiri dari tempat duduknya dan dengan langkah lebar menghampiri Lulu. Teringat olehnya bahwa tadi pemuda itu mengakui gadis ini sebagai adiknya. Ia menghampiri dan memandang gadis itu penuh perhatian, mulutnya menggerutu, "Adiknya...? Ini Adikmu...?"
Han Han yang merasa sebal menyaksikan sikap congkak dari tiga orang Hoa-san-pai ini berkata, "Benar, Totiang. Dia Adik angkatku."
Tosu yang dahinya terhias bekas luka itu berjalan mengelilingi Lulu sambil memandang seperti orang memeriksa kuda yang hendak dibelinya. Lulu yang dipandang penuh perhatian tersenyum-senyum, dan melirak-lirik dengan sikap lucu dan mentertawakan. Akhirnya tosu itu kembali ke bangkunya, duduk dan berkata, "Gadis ini adalah seorang wanita Mancu!"
Semua orang yang mendengar ini menjadi terheran, bagaimana tosu codet ini dapat mernduga sedemikian tepatnya.
"Wanita Mancu?" Bhok Seng-cu dan Lok Seng-cu berseru kaget.
Lok Seng-cu memandang kepada Tan-piauwsu dengan pandang mata bengis lalu membentak, "Tan Bu Kong! Betulkah bahwa gadis ini seorang wanita Mancu dan sudah kau biarkan dia menjadi tamumu?"
Sebelum Tan-piauwsu sempat menjawab, Lulu sudah melangkah maju dan menjawab dengan suara Iantang sambil memandang kepada Kong Seng-cu, "Benar sekali! Aku adalah seorang gadis Mancu dan namaku Lulu, she Sie karena Kakakku ini pun she Sie. Tosu codet, matamu benar-benar tajam sekali!"
“Siancai...! Apa kata pinto? Dalam jarak sepuluh Ii, pinto sudah dapat mengenal wanita Mancu! Suheng dan Sute, biar pun orang she Sie ini murid Ma-bi lo-mo, akan tetapi dia mempunyai Adik angkat wanita Mancu! Terang bahwa dia telah berkhianat, dan mungkin sekali dia sekarang menjadi kaki .tangan Puteri Mancu itu! Wah, berbahaya kalau begini, sama sekali tidak boleh membebaskan dia."
"Tosu codet, selain matamu awas sekali, juga hatimu busuk sekali. Tentu karena kebusukan hatimu maka dahimu menjadi codet, bekas terluka senjata tajam. Sayang di dahi, sebaiknya di mulut agar mulutmu tidak dapat menghamburkan ucapan-ucapan busuk lagi.” Lulu yang diam-diam marah kini mulai mempermainkan tosu itu.
Semua orang terkejut sekali, bahkan Sin Kiat menjadi pucat wajahnya. Gadis yang dicintanya itu benar-benar berani mati, mengeluarkan omongan yang seperti itu terhadap Kong Seng-cu, seorang di antara ketiga murid ketua Hoa-san-pai yang berilmu tinggi! Pemuda perkasa ini maklum bahwa ucapan itu akan rnempunyai akibat yang berbahaya sekali bagi Han Han dan Lulu, maka ia memandang dengan jantung berdebar dan muka pucat.....
Juga para anak buah Pek-eng-piauwkiok terutama sekali Tan Bu Kong, menjadi khawatir sekali, apa lagi karena Tan-piauwsu maklum bahwa perbuatannya menerima seorang gadis Mancu sebagai tamu benar-benar akan menimbulkan salah paham dari para supek-nya.
"Suhu, harap maafkan teecu. Biar pun dia seorang gadis Mancu, akan tetapi dia lain lagi, sama sekali tidak menganggap kita sebagai musuh dan dan dia adalah Adik angkat Sie-taihiap..."
Ucapan ini malah merupakan angin yang membesarkan api kemarahan di dada tiga orang tosu itu, terutama sekali Kong Seng-cu yang dihina dan dimaki oleh seorang gadis Mancu.
"Bocah Mancu, mampuslah!" bentak Kong Seng-cu
Tanpa bangkit dari tempat duduknya, kakek berdahi codet ini mengirim pukulan jarak jauh dengan dorongan tangan kanannya ke arah dada Lulu. Jarak antara mereka ada empat meter dan kakek ini yang memandang rendah gadis Mancu itu yang disangkanya gadis biasa saja, menaksir bahwa pukulannya ini cukup kuat untuk merusak isi dada gadis yang dianggapnya jahat dan musuh rakyat itu.
Angin pukulan yang dahsyat menyambar ke arah Lulu dan jelas tampak betapa baju gadis itu di bagian dadanya berkibar disambar angin pukulan. Akan tetapi gadis itu sendiri berdiri sambil tersenyum-senyum manis, sama sekali tidak bergerak, seolah-olah ia tidak merasakan datangnya angin pukulan jarak jauh ini seperti sebongkah batu gunung ditiup angin semilir! Dan memang sesungguhnyalah bahwa Lulu sama sekali tidak tahu bahwa dia dipukul orang! Akan tetapi mengapa pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga sakti amat kuat dari tokoh Hoa-san-pai itu sama sekali tidak terasa olehnya? Apakah Lulu sudah memiliki kesaktian yang luar biasa seperti Han Han?
Sebetulnya tidaklah demikian. Seperti kita ketahui, ketika berdiam di Pulau Es Lulu juga tekun belajar di bawah bimbingan Han Han. Akan tetapi berbeda dengan Han Han yang memiliki dasar tidak karuan, bahkan secara paksa menggembleng diri dengan ilmu dari aliran hitam, Lulu sebaliknya mempelajari kitab-kitab peninggalan manusia sakti pemilik Istana Pulau Es.
Gadis ini berlatih semedhi dan pengumpulan hawa murni untuk membentuk tenaga sakti menurut petunjuk kitab yang dibacanya di pulau itu, dan ternyata ia dapat memiliki sinkang yang murni dan bersih yang amat kuat dan yang kini telah menjadi satu dengan darah daging dan pernapasannya sehingga tenaga sakti ini akan bergerak dengan sendirinya setiap kali ada bahaya mengancam tubuhnya.
Juga gadis ini melatih ilmu silat tangan kosong dan ilmu pedang dari dua buah kitab lain yang sudah amat tua dan tidak berjudul lagi, ilmu silat tangan kosong yang lebih mirip ilmu tari karena gerakan-gerakannya indah sekali sehingga sering kali jika sedang berlatih, Lulu ditertawai dan digoda Han Han, dikatakan bahwa tarian adiknya amat indah dan ‘bahwa’ adiknya bukan mempelajari ilmu silat melainkan ilmu tari. Namun dengan ‘ilmu tari’ ini Lulu telah dapat membuat beruang es mengaku kalah!
Ada pun ilmu pedangnya juga amat indah, akan tetapi karena dipulau itu mereka tidak mempunyai pedang, Lulu selalu berlatih mempergunakan sebatang ranting. Dengan adanya sinkang yang sudah mendarah daging itulah maka tadi ketika Kong Seng-cu melancarkan pukulan jarak jauh yang mengandalkan tenaga sinkang, begitu angin pukulan menyentuh kulit, otomatis sinkang di tubuh Lulu bergerak dan menolak serangan dari luar itu maka gadis ini tidak merasakan apa-apa sungguh pun bajunya sampai berkibar dilanda angin pukulan jarak jauh tokoh Hoa-san-pai itu!
Wan Sin Kiat menjadi pucat mukanya, dan pandang matanya menjadi kagum dan heran bukan main. Sebagai murid tersayang dari Im-yang Seng-cu, seorang tokoh yang biar pun tingkatnya hanya saudara seperguruan dari tiga orang tosu ini, namun memiliki ilmu kepandaian jauh lebih tinggi, dan sebagai seorang yang ahli dalam ilmu silat Hoa-san-pai, Sin Kiat tadi dapat melihat jelas gerakan Kong Seng-cu dan maklum bahwa supek-nya itu dengan secara keji sekali telah melakukan pukulan jarak jauh yang disebut jurus Sian-jin-hian-ko (Dewa Memberi Buah) dan yang mengandung tenaga sinkang amat kuat.
Akan tetapi dapat dibayangkan betapa heran dan kagumnya ketika melihat bahwa gadis yang telah membuat jantungnya jungkir balik dan bertekuk lutut itu sama sekali tidak merasakan pukulan itu, bahkan berkedip pun tidak, malah senyumnya makin lebar dan makin manis, mata yang lebar itu makin bersinar-sinar!
"Eh, Tosu Codet. Engkau mengeluarkan ilmu hitam apakah?" Setelah bajunya berkibar dan dadanya agak berdenyut kulitnya, barulah Lulu sadar bahwa tosu itu tadi telah memukulnya dengan pengerahan sinkang, maka ia sengaja mengejek. Diam-diam gadis ini bersikap waspada dan hati-hati karena maklum bahwa para tosu Hoa-san-pai itu benar-benar hendak memusuhi dia dan Han Han.
Sementara itu, ketika melihat betapa pukulan jarak jauh yang dilontarkan Kong Seng-cu kepada gadis Mancu itu sama. sekali tidak berhasil, tiga orang tokoh Hoa-san-pai ini diam-diam terkejut dan berhati-hati. Mereka maklum bahwa gadis Mancu yang masih remaja itu telah memiliki tenaga sinkang yang hebat dan tidak lumrah dimiliki seorang gadis yang demikian muda.
Tiga orang tosu itu menjadi serba salah. Mau merintahkan anak murid turun tangan terhadap Han Han dan Lulu, mereka maklum bahwa murid-murid yang berada di situ agaknya bukanlah lawan pemuda berambut riap-riapan dan adiknya yang bertenaga sinkang hebat itu. Mau turun tangan sendiri, mereka masih merasa tidak enak dan malu karena amatlah menurunkan derajat bagi mereka untuk turun tangan terhadap dua orang yang masih amat muda, boleh disebut setengah dewasa itu!
Tiba-tiba pandang meta Bhok Seng cu yang memandangi para anak murid Hoa-san-pai dan anak buah Pek-eng-piauwkiok itu menatap ke satu arah. Ketika Lok Seng-cu dan Kong Seng-cu yang ragu-ragu menoleh ke arah suheng mereka yang tentu saja sebagai orang tertua di antara mereka merupakan penentu terakhir, mereka berdua pun mengikuti arah pandang mata suheng mereka itu dan wajah mereka berseri. Mengertilah kedua orang tosu ini akan jalan pikiran suheng mereka dan mereka pun setuju sekali. Tanpa mengeluarkan suara, tiga orang tosu Hoa-san-pai ini telah bersepakat untuk memerintahkan Wan Sin Kiat dan Lu Soan Li menghadapi Han Han dan Lulu!
Mereka itu sama mudanya sehingga tidak akan menurunkan nama Hoa-san-pai, mereka berdua itu pun murid-murid Hoa-san-pai yang lihai ilmunya sehingga di dunia kang-ouw terkenal dengan julukan Hoa-san Gi-hiap dan Hoa-san Kiam-li. Dan yang menggirangkan hati ketiga orang tosu ini, dua orang muda itu adalah murid-murid Im-yang Seng-cu, seorang tokoh Hoa-san-pai yang mereka anggap menyeleweng dan murtad sehingga kalau dua orang murid itu sampai kalah, Hoa-san-pai tidaklah terlalu merasa malu dan memang tiga orang tosu ini dalam kebenciannya terhadap Im-yang Seng-cu menjadi tidak suka pula kepada Sin Kiat dan Soan Li.
Rasa benci terhadap Im-yang Seng-cu bukan semata karena tokoh Hoa-san-pai ini meninggalkan Hoa-san-pai, melainkan lebih banyak terdorong rasa iri hati. Im-yang Seng-cu membuat nama besar bukan bersandar kepada Hoa-san-pai karena ilmu silatnya telah bercampur dengan ilmu-ilmu silat lain. Di samping ini, Im-yang Seng-cu tidak lagi hidup terikat dan terkurung di Hoa-san, melainkan hidup sebagai seorang pendekar dan petualang yang bebas dan bebas pula menikmati kesenangan duniawi!
"Murid-murid Wan Sin Kiat dan Lu Soan Li! Pinto memerintahkan kalian untuk menangkap musuh Hoa-san-pai dan adiknya, gadis Mancu itu. Kerjakan perintah pinto sebagai murid-murid Hoa-san-pai yang baik!" Bhok Seng-cu berkata dengan nada suara halus dan muka berseri. Dua orang sute-nya mengangguk-angguk dan tersenyum sambil meraba-raba jenggot mereka.
Sin Kiat dan Soan Li menjadi terkejut bukan main mendengar perintah ini. Wajah mereka berubah dan jantung mereka berdebar karena mereka tersudut ke dalam keadaan yang serba salah. Untuk membantah, perintah itu keluar dari mulut supek mereka dan dikeluarkan atas nama Hoa-san-pai. Untuk mentaati perintah, bagaimana mereka dapat memusuhi dua orang muda yang menjadi sahabat baik mereka, bahkan dua orang muda yang masing-masing telah menjatuhkan hati mereka?
Mereka tak tahu harus berbuat apa, merasa mundur salah maju tidak sesuai dengan suara hati mereka. Apa lagi ketika mereka melihat betapa Han Han dan Lulu kini menoleh dan memandang mereka dengan sikap tenang dan bahkan Lulu tersenyum-senyum memandang Sin Kiat karena gadis nakal ini agaknya merasa geli, sama sekali tidak kasihan melihat pemuda itu yang ia tahu menjadi bingung. Baru saja menyatakan cinta, kini disuruh menyerang!
Teringatlah dua orang murid Hoa-san-pai ini akan pesan suhu mereka, yaitu Im-yang Seng-cu, "Kalian memang dapat disebut murid-murid Hoa-san-pai, akan tetapi ilmu yang kuberikan kepada kalian sesungguhnya bukanlah ilmu asli dari Hoa-san-pai. Karena itu kalian harus berhati-hati terhadap Hoa-san-pai. Para tosu Hoa-san-pai, yaitu Suheng-suheng dan Sute-sute-ku, adalah tosu-tosu yang kukuh dan terlalu kaku memegang aturan sehingga kadang-kadang mereka itu keras sekali. Memang demikian watak orang-orang yang terikat oleh keadaan pada lahirnya namun sesungguhnya batinnya belum dapat mereka sesuaikan dengan keadaan lahir. Mereka banyak yang merasa iri hati melihat kehidupan orang-orang di luar lingkungan tosu yang hidup serba bebas dan dapat mengecap kenikmatan hidup tanpa pantangan-pantangan. Lebih baik kalau kalian menjauhkan diri dari urusan Hoa-san-pai.”
Demikianlah pesan suhu mereka dan kini, di luar kehendak mereka, mereka dihadapkan dengan urusan yang amat sulit yang menyangkut Hoa-san-pai.
"Mengapa kalian tidak lekas turun tangan? Apakah kalian hendak menentang perintah pinto dan hendak menjadi murid murtad Hoa-san-pai pula?" kini suara Bhok Seng-cu terdengar keras dan tidak senang, mengandung tekanan menyindir bahwa guru kedua orang muda itu adalah seorang murid murtad Hoa-san-pai
Soan Li hanya dapat memandang kepada suheng-nya dengan pandang mata penuh permohonan agar suheng ini dapat mengambil keputusan. Sin Kiat menghela napas panjang lalu berkata.
"Supek, mohon maaf, bukan sekali-kali teecu membantah. Hanya teecu teringat akan pesan Suhu bahwa segala perbuatan teecu berdua harus didasarkan kebenaran. Teecu menganggap bahwa Saudara Sie Han dan Lulu tidak bersalah dalam urusan ini, bagaimana mungkin teecu berdua harus memusuhi mereka?"
"Wan Sin Kiat! Bocah ini telah membunuh dua orang murid Hoa-san-pai yang terhitung Suheng-suheng-mu sendiri dan kau masih hendak membelanya? Dan gadis ini, sudah terang dia itu gadis Mancu, seorang musuh bangsa kita, dan engkau pun hendak membelanya? Pelajaran macam apakah ini yang diberikan Gurumu kepada kalian?" bentak Kong Seng-cu.
Ucapan keras yang menambah ketegangan itu disusul suara Lulu yang perlahan akan tetapi karena keadaan yang amat sunyi, terdengar oleh semua telinga, "Koko, Tosu Codet itu galak sekali! Kalau terjadi pertempuran, kau bikin mukanya bertambah satu codet lagi, baru puas hatiku!"
"Sssttttt, Lulu, jangan lancang mulut...!" Han Han menjawab lirih, akan tetapi tentu saja terdengar pula oleh semua orang.
Kong Seng-cu hampir tak dapat menahan kemarahannya dan ia memandang kepada Lulu dengan mata melotot. Untuk turun tangan sendiri, ia merasa malu hati, tidak turun tangan, jantungnya serasa ditusuk-tusuk oleh sindiran dan ejekan gadis Mancu itu.
"Supek," jawab Sin Kiat dengan suara tenang. "Suhu mengajarkan agar teecu tidak sembrono dalam sepak terjang teecu, tidak menurutkan panasnya nafsu hati melainkan menggunakan pertimbangan pikiran dan liangsim (hati nurani). Biar pun Han Han membunuh kedua orang Suheng teecu, akan tetapi dia membunuh bukan karena kejahatan, melainkan karena tertipu muslihat Puteri Mancu. Ada pun Adik Lulu ini... dia bukanlah musuh, dia tidak memusuhi kita.”
"Kreeekkkkk!" Lengan kursi yang diduduki Bhok Seng-cu hancur berkeping-keping karena dicengkeram tangan tosu lihai ini yang sudah tak dapat mengendalikan lagi kemarahannya.
"Murid murtad!" Ia menudingkan telunjuknya kepada Sin Kiat, kemudian menoleh ke arah Tan Bu Kong, Kwee Twan Giap, dan murid-murid Hoa-san-pai pembantu Tan-piauwsu yang lain sambil berseru, "Tangkap dua orang murid murtad ini, dan kami akan turun tangan sendiri menangkap bocah dan gadis Mancu itu!"
"Serrr... serrrrr...!"
Bhok Seng-cu menggerakkan tangan kanannya, dua sinar hitam menyambar ke arah Han Han dan Lulu. Itulah hancuran kayu lengan kursi yang dicengkeramnya tadi, kini ditimpukkan dengan pengerahan sinkang sehingga merupakan senjata rahasia yang amat berbahaya, menyambar ke arah dada Han Han dan Lulu yang sejak tadi hanya berdiri dengan sikap tenang di tengah ruangan itu.
Han Han mengibaskan tangannya sehingga hancuran kayu itu runtuh ke bawah, sedangkan Lulu dengan sikap lincah meloncat ke samping, mengelak sambil tertawa mengejek, "Wah, sayang luput, Tosu galak!"
Tan-piauwsu dan para sute-nya, juga anak buah Pek-eng-piauwkiok yang sudah menganggap diri mereka sebagai anak buah Hoa-san-pai tidak berani membantah perintah itu dan mereka telah mencabut senjata masing-masing, kini telah mengurung ruangan itu! Di luar tahunya semua orang, Kwee Twan Giap sute termuda dari Tan-piauwsu yang amat cerdik, telah memberi tanda dengan jari tangan agar Sin Kiat dan Soan Li cepat melarikan diri saja sehingga terhindar pertandingan antara murid Hoa-san-pai sendiri. Melihat ini, Sin Kiat dan Soan Li mencatat dalam hati mereka akan ikhtikad baik Kwee Twan Giap.
Akan tetapi, sebelum dua orang murid Im-yang Seng-cu ini sempat melakukan sesuatu, tiba-tiba terdengar pekik melengking keras sekali yang membuat semua orang tertegun, bahkan banyak di antara mereka meremang bulu tengkuknya mendengar suara ini. Suara ini keluar dari mulut Han Han yang sudah meloncat ke depan sambil melengking keras, kemudian berkata.
"Majulah semua! Tosu-tosu picik, hayo majulah kalian. Kalau kekerasan yang kalian kehendaki, kekerasan yang kalian dapat!"
Lulu juga meloncat ke dekat kakaknya sambil membusungkan dadanya yang sudah membusung, "Jangan mengeroyok Wan Sin Kiat dan Lu Soan Li, keroyoklah kami kalau kalian sudah bosan hidup!"
Akan tetapi tiba-tiba Han Han sudah menggerakkan kedua tangannya, mendorong ke kanan kiri dan terdengarlah suara hiruk-pikuk jatuhnya beberapa buah senjata pedang dan golok karena pemiliknya rebah terguling disambar hawa pukulan hebat luar biasa, yaitu yang menyambar ke luar dari kedua telapak tangan Han Han. Amat mengerikan akibatnya karena empat orang itu roboh dengan lengan kanan sebatas siku gosong seperti dibakar. Masih untung bahwa Han Han menyerang mereka mengarah lengan, kalau tubuh mereka yang terkena sambaran hawa pukulan yang merupakan inti dari Hwi-yang Sin-ciang ini, pasti nyawa mereka telah melayang!
Lulu menjadi gembira, tubuhnya berkelebat ke kiri dan sebuah tendangan membuat seorang anak buah piauwkiok menjerit kesakitan, lengan tangannya patah tulangnya dan pedangnya mencelat ke atas. Tubuh Lulu meloncat dengan gerakan indah dan cepat, seperti seekor burung walet terbang dan tahu-tahu pedang itu telah berada di tangannya, lalu ia melayang turun, berdiri tersenyum-senyum menimang-nimang dan memandang pedang, sikapnya seperti seorang anak kecil mendapatkan sebuah boneka.
"Pedang yang bagus sekali!'" Ia memainkan ronce-ronce pedang yang berwarna kuning itu dan mengelus-elus mata pedang yang tajam.
Melihat ini Tan-piauwsu dan para sute serta anak buah mereka mau tak mau lalu maju menyerbu, bukan menyerbu Sin Kiat dan Soan Li, melainkan menyerbu Han Han dan Lulu yang telah bergerak terlebih dulu. Biar pun sampai mati dalam pertandingan, mereka ini memilih mati di tangan Han Han dan Lulu yang merupakan orang-orang lain, bahkan boleh juga dianggap musuh karena Han Han telah membunuh dua orang murid Hoa-san-pai sedangkan Lulu adalah seorang gadis Mancu. Kalau mereka menyerbu Sin Kiat dan Soan Li, berarti mereka bermusuhan dengan murid-murid Hoa-san-pai sendiri dan kalau tewas berarti mati konyol!
“Han Han... Lulu-moi..., kasihanilah mereka yang tak berdosa, jangan bunuh mereka...!" Sin Kiat berteriak dengan hati sedih dan amat terkejut menyaksikan sepak terjang Han Han.
Lulu mendengar getaran suara Sin Kiat ini dan ketika ia mengerling kepada kakaknya, ia melihat bahwa kakaknya telah diserang nafsunya yang aneh, yang kadang-kadang datang seperti ketika kakaknya ini menyiksa ular merah di Pulau Es. Ia cepat berbisik.
"Koko, jangan bunuh orang...."
Pada saat itu Han Han memang telah kemasukan nafsu iblis yang selalu menyerangnya apa bila ia mengerahkan sinkang di tubuhnya. Latihan-latihan yang ia tempuh selama bertahun-tahun adalah latihan-latihan ilmu golongan hitam yang selalu menimbulkan nafsu ingin menyiksa dan membunuh. Begitu menyaksikan sikap tiga orang tosu Hoa-san-pai, kemarahannya bangkit dan sekali ia mengerahkan sinkang, nafsu membunuh ini telah bangkit di dadanya. Sepasang matanya yang amat tajam itu menjadi agak kemerahan, napasnya agak terengah dan ia merasa seolah-olah ia bukan bernapas hawa melainkan api. Akan tetapi aneh sekali, bisikan suara Lulu itu merupakan embun dingin sejuk yang seketika dapat menekan gairahnya untuk membunuh musuh sebanyaknya. Ia mengangguk sambil berkata lirih.
"Lulu, kau tahan mereka itu, biar aku menghadapi tiga orang tosu sombong!"
Lulu tersenyum, menggerakkan tubuh ke kanan menghindarkan bacokan seorang anak buah piauwkiok, tangan kirinya menyambar tengkuk dan orang itu mengeluh dan roboh dengan mata mendelik, pingsan! Jurus-jurus pukulan Lulu amat aneh, selain karena memang ilmu silat tangan kosong yang dilatihnya dari kitab kuno di Pulau Es memang aneh, juga ditambah dengan gerakan-gerakan yang ia ciptakan di luar kesengajaannya ketika ia berlatih dengan beruang es yang lihai sekali. Biasanya kalau ia memukul tengkuk beruang es dengan tangan miring, beruang itu kadang-kadang dapat mengelak atau menangkis, dan kalau terkena juga, beruang es itu hanya akan terhuyung. Siapa kira orang ini sekali kena disambar tengkuknya terus roboh pingsan!
Hebat bukan main sepak terjang Lulu. Dia kini telah meloncat ke dekat kakaknya, menyerahkan pedang dengan sikap seperti anak kecil dan berkata, "Aku titip dulu, Koko, jangan sampai hilang pedangkul"
Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat, berputaran seperti orang menari, namun cepat bukan main sehingga para anak buah Peng-eng-piauwkiok hanya melihat bayangan berkelebatan di sekeliling mereka dan mencium keharuman yang keluar dari rambut dan pakaian Lulu. Pada detik-detik berikutnya, senjata-senjata di tangan mereka beterbangan dan orangnya pun mengaduh-aduh. Ada yang patah tulang lengannya, ada yang terkilir kakinya kena tendangan, ada yang pening kepalanya dengan mata berkunang karena ditempiling, dan ada pula yang mulas perutnya kena dicium ujung sepatu gadis itu. Mereka seolah-olah melawan bayangan setan, membacok dan menusuk secara ngawur karena tidak dapat melihat jelas lawannya, dan tahu-tahu dua puluh orang lebih telah kehilangan senjata dan tubuh mereka malang-melintang di ruangan itu!
"Bukan main !" Sin Kiat berseru sambil menahan napas saking kagumnya.
Dia sendiri adalah seorang ahli silat kelas tinggi dan memiliki ginkang yang hebat. Akan tetapi menyaksikan gerakan Lulu, ia menjadi bengong karena gerakan gadis itu seolah-olah terbang saja! Betapa mungkin dara remaja itu memiliki ginkang setinggi itu? Siapakah gerangan gurunya? Melihat gerakannya yang jelas membayangkan ilmu dari golongan bersih, kaum putih, ia tidak percaya kalau Lulu juga murid Ma-bin Lo-mo. Kalau Han Han memang amat boleh jadi, karena gerakan dan pukulan pemuda mengerikan sekall, Jelas termasuk ilmu dari kaum sesat.
Kini hanya tinggal Tan Bu Kong, Kwee Twan Giap dan dua orang sute-nya yang lain saja di antara para piauwsu yang belum roboh. Mereka berempat ketika menyaksikan betapa semua anak buah piauwkiok roboh oleh gadis Mancu itu menjadi kaget akan tetapi juga marah. Tanpa dikomando lagi mereka sudah mencabut senjata dan menerjang maju. Tentu saja sebagai murid-murid Hoa-san-pai yang sudah bertingkat empat atau lima, ilmu silat mereka sudah hebat dan gerakan mereka ketika menyerang Lulu tak boleh disamakan dengan gerakan para anak buah Pek-eng-piauwkiok tadi.
"Pergilah...!" terdengar bentakan Han Han.
Ia tidak membiarkan adiknya dikeroyok murid-murid Hoa-san-pai ini. Dia membentak dan kedua tangannya mendorong ke kanan kiri dan... empat orang murid Hoa-san-pai itu terpental sampai empat meter ke belakang, roboh tak dapat bangkit kembali karena tulang pundak mereka remuk disambar hawa yang keluar dari kedua telapak tangan Han Han. Untung bagi mereka bahwa Han Han masih ingat akan cegahan adiknya sehingga ia membatasi dorongannya dan hanya membuat mereka roboh pingsan dengan tulang remuk saja.
"Siancai... pemuda iblis...!”
Bhok Seng-cu dan Lok Seng-cu dengan gerakan tenang namun sesungguhnya cepat dan mengandung tenaga sinkang yang amat kuat, meloncat turun dari kursi mereka diikuti oleh Kong Seng-cu.
Melihat tiga orang kakek tokoh Hoa-san-pai itu hendak turun tangan, diam-diam Sin Kiat dan Soan Li menjadi khawatir sekali. Mereka maklum akan kelihaian tiga orang supek mereka ini. Karena sekali ini yang turun tangan adalah tokoh tinggi yang berkepandaian hebat, maka akibatnya pun tentu mengerikan. Mereka masih bingung dan serba salah, tidak tahu harus berbuat apa. Membantu sana salah membantu sini tak benar. Maka mereka hanya memandang bengong dan jantung mereka serasa berhenti berdetik.
"Koko, mana pedangku? Biar kau serahan Si Codet galak itu kepadaku!" kata Lulu yang agaknya tidak mengenal bahaya.
Pedang itu tadi oleh Han Han ditancapkan di atas tanah ketika ia membantu Lulu dan merobohkan empat orang murid Hoa-san-pai. Kini Lulu menyambar pedang itu dan terus dimainkan sambil mengejek ke arah Kong Seng-cu.
"Hayo, Tosu Codet, beranikah engkau melawan pedang wasiat jimat keramatku?
Sudah sejak tadi Kong Seng-cu diejek dan dipermainkan Lulu. Sekarang kemarahannya memuncak. Ia lupa diri, lupa bahwa adalah pantangan pertama dan terutama bagi seorang ahli tapa seperti dia untuk mudah dirangsang nafsu amarah. Dengan seruan keras ia telah mencabut pedangnya dan menerjang Lulu. Sinar pedangnya yang gemilang kehijauan itu bagaikan kilat menyambar ke arah leher Lulu!
"Cringgg...! Iiihhhhh...!” Lulu berteriak kaget dan memandang pedangnya yang tinggal sepotong, lalu berkata, “Pedangmu bagus sekali, Tosu Codet! Wah, kau berikan saja pedangmu itu padaku dan aku serta koko-ku akan mengampunimu. Hayo, serahkan pedangmu sebagai pengganti nyawamu!”
Ketika menangkis tadi, pedang rampasannya bertemu dengan pedang Kong Seng-cu yang bersinar kehijauan, dan sekali beradu, pedang rampasannya buntung. Maka ia menjadi tertarik sekali dan wajah serta matanya berseri memandang pedang kehijauan yang dipegang Kong Seng-cu.
Dapat dibayangkan betapa marah dan mendongkol hati Kong Seng-cu mendengar ucapan gadis itu. Sudah terang bahwa sekali serang saja, biar pun gadis itu berhasil menangkisnya, namun pedang gadis itu menjadi buntung sehingga hal ini dapat dipakai ukuran bahwa dia sudah menang dalam satu gebrakan. Namun gadis itu masih mengeluarkan ucapan untuk menukar pedangnya dengan nyawa. Seolah-olah gadis itu baru mau mengampuninya kalau dia sudah memberi ‘thiap’ (sogokan) kepada gadis Mancu itu berupa pedangnya!
Padahal pedangnya itu bukanlah sembarang pedang! ltulah pedang Cheng-kong-kiam (Pedang Sinar Hijau), sebuah pusaka Hoa-san-pai! Cheng-kong-kiam ini dahulu amat terkenal didunia kang-ouw sebagai senjata ampuh dari para pimpinan Hoa-san-pai dan kini berada di tangan Kong Seng-cu karena dia merupakan seorang di antara pemimpin Hoa-san-pai, dan di antara ketiga orang tosu itu, dialah yang paling pandai dalam kiam-sut (ilmu pedang) Hoa-san-pai. Dan sekarang, pedang itu diminta oleh Lulu sebagai barang ‘sogokan’. Sungguh keterlaluan sekali!
"Perempuan Mancu keparat, engkau tak patut dibiarkan hidup!" Kong Seng-cu yang sudah memuncak kemarahannya itu kini menerjang maju dengan ganas, mengeluarkan jurus-jurus maut dari Ilmu Pedang Hoa-san Kiam-sut.
"Ayaaaaa..., Tosu Codet selain galak juga ganas sekali !" Mulut Lulu berkata demikian, akan tetapi sesungguhnya dia tidak berpura-pura dan menjadi kaget sekali.
Kasihan dara remaja ini. Biar pun dia telah mewarisi ilmu silat yang amat tinggi dan aneh dari Pulau Es, akan tetapi dia kurang pengalaman dan selamanya dia hanya berlatih dalam pertandingan pura-pura melawan beruang es. Kini dia diserang oleh seorang tosu Hoa-san-pai tingkat empat yang memegang sebatang pedang pusaka Hoa-san-pai pula, yang sudah menjadi ahli pedang sebelum dia terlahir. Tentu saja dia terkejut dan kewalahan. Baiknya, selama di Pulau Es gadis ini telah berlatih secara aneh dan hebat sehingga dia memiliki sinkang dan ginkang yang tidak lumrah manusia biasa sehingga biar pun terdesak, ia selalu dapat bergerak cepat, menghindar diri dengan meloncat ke sana kemari, mengelak terus karena tidak berani menangkis dengan pedangnya yang tinggal sepotong.
"Sing-sing-sing...! Siuuuuutttt...! Aihhh...!" Untuk ke sekian kalinya hampir saja ujung pedang bersinar hijau itu mencium kulit leher Lulu yang putih halus sehingga gadis itu membelalakkan matanya. Untung ia masih bisa cepat sekali menarik tubuh ke belakang, lalu meloncat ke atas dan berjungkir-balik empat meter di sebelah belakangnya.
Namun Kong Seng-cu yang sudah marah dan penasaran itu menerjang terus tanpa mengenal kasihan. Kong Seng-cu tidak malu menyerang dengan pedangnya karena tadi Lulu juga memegang pedang, bahkan biar pun sekarang pedang gadis itu tinggal sepotong, namun masih terus dipegangnya sehingga gadis itu dapat dikatakan ‘bersenjata’ dan dia tidak akan disebut menyerang seorang yang bertangan kosong dengan senjatanya.
Berbeda dengan Bhok Seng-cu dan Lok Seng-cu. Mereka berdua setelah menyaksikan betapa Kong Seng-cu sudah turun tangan terhadap gadis Mancu yang telah merobohkan para anak buah Pek-eng-piauwkiok, lalu melangkah maju menghampiri Han Han pula. Mereka berdua maklum bahwa pemuda ini memiliki kepandaian yang hebat juga, maka mereka pun tidak malu-malu untuk turun tangan berdua, sungguh pun mereka masih merasa sungkan menggunakan senjata. Mereka percaya bahwa andai kata seorang diri masih diragukan untuk dapat menundukkan pemuda liar itu, berdua tentu akan dapat menawannya untuk diseret ke depan ketua Hoa-san-pai. Dengan demikian, barulah nama besar dan wibawa Hoa-san-pai tidak akan tercemar karena tewas dan robohnya beberapa orang anak murid Hoa-san-pai di tangan bocah ini.
"Pemuda iblis, menyerahlah!" Lok Seng-cu menggerakkan tangan mencengkeram ke arah pundak Han Han.
Pemuda ini sudah menjadi marah, apa lagi melihat betapa Lulu diserang dengan pedang oleh Kong Seng-cu. Kini menghadapi cengkeraman tangan Lok Seng-cu, ia sama sekali tidak mengelak, bahkan menggerakkan tangan pula menangkis sambil mengerahkan tenaga dengan lengan kiri.
“Plakkkkk...!"
"Ayaaaaa...!"
Tubuh Lok Seng-cu terpelanting dan hampir saja tosu ini roboh kalau saja dia tidak cepat meloncat ke atas dan berjungkir-balik, wajahnya pucat dan lengan kirinya agak membiru. Hawa dingin seperti es menusuk-nusuk lengannya itu. Dia sudah mendengar akan kelihaian Ma-bin Lo-mo yang kabarnya memiliki ilmu pukulan Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Es) yang mengandung Im-kang yang amat kuat. Akan tetapi sungguh sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa murid datuk hitarn itu rnemiliki sinkang sekuat ini! Cepat Lok Seng-cu menghimpun tenaga dalarnnya dan segera rasa dingin menusuk-nusuk itu lenyap kembali.
Melihat sute-nya hampir roboh dalam segebrakan, Bhok Seng-cu terkejut bukan main. Cepat ia pun menubruk maju dari sebelah kanan pemuda itu dan mengirim dorongan dengan telapak tangannya ke arah dada Han Han. Dorongan ini bukan sembarang dorongan, melainkan pukulan sakti yang dilakukan dengan pengerahan sinkang yang kuat sekali.
Han Han dapat merasakan sambaran angin dahsyat yang panas, maka ia pun segera membuka tangan kanan dan memapaki telapak tangan kakek yang mendorongnya.
"Plakkk...!"
Dua telapak tangan yang mengandung hawa Yang-kang bertemu dan melekat! Bhok Seng-cu kembali tertegun. Cepat-cepat ia mengerahkan sinkang-nya untuk memperkuat Yang-kang yang mendorong ke luar dari telapak tangannya. Pemuda ini menggunakan Yang-kang yang amat panas! Hal ini benar-benar mengagetkan Bhok Seng-cu karena hawa panas yang menyambut telapak tangannya itu hampir tak tertahankan olehnya!
Melihat betapa suheng-nya telah turun tangan akan tetapi belum mampu merobohkan pemuda itu, Lok Seng-cu menjadi penasaran dan ia pun menerjang maju dan kini ia memukul dengan mengerahkan hawa Im-kang. Sebagai seorang tokoh tingkat tinggi Hoa-san-pai, tiga orang tosu ini tentu saja telah kuat sekali sinkang-nya sehingga mereka pun menguasai tenaga Yang-kang mau pun Im-kang. Lok Seng-cu yang sudah merasakan betapa pemuda itu tadi menerima cengkeramannya dengan tangkisan yang mengandung hawa sakti dingin, kini menyerang pula dengan Im-kang karena ia maklum pula melihat jurus yang dipergunakan suheng-nya bahwa Bhok Seng-cu menyerang pemuda itu dengan Yang-kang dan bahwa pemuda itu menyambut dorongan suheng-nya dengan hawa sakti panas pula. Kesempatan bagus pikirnya.
Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tangan kiri pemuda itu menerima telapak tangannya dengan sinkang yang berhawa dingin pula! Betapa mungkin ini? Dengan tangan kanannya pemuda itu melawan hawa panas Bhok Seng-cu dengan hawa panas pula, dan dengan tangan kirinya menghadapi Lok Seng-cu dengan sinkang yang berlawanan, yaitu dengan hawa dingin!
Lok Seng-cu juga merasa betapa hawa dingin yang keluar dari telapak tangan pemuda itu amat luar biasa dan hampir ia tidak kuat menahannya. Terpaksa ia mengerahkan seluruh tenaga saktinya untuk melawan. Ada pun Bhok Seng-cu yang sudah berkeringat dahinya karena hawa panas menjalari seluruh tubuhnya, juga mengerahkan tenaga dengan mata setengah dipejamkan untuk melawan sinkang pemuda itu yang benar-benar amat luar biasa. Tiga orang ini hanya berdiri tak bergerak dengan telapak tangan beradu, telapak tangan mereka saling melekat.
Melihat ini, Wan Sin Kiat dan Lu Soan Li menjadi bengong saking heran dan kagumnya. Han Han seorang diri mampu menahan pukulan-pukulan sakti kedua orang supek mereka! Mereka sudah menduga bahwa Han Han adalah seorang pemuda yang memiliki kesaktian luar biasa, akan tetapi sungguh jauh melampaui batas dugaan mereka bahwa pemuda itu mampu menahan serangan hawa sakti dua orang kakek itu, dan bahkan Han Han masih dapat menengok dan memperhatikan keadaan Lulu yang terdesak hebat oleh pedang Kong Seng-cu yang lihai.
Dua orang muda ini menjadi makin gelisah dan bingung. Melihat anak buah Pek-eng-piauwkiok terluka semua termasuk Tan-piauwsu dan tiga orang sute-nya sehingga ruangan itu penuh dengan mereka yang rebah dan merintih-rintih, kini melihat betapa Lulu terancam maut di ujung pedang Kong Seng-cu, dan melihat Han Han juga bergulat dengan maut, mereka menjadi bingung tak tahu harus berbuat apa.
Betapa pun juga, Han Han dan Lulu jelas merupakan musuh atau lawan pihak Hoa-san-pai sehingga menurut patut, sebagai murid-murid Hoa-san-pai pula, mereka semestinya membantu para supek mereka. Mereka memiliki ilmu silat tinggi, tidak banyak selisihnya dengan tiga orang tosu itu, bahkan dalam hal ilmu silat mungkin mereka lebih lihai. Jika pada saat itu mereka turun tangan membantu, tentu Han Han dan Lulu takkan dapat bertahan lebih lama lagi.
Namun hati mereka tidak mengijinkan mereka turun tangan! Karena itu mereka hanya memandang dengan muka pucat. Apa lagi Sin Kiat yang jatuh cinta kepada Lulu, hatinya menjadi amat bingung karena ingin sekali membantu Lulu, membebaskan gadis itu dari desakan berbahaya pedang Kong Seng-cu. Namun, bagaimana mungkin ia melawan supek-nya sendiri?
Sementara itu Han Han memandang ke arah adiknya dengan hati penuh kekhawatiran. Ia maklum bahwa adiknya takkan mampu mempertahankan diri lebih lama lagi menghadapi ilmu pedang tosu itu. Jangankan Lulu, dia sendiri pun bukanlah tandingan tosu-tosu Hoa-san-pai ini kalau harus bertanding mempergunakan atau mengandalkan ilmu silat. Han Han maklum bahwa menghadapi mereka, ia hanya dapat mengandalkan kekuatan sinkang-nya, karena dalam hal ilmu silat, dia tidak lebih pandai dari pada Lulu kalau tidak mau dikatakan bahkan lebih rendah lagi karena Lulu telah mempelajari ilmu silat dari kitab peninggalan pemilik Pulau Es. Untuk menolong adiknya, ia harus cepat menundukkan dua orang kakek ini.
"Aiiiggghhhhh…...!!"
Seruan dahsyat ini keluar dari dada Han Han. Kedua orang tosu yang mempertahankan desakan sinkang-nya menjadi kaget seperti disambar petir ketika tiba-tiba mereka merasakan perubahan pada kedua lengan pemuda itu. Bhok Seng-cu yang tadinya menghadapi hawa Yang-kang panas dari tangan Han Han, tiba-tiba merasa betapa telapak tangan pemuda itu berubah menjadi dingin sekali, terlalu dingin sehingga seluruh lengannya seperti ditusuk-tusuk jarum! Di lain pihak, Lok Seng-cu yang tadinya menghadapi Im-kang dingin, tiba-tiba merasa betapa tangan pemuda itu berubah menjadi panas luar biasa.
Cepat kedua orang tosu itu pun mengubah sinkang mereka untuk menyesuaikan diri, akan tetapi kembali Han Han menukar sinkang-nya secara tiba-tiba. Dua orang tosu itu hampir tidak dapat percaya kepada perasaan tangannya sendiri. Selama hidup mereka, belum pernah mereka menyaksikan hal seperti ini. Betapa mungkin mengubah-ubah sinkang secara mendadak seperti itu?
Karena perubahan-perubahan ini, mereka menjadi kacau dan tak kuat bertahan lagi, sehingga ketika Han Han mengerahkan tenaga mendorong, tubuh mereka mencelat ke belakang dan mereka roboh terbanting dengan napas megap-megap hampir putus karena dada mereka terluka oleh sinkang mereka yang membalik secara tiba-tiba. Cepat mereka bersila dan memejamkan mata untuk menolong nyawa mereka yang terancam maut.
Han Han sudah meloncat ke dekat adiknya dan sekali kedua tangannya mendorong ke depan, Kong Seng-cu tak dapat bertahan. Tosu ini merasa betapa seluruh tubuhnya menjadi dingin, seolah-olah darah di tubuhnya membeku. Ia menggigil dan tanpa dapat ia cegah lagi, pedang pusaka Cheng-kong-kiam terlepas dari tangannya yang menjadi kaku. Lulu cepat menyambar pedang itu dan tertawa girang sekali, tidak mempedulikan lagi Kong Seng-cu yang sudah cepat duduk bersila seperti kedua orang saudara seperguruannya, mengerahkan tenaga sakti untuk menolong nyawanya yang terancam maut.
Suasana menjadi sunyi, yang terdengar hanya rintihan beberapa orang anak buah Pek-eng-piauwkiok yang tak dapat menahan nyeri. Namun tak seorang pun tewas dalam pertempuran aneh yang hanya memakan waktu sebentar saja itu. Wan Sin Kiat dan Lu Soan Li terlampau terheran-heran sehingga mereka itu masih bengong. Han Han menggandeng tangan Lulu yang masih mengagumi pedang rampasannya, kemudian Han Han menoleh kepada dua orang murid Im-yang Seng-cu sambil berkata.
"Sin Kiat dan Adik Soan Li, selamat tinggal. Kami berdua harus pergi sekarang juga."
Lulu juga menoleh kepada dua orang muda itu, tersenyum manis dan mengedipkan matanya yang lebar kepada Sin Kiat sambil berkata, "Selamat berpisah dan sampai jumpa pula, ya?"
Hati Sin Kiat terasa sakit. Ia bersedih harus berpisah dari gadis yang telah merampas hatinya itu. Akan tetapi pada saat seperti itu dia tidak dapat berkata apa-apa, apa lagi menahannya, bahkan ia maklum bahwa paling baik kedua orang itu cepat pergi dari tempat itu. Juga Soan Li hanya dapat memandang punggung Han Han yang bidang sampai bayangan kedua orang itu lenyap dari situ, keluar dari piauwkiok melalui pintu gerbang yang sudah tidak terjaga lagi.
Sin Kiat memandang ke arah tiga orang supek-nya yang masih duduk bersila dengan wajah pucat akan tetapi napas mereka tidak begitu sesak lagi, kemudian memandang kepada para suheng-nya yang terluka. Hatinya berduka sekali. la segera menghampiri Bhok Seng-cu dan berkata dengan suara terharu.
“Supek, sungguh teecu merasa menyesal sekali telah terjadi mala petaka ini.”
"Teecu mohon maaf tidak dapat membantu Supek," kata pula Soan Li.
"Dia terlalu hebat, seperti dewa... andai kata teecu berdua melawan pun tidak akan ada gunanya...," kata pula Sin Kiat, masih kagum bukan main menyaksikan sepak terjang Han Han tadi.
Bhok Seng-cu membuka matanya memandang kepada Sin Kiat dan Soan Li. Dua orang muda ini terkejut dan otomatis melangkah mundur melihat betapa sinar mata Bhok Seng-cu penuh dengan api kemarahan.
"Manusia-manusia khianat! Murid-murid murtad! Pergilah! Mulai detik ini kalian bukanlah murid, melainkan musuh Hoa-san-pai!"
"Supek..."
"Pinto bukan Supek kalian, keparat! Pergi !!" bentak pula Bhok Seng-cu.
Sin Kiat dan Soan Li saling pandang, di mata gadis itu tampak dua butir air mata yang ditahannya agar tidak runtuh. Sin Kiat menghela napas panjang, bangkit berdiri karena tadi mereka berlutut, lalu berkata lirih kepada Soan Li.
"Marilah kita pergi, Sumoi. Kelak Suhu tentu akan dapat mengerti keadaan kita..."
Soan Li juga bangkit berdiri dan pergilah kedua orang muda itu meninggalkan rumah piauwkiok itu, pergi dengan hati perih karena sebagai tokoh-tokoh muda Hoa-san-pai yang sudah membuat nama besar dan mengharumkan nama Hoa-san-pai, kini mereka diusir pergi dan tidak diakui sebagai murid. Padahal julukan mereka pun memakai nama Hoa-san.....
********************
Siauw-lim-pai merupakan perkumpulan atau partai silat yang bukan saja paling tua. Banyak orang mengatakan bahwa Siauw-lim-pai merupakan sumber dari semua partai persilatan yang kemudian timbul. Tentu saja ilmu silat yang keluar itu bercampur baur dengan gerakan-gerakan dari lain golongan dan suku bangsa sehingga ratusan tahun kemudian, ilmu silat dari partai lain sudah tak dapat dibedakan lagi dengan sumbernya. Tentu saja amat berbeda dalam lagak ragam dan kembangannya, walau pun kalau dilihat lebih mendalam pada dasarnya memang tiada perbedaan dalam ilmu silat yang hanya terdiri dari dua pokok, yaitu menjaga diri serapat mungkin dan menyerang lawan setepat mungkin.
Sejak pertama kali didirikan oleh tokoh besar dalam dunia persilatan mau pun Agama Buddha, yaitu Tat Mo Couw-su, Siauw-lim-pai selalu berada di bawah bimbingan para hwesio sehingga di mana-mana didirikan kuil Siauw-lim atau Siauw-lim-si. Sesuai dengan alam fikiran manusia yang selalu berubah-ubah, di dalam Siauw-lim-pai sering kali terjadi perubahan yang tentu saja ditentukan oleh pimpinan setempat dan terdorong oleh keadaan pula. Perubahan peraturan yang kadang-kadang amat menyolok.
Pernah terdapat peraturan dalam kuil Siauw-lim-si yang mengeluarkan pantangan bagi seluruh murid untuk berdekatan dengan wanita! Bahkan ada larangan keras bagi tamu-tamu wanita yang datang bersembahyang ke kuil untuk melangkah melewati pintu tengah yang sudah dijadikan garis demarkasi! Mungkin peraturan ini dikeluarkan untuk memperkuat batin para murid yang sedang digembleng agar jangan sampai ternoda oleh nafsu birahi karena sesungguhnya, terutama bagi mereka yang sedang melatih sinkang, hubungan dengan wanita merupakan pantangan dan penghalang besar sekali bagi penghimpunan tenaga murni.
Akan tetapi, peraturan yang kelihatan seolah-olah ‘anti wanita’ ini pun tidak dapat dipertahankan dan kembali terjadi perubahan di mana para tokoh Siauw-lim-pai ada yang mulai menerima murid-murid wanita. Hal ini terutama sekali terjadi atas kesadaran para tokoh Siauw-lim-pai bahwa dalam keadaan negara kacau, pihak wanitalah yang sering kali mengalami penghinaan dan kekejian-kekejian karena pihak wanita termasuk golongan lemah. Maka dalam keadaan negara kacau dan kejahatan merajalela, perlu sekali wanita diharuskan menjadi nikouw (pendeta). Sekarang murid murid itu, baik pria mau pun wanita tidak diharuskan mencukur rambut menjadi pendeta, akan tetapi tentu saja mereka ini sekaligus menjadi pula murid-murid agama Budha. Hal ini adalah penyebar-luasan agama mereka melalui perguruan silat.
Demikianlah, peraturan bebas kewajiban menjadi pendeta ini sudah berjalan seratus tahun lebih, jauh sebelum bangsa Mancu menyerbu pedalaman dan menjajah dengan mendirikan Kerajaan Ceng. Sekarang di dalam Siaw-lim-pai terdapat tokoh-tokoh bukan pendeta seperti Kang-lam Sam-eng, dan bahkan tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai sendiri, murid-murid langsung dari ketua Siauw-lim-pai, yaitu Siauw-lim Chit-kiam, terdiri dari hanya dua orang hwesio dan lima orang bukan hwesio. Pada masa itu, anak murid Siauw-lim-pai tersebar luas di kalangan rakyat jelata. Ada yang menjadi petani, nelayan, piauwsu, kauwsu (guru silat) dan banyak pula yang menjadi pendekar-pendekar perantau.
Pada waktu itu, yang menjadi ketua Siauw-lim-pai adalah guru Siauw-lim Chit-kiam berjuluk Ceng San Hwesio. Hwesio ini usianya kurang lebih delapan puluh tahun, bertubuh tegap agak kurus, berwajah kereng dan penuh wibawa. Seperi halnya Hoa-san-pai dan banyak perkumpulan silat lain, diam-diam Siauw-lim-pai juga menentang bangsa Mancu yang datang menjajah. Sungguh pun tidak secara terang-terangan, tetapi banyak para pendekar Siauw-lim-pai membantu perjuangan para patriot yang berusaha menentang dan mengusir penjajah yang makin lama makin kuat itu. Apa lagi karena Ceng San Hwesio sendiri adalah seorang yang anti penjajahan, sehingga sejak penjajahan Mancu, lenyaplah sebagian besar kesabarannya sebagai seorang hwesio dan semangat patriotnya timbul, mengeraskan hatinya dan mengeraskan wajahnya. Di dalam setiap pertemuan dengan murid-muridnya, dia selalu memberi wejangan agar para anak murid Siauw-lim-pai melakukan segala usaha untuk menentang bangsa Mancu, kalau perlu dengan taruhan nyawa.
Sebagai ketua Siauw-lim-pai, tentu saja Ceng San Hwesio memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali. Dia seorang ahli lweekeh yang sudah matang sehingga benda apa pun juga yang berada di tangannya dapat menjadi senjata yang ampuh. Akan tetapi Ceng San Hwesio tidak pernah mempergunakan senjata, tidak mau mempergunakan tongkat hwesio sebagai senjata seperti kebiasaan para ketua lainnya, melainkan lebih suka mengandalkan tasbih putih yang terbuat dari pada biji jagung jali yang besar-besar.
Seperti telah disinggung di bagian depan, beberapa kali telah terjadi bentrokan-bentrokan antara anak murid Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai. Akan tetapi bentrokan-bentrokan ini hanya terjadi karena urusan pribadi dan berkat kebijaksanaan para pimpinan kedua pihak, bentrokan antara kedua partai yang sama-sama menjadi pembantu-pembantu para pejuang itu dapat diredakan, bahkan di antara para pimpinan telah menghukum murid masing-masing dan saling minta maaf sehingga urusan dianggap telah selesai.
Ceng San Hwesio yang memegang keras peraturan, berdisiplin terhadap murid-muridnya, selain memberi hukuman kepada murid-murid yang menimbulkan bentrokan juga mengeluarkan ancaman bahwa siapa yang membuat gara-gara keributan dan menimbulkan bentrokan baru dengan pihak Hoa-san-pai, akan dihukum berat.
Akan tetapi, beberapa hari kemudian ketika hwesio penjaga pintu membuka pintu gerbang Siauw-lim-si dan siap untuk menyapu pekarangan, dia melihat tubuh tiga orang menggeletak di depan pintu. Ketika diperiksa, hwesio ini kaget sekali mendapat kenyataan bahwa mereka adalah murid-murid Siauw-lim-pai yang membuka toko obat di kota Seng-kwan. Segera ia berseru minta tolong dan beberapa orang hwesio mengangkat tiga batang tubuh itu ke dalam. Dua di antaranya sudah tewas, sedangkan seorang diantara mereka masih hidup akan tetapi sudah empis-empis napasnya dan keadaannya payah sekali.
Kebetulan sekali pada waktu itu dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam berada di kuil itu. Mereka ini adalah Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek, orang ke enam dan ke tujuh dari Siauw-lim Chit-kiam. Ketika mendengar ribut-ribut, dua orang pendekar pedang Siauw-lim yang sedang menghadap suhu mereka segera keluar untuk melihat mewakili Ceng San Hwesio. Mereka berdua kaget sekali dan cepat memeriksa. Tiga orang anak murid Siauw-lim-pai itu terluka oleh pedang yang menggorok leher mereka. Yang dua orang hampir putus lehernya dan telah mati, sedangkan yang masih hidup terluka parah, tak dapat diharapkan lagi dapat tertolong.
Liong Ki Tek yang bersikap tenang cepat menotok beberapa jalan darah di pundak dan punggung orang yang terluka hebat itu sehingga rasa nyeri tidaklah terlalu hebat lagi. Begitu rasa nyeri mereda, orang yang sekarat itu mengeluarkan suara yang tidak jelas, berbisik dan seperti mengorok tertahan di kerongkongannya. Akan tetapi Liong Ki Tek dan Liok Si Bhok sudah dapat mendengar apa yang dimaksudkan anak murid yang sekarat itu.
"...Hoa-san-pai... Tee-kong-bio...” Setelah mengeluarkan kata-kata yang tidak jelas itu, anak murid Siauw-lim-pai itu pun menghembuskan napas terakhir menyusul kedua orang saudaranya yang tewas lebih dulu.
Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek lalu menghadap guru mereka untuk merundingkan peristiwa menyedihkan itu. Ceng San Hwesio yang biasanya bersikap tenang saat itu menjadi merah mukanya dan jelas sekali bahwa hwesio tua ini diserang nafsu kemarahan yang besar.
"Kalian pergilah, carilah mereka di Tee-kong-bio. Akan tetapi jangan bunuh, tangkap mereka dan seret ke sini. Pinceng menghendaki agar dia menjadi tawanan kita sehingga ada pimpinan Hoa-san-pai yang datang untuk mendengarkan kekejaman-kekejaman anak murid mereka. Sungguh keji sekali!"
Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek segera berangkat meninggalkan kuil Siauw lim-si untuk mencari Tee-kong-bio (Kuil Dewa Bumi) yang terletak di luar dusun Ciu-si-bun. Kuil ini sebenarnya hanyalah bekas kuil, karena sudah tidak dipakai lagi, tidak dipergunakan sebagai kuil. Letaknya pun di luar kota, di pinggir jalan sebuah hutan dan karena tidak ada yang merawatnya, maka menjadi kotor dan rusak. Akan tetapi perlengkapan kuil itu masih ada, seperti meja-meja sembahyang yang reyot, arca-arca dan ukiran-ukiran di dinding yang sudah berlumut. Tidak ada yang berani mengambil benda-benda di situ atau mengganggunya karena menurut desas-desus di dusun-dusun sekeliling tempat itu, Tee-kong-bio sekarang dihuni oleh makhluk-makhluk halus atau iblis-iblis sehingga tempat itu menjadi angker.
Karena keadaan kuil yang dianggap angker inilah maka ketika Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek keluar dari dusun Ciu-si-bun menuju ke kuil itu, keadaan di sekeliling tempat itu sunyi seperti kuburan. Waktu itu sudah menjelang senja, dan sungguh pun cuaca belum gelap, namun tidak ada penduduk dusun yang berani berada di daerah angker ini. Kesunyian itu amat terasa oleh dua orang tokoh Siauw-lim-pai ini dan mereka berjalan terus dengan tenang dan penuh kewaspadaan.
“Liong-sute, aku masih ragu-ragu akan kebenaran ucapan murid yang sudah dalam sekarat itu. Mereka adalah pedagang-pedagang obat di kota, bagaimana mereka bisa menyebut nama Hoa-san-pai di Tee-kong-bio?"
"Entahlah, Liok-suheng. Aku sendiri pun ragu-ragu. Tetapi agaknya tidak sembarangan dia mengatakan itu, tentu ada hubungannya. Aku yakin terdapat rahasia dalam peristiwa itu dan rahasianya terletak di kuil depan itu."
Liok Si Bhok yang sudah berusia enam puluh tahun lebih itu mengangguk-angguk. Dia merupakan tokoh ke enam dari Siauw-lim Chit-kiam, seorang yang bertubuh pendek gemuk namun tubuhnya itu dapat bergerak dengan gesit sekali. Wajahnya bundar dan selalu kelihatan serius, namun mulutnya hampir selalu tersenyum, menandakan bahwa dalam keseriusannya itu sebetulnya dia adalah seorang yang peramah.
Ada pun Liong Ki Tek, orang ketujuh atau yang termuda dari Siauw-lim Chit-kiam, usianya kurang lebih lima puluh lima tahun. Berbeda dengan suheng ke enam itu, tubuhnya tinggi kurus sehingga tinggi suheng-nya hanya sampai dipundaknya. Sikap orang termuda dari Tujuh Pedang Siauw-lim-pai ini amat tenang sehingga kelihatan lamban, akan tetapi biji matanya yang bergerak-gerak terus itu menandakan bahwa biar pun tenang ia sama sekali tidak lamban melainkan terus waspada dan setiap urat syaraf di tubuhnya sudah siap.
Ketika kedua orang tokoh Siauw-lim-pai ini memasuki pekarangan kuil Tee-kong-bio yang sunyi, tiba-tiba mereka mendengar kepak sayap burung. Dengan kaget mereka mengangkat muka memandang. Kiranya ada tiga ekor burung gagak terbang dari atas genteng kuil itu, agaknya terkejut oleh kedatangan mereka. Melihat ini kedua orang itu saling pandang dan menjadi agak kecewa. Terbangnya tiga ekor burung itu dapat diartikan bahwa di kuil itu tidak ada orangnya. Tentu burung yang ketakutan melihat mereka datang itu tidak akan berani tetap tinggal di situ.
Akan tetapi mereka melangkah maju terus, melewati pekarangan yang lebar dan yang tertutup rumput agak tinggi itu, sampai di anak tangga yang cukup tinggi, ada dua puluh anak tangga banyaknya sehingga ruangan depan kuil itu tingginya hampir dua meter dari tanah di pekarangan. Biar pun mulut kedua orang kakek ini tidak mengeluarkan suara, namun keduanya seperti telah bersepakat dan melangkahlah mereka menaiki anak tangga dengan langkah ringan dan sikap tenang.
Begitu mereka melangkahi anak tangga terakhir dan tiba di ruangan depan, terdengar suara bercicit keras. Keduanya segera bersiap untuk menghadapi serangan senjata rahasia ketika pandang mata mereka yang tajam dapat menangkap meluncurnya dua buah benda hitam dari sebelah dalam kuil. Akan tetapi sebelum benda itu menyerang mereka, benda-benda itu menyambar ke atas dan mengeluarkan bunyi bercicit, dan ternyata dua buah benda hitam itu adalah dua ekor kelelawar besar!
Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek saling pandang, tersenyum dan menghela napas panjang. Mereka tadi sudah merasa agak tegang, dan kini ternyata mereka kecelik. Bahkan keluarnya dua ekor kelelawar dari sebelah dalam kuil ini lebih meyakinkan dugaan mereka bahwa kuil itu kosong karena kalau memang ada orangnya, tentu dua ekor kelelawar itu sudah sejak tadi terbang pergi, tidak menanti kedatangan mereka yang mengejutkan binatang itu.
"Ah, Chit-te (Adik ke Tujuh), tempat ini tidak ada orangnya...," kata Liok Si Bhok kecewa.
"Sebaiknya kita menyelidiki keadaan di dalam Liok-heng (Kakak ke Enam)," jawab Liong Ki Tek. Karena hubungan di antara Siauw-lim Chit-kiam amat erat sehingga mereka itu bukan hanya merupakan kakak beradik seperguruan melainkan merasa seperti kakak beradik sekandung, kadang-kadang mereka menyebut kakak dan adik.
Mereka maju terus. Akan tetapi karena hati mereka merasa makin yakin bahwa kuil itu kosong, mereka tidak menjadi tegang lagi. Kuil ini benar sudah kosong ditinggalkan dan dalam keadaan rusak, bahkan ada sebagian atapnya yang runtuh. Arca-arca yang tidak terawat di situ bahkan kelihatan makin menyeramkan. Mereka melangkah maju terus, meneliti setiap ruangan yang mereka lalui. Tiba-tiba keduanya menghentikan langkah. Pada saat yang sama kedua orang gagah perkasa ini mencium bau yang amat harum, bau minyak harum yang biasa dipakai wanita! Mereka mengerutkan kening.
Seperti para suheng mereka, baik yang menjadi hwesio seperti Lui Kong Hwesio dan Lui Pek Hwesio orang kedua dan kelima dari Siauw-lim Chit-kiam, kedua orang ini pun merupakan murid-murid angkatan lama sehingga mereka pernah mengalami pelajaran pantangan mendekati wanita. Bahkan mereka itu tidak pernah kawin, seperti suheng-suheng mereka. Maka begitu mencium bau harum minyak wangi yang menandakan bahwa di situ ada wanitanya, mereka mengerutkan kening. Bukan hanya karena mereka segan berurusan dengan wanita, melainkan juga mereka terkejut menghadapi kenyataan ini.
Kalau di situ ada orangnya, apa lagi wanita, hal ini berarti bahwa wanita atau siapa adanya orang yang memakai wangi-wangian itu tentu memiliki ilmu kepandaian yang hebat! Tentu gerakan-gerakannya sedemikian halus dan ringan sehingga kelelawar dan burung gagak yang berada di kuil itu sampai tidak tahu dan tidak menjadi kaget.....
Selanjutnya baca
PENDEKAR SUPER SAKTI : JILID-08