Kisah Pendekar Bongkok Jilid 12
Di sebelah selatan kota Lhasa terdapat sebuah telaga yang terkurung pegunungan yang amat luas. Telaga ini indah bukan main, akan tetapi juga sunyi karena jalan menuju ke telaga itu melalui bukit dan jurang.
Apa lagi semenjak beberapa tahun ini, daerah itu merupakan daerah yang rawan. Tidak ada orang berani melalui daerah itu yang kabarnya dihuni banyak orang jahat dan iblis. Juga dikatakan bahwa akhir-akhir ini, perkumpulan Kim-sim-pang berpangkal di daerah itu. Semakin takutlah orang untuk melewati daerah itu. Kim-sim-pang atau Kim-sim-pai (Perkumpulan atau Partai Hati Emas) memang amat ditakuti.
Menurut kabar angin, Kim-sim-pai dipimpin oleh seorang tokoh pendeta Lama yang dulu pernah menjabat sebagai wakil Dalai Lama yang berjuluk Kim Sim Lama. Karena terjadi perbedaan paham dengan Dalai Lama, Kim Sim Lama lolos dari Lhasa, kemudian dia membentuk perkumpulan Kim-sim-pai yang berdiri sendiri, lepas dari kekuasaan Dalai Lama, terlepas dari kekuasaan pemerintah pusat Tibet.
Karena tak ada bukti bahwa Kim-sim-pai melakukan kejahatan apa lagi pemberontakan, maka pemerintah Tibet tidak mengambil tindakan apa pun. Hal ini adalah karena Dalai Lama mengingat akan jasa-jasa Kim Sim Lama ketika masih menjadi wakil Dalai Lama dahulu.
Bahkan, Kim Sim Lama merupakan seorang tokoh besar, memiliki pengaruh yang besar pula dan jasanya sudah banyak. Kim Sim Lama adalah seorang pendeta Lama yang tertua, dan Dalai Lama sendiri pun dahulu diangkat menjadi Dalai Lama karena desakan Kim Sim Lama, dan atas pilihan Kim Sim Lama pula!
Kim Sim Lama merupakan orang kedua paling berkuasa dan berpengaruh setelah Dalai Lama. Oleh karena dia tidak memiliki tanda-tanda sebagai reinkarnasi Dalai Lama yang meninggal dunia, maka tidak mungkin dia menjadi pengganti Dalai Lama dan karena itu, dia menjadi pendukung utama ketika Dalai Lama yang baru dipilih.
Dalai Lama yang baru itu hanya seorang anak dusun saja, akan tetapi memiliki ciri-ciri sebagai penitisan Dalai Lama. Bahkan Kim Sim Lama tidak segan-segan menggunakan kekerasan untuk memaksa bocah itu menjadi Dalai Lama yang baru, dan ketika para penduduk dusun menentang, dia tidak segan mengamuk dan membunuh mereka yang dianggapnya memberontak.
Peristiwa ini membuat para pertapa dan para tosu di Himalaya menjadi marah. Malah Pek Thian Siansu, guru dari Himalaya Sam Lojin, atau juga suheng dari Pek-sim Siansu, turun tangan sendiri untuk membela penduduk dusun itu. Pertapa sakti ini kemudian bertanding melawan Pek Sim Lama yang dibantu oleh sembilan orang pendeta Lama yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Pek Thian Siansu berhasil merobohkan bahkan menewaskan tiga orang pendeta Lama, akan tetapi dia sendiri terluka dan anak itu tetap saja dibawa lari Kim Sim Lama. Karena ketika peristiwa itu terjadi Pek Thian Siansu sudah berusia hampir delapan puluh tahun, maka luka yang dideritanya membuat dia tewas tak lama kemudian.
Beberapa tahun lamanya tak lagi terjadi keributan. Akan tetapi setelah anak itu dewasa dan dijadikan Dalai Lama, dan telah berjalan dua tiga tahun, mulailah terjadi penyerbuan terhadap para tosu dan pertapa di pegunungan Himalaya.
Banyak korban yang jatuh sehingga para tosu itu segera pergi meninggalkan Himalaya dan mengungsi ke pegunungan lain. Para pertapa lalu menganggap bahwa Dalai Lama sungguh merupakan orang yang tidak mengenal budi. Dahulu dibela oleh para tosu, dan setelah menjadi Dalai Lama bahkan memusuhi para tosu!
Para tosu itu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pada saat Kim Sim Lama memilih Dalai Lama baru, dia beranggapan bahwa akhirnya dialah yang akan berkuasa di Tibet karena Dalai Lama baru tentu akan tunduk terhadap semua pimpinannya.
Mula-mula memang demikian. Akan tetapi, setelah Dalai Lama yang baru itu mengerti urusan, dia tidak sudi dijadikan boneka! Dalai Lama yang baru itu lalu mempergunakan kedudukan dan kekuasaannya untuk menentang semua kebijaksanaan Kim Sim Lama yang dianggapnya tidak bijaksana!
Dan mulailah terjadi pertentangan antara Kim Sim Lama dan Dalai Lama. Karena kalah kedudukan, maka Kim Sim Lama tidak berani secara berterang memusuhi Dalai Lama yang banyak pendukungnya. Maka dia lalu mengundurkan diri, kemudian membentuk Kim-sim-pang itu.
Dan mulailah dilakukan pengejaran terhadap para tosu! Semua ini dilakukan oleh kaki tangan Kim Sim Lama, dengan maksud untuk menjatuhkan nama baik Dalai Lama dan memancing supaya para tosu memusuhi Dalai Lama sehingga kedudukan Dalai Lama menjadi semakin lemah.
Sementara itu, diam-diam Kim-sim-pai juga mengadakan persekutuan dengan seorang pangeran pemberontak dari Nepal yang sudah diusir oleh Raja Nepal. Pangeran itu bersama pengikutnya yang ternyata cukup banyak, bergabung dengan Kim-sim-pai dan mereka merencanakan pemberontakan-pemberontakan untuk bersama-sama mengusai Tibet dan Nepal.
Di sebuah bukit dekat Telaga Yan-so, Kim-sim-pai menyusun kekuatan. Kim Sim Lama maklum bahwa kalau dia hanya mengandalkan anak buahnya dan pasukan Pangeran Nepal itu untuk menyerbu Lhasa, dia akan mengalami kegagalan. Dalai Lama memiliki pasukan yang sangat kuat, terdiri dari para pendeta Lama dan banyak di antara para pendeta Lama itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan banyak yang sakti. Maka, dia pun tidak tergesa-gesa.
Di samping usaha yang dilakukan oleh anak buahnya untuk memusuhi berbagai pihak dengan dalih diutus oleh Dalai Lama, juga Kim Sim Lama mulai menyusupkan pengaruh ke dalam istana dan kuil di Lhasa untuk menghasut dan mempengaruhi tokoh-tokoh di pemerintahan Tibet. Bagaikan seekor laba-laba, dengan amat tekun dan sabar Kim Sim Lama mulai menyusun kekuatan untuk mengambil alih kekuasaan di Tibet.
Pangeran Nepal itu sudah siap di perbatasan, sudah siap membantu gerakan Kim Sim Lama dengan janji bahwa kelak, apa bila Kim Sim Lama telah berhasil menguasai Tibet, maka dia akan membalas kebaikan pangeran itu dengan membantunya mengadakan pemberontakan di Nepal!
Kim Sim Lama mempunyai banyak pembantu yang pandai. Dan pembantu-pembantu utamanya bukan lain adalah Lima Harimau Tibet! Dan seperti sudah kita ketahui, para pembantu utamanya inilah yang diutus untuk melakukan pengejaran terhadap para tosu dan pertapa Himalaya yang telah melarikan diri dan mengungsi ke pegunungan Kun-lun.
Pengejaran dan pembunuhan yang dilakukan Lima Harimau Tibet terhadap para tosu itu bukan semata-mata karena mereka membenci para tosu, tetapi terutama sekali, dengan dalih sebagai utusan Dalai Lama, mereka hendak merusak nama baik Dalai Lama agar dibenci dan dimusuhi semua golongan, terutama golongan orang-orang sakti.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali, sesosok tubuh berkelebat bagaikan terbang cepatnya, datang dari arah telaga Yam-so dan menuju ke bukit yang menjadi markas Kim-sim-pai. Melihat gerakannya yang cepat, larinya bagaikan terbang itu, mudah diketahui bahwa dia adalah seorang yang memiliki ginkang dan ilmu berlari cepat yang hebat.
Orang akan merasa terkejut dan terheran-heran kalau sudah melihat orangnya. Setelah dia berhenti dan menyelinap di bawah sebatang pohon, memandang ke atas, ke arah puncak bukit itu, barulah nampak bahwa dia adalah seorang pemuda yang tubuhnya bongkok! Dia adalah Sie Liong, Si Pendekar Bongkok!
Sesudah meninggalkan Ling Ling di rumah bibi Cili, hati Sie Liong merasa lega dan mulailah dia melakukan penyelidikan di Lhasa tentang Kim-sim-pang. Ketika dia melihat munculnya pemungut derma di rumah makan dengan membawa bendera Kim-sim-pai, teringatlah ia akan nama Kim Sim Lama yang dulu pernah didengarnya dari pengakuan salah seorang di antara Tibet Sam Sin-to. Tentu ada hubungan antara Kim-sim-pai dan Kim Sim Lama, pikirnya.
Agaknya pemberontakan terhadap pemerintah Tibet seperti yang diceritakan Coa Kiu, orang ke tiga Tibet Sam Sin-to itu, tentulah perkumpulan Kim-sim-pai itu yang dipimpin oleh Kim Sim Lama dan dibantu oleh Lima Harimau Tibet yang harus diselidikinya. Dan dia mendapat kenyataan bahwa hampir semua orang yang ditanya tentang Kim-sim-pai menjadi ketakutan dan tidak berani menjawab.
Yang berani menjawab hanya mengatakan dengan singkat bahwa Kim-sim-pai adalah perkumpulan orang-orang Tibet yang berpusat di sebuah bukit di dekat Telaga Yam-so. Makin jelas dan yakinlah hatinya bahwa jejak yang diikutinya sudah benar. Memang di tempat itulah dia harus menceri keterangan tentang apa rahasianya maka para pendeta Lama memusuhi para pertapa dan tosu dari Himalaya.
Dari kaki bukit itu, yang nampak di atas hanyalah dinding tembok yang berwarna putih, panjang dan melingkar-lingkar seperti benteng. Akan tetapi, segera ia melihat beberapa orang mendaki bukit itu. Ada sebuah jalan besar yang cukup baik menuju ke atas bukit!
Kini terdapat beberapa orang menuju ke puncak, ada yang berjalan kaki, ada pula yang menunggang keledai atau kuda. Tetapi mereka itu sama sekali bukan kelihatan sebagai pasukan atau pendeta, melainkan penduduk biasa. Nampak pula bahwa mereka semua membawa perbekalan untuk sembahyang.
Tentu saja dia merasa heran, akan tetapi diam-diam dia pun lalu mendaki bukit, agak jauh di belakang serombongan orang yang memanggul atau memikul sebuah kursi di mana duduk setengah rebah seorang yang nampaknya sedang sakit. Dari keadaan itu saja mudah diduga bahwa orang-orang ini sedang pergi ke suatu tempat, agaknya ke sebuah kuil untuk bersembahyang.
Dugaannya benar. Kini mereka tiba di pintu gerbang dinding tembok yang panjang itu. Bukan dinding tembok sebuah benteng, melainkan dinding yang melingkari sebuah kuil yang amat luas. Terdapat banyak bangunan di dalam kompleks atau perkampungan itu. Akan tetapi bangunan paling depan adalah sebuah kuil yang besar dan cukup megah. Di depan pintu kuil itu terdapat papan dengan tulisan tinta emas berbunyi: ‘KUIL HATI EMAS’.
Kim-sim-tang? Apakah di sini pusatnya Kim-sim-pai? Dan di sini pula tinggal pemimpin pemberontak yang berjuluk Kim Sim Lama itu? Benar-benar di luar dugaan sama sekali. Tempat ini sama sekali tidak menyeramkan seperti seharusnya tempat yang menjadi sarang pemberontak. Bahkan merupakan sebuah kuil yang besar dan di mana datang banyak penduduk dusun untuk bersembahyang dan mohon sesuatu!
Akan tetapi dia segera teringat bahwa andai kata pun benar mereka itu pemberontak, mereka tetap saja adalah para pendeta yang biasanya memang berusaha untuk hidup saleh dan beribadat, menjauhi kejahatan dan selalu mendekatkan diri dengan kebajikan.
Mereka pun bukan memberontak terhadap suatu kerajaan, melainkan terhadap Dalai Lama, seorang pimpinan pendeta pula. Mungkin saja suasananya menjadi lain dengan para pemberontak biasa yang umumnya terdiri dari orang-orang yang sudah terbiasa menggunakan kekerasan, kejam dan liar.
Dia mulai memperhatikan keadaan di luar kuil. Setelah dia melalui pintu gerbang dinding tembok yang tingginya lebih dari dua meter, nampak kuil itu, jauhnya kurang lebih lima puluh meter dari pintu gerbang. Di kanan kiri kuil itu terdapat bangunan-bangunan besar seperti pengawal kuil dan terdapat banyak jendela yang tertutup.
Agaknya itu merupakan asrama para pendeta, pikirnya. Di depan kuil terdapat halaman yang luas, penuh dengan tanaman bunga-bunga dan juga tanaman yang mengandung khasiat pengobatan. Di sana sini terdapat arca-arca Buddha yang besar dan megah, juga pahatannya amat halus. Asap dupa mengepul tebal dari cerobong yang dipasang di tengah bangunan kuil, akan tetapi ada juga asap yang mengepul keluar dari pintu depan yang besar, dan membawa keharuman yang khas.
Sie Liong melangkah masuk ke dalam kuil. Dua orang pendeta Lama berdiri di kanan kiri pintu sebelah dalam dan menyambutnya dengan doa-doa yang tidak terdengar jelas, akan tetapi kedua tangan mereka yang dirangkap dan berada di depan dada selalu menyambut para pendatang dengan doa dan puja-puji.
Ketika Sie Liong memandang kepada mereka, kedua orang pendeta Lama yang masih muda-muda itu nampak memejamkan mata. Mereka itu kelihatan alim dan sopan.
Kuil itu penuh tamu dengan berbagai kesibukan sembahyang. Yang menyolok adalah tidak adanya seorang pun wanita di situ. Sungguh berbeda dengan kuil-kuil lain yang selalu dipenuhi wanita.
Kemudian dia teringat bahwa kehidupan seorang pendeta Lama memang sangat keras dan satu di antara pantangan yang paling kuat adalah wanita. Karena kuil itu dilayani oleh para pendeta Lama, maka agaknya tidak ada tamu wanita diperkenankan masuk! Teringat dia akan kuil Siauw-lim-si yang juga pantang dimasuki wanita, apa lagi wanita yang muda dan menarik.
Di sebelah dalam kuil terdapat pula pendeta-pendeta tua dan muda yang melayani semua kebutuhan mereka yang datang untuk bersembahyang. Mereka semua rata-rata bersikap ramah, pendiam, sopan dan lembut. Sikap pendeta tulen, tidak nampak sikap keras dan liar sehingga orang tidak akan mau percaya kalau mendengar bahwa para pendeta Lama itu adalah pemberontak-pemberontak.
Meja-meja sembahyang yang besar-benar penuh dengan perabot sembahyang, lilin-lilin besar bernyala. Pendeknya, kuil itu lengkap dan juga sangat luas. Akan tetapi hanya merupakan sebagian kecil saja dari daerah perumahan yang luas sekali itu.
Di kanan kiri ruangan besar tempat sembahyang itu terdapat pintu-pintu kayu tebal dan besar, akan tetapi kedua pintu itu dalam keadaan tertutup dan terkunci. Memang pintu itu tidak ada hubungannya dengan keperluan sembahyang.
Dan di sebelah dalam, terdapat pintu yang lebar sekali. Ketika dia mendekati pintu yang menuju ke dalam ini, Sie Liong melihat bahwa di sana terdapat sedikitnya tujuh orang pendeta yang berjaga, ada yang bersila, ada yang duduk, ada pula yang berdiri. Mereka itu tidak bergerak macam arca-arca saja, akan tetapi mata mereka tajam mengamati para tamu dan jelas bahwa tamu tidak diperkenankan masuk, karena jalan masuk itu tertutup atau terhalang oleh para penjaga ini.
Sie Liong melihat betapa pintu itu menembus ke jalan lorong yang panjang, kemudian membelok ke kiri sehingga dari situ tidak dapat melihat apa yang berada di belakang kuil itu.
“Apakah kongcu hendak melakukan sembahyang dan belum membawa perlengkapan? Kami dapat membantumu.” Tiba-tiba terdengar suara halus di belakangnya.
Sie Liong membalikkan tubuhnya dan melihat seorang pendeta berusia empat puluhan tahun telah berdiri di depannya dengan kedua tangan terangkap di depan dada.
Sudah mendaki bukit dan berkunjung ke kuil namun tidak sembahyang, tentu saja tidak masuk akal. Dia belum ingin memperkenalkan diri dan menjelaskan keinginannya untuk bertemu dengan Tibet Ngo-houw.
“Saya ingin bertanya tentang nasib diri saya,” jawabnya tenang.
Memang dia tidak bermaksud untuk bersembahyang. Tadi dia sempat melihat di bagian kiri ruangan itu, dan di sana terdapat sebuah meja sembahyang di mana orang-orang bertanya tentang nasib mereka.
“Ahh, mari kami bantu, kongcu. Bertanya nasib pun harus melakukan sembahyang dan kalau kongcu tidak membawa perlengkapan, dapat membeli di sini, harganya tidak lebih mahal dari pada kalau membeli di toko,” kata pendeta itu dengan sikap ramah.
“Terima kasih,” kata Sie Liong.
Dia pun mengikuti pendeta Lama itu yang mengambilkan perlengkapan bersembahyang berupa lilin dan hioswa (dupa biting). Kemudian, di bawah petunjuk pendeta itu, Sie Liong melakukan sembahyang di depan meja sembahyang, kemudian dia, seperti para tamu lain, dipersilakan untuk mengocok ciam-si, yaitu batang-batang bambu sebesar jari tangan yang pada ujungnya bernomor.
Batang-batang bambu kecil sepanjang satu kaki ini berada dalam tabung bambu besar dan mereka yang menanyakan nasib, setelah sembahyang dan dalam hati mengajukan permohonan tentang apa yang ingin diketahui mengenai nasibnya, harus memegang tabung bambu sambil berlutut di depan meja sembahyang dan mengguncang-guncang tabung itu. Batang-batang bambu itu akan terguncang dan setelah ada sebatang yang meloncat atau terloncat keluar, maka itulah batang bambu yang menjadi jawaban atas pertanyaannya.
Sie Liong mengguncang tabung itu dan berloncatlah sebatang bambu dari dalamnya. Akan tetapi hal itu belum menentukan bahwa pilihan jawaban itu benar. Dia harus pula melemparkan dua potong bambu yang permukaannya berbeda.
Kalau dua potong bambu itu terjatuh ke atas lantai lalu kedua permukaannya sama dengan yang lain, dengan ada tulisan BENAR, maka batang bambu yang terloncat itu sudah sah akan kebenarannya. Sebaliknya, andai kata dua potong bambu itu terletak dengan permukaan yang berbeda menghadap ke atas, dia harus mengguncang sekali lagi dan kembali memilih. Juga apa bila kedua potong bambu itu menghadapkan tulisan SALAH, dia harus memilih lagi.
Setelah mendapat tanda BENAR, Sie Liong menyerahkan batang bambu itu kepada pendeta Lama yang bertugas di bagian pertanyaan nasib itu, dan setelah dicocokkan nomornya, pendeta itu kemudian memberinya sehelai kertas yang telah ada tulisannya.
Biasanya, kertas ini berisikan sajak atau syair yang merupakan jawaban dari permintaan orang yang bersembahyang dan minta sesuatu. Karena sajak itu selalu mengandung perumpamaan dan maksud yang tersembunyi, maka ada pula pendeta yang bertugas memberi tafsirannya. Hal ini sudah pernah didengar dan diketahui Sie Liong walau pun baru kini dia sendiri mengocok batang bambu untuk mendapatkan ramalan nasibnya.
Akan tetapi, ketika dia membuka gulungan kertas selembar itu, jantungnya berdesir. Di situ tertulis dengan jelas, dengan tulisan tangan yang indah, sebuah pesan untuknya!
KALAU PENDEKAR BONGKOK INGIN BICARA DENGAN KAMI, SILAKAN MASUK PINTU SELATAN PAGAR BELAKANG.
Sie Liong mengangkat muka memandang pada pendeta yang melayaninya. Akan tetapi pendeta itu hanya merangkapkan kedua tangannya di depan dada dan menundukkan mukanya. Sie Liong merasa kagum sekali. Kiranya para pendeta Lama ini mempunyai perkumpulan yang kuat dan dapat bekerja dengan rapi sekali sehingga dia yang ingin melakukan penyelidikan, bahkan lebih dahulu menjadi bahan penyelidikan dan sekarang keinginannya sudah diketahui oleh mereka!
Dia pun segera keluar dari kuil itu, keluar lewat pintu gerbang pagar tembok kemudian mengambil jalan memutar. Kalau pihak Kim-sim-pai sudah tahu akan keadaan dirinya, bahkan mungkin sudah tahu pula akan maksud kedatangannya, dia pun tidak perlu lagi berpura-pura. Memang lebih baik kalau bicara dengan sejujurnya, menuntut sikap para pendeta Lama yang memusuhi para tosu dan pertapa Himalaya, yang kini mengungsi ke Kun-lun-san, dari pada melakukan penyelidikan secara rahasia, hal yang amat tidak enak kalau sampai ketahuan pihak yang diselidiki.
Dengan sikap tenang dan hati tabah Sie Liong lalu menuju ke arah belakang. Ternyata, memang tempat itu luas sekali, bentuknya memanjang ke belakang, bagaikan sebuah perkampungan saja.
Ketika dia memutari pagar tembok itu, akhirnya di sebelah belakang dia melihat sebuah pintu yang tidak besar, bukan pintu umum, melainkan pintu untuk keluar masuk para pendeta anggota perkampungan itu sendiri. Di pintu kecil itu, Sie Liong disambut oleh dua orang pendeta Lama yang usianya sekitar lima puluh tahun.
“Sie Taihiap, silakan masuk dan mengikuti kami. Para suhu sudah menanti di dalam,” kata seorang di antara mereka berdua yang bersikap hormat.
Kembali Sie Liong kagum bukan main. Mereka itu agaknya telah lama mengikuti gerak geriknya dan sudah tahu benar siapa dia! Hal ini amat tidak menguntungkan bagi dia, karena tentu mereka yang sudah mengetahui akan kedatangannya itu telah membuat persiapan-persiapan. Bagaimana pun juga, dia telah tiba di situ dan tidak mungkin dapat mundur kembali.
Maka, sambil mengucapkan terima kasih, dia pun mengikuti mereka masuk ke dalam melalui sebuah taman yang indah. Ketika melewati sebuah bangunan besar, lapat-lapat dia mendengar suara ketawa wanita! Namun, segera suara ketawa itu terhenti dan dia pun pura-pura tidak mendengarnya. Sie Liong hanya mencatat di dalam hatinya.
Agaknya, sikap hormat dan sopan yang dia lihat di kuil tadi, sikap saleh dan beribadat para pendeta Lama yang melayani para tamu, masih perlu diselidiki lebih seksama lagi. Dari luarnya saja nampak bahwa pendeta itu hidupnya secara saleh dan menjauhkan diri dari kesenangan duniawi, namun di sini dia mendengar suara ketawa wanita! Tidak mungkin dia salah dengar.
Dua orang pendeta Lama itu membawa Sie Liong ke sebuah ruangan yang luas sekali. Paling sedikitnya lima ratus orang akan dapat berkumpul dalam ruangan yang luas itu. Ruangan itu terbuka dan di sudut terdapat bangku-bangku mengelilingi beberapa buah meja yang dideretkan menjadi meja panjang. Di situ dia melihat belasan orang pendeta Lama sedang duduk bagaikan arca-arca tak bergerak, hanya mata mereka saja yang mencorong tajam menyambut kedatangannya.
Dua orang pendeta yang mengantarnya itu lalu memberi hormat dengan menyembah kepada belasan orang itu, kemudian mengundurkan diri membiarkan Sie Liong seorang diri berhadapan dengan tiga belas orang pendeta Lama itu.
Sie Liong juga melayangkan pandang matanya kepada mereka. Segera dia mengenal lima orang di antara mereka yang duduk berjajar. Biar pun usia mereka kini sudah enam puluh tahun lebih, dan sudah tujuh delapan tahun yang lalu dia pernah bertemu dengan mereka, akan tetapi dia tidak melupakan lima orang pendeta Lama itu. Siapa lagi kalau bukan Tibet Ngo-houw (Lima Harimau Tibet) yang pernah datang ke Kun-lun-pai dan menyerang Himalaya Sam Lojin dahulu!
Dan karena mereka berlima inilah maka kini dia datang ke Tibet, karena para gurunya minta kepadanya untuk menyelidiki mengapa Dalai Lama mengutus lima orang pendeta Lama ini untuk memusuhi para pertapa dan para tosu dari Himalaya, bahkan masih mengejar-ngejar mereka yang sudah melarikan diri mengungsi ke pegunungan Kun-lun. Selain lima orang ini, delapan yang lain dia tidak mengenalnya.
Akan tetapi, melihat seorang pendeta Lama yang usianya sudah tujuh puluh tahunan, tinggi kurus dengan muka merah kekanak-kanakan, berjubah merah serta memegang sebatang tongkat pendeta yang berlapis emas, berwibawa dan duduk di kursi paling depan, juga kursinya berbeda dengan bangku-bangku yang lain, terbuat dari gading gajah, dia pun dapat menduga bahwa mungkin kakek itulah yang berjulukan Kim Sim Lama!
“Orang muda, apakah engkau yang bernama Sie Liong dan memiliki julukan Pendekar Bongkok?” kakek itu bertanya dan diam-diam Sie Liong terkejut.
Pada saat pendeta itu berbicara, suaranya demikian tinggi dan tajam sekali, membuat jantungnya tergetar. Wajah yang kekanak-kanakan itu mengeluarkan sinar dan matanya mengandung wibawa yang sangat kuat. Bukan main, pikirnya. Kakek ini bukanlah orang sembarangan dan akan menjadi lawan yang sangat berat. Akan tetapi dia kemudian mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat kepada belasan orang itu.
“Benar, losuhu, nama saya adalah Sie Liong dan ada pun julukan itu mungkin hanya kelakar orang-orang yang melihat keadaan tubuh saya yang cacat saja.”
“Sie Liong, engkau telah berada di sini. Katakan apa yang kau kehendaki maka engkau datang ke tempat kami.”
Hemm, kakek ini demikian terus terang, maka dia pun tidak perlu menyembunyikan lagi keperluannya. Sejenak dia memandang ke arah lima orang pendeta Lama yang duduk di sebelah kanan kakek itu, kemudian dengan suara lantang dia pun menjawab.
“Losuhu, sesungguhnya saya datang ke Tibet untuk bertemu dan bicara dengan Tibet Ngo-houw. Karena saya mendengar bahwa Tibet Ngo-houw berada di sini, maka saya memberanikan diri untuk datang berkunjung, tanpa bermaksud untuk berurusan dengan Kim-sim-pai.”
Sambil berkata demikian, sepasang mata Sie Liong dengan tajam menatap kepada lima orang pendeta Lama yang dimaksudkannya itu. Namun, mereka berlima itu tetap duduk tanpa bergoyang seperti arca. Hanya mata mereka yang ditujukan kepadanya, seperti mata para pendeta lainnya, dan Sie Liong kini melihat betapa pandang mata itu sama sekali tidak bersahabat, bahkan nampak marah.
“Hemm, orang muda. Jika engkau tak bermaksud untuk berurusan dengan Kim-sim-pai, kenapa engkau telah menghina orang kami yang sedang mengumpulkan sumbangan di Lhasa?” Kini suara kakek itu tidak lagi lembut, melainkan mengandung kemarahan dan lengkingan suara itu makin meninggi.
Sekarang Sie Liong merasakan adanya bahaya yang mengancam dirinya dan dia mulai merasa menyesal telah datang ke situ, namun hal ini agaknya telah terlambat karena dia melihat gerakan banyak orang di luar dan ketika dia menengok, ternyata ruangan itu telah dikepung oleh banyak sekali orang di luar. Bukan hanya pendeta-pendeta Lama berjubah merah, akan tetapi ada pula yang bukan pendeta Lama, dan jumlah mereka itu tentu mendekati lima puluh sampai seratus orang!
Namun, dia tetap bersikap tenang. “Losuhu, saya sama sekali tidak pernah menghina siapa pun juga, apa lagi menghina orang Kim-sim-pai yang tidak mempunyai urusan pribadi dengan saya. Peristiwa di rumah makan itu terjadi karena saya ditekan dan saya hanya membela diri, juga saya terpaksa mencegah cara pengumpulan sumbangan yang dilakukan dengan paksaan. Bukan hanya Kim-sim-pai, biar dari mana pun, kalau saya melihat orang minta sumbangan secara paksa, sudah menjadi kewajiban saya untuk mencegahnya. Saya tak bermaksud menghina Kim-sim-pai, dan harap para losuhu suka maafkan saya. Saya hanya ingin berurusan dengan Tibet Ngo-houw, tidak bermaksud berurusan dengan Kim-sim-pai. Tibet Ngo-houw, saya harap kalian cukup gagah untuk mempertanggung jawabkan perbuatan kalian di Kun-lun-san tujuh delapan tahun yang lalu!”
Karena dia tahu bahwa ancaman bahaya terhadap dirinya datangnya dari Kim-sim-pai, maka Sie Liong sengaja menujukan tantangannya kepada Tibet Ngo-houw saja.
Mendadak terdapat gerakan pada lima orang pendeta Lama itu yang sejak tadi diam seperti arca. “Omitohud, dia itu anak bongkok yang dahulu menggagalkan desakan kita terhadap Himalaya Sam Lojin!” Tiba-tiba salah seorang di antara mereka berlima yang bermata satu berseru. Dia adalah Thay Hok Lama, orang ke empat dari Lima Harimau Tibet itu.
Mendengar seruannya ini, keempat orang saudaranya juga teringat dan mereka semua merasa heran. Anak bongkok itu kini berani datang dan bersikap demikian tenang dan gagah!
“Benar sekali, Tibet Ngo-houw. Aku adalah anak bongkok yang dulu itu dan kini aku datang mencari kalian sebagai utusan para tosu dan pertapa dari Himalaya yang kini berada di Kun-lun-san. Sudah tiba saatnya kalian berlima mempertanggung jawabkan perbuatan kalian dahulu itu dan menjelaskan kepadaku apa yang menjadi sebab maka kalian memusuhi mereka yang sama sekali tidak berdosa.”
“Omitohud... alangkah lancang dan sombongnya anak ini!” Tiba-tiba seorang di antara para pendeta yang hadir di situ berseru.
Dia bukan seorang di antara Lima Harimau Tibet, melainkan seorang pendeta Lama Jubah Merah yang tubuhnya pendek kecil seperti kanak-kanak berusia belasan tahun. Akan tetapi melihat wajahnya, tentu usianya sudah mendekati enam puluh tahun. Dia bangkit berdiri dan menjura ke arah Kim Sim Lama.
“Susiok (paman guru), perkenankan teecu (murid) menghajar bocah lancang yang sama sekali tidak menghormati kita ini. Bocah ini tidak cukup pantas dilayani oleh para suheng berlima!”
Kakek tua renta itu mengangguk. Juga Tibet Ngo-houw diam saja karena mereka pun merasa malu kalau harus melayani seorang pemuda, yang bongkok pula. Hanya akan menurunkan nama besar mereka sebagai pembantu-pembantu utama Kim-sim-pai!
Pendeta Lama yang bertubuh pendek kecil itu bernama Ki Tok Lama dan dia pun merupakan seorang di antara ‘dua belas besar’ yang menjadi para pembantu utama Kim Sim Lama. Sebagai seorang di antara para pembantu utama, tentu saja dia memiliki tingkat ilmu kepandaian yang cukup hebat.
Dua belas orang pembantu utama itu masih terhitung murid-murid keponakan Kim Sim Lama sendiri, demikian pula Tibet Ngo-houw, juga merupakan murid keponakannya, sehingga tingkat kepandaian mereka satu dengan yang lain tidak banyak berselisih.
Hanya Tibet Ngo-houw sudah memiliki nama besar dan mereka berlima itu sudah biasa bertindak sebagai kelompok yang bekerja sama, maka mereka yang dianggap menjadi pembantu-pembantu utama. Karena itu kedudukan mereka berlima sedikit lebih tinggi dibandingkan para pembantu lainnya.
Pada saat Ki Tok Lama sudah berdiri di depan Sie Liong, pemuda ini maklum bahwa keadaannya sungguh tidak menguntungkan baginya. Dia bukan seorang pemuda yang bodoh. Dia tahu bahwa dia sudah terjebak, memasuki goa harimau yang berbahaya sekali.
Bagaimana mungkin dia yang hanya seorang diri bisa menandingi lawan yang demikian banyaknya! Akan tetapi, untuk mundur pun tidak mungkin. Tempat itu telah terkepung. Jalan keluar sudah buntu dan kalau dia nekat melarikan diri, tentu akan dikepung dan dikeroyok.
“Sie Liong!” Ki Tok Lama membentak, “Engkau masih bocah ingusan tapi sudah berani memakai julukan pendekar, dan engkau sudah berani menghina para suheng-ku Tibet Ngo-houw pula! Hemm, coba keluarkan semua ilmu kepandaianmu, hendak pinceng (saya) lihat apakah sepak terjangmu juga sehebat suara dan sikapmu. Majulah!”
Setelah berkata demikian, pendeta Lama yang bertubuh katai ini memasang kuda-kuda yang aneh. Kedua kakinya berdiri di ujung jari seperti berjingkat, tangan kanan miring di depan dada, sedangkan tangan kiri berada di balik punggung dengan bentuk cakar.
Melihat ini, diam-diam Sie Liong dapat menduga akan keadaan batin orang ini. Dengan berjingkat dia ingin mengangkat diri lebih tinggi sesuai dengan watak orang yang masih dikuasai nafsu-nafsunya. Nampak dari depan, tangan kanannya seperti sikap seorang yang beribadat, yang menaruh tangan berdiri lurus di depan dada, namun diam-diam, tangan yang lain bersembunyi di punggung dalam bentuk cakar. Ini menandakan bahwa dia seorang munafik, yang pura-pura alim akan tetapi sesungguhnya batinnya masih bergelimang nafsu sehingga siap untuk melakukan kekerasan.
Tentu saja bukan demikian maksud Ki Tok Lama, hanya gerakannya itu mungkin saja tanpa disadarinya sudah menggambarkan keadaan batinnya.
Sie Liong memberi hormat, kemudian berkata dengan sikap tenang dan suara lembut. “Losuhu, maafkan saya. Kedatangan saya ini untuk berbicara dengan Tibet Ngo-houw, bukan untuk bertanding dengan siapa pun juga. Sudah saya katakan bahwa saya tidak mempunyai urusan pribadi dengan Kim-sim-pai...”
“Pengecut! Engkau sudah masuk ke sini dan bersikap sombong dan sekarang engkau tidak berani menyambut tantangan pinceng?”
“Bukan tidak berani, melainkan karena saya tidak melihat adanya suatu alasan apa pun untuk menyambut tantangan ini.”
“Ada alasan atau tidak, mau atau tidak, engkau harus menerima seranganku ini. Nah, sambutlah!”
Ki Tok Lama tak mempedulikan semua alasan Sie Liong. Tubuhnya sudah bergerak dan dengan kecepatan yang luar biasa, tubuh itu sudah meluncur ke depan. Tangan kirinya yang membentuk cakar tadi, dari belakang telah melayang dari atas ke depan, dan oleh karena tubuhnya tadi meloncat tinggi, maka tangan itu mencengkeram tepat ke arah ubun-ubun kepala Sie Liong!
“Hyaaaaattt...!” Dia mengeluarkan pekik melengking.
Diserang seperti itu, tentu saja Sie Liong tidak mungkin dapat tinggal diam. Serangan itu merupakan serangan maut! Dia pun terkejut melihat betapa cepatnya gerakan lawan. Tahulah dia bahwa lawannya yang cebol itu memiliki ginkang yang tinggi. Namun, masih belum terlalu cepat gerakan itu baginya. Dengan mudah dia pun menggeser tubuh ke kiri dan terkaman itu luput.
Ki Tok Lama menjadi semakin marah. Begitu tubuhnya turun, dia sudah membalik dan kembali dia sudah menyerang, kali ini lebih dahsyat, dengan kedua tangan menyambar dari kanan dan kiri.
Sekali lagi Sie Liong mengelak dengan loncatan mundur.
“Losuhu, aku tidak ingin bertanding denganmu!” katanya masih lembut, akan tetapi tidak begitu hormat lagi.
Ki Tok Lama tidak peduli. Dua kali serangannya dengan jurus pilihan gagal. Hal ini saja sudah membuat dia merasa malu dan menganggap bahwa pemuda itu menghinanya.
“Haiiiiiitttt...!”
Dia menyerang lagi, sekarang dengan pukulan-pukulan yang bertubi dan tubuhnya yang ringkas itu bergerak-gerak bagaikan seekor tupai yang melompat-lompat, dan setiap kali serangannya luput, sudah disusulkannya serangan berikutnya.
“Losuhu, sekali lagi, aku tidak ingin berkelahi denganmu!” Sie Liong berkata, suaranya semakin keras.
Namun jawabannya adalah serangan yang lebih ganas.
Sie Liong merasa serba salah. Apa bila dia tidak melayani, tentu orang ini akan terus menyerangnya dan tidak mungkin jika dia hanya selalu mengelak. Kalau dia membalas, berarti dia sudah terpancing dan melibatkan diri dalam permusuhan.
Padahal sekarang dia berada di dalam sarang Kim-sim-pai.....
“Engkau sungguh memaksaku!” kata Sie Liong.
Pada waktu kedua lengan lawannya menghantam dengan pengerahan sinkang, dia pun menyambut dari samping, menangkis untuk membuktikan kepada lawan bahwa kalau dia mau, tidak begitu sukar baginya untuk mengalahkan si cebol itu.
“Dukkk!”
Sie Liong membatasi tenaganya, tidak mempergunakan seluruh tenaga, tetapi akibatnya tubuh si cebol terpelanting dan dia sendiri terhuyung-huyung hampir roboh terbanting.
Si cebol mengeluarkan teriakan melengking nyaring dikarenakan marahnya, dan ketika dia melompat ke depan, dia sudah memegang sepasang pedang, yaitu senjatanya yang selalu disembunyikan di balik jubah merahnya yang lebar.
“Hemm, losuhu, bagaimana seorang pendeta mau memegang senjata tajam? Apa lagi sepasang!” Sie Liong memperingatkan.
Sebenarnya, menggunakan senjata untuk membunuh orang merupakan pantangan bagi seorang pendeta, apa lagi memegang senjata pedang untuk menyerang lawan yang tak bersenjata!
Agaknya Ki Tok Lama masih mengingat akan kedudukannya dan dia merasa sungkan juga. “Jangan banyak mulut! Cepat kau keluarkan senjatamu dan mari kita bertanding dengan menggunakan senjata!” tantangnya.
“Losuhu, aku tidak pernah memegang senjata!” kata Sie Liong dengan harapan agar lawannya itu merasa malu dan mundur. “Sebaiknya kita hentikan saja ribut-ribut yang tiada gunanya ini dan membiarkan aku untuk bicara dengan Tibet Ngo-houw.”
“Tidak! Kau kalahkan dulu sepasang pedangku, baru engkau boleh bicara dengan lima orang suheng Tibet Ngo-houw!” si cebol berkeras.
Sie Liong menarik napas panjang. Pada waktu dia memandang kepada para pimpinan Kim-sim-pai, mereka itu diam tak bergerak seperti arca.
Dia melihat sebuah rak senjata di sudut, dan dengan perlahan dia menghampiri rak itu, lalu mengambil sebatang tombak bergagang kayu dan mematahkan mata tombaknya. Gagang tombaknya saja yang berada di tangannya dan dia pun berkata,
“Baiklah, kalau engkau memaksa, losuhu, biar aku meminjam gagang tombak ini saja, agar tidak sampai melukaimu dengan senjata yang tajam atau runcing.”
Sie Liong menggunakan senjata itu bukan karena takut menghadapi sepasang pedang lawan, melainkan untuk berjaga diri. Kalau sampai terpaksa dia didesak dan dikeroyok, dia harus memiliki senjata untuk melindungi dirinya dan tidak ada senjata di dunia ini yang lebih baik baginya dari pada sebatang tongkat!
Jawaban Sie Liong itu membuat wajah Ki Tok Lama menjadi semakin merah karena jelas memandang rendah kepadanya.
“Lihat pedang!” bentaknya untuk berlagak bahwa dia tidak mau menyerang lawan tanpa memberi peringatan lebih dahulu.
Dua gulungan sinar berkelebat ketika sepasang pedang di tangannya digerakkan secara amat cepat dan kuat sekali. Akan tetapi, dengan tenang Sie Liong bergerak mundur dan mengelak dari dua kali sambaran kilat dari sepasang pedang lawan.
Tongkat di tangannya tidak tinggal diam dan ujung tongkat itu diputarnya sedemikian rupa sehingga ujungnya seperti berubah menjadi belasan banyaknya. Dan ujung-ujung tongkat ini sekarang menyambar-nyambar ke arah jalan darah di seluruh tubuh Ki Tok Lama!
Pendeta Lama itu terkejut bukan main dan terpaksa dia memutar sepasang pedangnya untuk melindungi diri dari serangan banyak ujung tongkat itu! Akan tetapi, di antara ujung-ujung tongkat itu yang tentu saja sesungguhnya hanya memiliki dua ujung saja, namun karena tongkat itu bergerak dengan menggetar, maka ujungnya nampak menjadi banyak, kini ada yang menyerang ke arah pergelangan lengan lawan yang memegang pedang, sementara ada ujung-ujung lain yang masih mengancam jalan darah tubuh Ki Tok Lama.
Tentu saja pendeta ini menjadi semakin terkejut dan bingung. Dia lebih condong untuk melindungi tubuhnya yang akan tertotok, karena itu tanpa dapat dihindarkan lagi, kedua pergelangan tangannya tertumbuk ujung tongkat secara aneh sekali dan kedua tangan itu tiba-tiba terasa lumpuh dan sepasang pedangnya pun terlepas dari tangannya.
Akan tetapi Sie Liong menghentikan gerakan tongkatnya, berdiri tegak di depan Ki Tok Lama dan berkata, “Losuhu, silakan mengambil kembali sepasang pedangmu.”
Dengan muka agak pucat dan mata terbelalak penuh rasa penasaran dan kemarahan, Ki Tok Lama bergerak cepat. Dia segera menyambar sepasang pedang itu dari atas lantai, kemudian memutar sepasang pedang itu, bersiap untuk melakukan penyerangan yang lebih dahsyat dan nekat lagi.
“Tahan senjata!” tiba-tiba Kim Sim Lama berseru. “Ki Tok Lama, kau mundurlah!”
Ki Tok Lama sejenak hanya memandang melotot ke arah Sie Liong. Akan tetapi ia tidak berani membantah perintah susiok-nya dan dia pun mundur sambil menyimpan kembali sepasang pedangnya ke balik jubah merah.
Kiranya pada waktu Sie Liong mulai melayani Ki Tok Lama tadi, Kim Sim Lama yang memandang penuh perhatian, menjadi kagum dan tertarik. Dia berbisik-bisik kepada Thay Ku Lama, orang pertama dari Tibet Ngo-houw. Setelah memerintahkan Ki Tok Lama untuk mundur, Kim Sim Lama lalu diam saja dan menyerahkan kepada Thay Ku Lama untuk menghadapi Sie Liong seperti yang mereka bisikkan tadi.
Thay Ku Lama bangkit dari bangkunya, lalu menghampiri Sie Liong yang sudah siap siaga karena sekarang yang maju adalah orang pertama dari Tibet Ngo-houw. Sejenak mereka saling pandang, kemudian Thay Ku Lama yang bertubuh besar dengan perut gendut itu menarik napas panjang.
“Omitohud, sekarang pinceng ingat. Memang engkau adalah bocah yang dahulu itu, dan agaknya engkau telah menjadi murid para tosu pelarian itu. Bukankah ilmu tongkatmu tadi adalah Thian-te Sin-tung yang amat hebat dari Pek Sim Siansu?”
Sie Liong terkejut bukan main. Sungguh tajam pandangan mata Thai Ku Lama ini, dan pengetahuannya tentang ilmu silat sangat luas. Hal itu saja membuktikan bahwa lima orang Harimau Tibet ini memang tidak boleh dipandang ringan.
“Sesungguhnya, losuhu, aku pernah menerima bimbingan dari suhu Pek Sim Siansu,” jawabnya jujur.
“Hemm, begitukah? Nah, sekarang lekas katakan, apa keperluanmu mencari kami Tibet Ngo-houw? Katakan saja terus terang karena yang hadir di sini bukanlah orang-orang lain bagi kami.”
Sie Liong memandang ke arah lima orang itu bergantian, kemudian dia berkata dengan suara lantang. “Tibet Ngo-houw, dengarlah baik-baik. Aku mewakili para locianpwe dan para pertapa yang selama ini kalian kejar-kejar, untuk bertanya kepada kalian, apakah sesungguhnya alasan yang mendorong kalian berlima untuk memusuhi mereka? Jawab sejujurnya, benarkah kalian menjadi utusan Dalai Lama untuk membasmi para tosu dan pertapa asal Himalaya?”
Thay Ku Lama tertawa bergelak. Perutnya yang gendut itu terguncang dan di antara suara ketawanya itu terdengar bunyi berkokok dari dalam perutnya, seperti suara katak besar.
Pendeta Lama ini memang mempunyai ilmu yang luar biasa hebat, yang disebut Hek-in Tai-hong-ciang, yaitu suatu pukulan yang didorong oleh tenaga dari perut yang kalau dia gunakan, selain dari perutnya keluar bunyi berkokok nyaring dan kedua kakinya ditekuk dalam-dalam seperti berjongkok, juga telapak tangannya itu mengeluarkan uap hitam.
“Ha-ha-ha, tentu saja Dalai Lama yang mengutus kami untuk membasmi para pertapa Himalaya yang dianggap pemberontak!”
“Pemberontakan apakah yang telah dilakukan oleh para locianpwe, atau para pertapa itu terhadap Dalai Lama?” Sie Liong mengeluarkan pertanyaan yang dulu sudah pernah diperbincangkan para gurunya itu.
“Hemm, para tosu itu pernah membunuhi beberapa orang pendeta Lama, hal itu berarti pemberontakan!” kata pula Thay Ku Lama dengan sikap acuh.
“Nanti dulu, losuhu. Memang pernah aku mendengar bahwa mendiang locianpwe Pek Thian Siansu, yaitu seorang pertapa Himalaya, membela penduduk yang diserbu para pendeta Lama. Lalu terjadilah perkelahian antara Pek Thian Siansu dan para pendeta Lama dan ada beberapa orang pendeta Lama yang tewas. Itukah yang menjadi sebab maka para pendeta Lama lalu memusuhi para tosu dan pertapa Himalaya?” Sie Liong pernah mendengar cerita itu dari tiga orang gurunya, yaitu Himalaya Sam Lojin tentang guru mereka itu.
“Ha, kiranya engkau sudah tahu? Nah, kenapa bertanya lagi? Para tosu itu mencampuri urusan kami para pendeta Lama, itulah maka mereka dianggap pemberontak.”
“Akan tetapi, losuhu. Bukankah mendiang Pek Thian Siansu membela penduduk dusun yang mempertahankan seorang anak laki-laki yang ketika itu hendak diculik oleh para para pendeta Lama itu? Dan anak itu yang kemudian menjadi Dalai Lama! Bagaimana mungkin Dalai Lama itu malah mengutus losuhu berlima untuk memusuhi para pertapa Himalaya? Padahal, para pertapa itu dahulu bahkan pernah membelanya! Dan juga, kalau suhu berlima menjadi utusan Dalai Lama, bagaimana pula ngo-wi (anda berlima) sekarang berada di sini dan kudengar malah memusuhi Dalai Lama?”
Mendengar ucapan Sie Liong itu, Tibet Ngo-houw saling pandang dan Thay Ku Lama sendiri mengerutkan alisnya dengan wajah berubah merah. Tidak disangkanya bahwa pemuda bongkok itu agaknya telah mengerti akan segala rahasia mereka!
Akan tetapi Kim Sim Lama yang sejak tadi mendengarkan saja, tiba-tiba mengeluarkan suara ketawa.
“Ha-ha-ha-ha! Omitohud...! Sie Taihiap agaknya mengetahui ekornya. Baiklah, pinceng yang akan memberi penjelasan kepadamu. Memang, dulunya Tibet Ngo-houw ini, para murid keponakanku, hanya mentaati perintah Dalai Lama saja. Pinceng sudah mencoba untuk mencegah perintah itu karena ketika itu pinceng masih menjadi wakil Dalai Lama. Akan tetapi, memang dia telah tersesat dan lalim, dan karena itulah maka kami semua meninggalkan Dalai Lama lalu berdiri sendiri di sini. Kami memang bermaksud untuk menggulingkan penguasa yang lalim itu! Itu pula sebabnya maka kini Tibet Ngo-houw berada di sini membantu Kim-sim-pai. Kami mempersilakan engkau untuk bekerja sama dengan kami juga, Sie Taihiap. Kami menentang Dalai Lama karena dia adalah seorang pemimpin lalim, sedangkan engkau membantu kami untuk membalaskan dendam para tosu dan pertapa dari Himalaya yang pernah melepas budi kepada Dalai Lama, akan tetapi malah dibalasnya dengan pengejaran dan pembunuhan! Dan masih banyak pula pihak-pihak yang memusuhi Dalai Lama. Gerakan kita pasti akan berhasil, Sie Taihiap!”
Sejak tadi Sie Liong mendengarkan saja, dan alisnya mulai berkerut. Tentu saja dia tidak dapat menerima dan percaya semua yang dikatakan pendeta ketua itu. Jelas bahwa Kim Sim Lama sedang memberontak terhadap Dalai Lama, maka tentu saja dia memburuk-burukkan nama Dalai Lama! Dia tidak mau percaya begitu saja, pula dia pun tidak ingin melibatkan dirinya dalam pemberontakan dan pertikaian di Tibet yang bukan negaranya.
“Terima kasih, losuhu. Akan tetapi tugas saya hanya bertanya kepada Tibet Ngo-houw mengapa dia dahulu memusuhi para pertapa pelarian dari Himalaya. Sekarang, setelah mereka menjawab bahwa mereka hanya utusan dari Dalai Lama, maka biarlah saya akan menghadap Dalai Lama sendiri untuk bertanya, mengapa beliau membalas budi kebaikan para tosu itu dengan pengejaran dan penumpasan. Nah, selamat tinggal, para losuhu, saya hendak pergi sekarang.”
Akan tetapi, agaknya sudah ada isyarat dari Kim Sim Lama. Begitu dia malangkah ke arah pintu ruangan luas itu, di ambang pintu telah berdiri banyak pendeta Lama dengan berbagai macam senjata di tangan, menutup lubang pintu itu dengan sikap mengancam. Ketika dia melirik ke arah jendela-jendela di sekeliling ruangan, di sana pun sudah rapat tertutup oleh tubuh banyak pendeta Lama yang berjaga-jaga. Jelas mereka semua itu tidak akan memberi jalan keluar padanya.
“Nanti dulu, orang muda!” Tiba-tiba Kim Sim Lama berseru, suaranya tidak begitu ramah lagi walau pun masih lembut.
Sie Liong menatap tajam wajah pemimpin Kim-sim-pai itu. “Ada apa lagi, losuhu?”
“Orang muda, engkau datang ke sini tanpa kami undang, dan kami telah bersikap terus terang, menceritakan segala rahasia kami kepadamu. Oleh karena itu, jika engkau mau bekerja sama dengan kami untuk menentang Dalai Lama, hal itu sudah sepatutnya. Akan tetapi, apa bila engkau menolak dan hendak pergi begitu saja dengan membawa semua rahasia kami, sudah tentu kami merasa keberatan!”
Sie Liong maklum bahwa saatnya sudah tiba. Kim Sim Lama sudah membuka kartunya. Tadi dia sudah merasa khawatir bahwa dia telah terperangkap, dan inilah buktinya. Dia dipaksa untuk bekerja sama atau dia tidak diperkenankan pergi meninggalkan tempat itu!
“Losuhu, saya tidak ingin terlibat dalam pemberontakan! Tibet bukan negaraku dan saya tidak mempunyai urusan dalam pemberontakan. Saya hanya melaksanakan tugas untuk menyelidiki mengapa para pertapa di Himalaya dimusuhi oleh Dalai Lama.”
“Sie Liong!” Kim Sim Lama membentak, kini terdengar sangat marah. “Dengar baik-baik! Pinceng pernah menjadi wakil Dalai Lama, merupakan orang kedua setelah Dalai Lama yang berkuasa di negeri ini! Dan sekarang pinceng adalah seorang calon Dalai Lama atau pemilik Dalai Lama yang baru! Sekali aku memerintahkan, engkau akan mati!”
“Losuhu, mati hidup bukan di tangan siapa pun, melainkan di tangan Thian Yang Maha Kuasa! Apa bila Thian sudah menghendaki aku harus mati, maka tidak ada kekuasaan apa pun di dunia ini yang akan mampu mencegahnya, namun sebaliknya, kalau Thian menghendaki aku hidup, tidak ada kekuasaan pula yang akan mampu membunuhku. Mati hidup di tangan Thian, akan tetapi baik buruknya langkah hidup berada di tangan kita masing-masing. Oleh karena itu, aku tetap akan melangkah melalui jalan kebenaran dan aku menyerahkan jiwa ragaku kepada Thian. Aku tetap menolak untuk menjadi kaki tangan pemberontak, apa pun yang akan menjadi akibatnya!”
Semua pendeta Lama yang berada di situ, diam-diam merasa kagum. Bahkan Kim Sim Lama juga merasa kagum sekali. Pemuda ini, biar pun bongkok ternyata jiwanya tidak bongkok dan semangatnya tegak lurus. Akan tetapi, betapa pun kagum rasa hatinya, dia tidak rela membiarkan Sie Liong pergi karena tentu semua rahasia akan ketahuan dan mereka terancam bahaya serbuan Dalai Lama sehelum mereka kuat benar.
“Sie Liong, engkau masih amat muda, akan tetapi selain memiliki ketabahan besar, juga kesombongan yang berlebihan. Agaknya engkau terlalu mengandalkan kepandaianmu sendiri sehingga merasa bahwa di kolong langit ini tidak ada orang yang akan mampu mengalahkanmu. Nah, ingin sekali pinceng melihat sampai berapa hebat kepandaianmu maka engkau berani menentang kami! Thay Ku Lama, pinceng ingin melihat seorang di antara kalian mengujinya!” kata Kim Sim Lama.
Biasanya, apa bila menghadapi lawan berat, Tibet Ngo-houw tentu maju berlima. Akan tetapi kini yang mereka hadapi hanya seorang pemuda bongkok. Betapa pun lihainya, kalau mereka maju berlima mengeroyok seorang pemuda bongkok, hal ini tentu saja amat merendahkan nama besar mereka sebagai pembantu-pembantu utama Kim Sim Lama!
Bahkan Thay Ku Lama sendiri pun merasa sungkan kalau harus bertanding melawan pemuda bongkok itu. Karena itu, dia memberi isyarat kepada Thay Bo Lama, saudara termuda di antara mereka berlima, untuk maju menandingi Sie Liong.
Thay Bo Lama bertubuh kurus kering dan wataknya memang keras dan berangasan. Begitu menerima isyarat dari suheng-nya, dia sudah melompat ke depan menghadapi Sie Liong. Tangan kirinya sudah memegang sebatang tombak karena tadi dia sudah menyambar tombaknya yang dia letakkan di atas lantai di bawah meja.
Kini, dengan tombak berdiri di sebelah kirinya, tangan kanannya bergerak ke depan, lalu telunjuknya menuding ke arah muka Sie Liong.
“Orang muda sombong! Ketika masih kecil dahulu engkau sudah mengganggu kami, sekarang setelah dewasa, engkau masih datang mengganggu. Agaknya memang sudah kehendak Thian bahwa engkau akan mati di tanganku! Nah, sekarang engkau majulah, perlihatkan kepandaianmu kepada Thay Bo Lama!”
Sie Liong bersikap tenang. Dia sudah siap sedia menghadapi ancaman yang paling hebat karena dia maklum bahwa hanya dengan pertolongan Thian saja dia akan dapat lolos dari tempat ini, lolos dari ancaman bahaya maut.
“Thay Bo Lama, sudah kukatakan bahwa aku tidak ingin berkelahi atau bermusuhan dengan siapa pun juga di sini. Maka, tentu aku tidak akan menyerang siapa pun, dan hanya akan membela diri kalau aku diserang.”
“Sombong! Sambutlah serangan tombakku ini!”
Thay Bo Lama segera menggerakkan tombaknya. Terdengarlah suara bersiutan karena tombak itu bergerak dengan cepat dan kuat bukan main. Pada saat menyerang dengan tusukan, tombak itu meluncur bagaikan anak panah saja, menusuk ke arah dada Sie Liong!
Melihat gerakan Lama ini, Sie Liong dapat menduga bahwa lawannya yang kurus kering bagaikan cecak mati kering itu agaknya mempunyai tenaga yang sangat besar. Untuk meyakinkan dugaannya, dia pun segera mengerahkan tenaganya pada tongkat yang dipegangnya, lalu dengan tubuh miring dia menangkis dari samping.
“Traanggg...!”
Dugaan Sie Liong memang tepat. Walau pun lawannya itu kurus kering dan kelihatan lemah, namun ternyata di dalam lengan yang kecil dan hanya tulang terbungkus kulit itu terdapat tenaga raksasa yang mengejutkan.
Untung bahwa dia sudah menduga hal itu sebelumnya sehingga tidak merasa terkejut. Juga tidak sampai terpental karena dia pun sudah mengerahkan tenaganya pada waktu menyambut dengan tangkisan tadi.
Di lain pihak, Thay Bo Lama terkejut bukan main. Bocah bongkok itu mampu menangkis tombaknya, dan tongkat yang dipegang bocah itu tidak sampai terpental, apa lagi patah. Bahkan kedudukan kakinya sendiri yang menjadi goyah karena dia merasa seolah-olah tombaknya bertemu dengan pagoda baja yang amat kuatnya!
“Bagus! Bocah bongkok kiranya engkau telah mewarisi sedikit ilmu dari Pek Sim Siansu dan karenanya menjadi sombong! Akan tetapi awas, hari ini engkau akan mampus di tangan pinceng!” bentak Thay Bo Lama sambil melintangkan tombaknya di depan dada.
“Thay Bo Lama, ingatlah bahwa engkau yang memaksaku untuk berkelahi, bukan aku yang mencari permusuhan!” jawab Sie Liong dengan sikap yang amat tenang.
“Hyeeeehhhh... haittt...!”
Thay Bo Lama mengeluarkan teriakan keras, lengan kirinya membuat gerakan memutar di depan dada untuk mengumpulkan tenaga sakti yang dipusatkan pada kedua lengan. Kakek yang usianya sudah mendekati enam puluh tahun ini ternyata memang masih amat kuat sehingga dari kedua lengannya itu timbul getaran melalui tombaknya dan kini tombak itu bagaikan hidup menyambar ke arah Sie Liong.
“Wuuuuuuutt... singgggg...!”
Ketika dielakkan, senjata itu menyambar-nyambar dan melakukan serangan bertubi-tubi yang selain mendatangkan sambaran angin yang amat kuat, juga mengeluarkan suara bersiutan dan berdesing.
Akan tetapi, tanpa terlalu sulit Sie Liong selalu dapat menghindarkan diri, menggunakan gerakan dua kakinya yang amat lincah untuk membuat tubuhnya selalu meliuk-liuk dan menyusup-nyusup di antara sinar tombak. Kadang-kadang tongkatnya menolak tombak dengan tangkisan yang demikian kuat sehingga beberapa kali tombak itu menyeleweng dan Thay Bo Lama sendiri terhuyung!
Sie Liong maklum bahwa dia berada di dalam bahaya, juga dalam keadaan serba salah. Kalau dia terlalu lama melayani Thay Bo Lama, tentu tenaganya akan terkuras karena di situ masih terdapat banyak lawan yang tentu akan maju satu demi satu. Sebaliknya, apa bila terlalu cepat dia mengalahkan Thay Bo Lama, hal ini hanya akan membuat mereka menjadi semakin penasaran dan marah kepadanya!
Jalan lari sudah tidak mungkin lagi sebab dia telah terperosok ke dalam sarang mereka. Tetapi bagaimana pun juga, dia harus menghadapi ancaman bahaya itu dengan gagah. Tiba-tiba dia mempercepat gerakan tongkatnya dan dia mainkan Thian-te Sin-tung pada bagian yang menekan dan menyerang.
Begitu Sie Liong mengubah gerakannya dan mulai menyerang, Thay Bo Lama terkejut. Dia melihat betapa tongkat di tangan lawannya seperti berubah menjadi banyak sekali. Sebagian menahan tombaknya, sebagian lagi menyerangnya seperti gelombang lautan yang menyerbu dirinya! Beberapa kali tubuhnya nyaris terpukul dan dia terus memutar tombak, melindungi tubuhnya sambil terdesak mundur. Padahal, belum ada tiga puluh jurus dia melawan!
Cepat dia mengerahkan tenaga sakti dan mulutnya berkemak-kemik. Sebagai jalan terakhir, dia hendak menggunakan kekuatan sihir untuk mengalahkan lawan yang masih muda itu.
“Hyaaaahh, orang muda berlututlah engkau!”
Namun, biar masih muda, Sie Liong adalah murid yang dikasihi dan digembleng oleh Pek Sim Siansu, maka tentu saja dirinya sudah ‘berisi’ dan segala macam kekuatan sihir tak akan mudah mempengaruhi batinnya yang sudah kuat. Dia merasakan getaran ilmu sihir itu, akan tetapi cepat Sie Liong mengerahkan sinkang melindungi dirinya dan sekali tongkatnya berkelebat, dua lutut kaki lawan telah dicium ujung tongkatnya.
Thay Bo Lama mengeluarkan seruan kaget pada saat dua kakinya mendadak menjadi lumpuh dan tanpa dapat dicegah lagi, dia pun sudah jatuh berlutut! Ternyata jeritannya yang mengandung perintah tadi langsung disusul dengan dirinya sendiri yang berlutut, bukan lawannya.
“Thay Bo Lama, tidak berani aku menerima penghormatan itu!” kata Sie Liong sambil melangkah mundur dan menghadap ke samping.
Sikap Sie Liong wajar dan sedikit pun tidak menunjukkan ejekan. Justru sikap ini yang membuat Thay Bo Lama menjadi malu dan marah bukan main. Setelah rasa kesemutan yang membuat kedua lututnya lumpuh tadi lenyap, dia pun bangkit berdiri dengan muka merah dan matanya mencorong memandang pemuda bongkok itu penuh kebencian.
“Hyaaattttt… ahhhh...!”
Tiba-tiba Thay Hok Lama, pendeta mata satu itu sudah menyerang Sie Liong dengan senjatanya yang amat ampuh, yaitu sebatang rantai baja yang panjang dan berat sekali. Rantai itu menyambar ganas ke arah kepala Sie Liong.
Semenjak dahulu Pendekar Bongkok sudah mengenal akan kelihaian Tibet Ngo-houw ini. Maka, melihat rantai menyambar ganas, dia pun merendahkan tubuhnya dan rantai itu lewat di atas kepalanya, kemudian dia pun melangkah maju mendekat.
Rantai itu panjangnya ada tiga meter sehingga kalau berkelahi jarak jauh, dia akan rugi. Rantai lawan dapat mencapai dirinya sedangkan tongkatnya yang hanya satu setengah meter panjangnya tidak akan dapat mencapai lawan.
Akan tetapi, Thay Hok Lama sudah cepat menyambutnya dengan dorongan tangan kiri yang terbuka. Ada angin yang berbau amis menyambar ke arah Sie Liong. Pemuda ini meloncat ke kiri, maklum bahwa itu adalah pukulan yang mengandung racun.
Memang, pendeta Lama yang matanya buta sebelah itu, selain amat lihai memainkan rantai bajanya yang panjang dan berat, juga terkenal mempunyai pukulan beracun, juga pandai mempergunakan racun sebagai senjata atau alat untuk mengalahkan lawannya.
Sambil melangkah maju, Sie Liong juga menggerakkan tongkatnya menusuk ke arah perut lawan baru ini. Namun tiba-tiba rantai baja itu ditekuk menjadi dua dan ternyata pendeta Lama itu sekarang memegang rantai di bagian tengah dan rantai yang tadinya tunggal dan panjang itu berubah menjadi dua rantai pendek karena dipegang bagian tengahnya!
Dua batang rantai itu berputar menangkis tongkat, bahkan dengan membalas serangan dari kanan kiri, dua helai rantai baja itu melakukan gerakan menggunting. Kembali Sie Liong melangkah ke belakang untuk menghindarkan diri dari guntingan sepasang rantai baja itu. Akan tetapi, dia mendengar angin bersiut ke arah kepalanya dari belakang.
Cepat Sie Liong merendahkan tubuh sambil memutar tongkat untuk menyambut orang yang menyerangnya dari belakang itu. Kiranya Thay Bo Lama yang telah menyerangnya secara curang sekali.
Thay Bo Lama yang tadi menghantamkan tombaknya ke arah kepala Sie Liong, malah kini berbalik diancam tongkat yang menusuk ke arah lambungnya dari samping. Cepat dia melempar tubuhnya mengelak, akan tetapi kaki Sie Liong menyambar dan dia pun terpelanting! Untung bahwa tendangan itu tidak mengenai dengan tepat sehingga tubuh Thay Bo Lama hanya terpelanting saja dan tidak terluka.
Pada saat itu, Thay Hok Lama sudah pula menyerang dengan rantai bajanya. Ketika Sie Liong menggerakkan tongkat menangkis, ujung rantai yang panjang itu melibat tongkat! Maksud Thay Hok Lama tentu saja untuk merampas tongkat. Dia membetot keras untuk membuat tongkat di tangan pemuda itu terlepas.
Akan tetapi Sie Liong mempertahankan dan dengan pengerahan sinkang-nya, dia pun membalas, menarik dan akibatnya, tubuh Thay Hok Lama melayang terbawa tarikan itu, melambung ke atas sehingga terpaksa Thay Hok Lama melepaskan belitan rantainya dan dia meloncat turun dengan muka berubah merah.
Melihat betapa dua orang rekan mereka masih terdesak oleh Pendekar Bongkok, Thay Ku Lama memberi isyarat kepada dua orang sute-nya, yaitu Thay Si Lama dan Thay Pek Lama. Tiga orang ini serentak berloncatan turun ke gelanggang dan mereka pun sudah menggerakkan senjata masing-masing melakukan pengepungan.
Thay Ku Lama yang bermuka codet dan berperut gendut itu telah memegang goloknya, Thay Si Lama yang bermuka bopeng mempergunakan senjata cambuknya, sedangkan Thay Pek Lama yang bermuka pucat memegang sepasang pedang! Lengkaplah kini Tibet Ngo-houw (Lima Harimau Tibet) mengepung Pandekar Bongkok Sie Liong!
Sie Liong tersenyum dan terbayanglah peristiwa beberapa tahun yang silam ketika dia masih kecil. Pada saat itu, dia pun melihat Tibet Ngo-houw ini bertanding melawan tiga orang gurunya atau juga dapat disebut suheng-nya, yaitu Himalaya Sam Lojin.
Mereka adalah gurunya sebab dia menerima gemblengan silat pertama kali dari mereka bertiga. Akan tetapi mereka pun kakak-kakak seperguruannya karena dia adalah murid Pek Sim Siansu yang terhitung susiok (paman guru) dari Himalaya Sam Lojin.
Masih terbayang olehnya betapa Tibet Ngo-houw ini bertanding melawan Himalaya Sam Lojin, lima orang melawan tiga orang! Suatu pertandingan yang amat hebat dan dahsyat dan dia masih ingat betapa Himalaya Sam Lojin terdesak oleh Tibet Ngo-houw yang lihai itu. Untung ketika itu muncul Pek Sim Siansu dan juga sute dari kakek sakti itu, Koay Tojin yang aneh sehingga Tibet Ngo-houw dapat dikalahkan dan diusir.
Dan kini, dia seorang diri harus menghadapi pengeroyokan lima orang Lama yang amat lihai itu! Namun, dia sudah menerima gemblengan lahir batin dari Pek Sim Siansu dan dia tidak merasa gentar sedikit pun juga.
“Hemm, aku datang mewakili para tosu yang dimusuhi hanya untuk minta keterangan mengapa mereka yang tidak berdosa itu dimusuhi. Ternyata sekarang Tibet Ngo-houw bahkan juga berusaha keras untuk mengeroyok aku! Apakah ini pun termasuk perintah dari Yang Mulia Dalai Lama? Ataukah nama beliau itu hanya kalian pergunakan untuk menjatuhkan nama Dalai Lama? Bukankah ini juga merupakan suatu muslihat dalam pemberontakan kalian terhadap Dalai Lama? Sungguh bagus sekali!” Sie Liong berkata. Karena maklum bahwa dia telah masuk sarang harimau dan tidak dapat mengharapkan lolos, maka dia pun tidak menyembunyikan perasaan dan dugaannya.
Ucapan ini membuat lima orang pendeta Lama itu saling pandang. Tentu saja mereka merasa betapa janggalnya dan memalukan keadaan mereka saat itu. Lima orang datuk besar persilatan yang namanya sudah menjulang tinggi, lima orang kakek sakti yang usianya sudah mendekati enam puluh tahun dengan senjata-senjata pusaka andalan mereka di tangan, kini mengepung seorang pemuda yang cacat tubuhnya, bongkok dan hanya memegang senjata sebatang tongkat kayu pula!
Betapa memalukan keadaan ini. Akan tetapi mereka berada di sarang sendiri, tidak ada orang luar yang menyaksikan peristiwa memalukan itu. Yang hadir di situ hanyalah para rekan mereka, yaitu Kim Sim Lama, yang tentunya maklum bahwa mereka harus maju bersama menghadapi musuh yang demikian lihainya, meski pun masih amat muda dan bongkok pula.
Betapa pun juga, ucapan Sie Liong tadi menyentuh perasaan harga diri mereka dan kini mereka berdiri berjajar, tidak lagi mengepung. Hal ini mereka lakukan atas isyarat Thay Ku Lama, orang pertama di antara mereka.
Mereka hendak menggunakan tenaga gabungan mereka untuk mengalahkan Sie Liong sehingga tidak akan kelihatan terlalu mengepung dan mengeroyok pemuda itu! Mereka berdiri berjajar sambil bergandeng tangan. Thay Ku Lama menempatkan dirinya di ujung kanan sebagai kepala dan Thay Si Lama di sebelah kiri paling ujung sebagai ekor.
Mereka membentuk suatu barisan yang mereka ciptakan sendiri dan nama barisan ini adalah Siang-thouw-coa (Ular Berkepala Dua). Memang barisan atau ‘tin’ ini amat mirip dengan gerakan ular yang berkepala dua. Mereka berlima sambil bergandengan tangan menghadapi lawan dengan gerakan melingkar-lingkar dan meliuk-liuk dan yang menjadi penyerang utama hanyalah sang kepala dan sang ekor yang keduanya dapat berganti tempat. Jadi penyerang utama hanya Thay Ku Lama dan Thay Si Lama, sedangkan tiga orang Lama yang lain, karena kedua tangan mereka bergandeng untuk menyambung barisan itu, hanya membantu dengan tendangan-tendangan saja.
Menghadapi lima orang lawan yang sudah menyimpan senjata masing-masing dan kini bergandeng tangan itu, Sie Liong mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa Tibet Ngo-houw adalah lima orang pendeta Lama sakti yang amat berbahaya, lihai dan licik bukan main.
Oleh karena itu, dia pun menduga bahwa mereka tentu akan menggunakan suatu cara penyerangan yang istimewa. Melihat cara mereka bergandengan tangan, dia pun dapat menduga bahwa ini tentulah semacam tin (barisan) dan cara bergandengan tangan itu menunjukkan bahwa mereka berlima tentu akan menyatukan tenaga sinkang mereka.
Ini berbahaya bukan main. Menghadapi mereka itu satu lawan satu, mungkin dia masih dapat menandingi kekuatan sinkang mereka, bahkan mengatasi mereka. Akan tetapi kalau tenaga sinkang mereka berlima disatukan, dia harus berhati-hati sekali, terutama kalau hendak mengadu tangan!
“Sie Liong, bocah sombong! Hendak kami lihat apakah engkau mampu menandingi barisan kami!” teriak Thay Ku Lama.
Barisan lima orang ini mulai bergerak, melenggang-lenggok dan bagaikan ular berjalan mengelilingi Sie Liong! Thay Ku Lama berada paling depan sebagai kepala dan Thay Si Lama paling belakang sebagai ekor. Melihat kelima orang pendeta Lama ini berjalan beriringan sambil bergandeng tangan seperti itu, sungguh merupakan penglihatan yang aneh dan lucu, seperti melihat lima orang anak kecil bermain-main saja.
Akan tetapi Sie Liong sama sekali tidak menganggapnya demikian. Dia tetap waspada, tetap melintangkan tongkatnya di depan dada dan pandang matanya, juga pendengaran telinganya, tidak pernah melepaskan gerakan lima orang lawan itu.
Pada waktu lima orang itu bergerak mengelilinginya, dia tidak ikut memutar-mutar tubuh, hanya lehernya saja yang bergerak perlahan mengikuti mereka. Setelah mereka tiba di belakang tubuhnya, dia pun memutar leher dari arah lain dan mengikuti gerakan mereka lagi hanya dengan menggerakkan leher. Tidak pernah dia menggeser kaki yang selalu siap bergerak dengan sikap bertahan dan menjaga diri.
Pancingan pertama ini saja sudah tidak berhasil. Tadinya, Siang-thouw Coa-tin (Barisan Ular Kepala Dua) ini mengelilingi lawan memancing agar lawan ikut pula berputar. Kalau lawan melakukan ini, mereka akan berlari makin cepat mengelilinginya, memaksa lawan berputar demikian cepat dan dengan mengubah-ubah arah, berbalik-balik, maka lawan yang berputaran dalam lingkaran mereka tentu akan menjadi bingung dan juga pening sehingga kedudukannya menjadi lemah.
Akan tetapi, Pendekar Bongkok itu tidak mau memutar tubuh, hanya mengikuti gerakan mereka dengan leher saja. Kalau dilanjutkan seperti itu, bukan Pendekar Bongkok yang menjadi bingung, pening dan lelah, melainkan mereka sendiri.
Gerakan Siang-thouw Coa-tin itu kini berubah. Mereka masih mengitari Sie Liong, akan tetapi sekarang berganti arah, yang tadinya ekor menjadi kepala dan kepala menjadi ekor. Perubahan arah gerakan semacam ini dilakukan lagi beberapa kali.
Kemudian, atas isyarat Thay Ku Lama yang melihat pemuda itu tidak terpancing dan tetap tenang saja, Thay Si Lama lalu melakukan penyerangan pertama. Tangan kirinya bergandengan dengan tangan Thay Pek Lama, maka kini dia mempergunakan tangan kanan untuk menghantam ke arah kepala Sie Liong.
“Wuuuuuuttt...!”
Sie Liong cepat mengelak karena dia merasa betapa pukulan itu mengandung angin pukulan yang amat dahsyat. Pada waktu pukulan itu melewati atas kepalanya, tiba-tiba barisan itu membalik dan kini ‘ekornya’, yaitu Thay Ku Lama sudah berganti kedudukan menjadi kepala dan tangan kiri orang pertama dari Tibet Ngo-houw ini tahu-tahu sudah mencengkeram ke arah dada Sie Liong!
Cepat dan tidak terduga sekali gerakan ini sehingga Sie Liong terkejut. Dia pun cepat membuang diri ke belakang sambil berjungkir balik.
“Brettt...!”
Ujung baju di dada Sie Liong tersentuh cengkeraman tangan kiri Thay Ku Lama dan terbukalah lubang di baju bagian dada itu, dan bekas robekan itu menjadi hangus!
Sambil melompat menjauhi, Sie Liong makin yakin bahwa dugaannya benar. Lima orang itu sedang menyatukan tenaga sinkang sehingga dia seolah menghadapi seorang lawan yang memiliki kekuatan sinkang yang amat hebat.
Akan tetapi dia tidak diberi kesempatan untuk berpikir banyak karena pada saat itu pula, Siang-thouw Coa-tin sudah bergerak lagi, dengan dahsyat dan cepatnya, juga dengan cara yang aneh dan tidak dapat diduga sebelumnya, menyerangnya dengan hantaman-hantaman tangan yang mengandung sinkang amat kuat. Sukar diduga siapa yang akan menyerangnya, Thay Ku Lama ataukah Thay Si Lama.
Namun Sie Liong sudah cepat-cepat menggunakan langkah-langkah ajaib yang dahulu pernah dilatihnya dari Pek Sim Siansu. Langkah-langkah yang menjadi dasar Thian-te Sin-tung dan yang membuat tubuhnya berkelebatan bagaikan bayang-bayang saja. Biar pun dia terdesak hebat, akan tetapi sampai belasan jurus lamanya, belum pernah ada pukulan lawan yang mampu menyerempetnya lagi.
Setelah dua puluh jurus dia selalu mengelak sambil memperhatikan gerakan barisan lima orang itu, akhirnya dia pun tahu bahwa yang dimaksudkan dengan Ular Kepala Dua adalah karena dua orang yang berada di kedua ujung itulah yang menyerangnya secara bergantian, dan mereka itulah kepala dan ekor, akan tetapi ekor dapat pula menjadi kepala dan sebaliknya. Justru perubahan tiba-tiba inilah yang membingungkan lawan.
Dan dia pun melihat betapa tiga orang pendeta Lama lainnya yang menjadi penghubung dan penyalur tenaga sinkang yang disatukan, tidak mampu banyak berbuat sebagai penyerang karena kedua tangan mereka saling gandeng. Hanya kadang-kadang saja tiga orang ini membantu dengan tendangan kaki. Akan tetapi karena tubuh mereka tidak bebas, sebab dengan kedua tangan saling bergandengan itu mereka seperti terikat oleh barisan, maka tendangan mereka itu pun tidak banyak artinya bagi Sie Liong.
Dan pemuda yang cerdik ini pun menemukan suatu kenyataan yang memberi harapan, yaitu bahwa pada bagian ‘tubuh’ atau tengah yang dimainkan tiga orang inilah bagian barisan itu yang paling lemah!
“Yaaaaattt...!”
Thay Ku Lama sudah menyerang lagi dengan hantaman telapak tangan terbuka ke arah dada Sie Liong ketika pemuda itu membalik dari elakan serangan sebelumnya. Bukan main kerasnya angin pukulan itu.
Sie Liong yang sudah membuat perhitungan matang, lalu menggerakkan kedua tangan pula untuk menyambut pukulan itu dari jarak sekitar dua meter. Tentu saja dia tak berani menyambut secara langsung, maklum betapa hebat tenaga sinkang yang mendorong pukulan itu.
Akan tetapi dalam jarak dua meter, dia pun berani mengambil resiko karena tidak terlalu berbahaya. Dia juga mengerahkan sinkang yang lemas, tak mau mengadu keras lawan keras karena tenaga sinkangnya jelas kalah jauh kalau dibandingkan tenaga lawan yang disatukan itu.
“Desss...!”
Dua pasang tangan itu tidak sampai bertemu, tidak saling sentuh, akan tetapi tenaga sinkang yang menyambar bagai kekuatan dahsyat itu telah saling bertemu dan saling bertumbuk di udara. Akibatnya hebat bukan main.
Sie Liong merasa seperti didorong oleh angin taufan dan dia pun terlempar! Namun, dia telah memperhitungkan sehingga dia membiarkan dirinya terjatuh ke atas tanah lalu dia bergulingan. Dengan cepat tubuhnya berguling-guling ke sana-sini hingga mematahkan tenaga luncuran sambil memperhatikan keadaan barisan lawan.
Seperti yang diduganya, lima orang Tibet Ngo-houw itu mengira bahwa dia tentu terluka. Mereka itu sudah datang menghampiri dengan cepat, dengan gerakan lenggak-lenggok seperti seekor ular.
Tiba-tiba Sie Liong yang bergulingan itu tubuhnya melambat, dan setelah cukup dekat, dia meloncat dan mengeluarkan suara melengking nyaring. Tongkatnya bergerak-gerak sehingga ujungnya nampak menjadi banyak dan diseranglah tiga orang yang berada di tengah-tengah!
Serangan yang tiba-tiba ini membuat Thay Pek Lama, Thay Hok Lama dan Thay Bo Lama yang berada di tengah-tengah terkejut bukan main. Juga Thay Ku Lama dan Thay Si Lama yang menjadi kepala dan ekor barisan itu sangat terkejut. Mereka tadi salah perhitungan. Mereka mengira bahwa Sie Liong terluka.
Sungguh tak mereka sangka kini pemuda itu bahkan menyerang dengan hebat ke arah bagian barisan yang lemah. Tiga orang sute mereka itu hanya dapat membantu dengan penyaluran tenaga, sama sekali tidak dapat menangkis atau mengelak karena mereka itu seperti terkait dan terjepit! Padahal, serangan tongkat di tangan pemuda bongkok itu dahsyat bukan main karena dia memainkan jurus-jurus Thian-te Sin-tung!
“Lepaskan ikatan!” bentak Thay Ku Lama pada saat melihat betapa tiga orang sute-nya terancam bahaya maut oleh tongkat kayu yang digerakkan secara lihai sekali itu.
Terlepaslah tangan mereka yang bergandengan dan kini tiga orang pendeta Lama yang diserang itu dapat menggunakan kaki tangan mereka untuk membela diri. Mereka pun segera bergerak, ada yang mengelak dan ada juga yang menangkis. Namun, gerakan mereka melepaskan diri dari ikatan barisan tadi terlambat sedikit.
Akibatnya, Thay Pek Lama terjengkang dengan pundaknya tertotok ujung tongkat. Thay Hok Lama juga terpelanting akibat kakinya menjadi lumpuh sebelah ketika ujung tongkat singgah di lutut kirinya. Sedangkan Thay Bo Lama terhuyung ke belakang, dada kirinya kena didorong tangan kanan Sie Liong sehingga terasa napasnya sesak dan dadanya nyeri.
Masih untung bagi tiga orang pendeta Lama itu bahwa Sie Liong hanya berniat untuk menghancurkan Siang-thouw Coa-tin itu saja, tidak berniat membunuh sehingga baik tongkat mau pun tangan kirinya, menyerang dengan tenaga yang terbatas. Bagaimana pun juga, jelas bahwa barisan itu dapat dia pecahkan dan kini lima orang pendeta Lama itu berdiri dengan muka berubah merah karena malu dan marah.
Tiga orang pendeta Lama yang tadi terkena serangan, juga sudah dapat memulihkan tenaga. Mereka sudah menyambar senjata masing-masing, seperti juga yang dilakukan Thay Ku Lama dan Thay Si Lama!
Melihat ini, Sie Liong menjura. “Apakah ucapan Tibet Ngo-houw tidak dapat dipercaya lagi? Aku sudah menandingi barisanmu dan berhasil memecahkannya, mengapa kalian malah mengeluarkan senjata?”
“Pendekar Bongkok, apakah engkau takut?” Thay Ku Lama bertanya dengan suara mengejek, juga empat orang sute-nya mengeluarkan suara mengejek, semua ini tentu saja untuk menghibur atau menutupi kekalahannya tadi yang membuat mereka merasa malu, penasaran dan marah.
Mendengar ini, mendadak saja Sie Liong menekuk punggungnya yang bongkok itu ke belakang. Dia menengadah, memandang langit-langit ruangan yang luas itu dan dia pun mengeluarkan suara tawa yang membuat semua orang di situ terkejut dan tercengang. Suara ketawa itu amat nyaring melengking, akan tetapi juga bergelak dan bergemuruh bagai gelombang, mendatangkan getaran dahsyat yang seolah-olah akan meruntuhkan bangunan ruangan itu!
Bahkan Kim Sim Lama sendiri memandang dengan kagum. Belum pernah selamanya dia bertemu dengan seorang pemuda seperti ini, yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali! Bukan hanya hebat ilmu kepandaiannya, akan tetapi juga luar biasa sekali tabah dan beraninya! Seorang diri memasuki sarangnya, bahkan menyambut tantangan Tibet Ngo-houw! Sungguh hampir tak masuk akal dan sukar dipercaya!
Kehebatan Sie Liong ini saja sudah mendatangkan perasaan sayang di dalam hatinya. Betapa akan senangnya jika dia dapat mempunyai seorang pendukung atau pembantu seperti pemuda bongkok itu!
“Ha-ha-ha-ha!” Sie Liong menghentikan tawanya yang bergelombang dan bergemuruh tadi, kemudian menudingkan tongkatnya ke arah muka Tibet Ngo-houw dan suaranya terdengar tidak seperti tadi, lemah lembut, melainkan tegas dan berani penuh kekuatan dan kegagahan.
“Tibet Ngo-houw, bukan aku yang takut, melainkan kalian! Buktinya kalian mengeroyok aku! Seorang seperti aku ini, apa artinya takut? Aku seorang sebatang kara yang tidak memiliki apa-apa, tubuh pun cacat, dan kematian bagiku hanya kembali ke tempat yang jauh lebih baik dari pada di dunia yang penuh kekotoran dan manusia busuk macam kalian ini! Bagiku, yang ada hanyalah berpegang kepada kebenaran dan keadilan. Demi kebenaran dan keadilan, mati pun tidak apa-apa! Kematian hanya pulang dan kembali kepada sumber kebenaran dan keadilan! Sebaliknya, kalian ini walau pun berpakaian pendeta, tapi selalu menuruti nafsu angkara murka, menjadi setan sehingga kalian takut mati, karena kematian kalian akan menyeret kalian kepada kerajaan setan dan iblis!”
Seperti juga suara ketawanya tadi, kini ucapannya itu membuat banyak orang di situ merasa panas dingin dan bulu tengkuk mereka meremang.
Akan tetapi, Tibet Ngo-houw yang sudah merasa sangat malu dan penasaran, tidak mempedulikan semua itu. Atas isyarat Thay Ku Lama, mereka sudah kembali bergerak mengepung dengan senjata masing-masing di tangan.
Sie Liong berada di tengah-tengah dan dia pun sudah siap siaga. Dia tahu bahwa kalau dia dikeroyok dengan pengepungan semacam ini, maka akan rugilah dia apa bila hanya mempertahankan diri saja. Kalau sampai dia terdesak, akan sukarlah meloloskan dirinya dari kepungan, dan sukar pula untuk membalas serangan lawan yang tentu bertubi-tubi datangnya. Oleh karena itu, dia pun mengambil keputusan untuk mendahului lawan dan mengambil sikap menyerang dan mengamuk.....
Tiba-tiba dia mengeluarkan lengkingan dahsyat dan tubuhnya bergerak ke kiri. Pemuda bongkok itu sudah menyerang Thay Bo Lama yang berada di sebelah kirinya. Karena dia menggunakan jurus dari ilmu tongkat Thian-te Sin-tung, tentu saja serangannya itu hebat bukan main.
Thay Bo Lama menggerakkan tombaknya menangkis, dan Thay Hok Lama yang berada di sampingnya juga turut mengayun rantai baja untuk melindungi sute-nya, juga untuk menyerang Sie Liong! Namun, begitu serangannya gagal, Sie Liong tidak membiarkan dirinya diserang. Serangan Thay Hok Lama itu dia hindarkan dengan loncatan ke kanan dan dia sudah menotokkan ujung tongkatnya ke arah leher Thay Si Lama.
“Tar-tar-tarrrr!”
Thay Si Lama menggerakkan cambuknya meledak-ledak ketika ujung tongkat di tangan Sie Liong itu bagai seekor lalat menyambar-nyambar ke arah lehernya. Dia tahu betapa hebatnya totokan itu kalau mengenai sasaran, maka dengan sibuk dia pun melindungi dirinya dengan putaran cambuk. Sementara itu, Thay Pek Lama juga menggerakkan siang-kiam (sepasang pedang) untuk membantu suheng-nya dan membalas serangan Sie Liong.
Ketika pedang itu menyambar pinggang dan leher, Sie Liong melempar tubuh ke bawah dan bergulingan ke arah Thay Ku Lama. Begitu melompat, tongkatnya telah menyerang dengan tusukan ke perut orang pertama Tibet Ngo-houw itu! Lama ini cepat memutar golok menjaga dirinya. Akan tetapi Sie Liong sudah membalik ke belakang lagi untuk menyerang Thay Hok Lama!
Amukan Sie Liong itu mengejutkan Tibet Ngo-houw. Gerakan pemuda itu begitu cepat, membagi-bagi serangan sehingga mereka tidak sempat lagi menyusun kekuatan untuk mengepung dan menghimpit.
Melihat ini, dengan muka merah dan hati panas sekali Thay Ku Lama berseru nyaring. “Ngo-heng-tin (barisan lima unsur)!”
Mendengar bentakan ini, para sute-nya lantas sadar dan mereka segera berlompatan menjauhi Sie Liong lalu membuat barisan segi lima! Dan mereka pun mulai bergerak mengelilingi Sie Liong, semakin lama semakin cepat dan lingkaran yang mereka buat itu semakin sempit.
Sie Liong tidak berani lagi menyerang seperti tadi. Dia sudah maklum bahwa begitu dia menyerang salah seorang di antara mereka, maka yang empat orang akan menubruk dan menyerangnya dari empat jurusan secara berbareng!
Dia sudah pernah mendengar dari Pek Sim Siansu tentang beberapa tin (barisan) dan Ngo-heng-tin merupakan salah satu barisan yang berbahaya, apalagi karena lima orang anggotanya menggunakan lima macam senjata sehingga sukar sekali diduga gerakan dan corak penyerangan mereka.
Akan tetapi dia pun teringat pelajaran yang diberikan oleh para gurunya. Antara lain Pek Sim Siansu pernah menceritakan sifat dan kehebatan barisan Ngo-heng-tin itu.
“Dalam Ngo-heng-tin terdapat unsur Im-yang pula,” demikian kata kakek sakti itu. “Lima unsur itu saling bantu, sehingga kalau ada seorang anggota diserang, selain dia sendiri dapat membela diri, juga ada satu anggota lainnya yang melindunginya, sedangkan tiga orang lainnya tentu akan membarengi saat itu untuk menghantam lawan. Memang kalau lima orang anggota Ngo-heng-tin itu mempunyai tenaga dan kepandaian yang setingkat denganmu, amat sukarlah mengalahkan mereka. Akan tetapi, dengan Thian-te Sin-tung dan langkah-langkah ajaib, tentu engkau akan dapat mempertahankan diri. Jika engkau dapat memecahkan unsur-unsur yang saling membantu itu, baru engkau akan mampu mengacaukan pertahanan mereka. Maka usahakan supaya engkau mengenal siapa di antara mereka itu yang saling melindungi, siapa yang memegang unsur air, api, kayu, tanah dan angin.” Demikianlah petunjuk yang diperolehnya dari Pek Sim Siansu.
Terdengar seruan keras ketika Thay Ku Lama membuka serangan pertama! Golok di tangannya itu mula-mula diacungkan ke atas, dan kedua kaki pendeta yang bertubuh gemuk dengan perut gendut itu ditekuk hingga tubuhnya hampir berjongkok. Dari dalam perutnya berbunyi suara berkokokan seperti suara katak besar dan perut yang gendut itu bergoyang-goyang, kemudian tubuhnya meloncat ke depan dan dengan jari terbuka tangan kirinya mendorong ke arah Sie Liong.
Uap hitam disertai angin keras langsung datang menyambar ke arah Sie Liong. Itulah pukulan Hek-in Tai-hong-ciang (Tangan Angin Taufan Awan Hitam) yang berbahaya sekali.
Sie Liong mengenal pukulan ampuh, maka dia pun melempar tubuh ke kiri sehingga angin pukulan itu lewat. Ketika sinar golok di tangan kanan Thay Ku Lama menyambar, dia menggerakkan tongkatnya menangkis, lalu cepat membalas dengan totokan-totokan ke arah tujuh jalan darah utama di bagian depan tubuh lawan!
Menghadapi jurus hebat dari Thian-te Sin-tung ini yang membuat dirinya terancam maut oleh totokan-totokan, Thay Ku Lama menjadi sibuk dan cepat memutar goloknya untuk melindungi tubuhnya. Thay Si Lama cepat sekali memutar cambuknya, selain berniat untuk melindungi sehengnya, juga ujung cambuk itu berusaha membelit tongkat untuk merampasnya!
Sie Liong mulai merasakan keampuhan barisan Ngo-heng-tin. Dengan otomatis, ketika Thay Ku Lama diserangnya, Thay Si Lama sudah berada di situ, melindunginya dan ikut pula menyerangnya.
Sie Liong meloncat tinggi melewati tubuh para pengepungnya dan tiba di belakang Thay Hok Lama. Akan tetapi begitu lima orang pengeroyoknya membuat gerakan berlari dan berlompatan, dirinya sudah dikepung lagi oleh barisan segi lima itu. Dia cepat menubruk ke depan, menggerakkan tongkatnya yang mula-mula menusuk ke arah sepasang mata Thay Pek Lama, kemudian ujung tongkat itu digetarkan untuk beralih menghantam leher dan ubun-ubun secara bergantian.
Thay Pek Lama cepat mengeluarkan sepasang pedangnya menangkis. Pada saat itu, secara otomatis pula Thay Hok Lama sudah menggunakan rantai bajanya melindungi Thay Pek Lama. Dan kedua orang pendeta Lama ini lalu bergabung dan menyerang Sie Liong secara bersamaan.
Setelah mencoba untuk mengamuk beberapa belas jurus lamanya, tahulah Sie Liong bahwa benar seperti apa yang dikatakan oleh gurunya, lima orang itu saling melindungi. Dia lalu mencari mata rantai yang tidak bersambung dalam barisan itu.
Tiba-tiba dia menyerang Thay Si Lama dengan hebatnya. Dia tahu bahwa tentu Thay Pek Lama yang akan bergerak melindungi suheng-nya itu. Dan benar saja, Thay Pek Lama secara otomatis telah melindungi Thay Si Lama, akan tetapi ketika mereka berdua hendak membalas serangan Sie Liong, pemuda itu telah membalik secara tiba-tiba dan dia pun sudah menyerang Thay Bo Lama!
Dia sudah memperhitungkan bahwa tentu Thay Ku Lama yang akan melindungi orang termuda dari Tibet Ngo-houw itu. Ketika Thay Ku Lama bergerak, dia pun cepat menarik kembali serangannya dan mendadak saja dia menyerang Thay Hok Lama si mata satu!
Serangannya sekali ini hebat bukan main, karena selain tongkatnya membuat serangan tusukan beruntun yang amat dahsyat, juga dengan tenaga sinkang sepenuhnya tangan kirinya melakukan hantaman dengan jurus Pay-san-ciang (Tangan Menolak Gunung), jurus ilmu pukulan sakti yang dia pelajari dari Hek Bin Tosu.
Thay Hok Lama terkejut bukan main dan segera memutar rantai melindungi dirinya. Dia mengharapkan perlindungan Thay Bo Lama seperti yang sudah diatur menjadi bagian masing-masing dalam barisan itu.
Akan tetapi baru saja Thay Bo Lama bergerak mundur karena desakan Sie Liong yang ternyata hanya serangan palsu itu. Maka sekali ini, Thay Hok Lama harus melindungi diri sendiri dan tidak mempunyai pelindung lain.
Akan tetapi, serangan Sie Liong itu terlampau hebat. Thay Hok Lama dapat menangkis tongkat itu, akan tetapi dia sama sekali tidak mampu menghindarkan diri dari tangan kiri Pendekar Bongkok yang memukulnya. Namun dia masih berusaha menangkis dengan tangan kirinya.
“Desss...!”
Tubuh Thay Hok Lama terpelanting keras dan terbanting sampai terguling-guling.
Tentu saja para Lama yang lainnya menjadi terkejut bukan main. Tidak pernah mereka bermimpi bahwa Ngo-heng-tin kebanggaan mereka akan dapat dipecahkan sedemikian mudahnya oleh Pendekar Bongkok sehingga belum lewat tiga puluh jurus saja seorang dari mereka sudah roboh!
Tiba-tiba nampak sesosok bayangan merah berkelebat dan tahu-tahu Kim Sim Lama yang memegang sebatang tongkat pendeta sudah berada di tempat di mana tadi Thay Bo Lama berdiri.
“Ngo-seng-tin (Barisan Lima Bintang)!” serunya dengan suaranya yang lembut namun berwibawa.
Empat orang Lama itu pun bergerak dan dipimpin oleh Kim Sim Lama sendiri, mereka membentuk barisan Bintang Lima yang gerakannya aneh namun cepat, seperti bintang yang berkedap-kedip karena senjata mereka selalu digerak-gerakkan hingga berkilauan dan kedudukan mereka selalu berubah. Tiba-tiba mereka berlima itu menyerang dari lima penjuru!
Sie Liong cepat-cepat memutar tongkatnya melindungi diri. Tangan kirinya mendorong dengan pukulan yang dia ubah-ubah pula untuk membingungkan para pengeroyoknya. Tongkatnya membentuk benteng yang sangat kuat sehingga semua senjata terpental kalau hendak menerobos ke dalam lingkaran benteng sinar itu. Hanya tongkat di tangan Kim Sim Lama saja yang mampu membuat Sie Liong merasakan lengannya terguncang hebat dan kedudukan kakinya terhuyung.
“Trakkk!”
Pertemuan antara tongkat di tangan Sie Liong dengan tongkat pendeta berkepala naga yang besar di tangan Kim Sim Lama amatlah hebatnya. Bukan saja Sie Liong tergetar, juga Kim Sim Lama kelihatan tercengang. Jelas nampak betapa di wajahnya terbayang kekaguman dan keheranan karena dia mendapat kenyataan bahwa pemuda itu mampu menandingi kekuatan sinkang-nya!
Sie Liong tidak membiarkan dirinya dilanda kekagetan lebih lama, akan tetapi cepat dia menghindarkan diri dari sambaran tombak Thay Bo Lama yang menusuk lurus ke arah lehernya. Dia merendahkan dirinya sedangkan tangan kirinya lantas mendorong ke arah penyerangnya itu, cepat sekali.
“Hyaaaattt...!”
Hawa yang sangat dingin menyambar ganas ke arah dada Thay Bo Lama. Ternyata Pendekar Bongkok sudah mempergunakan Swat-liong-ciang (Tangan Naga Salju) yang dilatihnya dari Swat Hwa Cinjin, salah seorang di antara Himalaya Sam Lojin. Pukulan ini memang mengandung sinkang yang berhawa dingin seakan-akan ada hawa salju yang menyambar ganas.
Thay Bo Lama terkejut dan menangkis dengan lengan kirinya pula.
“Plakkk!”
Dan akibatnya, tubuhnya terguling dan dia pun menggigil kedinginan!
Saat itu segera dipergunakan oleh Thay Ku Lama untuk menyambarkan goloknya yang mengeluarkan suara berdesing! Sie Liong menundukkan mukanya dan menggerakkan tongkat untuk menangkis.
Pada saat yang sama, tongkat naga di tangan Kim Sim Lama kembali menyambar. Sie Liong yang maklum akan kehebatan pemimpin pemberontak ini, terpaksa menggunakan tongkat yang tadi membalik ketika menangkis golok Thay Ku Lama, untuk menghadapi sambaran tongkat naga Kim Sim Lama.
“Dukkk!”
Sekali ini, sedemikian kuatnya Kim Sim Lama menghantamkan tongkatnya. Lagi pula Sie Liong baru saja menangkis golok Thay Ku Lama sehingga ketika menangkis tongkat Kim Sim Lama, tenaganya pun tidak sepenuhnya. Akibatnya Sie Liong terpelanting!
Kesempatan itu dipergunakan oleh Thay Si Lama untuk manghantamkan cambuknya ke arah kepala Sie Liong. Cambuk itu melecut dengan cepat seperti kilat menyambar!
Sie Liong masih berhasil menggerakkan tongkatnya menangkis, walau pun dia sudah terpelanting. Namun, ujung cambuk itu membelit tongkatnya dan terjadi tarik menarik. Sie Liong mengerahkan tenaga dan tangan kirinya mendorong dengan telapak tangan terbuka ke arah Thay Si Lama.
Thay Si Lama yang menguasai ilmu silat Sin-kun Hoat-lek, yaitu silat yang bukan saja mengandung tenaga sinkang kuat, akan tetapi bahkan juga mengandung ilmu sihir itu, tidak gentar dan dia pun menggerakkan telapak tangan kiri menyambut.
“Desss...!”
Hebat bukan main pertempuran dua telapak tangan dan akibatnya, tubuh Thay Si Lama terjengkang dan dia pun muntah darah! Sie Liong sendiri juga terjengkang karena tadi kedudukannya tidak menguntungkan ketika dia mengadu tenaga dalam dengan Thay Si Lama. Kuda-kudanya tidak kokoh karena dia tadi baru saja dalam keadaan terpelanting dan terhuyung.
Pada saat dia terjengkang, ujung tongkat di tangan Kim Sim Lama menyambar dan menyentuh punggungnya. Sie Liong terkulai lemas dan roboh pingsan! Melihat betapa Thay Si Lama muntah darah, empat orang rekannya menjadi marah dan mereka sudah menggerakkan senjata untuk melumatkan tubuh Pendekar Bongkok.
“Tahan!” Kim Sim Lama berseru dan tongkatnya diputar melindungi tubuh Sie Liong.
Lima orang Harimau Tibet itu kini memandang heran kepada pemimpin mereka. Bahkan Thay Si Lama yang mengusap darah dari bibirnya, mengerutkan alisnya.
“Maaf, susiok (paman guru), akan tetapi Pendekar Bongkok ini berbahaya sekali. Sudah selayaknya kalau dia dibunuh!” katanya dengan nada tidak senang.
“Hemm, kalian ini sudah berpengalaman luas, mengapa masih berpandangan picik dan masih mudah dipengaruhi oleh kemarahan dan dendam? Yang penting bagi kita adalah langkah yang kita perhitungkan, langkah yang pasti akan menguntungkan usaha kita! Kalau dia kalian bunuh, lalu apa untungnya? Boleh jadi dia lihai, akan tetapi tidak cukup lihai untuk membuat kita gentar. Pula, apa artinya dia seorang diri saja menghadapi kita? Sebaliknya, kalau dia tidak dibunuh, banyak pilihan bagi kita untuk memanfaatkan bocah ini dan menarik keuntungan sebesarnya.”
Lima orang pendeta Lama itu memandang penuh perhatian dan Thay Ku Lama mewakili para sute-nya bertanya, “Susiok, manfaat apa yang dapat kita ambil dari bocah bongkok ini?”
“Ha-ha-ha-ha! Nah, kalian lihatlah,” katanya kepada belasan orang pembantu utamanya.
“Tanpa pimpinan pinceng, kalian ini sama seperti sekumpulan gajah yang kehilangan pembimbing. Biar pun kalian kuat, kalau tidak pandai mempergunakan akal, tidak akan ada gunanya dan tidak akan mencapai hasil jauh! Dengarlah. Kita semua telah melihat bahwa bocah ini, walau pun masih muda dan tubuhnya bongkok, akan tetapi dia sudah mewarisi ilmu kepandaian yang hebat dan kiranya hanya pinceng seorang saja yang akan mampu menandinginya. Kalian semua, kalau maju satu lawan satu, sama sekali bukanlah tandingannya! Nah, kalian tentu tahu betapa akan baik dan menguntungkan sekali bagi kita kalau saja dia mau membantu gerakan kita.”
“Akan tetapi, susiok! Dia adalah murid Himalaya Sam Lojin, bahkan juga murid Pek Sim Siansu. Dia musuh kita dan mana mungkin dia mau membantu gerakan kita?” Thay Si Lama mencela.
“Bagaimana kalau kita mempergunakan sihir supaya dia kehilangan ingatan dan suka membantu kita?” kata Thay Hok Lama.
Kim Sim Lama menggelengkan kepalanya. “Memang benar bahwa kiranya tidak akan mungkin dia membantu kita, dan penggunaan sihir pun tidak ada artinya bagi seorang yang sudah memiliki sinkang sekuat itu.”
“Pinceng dapat membuatkan racun perampas ingatan...” berkata pula Thay Hok Lama si ahli racun.
Kim Sim Lama tetap menggeleng kepalanya. “Biar pun dia sudah kehilangan ingatan, watak dasarnya tentu melarang dia untuk membantu kita. Dan apa artinya orang yang kehilangan ingatan untuk kita? Bahkan dia akan dapat menimbulkan kekacauan karena ketololannya. Tidak, agaknya kita tidak boleh mengharapkan dia membantu perjuangan kita dengan tenaganya.”
“Lalu untuk apa lagi, susiok?” Thay Pek Lama bertanya.
Kim Sim Lama tersenyum dan mukanya yang merah kekanak-kanakan itu kini kelihatan cerdik luar biasa. Matanya mencorong, berkilat dan mulutnya tersenyum mengejek.
“Kita dapat mempergunakan dia untuk memperuncing hubungan yang sudah memburuk antara Dalai Lama dan para tosu. Kalau dia sebagai utusan para tosu sampai terbunuh oleh Dalai Lama, barulah kematiannya ada gunanya untuk kita.”
Lima orang Tibet Ngo-houw mengangguk-angguk dan mereka pun melihat manfaat itu. “Akan tetapi, bagaimana caranya agar dia dapat terbunuh oleh Dalai Lama, atau agar para tosu menganggap kematiannya disebabkan oleh Dalai Lama?”
“Tentu saja satu-satunya jalan adalah supaya dia mati di dalam istana Dalai Lama di Lhasa!” kata Kim Sim Lama.
“Akan tetapi, bagaimana caranya menyelundupkan dia ke dalam istana?” tanya Thay Bo Lama.
Kim Sim Lama tersenyum lagi. “Tidak percuma pinceng sudah menyebar orang-orang ke dalam Lhasa. Biarlah kita menanti kesempatan yang baik. Sementara ini, kita tahan dia di dalam penjara lebih dulu.”
“Akan tetapi, hal itu berbahaya sekali, susiok! Dia amat lihai, kalau dibiarkan hidup di dalam penjara, bagaimana kalau sekali waktu dia memberontak dan berhasil lolos dari dalam penjara?” Thay Ku Lama berseru khawatir.
“Ha-ha-ha-ha, mengapa engkau begitu bodoh? Tentu saja kita harus membuat dia tidak berdaya lebih dahulu. Nah sekarang racunmu perampas ingatan itu kita butuhkan, Thay Hok Lama.”
Thay Hok Lama merasa girang karena dia dapat berjasa. Cepat dia mengeluarkan dua butir pel hitam. “Ingatannya dihilangkan sama sekali ataukah untuk sementara, susiok?”
“Maksudmu bagaimana?” tanya Kim Sim Lama.
“Pinceng mempunyai dua butir pel racun perampas ingatan. Kalau diminumkan sebutir, maka dia akan kehilangan ingatan selama satu bulan saja. Akan tetapi, kalau dua butir sekaligus dimasukkan ke perutnya, racun yang bekerja sedemikian hebatnya sehingga semua syaraf ingatan di kepalanya akan hangus dan dia pun akan kehilangan ingatan untuk selamanya.” Thay Hok Lama tertawa gembira karena bangga dapat memamerkan keahliannya tentang racun.
“Berikan sebutir saja. Mungkin kita memerlukan dia dalam keadaan sadar dan setelah sebulan, kalau perlu, kita bisa meminumkannya sebutir lagi.”
Thay Hok Lama menghampiri tubuh Sie Liong yang masih pingsan, menotok lehernya sehingga dengan mudah dia membukakan mulut pemuda itu dan memaksakan sebutir pel ke dalam kerongkongannya. Dengan arak yang dituangkan dengan paksa, maka pel itu memasuki perut Sie Liong tanpa diketahui pemuda yang masih pingsan itu.
“Ha-ha-ha, setelah siuman dia sudah akan lupa segala-galanya, susiok. Apakah boleh kami lempar dia di dalam kamar tahanan?” tanya Thay Hok Lama.
“Nanti dulu! Walau pun ingatannya hilang, apa bila tenaganya masih demikian kuat dan nalurinya masih membuat dia mampu bersilat, hal itu tetap saja membahayakan.”
“Jangan khawatir, susiok. Pinceng mempunyai racun lain yang akan meracuni darahnya sehingga kalau dia mengerahkan sinkang-nya dia akan roboh sendiri,” kata Thay Hok Lama.
Kembali Thay Hok Lama mengeluarkan obat bubuk yang dituangkan ke dalam perut Sie Liong melalui mulutnya. Setelah itu, barulah Sie Liong dimasukkan ke dalam sebuah kamar tahanan yang berpintu besi.
“Ha-ha-ha, dalam keadaannya seperti itu, dia tidak berbahaya lagi, seperti orang biasa saja. Tidak perlu kita sendiri yang berjaga, cukup dijaga anak buah saja,” kata Thay Hok Lama.
Demikianlah, Sie Liong dilempar ke dalam kamar tahanan dan pemuda itu menggeletak pingsan di atas lantai kamar yang dingin itu. Lima orang Tibet Ngo-houw meninggalkan kamar itu setelah menyuruh enam orang penjaga berjaga di luar pintu besi dengan senjata di tangan.
Tanpa perlu dijaga pun, pemuda yang sudah makan dua macam obat beracun itu tak akan mampu membebaskan diri dari dalam kamar penjara…..
********************
Bayangan itu berkelebat cepat sekali meninggalkan wuwungan rumah penginapan. Bulan sepotong sudah naik tinggi dan sinarnya yang remang-remang menyinari muka orang yang berkelebat turun dari wuwungan genteng rumah penginapan itu.
Dia adalah seorang pemuda tampan sekali, dengan wajahnya yang bulat bersih dan sepasang alis yang hitam lebat. Hidungnya mancung dan matanya mencorong, bibirnya selalu tersenyum memikat dan pakaiannya mewah dan bersih. Dia tersenyum-senyum ketika berhenti di kebun rumah penginapan itu, menoleh ke arah kamarnya yang berada di bagian tengah.
“Selamat tidur, suci yang manis,” bisiknya sambil tersenyum.
Pemuda ini adalah Coa Bong Gan, murid ke dua Koay Tojin yang melakukan perjalanan bersama suci-nya, Yauw Bi Sian ke Lhasa untuk mencari Pendekar Bongkok Sie Liong. Seperti telah diceritakan di bagian depan, mereka memasuki kota Lhasa dan di kota ini mereka berhasil mendapat keterangan tentang Pendekar Bongkok yang kabarnya akan melakukan penyelidikan ke sarang Kim-sim-pai daerah Telaga Yam-so.
Tentu saja Bi Sian segera akan melakukan pengejaran ke sana, akan tetapi Bong Gan mencegahnya, mengingatkan bahwa mereka harus lebih dahulu menyelidiki Kim-sim-pai yang amat ditakuti penduduk dan di mana pula adanya sarang perkumpulan yang akan didatangi Sie Liong itu. Selain alasan ini, juga ada alasan rahasia yang membuat Bong Gan menahan suci-nya agar jangan hari itu juga pergi meninggalkan Lhasa!
Tadi, di rumah makan, dia bertemu dengan seorang wanita yang demikian cantik manis sehingga membuat hatinya jungkir balik! Yang membuat ia tergila-gila dan mengobarkan birahinya adalah ketika wanita yang cantik manis itu di rumah makan tadi jelas memberi tanda kepadanya dengan main mata!
Kerling dan senyum wanita itu demikian memikatnya sehingga dia tidak ragu lagi bahwa dia tidak bertepuk tangan sebelah. Bukan dia saja yang bangkit birahinya, melainkan wanita itu pun jelas tidak menyembunyikan perasaan hatinya yang tertarik kepadanya! Dia harus dapat bertemu dengan wanita itu, malam ini juga!
Sebelum dia dan suci-nya meninggalkan Lhasa, dia harus dapat mendekati wanita itu untuk mempererat hubungan, untuk berkenalan. Akan tetapi, setelah berhasil keluar dari rumah penginapan tanpa diketahui siapa pun, dan suci-nya tentu sudah tidur di kamar sebelah yang sudah gelap dan sunyi, dia menjadi bingung sendiri. Ke mana dia harus mencari wanita itu? Ada sesuatu pada wajah wanita itu yang amat menarik hatinya, yang secara mendadak saja menimbulkan gairah cintanya.
Tiba-tiba hidungnya kembang kempis. Keharuman mawar demikian menyolok masuk ke hidungnya. Apakah kebun ini banyak bunga mawarnya? Akan tetapi ketika dia menoleh ke sekeliling, tidak ada pohon bunga mawar di situ. Akan tetapi keharuman itu demikian keras dan semakin keras lagi.
Tiba-tiba ia merasa ada orang di belakang. Cepat dia memutar tubuhnya dan... benar saja, dalam jarak lima meter ia melihat sesosok tubuh yang ramping. Akan tetapi dalam keremangan itu, jarak itu masih terlampau jauh untuk dapat mengenal mukanya. Hanya terdengar suara kekeh wanita dan orang itu pun meloncat dan berkelebat pergi.
Seorang wanita! Cepat Bong Gan melakukan pengejaran. Dia makin heran dan kagum. Wanita itu sungguh memiliki ilmu berlari cepat yang hebat! Dia mengejar terus.
Wanita itu melalui jalan-jalan yang sunyi. Setelah tiba di sebuah lapangan rumput dekat sungai kecil yang sunyi karena tempat itu merupakan pinggiran kota Lhasa, dengan suara ketawa kecilnya yang masih terdengar, ia berhenti, seolah menanti.
Bong Gan meloncat ke depan wanita itu dan dia terpesona, terbelalak dan sejenak dia bengong. Wanita itu adalah wanita cantik manis yang membuatnya tergila-gila tadi! Betapa manisnya wajah yang bulat telur dengan dagu runcing itu. Kulit muka dan leher itu putih mulus, manisnya bukan main!
“Hi-hik-hik, mengapa engkau mengejarku?” terdengar suaranya yang merdu dan penuh godaan.
“Karena aku tergila-gila kepadamu, nona. Pertemuan antara kita di rumah makan itu sudah membuat aku jatuh cinta kepadamu, nona!” jawab Bong Gan yang masih belum hilang kekaguman dan keheranannya.
Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa gadis cantik jelita yang telah membuatnya tergila-gila itu bukan wanita sembarangan saja, melainkan seorang wanita yang memiliki ilmu lari cepat yang agaknya tidak berada di bawah tingkatnya!
Wanita itu bukan lain adalah Pek Lan. Sebagai seorang yang mata keranjang dan gila pria ganteng, begitu bertemu dengan Bong Gan tentu saja ia sudah tertarik bukan main. Ia merasa betapa wajah pemuda ganteng itu tidak asing baginya, namun ia lupa lagi entah di mana pernah bertemu pemuda yang gagah dan ganteng itu.
Sayang pemuda itu sudah mempunyai pasangan, seorang gadis yang demikian cantik. Akan tetapi justru hal ini bahkan menimbulkan gairahnya, karena ia merasa ada saingan dan ia harus menang! Ia sudah bosan dengan permainan cinta Thai Yang Suhu yang biar pun masih tampan dan gagah, namun sudah tua itu.
Setelah siang tadi dia membayangi pemuda dan gadis itu sampai mengetahui rumah penginapan mereka, maka malam itu dia lalu pergi mengunjungi rumah penginapan itu. Tanpa disangka-sangkanya, ia melihat bayangan melayang turun dari wuwungan rumah penginapan. Tentu saja dia terkejut dan heran, dan lebih besar lagi keheranannya ketika dia mengenal pemuda tampan yang digandrungi itulah bayangan yang amat gesit itu.
Hatinya menjadi semakin bergairah. Kiranya seorang pemuda yang lihai! Dia semakin tertarik, dan dia lalu memancing pemuda itu keluar dari daerah ramai, menuju ke tempat sunyi di pinggir sungai kecil yang mengalir di dekat tembok kota Lhasa.
Kini, mendengar pengakuan pemuda itu yang mengaku bahwa dia telah tergila-gila dan jatuh cinta padanya, Pek Lan pun tertawa.
“Aihh, benarkah engkau jatuh cinta kepadaku? Kalau begitu, aku harus mengujimu dulu apakah engkau cukup gagah untuk dapat berdekatan dengan aku. Sambut seranganku ini!”
Tiba-tiba Pek Lan sudah melakukan penyerangan dengan tangan kosong. Gerakannya cepat dan juga mengandung tenaga kuat sehingga terdengar angin berdesir.
Timbul kegembiraan di hati Bong Gan. Kiranya wanita ini bukan hanya pandai berlari cepat, pikirnya. Dia harus menunjukkan bahwa dia cukup jantan dan gagah untuk dapat ‘berdekatan’ dengan wanita cantik yang menantang ini. Cepat dia pun mengelak untuk menghindarkan serangan orang dan dia pun segera membalas.
Ternyata wanita itu memiliki gerakan yang gesit dan serangan Bong Gan dapat pula ia elakkan dengan cepat, kemudian ia melancarkan serangan bertubi-tubi yang membuat Bong Gan diam-diam menjadi semakin kagum. Apa bila tadinya dia masih tersenyum mengejek dan hendak main-main, kini dia tahu bahwa wanita itu sungguh lihai dan dia sama sekali tidak boleh memandang ringan! Segera dia mainkan ilmu simpanannya, yaitu ilmu inti dari Koay Tojin.
Ilmu silat ini dapat dimainkan dengan tangan kosong, atau dapat pula dengan pedang, namun pada intinya ilmu silat ini adalah ilmu silat tongkat yang disebut Ta-kwi Tung-hoat (Silat Tongkat Pemukul Iblis). Begitu dia memainkan ilmu silat ini, dua tangannya seolah merupakan sepasang tongkat yang ampuh sekali dan mempunyai gerakan yang aneh sehingga Pek Lan beberapa kali mengeluarkan seruan kagum.
Namun, biar pun agak terdesak, Pek Lan masih dapat mengindarkan semua rangkaian serangan lawan. Karena ia memang sudah tertarik kepada pemuda itu, maka ia tidak mau mengeluarkan ilmu pukulan yang sangat dahsyat, yaitu Hek-in Tok-ciang (Tangan Beracun Awan Hitam).
“Tahan dulu...!” serunya sambil melompat ke belakang.
Bong Gan berdiri dan tersenyum, merasa menang karena betapa pun juga, dia tadi sudah berhasil mendesak lawan dengan ilmu silat Pemukul Iblis dan wanita itu yang kini minta berhenti.
Akan tetapi ternyata Pek Lan telah mengeluarkan pedangnya dan melintangkan pedang di depan dada sambil tersenyum. Manis dan gagah sekali.
“Aku sudah melihat ilmu silat tangan kosongmu dan merasa kagum sekali. Akan tetapi aku belum melihat bagaimana kehebatanmu kalau bermain senjata. Nah, kau keluarkan senjatamu dan mari kita main-main sebentar. Sebelum berkenalan, aku ingin mengenal kepandaianmu lebih dulu.”
Ketika masih ikut Koay Tojin, baik Bong Gan mau pun Bi Sian tidak pernah dibolehkan menggunakan senjata tajam, walau pun mereka diajarkan bermain ilmu tongkat Ta-kwi Tung-hoat yang dapat juga dimainkan dengan pedang. Bi Sian sendiri juga tidak pernah menggunakan pedang. Setelah ia mewarisi pedang Pek-lian-kiam dari ayahnya gadis itu baru membawa senjata tajam. Demikian pula Bong Gan, hampir tidak pernah membawa senjata tajam karena kedua kaki tangannya saja sudah cukup ampuh untuk menghadapi lawan yang bersenjata sekali pun.
Sebenarnya dia sama sekali tidak gentar menghadapi gadis yang berpedang itu dengan tangan kosong. Akan tetapi sebagai seorang laki-laki gila perempuan yang telah banyak mengenal wanita, Bong Gan maklum akan watak wanita yang pada umumnya senang disanjung, suka dimanja dan dihargai. Kalau kini dia maju dengan tangan kosong tentu wanita itu akan tersinggung dan merasa dipandang rendah. Dan hal ini sungguh akan merugikan dirinya.
Dia lalu mengambil sebatang ranting pohon sebesar lengannya. Sambil melintangkan tongkat sepanjang hampir dua meter itu dia pun berkata, “Maaf, nona. Aku tidak pernah membawa senjata. Pula, kita adalah kenalan baru yang hendak mempererat hubungan, bagaimana aku dapat tega untuk mengangkat senjata tajam melawanmu? Biarlah aku menggunakan tongkat ini saja.”
Pek Lan mengerutkan alisnya. “Engkau memandang rendah kepadaku?”
Bong Gan menahan senyumnya. Tepat seperti yang sudah diduganya. Wanita ini tidak menyimpang dari watak wanita pada umumnya, tidak suka dipandang rendah dan ingin selalu dihargai. Maka dia pun cepat berkata,
“Aihhh, siapa berani memandang rendah kepadamu, nona? Dari pertandingan tangan kosong tadi saja aku tahu bahwa aku bukanlah tandinganmu! Apa lagi kalau kini engkau berpedang, mana aku berani memandang rendah? Dan terus terang saja, satu-satunya senjata yang paling dapat kuandalkan adalah tongkat dan kalau ada tujuh belas macam senjata pilihan di sini, aku tetap akan memilih sebatang tongkat.”
Lenyap kerut di antara sepasang alis yang hitam panjang melengkung indah itu. “Bagus, kalau begitu, aku ingin melihat ilmu tongkatmu! Sambutlah pedangku ini!” Dan ia pun menyerang dengan gerakan cepat dan dahsyat sekali.
Bong Gan memang benar tidak berani memandang rendah. Dia tahu bahwa lawannya ini hebat dan lihai sekali, maka dia pun cepat menggerakkan tongkatnya dan segera memainkan Ta-kwi Tung-hoat yang merupakan ilmu inti yang diajarkan oleh Koay Tojin kepada dua orang muridnya.
Begitu ada tongkat di tangannya dan setelah memainkan tongkat itu dengan ilmu Ta-kwi Tung-hoat, Bong Gan memang menjadi lihai sekali. Tongkatnya itu bagikan seekor naga bermain di angkasa, berkelebatan dan menyambar-nyambar dengan ganasnya.
Pek Lan telah digembleng oleh Hek-in Kui-bo, seorang datuk sesat yang berilmu tinggi. Namun, tingkat nenek itu masih kalah dibandingkan tingkat Koay Tojin, maka ilmu yang telah diserap oleh Bong Gan juga lebih tinggi tingkatnya dibandingkan dengan ilmu yang dikuasai Pek Lan.
Apa bila Pek Lan menggunakan kecurangan seperti yang diajarkan oleh gurunya, yaitu dengan menggunakan senjata rahasia beracun dan sebagainya, baru mungkin ia dapat mengimbangi kelihaian Bong Gan. Akan tetapi wanita itu sama sekali tidak ingin melukai Bong Gan, apa lagi membunuhnya. Ia sudah menjadi semakin tertarik kepada pemuda tampan dan gagah, juga berkepandaian tinggi. Sungguh seorang kawan dan rekan yang akan amat menyenangkan hati sebagai selingan kebosanan dirinya harus melayani Thai Yang Suhu saja!
Bong Gan juga kagum. Ilmu pedang yang dimainkan gadis itu harus diakuinya sangat hebat sehingga andai kata dia tak menggunakan tongkat, tentu dia akan kalah. Bahkan dengan tongkatnya pun, ditambah dengan ilmu tongkatnya, ia hanya bisa mengimbangi permainan pedang lawannya, mampu melindungi diri dan juga membalas dengan sama dahsyatnya.
Pertandingan itu berjalan seru di bawah sinar bulan sepotong dan diam-diam keduanya merasa saling tertarik dan kagum. Kemudian Bong Gan mengeluarkan seruan keras dan dia lalu menggunakan jurus Menghitung Tulang Iga. Ujung tongkatnya itu bagaikan berubah menjadi banyak dan menusuk-nusuk ke arah dada lawan, seperti hendak mematahkan setiap tulang iga di dada itu!
Pek Lan terkejut bukan main. Ia sudah berusaha memutar pedangnya menangkis, tetapi ujung tongkat itu seperti hendak menyentuh dan menotok kedua payudaranya. Memang ia berhasil melindungi diri dengan sinar pedangnya sehingga ujung tongkat tidak sampai menyentuhnya, namun angin pukulan tongkat itu tetap menyambar-nyambar dan seperti jari tangan yang meraba-raba dadanya!
Semenjak tadi ia memang sudah kagum bukan main dan kini gairah birahinya bangkit, menyala dan berkobar. Sambil mengeluarkan suara melengking yang panjang, Pek Lan menggerakkan pedangnya menangkis tongkat dan mengerahkan tenaga sinkang untuk menempel. Pedang bertemu tongkat dan melekat!
Pek Lan menggunakan tangan kirinya untuk mendorong ke arah dada lawan, namun pada saat itu Bong Gan juga melepaskan tangan kanannya, memegang tongkat hanya dengan tangan kiri dan tangan kanan itu menyambut dorongan tangan kiri Pek Lan.
“Plakkk!”
Dua buah tangan dengan jari-jari terbuka itu bertemu dan saling melekat pula, seperti pedang dan tongkat! Mereka tidak bergerak, hanya saling pandang dalam jarak kurang dari satu meter lebih sehingga mereka dapat melihat wajah masing-masing cukup jelas.
Bong Gan tersenyum. “Nona, engkau sungguh cantik jelita...”
Pek Lan juga tersenyum. “Dan engkau perayu besar!”
“Tidak, nona. Aku bicara sejujurnya. Engkau memang cantik jelita dan manis sekali, dan ilmu kepandaianmu amat hebat, aku tergila-gila padamu, aku... aku tidak ingin berkelahi denganmu, melainkan ingin bercinta denganmu, ingin mencium mulutmu yang manis itu...”
Senyum Pek Lan melebar. Gairah birahinya sudah berkobar membakar seluruh dirinya karena sikap dan ucapan Bong Gan bagaikan minyak bakar disiramkan pada api nafsu birahinya.
Pek Lan menggerakkan kepalanya. Rambutnya yang digelung itu terlepas dan rambut yang panjang itu menyambar ke depan, melingkari leher Bong Gan. Dia menarik dan muka pemuda itu mendekat. Ketika dua mulut itu bertemu dalam ciuman yang penuh nafsu, pedang dan tongkat mereka terjatuh dan dua pasang lengan itu saling dekap. Keduanya terguling ke atas rumput!
Mereka bagaikan dua orang yang mabok, mabok oleh nafsu birahi mereka sendiri. Dua orang ini memang cocok, keduanya mempunyai kelemahan yang sama, yaitu menjadi hamba nafsu birahi. Mereka saling menumpahkan birahi mereka lewat kemesraan yang panas.
Tiba-tiba, masing-masing terbelalak dan melepaskan rangkulan, bangkit duduk dengan napas masih terengah-engah serta keringat membasahi dahi dan leher. Mereka saling tatap seperti orang terkejut.
“Kau... kau... Bong Gan...?”
“Kau... Pek Lan...?”
Tadinya mereka memang hanya merasa pernah saling bertemu, akan tetapi keduanya sudah saling tidak mengenal. Hal ini dapat dimaklumi, karena pada saat mereka dahulu menjadi kekasih masing-masing, usia Pek Lan baru tujuh belas tahun dan usia Bong Gan bahkan baru tiga belas atau empat belas tahun!
Kini, Pek Lan telah menjadi seorang wanita cantik yang matang, sedangkan Bong Gan menjadi seorang pemuda tampan yang sudah dewasa, bukan lagi remaja setengah kanak-kanak seperti dahulu. Pula, dahulu keduanya sama sekali tidak dapat bersilat dan kini keduanya telah menjadi orang yang lihai ilmu silatnya.
Akan tetapi, setelah keduanya bermesraan, barulah mereka saling mengenal dan tentu saja keduanya terkejut bukan main, terheran, juga merasa girang sekali!
“Pek Lan, ahhh kau Pek Lan, kekasihku...”
“Bong Gan, betapa aku rindu kepadamu...!”
Keduanya saling rangkul dan saling cium lagi, seperti dua orang kekasih yang sudah bertahun-tahun berpisah kini saling jumpa kembali. Mereka agaknya sudah lupa bahwa dalam pertemuan terakhir dahulu mereka saling serang dengan penuh kemarahan dan dendam, saling menyalahkan karena keduanya terpaksa harus pergi dari rumah gedung hartawan Coa sesudah tertangkap basah ketika mereka berdua melakukan hubungan gelap, berjinah!
Kembali mereka tenggelam dalam gelombang nafsu birahi. Akan tetapi tiba-tiba Pek Lan menahan dada Bong Gan yang menggelutinya, lalu mendorong pemuda itu sehingga keduanya kembali bangkit duduk.
“Ada apakah, Pek Lan, kekasihku? Aku... sangat rindu kepadamu...” Bong Gan berbisik, terengah-engah.
“Nanti dulu, aku melihat engkau bersama gadis cantik itu. Isterimukah dia?” tanya Pek Lan, bukan karena cemburu hanya ingin tahu saja.
Bong Gan tersenymn lega. Disangkanya mengapa Pek Lan menghentikan pelukan. “Ia bernama Yauw Bi Sian dan ia adalah kakak seperguruanku.”
“Suci-mu? Hemm, kalau begitu ia tentu lihai sekali.”
“Sudahlah, kenapa justru membicarakan orang lain? Engkau mengganggu saja...!” Bong Gan merangkul dan kembali mereka tenggelam ke dalam lautan kemsaraan yang penuh nafsu birahi.
Semalam suntuk, kedua orang ini membiarkan diri mereka dipermainkan gelombang birahi. Mereka lupa diri, lupa susila dan lupa segalanya, karena yang terasa hanyalah gairah nafsu yang tak terkendalikan, nafsu yang menuntut pemuasan namun yang tak mengenal puas. Dan setiap kali mereka mendapat waktu luang untuk istirahat, mereka bercakap-cakap, saling menceritakan pengalaman masing-masing semenjak mereka berpisah.
“Sungguh aneh keadaan kita ini, Pek Lan,” kata Bong Gan sambil membelai rambut kekasihnya dalam rangkulan. “Dahulu, ketika aku masih remaja, kita sudah saling jatuh cinta, kita bermain cinta. Kemudian, ketika kita terusir keluar dari rumah keluarga Coa, kita saling serang hingga engkau diambil murid Hek-in Kui-bo seperti yang kau ceritakan tadi, dan aku menjadi murid Koay Tojin. Kemudian, begitu bertemu, kita saling tertarik lagi tanpa saling mengenal, dan kemudian kita bertanding lagi sebelum akhirnya saling bermain cinta.”
“Engkau memang sudah kucinta sejak dulu, Bong Gan,” kata Pek Lan sambil mencium dagu pemuda itu. “Dan engkau sampai tiba di Lhasa ada keperluan apakah?”
“Aku diminta suci-ku untuk membantunya mencari musuh besarnya.”
“Hemm, siapakah musuh besarnya?”
“Dia bernama Sie Liong dan berjuluk Pendekar Bongkok.”
Pek Lan melepaskan rangkulannya, bahkan bangkit duduk seperti orang terkejut.
“Pendekar Bongkok? Dia...?”
Pada waktu gairah nafsu sudah terpuaskan dan mulai menipis, maka apa yang tadinya nampak begitu indah menjadi berubah. Bong Gan tak lagi merasakan keindahan bentuk tubuh Pek Lan yang bermandikan sinar bulan itu, sudah tak seindah tadi. Apa lagi yang menjadi bahan percakapan kini menarik hatinya.
“Engkau sudah mengenal dia, Pek Lan?”
“Mengenalnya...?” Pek Lan tersenyum getir. Tentu saja dia sudah mengenal Pendekar Bongkok, mengenalnya dengan cara yang paling pahit. “Aku pernah bertemu dengan dia. Dia... hemm, lihai bukan main. Jadi Pendekar Bongkok itu musuh besar suci-mu?”
“Ya, musuh besar akan tetapi juga pamannya, adik ibu kandungnya.”
“Ehhh? Ceritakan kepadaku, kenapa begitu, Bong Gan,” kata Pek Lan dan karena hawa mulai dingin menjelang subuh itu, ia menutupi tubuhnya dengan pakaiannya, meski pun belum ia pakai sebagaimana mestinya.
Bong Gan juga mulai mengenakan kembali pakaiannya. Dia tidak begitu bergairah lagi setelah semua nafsu yang bergelora disalurkan dan terpuaskan. Dia mulai teringat akan hal-hal lain seperti Bi Sian dan perjalanan mereka ke Lhasa.
“Suci adalah keponakan Pendekar Bongkok karena Sie Liong itu adik kandung ibunya...”
“Tapi Pendekar Bongkok itu masih amat muda!”
“Memang selisih usia mereka tidak banyak. Pendekar Bongkok adalah murid Himalaya Sam Lojin dan Pek Sim Siansu, yaitu subeng dari guruku, Koay Tojin. Pada suatu hari, Pendekar Bongkok telah... ehhh, dia membunuh ayah kandung suci-ku. Karena itu, suci mendendam dan hendak mencari Pendekar Bongkok, pamannya itu. Karena tahu akan kelihaian pamannya, maka dia minta bantuanku dan kami berdua kemudian mengikuti jejak Pendekar Bongkok sampai ke Lhasa.”
“Hemm, kalau begitu, kita mempunyai kepentingan yang sama. Aku pun dimusuhi oleh Pendekar Bongkok dan dia kami anggap sebagai musuh. Kalau engkau suka bergabung dengan kami, Bong Gan, tentu keadaan kita akan lebih kuat. Apa lagi, setelah kini saling bertemu, aku tidak ingin berpisah lagi denganmu. Entah bagaimana dengan engkau!”
Bong Gan mendekat dan mencium pipi wanita itu. “Engkau tahu perasaanku kepadamu, Pek Lan, dan engkau tahu tak ada kesenangan lebih besar bagiku melebihi kesenangan bekerja sama denganmu dan selalu berada di dekatmu. Akan tetapi, bagaimana dengan suci? Kalau ia marah kepadaku dan menentang kita, ia akan menjadi penghalang besar dan menambah musuh yang amat berbahaya bagi kita.”
“Kenapa harus menjadi musuh? Bukankah ia memusuhi Pendekar Bongkok? Ajak saja ia bergabung dengan kami. Thai Yang Suhu, guruku dalam ilmu sihir itu tentu akan suka pula bergabung dengan kalian.”
“Maksudmu pendeta yang kulihat lagi bersamamu di rumah makan itu?” Baru sekarang Bong Gan teringat akan pendeta itu. “Jadi dia itu gurumu yang baru?”
“Dia sahabat subo Hek-in Kui-bo dan sekarang sedang mengajarkan ilmu sihir padaku, menjadi guruku pula.”
“Dan kalian hendak pergi ke manakah? Mengapa sampai pula di Lhasa?”
“Kami hendak pergi menghadap Kim Sim Lama, ketua Kim-sim-pai...”
“Ahhh! Sie Liong Si Pendekar Bongkok juga ke sana!”
“Akan tetapi dia sebagai lawan Kim-sim-pai, sedangkan kami datang sebagai sababat. Guruku, Thai Yang Suhu, adalah seorang sahabat Kim Sim Lama dan kami datang untuk menggabungkan diri dengan Kim-sim-pai yang mempunyai cita-cita besar.”
“Cita-cita bagaimana?” Bong Gan mulai tertarik.
“Menggulingkan Dalai Lama dan menjadi penguasa seluruh Tibet!”
“Wah, pemberontakan? Apa hubungannya itu dengan kita? Aku tidak mau kalau harus menjadi pemberontak di negeri asing!”
“Bong Gan, engkau bodoh. Kau kira aku pun senang membantu pemberontakan orang Tibet? Kita bukan ikut memberontak, melainkan membantu Kim-sim-pai untuk mencapai cita-citanya. Kalau mereka berhasil, kita tinggal pilih. Kedudukan tinggi dan kekuasaan di Tibet, atau kita dapat pulang ke timur membawa kekayaan yang amat besar. Di sini tempat harta yang amat banyak, emas permata, dan benda-benda aneh yang tak ternilai harganya.”
Bong Gan mengerutkan alisnya. “Jadi engkau dan Thai Yang Suhu hendak bersekutu dengan Kim-sim-pai, lalu membantu pemberontakan mereka untuk mencari kedudukan tinggi atau harta benda?”
“Tentu saja, untuk apa lagi kalau bukan mencari keuntungan? Apa artinya hidup ini jika tidak mencari keuntungan dan kesenangan?”
Bong Gan mengangguk-angguk. “Hemm, sebenarnya aku tertarik sekali, Pek Lan. Akan tetapi... bagaimana dengan suci Yauw Bi Sian?”
“Kau ajak saja ia bersama kami.”
“Uh, engkau tidak tahu bagaimana wataknya! Ia keras hati dan sudah pasti ia tidak akan suka kalau mendengar kita membantu Kim-sim-pai untuk suatu pemberontakan di Tibet. Ia... ia... hemm, ia condong untuk menentang segala yang dianggapnya jahat.”
“Hi-hik-hik, kau maksudkan ia seorang pandekar wanita?”
Bong Gan mengangguk. “Begitulah! Guru kami, Koay Tojin, menentang segala bentuk kejahatan dan...”
“Dan kau sendiri?”
Bong Gan menyeringai. “Aku lebih suka mencari kesenangan dan keuntungan seperti engkau, Pek Lan.”
“Kalau begitu, tinggalkan saja suci-mu yang pura-pura alim itu. Engkau ikut dengan kami bargabung dengan Kim-sim-pai dan persetan dengan gadis itu!”
“Ahh, tidak bisa begitu, Pek Lan. Meninggalkan ia begitu saja? Ahhh, aku... aku...”
“Hemmm, aku tahu! Engkau jatuh cinta kepada suci-mu yang cantik itu, bukan? Dasar mata keranjang kau!”
“Tidak banyak bedanya denganmu, Pek Lan.” Bong Gan membalas.
“Hemm, kalau begitu. Bujuk dan rayu dia agar suka bergabung dengan kami. Kalau dia begitu lihai, kami pasti lebih senang lagi dan Kim Sim Lama tentu akan suka menerima bantuannya.”
“Itulah sukarnya, Pek Lan. Terus terang saja, pernah aku menyatakan cintaku padanya dan ia... ia agaknya tidak menolak, akan tetapi dengan tegas mengatakan bahwa aku dilarang bicara tentang cinta sebelum kami bertemu Pendekar Bongkok dan berhasil membalas kematian ayahnya. Kalau saja dia suka menerima cintaku sekarang juga... kalau saja ia dapat menjadi milikku sekarang, tentu akan mudah mengajaknya bekerja sama denganmu.”
Pek Lan terkekeh genit dan merangkul leher kekasihnya. “Huh, kalau bukan aku yang mendengar ucapanmu itu, apakah orang tidak akan menjadi gila oleh cemburu? Engkau laki-laki mata keranjang! Baiklah, jangan khawatir, guruku Thai Yang Suhu tentu akan dapat membantumu menundukkan suci-mu itu. Akan tetapi hanya dengan satu syarat, yaitu setelah engkau berhasil menundukkan suci-mu, engkau harus mengajaknya untuk bergabung dengan kami!”
Tentu saja Bong Gan merasa girang bukan main. “Baik, aku berjanji! Ia pun tentu akan setuju karena bukankah dengan bekerja sama akan lebih mudah untuk menghadapi Pendekar Bongkok?”
“Dan setiap saat aku menginginkan, engkau harus melayaniku dengan taat!”
Bong Gan tertawa. “Tentu saja, dengan segala senang hati!”
“Nah, kalau begitu, sekarang aku menginginkan...”
Keduanya tertawa dan kembali mereka menyelam ke dalam lautan kemesraan yang panas dan memabokkan.....
********************
Selanjutnya baca
KISAH PENDEKAR BONGKOK : JILID-13