Pendekar Remaja Jilid 14
Sie Cin Hai, Lin Lin dan Kwee An yang melakukan perjalanan cepat serta mereka sudah berpengalaman di daerah ini di waktu mereka masih muda, dapat lebih dulu tiba di kaki Gunung Alkatasan. Beberapa kali mereka mengobrak-abrik pasukan-pasukan Mongol yang berhasil menerobos ke selatan dari jurusan lain karena menjauhi Bukit Alkata-san yang dijaga oleh sepasang pendekar remaja yang mereka takuti itu.
Oleh karena melakukan perjalanan sambil membasmi pasukan-pasukan musuh ini, maka mereka agak terlambat sampai di benteng di mana Hong Beng dan Goat Lan mengatur penjagaan pasukan mereka yang kecil jumlahnya.
Para penjaga benteng dari jauh sudah melihat tiga bayangan orang yang mendatangi dengan kecepatan luar biasa sekali. Ketika melihat tiga orang gagah itu berdiri di depan pintu gerbang, seorang penjaga membentak,
“Siapa diluar?!”
“Kami orang tua dari Sie Hong Beng dan Kwee Goat Lan. Apakah mereka ada di dalam?” seru Kwee An dengan suaranya yang nyaring.
Semua orang di dalam benteng itu tidak ada yang mengenal Pendekar Bodoh, isterinya, dan Kwee Taihiap, maka mendengar disebutnya orang-orang tua Hong Beng dan Goat Lan, mereka cepat membuka pintu dan tiga orang pendekar ternama itu diterima dengan sinar mata kagum dan juga girang. Siapa orangnya yang tak menjadi girang kedatangan pendekar-pendekar yang boleh diandalkan dalam daerah dan keadaan yang berbahaya sekali itu?
“Sie-enghiong bersama Kwee-lihiap baru dua hari ini pergi meninggalkan benteng untuk menyelidiki kedudukan musuh di gunung utara. Sie-enghiong malahan ada meninggalkan sepucuk surat, maka kebetulan sekali Sam-wi datang hari ini. Kami sendiri sudah merasa amat kuatir.” Kepala pengawal menyerahkan surat yang ditinggalkan oleh Hong Beng.
Cin Hai segera menerima surat itu dan membacanya,
Ayah, Ibu, Kwee-pekhu atau Lili dan siapa saja yang kebetulan menerima surat ini!
Kami, Sie Hong Beng dan Kwee Goat Lan, hari ini didatangi oleh Song Kam Seng yang menggambarkan bahwa Kwee Cin sudah diculik oleh Ban Sai Cinjin dan kini ditahan di dalam benteng orang-orang Mongol di bukit utara. Oleh karena itu kami segera pergi ke sana untuk menolong Adik Cin dan mencoba merampas kembali kitab obat yang juga dicuri oleh kawan-kawan Ban Sai Cinjin.
Dari sini menuju ke bukit itu melalui belakang benteng, menurut perhitungan Song Kam Seng, dapat dicapai dalam waktu satu setengah hari, maka jika dalam waktu tiga atau empat hari kami tidak kembali ke benteng, berarti kami telah tertahan atau terbinasa oleh musuh. Sekian harap menjadikan maklum.
Terima kasih,
Sie Hong Beng.
Tidak saja Cin Hai yang terkejut, tetapi Lin Lin dan Kwee An yang mendengar Cin Hai membacakan surat itu, menjadi amat kaget. Kwee An sendiri menjadi pucat wajahnya.
“Bagaimana bisa terjadi hal semacam ini?” tanyanya dengan mata mulai menjadi merah karena kemarahan mulai bernyala di dalam hatinya.
“Kita harus berlaku tenang dan sabar,” kata Cin Hai yang di dalam menghadapi segala macam urusan bersikap tenang seperti suhu-nya. “Menurut laporan kepala pengawal tadi mereka baru dua hari pergi. Apa bila sekarang kita menyusul ke sana, belum tentu kita dapat bertemu dengan mereka sehingga bahkan dapat menyulitkan keadaan. Kita harus percaya penuh kepada Hong Beng dan Goat Lan. Agaknya tak mungkin mereka berdua akan dapat ditawan musuh. Biarlah kita menanti sampai empat hari, jadi dua hari lagi, kalau mereka tidak pulang juga, barulah kita mengambil keputusan apa yang harus kita lakukan.”
Kwee An mengangguk menyatakan setuju. Sebetulnya dia merasa amat gelisah karena mendengar bahwa puteranya telah diculik orang, akan tetapi harus dia akui bahwa kalau sekarang ia nekat menyusul Goat Lan, amat dikuatirkan ia bahkan akan mempersulit dan mengacaukan usaha Hong Beng dan Goat Lan yang sedang berusaha menolong Kwee Cin. Lagi pula, ia tidak sangsi lagi akan kelihaian puterinya dan juga kelihaian Hong Beng yang seperti ucapan Pendekar Bodoh tadi, agaknya tidak mudah ditawan oleh musuh.
Alangkah girang hati semua orang, termasuk juga para prajurit di dalam benteng itu, ketika pada keesokan harinya, dari jurusan barat datanglah serombongan orang-orang Haimi yang dipimpin oleh Lili dan Ma Hoa diikuti pula oleh Sin-kai Lo Sian!
Ma Hoa cepat menceritakan sejelasnya pengalamannya sehingga puteranya, Kwee Cin, sampai diculik orang, berikut kitab Thian-te Ban-yo Pit-kip, sebagaimana telah dituturkan dengan jelas pada bagian depan. Bukan main marahnya Cin Hai, Lin Lin dan Kwee An mendengar penuturan ini.
“Betapa pun juga,” kata Kwee An, “kita harus menanti sampai besok pagi. Kalau Goat Lan dan Hong Beng belum juga kembali barulah kita beramai akan menyerbu ke sana dan awaslah Ban Sai Cinjin kalau dia berani mengganggu Cin-ji (Anak Cin)!”
Sesudah membaca surat yang ditinggalkan oleh Hong Beng, Ma Hoa juga sependapat dengan suaminya, yaitu akan menanti sehari lagi. Akan tetapi tidak demikian dengan Lili. Diam-diam hati gadis ini merasa gemas dan benci sekali kepada Ban Sai Cinjin. Kakek pesolek itu sangat pengecut dan licin, siapa tahu kalau-kalau Hong Beng dan Goat Lan terjebak ke dalam perangkapnya?
Malam hari itu, Lili lalu bertemu dengan Nurhacu, orang Haimi yang tua dan banyak pengalaman di daerah utara ini. Dari Nurhacu dia mendapatkan banyak petunjuk tentang keadaan bukit di utara itu.
Benteng itu kini menjadi ramai dan penjagaan diperkuat dengan adanya pasukan Haimi yang juga gagah. Dan pada malam hari itu pula, Lili keluar dengan diam-diam melalui penjagaan yang dilakukan oleh orang-orang Haimi, dan di bawah cahaya bulan purnama yang muram, gadis ini berlari cepat sekali menuju ke utara! Dia hendak menyusul Hong Beng dan Goat Lan, dan tentu saja kepergiannya ini tidak diberitahukan kepada ayah bundanya, karena dia tahu bahwa mereka pasti tidak akan mau meluluskannya.
Ada pun Lilani segera dapat merampas hati Lin Lin yang merasa suka dan amat kasihan melihat nasib gadis ini. Kwee An dan Cin Hai juga segera menganggap gadis ini seperti keponakan sendiri sehingga Lilani merasa amat terharu.
Gadis yang lincah dan rajin ini lalu cepat-cepat melayani pendekar-pendekar gagah itu sehingga dua pasang suami isteri itu semakin menyayanginya. Benar-benar Lilani dapat menyesuaikan diri dengan keadaan di sekelilingnya, dan inilah yang membuat seseorang selalu disuka.
Tentu saja pada keesokan harinya, semua orang menjadi terkejut dan geger saat melihat betapa Lili telah tidak ada pula di dalam benteng. Cin Hai dan Lin Lin sudah mencari ke mana-mana, akan tetapi tidak nampak bayangan Lili. Nurhacu yang mendengar betapa semua orang mencari Lili, lalu menghadap Cin Hai dan menceritakan bahwa malam tadi Lili mencari keterangan sejelasnya tentang keadaan bukit di utara itu.
“Tidak salah lagi!” Cin Hai membanting kakinya. “anak bengal itu dengan lancang tentu sudah menyusul kakaknya ke sana!”
Pada saat semua orang tengah membicarakan urusan perginya Lili ini, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dan tak lama kemudian seorang pengawal dengan wajah berseri memberi laporan akan datangnya sebuah barisan yang besar sekali, yang dipimpin sendiri oleh Kam-ciangkun dari kota raja!
Semua orang menyambut dan benar saja bahwa yang memimpin barisan adalah Kam Liong. Dengan penuh hormat, Kam Liong memberi penghormatan kepada Cin Hai suami isteri dan Kwee An serta Ma Hoa, yang dianggapnya pendekar-pendekar yang tingkatnya lebih tinggi hingga semua orang secara diam-diam menaruh perhatian dan suka kepada panglima muda ini.
Ketika Kam Liong mendengar bahwa Hong Beng dan Goat Lan sudah empat hari tidak kembali dari penyelidikan mereka di markas musuh dan bahwa tadi malam Lili juga telah mengejar ke sana, pemuda ini lalu mengerutkan keningnya sambil berkata, “Berbahaya, berbahaya! Bukit itu penuh dengan tentara Mongol, bahkan Malangi Khan sendiri berada di tempat itu! Ahh, terlalu berbahaya! Lebih baik kita segera menyerang dan menyerbu dengan mendadak, barang kali saja masih dapat menolong putera Kwee-lo-enghiong dan kedua Saudara Hong Beng dan Goat Lan!”
“Jangan, Kam-ciangkun. Itu terlalu berbahaya. Kita harus mencari daya upaya lain untuk menolong mereka itu, dan pula belum tentu ketiga orang anak kami akan mudah saja mengalami bencana di tempat itu!” kata Cin Hai.
Pada saat itu pula terdengar suara kaki kuda dan ternyata seorang Mongol yang berkuda dengan cepat sekali, datang membawa sesampul surat yang katanya harus disampaikan kepada Pendekar Bodoh!
Melihat orang Mongol itu datang membawa tanda utusan Raja Mongol, para prajurit tidak berani mengganggunya dan orang itu lalu dihadapkan kepada Cin Hai. Orang Mongol itu bertubuh tinggi kurus, bermata tajam dan ganas, sedangkan bibirnya menyeringai seperti sikap seorang yang tidak takut mati.
“Aku datang sebagai utusan Malangi Khan yang maha besar!” katanya setelah ia dibawa ke dalam benteng.
“Mana surat yang kau bawa?” Cin Hai bertanya.
“Harus kuserahkan sendiri kepada Pendekar Bodoh,” jawab utusan itu.
“Akulah orang yang dimaksudkan itu,” jawab Cin Hai.
Orang Mongol itu memandang seperti tak percaya. Orang ini tampaknya demikian lemah, pikirnya, mana mungkin dia adalah Pendekar Bodoh yang demikian terkenal dan bahkan ditakuti oleh Malangi Khan sendiri?
Cin Hai dapat menduga pikiran orang. Sambil tersenyum ia berkata, “Kalau kau hendak berlama-lama, biarlah aku mengambilnya sendiri!”
Tangan kirinya bergerak perlahan ke depan, mengarah ke dada orang Mongol itu. Orang Mongol itu cepat menangkis sambil mengerahkan tenaganya, akan tetapi ketika lengan tangannya beradu dengan tangan Cin Hai, ia kesakitan dan sedetik kemudian seruannya terhenti karena ia telah terkena totokan jari tangan kiri Cin Hai. Orang Mongol itu berdiri seperti patung dengan sikap masih menangkis sehingga nampak lucu sekali.
Cin Hai kemudian menggeledah saku orang itu dan mendapatkan sesampul surat yang ditujukan kepada Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya. Ketika ia membuka sampulnya dan membaca, ternyata bahwa surat itu adalah surat yang ditulis oleh Ban Sai Cinjin dan yang ditujukan kepadanya dan semua kawan-kawannya, bahwa kalau Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya ikut maju membantu bala tentara kerajaan, maka Kwee Cin akan dibunuh dan kepalanya akan dibawa ke medan perang.
Cin Hai dan Kwee An menjadi merah sekali mukanya. Cin Hai kemudian membebaskan totokannya dan setelah orang Mongol itu dapat bergerak lagi, ia membentak, “Kau bilang diutus oleh Malangi Khan, mengapa yang kau bawa ini adalah surat dari Ban Sai Cinjin?”
“Apakah bedanya Malangi Khan dan Ban Sai Cinjin?” Orang Mongol itu menjawab. “Ban Sai Cinjin telah menjadi tangan kanan Malangi Khan, maka setiap perintah Ban Sai Cinjin tentu sudah disetujui oleh Malangi Khan!”
“Baik, kau kembalilah kemudian sampaikan kepada Ban Sai Cinjin bahwa kami tak akan melanggar larangannya dan jangan dia sekali-kali berani mengganggu Kwee Cin karena kalau dia mengganggu anak itu, biar pun ia akan lari sampal ke neraka, pedangku pasti akan mendapatkan lehernya!”
Utusan itu lalu dilepaskan dan dengan kudanya yang luar biasa, utusan Mongol ini lalu membalap hingga sebentar saja dia hanya nampak sebagai titik hitam dengan debu yang mengebul di belakangnya.
“Nah, Kam-ciangkun, kau lihat dan mendengar sendiri. Kalau kita menyerbu begitu saja, pasti akan terbukti ancaman Ban Sai Cinjin yang berhati kejam dan curang.”
“Kalau demikian, Sie Taihiap. Biarlah siauwte memimpin sendiri barisan kerajaan untuk menggempur gunung itu. Ada pun Cu-wi sekalian lebih baik mengambil jalan belakang untuk mencari saudara-saudara yang sampai sekarang belum kembali.”
“Ini pun kurang sempurna, Kam-ciangkun,” kata Kwee An. “Memang kita semua sudah berpikir bulat untuk bersama-sama menghalau pengacau negara dan memusuhi barisan Mongol yang membikin kekacauan. Pihak Mongol selain banyak jumlahnya, juga di sana mereka dibantu oleh orang-orang pandai semacam Ban Sai Cinjin dan entah siapa lagi. Kalau kau maju dan sampai mengalami kekalahan, bukankah itu melemahkan semangat para prajurit? Lebih baik kau biarkan kami mencari anakku lebih dahulu dan kalau sudah berhasil dan selamat barulah kita bersama membikin pembalasan dan menghancurkan barisan Malangi Khan di bukit itu.”
“Berilah waktu lima hari kepada kami,” Cin Hai menyambung, “sesudah lewat lima hari boleh kau memimpin barisanmu menggempur musuh.”
Tentu saja Kam Liong tidak berani membantah dan menyatakan baik. Sikap pemuda ini amat menyenangkan hati dua pasang suami isteri pendekar itu, karena berbeda dengan sikap panglima-panglima lain yang biasanya amat sombong dan angkuh. Sikap panglima muda ini benar-benar menarik hati sehingga diam-diam Lin Lin menyampaikan kepada Ma Hoa dan Kwee An tentang lamaran yang diajukan oleh paman pemuda ini terhadap Lili.
“Memang dia orang baik, agaknya cukup pantas untuk menjadi mantumu,” kata Kwee An kepada adiknya ini, “tetapi betapa pun juga, sekarang belum waktunya bagi kita untuk membicarakan soal ini. Lagi pula dalam hal perjodohan harus ada persesuaian antara anak, ibu dan ayah. Jika ketiganya cocok barulah perjodohan itu dianggap baik dan akan berbahagia. Kita tunggu saja bagaimana pendapat Lili sendiri tentang pinangan itu.”
Mereka berempat lalu berunding mengenai urusan mereka untuk menolong Kwee Cin dan juga mencari Hong Beng, Goat Lan dan Lili.
“Lebih baik kita bagi-bagi tugas,” kata Kwee An, “biarlah aku dan Cin Hai pergi ke sarang mereka. Ada pun kau dan Lin Lin tinggallah saja di sini. Siapa tahu kalau-kalau utusan Mongol tadi hanya merupakan pancingan supaya kita semua pergi mengejar ke sana dan meninggalkan benteng ini. Jika kita semua pergi dan mereka tiba-tiba datang menyerang, kasihan sekali kalau sampai Kam-ciangkun mengalami kekalahan hebat! Kurasa aku dan Cin Hai berdua sudah cukup untuk menyelidiki keadaan mereka di gunung itu.”
“Apa yang dikatakan oleh Kwee An memang benar dan aku merasa setuju sekali,” kata Cin Hai yang walau pun menjadi adik ipar Kwee An namun selalu menyebut namanya begitu saja karena sudah menjadi kebiasaan semenjak mereka belum menikah.
Biar pun merasa kecewa, namun Lin Lin dan Ma Hoa tidak membantah, karena memang tepat apa yang diusulkan oleh Kwee An itu. Pula tugas menjaga benteng itu tidak kalah pentingnya, kalau tidak dapat disebut lebih berbahaya.
Berangkatlah Cin Hai dan Kwee An pada hari itu juga menuju ke bukit utara itu. Seperti juga Lili, sebelum berangkat mereka meminta keterangan mengenai kedudukan bukit itu kepada Nurhacu, karena biar pun Cin Hai dan Kwee An pernah mengadakan perantauan di daerah utara pada waktu mereka muda, namun mereka belum pernah naik ke bukit itu.
Nurhacu yang tadinya dipaksa membantu orang-orang Mongol, tentu saja sudah pernah masuk ke dalam markas besar Malangi Khan. Sebab itu dengan jelas ia menggambarkan kedudukan markas musuh yang terjaga kuat itu.
Setelah kedua orang pendekar itu meninggalkan kaki Bukit Alkata-san di sebelah utara dan sedang berlari cepat menuju ke bukit yang menjulang tinggi di sebelah utara itu, dari sebuah tikungan jalan tiba-tiba saja keluarlah seorang pemuda tampan yang berlari cepat dengan gerakan gesit sekali. Pemuda itu lalu berhenti menghadang di tengah jalan ketika dia melihat dua orang laki-laki setengah tua yang berlari cepat itu.
Cin Hai dan Kwee An merasa curiga dan mereka pun cepat menahan kaki mereka dan berhenti di depan pemuda itu. Untuk beberapa lama mereka saling pandang, kemudian pemuda itu dengan sikap sopan lalu menjura dan bertanya,
“Mohon tanya, siapakah Ji-wi Lo-enghiong yang gagah ini? Dalam keadaan seperti saat ini, melihat dua orang gagah menuju ke utara, sungguh amat mengherankan hati.”
“Anak muda, kau pandai sekali membolak-balik kenyataan. Kami yang menuju ke utara belum dapat dikatakan aneh, sebaliknya kau seorang pemuda yang gagah akan tetapi dalam waktu seperti ini berkeliaran di daerah musuh betul-betul menimbulkan kecurigaan besar!”
Merahlah wajah pemuda itu. “Maaf, kau berkata benar, Lo-enghiong. Memang aku Song Kam Seng sudah salah memilih jalan. Akan tetapi aku sedang berusaha mencari jalan yang benar. Kuulangi lagi, siapakah gerangan Ji-wi yang terhormat?”
Mendengar disebutnya nama ini, berubah wajah Cin Hai dan juga Kwee An. Kedua orang pendekar ini telah membaca surat Hong Beng dan tahu bahwa Hong Beng dan Goat Lan pergi meninggalkan benteng setelah dipancing oleh pemuda ini! Dan pula, Cin Hai sudah mendengar dari Lili bahwa pemuda ini adalah putera Song Kun dan sudah mengancam hendak membalas dendam kepadanya!
“Hemm, jadi kaukah yang bernama Song Kam Seng putera Song Kun? Ketahuilah, aku yang disebut Pendekar Bodoh dan ini adalah saudara tuaku bernama Kwee An! Hayo lekas kau ceritakan di mana adanya anak-anak kami, Hong Beng, Goat Lan dan Kwee Cin?”
Mendengar bahwa yang kini berhadapan dengannya adalah musuh besarnya, pembunuh ayahnya, tiba-tiba Kam Seng menjadi makin marah. Ia lalu memandang kepada Cin Hai dengan mata tajam, lalu mencabut pedangnya dan berkata,
“Bagus, jadi kaukah yang bernama Sie Cin Hai, orang yang telah membunuh ayahku dan membuat ibu dan aku hidup menderita selama bertahun-tahun? Manusia kejam, kau telah berhutang nyawa, maka sudah selayaknya sekarang aku menagihnya!” Sambil berkata demikian, Kam Seng lalu mengayun pedangnya menusuk dada Cin Hai.
Pendekar Bodoh hanya tersenyum saja dan sama sekali tidak menangkis atau mengelak. Akan tetapi dari samping mendadak berkelebat bayangan pedang dan dengan kerasnya pedang Kam Seng terpukul oleh pedang yang digerakkan oleh Kwee An hingga pedang itu terpental kembali dan hampir terlepas dari pegangan Kam Seng!
“Song Kam Seng, jangan kau berlaku sembrono! Ayahmu Song Kun bukan mati dibunuh oleh Pendekar Bodoh, akan tetapi dia mati karena kejahatannya sendiri. Seorang gagah membela kebenaran tanpa memandang kepada hubungan keluarga! Jika kiranya ayahmu itu masih hidup dan menjadi seorang yang amat jahat, apakah kau juga akan membantu dia dan ikut-ikutan menjadi jahat?”
Dengan pandangan mata liar Kam Seng membalikkan tubuh dan menghadapi Kwee An. “Kau bilang ayahku jahat? Apa maksudmu?”
“Memang hal yang paling sulit di dunia ini adalah mengakui atau melihat kesalahan pihak sendiri. Ayahmu dahulu mengancam jiwa Lin Lin yang sudah menjadi tunangan Cin Hai. Adikku itu terkena racun orang jahat, kemudian obat penawarnya dirampas oleh ayahmu, dan ayahmu mengancam hendak melenyapkan obat penawar itu kalau adikku tidak mau menjadi isterinya!”
Dengan singkat akan tetapi jelas, Kwee An lalu menceritakan kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh Song Kun pada waktu mudanya dan bahwa kematian Song Kun terjadi di dalam pertempuran melawan Cin Hai yang membela diri, jadi sekali-kali bukan Pendekar Bodoh yang sengaja membunuhnya.
Mendengar penuturan ini, pucatlah wajah Kam Seng. Alangkah bedanya dengan cerita yang telah didengarnya dari Ban Sai Cinjin! Mana yang benar? Akan tetapi suara hatinya membisikkan bahwa dia harus lebih percaya kepada dua orang pendekar besar ini dari pada kepada Ban Sai Cinjin yang berhati khianat.
“Biar pun andai kata mendiang ayahku benar jahat, sebagai puteranya aku harus berani menghadapi kenyataan dan berani pula membalaskan sakit hatinya. Kini aku menantang kepada Pendekar Bodoh untuk mengadu kepandaian, lepas dari soal siapa salah siapa benar antara dia dan ayahku. Aku hanya hendak memenuhi kewajiban sebagai seorang anak yang harus berbakti kepada ayahnya. Apa bila aku kalah, sudahlah, mungkin ayah yang memang bersalah dalam pertempuran dahulu.” Sambil berkata demikian, kembali pemuda itu menghadapi Cin Hai dengan sikap menantang.
“Bocah lancang!” Kwee An membentak marah. “Kau mengandalkan apakah maka berani menantang Pendekar Bodoh? Mudah saja menyatakan tentang sakit hati dan dendam. Ketahuilah bahwa aku pun menaruh dendam kepadamu bila pandanganku sepicik engkau! Kau telah memancing dan mencelakakan puteriku Goat Lan dan bahkan mungkin kau sudah membantu susiok-mu Ban Sai Cinjin untuk menculik anakku Cin-ji! Nah, bukankah aku pun boleh berdendam kepadamu? Coba kau hadapi pedangku dulu kalau memang kau memiliki kepandaian!”
Akan tetapi, sambil tersenyum Cin Hai berkata, “Biarkanlah, Kwee An, biarkan anak ini, memperlihatkan tanduknya! Sikapnya mengingatkan kepadaku akan ayahnya, Song Kun. Demikian berani dan keras hati. Ehh, Kam Seng, aku sudah mendengar namamu disebut oleh puteriku, Lili. Kau sudah menyeberang ke pihak jahat dan menjadi murid dari Wi Kong Siansu? Kau salah, anak muda. Kalau saja kau tetap menjadi murid Nyo Tiang Le dan kemudian kau datang kepadaku, mengingat hubungan ayahmu dengan aku, kiranya aku takkan menolak untuk memberi bimbingan kepadamu. Sekarang kau bahkan hendak menantangku bertempur? Hemm, cobalah maju dan jangan ragu-ragu, seranglah sesuka hatimu.”
Mendengar ucapan yang tenang ini dan melihat sikap yang acuh tak acuh dari Pendekar Bodoh musuh besarnya, Kam Seng menjadi ragu-ragu. Tadi ia sudah merasai kelihaian tangkisan pedang Kwee An. Baru Kwee An saja sudah demikian hebat tenaganya, apa lagi Cin Hai yang kabarnya memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari pada kepandaian Kwee An!
Akan tetapi Kam Seng tidak takut. Hatinya telah bulat untuk membalas dendam ayahnya sehingga ia mengorbankan perasaannya dan berpindah ke pihak Ban Sai Cinjin. Bukan karena ia lebih cocok dengan rombongan ini, tidak, karena sebenarnya ia benci melihat kejahatan kakek pesolek itu. Ia rela berguru kepada Wi Kong Siansu hanya karena dia ingin tercapai maksudnya membalas dendam kepada musuh besarnya, yaitu Pendekar Bodoh.
Kalau ia teringat betapa ia dan ibunya terlunta-lunta setelah ayahnya tewas, sakit hatinya terhadap Pendekar Bodoh makin besar. Dan sekarang setelah ia bertemu dengan musuh besarnya, meski pun dia ingat musuhnya itu ayah dari Lili, gadis satu-satunya di dunia ini yang dicintainya, meski pun ia telah mendengar keterangan dari Kwee An betapa dahulu sebenarnya ayahnya yang salah dan jahat, namun bagaimana ia dapat membatalkan niat hatinya hendak membalas dendam?
Sekarang melihat sikap Cin Hai, amat tidak enak hati Kam Seng. Dia sebenarnya segan melawan pendekar yang bersikap tenang dan gagah ini, akan tetapi dia malu terhadap bayangannya sendiri kalau dia tidak melanjutkan niatnya yang telah terpendam di dalam hati sampai bertahun-tahun lamanya. Maka dia paksakan hatinya dan berseru, “Ayah di alam baka! Lihat bahwa anak telah melakukan usaha sekuat tenaga!”
Sambil berkata demikian dia lalu maju menyerang dengan hebat sekali kepada Pendekar Bodoh. Akan tetapi, dengan cara yang amat membingungkan mata Kam Seng, tahu-tahu pendekar besar itu telah dapat mengelak dari tusukan pedangnya. Ia menjadi penasaran dan melanjutkan serangannya sambil mengeluarkan ilmu pedang yang ia pelajari dengan susah payah dari Wi Kong Siansu.
Kalau dibandingkan dengan dahulu ketika dia menghadapi Lili, ilmu kepandaian pemuda ini sudah maju amat pesat dan jauh. Tidak saja ilmu pedangnya yang sudah menjadi kuat dan cepat, juga tenaga lweekang-nya sudah bertambah dan ginkang-nya pun amat baik mendekati kesempurnaan.
Diam-diam dalam hatinya Cin Hai memuji, akan tetapi dengan amat mudahnya Pendekar Bodoh mengelak dari setiap serangan. Pendekar Bodoh tidak mencabut pedangnya, dan hanya mempergunakan ujung lengan bajunya untuk kadang-kadang menyampok pedang kalau ia tidak keburu mengelak.
Dari sampokan ujung lengan baju ini saja Kam Seng sudah merasa terkejut bukan main. Gurunya sendiri, Wi Kong Siansu, juga ahli dalam hal bersilat dengan ujung lengan baju, akan tetapi kiranya tidak sehebat ini.
Kam Seng semakin mempercepat gerakan pedangnya sehingga tubuhnya lenyap dalam sinar pedangnya yang bergulung-gulung. Pemuda ini mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya, mengambil keputusan untuk bertempur sampai nyawanya melayang! Dia merasa seakan-akan ayahnya juga menyaksikan pertempuran ini dari alam baka, maka dia tidak mau berlaku mengalah dan mendesak Pendekar Bodoh dengan nekat.
Pendekar Bodoh maklum bahwa biar pun ia telah mengenal ilmu pedang pemuda ini dan dapat menjaga diri, akan tetai dia tidak dapat menaksir sampai di mana kehebatan ilmu pedang ini apa bila dimainkan oleh Wi Kong Siansu. Ia telah mendapat tantangan dari Wi Kong Siansu, karena itu dia merasa kebetulan sekali kini dapat menghadapi ilmu pedang pendeta itu yang dimainkan oleh seorang muridnya yang pandai.
Menurut taksirannya, ilmu pedang yang dimainkan oleh Kam Seng ini paling banyak baru tujuh puluh bagian tingkatnya. Maka dia lalu mencabut sulingnya yang selalu terselip di pinggangnya. Pendekar Bodoh boleh ketinggalan pakaian atau uang, akan tetapi dia tak pernah ketinggalan suling dan pedangnya! Suling ini merupakan senjatanya yang sangat istimewa, bahkan lebih lihai dari pada pedangnya Liong-cu-kiam!
Setelah mencabut sulingnya, makin serulah pertempuran itu. Sekarang Pendekar Bodoh menggunakan sulingnya untuk mengimbangi ilmu pedang Kam Seng. Sebenarnya kalau dia mau, dalam dua puluh jurus saja pasti dia akan dapat merobohkan Kam Seng. Akan tetapi Pendekar Bodoh memang ingin sekali mengukur sampai di mana kelihaian ilmu pedang ini yang kelak akan dihadapinya pula.
Tubuh Kam Seng sudah penuh keringat. Cin Hai berhasil memancingnya hingga pemuda itu menghabiskan seluruh jurus dari ilmu pedang yang dipelajarinya dari Wi Kong Siansu! Memang inilah maksudnya, dan setelah ilmu pedang itu habis dimainkan, Cin Hai segera mengerahkan tenaga pada sulingnya sehingga pada saat pedang dan suling menempel, pedang itu tak dapat ditarik kembali!
Betapa pun hebatnya Kam Seng mengeluarkan tenaga untuk membetot pedangnya, tetap saja pedang itu tidak dapat terlepas dari suling yang menempelnya. Akhirnya Cin Hai menggerakkan tangannya membetot dan sambil berseru keras Kam Seng pun terpaksa melepaskan gagang pedangnya karena tidak kuat menghadapi tenaga tarikan luar biasa ini.
“Kam Seng, kau mempunyai bakat yang cukup baik. Sayang sekali kau mempelajari ilmu silat yang keliru. Kepandaianmu apa bila dibandingkan dengan kepandaian ayahmu, ahh, kau ketinggalan amat jauh! Kalau saja kau tidak dibikin buta oleh dendam dan sakit hati yang bodoh dan sesat, aku akan suka sekali memberi bimbingan kepadamu, mengingat hubunganku dengan mendiang ayahmu.”
Kam Seng menjadi malu sekali. “Aku sudah kalah...” katanya dengan muka ditundukkan dan air matanya hampir menitik turun, wajahnya merah sekali. “Kalau Ji-wi menganggap aku tersesat dan jahat, bunuhlah, apa gunanya hidup dalam kesesatan dan kehinaan?”
Cin Hai merasa terharu melihat keadaan putera dari Song Kun ini, maka dia kemudian melangkah maju mengembalikan pedang yang dirampasnya tadi sambil menepuk-nepuk pundaknya. “Anak muda, aku tidak dapat menyalahkan engkau! Aku sendiri pada waktu muda selalu menjadi korban dari nafsu sendiri, melakukan perbuatan tanpa dipikir dulu dan menganggap diri sendiri selalu benar! Ketahuilah, bahwa kebaktian terhadap orang tua bukan asal berbakti saja. Membela nama orang tua bukan asal kau dapat membasmi musuh-musuh orang tuamu saja. Kau harus dapat mempergunakan akal sehat dan otak yang jernih. Apa bila orang tuamu melakukan sesuatu kesalahan, sebagaimana sudah menjadi lajimnya setiap manusia yang kadang-kadang tersesat dari jalan kebenaran, jalan satu-satunya bagimu untuk berbakti adalah dengan menebus kesalahan orang tuamu itu. Biar pun ayahmu telah dianggap jahat oleh dunia kang-ouw dan oleh orang-orang gagah, akan tetapi kalau kau sebagai putera tunggalnya dapat melakukan kebaikan, nama buruk ayahmu itu akan terhapus oleh perbuatan-perbuatanmu yang mulia. Sebaliknya, jika kau dibutakan oleh dendam tanpa melihat sebab-sebab kematian ayahmu, kau berarti akan menambah kotor nama ayahmu sehingga kau merupakan seorang anak yang durhaka!”
Kam Seng memandang dengan wajah pucat dan kedua matanya terbelalak. Tak pernah disangkanya bahwa ia akan menerima wejangan seperti ini dari mulut musuh besarnya! Ia makin ragu-ragu, tak tahu apa yang harus diucapkan mau pun dilakukannya.
“Ketahuilah bahwa kita semua ini berada di bawah pengaruh hukum alam, yaitu sebab dan akibat. Segala peristiwa yang terjadi merupakan akibat dan juga menjadi sebab dari peristiwa lain yang akan terjadi. Kematian ayahmu di dalam tanganku juga merupakan akibat yang kini menyebabkan kau mencari dan hendak membalas padaku! Maka aku tidak marah kepadamu, karena di dalam segala petistiwa yang kujumpai, aku menengok dan mencari pada sebabnya. Tak mungkin kau ingin membunuhku tanpa sebab, seperti juga tidak mungkin tanganku membunuh ayahmu jika tidak ada sebab-sebab yang kuat! Carilah sebab-sebabnya dan kau tidak akan kaget melihat akibatnya karena kalau semua sebabnya sudah kau ketahui, akibat-akibatnya akan kau anggap sewajarnya!”
Tunduklah hati Kam Seng mendengar kata-kata yang mengandung filsafat tinggi akan tetapi mudah ditangkap ini. Dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Cin Hai dan tak dapat menahan isak tangisnya!
“Susiok (Paman guru), ampunkanlah teecu dan ampunkan pula semua dosa mendiang ayahku...,” katanya dengan hati terharu.
“Tidak ada salah atau benar dalam hal ini, Kam Seng, dan tidak perlu maaf memaafkan. Di dalam setiap perbuatan itu terkandung kesalahan dan kebenaran, tergantung siapa yang melihatnya. Aku sudah cukup girang melihat kau dapat berpikir dengan otak sehat.” Cin Hai mengangkat pemuda itu berdiri lagi.
“Bagus, semua kegelapan sudah menjadi terang sekarang,” kata Kwee An. “Akan tetapi, Kam Seng, kau masih harus menerangkan tentang keadaan puteraku dan juga tentang keadaan Goat Lan dan Hong Beng. Kedatanganmu memberitahukan kepada mereka itu bukankah hanya satu pancingan belaka?”
“Tidak, Kwee Taihiap, sama sekali tidak! Biar pun harus kuakui bahwa aku telah salah memilih kawan dan telah terjerumus ke dalam lembah kejahatan, namun aku tetap tidak menjadi seorang pengkhianat negara dan bangsa! Aku merasa jijik melihat Susiok Ban Sai Cinjin, dan merasa sayang bahwa aku tak dapat menegurnya. Sesungguhnya, ketika aku melihat bahwa puteramu yang masih kecil itu datang bersama Ban Sai Cinjin dan mendengar bahwa dia hendak menggunakan puteramu itu untuk mencegah orang-orang gagah membantu tentara kerajaan, aku menjadi gelisah sekali. Hendak menolong dan membawa pergi puteramu, aku tidak berani. Maka aku lalu berlaku nekat dan diam-diam mengunjungi benteng Alkata-san di mana aku bertemu dengan Nona Goat Lan dan Saudara Hong Beng. Aku menjelaskan maksud kedatanganku dan bahwa aku memberi gambaran tentang jalan belakang yang akan membawa mereka ke tempat kediaman Ban Sai Cinjin dan yang lain-lain. Sudah kukatakan bahwa tempat itu berbahaya sekali, akan tetapi ternyata Nona Goat Lan dan Saudara Hong Beng amat nekat dan datang juga ke sana...”
“Lalu bagaimana? Apa yang terjadi dengan mereka?” tanya Kwee An dengan rasa ingin tahu sekali.
“Kini mereka juga telah tertawan oleh Ban Sai Cinjin!” kata Kam Seng. “Oleh karena itu siauwte sengaja hendak pergi ke benteng Ji-wi untuk memberitahukan hal ini dan tak terduga sama sekali telah bertemu dengan Ji-wi di sini.”
“Tak mungkin!” kata Kwee An.
“Sukar dipercaya bahwa Hong Beng bersama Goat Lan akan dapat tertawan sedemikian mudahnya,” kata Cin Hai.
Kam Seng tersenyum. “Harus diakui bahwa kepandaian Nona Goat Lan dan Saudara Hong Beng sangat lihai dan memang agaknya akan sukar sekali untuk mengalahkan dan menawan mereka. Akan tetapi dalam hal kecerdikan, mereka itu masih kalah jauh oleh orang-orang seperti Ban Sai Cinjin! Mereka berdua bukan tertawan karena kekerasan, akan tetapi mereka terpaksa mengalah dan menurut setelah Ban Sai Cinjin mengancam hendak membunuh Kwee Cin kalau mereka melawan terus!”
“Pengecut hina dina yang curang!” Kwee An berseru marah. “Akan kuhancurkan kepala manusia itu!”
“Kwee Taihiap, bagaimana jika Ban Sai Cinjin mengancam padamu untuk membinasakan puteramu sebelum kau turun tangan?” tanya pemuda itu.
Kwee An tak dapat menjawab, hanya mengertak gigi dengan marah dan gemas sekali.
“Kam Seng, kau yang mengetahui keadaan mereka, tidak maukah kau menolong kami? Tidak maukah kau melawan kejahatan dan membela kebenaran untuk menebus nama buruk mendiang ayahmu?” kata Cin Hai.
“Susiok, kedatangan teecu seperti telah kuceritakan tadi, sesungguhnya untuk memberi tahu kepada benteng tentara kerajaan. Sebetulnya tak usah dikuatirkan karena Kwee Cin telah diminta oleh Malangi Khan dan dijadikan kawan bermain putera Malangi Khan yang bernama Kamangis dan yang usianya sebaya. Untuk sementara ini, meski pun Ban Sai Cinjin sendiri tidak boleh berlaku sesuka hatinya untuk membunuh Kwee Cin yang disuka oleh Kamangis putera Malangi Khan! Akan tetapi, untuk merampas kembali anak itu pun bukan merupakan hal yang mudah.”
Kemudian dengan jelas Kam Seng segera menggambarkan tempat kedudukan Ban Sai Cinjin dan juga istana Malangi Khan di dalam benteng itu yang berada di tengah-tengah. Sesudah menuturkan semua ini, Kam Seng segera minta diri untuk kembali ke benteng Mongol itu. Ia berjanji bahwa ia akan memasang telinga dan mata serta akan berusaha menolong Goat Lan dan Hong Beng.
“Betapa pun juga, kita harus berusaha menolong Cin-ji,” kata Kwee An kepada Cin Hai setelah Kam Seng pergi.
Cin Hai mengerutkan kening. “Sekarang lebih ruwet lagi. Kalau kita berkeras memasuki istana Malangi Khan dan andai kata berhasil merampas dan menyelamatkan Cin-ji, lalu bagaimana dengan nasib Goat Lan dan Hong Beng? Dan di mana pula adanya Lili? Ah, kita harus mencari akal dan berlaku hati-hati.”
Kedua orang pendekar besar itu duduk di bawah pohon dan bertukar pikiran. Kemudian mereka mengambil keputusan untuk berpisah.
Cin Hai hendak menuju ke tengah benteng, masuk ke dalam istana Malangi Khan, ada pun Kwee An akan mencari Goat Lan dan Hong Beng di belakang benteng, di tempat tinggal Ban Sai Cinjin dan kaki tangannya. Kwee An menyetujui hal ini oleh karena ia pun mengakui bahwa Cin Hai mempunyai kepandaian yang lebih tinggi maka patut menerima tugas yang lebih berbabaya dan berat.....
Dengan ilmu lari cepat mereka, keduanya lalu melanjutkan perjalanan, mengitari bukit itu untuk masuk melalui belakang benteng. Dan tepat seperti yang dituturkan oleh Nurhachu orang Haimi itu, juga seperti yang digambarkan oleh Kam Seng, jalan itu sunyi saja, akan tetapi penuh hutan yang amat liar dan menyeramkan.
Ketika mereka melintas dengan cepat melalui sebuah hutan, dari jauh nampak bayangan orang yang berjalan cepat. Cin Hai dan Kwee An merasa curiga, cepat mereka melompat ke arah bayangan itu, akan tetapi ketika mereka tiba di situ, bayangan itu berkelebat dan lenyap dari pandangan mata mereka! Cin Hai dan Kwee An saling pandang heran.
“Apakah ada setan di tengah hari?” tanya Kwee An heran. Siapakah orangnya yang dapat menghilang dari depan mata mereka sedemikian anehnya?
Juga Cin Hai merasa heran sekali. Kalau bayangan tadi benar-benar seorang manusia, maka kepandaian ginkang-nya agaknya tidak berada di sebelah bawah kepandaiannya sendiri! Gerakan seperti itu menurut ingatannya hanya dimiliki oleh suhu-nya, yakni Bu Pun Su, atau orang-orang seperti Swi Kiat Sansu, Pok Pok Sianjin, Hok Peng Taisu dan tokoh-tokoh tinggi lain yang kesemuanya telah meninggal dunial
“Mungkin kita salah lihat,” katanya karena bukan menjadi watak Pendekar Bodoh untuk mengganggu orang yang tak mau memperlihatkan diri, “kita mempunyai tugas yang lebih penting.”
Mereka melanjutkan perjalanan dan tak lama kemudian tibalah mereka di bawah tembok benteng sebelah belakang dari benteng tentara Mongol itu. Mereka menggunakan ginkang yang hebat dan melompat ke atas tembok. Dari sini mereka berpisah.
Cin Hai terus berlari-larian di atas tembok yang tingginya kurang lebih empat tombak dan lebarnya hanya kurang dari satu kaki itu. Tembok ini memanjang sampai beberapa belas li dan Cin Hai terus berlari mencari-cari bangungan istana kepala bangsa Mongol.
Beberapa orang penjaga yang mulai banyak terlihat setelah ia berlari kurang lebih dua li, sempat melihat bayangannya, akan tetapi tak seorang pun di antara mereka yang dapat mengejar. Bahkan sebagian besar mengira bahwa yang melayang itu bukanlah seorang manusia, melainkan seekor burung besar. Gerakan Cin Hai sangat cepat sehingga kalau tidak kebetulan, jarang ada penjaga yang dapat melihatnya!
Sementara itu, Kwee An setelah berada di atas tembok dan melihat betapa keadaan di bawah sunyi saja, lalu melayang turun. Memang benar bahwa di situ tidak terjaga sama sekali dan di bawah dinding ini hanyalah merupakan belukar yang tidak terurus. Jauh di depan sana tampak tembok-tembok bangunan, yaitu bagian paling belakang dari benteng Mongol itu.
Kwee An berlaku hati-hati sekali. Waktu itu udara mulai gelap karena matahari sudah bersembunyi di barat. Dia pikir bahwa kalau dia berlaku sembrono dan menyerbu pada malam hari itu sehingga terlihat oleh musuh, maka keselamatan Hong Beng dan Goat Lan akan terancam.
Dari Kam Seng dia mendapat keterangan bahwa Goat Lan beserta Hong Beng ditahan di dalam rumah kecil yang berada di tengah-tengah kampung dalam benteng itu, tidak jauh dari rumah yang ditinggali oleh Ban Sai Cinjin. Goat Lan ditahan di dalam kamar sebelah kiri dan Hong Beng di kamar ke dua sebelah kanan.
Di depan dan belakang, atau pendeknya rumah itu dikelilingi oleh penjaga-penjaga yang sebenarnya bukan menjaga untuk menghalangi dua orang muda ini pergi, hanya untuk melihat saja, kalau mereka pergi akan segera dilaporkan dan Kwee Cin akan dibunuh!
Dengan perlahan Kwee An bergerak maju di balik belukar dan terus mengintai ke arah kampung itu. Dia menanti sampai gelap benar barulah dia menggunakan kepandaiannya masuk ke dalam kampung itu dan melompat naik ke atas wuwungan rumah. Ia melompat dari genteng ke wuwungan lain hingga akhirnya dapat mendekati rumah kecil di mana puterinya dan Hong Beng ditahan.
Benar saja, di seputar rumah itu dipasang kursi dan meja di mana duduk para penjaga yang nampaknya enak-enak saja, sebab mereka tidak ditugaskan untuk mencegah kedua orang muda itu melarikan diri. Apa bila sampai dua orang muda itu memberontak dan melarikan diri, apakah yang dapat mereka lakukan terhadap dua orang gagah itu?
Kwee An memandang ke arah jendela dan dalam cahaya yang remang-remang melalui tirai jendela dia melihat ada bayangan seorang gadis yang berpinggang langsing. Hatinya berdebar. Itulah Goat Lan, tak salah lagi!
Ingin dia melompat turun dan mengamuk, membunuh para penjaga yang tidak berarti itu bahkan kalau perlu mencari dan membunuh Ban Sai Cinjin. Akan tetapi ia tidak berani melakukan ini sebelum Kwee Cin dapat tertolong oleh Cin Hai.
Lagi pula, sudah jelas bahwa Goat Lan dan Hong Beng tidak mengalami penderitaan dan hanya ditahan karena dua orang muda itu takut kalau-kalau Kwee Cin dibunuh, maka perlu apa menguatirkan keadaan dua orang muda ini? Lebih baik aku menyusul Cin Hai dan lebih dahulu menyelamatkan Kwee Cin pikirnya.
Akan tetapi, sebelum dia berangkat meninggalkan tempat itu untuk menuju ke selatan di mana terdapat istana Malangi Khan yang terpisah cukup jauh, ia mendengar suara orang memaki-maki dan nampaklah Ban Sai Cinjin yang diikuti oleh lima orang lain berjalan ke arah rumah kecil itu.
Di bawah sinar lampu, Kwee An melihat dengan heran betapa kakek pesolek ini nampak matang biru mukanya, bahkan pada pipinya sebelah kanan nampak ada tanda goresan-goresan dan sepasang matanya serta pipinya kelihatan biru seakan-akan mukanya telah berkali-kali ditampar orang! Kakek ini tak hentinya menyumpah-nyumpah, “Akan kubunuh tujuh turunan... kubunuh tujuh turunan...!”
Kemudian dia memegang pinggangnya sambil membungkuk-bungkuk. “Aduh… aduhh… jahanam benar Pendekar Bodoh… aduhhh…!”
Setelah tiba di depan rumah itu, para penjaga segera berdiri dan memberi hormat pada Ban Sai Cinjin. Kwee An melihat bahwa Ban Sai Cinjin berjalan dengan sukar, dibantu Coa-ong Lojin dan di belakangnya nampak beberapa orang lain. Mereka ini sebetulnya adalah pengurus-pengurus dari Coa-tung Kai-pang atau pembantu-pembantu Coa-ong Lojin yang dahulu membantu Ban Sai Cinjin melakukan penculikan di Tiang-an dan selain menculik Kwee Cin juga telah mencuri kitab Thian-te Ban-yo Pit-kip.
“Apakah dua orang muda itu masih berada di kamar masing-masing?” tanyanya kepada para penjaga.
“Masih ada, mereka tak pernah pergi keluar dari kamar!” jawab para penjaga.
Mendadak terdengar suara Hong Beng dari kamarnya, “Ban Sai Cinjin, kau orang yang berhati curang dan pengecut! Kalau kau tidak mau disebut seorang rendah yang tidak pantas hidup di dunia kang-ouw, kau lepaskan Kwee Cin dan mari kita bertempur seribu jurus sampai seorang di antara kita mampus!”
“Tutup mulut! Kau... kau anak Pendekar Bodoh si bangsat kurang ajar! Awas kalau ada kesempatan, akan kubunuh tujuh turunan. Aku tak hendak bicara dengan kau! Kau mau pergi dari sini, pergilah! Aku hanya akan membunuh Kwee Cin dan Nona Goat Lan. Pergi dari sini, aku tidak butuh orang macam kau!”
Terdengar Hong Beng tertawa bergelak, mentertawakan Ban Sai Cinjin yang masih terus menyumpah-nyumpah tiada hentinya, kemudian kakek pesolek ini memasuki kamar Goat Lan diikuti oleh Coa-ong Lojin.
Dengan hati berdebar-debar Kwee An memasang telinga mendengarkan percakapan itu. Dengan sangat pandainya dia dapat mempergunakan kesempatan ketika Ban Sai Cinjin ribut mulut dengan Hong Beng, untuk melompat ke atas genteng dan kini berada di atas kamar Goat Lan!
“Nona Kwee,” dia mendengar suara parau dari Ban Sai Cinjin, “apakah kau masih belum mau insyaf? Alangkah keras kepala kau! Kau sudah ditipu oleh kaisar lalim, sudah dihina, akan tetapi masih saja kau bersetia kepadanya! Kau telah menyelamatkan nyawa Putera Mahkota, akan tetapi apa yang kau dapat? Hukuman buang! Kau bahkan dihina, hendak dijadikan selir, kemudian kau dibuang ke tempat yang seperti neraka di utara ini. Apakah kau tidak mempunyai perasaan keangkuhan sama sekali? Sekarang adikmu berada di tanganku, dan aku tidak minta banyak. Asal kau suka membantu kami, membantu hingga Kaisar lalim itu terguling jatuh dari kedudukannya, tidak saja adikmu akan selamat, malah banyak kemungkinan adikmu akan menjadi seorang pangeran!”
“Ban Sai Cinjin, percuma saja kau mengoceh di sini! Aku tetap tidak mau mendengar ocehanmu dan aku akan menuruti permintaanmu tidak keluar dari tempat ini. Akan tetapi sebaliknya, kau pun jangan sekali-kali berani mengganggu adikku, sebab jika kau sampai berani mengganggunya, aku akan mempertaruhkan jiwaku untuk memukul sampai remuk batok kepalamu!”
Ban Sai Cinjin menyumpah-nyumpah lagi dan tersaruk-saruk keluar dari kamar itu. Masih terdengar keluhannya ketika ia menuju ke bangunan di mana ia tinggal. Malam itu masih terdengar terus keluhannya ketika ia mengobati luka-luka di tubuhnya yang membuat ia merasa sakit seluruh tubuhnya, terutama sekali hatinya yang terasa amat sakit.
Malam hari itu sial sekali baginya. Siang tadi dia menghadap Malangi Khan dan hendak minta Kwee Cin, akan tetapi Malangi Khan tidak mengijinkan, karena Kwee Cin ternyata telah menjadi sahabat yang karib sekali dengan puteranya, Pangeran Kamangis. Dengan hati mendongkol Ban Sai Cinjin kembali ke kampung di belakang istana, akan tetapi di tengah jalan dia bertemu dengan Pendekar Bodoh!
“Bangsat tua bangka, kau sungguh curang dan tak tahu malu!” Pendekar Bodoh memaki. “Orang semacam kau sepatutnya dibunuh, akan tetapi karena kita ada perjanjian untuk bertemu di puncak Thian-san, kali ini kau takkan kubunuh, hanya akan kuberi hajaran!”
Setelah berkata demikian, tanpa banyak cakap lagi Cin Hai menyerangnya dengan hebat! Coa-ong Lojin bersama kawan-kawannya segera membantu, akan tetapi begitu Cin Hai mencabut Liong-cu-kiam, sekali gerakkan saja senjata mereka terbabat putus! Terpaksa mereka mundur lagi dan Ban Sai Cinjin yang melawan mati-matian lalu dibuat permainan oleh Cin Hai!
Mukanya ditampar berkali-kali dan pukulan serta tendangan menghujani tubuhnya. Cin Hai sengaja tidak memukul atau menendang dengan sepenuh tenaga, akan tetapi cukup untuk membuat muka kakek itu menjadi matang biru dan tubuhnya menjadi sakit semua. Sesudah Ban Sai Cinjin menjadi setengah pingsan, barulah Cin Hai meninggalkannya!
Tentu saja si Huncwe Maut merasa terhina sekali sehingga dia menyumpah-nyumpah. Kebenciannya terhadap Pendekar Bodoh semakin meluap, akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Sementara itu, Pendekar Bodoh sudah menghilang di malam gelap, entah ke mana perginya.
Setelah Ban Sai Cinjin pergi, Goat Lan menengok ke atas dan berkata sambil tersenyum, “Ayah, turunlah sekarang!”
Kwee An girang sekali melihat ketajaman mata dan telinga puterinya. Ia cepat membuka genteng dan melompat turun ke dalam kamar anaknya. Goat Lan lalu memegang tangan ayahnya dan berkata, “Ayah, bagaimana kau bisa datang ke tempat ini?”
Gadis ini mengeluarkan ucapan dengan keras sehingga Kwee An cepat memberi tanda dengan tangannya. Akan tetapi Goat Lan tertawa.
“Ayah, kita bukan ditawan. Aku berada di sini atas kehendakku sendiri, mengapa mesti takut? Biarlah Ban Sai Cinjin monyet tua itu mengetahui bahwa kau berada di sini, biar dia makin panas dan jengkel. Dia bisa berbuat apa terhadap kita?”
Mendengar ucapan ini, Kwee An menarik napas panjang. “Asal saja dia tak mengganggu Cin-ji, aku pun tidak takut apa-apa.”
Sementara itu, Hong Beng yang mendengar suara Goat Lan, dengan girang lalu datang dan memberi hormat kepada Kwee An. Mereka bertiga berbincang dengan asyik sekali sehingga melupakan waktu. Ketika Hong Beng mendengar bahwa ayahnya juga masuk ke dalam benteng ini dan bahkan mendatangi istana Malangi Khan, dan juga mendengar bahwa sebetulnya Kwee Cin sudah berada di istana dan tidak di dalam tangan Ban Sai Cinjin, Hong Beng lalu bangkit berdiri.
“Ah, kalau kita tahu akan hal itu, tidak usah lama-lama kita berada di tempat ini,” katanya kepada Goat Lan yang mengangguk menyatakan persetujuannya. “Kalau begitu, biarlah aku pergi sekarang juga menyusul ayah. Siapa tahu kalau dia membutuhkan bantuan!” Kwee An dan Goat Lan tidak mencegahnya, maka Hong Beng lalu melompat keluar dan pergi dari rumah itu dengan cepat!
Ketika Ban Sai Cinjin mendapat laporan bahwa Hong Beng pergi dari kamar tahanan dan Goat Lan menerima seorang tamu lelaki yang disebut sebagai ayahnya, kakek ini merasa kaget dan juga marah sekali. Cepat ia mengumpulkan orang-orangnya dan mengerahkan semua prajurit Mongol yang berada di situ untuk mengurung rumah tahanan itu!
Kemudian, pada esok harinya setelah ia merasa bahwa tubuhnya tidak begitu sakit-sakit lagi, bersama Coa-ong Lojin dia menghampiri rumah itu dan sekali dia mendorong, daun pintu pun terbuka. Ia menjadi marah sekali ketika melihat bahwa Goat Lan telah berdiri di situ dengan seorang laki-laki yang bukan lain adalah Kwee An, orang yang dulu pernah dijumpainya dan yang sudah memaksa Coa-ong Lojin mengobati Lie Siong dahulu itu. Kwee An melihat Goat Lan hendak bergerak menyerang Ban Sai Cinjin, maka cepat dia memegang pundak anaknya.
“Sabar dulu, Lan-ji,” katanya, kemudian sambil tersenyum mengejek dia menatap kepada Ban Sai Cinjin. “Selamat pagi, Ban Sai Cinjin, dan selamat bertemu kembali. Agaknya kau masih belum puas menerima gebukan dari Pendekar Bodoh dan sekarang masih hendak minta tambah dari aku!”
Ban Sai Cinjin menjadi marah sekali dan kemarahannya ini membuat dadanya yang kena tendang oleh Cin Hai terasa sakit lagi. Ia berdiri tidak tetap dan hanya setelah Coa-ong Lojin memegang punggungnya, dia dapat berdiri teguh. Huncwe-nya terpegang dengan tangan kiri, kosong tak berasap, kemudian dengan tangan kanannya dia menudingkan telunjuknya ke arah Kwee An.
“Orang she Kwee, jangan kau banyak berlagak di sini! Sudah habis kesabaranku dan sekarang juga aku hendak menyuruh orang membunuh puteramu yang telah kutawan!”
Akan tetapi, Goat Lan dan Kwee An hanya tertawa, bahkan Kwee An tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, Ban Sai Cinjin, memang sudah menjadi kebiasaan orang macammu ini selalu menggunakan gertakan, ancaman, penipuan dan lain-lain perbuatan curang dan licin. Apa kau kira sekarang kau dapat menggertak lagi? Aku tahu bahwa puteraku setelah kau culik secara curang dan pengecut, sekarang telah berada bersama putera Malangi Khan dan kau tidak dapat mengganggunya! Sekarang, aku tidak akan berlaku murah seperti Pendekar Bodoh! Untuk perbuatanmu menculik puteraku saja kau sudah layak kubunuh. Akan tetapi, aku masih hendak memberi kelonggaran kepadamu. Kembalikanlah Thian-te Ban-yo Pit-kip, baru aku akan mengampuni nyawa anjingmu!”
“Manusia sombong! Bukalah lebar-lebar matamu dan lihat, rumah ini telah terkurung oleh seratus lebih tentara, dan kau masih sanggup menyombong? Ha, untuk apa kitab itu bila sebentar lagi kau dan anakmu akan mampus di bawah hujan senjata?”
“Setan Tua, mampuslah kau!” Goat Lan yang sudah tak dapat menahan sabarnya lagi lalu menyerang dengan tangan kosong!
Walau pun serangan ini dilakukan dengan tangan kosong, namun Ban Sai Cinjin maklum akan kelihaian gadis ini. Cepat ia melompat keluar dari pintu, diikuti oleh Coa-ong Lojin. Goat Lan mencabut bambu runcingnya dan mengejar ke luar, disusul oleh ayahnya yang sudah mencabut pedangnya.
Akan tetapi, benar saja, di luar mereka disambut oleh keroyokan hebat. Tidak saja Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin yang mengeroyok, bahkan di situ terdapat Can Po Gan dan Can Po Tin, dua orang jago dari Shantung yang menjadi sahabat Wi Kong Siansu dan yang pernah bertemu dengan Lili dan Lo Sian di rumah makan. Juga di sana terdapat pengurus-pengurus tingkat satu dari Coa-tung Kai-pang, para perwira Mongol yang pandai bermain golok hingga jumlahnya semua menjadi empat belas orang!
Kagetlah Goat Lan melihat ini, karena sesungguhnya ia tidak pernah menduga bahwa di tempat itu terdapat orang-orang demikian banyaknya, yaitu orang-orang pandai. Melihat gerakan-gerakan senjata mereka, ia maklum bahwa orang-orang ini tak boleh dipandang ringan dan keadaannya bersama ayahnya bukannya tidak berbahaya. Apa lagi ketika ia menengok, ternyata tempat itu sudah terkurung oleh barisan yang sangat tebal, barisan orang Mongol yang bersenjata lengkap, jumlahnya tidak kurang dari seratus orang!
Ban Sai Cinjin biar pun sudah dihajar sampai babak bundas oleh Cin Hai, akan tetapi dia tidak menderita luka dalam. Kini setelah menghadapi pertempuran besar dan karena dia memang marah sekali, seketika itu juga tubuhnya terasa segar kembali. Dia menyerang dengan huncwe-nya, dan permainan huncwe-nya ini tetap saja yang paling berbahaya di antara semua pengeroyok.
Ban Sai Cinjin menyerang Kwee An dan dibantu juga oleh Coa-ong Lojin yang masih merasa sakit hati terhadap Kwee An. Raja pengemis ini mainkan sebatang tongkat ular yang ujungnya berbisa sehingga sekali saja ujung tongkatnya mengenai kulit musuhnya, pasti lawannya akan roboh dan tewas! Selain Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin, masih ada lagi lima orang perwira Mongol yang cukup kosen yang mengeroyok Kwee An!
Ada pun Goat Lan yang mainkan sepasang bambu runcing, menghadapi keroyokan dua orang jago Shantung itu. Sebagaimana diketahui, dua orang ini mempunyai kepandaian yang cukup tinggi, barang kali tidak di bawah tingkat kepandaian Coa-ong Lojin. Apa lagi Po Tin yang bertubuh kecil itu ternyata memiliki gerakan yang sangat lincah dan tenaga lweekang-nya hebat, berbeda dengan Po Gan yang memiliki tenaga gwakang seperti seekor gajah! Selain dua orang jago Shantung yang berhasil dibeli oleh Ban Sai Cinjin ini, Goat Lan masih dikeroyok pula oleh lima orang pengurus kelas satu dari Coa-ong Kai-pang yang mengeroyok dengan tongkat ular mereka yang berbahaya.
Akan tetapi Goat Lan dan Kwee An tidak menjadi gentar, bahkan dua orang ini merasa gembira. Wajah mereka berseri-seri dan mereka seakan-akan hendak berlomba untuk merobohkan lawan! Ayah dan anak ini merasa lega karena berita tentang Kwee Cin yang kini sudah tidak berada dalam cengkeraman Ban Sai Cinjin lagi.
“Ayah, mari kita berlomba-lomba menghabiskan tujuh ekor tikus ini!” Goat Lan berseru sambil tersenyum.
“Baik, mari kita coba!” kata Kwee An dan berbareng dengan ucapan itu, terdengar jerit kesakitan karena seorang perwira Mongol telah kena ditendang oleh tendangan berantai dari Kwee An sehingga tubuh lawan ini terlempar empat tombak lebih!
“Satu...!” seru Kwee An.
Mendengar ini, Goat Lan merasa penasaran sekali. Dengan bambu runcing pada tangan kirinya dia menyerang Po Gan dengan cepat tak terduga. Ketika Po Gan dengan kaget melempar tubuh ke samping, Goat Lan lalu menyambarkan bambu runcingnya ke arah dada seorang pengurus Coa-tung Kai-pang yang berdiri di belakang Po Gan. Orang itu menjerit lalu roboh tak dapat bangun lagi.
“Satu...!” Goat Lan juga berseru keras.
Kwee An tersenyum lebar dan tidak lama kemudian, hampir berbareng ayah dan anak ini berseru, “Dua...!” dan terlemparlah dua orang pengeroyok!
Seruan ini disusul dan disusul lagi sehingga empat orang lawan masing-masing sudah dirobohkan! Yang mengeroyok Kwee An kini tinggal Ban Sai Cinjin, Coa-ong Lojin dan seorang perwira Mongol, sedangkan pengeroyok Goat Lan tinggal Can Po Gan, Can Po Tin, dan seorang pengemis Coa-tung Kai-pang yang sudah empas-empis napasnya!
Melihat hal ini, bukan main marahnya Ban Sai Cinjin. Ia berseru keras memberi aba-aba, maka puluhan prajurit segera menyerbu, mengurung rapat-rapat sambil menyerang dan bersorak-sorak!
Tentu saja Goat Lan dan Kwee An menjadi terkejut bukan main. Mereka tak usah takut menghadapi keroyokan para prajurit yang hanya merupakan orang-orang kasar, memiliki kepandaian biasa saja, akan tetapi karena jumlah mereka banyak sekali, maka untuk melepaskan diri dari kepungan mereka harus membunuh banyak sekali orang! Hal inilah yang tidak mereka kehendaki.
Jika saja pertempuran ini adalah sebuah peperangan, tentulah mereka akan mengamuk dan tidak akan segan-segan lagi untuk menjatuhkan pukulan maut. Akan tetapi sekarang pertempuran ini hanya merupakan perselisihan mereka dan Ban Sai Cinjin, maka kurang baik kalau harus membunuh banyak orang sungguh pun mereka itu adalah orang-orang Mongol yang menjadi musuh negara.
Pada saat Goat Lan dan Kwee An dikeroyok oleh prajurit-prajurit Mongol bagaikan ribuan ekor semut mengeroyok dua ekor burung, tiba-tiba terdengar bentakan keras,
“Mundur semua! Lihat siapa yang berada dalam tawananku!”
Semua orang Mongol menengok dan mereka melihat dua orang laki-laki datang dan di tengah-tengah mereka terdapat seorang anak laki-laki yang membuat mereka semua segera menjatuhkan diri berlutut! Ternyata bahwa yang datang itu adalah Cin Hai dan Hong Beng, sedangkan yang mereka tawan adalah Pangeran Kamangis, yaitu putera dari Malangi Khan!
Melihat betapa semua prajurit Mongol berlutut dan tidak berani pula mengeroyok, dan melihat betapa Pangeran Kamangis telah tertawan oleh Pendekar Bodoh, Ban Sai Cinjin menjadi pucat sekali mukanya.
“Pendekar Bodoh, kau curang! Kau menawan Pangeran Kamangis untuk mengalahkan aku!”
Cin Hai tersenyum sindir. “Cacing tua, aku hanya meniru perbuatanmu sendiri. Kau telah menculik Kwee Cin yang sekarang disimpan oleh Malangi Khan. Kalau Kaisar Mongol itu tak mau melepaskan Kwee Cin, kami pun akan menahan puteranya. Kau masih bernasib baik tidak mampus dalam tanganku, cacing tua!” Setelah berkata demikian, Cin Hai lalu mengajak Goat Lan dan Kwee An untuk meninggalkan tempat itu sambil memondong Pangeran Kamangis!
Ban Sai Cinjin membanting-banting kakinya dengan jengkel sekali dan dia cepat menuju ke istana Kaisar Malangi Khan untuk mencari keterangan bagaimana sampai pangeran itu dapat tertawan oleh Pendekar Bodoh.
Setibanya di depan Malangi Khan, di luar dugaannya, ia bahkan mendapat teguran keras dari Malangi Khan dan mendengar penuturan tentang keberanian Pendekar Bodoh yang membuat darahnya mendidih saking marahnya.
Malangi Khan, raja orang-orang Mongol menjadi marah sekali karena ada orang berani menculik puteranya begitu saja dari hadapannya tanpa dapat menangkap orang itu. Ban Sai Cinjin mendengarkan penuturan Malangi Khan itu dengan wajah sebentar merah dan sebentar pucat, tanda bahwa dia merasa malu dan juga mendongkol sekali terhadap Pendekar Bodoh.
Ternyata bahwa setelah memberi hajaran pada Ban Sai Cinjin, Cin Hai lalu melanjutkan perjalanan dengan cepat sekali memasuki istana Malangi Khan. Dengan kepandaiannya yang luar biasa, Pendekar Bodoh dapat melewati semua penjagaan. Memang penjagaan istana Malangi Khan di tempat itu tak berapa kuat, oleh karena istana itu memang berada di tengah-tengah benteng pertahanan barisan Mongol, siapakah yang dapat masuk dan berani mengganggu?
Oleh karena itu, dapat dibayangkan betapa besar keheranan Malangi Khan ketika pada hari itu, selagi dia duduk dihadapi oleh para panglimanya untuk mengatur siasat perang yang hendak dilakukan terhadap pedalaman Tiongkok, tiba-tiba dari luar masuk seorang laki-laki setengah tua bangsa Han yang berpakaian putih sederhana, akan tetapi yang bertindak masuk dengan langkah tegap dan tenang seperti seorang raja saja!
“Hei...! Siapa kau? Berhenti!” Empat orang penjaga segera melompat dan cepat-cepat menghadangnya.
“Minggirlah, aku hendak bertemu dengan Malangi Khan, Kaisarmu!” Cin Hai menjawab dengan suara tenang, akan tetapi cukup keras sehingga terdengar oleh Malangi Khan.
Jawaban ini tentu saja menimbulkan kegemparan di antara para panglima yang sedang menghadap Kaisar itu. Juga para penjaga segera menyerbu dan mengurung Pendekar Bodoh.
“Bunuh saja orang gila ini sebelum dia membikin kacau!” teriak seorang penjaga sambil menyerang dengan goloknya ke arah leher Cin Hai. Agaknya dengan sekali pancung dia hendak menyembelih orang Han yang lancang ini! Akan tetapi segera terdengar suara jeritannya dan orang itu bersama goloknya terlempar jauh menimpa kawan-kawannya sendiri.
“Jangan bunuh dia, tangkap dan bawa dia menghadap di sini!” tiba-tiba terdengar suara Malangi Khan yang menggeledek. Tentu saja semua penjaga dan panglima yang sudah turun tangan, mentaati perintah ini.
“Orang gila, lebih baik kau menyerah untuk kami bawa menghadap Kaisar dari pada sakit tubuhmu!” kata seorang panglima yang diam-diam merasa khawatir akan amukan ‘orang gila’ yang telah disaksikan kelihaiannya ketika menghadapi serangan golok tadi.
Cin Hai tersenyum. Memang bukan kehendaknya untuk menimbulkan keributan, lagi pula agaknya akan jauh lebih mudah menghadapi Kaisar Malangi Khan dengan berpura-pura menyerah dari pada dengan jalan kekerasan.
“Baiklah, kau belenggu kedua tanganku!” katanya sambil tersenyum.
Melihat sikap orang setengah tua ini, semua penjaga dan panglima menjadi geli. Tentu orang gila, pikir mereka, mengapa raja ingin menghadapinya? Dengan cekatan, seorang panglima lalu mengambil rantai besi.
“Klik! Klik!” terdengar suara suara dan dua pergelangan tangan Cin Hai telah terbelenggu erat-erat!
Ada yang menganggap perbuatan panglima itu keterlaluan. Untuk membelenggu seorang gila, mengapa harus dipergunakan belenggu besi? Belenggu macam itu biasanya hanya dipergunakan untuk membelenggu pesakitan yang lihai dan berilmu tinggi saja.
Akan tetapi ketika dua orang panglima hendak mencabut dan merampas pedang dan suling yang terselip di pinggang Cin Hai, mereka lantas terperanjat dan terheran-heran. Dengan hanya melenggang dan menggerakkan tubuh, Cin Hai telah dapat mengelak dari mereka ini sehingga pedang dan sulingnya tak sampai tercabut! Sementara itu, beberapa kali melangkah dia telah berdiri di hadapan Kaisar Malangi Khan!
“Siapakah kau? Melihat sinar mata dan sikapmu, kau bukanlah seorang gila, akan tetapi kenapa kau berani berlancang masuk ke sini dan bagaimana kau bisa sampai di istana?” Kaisar Malangi Khan menyatakan keheranannya.
Cin Hai tersenyum dan karena dua tangannya diikat ke belakang ia hanya mengangguk, kemudian berkata dengan hormat, “Malangi Khan yang besar, maaf kalau aku datang mengganggu. Aku bernama Sie Cin Hai, seorang yang bodoh sehingga banyak orang menyebutku Pendekar Bodoh, dan aku masuk ke sini secara biasa saja, hanya agaknya orang-orangmu sedang mengantuk sehingga tidak melihatku.”
Malangi Khan nampak tertegun dan tidak percaya, ada pun semua panglima yang sedang berada di situ pun terkejut sekali. Akan tetapi siapakah mau percaya bahwa orang yang seperti gila dan yang menyerahkan diri dibelenggu tangannya ini adalah Pendekar Bodoh yang namanya menggemparkan sekali dan yang sangat ditakuti oleh Ban Sai Cinjin? Tak mungkin!
Beberapa orang panglima sudah terdengar tertawa kecil menahan geli hatinya karena menyangka bahwa orang ini tentulah seorang gila yang mengaku-aku sebagai Pendekar Bodoh! Seorang panglima yang berwatak kasar dan keras segera menuding ke arah Cin Hai dan membentak,
“Orang gila, jangan kurang ajar di hadapan raja yang besar! Orang gila macam engkau ini mana patut menjadi Pendekar Bodoh?”
Baru saja orang ini menutup mulutnya, semua orang terkejut, termasuk Malangi Khan karena orang itu kini duduk diam seperti patung dengan mata terbelalak memandang ke arah Cin Hai. Ketika seorang kawan yang didekatnya menggoyang tubuhnya, orang ini ternyata telah duduk dengan kaku seperti patung!
Tadi orang-orang hanya melihat sinar kecil menyambar ke arah iga panglima ini dan kini nampak nyatalah sebutir batu kecil menggelinding di bawahnya. Dan karena sinar itu tadi datangnya dari Cin Hai, mereka cepat memandang dan bukan main kaget hati semua panglima pada waktu melihat bahwa kini kedua tangan Cin Hai yang tadinya dibelenggu menjadi satu di belakang tubuhnya, kini telah berada di depan tubuhnya dalam keadaan masih terbelenggu seperti tadi! Bagaimana bisa orang yang kedua tangannya terbelenggu menjadi satu di belakang bisa pindah ke depan tubuh?
Di antara para panglima itu terdapat tiga orang panglima yang berpangkat jenderal, dan mereka ini memiliki kepandaian yang sudah cukup tinggi, dikenal sebagai tugu pelindung negara dan menjadi orang-orang kepercayaan Malangi Khan. Mereka ini masih terhitung murid keponakan dari Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu, jago-jago nomor satu dan dua di Mongol yang menjadi murid-murid Swi Kiat Siansu di jaman belasan tahun yang lalu. (baca Pendekar Bodoh)
Oleh karena itu, tiga pelindung negara atau yang juga disebut Sam-koksu ini pernah pula mendengar nama Pendekar Bodoh. Tadinya mereka pun tak percaya ketika mendengar orang ini mengaku sebagai Pendekar Bodoh, karena mungkinkah orang yang pernah mengalahkan supek-supek (uwa-uwa guru) mereka Thian Kek Losu dan Sian Kek Losu ternyata hanya begini sederhana saja?
Akan tetapi ketika mereka melihat betapa kini orang yang terbelenggu itu sudah dapat memindahkan tangan dari belakang ke depan, mereka pun menjadi terkejut sekali. Untuk dapat memindahkan dua tangan yang terbelenggu dari belakang ke depan tubuh, hanya ada dua jalan.
Yang pertama adalah jalan sederhana saja, yaitu melangkahkan kedua kaki ke belakang melewati tengah-tengah antara kedua lengan, dan jalan ke dua hanya dapat dilakukan oleh orang berilmu tinggi yang telah memiliki ilmu kepandaian Sia-kut-hwat (Ilmu Melepas Tulang Melemaskan Tubuh) sehingga kedua tangan itu sekaligus dapat diputar ke depan melalui atas kepala tanpa merusak sambungan tulang pundak!
Kalau seandainya orang ini melakukan jalan pertama, bagaimana mereka semua tidak dapat melihatnya dan bagaimana pula ia dapat menyerang panglima yang menghinanya tadi dengan sebutir batu kecil?
Mohopi segera berdiri dan memeriksa panglima yang ternyata benar sudah tertotok jalan darah teng-sin-hiat dengan tepat sekali, lalu dengan beberapa kali tepukan dan urutan tangan Mohopi dapat menyembuhkan panglima itu yang kini tidak berani banyak tingkah lagi. Ada pun Kaisar yang melihat peristiwa ini, diam-diam berdebar hatinya. Benar-benar hebat kepandaian Pendekar Bodoh ini, dan apa maunya datang ke tempat ini?
“Ehh, kalau benar kau yang bernama Pendekar Bodoh, apakah kau berani menghadapi Sam-koksu untuk saling menguji kepandaian?” tanya Malangi Khan.
Cin Hai tersenyum, “Khan yang besar, sesungguhnya kejadian seperti inilah yang terbaik! Saling menguji kepandaian, saling memetik pengalaman dan menambah pengertian dari masing-masing pihak! Bukankah ini jauh lebih sempurna dari pada saling berperang?”
Malangi Khan mengerutkan keningnya, “Kau tahu apa tentang perang? Pendeknya, kau berani atau tidak menghadapi Sam-koksu kami?”
“Khan yang baik, aku datang dengan maksud baik, tentu saja aku akan menerima segala macam sambutan dari pihak tuan rumah. Juga telah lama aku mendengar bahwa Mongol memiliki banyak panglima-panglima yang pilihan dan jagoan maka barisan Mongol berani menyerang ke selatan. Kalau Tiga Guru Negara (Sam-koksu) sudi membuka mataku dan menambah pengetahuanku, sebelumnya aku mengucapkan banyak terima kasih!”
“Beri ruangan yang lebar dan buka ikatan tangan tamu kita ini!” Malangi Khan berseru dengan wajah berseri.
Raja bangsa Mongol ini, seperti juga raja-raja Mongol yang sudah dan yang akan datang, memang terkenal sebagai orang yang menjunjung tinggi kegagahan serta keperwiraan. Malangi Khan sendiri juga terhitung seorang yang memiliki kepandaian silat tinggi, maka tentu saja dia merasa amat gembira melihat tamunya yang mengaku Pendekar Bodoh ini sanggup menghadapi tiga orang koksunya! Kegembiraan Raja ini kiranya sama dengan kegembiraan seorang penggemar adu ayam melihat dua ekor ayam laga akan bertarung!
“Tak usah, Khan yang baik!” jawab Cin Hai dengan gembira pula, karena pengalamannya dengan orang-orang Mongol ini mengingatkan dia akan pengalamannya di waktu muda dahulu. “belenggu ini tak usah dibuka, biarlah aku menghadapi tiga jago-jagomu dengan tangan terbelenggu!” (baca cerita Pendekar Bodoh)
Tentu saja ucapan ini membuat semua melengak. Malangi Khan memandang ke arah Cin Hai dengan ragu-ragu dan mulailah dia bersangsi apakah orang yang dikira sebagai Pendekar Bodoh ini bukannya seorang gila.
Akan tetapi tiga orang koksu itu menjadi marah sekali. Ucapan ini saja sudah merupakan penghinaan yang tidak boleh diampuni lagi! Bagaimana seorang tamu berani menantang koksu-koksu yang terkenal ini untuk dilawan dengan tangan kosong yang terbelenggu?
Sementara itu, para penghadap raja sudah mundur dan membuat lingkaran yang cukup lebar sehingga ruang persidangan itu kini berubah menjadi semacam lian-bu-thia (ruang bermain silat). Cin Hai menjura di hadapan Raja, kemudian berjalan dengan langkah enak berlenggang kangkung menuju ke tengah ruangan itu. Dua tangannya masih terbelenggu dan tergantung di depan perutnya.
“Khan yang mulia, hamba merasa malu untuk melawan orang yang berotak miring!” kata Ganisa, orang tertua dari Sam-koksu itu kepada rajanya.
“Tidak apa, Ganisa, biarlah kau coba menyerangnya. Kalau dia Pendekar Bodoh yang sesungguhnya, boleh kau mengukur sampai di mana tinggi ilmu kepandaiannya sehingga dia sesombong itu. Kalau dia bukan Pendekar Bodoh melainkan seorang gila, kau boleh membunuhnya karena dia telah berani bermain gila di tempat ini!”
Mendengar perintah Raja ini, Mohopi yang paling muda lalu maju mewakili kakaknya. Dia lalu mendapat ijin dari Malangi Khan dan Mohopi lalu melompat cepat berdiri di hadapan Cin Hai.
Melihat gerakan ini, Cin Hai tersenyum lantas berkata dengan beraninya. “Malangi Khan yang baik, bukankah tadi kau menantang kepadaku untuk menghadapi Sam-koksu (Tiga Guru Negara)? Mengapa yang maju hanya satu orang saja? Apakah yang dua sudah merasa jeri untuk menghadapi aku, takut kalah?”
Cin Hai sengaja mengeluarkan ucapan ini bukan tidak ada alasannya. Pertama karena ia ingin sekali mempengaruhi Raja itu agar supaya tunduk padanya sehingga mudah diajak berunding untuk membebaskan Kwee Cin. Kedua kalinya karena gerakan melompat dari Mohopi tadi sudah lebih dari cukup baginya untuk menilai sampai di mana gerakan tingkat kepandaian tiga orang jago Mongol itu.
“Orang gila, kau betul-betul sombong sekali!” Mohopi berseru marah mendengar ucapan ini dan serentak dia melakukan serangan bertubi-tubi.
Pertama-tama tangan kanannya dikepal menghantam dada Cin Hai dan pukulan ini lalu disusul dengan tusukan dua jari tangan kiri ke arah mata, lantas disusul pula dengan tendangan kaki kanan yang hebat sekali ke arah ulu hati! Tiga macam pukulan maut ini bergerak dengan beruntun hampir berbareng dan satu saja di antara tiga serangan ini mengenai sasaran, dapat dibayangkan bahwa orang yang diserangnya pasti akan roboh. Baru hawa pukulan dan tendangan itu saja sudah menerbitkan suara bersuitan!
Akan tetapi, sebelum tiga macam serangan itu melayang, lebih dulu Cin Hai telah dapat menduganya. Pendekar Bodoh ialah seorang pendekar sakti yang memiliki pengetahuan mengenai pokok dasar segala macam gerakan ilmu silat, semacam pengetahuan yang menjadi raja segala macam ilmu silat. Diserang dengan gerak tipu dari cabang persilatan mana pun juga, sebelum serangan itu melayang dating ia telah bisa menduganya hanya dengan melihat gerakan pundak dan paha untuk dapat menduga pukulan dan tendangan lawan.
Saat semua orang, termasuk Malangi Khan, mengharapkan bahwa segebrakan serangan yang mengandung tiga macam pukulan ini akan berhasil menjatuhkan tamu itu, tahu-tahu Mohopi sendiri menjadi kebingungan dan terdengar suara ketawa dari beberapa orang panglima yang merasa geli melihat pemandangan amat lucu.
Ketika kelihatannya Pendekar Bodoh seperti mau terkena pukulan yang tiga macam itu, tiba-tiba ia merendahkan tubuhnya dengan kegesitan yang tak terduga-duga dan dengan gerakan cepat sekali dia kemudian bergerak maju menyusup di bawah kaki lawan yang menendangnya! Dengan demikian, dia telah berhasil menyelamatkan diri dan kini berada di belakang Mohopi tanpa diketahui oleh lawannya, karena memang gerakan Pendekar Bodoh tadi cepat sekali.
Ketika melihat betapa Mohopi nampak tercengang mencari-cari lawannya, Malangi Khan sendiri menjadi terheran-heran, lalu tertawa bergelak. Gerakan dari Pendekar Bodoh tadi bukanlah gerakan ilmu silat, lebih mirip gerakan seekor monyet yang lucu, akan tetapi buktinya Mohopi dapat ditipu mentah-mentah.
“Majulah, majulah kalian bertiga!” perintah Malangi Khan dengan wajah gembira sekali.
Ganisa dan Citalani atau yang biasanya disebut Thai-koksu (Guru Negara Pertama) dan Ji-koksu (Guru Negara kedua) jadi marah sekali melihat betapa mereka dipermainkan oleh orang mengaku Pendekar Bodoh itu. Mereka pun tadi melihat betapa gerakan Cin Hai bukanlah gerakan silat, walau pun harus mereka akui bahwa gerakan itu selain amat cepat juga tidak terduga.
Mereka masih mengira bahwa hal itu hanya kebetulan saja. Akan tetapi kini mendengar perintah Malangi Khan, mereka lalu serentak maju berbareng mengirim serangan dengan maksud sekali serang merobohkan atau menewaskan tamu ini.
Akan tetapi kembali semua orang menjadi tercengang. Sambil tersenyum-senyum, Cin Hai dapat menghindarkan diri dari semua serangan dengan hanya sedikit menggerakkan tubuhnya, miring ke kanan kiri, melompat ke depan belakang bagaikan seekor monyet yang amat gesit dan sukar diserang.
Biar pun penyerangnya ada tiga orang, akan tetapi mana dapat mereka ini melukai Cin Hai? Dahulu pun ketika supek mereka masih hidup, yaitu Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu, kedua orang ini pun tak berdaya menghadapi Pendekar Bodoh, apa lagi baru murid keponakannya! Tingkat kepandaian Sie Cin Hai masih beberapa tingkat lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Sam-koksu ini, karena itu walau pun mereka menyerang sambil mengerahkan semua kepandaian, tetap saja Pendekar Bodoh dapat menghadapi mereka dengan kedua tangan terbelenggu tanpa dapat teluka sedikit pun.
“Koksu, serang dia dengan senjatamu!” bentak Malangi Khan yang mukanya menjadi merah karena merasa malu dan penasaran mengapa tiga orang jagonya yang dijadikan pelindung negara ternyata tidak bisa berbuat apa-apa terhadap seorang yang demikian sederhana saja.
Mendengar perintah ini, tiga orang itu lalu mencabut senjata masing-masing. Akan tetapi yang paling menarik perhatian hingga membuat Cin Hai terkejut adalah senjata di tangan Thai-koksu Ganisa, oleh karena orang tua ini memegang seuntai rantai yang ujungnya diikatkan pada sebuah tengkorak kecil yang amat mengerikan!
Teringatlah Cin Hai kepada Thian Kek Losu yang dulu juga mempunyai senjata macam ini, maka dia lantas berlaku hati-hati sekali. Senjata Ji-koksu dan Sam-koksu tidak begitu diperhatikan karena kedua orang guru negara ke dua dan ke tiga ini hanya bersenjatakan golok besar yang biasa saja.
Kedua golok besar itu menyambar cepat, akan tetapi hanya dielakkan oleh Cin Hai sambil mempergunakan ginkang-nya yang luar biasa. Namun pada saat tengkorak kecil di ujung rantai yang dipegang oleh Thai-koksu itu mengarah mukanya, ia cepat mengangkat kedua tangannya yang terbelenggu.
Dia maklum dari pengalamannya dahulu menghadapi Thai Kek Losu, bahwa tengkorak kecil ini mengandung hawa mukjijat dan kekuatan sihir. Dan di samping ini, juga di dalam tengkorak ini terdapat senjata-senjata rahasia yang berbisa dan amat berbahaya apa bila ditangkis.
Oleh karena itu, tanpa mempedulikan dua buah golok yang menyambar-nyambar, ia lalu mencurahkan perhatiannya kepada tengkorak kecil itu. Pada waktu ia melihat tengkorak menyambar cepat ke arah mukanya seperti hendak menciumnya, ia lalu menggerakkan kedua tangan dan sebelum Thai-koksu tahu, tengkorak itu sudah kena terpegang oleh kedua tangan Pendekar Bodoh!
Thai-koksu terkejut sekali. Ia hendak membetot dan menggunakan senjata rahasia yang berada di dalam tengkorak itu, akan tetapi cepat bagaikan kilat, Pendekar Bodoh sudah mengirim tendangan ke arah pergelangan tangannya. Thai-koksu berseru keras karena dengan tepat sekali tendangan itu sudah membuat sambungan pergelangan tangannya terlepas!
Sambil membawa tengkorak kecil itu, Cin Hai melanjutkan gerakannya. Sepasang golok dari Ji-koksu dan Sam-koksu menyambar dari kanan kiri, maka cepat ia lalu melangkah mundur, miring ke kanan, menggunakan sikunya yang ‘dimasukkan’ lurus ke dalam perut Sam-koksu.
“Ngekk!”
Meski pun Mohopi atau Samkoksu itu mengerahkan lweekang-nya ke arah perut, namun tentu saja dia tidak dapat menahan pukulan siku ini dan segera dia terhuyung mundur sambil memegangi perutnya yang tiba-tiba menjadi mulas!
Ada pun Ji-koksu yang menjadi marah sekali lalu kembali menerjang dengan goloknya, membabat secara bertubi-tubi ke arah pinggang dan leher Pendekar Bodoh. Cin Hai yang kedudukannya masih miring ketika merobohkan Mohopi tadi, melihat datangnya babatan golok, cepat menotol kedua kakinya dan mengerahkan tenaga sehingga tubuhnya segera mencelat ke atas bagaikan seekor burung terbang.
Citalani atau Ji-koksu yang memiliki ilmu golok paling lihai di antara saudara-saudaranya, cepat menerjang terus selagi tubuh Cin Hai masih berada di udara. Akan tetapi, dengan enaknya Cin Hai menggunakan tendangan menyerong yang kelihatannya ditujukan ke arah kepala lawannya, akan tetapi sesungguhnya lalu menyerong dan menendang ke arah golok!
Seorang yang tidak memiliki ilmu ginkang yang luar biasa tingginya tidak mungkin dapat melakukan tendangan selagi tubuhnya masih berada di udara, dan lagi pula, kalau tidak mengandalkan tenaga lweekang yang amat hebat juga tidak mungkin orang akan berani menendang sebatang golok yang tajam sekali.
Akan tetapi, Pendekar Bodoh merupakan kekecualian karena sebagai murid terkasih dari mendiang Bu Pun Su, guru besar nomor satu dalam dunia persilatan, dia telah memiliki kepandaian yang sukar diukur sampai di mana tingginya.
Begitu ujung kakinya mengenai golok Ji-koksu, terdengar suara nyaring sekali dan golok itu menjadi rompal dan terlepas dari tangan lawannya, terus meluncur ke bawah dan menancap di lantai sampai setengahnya. Ada pun Ji-koksu meringis-ringis karena dua buah jari tangannya ternyata telah patah tulangnya keserempet tendangan dari Pendekar Bodoh!
Setelah mengalahkan ketiga orang lawannya, Cin Hai lalu melompat ke hadapan Malangi Khan, kemudian menjura dan berkata, “Harap Malangi Khan yang mulia sudi memaafkan kekasaranku tadi terhadap tiga Koksu!”
Untuk beberapa lama Malangi Khan tidak dapat mengeluarkan kata-kata saking kagum dan herannya melihat kelihaian Pendekar Bodoh. Dia turun dari tempat duduknya dan dengan kedua tangan sendiri hendak membuka belenggu di tangan Cin Hai, akan tetapi sekali lagi ia melengak ketika tiba-tiba saja Cin Hai menggerakkan kedua tangannya dan belenggu besi itu rontok lantas jatuh terlepas dari tangannya! Tidak hanya Malangi Khan yang terkejut, bahkan semua panglima yang berada di sana menjadi pucat mukanya melihat kehebatan demonstrasi tenaga raksasa ini.
“Hebat sekali, Pendekar Bodoh. Sungguh pantas kau disebut pendekar yang terbesar di dunia persilatan. Aku merasa kagum dan tunduk sekali. Ah, tinggallah bersamaku di sini, kau akan kuangkat menjadi pelindung negara, menjadi raja muda yang kuberi kekuasaan penuh sebagai wakilku!” Raja Mongol itu berseru saking kagumnya.
Akan tetapi Cin Hai menggelengkan kepalanya dan dengan suara sungguh-sungguh lalu berkata,
“Malangi Khan yang baik, sejak dahulu aku paling tidak suka menjadi pembesar negara. Banyak cara untuk menolong rakyat dan cara yang paling tidak kusukai adalah menjadi pembesar negara, karena kedudukan menjadi sekutu harta benda dan ke dua, hal ini suka meracuni pikiran membutakan mata batin. Terima kasih atas tawaranmu yang amat ramah ini, Khan yang mulia.”
Malangi Khan mengerutkan keningnya. “Kalau begitu, apakah maksudmu datang ke sini? Apakah kau datang dengan niat mengacau?”
Cin Hai menggelengkan kepala. “Tidak sama sekali. Kedatanganku ini tidak lain hendak menjemput keponakanku, Kwee Cin yang kini sedang menjadi tamu di istanamu. Kedua orang tuanya telah amat mengharapkan kembalinya, maka harap kau suka menyuruh dia keluar agar dapat pulang bersamaku, Malangi Khan.”
Mendengar ucapan ini, Raja Mongol itu memandang tajam. “Dan di samping itu, apa lagi kehendakmu?”
“Aku mendengar bahwa seorang Turki bernama Bouw Hun Ti berada di tempat ini dan membantumu. Karena orang jahat itu dulu telah melakukan pembunuhan terhadap ayah mertuaku, maka kuharap Khan yang mulia suka pula menyerahkan orang itu kepadaku untuk diadili!”
Malangi Khan mengangkat tangan kirinya dan pada saat itu juga pendengaran Cin Hai yang tajam dapat menangkap derap kaki ratusan orang yang mengurung ruangan itu!
“Apa maksudnya ini, Malangi Khan?” tanya Pendekar Bodoh dan kedua matanya yang lebar dan jujur itu kini bersinar-sinar dan bergerak-gerak, menunjukkan betapa cerdiknya otak yang berada di belakang mata itu.
Malangi Khan tertawa bergelak. “Pendekar Bodoh, kau sudah kuberi kesempatan untuk mendapatkan kedudukan setinggi-tingginya yang mungkin dicapai orang di negaraku, akan tetapi kau berani sekali menolak, bahkan menuntut dikembalikannya keponakanmu dan kau hendak menangkap seorang pembantuku pula.”
Ucapan terakhir ini sesungguhnya bohong, karena meski pun tadinya Bouw Hun Ti juga membantu suhu-nya, Ban Sai Cinjin di benteng itu, akan tetapi belum lama ini Bouw Hun Ti telah melakuan perjalanan untuk mengumpulkan orang-orang yang kelak akan dimintai bantuan dalam menghadapi Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya di puncak Thian-san. Maka sebenarnya Bouw Hun Ti kini bukan merupakan pembantunya lagi. Malangi Khan sengaja mengatakan demikian agar dapat mencari alasan yang berat untuk menyalahkan Pendekar Bodoh.
“Selanjutnya apa kehendakmu, Malangi Khan?” tanya Cin Hai, sedikit pun tidak merasa takut.
“Kau akan kutahan di sini dan takkan kulepaskan sebelum kau nyatakan suka menerima pengangkatan atau sebelum bala tentara Tiong-goan dapat kuhancurkan!”
Cin Hai tersenyum. “Kalau aku melarikan diri?”
Malangi Khan juga tersenyum. “Kau dikurung oleh ribuan orang tentara yang kuat! Dan pula, begitu kau memberontak, anak itu akan kupenggal lehernya!”
“Malangi Khan, kau benar-benar cerdik dan licik! Akan tetapi siapa percaya omonganmu? Kalau aku tidak melihat sendiri anak itu, aku takkan percaya bahwa anak itu masih belum kau bunuh!”
“Pendekar Bodoh, kau kira aku Malangi Khan pembunuh anak-anak tanpa alasan?”
“Siapa tahu watak seorang Raja Besar yang licik seperti kau?” Cin Hai sengaja menghina sehingga Raja itu mendelikkan mata dan segera memberi perintah kepada penjaga untuk membawa datang Kwee Cin.
Teganglah seluruh urat dalam tubuh Cin Hai ketika ia mendengar perintah ini. Dia sudah mengambil keputusan untuk segera merampas Kwee Cin kemudian membawanya pergi dari situ. Penjagaan ribuan orang tentara Mongol itu sama sekali tidak ditakutinya, karena sesungguhnya dengan kepandaiannya dia dapat membobolkan kepungan itu.
Pintu belakang terbuka dan muncullah Kwee Cin bersama seorang anak Mongol yang berpakaian mewah. Cin Hai dapat menduga bahwa ini tentu putera Raja Mongol itu.
“Kouw-thio (Paman)...!” Kwee Cin berseru girang ketika dia melihat Cin Hai dan hendak berlari menghampiri.
Akan tetapi sekali sambar saja Malangi Khan sudah menangkap lengan Kwee Cin yang ditariknya dekat. Tangan kanan Malangi Khan telah menghunus pedangnya dan dengan gerakan mengancam dia memandang kepada Cin Hai. Pendekar Bodoh merasa sangat lega melihat bahwa Kwee Cin berada dalam keadaan selamat dan sehat sehingga dapat diduga bahwa anak itu diperlakukan dengan baik di tempat itu.
“Paman Malangi, kenapa kau memegang tanganku?” tanya Kwee Cin sambil memandang heran kepada Raja itu, yang menjadi bukti bagi Pendekar Bodoh bahwa biasanya Raja ini bersikap baik terhadap Kwee Cin.
Akan tetapi melihat ancaman Malangi Khan, ia tak dapat berbuat sesuatu. Ia tahu bahwa orang seperti Malangi Khan akan memegang teguh ancamannya dan kalau ia bergerak merampas Kwee Cin, tentu Raja itu akan mengerjakan pedangnya dan celakalah nasib keponakannya itu.
“Malangi Khan, janganlah kau mengganggu keponakanku itu. Aku bersumpah tidak akan merampasnya dengan kekerasan.”
Malangi Khan memandang heran, lalu melepaskan tangan Kwee Cin. Bahkan ia pun lalu duduk bersandar dengan wajah lega. Pendekar Bodoh merasa kagum sekali betapa Raja ini dapat melihat orang, karena itu sekali ia mengeluarkan ucapan dan janji, maka Raja itu telah percaya penuh kepadanya! Kalau saja ia mau mempergunakan kepandaiannya, pada saat itu dia dapat menyambar Kwee Cin, akan tetapi tentu saja Cin Hai tidak mau melanggar sumpahnya.
Sebetulnya sumpah tadi termasuk rencana dan siasatnya, karena meski pun kelihatan bodoh, Cin Hai sebetulnya cerdik sekali. Ia tidak melihat harapan untuk mempergunakan kekerasan, maka sengaja ia bersumpah takkan merampas Kwee Cin dengan kekerasan.
Kini melihat Malangi Khan tidak mengancam lagi kepada Kwee Cin, tiba-tiba saja Cin Hai menubruk maju. Malangi Khan terkejut sekali karena tidak disangkanya Pendekar Bodoh mau melanggar sumpahnya. Ia hendak membentak dan memaki, akan tetapi menahan suaranya ketika melihat bahwa Pendekar Bodoh bukan merampas Kwee Cin melainkan menangkap Putera Mahkota!
Tak ada seorang pun dapat mengikuti gerakan Pendekar Bodoh yang demikian cepatnya sehingga tahu-tahu Pangeran Kamangis, putera tunggal Malangi Khan, sudah berada di dalam pondongan Pendekar Bodoh! Dan sebelum orang dapat bergerak, Cin Hai sudah melompat keluar sambil berkata,
“Malangi Khan, kau harus kembalikan Kwee Cin secara baik-baik untuk ditukar dengan puteramu. Aku menanti di benteng Alkata-san!”
Para panglima beserta penjaga serentak maju hendak mencegat Pendekar Bodoh, akan tetapi Malangi Khan berseru keras,
“Jangan ganggu dia, kalian anjing-anjing bodoh! Jangan serang dia!” Raja ini takut kalau serangan anak buahnya akan mengenai tubuh puteranya, karena maklum akan kelihaian Pendekar Bodoh.
Demikianlah penuturan yang didengar dengan hati gemas dan mendongkol sekali oleh Ban Sai Cinjin ketika dia datang menghadap Malangi Khan.
“Dan sekarang bagaimana kehendak Khan yang mulia?” Ban Sai Cinjin bertanya sambil mengepulkan asap huncwe-nya.
Kedudukan Ban Sai Cinjin sebagai sekutu boleh dikatakan sejajar dengan Malangi Khan dan karena Raja Mongol ini pun maklum akan kelihaian Si Huncwe Maut, maka ia telah memberi kebebasan kepada Ban Sai Cinjin untuk bersikap sebagai seorang tamu agung.
“Sayang sekali dengan adanya seorang tokoh seperti kau, Pendekar Bodoh masih berani mengganggu tempat ini,” kata Raja itu dengan suara menyindir. “Akan tetapi sudahlah, memang amat sukar mencari seorang yang cukup kuat untuk menghadapi seorang sakti seperti Pendekar Bodoh. Tiada jalan lain, terpaksa aku harus mengantarkan keponakan Pendekar Bodoh itu ke benteng Alkata-san untuk ditukar dengan puteraku.”
“Harap Paduka berlaku sangat hati-hati.” Ban Sai Cinjin memperingatkan. “Siapa tahu kalau-kalau mereka sudah mengatur perangkap untuk mencelakakan Paduka. Biarlah saya saja yang membawa anak she Kwee itu untuk ditukarkan dengan putera Paduka.”
Beberapa orang panglima membenarkan pendapat Ban Sai Cinjin ini. Memang resikonya terlalu besar bagi maharaja itu untuk pergi sendiri melakukan penukaran tawanan, sebab kalau Malangi Khan sampai tertawan musuh, berarti semua gerakan tentara Mongol akan kehilangan kepalanya. Dan selain Ban Sai Cinjin yang berkepandaian tinggi, tidak ada yang lebih baik untuk melakukan penukaran tawanan penting ini.
“Kau harus berhati-hati dan perlakukan anak itu baik-baik, karena aku pun menghendaki puteraku diperlakukan dengan baik oleh mereka!” kata Malangi Khan.
Demikianlah, dengan amat sembrono sekali Malangi Khan mempercayakan penukaran tawanan itu ke dalam tangan Ban Sai Cinjin! Kalau saja Raja ini sudah kenal betul watak Ban Sai Cinjin, tentu sama sekali dia tak akan suka mempercayakan keselamatan putera tunggalnya ke dalam tangan Si Huncwe Maut ini!
Kwee Cin lalu dikeluarkan dari kamar di mana ia ditahan dan dijaga keras, kemudian Ban Sai Cinjin mengempit anak ini yang menjadi pucat sekali ketika melihat Ban Sai Cinjin. Kwee Cin ingat bahwa kakek mewah inilah yang dulu menculiknya, dan tadinya ia sudah merasa lega karena terlindung oleh Malangi Khan dan menjadi kawan bermain Putera Mahkota Mongol yang baik. Akan tetapi kini ia diserahkan lagi kepada kakek ber-huncwe yang ditakuti dan dibencinya itu, maka ia menjadi pucat dan ingin menangis.
Setelah berpamit kepada Malangi Khan, Ban Sai Cinjin lalu melangkah keluar dari istana itu. Akan tetapi pada saat ia hendak mempergunakan kepandaiannya untuk berlari cepat, tiba-tiba saja dari luar benteng menyambar bayangan dua orang yang gerakannya cepat sekali.
Ketika dengan terkejut Ban Sai Cinjin memandang, alangkah herannya pada saat melihat bahwa yang datang adalah Lie Siong, pemuda yang beberapa kali bertempur dengan dia itu, pemuda yang sudah berani mengacau di rumahnya dan membakar rumahnya di desa Tong-si-bun. Akan tetapi, pemuda ini kini dipegang lengannya oleh seorang tua yang bongkok, yang jalannya terpincang-pincang dan kalau saja tidak berpegang pada lengan pemuda itu agaknya pasti akan roboh terguling!
“Suhu, inilah anak itu yang harus dirampas, dan ini pula orang jahat bernama Ban Sai Cinjin Si Huncwe Maut!” pemuda itu berkata kepada kakek bongkok terpincang-pincang yang berpegangan pada lengannya.
Kakek itu membuka-buka matanya yang agaknya sukar dibuka, lalu mengeluarkan suara seperti ringkik kuda, disambung dengan ketawanya yang lemah, “Heh-heh-heh, berikan kepadaku anak itu...” suaranya perlahan dan lambat seperti suara kakek-kakek yang sudah tua sekali, agak menggetar pula.
Biar pun sudah pernah merasai kelihaian Lie Siong, tentu saja Ban Sai Cinjin tidak takut sama sekali terhadap anak muda itu, karena selain kepandaiannya memang masih lebih unggul dari pada Lie Siong, juga di tempat itu dia mempunyai banyak pembantu.
“Apakah kau datang hendak mengantar kematian?” bentaknya kepada Lie Siong sambil menggerakkan huncwe-nya di tangan kanan dan dibarengi teriakan untuk memberi tahu kawan-kawannya. Sebetulnya teriakan ini tidak diperlukan karena para panglima Mongol, bahkan Malangi Khan sendiri sudah mendengar ribut-ribut dan sudah memburu keluar semua.
Lie Siong yang diserang dengan hebatnya oleh Ban Sai Cinjin tidak menangkis mau pun mengelak. Sebaliknya yang bergerak adalah kakek tua renta itu yang menggerakkan dua tangannya sambil terkekeh-kekeh.
Biar pun kedua tangannya kurus tinggal kulit dan tulang dan gerakannya lambat sekali, namun Ban Sai Cinjin terkejut setengah mati. Sekali sambar saja huncwe Ban Sai Cinjin itu telah kena direbut lalu dibalikkan dan kini huncwe itu menyodok ke arah perut Ban Sai Cinjin, dibarengi dengan tangan kiri ditamparkan ke arah kepala kakek mewah itu.
Angin pukulan dari kakek tua renta ini terasa oleh Ban Sai Cinjin bagaikan angin puyuh menyambar ke arahnya, maka tentu saja ia cepat-cepat mengelak. Akan tetapi sebelum dia mengetahui bagaimana kakek renta ini tadi bergerak, Kwee Cin yang berada di dalam pondongannya telah terbang dan pindah ke dalam pondongan kakek tua bangka itu!
“Tangkap...! Keroyok...!” Ban Sai Cinjin memekik bingung melihat kelihaian kakek ini dan para panglima segera maju mengurung, dipimpin sendiri oleh Malangi Khan yang merasa gelisah melihat betapa penukar puteranya itu telah dirampas orang.
Ban Sai Cinjin sendiri masih berdiri tertegun karena baru satu kali selama hidupnya dia menyaksikan orang yang tingkat kepandaiannya sama dengan kakek tua renta ini, yaitu Bu Pun Su yang sudah mati. Tadinya ia mengira bahwa di dunia ini tidak ada orang lain yang memiliki kepandaian seperti Bu Pun Su. Akan tetapi sekarang, menghadapi kakek tua renta yang sudah mau mati saking tuanya ini, ia menjadi bingung dan terkejut.
Agaknya kepandaian kakek tua renta ini tidak berada di sebelah bawah dari kepandaian Empat Besar, yaitu Bu Pun Su, Hok Peng Taisu, Pok Pok Sianjin, dan Swi Kiat Siansu yang semuanya sudah meninggal dunia. Bagi Ban Sai Cinjin, agaknya tidak ada tokoh besar dunia kang-ouw yang tidak diketahui atau dikenalnya, akan tetapi selama hidupnya belum pernah ia melihat atau mendengar tentang kakek yang aneh ini!
Ada pun kakek itu kelihatan enak-enak saja meski pun dikurung oleh panglima-panglima yang bersenjata tajam. Ia mengisap huncwe rampasan itu yang masih ada tembakaunya mengepul, disedotnya beberapa kali sambil matanya berkedap-kedip dan memondong Kwee Cin yang memandang dengan ketakutan.
Sementara itu, karena para penglima sudah mulai menyerang, Lie Siong cepat mencabut pedang naganya dan setelah ia menggerakkan pedangnya, terdengar suara nyaring dan beberapa batang golok atau tombak langsung menjadi patah. Akan tetapi kurungan tidak mengendur, bahkan makin merapat.
Kakek tua yang menyedot asap huncwe tampak mengernyitkan hidungnya dan wajahnya menjadi makin buruk.
“Ahh, huncwe tidak enak, tembakaunya apek berbau busuk!” katanya menyengir lalu dia menyodorkan huncwe itu kembali kepada Ban Sai Cinjin.
Si Huncwe Maut ini terbelalak matanya memandang penuh keheranan karena tadi dia melihat sendiri betapa kakek ini telah menyedot sedikitnya lima kali dan melihat nyala api di dalam huncwe, tentu banyak sekali asap yang tersedot. Akan tetapi dia tidak melihat asap itu keluar lagi seolah-olah lima kali sedotan itu membuat asapnya terus tersimpan di dalam dada Si Kakek Aneh. Padahal tembakau yang dipasangnya di dalam huncwe-nya adalah tembakau hitam yang beracun! Oleh karena kaget dan heran, setelah menerima kembali huncwe-nya, dia hanya berdiri bengong.
Kakek itu memandang ke arah Lie Siong yang terdesak hebat, dan kini Malangi Khan sendiri memimpin sebagian orangnya untuk menyerang kakek itu dan merampas kembali Kwee Cin. Akan tetapi tiba-tiba kakek itu terkekeh-kekeh dan dari mulutnya menyambar keluar asap hitam bergulung-gulung bagaikan naga hitam yang jahat. Inilah asap dari huncwe Ban Sai Cinjin yang tadi disimpan dengan kekuatan lweekang dan khikang luar biasa sekali dan kini dikeluarkan untuk menyerang para pengeroyok.
“Awas, mundur...! Asap itu berbahaya sekali...!” Ban Sai Cinjin berteriak gagap, karena ia maklum akan berbahayanya asap huncwe-nya sendiri yang mengandung racun hebat. Akan tetapi beberapa orang sudah tersambar oleh asap itu dan seketika menjadi roboh pingsan. Yang lain-lain menjadi takut dan mundur.
Kakek itu mendekati Lie Siong. “Muridku, hayo kita pergi!”
Baru saja ucapan ini habis dikeluarkan, tiba-tiba tubuhnya dan tubuh Lie Siong melayang cepat sekali ke atas genteng dan lenyap dari pandangan mata!
Kembali Ban Sai Cinjin terkejut. Itu adalah ilmu ginkang yang luar biasa sekali. Bagai mana pemuda itu tiba-tiba saja sudah memiliki kepandaian ini? Melihat gerakan pedang pemuda tadi, masih tidak jauh bedanya dengan dulu. Setelah berpikir sebentar, dapatlah ia menduga bahwa tentu pemuda itu dipegang lengannya oleh kakek yang sakti tadi dan dibawa melompat pergi.
Pada saay dia memandang ke arah Malangi Khan, dari sepasang mata Raja Mongol ini terbayang maut yang ditujukan kepadanya sehingga dia menjadi kaget. Dia tahu bahwa Raja ini marah sekali kepadanya dan menganggap dia menjadi biang keladi sehingga Kwee Cin terampas orang.
“Biar hamba mengejar mereka!” seru Ban Sai Cinjin dan cepat ia pun melayang ke atas genteng dan melarikan diri!
Kakek mewah ini tahu bahwa dia tak akan sanggup mengejar, dan alasannya tadi hanya dipergunakan supaya dapat melarikan diri dari situ. Ia tahu bahwa setelah kini Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya datang dan berada di benteng Alkata-san, amat berbahaya baginya berada di tempat itu.
Dia kemudian pergi cepat sekali dengan tujuan menyusul muridnya, Bouw Hun Ti, untuk mengumpulkan pembantu-pembantu yang pandai guna menghadapi Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya yang amat ditakutinya…..
********************
Bagaimana Lie Siong bisa datang bersama kakek tua renta itu dan siapa pula kakek yang aneh itu?
Seperti telah diketahui, setelah Lie Siong bertemu dengan Lili dan Ma Hoa dan kemudian meninggalkan Lilani pada suku bangsanya sendiri yang kemudian diantar oleh Lili dan Ma Hoa ke benteng Alkata-san, Lie Siong lalu pergi seorang diri untuk mencari Ban Sai Cinjin guna membalas dendam ayahnya dan juga untuk mencoba menolong Kwee Cin yang diculik oleh kakek mewah ber-huncwe maut itu.
Dia telah mendengar bahwa Ban Sai Cinjin membantu bala tentara Mongol, maka ia lalu melakukan penyelidikan di sekitar daerah pegunungan yang dijadikan markas besar bala tentara Mongol. Tentu saja dia tak berani memasuki perbentengan itu karena tahu bahwa perbuatan ini hanya berarti mengantar nyawa saja. Di dalam benteng itu selain terdapat puluhan ribu, bahkan mungkin ratusan ribu tentara Mongol juga masih terdapat banyak panglima-panglima kosen dan orang-orang gagah seperti Ban Sai Cinjin dan lain-lain.
Demikianlah, ia hanya bersembunyi saja sambil menanti-nanti bila mana ada kesempatan baik. Banyak akal terlintas dalam otaknya. Ia dapat menangkap seorang prajurit Mongol dan kemudian menyamar sebagai prajurit itu memasuki benteng. Atau dia bisa menanti sampai Ban Sai Cinjin keluar untuk diserang dengan tiba-tiba, atau menyelidiki di mana ditahannya Kwee Cin untuk kemudian coba dirampasnya.
Ketika dia sedang berjalan di dalam hutan di kaki bukit itu, tiba-tiba dia mendengar suara orang tertawa-tawa. Suara ketawa ini mirip seperti suara ketawa anak kecil yang sedang bermain-main dengan riang gembira. Heran dan kagetlah Lie Siong mendengar suara ini.
Bagaimana di dalam hutan seperti ini, dekat perbentengan tentara Mongol dan di daerah pertempuran, bisa terdengar suara ketawa anak-anak yang bermain-main? Dia segera mencari siapa yang ketawa itu dan ketika ia keluar dari belakang sebatang pohon besar, dia berdiri terpukau saking herannya.
Di bawah pohon itu nampak seorang kakek yang kurus kering dan bongkok, seluruh kulit mukanya keriputan sehingga sukar sekali dibedakan mana hidung mana mulut. Seorang kakek ompong yang tidak memiliki daging lagi, tengah bermain-main seorang diri sambil berjongkok di atas tanah!
Pada waktu Lie Siong memandang penuh perhatian, ternyata bahwa kakek tua renta ini sedang bermain gundu seorang diri dan tiap kali ia menyentil gundunya mengenai gundu yang lain, ia tertawa-tawa puas seperti seorang anak kecil! Hampir saja Lie Siong tidak dapat menahan kegelian hatinya ketika melihat kakek yang saking tuanya telah kembali menjadi kekanak-kanakan ini!
Akan tetapi ketika ia memandang cara kakek itu bermain gundu, kegeliannya lenyap dan jangankan menertawakannya, bahkan kini sepasang mata pemuda itu menjadi terbelalak. Ternyata bahwa cara kakek itu bermain gundu amat istimewa sekali.
Gundunya terbuat dari tanah liat dikeringkan, jumlahnya sepuluh butir. Yang hebat ialah setiap kali kakek itu menyentil ‘jagonya’, maka gundunya itu akan meluncur berlenggak-lenggok, kemudian dengan tepat sekali lalu membentur sembilan butir gundu itu satu per satu, seakan-akan jagonya itu hidup dan memiliki mata yang dapat mencari-cari sembilan lawannya!
Tentu saja Lie Siong mengerti bahwa hal ini baru mungkin dilakukan kalau orang memiliki tenaga lweekang yang sempurna. Dia sendiri paling banyak bisa menyentil gundu untuk membentur tiga atau empat gundu lain sebelum berhenti. Akan tetapi kakek ini biar pun gundu jagonya telah membentur sembilan gundu lain masih saja gundu jagonya itu dapat berputar kembali ke tangannya yang sudah siap menanti. Dan juga gundu-gundu yang terbentur itu terlempar pada jarak tertentu sehingga sembilan butir gundu itu membentuk suatu garis-garis perbintangan yang luar biasa sekali!
“Hebat...,” bisiknya di dalam hati dan saking kagumnya bibirnya ikut bergerak.
Tanpa menoleh kepadanya, kakek tua renta itu lalu berkata, “Hayo, sekarang giliranmu, orang muda. Kau bidikkan gundumu!”
Ketika Lie Siong diam saja, kakek itu lalu menengok ke arahnya dan kagetlah pemuda itu ketika melihat sepasang mata bagaikan mata harimau menyambarnya.
“Aku... aku tidak punya gundu,” jawabnya gagap.
Kakek itu tertawa terkekeh-kekeh. “Ha-ha-ha, aku lupa! Kau pasti masih bodoh bermain gundu, tentu saja gundumu habis, kalah semua olehku. Nah, ini, kuberi hadiah sebuah gundu agar kau dapat ikut bermain-main.”
Tangan kiri kakek itu mencengkeram ke arah batu karang hitam yang berdiri di sebelah kirinya.
“Krakk!” terdengar suara dan gempallah sepotong batu karang!
Kemudian, seolah-olah batu karang itu hanya sepotong tahu saja kakek itu lalu mencuwil-cuwilnya dan membentuk sebutir gundu yang bundar dan halus dalam sekejap mata.
Dengan hati berdebar kagum, Lie Siong lalu menerima gundu istimewa itu dan ketika dia menekan, gundu itu memang benar terbuat dari batu karang yang luar biasa kerasnya, akan tetapi yang diperlakukan seperti tanah liat basah oleh kakek luar biasa ini.
“Hayo, bidiklah!” kakek itu berseru girang.
Dengan terpaksa Lie Siong lalu berjongkok dan melayani kakek ini bermain gundu! Dia membidikkan gundunya sambil berpikir. Gundu yang diberikan kepadanya dan menjadi gundu jagonya adalah terbuat dari batu karang yang keras sehingga lebih berat dari pada gundu-gundu yang berada di atas tanah, karena semua gundu itu terbuat dari tanah liat yang kering. Mana bisa gundunya yang berat itu akan membentur gundu lain ke dua, ke tiga dan seterusnya? Paling-paling yang akan terpental adalah gundu yang dibentur oleh gundu jagonya!
Setelah berpikir sebentar, Lie Siong segera membidik dan melepaskan gundunya dengan keras. Gundunya menendang gundu terdekat yang mencelat dan membentur gundu ke dua yang sebaliknya terpental pula lantas membentur yang ke tiga. Demikianlah, dengan pengerahan tenaga yang besar dan tepat, Lie Siong berhasil membuat gundu-gundu itu saling bentur hingga gundu ke lima, akan tetapi sampai pada gundu yang ke lima, tenaga benturan telah habis dan mogok di jalan.
“Kau licik...!” kakek itu bersungut. “Gundu jagomu diam saja, yang membentur adalah gundu sasaran! Tidak boleh begitu!”
“Tentu saja, sebab gundu jagoku lebih berat dan keras sedangkan gundu-gundu sasaran ringan sekali!” Lie Siong membantah sehingga mereka ini benar-benar seperti dua orang anak-anak yang sedang bersitegang dalam permainan mereka.
“Siapa bilang gundu jagomu keras dan berat? Coba lihat, sekarang aku hendak membidik gundumu, lihat saja mana yang lebih keras!”
Sambil berkata demikian, kakek itu menggunakan gundu jagonya yang kecil dan terbuat dari tanah liat yang dikeringkan untuk disentil dan membentur gundu jago Lie Siong yang terbuat dari batu karang.
“Prakk!”
Kalau dibicarakan memang sungguh aneh dan mengherankan, bahkan Lie Siong yang sudah mahir dalam ilmu lweekang dan paham akan kemukjijatannya tenaga lweekang, masih terbelalak memandang karena belum pernah dia menyaksikan demonstrasi tenaga lweekang yang demikian hebatnya.
Begitu dua butir kelereng atau gundu itu beradu, gundu jagonya yang terbuat dari batu karang itu langsung hancur berhamburan, sedangkan gundu kakek itu yang terbuat dari tanah liat kering, sama sekali tidak apa-apa, rontok sedikit pun tidak!
Lie Siong adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Melihat sikap kakek ini, kemudian menyaksikan pula kehebatan tenaga lweekang-nya, dia dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang sakti yang telah menjadi pikun atau berubah menjadi anak-anak saking tuanya, atau mungkin juga berubah pikirannya.
Jika saja betul bahwa kakek ini seorang luar biasa yang telah dilupakan orang, alangkah baiknya kalau dia menjadi muridnya! Maka dia lalu ingin mencoba apakah dalam hal ilmu silat, kakek ini juga lihai. Dia berpura-pura marah dan membentak,
“Kau sudah merusak gunduku! Kau menghancurkan gunduku!” Sambil berkata demikian Lie Siong maju menampar pundak kakek itu.
Kelihatannya kakek itu tidak mengelak, akan tetapi sedikit saja ia menggerakkan pundak, tamparan Lie Siong meleset!
“Kau yang licik, kalah pandai main gundu, mengapa penasaran? Gundumu pecah bukan karena salahku, salah gundumu mengapa pecah dan mudah hancur, ha-ha-ha!” Kakek itu kelihatan senang sekali karena tidak saja dia menang dalam bermain gundu, juga gundu lawannya menjadi pecah!
“Kau harus dipukul!” seru Lie Siong pula dan cepat ia mengirim pukulan yang lebih kuat dan cepat ke arah pundak orang. Sekali lagi pukulan ini meleset.
Lie Siong mulai penasaran dan ketika sekarang kakek itu berdiri dengan tubuhnya yang bongkok, dia lantas menyerang dengan Ilmu Pukulan Sian-li Utauw (Tari Bidadari) yang kelihatan lembek akan tetapi mengandung tenaga lweekang dan gerakannya indah dan cepat. Kembali dia tercengang, karena kakek itu sambil tertawa haha-hehe selalu dapat menggerakkan tubuh menghindari pukulannya dan mulut kakek itu tiada hentinya berkata mengejek,
“Kalah main gundu kok mengamuk, sungguh anak yang licik sekali kau ini!”
Yang membuat Lie Siong merasa sangat penasaran sekali adalah sikap kakek itu yang seakan-akan tidak memandang sedikit pun juga pada ilmu silatnya Sianli Utauw, buktinya kakek itu tak pernah memandang kepadanya, bahkan sambil mengelak ia lalu mengambil gundu-gundu itu sebutir demi sebutir dan dimasukkan ke dalam kantongnya. Biar pun matanya ditujukan kepada gundu, tetapi tetap saja setiap pukulan Lie Siong selalu dapat dihindarkan dengan amat mudah.
“Sudahlah, main gundunya tidak becus, masa mau main pukul? Hai, anak nakal dan licik, lebih baik kau pulang belajar lagi main gundu yang betul!” kata kakek itu dan sekali saja ia mengangkat tangan menangkis pukulan Lie Siong, pemuda ini terlempar sampai dua tombak lebih dan merasa betapa tangannya sakit sekali.
Namun Lie Siong masih belum merasa puas. Ia maju lagi dan kini setelah ia menggerak-gerakkan kedua tangannya, dari tangan dan lengannya segera mengebul uap tipis putih. Inilah ilmu Silat Pek-in Hoat-sut yang ia pelajari dari ibunya, ilmu pukulan yang amat lihai dari sucouw-nya, yaitu Bu Pun Su!
Kakek itu nampak tertegun melihat ilmu pukulan ini, kemudian berdiri bengong. Tangan kanannya memijit-mijit pelipis kepalanya seolah-olah dia sedang mengumpulkan ingatan untuk mengingat kembali ilmu silat yang dia lihat dimainkan oleh anak muda ini.
“Apakah Bu Pun Su hidup lagi?” demikian terdengar dia bertanya kepada diri sendiri.
Lie Siong yang mendengar ucapan ini menjadi terkejut sekali, akan tetapi ia juga merasa bangga karena agaknya kakek ini bisa mengenal ilmu silatnya dan takut menghadapinya! Maka ia lalu menerjang lagi dengan ilmu pukulan Pek-in Hoat-sut.
Akan tetapi alangkah heran dan terkejutnya ketika ia melihat kakek itu pun bergerak dan mengebullah uap putih yang tebal dari kedua lengannya. Lie Siong maklum bahwa kakek ini pun mahir Pek-in Hoat-sut, bahkan tenaganya jauh lebih besar dari pada tenaganya sendiri.
Akan tetapi ia merasa sudah kepalang dan memang ingin menguji sampai puas betul. Ia menyerang hebat dan begitu kakek itu mengangkat tangannya, Lie Siong berseru keras karena tubuhnya mencelat ke atas sampai lebih dari tiga tombak! Baiknya kakek itu tidak berniat jahat sehingga dia terlempar saja tanpa menderita luka dan dapat turun kembali dengan kedua kaki menginjak tanah.
“Ha-ha, main gundu kalah, main pukulan juga keok!” kakek itu mengejek seperti seorang anak kecil mengejek lawannya.
Kini Lie Siong tidak ragu-ragu lagi dan serta merta dia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek aneh itu.
“Suhu yang mulia, mohon Suhu memberi petunjuk kepada teecu yang bodoh!”
Untuk beberapa lama, kakek itu diam saja, kemudian dia terbahak-bahak, seakan-akan merasa sangat lucu. “Kau minta belajar apa dari padaku? Aku hanya pandai main gundu. Maukah kau belajar main gundu?”
“Segala nasehat dan pelajaran dari Suhu, sudah tentu akan teecu terima dan perhatikan dengan sungguh-sungguh.”
“Bagus, aku akan mengajarmu bermain gundu hingga kau akan menjadi jago gundu yang paling istimewa.”
Kakek yang pikun itu lalu mulai memberi pelajaran bermain gundu atau kelereng kepada Lie Siong! Akan tetapi sebagai seorang ahli silat tinggi, Lie Siong sudah mengerti bahwa permainan gundu ini bukanlah sembarang permainan.
Sentilan pada gundu itu merupakan gerakan melepas am-gi (senjata rahasia) yang hebat sekali, digerakkan oleh tenaga lweekang yang amat tinggi. Oleh karena itu, mempelajari menyentil gundu seperti yang diajarkan oleh kakek ini, sama halnya dengan menambah tenaga lweekang dan kepandaian melepas am-gi. Oleh karena itu, ia lalu memperhatikan dengan seksama ajaran-ajaran gurunya yang diberikan sambil bermain-main ini.
Akan tetapi kakek ini ternyata telah menjadi pikun benar-benar sehingga namanya sendiri pun ia tidak tahu lagi! Juga ia mengerti ilmu-ilmu silat tinggi akan tetapi tidak tahu lagi namanya ilmu-ilmu silat itu sungguh pun ia masih dapat menggerakkannya dengan amat sempurna. Lie Song menjadi girang sekali, apa lagi sedikit demi sedikit suhu-nya mulai memperlihatkan ilmu-ilmu silat yang belum pernah dilihat sebelumnya.
Kemudian pemuda ini teringat akan Kwee Cin yang diculik oleh Ban Sai Cinjin, maka dia lalu berkata kepada suhu-nya beberapa hari kemudian, “Suhu, ada seorang anak kecil she Kwee yang diculik oleh orang jahat yang bernama Ban Sai Cinjin. Anak itu berada di dalam benteng orang-orang Mongol dan teecu tidak dapat menolongnya. Sukakah Suhu menolong anak itu? Kasihan, Suhu, kalau tidak ditolong maka nyawa anak itu terancam bahaya.”
Dalam beberapa hari berkumpul dengan suhu-nya, Lie Song tahu bahwa kakek ini paling suka dengan anak kecil, maka dia tadi sengaja menceritakan keadaan Kwee Cin dan menyebutnya anak kecil pula.
“Hmm, apakah dia kawanmu bermain?”
Lie Siong hanya menganggukkan kepala dan mendesak agar suhu-nya suka menolong anak kecil itu sekalian membantunya menangkap atau membunuh musuh besarnya yang bernama Ban Sai Cinjin yang juga menculik anak kecil ltu.
“Apakah kau kira aku tukang bunuh orang?” mendadak kakek itu berkata dengan muka murka dan marah.
Sampai lama dia diam saja tidak mau bicara dengan Lie Siong, bahkan juga tidak mau mengajak pemuda itu bermain-main. Lie Siong terkejut dan tahu bahwa suhu-nya marah dan ‘ngambul’, merajuk seperti anak kecil yang tersinggung hatinya. Maka ia tidak berani bicara tentang pembunuhan lagi. Pada sore harinya barulah gurunya mau mengajaknya bermain-main lagi dan kembali Lie Siong membujuknya untuk menolong Kwee Cin.
Akhirnya kakek itu mau juga dan sesudah mereka hendak berangkat, dengan berpegang pada lengan Lie Siong, kakek itu berjalan terpincang-pincang keluar dari hutan kemudian mendaki bukit di mana terdapat perbentengan orang Mongol itu.
Betapa girangnya hati Lie Siong ketika mendapat kenyataan bahwa biar pun berpegang kepada lengannya, akan tetapi gurunya ini bukan merupakan beban, bahkan sebaliknya. Dia seakan-akan didorong oleh tenaga yang hebat sekali dan ketika dia menggerakkan kedua kaki menggunakan ilmu lari cepatnya, dia dapat berlari jauh lebih cepat dari pada kalau dia berlari sendiri! Juga pada saat dia melompati jurang, ia merasa tubuhnya ringan sekali.
Ia tahu bahwa tanpa disengaja, gurunya telah mengeluarkan kelihaiannya dan tentu saja dia menjadi sangat girang dan kagum sekali. Demikianlah, dengan amat mudahnya Lie Siong membawa suhu-nya memasuki istana Malangi Khan dan berhasil merampas Kwee Cin. Dia makin girang sekali menyaksikan kelihaian suhu-nya yang benar-benar di luar persangkaannya itu.
Dia kini makin kenal baik keadaan suhu-nya dan tahu bahwa suhu-nya adalah seorang kakek yang sudah amat tua, terlalu tua sehingga berubah menjadi seperti kanak-kanak, berkepandaian yang luar biasa tingginya, tidak suka membunuh, dan paling senang main gundu.
Dari istana Malangi Khan, dia langsung membawa suhu-nya dan Kwee Cin ke benteng tentara kerajaan yang ada di Pegunungan Alkata-san. Memang Lie Siong berniat hendak mengembalikan Kwee Cin kepada orang tuanya di benteng Alkata-san, lalu menghilang bersama suhu-nya dari orang banyak untuk mempelajari ilmu silat yang tinggi. Dia ingin belajar sampai dapat mengimbangi atau melebihi kepandaian Lili, Hong Beng, Goat Lan, atau kepandaian Pendekar Bodoh sekali pun…..
********************
Kedatangan Cin Hai, Kwee An, Hong Beng, dan Goat Lan di benteng Alkata-san disambut dengan girang oleh semua orang. Ma Hoa menjadi cemas ketika melihat bahwa puteranya tidak berada di antara mereka, sebaliknya Pendekar Bodoh bahkan membawa seorang anak laki-laki bangsa Mongol yang berwajah tampan dan berpakaian indah.
Akan tetapi sesudah dia mendengar bahwa anak ini adalah putera Malangi Khan yang sengaja diculik untuk nantinya ditukarkan dengan Kwee Cin, Ma Hoa menjadi girang dan penuh harapan. Tentu saja ia merawat Pangeran Kamangis dengan baik, karena ia pun menghendaki agar supaya puteranya diperlakukan dengan baik oleh ayah anak ini.
Pada hari itu juga, datang rombongan Tiong Kun Tojin dan Sin-houw-enghiong Kam Wi, dua orang tokoh besar Kun-lun-san itu yang membawa teman-temannya untuk membantu perjuangan negara menghadapi orang-orang Mongol. Di dalam rombongan ini terdapat pula Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hwesio, Si Cengeng dan Si Gendut yang sudah kita kenal itu. Kemudian kelihatan pula Hailun Thai-lek Sam-kui, tiga orang kakek aneh yang suka berkelahi, dan masih ada beberapa belas orang gagah dari dunia kang-ouw lagi.
Sungguh sangat menarik hati kalau melihat sikap orang-orang gagah ini ketika bertemu dengan Pendekar Bodoh. Rata-rata mereka menyatakan hormatnya terhadap Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya yang sudah tersohor. Yang amat menggembirakan adalah Sikap Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hwesio.
Pada saat melihat Cin Hai dan Lin Ling, dua orang pendeta bersaudara ini segera berlari menghampiri. Ceng Tek Hwesio tertawa-tawa sampai perutnya yang besar itu bergerak-gerak sedangkan Ceng To Tosu meweknya semakin menyedihkan. Cin Hai juga sangat gembira bertemu dengan mereka sehingga Pendekar Bodoh menowel-nowel perut Ceng Tek Hwesio sambil berkelakar.
“Aduh, biar sekarang mati pun aku tidak penasaran lagi sesudah bertemu dengan kalian suami isteri!” kata Ceng Tek Hwesio kepada Cin Hai dan Lin Lin.
Namun yang paling aneh dan mengesankan adalah sikap dari Hailun Thai-lek Sam-kui, sebab tiga orang iblis ini sudah lama sekali mendengar nama besar dari Pendekar Bodoh dan semenjak dulu ingin sekali menguji kepandaiannya. Apa lagi mereka sudah pernah mencoba kelihaian Goat Lan puteri Kwee An dan juga Lili puteri Pendekar Bodoh, maka begitu berhadapan dan saling diperkenalkan oleh Kam Liong sebagai tuan rumah, tiga orang kakek aneh ini lalu meloloskan senjata masing-masing!
Thian-he Te-it Siansu si kate menggerak-gerakkan payung mautnya, Lak Mouw Couwsu si hwesio gemuk itu menarik keluar rantai besarnya, sedangkan Bouw Ki si tinggi kurus mengeluarkan tongkatnya dan Thian-he Te-it Siansu lalu berkata,
“Pendekar Bodoh, sungguh kebetulan sekali! Tanpa disengaja kita sudah saling bertemu di tempat ini, hal yang sejak dulu telah sering kali kami impikan. Hayolah kau perlihatkan kelihaianmu dan mari kita main-main sebentar agar puas hati kami bertiga!”
Tentu saja Cin Hai menjadi tertegun melihat sikap mereka ini sehingga untuk sesaat tidak mampu menjawab! Bagaimanakah ada orang-orang yang baru saja dikenalkan kemudian menantang berpibu (mengadu kepandaian)? Akan tetapi hal ini telah membuat Tiong Kun Tojin menjadi merah mukanya.
Ia melangkah maju dan menjura kepada Cin Hai, “Sie Taihiap, harap suka memaafkan Hailun Thai-lek Sam-kui yang suka main-main.” Kemudian dia berkata kepada tiga orang aneh itu,
“Sam-wi betul-betul tidak memandang kepadaku! Pinto yang menjadi kepala rombongan ini, apakah sengaja Sam-wi datang-datang hendak membikin malu kepada pinto?” Suara Tiong Kun Tojin terdengar tandas sekali. Memang tosu ini amat berdisiplin dan memegang teguh aturan, juga berwatak keras.
Thian-he Te-it Siansu bergelak mendengar dan melihat sikap tokoh Kun-lun-san ini. “Ah, Tiong Kun Totiang mengapa begitu galak? Apa sih buruknya menambah pengetahuan ilmu silat selagi bertemu dengan orang gagah? Kesenangan kita satu-satunya hanya ilmu silat, kalau sekarang tidak bergembira, mau tunggu kapan lagi?”
“Bicaramu memang benar, Siansu. Akan tetapi pibu harus dilakukan dengan aturan dan pada waktu dan tempat yang tepat, tidak sembarangan seperti kau ini! Kita datang di sini bukan untuk main-main, melainkan untuk berjuang. Sie Taihiap adalah seorang pendekar gagah yang datang juga untuk membantu mengusir orang-orang Mongol, apakah datang-datang kau mau menimbulkan kekacauan? Berlakulah sabar, kalau semua urusan yang besar telah selesai, kau mau mengajak pibu siapa pun juga, pinto tak akan ambil peduli.”
Thian-he Te-it Siansu memandang kepada dua orang adiknya, lalu dia menghela napas berulang-ulang. Akhirnya sambil tertawa dia berkata kepada Pendekar Bodoh, “Pendekar Bodoh, jika begitu terpaksa kita harus menunggu sampai nanti tahun depan pada musim chun (musim semi) di puncak Thian-san.”
“Sam-wi Lo-enghiong (Tiga Orang Tua Gagah), siauwte adalah orang yang bodoh, maka kalau ada yang hendak memberi petunjuk tentu saja siauwte akan merasa berterima kasih sekali,” Cin Hai menjawab dengan merendah, dan ternyata bahwa pendekar besar ini telah dapat menekan kemarahannya melihat sikap tiga orang tua ini.
Kam Wi yang mendengar bahwa keponakannya, yaitu Kam-ciangkun atau Kam Liong masih belum menyerang musuh dan sudah menunggu sampai lima hari, dan mendengar pula tentang usaha Pendekar Bodoh yang berusaha merampas kembali Kwee Cin dan kini berhasil menawan putera Malangi Khan, lalu berkata sambil mengerutkan kening,
“Tidak baik, tidak baik! Dengan menunda serangan maka kedudukan lawan akan menjadi makin kuat dan orang-orang Mongol akan menyangka bahwa kita takut!”
Tokoh Kun-lun-san yang berwatak keras ini berkata dengan sikap seolah-olah ia seorang penglima perang yang ulung. Hal ini tidak mengherankan oleh karena semua orang juga tahu bahwa dia adalah adik dari Panglima Besar Kam Hong Sin.
“Lebih baik pukul hancur perkemahan Malangi Khan kalau sudah dekat dengan mereka dan memukul hancur pasukannya, akhirnya kita akan dapat membebaskan putera Kwee Taihiap juga. Sekarang kebetulan sekali putera Malangi Khan telah berada di tangan kita, kita pergunakan untuk mengancamnya. Apa bila dia tidak mau menyerah dengan damai, besok aku akan membawa kepala puteranya di ujung tombak di luar dari bentengnya!”
Pendekar Bodoh, Kwee An, Ma Hoa dan Lin Lin mengerutkan kening. Mereka ini merasa tak setuju sama sekali atas usul orang kasar ini. Akan tetapi, dipandang darl sudut siasat kemiliteran, memang usul ini tidak buruk, maka biar pun Kam Liong menduduki pucuk pimpinan, namun tidak berani berkata sesuatu, hanya memandang kepada orang-orang tua yang ia hormati itu dengan mata penuh pertanyaan.
Cin Hai lalu menghadapi Kam Wi dan setelah menjura, dia berkata, “Memang apa yang dikatakan oleh Kam-enghiong betul sekali, akan tetapi jika mengingat akan keselamatan keponakanku, aku beserta saudara-saudaraku mengharapkan pengertian Kam-ciangkun agar supaya penyerbuan itu ditunda dua hari lagi. Aku percaya bahwa Malangi Khan tak akan membiarkan puteranya terlalu lama menjadi tawanan dan akan menyerahkan Kwee Cin untuk ditukar dengan puteranya. Setelah itu, barulah kita rundingkan kembali tentang penyerbuan.”
Alis mata Kam Wi yang tebal itu dikerutkan, kemudian dia mengangguk-angguk sambil berkata, “Kalau saja tidak mengingat bahwa Sie Taihiap adalah calon besan dan calon mertua Kam Liong, tentu Kam Liong juga akan merasa keberatan melakukan penundaan-penundaan ini. Akan tetapi biarlah, biar kita menanti sampai dua hari lagi...”
“Kam-enghiong, urusan perjodohan itu belum lagi diputuskan, harap kau suka bersabar. Sesudah urusan ini selesai dan kita kembali ke pedalaman, barulah kita pertimbangkan lagi,” kata Cin Hai tak senang.
Kam Wi tersenyum. “Aku tidak melihat ada halangan lainnya lagi, maka aku sudah berani memastikan, bukan begitu, Kam Liong?” Kam-ciangkun hanya menundukkan mukanya yang menjadi amat merah akan tetapi ia tidak berani melayani pamannya yang kasar ini.
Pada malam hari itu, Kam Liong menjamu para orang gagah itu dengan pesta makan yang cukup besar dan meriah. Di tengah-tengah benteng itu, dalam ruangan yang lebar, dipasang meja-meja besar dan semua orang duduk mengelilingi beberapa buah meja dan makan minum dengan gembira.
Sebagai seorang panglima perang yang berhati-hati, di waktu berpesta malam itu, Kam Liong sengaja memesan dengan keras kepada para perwiranya agar supaya penjagaan di luar benteng diperkuat, takut kalau-kalau ada sesuatu yang tidak diingini terjadi.
Akan tetapi, tetap saja terjadi hal yang luar biasa dan di dalam benteng itu masuk tiga orang tanpa ada seorang pun penjaga yang mengetahuinya! Tahu-tahu tiga bayangan orang itu sudah berada di atas genteng ruang pesta itu.....
Dan orang pertama yang dapat mendengar suara kaki mereka adalah Pendekar Bodoh. Pada saat itu, Cin Hai yang duduk menghadapi meja bersama Lin Lin, Kwee An, Ma Hoa, Lo Sian, Lilani, Hong Beng, Goat Lan dan Kam Liong sendiri, tiba-tiba menaruh sumpitnya di atas meja kemudian berkata dengan suaranya yang keras karena dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khikang.
“Ji-wi (Tuan Berdua) yang berada di atas, silakan turun saja kalau hendak bicara!”
Tentu saja semua orang yang berada di dalam ruangan itu menjadi heran dan terkejut. Rata-rata mereka memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, akan tetapi mereka tadi tidak mendengar sesuatu. Kini semua orang berdiam dan memasang telinga. Benar saja, terdengar suara kaki dua orang di atas genteng.
Sesudah teguran Pendekar Bodoh lenyap, terdengarlah jawaban dari atas genteng, “Sie Taihiap, yang datang hanyalah siauwte untuk mengantarkan Adik Kwee Cin!”
“Lie Taihiap...!” seru Lilani yang segera mengenal suara Lie Siong.
Ma Hoa, Kwee An, Lin Lin, dan Pendekar Bodoh segera berdiri.
“Siong-ji (Anak Siong), lekas bawa Cin-ji (Anak Cin) turun!” seru Ma Hoa. Akan tetapi biar pun berkata demikian, ia sudah melompat keluar diikuti oleh suaminya dan juga oleh Cin Hai dan Lin Lin. Juga Hong Beng dan Goat Lan segera menyusul. Enam bayangan orang yang amat gesit gerakannya melompat ke atas genteng.
Benar saja, di atas genteng itu mereka melihat Lie Siong bersama Kwee Cin. Anak kecil itu ketika melihat bundanya segera bergerak menubruk dan Ma Hoa memeluk Kwee Cin dengan mata membasahi pipinya.
“Terima kasih... terima kasih, Siong-ji...,” Ma Hoa berkata sambil memandang ke arah Lie Siong dengan mata bersyukur.
“Bukan aku yang telah menyelamatkan Adik Cin, Ie-ie (Bibi),” kata Lie Siong merendah.
“Ibu, yang menolongku adalah Engko Siong bersama suhu-nya, kakek pincang yang bisa terbang itu!” tiba-tiba saja Kwee Cin berkata sehingga semua orang terheran dan terkejut mendengarnya.
“Lie Siong, mengapa kau tidak mengajak suhu-mu ke sini?”
“Dia sudah berada di sini!” tiba-tiba Kwee Cin berkata pula. “Tadi pun dia yang mengantar kami ke sini, entah sekarang ke mana dia pergi!”
Kembali semua orang merasa terheran, lebih-lebih Cin Hai. Dia tadi hanya mendengar suara kaki dua orang, yang ternyata adalah injakan kaki pada genteng dari Lie Siong dan Kwee Cin. Kalau benar ada tiga orang, mengapa dia tidak mendengar suara kaki yang seorang lagi?
“Siong-ji, manakah gurumu itu? Biar kami bertemu dengan dia dan menghaturkan terima kasih serta belajar kenal,” Lin Lin berkata kepada pemuda yang tampan dan yang berdiri dengan muka tunduk itu.
“Dia... dia tidak suka bertemu dengan lain orang. Maafkan siauwte... maafkan karena aku juga tidak dapat lama-lama tinggal di sini.” Ia menengok ke belakang dan berkata, “Suhu, marilah kita pergi.”
Terdengar suara terkekeh dan tiba-tiba berkelebat bayangan yang cepat bagaikan setan ke arah Lie Siong dan tahu-tahu pemuda itu berkelebat dan lenyap di malam gelap!
Cin Hai, Lin Lin, Kwee An, dan Ma Hoa sudah mempunyai ilmu kepandaian yang hampir sempurna, apa lagi Cin Hai, maka biar pun gerakan kakek aneh itu cepat sekali, mereka masih saja sempat melihat wajah dan bentuk tubuh kakek itu dan mereka berempat saling pandang.
Sedangkan Hong Beng dan Goat Lan, karena mereka dapat mengetahui bahwa ilmu ginkang dari kakek itu masih lebih hebat dari pada kepandaian kedua orang tua mereka, hal ini membikin sepasang anak muda ini penasaran sekali. Bagi mereka, orang-orang tua mereka memiliki kepandaian yang paling tinggi di antara orang-orang kang-ouw!
“Siapakah dia...?” Pendekar Bodoh mengerutkan kening sambil mengingat-ingat. Kwee An dan Ma Hoa juga merasa yakin belum pernah melihat orang itu.
“Kepandaiannya mengingatkan kepada suhu Bu Pun Su,” kata Lin Lin.
Tiba-tiba Cin Hai menepuk jidatnya. Ucapan isterinya ini mengingatkan dia akan sesuatu. Pernah dahulu Bu Pun Su gurunya menyebut-nyebut tentang seorang yang bernama The Kun Beng yang dahulu pernah menjadi sahabat baik gurunya. Menurut gurunya, orang ini memiliki kepandaian yang tidak berada di sebelah bawah kepandaian Bu Pun Su sendiri, yaitu ketika keduanya masih muda.
“Hmm, siapa lagi yang dapat memiliki kepandaian setingkat dengan Empat Besar selain dia?” pikir Pendekar Bodoh.
Dia tidak berkata sesuatu kepada orang lain karena hanya menduga-duga, akan tetapi diam-diam dia merasa girang bahwa putera Ang I Niocu bertemu dengan seorang guru yang demikian lihainya.
Dengan wajah gembira semua orang lalu membawa Kwee Cin turun ke ruang pesta, di mana Kwee Cin disambut dengan ucapan selamat dari semua orang yang hadir di sana. Tiba-tiba terdengar suara girang “Kwee Cin...?”
Anak ini menengok dengan wajah berseri, kemudian berseru, “Kamangis!” Keduanya lalu berlari saling menghampiri dan saling berpegang lengan dengan wajah girang sekali.
“Kamangis, kau sudah berada di sini?” tanya Kwee Cin.
“Aku suka sekali ikut ayah bundamu, mereka orang-orang baik sekali!” jawab Kamangis.
“Ayahmu juga seorang baik, Kamangis,” kata Kwee Cin.
Ma Hoa dan Kwee An yang mendengar ini menjadi amat terharu dan juga girang.
Akan tetapi tiba-tiba saja Kam Wi berdiri dan berkata dengan suara lantang, “Kebetulan sekali, Kwee-kongcu sudah tertolong dan terampas kembali. Besok pagi-pagi kita boleh serbu benteng orang-orang Mongol dan kita akan pergunakan Putera dari Malangi Khan ini sebagai perisai! Ha-ha-ha! Malangi Khan kali ini tentu akan dapat dihancurkan segala-galanya.”
“Tidak boleh!” tiba-tiba Ma Hoa menarik Kamangis dalam pelukannya, kemudian sambil memandang ke depan dengan sepasang matanya yang tajam, nyonya ini berkata. “Siapa pun juga tidak boleh mengganggu Kamangis! Dia datang di sini karena dibawa Pendekar Bodoh dan kini berada dalam perlindunganku! Siapa pun juga tidak bisa mengganggunya dan aku akan mengembalikannya kepada ayah bundanya secara baik-baik, karena orang tuanya pun telah memperlakukan anakku dengan baik pula. Siapa pun boleh tidak setuju dengan omonganku, akan tetapi kalau ada yang hendak mengganggu Kamangis, boleh coba-coba mengalahkan sepasang senjataku!”
Sambil berkata demikian dengan sekali gerakan saja Ma Hoa sudah mencabut sepasang bambu runcingnya yang terkenal lihai. Sikapnya amat gagah dan membuat orang menjadi jeri juga melihatnya!
Kam Wi adalah seorang yang berdarah panas. Mendengar ucapan ini dia sudah melotot dan hendak maju mendebat. Akan tetapi Kam Liong yang tak menghendaki perpecahan, segera maju dan menjura kepada Ma Hoa, lalu berkata dengan suara lemah lembut dan sikap sopan santun.
“Mohon Toanio sudi memaafkan, pamanku tadi mengeluarkan kata-kata yang ditujukan hanya karena kebenciannya kepada Malangi Khan yang sudah menyerang negara kita. Siauwte dapat memaklumi pula perasaan Toanio terhadap anak ini setelah Kwee-kongcu terbebas dari benteng orang Mongol, dan kiranya di antara kita juga tidak ada yang ingin mencelakakan Pangeran Kamangis yang masih kecil dan tidak berdosa sesuatu. Akan tetapi, oleh karena putera Toanio sudah tertolong sedangkan Putera Mahkota Mongol ini masih tertahan di sini, tentu saja Malangi Khan takkan tinggal diam. Bala tentara Mongol sewaktu-waktu bisa menyerang pertahanan kita dan hal ini amat berbahaya. Oleh karena itu, sebelum mereka menyerang, kita harus mendahului menyerang benteng mereka dan sesungguhnya...” ia melirik ke arah Pangeran Kamangis, “sesungguhnya dengan adanya Pangeran Mongol ini di sini kita sudah mendapatkan kemenangan perasaan yang amat besar. Sangat boleh jadi bahwa Malangi Khan akan menyerah dan takluk tanpa perang karena puteranya berada di dalam kekuasaan kita. Maka demi kepentingan negara dan demi kemenangan kita, harap Toanio suka menahan dulu anak itu, jangan dikembalikan kepada Malangi Khan sebelum selesai perang ini.”
Ma Hoa menggeleng-geleng kepalanya. “Aku tidak setuju dengan cara-cara yang licik itu! Aku memang tidak tahu tentang siasat perang, akan tetapi ayahku dahulu juga seorang panglima perang dan karena semenjak kecil aku diajarkan kegagahan, maka aku sangat menghargai kegagahan dan keadilan. Di dalam pertempuran mau pun perang besar, aku lebih mengutamakan kegagahan dan keadilan dan tidak suka mempergunakan cara-cara yang curang dan licik. Apakah kita takut terhadap bala tentara Mongol maka kita harus mempergunakan kecurangan? Bagiku, lebih baik kalah dengan cara gagah perkasa dari pada menang dengan menggunakan akal curang!”
Muka Kam-ciangkun menjadi merah mendengar ucapan ini, akan tetapi karena Pendekar Bodoh melihat betapa kedua pihak telah bermerah muka, maka ia cepat maju dan sambil tersenyum, Cin Hai berkata,
“Sebetulnya tidak ada urusan sesuatu yang harus diributkan. Biarlah besok pagi-pagi aku pergi ke benteng Malangi Khan dan mengajak bicara dengan baik. Syukur kalau dia bisa mengakhiri perang ini dengan damai, karena betapa pun juga kalau terjadi perang tentu akan mengorbankan banyak manusia. Perlukah kematian dan kehancuran ini kita hadapi kalau di sana terdapat jalan lain ke arah perdamaian?”
Semua orang menyatakan setuju dengan usul ini, maka urusan Pangeran Kamangis itu selanjutnya tidak disinggung-singgung lagi. Pesta perjamuan berjalan kembali sedangkan Kamangis dan Kwee Cin bicara dengan amat gembiranya di dalam kamar mereka. Dua orang anak ini memang merasa amat cocok dan watak mereka sama pula, gembira dan suka akan kegagahan…..
********************
Pada keesokan harinya, baru saja Cin Hai keluar dari benteng untuk melakukan tugasnya, yaitu mencari Malangi Khan membicarakan tentang Putera Mahkota yang masih tertahan di benteng Alkata-san, tiba-tiba saja dari depan dia melihat debu mengebul tinggi. Cepat Pendekar Bodoh menyelinap di belakang sebatang pohon dan memandang ke depan.
Ternyata yang datang adalah sepasukan berkuda yang terdiri dari kurang lebih lima puluh orang. Di depan sendiri, dengan menunggang seekor kuda berbulu putih yang besar dan kuat, adalah Malangi Khan yang berwajah muram dan keningnya berkerut.
Melihat bahwa yang datang hanyalah satu pasukan kecil, maka Cin Hai maklum bahwa Malangi Khan hendak mendatangi benteng bukan dengan maksud menyerang, maka dia lalu melompat keluar dari balik pohon itu dan menghadang di jalan sambil mengangkat tangannya.
Ketika Malangi Khan melihat Pendekar Bodoh, ia memberi perintah berhenti dan ia cepat melompat turun dari kudanya, berlari menghampiri Cin Hai. Begitu datang, dengan wajah merah saking marahnya, Raja Mongol itu menudingkan jari telunjuknya kepada Pendekar Bodoh dan berkata,
“Tak kusangka bahwa Pendekar Bodoh ternyata adalah orang yang tidak bisa dipercaya mulutnya, seorang yang mudah melanggar janji!”
Cin Hai sudah mengerti kenapa Raja Mongol ini datang-datang begitu marah dan merasa gemas, maka dia kemudian menjura dan berkata dengan senyum simpul, “Malangi Khan, kebetulan sekali aku pun sedang menuju ke bentengmu untuk bicara tentang puteramu.”
“Kembalikan puteraku, jika tidak, demi nenek moyangku, aku akan mengerahkan seluruh bangsaku untuk menerjang ke selatan sampai orang terakhir. Akan aku bumi hanguskan setiap jengkal tanah di selatan!”
“Sabar, sabar, Khan yang baik. Seorang Raja yang besar tidak demikian mudah dikuasai oleh nafsu marah. Dengarlah dulu, sebenarnya tentang keponakanku Kwee Cin, bukan akulah yang merampasnya, maka jangan dikira bahwa Pendekar Bodoh tidak memegang janji.”
“Biar pun bukan kau, tentu kawan-kawanmu atas perintahmu!”
Cin Hai menggelengkan kepala. “Sayang sekali bukan, Khan yang mulia. Aku tidak tahu menahu mengenai perampasan kembali anak itu. Akan tetapi sudahlah, anak itu sudah kembali kepada ayah bundanya, ada pun puteramu sedang bermain-main dengan anak itu di bawah perlindungan Kwee An dan isterinya yang amat mencintainya!”
“Puteraku tidak diganggu? Kamangis tidak apa-apa?” tanya Khan ini dengan muka amat gelisah.
“Siapa yang akan berani mengganggu puteramu itu kalau ibu dari Kwee Cin menantang setiap orang yang akan mengganggunya? Ketahuilah bahwa ibu dari anak yang tertawan di bentengmu itu, bersedia mengorbankan nyawanya untuk melindungi puteramu!” Cin Hai dengan sejujurnya lalu menceritakan tentang pembelaan Ma Hoa terhada Kamangis sehingga Kaisar Mongol ini menjadi terharu sekali.
“Maafkan aku, Pendekar Bodoh. Aku telah meragukan kegagahanmu dan sifat ksatriamu! Di mana anakku?” kata Malangi Khan dengan terharu sambil memegang lengan tangan Cin Hai.
“Malangi Khan, apakah ini berarti bahwa untuk selanjutnya kau akan mengaku sahabat kepadaku?”
“Tentu, bahkan kau dan saudara-saudaramu kuakui sebagai sanak saudaraku sendiri. Lebih dari itu, aku menyerahkan Kamangis putera tunggalku itu sebagai muridmu!”
Melihat sikap sungguh-sungguh dari Malangi Khan, Cin Hai merasa gembira sekali dan kembali bertanya, “Tidak hanya aku dan saudara-saudaraku, akan tetapi rakyat Tiongkok seluruhnya, maukah kau menganggapnya sebagai saudara? Kau tak akan mengganggu mereka lagi, tidak akan menyerang ke selatan lagi?”
“Tidak, tidak! Dengan adanya orang-orang seperti engkau, aku merasa malu kalau harus menyerang ke selatan. Biarlah, aku akan lupakan pembunuhan yang sudah-sudah, yang dilakukan oleh tentara-tentara selatan di perbatasan utara. Dan aku akan mengunjungi kaisarmu, akan mengirim bulu ternak yang paling halus sebagai tanda penghargaan.”
Kini Cin Hai yang memegang lengan Malangi Khan dengan kuat sehingga Kaisar itu meringis kesakitan. Cin Hai yang lupa diri lalu mengendorkan pegangannya dan berkata, “Malangi Khan, kau berjanji untuk membuktikan omonganmu tadi?”
“Tentu saja! Bagiku berlaku ucapan dari bangsamu: It-gan-ki-jut, su-ma-lam-twi (Sekali perkataan keluar, empat ekor kuda takkan dapat menarik kembali).”
Bukan main girangnya hati Pendekar Bodoh. Tak disangkanya bahwa tugasnya ini dapat terpenuhi dengan demikian mudahnya. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dari arah belakangnya dan tampak sepasukan besar tentara kerajaan yang dipimpin oleh Kam Liong sendiri, dikawani pula oleh semua orang gagah yang berkumpul di benteng Alkata-san, datang menuju ke tempat itu! Ini terjadi adalah gara-gara para penjaga yang melaporkan bahwa Malangi Khan bersama pasukannya yang sangat kuat sudah datang menyerbu!
“Pendekar Bodoh, apakah artinya ini?” Kembali wajah Malangi Khan menjadi muram dan bercuriga akan tetapi Cin Hai segera menjawab,
“Jangan kuatir, Khan yang mulia. Akulah yang bertanggung jawab dan akan mencegah mereka bertindak!”
Kemudian, Cin Hai lalu menghadang di tengah jalan sambil mengangkat tangan. Ia lantas mengerahkan tenaganya berseru dengan amat nyaringnya,
“Kam-ciangkun, jangan menyerang! Malangi Khan datang dengan maksud damai!”
Kam Liong terheran melihat Pendekar Bodoh berada di sana dan sesudah mendengar seruan ini, dia segera memberi perintah pasukannya berhenti. Dia sendiri lalu turun dari kudanya dan bersama Tiong Kun Tojin, Kam Wi, dan juga Kwee An dan yang lain-lain, Kam Liong lalu menghampiri Cin Hai dan Malangi Khan.
Dengan sikap angkuh Malangi Khan berdiri menghadapi mereka dengan dada terangkat, sikapnya agung sesuai dengan kedudukannya, yaitu sebagai seorang Khan yang besar. Kam Liong adalah seorang panglima yang tahu diri dan tidak sombong, maka dia lalu memberi hormat terlebih dahulu yang segera dibalas oleh Malangi Khan.
“Malangi Khan, benarkah kata-kata Sie Taihiap tadi bahwa kau bermaksud damai?”
“Memandang muka Pendekar Bodoh yang menjadi saudaraku dan juga menjadi guru dari puteraku, memang benar aku akan mengakhiri permusuhan, melupakan segala kejadian yang lalu dan dalam waktu dekat aku akan mengadakan kunjungan kehormatan kepada Kaisarmu. Sampaikan kata-kataku ini kepada Kaisar dan juga kepada semua prajuritmu yang menjaga tapal batas, agar supaya jangan sampai mengganggu orang-orangku yang hendak memasuki daerah Tiong-goan dalam perjalanannya berdagang.”
Bukan main girangnya hati Kam Liong mendengar ini. Hal ini memang amat diharapkan oleh Kaisar dan biar pun yang berjasa dalam hal ini adalah Pendekar Bodoh, akan tetapi karena dia adalah pemimpin besar barisan, tentu saja pahalanya terjatuh kepada dia!
Akan tetapi Kam Wi yang beradat kasar itu merasa curiga. Sambil melangkah maju dia berkata, “Dengan latar belakang dan alasan apakah maka tiba-tiba Malangi Khan hendak berdamai?”
Malangi Khan memandang dengan mata mendelik, juga Kam Wi melotot sehingga dua orang tinggi besar itu berlagak bagaikan dua ekor ayam jantan akan bertarung. Akan tetapi Cin Hai cepat berkata,
“Kam-enghiong, Malangi Khan yang mulia telah melihat bahwa orang-orang yang tadinya dianggap sebagai musuhnya ternyata sama sekali tidak mengganggu puteranya, dan hal ini melembutkan hatinya dan dia suka sekali berdamai dengan orang-orang yang tidak mengganggu anak kecil, biar pun anak itu anak musuhnya pula.”
Keterangan ini diterima oleh Kam Wi dengan muka menjadi merah karena dia merasa tersindir. Memang tadinya ia bermaksud untuk memenggal leher Putera Mahkota Mongol itu untuk melumpuhkan semangat barisan Mongol.
“Malangi Khan, untuk membuktikan kesungguhan maksud hatimu yang sangat baik, aku mewakili panglima kerajaan yang menjadi keponakanku sendiri untuk mengundangmu makan dan minum di dalam benteng Alkata-san, sesuai dengan sikap persaudaraan yang tadi kau kemukakan,” Kam Wi berkata kepada Malangi Khan.
Dia adalah seorang kang-ouw yang selalu jujur dan kasar, juga amat berhati-hati, maka ia sengaja melakukan siasat ini untuk mencari tahu sikap sesungguhnya dari Malangi Khan.
“Selain Kaisarmu sendiri, aku tidak mau menerima undangan dari segala orang!” Malangi Khan berkata dengan angkuh.
“Kalau begitu, bagaimana kami dapat percaya bahwa kau mempunyai maksud damai?” Kam Wi membentak marah dan suasana menjadi panas lagi. Melihat ini Kam Liong lalu berkata dengan halus,
“Malangi Khan, benar seperti yang diucapkan oleh pamanku tadi. Kami mengundangmu menghadiri perjamuan sederhana untuk merayakan perdamaian kita.”
Akan tetapi Malangi Khan tetap berkepala batu dan menggelengkan kepalanya. Akhirnya Pendekar Bodoh turun tangan. Ia menghampiri Malangi Khan dan berkata,
“Khan yang baik, mengapa kau menolak undangan persaudaraan? Marilah, sekalian kau dapat menyambut puteramu yang tentu telah lama menanti-nantikan kedatanganmu. Kau bawalah semua pengiringmu, sebab dalam suasana perdamaian ini perlu sekali diadakan malam gembira antara kita sama kita!”
Mendengar ucapan ini, lenyaplah kemuraman pada wajah Kaisar Mongol itu. “Kalau kau yang mengundang, itu lain lagi, Saudaraku!”
Dan dia lalu memberi tanda dengan tangannya kepada semua pengiringnya yang berada di belakangnya. Maka, majulah mereka bergerak menuju ke benteng Alkata-san dalam suasana damai!
Diam-diam Kam Wi membisikkan sesuatu kepada Kam Liong, “Suruh para penyelidikmu menyelidiki keadaan di luar, siapa tahu kalau Malangi Khan diam-diam memerintahkan penyerbuan besar.” Kam Liong mengangguk-angguk, karena tanpa nasehat ini, dia pun tentu tidak akan melupakan hal ini.
Pertemuan antara Malangi Khan dan Kamangis amat menggembirakan.
“Ada orang yang mengganggumu di sini?” ayah itu bertanya kaku.
Kamangis menggelengkan kepalanya, lalu menunjuk ke arah Ma Hoa. “Aku mendapatkan perlindungan dari dia yang kuanggap seperti ibuku sendiri. Dia amat manis budi dan baik sekali, Ayah.”
Malangi Khan memandang kepada Ma Hoa lalu menjura, “Bukankah Toanio ini Ibu dari Kwee Cin?”
Ma Hoa mengangguk, maka Malangi Khan dengan girang dan kagum lalu tertawa besar. “Ehh, Kamangis, kalau begitu mengapa kau tidak menyebut ibu saja kepadanya? Kau boleh menjadi anak angkatnya. Ha-ha-ha!”
Dan serta merta Kamangis yang sangat patuh kepada ayahnya itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Ma Hoa sambil menyebut, “Ibu...”
Ma Hoa girang dan juga terharu. Dia memeluk Kamangis dan berkata, “Bagus, memang kau baik sekali. Patut menjadi saudara Cin-ji. Karena kau sudah menjadi anak angkatku, sepatutnya kau kuberi nama julukan, yaitu Kwee Hong”
Malangi Khan tertawa terbahak-bahak. “Bagus, bagus! Memang burung Hong merupakan lambang kebesaran dan kemuliaan. Terima kasih, Toanio!” Pendekar Bodoh lalu bertepuk tangan diikuti oleh orang-orang lain sehingga suasana di situ gembira sekali.
“Ehh, aku hampir lupa, Kamangis, hayo kau cepat memberi hormat kepada gurumu!” Ia menuding ke arah Cin Hai.
Kamangi terheran dan memandang kepada Cin Hai. “Apakah dia lebih lihai dari pada ibu, Ayah? Ibu memiliki ilmu silat yang luar biasa sekali, juga ayah angkatku, demikian kata Kwee Cin. Apakah dia lebih lihai dari mereka?”
“Ha-ha-ha-ha, anak bodoh. Dialah orang yang paling hebat di antara kita semua. Dialah Pendekar Bodoh, dan kau beruntung sekali bisa menjadi muridnya.”
Karena Kamangis memang cerdik, ia lalu berlutut di depan Cin Hai dan memberi hormat sambil menyebut, ‘Suhu’! Kemudian atas perintah ayahnya pula, anak ini pun kemudian memberi hormat kepada ‘ayah angkatnya’ dan juga kepada Lin Lin yang disebut ‘subo’ (isteri guru).
Perjamuan berjalan dengan lancar dan gembira sampai tengah malam. Karena merasa girang sekali puteranya selamat dan permusuhan dapat dihabiskan malam itu, Malangi Khan minum arak sebanyak-banyaknya dan karena arak dari selatan memang jauh lebih keras dari pada arak yang sering kali diminumnya, maka dia menjadi mabuk.
Hal ini memang disengaja oleh Kam Liong karena panglima muda ini ingin sekali dapat mendengar ocehan Malangi Khan dalam mabuknya. Seperti biasa, orang tak akan dapat menyimpan rahasianya apa bila sedang mabuk sehingga jika Malangi Khan mempunyai rencana tertentu dan ‘perdamaian’ yang diperlihatkannya itu hanya tipuan belaka, tentu di dalam mabuknya Kaisar ini akan membuka rahasia. Akan tetapi, ternyata Malangi Khan tidak membuka rahasia apa-apa, kecuali menyebutkan nama-nama beberapa orang selir yang disayanginya!
Dengan bantuan Pendekar Bodoh, Malangi Khan lalu diantar ke dalam sebuah kamar di mana dia lantas tidur mendengkur keras sekali. Kemudian Kaisar Mongol itu ditinggalkan tidur seorang diri di dalam kamar itu, karena yang lain-lain masih melanjutkan perjamuan yang amat gembira.
Siapakah orangnya yang tidak gembira menerima berita bahwa perang dihentikan dan perdamaian membuat mereka mendapat kesempatan untuk pulang dan bertemu kembali dengan keluarga masing-masing? Dalam perjamuan itu, ikut serta para perwira dan orang gagah yang menemani pemimpin-pemimpin pasukan pengawal Malangi Khan.
Kwee An dan Ma Hoa mengantar Kamangis dan Kwee Cin tidur dan Kwee An berpesan kepada Ma Hoa agar jangan meninggalkan dua orang anak itu, karena siapa tahu kalau ada orang jahat di antara para pengikut Malangi Khan. Kemudian dia kembali ke ruang perjamuan, akan tetapi dia mengambil jalan memutar ke belakang.
Tiba-tiba saja dia melihat bayangan orang berkelebat, dan gerakan orang ini luar biasa gesitnya. Tubuh orang itu pendek dan gemuk, mengingatkan dia akan tubuh Thian-he Te-it Siansu, orang pertama dari Hailun Thai-lek Sam-kui, tapi orang ini tidak berjenggot.
Di antara kawan-kawannya dan orang-orang gagah yang berkumpul di Alkata-san, tidak ada orang yang tubuhnya berbentuk seperti ini, maka timbullah kecurigaannya. Secara diam-diam dia kemudian mengikuti bayangan ini, yang dengan hati-hati mempergunakan kesempatan selagi semua orang sedang makan minum untuk mendatangi jendela kamar di mana Malangi Khan tidur mendengkur dengan pulasnya!
Setibanya di luar jendela, ia lalu mencabut sepasang golok dari punggungnya dan sekali cokel saja, terbukalah jendela itu yang lalu diganjalnya dengan sebatang ranting kering. Kemudian, dengan gerakan gesit sekali orang ini lalu melompat ke dalam kamar.
Ternyata bahwa Malangi Khan tidurnya pulas sekali akibat pengaruh arak sehingga dia tidak mendengar sama sekali akan perbuatan orang yang mencurigakan ini. Orang ini adalah seorang Panglima Mongol yang bertubuh pendek gemuk, usianya kurang lebih tiga puluh tahun. Ia bernama Khalinga, seorang panglima Mongol keturunan Tartar yang amat benci kepada orang-orang Han.
Hal ini tidak mengherankan oleh karena ayahnya dahulu tewas oleh orang Han, maka ia telah bermaksud untuk menumpas setiap bangsa Han yang dijumpainya. Kemudian oleh Malangi Khan dia dipilih menjadi panglima sebab memang Khalinga memiliki kepandaian yang lumayan, apa lagi permainan siang-to (sepasang golok) darinya amat lihai.
Ketika Khalinga mendapat kenyataan bahwa Malangi Khan menyatakan damai dengan orang-orang Han, bahkan hendak mengunjungi Kaisar untuk menyatakan persahabatan, hatinya menjadi panas dan mendongkol sekali. Timbullah kebenciannya yang amat hebat terhadap Kaisarnya yang dianggapnya lemah, pengecut dan ingin mengkhianati cita-cita bangsa Mongol. Oleh karena itu, diam-diam dia mendatangi tempat tidur Malangi Khan dan hendak mempergunakan kesempatan selagi kaisar itu tidur dan para tamu sedang makan minum, untuk membunuh Kaisar Malangi Khan!
Niat ini bukan semata-mata terdorong oleh kebenciannya yang tiba-tiba terhadap Malangi Khan, melainkan merupakan siasat yang amat licin dari orang pendek peranakan Tartar Mongol ini.
Kalau ia dapat membunuh Malangi Khan tanpa diketahui oleh siapa pun juga, tentulah peristiwa hebat ini akan melenyapkan sama sekali maksud damai dari Malangi Khan dan tentu dengan mudah dia akan dapat menghasut para panglima dan bala tentara Mongol bahwa dengan sengaja Malangi Khan dijebak ke dalam perangkap kemudian diam-diam dibunuh oleh orang-oran Han! Dengan demikian seluruh bala tentara Mongol tentu akan serentak bangkit dan memusuhi orang-orang Han, dan siapa tahu kalau-kalau dia akan dapat memperoleh kedudukan tinggi!
Akan tetapi semua itu hanya mimpi atau lamunan kosong belaka karena tanpa ia ketahui, pada saat itu ia telah diikuti oleh seorang pendekar besar yang lihai, yaitu Kwee An!
Di dalam kamar Malangi Khan itu masih terang karena lilin yang bernyala di atas ciak-tai (tempat lilin) masih belum habis dan belum padam. Ketika Kwee An melihat betapa orang pendek itu mengangkat golok dan hendak membacok Malangi Khan, cepat-cepat tangan kanannya bergerak dan sebutir batu kerikil tajam melayang ke arah pergelangan tangan kiri orang yang telah mengangkat golok kiri untuk dibacokkan ke arah leher Malangi Khan itu!
Orang itu menjerit perlahan lantas goloknya terlepas dari pegangan. Dia merasa tangan kirinya menjadi lumpuh. Bukan main herannya ketika ia tidak mendengar suara goloknya yang terlepas itu berdentang di atas lantai, malah tiba-tiba api lilin bergoyang.
Alangkah kagetnya ketika ia menengok, ia melihat goloknya yang terlepas tadi sebelum jatuh ke atas lantai, sudah disambar oleh bayangan yang gagah dan kini berdiri dengan golok rampasan itu di depannya sambil tersenyum mengejek. Khalinga mengenal orang ini sebagai Kwee An, ayah dari anak yang dulu ditahan di dalam benteng, maka dengan nekat dia lalu menerjang dengan goloknya.
Akan tetapi tentu saja ia bukan lawan Kwee An, pendekar besar yang berilmu tinggi itu. Setelah belasan jurus mereka bertempur, bukan Khalinga yang menyerang, bahkan dia menjadi pihak yang diserang kalang-kabut oleh Kwee An!
Kwee An hendak menawannya hidup-hidup, maka agak sukar ia mengalahkan lawannya. Kalau saja dia mau menurunkan tangan maut, dalam satu dua jurus saja tentu dia akan dapat membuat lawannya roboh tak bernyawa lagi atau terluka berat.
Suara golok yang beradu menimbulkan suara nyaring dan membangunkan Malangi Khan dari tidurnya.
“Hei! Kalian sedang berbuat apa di sini?” tegurnya heran ketika melihat salah seorang panglimanya sedang bertempur melawan Kwee An.
“Malangi Khan! Penjahat ini berusaha membunuhmu!” berkata Kwee An.
Malangi Khan bukanlah seorang Kaisar besar apa bila dia tidak tahu akan watak semua panglimanya. Begitu mendengar hal ini, segera dia maklum bahwa Khalinga tentu akan menimbulkan kekeruhan, hendak membunuhnya agar memancing permusuhan di antara orang-orang Han dan orang-orang Mongol, karena Malangi Khan sudah tahu betul akan kebencian Khalinga terhadap orang Han.
“Khalinga, kau berani hendak mengkhianati aku?” bentaknya marah.
Khalinga berdiri dengan muka merah dan dada berombak di depan kaisarnya yang telah duduk di atas pembaringan, sedangkan Kwee An juga menunda serangannya akan tetapi terus memandang dengan penuh kewaspadaan.
“Malangi, kau bilang aku mengkhianati engkau? Justru kau orangnya yang mengkhianati bangsa Mongol, kau Kaisar lemah dan pengecut! Kau sudah menyerah kepada bangsat-bangsat Han tanpa mengeluarkan setetes darah, alangkah rendah dan hinanya, alangkah pengecut. Orang macam kau harus mampus di ujung golokku!” Sambil berkata demikian, Khalinga lalu menubruk maju dan menusukkan goloknya ke arah dada Malangi Khan!
Akan tetapi Kwee An segera membentak marah dan sekali goloknya berkelebat, Khalinga lantas berseru kesakitan dan goloknya terlempar ke atas lantai, ada pun tangan kanannya berlumur darah terkena ujung golok Kwee An.
Malangi Khan melompat turun, mengambil golok yang terlepas dari tangan Khalinga, lalu mengangkat golok itu untuk dibacokkan ke arah kepala Khalinga.
“Ha-ha! Kaisar pengecut, kau hendak membunuhku? Bunuhlah, ini dadaku! Aku Khalinga tidak takut mati, tidak seperti engkau!”
Melihat sikap Khalinga ini, maka lemaslah tangan Malangi Khan. Kaisar ini paling suka dan kagum akan kegagahan dan sikap yang berani mati dari Khalinga ini menimbulkan sayangnya.
“Khalinga, lekas pergilah! Aku ampuni jiwamu. Akan tetapi jangan sekali-kali kau berani memperlihatkan mukamu di hadapanku lagi. Kembalilah kau kepada orang-orang Tartar, kau tidak berhak menyebut diri menjadi orang Mongol lagi!”
Bagaikan seekor anjing dipukul, Khalinga melompat keluar dari jendela dan melarikan diri. Setelah Kaisar menyatakan dia bukan orang Mongol lagi, dia tidak berani membuka mulut memaki Malangi Khan, karena sebagai orang Tartar tentu saja dia tidak berhak ikut mencampuri urusan Negara Mongol!
Sementara itu, ribut-ribut ini telah menarik perhatian orang-orang dan Cin Hai diikuti yang lain-lain telah memburu ke tempat itu. Mereka masih dapat melihat betapa Malangi Khan mengampuni calon pembunuh itu, maka makin kagumlah Cin Hai kepada Kaisar Mongol ini.
Juga Kim Wi dan Kam Liong, demikian pula Tiong Kun Tojin, diam-diam memuji Kaisar yang bijaksana ini. Lebih-lebih Kam Wi mengakui kebenaran sikap Pendekar Bodoh yang berhasil menarik hati Kaisar Mongol ini, karena menurut hasil penyelidikan para petugas, ternyata bahwa barisan Mongol yang luar biasa besar jumlahnya telah mengurung sekitar Pegunungan Alkata-san! Kalau saja Malangi Khan mereka ganggu dan kalau saja pecah pertempuran besar, biar pun orang-orang gagah ini tidak merasa jeri dan belum tentu mereka kalah, akan tetapi sudah pasti bahwa banyak korban akan roboh di antara kedua pihak.
Ada pun Malangi Khan tentu saja merasa amat berterima kasih kepada Kwee An, karena kalau tidak kebetulan pendekar ini melihat Khalinga, tentu dia sudah terbunuh oleh orang pendek itu. Dan lebih bersyukur lagi hati Kaisar ini bahwa penolongnya ternyata adalah ayah angkat dari Kamangis putera tunggalnya!
Pada keesokan harinya, Malangi Khan membawa seluruh pasukan serta bala tentaranya untuk kembali ke utara setelah menerima janji dari Pendekar Bodoh bahwa pendekar ini kelak akan menyusul ke utara mengunjungi istana Malangi Khan dan untuk menurunkan ilmu kepandaian kepada Pangeran Kamangis.
Sebaliknya, Kam Liong juga membawa kembali seluruh pasukannya ke kota raja setelah mengangkat seorang komandan untuk bertugas menjaga tapal batas utara dengan pesan agar supaya memperkuat disiplin agar anak buahnya tidak mencari perselisihan dengan orang-orang Mongol yang berlalu-lintas membawa barang dagangan mereka.
Semua orang merasa puas dengan kesudahan dari perang besar yang akan meletus itu, hanya Cin Hai dan sekeluarganya yang merasa amat gelisah karena sampai pada waktu itu, Lili masih juga belum pulang! Terutama sekali Lin Lin merasa gelisah sekali.
Oleh karena itu, ketika Goat Lan dan Hong Beng dengan disertai oleh Kwee An dan Ma Hoa kembali ke kota raja untuk membuat laporan kepada Kaisar mengenai hasil tugas hukuman mereka dan minta dibebaskan serta diampunkan, Cin Hai dan Lin Lin tidak ikut pulang, melainkan hendak pergi mencari Lili.
Dengan diperkuat oleh laporan Kam Liong, Kaisar yang mendengar tentang kesudahan perang itu menjadi sangat gembira dan memuji Hong Beng serta Goat Lan sebagai dua orang pendekar yang setia dan gagah.
“Aku telah mendengar bahwa kalian berdua sudah bertunangan,” Kaisar berkata dengan ramah, “biar pun kalian belum menikah, sudah sepatutnya aku memberi selamat dengan sedikit tanda mata.”
Kaisar lalu memberi hadiah kepada sepasang pendekar ini, yakni sepasang siang-kiam (pedang pasangan) yang bergagang emas serta sebuah giok-ma (kuda kumala), yaitu sebuah perhiasan berbentuk kuda yang terbuat dari batu kemala dan diukir indah sekali sehingga nampaknya seperti hidup saja.
Ada pun Pangeran Mahkota yang merasa amat berterima kasih kepada Goat Lan karena sudah menolong nyawanya dari maut berupa penyakit hebat itu, lalu meloloskan sebuah kancing bajunya yang terbuat dari pada intan. Kancing baju ini berbentuk bulat dan intan yang luar biasa besarnya ini terukir dengan huruf Hok (Rejeki) dan di belakangnya terukir pula dengan huruf-huruf yang berarti Putera Pangeran.
Dengan memegang kancing seperti itu berarti Goat Lan juga telah memegang kekuasaan yang besar, karena ke mana pun juga dia pergi, asalkan dia memperlihatkan kancing ini kepada para pembesar negeri, maka ia tentu akan diterima dengan penuh penghormatan seperti orang menerima kunjungan Pangeran sendiri!
Demikianlah, sesudah menghaturkan terima kasih dengan hati terharu, Hong Beng serta Goat Lan lalu meninggalkan istana dan bersama dengan Kwee An dan Ma Hoa, mereka lalu kembali ke Tiang-an. Di sepanjang jalan mereka bergembira, apa lagi Kwee Cin yang memang belum pernah menikmati perjalanan yang demikian jauh.
Ada pun Sin-kai Lo Sian, ketika oleh Cin Hai disuruh kembali terlebih dahulu ke Shaning karena suami isteri ini hendak mencari Lili, Pengemis Sakti ini menolak dengan halus dan menyatakan bahwa dia sudah bosan untuk berdiam menganggur di dalam rumah dan darah petualangnya memanggilnya untuk kembali mengadakan perantauan seperti pada waktu dahulu…..
********************
Ke manakah perginya Lili, gadis remaja yang cantik dan gagah berani itu? Mari kita ikuti perjalanannya yang penuh bahaya…
Sebagaimana sudah diketahui, ketika mendengar bahwa Goat Lan dan Hong Beng pergi ke benteng orang Mongol untuk menolong Kwee Cin, Lili yang berani dan bengal menjadi tergerak hatinya sehingga malam-malam dia lalu minggat dari benteng Alkata-san untuk menyusul kakaknya dan calon soso-nya (kakak ipar) itu.
Ia mempergunakan ilmu lari cepat di malam terang bulan dan ia merasa gembira sekali. Melalui gunung-gunung dan hutan-hutan liar di malam disinari bulan itu sama sekali tidak membuat hatinya menjadi takut, sebaliknya ia malah merasa demikian gembira sehingga ia berlari-lari sambil bernyanyi-nyanyi kecil seperti ketika ia masih kanak-kanak dahulu.
Akan tetapi oleh karena selama hidupnya Lili belum pernah menginjak daerah ini dan ia pun masih belum berpengalaman dalam hal mencari jalan dengan hanya mengandalkan petunjuk lisan dari seorang Haimi tua seperti Nurhacu itu, maka tanpa disadarinya kedua kakinya menyeleweng dan makin jauh ia meninggalkan arah tujuannya! Ia membelok ke barat menuju ke rimba raya di atas sebuah bukit yang gelap dan menghitam mengerikan.
Setelah malam hampir terganti fajar, kian jauhlah ia tersasar dan makin bingunglah hati Lili. Menurut Nurhacu, hutan yang dilaluinya ini tidak panjang dan sebelum fajar ia sudah dapat keluar dari hutan ini dan sampai di padang rumput dari mana benteng orang-orang Mongol akan tampak. Akan tetapi sekarang sudah menjelang fajar, hutan yang dilalui ini makin lama makin liar dan makin padat oleh pohon-pohon raksasa.
Ia menjadi mendongkol sekali kepada Nurhacu, disangkanya sengaja memberi petunjuk menyesatkan. Mulai lenyaplah kegembiraan di wajahnya, terganti oleh kemarahan yang terlihat pada bibirnya yang cemberut.
Akan tetapi dasar watak Lili amat gembira, setelah fajar terganti pagi dan matahari mulai bersinar, kegembiraannya timbul lagi bersama dengan datangnya suara burung-burung hutan berkicau dan munculnya binatang-binatang hutan yang sangat elok. Beberapa ekor binatang kecil seperti kelinci, rusa, dan lain-lain keluar dari semak-semak, berlari-lari kecil bermandi cahaya matahari sehingga Lili menjadi gembira sekali.
Ia pun lalu ikut berlari-lari, mengejar ke sana ke mari untuk melihat binatang-binatang itu bermain-main sambil kadang-kadang terdengar suara tawanya yang merdu dan nyaring. Kalau ada orang melihat keadaan di dalam hutan liar ini pada waktu itu, dia akan melihat binatang-binatang kecil berlari-larian dan bermain-main di dalam cahaya matahari pagi, mendengar suara burung-burung berkicau serta melihat kembang-kembang mekar indah dengan hiasan mutiara-mutiara embun pagi yang bergantungan di kelopaknya, sehingga pada saat melihat seorang dara juita berbaju kembang berlari ke sana-sini sambil tertawa merdu, tentu orang itu akan menyangka bahwa Lili adalah seorang bidadari atau seorang peri!
Ketika melihat ada sepasang rusa di bawah pohon sedang berkasih-kasihan, yang jantan membelai-belai yang betina dengan lehernya yang panjang indah, hati Lili berdebar dan tiba-tiba di depan matanya terbayang wajah seorang pemuda!
Ia mengerutkan kening dan menggeleng-gelengkan kepalanya, merasa sangat aneh dan marah kepada diri sendiri. Mengapa wajah yang terbayang itu wajah... Lie Siong, orang kurang ajar itu? Kalau saja dia teringat pertama-tama kepada Kam Liong atau bahkan kepada Song Kam Seng sekali pun, dia tak akan merasa aneh. Akan tetapi… Lie Siong?!
Tanpa terasa lagi dia menjumput pasir dan menyambitkannya ke arah sepasang rusa itu yang menjadi terkejut dan melarikan diri. Lenyap pulalah bayangan wajah Lie Siong dari depan matanya dan Lili menjadi gembira kembali.
Tiba-tiba dia melihat seekor kelinci putih yang gemuk dan timbullah seleranya. Dia telah melakukan perjalanan selama setengah malam tanpa istirahat dan kini dia merasa amat lapar. Dikerjarnya kelinci itu, akan tetapi walau pun gemuk dan keempat kakinya pendek-pendek, namun ternyata kelinci putih itu dapat berlari cepat sekali dan sebentar saja dia menghilang di dalam semak-semak.
Lili memang beradat keras dan tidak mudah mengaku kalah. Dia lalu mencabut pedang Liong-coan-kiam dan membabat semak-semak itu hingga bersih! Sebelum semak-semak itu habis dibabat, kelinci itu telah melompat pergi lagi dan kembali menyusup ke dalam semak-semak yang lebih lebat lagi. Lili menggigit bibirnya.
“Kelinci manja! Ke mana kau hendak pergi? Biar pun kau pergi ke neraka, tetap saja aku akan dapat menangkap dan menikmati dagingmu yang empuk!”
Kembali Lili membabat semak-semak berduri itu. Akan tetapi seperti tadi pula, kelinci itu melompat dan berpindah-pindah dari sebuah semak ke semak yang lain. Sebentar saja, sudah lebih dari sepuluh rumpun semak-semak belukar yang dibabat habis oleh pedang Liang-coan-kiam di tangan Lili.
Dan akhirnya kelinci itu menjadi sangat ketakutan dan berlari terus, dikejar oleh Lili yang menjadi semakin gemas. Setelah kehabisan jalan, kelinci itu kembali menyusup ke dalam semak-semak yang penuh dengan tetumbuhan daun hitam yang gelap sekali. Lili tidak peduli dan mulai membabat lagi.
Pedang Liong-coan-kiam adalah pedang pusaka yang amat tajam, maka dengan mudah saja semak-semak itu dibabat hingga berhamburan ke kanan kiri sampai terlihat tanah di bawahnya. Sesudah semak-semak ini habis terbabat, tidak seperti tadi, kelinci itu tetap tidak kelihatan.
Lili menjadi penasaran sekali. Sudah terang bahwa kelinci itu tak melompat keluar, akan tetapi mengapa juga tidak berada di dalam semak-semak ini? Apakah kelinci itu pandai menghilang? Ia mencari terus, melempar-lemparkan semak-semak yang sudah terbabat itu ke kanan kiri, akan tetapi tetap saja kelinci tidak nampak.
Akhirnya ia melihat ada sebuah lubang bundar yang lebarnya kurang lebih satu setengah kaki. Ia pun mengangguk-angguk dan tersenyum. “Kelinci licik, kau kira aku tidak tahu ke mana bersembunyi? Keluarlah!”
Dia lalu menepuk-nepuk pinggir lobang itu dan menjadi terheran-heran ketika mendengar suara berdengung dari bawah tanah. Lobang itu ternyata kosong di sebelah dalamnya, pikirnya. Tempat apakah ini? Goa tertutup?
Dia lalu mempergunakan pedangnya untuk menggali lubang itu dan baru saja satu kaki dalamnya, ternyata bahwa lobang di bawah luar biasa besarnya, merupakan sumur yang lebar sekali. Jadi lubang tadi merupakan ‘cerobong’ pada langit-langit ruangan di bawah tanah ini!
Lili menjadi tertarik sekali. Dia segera melebarkan cerobong itu sampai kira-kira tiga kaki segi empat, lalu mengambil batu dan melemparnya ke bawah. Tidak dalam, pikirnya, dan di bawah tanah lunak biasa saja. Hal ini diketahui karena dalam waktu singkat batu itu mengenai dasar ruang dan terdengar suara berdebuk.
Ia harus menangkap kelinci itu dan di samping itu, ia pun ingin tahu apakah yang berada di dalam ruang di bawah tanah ini. Memang ia memiliki nyali yang amat besar. Dengan pedang Liong-coan-kiam di tangan kanan, gadis ini kemudian melompat ke dalam lubang tadi.....
Benar seperti yang disangkanya tadi, kakinya menyentuh tanah dan ternyata lubang itu dalamnya hanya dua tombak kurang. Sesudah matanya terbiasa dengan pemandangan suram-suram di dalam lubang itu, ia mulai melakukan penyelidikan. Sinar matahari yang masuk dari lubang atas, cukup untuk melihat keadaan di sekelilingnya.
Sumur itu ternyata besar juga, kira-kira tiga tombak luasnya dan dikelilingi oleh dinding batu-batu karang yang kehitaman dan mengkilap. Akan tetapi yang amat mengherankan hatinya, dia tidak melihat kelinci putih tadi! Ia menjadi penasaran sekali karena sumur itu ternyata kosong melompong tidak ada apa-apanya yang menarik, sedangkan kelinci itu lenyap begitu saja.
Ia menyelidiki bagian bawah dinding di seputar tempat itu kalau-kalau ada lubangnya dari mana kelinci itu dapat masuk. Usahanya berhasil karena memang benar di sebelah kiri terdapat lubang kecil di bagian bawah.
Ia mendongkol sekali, tentu kelinci tadi telah melarikan diri ke lubang ini, dan bagaimana dirinya bisa masuk? Lubang itu hanya dapat dimasuki kedua tangannya saja. Ia mencoba lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam lubang ini dan mendapat kenyataan yang mengejutkan hatinya bahwa di balik dinding ini pun merupakan ruang terbuka!
Lili makin tertarik. Ia memeriksa dinding itu dan mendapat kenyataan yang mendebarkan hatinya bahwa di situ terdapat pecahan yang merupakan sebuah pintu! Akan tetapi pintu ini rapat sekali dan ketika ia mencoba untuk mendorongnya, ternyata pintu itu kuat sekali.
Ia lalu mencari akal dan memeriksa lagi. Mungkin bukan pintu dorongan, melainkan pintu angkat seperti penutup lubang jendela, pikirnya. Ia lalu memasukkan kedua tangannya di dalam lubang di bawah pintu ini kemudian mengerahkan tenaganya mengangkat sambil mendorong ke luar.
Dia berhasil! Pintu bundar itu bergerak keluar, akan tetapi Lili harus segera melepaskan kedua tangannya karena pintu itu itu terlampau berat baginya. Peluhnya membasahi jidat dan ia beristirahat sebentar. Setelah tenaga terkumpul kembali ia lalu mencoba lagi, akan tetapi tetap saja dia tidak dapat membuka pintu itu terus sampai dia dapat masuk melalui lubangnya.
Lili adalah seorang yang keras hati dan apa bila sudah mempunyai kehendak, maka akan berusaha mati-matian untuk mencapai kehendak ini. Berkali-kali dia mencoba dan ketika dia mengangkat untuk yang ke sekian belas kalinya, tiba-tiba pintu itu terbuka terus dan tidak menindih kembali seperti ada sesuatu yang mengganjalnya!
Cepat dia merayap masuk ke dalam ruang di balik pintu itu dan alangkah herannya ketika melihat bahwa pintu yang tebal dan berat sekali itu kini tertahan oleh sebatang tongkat bambu yang kecil dan panjang, sebatang tongkat yang dipegang oleh seorang nenek tua. Atau bukan manusiakah nenek ini? Lili memandang dengan mata terbelalak.
Dia melihat bentuk tubuh yang kurus kering dan kecil sekali, bongkok dan kulitnya sudah menjadi satu dengan tulang, melekat sehingga hampir kelihatan seperti sebuah rangka hidup. Rambut nenek ini putih semua dan awut-awutan menutupi mukanya yang berkulit kehitaman. Bajunya hitam menutupi kedua pundak terus bawah.
Kalau saja dua lubang yang merupakan matanya itu tidak bergerak-gerak dan tangan kiri yang memegang tongkat tidak sedang menjaga pintu batu, tentu Lili akan menyangkanya sebuah patung rusak. Tangan kanan nenek ini memegang kelinci putih yang sejak tadi dikejar-kejar oleh Lili.
Setelah dara itu masuk, nenek ini lalu menggerakkan tangan kanannya dan kelinci putih itu melayang keluar melalui pintu batu kemudian terdengar suara keras ketika ia menarik kembali tongkatnya dan daun pintu batu yang berat itu menimpa turun lagi dan menutup tempat itu. Akan tetapi tempat itu tetap terang karena mendapat cahaya matahari dari atas yang turun melalui lubang-lubang kecil yang tinggi sekali dari tempat itu.
Lili menjadi terkejut bukan main. Ia cepat memandang ke sekelilingnya dan tidak melihat sebuah pun jalan keluar. Ketika ia memandang kembali kepada nenek itu, kini nenek itu telah duduk bersila dan diam tak bergerak bagaikan patung asli dari batu hitam!
Lili mulai merasa takut. Dia seakan-akan berada di dalam kuburan, dikubur hidup-hidup bersama sebuah patung batu yang mengerikan, karena kelihatannya seperti tengkorak. Cepat dia menghampiri pintu batu tadi dan berusaha membukanya agar dapat keluar dan melarikan diri.
Akan tetapi seperti tadi, ia tidak mampu membuka pintu itu, tidak mampu membuka lebih lebar dari satu dim saja! Lalu bagaimanakah nenek tadi dapat menahan pintu itu dengan sebatang tongkat bambu?
Lili lalu menghampiri nenek itu dan dengan suara halus membujuk, “Nenek tua yang baik, maafkanlah kelancanganku masuk ke sini dan tolonglah aku keluar dari goa ini. Aku tidak dapat membuka pintunya.”
Berkali-kali ia mengucapkan permintaan ini akan tetapi jangankan membuka mata atau mulut, nenek aneh itu bergerak pun tidak. Mendadak Lili teringat dengan bulu tengkuk berdiri bahwa mungkin sekali nenek ini bukan manusia, melainkan seorang iblis penjaga bumi! Maka ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
“Liok-te Pouwsat (Dewi Bumi), mohon ampun atas kekurang ajaran hamba. Hamba Sie Hong Li telah melakukan dosa karena berlancang masuk ke tempat kediaman Pouwsat tanpa disengaja, mohon ampun dan tolonglah hamba keluar dari kuburan ini!”
Kembali Lili mengulangi permohonannya ini sampai sepuluh kali, akan tetapi nenek itu tetap saja duduk bersila tanpa membuka mata atau mulut. Akhirnya Lili menjadi marah sekali. Ia melompat bangun dan membentak,
“Aha, tak tahunya engkau seorang Iblis Bumi yang jahat, ya? Kau hendak mengurungku sampai mati di sini atau sampai menjadi tua dan buruk seperti engkau? Lebih baik aku mati! Akan tetapi sebelum aku mati, kalau kau tidak mau membuka pintu goa ini, kaulah yang akan kubikin mampus lebih dulu!”
Lili mencabut Liong-coan-kiam yang berkilauan di dalam keadaan suram-suram itu. Dia menggerak-gerakkan pedangnya untuk menakut-nakuti nenek itu, dan benar saja, nenek itu sekarang membuka sepasang matanya yang mencorong laksana mata kucing. Akan tetapi, bukannya menjadi takut, bahkan tiba-tiba saja nenek itu tertawa terkekeh-kekeh dengan suara ketawa yang membuat bulu tengkuk Lili berdiri saking seramnya. Nenek itu ketawa tiada ubahnya seperti mayat atau tengkorak tertawa!
“Kau menertawakan aku? Agaknya kau tak tahu sampai di mana kelihaian pedang Liong-coan-kiam ini!” Sambil berkata demikian, Lili kemudian mainkan pedangnya dengan hebat, menyerang nenek itu.
Akan tetapi, pedangnya terbentur dengan tongkat bambu dan terpental kembali, diiringi suara ketawa nenek itu. Lili tahu bahwa nenek ini tentu memiliki kepandaian tinggi, maka ia lalu mainkan jurus-jurus dari Liong-coan Kiam-sut ciptaan ayahnya. Pedangnya lenyap menjadi segulung sinar yang mengurung tubuh nenek itu.
Akan tetapi ke mana pun juga pedangnya berkelebat, selalu pedang ini terbentur kembali oleh tongkat bambu yang luar biasa itu dan tiba-tiba, dibarengi oleh suara ketawanya, nenek itu menggunakan tangan kanannya merampas pedang Lili! Dengan sangat mudah dia menangkap pedang itu dan membetotnya tanpa Lili mampu berdaya apa-apa! Dan ketika gadis ini memandang, ia membelalakkan kedua matanya karena sekali tekuk saja dengan jari-jari tangan kanannya, pedang Liong-coan-kiam telah dipatahkan!
“Nenek gila, kau berani merusak pedangku?!” bentak Lili dengan marah dan sekarang ia mengeluarkan kipasnya, kemudian tanpa menanti lagi ia lalu mainkan ilmu kipas yang ia pelajari dari Swi Kiat Siansu, yakni Ilmu Kipas San-sui San-hoat yang lihai.
Kembali ia terperanjat ketika semua jurus dari San-sui San-hoat diperlihatkan, sekali ulur tangannya saja nenek itu sudah merampas kipasnya dan mematahkannya pula seperti pedang tadi! Lili menjadi makin gelisah.
Celaka, pikirnya. Sekarang aku harus menemui kematian di tempat ini. Akan tetapi dia tidak menjadi takut, bahkan mengambil keputusan untuk melawan sampai napas terakhir. Kini ia maju menyerang dengan tangan kosong, dan memainkan ilmu silat tangan kosong yang dipelajari dari orang tuanya, yaitu Pek-in Hoat-sut diganti-ganti dengan Kong-ciak Sin-na!
Dua macam ilmu silat tangan kosong ini adalah ilmu yang tangguh dari Bu Pun Su. Akan tetapi ketika digunakan menghadapi nenek ini agaknya seperti tenaga air sungai bertemu dengan laut karena nenek itu sambil tertawa-tawa kini juga memainkan Pek-in Hoat-sut untuk melawan Lili! Akhirnya Lili kehabisan tenaga dan dia pun roboh pingsan di depan nenek itu saking lelah, lapar, marah dan putus harapan!
Pada saat Lili siuman kembali, nenek itu memberinya tiga butir buah hitam dan memberi tanda agar dia makan buah itu. Lili merasa tubuhnya letih dan lapar, maka karena sudah tidak ada jalan keluar lagi, dia menjadi seperti seekor harimau betina yang menemui manusia kuat. Ia makan tiga butir buah itu yang ternyata enak dan wangi dan perutnya terasa penuh dan kenyang!
Kemudian nenek itu menggurat-guratkan ujung tongkatnya di atas lantai. Ternyata bahwa nenek itu telah menuliskan beberapa huruf yang cukup indah. Lili lalu membacanya,
‘Kau berjodoh untuk menjadi muridku selama dua pekan. Engkau harus mempelajari ilmu silat ciptaanku yang kuberi nama Hang-liong Cap-it Ciang-hoat (Sebelas Jurus Ilmu Silat Penakluk Naga). Akan tetapi ada syaratnya, yaitu di waktu kau masih mempelajari dan melatih ilmu silat ini selama satu bulan kau tidak boleh bicara dan harus bertapa gagu!’
Lili merasa aneh sekali. Akan tetapi sesudah dia maklum bahwa dia tidak akan mati dan bahkan menjadi murid seorang yang pandai luar biasa, dia pun menjadi girang dan cepat menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu.
“Teecu akan mentaati semua perintah Suthai.”
Demikianlah, selama dua pekan, dara perkasa ini mempelajari semacam ilmu silat yang baru dan yang luar biasa lihainya, dan biar pun ilmu silat Hang-liong Cap-it Ciang-hoat hanya terdiri dari sebelas jurus, akan tetapi setiap jurus memerlukan gerakan yang sukar dan sempurna serta tenaga yang luar biasa.
Setiap hari gurunya menempelkan telapak tangan kiri pada telapak tangan kanannya, sedangkan tangan kiri Lili lalu disuruh mendorong daun pintu itu untuk membukanya. Pertama kali Lili masih saja tidak kuat, kecuali setelah gurunya mengerahkan tenaga dan menyalurkannya melalui telapak tangannya. Tetapi begitu gurunya melepaskan tempelan telapak tangannya, pintu itu turun kembali tanpa Lili dapat menahannya!
Akan tetapi lambat laun, setelah sembilan hari, Lili dapat membuka daun pintu itu dengan tenaganya sendiri! Ternyata bahwa lweekang-nya telah meningkat secara luar biasa dan cepat sekali. Setelah dua minggu, tamatlah pelajarannya.
Gurunya bertanya kepadanya melalui tulisan di atas lantai,
‘Aku menurunkan ilmu silat ini kepadamu hanya karena kau pernah mempelajari Pek-in Hoat-sut dari Lu Kwan Cu (Bu Pun Su). Pernah apakah kau dengan dia?’
‘Dia adalah Sucouw-ku (Kakek Guruku),’ jawab Lili, juga dengan tulisan di atas lantai karena dia menepati janjinya bertapa gagu selama sebulan! Kemudian ia menambahkan. ‘Dan bolehkah teecu bertanya, siapakah nama Suthai?’
Nenek yang bagai tengkorak itu hanya menuliskan tiga huruf di atas lantal yang berbunyi, ‘Bu-liang-sim’ yang artinya ‘Tiada Pribudi’, kemudian ia menudingkan tongkatnya ke arah pintu goa mengusir Lili pergi dari situ.
Lili berlutut dan mencium tangan gurunya yang aneh ini sebagai tanda berterima kasih, kemudian dia lalu membuka batu besar yang menjadi pintu goa dan keluar dari goa itu. Alangkah girangnya ketika ia melihat kelinci putih yang dulu dilempar keluar oleh gurunya masih berada di situ, akan tetapi kelinci ini telah menjadi begitu kurus karena selama dua pekan tidak makan!
Kalau dulu Lili ingin sekali makan dagingnya, sekarang gadis ini malah menjadi kasihan melihatnya. Dia memegang binatang itu pada kedua telinganya, kemudian membawanya melompat ke atas, keluar dari sumur itu. Setelah sampai di atas, dia lalu memandang ke kanan kiri dan melemparkan kelinci itu ke dalam semak belukar.
Dia menarik napas panjang dengan penuh kebahagiaan karena merasa bersyukur masih dapat hidup setelah mengalami pengalaman yang semikian hebat. Kemudian, setelah dia menghafal keadaan di sekeliling tempat itu untuk mengingat tempat tinggal gurunya, dia lalu menggunakan semak-semak untuk menutupi lubang itu agar jangan sampai terlihat oleh orang lain.
Kemudian pergilah dia dari sana, sambil tidak lupa untuk melatih Ilmu Silat Hang-liong Cap-it Ciang-hoat yang masih harus dipelajarinya terus. Meski pun dia sudah kehilangan Liong-coan-kiam serta kipasnya, dua senjata yang diandalkannya, akan tetapi sekarang karena dia sudah mendapatkan ilmu silat yang luar biasa ini, dia merasa lebih percaya kepada diri sendiri dari pada dahulu…..
********************
Selanjutnya baca
PENDEKAR REMAJA : JILID-15