Kemelut Kerajaan Mancu Jilid 11


Pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi, Han Bu pergi berkunjung ke gedung tempat tinggal Pangeran Ciu Wan Kong. Empat orang prajurit yang berjaga di depan pintu gerbang menanyakan siapa dia dan ada keperluan apa datang ke tempat itu.

Han Bu merasa senang melihat sikap empat orang prajurit itu yang sopan dan tegas akan tetapi tidak sombong. Sikap anak buah dengan sendirinya mencerminkan sifat atasannya. Pangeran Ciu Wan Kong sudah pasti seorang yang bijaksana maka para prajuritnya yang menjaga di luar gedungnya bersikap demikian sopan.

“Harap dilaporkan kepada Pangeran Ciu Wan Kong bahwa saya, Si Han Bu, mohon untuk menghadap beliau agar dapat menyampaikan salam dan pesan dari guru saya yang dulu menjadi sahabat baik Pangeran Ciu Wan Kong,” katanya.

Kepala jaga itu, seorang prajurit yang usianya sekitar empat puluh tahun, lalu mengamati keadaan pemuda itu penuh perhatian. Dia melihat seorang pemuda yang berusia sekitar dua puluh dua tahun, tubuhnya tinggi besar, gagah dan tampan, pakaiannya serba putih dan sikapnya sopan, wajahnya juga membayangkan kejujuran, kelembutan namun gagah.

“Orang muda, terlebih dahulu engkau harus memperkenalkan siapa gurumu yang menjadi sahabat Pangeran dan di mana tempat tinggalnya.”
“Guruku adalah kenalan lama Pangeran Ciu, namanya Im Yang Sian-kouw yang bertapa di Beng-san.”
“Baiklah, harap tunggu sebentar, kami akan melapor ke dalam,” kata kepala jaga yang lalu masuk ke dalam gedung. Tak lama kemudian dia sudah kembali lagi dan berkata dengan suara dan sikap sungguh-sungguh.
“Pangeran Ciu mengatakan bahwa beliau belum pernah mendengar namamu serta nama gurumu, akan tetapi beliau ingin mendengar apa yang hendak engkau sampaikan. Engkau diperkenankan masuk, akan tetapi, orang muda, kami harap engkau suka meninggalkan pedangmu di sini. Ini sudah merupakan peraturan bagi tamu yang belum dikenal.”

Karena permintaan itu sopan dan masuk akal, Han Bu segera melepaskan ikatan sarung pedangnya Im-yang-kiam kemudian menyerahkan pedang berikut sarungnya kepada para prajurit. Ia lalu mengikuti kepala jaga memasuki gedung, di mana dia diterima menghadap Pangeran Ciu Wan Kong di ruangan tamu.

Pada saat itu Pangeran Ciu Wan Kong sedang berada dalam keadaan risau dan bingung karena puterinya, Ciu Thian Hwa, sedang ditawan Pangeran Cu Kiong, dituduh membunuh Pangeran Leng Kok Cun dan Pangeran Cu Kiong bersikeras hendak menghadapkan Ciu Thian Hwa ke depan pengadilan agung di istana.

Memang dia tidak merasa putus asa karena masih banyak bangsawan-bangsawan tinggi dan berpengaruh yang berpihak kepada Thian Hwa dan siap menolong, seperti Pangeran Bouw Hun Ki dan lain-lain. Namun tetap saja dia merasa khawatir karena dia tahu benar bahwa Pangeran Cu Kiong amat mendendam dan membenci Thian Hwa yang sering kali menentangnya. Tentu pangeran itu akan berusaha untuk mencelakai Thian Hwa.

Dalam keadaan seperti itu, ketika penjaga melaporkan bahwa ada seorang tamu, murid Im Yang Sian-kouw yang katanya merupakan sahabat baiknya, hendak menghadap, dia segera mengabulkannya. Kunjungan teman mana pun, walau dia merasa tidak mengenal nama itu, merupakan hiburan baginya.

Sesudah Han Bu memasuki ruangan dan memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan di depan dada dan membungkuk di depan Pangeran Ciu Wan Kong, pangeran itu lantas memberi isyarat kepada pengawal untuk keluar dari ruangan itu.

Para pengawal itu menanti dan menjaga di luar ruangan. Sekarang gedung Pangeran Ciu Wan Kong mempunyai sepasukan pengawal yang tidak berapa banyak, dan hal ini adalah kehendak Thian Hwa yang ingin menjaga keamanan gedung ayahnya mengingat bahwa di luar terdapat banyak orang jahat yang diam-diam memusuhi ayahnya.

“Orang muda, silakan duduk,” kata Pangeran Ciu Wan Kong.

Han Bu duduk di atas sebuah bangku di depan pangeran itu dan mereka saling pandang. Han Bu melihat bahwa pangeran itu adalah seorang pria berusia sekitar lima puluh tahun lebih, bertubuh tinggi sedang, wajahnya masih tampak tampan sungguh pun pada saat itu sinar matanya redup dan wajahnya tampak muram. Pakaiannya tak terlalu mewah seperti para pangeran lainnya, akan tetapi rapi dan bersih. Sebaliknya, Pangeran Ciu Wan Kong merasa suka melihat pemuda yang berwajah lembut dan cerah ini.

“Orang muda, siapakah engkau dan siapa pula gurumu yang bernama Im Yang Sian-kouw yang mengaku mengenalku itu? Aku sungguh tidak ingat pernah mengenal nama itu.”

Han Bu merasa terharu. Jadi inikah suami gurunya yang sesungguhnya sangat mencinta gurunya namun yang terlampau lemah sehingga tak mampu menolak kehendak orang tua agar dia berpisah dari Cui Eng yang telah menjadi isterinya dan melahirkan seorang anak perempuan?

Akan tetapi dia masih merasa penasaran karena hati pemuda ini merasa sakit apa bila dia memikirkan betapa gurunya yang baru saja melahirkan diusir dari rumah ini. Biar pun hal itu dilakukan oleh orang tua Pangeran Ciu Wan Kong, tapi pangeran ini sama sekali tidak membela isterinya yang katanya amat dicintanya, juga tidak membela puteri kandungnya sendiri.

“Begini, Pangeran. Sesungguhnya saya adalah murid Im Yang Sian-kouw dan Subo yang mengutus saya untuk menghadap Pangeran. Subo mengetahui akan seorang wanita she Cui yang pernah bekerja di gedung ini bersama ayahnya yang bernama Cui Sam.”

Pangeran Ciu Wan Kong langsung melompat dan bangkit berdiri dengan mata terbelalak. “Kau maksudkan... Cui... Cui Eng...? Benarkah? Dia masih hidup? Ahh... di mana dia... di mana...?”

Melihat ini Han Bu semakin terharu. Tidak dapat disangsikan lagi, pangeran ini mencinta subo-nya, masih mencinta isterinya yang diusir orang tuanya itu.

“Nanti dulu, Pangeran. Subo berpesan pada saya bahwa saya harus yakin dulu sebelum menceritakan tentang wanita she Cui yang dikenal Subo itu.”

Ciu Wan Kong lalu bertepuk tangan tiga kali. Dua orang pengawal muncul dari pintu dan pangeran itu berseru, “Cepat undang Cui Loya (Tuan Tua Cui) ke sini, cepat!”

Dua orang pengawal itu berlarian keluar dan tidak lama kemudian seorang kakek berusia sekitar enam puluh tujuh tahun memasuki ruangan itu dengan tergesa-gesa.

“Engkau memanggilku, Pangeran? Ada urusan apakah? Bagaimana dengan Thian Hwa?”
“Duduklah, Gak-hu (Ayah Mertua). Perkenalkan, pemuda ini adalah... adalah... ahh, siapa namamu, orang muda?”
“Nama saya Si Han Bu.”
“Si Han Bu ini mengaku murid seorang bernama Im Yang Sian-kouw dan katanya gurunya itu mengenal dan mengetahui di mana adanya Cui Eng....”
“Ahh...! Benarkah, orang muda? Di manakah adanya anakku Cui Eng...?” tanya Cui Sam dengan suara menggetar penuh harapan dan keharuan.
“Ya, katakanlah, Si Han Bu. Di manakah adanya Cui Eng sekarang?” tanya Pangeran Ciu Wan Kong.
“Nanti dulu, Pangeran. Subo memesan kepada saya agar lebih dahulu yakin apakah saya berada di alamat yang benar. Subo sudah mendengar apa yang diceritakan oleh wanita she Cui itu apa yang terjadi dengan dirinya di sini. Sebab itu harap Paduka menceritakan lebih dahulu apa hubungan wanita she Cui itu dengan Paduka dan apakah benar bahwa Kakek ini adalah ayahnya.”

Pangeran Ciu Wan Kong menghela napas panjang. Kemudian dia menceritakan tentang Cui Eng dan ayahnya, Cui Sam yang tadinya bekerja sebagai pelayan di rumah keluarga orang tuanya. Betapa kemudian terjalin hubungan cinta antara dia dengan Cui Eng hingga Cui Eng mengandung dan melahirkan seorang anak perempuan. Akan tetapi orang tuanya tidak setuju bahkan mengusir Cui Eng tanpa dia dapat berbuat sesuatu.

Cui Sam dan Cui Eng lalu pergi meninggalkan gedung itu, membawa bayinya yang belum diberi nama itu. Kemudian muncullah Ciu Thian Hwa yang berjuluk Huang-ho Sian-li, yang ternyata adalah anaknya, bayi yang dulu dibawa pergi oleh Cui Eng. Ketika menceritakan ini semua, kedua mata Pangeran Ciu Wan Kong menjadi basah air mata.

“Aku sudah dapat berkumpul kembali dengan ayah mertuaku, juga puteriku, akan tetapi... selama ini kukira bahwa Cui Eng, isteriku tercinta itu... telah tewas terhanyut di air Sungai Huang-ho. Akan tetapi kini engkau muncul, Si Han Bu, dan menceritakan bahwa gurumu mengetahui di mana Cui Eng berada. Aihh…, kalau saja hal ini ternyata benar... alangkah bahagia hatiku....” Pangeran itu menangis.

“Semua yang diceritakan Pangeran Ciu Wan Kong tadi memang benar, orang muda. Aku sebagai ayah kandung Cui Eng menjadi saksinya. Kasihan mantuku ini. Biar pun engkau membawa berita dan harapan yang sangat membahagiakan, tetap saja dia berada dalam kedukaan dan kekhawatiran besar karena puterinya, cucuku Ciu Thian Hwa, Huang-ho Sian-li, kini menjadi tahanan Pangeran Cu Kiong yang jahat....”

Pangeran Ciu Wan aKong dapat mengatasi kesedihannya dan dia pun menceritakan apa yang terjadi dengan diri Thian Hwa yang difitnah membunuh Pangeran Leng Kok Cun.....

“Sekarang lekas ceritakan, Si Han Bu, di mana adanya Cui Eng? Aku akan segera pergi menjemputnya bersama ayah mertuaku,” kata Pangeran Ciu Wan Kong.
“Benar, orang muda. Di manakah anakku Cui Eng sekarang tinggal? Kami ingin segera menemuinya!” kata pula Cui Sam.

Han Bu menarik napas panjang. “Pangeran, saya tidak diberi tahu di mana adanya wanita bernama Cui Eng itu. Hanya Subo yang mengetahuinya. Karena itu sebaiknya Pangeran bertanya sendiri kepadanya kelak bila mana Subo datang ke kota raja seperti yang beliau janjikan. Sekarang yang terpenting adalah urusan tentang puterimu. Saya akan mencoba untuk menyelidiki, kalau mungkin saya akan membebaskannya.”

“Akan tetapi hal itu tidaklah mudah, Han Bu. Pangeran Cu Kiong memiliki banyak sekali pembantu yang sangat lihai, kedudukannya kuat sekali karena dia adalah putera Kakanda Kaisar Shun Chi. Agaknya sangat sukar untuk membebaskan Thian Hwa, kecuali melalui pengadilan di mana banyak pejabat tinggi tentu akan membela Thian Hwa.”
“Jangan khawatir, Pangeran. Saya akan dapat menjaga diri.”

Pangeran Ciu Wan Kong mencoba untuk menahan Si Han Bu dan menganjurkan pemuda itu bermalam dan tinggal di gedungnya, akan tetapi Han Bu menolak. Dia merasa akan lebih bebas kalau tinggal di rumah penginapan. Dia lalu berpamit dan menjanjikan untuk memberi-tahu kepada gurunya tentang keadaan Pangeran Ciu Wan Kong dan Ciu Thian Hwa, juga tentang Kakek Cui Sam…..
********************
Semua pejabat tinggi yang terpenting, para pangeran dan keluarga kerajaan hadir dalam ruang persidangan istana yang amat luas itu. Mereka semua datang untuk menyaksikan persidangan yang akan mengadili Ciu Thian Hwa atau Huang-ho Sian-li yang dituduh telah membunuh Pangeran Leng Kok Cun.

Di antara sekian banyak pejabat tinggi dan para keluarga kerajaan yang hadir itu, mereka terbagi atas tiga bagian. Kelompok pertama adalah orang-orang yang tidak memihak sana sini, hanya ingin melihat keadilan ditegakkan di dalam persidangan itu. Kelompok kedua adalah mereka yang mendukung Pangeran Cu Kiong dan menyalahkan Huang-ho Sian-li yang membunuh Pangeran Leng Kok Cun. Selebihnya adalah mereka yang setia kepada Kaisar, yang diam-diam tidak percaya bahwa Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa membunuh Pangeran Leng Kok Cun.

Di antara mereka ini tentu saja terdapat Putera Mahkota Kang Shi sendiri, juga Pangeran Bouw Hun Ki dan para pendekar yang membela Pangeran Mahkota, serta para panglima dan pejabat tinggi yang setia terhadap kaisar dan karena mereka semua menghargai Ciu Thian Hwa sebagai pemegang Tek-pai, maka tentu saja mereka berpihak kepada Huang-ho Sian-li.

Pangeran Bouw Hun Ki yang dalam persidangan yang lalu telah diangkat dan ditetapkan menjadi pendamping dan wakil calon kaisar yang masih muda dan kini menjadi pemimpin sidang, datang lebih dulu dalam ruangan persidangan yang luas itu.

Akhirnya Pangeran Cu Kiong dan rombongannya yang telah ditunggu-tunggu tiba di rumah persidangan. Semua orang memperhatikan. Pangeran yang masih muda dan berpakaian mewah ini diiringi para ‘pengawal’, yaitu Si Tinggi Kurus Thio Kwan, Si Gemuk Pendek Yu Kok Lun, Ang-mo Niocu Yi Hong yang cantik dan genit, lalu ikut pula gurunya yaitu Lam Hai Cin-jin Datuk Selatan yang amat lihai itu.

Pangeran Bouw Hun Ki dan para pendukungnya segera mengerutkan alis karena mereka tidak melihat Pangeran Cu Kiong membawa tawanannya, yaitu Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa yang akan diadili dalam persidangan itu. Maka suasana menjadi ribut karena hampir semua orang bertanya-tanya mengapa gadis yang akan diadili itu tidak dihadirkan di situ.

Diam-diam muncul perasaan khawatir dalam hati Pangeran Bouw Hun Ki, terutama dalam hati Pangeran Ciu Wan Kong karena timbul dugaan jangan-jangan puterinya mengalami kecelakaan. Siapa tahu Pangeran Cu Kiong yang curang dan jahat itu dengan diam-diam telah membunuhnya! Ketika ia membisikkan kekhawatirannya ini kepada Pangeran Bouw Hun Ki, pangeran itu menggelengkan kepala dan berkata lirih.

“Harap tenang, Adinda Pangeran Ciu. Aku yakin Pangeran Cu Kiong takkan begitu bodoh melakukan hal itu karena semua pejabat pasti akan menentang kebodohan itu.”

Sesudah semua orang berkumpul, Pangeran Bouw Hun Ki yang menjadi pimpinan sidang dan telah duduk di belakang meja pimpinan, lantas bangkit berdiri dan mengangkat kedua tangannya memberi isyarat kepada semua yang hadir agar berdiam diri.

Pangeran Kang Shi yang berusia sepuluh tahun itu duduk dengan tenangnya di sebelah kanan Pangeran Bouw Hun Ki. Meski pun usianya baru sepuluh tahun lebih, namun calon kaisar ini tampak anggun dan berwibawa, wajahnya serius ketika dia memandang kepada semua orang yang hadir di situ.

Sesudah semua orang berdiam diri dan suasana menjadi tenang, Pangeran Bouw Hun Ki berkata dengan suara nyaring. “Cu-wi (Anda Sekalian) yang terhormat, atas nama Paduka Pangeran Mahkota, kami ucapkan selamat datang dan menyatakan bahwa persidangan ini dibuka! Akan tetapi sebelum persidangan dilanjutkan, kami minta kepada Pangeran Cu Kiong sebagai penuntut agar segera menghadirkan terdakwa Ciu Thian Hwa alias Huang-ho Sian-li di ruangan persidangan ini!”

Pangeran Cu Kiong bangkit berdiri dan suasana langsung menjadi sunyi karena mereka semua ingin sekali mendengarkan apa yang akan diucapkan pangeran muda itu.

“Kami sengaja menahan terdakwa dan tidak menghadirkannya di sini. Kami harap sidang pengadilan ini dapat dimulai tanpa kehadiran terdakwa. Cukup dibicarakan dan dihadirkan saksi-saksi untuk menentukan kesalahan dan dosa yang sudah dilakukan terdakwa yang telah membunuh Kakanda Pangeran Leng Kok Cun secara kejam!”

Kembali terdengar para hadirin saling berbicara sendiri memberi tanggapan atas ucapan Pangeran Cu Kiong sehingga suasananya menjadi riuh kembali. Pangeran Bouw Hun Ki mendiamkan keadaan itu sejenak, lalu dia bangkit lagi dan mengangkat kedua tangan ke atas.

“Harap Cu-wi tenang semua,” dan sesudah keadaan menjadi tenang, Pangeran Bouw lalu melanjutkan. “Kami hendak bertanya dulu kepada Pangeran Cu Kiong sebagai pendakwa, bagaimana mungkin mengadili seorang terdakwa tanpa menghadirkan terdakwa itu dalam sidang pengadilan?”

“Mengapa tidak bisa? Kesalahan terdakwa Huang-ho Sian-li sudah sangat jelas, buktinya sudah ada yaitu kematian Kakanda Pangeran Leng Kok Cun dan saksinya juga banyak. Ada saya sendiri yang menyaksikan beserta para pengawal saya, bahkan semua keluarga dan penghuni rumah Kakanda Leng Kok Cun juga menjadi saksi. Saya tidak merasa perlu menghadirkan terdakwa ke sini karena mengingat bahwa dia adalah seorang yang amat berbahaya, liar dan ganas. Saya tak ingin melihat ia memberontak dan dapat melepaskan diri di tempat ini. Kalau melihat cara ia membunuh Kakanda Pangeran Leng, kami bahkan berkesimpulan bahwa dahulu wanita itu juga yang membunuh Ayahanda Kaisar!”

“Bohong besar!” Pangeran Ciu Wan Kong berseru nyaring. “Anakku Ciu Thian Hwa malah menyelamatkan Kakanda Kaisar dari serangan penjahat sehingga anakku diberi anugerah Tek-pai oleh mendiang Kakanda Kaisar. Ia bukan pembunuh!”
“Hemmm, mungkin saja Ayahanda Kaisar dikelabui olehnya. Gadis itu licik sekali, licik dan kejam. Rasanya tak mungkin Ayahanda memberi anugerah Tek-pai kepada seorang gadis yang asal-usulnya tidak dikenal sama sekali!”
“Pangeran Cu Kiong, jangan bicara sembarangan!” Pangeran Bouw Hun Ki membentak dengan penuh teguran. “Sudah jelas bahwa Ciu Thian Hwa adalah puteri Adinda Pangeran Ciu Wan Kong, maka dia adalah anak keponakan mendiang Kakanda Kaisar sendiri dan engkau berani menghina dan mengatakan ia tidak dikenal asal-usulnya sama sekali?”

“Saya tidak bicara sembarangan, Paman Pangeran Bouw Hun Ki! Siapa yang tidak tahu bahwa Paman Pangeran Ciu Wan Kong tidak pernah beristeri sehingga tidak mempunyai anak? Semua orang tahu benar akan hal ini, namun tiba-tiba saja ada seorang gadis liar dunia kang-ouw yang berjuluk Huang-ho Sian-li muncul mengaku sebagai puterinya! Nah, karena khawatir gadis liar itu meloloskan diri kalau dihadirkan di sini, maka sengaja saya menahannya dengan pengawalan ketat. Kita sidangkan perbuatannya di sini dan jika kita sudah memutuskan hukuman apa yang akan kita jatuhkan kepadanya, barulah saya akan melaksanakan hukuman itu di depan umum.”

Pangeran Bouw Hun Ki menjadi marah, akan tetapi dia masih mampu mengendalikan diri dan dia berkata lantang. “Cu-wi yang terhormat. Karena terdakwa tidak dapat dihadirkan di dalam persidangan ini, maka persidangan ini ditunda sampai tiba saatnya yang tepat. Persidangan ditutup sampai di sini!”

Orang-orang menjadi riuh bicara sendiri sehingga protes yang diteriakkan oleh Pangeran Cu Kiong tenggelam ke dalam suara banyak orang itu. Apa lagi Pangeran Bouw Hun Ki dibantu pasukan pengawal telah mengawal Pangeran Mahkota Kang Shi dengan ketatnya meninggalkan ruang persidangan memasuki bagian dalam istana, di mana kini Pangeran Mahkota tinggal dan selalu ditemani Pangeran Bouw Hun Ki yang diperkuat oleh Nyonya Bouw, Bouw Kun Liong, Bouw Hwi Siang, Bu Kong Liang dan Gui Siang Lin. Di samping mereka, Pangeran Bouw Hun Ki juga memerintah tiga orang panglima yang setia supaya mengerahkan pasukannya untuk memperkuat penjagaan di istana…..
********************
Sementara itu, pagi tadi selagi para pejabat tinggi berbondong-bondong menuju ke ruang persidangan di istana, Thian Hwa berada dalam sebuah kamar tahanan yang kokoh dan kuat. Bukan hanya pintu besi kamar itu yang amat kuat, juga di luar kamar tahanan yang dindingnya terbuat dari baja itu terdapat lima orang prajurit yang membawa gendewa dan anak panah. Mereka adalah ahli-ahli panah yang pandai.

Sedangkan di atas sebuah bangku tampak seorang kakek tua yang seperti mayat dengan pakaian serba putih rebah telentang dan mendengkur. Dia adalah Ngo-beng Kui-ong yang usianya sudah delapan puluh tahun, susiok dari Lam Hai Cin-jin. Pangeran Cu Kiong yang menghadiri persidangan di istana memang sengaja meninggalkan pendukung paling kuat yang dikirim Jenderal Wu Sam Kwi itu agar menjaga tawanan karena dia tidak ingin Thian Hwa dapat lolos dari situ. Hanya Ngo-beng Kui-ong yang sanggup mengalahkan Huang-ho Sian-li.

Thian Hwa duduk bersila di atas dipan yang berada di dalam kamar tahanan itu. Dia tidak dibelenggu karena ketika dimasukkan ke dalam kamar tahanan, ia berada dalam keadaan tertotok sehingga tidak mampu bergerak. Ia tahu benar bahwa dia berada dalam bahaya, dituduh sebagai pembunuh Pangeran Leng Kok Cun!

Andai kata ia dihadirkan dalam persidangan, tentu ia bisa membela diri dan menceritakan yang sebenarnya, yaitu bahwa Pangeran Leng dibunuh oleh Pangeran Cu Kiong sendiri. Akan tetapi apa buktinya dan siapakah saksinya? Buktinya, Pangeran Leng terbunuh oleh tiga batang jarum senjata rahasianya Pek-hwa-ciam dan saksinya yang ketika itu berada di situ, bahkan semua keluarga Pangeran Leng tentu saja percaya bahwa dia yang sudah menjadi pembunuhnya.

Thian Hwa tidak mau menggunakan kekerasan mencoba untuk meloloskan diri. Akan sia-sia belaka. Ia tahu betapa kuatnya kamar tahanan itu. Baru dihujani anak panah oleh lima orang itu dari luar kamar tahanan saja rasanya sukar baginya untuk meloloskan diri, apa lagi di sana masih ada kakek yang tidur mendengkur itu. Kakek tua renta yang lihai bukan main dan yang dia tahu bahwa dia takkan mampu mengalahkannya.

Tiba-tiba lima orang prajurit yang duduk berjajar di atas bangku itu serentak bangkit berdiri dengan gendewa serta anak panah siap di tangan. Mereka memandang kepada seorang prajurit pengawal yang dengan gagahnya melangkah datang dari istana pangeran bagian dalam menuju ke tempat tahanan yang berada di belakang itu.

Prajurit yang masih muda dan tampan gagah ini memberi hormat atau salam cara militer kepada lima orang rekannya itu, lalu berkata dengan tegas.

“Saya telah menerima tugas dari Pangeran Cu Kiong untuk membawa tawanan ke istana. Perintah ini penting sekali dan harus segera dilaksanakan!”

Lima orang prajurit pengawal itu saling pandang sambil mengerutkan alisnya. “Ahh, mana mungkin Yang Mulia Pangeran mengutus seorang prajurit pengawal yang semuda engkau ini untuk membawa tawanan yang amat penting ini ke sana? Bagaimana mungkin engkau akan mampu menguasainya?” kata seorang.

“Kami pun tidak bisa percaya begitu saja karena kami tidak mengenal siapa engkau,” kata yang lain.

Prajurit muda itu memandang dengan mata mencorong. “Tidak tahukah kalian bahwa saat ini Pangeran Cu Kiong mendatangkan banyak sekali jagoan lihai untuk mendukungnya? Baru kemarin aku tiba di sini dan sudah mendapat kepercayaan untuk membawa tawanan penting, ini membuktikan bahwa Pangeran Cu percaya kepadaku! Dan kalian pengawal-pengawal biasa ini berani mencurigaiku?”

Prajurit muda itu segera mengeluarkan sehelai surat perintah yang ada cap dari Pangeran Cu Kiong. Di situ tertulis bahwa dia harus mengambil tawanan bernama Huang-ho Sian-li kemudian membawanya ke persidangan di istana kaisar!

Melihat ini, lima orang prajurit tentu saja menjadi percaya dan takut. Cap dari pangeran itu tidak meragukan lagi, maka seorang dari mereka segera mengeluarkan kunci besar untuk membuka pintu kamar tahanan.

“Hati-hati, kawan. Ia lihai sekali, jangan-jangan ia akan mengamuk dan dapat meloloskan diri,” kata lima orang itu sambil memasang anak panah pada gendewa mereka, bersiap-siap mencegah kalau Huang-ho Sian-li mengamuk.

Akan tetapi prajurit muda itu berkata, “Hemm, jangan khawatir, kawan-kawan. Aku sudah biasa menghadapi lawan-lawan tangguh dan Pangeran Cu juga sudah percaya kepadaku. Aku akan menotoknya dan membuat tawanan ini tidak akan mampu mengamuk.”

Thian Hwa mendengar semua itu dan dengan heran dia memandang wajah prajurit muda yang tampan itu. Pada saat mereka bertemu pandang, Thian Hwa sempat melihat prajurit muda itu mengedipkan sebelah mata kepadanya. Dia merasa heran sekali dan jantungnya berdebar tegang.

Prajurit muda ini pasti berniat menolongnya. Dia tidak boleh gegabah mengamuk karena di sana ada Ngo-beng Kui-ong yang amat lihai, dan mendengar ucapan pemuda itu serta isyarat kedip mata itu, Thian Hwa mengambil keputusan untuk menurut saja.

Setelah daun pintu dibuka dan prajurit muda itu dengan lompatan yang sangat ringan dan cepat mendekatinya lalu menotok kedua pundaknya, Thian Hwa merasa semakin heran. Dia sama sekali tidak merasakan apa-apa, tidak merasa lemas karena totokan itu.

“Nah, dia sudah kutotok dan kubuat tidak berdaya!” kata prajurit muda itu dan Thian Hwa segera membuat dirinya sendiri terkulai lemas!

“Nah, aku akan memondongnya dan membawanya ke istana di mana Pangeran Cu Kiong sudah menanti!” kata prajurit muda itu kepada lima orang rekannya.

Prajurit muda itu bukan lain adalah Si Han Bu. Setelah bertemu Pangeran Ciu Wan Kong dan Cui Sam, suami dan ayah kandung gurunya, dia merasa gembira sekali. Akan tetapi mendengar betapa Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa, puteri kandung gurunya, kini difitnah membunuh seorang pangeran dan berada dalam tahanan Pangeran Cu Kiong, dia merasa khawatir sekali. Dia mengambil keputusan untuk menolong dan membebaskan gadis itu, demi gurunya! Puteri kandung gurunya itu harus dia tolong dan dia bebaskan.

Demikianlah, pada hari itu pagi-pagi sekali dia menyelidiki gedung istana milik Pangeran Cu Kiong dan setelah melihat Pangeran Cu Kiong beserta para pengikutnya meninggalkan gedung, dia melompat masuk melalui pagar tembok di belakang. Setelah mengintai cukup lama akhirnya dia melihat kesempatan baik.

Dia berhasil menyusup ke dalam dan dapat menemukan kamar tidur Pangeran Cu Kiong yang kebetulan kosong. Di atas meja di dalam kamar itulah dia menemukan cap pangeran itu. Cepat dia membuat surat perintah dengan membubuhi cap itu untuk membawa pergi tahanan bernama Huang-ho Sian-li!

Kemudian dia dapat menangkap seorang prajurit yang bentuk tubuhnya sama dengannya, lalu melucuti dan mengenakan pakaian prajurit itu. Tubuh prajurit yang sudah ditotoknya lumpuh itu lalu disembunyikan di balik sebuah almari dan dia pun segera mencari tempat tahanan di bagian belakang kompleks gedung istana itu.

Setelah berhasil menemukan tempat itu, ia berlagak seperti seorang prajurit kepercayaan Pangeran Cu Kiong yang diperintah untuk mengambil tawanan. Dia lalu ‘menotok’ Thian Hwa dan memanggul tubuh yang ‘lemas’ itu keluar dari dalam kamar tahanan.

Akan tetapi salah seorang di antara lima prajurit penjaga itu kiranya merasa curiga, maka dia pun cepat membangunkan Ngo-beng Kui-ong. Ketika kakek itu terbangun dan melihat tawanannya dipondong seorang prajurit, dia mengeluarkan suara bentakan marah.

“Tahan...!”

Melihat kakek itu mengeluarkan sebatang tongkat ular yang tiba-tiba seperti hidup, Han Bu bisa menduga bahwa kakek itu tentulah seorang lawan yang sakti dan tangguh sekali. Maka dia lantas melepaskan Thian Hwa dari panggulannya dan berbisik.

“Nona, kita robohkan mereka!”

Tanpa dikomando lagi, begitu mendengar bentakan Ngo-beng Kui-ong, Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa sudah siap melawan. Dia melompat dari atas panggulan pundak Han Bu dan begitu dia menggerakkan kedua tangan kakinya, tiga orang prajurit yang belum siap menggunakan anak panah mereka tahu-tahu telah roboh dan tidak dapat bangkit kembali. Han Bu juga menggunakan pedangnya dan dua orang prajurit lainnya roboh!

Akan tetapi segera terdengar suara orang-orang di luar tempat tahanan itu. Hal ini berarti bahwa para prajurit lain agaknya sudah mendengar keributan itu dan sedang mendatangi tempat itu.

“Nona, cepat pergi melapor kepada ayahmu. Jangan sampai engkau tertawan lagi!” kata Han Bu sambil menghadapi kakek yang seperti mayat hidup itu.

Thian Hwa meragu. Biar pun dia tidak mengenal pemuda ini, akan tetapi pemuda ini telah menolongnya dan membebaskannya dari tahanan. Bagaimana mungkin sekarang dapat meninggalkannya seorang diri menghadapi tengkorak hidup yang dia tahu sangat lihai itu? Akan tetapi Han Bu yang lebih mengkhawatirkan gadis itu karena melihat banyak prajurit mendatangi, segera berkata,

“Nona Huang-ho Sian-li, kini ayahmu sedang menanti-nantimu. Cepat pergilah. Aku akan menahan mereka di sini. Ingat, engkau harus menyelamatkan Pangeran Mahkota!”
“Dan engkau sendiri?” tanya Thian Hwa ragu.
“Ha-ha-ha, jangan pikirkan aku!”

Pada saat itu Ngo-beng Kui-ong membentak nyaring dan dia sudah melemparkan tongkat ularnya ke udara dan tongkat itu kini berubah menjadi ular hidup yang meluncur ke arah tubuh pemuda itu.

Dengan mengeluarkan suara mendesis-desis dan menyemburkan uap hitam, ular itu telah meluncur dan menyerang ke arah kepala Han Bu. Akan tetapi dengan tenangnya Han Bu sudah mengelebatkan pedangnya, menyerang dan membacok-bacok ke arah ular itu. Ular itu pun agaknya tidak mau terbabat pedang dan gerakannya cepat sekali, seolah menjadi seekor burung yang pandai terbang. Ia tetap menyambar-nyambar sambil menyemburkan uap hitamnya.

Walau pun Thian Hwa sudah menduga bahwa uap hitam itu tentu beracun, tetapi agaknya pemuda itu sama sekali tidak merasakan hal ini. Dia tidak tahu bahwa pemuda itu adalah murid Im Yang Sian-kouw atau cucu murid Bu Beng Kiam-sian yang di samping terkenal sebagai Dewa Pedang, juga merupakan seorang ahli pengobatan yang pandai.

Sebagai cucu murid seorang ahli pengobatan tentu saja Han Bu juga mempelajari ilmu itu dan kini, berhadapan dengan Ngo-beng Kui-ong yang dia duga kemungkinan besar suka menggunakan racun, dia sudah membekali dirinya dengan menelan sebutir pil kebal racun sehingga ketika tongkat ular itu mengeluarkan asap hitam beracun, dia sama sekali tidak terpengaruh.

Bahkan tongkat ular yang tidak berani bertemu sambaran pedang itu menjadi repot untuk menghindarkan diri dari bacokan pedang dan akhirnya, ketika Ngo-beng Kui-ong berseru, tongkat itu terbang kembali ke tangannya.

Melihat betapa pemuda itu cukup lihai dalam menghadapi Ngo-beng Kui-ong, dan melihat pula betapa belasan orang prajurit kini telah menyerbu dan memasuki tempat tahanan itu, Huang-ho Sian-li cepat memungut pedang milik prajurit yang sudah dia robohkan tadi lalu mengamuk dan menerjang keluar! Terjadilah pertempuran hebat di mana Huang-ho Sian-li mengamuk dikeroyok lima belas orang prajurit pengawal.

Thian Hwa teringat akan seruan pemuda yang menolongnya itu agar dia melapor kepada ayahnya. Hal ini berarti bahwa pemuda itu sudah bertemu dengan ayahnya dan mungkin saja ayahnya yang menyuruhnya menolongnya.

Ia juga mendengar pemuda itu berseru agar ia menyelamatkan Pangeran Mahkota. Apa yang terjadi dengan Pangeran Mahkota? Apa yang terjadi dengan keluarga Bouw Hun Ki?

Pemuda itu benar juga. Terlebih dulu ia harus dapat meloloskan diri dan melihat keadaan di luar tempat tahanan ini, barulah ia akan berunding dengan Pangeran Bouw Hun Ki dan yang lain-lain apa yang harus dilakukannya.

Maka ia mempercepat gerakan pedang rampasannya dan empat orang pengeroyok roboh mandi darah. Yang lain terkejut dan cepat mundur dengan jeri melihat kelihaian gadis itu. Kesempatan ini segera digunakan oleh Thian Hwa untuk melompat keluar dari tempat itu, dan terus lari ke tembok taman lalu melompat dan keluar dari lingkungan gedung tempat tinggal Pangeran Cu Kiong!

Sementara itu Han Bu merasa lega ketika melihat Thian Hwa telah lolos. Kelegaan yang hanya sebentar saja karena dia segera diserang oleh Ngo-beng Kui-ong dan mendapat kenyataan bahwa kakek yang seperti mayat hidup ini ternyata lihai bukan main! Juga para prajurit yang ditinggalkan Thian Hwa dan tak berhasil mengejarnya, kini telah mengepung pemuda yang memakai pakaian prajurit itu sehingga sama sekali tidak ada jalan bagi Han Bu untuk meloloskan diri.

Setelah sekarang tongkat ular berada di tangan Ngo-beng Kui-ong, kakek itu sudah berani mempergunakannya untuk diadu dengan pedang Im-yang-kiam dan ternyata tongkat itu kuat sekali karena didukung tenaga sakti yang dahsyat dari Si Mayat Hidup. Maka Han Bu berada dalam keadaan gawat. Dia baru tahu bahwa lawannya yang tampaknya lemah ini ternyata memiliki tenaga sakti yang sangat kuat dan ilmu silat yang amat aneh dan tinggi tingkatnya sehingga gurunya sendiri pun agaknya belum tentu akan sanggup menandingi kakek ini!

“Hei, kakek tua, tahan dulu!” Tiba-tiba Han Bu berseru dan melompat ke belakang. Akan tetapi para prajurit sudah menghadang di belakangnya.
“Hoa-ha-ha, kau mau lari ke mana?” Ngo-beng Kui-ong tertawa.
“Siapa mau lari? Aku hanya ingin tahu dahulu, siapa yang menjadi lawanku supaya jangan sampai aku membunuh orang tanpa kukenal siapa yang menjadi korban pedangku ini!”
“Ha-ha-ha, memang baik sekali agar engkau mati setelah mengenal namaku. Aku adalah Ngo-beng Kui-ong. Nah, engkau pun jangan mati tanpa nama. Siapa namamu sebelum aku membunuhmu!”
“Aku tak akan mati, sebab itu tidak perlu meninggalkan nama,” kata Han Bu dan tiba-tiba saja dia menyerang dengan terjangan dahsyat. Pedangnya berputar dan menusuk ke arah muka lawan, lalu siap menoreh ke bawah ke arah ulu hati kalau tusukannya gagal.
“Tranggg...!”

Tongkat ular itu menangkis pedang dan sejenak Han Bu tidak mampu menarik kembali pedangnya yang menempel pada tongkat. Kakek itu mengamati pedang yang berwarna separuh hitam separuh putih itu. Dia berseru kaget, mendorongnya sehingga tenaga yang amat kuat membuat Han Bu terpaksa mundur tiga langkah dan kakek itu berseru.

“Dari mana engkau memperoleh Im-yang Po-kiam ini? Bukankah Im-yang Po-kiam adalah pedang milik Im Yang Sian-kouw dari Beng-san?”

Han Bu merasa heran dan juga bangga. Agaknya kakek lihai ini mengenal gurunya! Maka sambil membusungkan dadanya dia berkata lantang.

“Dengarlah baik-baik, wahai Ngo-beng Kui-ong! Aku bernama Si Han Bu ada pun Im-yang Sian-kouw adalah Guruku! Subo menghadiahkan pedang ini kepadaku!”
“Ha-ha-ha-ha, bocah sombong! Murid Im-yang Sian-kouw, cucu murid mendiang Bu Beng Kiam-sian, berani melawan aku, Ngo-beng Kui-ong! Heh, bocah ingusan, tahukah engkau, Bu Beng Kiam-sian adalah teman seperjuanganku! Dan Im-yang Sian-kouw, heh-heh-heh, janda cantik itu sombong sekali berani menolakku. Kini engkau berani menantangku? Ho-ho, sudah bosan hidupkah engkau?”

“Engkaulah yang sudah bosan hidup karena sudah tua renta, Ngo-beng Kui-ong. Hendak kulihat bagaimana daya tahan seorang yang sudah mendekati ajal sepertimu, tentu saja kalau engkau tidak begitu pengecut untuk mengeroyokku!”
“Huh, bocah sombong. Siapa yang akan mengeroyokmu? Sambut ini!” bentak Ngo-beng Kui-ong marah.

Han Bu memang sengaja berlagak sombong untuk membuat penasaran hati kakek itu dan mengalihkan perhatian sehingga kakek tua renta itu lupa bahwa tawanan yang dijaganya sudah lolos. Dan usaha Han Bu ini berhasil baik. Ngo-beng Kui-ong agaknya sudah lupa sama sekali akan tawanannya!

Melihat serangan yang amat dahsyat itu, Han Bu tidak berani main-main. Dia cepat-cepat mengerahkan seluruh tenaganya dan memainkan ilmu pedang Im-yang Kiam-sian dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya memainkan Im-yang Po-san, yaitu senjata kipasnya yang juga amat lihai.

Para prajurit hanya berani mengepung, tidak berani turun tangan karena mereka semua maklum bahwa kakek itu memiliki watak yang sangat aneh dan keras. Mengeroyok tanpa diperintah bisa saja berakibat mereka dibunuh sendiri oleh kakek itu.

Pertempuran berjalan cukup ramai. Hal ini karena Ngo-beng Kui-ong tak ingin membunuh Han Bu, melainkan ingin menangkapnya hidup-hidup. Ia mempunyai sebuah rencana bagi pemuda itu.

Dahulu kakek ini memang seorang sahabat dari Bu Beng Kiam-sian. Mereka sama-sama mempelajari ilmu dan saling bertukar ilmu, hidup sebagai datuk-datuk yang gagah perkasa dan patriotik.

Ketika Im-yang Sian-kouw yang dulu bernama Cui Eng menjadi murid Bu-beng Kiam-sian, Ngo-beng Kui-ong sempat tergila-gila pada janda muda itu. Beberapa kali dia membujuk rayu dan meminang agar Cui Eng menjadi isterinya dan dijanjikan akan diberi semua ilmu yang dikuasainya. Pada saat itu Ngo-beng Kui-ong berusia hampir enam puluh tahun dan masih gagah, tidak seperti sekarang.

Akan tetapi Cui Eng menolak dan Ngo-beng Kui-ong tidak berani memaksa karena tentu saja dia merasa sungkan kepada Bu Beng Kiam-sian yang melindungi Cui Eng. Juga dia sendiri bukanlah orang yang suka memaksakan kehendak memenuhi nafsunya.

Kemudian, ketika pasukan Mancu menyerbu lalu menduduki Cina, Ngo-beng Kui-ong ikut pula melakukan perlawanan. Setelah Jenderal Wu Sam Kwi melarikan diri ke selatan dan membentuk pemerintahan sendiri lalu masih melakukan perlawanan mati-matian terhadap pemerintah penjajah Mancu, dengan sendirinya Ngo-beng Kui-ong mau membantunya, apa lagi muridnya, Lam-hai Cin-jin, menjadi Koksu (Guru Negara), penasihat Jenderal Wu Sam Kwi. Walau pun dia sudah tua dan tidak secara langsung membantu Wu Sam Kwi, namun ketika muridnya, Lam-hai Cin-jin minta bantuannya mewakili Wu Sam Kwi dalam persekutuannya dengan Pangeran Cu Kiong, dia tergerak dan berangkat juga.
Demikianlah, ketika kini tiba-tiba dia berhadapan dengan seorang pemuda yang mengaku sebagai murid Im-yang Sian-kouw, Ngo-beng Kui-ong memiliki rencana bagi pemuda itu. Dia hendak menangkapnya hidup-hidup agar kelak dapat digunakan untuk menyenangkan hati Im-yang Sian-kouw. Walau pun andai kata wanita yang membuatnya tergila-gila itu tetap tidak mau menjadi isterinya, setidaknya dapat diharapkan bantuan Im Yang Sian-kouw untuk mendukung pemerintah Jenderal Wu Sam Kwi.....!

Ketika melihat betapa pemuda itu memang sudah mewarisi ilmu pedang dan ilmu kipas yang lihai dari Bu-beng Kiam-sian melalui gurunya, yaitu Im-yang Sian-kouw, maklumlah Kui-beng Kui-ong bahwa tidaklah mudah untuk merobohkan pemuda ini tanpa melukainya dan jalan satu-satunya hanyalah menggunakan tenaga sakti dibantu kekuatan sihirnya.

Maka, setelah berkemak-kemik membaca mantera, dia pun mendorongkan tangan kirinya ke arah Han Bu sambil berseru,
“Robohlah engkau!”

Hawa dorongan itu dahsyat bukan kepalang. Angin yang menyambar bagaikan badai dan di dalamnya terkandung pula wibawa yang mempengaruhi diri Han Bu. Ada sesuatu yang seolah memaksa dirinya untuk kehilangan daya tahannya dan biar pun dia mencoba untuk bertahan, tetap saja pemuda ini terpelanting. Sebelum dia dapat mengatur keseimbangan tubuhnya, kakek itu sudah melompat dan menotoknya sehingga pemuda itu tidak mampu bergerak lagi.

Para prajurit kini berlompatan mendekat dan mereka sudah menggerakkan pedang serta golok masing-masing untuk membunuh Han Bu. Akan tetapi Han Bu cepat berseru,

“Ngo-beng Kui-ong, apakah engkau tidak berani membunuh aku dengan tanganmu sendiri sehingga harus menyuruh anjing-anjingmu ini mengeroyok aku yang sudah tidak mampu bergerak? Pengecut besar!”

Mendengar ini, Ngo-beng Kui-ong menggerakkan tangannya dan angin menyambar amat kuatnya membuat beberapa orang prajurit yang menghampiri Han Bu berpelantingan!

“Tidak ada yang boleh membunuh pemuda ini! Mundur kalian semua!”

Para prajurit ketakutan dan mundur, mengepung dari jarak jauh.

“Ngo-beng Kui-ong, sekarang engkau hendak membunuh aku yang kau buat tidak berdaya dengan ilmu iblismu? Huh, tak tahu malu. Jika kau memang gagah, hayo jangan gunakan ilmu setan tetapi tewaskan aku dalam perkelahian adu ilmu silat yang jujur dan adil. Kalau kau berani!”
“Ho-ho-ho, tak usah berlagak, bocah sombong! Engkau ketakutan maka engkau berlagak pemberani.”
“Ha-ha-ha-ha, kakek tua bangka! Siapa yang takut mati? Aku adalah murid Subo Im-yang Sian-kouw dan cucu murid Sukong Bu Beng Kiam-sian, mana mungkin takut mati? Berarti engkau bohong dan belum mengenal kegagahan mereka!”

“Huh, bagaimana pun juga aku pasti membunuhmu, tapi mengingat akan persahabatanku dengan janda Im-yang Sian-kouw yang menjadi gurumu, biarlah aku memberi kelunakan padamu. Engkau boleh memilih sendiri cara kematianmu. Kalau pilihanmu benar, engkau akan mendapat kehormatan mati di tanganku. Kau tahu, mati di tangan Ngo-beng Kui-ong merupakan kehormatan besar bagi seorang kang-ouw! Akan tetapi kalau pilihanmu tidak benar, engkau akan kuserahkan kepada para anjing ini biar mereka yang mengeroyokmu sampai engkau mampus dengan cara rendah dan hina! Nah, engkau boleh pilih!”

Han Bu adalah seorang pemuda lincah jenaka yang berwatak pemberani dan banyak akal. Mendengar ucapan itu, dia lalu memutar otaknya, mencari akal. Kemudian, dengan wajah cerah, dalam keadaan rebah telentang dan tidak mampu menggerakkan kaki tangannya, dia bertanya,

“Ngo-beng Kui-ong, apakah engkau ini benar-benar seorang datuk ilmu silat yang terkenal dan dapat dipercaya janjinya? Ataukah hanya seorang Siauw-jin (Manusia Rendah) yang suka menjilat ludah sendiri, mengingkari janjinya?”
“Bocah setan! Tentu saja aku selalu memegang teguh ucapan dan janjiku!”
“Tadi kau bilang bahwa aku boleh memilih dan kalau pilihanku tepat maka aku akan mati terhormat di tanganmu, sebaliknya apa bila pilihanku keliru maka aku akan mati dikeroyok anjing-anjing ini. Benarkah demikian janjimu?”

“Benar sekali dan aku tidak akan mengingkarinya!”
“Berani engkau bersumpah bahwa engkau tidak akan melanggar janjimu sendiri? Ingatlah bahwa janjimu disaksikan Bumi dan Langit, juga didengarkan oleh belasan anak buahmu ini. Sebagai seorang datuk besar, tentu engkau tidak akan menjilat ludahmu sendiri!”

Ngo-beng Kui-ong marah sekali. Ia merasa dipermainkan anak muda yang pantas menjadi cucunya, bahkan cucu buyutnya!

“Bocah setan! Siapa hendak mengingkari janji? Aku tak sudi bersumpah, akan tetapi biar semua orang ini menjadi saksi bahwa jika engkau memilih benar maka engkau akan mati terhormat di tanganku, sebaliknya kalau engkau memilih keliru maka engkau akan mati dikeroyok anak buah ini!”

Han Bu mengerutkan alisnya. Wah, tidak enak semua! Akan tetapi seratus kali lebih baik tewas sebagai seekor harimau yang mati-matian membela diri dari pada sebagai seekor babi yang hanya menguik-nguik dan berkaok-kaok ketakutan menghadapi kematian tanpa melawan!

“Ngo-beng Kui-ong, satu hal lagi. Jika aku memilih benar sehingga aku mati di tanganmu, aku minta agar engkau membebaskan aku dari totokan sehingga aku dapat melawanmu dan mati karena kalah dalam perkelahian. Bagaimana?”
“Tentu saja! Jika pilihanmu benar maka engkau akan melawanku sampai mati, akan tetapi kalau pilihanmu keliru, dalam keadaan tertotok engkau akan dihabisi mereka. Nah, jangan banyak cerewet lagi seperti seorang nenek bawel, cepat lakukan pilihanmu!”

Setelah memutar otaknya dan menahan napas, dengan nekat Han Bu lalu berkata lantang sehingga terdengar oleh semua prajurit yang berada di situ.

“Aku, memilih mati di tangan prajurit ini!”

Mendengar ini para prajurit tertawa riuh, Ngo-beng Kui-ong juga turut tertawa. “Ha-ha-ha-ha, kiranya engkau hanya seorang pengecut dan takut melawan aku, maka memilih mati seperti seekor tikus! Baiklah. Kalau itu pilihanmu, maka engkau akan mampus dicincang para prajurit ini dan arwahmu tidak boleh menyalahkan siapa pun karena ini merupakan pilihanmu sendiri!” Dia tertawa lagi terbahak. “Tidak kusangka murid Im-yang Sian-kouw setolol ini!”

Para prajurit sudah gatal tangan dan siap untuk mencincang tubuh pemuda pengacau itu dengan golok dan pedang mereka.

“Tahan!” Han Bu berseru. “Ngo-beng Kui-ong, bukan aku yang tolol, akan tetapi engkau yang hendak menjilat ludahmu sendiri. Engkau ini datuk macam apa hendak mengingkari janjimu, hah?”

Kakek itu terkejut dan marah. “Bocah setan, siapa mengingkari janji?”
“Coba pergunakan otakmu yang tumpul karena sudah terlalu tua itu. Apa pilihanku tadi?”
“Engkau memilih mati di tangan para prajurit!”
“Benar, dan kini engkau hendak melaksanakan itu, menyuruh para prajurit membunuhku? Kalau begitu berarti pilihanku benar! Padahal jika pilihanku benar, para prajurit tidak boleh membunuh aku, melainkan aku akan melawan sampai mati. Engkau masih ingat, bukan? Ataukah engkau sudah pikun dan pura-pura lupa?”

Ngo-beng Kui-ong tertegun dan bengong seperti orang bodoh, sementara itu para prajurit saling pandang kemudian mengangguk-angguk. Mereka bisa melihat kebenaran omongan pemuda itu. Pemuda itu memilih mati di tangan mereka. Kalau hal ini dilaksanakan, berarti pilihannya benar dan kalau pilihannya benar, seperti dijanjikan kakek itu, dia tidak boleh mati di tangan para prajurit!

Agaknya Ngo-beng Kui-ong akhirnya bisa menyadari kebenaran ini. Tidak, anak muda itu tidak boleh mati dikeroyok prajurit karena kalau hal itu terjadi, maka pilihannya benar dan kalau pilihannya benar, sesuai janjinya dia akan mendapat kehormatan melawannya dan mati di tangannya.

“Ahh, benar juga, aku keliru, Si Han Bu. Baiklah, sekarang aku akan membebaskan dan memberi kesempatan kepadamu untuk bertanding melawan aku sampai mati!” Kakek itu hendak melawan Han Bu, maka sekali tangannya berkelebat, dia sudah membebaskan pemuda itu dari totokan yang ampuh. Han Bu melompat berdiri dan segera berseru.

“Tahan dulu, Ngo-beng Kui-ong! Engkau tidak jadi menjilat ludah yang ini, akan tetapi siap untuk menjilat ludahmu yang lain. Benar-benar tidak tahu malu. Aku tidak sudi bertanding melawanmu karena itu menyalahi apa yang telah kau janjikan!”
“Lho! Apa lagi ini? Aku melanggar janji yang mana?”
“Dasar sudah pikun dan bodoh! Apa janjimu tadi? Kalau salah pilih maka aku akan mati di tangan para prajurit, bukan? Nah, apa yang kupilih tadi? Aku memilih mati di tangan para prajurit. Kalau sekarang aku harus mati di tanganmu, berarti pilihanku tadi salah dan kalau salah, tidak semestinya aku mati di tanganmu! Seharusnya mati di tangan para prajurit!”

Kakek itu melongo sambil menghitung-hitung. Kalau pemuda yang memilih mati di tangan para prajurit itu dibiarkan mati dikeroyok, berarti pilihannya benar dan dia tidak boleh mati dikeroyok. Sebaliknya kalau mati di tangannya, berarti pilihannya keliru dan seharusnya mati dikeroyok.

“Lho, bagaimana ini...?” Kakek itu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan hati bingung. “Menyuruh para prajurit membunuhmu salah, aku sendiri yang membunuhmu juga salah! Lalu bagaimana?”

Para prajurit juga geleng-geleng kepala karena bingung. Mereka semua baru menyadari bahwa mereka telah diakali oleh pemuda itu! Akan tetapi Ngo-beng Kui-ong tidak berdaya karena tentu saja dia tidak mau melanggar janjinya sendiri yang disaksikan oleh demikian banyaknya prajurit.

“Memang tidak semestinya engkau membunuhku, Ngo-beng Kui-ong. Kalau betul engkau dahulu sahabat kakek guruku mendiang Bu Beng Kiam-sian dan juga sahabat ibu guruku Im-yang Sian-kouw, bagaimana engkau dapat bertemu mereka kalau engkau membunuh aku?”

Selagi kakek itu kebingungan dan tidak mampu menjawab, terdengar suara berisik di luar bangunan itu. Ngo-beng Kui-ong cepat menotok Han Bu yang tidak siap sehingga pemuda itu terkulai lumpuh kembali. Kakek itu lalu mengangkat tubuh Han Bu dan dimasukkan ke dalam kamar tahanan yang tadi dipergunakan untuk menawan Huang-ho Sian-li. Sesudah melemparkan pemuda itu ke dalam kamar tahanan, pintunya lantas ditutup dan digembok dari luar.

Han Bu girang sekali. Setidaknya dia merasa lega karena pertama, dia dapat meloloskan Huang-ho Sian-li, dan ke dua, dia dapat mengakali Ngo-beng Kui-ong sehingga kakek itu menjadi serba salah dan tidak dapat membunuhnya.

Akan tetapi, dalam keadaan telentang dan tertotok, rebah di atas pembaringan kayu, dia melihat munculnya beberapa orang yang membuat dia dapat merasakan bahwa keadaan dirinya tetap saja gawat.

Yang muncul adalah Pangeran Cu Kiong sendiri bersama Lam-hai Cin-jin, Thio Kwan, Yu Kok Lun, dan Ang-mo Niocu yang cantik genit.

“Locianpwe Ngo-beng Kui-ong, benarkah yang kami dengar dari laporan para pengawal itu? Bagaimana Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa dapat lolos dari tahanan?” Pangeran Cu Kiong bertanya dengan nada marah.

Dia masih marah karena persidangan itu gagal dan harus ditunda. Kini mendengar bahwa Huang-ho Sian-li, musuh yang paling berbahaya baginya itu telah lolos dari ruang tahanan, tentu saja dia menjadi marah sekali. Matanya terbelalak merah dan kalau saja bukan Ngo-beng Kui-ong yang melakukan penjagaan dan bertanggung jawab atas lolosnya tawanan, tentu dia sudah turun tangan membunuhnya!

“Ahh, aku sedang tertidur ketika Huang-ho Sian-li ditolong dan dikeluarkan oleh bocah itu. Sekarang dia yang meloloskan Huang-ho Sian-li sudah kutangkap!” kata kakek itu, sama sekali tidak merasa menyesal.

Dia yang sudah tua tidak begitu mementingkan tentang rencana Pangeran Cu Kiong. Dia datang ke kota raja hanya sebagai utusan Jenderal Wu Sam Kwi untuk membantu murid keponakannya, yaitu Lam-hai Cin-jin.

Mendengar bahwa ada orang telah meloloskan Huang-ho Sian-li dari tawanan, dan orang itu kini sudah tertangkap, Pangeran Cu Kiong bertanya dengan marah sekali.

“Mana Si Jahanam yang telah membikin lolosnya Huang-ho Sian-li?”

Sambil menyeringai Ngo-beng Kui-ong menuding ke arah dalam kamar tahanan. “Itu dia orangnya!”

“Keparat, biar kubunuh dia!” Pangeran Cu Kiong sudah mencabut pedangnya, dia hendak menyuruh buka pintu kamar penjara karena ingin melampiaskan kemarahannya kepada orang yang telah mengeluarkan Huang-ho Sian-li dari tahanan.
“Eittt, nanti dulu, Pangeran. Jangan bunuh dia!” Ngo-beng Kui-ong mencegah dan berdiri menghadang di depan pintu kamar penjara.

Pangeran Cu Kiong menjadi marah sekali, sedangkan Lam-hai Cin-jin juga khawatir akan sikap susiok-nya (paman gurunya) yang sudah tua renta dan suka bersikap ugal-ugalan tanpa pandang bulu itu.

“Susiok, mengapa Susiok melarang Pangeran Cu membunuh orang muda itu? Bukankah dia telah bersalah besar membebaskan Huang-ho Sian-li yang menjadi tawanan penting?” Lam-hai Cin-jin menegur paman gurunya.

“Ho-ho-ho, engkau tidak tahu, Cin-jin. Kau tahu siapa pemuda ini? Dia ini murid Im-yang Sian-kouw, cucu murid mendiang Bu Beng Kiam-sian. Kau ingat mereka itu dahulu adalah sahabat-sahabatku. Sekarang aku dapat menangkap murid Im-yang Sian-kouw, ini adalah senjata yang baik sekali untuk memaksa dia suka membantu Raja Wu Sam Kwi! Sangat menguntungkan, bukan? Kalau dibunuh begitu saja, apa untungnya bagi kita? Pangeran Cu Kiong, hati boleh panas, akan tetapi kepala harus tetap dingin sehingga dapat berpikir dengan baik. Kita pertimbangkan dulu untung ruginya! Aku tetap mempertahankan hidup pemuda ini karena aku mengharapkan gurunya akan mau mendukung Raja Wu Sam Kwi yang membutuhkan banyak bantuan tenaga orang sakti.”

Lam-hai Cin-jin tersenyum masam. Tentu saja dia tahu bahwa alasan yang dikemukakan paman gurunya itu walau pun ada benarnya tetapi sesungguhnya bukan itulah tujuannya. Dia tahu bahwa dahulu paman gurunya itu pernah tergila-gila kepada Im-yang Sian-kouw, juga pernah merayu dan berkali-kali meminang janda muda cantik itu agar suka menjadi isterinya.

Namun Im-yang Sian-kouw telah mengambil keputusan untuk menjanda selama hidupnya, maka bujuk rayu dan pinangan itu ditolaknya. Kini agaknya Ngo-beng Kui-ong yang sudah berusia delapan puluh tahun lebih, semakin tua semakin bergairah, dan agaknya hendak menggunakan murid Im-yang Sian-kouw yang ditawannya untuk memaksa janda itu mau menjadi isterinya!

Pangeran Cu Kiong menjadi marah dan kecewa bukan main. Huang-ho Sian-li bebas dari tahanan dan tentu akan menimbulkan banyak kesulitan baginya. Walau pun dia merasa marah dan benci sekali kepada pemuda yang telah membebaskan Huang-ho Sian-li, tapi melihat Ngo-beng Kui-ong berkeras tidak membiarkan pemuda itu dibunuh, dia pun tidak berani mendesak.

Akan rugi sekali bila dia bentrok dengan kakek tua renta yang sakti itu. Lagi pula baginya tidak begitu penting artinya kalau pemuda itu mau dibunuh ataukah tidak. Yang terpenting sekarang dia harus membuat rencana secepatnya untuk menguasai keadaan, sebelum Huang-ho Sian-li membuat kesulitan baginya.

Maka dengan muka masih merah karena marah serta mulut bersungut-sungut, Pangeran Cu Kiong memberi isyarat kepada para pembantunya untuk mengadakan perundingan di dalam kamar rahasia. Sekali ini dia membuat pertemuan terakhir, maka dia mengundang semua pendukungnya.

Selain para pembantu tetapnya, yaitu Thio Kwan dan Yu Kok Lun, serta para pendukung tetap, yaitu para utusan Jenderal Wu Sam Kwi seperti Lam-hai Cin-jin, Ang-mo Niocu Yi Hong, Mong Lai orang Mongol yang membantu Wu Sam Kwi, dan Ngo-beng Kui-ong, juga hadir pula para panglima serta pejabat tinggi yang sudah dapat dipengaruhi Pangeran Cu Kiong yang kini menggunakan Tek-pai yang dirampasnya dari Huang-ho Sian-li! Dengan Tek-pai itu, banyak panglima dan pejabat tinggi yang tertarik dan terbujuk olehnya.

Di dalam ruangan rahasia yang tertutup itu sekarang dipenuhi mereka yang mengadakan perundingan dengan serius, dipimpin oleh Pangeran Cu Kiong yang penuh semangat dan berapi-api.

“Kita harus bertindak sekarang juga atau akan terlambat dan tidak akan ada kesempatan lagi! Tek-pai berada di tanganku, maka dengan Tek-pai ini aku dapat bertindak atas nama Kaisar, Ayahku, sedangkan kaisar baru belum diangkat, berarti aku memiliki kekuasaan mutlak. Para pejabat tinggi tentu akan tunduk kepada pemegang Tek-pai. Sekarang aku hendak bertanya, bagaimana ketiga Ciangkun, apakah kalian bertiga sudah menyiapkan pasukan kalian dan setiap saat sudah siap untuk mengepung istana dan menguasainya?” Berkata demikian, Pangeran Cu Kiong memandang kepada tiga orang panglima perang yang terbujuk olehnya dan menjadi pendukungnya, tentu saja dengan janji akan mendapat kedudukan yang jauh lebih tinggi kalau Pangeran Cu Kiong kelak menjadi kaisar.

“Kami sudah siap, Pangeran!” serentak mereka menjawab.
“Bagus! Gui-ciangkun, bagaimana hasil penyelidikanmu tadi? Apa yang sedang dilakukan Pangeran Bouw Hun Ki dan di mana adanya Pangeran Kang Shi?” tanya Pangeran Cu Kiong kepada panglima yang ditugaskan sebagai kepala para penyelidik.

“Menurut hasil penyelidikan para anak buah yang kami sebar di mana-mana, tidak tampak banyak gerakan oleh Pangeran Bouw Hun Ki. Pangeran Mahkota Kang Shi masih berada di rumahnya dan semua kegiatan juga dilakukan di sana. Istana masih sepi dan kabarnya, sebelum pelantikan kaisar baru dilaksanakan maka Pangeran Kang Shi akan tetap tinggal bersama Pangeran Bouw Hun Ki. Para panglima yang setia terhadap Kaisar juga belum tampak mengadakan persiapan apa pun. Jadi menurut hamba, saat ini memang tepat dan baik sekali apa bila Paduka membuat gerakan yang pasti akan berhasil baik selagi pihak musuh sedang lengah.”

“Bagus! Dan sekarang aku ingin mendengar pendapat Lam-hai Cin-jin, bagaimana langkah yang sebaiknya harus kita ambil.”

“Hemm, Pangeran, pada saat ini kerajaan sedang kosong, belum ada kaisar baru, maka memang inilah saat paling tepat untuk bergerak. Satu-satunya yang menjadi penghalang bagi Pangeran untuk dapat naik tahta hanyalah Pangeran Kang Shi. Akan tetapi Pangeran itu masih kecil, jadi bukan dia yang menjadi penghalang terbesar, melainkan pelindungnya dan pendampingnya, yang bukan lain adalah Pangeran Bouw Hun Ki. Sebab itu sebaiknya Pangeran mengerahkan semua kekuatan untuk menyerbu ke gedung Pangeran Bouw Hun Ki dan membinasakan semua keluarga dan pengikutnya, termasuk Huang-ho Sian-li.”

“Saya setuju sekali dengan pendapat Lam-hai Cin-jin ini,” kata Thio Kwan si tinggi kurus muka pucat. “Terutama sekali Huang-ho Sian-li, sekali ini kita harus dapat membunuhnya. Tidak ada gunanya menawannya hidup-hidup, lebih cepat dia tewas lebih baik.”

“Memang tepat sekali,” kata Yu Kok Lun yang pendek gemuk. “Gadis itu berbahaya sekali dan setelah dia pernah kita tawan, kiranya tidak akan mudah lagi menawannya karena dia tentu akan berhati-hati. Maka sebaiknya digunakan siasat yang cerdik. Bagaimana kalau kita tangkap ayahnya? Pangeran Ciu Wan Kong adalah seorang lemah, kalau kita dapat menangkapnya, saya kira Huang-ho Sian-li dapat kita tundukkan.”

“Bagus, bagus! Semua usul itu baik sekali dan harus segera dilaksanakan! Dan sekarang, apakah ketiga Ciangkun sudah membuat rencana mengenai apa yang akan dilakukan dan sudah membagi tugas kepada pasukan masing-masing?”

“Pangeran, kami bertiga telah membagi tugas. Tiga pasukan kami telah kami rencanakan untuk bergerak sebagai berikut. Pasukan pertama akan menghadang di pintu gerbang dan mencegah masuknya pasukan dari luar kota raja yang ingin membela Pangeran Mahkota. Pasukan kedua kami perbantukan untuk penyerbuan ke gedung Pangeran Bouw Hun Ki dan menghancurkan semua kekuatannya, kemudian pasukan ke dua membantu pasukan ke tiga yang mengepung istana dan kemudian menyerbu setelah saatnya tiba, yaitu kami menunggu komando dari Pangeran.”

Pangeran Cu Kiong menggosok-gosok kedua tangannya dengan wajah girang. Dia seolah sudah yakin bahwa usahanya pasti berhasil!

“Bagus, sekarang kita tentukan rencana gerakan besok pagi-pagi sekali seperti berikut ini. Malam ini harap Gui Ciangkun suka bekerja keras untuk memata-matai semua gerakan di gedung Pangeran Bouw Hun Ki dan di istana sehingga kalau terjadi perubahan kita dapat mengetahui gerakan mereka. Juga malam ini ketiga pasukan harus sudah bisa menyusup dan siap di tempat masing-masing, yaitu di pintu gerbang, dekat gedung Pangeran Bouw, dan di dekat istana. Jangan membuat gerakan mengepung lebih dahulu karena gerakan itu dapat menarik perhatian orang. Kemudian, begitu ada tanda ayam berkokok, pasukan kedua akan membantu kedua Locianpwe Lam-hai Cin-jin dan Ngo-beng Kui-ong, Sahabat Mong Lai, dan para perwira menyerbu istana Pangeran Bouw Hun Ki, membasmi semua yang melawan termasuk Pangeran Bouw Hun Ki dan Pangeran Kang Shi. 

Sementara itu, Thio Kwan dan Yu Kok Lun lebih dulu membawa dua losin prajurit pergi menangkap Pangeran Ciu Wan Kong sehingga kalau Huang-ho Sian-li mengamuk dalam pertempuran di istana Pangeran Bouw Hun Ki itu, kalian dapat memaksa dia menyerah dengan memperlihatkan ayahnya yang disandera. Kemudian, apa bila pasukan pertama ternyata tidak menemui pasukan kerajaan yang akan masuk, mereka harus cepat-cepat pergi ke istana dan membantu pasukan ke tiga yang mengepung istana. Nah, kalau ada pertanyaan, silakan ajukan sekarang karena ini merupakan perundingan terakhir.”

Setelah merundingkan rencana pemberontakan mereka secara terperinci, perundingan itu ditutup karena semua orang harus membuat persiapan malam itu juga. Sesudah semua meninggalkan ruangan rahasia itu, sebagian para panglima dan pejabat tinggi, pulang ke tempat tinggal masing-masing, ada pun para pembantu atau pengawal kembali ke kamar masing-masing yang disediakan untuk mereka di dalam istana itu.

Pangeran Cu Kiong berjalan menuju kamarnya bersama Ang-mo Niocu Yi Hong. Ketika Yi Hong hendak menuju ke kamarnya sendiri, tangannya dipegang Pangeran Cu Kiong.

“Niocu, malam ini engkau harus menemani aku. Besok adalah hari penentuan, jadi malam ini aku ingin menikmatinya, siapa tahu merupakan malam terakhir pula bagiku.”
“Ihh, mengapa bicara begitu, Pangeran? Aku ingin tidur, harus bersiap dan mengaso agar besok pagi dapat mengerahkan tenaga sepenuhnya.”

“Marilah, Niocu, engkau tidur di kamarku saja.”
“Pangeran, biarkan aku sendiri saja....” Ang-mo Niocu Yi Hong menarik tangannya yang dipegang, akan tetapi pangeran itu tidak mau melepaskannya.
“Niocu, apakah engkau tidak cinta lagi padaku? Bukankah kita saling mencinta? Ingat, jika aku berhasil maka engkau pun akan mendapat kedudukan tinggi di istanaku....”

Di dalam hatinya Yi Hong tersenyum mengejek. Cinta? Tidak pernah ada rasa cinta yang menyelinap dalam hatinya. Sejak kecil hatinya sudah dijejali dan dipenuhi bibit kebencian terhadap pria sehingga kini yang ada hanyalah perasaan benci. Kalau ia mau berdekatan dengan pria yang muda dan tampan, ini sama sekali bukan cinta, melainkan hanya nafsu berahi belaka. Akan tetapi biar pun setelah beberapa lamanya menjadi kekasih Pangeran Cu Kiong dan ia mulai merasa bosan, ia menahan diri dan tidak mau memperlihatkannya. 

Kini pun ia terpaksa mengalah, bukan karena ada rasa sayang terhadap pangeran yang ia tahu bukannya cinta kepadanya melainkan hendak memanfaatkannya, melainkan karena demi memenuhi tugasnya sebagai utusan Jenderal Wu Sam Kwi. Tiada seorang pria pun di dunia ini yang pernah dicintanya dengan kasih yang murni, bahkan Yi Hong tak pernah merasakan kasih sayang antara dirinya dan ayah kandungnya yang telah tewas terbunuh oleh ibu kandungnya sendiri ketika ia berusia satu tahun! Gurunya sendiri, Lam-hai Cin-jin, yang telah mendidiknya sejak ia berusia sepuluh tahun, juga hanya ia taati dan ia hormati sebagai guru tanpa ada rasa sayang seorang murid terhadap gurunya, dan hal ini terjadi hanya karena gurunya itu seorang laki-laki! 

Jika ada laki-laki yang benar-benar ia bela, tidak lain adalah Jenderal Wu Sam Kwi. Sejak kecil sudah tertanam di dalam lubuk hatinya bahwa Jenderal Wu Sam Kwi adalah seorang pahlawan besar yang gagah perkasa, yang setia kepada tanah air dan bangsa, dan yang ia junjung tinggi.

Untuk tokoh yang sudah tua itu, Ang-mo Niocu siap untuk berkorban nyawa sekali pun! Justru karena rasa bakti dan sayangnya kepada Jenderal Wu Sam Kwi, maka Yi Hong membantu Pangeran Cu Kiong dengan sungguh hati, bukan demi keberhasilan pangeran itu, melainkan demi kemenangan dan keberhasilan Jenderal Wu Sam Kwi.

Setelah melayani Pangeran Cu Kiong dengan hati muak karena dia memang sudah bosan dan dilakukan dengan terpaksa, Yi Hong dapat membujuk pangeran itu untuk menitipkan Tek-pai (Tanda Kekuasaan) dari mendiang Kaisar Shun Chi yang dirampas dari Huang-ho Sian-li itu kepadanya.

“Tek-pai itu merupakan bukti yang terpenting bagi Paduka,” demikian Yi Hong membujuk. “Dengan Tek-pai di tangan, setidaknya Paduka mempunyai kekuasaan yang disegani oleh sebagian besar para pejabat kerajaan, apa lagi sebelum ada kaisar baru. Maka berbahaya sekali kalau Paduka pegang sendiri. Juga kalau Paduka sembunyikan, bisa saja diambil atau dicuri orang. Maka, kalau Paduka percaya kepada saya, bagaimana kalau diam-diam Tek-pai itu Paduka titipkan kepada saya? Tidak akan ada yang menyangka sehingga saya dapat menyelamatkan Tek-pai itu dan tidak sampai dirampas atau dicuri orang.”

Pangeran Cu Kiong menganggap usul itu baik sekali. Maka pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali setelah mereka mandi dan berganti pakaian, Tek-pai itu sudah berada di balik ikat pinggang Ang-mo Niocu Yi Hong.

Tentu saja tujuan Yi Hong menyimpan Tek-pai itu sama sekali bukan untuk kepentingan Cu Kiong, melainkan untuk kepentingan Jenderal Wu Sam Kwi. Ia mengharapkan barang kali tanda kekuasaan dari kaisar itu akan dapat berarti penting sekali bagi junjungannya di Se-cuan, terutama sekali jika rencana pemberontakan Pangeran Cu Kiong ternyata kelak sampai menemui kegagalan…..

********************
Selanjutnya baca
KEMELUT KERAJAAN MANCU : JILID-12
LihatTutupKomentar