Kemelut Kerajaan Mancu Jilid 12


Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa merasa menyesal sekali bahwa ia terpaksa harus pergi meninggalkan tempat tahanan di istana Pangeran Cu Kiong, harus meninggalkan pemuda tampan gagah yang telah membebaskannya dari tahanan tanpa dapat menolongnya.

Di tempat tinggal Pangeran Cu Kiong terdapat banyak prajurit pengawal. Walau pun hal ini bukan merupakan bahaya bagi seorang yang mempunyai kelihaian seperti pemuda yang membebaskannya itu, namun di situ ada pula Ngo-beng Kui-ong yang sakti. Mungkinkah pemuda itu mampu menyelamatkan diri dari mereka? Tetapi ada dua hal yang memaksa Huang-ho Sian-li pergi meninggalkan pemuda itu, biar pun tindakannya ini mendatangkan penyesalan yang mendalam kepadanya. 

Pertama, pemuda itu yang mendorong dia agar pergi melarikan diri dengan mengatakan bahwa dia harus cepat menemui ayahnya dan yang terpenting menyelamatkan Pangeran Mahkota. Ke dua, jika dia nekat mengamuk untuk membantu pemuda itu meloloskan diri, kemudian dia tertangkap pula karena lihainya kakek yang seperti mayat hidup itu, lantas bagaimana dengan tugasnya melindungi Pangeran Mahkota?

Demikianlah, dengan hati merasa amat menyesal, terpaksa gadis ini meninggalkan istana Pangeran Cu Kiong dan cepat dia kembali ke gedung ayahnya Pangeran Ciu Wan Kong.

“Ayah...!” Dia melompat ke ruangan dalam di mana ayahnya sedang duduk termenung.

Pangeran Ciu Wan Kong baru saja kembali dari menghadiri persidangan dalam istana di mana Pangeran Bouw Hun Ki memutuskan untuk menunda persidangan karena Huang-ho Sian-li yang menjadi terdakwa pembunuh Pangeran Leng tidak dihadirkan di situ.

Pangeran Ciu termenung dan diam-diam dia merasa khawatir sekali akan nasib puterinya yang menjadi tawanan Pangeran Cu Kiong yang jahat dan kejam. Ketika dia mendengar panggilan itu dan melihat berkelebatnya bayangan Huang-ho Sian-li yang tiba-tiba sudah berada di ruangan itu, dia segera melompat berdiri.

“Thian Hwa...!” Saking girangnya, Pangeran Ciu Wan Kong merangkul puterinya.

Thian Hwa juga merasa terharu karena ia bisa merasakan rangkulan ayahnya yang penuh kasih sayang itu.

“Ayah...!” Ia pun merangkul dengan hati terharu.

Pangeran Ciu Wan Kong melepaskan rangkulannya dan menyuruh puterinya duduk.

“Terima kasih kepada Tuhan, engkau dapat pulang dengan selamat, Anakku. Sekarang ceritakan, bagaimana engkau dapat meloloskan diri dari cengkeraman Pangeran Cu Kiong yang jahat itu dan apa yang telah terjadi?”
“Ayah, aku telah difitnah oleh Pangeran Cu. Dia yang membunuh Pangeran Leng, dengan menggunakan Pek-hwa-ciam milikku yang dirampasnya setelah mereka merobohkan dan menangkapku.”
“Hal itu sudah kami duga, Thian Hwa. Akan tetapi bagaimana terjadinya? Coba ceritakan selengkapnya, aku ingin sekali mendengar apa yang terjadi.”

Thian Hwa lalu menceritakan apa yang ia alami ketika ia mengunjungi Pangeran Leng Kok Cun di mana telah terdapat Pangeran Cu Kiong dan para jagoannya yang lihai sehingga ia dapat ditawan oleh mereka dan difitnah sebagai pembunuh Pangeran Leng, padahal yang membunuhnya adalah Pangeran Cu Kiong sendiri.....!

“Pedang, Pek-hwa-ciam dan Tek-pai pemberian Kaisar dirampas, lalu aku dimasukkan ke kamar tahanan, dijaga oleh Ngo-beng Kui-ong yang amat sakti dan para prajurit yang siap dengan panah mereka untuk mencegah aku melepaskan diri dari tahanan.”
“Ahh, masih baik nasibmu engkau tidak dibunuh pangeran yang jahat itu, Anakku....”
“Tentu mereka menganggap aku masih berguna bagi mereka sehingga mereka tidak atau belum membunuhku, Ayah. Mereka merasa menang karena dapat memfitnahku dengan membunuh Pangeran Leng.”
“Akan tetapi bagaimana engkau dapat meloloskan diri, Thian Hwa?”
“Tadi muncul seorang pemuda yang merobohkan para prajurit dan dia membebaskan aku dari kamar tahanan dengan menyamar sebagai seorang prajurit....”
“Ahh, pemuda yang tampan gagah itu? Dia Si Han Bu...!”
“Si Han Bu...?”
“Ya, dia sudah datang berkunjung ke sini. Dia mengaku bernama Si Han Bu, murid dari Im-yang Sian-kouw di Beng-san. Kemunculannya membawa banyak kabar yang demikian baiknya sehingga sulit dipercaya, Anakku!”
“Kabar apakah, Ayah?”
“Kebahagiaan pertama yang dibawa pemuda itu tentu saja adalah tindakannya yang telah membebaskanmu dari tahanan Pangeran Cu Kiong. Dan kabar ke dua yang membuat kita patut bersyukur kepada Tuhan adalah bahwa... Cui Eng.... masih hidup dan gurunya, Im-yang Sian-kouw, mengetahui di mana adanya....” semakin lama suara Pangeran Ciu Wan Kong semakin lirih dan mengandung isak tangis!

“Cui Eng... Ibuku...?” Thian Hwa setengah menjerit. “Ibu... Ibu... Ibuku masih hidup...?” Ia bangkit dan merangkul ayahnya. Ayah dan anak kembali berangkulan dan kini keduanya menangis!
“Benar sekali, Anakku.... menurut Si Han Bu, gurunya yang bernama Im-yang Sian-kouw mengatakan bahwa Cui Eng ibumu masih hidup dan ia tahu di mana kini ibumu berada...”

Tiba-tiba Thian Hwa melepaskan pelukan ayahnya. “Ayah, sekarang juga aku akan pergi ke Beng-san untuk mencari Im-yang Sian-kouw dan bertanya kepadanya di mana adanya ibuku!”
“Nanti dulu, Thian Hwa! Engkau tidak boleh pergi sekarang ini!”
“Mengapa, Ayah? Apakah Ayah sudah lupa kepada Ibu dan Ayah tidak lagi mencinta Ibu maka tidak ingin aku mencari Ibu?”

“Bukan begitu, Thian Hwa. Akan tetapi engkau harus bisa menentukan mana yang paling penting untuk dilaksanakan lebih dulu. Ibumu masih hidup, ini merupakan berkah Tuhan, merupakan kebahagiaan yang tiada bandingnya bagi kita berdua dan bagi kong-kongmu, tetapi saat ini ibumu berada dalam keadaan baik dan sehat. Sebaliknya kerajaan sedang terancam bahaya besar. Keselamatan Pangeran Mahkota terancam padahal engkau telah dipercaya oleh Kaisar untuk melindunginya. Juga kita tidak boleh melupakan Si Han Bu yang mungkin keselamatan nyawanya terancam di istana Pangeran Cu Kiong. Bagaimana mungkin engkau pergi meninggalkan mereka yang terancam bahaya begitu saja? Marilah kita lakukan yang terpenting lebih dulu dan ini merupakan perintahku kepadamu sebagai ayah memerintahkan anaknya!”

Betapa pun keras hatinya, Thian Hwa dapat melihat kebenaran ucapan ayahnya setelah tadi dalam rangkulan ayahnya dia dapat merasakan kasih sayang orang tua itu. Sesudah menghela napas panjang untuk meredakan guncangan serta ketegangan hatinya karena mendengar ibunya masih hidup, maka dia lalu berkata.

“Baiklah, Ayah. Aku akan menaati semua perintahmu.”
“Syukurlah, Anakku yang baik. Mari kita segera pergi menemui Kakanda Pangeran Bouw Hun Ki dan kau ceritakan semua pengalamanmu di istana Pangeran Cu Kiong.”

Ayah dan anak itu pergi mengunjungi Pangeran Bouw Hun Ki. Ketika Pangeran Bouw Hun Ki, Bouw Hujin, Bouw Kun Liong, Bouw Hwi Siang, Bu Kong Liang, Gui Sian Lin, serta beberapa orang panglima dan pejabat tinggi yang setia terhadap Pangeran Mahkota dan membantu usaha Pangeran Bouw dalam melindungi dan membela calon kaisar menerima kedatangan Huang-ho Sian-li bersama Pangeran Ciu Wan Kong, mereka terkejut, heran dan juga girang melihat gadis itu selamat dan berhasil lolos dari penahanan Pangeran Cu Kiong.

Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa segera menceritakan pengalamannya secara lengkap kepada mereka sampai dia dapat terlepas karena pertolongan Si Han Bu yang kini entah bagaimana nasibnya.

“Aihh, sungguh aku dan Dinda Pangeran Ciu Wan Kong merasa prihatin, sedih dan malu mempunyai seorang keponakan seperti Pangeran Cu Kiong yang jahat dan licik itu. Kita harus siap siaga menghadapi niatnya yang jelas hendak memberontak dan merebut tahta kerajaan dari Pangeran Mahkota!” kata Pangeran Bouw Hun Ki.
“Memang secepatnya kita harus bertindak, malam ini juga kita membuat persiapan!” kata Bouw Hujin penuh semangat. “Sekarang bukan hanya kita melindungi Pangeran Mahkota dan menyelamatkan tahta kerajaan, akan tetapi juga harus menolong dan menyelamatkan pemuda yang sudah membebaskan Thian Hwa itu! Aku sendiri yang akan menyelidiki ke istana Pangeran Cu Kiong untuk menolong pemuda bernama Si Han Bu itu!”

“Aku akan menemani Bibi!” kata Thian Hwa dengan gagah.
“Perlahan dulu, jangan terburu-buru dan gegabah,” kata Pangeran Bouw Hun Ki. “Urusan ini sudah menjadi urusan negara, bukan urusan pribadi lagi. Sekarang penjagaan di istana Pangeran Cu Kiong tentu sudah makin diperkuat sesudah Thian Hwa lolos dari sana. Mari kita kumpulkan semua pasukan yang setia dan membuat pertahanan besar-besaran. Para ciangkun yang berada di sini harap secepatnya menghubungi teman-teman sependirian yang setia kepada pemerintah. Juga pasukan kita yang berada di luar kota raja, malam ini juga sudah harus memasuki kota raja. Semua ini perlu diatur sebaik mungkin dan secara rahasia. Ketahuilah bahwa pihak musuh juga mempunyai banyak pendukung dan mereka cerdik. Kita sudah berhati-hati, sudah menyembunyikan lagi Pangeran Mahkota ke rumah kami ini, di ruang rahasia bawah tanah, tidak lagi di istana. Akan tetapi mungkin mereka sudah mengetahui atau menduganya. Karena itu, yang terutama kita harus mengungsikan Pangeran Mahkota ke tempat yang benar-benar rahasia dan dijaga sangat kuat, baru kita atur yang lainnya.”

“Pangeran, sebaiknya Pangeran Mahkota disembunyikan di dalam benteng induk pasukan kerajaan yang mempunyai tempat persembunyian rahasia dan terjaga kuat oleh pasukan pilihan yang berjumlah besar!” kata Panglima Ciang.
“Bagus, usul itu diterima!” kata Pangeran Bouw Hun Ki yang percaya sepenuhnya kepada panglima ini.

Setelah itu mereka lalu mengatur rencana untuk menjaga jika sewaktu-waktu pihak lawan bergerak, dan mengubah posisi mereka yang mungkin telah diketahui atau diduga musuh. Mereka semua dapat menduga bahwa titik-titik pusat yang akan diserang oleh kekuatan pemberontak tentu istana tempat tinggal Pangeran Bouw Hun Ki dan istana kaisar yang tentu akan dikuasai pemberontak.

Karena itu pertahanan diutamakan pada istana, sementara tempat tinggal Pangeran Bouw Hun Ki sengaja dikosongkan untuk menjebak lawan! Keselamatan Pangeran Mahkota tak perlu dikhawatirkan lagi karena selain pihak musuh tidak mungkin tahu atau menyangka, juga perbentengan induk pasukan itu kuat bukan main.

Demikianlah, jika malam itu pihak Pangeran Cu Kiong mengaso untuk persiapan gerakan esok hari, maka pihak Pangeran Bouw Hun Ki malam itu juga sibuk membuat persiapan untuk menghancurkan apa bila pihak pemberontak mengadakan aksi penyerbuan!

Pada keesokan harinya, penduduk di kota raja sama sekali tidak menyangka akan terjadi peristiwa menggemparkan. Mereka semua mengira bahwa peristiwa penyerbuan di istana Pangeran Bouw Hun Ki telah selesai dan para penjahat atau pemberontak yang didalangi Pangeran Leng Kok Cun sudah terbasmi, bahkan dalangnya, Pangeran Leng Kok Cun, sudah pula terbunuh. Mereka semua mengira bahwa tentu suasananya kini aman setelah tidak ada lagi yang mendalangi pemberontakan.

Namun suasana mulai gempar dan para penghuni banyak yang berlari-larian, mengungsi ketakutan sesudah terjadi pertempuran hebat di beberapa tempat. Terutama sekali terjadi pertempuran besar-besaran antara dua pasukan pemerintah yang berbeda pimpinan.

Hanya ragam pakaian, bentuk topi, dan bendera lambang-lambang kesatuan mereka saja yang berbeda, namun di antara mereka tidak terdapat pasukan musuh dari luar. Semua adalah pasukan pemerintah. Berarti ini terjadi perang pemberontakan!

Pertempuran mulai berkobar semenjak pagi-pagi sekali. Mula-mula pasukan pemberontak yang menjaga di pintu gerbang selatan, berjumlah seribu orang, tiba-tiba saja menghadapi serbuan pasukan pemerintah dari luar pintu gerbang dalam jumlah yang seimbang. Akan tetapi baru saja pertempuran dimulai, dari dalam kota raja muncullah sekitar seribu orang prajurit pemerintah yang menjepit pasukan pemberontak. Pasukan ke dua dari pemerintah ini ternyata tadi malam masuk ke dalam kota raja melalui pintu gerbang utara, hal yang sama sekali tidak disangka para pemimpin pemberontak.

Pertempuran ke dua terjadi di depan istana tempat tinggal Pangeran Bouw Hun Ki, tetapi pertempuran di sini tidak seimbang. Pertahanan yang dilakukan para prajurit pemerintah di sini lemah sekali sehingga mereka terus mundur, terdesak oleh pasukan pemberontak yang lebih besar jumlahnya.

Pertempuran ke tiga terjadi di depan istana kaisar! Di sini terjadi pertempuran yang sama hebatnya dengan yang terjadi di pintu gerbang kota raja. Pasukan pemberontak mendapat sambutan hebat dari pasukan pemerintah yang tidak kalah banyaknya, bahkan pasukan pemberontak terjepit oleh pasukan yang membanjir keluar dari benteng induk pasukan yang semalam telah menampung bala bantuan dari luar yang masuk ke kota raja melalui pintu-pintu gerbang yang tidak terjaga pasukan pemberontak. Tentu saja pihak pasukan kerajaan dapat mendesak pasukan pemberontak yang menjadi panik menerima sambutan itu.

Selain di tiga tempat itu terdapat pula pertempuran-pertempuran kelompok kecil dari para mata-mata dan penyelidik dari kedua pihak. Bahkan para jagoan pendukung pemberontak yang ikut menyerbu, ketika disambut oleh para pendekar yang membela kerajaan, segera memisahkan diri dari pasukan yang bertempur dan mereka memilih bertanding di tempat-tempat yang luas, tetapi tidak sempat karena banyaknya prajurit yang bertempur.

Thio Kwan bersama Yu Kok Lun memimpin dua losin prajurit menyerbu ke gedung tempat tinggal Pangeran Ciu Wan Kong dengan tugas menangkap ayah Huang-ho Sian-li. Akan tetapi sesudah menyerbu, mereka kecelik karena di gedung itu tidak terdapat siapa pun. Bahkan tidak ada seorang pun pelayan. Yang ada hanya beberapa orang prajurit penjaga yang segera melarikan diri melihat ada prajurit pemberontak menyerbu.

Thio Kwan dan Yu Kok Lun kecewa dan marah sekali. Untuk melampiaskan kemarahan mereka, mereka merusak perabot-perabot rumah dan membiarkan dua losin anak buah mereka mengambil serta merampok barang berharga sesuka hati mereka dari rumah itu, lalu mereka menyuruh para anak buah mereka membakar gedung itu untuk melampiaskan kemarahan mereka!

Setelah itu, dengan sorak sorai kemenangan menutupi kekecewaan dua orang pimpinan mereka dan juga gembira karena pasukan yang berubah menjadi gerombolan perampok itu telah mendapat ‘hasil’ lumayan dari gedung Pangeran Ciu Wan Kong, mereka menuju istana Pangeran Bouw Hun Ki untuk membantu pasukan besar yang menyerbu ke sana.

Pada waktu Thio Kwan dan Yu Kok Lun tiba di depan istana Pangeran Bouw Hun Ki, hati mereka girang bukan main ketika melihat betapa pasukan pendukung Pangeran Cu Kiong sedang mendesak pasukan pemerintah yang mempertahankan istana Pangeran Bouw. Akan tetapi pada saat itu pula mereka berdua juga melihat perkelahian mati-matian terjadi agak jauh dari pertempuran para prajurit, yaitu antara jagoan-jagoan pendukung Pangeran Cu Kiong melawan para pendekar yang membela kerajaan!

Memang seru dan menarik sekali perkelahian antara para ahli silat tingkat tinggi itu, jauh lebih seru dan menegangkan dibandingkan dengan pertempuran antara para prajurit kedua pihak yang saling tumpas dengan ngawur itu.
Seperti yang sudah direncanakan oleh para pemberontak, pasukan yang menyerbu istana Pangeran Bouw Hun Ki dipimpin oleh para perwira tinggi dan diperkuat orang-orang sakti seperti Lam-hai Cin-jin, Ngo-beng Kui-ong, Mong Lai. Akan tetapi sesudah melihat tidak ada seorang pun pendekar yang menyambut mereka melainkan hanya pasukan kerajaan saja yang menyambut, maka Lam-hai Cin-jin lalu mengajak para jagoan untuk membantu penyerbuan ke istana yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Cu Kiong dengan dibantu oleh Ang-mo Niocu Yi Hong.

Setelah tiba di depan istana kaisar, barulah mereka mendapat sambutan dahsyat. Lam-hai Cin-jin segera diterjang Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa tanpa banyak cakap lagi dan mereka segera bertanding mati-matian. Nyonya Pangeran Bouw Hun Ki atau yang ketika masih gadis adalah seorang pendekar wanita berjuluk Sin-hong-cu (Burung Hong Sakti) bernama Souw Lan Hui, begitu melihat Ngo-beng Kui-ong segera menerjang kakek mayat hidup ini karena dia dapat menduga bahwa kakek ini tentu lihai bukan main seperti yang diceritakan Thian Hwa dan mereka pun segera terlibat perkelahian dahsyat. 

Ang-mo Niocu Yi Hong segera diserang oleh Bu Kong Liang yang kini membenci wanita yang ternyata berwatak jahat dan palsu itu. Mong Lai, tokoh Mongol yang ahli ilmu silat campur gulat, juga mempunyai kekuatan ilmu sihir, diserang oleh Bouw Kun Liong, putera Pangeran Bouw. Thio Kwan dan Yu Kok Lun yang baru saja datang ke depan istana itu sesudah membakar rumah Pangeran Ciu Wan Kong yang ternyata kosong, juga langsung diserbu oleh dua orang gadis cantik, yaitu Bouw Hwi Siang dan Gui Siang Lin. Ada pun Pangeran Cu Kiong yang tadinya hanya memberi semangat kepada para jagoannya, tiba-tiba harus menghadapi Pangeran Bouw Hun Ki!

“Cu Kiong, apa engkau tidak malu berhadapan dengan nenek moyang kita sesudah nanti engkau mati sebagai seorang pengkhianat dan pemberontak?”

“Bouw Hun Ki, engkau adalah orang tua yang tak tahu malu! Engkau sudah bekerja sama dengan penjahat wanita Huang-ho Sian-li untuk menguasai tahta kerajaan. Pada lahirnya saja engkau mengaku sebagai pelindung dan pendamping Pangeran Kang Shi, tapi siapa yang tidak tahu akan isi perutmu? Engkau ingin menguasai Pangeran yang masih kanak-kanak itu sehingga kelak engkaulah yang berkuasa atas pemerintahan!” Sesudah berkata demikian, Pangeran Cu Kiong menerjang dan menyerang dengan pedangnya.

“Tranggg...!”

Pangeran Bouw Hun Ki menangkis dengan pedangnya dan kedua orang pangeran yang merupakan paman dan keponakan ini sudah saling serang dengan pedang mereka. Biar pun Pangeran Bouw Hun Ki baru belajar ilmu silat setelah menikah dengan Souw Lan Hui, namun karena isterinya mempunyai kepandaian silat yang hebat, maka pangeran ini pun memiliki pertahanan yang cukup kuat dan serangan balasannya juga cukup berbahaya bagi lawannya karena Pangeran Cu Kiong juga bukan seorang ahli silat yang terlampau pandai.

Setelah pertempuran berlangsung, barulah Pangeran Cu Kiong dan para pembantu serta pendukungnya merasa terkejut dan kecelik. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa rencana siasat mereka telah dihadapi dengan persiapan yang amat kuat oleh pihak lawan, bahkan pasukan yang mendukung pemberontak jumlahnya jauh kalah besar.

Yang menjadi puncak perkelahian antara para ahli silat itu adalah pertandingan antara Lam-hai Cin-jin melawan Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa, dan antara Ngo-beng Kui-ong melawan Sin-hong-cu Souw Lan Hui atau Nyonya Bouw. Mereka inilah yang mempunyai tingkat ilmu silat paling tinggi di antara para tokoh kedua pihak.

Bouw Hujin menghadapi lawan yang amat tangguh. Nyonya yang berusia lima puluh satu tahun ini adalah murid Bu-tong-pai yang lihai. Senjatanya siang-kiam (sepasang pedang) bergerak cepat sekali membentuk dua gulungan sinar pedang yang menyambar-nyambar bagaikan dua ekor naga sakti berlomba saling berebut mustika. Juga dia memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Akan tetapi kali ini dia bertanding melawan Ngo-beng Kui-ong yang merupakan datuk tua paling dahsyat ilmunya di seluruh daerah selatan! 

Tadi sebelum Nyonya Bouw dan para pembantunya keluar menyambut lawan, Ngo-beng Kui-ong ini, di samping keponakan muridnya, yaitu Lam-hai Cin-jin, mengamuk dan telah membunuhi setiap perwira mau pun prajurit yang berani mendekat ke arah mereka. Entah sudah berapa puluh orang tewas di tangan Ngo-beng Kui-ong.

Kini pun Nyonya Bouw masih sering mendapat bantuan prajurit atau perwira yang merasa memiliki ilmu silat lumayan. Akan tetapi mereka itu bagaikan laron menyerang api, begitu tersentuh sinar tongkat ular di tangan Ngo-beng Kui-ong mereka langsung berpelantingan dalam keadaan tewas!

Melihat betapa banyaknya prajurit dan perwira yang menjadi korban kelihaian kakek yang seperti mayat hidup itu, Nyonya Bouw menjadi marah bukan main. Ia mengeluarkan pekik melengking sambil tangan kirinya bergerak. Tampak tiga benda berkeredepan seperti kilat menyambar ke arah tenggorokan, ulu hati, dan pusar tubuh Ngo-beng Kui-ong! Itulah tiga batang Gin-seng-piauw (Senjata Rahasia Bintang Perak) yang dilepaskan secara dahsyat oleh tangan kiri Nyonya Bouw!

Biar pun Ngo-beng Kui-ong merupakan seorang yang memiliki ilmu silat tingkat tinggi dan lihai sekali, walau pun dia mampu menghindarkan diri dari serangan maut ini, tidak urung dia terkejut bukan main. Dia segera melempar diri ke belakang dan bergulingan sehingga serangan tiga batang piauw itu luput. 

Ketika dia bergulingan itu, dia melihat betapa pasukan pengikut Pangeran Cu Kiong sudah terdesak mundur dan banyak di antara mereka yang tewas. Kakek ini memang cerdik dan licik. Dia telah memperhitungkan sejak jauh-jauh hari bahwa apa bila Pangeran Cu Kiong kalah, agaknya akan sukar baginya untuk menyelamatkan dirinya, sukar untuk keluar dari kota raja. Maka sekarang, selagi ada kesempatan, dia harus mempergunakannya untuk menyelamatkan diri. Keselamatan dirinya adalah yang paling utama baginya. Maka begitu dia melompat bangun, dia melemparkan tongkat ularnya ke atas dan senjata itu melayang seperti seekor ular hidup ke arah leher Nyonya Bouw!

Nyonya Bouw maklum akan kelihaian tongkat ular yang sekarang bergerak seolah hidup itu. Dia dapat menduga bahwa itu merupakan ilmu sihir yang sangat jahat, maka dia pun cepat menggerakkan sepasang pedangnya untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.

Terdengar suara nyaring berdentang ketika tongkat ular itu mengamuk dan selalu bertemu dengan sepasang pedang yang dimainkan oleh Nyonya Bouw dengan cepatnya sehingga membentuk lingkaran sinar bergulung-gulung seperti payung besar terbuka yang menjadi perisai.

“Trang-trang-trak-trakk!”

Ketika Nyonya Bouw membuat gerakan menggunting dengan dua pedangnya dari kanan kiri, tiba-tiba tongkat itu seperti kehilangan kekuatannya dan dapat terpotong-potong oleh sepasang pedang Nyonya Bouw. Kiranya Ngo-beng Kui-ong telah menghentikan kekuatan sihirnya yang tadi mengendalikan tongkat itu, karena dia mempergunakan kesempatan itu untuk tidak mempedulikan tongkatnya lagi, melainkan melompat dengan cepatnya ke arah Pangeran Bouw Hun Ki yang masih berkelahi dengan sengitnya melawan Pangeran Cu Kiong.

Pada saat itu perkelahian antara dua orang pangeran tua dan muda itu masih berlangsung seru. Agaknya para prajurit masih sungkan terhadap wibawa dua orang pangeran yang paman dan keponakan sendiri ini sehingga tidak ada seorang pun prajurit yang melakukan pengeroyokan atau mencampuri perkelahian itu.

Karena tempat mereka berdua berkelahi menjadi terbuka tanpa adanya pengeroyokan, sekali loncat Ngo-beng Kui-ong dapat menyambar tubuh Pangeran Bouw Hun Ki. Begitu menotok punggung Pangeran Bouw Hun Ki sehingga pangeran itu terkulai lumpuh, dia terus mengempit dan membawanya melompat jauh.

Melihat ini, para panglima pendukung kerajaan terkejut dan hendak menolong, akan tetapi mereka tak berani bergerak ketika melihat Ngo-beng Kui-ong mendekatkan jari-jari tangan membentuk cakar kepada kepala Bouw Hun Ki sambil berseru,

“Siapa berani menghalangiku, kuhancurkan kepalanya!”

Bahkan Nyonya Bouw yang melihat betapa suaminya ditangkap Ngo-beng Kui-ong yang secara licik meninggalkannya tadi, perbuatan yang sama sekali tidak dia sangka-sangka, menjadi pucat dan marah sekali. Akan tetapi wanita perkasa ini pun bukan seorang yang berbatin lemah yang tak mampu mengendalikan perasaannya sendiri.

Ia maklum bahwa Ngo-beng Kui-ong tidak memiliki alasan lain dalam menculik suaminya kecuali untuk mempergunakannya sebagai sandera agar dia dapat meloloskan diri. Tidak ada alasan lain karena kakek yang seperti mayat hidup itu hanyalah merupakan orang kiriman Jenderal Wu Sam Kwi untuk membantu gerakan Pangeran Cu Kiong. Jadi kurang kuat alasannya untuk membunuh Pangeran Bouw. Pasti hanya dijadikan sandera agar dia dapat meloloskan diri keluar kota raja. Maka dia pun cepat melakukan pengejaran, hanya membayangi saja, tidak berani terlalu dekat karena khawatir hal itu akan membahayakan nyawa suaminya.

Tidak ada yang tahu tentang peristiwa terculiknya Pangeran Bouw Hun Ki oleh Ngo-beng Kui-ong lantas dikejar Nyonya Bouw keluar dari medan pertempuran, sebab semua orang sedang sibuk sendiri bertempur menghadapi lawan masing-masing yang cukup tangguh. Pertempuran terus berlanjut dan dari kedua pihak sudah banyak korban berjatuhan….

********************
Sementara itu, tiga puluh orang prajurit yang ditinggalkan di istana Pangeran Cu Kiong untuk menjaga agar tawanan Si Han Bu tidak sampai lolos, merasa gelisah. Mereka tahu bahwa Pangeran Cu Kiong beserta semua anak buahnya sedang mencoba untuk merebut tahta kerajaan dan kini sedang bertempur melawan pasukan kerajaan.

Dari tempat mereka berkumpul di rumah tahanan yang berada di belakang istana, mereka dapat mendengar suara gemuruh orang yang bertempur. Mereka menjadi gelisah sekali. Bukan hanya mereka saja yang merasa gelisah, akan tetapi juga seluruh penghuni istana, yaitu para keluarga Pangeran Cu Kiong dan para pelayan dan pembantu rumah tangga.

Mereka tinggal menunggu berita. Kalau pihak Pangeran Cu menang mungkin kemuliaan akan menanti mereka, akan tetapi sebaliknya kalau usaha pemberontakan itu gagal, mala petaka yang menanti mereka!

Si Han Bu duduk bersila di atas pembaringan dan tampak tenang saja. Dia memang tidak merasa khawatir sama sekali, bukan hanya karena dia maklum bahwa Ngo-beng Kui-ong yang menawannya hendak menggunakan dia untuk membujuk gurunya agar membantu Jenderal Wu Sam Kwi, tetapi terutama sekali karena pemuda ini tidak pernah merisaukan sesuatu.

Dia menghadapi segala hal yang menimpa dirinya dengan tenang. Apa pun yang terjadi, terjadilah! Dia kini ditawan musuh, ini merupakan sebuah kenyataan. Perlu apa dirisaukan lagi? Yang penting tetap tenang dan waspada, tanpa khawatir dan membayangkan hal-hal buruk yang mungkin akan datang. Dia ditawan, ini merupakan sebuah kenyataan yang tak dapat disangkal atau diubah lagi. 

Tidak perlu disusahkan, tiada gunanya dikhawatirkan. Dia ditawan musuh, titik!

Dalam keadaan tenang pikirannya menjadi jernih dan hatinya tenang menghadapi apa pun yang akan terjadi. Sekarang dia masih hidup dan selama masih hidup dia tak akan pernah putus asa. Tentu saja sudah menjadi kewajiban setiap orang manusia yang hidup di dunia ini mempertahankan keadaan dirinya, mempertahankan kehidupannya.

Ikhtiar itu wajib. Bila lapar mencari makanan, bila haus mencari minuman, bila mengantuk tidur, bila sakit mencari obatnya. Setiap orang harus menjaga kehidupan dirinya sendiri, bahkan setiap makhluk harus melakukannya, kalau dia masih ingin hidup. 

Sekarang pun dia harus berupaya untuk dapat meloloskan diri dari tahanan. Tidak perlu mengotori otak dengan segala macam ketakutan, kesusahan, atau kekhawatiran dengan membayangkan masa depan yang belum datang. Otak harus bersih untuk dapat berdaya upaya menolong dirinya sendiri. Maka ia duduk bersemedhi untuk menenangkan hati dan akal pikirannya, dan untuk menghimpun tenaganya yang mungkin akan dia perlukan kalau peluangnya ada…..

********************
Kita kembali ke medan pertempuran yang kini makin menjauhi istana kaisar karena para pemberontak mulai terdesak mundur sehingga keluar dari daerah istana. Yang berkelahi dengan serunya dan mati-matian terutama sekali adalah Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa melawan Lam-hai Cin-jin, jagoan paling lihai dari pihak pemberontak sesudah Ngo-beng Kui-ong yang telah melarikan diri sambil menculik Pangeran Bouw Hun Ki dan dikejar oleh Nyonya Bouw keluar kota raja.

Dengan pedangnya Thian Hwa melawan mati-matian karena harus diakuinya bahwa Lam-hai Cin-jin adalah seorang lawan yang sangat tangguh. Tingkat kepandaian Koksu (Guru Negara) dari Yunnan-hu ini hanya berada di bawah Ngo-beng Kui-ong, itu pun selisihnya tidak banyak walau pun kakek mayat hidup itu merupakan paman gurunya.

Senjata di tangan Lam-hai Cin-jin sungguh menyeramkan. Sebuah tongkat ruyung berduri yang mengandung racun sehingga lawan dapat terbunuh hanya dengan luka yang tidak berbahaya karena racunnya akan menjalar ke dalam tubuh korban. Selain tongkat ruyung berduri yang ganas itu, juga tangan kiri Lam-hai Cin-jin menyelingi serangan ruyungnya dengan pukulan jarak jauh Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam). Setiap tangan kirinya melancarkan serangan ini, telapak tangannya berubah hitam dan dari telapak tangan itu menyambar uap hitam beracun!

Thian Hwa harus bekerja keras menghadapi pukulan Hek-tok-ciang dan sambaran ruyung berduri itu. Ia mula-mula mainkan Kwan-im Kiam-sut (Ilmu Pedang Kwan Im) yang lembut indah dan kokoh pertahanannya. Namun lama-lama ia maklum bahwa menghadapi lawan seperti Lam-hai Cin-jin yang demikian lihainya, kalau hanya bertahan saja maka akhirnya dia sendiri yang akan terancam bahaya. Untuk melawan seorang yang demikian lihainya, menyerang adalah pertahanan yang lebih menguntungkan.

Maka dia segera mengubah ilmu pedangnya. Kini dia mainkan Huang-ho Kiam-hoat (Ilmu Pedang Sungai Kuning) yang tidak selembut Kwan-im Kiam-sut namun Huang-ho Kiam-hoat ini mengandung gerakan dahsyat yang penuh dengan serangan yang bergelombang. seperti membanjirnya air Sungai Kuning yang terkenal itu.
“Cringg…! Tranggg...!”

Bunga api berpijar-pijar ketika pedang itu untuk ke sekian kalinya bertemu dengan ruyung.
“Wuuuuttt...!”

Tangan kiri Lam-hai Cin-jin menyambar dan uap hitam meluncur ke arah kepala Thian Hwa. Gadis perkasa itu memiringkan tubuhnya dan cepat menggunakan tangan kiri untuk menangkis.
“Dukkk...!”

Lengan tangan kiri Thian Hwa yang berkulit putih halus dan mungil itu bertemu dengan lengan yang besar pendek dipenuhi bulu kasar. Meski Thian Hwa sudah dapat menduga akan kekuatan lawan dan dara ini tadi sudah mengerahkan sinkang sekuatnya, tetap saja tubuhnya terpental dan terhuyung ke belakang saking kuatnya pertemuan tenaga sakti mereka.

Thian Hwa terkejut sekali karena dia tidak menyangka kalau pukulan tangan kiri Lam-hai Cin-jin ternyata sedahsyat itu. Pada saat itu pula Lam-hai Cin-jin telah melompat ke depan dan ruyungnya menyambar ke arah kepala Thian Hwa!

Dalam keadaan yang amat gawat itu tampak bayangan putih berkelebat dan sebuah sinar pedang meluncur dan menangkis ruyung itu.....
“Singg...! Tranggg...!”

Lam-hai Cin-jin terkejut sekali pada saat ruyungnya tertangkis oleh sebatang pedang yang membuat tangannya tergetar hebat. Saat itu pula ada hembusan angin kuat menyambar. Kiranya ada kipas yang menyerangnya.

Dia tahu bahwa dirinya sedang berhadapan dengan lawan kuat. Cepat dia melempar diri ke belakang lantas berjungkir balik tiga kali. Ketika dia memandang, di hadapannya telah berdiri seorang wanita berpakaian putih yang berusia empat puluh tahun lebih tetapi masih tampak cantik. Pedang di tangan kanannya dan kipas di tangan kirinya.

“Im-yang Sian-kouw...!” katanya kaget.

Dia pun maklum bahwa akan sulit menghadapi pengeroyokan dua orang wanita sakti itu. Dia lalu melompat jauh dan menghilang di antara para prajurit yang sedang bertempur.

Thian Hwa tidak mau mengejar karena mengejar pun percuma mencari seorang di antara demikian banyaknya prajurit yang bertempur. Pula ia amat tertarik mendengar disebutnya nama tadi. Ia menghampiri wanita itu dan bertanya.
“Apakah... Bibi ini Im-yang Sian-kouw...?”

Im-yang Sian-kouw mengangguk dan semenjak tadi pun dia sudah kagum melihat sepak terjang gadis muda yang berani melawan Lam-hai Cin-jin dengan demikian gigihnya. Dia mengangguk sambil tersenyum, akan tetapi sebelum ia sempat bertanya, Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa sudah berkata dengan hati tegang.

“Bibi, cepat, Bibi. Kita harus pergi menolong murid Bibi....”
“Muridku?”
“Ya, bukankah Si Han Bu itu murid Bibi?”

Im-yang Sian-kouw terkejut. “Benar, di mana dia? Apa yang terjadi dengan dia?”
“Nanti saja kuceritakan, Bibi. Tapi sekarang yang paling penting kita harus menolong dan membebaskannya. Mungkin dia tertawan di rumah Pangeran Cu Kiong, Si Pemberontak itu. Mari, Bibi!”

Huang-ho Sian-li melompat dengan cepat sekali sehingga Im-yang Sian-kouw harus cepat mengerahkan ginkang agar dapat menyusul gadis itu. Tentu saja hatinya merasa gelisah mendengar murid yang disayang seperti anak sendiri itu tertawan musuh.

Setelah mereka berlari secepat terbang, Im-yang Sian-kouw mendapat kenyataan betapa gadis itu dapat berlari cepat sekali, tidak kalah olehnya!

“Apa... apa dia masih hidup?” tanyanya khawatir.
“Mudah-mudahan saja, Bibi!”

Ketika mereka tiba di istana Pangeran Cu Kiong, keadaan di situ sunyi. Maklum, pasukan telah meninggalkan tempat itu untuk ikut menyerbu istana kaisar.

“Tempat tahanan berada di belakang, mari kita ke sana, Bibi!” kata Thian Hwa.

Dua orang wanita perkasa itu cepat melayang ke atas wuwungan istana dan menyelidiki di bagian belakang. Ketika tiba di ruangan tahanan yang telah dikenal baik oleh Thian Hwa, mereka berdua melihat tiga puluh orang prajurit sibuk melepaskan anak panah ke dalam sebuah kamar tahanan melalui jeruji besi yang kokoh kuat.

Di dalam ruangan itu, mereka melihat seorang pemuda yang bukan lain adalah Si Han Bu, bergerak-gerak lincah, mengelak mau pun menangkisi puluhan batang anak panah yang menyambar dari arah depan. Masih untung baginya bahwa di belakangnya adalah dinding sehingga para prajurit itu tidak dapat mengepung dan menyerangnya dari belakang atau samping, hanya dari depan.

Ternyata tiga puluh orang prajurit yang ditinggalkan Pangeran Cu Kiong untuk menjaga tawanan itu semakin gelisah mendengar berita bahwa pasukan pendukung Pangeran Cu Kiong tampaknya terdesak. Karena mereka ingin sekali segera pergi dari situ, baik untuk membantu perang atau untuk lari menyelamatkan diri, maka mereka serentak mengambil keputusan untuk membunuh tawanan dengan cara menyerangnya dengan anak panah dari luar ruangan tahanan!

Betapa pun lihainya Si Han Bu, dihujani anak panah oleh tiga puluh orang prajurit tanpa dia memegang senjata untuk melindungi dirinya, benar-benar merupakan hal yang sangat merepotkannya. Sudah ada dua batang anak panah yang melukai pundak dan pahanya. Walau pun dua batang anak panah itu tidak menembus pundak dan paha, namun tetap saja dua bagian tubuhnya itu lecet-lecet dan berdarah.

Han Bu lalu melompat dan mengangkat dipan yang menjadi tempat tidurnya. Keadaannya menjadi agak membaik setelah dia menggunakan dipan untuk melindungi diri dari serbuan anak panah. Sekarang dia sudah tidak kerepotan lagi, namun tetap saja dia sama sekali tidak mampu membalas.

Tiba-tiba terdengar bentakan suara wanita. “Pertahankan, Han Bu!”
“Subo...!” Han Bu girang sekali mendengar suara gurunya dan dia menjadi lebih gembira melihat Huang-ho Sian-li juga datang bersama subo-nya. Tentu saja Han Bu sudah tahu, bahkan sudah merasa yakin bahwa Im-yang Sian-kouw sesungguhnya dulu bernama Cui Eng, puteri dari Cui Sam atau ibu kandung dari Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa!

Dua orang wanita itu lantas mengamuk. Begitu mereka melayang turun dari atas genteng, tubuh mereka berkelebatan bagaikan dua ekor burung rajawali menyambar-nyambar dan para prajurit itu berpelantingan roboh!

Dalam waktu sebentar saja, dua belas orang prajurit sudah roboh dan tidak dapat bangun lagi. Yang lainnya menjadi panik dan ketakutan. Maka tanpa dikomando lagi mereka lalu melarikan diri meninggalkan bangunan tempat tahanan, bahkan terus melarikan diri keluar dari istana Pangeran Cu Kiong.

Im-yang Sian-kouw membuka pintu kamar tahanan dan Han Bu keluar sambil tersenyum.

“Wah, untung Subo dan Huang-ho Sian-li datang menolong. Kalau tidak tentu aku akan mati!”
“Bagaimana luka di pundak dan pahamu?” Im-yang Sian-kouw memandang ke arah baju bagian pundak dan celana di paha yang robek dan berdarah.
“Tidak apa-apa, Subo, hanya lecet sedikit.”
“Bibi dan Si Han Bu, mari kita cari senjata kita yang dirampas, kemudian cepat kembali ke istana untuk membantu pasukan yang bertahan terhadap serbuan para pemberontak!”

Mendengar ucapan Huang-ho Sian-li, guru dan murid itu mengangguk dan mereka cepat mencari pedang Kwan-im-kiam dan kantung Pek-hwa-ciam milik Thian Hwa yang sudah dirampas, juga pedang Im-yang-kiam dan kipas Im-yang-po-san milik Si Han Bu. Mereka tidak mempedulikan keluarga serta para pelayan Pangeran Cu Kiong yang ketakutan, dan setelah mencari di kamar Pangeran Cu Kiong, gadis dan pemuda itu menemukan senjata mereka.

Dengan girang mereka lalu membawa senjata mereka dan bersama Im-yang Sian-kouw cepat kembali ke tempat pertempuran yang masih berlangsung. Mereka tak sempat untuk bicara karena pertempuran masih berlangsung dan Huang-ho Sian-li mendesak guru dan murid itu untuk bergegas ke istana dan membantu pasukan kerajaan.

Pertempuran masih berlangsung ramai sungguh pun pasukan pemberontak terus terdesak mundur. Juga terjadi perubahan besar pada pertempuran antara jagoan-jagoan pendukung pemberontak melawan para pembela kerajaan.

Setelah pihak pemberontak ditinggalkan jagoan yang paling sakti, yaitu Ngo-beng Kui-ong, maka banyak di antara teman-temannya yang menjadi jeri. Ang-mo Niocu Yi Hong yang cerdik dan licik itu merasa gentar setelah melihat Ngo-beng Kui-ong melarikan diri sambil menculik Pangeran Bouw Hun Ki. 

Ia melihat betapa gurunya, Lam-hai Cin-jin, juga hanya dapat mendesak Thian Hwa akan tetapi lalu muncul seorang wanita setengah tua cantik yang sangat lihai, yang membuat gurunya lari terbirit-birit! Lam-hai Cin-jin dan Ngo-beng Kui-ong sudah melarikan diri, tidak ada harapan lagi untuk menang!

Ang-mo Niocu yang cerdik berpikir. Walau pun pemberontakan itu gagal, setidaknya ada keuntungannya bagi Jenderal Wu Sam Kwi. Pertama karena peristiwa pemberontakan itu tentu melemahkan Kerajaan Mancu. Kedua kalinya, ia sudah memiliki Tek-pai dari Kaisar Shun Chi dan ia percaya Tek-pai ini amat berguna bagi pemimpinnya. Kalau ia serahkan Tek-pai itu kepada Jenderal Wu Sam Kwi, tentu ia mendapatkan pahala besar!

Sebab itu untuk apa membahayakan dan mengorbankan nyawanya hanya untuk membela Pangeran Cu Kiong yang bagaimana pun juga hanya seorang pangeran penjajah Mancu? Maka sambil mengeluarkan teriakan melengking dia menusukkan payung pedangnya dan ketika ditangkis, mendadak dari ujung payung pedang itu meluncur Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah) sebanyak tujuh batang menyerang ke arah Bu Kong Liang yang menjadi lawannya! 

Murid Siauw-lim-pai yang tangguh itu cepat memutar siang-kek (sepasang tombak pendek bercabang) sambil melompat tinggi ke atas lantas berjungkir balik ke belakang sehingga sebagian jarum-jarum merah itu tertangkis dan sebagian lagi berhasil dielakkannya. Ketika dia turun kembali, Ang-mo Niocu sudah tidak berada di depannya.

Wanita ini merasa ketakutan ketika dia melihat Huang-ho Sian-li dan Im-yang Sian-kouw yang tadi membuat gurunya lari terbirit-birit sudah datang lagi di tempat itu. Maka ia cepat menyelinap di antara para prajurit kemudian menghilang!

Thio Kwan yang sedang bertanding melawan Bouw Hwi Siang, dapat mengimbangi gadis itu, bahkan tampak lebih kuat. Demikian pula Yu Kok Lun dapat mendesak Gui Siang In. Akan tetapi Bu Kong Liang yang ditinggal lari Ang-mo Niocu segera membantu dua orang gadis itu sehingga Thio Kwan dan Yu Kok Lun terkejut dan terdesak terus.

Tidak lama kemudian kedua orang dari Kam-keng Chit-sian (Tujuh Dewa Kam-keng) yang mengabdi kepada Pangeran Cu Kiong itu tewas pula. Sekarang Kam-keng Chit-sian habis sudah, tinggal seorang saja, yaitu Ciang Sun, akan tetapi sudah lama dia meninggalkan Pangeran Cu Kiong.

Bouw Hwi Siang, Gui Siang In dan Bu Kong Liang kini membantu Bouw Kun Liong yang masih bertanding ramai melawan Mong Lai. Orang Mongol ini memang sangat tangguh. Selain bertenaga gajah, ilmu silat campur ilmu gulatnya juga berbahaya, ditambah lagi dia pun menguasai ilmu sihir sehingga tadi dia sempat membuat Bouw Kun Liong kewalahan. Akan tetapi setelah tiga orang itu maju mengeroyok, Mong Lai menjadi repot dan akhirnya dia pun roboh dan tewas.

Melihat betapa Pangeran Cu Kiong masih saja berteriak-teriak memberi semangat kepada pasukannya tanpa melihat kenyataan bahwa tiga orang jagoannya, Thio Kwan, Yu Kok Lun, dan Mong Lai telah tewas, sedangkan mereka yang dia andalkan, Ngo-beng Kui-ong, Lam-hai Cin-jin, dan Ang-mo Niocu juga sudah melarikan diri meninggalkan pertempuran, Si Han Bu melompat dengan sigapnya kemudian sekali tangannya menampar, Pangeran Cu Kiong tidak mampu menghindarkan diri dan dia tertampar roboh. Dia mencoba untuk bangkit, akan tetapi Han Bu sudah menggerakkan pedangnya.

“Si Han Bu, jangan bunuh dia!” terdengar Huang-ho Sian-li berseru dari belakang dan dia pun menolak lengan kanan Han Bu sehingga pedang yang sudah ditodongkan itu menjauh dari leher Pangeran Cu Kiong!
“Ha-ha-ha!” Pangeran Cu Kiong tersenyum getir. “Huang-ho Sian-li, apakah engkau masih ada perasaan cinta kepadaku sehingga tidak tega melihat aku terbunuh?”

Mendengar ini, Thian Hwa merasa sedih juga karena harus dia akui bahwa Pangeran Cu Kiong adalah cinta pertamanya! Meski pun kini ia tidak mempunyai perasaan cinta kepada pangeran yang licik, kejam dan berkhianat itu, namun tetap saja kemesraan dalam hatinya yang dulu masih membekas.

“Pangeran Cu Kiong, dosamu sudah bertumpuk dan sebenarnya sudah sepatutnya kalau engkau dibunuh. Akan tetapi aku mau menukar jiwamu dengan Tek-pai milikku pemberian Kaisar. Kembalikan Tek-pai itu kepadaku dan aku tidak akan membunuhmu!”

Tiba-tiba Pangeran Cu Kiong tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha, jangan harap mendapatkan Tek-pai itu, Huang-ho Sian-li! Tek-pai itu telah dibawa pergi Ang-mo Niocu Yi Hong untuk diserahkan kepada Jenderal Wu Sam Kwi!”

“Aku akan mengejar wanita itu dan mengambilnya kembali!” Tiba-tiba Si Han Bu berkata dan tubuhnya langsung berkelebat, pergi dari situ.
“Si Han Bu...!” Huang-ho Sian-li melarang, akan tetapi Im-yang Sian-kouw tersenyum.
“Biarkan saja, anak itu sukar dihalangi kalau sudah punya kehendak. Dia dapat menjaga diri dan aku hampir yakin dia akan mampu mengambil Tek-pai itu kembali.”

Thian Hwa lalu bergerak cepat, menotok jalan darah di tubuh Pangeran Cu Kiong hingga tidak mampu bergerak lagi. Kemudian mendadak dia memanggul tubuh pangeran itu dan membawanya melompat ke atas. Setelah tiba di puncak menara, di bawah sinar matahari yang telah naik tinggi, ia berseru dengan pengerahan khikang hingga suaranya terdengar nyaring dan menggema ke seluruh penjuru.

“Para pasukan pemberontak, dengar dan lihatlah! Pangeran pemberontak Cu Kiong yang berkhianat terhadap kerajaan telah kami tawan. Semua kaki tangannya sudah ditumpas, banyak yang mati dan sebagian melarikan diri. Kalau kalian yang masih prajurit pasukan kerajaan segera membuang senjata, lalu berlutut dan menyerah, masih dapat diharapkan pengampunan bagi kalian. Kalau nekat bertempur tanpa pimpinan lagi, kalian semua pasti binasa!”

Tadinya para prajurit pemberontak ragu-ragu, akan tetapi begitu ada seorang prajurit yang membuang senjata dan berlutut, hal itu seperti merupakan komando dan akhirnya mereka semua berlutut dan membuang senjata mereka.

Berakhirlah perang saudara itu. Pemberontakan Pangeran Cu Kiong gagal sama sekali! Para prajurit yang ikut memberontak dan kini menyerahkan diri mendapat pekerjaan berat, yaitu mengurus ratusan mayat yang menjadi korban pertempuran tadi dan merawat lebih banyak lagi mereka yang luka-luka. Juga mereka diharuskan melakukan pembersihan di bekas tempat pertempuran yang dinodai darah. Rakyat penduduk kota raja yang tadinya banyak melarikan diri mengungsi, perlahan-lahan kembali ke rumah masing-masing…..

*******************
Selanjutnya baca
KEMELUT KERAJAAN MANCU : JILID-13
LihatTutupKomentar