Pendekar Sakti Jilid 08
Pada keesokkan harinya, pagi-pagi sekali Kwan Cu sudah bangun dari tidurnya. Seperti kemarin, dia melihat Liyani sudah berada di kamarnya. Dia merasa menyesal mengapa kamar-kamar besar di rumah ini semuanya tidak ada pintunya, kalau ada akan ditutupnya rapat-rapat supaya jangan ada orang masuk begitu saja. Melihat seorang gadis berada di kamarnya, meski pun gadis itu seorang gadis raksasa membuat Kwan Cu merasa jengah dan kikuk sekali.
“Nona Liyani, kau sudah berada di sini?” tanya Kwan Cu dengan kikuk sekali.
Biasanya dia menyebut tanpa nona segala, akan tetapi pagi hari ini karena merasa malu dan jengah mendapatkan gadis itu di dalam kamarnya, maka tanpa terasa dia menyebut ‘Nona’. Padahal di dalam bahasa Kuyu tidak terdapat sebutan Nona, akan tetapi dalam gugupnya dia meyebut ‘siocia’ yang berarti Nona.
“Eh, saudara Kwan Cu, apakah artinya siocia?” tanya Liyani sambil memandang dengan matanya yang lebar bening.
“Ohh, ya, aku lupa. Itu bahasaku, digunakan untuk menyebut seorang gadis yang belum menikah,” jawabnya.
Liyani mengangguk-angguk sambil tersenyum. “Lucu sekali kedengarannya. Semua hal yang ada padamu lucu dan menyenangkan. Melihat cara kau tidur pun kelihatan lucu dan menyenangkan.”
Kwan Cu terheran. “Lucu? Bagaimana sih tidurku?” tanyanya ingin tahu.
“Kau tidur begitu anteng seperti… seperti seorang wanita.”
“Seperti wanita? Apa maksudmu?”
“Atau seperti seorang anak kecil. Kau tidur berbeda dengan laki-laki dewasa di sini. Kau sama sekali tidak mendengkur, bahkan napasmu demikian halus. Seperti anak-anak.”
“Hemm...” Kwan Cu merasakan kemendongkolannya yang sudah sering kali dia rasakan semenjak dia datang di situ dan merasa dirinya menjadi bahan tertawaan.
“Memang... aku masih anak-anak, anak kecil yang tak ada sifat jantan,” katanya dengan sebal.
Ia lalu melompat turun dari pembaringan yang terlalu panjang dan terlalu lebar untuknya itu. Dia berdiri dan terpaksa mendongak untuk memandang wajah gadis itu karena kalau mereka berdua berdiri berhadapan, tinggi tubuhnya hanya sampai pada pinggang gadis itu, bahkan lebih rendah lagi!
Liyani dapat merasakan suara kecewa dan mendongkol dalam kata-kata Kwan Cu, maka sambil tersenyum dia membungkuk dan meraba kedua pundak pemuda ini.
“Tidak, saudara yang baik. Kau sama sekali tidak seperti anak kecil. Meski pun kau kecil sekali, akan tetapi gagah dan mengagumkan, bahkan ayah berkata bahwa agaknya kau masih keturunan dewa.”
“Gila!” kata Kwan Cu makin gemas.
“Aku pun tidak percaya,” kata Liyani tertawa, “Kau manusia biasa, hanya dari bangsa yang bertubuh kecil. Akan tetapi kau memang gagah dan baik, aku suka sekali padamu. Ehh, saudaraku yang baik. Menurut perkiraanmu, siapakah yang akan menang di antara Wisang dan Kasang?”
“Kau mengharapkan siapa yang menang?” tanya Kwan Cu.
Liyani cemberut dan Kwan Cu menjadi geli. Lenyap kemendongkolannya yang tadi. Lucu sekali melihat gadis tinggi besar seperti itu masih bersikap manja seperti seorang anak kecil atau seorang gadis manja.
“Belum menjawab pertanyaanku, kau sudah balas bertanya. Jawablah dulu.”
Kwan Cu menjawab terus terang. “Walau pun hari ini mereka bertanding seharian penuh, kurasa takkan ada yang akan kalah atau yang menang. Kedua orang itu agaknya hanya bertanding pura-pura belaka. Karena kemarin mereka bertempur di tempat yang agak jauh, maka tidak kentara. Sekarang mereka akan bertanding di lapangan terbuka, tentu akan kelihatan kalau mereka masih berpura-pura.”
“Menurut pandanganmu... siapakah yang lebih baik di antara kedua orang itu?”
Diam-diam Kwan Cu merasa geli dalam hatinya. Gadis ini sedang melakukan pemilihan dan kepercayaannya kepadanya begitu besar sehingga minta nasehat dan pertimbangan darinya dalam hal memilih jodoh!
“Hemm... Bagaimanakah aku mampu mengatakan hal itu? Aku belum kenal mereka dan menurut keadaan luarnya, memang mereka itu sama muda, sama tangkas serta sama kuat. Sukarlah mengatakan yang mana lebih baik.” Kwan Cu berkata terus terang, tetapi dengan hati-hati.
“Wisang orangnya kasar. Pernah dia mengejar dan hendak memaksaku supaya berlaku manis kepadanya,” kata gadis itu cemberut.
“Kalau begitu agaknya Kasang lebih menarik hatimu,” kata Kwan Cu memancing.
“Memang dia lebih baik dari pada Wisang, akan tetapi sekarang dia pun kelihatan kasar bagiku.”
“Apakah ada orang lain yang lebih baik dan halus dari padanya?” Kwan Cu memancing karena siapa tahu kalau-kalau ada pemuda lain yang lebih menarik hati gadis aneh ini.
“Semua pemuda di dusun ini kasar-kasar belaka, bila tidur mendengkur seperti binatang, sikapnya kasar menyakitkan hati, tidak ada yang halus menyenangkan seperti engkau!” gadis itu menarik napas panjang.
Kwan Cu sangat terkejut dan merasa khawatir sekali. Celaka, bagaimanakah pendirian gadis aneh ini?
“Aku kelihatan halus karena aku kecil sekali. Lihat, aku tidak setinggi pinggangmu.”
Liyani menarik napas panjang, nampak kecewa sekali. “Itulah! Kalau kau memilikii tubuh sebesar kami, tak akan susah payah aku memilih calon jodohku.”
Berdebar hati Kwan Cu. Benar-benar gila gadis ini, pikirnya dan dia mulai merasa takut berada berdua saja dengan gadis ini.
“Akan tetapi walau pun kecil kau baik sekali, saudara Kwan Cu. Aku suka kepadamu.” Sambil berkata demikian dengan jari-jari tangannya, gadis itu menyentuh bahu Kwan Cu.
Pemuda ini sudah kebingungan, baiknya pada saat itu datang pelayan yang membawa air pencuci muka dan makanan pagi.
“Baginda menanti di kebun belakang dan orang-orang telah berkumpul untuk meyaksikan pertandingan,” kata pelayan itu.
Setelah pelayan itu keluar, Kwan Cu mencuci muka. Ia merasa lega sekali ditinggal pergi Liyani, seakan-akan terlepas dari mulut harimau! Dengan cepat dia makan, kemudian dia pun pergi menuju ke belakang rumah di mana terdapat sebuah kebun yang besar sekali.
Benar saja, di sana sudah berkumpul banyak orang. Liyani duduk di dekat ayahnya dan ketika Kwan Cu datang, gadis itu memegang tanganya dan menarik duduk di dekatnya.
Wisang dan Kasang sudah berdiri berhadapan. Ketika mereka melihat betapa Kwan Cu duduk di dekat Liyani, mereka memandang dengan mata penuh kebencian. Pemuda cilik ini benar-benar memanaskan perut mereka. Pertama-tama pemuda cilik itulah yang telah menggagalkan rencana mereka membunuh Lakayong, dan sekarang agaknya pemuda itu hendak merebut hati Liyani.
Akan tetapi mereka tidak dapat terus memandang Kwan Cu, karena Raja Lakayong telah memberi aba-aba sehingga kedua pemuda itu segera mulai pertandingan dengan hebat. Otot-otot tubuh mereka bergerak-gerak dan keduanya saling serang bagaikan dua ekor harimau bertarung.
Akan tetapi, belum lama mereka bertanding, tahulah Kwan Cu bahwa benar-benar kedua orang ini sedang main gila dan tidak bertempur sesungguhnya. Raksasa-raksasa bodoh yang menonton di situ, termasuk juga raja Lakayong dan puterinya, betul-betul memang kena diakali.
Kwan Cu menjadi gemas bukan main. Selagi dia berpikir-pikir dan mencari tahu apakah gerangan maksud kedua orang raksasa muda ini dengan perkelahian secara pura-pura itu, tiba-tiba kedua orang yang bertarung berhenti.
Wisang menjura kepada Lakayong dan berkata,
“Aku dan Kasang mempunyai kekuatan dan kepandaian yang sama, tidak mungkin ada yang kalah atau menang. Karena itu, sudah sepatutnya kalau kami berdua menghadapi raja bersama. Kalau kami kalah, biarlah kami mati di bawah pukulan tangan raja!”
Kini tahulah Kwan Cu akan maksud mereka. Jadi mereka sudah bermufakat untuk tidak merobohkan lawannya supaya mereka dapat menghadapi Raja yang kuat itu bersama! Dalam kemarahannya Kwan Cu segera melompat ke tengah lapangan kemudian berkata dengan suara kaku,
“Kalian ini orang-orang curang dan jahat! Apa kalian aku tidak tahu bahwa kalian sengaja tak mau menjatuhkan lawan? Kalian tidak sungguh-sungguh bertempur, sengaja hendak mengeroyok Raja yang sudah tua!”
Wajah Wisang serta Kasang menjadi pucat dan saling memandang, kemudian mereka menghadapi Kwan Cu dengan mata mendelik.
“Saudara Kwan Cu, kalau mereka ingin menghadapi aku, biarlah. Akan kulawan mereka berdua. Orang-orang ini memang perlu dihajar!” kata Raja Lakayong dengan gagah dan dia sudah berdiri dengan tegapnya.
Memang tubuh Raja ini luar biasa sekali, masih sekepala lebih tinggi dari pada dua orang raksasa muda itu, bahkan otot-ototnya lebih besar dan nampaknya kuat sekali. Semua orang menyatakan pujian kepada mereka yang gagah ini.
Akan tetapi Kwan Cu tetap merasa khawatir. Dua orang raksasa muda ini dapat menipu mereka, ini menandakan bahwa mereka ini lebih cerdik dari orang-orang itu. Siapa tahu kalau-kalau mereka itu sudah mempunyai akal untuk menjatuhkan raja yang meski pun nampak kuat namun jauh lebih tua itu.
“Tidak! Tidak patut dua orang muda mengeroyok orang yang jauh lebih tua.”
Wisang menjadi marah sekali. Ia membanting kaki tangannya dan tergetarlah tanah yang diinjaknya saking kuatnya tenaga kakinya ini.
“Jahanam kecil, cacing busuk yang mau mampus! Kau siapa maka berani mencampuri urusan bangsa kami? Kau berani membuka mulut, apakah kau berani pula menghadapi kami secara laki-laki yang memiliki keberanian dan kekuatan, tidak seperti perempuan yang hanya bisa mempergunakan mulutnya?”
Panas dada Kwan Cu mendengar hinaan ini. Ia menjura kepda Raja Lakayong sambil berkata,
“Raja Lakayong saudaraku yang baik, perkenankanlah aku untuk menghadapi mereka ini dan memberi hajaran kepada mereka sebagai wakilmu.” Tanpa menanti jawaban, Kwan Cu lalu menghadapi dua orang raksasa itu sambil berkata,
“Kalian majulah dan aku akan menghadapi kalian berkelahi dengan sesungguhnya, tidak berpura-pura seperti tadi!”
Wisang tertawa bergelak. Suaranya keras dan parau hingga menggetarkan anak telinga.
“Huaa-ha-ha-ha! Kau anak kecil kupencet dengan ibu jariku saja pasti akan gepeng! Kau menantang kami berdua?”
“Manusia sombong, pantas saja puteri Liyani tak suka padamu, kau kasar dan sombong. Jangankan baru kalian berdua, biar pun kau mampu mengubah dirimu menjadi sepuluh, aku tak akan mundur setapak pun!”
“Setan kecil, kau sudah bosan hidup!” teriak Wisang.
Dia segera menggerakkan kepalan tangannya yang besarnya laksana kepala Kwan Cu itu, menonjok ke arah kepala pemuda kecil ini. Akan tetapi Kwan Cu cepat mengelak dan sekali dia melompat sambil mengerakkan kaki, kaki kanannya lalu menyambar ke perut Wisang yang besar.
“Ngekkkk!”
Tubuh Wisang yang besar itu terpental ke belakang dan dia jatuh terduduk sambil kedua tangannya memegangi perut.
“Aduh… aduh… bangsat kecil... Aduuuh...!” Ia mengaduh-aduh karena tiba-tiba perutnya merasa mulas sekali.
Semua orang yang menonton, termasuk juga Raja Lakayong sendiri, menjadi melongo dan memandang terheran-heran, tak dapat mengeluarkan ucapan saking herannya.
“Bagus, bagus! Bukankah dia hebat sekali, Ayah?” terdengar Liyani bersorak sorai sambil bertepuk tangan.
Suara ini menyembuhkan rasa sakit di perut Wisang. Raksasa muda ini segera bangkit berdiri lagi dan kedua matanya seolah-olah mengeluarkan sinar berapi. Giginya berkerot dan kemarahannya memuncak. Ia lantas memandang kepada Kwan Cu sedemikian rupa sehingga Kwan Cu merasa seakan-akan dia hendak ditelan bulat-bulat oleh raksasa itu.
“Majulah, majulah kalian berdua, dan akan kuberi pelajaran bagaimana caranya berkelahi dengan sunguh-sunguh,” kata Kwan Cu mengejek.
Sambil menggereng keras, Wisang cepat menubruk maju, diikuti oleh Kasang yang juga merasa penasaran melihat Kwan Cu mengejek mereka. Akan tetapi, bagaikan seekor burung walet cepatnya, Kwan Cu mengelak dan sekali tubuhnya berkelebat, dia terlepas dari ancaman tubrukan dua orang raksasa itu.
Beberapa kali Wisang dan Kasang menubruk. Di dalam kegemasannya, mereka hendak menangkap dan meremas tubuh yang mungil itu. Akan tetapi, dengan sengaja Kwan Cu mengeluarkan kepandaiannya. Dengan mengandalkan ginkang-nya yang sudah tinggi, ia mudah saja mengelak dari semua tubrukan yang dilakukan dengan kuat sekali namun baginya amat lambat itu.
Setelah menubruk berkali-kali hanya mengenai angin saja dan mendengar betapa Liyani menyoraki dan menertawai mereka, dan juga para penonton mulai mengeluarkan seruan pujian, panaslah hati Wisang dan Kasang. Kedua jago raksasa ini maklum bahwa lawan yang kecil itu gesit sekali sukar untuk ditangkap, maka mereka merubah siasat mereka.
Kini mereka tidak lagi menubruk, melainkan menendang dan memukul. Maksud mereka, sekali saja pukulan atau tendangan mengenai tubuh yang kecil itu, tentu pemuda kecil itu akan terlempar jauh dengan tulang remuk!
Akan tetapi betapa pun besar tenaga mereka, gerakan mereka amat lamban dan mereka bertempur hanya mengunakan tenaga tanpa mempergunakan otak. Mana bisa mengenai tubuh Kwan Cu yang sudah menerima latihan ginkang dari Ang-bin Sin-kai?
Menghadapi semua serangan itu, Kwan Cu bersilat dengan ilmu silat Pai-bun Tui-pek-to (Mengatur Pintu Menolak Ratusan Golok). Gerakannya amat lincah dan gesit, dilakukan sambil tertawa-tawa mengejek. Pemuda ini mengatur kedudukan dirinya sedemikian rupa sehingga dia berada di tengah-tengah dan kedua lawannya berada di kanan kirinya atau kadang-kadang di depan dan belakangnya.
Dia sengaja tidak segera merobohkan mereka. Kalau dia mau, banyak sekali lowongan untuk memukul roboh dua orang raksasa itu. Akan tetapi Kwan Cu tidak mau melakukan hal ini. Ia memang hendak menghajar kedua orang itu agar tunduk betul-betul dan kelak tidak akan menimbulkan keributan lagi menggangu Raja Lakayong yang baik.
Dia mengelak sambil kadang-kadang mengirim pukulan ke arah perut, dagu atau dada, cukup keras sehingga membuat dua orang raksasa itu mengaduh-aduh akan tetapi tidak cukup keras untuk merobohkan mereka.
Bahkan dalam kegembiraannya timbullah kenakalan pada Kwan Cu. Beberapa kali dia melompat tingi dan menggunakan jari tangan untuk menjewer telinga yang lebar, menarik hidung yang besar atau mencubit pipi yang lebar sambil tertawa-tawa.
Dipermainkan secara begini dan mendengar suara tertawa Liyani makin geli, ditambah pula surak sorai para penonton dan suara ketawa Raja Lakayong yang merasa kagum, heran dan juga geli, dua orang raksasa muda ini seakan-akan menjadi gila dibuatnya.
“Iblis kecil, akan kuhancurkan kepalamu!” kata Wisang geram.
Bahkan Kasang yang tidak segalak Wisang, sekarang sudah menjadi marah sekali dan membentak,
“Setan cilik, aku patahkan batang lehermu!”
“Ha-ha-ha-ha! Mau pecahkan kepala dan batang leher?” kata Kwan Cu menghadapi dua orang raksasa yang berada di kanan kirinya sambil tertawa mengejek. ”Ini kepalaku, ini leherku. Pecahkanlah, patahkanlah kalau bisa. Ha-ha-haaa!”
Wisang lalu menyergap maju dengan tangan kanan memukul. Kasang menubruk dengan tangan kanan mencengkeram. Kwan Cu diam saja berdiri seenaknya, seakan-akan tidak melihat adanya bahaya yang mengancam dari kanan kiri!
Liyani menjerit ngeri dan semua menahan napas karena serangan itu sudah dekat sekali. Agaknya tiada jalan keluar bagi Kwan Cu dan alangkah ngerinya apa bila pukulan dan cekikan kedua orang muda itu betul-betul mengenai kepala dan leher pemuda yang kecil itu!
Akan tetapi, ketika dua orang raksasa itu sudah dekat sekali tangannya pada tubuhnya, tiba-tiba saja Kwan Cu tertawa geli dan tubuhnya berkelebat lenyap dari situ. Dia sudah mempergunakan gerakan yang disebut Tui-teng Kui-cauw (Melompat Mundur Pulang ke Sarang), yakni sebuah cabang dari gerakan Yan-cu Kui-cauw (Burung Walet Pulang ke Sarang).
Kegesitan tubuhnya seperti burung walet saja. Ketika tubuhnya tiba-tiba saja lenyap dari tengah-tengah, kedua orang raksasa itu tiada ampun lagi saling gebuk dengan serunya. Kepalan tangan Wisang menghantam kepala Kasang, sedangkan tangan kanan Kasang kena mencengkeram jidat Wisang.
“Blukk! Blekk!”
Terdengar suara keras, disusul oleh jeritan mereka.
“Celaka!”
“Aduhh…!”
Keduanya terhuyung-hunyung ke belakang, memegangi kepala dan jidat yang terpukul oleh tangan masing-masing.
Liyani tertawa terpingkal-pingkal sampai memegangi perut saking gelinya. Lakayong juga tertawa terbahak-bahak dan di antara para penonton lebih ramai lagi, sampai-sampai ada yang tertawa demikian gelinya sehingga dia terjungkal dari batu yang didudukinya!
Dapat dibayangkan betapa marahnya Wisang dan Kasang. Setelah kepala mereka yang terasa pening berputar-putar itu sembuh, mereka memandang Kwan Cu.
“Nah, begitulah caranya orang berkelahi benar-benar. Tidak seperti tadi hanya pura-pura dan main-main saja,” Kwan Cu mengejek.
Tanpa berkata apa-apa dua orang muda raksasa itu lalu menyerang kembali, kini makin ganas dan marah. Justru inilah yang dikehendaki Kwan Cu. Makin marah mereka, makin mudahlah baginya untuk mempermainkan mereka dan makin sering pula kedua orang itu saling pukul dan saling tendang.
Bahkan satu kali Kwan Cu berlaku berani luar biasa. Dia membiarkan dirinya terpegang oleh Wisang! Semuanya menahan napas dan kembali terdengar Liyani menjerit cemas, bahkan terdengar Lakayong berteriak, ”Jangan bunuh dia!”
Akan tetapi tentu saja Wisang yang menjadi marah sekali tidak mau mendegar larangan ini dan dia bergerak hendak mencekik leher Kwan Cu! Melihat kesempatan ini, Kasang juga menubruk maju dan ikut memegang Kwan Cu. Pendeknya, kalau dilihat begitu saja agaknya Kwan Cu sudah tidak ada harapan untuk terlepas lagi.
Akan tetapi, sebenarnya memang pemuda ini sengaja membiarkan dirinya terpegang. Begitu merasa bahwa kedua raksasa itu sudah memeganginya, dia cepat bergerak dan kedua kakinya menendang ke atas dengan tubuh terjungkir balik, kaki kirinya menendang ke arah mata wisang dan kaki kanan ke arah mata Kasang!
Dua orang raksasa itu memekik kesakitan dan mata kanan mereka sudah menjadi biru, sakitnya bukan main! Untuk sedetik pegangan mereka mengendur sebab sebelah tangan mereka otomatis meraba mata yang terluka. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kwan Cu untuk memberontak dan melepaskan diri, terus melompat pergi.
Kini dengan mata terpejam, saking sakit dan marahnya, kedua orang muda raksasa itu menubruk maju dan dengan sendirinya saat dua tangan mereka mencengkeram, mereka saling cekik dan saling cengkeram, mencari lawan sambil mencengkeram dan memukul sekenanya. Maka benar-benar berkelahilah mereka satu dengan yang lain dan terdengar mereka teraduh-aduh.
Kwan Cu menganggap bahwa permainannya sudah cukup. Ia melompat ke atas, berdiri dengan kaki kiri di pundak Wisang dan kaki kanan di pundak Kasang menjambak rambut ke dua raksasa itu sambil mengerahkan tenaga, menarik rambut itu mengadukan kepala mereka satu kepada yang lain.
“Dukkkkkkkk!”
Dua buah kepala yang besar sekali itu saling tumbuk, disusul oleh jerit mereka.
“Aduuuuuuuh…!”
Ketika Kwan Cu melompat turun, tubuh kedua orang raksasa itu terputar lalu roboh tak bergerak lagi. Mereka jatuh pingsan dan di kepala mereka ini tumbuh benjol yang besar dan biru!
Ramailah sorak sorai para penonton. Liyani memandang ke arah Kwan Cu dengan sinar mata yang menakutkan hati Kwan Cu. Raja Lakayong cepat menghampiri Kwan Cu dan tiba-tiba raja ini berkata,
“Saudara Kwan Cu, cobalah kita bermain-main sebentar!” sambil berkata demikian raja ini bergerak memukul ke arah Kwan Cu.
Pemuda ini terkejut luar biasa. Pukulan raja ini mendatangkan angin keras tanda bahwa tenaganya besar sekali. Ia mengelak dan melompat mundur sambil berseru,
“Eh, ehh, ehhh, raja Lakayong saudaraku, mengapa kau menyerbuku?”
“Aku amat kagum melihat kegagahanmu. Puaskanlah hatiku, saudaraku, aku ingin sekali mencoba kepandaianmu sendiri,” kata Lakayong sambil menyerang terus dengan cepat. Gerakan raja ini jauh lebih kuat dan cepat dari pada gerakan kedua orang raksasa muda itu.
Kwan Cu dapat memaklumi isi hati Raja ini. Sebagai orang yang menghargai kepandaian dan kegagahan, melihat seorang gagah lain, tentu saja Raja ini menjadi gatal tangan dan belum merasa puas jika belum menguji kepandaiannya oleh tangan sendiri. Pendeknya, kini Raja ini ingin mencoba kepandaiannya atau yang lajimnya di negerinya disebut pibu (mengadu kepandaian)! Maka Kwan Cu segera melayaninya dengan hati-hati sekali.
Ia menjadi girang ketika mendapat kenyataan bahwa Raja ini telah mentaati pelajarannya dan sekarang semua pukulan serta tendangannya ditujukan ke arah bagian tubuh yang berbahaya. Kalau Raja ini yang tadi menghadapi Wisang dan Kasang, ada kemungkinan kedua orang raksasa muda itu akan tewas dalam pertempuran. Pukulan Raja ini keras sekali dan kepala raksasa muda itu agaknya akan pecah jika terkena pukulan dahsyat ini.
Namun, semua gerakan pukulan Lakayong tiada bedanya gerakan Wisang dan Kasang, sama sekali dilakukan secara ngawur, hanya mengandalkan tenaga saja, sama sekali tak menuruti teori ilmu berkelahi yang baik. Oleh karena itu, kalau dia mau, Kwan Cu dapat merobohkannya dengan mudah saja.
Akan tetapi dia tidak tega untuk melakukan hal ini, karena kalau mengalahkan Lakayong dengan mudah, sedikitnya akan turunlah penghargaan rakyat kepada Raja mereka ini. Ia lalu sengaja membiarkan dirinya terdesak dan sesudah pertempuran berjalan agak lama, cepat sekali dia menggunakan ilmu silat Sin-ci Tin-san, menotok jalan darah thian-hu-hiat dari lawan.
Tiba-tiba Lakayong merasa betapa tubuhnya lemas tidak berdaya sama sekali sehingga dia roboh perlahan. Kwan Cu cepat menyusuli dengan totokan lain dan pulih kembalilah kesehatan Raja itu.
Untuk sesaat, Lakayong hanya dapat duduk dengan mata terbelalak heran. Kemudian ia mengangkat kedua tangan, berdiri dan memeluk Kwan Cu sambil berkata jelas,
“Saudara Kwan Cu hebat sekali. Aku dapat dikalahkan dengan mudah!”
Para penonton terheran-heran, lalu bersorak memuji Kwan Cu.
“Hidup calon raja kita!” mereka bersorak-sorak.
Liyani berlari menghampiri Kwan Cu dan tanpa terduga-duga, gadis ini berlutut sehingga tingginya sama dengan Kwan Cu, lalu memeluk dan menciumnya seperti dulu! Kwan Cu cepat memberontak melepaskan diri dengan muka pucat. Ia tadi merasa kaget setengah mati karena orang-orang itu menyorakinya sebagai calon raja. Ia lebih kaget bukan main ketika Liyani menciuminya dan kekagetannya menjadi-jadi ketika mendadak Liyani yang memegang tangannya berkata keras,
“Dia inilah calon jodohku!”
Mau rasanya Kwan Cu melarikan diri dari tempat itu. Semua kejadian ini membuat dirinya menjadi bingung setengah mati. Ia lalu berkata kepada semua orang.
“Tidak, tidak! Aku bukanlah calon raja dan calon jodoh Liyani. Jodohnya adalah Kasang karena Kasang lebih kuat dari pada Raja !”
Semua orang terdiam dan melongo. Juga Liyani dan Lakayong. Akan tetapi Kwan Cu berkata, “Aku tidak mungkin menjadi calon raja karena aku harus pergi dari sini. Dan aku tak bisa jadi calon jodoh Liyani karena aku... aku orang kecil, tidak sesuai untuk menjadi jodohnya.”
“Itu bukan alasan!” Liyani membantah. “Hanya dengan alasan yang jujur dari bangsaku aku mau menerima penolakan ini!”
“Alasan jujur yang bagaimanakah?”
“Pertama, kalau kau mau menyatakan bahwa kau membenciku, aku tidak keberatan kau menolakku. Ke dua, hanya kalau kau sudah mempunyai calon jodoh atau bahkan sudah mempunyai jodoh perempuan lain, baru aku mau mencari lain jodoh.”
Kwan Cu menjadi makin bingung dan ia menggaruk-garuk bagian belakang telinganya. Ia berada dalam keadaan yang teramat sulit. Untuk menyatakan bahwa ia membenci Liyani, selain hal itu tak sesuai dengan hatinya yang sama sekali tidak membenci gadis raksasa ini, juga amat berbahaya karena tentu semua orang di sana akan memusuhinya.
Untuk mengaku bahwa dia sudah punya calon jodoh atau isteri, tidak mungkin pula. Akan tetapi, alasan kedua ini sebetulnya lebih ringan dan lebih aman. Setelah berpikir-pikir dia menjawab tanpa ragu-ragu,
“Aku tidak membencimu, Liyani. Dan aku memang belum punya jodoh. Akan tetapi aku sudah mempunyai calon jodoh, seorang gadis di negeriku.”
Tiba-tiba Liyani menangis! Kwan Cu menjadi bingung sekali.
“Jangan berduka, Liyani. Kita tidak cocok menjadi jodoh, namun aku sudah mempunyai calon jodoh yang besarnya sama denganmu. Jodohmu adalah pemuda tinggi besar yang gagah seperti Kasang.”
“Calon jodohmu itu... Apakah kau suka kepadanya?” tanya Liyani sambil menyusuti air matanya.
“Tentu saja, aku… suka sekali padanya,” jawab Kwan Cu menelan ludah.
“Dan dia… apakah dia suka padamu?”
“Tentang itu… barang kali dia suka, belum kutanyakan.”
“Cantikkah dia?”
“Cantik sekali, yaitu menurut pandangan mataku.”
“Siapa namanya?”
Tak disangkanya bahwa Liyani begitu nekat dan terus bertanya dengan teliti. Bagaimana harus dijawabnya? Ia tadi membohong dan kini dia tidak dapat menjawab.
“Siapa namanya?” Liyani mendesak.
“Namanya… apa perlunya kusebut-sebutkan namanya? Kau tak akan mengenalnya.”
“Kalau begitu kau bohong!”
Kwan Cu terkejut. Pikirannya diputar-putar dan terbayanglah wajah Bun Sui Ceng murid Kiu-bwe Coa-li. Agaknya gadis cilik itu saja yang patut menjadi jodohnya.
“Namanya Bun Sui Ceng!” akhirnya dia berkata dan mukanya berubah menjadi merah sekali ketika dia berkata demikian.
Kembali Liyani menangis makin keras. “Sekarang tak ada lagi orang yang patut menjadi jodohku, hanya kau yang bisa mengalahkan ayah!”
“Siapa bilang? Kasang bisa mengalahkan ayahmu,” kata Kwan Cu yang mendapat siasat baik sekali.
Pada waktu itu Kasang beserta Wisang sudah siuman kembali dan turut mendengarkan percakapan itu. Mendengar betapa Kasang dipuji-puji oleh Kwan Cu dan bahkan hendak dijodohkan dengan Liyani, Wisang menggereng keras dan tiba-tiba menyerang Kasang! Serangan itu hebat sekali dan dilakukan selagi Kasang tidak bersiap, maka jika pukulan yang ditujukan ke arah kepala itu mengenai sasaran, amat berbahayalah bagi Kasang.
Kwan Cu yang melihat hal ini, cepat-cepat melompat dan sebelum pukulan Wisang itu mengenai Kasang, tubuh Wisang terpental ke belakang dan dia roboh tak dapat bangun kembali. Tulang pundaknya sudah patah dan biar pun Kwan Cu merasa kasihan, namun pukulannya tadi memang dia sengaja. Dia juga tidak mau mengobati atau menyambung tulang pundak itu, karena bila Wisang tidak dibikin cacat, kelak tentu dia akan mengacau lagi. Kini Wisang biar pun akan sembuh, tenaga tangan kanannya akan lenyap dan dia tidak berbahaya lagi.
Ada pun Lakayong yang mendengar omongan Kwan Cu, menjadi heran dan bertanya, “Saudara Kwan Cu, betul-betulkah Kasang dapat mengalahkan aku?”
“Tentu saja, akan tetapi tidak sekarang, boleh dicoba besok pagi. Dia sekarang menjadi muridku dan dia akan kuberi pelajaran sehari ini.”
Sesudah Kwan Cu mendapat kesempatan bertemu dengan Lakayong seorang diri saja, ia lalu menceritakan siasatnya. Dalam pertempuran tadi, dia mendapat kenyataan bahwa sifat-sifat Kasang memang lebih baik dari pada Wisang dan rencana pembunuhan raja itu pun tentu Wisang yang mengaturnya.
“Liyani suka kepada Kasang, maka harap besok kau suka mengalah pada Kasang agar puterimu suka menerima pinangannya. Kau melakukan ini demi kebahagiaan puterimu, apakah kau tidak suka?” tanya Kwan Cu.
Mengertilah Lakayong dan dia mengangguk-angguk. Kwan Cu sebetulnya tidak memberi pelajaran apa-apa kepada Kasang, hanya nasehat-nasehat agar supaya pemuda ini tidak mengacau lagi dan agar besok menghadapi Lakayong, dia tahu bahwa raja itu sengaja mengalah. Kasang berterima kasih sekali dan mengaku bahwa dia memang telah kena bujukan Wisang yang jahat.
Demikianlah, atas rencana Kwan Cu yang sudah disetujui dan dibantu pelaksanaannya oleh raja Lakayong dan Kasang, pada keesokan harinya, bertempat di kebun itu, hanya disaksikan oleh Liyani seorang saja, dilakukan pertandingan antara Lakayong melawan Kasang. Dalam pertandingan yang kelihatan hebat ini namun yang sesungguhnya hanya main-main belaka, akhirnya Raja Lakayong kena ditubruk dan ditangkap oleh sepasang lengan Kasang yang kuat. Lakayong mencoba untuk melepaskan diri, akan tetapi tidak dapat dan akhirnya mengaku kalah sambil berkata,
“Ah, setelah menjadi murid saudara Kwan Cu kau benar-benar hebat sekali, Kasang. Aku menerima kalah!”
Kasang segera menjatuhkan diri berlutut di depan rajanya dengan wajah berseri. “Mohon ampun sebanyaknya atas segala kedosaanku,” katanya. “Dalam kesempatan ini untuk kedua kalinya kuulangi pinanganku terhadap Liyani.”
Lakayong berpaling kepada puterinya.
“Liyani, kau sudah mendengar sendiri pinangan Kasang yang gagah perkasa. Nah, seperti biasa, keputusannya terserah kepadamu.”
Terdengar sedu sedan di leher gadis itu. ”Terserah pada ayah saja, aku hanya menurut.”
“Bagus! Kasang, calon menantuku, kami menerima pinanganmu!” kata Raja itu gembira sekali.
Liyani memandang ke arah Kwan Cu, lalu menangis dan berlari pergi.
Kwan Cu menghaturkan selamat kepada Kasang dan Lakayong, dan kedua orang itu sebaliknya tiada hentinya mengucapkan terima kasih mereka, karena dengan akal dan siasat Kwan Cu belaka maka gadis yang keras kepala itu dapat ditundukkan.
“Sekarang aku mohon diri hendak melanjutkan pelayaranku,” kata Kwan Cu.
Lakayong mengerutkan keningnya. “Kalau mungkin, kami tidak ingin berpisah denganmu lagi, saudaraku yang baik. Akan tetapi kalau kami memaksa, itu tidak adil namanya. Kau hendak pergi ke manakah?”
“Aku hanya ingin berkelana saja dan aku mendengar adanya sebuah pulau kecil bundar yang ditumbuhi oleh pohon-pohon berdaun putih. Tahukah kalian tentang pulau itu dan di mana letaknya?”
Lakayong dan Kasang memandang dengan mata terbelalak lebar.
“Apa?!” seru Raja raksasa itu. ”Kau hendak mencari pulau bayangan?”
Kwan Cu memandang heran. ”Pulau bayangan? Apa maksudmu? Aku hanya mendengar bahwa pulau itu kecil, berbentuk bundar dan ditumbuhi oleh pohon-pohon berdaun putih. Tahukah kalian akan pulau itu?”
“Benar, yang kau maksudkan ini tentu Pulau Bayangan! Saudaraku yang baik harap kau batalkan saja niatmu itu. Kami sudah sering kali berperahu di sekitar kepulauan ini dan sering kali mendadak melihat pulau yang kau maksudkan itu. Akan tetapi apa bila kami mendekatinya, tiba-tiba dia menghilang! Pulau itu sangat aneh dan jauh sehingga kami mengambil kesimpulan bahwa pulau itu tentu bukanlah berada di sekitar sini, melainkan berada di seberang laut jalan maut.”
“Di manakah laut jalan maut itu? Aku akan mencari ke sana.”
Kasang mengeluarkan seruan kaget, dan Lakayong menjadi pucat.
“Jangan, saudara Kwan Cu. Jangan sekali-kali kau melintasi batas laut itu. Sudah banyak saudara-saudara kami yang tewas di sana. Laut itu adalah batas yang tidak boleh dilalui manusia, sebab di sana banyak terdapat keajaiban yang merupakan tangan maut. Siapa pun juga tidak mungkin dapat melalui batas itu. Lebih baik kau mengunjungi pulau-pulau kosong yang banyak terdapat di sekitar sini.”
“Tidak, Raja yang baik. Aku akan mencobanya, betapa pun besar bahaya yang akan aku hadapi.”
Lakayong menarik napas panjang. “Kau orang aneh, mungkin juga kau akan berhasil menjelajahi pulau itu. Akan tetapi hati-hatilah, memang benar-benar berbahaya sekali di daerah itu. Aku sendiri pernah mencobanya, namun terpaksa aku kembali setelah tiba di batas laut itu. Bukan main ganasnya. Letaknya di sebelah timur pulau kami ini, tepat dari mana matahari muncul.”
“Terima kasih dan selamat tinggal, Raja Lakayong, dan kau juga, saudara Kasang. Yang baik-baiklah kau menjaga Liyani.” Setelah berkata demikian Kwan Cu lalu pergi ke pantai mencari perahunya, diikuti oleh Lakayong dan Kasang.
Ketika penduduk mendengar tentang kepergian Kwan Cu, berbondong-bondong mereka mengantar sampai ke pantai. Akan tetapi di antara sekian banyaknya orang, tak nampak bayangan Liyani.
Kwan Cu menurunkan perahunya di air dan dia sudah menerima dua buah dayung yang baik dari Raja Lakayong sebagai pengganti dayungnya ketika perahunya diserang oleh taufan beberapa hari yang lalu. Orang-orang di pantai melambaikan tangan, malah Raja Lakayong menghapuskan dua butir air mata yang menitik turun ke atas pipinya. Semua orang terharu, terutama sekali Lakayong dan Kasang yang sudah merasa betapa besar jasa pemuda kecil itu bagi mereka.
“Selamat tinggal, saudara-saudaraku yang baik. Kita yieee... (selamat tinggal)...” berkata Kwan Cu sambil mendayung perahunya ke timur. Karena dia mempergunakan tenaga lweekang, maka sebentar saja dia sudah meninggalkan pulau besar yang mendatangkan pengalaman-pengalaman aneh kepadanya itu.
Tiba-tiba terdengan seruan suara nyaring.
“Saudara Kwan Cu…!”
Kwan Cu menoleh dan alangkah herannya ketika dia melihat sebuah perahu layar besar yang dikendarai oleh... Liyani!
“Ehh, kau Liyani. Hendak pergi ke manakah kau?” tanyanya heran.
“Aku sengaja menantimu di sini, aku hendak pergi bersamamu!”
Baiknya Kwan Cu masih ingat bahwa dia berada di dalam perahu, kalau tidak tentu dia akan melompat ke belakang dan berjungkal ke dalam air saking kagetnya.
“Ikut pergi bersamaku?! Kau gil... ehh, apa maksudmu?”
“Kau telah menipuku! Apa kau kira aku tak tahu bahwa dalam pertandingan antara ayah dan Kasang, ayah sengaja berlaku mengalah dan semua itu adalah rencanamu belaka? Kau menghendaki dan memaksa aku menerima Kasang sebagai jodohku, mengapa?”
Kwan Cu menelan ludah. Hebat benar gadis ini, pikirnya. Ia mendekatkan perahunya ke perahu besar Liyani, mengikatkan tali di kepala perahu gadis itu, lalu melompat masuk ke dalam perahu besar, berdiri menghadapi gadis raksasa itu.
“Dengarlah baik-baik, Liyani. Tuduhanmu tadi kuterima dan aku minta maaf. Memang aku sengaja melakukan hal itu. Ketahuilah, kau tak mungkin ikut dengan aku sebab kita tidak sesuai, dan di negeriku kau hanya akan menjadi tontonan dan buah tertawaan seperti ketika aku berada di pulaumu, bahkan kau akan mengalami gangguan-gangguan yang tak mengenakkan hati. Aku memang ingin melihat kau menjadi isteri Kasang, karena dia pemuda baik dan cocok menjadi jodohmu. Apa lagi, ayahmu pun menghendaki demikian. Ada pun aku... sudah kukatakan bahwa aku mempunyai calon jodohku sendiri.”
“Bun Sui Ceng...?”
Kwan Cu tertegun. Nama gadis murid Kiu-bwe Coa-li itu malah masih teringat oleh Liyani! Apa boleh buat, ia mengangguk membenarkan.
“Kau tidak bohong?”
Kwan Cu menggelengkan kepala.
“Berani kau bersumpah?”
Kwan Cu melongo.
“Bersumpah? Bersumpah bagaimana?”
“Bersumpah bahwa kau benar-benar suka kepada gadis yang bernama Bun Sui Ceng itu, bahwa kau benar-benar menghendaki dia menjadi jodohmu.”
Kwan Cu menjadi bingung sekali. Dia mencoba untuk membayangkan wajah Sui Ceng yang manis dan tergeraklah hatinya. Mengapa tidak? Sui Ceng merupakan gadis yang memang disukanya, tidak saja gadis itu memang baik terhadapnya, bahkan ibu gadis itu, yakni Pek-cilan Thio Loan Eng, adalah manusia pertama yang berlaku baik kepadanya.
“Aku bersumpah bahwa aku suka kepada Bun Sui Ceng dan bahwa aku menghendaki ia menjadi jodohku,“ kata Kwan Cu dan ketika dia mengucapkan kata-kata ini, dia berlaku sungguh-sungguh.
Liyani menangis. Lalu gadis ini berdiri dengan muka menengadah ke langit serta kedua tangannya dipentang lebar.
“Dengarlah, dewa awan, dewa matahari dan dewa laut. Kalian telah menjadi saksi atas sumpah saudara Kwan Cu! Apa bila kelak dia melanggar sumpahnya, biarlah kalian yang menghukumnya dan biarlah saudara Kwan Cu selama hidupnya tidak akan mendapatkan jodoh!”
Suara gadis ini sedemikian menyeramkan sehingga Kwan Cu merasa bulu tengkuknya berdiri.
“Kau terimalah ini sebagai tanda mata dariku. Selama hidup aku tak akan melupakanmu, saudara Kwan Cu.”
Biar pun bagi Liyani tusuk konde itu kecil saja, namun bagi Kwan Cu merupakan benda sebesar pisau belati. Ia menerimanya dan berkata dengan terharu,
“Terima kasih, Liyani. Aku pun tak akan melupakanmu, takkan melupakan kau, ayahmu, dan semua orang yang berada di atas pulaumu.”
Setelah berkata demikian, Kwan Cu melompat kembali ke dalam perahunya, melepaskan ikatan dan mendayung perahunya, terus ke arah timur. Ketika dia menengok, dia melihat Liyani masih berdiri di perahunya sambil memandang ke arahnya. Dilihat dari jauh, Liyani tidak kelihatan besar lagi, melainkan nampak sebagai dara biasa yang bertumbuh tinggi semampai, berpinggang ramping dan bentuk tubuh yang indah.
Kwan Cu melambaikan tangan dan dibalas oleh Liyani. Pemuda ini lalu menghela napas panjang, kemudian mendayung cepat perahunya tanpa menoleh lagi…..
********************
Kwan Cu terus mendayung perahunya dengan cepat menuju ke timur. Matahari sudah naik tinggi melewati kepalanya. Dia melihat pulau-pulau yang gundul di sebelah kiri, akan tetapi dia tidak mau mendarat. Ingin dia segera tiba di daerah laut maut yang diceritakan oleh Lakayong.
Akan tetapi, dia melihat laut yang amat tenang dan yang agaknya tidak ada batasnya itu. Kalau dia melihat ke timur, yang nampak hanyalah air belaka dan jauh di sebelah timur air laut bertemu dengan kaki langit sehingga sukar dibedakan di mana batasnya, karena warna laut dan langit hampir sama.
Malam tiba dan baiknya bulan purnama muncul berseri. Kwan Cu terus saja mendayung dan akhirnya karena lelah, menjelang tengah malam setelah bulan purnama naik tinggi, dia tidur pulas di dalam perahu, membiarkan perahunya itu berdiam tak bergerak di atas air yang tenang.
Untung baginya bahwa tadi orang-orang di pulau raksasa memberi bekal kue manis yang besar sekali kepadanya, sebesar dua kepalanya, sehingga dia tak menderita kelaparan. Untuk minumnya, dia pun sudah membawa bekal seguci minuman yang rasanya wangi dan tawar, tidak seperti arak namun dapat menghangatkan perut.
Kwan Cu tertidur sampai lama sekali. Ia baru sadar ketika perahunya bergoyang-goyang. Saat dia membuka matanya ternyata bulan purnama sudah lenyap dan sebagai gantinya, matahari mengintip di kaki langit sebelah timur, memancarkan cahaya kemerahan yang menimbulkan pemandangan indah sekali.
Akan tetapi Kwan Cu tak mungkin dapat menikmati keindahan alam itu karena ketika dia melihat ke bawah, yaitu ke pinggiran perahunya untuk mengetahui mengapa perahunya bergoyang-goyang, dia menjadi terkejut bukan main. Pada sekeliling perahunya kelihatan banyak sekali ikan-ikan besar, sebesar perahunya, berenang ke sana ke mari dan setiap kali tubuh ikan melanggar perahunya, perahu itu bergoyang-goyang!
“Celaka…” pikir Kwan Cu.
Ikan itu banyak sekali dan kalau dia mengunakan dayung memukul dan mengusir, tentu ikan itu akan marah. Bila sampai ikan-ikan itu menyerbu perahunya, akan celakalah dia. Juga tidak mungkin untuk mendayung perahu karena dayungnya tentu akan melanggar tubuh ikan yang terdekat. Keadaannya seperti seekor domba yang dikurung oleh puluhan ekor harimau yang siap menerkam setiap saat.
“Celaka, bagaimana baiknya sekarang?”
Kwan Cu diam saja sambil duduk di dalam perahunya. Dia memegang dayung siap akan memukul ikan yang akan menyerbu perahunya. Akan tetapi ikan-ikan itu hanya berenang ke sana ke mari, kadang kala sengaja menyenggol perahu hingga perahu itu bergoyang-goyang hampir terbalik.
“Kurang ajar, mereka sengaja mempermainkan aku,” pikir Kwan Cu.
Dia teringat akan daun Liong-cu-hio yang berada di dalam bungkusan kainnya. Ia teringat ketika Liok-te Mo-li, nenek yang aneh itu memberi bekal daun-daun ini kepadanya, nenek itu berkata bahwa apa bila dia diserang dan diancam oleh ikan-ikan buas maka dia dapat menggunakan daun-daun itu untuk menyelamatkan diri.
Dengan perlahan dia membuka bungkusannya, membasahi kedua tangannya dengan air laut, lalu mengambil dua helai daun itu. Ia merasa heran sekali karena daun-daun itu sama sekali tidak mengering, masih segar seperti ketika habis dipetik.
“Mudah-mudahan Liok-te Mo-li tidak berbohong,” pikir Kwan Cu.
Dia melemparkan sehelai daun ke kanan dan sehelai pula ke kiri sambil mengerahkan tenaga. Daun-daun itu meluncur dan jatuh di air. Setelah tiba di air dan terapung, kedua daun itu bergerak-gerak bagaikan benda hidup. Kwan Cu tidak heran melihat ini, karena dulu pun sudah pernah melihat betapa daun-daun itu bergerak-gerak tiap kali tersentuh sesuatu.
Ia memandang penuh perhatian dan harapan. Maka terjadilah sesuatu yang amat hebat. Seekor ikan yang berada paling dekat dengan daun itu, tadinya tidak mengacuhkannya sama sekali, akan tetapi begitu daun itu bergerak-gerak dia cepat menyambar kemudian menelannya. Akan tetapi, begitu daun itu tertelan olehnya, seketika itu juga tubuhnya terapung dalam keadaan mati! Perutnya yang putih itu nampak tersembul di permukaan air.
Sudah menjadi kebiasaan liar dari ikan-ikan itu, apa bila melihat seekor ikan lainnya mati, mereka segera menyerbu untuk makan dagingnya. Akan tetapi, tiap kali ikan menggigit segumpal daging dari ikan yang mati itu, ikan ini pun terapung dalam keadaan mati pula! Namun ikan-ikan itu bodoh sekali dan yang lain-lain serentak berpesta, menyerbu yang sudah mati sehingga sebentar saja air penuh dengan bangkai ikan.
Kwan Cu bergerak memandang ke belakangnya. Di sebelah kiri perahu dia meyaksikan pemandangan yang sama. Di sana pun ikan-ikan berpesta pora, yang hidup menyerbu yang mati untuk terkena racun daun Liong-cu-hio sehingga menjadi bangkai pula tanpa dapat menggelepar lagi.
“Hebat…!” Kwan Cu berseru dengan hati ngeri.
Ia bergidik melihat betapa bangkai ikan makin banyak saja terapung di permukaan laut. Agaknya semua ikan di tempat itu akan mati terkena racun yang jahat. Kini tahulah dia akan arti ucapan Liok-te Mo-li bahwa ia akan menyaksikan ‘pesta’ yang menggembirakan kalau melemparkan daun itu ke laut.
Kwan Cu segera mendayung perahunya cepat-cepat, pergi dari tempat itu. Dia merasa ngeri, juga merasa malu kepada diri sendiri. Ia anggap perbuatannya tadi rendah dan pengecut. Kalau dia tahu bahwa akibat daun itu akan demikian hebat, tentu dia akan mencari jalan lain untuk menyelamatkan diri dari keadaannya yang terancam tadi.
“Aku tak akan mempergunakan daun-daun iblis ini lagi,” pikirnya. “Terlalu keji!”
Dengan cepat dia lalu mendayung perahunya ke arah matahari yang mulai nampak di permukaan laut sebelah timur. Ia mendayung perahunya cepat sekali, namun belum juga kelihatan adanya pulau di sebelah sana, bahkan dia tidak melihat adanya lautan yang disebut jalan maut itu.....
Apakah ikan-ikan itu yang dianggap berbahaya oleh Lakayong? Tidak mungkin, pikirnya. Sungguh pun ikan-ikan tadi baginya besar sekali dan membahayakan perahunya, namun bagi Lakayong dengan perahunya yang besar, ikan-ikan itu hanya merupakan ikan-ikan kecil saja yang tak mengancam keselamatan perahu raksasa itu.
Sehari penuh dia mendayung dan pada malam harinya dia tertidur lagi di dalam perahu, membiarkan perahunya terapung di atas air yang masih tenang.
Pada keesokkan harinya, dia mendengar suara mendesis-desis seperti mendengar ada ribuan ekor ular menyerang dirinya. Kwan Cu terbangun dari tidurnya dan melihat bahwa matahari sudah naik agak tinggi dari permukaan laut sebelah timur. Dia memandang ke kanan kiri dengan heran tidak tahu apakah yang menimbulkan suara mendesis itu.
Tiba-tiba saja dia melihat awan atau uap hitam yang bergerak mendatang dari arah utara menuju ke tempat di mana perahu berada. Makin lama uap itu makin besar dan sebagian uap menutupi matahari sehingga pandangan mata pemuda itu menjadi gelap. Kemudian dia melihat sesuatu yang mengejutkan hatinya. Beberapa ekor burung laut beterbangan ketakutan dan di antaranya ada yang terbang menerjang uap itu, kemudian jatuh dalam keadaan hangus!
Bukan main kagetnya Kwan Cu. Suara mendesis-desis makin keras dan ternyata bahwa suara itu keluar dari asap atau uap hitam ini. Uap ini melayang di atas permukaan laut hanya kurang lebih dua kaki di atas air, seolah-olah ada hawa air laut yang menahannya. Ketika uap hitam itu telah dekat dengan perahunya, Kwan Cu menggerakkan dayungnya menyentuh uap. Dayung itu segera menjadi hangus ujungnya!
Pemuda ini kaget setelah mati dan cepat dia menjerembab di dalam perahu, bertiarap sehingga tubuhnya menempel pada perahu dengan telungkup. Kemudian semua menjadi gelap karena uap itu sudah melayang di atas perahunya. Kwan Cu mengatur napas dan mengerahkan lweekang-nya untuk melawan hawa panas ini.
Suara mendesis-desis itu membisingkan telinganya hingga membuat kepalanya pening. Pada akhirnya suara mendesis itu menjauh, tidak lama kemudian suara itu lenyap, hawa panas pun lenyap.
Kwan Cu baru berani membuka mata dan menggerakkan leher menengok ke atas. Udara bersih dan ternyata bahwa uap hitam yang mengerikan itu sudah lewat. Baiknya uap itu tadi melayang agak tinggi dari permukaan laut, kalau lebih rendah tentu perahunya akan hangus, tentu saja berikut tubuhnya pula.
Sesudah yakin bahwa tidak ada bahaya lagi, Kwan Cu duduk dan pada saat itu juga dia dapat merasakan getaran yang luar biasa hebat pada perahu yang didudukinya. Kiranya perahu ini sudah terkunci oleh gerakan air yang luar biasa kuatnya dan Kwan Cu melihat sesuatu yang amat ganjil. Air laut yang dimasuki oleh perahunya itu bergerak mengalir dengan kekuatan yang dahsyat sekali.
“Inilah agaknya batas yang disebut jalan maut itu,” pikir Kwan Cu dengan hati berdebar.
Akan tetapi ketabahan dan ketenangannya tidak lenyap. Dengan kedua tangannya Kwan Cu mencoba sedapat mungkin untuk menahan perahunya supaya tidak terbalik. Dengan memukul dan menekan ke kanan kiri perahu, dia berhasil menjaga keseimbangan berat perahunya yang dibawa hanyut cepat sekali oleh aliran air itu. Memang sangat aneh. Di laut yang kelihatan begitu tenang, bagaimana ada semacam sungai membanjir?
Entah ke mana perahunya dihanyutkan, Kwan Cu tidak ingat lagi. Ia terus bekerja keras menjaga supaya perahunya tidak terbalik dan perahunya meluncur bukan main cepatnya, jauh lebih cepat dari pada kalau dia mempergunakan tenaga. Hal ini dapat dia rasai pada sambaran angin dari depan. Juga pada waktu ada air yang terkena pukulan dayungnya memercik ke atas mengenai lengan dan mukanya, dia merasa betapa air itu dingin sekali seperti salju!
Sampai matahari tenggelam, masih saja perahunya terbawa hanyut dengan kecepatan yang makin lama makin pesat. Dia melihat pulau-pulau kecil di kanan kiri, agak jauh, dan penglihatan ini menambah kenyataan betapa cepatnya air mengalir itu sedang membawa perahunya. Akan tetapi, alangkah herannya ketika dia melihat bahwa ‘sungai’ yang tidak kelihatan ini agaknya memutari pulau-pulau itu.
Tak lama kemudian, malam pun tiba. Sinar bulan tak cukup terang sehingga pulau-pulau kecil itu pun lenyap tak dapat terlihat lagi.
Semalam itu dia masih terus bekerja. Dia tak berani mengurangi tenaganya karena sekali saja dia melepaskan dayung, perahunya mungkin akan terbalik dan kalau hal ini terjadi, maka akan berbahayalah keadaannya. Tubuhnya sudah terasa letih sekali, bukan hanya karena pengerahan tenaga sehari semalam tanpa ada hentinya, juga karena dia tidak mendapatkan kesempatan untuk mengisi perut sama sekali.
“Celakalah kali ini,” pikir Kwan Cu. “Kalau terus menerus begini, sampai berapa lama aku dapat bertahan?”
Menghadapi keadaan yang berbahaya ini, Kwan Cu lalu teringat akan nasehat Lakayong. Benar juga rakasasa itu. Daerah inilah yang disebut daerah maut atau jalan maut, karena memang luar biasa berbahayanya. Baru perjumpaan dengan uap berbisa tadi saja sudah amat berbahaya, dan sekarang terdapat aliran air yang begini dahsyat.
Menjelang pagi, tenaga Kwan Cu sudah mulai lemas. Hampir-hampir dia tidak sanggup menahan lagi. Akan tetapi, tiba-tiba perahunya tidak begitu laju lagi dibawa hanyut, tanda bahwa tenaga aliran sungai yang tidak kelihatan itu mengecil. Ketika dia memandang ke depan dalam suasana pagi yang masih suram, dia tahu mengapa terjadi hal itu. Kiranya di depan membentang panjang pulau-pulau kecil yang hitam, dan tentu aliran itu tertahan oleh pulau-pulau itu sehingga tenaganya buyar dan perahunya terlepas dari pegangan aliran itu.
Dengan mengerahkan sisa tenaganya, Kwan Cu mendayung perahu ke kiri dan akhirnya dia sama sekali berhasil melepaskan perahu dari pada aliran air yang mulai melemah itu. Ia membiarkan perahunya terapung dan ketika dia memandang ke kanan, kini tampaklah aliran sungai itu, agak kekuning-kuningan di antara air laut yang biru, yakni air laut yang tenang dan diam.
Kwan Cu mengeleng-geleng kepala. Benar-benar suatu yang aneh sekali. Dari manakah timbulnya air kuning itu yang begitu saja muncul di tengah laut? Apakah sumber air itu muncul dari dasar laut? Ahh, alangkah hebat, berkuasa, dan aneh adanya alam ini, yang bagi tangan Thian hanya merupakan permainan kecil belaka.
Hal yang pertama-tama dilakukan oleh Kwan Cu adalah minum cairan manis yang masih ada sisanya, kemudian dia makan sisa kuenya yang mulai mengeras dan terasa kurang enak. Tangannya gemetar, tanda bahwa urat-uratnya sudah sangat letih.
Sementara itu, matahari mulai naik tinggi dan pulau-pulau yang masih menahan aliran air kuning dan yang menyelamatkannya itu mulai kelihatan. Hati pemuda ini berdebar-debar. Apakah pulau bundar kecil yang dicarinya itu berada di antara kumpulan pulau itu? Siapa tahu kalau-kalau memang Im-yang Bu-tek Cin-keng benar-benar berada di atas sebuah di antara pulau-pulau itu, pikirnya penuh harapan.
Ia mulai mendayung perahunya mendekati pulau-pulau itu, hendak mulai menyelidik dan mencari-cari apakah di sana terdapat pulau yang di tumbuhi pohon-pohon berdaun putih. Akan tetapi dia merasa tangannya lelah, tidak kuat lagi untuk mendayung lama-lama.
“Aku harus beristirahat dulu, harus tidur. Akan tetapi amat berbahaya jika tidur di dalam perahu, jangan-jangan perahuku akan hanyut pula ketika aku sedang tidur.” Mengigat ini, hatinya menjadi ngeri dan Kwan Cu mengerahkan sisa tenaga untuk mendayung perahu itu ke arah sebuah pulau terdekat agar dia dapat tidur di darat.
Pulau itu kecil saja, akan tetapi ternyata merupakan sebuah pulau yang subur, dengan pohon-pohon kecil kehijauan. Kwan Cu tidak ada tenaga lagi untuk menyelidiki keadaan pulau itu, karena tubuhnya sudah amat letih. Setelah dia menyeret perahu ke darat, dia lalu menjatuhkan diri di atas rumput dan sebentar saja pulaslah dia…..
********************
Kwan Cu yang sedang tidur pulas itu tidak tahu bahwa menjelang tengah hari, sebuah perahu yang kecil sekali mendarat di pesisir itu dan dari perahu itu melompat keluar dua orang gadis yang gesit sekali gerakannya. Dua orang gadis muda ini cantik-cantik sekali, pakaiannya terbuat dari pada sejenis sutera halus yang mencetak bentuk tubuh dengan ketat. Rambut mereka diikat ke belakang, rambut yang hitam dan bergoyang-goyang di belakang punggung.
Dua orang gadis cantik ini berlari-lari, akan tetapi mendadak memandang ke arah perahu Kwan Cu dengan mata terbelalak. Kulit muka mereka yang kemerah-merahan dan halus itu, tiba-tiba menjadi pucat sekali dan keduanya berdiri terpaku pada tanah yang mereka injak, seakan-akan telah berubah menjadi dua patung batu yang indah.
Mereka kemudian berbicara perlahan sambil mencabut pedang dari belakang punggung, siap menghadapi segala macam bahaya. Gerakan mereka lincah dan cepat bukan main, sehingga ketika mencabut pedang itu pun hampir tak dapat diikuti oleh pandangan mata saking cepatnya. Kemudian mereka berlompat-lompatan ke arah perahu yang tadi ditarik ke darat oleh Kwan Cu.
Setelah mereka tiba di dekat perahu, barulah dapat dimengerti mengapa mereka menjadi begitu kaget dan kelihatan takut. Ternyata bahwa tubuh kedua orang gadis itu kecil sekali setelah berada di dekat Kwan Cu yang kelihatan besar bukan main. Dua orang gadis itu kelihatan seperti anak-anak berusia lima enam tahun, padahal melihat bentuk tubuh dan wajah mereka, tentu mereka telah berusia sedikitnya tujuh belas tahun!
“Perahu raksasa!” kata seorang di antara mereka yang mempunyai tanda hitam seperti titik pada pipi kanannya, tanda yang menambah kemanisan wajahnya.
Gadis ke dua memandang ke kanan kiri, dan tiba-tiba saja dia menjerit perlahan sambil menudingkan telunjuknya ke arah tubuh Kwan Cu yang masih saja tidur pulas di bawah sebatang pohon kecil. Gadis dengan tahi lalat pada pipinya menengok sambil melompat seperti seekor burung walet membalikkan tubuh, dan ia pun mengeluarkan jerit tertahan. Bagi mereka, tubuh Kwan Cu kelihatan besar sekali, seperti seorang raksasa!
Keduanya berbicara perlahan dan dengan gerakan cepat akan tetapi ringan sekali, dua orang gadis itu berlari-lari menghampiri Kwan Cu dengan pedang siap di tangan. Walau pun tubuh mereka kecil, akan tetapi mereka mempunyai ketabahan besar, karena kini mereka sama sekali tidak melarikan diri ketakutan, bahkan berani menghampiri ‘raksasa’ itu.
Hal ini tidak mengherankan kalau kita mengetahui siapa adanya kedua orang gadis itu. Mereka ini adalah dua orang puteri raja yang sudah meninggal dunia dari suku bangsa katai yang hidup di sebuah di antara pulau-pulau di daerah itu, dan kedua orang gadis ini sekarang dianggap sebagai pemimpin mereka, karena di antara mereka, dua orang gadis ini dianggap sebagai orang-orang yang mempunyai kepandaian paling tinggi. Ini dapat dibuktikan dari gerakan mereka yang benar-benar ringan dan cepat sekali, seakan-akan mereka mempunyai sepasang sayap seperti burung yang gesit sekali.
Pada saat mereka tiba di dekat Kwan Cu yang masih tidur pulas saking lelahnya, gadis bertahi lalat pada pipinya mencabut keluar sehelai sapu tanggan merah dari balik baju di dadanya, sedangkan gadis ke dua lalu menurunkan tali temali yang seperti sebuah jala ikan dari punggungnya.
Meski pun dia sedang tidur pulas, kalau sekiranya yang datang mendekatinya itu adalah orang-orang biasa, agaknya Kwan Cu masih mampu mendengar juga karena telinganya sudah terlatih baik. Akan tetapi yang datang adalah dua orang gadis yang memiliki ilmu meringankan tubuh luar biasa sehingga daun-daun kering yang mereka injak pun tidak menimbulkan suara apa-apa. Hal ini bukan karena hanya ilmu mereka sudah tinggi, akan tetapi juga karena mereka memakai sepatu yang bahannya lemas dan empuk sekali.
Gadis bertahi lalat pada pipinya itu dengan gerakan cepat lalu meloncat ke dekat kepala Kwan Cu yang kelihatan besar sekali. Sekali ia mengerakkan tangan, sapu tangan merah itu melayang dan menyambar muka Kwan Cu.
Pemuda ini merasa bahwa ada sesuatu yang halus menutupi mukanya. Dia cepat-cepat membuka matanya, akan tetapi dari sapu tangan merah ini keluar keharuman luar biasa yang membuat dia tidak kuasa membuka mata saking mengantuknya dan dalam sekejap saja dia telah tertidur pulas kembali!
Gadis kedua yang berwajah gembira, cepat bergerak, melemparkan jalanya menyelimuti tubuh Kwan Cu. Dengan gerakan cekatan dia lalu membelit tubuh Kwan Cu dengan jala itu dan dibantu oleh gadis pertama lalu mengikat sana sini sehingga sebentar saja tubuh Kwan Cu sudah terbungkus jala itu dan kelihatan bagaikan seekor ikan besar masuk ke dalam jala yang kuat!
“Pergilah kau memanggil kawan-kawan untuk membawa raksasa ini pulang,” kata gadis bertahi lalat kepada adiknya.
Gadis ke dua sambil tertawa-tawa gembira lalu meloncat dengan cepat dan berlari-lari ke arah perahunya dan berlayar pergi. Ada pun gadis pertama lalu duduk di dekat Kwan Cu, memeriksa bungkusan besar milik Kwan Cu yang tadi oleh pemuda itu diletakkan tidak jauh dari tubuhnya.
Gadis ini segera membuka bungkusan itu dengan wajah tertarik. Wajahnya yang cantik kemerah-merahan, rambutnya bergerak ke kanan dan kiri ketika dengan susah payah dia membuka bungkusan yang berat itu. Akhirnya ia dapat membuka bungkusan dan setiap lembar pakaian Kwan Cu diperhatikannya secara baik-baik, oleh karena bahan pakaian itu sangat asing dan kasar baginya.
Ketika melihat bungkusan kuning, ia pun membukanya. Bungkusan itu adalah bungkusan daun Liong-cu-hio yang berbahaya! Akan tetapi ketika membuka bungkusan itu, gadis itu segera melompat kaget sambil mengeluarkan suara keras.
Dicabutnya sapu tangan merah yang tadi yang berhasil menidurkan Kwan Cu, lalu kedua tangannya digosok-gosokkan kepada sapu tangan itu. Setelah menyimpan kembali sapu tangannya, ia duduk dan memegang daun-daun itu!
Sungguh mengherankan! Daun yang mampu menghanguskan setiap tangan orang yang menyentuhnya, kini ketika berada di tangan gadis ini ternyata tidak mendatangkan akibat apa pun. Ternyata sapu tangan merah itu mengandung obat penawar yang luar biasa sekali.
Gadis itu belum pernah melihat Liong-cu-hio, akan tetapi penciumannya amat tajam. Dari baunya saja dia dapat mengenali racun yang berbahaya dari daun itu. Sesudah puas memeriksa daun itu, dia lalu membungkusnya kembali.
Kemudian matanya memandang ke arah suling pemberian Hang-houw-siauw Yok-ong yang selalu dibawa oleh Kwan Cu. Ketika berada di dalam tangan gadis itu, suling ini seolah merupakan sebatang suling yang terbuat dari pada bambu besar untuk bangunan.
Gadis itu tertawa berkikikan seorang diri, kelihatan geli sekali melihat suling sebesar itu. Ia mengangkat suling ini dan mencoba untuk membunyikannya. Akan tetapi oleh karena tangannya terlalu pendek sehingga tak dapat mencapai lubang-lubang pada suling, saat dia meniup, suling itu hanya mengeluarkan bunyi satu nada saja.
Pada saat gadis itu membungkus kembali semua barang-barang Kwan Cu dari pantai datang berlarian banyak orang. Ternyata bahwa gadis ke dua tadi sudah datang lagi dan kini ia dikawani oleh dua puluh orang gadis-gadis dan wanita-wanita muda yang rata-rata memiliki kecantikan yang menarik hati. Akan tetapi mereka ini pun kecil-kecil seperti dua gadis tadi.
Segera keadaan di situ menjadi ramai ketika semua wanita itu mengagumi Kwan Cu dan memandangnya sambil terheran-heran. Mereka kemudian bekerja sama, menyeret tubuh Kwan Cu ke pantai dan dengan susah payah karena tubuh Kwan Cu berat sekali, mereka menaikkan Kwan Cu ke dalam perahu pemuda itu, kemudian beramai-ramai mendorong perahu ke laut. Kepala perahu itu diikat dengan tambang yang tersedia di perahu Kwan Cu, diikatkan pada sepuluh buah perahu-perahu kecil milik mereka. Kemudian mereka mendayung perahu-perahu itu dan menarik perahu Kwan Cu pergi dari pulau itu.
Orang-orang pendek ini tinggal di sebuah pulau yang berbukit, tak jauh dari pulau kosong di mana Kwan Cu ditawan. Mereka mendarat dan menyeret Kwan Cu ke darat, terus menariknya ke dusun mereka yang penuh dengan rumah-rumah kecil.
Kwan Cu dibiarkan berbaring di atas tanah. Pada saat itu, Kwan Cu siuman kembali dari keadaan setengah mabuk akibat pengaruh sapu tangan merah tadi. Dia menggerakkan kaki tangannya dan merasa betapa tubuhnya terikat oleh tali-tali yang kuat. Ketika dia memandang, ternyata dia berada di dalam sebuah jala yang aneh.
Kwan Cu terkejut dan terheran-heran. Mimpikah aku? Demikianlah dia berpikir. Tiba-tiba dia mendengar suara di dekat mukanya dan ketika dia memandang ke depan, hampir saja dia berteriak saking kaget dan herannya. Dia melihat dua orang gadis kecil sekali yang cantik menarik.
Gadis pertama yang manis dengan tahi lalat di pipinya melakukan gerakan seperti orang bersilat, bersiap sedia untuk menyerangnya, juga gadis ke dua yang cantik bersiap-siap. Kemudian dia melihat gadis pertama mencabut keluar sehelai sapu tangan merah dari balik bajunya, maka terciumlah bahu yang amat harum.
Teringatlah Kwan Cu bahwa ketika dia hendak bangun, dia pun mencium bau ini, maka dia dapat menduga bahwa sapu tangan itulah yang tadi telah membuat dia pingsan. Dia menggunakan kecerdikannya dan tidak jadi meronta untuk melepaskan diri. Ia diam saja sambil memandang penuh perhatian.
Benar saja, pada saat melihat bahwa raksasa yang tertawan itu tidak memberontak, dua orang gadis itu tidak jadi menyerang, hanya memandang penuh kewaspadaan. Kwan Cu menggerakkan matanya memandang ke depan dan dia langsung merasa terheran-heran. Dia dirubung oleh banyak orang, akan tetapi anehnya, semua orang kecil yang berada di situ adalah wanita-wanita belaka!
“Mimpikah aku? Setelah bertemu dengan raksasa-raksasa apakah sekarang aku sudah berubah pula seperti raksasa dan orang-orang wanita ini sebetulnya orang biasa? Atau sudah gilakah aku?” demikian Kwan Cu berpikir dengan bingung.
Memang, kalau di bandingkan, keadaannya kini terbalik sama sekali dengan keadaannya beberapa hari yang lalu. Lakayong memiliki tubuh yang tiga kali lebih besar tubuhnya dan sekarang, dia menjadi tiga kali lebih besar dari pada wanita-wanita ini.
“Kalian siapakah? Dan kenapa aku ditawan?” ia mencoba bertanya dengan suara halus agar tidak menimbulkan rasa takut pada orang-orang wanita itu.
Akan tetapi ketika gadis cantik bertahi lalat di pipinya itu menjawabnya, Kwan Cu menjadi bingung bukan main karena dia tak mengerti sedikit pun juga akan maksud kata-katanya. Suara gadis itu merdu dan halus, akan tetapi ucapannya bagi telinga Kwan Cu hanya terdengar tidak karuan seperti berikut.
“Karika yiyi kaduka nana...”
Celaka, sekarang kembali aku bertemu dengan orang-orang aneh, pikir Kwan Cu. Bentuk tubuh yang kecil itu, bahasa yang aneh itu, tidak sangat mengherankan Kwan Cu karena sesudah bertemu dengan Lakayong dan rakyatnya, dia tahu bahwa di dunia ini terdapat manusia-manusia yang aneh. Yang sangat mengherankan hatinya adalah bahwa semua orang katai yang berada di situ hanya wanita-wanita belaka! Apakah ini dunia wanita?
Kwan Cu teringat akan pengalamannya ketika bertemu dengan Lakayong dan rakyatnya. Bahasa yang dipergunakan oleh Lakayong juga jauh berbeda dengan bahasanya sendiri. Jangankan yang digunakan oleh bangsa raksasa itu, bahkan yang digunakan di daratan Tiongkok sendiri ada puluhan atau ratusan macam!
Akan tetapi, walau pun ucapannya berlainan namun tulisannya semua sama! Inilah yang memudahkan seseorang di Tiongkok untuk melakukan hubungan dengan orang-orang di daerah lain. Saat berada di pulau raksasa, dia dapat berhubungan dengan menggunakan tulisan kuno. Siapa tahu kalau orang-orang kecil ini pun dapat membaca tulisannya.
Sesudah berpikir demikian, Kwan Cu lalu mengeluarkan telunjuknya dari jala, diikuti oleh pandang mata para wanita itu. Kwan Cu lalu menuliskan tulisan huruf kuno seperti yang dipergunakan oleh Lakayong.
Wanita-wanita kecil itu menghampirinya dan melihat corat-coretnya, namun mereka tidak mengerti artinya. Kwan Cu lalu menghapus coretan pada tanah itu dan kini dia mencoret tanah dengan tulisan yang lebih muda usianya dari pada tulisan yang dipergunakan oleh Lakayong.
‘Dapat membaca ini?’ tanyanya dalam tulisan itu.
Usahanya berhasil! Wanita-wanita itu lantas saling pandang, kemudian gadis bertahi lalat mengangguk-anggukkan kepalanya dan mencoret tanah di dekat tulisan Kwan Cu.
‘Aku dapat membaca tulisanmu, kau siapakah dan datang dari mana?’
Bukan main girangnya hati Kwan Cu ketika dia membaca tulisan halus dan kecil itu, akan tetapi yang dapat dibacanya dengan jelas.
‘Biarkan aku duduk dan lepaskan dulu jala ini, aku akan bercerita,’ tulisnya karena amat sukarlah menulis sambil berbaring miring seperti itu. Ia tidak mau melepaskan diri dengan kekerasan, karena khawatir kalau-kalau akan dicurigai.
Gadis yang menjadi pemimpin itu berunding dengan adiknya dan dengan wanita-wanita lain. Kemudian mereka lalu mendekati dan dari luar mereka mengikat dua tangan Kwan Cu di belakang tubuh, juga mengikat kedua kaki pemuda itu erat-erat!
Kwan Cu merasa geli sekali dan tangan-tangan yang halus serta kecil itu bergerak amat cepat, jari-jari yang kecil seakan-akan mengitik-itiknya, akan tetapi dia menahan tawanya dan menenangkan diri. Dia dapat menduga bahwa wanita-wanita ini tak percaya padanya dan akan membelenggunya lebih dulu sebelum melepaskannya dari jala itu.
Dugaannya sangat tepat. Setelah dua kaki tangannya dibelenggu, jala itu lalu dibuka. Ia dibolehkan bangun dan duduk bersandar pada batu karang yang bentuknya seperti pilar. Di sini ia di ikat lagi, tali yang panjang dibelit-belitkan pada lengan dan dadanya, terus di ikatkan pada batu karang itu.
Yang lebih hebat, gadis kedua yang lincah itu sekali melompat telah berdiri pada pundak kirinya, membawa sehelai tali yang lalu dikalungkan dua kali pada lehernya! Walau pun hanya longar saja, lehernya tetap diikat pada pilar itu. Satu akal yang cerdik sekali!
Kwan Cu duduk bersila sambil bersandar pada tiang batu karang. Dia mencoba dengan urat-urat tangannya untuk mengetahui sampai di mana kekuatan tali yang mengikatnya. Ia mendapat kenyataan bahwa jika dia mau, mudah saja baginya untuk merenggut putus tali itu.
Gadis bertahi lalat pada pipinya itu lalu mengunakan telunjuknya menuliskan huruf-huruf di atas tanah di depan Kwan Cu.
‘Aku bernama Malita dan ini adikku Malika. Kami berdua yang mengepalai bangsa kami di pulau ini. Kau menjadi tawanan kami dan jangan mencoba untuk memberontak, sebab biar pun tubuhmu besar tetapi kalau kami mau, dengan mudah kami akan membunuhmu dengan senjata-senjata kami yang berbisa. Kau seorang laki-laki dan pada saat ini, kami benci dan tidak percaya terhadap semua laki-laki. Akan tetapi kau datang dari bangsa raksasa, kau siapakah dan mengapa kau datang ke daerah kami?’
Kwan Cu membaca tulisan itu dan tersenyum. Nama-nama yang aneh akan tetapi cukup manis, pikirnya. Akan tetapi pernyataan bahwa mereka ini membenci laki-laki, membuat Kwan Cu menjadi heran sekali.
Ia ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan gadis itu, akan tetapi kedua tangannya diikat di belakang tubuhnya, bagaimana dia dapat menulis? Tentu saja dia mampu melepaskan tangannya, akan tetapi hal ini tentu akan membikin mereka takut serta curiga. Maka, dia menjawab dengan mulutnya.
"Bagaimana aku dapat menulis jawabannya jika kedua tanganku terikat?” sambil berkata demikian, ia melirik ke arah tali yang mengikat dadanya.
Malita dan Malika bicara, agaknya mereka berunding kemudian Malita menulis lagi.
‘Wajahmu tampan dan gagah, kau berbeda dengan laki-laki bangsa kami. Agaknya kau bukan orang jahat. Akan tetapi kau tetap laki-laki dan kami sudah tak percaya lagi pada semua makhluk jantan. Maka, kami akan melepaskan tangan kananmu agar kau dapat menulis, akan tetapi awas, sekali saja kau memberontak, kau akan binasa!’
Kwan Cu tersenyum ramah dan mengangguk-anggukan kepalanya. Malita lalu mencabut pisau dan memutuskan ikatan tangan kanan Kwan Cu. Sesudah tali itu putus dan Kwan Cu membebaskan tangannya, Malita cepat mencabut pedang dengan tangan kanan ada pun tangan kirinya mengeluarkan sapu tangan merahnya.
Kwan Cu bergidik. Ia lebih takut kepada sapu tangan yang harum itu dari pada pedang di tangan Malita. Juga Malika mencabut pedangnya dan melompat berdiri. Wanita-wanita yang berdiri agak jauh dari tempat itu pun juga bersiap sedia, semua mencabut pedang dan bersikap seperti sekumpulan orang bersiap untuk bertempur.
Melihat cara mereka mencabut pedang dan bergerak, Kwan Cu menjadi kagum karena mereka itu terang sekali memiliki kepandaian silat yang tinggi! Orang-orang ini kecil dan lemah, akan tetapi sebaliknya dari pada rakyat Lakayong yang bertenaga besar namun lamban, mereka ini agaknya amat cekatan dan cerdik.
Kwan Cu lalu mulai menulis di atas tanah. ‘Aku seorang perantau yang bernama Kwan Cu. Aku tiba di daerah ini tanpa sengaja dan aku tidak bermaksud buruk. Biar pun aku seorang laki-laki, akan tetapi aku tidak pernah menggangu orang, apa lagi orang wanita. Kalian percayalah kepadaku.’
Kedua orang gadis itu saling pandang dan kini beberapa orang wanita datang pula untuk ikut membaca tulisan Kwan Cu. Mereka bicara dengan ribut dan melihat sikap mereka, Kwan Cu dapat menduga bahwa mereka ini sebagian besar tak percaya akan tulisannya tadi.
‘Kami sudah cukup sering tertipu oleh laki-laki yang manis mulut tetapi berhati palsu,’ tulis Malita. ‘Karena itu, kau tentu akan maklum bahwa kami tidak dapat sembarangan saja percaya kepadamu. Apa yang kau cari di tempat ini?’
‘Aku mencari sebuah pulau kecil yang bundar dan ditumbuhi pohon-pohon berdaun putih. Harap kalian melepaskan aku dan aku tidak akan mengganggu kalian, akan kulanjutkan perantauanku. Bahkan kalau ada sesuatu yang dapat kulakukan untuk kalian, aku akan membantu kalian karena aku adalah seorang sahabat.’
Kembali orang-orang wanita itu ribut-ribut ketika membaca tulisan ini. Mereka agaknya masih ragu-ragu untuk mempercayai kata-kata ini. Tiba-tiba saja terdengar ribut-ribut dan Kwan Cu menjadi terheran-heran melihat seorang laki-laki kecil berlari-lari, dikejar oleh banyak wanita. Laki-laki itu memegang tongkat besar dan beberapa orang pengejarnya telah kena dihajar roboh.
Malita marah sekali dan dengan pedang di tangan dia melompat dengan gerakan yang menurut pandangan Kwan Cu hampir menyerupai gerakan Ouw-liong Coan-tah (Naga Hitam Tembuskan Menara), semacam gerakan melompat dari ilmu silat tinggi!
Akan tetapi sebelum Malita dapat menyusul laki-laki yang sudah pergi jauh itu, Kwan Cu sudah mendahuluinya. Pemuda ini mempergunakan tangan kanannya yang bebas untuk mencengkeram segenggam tanah yang langsung dilemparkan ke arah laki-laki kecil yang melarikan diri.
Lelaki itu berteriak, lalu roboh dan pingsan, terpukul oleh segenggam tanah yang baginya merupakan segumpal tanah yang besar! Orang-orang wanita segera memburu ke tempat itu dan sebentar saja laki-laki itu digiring pergi dalam keadaan terbelenggu erat-erat.
Malita kembali menghampiri Kwan Cu. Sikapnya agak berubah tak segalak tadi, ada pun senyumnya menghias wajahnya yang cantik. Juga para wanita lainnya kini memandang Kwan Cu dengan sikap manis.
‘Kenapa kau merobohkan orang jahat itu?’ tanya Malita dengan tulisannya.
‘Sudah kukatakan bahwa aku tidak bermaksud buruk. Aku melihat dia seorang laki-laki yang begitu kejam karena merobohkan beberapa orang wanita, maka aku turun tangan,’ jawab Kwan Cu.
‘Kau pandai sekali melempar am-gi (senjata rahasia), agaknya kau memiliki kepandaian. Apakah kau benar-benar berniat baik dan tidak memusuhi kami?’
‘Aku selalu berada di fihak benar, dan aku bersumpah takkan menggangu wanita. Kalau aku berniat buruk, apa kalian kira aku tak akan dapat melepaskan ikatan ini? Katakanlah kepadaku bahwa kalian percaya kepadaku dan kalian akan melihat bahwa aku sanggup melepaskan ikatan ini.’
Malita sangat terkejut, akan tetapi ia tersenyum dan menulis,
‘Kau raksasa yang aneh, gagah dan berwatak halus. Mengherankan sekali. Aku percaya kepadamu.’
Setelah membaca ini, Kwan Cu tertawa girang. Sekali dia mengerahkan lweekang-nya, terdengar suara keras dan semua ikatannya putus!
Malita, Malika dan semua wanita masih sangsi. Mereka berdiri menjauhi Kwan Cu, siap dengan pedang di tangan!
Kwan Cu tersenyum, berdiri dan menggeliat, diawasi oleh semua wanita-wanita kecil itu dengan pandangan mata kagum. Kemudian Kwan Cu duduk kembali sambil menulis di tanah.
‘Nah, marilah kita bicara dengan baik. Kalian ini benar-benar aneh sekali. Mengapa aku hanya melihat wanita saja dan satu-satunya lelaki yang kulihat adalah yang tadi menjadi tawananmu? Kenapa pula kalian membenci laki-laki dan bukankah kalian ini pun adalah puteri-puteri dari seorang ayah laki-laki pula?’
Membaca tulisan ini, kembali semua wanita ribut-ribut, bahkan ada yang mengucurkan air mata dan menangis. Sungguh mengharukan sekali. Kwan Cu menjadi makin terheran. Akan tetapi Malita menerima sebuah gulungan kertas berikut alat tulis, segera menulis panjang lebar untuk menceritakan keadaan bangsanya kepada pemuda raksasa itu.
Semenjak beberapa keturunan, bangsa katai ini merupakan bangsa yang keadaannya terbalik dengan banga-bangsa manusia lainnya. Yang berkuasa adalah wanitanya. Hal ini adalah karena dahulu muncul seorang wanita sakti yang memiliki kepandaian tinggi. Wanita ini membenci laki-laki dan dia hanya mau menurunkan kepandaiannya kepada murid-murid wanita, dengan menyuruh murid-murid itu bersumpah bahwa kepandaian mereka tidak boleh diturunkan kepada laki-laki.
Demikianlah, maka para wanitanya rata-rata memiliki kepandaian silat yang tinggi dan biar pun dalam tenaga mereka kalah oleh laki-laki, namun apa bila berkelahi, selalu para wanita yang menang. Juga para penjaga keamanan dan para prajurit terdiri dari wanita. Sebaliknya, laki-laki hanya bertugas di sawah dan laki-laki pula yang bertugas mencari makanan.
Mereka selalu memilih pimpinan mereka atas dasar pemilihan umum, dan biasanya yang dicalonkan sebagai pemimpin tentulah wanita. Akan tetapi, meski jarang terjadi, pernah pula seorang laki-laki dicalonkan untuk menjadi pemimpin, di mana tentu saja jika sudah memenuhi syarat-syarat yang berat dan ditentukan oleh bangsa wanita ini. Dalam hal ini, bukan kepandaian silat saja yang menjadi syarat utama, akan tetapi juga pengetahuan yang luas dan kecerdikan yang lebih dari pada orang lain.
Raja atau kepala terakhir yang dipilih adalah ayah dari Malita dan Malika, seorang yang sudah banyak pengalaman karena sudah pernah merantau jauh keluar pulau. Di bawah pimpinan ayah ke dua orang gadis ini, rakyat orang katai hidup makmur, karena memang pemimpin ini pandai sekali, ditambah oleh bantuan dua orang puterinya yang memiliki kepandaian silat istimewa.
Malita dan Malika adalah murid-murid terpandai dari ahli waris ilmu silat yang diturunkan oleh nenek sakti, dan setelah guru kedua orang gadis ini meninggal dunia, boleh dibilang yang memiliki kepandaian tertinggi di pulau ini adalah Malita dan Malika.
Setelah raja itu meninggal dunia, otomatis yang ditunjuk menjadi ratu adalah Malita. Akan tetapi, setelah ayah Malita menjadi raja, timbul pemberontakan di dalam hati orang-orang lelaki yang dipimpin oleh enam orang laki-laki yang menjadi pembantu raja. Mereka inilah yang mula-mula mencetuskan permintaan bahwa sudah sepatutnya bila laki-laki menjadi raja dan laki-laki pula yang berkuasa!
Malita dan Malika marah sekali dan terjadilah pertempuran hebat antara laki-laki yang dipimpin oleh enam orang pemberontak itu melawan Malita dan Malika yang memimpin barisan wanita. Celakanya, sebagian besar orang-orang lelaki, baik yang sudah menjadi suami mau pun yang belum menikah, terkena bujukan enam orang ini sehingga ikut pula memberontak.
Akan tetapi, semua laki-laki itu hanya mengandalkan tenaga yang lebih besar, namun dalam hal mempermainkan senjata, mereka kalah jauh. Hanya enam orang itu saja yang mampu melakukan perlawanan hebat karena secara diam-diam sudah mempelajari ilmu silat.
Akhirnya, banyak laki-laki menjadi korban dalam peperangan itu dan banyak pula yang tertawan. Namun, keenam orang laki-laki itu dapat melarikan diri ke sebuah pulau kosong yang mempunyai goa-goa di batu-batu karang. Enam orang laki-laki itu bersembunyi di dalam goa diikuti tiga puluh orang lebih laki-laki yang masih setia kepada mereka.
Sudah beberapa kali Malita serta Malika berusaha memimpin barisan para wanita untuk mengalahkan, menawan atau bahkan membunuh para pemberontak itu, namun alangkah terkejutnya ketika dia melihat bahwa tidak saja pertahanan mereka sangat kuat dengan adanya goa-goa yang panjang dan gelap, juga tambah hari kepandaian mereka tambah hebat.
Apa lagi enam orang laki-laki itu dipimpin oleh seorang yang bernama Kahano, seorang laki-laki berjenggot yang merupakan kepala juga guru dari mereka, kepandaian mereka dalam beberapa hari ini menjadi amat hebat, seolah-olah mereka menemukan guru yang pandai!
Tadinya, hanya Malita dan Malika berdua saja dengan mudah bisa mendesak dan hampir mengalahkan enam orang laki-laki pemimpin pemberontak itu. Namun beberapa pekan kemudian ketika mereka mencoba untuk menyerang para pemberontak, keenam orang laki-laki itu maju dan menghadapi Malita dan adiknya. Dan bukan main lihainya enam orang ini terutama sekali Kahano!
Mereka bersenjata pedang pendek dan permainan pedang ini mempunyai bentuk dan gaya baru yang luar biasa sekali. Hampir-hampir saja Malita dan Malika kalah! Namun akhirnya, karena anak buah Kahano yang lain-lain agaknya baru saja mempelajari ilmu silat, Malita dapat memukul mundur semua laki-laki itu.
Namun mereka segera berlari-lari dan masuk ke dalam goa, sehingga kembali gerakan Malita gagal. Untuk menyerbu ke dalam goa amat berbahaya sekali karena Kahano dan anak buahnya menghujankan anak panah dari dalam goa!
‘Nah, hal inilah yang menggelisahkan hati kami, saudara Kwan Cu.’ Tulis Malita akhirnya sesudah menceritakan semua hal yang terjadi di pulau itu dengan tulisan-tulisan yang kecil-kecil. ‘Oleh karena itulah kami amat bercuriga dan membenci kaum laki-laki yang ternyata telah memberontak dan berhati palsu. Laki-laki yang kau robohkan tadi adalah seorang di antara para tawanan kami yang mencoba melarikan diri. Kami benar-benar gelisah sekali. Kepandaian Kahano maju demikian cepatnya sehingga lihai sekali, kalau semua laki-laki yang ikut dengan dia mendapat latihan dan memiliki kepandaian seperti dia, tentu kami akan kalah!’
Kwan Cu tersenyum, lalu dia pun minta kertas dan menuliskan banyak kata-kata di situ.
‘Saudara Malita, Malika dan semua wanita yang berada di sini, maafkan apa bila aku menyatakan sesuatu yang mungkin akan terasa janggal untuk kalian. Di duniaku, fihak laki-lakilah yang berkuasa dan fihak laki-laki yang mengatur seluruhnya.’
Para wanita ribut-ribut sesudah membaca ini dan hampir saja mereka menyerang Kwan Cu kalau saja tidak dicegah oleh Malita.
‘Kaum laki-laki memang mau menang sendiri saja!’ Malita menulis dengan coretan cepat, mengandung kemendongkolan hati. ‘Mendiang ibuku dulu pernah bercerita bahwa dulu pernah kaum laki-laki kami memegang kekuasaan dan bagaimana keadaan nasib kami kaum wanita? Kaum lelaki enak-enak saja, tetapi kami wanita yang bekerja keras. Bukan itu saja, kami diperlakukan bagai barang permainan, mudah ditukar dan diperjual belikan. Laki-laki mempunyai isteri berapa saja sesuka hatinya! Bahkan raja di kala itu memiliki isteri lebih dari tiga puluh orang! Apa begitu pula keadaan di duniamu?’
Diam-diam Kwan Cu harus mengakui bahwa di dunianya memang hampir demikianlah keadaannya. Memang banyak orang lelaki, tidak semua dan ada kecualinya tentu, yang menganggap wanita sebagai barang permainan dan memandang rendah sekali kepada kaum wanita. Bahkan dia pun telah mendengar tentang kaisar dan para pembesar yang mempunyai selir tidak hanya tiga puluh orang wanita, bahkan lebih banyak lagi. Ia harus berlaku cerdik untuk dapat membereskan persoalan pertempuran antara kaum laki-laki dan kaum wanita dari bangsa katai ini.
Kwan Cu lalu menulis lagi.
‘Sama sekali tidak begitu. Kaum laki-laki di negaraku selalu memperlakukan baik sekali terhadap wanita. Tak ada seorang pun laki-laki mau mengganggu wanita, menikah hanya dengan seorang isteri saja, hidup damai dan rukun, bekerja sama demi kebahagiaan suami isteri dan anak-anaknya. Laki-laki bertenaga lebih besar dan karenanya pekerjaan-pekerjaan berat yang memerlukan tenaga harus dilakukan oleh kaum lelaki, sebaliknya pekerjaan halus dan kerajinan tangan dilakukan oleh pihak wanita.’
Mendengar ini, para wanita saling pandang dan di antaranya ada yang mengucurkan air mata saking terharu hatinya.
‘Alangkah bahagianya hidup kami kalau keadaan kami bisa seperti yang kau ceritakan itu,’ Malita menulis. ‘Akan tetapi sayang, kaum laki laki bangsa kami lain lagi, dan itulah sebabnya maka dahulu kaum wanitanya memberontak dan mempelajari ilmu kepandaian supaya dapat menguasai laki-laki sehingga kami dapat mencegah perlakuan sewenang-wenang.'
'Kenapa tak bisa diatur begitu? Kalian harus berusaha dan aku akan membantu kalian sehingga di pulau ini akan tercapai keadaan makmur dan damai seperti yang aku ceritakan tadi.’
Wanita-wanita itu nampak girang dan wajah mereka berseri-seri. Diam-diam Kwan Cu harus mengakui bahwa wanita-wanita cilik ini rata rata memiliki wajah yang amat cantik menarik, terutama sekali Malita dan Malika, yang kecantikannya tidak kalah oleh wanita wanita di kota raja di negaranya.
‘Akan tetapi, biar pun kami amat berterima kasih kepadamu, kami sangsi apakah kita akan dapat mengalahkan Kahano yang sudah tua itu. Dia mempunyai niat yang sangat buruk. Pertama-tama dia menghendaki agar aku dan adikku Malika menjadi isterinya dan dia pun mau menjadi raja di sini!’ ketika menuliskan hal ini, muka Malita menjadi merah saking marah dan jengahnya. ‘Dan yang amat mengkhawatirkan, kepandaiannya makin lama semakin maju pesat sekali setelah dia berada di pulau kecil itu. Agaknya di pulau pohon putih itu dia mendapatkan seorang guru yang pandai.’
Mendengar ini, berdebarlah hati Kwan Cu. ‘Pulau pohon putih? Di manakah itu?’
‘Itulah pulau yang kini menjadi tempat tinggal mereka. Pulau itu ditumbuhi pohon-pohon putih, dan di sana terdapat banyak sekali goa-goa yang panjang dan aneh. Sebetulnya pulau itu menjadi tempat penguburan raja-raja kami, bahkan nenek sakti yang pernah menurunkan ilmu silat pada kami, juga berasal dari pulau itu dan di kubur di sana pula.’
Kwan Cu menyembunyikan rasa girangnya. Itulah gerangan pulau yang dimaksudkan di dalam buku sejarah Gui Tin di mana tersimpan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!
‘Mari antarkan aku ke sana, akan kutawan semua laki-laki yang berada di sana. Akan kutangkap Kahano yang memberontak itu!’ tulisnya gagah sambil berdiri.
Akan tetapi Malita nampak ragu-ragu. Apa lagi Malika yang berwatak lebih keras dari pada kakaknya. Gadis ini berdiri dan mencabut pedangnya.
‘Raksasa,’ tulisnya di tanah menggunakan ujung pedangnya, ‘gampang saja kau bicara seakan-akan kau benar-benar akan dapat menangkan Kahano serta kawan-kawannya. Sekarang begini saja, aku dan kakakku Malita hendak menguji kepandaianmu. Biar pun kau besar sekali dan tentu tenagamu juga amat besar, akan tetapi kalau tidak memiliki kepandaian, apa gunanya?’
Malika menegur adiknya dengan kerling mata tajam, kemudian ia pun menulis. ‘Maafkan adikku yang nakal dan kasar, saudara Kwan Cu. Akan tetapi, kata-kata itu ada benarnya pula. Kami tidak mau membiarkan kau yang bermaksud baik itu mengalami kegagalan dan celaka di tangan Kahano yang lihai. Maka, maukah kau kuuji kepandaianmu?’
Kwan Cu mengangguk, dan tanpa banyak cakap, dia bersiap sedia, berdiri menghadapi dua orang gadis itu dengan hati-hati. Dia dapat menduga bahwa kedua orang gadis yang kecil ini memiliki ginkang yang amat tinggi dan karenanya tentu mempunyai kepandaian yang tak boleh dipandang ringan.
Malita dan Malika bersiap dengan pedang mereka, kemudian Malika berseru dan kedua orang gadis itu menyerbulah dengan hebatnya. Malita melompat dan tubuhnya melayang tinggi sehingga ia dapat menusukkan pedangnya ke arah dada Kwan Cu, ada pun Malika yang cerdik menggunakan pedangnya untuk membabat kedua kaki Kwan Cu yang besar. Benar saja dugaan Kwan Cu. Gerakan kedua orang gadis ini cepat bukan main dan cara penyerangan mereka menggunakan teori silat yang tinggi.
Kwan Cu menggunakan Pai-bun Tui-pek-to untuk menghadapi serangan dua orang gadis kecil ini. Baiknya pemuda ini sudah mempunyai pandangan mata yang awas dan karena tubuhnya jauh lebih besar, maka langkahnya pun lebar sekali bagi Malita dan Malika.
Sekali saja Kwan Cu melangkah, dia telah menghindarkan diri jauh-jauh dari dua pedang kecil yang menyerang dirinya. Akan tetapi bagaikan dua ekor nyamuk yang gesit sekali, Malita dan Malika terus mendesak dan mengejarnya dengan pedang mereka.
Kwan Cu memperhatikan gerakan-gerakan mereka dan diam-diam dia terkejut sekali. Ilmu pedang mereka itu benar-benar lihai, dan kalau saja mereka merupakan dua orang gadis dengan tubuh sebesar dia, tentu dia tidak akan sanggup menghindarkan diri dari serangan mereka itu.
Gerakan pedang mereka selain sangat cepat, juga gerakannya memiliki perubahan yang tak terduga-duga, begitu indah dan juga kuat sekali. Tubuh mereka seakan-akan telah menjadi satu dengan pedang dan bagaikan dua kunang-kunang di waktu malam gelap, dua orang gadis itu menyambar-nyambarnya dari segala jurusan.....
Kwan Cu menjadi bingung. Untuk membuktikan bahwa dia mampu membantu mereka ini dan mengalahkan para pemberontak, dia harus dapat menunjukkan kepandaiannya dan dapat mengalahkan Malita dan Malika. Akan tetapi, hanya dengan tangan kosong saja, tak mungkin dia bisa mengalahkan mereka tanpa melukai mereka ini. Ia tentu akan dapat menggunakan Ilmu silat Sin-ci Tin-san yang lihai, akan tetapi apakah tubuh mereka yang kecil-kecil ini akan dapat menahan hawa pukulan Sin-ci Tin-san?
Makin lama, Malita dan Malika mendesaknya makin hebat sehingga Kwan Cu terpaksa menahan desakan mereka dengan Ilmu Silat Sam-hoan-ciang. Meski ilmu silat ini hanya terdiri dari tiga jurus pukulan, akan tetapi dapat membuat dia bertahan secara kuat. Hawa pukulan yang ditimbulkan gerakan kedua tangannya merupakan perisai yang menangkis semua serangan lawan.
Malita dan Malika tak dapat mendekatinya lagi karena di sekitar tubuh pemuda itu bertiup angin pukulan yang membuat tubuh mereka terpental mundur kembali setiap kali mereka hendak menyerang. Kwan Cu masih tidak puas. Sambil tersenyum dia lalu mengeluarkan sulingnya yang tadi dia ambil dari buntalan pakaian dan dia selipkan di ikat pinggangnya.
Malita memandang heran. Apakah pemuda raksasa yang aneh dan amat lihai ini hendak menyuling sambil bertempur? Akan tetapi, keheranannya makin bertambah ketika Kwan Cu bukannya menggunakan benda itu untuk menyuling melainkan mempergunakannya untuk bertempur!
Dengan sulingnya ini, Kwan Cu mulai memainkan gerakan-gerakan ilmu pedang Hun-kai Kiam-hoat yang dia pelajari dari Ang-bin Sin-kai. Dia bermaksud mengalahkan dua orang gadis cilik ini dengan merampas pedang mereka. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika dua orang gadis itu agaknya tidak gentar menghadapi sulingnya, bahkan agaknya sudah dapat menduga lebih dulu ke mana sulingnya akan bergerak sehingga mereka mampu mempertahankan diri dengan baik.
Melihat gerakan mereka, Kwan Cu merasa yakin bahwa mereka sudah mengenali ilmu pedangnya, karena ke mana pun juga dia hendak menggerakkan suling, keduanya sudah bersiap sedia dan setiap elakan demikian tepatnya. Untung bagi Kwan Cu bahwa kedua orang lawannya yang kecil itu tenaganya kecil pula sehingga baru hawa pukulannya saja sudah cukup untuk menangkis serangan-serangan mereka.
Akan tetapi diam-diam pemuda ini merasa kagum dan girang sekali. Ilmu pedang yang diperlihatkan oleh Malita dan Malika benar-benar hebat dan agaknya memang di tempat ini menjadi sumber dari ilmu-ilmu silat tinggi. Tidak salah lagi, tentu kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng berada di pulau yang dijadikan tempat sembunyi kaum pemberontak itu.
Kwan Cu menjadi girang dan penuh harapan. Memang tujuan dari pada perantauannya ke tempat-tempat aneh ini adalah untuk mendapatkan ilmu silat tinggi, dan sekarang dia telah menyaksikan orang-orang kecil yang memiliki ilmu silat mengherankan. Bagaimana dua orang gadis ini seolah-olah mengenal ilmu pedangnya yang dia pelajari dari Ang-bin Sin-kai? Ia harus menyelidiki semua ini.
Setelah mengambil keputusan untuk mengalahkan dua orang gadis ini karena dia sudah puas menyaksikan ilmu pedang mereka, tiba-tiba saja Kwan Cu berseru nyaring sambil meyembunyikan sulingnya di balik lengan baju. Kini dia bersilat ilmu silat Sin-ci Tin-san, akan tetapi bukan menggunakan tangan, melainkan menggunakan ujung lengan bajunya!
Serangan yang sangat dahsyat ini benar-benar membuat Malita serta Malika kewalahan sekali. Seharusnya, ilmu silat ini dimainkan dengan jari tangan yang melakukan serangan menotok, akan tetapi oleh karena Kwan Cu tak ingin mencelakai dua orang gadis ini, dia mempergunakan ujung lengan baju sebagai gantinya. Ia telah memperhitungkan dengan tepat dan mendapat akal bagaimana harus mengalahkan lawan-lawannya.
Sambaran pukulan yang dilakukan dengan ujung lengan bajunya itu mengandung tenaga lweekang yang berat, maka benarlah sebagaimana perhitungannya, ketika ujung pedang kedua orang gadis ini beradu dengan ujung lengan bajunya, mereka berteriak kesakitan karena telapak tangan mereka menjadi panas. Kwan Cu mempergunakan lweekang-nya untuk mengubah ujung lengan baju yang tadinya keras kaku menjadi lembek. Sekejap mata saja dua pedang itu sudah terlibat ujung lengan baju dan sekali dia menggerakkan kedua tangannya, pedang-pedang itu lantas terampas olehnya.
Malita dan Malika menghentikan gerakan mereka dan dengan menjura Malita menulis di atas tanah dengan ujung sepatunya.
‘Kami menyerah kalah dan percaya penuh akan kelihaianmu.’
‘Kalian memiliki ilmu pedang yang hebat sekali,’ jawab Kwan Cu sambil mengembalikan dua batang pedang kecil itu.
‘Akan tetapi, Kahano beserta kawan-kawannya lebih berbahaya lagi. Kalau menghadapi mereka, kau harus mempergunakan kedua tanganmu, dan untuk menjaga supaya jangan kau terluka oleh senjata mereka yang mengandung racun berbahaya, kedua tanganmu harus digosok lebih dulu dengan obat kami,’ kata Malita.
Sesudah mendapat kenyataan bahwa pemuda raksasa itu benar-benar lihai, Malita dan kawan-kawannya menjadi amat gembira dan penuh harapan. Malita segera mengadakan pesta perjamuan untuk menghormati raksasa muda yang akan menolong mereka itu. Di dalam kesempatan ini Kwan Cu mempelajari bahasa mereka yang terdengar amat kaku bagi telinganya.
Malita dan Malika mengajak Kwan Cu untuk berunding bagaimana harus mengadakan penyerangan terhadap pemberontak.
“Yang terberat untuk dihadapi hanya enam orang di bawah pimpinan Kahano itu,” kata Malita sambil menjelaskan dengan tulisan bagian kata-kata yang tidak atau belum dapat dimengerti oleh Kwan Cu, “tentang anak buah mereka, serahkan saja kepada kami dan kawan-kawan. Asal kau sudah dapat mengalahkan dan menawan enam orang itu, tentu akan beres. Akan tetapi sukarnya, mereka itu menyembunyikan diri dalam goa-goa yang panjang dan gelap dan pertahanan mereka di situ kuat sekali. Setiap kali kami hendak menyerbu masuk, kami lantas dihujani anak panah dan senjata rahasia dari dalam goa.”
“Kita lihat saja dulu keadaan mereka di sana, baru nanti mencari akal,” kata Kwan Cu sambil makan hidangan yang enak akan tetapi aneh bagi lidahnya.
Dia merasa agak malu-malu ketika melihat betapa semua wanita itu menonton dia makan hidangan yang bagi mereka amat banyak itu. Hm, alangkah gembulku dalam pandangan mereka, pikir Kwan Cu.
Malam hari itu Kwan Cu bermalam di dusun mereka. Karena tidak ada rumah atau kamar yang cukup besar bagi Kwan Cu, terpaksa pemuda ini bermalam di luar rumah-rumah kecil itu, di udara terbuka. Namun dia mendapat hiburan yang luar biasa sekali.
Pada saat hari mulai gelap dan dia telah membaringkan tubuhnya di bawah pohon untuk mengaso dan mengenangkan semua pengalamannya yang amat aneh-aneh itu, tiba-tiba nampak banyak sekali obor yang menerangi tempat itu. Berbarengan dengan munculnya obor-obor ini, terdengar suara tetabuhan yang amat merdu namun aneh sekali iramanya. Suara tetabuhan ini lalu disusul oleh nyanyian bersama yang membuat Kwan Cu merasa heran, karena dalam suara nyanyian bersama ini, dia mendengar adanya suara laki-laki yang besar!
Obor-obor itu makin mendekat dan Kwan Cu melihat sesuatu yang membuat dia terkejut dan juga gembira, karena tanpa diduga-duganya bahwa para pemegang obor itu adalah wanita-wanita dan juga laki-laki bangsa katai itu. Mereka tampak begitu rukun dan damai, ada pun di antara mereka nampak pula banyak anak-anak kecil yang dalam pandangan Kwan Cu luar biasa lucunya, seperti bayi-bayi berjalan!
Malita dan Malika memimpin rombongan ini dan menurut tafsiran Kwan Cu tidak kurang dari lima puluh orang wanita-wanita muda dan dua puluh orang lelaki muda yang datang membawa obor itu. Pakaian mereka seragam, yang wanita merah dan yang laki-laki biru. Agaknya mereka dalam keadaan dan suasana berpesta riang gembira.
Kwan Cu bangun dan duduk bersandarkan pohon. Malita menghampirinya dan bersama Malika, dia menjura tanda menghormat yang dibalas Kwan Cu dengan anggukan kepala dan senyum ramah.
“Nasehatmu baik sekali, saudara Kwan Cu. Lihat, laki-laki yang tadinya menjadi tawanan kami, sekarang sudah kami bebaskan dan setelah kami menjelaskan tentang nasehatmu agar kami hidup rukun dan damai saling mengalah dan saling melindungi, mereka mau menerima dengan gembira dan menyatakan hendak membantu kami menumpas Kahano dan kawan-kawannya.”
“Bagus sekali! Tidak ada berita lebih menggirangkan dari pada ini,” kata Kwan Cu.
Ada pun orang-orang lelaki yang berada di situ, lalu bersama maju dan berlutut di depan Kwan Cu dengan mata memandang kagum dan juga agak takut-takut.
Kwan Cu melihat betapa kaum lelaki di situ memang bersemangat kecil dan jelas sekali nampak sifat rendah diri dan kalah pengaruh oleh kaum wanitanya. Namun harus diakui bahwa mereka pun mempunyai bentuk yang tampan dan menarik serta potongan tubuh yang bagus. Anak-anak kecil kelihatan lucu sekali ketika mereka memandang kepada ‘raksasa muda’ itu dengan mata terbelalak ketakutan.
“Kami sengaja mengumpulkan orang-orang untuk menghiburmu sebagai penghormatan,” kata Malita, kemudian ia memberikan tanda dengan tangannya.
Tetabuhan dibunyikan semakin gencar dan dari rombongan itu keluarlah belasan orang gadis dengan pakaian indah, menari-nari di hadapan Kwan Cu dengan gerakan lemah gemulai. Kwan Cu terpesona. Belum pernah dia menyaksikan tari-tarian yang demikian indahnya, ditarikan oleh gadis-gadis yang biar pun bentuk tubuhnya sudah menunjukkan kepenuhan dan kedewasaan, tapi tingginya hanya sampai di pahanya saja! Seakan-akan dia melihat boneka-boneka hidup menari dengan indahnya.
Semua ini menggembirakan hati Kwan Cu, namun yang paling menggembirakan adalah sikap laki-laki dan wanita yang berada di situ, saling pandang antara suami isteri, penuh cinta kasih dan pengertian, tertawa-tawa dan tiada ubahnya dengan pasangan-pasangan di dusun-dusun di negaranya, di mana hidup petani-petani yang sederhana akan tetapi selalu hidup rukun dengan keluarganya.
“Pesta seperti biasanya kami lakukan setahun sekali,” kata Malita kepada Kwan Cu tanpa mempergunakan tulisan karena Kwan Cu yang berotak cerdik luar biasa itu sebentar saja sudah menguasai bahasa percakapan yang mudah-mudah.
“Untuk merayakan apakah?” tanya Kwan Cu sambil menikmati gerak tarian para gadis cantik yang berputar-putar di hadapannya menurutkan irama lagu.
“Untuk merayakan dewi bulan. Dalam perayaan itu para dara mendapatkan kesempatan untuk memilih calon jodohnya.”
Kwan Cu tertegun. Sampai lama dia tidak dapat berkata-kata. Hemm, benar-benar dunia nyata di pulau ini. Bahkan dalam hal memilih jodoh, wanitalah yang berhak memilih!
“Jadi laki-laki tak berhak memilih jodohnya?” tanyanya.
Sepasang mata Malita memancarkan sinar penasaran. “Laki-laki memilih? Hemm, akan rusaklah semua kalau laki-laki yang diberi kekuasaan memilih jodohnya. Laki-laki selalu memilih jodohnya berdasarkan kecantikan wanita dan keindahan bentuk tubuh! Laki-laki seakan-akan buta dalam hal memilih jodoh. Kalau mereka memilih, tentu tak akan dapat terbentuk rumah tangga bahagia. Mereka selalu memilih yang cantik-cantik, akan tetapi akhirnya bercekcok di kemudian hari karena ternyata pilihannya itu tidak cocok dengan wataknya sendiri. Kemudian bagaimana? Mereka itu, laki-laki buta itu, akan mencari-cari wanita lain!”
Kwan Cu tersenyum. “Malita, agaknya kau masih belum dapat melenyapkan kebencian terhadap laki-laki di dalam hatimu.”
Malita tersenyum juga menjadi sabar kembali. “Bukan semata-mata terdorong kebencian, melainkan berdasarkan kenyataan. Sifat buruk laki-lakilah yang memancing kebencian di dalam hati wanita.”
“Kurasa tak akan terjadi seperti penuturanmu itu apa bila pemilihan laki-laki berdasarkan cinta kasih.” Kata Kwan Cu.
Tiba-tiba gadis bertahi lalat di pipinya itu tertawa berkikikan sambil menutupi mulutnya, seakan-akan mendengar sesuatu yang sangat menggelikan hatinya. Tentu saja Kwan Cu menjadi melongo karena dia tidak mengerti apa gerangan yang ditertawakan oleh Malita.
“Ehh, kau tertawa begitu geli, ada apakah?” tanyanya dengan tak senang karena berada di tengah-tengah orang-orang katai ini, kembali datang perasaan tidak sedap dalam hati Kwan Cu yang merasa bahwa dia akan kembali menjadi buah tertawaan.
“Apakah di antara bangsa raksasa terdapat juga perasaan cinta kasih yang membikin gila orang?” tanya Malita.
“Tentu saja ada. Apa kau kira kami bangsa yang kau sebut raksasa bukan manusia yang mempunyai perasaan dan hati?”
“Bukan begitu maksudku, saudara Kwan Cu yang baik. Melihat kau serta kepandaianmu, tadinya kukira bahwa bangsamu adalah manusia-manusia yang sudah pandai dan tidak bodoh serta lemah sehingga mudah pula dikuasai oleh perasaan palsu yang kita sebut cinta kasih. Akan tetapi ternyata sama saja dengan kami, masih dapat dipengaruhi oleh perasaan palsu itu.”
“Bagaimana kau berani menyatakan bahwa cinta kasih itu adalah sesuatu perasaan yang palsu?” tanya Kwan Cu penasaran.
“Cinta kasih yang timbul di dalam hati wanita memang murni dan suci, akan tetapi cinta kasih di dalam dada seorang laki-laki hanyalah palsu belaka! Cinta kasih seorang laki-laki hanya berdasarkan nafsu, berdasarkan rasa tertarik dan suka kepada wajah yang indah, bentuk tubuh yang menggairahkan! Sebaliknya, cinta kasih yang timbul dalam hati wanita berdasarkan watak yang baik dan budi bahasa yang halus, bukan semata-mata karena wajah yang tampan dan gagah!”
Kwan Cu kembali tertegun. Baru kali ini dia mendengar filsafat seperti ini sungguh pun dia memang jarang sekali mendengar atau tidak pernah membaca tentang filsafat cinta kasih. Namun dia penasaran sekali karena sebagai seorang laki laki dia merasa laki-laki sangat direndahkan oleh ucapan itu.
“Tak mungkin!” ia membantah. ”Tidak semua laki-laki hanya mendasarkan cintanya pada nafsu dan keindahan. Ada pula laki-laki yang berpribudi dan bijaksana.”
“Seribu satu saudara Kwan Cu. Seribu orang hanya ada satu! Aku berani bertaruh bahwa seorang laki-laki tidak akan suka mencinta seorang wanita yang buruk rupa atau cacad tubuhnya. Ehh, apakah kau sendiri sudah mempunyai seorang wanita yang kau kasihi?”
Kwan Cu tak dapat menjawab, wajahnya memerah. Ia teringat akan sumpahnya di depan gadis raksasa Liyani bahwa dia mencinta Bun Sui Ceng! Akan tetapi di depan Malita dia tidak menyatakan sesuatu.
“Saudara Kwan Cu, andai kata kau sudah mempunyai seorang gadis yang kau cinta, aku berani memastikan bahwa gadis itu tentulah seorang yang cantik manis, bukan seorang gadis yang tidak ada hidungnya! Aku tidak percaya akan ada seorang laki-laki yang mau mencintai seorang gadis yang hidungnya lenyap atau rusak.” Setelah berkata demikian, Malita tertawa mengejek.
“Kau mau menang sendiri saja,” Kwan Cu merasa perutnya panas, ”aku juga merasa yakin bahwa tidak ada seorang gadis yang mau menjadi isteri dari seorang laki-laki yang hidungnya rusak seperti yang kau katakan tadi.”
“Siapa bilang tidak mungkin? Banyak wanita yang mencinta sepenuh hati suaminya yang buruk rupa, yang bopeng, yang pincang dan sebagainya. Cintanya suci murni, karena seperti kukatakan tadi, cinta kasih seorang wanita berdasarkan kesetiaan, berdasarkan watak baik dan kecocokan hati dan pikiran, bukan seperti laki laki yang buta cinta, hanya suka kepada apa yang baik dan menarik, akan tetapi mudah pula bosan setelah melihat wanita lain yang lebih menarik!”
Kwan Cu menjadi panas, akan tetapi dia sempat menahan gelora hatinya dan hampir saja dia tertawa. Untuk apakah berdebat urusan cinta dengan gadis ini?
“Sesukamulah, Malita. Hanya kalau kau dan kawan kawanmu mau menuruti nasehatku, dalam menetapkan perjodohan, harus ada persetujuan kedua fihak, baik dari si wanita mau pun dari si lelaki, baik dari fihak wanita mau pun dari fihak laki-laki jangan sekali kali ada paksaan. Dengan demikian, kiranya baru akan dapat dibentuk rumah tangga yang damai.”
Pesta penghormatan itu berjalan sampai menjelang tengah malam. Tiba-tiba saja banyak sekali obor yang mendadak padam dan terdengar jeritan di sana sini. Kwan Cu terkejut sekali melihat beberapa orang laki-laki yang tadi memegang obor, terjungkal roboh dan keadaan menjadi panik. Di bawah penerangan bulan kelihatan bayangan yang amat gesit di sana sini dan anak panah-anak panah yang kecil menyambar-nyambar.
Kwan Cu dan Malita melompat bangun.
“Mereka datang menyerbu!” seru Malita marah sambil mencabut pedangnya.
“Biar aku yang menghadapi mereka!” Kwan Cu berseru. Pemuda ini berlari cepat dengan lompatan-lompatan jauh menuju ke arah para penyerbu.
Memang benar dugaan Malita, banyak sekali orang katai datang dari arah pantai sambil menghujankan anak panah kepada orang-orang yang sedang berpesta itu. Kahano yang mendengar bahwa pulau itu kedatangan seorang raksasa dan bahwa para wanita tengah mengadakan pesta pada malam itu, dan terutama sekali mendengar betapa para laki-laki yang tertawan kini sudah berbaikan dengan para wanita, menjadi marah dan memimpin semua orang menyerbu.
Kwan Cu yang berlari mendatangi, mendadak disambut oleh puluhan batang anak panah yang kecil-kecil tapi datangnya cukup berbahaya. Pemuda ini cepat mencabut sulingnya kemudian memutarnya seperti pedang sehingga semua anak panah yang kecil-kecil itu tersampok runtuh. Dia maju terus dan para pemberontak itu ketika menyaksikan betapa raksasa ini amat tangguh, menjadi ketakutan dan berlari cerai-berai!
Akan tetapi, pada saat itu pula, Malita dan Malika serta kawan-kawannya telah datang menyerbu dan terjadilah pertempuran yang hebat. Kwan Cu menyerang ke sana ke mari dengan sulingnya. Dia tidak ingin membunuh, hanya mempergunakan tenaganya untuk membuat senjata-senjata lawan terlempar sambil berseru berkali-kali,
“Malita, jangan bunuh mereka, tawan saja!”
Menghadapi amukan raksasa ini, orang-orang katai yang sudah panik itu menjadi makin kacau balau. Apa lagi memang kepandaian para wanita itu hebat dan walau pun mereka menerima latihan ilmu silat tinggi yang aneh dari Kahano, namun masih belum sanggup mengatasi kepandaian para wanita.
Sebentar saja mereka sudah dapat dikalahkan, terluka dan tertawan. Kwan Cu sengaja mencegah mereka itu melarikan diri, tetapi setelah dia menjaga di pantai dan menangkap setiap orang katai yang hendak melarikan diri, dan pertempuran selesai, ternyata bahwa betapa pun juga, Kahano dan lima orang kawannya telah melarikan diri dari pulau itu!
Malita dan kawan-kawannya girang sekali melihat betapa semua anak buah Kahano kini telah dapat tertawan, sungguh pun Malita masih penasaran karena Kahano bersama lima orang kawannya yang menjadi biang keladi kekacauan itu dapat melarikan diri.
Pada malam hari itu juga, Malita beserta kawan-kawannya lalu memberi nasehat kepada semua tawanan, dibantu pula oleh orang-orang lelaki yang telah insyaf dan baik kembali. Para tawanan itu setelah mendapat penerangan bahwa semenjak hari itu tidak akan ada tindas-menindas antara laki-laki dan wanita, bahwa akan diadakan kerja sama yang baik menurut nasehat Kwan Cu raksasa muda itu, menjadi sangat terharu. Mereka tadinya kena hasutan Kahano hanya karena mereka menganggap pihak wanita terlalu menindas dan merendahkan mereka yang bertenaga lebih besar.
“Setiap pelanggaran atau kejahatan, setiap penindasan dan kekejaman, baik dilakukan oleh wanita mau pun laki-laki, akan diadili dan yang melakukan akan dihukum!” demikian Malita menutup penerangannya, sesuai dengan nasehat dan penerangan Kwan Cu yang memasukkan aturan-aturan bangsanya kepada bangsa katai ini.
Pada keesokan harinya, diantar oleh Malita, Malika beserta sepuluh orang prajurit wanita, Kwan Cu naik perahunya menuju ke pulau yang dijadikan tempat sembunyi Kahano dan lima orang kawannya. Melihat pulau itu dari perahunya, Kwan Cu berdebar hatinya.
Tidak salah lagi, inilah pulau yang ditunjuk di dalam buku sejarah, tempat Im-yang Bu-tek Cin-keng disimpan. Ia melihat pulau yang kecil dan bentuknya bundar dan dari jauh telah nampak pohon-pohon yang keputih-putihan, batu-batu karang yang menjulang tinggi dan goa-goa di batu karang yang bermulut hitam gelap.
“Itulah Pek-hio-to (pulau daun putih) yang dijadikan tempat sembunyi Kahano bersama kawan-kawannya,” kata Malita kepada Kwan Cu.
Di dalam kegembiraan dan ketegangan hatinya, Kwan Cu tidak menjawab, melainkan dia mendayung semakin cepat lagi ke arah pulau itu sehingga perahunya meluncur sangat cepat dan membuat para wanita itu memandang dengan kagum.
Pulau kecil itu ternyata paling tinggi letaknya di antara semua pulau-pulau kecil yang ada di sekitar daerah itu. Kelihatannya seperti bukit kecil yang berwarna putih.
Sesudah Kwan Cu mendaratkan perahunya, dia dan semua wanita katai melompat turun ke pantai. Malita mengeluarkan sehelai sapu tangan warna putih dari balik bajunya dan memberikan sapu tangan itu kepada Kwan Cu.
“Seperti telah kukatakan kemarin, Kahano dan kawan-kawannya menggunakan bisa ular pada ujung senjata mereka. Bisa itu sangat berbahaya, dan kalau kulit tanganmu sampai terluka, nyawamu akan terancam bahaya. Akan tetapi jika kau menggosok-gosok kedua tanganmu dengan sapu tangan yang sudah mengandung obat penawar ini, kau tak usah takut menghadapi ujung senjata mereka.”
Kwan Cu menerima sapu tangan itu sambil mengucapkan terima kasihnya kemudian dia menggosok-gosokkan kedua telapak tangan dengan sapu tangan itu. Aneh sekali, terasa panas dan gatal-gatal tangannya, akan tetapi Malita meminta dia menggosok-gosok terus sampai lenyap rasa gatal-gatal itu.
Benar saja, lama-lama lenyap rasa gatalnya, tinggal rasa panas-panas hangat di telapak tangannya. Dia lalu mengembalikan sapu tangan putih kepada Malita dan diam-diam dia merasa kagum. Agaknya gadis ini adalah seorang ahli mengenai senjata yang berbahaya dan racun sehingga perlu membawa sapu tangan-sapu tangan yang aneh dari berbagai warna. Kwan Cu masih teringat sapu tangan merah yang dapat membuat dia mabuk dan tertidur.
“Di mana tempat mereka bersembunyi?” Kwan Cu bertanya sambil mengajak Malita dan kawan-kawannya naik ke tengah pulau.
Mata pemuda ini memandang ke sekelilingnya dan dia melihat bahwa pulau itu memang aneh sekali dan keadaannya juga menyeramkan. Pohon-pohon yang tumbuh di situ tidak banyak, akan tetapi daun-daunnya berwarna putih belaka, juga rumput-rumputan banyak yang berwarna putih.
Pulau ini mengingatkan dia kepada daerah utara bila mana sedang dilanda musim salju. Goa-goa yang banyak terdapat di bukit karang itu nampak menghitam, sehingga sangat jelas terlihat di antara daun-daun yang putih itu.
“Sukar untuk mengatakan di mana mereka bersembunyi. Goa-goa di sini banyak sekali dan di antaranya terdapat lima buah goa yang merupakan terowongan bersambung satu dengan yang lainnya,” jawab Malita sambil memimpin rombongan itu kepada sebuah goa yang gelap. “Nah, goa ini yang terbesar, akan tetapi dari goa ini orang dapat mencapai goa-goa di lain bagian.”
Kwan Cu melihat ada bekas tapak-tapak kaki kecil di sekitar mulut goa dan tahu bahwa memang orang-orang katai itu menyembunyikan diri di dalam goa. Akan tetapi agaknya sia-sia kalau hendak mengejar, karena orang-orang itu dari dalam goa yang gelap tentu akan melihat kedatangannya sehingga mereka bisa melarikan diri melalui mulut goa yang lain. Di samping itu, goa itu memang cukup besar bagi orang-orang katai, namun bagi dia agaknya dia hanya dapat masuk dengan jalan merangkak! Ini berbahaya sekali! Akhirnya dia mendapat akal.
“Kumpulkan kayu-kayu bakar dan daun-daun kering di mulut goa yang berhubungan satu dengan yang lain itu, tutup empat mulut goa dengan kayu bakar dan daun kering, biarkan yang satu ini saja terbuka. Setelah penuh dengan kayu bakar , bakar semua tumpukan itu supaya asapnya memenuhi goa dan terowongan. Asap itulah yang akan memaksa mereka keluar dari goa melalui mulut goa ini dan aku akan menjaga di sini.”
Mendengar siasat ini, Malita mengangguk-angguk dengan kagum. Dia segera mengatur dan memecah kawan-kawan menjadi empat bagian untuk melakukan tugas menutup dan membakar mulut goa. Ada pun Kwan Cu lantas bersembunyi di belakang batu karang, menjaga kalau-kalau para pemberontak itu muncul dari goa besar itu.
Tempat sembunyi Kwan Cu adalah di balik pohon yang berada di dekat goa dan pemuda ini bersandar pada batu karang itu. Tanpa sengaja tangannya menyentuh batu karang yang hitam itu dan mendapatkan bagian-bagian yang halus teraba oleh tangannya. Dia memandang dan melihat ukiran-ukiran seperti huruf di dinding batu karang di luar goa. Akan tetapi coretan atau ukiran itu tak dapat dibaca karena telah tertutup oleh tanah yang mengeras, merupakan kulit dari batu karang itu.
Kwan Cu mengerahkan tenaga dan menggunakan tangan untuk menarik keluar kulit batu karang itu. Sebagian dari kulit yang terjadi dari tanah mengeras itu terlepas dan ternyata bahwa huruf itu adalah huruf LIU. Berdebar hati Kwan Cu.
Huruf ini mengingatkan dia akan bunyi kitab sejarah yang dia dapatkan di dalam sumur di Kun-lun-san, yakni kitab sejarah peninggalan Gui-siucai yang menyatakan bahwa kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng disimpan di sebuah pulau kosong oleh LIU PANG yang akhirnya menjadi raja. Dia segera mengerjakan kedua tangannya untuk melepaskan kulit batu karang yang menutup huruf-huruf selanjutnya.
Sementara itu, Malita, Malika dan kawan-kawan mereka sudah mulai bekerja, menutupi empat mulut goa yang lainnya dengan kayu-kayu dan daun-daun kering, lalu membakar semua itu. Asap yang tebal bergumpal-gumpal lalu memasuki goa dan terus memasuki terowongan itu!
Karena amat tertarik oleh ukiran huruf di dinding sebelah luar goa, Kwan Cu lupa bahwa dia sedang bertugas menunggu munculnya Kahano dan kawan-kawannya, dan dia tidak ingat lagi bahwa sudah beberapa lama dia bekerja mencoba untuk melepaskan kulit batu karang yang sudah amat keras dan menjadi satu dengan batunya. Setelah dengan susah payah bekerja sehingga kuku-kuku jari tangannya sampai pecah-pecah, akhirnya Kwan Cu dapat membaca empat huruf yang berbunyi LIU SIN TONG TANG (Guna Anak Ajaib Liu).
Hampir saja Kwan Cu berjingkrak saking girangnya. Tak salah lagi, yang dimaksudkan dengan anak ajaib she Liu itu tentu bukan lain adalah Liu Pang, karena anak yang kelak menjadi kaisar patut disebut atau menyebut diri sendiri sebagai anak ajaib. Ia pun makin dekat dengan rahasia kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang sudah lama dicari-carinya.
Akan tetapi pada saat itu asap telah memasuki terowongan dan bahkan sudah ada asap yang keluar dari mulut goa yang dijaga oleh Kwan Cu. Tidak lama kemudian terdengarlah batuk-batuk dan tampak enam orang katai berlari-lari keluar dari dalam goa itu.
Gerakan mereka gesit sekali dan keenam-enamnya memegang sebatang pedang kecil yang nampaknya tidak berbahaya, akan tetapi yang sesungguhnya mengandung racun putih yang sangat berbahaya pada ujungnya. Enam orang itu bukan lain adalah Kahano beserta lima orang kawannya.
Kwan Cu yang mendengar suara mereka, lalu memandang. Dia melihat seorang katai yang usianya sudah agak tua, dengan kumis dan jenggot putih tebal menutupi mulutnya. Lima orang yang lain berkepala gundul dan biar pun mereka masih muda-muda, namun wajah mereka buruk rupa dan nampak kejam-kejam.
Kwan Cu teringat akan penuturan Malita bahwa lima orang yang menjadi murid Kahano adalah pemuda-pemuda jahat yang dibenci oleh para gadis karena sikap mereka yang kurang ajar. Yang menarik perhatian adalah sapu tangan yang mengikat kepala mereka. Sapu tangan itu berwarna kuning dan bentuknya sama, seakan-akan dijadikan semacam tanda pengenal bagi golongan mereka.
“Tak salah lagi, dialah Kahano dan kawan-kawannya,” pikir Kwan Cu.
Hati pemuda ini sedang gembira sekali berhubung sudah ditemukannya huruf-huruf yang menyatakan bahwa dia benar-benar berada pada pulau yang dicari-carinya. Ia melompat keluar dan dengan dua kali lompatan saja dia sudah sampai di depan enam orang yang sedang mengatur napas untuk menghilangkan pengaruh asap yang menyerang mereka di dalam terowongan dan goa. Cara mereka mengatur napas membuat Kwan Cu terkejut, karena itulah pengaturan napas dari ilmu lweekang yang sangat tinggi.
Ada pun Kahano dan kawan-kawannya, pada saat melihat kedatangan Kwan Cu menjadi marah sekali.
“Hemm, jadi kaukah yang memimpin mereka dan melakukan akal ini?” tanya Kahano dan Kwan Cu kembali merasa tertegun karena kini Kahano menggunakan bahasa yang biasa dipergunakan oleh penduduk Tiongkok di bagian utara!
“Kau bisa bahasa daratan Tiongkok?” tanya Kwan Cu terheran-heran.
“Tentu saja bisa, karena aku pun seorang yang berasal dari sana,” jawab Kahano. “Oleh karena itu, mengingat hubungan antara orang kang-ouw, kuharap kau tidak mencampuri urusan kami dan jangan kau mengganggu kami.”
Memang benar bahwa sebenarnya Kahano adalah seorang keturunan Jepang-Tiongkok yang telah lama merantau di daratan Tiongkok daerah utara, yaitu di perbatasan Mongol. Ketika merantau di sana, dia telah mempelajari ilmu silat dan di dunia kang-ouw terkenal sebagai orang yang kurang baik. Kadang-kadang dia turut dengan serombongan pemain akrobat dan bermain sebagai seorang pelawak yang cocok sekali dengan keadaannya yang pendek kecil itu.
Setelah dia merasa bosan di daratan Tiongkok, dia mengambil keputusan untuk kembali ke Jepang dengan naik perahu. Akan tetapi perahunya terserang oleh taufan hebat dan akhirnya dia terdampar dalam keadaan pingsan di atas pulau bangsa katai itu.
Dia dianggap sebagai bangsa sendiri oleh mereka dan Kahano yang cerdik itu pura-pura bisu sehingga dia tidak dicurigai. Sesudah dapat mempelajari bahasa orang-orang katai itu, barulah dia berbicara dan mendongeng bahwa dia adalah seorang yang terpilih oleh dewata sebagai calon pemimpin mereka, akan tetapi dengan syarat menjadi bisu untuk beberapa tahun!
Dongengnya ini dipercaya oleh sebagian orang lelaki, akan tetapi tidak dipercaya oleh kaum wanitanya sehingga semenjak Kahano berada di sana, di antara mereka timbullah pertentangan. Akan tetapi, ternyatalah oleh mereka bahwa Kahano pandai sekali ilmu silat dan bukan merupakan laki-laki yang lemah.
Melihat kecantikan Malita dan Malika, Kahano yang sudah agak tua itu jadi tergila-gila dan timbullah satu kehendak rendah. Ia ingin menjadi raja dari bangsa itu dan mengambil Malita serta Malika sebagai isteri-isterinya!
Mula-mula kehendak atau cita-cita ini dipendamnya saja karena kedudukan ayah kedua gadis ini kuat sekali sebagai raja yang terkasih dan bijaksana. Namun sedikit demi sedikit dia menanam rasa penasaran dan memberontak dalam hati kaum laki-laki sehingga dia berhasil mempunyai pengikut yang banyak juga. Kemudian meninggallah raja, ayah dari kedua orang dara jelita itu dan kesempatan ini segera dipergunakan oleh Kahano untuk memberontak.
Ketika Kwan Cu mendengar Kahano dari daratan Tiongkok, dia menjadi sangat marah.
“Kahano, apa bila kau bukan penduduk asli, maka dosamu lebih besar lagi. Kau sudah menghasut orang-orang untuk memberontak dan maksudmu untuk menjadi raja serta mengambil puteri-puteri itu sebagai isteri, telah menunjukkan betapa rendah martabatmu. Lebih baik kau dan pengikut-pengikutmu ini menyerah saja. Aku yang akan menanggung bahwa kalian tidak akan dihukum asal saja kalian suka berjanji untuk selanjutnya tidak akan melakukan kekacauan lagi. Ketahuilah bahwa sekarang kaum perempuan bangsa katai ini telah insyaf, bahwa cara satu-satunya untuk mencapai perdamaian antara kaum laki-laki dan wanita, adalah dengan kerja sama dan persamaan hak, seperti yang terjadi di negara kita.”
Kahano tertawa bergelak. Biar pun orangnya kecil, ternyata suara ketawanya besar.
“Ha-ha-ha, orang muda sombong. Kau dapat membodohi mereka ini, akan tetapi apa kau kira aku tidak tahu bagaimana perangai kaum laki-laki di daratan Tiongkok? Apa kau kira aku tidak tahu betapa ayah bunda yang kelaparan menjual anak-anak gadisnya kepada orang-orang kaya, tuan-tuan tanah tua, hanya untuk ditukar dengan makanan? Memang sudah semestinya begitu. Orang perempuan memang dilahirkan cantik dan ditakdirkan untuk menjadi alat penghibur laki-laki. Mereka makhluk lemah yang harus menurut dan taat kepada laki-laki, akan tetapi di pulau ini terjadi sebaliknya. Aku hendak mengubah aturanmu itu, sesuai dengan aturan bangsamu, apakah kau masih berani mati untuk merintangi kehendakku? Siapakah kau ini berani mati mencampuri urusan orang lain?”
“Aku bernama Lu Kwan Cu dan aku sekali-kali bukan bermaksud mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi sudah menjadi tugasku untuk membela orang-orang tertindas dan melenyapkan pengacau-pengacau keamanan seperti engkau ini!”
Kahano mengutuk dan memberi aba-aba kepada lima orang pembantunya. Enam orang katai itu segera bergerak secara teratur sekali, mengurung Kwan Cu dari enam jurusan. Melihat gerakan kaki mereka, diam-diam Kwan Cu memuji. Mereka ini memiliki gerakan kaki yang amat teratur dan gesit sekali, dan sikap mereka menyatakan bahwa mereka adalah ahli-ahli silat tinggi.
Setelah Kahano berseru keras, enam orang itu mulai menyerang. Pedang pendek pada tangan mereka bergerak cepat. Serangan mereka tidak dilakukan secara sembarangan, melainkan secara teratur sekali, susul-menyusul seakan-akan memang keenam orang itu sudah berlatih terlebih dahulu untuk maju berenam dengan ilmu silat tertentu yang harus dilakukan oleh enam orang!
Kwan Cu terkejut dan cepat mengelak. Akan tetapi, biar pun dia dapat mengelak dari serangan pertama tahu-tahu orang kedua sudah menyusul serangan dari belakang, dan ketika dia membalikkan tubuh sambil mengelak ke kiri, orang di sebelah kanan sudah menyusul serangan ke tiga. Dengan demikian, setiap serangan selalu datang dari arah belakangnya dan setiap serangan merupakan serangan yang amat berbahaya.
“Lihai sekali!” seru Kwan Cu tanpa terasa lagi.
Dia merasa gentar untuk menghadapi mereka dengan tangan kosong, maka cepat dia mencabut sulingnya, yakni satu-satunya senjata yang selalu berada di tubuhnya. Dengan suling ini, dia lalu mainkan ilmu pedang Hun-kai Kiam-hoat. Ia menangkis dengan keras dan membalas serangan enam orang pengeroyoknya.
Akan tetapi, segera terjadi hal yang sangat mengherankan, juga mengecilkan hati Kwan Cu. Tiba-tiba Kahano berseru dan kini enam orang itu semuanya membalasnya dengan serangan yang mirip dengan ilmu pedangnya pula! Malah lebih hebat lagi, agaknya enam orang itu setengah dapat menduga ke mana pedangnya akan bergerak selanjutnya, dan seakan-akan keenam orang itu pernah mempelajari Hun-kai Kiam-hoat, meski pun belum mahir betul.
Menghadapi keroyokan yang dilakukan dengan ilmu silat yang sama dengan ilmu pedangnya, Kwan Cu menjadi bingung sekali. Apa lagi senjatanya hanya sebatang suling yang tengahnya kosong sehingga tidak dapat dia gerakkan dengan tenaga besar. Maka, walau pun dia dapat menangkis setiap serangan lawan, namun dia tidak kuasa membuat lawannya itu melepaskan pedangnya.
Kwan Cu terkurung semakin hebat dan pada saat-saat tertentu, dengan aba-aba yang dikeluarkan oleh Kahano, enam orang itu mengubah gerakan mereka dan tiba-tiba saja maju menubruk berbareng dengan dahsyat sekali! Walau pun Kwan Cu sudah berusaha mengelak sambil memutar sulingnya, akan tetapi bajunya terobek oleh tiga ujung pedang kecil.
Pemuda ini berubah air mukanya. Ia maklum bahwa ujung pedang mereka mengandung racun yang berbahaya. Sekali kulit tubuhnya tergurat ujung pedang, besar kemungkinan nyawanya akan melayang! Lebih hebat lagi, selagi pemuda ini kebingungan, mendadak Kahano melompat ke atas dan sebuah tendangan yang sangat cepat sudah mengenai pergelangan tangan Kwan Cu yang memegang suling.
Pemuda ini merasa pergelangan tangannya kaku. Memang dulu Kahano adalah pemain akrobat, loncatannya tinggi dan tendangannya tepat mengenai urat besar sehingga Kwan Cu tidak kuasa memegang sulingnya lagi yang langsung terlempar jauh.
“Ha-ha-ha! Lu Kwan Cu bocah sombong. Baru kini kau mengenal kelihaian Kahano!” Si katai berjenggot ini tertawa bergelak saking girangnya. Lima orang kawannya mendesak makin hebat, mendapat tambahan semangat melihat hasil tendangan pemimpin mereka yang lihai.
Kwan Cu segera dapat menenteramkan hatinya. Dia teringat bahwa di antara anggota tubuhnya, yang berani menghadapi ujung pedang enam orang lawannya hanya kedua tangannya yang sudah diberi obat oleh Malita. Dia teringat pula betapa tenaga keenam orang ini kecil saja, terbukti pula dari tendangan tadi.
Tendangan Kahano itu tidak mengandung tenaga besar, dan hasil yang baik itu hanya karena tepatnya tendangan itu mengenai urat besar di pergelangan tangannya. Teringat akan hal ini, Kwan Cu berseri wajahnya dan dia tersenyum.
“Kahano, kaulah yang sombong. Sekarang akan kau rasai kelihaian Lu Kwan Cu!” sambil berkata demikian, Kwan Cu menggerakkan tangannya dengan jari-jari terpentang.
Ia lalu bersilat dengan ilmu silat Sin-ci Tin-san yang mengandung tenaga lweekang dan gwakang sangat besar sehingga baru sambaran hawa pukulannya saja sudah sanggup merobohkan lawan. Di samping itu, dia pun menggerakkan kedua kakinya menurutkan gerakan ilmu silat Sam-hoan-ciang sehingga dia seakan-akan mempunyai muka tiga dan gerakan-gerakan kakinya selalu membentuk segitiga sehingga tidak dapat di serang dari belakang oleh lawan-lawannya.
Sungguh tepat gerakan Kwan Cu ini. Begitu dia mainkan ilmu silat Sin-ci Tin-san, enam orang pengeroyoknya menjadi bingung luar biasa. Mereka agaknya dapat pula menduga gerakan-gerakan selanjutnya dari Sin-ci Tin-san, namun karena ilmu silat ini dilakukan dengan mengandalkan lweekang yang tinggi dan tenaga yang besar, tentu saja mereka tidak dapat menirunya!
Hal ini merupakan keuntungan bagi Kwan Cu yang mendesak terus selagi enam orang itu kebingungan, tak tahu harus berbuat bagaimana untuk menghadapi pukulan-pukulan sepuluh jari tangan Kwan Cu yang baru hawa pukulannya saja sudah membuat tubuh mereka tergetar!
Melihat hasil serangannya, Kwan Cu mengamuk semakin hebat. Dengan heran sekali dia melihat betapa keenam orang ini pun seakan-akan mengenal ilmu silat Sin-ci Tin-san, karena mereka dapat menduga gerakan-gerakan selanjutnya dari ilmu silat ini, bahkan mereka mencoba untuk menyerangnya dengan meniru gerakan itu. Ilmu silat apakah yang mereka miliki ini sehingga semua ilmu silatnya dapat dikembari oleh mereka? Kalau dia berlaku lambat, tentu mereka akan dapat menguasai diri dan kalau sekali ini dia tidak mampu mengalahkan mereka, agaknya itu akan menjadi tanda bahwa dialah sebaliknya yang akan kalah dan mendapatkan bencana besar!
“Robohlah kalian!” Kwan Cu berseru untuk memperkuat pengaruh dan lweekang-nya.
Kedua tangannya bergerak cepat sambil mengerahkan tenaga sekuatnya. Yang paling dia desak adalah Kahano, maka ketika kedua tangannya bergerak, terdengar Kahano menjerit, disusul oleh dua orang kawannya.
Ternyata bahwa hanya setengah pukulan Kwan Cu tadi yang mampu dielakkan mereka, akan tetapi hawa pukulannya masih menghantam Kahano dan kedua orang kawannya, yakni seorang yang berada di belakangnya dan seorang pula yang berada di kanannya. Pedang pendek Kahano terlepas dari pegangan dan si katai brewok ini terpukul dadanya sehingga dia terlempar ke belakang dengan dada menderita luka dalam.
Orang yang berada di belakang Kwan Cu lebih hebat lagi. Tangan kanan Kwan Cu, atau lebih tepat jari-jari tangan kanannya, telah dapat menampar kepala orang itu sehingga si katai gundul ini terlempar bagaikan seekor anjing dilemparkan dan dia roboh tanpa dapat bangun kembali. Orang yang berada di kanannya, hanya terkena langgar telunjuk Kwan Cu, namun karena tepat mengenai tangannya yang memegang pedang, pedang itu pun terlepas dari pegangan dan dia menjerit-jerit kesakitan sambil mundur dan memegangi tangan kanan dan tangan kirinya. Ternyata bahwa tulang-tulang tangan kanannya telah patah-patah.
Tiga orang lainnya yang berada di depan Kwan Cu, ketika melihat ini, terbang semangat mereka dan timbul watak pengecutnya. Mereka melempar pedang dan berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepala yang gundul itu, minta ampun! Memang, sudah terlalu lama kaum lelaki di pulau katai itu diperlakukan seperti wanita sehingga rata-rata memiliki watak penakut dan berhati kecil.
Kwan Cu tertawa bergelak dengan puas dan mengambil sulingnya. Berhasillah tugasnya mengamankan pulau itu. Akan tetapi, mendadak dia melihat bayangan beberapa orang berkelebat dekatnya dan lenyaplah suara ketawanya ketika dia melihat apa yang sudah terjadi pada saat dia tertawa tadi. Ketika dia memandang, enam orang laki-laki katai itu telah kehilangan kepala mereka dan kini tubuh mereka tergeletak dengan leher terputus dan darah mengalir deras dari leher-leher yang tak berkepala lagi itu.....
Dengan kening berkerut Kwan Cu memandang tajam pada Malita, Malika dan beberapa orang wanita lain yang sudah berdiri di situ dengan pedang di tangan. Malita dan Malika menyusut darah yang menempel di pedang mereka dengan menggunakan pakaian yang menempel pada mayat-mayat itu.
“Mengapa kalian lakukan ini? Alangkah kejamnya!” seru Kwan Cu tak senang.
Malika menghadapinya dengan sikap menantang. Gadis ini memang berwatak keras dan pemberani. Ia menentang pandang mata Kwan Cu tanpa merasa takut sedikit pun juga, lalu berkata,
“Kau bilang kami kejam? Kalau mengingat betapa enam orang iblis ini hendak membuat kami kaum perempuan menjadi barang permainan yang hina dina, hukuman penggal kepala masih terlampau murah untuk mereka!”
Kwan Cu menghela napas, lalu berkata,
“Sudahlah, Malika, dan kau juga Malita. Yang sudah lalu biarlah lenyap. Memang mereka ini jahat sekali dan patut dihukum mati, akan tetapi apakah perbuatan ini merupakan tanda bahwa kalian kaum wanita kini hendak berkuasa lagi dan melupakan kerja sama yang baik?”
“Tidak, sama sekali kami takkan mengulangi kesalahan besar yang dilakukan oleh nenek moyang kami. Kami sudah berjanji kepadamu dan janji kami selalu kami pegang teguh. Kami akan melakukan pemilihan raja baru secara adil, kaum laki-laki pun berhak memilih. Dan kami tak akan memandang-mandang lagi apakah ia laki-laki atau wanita, akan tetapi siapa saja yang bersalah akan dihukum dan yang tertindas akan dibela, baik dia laki-laki mau pun wanita! Dan semua ini, kebahagiaan yang akan kami hadapi ini, semua berkat pertolonganmu yang amat berharga, saudara Kwan Cu yang budiman!”
“Semua berkat pertolonganmu,” semua wanita berkata pula dan tiba-tiba, dipimpin oleh Malita dan Malika, semua orang wanita yang berada di sana menjatuhkan diri berlutut di depan Kwan Cu sambil menangis riuh-rendah!
Kwan Cu tertegun, kebingungan, kemudian dia menghela napas dan berkata di dalam hatinya, “Perempuan, perempuan... perempuan namamu dan di mana pun sama saja, paling mudah menangis!” berpikir sampai di sini, timbul pikiran lain yang membantahnya.
“Ahh, Kong Hoat putera Liok-te Mo-li itu terang seorang laki-laki, akan tetapi dia pun suka menangis.”
Pikiran kedua mengejek, “Ahh, Kong Hoat memang dasar cengeng!”
Demikianlah, menghadapi tangis karena berterima kasih dan gembira dari banyak wanita kecil-kecil ini, Kwan Cu malahan melamun, teringat yang bukan-bukan. Akan tetapi, dia sadar kembali dan berkata.
“Sudahlah, untuk apa menangis? Kalian membikin aku merasa sedih dan jangan-jangan aku akan ikut menangis pula. Malita dan Malika, saat ini boleh dibilang kalian merupakan pemimpin bangsamu, jangan melakukan upacara yang berlebih-lebihan ini. Aku bertindak sebagai seorang manusia yang memang seharusnya sebisa mungkin menolong manusia lain. Aku hanya ada satu permintaan, yakni kalau sekiranya kalian tidak keberatan.”
Malita menyusut air matanya dan bangkit berdiri sambil tersenyum manis sekali.
“Apakah permintaanmu itu, saudaraku yang baik? Apa saja yang menjadi permintaanmu, pasti akan kami turuti. Kau ingin menjadi pemimpin kami? Kami setuju sepenuhnya! Kau ingin memilih seorang jodoh di antara kami? Kiranya takkan ada seorang pun dara akan menolakmu, siapa pun dia adanya!” sesudah mengucapkan kata-kata ini, sadarlah Malita bahwa dia sudah berbicara terlalu banyak, maka merahlah mukanya.
“Jangan main-main, Malita. Aku bukan Kahano! Tiada lain hanya ini. Perbolehkanlah aku tinggal di pulau ini seorang diri, entah berapa tahun sampai aku merasa bosan dan pergi meninggalkan pulau ini. Selama aku berada di sini, harap kalian jangan menggangguku, karena aku bermaksud hendak bersemedhi dan menjauhkan diri dari keramaian dunia di tempat ini. Tempat ini amat menarik hatiku.”
Malita dan kawan-kawannya saling pandang dengan heran.
“Kau memang orang aneh, seorang sakti yang berbudi tinggi. Hal itu bukan merupakan permintaan karena tentu tak seorang pun merasa keberatan kalau kau tinggal di pulau ini.”
“Nah, jika begitu selamat berpisah. Kalian pulanglah, kemudian aturlah pemerintahanmu sebaik-baiknya dan tinggalkan aku di sini. Jangan ingat lagi kepadaku, karena aku pun tak akan mengganggu kalian di sana.”
Mendengar keputusan ini, terkejutlah Malita.
“Mengapa begitu keras, saudara Kwan Cu? Setidaknya, perkenankanlah kami kadang kala mengunjungimu di sini untuk melihat apakah kau tidak kekurangan sesuatu di sini,” kata Malita.
“Dan sudah tentu kami yang akan menjaga makananmu setiap harinya,” kata Malika.
Akan tetapi Kwan Cu menggeleng kepala dan menggoyang-goyang tangannya.
“Jangan! Kulihat pulau ini mengandung pohon-pohon yang berbuah dan tadi kulihat ada beberapa ekor binatang hutan yang kiranya akan dapat menjadi bahan makanan bagiku. Aku ingin seorang diri saja di sini, tanpa mendapatkan gangguan dari siapa pun juga. Kecuali...” sambungnya ketika meliha sinar mata pada wajah mereka, “kecuali kalau ada sesuatu yang hebat menimpa kalian, tentu saja aku selalu bersiap sedia untuk menolong kalian. Nah, sekarang pergilah, mayat-mayat ini tinggalkan saja, biar aku nanti yang akan menguburnya di tempat ini.”
Terpaksa Malita memberi tanda kepada kawan-kawannya untuk pergi dari sana dengan wajah kecewa sekali. Akan tetapi, belum berapa lama dia berjalan, dia segera membawa kawan-kawannya datang lagi dan berlutut.
“Ada apa lagi?” tanya Kwan Cu tak senang.
“Saudara Kwan Cu, sungguh pun kami tak berani melanggar laranganmu dan tidak akan mengganggumu di tempat ini, setidaknya berjanjilah bahwa sewaktu-waktu engkau akan datang mengunjungi kami supaya kami dapat melihat bahwa kau masih berada di dekat kami.”
Kwan Cu tersenyum. Ia tidak boleh terlalu keras agar mereka ini jangan menduga yang bukan-bukan sehingga malah akan pecah rahasia sebenarnya dari keinginannya berada seorang diri di tempat itu.
“Baiklah, kelak bila mana kau dan adikmu menikah, beritahulah aku dan aku akan datang menyaksikan pernikahan itu!”
Bertitik air mata di pipi Malita, bahkan Malika juga menangis sesenggukan akibat terharu. Mereka kemudian pergi dari tempat itu menuju ke perahu-perahu kecil milik Kahano dan kawan-kawannya, sambil menoleh beberapa kali ke arah raksasa muda yang masih terus berdiri bertolak pinggang melihat sampai mereka pergi jauh dan tidak kelihatan lagi.
********************
Setelah menggali lubang dan mengubur jenazah Kahano beserta lima orang kawannya, Kwan Cu segera menghampiri goa yang dijadikan tempat sembunyi para pemberontak tadi. Ia memeriksa dinding goa dengan sepasang obor yang dibuatnya dari pada rumput kering dan alangkah gembiranya ketika dia mendapat kenyataan bahwa dinding-dinding itu, sebagaimana telah diduganya semula, terhias oleh gambar-gambar manusia sedang bersilat! Gambar-gambar ini ukirannya bagus dan jelas sekali sehingga melihat gambar-gambar ini saja orang sudah dapat mempelajari ilmu silat yang terlukis di situ!
“Hemm, kiranya dari sini mereka itu mempelajari ilmu silat mereka yang aneh!” pikirnya.
Gambar-gambar itu benar-benar hebat luar biasa karena amat banyak dan mengandung gerakan dari hampir semua ilmu-ilmu silat yang pernah dia pelajari dan yang pernah dia dengar dari suhu-nya, Ang-bin Sin-kai. Manusia gaib siapakah yang dulu telah membuat lukisan-lukisan pelajaran ilmu silat seperti ini?
Sampai seharian penuh Kwan Cu memeriksa gambar-gambar itu dan masih juga belum habis. Ternyata bahwa seluruh terowongan yang menembus ke goa-goa lain juga terhias gambar-gambar seperti itu, namun anehnya, semua lukisan itu menggambarkan orang bersilat tangan kosong! Tidak ada sebuah pun gambar orang bersilat dengan senjata di tangan.
Ada yang bersilat seorang diri, ada yang bertempur, ada pula yang dikeroyok dua, tiga, sampai dikeroyok puluhan orang! Agaknya lukisan itu dititik beratkan kepada tokoh yang dikeroyok, karena kedudukan tokoh ini jelas sekali, setiap gerak kaki atau tangan teratur baik.
Pada saat menghadapi sebaris lukisan yang menggambarkan bagaimana cara seorang lelaki dikeroyok oleh puluhan orang, Kwan Cu lantas menjadi terkejut sekali. Bukan main hebatnya kedudukan orang yang dikeroyok itu, malah jauh lebih kuat dari pada ilmu silat Pai-bun Tui-pek-to yang dia pelajari dari Ang-bin Sin-kai.
Saking girangnya, Kwan Cu sampai lupa makan lupa tidur, setiap hari dia melihat dan mempelajari gambar-gambar yang terlukis di dinding goa dan terowongan itu. Kemudian teringatlah dia akan niat sesungguhnya dari kedatangannya ke pulau ini, yakni mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.
Hatinya berdebar keras. Betapa pun jelas ukiran-ukiran ini yang dengan sendirinya telah merupakan pelajaran yang hebat sekali, namun tanpa buku petunjuk atau guru yang membimbing, ilmu-ilmu silat tinggi itu bisa dipelajari dengan cara yang keliru!
“Bukan tidak mungkin bahwa Im-yang Bu-tek Cin-keng adalah kitab yang merupakan kouw-koat (teori ilmu silat) dari semua lukisan ini,” pikirnya.
Sesudah berpikir demikian, Kwan Cu merangkak keluar dari goa kecil itu dan baru dia merasa betapa tubuhnya sakit-sakit semua karena dia mempelajari dan melihat semua lukisan di dinding itu sambil merangkak! Ternyata bahwa sudah dua hari dua malam dia berada di goa itu tanpa berhenti untuk makan atau tidur. Kini dia merasa perutnya lapar sekali. Maka pergilah dia ke dalam hutan yang penuh dengan pohon-pohon itu.
Keadaan di situ memang aneh. Semua pohon mempunyai daun yang keputih-putihan, sungguh pun daun-daun itu berbeda corak dan ukurannya. Dan di antara pohon-pohon itu, ada pula yang mengandung buah-buahan yang biar pun ada yang berwarna merah, namun merahnya juga pucat seperti dikapur.
Kwan Cu berlaku hati-hati sekali. Biar pun perutnya amat lapar dan mulutnya amat haus, tetapi dia tidak berlaku sembrono. Buah-buahan itu sangat asing baginya dan siapa tahu kalau-kalau di tempat aneh ini terdapat buah-buah yang mengandung bisa.
Sebelum makan buah itu dia menciumnya terlebih dulu, kemudian menancapkan suling pemberian Hang-houw-siauw Yok-ong ke dalam buah itu. Gurunya pernah memberi tahu bahwa suling itu selain dapat dipergunakan sebagai senjata, juga dapat digunakan untuk menguji apakah dalam sesuatu benda terdapat bisa yang berbahaya. Kalau suling yang kehijauan itu berubah hitam seperti hangus, itulah tanda bahwa buah itu mengandung racun.
Sesudah dilihatnya bahwa suling itu tidak hangus, barulah dia berani mencoba makan. Ternyata buah itu wangi dan manis, sehingga hatinya girang sekali. Juga di situ terdapat banyak binatang hutan yang rupanya seperti kijang, maka dia tidak khawatir lagi akan makanan untuk perutnya.
Betapa pun tertarik hatinya untuk mempelajari semua lukisan orang bersilat di dalam goa yang kecil gelap itu, namun Kwan Cu tidak mau melihatnya lagi. Hatinya tetap bahwa dia harus terlebih dahulu mencari kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng, sebab itulah tujuan utamanya datang mencari pulau ini.
Berhari-hari dia lalu mencari. Semua goa, dari yang besar sampai yang paling kecil dia masuki, tapi dia tidak mendapatkan tempat disimpannya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Bahkan sebulan telah berlalu dia belum juga bisa menemukan kitab itu.
Akan tetapi, Kwan Cu adalah seorang pemuda yang keras hati dan tidak mudah patah semangat. Dia yakin bahwa kitab itu tentu belum ditemukan oleh Kahano, karena kalau Kahano sudah berhasil mempelajari ilmu silat dari kitab itu, tak mungkin dia akan dapat mengalahkannya.
Ang-bin Sin-kai, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Hek-i Hui-mo, Pak-lo-sian Siangkoan Hai, Kiu-bwe Coa-li dan masih banyak tokoh-tokoh sakti dari dunia kang-ouw, semua ingin memiliki kitab itu. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa kitab itu tentulah mengandung pelajaran ilmu silat yang bukan main tingginya. Kemajuan ilmu silat Kahano dan kawan-kawannya yang diherankan oleh Malita, tentulah karena Kahano serta kawan-kawannya mempelajari sebagian dari gambar-gambar lukisan pada dinding itu.
Beberapa pekan telah berlalu pula dan tahu-tahu sudah tiga bulan Kwan Cu tinggal di pulau kosong itu. Dan belum juga dia menemukan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang dicari-carinya, biar pun sudah beberapa kali dia memasuki goa-goa yang banyak itu dan memeriksa di balik batu-batu karang yang besar.
Selama seratus hari ini Kwan Cu belum lagi mempelajari ilmu silat yang dilukis di dinding, karena kemauannya amat keras hendak menemukan kitab rahasia itu terlebih dahulu. Ia percaya penuh akan kebenaran kitab sejarah peninggalan Gui Tin dan meski pun sudah seratus hari mencari dengan sia-sia, kepercayaannya ini sama sekali tidak berkurang, bahkan dia menjadi semakin penasaran dan memaki-maki diri sendiri sebagai seorang yang bodoh dan sial.
Pada suatu hari, ketika dia mencari seekor kijang untuk dipanggang dagingnya, tiba-tiba dia melihat bayangan putih berkelebat cepat di atas tanah. Hampir saja dia tidak dapat melihat apakah yang berkelebat itu, karena gerakan bayangan ini cepat luar biasa. Akan tetapi, ketika dia mengejar ke arah itu, dia melihat seekor binatang yang rupanya seperti kelinci berbulu putih, berlari cepat sekali.
Ia menjadi tertarik. Belum pernah dia melihat binatang seindah itu bulunya. Putih bersih bagaikan kapas dan keempat kakinya yang pendek-pendek itu sangat cepat larinya. Dia mengejar sambil mengerahkan ginkang-nya, dan meski pun dia tidak atau belum dapat menangkap binatang putih itu akan tetapi binatang itu pun tidak mampu memperbesar jaraknya.
Binatang itu nampak kebingungan sekali dan segera berlari ke arah bukit batu karang yang ditumbuhi oleh pohon-pohon berdaun putih yang tidak berbuah. Kwan Cu mengejar terus. Ketika binatang itu tiba di bawah sebatang pohon di puncak bukit, pohon yang terbesar, tiba-tiba saja binatang itu lenyap!
“Ehh, ibliskah dia? Bagaimana dapat menghilang begitu saja sedangkan di sini, kecuali pohon-pohon besar ini, tidak ada tetumbuhan lainnya?” pikir Kwan Cu penasaran.
Pemuda ini mencari-cari dengan pandangan matanya, dan akhirnya dia melihat sebuah lubang di dekat pohon itu, lubang yang berada di tengah antara dua batang akar yang menonjol keluar dari permukaan tanah.
“Hemm, jadi dia bersembunyi di sini,” pikir Kwan Cu sambil tersenyum gembira.
Ia mempergunakan pedang kecil yang dahulu menjadi senjata Kahano dan disimpannya karena dia memang membutuhkan senjata itu untuk memotong sesuatu yang diperlukan. Dengan pedang yang kecil seperti pisau ini, dia menggali lubang itu dan merenggut putus dua akar yang menjepit lubang. Semakin dalam dia menggali, lubang itu semakin besar. Kegembiraan Kwan Cu membesar pula. Ini merupakan pengalaman baru baginya. Bagai mana seekor binatang yang begitu kecil bisa membuat sarang begini besar?
Kurang lebih tiga kaki dalamnya dia menggali dan tiba-tiba, ketika dia mengayun pedang itu dan ditancapkan pada tanah untuk memperdalam galian, terdengar suara keras dan pedang itu patah! Kwan Cu terkejut dan heran sekali. Dengan jari-jari tangannya dia lalu menggali tanah dan ternyata bahwa pedangnya tadi sudah memukul dinding besi yang mengeluarkan cahaya kehitaman dan kelihatannya kuat sekali!
“Apakah ini...?” katanya makin heran.
Ia menjadi makin bersemangat, menggunakan patahan pedang untuk menggali tanah di sekitar pedang besi itu dan ternyata bahwa dinding ini merupakan sebuah peti besi segi empat yang lebarnya ada satu kaki lebih. Di samping peti besi ini terdapat lubang lain yang kecil, agaknya binatang itu mempergunakan peti besi yang kuat ini untuk perisai dan tentu dia bersembunyi di dalam sebuah lubang yang digalinya tepat di bawah peti itu.
Namun Kwan Cu sudah tidak ingat lagi akan kelinci atau binatang berbulu putih yang tadi dikejar-kejarnya. Sekarang seluruh perhatiannya tercurah pada peti besi ini. Hatinya jadi berdebar-debar dan diam-diam dia berdoa kepada Thian semoga peti inilah yang akan memberi jalan kepadanya mendapatkan kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng!
Ia membawa peti besi itu ke goanya. Memang selama tiga bulan berada di situ, Kwan Cu telah memilih sebuah goa yang paling besar, goa yang tidak merupakan terowongan dan sinar matahari dapat masuk ke dalamnya, sebagai tempat tinggalnya, di mana dia dapat mengaso dan tidur.
Sesudah makan buah-buahan yang disimpan di dalam goa itu, Kwan Cu mulai mendekati peti besi dan setelah diperiksanya keadaan di luarnya sambil membersihkan tanah yang melengket di situ, dia tidak mendapatkan sesuatu tulisan. Lalu dia membuka tutup peti besi itu dengan amat hati-hati.
Hampir saja dia bersorak girang ketika melihat betapa isi peti itu memang sebuah kitab yang sudah kuning. Jelas kelihatan bahwa kitab itu terbuat dari pada sutera putih yang sudah menguning saking tuanya dan seakan-akan kitab itu akan hancur menjadi debu apa bila dipegang!
Dengan kedua tangan gemetar, Kwan Cu mengulurkan tangan hendak mengambil kitab itu, namun tiba-tiba mukanya menjadi pucat dan dia segera menarik kembali tangannya. Keringat dingin membasahi jidatnya, karena dia teringat akan kehebatan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu.
Baru kitab palsu itu saja oleh Panglima An Lu Shan sudah dipasangi racun yang sangat berbahaya hingga menewaskan seorang tokoh yang berilmu tinggi seperti Hek-mo-ong! Apa lagi kitab ini kalau benar-benar kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, tentulah yang aslinya! Siapa tahu kalau-kalau penyimpannya, yakni Liu Pang, juga menggunakan akal seperti yang telah di lakukan oleh An Lu Shan?
Kwan Cu mengeluarkan sulingnya dan beberapa kali dia menggosok-gosokkan sulingnya itu di atas kitab tua itu. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu pada suling itu dan legalah hati Kwan Cu. Ia sudah yakin bahwa kitab itu tidak dipasangi racun jahat, namun ketika dia menjamah dan mengeluarkan kitab itu dari peti, tetap saja kedua tangannya gemetar dan wajahnya tegang sekali. Siapa orangnya yang tidak akan merasa seperti itu bila mana mendapatkan kitab yang diinginkan oleh seluruh tokoh besar di daratan Tiongkok?
Kwan Cu harus berlaku hati-hati. Kitab itu sudah tua sekali dan lembaran-lembarannya yang terbuat dari pada sutera itu sudah lapuk. Maka dia meletakkan kitab itu di dalam peti lagi dan hanya berusaha membuka halaman pertama, karena pada kulit muka tidak terdapat tulisan apa-apa.
Setelah halaman pertama dibuka, dia melihat deretan huruf-huruf kuno yang sudah amat dikenalnya, yakni huruf-huruf yang dipergunakan pula untuk menuliskan Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu dan yang Gui-siucai telah mengerjakannya sampai hafal betul. Dan huruf-huruf ini juga berbunyi: IM-YANG BU-TEK CIN-KENG!
Tak terasa lagi dua titik air mata meloncat keluar dan membasahi pipi Kwan Cu. Inilah kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli!!
Dapat kita bayangkan betapa girang dan terharunya hati Kwan Cu setelah dia mendapat kenyataan bahwa kitab kuno yang dia dapatkan di atas pulau ini betul-betul adalah kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli. Kitab itu sudah diperebutkan oleh tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw, bahkan dicari-cari oleh pembesar. Dia sendiri semenjak dahulu telah merindukan kitab ini, telah ditempuhnya jalan yang amat jauh dan berbahaya. Sekarang, secara kebetulan sekali kitab itu telah berada di tangannya!
Sampai lama sekali Kwan Cu menjatuhkan diri berlutut dan bibirnya bergerak-gerak. Ia menghaturkan terima kasihnya pada Thian Yang Maha Kasih, kepada arwah Gui-siucai yang sudah membuka rahasia kitab itu kepadanya. Kemudian dengan amat hati-hati dia mulai mempelajari isi kitab.
Ia harus berlaku hati-hati sekali karena sutera yang tertulis dengan huruf kuno itu sudah sangat tua. Baru di buka lembar pertama saja, bagian pinggir yang tersentuh tangannya menjadi hancur! Bukan itu saja, bahkan bagian tengah lembaran itu yang bergerak ketika dia buka telah menjadi robek-robek.
Maka dia mengambil keputusan untuk mempelajari selembar demi selembar, sama sekali tidak berani membuka lembar berikutnya kalau lembar yang dibuka itu belum dihafalnya benar-benar. Juga ia berlaku amat sopan dan menghormat isi kitab itu yang dianggapnya sebagai kitab suci, untuk menghormat manusia sakti yang menciptanya.
Tiap kali hendak membaca kitab itu, terlebih dahulu dia berlutut sebagai penghormatan. Dan menjelang malam hari, dia kembali berlutut menghaturkan terima kasih atas segala pelajaran yang telah diterimanya pada hari itu. Hal ini dia lakukan setiap hari!
Pelajaran yang dia dapat dari lembaran-lembaran pertama adalah uraian tentang tenaga yang menggerakkan seluruh dunia, yakni tenaga Im dan Yang (Positive dan Negative). Tentang dua tenaga yang bertentangan tapi yang apa bila bersatu akan mendatangkan kekuatan dan daya penggerak di seluruh permukaan bumi ini. Dia mendapat uraian yang amat jelas dan terperinci, disertai dengan contoh-contoh. Kemudian, pada lembar-lembar berikutnya, diterangkan dengan seluasnya mengenai unsur tenaga alam yang terdiri dari ngo-heng (lima zat).
Kitab itu bukanlah kitab biasa dan untuk mempelajari isinya dibutuhkan kecerdikan yang luar biasa dan bakat yang amat besar. Kwan Cu mengerahkan seluruh tenaga otaknya dan mencurahkan seluruh perhatiannya. Tidak satu pun dilewatkannya, tidak sebaris pun kalimat dialpakannya. Semua dia telan bulat-bulat, lantas diolah di dalam otaknya yang memang cerdik.
Baiknya dia berlaku hati-hati, karena ternyata kemudian olehnya betapa setiap kali dia membalikkan lembar berikutnya, lembar yang terdahulu tergencet dan menjadi hancur! Jelasnya, setiap lembar yang sudah dipelajarinya tidak akan mungkin dibacanya kembali karena sudah rusak. Orang lain takkan dapat membaca kitab itu sesudah dia membaca habis, karena kitab itu akan merupakan kitab rusak yang hampir menjadi debu.
Pelajaran-pelajaran berikutnya merupakan uraian lengkap tentang cara mempergunakan tenaga-tenaga Im dan Yang di dalam tubuh sehingga hawa di dalam tubuh yang berupa tenaga tersembunyi itu dapat dikuasai dengan baik. Ada pula pelajaran tentang semedhi dan mengatur pernapasan, tentang cara menggugah panca indera dalam batin sehingga panca indera di tubuh menjadi kuat dan tajam.
Semua pelajaran ini disertai penjelasan-penjelasan terperinci tentang sebab-sebab dan akibatnya, sehingga amat jelas bagi Kwan Cu. Pernah dia menerima latihan semedhi dan pengerahan tenaga lweekang dari Ang-bin Sin-kai, tetapi pelajaran itu hanya merupakan pelajaran yang sudah mati, yang dilakukannya sebagai tiruan atau jiplakan belaka. Kini dia baru mengerti mengapa segala macam tenaga yang tersembunyi di dalam tubuh itu dapat timbul.
Sampai setahun lebih Kwan Cu jarang sekali keluar dari dalam goanya kalau perutnya tidak sangat lapar. Jarang pula dia tidur kalau tidak sudah amat mengantuk dan matanya tidak dapat bertahan lagi. Tubuhnya menjadi kurus kering dan matanya cekung. Setelah makan waktu satu tahun lebih, barulah selesai bagian melatih semedhi dan pernapasan yang selain dipelajari teorinya, juga dipraktekkan setiap saat.
Kemudian mulailah kitab itu mengurai tentang ilmu silat! Bukan main hebatnya. Di situ dibentangkan tentang ilmu-silat-ilmu silat yang sudah ada dan dimiliki manusia, ilmu silat ilmu silat tinggi yang dibuat partai-partai persilatan menjadi termasyhur, seperti ilmu silat dari Go-bi-pai, Kun-lun-pai, Hoa-san-pai, Bu-tong-pai dan lain-lain.
Akan tetapi, yang diajarkan di situ hanya rahasia pokok dan dasar dari semua ilmu silat itu. Ternyata pula bahwa lukisan-lukisan di dinding goa-goa dan terowongan itu adalah ilmu-ilmu silat dari berbagai cabang persilatan ini, memperlihatkan perbedaan-perbedaan yang ternyata hanya pada variasi dan kembangannya belaka. Ada pun pada dasarnya semua gerakan ilmu silat adalah serupa dan berasal dari satu sumber!
Untuk memperdalam pengertiannya, Kwan Cu meneliti semua lukisan di dinding goa-goa dan terowongan-terowongan itu, mempelajarinya dengan penuh perhatian. Sesudah dia mulai dapat menangkap apa yang disebut pokok dasar gerakan ilmu silat tinggi, matanya menjadi terbuka dan amat mudahlah baginya untuk mempelajari ilmu-ilmu silat itu.
Ia mempraktekkannya dengan melatih diri, meniru semua gerakan ilmu silat dari berbagai cabang itu. Alangkah girangnya ketika dia dapat mainkan ilmu silat-ilmu silat itu dengan amat mudahnya! Tanpa disadarinya, dia telah maju sekali dalam gerakan yang terdorong oleh tingginya tenaga lweekang dan khikang, serta tanpa terasa latihan napas selama ini telah membuat ginkang-nya istimewa sekali.
Pada suatu hari, selagi dia berlatih seorang diri di dekat pantai laut pulau kosong yang berpohon putih itu, tiba-tiba dia mendengar suara gaduh seperti dulu pernah didengarnya ketika dia mula-mula naik perahu melintasi lautan ganjil itu. Ia tidak mempedulikan suara ini dan terus saja berlatih silat berganti-ganti gerakan dan dia mainkan pelbagai ilmu silat tinggi dari Kun-lun-pai dan Bu-tong-pai.
Tiba-tiba datang angin bertiup keras sekali, dibarengi suara mendesis hebat dan air laut di tepi pantai bergelombang seakan-akan Hai-liong-ong (Raja Naga Laut) sendiri hendak keluar dari dasar laut! Akan tetapi, Kwan Cu seperti tidak mendengar semua ini dan tidak merasakan sambaran angin pohon yang begitu hebatnya, yang membuat pohon-pohon besar di pulau itu menjadi doyong.
Orang biasa saja apa bila kebetulan berada di situ, pasti akan melayang terbawa angin badai yang kuatnya bukan main itu. Akan tetapi, Kwan Cu tetap bersilat dengan penuh semangat, sama sekali tidak merasakan betapa pakaiannya sedikit demi sedikit mulai meninggalkan tubuhnya karena terbawa oleh angin. Saking kerasnya angin, pakaiannya itu mulai robek-robek dan melayang entah ke mana perginya.
Tanpa diketahui oleh Kwan Cu, air laut mulai naik menjadi gelombang besar, membuat air makin mendekati tempat dia bermain silat! Akhirnya setelah air menyentuh kakinya, barulah pemuda ini terkejut, seakan-akan air itu menyerangnya. Otomatis dia melompat untuk mengelak dan otomatis pula dia menendang ke arah air.
Air itu muncrat dan terpental saking kerasnya tenaga tendangannya. Pemuda itu kini melihat ombak besar mendarat di pantai. Makin gembiralah hati Kwan Cu.
Seperti Ang-bin Sin-kai gurunya yang suka bercanda dengan laut, dia kini menghadapi ombak, bahkan dia menerjang maju melawan ombak! Hebat sekali pemuda ini. Setiap kali ombak besar menyerangnya, bukan dia terdorong roboh, bahkan air yang terdampar kepadanya dan yang dipukul atau ditendangnya, menjadi buyar!
Akan tetapi, makin lama semakin hebatlah air menaik sehingga terpaksa Kwan Cu main mundur, terdesak oleh air yang makin lama makin dalam, siap untuk menelan tubuhnya. Lagi pula, baru sekarang dia merasa betapa tubuhnya sudah setengah telanjang, karena pakaiannya telah robek di sana sini dan ujungnya sudah hilang semua entah terbang ke mana!
Angin bertiup makin keras dan ketika memandang ke arah laut, Kwan Cu membelalakkan matanya. Laut menjadi demikian buas, dan airnya berombak-ombak tinggi disertai uap yang hitam menggelapkan langit di atas laut.
Mulai takutlah hati Kwan Cu menghadapi kekuasaan alam yang luar biasa ini. Air kini naik semakin tinggi seakan-akan hendak menelan pulau itu. Kwan Cu melompat-lompat mundur dan tiba-tiba dia terkejut setengah mati ketika tanah yang diinjaknya bergoyang-goyang, miring ke sana ke mari seakan-akan pulau itu berubah menjadi sebuah perahu yang mengambang!
“Aduh, akan kiamatkah dunia?” serunya kaget dan dia lalu berlari-lari ke goanya.
Dalam berlari ini, beberapa kali dia terhuyung-huyung dan tentu dia sudah jatuh kalau saja ginkang-nya tidak luar biasa baiknya. Sambil melompat ke kanan kiri mengimbangi goyangan tanah yang makin menghebat, akhirnya bisa juga dia sampai di dalam goanya.
Ia melihat betapa semua pohon bergoyang-goyang dan daun-daun putih rontok, namun tidak sebatang pun tumbang. Dia tahu bahwa akar-akar pohon berdaun putih itu sangat banyak dan dalam sekali, maka tidak mengherankan apa bila pohon-pohon itu demikian kuat menghadapi serangan angin yang demikian dahsyatnya.
Sampai sehari semalam Kwan Cu berdiam dalam goanya, serasa mabuk dan beberapa kali dia mau muntah-muntah. Baiknya dia cepat mengerahkan hawa di dalam tubuhnya untuk menekan perut sehingga isi perutnya tidak terlalu tergoyang oleh ‘gempa bumi’ yang tiada habisnya itu seakan-akan pulau akan meletus setiap saat!
Goa itu sendiri dindingnya sampai retak-retak, sehingga pemuda itu khawatir kalau-kalau gambar-gambar di dinding itu akan rusak dan pelajarannya terhalang karenanya. Begitu besar perhatian Kwan Cu terhadap pelajarannya sehingga dalam keadaan sehebat itu, dia sama sekali tak mengkhawatirkan keselamatan dirinya, sebaliknya mengkhawatirkan kalau-kalau pelajarannya akan terhalang atau tertunda.
Akhirnya gempa bumi itu reda dan suara ombak yang bergemuruh juga melenyap. Air tadinya telah sampai di kaki goa di mana Kwan Cu berlindung, hal ini amat mengejutkan hati Kwan Cu karena kejadian ini berarti bahwa air laut telah naik tinggi sekali.
Matahari bersinar kembali, tanah di mana dia berada tidak goyang lagi. Kwan Cu segera keluar sesudah menaruh peti kitab dan buntalan pakaiannya yang semenjak kemarin dia peluk saja, terutama peti kitab itu.
Ia melihat bekas-bekas air laut, di mana-mana basah belaka. Akan tetapi, tidak sebatang pun pohon tumbang, hal ini amat membanggakan hati pemuda ini. Betapa kuatnya pohon berdaun putih. Aku harus bisa menjadi seorang manusia sekuat dia! Tidak tumbang oleh gelombang hidup yang betapa berat sekali pun.
Akan tetapi, ketika dia tiba di pantai, dia melihat perahunya telah lenyap. Bukan itu saja, bahkan pulau-pulau kecil yang tadinya dia lihat banyak sekali ada di kanan kiri pulaunya, kini telah berubah arahnya. Ia menengok ke sana ke mari dan betapa terkejutnya bahwa goanya sekarang juga berubah letaknya.
Biasanya, matahari terbit menghadapi goanya, berarti bahwa goanya itu menghadap ke timur, akan tetapi sekarang, matahari terbit dari belakang goa. Hal ini hanya mempunyai satu arti, yaitu bahwa goanya itu telah berubah letaknya, kini menghadap ke barat!
Ataukah matahari yang sekarang muncul dari barat dan tenggelam di timur? Tidak boleh jadi, pikirnya. Dia kemudian teringat akan goncangan-goncangan pada pulaunya, maka berdebarlah hatinya. Apakah tidak bisa jadi kalau pulaunya itu yang ‘pindah’? Pulaunya hanyut terbawa ombak yang mengamuk?
Dugaan Kwan Cu yang tidak dipercayanya sendiri itu sebenarnya sangat tepat. Memang pulaunya itu telah hanyut! Pulau ini sudah terlepas dari dasar laut, dan hanya karena pohon-pohon berdaun putih itu akarnya tertanam sampai dalam sekali, berpuluh meter panjangnya, yang menolong pulau itu dari kebinasaannya.
Dengan pohon-pohon yang masih tegak di atas pulau, maka tanah pulau itu pun tidak bisa pecah-pecah dan masih merupakan pulau atau ‘perahu besar’ dari tanah dan pohon dan dengan kuatnya dapat melawan badai, sungguh pun terpaksa harus pindah tempat karena dorongan ombak yang kuat sekali.
Bukan baru satu kali itu saja pulau itu berpindah tempat, tapi sudah berkali-kali apa bila datang taufan hebat mengamuk seperti tadi. Sesungguhnya karena keistimewaan pulau ini belaka yang membuat Liu Pang menyembunyikan Im-yang Bu-tek Cin-keng di pulau itu. Calon kaisar ini maklum bahwa hanya di atas pulau itu saja maka kitab rahasia ini dapat disimpan dengan sentosa.
Ketika Kwan Cu memperhatikan pulau-pulau di sekitarnya, dia menjadi berdebar tegang. Pulau-pulau itu sekarang kelihatan gundul dan bersih, dan jumlahnya jauh berkurang dari semula, seolah-olah banyak di antaranya telah lenyap ditelan ombak. Segera ingatannya melayang kepada para raksasa, Lakayong dan puterinya Liyani, teringat pula pada Malita dan Malika dan bangsa katai itu. Bagaimana dengan nasib mereka?
Karena perahunya telah lenyap, Kwan Cu segera merobohkan sebatang pohon berdaun putih yang ia tahu batangnya amat kuat, membuangi cabang-cabang dan ranting-ranting serta daun-daunnya, kemudian mempergunakan batang pohon itu sebagai perahu! Ilmu kepandaiannya telah meningkat amat tinggi dan dengan berdiri di atas batang pohon itu yang mengambang di permukaan air, dia dapat mempergunakan cabang pohon sebagai dayung dan mendayung cepat sekali sambil berdiri!
Mula-mula dia mencari pulau tempat tinggal bangsa katai, dan sesudah dia berkeliling dengan bingung karena kedudukan pulaunya telah berubah, akhirnya dia mendapatkan pulau bangsa katai itu. Ia lalu mendarat dengan dada berdebar tegang dan tenggorokan seakan-akan tersumbat sesuatu dan kedua mata pedas menahan jatuhnya air mata.
Kwan Cu melihat betapa pulau itu telah musnah sama sekali. Bangunan-bangunan kecil semuanya hancur dan hanya tinggal bekas-bekasnya saja, semua tersapu bersih oleh air yang mengamuk. Kwan Cu memeriksa semua pulau dan hatinya semakin terharu karena tak seorang pun manusia katai selamat. Agaknya semua telah hanyut oleh air dan sudah jelas nasib mereka, pasti semua terendam di dasar laut atau masuk ke dalam perut-perut ikan-ikan besar.
Akan tetapi, saat dia melongok ke dalam sebuah goa, tiba-tiba dia melihat pemandangan yang membuat air matanya keluar bercucuran. Di dalam goa itu dia melihat Malita dan Malika, dua orang puteri katai kakak beradik itu saling peluk, dengan tubuh mereka yang terikat pada batu karang yang kuat, dalam keadaan sudah tak bernyawa lagi!
Agaknya dalam serangan ombak yang menenggelamkan pulau, mereka sudah berdaya upaya untuk menolong diri dengan mengikatkan diri sendiri pada batu karang dan saling berpelukan. Akan tetapi mereka tewas karena tenggelam di dalam air yang menaik tinggi sampai menutupi semua pulau itu!
“Malita... Malika... kasihan kalian ...” kata Kwan Cu yang cepat melepaskan tubuh mereka dari ikatan. Tubuh kedua orang gadis katai itu tidak kaku, akan tetapi sudah dingin sekali.
Tiba-tiba saja dia mendengar suara burung mayat yang beterbangan di pantai sebelah selatan.
“Tentu di sana terdapat korban lain,” pikirnya.
Ia lalu berlari menuju ke pantai itu dengan maksud mengumpulkan korban-korban untuk dikubur bersama. Akan tetapi alangkah terkejut hatinya ketika dari jauh dia melihat tubuh seorang raksasa terbujur di pantai! Ketika dia berlari cepat dan sampai di tempat itu, dia terbelalak memandang kepada jenazah seorang wanita raksasa yang bukan lain adalah Liyani!
“Liyani...!” Kwan Cu cepat melompat dan berlutut untuk memeriksa.
Tubuh yang sudah hampir telanjang itu ternyata sudah tidak bernapas lagi, mati seperti Malita dan Malika. Dengan hati tidak karuan rasa, teringatlah Kwan Cu akan pengalaman dirinya ketika dia berada di pulau raksasa. Gadis raksasa ini suka kepadanya, dan kini, gadis yang baik hati ini telah tewas dalam keadaan yang amat memilukan hati.
“Liyani... agaknya kau dan bangsamu juga musnah oleh amukan laut mengganas...!”
Tanpa kesulitan Kwan Cu segera memondong tubuh Liyani yang tinggi besar itu, karena sejak mempelajari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, tenaga pemuda ini sudah meningkat luar biasa sekali. Lalu dia membawa pulang tiga jenazah itu dengan perahu ke pulaunya.
Ia menggali lubang yang dalam dan lebar, kemudian menurunkan tiga jenazah yang jauh lebih besar ukuran tubuhnya itu ke dalam lubang. Sampai lama dia memandang kepada tiga mayat itu.
Dia melihat betapa keadaan Malita dan Malika masih cantik, pakaian mereka masih rapi dan rambut mereka masih tergelung indah. Akan tetapi keadaan Liyani amat memilukan hati. Tubuhnya hampir telanjang dan gelung rambutnya terlepas, agaknya cukup lama ombak mempermainkannya sehingga dari pulau raksasa yang begitu jauh dia terdampar ke pulau bangsa katai.
Kwan Cu teringat akan tusuk konde yang dahulu dia terima dari Liyani, maka cepat dia berlari ke dalam goanya, mengambil tusuk konde itu dari buntalan pakaiannya kemudian kembali ke dalam lubang kuburan. Dengan hati penuh belas kasihan, dia lalu merapikan rambut Liyani yang digelungnya baik-baik dan sedapat-dapatnya lalu dipasangnya tusuk konde itu di rambut gadis raksasa ini. Tiga orang gadis yang sudah menjadi mayat itu diletakkan telentang berjajar, Liyani di sebelah kiri. Malita di tengah dan Malika di sebelah kanan.
Ketika dia hendak menutupi lubang itu dengan tanah, hatinya tidak tega, maka dia cepat mengumpulkan daun-daun putih yang rontok dan banyak sekali terdapat di pulau itu, dan dengan daun-daun ini dia menutupi tiga jenazah itu sampai tidak kelihatan lagi. Setelah timbunan daun itu cukup tebal, barulah dia menutupnya dengan tanah sampai bergunduk tinggi dan di tanamnya sebatang pohon berdaun putih yang masih kecil di atas gundukan tanah kuburan ini.
Baiknya pulau berpohon putih itu tidak terbinasa oleh taufan dan ombak laut. Kalau saja terjadi demikian, biar pun andai kata Kwan Cu dapat menyelamatkan diri, dia tentu akan kelaparan pula. Namun ternyata bahwa semua binatang di pulau itu hanya mengalami kekagetan saja, dan mereka masih sempat menyembunyikan diri ke dalam goa-goa yang banyak terdapat di pulau itu.
Semenjak saat itu, Kwan Cu, lebih prihatin. Kedukaan dan keharuan hatinya melihat dua bangsa manusia yang aneh sekali itu yakni bangsa raksasa dan bangsa katai, termusnah oleh kekuasaan alam, membuat dia semakin yakin akan kekuasaan alam yang dalam sekejap mata dapat memusnahkan dua bangsa manusia.
Apa daya manusia terhadap kekuasaan alam? Kurang apakah kehebatan dan kekuatan bangsa raksasa itu? Namun mereka tidak berdaya menghadapi bencana yang dilakukan olah alam maha kuasa. Kurang bagaimana sederhana dan suci kehidupan bangsa katai itu? Mereka jauh lebih mulia dan suci hidupnya apa bila dibandingkan dengan manusia biasa, dan kalau pun mereka pernah membuat dosa, agaknya dosa itu tak sebesar dosa yang biasa di lakukan oleh manusia seperti bangsa Kwan Cu, akan tetapi kalau alam menghendaki, bangsa yang suci ini pun dapat dimusnahkan!
Kenyataan ini membuat Kwan Cu semakin tunduk kepada kekuasaan alam yang berada dalam tangan Thian Yang Maha Kuasa dan Sakti. Apa lagi sesudah dia semakin tekun mempelajari ilmu dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, terbukalah matanya.
Kitab ini tidak saja mengajarkan ilmu silat-ilmu silat yang tinggi-tinggi, bahkan memberi pelajaran mengenai pokok-pokok dasar semua ilmu silat dan pergerakan tubuh manusia dalam pertempuran, akan tetapi juga berisi filsafat-filsafat kebatinan yang sangat tinggi.
Filsafat kebatinan ini condong kepada aliran Lo Cu yang menyatakan bahwa makin tinggi kepandaian seseorang, maka semakin terbukalah matanya bahwa semua yang di sebut ‘kepandaian’ itu sebenarnya hanyalah kosong belaka! Makin terbuka mata orang akan kekuasaan alam, makin terasalah olehnya betapa kecil tak berarti adanya dirinya, betapa menggelikan dan tiada harganya segala macam kepandaian yang dimiliki manusia!
Oleh karena itu, makin dalam pengetahuan Kwan Cu, dan makin lama dia mempelajari ilmu dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, makin sederhana jiwanya dan makin pendiam wataknya. Ia merasa seakan-akan dia bukan sedang mempelajari ilmu kepandaian, akan tetapi mempelajari ilmu pengertian untuk menemukan diri sendiri dan untuk mengenal sifat-sifat manusia yang ada pada dirinya.
Tanpa disadarinya, dia telah mendapatkan ilmu yang sangat tinggi, mendapatkan semua dasar-dasar dari segala pergerakan ilmu silat yang semuanya harus berdasarkan kepada tenaga Im dan Yang. Akan tetapi dengan sadar dia sekarang bisa melihat betapa semua pengetahuannya adalah kosong belaka dan membuat dia tidak berani menyombongkan kepandaian, karena segala kepandaian manusia dipelajari dari otak, sedangkan siapakah penggerak otak manusia?
Kalau Yang Maha Kuasa mencabut tenaga dan kegunaan otak, habislah semua yang dianggap oleh manusia sebagai ‘kepintaran’ itu! Bahkan lebih hebat lagi jika Yang Maha Kuasa menghentikan napas yang keluar masuk tanpa disengaja oleh manusia, karena akan lenyaplah wujud yang disebut manusia! Apakah makhluk yang begini lemah, yang mengandalkan hidup dan keadaannya dari pengaruh alam, patut menyombongkan diri dan menganggap diri sendiri pandai? Menggelikan sekali!
Sang waktu berlalu cepat sekali tanpa dirasakan oleh manusia. Setiap lembar dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, dipelajari Kwan Cu sedikitnya seminggu berikut prakteknya dan dua tahun kemudian, tamatlah buku ini di pelajarinya.
Itu pun baru merupakan setengah dari pada kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, yakni bagian latihan tenaga lweekang dan bagian ilmu silat saja. Ketika dia menamatkan bagian ilmu silat dan hendak mulai membuka lembaran atau bagian ilmu perang, ternyata bahwa bagian ini sudah lengket menjadi satu dan kalau dipaksa dibuka, lembaran-lembaran itu akan hancur! Di bagian paling bawah terdapat lembaran tentang ilmu pengobatan, juga halaman-halaman ini tidak dapat dibuka.
Namun, setelah menamatkan bagian ilmu silat, Kwan Cu sudah tiada nafsu lagi untuk mempelajari bagian lain. Untuk apakah bagian segala pengetahuan tentang ilmu perang? Dia benci akan perang yang hanya merupakan penyembelihan antara sesama manusia, lepas dari pada persoalan yang menimbulkan perang itu sendiri.
Ada pun tentang ilmu pengobatan, memang tadinya dia ada hasrat untuk mempelajarinya dan menjadi agak kecewa ketika melihat bagian ini tidak mungkin dibaca lagi. Akan tetapi pengetahuannya yang mulai mendalam mengenai garis-garis hidup membuat dia berpikir bahwa betapa pun pandai seseorang mengobati orang sakit, bila Thian tak menghendaki, si sakit itu takkan tertolong juga!
Sembuh tidaknya seorang penderita penyakit memang tergantung dari pengobatan, hal ini dia percaya sepenuhnya. Namun baginya, mati hidupnya seorang sama sekali bukan tergantung dari pengobatan. Apa bila Thian menghendaki nyawa seseorang, walau pun seribu orang dewa datang menolong, orang itu pasti akan mati juga!
Karena kini kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng sudah tidak dapat dipergunakan lagi, yakni bagian depan setelah dia baca telah menjadi hancur dan robek-robek sedangkan bagian belakang telah lengket-lengket tak dapat dibuka, maka Kwan Cu lalu mengubur kitab itu berikut petinya, di dekat makam tiga orang gadis, yakni Liyani, Malita dan Malika.
Juga di atas ‘kuburan’ kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng ini dia letakkan tanda batu karang besar. Kemudian dengan telunjuknya dia mencoret-coret batu karang itu dan... bukan main hebatnya, ternyata bahwa di atas batu karang yang keras itu telah terdapat tulisan tangan yang amat jelas. Tulisan itu berbunyi seperti berikut:
‘Teecu Lu Kwan Cu telah menerima petunjuk dan selamanya teecu akan mentaati semua pelajaran yang teecu terima serta bersumpah untuk mempergunakan segala pelajaran demi kebaikan dan perikemanusiaan.’
Kurang lebih sebulan kemudian, nampak pemuda itu membawa buntalannya, menyeret perahu buatannya sendiri, menuju ke air laut yang tenang. Ia meluncurkan perahu ke air, melompat ke dalam perahu sambil memegang dayung, lalu mendayung perahu itu ke tengah samudera.
Tidak lama kemudian, dia menghentikan gerakan tangannya yang mendayung perahu, menengok ke arah pulau itu. Semua kelihatan jelas, bahkan pohon yang tumbuh di atas makam Liyani, Malita dan Malika kini sudah tinggi. Juga batu karang yang ditulisinya itu kelihatan dari perahunya.
Segala pengalaman selama tiga tahun di atas pulau itu terbayanglah. Basah kedua mata Kwan Cu dan dia cepat menyusutkan dengan ujung lengan bajunya yang sudah kumal. Kemudian dia menarik napas panjang dan mendayung perahunya lagi.
Tak lama kemudian dia sudah memasangkan layar yang dibuatnya dari pakaiannya yang disambung-sambung, dan meluncurlah perahu itu cepat sekali menuju ke utara, ke arah daratan tanah Tiongkok. Tak seorang pun di daratan Tiongkok tahu bahwa pada saat itu, seorang pemuda yang telah mewarisi kepandaian luar biasa dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, seorang pendekar yang sakti, sedang menuju ke daratan Tiongkok, dan akan terjadilah sejarah baru dalam dunia kang-ouw.....
********************
Selanjutnya baca
PENDEKAR SAKTI : JILID-09