Kemelut Kerajaan Mancu Jilid 13


Kini barulah Im-yang Sian-kouw sempat berhadapan dengan Huang-ho Sian-li. Sesudah membiarkan Si Han Bu pergi mencari Tek-pai dan Huang-ho Sian-li membawa Pangeran Cu Kiong naik ke atas menara sehingga gadis perkasa itu berhasil mengakhiri perang dan membuat semua prajurit pemberontak menyerahkan diri, Im-yang Sian-kouw memandang gadis itu dengan sinar mata penuh kagum. Pangeran Cu Kiong sudah diserahkan kepada panglima untuk ditahan dalam penjara.

“Nona, ketika mula-mula aku tiba di kota raja lantas mendengar akan nama besar Huang-ho Sian-li, aku masih belum percaya bahwa ada seorang gadis yang masih muda seperti engkau ini selain memiliki ilmu kepandaian yang lihai sekali, juga dapat bersikap tegas dan bijaksana seperti seorang panglima perang! Nona, siapakah gurumu?”

“Guruku bernama Thian Bong Sianjin, Bibi. Akan tetapi ilmu kepandaianmu lebih hebat lagi, Bibi Im-yang Sian-kouw, bahkan kalau tidak ada muridmu Si Han Bu yang menolong aku keluar dari tahanan, mungkin sekarang aku sudah mati.”
“Aih, hal itu tidak perlu dibicarakan lagi, Nona. Sudah semestinya orang-orang segolongan dan sehaluan saling membantu tanpa pamrih. Eh, apa artinya ucapan Pangeran Cu Kiong itu? Benarkah bahwa engkau... mencintanya? Maafkan pertanyaanku ini karena sungguh aku merasa bingung mendengarnya. Apa hubunganmu dengan pangeran pemberontak itu?”

Huang-ho Sian-li tersenyum menarik napas panjang. “Sebetulnya kami masih merupakan saudara sepupu, Bibi. Dia itu putera Pamanda Kaisar Shun Chi, sedangkan aku adalah puteri seorang pangeran....”

“Wah! Kiranya engkau ini puteri pangeran? Ahh, pantas kalau begitu. Siapakah ayahmu, kalau aku boleh mengetahui?” Dalam suara Im-yang Sian-kouw terdengar getaran aneh dan sinar matanya kini dengan tajam penuh selidik menatap wajah Thian Hwa.

“Ayahku bernama Ciu Wan Kong, seorang adik Kaisar Shun Chi.... ehh, kenapa Bibi...?” Thian Hwa hampir saja meloncat untuk menangkap tubuh Im-yang Sian-kouw yang tiba-tiba terhuyung dan wajahnya tampak pucat sekali.

Siapa yang akan mampu bertahan mendengar pengakuan seorang gadis cantik jelita dan gagah bahwa gadis itu adalah puteri suaminya? Akan tetapi Im-yang Sian-kouw adalah seorang wanita gemblengan yang sudah banyak mengalami peristiwa yang sangat hebat sehingga batinnya telah menjadi kuat. Ia pun tersenyum, lalu memandang Thian Hwa dan menggelengkan kepalanya dengan lembut.

“Tidak apa-apa... tidak apa-apa... engkau... ehh, siapakah namamu, anak yang baik?”
“Namaku Ciu Thian Hwa, Bibi.”

Im-yang Sian-kouw terdiam sejenak. Dia sengaja tidak mengeluarkan suara lagi karena jantungnya berdebar kencang dan ia tahu bahwa sekuat-kuat hatinya, pada saat itu tetap saja suaranya akan terdengar gemetar penuh perasaan haru dan sangsi.

Ya, dia masih sangsi bahkan tidak percaya akan dugaannya yang muncul bahwa gadis ini adalah puterinya! Tidak, ini tidak mungkin! Pasti anak ini merupakan keturunan lain dari Pangeran Ciu Wan Kong, atau tentu ada keterangan lain. Sama sekali tak mungkin gadis ini adalah anaknya yang ketika masih bayi bersama ia dan ayahnya hanyut terbawa arus air Sungai Kuning yang demikian dahsyatnya.

“Engkau kenapa, Bibi?” kembali Thian Hwa bertanya melihat wanita itu kini hanya diam saja termenung.
“Thian Hwa, maukah engkau memperkenalkan aku dengan keluargamu?” tanyanya lirih.
“Tentu saja, Bibi! Murid Bibi itu pun sudah bertemu dengan ayahku. Mari, Bibi, kita pergi ke rumah Ayah, akan tetapi harap maklum, aku tadi mendengar kabar bahwa rumah Ayah sudah dirampok dan dibakar oleh gerombolan pemberontak. Ayah sudah mendahului ke sana untuk memeriksa dan membereskannya.”

Im-yang Sian-kouw tidak banyak bicara lagi dan kedua kakinya bergerak cepat, bagaikan melayang ia meninggalkan tempat itu. Thian Hwa cepat mengejarnya dan gadis ini sampai lupa dan tidak memperhatikan bahwa wanita cantik itu langsung menuju ke arah rumah ayahnya! Tentu saja hal ini tidak aneh karena Im-yang Sian-kouw yang dulu bernama Cui Eng itu sudah hafal akan letak rumah Pangeran Ciu Wan Kong yang juga menjadi tempat tinggalnya!

Setelah tiba di depan gedung tempat tinggal Pangeran Ciu Wan Kong, Im-yang Sian-kouw berhenti dan berdiri dengan hati diliputi keharuan. Tentu saja dia mengenal benar rumah besar itu, di mana ia tinggal sejak kecil sampai menjadi dewasa, bekerja sebagai pelayan, kemudian menjadi kekasih Pangeran Ciu Wan Kong.

Pot-pot bunga seruni yang berjajar di depan gedung itu masih berdiri dan pada saat itu sedang berbunga. Akan tetapi di bagian kanan rumah itu terdapat bekas terbakar, hangus dan barang-barang berserakan. Ia melihat banyak prajurit sedang membersihkan tempat itu.

“Bibi, biar aku mencari Ayah dan memberi-tahukan akan kedatanganmu,” kata Thian Hwa.

Im-yang Sian-kouw tidak menjawab, masih berdiri seperti patung memandang rumah itu.

Thian Hwa berlari memasuki gedung dan ia menemukan ayahnya sedang mengumpulkan barang-barang berharga yang dapat diselamatkan dari kebakaran, menyusunnya di dalam kamar ayahnya, dibantu oleh Cui Sam, kakeknya.

“Ayah! Kong-kong!”
“Thian Hwa, rumah ayahmu dirampok dan dibakar jahanam-jahanam itu!” kata Kakek Cui Sam gemas.
“Ah, tidak mengapa. Ini masih baik karena bagaimana pun juga pihak pemberontak sudah berhasil dihancurkan. Bukan begitu, Thian Hwa?” kata Pangeran Ciu Wan Kong dengan wajah gembira.

Dia tadi mendengar akan sepak terjang puterinya yang hebat mengagumkan, yang sudah menawan Pangeran Cu Kiong lantas membawanya ke puncak menara di mana dengan gagah beraninya Thian Hwa berhasil membuat para sisa pemberontak membuang senjata dan menakluk! Perbuatan itu amat hebat sehingga menjadi buah bibir dan pujian seluruh rakyat.

“Harta benda yang hilang bisa dicarikan penggantinya, yang terpenting adalah nama dan kehormatan keluarga. Dan engkau telah menjunjung tinggi sekali nama serta kehormatan keluarga kita, Anakku!” kata pula Pangeran Ciu Wan Kong.

“Ayah, aku datang bersama seorang tamu.”
“Ehh? Mana tamunya? Siapa?”
“Bibi Im-yang Sian-kouw, Ayah.”
“Im-yang Sian-kouw?” Tanya pangeran itu ragu karena merasa tidak mengenal nama itu.
“Hemm, agaknya Ayah telah lupa lagi akan keterangan pemuda bernama Si Han Bu itu.”

“Si Han Bu...? Ahh, tentu maksudmu guru Si Han Bu yang katanya tahu di mana adanya ibumu itu? Ahh, cepat persilakan dia masuk ke sini, Thian Hwa.” Lalu dia berkata kepada Cui Sam. “Gak-hu (Ayah Mertua), marilah kita bersihkan dan persiapkan tempat ini untuk menerima tamu kita. Dia akan memberi-tahu tentang Cui Eng!” kata Pangeran Ciu Wan Kong dan mereka berdua segera sibuk membereskan ruangan tamu untuk menyambut Im-yang Sian-kouw.

Baru saja mereka selesai membersihkan kamar tamu yang tidak turut terbakar itu, Thian Hwa dan Im-yang Sian-kouw sudah muncul di ambang pintu.

“Ayah, inilah Bibi Im-yang Sian-kouw yang telah menyelamatkan nyawaku pada saat aku terancam oleh Lam-hai Cin-jin!” kata Thian Hwa.

Pangeran Ciu Wan Kong sedang memegang sebuah vas kembang dan membersihkannya dari debu. Dia memutar tubuh memandang dan...

“Pyarrrrr...!”

Vas itu terlepas dan terjatuh pecah berkeping-keping di atas lantai. Dia berdiri bengong terlongong dengan wajah pucat. Thian Hwa terkejut, memandang Im-yang Sian-kouw dan melihat betapa wanita itu menundukkan mukanya yang pucat dan perlahan-lahan butiran air mata menuruni kedua pipinya!

“Cui Eng...! Cui Eng... Ya Tuhan... benar-benar engkaukah ini...? Aih, Cui Eng, isteriku...!” Suara ini terdengar menggigil, bahkan kedua lengan pangeran itu pun menggigil.

“Pangeran....” suara Im-yang Sian-kouw lirih dan sesenggukan.
“Cui Eng...! Engkau benar Cui Eng-ku...!” Mendadak Pangeran Ciu Wan Kong tersaruk-saruk maju lalu menjatuhkan diri berlutut di depan wanita itu! “Cui Eng, ampunkan aku... Aku demikian lemah sehingga tidak berani menentang kehendak orang tuaku... aku telah berdosa padamu, telah membuat hidupmu, hidup Gak-hu (Ayah Mertua) dan hidup anak kita menderita... ampunkan aku, Cui Eng....”

Im-yang Sian-kouw menahan perasaan harunya. “Pangeran, bangkit dan berdirilah. Kalau engkau menyadari bahwa dulu engkau amat lemah, mengapa sekarang tidak berubah dan masih amat lemah?”

“Cui Eng... terima kasih engkau telah kembali....”
“Berdirilah, Pangeran. Dengar, aku tidak ingin kembali kepadamu yang sudah mengusirku. Aku hanya datang untuk mendengar tentang ayah dan anakku....”
“Cui Eng, aku di sini...” Cui Sam yang sejak tadi hanya melongo saja di sudut ruangan, kini maju menghampiri puterinya.
“Ayah...!” Cui Eng berseru dan ia segera berlutut di depan kaki Cui Sam. Kakek itu cepat mengangkatnya dan mereka pun berangkulan sambil menangis.
“Cui Eng, inilah anak kita, Ciu Thian Hwa. Thian Hwa, cepat beri hormat kepada ibumu!” kata Pangeran Ciu Wan Kong yang sudah bangkit berdiri.

Semenjak tadi Thian Hwa berdiri dengan muka pucat, tak bergerak seperti patung. Sama sekali ia tidak pernah menduga bahwa Im-yang Sian-kouw adalah Cui Eng ibunya!

Bagaimana ia dapat menduganya? Ia mendengar dari kakek dan ayahnya bahwa Cui Eng adalah seorang wanita lemah yang sama sekali tidak mengerti ilmu silat. Sedangkan Im-yang Sian-kouw merupakan seorang wanita yang demikian sakti! Maka biar pun ayahnya menyuruh ia memberi hormat kepada Im-yang Sian-kouw sebagai ibunya, ia masih ragu-ragu dan hanya memandang dengan sinar mata mencorong penuh selidik.

Sebaliknya Im-yang Sian-kouw juga belum bisa menerima dan percaya begitu saja bahwa Huang-ho Sian-li adalah anak kandungnya yang dulu belum dia beri nama ketika terlepas dari pondongan dan hanyut dalam Sungai Kuning.

“Pangeran Ciu Wan Kong dan Ayah, harap jangan membohongi aku. Bagaimana mungkin anak ini adalah anakku yang ketika masih bayi hanyut di Sungai Huang-ho? Bagaimana mungkin...?” Suara wanita itu kini tergetar mengandung isak.

Tiba-tiba Cui Sam berkata dengan suara seorang ayah yang sedang marah dan menegur puterinya. “Cui Eng! Jangan berkeras hati karena dendam kebencian! Ketahuilah bahwa Ciu Wan Kong juga menderita, bahkan tak kalah menderitanya dibandingkan kita! Bahkan dia tidak pernah menikah dan telah dikenal sebagai orang yang sinting karena duka akibat memikirkan dirimu! Panjang ceritanya bagaimana anakmu ini dapat selamat bahkan kini menjadi seorang pendekar wanita. Tapi apa anehnya? Dulu engkau sendiri juga seorang wanita lemah. tetapi kini telah menjadi seorang wanita sakti. Pandanglah baik-baik, andai kata pikiranmu yang penuh dendam pada Pangeran Ciu itu mencoba untuk menyangkal, pandanglah muka Ciu Thian Hwa! Tidakkah engkau dapat melihat, apakah matamu telah buta untuk dapat melihat betapa anakmu ini memiliki wajah yang seperti kembar dengan wajahmu? Thian Hwa, inilah Cui Eng, ibumu yang selama ini kau rindukan!”

Mendengar ucapan Cui Sam yang marah itu, bagaikan bendungan air pecah kedua orang wanita itu mengeluarkan rintihan jerit hati dan mereka tersedu-sedu lalu entah siapa yang lebih dulu, mereka saling tubruk dan saling rangkul.

Dua orang wanita ini hampir tidak dapat mengeluarkan suara.
“Ibu...!”
“Anakku... Anakku...!”

Keduanya menangis tersedu-sedu, bagai air bah yang membanjir setelah bendungannya bobol. Im-yang Sian-kouw merangkul, menciumi muka Thian Hwa yang basah dengan air mata mereka, lalu menekan muka anaknya itu pada dadanya seperti seorang ibu hendak menyusui bayinya.

Dapat dibayangkan betapa mendalam rasa haru di dalam dada hati dua orang wanita itu. Keduanya sama sekali tak pernah menyangka bahwa mereka akan dapat saling bertemu. Thian Hwa yang sejak bayi terpisah dari ibunya dan ditemukan Thian Bong Sianjin hanyut di air Sungai Huang-ho, menganggap ibunya tentu sudah tewas. Demikian pula Cui Eng, seujung rambut pun tidak pernah mengira bahwa anaknya yang masih bayi dapat selamat dari air sungai yang besar dan ganas itu.

Keharuan yang mendalam timbul dari perasaan duka, sakit hati, juga rasa bahagia yang luar biasa. Selama ini Cui Eng atau Im-yang Sian-kouw tidak mau pergi ke kota raja untuk menemui suaminya karena dia merasa sakit hati sekali atas pengusiran terhadap dirinya. Rasa dendamnya muncul terutama sekali karena ia kehilangan anaknya. Ia menganggap bahwa Pangeran Ciu Wan Kong telah memusnahkan semua kebahagiaannya, membunuh anaknya dan membunuh ayahnya, membuat ia merana dan hampir mati kalau saja tidak ditolong Bu Beng Kiam-sian.

Betapa pun hebatnya perasaan haru mencekam perasaan hati Huang-ho Sian-li dan Im-yang Sian-kouw, namun mereka berdua adalah wanita-wanita yang gagah perkasa dan sudah tergembleng lahir batinnya sehingga selain tenaga badan mereka amat kuat, juga tenaga batin mereka kokoh sehingga tidak mudah dilumpuhkan perasaan sendiri.

Tidak lama kemudian keduanya sudah dapat menguasai hati dan ketenangan mereka. Im-yang Sian-kouw melepaskan rangkulannya kepada puterinya lalu menghampiri Cui Sam, dan dia pun menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ayahnya itu.

“Ayah...!”

Cui Sam membungkuk dan merangkul puterinya, ditariknya agar berdiri dan kakek ini pun memandang puterinya dengan sepasang mata basah.

“Cui Eng, alangkah bahagianya kita sekeluarga dapat bertemu dan berkumpul kembali seperti ini....”

“Apa yang dikatakan Gak-hu memang betul, Eng-moi... sekarang tak ada lagi penghalang bagi kita untuk hidup bersama dengan bahagia, sekeluarga menjadi satu dan tidak akan terpisah lagi,” kata Pangeran Ciu Wan Kong.

Tetapi Im-yang Sian-kouw memandang wajah pangeran itu dengan sinar mata mencorong dan mulut bergaris keras. “Pangeran Ciu Wan Kong, bagaimana mungkin aku dapat hidup bersamamu lagi sesudah apa yang kau lakukan terhadap aku dan keluargaku dua puluh tahun yang lalu,? Tidak, aku tidak mau!”

Cui Sam, Thian Hwa, dan terutama sekali Pangeran Ciu Wan Kong terkejut bukan main mendengar ucapan yang keras dan tegas penuh kepahitan dari Im-yang Sian-kouw. Tapi ucapan itu sekaligus menikam perasaan Pangeran Ciu Wan Kong seperti ujung sebatang pedang ditusukkan ke ulu hatinya.

“Cui Eng, engkau jangan berkata begitu! Aku menjadi saksinya bahwa yang mengusir kita dulu adalah orang tua Pangeran Ciu, bukan dia. Dia hanya terlampau taat kepada orang tuanya dan tidak berani menentang kehendak mereka. Dan aku pun tahu betapa dia amat menderita. Dia tidak pernah menikah dan...” kata Cui Sam.
“Aihh, Eng-moi, sekarang aku mengerti...!” Pangeran Ciu Wan Kong tiba-tiba memotong. “Aku memang tidak pernah menikah, akan tetapi engkau... mungkin saja engkau… sudah menikah dengan laki-laki lain....” Suaranya terdengar sedih sekali.
“Huh, memikirkannya juga aku tidak pernah!” bentak Im-yang Sian-kouw.

Tiba-tiba Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa merangkul ibunya dan menangis. “Ibu... Ibu... selama aku hidup baru sekarang ini aku ingin memohon sesuatu kepada ibuku. Ibu, aku mohon sukalah kiranya Ibu mengasihani dan memaafkan kelemahan Ayah dahulu, sudilah Ibu kembali kepada Ayah dan hidup bersama kami, Ibu....”

“Memaafkan manusia yang kejam ini? Manusia yang begitu angkuh akan kedudukan dan keturunan, yang memandang rendah rakyat kecil dan miskin seperti aku ini? Memaafkan manusia yang telah menghancurkan hidupku dan yang membuat Ibu Anak dan kakekmu menderita hingga hampir tewas? Dan engkau yang sejak kecil dipisahkan dari ayah ibumu dan kakekmu, yang bahkan tidak sempat diberi nama oleh ibumu, engkau yang sudah digembleng hingga menjadi seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, engkau malah membujuk aku untuk memaafkan manusia yang jahat ini?”

Thian Hwa menjatuhkan diri berlutut dan menciumi kaki ibunya.....
“Harap Ibu dengarkan dulu kesaksianku. Ketika pertama kali aku mendengar cerita Kakek Cui Sam tentang apa yang Ibu alami di keluarga Ciu, aku juga marah bahkan mengambil keputusan untuk membantai keluarga Ciu yang dulu mengusir Ibu. Akan tetapi, orang tua Ayah, yaitu mereka yang dulu mengusir Ibu, telah tiada. Aku marah kepada Pangeran Ciu Wan Kong dan bermaksud menghajarnya. Akan tetapi ketika aku tiba di sini dan melihat Ayah meratapi dan menangisi gambar Ibu seperti orang yang hilang ingatan, aku sadar bahwa Ayah bukanlah orang jahat. Dia hanya lemah dan tidak berani menentang orang tuanya. Ibu, jahatkah orang yang taat dan tidak mau menentang Ayah Ibunya? Memang Ayah lemah, akan tetapi sama sekali tidak jahat. Selain itu, aku berani memastikan bahwa Ayah amat mencinta Ibu, semenjak dahulu sampai sekarang. Oleh karena itu, sekali lagi, Ibu kembalilah kepada Ayah. Aku ingin sekali melihat Ayahku dan Ibuku hidup rukun dan saling mencinta. Apa lagi Kakek Cui Sam juga sudah berada di sini, Ibu. Kita semua dapat menjadi sebuah keluarga lengkap yang hidup berbahagia.”

Dengan air mata bercucuran Pangeran Ciu Wan Kong kini berlutut pula di dekat puterinya. “Eng-moi.... kalau engkau tidak mau memaafkan aku... kalau engkau memang demikian sakit hati kepadaku, aku mohon maaf... bunuhlah aku supaya aku dapat menebus semua kesalahanku kepadamu....”

Sebenarnya Im-yang Sian-kouw Cui Eng tak pernah membenci suaminya ini. Ia memang menderita sakit hati yang hebat, akan tetapi bukan kepada suaminya melainkan kepada kedua mertuanya yang sekarang telah tiada. Ia tahu bahwa suaminya amat mencintanya dan ia pun selalu mencinta suaminya.

Kini melihat suaminya, anaknya, juga ayahnya semua memintakan maaf atas kelemahan suaminya, dan melihat suaminya berlutut minta dibunuh, hatinya menjadi cair dan dengan air mata bercucuran ia membangunkan suaminya.

“Bangkitlah, Pangeran, tidak baik seorang suami berlutut di kaki isterinya. Aku... aku telah memaafkan semua kelemahanmu dahulu.”

Empat orang itu bertangis-tangisan, namun tangis terakhir ini adalah tangis kebahagiaan. Sesudah luapan keharuan mereka mereda, Pangeran Ciu Wan Kong lalu memerintahkan pelayan untuk menyiapkan pesta makan keluarga dan mereka lalu makan minum dengan gembira menyambut persatuan kembali keluarga itu.

Setelah selesai makan barulah mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing. Pangeran Ciu Wan Kong tidak mengalami banyak hal, selama itu dia seakan mati walau pun jasmaninya masih hidup. Ia tidak melakukan kegiatan apa pun, hanya menyesali dan menangisi kepergian Cui Eng serta anaknya. Baru sesudah muncul Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa dalam hidupnya, gairah hidupnya bangkit kembali dan ia bahkan terlibat dalam urusan menghadapi para pangeran yang memberontak. 

Kemudian Kakek Cui Sam menceritakan pengalamannya. Ketika mereka bertiga, Kakek Cui Sam, Cui Eng, dan bayinya yang sedang pergi menuju dusun tempat asal mereka, terbawa hanyut air Sungai Huang-ho yang deras, dia kehilangan puteri dan cucunya. Dia sendiri berhasil menyelamatkan diri dan dalam keadaan sengsara dia kembali ke kota raja lalu diterima sebagai pelayan di istana Pangeran Cu Kiong sampai dia bertemu dengan Ciu Thian Hwa yang segera dikenalnya karena wajah gadis itu persis wajah puterinya, Cui Eng. Kemudian betapa akhirnya dia dibawa Thian Hwa untuk tinggal bersama Pangeran Ciu Wan Kong, mantunya.

Ketika giliran Ciu Thian Hwa tiba, gadis ini menceritakan semua pengalamannya dengan panjang lebar. Karena sebelumnya Kakek Cui Sam dan Pangeran Ciu Wan Kong sudah pernah mendengar kisahnya, maka yang amat memperhatikan dan mendengarkan dengan hati tertarik sekali adalah Im-yang Sian-kouw. Thian Hwa bercerita betapa ketika ia yang masih bayi terseret oleh air Sungai Kuning, lalu dia diselamatkan oleh Thian Bong Sianjin dan akhirnya menjadi muridnya.

“Aihh, kiranya engkau adalah murid Thian Bong Sianjin? Aku pernah mendengar namanya disebut oleh mendiang guruku, Bu Beng Kiam-sian!” seru Im-yang Sian-kouw girang dan kagum. Pantas puterinya menjadi seorang pendekar wanita yang amat terkenal, kiranya ia menjadi murid, bahkan dirawat dan dibesarkan oleh tosu itu.
“Dan diakah yang memberimu nama Thian Hwa?”
“Benar, Ibu. Kong-kong (Kakek) atau Suhu-ku itu memberiku nama Thian Hwa.”
“Dan julukan Huang-ho Sian-li itu?”

Wajah Thian Hwa berubah kemerah-merahan. “Ah, itu hanya sebutan dari para penduduk dusun-dusun di sepanjang Huang-ho. Karena aku sering menolong mereka, maka mereka menyebutku demikian.” Gadis itu juga bercerita tentang Ui Yan Bun yang menjadi sahabat baiknya, bahkan juga terhitung suheng-nya karena Ui Yan Bun memperoleh gemblengan pula dari Thian Bong Sianjin.

“Kau bilang siapa nama pemuda sahabatmu dan Suheng-mu tadi?” Im-yang Sian-kouw memotong.
“Namanya Ui Yan Bun, Ibu.”
“Nanti dulu... apakah dia adalah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tiga tahun, berpakaian serba biru, wajahnya bersih dan sikapnya sopan, tubuhnya tinggi sedang dan senjatanya pedang?”

Kini Thian Hwa memandang ibunya dengan mata terbelalak dan wajah berseri. “Ibu sudah mengenalnya? Benar, dia adalah pemuda seperti yang Ibu gambarkan!”

“Aku pernah bertemu dengan Ui Yan Bun. Ketika itu dia datang ke Beng-san bersama seorang gadis bernama Wan Kim Hui. Maksud kedatangan mereka mencarikan obat bagi ibu gadis itu yang terkena pukulan Hek-tok-ciang dari Lam-hai Cin-jin. Mereka ingin minta obat itu dari guruku, akan tetapi karena Bu Beng Kiam-sian telah tiada, maka aku yang memberikan obat penawar racun Hek-tok-ciang itu kepada mereka.” Dengan singkat Im-yang Sian-kouw menceritakan tentang pertemuannya dengan Ui Yan Bun dan Wan Kim Hui itu.

Kemudian Thian Hwa melanjutkan ceritanya ketika ia pergi meninggalkan perguruan untuk mencari pengalaman dan mencari orang tuanya sampai ia tiba di kota raja dan mula-mula ia membantu Pangeran Cu Kiong yang disangkanya seorang pangeran yang baik budi.

Akan tetapi, sesudah tahu bahwa pangeran itu memiliki cita-cita yang tidak benar, ia lalu meninggalkannya. Kemudian ia memperdalam ilmunya di bawah gemblengan kedua dari Thian Bong Sianjin dan ketika turun gunung ia terlibat dalam urusan di istana.

Setelah bertemu dengan ayah dan kakeknya, lalu dipercaya pula oleh Kaisar yang masih merupakan paman tuanya sendiri, secara langsung dia berhadapan dengan pemberontak yang dipimpin oleh Pangeran Cu Kiong. Semua pengalaman itu dia ceritakan dan ibunya mendengarkan dengan penuh keharuan akan tetapi juga bangga.

Setelah Thian Hwa selesai bercerita, Pangeran Ciu Wan Kong memandang isterinya dan berkata. “Eng-moi, sekarang giliranmu untuk menceritakan semua yang kau alami. Aku masih terheran-heran dan sulit untuk percaya bahwa engkau, yang dahulu lemah, bahkan pernah menolak untuk membunuh seekor tikus yang mengacau di dapur, tiba-tiba muncul sebagai seorang wanita sakti!”

Cui Eng menghela napas panjang. “Memang pengalaman seseorang terkadang amatlah aneh, tidak kalah aneh dibandingkan dongeng-dongeng. Pengalaman Thian Hwa tadi juga sudah aneh sekali dan sekarang giliranku bercerita. Aku tidak ingin menceritakan tentang segala penderitaanku karena hal itu hanya akan membangkitkan kenang-kenangan lama yang tidak enak. Singkatnya, pada waktu aku hanyut di sungai, dalam keadaan pingsan aku diselamatkan mendiang Suhu Bu Beng Kiam-sian (Dewa Pedang Tanpa Nama). Aku dibawa ke Beng-san, dirawat sehingga sembuh lalu menjadi muridnya. Nah, sejak saat itu aku hanya hidup untuk belajar ilmu silat dan ilmu pengobatan dari Suhu. Kemudian Suhu menolong seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun, yaitu Si Han Bu yang kemudian oleh Suhu diserahkan kepadaku untuk menjadi muridku.”

“Akan tetapi kenapa engkau mengubah namamu menjadi Im-yang Sian-kouw, Eng-moi?” tanya suaminya.
“Aku ingin mengubur nama lama itu yang hanya mendatangkan kesengsaraan, lalu Suhu memberi aku julukan Im-yang Sian-kouw, disesuaikan dengan ilmu silat Im-yang Sin-kun yang kupelajari hingga mendalam. Han Bu adalah satu-satunya penghibur bagiku, apa lagi setelah Suhu meninggal. Dia menjadi murid akan tetapi juga pengganti keluarga sehingga sudah kuanggap sebagai anak sendiri. Karena itu begitu dia turun gunung, aku merasa kesepian dan timbul niatku untuk pergi ke kota raja....”
“Ahh, Ibu tentu ingin mengetahui keadaan Ayah!” kata Thian Hwa.

Im-yang Sian-kouw tersenyum dan sepasang pipinya yang masih halus itu menjadi agak kemerahan. “Yah, bagaimana pun sakit hatiku, dia itu ayahmu, Thian Hwa, dan aku juga menyadari bahwa dia tidak bersalah. Akan tetapi begitu tiba di sini, terjadilah pertempuran itu. Aku bertanya-tanya dan mendengar mengenai namamu yang dipuji-puji orang sebagai pendukung kerajaan dan engkau menentang pemberontak. Pada saat aku melihat engkau bertanding melawan Lam-hai Cin-jin, tidak sukar bagiku untuk memihakmu. Aku mengenal Lam-hai Cin-jin sebagai seorang pengikut Jenderal Wu Sam Kwi, dan di daerah selatan ia merupakan seorang datuk yang terkadang melakukan perbuatan sesat. Maka aku segera turun tangan membantumu.”

Semua orang bernapas lega. Sekarang mereka sudah mengetahui riwayat masing-masing selama keluarga itu cerai-berai, tetapi kini mereka sudah berkumpul dan bersatu kembali. Mereka seolah-olah telah mengalami kehidupan baru yang menjanjikan masa depan yang penuh kebahagiaan…..

********************
Bouw Hujin atau Sin-hong-cu Souw Lan Hui mengerahkan seluruh ginkang-nya dan dia berhasil menyusul Ngo-beng Kui-ong yang melarikan diri dari medan pertempuran sambil menculik Pangeran Bouw Hun Ki. Mereka sudah tiba di luar kota raja, di jalan yang sepi.

“Keparat jahanam, Ngo-beng Kui-ong, kiranya nama besarmu itu kosong belaka! Engkau tidak lebih hanya seorang tua bangka mau mampus yang pengecut dan penakut sekali!” demikian Bouw Hujin berteriak sesudah dia berkelebatan melampaui lawan dan sekarang telah berhadapan dengan Ngo-beng Kui-ong dengan sepasang pedang di tangan.

Melihat bahwa pengejarnya hanya satu orang saja, Ngo-beng Kui-ong tertawa mengejek. Tentu saja dia tidak takut kepada nyonya itu. Dalam pertempuran tadi dia telah mengenal ilmu silat nyonya ini dan walau pun harus dia akui bahwa wanita cantik ini memiliki ilmu pedang Bu-tong-pai yang amat dahsyat, namun kalau hanya bertempur satu lawan satu, dia merasa yakin akan mampu mengalahkannya. Sekarang di tempat sunyi itu tentu saja hatinya menjadi besar. Dia lalu melemparkan tubuh Pangeran Bouw Hun Ki yang lemas tertotok ke atas tanah sehingga tubuh itu bergulingan.

Hati Nyonya Bouw menjadi tenang sesudah melihat keadaan suaminya tidak terluka dan tidak terancam bahaya. Maka tanpa membuang waktu lagi dia sudah memutar sepasang pedangnya dan menyerang dengan ganas dan sangat dahsyat.

“Haiiittttt...!”

Pedang kiri wanita itu menusuk ke arah muka, di tengah-tengah antara kedua mata Ngo-beng Kui-ong dengan jurus Hui-in-ci-tian (Awan Mengeluarkan Kilat) disambung dengan pedang kanan menyambar dari samping, melengkung menebas pinggang lawan dengan jurus Giok-tai-wi-yau (Sabuk Kemala Melingkari Pinggang).

Dua serangan beruntun ini sangat berbahaya karena serangan pertama ke arah tengah-tengah antara sepasang mata itu membuat lawan menjadi silau dan terkejut, pandangan matanya tercurah kepada sinar mencorong yang meluncur ke tengah dahi itu sehingga perhatiannya terhadap pedang kanan yang menyambar pinggang agak kurang.

Akan tetapi Ngo-beng Kui-ong adalah seorang ahli silat yang di samping kuat juga sudah banyak sekali pengalamannya berkelahi. Maka meski pun dia agak terkejut, tetap saja dia dapat menggerakkan tongkat ularnya ke sebelah kiri tubuhnya untuk menangkis babatan pedang kanan Nyonya Bouw.

“Singhg...! Trangggg!”

Bunga api berpijar menyilaukan mata dan di lain saat Ngo-beng Kui-ong sudah membalas dengan serangan kilat yang sangat dahsyat. Dia bukan hanya menggerakkan tongkatnya, tapi juga menggerakkan tubuhnya yang berputaran seperti gasing, sementara tongkatnya mencuat dan menyambar dari pusingan badannya yang tidak dapat dilihat jelas itu.

Menghadapi serangan yang aneh ini, tentu saja Bouw Hujin terkejut. Akan tetapi wanita ini memiliki ginkang yang amat tinggi, membuat tubuhnya dapat berkelebatan seperti seekor burung walet yang selalu dapat menghindarkan diri dari serangan tongkat yang tiba-tiba dari tubuh lawan yang berpusing itu.

Perkelahian di tempat sunyi itu kini semakin seru. Ngo-beng Kui-ong bersilat dengan ilmu tongkat Pat-hong-tung (Tongkat Delapan Penjuru) yang amat dahsyat sehingga tubuhnya berputar seperti gasing. Untuk menghadapi ilmu tongkat yang amat hebat ini, Bouw Hujin (Nyonya Bouw) mainkan siang-kiam (sepasang pedang) dengan ilmu pedang Siang-liong-hui-thian (Sepasang Naga Terbang ke Langit), sebuah ilmu pedang dari Bu-tong Kiam-sut (Ilmu Pedang Bu-tong-pai). Karena Nyonya ini telah memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang amat baik, maka tubuhnya seperti berkelebatan terbang saja.

Akan tetapi, bagaimana pun juga Sin-hong-cu Souw Lan Hui atau Nyonya Bouw yang lihai itu masih kalah pengalaman bertanding kalau dibandingkan lawannya yang sudah berusia delapan puluh tahun. Kakek tua renta ini banyak sekali ilmunya yang aneh-aneh, bukan hanya gerakan silat yang aneh dan lihai, akan tetapi juga dia memiliki tenaga sihir yang kuat sehingga terkadang, bila dia membentak sambil mengerahkan tenaga sihirnya, Bouw Hujin merasa betapa tubuhnya terguncang hebat yang membuat gerakannya agak kacau dan berkurang kecepatannya.

Ngo-beng Kui-ong merasa girang. Kini dia tahu bahwa inilah kemenangannya dan dia pun semakin sering menyerang dengan pengerahan tenaga sihir. Dan tak dapat disangkal lagi bahwa Nyonya Bouw kini mulai terdesak hebat.

Pangeran Bouw Hun Ki yang melihat pertarungan itu dari tempat dia rebah terguling dan telentang, kini merasa khawatir sekali. Dia melihat betapa isterinya mulai terdesak oleh kakek tua renta yang amat sakti itu. Dia tidak mengkhawatirkan keselamatan diri sendiri, akan tetapi dia amat mengkhawatirkan isterinya.

Andai kata dia tidak berada dalam keadaan tertotok, tetap saja dia tak mampu membantu isterinya. Tingkat kepandaian silatnya masih terlalu jauh di bawah tingkat mereka, maka bantuannya bukan menolong bahkan selain mengacaukan permainan silat isterinya, juga dalam beberapa gebrakan saja dia akan roboh dan tewas. 

Kalau mungkin dia ingin berteriak kepada kakek itu yang dia tahu bernama Ngo-beng Kui-ong agar kakek itu melepaskan isterinya dan membawa dia ke mana pun dikehendakinya. Dia siap dan rela mengorbankan nyawa asalkan isterinya selamat. Tapi dia tidak mungkin meneriakkan keinginannya dan permintaannya itu. Dia mengenal baik isterinya, seorang pendekar wanita yang lebih menghargai nama dan kehormatan dari pada nyawa.
Maka dia mulai memandang dengan muka pucat melihat isterinya kini repot sekali, hanya dapat mempergunakan sepasang pedangnya untuk melindungi dirinya saja tanpa mampu balas menyerang. Bahkan sudah dua kali Nyonya Bouw harus terhuyung ke belakang dan hampir saja terpelanting saking kuatnya hawa pukulan yang mengandung tenaga sihir itu melandanya.

Ngo-beng Kui-ong semakin ganas dan kini dia mendesak dengan tongkatnya yang sangat berbahaya karena selain tongkat ular itu mengandung racun, juga tamparan tangan kirinya merupakan serangan yang lebih ganas dibandingkan Hek-tok-ciang dari Lam-hai Cin-jin, murid keponakannya itu!

Pada saat yang amat gawat itu mendadak terdengar seruan lembut. “Siancai! Ngo-beng Kui-ong yang sudah sangat tua masih saja belum mampu menahan nafsunya yang suka membunuh. Sayang sekali…!”

Ngo-beng Kui-ong terkejut bukan main ketika tiba-tiba ada hawa dorongan yang sangat kuat membuat tubuhnya yang berputar itu kehilangan keseimbangan sehingga ia terpaksa menghentikan jurus silat berpusing itu dan memandang dengan penuh perhatian.

Dia melihat seorang laki-laki tinggi kurus berpakaian seperti seorang tosu dari kain putih, mukanya bersih tanpa kumis atau pun jenggot dan sikapnya amat tenang, usianya sekitar enam puluh tahun.

“Thian Bong Sianjin!” serunya kaget. Sebaliknya Pangeran Bouw Hun Ki, terutama sekali Nyonya Bouw, girang bukan main melihat munculnya Thian Bong Sianjin dalam keadaan yang amat gawat bagi suami isteri itu.

Sejak dulu Ngo-beng Kui-ong memang berwatak licik. Dia cerdik sekali dan tidak segan menggunakan cara apa pun demi keuntungannya. Melihat munculnya Thian Bong Sianjin, dia maklum bahwa melawan Thian Bong Sianjin berdua Sin-hong-cu Souw Lan Hui, dia tidak akan menang bahkan dia berada dalam keadaan gawat dan berbahaya sekali.

Maka dia pun cepat menudingkan tongkatnya ke arah tubuh Pangeran Bouw Hun Ki yang masih rebah telentang di atas tanah, dan sinar hitam meluncur dari ujung tongkat ke arah Pangeran Bouw Hun Ki.

Melihat ini, Thian Bong Sianjin yang berdiri lebih dekat dengan pangeran itu, cepat-cepat melompat dengan gerakan kilat. Paku hitam yang meluncur dari ujung tongkat itu segera mengenai pundaknya ketika tubuhnya menjadi perisai bagi Pangeran Bouw Hun Ki.

“Manusia curang!” Thian Bong Sianjin berseru.

Melihat Thian Bong Sianjin tidak roboh biar pun terkena pakunya yang beracun, Ngo-beng Kui-ong menjadi semakin ketakutan dan dia pun lalu melompat dan melarikan diri. Setelah kakek itu pergi, tubuh Thian Bong Sianjin terkulai roboh.

Nyonya Bouw tidak melakukan pengejaran karena perhatiannya lebih dicurahkan kepada suaminya dan kepada Thian Bong Sianjin. Dia meloncat dekat suaminya, membebaskan totokan sehingga Pangeran Bouw Hun Ki mampu bergerak lagi, lalu keduanya memeriksa keadaan Thian Bong Sianjin yang tergeletak dalam keadaan pingsan.

Tanpa ragu Nyonya Bouw membuka kancing baju sehingga tampaklah dada Thian Bong Sianjin. Dia mengerutkan alisnya ketika melihat sebatang paku hitam sudah menancap di pundak kanan bekas kekasih atau sahabat baiknya itu.

“Bagaimana keadaannya? Parahkah?” Pangeran Bouw Hun Ki bertanya dengan khawatir.

Nyonya Bouw mengangguk. “Dia terkena senjata rahasia Toat-beng-hek-ting (Paku Hitam Pencabut Nyawa) yang mengandung racun amat berbahaya, sama berbahayanya dengan akibat pukulan Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam).”

“Ahh, celaka! Lalu bagaimana? Engkau harus dapat menyembuhkannya. Ingat, dia terluka karena melindungi diriku, kalau dia tidak menghadang, tentu akulah yang terkena senjata rahasia ini dan sudah mati!” kata Pangeran Bouw kepada isterinya.
“Ya, aku mengerti,” Nyonya Bouw mengangguk.

Dalam hatinya Nyonya Bouw merasa bersyukur bahwa suaminya begitu bijaksana, sama sekali tidak merasa cemburu walau pun sudah mengetahui bahwa dahulu pada waktu dia belum menjadi isteri pangeran itu, hubungannya dengan Thian Bong Sianjin amat akrab.

“Satu-satunya obat penawar yang dapat menyelamatkan nyawanya hanyalah jamur salju putih, atau bubuk racun ular laut. Kukira di ruang obat istana terdapat obat-obat penawar itu. Mari kita cepat bawa dia ke sana.”

Nyonya Bouw Hun Ki mencabut paku hitam, menggunakan sinkang-nya untuk menyedot darah yang keracunan walau pun yang keluar tidak cukup banyak. Lalu dia menotok jalan darah di sekitar pundak untuk mencegah menjalarnya racun hitam itu. Kemudian mereka membawa Thian Bong Sianjin yang masih pingsan kembali ke kota raja dan langsung saja ke istana.

Benar saja dugaan Nyonya Bouw, di ruangan penyimpanan obat-obatan langka di istana terdapat obat penawar racun ular laut. Setelah Thian Bong Sianjin diobati dengan racun ular laut untuk menangkal racun dari Hek-tok-ting, ternyata obat itu manjur sekali.

Thian Bong Sianjin siuman dari pingsannya dan terbebas dari ancaman maut. Hanya saja dia masih agak lemah sehingga perlu beristirahat beberapa hari. Begitu bangkit duduk dan melihat Pangeran Bouw Hun Ki dan Nyonya Bouw, dia segera mengucapkan terima kasih.

“Ji-wi (Kalian Berdua) telah menyelamatkan nyawa pinto (aku). Kalau tidak ada Pangeran Bouw dan Bouw Hujin yang menolong, kiranya hari ini pinto sudah tidak berada di dunia lagi.”

“Wah, Totiang (sebutan pendeta), ucapan apakah yang kau katakan ini? Ini terbalik sama sekali!” kata Pangeran Bouw Hun Ki. “Saya diculik Ngo-beng Kui-ong, kemudian isteriku mengejar lantas bertanding melawan dia. Akan tetapi Ngo-beng Kui-ong sangat lihai dan agaknya isteriku dan aku pasti akan binasa kalau saja tidak ada Totiang yang menolong kami berdua. Bahkan Totiang menghadang paku terbang untuk melindungiku sehingga Totiang sendiri yang terluka. Siapakah yang menolong dan siapa yang ditolong dalam hal ini?”

Thian Bong Sianjin tersenyum. “Siancai…! Kita saling tolong, semuanya ini terjadi secara kebetulan. Nah, yang kebetulan inilah yang telah menolong, karena kebetulan tidak dapat kita buat. Hanya Yang Maha Kuasa saja yang dapat menciptakan kebetulan sehingga kita diberi kesempatan untuk saling bantu. Sesungguhnya Yang Maha Kuasa yang menolong kita semua, dengan cara melalui orang lain yang dipergunakanNya pada saat itu.”

“Memang benar sekali apa yang dikatakan Thian Bong Sianjin tadi. Hanya Tuhan Yang Maha Kuasa sajalah yang dapat menolong manusia kalau hal itu dikehendakiNya. Karena itu, segala puji dan rasa syukur tidak sepatutnya ditujukan kepada manusia lain, kecuali hanya kepada Tuhan. Kita semua seyogianya berterima kasih kepada Tuhan Yang Maha Pengasih!” kata Nyonya Bouw dengan girang.

“Aih, ucapan isteriku ini mengingatkan aku pada cara orang-orang berterima kasih kepada Tuhan. Meski pun setiap saat mengucapkan terima kasih dengan suara lantang, biar pun setiap hari menyalakan dupa berlutut di depan meja sembahyang sambil memberi korban yang serba mewah untuk menyembah Tuhan, seperti yang dilakukan setiap orang untuk menyatakan terima kasih mereka kepada Tuhan, apakah hal ini sudah tepat dan benar? Mengapa kita selalu bersyukur, berterima kasih dan berdoa syukur kepada Tuhan setiap kali kita menerima anugerah, menerima berkah yang berlimpah, menerima hal-hal yang kita anggap menguntungkan dan menyenangkan? Mengapa kita harus bersungut-sungut dan tidak mengucap syukur kepada Tuhan yang kita anggap tidak memberkahi kita kalau kita mengalami hal-hal yang kita anggap merugikan dan tidak menyenangkan? Totiang, mohon penjelasan akan semua ini dan mohon petunjuk, apa yang sepatutnya kita sebagai manusia bertindak untuk menyatakan rasa syukur serta terima kasih kita kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.”

Thian Bong Sianjin tertawa. “Pangeran, untuk menyelidiki hal ini sebaiknya jangan hanya menerima pendapat seseorang karena kalau pendapat itu keliru, maka semua ikut keliru. Hidup ini adalah pengalaman kita semua, maka untuk menyadari akan kebenaran, kita dapat belajar dengan membuka mata melihat kehidupan itu sendiri, tanpa menilai, tanpa pendapat, hanya melihat dan merasakan. Mari kita menyelidiki bersama tentang apa yang engkau katakan tadi. Segala macam perbuatan bila mengandung pamrih bagi diri sendiri, sudah pasti perbuatan itu palsu adanya dan hanya merupakan cara untuk mendapatkan pamrihnya itu. 

Ada pamrih yang terkandung dalam perbuatan yang disebut baik, seperti ingin dipuji, ingin mendapat imbalan jasa, ingin dibalas, dan masih banyak lagi keinginan yang tersembunyi di balik perbuatan itu, semua bermaksud untuk menguntungkan dan menyenangkan diri sendiri. Jelas bahwa perbuatan berpamrih itu tidak benar. Perbuatan tanpa pamrih adalah perbuatan yang spontan, tetapi perbuatan ini pun terbagi dua macam. Perbuatan spontan yang didasari dengan rasa benci, sudah pasti tidak benar karena mengandung kekejaman dan permusuhan. Sebaliknya, segala macam perbuatan yang didasari Kasih sudah pasti baik dan benar! 

Kasih dari Tuhan yang kita terima, berlimpah setiap saat, tapi apakah kita hanya menjadi manusia-manusia yang hanya bisa meminta dan menerima saja, tanpa pernah memberi? Lalu kalau Kasih dari Tuhan diwujudkan dengan berkah yang berlimpahan, apakah yang dapat kita lakukan untuk menyatakan bahwa kita benar-benar berterima kasih kepada-Nya? Tuhan Maha Kuasa, tentu saja tidak membutuhkan pemberian apa pun dari siapa juga, akan tetapi sebagai rasa syukur dan terima kasih kita, kita dapat membantu Tuhan dengan menyalurkan berkat-berkatNya yang diberikan kepada kita kepada orang lain!

Kalau kita diberkahi kekuatan yang lebih, mari kita salurkan berkah itu kepada orang lain, untuk menolong orang yang lemah dan membutuhkan pertolongan. Apa bila kita diberkahi harta benda yang berlebihan, marilah kita salurkan itu kepada orang lain, menolong orang yang membutuhkan karena miskin. Jika kita diberkahi pengetahuan dan pengertian, mari kita salurkan berkah itu kepada orang lain yang tidak mengetahui dan kurang mengerti. Kalau kita diberkahi kedudukan dan kekuasaan tinggi, mari kita salurkan berkah itu untuk melindungi rakyat yang tidak berkedudukan yang tidak memiliki kekuasaan.

Dengan demikian tidak sia-sialah semua berkah berlimpahan yang kita terima dari Tuhan dan berbahagialah orang-orang yang menjadi alat Tuhan, yang dipakai oleh Tuhan untuk menyalurkan berkah-berkahNya. Lihatlah semua makhluk di dunia ini, baik yang bergerak mau pun yang tidak bergerak, semua merupakan penyalur berkah Tuhan. Pohon-pohon memberikan bunga, buah, daun, bahkan kayunya untuk manusia dan binatang. 

Binatang-binatang juga menyalurkan berkah Tuhan dengan memberikan segala yang ada padanya demi kesejahteraan manusia. Lihat angin, air, api, bahkan matahari dan bulan, mereka semua itu menjadi penyalur berkah Tuhan yang mutlak pentingnya bagi manusia. Pertanyaan yang sekarang harus kita tujukan kepada hati kita masing-masing adalah, kita sudah menerima demikian banyaknya berkah dari Tuhan secara berlimpah melalui segala benda dan makhluk ciptaanNya di muka bumi ini, lantas apakah yang sudah kita lakukan untuk menyatakan terima kasih kita kepada Tuhan dengan jalan menyalurkan berkahNya yang berlimpahan itu kepada pihak lain? Berkah dari Tuhan kita terima melalui manusia, hewan mau pun tanaman, tidakkah sudah sepatutnya kalau kita menyatakan terima kasih dan puji syukur kita juga melalui uluran kasih kepada sesama manusia, hewan, mau pun tanaman?”

Suasana menjadi sunyi sekali setelah Thian Bong Sianjin berhenti bicara. Pangeran Bouw Hun Ki dan Nyonya Bouw dapat merasakan denyut jantung mereka sendiri dengan jelas. Semua kata-kata itu meresap sampai ke sanubari mereka masing-masing.

Justru dalam keadaan hening seperti itu, di mana pikiran tidak berkeliaran dan hati tidak disibukkan oleh perasaan apa pun, mereka dapat menerima semua kata-kata tadi yang membangkitkan kesadaran mereka akan kebenaran yang hakiki.

Pada saat itu pula terdengar langkah orang yang memecahkan keheningan itu. Bouw Kun Liong, Bouw Hwi Siang, Bu Kong Liang, dan Gui Siang Lin memasuki ruangan itu. Dua pasang orang muda ini sudah mendengar dari Nyonya Bouw bahwa Thian Bong Sianjin yang menyelamatkan Pangeran Bouw Hun Ki dan isterinya adalah guru Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa. Maka mereka segera datang berkunjung untuk menengok keadaan kakek itu yang sudah mulai sembuh.

Nyonya Bouw lalu memperkenalkan mereka kepada Thian Bong Sianjin yang ikut merasa gembira bahwa Nyonya Bouw atau Souw Lan Hui yang dahulu pernah menjadi sahabat baiknya itu kini hidup bahagia dengan seorang suami yang bijaksana dan dua orang anak laki-laki dan wanita yang gagah perkasa, bahkan agaknya sudah menemukan dua orang calon menantu murid Siauw-lim-pai yang gagah dan baik pula! Diam-diam dia bersyukur karena seandainya Souw Lan Hui menjadi isterinya, belum tentu keadaannya akan sebaik dan sebahagia sekarang!

Mereka bercakap-cakap dengan gembira dan dalam kesempatan itu, empat orang muda itu mendapatkan banyak petunjuk tentang kehidupan dari Thian Bong Sianjin…..

********************
Selanjutnya baca
KEMELUT KERAJAAN MANCU : JILID-14
LihatTutupKomentar