Pendekar Sakti Jilid 10
Hati Kwan Cu gembira dan puas sekali ketika dia meninggalkan ruangan besar tempat orang-orang penting itu berkumpul. Tanpa disengaja dan dicari, sekarang dia telah dapat menemukan sebuah peta berikut penjelasan dari An Lu Kui beserta kawan-kawannya tentang tempat persembunyian Menteri Lu Pin. Hal ini sudah amat membesarkan hatinya karena selain dia juga sudah mendengar makin jelas mengenai kegagahan sepak terjang kongkong-nya itu, juga ia mendapat kesempatan untuk mencari kongkong-nya kemudian melindungi orang tua yang baik hati itu.
Selain dari pada itu, dia pun mendapat kesempatan untuk menguji kepandaiannya pada orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi. Akan tetapi di samping kepuasan ini juga dia maklum bahwa kini tidak saja dia menghadapi musuh besar yang lihai dan yang sudah menewaskan suhu-nya, namun juga mendapat musuh-musuh besar yang mengancam keselamatan kongkong-nya.
Malam itu ia tidak langsung keluar dari lingkungan istana, akan tetapi masih mencari-cari dan menyelidiki. Dia ingin sekali menyelidiki keadaan di sana dan juga ingin mencari pangeran botak putera An Lu Kui untuk menolong wanita yang terancam oleh pangeran mata keranjang itu.
Malam sudah amat larut dan bulan tua mulai menampakkan diri di antara mega-mega hitam. Kwan Cu sudah mulai putus asa mencari tempat kediaman Pangeran An Kong karena keadaan di situ sunyi belaka. Dia pikir bahwa pangeran botak itu mungkin sekali berada di luar istana dan hal ini membuat dia menyesal sekali mengapa tadi siang dia tidak mengikuti pangeran itu, dan tidak menanyakan keterangan kepada Lu Thong. Dia menyesal karena dipikirnya bahwa wanita itu tidak akan dapat tertolong lagi.
Akan tetapi mendadak dia mendengar suara wanita menangis perlahan. Cepat bagaikan seekor burung, dari atas genteng Kwan Cu melompat ke bawah dan mengintai ke dalam sebuah kamar dari rumah gedung yang berada di sebelah selatan kelompok bangunan istana itu. Hatinya berdebar girang dan juga warna merah menjalari mukanya ketika dia melihat siapa adanya orang yang berada di dalam kamar itu.
Di dalam kamar itu sangat terang dan keadaan perabot kamarnya mewah sekali. Bahkan dari luar jendela saja sudah dapat tercium bau yang amat harum, tanda bahwa penghuni kamar adalah seorang pesolek yang mewah. Di atas meja yang indah terdapat guci arak yang menyiarkan bau harum pula, arak baik yang amat mahal.
Wanita yang menangis terisak-isak dengan suara perlahan karena takut, adalah seorang gadis berusia kurang lebih delapan belas tahun, berwajah cantik akan tetapi pucat sekali. Rambutnya terlepas serta terurai menutupi sebagian mukanya yang berkulit halus, ada pun pakaiannya kusut. Gadis ini duduk di atas sebuah bangku sambil menangis sedih.
Di depannya, juga duduk di atas bangku sambil kadang-kadang minum arak dari cawan emasnya, nampaklah pangeran botak An Kong dengan mata bersinar-sinar dan mulut tersenyum-senyum.
“Kui Lan, mengapa kau begitu keras hati dan keras kepala? Mengapa pula kau berduka? Ingatlah, bukan sembarang wanita dapat masuk ke kamar ini dan lebih-lebih lagi bukan sembarang wanita dapat menjadi biniku, walau pun hanya bini muda. Aku amat sayang kepadamu, Kui Lan, kau cantik jelita dan halus gerak-gerikmu, aku sayang dan kasihan kepadamu. Tahukah kau bahwa kalau bukan kau, tapi gadis lain yang berkeras menolak kehendakku, akan kusuruh algojo untuk menyiksanya? Atau aku akan mempergunakan kekerasan. Akan tetapi kepadamu aku tidak mau berlaku demikian, Kui Lan. Aku cinta padamu dan aku ingin kau membalas cintaku itu.”
Jawaban Kui Lan gadis itu, hanyalah suara tangis yang lebih menyedihkan hati. Kwan Cu sudah mendidih darahnya menyaksikan keadaan ini, akan tetapi dia masih bersabar. Dia hendak mendengar dan melihat lebih lanjut apa yang akan terjadi, oleh karena dia belum mengerti duduknya perkara.
“Kui Lan, kalau kau mau menyambut cinta kasihku, dan kalau kau mau berlaku manis kepadaku, percayalah, ada kemungkinan kau akan kuangkat menjadi isteriku yang sah! Menurutlah, Kui Lan, bungaku yang manis,” kata pula An Kong dengan suara membujuk setelah dia menenggak habis arak di dalam cawannya.
Kini gadis itu menurunkan kedua tangan yang menutupi mukanya. Kwan Cu mendapat kenyataan bahwa gadis itu memang luar biasa cantiknya.
“Siauw-ong-ya...” Gadis itu berkata dengan suara gemetar, namun terdengar merdu dan halus, “aku tidak menghendaki semua kedudukan tinggi itu. Apakah kau tidak kasihan kepadaku, Siauw-ong-ya. Kau sudah tahu bahwa aku... bahwa di sana sudah ada The Kun Beng... bahwa aku harus bersetia kepadanya karena... Aku sangat cinta padanya... Siauw-ong-ya, kembalikanlah aku kepada orang tuaku atau… atau kau bunuh saja aku agar aku dapat bersetia pada The Kun Beng sampai matiku, sesuai dengan sumpahku...”
Mendengar ini, Kwan Cu menjadi terkejut sekali. The Kun Beng... Ia ingat betul nama ini dan terbayanglah wajah seorang bocah tampan yang manis budi, yaitu murid ke dua dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Sekaligus terbayang pula semua pengalaman dirinya dengan murid Pak-lo-sian ini ketika dia masih kecil dan perhatiannya makin membesar terhadap gadis yang mengaku cinta kepada The Kun Beng ini.
Tapi sebaliknya, An Kong nampak marah sekali. Pemuda botak ini bangkit berdiri dengan kasar sehingga bangku yang didudukinya terguling, menimbulkan suara berisik. Mukanya menjadi semakin merah, sebagian karena pengaruh arak akan tetapi sebagian besar lagi karena pengaruh kemarahannya.
“Kau benar-benar keras kepala dan menggemaskan! Bagaimana kau berani menyebut-nyebut nama The Kun Beng, pemuda liar murid iblis tua Siangkoan Hai itu? Apa kau kira aku takut jika kau menyebut-nyebut namanya? Apa kau kira aku tak tahu akan riwayatmu yang kotor dengan pemuda itu? Kui Lan! Boleh jadi kau mencinta pemuda iblis itu karena tertarik oleh ketampanannya, akan tetapi kau goblok sekali. Kau pun tahu bahwa dia tak mungkin dapat menjadi suamimu karena dia sudah bertunangan dengan Bun Sui Ceng, gadis liar itu!”
Kembali Kwan Cu terkejut dan hatinya berdebar keras, mukanya pun berubah. Kun Beng bertunangan dengan Sui Ceng? Terbayanglah wajah Sui Ceng yang manis dan teringat kembali dia akan pembohongan terhadap gadis raksasa Liyani pada saat dia menuturkan bahwa dia mencinta Bun Sui Ceng!
Ataukah hal itu bukan suatu kebohongan? Apakah benar-benar dia mencinta Sui Ceng? Tak mungkin! Akan tetapi mengapa dia merasai hatinya berdebar dan telinganya panas mendengar bahwa Sui Ceng sudah bertunangan dengan Kun Beng?
Kembali Kui Lan mengucurkan air mata. “Meski semua itu benar belaka, Siauw-ong-ya, namun aku cinta kepada Kun Beng dan aku bersumpah tidak akan menjadi isteri laki-laki lain, biar pun aku tiada harapan untuk menjadi isterinya.”
“Perempuan bodoh! Bagaimana kau masih setia terhadap seorang laki-laki yang berlaku begitu kejam terhadapmu? Dia telah merusak namamu, telah mengkhianati suheng-nya sendiri, telah melakukan perbuatan terkutuk padamu, telah menyeretmu ke dalam lumpur kehinaan...”
“Cukup. Siauw-ong-ya! Walau pun apa yang akan terjadi, aku akan bersetia sampai mati kepadanya. Dia tetap merupakan laki-laki tunggal yang boleh menguasai hati, jiwa dan ragaku. Bunuhlah aku kalau kau kehendaki!”
Marahlah An Kong mendengar ini. Ia melompat dan tahu-tahu sudah berdiri di depan Kui Lan. Ia mengulur tangan menangkap pergelangan tangan wanita itu, akan tetapi Kui Lan sigap mengelak.
Kwan Cu yang tadinya sudah bersiap hendak melompat masuk, tertegun melihat betapa gadis itu sedikitnya mengerti ilmu silat, karena gerakannya ketika mengelak menunjukkan bahwa dia mengerti ilmu menjaga diri.
Akan tetapi, kepandaian gadis itu ternyata tidak seberapa karena di lain saat, tangannya sudah tertangkap oleh An Kong.
“Kui Lan, aku cinta padamu. Marilah kita minum arak bersama, Manis!” kembali suaranya melembut karena sesungguhnya dia tidak tega untuk bersikap kasar terhadap gadis ini. Dia menarik Kui Lan ke meja dan melepaskan pegangannya, lalu menuangkan arak ke dalam cawannya yang kosong.
“Minumlah, Manis, mari kita habiskan isi cawan ini seorang setengah. Hayo minumlah, Sayang...”
Tetapi Kui Lan menggunakan tangan kanannya yang tidak terpegang untuk menyampok cawan. Gerakan ini tidak hanya membuat cawan itu terlepas dari pegangan An Kong, malah guci arak yang berdiri di atas meja pun terguling sehingga pecah. Arak yang putih harum mengalir keluar membasahi meja.
Habislah kesabaran An Kong. “Kau menghendaki kekerasan, bunga liar? Baik, baik, aku akan melayani kehendakmu!” setelah berkata demikian, An Kong hendak memeluk.
Akan tetapi Kui Lan menampar mukanya sehingga terpaksa dia menggunakan tangan kiri menangkap tangan yang menampar itu. Pada saat mereka bergulat, terdengarlah suara tenang akan tetapi berpengaruh,
“An Kong, anjing berwajah manusia, lepaskan dia!”
An Kong kaget sekali. Cepat dia melepaskan Kui Lan dan melompat sambil membalikkan tubuhnya. Di lain saat dia telah mencabut sepasang senjatanya, yakni kebutan di tangan kiri dan joan-pian di tangan kanan.
Pada waktu dia memandang, ternyata bahwa yang berada di dalam kamarnya itu adalah pemuda berpakaian sederhana yang siang tadi dia lihat di rumah makan dan yang telah dihinanya kemudian dia dicegah oleh Lu Thong, suheng-nya. Memuncak kemarahannya dan dengan gemas dia membentak,
“Jembel busuk, bagaimana kau berani memasuki kamarku?”
Kwan Cu tersenyum mengejek. “An Kong, semua yang mengelilingi dirimu, pangkat dan kedudukan, pakaian yang mewah, kamar yang indah, kesemuanya ini hanya merupakan selimut yang menyembunyikan watak aslimu yang rendah dan hina dina. Orang macam kau masih berani memaki aku?”
“Bangsat bermulut kotor! Kau telah mengetahui namaku, apakah kau tidak tahu bahwa aku adalah murid dari Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, tokoh besar dari selatan? Siapakah kau yang begitu berani mati mengantarkan nyawa sendiri ke sini?”
“Aku bernama Kwan Cu dan gurumu itu sudah lama aku kenal, jadi tidak perlu lagi kau memperkenalkannya kepadaku.”
An Kong sudah tidak dapat menahan kesabarannya lagi, sambil berseru keras dia segera menyerang dengan joan-pian di tangan kanannya, lalu diikuti oleh sambaran kebutannya yang menotok jalan darah Kwan Cu di bagian iga.
Kwan Cu maklum bahwa kepandaian An Kong cukup tinggi kalau dibandingkan dengan ahli silat-ahli silat tingkat biasa, akan tetapi baginya tentu saja bukan apa-apa. Dengan mudah dan sigap dia miringkan tubuh untuk mengelak dari sambaran joan-pian, ada pun serangan kebutan ke arah iganya itu dapat dia sampok dengan jari-jari tangannya. Lalu secepat kilat Kwan Cu melanjutkan gerakan menyerang, dia menyampok muka pemuda botak itu dengan telapak tangannya.
An Kong terkejut sekali melihat cepatnya gerakan lawan dan bagaimana lawannya dapat menyampok serangan kebutannya yang terkenal lihai sekali itu. Cepat dia menggunakan kebutannya untuk menangkis tamparan pada mukanya ini dengan maksud untuk melukai tangan Kwan Cu.
Akan tetapi, betapa heran dan kagetnya ketika kebutannya itu pada saat beradu dengan tangan lawannya, kemudian terpental kembali dan menyabet ke arah mukanya sendiri! An Kong mengeluarkan teriakan tertahan dan cepat melompat mundur sambil berjungkir balik beberapa kali.
“Ha, An Kong, lihatlah baik-baik. Cambukmu bahkan lebih mengerti bahwa orang macam kau yang harus dihajar!” kata Kwan Cu yang tidak mau memberi hati lagi.
Pemuda ini lantas menyerang dengan pukulan-pukulan tangan miring yang dipelajarinya dari lukisan-lukisan di dinding goa. Ini merupakan ilmu silat tangan kosong lain macam lagi yang telah dipahaminya, yaitu ilmu silat yang dimainkan dengan kedua tangan miring dan jari-jari tangan terbuka. Kwan Cu menamakan ilmu silatnya ini Heng-pai Hud-jiu (Ilmu Silat Memuja Budha Tangan Miring). Namun gerakan kakinya masih mengambil sistem dari Ilmu Siat Sam-hoan-ciang (Ilmu Silat Tiga Lingkaran) yang dia pelajari dari suhu-nya, Ang-bin Sin-kai.
Menghadapi serangan-serangan aneh ini, An Kong tak berdaya dan segera dia terdesak mundur terus. Meski pemuda botak ini mengerahkan kepandaian dan tenaga, mencoba menyerang lawan dengan sepasang senjatanya, akan tetapi tubuh lawannya bagaikan bayangan saja yang tak dapat diserang dengan senjata.
Kwan Cu yang sudah tahu akan semua gerakan lawan, tahu pula ke arah mana senjata itu menyambar, tentu saja lebih dulu dapat mempersiapkan diri mencari kedudukan yang kosong lalu menyerang tanpa mempedulikan sambaran senjata yang tentu takkan dapat mengenai tubuhnya yang sudah mengambil tempat yang kosong itu.
Ada pun Kui Lan, gadis itu, berdiri dengan mulut ternganga. Ia tahu betul akan kelihaian An Kong yang memiliki kepandaian setingkat dengan The Kun Beng. Akan tetapi bagai mana pemuda aneh itu mampu menghadapinya dengan tangan kosong, bahkan dalam beberapa gebrakan saja telah mendesak An Kong sedemikian rupa?
Kwan Cu belum pernah menghadapi peristiwa seperti yang dia lihat di dalam kamar tadi. Hal ini menimbulkan kebenciannya terhadap An Kong dan karena kali ini dia menghadapi musuh dengan hati benci. Karena itu, dia tidak main-main lagi dan ingin menyelesaikan pertempuran itu secepat mungkin.
Pada saat lawannya sudah terdesak hebat di pojok kamar, Kwan Cu cepat memasukkan tangannya menghantam pinggang An Kong. Pemuda botak ini menjerit keras dan kedua senjatanya terlepas dari tangannya, lalu dia terhuyung-huyung dan roboh pingsan. Dari mulutnya keluar darah!
Pada saat itu terdengar pintu kamar diketok orang dan suara yang keras memanggil.
“Kong-ji (anak kong), kau belum tidur?”
Itulah suara An Lu Kui, pikir Kwan Cu. Dia mendengar pula tindakan kaki banyak orang, maka tahulah dia bahwa An Lu Kui tidak datang sendiri. Cepat dia melompat ke depan gadis itu.
Kui Lan melangkah mundur dengan wajah makin pucat. Sepasang matanya yang bening memandang kepada Kwan Cu penuh kecurigaan. Ketika Kwan Cu mengulurkan tangan dengan maksud mengajak gadis itu lari keluar dari tempat itu, Kui Lan mundur lagi sambil menggeleng-geleng kepala dan berkata,
“Tidak... tidak... jangan kau sentuh aku.”
Bukan main gemasnya Kwan Cu mendengar ucapan ini. Mukanya menjadi merah sekali. Dia tahu bahwa gadis ini telah menjadi ngeri hatinya melihat laki-laki, setelah mengalami kekagetan dari An Kong. Hmm, apakah dia menganggap aku juga seorang laki-laki mata keranjang? Hatinya gemas dan dia berkata dengan kaku,
“Nona, kamar ini sudah terkurung, maka aku tidak perlu banyak cakap. Pendeknya, kau ingin keluar dari sini atau tidak?”
“Tentu saja!” jawab Kui Lan cepat dan gadis ini lalu menggerakkan kaki melompat ke arah jendela yang masih tertutup.
Kwan Cu maklum akan maksud gadis itu, yakni hendak keluar dari kamar itu. Akan tetapi, melihat gerakan gadis itu yang tidak begitu kuat, dia khawatir sekali dan sebelum gadis itu sampai di jendela, dia telah menyambar dan tahu-tahu dia sudah memeluk pinggang yang ramping itu, langsung dipondongnya tanpa mempedulikan betapa gadis itu terus meronta-ronta dalam pondongannya.
Kwan Cu mencabut suling dan melompat ke arah jendela, sekaligus menendang daun jendela terbuka sambil memutar sulingnya. Baiknya dia melakukan hal ini karena begitu jendela terbuka, beberapa batang golok sudah menyerang ke arah jendela. Akan tetapi golok-golok ini tertangkis oleh putaran sulingnya sehingga beterbangan dan mencelat ke sana-sini dan ada pula yang patah menjadi dua! Kemudian Kwan Cu meloncat ke atas genteng.
An Lu Kui dan beberapa orang perwira menyusul, akan tetapi dua orang yang terdepan, roboh kembali ke bawah genteng karena tendangan Kwan Cu yang telah siap sedia. An Lu Kui yang sudah tahu akan kelihaian Kwan Cu, tidak berani mengejar, hanya berteriak-teriak memberi tanda pada para pengawal istana untuk mengejar pemuda itu, kemudian dia segera memasuki kamar puteranya. Alangkah kagetnya ketika dia melihat keadaan An Kong, maka dia segera menolongnya.
Sedangkan Kwan Cu dengan gadis itu masih berada di dalam pondongannya, berloncat-loncatan dari genteng ke genteng hingga dia sampai di dinding tembok yang mengelilingi kelompok bangunan istana.
Para pengawal telah siap sedia dan segera mengeroyok pemuda itu. Akan tetapi mereka ini tentu saja hanya merupakan makanan empuk bagi Kwan Cu. Dengan menggerakkan kedua kaki dan tangan kanannya, beberapa orang pengawal lantas terlempar jauh dalam keadaan pingsan menimpa kawan-kawan lain sehingga para pengeroyok menjadi gentar. Ketika mereka memandang, ternyata pemuda itu bagaikan seekor burung garuda sudah melompat naik ke atas dinding yang demikian tingginya.
Barisan anak panah dari dalam dan luar tembok menghujankan anak panah mereka ke arah bayangan Kwan Cu, namun pemuda itu terlalu gesit bagi mereka. Apa lagi dengan tangan kanannya mengebut ke sana ke mari, anak-anak panah itu runtuh semua dan sebentar saja Kwan Cu sudah melompat turun di luar tembok dan menghilang ke dalam kegelapan.
Gempar seluruh istana. Belum pernah istana diserbu oleh seorang pengacau sedemikian lihainya sehingga nama Lu Kwan Cu menjadi buah tutur semua orang. Ketika Lu Thong mendengar akan hal ini, diam-diam dia mengeluh dan berkali-kali menyayangkan bahwa pemuda sedemikian saktinya tidak mau bekerja sama dengan dia…..
********************
Kita tinggalkan dulu Lu Kwan Cu yang menolong Kui Lan dan membawa lari gadis itu dari dalam istana. Marilah kita menengok keadaan Menteri Lu Pin, menteri yang amat setia dan berjiwa patriot.
Di sepanjang lembah Sungai Fen-ho, di sebelah selatan kira-kira lima puluh lie dari kota Tai-goan, di antara dua pegunungan besar yakni Pegunungan Tai-hang dan Pegunungan Lu-liang, terdapat daerah pegunungan yang amat liar. Banyak bukit-bukit kecil di daerah ini dan di antaranya terdapat sebuah bukit yang penuh batu karang, akan tetapi anehnya di atas batu-batu karang ini tumbuh pula pohon-pohon besar.
Di atas bukit ini, di tempat yang sangat tersembunyi dan tertutup oleh batu-batu karang raksasa yang menjulang tinggi, tempat yang amat sunyi dan sepi seperti mati, terdapat sebuah goa batu karang. Goa ini luar biasa besarnya dan amat gelap sehingga orang akan merasa ragu-ragu untuk memasukinya, karena goa semacam ini biasanya menjadi tempat persembunyian binatang-binatang buas. Malah di dalam dongeng, goa-goa besar seperti ini biasanya ditempati oleh naga-naga atau siluman-siluman buas!
Apa lagi kalau ada orang memberanikan diri memasuki goa ini, mungkin dia akan jatuh pingsan saking kaget dan takutnya. Agak ke sebelah dalam dari goa ini yang diterangi oleh cahaya matahari dari lobang-lobang di atas goa, terdapat pintu raksasa yang amat tebal dan berat. Sepuluh orang biasa saja belum tentu dapat mendorong pintu itu sampai terbuka.
Di belakang pintu raksasa ini terdapat ruangan yang luas serta tinggi. Dan hebatnya, di sepanjang dinding ruangan luas ini nampak barisan tengkorak-tengkorak yang tinggi dan besar, berdiri berderet-deret dengan mulut terbuka yang menyeringai memperlihatkan gigi yang besar-besar. Tengkorak-tengkorak ini dahsyat dan menyeramkan sekali karena amat besar dan tinggi, sedikitnya ada tiga kali tinggi manusia biasa.
Bukan main seramnya keadaan di goa itu. Tengkorak-tengkorak raksasa itu seakan-akan hidup. Mata mereka yang bolong itu seperti melirik-lirik, ada pun gigi yang besar-besar itu seperti berbunyi menggerut-gerut. Bahkan kedua lengan yang besar-besar itu bagaikan bergerak-gerak hendak menerkam siapa saja yang berani memasuki ruangan itu.
Inilah goa Tengkorak yang dijadikan tempat sembunyi oleh Menteri Lu Pin. Sebagaimana telah dituturkan pada bagian depan, Menteri Lu Pin ditolong oleh Ang-bin Sin-kai dari kepungan para pasukan An Lu Shan, kemudian Ang-bin Sin-kai menunjukkan tempat sembunyi yang baik bagi adiknya itu, yakni di goa ini.
Tadinya goa ini menjadi tempat bertapa dari Ang-bin Sin-kai selama bertahun-tahun dan di sana memang banyak terdapat tulang belulang rangka bekas tulang binatang-binatang purba kala. Sesudah Menteri Lu Pin bersembunyi di sana, menteri yang juga seorang ahli seni ukir yang amat pandai itu dalam waktu senggangnya kemudian membuat tengkorak-tengkorak dari tulang-tulang binatang purba, lalu didirikan di situ sebagai penjaga goa!
Tengkorak-tengkorak raksasa inilah yang menolongnya dari bencana, karena siapa saja yang berhasil membuka pintu raksasa, akan terkejut dan ketakutan, lalu mundur kembali. Siapa orangnya yang tidak akan gentar menghadapi tengkorak-tengkorak raksasa yang demikian dahsyat dan mengerikan?
Di dalam persembunyian itu, Menteri Lu Pin tidak tinggal diam dan enak-enak saja. Dia mengadakan hubungan dengan para pemimpin pemberontak atau pejuang rakyat yang menentang pemerintahan An Lu Shan dan kawan-kawannya. Tiga orang panglimanya yang setia kerap kali datang ke goa itu untuk menerima petunjuk-petunjuk, mendatangi patriot-patriot yang dikenal baik oleh Lu Pin, menerima harta pusaka yang diambil sedikit demi sedikit untuk membiayai pasukan-pasukan pejuang!
Akhirnya, harta pusaka itu habis digunakan oleh para pejuang dan yang tinggal hanyalah sebatang pedang pusaka Kerajaan Tang yang disebut Liong-coan-kiam. Lu Pin merasa puas dan senang sekali. Betapa pun juga, dia masih sempat melakukan bakti terhadap negara. Kalau tadinya para pemimpin pejuang masih sering datang untuk merawat dan mencarikan makan baginya, kini kakek ini tidak memperbolehkan mereka datang lagi.
“Kalian berjuanglah. Usirlah penjajah dari tanah air dan tolonglah rakyat jelata dari pada penindasan. Itulah kewajiban orang-orang gagah di dunia ini. Dan tentang aku... jangan kalian pedulikan. Aku sudah tua dan kalau untuk mencari makan saja, di bukit ini masih banyak buah-buah dan sayur-sayur yang dapat kumakan. Tinggalkan aku seorang diri,” katanya.
Dan semenjak saat itu, benar saja kakek ini hidup sebagai seorang pertapa, seorang diri di tempat sunyi itu. Pada waktu dia merasa lapar, dia keluar dari goanya untuk mencari buah-buah yang dapat mengenyangkan perut. Pintu raksasa itu dapat dibuka dari dalam dengan mudah, karena ada alat pembukanya.
Pada suatu hari, karena makanan yang disediakan di dalam goa sudah habis, kakek Lu Pin hendak keluar dari goa untuk mencari buah-buah baru. Seperti biasa pula, sebelum membuka pintu raksasa itu terlebih dahulu dia mengintai dari lubang kecil yang sengaja dibuatnya untuk mencari tahu keadaan di luar goa.
Alangkah kagetnya ketika dia melihat betapa di luar goa itu sudah dipenuhi orang-orang yang berpakaian sebagai tentara dan terdengar pula ringkik kuda di luar goa. Dia dapat mengerti bahwa mereka ini adalah pasukan dari pemberontak An Lu Shan, maka segera dia menutup itu dan kembali ke dalam goa, duduk di dekat hio-louw besar sekali sambil bersemedhi untuk menenteramkan hatinya.
Ia maklum bahwa fihak pemberontak telah menemukan tempat persembunyiannya. Akan tetapi diam-diam kakek ini tertawa memikirkan bahwa kedatangan mereka itu tentu bukan semata-mata untuk menangkapnya, melainkan lebih banyak akibat tertarik untuk merebut kembali harta pusaka Kerajaan Tang. Dan harta pusaka itu telah habis dia pergunakan untuk membiayai perjuangan rakyat!
Benar saja dugaan Menteri Lu Pin. Yang datang itu adalah barisan penyelidik dari An Lu Shan yang terus-menerus mencari Lu Pin serta harta pusaka kerajaan yang dibawanya lari. Melihat keadaan goa ini, para penyelidik itu menjadi curiga. Biar pun mereka belum dapat memastikan bahwa orang yang dicari-carinya berada di dalam goa, akan tetapi keadaan goa yang tersembunyi ini hendak mereka selidiki.
Di antara pemimpin pasukan ini, terdapat beberapa orang perwira yang sangat kuat dan berkepandaian tinggi. Dengan mempersatukan seluruh tenaga, akhirnya mereka berhasil juga membuka pintu raksasa.
Akan tetapi segera mereka melompat mundur kembali dengan muka pucat sekali dan tubuh menggigil ketika mereka menyaksikan barisan tengkorak besar-besar menyambut mereka di belakang pintu! Dan anehnya pintu raksasa itu tertutup sendiri!
Hal ini sebetulnya terjadi karena memang pintu itu dipasangi alat oleh Menteri Lu Pin dan apa bila terbuka, dapat tertutup kembali. Untuk kakek itu, mudah saja membuka pintu dari luar karena ada rahasianya dari luar.
“Goa siluman...,” berkata seorang perwira ketakutan.
“Goa tengkorak raksasa... siapa tahu di dalamnya terdapat siluman atau raksasa hidup?” kata yang lain.
“Agaknya tak mungkin tempat seperti ini didiami oleh manusia,” kata pula suara lain.
Akan tetapi mereka tetap tidak mau meninggalkan goa itu dan menjaga di luar goa, agak jauh di tempat aman. Sampai dua pekan lamanya mereka tetap berada di tempat itu!
Tentu saja kakek Lu Pin yang sudah tua dan lemah tubuhnya itu tidak mempu menahan lagi. Setiap hari dia selalu mengintai dari lobang dan melihat betapa goa itu tetap terjaga, tahulah dia bahwa dia akan mati kelaparan di dalam goa. Akan tetapi dia tidak gentar menghadapi maut.
Di dalam keadaan tersiksa ini, teringatlah dia akan Lu Kwan Cu. Seluruh keluarganya telah musnah, kecuali Lu Thong. Ia telah mendengar dari para pemimpin pejuang rakyat bahwa cucunya itu bahkan menerima kedudukan dari pemberontak An Lu Shan. Hal ini amat menyakitkan hatinya.
“Thian Yang Agung, mengapa dalam keluarga hamba terlahir manusia seperti itu? Rusak dan hancurlah nama keluarga Lu oleh binatang Lu Thong itu...” berpikir sampai disini, sering kali kakek ini menangis sedih.
Lalu dia teringat kepada Lu Kwan Cu, cucu angkatnya. Kepada anak inilah harapannya disandarkan dan sekarang, pada saat menghadapi maut, kakek ini mengerahkan seluruh tenaga terakhir untuk mengukir beberapa huruf pada dinding goa. Dengan tangan-tangan gemetar dan tubuh lemas dia mengukir huruf-huruf pesan terakhir untuk Lu Kwan Cu ini, kemudian setelah ukiran huruf-huruf itu selesai, dia roboh tak sadarkan diri lagi sampai maut merenggut nyawanya!
Pada saat bekas Menteri Lu Pin yang setia itu menghembuskan napas terakhir di dalam Goa Tengkorak, di luar goa terjadi hal yang lebih hebat lagi.
Tiga orang tinggi besar berpakaian seperti petani sedang dikeroyok hebat oleh puluhan orang pasukan penyelidik An Lu Shan. Mereka ini bukan lain adalah tiga orang panglima yang dahulu mengawal Menteri Lu Pin. Sudah berbulan-bulan mereka tidak datang dan kini mereka sengaja datang hendak mengunjungi kakek Lu Pin. Betapa kaget dan cemas hati mereka melihat puluhan orang anggota pasukan musuh sedang menjaga di situ!
Tanpa banyak tanya lagi, tiga orang panglima yang sekarang sudah berganti berpakaian bagai petani itu lalu mencabut senjata dan menyerang pasukan musuh. Mereka mainkan golok besar mereka dan sekali lagi mereka mengamuk seperti ketika dahulu mereka mengamuk membela Lu Pin dari kepungan bala tentara musuh. Banyak anggota tentara lawan mandi darah menjadi korban golok besar mereka.
Akan tetapi selain fihak musuh terlalu banyak jumlahnya, juga di situ berkumpul pula para perwira-perwira barisan pemberontak An Lu Shan yang berkepandaian tinggi, maka tiga orang panglima itu sebentar saja sudah terkurung dan terdesak sangat hebat. Telah ada beberapa luka di tubuh mereka terkena senjata musuh, namun mereka mengamuk terus laksana tiga ekor naga sakti.
Pada saat nyawa tiga orang panglima gagah yang setia ini terancam maut, tiba-tiba saja terdengar bentakan nyaring.
“Anjing-anjing pengkhianat, rebahlah kalian!”
Bentakan ini disusul munculnya seorang gadis cantik yang gagah sekali. Usianya masih sangat muda, baru belasan tahun. Pakaiannya sederhana sekali dan ringkas, pedangnya tergantung di pinggang sebelah kiri.
Akan tetapi gadis muda ini benar-benar hebat sekali sepak terjangnya. Begitu ia muncul, terdengar jeritan-jeritan di sana-sini dan kelihatan robohnya banyak anggota tentara An Lu Shan yang mengeroyok ketiga orang panglima itu. Padahal gadis itu tidak mencabut senjata sama sekali dan hanya mempergunakan kedua tangan dan kakinya saja.
Melihat hal ini, para perwira yang tadi mendesak tiga orang panglima pengikut Lu Pin itu terpecah menjadi dua dan empat orang perwira segera menyambut kedatangan gadis itu. Melihat gerakan yang tangkas dan kuat dari para perwira, gadis ini kemudian mencabut senjatanya, yakni sebatang pedang panjang yang cahayanya berkilauan tertimpa cahaya matahari.
Akan tetapi empat orang perwira musuh itu ternyata cukup tangguh sehingga meski pun dengan susah payah, mereka masih dapat menghadapi amukan gadis cantik ini. Akan tetapi tiba-tiba entah dari mana datangnya, muncul seorang nenek tua yang memegang cambuk. Sekali cambuknya berbunyi di udara, empat orang perwira yang mengeroyok gadis itu berseru kaget dan senjata golok mereka terbang pergi dari tangan mereka.
Ternyata bahwa cambuk itu mempunyai sembilan cabang dan kini dengan sekali gerakan saja telah dapat membelit serta merampas senjata empat orang itu sekaligus! Gadis itu berseru gembira dan dua kali pedangnya bergerak, robohlah dua orang perwira dengan kepala terpisah dari tubuhnya. Yang dua lagi tidak sempat melarikan diri, karena cambuk nenek itu mengejar mereka dan ujung-ujung cambuk yang seperti ular itu menotok jalan darah kematian di punggung mereka, membuat mereka roboh tak bernyawa lagi.
Kemudian gadis dan nenek itu mengamuk. Banyak sekali tentara di fihak musuh tewas, termasuk para perwira yang mengeroyok tiga panglima pengikut Lu Pin. Hanya sedikit saja yang dapat melarikan diri, karena biar pun banyak yang melompat ke atas kuda dan membalapkan kuda mereka, namun gadis cantik itu mengeluarkan panah tangan lantas berkali-kali tangannya bergerak. Setiap gerakan melayangkan sebatang anak panah dan robohlah seorang penunggang kuda. Dari puluhan orang pasukan itu, hanya ada tujuh orang saja yang sempat melarikan diri dan terbebas dari pada maut.
Siapakah gadis dan nenek yang sakti itu? Nenek itu bukan lain adalah Kiu-bwe Coa-li, nenek sakti tokoh besar dari selatan. Gadis itu adalah muridnya, yakni Bun Sui Ceng, bocah perempuan yang dahulu amat lincah itu dan kini telah berubah menjadi seorang gadis yang amat cantik dan perkasa.....
Tiga orang panglima itu memandang semua sepak terjang yang hebat dari nenek serta gadis itu dengan bengong dan kagum. Kemudian mereka cepat menjura dengan hormat dan seorang di antara mereka berkata,
“Banyak terima kasih atas budi pertolongan Suthai dan Lihiap. Jika tidak ada pertolongan Ji-wi, tentu kami sudah menjadi korban keganasan anjing pemberontak itu. Mohon tanya, siapakah Suthai dan Lihiap yang gagah perkasa?”
Kiu-bwe Coa-li menggerak-gerakkan cambuknya dengan sikap tidak sabar, “Sudahlah, cukup segala penghormatan ini. Pinni (aku) bukan menteri, juga bukan kaisar. Lebih baik lekas tunjukkan saja di mana adanya Lu Pin bekas menteri itu!”
Melihat sikap yang amat galak dari Kiu-bwe Coa-li, tiga orang panglima itu terkejut sekali. Mereka maklum bahwa di dunia kang-ouw banyak sekali terdapat orang-orang aneh dan maklum pula bahwa tokoh-tokoh ini sering kali mengejar harta-harta pusaka. Siapa tahu kalau-kalau nenek sakti yang amat galak ini pun mencari Menteri Lu Pin dengan maksud kurang baik. Mereka adalah patriot-patriot sejati yang gagah, yang siap mengorbankan nyawa untuk membela tanah air dan bangsa, siap pula membela Menteri Lu Pin yang amat mereka junjung tinggi.
“Suthai menanyakan Lu-taijin ada maksud apakah?” tanya seorang di antara mereka.
Bun Sui Ceng memandang khawatir. Ia sudah maklum akan watak gurunya yang keras dan tidak mau dibantah oleh siapa pun juga. Benar saja, nenek sakti itu mengerutkan kening dan pecutnya bergerak-gerak di tangannya.
“Kau peduli apa dengan segala urusanku? Hayo katakan di mana dia berada dan habis perkara!”
Namun tiga orang panglima itu adalah orang-orang yang setia. Jangankan baru gertakan seorang nenek tua yang sakti, walau pun maut mengancam nyawa, mereka takkan sudi membuka rahasia persembunyian Menteri Lu Pin.
“Kalau Suthai tidak memberitahukan maksud Suthai menjumpai Lu-taijin, maafkan kami tidak dapat memberitahukan di mana tempat tinggalnya.”
Baru saja pembicara itu menutup mulutnya terdengar bunyi nyaring sekali dan…
“Tarrr…!”
Cambuk di tangan nenek itu menyambar turun ke atas kepala tiga orang panglima tadi!
“Suthai, jangan...!” Bun Siu Ceng melompat maju sambil mengangkat kedua tangannya seakan-akan melindungi kepala ketiga orang panglima itu. “Mereka adalah para pejuang rakyat, jangan dibunuh!”
“Pejuang atau bukan, mereka telah kurang ajar dan harus dibunuh, habis perkara!” jawab Kiu-bwe Coa-li dengan suara menyeramkan.
Sui Ceng cepat menjatuhkan diri berlutut di hadapan gurunya dan berkata dengan suara memohon.
“Suthai, ampunkan kesalahan mereka. Mereka tidak tahu siapa adanya Suthai. Biarlah teecu (murid) yang bicara dengan mereka.”
Cambuk berekor sembilan itu masih bergetar di tangan Kiu-bwe Coa-li dan dipegang di atas kepalanya. Akan tetapi, perlahan-lahan cambuk itu turun dan nenek itu lalu berkata penuh penyesalan.
“Hemm, kau anak nakal! Siapa peduli akan menteri dan kaisar? Dasar kau yang senang mencari-cari perkara!”
Namun jawaban ini sudah cukup bagi Sui Ceng. Setiap kali gurunya menyebutnya ‘anak nakal’, itu berarti bahwa gurunya memenuhi permintaannya. Dengan girang dia kemudian melompat bangun dan menghadapi tiga orang panglima yang memandang dengan mata terbelalak, masih kaget dan takut melihat sikap Kiu-bwe Coa-li yang aneh dan galak.
“Sam-wi Lo-pek (Paman Bertiga), sebenarnya guruku ini tidak peduli sama sekali tentang di mana adanya Lu-taijin. Hanya atas desakanku saja beliau terpaksa mencari tempat persembunyian Lu-taijin. Harap Sam-wi jangan mencurigai kami. Walau pun kami sudah mendengar bahwa Lu-taijin membawa harta pusaka besar, namun kami bukan sebangsa perampok dan kunjungan kami hanya sekedar hendak bertemu karena aku ingin sekali bicara dengan orang tua yang mulia dan gagah perkasa itu.”
Merahlah wajah tiga orang panglima itu mendengar ini. Mereka segera menjura dalam sekali dan salah seorang di antara mereka berkata,
“Maaf, maaf! Mohon maaf sebanyaknya bahwa kami yang sudah menerima pertolongan, sebaliknya telah berani mati untuk mencurigai Ji-wi. Kebetulan sekali kami pun baru saja tiba dengan maksud mengunjungi Lu-taijin yang sudah lama kami tinggalkan di sini. Akan tetapi ketika tadi kami melihat pasukan pemberontak berkumpul di sini, kami menjadi khawatir dan segera menyerbu mereka. Lu-taijin berada di dalam goa itu, Lihiap. Marilah kita bersama-sama masuk ke dalam untuk menemuinya, karena kami sudah sangat ingin melihat keadaannya.”
Biar pun tiga orang panglima itu bergerak cepat memasuki goa, tetap saja Kiu-bwe Coa-li dan Sui Ceng dapat mendahului mereka. Dan alangkah heran dan kaget hati tiga orang itu ketika melihat betapa dengan tangan kirinya saja Kiu-bwe Coa-li dapat mendorong pintu raksasa itu sehingga terbuka, nampaknya tanpa mengerahkan tenaga sedikit pun juga.
Mereka mengeluarkan lidah saking kagumnya. Mereka bertiga yang bertenaga besar masih tak dapat mendorong pintu itu terbuka dan biasanya mereka hanya masuk dengan mempergunakan alat pembuka pintu yang tersembunyi di luar pintu itu.
Lima orang ini memasuki pintu. Kiu-bwe Coa-li nampak tertegun sejenak ketika melihat tengkorak-tengkorak raksasa itu. Biar pun ia seorang nenek sakti yang sudah ratusan kali menghadapi bahaya maut dan kejadian yang aneh-aneh serta menyeramkan, akan tetapi selama hidupnya baru pertama kali ini ia menyaksikan tengkorak-tengkorak yang begitu menyeramkan.
Ada pun Bun Sui Ceng yang masuk di belakang gurunya, mengeluarkan seruan tertahan dan merasa bulu tengkuknya berdiri! Tak terasa pula dia memegang tangan gurunya.
“Apa kau takut?” tanya Kiu-bwe Coa-li tak puas sambil menoleh dan memandang kepada muridnya. Bun Sui Ceng cepat melepaskan pegangan tangannya dan menggeleng, kini mengangkat dada dan mengedikkan kepalanya yang manis.
Mereka masuk terus ke dalam dan tiba-tiba tiga orang panglima itu menjerit berbareng.
“Lu-taijin...!”
Tergopoh-gopoh mereka berlari mendatangi tubuh kakek yang telah menggeletak miring di bawah dinding goa itu. Tangan kiri kakek itu memegang pedang Liong-coan-kiam, ada pun tangan kanannya memegang alat pengukir.
“Lu-taijin...!” kembali tiga bekas penglima itu berseru sambil beramai-ramai mengangkat tubuh kakek itu yang sudah lemas dan dingin.
Melihat sekelebatan saja, Kiu-bwe Coa-li tahu bahwa kakek itu sudah tak bernyawa lagi.
“Tidak perlu ribut-ribut, dia sudah mati,” katanya. “Marilah kita pergi, Sui Ceng, untuk apa berdiam di sini lebih lama lagi setelah orang yang ingin kau temui itu meninggal dunia?”
Akan tetapi muridnya tidak menjawab dan ketika Kiu-bwe Coa-li memandang, dia melihat muridnya itu tengah membaca ukir-ukiran yang berada di dinding tepat di mana kakek tadi menggeletak mati. Kiu-bwe Coa-li melangkah maju dan turut membaca huruf-huruf yang diukir amat indahnya itu.
Lu Kwan Cu
Kau cucu tunggal setelah seluruh keluargaku dibakar oleh pemberontak An Lu Shan. Lu Thong tidak termasuk hitungan. Kepadamu kuharapkan agar kau membinasakan seluruh keluarga An Lu Shan, bukan untuk membalaskan kesengsaraan keluargaku, melainkan kesengsaraan rakyat dan negara! Pedang Liong-coan-kiam kuberikan kepadamu. Sekali lagi, bebaskanlah rakyat dari pada angkara penjahat besar An Lu Shan sekeluarganya!
Kongkong-mu,
LU PIN
“Hebat! Sampai nyawanya meninggalkan raga, beliau tetap seorang patriot sejati untuk nusa dan bangsanya,” kata Sui Ceng dan ketika Kiu-bwe Coa-li memandang, ia melihat mata muridnya itu berlinang air mata.
“Hmm, hmm, hmm, kau sudah terpengaruh oleh semangat kakek itu, Sui Ceng. Mari kita kembali ke gunung, untuk apa menyeret diri ke dalam kancah permusuhan?”
Gadis itu menggelengkan kepalanya. “Tidak, Suthai. Meski pun Suthai di mulut berkata demikian, akan tetapi teecu telah tahu akan perasaan hati Suthai. Bukankah dulu Suthai juga menjadi marah dan mencoba untuk membasmi kaki tangan An Lu Shan? Teecu akan membantu untuk memenuhi cita-cita Lu-taijin yang mulia, hendak teecu basmi para penjahat yang menindas rakyat itu,” katanya dengan gagah.
Kiu-bwe Coa-li menggeleng-gelengkan kepalanya. “Mereka itu kuat sekali, Sui Ceng. An Lu Shan dibantu oleh banyak orang pandai dan agaknya sudah menjadi takdir bahwa negara kita harus berada dalam kekuasaan mereka. Lagi pula, bukankah menurut pesan Lu-taijin, yang diserahi tugas adalah Lu Kwan Cu? Heran aku, siapakah Lu Kwan Cu itu?”
Tiba-tiba Sui Ceng tersenyum. Gadis ini memang luar biasa sekali, mudah menangis dan mudah pula tersenyum. Dia teringat akan Kwan Cu, bocah gundul itu dan tak terasa pula dia tersenyum geli apa bila mengingat betapa tugas seberat itu diserahkan kepada bocah gundul setolol itu!
“Suthai, tidak ingatkah Suthai akan anak laki-laki yang menjadi sebab keributan dahulu? Semua tokoh besar memperebutkan dia, gara-gara kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu!”
Berubah wajah nenek sakti itu. “Ahh... dia...?” Dia mengerutkan kening dan berkata. “Sui Ceng, bocah itu bukan bocah biasa dan siapa tahu kalau-kalau dia sudah mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!”
Sui Ceng kembali tersenyum geli. “Mana mungkin begitu, Suthai? Pada waktu gurunya, Ang-bin Sin-kai, tewas oleh keroyokan kaki tangan An Lu Shan, Kwan Cu tidak muncul dan sudah lama sekali dia tak memperlihatkan diri. Bagaimana dia bisa melakukan tugas sepenting ini? Biarlah aku mewakilinya, karena tugas ini bukan hanya tugasnya, akan tetapi tugas setiap orang gagah yang membela negara dan bangsanya.”
Diam-diam Kiu-bwe Coa-li bangga dan girang melihat sikap muridnya. Tidak percuma ia mempunyai murid yang hanya seorang ini, karena memang muridnya ini berjiwa gagah. Dia sendiri jemu untuk berurusan dengan segala keruwetan dunia, apa lagi ia memang merasa amat kecewa ketika tak berhasil membinasakan tokoh-tokoh yang mengkhianati bangsa.
“Baiklah, Sui Ceng. Kau boleh melakukan tugas ini, akan tetapi kau berhati-hatilah. Dan jangan lupa bahwa kau harus mencari Pak-lo-sian Siangkoan Hai, maksudku sebetulnya, kau harus mencari pemuda murid iblis utara itu, The Kun Beng.”
Merah sekali wajah Sui Ceng. Sebetulnya ia mengerti akan maksud gurunya, akan tetapi untuk mendapatkan penjelasan yang lebih nyata, ia pura-pura bertanya,
“Mengapa teecu harus mencari dia, Suthai?”
“Bocah bodoh! Seorang anak harus mentaati kehendak orang tuanya. Sebagai gurumu, aku sendiri tidak dapat berkata apa-apa, karena dalam hal perjodohan, orang tuamulah yang lebih berhak. Biar pun ibumu sudah tidak ada, akan tetapi pesannya harus ditaati. Bukankah ibumu sudah mengikatkan tali perjodohan antara kau dan The Kun Beng murid kedua dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai? Nah, kau carilah dia supaya perjodohan ini dapat dilangsungkan segera. Tentu saja kau harus memberi tahu padaku apa bila pernikahan akan dilangsungkan.”
Warna merah makin menjalar luas sampai membikin merah kedua telinga gadis itu.
“Aahh, Suthai...! Perlu benarkah itu? Antara dia dan aku tidak ada hubungan sedikit pun juga. Bahkan semenjak kanak-kanak sampai sekarang, aku tak pernah melihat dia!”
“Meski pun begitu, Sui Ceng. Jodoh itu sudah ditakdirkan oleh Thian dan disahkan oleh orang tua. Apakah sulitnya mencari murid dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai? Dia tentu lihai sekali seperti suhu-nya.”
Sui Ceng cemberut. “Walau pun dia lihai dan baik, teecu tidak peduli, Suthai. Mana ada wanita mencari laki-laki? Jika dia memang sudah diikatkan dengan teecu, kenapa bukan dia yang mencari teecu? Mengapa harus teecu yang mencarinya? Teecu tidak sudi!”
Kiu-bwe Coa-li tertawa, suara ketawanya aneh sekali. “Bodoh, apa kau lupa bahwa kita berdua menyembunyikan diri di gunung dan tidak seorang pun tahu di mana kita berdua? Andai kata dia mencari, apa kau kira dia mampu menemukan kita? Sudahlah, kau boleh berangkat dan hati-hatilah, jangan kau berpikiran singkat. Ingatlah semua nasehat dan pelajaran yang selama ini kau dapatkan dariku.”
Kiu-bwe Coa-li lalu meraba kepala muridnya dengan sentuhan mesra. Menghadapi sikap yang tidak seperti biasanya dari gurunya, terharulah hati Sui Ceng sehingga gadis ini lalu memeluk gurunya sambil menangis.
“Jaga baik-baik dirimu, Suthai. Tidak lama lagi teecu tentu akan menyambangi Suthai di puncak gunung.”
Pada saat itu, tiga orang panglima sedang sibuk mencoba untuk memindahkan hio-louw (tempat abu hio) yang sangat besar, akan tetapi sia-sia belaka. Hio-louw itu beratnya seribu kati lebih dan tidak dapat mereka angkat!
Mendengar suara mereka “ah-ah-uh-uh-uh!” mengerahkan tenaga, Kiu-bwe Coa-li lantas menengok.
“Eh, ehh, ehh, tidak mengurus jenazah baik-baik melainkan mengangkat-angkat hio-louw besar itu, apa-apaan kalian ini?” Kiu-bwe Coa-li menegur mereka.
Mendengar ini, tiga orang itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kiu-bwe Coa-li.
“Suthai yang mulia, tolonglah kami. Lu-taijin dulu pernah berpesan bahwa apa bila beliau meninggal dunia, agar supaya jenazahnya dikubur di bawah hio-louw ini. Tidak tahunya hio-louw ini demikian beratnya sehingga kami bertiga tidak kuat memindahkannya.”
“Hm, hm, hm, orang-orang lemah seperti kalian ini mana bisa berhasil melawan pasukan-pasukan An Lu Shan?” kata Kiu-bwe Coa-li mengejek.
Akan tetapi dia bertindak juga menghampiri hio-louw itu. Dengan tangan kanannya dia memegang telinga hio-louw lalu dengan sekali sentak, hio-louw itu terangkat naik dan diturunkannya lagi di tempat yang agak jauh dari tempat semula!
Ketiga orang itu saling pandang dan mereka menghaturkan terima kasih sambil berlutut. Kemudian mereka cepat-cepat menggali lubang di bawah hio-louw itu.
Kiu-bwe Coa-li mengambil pedang Liong-coan-kiam dari tangan jenazah Lu Pin. Nenek ini memandang pedang itu dan mengangguk-angguk kagum.
“Pedang pusaka yang baik,” katanya.
“Suthai, pedang itu adalah pedang untuk Kwan Cu,” berkata Sui Ceng, mengira bahwa gurunya menginginkan pedang tadi.
“Untuk apa pedang macam ini bagiku?” kata Kiu-bwe Coa-li.
Sekali dia menggerakkan tangan yang memegang pedang, pedang itu meluncur seperti anak panah dan tertancap sampai ke gagangnya pada dinding batu karang yang diukir oleh Lu Pin! Pedang itu tertancap di tengah-tengah tulisan-tulisan itu sehingga sukarlah bagi orang biasa untuk mencabutnya kembali!
“Aku pergi dulu, Sui Ceng,” kata nenek itu dan tanpa menanti jawaban tubuhnya sudah berkelebat lenyap dari situ.
Tiga orang panglima yang sedang menggali lubang, melihat kepergian nenek itu, menjadi bingung sekali. Mereka keluar dari lubang dan menjatuhkan diri berlutut di hadapan Sui Ceng.
“Lihiap, harap kau jangan pergi dahulu. Siapa yang akan mengembalikan hio-louw itu ke tempat semula?”
Sui Ceng ragu-ragu. Akan tetapi melihat kepada mayat Menteri Lu Pin yang wajahnya masih membayangkan keagungan, dia pun lalu mengangguk.
Tiga orang itu bekerja keras dan sesudah lubang itu cukup dalam, dan dengan penuh penghormatan serta diantar oleh tangis, mereka mengubur jenazah Menteri Lu Pin. Sui Ceng lalu mengerahkan tenaganya, akan tetapi hanya sesudah mempergunakan kedua tangannya, gadis ini dapat memindahkan hio-louw yang memang amat berat itu.
Tiga orang panglima itu juga membaca tulisan yang diukir di dinding, kemudian mereka menyatakan kepada Sui Ceng bahwa di dalam perjuangan mereka hendak mendengar-dengar pula kalau-kalau ada pemuda seperti yang dimaksudkan oleh mendiang Lu-taijin itu. Setelah itu, mereka lalu keluar dari goa.
Sui Ceng berkata, “Mari kita tutup goa ini dengan batu-batu agar tidak ada sembarang orang dapat memasukinya dan mengganggu goa ini.” Setelah berkata demikian, gadis ini melempar-lemparkan batu-batu besar menutupi mulut goa.
Tiga orang itu tertegun. “Akan tetapi... bagaimana kalau pemuda yang bernama Lu Kwan Cu itu datang ke sini? Bagaimana dia akan dapat masuk?”
Sui Ceng tertawa. “Kalau dia sanggup menunaikan tugas yang diberikan kepadanya, apa susahnya untuk membongkar batu-batu ini dan membuka goa?”
Terpaksa tiga orang itu lalu membantu sehingga sebentar saja goa itu telah tertutup oleh batu-batu yang bertumpuk dan tidak kelihatan dari luar. Kemudian tanpa banyak cakap lagi Sui Ceng lalu melompat pergi diikuti oleh pandang mata tiga orang panglima itu yang merasa takjub dan kagum sekali…..
********************
“Turunkan aku...! Lepaskan aku...! Lepaskan, kau laki-laki kurang ajar!”
Gadis dalam pondongan Kwan Cu itu meronta-ronta dan memaki-maki minta dilepaskan dari pondongan. Namun Kwan Cu tidak mempedulikannya, sama sekali tidak menjawab bahkan membiarkan saja kedua tangan gadis itu memukul-mukuli dadanya.
Ia merasa betapa pukulan tangan gadis itu cukup antep dan keras, namun baginya tidak terasa sama sekali. Diam-diam Kwan Cu merasa mendongkol sekali, maka dia sengaja tersenyum sambil berlari terus dengan cepatnya, keluar dari kota raja.
Akhirnya gadis itu tak dapat melanjutkan makiannya karena dia merasa lelah. Dia hanya menangis sambil menyembunyikan mukanya di atas dada pemuda yang membawanya lari.
Setelah tiba jauh dari tembok kota raja, Kwan Cu masuk ke dalam hutan dan barulah dia menurunkan gadis itu di bawah sebatang pohon. Malam telah berganti pagi dan keadaan yang suram sejuk itu seakan-akan menyatakan kepadanya akan kecantikan wajah dan keindahan bentuk tubuh gadis yang telah ditolongnya. Kwan Cu tersenyum.
“Nah, di sini kau boleh memaki-maki dan menjerit sekerasmu. Para pengejar dari istana telah tertinggal jauh dan keadaan kita tidak terancam bahaya lagi.”
“Kau... kau laki-laki kasar, kurang ajar dan sombong! Kau berani memondongku, laki-laki sopan tidak akan sudi menyentuh kulit tubuh seorang gadis yang tidak dikenalnya. Kalau ada kakakku di sini, kepalamu tentu akan dihancurkan!” Gadis itu memaki lagi dengan sepasang matanya bersinar-sinar, menyaingi bintang pagi yang masih berkedip-kedip di angkasa.
Kwan Cu tersenyum lebar. “Kau maksudkan kakakmu Gouw Swi Kiat? Murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai? Aha, dia takkan marah-marah seperti kau, bahkan akan mengucapkan terima kasih kepadaku. Wahai gadis manis, tahukah kau mengapa aku menolongmu?”
“Mengapa lagi kalau kau tidak tertarik oleh kecantikan seorang gadis muda? Laki-laki di mana-mana sama saja, gila kecantikan dan lupa daratan, lupa peri kemanusiaan menjadi budak nafsu binatang!”
Berkerut kening Kwan Cu. Hatinya tersinggung sekali.
“Hemm, entah karena memang watakmu yang galak dan kasar ataukah karena kau telah mengalami banyak penderitaan maka kau bisa mengeluarkan tuduhan keji itu. Dengarlah perempuan, aku menolongmu karena empat hal. Pertama-tama aku benci melihat An Kong si pangeran botak yang mata keranjang itu. Ke dua karena aku mendengar bahwa kau adalah kekasih The Kun Beng, salah seorang kenalanku yang baik. Ke tiga, karena kau adalah adik dari Swi Kiat seorang sahabatku pula, dan keempat karena aku melihat muka si tua Siangkoan Hai dan murid-muridnya. Kau kira aku mempunyai maksud lain apa lagi? Kalau kau tidak suka, sudahlah, biarkan aku pergi. Terima kasih atas segala makian dan tuduhanmu yang keji!”
Setelah melontarkan kata-kata ini dengan suara gemas, Kwan Cu segera membalikkan tubuhnya dan hendak pergi. Dia merasa mengkal sekali.
“In-kong... (tuan penolong), perlahan dulu...”
Kwan Cu mengangkat alis dan menoleh. Ia tertegun melihat gadis itu berdiri memandang padanya dengan mata sayu dan di atas kedua pipi yang halus itu nampak butiran-butiran air mata! Benar-benar heran sekali, bagaimana gadis ini yang tadi marah-marah malah sekarang berbalik menangis? Sikap dan watak wanita benar-benar merupakan teka-teki besar bagi Kwan Cu.
“Ada apa lagi kau memanggil aku? Mengapa pula memakai sebutan In-kong? Aku tidak menolongmu. Apakah kurang cukup makian-makianmu tadi?”
Makin deras keluarnya air mata dari sepasang mata yang bening itu.
“Benar-benarkah kau... tidak akan menggangguku seperti yang kusangka semula?”
Kwan Cu tersenyum pahit, lalu menggeleng-geleng kepalanya. “Kau memang manis dan gampang menggugah hati laki-laki untuk mengganggumu. Akan tetapi karena kau sudah terlalu banyak menderita yang diakibatkan oleh sinar mata keranjang pria kau kemudian menganggap bahwa semua laki-laki gila nafsu dan mata keranjang. Tidak Nona, aku Lu Kwan Cu selama hidupku tidak akan mempergunakan kekerasan mengganggu wanita.”
Gadis ini terkejut mendengar nama ini, karena tadi di dalam kamar An Kong, dia sama sekali tidak memperhatikan nama ini.
“Jadi kau ini Kwan Cu murid Ang-bin Sin-kai yang sering di sebut-sebut oleh Kun Beng? Ahh, maafkan aku... maafkan aku yang sedang menderita ini...”
Tiba-tiba gadis itu menubruk maju dan berlutut di depan Kwan Cu.
Pemuda ini menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum. Kemudian dia mengangkat tubuh gadis itu sambil memegang kedua pundaknya.
“Sudahlah, Nona, tak perlu semua penghormatan ini dan kau janganlah terlalu berduka, tidak baik untuk kesehatanmu.”
Mendengar ucapan ini, gadis itu lalu memeluk dan menjatuhkan mukanya di dada Kwan Cu seakan seorang adik yang minta hiburan dari seorang kakak yang menyayanginya.
“Nasibku amat buruk...,” keluhnya sambil menangis.
Kembali Kwan Cu menggeleng kepala berkali-kali. Aneh sekali watak gadis ini, pikirnya. Tadi ditolong dan dipondong begitu saja, memaki-maki dan meronta-ronta, mengatakan dia kurang ajar dan tidak sopan. Sekarang atas kehendak sendiri bahkan memeluknya dan mendekapkan muka di dadanya. Alangkah anehnya. Akan tetapi timbul hati kasihan di dalam hatinya menyaksikan gadis itu terisak-isak di dadanya.
“Tenanglah, diamlah, Nona. Kenapa kau begini berduka?” Tanpa terasa, darah Kwan Cu panas juga.
Dia seorang pemuda yang belum pernah berdekatan dengan seorang wanita, apa lagi sampai bersentuhan kulit atau lebih-lebih lagi memeluk tubuh seorang gadis yang begitu cantik. Otomatis tangannya mengelus-elus rambut yang hitam panjang serta halus itu, sedangkan hatinya berdebar tidak karuan.
Rabaan tangan penuh kasih dan iba di rambutnya agaknya terasa oleh gadis itu. Dengan kaget dia menjauhkan dirinya, memandang kepada Kwan Cu, akan tetapi sekarang sinar ketakutan dan curiga telah lenyap dari matanya.
“Apakah kau kenal baik dengan Kun Beng dan kakakku Swi Kiat?” tanya gadis itu.
“Aku hanya bertemu dengan mereka pada waktu aku masih kecil. Dahulu kakakmu itu seorang anak yang berangasan, berbeda dengan Kun Beng yang halus dan ramah. Akan tetapi dahulu aku tidak tahu bahwa Swi Kiat mempunyai seorang adik perempuan yang bernama Kui Lan.”
Gadis itu, Gouw Kui Lan, tersenyum pahit. “Memang kakakku selalu ikut dengan gurunya dan aku tinggal di rumah bersama orang tuaku. Akan tetapi sekarang kedua orang tuaku sudah meninggal dunia dan aku hidup berdua dengan Kiat-ko. In-kong, aku hendak minta pertolonganmu, kau usahakanlah perdamaian antara Kiat-ko dan Kun Beng.”
“Ehh, mengapakah? Apakah mereka itu berselisih?”
Kui Lan mengangguk dan menarik napas panjang, kemudian duduk di atas akar pohon. “Duduklah, In-kong. Mereka tak hanya berselisih, bahkan Kiat-ko telah bersumpah untuk mencari dan membunuh Kun Beng... Dan aku tidak rela melihat Kun Beng terbunuh oleh kakakku. Aku... aku cinta kepada Kun Beng.”
Merah muka Kwan Cu mendengar pengakuan yang dianggapnya amat ganjil dari mulut gadis ini.
“Aku sudah mendengar ketika kau bicara dengan pangeran botak An Kong. Akan tetapi, kenapa mereka bermusuhan? Mereka adalah saudara sepergururan, bagaimana mereka bisa bermusuhan sedemikian hebatnya sehingga kakakmu bersumpah untuk membunuh sute-nya sendiri?”
Sampai beberapa lama Kui Lan ragu-ragu, kemudian dia menghela napas dan berkata, “Kun Beng sering kali membicarakan engkau, dan memujimu sebagai seorang yang aneh dan berbudi. Oleh karena itu, tiada salahnya apa bila aku menceritakan semua peristiwa yang kualami kepadamu, apa lagi karena aku juga hendak minta tolong kepadamu untuk mengakurkan mereka kembali.”
Kui Lan lalu bercerita, menuturkan pengalamannya dengan singkat. Akan tetapi, supaya lebih jelas bagi kita, marilah kita mengikuti sendiri semua pengalamannya itu.
Swi Kiat dan Kui Lan adalah putera-puteri dari keluarga Gouw yang bertempat tinggal di dalam Propinsi Hok-kian. Sesungguhnya ayah dari kedua orang anak ini adalah bekas seorang perwira Kerajaan Tang yang sudah mengundurkan diri karena tidak suka melihat kaisar dan para pembesar lain melakukan korupsi besar-besaran dan bukan merupakan pemimpin dan pelindung rakyat, malah sebaliknya mereka merupakan pemeras-pemeras berwewenang yang lebih jahat dari pada perampok-perampok tulen.
Bekas perwira she Gouw ini lalu membawa keluarganya pindah ke dalam dusun. Dengan uang simpanan yang tidak seberapa dia membeli tanah dan hidup sebagai petani yang berbahagia dan tenteram. Dia di segani di dusunnya karena selain luas pengertiannya, juga dia mempunyai kepandaian silat yang bagi orang-orang dusun sudah sangat tinggi sehingga dusun itu menjadi aman. Tidak ada orang jahat berani memperlihatkan aksinya setelah Gouw-ciangkun ini tinggal di situ.
Pada suatu hari, Swi Kiat dan adiknya bermain-main di halaman depan rumahnya. Ketika itu Swi Kiat baru berusia lima tahun dan Kui Lan berusia tiga tahun. Sebagai putera seorang petani, Swi Kiat memang amat rajin. Kalau dia tidak membantu para pekerja di ladang, baik hanya untuk mengawasi atau pun membantu sedikit-sedikit sesuai dengan kemampuan tenaganya yang masih kecil, tentulah dia membantu pekerjaan ibunya. Pada hari itu, Swi Kiat sedang bertugas menjaga adiknya yang masih kecil dan mengajaknya bermain-main.
Pada saat mereka bermain-main, mendadak kelihatan seorang kakek kecil pendek yang berpakaian sederhana. Entah kakek ini datangnya dari mana karena tahu-tahu dia telah berada di luar pekarangan rumah dan duduk di atas rumput, memandang ke arah dua orang anak yang bermain-main itu.
Swi Kiat dan Kui Lan melihat pula orang itu, akan tetapi tidak memperhatikannya karena hanya mengira bahwa kakek itu seorang dusun lain yang duduk beristirahat. Padahal sebetulnya kakek ini bukan lain adalah Pak-lo-sian Siangkoan Hai, seorang tokoh besar yang baru namanya saja sudah cukup hebat untuk membuat penjahat-penjahat segera mengangkat kaki seribu!
“Engko Kiat, ambilkan bunga itu...,” kata Kui Lan merengek-rengek.
“Mengapa kau minta bunga yang buruk di atas pohon itu? Lebih baik kucarikan bunga teratai di empang atau bunga mawar di kebun belakang, lebih bagus dan lebih mudah mengambilnya,” jawab kakaknya.
“Tidak mau, aku mau bunga yang di atas pohon itu!’ Kui Lan tetap merengek.
“Baiklah, baiklah, tapi jangan kau menangis,” Swi Kiat marah-marah, akan tetapi dia lalu naik ke atas pohon itu untuk mencarikan bunga bagi adiknya.
Dalam usia lima tahun, Swi Kiat telah mulai berlatih silat dan tubuhnya digembleng oleh ayahnya sehingga dia mempunyai tenaga dan kegesitan yang lebih dari pada anak-anak biasa. Bagaikan seekor monyet, dia memanjat pohon itu dan mengambilkan tiga tangkai bunga.
Tetapi, sebelum dia turun, tiba-tiba dia merasa seluruh tubuhnya sakit dan gatal-gatal. Alangkah kagetnya ketika anak ini melihat bahwa dia telah dikeroyok oleh ratusan ekor semut merah karena tanpa disengaja dia tadi telah menyentuh sarang mereka.
Swi Kiat memiliki ketabahan besar dan biar pun dia sibuk sekali mengusir semut-semut yang menggigit badannya, dia tidak mengeluarkan keluhan dan hanya berseru, “Semut... semut...!”
Ia merayap turun sambil menggaruk sana menepuk sini. Gigitan semut-semut merah itu sakit dan gatal luar biasa sehingga anak ini tidak dapat tahan lagi. Ketika dua tangannya sibuk mengusir semut, keseimbangan tubuhnya menjadi kacau sehingga dia terpeleset dari atas dahan!
Anak itu tentu akan mengalami bencana hebat karena dia terjatuh dari dahan yang tinggi sekali. Akan tetapi sebelum tubuhnya terbanting di atas tanah, tiba-tiba terdengar suara orang.
“Bodoh sekali...!”
Dan tahu-tahu tubuh Swi Kiat sudah ditangkap oleh sebuah lengan yang pendek kecil sehingga dia tidak sampai terbanting ke atas tanah. Kakek yang tadi tengah duduk di luar pekarangan, tahu-tahu telah berada di situ dan dapat menyambut tubuh Swi Kiat dengan amat mudah.
Swi Kiat masih sibuk mengusiri semut dan menggaruk ke sana ke mari. Biar pun semua semut itu sudah pergi, akan tetapi gatal-gatal masih hebat sekali sehingga anak ini tidak mempedulikan kakek yang telah menolongnya.
Tiba-tiba kakek itu menggerakkan tangannya dan pundak Swi Kiat ditampar. Aneh sekali, seketika itu juga lenyaplah rasa gatal serta sakit bekas gigitan semut, sungguh pun di sana sini masih nampak merah-merah bekas gigitan. Swi Kiat memandang dengan mata terbelalak, barulah dia teringat bahwa kakek ini telah menolongnya, maka serta merta dia menjatuhkan diri berlutut.
“Kakek yang baik, terima kasih atas pertolonganmu.”
Pak-lo-sian Siangkoan Hai senang sekali melihat Swi Kiat. Ia dapat melihat bahwa anak ini bertulang baik dan bakatnya luar biasa. Juga melihat betapa dalam penderitaan, anak itu tidak mengeluh sama sekali, membuktikan bahwa anak itu mempunyai ketabahan dan ketenangan. Tiga tangkai kembang masih saja di pegangnya, ini pun menyatakan bahwa dia memiliki dasar kesetiaan.
Swi Kiat lalu memberikan kembang itu kepada Kui Lan yang menerimanya dan lantas bersembunyi di belakang kakaknya, karena dia takut melihat kakek kecil pendek yang suaranya nyaring itu.
“Anak yang tangkas, apa bila hendak mengambil bunga di atas pohon, mengapa harus susah-susah memanjat pohon yang banyak semutnya?” kata Siangkoan Hai tertawa.
“Ehh, kakek yang aneh. Kembang berada di atas pohon, jika tidak memanjat naik, habis bagaimana mengambilnya?” tanya Swi Kiat heran.
Siangkoan Hai tertawa semakin keras. “Banyak jalannya. Kau dapat menyambit tangkai kembang sehingga kembang-kembang itu turun sendiri ke bawah, atau kau dapat pula melompat dan mengambilnya tanpa menyentuh dahan pohon yang banyak semutnya.”
Swi Kiat berpikir sejenak, kemudian dia menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata, “Membicarakannya sangat mudah, akan tetapi siapa dapat melakukan hal itu?” Memang Swi Kiat seorang anak yang keras hati dan tidak mau kalah begitu saja bila tidak melihat buktinya.
“Kau tidak percaya kepadaku? Lihatlah baik-baik!”
Pak-lo-sian Siangkoan Hai mengambil segenggam batu kerikil, lantas sekali tangannya bergerak, lima butir kerikil lalu melayang ke arah pohon dan... tak lama kemudian, lima tangkai bunga melayang ke bawah.
“Hebat bukan main kepandaianmu menyambit, kakek yang baik. Akan tetapi, bagaimana dengan jalan ke dua?”
Siangkoan Hai tertawa makin keras dan tiba-tiba tubuhnya yang pendek kecil melayang ke arah pohon. Gerakan tubuhnya hampir tak dapat diikuti oleh pandangan mata karena tiba-tiba dia sudah turun kembali dan ditangannya terdapat sepuluh tangkai bunga!
Bunga-bunga ini dia berikan kepada Kui Lan yang tertawa-tawa gembira. Anak ini belum dapat menghargai dan mengagumi semua perbuatan kakek itu yang dianggapnya aneh. Yang membikin dia gembira adalah pemberian bunga-bunga yang banyak itu.
“Luar biasa sekali!” tiba-tiba terdengar suara Gouw-ciangkun datang berlari-lari dari luar pekarangan, terus menjura dengan hormat kepada Siangkoan Hai.
“Ayah, kakek ini lihai sekali, aku ingin belajar ilmu kepandaian dari padanya,” berkata Swi Kiat sambil memandang kepada Pak-lo-sian Siangkoan Hai dengan mata kagum.
“Locianpwe benar-benar amat mulia, sudi mengajak main-main anak-anakku yang bodoh dan nakal,” kata Gouw-ciangkun.
“Memang puteramu ini berjodoh dengan aku, biarlah dia menjadi muridku,” Pak-lo-sian Siangkoan Hai berkata.
Gouw-ciangkun adalah seorang bekas perwira dan ahli silat, karena itu dia pun tahu akan perlunya anak-anaknya mempelajari kepandaian silat. Mendengar ucapan kakek yang kecil pendek ini, dia lalu menjura dan berkata,
“Banyak terima kasih atas budi Locianpwe, tetapi bolehkah kiranya siauwte mengetahui nama Locianpwe yang mulia?”
Pak-lo-sian Siangkoan Hai berwatak keras dan sombong, akan tetapi dia jujur dan baik hati. Ia tidak menjawab pertanyaan Gouw-ciangkun, karena baginya perkenalan tak ada artinya dan bersopan-sopan juga bukan kegemarannya, dia bahkan bertanya kepada Swi Kiat.
“Ehh, bocah tangkas. Sukakah kau menjadi muridku?”
Swi Kiat memang cerdik. Ia sudah yakin betul bahwa kakek ini seorang luar biasa, maka dia segera menjatuhkan diri berlutut.
“Suhu, teecu merasa gembira sekali.”
Siangkoan Hai tertawa dan menoleh kepada Gouw-ciangkun. “Puteramu sudah setuju, aku tak punya banyak waktu. Selamat tinggal!” Tiba-tiba saja ia berkelebat dan tahu-tahu kakek itu dan juga Swi Kiat tidak kelihatan pula bayangannya.
Gouw-ciangkun terkejut bukan main. Ia girang bahwa puteranya mendapatkan guru yang demikian lihai, akan tetapi dia juga merasa gelisah karena tidak tahu siapakah gerangan guru anaknya itu. Maka biar pun kakek itu sudah tidak kelihatan, dia tetap berseru keras.
“Locianpwe, mohon kau sudi meninggalkan nama!”
Entah dari mana datangnya, terdengar amat jauh akan tetapi jelas sekali, ada jawaban, “Orang menyebutku Pak-lo-sian!”
Mendengar ini, Gouw-ciangkun tertegun dan berdiri seperti patung. Ia girang bukan main dan juga kaget karena sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa kakek kecil pendek itu adalah tokoh besar dari utara yang karena kesaktiannya mendapatkan julukan Dewa Utara!
Demikianlah, semenjak hari itu Swi Kiat mengikuti suhu-nya dan tidak lama kemudian gurunya mengambil murid seorang anak lain, yakni The Kun Beng. Hanya sekali dalam setahun, kadang-kadang sampai dua tahun, Swi Kiat datang mengunjungi orang tuanya atas perkenan suhu-nya yang mengajaknya merantau jauh.
Kehidupan keluarga Gouw aman dan tenteram sampai terjadi sebuah peristiwa beberapa belas tahun kemudian…..
Ketika itu Kui Lan telah berusia tujuh belas tahun dan dia merupakan seorang gadis yang sangat cantik jelita, bagaikan bunga mawar yang sedang mekar semerbak. Gadis ini pun mempelajari ilmu silat akan tetapi hanya di bawah pengajaran ayahnya sendiri yang tentu saja kalah jauh apa bila dibandingkan dengan tingkat kepandaian Siangkoan Hai.
Tiap kali Swi Kiat pulang mengunjungi orang tuanya, pemuda ini tentu memberi petunjuk-petunjuk kepada adiknya sehingga Kui Lan memperoleh kemajuan pesat. Tentu saja kini tingkat kepandaian Swi Kiat telah jauh melewati ayahnya sehingga orang tua itu menjadi amat bangga dan girang.
Sebagaimana sudah dituturkan di bagian depan, sejak Gouw-ciangkun tinggal di dusun itu, keadaan di situ aman dan tenteram, tidak ada penjahat yang berani memperlihatkan aksinya. Apa lagi setelah Kui Lan menjadi dewasa dan memiliki kepandaian silat tinggi, orang-orang makin menaruh hormat dan segan terhadap keluarga Gouw ini.
Akan tetapi, pada suatu hari, dusun ini sudah kedatangan rombongan orang-orang kasar yang ternyata adalah gerombolan perampok ganas yang melarikan diri dari utara karena mereka diobarak-abrik oleh Swi Kiat dan Kun Beng! Kepala perampok yang memimpin gerombolan ini bernama Ang Hok yang berjuluk Tok-hui-coa (Si Ular Terbang Berbisa).
Berkat penyelidikannya, Ang Hok mendapat keterangan bahwa seorang di antara kedua pemuda murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang gagah itu adalah putera Gouw-ciangkun yang tinggal di dusun Keng-kin-bun di sebelah utara kota raja. Dengan hati mengandung dendam, Tok-hui-coa Ang Hok lalu melarikan diri sambil membawa anak buahnya yang belum tewas menuju dusun itu untuk membalas dendamnya kepada keluarga Gouw!
Pada senja hari itu, Gouw-cingkun ditemani oleh isterinya serta Gouw Kui Lan, sedang makan malam sehabis bekerja keras sehari penuh, mengepalai para buruh tani di sawah. Mereka makan sambil bercakap-cakap dan seperti biasanya yang dipercakapkan mereka tentulah Swi Kiat.
“Tahun baru kurang tiga pekan lagi,” kata Gouw-ciangkun, “tentu Swi Kiat akan pulang.”
“Dulu Kiat-ko bilang bahwa sekarang dia jarang ikut suhu-nya merantau, karena kakek itu sekarang selalu bertapa di puncak gunung. Bahkan Kiat-ko sering kali mendapat tugas untuk membasmi para perampok dan membantu perjuangan rakyat dari pemberontak An Lu Shan,” kata Kui Lan menyambung.
Mereka bicara dengan asyik sekali. Tiba-tiba saja mereka terganggu oleh suara gemuruh di luar rumah, suara banyak orang datang berkumpul di sana. Lalu terdengar bentakan keras.
“Inilah rumah keluarga Gouw! Bakar habis, bunuh semua orang!”
Gouw-ciangkun cepat menyambar goloknya, sedangkan Kui Lan juga buru-buru berlari ke kamarnya mengambil pedang. Akan tetapi pada waktu itu, rumah bagian depan telah dibakar serta pintu depan sudah didorong roboh oleh Tok-hui-coa Ang Hok. Di belakang kepala perampok ini ikut masuk anak buahnya yang sebanyak dua puluh orang.
“Penjahat-penjahat rendah dari mana berani kurang ajar di rumah kami?” Gouw-ciangkun membentak marah dan menggerakkan golok menghadang mereka.
“Ha-ha-ha-ha! Inikah Gouw-ciangkun yang menjadi ayah dari si laknat Gouw Swi Kiat? Keluarga Gouw, bersiaplah untuk terima binasa!” kata Tok-hui-coa Ang Hok sambil maju menyerbu, mainkan ruyungnya yang besar dan berat.
Gouw-ciangkun dapat menduga bahwa mereka itu tentu penjahat-penjahat yang merasa sakit hati terhadap puteranya. Karena itu, tanpa banyak cakap lagi dia lalu menyambut serangan lawan dan mengamuk. Akan tetapi alangkah kagetnya saat dia merasa telapak tangannya panas dan sakit ketika goloknya bertemu dengan ruyung itu. Ternyata bahwa tenaga kepala perampok itu besar sekali. Sebentar saja Gouw-ciangkun sudah dikeroyok oleh banyak orang.
“Penjahat-penjahat anjing, jangan kurang ajar!’ Tiba-tiba Kui Lan membentak.
Gadis ini melompat keluar dari kamarnya dengan pedang di tangannya. Seorang anggota perampok yang sudah menghampiri nyonya Gouw dengan golok di tangan, tiba-tiba saja diserangnya sehingga penjahat itu menjerit dengan dada tertembus pedang!
“Ibu, menyingkirlah ke dalam kamar!” seru Kui Lan sambil memutar pedang, membantu ayahnya yang sudah terkepung dan terdesak.
Ada pun Tok-hui-coa Ang Hok ketika melihat munculnya seorang gadis yang sedemikian gagahnya, menjadi seperti linglung dan dia memandang tanpa berkedip.
“Ha-ha-ha-ha, tidak kusangka di sini terdapat setangkai bunga cilan yang harum! Kawan-kawan, keroyok dan binasakan anjing tua ini, biar aku memetik kembang itu!” katanya kemudian dan dengan ruyung diputar cepat dia menyambut Kui Lan.
Biar pun Gouw-ciangkun gagah, akan tetapi dia telah mulai tua dan tenaganya terbatas. Lagi pula, selama menjadi petani, jarang sekali dia melatih ilmu silatnya dan juga tidak pernah bertempur, maka gerakannya kaku sekali. Bagaimana kini dia dapat menghadapi keroyokan belasan orang perampok itu?
Memang benar bahwa dia telah berhasil pula merobohkan tiga orang pengeroyok setelah mengamuk secara nekat dan mati-matian. Akan tetapi akhirnya tubuhnya menjadi korban keganasan para perampok, dihujani oleh pukulan senjata tajam sehingga ia roboh mandi darah.
Ada pun Kui Lan, mana dia dapat melawan Tok-hui-coa Ang Hok yang sudah kawakan dan penuh tipu muslihat pertempuran? Baru dua puluh jurus saja pedang di tangan gadis ini telah terlempar jauh. Sebelum Kui Lan dapat mengelak, ia telah diringkus dan sebuah totokan di pundak membuatnya tidak berdaya lagi.
“Ha-ha-ha, kawan-kawan. Bunuh semua orang di dalam rumah dan bakar habis rumah ini!” teriak Ang Hok sambil lari keluar memondong tubuh Kui Lan.
Para perampok itu tentu saja tak mau menyia-nyiakan waktu baik ini. Mereka merampok dulu habis-habisan, baru membunuh nyonya Gouw dan membakar rumah itu. Kemudian, dalam perjalanan mereka menyusul pemimpin mereka, mereka terlebih dulu merampok habis dusun itu dan melakukan pembunuhan keji.
Dalam keadaan lumpuh tertotok jalan darahnya, Kui Lan dibawa pergi oleh Tok-hui-coa Ang Hok ke arah pegunungan batu karang di mana banyak terdapat goa-goa yang besar. Di goa-goa itulah sarang para perampok yang baru datang dari utara ini.
Di sepanjang jalan terdengar suara Ang Hok tertawa-tawa menyeramkan. Kepala rampok yang usianya sekitar empat puluh tahun, bertubuh tegap dan berwajah menyeramkan ini merasa girang sekali. Sekali ini hasil pekerjaannya memang hebat. Tidak saja dia dapat membalas dendam dan menghabiskan keluarga Gouw untuk membalaskan sakit hatinya terhadap Gouw Swi Kiat, juga dia berhasil mendapatkan seorang gadis yang cantik jelita seperti Kui Lan yang sedang dipondongnya itu.
Hampir pingsan Kui Lan mengalami perlakuan yang kasar dan tidak senonoh oleh kepala rampok ini, akan tetapi apa dayanya? Selain kalah pandai dalam ilmu silat, juga ia telah dibikin tidak berdaya, semua urat-urat ditubuhnya lemas dan tenaganya lenyap. Baiknya sebelum Ang Hok melakukan hal-hal yang lebih hebat lagi, datanglah para anak buahnya yang tertawa-tawa sambil memanggul hasil-hasil rampokan.
Ang Hok meninggalkan Kui Lan dan keluar dari dalam goa, menemui anak buahnya.
“Kawan-kawan sekalian. Bunga yang kupetik itu sungguh-sungguh cantik dan aku sudah mengambil keputusan untuk menjadikan isteriku. Bersiap-siaplah untuk merayakan pesta pernikahanku malam nanti!’
Kawan-kawannya bersorak gembira. Memang hal itu merupakan hal baru yang sangat mengherankan. Biasanya kepala rampok itu mengganggu anak bini orang dan sesudah bosan lalu dioperkannya kepada anak buahnya. Baru kali ini agaknya kepala rampok itu jatuh hati terhadap seorang wanita!
Kawanan perampok itu lalu mendatangi dusun-dusun dan memaksa orang-orang dusun supaya menyediakan hidangan untuk meramaikan pesta pernikahan pemimpin mereka. Kasihan sekali orang-orang dusun ini, karena mereka dengan hati berat dan terpaksa harus melakukan segala perintah ini. Suasana di pegunungan batu karang pada malam hari itu ramai sekali dan para perampok menari-nari dan minum sampai mabuk.
Akan tetapi, tiba-tiba di sana-sini terdengar jeritan orang dan beberapa orang perampok roboh tak bernyawa lagi. Seorang pemuda yang amat tampan dan gagah tahu-tahu telah berdiri di situ dan kedua tangannya bergerak-gerak. Tiap kali tangannya bergerak, sebutir benda hitam melayang dan mengenai seorang perampok yang tak dapat menghindarkan diri lagi, terus saja roboh dan mati!
Gegerlah keadaan di situ. Orang-orang dusun melihat kesempatan baik ini, cepat-cepat melarikan diri, pulang ke rumah mereka masing-masing di bawah gunung. Ada pun para perampok menjadi amat marah sehingga sebentar saja pemuda itu telah dikepung oleh perampok-perampok yang memegang senjata tajam di tangan.
Tok-hui-coa Ang Hok sendiri sudah menghadapi pemuda itu dengan ruyungnya yang berat. Sepasang matanya yang besar itu menjadi merah. Bukan main marahnya melihat pesta pernikahannya diganggu orang, apa lagi orang itu hanya seorang pemuda saja.
Akan tetapi, begitu dia mencabut ruyung dan melompat ke depan pemuda itu, barulah dia melihat siapa adanya orang ini dan terkejutlah dia bukan main.....
Pemuda itu dikenalnya sebagai The Kun Beng, orang kedua yang telah mengobrak-abrik sarangnya di utara, yakni sute (adik seperguruan) dari Gouw Swi Kiat!
Tanpa banyak cakap lagi, Ang Hok lalu berseru, “Kawan-kawan, keroyok...!” Dia sendiri pun lalu memutar ruyungnya dan mengemplang kepala pemuda itu.
Memang benar, pemuda ini adalah The Kun Beng, murid kedua Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang sudah kita kenal ketika dia masih kecil. Pemuda ini sudah dewasa, wajahnya tampan sekali. Mukanya berkulit putih halus, berbentuk bulat dengan sepasang alis hitam melengkung panjang menghias sepasang mata yang tajam berapi-api. Akan tetapi biar pun kedua matanya membayangkan pengaruh dan keberanian, namun mulutnya selalu tersenyum manis membayangkan kelembutan hatinya.
Kun Beng berdua dengan Swi Kiat memang telah mengobrak-abrik sarang Ang Hok yang mereka dengar amat jahat. Mereka berhasil mengobrak-abrik sarang, membunuh banyak perampok, akan tetapi Ang Hok tidak dapat mereka tewaskan karena kepala rampok ini keburu melarikan diri.
Lalu dua orang pendekar muda itu berpencar. Kun Beng berkewajiban untuk mengejar Ang Hok dan membasmi orang-orang jahat ini sampai ke akar-akarnya, ada pun Swi Kiat hendak pergi membantu perjuangan para petani yang sedang terkurung dan terancam oleh barisan dari pemerintah penjajah. Ini semua merupakan tugas yang diberikan oleh guru mereka.
Demikianlah, di satu fihak Swi Kiat menuju ke barat untuk melakukan tugas membantu barisan pejuang rakyat, ada pun Kun Beng terus mengejar Ang Hok ke selatan. Swi Kiat berjanji hendak menyusul ke selatan setelah tugasnya selesai.
Akan tetapi alangkah terkejutnya hati Kun Beng ketika tiba di dusun Keng-kin-bun pada malam hari itu, dia melihat ada rumah terbakar dan tangisan penduduk yang demikian memilukan hati. Segera dia mencari keterangan dan begitu mendengar bahwa di dekat situ terdapat gunung batu karang yang dijadikan sarang oleh gerombolan kejam, dia pun segera berlari secepat terbang menyusul ke tempat itu.
Dengan hati penuh kegeraman, dia melihat bahwa gerombolan itu bukan lain merupakan sisa-sisa perampok yang telah dibasminya. Mereka sedang merayakan pesta pernikahan Ang Hok dengan seorang gadis dusun yang diculiknya!
Segera pemuda ini menghujankan senjata rahasianya, yakni batu-batu hitam biasa yang bisa dipungutnya di mana saja. Memang, di samping ilmu silatnya yang tinggi, Kun Beng terkenal dengan kepandaiannya menggunakan batu-batu kecil sebagai senjata rahasia.
Dia melontarkan batu-batu bundar itu seperti seorang bermain gundu. Akan tetapi jangan dikira bahwa batu-batu itu tidak berbahaya sebab sentilan jari tangannya dapat membuat batu-batu itu berubah menjadi peluru yang dapat menembus tubuh manusia!
Demikianlah, setelah kini Ang Hok sendiri bersama anak buahnya maju mengeroyoknya, Kun Beng tertawa mengejek sambil mengeluarkan senjatanya yang telah banyak dikenal dan ditakuti oleh para penjahat, yakni sepasang tombak pendek. Sekali tangkis saja, dua batang golok penjahat lantas terlepas dari pegangan dan orang-orangnya roboh terpukul tombak yang gerakannya demikian cepat tak dapat diikuti oleh pandangan mata mereka.
Ang Hok maklum bahwa kepandaian pemuda ini memang lihai sekali, karena itu sambil berteriak-teriak mendorong anak buahnya agar mengurung lebih rapat, dia lalu melompat dan lari ke dalam goa. Disambarnya tubuh Kui Lan dan dibawanya lari turun gunung!
Kun Beng marah sekali. Tombaknya digerakkan cepat dan sebentar saja belasan orang pengeroyok sudah roboh malang melintang dalam keadaan tak bernyawa lagi. Kemudian pemuda perkasa ini lalu melompat dan mengejar Ang Hok.
Karena ilmu lari cepat dari Ang Hok memang sudah tinggi, maka walau pun Kun Beng belum kehilangan bayangan kepala rampok itu, masih saja dia belum dapat menyusulnya sampai fajar menyingsing dari timur. Ang Hok bukan seorang bodoh. Ia tidak mau turun gunung, sebaliknya dia bahkan berputar-putar di sekitar pegunungan yang banyak batu karangnya itu sehingga dia dapat bersembunyi. Akan tetapi mata pemuda pengejarnya awas sekali dan ke mana pun juga dia lari, selalu dapat dikejarnya.
Akhirnya Ang Hok berlaku nekat, dia berlari masuk ke dalam hutan batu karang penuh dengan rawa-rawa berbahaya. Mendadak, ketika melintasi sebuah tempat yang tertutup rumput setengah kering, kepala rampok ini memekik keras dan tubuhnya amblas sampai ke pinggang.
Ternyata bahwa dia sudah menginjak rawa berlumpur yang tertutup atau ditumbuhi oleh rumput! Dia meronta-ronta, namun gerakannya ini bahkan membuat tubuhnya tenggelam makin dalam sampai sebatas dada!
“Tolong... tolong…!”
Betapa pun kejam dan ganas adanya Tok-hui-coa Ang Hok, dan betapa pun berani dan tabah hatinya, saat menghadapi maut yang mencengkeramnya sedikit demi sedikit, mulut maut yang menelan nyawanya lambat-lambat itu, timbullah perasaan ngeri dan takutnya.
Kui Lan biar pun telah setengah lumpuh akibat totokan, namun ia masih sadar dan ia pun merasa ngeri ketika tubuhnya ikut amblas sampai pinggang. Ketika Ang Hok meronta-ronta, dia terbawa pula tenggelam sehingga sampai di pundak. Bahkan kedua lengannya yang lemas ikut pula tenggelam, berbeda dengan Ang Hok yang kini mengangkat kedua tangan ke atas dengan jari-jari tangan terbuka dan terpentang lebar.
Tadinya Kun Beng sudah kehilangan jejak Ang Hok, akan tetapi pekik mengerikan serta jeritan minta tolong itu menariknya ke tempat itu. Ia melihat betapa Ang Hok dan gadis itu terbenam di dalam lumpur, di dalam rawa yang kurang lebih empat tombak lebarnya.
“Tolonglah aku...!” jerit Ang Hok ketika dia melihat pemuda itu muncul di pinggir rawa.
Akan tetapi Kun Beng tentu saja tidak mau mempedulikannya, bahkan dia lalu memutar otak bagaimana dia dapat menolong gadis itu yang sebentar lagi tentu terbenam sampai lenyap.
“Tolonglah... Taihiap... tolonglah aku...!” kembali Ang Hok menjerit-jerit.
“Aku tak dapat menolongmu, pula agaknya inilah hukuman Thian kepadamu atas segala kejahatanmu, Tok-hui-coa,” Kun Beng berkata dengan suara dingin. “Apa bila aku dapat menolong juga bukan kau yang kutolong, melainkan nona itu yang menjadi korbanmu.”
Tanpa disadarinya Kun Beng mengeluarkan kata-kata yang salah sehingga tiba-tiba Ang Hok menjadi beringas dan tertawa bergelak.
“Kau tidak mau menolongku dan bermaksud menolong nona ini? Ha-ha-ha, lihat kalau kau tidak mau segera menolongku, sebelum aku mati terbenam, terlebih dahulu aku akan menekannya ke bawah lumpur!”
Sambil berkata demikian, kepala rampok ini lalu menaruh tangannya yang berlumpur di atas kepala Kui Lan. Memang, kalau dia mau, sekali tekan saja akan tamatlah riwayat hidup gadis ini, kepalanya akan terbenam di dalam lumpur dan dia pun akan mati.
Bingung sekali hati Kun Beng. Keparat, pikirnya, sekarang justru dia hendak memaksaku dengan mengancam nyawa gadis itu. Akan tetapi pemuda ini melihat bahwa kalau dia menolong kepala rampok ini, tentu keadaan gadis itu akan terlambat dan akan mati juga. Diam-diam dia lalu menggenggam erat-erat sebutir batu hitam.
“Dia akan mati, mati tersiksa. Kalau aku turun tangan membunuhnya, lebih baik baginya, bagiku dan juga bagi gadis itu,” pikir Kun Beng dan secepat kilat tangannya menyambar.
“Tak!”
Sebelum dia tahu apa yang terjadi, kepala Ang Hok telah terkena sambaran batu dan dia tewas pada saat itu juga. Batu ini memasuki kepalanya dan sekarang dengan lemas dia terkulai, perlahan-lahan tubuhnya dihisap oleh lumpur, seakan-akan di bawah lumpur itu terdapat siluman-siluman yang menarik kedua kakinya ke bawah!
Sekarang lumpur sudah sampai di bawah leher Kui Lan. Kun Beng tidak mau membuang banyak waktu lagi. Tubuhnya melompat dan melayang di atas permukaan rawa, kedua tangannya diulur ke depan. Karena tangan gadis itu sudah terbenam dan yang kelihatan hanya kepala, leher dan pundaknya, Kun Beng tak dapat berbuat lain kecuali menyambar baju di pundak gadis itu dan di dalam lompatannya yang kuat dan cepat, dia menarik baju itu.
“Breeeettt!”
“Celaka!” seru Kun Beng yang sudah berada di seberang rawa.
Karena kuatnya gadis itu terbenam dan juga kuatnya dia menarik baju, dia tidak berhasil membetot tubuh gadis itu karena pakaiannya yang disambar tadi robek-robek! Ketika dia menoleh, ternyata bahwa pakaian sebelah atas dari gadis itu telah lenyap dan ‘terbang’, kini berada di tangannya, pakaian yang penuh lumpur.
Dengan muka merah dan hati bingung, Kun Beng melemparkan pakaian itu. Akan tetapi tiba-tiba dia menjadi girang karena betapa pun juga, sebelah tangan gadis itu telah keluar dari dalam lumpur, terbawa oleh betotannya tadi.
Ada pun Kui Lan yang sejak tertawan oleh kepala rampok tadi sudah banyak mengalami penderitaan dan kekagetan, kini menjadi makin bingung dan malu sehingga kepalanya terkulai dan ia pun jatuh pingsan!
Sekali lagi Kun Beng melompat, dan kini dia menambah tenaga lompatannya. Ia berhasil menyambar lengan Kui Lan dan memabawa gadis itu ikut melayang. Akan tetapi tenaga lompatannya tertahan oleh berat tubuh gadis itu, apa lagi karena lumpur yang menahan tubuh gadis itu ternyata banyak melenyapkan tenaga lompatan Kun Beng. Hal ini lantas membuat Kun Beng dan Kui Lan melayang turun sebelum sampai di seberang lumpur itu!
Akan tetapi, kepandaian Kun Beng ternyata sudah hebat sekali. Dengan tenang pemuda ini menahan napas, lalu berseru keras sekali dan tahu-tahu tubuhnya mumbul kembali dalam keadaan berpoksai (membuat salto) dan dengan memondong tubuh Kui Lan yang penuh lumpur, akhirnya dia berhasil melompat ke seberang lumpur, di atas tanah yang keras! Pemuda itu menarik napas panjang dengan hati lega. Ia menoleh ke arah lumpur dan bergidik.
“Berbahya sekali,” pikirnya.
Kalau sampai dia terjatuh ke dalam lumpur itu bersama gadis yang dipondongnya, tentu mereka berdua akan tewas. Ia menoleh ke arah Ang Hok dan ternyata penjahat itu telah tenggelam, hanya kelihatan sedikit rambutnya saja. Ketika dia memandang ke bawah, ke arah tubuh gadis yang dipondongnya, mukanya menjadi merah sekali.
Ternyata bahwa tubuh bagian atas dari gadis itu sama sekali tidak tertutup oleh pakaian lagi! Akan tetapi dia merasa lega bahwa tubuh itu diselimuti oleh lumpur tebal sehingga gadis itu seakan-akan memakai pakaian berwarna abu-abu yang sangat pas dan ketat mencetak bentuk tubuhnya yang menggairahkan hati.
Kun Beng lalu membawa lari gadis itu, kembali ke dalam goa di mana tadi dipergunakan oleh gerombolan perampok sebagai sarang. Ternyata di dalam goa itu terdapat segala macam keperluan, sampai-sampai di situ tertimbun beras dan makanan.
Perlahan Kui Lan membuka matanya dan serentak gadis ini meloncat bangun begitu dia melihat bahwa dia sedang terbaring di atas pasir di dalam goa. Hatinya berdebar keras dan alangkah kagetnya pada saat dia menengok ke bawah melihat betapa punggung dan dadanya sama sekali tidak tertutup oleh pakaian.
Kemudian ia melihat seorang pemuda duduk di atas batu membelakanginya, nampaknya tengah melamun. Pemuda itu adalah pemuda tampan dan gagah yang tadi menolong dirinya.
“Keparat!” desis mulut Kui Lan melihat pemuda ini karena ia teringat akan keadaannya yang setengah telanjang.
Tanpa pikir panjang lagi ia kemudian menerjang dengan kepalan tangannya. Akan tetapi, bagaikan mempunyai mata di belakang kepalanya, pemuda itu mengelak dan berdiri lalu menoleh sambil tersenyum.
“Nona, mengapa kau menyerangku?”
“Kau... orang yang tidak tahu malu! Kau telah berani menghinaku, telah berani... merobek pakaianku. Hayo kembalikan pakaianku!”
Biar pun hatinya berdebar tak karuan dan darahnya panas mengalir di seluruh tubuhnya, terutama di mukanya yang tampan, Kun Beng berkata,
“Sabarlah, Nona. Aku tahu perasaanmu, akan tetapi harap kau jangan malu-malu. Meski pun pakaianmu sudah hilang, akan tetapi tubuhmu tertutup lumpur tebal. Bukankah itu sama pula dengan pakaian untuk sementara ini? Memang aku sengaja menanti sampai kau siuman agar kita dapat bicara secara baik-baik.”
“Kau... kau kurang ajar!” seru Kui Lan.
Kini dia cepat-cepat mempergunakan kedua lengan untuk disilangkan menutupi dadanya. Pergerakan ini membuat lumpur yang kering itu rontok sehingga nampak kulitnya yang putih. Kun Beng cepat membalikkan tubuh membelakangi gadis itu.
“Nona, aku sekarang sudah lega melihat kau tidak apa-apa. Sekarang aku akan pergi untuk mencarikan pakaian supaya kau dapat memakainya. Akan tetapi pesanku, jangan sekali-kali kau banyak bergerak dan jangan melenyapkan lumpur itu, karena betapa pun juga, lumpur itu merupakan pakaian yang indah dan cukup sopan.”
Setelah berkata demikian, Kun Beng berkelebat dan lenyap dari goa itu.
Kui Lan tertegun. Bukan main cepatnya gerakan pemuda itu, pikirnya, luar biasa sekali. Alangkah gagahnya dan tangkasnya karena kalau tidak mempunyai kepandaian tinggi, bagaimana dapat menolongnya dari cengkeraman penjahat dan dapat mengeluarkannya dari lumpur itu? Dan alangkah... tampannya!
Berpikir sampai di sini, Kui Lan lalu menjatuhkan diri duduk di atas batu dan tiba-tiba dia menjadi pucat. Baru sekarang dia teringat akan keadaan rumah dan orang tuanya.
“Ayah... ibu...!” Gadis ini berbisik dengan muka pucat sekali.
Dia belum tahu dengan jelas bagaimana nasib ayah bundanya, karena pada saat terjadi pengeroyokan, ia tidak sempat melihat keadaan ayahnya. Kui Lan melompat bangun dan lari keluar dari goa. Akan tetapi, dia segera melompat ke dalam kembali setelah teringat bahwa ia berada dalam keadaan setengah telanjang!
Ia bingung sekali. Menurutkan perasaannya, ingin sekali ia terbang kembali ke dusunnya melihat keadaan orang tuanya. Akan tetapi keadaannya tidak mengijinkannya.
Tiba-tiba terdengar suara orang memanggil dari luar goa.
“Kui Lan, pakailah pakaian ini.”
Dan dari luar goa lalu dilemparkan segulung pakaian yang diterima oleh gadis itu dengan girang. Cepat-cepat gadis ini menanggalkan semua pakaian yang masih menempel pada tubuhnya karena pakaian yang sudah terbenam lumpur itu betul-betul membuat seluruh tubuh terasa gatal-gatal dan kaku sekali. Sesudah dia memakai pakaian yang dilempar masuk oleh Kun Beng, ternyata pakaian itu pas betul dengan tubuhnya dan cukup pantas biar pun hanya pakaian wanita petani.
“Terima kasih, kau baik betul...,” kata gadis itu dari dalam goa.
“Tak usah berterima kasih, Kui Lan. Apakah kau sudah selesai berpakaian?” Pemuda itu bertanya.
Tiba-tiba terasalah di dalam hati Kui Lan betapa pemuda itu suaranya kini amat lemah lembut dan halus, sedangkan panggilan namanya begitu saja juga jauh berbeda dengan tadi.
Akan tetapi gadis ini kembali teringat akan orang tua dan rumahnya, maka ia cepat-cepat melompat keluar dari goa itu. Kun Beng sudah berdiri di depan goa sehingga mereka kini berhadapan.
“Aduh, pantas sekali kau memakai pakaian itu!” pujinya dengan pandang mata kagum.
Kui Lan menunduk dengan muka merah. “Jangan kau mengejek, ini hanya pakaian gadis petani sederhana saja.”
“Bahkan kesederhanaannya menonjolkan kecantikan yang wajar.” Kun Beng memuji lagi.
Pemuda ini memang sengaja memuji dan hendak menghibur hati gadis yang cantik ini. Karena ketika dia mencarikan pakaian untuk Kui Lan tadi, dia mendengar betapa ayah bunda dari gadis ini telah dibunuh secara mengerikan oleh kawanan perampok, ada pun rumahnya juga sudah terbakar musnah!
Berdebar-debar hati Kui Lan saat mendengar pujian-pujian itu. Ia mengangkat muka dan memandang kepada pemuda itu. Memang tampan, tampan dan gagah sekali, pikirnya. Dua pasang mata bertemu dan keduanya memandang penuh arti, sungguh pun berbeda sekali.
Kun Beng memandang dengan penuh keharuan dan iba hati terhadap gadis itu, namun sebaliknya Kui Lan memandang dengan penuh kagum, terima kasih dan ... suka. Ya, hati gadis ini telah jatuh begitu bertemu pandang dengan Kun Beng.
“Kau... siapakah namamu?” tanyanya setelah menunduk lagi karena pertemuan pandang itu membuat dia merasa malu-malu.
“Namaku The Kun Beng, pemuda perantau. Dan aku sudah tahu akan namamu, Kui Lan bukan? Aku mendengar dari orang-orang dusun itu.”
Kui Lan teringat kembali kepada orang tuanya. Dia cepat-cepat meloncat dan berkata, “Aku harus pulang...!”
Akan tetapi tiba-tiba gadis ini merasa terkejut dan marah sekali karena Kun Beng telah menangkap lengan kanannya.
“Ehh, kau mau apakah? Lepaskan tanganku!” bentaknya.
Kun Beng melepaskan pegangannya dan pandang matanya makin sayu.
“Kui Lan, kuminta supaya kau jangan kembali ke dusunmu.”
Gadis itu membuka matanya lebar-lebar. “Mengapa aku kau larang pulang dan apa pula maksud dan kehendakmu ingin menahanku?”
“Marilah kita duduk di tempat teduh itu, Kui Lan, dan kita bicara dengan tenang.” Tanpa sungkan-sungkan lagi Kun Beng lalu memegang tangan gadis itu dan menggandengnya, seperti laku seorang kakak terhadap seorang adiknya.
Melihat sikap yang sungguh-sungguh dari Kun Beng dan pemuda ini sama sekali tidak kelihatan hendak berbuat kurang ajar, hati Kui Lan mulai berdebar gelisah. Pasti ada apa-apa yang hebat, pikirnya. Otomatis dia teringat akan orang tuanya, maka dengan wajah pucat ia lalu memegang lengan pemuda itu tanpa menanti sampai di tempat teduh dan mengguncang-guncang lengan itu.
“Taihiap... katakanlah, apa yang terjadi dengan dusunku...? Dengan orang tuaku...?!”
Kun Beng mengerutkan alisnya. “Sabar dan tenanglah, Kui Lan. Marilah kita duduk di tempat yang teduh dan kau harus mendengar dengan tenang.”
“Tidak, tidak! Lekas kau katakan sekarang juga, atau... lebih baik aku pulang!” Ia hendak pergi, akan tetapi kembali Kun Beng menangkap lengannya. Pegangan tangan pemuda itu demikian kuatnya sehingga takkan ada gunanya kalau kiranya gadis itu memberontak.
“Apa boleh buat, Kui Lan. Dengarlah, kawanan perampok itu telah banyak mendatangkan bencana di kampungmu, merampoki rumah-rumah, membakar dan membunuh.”
“Ayah dan ibu...?”
Kun Beng mengangguk perlahan. “Ayah bundamu tewas dan rumahmu sudah dibakar oleh mereka...”
Tadi malam Kui Lan mengalami hal-hal yang menggoncangkan batinnya, dan tubuhnya masih lemah sekali. Kini mendengar warta yang hebat ini, seketika dia menjadi pucat, terhuyung dan tentu akan roboh kalau saja Kun Beng tidak cepat-cepat memeluk serta memondongnya.
Pemuda ini memang sudah dapat menduga lebih dahulu, maka cepat dia menotok jalan darah di leher gadis itu agar goncangan hebat tidak merusak ingatan gadis itu. Ia sengaja melarang gadis itu ke kampungnya, karena kalau gadis itu melihat sendiri bencana yang menimpa keluarganya, akan lebih fatal akibatnya.
Untuk menjaga ini pula, pada waktu dia mencarikan pakaian untuk Kui Lan, dia sengaja menyeret mayat-mayat perampok dan melempar mereka ke dalam rawa lumpur sehingga mereka semua terkubur di situ, supaya tidak kelihatan lagi oleh gadis itu musuh-musuh besarnya yang telah menghancurkan keluarganya.
Kemudian dia lalu membawa tubuh Kui Lan kembali ke dalam goa. Kui Lan mengalami pukulan batin dan tubuhnya mulai panas sekali. Ketika ia siuman dari pingsan, ia terus mengigau, memanggil-manggil ayah bundanya dan berkali-kali ia kembali roboh pingsan. Kun Beng merasa kasihan sekali, dan pemuda ini lalu merawat gadis itu baik-baik.
Selama tiga hari Kui Lan berada dalam keadaan setengah sadar dan setengah pingsan, tapi berkat perawatan yang penuh perhatian dari Kun Beng, krisis berbahaya telah lewat dan dia mulai sadar kembali. Panasnya berangsur-angsur berkurang dan kini ia merasa letih dan lemah. Ketika ia membuka matanya pada pagi hari ketiga, ia melihat Kun Beng duduk di dekatnya sambil memegang sebuah mangkok bubur.
"Makanlah, Kui Lan. Bubur ini akan menguatkan tubuhmu," katanya halus.
Untuk sejenak Kui Lan merasa nanar. Dia mengumpulkan ingatannya, mengenangkan semua peristiwa yang sudah terjadi. Kemudian dia menangis sambil menutupkan kedua tangan di mukanya. Dia teringat akan ayah bundanya yang tewas.
"Tenang, Manis. Jangan menurutkan perasaan hati," Kun Beng menghibur.
"Aku... sebatang kara...," Kui Lan mengeluh.
"Apa kau kira aku bukan orang?" Tanpa disengaja Kun Beng berkata demikian, meski pun maksudnya hanya untuk menghibur.
Kui Lan bangun duduk, akan tetapi segera meramkan mata kembali karena pusing. Kun Beng cepat menjaga punggungnya dan menempelkan mangkok pada bibir gadis itu.
"Minumlah bubur ini dulu."
Tanpa membuka matanya, Kui Lan lalu makan bubur itu, atau lebih tepat meminumnya. Setelah menghabiskan bubur hangat itu ia merasa peningnya hilang dan tubuhnya segar. Dibukanya kembali matanya, dan dipandangnya muka pemuda yang kini sedang berlutut di dekatnya.
"Berapa lamakah aku tak sadarkan diri?"
"Kau terkena demam selama tiga hari dan kau tidak ingat apa-apa, setiap hari kau hanya mengigau saja," kata Kun Beng sambil tersenyum. "Syukurlah sekarang kau telah sehat kembali."
"Tiga hari? Dan selama itu... kau telah menjaga dan merawatku di sini?"
Merah muka Kun Beng ketika gadis itu memandangnya sedemikian rupa. Ia pun segera mengangguk, akan tetapi segera dibukanya mulutnya.
"Apa artinya itu? Kau perlu ditolong dan di sini terdapat banyak bahan makanan."
"Ahh... The-taihiap... kau baik sekali..." kembali Kui Lan menangis saking terharu dan juga bersyukur bahwa di dalam penderitaannya yang hebat, dia bertemu dengan seorang pendekar muda yang demikian gagah perkasa dan budiman.
"Hushhh, sudahlah, memang sudah kewajibanku untuk menolongmu," Kun Beng berkata sambil menepuk-nepuk pundak gadis itu.
Tiba-tiba Kui Lan memegang lengan Kun Beng erat-erat. "Katakan, Taihiap, mengapa kau menolongku? Mengapa kau rela mengorbankan waktu dan tenaga untukku?"
Mata gadis itu memandang tajam. Kini terlihat sinar mata yang ganjil dan yang membuat Kun Beng berdebar hatinya. Gadis itu memang cantik sekali dan menarik hatinya yang masih muda, juga membuat darahnya yang masih panas itu bergolak.
"Mengapa? Karena kau perlu ditolong, karena aku kasihan padamu..."
"Taihiap, kau... kau suka kepadaku?"
Makin merah muka Kun Beng. Pertanyaan seperti ini tak disangkanya akan keluar dari mulut gadis itu. Akan tetapi ia maklum bahwa gadis itu masih lemah hatinya, masih amat perasa hatinya, dan sekali-kali tidak boleh dibikin kecewa atau berduka.
Untuk sekedar menghibur hati gadis itu, harus dibikin senang hatinya, dan pula memang dia suka kepada Kui Lan. Laki-laki manakah yang tidak akan suka melihat gadis yang demikian cantik manis, dan juga yang harus dikasihani nasibnya?
"Tentu saja, Kui Lan. Aku suka sekali padamu," jawabnya sambil tersenyum manis.
Dengan mata basah Kui Lan memandang kepada pemuda itu, suaranya tergetar penuh haru ketika dia mengajukan pertanyaan penuh mendesak.
"Dan cinta kepadaku?"
Bukan main bingungnya hati Kun Beng. Cinta? Ini adalah urusan lain lagi. Ia tidak berani memastikan apakah dia cinta kepada gadis ini. Apakah suka itu cinta? Ia memang suka dan kasihan, akan tetapi apakah ini boleh disamakan dengan cinta? Ia masih terlalu hijau untuk mengetahui soal-soal pelik ini.
Semenjak Kun Beng telah pandai mempertimbangkan sesuatu, pertunangannya dengan Bun Sui Ceng murid Kiu-bwe Coa-li seperti yang telah ditetapkan oleh gurunya membuat dia sering kali termenung mengenangkan wajah Sui Ceng.
Wajah seorang anak perempuan yang lincah, gembira dan juga manis sekali. Wajah ini lambat-laun menjadi bayang-bayang dalam mimpi dan biar pun dia tidak pernah bertemu dengan tunangannya itu, namun dia menggambarkan di dalam angan-angannya seorang gadis yang gagah perkasa, berwajah cantik manis dan setiap gerak-geriknya mencocoki hatinya. Ia berkeras hati menentukan bahwa dia mencintai Sui Ceng, tunangannya itu. Bukankah sudah semestinya begitu?
Namun bagaimana dia harus menjawab gadis yang sedang menderita sangat hebat ini? Wajahnya yang agak pucat, yang kini basah dengan air mata, suara yang mengandung harap dan permohonan itu, ahh, tidak sanggup Kun Beng mengecewakan Kui Lan.
Lagi pula, dia hanyalah seorang pemuda yang pertahanan imannya masih sangat lemah dalam menghadapi rayuan seorang wanita yang demikian cantiknya, yang dari pandang matanya merayu-rayu dan mengharapkan jawaban bahwa dia juga mencintai. Akhirnya, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun Kun Beng mengangguk-anggukkan kepalanya!
Kui Lan mengeluarkan keluh perlahan, suara keluhnya yang menyatakan keharuan dan kebahagiaan hatinya. Dia lantas menubruk pemuda itu dan menyadarkan mukanya pada dada Kun Beng.
Pemuda ini merasa betapa air mata yang hangat menembus baju dan membasahi kulit dadanya. Sampai lama mereka berada dalam keadaan ini dan semenjak saat itu mereka tenggelam dalam gelombang asmara, bagaikan dua orang yang amat berbahaya. Kurang pandai sedikit saja menguasai kemudi, biduk pun akan terguling tertelan buih-buih ombak yang berupa nafsu-nafsu hewani dalam diri setiap manusia!
Sampai dua hari lagi mereka berdua berada di dalam goa itu. Pada hari kedua, di waktu senja, tampak bayangan seorang pemuda bertubuh tegap bermuka gagah berlari-larian naik di pegunungan batu karang itu. Gerakannya amat gesit dan cepat, tanda bahwa dia telah memiliki ilmu ginkang yang luar biasa. Memang, setiap orang ahli silat tinggi yang melihatnya berlari-lari seperti itu akan mengetahui bahwa dia adalah seorang ahli dalam ilmu lari cepat Liok-te Hui-teng (Terbang di Atas Bumi).
Pemuda ini bukan lain adalah Gouw Swi Kiat, putera dari keluarga Gouw yang terbasmi oleh perampok, atau kakak dari Gouw Kui Lan. Wajahnya muram dan berduka, karena pemuda ini telah tiba di dusunnya dan melihat kehancuran keluarganya.
Ketika dia bertanya mengenai adik perempuannya, penduduk di dusunnya tak ada yang dapat memberitahukannya, hanya menyatakan bahwa ketika terjadi keributan, Kui Lan dilarikan oleh kepala perampok yang bersarang di atas pegunungan batu karang itu dan yang tadinya hendak dijadikan isteri oleh kepala rampok.
"Kemudian datanglah seorang pemuda gagah yang membunuh semua perampok itu, dan tentang adikmu, entah bagaimana nasibnya. Kami sekalian tak seorang pun berani naik ke sana," demikian orang-orang dusun menutup penuturannya.
Mendengar ini, Swi Kiat lalu langsung menuju ke gunung itu. Hatinya sedih bukan main, juga geram dan marah. Kalau saja para perampok itu masih hidup, biar pun sampai ke ujung dunia, pasti akan dikejar dan dibunuhnya semua.
Sesudah mencari ke sana ke mari, akhirnya dia pun sampai di luar goa bekas sarang perampok dan lapat-lapat terdengar olehnya ada orang sedang bercakap-cakap. Swi Kiat cepat menyelinap di antara batu-batu karang dan tanpa mengintai ke dalam, dia segera memasang telinga mendengarkan percakapan itu dari luar goa. Alangkah terkejutnya dan herannya ketika dia mengenal suara adiknya!
"Taihiap, sungguh aneh dan amat lucu bila kita renungkan keadaan kita. Aku yang telah menyerahkan jiwa ragaku kepadamu dengan penuh keikhlasan serta cinta kasih, belum pernah mendengar riwayatmu, bahkan belum mengenal betul keadaanmu. Sebaliknya, kau yang sekarang telah dapat dikatakan menjadi suamiku, juga belum mengetahui betul keadaanku…" suara ini terdengar demikian manja dan mesra.
Swi Kiat yang mengenal betul suara adiknya, menjadi ragu-ragu. Betul-betulkah itu Kui Lan yang bicara? Mengapa bicara seperti itu dan bicara kepada siapakah? Karena ingin tahu sekali, Swi Kiat dengan amat hati-hati mengintai dan alangkah herannya ketika dia melihat benar-benar adiknya dengan pakaian seperti petani wanita sedang rebah di atas lantai goa, merebahkan kepalanya di atas pangkuan seorang pemuda yang bukan lain adalah The Kun Beng, sute-nya sendiri!
Swi Kiat mengejap-ngejapkan matanya, merasa seperti dalam sebuah mimpi. Akan tetapi dia mendengar Kun Beng yang menjawab kata-kata adiknya tadi.
"Kui Lan, pertemuan kita memang kehendak Thian. Aku kasihan sekali kepadamu dan aku bersedia mengorbankan nyawa untuk menolong dan membelamu."
"Terima kasih, Taihiap. Kau memang laki-laki yang paling mulia di atas dunia ini."
Kun Beng duduk seperti orang melamun, wajahnya nampak tidak gembira. Berkali-kali dia menghela napas dan seperti tidak merasakan sesuatu sungguh pun tangan kirinya terus mengelus-elus rambut kepala gadis itu.
"Sayang sekali iblis mengganggu kita, Kui Lan, sehingga kita tidak berdaya dibuatnya, sehingga kita lupa... dan kita melakukan pelanggaran yang hebat... aku menyesal sekali."
"Tidak, Taihiap! Tidak demikian, aku tidak merasa menyesal. Aku memang sudah rela menyerahkan jiwa ragaku kepadamu. Hanya kau seorang di dunia ini yang akan dapat menguasai hatiku. Aku... aku girang dan bangga dapat menjadi..."
Sebelum Kui Lan mengatakan ‘istrimu’, lebih dulu Kun beng memutuskan omongannya. Pemuda ini paling takut dan tidak suka mendengar pengakuan Kui Lan sebagai isterinya.
"Kui Lan, aku berdosa besar. Aku telah mempergunakan kesempatan untuk menggangu seorang gadis sebatang kara..."
"Aku tidak sebatang kara, Taihiap. Bukankah ada kau di sini?"
"Maksudku, hidup seorang diri di dunia ini tanpa sanak tanpa saudara, sebatang kara seperti aku pula."
"Salah!" Kui Lan tertawa kecil. "Aku mempunyai rahasia, Taihiap. Sebetulnya aku masih memiliki seorang saudara, yakni kakakku yang menjadi seorang pendekar besar seperti engkau pula. Kakakku adalah murid dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai, seorang..."
"Apa katamu?! Siapakah nama kakakmu itu?" Kun Beng bertanya terkejut sekali dan melompat bangun sehingga Kui Lan juga ikut bangun.
"Mengapa kau sepucat ini, Taihiap? Kakakku adalah Gouw Swi Kiat."
"Aduhai, Kui Lan. Kenapa tidak kau katakan hal ini dulu-dulu kepadaku? Celaka...! Kukira kau…"
"Kau kira apa, Taihiap?" Kui Lan benar-benar gugup dan bingung.
"Kukira kau seorang gadis dusun biasa saja yang bernasib malang dan... dan... kalau aku tahu bahwa kau adalah adik dari suheng-ku, aku takkan... takkan berani..."
"Jadi kau ini sute dari Kiat-ko? Dia tidak pernah menceritakan perihal dirimu."
"Memang suhu melarang kami berbicara mengenai keadaan suhu dan murid-muridnya. Aduh, Kui Lan, bagaimana bisa terjadi hal seperti ini? Kau adik dari Gouw-suheng, dan aku... aku telah..."
Tiba-tiba terdengar suara dari luar goa dan Kun Beng cepat melompat. Akan tetapi dia didahului oleh masuknya seorang pemuda yang datang-datang terus memaki-maki.
"Kui Lan, kau gadis tak tahu malu! Kau mencemarkan nama keluarga kita! Sute, kau pun seorang berjiwa rendah, kau harus mempertanggung jawabkan semua perbuatanmu!"
Kalau saja yang muncul itu seorang siluman atau iblis yang bermuka mengerikan, belum tentu mereka akan sekaget itu. Apa lagi Kun Beng yang menjadi pucat dan dengan suara perlahan dia hanya bisa berkata, "Suheng..."
"Kiat-ko…," keluh Kui Lan yang sudah langsung mencucurkan air mata melihat kakaknya itu, "Mengapa kau baru datang? Ayah dan ibu..."
Wajah Swi Kiat menjadi semakin muram. "Ayah dan ibu dibunuh orang dan kau bahkan main gila dengan seorang laki-laki. Tak malukah engkau?"
"Kiat-ko, jangan berkata demikian keji! Ayah ibu dibunuh perampok dan para perampok itu telah terbalas oleh The-Taihiap ini. Dan aku... aku cinta padanya. Kiat-ko, kami... kami saling mencinta... harap kau ampunkan kami..."
Melihat adiknya ini, kemarahan hati Swi Kiat mereda. Ia pun menarik napas panjang, lalu menghadapi Kun Beng dengan muka keras.
"Sute, kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu. Kau harus menikah dengan adikku dan kau harus segera memberi laporan pada suhu, membatalkan pertunanganmu dengan Bun Sui Ceng!"
Muka Kun Beng menjadi pucat dan tubuhnya gemetar.
"Suheng, tak kusangka bahwa Kui Lan adalah adikmu... Tak mungkin aku membatalkan pertunangan itu, suhu akan marah sekali."
"Apa kau bilang? Tidak peduli suhu marah, namun kau harus berani menghadapi akibat perbuatanmu sendiri. Kau harus menjadi suami Kui Lan!"
Kun Beng menggeleng kepalanya. "Tidak ada niatku untuk menjadi suaminya, Suheng. Memang kami telah lupa dan terbujuk iblis, akan tetapi..."
"Apa? Kau tidak cinta padanya?"
"Aku... terus terang saja aku suka dan kasihan sekali kepada adikmu. Agaknya karena nasibnya yang malang, dan karena tadinya aku sendiri tidak tahu bahwa engkau adalah kakaknya, aku... aku merasa kasihan dan dia... dia menderita sakit, kurawat… dan... dan keadaan yang sunyi ini, ditambah cinta kasih adikmu kepadaku, membuat aku lupa..."
"Keparat! Lekas kau katakan bahwa kau bersedia membatalkan pertunanganmu dengan Bun Sui Ceng dan bersedia menikah dengan Kui Lan. Kalau tidak, aku akan lupa bahwa kau adalah sute-ku dan aku akan menghabiskan perhitungan ini dengan senjata!"
Swi Kiat yang berwatak keras menjadi merah mukanya dan dia sudah mencabut keluar senjatanya, yakni sebuah kipas yang amat lihai kalau dimainkan oleh murid Pak-lo-sian Siang-Koan Hai ini.
"Apa boleh buat, Suheng. Aku... aku tidak dapat melakukan sesuatu yang berlawanan dengan suara hati. Aku malu terhadap suhu, dan pula... aku tak ingin menjadi suami Kui Lan...”
"Keparat pengecut!"
Swi Kiat cepat menyerang sute-nya dengan kipas di tangannya. Serangan ini ditujukan ke arah ulu hati Kun Beng, sebuah serangan yang dapat mendatangkan maut apa bila mengenai sasaran.
Kipas ini pada bagian gagang dan rangkanya terbuat dari pada gading gajah, sedangkan permukaannya terbuat dari kulit harimau, tidak saja dapat dipergunakan untuk menampar dan memukul, juga amat berbahaya karena ujung-ujung gagangnya dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah.
Kun Beng cepat mengelak sambil berkata, "Suheng, jangan kau serang aku! Aku sudah menerima salah dan berdosa, janganlah menambah dosaku dengan mengangkat tangan melawanmu..."
Akan tetapi Swi Kiat tidak peduli, bahkan mendesak lebih hebat lagi.
"Kiat-ko... jangan kau serang dia...!" Kui Lan menjerit sambil menangis.
Gadis ini hatinya hancur ketika tadi mendengar penolakan Kun Beng. Dari sikap pemuda itu, kini tahulah ia bahwa sebetulnya Kun Beng sudah bertunangan, dan bahwa pemuda itu sebenarnya tidak cinta kepadanya, hanya suka dan kasihan. Rasa suka yang timbul dikarenakan hati kasihan, dan bahwa perbuatan Kun Beng terhadap dirinya lebih banyak dikuasai oleh nafsu semata, bukan oleh cinta kasih yang murni.
Hatinya perih sekali dan juga sakit, akan tetapi sekarang melihat Kun Beng diserang oleh kakaknya, ia menjadi khawatir. Betapa pun juga, ia masih cinta sekali kepada Kun Beng dan cintanya itu tidak akan mudah hilang begitu saja.
Seruan Kui Lan menambah kemarahan di hati Swi Kiat yang menyerang lebih hebat lagi dengan gerak tipu Khai-san Coan-hoa (Buka Kipas Menembus Bunga) dan dilanjutkan dengan gerak tipu Khai-san Koan-jit (Buka Kipas Menutup Matahari). Inilah tipu-tipu yang amat hebat dari ilmu kipas Im-yang San-hoat.
Melihat serangan-serangan ini, Kun Beng terkejut sekali karena maklum bahwa kakak seperguruannya bukan main-main lagi, namun menyerang untuk mengarah nyawanya!
"Suheng, ingatlah akan hubungan kita, ingatlah Suhu!" Kun Beng berseru kembali sambil sibuk mengelak ke sana ke mari atas serangan-serangan maut yang sedang dilancarkan oleh suheng-nya.
"Mampuslah, bedebah!" Swi Kiat maju mendesaknya.
Oleh karena cepatnya Swi Kiat menyerang, kipas maut pada tangannya sudah berhasil menyerempet pundak kiri Kun Beng yang lalu mengeluh sambil terhuyung ke belakang. Mukanya pucat dan dia telah menderita luka cukup parah di dekat sambungan tulang.
"Kiat-ko...! Jangan bunuh dia...!" Kui Lan menubruk kakaknya.
Pada saat itu, Kun beng sudah naik darah dan sambil meringis kesakitan pemuda ini juga telah mencabut senjatanya, yakni tombak pendek. Dengan senjata ini dia lalu membalas serangan suheng-nya, karena dia merasa telah dilukai.
Tusukan tombaknya ke arah dada itu dielakkan oleh Swi Kiat. Akan tetapi karena pada saat itu Kui Lan memberot bajunya dari belakang, gerakkannya terhalang dan tombak di tangan Kun Beng menyerempet pinggir lengannya.
"Brett!" baju itu robek sedikit dan kulit lengan terluka, walau pun tidak parah namun cukup banyak mengeluarkan darah.
"Kiat-ko, sudahilah pertempuran ini...! The-taihiap, cukuplah... kasihanilah aku...!" Kui Lan menangis dan memeluk kakaknya.
Tentu saja Swi Kiat menjadi terhalang dan kesempatan ini dipergunakan oleh Kun Beng untuk melompat keluar dari goa dan melarikan diri. Melihat hal ini, Kui Lan menjatuhkan diri di atas lantai goa dan menangis tersedu-sedu.
Tadinya Swi Kiat hendak mengejar bayangan Kun beng, akan tetapi melihat keadaan adiknya dia tidak tega meninggalkannya dan dia belutut di depan adiknya dan mendekap kepalanya.
"Kiat-ko..., ayah dan ibu..." Kui Lan terisak-isak.
Mengingat akan ayah bundanya, tak terasa Swi Kiat juga mencucurkan air mata. Kakak beradik itu menangisi nasib mereka dan kematian orang tuanya, dan keduanya melirik keluar goa di mana nampak bayangan Kun Beng berlari-larian cepat sekali, merupakan bayangan hitam di kala senja itu, seperti seekor kalong yang besar sekali terbang pergi.
"Kiat-ko, dia sudah pergi..." kata-kata ini merupakan ratapan hatinya yang merasa perih sekali.
"Aku akan mengejarnya," kata Swi Kiat.
"Kiat-ko, jangan kau bunuh dia. Betapa pun juga, aku cinta padanya, aku rela berkorban bagaimana juga untuknya. Aku akan setia sampai mati kepada The Kun Beng..."
Swi Kiat sudah mengerti bahwa hubungan antara adiknya dan sute-nya sudah demikian rupa sehingga mereka harus menjadi suami isteri, baik dengan cara kasar mau pun halus dia harus mengusahakan hal itu.
"Aku akan mengejarnya, Kui Lan. Jangan khawatir, aku tidak akan membunuhnya. Andai kata aku bermaksud membunuhnya juga, belum tentu aku mampu sebab kepandaiannya tidak kalah oleh kepandaianku. Aku akan mengusahakan agar dia suka kembali padamu, suka menjadi suamimu."
Setelah berkata demikian, Swi Kiat melepaskan pelukannya dan secepat kilat tubuhnya berkelebat keluar, berlari mengejar Kun Beng yang sudah tidak kelihatan bayangannya lagi.
Kui Lan yang ditinggal seorang diri di dalam goa menangis terguguk. Ia tidak tahu bahwa semenjak tadi, semenjak terjadi pertempuran antara Kun Beng dan Swi Kiat, terdapat bayangan orang lain yang mengintai dan mendengarkan semua peristiwa itu. Jangankan Kui Lan yang kepandaiannya belum cukup tinggi sehingga pendengarannya tidak dapat menangkap gerakan orang yang amat ringan itu, bahkan Kun Beng dan Swi Kiat yang mencurahkan seluruh perhatian untuk pertempuran itu, tidak mengetahui akan adanya bayangan ini.
Bukan main kagetnya hati Kui Lan ketika secara tiba-tiba di belakangnya berdiri seorang pemuda yang yang berkepala botak dan berpakaian mewah sekali. Orang itu tersenyum kepadanya dan sepasang matanya memandang penuh kagum sehingga Kui Lan merasa seakan-akan orang muda itu hendak menelannya bulat-bulat dengan sinar matanya.
"Siapa kau...?" tegur Kui Lan kaget sambil melompat bangun.
Orang itu masih muda, berwajah cukup menarik, hanya kepalanya saja botak. Pakaian yang dikenakannya sangat indah dan mudah dilihat bahwa dia seorang bangsawan, baik dari gerak-geriknya mau pun pakaiannya, terutama dari pakaiannya, karena bangsawan mana pun juga kalau memakai pakaian butut akan lenyap sifat kebangsawannya.
“Aku bernama An Kong, seorang pangeran," pemuda itu berkata sambil menjura hormat, akan tetapi mulutnya tersenyum dan matanya melirik ceriwis. "Nona Kui Lan, aku tanpa sengaja telah mendengar semua urusanmu. Kau harus dikasihani, nasibmu buruk sekali. Kau telah dikhianati oleh pemuda keparat itu sehingga kini kakakmu bermusuhan dengan sute-nya sendiri. Orang bernasib malang dan cantik jelita sepertimu ini, siapakah yang tidak menaruh hati kasihan? Hanya orang jahat seperti The Kun Beng itu saja yang tega melukai hatimu. Kau harus ditolong, maka ikutlah aku, nona. Kau akan mengalami hidup bahagia di istanaku. Jangan kau pedulikan lagi pemuda keparat itu dan kakakmu yang berhati keras. Marilah!" Sambil berkata demikian, Pangeran An Kong kemudian mengulur tangan menangkap pergelangan tangan Kui Lan.
Kui Lan cepat menarik tangannya, akan tetapi terlambat. Pemuda itu gerakannya cepat sekali dan sebelum dia dapat memberontak, dia sudah diangkat dan dipondong! Kui Lan terkejut dan menjerit, akan tetapi sebuah totokan yang tepat sudah membuat dia tidak kuasa lagi membuka mulut.
Bagaimana pemuda itu dapat tiba di situ? Sebetulnya, karena Swi Kiat membantu para pejuang rakyat dan membebaskan mereka dari kepungan, pihak pemerintah lalu menjadi marah sekali. An Kong adalah putera dari An Lu Kui, dan pemuda ini secara kebetulan dapat melihat Swi Kiat.
Karena dia pun sedang membantu usaha ayahnya yang sedang berlomba mencari jasa dan kedudukan di kerajaan, diam-diam dia lalu mengikuti perjalanan Swi Kiat. Hanya dia saja yang sanggup melakukan hal ini, karena An Kong adalah murid dari Jeng-kin-Jiu Kak Thong Taisu dan dia memiliki kepandaian tinggi.
Diam-diam dia mengikuti jejak Swi Kiat, tapi tidak berani menurunkan tangan. Ia maklum akan kelihaian murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Ia hendak mencari tahu lebih dahulu di mana tempat tinggal pemuda itu sehingga dia dapat membawa kawan-kawannya untuk menangkapnya.
Demikianlah, dia mengikuti Swi Kiat terus hingga sampai di pegunungan itu dan secara kebetulan sekali dia melihat pertempuran antara Kun Beng dan Swi Kiat. An Kong adalah seorang pemuda mata keranjang, maka begitu melihat Kui Lan, hatinya menjadi tertarik sekali. Apa lagi dia mendapat kenyataan bahwa Kui Lan adalah adik Gouw Swi Kiat, maka tentu saja hal ini sangat baik sekali baginya. Ia dapat menangkap Kui Lan, selain untuk memenuhi hasrat hatinya, juga hal ini berarti sebuah pukulan hebat bagi Swi Kiat!
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Kui Lan dibawa ke istana oleh An Kong dan hampir saja Kui Lan menjadi korban keganasan dan kekejian bangsawan rendah ini kalau saja tidak datang Lu Kwan Cu yang menolongnya.
Semua itu diceritakan oleh Kui Lan kepada Kwan Cu yang mendengarkan dengan penuh perhatian. Tentu saja cerita Kui Lan tidak sejelas yang di atas, hanya terbatas pada apa yang diketahui oleh gadis itu. Namun Kwan Cu sudah dapat menduga apa yang terjadi seluruhnya.
********************
Selanjutnya baca
PENDEKAR SAKTI : JILID-11