Pusaka Pulau Es Jilid 06


Keng Han merasa seperti dalam mimpi. Tahu-tahu setelah dia sadar kembali, dia sudah terbelenggu kaki tangannya, rebah di atas sebuah dipan dan tubuhnya dalam keadaan tertotok. Semua itu tidak merisaukan hatinya, akan tetapi yang membuat dia khawatir adalah kepalanya. Kepala itu pening sekali dan masih pening sehingga sukar bagi dia untuk berpikir.

Dia membuka sedikit matanya dan melihat bahwa dirinya berada dalam sebuah kamar, seperti kamar tahanan karena pintunya dari besi dan ada jeruji besi pula di atas pintu. Di luar kamar itu, dia dapat melihat beberapa orang melalui jeruji besi dan agaknya mereka melakukan penjagaan. Perlahan-lahan dia pun teringat.

Dia sedang duduk menghadapi api unggun bersama Souw Cu In dan tiba-tiba terdengar suara ledakan-ledakan dan asap mengepul tebal, lalu dia pun tidak ingat apa-apa lagi dan tahu-tahu telah berada di tempat ini dalam keadaan terbelenggu dan tertotok.

Ia merasa bahwa belenggu itu tidak sukar dipatahkan, juga totokan itu bisa ia punahkan dengan mudah. Akan tetapi kepeningan kepalanya masih terasa, maka ia pun diam saja dan terus rebah berbaring menanti perkembangan lebih lanjut sambil memberi waktu kepada kepalanya agar bebas dari kepeningan akibat asap racun pembius itu.

Tidak terlalu lama dia menunggu. Dia mendengar daun pintu besi itu dibuka orang dan nampaklah tiga orang memasuki tempat tahanan itu. Seorang di antara mereka adalah seorang kakek yang segera dikenalnya. Kakek Itu adalah Toat-beng Kiam-sian yang pernah bentrok dengan dia.

Dulu dia menegur kakek yang terlalu kejam menghukum tiga orang anak buahnya dan karena itu kakek ini marah sekali kepadanya. Dia diberi waktu untuk menghadapinya selama sepuluh jurus dan kalau selama itu dia tidak roboh, dia akan dibebaskan. Dan dia berhasil bertahan sampai sepuluh jurus. Ketika kakek itu merasa penasaran hendak menggunakan tongkat yang sekarang dipegangnya itu, Bi-kiam Niocu menegurnya dan mengingatkan akan janjinya dan kakek itu lalu pergi.

Sekarang kakek itu agaknya yang menyuruh anak buahnya menawannya. Entah apa yang hendak dilakukan atas dirinya. Dia pura-pura masih pingsan, tetapi memperhatikan mereka bertiga dengan telinganya.

“Nah, inilah pemuda itu. Bagaimana pendapatmu, Siu Lan?

Gadis yang datang bersama kakek itu memandang wajah Keng Han penuh perhatian. Gadis ini cukup cantik, dengan pakaiannya yang mewah. 

“Dia kelihatan seperti orang dusun, Ayah,” kata gadis itu setelah mengamati Keng Han.
“Ha-ha-ha!” Kakek itu tertawa. “Jangan melihat pakaiannya, Siu Lan. Lihatlah wajahnya. Bukankah dia tampan dan gagah? Dan tentang ilmu silat, sudah kukatakan bahwa dia lihai juga dan pantas untuk menjadi jodohmu.”
“Suhu, saya tidak percaya bahwa dia mampu melawan Sumoi,” berkata pemuda yang datang bersama mereka.

Pemuda ini tubuhnya tinggi besar dan berwajah gagah, akan tetapi pandang matanya membayangkan kecongkakan hati. Jelas dia memandang rendah pada Keng Han yang menggeletak tidak berdaya di atas dipan itu.

“Dia tidak pantas untuk melawan Sumoi. Biarlah dia melawan saya lebih dulu. Kalau dia mampu menandingi saya, baru Sumoi boleh mencobanya!”

Toat-beng Kiam-sian tertawa dan mengangguk-angguk. “Hmmm, pikiran yang baik itu. Boleh engkau mencobanya dulu, Bu Tong.”
“Biarlah saya bebaskan dulu dia dari totokan dan belenggunya!” kata pemuda itu yang bernama Gan Bu Tong.

Akan tetapi ketika dia menghampiri dipan, Keng Han segera mengerahkan tenaganya dan totokan itu pun sudah punah, lalu sekali dia menggerakkan kaki tangannya, ikatan itu pun putus semua! Keng Han lalu bangkit dan meloncat berdiri menghadapi tiga orang itu.

“Mengapa kalian menangkap aku? Aku tidak mempunyai permusuhan dengan kalian, mengapa kalian berbuat begini?” tegurnya.

Toat-beng Kiam-sian Lo Cit, puterinya yang bernama Lo Siu Lan serta muridnya itu terkejut bukan main melihat betapa pemuda itu telah terbebas dari totokan dan dengan mudahnya mematahkan semua belenggu.

Toat-beng Kiam-sian maju dan tertawa. “Ha-ha-ha, tempo hari engkau mampu menahan sepuluh jurus seranganku, sebab itu hatiku amat tertarik untuk mengujimu, orang muda. Sekarang lawanlah muridku ini, hendak kulihat sampai di mana kelihaianmu!”

“Aku tak ingin bertanding dengan siapa pun tanpa sebab yang jelas. Di antara kita tidak ada urusan, mengapa kita harus bertanding?”
“Hemmm, bocah sombong. Ada atau tidak ada urusan, aku akan menandingimu. Kalau engkau takut, engkau boleh berlutut dan mencium kaki guru sambil meminta ampun, baru kami akan melepaskanmu,” kata Bu Tong yang memandang rendah.

Keng Han mengerutkan alisnya. “Aku tidak bersalah apa pun, mengapa harus minta ampun? Aku tidak sudi melakukannya, jangan engkau menghinaku!”

“Aku memang sengaja menghinamu, habis engkau mau apa? Aku menantangmu untuk mengadu kepandaian, kalau engkau menolak berarti engkau takut!”

Panas juga rasa hati Keng Han. Dia ditangkap tanpa sebab, kemudian ditantang dan dianggap pengecut kalau tidak berani. Tentu saja dia berani!

“Siapa yang takut kepada kalian? Aku tidak bersalah apa pun, maka tentu saja aku tidak takut!”
“Ha-ha-ha, bagus. Itu barulah suara seorang laki-laki sejati. Orang muda, marilah kita ke lian-bu-thia dan di sana kita melihat sampai di mana kepandaianmu,” berkata Toat-beng Kiam-sian.

Makin senang hatinya menyaksikan kegagahan sikap Keng Han. Sebetulnya, pangcu dari Kwi-kiam-pang ini sudah tertarik sekali kepada Keng Han ketika Keng Han mampu menahan sepuluh jurus serangannya, bahkan juga dapat menangkis Pukulan Halilintar darinya.

Oleh karena itu, ketika melihat Keng Han bersama Souw Cu In, dia lalu menyuruh para anggota Kwi-kiam-pang mempergunakan obat peledak dan pembius untuk menangkap pemuda itu. Dia bermaksud untuk menjodohkan pemuda ini dengan puterinya, Lo Siu Lan yang selalu menolak pinangan para pemuda karena di antara mereka tidak ada yang mampu menandinginya. Memang kepandaian Siu Lan sudah hebat sekali. Bahkan suheng-nya, Gan Bu Tong juga tidak dapat menandinginya!

Keng Han menjadi penasaran sekali. Karena ditantang, maka dia pun mengikuti mereka menuju ke sebuah ruangan yang luas. Ruangan ini merupakan tempat para anggota Kwi-kiam-pang berlatih silat. Juga dia melihat bahwa anggota perkumpulan itu banyak sekali, tidak kurang dari lima puluh orang! Agaknya sulit baginya untuk meloloskan diri menggunakan kekerasan karena selain harus menghadapi tiga orang itu, dia juga harus menghadapi para anggota Kwi-kiam-pang. Maka, dia hendak menebus kebebasannya dalam pertandingannya itu.

Setelah tiba di lian-bu-thia (tempat berlatih silat), Keng Han telah dihadapi oleh Bu Tong yang bersikap angkuh.

“Nah, bersiaplah engkau untuk melawan aku!” kata Bu Tong.
“Nanti dulu,” kata Keng Han, lalu dia menoleh kepada Toat-beng Kiam-sian. “Locianpwe adalah seorang yang berkedudukan tinggi, apakah ucapannya dapat dipercaya?”

Lo Cit membelalakkan mata. Kakek yang kakinya timpang ini marah sekali mendengar pertanyaan itu. “Bocah sombong, tentu saja ucapanku dapat dipercaya!”

“Nah, kalau begitu, setelah aku dapat mengalahkan pemuda muridmu ini, apakah aku akan dibebaskan dan dibiarkan pergi tanpa diganggu?”
“Heh, nanti dulu. Kalau engkau mampu mengalahkan muridku, engkau juga harus dapat mengalahkan puteriku ini, dan selanjutnya harus mampu pula bertahan menghadapi aku sampai lima puluh jurus. Kalau sudah begitu barulah engkau tidak akan diganggu lagi, bahkan akan kunikahkan dengan puteriku ini. Ha-ha-ha-ha!”

Bukan main kagetnya hati Keng Han mendengar ucapan itu. Dirinya hendak dinikahkan dengan gadis cantik itu? Sungguh keterlaluan sekali peraturan kakek itu. Dia sendiri pun tidak ditanya apakah dia suka atau tidak!

“Aku tidak ingin menikah dengan siapa pun juga. Aku hanya minta agar aku dibebaskan dan tidak diganggu lagi.”
“Ha-ha-ha, kita lihat saja nanti. Hayo Bu Tong, mulailah dengan seranganmu!” kata Lo Cit sambil tertawa senang.

Gan Bu Tong sudah mencabut pedangnya. “Sobat, sebutkan dulu namamu agar engkau jangan mati tanpa nama.”

“Namaku Si Keng Han dan aku tidak akan mati melawanmu.”
“Nah, di sudut itu ada rak senjata. Boleh engkau pilih untuk menghadapi pedangku!”
“Hmmm, pemuda ini memiliki watak yang gagah juga dan tidak curang,” pikir Keng Han. “Agaknya mereka ini bukan orang-orang yang jahat, akan tetapi orang-orang yang suka membawa dan mempertahankan kehendak sendiri.”
“Aku tidak membutuhkan senjata-senjata itu. Bahkan aku sendiri juga memiliki sebatang pedang, akan tetapi tidak akan kupergunakan untuk melawanmu. Tangan kakiku sudah cukup untuk kupakai membela diri,” katanya sambil memamerkan pedang bengkoknya yang berada di pinggangnya.
“Si Keng Han, engkau sombong, akan tetapi engkau sendiri yang menentukan. Jangan anggap aku keterlaluan melawanmu dengan pedangku!” kata Bu Tong penasaran dan marah karena dia menganggap pemuda itu memandang rendah kepadanya.

Tiba-tiba Lo Siu Lan mencabut pedangnya dan melemparkan pedang itu kepada Keng Han. “Si Keng Han, pedang Suheng-ku itu merupakan senjata ampuh. Semua senjata di rak itu akan patah apa bila bertemu dengan pedangnya, maka pakailah pedangku ini!”

Melihat pedang itu melayang ke arah dirinya, Keng Han menyambutnya, akan tetapi dia bahkan berkata kepada gadis itu. “Terima kasih, Nona. Akan tetapi sungguh aku tidak membutuhkan pedang!” Dan dia melemparkan kembali pedang itu kepada Siu Lan, lalu menghadapi Bu Tong sambil berseru. “Aku sudah siap menghadapi seranganmu!”

Gan Bu Tong semakin marah. Perbuatan sumoi-nya tadi dianggapnya sebagai pukulan baginya. Sumoi-nya agaknya berpihak kepada pemuda ini!

“Lihat serangan pedangku!” bentaknya dan dia pun mulai menyerang dengan bacokan pedangnya.

Akan tetapi dengan gesit Keng Han mengelak. Bacokan dan tusukan susul menyusul menghujam ke arah tubuh Keng Han, namun dengan ilmu Hong-in Bun-hoat, Keng Han selalu dapat mengelak dengan cepat sekali. Setelah belasan jurus mengelak, barulah dia membalas serangan lawan dengan pukulan-pukulan tangannya yang ampuh.
Image result for PUSAKA PULAU ES
Pada saat pedang lawan menyambar ke arah kepalanya, dia malah maju mendekat dan sekali jari tangannya menyentil pedang, pedang itu lantas terlepas dari tangan Bu Tong, mengeluarkan suara nyaring berdenting ketika jatuh ke atas lantai. Kalau Keng Han menghendaki, saat yang baik itu tentu dapat dia pergunakan untuk merobohkan lawan.

Akan tetapi dia tidak mau berbuat demikian, melainkan dia mencokel pedang itu dengan kakinya dan pedang itu melayang ke arah pemiliknya. Bu Tong menangkap pedangnya dan dengan muka merah sekali dia mengundurkan diri. Setelah pedangnya terlepas dia maklum bahwa dia tidak mampu menandingi Keng Han.

Lo Siu Lan gembira sekali melihat betapa Keng Han dapat mengalahkan suheng-nya. Sekali kakinya bergerak, tubuhnya sudah melayang ke depan dan dia pun berhadapan dengan Keng Han. Sejenak gadis itu mengamati Keng Han dari atas sampai ke bawah seperti orang menaksir seekor kuda yang hendak dibelinya.

Hal ini tentu saja membuat Keng Han tersipu. Dia cepat mengangkat tangan memberi hormat kepada gadis itu.
“Nona, di antara kita tidak ada permusuhan, harap suka menghabiskan urusan ini dan membiarkan aku pergi dengan aman. Aku sama sekali tidak ingin bermusuhan dengan kalian.”

Lo Siu Lan menjawab dengan suaranya yang merdu, “Siapa yang hendak bermusuhan? Kami cuma ingin membuktikan sendiri sampai di mana kelihaianmu dan ternyata engkau mampu mengalahkan suheng Gan Bu Tong. Maka, mari kita main-main sebentar. Akan tetapi, perkumpulan kami disebut Kwi-kiam-pang (Perkumpulan Pedang Setan), maka aku pun hanya bisa memainkan pedang. Jika engkau tetap bertangan kosong, sungguh amat tidak enak bagiku.”

Kembali diam-diam Keng Han memuji. Gadis ini pun selain tidak curang, juga tidak tinggi hati seperti suheng-nya.

“Nona, sudah kukatakan sejak tadi bahwa kalau tidak terpaksa sekali aku tidak pernah menggunakan pedangku, cukup dengan tangan kakiku saja. Maka apa bila Nona tetap memaksaku untuk bertanding, gunakanlah pedangmu, aku akan membela diri dengan kedua kaki tanganku saja.”
“Bagus, engkau memang seorang pemuda yang pemberani. Nah, sambutlah pedangku ini, Sobat!” Lu Siu Lan sudah mencabut pedangnya dan nampak sinar menyambar.

Begitu dia melakukan penyerangan, terdengar bunyi pedang berdesing dan sinar kilat menusuk ke arah dada Keng Han. Baru gebrakan pertama saja Keng Han sudah tahu bahwa gadis ini memang lebih lihai dibandingkan suheng-nya. Akan tetapi gerakan yang cepat itu tidak membuat Keng Han bingung karena baginya kecepatan gerakan gadis itu masih belum hebat. Dengan mudahnya dia mengelak dari sambaran pedang.

Gadis itu mendesak terus. Pedangnya berkelebatan, kadang menyerang leher, kadang mengarah dada dan ada kalanya menyabet ke arah kedua kaki Keng Han. Pemuda ini memperlihatkan kegesitannya. Sampai sepuluh jurus dia mengelak terus dan baru pada jurus ke sebelas dia membalas.

Ketika itu pedang di tangan Siu Lan menyambar ke arah dada dengan tusukan kilat. Keng Han miringkan tubuhnya dan menggunakan dua jari tangan kirinya untuk menjepit pedang itu.

Siu Lan terkejut bukan main karena pedangnya seperti dijepit jepitan baja saja. Biar pun dia berusaha untuk menariknya, akan tetapi pedang itu tidak dapat terlepas dari dua jari tangan Keng Han. Gadis itu menjadi amat penasaran dan tangan kirinya telah meluncur untuk menghantam dada lawan.

Keng Han juga menggerakkan tangan kanannya. Dia maklum bahwa gadis ini sedang menggunakan pukulan yang mengandung tenaga sinkang yang amat kuat, maka ia pun mengerahkan sinkang-nya sehingga dari tangan kanannya itu keluar hawa yang sangat panas. Demikian pula pukulan tangan kiri Siu Lan mengandung hawa panas karena gadis ini telah menyerang dengan pukulan Halilintar.

“Desssss...!”

Dua telapak tangan bertemu dan tubuh Siu Lan terhuyung ke belakang karena pada saat itu juga Keng Han melepaskan jepitan jari tangannya dari pedang lawan.

Siu Lan cepat mengambil napas panjang untuk menjaga supaya bagian dalam dadanya tidak terluka. Akan tetapi ia tahu bahwa dirinya kalah, maka ia pun cepat bersembunyi di balik tubuh ayahnya. Muka gadis itu menjadi merah tersipu dan mulutnya tersenyum malu-malu.

Melihat tingkah puterinya, Toat-beng Kiam-sian Lo Cit tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha-ha, sekarang engkau baru percaya kepada omongan ayahmu? Si Keng Han, engkau telah mengalahkan anakku Siu Lan, maka mulai sekarang juga engkau harus menjadi suaminya!”

Keng Han terkejut sekali dan dia memandang kepada kakek timpang itu dengan alis berkerut. “Apa maksud Locianpwe? Saya tidak akan menikah dengan siapa pun juga!”

“Hemmm, dengarlah Si Keng Han. Anakku menolak semua lamaran orang karena dia sudah bersumpah untuk menikah dengan pria yang mampu mengalahkan dirinya. Dan kini engkaulah yang mampu mengalahkannya.”
“Akan tetapi sejak semula aku tidak menghendaki pertandingan ini. Aku dipaksa. Aku sama sekali bukan bertanding untuk memperoleh kemenangan dan untuk memperoleh jodoh. Maaf, Locianpwe, aku tidak dapat menerimanya. Dan sekarang, harap kalian suka membiarkan aku pergi dari sini!”
“Ho-ho-ho, tidak demikian mudah, orang muda! Kalau engkau menolak berjodoh dengan puteriku, hal itu berarti engkau telah menghinaku! Dan siapa saja menghinaku dia harus mampus! Akan tetapi karena aku menyukaimu, engkau tidak akan kubunuh. Bersiaplah untuk menahan seranganku sampai lima puluh jurus. Apa bila selama lima puluh jurus engkau mampu menahan pedang tongkatku, barulah engkau boleh pergi dari tempatku ini!”

Mendadak terdengar bentakan halus. “Toat-beng Kiam-sian Lo Cit sungguh tidak tahu malu dan mau menghina yang muda!”

Semua orang terkejut dan menengok. Ternyata, tanpa dapat diketahui para anak buah Kwi-kiam-pang, Souw Cu In telah muncul di situ. Toat-beng Kiam-sian, puterinya dan para muridnya tentu saja terkejut dan terheran. Hanya Keng Han yang menjadi girang bukan main.

“Bibi guru telah datang! Kalian tidak akan dapat memaksaku untuk kawin!” katanya dan dia menghampiri Cu In.

Toat-beng Kiam-sian Lo Cit memandang penuh perhatian dan makin heran mendengar Keng Han menyebut bibi guru pada seorang gadis yang berpakaian putih dan mukanya bagian bawah tertutup sutera putih! Teringatlah dia kepada Bi-kiam Niocu yang dahulu disebut subo oleh pemuda ini. Tahulah dia bahwa gadis bercadar putih ini pun adalah seorang murid dari Ang Hwa Nio-nio atau sumoi dari Bi-kiam Niocu.

“Nona, apakah engkau murid Ang Hwa Nio-nio?” tanyanya.
“Tidak salah, Pangcu. Aku memang murid subo Ang Hwa Nio-nio dan Si Keng Han ini adalah murid suci-ku, jadi dia masih murid keponakanku sendiri. Sungguh tidak pantas sekali kalau Pangcu (ketua) hendak memaksanya menikah dengan puterimu. Mana ada paksaan kepada seorang pria untuk menikah? Dan engkau telah menantangnya untuk bertanding selama lima puluh jurus pula. Bukankah ini namanya menghina yang muda? Apakah engkau tidak akan malu kalau hal ini terdengar oleh dunia kang-ouw?”

Wajah Lo Cit menjadi merah sekali. Tidak disangkanya bahwa wanita bercadar itu telah mengetahui dan agaknya juga telah mendengarkan semua percakapan tadi. Hal ini saja sudah menunjukkan kehebatan ilmu ginkang-nya sehingga tidak ada seorang pun yang tahu akan kehadirannya.

“Bocah bermulut lancang! Siapakah namamu yang berani bicara seperti Itu kepadaku?” Lo Cit mencoba mengangkat namanya.
“Namaku Souw Cu In, dan memang aku orang biasa saja. Akan tetapi apa yang kau lakukan ini memang memalukan sekali, Pangcu. Pertama, engkau menggunakan bahan peledak yang mengandung racun pembius untuk menangkap Si Keng Han. Kemudian engkau memaksanya menikah dengan puterimu, dan yang terakhir engkau baru mau membebaskannya kalau sudah bertanding denganmu selama lima puluh jurus! Sungguh memalukan!”
“Memang sungguh memalukan!” Keng Han ikut-ikutan bicara. “Mana aku bisa menahan serangannya sampai lima puluh jurus? Ini sama saja dengan memaksaku tinggal di sini dan mengawini puterinya yang tidak kucinta. Mana ada aturan begitu, ya, Bibi Guru?”
“Memang tidak ada aturan seperti itu di dunia kang-ouw, kecuali dunianya orang-orang sesat. Tentu Kwi-kiam Pangcu tidak akan suka disebut orang sesat!” kata lagi Souw Cu In.

Lo Siu Lan menjadi marah sekali. Ia marah karena melihat hubungan yang akrab antara Keng Han dan Cu In. Meski pun mereka mengaku sebagai murid keponakan dan bibi guru, akan tetapi keduanya masih muda dan wanita bercadar itu nampak cantik jelita serta tubuhnya begitu ramping seperti batang pohon liu. Ia merasa cemburu sekali!

“Perempuan hina! Cepat buka cadarmu dan perlihatkan mukamu! Engkau sudah berani mencampuri urusan kami!” Berkata demikian, Lo Siu Lan telah mencabut pedangnya.

Souw Cu In mendengus seperti orang mengejek. “Dan engkau, sungguh tidak tahu malu hendak memaksa seseorang menjadi suamimu!”

“Keparat!” Lo Siu Lan menyerang dengan pedangnya.

Akan tetapi bagaikan bayangan saja, tubuh Souw Cu In telah meloncat ke samping dan tiba-tiba ada sinar putih mencuat dan tahu-tahu pedang di tangan Siu Lan terlibat dan terampas! Siu Lan terkejut dan melompat mundur. Cu In mengambil pedang itu dan melemparkannya kembali kepada Siu Lan.

“Siapa yang keparat masih patut diselidiki!” kata Cu In.

Meski marah sekali, akan tetapi Siu Lan tidak berani lagi sembarangan bergerak. Dalam segebrakan saja pedangnya telah terampas!

Lo Cit juga kaget sekali melihat hal ini. Gadis bercadar itu lihai bukan main.

“Siapa yang sudah masuk ke sini tidak boleh sembarangan keluar. Kalau Si Keng Han ingin membebaskan diri, dia harus melalui pertandingan denganku. Tidak usah sampai lima puluh jurus, melihat dia masih muda biarlah kuberi waktu...”
“Sepuluh jurus!” kata Keng Han. “Sepuluh jurus sudah merupakan waktu yang lama, melihat aku yang masih begini muda harus melawan Pangcu yang tua dan tentunya sangat berpengalaman!”

Toat-beng Kiam-sian tertegun. Dulu pernah dia menyerang pemuda ini sampai sepuluh jurus dan ternyata dia tidak dapat merobohkan. Tetapi ketika itu dia tidak menggunakan pedang tongkatnya. Kalau dia menggunakan pedang tongkatnya, mungkin dalam satu atau dua jurus saja dia sudah mampu mengalahkan pemuda itu.

“Keng Han, sepuluh jurus pun sudah terlalu lama. Engkau tidak akan dapat bertahan menghadapi pedangnya biar pun hanya lima jurus saja!” Ucapan ini bernada sungguh-sungguh penuh kekhawatiran, padahal sebenarnya merupakan pancingan yang sangat cerdik dari Souw Cu In.

Gadis ini telah melihat kelihaian Keng Han yang dapat menandingi seorang datuk besar seperti Swat-hai Lo-kwi. Kalau pemuda itu mampu menandingi Swat-hai Lo-kwi, maka menghadapi Toat-beng Kiam-sian dalam sepuluh jurus saja tak mungkin dia dikalahkan, apa lagi hanya dalam lima jurus. Bahkan mungkin sampai puluhan jurus akan mampu bertahan.

Mendengar ucapan dan melihat sikap Souw Cu In, Toat-beng Kiam-sian membentak, “Baiklah, sepuluh jurus! Kalau selama sepuluh jurus pedangku masih belum mampu mengalahkanmu, engkau boleh pergi dari sini tanpa diganggu!”

“Keng Han, engkau berhati-hatilah. Pedang tongkat itu amat lihai sekali!” Kembali Souw Cu In berseru.
“Hayo, orang muda. Kau boleh menggunakan senjata apa pun, boleh kau pilih dari rak senjata itu untuk menghadapi pedangku!” kata kakek itu sambil mengangkat tongkat di tangannya yang di dalamnya terisi pedang.
“Lo-pangcu! Keng Han tak pernah menggunakan senjata, maka bila kau menggunakan pedang, itu licik sekali namanya!”
“Dia boleh memilih senjata yang disukainya! Aku tidak peduli, dia mau bersenjata atau tidak!”
“Jangan khawatir, Bibi Guru. Aku memiliki pedangku ini!”

Keng Han mencabut pedang bengkoknya yang selama ini belum pernah dia pakai untuk berkelahi. Tetapi, mendengar nasehat Souw Cu In, dia tahu bahwa tentu ilmu pedang kakek timpang itu hebat dan dahsyat, maka kini dia menggunakan pedang pemberian ibunya atau pedang peninggalan ayah kandungnya.

Melihat pemuda itu memegang sebatang pedang bengkok, Gan Bu Tong tertawa.
“Ha-ha-ha, dia memegang sebatang pisau pemotong ayam!” Dia mengejek.
“Diam, Suheng! Engkau sudah dikalahkannya dengan mudah!” kata Lo Siu Lan ketus.

Akan tetapi Toat-beng Kiam-sian memandang rendah pedang bengkok itu.

“Orang muda, bersiaplah menghadapi seranganku!” bentaknya dan pedangnya sudah menyambar bagaikan kilat cepatnya.
“Singgggg...!”

Keng Han terkejut bukan main. Dahsyat sekali pedang itu menyambar, beberapa kali lipat lebih cepat dan kuat dari pada pedang yang dimainkan Lo Siu Lan tadi. Akan tetapi dia sudah siap. Dengan gerakan sangat tangkas dia mengelak sambil memutar pedang bengkoknya menangkis.

“Tranggg...!”

Nampak bunga api berpercikan dan keduanya merasa betapa tangan yang memegang pedang menjadi panas den tergetar.

“Jurus pertama...!” Souw Cu In menghitung dengan suara nyaring sekali.

Lo Cit merasa penasaran dan mulailah dia mengayun pedangnya dan menyerang dari segala jurusan dengan kecepatan bagaikan kilat. Memang julukan Dewa Pedang bukan julukan kosong belaka karena memang hebat sekali ilmu pedangnya. Namun, Keng Han juga memiliki ilmu Hong-in Bun-hoat yang sakti. Dengan berloncatan ke sana-sini dan pedang bengkoknya mencorat-coret menuliskan huruf-huruf, dia dapat menghindarkan diri dari semua serangan kakek itu.

“Jurus ke dua... ke tiga... ke empat...!” Souw Cu In menghitung terus jurus-jurus yang dimainkan oleh kakek itu.

Pada jurus ke enam, Keng Han sama sekali belum tersentuh pedang lawan, bahkan kini dia mampu membalas dengan gerakan corat-coretnya yang membingungkan lawan.

“Jurus ke delapan...!”

Toat-beng Kiam-sian menjadi marah bukan main. Sudah delapan jurus lewat akan tetapi lawannya masih mampu menandinginya, bahkan mampu membalas serangannya. Dan dia sendiri tidak mengenal ilmu silat pedang lawan yang seperti corat-coret menuliskan huruf itu. Dia membentak keras sambil berjongkok dan menyabetkan pedangnya untuk membabat kedua kaki lawan.

“Hyaaaaattttt...!”

Keng Han meloncat ke atas dengan gerakan ringan bagaikan seekor burung terbang sehingga babatan itu hanya lewat di bawah kedua kakinya.

“Jurus ke sembilan...!” Cu In berseru girang, akan tetapi mendadak wajahnya menjadi pucat dan ia memandang dengan hati cemas ketika melihat serangan jurus ke sepuluh.

Sekarang Lo Cit menggerakkan pedangnya ke atas, menyambut tubuh Keng Han yang melompat turun dan bukan pedangnya saja yang menyerang, akan tetapi juga tangan kirinya menghantam dengan ilmu pukulan Halilintar! Bukan main hebatnya pukulan dan tusukan pedang ini, sedangkan tubuh Keng Han masih berada di udara.

Sementara itu, ketika melihat serangan lawan yang nekat dan berbahaya, Keng Han segera menggerakkan pedang bengkoknya untuk menangkis, sedangkan tangan kirinya juga dihantamkan ke depan menyambut pukulan Halilintar lawan.

“Tranggg... desss...!”

Hebat bukan main pertemuan kedua pedang itu, akan tetapi masih lebih dahsyat lagi pertemuan kedua telapak tangan. Dan akibatnya, tubuh Lo Cit terdorong sehingga dia terhuyung ke belakang, sedangkan Keng Han turun ke bawah dengan selamat.

“Jurus ke sepuluh!” bentak Cu In.

Akan tetapi agaknya Lo Cit tidak mempedulikan teriakan itu dan kini bahkan menyerang lagi dengan lebih dahsyat ke arah Keng Han. Dan bersama dengan majunya Lo Cit, kini beberapa orang murid, di antaranya termasuk Gan Bu Tong, juga hendak melakukan pengeroyokan.

Melihat gelagat yang tidak baik ini, Cu In sudah meluncurkan sabuk suteranya yang berubah menjadi sinar putih menyerang kearah Lo Siu Lan. Siu Lan terkejut akan tetapi tidak sempat mengelak dan tahu-tahu pinggangnya telah terlibat ujung sabuk dan sekali Cu In menarik, tubuh Siu Lan terdorong ke arahnya dan ia sudah menangkap gadis itu dan menodongkan jari-jari tangan kirinya ke atas ubun-ubun kepala Siu Lan.

“Tahan semua senjata atau aku akan membunuh Siu Lan!” teriak Cu In dengan suara nyaring.

Toat-beng Kiam-sian Lo Cit cepat menengok dan wajahnya berubah ketika dia melihat puterinya telah berada dalam ancaman tangan Cu In. Dia maklum bahwa sekali Cu In menggerakkan tangan ke arah ubun-ubun kepala anaknya, gadis itu tentu akan tewas!

“Tahan semua senjata dan mundur!” bentaknya kepada para muridnya. Semua mundur dan memandang ke arah Cu In yang masih mengancam Siu Lan.

“Keng Han, mari kita pergi dari sini. Awas, jangan ada yang mengikuti kami kalau ingin gadis ini selamat!” kembali Cu In membentak.

Cu In mendorong Siu Lan agar berjalan di depan, sedangkan ia dan Keng Han berjalan di belakangnya. Dengan cara ini mereka dapat keluar dari sarang Kwi-kiam-pang tanpa ada yang berani menghalangi.

Setelah tiba di luar, Cu In menotok Siu Lan sehingga gadis ini menjadi lemas dan roboh tak berdaya, kemudian mereka berdua berlari cepat meninggalkan tempat itu. Belasan li mereka berlari meninggalkan tempat itu sampai mereka memasuki sebuah hutan yang terdapat di lereng bukit.

Mereka berhenti melepas lelah dan Keng Han berkata dengan nada suara menegur, “Su-i, kenapa menggunakan cara yang curang itu untuk menyelamatkan diri?”

“Curang katamu? Lalu bagaimana dengan Toat-beng Kiam-sian itu? Sudah sepuluh jurus engkau bertahan terhadap serangannya, ehh, dia malah menyerang lagi dan maju mengeroyok. Jumlah mereka demikian banyak, bagaimana mungkin kita dapat melawan mereka? Kalau aku tidak menggunakan akal itu, apa kau kira kita bisa keluar dengan selamat?”

Keng Han menundukkan mukanya, harus mengakui kebenaran ucapan gadis itu. “Ahhh, mengapa di dunia ini banyak orang yang tidak sungkan berlaku curang seperti ketua Kwi-kiam-pang tadi?”

“Itulah! Merupakan pelajaran pertama bagimu kalau engkau memasuki dunia kang-ouw, yaitu, jangan mudah percaya kepada siapa pun juga atau engkau akan tertipu. Lebih banyak orang yang curang dari pada yang jujur, lebih banyak yang jahat dari pada yang baik. Nah, sekarang tiba saatnya kita harus berpisah mengambil jalan masing-masing.”
“Su-i,” Keng Han berkata dengan suara sungguh-sungguh. “Kalau perjalanan kita sama, menuju ke satu jurusan yaitu kota raja, kenapa kita tidak melakukan perjalanan bersama saja?”
“Tidak pantas seorang pemuda melakukan perjalanan bersama seorang gadis!”
“Aihh, Su-i, bukankah engkau ini bibi guruku? Kenapa tidak pantas? Yang penting kita tidak melakukan sesuatu yang tidak pantas. Pula, agaknya memang sudah semestinya kita melakukan perjalanan bersama sehingga dapat saling melindungi. Bayangkan saja, kalau kita tidak melakukan perjalanan bersama, engkau telah celaka di tangan Tung-hai Lo-mo dan aku sudah celaka di tangan Toat-beng Kiam-sian! Dengan berdua, kita dapat mengatasi semua bahaya itu.”

Souw Cu In termenung, agaknya melihat kebenaran dalam ucapan pemuda itu dan kini ia mempertimbangkan. Tiba-tiba ia mengangkat mukanya dan bertanya.
“Keng Han, apakah engkau murid keluarga Pulau Es?”
“Bukan, Su-i. Bahkan aku selama hidup belum pernah bertemu dengan mereka.”
“Akan tetapi ilmu silatmu itu... aku pernah mendengar subo bercerita tentang ilmu-ilmu keluarga itu. Katanya ada ilmu yang sifatnya seperti mencorat-coret dengan tangan atau pedang yang disebut Hong-in Bun-hoat. Tadi engkau menggunakan ilmu itu, bukan?”

Terhadap gadis ini Keng Han tidak ingin berbohong. “Memang sesungguhnya aku tadi memainkan ilmu Hong-in Bun-hoat.”

“Dan kau bilang bukan murid Pulau Es?”
“Bukan, Su-i. Aku tidak berbohong. Kudapatkan ilmu ini di sebuah goa di Pulau Hantu, bersama ilmu-ilmu lain.”
“Ilmu apa saja? Ahh, kau tidak perlu mengaku kalau hendak merahasiakannya.”
“Kepadamu aku tidak ingin menyembunyikan apa-apa, Su-i. Selain Hong-in Bun-hoat, aku juga menemukan pelajaran ilmu silat Toat-beng Bian-kun, juga ilmu tenaga sakti Hwi-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang.”

Gadis itu terbelalak dan Keng Han terpesona. Sepasang mata itu demikian indahnya ketika terbelalak, seperti bintang kembar yang bercahaya terang.

“Tapi semua itu adalah ilmu-ilmu keluarga Pulau Es!”
“Entahlah, Su-i. Aku hanya menemukannya di Pulau Hantu dan telah kupelajari semua itu selama lima tahun.”
“Pantas saja engkau mampu menandingi Swat-hai Lo-kwi dan Toat-beng Kiam-sian. Dan suci telah mengangkatmu sebagai murid! Betapa lucunya. Padahal suci sendiri tak mungkin dapat menandingimu. Bahkan subo sendiri belum tentu mampu. Engkau telah menguasai ilmu-ilmu langka yang sakti, Keng Han.”

Keng Han tersipu. “Aih, Bibi Guru terlalu memuji. Aku hanya seperti seekor burung yang baru belajar terbang dan baru saja pergi meninggalkan sarangnya. Aku tak mempunyai pengalaman apa-apa, maka kalau Su-i sudi melakukan perjalanan bersamaku, aku dapat belajar banyak.”

“Tidak bisa! Jika subo mengetahui aku melakukan perjalanan dengan seorang pemuda, tentu dia akan marah sekali dan aku harus membunuhmu! Nah, pergilah!”
“Akan tetapi, Su-i...” Suara Keng Han penuh permohonan dan penuh kekecewaan.
“Tidak ada tapi-tapian, Keng Han. Kita harus berpisah. Pergilah, atau aku akan marah kepadamu!”
“Su-i...! kata Keng Han, akan tetapi melihat sinar mata itu mencorong marah, dia lalu memberi hormat dan berkata, “Baiklah, Su-i, aku tidak berani membantah. Harap Su-i berhati-hati di jalan dan jagalah dirimu baik-baik, Su-i.”

Dengan wajah sedih sekali Keng Han lalu memutar tubuhnya dan pergi meninggalkan gadis itu. Dia merasa tubuhnya menjadi lemas sehingga segala sesuatu nampak buruk baginya. Dia merasa kesepian, merasa ditinggalkan oleh sesuatu yang amat berharga baginya. Kalau tadinya, segala hal nampak menyenangkan, kini menjadi menyedihkan.

Dia menengok dan tidak melihat lagi bayangan Cu In. Kesedihan dan kesepian melanda dirinya sehingga Keng Han tak mampu melangkah lagi. Dia menjatuhkan dirinya duduk di atas batu dan termenung. Hidupnya terasa hampa. Kerinduan kepada Cu In begitu mencengkeram hatinya. Membayangkan bahwa dia tak akan dapat bertemu lagi dengan gadis itu, membuat matanya menjadi basah dan hampir saja dia menangis seperti anak kecil kalau tidak ditahan-tahannya.

Tiba-tiba dia menyadari keadaannya dan menepuk kepalanya sendiri. Huh! Mengapa engkau menjadi cengeng seperti itu? Dia merasa malu kepada diri sendiri, malu kepada Souw Cu In. Kalau bibi gurunya itu melihat keadaannya, tentu ia akan menegurnya.

“Tolol! Cengeng!” Keng Han memaki dirinya sendiri sambil bangkit berdiri, dan dengan langkah tegap dia melanjutkan perjalanannya menuju ke timur, ke kota raja! Dia masih memiliki tugas yang teramat penting. Mencari ayah kandungnya.

Souw Cu In sendiri merasa kesepian dan hatinya terasa berat harus berpisah dari Keng Han. Gadis ini merasa heran sekali. Belum pernah ia merasa kehilangan seperti ini! Apa lagi kehilangan seorang sahabat, seorang pria.

Tekanan yang diberikan subo-nya sejak ia masih kecil membuat ia menganggap setiap orang pria adalah palsu dan jahat. Apa lagi setelah ia melihat sendiri betapa kaum pria selalu bersikap menjemukan kalau bertemu dengannya di mana pun. Pria semua mata keranjang dan ingin menggoda kalau bertemu dengannya.

Akan tetapi kini dia bertemu Keng Han yang sama sekali berlainan dengan pria yang sering kali dia bayangkan dan yang pernah dia temukan. Keng Han sama sekali tidak kurang ajar, bahkan pemuda itu amat sopan dan bersikap baik sekali kepadanya. Maka, begitu Keng Han meninggalkannya dengan sikap demikian kecewa dan sedih, hatinya merasa kasihan sekali dan ikut pula berduka dan kehilangan. Baru sekarang ia merasa kesepian melanda hatinya.

Akan tetapi gadis yang dididik menjadi keras hati ini dapat menekan perasaannya dan ia pun melakukan perjalanan seorang diri dengan cepat sekali. Pada suatu hari tibalah ia di sebuah dusun yang cukup besar dan ramai. Bahkan ia menemukan sebuah kedai makan di dusun itu. Karena perutnya sudah lapar Souw Cu In memasuki kedai itu dan memesan makanan dan minuman teh.

Di dalam kedai teh itu sudah banyak tamu yang sedang makan. Seperti biasa dialami Cu In, begitu dia memasuki kedai makan itu, banyak mata memandang dan banyak kepala menengok lalu terdengar suara berbisik-bisik dan tawa yang dibuat-buat. Namun dia tidak mempedulikan itu semua dan memesan makanannya kepada pelayan yang menghampirinya.

Tiga orang pria yang duduk di meja sebelahnya, menghentikan makan mereka ketika melihat Cu In. Mereka itu terdiri dari orang-orang yang berpakaian mewah dan berusia antara tiga puluh dan empat puluh tahun. Salah seorang di antara mereka, yang berusia tiga puluh tahun, agaknya menjadi pemimpin mereka.

“Sayang ia bercadar sehingga kita tidak dapat melihat mukanya,” kata seorang di antara mereka yang berusia hampir empat puluhan tahun.

“Aku yakin ia cantik seperti bidadari,” kata orang kedua yang usianya empat puluhan tahun.
“Sudahlah, lanjutkan makan kalian dan jangan pedulikan orang lain,” kata pemuda yang berusia tiga puluhan tahun. Dia itu bertubuh tinggi besar, nampak gagah dan tampan, mukanya bundar dan sepasang matanya lebar sehingga wajah itu nampak asing.
“Akan tetapi, Kongcu, yang satu ini berbeda dengan wanita biasa. Kami berani bertaruh bahwa ia seorang yang luar biasa sekali, penuh rahasia karena muka itu bercadar,” kata orang pertama.

Orang yang disebut kongcu itu mencela, “Bila orang menutupi mukanya, apa lagi kalau dia wanita, tentu dia itu cacat. Sudahlah, mari kita cepat selesaikan makan, kita harus melanjutkan perjalanan!”

Mereka melanjutkan makan minum dan karena Cu In makan cepat dan tidak banyak, gadis ini lebih dulu selesai dan segera membayar makanan dan pergi meninggalkan kedai makanan itu tanpa mempedulikan orang lain. Tiga orang itu juga sudah selesai makan dan mereka juga cepat-cepat meninggalkan kedai.

Ketika berjalan keluar dari dusun itu, Cu In pun tahu bahwa tiga orang itu membayangi dirinya. Dia pura-pura tidak tahu dan melangkah terus. Akan tetapi setelah tiba di jalan yang sepi, tiga orang ini berlari cepat menyusulnya.

“Tahan dulu, Nona!” terdengar suara pria pertama yang berkumis dan berjenggot seperti kambing.

Cu In berhenti dan menghadapi tiga orang itu. Dia melihat bahwa dua diantara mereka memandangnya dengan mulut menyeringai, akan tetapi pemuda berusia tiga puluhan tahun yang berwajah tampan dan gagah itu bersikap acuh tak acuh.

“Nona, tadi kita melihatmu di rumah makan,” kata orang kedua yang hidungnya pesek.
“Lalu, mengapa kalian mengejarku?” tanya Cu In dengan ketus.
“Begini, Nona. Aku dan temanku ini bertaruh. Aku yakin bahwa wajahmu cantik seperti bidadari, sebaliknya dia yakin bahwa wajahmu cacat dan buruk. Nah, karena itu kami harap Nona suka membuka cadar Nona itu sebentar saja agar kami dapat melihatnya dan menentukan siapa yang menang bertaruh.”

“Aku tidak peduli kalian bertaruh atau tidak, tetapi aku tidak akan membuka cadarku!” kata Cu In dengan suara ketus dan marah.
“Aih, Nona. Mengapa Nona begitu pelit? Memperlihatkan muka sebentar saja, kenapa keberatan? Nah, kalau begitu biarlah aku yang membuka dan menyingkap cadar itu!” kata si jenggot kambing dan tangannya meraih ke arah cadar di muka Cu In. Gadis ini mengelak mundur dan sambaran tangan itu luput.
“Siapa berani membuka cadarku dia akan mati!” kata Cu In dengan suara membentak.

Akan tetapi agaknya si jenggot kambing dan si hidung pesek menganggap gertakan Cu In ini kosong belaka. Bahkan si hidung pesek tertawa.
“Ha-ha-ha, Thian-ko. Mari kita bertaruh lagi, siapa di antara kita yang lebih dulu dapat membuka cadar Nona ini!”

Si jenggot kambing tertawa. “Ha-ha-ha, baik sekali! Jadi taruhan kita ada dua, mengenai muka gadis ini dan siapa yang lebih dulu menyingkap cadar!”

Keduanya lalu menerjang maju. Tangan mereka meraih untuk menyambar cadar putih yang menutupi muka Cu In. Leaki ketiga yang berwajah tampan itu masih memandang dengan tidak peduli.

Marah sekali hati Cu In. Cepat ia mengelak sambil berloncatan dari serangan kedua orang yang hendak merenggut cadarnya dan ia pun menampar dengan pukulan Tangan Beracun. Akan tetapi kagetlah ia melihat betapa dua orang itu pun mampu mengelak dengan cepat. Kini keadaannya berubah. Dua orang itu bukan berebutan membuka cadar, melainkan mengeroyok gadis itu. Terjadilah perkelahian yang seru.

Akan tetapi, dua orang itu kecelik karena kini mereka bertemu batunya. Ternyata gadis bercadar itu lihai bukan main dan mereka terdesak hebat oleh pukulan dan tendangan Cu In. Padahal, kedua orang itu mengira bahwa mereka adalah orang-orang lihai yang jarang bertemu tanding!

Melihat ini, sepasang mata lebar dari pemuda tampan itu bersinar-sinar.

“Kalian mundurlah!” bentaknya, dan sekarang dia sendiri yang maju melawan Cu In. Dua orang kawannya menaati perintahnya dan mundur menjadi penonton.

Cu In terkejut setengah mati. Pemuda itu ternyata lihai bukan main, berani menangkis Tangan Beracunnya, bahkan setiap kali tertangkis dia merasa lengannya tergetar hebat. Pemuda itu memiliki ilmu silat yang aneh dan juga mempunyai tenaga sinkang yang amat kuatnya.

Cu In yang maklum bahwa lawannya tangguh, segera melolos sabuk suteranya yang menjadi senjatanya yang ampuh, dan mulai menyerang dengan sabuk suteranya. Akan tetapi pemuda itu dapat mengelak atau menangkis sambil mencoba untuk menangkap ujung sabuk sutera putih itu. Akan tetapi usahanya selalu gagal.

Sabuk sutera itu seolah hidup di tangan Cu In, bergerak seperti seekor ular dan setiap kali ditangkap dapat melesat cepat menghindar, lalu menyerang lagi dengan patukan yang mengarah jalan darah karena sesungguhnya senjata lemas itu dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah.

Selagi ramai-ramainya kedua orang ini bertanding, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan terdengar suara Keng Han.

“Bibi guru, harap minggir, biar aku yang menghadapinya!”

Bagaimana Keng Han dapat tiba di situ? Perjalanannya dengan Cui In memang searah, sama-sama ke timur sehingga tidak aneh kalau dia juga lewat di situ. Ketika dari jauh dia melihat perkelahian itu, jantungnya berdebar penuh kegembiraan dan ketegangan karena siapa lagi wanita yang berpakaian putih bersenjata sabuk sutera putih itu kalau bukan Souw Cu In?

Melihat orang yang dirindukannya ini hatinya merasa girang sekali, akan tetapi juga tegang melihat betapa lawan bibi gurunya itu amat tangguh. Apa lagi setelah dekat dia mengenal pemuda itu sebagai Gulam Sang yang pernah ditandinginya!

Gulam Sang, putera mendiang gurunya! Bahkan gurunya sebelum meninggal dunia sudah berpesan agar dia bekerja sama dengan puteranya itu. Maka cepat dia meloncat datang dan menyuruh bibi gurunya supaya minggir.

Gulam Sang juga mengenal Keng Han sebagai pemuda tangguh yang pernah menjadi lawannya. Dia menjadi penasaran karena tadi belum sempat mengalahkan Cu In yang sudah didesaknya.

“Siapakah engkau yang mencampuri urusan kami?” bentaknya dan dia memandang kepada Keng Han dengan mata yang lebar itu mencorong.
“Bukankah namamu Gulam Sang dan engkau adalah putera dari Gosang Lama?” tanya Keng Han sambil membalas pandang mata mencorong itu.

Gulam Sang nampak terkejut dan melangkah mundur setindak mendengar pertanyaan itu. “Siapa engkau? Apa hubunganmu dengan Gosang Lama?”

Keng Han melihat betapa keterkejutan pemuda tinggi besar itu agak dibuat-buat karena suaranya masih biasa saja, hanya tadi seolah sengaja melangkah mundur.

“Aku adalah muridnya. Sebelum suhu Gosang Lama meninggal dunia, dia berpesan kepadaku agar dapat bekerja sama denganmu. Akan tetapi kenapa engkau bertempur melawan bibi guruku ini? Ia adalah bibi guruku dan mustahil ia melakukan kesalahan sehingga engkau turun tangan bertempur dengannya.”

Wajah Gulam Sang berubah kemerahan dan dia menoleh kepada dua orang kawannya. “Kawan-kawanku ini yang usil, maka terjadilah perkelahian. Mereka hendak menyingkap tabir yang menutupi wajah Nona ini.”

Keng Han mengerti mengapa mereka berkelahi. Tentu saja bibi gurunya tidak sudi dibuka cadarnya dan masih beruntung mereka berdua itu tidak sampai dipukul mati.

“Kalian sudah bertindak lancang. Mengingat engkau putera suhu Gosang Lama, biarlah aku mintakan ampun kepada bibi guruku,” kata Keng Han sambil menoleh.

Akan tetapi ternyata Cui In sudah tidak nampak, sudah pergi dari tempat itu tanpa pamit. Ketika tadi Keng Han muncul, Cu In juga merasa berbahagia sekali. Akan tetapi ketika mendengar bahwa pemuda tinggi besar itu putera guru Keng Han, Cu In menjadi marah dan pergi tanpa pamit.

“Ehhh, ke mana bibi guru?”

Si jenggot kambing yang menjawab. “Ia sudah pergi sejak tadi.”

Keng Han memandang kepada si jenggot kambing dan si hidung pesek dengan marah. “Kalian berdua telah melakukan kesalahan, hayo cepat minta maaf kepadaku dan aku akan memaafkan atas nama bibi guruku!”

Kedua orang itu memandang kepada Golam Sang yang mengangguk. Keduanya lalu mengangkat kedua tangan di depan dada, memberi hormat kepada Keng Han, “Harap sampaikan maaf kami kepada nona tadi.”

“Saudara yang baik, siapa namamu dan sejak kapan engkau menjadi murid ayahku?”
“Namaku Si Keng Han dan semenjak berusia sepuluh tahun aku menjadi murid Gosang Lama selama lima tahun.”
“Kalau begitu engkau masih saudaraku sendiri walau pun aku sendiri sejak kecil tidak pernah bertemu dengan mendiang ayahku. Apa saja yang dipesankan ayah kepadamu sebelum dia meninggal?”
“Dia berpesan agar aku bekerja sama denganmu, saling bantu.”
“Bagus sekali! Mari kita kembali ke dusun dan mencari penginapan supaya kita leluasa bicara.”

Keng Han tidak menolak, karena percuma saja andai kata dia akan mengejar Cu In yang pergi tanpa pamit . Dan dia pun ingin mengenal lebih baik putera suhu-nya ini yang berkepandaian tinggi dan yang menurut Dalai Lama pernah menjadi murid Dalai lama yang sakti. Mereka kembali ke dusun dan menyewa kamar, kemudian bercakap-cakap berdua saja di kamar yang disewa Keng Han.

“Nah, sekarang katakanlah apa yang hendak kau bicarakan, Gulam Sang. Kerja sama yang bagaimana yang dapat kita bersama lakukan.”
“Nanti dulu, Keng Han. Aku ingin tahu siapakah orang tuamu dan sekarang ini engkau hendak ke mana? Kita harus terbuka dan menceritakan keadaan masing-masing, baru kita dapat bekerja sama, bukan?”

Keng Han mengangguk-angguk. Dia belum percaya kepada pemuda tinggi besar ini, akan tetapi bagaimana pun juga, pemuda ini adalah putera Gosang Lama yang pernah menjadi gurunya yang baik.

“Terus terang saja, saudara Golam Sang. Ibuku adalah seorang wanita Khitan, puteri seorang kepada suku di sana dan ayahku...”

Ia berhenti dan meragu. Haruskah dia mengatakan rahasia tentang ayahnya.....? 
“Dan ayahmu tentu bukan orang Khitan!” kata Golam Sang.
“Engkau benar. Ayahku adalah seorang pangeran kerajaan Ceng.”
“Ahhh...!” Gulam Sang nampak terkejut. “Siapa nama ayahmu yang pangeran itu?”
“Nama ayahku adalah Tao Seng, jadi aku she Tao bernama Keng Han.”
“Ahhh...!” kembali Golam Sang terkejut. “Apakah Pangeran Tao Seng yang dua puluh tahun lalu dihukum buang itu?”
“Agaknya engkau mengetahui banyak hal tentang ayahku, saudara Golam Sang.”
“Aku hanya mendengar saja bahwa ada dua orang pangeran yang dihukum buang.”
“Dan tahukah engkau di mana ayahku itu sekarang?”
“Aku tidak tahu, mungkin di kota raja, mungkin juga masih di tempat pembuangannya, di Barat. Akan tetapi engkau tentu dapat mencari keterangan di kota raja. Kebetulan aku mengenal seorang pensiunan pejabat tinggi yang dahulu mempunyai hubungan erat dengan ayahmu. Kau carilah dia di kota raja dan dia pasti akan dapat memberi tahu di mana ayahmu. Namanya Ji Soan dan dikenal dengan sebutan Ji-wangwe (hartawan Ji) karena sekarang dia sudah menjadi seorang saudagar yang kaya raya. Kau tanyakan kepada siapa saja di mana rumahnya Ji-wangwe, tentu dengan mudah engkau akan dapat menemukannya.”

“Ahh, terima kasih, Gulam Sang. Keteranganmu ini penting sekali bagiku. Besok pagi-pagi aku akan langsung menuju ke kota raja untuk mencari Ji-wangwe itu.”
“Kabarnya, ayahmu itu difitnah dan dia dihukum dalam keadaan penasaran sekali.”
“Difitnah?” tanya Keng Han, ingin sekali tahu.
“Ya, kabarnya yang melakukan fitnah adalah seorang pangeran lain yang kini menjadi Pangeran Mahkota.”
“Aku mendengar dari ibuku bahwa ayahku itu adalah Pangeran Mahkota.”
“Mungkin benar demikian. Mungkin karena dia adalah seorang Pangeran Mahkota, ada pangeran lain yang iri hati dan melakukan fitnah sehingga dia dihukum buang.”
“Siapakah pangeran jahat itu?”
“Dia adalah Pangeran Mahkota Tao Kuang. Akan tetapi urusan itu aku pun tidak tahu banyak. Yang lebih mengetahui adalah Hartawan Ji itu. Bagaimana pun juga, Pangeran Tao Kuang dan Kaisar Cia Cing itu adalah musuh besarmu karena mereka yang telah mencelakakan dan menghukum ayahmu.”
“Kalau benar ayahku terhukum dengan penasaran, aku akan membalas dendam!” kata Keng Han dengan hati panas.
“Bagus! Dalam hal ini, kita dapat bekerja sama. Kita akan sama-sama berjuang untuk menggulingkan pemerintahan Ceng yang dipegang oleh Cia Cing dan kelak dipegang oleh Pangeran Tao Kuang itu! Kita bekerja sama dengan teman-teman seperjuangan.”

“Hemm, kau maksudkan orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai yang dulu kau bantu mengeroyok kami itu? Mereka itu bukan orang-orang baik. Aku sudah mendengar sepak terjang orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai itu. Mereka adalah orang-orang jahat yang berkedok perjuangan. Bagaimana kita dapat bekerja sama dengan mereka?”

“Nah, di sini letak kesalah pahaman itu. Engkau berpikiran seperti ketua Thian-li-pang itu. Kalau kita sungguh-sungguh hendak berjuang menentang pemerintahan, kita harus mempersatukan semua tenaga dari pihak mana pun. Karena itu kita harus bersatu padu tanpa mempedulikan watak masing-masing, untuk bersama-sama menghadapi pasukan pemerintah yang kuat. Aku lebih condong menyetujui pendapat ketua Bu-tong-pai!”
“Ahh, engkau juga hadir ketika ada rapat besar itu?”
“Tentu saja. Aku hadir sebagai pendengar saja. Nah, bagaimana pendapatmu?”

Keng Han mulai meragu. “Agaknya engkau benar. Aku harus membalas dendam atas kematian ayahku kalau benar dia sudah mati secara penasaran dan difitnah. Aku suka bekerja sama denganmu, Gulam Sang.”

Gulam Sang menjabat tangan Keng Han. “Bagus, kita akan bekerja sama kelak. Kau tunggu saja di rumah Hartawan Ji, karena dia pun sudah menjadi sekutu kami untuk melakukan pemberontakan. Pergilah engkau ke sana, cari keterangan tentang ayahmu dan katakan kepada Ji-wangwe bahwa engkau adalah sahabat dan sekutuku yang suka untuk bekerja sama.”

Demikianlah, Keng Han yang masih hijau dalam pengalaman itu percaya sepenuhnya kepada Gulam Sang karena orang ini adalah putera gurunya yang sudah meninggalkan pesan agar dia bekerja sama dengan Gulam Sang…..

********************
Selanjutnya baca
PUSAKA PULAU ES : JILID-07
LihatTutupKomentar