Pendekar Remaja Jilid 13
Pada masa itu, keadaan tapal batas sebelah utara memang amat genting. Pertempuran-pertempuran telah pecah dan terjadi di mana-mana, di mana saja rombongan pengacau bangsa Tartar dan Mongol bertemu dengan rombongan barisan pemerintah yang menjaga di perbatasan.
Malangi Khan sangat pandai mengatur siasatnya. Tidak saja dia membujuk dan menarik bangsa Tartar untuk bergabung dengan pasukannya untuk bersama-sama memukul ke selatan dengan janji-janji muluk, akan tetapi juga dia telah membujuk suku-suku bangsa Tiongkok yang tinggal di perbatasan utara untuk secara bersama-sama menggulingkan pemerintahan Kaisar Tiongkok.
Juga ia masih berusaha untuk menghubungi orang-orang gagah di dunia kang-ouw untuk membantu usaha penyerbuannya, dengan pancingan-pancingan berupa harta benda dan janji kedudukan. Bahkan dengan Ban Sai Cinjin dia sudah mengadakan hubungan yang erat, dan menjanjikan bahwa apa bila kelak pemerintah kaisar telah terguling, dia hendak mengangkat Ban Sai Cinjin menjadi kaisar!
Ban Sai Cinjin sendiri bukan seorang bodoh, dan tidak dapat ia menelan mentah-mentah janji muluk ini, akan tetapi dengan kerja sama ini Ban Sai Cinjin sendiri pun mempunyai rencana. Bila mana mereka bersama sudah berhasil menyerbu ke selatan dan mendapat kemenangan, dengan mudah saja dia akan menggunakan pengaruhnya untuk berkhianat terhadap orang-orang Mongol itu sehingga dia akan dapat berkuasa di kota raja.
Sudah lama suku bangsa Haimi dikuasai oleh Malangi Khan. Sejak dia memukul bangsa Haimi ini hingga kepalanya, yaitu Manako melarikan diri dengan puterinya, maka bangsa ini menjadi semacam bangsa jajahan. Saliban, yang tadinya menjadi pembantu Manako, dengan sikapnya yang pandai menjilat, akhirnya terpakai oleh Malangi Khan dan orang ini diangkat menjadi kepala dari suku bangsa Haimi dan boleh dibilang dia menjadi kaki tangan bangsa Mongol.
Saliban mengumpulkan orang-orangnya baik dengan halus mau pun secara paksa, untuk bergabung kembali kemudian bersama-sama merupakan sebuah kesatuan yang cukup kuat untuk membantu usaha kaum Mongol itu menyerbu ke selatan, atau setidaknya bisa mengacaukan pertahanan tentara kerajaan di selatan. Berkat usaha Saliban ini, bangsa Haimi banyak yang ditangkap dan dijadikan anggota pasukan secara paksa, sehingga sungguh pun di dalam hati orang-orang Haimi ini tidak suka membantu orang Mongol dan memusuhi tentara Han, namun terpaksa mereka maju juga.
Pada suatu hari, barisan suku bangsa Haimi yang berjumlah lima puluh orang lebih dan dipimpin sendiri oleh Saliban, sambil berteriak-teriak menyeramkan, sedang mengurung sepasukan penjaga tapal batas yang hanya berjumlah tiga puluh orang. Sungguh amat menyeramkan orang-orang Haimi ini. Mereka rata-rata berkumis panjang, kecuali Saliban sendiri yang semenjak muda sudah membuang kumisnya, bersenjata golok dan pedang lalu menyerbu sambil berteriak-teriak menyeramkan.
Sebentar saja, pasukan kerajaan yang jumlahnya jauh lebih kecil itu sudah rapat-rapat terkurung dan sudah banyak korban yang jatuh di pihak pasukan ini. Seorang perwira tua dari pasukan kerajaan ini dengan mati-matian bertempur mainkan sepasang pedangnya. Luka-luka telah membuat seluruh tubuhnya mandi darah, akan tetapi perwira ini harus dipuji ketabahan dan keuletannya, karena dia tidak hendak menyerah sebelum titik darah terakhir!
Pada saat itu, tiba-tiba keadaan pihak orang-orang Haimi menjadi kacau-balau. Ternyata bahwa entah dari mana datangnya, di gelanggang peperangan itu telah datang seorang gadis cantik yang memainkan pedangnya secara luar biasa sekali. Pedang tunggal pada tangannya berkilauan dan setiap kali tangannya menggerakkan pedang, maka robohlah seorang lawan!
Gadis muda ini bukan lain adalah Sie Hong Li atau Lili! Sebagaimana telah diceritakan di bagian depan, setelah mendengar lamaran yang terus terang dan kasar dari Kam Wi, paman dari Kam Liong, gadis ini lalu melarikan diri meninggalkan rombongan Kam Liong. Karena dia memang tidak tahu jalan dan di sepanjang perjalanannya dia tidak bertemu dengan seorang manusia pun, dia telah salah mengambil jalan dan yang disangkanya ke utara sebetulnya membelok ke barat!
Demikianlah, pada saat dia melihat betapa serombongan tentara kerajaan dikeroyok dan dikurung oleh pasukan berkumis yang jauh lebih besar jumlahnya, tanpa diminta dan tanpa mengeluarkan kata-kata Lili lalu membantu pasukan kerajaan itu dan menyerang barisan berkumis dengan hebatnya.
Akan tetapi, ketika Lili datang membantu, pasukan kerajaan telah habis, bahkan perwira tua itu hanya sempat melihat Lili sebentar saja, karena perwira ini lalu roboh saking lelah dan banyak mengeluarkan darah. Beberapa bacokan golok lalu menamatkan riwayatnya. Sebentar kemudian hanya tersisa Lili seorang saja yang masih dikeroyok oleh puluhan orang berkumis.
Saliban yang melihat seorang gadis cantik jelita dan gagah perkasa, merasa sayang apa bila gadis ini sampai mengalami kematian, maka ia lalu berseru,
“Kawan-kawan, jangan bunuh gadis ini. Tangkap hidup-hidup!”
Akan tetapi, perintah ini lebih mudah diucapkan dari pada dijalankan, karena jangan kata hendak menangkap hidup-hidup, untuk mendekati gadis itu saja sukarnya bukan main! Setiap orang yang terlalu berani mendekati Lili, tanpa dapat dicegah lagi roboh terkena tendangan atau kena sambaran hawa pukulan dari tangan kiri gadis itu, atau juga roboh karena keserempet pedang! Lili sengaja tak mau membunuh orang. Melihat orang-orang berkumis ini, teringatlah dia akan cerita ayah bundanya tentang bangsa Haimi, maka dia tidak tega untuk membunuh seorang pun di antara mereka.
“Bukankah kalian ini orang-orang Haimi? Kenapa memusuhi tentara kerajaan? Dengarlah, aku adalah puteri Pendekar Bodoh. Ayah ibuku kenal baik dengan kepala kalian, Manako dan Meilani!” seru Lili di antara amukannya.
Benar saja, mendengar seruannya ini, sebagian besar orang Haimi cepat mengundurkan diri. Mereka sudah pernah mendengar nama Pendekar Bodoh yang menjadi sahabat baik dari pada kepala mereka yang dulu, Manako. Akan tetapi terdengar bentakan-bentakan Saliban yang mendorong mereka untuk maju lagi dan mengadakan pengeroyokan.
Lili menjadi kewalahan juga. Tidak mungkin ia akan dapat melepaskan diri dari kepungan tanpa merobohkan atau menewaskan beberapa orang di antara mereka.
“Mana Manako atau Meilani? Suruh mereka keluar dan biar aku bicara dengan mereka!” teriaknya lagi. Akan tetapi siapakah yang berani melayaninya? Walau pun semua orang Haimi itu timbul hati simpatinya terhadap gadis ini, namun mereka takut kepada Saliban.
Sungguh celaka bagi Lili pada saat itu, serombongan pasukan Mongol yang lihai datang! Ketika melihat betapa sepasukan orang Haimi sedang mengeroyok seorang gadis Han, orang-orang Mongol ini cepat menyerbu dan mengeroyok Lili.
Keadaan Lili menjadi lebih berbahaya lagi. Walau pun dia mengamuk hebat, akan tetapi bagaimana dia dapat melayani ratusan orang musuh yang mengeroyoknya? Mereka itu kini mulai mempergunakan kaitan dan tambang sehingga gerakan Lili menjadi terhalang.
Lili melawan terus dan pertempuran luar biasa ini sungguh hebat. Seorang gadis muda jelita dikeroyok oleh ratusan orang Mongol dan Haimi, dan biar pun sudah ribuan jurus, belum juga gadis ini kalah! Mayat sudah bertumpuk, dan pandangan mata Lili pun sudah menjadi kabur.
Kepalanya pening, peluh membasahi seluruh tubuhnya dan tenaganya mulai berkurang. Tak mungkin baginya untuk keluar dari kepungan, maka dengan nekat dia lalu menyerbu, maksudnya hendak membunuh sebanyak-banyaknya musuh sebelum dia roboh.
Mendadak terdengar sorak-sorai bergemuruh dari jauh. Sepasukan tentara kerajaan yang lain datang menolong.....
Orang-orang Mongol lalu memisahkan diri dan menyambut datangnya pasukan kerajaan yang terdiri dari seratus orang itu. Pertempuran makin hebat dan besar, akan tetapi Lili sudah lelah sekali sehingga pada saat kakinya terjirat tambang, tubuhnya terhuyung lalu terguling. Banyak tangan yang kuat menubruknya dan dalam sekejap mata saja dia telah diikat kuat-kuat oleh orang-orang Haimi, lalu Saliban mengempitnya dan membawanya lari bersama orang-orangnya.
Lili yang roboh pingsan saking lelahnya tak ingat sesuatu. Ketika ia telah siuman kembali ternyata dia telah berada di dalam sebuah hutan dan waktu itu telah malam. Kegelapan malam di dalam hutan itu terusir oleh cahaya api unggun besar yang sudah dibuat oleh orang-orang Haimi di tempat itu. Di sini agaknya memang menjadi tempat beristirahat, karena pohon-pohon telah ditebang sehingga merupakan tempat terbuka yang dikelilingi pohon-pohon besar.
Lili didudukkan menyandar batu karang dan ia tidak dapat menggerakkan tubuhnya yang terikat erat-erat. Ketika dia membuka matanya, dia melihat banyak sekali orang Haimi mengelilingi api, duduk bercakap-cakap dalam bahasa Haimi.
Dulu secara iseng-iseng ayah bundanya yang sedikit mengerti bahasa ini, telah memberi tahu dan memberi pelajaran kepadanya mengenai bahasa Haimi, maka biar pun hanya sedikit, Lili dapat menangkap percakapan mereka.
“Jangan, Saliban, dia adalah puteri Pendekar Bodoh, pendekar besar sahabat baik Kwee Taihiap yang telah banyak berjasa terhadap kita. Jangan ganggu dia!” terdengar seorang Haimi yang sudah tua berkata terhadap orang Haimi yang tak berkumis.
Ucapan ini agaknya diterima dan dinyatakan setuju oleh sebagian besar orang-orang di situ, karena mereka nampak menganggukkan kepala. Akan tetapi orang Haimi yang tidak berkumis itu menjadi marah.
“Siapa takut pada Pendekar Bodoh? Tak tahukah kalian bahwa Pendekar Bodoh adalah musuh orang-orang Mongol? Kita harus memperlihatkan jasa, dan sekarang kesempatan yang amat baik ini jangan kita lewatkan begitu saja. Gadis ini demikian cantik jelita dan berkepandaian tinggi pula. Apa bila kita membawanya kepada Malangi Khan kemudian mempersembahkannya, tentu dia akan berterima kasih dan girang sekali. Kalau dia tidak mau, aku sendiri pun membutuhkan seorang isteri segagah dan secantik ini.”
Kembali terdengar suara menggumam dari pada hadirin, akan tetapi kali ini menyatakan tidak setuju. Semua ini tidak terlepas dari pandangan mata Lili yang tajam. Dia mendapat kesimpulan bahwa orang-orang Haimi ini bagaimana pun juga masih menaruh hati setia kawan terhadap ayahnya, akan tetapi mereka semua agaknya takut kepada orang yang bernama Saliban, orang Haimi yang tidak berkumis itu.
Diam-diam Lili mengeluh. Alangkah buruk nasibnya. Melakukan perjalanan bersama Kam Liong, mendengar lamaran yang kasar hingga membuat mukanya selalu menjadi merah kembali kalau mengingatnya. Setelah meninggalkan rombongan itu, belum juga bertemu dengan Hong Beng dan Goat Lan bahkan kini terjatuh pula dalam tangan serombongan orang Haimi yang telah berubah dan telah menjadi kaki tangan Mongol! Bila ia diserahkan kepada bangsa Mongol itu, akan celakalah dia!
Akan tetapi Lili tak pernah berputus asa. Selama hayat masih dikandung badan, gadis ini tidak akan mati putus asa. Ia masih hidup, kepandaiannya masih ada. Betapa pun hebat mala petaka mengancam, ia akan dapat menolong diri sendiri.
Dengan pikiran ini, hati Lili menjadi tetap dan ia segera meramkan mata dan tertidur. Ia menganggap perlu sekali beristirahat dan tidur melepaskan lelahnya. Besok pagi-pagi ia akan berusaha untuk melepaskan ikatan kaki tangannya.
Memang cerdik sekali pikiran Lili ini. Apa bila ia berusaha atau berkuatir hati, mungkin ia tidak akan dapat tidur dan hal ini berbahaya sekali. Ia amat penat dan kehabisan tenaga, kalau ditambah lagi dengan kegelisahan dan tidak dapat tidur, keadaannya tentu akan menjadi lebih buruk lagi.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Lili telah bangun dari tidurnya. Meski pun kaki tangannya terasa kaku dan kesemutan, namun dia merasa tubuhnya sehat dan segar, tidak lemas seperti malam tadi. Dan ia merasa heran sekali ketika melihat betapa semua orang Haimi masih duduk mengelilingi api. Mereka tak bercakap-cakap lagi, hanya duduk melenggut.
Melihat keadaan orang-orang ini, maka timbul hati kasihan di dalam dada Lili. Alangkah sengsaranya hidup seperti orang-orang ini. Agaknya tak berumah, tidak bebas, dan hidup hanya sebagai budak belian, di bawah perintah orang Haimi tak berkumis yang kini telah diperbudak pula oleh orang-orang Mongol itu. Kemanakah perginya Manako dan Meilani, kepala suku bangsa Haimi yang menjadi sahabat baik ayah bundanya?
Pada saat Lili termenung sambil memandang ke arah Saliban yang juga sudah bangun dan sedang menendangi kawan-kawannya memerintahkan mereka bangun, nampaklah oleh Lili berkelebatnya bayangan merah yang luar biasa sekali gerakannya. Bayangan ini berkelebat bagaikan bintang jatuh dan tiba-tiba tanpa diketahui oleh orang-orang Haimi itu, di depannya telah berdiri seorang wanita.
Cuaca pagi hari di dalam hutan itu masih agak gelap, remang-remang tertutup halimun. Di dalam pandangan Lili, wanita yang berdiri di depannya itu demikian cantiknya seperti seorang bidadari dari kahyangan. Pakaiannya berwarna merah dan biar pun di sana-sini sudah ditambal, namun tidak mengurangi potongan bentuk tubuhnya yang langsing.
Tangan wanita itu memegang pedang yang mengeluarkan cahaya mencorong bagaikan bintang pagi, mengingatkan Lili kepada pedang Liong-cu-kiam dari ayahnya. Akan tetapi pedang di tangan wanita baju merah itu lebih pendek dari pada Liong-cu-kiam ayahnya.
Wanita itu tidak mengeluarkan sepatah pun kata, akan tetapi tangannya yang memegang pedang bergerak membacok ke arah Lili! Sungguh aneh dan hebat gerakan bacokan ini sehingga Lili sendiri menjadi ngeri mengira bahwa wanita ini akan membunuhnya. Tanpa terasa lagi gadis ini meramkan matanya.
Akan tetapi tiba-tiba ia merasa betapa tangan dan kakinya sudah terlepas dari belenggu! Ternyata bahwa wanita itu bukan membacok tubuhnya, melainkan membacok belenggu-belenggu yang mengikat kaki tangannya! Cepat ia melompat berdiri dan karena tubuhnya masih kaku dan kesemutan, Lili menjadi limbung!
Cepat-cepat dia melakukan gerakan bhesi yang disebut Sepasang Gunung Menembus Awan, sebuah bhesi dari Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut. Kedua tangannya ia gerak-gerakkan sehingga mengeluarkan uap putih. Lili melakukan gerakan ini di samping untuk mencegah tubuhnya limbung dan jatuh, juga untuk melemaskan urat-urat tangannya dan mencegah masuknya hawa atau angin jahat ke dalam tubuhnya.
Akan tetapi wanita itu nampak terkejut sekali. Sekali kedua kakinya bergerak, wanita itu telah melesat dan berdiri dekat sekali di depan Lili. Dipegangnya pundak Lili, digoncang-goncangnya beberapa kali sambil bertanya,
“Siapa kau? Dari mana kau mempelajari Pek-in Hoat-sut?”
Ketika wanita baju merah itu menggoncang-goncang pundak Lili, gadis ini dapat melihat wajah wanita itu dengan jelas sekali dan terkejutlah dia. Sesudah terlihat jelas wajah ini ternyata merupakan wajah seorang nenek-nenek yang sudah tua sekali! Rambutnya sudah putih semua dan seluruh kulit mukanya sudah penuh keriput. Sekaligus lenyaplah sifat-sifat kecantikan wanita itu. Pada saat itu juga teringatlah Lili dengan hati berdebar siapa adanya wanita di depannya itu.
“Ang... Ang... I Niocu....,” katanya dengan suara gemetar.
Dua tangan yang halus dan amat kuat, yang tadi menggoncang-goncangkan pundaknya dengan kekuatan luar biasa itu kini terhenti tiba-tiba.
“Kau siapakah? Lekas mengaku, kau siapa dan anak siapa!” kata pula wanita itu yang memang betul Ang I Niocu adanya.
“Ahh... Ie-ie (Bibi) Im Giok...!” Tak terasa pula Lili lalu merangkul wanita itu.
Semenjak kecilnya, ibunya sering kali menceritakan tentang Kiang Im Giok atau Ang I Niocu yang amat dicinta oleh ayah ibunya ini, wanita perkasa yang telah banyak melepas budi kepada Pendekar Bodoh suami isteri. Pertemuan ini amat menggirangkan hatinya juga amat mengharukan karena selalu terbayang olehnya bahwa Ang I Niocu merupakan seorang wanita tercantik di dunia ini. Sungguh pun ia telah mendengar dari ibunya bahwa kini Ang I Niocu telah tertimpa mala petaka dan menjadi tua sekali, namun tidak pernah terduga bahwa wanita ini akan menjadi setua itu, maka ia menjadi amat terharu. Air mata tak tertahan pula mengalir di atas pipinya.
Sementara itu, melihat wajah dan watak gadis ini, Ang I Niocu tidak ragu-ragu lagi. “Kau puteri Lin Lin, anak Cin Hai...?” bisiknya.
“Betul, Ie-ie Im Giok, aku bernama Sie Hong Li atau Lili. Masih ada saudaraku, yaitu kakakku bernama Sie Hong Beng.”
Ang I Niocu memegang kedua pundak Lili, menjauhkan tubuh gadis itu dari padanya dan memandang wajah cantik itu dengan air mata mengalir turun di pipinya yang kisut. Ang I Niocu, wanita yang keras hati seperti baja ini tidak dapat lagi menahan keharuan hatinya melihat puteri dari kawan-kawannya yang tercinta!
Pada saat itu, Saliban dan kawan-kawannya telah melihat Ang I Niocu dan ketika Saliban melihat betapa Lili telah terlepas ikatan kaki tangannya, ia menjadi marah sekali. Cepat ia mencabut pedangnya dan memerintahkan kawan-kawannya untuk menyerbu.
“Tangkap Nona itu dan bunuh wanita baju merah itu!” teriaknya.
Berubah wajah Ang I Niocu ketika ia mendengar seruan ini. Cepat ia melepaskan pundak Lili sambil berkata, “Apakah mereka ini yang menangkapmu? Ha-ha-ha, lihatlah anakku, lihat betapa Ie-ie-mu, meski pun sudah tua masih sanggup membuat puluhan orang ini menjadi setan tak berkepala lagi dalam sekejap mata!” Sambil berkata demikian, tangan kanannya meraba pinggang dan tahu-tahu pedang yang tajam berkilau itu telah tercabut dan berada di tangannya!
Pedang ini sesungguhnya juga pedang Liong-cukiam dan asalnya merupakan siang-kiam (pedang pasangan), sebatang panjang dan sebatang pula pendek. Ang I Niocu dan Cin Hai yang mendapatkan pedang ini di dalam goa, dan kemudian menurut pesan Bu Pun Su guru Cin Hai, pedang yang panjang diberikan kepada Cin Hai ada pun yang pendek jatuh pada Ang I Niocu. Oleh karena itu, pedang yang berada di tangan Ang I Niocu ini hebat sekali dan tajam luar biasa!
Melihat kemarahan Ang I Niocu, Lili menjadi kuatir sekali. Ia pun dapat menduga bahwa kalau wanita baju merah ini benar-benar melakukan ancamannya, semua orang Haimi itu tentu akan mati di tangan Ang I Niocu. Ia pernah mendengar dari ibunya betapa ganas wanita ini kalau sedang marah.
“Ie-ie Im Giok, tahan dulu...!” teriaknya sambil melompat maju dan memegang tangan kanan Ang I Niocu yang memegang pedang. “Orang-orang ini adalah suku bangsa Haimi yang tidak jahat, hanya kepalanya saja yang memaksa mereka menjadi penjahat. Biarlah aku menghadapi mereka, Ie-ie Im Giok. Ampunkanlah mereka, dan tentang kepalanya yang jahat itu, biarkan aku sendiri yang menghajarnya!”
Ang I Niocu memandang kepada Lili dengan matanya yang amat tajam. Lili sudah kuatir kalau nyonya luar biasa ini akan marah, akan tetapi ternyata tidak. Ang I Niocu bahkan tersenyum dan berkata perlahan, “Kau seperti ayahmu, berbudi dan pengasih, dan berani seperti ibumu. Nah, kau pakailah pedangku untuk menghadapi kepala mereka.”
“Terima kasih, Ie-ie, tidak usah!” jawab Lili gembira. “Untuk membunuh seekor anjing, tak patut mengotorkan pedang Liong-cu-kiam!” Ia kini tak ragu-ragu lagi menyebutkan nama pedang ini karena memang ia telah tahu dari ayahnya bahwa pedang Ang I Niocu adalah pedang Liong-cu-kiam juga.
Dengan kedua tangan di pinggang, Lili berdiri dengan gagahnya, menunggu datangnya serbuan puluhan orang Haimi itu. Orang-orang ini memang sudah merasa kagum dan segan untuk memusuhi gadis itu, maka kini mereka menjadi ragu-ragu. Mereka maju hanya atas perintah dan desakan Saliban, maka kini setelah berada di depan gadis yang gagah itu, mereka berdiri ragu-ragu, mundur tidak maju pun gentar.
“Saudara-saudara suku bangsa Haimi, dengarlah kata-kataku! Dengarlah ucapan puteri Pendekar Bodoh yang sejak dahulu menjadi sahabat dan pembela Manako dan Meilani! Agaknya sekarang kalian telah diselewengkan oleh kepalamu yang baru, yang mengekor dan menjadi kaki tangan bangsa Mongol yang sangat jahat! Kalian hidup dalam bahaya akan kehancuran seluruh bangsamu. Jangan takut kepada kepalamu yang jahat itu, dan jangan takut kepada orang Mongol yang menindasmu. Aku akan melindungimu, aku dan ayah ibuku. Pendekar Bodoh dan kawan-kawan kami akan melindungimu, akan memukul hancur bangsa Mongol! Lebih baik tinggalkan pemimpinmu yang jahat itu dan kembalilah kepada keluargamu masing-masing!”
Tak seorang pun di antara orang-orang Haimi itu berani menjawab dan tiba-tiba Saliban melompat ke depan dengan pedang di tangan.
“Perempuan sombong! Kau kemarin telah tertawan dan kami tidak membunuhmu karena sayang kepadamu yang masih muda. Dan sekarang kau berani mengeluarkan ucapan sesombong itu? Terpaksa sekarang kami harus membunuhmu karena mulutmu itu jahat sekali!”
“Ha-ha-ha, kau bernama Saliban? Tidak tahu entah dari mana datangnya harimau tak berkumis yang telah berhasil membujuk dan menipu harimau-harimau Haimi yang gagah perkasa. Kau mau membunuhku? Aduh sombongnya! Kemarin juga kalau tidak dengan cara pengeroyokan yang pengecut sekali, agaknya kau telah mampus dalam tanganku!”
Saliban memang gentar menghadapi kegagahan Lili yang kemarin sudah disaksikannya. Akan tetapi oleh karena sekarang pedang gadis itu berada di dalam tangannya dan gadis itu sendiri bertangan kosong, ia menjadi berani. Ia berseru keras, “Kawan-kawan, serbu dan bunuh perempuan sombong ini!”
Akan tetapi tiada seorang pun di antara orang-orang Haimi itu yang mau menggerakkan senjata. Ucapan Lili tadi telah mempengaruhi mereka dan kini mereka sudah mengambil keputusan hendak berdiam diri dulu, kemudian menyaksikan bagaimana gadis ini akan mengalahkan Saliban yang gagah perkasa dan yang mereka takuti. Sebelum Saliban dapat mengulangi perintahnya, tiba-tiba Lili telah menggerakkan kakinya dan tubuhnya melesat cepat ke arah Saliban.
Saliban mengangkat pedang Liong-coan-kiam, pedang Lili yang sudah dirampasnya lalu membacok dengan kuat dan hebat ke arah kepala gadis itu. Akan tetapi, dengan sangat mudahnya Lili mengelak ke kiri dan dengan lincahnya ia lalu mempermainkan Saliban. Serangan kepala Suku bangsa Haimi yang dilakukan secara bertubi-tubi itu sama halnya dengan serangan yang ditujukan kepada angin belaka. Sedikit pun belum pernah pedang itu dapat menyentuh ujung pakaian Lili.
Ang I Niocu mau tidak mau tersenyum geli melihat betapa Lili mempermainkan lawannya sambil mainkan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na. Hebat sekali gadis ini, pikirnya. Lincah dan tabah seperti ibunya, akan tetapi tenang dan penuh perhitungan seperti ayahnya.
Ahh, ia merasa menyesal mengapa dia telah menjauhkan diri dari mereka ini. Kalau saja ia tahu bahwa Cin Hai dan Lin Lin mempunyai seorang puteri secantik dan segagah ini, dari dahulu tentu sudah dipinangnya gadis ini untuk puteranya, Lie Siong!
Kalau dibuat perbandingan, ilmu silat Saliban jauh kalah oleh Lili sehingga pertempuran itu bagaikan seekor kucing mempermainkan tikus. Pada jurus ke dua puluh, mulailah Lili membalas serangan lawan. Dia mengelak cepat dari sebuah tusukan dan begitu tangan kirinya bergerak…
“Plokk!” terdengarlah suara yang keras sekali karena pipi Saliban telah kena ditampar.
Saliban merasa seakan-akan kepalanya disambar petir, matanya berkunang dan bumi yang dipijaknya serasa beralun. Akan tetapi dia masih mampu mempertahankan dirinya. Walau pun ia merasa betapa separuh mukanya menjadi panas dan bengkak membesar, ia tetap saja maju menyerang dengan mati-matian!
Saliban memekik kesakitan pada waktu pukulan Pek-in Hoat-sut itu mengenai dadanya. Pedangnya terampas dengan amat mudahnya dan akibat pukulan yang lihai itu, tubuhnya terpental sampai beberapa tombak jauhnya dan tiba di tengah-tengah kumpulan kawan-kawannya yang memandang dengan mata terbelalak kagum.
Lili memang betul berhati pengasih dan pengampun seperti ayahnya. Tadinya dia tidak punya niat membunuh Saliban, hanya hendak mengalahkannya, memberi hajaran keras, merampas pedangnya dan menginsyafkan orang-orang Haimi yang disesatkannya.
Karena itu dia terkejut sekali melihat betapa tiba-tiba rombongan orang-orang Haimi yang berkumis panjang itu kini menghujani tubuh Saliban yang sudah tak bergerak itu dengan golok dan pedang mereka. Tentu saja dalam sekejap mata tubuh Saliban menjadi hancur lebur tercacah oleh puluhan batang golok dan pedang.
Lili melompat ke tempat itu hendak mencegah, akan tetapi telah terlambat. Tubuh Saliban sudah hancur tidak karuan lagi dan ketika orang-orang Haimi itu melihat Lili melompat dekat, mereka lalu melepaskan senjata dan menjatuhkan diri berlutut di hadapan gadis gagah itu.
“Lihiap, jahanam ini sudah terlampau banyak mendatangkan kesusahan kepada kami,” kata seorang Haimi tua yang malam tadi menyatakan tidak setuju terhadap kehendak Saliban. “Semenjak bangsa kami diserang dan dikalahkan oleh bangsa Mongol sehingga kepala kami yang bernama Manako melarikan diri dan Meilani telah tewas, kami hidup seperti budak-budak belian yang tidak berkuasa atas pikiran dan hati sendiri. Bangsat rendah Saliban ini menambah mala petaka, karena dia pandai bermuka-muka sehingga diangkat oleh Malangi Khan sebagai pemimpin kami. Hari ini, Lihiap sudah datang dan membebaskan kami dari tindasan Saliban, akan tetapi hal ini belum berarti bahwa Lihiap telah membebaskan kami dari tindasan orang-orang Mongol. Bahkan kematian Saliban ini tentu akan mendatangkan mala petaka yang lebih besar lagi dan mungkin sebentar lagi seluruh anak isteri kami dibunuh oleh orang Mongol!” Sesudah orang tua ini berkata demikian, kemudian terdengar isak tangis karena sebagian besar orang-orang Haimi itu telah menangis sedih.
Ang I Niocu yang datang berdiri di dekat Lili, lalu berkata kepada orang-orang Haimi itu dengan suara mengejek, “Hmm, kalian ini orang-orang bodoh hanya kumisnya saja yang panjang, akan tetapi pikiranmu pendek sekali. Hanya tampangnya saja yang gagah akan tetapi hatinya lemah dan pengecut melebihi wanita yang selemah-lemahnya! Kesukaran tak dapat diatasi hanya dengan cucuran air mata. Persoalan tak mungkin bisa dipecahkan hanya dengan keluh kesah belaka! Apa bila kalian mempunyai kesulitan, lebih baik cepat ceritakan kepada Nona ini, karena sekali Nona ini telah mengeluarkan kesanggupan pasti akan dipenuhi.”
Orang-orang Haimi yang mendengar kata-kata ini, menjadi merah mukanya karena malu dan jengah. Mendengar nasehat mengenai kegagahan dari seorang wanita tua, sungguh amat memalukan sekali.
“Siapakah kau, Toanio, yang mengeluarkan kata-kata segagah ini?” tanya orang Haimi tua tadi.
Dengan suara bangga, Lili segera memperkenalkan Ang I Niocu kepada mereka. “Kalian tentu sudah pernah mendengar nama Ang I Niocu, bukan? Nah, inilah dia Ang I Niocu, pendekar wanita terbesar di segala jaman! Dia adalah Twa-ie-ku yang tercinta. Dengan adanya dia di sini, apakah kalian masih ragu-ragu lagi bahwa aku takkan dapat menolong kalian? Jangankan baru Malangi Khan, Raja Mongol yang hanya seorang manusia biasa itu, biar pun orang-orang Mongol mempunyai raja seorang dewata, dengan Ie-ie-ku ini di sampingku, aku sanggup menghadapinya!”
Nama besar Ang I Niocu memang sudah amat terkenal dari selatan sampai ke utara, dari barat sampai ke timur, maka sebagian besar orang-orang Haimi itu, terutama sekali yang tua-tua, juga telah mendengar dan mengenal nama ini. Maka serentak mereka memberi hormat sambil berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala.
“Kalau begitu, mulai hari ini juga kami mengangkat Lihiap serta Niocu sebagai pemimpin-pemimpin kami. Hanya kepada Lihiap dan Niocu kami menyerahkan nasib bangsa kami. Ketahuilah, Lihiap dan Niocu, sesudah kami dikalahkan oleh bangsa Mongol, keluarga kami yaitu isteri, orang-orang tua dan anak-anak kami semua dikumpulkan dalam sebuah kampung dan dijaga oleh pasukan Mongol. Hanya beberapa hari sekali kami dibolehkan menjumpai mereka. Hal itu dilakukan oleh bangsa Mongol yang jahat untuk merantai kaki kami, karena dengan demikian, mau tidak mau kami tidak berani membantah perintah mereka yang dikeluarkan melalui mulut Saliban yang khianat!”
Mendengar penuturan ini, baik Lili mau pun Ang I Niocu menjadi marah sekali.
“Di mana tempat keluarga kalian itu terkurung?” tanya Ang I Niocu.
“Tidak jauh dari sini, di sebuah dusun di kaki Gunung Alkata-san,” jawab orang Haimi tua tadi.
“Nah, kita tunggu apa lagi? Mari berangkat ke sana untuk menolong mereka,” kata pula Ang I Niocu.
Orang-orang Haimi itu terkejut sekali. “Akan tetapi... tempat itu sudah dijaga oleh seratus orang-orang yang jahat.”
Lili menjadi hilang sabar. “Pengecut! Kalian tadi sudah mengakui kami berdua sebagai pemimpin, kenapa sekarang masih banyak membantah lagi? Apakah kalian tak percaya kepada Ie-ie-ku? Kalau tidak percaya, sudah saja, kami pergi meninggalkan kalian!”
Mendengar ini buru-buru orang-orang Haimi itu berlutut lagi dan minta maaf. Kemudian dengan wajah girang orang tua itu lalu mengumpulkan kawan-kawannya yang jumlahnya masih ada empat puluh dua orang, lalu beramai-ramai mereka pergi menuju ke dusun di mana keluarga mereka yang jumlahnya hampir seratus orang wanita, orang-orang tua, dan anak-anak itu ditahan dan dikurung.
Tempat di mana keluarga Haimi itu dikurung adalah sebuah dusun yang telah kosong. Di sana hanya terdapat gubuk-gubuk yang sangat sederhana dan miskin, dan penghidupan keluarga Haimi itu tak lebih baik dari pada penghidupan sekelompok ternak. Benar saja, di sekeliling kampung itu dijaga oleh orang-orang Mongol yang bersenjata lengkap, dan tidak jarang orang-orang wanita keluarga Haimi itu mendapat gangguan yang kurang ajar dari para penjaganya.
Ang I Niocu dari Lili yang mengepalai empat puluh dua orang Haimi itu berjalan menuju ke kampung itu. Di sepanjang perjalanan, kedua orang ini selalu bercakap-cakap seperti dua orang keluarga yang telah lama berpisah.
“Ie-ie, aku pernah bertemu dengan puteramu,” kata Lili.
Ang I Niocu cepat menengok dan memandang dengan wajah berseri-seri. “Betulkah? Kau sudah bertemu dengan Siong-ji? Di mana? Bagaimana dia?”
Lili adalah seorang gadis yang jujur seperti ayahnya. Biar pun ia gemar sekali berjenaka, akan tetapi pada saatnya ia dapat berlaku sungguh-sungguh dan jujur sekali.
“Menyesal sekali harus kukatakan bahwa puteramu itu amat aneh dan juga... kurang ajar sekali, Ie-ie!”
Bukan main terkejutnya hati Ang I Niocu mendengar ini, sehingga dia lalu menoleh ke belakang dan membentak semua orang Haimi agar berhenti untuk beristirahat! Kemudian dia menarik tangan Lili ke bawah batang pohon dan berkata, suaranya sungguh sangat menyeramkan, “Nah, katakanlah terus terang, mengapa kau menganggap dia demikian? Apakah yang telah dia perbuat?”
“Perjumpaanku yang pertama adalah ketika ia… ia mengganggu seorang gadis cantik!” Kembali Ang I Niocu terkejut sekali.
“Tak mungkin! Siong-ji tidak akan melakukan perbuatan seperti itu!”
Akan tetapi Lili lalu menceritakan pertemuannya dengan Lie Siong pada waktu pemuda ini hendak meninggalkan Lilani sehingga gadis Haimi itu menangis sambil mengejarnya sehingga kemudian dia bertempur dengan Lie Siong.
“Agaknya puteramu itu... mencinta gadis itu atau sebaliknya.”
“Siapa gadis itu, Lili? Dan mengapa puteraku bisa bersama dengan dia dan melakukan perjalanan bersama?”
“Bagaimana aku dapat menjawab pertanyaan ini, Ie-ie? Aku hanya bertemu sebentar dan pertemuan itu pun bukan pertemuan ramah tamah, bahkan kami telah bertempur karena tidak saling mengenal.”
“Hemm, sudahlah, dan kemudian di mana lagi kau berjumpa dengan dia?”
“Yang kedua kalinya, kami berjumpa di kuil Siauw-lim-si di Ki-ciu, tempat tinggal Thian Kek Hwesio yang mengobati penyakit Sin-kai Lo Sian. Juga di tempat itu... puteramu dan aku telah bertempur karena puteramu hendak menyerang Lo Sian. Dalam pertempuran ini... ia...” Lili berhenti sebentar karena wajahnya menjadi merah sekali dan untuk sejenak ia menundukkan mukanya, “dia telah... berlaku amat kurang ajar terhadap aku, Ie-ie...”
“Ia berbuat apakah? Lekas, lekas ceritakan, aku tak sabar lagi.”
“Dia telah merampas sebelah sepatuku!”
“Apa...??” Kini Ang I Niocu memandang dengan mata terbelatak. “Merampas sepatumu? Untuk apakah?”
Makin merah wajah Lili. “Entahlah, siapa tahu?”
Lili cemberut sehingga hampir Ang I Niocu tertawa. Gadis ini sama benar dengan Lin Lin, ibunya.
“Aku tidak dapat mengejar karena kakiku telanjang. Dia pergi sambil membawa sepatuku dan luka di punggungnya.”
“Hmm, aneh... aneh, mengapa Siong-ji menjadi begitu aneh?”
“Masih belum hebat, Ie-ie. Belum lama ini, dia bahkan berani datang ke rumah dan selagi ayah bundaku pergi ke Tiang-an, puteramu itu telah menculik Sin-kai Lo Sian!”
“Gila! Apa artinya semua ini, Lili? Ada hubungan apakah antara puteraku dengan Sin-kai Lo Sian? Kalau misalnya ia bermusuhan dengan pengemis itu, tentu ia akan membunuh Sin-kai Lo Sian. Akan tetapi menculik pengemis, untuk apa?”
Sebetulnya Lili merasa enggan untuk menceritakan sebabnya, akan tetapi oleh karena pandang mata Ang I Niocu demikian tajamnya sehingga seakan-akan hendak menembus dadanya, maka ia tidak berani menyembunyikannya lagi.
“Harap Ie-ie mendengar dengan tenang. Sesungguhnya Sin-kai Lo Sian mengetahui satu hal yang amat penting dan mengejutkan hati. Dia pernah menyatakan dan terdengar oleh puteramu bahwa... bahwa... suamimu telah meninggal dunia.”
Lili melihat betapa wajah Ang I Niocu yang sudah keriputan itu menjadi pucat sekali, akan tetapi tidak sebuah pun seruan kaget keluar dari mulutnya.
“Di mana matinya? Bagaimana dan oleh siapa?” hanya demikian tanyanya.
“Inilah soalnya, Ie-ie. Ini pula agaknya yang membuat puteramu melakukan penculikan terhadap diri Sin-kai Lo Sian, untuk memaksanya memberi penjelasan. Ah, kasihan orang tua itu, dia sesungguhnya tidak dapat memberi keterangan itu karena ingatannya sudah hilang.”
“Apakah maksudmu?”
Dengan jelas Lili lalu menceritakan keadaan Lo Sian. Mendengar semua ini Ang I Niocu lalu bangkit berdiri. Ia berdiri diam bagaikan patung, tak sedikit pun kata-kata keluar dari mulutnya lagi.
Lili memandang dengan terharu dan amat kagum. Beginilah sikap seorang wanita gagah. Menderita pukulan batin yang hebat, mendengar kematian suaminya, tapi tidak mencak-mencak atau menangis seperti biasa dilakukan oleh wanita, akan tetapi berdiri mengatur napas dan termenung menenteramkan batin untuk mengatasi pukulan itu.
Tanpa bergerak atau menoleh, tiba-tiba Ang I Niocu berkata, “Lili, bencikah kau kepada anakku?”
Lili terkejut sekali. Tak pernah disangkanya bahwa ia akan mendapat pertanyaan seperti ini. Ia seorang gadis yang jujur, apa lagi terhadap Ang I Niocu, ia tidak ingin membohong. Bencikah ia terhadap Lie Siong pernuda kurang ajar itu? Wajah pemuda itu sering kali terbayang kembali dengan segala kekasaran dan kekurang ajarannya.
“Tidak, Ie-ie. Penuturanku tadi adalah sesungguhnya, bukan berdasarkan kebencianku. Mengapa aku harus membencinya? Biar pun ia telah berlaku kurang ajar merampas dan membawa lari sepatuku...”
“Itu tanda dia suka kepadamu, anak bodoh!”
Lili tertegun. “Aku... aku tidak benci kepadanya Ie-ie,” katanya dengan hati tetap karena ia tidak membenci ketika mengatakan hal ini.
“Dan kau suka kepadanya?” Ang I Niocu bertanya pula, masih belum bergerak dan tidak menoleh.
Berdebar jantung Lili. Sungguh hebat sekali Ang I Niocu ini, langsung menyerang dengan pertanyaan-pertanyaan yang demikian jitu dan terus terang, betul-betul menyulitkannya. Agaknya demikian pula jika pendekar wanita ini menyerang lawan dengan pedang. Jitu, hebat, dan langsung!
“Ie-ie, bagaimana aku dapat menjawab pertanyaanmu ini? Sungguh sukar bagiku untuk menjawab. Apakah maksudmu dengan pertanyaan ini, Ie-ie yang baik?”
“Masudku, Lili,” kata Ang I Niocu yang kini tiba-tiba menoleh lantas memandang tajam kepada gadis itu, “karena kalau sudah tiba masanya puteraku memilih jodoh, engkaulah yang akan menjadi jodohnya! Dulu ketika aku bertemu dengan puteri Kwee An dan Ma Hoa yang bernama Goat Lan, aku berpikir bahwa dialah yang patut menjadi mantuku.”
“Enci Goat Lan adalah tunangan Engko Hong Beng,” Lili memprotes.
“Lebih-lebih begitu. Setelah aku melihatmu, telah tetap dalam hatiku takkan mengijinkan Siong-ji menikah selain dengan engkau!”
Bukan main jengahnya perasaan Lili mendengar ini. Mukanya menjadi merah sampai ke telinganya dan dadanya berdebar. Ia tidak tahu apakah debar jantungnya itu tanda girang atau marah.
“Tidak mungkin, Ie-ie. Puteramu itu sudah mencintai seorang gadis lain yang melakukan perjalanan bersama dia!”
“Apakah kau yakin bahwa Siong-ji mencintainya?”
“Aku tidak mau tahu urusan orang lain,” jawab Lili dan kembali ia cemberut seperti ibunya kalau marah. “Yang sudah pasti, gadis itu amat mencintainya.”
“Tidak mungkin Siong-ji menjatuhkan hatinya pada seorang gadis kecuali gadis seperti engkau. Ah, sudahlah, hal itu akan mudah dilihat nanti. Pendeknya sukakah kau menjadi mantuku?”
“Ie-ie, dalam hal ini, aku hanya dapat menyerahkannya kepada ayah ibuku. Bagaimana aku dapat memutuskannya sendiri?”
Ang I Niocu memberi tanda ke belakang agar rombongan itu bergerak lagi, tanda bahwa percakapan dengan Lili telah dihabisinya. Kali ini, di sepanjang perjalanan Lili tak banyak bercakap lagi. Dia merasa kikuk dan malu-malu terhadap Ang I Niocu sesudah pendekar wanita itu menyatakan hendak mengambil mantu padanya.
Terbayang berganti-ganti wajah Kam Liong, Song Kam Seng, dan Lie Siong. Kam Liong dan Song Kam Seng tidak dapat disangkal lagi tentu mencintainya, jelas nampak dalam sikap mereka. Akan tetapi Lie Siong? Benarkah ucapan Ang I Niocu bahwa perampasan sepatu itu menjadi tanda bahwa pemuda itu suka kepadanya? Apakah bukan sekedar hendak menghinanya belaka?
Ketika rombongan itu sudah tiba di depan pintu gerbang dusun di mana keluarga Haimi itu ditahan, para penjaga menghardik orang-orang Haimi itu.
“Siapa menyuruh kalian datang pada waktu ini? Belum tiba waktunya kalian dibolehkan masuk ke sini! Mana Saliban? Panggil ia maju, agar dia yang bicara dengan kami,” kata kepala penjaga, seorang Mongol yang tinggi besar dan berwajah menyeramkan.
“Bangsat Mongol, tidak usah banyak buka mulut! Lebih baik buka pintu gerbang lantas minggatlah kau dan orang-orangmu dari sini!” Lili melompat maju sambil menudingkan kipasnya.
Sejak tadi gadis ini sudah mencabut kipasnya dan mengipasi tubuhnya yang berkeringat karena perjalanan itu. Di sepanjang jalan keadaan gadis ini dan Ang I Niocu memang menimbulkan keheranan para orang Haimi.
Hawa udara amat dinginnya akan tetapi kedua orang wanita itu berpeluh dan nampaknya kepanasan! Mereka tidak tahu bahwa memang Lili dan Ang I Niocu mengerahkan hawa dalam tubuh untuk membikin panas tubuhnya, melawan hawa dingin sambil melancarkan peredaran darah, maka mereka merasa kepanasan sampai berkeringat. Ada pun kipas Lili ini dahulu tidak dirampas oleh Saliban karena tak seorang pun menduga bahwa kipas itu adalah sebuah senjata yang ampuh dari Lili.
Orang Mongol tinggi besar yang mendengar bentakan ini, tertawa bergelak gelak-gelak. “Ha-ha-ha! Mana Saliban? Bagus benar, dia sudah membawa seorang tawanan wanita yang sedemikian cantiknya! Sayang otaknya agak miring! Akan tetapi aku suka memberi dia sepuluh potong uang emas untuk ditukar denganmu! Ha-ha-ha!”
Akan tetapi suara ketawanya segera disusul dengan pekik mengerikan pada waktu Lili menggerakkan kipasnya yang gagangnya dengan telak menotok leher orang Mongol itu. Pekik mengerikan ini hanya keluar untuk mengantar nyawanya meninggalkan raganya.
Gegerlah seketika karena orang-orang Haimi juga sudah menyerbu dan menyerang para penjaga Mongol itu. Juga Ang I Niocu segera bergerak, pedangnya merupakan halilintar menyambar-nyambar dan di mana sinar pedangnya berkelebat, pasti ada sebuah kepala orang Mongol terpisah dari lehernya! Amukan Lili dan Ang I Niocu sedemikian hebatnya sehingga sebentar saja sisa-sisa para penjaga Mongol itu melarikan diri sambil berteriak-teriak ketakutan, pergi meninggalkan kawan-kawan mereka yang telah tewas bertumpuk-tumpuk di luar pintu gerbang.
Pertemuan antara keluarga Haimi dengan para prajurit Haimi itu sungguh mengharukan sekali. Akan tetapi Ang I Niocu segera memberi perintah agar semua orang segera pergi meninggalkan kampung itu dan beramai-ramai menuju ke timur. Di sebelah timur terdapat sebuah hutan lebat di lereng Bukit Alkata-san dan di sinilah mereka berhenti.
Ang I Niocu tidak takut akan pembalasan orang-orang Mongol, akan tetapi tentu saja sulit baginya untuk melindungi sekian banyaknya orang apa bila terjadi pertempuran dengan orang-orang Mongol. Setelah berada di tengah hutan, orang-orang Haimi lalu membuat pagar dan pondok-pondok darurat, kemudian diadakan penjagaan yang kuat.
Sesudah itu, orang Haimi yang tua itu lalu memimpin kawan-kawannya untuk berlutut menghaturkan terima kasih kepada Lili dan Ang I Niocu.
“Lili, kau pimpinlah orang-orang ini. Kasihan mereka. Aku mendengar bahwa bala tentara kerajaan dan orang-orang gagah sedang melakukan penjagaan untuk memukul mundur orang-orang Mongol. Kalau keadaan sudah aman, barulah kau tinggalkan orang-orang ini, atau boleh kau serahkan kepada penjagaan tentara kerajaan.”
“Aku akan memimpin mereka mencari benteng tentara kerajaan di mana terdapat pula Engko Hong Beng, Enci Goat Lan dan mungkin kedua orang tuaku, Ie-ie.”
“Hemm, jadi Cin Hai dan Lin Lin juga sudah turun tangan untuk mengusir orang-orang Mongol? Bagus! Sayang sekali aku tidak ada nafsu untuk mencampuri pertempuran ini. Aku hendak mencari puteraku, dan ingin mencari pembunuh suamiku pula. Kau bawalah mereka ke mana kau suka, Lili, akan tetapi berhati-hatilah. Melihat ilmu silatmu aku bisa percaya sepenuhnya bahwa kau akan dapat melakukan tugas ini.”
Setelah berkata demikian dan memeluk Lili, Ang I Niocu lalu berkelebat pergi. Dalam pandangan mata orang-orang Haimi yang berada di situ, nyonya merah ini sama saja dengan menghilang karena lompatannya demikian cepat sehingga tidak kelihatan lagi. Mereka diam-diam merasa kagum sekali.
“Untuk sementara, dalam beberapa hari ini, biar kita beristirahat dulu di sini,” kata Lili kepada orang-orang Haimi itu, “kita mengumpulkan tenaga dan menjaga kalau-kalau ada pasukan Mongol yang menyerang. Kemudian, kita harus pergi ke lereng Alkata-san untuk mencari benteng pertahanan tentara kerajaan.”
“Lihiap, aku tahu di mana adanya benteng itu, hanya kurang lebih seratus li dari sini!” kata orang Haimi tua yang ternyata kemudian bernama Nurhacu itu.
“Bagus sekali, Paman Nurhacu. Baiklah, kelak kau yang menjadi penunjuk jalan. Tetapi sekarang perkuatlah penjagaan, aku pun perlu sekali beristirahat. Kita tunggu sampai lima hari, kalau keadaan sudah nampak aman, baru kita membawa keluarga ini menuju ke benteng itu.”
Lili diperlakukan sebagai kepala atau ratu mereka. Semua orang menghormati gadis ini yang dianggap sebagai dewi penolong mereka. Segala macam keperluan gadis ini telah disediakan pula dan para wanita juga melayaninya dengan penuh kebaktian sehingga diam-diam Lili merasa terharu. Kalau saja tidak ada orang tuanya dan kawan-kawan lain, agaknya ia akan suka sekali hidup sebagai kepala suku Haimi yang ternyata selain jujur, juga amat manis budi ini.
Tiga hari kemudian, pada siang hari, seorang penjaga dengan wajah khawatir datang melapor kepada Lili.
“Lihiap, dari arah selatan datang tiga orang. Mereka itu adalah seorang wanita dan dua orang laki-laki. Dan yang wanita kami kenal sebagai puteri dari kepala suku bangsa kami yang dulu, yaitu Lilani, puteri Manako dan Meilani! Menanti keputusan Lihiap apakah yang harus kami lakukan karena mereka itu sedang menuju ke sini!”
Berdebar hati Lili mendengar laporan ini, Lilani, puteri Manako dan Meilani? Gadis Haimi dan dua orang laki-laki?
“Bagaimana macamnya dua orang laki-laki itu?” tanyanya.
“Yang seorang adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah, agaknya seorang ahli silat karena pedangnya tergantung pada pinggang. Yang ke dua adalah seorang laki-laki tua berpakaian tambal-tambalan.”
Makin berdebar dada Lili mendengar ini. Tidak salah lagi, mereka tentulah Lie Siong dan Lo Sian! Jadi wanita yang melakukan perjalanan bersama Lie Siong itu adalah puteri dari Manako dan Mellani? Ahh, bagaimana ada hal yang demikian kebetulan?
“Jangan menggunakan kekerasan,” katanya dengan suara tetap setelah berpikir sejenak, “akan tetapi tawan mereka dan bawa menghadap kepadaku!”
“Ditawan...??” penjaga itu ragu-ragu. “Akan tetapi wanita itu adalah Lilani, puteri dari...”
“Cukup! Jangan membantah. Bawa mereka menghadap ke sini! Dan apa bila mereka melakukan perlawanan, datang lapor lagi, aku sendiri yang akan menawan mereka!”
Sementara itu, Nurhacu yang mendengar bahwa Lilani sudah datang, dengan girang dia bersama kawan-kawannya lalu berlari-lari menyambut kedatangan puteri kepala mereka itu.
Yang datang memang benar Lilani, Lie Siong dan Lo Sian. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, mereka ini sengaja melanjutkan perjalanan ke utara untuk mencari suku bangsa Haimi. Pada hari kemarinnya, tiga orang ini bertemu dengan sepasukan orang Mongol yang terdiri dari belasan orang.
Lie Siong segera menyerbu dan menangkap seorang di antara mereka, lalu memaksanya memberi keterangan di mana adanya suku bangsa, Haimi. Orang Mongol yang sudah tak berdaya lagi itu memberi tahu bahwa bangsa Haimi yang dipimpin oleh Saliban berada di sekitar kaki Bukit Alkata-san di sebelah barat, maka Lie Siong segera mengajak kawan-kawannya untuk mencari di daerah itu.
Ketika Lilani mendengar suara bersorak dan melihat serombongan orang Haimi datang berlari-lari menyambutnya, ia lalu berlari maju dengan air mata berlinang.
“Paman Nurhacu...!” serunya penuh keharuan dan kegirangan.
Kakek Haimi itu juga berseru, “Lilani... ahh, Lilani...”
Mereka lalu berpelukan sambil bertangis-tangisan. Ramai mereka bicara dalam bahasa Haimi dan Lie Siong melihat betapa Lilani seolah-olah hidup kembali, seolah-olah sudah menempuh hidup baru. Wajah gadis ini berseri gembira, matanya bergerak-gerak hidup, tidak sayu dan muram seperti tadinya. Dia pun menarik napas lega.
Pada saat Lilani bercakap-cakap menuturkan riwayatnya dengan Nurhacu beserta kawan-kawannya, datanglah penjaga yang tadi melapor kepada Lili.
“Menurut keputusan Lihiap, mereka bertiga ini harus ditangkap dan dibawa menghadap kepadanya,” kata penjaga ini dalam bahasa Han yang kaku, karena maksudnya supaya dimengerti oleh dua orang yang mengantar Lilani itu.
Mendengar ucapan ini, Lie Siong menjadi marah. Dia cepat mencabut pedangnya, lantas melompat ke hadapan Lilani, melindunginya sambil membentak,
“Apa? Kalian mau menangkap Lilani, mau menangkap kami? Lilani adalah puteri dari bekas pemimpinmu, sekarang hendak kalian tangkap sendiri? Baik, majulah! Ingin kulihat bagaimana kepalamu yang berkumis itu menggelinding meninggalkan tubuhmu!”
“Jangan, Taihiap, jangan! Mereka ini adalah keluargaku sendiri. Apa bila mereka sudah mempunyai seorang kepala baru yang menghendaki kita datang menghadap, marilah kita lakukan itu dan kita lihat siapa adanya kepala mereka yang ternyata seorang wanita itu. Menurut penuturan Paman Nurhacu, Paman Saliban yang jahat sudah tewas oleh kepala baru ini. Marilah, Taihiap, harap kau jangan mengganggu mereka.”
Juga Lo Sian menyabarkan hati Lie Siong sehingga dengan apa boleh buat pemuda ini lalu menyimpan kembali pedangnya. Mereka bertiga lalu diajak oleh orang-orang Haimi itu, pergi menghadap Lili!
Ketika tiga orang ‘tawanan’ ini telah tiba, Nurhacu sendiri memberi laporan kepada Lili.
“Suruh mereka tunggu.” kata Lili dengan angkuh sekali. “Sediakan dulu makanan karena perutku lapar. Setelah makan, barulah aku akan menerima mereka!”
Nurhacu menjadi heran sekali. Belum pernah ia melihat Lili bersikap demikian dingin dan nampaknya marah. Akan tetapi diam-diam dia melakukan perintah ini dan ketika tiba di luar pondok tempat tinggal Lili, dia memberitahukan kepada Lilani bahwa kepala mereka sedang makan serta minta mereka menanti sebentar. Ketika Lilani menyampaikan warta ini kepada Lie Siong, bukan main mendongkol hati pemuda ini.
“Siapa sih dia yang begitu sombong?” katanya.
Akan tetapi kembali Lilani menyabarkannya dan sebentar kemudian gadis ini didatangi oleh orang-orang perempuan Haimi. Riuh rendah di sana, terdengar gelak ketawa dan tangis. Pertemuan yang sangat mengharukan antara Lilani dan para keluarga Haimi. Dari orang-orang perempuan ini Lilani mendengar bahwa kepala yang baru ini adalah seorang wanita cantik yang gagah yang sudah membebaskan mereka dari tahanan orang-orang Mongol. Diam-diam Lilani merasa heran dan juga kagum sekali.
Tak lama kemudian, seorang penjaga datang dan minta Lo Sian mengikuti. “Tamu yang tertua dipanggil menghadap lebih dulu,” katanya.
Lo Sian bangkit dan mengikuti penjaga itu masuk ke dalam. Dia diantar sampai di luar pintu dan dipersilakan masuk sendiri. Ketika Lo Sian menolak daun pintu dan melangkah masuk, hampir saja dia berseru saking kagetnya.
Akan tetapi Lili cepat-cepat memberi tanda dengan jari telunjuk di depan mulutnya dan melambaikan tangan meminta kepada Lo Sian agar supaya maju dan duduk di bangku depan mejanya.
“Lili, bagaimana kau bisa berada di sini dan… apakah artinya tindakanmu yang aneh ini? Mengapa kau menyuruh kami ditangkap”
Lili tersenyum, “Lo-pek-pek, apakah kau baik-baik saja? Tadinya aku kuatir kau sudah menjadi korban dan binasa di tangan pemuda kurang ajar itu.”
“Lili, dia adalah seorang pemuda yang baik dan dia benar-benar putera Ang I Niocu. Aku memang diculiknya, akan tetap itu dilakukannya karena dia ingin tahu tentang ayahnya.”
“Aku tahu, Pek-pek. Karena itulah maka lebih-lebih harus disesalkan kekurang ajarannya! Aku telah menolong suku bangsa Haimi dan sudah diangkat menjadi pemimpin mereka, sekarang dia dan gadis itu datang mau apakah?”
“Lili, gadis itu adalah puteri kepala suku bangsa Haimi. Lie Siong bersama aku sengaja mengantarkannya untuk mengembalikannya kepada suku bangsanya. Sudah kusaksikan sendiri alangkah gembiranya orang-orang Haimi ketika bertemu dengan Nona Lilani itu. Mengapa kau suruh dia ditangkap?”
“Biar pun dia puteri Manako dan Meilani, akan tetapi pada saat ini akulah yang menjadi kepala di sini, Pek-pek. Tidak boleh dia berlaku sesuka hatinya. Kalau dia ingin menjadi pemimpin dia harus sanggup merebutnya dari tanganku! Aku diangkat menjadi pemimpin bukan atas kehendakku, dan aku juga diberi tugas untuk memimpin mereka sampai ke benteng pasukan kerajaan di mana mereka bisa berlindung. Apakah sekarang aku harus menyerahkannya begitu saja kepada seorang gadis bernama Lilani? Sudahlah, Pek-pek, kau duduklah saja dan dengarkan apa yang hendak dikatakan oleh mereka berdua!”
Lo Sian terbelalak heran memandang wajah Lili yang nampaknya marah dan cemburu itu. Tadinya dia mengira bahwa gadis ini sedang main-main, karena seperti biasanya, Lili suka sekali bermain-main dan berjenaka atau melucu. Akan tetapi sekarang pemudi ini nampaknya bersungguh-sungguh hingga Sin-kai Lo Sian hanya diam sambil memandang dan menduga-duga.....
Sementara itu, Lili sudah menepuk tangannya memanggil penjaga yang berada di luar pondoknya. Ia memerintahkan agar supaya dua orang muda tawanan itu disuruh masuk, Lilani dan Lie Siong masuk sambil mengangkat kepala, memandang ‘ratu baru’ dari suku bangsa Haimi itu dengan hati ingin tahu sekali siapakah orangnya yang telah menolong bangsa itu dan kini menjadi kepalanya.
Sungguh menarik sekali melihat pertemuan antara tiga orang muda yang elok ini dan Lo Sian beruntung sekali dapat menyaksikan pertemuan yang menarik ini. Tiga orang muda itu saling pandang, Lili dengan bibirnya yang manis tersenyum mengejek, sedangkan Lie Siong dengan mata terbelalak dan muka agak pucat. Ada pun Lilani untuk sesaat seperti orang terkejut sekali dan mukanya menjadi kemerah-merahan, akan tetapi gadis ini lalu berlari maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan Lili!
“Nona yang gagah perkasa besar sekali budimu terhadap bangsaku. Perkenankanlah aku menghaturkan terima kasih atas pertolonganmu dan percayalah bahwa kami bangsa Haimi selamanya tak akan melupakan jasa dan pertolonganmu.”
Lili tersenyum semakin mengejek. “Aku mendengar bahwa kau adalah puteri dari bekas pemimpin besar suku bangsa Haimi. Bukankah engkau datang untuk menduduki pangkat pemimpin menggantikan orang tuamu? Sanggupkah engkau menggeser aku dari tempat dudukku? Ketahuilah, aku sudah dipilih dan diangkat menjadi kepala di sini dan karena aku memperoleh kedudukan ini mengandalkan pedangku, maka kalau kau menghendaki kedudukan ini, cobalah kau kalahkan aku lebih dulu.”
“Lihiap, bagaimana aku berani menantang penolong bangsaku? Memang terus terang saja tadinya aku memiliki cita-cita untuk memimpin bangsaku yang bodoh. Akan tetapi sekarang bintang terang telah jatuh dari atas langit menerangi kehidupan bangsaku yang tertindas dan selalu berada dalam kegelapan. Bintang itu adalah engkau sendiri, Lihiap. Setelah engkau dikirim oleh Tuhan untuk membimbing bangsaku, bagaimana aku masih tetap menghendaki kedudukan pemimpin? Tidak, aku cukup puas bila aku dapat menjadi pelayanmu, Lihiap.”
Tertegun dan terharu juga hati Lili mendengar ucapan ini, akan tetapi ketika ia melirik ke arah Lie Siong dan melihat betapa jidat pemuda itu berkerut seakan-akan tidak senang hati mendengar dan melihat sikapnya, Lili menjadi makin panas.
“Hemm, siapakah yang ingin menjadi ratu di sini? Aku tidak haus akan kedudukan dan tidak ingin menjadi kepala! Aku hanya kebetulan saja menjadi pemimpin karena mereka pilih dan sudah menjadi tugas seorang gagah untuk menolong mereka yang tertindas. Tentu saja aku akan menyerahkan kedudukan ini kepadamu tanpa kau minta sekali pun jika memang betul kau adalah puteri kepala yang berhak menjadi pemimpin. Akan tetapi bagaimana aku dapat menyerahkan kedudukan ini dengan begitu saja? Bagaimana aku dapat menyerahkan nasib ratusan orang ke dalam tangan orang yang belum kuketahui kecakapannya? Karena itu, coba kau perlihatkan kepandaianmu kepadaku untuk kulihat apakah kau sudah cukup kuat memimpin orang-orang sedemikian banyaknya!”
Merah wajah Lilani mendengar ucapan ini. Biar pun dianggap telah berkepandaian tinggi di antara bangsanya, mungkin yang tertinggi di antara semua orang Haimi, akan tetapi bagaimana dia dapat memperlihatkan kepandaiannya itu di hadapan seorang gadis luar biasa seperti Lili ini?
Dia pernah menyaksikan kepandaian Lili ketika bertempur melawan Lie Siong dahulu itu. Bahkan Lie Siong sendiri belum tentu sanggup mengalahkan Lili, apa lagi dia? Dengan gugup dan bingung, Lilani tak dapat menjawab, fia hanya menundukkan kepala dengan wajah merah.
Dia hendak minta tolong kepada Lie Siong, akan tetapi dia tidak berani. Pemuda ini tidak mempedulikan lagi kepadanya dan ia maklum bahwa pemuda ini telah jatuh cinta kepada Lili yang kini menantangnya! Dia tahu betul bahwa sepatu yang ditimang-timang oleh Lie Siong pada malam hari dahulu itu adalah sepatu Lili! Tanpa terasa pula, dua titik air mata mengalir turun dan merayap di sepanjang pipinya yang halus dan kemerahan.
Melihat keadaan Lilani, Lie Siong tidak tega sekali dan timbullah hati penasaran melihat sikap Lili yang dianggapnya amat keterlaluan. Dia harus mengakui bahwa begitu bertemu dengan Lili hatinya berdebar-debar tak karuan. Gadis itu duduk di atas kursinya demikian cantik, demikian agung, demikian jelita sehingga agaknya tiada orang yang lebih pantas menjadi seorang ratu!
Rambut yang hitam dan gemuk itu agak kacau di kepala yang berwajah indah. Matanya demikian tajam bersinar dan menyiratkan kekocakan, dengan bibirnya yang manis sekali tersenyum mengejek, menimbulkan lesung pipit di pipi kiri. Tubuhnya yang padat dengan potongannya yang langsing itu menambah kegagahan dan kemolekannya. Ahh, sungguh seorang gadis luar biasa yang kenyataannya melebihi mimpinya!
Ketika ia melirik ke arah kaki yang kecil mungil itu, teringatlah ia akan sepatu yang masih dikantonginya dan diam-diam hatinya makin berdebar jengah dan malu. Akan tetapi kini sikap Lili membuatnya penasaran sekali.
Seorang gadis seperti ini tidak selayaknya bersikap demikian kejam terhadap Lilani. Biar pun dia tidak mencinta Lilani, namun hatinya penuh rasa kasihan terhadap gadis ini dan siapa pun juga, tidak juga Lili yang diam-diam merampas hatinya, boleh mengganggu dan menyakiti hati gadis yang bernasib malang ini!
“Nona Sie, sebagai seorang gagah dan terutama sekali sebagai puteri Pendekar Bodoh yang terkenal budiman, tidak selayaknya kau memperlakukan Nona Lilani seperti ini! Dia adalah puteri dari kepala suku bangsa Haimi yang sangat dihormati oleh bangsanya dan sudah sewajarnya apa bila dia menjadi pemimpin bangsanya. Itu sudah menjadi haknya! Kenapa sekarang kau mengandalkan kepandaian bukan untuk membantu dan menolong dia, bahkan kau pergunakan untuk menghinanya? Tidak malukah engkau? Untuk apakah kedudukan ini bagi seorang gagah seperti Nona?”
Mendengar ucapan ini merahlah wajah Lili, tetapi menambahkan kecantikannya sehingga Lie Siong yang memandangnya merasa napasnya menjadi sesak! Gadis ini marah sekali, dan anehnya, dia tidak marah atas kata-kata yang keras ini, melainkan dia marah melihat pemuda ini membela Liliani! Boleh dibilang marah karena cemburu, benar-benar aneh.
“Ahhh…, jadi Nona Lilani mempunyai seorang pelindung yang gagah? Pantas saja Nona Haimi ini berani melakukan perjalanan ribuan li, tidak tahunya dia selalu berada di bawah lindungan seorang pemuda gagah! Ha, kalau begitu, biarlah aku mencoba kepandaian pelindungnya untuk menguji apakah sudah patut bila menjadi pelindung dan bayangkari seorang Ratu Haimi!” Sambil berkata demikian, Lili lalu melompat turun dari bangkunya dan mencabut pedang Liong-coan-kiam dan kipas mautnya!
Lie Song adalah seorang pemuda yang keras hati. Menghadapi tantangan Lili, biar pun ia menjadi bingung sekali, akan tetapi ia merasa malu kalau mundur. Ia pun lalu mencabut pedang Sin-liong-kiam dan berkata,
“Nona Sie, sesungguhnya tidak ada alasan bagiku untuk bertempur melawanmu, akan tetapi aku akan mencemarkan nama orang tuaku kalau aku menolak tantangan berkelahi dari siapa pun juga. Biarlah kini aku menebus kekalahanku dahulu di kuil Siauw-lim-si di Kiciu!”
Kini marahlah Lili. Tidak sepatutnya orang menyebut-nyebut peristiwa ini. Sekaligus dia teringat akan sepatunya yang dirampas, maka dia berkata keras.
“Bagus! Biarlah aku pun mendapat kesempatan untuk membalas penghinaanmu. Kau mengaku putera Ang I Niocu, akan .tetapi aku tetap tidak percaya, karena putera Ang I Niocu tidak akan sekurang ajar itu! Tidak saja kau telah merampas sepatu yang berarti menghinaku, akan tetapi kau juga berani menculik Lo-pek-pek!” Sambil berkata demikian, Lili lalu melompat keluar dari pondoknya.
Lie Siong juga cepat melompat keluar dan di pekarangan pondok yang luas itu mereka berhadapan bagaikan dua jago yang berlagak hendak bertempur mati-matian. Semua orang Haimi, tua muda lelaki perempuan yang memang berkumpul di depan pondok itu untuk menunggu Lilani, memandang dengan melongo dan terheran-heran. Lilani dengan diikuti oleh Lo Sian berlari keluar pula dan gadis ini sambil menangis menjatuhkan diri berlutut di depan Lili.
“Lihiap, janganlah... Lihiap, kau tidak tahu... Lie Siong Taihiap tidak menghinamu... dia tidak mencintaiku, pembelaannya keluar dari wataknya yang budiman dan gagah. Lihiap, jangan kau menyerangnya...”
Lili tertegun mendengar pengakuan ini, akan tetapi ia tidak pedulikan Lilani dan tetap saja melompat dan mulai menyerang Li Siong dengan pedangnya. Li Siong cepat menangkis hingga terdengar suara nyaring dan bunga api berpijar menyilaukan mata!
Lilani melompat nekad dan berdiri menghalang di antara kedua orang jagoan itu, lalu dia berkata kepada Lie Siong dengan suara penuh permohonan, “Taihiap, harap simpanlah pedangmu. Lihiap ini adalah penolong bangsaku, jangan kau musuhi. Senjata tak punya mata, bagaimana kalau kalian saling melukai...?”
Gadis ini menangis dan melihat puteri pemimpin mereka menangis sedih, semua orang perempuan Haimi yang berada di situ tak dapat menahan pula keharuan hati mereka dan ramailah wanita-wanita itu menangis!
Akan tetapi Lie Siong yang keras hati sudah tersinggung keangkuhannya oleh Lili. Kalau ia dibela oleh wanita-wanita ini dengan tangis mereka, selamanya ia akan merasa rendah dan kurang berharga dalam pandangan Lili, maka ia berseru keras,
“Sie Hong Li, kau kira aku Lie Siong takut padamu? Biar pun kau puteri Pendekar Bodoh, akan tetapi aku tidak takut menghadapi pedangmu, ayo keluarkanlah kepandaianmu dan cobalah kau memenggal kepalaku kalau dapat!”
Lili memang seorang yang keras dan pemarah pula, sungguh pun ia mudah marah dan mudah pula ketawa. Mendengar tantangan ini, ia langsung mengeluarkan seruan nyaring dan tubuhnya berkelebat cepat melampaui atas kepala Lilani lalu dengan gerakan yang dahsyat pedang dan kipasnya menyambar kepada Lie Siong.
Pemuda ini sudah merasakan kelihaian Lili, maka ia tidak berani berlaku lambat. Cepat ia memutar pedangnya dan ketika pedang gadis itu dapat ditangkisnya, ia rnerasa betapa angin pukulan hebat menyambar dari tangan kiri yang memegang kipas. Cepat-cepat dia melompat ke belakang, kemudian dia membalas dengan serangan kilat. Tidak saja ujung pedangnya menuju ke arah dada Lili, akan tetapi lidah pedang naganya yang merah dan panjang itu pun terputar mencari sasaran pada leher lawannya!
Lili memperlihatkan kepandaiannya. Sekali menyampok dengan kipasnya, maka gagang kipas sudah menangkis pedang dan angin sampokan kipas telah membuat lidah pedang lawannya itu tertiup ke samping. Demikianiah, dua orang muda ini kembali saling serang dengan hebatnya, mengeluarkan seluruh kepandaian masing-masing dan saling tak mau mengalah.
Lo Sian tidak bisa berbuat sesuatu. Dia maklum bahwa kepandaiannya masih kalah jauh oleh kepandaian dua orang muda luar biasa ini. Diam-diam dia pun menghela napas dan berkata penuh kekaguman,
“Pendekar-pendekar remaja ini benar-benar mengagumkan. Ah, aku orang tua sudah tak berguna lagi!” Sedangkan Lilani hanya dapat menutupi mukanya sambil menangis.
Pada saat itu terdengar bentakan nyaring sekali dan sesosok bayangan yang luar biasa gesitnya menyerbu ke dalam gelanggang pertempuran.
“Orang jahat dari mana berani sekali berlaku kurang ajar terhadap keponakanku?!” Yang menyerbu ini adalah seorang wanita setengah tua yang cantik dan bersenjata sepasang bambu runcing yang kekuning-kuningan.
Lie Siong kaget sekali. Ia telah menangkis serangan bambu runcing dengan pedangnya, akan tetapi ujung bambu runcing kiri hampir saja mengenai pundaknya kalau dia tidak cepat-cepat membuang diri ke kiri! Juga Lili segera melompat mundur. Melihat betapa wanita itu terus mendesak Lie Siong, Lili berseru,
“Pek-bo, jangan lukai dia!” Seruan ini diucapkan tanpa disadarinya lagi.
Wanita itu yang ternyata adalah Ma Hoa isteri Kwee An atau juga ibu Goat Lan, menahan sepasang bambu runcing dan kini ia berdiri dengan mata heran memandang kepada Lili.
“Hong Li, kau bertempur dengan orang ini, kenapa kau melarangku menyerangnya.”
Merahlah wajah Lili. Seruan tadi benar-benar tidak disadarinya, seruan yang keluar dari hatinya yang menaruh. kekuatiran kalau-kalau pemuda itu akan terluka hebat menghadapi bambu runcing yang lihai dari pek-bo-nya (uwaknya) itu!
“Pek-bo, dia ini... dia adalah putera dari Ie-ie Im Giok!”
Terbelalak mata Ma Hoa memandang kepada Lie Siong. “Apa...?! Dia ini putera Ang I Niocu? Pantas saja kulihat tadi Sianli Kiam-hoat terbayang dalam permainan pedangnya. Ehh, anak muda, siapa namamu dan bagaimana ibumu? Baik-baik sajakah dia? Sudah lama aku merasa rindu sekali pada ibumu!” Ma Hoa berkata sambil matanya memandang dengan penuh kekaguman dan juga dengan kasih sayang.
Menghadapi pandangan mata ini, luluhlah kekerasan hati Lie Siong. Ucapan yang mesra, pertanyaan-pertanyaan tentang ibunya yang penuh gairah dan perhatian ini, membuat ia mau tak mau tunduk terhadap Ma Hoa. Ia cepat menyimpan Sin-liong-kiam lalu menjura deigan hormat sekali.
“Sudah lama sekali aku mendengar ibuku bercerita mengenai kegagahan Kwee Taihiap dan Kwee Toanio, mohon maaf aku Lie Siong yang muda dan bodoh berlaku kurang hormat kepada KweeToanio.”
Ma Hoa tertawa riang, suara ketawa yang merdu dan nyaring, tak ubahnya seperti suara ketawanya pada waktu muda.
“Anak nakal, apa-apaan segala sebutan taihiap dan toanio ini? Ibumu adalah seperti enci-ku sendiri, dan kita boleh dibilang orang-orang sekeluarga. Aku tidak mau kau sebut toanio, lebih baik kau menyebut aku Ie-ie (Bibi) saja.”
“Baiklah... Ie-ie!” kata Lie Siong dengan muka merah.
“Nah, begitu lebih enak pada telinga. Dan sekarang, mengapa kalian anak-anak nakal ini sampai bertempur mati-matian? Apa yang kalian perebutkan?”
Lie Siong tidak dapat menjawab. Lili juga tidak dapat menjawab. Tanpa janji lebih dulu mereka saling pandang. Dua pasang mata bertemu, mendatangkan warna merah pada pipi dan telinga.
“Pek-bo, kami hanya berpibu menguji kepandaian masing-masing,” akhirnya Lili berkata. Bagaimana ia bisa menjelaskan semua kepada Ma Hoa? Kalau ia menceritakan semua, tentu ia harus menceritakan pula bahwa pada hakekatnya mereka berebutan... sepatu!
“Benar, Ie-ie. Kami tadi hanya mengadu kepandaian saja dan aku... aku menyerah kalah terhadap... Adik Hong Li! Maafkan, Ie-ie, sekarang aku harus pergi lagi untuk mencari pembunuh ayahku!” Setelah berkata demikian, ia lalu berkata kepada Lilani,
“Lilani, sekarang kau telah kuantarkan kepada bangsamu sendiri. Dengan pertolongan puteri Pendekar Bodoh, aku yakin kau akan dapat menyelamatkan suku bangsamu. Juga Lo-pek, aku menghaturkan banyak terima kasih atas segala bantuanmu. Kini aku hendak mencari Ban Sai Cinjin dan membalas dendam. Sekarang tidak perlu bantuanmu lagi.”
Lie Siong hendak pergi, akan tetapi Ma Hoa yang terheran-heran mendengar ini, segera berkata “Nanti dulu, Siong-ji (Anak Siong)! Bagaimanakah soalnya? Sudah pastikah jika ayahmu terbunuh oleh Ban Sai Cinjin?”
“Memang sudah pasti, Ie-ie, dan sekarang juga aku akan mencarinya untuk membalas dendam.”
“Kalau begitu kita bisa mencarinya bersama-sama! Ban Sai Cinjin tidak berada jauh, dia kini telah menggabungkan diri dengan tentara Mongol dan aku pun sedang mencarinya. Ketahuilah bahwa dia telah menculik puteraku, Kwee Cin!”
Semua orang terkejut mendengar ini, terutama sekali Lili. Gadis ini kemudian maju dan memeluk Ma Hoa. “Pek-bo, bagaimana Adik Cin sampai dapat terculik oleh bangsat itu? Mari kita cepat mengejarnya, dan aku sendiri akan menghancurkan kepalanya. Memang masih ada perhitungan lama antara bangsat itu dengan aku!”
“Ie-ie, kalau begitu, lebih banyak alasan lagi bagiku untuk segera mencarinya! Aku akan berusaha merampas kembali puteramu sekalian membinasakan kakek jahanam itu!” kata pula Lie Siong.
“Ehh, ehh, mengapa kau hendak pergi sendiri? Mengapa tidak bersama kami?” tanya Ma Hoa.
“Aku... aku lebih senang bekerja sendiri, Ie-ie!” sesudah berkata demikian, tanpa dapat dicegah lagi Lie Siong lalu melompat pergi.
“Pemuda aneh...,” Ma Hoa berkata perlahan.
“Jangan pedulikan dia, Pek-bo...,” kata Lili mendongkol.
“Bagaimana aku tidak boleh pedulikan dia, putera Ang I Niocu?”
Sementara itu, Lilani yang semenjak tadi mendengar percakapan itu sambil memandang kepada Ma Hoa, tiba-tiba menghampiri nyonya ini dan menjatuhkan diri berlutut.
“Kwee-hujin (Nyonya Kwee), hamba Lilani menghaturkan hormat.”
Ma Hoa memandang kepada Lilani dengan rasa heran, kemudian ia memandang kepada orang-orang Haimi yang semuanya berkumis panjang itu. Kemudian teringatlah dia akan pengalamannya dengan suaminya dahulu, ketika suaminya masih menjadi tunangannya, dan berkatalah dia, “Jika aku tak salah duga, orang-orang ini adalah suku bangsa Haimi yang dulu dipimpin oleh Manako dah Meilani. Kau siapakah, Nona?”
“Hamba adalah puteri yang malang dari Manako dan Meilani, mendiang orang tuaku!”
Ma Hoa lalu membungkuk, memeluk Lilani dan ditariknya gadis itu berdiri. “Ah, jadi kau puteri Meilani? Pantas saja kau cantik jelita seperti ibumu. Jadi kedua orang tuamu telah meninggal semua? Kasihan, kasihan.”
Melihat nyonya gagah ini begini halus dan baik budi, Lilani tak dapat menahan keharuan hati dan menangislah dia. Lo Sian yang sejak tadi juga melihat semua ini, cepat maju dan memberi hormat kepada Ma Hoa.
“Siauwte yang bodoh sudah lama mendengar nama besar dari Kwee-toanio dan sekarang telah mendapat kehormatan untuk bertemu dan menyaksikan dengan kedua mata sendiri bahwa nama besarmu itu bukan kosong belaka.”
Lili lalu memperkenalkan Lo Sian dan dengan singkat ia menceritakan riwayat Pengemis Sakti ini. Ma Hoa mengangguk-angguk maklum, karena ia telah mendengar hal itu dari Lin Lin dan Cin Hai.
Kini setelah Lie Siong pergi lenyaplah rasa cemburu yang amat tidak enak dalam hati Lili, maka sambil memegang tangan Lilani, dia pun berkata, "Lilani, tadi aku hanya bergurau saja. Memang, kau harus memimpin bangsamu dan jangan kuatir, aku akan mengantar kalian sampai benteng penjagaan pasukan kerajaan."
Lilani makin terharu, dia memeluk Lili dan berkata, "Nona, aku sudah menduga bahwa hatimu tentu mulia. Orang secantik kau dan puteri Pendekar Bodoh pula, tidak mungkin berhati kejam. Tadi kau bersikap galak, akan tetapi aku dapat menangkap sinar matamu yang penuh kebijaksanaan. Akulah yang harus minta maaf kepadamu, Nona. Kau sudah menolong bangsaku, walau selamanya menjadi pelayanmu, aku akan rela dan merasa bahagia."
“Jangan kau bilang demikian, Lilani,” kata Lili.
Ma Hoa yang tidak tahu akan urusannya kemudian mendengarkan penuturan Lili tentang pengalaman menolong orang-orang Haimi yang dibantu pula oleh Ang I Niocu.
“Sayang dia keburu pergi sebelum mendengar penuturanku bahwa ibunya baru tiga hari yang lalu meninggalkan tempat ini,” kata gadis ini menutup ceritanya. Yang dimaksudkan dengan ‘dia’ tentu saja adalah Lie Siong, pemuda kurang ajar itu.
“Dia sudah pergi, biarlah,” kata Ma Hoa. “Sekarang mari kita melanjutkan perjalanan, mengantar orang-orang Haimi ini ke benteng di mana kita akan menjumpai Goat Lan dan kakakmu Hong Beng. Di sana pula kita tentu akan bertemu dengan ayah ibumu, dan juga pek-humu yang sudah berangkat lebih dulu.” Bicara tentang suaminya, kembali Ma Hoa teringat akan puteranya yang terculik, maka wajahnya menjadi muram.
“Pek-bo, bagaimana Adik Cin sampai dapat terjatuh dalam tangan orang jahat?”
“Bila diceritakan membuat hati menjadi gemas sekali,” kata Ma Hoa. “Mari kita berangkat, nanti di jalan kuceritakan kepadamu tentang hal itu.”
Setelah rombongan itu berangkat untuk menuju ke benteng pertahanan tentara kerajaan dengan Nurhacu orang Haimi tua itu sebagai penunjuk jalan, maka berceritalah Ma Hoa tentang penculikan Kwee Cing puteranya.
Seperti telah diketahui, Ma Hoa pergi bersama Kwee An, Cin Hai dan Lin Lin, oleh karena Kwee Cin masih terlalu kecil dan tidak baik ditinggalkan seorang diri di rumah dalam saat mereka terancam oleh musuh-musuh yang jahat. Untuk membawa Kwee Cin dalam perjalanan ke utara juga kurang baik bagi anak itu.
Sejak menjadi isteri Kwee An, Ma Hoa belum pernah berpisah terlalu lama dari suaminya dan mereka hidup rukun serta saling mencinta. Tidak mengherankan apa bila kepergian Kwee An kali ini membuat Ma Hoa merasa tidak betah di rumah. Apa lagi dia maklum bahwa perjalanan suaminya itu penuh dengan bahaya, karena itu hatinya selalu merasa gelisah sekali.
Pada suatu hari menjelang senja, keadaan dirasakan sunyi sekali oleh Ma Hoa. Memang rumahnya amat besar dan dia hanya mempunyai dua orang pelayan. Biasanya apa bila ada Kwee An, di rumah itu nampak gembira dan ramai, apa lagi kalau Goat Lan berada di rumah. Akan tetapi sekarang, berdua saja dengan Kwee Cin, ia benar-benar merasa sunyi.
Tiba-tiba dari pintu pekarangan depan masuk seorang kakek yang berpakaian indah dan mengisap sebatang huncwe panjang. Dengan tindakan lebar, kakek ini langsung maju dan menghampiri Ma Hoa yang sedang duduk di ruang depan bersama Kwee Cin. Kakek ini datang-datang segera bertanya dengan suaranya yang parau dan keras,
“Apakah aku berhadapan dengan Nyonya Kwee An, ibu dari nona Kwee Goat Lan?”
Ma Hoa belum pernah bertemu dengan orang ini, akan tetapi matanya yang tajam dapat menduga bahwa kakek ini bukanlah orang biasa dan ketika ia teringat akan cerita Lin Lin dan Cin Hai, ia menjadi terkejut sekali karena kakek ini cocok sekali dengan gambaran Pendekar Bodoh tentang seorang yang bernama Ban Sai Cinjin Si Huncwe Maut! Maka diam-diam Ma Hoa bersiap sedia dan berlaku waspada. Ia merasa girang bahwa selama ini ia berlaku hati-hati dan selalu mempersiapkan bambu runcingnya di tempat yang tak jauh dari situ.
“Benar, aku adalah Nyonya Kwee, tidak tahu siapakah Lo-enghiong dan ada keperluan apakah datang di rumahku yang buruk ini?”
Ban Sai Cinjin tertawa bergelak, lantas dengan tenang akan tetapi mulutnya tersenyum menyeringai ia membuang abu tembakau dari kepala pipanya, kemudian mengisinya lagi dengan tembakau warna hitam! Semua ini ia lakukan sambil matanya terus memandang kepada nyonya itu dengan kagum. Biar pun Ma Hoa telah berusia hampir empat puluh tahun, akan tetapi nyonya ini tiada bedanya dengan seorang gadis yang cantik jelita saja!
Diam-diam Ma Hoa merasa gelisah, maka dia pun berkata kepada Kwee Cin, “Cin-ji, kau masuklah ke dalam.”
Kwee Cin memang selamanya amat taat kepada ayah bundanya. Maka sebagai seorang anak kecil yang belum dapat menduga hal-hal hebat yang akan terjadi, dia menyatakan baik dan anak itu lalu masuk ke dalam kamarnya.
Kembali Ban Sai Cinjin tertawa dan sekarang suara ketawanya terdengar nyaring sekali hingga terdengar sampai jauh karena kakek ini memang telah mengerahkan khikang-nya untuk mengirim suara ketawanya kepada dua orang kawannya yang bersembunyi di luar!
“Kwee-hujin, ketahuilah bahwa aku bernama Ban Sai Cinjin dan kedatanganku ini hendak mencari puterimu, yaitu Nona Kwee Goat Lan. Puterimu itu telah berkali-kali melakukan penghinaan kepadaku dan sekarang aku sengaja datang hendak membuat perhitungan!”
Warna merah mulai menjalar pada kedua pipi Ma Hoa. Sekarang dia bangkit dari tempat duduknya dan Ban Sai Cinjin menjadi makin kagum karena sebenarnya setelah berdiri, nampak betapa langsing potongan tubuh nyonya yang telah mempunyai dua orang anak ini.
Ma Hoa berjalan tenang menghampiri tamunya setelah dia menyambar sepasang bambu runcing dan menancapkannya pada ikat pinggangnya. Dengan mata bercahaya dan bibir tersenyum mengejek dia berkata,
“Ban Sai Cinjin, biar pun baru sekali ini aku bertemu denganmu, akan tetapi telah sering kali aku mendengar namamu yang buruk dan terkenal. Maka aku tidak merasa heran apa bila Goat Lan bentrok denganmu, karena memang semenjak kecil dia telah kudidik untuk membasmi orang-orang jahat dan membela yang benar. Kau datang mencari Goat Lan untuk membuat perhitungan? Sayang, Goat Lan masih belum pulang. Akan tetapi kalau kau tetap merasa penasaran, untuk obat kecewamu, boleh kiranya aku sebagai ibunya mewakili Goat Lan untuk membayar hutang.”
“Bagus sekali, sama anak sama ibu! Kau dan anakmu terlalu mengandalkan kepandaian sendiri, tidak memandang mata kepada orang lain. Baiklah, Kwee-hujin, karena anakmu tidak ada dan aku jauh-jauh sudah memerlukan datang, biarlah aku menerima pelajaran darimu!” Sambil berkata demikian, Ban Sai Cinjin cepat menggerakkan huncwe-nya dan tersebarlah uap hitam yang berbau amat memuakkan.
Akan tetapi Ma Hoa akan percuma saja disebut seorang pendekar wanita yang gagah perkasa kalau ia gentar menghadapi uap hitam beracun ini. Puterinya adalah murid Sin Kong Tianglo Si Raja Obat, sedangkan dia sendiri adalah murid dan anak angkat dari Kong Hwat Lojin Si Nelayan Cengeng, maka setidaknya Ma Hoa juga sudah tahu akan jahatnya racun ini dan tahu pula obat penawarnya.
Goat Lan sendiri setelah tamat berlajar dari Sin Kong Lojin, banyak meninggalkan pil-pil obat penawar racun maka begitu melihat uap hitam ini, Ma Hoa cepat mengeluarkan tiga butir pil merah dan memasukkan itu ke dalam mulut. Kemudian kedua bambu runcingnya bergerak mengimbangi gerakan huncwe lawan.
“Bagus, jadi sebenarnya kaukah yang menjadi murid Hok Peng Taisu?” Ban Sai Cinjin membentak dan kini huncwe-nya menyambar ke arah kepala Ma Hoa.
“Ban Sai Cinjin, kau tidak usah banyak cakap, kalau kau mempunyai kepandaian lekas keluarkan semua hendak kulihat!”
Kembali Ban Sai Cinjin mengeluarkan suara ketawa yang bahkan lebih nyaring dari pada tadi sambil menyerang dengan hebatnya, dan sungguh pun Ma Hoa menangkis dengan bambu runcingnya, namun telinganya yang tajam masih dapat menangkap suara seruan seperti seekor burung dari luar rumah. Hatinya tergoncang dan pikirannya bekerja keras.
Ini tentu ada apa-apanya, dan hatinya mulai berdebar. Akan tetapi oleh karena tidak terjadi sesuatu dia lalu memutar bambu runcing hendak cepat-cepat mengalahkan lawan ini. Aku harus melindungi Cin-ji, pikirnya.
Akan tetapi tidak mudah untuk mengalahkan Ban Sai Cinjin dalam waktu singkat. Setelah mendapat hajaran dari Pendekar Bodoh, Ban Sai Cinjin selain berlaku hati-hati sekali dan sama sekali tak berani memandang ringan kepada kawan-kawan Pendekar Bodoh yang ternyata mempunyai kepandaian yang hebat. Dahulu pun jika dia berlaku hati-hati, tidak mungkin dalam segebrakan saja dia kalah oleh Pendekar Bodoh.
Akan tetapi harus diakuinya bahwa ilmu silat bambu runcing yang dimainkan oleh nyonya ini benar-benar luar biasa sekali. Ia pernah menghadapi sepasang bambu runcing yang dimainkan oleh Goat Lan dan sudah merasa kagum sekali. Akan tetapi sekarang, ketika menghadapi permainan Ma Hoa, dia benar-benar terdesak hebat sekali. Kalau dulu Goat Lan memainkan sepasang bambu runcing sehingga senjata istimewa itu seakan-akan berubah menjadi lima, sekarang bambu runcing di tangan nyonya ini seakan-akan telah berganda menjadi delapan!
Selama ini, Ban Sai Cinjin tiada hentinya berlatih serta memajukan ilmunya sehingga kepandaiannya sudah naik banyak. Dalam menghadapi nyonya pendekar ini, dia masih dapat mempertahankan diri dengan mainkan huncwe-nya dan kadang ia menyemburkan asap hitam biar pun tidak mempengaruhi Ma Hoa yang sudah memasukkan tiga butir pil merah di dalam mulutnya, akan tetapi tetap saja Ma Hoa harus menghindarkan kedua matanya dari serangan asap hitam yang lihai itu.
Pertempuran telah berjalan tiga puluh jurus dan beberapa kali Ban Sai Cinjin hampir saja terkena totokan bambu runcing hingga keselamatan nyawanya berada di ujung rambut. Ia terdesak hebat sekali dan hati kakek mewah ini mulai menjadi gelisah sekali.
Tiba-tiba saja terdengar lagi suara burung hantu dan mendadak Ban Sai Cinjin tertawa menyeramkan sambil melompat jauh ke belakang.
“Kwee-hujin, tidak percuma kau menjadi isteri Kwee An yang terkenal namanya, karena memang ilmu silatmu hebat sekali. Aku Ban Sai Cinjin kali ini mengaku kalah. Biarlah kelak kita bertemu lagi untuk melanjutkan pertempuran ini.”
“Pengecut!” Ma Hoa memaki, akan tetapi ia tidak mengejar Ban Sai Cinjin karena kuatir apa bila kakek pesolek itu menjebaknya dengan tipu ‘memancing harimau meninggalkan sarangnya’. Ia bahkan cepat melompat ke dalam rumah dan menuju ke kamar Kwee Cin.
Akan tetapi mukanya tiba-tiba menjadi pucat sekali ketika melihat dua orang pelayannya telah rebah menggeletak dalam keadaan tertotok! Sambil menekan debaran jantungnya yang seakan-akan hendak memecahkan dada, Ma Hoa cepat berlari ke dalam kamar anaknya. Benar saja seperti yang telah dikuatirkannya, di dalam kamar itu tidak nampak lagi bayangan anaknya!
Ma Hoa sudah sering sekali menghadapi peristiwa hebat ketika mudanya, akan tetapi mala petaka kali ini benar-benar hebat sekali dan sangat menusuk perasaannya. Hanya saja ia memang telah memiliki pandangan yang luas. Ia tidak menjadi putus asa, karena puteranya itu hanya diculik orang dan bukan dibunuh. Siapa pun yang menculiknya, dia masih mempunyai harapan untuk merampasnya kembali.
Cepat ia berlari keluar kamar dan membebaskan totokan dua orang pelayan itu.
“Lekas ceritakan, apa yang telah terjadi?” tanyanya dengan tenang.
Dua orang pelayan itu menceritakan bahwa dari belakang datang dua orang pengemis tua yang tak berkata sesuatu lalu menotok mereka dan kemudian mereka melihat betapa kongcu (tuan muda) sudah dipanggul oleh salah seorang di antara dua pengemis itu dan dibawa lari melalui pintu belakang.
Selesai mendengar penuturan ini, Ma Hoa lalu cepat mengejar melalui pintu belakang. Ia mengejar terus sampai sejauh sepuluh li lebih, akan tetapi seperti yang telah diduganya, ia tidak melihat bayangan dua orang pengemis penculik itu.
“Hemm, tidak lain ini tentulah perbuatan Ban Sai Cinjin yang sengaja memancing dalam sebuah pertempuran dan sementara itu kawan-kawannya melakukan penculikan terhadap Kwee Cin,” pikirnya.
Dia cepat mengambil keputusan, menyerahkan penjagaan rumahnya kepada dua orang pelayan karena hari itu juga dia hendak menyusul suaminya ke utara sekalian mencari jejak Ban Sai Cinjin. Akan tetapi ketika dia membuka peti di mana dia menyimpan kitab Thian-te Ban-yo Pit-kip (Kitab Rahasia Selaksa Pengobatan Bumi Langit) yang dititipkan oleh Goat Lan kepadanya, ternyata kitab itu bersama anaknya telah lenyap pula! Ma Hoa menjadi gemas sekali, dia mengertakkan giginya dan membanting-bantingkan kaki kanan di atas lantai.
“Ban Sai Cinjin bangsat tua yang curang! Tunggulah saja kalau sampai aku dapat melihat mukamu lagi, kau pasti akan kujadikan sate dengan bambu runcingku!”
Demikianlah, Ma Hoa lalu cepat melakukan pengejaran ke utara dan karena daerah utara memang sukar sekali dilalui serta Pegunungan Alkata-san masih asing baginya, maka ia tersesat jalan dan kebetulan sekali dapat menghentikan pertempuran hebat yang terjadi antara Lili dan Lie Siong.
Setelah Lili mendengar penuturan Ma Hoa ini, gadis ini pun menjadi marah sekali dan berkata dengan gemas, “Ban Sai Cinjin memang jahat sekali. Muridnya yang bernama Bouw Hun Ti sudah membunuh Yousuf kakekku dan menculikku ketika aku masih kecil. Kemudian Ban Sai Cinjin menurut penuturan dan dugaanku juga sudah meracun Sin-kai Lo Sian guruku, telah meracuni suhu-ku itu hingga Sin-kai Lo Sian tak dapat mengingat apa pun, dan yang membunuh Supek Lie Kong Sian juga Ban Sai Cinjin! Dan sekarang, kembali Ban Sai Cinjin menculik Adik Cin! Benar-benar orang yang jahanam dan ingin mampus.”
Ma Hoa menarik napas panjang. “Memang di dunia ini selalu terdapat orang-orang jahat, Lili. Tidak ada bedanya semenjak dahulu sampai sekarang. Dulu pun ada seorang jahat bernama Hai Kong Hosiang yang selalu memusuhi orang tua kami dan kami. Akan tetapi, kalau dibandingkan dengan Ban Sai Cinjin, Hai Kong Hosiang masih tidak begitu curang dan jahat!”
Lili juga pernah mendengar nama Hai Kong Hosiang ini karena sering kali ayah ibunya menceritakannya tentang pengalaman mereka pada waktu muda.
Demikianlah, sambil bercakap-cakap Ma Hoa dan Lili, diikuti oleh Lilani dan Lo Sian serta semua orang Haimi, melanjutkan perjalanan menuju ke lereng Alkata-san di mana telah nampak tembok besar benteng tentara kerajaan itu.
********************
Marilah kita tinggalkan dulu mereka yang sedang menuju ke benteng itu dan menengok keadaan Goat Lan dan Hong Beng yang sudah lama kita tinggalkan.
Karena mendapat pertolongan dari Kam Liong yang memberi kuda kepada mereka dan semua pengawal, perjalanan Hong Beng dan Goat Lan menuju ke Bukit Alkata-san dapat berjalan cepat dan lancar. Dan sebagaimana yang dituturkan oleh Kam Liong, benteng itu meski pun sudah tua dan banyak yang rusak, akan tetapi masih baik dan kuat, juga merupakan tempat penjagaan yang sangat baiknya. Hong Beng bersama semua prajurit yang mengawalnya lalu menggulung lengan baju dan memperbaiki bangunan-bangunan yang berada di dalam benteng itu.
Beberapa hari kemudian, Hong Beng dan Goat Lan mulai mengatur siasat untuk dapat menjalankan tugas mereka. Dari para penyelidik yang mereka sebar di sekitar daerah itu, mereka mendapat keterangan bahwa tentara Mongol banyak yang bersembunyi di atas bukit yang berada di sebelah utara Bukit Alkata-san, dan amatlah sukar untuk menyerang ke sana.
Selain daerah itu tertutup salju dan dingin sekali, juga pertahanan tentara Mongol sangat kuatnya. Bagaimanakah mereka yang hanya memiliki sedikit pasukan itu dapat melawan tentara Mongol yang ribuan jumlahnya?
“Lebih baik kita menjaga dan mengatur penjagaan,” kata Hong Beng. “ Kalau kita melihat ada barisan musuh yang hendak menyeberang ke selatan dan melalui bukit ini, baru kita serang mereka.”
Penjagaan dilakukan siang malam dan benar saja, beberapa hari berturut-turut, mereka berhasil memukul mundur pasukan-pasukan kecil bangsa Mongol yang hendak menuju ke selatan, seperti biasanya untuk melakukan keganasan terhadap penduduk Tiongkok di balik tembok besar. Setiap kali terjadi pertempuran, selalu Hong Beng dan Goat Lan memperlihatkan kepandaiannya dan tak ada seorang pun perwira Mongol dapat bertahan menghadapi pendekar-pendekar remaja yang gagah dan sakti ini.
Pasukan-pasukan Mongol yang hendak melakukan penggarongan ke selatan terpaksa mengambil jalan memutar dan tidak berani lagi melewati Bukit Alkata-san di mana terjaga oleh pasukan yang dipimpin oleh dua orang muda ini.
Sementara itu, hubungan Hong Beng dan Goat Lan makin erat dan cinta mereka berakar makin mendalam. Namun, sebagai pemuda dan pemudi yang tidak saja gagah lahirnya akan tetapi juga mulia batinnya, kedua orang muda ini membatasi hubungan mereka dan sama sekali tidak pernah berani melanggar kesusilaan.
Baik Hong Beng mau pun Goat Lan bisa menekan cinta kasih mereka dan sudah merasa cukup bahagia dengan saling berpegang tangan atau saling pandang dengan sinar mata penuh arti, penuh cinta kasih dan kemesraan. Tentu saja Goat Lan semakin menghargai tunangannya ini.
Beberapa pekan mereka berada di sana dan merasa senang karena daerah Alkata-san boleh dibilang aman, terutama yang termasuk di dalam lingkungan benteng itu. Tidak ada anggota pasukan yang berani meninggalkan benteng, karena kuatir kalau-kalau pasukan musuh datang menyerbu.
Maka mereka sama sekali tidak tahu bahwa hanya seratus li dari tempat itu terdapat Lili dan Ma Hoa. Juga mereka tidak tahu bahwa dari selatan sudah datang serombongan orang terdiri dari Cin Hai, Lin Lin dan Kwee An. Sementara dari jurusan lain datang pula pasukan besar yang dipimpin sendiri oleh Kam-ciangkun atau Kam Liong.
Pada suatu senja kedua teruna remaja ini duduk di bawah pohon di mana mereka sering kali duduk, bercakap-cakap dengan asyik dan mesranya. Bulan hanya sedikit, bercahaya pudar sebab kalah oleh cahaya matahari yang masih ada sisanya menerangi permukaan bumi.
“Lan-moi...” terdengar Hong Beng berkata pelan sambil memegang tangan tunangannya.
“Ada apa, Koko?” jawab Goat Lan sambil memandang mesra. Bibirnya tersenyum manis sekali.
“Kalau keadaan sudah aman dan kelak kita kembali ke selatan, mendapat pengampunan dari Hong-siang...”
“Ya...?”
“Aku akan minta pada ayah bundaku agar... pernikahan kita dapat segera dilangsungkan”
Wajah yang manis itu memerah sampai ke telinganya dan jari-jari tangan yang runcing dan halus kulitnya itu mencubit. “Ahh, Koko, kau ini ada-ada saja. Tergesa-gesa ada apa sih?”
Hong Beng menengok ke kanan di mana Goat Lan duduk. Mereka duduk di atas rumput dan angin bertiup sepoi-sepoi menambah segar dan gembira perasaan. Pada senja hari itu, Goat Lan mengenakan baju berkembang-kembang warna emas, leher baju dan ikat pinggang kuning, begitu pula celananya terbuat dari sutera kuning yang bersih dan halus. Pinggiran bajunya sebelah bawah berwarna merah, sama merahnya dengan bunga yang terselip di atas telinga kanannya. Rambutnya disusun meniru model gadis-gadis Mongol atau Boan yang pernah dilihatnya di sekitar tempat itu, digelung ke atas dan selebihnya diurai memanjang di belakang punggungnya. Gadis ini benar-benar nampak cantik jelita, terutama sekali dalam pandang mata Hong Beng yang mencintanya.
“Lan-moi, aku bukan hendak tergesa-gesa, akan tetapi aku ingin selamanya, tak sedetik pun berpisah lagi darimu. Kalau kita sudah menikah, barulah harapan itu terkabul!”
Goat Lan tertawa geli sebab merasa lucu mendengar ucapan kekasihnya. Ia memandang dan diam-diam merasa kagum melihat betapa kekasihnya nampak tampan dan gagah sekali dalam pakaian yang berwarna biru itu.
“Jika begitu, kita harus menjadi sepasang kupu-kupu atau seperti sepasang burung yang selalu beterbangan di udara, siang malam tak pernah berpisah lagi.”
“Mengapa harus menjadi kupu-kupu atau burung? Kalau kita sudah menikah, meski pun kita masih menjadi manusia, kita dapat selalu berkumpul, takkan berpisah lagi sebentar pun.”
“Mana mungkin?” Goat Lan kembali tertawa. “Aku harus mengatur rumah tangga, harus masak, dan kau harus bekerja. Bagaimana kita bisa selalu berkumpul?”
Demikianlah, sepasang orang muda yang bahagia ini bersenda gurau, kadang-kadang bersungguh-sungguh membicarakan masa datang yang penuh harapan dan cita-cita. Tak terasa lagi cuaca menjadi makin gelap dan dua orang muda yang sedang tenggelam dalam alunan kasih asmara ini sama sekali tidak tahu betapa bayangan sesosok tubuh yang amat gesit laksana burung walet hitam, melompat dari wuwungan ke wuwungan lain di atas bangunan-bangunan dalam benteng itu!
Para prajurit yang sedang bertugas juga tidak melihat bayangan ini yang menandakan bahwa orang itu benar-benar berkepandaian tinggi sehingga dapat menyerobot masuk ke dalam benteng tanpa diketahui orang. Dari atas wuwungan yang terdekat dengan tempat Hong Beng dan tunangannya duduk, orang itu memandang ke arah mereka. Kemudian, dengan gerak lompat Naga Hitam Naik ke Langit, ia lalu melompat dari atas wuwungan itu ke atas pohon yang berada belakang Hong Beng.
Ginkang dari orang itu benar-benar mencapai tingkat tinggi karena ketika ia tiba di pohon itu, tak selembar pun daun pohon bergoyang! Akan tetapi ia salah hitung kalau mengira bahwa Hong Beng tidak mengetahui kehadirannya. Walau pun delapan puluh bagian dari semangat pemuda ini telah terbang oleh gelombang asmara, namun yang dua puluh bagian sudah lebih dari cukup untuk mengingatkannya bahwa ada gerakan sesuatu yang mencurigakan di atas kepalanya!
Di dalam keadaan bahaya, semangat pembelaan dan perlindungan terhadap kekasihnya timbul dan tanpa sengaja Hong Beng merangkulkan tangan kanannya pada pundak Goat Lan, sedangkan tangan kirinya sambil mengerahkan tenaga lweekang segera dipukulkan dengan dorongan ke atas pohon dibarengi bentakan, “Turunlah kau!"
Walau pun hanya dilakukan sambil duduk dan dengan tangan kiri, namun tenaga pukulan Hong Beng ini mengandung hawa pukulan yang cukup hebat sehingga cabang dan daun pohon itu bagaikan tertiup angin dari bawah!
“Sie-enghiong, jangan menyerangku!” terdengar seruan dari atas.
Bayangan yang amat gesitnya melompat turun dengan gerak tipu Garuda Menyambar Air dan sebentar saja di depan Hong Beng dan Goat Lan yang sudah bangun itu berdirilah seorang pemuda yang tampan. Goat Lan segera mengenal orang ini sebagai Song Kam Seng.....
Ia mendengar dari Lili bahwa pemuda ini dahulunya ditolong oleh Lili dan Lo Sian, akan tetapi kemudian membalik dan menjadi murid Wi Kong Siansu. Ia juga telah mendengar bahwa pemuda ini sesungguhnya adalah putera Song Kun, sute dari Lie Kong Sian yang lihai dan jahat, dan yang tewas dalam tangan Pendekar Bodoh! Tentu saja dia menjadi kaget dan bercuriga sekali.
“Siapa kau dan apa maksud kedatanganmu?” Hong Beng membentak sambil menatap tajam dengan sikap siap sedia.
Sebelum Kam Seng menjawab, Goat Lan mendahuluinya, “Beng-ko, dia ini adalah Song Kam Seng yang pernah kuceritakan kepadamu. Inilah putera dari Song Kun, orang tak berbudi yang melupakan pertolongan dan berbalik memusuhi Lili!”
Pemuda itu menjura dengan hormat dan berkata dengan suara dingin, “Memang benar, aku adalah Song Kam Seng putera Song Kun yang terbunuh oleh Pendekar Bodoh.”
“Apakah kedatanganmu ini ada hubungannya dengan urusan itu?” Hong Beng bertanya dengan sikap menantang.
“Tidak, Saudara Sie Hong Beng, sekarang belum tiba waktunya bagiku untuk membuat perhitungan. Semua perhitungan akan kubuat dan kubereskan dengan ayahmu sendiri, kau tidak usah ikut campur. Sekarang ada urusan pribadi. Aku hendak bicara mengenai urusan negara, tentang pengacauan orang Mongol, dan yang berhubungan pula dengan persekutuan yang diadakan oleh Ban Sai Cinjin dan orang-orang lain.”
“Hemm, bukankah Ban Sai Cinjin itu susiok-mu?” Goat Lan bertanya dengan pandangan penuh curiga.
“Betul, Nona Kwee. Akan tetapi di dalam hal ini, paham dia jauh berbeda dengan aku. Betapa pun juga, aku bukanlah seorang pengkhianat bangsa dan aku merasa tak setuju sekali dengan tindakan yang telah diambil oleh Susiok. Juga perbuatannya yang terakhir ini, yaitu menculik adikmu, Nona, amat tidak kusetujui dan untuk itulah maka aku sengaja datang ke tempat ini.”
Bukan main terkejutnya hati Goat Lan mendengar ini, juga Hong Beng merasa kaget dan cepat-cepat dia mengajak pemuda itu masuk ke dalam bangunan yang menjadi tempat tinggalnya. Mereka bertiga lalu duduk menghadapi meja.
“Apa maksudmu dengan penculikan adikku yang kau katakan tadi?” Goat Lan langsung bertanya kepada Song Kam Seng.
Pemuda itu menarik napas panjang. “Sudah bukan rahasia lagi bahwa Pendekar Bodoh bersama kawan-kawannya, juga ayahmu yaitu Kwee-lo-enghiong, sedang menuju ke sini untuk membantu menjaga tapal batas dan mengusir pengacau-pengacau bangsa Mongol dan Tartar. Hal ini sangat menggelisahkan hati Malangi Khan, karena baru kalian berdua saja berada di sini sudah merupakan halangan besar, apa lagi kalau orang-orang tuamu datang membantumu di sini. Oleh karena itu, Susiok yang menjadi tangan kanan Malangi Khan, kemudian turun tangan. Dia tahu bahwa ibumu hanya berada berdua saja dengan adikmu yang masih kecil, karena itu dengan ditemani oleh Coa-ong Lojin dan seorang pembantunya, Ban Sai Cinjin lalu datang ke Tiang-an dan akhirnya dapat menculik Kwee Cin adikmu, bahkan sudah berhasil mencuri kitab Thian-te Ban-yo Pit-kip dari Sin Kong Tianglo.”
Goat Lan menjadi pucat sekali. Ia memandang tajam dan berkata, “Kau yang memihak musuh, mengapa kau datang menceritakan hal ini? Apa kehendakmu?”
“Sudah kukatakan tadi, Nona, aku bukan datang dengan niat jahat. Aku terpaksa berada di utara karena terbawa oleh Susiok dan terpaksa karena suhu-ku malu hati kepada Ban Sai Cinjin, sehingga biar pun Suhu tidak dapat datang sendiri, namun Suhu menyuruhku mewakilinya. Maksud kedatanganku dan kenapa aku menceritakan semua ini kepadamu, juga kepada Saudara Sie Hong Beng, tidak lain supaya kalian bersiap sedia. Ketahulilah bahwa Ban Sai Cinjin hendak menjadikan adikmu sebagai tanggungan. Tidak lama lagi kalian tentu akan mendengar ancaman dari Ban Sai Cinjin bahwa kalau Pendekar Bodoh bersama kawan-kawannya membantu tentara kerajaan, maka Kwee Cin adikmu itu akan dibinasakan lebih dulu!”
“Bangsat keji!” Goat Lan berseru keras sambil melompat bangun dan tanpa terasa pula sepasang bambu runcingnya sudah berada di kedua tangannya. “Orang she Song, lekas tunjukkan kepadaku di mana adikku ditahan agar aku dapat pergi menolongnya. Kalau kau tidak mau menunjukkan tempat itu, berarti bahwa kebaikanmu ini palsu belaka untuk menjebak kami dan untuk itu aku akan membinasakanmu di sini dan sekarang juga!”
“Nona Kwee, kalau aku mau menunjukkan tempat itu bukan berarti bahwa aku takut akan ancamanmu, aku lebih takut apa bila aku disangka ikut berjiwa pengkhianat. Akan tetapi biar pun dengan segan, aku harus memberitahukan padamu bahwa mendatangi tempat itu untuk menolong adikmu sama halnya dengan membunuh diri! Penjagaan di situ selain kuat sekali, juga Susiok sendiri berada di sana, selalu berdekatan dengan adikmu. Dan tentang kepandaian Susiok, dia telah memperoleh kemajuan hebat apa lagi dibantu oleh Coa-ong Lojin dengan anak buahnya!”
“Tidak peduli, aku tidak takut! Lekas tunjukkan di mana tempat adikku ditahan!” Goat Lan mendesak.
Ada pun Hong Beng tidak berkata sesuatu sebab ia maklum bahwa tunangannya sedang gelisah, bingung dan kuatir sekali. Song Kam Seng lalu minta kertas dan alat tulis, lalu menggambarkan keadaan gunung di sebelah utara Alkata-san, di mana terdapat markas Malangi Khan dan bala tentaranya. Tempat tahanan Kwee Cin itu ternyata berada paling belakang sehingga untuk datang ke tempat itu harus lebih dahulu melalui benteng dari tentara Mongol!
“Nah, kalian lihat sendiri betapa berbahayanya untuk menyerbu tempat ini. Aku memberi tahukan semua ini agar supaya kalian dapat merundingkan dengan orang-orang tuamu dan mencari siasat yang baik, jangan sekali-kali berlaku sembrono. Sungguh mati kalau sampai berlaku nekad dan terjadi sesuatu yang mengerikan, akulah orang pertama yang akan merasa menyesal sekali. Selamat tinggal!”
“Ucapanmu tidak menakutkan kami, Song Kam Seng! Betapa pun juga aku akan pergi membebaskan adikku dan merampas kembali Thian-te Ban-yo Pit-kip!”
Mendengar suara nona ini demikian tetap dan nekad, Kam Seng yang sudah melompat sampai di pintu itu segera menunda kepergiannya. Dia menengok dan berkata, “Jalan satu-satunya yang lebih aman adalah dari belakang bukit sebab di sana tidak ada tentara Mongol, akan tetapi perjalanan melalui tempat itu amat berbahaya. Lagi pula setelah kau berhasil memasuki benteng sebelah belakang itu, kau masih harus berhadapan dengan Susiok, dengan Coa-ong Lojin, dan banyak lagi orang-orang kang-ouw termasuk empat puluh orang lebih anggota Coa-tung Kai-pang.” Sesudah berkata demikian, tubuh Kam Seng berkelebat dan lenyap dari situ!
“Ginkang-nya boleh juga!” kata Hong Beng.
“Koko, kita harus menyusul Adik Cin sekarang juga. Siapa tahu kalau-kalau jahanam itu akan mengganggunya.”
“Lan-moi, kurasa kata-kata Song Kam tadi ada benarnya. Dalam hal ini kita harus berlaku hati-hati. Bukan sekali-kali aku merasa jeri mendengar penjagaan musuh yang demikian kuatnya, akan tetapi bila memang benar orang tua kita tak lama lagi akan datang, apakah tidak lebih baik berunding dulu dengan mereka, dan minta nasehat mereka bagaimana? Kau tahu bahwa Ban Sai Cinjin akan menjaganya dengan luar biasa kuatnya karena dia maklum bahwa keluarga kita juga tidak akan tinggal diam begitu saja!”
“Justru sekaranglah kita harus bertindak, Koko. Bukankah tadi Song Kam Seng sudah menyatakan bahwa tak lama lagi tentu Ban Sai Cinjin akan mengancam kita agar jangan membantu tentara kerajaan? Hal ini berarti bahwa sekarang Ban Sai Cinjin belum tahu bahwa kita telah mendengar mengenai diculiknya adikku, maka penjagaan di sana tentu belum begitu diperkuat. Kita datang mendadak pula, kalau mungkin menangkap Ban Sai Cinjin dan memaksanya mengembalikan kitab Thian-te Ban-yo Pit-kip serta melepaskan Adik Cin.”
Hong Beng memandang tunangannya. Dia segera tahu bahwa kehendak dan ketetapan hati tunangannya yang tabah ini tidak mungkin dapat dibantah lagi, dan dia pun maklum bahwa pekerjaan ini sungguh-sungguh amat berbahaya, maka akhirnya dia menyatakan persetujuannya.
Hong Beng lalu memberitahukan kepada para prajurit bahwa dia dan Goat Lan hendak melakukan penyelidikan pada markas musuh, kemudian pemuda ini membuat sepucuk surat yang dimasukkan di dalam sampul, diberikan kepada pengawal dengan pesan agar supaya surat itu diberikan kepada Pendekar Bodoh atau kawan-kawan yang lain kalau ternyata ada yang datang mencari mereka di benteng ini.
Maka berangkatlah Hong Beng beserta Goat Lan pada malam hari itu juga, membawa tongkat hitamnya yang menjadi tanda bahwa dia adalah ketua dari Hek-tung Kai-pang, sedangkan Goat Lan tidak lupa membawa sepasang bambu runcingnya…..
********************
Selanjutnya baca
PENDEKAR REMAJA : JILID-14