Asmara Si Pedang Tumpul Jilid 12
Karena menderita tekanan batin, Akim gelisah di atas dipan. Diam-diam harus diakuinya bahwa pemuda tawanan itu amat menarik hatinya. Pemuda itu demikian tabah, pemberani dan gagah, terutama sekali pandang matanya yang demikian lembut namun mengandung keberanian luar biasa. Benar-benar seorang yang jantan, pikirnya, dan hal ini membuat dia semakin gelisah.
Andai kata benar Bhok Cun Ki yang menyuruh anak buahnya untuk menawannya karena panglima itu marah kepadanya, mengira bahwa dia menggoda Sin Wan, hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan Bhok Ci Han. Akhirnya dia dapat jatuh pulas pula, dan diganggu mimpi mengenai seorang pemuda yang wajahnya berubah-ubah, seperti wajah Maniyoko, kemudian Sin Wan, dan akhirnya wajah Bhok Ci Han.
Tiba-tiba saja dia dikejutkan dan dibangunkan oleh suara ribut-ribut. Ketika dia membuka mata, dia mendengar suara orang berkelahi di ruangan depan. Cepat dia meloncat turun kemudian keluar dari ruangan dalam. Dilihatnya Maniyoko sedang mendesak Bhok Ci Han dengan serangan-serangan maut yang membuat Ci Han repot sekali melindungi dirinya.
"Dukk!" Akhirnya sebuah pukulan mengenai dada kanan Ci Han hingga membuat pemuda itu terpelanting.
"Suheng, tahan!" Akim membentak dan meloncat ke depan untuk melerai.
"Sumoi, biar kubunuh jahanam ini! Dia tetap tidak mau menulis surat untuk ayahnya. Biar kusiksa dia sampai dia mau menulisnya!"
Maniyoko melompat ke depan lagi hendak menghajar Ci Han yang sudah bangkit duduk sambil menekan dada kanannya yang terasa nyeri. Tangan Maniyoko sudah menyambar hendak mencengkeram rambut Ci Han, akan tetapi Akim cepat bergerak ke depan.
"Plakk!" tangan Maniyoko terpental oleh tangkisan Akim.
"Suheng, engkau hendak melawanku?!" bentak Akim marah sekali. Maniyoko mengendur.
"Aihhh, sumoi, bagaimana engkau masih mau melindungi pemuda ini? Dia adalah putera Bhok Cun Ki yang telah menghinamu!"
"Cukup, suheng! Ini adalah urusanku, engkau tidak berhak mencampuri. Bila engkau tidak suka, pergilah dan biar kuselesaikan sendiri urusan ini!" Akim menantang dan Maniyoko bersungut-sungut.
"Baiklah, baiklah... aku tidak akan mencampuri lagi, sumoi...," katanya dan dia pun berdiri di sudut sambil memandang kepada Ci Han dengan sinar mata penuh kemarahan.
Melihat Ci Han menyeringai kesakitan, Akim cepat menghampiri kemudian membantunya bangkit, lalu membawanya duduk ke atas bangku.
"Parahkah lukamu?" tanyanya lembut hingga membuat Ci Han merasa heran bukan main. Dia menggelengkan kepalanya.
"Nah, Bhok Ci Han, engkau akan rugi sendiri jika tidak mau memenuhi permintaanku. Aku tidak akan memusuhimu, aku hanya ingin berhadapan dengan Bhok Cun Ki untuk minta pertanggung jawabannya atas perbuatan anak buahnya kepadaku kemarin dulu. Tulislah surat itu, undang dia ke sini dan engkau tidak akan kuganggu lagi."
Melihat betapa kembali nona penawannya itu menyelamatkannya dari ancaman siksaan dan pembunuhan yang hendak dilakukan suheng-nya, juga mendengar kata-katanya yang lembut, Ci Han menarik napas panjang. "Nona Ouwyang, kalau aku disuruh menulis surat kepada ayah untuk memancing dan menjebaknya ke sini, walau disiksa sampai mati pun tidak akan kulakukan. Jika aku diharuskan menulis surat kepada ayah, akan kuceritakan semua yang telah kualami, dan kuperingatkan supaya dia berhati-hati. Jadi percuma saja. Kalau memang engkau hendak membunuhku, silakan, tetapi aku takkan mau mencelakai ayah."
"Bhok Ci Han, jangan kau sangka bahwa aku seorang pengecut yang curang! Aku ingin berhadapan dengan ayahmu sendiri, bukan menjebaknya."
"Sumoi, kalau kau biarkan dia menulis surat seperti itu, tentu ayahnya akan datang sambil membawa pasukan besar dan kita akan celaka," kata Maniyoko.
"Bhok Ci Han, aku tidak akan menjebaknya, hanya ingin dia datang seorang diri agar aku dan dia membuat perhitungan atas perbuatan anak buahnya!" kata lagi Akim.
Pada saat itu pula terdengar suara dari luar rumah. "Nona, aku sudah datang seorang diri. Keluarlah kalau ingin bicara denganku!"
"Ayah...! Kau sudah datang!" kata Ci Han, gembira akan tetapi juga khawatir. Dia bangkit dan hendak keluar. Maniyoko bergerak hendak menangkapnya, akan tetapi dicegah Akim. Gadis ini lalu memegang lengan Ci Han dan berkata,
"Mari kita keluar, aku hanya tidak ingin ayahmu berbuat curang!"
Ketika mereka bertiga keluar, benar saja yang berdiri di situ adalah Bhok Cun Ki, seorang diri. Pada waktu Ci Han ditawan lalu dilarikan Maniyoko dan Akim, ternyata ada seorang penjaga yang melihat bayangan mereka. Penjaga yang tidak sempat mengejar ini segera melapor ke dalam.
Mendengar ini, Bhok Cun Ki segera melakukan pengejaran sendiri, demikian pula Cu Sui In. Ci Hwa dilarang melakukan pengejaran, tetapi disuruh menjaga dan melindungi ibunya di rumah. Bhok Cun Ki dan Cu Sui In melakukan pengejaran secara berpencar.
Setelah semalam itu berputar-putar mencari jejak orang-orang yang menculik puteranya, pada keesokan harinya akhirnya Bhok Cun Ki melihat pondok di dalam hutan itu dan dia merasa curiga. Setelah dia menghampiri kemudian mengintai, dia sempat mendengarkan percakapan antara seorang gadis dengan puteranya yang menjadi tawanan, maka dia pun segera berteriak memanggil.
Melihat Ci Han keluar digandeng seorang gadis cantik sambil diiringkan seorang pemuda tampan yang bertubuh pendek, hati Bhok-ciangkun merasa lega melihat puteranya dalam keadaan selamat.
"Nona muda, aku Bhok Cun Ki sudah datang dan berhadapan denganmu, kenapa engkau belum juga melepaskan puteraku?" tanya Bhok Cun Ki, suaranya tenang dan berwibawa.
"Bhok Cun Ki, aku tidak akan melanggar janji. Sesudah engkau berhadapan seorang diri denganku, tentu Bhok Ci Han ini akan kubebaskan. Akan tetapi aku belum yakin apakah orang seperti engkau ini dapat dipercaya. Siapa tahu engkau datang bersama pasukanmu dan begitu puteramu kubebaskan, pasukanmu akan datang menyerbu."
"Nona," Ci Han memprotes, "kenapa nona memandang rendah ayahku seperti ini? Ayah adalah seorang panglima, seorang pendekar, seorang gagah yang takkan sudi melakukan kecurangan!"
"Hemmm, kita lihat saja nanti," kata Akim tanpa melepaskan tangannya yang memegang lengan pemuda itu sehingga nampaknya mereka seperti bergandengan dengan mesra.
"Bhok Cun Ki, kenapa kemarin dulu engkau mengutus seorang kakek dan seorang nenek berpakaian putih serta enam orang prajurit untuk menangkap aku dan menyuruh mereka membunuhku setelah menghina dan menyiksaku lebih dahulu? Kalau tidak ada suheng-ku ini yang datang menolong, tentu sekarang aku telah menjadi korban kekejianmu!"
Bhok Cun Ki mengerutkan alisnya, dan matanya mencorong. "Nona, omongan apa yang kau keluarkan ini? Aku Bhok Cun Ki selamanya tidak pernah melakukan perbuatan sehina itu! Aku selamanya tidak mengenalmu, mengapa aku harus melakukan hal seperti itu?"
"Ayah, dia adalah nona Ouwyang Kim, puteri Tung-hai-liong Ouwyang Cin dan pemuda itu adalah murid Tung-hai-liong," kata Ci Han.
Bhok Cun Ki tertegun. "Aih, kiranya puteri Ouwyang Cin. Sudah lama aku mengenal nama besar Ouwyang Cin. Walau pun dia seorang datuk sesat, akan tetapi belum pernah aku mendengar dia melakukan hal-hal yang kurang patut, apa lagi menentang pemerintah. Di antara kami tidak pernah ada permusuhan, kenapa aku harus melakukan perbuatan hina seperti itu kepada puterinya? Nona Ouwyang, tuduhanmu itu tidak berdasar."
"Tapi... orang-orang yang menawanku itu, mereka berpakaian prajurit dan mengaku anak buahmu, suruhanmu..."
"Semua orang bisa saja mengaku demikian, nona."
"Sumoi, jangan percaya padanya! Mana ada maling yang mengaku maling! Bhok Cun Ki, menyerahlah engkau kalau engkau tidak ingin melihat puteramu mati di ujung pedangku!" Maniyoko sudah mencabut samurainya kemudian menodongkan senjata itu di punggung Ci Han.
"Suheng, jangan...!”
"Sumoi, jangan bersikap lemah. Mereka adalah musuh-musuh kita. Ingat betapa mereka telah menghinamu. Jika kemarin tidak ada aku yang datang menolong, tentu engkau telah diperkosa mereka beramai-ramai sebelum dibunuh!"
"Tapi... tapi..." Akim menjadi bingung dan ragu. Kalau teringat akan apa yang dialaminya kemarin dulu, hatinya panas bukan main, akan tetapi jika melihat sikap Ci Han dan Bhok Cun Ki, timbullah keraguan di dalam hatinya. Sikap ayah dan anak itu bukan sikap orang yang bersalah.
Maniyoko maklum sepenuhnya akan kelihaian Bhok-ciangkun, maka dia merasa khawatir sekali melihat keraguan sumoi-nya. Jika sampai sumoi-nya tidak berpihak kepadanya dan panglima itu turun tangan, maka dia akan celaka. Dia sudah mendengar betapa panglima Bhok ini memiliki tingkat kepandaian yang seimbang dengan gurunya!
"Bhok Cun Ki, sekarang saatnya maut menjemputmu!" bentaknya dan ini adalah isyarat kepada sekutunya untuk turun tangan.
Terdengar suara tawa ha-ha-ha..hi-hi dan muncullah Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli, juga enam orang yang pernah menyamar sebagai prajurit anak buah Bhok Cun Ki.
Melihat sepasang iblis itu, Bhok Cun Ki terkejut bukan main. Ang-bin Moko tertawa sambil menudingkan golok gergajinya ke arah muka panglima itu.
“Bhok Cun Ki, tiba saatnya bagimu untuk membayar hutangmu kepada kami, ha-ha-ha!"
"Hemm, kiranya Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli yang berdiri di belakang layar. Dua orang datuk besar, sepasang iblis yang dulu pernah mengguncang dunia kang-ouw kini agaknya telah menjadi anjing penjilat orang-orang Mongol! Betapa menjijikkan!"
Akim terbelalak memandang pada delapan orang itu. "Akan tetapi... kalian... kalian yang menawan aku dan mengaku disuruh Bhok Cun Ki...”
Pek-bin Moli, wanita bermuka putih pucat itu terkekeh genit. "Maniyoko, pemuda ganteng, cepat kau bunuh dulu putera panglima itu!"
Maniyoko cepat menggerakkan pedang samurainya, hendak membacok tubuh Ci Han dari belakang. Pemuda ini menggeser kaki mengelak dan Akim menggerakkan pedangnya.
"Trang...!" Pedang itu menangkis pedang samurai suheng-nya dan sepasang mata Akim mencorong penuh kemarahan.
"Suheng! Kau… kau bersekongkol dengan mereka?"
"Sumoi, aku hanya melanjutkan usaha suhu untuk bekerja sama dengan mereka!" bantah Maniyoko. "Biarkan aku membunuh dia!" Maniyoko menyerang lagi ke arah Ci Han.
Akan tetapi pedang Akim segera menyambar, maka terpaksa Maniyoko menyambut dan terjadilah perkelahian seru antara suheng dan sumoi ini.
"Bantu aku menangkapnya!" Maniyoko berteriak kepada sekutunya karena dia kewalahan sekali menghadapi Goat-im-kiam yang mendatangkan hawa dingin itu. Enam orang anak buah sepasang iblis itu segera membantunya dan mengeroyok Akim.
"Jangan bunuh, tangkap dia hidup-hidup!" seru Maniyoko yang merasa sayang bila gadis yang selama ini membuatnya tergila-gila itu sampai terbunuh. Melihat Akim dikeroyok, Ci Han lalu membantu Akim.
"Ci Han, kau pergunakan pedang ini!" kata ayahnya. Ci Han meloncat ke dekat ayahnya, menerima sebatang pedang.
Kiranya Bhok Cun Ki sudah dipancing oleh sepasang iblis yang telah menduga bahwa Ci Han tentu tidak dapat dipaksa menulis surat. Oleh karena itu mereka lalu membuat surat kepada Bhok Cun Ki dan minta supaya panglima itu datang sendiri ke situ. Tetapi malam itu mereka melihat Bhok Cun Ki berkeliaran di hutan, maka mereka hanya mengintai dan menanti, untuk membantu Akim dan Maniyoko.
Pada saat melakukan pengejaran terhadap para penculik puteranya, Bhok Cun Ki sengaja membawa pedang cadangan. Dia sudah bisa menduga bahwa setelah dapat diculik, tentu puteranya itu tidak membawa senjata lagi, karena itu dia sengaja membawakan sebatang pedang untuk puteranya dan kini ternyata benar bahwa puteranya membutuhkannya.
Dengan pedang di tangan, sekarang Ci Han membantu Akim mengamuk. Karena tingkat kepandaiannya masih jauh kalau dibandingkan Maniyoko dan Akim, maka dia pun hanya membendung pengeroyokan enam orang anak buah sepasang iblis sehingga Akim dapat mencurahkan tenaga untuk menghadapi suheng-nya.
Sementara itu, ketika melihat betapa Akim dan Ci Han telah dikeroyok, sepasang iblis itu lalu tertawa lagi. "Bhok Cun Ki, belasan tahun yang lalu kami pernah kalah olehmu, akan tetapi sekarang tiba saatnya pembalasan kami. Juga engkau harus mati karena engkau merupakan gangguan bagi gerakan Yang Mulia," kata Ang-bin Moko.
"Anjing penjilat Mongol!" Bhok Cun Ki membentak dan dia pun segera mencabut Ceng-kong-kiam. Nampak sinar kehijauan menyilaukan mata ketika pedangnya tercabut.
Bhok Cun Ki adalah seorang ahli pedang Butong-pai yang telah memiliki tingkat tinggi. Di samping mahir ilmu pedang Butong-pai, juga dia adalah seorang ahli yang sudah memiliki banyak sekali pengalaman bertanding sehingga gerakannya telah matang dan tangguh.
Akan tetapi yang dihadapi sekarang adalah sepasang iblis yang amat berbahaya. Tingkat kepandaian salah seorang di antara dua iblis itu saja sudah setingkat dengan dia, maka kini dikeroyok dua, apa lagi kini sepasang iblis itu telah melatih diri dengan ilmu-ilmu keji, maka dia tahu bahwa dia terancam bahaya dan harus mengerahkan seluruh tenaga serta kepandaian untuk dapat mengimbangi mereka.
"Singg…! Singg…! Singgg...!”
Golok gergaji di tangan Ang-bin Moko mulai menyerang bertubi-tubi, menyambar-nyambar bagaikan seekor burung elang mencari mangsa. Namun Bhok Cun Ki pernah dijuluki Sin-kiam-eng (Pendekar Pedang Sakti), maka dia pun mengelebatkan pedangnya dan sambil mengelak pedangnya juga membabat ke arah pergelangan tangan yang memegang golok sehingga terpaksa lawannya menarik kembali serangannya dan mulai menyerang dengan jurus baru.
Sementara itu, bagaikan seekor ular yang hidup, sabuk ular di tangan Pek-bin Moli sudah menyambar-nyambar. Tercium bau amis ketika sabuk itu menyambar lewat dekat kepala Bhok Cun Ki. Seperti juga tadi, Bhok Cun Ki mengelak dan membalas dengan serangan ke arah lengan lawan.
"Syuuuuuuttt...!" Angin yang aneh menyambar.
Bhok Cun Ki cepat melempar tubuh ke samping, maklum bahwa yang menyambarnya itu adalah hawa pukulan beracun yang jahat bukan main. Itulah Toat-beng-tok-ciang, pukulan beracun jarak jauh yang amat berbahaya. Kini sambil menggerakkan senjata menyerang, kedua iblis itu juga menyelingi dengan pukulan tangan beracun jarak jauh, juga jari tangan kiri mereka kadang kala menyerang dengan totokan Touw-kut-ci (Jari Penembus Tulang).
Secara diam-diam Bhok Cun Ki terkejut. Pukulan beracun dan totokan jari itu tidak kalah bahayanya dibanding golok gergaji dan sabuk ular. Dia pun memutar pedangnya sehingga terbentuk gulungan sinar yang melingkar-lingkar melindungi tubuhnya dan kadang-kadang saja dari gulungan sinar itu mencuat ujung pedangnya untuk membalas. Namun dia hanya mendapatkan kesempatan sedikit saja untuk dapat membalas hujan serangan lawan.
Sementara itu Akim dan Ci Han terdesak hebat oleh Maniyoko beserta enam orang anak buah sepasang iblis yang juga memiliki ilmu kepandaian yang cukup kuat. Sesungguhnya Akim lebih lihai dibandingkan suheng-nya dan andai kata Maniyoko maju seorang diri, dia pasti akan kalah oleh sumoi-nya itu. Akan tetapi Maniyoko dibantu dua orang yang cukup lihai, sedahgkan Ci Han dikeroyok empat orang yang membuat dia terdesak pula.
Biar pun dirinya terdesak oleh suheng-nya dan dua orang pengeroyok, namun Akim selalu memperhatikan keadaan Ci Han. Ketika ia melihat Ci Han terdesak hebat dan pemuda itu hanya mampu memutar pedang melindungi tubuhnya dari hujan senjata yang digerakkan empat orang pengeroyoknya, Akim merasa khawatir bukan main sehingga beberapa kali dia menengok. Perhatiannya terpecah sehingga ketika sebatang pedang pengeroyoknya menyambar leher, gadis ini terlambat mengelak sehingga ujung pedang itu masih melukai pundak kirinya.
Akim terkejut, akan tetapi bukan karena pundaknya terluka, melainkan karena melihat Ci Han terkena tendangan sehingga tubuhnya terpelanting. Tanpa mempedulikan keadaan diri sendiri, Akim meloncat dan pedangnya bergerak cepat menerjang empat orang yang sudah hendak mengirim serangan susulan yang akan mematikan Ci Han.
"Trang-tranggg...!"
Seorang pengeroyok terjungkal dengan dada terluka pedang Gwat-im-kiam. Ci Han yang sudah mengeluarkan keringat dingin karena tadi nyawanya terancam, kini meloncat lagi.
"Terima kasih...!" Ci Han berkata dan Akim merasa terharu.
Dia sekarang melihat bahwa dia sudah tertipu oleh Maniyoko yang bersekongkol dengan mata-mata Mongol. Tahulah dia bahwa peristiwa dia ditawan, lalu ditolong Maniyoko dan pengakuan para penculiknya bahwa mereka disuruh oleh Bhok Cun Ki, semua itu bohong belaka. Semuanya itu merupakan siasat yang sudah diatur Maniyoko bersama sekutunya sehingga dia kena dikelabui dan memusuhi keluarga Bhok. Bahkan bersama suheng-nya itu dia sudah menculik Ci Han! Dan pemuda itu agaknya sama sekali tidak mendendam kepadanya!
"Cepat ke sini, kita saling melindungi!" katanya kepada Ci Han.
Pemuda itu mengerti dan dia khawatir sekali melihat pundak kiri gadis itu terluka. Bajunya sudah berlumuran darah! Cepat dia meloncat, lantas berdiri saling membelakangi dengan Akim. Dengan cara demikian mereka bisa saling melindungi dan tidak dapat dibokong dari belakang.
Kini mereka berdiri sambil memasang kuda-kuda, sedangkan Maniyoko beserta sisa anak buah sepasang iblis, yaitu tinggal lima orang karena yang seorang telah roboh oleh Akim, mengepung sambil bergerak perlahan mengitari dua orang muda itu.
“Bunuh pemuda ini, tangkap gadisnya," kata pula Maniyoko yang membuat Akim marah bukan main. Sejak kecil suheng-nya ini dipelihara ayahnya, dididik dan disayang. Kiranya sekarang telah menjadi pengkhianat yang berniat buruk terhadap dirinya.
"Maniyoko, engkau manusia berhati binatang, manusia tak mengenal budi!" bentak Akim akan tetapi segera dia bersama Ci Han harus memutar senjata untuk melindungi diri dan menangkis sambaran senjata enam orang pengeroyok itu.
Pada saat itu pula terdengar bentakan nyaring dan serangkum hawa menyambar ke arah enam orang pengeroyok. Lima orang anak buah itu terjengkang, ada pun Maniyoko sendiri terhuyung ke belakang. Bukan main kagetnya ketika pemuda Jepang ini melihat bahwa yang muncul dan menyerang dengan dorongan jarak jauh itu bukan lain adalah gurunya sendiri, Tung-hai-liong Ouwyang Cin!
Sebaliknya, Akim girang bukan main melihat ayahnya. Tak disangkanya bahwa ayahnya akan muncul, dan tahulah dia bahwa diam-diam ayahnya agaknya merasa tidak enak lalu menyusulnya ke kota raja. Dia pun teringat akan keadaan Bhok Cun Ki yang kini didesak hebat oleh kakek dan nenek mengerikan itu.
"Ayah, Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli hampir saja berhasil menyiksa dan membunuhku. Aku telah dihina mereka. Balaskan, ayah. Malah mereka juga menghina dan mencemooh ayah, menganggap ayah takut kepadanya. Dan Maniyoko binatang tak mengenal budi ini bersekongkol dengan mereka!"
Mendengar ucapan puterinya, wajah kakek gendut itu berubah merah. Takut merupakan pantangan baginya dan dikatakan takut merupakan penghinaan yang paling besar. Maka, mendengar ucapan Akim, mukanya merah dan seluruh tubuhnya gemetar, tanda bahwa dia sedang mengerahkan tenaga sinkang-nya, siap untuk bertempur. Kemudian, sesudah mengeluarkan pekik seperti para pendekar samurai Jepang kalau berlagak, Tung-hai-liong Ouwyang Cin menyerbu ke dalam pertempuran antara Bhok Cun Ki yang dikeroyok dua.
"Ouwyang Cin, bajak Jepang rendah, jangan banyak lagak di sini!" bentak Ang-bin Moko yang cepat menyambut kakek gendut itu. Pada saat itu Ouwyang Cin menyambar dengan pukulan tamparan yang amat kuat, dan Ang-bin Moko cepat mengerahkan Toat-beng-tok-ciang untuk menyambut.
"Dessss....!"
Dua telapak tangan beradu dan akibatnya, tubuh Ang-bin Moko terdorong mundur sampai tujuh langkah. Ouwyang Cin sendiri terkejut karena biar pun dia lebih kuat dan tubuhnya tetap tegak, namun telapak tangannya yang tadi bertemu dengan telapak tangan Ang-bin Moko terasa panas dan gatal! Tahulah dia bahwa lawan menggunakan pukulan beracun yang sangat berbahaya sehingga telapak tangannya yang sudah kebal terhadap senjata tajam dan terhadap racun itu kini tetap saja tertembus.
Sesudah mengerahkan sinkang untuk menahan pengaruh hawa beracun yang menyusup pada telapak tangan kanannya itu, Tung-hai-liong Ouwyang Cin mencabut pedangnya dan tampak sinar yang menyilaukan mata. Pedang Jit-ong-kiam (Raja Matahari) telah tercabut dan pedang ini memang mengkilat dengan cahaya yang berkilauan. Akan tetapi Ang-bin Moko juga telah memegang golok gergajinya, maka tanpa banyak cakap lagi kedua orang datuk ini sudah saling terjang dengan ganasnya.
Karena kini Ang-bin Moko sudah mendapat lawan tangguh, maka Bhok Cun Ki terbebas dari pengeroyokan sehingga pertandingan antara dia melawan Pek-bin Moli berjalan seru dan seimbang. Sabuk ular di tangan Pek-bin Moli menyambar-nyambar, akan tetapi dapat diimbangi oleh gulungan sinar pedang di tangan Bhok Cun Ki. Tingkat kepandaian mereka memang seimbang, maka keduanya harus mengerahkan seluruh tenaga serta menguras semua kepandaian untuk dapat mengalahkan lawan.
Yang paling hebat adalah perkelahian antara Tung-hai-liong Ouwyang Cin melawan Ang-bin Moko. Kedua datuk ini mengeluarkan jurus-jurus paling ampuh, dan keduanya sangat bernafsu untuk saling membunuh. Karena maklum bahwa lawan sangat berbahaya, maka keduanya ingin saling mendahului.
Berkali-kali Jit-kong-kiam beradu dengan golok gergaji. Begitu kerasnya pertemuan kedua senjata ini sehingga nampak bunga api berpijar dan berhamburan, disertai suara nyaring yang menusuk telinga. Akan tetapi kedua senjata itu tidak menjadi rusak. Agaknya kedua senjata itu memang merupakan senjata ampuh yang amat kuat dan keras sekali.
"Singgg...!"
Kembali dua senjata itu menyambar dengan gerakan amat kuat, didorong tenaga sinkang yang memenuhi kedua tangan yang memegangnya. Untuk ke sekian puluh kalinya kedua senjata itu bertemu lagi di udara,.
"Trakkkk!"
Sekali ini pertemuan kedua senjata itu demikian kuatnya sehingga seolah terjadi ledakan kilat. Keduanya amat terkejut ketika melihat betapa senjata andalan masing-masing telah patah-patah! Dua buah senjata itu akhirnya tidak kuat menahan hantaman yang dilandasi tenaga sinkang sehingga keduanya patah berbareng. Keduanya terkejut dan marah bukan main.
"Keparat!" bentak Tung-hai Liong Ouwyang Cin.
"Jahanam!" Ang-bin Moko juga membentak kemudian keduanya menggerakkan kaki maju dan saling terjang dengan nekat.
"Plakkk...!"
Kedua telapak tangan mereka saling bertemu dengan kuatnya dan seperti melekat! Kini mereka, dua orang datuk itu, mengadu tenaga dengan nekat, cara bertanding yang hanya dapat diakhiri dengan salah seorang di antara mereka putus nyawa!
Mereka saling serang melalui penyaluran tenaga lewat tangan mereka, saling mendorong. Keduanya saling tatap dengan mata melotot, seluruh tenaga dari pusar mendorong lawan melalui kedua telapak tangan. Demikian hebat mereka mengerahkan tenaga sampai uap perlahan-lahan mengepul keluar dari kepala mereka!
Setelah kini mengadu sinkang, Ouwyang Cin kembali merasa betapa hawa beracun yang amat kuat menyerangnya melalui telapak tangan. Dia tahu akan bahayanya hal ini, namun kini dia tidak dapat mundur lagi. Siapa mundur tentu akan binasa!
Dalam keadaan seperti itu tidak ada seorang pun yang akan mampu memisahkan mereka tanpa menghadapi bahaya maut bagi dirinya sendiri. Karena itu tidak ada jalan lain kecuali mengerahkan lagi seluruh tenaganya untuk merobohkan lawan sebelum hawa beracun itu menyusup semakin dalam ke tubuhnya.
Dia melihat betapa kedua tangannya mulai berubah menghitam sampai ke pergelangan. Itu tandanya bahwa dia telah keracunan secara hebat! Hawa beracun yang menimbulkan panas serta gatal itu dengan kuatnya hendak menyusup terus ke dalam. Hanya dengan sinkang-nya yang kuat saja maka hawa beracun itu dapat tertahan.
Sementara itu Ang-bin Moko juga terkejut bukan kepalang. Tak disangkanya ada orang di dunia ini yang sanggup menerima Toat-beng-tok-ciang, ilmunya yang mengandung racun mematikan itu. Malah kini dia mulai terdorong dan ketika dia mempertahankan, perlahan-lahan, senti demi senti, kedua kakinya amblas ke dalam tanah yang diinjaknya. Demikian kuat tenaga lawan mendorongnya! Dia mencoba untuk mempertahankan, tetapi dia kalah kuat.
Uap putih semakin tebal mengepul di atas kepalanya, napasnya juga mulai memburu dan matanya mendelik, mukanya yang biasanya berwarna merah itu sekarang telah berkurang merahnya, berubah pucat. Dia berusaha mengerahkan lagi tenaganya, akan tetapi seperti bendungan pecah, dia memuntahkan darah segar dan kedua kakinya kini amblas sampai sebatas lututnya.
Akhirnya dia mengeluarkan teriakan melengking dan tubuhnya seperti terjengkang, roboh telentang di atas tanah dengan dua kaki terjepit tanah sampai di lutut. Akan tetapi, ketika dua pasang telapak tangan itu terlepas, tubuh Ouwyang Cin juga terhuyung ke belakang dan hampir saja dia roboh.
Datuk timur masih mampu bertahan dan memandang kepada kedua lengannya yang telah menghitam sampai ke atas siku! Sebagai seorang datuk yang berilmu tinggi, maklumlah Ouwyang Cin bahwa maut sudah berada di ambang pintu. Maka dia pun menguatkan diri, lalu memandang ke arah puterinya yang bersama seorang pemuda yang gagah dikeroyok oleh Maniyoko dan lima orang lain.
Gerakan pedang pemuda yang saling melindungi dengan puterinya itu cukup indah, ilmu pedang Butong-pai, akan tetapi masih kalah jauh kalau dibandingkan Maniyoko sehingga keadaan puterinya terancam.
"Maniyoko, keparat engkau!" Ouwyang Cin melompat kemudian sekali menggerakkan dua tangannya yang menghitam itu, Maniyoko langsung terhuyung dan dua orang pengeroyok roboh dalam keadaan tewas!
"Suhu, aku hanya melanjutkan cita-cita suhu! Kelak aku ingin menjadi raja muda!" bantah Maniyoko saat melihat suhu-nya melangkah menghampirinya, sedangkan tiga orang sisa pembantunya masih mengeroyok Akim dan Ci Han.
"Setan kau! Mengapa engkau mengeroyok Akim?"
"Bukankah suhu sudah memberikan dia untukku? Bukankah suhu sudah setuju kalau dia menjadi jodohku?" kembali Maniyoko membantah.
"Setuju berjodoh denganmu bukan berarti setuju engkau mempermainkan dia! Lagi pula engkau telah bersekongkol dengan sepasang iblis itu untuk mencelakainya. Engkau tidak berhak hidup lagi!" Sesudah berkata demikian, Ouwyang Cin yang sudah mulai lemah itu bergerak menyerang muridnya sendiri.
"Suhu! Suhu ingin membunuh murid sendiri, bangsa sendiri? Suhu tidak melihat senjata pusaka bangsa kita ini?" Maniyoko memperlihatkan pedang samurai di tangannya.
Sejenak Ouwyang Cin tertegun. Dia memandang kepada senjata yang merupakan senjata mustika yang dihormati dan dikeramatkan bangsa Jepang itu. Pada saat dia tertegun dan terpukau di depan muridnya memandang pedang samurai itu, tiba-tiba saja dengan kedua tangannya Maniyoko menyerang dengan menusukkan pedang samurai itu sekuat tenaga ke perut gurunya.....
Serangan itu terlalu cepat datangnya, terlalu dekat dan pada saat itu tubuh Ouwyang Cin memang sudah amat lemah oleh hawa beracun. Karena itu, tanpa dapat dihindarkan lagi, pedang samurai itu menusuk perut Tung-hai-liong Ouwyang Cin kemudian tembus sampai ke punggung! Ouwyang Cin terbelalak, kedua lengannya menyambar dari kanan kiri dan sepuluh buah jarinya mencengkeram kedua pundak Maniyoko dekat leher.
Pemuda Jepang itu terbelalak, tak mampu bergerak karena seluruh tubuhnya terasa kaku dan nyeri sekali seperti ditusuki seribu batang jarum. Lehernya berubah menghitam yang menjalar terus ke mukanya, kemudian ia pun terkulai, roboh bersama gurunya yang masih mencengkeram dua pundaknya. Guru dan murid itu tewas pada waktu yang bersamaan.
Akim menjadi khawatir sekali melihat betapa ayahnya tadi terluka ketika melawan Ang-bin Moko. Karena kini hanya menghadapi tiga orang pengeroyok, ia pun mengamuk bersama Ci Han dan dalam waktu singkat saja dia merobohkan dua orang pengeroyok, sedangkan orang ke tiga roboh oleh tusukan pedang Ci Han.
Pada waktu itu perkelahian antara Bhok Cun Ki melawan Pek-bin Moli masih berlangsung seru karena tingkat kedua orang ini memang seimbang. Akan tetapi mendadak terdengar bentakan nyaring,
"Siluman betina, jangan menjual lagak di sini!"
Bentakan itu keluar dari mulut Bi-coa Sianli Cu Sui In! Wanita ini juga mencari jejak para penculik putera tirinya, namun berpencar dari suaminya. Karena dia mencari ke jurusan lain, maka sampai semalam itu dia tidak dapat menemukan Ci Han, bahkan tidak bertemu dengan suaminya.
Menjelang pagi akhirnya ia mengubah arah pencariannya sambil menyusul suaminya, dan pada pagi hari itu dia melihat suaminya sedang bertanding mati-matian melawan seorang wanita tua yang masih cantik, yang berpakaian serba putih dan bermuka pucat bagaikan mayat. Sebagai bekas tokoh kangouw, tentu saja dia segera mengenal bahwa wanita itu adalah Pek-bin Moli (Iblis Betina Muka Putih) yang merupakan seorang datuk sesat, maka dia pun membentak dan segera terjun membantu suaminya.
Gulungan sinar hitam menyambar dan Pek-bin Moli kaget bukan main. Dia pun mengenal Si Dewi Ular Cantik dengan pedangnya yang bersinar hitam itu, dan mukanya yang sudah pucat kini menjadi semakin pucat. Melawan Bhok Cun Ki saja sudah amat sulit mencapai kemenangan, kini muncul pula tokoh wanita dari Bukit Ular yang lebih lihai lagi ini.
Dia mencoba untuk melawan dengan sabuk ularnya, namun karena hatinya sudah gentar, maka dalam beberapa jurus saja sabuk ularnya telah putus menjadi tiga potong oleh Hek-coa-kiam (Pedang Ular Hitam) di tangan Cu Sui In. Apa lagi Bhok Cun Ki juga mengurung dengan sinar pedangnya yang indah dan ampuh, maka kini Pek-bin Moli terdesak hebat. Dia masih mencoba untuk menggunakan pukulan beracunnya, yaitu Toat-beng Tok-ciang dan juga totokan Touw-kut-ci.
Akan tetapi kedua orang lawannya terlalu kuat dan sudah menduga bahwa pukulannya itu mengandung racun yang berbahaya. Mereka menghindar sambil menghujankan serangan dan akhirnya, pedang Hek-coa-kiam menyambar dahsyat kemudian membabat leher Pek-bin Moli sehingga iblis betina itu roboh dengan leher hampir putus, tewas seketika.
Suami isteri itu cepat menghampiri Ci Han yang berdiri seperti patung memandang Akim yang berlutut dan menangis di dekat mayat ayahnya dan suheng-nya. Guru dan murid itu tewas dalam keadaan yang mengerikan. Sepasang tangan Ouwyang Cin yang menghitam sampai ke pundaknya masih mencengkeram kedua pundak Maniyoko yang tewas dengan mata mendelik dan dari pundak ke kepala berubah menghitam. Sebatang pedang samurai menembus perut Ouwyang Cin, seperti gambaran seorang pendekar samurai yang tewas membunuh diri.
Melihat wajah Tung-hai-liong Ouwyang Cin, berkerut sepasang alis Cu Sui In. Dia segera mengenal datuk itu. "Bukankah dia datuk bajak laut dari timur Ouwyang Cin?"
Bhok Cun Ki mengangguk sambil menghela napas. Peristiwa yang baru terjadi terlampau hebat, dan dia merasa beruntung sekali bahwa puteranya tidak sampai tewas atau cedera dalam peristiwa itu.
"Dan siapa pemuda yang dicekiknya itu?" tanya pula Cu Sui In.
Kini Ci Han yang menjawab. "Dia muridnya sendiri yang bernama Maniyoko, ibu."
"Hemm, jadi yang menculikmu adalah keluarga bajak laut ini, Ci Han?" tanya pula Cu Sui In.
Akim yang masih bercucuran air mata itu mendadak bangkit berdiri. Bajunya berdarah dari luka pada pundak kirinya. "Akulah yang menculik Bhok Ci Han. Aku dan mendiang suheng Maniyoko. Aku siap menerima hukuman!"
Sikapnya tegas dan tabah, akan tetapi suaranya gemetar dan tubuhnya lemas karena dari lukanya memang telah banyak darah mengalir keluar dan dia pun lelah sekali menghadapi pengeroyokan tadi.
"Siapakah gadis ini?" tanya Cu Sui ln, suaranya dingin dan marah.
“Dia bernama Ouwyang Kim, puterinya Ouwyang Cin, ibu."
"Bagus, kalau begitu memang sepantasnya dibunuh sekali supaya tidak mengotori dunia!" Cu Sui In mengangkat pedangnya, akan tetapi sebelum pedang itu menyambar, Ci Han sudah melompat ke depan Akim yang berdiri tegak dan tidak berkedip menanti datangnya serangan.
"Ibu, jangan...!" teriak Ci Han.
Cu Sui In kembali mengerutkan alisnya, kemudian memandang heran. Juga Bhok Cun Ki memandang puteranya, akan tetapi dia lalu berkata lirih kepada isterinya. "Sui In, tenang dulu, biar aku yang mengurusnya."
Sui In mengangguk, dan kini Bhok Cun Ki memandang kepada puteranya yang bersikap melindungi Akim, juga kepada gadis itu yang dengan gagahnya siap menerima hukuman!
"Ci Han, mengapa engkau membela puteri Ouwyang Cin? Bukankah dia dan suheng-nya yang menculikmu?"
"Ayah, nona Ouwyang Kim adalah seorang gadis yang baik, seorang gadis yang gagah perkasa dan jika tidak ada dia yang melindungiku, tentu sudah lama aku tewas di tangan Maniyoko itu. Bagaimana pun juga aku tidak membolehkan siapa pun mengganggunya, apa lagi membunuhnya. Biarlah aku yang dibunuh dulu kalau ibu hendak membunuhnya!"
Melihat sikap ini, Bhok Cun Ki saling pandang penuh arti dengan isterinya. Dia pun masih hendak menyelami perasaan puteranya, "Kami tidak akan membunuhnya, tapi aku harus melaporkannya karena agaknya keluarganya bersekutu dengan gerombolan pemberontak dan mata-mata Mongol."
"Tidak, ayah! Harap ayah jangan tangkap Ouwyang Kim. Aku yang menanggung bahwa dia tidak bersalah..."
Tiba tiba terdengar rintihan Akim. Ci Han cepat membalik lantas merangkul gadis itu yang terkulai sehingga tubuhnya hendak roboh.
"Nona... engkau... kenapa? Engkau... tidak apa-apakah engkau...?" tanya Ci Han sambil mengguncang tubuh gadis yang telah memejamkan matanya dan nampak pucat itu.
"Aku... Ci Han... biarlah... biarlah mereka menghukumku ... biar aku menebus dosa ayah dan suheng...”
"Tidak, Akim. Tidak! Aku yang akan melindungimu!" teriak Ci Han dan gadis itu mengeluh lalu pingsan dalam rangkulan Ci Han.
"Jangan khawatir, Ci Han. Ia hanya pingsan karena kelelahan dan mungkin terlalu banyak darah keluar dari lukanya. Mari kita bawa dia pulang dan kita rawat di rumah."
Ci Han memandang ayahnya, lalu kepada ibu tirinya. "Ayah dan ibu... tidak... tidak akan membunuh atau menawannya...? Tidak, bukan...?”
Bhok Cun Ki tersenyum. Kini dia merasa yakin bahwa puteranya telah jatuh cinta kepada penculiknya sendiri. Cu Sui In juga tersenyum karena dia pun maklum bagaimana rasanya orang jatuh cinta dan tersiksa oleh perasaan cinta itu.
Pada saat itu datang beberapa orang prajurit anak buah Bhok Cun Ki yang tadi turut pula mencari. Bhok-ciangkun segera memberi pesan kepada mereka supaya mengurus semua jenazah dengan baik, bahkan memberikan peti mati yang selayaknya kepada dua jenazah Ouwyang Cin dan Maniyoko dan menyediakan meja sembahyang untuk jenazah guru dan murid itu, di dalam pondok yang terdapat di situ.
Enam mayat yang lain dapat segera dikubur tanpa diadakan upacara sembahyang karena tidak diketahui siapa keluarga mereka. Kemudian, dia, Sui In dan Ci Han membawa Akim yang pingsan dan lemah itu masuk ke kota raja, ke rumah keluarga Bhok.
Bhok Cun Ki dan Cu Sui In memeriksa Akim. Mereka mendapat kenyataan bahwa seperti yang sebelumnya mereka duga, gadis itu pingsan karena lemah, juga akibat tekanan batin melihat kematian ayahnya. Setelah memberi obat dan gadis itu jatuh pulas, mereka tidak mengganggunya, membiarkannya tidur dan memulihkan tenaga.
Di kamar itu pula mereka lalu mendengarkan keterangan Ci Han. Ci Hwa juga berada di situ dan ikut mendengarkan bersama ibunya.
Ci Han lalu menceritakan betapa dia diculik oleh Akim dan Maniyoko, juga betapa Akim hendak membalas dendam karena gadis itu kemarin dulu ditawan oleh Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli bersama enam orang yang menyamar sebagai prajurit dan mengaku disuruh oleh Bhok-ciangkun.
Baru kemudian Akim mengetahui bahwa yang melakukan sandiwara dan melakukan fitnah terhadap Bhok-ciangkun itu bukan lain adalah Maniyoko sendiri yang sudah bersekongkol dengan sepasang iblis bersama enam orang anak buahnya itu. Betapa Akim mati-matian membela dan melindunginya ketika dia akan dibunuh Maniyoko.
"Sesudah tahu bahwa dia dikelabui oleh suheng-nya sendiri, Akim lalu memihak ayah dan aku, melawan Maniyoko serta orang-orangnya, sedangkan ayah dikeroyok sepasang iblis itu. Kemudian muncul ayah Akim yang segera membantu puterinya. Dia lantas bertanding melawan Ang-bin Moko yang berhasil dibunuhnya, akan tetapi agaknya dia keracunan lalu tewas ditusuk samurai oleh Maniyoko yang juga dapat dibunuhnya. Nah, bukankah Akim sama sekali tidak bersalah, ayah? Juga Tung-hai-liong Ouwyang Cin yang datang-datang memihak kita dan menyerang Ang-bin Moko. Maka tidak sepatutnya kalau sekarang kita membikin susah Akim yang telah kehilangan ayah dan suheng-nya. Yang bersalah adalah Maniyoko, akan tetapi suheng-nya itu sudah menebus dosa dan tewas di tangan gurunya sendiri."
Semua orang mengangguk-angguk, bahkan Cu Sui In tidak lagi menyalahkan Akim yang tadinya menculik Ci Han.
"Tidak, kami memang bersalah... keluarga kami memang tidak benar...”
Semua orang menengok dan yang bicara adalah Akim. Ci Han segera menghampiri dan duduk di tepi pembaringan. Dari sikapnya yang tidak sungkan lagi ini saja dapat diketahui bahwa pemuda ini memang benar-benar jatuh cinta kepada Akim. Sikapnya yang lembut dan tidak sungkan ini sama dengan pengakuannya kepada semua keluarganya bahwa dia telah menemukan pilihan hatinya.
"Akim, engkau masih lemah, tidak perlu banyak bicara. Beristirahatlah dahulu...," Ci Han membujuk.
Akim tersenyum penuh keharuan. Ia sendiri bisa melihat dengan jelas sinar mata pemuda itu pada waktu memandang kepadanya, dapat merasakan getaran di dalam suara itu dan dia pun terharu. Bagaimana mungkin seorang pemuda seperti ini dapat jatuh cinta kepada seorang gadis liar seperti dirinya?
"Aku harus memperkenalkan diriku agar semua tahu siapa aku sebenarnya. Kalau tidak, aku akan selalu merasa sungkan dan tidak enak. Dan pengakuan ini akan saya berikan kepada Paman Bhok... ehh, maksudku Panglima Bhok...”
"Engkau boleh menyebutku paman, Akim, bahkan aku lebih senang dengan sebutan itu," kata Bhok Cun Ki dengan lembut dan Akim mengangguk dengan pandang mata berterima kasih.
"Begini, Paman Bhok. Belum lama ini ayah kedatangan Bu-tek Kiam-ong, salah seorang di antara Bu-tek Cap-sha-kwi, sambil membawa barang-barang berharga hadiah dari yang dia sebut Yang Mulia, yaitu pimpinan orang-orang Mongol yang hendak memberontak dan membangun kembali Kerajaan Mongol. Ayah diajak bekerja sama dan dijanjikan kelak jika berhasil akan dijadikan raja muda. Ayah kena terbujuk dan bersedia memenuhi panggilan pimpinan mata-mata, kemudian berangkat bersama mendiang suheng, yaitu Maniyoko."
Dia berhenti sebentar, menghela napas panjang. Mendengar ini, hati Ci Han merasa tidak enak sekali. Tidak senang dia mendengar gadis yang dicintanya menceritakan keburukan keluarganya sendiri. Hal ini akan menimbulkan perasaan tidak senang di dalam hati orang tuanya!
"Akim, perlukah engkau ceritakan semua itu? Ayahmu serta suheng-mu sudah meninggal dunia, tidak perlu diceritakan lagi...," kata Ci Han.
"Biarlah, Ci Han. Biar semua orang mengetahui dan mengenal siapa diriku," kata Akim berkeras, kemudian melanjutkan, "Ibu dan aku sendiri tidak senang mendengar ayah bisa terbujuk oleh orang-orang Mongol. lalu mengutus aku untuk menyusul ayah dan Maniyoko yang sudah berangkat ke kota raja, dan ibu minta supaya aku berkeras membujuk ayah jangan sampai melibatkan diri dengan orang-orang Mongol. Maka berangkatlah aku. Aku selalu menentang para pemberontak yang dipimpin orang yang disebut Yang Mulia, yang selalu mengenakan kedok hitam."
Dia lalu menceritakan semua pengalamannya ketika dia menolong Sin Wan yang hampir terbunuh oleh Si Kedok Hitam, kemudian tentang penawanan atas dirinya yang dilakukan Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli yang ternyata bekerja sama dengan suheng-nya sendiri, Maniyoko yang menggantikan gurunya bersekutu dengan orang-orang Mongol. Betapa dia pernah ditawan pula oleh gerombolan mata-mata itu, kemudian dijadikan sandera untuk memaksa ayahnya dan suheng-nya untuk membunuh Raja Muda Yung Lo dan Pangeran Mahkota yang sedang mengadakan pesta di perahu dekat Cin-an.
"Mulai saat itu juga ayahku sudah berbalik sikap, tidak sudi bekerja sama dengan orang-orang Mongol, bahkan menentang mereka. Biar pun demikian, terus terang kuakui bahwa tadinya ayahku memang terkena bujukan orang Mongol. Ayah bercita-cita besar, namun akhirnya..." Akim memejamkan kedua matanya dan beberapa titik air mata menetes turun ke atas kedua pipinya.
"Sudahlah, Akim. Semua itu sudah berlalu, kami sekeluarga tidak ada yang menyalahkan engkau atau mendiang ayahmu," kata Ci Han menghibur. "Mulai sekarang engkau dapat hidup tenang dan damai di sini, di sampingku..."
Akim terbelalak. Ia memandang pemuda itu, kemudian menoleh dan memandang kepada Bhok-ciangkun dan kedua isterinya, juga kepada Ci Hwa yang semenjak tadi hanya turut mendengarkan saja. Dia melihat betapa semua wajah itu tersenyum cerah, bahkan Sui In mengangguk kepadanya.
"Ci Han, apa... apa artinya ucapanmu itu...?”
Dengan jujur dan tanpa sungkan lagi, Ci Han yang telah jatuh cinta itu mengaku, "Artinya, Akim, bahwa aku cinta padamu dan aku akan minta kepada orang tuaku untuk meminang dirimu."
"Aihhh...!” Akim benar-benar kaget dan juga kagum melihat kejujuran pemuda bangsawan ini. Dia pun harus bersikap jujur, kalau tidak, kelak hal yang disembunyikannya itu hanya akan menjadi gangguan bagi batinnya. "Bagaimana mungkin...?”
"Kenapa tidak mungkin, Akim?" Sui In berkata dengan lembut. "Kalau kalian sudah saling mencinta, dan pihak keluarga menyetujui, mengapa tidak mungkin? Ci Han mencintamu dan kami sekeluarga juga menyetujui, tinggal terserah apakah engkau juga mencintanya dan apakah ibumu akan menyetujuinya."
Mendengar ini Bhok Cun Ki dan isterinya juga mengangguk. Seperti biasanya, Cu Sui In memang lancang dan suka berterus terang, namun juga cerdik sehingga sebelum bicara dia sudah merasa yakin bahwa suaminya mau pun madunya akan cukup bijaksana untuk menyetujui pilihan hati Ci Han.
"Aku...? Aku merasa kagum dan suka sekali kepada Ci Han. Tetapi aku merasa tidak pantas menjadi jodohnya. Bahkan aku pernah jatuh cinta kepada seseorang, tetapi dia menolak cintaku. Terus terang saja, Ci Han, aku pernah jatuh cinta kepada Sin Wan."
Semua orang mengerutkan alisnya, dan Ci Hwa yang ikut mendengarkan menjadi merah sekali mukanya. "Dan sekarang engkau masih cinta padanya?" tanya Ci Hwa karena dia ingin tahu sekali. Meski pun dia tidak ikut bertanya, namun pandang mata Ci Han kepada Akim juga menuntut penjelasan.
Akim tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Kurasa tidak. Aku memang mengaku cinta padanya, akan tetapi dia juga berterus terang bahwa dia tidak dapat mencinta gadis lain kecuali sumoi-nya. Aku kemudian sadar. Cinta tak mungkin dipaksakan. Perjodohan tidak mungkin ditunjang cinta sepihak. Aku bahkan kagum kepadanya Sin Wan, seorang yang setia kepada kekasihnya."
Kecuali Nyonya Bhok, keluarga itu adalah keluarga orang gagah yang sangat menghargai kejujuran. Sikap Akim yang terus terang itu mengagumkan hati mereka. Bahkan kini Ci Hwa memandang kepada Akim dengan wajah berseri-seri, lalu tiba-tiba dia pun merangkul Akim.
"Engkau hebat, enci Akim, aku suka sekali mempunyai kakak ipar sepertimu ini!"
Semua orang tersenyum, juga Ci Han tersenyum karena mereka semua tahu dengan hati lega bahwa sesudah mendengar ucapan Akim tadi, Ci Hwa menyadari perasaan hatinya yang lemah dan tidak benar. Dia mencinta Sin Wan, akan tetapi kalau Sin Wan mencinta gadis lain, perlu apa dia harus menyesali diri?
Cinta tidak bisa dipaksakan, dan perjodohan tak mungkin ditunjang cinta sepihak, seperti sebuah bangku tidak mungkin hanya berkaki sebelah. Seketika Ci Hwa menyadari bahwa perasaan masgul dan duka yang selama ini dia rasakan akibat penolakan Sin Wan adalah suatu kebodohan dan kelemahan!
"Eh, kalian tidak membenciku karena itu? Ci Han, engkau tidak marah karena aku pernah mencinta pemuda lain?"
"Kenapa marah? Kenapa menyesal, Akim? Cinta adalah perasaan hati yang amat pribadi. Jatuh cinta berarti tertarik kepada seseorang. Apa bila kita mau jujur, aku sendiri mungkin sudah puluhan kali jatuh cinta, tertarik pada seorang wanita, akan tetapi semua itu hanya menjadi rahasia hatiku sendiri. Itulah bedanya antara engkau dan aku. Kalau aku hanya merahasiakan perasaan hatiku, engkau berterus terang. Engkau jujur dan terbuka, Akim. Yang terpenting, sekarang kita saling tertarik dan saling jatuh cinta. Benarkah dugaanku bahwa engkau pun cinta padaku?"
Akim tersenyum dan mengangguk.
"Kalau begitu engkau setuju kalau kami mengajukan pinangan kepada ibumu?" kini Bhok-ciangkun bertanya.
"Tentu saja aku setuju, paman. Tapi sebelum itu aku harus membalaskan kematian ayah lebih dulu!" Akim mengepal tinju.
"Hemmm, pembunuh ayahmu adalah Ang-bin Moko dan suheng-mu Maniyoko. Dua orang itu sudah tewas, kenapa engkau masih ingin membalas dendam? Kepada siapa?" tanya Bhok Cun Ki.
"Tidak, paman. Yang menjadi biang keladinya adalah Si Kedok Hitam. Aku harus mencari dia dan membunuhnya!" Akim berkata gemas.
"Ah, kalau begitu engkau dapat membantu kami, Akim. Kami pun sedang berusaha keras untuk membasmi jaringan mata-mata Mongol yang dipimpin oleh Si Kedok Hitam itu. Dia amat lihai dan jaringannya amat kuat. Berbahaya sekali bila kita bekerja sendiri-sendiri."
Panglima itu lantas teringat akan ancaman Kaisar yang hendak menghukum mati seluruh keluarganya kalau dalam waktu sebulan dia tidak mampu membasmi jaringan mata-mata Mongol itu!
"Ketahuilah kalian semua bahwa dalam waktu sebulan aku diharuskan Sribaginda Kaisar untuk membasmi jaringan mata-mata itu. Nah, kita harus mengerahkan segenap tenaga untuk menemukan Si Kedok Hitam itu. Sayang Lili tidak segera pulang, karena tenaganya amat kita butuhkan, juga Sin Wan..."
Pada saat itu seorang pengawal masuk, kemudian melaporkan kedatangan Sin Wan dan Kui Siang. Tentu saja laporan ini membuat Bhok Cun Ki girang sekali.
Tadinya dia mengira bahwa pemuda itu sudah tidak akan mau dan berani lagi datang ke rumahnya, dan dia sekeluarga mulai merasa menyesal telah pernah memaksa pemuda itu untuk mengawini Ci Hwa. Mereka hendak memaksakan sebuah pernikahan dengan cinta sepihak! Biar pun mukanya berubah merah tetapi sekali ini Ci Hwa tidak lari bersembunyi, melainkan bersama Akim dan yang lain keluar menyambut kunjungan Sin Wan.
Sin Wan dan Kui Siang berdiri memberi hormat kepada keluarga tuan rumah, dan diam-diam dia terkejut melihat Akim berada di situ, bergandeng tangan dengan Ci Hwa. Kalau tadinya Sin Wan merasa hatinya tegang, juga sangat sungkan untuk datang ke rumah ini dan bertemu dengan keluarga yang marah kepadanya itu, kini hatinya merasa heran dan lega.
Bukan saja Ci Hwa memandang kepadanya dengan sinar mata biasa dan senyum di bibir, juga Cu Sui In sendiri yang dahulu begitu marah kepadanya, kini menyambut dia dengan senyum di bibir! Bahkan Akim, yang pernah marah dan merasa terhina karena dia tidak dapat membalas cintanya, kini memandang kepadanya tanpa perasaan marah dan benci.
"Paman Bhok, harap maafkan kami kalau kedatangan kami ini telah mengganggu paman sekeluarga," kata Sin Wan sesudah bersama Kui Siang memberi hormat.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan dan engkau sama sekali tidak mengganggu, Sin Wan. Bahkan kebetulan sekali engkau datang karena kami memang memerlukan kehadiranmu untuk membicarakan tentang jaringan mata-mata Mongol," kata Bhok-ciangkun. "Dan ini, siapakah nona ini?"
"Ini adalah sumoi-ku Lim Kui Siang, paman. Dia adalah puteri mendiang bangsawan Lim Cun, pengurus gudang pusaka istana...”
"Ahh! Aku adalah sahabat baik mendiang ayahmu, nona Lim!" kata Bhok Cun Ki dengan gembira. "Mari, silakan masuk, kita bicara di dalam."
Mereka semua kemudian masuk dan duduk di ruangan dalam. Setelah duduk mengelilingi sebuah meja besar, Akim yang kebetulan saling pandang dengan Sin Wan lalu bertanya, "Sin Wan, inikah sumoi-mu yang menjadi calon jodohmu itu?"
Semua orang tidak kaget lagi mendengar pertanyaan yang demikian jujur dan terbuka dari Akim karena sudah mengenal wataknya. Betapa pun juga, pandangan mata mereka yang ditujukan kepada Sin Wan terlihat rikuh.
Sin Wan tersenyum kemudian menganggukkan kepala. "Benar sekali, Akim. Dan engkau sendiri, bagaimana dapat berada di antara keluarga Paman Bhok?"
"Twako, Akim adalah tunanganku. Kami saling mencinta dan akan menikah!" kata Ci Han.
Sin Wan terkejut akan tetapi juga merasa gembira bukan main. Cepat dia berdiri, diikuti Kui Siang dan memberi selamat kepada mereka. Dengan gembira Ci Han pun membalas ucapan selamat sambil berterima kasih, akan tetapi Akim duduk dan nampak berduka.
Sin Wan yang telah mengenal benar watak gadis itu, tanpa ragu bertanya, "Akim, kenapa engkau kelihatan berduka, padahal sepatutnya engkau bergembira seperti tunanganmu?"
Akim cemberut. "Engkau tidak tahu, Sin Wan. Baru saja ayahku tewas....”
"Ahh...! Apa yang telah terjadi? Paman Bhok, apa yang terjadi di sini?" Sin Wan bertanya dan sekarang sikapnya serius. Dia tidak berani bergurau mengingat bahwa Akim sedang berkabung.
Bhok Cun Ki lalu menceritakan semua yang terjadi, tentang kematian Ouwyang Cin, juga tentang kematian Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli dua orang pembantu utama Si Kedok Hitam, juga kematian Maniyoko yang bersekutu dengan para jagoan Mongol.
"Dengan kegagalan mereka di Cin-an, lalu disusul tewasnya Ang-bin Moko serta Pek-bin Moli, maka kekuatan jaringan mata-mata semakin lemah. Sribaginda Kaisar memanggilku dan memberi waktu selama satu bulan agar aku dapat membasmi jaringan mata-mata itu. Sekarang di sini ada Ouwyang Kim yang membantu, juga engkau dan nona Lim datang sehingga kedudukan kita semakin kuat. Sayang Lili belum juga pulang. Apakah engkau bertemu dengannya di utara, Sin Wan?" Bhok-ciangkun menutup ceritanya.
"Kunjungan kami memang ada hubungannya dengan Lili, paman."
"Wan-twako, mengapa enci Lili tidak pulang bersama-sama dengan engkau dan enci Kui Siang?" Ci Hwa bertanya.
Melihat sikap gadis itu yang sudah biasa terhadap dirinya, seolah-olah tak ada bekas apa-apa di antara mereka, Sin Wan merasa heran akan tetapi juga gembira sekali. Keluarga gadis itu juga merasa lega dan girang. Kiranya kemunculan Akim membawa perubahan kepada Ci Hwa, mendatangkan kesadaran kepada gadis itu.
"Lili tinggal di utara dan dia menitipkan salam kepada seluruh anggota keluarga Bhok. Dia selamat dan sehat saja, tapi untuk sementara ini dia tidak akan pulang ke selatan karena dia ikut dengan Raja Muda Yung Lo ke Peking."
"Ehhh? Apa artinya ini, Sin Wan? Cu Sui In bertanya sambil mengerutkan alisnya karena mendengar puterinya pergi mengikuti Raja Muda Yung Lo ke Peking.
"Lili menggantikan kedudukan sumoi Lim Kui Siang, menjadi pengawal pribadi Raja Muda Yung Lo karena Kui Siang akan membantuku di sini dalam menghadapi jaringan mata-mata Mongol. Mengenai diri Lili, Raja Muda Yung Lo menitipkan surat kepada kami untuk dihaturkan kepada Paman Bhok."
Sin Wan mengeluarkan surat dari Raja Muda Yung Lo dan menyerahkannya kepada Bhok Cun Ki. Ketika dia membaca surat itu, kedua isterinya segera menghampiri kemudian ikut membaca dari belakang kedua pundaknya.
Wajah ketiganya penuh ketegangan, akan tetapi berubah cerah setelah mereka membaca habis surat itu. Kiranya Raja Muda Yung Lo mengagumi kegagahan Lili, dan karena raja muda ini merasa kehilangan akibat Kui Siang akan membantu calon suaminya membasmi jaringan mata-mata Mongol di kota raja, maka raja muda itu mohon persetujuan keluarga Bhok agar Lili, yang juga sudah setuju, untuk menjadi pengawal pribadinya.
"Nona Lim, selama engkau menjadi pengawal pribadi Raja Muda Yung Lo atau Pangeran Yen, bagaimana sikap dan wataknya? Apakah dia seorang penguasa yang baik, jujur dan adil?" Pertanyaan Bhok-ciangkun ini mewakili pertanyaan seluruh keluarganya.
Kui Siang memejamkan matanya, membayangkan kejantanan dan kegagahan Raja Muda Yung Lo, juga betapa raja muda itu jatuh hati kepadanya dan pernah menawarkan untuk menarik dia menjadi isteri raja muda itu. Kemudian dengan suara bersungguh-sungguh dia berkata,
"Paman Bhok, jika aku boleh mengatakan, kecuali koko Sin Wan, di dunia ini dialah pria yang paling hebat, paling bijaksana, keras dan adil, akan tetapi juga bersusila dan berbudi mulia. Harap paman jangan khawatir. Adik Lili berada di tangan orang yang baik dan boleh dipercaya sepenuhnya.”
Sin Wan tersenyum mendengar jawaban kekasihnya itu, maklum apa yang dipikirkan oleh kekasihnya tentang raja muda itu. Juga dia mengerti akan kekhawatiran hati keluarga itu mendengar Lili menjadi pengawal pribadi raja muda di Peking itu.
"Apa yang diterangkan Siang-moi memang benar sekali. Sudah lama aku mengenal raja muda itu dan mengagumi kegagahannya. Harap paman sekalian tidak merasa khawatir. Raja Muda Yung Lo tidak dapat disamakan dengan Pangeran Mahkota, di sana Lili tidak akan mengalami hal-hal yang buruk seperti ketika menjadi pengawal Pangeran Mahkota."
"Syukurlah, hati kami menjadi lega sesudah mendengar penjelasan kalian. Sekarang mari kita bicara tentang tugas kita. Bagaimana menurut pendapatmu, Sin Wan? Dari mana kita akan memulai penyelidikan kita dan siapa kiranya orang yang dapat dicurigai dan tahu di mana Si Kedok Hitam bersembunyi?"
"Aku sudah membicarakan urusan ini dengan Lili dan kami sependapat bahwa kita harus mencurigai Yauw Siucai, sastrawan yang sekarang menjadi penasehat dan tangan kanan Pangeran Mahkota," kata Sin Wan.
Bhok Cun Ki mengangguk-angguk. "Aku sudah menyebar penyelidik dan memang orang itu patut dicurigai. Kemunculannya di istana Pangeran Mahkota itu sudah mendatangkan perubahan besar pada diri sang pangeran. Kalau dulu pangeran mahkota sudah terkenal sebagai seorang yang selalu mengejar kesenangan, sekarang, setelah ada sastrawan itu, keadaannya menjadi lebih parah lagi. Bukan saja dia selalu berfoya-foya, bahkan senang mengganggu anak isteri orang, dan selain suka mabok-mabokan, dia sekarang juga suka menghisap candu!"
"Memang mencurigakan sekali," kata Cu Sui In membenarkan suaminya. "Menurut cerita, munculnya sastrawan itu di istana pangeran juga amat mencurigakan. Lili bertemu dengan orang she Yauw itu dalam perjalanan, dan sikap sastrawan itu mencurigakan sekali. Lili sama sekali tidak mengenal asal usulnya, dan biar pun penampilannya seperti sastrawan dan bekerja sebagai guru sastra untuk puteranya Pangeran Mahkota, namun menurut Lili, sastrawan itu memiliki ilmu silat yang tinggi."
"Memang dia patut dicurigai, akan tetapi bagaimana mungkin bisa membuat dia membuka kedoknya dan bagaimana kita dapat menyelidiki siapa dia sesungguhnya? Kini dia dekat sekali dengan Pangeran Mahkota, menjadi orang kepercayaannya, maka amat sukar bagi kita untuk mendesaknya," kata Bhok Cun Ki, "Yang ke dua adalah Si Kedok Hitam. Kalau saja kita mampu menemukan orang itu, kiranya semua rahasia jaringan mata-mata akan dapat terbongkar. Tetapi ke mana kita mencari orang tinggi besar yang berperut gendut itu? Ilmu silatnya juga tinggi sekali."
"Nanti dulu...!" tiba-tiba Akim berseru nyaring sehingga mengejutkan Ci Han yang duduk di sampingnya karena pemuda itu mengira bahwa kekasihnya itu diserang rasa nyeri pada pundak yang terluka. Ternyata tidak demikian. Luka pada pundak Akim itu sudah sembuh berkat obat yang mujarab dari Cu Sui In. “Aku teringat sesuatu ketika tadi paman Bhok menyebut Si Kedok Hitam yang berperut gendut. Perut gendut...? Perut gendut....?”
Tentu saja semua orang merasa heran, bahkan merasa geli mendengar gadis itu berulang kali menyebut perut gendut. Tiba-tiba Akim menoleh dan memandang kepada Sin Wan.
"Eh, Sin Wan, masih ingatkah engkau ketika kita berdua menyerang Si Kedok Hitam, lalu datang anak buahnya sehingga aku tertawan olehnya?"
Sin Wan mengangguk dan memejamkan mata untuk membayangkan kembali peristiwa itu. "Ya, aku ingat. Dia lihai sekali, akan tetapi kalau tidak datang kawan-kawannya pada waktu itu, agaknya kita berdua akan dapat merobohkannya."
"Bukan itu, Sin Wan, akan tetapi perut gendutnya!" kata pula Akim dan kini dia kelihatan tegang.
Semua orang tertegun heran karena kembali Akim menyebut tentang perut gendut.....
"Memang Si Kedok Hitam itu berperut gendut, Akim, lalu kenapa?"
"Sin Wan, kita sungguh bodoh sekali mengapa baru sekarang sadar akan hal itu. Lupakah engkau ketika kita menyerangnya? Pada waktu itu pedangmu yang tumpul tapi ampuh itu sempat membuat dia terkejut dan pedang di tangannya rusak oleh pedang tumpulmu. Dan pedangku ini..." Tiba-tiba Akim mencabut pedangnya yang tidak pernah terpisah darinya dan semua orang terkejut melihat sinar pedang yang mengandung hawa dingin itu.
"Paman Bhok, pedang pemberian mendiang ayah ini adalah pedang pusaka. Coba paman lihat keampuhannya!" Gadis itu melompat ke sudut ruangan itu di mana terdapat sebuah rak besi kemudian sekali pedangnya menyambar, ujung rak besi itu putus seperti terbuat dari kayu lunak saja!
Ketika semua orang masih memandang kaget dan heran, Akim sudah menghampiri Bhok Cun Ki kemudian menyerahkan pedangnya. "Maaf jika aku merusak rak itu, paman, akan tetapi coba paman periksa, apakah kiranya di dunia ini ada ahli silat yang kebal terhadap pedangku ini?"
Biar pun dia sendiri juga kaget dan heran, Bhok Cun Ki menerima pedang itu kemudian memeriksanya. Ia menggelengkan kepalanya. "Pedangmu ini merupakan pusaka ampuh, Akim. Senjata besi biasa saja tidak akan mampu bertahan kalau bertemu pedang ini, apa lagi kulit daging manusia. Betapa pun kebalnya, sukarlah untuk bisa menahan pedangmu ini dengan kekebalan kulit."
"Nah, sekarang tentu engkau ingat, Sin Wan?"
Dan Sin Wan tiba-tiba saja berseru sambil bangkit berdiri. "Benar! Perut gendutnya! Perut gendutnya!"
Tentu saja semua orang menjadi semakin heran dan juga geli. Seolah-olah Sin Wan telah ketularan penyakit Akim dan menyebut-nyebut perut gendut! Akan tetapi dia melanjutkan,
"Ketika kami mengeroyoknya, dan Si Kedok Hitam terkejut karena pedangnya rusak oleh pedangku, saat itu Akim menyerangnya dengan tusukan pedangnya. Serangan Akim itu cepat sekali dan dilakukan pada detik si Kedok Hitam tertegun sehingga pedangnya tepat memasuki perut gendutnya. Aku melihat dengan jelas, tetapi Si Kedok Hitam tidak roboh, bahkan tidak ada darah keluar dari perutnya yang tertusuk pedang!"
Mendengar ini Bhok Cun Ki memukul meja di depannya.
"Brakk…!"
Dan dia pun bangkit berdiri, matanya berkilat-kilat. "Ahh…, kalau begitu perut gendutnya adalah palsu!"
"Benar sekali, Paman Bhok. Akim telah menemukan rahasia yang amat penting bagi kita! Sekarang tak usah diragukan lagi, Si Kedok Hitam yang oleh anak buahnya disebut Yang Mulia, pemimpin jaringan mata-mata Mongol, adalah seorang pria yang sama sekali tidak gendut perutnya, melainkan tinggi besar dan amat lihai."
Mereka duduk kembali dan tampak betapa Bhok Cun Ki saling pandang dengan Sin Wan, seolah-olah keduanya dapat saling menjenguk isi hati masing-masing. Akhirnya Bhok Cun Ki berkata, "Sin Wan, apakah engkau juga menduga seperti yang menjadi dugaanku?"
Pemuda ini mengangguk. "Memang selama ini sikapnya selalu menentang dan memusuhi aku, paman, seakan secara tidak langsung dia memihak kepada para mata-mata Mongol. Biar pun kita belum dapat memastikannya, akan tetapi dia patut sekali dicurigai, paman, di samping Yauw Siucai itu."
Bhok Cun Ki mengangguk-angguk.
"Ihh…, kalian berdua seperti bicara dalam bahasa rahasia saja! Siapa sih orangnya yang kalian sangka menjadi Si Kedok Hitam itu?" tanya Cu Sui In tak sabar.
Suaminya menghela napas panjang. "Kalau ada orang luar yang tahu, hal ini tentu akan menimbulkan kegemparan. Berbahaya sekali kalau dugaan kita itu keliru, dan berbahaya pula kalau sebelum kita menemukan buktinya, dia telah mendengar akan dugaan kita."
"Akan tetapi, siapakah dia?" Sui In mendesak.
Bhok Cun Ki menengok ke kiri kanan. Ruangan itu tertutup dan tidak tampak seorang pun pembantu keluarga, juga tidak terdengar ada orang di luar ruangan itu. Namun tetap saja dia berkata dengan bisik-bisik, "Jenderal Besar Yauw Ti."
"Ihhh...!" Nyonya Bhok menahan jerit dengan menutupi mulutnya. "Bagaimana mungkin? Dia seorang jenderal besar yang sudah banyak berjasa terhadap kerajaan!"
Suaminya memberi tanda agar isterinya tetap tenang. "Kalian semua tahu bahwa dugaan ini harus kita rahasiakan. Aku, dengan dibantu Sin Wan, Akim, engkau sendiri Sui In dan nona Lim Kui Siang, akan mencari bukti-buktinya. Bahkan secara rahasia aku akan bicara dengan Jenderal Shu Ta, sebab hanya Jenderal Shu Ta yang akan dapat mengendalikan dan mengatasi kalau-kalau benar dia orangnya dan dia hendak mempergunakan kekuatan pasukannya."
"Wah, kalau memang demikian, tentu akan geger dan terjadi perang saudara yang hebat!" seru Ci Han penuh kekhawatiran.
Memang dapat dibayangkan betapa akan hebatnya kalau yang menjadi pemberontak itu adalah seorang jenderal besar seperti Jenderal Yauw Ti yang kini mengepalai ratusan ribu orang pasukan!
"Karena itu kita harus bekerja secara rahasia. Jangan sampai dia mengetahui lebih dahulu bahwa dia dicurigai karena hal itu akan membahayakan sekali," kata Bhok Cun Ki. "Dan aku memiliki pula sebuah bukti yang akan membongkar rahasia pimpinan mata-mata itu."
Bhok Cun Ki memasuki kamarnya, kemudian ia kembali ke ruangan itu sambil membawa sebuah benda kecil yang dibungkus dengan kain. Setelah bungkusan itu dibuka, ternyata isinya adalah sebatang paku menghitam.
"Inilah paku yang dahulu melukai pundak Lili pada saat dia bertanding denganku. Paku ini dilepas seseorang dengan maksud membantu Lili dan membunuhku, akan tetapi paku ini dapat tertangkis pedangku. Paku-paku itu runtuh dan sebuah di antaranya, yaitu yang ini, mengenai pundak Lili."
"Paku itu beracun," Cu Sui In membantu suaminya karena dia sudah mendengar kisah itu dan sudah memeriksa senjata rahasia itu dengan teliti, "Akan tetapi tidak ada tanda-tanda siapa pemiliknya."
"Kalau kita dapat menyelidiki tempat tinggal orang-orang yang kita curigai, kemudian kita mendapatkan senjata rahasia yang serupa dengan ini, berarti dialah yang melepas senjata beracun itu, membuktikan bahwa dia terlibat dalam jaringan mata-mata musuh."
Cukup lama mereka mengadakan perundingan, dan pada malam hari itu Sin Wan dan Kui Siang diterima sebagai tamu agung, bahkan sebagai anggota keluarga sendiri. Kui Siang segera akrab dengan Akim dan Ci Hwa, dan malam itu mereka bertiga tinggal sekamar.
Akim yang mempunyai watak jujur terbuka itu tanpa malu-malu lagi menceritakan tentang hubungannya dengan Sin Wan. Dalam kesempatan ini pula, Ci Hwa yang sudah ketularan sikap terbuka itu, mengaku kepada Kui Siang tentang urusannya dengan Sin Wan, betapa dia pernah mencinta Sin Wan namun tidak dibalas oleh pemuda itu.
Mendengar pengakuan dua orang gadis yang pernah mencinta Sin Wan, Kui Siang bukan merasa cemburu atau panas hatinya, bahkan dia merasa bersyukur sekali karena terbukti bahwa suheng-nya itu amat mencintanya sehingga tidak bisa membalas cinta gadis-gadis lain, padahal Akim dan Ci Hwa adalah dua orang gadis yang cantik jelita, bahkan Akim memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, mungkin lebih tinggi dibandingkan dia sendiri. Akan tetapi suheng-nya itu tetap setia kepadanya, walau pun dia sendiri pernah marah kepada suheng-nya, menyatakan benci dan tidak ingin bertemu lagi…..!
********************
Selanjutnya baca
ASMARA SI PEDANG TUMPUL : JILID-13