Si Pedang Tumpul Jilid 06


Peking merupakan kota raja ke dua dari kerajaan baru Beng-tiauw. Biar pun kota raja kini dipindahkan ke Nan-king di tepian Sungai Yang-ce, namun bekas kota raja Peking di utara itu masih dipertahankan sebagai pangkalan yang penting. Di samping memiliki bangunan-bangunan besar dan indah, kota ini mempunyai banyak penduduk dan menjadi kota yang ramai, juga merupakan benteng utama di wilayah utara untuk menentang para penyerbu dari utara. Di Peking ini Kaisar Thai-cu menempatkan seorang puteranya sebagai seorang raja muda.

Karena itu kekuasaan Raja Muda Yung Lo cukup besar karena selain sebagai raja muda, dia juga putera Kaisar Thai-cu. Bahkan bala tentara kerajaan Beng sebagian besar berada di daerah utara ini untuk membendung bahaya yang mungkin datang dari Bangsa Mongol yang tentu saja tidak rela membiarkan kekuasaannya di selatan digulingkan dan mereka selalu berusaha untuk berjaya kembali.

Ketika mereka sampai di luar pintu gerbang Peking, Sin Wan teringat akan sesuatu dan berkata kepada Pek-sim Lo-kai. “Meski pun telah bertahun-tahun locianpwe meninggalkan dunia persilatan, tapi setiap pengemis tentu akan mengenal locianpwe sebagai pemimpin besar mereka. Kalau sudah begitu, tentu kami tak mungkin lagi bisa mendekati locianpwe yang pasti akan disambut dengan meriah. Kami bukan segolongan, maka kami tidak ingin membuat locianpwe merasa kikuk."

"Heh-heh-heh, siapa yang akan mengenal seorang jembel tua seperti aku? Dahulu yang berjuluk Pek-sim Lo-kai adalah seorang tua gagah yang selalu mengenakan pakaian putih bersih dan membawa pedang, rambutnya pun belum putih dan selalu terawat rapi. Tetapi sekarang aku hanyalah seorang tua she Bu yang berpakaian butut, dengan rambut serta kumis jenggot yang tidak terawat dan putih semua, juga tidak membawa pedang. Takkan ada yang mengenalku dan aku pun tidak suka dikenal sebelum aku mengambil keputusan apa yang akan kulakukan terhadap para kai-pang itu sesuai percakapan kita tadi."

Mereka pun memasuki pintu gerbang dan memang tidak ada yang memperhatikan Bu Lee Ki. Juga tidak ada yang memperhatikan Sin Wan, namun hampir setiap orang pria yang berpapasan dengan Kui Siang selalu memandang, bahkan menengok. Hal ini tidak aneh bagi Sin Wan yang menyadari akan kecantikan sumoi-nya. Selain merasa bangga bahwa sumoi-nya dikagumi hampir setiap orang pria, diam-diam dia juga merasa amat beruntung karena dialah yang dapat bergaul akrab dengan sumoi-nya.

Kota Peking memang besar dan megah, juga amat ramai. Di samping merupakan daerah pertahanan dan benteng utama terhadap musuh dari utara, juga Peking menjadi tujuan para pedagang yang datang dari utara untuk bertukar barang dagangan.

Sejak runtuhnya pemerintah Mongol dan berdirinya Kerajaan Beng-tiauw, Kaisar Thai-cu pendiri Beng-tiauw yang berkedudukan di Nan-king sudah mengangkat seorang di antara putera-puteranya untuk menjadi raja muda di Peking. Kaisar Thai-cu memang cerdik dan bijaksana. Dia tahu bahwa di antara semua puteranya, Yung Lo adalah seorang yang paling gagah perkasa dan ahli perang. Maka, dia mengangkat Yung Lo menjadi raja muda di Peking dan bertugas membendung musuh yang berani menyerbu dari utara.

Raja Muda Yung Lo memang berbakat menjadi panglima. Dia memimpin pasukan besar melakukan pembersihan di daerah utara, dan dia pun pandai mengajak rakyat untuk turut bersama pasukannya mempertahankan kedaulatan pemerintahan bangsa sendiri setelah seabad lamanya dicengkeram penjajah Mongol. Karena sikapnya ini maka para pendekar di dunia persilatan merasa senang dan hormat kepadanya dan suka mendukungnya.

Raja muda Yung Lo juga mengetahui bahwa golongan pengemis yang bergabung dalam kai-pang (perkumpulan pengemis) adalah pejuang yang gigih ketika rakyat memberontak terhadap kerajaan Mongol. Oleh karena itu, setelah dia menjadi raja muda di Peking, dia pun merangkul kai-pang dan memberi banyak sumbangan untuk kemajuan perkumpulan-perkumpulan pengemis.

Sejalan dengan politik ayahnya, yaitu Kaisar Thai-cu di Nan-king, raja muda ini pula yang menganjurkan kepada para pemimpin kai-pang supaya mempersatukan seluruh kai-pang agar jangan sampai timbul persaingan dan bentrokan. Persatuan rakyat merupakan syarat mutlak untuk kekuatan pemerintah, juga memungkinkan kehidupan rakyat yang tenteram sehingga memudahkan tercapainya kesejahteraan.

Pada masa itu perkumpulan pengemis yang terbesar dan yang paling kuat di daerah utara adalah Ang-kin Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Sabuk Merah). Pakaian para anggota pengemis ini bermacam-macam warnanya, tentu saja dengan tambalan sebagai ciri khas pengemis. akan tetapi setiap anggotanya selalu memakai sabuk berwarna merah, sesuai dengan namanya, yaitu Perkumpulan Pengemis Sabuk Merah.

Sebelum penjajah Mongol dijatuhkan, Ang-kin Kai-pang merupakan perkumpulan pejuang yang berwatak gagah, namun ketika itu ketuanya tidak mau bekerja sama dengan pihak kerajaan baru. Usaha Raja Muda Yung Lo untuk merangkul perkumpulan ini selalu gagal. Akan tetapi, setelah ketua yang keras hati ltu diganti oleh ketua baru pilihan Raja Muda Yung Lo, kini perkumpulan itu benar-benar telah menjadi bawahan raja muda ini dan setia kepada pemerintah. Ketua yang sekarang, yang baru dua tahun menjadi ketua Ang-kin Kai-pang, bernama Thio Sam Ki dan berusia empat puluh tahun. Dia terkenal dengan ilmu silatnya yang tinggi. 

Berkat bimbingan Thio Sam Ki dan pengarahan Raja Muda Yung Lo, maka sudah terjadi perubahan besar-besaran dalam perkumpulan itu, Tidak pernah lagi ada anggota Ang-kin Kai-pang yang melakukan tindakan kekerasan, bahkan mereka sangat tertib. Dan setiap orang anggota kai-pang merupakan orang yang berwatak gagah sehingga mereka disukai oleh rakyat karena mereka itu selalu turun tangan membela rakyat yang tertindas.

Sejak Ang-kin Kai-pang dipimpin oleh ketuanya yang baru, semua anggota kai-pang yang berkeliaran di kota Peking dan sekitarnya seakan-akan menjadi petugas keamanan pula sehingga tidak ada penjahat yang berani melakukan aksinya. Dengan demikian pasukan keamanan pemerintah mendapatkan bantuan yang besar sekali dari para pengemis itu.

Bahkan mereka ini mengemis atau mohon sumbangan dari rakyat hanya sekedar untuk menyesuaikan keadaan mereka sebagai anggota perkumpulan pengemis belaka. Mereka mengemis kepada orang-orang yang mampu, dan diberi berapa pun akan mereka terima dengan senang hati. Memang mereka tidak perlu menggunakan kekerasan karena para hartawan dengan rela akan memberi sumbangan karena para pengemis itu turut menjaga ketenteraman. Selain itu, Ang-kin Kai-pang juga tidak takut kekurangan biaya karena Raja Muda Yung Lo selalu mengulurkan tangan membantu.

Siang hari itu, amat ramai di sebuah restoran besar yang berada di pusat keramaian, yaitu di daerah pasar. Rumah makan cat hijau itu memang amat terkenal dengan masakannya sehingga setiap hari hampir selalu dipenuhi pengunjung. Bahkan para pendatang dari luar kota Peking selalu makan di tempat ini.

Bu Lee Ki, Sin Wan dan Kui Siang mendapatkan tempat duduk di luar, karena di sebelah dalam dan di loteng sudah penuh tamu. Maklumlah, ketika itu memang waktunya makan siang dan hawa udara amat dinginnya, sehingga semua tamu lebih senang mendapatkan meja di sebelah dalam. Yang membuat hawa semakin dingin menusuk tulang walau pun tengah hari adalah angin yang bertiup dari utara. Namun bagi tiga orang yang terlatih dan memiliki sinkang kuat ini, hawa dingin itu tidak begitu mengganggu.

Tanpa sungkan lagi, dengan gembira dan wajah penuh senyum, Bu Lee Ki melihat menu makanan lantas memesan masakan-masakan yang paling istimewa, tanpa mempedulikan harganya. Sin Wan dan Kui Siang ikut gembira. Memang mereka telah menjanjikan untuk menjamu kakek ini sepuasnya dan sekenyangnya.

Di luar rumah makan, di pinggir jalan dan di sekitar pertokoan di daerah pasar itu, nampak beberapa orang pengemis bersabuk merah berkeliaran. Mereka rata-rata bersikap gagah, dengan tubuh kekar serta wajah yang lembut penuh senyum sehingga sama sekali tidak menimbulkan kesan angker.

Kalau Bu Lee Ki sendiri sama sekali tidak mempedulikan mereka, sebaliknya diam-diam Sin Wan dan Kui Siang memperhatikan gerak gerik para pengemis bersabuk merah itu. Ketika Bu Lee Ki sibuk memilih masakan dan yang diperhatikannya hanya susunan daftar harga masakan, Sin Wan memperhatikan beberapa orang pengemis yang berada di luar rumah makan.

Betapa beda jauhnya sikap mereka itu dengan apa yang didengarnya dari keterangan Bu Lee Ki. Menurut keterangan kakek itu, kai-pang yang paling berpengaruh di Peking adalah Ang-kin Kai-pang yang cabang-cabangnya terdapat di seluruh daerah utara. Dan menurut kakek itu, Ang-kin Kai-pang merupakan kai-pang yang paling keras, dipimpin oleh orang-orang yang suka mempergunakan kekerasan. Biar pun bukan tergolong penjahat, namun mereka itu suka sewenang-wenang, memaksakan keinginan dan sama sekali tidak pernah mau tunduk terhadap pemerintah, biar pun mereka ikut pula berjuang melawan penjajah.

Akan tetapi, melihat beberapa orang pengemis sabuk merah yang berada di luar rumah makan, sungguh berbeda dari gambaran kakek itu. Memang beberapa orang pengemis di luar itu masih muda dan bertubuh tegap dan kokoh, jelas menunjukkan bahwa mereka itu orang-orang yang kuat dan tidak pantas menjadi pengemis, namun wajah mereka sama sekali tidak membayangkan kekerasan.

Bahkan mereka tersenyum-senyum, dan orang yang berlalu lalang di sana juga nampak tidak takut kepada mereka, malah ada beberapa orang yang berhenti lalu bercakap-cakap dengan mereka seperti layaknya sahabat yang akrab. Ada pula wanita yang agaknya baru pulang berbelanja, sengaja memberikan bungkusan makanan kepada para pengemis itu dengan sikap wajar dan ramah, diterima dengan sikap sopan oleh para pengemis sabuk merah itu! 

Dilihat dari keadaan itu serta sikap mereka, Sin Wan dan Kui Siang merasa yakin bahwa para pengemis itu tidak dapat digolongkan jahat. Mereka pun sempat melihat betapa dua orang di antara mereka kini mendekati rumah makan dan sering kali mereka itu melirik ke arah Bu Lee Ki dengan alis berkerut!

Kakek itu sama sekali tidak peduli, apa lagi setelah hidangan yang mereka pesan datang. Sambil tersenyum-senyum girang dan tanpa malu-malu lagi Bu Lee Ki segera menyerbu masakan-masakan itu seperti seorang kelaparan yang bertemu makanan enak. Sepasang sumpitnya bergerak cepat dari satu ke lain masakan, dan mangkok demi mangkok nasi putih dilahapnya. Mulut yang tidak bergigi lagi akan tetapi masih kuat mengunyah segala macam daging dan sayur itu tak pernah berhenti bergerak sedetik pun. Bercawan-cawan arak mendorong makanan ke dalam perutnya. 

Melihat kakek itu demikian lahap dan nampak nikmat sekali, Sin Wan dan Kui Siang juga ikut bergembira. Biar pun baru saja mereka berkenalan dengan Bu Lee Ki, namun mereka merasa suka dan sayang kepada kakek tua itu. Kakek ini nampak begitu lembut, ramah dan selalu cerah wajahnya, halus gerak-geriknya dan bicaranya biar pun tanpa pura-pura namun selalu lembut dan tidak menyinggung perasaan. Padahal mereka yakin bahwa di balik semua kelembutan dan kemiskinan itu, kakek ini mempunyai ilmu kepandaian yang amat hebat!

Ketika Kui Siang menuangkan lagi arak dari guci ke dalam cawan yang sudah kosong itu, Bu Lee Ki mengangkat kedua tangan ke atas. "Wah, sudah, sudah cukup, Kui Siang. Apa kalian ingin melihat aku mabok dan harus digotong keluar?"

"Akan tetapi engkau belum kelihatan mabok, locianpwe," kata Kui Siang.
"Heh-heh-heh, segala hal ada batasnya! Cawan ini yang terakhir dan kalau kalian sudah selesai makan, kita segera keluar dari sini,” katanya, kemudian sekali tuang saja arak di dalam cawan itu sudah memasuki perutnya.

Pada saat itu pula dua orang pengemis berpakaian kuning bersih dengan sabuk merah di pinggang menghampiri meja mereka yang memang berada di bagian luar rumah makan. Mereka berusia kurang lebih tiga puluh tahun, keduanya bertubuh kekar dan walau pun pakaian mereka berhias tambalan, namun dengan sabuk merah melilit pinggang, mereka bardua lebih patut menjadi ahli silat dari pada menjadi pengemis. 

Dengan sikap hormat mereka mengangkat kedua tangan sebagai penghormatan kepada Sin Wan dan Kui Siang, lantas seorang di antara mereka berkata, "Harap kongcu (tuan muda) dan siocia (nona) suka memaafkan kami. Bukan maksud kami menyinggung ji-wi (kalian), akan tetapi kami ingin bicara dengan jembel tua ini." 

Alis di atas mata Kui Siang sudah berkerut karena hatinya tidak senang mendengar kakek yang duduk semeja dengannya itu disebut jembel tua, akan tetapi dia didahului Sin Wan yang berkata acuh.

"Silakan."

Dua orang anggota Ang-kin Kai-pang itu lalu menghadapi Bu Lee Ki yang bersikap acuh tak acuh sambil mengelus-elus perutnya yang baru saja diisi penuh, matanya mengantuk karena kekenyangan.

"Orang tua," kata salah seorang di antara mereka yang berjenggot pendek. "Apa artinya kemunculanmu ini? Apakah engkau memang sengaja hendak menghina kami dari Ang-kin Kai-pang?"

Bu Lee Ki membuka mata, menggeliat seperti seekor kucing malas dengan kaki tangan terentang sehingga kakinya yang panjang dan telanjang itu hampir saja mengenai muka si jenggot pendek yang melangkah mundur dengan jengkel. "Hahhh, apa...? Apa kau bilang dan kau bicara kepada siapa?"

“Aku bicara kepadamu! Kalau engkau benar seorang pengemis, kenapa engkau bersikap royal, makan masakan mahal dan bersikap seperti hartawan? Dari perkumpulan kai-pang manakah engkau? Dan kalau sebaliknya engkau seorang hartawan, apa perlunya pura-pura menjadi pengemis dengan pakaian butut dan kaki telanjang? Apakah engkau hendak mengejek dan menghina kami?"

Bu Lee Ki terbelalak seperti orang bingung. "Ehh...? Ohhhh...?" Lalu dia menoleh kepada Sin Wan. "He-he, Sin Wan, mereka ini... heh-heh, aku malas menjawab. Engkau sajalah yang mewakili aku menjawab." Setelah berkata demikian kakek itu lalu menjulurkan kedua kakinya ke bawah meja, bersandar pada kursinya dan tidur pulas, mulutnya yang terbuka mendengkur!

Kui Siang yang sejak tadi sudah marah cepat mendahului Sin Wan dan menjawab sambil memandang marah dan suaranya sangat ketus. "Kalian berdua ini manusia lancang dan usil. Peduli apa kalian dengan orang tua ini? Apakah dia pengemis, ataukah dia jenderal ataukah raja, apa hubungannya denganmu dan ada urusan apa maka kalian ribut-ribut? Dia mau memakai pakaian rombeng ataukah memakai pakaian kaisar, tidak ada sangkut pautnya pula dengan kalian. Yang penting dia memakai pakaiannya sendiri, tidak mencuri dan di sini dia makan pun membayar! Hayo kalian pergi cepat dari sini!"

Si jenggot pendek dan temannya cepat menoleh kepada Kui Siang dengan muka merah. Mereka adalah orang-orang gagah, anggota Ang-kin Kai-pang, sudah biasa disegani dan dihormati orang dan siang ini tiba-tiba saja dicaci maki seorang gadis! Padahal semalam mereka tidak mimpi apa-apa! Si jenggot pendek menjura kepada Kui Siang,

"Maafkan kami, nona. Kami tidak berurusan dengan nona, dan kalau andainya orang tua ini tidak berpakaian pengemis, kami pun tidak akan mencampuri urusannya, asal dia tidak melakukan kejahatan. Akan tetapi siapa pun yang berpakaian pengemis harus mentaati peraturan kai-pang! Kalau tidak, tentu kami yang akan menjadi bulan-bulan!"

Sin Wan khawatir kalau-kalau Kui Siang tidak mampu menahan kemarahannya dan terjadi perkelahian. Dia cepat-cepat bangkit berdiri dan melangkah maju menghampiri dua orang pengemis itu, lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai tanda menghormat. Ini saja sudah luar biasa! Ada seorang kongcu (tuan muda) memberi hormat kepada dua orang pengemis!

"Sobat, sudahlah, maafkan kami. Kami adalah pendatang dari jauh yang tidak tahu akan peraturan di sini. Orang tua ini menjadi tanggung jawab kami, sebab itu harap ji-wi (kalian berdua) tidak mengganggunya lagi."
"Kalau kalian menghendaki sedekah, katakan saja, tak perlu mengganggu orang makan," kata pula Kui Siang yang sudah ikut bangkit berdiri dan mengambil dua keping uang dari dalam saku di pinggangnya, “Nah, ini kuberi sedekah untuk kalian!"

Dara itu melemparkan dua keping uang tersebut kepada mereka. Karena ada benda yang menyambar ke arah mereka, dua orang anggota Ang-kin Kai-pang cepat menyambutnya dengan tangan. Mereka melihat ke arah benda yang berada di tangan mereka dan mata mereka terbelalak. Sekeping uang tembaga yang berada di tangan mereka telah berubah bentuk, hampir tergulung bundar dan dapat dibayangkan betapa hebatnya tenaga jari-jari tangan yang dapat meremas kedua keping uang tembaga menjadi seperti itu. Otomatis mereka menurunkan pandang mata menuju ke arah tangan gadis itu. Jari-jari yang lembut kecil-kecil itukah yang memiliki tenaga sehebat itu? Mereka lalu menjura kepada Sin Wan dan Kui Siang.

"Maafkan kami, dengan ji-wi kami memang tidak memiliki urusan apa-apa. Dan mengingat kehadiran ji-wi, biarlah sementara ini kami tidak akan mendesak kepada pengemis tua itu dan hanya akan melapor kepada pimpinan kami." Mereka lantas membalikkan tubuh dan pergi dari situ dengan langkah lebar.

Setelah mereka pergi, Sin Wan dan Kui Siang duduk kembali dan kakek Bu Lee Ki masih tidur mendengkur. Sebenarnya Sin Wan tidak menyetujui perbuatan sumoi-nya tadi, akan tetapi dia juga tidak mau menegur, takut kalau-kalau menyinggung perasaan Kui Siang. Dia hanya berkata lirih agar tidak terdengar oleh para tamu lain yang tadi memperhatikan peristiwa itu dengan diam-diam saja.

"Kulihat mereka itu bukan orang jahat. Sikap mereka baik dan sopan."
"Akan tetapi mereka menghina Bu locianpwe. Mereka tinggi hati!" bantah Kui Siang.

Kakek Bu Lee Ki menggeliat dan menguap, lalu membuka kedua matanya. "Ehhh? Aku sampai tertidur. Wah, perut kenyang bikin orang mengantuk. Mari kita pergi. Sudah kalian bayar harga makanan?"

Sin Wan menggapai pelayan yang segera datang menghampiri. Para pelayan memang sudah memperhatikan mereka sejak terjadinya keributan kecil dengan dua orang anggota Ang-kin Kai-pang tadi, maka merasa girang bahwa tiga orang tamu itu membayar harga makanan dan segera pergi dari situ agar tidak mendatangkan keributan lebih lanjut.

Mereka berjalan-jalan di dalam kota dan melihat betapa seluruh kota Peking dikuasai oleh para pengemis Ang-kin Kai-pang. Tidak ada seorang pun pengemis yang tidak bersabuk merah. Tidak mengherankan kalau setiap orang pengemis tentu melirik ke arah Bu Lee Ki yang berpakaian pengemis namun tanpa sabuk merah. Dan di mana pun mereka berada dan melihat anggota Ang-kin Kai-pang. selalu para pengemis itu bersikap baik dan sopan.

"Heh-heh, agaknya memang sudah terjadi perubahan,” bisik Bu Lee Ki kepada dua orang anak muda itu. "Sudah pasti terjadi perubahan pada Ang-kin Kai-pang. Mereka sopan dan tertib, hal yang sungguh menggembirakan hatiku."
"Akan tetapi dua orang tadi sudah menghinamu, locianpwe. Mereka menyebutmu jembel tua. Hati siapa tidak akan menjadi panas?" kata Kui Siang.

Kakek Bu Lee Ki terkekeh-kekeh, "Heh-heh-heh, alangkah lucunya! Semenjak muda aku memang pengemis, aku memang jembel tua. Sebutan jembel tua itu bahkan merupakan sebutan kehormatan bagiku, seperti seorang kaisar kalau disebut Sribaginda! Mengapa malah engkau yang menjadi panas hati?"

Kui Siang mengerutkan alisnya akan tetapi tidak mampu menjawab karena baru sekarang dia menyadari betapa janggal sikapnya! Kakek ini memang seorang pengemis, bahkan dia menjadi pemimpin besar seluruh kai-pang, berarti rajanya jembe!! Bagi kakek itu, disebut kakek jembel tentu bukan merupakan penghinaan sama sekali, tetapi dia memandang dan mendengar sebutan itu sebagai seorang awam yang bukan golongan pengemis!

"Locianpwe, agaknya hal ini merupakan pertanda baik bahwa memang sudah sepatutnya kalau locianpwe kembali memimpin mereka. Kalau mereka berdisiplin dan baik, bukankah akan lebih mudah untuk mempersatukan mereka dan membuat pembersihan sehingga tidak ada lagi kai-pang yang kotor?”

Kakek itu mengangguk-angguk. Melihat sikap para pengemis di Peking, dan mendengar ucapan Sin Wan, timbul semangat dan gairahnya. "Engkau benar, Sin Wan. Apa artinya hidup ini kalau tidak ada guna dan manfaatnya bagi manusia lain? Bukti yang paling nyata dari kebaktian kepada Tuhan adalah berbuat baik terhadap manusia. Sekarang mari kalian ikut bersamaku mengunjungi pusat Ang-kin Kai-pang!"

Melihat semangat dari kakek itu yang kini wajahnya berseri, Sin Wan dan Kui Siang turut merasa gembira. Mereka berdua merasa sangat suka kepada kakek itu dan ingin melihat perkembangan usaha kakek itu dalam mempersatukan kembali seluruh kai-pang sebelum mereka melanjutkan perjalanan menuju Nan-king.

Kakek Bu Lee Ki tertegun ketika dia berdiri di depan pintu gerbang markas Ang-kin Kai-pang. Tentu saja dia tahu di mana markas itu karena dulu, di waktu dia masih memegang kedudukan pemimpin besar kai-pang yang sampai kini belum diganti, dia pernah datang ke markas-markas semua perkumpulan besar kai-pang.

Yang membuat dia tertegun adalah perubahan yang terjadi di situ. Baru pintu gerbangnya saja sudah amat megah dan dari situ nampak bangunan yang biar pun sederhana namun besar dan kokoh, bukan bangunan yang dulu lagi. Bangunan ini besar dan pekarangannya luas, bahkan tanaman di pekarangan itu nampak terawat dan teratur baik sekali sehingga tempat yang amat bersih itu sungguh tidak pantas menjadi bangunan pusat perkumpulan pengemis! Di atas pintu gerbang itu terdapat papan nama yang gagah dan indah seperti papan nama perusahaan besar saja, berbunyi ANG-KIN KAI-PANG.

Melihat tiga orang itu berdiri di depan pintu gerbang, dua orang anggota Ang-kin Kai-pang segera menghampiri mereka dari dalam. "Siapakah kalian dan ada keperluan apa datang ke sini?” tanya seorang di antara mereka singkat, namun sikapnya cukup menghormat,

Dengan sikap acuh dan suara sambil lalu kakek itu berkata, "Aku ingin bertemu dengan pimpinan Ang-kin Kai-pang."

Agaknya para anggota Ang-kin Kai-pang sudah mendengar tentang tiga orang ini. Hal ini nampak pada sikap mereka yang tidak merasa heran dengan ucapan kakek itu, bahkan dengan tegas mereka lalu membungkuk dan salah seorang di antaranya berkata, "Silakan masuk. Pimpinan kami sudah menanti kunjungan sam-wi (anda bertiga)!"

Dengan wajah tersenyum Bu Lee Ki melangkah masuk ke dalam pekarangan itu, diikuti Sin Wan dan Kui Siang yang diam-diam merasa tegang karena mereka maklum bahwa mereka memasuki ‘sarang harimau’. Kini dari kanan kiri nampak banyak anak buah Ang-kin Kai-pang berlarian, juga dari dalam gedung besar itu bermunculan lebih banyak lagi. Mereka itu membentuk pagar dan ketika Bu Lee Ki dan dua orang muda tiba di beranda, mereka sudah dihadang oleh pagar manusia yang mengepung mereka dengan setengah lingkaran. Jumlah para anggota Ang-kin Kai-pang tidak kurang dari tiga puluh orang dan karena mereka semua bersabuk merah walau pun pakaian mereka bermacam-macam, maka mereka seperti sekelompok murid perguruan silat saja.

Melihat pagar manusia itu menghadang dan mengepung, Bu Lee Ki terkekeh. "Heh-heh-heh, mana pimpinan kalian? Aku ingin bertemu!"

Daun pintu lebar yang menembus ke ruangan sebelah dalam terbuka, dan kini nampaklah belasan orang di sebelah dalam sedang duduk dan agaknya mereka sedang mengadakan pesta! Mereka yang berada di dalam itu menoleh ke luar, kemudian mereka pun bangkit berdiri.

Tujuh orang yang berpakaian sutera dengan sabuk merah berjalan di depan, sedangkan di belakang mereka nampak lima orang berpakaian perwira tinggi. Para pimpinan Ang-kin Kai-pang sedang menerima dan menyambut tamu-tamu mereka, yaitu para perwira itu, dan mereka sedang makan minum ketika kedatangan tiga orang itu mengganggu.

Tentu mereka semua sudah mendengar laporan dua orang anggota perkumpulan mereka mengenai peristiwa di rumah makan. Maka kini tujuh orang pemimpin, bahkan lima orang tamu mereka yang agaknya sudah mendengar pula, merasa tertarik sehingga semuanya keluar meninggalkan meja hidangan!

Biar pun mulutnya tersenyum-senyum dan matanya menjadi sipit hampir terpejam, diam-diam Bu Lee Ki memperhatikan wajah ketujuh orang pemimpin Ang-kin Kai-pang dan dia masih mengenal beberapa orang di antara mereka. Sebaliknya di antara para pimpinan itu ada yang merasa kenal dengan kakek pengemis itu, juga di antara para anggota Ang-kin Kai pang yang sudah tua, ada yang merasa tidak asing, akan tetapi mereka tidak dapat mengingat siapa adanya kakek pengemis itu.

Tujuh orang pimpinan itu berusia antara empat puluh sampai lima puluh tahun dan sikap mereka berwibawa. Seorang di antara mereka yang berjenggot panjang dan berusia lima puluhan tahun segera melangkah maju lantas mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada tiga orang tamu yang tidak diundang itu.

"Siapakah anda bertiga dan ada keperluan apa berkunjung ke tempat kami ini?"

Karena Sin Wan dan Kui Siang datang ke tempat itu hanya sebagai pengikut Bu Lee Ki, maka mereka diam saja, menyerahkan jawabannya kepada kakek itu.

"Mana ketua Ang-kin Kai-pang? Suruh dia keluar menemuiku! Aku hanya mau berbicara dengan ketua kalian," kata kakek itu. Karena dia bicara sambil tersenyum dan suaranya lembut, maka dalam ucapan itu tidak terkandung nada yang angkuh.

Biar pun demikian, tujuh orang pimpinan perkumpulan pengemis itu saling pandang dan wajah mereka berubah tidak senang karena mereka merasa diremehkan sekali oleh kakek pengemis asing ini. Ketua mereka, Thio Sam Ki, memang pada waktu itu tidak berada di situ, akan tetapi karena mendongkol mereka tidak mau membiarkan kakek ini pergi begitu saja sebelum merasakan keangkeran Ang-kin Kai-pang supaya nama serta kehormatan mereka tetap terjaga.

"Hemm, orang tua. Tidak begitu mudah untuk bertemu dengan ketua kami. Kalau engkau mampu melewati rintangan dan masuk sampai ke ruangan tamu di dalam, baru engkau ada harganya untuk bertemu dan menghadap ketua kami.” 

Sesudah berkata demikian tujuh orang pimpinan itu melangkah mundur, lantas si jenggot panjang memberi isyarat kepada anak buahnya. Begitu ketujuh orang pimpinan dan lima orang perwira tinggi yang menjadi tamu itu masuk kembali, pintu besar dibiarkan terbuka, akan tetapi kini di depan pintu, di tempat para pimpinan tadi berdiri, sudah berdiri enam orang tinggi besar dengan tongkat merah di tangan. Mereka menuruni anak tangga dan membuat gerakan menggeser kaki, membuat setengah lingkaran menghadapi tiga orang itu.

"Bolehkah aku yang menghadapi mereka?" tanya Kui Siang kepada Bu Lee Ki dan kakek ini mengangguk sambil tersenyum. Dia pun mundur agak jauh lalu duduk di bawah pohon nongkrong seenaknya dengan santai untuk menjadi penonton!
"Sumoi, kita tidak mempunyai permusuhan dengan siapa pun. Harap berhati-hati, jangan sampai engkau mencelakai orang!" kata Sin Wan yang mulai khawatir kalau-kalau dalam kemarahannya sumoi-nya akan membunuh atau melukai orang sampai parah. 

Kui Siang mengangguk, "Jangan khawatir, suheng." 

Lega rasa hati Sin Wan mendengar jawaban itu, kemudian dia pun mengundurkan diri dan bergabung dengan Bu Lee Ki di bawah pohon.

Melihat betapa mereka hendak dilawan oleh seorang gadis, enam orang itu tetap dengan pengepungan mereka. Mereka telah mendengar mengenai kelihaian gadis ini, maka tidak berani memandang ringan.

"Nona, keluarkan senjatamu. Kami akan menyerangmu dengan tongkat kami," kata salah seorang di antara mereka yang bertubuh gendut sehingga tidak patut menjadi pengemis, patutnya menjadi seorang cukong.

Ucapan ini saja sudah menunjukkan bahwa mereka ini bukan orang.orang yang berwatak curang. Sebagai jawaban, Kui Siang meraba pinggangnya dan begitu tangannya bergerak, nampak berkelebat sinar yang menyilaukan mata dan tahu-tahu tangan kanannya sudah memegang sebatang pedang yang tipis dan yang tadi dia lilitkan di pinggangnya. Itulah Jit-kong-kiam (Pedang Sinar Matahari) yang ampuh!

Melihat ini, enam orang anggota Ang-kin Kai-pang itu terbelalak kagum.

"Nona, sebetulnya nona tidak berhak mencampuri urusan di antara pengemis, akan tetapi karena nona datang bersama pengemis tua itu, terpaksa kami akan melayani nona. Harap nona memperkenalkan diri terlebih dulu, siapakah nona dan apa hubungan nona dengan pengemis tua itu," kata pula si perut gendut yang agaknya menjadi pemimpin dari barisan tongkat enam orang itu.
"Namaku Lim Kui Siang dan locianpwe itu adalah paman guruku!" jawab Kui Siang. Bu Lee Ki adalah sababat baik guru-gurunya, maka sudah sepatutnya kalau dia mengakuinya sebagai paman guru.
"Heh-heh-heh, engkau memang murid keponakan yang baik, Kui Siang, hajar saja orang-orang yang tak tahu diri itu!" dari tempat dia menonton, Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki berseru.
"Bersiaplah, nona, akan kami mulai!" Si gendut berseru nyaring dan ini merupakan aba-aba bagi para temannya untuk mulai dengan serangan mereka.

Enam batang tongkat merah menyambar dari depan, kanan dan kiri. Ada yang menusuk lurus ke arah dada, ada yang dari atas menghantam ke arah kepala dan ada pula yang membabat ke arah kedua kaki. Dan setiap batang tongkat mengeluarkan angin berdesing, tanda bahwa keenam orang itu memiliki tenaga yang cukup kuat.....!
Dengan tenang dan mudah saja Kui Siang melangkah mundur sehingga semua serangan itu pun luput. Akan tetapi enam orang itu melanjutkan serangan sambil menambah tenaga dan kecepatan sehingga enam batang tongkat itu berubah menjadi gulungan sinar merah yang menyambar dari semua jurusan. Serangan itu datangnya tidak berbareng, melainkan susul menyusul dan bertubi-tubi sehingga tidak memberi kesempatan sedikit pun kepada Kui Siang untuk membalas. 

Gadis ini masih bersikap tenang saja. Dengan mempergunakan langkah-langkah Hui-niau Poan-soan (Langkah Ajaib Burung Terbang) yang cepat dan aneh dia mampu mengelak dari semua serangan. Bagi yang menonton pertandingan itu, seolah-olah gadis cantik itu nampak sedang menari-nari, mempergunakan enam helai selendang merah!

Tiba-tiba saja enam orang yang mengepung itu mengubah gerakan tongkat mereka. Kini mereka menyerang secara berbareng. Enam batang tongkat menyambar cepat dari enam penjuru, dari sekeliling tubuh gadis itu.

Kui Siang memutar tubuh kemudian menggerakkan pedangnya. Terdengar bunyi nyaring berdenting ketika enam batang tongkat itu bertemu pedang. Enam orang itu berseru kaget karena tongkat mereka segera patah ketika bertemu pedang tipis dan pada saat mereka mundur, Kui Siang sudah menggerakkan sepasang kakinya bertubi-tubi yang menyambar bagaikan kilat cepatnya, membuat orang-orang yang mengeroyoknya itu berpelantingan!
Mengerti bahwa mereka telah kalah, enam orang itu bangkit, memberi hormat kepada Kui Siang lantas mengundurkan diri. Terdengar tepuk tangan dari dalam dan ketika Kui Siang mengangkat muka memandang, yang bertepuk tangan itu adalah lima orang perwira tinggi yang tadi melanjutkan makan minum sebagai tamu sambil menonton pertandingan silat.

Akan tetapi tujuh orang pimpinan Ang-kin Kai-pang tidak bertepuk tangan, bahkan wajah mereka terlihat muram dan penasaran. Enam orang jagoan mereka telah tumbang secara demikian mudah di tangan seorang gadis muda!

"Hebat, kepandaian lihiap sungguh hebat, membuat kami merasa kagum!" kata seorang di antara lima perwira tinggi itu yang usianya lima puluh tahun lebih sambil mengangguk-angguk terhadap Kui Siang.

Akan tetapi dara ini tidak mempedulikan pujian itu melainkan memperhatikan gerakan dari sebelah dalam, karena kini sudah muncul sembilan orang lelaki anggota Ang-kin Kai-pang yang lainnya. Mereka tidak memegang tongkat merah seperti enam orang tadi, melainkan masing-masing membawa sebatang pedang! Agaknya sembilan orang ini adalah ahli-ahli pedang dari Ang-kin Kai-pang!

Salah seorang di antara mereka yang tubuhnya tinggi kurus mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada Kui Siang. "Terima kasih bahwa Lim-lihiap telah memperlihatkan kepandaian dan memberi petunjuk kepada enam orang sute (adik seperguruan) kami. Akan tetapi kami mohon sukalah lihiap mundur dan membiarkan pengemis tua yang tidak mau memperkenalkan nama itu untuk maju menghadapi kami."

Melihat sikap dan kata-kata itu cukup sopan, Kui Sian menjadi ragu-ragu. Pada saat itu, Sin Wan sudah menghampirinya. "Sumoi, mundurlah. Aku sudah mendapat perkenan dari su-siok (paman guru) untuk mewakilinya menghadapi barisan Sembilan Pedang Naga ini."

Kui Siang mengangguk lantas berjalan ke bawah pohon di mana kakek itu menyambutnya dengan senyum gembira. Sembilan orang jagoan Ang-kin Kai-pang itu bertukar pandang, kemudian si tinggi kurus menghadapi Sin Wan dan memberi hormat.

"Orang muda, bagaimana engkau bisa mengetahui bahwa kami adalah barisan Sembilan Pedang Naga?" tanyanya sambil memandang penuh perhatian. "Dan siapakah anda?"
"Namaku Sin Wan, suheng dari nona Lim Kui Siang tadi. Kalian adalah jagoan-jagoan terkenal, tentu saja aku mengenal Kiu-liong Kiam-tin (Barisan Sembilan Padang Naga)."
"Bagus, kalau begitu keluarkan senjatamu, Sin-sicu (orang gagah Sin), kami sudah siap untuk menguji kelihaianmu."

Sin Wan dapat menduga bahwa sembilan orang lawannya ini tentu lihai sekali karena tadi kakek Bu Lee Ki sudah memberi tahu bahwa mereka adalah pasukan pedang yang amat tangguh dari Ang-kin Kai-pang. Bahkan kakek itu juga membisikkan bahwa dia tidak boleh membiarkan dirinya terkepung dan berusaha untuk berada di luar kepungan. Maka, tanpa ragu lagi dia segera mengeluarkan pedangnya dari balik jubahnya, pedang yang biasanya tersembunyi.

Begitu Sin Wan mencabut sebatang pedang yang butut, buruk rupa, tidak tajam juga tidak runcing itu, sembilan orang itu menahan kegelian hati mereka. Agaknya pedang pemuda itu adalah senjata yang belum jadi! Bagaimana dengan pedang buruk semacam itu akan menghadapi pedang naga mereka? Pedang mereka yang terhias ukiran naga itu terbuat dari baja yang amat kuat dan ampuh, juga amat tajam dan runcing!

Sebagai tokoh-tokoh tingkat tinggi yang kedudukannya hanya di bawah dewan pimpinan yang menjadi pembantu-pembantu ketua, diam-diam mereka pun merasa ragu dan agak sungkan untuk mengeroyok seorang pemuda yang hanya bersenjata semacam itu. Akan tetapi namanya juga kiam-tin (barisan pedang), karena itu kurang satu saja sudah menjadi tidak lengkap dan kacau. Maka kini mereka merasa ragu dan bingung.

"Sin-sicu, engkau masih muda dan kami merasa sayang sekali kalau sampai sicu terluka di dalam pertandingan ini, karena pedang tidak mempunyai mata. Apakah tidak sebaiknya kalau sicu mundur saja dan membiarkan paman guru sicu yang maju?" kata pula si tinggi kurus.

Dari tempat dia menonton di bawah pohon, Kui Siang bangkit berdiri. Gadis ini tidak biasa memperlihatkan kemarahan dan dia pun bukan seorang gadis galak, akan tetapi sekarang dia tidak dapat menahan kemarahannya. "Heiii, kalian ini sungguh tidak tahu malu! Kalau sudah berani maju mengeroyok, kenapa pakai segala macam alasan lagi? Kalau memang tidak berani, lekas mundur saja tanpa perlu banyak cakap lagi!"

Sin Wan merasa tak enak mendengar ucapan sumoi-nya yang cukup pedas itu. Dia cepat menjura kepada sembilan orang itu. "Paman sekalian, aku telah siap, segera mulailah dan jangan khawatir, aku tidak akan menyesal dan tidak akan menyalahkan kalian kalau aku terluka atau mati di dalam pertandingan ini."

Sembilan orang itu langsung membuat gerakan mengepung Sin Wan. Mereka melangkah secara teratur mengelilingi pemuda itu yang berdiri di tengah dengan sikap tenang namun penuh kewaspadaan. Sin Wan selalu ingat akan pesan kakek Bu Lee Ki bahwa dia harus menghindarkan kepungan sembilan orang itu.

Kini sembilan orang itu mempercepat langkah mereka setengah berlari mengitarinya, dan Sin Wan sudah memperhitungkan bagaimana caranya untuk membobol kepungan atau keluar dari kepungan itu. Dia tahu bahwa begitu dia bergerak menyerang ke suatu arah, tentu dia akan disambut dengan serangan dari depan, kanan kiri dan belakang. Maka dia pun diam saja menanti sampai para pengeroyok membuat gerakan terlebih dulu sebelum dia mengambil keputusan apa yang akan dia lakukan.

Mendadak si tinggi kurus yang menjadi pemimpin dari barisan pedang itu mengeluarkan teriakan sebagai aba-aba serangan, lalu sembilan orang itu pun serentak menggerakkan senjata mereka dan menyerang ke tengah. Gerakan barisan pedang ini sungguh teratur sehingga biar pun sembilan orang menyerang bersama dalam waktu yang berbarengan, namun serangan itu tidak menjadi kacau.

Seluruh bagian tubuh Sin Wan dari kepala sampai ke kaki menghadapi serangan yang rata-rata sangat cepat datangnya serta mengandung tenaga dahsyat sehingga terdengar bunyi berdesing-desing dan nampak sinar pedang menyambar-nyambar.

Akan tetapi mereka melihat bayangan berkelebat dan pemuda yang tadi berada di tengah kepungan mereka tahu-tahu sudah lenyap melompat ke atas dan melampaui kepala dua orang pengeroyok, kemudian pemuda itu sudah berada di luar kepungan. Mereka semua langsung membalikkan tubuh dan melihat pemuda itu sudah berdiri dengan tenang seperti tadi, dengan pedang yang jelek itu di tangan, akan tetapi di luar kepungan.

Si tinggi kurus kembali mengeluarkan teriakan nyaring, dan dengan cepatnya barisan itu telah mengepung kembali, gerakan mereka cepat dan teratur, tidak memberi kesempatan kepada Sin Wan untuk menghindarkan diri dari kepungan. Sekarang sembilan orang itu kembali berlari-lari mengelilinginya dan terkejutlah Sin Wan melihat betapa kepungan itu bergerak secara aneh, ada yang berlari dari kiri ke kanan dan ada yang dari kanan ke kiri!

Barisan sembilan orang itu berlari saling berlawanan dan terbagi menjadi dua susun, akan tetapi jumlah mereka masih tetap sembilan. Tentu saja hal ini membuat Sin Wan bingung karena sulit baginya untuk menglkuti gerakan simpang siur itu dengan pandang matanya. Namun dia masih bersikap tenang saja, menanti sampai pihak lawan melakukan serangan lagi.

Dia tahu bahwa sekali ini tentu para pengeroyok tidak akan membiarkan dia melakukan loncatan seperti tadi untuk keluar dari kepungan. Sin Wan lalu memperhatikan barisan itu dan mendapat kenyataan bahwa lima orang berada di depan dan empat orang lainnya di belakang. Maka mengertilah dia bahwa lima orang itu yang akan menyerangnya, ada pun yang empat orang menjaga kalau dia melompat ke atas, tentu mereka akan menyambut dengan lompatan dari empat penjuru untuk menyerang selagi tubuhnya berada di udara. Hal itu akan dapat membahayakan dirinya!

Serangan ke dua itu datang dan seperti yang diduganya semula, lapisan pertama yang di depan menyerangnya. Lima orang menyerang dengan pedang mereka dari lima penjuru. Sin Wan terpaksa memutar pedangnya menangkis. Lima orang itu terkejut karena pedang mereka segera terpental begitu bertemu dengan pedang tumpul pemuda itu. Akan tetapi, begitu pedang mereka tertangkis dan terpental, mereka langsung melangkah mundur lalu dari belakang mereka, empat orang yang lainnya menyusulkan serangan kilat dari empat penjuru.

Kembali Sin Wan menggerakkan pedangnya menangkis. Akan tetapi lima orang pertama sudah menerjang lagi sehingga dia dihujani serangan yang dilakukan serentak oleh empat orang dan lima orang.

Sin Wan maklum bahwa dalam menghadapi pengeroyokan banyak orang, apa bila hanya melindungi diri saja tanpa balas menyerang, maka akhirnya dia akan terkena juga atau setidaknya dia akan terancam bahaya. Biar pun dia sudah menduga sebelumnya, namun ketika lima orang menyerangnya lagi, dia sengaja meloncat ke atas untuk menghindarkan diri dari kepungan.

Benar saja, empat orang yang mengepung di lapisan kedua sudah berlompatan pula dan menyambutnya dengan serangan pedang selagi tubuhnya masih berada di atas! Terpaksa Sin Wan turun kembali dan dia masih tetap berada di dalam kepungan! Ketika diserang di atas tadi, dia pun memutar pedang menangkis, maka tubuhnya turun kembali ke bawah dan begitu turun, lima orang sudah menyambutnya dengan gelombang serangan baru.

Dia harus membalas, demikian pikirnya. Itulah satu-catunya cara untuk membebaskan diri dari tekanan! Sin Wan lantas bergerak cepat, memainkan pedang tumpulnya dan bersilat dengan ilmu silatnya yang baru dipelajarinya dari Ciu-sian, yaitu Sam-sian Sin-ciang yang dimainkan dengan pedang tumpul secara aneh dan dahsyat bukan main. Apa lagi ilmu ini mempergunakan langkah-langkah ajaib Hui-niau Poan-soan sehingga gerakannya seperti seekor burung walet saja.

Menghadapi serangan balasan Sin Wan yang gerakannya sangat cepat ini, lima orang itu menjadi sibuk sekali dan gerakan mereka kacau. Si tinggi kurus mengeluarkan seruan dan barisan itu kembali menjadi satu lapis terdiri dari sembilan orang. Kepungan itu melonggar akan tetapi Sin Wan kembali menghadapi sembilan batang pedang yang bergerak dengan berbareng dan serentak. 

Melihat perubahan ini, Sin Wan melompat lagi dan dia pun berhasil keluar dari kepungan seperti tadi, namun sekali ini dia tidak tinggal diam melainkan segera membalas dengan menyerang balik dari luar kepungan!

Barisan itu menjadi buyar dan dua orang pengeroyok terpelanting oleh dorongan tangan kiri Sin Wan. Si tinggi kurus kembali mengeluarkan aba-aba dan sekarang sembilan orang itu berbaris tiga-tiga! Dan ketika mereka menyerang, maka serangan itu seperti datangnya gelombang samudera, pertama tiga orang menyerang, kemudian disusul tiga orang lain, dan akhirnya tiga orang lagi. 

Menghadapi gelombang serangan ini, Sin Wan kembali terdesak. Dia tahu bahwa kalau dia mengalah terus, maka dia akan selalu terdesak. Begitu gelombang ke tiga dapat dia hindarkan dengan loncatan ke samping, dia pun langsung membalik dan kini dialah yang menyerang sebelum sembilan orang itu menyusun kembali barisan mereka.

Tubuh Sin Wan bergerak cepat sekali, pedang tumpul mengeluarkan bunyi mengaung dan berubah menjadi gulungan sinar kehijauan yang besar dan dari situ kadang kala mencuat sinar hijau dari ujung pedang. Setiap kali sinar itu meluncur maka seorang pengeroyok roboh tertotok dan meski pun yang lain berusaha untuk menangkis dan mengelak, namun pedang tumpul itu selalu berhasil merobohkan sasaran, dibantu oleh tangan kiri Sin Wan yang mempergunakan ilmu Kiam-ciang (Tangan Pedang). Akan tetapi dia mengendalikan tenaganya sehingga dia hanya menotok roboh para pengeroyoknya, tanpa melukai sama sekali apa lagi membunuh.

Kembali kemenangan Sin Wan disambut tepuk tangan riuh oleh lima orang perwira yang menjadi tamu Ang-kin Kai-pang. Sin Wan memberi hormat kepada tujuh orang pimpinan perkumpulan itu.

"Maafkan saya," katanya, kemudian dia pun mundur mendekati sumoi dan kakek Bu Lee Ki yang mengangguk-angguk senang.

Tujuh orang pimpinan Ang-kin Kai-pang bangkit dari tempat duduk mereka, menghampiri sembilan orang pembantu mereka dan membebaskan mereka dari pengaruh totokan yang membuat mereka tak mampu bergerak.

Kemudian, dengan muka merah karena merasa penasaran melihat para pembantu utama mereka kembali mengalami kekalahan, mereka menghadap ke arah kakek Bu Lee Ki. Kini sikap mereka lunak, bahkan bersikap hormat kepada kakek itu. Si jenggot panjang yang kedudukannya sebagai wakil ketua dan menjadi pemimpin enam orang sute-nya segera memberi hormat.

"Kiranya dua orang murid keponakan locianpwe adalah orang-orang yang amat lihai. Kami yakin bahwa locianpwe sendiri adalah seorang yang berilmu tinggi, maka harap maafkan kalau anak-anak buah kami bersikap kurang hormat. Sebagai persyaratan terakhir, kalau locianpwe mampu melewati kami bertujuh, kami akan mempersilakan locianpwe dan dua orang muda gagah ini untuk masuk sebagai tamu-tamu kehormatan kami."

Kakek itu bangkit berdiri dengan sikap ogah-ogahan, menggeliat dan berjalan tertatih-tatih menghampiri tujuh orang pimpinan Ang-kin Kai-pang, akan tetapi mulutnya tersenyum dan dia mengomel. "Aihh, anak-anak ini sungguh rewel, main-main dengan orang tua seperti aku. Sudah bertahun-tahun aku tidak pernah cekcok dengan orang, bertengkar pun belum pernah, apa lagi sampai berkelahi. Sekarang begini saja. Apa bila kalian bertujuh mampu merampas capingku ini, biar aku mengaku kalah dan sebaliknya aku akan mencoba untuk mengambil sabuk merah kalian!”

Tantangan kakek itu membuat tujuh orang pimpinan Ang-kin Kai-pang menjadi tertegun. Si jenggot panjang yang bernama Ciok An dan merupakan wakil ketua Ang-kin Kai-pang, diam-diam amat terkejut. Kalau kakek itu berani menantang seperti itu, jelas bahwa tentu kepandaiannya hebat sekali. Tak akan mudah melindungi caping lebar yang tergantung di punggung dengan tali mengalungi leher itu dari sergapan tujuh orang, dan lebih sukar lagi merampas sabuk-sabuk merah mereka bertujuh yang mengikat pinggang.

Karena menduga bahwa kakek ini tentu sakti dan merupakan tokoh besar dunia persilatan yang belum dikenalnya, maka dia pun tidak ingin kalau sampai dia dan kawan-kawannya kesalahan tangan. Oleh karena itu dia pun menerima baik tantangan itu dengan hati lega karena kemungkinan kesalahan tangan melukai lawan akan lebih kecil dibandingkan kalau bertanding dengan senjata.

“Baik, kami mohon petunjuk locianpwe,” katanya merendah.

Kemudian dia memberi isyarat kepada enam orang sute-nya untuk mulai bergerak. Begitu mereka bergerak, mudah saja dapat diketahui bahwa tingkat kepandaian ketujuh orang ini jauh lebih lihai jika dibandingkan dengan sembilan orang yang tadi mengeroyok Sin Wan. Gerakan mereka selain cepat juga mengandung tenaga sinkang yang amat kuat. 

Tujuh orang yang dipimpin Ciok An itu merupakan pimpinan Ang-kin Kai-pang, sedangkan Ciok An sendiri yang berjenggot panjang adalah wakil ketua. Tentu saja kepandaiannya dan enam orang sute-nya itu sudah mencapai tingkat tinggi. Begitu bergerak, mereka itu masing-masing melancarkan serangan dengan satu tangan sedangkan tangan yang lain berusaha merampas caping yang tergantung di punggung Bu Lee Ki.

Akan tetapi tubuh kakek yang bertubuh sedang dan kurus itu seolah-olah berubah menjadi bayangan saja. Dia menggunakan langkah-langkah aneh dari ilmu Langkah Angin Puyuh dan tubuhnya yang hanya kelihatan seperti bayangan itu menyelinap di antara sambaran tujuh pasang tangan itu. Ada kalanya ia menangkis dan setiap kali tangannya menangkis, orang yang tersentuh lengannya terhuyung ke belakang hampir roboh! 

“He-heh-heh, kalian anak-anak nakal! Caping butut seperti ini untuk berebutan! Nah, awas pegangi itu celana agar jangan merosot ke bawah kalau sabuknya kuambil,” kata kakek itu terkekeh.

Mendengar ini, tujuh orang itu bersiap siaga supaya jangan sampai sabuk mereka dapat diambil kakek itu. Menurut pendapat mereka, sebetulnya hal ini tidak mungkin. Pertama, mereka cukup tangguh, apa lagi kalau hanya melindungi sabuk sutera, dan kedua, sabuk itu melilit pinggang mereka kuat-kuat. Bagaimana mungkin dapat dirampas?

Mendadak kakek itu membuat gerakan aneh. Tubuhnya yang tadi berputar-putar itu kini berputar semakin cepat dan tubuhnya bagaikan gasing saja, tidak tentu ke mana arahnya sehingga membingungkan para pengeroyoknya. Lantas tiba-tiba terdengar teriakan susul menyusul karena seorang demi seorang harus memegangi celana mereka supaya tidak merosot.

Entah bagaimana caranya, sabuk sutera merah yang melilit pinggang mereka itu tiba-tiba saja meninggalkan pinggang seperti berubah menjadi ular hidup saja dan sudah berada di tangan kakek Bu Lee Ki! Setelah semua sabuk terampas, tujuh orang itu berdiri dengan mata terbelalak, memegang celana sambil memandang ke arah kakek itu yang berdiri dan tertawa-tawa memegang tujuh helai sabuk merah dan diangkatnya tinggi-tinggi.

Kembali lima orang perwira tinggi itu bertepuk tangan memuji. Sekali ini mereka agaknya benar-benar kagum karena sekarang mereka berlima bangkit berdiri dari tempat duduk mereka. Pada saat itu pula beberapa orang anggota Ang-kin Kai-pang yang berada di luar berseru,

"Pangcu datang...!"

Suasana menjadi sangat menegangkan bagi semua orang ketika mendengar bahwa ketua mereka datang, dan giranglah hati Ciok An dan para sute-nya karena tentu ketua mereka yang lihai akan mampu menebus kekalahan mereka yang membuat mereka merasa malu dan penasaran.

Ternyata orang yang muncul dari luar ini justru lebih muda dibandingkan Ciok An dan para sute-nya. Usianya sekitar empat puluh tahun dan wajahnya bersih dan tampan, tanpa ada kumis dan jenggot. Tubuhnya tegap dan nampak gesit, pakaiannya juga amat sederhana, berwama biru muda dan seperti juga semua anggota Ang-kin Kai-pang, di pinggangnya terlilit sehelai sabuk sutera, hanya warna merahnya yang berbeda karena warna merah sabuknya lebih tua dari pada yang lain.

Sejak di luar tadi ketua ini telah mendengar dari anak buahnya bahwa ada seorang kakek pengemis asing dan dua orang murid keponakannya mengacau di situ dan mengalahkan semua pimpinan Ang-kin Kai-pang. Mendengar ini, dia cepat melangkah maju dan dengan suara berwibawa dia berseru nyaring.

"Siapa yang berani mengacau di Ang-kin Kai-pang?"

Dengan tangan kiri masih memegangi celana agar tak merosot, Ciok An cepat menjawab, “Pangcu, locianpwe ini memaksa hendak bertemu dengan pangcu dan kami semua telah dikalahkannya."

"Heh-heh-heh, jangan merengek! Nih, kukembalikan sabuk kalian!" Dan begitu kakek itu melemparkan sabuk-sabuk merah itu, nampak tujuh sinar merah melayang ke arah tujuh orang pimpinan itu dan mereka pun menyambut sabuk-sabuk mereka dengan tangan. 

Akan tetapi mereka menyeringai karena ketika menangkap sabuk-sabuk yang melayang ke arah mereka itu, mereka merasa betapa telapak tangan mereka nyeri bagai dicambuk. Dengan menahan rasa nyeri, mereka cepat melilitkan kembali sabuk mereka di pinggang.

Sementara itu Thio Sam Ki, yaitu ketua Ang-kin Kai-pang, memandang ke arah kakek Bu Lee Ki lantas dia mengeluarkan seruan heran, kemudian bergegas menghampiri. Mereka kini berhadapan. Bu Lee Ki masih terkekeh sedangkan ketua Ang-kin Kai-pang terbelalak.

"Locianpwekah ini...? Benarkah... locianpwe Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki...?"

Kakek itu terkekeh. "Heh-heh-heh, kiranya engkau yang menjadi ketua Ang-kin Kai-pang ini, Thio Sam Ki! Bagus, pantas saja kai-pang ini demikian maju dan baik, kiranya engkau yang menjadi ketuanya, ha-ha-ha-ha!"

"Ahh, locianpwe, semuanya ini berkat petunjuk yang pernah saya terima dari locianpwe. Betapa bahagia rasa hati saya melihat locianpwe ternyata masih dalam keadaan sehat. Locianpwe, terimalah hormat saya!" Dan ketua Ang-kin Kai-pang itu segera menjatuhkan diri berlutut di hadapan kakek itu! 

Ketika tadi mendengar disebutnya nama Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki oleh ketua Ang-kin Kai-pang, semua orang sudah terbelalak kaget. Sekarang melihat ketua mereka berlutut memberi hormat, tanpa diperintah lagi seluruh pimpinan serta anggota Ang-kin Kai-pang yang berada di situ menjatuhkan diri berlutut menghadap kakek itu! 

Siapa yang tak kaget mendengar bahwa kakek itu adalah Thai-pangcu (Ketua Besar) dari seluruh kai-pang? Kakek itu adalah ‘datuk’ seluruh pengemis yang dikabarkan menghilang selama bertahun-tahun.

Bu Lee Ki mengangkat kedua tangannya ke atas. "Wah .. wah, bangkitlah kalian semua. Aku datang untuk melihat-lihat keadaan dan kini dapat kunyatakan bahwa engkau sudah berhasil, Thio Sam Ki. Nampaknya Ang-kin Kai-pang mampu mempertahankan namanya sebagai pejuang-pejuang yang gagah, tidak menyeleweng ke jalan sesat!"

Thio Sam Ki bangkit berdiri, diturut semua anggotanya dan wajahnya berseri. "Semua ini berkat bimbingan locianpwe, dan berkat bantuan dari yang mulia Raja Muda Yung Lo!" Lalu dia memandang kepada tujuh orang pembantunya sambil tersenyum. "Apakah kalian ini sudah buta, berani mencoba-coba kepandaian locianpwe Bu Lee Ki!"

Sementara itu, sesudah melihat dan mendengar semua ini, lima orang perwira itu saling pandang dan mereka tampak gembira sekali. Seorang di antara mereka yang berusia lima puluh tahun lebih, bertubuh-tinggi besar, segera maju memberi hormat kepada Bu Lee Ki.

"Kiranya locianpwe adalah Thai-pangcu yang terkenal itu. Kami merasa beruntung dapat bertemu locianpwe dan kami mengucapkan selamat atas berkumpulnya kembali seorang pemimpin besar dengan anak buahnya." Dia lalu memberi hormat kepada Thio Sam Ki dan berkata, "Kami mengucapkan selamat kepada Thio-pangcu yang telah dapat bertemu dengan pemimpin besarnya. Kami berlima mohon diri karena sudah cukup lama berada di sini dan terima kasih atas segala keramahan Ang-kin Kai-pang."

Lima orang perwira itu lalu keluar dari situ dan lima orang anggota Ang-kin Kai-pang telah mempersiapkan kuda tunggangan mereka. 

Sesudah mereka pergi, Thio Sam Ki memandang kepada Sin Wan dan Kui Siang, lalu bertanya kepada Bu Lee Ki, "Saya mendengar bahwa kedua orang adik yang gagah ini adalah murid-murid keponakan locianpwe, harap suka memperkenalkan mereka kepada saya."

Bu Lee Ki tersenyum. "Mereka adalah murid-murid dari Sam-sian, boleh dibilang murid keponakanku sendiri. Pemuda ini bernama Sin Wan dan nona itu bernama Lim Kui Siang dari Nan-king. Sin Wan dan Kui Siang, ini adalah Thio Sam Ki ketua Ang-kin Kai-pang, tak kusangka bahwa dia yang menjadi ketua di sini."

Dua orang itu saling memberi hormat dengan Thio Sam Ki yang merasa kagum kepada mereka karena sudah mendengar betapa mereka ini sudah menang dengan mudahnya. Gadis cantik itu sudah mengalahkan barisan Enam Tongkat Merah, bahkan pemuda itu mengalahkan barisan Sembilan Pedang Naga. Hebat! Apa lagi sesudah tadi mendengar keterangan dari Bu Lee Ki bahwa mereka adalah murid-murid Sam-sian, kekagumannya semakin bertambah.

"Dahulu saya hanyalah anggota pengemis biasa di Ang-kin Kai-pang, akan tetapi berkat bimbingan locianpwe Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki maka akhirnya saya dapat menjadi ketua. Locianpwe, marilah kita bicara di dalam." Ketua itu lalu memerintahkan para pembantunya untuk mempersiapkan pesta penyambutan kepada pemimpin besar para kai-pang itu.

Dalam perjamuan meja panjang di mana duduk Bu Lee Ki, Sin Wan beserta Kui Siang sebagai tamu kehormatan, dan Thio Sam Ki bersama tujuh orang pembantunya sebagai tuan rumah, Bu Lee Ki dengan tenang dan sabar mendengarkan semua keterangan yang diberikan Thio Sam Ki tentang perkembangan dunia kai-pang semenjak penjajah Mongol diusir dan pemerintah Kerajaan Beng memegang kekuasaan.

Dahulunya Ang-kin Kai-pang juga terbawa menyeleweng oleh ketuanya yang lama yang bernama Boan Kin. Melihat keadaan yang kacau akibat perang, Boan Kin bersama para pendukungnya yang menjadi kaki tangannya dan berjumlah dua puluh orang lebih lantas membawa Ang-kin Kai-pang keluar dari jalan benar dan mulai melakukan pemerasan dan penindasan terhadap masyarakat di Peking dengan dalih bahwa Ang-kin Kai-pang sudah berjasa dalam perjuangan menumbangkan penjajah Mongol sehingga sudah sepantasnya kalau mendapatkan imbalan jasa. Boan Kin dan kaki tangannya merupakan gerombolan yang merajalela di Peking dan amat ditakuti oleh rakyat karena mereka tidak segan-segan mempergunakan kekerasan dan kepandaian untuk memaksakan kehendak mereka.

Thio Sam Ki yang menjadi anggota Ang-kin Kai-pang dan para pengemis lain yang berjiwa bersih, tentu saja tidak menyetujui langkah yang diambil ketua mereka. Biar pun Thio Sam Ki sendiri sudah memiliki ilmu silat yang tinggi dan kiranya tidak akan kalah oleh Boan Kin karena dia pernah dibimbing langsung oleh Pek-sim Lo-kai, akan tetapi dia tidak berdaya mengingat bahwa Boan Kin mempunyai dua puluh lebih kaki tangan yang tentu saja tidak mungkin dapat dia atasi.

Akhirnya, sesudah Raja Muda Yung Lo mulai melakukan penertiban dengan tangan besi, melakukan pembersihan terhadap para penjahat, Thio Sam Ki mendapat dukungan dari raja muda ini. Dengan bantuan pasukan, Thio Sam Ki berhasil membunuh Boan Kin dan kaki tangannya lalu dia pun diangkat sebagai ketua baru oleh semua sisa anggota Ang-kin Kai-pang dan didukung sepenuhnya oleh Raja Muda Yung Lo.....

"Demikianlah, locianpwe. Saya dipilih menjadi ketua baru Ang-kin Kai-pang, bukan karena saya berambisi untuk mencari kedudukan, melainkan semata-mata demi menolong Ang-kin Kai-pang dari cengkeraman orang jahat dan mengembalikan Ang-kin Kai-pang ke jalan yang benar." Thio Sam Ki mengakhiri ceritanya.
"Bagaimana dengan kai-pang yang lain-lainnya? Apakah keadaan di empat daerah masih seperti dahulu?" tanya Bu Lee Ki yang merasa senang melihat keadaan Ang-kin Kai-pang dan mulai tertarik untuk mengetahui keadaan dunia kai-pang yang dulu menjadi dunianya dan yang ditinggalkannya karena dia kecewa melihat penyelewengan para kai-pang.
"Setahu saya masih seperti dahulu, tidak ada pergantian ketua kecuali Ang-kin Kai-pang, locianpwe. Ketika saya diangkat menjadi ketua, tiga orang ketua dari kai-pang terbesar di barat, timur dan selatan datang memberi selamat. Kalau di utara yang menjadi kai-pang terbesar adalah Ang-kin Kai-pang maka di selatan adalah Lam-kiang Kai-pang yang masih dipimpin oleh ketuanya yang dahulu, yaitu Kwee Cin. Di barat adalah Hek I Kai-pang yang dipimpin oleh Souw Kiat sebagai pangcu-nya, dan di timur Hwa I Kai-pang dipimpin Siok Cu."

Bu Lee Ki mengangguk-angguk. Ternyata tidak ada perubahan di tiga daerah itu, dan dia mengenal mereka karena mereka adalah bekas bawahannya. Ia pernah menjabat sebagai Thai-pangcu, yaitu ketua tertinggi yang dianggap sebagai pengawas dan penasehat bagi keempat kai-pang yang berkuasa.

"Apakah mereka juga masih menjaga kebersihan nama kai-pang masing-masing itu?" Dia bertanya, alisnya berkerut sebab dahulu dia melihat bahwa di antara mereka banyak yang terseret ke dalam kesesatan seperti halnya mendiang Boan Kin ketua Ang-kin Kai-pang yang lama, kecuali Kwee Cin ketua Lam-kiang Kai-pang yang seperti juga Thio Sam Ki, pernah menerima bimbingannya selama beberapa tahun.
"Yang saya ketahui hanya Hwa I Kai-pang saja yang kabarnya sekarang banyak berubah. Perkumpulan itu kini menjadi kaya raya dan kabarnya memiliki kekuasaan sangat besar. Ketuanya masih Siok Cu dan menurut berita yang saya terima, terjadi persaingan antara Hwa I Kai-pang dan Hek I Kai-pang. Saya merasa yakin sekali bahwa Souw-pangcu tetap mempertahankan Hek I Kai-pang sebagai kai-pang yang bersih dan gagah. Tentang Hwa I Kai-pang, banyak berita yang tidak menyenangkan."

Bu Lee Ki mengelus jenggotnya yang kacau dan putih. "Hemm, begitukah? Apakah Hwa I Kai-pang masih berpusat di Lok-yang?"

Thio Sam Ki membenarkan, lalu melanjutkan. "Satu bulan lagi akan diadakan pertemuan besar di Lok-yang antara pimpinan empat kai-pang, locianpwe, yaitu untuk membicarakan kepergian locianpwe dan kekosongan kedudukan Thai-pangcu. Dalam pertemuan itu akan diadakan pemilihan Thai-pangcu yang baru dan hal ini didukung pula oleh pemerintah."

"Pemerintah?"
"Benar sekali, locianpwe. Tentu locianpwe tadi melihat pula lima orang perwira tinggi yang menjadi tamu di sini. Kami mempunyai hubungan yang baik sekali dengan para panglima, bahkan Raja Muda Yung Lo sangat memperhatikan kami. Demikian pula ayahanda beliau, Kaisar Thai-cu di Nan-king, kabarnya juga sangat memperhatikan kai-pang. Beliau tidak melupakan perjuangan para kai-pang, dan pemerintah yang menganjurkan agar diadakan pemilihan Thai-pangcu lagi untuk kelak mewakili para kai-pang dalam pemilihan Bengcu. Pemerintah bermaksud untuk mempersatukan seluruh tokoh dunia persilatan supaya tidak terjadi persaingan dan perpecahan sehingga kekuatan dunia persilatan bisa dimanfaatkan untuk membantu pemerintah dalam menjaga keamanan dan ketertiban. Dengan demikian kehidupan menjadi tenteram."

"Bagus sekali!" Bu Lee Ki mengangguk-angguk dan wajahnya berseri. "Kalau kaisar dan pemerintahnya bijaksana dan baik, maka tidak sia-sia belaka bertahun-tahun rakyat turut berjuang melawan penjajah mengorbankan nyawa dan harta benda. Perjuangan tak akan berhasil tanpa bantuan rakyat karena yang berjuang adalah rakyat. Oleh sebab itu setelah perjuangan berhasil, para pimpinan sekali-kali tidak boleh melupakan tujuan semula dari perjuangan, yaitu membebaskan rakyat dari belenggu penjajahan agar rakyat dapat hidup dalam keadaan tenteram dan adil makmur. Para pemimpin harus selalu menyadari bahwa tanpa rakyat, mereka bukan apa-apa, dan tanpa dukungan rakyat, setiap pemerintahan pasti akan rapuh dan jatuh.”

"Alangkah bahagianya kami apa bila selalu mendapatkan bimbingan dari locianpwe yang bijaksana," kata Thio Sam Ki terharu. “Pemilihan Thai-pangcu akan segera diadakan. Dan celakalah para kai-pang bila mana Ketua Besar dipegang oleh orang yang tidak bijaksana. Oleh karena itu, demi menjaga keutuhan para kai-pang dan dapat mengendalikan mereka supaya tak sempat terseret ke dalam kesesatan, kami mohon agar locianpwe suka kami calonkan kembali menjadi Thai-pangcu yang akan dipilih. Apa lagi selama ini Thai-pangcu masih dianggap pimpinan walau pun telah bertahun-tahun tidak muncul. Harap locianpwe tidak menolak."
"Baik, aku akan menghadiri rapat besar di Lok-yang itu dan kita lihat saja bagaimana perkembangannya kelak, apakah aku masih harus menyibukkan diri dengan kai-pang ataukah tidak perlu lagi," kata Bu Lee Ki lalu minum araknya.

Mereka bertiga tinggal di markas Ang-kin Kai-pang sebagai tamu kehormatan, dan pada malam harinya dengan wajah berseri Thio Sam Ki memperlihatkan sebuah sampul merah berisi surat undangan dari Raja Muda Yung Lo!

"Raja Muda mengundang kita, Locianpwe. Saya, Bu-locianpwe, Sin-taihiap dan Lim-lihiap diundang untuk makan malam di istana Raja Muda!” Ketua itu nampak amat gembira dan bangga bukan main. 

Hati siapa yang tak akan merasa bangga menerima undangan makan malam dari seorang yang paling berkuasa di Peking, Raja Muda yang juga seorang putera kaisar itu? Selama ini dalam hubungannya dengan pemerintah, bahkan pada saat dia didukung untuk menjadi ketua, wakil pemerintah hanyalah para perwira tinggi saja dan belum pernah Thio Sam Ki bertemu langsung dengan raja muda itu, apa lagi diundang makan malam!

Sin Wan dan Kui Siang merasa heran sekali mendengar bahwa mereka pun ikut diundang raja muda, akan tetapi sesudah Thio-pangcu memperlihatkan surat undangan itu, di situ jelas tertulis pula nama Sin Wan dan Lim Kui Siang! Melihat keheranan dua orang muda itu, Thio-pangcu tersenyum.

"Taihiap dan lihiap tak perlu merasa heran. Raja Muda Yung Lo adalah seorang pangeran yang sejak dahulu amat menghargai orang-orang gagah di dunia persilatan, bahkan beliau sendiri seorang panglima yang gagah perkasa dan biar pun belum pernah ada yang berani mencohanya, namun kami mendengar bahwa beliau memiliki dasar ilmu silat Siauw-lim-pai yang hebat. Tentu para ciangkun (perwira) yang tadi menyaksikan kelihaian ji-wi (anda berdua) sudah melaporkan ke istana sehingga membuat Raja Muda Yung Lo tertarik dan mengirim undangan."

"Heh-heh-heh, memang nasib kita sedang mujur, Sin Wan dan Kui Siang. Begitu tiba di sini, kita selalu disambut dengan kehormatan dan terutama sekali dengan hidangan yang serba enak. Apa lagi kalau makan malam di istana, aduhh…, belum apa-apa aku sudah mengilar, walau pun tadi sudah makan kenyang, ha-ha-ha!"

Sin Wan yang selama hidupnya belum pernah melihat kemewahan dan keindahan yang luar biasa dari sebuah istana, tidak ada habisnya terkagum-kagum ketika dia bersama Kui Siang, kakek Bu Lee Ki dan Thio Sam Ki didahului pengawal memasuki istana Raja Muda Yung Lo. Kui Siang sendiri adalah seorang puteri bangsawan, oleh karena itu kemewahan gemerlapan itu tidak membuatnya merasa heran. Demikian pula dengan kakek Bu Lee Ki yang sudah memiliki banyak pengalaman itu. Bahkan Thio-pangcu sendiri pun terkagum-kagum.

Ketika mereka tiba di ruangan luas yang dipasangi banyak lampu sehingga keadaannya menjadi terang seperti siang itu, nampak Raja Muda Yung Lo telah duduk di situ. Agaknya raja muda ini sudah mendapat laporan dan sedang menunggu, ditemani oleh tiga orang panglimanya. Sebuah meja besar berada di situ, meja bundar yang bersih mengkilap.

Pada saat mereka berempat memasuki ambang pintu, seorang pengawal melapor dengan suaranya yang nyaring bahwa empat orang tamu undangan sudah tiba, lantas terdengar perintah raja muda itu supaya mereka dipersilakan masuk. Thio Sam Ki yang berjalan di depan, begitu memasuki ruangan itu dan melihat sang raja muda sedang duduk bersama tiga orang panglima besar yang telah dikenalnya, cepat menjatuhkan diri berlutut memberi hormat kepada Raja Muda Yung Lo. 

Akan tetapi kakek Bu Lee Ki tidak berlutut, hanya memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada lantas membungkuk sampai dalam. Sin Wan dan Kui Siang mengikuti perbuatan kakek itu, memberi hormat tanpa berlutut.
Melihat ini Thio-pangcu merasa khawatir, akan tetapi sebaliknya pangeran atau raja muda itu malah tersenyum dan menegurnya. "Tidak perlu berlutut, mari bangkitlah dan silakan kalian duduk," suaranya tegas dan nyaring, akan tetapi ramah.

Legalah hati Thio Sam Ki yang segera bangkit, kemudian dengan sikap hormat mereka melangkah maju dan duduk di atas kursi menghadapi Raja Muda Yung Lo di seberang meja. Sejenak mereka tak bicara, kemudian raja muda itu memberi isyarat dengan tangan kepada para pengawal agar keluar dari ruangan itu. Para pengawal keluar dan di situ kini tinggal Raja Muda Yung Lo, tiga orang panglima, serta empat orang tamu itu.

Kui Siang mengangkat muka untuk memandang kepada para bangsawan yang duduk di seberang meja bundar. Tiga orang panglima itu berusia antara empat puluh sampai lima puluh tahun, bertubuh kekar dan nampak sangat berwibawa dalam pakaian panglima yang gemerlapan. Akan tetapi raja muda itu sendiri nampak masih muda. Tidak akan lebih dari tiga puluh tahun usianya dan wajahnya membayangkan kegagahan dan kecerdikan, wajah yang cukup tampan dan jantan.

Sepasang telinganya lebar dan panjang, merapat di kepala. Wajahnya berbentuk persegi panjang, dengan sedikit kumis dan cambangnya bersatu dengan jenggot, terpelihara rapi sehingga wajah itu nampak bersih. Matanya lebar dengan ujung sipit ke atas, dengan alis berbentuk golok. Hidungnya besar dan mancung, mulutnya membayangkan keramahan, akan tetapi dagunya menunjukkan bahwa dia seorang yang bersemangat dan keras hati.

Kepalanya tertutup topi dan pakaiannya ringkas walau pun gemerlapan, akan tetapi tidak terlalu mewah. Sepasang matanya itulah yang sangat menarik perhatian karena mata itu seperti mata burung elang rajawali yang amat tajam dan juga sangat berwibawa. Bahkan Kui Siang sendiri tak dapat bertahan lama beradu pandang dengan mata itu sehingga dia pun cepat menunduk kembali.

Pangeran atau Raja Muda Yung Lo adalah seorang pria yang gagah perkasa dan jantan. Dia bukan seorang yang berwatak mata keranjang, biar pun sebagai seorang pria normal, dia tidak buta terhadap kecantikan wanita. Dia lebih mementingkan urusan pemerintahan, lebih mementingkan kedudukan ketimbang wanita.

Sebenarnya, ketika dia menjadi pangeran, nama kecilnya adalah Pangeran Yen dengan julukan Pangeran Cang On. Akan tetapi dia lebih suka mempergunakan nama Yung Lo, yaitu nama besar yang dipakainya setelah menjadi Raja Muda Yung Lo yang menguasai seluruh daerah utara. Dia bukan seorang pemimpin yang hanya mengatur siasat di balik tembok benteng dan di kamar yang mewah dalam istana. Dia adalah pemimpin yang maju sendiri memimpin pasukannya mengamuk apa bila sedang dalam pertempuran sehingga namanya terkenal dan dia dipuja-puja oleh pasukan dan rakyat sebagai seorang panglima yang gagah perkasa.

Akan tetapi kini, melihat Lim Kui Siang, raja muda itu terpesona. Bukan semata karena kecantikan Kui Siang, melainkan dia terkagum-kagum oleh kelihaian gadis itu. Dia sudah menerima laporan bahwa gadis ini seorang diri mampu mengalahkan enam orang tokoh Ang-kin Kai-pang yang mengeroyoknya, enam orang yang telah terkenal sebagai Barisan Tongkat Merah dari perkumpulan itu.

Dia sendiri sudah mempunyai seorang isteri yang cantik dan lima orang selir yang manis-manis, akan tetapi belum pernah dia bertemu seorang pendekar wanita muda yang cantik dan lihay seperti Kui Siang. Seketika hatinya tertarik dan timbul perasaan cintanya. Kalau dia dapat menarik gadis ini sebagai pendamping hidupnya, bukan saja dia mendapatkan seorang selir yang lain dari pada semua selirnya, melainkan juga mendapatkan seorang pengawal pribadi yang boleh diandalkan!

Sesudah berpandangan sejenak, dan tahu bahwa para tamu itu tentu tidak akan berani berbicara lebih dahulu sebelum ditegurnya. Raja Muda Yung Lo berkata dengan suaranya yang nyaring dan tegas. "Kami menerima laporan tentang locianpwe yang ternyata adalah Thai-pangcu, pemimpin besar para kai-pang yang selama bertahun-tahun ini menghilang. Kami sudah lama mendengar nama besar Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki yang sudah berjasa besar membantu perjuangan kami merobohkan penjajah Mongol. Sayang bahwa selama ini locianpwe pergi tanpa meninggalkan jejak sama sekali sehingga kami belum sempat memberi hadiah dan imbalan jasa kepadamu.”

Dari tempat duduknya kakek itu tersenyum, lantas memberi hormat kepada raja muda itu. “Terima kasih atas kehormatan yang diberikan kepada hamba, Yang Mulia. Akan tetapi maafkan hamba karena hamba sama sekali tak mengharapkan hadiah atau imbalan jasa. Tentu paduka sudah lebih mengetahui bahwa berjuang demi kemerdekaan tanah air dan bangsa serta mengusir penjajah Mongol merupakan kewajiban setiap anak bangsa. Ketika hamba membantu perjuangan dan memimpin seluruh Kai-pang untuk menentang pasukan Mongol, dalam hati hamba seujung rambut pun tak ada pamrih untuk kemudian menuntut imbalan jasa.”

Raja Muda Yung Lo tertawa dan Kui Siang melihat betapa pria itu tampak jauh lebih muda ketika tertawa dan semua bentuk kekerasan yang menggores di wajah yang perkasa itu pun lenyap. Tahulah dia bahwa pada dasarnya raja muda itu adalah seorang yang lembut hati dan dia merasa semakin kagum.

“Ha-ha-ha, ucapanmu itu sudah kami duga sebelumnya, locianpwe. Memang demikianlah watak seorang pendekar, seorang pahlawan, yang selalu menjunjung kebajikan, membela kebenaran dan keadilan, tanpa pamrih sedikit pun untuk diri sendiri. Akan tetapi ketahuilah bahwa pemimpin bangsa yang baik dan bijaksana harus menghargai serta menghormati para pahlawan bangsa. Dan bagi kami, penghargaan kepada pahlawan yang masih hidup jauh lebih penting dari pada penghargaan terhadap pahlawan yang telah tewas dan gugur dengan sekedar kenangan untuk menghormati jasa mereka. Oleh karena itu kami selalu mencari para pendekar yang berjasa bukan sekedar untuk memberi penghargaan, akan tetapi juga mengajak mereka untuk bekerja sama demi kepentingan bangsa. Perjuangan masih jauh dari pada selesai, locianpwe. Karena itu kami ingin sekali mengajak locianpwe bekerja sama!”

“Hamba mengerti, Yang Mulia. Memang, sebelum mati setiap orang tidak akan pernah terbebas dari pada perjuangan. Hidup ini perjuangan, yaitu menghadapi semua tantangan dan mengatasinya, bukan saja untuk diri sendiri, keluarga, bangsa bahkan manusia. Akan tetapi hamba sudah tua, Yang Mulia. Apakah yang dapat hamba lakukan untuk membantu paduka? Tentu saja hamba selalu siap membantu asal sesuai dengan kemampuan hamba yang sudah tua ini.”

"Locianpwe, kami selalu merindukan persatuan terjalin erat di antara seluruh tokoh dalam dunia persilatan. Dengan adanya locianpwe sebagai Thai-pangcu, maka berarti bahwa seluruh kai-pang dapat dipersatukan. Ada gejala timbulnya perpecahan ketika locianpwe menghilang, dan dengan munculnya kembali locianpwe, kami harap agar seluruh kai-pang dapat dipersatukan kembali."
"Hamba memang bermaksud untuk mengunjungi rapat besar kai-pang yang bulan depan akan diadakan di Lok-yang, Yang mulia."

"Bagus sekali kalau begitu. Akan tetapi bukan hanya sekian, bukan hanya para kai-pang yang harus dipersatukan, namun seluruh dunia persilatan, seluruh tokoh kang-ouw. Oleh karena itu Sribaginda Kaisar sendiri sudah menyetujui supaya diadakan pertemuan besar di mana akan dilakukan pemilihan Bengcu yang akan memimpin seluruh dunia persilatan dan mewakili dunia persilatan untuk bekerja sama dengan pemerintah. Dan kami percaya bahwa locianpwe akan mampu menjadi calon Bengcu, atau setidaknya locianpwe dapat menjaga agar yang dipilih menjadi Bengcu adalah orang yang betul-betul berjiwa pendekar dan pahlawan, bukan tokoh sesat yang akan menyelewengkan dunia kang-ouw. Apakah locianpwe mengerti akan maksud kami?"

"Hamba mengerti, Yang Mulia. Tanpa perintah paduka pun, hamba tentu akan melakukan pengawasan itu agar jangan sampai dunia persilatan diselewengkan ke arah kesesatan."
"Bagus, dan terima kasih, locianpwe. Kami percaya sepenuhnya kepada locianpwe. Kami akan memberi laporan kepada ayahanda Sribaginda Kaisar, juga akan memberi perintah kepada para pejabat tinggi di Lok-yang dan lain-lain agar mereka mempersiapkan bantuan kepada locianpwe. Kami dari pihak pemerintah tak akan mencampuri pemilihan itu secara langsung, melainkan hanya akan menjaga dan mendukung pihak yang kami anggap betul. Dan locianpwe merupakan satu di antara golongan yang kami pilih."

“Terima kasih, Yang Mulia."
"Kami tidak mau menjanjikan hadiah kepada locianpwe karena hal itu hanya merupakan penghinaan bagi seorang yang berjiwa pahlawan, akan tetapi percayalah bahwa kami tak akan melupakan jasa locianpwe yang besar bagi negara dan bangsa. Nah, sekarang kami ingin bicara dengan pemuda ini. Namamu Sin Wan, orang muda?" 

Suara raja muda itu membuat Kui Siang merasa geli dalam hatinya karena seakan-akan raja muda itu sudah tua. Padahal apa bila dibandingkan dengan Sin Wan, raja muda itu pantas menjadi seorang kakaknya saja.

Sin Wan memberi hormat, "Benar, Yang Mulia."

"Dan engkau murid keponakan locianpwe Pek-sim Lo-kai?"

Sin Wan menoleh ke arah kakek itu. Dia tidak ingin berbohong, akan tetapi di pusat Ang-kin Kai-pang, kakek itu sudah mengakuinya sebagai murid keponakan. Melihat pemuda itu menoleh kepadanya, kakek itu tersenyum.

"Maaf, Yang Mulia. Sesungguhnya Sin Wan dan Kui Siang adalah murid-murid Sam-sian dan hamba akui sebagai murid keponakan karena hamba dengan Sam-sian akrab seperti saudara saja."

Raja Muda Yung Lo memandang terbelalak kepada Sin Wan, lalu kepada Kui Siang dan mulutnya tersenyum, wajahnya berseri. "Aihhh...! Murid-murid Sam-sian, Tiga Dewa yang pernah berjasa menemukan kembali pusaka-pusaka istana yang hilang dicuri orang itu? Bukan main! Sam-sian adalah tiga tokoh besar yang telah berjasa. Jadi engkau ini murid mereka, Sin Wan! Akan tetapi kami melihat bahwa engkau bukan seorang pribumi, bukan orang Han. Benarkah?"

Sin Wan kagum kepada raja muda itu yang berpenglihatan tajam. Padahal baik cara dia bicara mau pun pakaian dan sikapnya, tiada bedanya antara dia dan orang Han. Sin Wan sendiri tidak menyadari bahwa walau pun kecil tetapi terdapat perbedaan pada matanya dan kulit wajahnya, dan dia memiliki ketampanan yang berbeda dengan orang Han.

"Benar sekali dugaan paduka, Yang Mulia. Sesungguhnya mendiang ayah dan ibu hamba adalah orang-orang Uighur."
"Hemm, pantas kalau begitu. Jadi engkau telah yatim piatu?”
"Benar, Yang Mulia. Sejak berusia sepuluh tahun hamba kehilangan ibu hamba, ada pun ayah hamba telah meninggal sewaktu hamba masih dalam kandungan, dan sejak berusia sepuluh tahun hamba menjadi murid ketiga orang guru hamba."
"Kalau begitu engkau seorang keturunan Bangsa Uighur, Sin Wan. Apakah kami dapat mengharapkan seorang suku Uighur untuk setia kepada kerajaan dan Dinasti Beng? Setia terhadap negara dan Bangsa Han. Kepada tanah air?" Sepasang mata itu mencorong dan mengamati wajah Sin Wan penuh selidik.

Ucapan yang menusuk hati itu diterima oleh Sin Wan dengan sikap tenang saja. Batinnya sudah digembleng secara hebat oleh ketiga orang gurunya, maka keseimbangannya tidak mudah terguncang. Dia pun menyambut pandang mata raja muda itu dengan sinar mata yang terang dan tenang.

"Yang Mulia, bagi hamba, di mana hamba hidup di situlah tanah air hamba karena airnya hamba minum dan hasil tanahnya hamba makan. Bangsa hamba adalah bangsa di dalam mana hamba hidup dan bergaul, mengalami suka duka bersama. Sejak kecil hamba hidup di antara Bangsa Han, bergaul dengan Bangsa Han, sehingga hamba akan merasa asing kalau berada di antara orang-orang Uighur sendiri, bahkan hamba pun hampir lupa akan Bahasa Uighur karena sejak kecil ibu selalu berbicara dalam Bahasa Han kepada hamba. Sejak kecil ketiga orang guru hamba mengajarkan kepada hamba agar selalu menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan. Bagaimana mungkin hamba akan dapat mengkhianati tanah air di mana hamba makan minum dan bangsa dengan siapa hamba bergaul dan mengalami suka duka bersama? Hamba tak akan menyangkal bahwa hamba adalah keturunan suku Uighur, akan tetapi hamba akan menyeleweng dari kebenaran bila hamba mengkhianati negara dan bangsa di mana hamba hidup!"

Ucapan itu penuh semangat dan sewajarnya karena keluar dari lubuk hati pemuda itu. Dia sendiri akan merasa asing, aneh dan kehilangan tempat berpijak kalau dia harus bersikap lain dari pada apa yang telah dia katakan itu.

Diam-diam Kui Siang memandang kepada suheng-nya dengan hati merasa heran bukan kepalang. Tiga orang suhu mereka tidak pernah bercerita tentang asal usul Sin Wan, dan suheng-nya itu sendiri pun hanya menceritakan bahwa dia yatim piatu. Sama sekali dia tidak pernah menyangka bahwa suheng-nya adalah seorang Uighur! Baginya tidak ada sedikit pun sisa-sisa orang Uighur pada suheng-nya, padahal menurut pengakuannya tadi, ayah bunda suheng-nya adalah Bangsa Uighur. Suheng-nya orang Uighur tulen! Sungguh tak disangkanya sama sekali.

Mendengar ucapan itu, juga melihat sikap dan sinar mata pemuda itu, Raja Muda Yung Lo tersenyum girang. Wajahnya berseri dan dia pun berkata, "Hemm, kami hanya ingin tahu isi hatimu, Sin Wan. Kalau kita semua mau mengakui secara jujur, kami sendiri tidak tahu siapakah yang asli dan siapa pula yang tidak asli di antara kita semua!" 

Pangeran atau raja muda itu tertawa. "Kita hanya mampu mengenal nenek moyang kita sampai kepada kakek buyut atau kakek canggah. Sebelum itu, siapa dapat yakin bahwa nenek moyang kita bukan keturunan suku lain? Siapa tahu di dalam tubuhku ini mengalir darah Uighur, atau darah Miauw, bahkan darah Mancu atau malah darah Mongol? Yang terpenting memang bukan keturunannya, tapi sepak terjangnya dalam hidup. Bagaimana pun darah manusia tetap darah manusia, apa bedanya? Keturunan apa pun, bila memang dia pengkhianat, tetap penghkianat, kalau dia pendekar atau pahlawan, tetap pahlawan. Nah, mengingat bahwa engkau murid Sam-sian, apa lagi kini datang bersama locianpwe Pek-sim Lo-kai, kami percaya sepenuhnya kepadamu. Kepadamu kami juga menawarkan kerja sama demi kepentingan rakyat seperti yang kami tawarkan kepada locianpwe Pek-sim Lo-kai. Bagaimana kesanggupanmu, Sin Wan?”

"Hamba siap untuk bekerja sama, Yang Mulia.”
"Bagus Kami telah mendengar akan kemampuanmu, maka kami ingin engkau membantu kami sebagai seorang panglima pasukan keamanan yang khusus bergerak dalam usaha pemerintah mempersatukan dunia persilatan dan menjalin hubungan antara pemerintah dengan mereka. Maukah engkau menerimanya?"

Sin Wan terkejut. Dia diangkat menjadi seorang panglima! Sungguh merupakan hal yang mengejutkan sebab dia tak pernah bermimpi untuk menjadi seorang perwira tinggi begitu saja! Akan tetapi dia pun teringat akan kesanggupannya kepada kakek Bu Lee Ki untuk membantunya mempersatukan kai-pang.

"Hamba berterima kasih sekali, dan tentu saja hamba mentaati perintah paduka. Tetapi kalau boleh hamba memohon, agar pengangkatan itu ditangguhkan dahulu karena hamba hendak membantu Bu-locianpwe untuk menghadiri pertemuan besar antara para pimpinan kai-pang di Lok-yang."

Tentu saja alasan ini mengandung maksud yang lain, yaitu bahwa dia ingin lebih dahulu mengantar sumoi-nya pulang ke Nan-king!

Raja Muda Yung Lo tersenyum dan mengangguk-angguk. “Bagus, kami setuju. Memang urusan itu juga merupakan kepentingan kami dan masih dalam rangka tugasmu sebagai seorang panglima keamanan. Baik, engkau pergilah bersama Bu-locianpwe lebih dahulu, sekalian kelak melaporkan kepada kami bagaimana hasil pertemuan itu. Sekarang kami ingin bicara dengan nona Lim Kui Siang."

Gadis itu mengangkat muka memandang kepada Raja Muda Yung Lo, akan tetapi melihat sinar mata yang amat tajam itu, dia pun menunduk kembali dan menanti dengan jantung berdebar. Apa yang dikehendaki raja muda itu darinya?

“Nona Lim Kui Siang, kami sudah mendengar pula laporan tentang kelihaian nona ketika bertanding melawan tokoh-tokoh Ang-kin Kai-pang dan kami merasa kagum sekali. Nona masih begini muda tetapi sudah memiliki kepandaian hebat, walau pun keheranan kami kini terjawab ketika mendengar bahwa nona adalah murid Sam-sian."

Dengan sikap tenang dan sopan Kui Siang memberi hormat, lantas menjawab, "Paduka terlalu memuji, Yang Mulia. Berkat bimbingan tiga orang suhu maka hamba bisa memiliki sedikit kemampuan untuk menjaga diri."

Senang hati raja muda itu mendengar kata-kata ini. Selain lihai gadis ini juga mempunyai watak pendekar, tidak suka menyombongkan diri, bahkan jawaban itu menunjukkan sikap yang rendah hati.

"Nona, kebetulan sekali kami membutuhkan seorang wanita selihai nona untuk menjadi pengawal keluarga kami. Kami sendiri sering kali memimpin pasukan mengusir pengacau-pengacau dari luar Tembok Besar sehingga harus meninggalkan keluarga. Hati kami akan merasa tenang dan tenteram kalau nona suka membantu kami dengan menjadi pengawal pribadi keluarga kami, yang mengepalai semua pasukan pengawal istana. Maukah nona menerimanya?"

Wajah gadis itu menjadi kemerahan dan jantungnya berdebar. Seperti juga Sin Wan, dia terkejut bukan main. Begitu saja, secara mendadak dan amat mudah, ia diangkat menjadi kepala pengawal keluarga di dalam istana raja muda. Ini kedudukan yang tinggi, bahkan lebih tinggi dari pada kedudukan mendiang ayahnya dulu! Kepala pengawal dalam istana adalah orang yang dipercaya sepenuhnya oleh raja muda untuk menjaga keamanan dan keselamatan keluarga! 

Sejenak dia termangu. Dia melirik ke arah suheng-nya, akan tetapi suheng-nya sedang menundukkan mukanya. Ketika dia mengerling ke arah Bu Lee Ki, kakek itu memandang kepadanya dengan senyum, sedangkan pandang matanya jelas tidak mau mencampuri dan menyerahkan keputusannya kepadanya sendiri.

"Bagaimana jawabanmu, nona Lim?" raja muda itu bertanya.
"Hamba... hamba sekarang ingin pergi ke Nanking untuk menyembahyangi makam ayah bunda hamba...!" akhirnya Kui Siang menjawab.
"Aihhh... jadi seperti juga Sin Wan, engkau sudah yatim piatu, nona? Dan engkau berasal dari kota raja?"

Sin Wan maklum bahwa sumoi-nya merasa rikuh untuk memperkenalkan keluarganya. Mengingat bahwa ayah gadis itu seorang pembesar yang setia, dia pun tidak ragu-ragu membantu sumoi-nya.

"Maafkan hamba, Yang Mulia. Sumoi Lim Kui Siang adalah puteri tunggal dari mendiang Lim-taijin (pembesar Lim) yang menjabat pengurus gudang pusaka istana." 

Mendengar ini, Raja Muda Yung Lo terbelalak lantas memandang tajam kepada gadis itu yang kini menundukkan mukanya.

"Ahhh! Jadi ayahmu adalah mendiang paman Lim Cun, nona!"

Kui Siang hanya dapat mengangguk.

"A-ha! Kalau begitu engkau adalah puteri seorang pejabat tinggi yang setia sampai mati! Bukankah mendiang ayahmu tewas akibat dibunuh penjahat yang mencuri pusaka-pusaka istana?"
"Benar, Yang Mulia."
"Lim Kui Siang, kiranya engkau masih orang sendiri! Dulu ayahmu adalah seorang pejabat yang setia dan kami sudah mengenalnya biar pun kami belum pernah berkenalan dengan keluarganya. Kami menjadi semakin yakin dan percaya sepenuhnya kepadamu. Baiklah, engkau boleh pergi dulu ke Nan-king menyembahyangi makam orang tuamu, sesudah itu engkau kembali ke sini dan mulai dengan tugasmu di istana. Bagaimana?”

Kui Siang tidak mempunyai pilihan lain kecuali menyetujui tentu saja. Dia memang tidak tahu bagaimana harus memulai hidupnya yang sebatang kara itu. Biar pun ada dua orang pamannya dan seorang bibi dari ayah, juga seorang paman dari ibunya, akan tetapi dia tidak suka kepada mereka karena dia tahu benar bahwa dulu mereka amat menginginkan peninggalan atau warisan harta dari orang tuanya.

Dia akan ke Nanking, selain bersembahyang juga akan mengurus harta peninggalan itu yang dahulu oleh Ciu-sian dititipkan kepada Ciang-Ciangkun, seorang perwira yang setia dan jujur, bahkan juga sahabat baik ayahnya,

"Baiklah, Yang Mulia, hamba akan mentaati perintah paduka."

Bukan main senang rasa hati Pangeran yang menjadi Raja Muda di Peking itu. Dia segera memerintahkan para pelayan untuk mengeluarkan hidangan makan malam, kemudian dia mengajak empat orang tamunya untuk makan malam bersamanya. Ini suatu kehormatan yang luar biasa, terutama bagi Thio Sam Ki.

Dia seorang ketua pengemis makan malam bersama Yang Mulia Raja Muda Yung Lo! Baginya peristiwa ini akan menjadi dongeng yang takkan henti-hentinya dia ceritakan dan banggakan kepada anak cucunya kelak!

Mendengar bahwa mereka akan segera berangkat ke selatan, Raja Muda Yung Lo lalu memberi hadiah lima ekor kuda pilihan untuk mereka, karena ketua Ang-kin Kai-pang, yaitu Ciok An, akan ikut mengawani ketuanya menghadiri rapat besar pemilihan pemimpin besar kai-pang yang akan diadakan di Lok-yang.

Mereka lalu melakukan perjalanan cepat ke selatan. Sementara itu Raja Muda Yung Lo segera membuat surat laporan panjang kepada ayahnya mengenai rapat besar kai-pang, mengenai Bu Lee Ki, Sin Wan dan Lim Kui Siang…..

********************
Selanjutnya baca
SI PEDANG TUMPUL : JILID-07
LihatTutupKomentar