Si Pedang Tumpul Jilid 07


"Kalian tak perlu banyak bertanya!" kata gadis itu sambil bertolak pinggang di depan pintu gapura pusat perkampungan Hwa I Kai-pang yang megah. "Panggil saja ketua kalian dan suruh dia keluar, katakan bahwa aku Tang Bwe Li ingin bertemu dan bicara dengan dia!"

Sejak kemunculannya gadis yang galak itu telah menarik perhatian banyak anggota Hwa I Kai-pang. Tadinya dia melangkah hendak begitu saja memasuki gapura tanpa peduli akan para penjaga, dan setelah para penjaga menghadang, dia pun marah-marah!

Tadinya para anggota Hwa I Kai-pang hendak marah-marah, tetapi ketika melihat bahwa gadis itu seorang dara jelita berusia dua puluh tahunan yang wajahnya manis sekali, maka timbul kegembiraan mereka untuk menggoda.

"Aduhai nona manis, mengapa susah payah mencari pangcu kami? Marilah bertemu dan bicara saja dengan aku di gardu sini, kan lebih asyik! Aku adalah kepala jaga, dan dapat kusuruh semua anak buahku ini menyingkir supaya kita berdua dapat bicara tanpa ada gangguan." Tentu saja ucapan ini disambut suara tawa para temannya.

Gadis itu memang Tang Bwe Li atau Lili. Ia mendapat tugas dari Bi-coa Sian-li Cu Sui In, yaitu bekas gurunya yang sekarang sudah menjadi kakak seperguruannya untuk pergi melakukan penyelidikan kepada Hwa I Kai–pang yang menjadi saingan Hek I Kai-pang yang telah mereka kuasai.

Akan tetapi Lili adalah seorang dara yang keras hati dan juga memandang rendah semua orang. Perlu apa harus bersusah payah melakukan penyelidikan seperti seorang pencuri, pikirnya. Lebih baik temui saja ketua Hwa I Kai-pang, taklukkan dia lantas paksa dengan kekerasan agar dia mau mencalonkan suci-nya sebagai pemimpin besar kai-pang, habis perkara. Lebih mudah dan cepat, juga tidak harus menyelinap masuk seperti pencuri!

Tingkat kepandaian Souw-pangcu dari Hek I Kai-pang juga hanya sebegitu saja. Tentu tingkat kepandaian ketua Hwa I Kai-pang juga tidak jauh selisihnya sehingga akan mudah dia kalahkan.

Mendengar ucapan yang kurang ajar itu, Lili menoleh dan melihat bahwa yang berbicara adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun yang tubuhnya tinggi kurus berjenggot pendek jarang dan berkumis tipis. Demikian kurusnya orang itu sehingga nampak seperti kerangka dibungkus kulit. Matanya yang dalam menunjukkan bahwa dia adalah seorang mata keranjang dan hidung belang.

Lili menggapai ke arah orang itu yang berada di depan gardu. Tentu saja laki-laki anggota Hwa I Kai-pang yang pada hari itu menjadi kepala jaga itu menjadi gembira bukan main dan diiringi tawa iri kawan-kawannya, dia pun melangkah lebar menghampiri Lili. Sesudah berhadapan dia pun menjadi semakin kagum. Dara ini memang cantik sekali!

Secara kurang ajar dia mengembang-kempiskan hidungnya, lalu memuji, "Aduh, alangkah harum baunya! Mawar merah yang cantik jelita dan berbau harum! Adik manis, siapakah namamu?”

Sejak muncul Lili tak pernah meninggalkan seyumnya, senyum sinis ketinggian hati yang rnengandung ejekan. "Sebaliknya aku mencium bau busuk keluar dari mulutmu!”

Orang itu terbelalak, sementara kawan-kawannya yang tadi merasa iri, kini tertawa geli, mentertawakan rekan mereka yang ceriwis itu.

"Apa kau bilang?" Baru saja si tinggi kurus itu mengeluarkan pertanyaan ini, secepat kilat kaki Lili telah menendang sebongkah batu sebesar kepalan tangan dan batu itu melayang dengan kuatnya ke atas, tepat menghantam mulut yang sedang terbuka karena bicara itu.
"Auuppp...!" Batu itu menghantam keras sekali sehingga merobek bibir dan merontokkan gigi, memasuki mulut dengan paksa sehingga mulut itu terkuak lebar, lebih lebar dari pada kemampuannya karena tepi mulut itu sudah terobek!
"Uhh... ahhh... ahhhhh...!" Si tinggi kurus itu menekuk tubuhnya, mencoba dengan kedua tangan untuk mengeluarkan batu dari mulut dan merintih-rintih kesakitan.

Mulut yang robek itu berdarah dan teman-temannya yang tadinya tertawa-tawa, sekarang menjadi terkejut dan cepat menolong. Batu itu akhirnya dapat dikeluarkan, dan akibatnya sungguh mengerikan karena mulut itu robek pada kedua pipinya, bibirnya pecah-pecah dan semua gigi depan, baik yang atas mau pun yang bawah, patah-patah! Si tinggi kurus itu tidak akan mati karena lukanya, akan tetapi dia akan menderita cacat pada mukanya.

“Nah, siapa lagi yang berani bermulut busuk? Majulah!"

Seorang anggota Hwa I Kai-pang yang lebih tua segera melangkah maju, sedangkan tak kurang dari dua puluh orang kawannya kini sudah berada di pintu gapura itu.

"Nona siapakah dan ada keperluan apa hendak mencari pangcu kami?" Orang ini lebih berhati-hati.
"Tidak perlu kalian tahu siapa dan mengapa aku ingin bertemu dengan pangcu dari Hwa I Kai-pang. Katakan saja bahwa aku Tang Bwe Li ingin bertemu dengan dia, sekarang juga! Dia yang keluar menemuiku atau aku yang akan masuk mencarinya!"

Biar pun para anggota Hwa I Kai-pang itu dapat menduga bahwa gadis ini bukan orang sembarangan, terbukti ketika dengan sebuah batu yang ditendangnya dia dapat merobek mulut si tinggi kurus, tapi mereka merasa penasaran juga. Dia hanya seorang gadis muda dan mereka adalah para anggota Hwa I Kai-pang yang rata-rata memiliki kepandaian silat.

Gadis ini memaksa hendak menemui ketua mereka yang tengah keluar dan telah melukai si tinggi kurus seorang rekan mereka. Bagaimana mereka dapat membiarkan saja tanpa membalas? Akan rusaklah nama besar Hwa I Kai-pang dan akan menjadi buah tertawaan karena peristiwa itu dilihat pula oleh umum yang menonton dari jarak jauh di seberang jalan depan perkampungan Hwa I Kai-pang.

"Nona, engkau sungguh lancang. Pangcu sedang tidak berada di sini, dan engkau sudah melukai seorang rekan kami tanpa sebab. Karena itu terpaksa kami harus menahanmu di sini dan menanti sampai pulangnya pangcu kami agar memberi keputusan kepadamu atas perbuatanmu ini."

Meski pun ucapan itu sopan dan tidak kasar, namun cukup membuat wajah Lili menjadi merah dan matanya terbelalak karena marah. "Apa?! Kalian hendak menahanku, hendak menangkap aku? Apakah kalian ini orang-orang Hwa I Kai-pang sudah gila? Suruh saja ketua kalian keluar. Kalian bukan lawanku!"

Kata-kata ini tentu saja membuat banyak anggota Hwa I Kai-pang menjadi marah sekali. "Bocah sombong, kau berani melawan kami yang banyak ini?" tegur anggota yang sudah berpengalaman itu.

"Tidak berani? Huh, lekas suruh keluar seluruh anggota Hwa I Kai-pang! Biar ada seratus orang sekali pun akan kuhajar semua kalau berani melawanku!"

Tentu saja para anggota Hwa I Kai-pang menjadi marah sekali. Mereka segera bergerak maju mengepung Lili dan terdengar teriakan-teriakan marah.

"Tangkap bocah sombong ini!"
"Dia harus dihajar, dia berani menghina Hwa I Kai-pang!"

Beberapa orang serentak menubruk untuk menangkap dara jelita itu, bukan hanya karena marah, namun juga karena ingin meringkus tubuh yang sangat menggairahkan itu. Akan tetapi, begitu tubuh Lili bergerak dan berkelebatan, dia telah sibuk dengan kaki tangannya membagi-bagi tamparan dan tendangan, dan akibatnya, dalam satu gebrakan saja empat orang pengoroyok telah terpelanting ke kanan kiri, ada yang mukanya membengkak, ada yang tulang pundaknya patah, ada yang perutnya mulas dan sambungan lututnya terkilir!

Yang lain menjadi semakin marah, dan sekarang belasan orang sudah mengepung dan mengeroyok gadis itu. Agaknya para anggota Hwa I Kai-pang masih belum mau percaya bahwa mereka yang berjumlah banyak tidak akan mampu meringkus gadis itu. Karena itu dengan hanya mempergunakan tangan kosong mereka pun seperti segerombolan srigala mengeroyok seekor domba, berlomba untuk membekuk batang leher gadis jelita itu. 

Akan tetapi Lili mengamuk. Sepak terjangnya menggiriskan, tubuhnya tidak bisa disentuh apa lagi ditangkap. Bagaikan seekor burung walet menyambar-nyambar dia menyelinap di antara tangan-tangan yang meraihnya, berloncatan ke sana sini dan kadang kala tinggi di atas kepala para pengeroyoknya, dan setiap ada kesempatan tangan atau kakinya pasti merobohkan seorang pengeroyok. Tubuhnya berlenggang-lenggok secara aneh, bagaikan gerakan ular saja, namun semua serangan lawan tidak pernah menyentuh tubuhnya, dan setiap kali dia menggerakkan kaki atau tangan, pasti seorang lawan terpelanting. Dalam waktu yang tidak terlampau lama, kurang lebih dua puluh orang anggota Hwa I Kai-pang sudah terpelanting roboh!

Sekali meloncat Lili telah mendekati seorang di antara mereka dan kaki kirinya menginjak dada. Orang itu terengah-engah, merasa dadanya bagai dihimpit benda yang ratusan kati beratnya, membuat dia sukar bernapas dan matanya terbelalak, mukanya merah seperti udang direbus.

"Hayo cepat katakan, di mana ketua Hwa I Kai-pang?" Lili bertanya. "Kalau engkau tidak mengaku, dadamu akan kuinjak sampai pecah!”
"Saya... uh-uhhh... saya tidak berani bohong... uhhh, pangcu pergi ke luar kota, entah ke mana... saya hanya anggota biasa...!"

Lili melepaskan injakannya dan orang itu megap-megap bagaikan ikan yang dilempar ke darat, meneguk udara dengan lahapnya seperti orang kehausan. Lili memandang kepada mereka yang bergelimpangan di tanah.

"Salah kalian sendiri yang mencarl penyakit! Katakan kepada ketua kalian bahwa besok pagi-pagi aku akan kembali untuk bicara dengan dia!" Setelah berkata demikian, gadis itu membalikkan tubuhnya, mengebut-ngebutkan ujung pakaian lantas melangkah pergi dari situ dengan santai.

Semua orang yang tadi melihat perkelahian itu mengikutinya dengan pandang mata penuh kagum dan khawatir. Akan tetapi tak seorang pun berani menegur Lili yang melenggang pergi seenaknya, menuju ke pintu gerbang barat.

Baru saja bayangan Lili lenyap di sebuah tikungan, serombongan orang datang ke tempat itu dari timur. Mereka terdiri dari delapan orang dan begitu melihat keadaan para anak buah Hwa I Kai-pang, seorang di antara mereka cepat berlari menghampiri.

"Apa yang terjadi di sini?" tanya orang itu kepada mereka. Para anak buah Hwa I Kai-pang yang masih kesakitan, girang melihat munculnya orang itu yang bukan lain adalah ketua mereka.

Orang itu berusia kurang lebih empat puluh tahun, bertubuh pendek gendut dan namanya adalah Siok Cu. Pakaiannya juga berkembang-kembang dengan tambalan dari kain yang baru. Ketika dia mendengar keterangan para anak buahnya bahwa baru saja ada seorang gadis muda yang berkeras hendak bertemu dengan ketua Hwa I Kai-pang dan bersikap sombong lalu menghajar mereka semua, Siok-pangcu menjadi marah bukan main.

"Keparat!" serunya marah. "Di mana gadis sombong itu sekarang?"
"Dia tadi pergi ke sana, pangcu," kata anak buahnya sambil menunjuk ke barat.
“Aku harus mengejarnya!" 

Akan tetapi sebelum Siok-pangcu lari mengejar, tujuh orang yang tadi datang bersamanya telah berada di dekatnya. Seorang pemuda berusia dua puluh enam tahun yang bertubuh pendek, berlengan panjang, pakaiannya mewah dan pesolek, berwajah tampan dan selalu tersenyum-senyum, segera menyentuh lengannya.

“Pangcu, ada aku di sini, kenapa pangcu hendak bersusah payah sendiri? Tinggallah saja di sini bersama suhu, aku yang akan menangkapkan gadis itu untukmu."

Kakek yang datang bersama mereka, yang tubuhnya besar, perutnya gendut sekali serta kepalanya botak, terkekeh. "Heh-heh-heh, pangcu, apa yang dikatakan Maniyoko benar. Biarlah dia memperlihatkan jasanya yang pertama!"

Kakek ini adalah seorang datuk yang sangat terkenal di sepanjang pantai timur, bahkan di Lautan Pohai, karena dia adalah Tung-hai-liong (Naga Laut Timur) Ouwyang Cin. Kakek ini menjadi datuk para bajak laut dan semua golongan hitam di daerah pantai timur. Dia bahkan terkenal sekali di kepulauan Jepang sebab dia adalah seorang peranakan Jepang.

Ada pun pemuda tampan itu adalah Maniyoko, seorang pemuda Jepang yang menjadi muridnya. Senang hati Siok Cu mendengar kesanggupan tamunya itu. Setelah Maniyoko mendengar keterangan para anggota Hwa I Kai-pang tentang ciri-ciri gadis pengacau itu, dia segera mengajak lima orang anak buah ayahnya untuk melakukan pengejaran dengan cepat menuju ke barat…..

********************
Lili sudah keluar dari pintu gerbang kota Lok-yang sebelah barat. Ia merasa puas. Besok pagi-pagi dia akan kembali ke markas Hwa I Kai-pang dan akan memaksa ketuanya agar menakluk kepada suci-nya dan kelak memberikan suara kepada suci-nya untuk menjadi pemimpin besar para kai-pang! Akan jauh lebih mudah begitu, pikirnya bangga. Ia kini tiba di jalan raya dekat hutan yang sunyi, menuju ke perkumpulan Hek I Kai-pang yang berada di luar kota.

Tiba-tiba ia mendengar seruan dari sebelah kiri, dari hutan di tepi jalan raya itu. Mula-mula dia tak peduli, akan tetapi setelah dia dapat menangkap kata-kata yang diteriakkan suara itu, alisnya berkerut dan dia pun menahan langkahnya.

"Heiii, perempuan sombong! Kalau memang engkau berani, masuklah ke sini supaya kita dapat bertanding sampai seribu jurus tanpa ada orang lain yang mengganggunya! Kalau engkau takut, cepat berlutut dan menyerah untuk kubawa sebagai tawanan ke Hwa I Kai-pang!"
"Jahanam busuk!" Lili sudah menjadi marah sekali.

Tanpa mempedulikan peraturan kehidupan dunia kang-ouw bahwa tantangan dari dalam hutan seperti itu dapat merupakan jebakan dan amat berbahaya sehingga tak sepatutnya dilayani, dia sudah melompat ke kiri dan memasuki hutan itu.

"Siapa takut kepadamu? Keparat, jangan lari kau!" teriaknya lagi.

Ketika dia tiba di tempat terbuka, di situ telah menanti enam orang laki-laki, dipimpin oleh seorang pemuda yang bertubuh pendek tegap dan wajahnya yang tampan itu tersenyum-senyum secara kurang ajar. Bentuk wajah pemuda ini bundar laksana bulan, putih dan halus tanpa kumis jenggot, akan tetapi cambangnya tebal dan panjang, dari dekat telinga sampai ke dagunya. Kepala bagian depan sengaja dicukur botak sehingga nampak aneh, seperti seekor kepala burung yang ajaib.

"Engkaukah yang bernama Tang Bwe Li, nona?" tanya pemuda itu, sedangkan lima orang lainnya yang bertubuh tegap berdiri diam saja di sampingnya, namun sikap mereka pun dalam keadaan siap siaga dan menanti perintah.
"Kalau benar mengapa? Engkaukah yang berteriak-terlak menantangku tadi?"

Pemuda itu tertawa. "Aku memang sengaja memancingmu masuk ke sini, nona. Apa bila engkau takut, engkau boleh keluar lagi."

Maniyoko memang seorang pemuda Jepang yang telah memiliki banyak pengalaman dan amat cerdik. Dia segera tahu apa kelemahan gadis jelita yang berdiri dengan gagahnya di hadapannya itu. Gadis ini mempunyai kelemahan, yaitu tinggi hati sehingga kalau gadis ini ditantang dan dikatakan takut, biar dipancing dengan ancaman bahaya bagaimana besar pun tentu akan nekat!

Sepasang mata Lili berapi-api. "Tutup mulut busukmu. Siapa takut?!"

"Heh-heh, memang aku tahu bahwa engkau tidak mengenal takut, nona. Karena itu aku ingin sekali berkenalan. Namaku Maniyoko dan aku..."
"Persetan dengan namamu! Jika benar engkau yang menantangku tadi, bersiaplah untuk mampus. Aku tidak sudi berkenalan denganmu!" kata Lili dan dia pun langsung mencabut pedangnya karena sekali ini dia marah sekali sehingga dia harus membunuh orang yang tadi menghina dan menantangnya.

Begitu mencabut pedangnya, Lili pun berseru, "Cepat keluarkan senjatamu dan bersiaplah untuk mati!"

Pemuda Jepang itu terkejut melihat pedang yang mengeluarkan cahaya putih, berwarna putih seperti perak, akan tetapi begitu tercabut mengeluarkan bau harum yang amat aneh itu. Sebagai orang yang sudah banyak pengalaman dan lama berkecimpung dalam dunia persilatan, pemuda Jepang ini dapat menduga bahwa pedang itu tentu ampuh sekali dan mengandung racun. Maka dia pun memberi isyarat kepada lima orang anak buah ayahnya dan dia sendiri lalu mencabut pedang yang tergantung di pinggangnya. Sebatang pedang panjang melengkung, pedang samurai yang sangat tajam dan gagangnya panjang sekali sehingga gagang itu dapat dipegang dengan kedua tangannya.

Sesungguhnya, dengan kepandaiannya yang tinggi Maniyoko memandang rendah kepada gadis itu. Namun melihat pedang di tangan Lili, dia terpaksa mencabut pedangnya karena maklum bahwa pedang beracun itu cukup berbahaya.

"Nona manis, aku sudah siap. Mari kita bertaruh dalam pertandingan ini. Apa bila engkau kalah, maka engkau akan menjadi mllikku dan harus menurut segala kehendakku, harus melayani aku dengan manis, heh-heh!"
“Jahanam kau! Kalau engkau yang kalah, lehermu akan kupenggal!” teriak Lili dan dia pun sudah menyerang dengan dahsyatnya. Pedangnya menjadi sinar putih menyambar dan mengeluarkan suara berdesing.

Maniyoko terkejut dan cepat menangkis dengan samurainya.

"Tranggg...!"

Bunga api berpijar dan keduanya merasa betapa tangan mereka tergetar hebat. Keduanya cepat meloncat ke belakang dan memeriksa senjata masing-masing, namun baik pedang mau pun samurai itu tidak rusak dan keduanya saling pandang.

Maniyoko baru tahu bahwa gadis itu benar-benar amat lihai, memiliki tenaga yang mampu menandinginya! Padahal tadi dia menangkis dengan pengerahan tenaga untuk membuat pedang lawan patah atau terlepas. Siapa kira tangannya sendiri tergetar hebat. 

Sebaliknya Lili juga maklum bahwa lawannya tidak boleh disamakan dengan orang-orang Hwa I Kai-pang tadi. Ia menjadi semakin marah dan penasaran, lalu memutar pedangnya dan menyerang dengan ganasnya. Berbeda dengan suci-nya yang mempunyai Hek-coa-kiam (Pedang Ular Hitam), oleh gurunya dia diberi Pek-coa-kiam (Pedang Ular Putih) dan juga ilmu pedang yang amat dahsyat dan ganas. Seperti juga pedang suci-nya, pedang di tangannya itu walau pun nampaknya putih bersih seperti perak, namun pedang itu sudah direndam racun ular yang sangat berbahaya. Sedikit saja tergores pedang itu, maka orang yang terluka sukar ditolong lagi nyawanya.

Akan tetapi lawannya, Maniyoko ialah murid tersayang dari Tung-hai-liong Ouwyang Cin, seorang datuk yang kedudukannya setingkat dengan kedudukan datuk See-thian Coa-ong Cu Kiat. Tentu saja tingkat kepandaian pemuda Jepang itu juga sudah tinggi sehingga dia dapat mengimbangi permainan pedang Lili, bahkan membalas dengan tak kalah ganasnya dengan permainan samurainya yang aneh.

Permainan samurai yang kadang-kadang dipegang kedua tangan itu bagaikan gelombang samudera, susul menyusul dan selalu menyambar lagi kalau serangan pertama gagal dan dielakkan lawan.
Akan tetapi, Lili merasa girang bahwa pemuda Jepang itu dapat dia desak mundur sampai ke bawah pohon. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa pemuda itu memang sengaja memancingnya ke bawah pohon besar itu, dan pada saat Lili menyerang dengan dahsyat, tiba-tiba pemuda Jepang itu melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan. 

Pada saat itu dari atas pohon meluncur sehelai jala yang lebar dan sebelum Lili maklum apa yang terjadi, tubuhnya telah ditimpa jala itu. Dia terkejut dan segera mempergunakan pedangnya untuk membabat tali-temali jala yang melibat dirinya. 

Akan tetapi pada saat itu Maniyoko sudah melompat ke belakangnya, lalu sekali pemuda itu menggerakkan tubuh, Lili tidak mampu bertahan lagi dan roboh terkulai lemas. Hal ini dapat terjadi karena dia tadi sibuk meronta untuk melepaskan diri dari jala dengan sia-sia, karena ke empat sudut jala dipegang oleh anak buah Maniyoko. Lagi pula mereka adalah bajak-bajak laut yang lihai dan ahli mempergunakan senjata jala itu.

"Ha-ha-ha-ha, nona manis. Engkau kalah dan engkau akan menjadi milikku!” kata pemuda Jepang itu dengan girang sambil mencolek dagu gadis itu dari luar jala.

Lili hanya mampu memandang dengan mata penuh kebencian karena dia tidak mampu bergerak. Sambil tertawa gembira pemuda Jepang itu berkata kepada kawan-kawannya.

"Biarkan ikan jelita ini di dalam jala dan kita bawa ke Hwa I Kai-pang. Siok-pangcu tentu akan girang sekali dan kalian akan menerima hadiah besar."

Karena tadi dia meronta, pangkal lengan kiri dan punggungnya terkena besi kaitan yang dipasang di dalam jala sehingga kini terasa nyeri. Akan tetapi Lili menahan diri dan sama sekali tidak mau memperlihatkan penderitaan itu.

Lima orang anak buah itu lalu melibatkan jala di sekitar tubuhnya sehingga membuat Lili sama sekali tak mampu bergerak lagi. Andai kata pengaruh totokan pada tubuhnya sudah lenyap sekali pun, tetap sukarlah baginya untuk membebaskan diri dari jala yang melibat dirinya dengan kuatnya itu.

Pada saat itu pula nampak bayangan berkelebat. "Enam orang laki-laki menghina seorang wanita, sungguh jahat sekali!"

Lima orang anak buah Maniyoko segera menyerang bayangan itu yang ternyata seorang pemuda yang bertubuh tinggi tegap. Akan tetapi begitu pemuda itu menggerakkan tangan dan kakinya, lima orang itu terlempar ke belakang seperti disambar angin badai! Pemuda itu cepat membuka libatan jala, tetapi sebelum dia sempat membebaskan Lili dari totokan, Maniyoko telah menyerangnya dengan samurainya.

"Singgggg...!"

Samurai itu meluncur dan mendesing nyaring ketika dielakkan oleh pemuda itu. Samurai yang luput dari sasaran itu membuat gerakan melengkung dan membalik, kini menyambar lagi sebagai serangan susulan yang lebih dahsyat dari pada yang pertama tadi.

Kembali pemuda itu mengelak dengan gerakan cepat, lantas dari samping dia mendorong dengan dua tangannya. Dari kedua telapak tangan itu mengepul uap putih dan angin yang dahsyat sehingga membuat Maniyoko hampir terjengkang!

Pemuda Jepang ini mengeluarkan seruan kaget, meloncat ke belakang dan kesempatan itu dipergunakan oleh si pemuda jangkung untuk menyambar tubuh Lili yang masih berada dalam jala berikut pedangnya, memanggul tubuh itu dan melarikan diri ke dalam hutan!

Lima orang anak buahnya hendak mengejar akan tetapi Maniyoko cepat-cepat menahan mereka. "Jangan kejar! Mari kita lapor kepada suhu!" katanya dengan hati gentar.

Dari serangan kedua tangan yang mengeluarkan uap putlh itu saja dia tahu bahwa dia berhadapan dengan lawan yang sangat tangguh, dan mengejar lawan selihai itu di dalam hutan sungguh amat berbahaya…..
********************
Sesudah berlari cepat bagaikan burung terbang saja sampai ke tengah hutan dan melihat bahwa tidak ada yang mengejarnya, pemuda itu berhenti berlari lantas menurunkan tubuh yang dipanggulnya itu dengan hati-hati ke atas tanah berumput tebal. Dia mengulurkan tangan menekan punggung dan pundak gadis itu dan seketika Lili merasa dirinya terbebas dari totokan.

Lili marah bukan main dan karena jala itu sekarang tak ada yang memeganginya lagi, juga libatannya sudah agak longgar, dia lalu menggerakkan pedang mengamuk dan jala itu pun dicabik-cabiknya.

"Auhhh...!" ketika dia merenggut jala itu, besi kaitan telah mengait punggungnya sehingga menimbulkan rasa nyeri, menambah kenyerian luka di punggung dan pundaknya.
"Engkau terluka, nona...?" Pemuda itu bertanya sambil menghampiri gadis yang kini jatuh terduduk itu.
"Kaitan sialan ini mengait di punggung... aduhhh...!" Lili mengomel.
"Diamlah dan jangan bergerak, nona. Biar kucabut kaitan itu.”

Pemuda itu berlutut di belakang Lili. Akan tetapi setelah dia memeriksanya, ternyata besi kaitan itu menancap menembus pakaian serta kulit sehingga sukar mencabutnya karena tidak kelihatan. Dia lalu merobek baju di punggung itu agar dapat melihat besi kaitannya.

"Breettt...!"
"Ihhh! Apa yang kau lakukan itu, jahanam!" Lili membentak, hendak meloncat, akan tetapi terduduk kembali karena kaitan itu tidak memungkinkan dia untuk banyak bergerak.
"Tenanglah, nona. Aku hanya ingin mengeluarkan besi kaitan itu dan tanpa merobek baju, sukar melakukannya karena kaitan itu tidak kelihatan." Pemuda itu mengerutkan alisnya. Betapa galaknya gadis ini, pikirnya.

Dengan sangat hati-hati dia kemudian mengeluarkan besi kaitan itu dari daging dan kulit yang ditembusinya. Darah mengucur keluar dan pemuda itu melihat bahwa punggung itu menderita dua luka, sedangkan di pundak kiri pun juga terluka.

"Jangan bergerak dahulu, nona. Pundak serta punggungmu terluka. Tiga buah luka yang cukup dalam dan dapat berbahaya kalau tidak segera diobati. Siapa tahu besi kaitan itu mengandung racun." Pemuda itu mengeluarkan sebuah bungkusan dari saku bajunya, lalu membukanya dan menaburkan bubuk putih pada tiga luka itu. 

Lili merasa betapa jari-jari tangan pemuda itu menyentuh kulit punggung dan pundaknya dengan lembut. Mengingat betapa selama hidupnya belum pernah ada tangan pria yang menyentuh kulitnya maka bulu tengkuknya segera meremang. Akan tetapi luka-luka yang tadi menimbulkan perasaan panas dan perih, kini terasa dingin dan nyerinya menghilang.

Sesudah pemuda itu selesai mengobati lukanya, Lili meloncat berdiri dan pemuda itu pun bangkit berdiri. Pemuda itu akan kecelik bila dia mengharapkan ucapan manis dan terima kasih dari Lili. Bahkan sebaliknya gadis itu memandang kepadanya dengan alis berkerut, muka marah dan mata melotot, bahkan tangan yang memegang pedang itu gemetar, siap untuk membacok atau menusuk!

"Kenapa engkau menyentuh pundak dan punggungku? Kenapa? Hayo katakan, mengapa engkau menyentuh pundak dan punggungku, keparat?"

Pemuda itu tertegun, bengong dan sampai lama tidak mampu menjawab. "Hayo jawab, kenapa malah bengong seperti patung?!" bentak Lili bertambah marah.

"Ehh? Aku...eh, aku... hanya ingin menolongmu, nona...” akhirnya dia berkata gagap dan bingung karena selama hidupnya baru sekarang ini dia berhadapan dengan seorang gadis yang begini galak.
"Menolongku? Kenapa? Hayo jawab!" kembali Lili membentak marah.

Kini pemuda itu sudah dapat mengatasi kekagetan dan keheranannya. Entah siapa orang tua dan guru gadis ini, pikirnya. Kenapa tidak mampu mendidik anak ini sehingga menjadi seperti itu, manis tetapi galak, sesat, seenak perutnya sendiri, dan tak tahu sopan santun masih ditambah tidak mengenal budi? Baru saja diselamatkan nyawanya, ehh, bukannya berterima kasih bahkan memaki-maki dan membentak-bentak penolongnya!

"Nona, engkau... engkau ini seorang manusiakah?"

Lili terbelalak. Pertanyaan itu datangnya demikian mengejutkan, seperti serangan tusukan pedang yang tiba-tiba dan tidak diduga-duganya hingga membuat dia sejenak kehilangan keseimbangan dan salah tingkah. Kalau tadi gadis ini memegang pedang dengan sikap mengancam, kini dia terlupa dan pedangnya dia gunakan untuk bersandar seperti tongkat dengan ujungnya menekan tanah!

“Apa...? Apa maksudmu...?" Dia balik bertanya, bingung.
"Kalau nona ini seorang manusia, mengapa begini aneh? Baru saja diselamatkan orang tetapi malah berbalik memaki-maki penolongnya. Kalau nona bukan manusia, maka tidak aneh, hanya sungguh sayang. Nona begini muda, cantik dan gagah, kelihatan baik budi, sayang kalau bukan manusia...”

Tiba-tiba wajah yang tadinya bengis itu berubah sama sekali. Kini nampak cerah, bahkan nampak gembira dan kalau tadi mulutnya mengandung senyum sinis mengejek, sekarang berubah menjadi senyum yang sangat manis sehingga membuat wajah itu seperti wajah kanak-kanak yang berhati bersih.

"Benarkah ucapanmu itu? Benarkah aku cantik dan gagah? Benarkah...?" 

Di dalam ucapan ini terkandung harapan bahkan permohonan seperti seorang anak kecil yang mengharapkan sesuatu yang sangat diinginkannya. Hal ini tidaklah mengherankan kalau diingat bahwa sejak kecil Lili telah hidup bersama orang-orang yang wataknya aneh, bahkan keras dan dapat dikata sesat seperti Bi-coa Sian-li Cu Sui In, kemudian ia menjadi murid pula dari seorang datuk aneh dan sesat seperti See-thian Coa-ong Cu Kiat. Dari kedua orang ini dia tidak pernah merasakan cinta kasih yang sewajarnya, yang keluar dari hati dan perasaan yang murni. Bahkan lebih sering dia mendengar caci maki dan celaan yang menyakitkan hati. 

Kemudian, setelah dia remaja dan dewasa, kalau ada orang memuji kecantikannya, maka pujian itu selalu mengandung rayuan serta penjilatan, pujian penuh nafsu yang dapat dia rasakan dan yang membuat dia merasa jijik dan benci. Kini untuk pertama kalinya selama hidupnya, dia bertemu seorang pemuda yang memuji atau mengatakan bahwa dia cantik dan gagah dengan cara yang lain sama sekali, bukan rayuan, bahkan bukan pula pujian hingga terasa olehnya bahwa ucapan itu mengandung ketulusan hati. lnilah yang selama ini dia idam-idamkan, yaitu perhatian yang tulus dari seseorang.....!

Pemuda itu kembali tertegun. Akan tetapi dia adalah seorang yang berwatak jujur, karena itu dia pun mengangguk. 

"Tentu saja! Semua orang pun dapat melihat bahwa engkau adalah seorang gadis yang masih muda, cantik dan gagah, mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Akan tepat dan serasi sekali kalau semua keindahan itu dilengkapi dengan watak yang baik pula. Nona, aku tadi melihat engkau ditangkap secara curang oleh enam orang laki-laki itu yang tidak kukenal. Karena aku menganggap perbuatan mereka itu jahat maka aku membantumu. Akan tetapi mereka itu ternyata lihai, apa lagi pemuda pendek itu. Maka aku mengambil keputusan untuk membawamu lari supaya kita dapat menyelamatkan diri dari pengeroyokan mereka. Tetapi siapa sangka, di sini engkau malah membalas perbuatanku untuk menolongmu itu dengan caci maki!"

Sejenak Lili tidak menjawab, akan tetapi sinar matanya mencorong dan mengamati wajah pemuda itu penuh selidik. Sinar matanya yang tajam seakan-akan hendak menembus ke dalam dan menjenguk isi hati pemuda itu! Akan tetapi pemuda itu menentang pandangan matanya dengan tenang.

"Aku masih belum tahu apakah engkau memang seorang yang benar-benar jujur sehingga pantas menjadi sahabatku, apakah engkau tadi benar-benar menolongku tanpa pamrih, ataukah engkau hanya ingin pamer kepandaian untuk menarlk perhatianku agar aku suka kepadamu?" 

Dia berhenti sebentar, lalu mengangkat pedangnya dan memegang pedang itu melintang di depan dadanya. "Jika engkau palsu, keluarkan senjatamu karena aku ingin mengujimu sampai seberapa tinggi kepandaianmu maka engkau berani memamerkan kepandaianmu kepadaku! Akan tetapi kalau engkau memang jujur, harap kau suka maafkan sikapku tadi. Aku bukan tidak mengenal budi, hanya... ahh, belum pernah aku bertemu dengan orang yang hatinya tidak palsu, maka sukarlah bagiku untuk percaya kepada siapa pun juga di dunia ini.”

Pemuda itu menarik napas panjang dan nampak terharu karena ucapan dan sikap gadis itu agaknya amat mengena pada perasaannya. "Engkau memang benar, nona. Dunia ini penuh kepalsuan sehingga aku sendiri hampir tidak pernah melihat kebenaran yang sejati. Mungkin aku sendiri pun sama palsunya dengan yang lain. Kita sudah terseret ke dalam pusaran kepalsuan dalam kehidupan manusia di dunia. Sudahlah, nona, sekarang lebih baik aku pergi saja. Aku tidak mempunyai pamrih apa-apa saat membantumu, akan tetapi aku pun tak berani mengaku bahwa aku bukan orang yang palsu seperti orang-orang lain. Selamat tinggal...!"

Pemuda itu membalikkan tubuh lalu melangkah pergi. Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu gadis itu telah meloncat dan melewatinya. Kini dia menghadang di depannya dan tanpa banyak cakap lagi sudah menyerangnya dengan pukulan ke arah dada. Cepat dan kuat sekali serangan itu!

Pemuda itu mengelak dengan gerakan gesit, lalu meloncat ke belakang. "Heiiii...! Kenapa pula engkau menyerangku?"

Lili tertawa. "Hi-hik, aku hanya ingin mengajak engkau berlatih silat, sobat. Sambutlah...!"

Tanpa memberi kesempatan lagi kepada si pemuda untuk menjawab, Lili telah menyerang kalang kabut dengan kedua kaki tangannya, gerakannya cepat dan aneh karena dia yang ingin menguji kepandaian pemuda yang sangat menarik hatinya itu sudah mengeluarkan jurus-jurus simpanannya!

Pemuda itu merasa terheran-heran, akan tetapi juga timbul kegembiraannya. Dia seorang yang berilmu tinggi dan tentu saja merasa senang kalau mendapatkan kesempatan untuk berlatih dengan lawan yang pandai seperti gadis aneh itu. Maka, sambil menangkis atau mengelak, dia pun membalas dengan serangan-serangan yang tak kalah dahsyatnya!

Lili sudah terluka. Biar pun luka-luka di punggung dan pundak itu telah diobati, akan tetapi terasa nyeri lagi begitu dipakai bergerak, bahkan dia tidak mampu mengerahkan seluruh tenaganya, terhalang oleh perasaan nyeri itu. Akan tetapi Lili adalah seorang gadis yang keras hati dan yang tidak pernah mau memperlihatkan kelemahannya. Biar pun rasa nyeri menusuk-nusuk, dia tak mau mengaku dan masih tetap mengerahkan seluruh tenaganya sambil menahan nyeri hingga seluruh tubuhnya berkeringat dan napasnya mulai memburu!

Pemuda itu maklum akan hal ini, dan tiba-tiba saja dia bergerak terlampau lambat ketika tangan kiri Lili mencengkeram ke arah dadanya. Akan tetapi begitu jari-jari tangan gadis itu menyentuh dadanya, tangan itu tidak jadi mencengkeram, bahkan dibuka dan hanya telapak tangannya yang membentur dada pemuda itu.

"Plakk...!" Pemuda itu terhuyung kebelakang.
"Nona lihai sekali, aku mengaku kalah,” katanya.

Tentu saja Lili bukan seorang gadis bodoh. Dalam hal ilmu silat, kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi sehingga dia dapat membedakan gerakan kalah atau mengalah. Dan dia tahu benar bahwa pemuda jangkung ini sengaja mengalah kepadanya, padahal dia sudah hampir kehabisan napas! 

Lili tersenyum girang dan lega. Jika pemuda itu tidak mengalah, tentu dia akan kalah dan hal ini akan menyakitkan perasaannya. Kekalahan merupakan hal yang dia anggap amat menyakitkan dan bahkan merendahkan! Dengan napas terengah Lili mengusap keringat dari leher dan dahinya, menggunakan sehelai sapu tangan merah muda, lalu dia menatap wajah pemuda itu dengan senyum. Diam-diam dia merasa kagum.

"Engkau lihai, aku suka padamu. Siapakah namamu?" tanyanya dengan terus terang dan sikap ini kembali membuat pemuda itu tertegun, akan tetapi juga kagum.

Gadis ini amat terbuka dan jujur, tidak banyak dipengaruhi tata cara sopan santun yang biasanya hanya sebagai bedak penutup isi hati yang sebenarnya saja. Gadis seperti ini tak akan menyimpan perasaannya sebagai rahasia, apa yang tercermin dalam sikap dan pada wajahnya menunjukkan keadaan perasaan hati yang sesungguhnya. Tidak seperti orang awam yang demi sopan santun palsu, sering memperlihatkan sikap yang menjadi kebalikan dari keadaan hatinya.

"Namaku Sin Wan. Dan siapakah engkau, nona?"

Pemuda itu memang Sin Wan. Seperti kita ketahui, bersama Kui Siang dan kakek Bu Lee Ki, juga ketua dan wakil ketua Ang-kin Kai-pang, dia pergi ke Lok-yang untuk menemani Bu Lee Ki dalam usaha kakek itu untuk mempersatukan dan memimpin kembali para kai-pang. 

Setelah tiba di luar kota Lok-yang mereka lalu berpencar seperti yang sejak semula telah direncanakan oleh kakek Bu Lee Ki. Dua orang pimpinan Ang-kin Kai-pang memiisahkan diri karena mereka hendak langsung berkunjung ke markas Hwa I Kai-pang untuk menjadi tamu perkumpulan pengemis itu.

Kakek Bu Lee Ki sendiri bersama Kui Siang memasuki kota Lok-yang sebagai tamu yang sedang berpesiar. Sin Wan sendiri diberi tugas oleh Bu Lee Ki untuk memasuki Lok-yang melalui pintu gerbang barat untuk melakukan penyelidikan terhadap Hek I Kai-pang.

Demikianlah, ketika dia sampai di jalan raya dekat hutan yang sunyi, dia mendengar suara orang bertempur di dalam hutan. Perkelahian itu tidak nampak dari jalan raya, akan tetapi karena dia memiliki pendengaran yang tajam terlatih, dia dapat menangkap suara mereka dan karena tertarik, dia lalu memasuki hutan itu dan melihat betapa seorang gadis sedang dalam bahaya, ditawan oleh enam orang menggunakan jala dan dia segera turun tangan menolongnya.

Nama Sin Wan tidak dikenal oleh Lili meski sebelas tahun yang lalu sebagai kanak-kanak berusia sepuluh dan sembilan tahun, mereka pernah berkelahi. Juga wajah dan keadaan mereka sudah berubah sama sekali, dari kanak-kanak menjadi dewasa, maka tentu saja tidak saling mengenal. Maka dengan wajah masih dihias senyum manis Lili menjawab.

"Namaku Tang Hwe Li, akan tetapi engkau boleh memanggil aku Lili saja, seperti semua orang yang akrab denganku."
“Lili? Nama yang bagus."
"Hemm, dan namamu amat jelek."
"Hemm..." Sin Wan tersenyum walau pun dia merasa heran akan kekasaran gadis ini.
"Akan tetapi biar namamu jelek, engkau seorang yang amat baik dan aku suka padamu, Sin Wan. Aku belum pernah mempunyai seorang kawan yang baik, dan kini aku senang sekali mendapatkan seorang kawan seperti engkau. Aku... ahhh..."

Melihat gadis itu terkulai lantas jatuh terduduk di atas rumput sambil menekan kepalanya dengan tangan kiri, Sin Wan terkejut dan dia pun cepat berlutut di dekatnya.

"Lili, kau kenapakah...?" tanyanya khawatir.
"Tidak apa-apa..." Lili yang tidak pernah mau kelihatan lemah itu mengerahkan tenaganya dan dia mencoba untuk bangkit berdiri. Akan tetapi begitu dia berdiri, tubuhnya langsung terkulai dan dia tentu sudah roboh kalau saja tidak cepat dirangkul oleh Sin Wan.
"Lili, engkau kenapa? Tubuhmu panas sekali...!" Sin Wan yang merangkul sangat terkejut karena gadis itu nampak pucat dan menderita nyeri, dan tubuhnya panas seperti terbakar. Dan Sin Wan merasa betapa tangan dan lengannya yang merangkul menjadi basah oleh keringat gadis itu.
"Sin Wan, aku... aku... ahhhh... " Gadis itu lalu terkulai dan pingsan dalam rangkulan Sin Wan!
"Lili, ahh, kenapa kau?"

Sin Wan cepat memondong tubuh itu dan membawanya ke tempat yang kering, di mana tanahnya tertutup daun-daun yang kering dan dengan hati-hati dia lalu merebahkan gadis itu di atas tanah. Setelah itu dia melepaskan kancing di dekat leher untuk melonggarkan dada gadis itu karena dia melihat napasnya terengah. 

Setelah itu mulailah dia memeriksa denyut jantung melalui nadi dan pernapasan gadis itu. Pemuda ini sudah mewarisi ilmu pengobatan mendiang Pek-mau-sian Thio Ki, seorang di antara Sam-sian. Setelah melakukan pemeriksaan sejenak, dia terkejut karena mendapat kenyataan bahwa gadis itu sudah keracunan! Tahulah dia bahwa racun itu tentu masuk melalui tiga buah luka pada punggung dan pundaknya tadi. Ternyata obatnya tidak cukup kuat untuk melawan racun itu dan kini ada hawa beracun menguasai gadis itu.

Terpaksa dia mendorong tubuh gadis itu agar miring, lalu merobek baju di punggung untuk memeriksa luka-lukanya. Dan benar saja, luka-luka itu nampak telah membiru, baik yang di pundak kiri mau pun yang di punggung. Nampak betapa dua luka kecil di punggung itu terlihat buruk sekali di permukaan punggung yang berkulit halus dan putih mulus. Dia tahu bahwa akan sukarlah mengobati Lili tanpa mengeluarkan racun itu dari luka-lukanya. 

Dia mendorong tubuh itu menelungkup dengan muka miring, merobek baju di punggung itu semakin lebar sehingga nampak semua permukaan punggung dan pundak, kemudian tanpa ragu-ragu lagi dia pun membungkuk kemudian menempelkan mulutnya pada luka pertama!
Dia lalu mengerahkan sinkang dan mulai mengisap, perlahan-lahan dan mengatur tenaga isapannya hingga mulutnya merasakan darah. Dia meludahkan darah yang diisapnya, dan seperti dugaannya, darah itu berwarna kehitaman! 

Setelah tiga kali mengisap barulah yang terisap ke mulutnya berupa darah merah dan dia menghentikannya, lalu menaburkan bubuk putih lagi kepada luka yang sudah bersih dari racun. Dia kembali melakukan isapan pada luka ke dua seperti tadi, kemudian pada luka di pundak sampai ke tiga luka itu bebas dari racun.

Pernapasan gadis itu tidak seperti tadi meski pun tubuhnya masih terasa panas. Baru saja dia selesai mengisap luka di pundak, mendadak gadis itu merintih dan bergerak. Sin Wan cepat melepaskan mulutnya dan pada saat itu pula Lili sudah bangkit duduk. Mata gadis itu mencorong, lalu kedua tangannya meraba punggung dan pundak yang terbuka karena baju di bagian punggung terbuka lebar.

"Jahanam kau, Sin Wan! Kau... kau... berani..."

Tangan kiri Lili sudah menyambar ke arah kepala Sin Wan dengan cengkeraman maut. Akan tetapi Sin Wan menangkap pergelangan tangan itu, lalu meludahkan darah terakhir tadi baru berkata,

"Tenanglah, Lili. Tadi aku mengobatimu, aku menyedot racun dari luka-luka dan untuk itu terpaksa aku harus membuka bajumu di bagian punggung. Maaf, tak ada jalan lain untuk menyelamatkan nyawamu. Lihat itu..." Sin Wan menunjuk ke tanah di mana tampak darah hitam yang diludahkannya tadi.

Lili terbelalak dan kebingungan.

"Jadi aku... aku keracunan...?"

Sin Wan mengangguk. "Benar. Racun itu sangat jahat sehingga pengobatanku pertama tadi gagal. Akan tetapi aku telah mengisap keluar semua racun dari tiga luka itu, dan kini hanya hawa beracun di tubuhmu yang harus kita bersihkan. Percayalah padaku, Lili. Aku hanya ingin menolongmu, bukan berniat kotor dan tidak sopan. Nah, duduklah bersila, aku akan membantumu mengusir hawa beracun dari tubuhmu."

Lili mengangguk. Tanpa bicara lagi gadis ini segera duduk bersila, bahkan membiarkan saja punggung dan pundaknya yang terbuka. Sin Wan dengan hati-hati menaburkan obat bubuk putih di luka terakhir, yaitu di pundak, kemudian dia menutup kembali punggung dan pundak yang terbuka dengan mengikatkan ujung kedua baju yang tadi dia robek.

Sekarang dia pun duduk bersila di belakang gadis itu sambil menempelkan kedua telapak tangannya di punggung yang kini telah tertutup kembali, perlahan-lahan dia mengerahkan tenaganya, disalurkan dari pusar melalui kedua lengannya, membuat telapak tangan yang menampung tenaga itu tergetar.

Lili duduk bersila dengan hati yang tidak karuan rasanya. Ada marah, ada malu, ada pula rasa girang, ada terharu sehingga kedua matanya menjadi basah! Sejak menjadi murid Bi-coa Sian-li sampai sekarang, dia tak pernah menangis. Tangis adalah pantangan baginya.

Namun saat ini ingin dia menjerit-jerit menangis. Ketika perasaan itu ditahannya, matanya menjadi panas dan basah, kemudian perlahan-lahan beberapa tetes air mata jatuh ke atas kedua pipinya. Dia merasa betapa dari kedua telapak tangan pemuda yang menempel di punggungnya itu keluar hawa hangat yang bergelombang memasuki dirinya. 

Dia tidak melawan dan pasrah saja, tetapi perlahan-lahan dia merasa betapa hawa panas yang membakar di dalam dadanya berangsur mengurang. Uap mengepul dari kepalanya dan tidak sampai satu jam kemudian, kesehatannya sudah pulih kembali, hawa panas itu menghilang dan dia merasa tubuhnya demikian nyaman, akan tetapi juga amat lemah.

"Nah, sekarang engkau sudah sembuh, Lili," kata Sin Wan lirih sambil melepaskan kedua tangan yang menempel di punggung gadis itu. Akan tetapi karena lemah, dengan lemas Lili terkulai dan jatuh bersandar pada dada Sin Wan yang cepat merangkulnya 
"Ehh, kenapa, Lili?"
"Lemas sekali... Sin Wan, biarkan aku bersandar begini... biarkan..." Lili berkata dengan suara yang lemah dan lirih. 

Tentu saja Sin Wan membiarkan gadis itu duduk bersandar pada dadanya, dan dia pun merangkul dengan kedua lengan supaya gadis itu tidak sampai terguling ke samping. Dia tahu bahwa akibat racun tadi, Lili yang sudah sembuh itu tinggal merasa lemas saja. 

Dan sekarang, setelah bahaya yang mengancam gadis itu lewat, baru dia merasa betapa lembut dan hangat tubuh yang bersandar di dadanya itu. Betapa halus dan harum rambut di kepala itu, dan betapa cantik raut wajah yang kini bersandar miring di dadanya. Betapa indah dan lembut lengan yang dipeluknya. 

Sin Wan adalah seorang pemuda dewasa yang normal, maka wajarlah kalau dia merasa jantungnya berdebar penuh gairah. Akan tetapi dengan kekuatan batinnya yang kokoh dia menekan perasaan yang timbul ini, perasaan alami seorang pria dengan keyakinan bahwa amatlah berbahaya dan tidak baik jika menuruti dorongan perasaan mesra itu, yang dapat membuatnya lupa dan melakukan hal-hal yang tak sepatutnya dia lakukan. Dia pun cepat memejamkan kedua matanya.

Dia baru sadar dengan kaget ketika merasa betapa tubuh yang bersandar di dadanya itu terguncang perlahan. Sesudah dia membuka mata dan menundukkan muka memandang, dia melihat betapa gadis itu menangis lirih! Tangis tanpa bunyi, akan tetapi jelas bahwa gadis itu menangis karena kedua pipinya basah dan pundaknya terguncang perlahan.

"Lili, kau... kau... menangis...?” tanyanya khawatir dengan suara lirih seperti berbisik saja di dekat telinga gadis itu.
"Siapa menangis?" jawaban itu sangat cepat dan mengandung bantahan, namun segera disusul ucapan lirih dan lemas, "Biarkan aku... Sin Wan, biarkan aku begini sebentar..."

Sin Wan diam saja dan gadis itu bersandar miring. Semakin lama pernapasan gadis itu semakin halus dan panjang, dan akhirnya tahulah Sin Wan bahwa Lili telah tertidur di atas dadanya! Dia pun merasa kasihan dan tidak ingin mengganggu, hanya merangkul supaya gadis itu tidak terguling jatuh. Diam-diam dia merasa iba sekali.

Gadis ini pasti mengalami kepahitan hidup, agaknya haus akan kelembutan, haus dengan kasih sayang. Kasihan sekali gadis cantik ini, pikirnya dan dia pun duduk bersila dengan kokoh seperti dalam keadaan semedhi, membiarkan dirinya kokoh kuat sebagai sandaran gadis yang pulas itu, sambil mendengarkan pernapasan yang panjang dan lembut.

Sementara itu matahari sudah mulai condong ke barat, senja menjelang datang. Sesosok bayangan yang gerakannya sangat ringan memasuki hutan itu dan menyelinap di antara pohon dan semak. Akhirnya bayangan itu berhenti di belakang pohon, mengintai ke arah Sin Wan yang duduk diam disandari gadis yang tidur pulas di dadanya. Ikatan rambut Lili terlepas dan rambutnya yang hitam panjang itu menyelimuti dada dan perut Sin Wan.

Bayangan itu adalah Lim Kui Siang! Karena sampai lama Sin Wan tidak muncul di kota Lok-yang, dia menyatakan kekhawatirannya dan memberi tahu kakek Bu Lee Ki bahwa dia hendak mencari dan menjemput suheng-nya itu melalui pintu gerbang barat. Bu Lee Ki yang maklum akan perasaan gadis itu terhadap Sin Wan, menyetujui dan memesan agar gadis itu pulang sebelum malam tiba. 

Kui Siang keluar dari pintu gerbang barat, namun tidak bertemu dengan Sin Wan. Hatinya merasa khawatir, apa lagi matahari mulai condong ke barat dan jalan raya itu amat sunyi. Dia mengerutkan alisnya ketika melihat sebuah hutan di kiri jalan.

Apakah yang telah terjadi dengan suheng-nya? Dia merasa khawatir dan dia pun berjalan memasuki hutan. Siapa tahu suheng-nya sedang menyelidiki sesuatu dan kini dia berada di dalam hutan ini.

Akhirnya, sesudah tiba di tengah hutan, dia melihat Sin Wan duduk bersila di atas tanah yang ditilami daun-daun kering, dan di depan pemuda itu nampak seorang gadis cantik sedang tidur pulas di atas pangkuan Sin Wan, dengan kepala miring bersandar di dada suheng-nya. Mesra bukan main!

Seketika Kui Siang merasa betapa seluruh tubuhnya gemetar, kedua kakinya menggigil dan dadanya seperti akan meledak! Benarkah itu suheng-nya? Akan tetapi kenapa? Siapa gadis itu? Bagaimana mungkin suheng-nya melakukan hal semacam itu, bermesraan dan berpacaran dengan seorang gadis asing di tengah hutan? 

Setahunya suheng-nya bukanlah pria macam itu! Bahkan terhadap dirinya sendiri sebagai sumoi pun, suheng-nya tak pernah bersikap terlalu mesra, tak pernah menyentuh sedikit pun, selalu menjaga jarak dan kesopanan. Akan tetapi sekarang, di tempat sepi ini, tahu-tahu suheng-nya merangkul seorang gadis yang tidur pulas di atas pangkuannya, dengan kepala bersandar mesra di dadanya!

Entah mengapa Kui Siang ingin menjerit, ingin mengamuk, ingin membunuh gadis itu dan memaki suheng-nya, ingin menangis! Sebelum tidak kuat lagi menahan semua dorongan amarah itu, dia cepat pergi dari situ, setelah sekali lagi memperhatikan dan yakin bahwa pemuda itu adalah Sin Wan, suheng-nya!

Kui Siang berlari cepat meninggalkan tengah hutan itu, namun sesudah tiba di tepi hutan, tak jauh dari jalan raya akan tetapi tidak nampak dari sana, dia tidak dapat menahan lagi guncangan hatinya dan dia pun menjatuhkan diri di bawah sebatang pohon lalu menangis sejadi-jadinya! Sesudah banyak air mata mengalir keluar, baru agak ringan rasa hatinya, seolah semua beban yang menyesak dada tadi mendapatkan jalan keluar.

Dengan mata masih merah serta muka basah Kui Siang lantas termenung. Kesadarannya menimbulkan pertanyaan yang membuat dia sendiri merasa sungkan dan heran. Kenapa dia menangis? Kenapa dia harus marah-marah dan merasa bersedih seperti itu?

Sin Wan bermesraan dengan seorang gadis! Walau pun itu adalah hal yang baru baginya dan terasa aneh, akan tetapi wajar sekali. Sin Wan seorang pemuda dewasa dan gadis itu cantik! Mengapa dia harus marah-marah dan bersedih?

Kui Siang termangu-mangu. Meski pikirannya merasa heran dan penasaran kenapa ulah dirinya seperti ini, tetapi hatinya berbisik jelas sekali, "Aku cinta padanya... aku mencinta suheng, aku tidak ingin dia dimiliki wanita lain!"

Menyadari kenyataan yang dibisikkan hatinya ini, Kui Siang bangkit dan mukanya menjadi kemerahan. Kini tampak jelas bahwa semenjak dahulu dia jatuh cinta kepada suheng-nya. Bukan cinta seorang sumoi terhadap suheng-nya, bukan cinta kanak-kanak karena sejak berusia sembilan tahun dia bergaul dengan Sin Wan, bukan pula cinta saudara, melainkan cinta seorang gadis dewasa terhadap seorang pemuda. Cinta seorang wanita terhadap seorang pria. Dan dia dilanda cemburu!

"Ihhh...!" Dia mencela diri sendiri.

Cemburu? Sin Wan hanya suheng-nya, bukan apa-apanya, bukan pula kekasihnya. Inilah salahnya! Kalau saja mereka saling mengaku bahwa mereka saling mencinta, apa bila Sin Wan tahu bahwa ia mencintainya, kiranya belum tentu Sin Wan mau bermesraan dengan gadis lain.

Ada pendapat dan perbantahan dalam hati dan kepalanya. Ini membuat Kui Siang merasa pening dan dia pun perlahan-lahan melangkah keluar menuju ke jalan raya. Kemudian, seperti orang yang kehilangan semangat, dia pun kembali ke rumah penginapan di mana dia dan Bu Lee Ki menyewa dua buah kamar.

Dengan hati-hati agar tidak terdengar oleh Bu Lee Ki, dia memasuki kamarnya, kemudian melempar tubuh ke atas pembaringan, menelungkup dan membenamkan mukanya pada bantal agar isaknya tidak sampai terdengar orang…..!
********************
Cuaca sudah mulai remang-remang. Sekarang Sin Wan merasa khawatir. Tidak mungkin dia mendiamkan saja Lili pulas di atas dadanya sampai cuaca menjadi gelap. Dia harus melanjutkan perjalanan memasuki kota Lok-yang untuk mencari kakek Bu Lee Ki dan Kui Siang.

Sudah cukup lama Lili tertidur, lebih dari satu jam. Perlahan dan lembut dia memegang pundak kanan gadis itu, pundak yang tidak terluka, mengguncangnya dan berbisik lirih.

“Lili...! Lili...! Bangunlah...”

Pernapasan yang lembut itu berubah, kemudian tubuh yang lembut hangat itu menggeliat perlahan. Lili membuka matanya dan agaknya dia terheran melihat dirinya duduk tertidur di dalam hutan yang cuacanya mulai remang. Dia melihat ke atas.

Ketika dia melihat wajah Sin Wan yang menunduk dan memandang kepadanya, dia lalu teringat akan semua yang sudah terjadi dan dia pun tersenyum! Dia tidak segera bangkit, bahkan membalikkan mukanya, dibenamkan di dada yang bidang itu. Selama hidupnya belum pernah dia merasa begitu tenang tenteram penuh damai seperti seekor anak ayam berilndung di bawah selimutan sayap induknya!

"Aihh..., Sin Wan... aku... sudah lamakah aku tertidur?" bisiknya.
"Ada sejam lebih. Sekarang malam hampir tiba dan kita harus segera keluar dari hutan ini, aku harus melanjutkan perjalanan...," kata Sin Wan tanpa nada mengusir.
"Sin Wan, aku tidak mau pergi..." kini Lili malah merangkul leher. "Sin Wan, aku tidak sudi berpisah darimu, aku ingin kita terus berdampingan, tak terpisah lagi... seperti ini..."

Sin Wan mengerutkan alisnya. Ini sudah keterlaluan namanya. Dia merasa kasihan sekali kepada Lili, akan tetapi kemanjaan yang berlebihan ini juga amat mengganggunya. Rasa iba membuat dia mengelus rambut kepala yang hitam panjang itu, seperti seorang kakak menghibur adiknya.

"Lili, tidak mungkin begitu. Mengapa engkau seaneh ini?" Suaranya lembut tidak bernada teguran.

Lili bangkit duduk, lalu membalik sehingga sekarang mereka duduk berhadapan. Gadis itu memandang dengan sinar mata tajam dan nampak penasaran. "Kenapa aneh? Aku cinta padamu, Sin Wan! Ya, aku jatuh cinta padamu dan aku tidak ingin berpisah darimu!"

Sin Wan kaget bukan kepalang, matanya membelalak. Bukan main gadis ini! Begitu saja menyatakan cinta, begitu terbuka, begitu jujur dan begitu berani! Dia sendiri menjadi salah tingkah, mukanya menjadi merah sekali dan jantungnya berdebar.

Lili menjulurkan kedua tangannya lantas menangkap tangan pemuda itu. Jari-jari tangan mereka saling genggam. "Sin Wan, aku cinta kepadamu dan engkau pun cinta kepadaku, bukan? Engkau sudah menyelamatkan aku, engkau sudah begitu baik kepadaku, engkau telah melihat punggung dan pundakku yang telanjang. Bahkan engkau telah mengalahkan aku dalam latihan tadi..."

"Aku yang kalah, Lili...," kata Sin Wan karena tidak tahu harus berkata apa.
"Tidak, engkau sudah mengalah, kau kira aku tidak tahu? Engkau amat baik kepadaku, itu tandanya engkau pun cinta padaku!" Kedua tangan Lili menggenggam kuat-kuat.

Sin Wan menghela napas panjang, tidak berusaha melepaskan kedua tangannya walau pun hatinya merasa tidak enak sekali. Dia memang amat kagum kepada gadis ini, juga merasa kasihan, akan tetapi dua macam perasaan itu belum menjadi tanda bahwa dia jatuh cinta! Bagaimana mungkin cinta dapat ditentukan sedemikian cepatnya.....?

"Lili, kita tidak boleh begini. Kita baru saja bertemu dan berkenalan, bagaimana mungkin kita bicara soal cinta? Lagi pula aku harus menyelesaikan tugasku lebih dulu. Aku sedang melakukan perjalanan bersama locianpwe Pek-sim Lo-kai, dan sekarang dia menantiku di dalam kota, aku harus cepat pergi ke sana.”

Sepasang mata yang indah itu melebar, penuh kagum. "Ahh…, jadi engkau adalah murid Pek-sim Lo-kai yang kabarnya amat lihai itu, Sin Wan? Pantas saja kepandaianmu hebat. Aku makin cinta padamu!"

"Bukan, Lili. Locianpwe itu bukan guruku!" jawab Sin Wan cepat, semakin bingung karena gadis itu tiada hentinya mengaku cinta.
"Bukan muridnya? Lalu siapa gurumu, Sin Wan?"

Kalau saja Sin Wan tidak menjadi panik dan bingung, merasa disudutkan oleh pengakuan cinta yang bertubi-tubi dari gadis itu, tentu dia akan berhati-hati dan takkan sembarangan saja memperkenalkan nama guru-gurunya. Akan tetapi dia sedang panik, apa lagi kedua tangan gadis itu terasa demikian hangat dan penuh getaran aneh, membuat jantungnya berdebar semakin kencang.

"Guruku adalah Sam Sian...," jawaban ini keluar begitu saja.

Dia merasa betapa jari-jari tangan itu semakin kuat menggenggam kedua tangannya, dan karena salah tingkah dia tidak berani menatap wajah Lili sehingga tidak melihat perubahan yang terjadi pada wajah gadis itu.

"Tiga Dewa? Engkau adalah murid Tiga Dewa...?"

Dan kini teringatlah Lili akan anak laki-laki yang pernah menghinanya sebelas tahun yang lalu! Bahkan setahun yang lalu, ketika ia dan suci-nya menyerbu Pek-In-kok dan suci-nya berhasil menewaskan dua di antara Tiga Dewa walau pun suci-nya sendiri terluka, dia tak berhasil mencari anak laki-laki yang dulu menghinanya itu. Dan kini teringatlah dia bahwa Dewa Arak pernah menyebutkan nama muridnya. Sin Wan? Mungkin, dia sudah lupa lagi.

“Kau... kau murid Sam Sian...?” Bibirnya komat-kamit dan suaranya terdengar tidak jelas. Perasaannya terguncang, penuh kebimbangan, penuh penasaran dan kemarahan.
"Lili, kau kenapa...?" dengan khawatir Sin Wan memegang kedua pundak gadis itu karena tubuh itu menggigil.

Akan tetapi pada saat itu pula kedua tangan Lili bergerak dan sebelum Sin Wan tahu apa yang terjadi, tahu-tahu dia sudah tertotok kemudian roboh terkulai, tidak mampu bergerak lagi karena tubuhnya menjadi lemas!

"Lili, kau...?” Sin Wan berkata lemah, lebih merasa heran dari pada penasaran. Dara yang tadi mati-matian mengaku cinta, yang begitu lembut dan hangat membenamkan wajah di dadanya, tiba-tiba menyerang dan merobohkannya dengan totokan!
"Sin Wan, katakan, sejak kapan engkau menjadi murid Sam-sian?" Lili bertanya dan kini suaranya terdengar galak, lenyap semua kemanisan dan kemesraan dalam suaranya itu.
"Kenapa? Sejak kecil..."
"Sebelas tahun yang lalu?"
"Ya begitulah, kurang lebih."
"Ketika Sam-sian mengantarkan pusaka-pusaka istana yang hilang menggunakan sebuah kereta, engkau juga berada di kereta itu?"
"Ya... ya..." Sin Wan semakin heran. Bagaimana gadis ini mengetahui soal itu?
"Bagus! Kiranya engkaulah kuda-sapi-kerbau-anjing itu?"

Sin Wan terbelalak. Kata-kata dan sikap yang galak ini menggugah ingatannya. Teringat dia akan seorang anak perempuan yang amat galak, seperti setan! Anak perempuan yang mengambil pakaian dan merobek-robek pakaiannya ketika dia sedang mandi. Kemudian anak perempuan yang bersama gurunya hendak merampas pusaka istana itu berkelahi dengan dia, dan akhirnya dia berhasil menangkapnya lantas memukuli pinggulnya seperti seorang ayah menghajar anaknya yang nakal.

"Lili, kau... kau..."
"Engkau adalah seorang manusia yang kejam, jahat dan kurang ajar sekali!" Sekarang Lili memaki-maki dengan marah sekali. "Engkau pernah menghinaku habis-habisan, tahukah engkau? Dulu aku pernah bersumpah untuk membalas penghinaan itu, ingatkah? Engkau memukuli pinggulku! Sampai sekarang pun masih terasa olehku! Hemmm, engkau harus membayar berikut bunganya!"

Sin Wan tidak mau bicara lagi. Dia tahu bahwa dia telah terjatuh ke tangan seorang gadis yang seperti iblis. Murid Bi-coa Sian-li yang sudah menewaskan dua di antara tiga orang gurunya. Dia sudah tidak berdaya. Kematian di depan mata tanpa dia mampu melakukan perlawanan. Dan dia tidak mau membuka mulut karena dia tak ingin mendengar suaranya sendiri minta dikasihani dan diampuni.

Tidak, dia bukan seorang pengecut. Kalau memang Tuhan menghendaki dia harus mati di tangan gadis ini, tiada kekuatan atau kekuasaan di dunia ini mampu menyelamatkannya. Sebaliknya, kalau memang Tuhan tidak menghendaki dia mati sekarang, meski dia sudah berada di ambang maut sekali pun, pasti akan terdapat jalan baginya untuk terhindar dari maut. Kalau pun dia harus mati, dia harus mati sebagai seekor harimau yang tidak pernah memperlihatkan kelemahan sedikit pun juga sampai mati, bukan seperti matinya seekor babi yang akan disembelih dan merengek-rengek minta hidup. Tuhan Maha Besar, Tuhan Maha Kuasa, dia hanya menyerahkan jiwa raganya kepada kekuasaan Tuhan.

Kaki gadis itu mendorong dan tubuh Sin Wan terguling menelungkup. Kemudian terdengar gadis itu menghardik, "Engkau pernah memukuli pinggulku sampai sepuluh kali! Sekarang rasakan pembalasanku dengan pukulan seratus kali!" Sesudah berkata demikian, tangan kiri Lili terayun dan sambil berjongkok dia menamparkan tangan kirinya ke arah pinggul Sin Wan bertubi-tubi.

“Plak…! Plak…! Plak…! Plak...!"

Dia menampari sambil menghitung dengan tangan kirinya. Tetapi karena dia tidak berniat membunuh, hanya untuk menghajar dan membalas penghinaan melalui pemukulan pada pinggul, dia mengatur tenaga, tidak mempergunakan tenaga sakti, melainkan tenaga otot biasa.Oleh karena itu Sin Wan tidak menderita luka dalam, tulangnya tidak patah bahkan kulitnya pun tidak pecah. Akan tetapi karena dia sendiri tertotok sehingga tidak mampu mengerahkan tenaga, maka tamparan-tamparan itu terasa nyeri, panas dan perih.

“Plak…! Plak…! Plak...!"

Belum sampai lima puluh kali tangan kiri Lili telah terasa panas dan lelah sekali sehingga pukulannya makin lama semakin lemah. Dia menggantikannya dengan tangan kanan dan kembali tamparannya menjadi kuat.

Tentu saja Sin Wan menderita nyeri. Kedua pinggulnya terasa panas dan pedih, namun dia menerimanya dengan bibir terkatup kuat, tidak pernah dia mengeluh atau merintih.

Hal inilah yang membuat Lili merasa amat penasaran. Kalau pemuda itu mengeluh, tentu hatinya akan terasa puas sekali. Akan tetapi Sin Wan sama sekali tidak merintih seolah-olah semua pukulannya itu tak terasa sama sekali. Padahal kedua tangannya sudah lelah dan panas karena dia hanya menggunakan tenaga otot. Belum sampai seratus kali, paling banyak baru tujuh puluh kali, dia sudah menghentikan tamparannya!

"Hemm, engkau bandel, ya? Engkau tidak minta ampun, tidak mengeluh, engkau merasa gagah, ya? Pembalasanku belum lunas, pukulanku belum ada seratus kali, sisanya akan kulakukan dengan cara lain!"

Dia melolos sabuknya yang panjang, membikin putus sebagian, kemudian dia menyeret tubuh Sin Wan ke sebatang pohon, memaksanya bangkit berdiri dengan menariknya, lalu dia mengikat Sin Wan pada batang pohon itu. Diikatnya kaki dan tangan pemuda itu ke belakang, bersandar pohon.

Setelah selesai dia memandang kepada Sin Wan dengan senyumnya yang khas, senyum sinis mengejek. Kemarahannya memuncak ketika dia melihat wajah pemuda itu tenang-tenang saja, bahkan pemuda itu pun tersenyum, seperti orang dewasa yang merasa geli melihat ulah nakal seorang kanak-kanak!

"Aku akan meninggalkanmu di sini, biar engkau dimakan binatang buas di hutan ini! Nah, apa yang akan kau katakan?”

Sin Wan merasa pinggulnya nyeri sekali, piut-miut rasanya berdenyut-denyut seperti mau pecah, panas dan pedih menusuk jantung, sementara tubuhnya masih lemas tak mampu bergerak karena totokan. Akan tetapi wajahnya tidak membayangkan semua penderitaan itu, bahkan dia tersenyum, senyum yang oleh Lili dianggap menantang dan menyakitkan hati. Kemudian Sin Wan berkata dengan suara lirih dan lembut tanpa kemarahan.

"Aku hanya ingin berkata bahwa sayang sekali engkau yang demikian cantik dan gagah, yang berkepandaian tinggi, telah dibikin gila oleh dendam sehingga menjadi kejam seperti setan."

Sepasang mata itu terbelalak dan tangan kanannya melayang.

"Plakk…!"

Keras sekali telapak tangan itu menghantam pipi kiri Sin Wan sehingga kepala pemuda itu terdorong ke kanan dan seketika pipi itu menjadi merah membiru dan membengkak.

"Kau maki aku seperti setan? Engkaulah yang setan, iblis, siluman! Kau... kau..., huh, aku benci padamu. Benciiii...!" Gadis itu mengeluarkan suara aneh, seperti tawa tetapi juga mirip tangis, atau suara antara keduanya itu. "Biar kau dimakan binatang buas!” Dan sekali melompat, gadis itu segera menghilang di antara pohon-pohon dalam cuaca yang mulai gelap itu.

Selanjutnya baca
SI PEDANG TUMPUL : JILID-08
LihatTutupKomentar