Si Pedang Tumpul Jilid 03


Tentu saja tiga orang kakek itu amat terkejut dan heran melihat murid mereka kembali ke situ dalam keadaan hampir telanjang, bahkan terluka dalam sehingga mukanya pucat dan bibirnya berlepotan darah.

"Siancai... apa yang terjadi padamu?" tanya Dewa Pedang, sedangkan Dewa Arak tanpa bicara lagi segera memeriksa tubuh muridnya.

Melihat betapa muridnya terluka dalam karena guncangan tenaga sinkang yang kuat, dia lalu menyuruh muridnya duduk bersila, dan dia pun bersila di depannya lalu menempelkan telapak tangan kirinya pada dada muridnya. Sementara itu Pek-mau-sian si Dewa Rambut Putih membantu dengan beberapa kali totokan serta tekanan pada punggung dan kedua pundak Sin Wan. Dalam waktu singkat saja kesehatan Sin Wan sudah pulih kembali.

“Nah, sekarang ceritakan pengalamanmu," kata Dewa Pedang.

Sin Wan mengenakan pakaian yang diambilkan oleh Dewa Rambut Putih, kemudian dia menarik napas panjang dan menjawab, "Teecu sendiri masih merasa bingung dan heran, suhu. Ketika teecu mandi di anak sungai, ada seorang anak perempuan mencuri pakaian teecu, hanya meninggalkan sebuah celana pendek. Teecu lalu naik ke darat, mengenakan celana pendek itu dan mengejar anak perempuan yang mencuri pakaian itu. Ternyata dia seorang anak perempuan berusia sembilan tahun yang nakal dan lihai. Ia merobek-robek pakaian teecu dan menuduh teecu mengotorkan air karena mereka tadi mandi di sebelah hilir. Teecu tidak melihat mereka akibat terhalang oleh belokan sungai. Anak itu kemudian menantang, akan tetapi teecu tak mau melayani. Dia lalu menyerang bertubi-tubi sampai beberapa kali teecu jatuh. Ketika dia menyerang lagi dengan pukulan yang mengandung sinkang, teecu terpaksa menangkis sehingga dia pun terhuyung. Lalu gurunya memukul teecu..."

"Hemm, sungguh sewenang-wenang memukul anak kecil. Siapa gurunya itu?" Dewa Arak bertanya dengan alis berkerut.
“Akulah yang memukulnya. Kalian mau apa?”

Mendengar suara merdu itu, tiga orang pertapa segera memutar tubuh dan memandang. Mereka tertegun, sama sekali tidak menyangka bahwa guru anak perempuan seperti yang diceritakan oleh Sin Wan tadi ternyata adalah seorang gadis cantik yang nampaknya baru berusia dua puluh tahun walau pun sikapnya menunjukkan bahwa dia jauh lebih tua dari pada nampaknya. Seorang gadis yang berpakaian mewah seperti wanita bangsawan!

"Siancai...! Nona, kenapa engkau memukul seorang anak kecil yang tak berdosa?" Dewa Arak berseru.
"Pertama, karena dia mengotori air tempat kami mandi. Kedua, karena dia telah membuat muridku terhuyung hampir jatub. Ketiga, karena dia mempunyai ilmu pukulan Tangan Api! Mana Se Jit Kong? Apakah kalian anak-anak buahnya? Suruh dia keluar untuk menerima kematian!" Wanita itu berkata dengan suara galak.

Tiga orang pertapa itu saling pandang, Dewa Pedang dan Dewa Rambut Putih tersenyum, akan tetapi Dewa Arak tertawa bergelak, "Ha-ha-ha, sungguh engkau memandang remeh kepada kami kalau menganggap kami anak buah Se Jit Kong! Anak ini memang pernah belajar ilmu dari Se Jit Kong, akan tetapi sekarang dia sudah menjadi murid kami dan Se Jit Kong telah meninggal dunia!"

Wanita cantik itu mengerutkan sepasang alisnya yang melengkung panjang dan hitam itu. "Mati? Dia sudah mampus? Hemm... akan sia-sia sajakah perjalananku ini?"

Tiba-tiba terdengar suara anak perempuan yang nyaring sekali, "Subo, pusaka-pusaka itu berada di dalam peti, di kereta ini!”

Semua orang langsung menoleh ke arah kereta! Sebuah kepala terjulur keluar dari tirai kereta, kepala anak perempuan yang dipanggil Lili.

"Ihhh! Kiranya kalian sudah membunuhnya dan merampas pusaka-pusaka istana? Kalau begitu, serahkan nyawa dan pusaka!"
"Heiii, nona! Ketahuilah bahwa kami adalah utusan kaisar dan pusaka-pusaka itu sedang kami bawa kembali ke istana di kota raja!" Dewa Arak berteriak.
"Pusaka dan nyawa kalian harus diserahkan!" Wanita itu membentak dan tiba-tiba saja dia telah bergerak maju, jari tangannya meluncur dengan membentuk kepala ular menotok ke arah leher Dewa Arak.
"Haiii... ahhh, sungguh berbahaya dan galak!" Dewa Arak melempar tubuh ke belakang ketika melihat datangnya serangan yang amat berbahaya itu. Dari gerakan tangan itu saja dia tahu bahwa lawannya ini, meski pun masih muda namun ganas dan lihai sekali. 

Dugaannya benar. Begitu dia melempar tubuh ke belakang, wanita itu telah menerjangnya lagi dengan serangan susulan yang dahsyat. Gerakan kedua lengannya laksana dua ekor ular yang menyambar-nyambar, menimbulkan suara bercuitan.

Diam-diam Dewa Pedang terkejut sekali karena dia mengenal ilmu pukulan yang tak kalah hebatnya bila dibandingkan ilmu pukulan Kiam-ciang (Tangan Pedang) yang dikuasainya. Dewa Arak juga tahu akan hal ini, dia pun kini mengerahkan tenaga dan kelincahannya untuk menghadapi desakan itu dan balas menyerang.
Wanita itu pun kelihatan terkejut melihat betapa lawannya tidak seperti yang disangkanya semula. Meski pun perutnya gendut, lawannya mempunyai gerakan yang amat lincah dan ketika menangkis dia mendapat kenyataan bahwa orang itu pun mempunyai sinkang yang amat kuat!

Melihat masih ada dua orang lain yang berdiri di pinggir, dia lalu mendapat akal. Dia harus cepat-cepat merobohkan mereka yang paling lemah lebih dahulu karena kalau mereka itu keburu mengeroyoknya, mungkin dia akan kewalahan!

Tiba-tiba saja tubuhnya sudah menyambar ke kiri, ke arah Dewa Rambut Putih. Begitu dia menggerakkan tangan kiri, tujuh batang jarum secara bertubi-tubi menyambar ke arah tiga orang kakek itu, dan yang dijadikan sasaran adalah dada dan tenggorokan, tempat-tempat yang paling lemah!

"Siancai...!" Dewa Rambut Putih berseru dan seperti dua orang rekannya, dia pun berhasil mengebut jarum-jarum itu sehingga runtuh.

Kembali wanita itu terkejut. Serangan jarumnya dapat diruntuhkan dengan mudahnya oleh tiga orang kakek itu!

"Mampuslah!" Dia menubruk ke kiri, menyerang Dewa Rambut Putih dengan dahsyatnya, mulutnya mendesis dan dua tangannya yang membentuk kepala ular itu kini terbuka dan mencengkeram seperti ular-ular yang menggigit, ada pun kuku-kuku jari tangannya sudah berubah menghijau!
"Hemm, benar-benar ganas...!" Dewa Rambut Putih melompat ke belakang menghindar, kemudian kipas di tangan kirinya mengebut. Angin keras menyambar ke arah wanita itu yang menjadi gelagapan dan terkejut karena ia mendapat kenyataan betapa kakek rambut putih ini tidak kalah lihainya dibandingkan kakek perut gendut.
"Wirrrrr...!"

Tiba-tiba saja tangannya merenggut ke kepalanya sendiri dan semua tusuk sanggul telah direnggut dan dimasukkan saku. Rambutnya yang panjang sampai ke pinggul itu terlepas, kemudian begitu dia menggerakkan kepalanya, gumpalan rambut hitam yang harum dan panjang itu segera menyambar ke arah Si Dewa Rambut Putih.

"Hebat...!" Kembali Pek-mau-sian Thio Ki berseru.

Kebutan kipasnya ternyata tidak mampu menangkis rambut yang terus meluncur ke arah lehernya! Terpaksa dia harus melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik lima kali baru berhasil terhindar dari sergapan rambut panjang.

Wanita itu marah bukan main. Wajahnya yang cantik kini berubah kemerahan, sepasang matanya mencorong, mulutnya mendesis-desis dan rambutnya riap-riapan. Meski pun dia masih sangat cantik, namun ada sesuatu yang menyeramkan karena dia seperti berubah menjadi iblis yang cantik, atau siluman ular yang cantik namun berbahaya sekali.

Wanita ini memang marah bukan kepalang, maka begitu tangannya bergerak, dia sudah mencabut sebatang pedang dari balik bajunya. Pedang itu pun aneh, gagang dan batang pedangnya menjadi satu. Gagangnya berupa ekor ular yang melingkar tebal, sedangkan ujung pedangnya berbentuk kepala seekor ular yang menjulurkan lidahnya. Lidah itu amat runcing dan sisik-sisik ular itu tajam. Sebatang pedang mirip ular! Dengan pedang aneh ini dia menyerang ke arah Kiam-sian!

Tentu saja Dewa Pedang maklum akan kelihaian lawan. Dia pun sudah mencabut pedang Jit-kong-kiam (Pedang Sinar Matahari) dan menangkis sambaran pedang ular.

"Cringgg...!"

Nampak banyak bunga api berpijar dan berhamburan. Keduanya terkejut dan memeriksa pedang masing-masing. Kiranya kedua pedang itu sama kuatnya dan tidak menjadi rusak. 

Wanita itu menjadi semakin penasaran. Tadinya dia mengira bahwa di dunia ini tidak ada atau jarang sekali terdapat orang yang akan mampu menandinginya, maka dengan penuh keyakinan diri dia memastikan bahwa Iblis Tangan Api pasti akan tewas di tangannya, dan pusaka istana akan terjatuh ke tangannya.

Akan tetapi siapa sangka, kini bertemu dengan tiga orang pendeta ini, dia tidak sanggup mengalahkan seorang saja di antara mereka walau pun dia sudah mencoba menyerang dengan ilmu pukulan beracun yang ampuh, jarum-jarum beracun, rambutnya, dan bahkan pedangnya!

Dia lalu mengamuk dengan pedang dan rambutnya, dan sepak terjangnya memang amat menggiriskan. Kalau bukan Sam Sian yang diamuknya, tentu sudah jatuh korban di antara mereka. Tiga orang pendeta itu membela diri tetapi sengaja tidak mau merobohkan wanita itu, apa lagi membunuh atau melukainya.

Sementara itu Sin Wan sudah cepat lari menghampiri kereta ketika melihat betapa anak perempuan yang nakal dan galak itu sudah berada di kereta. Ketika subo-nya muncul tadi, agaknya kesempatan itu dipergunakan oleh si anak perempuan untuk menyusup ke atas kereta.

"Engkau pencuri kecil! Engkau hendak mencuri apa lagi di situ? Hayo cepat turun atau...”
"Atau apa, hah?" Anak perempuan itu kini membuka tirai kemudian berdiri di dalam kereta sambil bertolak pinggang dan memandang galak, "Atau apa? Kau mau apa kalau aku tak mau turun?"

Sin Wan memandang gemas. Sesabar-sabar orang tentu ada batasnya. Anak ini sungguh keterlaluan sekali. Tetapi Sin Wan masih teringat bahwa dia adalah seorang anak laki-laki. Sungguh tak patut bila seorang anak laki-laki menyerang dan memukul anak perempuan. Bagaimana sikapnya andai kata anak itu adiknya yang nakal?

"Akan kuseret kau turun dari kereta dan kupukul pinggulmu lima kali biar kau tahu rasa!" Sin Wan mengancam, menganggap anak perempuan itu adik sendiri yang perlu dihajar. Pikiran ini menolong meredakan kemarahannya, karena kalau dia tidak menganggap anak perempuan itu adik sendiri, tentu akan timbul kemarahan yang melahirkan kebencian.

Akan tetapi jawaban itu malah membuat si anak perempuan membelalakkan mata saking kaget dan marahnya, "Apa...?! Kamu... kamu..., kurang ajar, berani hendak menyeretku dan memukuli pinggulku? Agaknya engkau telah bosan hidup, ya?!" teriaknya dan dia pun cepat meloncat turun, bukan sembarang meloncat melainkan meloncat sambil menerkam seperti seekor burung garuda yang menyerang seekor domba!

Sin Wan segera mengelak dan ketika tubuh anak itu lewat di sisinya, dia mencoba untuk menangkap lengan anak itu. Dia berhasil menangkap lengan kiri anak itu dengan tangan kanannya. Selagi dia hendak meringkusnya, tiba-tiba anak itu membalik tangan kanannya yang membentuk kepala ular dan meluncur ke arah matanya, lantas lengan yang sudah dipegangnya tadi, yang licin bagaikan ular, tahu-tahu sudah berhasil melepaskan diri dan mencengkeram ke arah lehernya! Sungguh merupakan serangan yang sangat hebat, biar pun dilakukan oleh dua tangan anak perempuan!

"Ihhh, kau ular kecil!" Sin Wan memaki sambil meloncat ke belakang. Memang gerakan kedua lengan anak itu mengingatkan dia akan gerakan ular.

Dimaki ular kecil, anak perempuan itu semakin marah. "Kuhajar kau, kubunuh kau!”

Dia lalu mengamuk, menyerang bertubi-tubi dan saking marahnya, serangannya banyak ngawur dan tidak menurut gerakan silat lagi, melainkan gerakan seorang perempuan yang marah, mencakar, mencengkeram, menampar dan menjambak!

Menghadapi anak perempuan yang mengamuk itu, Sin Wan menjadi kewalahan bahkan pipi kirinya sudah kena dicakar kuku jari tangan anak itu hingga lecet dan berdarah! Tetapi akhirnya dia berhasil menangkap kedua pergelangan tangan anak itu. Anak itu meronta, kemudian menggigit lengan Sin Wan.

"Aduh!" Sin Wan merenggut lengannya lepas dan kulit lengannya juga lecet berdarah.
“Kau anak liar!" bentaknya dan berhasil menelikung kedua lengan anak itu ke belakang.

Ditariknya anak itu mendekati kereta. Dia lalu duduk di anak tangga kereta dan memaksa anak perempuan itu menelungkup melintang di atas pahanya, kemudian dengan tangan kanan memegang kedua pergelangan tangan anak itu sehingga tak mampu bergerak lagi, dia menggunakan telapak tangan kirinya untuk menampari pinggul yang menonjol ke atas itu.

"Engkau mencakar dan menggigit, hukumannya kutambah menjadi sepuluh kali pukulan!" Dan tangan Sin Wan berulang-ulang menampari pinggul anak perempuan itu.
"Plak...! Plak...! Plak...!"

Anak perempuan itu menjerit-jerit, bukan karena sakit pada pantatnya, akan tetapi sakit pada hatinya. Dia merasa dihina bukan main oleh anak laki-laki itu.

"Plak...! Plak...! Plak...!" Setelah sepuluh kali, baru Sin Wan menghentikan tamparannya. Telapak tangannya terasa panas setelah sepuluh kali menampar itu.
"Subo... tolong...!" Anak perempuan itu menjerit-jerit dan menangis!
"Hemm, engkau memang bersalah, pantas dihukum, kenapa harus menangis?" Sin Wan melepaskan anak itu dan memandang dengan hati mulai merasa kasihan. Bagaimana pun galaknya, dia hanya seorang anak perempuan kecil. 

Dia mulai merasa malu atas perbuatannya sendiri, akan tetapi ketika melihat lengan dan pipinya berdarah, penyesalannya menghilang dan dia bahkan merasa geli melihat anak itu menggunakan kedua tangan mengusap-usap pinggulnya yang ditampari tadi.

Anak perempuan itu menoleh kepada subo-nya untuk minta bantuan. Namun dia langsung tertegun ketika melihat subo-nya terlempar dan jatuh terjengkang! 

Wanita itu bangkit, maklum bahwa dia tidak akan menang melawan mereka bertiga, lalu mengebut-ngebutkan pakaiannya yang kotor, kedua tangan mulai menyanggul rambutnya yang awut-awutan, tiada hentinya memandang kepada tiga orang itu dan bertanya,

"Siapakah kalian bertiga?” Suaranya tetap merdu tapi mengandung kemarahan tertahan.

Dewa Arak mewakili rekan-rekannya berkata, "Hemm, kepandaianmu hebat sekali, nona, akan tetapi sayang, engkau sungguh ganas dan kejam! Kami adalah tiga orang tua yang tak suka mencari permusuhan. Aku Si Tukang Mabuk, dia ini Si Tukang Pedang dan yang itu Si Rambut Putih!" Mereka bertiga tidak pernah menganggap diri mereka sebagai dewa seperti yang dikatakan orang-orang kang-ouw untuk menghormati mereka, walau pun ada kalanya mereka saling menyebut dewa untuk mengejek kawannya!

Wanita itu terbelalak. Kini dia telah selesai menyanggul rambutnya, biar pun masih kasar dan kacau kusut. "Aihh, kiranya aku berhadapan dengan Huang-ho Sam Sian (Tiga Dewa Sungai Kuning)? Baiklah Sam Sian, sekali ini aku mengaku kalah. Akan tetapi akan tiba saatnya aku mencari kalian untuk menebus kekalahan ini!" 

"Heiii, kamu! Siapa namamu agar kelak aku membalas penghinaan ini!" anak perempuan itu pun bertanya kepada Sin Wan.
"Aku… aku tidak punya nama," jawab Sin Wan. Ia tidak menghendaki anak itu mengingat namanya sebagai musuh dan kelak mencarinya seperti yang dikatakan wanita itu kepada ketiga orang gurunya.
"Kau tidak bernama? Kau kerbau sapi kuda babi anjing kucing...! Mana di antara itu yang menjadi namamu?" Anak perempuan yang galak itu memaki saking marahnya.
"Semua itu namaku," jawab Sin Wan sambil tersenyum.
"Kau jahat...!" anak perempuan itu mengepal tinju dan hendak menyerang lagi.
"Lili, mari kita pergi!" kata gurunya dan wanita cantik itu berkelebat, menyambar lengan muridnya lalu dia pun lari sepertl terbang cepatnya meninggalkan tempat itu.
"Siancai... seorang gadis yang amat berbahaya!" kata Pek-mau-sian Thio Ki.
"Benar, ilmu pedangnya pun hebat. Kelak dia pasti akan merupakan lawan yang sangat sukar dikalahkan," sambung Kiam-sian Louw Sun.
"Sayang, kita tidak tahu siapa wanita itu," kata pula Ciu-sian Tong Kui.
"Suhu, teecu tahu siapa nama wanita tadi...!" Sin Wan menghampiri tiga orang gurunya. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ringkik kuda dan dua ekor kuda di depan kereta itu roboh! 

Tiga orang pendeta itu cepat meloncat ke dekat kereta untuk menjaga agar peti pusaka tidak diambil orang, dan mereka masih melihat berkelebatnya bayangan wanita tadi yang kini melarikan diri amat cepatnya.

Mereka segera memeriksa. Dua kuda itu sudah mati, leher mereka ditembusi pisau kecil yang beracun, tepat mengenai jalan darah besar sehingga racun cepat membunuh dua ekor binatang itu.

"Hemm, dia membunuh kuda kita," kata Dewa Arak.
"Pinto tahu maksudnya. Tentu dia bermaksud agar perjalanan kita ke kota raja membawa pusaka–pusaka itu menjadi lambat," sambung Dewa Pedang. 
"Siancai...!” Benar sekali. Ini berarti bahwa wanita ganas itu masih ingin mencoba untuk merampas pusaka. Dia sangat lihai, akan berbahaya sekali apa bila dia membawa teman-teman yang banyak,. Kita harus mencari jalan agar dapat menyelamatkan pusaka-pusaka ini. Kalau sampai terjatuh ke tangan golongan sesat, maka akan sukarlah merampasnya kembali," kata Dewa Rambut Putih.
"Aku tahu jalannya!" Dewa Arak berseru sambil tersenyum gembira. "Tidak jauh dari sini terdapat benteng pasukan penjaga keamanan tapal batas. Kalau kita datang ke sana dan menunjukkan tek-pai (bambu tanda kuasa) dari Kaisar, tentu komandan pasukan itu akan suka memberi pasukan untuk mengawal keamanan pusaka untuk dikirim kembali ke kota raja.”
"Itu bagus sekali!" kata Kiam-sian, "Kalau begitu mari kita cepat membawa pusaka itu ke sana!"

Mereka lalu membuka peti pusaka, mengambil isinya dan membagi belasan buah benda pusaka itu menjadi tiga bagian, menyimpan dalam bungkusan masing-masing kemudian menggendongnya di punggung.

"Kau tadi mengatakan bahwa engkau mengetahui nama wanita itu. Siapakah namanya, Sin Wan?" tanya Dewa Rambut Putih.
"Ketika dia memukul teecu, dia mengatakan bahwa dia tidak membunuh teecu agar teecu dapat memberi tahu Se Jit Kong bahwa wanita yang bernama Bi-coa Sian-li akan datang membunuh Se Jit Kong!"
"Bi-coa Sian-li (Dewi Ular Cantik)?" Dewa Arak berkata sambil tertegun. "Belum pernah aku mendengar julukan itu. Akan tetapi kalau melihat kelihaiannya, mungkin sekali masih ada hubungannya dengan See-thian Coa-ong (Raja Ular Daerah Barat)!"
"Siancai..." Dewa Pedang berseru. "Raja Ular itu memang memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi. Akan tetapi dia bukanlah golongan sesat, bukan orang jahat walau pun dia merupakan datuk yang memiliki watak luar biasa.”
"Wanita tadi pun belum tentu jahat walau pun dia ganas dan kejam. Buktinya dia mencari Se Jit Kong untuk dibunuhnya. Siapa pun yang memusuhi Se Jit Kong agaknya tidak bisa dianggap sebagai golongan sesat."

Tiga orang kakek itu lalu melakukan perjalanan cepat. Bahkan Sin Wan digendong secara bergantian oleh mereka supaya perjalanan bisa dilakukan secepat mungkin. Hal ini harus dilakukan agar mereka dapat segera tiba di benteng pasukan penjaga keamanan sebelum datang serangan dari orang-orang yang hendak merampas pusaka istana.

Perhitungan mereka memang tepat. Sesudah melakukan perjalanan sehari penuh, pada sore harinya mereka sampai di benteng itu. Dan komandan benteng menyambut mereka dengan penuh kehormatan sesudah ketiga orang itu memperlihatkan tek-pai dan memberi keterangan bahwa mereka adalah utusan kaisar untuk mencari dan merampas kembali pusaka yang hilang dari gudang pusaka istana.

Sesudah bermalam satu malam di benteng itu, pada keesokan harinya mereka berangkat melanjutkan perjalanan. Tetapi sekali ini perjalanan dilakukan dengan kereta dan dikawal oleh seratus orang perajurit! 

Tentu saja orang-orang golongan sesat yang tadinya hendak menghadang dan merampas pusaka menjadi mundur teratur melihat pengawalan yang ketat itu. Menghadapi Sam Sian saja adalah merupakan usaha yang berbahaya dan berat, apa lagi bila ditambah pasukan seratus orang perajurit itu! Andai kata mereka memberanikan diri menyerbu pasukan itu, mereka akan dicap pemberontak dan selanjutnya kehidupan mereka tidak akan aman lagi, menjadi orang-orang buruan atau musuh pemerintah! 

Tiga orang pertapa itu bersama Sin Wan merasa tenang, dan mereka dapat tiba di Nan-king, kota raja yang baru dari Dinasti Beng-tiauw dengan selamat…..

********************
Pada saat itu yang menjadi kaisar dari Kerajaan Beng adalah Kaisar Thai-cu, yaitu kaisar pertama atau pendiri dari Dinasti Beng-tiauw. Pendiri Kerajaan Beng (Terang) ini berasal dari keluarga petani. Dia dilahirkan pada tahun 1328 di dusun yang terletak antara Sungai Huai dan Sungai Kuning, di daerah pertanian, dari keluarga petani biasa. 

Ketika dia baru berusia enam tahun, di dusun tempat tinggalnya berjangkit wabah yang membunuh banyak keluarga para petani di dusun itu. Keluarga anak yang kini menjadi Kaisar Thai-cu, dan yang dulunya bernama Cu Goan Ciang ini pun terbasmi habis. Ayah ibunya dan saudara-saudaranya mati semua oleh wabah. Hanya tinggal Cu Goan Ciang seorang diri yang tinggal. Dia menjadi seorang anak berusia enam tahun yang yatim piatu dan hidup sebatang kara!

Riwayat kaisar pertama Dinasti Beng ini ketika masih kecilnya memang sangat menarik, di samping miskin hidupnya juga penuh dengan kesengsaraan! Setelah hidup seorang diri dan sebatang kara, dia lalu bekerja sebagai penggembala kerbau. Kemudian dia bahkan mengikuti seorang hwesio tua ke kuil dan menjadi seorang hwesio kecil berkepala gundul. 

Bertahun-tahun dia tekun mempelajari ilmu bun (sastera) dan bu (silat) di kuil itu, berguru kepada para hwesio (pendeta Buddha) sehingga dia menjadi pandai, bukan saja bertubuh kuat dan pandai ilmu silat, bersemangat, juga pandai dalam hal membaca dan menulis.

Tapi kehidupan sebagai pendeta di kuil tidak memuaskan hatlnya. Dia pun meninggalkan kuil, hidup terlunta-lunta dan dalam usia belasan tahun itu, dia bahkan pernah mengikuti seorang pengemis sakti, hidup sebagai seorang pengemis!

Akhirnya, karena kegagahan serta kepandaiannya, karena bakatnya menjadi pemimpin, setelah bertualang di dunia kang-ouw dia pun berhasil diangkat menjadi seorang beng-cu (pemimpin rakyat). Dia telah menjadi dewasa, berpengalaman dan berpengetahuan luas, sudah lenyap sama sekali bekas-bekas kehidupan petani di pedesaan. 

Dia memperkuat kedudukannya, memperkuat para pengikut yang dihimpunnya menjadi sebuah pasukan, melatihnya dan dalam usia dua puluh delapan tahun dia sudah demikian kuatnya dan memperoleh dukungan dari rakyat jelata, mulai dari golongan rendah sampai menengah, memberontak terhadap kekuasaan Kerajaan Mongol yang telah menjajah Cina selama hampir seratus tahun. 

Ia memimpin pasukan rakyatnya menyerbu dan menguasai kota Nan-king yang kemudian menjadi pusat kekuasaannya, bahkan kemudian menjadi kota rajanya. Pada tahun 1368, dalam usia empat puluh tahun, dia sudah berhasil menguasai seluruh wilayah kekuasaan Mongol di daratan Cina. Dia kemudian mendirikan dinasti baru, yaitu Dinasti Beng dan dia menjadi kaisar pertamanya yang bernama Kaisar Thai-cu.

Semenjak itu Kaisar Thai-cu terus mengadakan pembersihan, mengirim pasukan di bawah pimpinan Jenderal Su Ta, yaitu seorang panglima yang menjadi tangan kanannya, jauh ke utara dan barat untuk mengejar sisa-sisa pasukan Mongol, bahkan membakar kota raja Karakorum, kota raja lama yang dulu menjadi pusat kekuasaan pendiri Kerajaan Mongol, yaitu Jenghis Khan…..

********************
Pada saat Sam Sian dan Sin Wan diperkenankan menghadap kaisar untuk menyerahkan pusaka-pusaka yang berhasil ditemukan kembali oleh Tiga Dewa itu, Kaisar Thai-cu telah tujuh tahun menjadi kaisar (1375). Tentu saja Kaisar Thai-cu gembira bukan main ketika menerima Sam Sian dan melihat betapa semua pusaka yang dicuri maling itu telah dapat ditemukan kembali. Kaisar yang sebelum menjadi kaisar sudah sering bertualang di dunia kang-ouw ini tahu benar bahwa jika mengandalkan pasukan saja akan sukar untuk dapat menemukan kembali pusaka-pusaka yang hilang. Oleh karena itulah maka dia mengutus Sam Sian untuk mencari dan membawa kembali pusaka-pusaka itu.

Saking gembiranya Kaisar Thai-cu lalu menawarkan kedudukan kepada mereka bertiga. Ketika Sam Sian menolaknya dengan halus, Kaisar Thai-cu yang sudah mengenal watak-watak para tokoh dan datuk persilatan, tidak menjadi marah.

"Kalau begitu, kalian pilih sebuah di antara pusaka-pusaka yang dapat ditemukan kembali ini. Pilihlah sebuah yang paling disukai, dan kami hadiahkan pusaka itu kepada kalian."

Karena penawaran itu berlaku untuk perorangan, Dewa Arak kemudian berkata, “Hamba tidak membutuhkan pusaka, karena kesukaan hamba hanyalah minum arak."

Kaisar Thai-cu tertawa dan dia langsung mengutus seorang petugas untuk mengambilkan sebuah guci arak yang merupakan benda pusaka pula karena guci itu terbuat dari sejenis batu kumala yang berkhasiat. Bukan saja arak yang disimpan dalam guci itu akan menjadi semakin lezat, juga kalau ada racun terkandung dalam minuman atau makanan, begitu dimasukan ke dalam guci yang warnanya putih kebiruan itu akan menjadi hitam! Tentu saja Dewa Arak merasa gembira sekali menerima guci arak yang ada gantungannya itu, apa lagi guci itu diisi arak yang paling tua di istana. Dia cepat menghaturkan terima kasih.

Ketika sampai giliran Dewa Rambut Putih, dia cepat memberi hormat, "Hamba juga tidak membutuhkan pusaka, karena kesukaan hamba hanyalah membaca kitab, meniup suling dan membuat sajak."

Kaisar Thai-cu mengangguk-angguk senang dan memandang kagum. Lalu dia mengutus petugas lain untuk mengambilkan sebuah kitab kumpulan huruf-huruf (semacam kamus) dan sebuah suling yang terbuat dari perak dan mempunyai suara yang amat nyaring dan merdu. Mendapatkan hadiah yang baginya lebih bernilai dari pada segala macam pusaka, Dewa Rambut Putih menghaturkan terima kasih dengan hati gembira.

Tinggal Dewa Pedang yang ditawari memilih salah satu di antara pusaka yang ditemukan kembali. Bagi seorang ahli pedang seperti Kiam-sian, tentu saja dia mengincar pedang yang dianggapnya paling hebat di antara pusaka-pusaka itu, yaitu Gin-kong-kiam (Pedang Sinar Perak) yang pernah dipergunakan mendiang Se Jit Kong melawan pedangnya, yaitu Jit-kong-kiam dan ternyata pedang pusaka kerajaan itu tak kalah ampuhnya dibandingkan pedangnya sendiri. 

Namun dia teringat akan Sin Wan. Pernah Sin Wan bercerita kepadanya tentang Pedang Tumpul, yaitu pedang buruk yang pernah dilihat anak itu dan bahkan Se Jit Kong pernah menuturkan riwayat pedang itu kepada Sin Wan. Sin Wan mengatakan kepadanya bahwa anak itu sangat suka dengan Pedang Tumpul. Ketika ditanya mengapa menyukai pedang tumpul yang tentu kurang bermanfaat sebagai pedang, anak itu membantah.

"Suhu, teecu telah bersumpah kepada ibu bahwa teecu tak akan menjadi jahat dan kejam seperti mendiang Se Jit Kong. Bahkan di depan makam ibu teecu telah bersumpah tidak akan melakukan pembunuhan. Pedang tumpul itu cocok sekali untuk teecu. Karena tidak tajam dan tidak runcing, maka pedang itu tidak berbahaya bagi nyawa lawan, akan tetapi cukup baik untuk dipakai membela diri. Apa lagi menurut mendiang Se Jit Kong, pedang itu dulu bernama Pedang Asmara yang sudah dirombak, pedang yang menjadi lambang kasih sayang."

Sekarang, ketika Kaisar Thai-cu menawarkan sebuah di antara pusaka-pusaka itu untuk dipilihnya, dia pun memberi hormat. "Apa bila paduka mengijinkan, hamba mohon diberi hadiah Pedang Tumpul ini." Dia menunjuk ke arah pedang di antara tumpukan pusaka itu.

"Apa? Pedang yang buruk ini pilihanmu, totiang (bapak pendeta)?" Kaisar bertanya sambil mengangkat pedang yang sangat buruk itu, kemudian menghunusnya. "Aihhh, pedang ini bukan saja gagang dan sarungnya amat sederhana, akan tetapi pedangnya sendiri tumpul dan buruk!"
"Ampun, Paduka. Keburukan melahirkan kebaikan, dan kebaikan melahirkan keburukan, keduanya tidak terpisahkan. Akan tetapi hamba lebih memilih yang buruk kulitnya namun baik isinya, dari pada yang baik kulitnya akan tetapi buruk isinya."

Kaisar Thai-cu tertawa senang. "Ha-ha-ha-ha, totiang benar. Pedang ini memang gagal pembuatannya sehingga terlihat buruk, akan tetapi kabarnya pedang ini terbuat dari pada batu bintang hijau. Nah, terimalah, totiang, dan mudah-mudahan bukan saja isinya yang baik, akan tetapi juga kegunaannya."

Kiam-sian gembira sekali, dan dia pun menerima pedang itu sambil menghaturkan terima kasih dengan sikap hormat. Kemudian mereka mendapat ijin untuk mengundurkan diri.....

Sin Wan yang diajak guru-gurunya menghadap kaisar, diam-diam merasa kagum bukan main. Selama hidupnya belum pernah dia melihat gedung yang begitu indah seperti istana itu, juga melihat perabot-perabot dan barang-barang yang luar biasa sehingga dia merasa seperti dalam mimpi saja.

Ketika Sam Sian dan Sin Wan keluar dari pintu gerbang istana yang terakhir dan sedang berjalan menuju ke jalan umum, di luar pintu gerbang itu tampak seorang anak perempuan yang ditemani seorang wanita setengah tua. Agaknya kedua orang ini memang sengaja menunggu mereka keluar karena begitu melihat Sam Sian, anak perempuan itu langsung menjatuhkan diri berlutut di atas tanah di tepi jalan.

"Sam-wi locianpwe (tiga orang tua gagah), saya Lim Kui Siang mohon agar dapat diterima sebagai murid sam-wi."

Tentu saja tiga orang kakek itu saling bertukar pandang dan merasa heran sekali. Mereka segera mengamati anak perempuan itu. Seorang anak perempuan yang usianya sembilan atau sepuluh tahun, pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang anak bangsawan atau hartawan, dan wajahnya yang cantik manis dengan kulit putih mulus itu nampak berduka.

"Nona kecil, jangan begitu. Kami tidak menerima murid, dan jangan berlutut di tepi jalan, nanti akan menjadi tontonan orang," kata Dewa Arak sambil menghampiri anak itu hendak mengangkatnya bangun.
"Sam-wi locianpwe, sebelum sam-wi bersedia menerima saya sebagai murid maka saya akan tetap berlutut di sini sampai mati!"

Tentu saja ucapan ini membuat tiga orang kakek itu terkejut bukan kepalang. Akan tetapi mereka lantas tersenyum dan di dalam hati mereka tidak percaya bahwa anak perempuan yang jelas anak seorang bangsawan ini akan benar-benar senekat itu.

"Nona, sudah kami katakan bahwa kami tidak menerima murid. Bangkitlah dan pulanglah, nona," kata pula Dewa Arak dan kepada wanita setengah tua yang berpakaian pelayan itu dia pun berkata, “Ajaklah nonamu pulang. Tidak baik membiarkan dia bersikap seperti ini di tempat umum."

Akan tetapi wanita pelayan itu memberi hormat dan berkata dengan suara sedih. "Sudah sejak di rumah tadi saya mencoba untuk membujuk siocia (nona), bahkan paman-paman dan bibi-bibinya juga telah membujuk. Akan tetapi siocia tetap berkeras hati."

"Kalau begitu, biarkan sajalah kalau dia ingin berlutut di sini sampai mati," kata pula Dewa Arak dan dia pun memberi isyarat kepada dua orang rekannya untuk meninggalkan pintu gerbang itu, tidak mau menoleh lagi.

Sin Wan yang beberapa kali menoleh! Melihat betapa anak itu masih tetap berlutut, tidak bergerak sama sekali, dia merasa kasihan sekali. 

"Kenapa suhu bertiga membiarkan dia berlutut di sana terus? Bagaimana kalau dia benar-benar tidak mau bangkit lagi dan akan berlutut terus di sana sampai mati seperti yang dia katakan tadi?”
"Ha-ha-ha!” Dewa Arak berkata, "Dia anak bangsawan yang tentu sejak kecil dimanja dan setiap keinginannya harus dipenuhi. Dia hanya menggertak saja."
"Siancai... pinto (aku) belum pernah mendengar, apa lagi melihat sendiri ada anak sekecil itu begitu teguh hati akan berlutut terus sampai mati kalau permintaannya tidak dipenuhi," kata Kiam-sian si Dewa Pedang.
“Ia tentu dibuai khayal, mendengar bahwa kita telah berhasil menemukan kembali pusaka-pusaka itu lalu dia bermimpi untuk kelak menjadi seorang pendekar wanita. Seorang anak bangsawan yang biasanya hidup mewah dan senang, mana mungkin mampu menghadapi kehidupan sulit di pertapaan?" kata pula Si Dewa Rambut Putih.

Akan tetapi Sin Wan tidak setuju dengan pendapat ketiga orang gurunya. Dia tadi melihat betapa anak perempuan itu nampak bersedih dan sinar matanya seperti orang yang putus harapan. Dalam keadaan seperti itu tidak akan aneh apa bila anak itu berlaku nekat dan benar-benar akan berlutut di sana sampai mati!

"Suhu, hati teecu merasa tidak enak. Bagaimana kalau dia benar-benar berlutut di sana sampai mati? Kalau hal itu terjadi, apakah suhu bertiga tidak akan merasa berdosa dan menyesal?"

Tiga orang kakek itu berhenti melangkah. Pintu gerbang istana sudah tertinggal jauh dan tidak nampak lagi, akan tetapi mereka menengok ke belakang seolah-olah hendak melihat apakah anak perempuan itu masih berlutut di sana.

"Hemmm, Sin Wan. Apakah engkau ingin mengatakan bahwa kami harus menerima anak itu menjadi murid?" tanya Dewa Pedang sambil menatap tajam wajah Sin Wan.

Wajah Sin Wan menjadi kemerahan dan dia menjawab, "Tentu saja keputusan itu terserah kepada suhu bertiga. Teecu hanya hendak mengatakan bahwa anak itu bersikap seperti tadi tentu ada alasan dan sebabnya yang kuat. Setidaknya, alangkah baiknya kalau suhu bertiga mengetahui sebabnya, dan sebelum kita meninggalkannya, kita dapat membujuk agar dia tidak bersikap nekat seperti itu."

Tiga orang kakek itu saling pandang. Mereka bukanlah orang-orang yang bersikap kejam dan acuh. Mereka pun tertarik melihat sikap anak perempuan itu, akan tetapi mereka tadi bersikap seakan-akan mereka acuh justru untuk menguji dan mengetahui bagaimana Sin Wan menghadapi peristiwa itu.

"Ha-ha-ha, kalau begitu biar kita tunggu dan lihat nanti. Kalau dia hanya berlutut selama semalaman ini saja, kurasa dia tidak akan mati karena itu. Besok pagi-pagi baru kita lihat apakah dia masih berada di sana. Ha-ha-ha-ha, agaknya memang sudah takdir bahwa kita harus tinggal semalam lagi di kota raja."

Mereka tidak mau bermalam di rumah penginapan. Berita tentang mereka yang berhasil menemukan kembali pusaka istana yang hilang tentu sudah tersiar sehingga jika mereka bermalam di tempat umum, tentu hanya akan menarik perhatian orang. 

Dewa Arak yang mempunyai banyak pengalaman di kota raja lalu mengajak dua rekannya dan Sin Wan melewatkan malam itu di sebuah kuil tua yang sudah tak terpakai lagi, yang terletak di daerah pinggiran yang terpencil. Kuil tua itu kini menjadi tempat bermalam para pengemis dan mereka yang tidak memiliki rumah, atau pendatang dari luar kota raja yang tidak mampu membayar sewa kamar penginapan yang mahal.

Malam itu Sin Wan gelisah tidak dapat pulas. Bukan karena tempatnya yang buruk. Sejak mengikuti tiga orang gurunya, anak ini sudah terbiasa hidup seadanya, tidur di mana saja, bahkan di tempat terbuka. Bukan karena tempat itu yang membuat dia tidak dapat tidur, melainkan dia selalu teringat kepada anak perempuan itu! Akan tetapi tiga orang gurunya tidur dengan nyenyaknya!

Dia tak bermaksud melakukan sesuatu di luar tahu guru-gurunya. Akan tetapi kini mereka telah pulas dan dia tidak ingin mengganggu mereka. Maka dengan amat hati-hati Sin Wan meninggalkan ruangan di bagian belakang kuil itu, mengambil jalan dari samping supaya tidak mengganggu mereka yang tidur di ruangan tengah dan depan, lantas meninggalkan kuil itu, pergi menuju ke arah istana! 

Begitu dia keluar, hujan turun rintik-rintik. Akan tetapi Sin Wan melanjutkan perjalanannya melalui pinggiran rumah ke rumah sehingga pakaiannya tidak basah kuyup. Akhirnya dia pun tiba di depan pintu gerbang istana yang menghadap jalan raya.

Anak perempuan itu masih di sana! Jantungnya seperti ditusuk karena haru dan iba. Anak perempuan itu masih berlutut seperti tadi siang! 

Pelayan wanita setengah tua tadi pun masih di belakangnya, dan kini memegang sebuah payung terbuka untuk memayungi anak perempuan itu, melindunginya dari air hujan rintik-rintik. Akan tetapi anak perempuan itu tidak peduli, masih berlutut padahal air hujan sudah menggenangi tempat dia berlutut sehingga kaki dan pakaiannya menjadi basah dan kotor oleh lumpur.

"Siocia marilah kita pulang dahulu. Hari sudah malam dan hujan turun. Besok boleh siocia lanjutkan lagi," berulang kali pelayan itu membujuk dengan suara hampir menangis. Akan tetapi anak perempuan itu sama sekali tidak bergerak atau menjawab.

Sebuah kereta berhenti di dekat tempat itu, lantas empat orang turun dari kereta. Mereka adalah dua pasang suami isteri yang berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun, berpakaian seperti hartawan. Empat orang itu menghampiri si gadis kecil dan mereka pun membujuk-bujuk, mengajak anak perempuan. itu pulang. 

Akan tetapi anak itu tetap tidak bergerak dan tidak menjawab. Ketika dua orang pria yang menyebut diri sendiri sebagai paman kepada anak perempuan itu hendak memaksanya, menarik lengannya untuk dipaksa pulang, pelayan wanita ini lalu mencegah dengan suara memohon.

"Harap siocia jangan dipaksa. Tadi siocia telah mengatakan kepada saya bahwa kalau dia dipaksa pulang, maka begitu sampai di rumah siocia akan membunuh diri!"

Mendengar ucapan itu, dua orang pria itu terkejut dan langsung melepaskan tangan anak perempuan itu yang terus berlutut sambil menundukkan mukanya. Akhirnya, karena hujan turun semakin deras, dua pasang suami isteri itu naik ke dalam kereta dan kereta itu pun meninggalkan tempat itu. Anak perempuan itu masih terus berlutut, ada pun pembantunya masih berdiri di belakangnya sambil memayunginya.

Sin Wan tidak dapat menahan keharuan hatinya, maka dia pun nekat menempuh hujan, menghampiri anak perempuan itu. Dilihatnya anak itu masih berlutut seperti patung, sama sekali tidak bergerak dan mukanya menunduk. Biar pun wanita itu memayunginya, namun angin membuat air hujan menyiram dari samping sehingga pakaian anak itu sudah basah kuyup, demikian pula rambutnya. Air menetes-netes dari dagunya yang hampir menempel dada. 

"Nona, kenapa engkau berkeras hendak menjadi murid tiga orang locianpwe itu?”

Anak perempuan itu diam saja, mengangkat muka pun tidak, apa lagi menjawab.

"Nona, tak baik menyiksa diri seperti ini. Engkau bisa masuk angin dan jatuh sakit. Kalau hanya ingin belajar ilmu silat, bukankah di kota raja ini juga terdapat banyak guru silat? Mengapa nona berkeras hendak belajar dari tiga orang locianpwe itu?" Sin Wan kembali bertanya, suaranya lembut. Namun yang ditanyanya tidak menjawab, bergerak pun tidak.

"Orang muda, harap jangan ganggu siocia. Siapa pun yang mengajaknya bicara, dia tidak akan mau menjawab, kecuali kalau tiga orang kakek tadi yang datang bicara dengannya,” kata pelayan yang memayungi.

Akhirnya Sin Wan meninggalkan anak itu, dalam hatinya dia mencela tiga orang gurunya yang dianggap kejam dan acuh terhadap seorang anak yang mempunyai tekad demikian hebatnya.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Sin Wan yang malam itu sama sekali tidak tidur, sudah menyambut tiga orang gurunya yang baru bangun dengan permintaan agar mereka segera menengok anak perempuan yang berlutut di depan pintu gerbang istana!

"Marilah, suhu. Kasihan anak perempuan yang berlutut semalam suntuk di sana, padahal semalam hujan turun...”

Dewa Arak tertawa. "Ha-ha-ha. bagaimana engkau tahu bahwa dia masih berada di sana, Sin Wan? Siapa tahu tadi malam dia sudah pulang dan tidur nyenyak di kamarnya yang indah dan hangat."

"Tidak suhu. Memang semalam suntuk dia terus berlutut di sana, Maaf, tadi malam teecu sudah menengok ke sana. Teecu tidak dapat memberi tahu kepada suhu bertiga karena suhu sudah tidur pulas. Bahkan teecu telah membujuknya supaya dia mau menghentikan kenekatannya, tetapi sia-sia. Dia tak akan mau bangkit sebelum suhu bertiga datang dan mengajaknya seperti yang dikatakannya kemarin."

Tentu saja tiga orang sakti sudah mengetahui semua ini. Semalam mereka menggunakan kepandaian mereka untuk membayangi murid mereka sehingga mereka pun telah melihat semuanya. Kalau kini mereka berpura-pura, hal itu mereka lakukan untuk menguji sampai di mana kejujuran murid mereka.

"Hemm, baiklah. Sekarang marilah kita pergi ke sana," kata Dewa Rambut Putih dan Sin Wan ingin bersicepat, bahkan berjalan paling dulu untuk segera tiba di pintu gerbang itu.

Benar saja. Anak perempuan itu masih berlutut di situ! Pelayan wanita juga masih di situ, menangis! Dan mulailah banyak orang datang merubung karena tentu saja amat menarik melihat seorang anak perempuan bangsawan berlutut di sana, apa lagi mendengar bahwa anak itu berlutut di situ sejak kemarin siang, dan semalam bahkan berhujan-hujan di situ!

Sam Sian menghampiri anak itu dan Dewa Arak menyentuh kepala anak perempuan itu. "Hemmm, engkau sungguh keras hati, anak baik. Mari kita bicara tentang dirimu sebelum kami mengambil keputusan. Mari, bangkitlah!” Dewa Arak memegang tangan anak itu dan menariknya berdiri. 

Anak itu sudah lemas dan tentu akan roboh kalau tangannya tidak digandeng Dewa Arak. Wajahnya yang manis nampak agak pucat, akan tetapi matanya bersinar cerah ketika dia memandang kepada tiga orang kakek itu. Dia menurut saja ketika dibimbing menuju ke sebuah rumah makan yang buka pagi-pagi menjual sarapan bubur ayam dan teh panas.

Dewa Arak memesan bubur ayam untuk dia, Sin Wan, anak perempuan itu serta pelayan wanita yang terus mengikuti nonanya, sedangkan Dewa Pedang dan Dewa Rambut Putih memesan bubur tanpa daging ayam.

"Makanlah dahulu, baru kita bicara," kata Dewa Arak kepada anak perempuan itu.

Tanpa membantah dia segera makan bubur ayam. Sarapan hangat ini penting sekali bagi kesehatannya, sesudah berlutut sejak kemarin dan semalaman berhujan-hujan di tempat terbuka, tanpa makan tanpa minum.

Setelah mereka makan, barulah Dewa Arak bertanya, "Nah, sekarang katakan mengapa engkau bersikap seperti itu? Siapakah engkau dan mengapa engkau ingin menjadi murid kami?"

Anak itu ingin menjawab, akan tetapi hanya bibirnya yang bergerak gemetar kemudian dia pun menundukkan mukanya, menangis! Pelayannya yang duduk di sebelahnya merangkul nonanya dan dia pun mewakili nonanya menceritakan riwayat anak itu. 

"Siocia (nona) bernama Lim Kui Siang, usianya hampir sepuluh tahun, sedangkan saya adalah pelayan dan pengasuhnya sejak dia masih bayi. Siocia ini puteri dari keluarga Lim, bangsawan dan pejabat tinggi yang tadinya menjabat sebagai pengurus gudang pusaka istana. Ketika terjadi pencurian pusaka-pusaka itu, Lim-taijin (pembesar Lim) tewas pula dibunuh pencuri. Ibunya yang ketika itu sedang menderita sakit, terkejut mendengar akan tewasnya suaminya, apa lagi keluarga Lim harus bertanggung jawab mengenai kehilangan itu. Maka kedukaan akhirnya membuat ibu siocia ini meninggal pula.” 

"Hemm, apa hubungannya semua itu dengan kenekatannya untuk menjadi murid kami?" Dewa Arak bertanya.
"Saya tidak tahu... nona, ceritakanlah sendiri mengapa nona bersikeras untuk belajar ilmu dari mereka..."

Anak perempuan itu, Lim Kui Siang, kini sudah berhasil menguasai kesedihannya dan dia pun mengangkat muka memandang kepada tiga orang pendeta itu. Wajahnya tidak begitu pucat lagi dan sinar matanya penuh harapan.

"Saya telah menjadi yatim piatu. Kedua orang paman saya, adik dari ibu saya, bersikap baik, akan tetapi saya tahu bahwa mereka itu berbaik kepada saya karena menghendaki harta warisan orang tua saya. Saya muak dengan kepalsuan mereka semua itu. Kematian ayah dan ibu membuat saya kehilangan segala-galanya. Saya menaruh dendam terhadap pembunuh ayah yang menjadi pembunuh ibuku pula. Saya mendengar bahwa Sam-wi locianpwe telah berhasil menemukan kembali pusaka-pusaka itu. Ini berarti bahwa sam-wi lebih pandai dari pada pencuri itu. Maka saya bertekad untuk berguru kepada sam-wi!" katanya dengan suara mantap dan tegas.

"Ho-ho-ha-ha-ha !" Dewa Arak tertawa. "Kalau engkau ingin bersusah payah mempelajari ilmu untuk membalas dendam, maka jerih payahmu akan sia-sia saja, nona. Ketahuilah bahwa orang yang kau musuhi itu, pencuri yang membunuh ayahmu itu, dia telah mati!"

Akan tetapi anak perempuan itu tidak kelihatan kaget. "Biar pun dia telah mati, saya tetap ingin mempelajari ilmu dari sam-wi locianpwe," katanya tegas.

"Ehh? Untuk apa seorang anak perempuan bangsawan seperti engkau mempelajari ilmu silat, sedangkan orang yang kau musuhi itu sudah tidak ada?" tanya Dewa Arak, tertarik oleh kekerasan dan kesungguhan hati anak itu.
"Ayahku tewas karena dia tidak pandai ilmu silat, sedangkan ibuku juga meninggal dunia karena tubuhnya lemah. Saya ingin menjadi orang yang pandai silat sehingga saya dapat membela diri, melindungi orang-orang yang tidak bersalah, menentang penjahat-penjahat keji, dan saya ingin mempunyai tubuh yang kuat tidak seperti ibu. Nah, saya mohon sam-wi sudi menerima saya sebagai murid." 

Kembali anak perempuan itu menjatuhkan diri berlutut. "Sekali ini saya tidak akan nekat berlutut seperti kemarin, tapi kalau sam-wi menolak, selamanya saya akan menganggap sam-wi tidak mempunyai belas kasihan kepada seorang anak yatim piatu seperti saya."

Tiga orang kakek itu saling pandang. Anak ini memang lain dari pada yang lain. Kecuali keras hati dan bersemangat, juga pandai bicara!

"Siancai...! Kami suka saja menjadi gurumu, akan tetapi bagaimana dengan keluargamu? Bagaimana dengan rumah peninggalan orang tuamu? Harta peninggalan orang tuamu itu tentu banyak sekali. Kalau kau tinggalkan, bagaimana dengan semua warisan itu?"
"Saya tidak peduli! Paman-paman saya beserta keluarga mereka sudah selalu mengincar harta itu. Biarlah mereka bagi-bagi. Saya tidak membutuhkan harta, saya butuh ilmu dari sam-wi suhu (guru bertiga)!"

"Ha-ha-ha, sungguh aneh mendengar kata-kata itu keluar dari mulutmu, nona kecil. Kalau bagi kami bertiga, memang kami tidak membutuhkan harta karena kami senang hidup di tempat sunyi, tldak membutuhkan apa-apa lagi. Akan tetapi engkau adalah seorang anak perempuan, puteri seorang bangsawan. Kelak engkau akan membutuhkan harta itu untuk keperluan hidupmu. Kebetulan aku mempunyai seorang kenalan di kota raja, yaitu Ciang-ciangkun. Biarlah kutitipkan semua harta peninggalan orang tuamu itu kepada dia untuk dilindungi, agar kelak engkau dapat menerimanya kembali dari dia."

Anak perempuan itu memandang kepada tiga orang kakek itu dengan wajah berseri. "Ini berarti bahwa sam-wi suhu sudah menerima saya sebagai murid?"

Tiga orang itu saling pandang dan tersenyum, kemudian mengangguk. Jarang ditemukan seorang anak perempuan semacam ini. Mereka telah mengambil Sin Wan sebagai murid, tidak apa-apa kalau ditambah seorang murid perempuan lagi.

"Suhu...!" Anak perempuan itu memberi hormat kepada mereka bertiga secara bergantian. Lalu dia bangkit dan merangkul wanita setengah tua yang menjadi pengasuhnya sejak dia masih kecil.
"Kiu-ma, engkau sudah mendengar sendiri. Aku diterima menjadi murid ketiga orang suhu ini dan aku akan pergi mengikuti mereka. Kiu-ma, engkau pulanglah dan selama engkau masih suka, tinggallah di rumah keluargaku. Kalau tidak, engkau boleh pulang ke dusun dan semua yang kuberikan kepadamu itu boleh kau bawa pulang."

"Siocia... ahhh, siocia...!” Wanita itu merangkul dan menangis sedih.
"Sudahlah Kiu-ma. Peristiwa ini sangat membahagiakan hatiku, mengapa engkau sambut dengan tangis? Jangan mendatangkan kesedihan bagiku, Kiu-ma. Kalau aku telah selesai belajar ilmu kelak, tentu kau akan kucari dan kita akan dapat bertemu kembali."

Setelah cukup lama dibujuk-bujuk, akhirnya pelayan yang setia ini meninggalkan nonanya dan menyerahkan buntalan pakaian yang memang sudah dipersiapkan lebih dulu oleh Kui Siang. Anak perempuan ini memang sudah mengambil keputusan tetap, karena itu ketika meninggalkan rumah untuk menghadang tiga orang kakek itu di depan pintu gerbang, dia sudah membawa bekal pakaian, bahkan sudah meninggalkan banyak emas untuk Kiu-ma, pelayannya yang setia.

Pada keesokan harinya, Dewa Arak mengajak Kui Siang pergi ke gedung Ciang-ciangkun (perwira Ciang), seorang komandan pasukan yang terkenal gagah perkasa. Ketika terjadi perang menumbangkan kekuasaan Mongol dan sedang memimpin pasukannya, perwira ini pernah terjepit dan dikepung musuh. Dia dengan belasan orang pengawalnya dikepung ratusan orang prajurit Mongol. Kalau tidak muncul Dewa Arak yang menyelamatkannya, maka sukarlah bagi perwira itu untuk menghindarkan diri dari kematian. Inilah sebabnya mengapa Dewa Arak mengenal perwira Ciang itu.

Ciang-ciangkun yang kini berusia empat puluh tahun itu menerima kunjungan Dewa Arak dengan penuh kehormatan dan kegembiraan. Meski pun sekarang dia sudah memperoleh kedudukan tinggi, namun panglima ini tidak melupakan orang yang pernah menolongnya dari cengkeraman maut.

Ketika Dewa Arak menerangkan bahwa Lim Kui Siang, puteri dari mendiang bangsawan Lim akan ikut dengan dia menjadi muridnya, dan bahwa Dewa Arak ingin menitipkan harta kekayaan anak itu sebagai peninggalan orang tuanya dalam pengawasan Ciang-ciangkun, perwira itu menerimanya dengan penuh kesungguhan hati.

“Jangan khawatir, totiang. Saya mengenal baik mendiang Lim-taijin, seorang pembesar yang baik dan jujur. Memang nasibnya amat malang, tetapi sungguh beruntung puterinya dapat menjadi murid totiang. Saya akan menjaga semua harta milik nona Lim Kui Siang dan kelak, kalau dia sudah kembali ke sini tentu akan saya serahkan semua hak miliknya kepadanya."

Anak perempuan itu lalu disuruh membuat pernyataan tertulis mengangkat perwira Ciang menjadi kuasanya untuk mengurus dan menguasai seluruh harta peninggalan dari orang tuanya Setelah itu Dewa Arak mengajak muridnya meninggalkan perwira Ciang, kemudian mereka bergabung dengan Dewa Pedang dan Dewa Rambut Putih, lalu bersama Sin Wan pergi meninggalkan kota raja.

Ketika Kui Siang dan Sin Wan saling bertemu dan saling pandang, Sin Wan tersenyum dan berkata, "Sumoi, aku girang sekali kita dapat menjadi saudara seperguruan."
"Aku juga girang sekali, suheng." 

Hanya itulah ucapan mereka karena mereka belum saling mengenal. Kelak ketika mereka telah akrab, keduanya akan merasa makin suka karena memiliki nasib yang sama, yaitu keduanya sudah yatim piatu. Akan tetapi ketika menceritakan riwayatnya kepada sumoi (adik seperguruan) itu, Sin Wan tidak pernah menyinggung tentang Se Jit Kong, hanya menceritakan bahwa ayahnya bernama Abdullah dan ibunya Jubaedah, keduanya Bangsa Uigur dan sudah meninggal dunia.

Sam Sian atau Tiga Dewa membawa dua orang murid mereka ke sebuah puncak yang diberi nama Pek-ln-kok (Lembah Awan Putih), satu di antara lembah Pegunungan Ho-lan-san yang terletak di pantai barat Sungai Kuning. Pek-in-kok inilah yang menjadi tempat Sam Sian mengasingkan diri selama ini. 

Lembah yang berada dekat puncak ini berhawa sejuk dan bertanah subur. Akan tetapi untuk mencapai tempat itu merupakan hal yang amat sulit karena melalui dinding karang yang terjal dan sulit didaki oleh orang biasa. Inilah sebabnya maka tempat itu tidak pernah dikunjungi orang luar dan menjadi tempat pertapaan yang benar-benar sangat tenang dan tenteram.

Di sebeIah timur kaki Pegunungan Ho-lan-san terdapat sebuah kota di tepi Sungai Kuning. Kota ini cukup besar dan ramai, yaitu kota Yin-coan dan sedikitnya satu bulan sekali, Sin Wan dan Kui Siang mendapat kesempatan turun gunung dan berkunjung ke kota ini untuk membeli keperluan bagi mereka berlima. Selain ini mereka tidak pernah berhubungan dengan orang luar dan setiap hari kedua orang anak itu menerima gemblengan ilmu-ilmu silat yang tinggi dari tiga orang guru mereka.

Waktu merupakan suatu kenyataan yang amat aneh. Segala sesuatu di dalam kehidupan manusia di dunia ini, akhirnya semuanya menyerah kepada sang waktu, satu demi satu akan menyerah untuk ditelan habis oleh Sang Waktu! 

Waktu merupakan bukti akan kekuasaan Tuhan, menjadi bukti bahwa segala sesuatu di permukaan bumi ini tidak abadi adanya. Hanya Tuhan yang abadi, tanpa awal tanpa akhir. Segala sesuatu akan berubah menjadi permainan sang waktu.

Kalau tidak diperhatikan, sang waktu melesat cepat melebihi cahaya, melebihi kecepatan apa pun juga sehingga seorang kakek yang mengenang masa kanak-kanaknya akan merasa betapa sang waktu lewat sedemikian cepatnya sehingga puluhan tahun bagaikan baru kemarin dulu saja! Sebaliknya, apa bila orang menanti sesuatu dan memperhatikan sang waktu, maka sang waktu akan merangkak atau merayap seperti seekor siput.

Waktu juga mempermainkan pikiran dengan pembagiannya sebagai kemarin, hari ini dan esok atau masa lalu, saat ini dan masa depan. Pikiran yang mengenang masa lalu hanya mendatangkan dendam, duka dan penyesalan. Sedangkan pikiran yang membayangkan masa depan hanya mendatangkan rasa malu, rasa takut dan khayalan muluk. Masa lalu sudah lewat, hanya kenangan, masa depan belum ada, hanya khayalan. Menghadapi saat ini, detik demi detik, berarti menghadapi kenyataan dan itulah hidup. 

Hidup merupakan tantangan setiap saat yang harus kita hadapi dan harus ditanggulangi. Bagi yang hidup, dari saat ke saat bebas dari masa lalu dan masa depan. Saat ini adalah pelaksanaan hidup, saat ini adalah cara hidup, jalan hidup, sedangkan besok hanyalah ambisi, khayalan. Yang lampau sudah mati, yang kelak belum datang. Sekarang benar, nanti pun benar. Benar dan tidak terletak pada saat sekarang ini! 

Tuhan sudah menciptakan kita dalam keadaan sempurna, serba lengkap dengan perabot dan alat yang dapat kita gunakan untuk menghadapi dan menanggulangi hidup, lengkap dengan jasmani yang serba lengkap, panca indera, hati dan akal budi. Semua itu masih ditambah lagi dengan kekuasaan Tuhan yang meliputi diri kita luar dan dalam, kekuasaan Tuhan yang melindungi dan membimbing, asalkan kita mendasari semua ikhtiar dengan penyerahan kepada Tuhan Yang Maha Kasih dengan sabar, tawakal dan ikhlas! Semua kehendak Tuhan jadilah…..!

********************
Tanpa terasa lagi sepuluh tahun telah lewat sejak terjadinya peristiwa-peristiwa yang telah diceritakan pada bagian depan. Pagi itu udara di Pek-in-kok (Lembah Awan Putih) sangat cerah walau pun sinar matahari pagi masih terlampau lunak untuk dapat mengusir hawa yang dingin sejuk sehingga terasa menusuk tulang bagi mereka yang tidak biasa tinggal di tempat yang berhawa dingin.

Sudah sejak subuh tadi Sin Wan dan Kui Siang meninggalkan lembah dan pergi ke kota Yin-coan. Tahun baru tinggal sebulan lagi dan tiga orang guru mereka menyuruh mereka pergi ke Yin-coan untuk membeli pakaian baru untuk kedua orang murid itu.

"Akan tetapi, suhu, untuk apa teecu berdua harus membeli pakaian baru?" tanya Sin Wan yang kini telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tahun. 

Pemuda ini bertubuh tegap dan sedang, dengan dada lebar dan kaki tangan kokoh kuat. Dahinya lebar, rambutnya hitam panjang digelung ke atas, alisnya tebal berbentuk golok melindungi sepasang matanya yang besar dan bersinar cerah. Hidungnya mancung agak besar, dan mulutnya membayangkan keramahan dengan dagu berlekuk membayangkan keteguhan hati. Seorang pemuda yang gagah dan ganteng, dengan kulit yang agak gelap.

"Teecu juga heran. Kenapa teecu berdua diharuskan berbelanja pakaian baru? Pakaian teecu masih baik dan masih cukup banyak," Kui Siang juga membantah.

Dewa Arak yang mewakili dua orang rekannya menyuruh dua orang murid itu, tersenyum. Tiga orang pertapa yang dijuluki Sam Sian (Tiga Dewa) itu kini sudah tua. Usia mereka sudah enam puluh tahun lebih, namun mereka masih nampak sehat dan kuat. Terutama sekali Ciu-sian Tong Kui. Dewa Arak yang memiliki pembawaan gembira ini nampak lebih muda dari dua orang rekannya. Usianya yang enam puluh dua tidak meninggalkan bekas. Nampaknya dia belum ada lima puluh tahun!

"Sin Wan dan Kui Siang, kalian adalah orang-orang muda. Sudah sepatutnya kalian hidup penuh gairah, mengenakan pakaian yang bersih dan rapi. Menjelang tahun baru ini, kalian harus mempunyai pakaian baru untuk dipakai pada hari-hari tahun baru!"
"Tetapi, suhu, teecu sudah sepuluh tahun berada di sini dan teecu tidak pernah mengikuti tahun baru seperti para penduduk di bawah lembah," bantah Sin Wan.
"Lagi pula untuk apa teecu mengenakan pakaian baru pada hari tahun baru? Hendak dipamerkan kepada siapa? Teecu tidak saling berkunjung dengan keluarga," bantah pula Kui Siang.

"Siancai, murid-muridku yang baik," kata Dewa Pedang. Kiam-sian Louw Sun termasuk orang yang berpakaian paling bersih di antara Tiga Dewa itu. "Mengenakan pakaian baru di hari tahun baru bukan sekedar untuk berpamer, tetapi mempunyai arti yang mendalam. Tahun baru mengingatkan kita bahwa usia kita bertambah setahun lagi. Kita wajib mawas diri, menyadari semua kesalahan pada tahun yang lalu, mengubur semua kenangan masa lalu sehingga tak ada dendam yang tertinggal di hati. Hati harus bersih, seolah tahun baru juga membawa kehidupan baru yang ditandai dengan pakaian baru. Jadi pakaian baru melambangkan hati yang baru, cara hidup yang baru dan bersih seperti juga pakaian yang baru. Bersih itu pangkal sehat, bukan? Nah, siapa bilang mengenakan pakaian baru pada hari tahun baru hanya untuk pamer belaka?"

Karena alasan yang begitu kuat, dua orang murid itu tidak mampu membantah lagi. Pula, di sudut paling dalam di hati mereka, harus mereka akui bahwa pakaian baru juga menarik dan menyenangkan hati mereka. Hal itu menandakan bahwa memang ada gairah dalam hati dua orang muda ini, suatu hal yang wajar bagi orang muda.

Ketika Sin Wan dan Kui Siang pertama kali naik ke Pek-in-kok, usia mereka baru kurang lebih sepuluh tahun. Kini mereka telah dewasa. Sin Wan sudah menjadi seorang pemuda dewasa yang gagah dan ganteng, sedangkan Kui Siang juga telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan manis. Tubuhnya langsing berisi mengarah montok dengan tinggi sedang, kulitnya putih mulus. 

Wajahnya bulat telur dengan dagu runcing dan di dagu kanan terhias tahi lalat hitam kecil. Matanya lembut akan tetapi kadang sinarnya mencorong. Bibirnya merah segar. Mata dan mulutnya merupakan daya tarik terbesar pada diri gadis ini. Sikapnya halus dan anggun, dan pembawaan ini mungkin karena dia adalah puteri bangsawan yang ketika kecil sudah terbiasa melihat sikap yang demikian.

Pada waktu dua orang muda kakak beradik seperguruan itu menuruni lembah di bagian timur, di luar tahu mereka tentu saja, dari barat terdapat dua orang yang mendaki lembah bukit itu dengan gerakan yang ringan dan cepat sekali. Mereka itu adalah seorang wanita cantik berpakaian mewah yang kelihatan baru berusia tiga puluhan tahun, serta seorang gadis berusia sembilan belas tahun yang lebih cantik lagi. Wanita itu bukan lain adalah Bi-coa Sian-li (Dewi Ular Cantik) Cu Sui In. sedangkan gadis manis itu adalah muridnya yang bernama Tang Bwe Li dan yang biasa dipanggil Lili oleh gurunya.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, guru dan murid yang keduanya galak ini pernah mencoba untuk merampas pusaka-pusaka istana yang dibawa oleh Sam Sian, tapi Dewi Ular Cantik itu tak mampu mengalahkan Sam Sian. Ia terpaksa mengajak muridnya pergi dengan marah dan hatinya penuh dendam kepada Sam Sian yang telah mengalahkannya.

Apa lagi ketika ia mendengar bahwa pusaka-pusaka itu oleh Sam Sian telah dikembalikan kepada kaisar. Ia segera mengajak muridnya pergi ke barat untuk mengunjungi ayahnya, yaitu seorang datuk besar bernama Cu Kiat yang berjuluk See-thian Coa-ong (Raja Ular Dunia Barat). Datuk besar ini tinggal di puncak Bukit Ular di Pegunungan Himalaya ujung timur dan sudah belasan tahun dia tidak lagi terjun ke dunia ramai. 

Namun nama besar See-thian Coa-ong pernah menggemparkan dunia persilatan karena wataknya yang aneh dan ilmunya yang sangat tinggi. Dia seorang datuk yang aneh, tidak condong kepada golongan sesat, tidak pula condong kepada para pendekar. Dia berdiri di tengah-tengah dan menentang siapa saja yang tidak cocok dengan seleranya.

Kepada ayahnya yang juga menjadi gurunya, Bi-coa Sian-li Cu Sui In lalu mengadukan kekalahannya dari Sam Sian dan dia ingin memperdalam ilmunya supaya dapat menebus kekalahannya itu.

Kakek yang tinggi kurus itu mengelus-elus jenggotnya dan mulutnya yang biasanya selalu dihiasi senyum mengejek itu kini tertawa. Matanya yang sipit dengan lindungan alis hitam tebal itu semakin sipit ketika dia tertawa, matanya yang tajam bersinar-sinar gembira.

"Ha-ha-ha-ha, engkau dikalahkan Sam Sian bertiga? Ha-ha-ha, Sui In, engkau tidak perlu penasaran. Ayahmu sendiri pun tidak akan menang kalau harus maju sendiri menghadapi pengeroyokan mereka bertiga. Mereka bertiga masing-masing mempunyai ilmu yang khas dan lihai sekali. Pusaka-pusaka itu telah dikembalikan kepada kaisar. Sudahlah, tak perlu dibuat kecewa."
"Tapi, ayah. Aku merasa terhina sekali. Aku harus membalas kekalahan itu, dan aku ingin memperdalam ilmuku. Karena itulah aku datang menghadap ayah!" kata wanita cantik itu dengan tegas.
"Teecu juga harus membalas penghinaan yang teecu alami dari Si Kerbau-kuda-kucing- anjing-sapi-babi anak setan sialan itu!" kata pula Tang Bwe Li atau Lili, tidak kalah marah dan galaknya dibanding gurunya.

Datuk yang usianya sekitar lima puluh lima tahun itu memandang kepada Lili dengan mata terbelalak, kemudian mengerutkan alisnya dan bertanya. "Siapakah bocah ini?"

"Dia muridku bernama Tang Bwe Li, ayah.”
"Sukong (kakek guru), aku Lili menghaturkan hormat kepada sukong!" kata Bwe Li atau Lili sambil menjatuhkan diri berlutut di depan ayah dari subo-nya itu.
“Hemm, Sui In! Kalau engkau hendak mengambil murid, mengapa tidak memilih seorang murid laki-laki? Anak perempuan seperti ini mana mampu mewarisi ilmu kita yang tinggi?" tegur kakek itu sambil memandang kepada Lili dengan alis berkerut dan mulut mengejek. 

Sebelum Dewi Ular Cantik menjawab, Lili sudah mengangkat muka memandang kepada kakek itu dengan mata bersinar penuh kemarahan, kemudian terdengar jawabannya yang lantang. "Mengapa sukong berkata begitu? Lupakah sukong bahwa subo, puteri sukong, juga seorang wanita? Apakah sukong hendak mengatakan bahwa subo juga tidak mampu mewarisi ilmu dari sukong?"

Cu Sui In hanya tenang-tenang saja mendengar bantahan muridnya kepada ayahnya. Dia sudah mengenal benar watak muridnya. Justru watak yang keras, berani dan jujur itulah yang membuat dia suka sekali kepada Lili. Namun tidak demikian dengan datuk besar See-thian Coa-ong Cu Kiat. Kakek ini terbelalak, mulutnya masih tersenyum mengejek, akan tetapi sinar matanya membayangkan perasaan kaget, penasaran dan juga kagum.

“Hemm, hendak kulihat apakah engkau memang bernyali naga, ataukah hanya berlagak saja!” katanya dan dari mulutnya keluar suara mendesis.

Tidak lama kemudian terdengar suara desis yang sama dari dalam rumah dan muncullah seekor ular yang besar sekali. Ular itu panjangnya lebih dari lima meter, besarnya sepaha orang dewasa. Ular itu keluar sambil mendesis-desis. See-thian Coa-ong si Raja Ular itu terus mengeluarkan desis yang makin meninggi seperti bersiul dan tiba-tiba saja ular itu lalu bergerak maju menyerang Lili!

Anak perempuan berusia sembilan tahun itu tidak kelihatan terkejut atau pun takut. Dia sudah meloncat berdiri dan begitu ular menyerangnya, dia sudah melompat ke samping. Ketika kepala ular itu meluncur lewat, dia menggerakkan kaki menendang ke arah kepala ular dari samping belakang.

"Plakkl" Kepala ular kena ditendang, akan tetapi kepala ular itu keras sekali sehingga kaki di dalam sepatunya terasa nyeri.

Ular itu terkejut, membalik dan dengan moncongnya yang dibuka lebar dia menerjang lagi. Dengan gesit Lili meloncat lari ke samping. Akan tetapi dia tidak sempat menendang lagi karena kepala ular itu sudah membalik dan melanjutkan serangannya yang bertubi-tubi. Bukan hanya kepalanya saja yang menyerang, juga ular itu menggerakkan ekornya untuk menyambar kaki anak perempuan itu. Lili terpaksa harus meloncat ke sana sini sehingga dia pun menjadi marah sekali.

"Ular keparat, kau kira aku takut padamu?!" bentaknya.

Ketika ular itu menyerang lagi dengan moncongnya, dia cepat mengelak ke kiri, kemudian dia meloncat dan menerkam leher ular itu dari belakang, mencengkeram leher itu dengan sepasang tangannya! Gerakan ini selain tangkas juga berani sekali.

Hal ini tidak begitu mengherankan. Lili adalah murid Dewi Ular Cantik, seorang yang biasa bermain dengan ular. Sejak kecil Lili telah dibiasakan oleh gurunya untuk bermain dengan ular yang menjadi dasar dari ilmu-ilmunya, karena itu Lili tidak pernah takut berhadapan dengan ular. Hanya belum pernah berkelahi dengan ular sebesar itu!

Biar pun dua buah tangan itu kecil saja, dengan jarl-jari yang mungil dan tidak panjang, akan tetapi cekikan kedua tangan pada leher ular itu cukup kuat. Ular itu meronta-ronta hendak melepaskan leher yang dicekik. Demikian kuat ular itu meronta sehingga tubuh Lili terbawa dan terbanting, terguncang ke kanan kiri.

Tapi bagaikan seekor lintah anak perempuan itu tak pernah mau mengendurkan, apa lagi melepaskan cekikannya. Ular itu kini menggerakkan ekornya dan tubuh ular yang panjang besar dan licin dingin itu membelit-belit tubuh Lili! Lilitan ular itu kuat sekali.

Seorang laki-laki dewasa pun takkan dapat tahan bila dililit ular itu, akan patah-patah dan remuk tulang-tulangnya. Akan tetapi desis yang keluar dari mulut Raja Ular merupakan isyarat atau perintah yang amat dipatuhi ular besar itu. Lilitannya bukan untuk membunuh, melainkan untuk membuat anak perempuan itu tidak mampu bergerak.

Kini seluruh tubuh anak itu dililit ular, juga kedua kaki dan kedua lengannya. Akan tetapi kedua tangannya masih tetap mencekik leher ular, walau pun tenaganya sudah banyak berkurang karena kedua lengannya dililit ular. Lili tidak mampu bergerak lagi.

"Subo!" ia memandang subo-nya, akan tetapi wanita cantik itu acuh saja seolah muridnya tidak terancam bahaya. Lili hanya satu kali memanggil, tanpa berkata minta tolong.
"Ha-ha-ha, anak bandel! Sekarang menangislah, minta ampunlah, dan ular ini tentu akan melepaskanmu," kata See-thian Coa-ong Cu Kiat penuh kemenangan.

Akan tetapi, biar pun lilitan ular itu semakin kuat dan membuat dadanya terasa sesak, Lili bertahan dan memandang kepada kakek gurunya dengan mata bersinar-sinar. "Sukong, subo tidak pernah mengajarkan aku untuk merengek dan menangis dengan cengeng! Aku tidak bersalah apa-apa, aku tidak akan menangis, tidak akan minta ampun!"

"Hemm, kalau begitu, ularku akan membunuhmu!"
"Aku tidak percaya. Subo akan melarangnya, dan sukong juga tidak mungkin membunuh cucu murid sendiri. Andai kata dibunuh juga, aku tidak takut!"

Kembali kakek itu mengeluarkan suara mendesis dan lilitan ular itu semakin kuat.

Lili sudah tidak mampu menggerakkan kaki tangan. Akan tetapi dia tidak mau menyerah begitu saja. Dia masih dapat menggerakkan lehernya. Melihat betapa dadanya semakin sesak, dia pun menunduk dan membuka mulutnya, lalu menggigit leher ular yang berada pada dagunya, menggigit dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Giginya yang kuat itu menembus kulit ular dan lidahnya segera merasakan darah yang asin amis!

Ular itu terkejut kesakitan dan lilitannya mengendur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Lili untuk meronta, melepaskan diri dan meloncat keluar dari lilitan ular itu. Dia meloncat ke dekat subo-nya.

"Subo, tolong teecu (murid) pinjam pedangnya sebentar untuk membunuh ular keparat itu,” teriaknya kepada subo-nya.
"Hushh!", bentak Cu Sui In. "Kalau ayah menghendaki, sudah semenjak tadi engkau mati, tulang-tulangmu sudah remuk dalam lilitan ular. Atas perintah sukong-mu, ular itu hanya mengujimu, bukan hendak membunuhmu, tapi engkau malah menggigit sehingga melukai lehernya!"

Mendengar keterangan gurunya, Lili terkejut sekali. Dia memandang dan melihat kakek itu dengan penuh sikap menyayang, memeriksa luka di leher ular dan mengobatinya dengan obat bubuk putih. Dia merasa bersalah dan segera dia menjatuhkan diri berlutut di depan See-thian Coa-ong Cu Kiat.

"Sukong, aku sudah bersalah. Kalau sukong hendak menghukum dan membalas dengan menggigit leherku, silakan!”

Raja Ular Itu memandang kepadanya, lalu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, Sui In. Sekarang aku mengerti mengapa engkau memilih setan cilik ini sebagai murid. Dia memang pantas menjadi muridmu. bahkan patut menjadi muridku, ha-ha-ha!"

Mendengar ini, Cu Sui In tersenyum. "Lili, cepat kau menghaturkan terima kasih kepada suhu-mu. Mulai saat ini juga engkau menjadi murid ayah, dan aku menjadi suci-mu (kakak seperguruanmu)!"

Lili adalah seorang wanita yang cerdas sekali. Dia segera memberi hormat dan menyebut suhu kepada Si Raja Ular yang tertawa bergelak karena girangnya memperoleh seorang murid yang menyenangkan. Mulai saat itu Lili menyebut suci kepada bekas ibu gurunya. Hal itu amat menyenangkan hati Sui In, wanita yang selalu nampak jauh lebih muda dari usia sebenarnya, dan yang selalu ingin dianggap muda.

Dengan tekun See-thian Coa-ong Cu Kiat menggembleng Tang Bwe Li atau Lili dengan ilmu-ilmunya, sementara Sui In juga memperdalam ilmunya di bawah bimbingan ayahnya. Sepuluh tahun kemudian, pada usia sembilan belas tahun dan menjadi seorang dara yang cantik manis, Lili sudah menguasai ilmu-ilmu dari Si Raja Ular. Bahkan jika dibandingkan dengan tingkat kepandaian bekas guru yang sekarang menjadi suci-nya, dia hanya kalah pengalaman saja dan selisihnya tidak jauh!

Demikianlah, pagi hari itu ketika Sin Wan dan Kui Siang menuruni bagian timur lembah Pek-in-kok, Bi-coa Sian-li Cu Sui In dan bekas murid yang kini menjadi sumoi-nya (adik seperguruannya) mendaki lembah bukit sebelah barat. Sui In dan Lili menggunakan ilmu berlari cepat dan bagaikan melayang saja mereka mendaki lembah bukit yang bagi orang biasa merupakan daerah yang amat sukar dilalui itu.

Mereka mendaki Pek-in-kok hanya dengan satu tujuan, yaitu untuk membalas kekalahan mereka pada sepuluh tahun yang lalu. Dewi Ular Cantik Cu Sui In memiliki watak seperti ayahnya, yaitu tidak pernah dapat menelan kekalahan dari orang lain. Oleh karena itu dia merasa terhina dan hatinya sakit sekali ketika dia dikalahkan oleh Sam Sian dalam usaha memperebutkan pusaka-pusaka istana. 

Urusan pusaka sudah tidak diingatnya lagi, akan tetapi kekalahan yang dideritanya selalu menghantuinya dan da tidak akan merasa tenang sebelum dapat membalas dan menebus kekalahannya itu. Dan Lili yang kini menjadi sumoi-nya agaknya juga tidak pernah dapat melupakan penghinaan yang dialaminya dari anak laki-laki yang agaknya murid Sam Sian itu. 

Anak laki-laki yang tak dikenal namanya itu, yang dia namakan Si Kerbau-sapi-kuda-babi-anjing-kucing itu sudah menangkapnya, memaksanya menelungkup di atas pangkuannya lantas menampari pinggulnya sepuluh kali seakan-akan seorang ayah yang menghukum anaknya yang nakal saja! Sampai mati dia tidak akan dapat melupakan penghinaan itu! Ia akan membalas penghinaan itu dengan pukulan sampai seratus kali biar pantat orang itu hancur menjadi bubur! Setiap kali membayangkan peristiwa itu, muka Lili menjadi merah sekali dan kemarahan seolah-olah membuat matanya berkilat dan napas yang keluar dari hidung dan mulutnya mengandung api!

Ketika dua orang wanita cantik itu tiba di depan pondok-pondok bambu yang sederhana namun rapi dan bersih itu, Sam Sian sedang duduk bersila di depan pondok, menikmati sinar matahari pagi yang hangat dan udara pagi yang segar. Mereka duduk bersila di atas batu-batu datar yang halus, menghadap ke timur, ke arah matahari pagi yang sinarnya masih lembut. Ketika dua orang wanita itu muncul dan berloncatan ke depan mereka, tiga orang kakek itu memandang dengan heran. 

Melihat mereka sanggup naik ke Pek-in-kok saja sudah dapat mereka ketahui bahwa dua orang wanita itu bukanlah orang-orang lemah, dan yang membuat mereka heran adalah sikap dan wajah mereka, terutama sinar mata mereka yang membayangkan kemarahan besar.

Tiga pertapa itu adalah orang-orang yang sudah dapat membebaskan diri dari kekuasaan nafsu, maka tiada lagi dendam atau ganjalan di dalam hati dan pikiran mereka. Tidak ada lagi kenangan yang hanya menimbulkan suka duka, dendam dan budi. Maka tentu saja mereka tidak ingat lagi siapa adanya dua orang wanita cantik ltu. Bahkan Dewa Pedang dan Dewa Rambut Putih sudah memejamkan mata dan menundukkan muka, tidak peduli dengan dua orang wanita yang muncul sebagai pengganggu ketenteraman mereka. Hanya Dewa Arak yang memandang mereka dengan mulut tersenyum ramah.

Seperti biasanya, dalam menghadapi urusan apa pun juga Ciu-sian Tong Kui ini selalu mengandalkan araknya. Dia meneguk arak dari guci yang selalu berada di dekatnya, guci arak pusaka pemberian dari kaisar yang isinya tentu saja sudah habis karena arak yang diterima dari kaisar sepuluh tahun yang lalu itu sudah dihabiskannya dalam waktu kurang dari seminggu! Kini tinggal gucinya yang diisi arak biasa.

"Heh-heh-heh, angin apakah yang meniup kalian dua orang wanita cantik ke Pek-in-kok?"
"Angin dari Bukit Ular Pegunungan Himalaya," jawab Sui In dengan singkat dan ketus.
"Bukit Ular di Himalaya? Wah-wah-wah, bagaimana kabarnya dengan sahabat See-thian Coa-ong Cu Kiat? Kalian diutus oleh Raja Ular itu, bukan?" Dewa Arak meneguk kembali guci araknya.
"Ayahku tidak ada sangkut-pautnya dengan kedatanganku ini. Aku datang untuk urusan pribadi dengan Sam Sian!"
"Ho-ho-ho, kami tiga orang tua bangka tidak pernah mempunyai urusan pribadi, apa lagi dengan wanita muda dan cantik," kata Dewa Arak dengan sikapnya yang seenaknya.

"Mudah-mudahan saja Sam Sian yang terkenal sebagai sesepuh dunia persilatan bukan hanya pengecut-pengecut yang pura-pura melupakan apa yang pernah mereka lakukan. Sam Sian, ingatkah kalian kejadian sepuluh tahun yang lalu? Aku, Bi-coa Sian-li Cu Sui In pernah kalian kalahkan. Nah, inilah aku, datang untuk menantang kalian, untuk membalas kekalahanku yang dulu. Sekali ini mudah-mudahan saja Sam Sian bukan tiga orang laki-laki licik dan curang yang suka main keroyokan terhadap lawannya seorang wanita. Aku tantang kalian untuk main satu demi satu mengadu kepandaian!"

"Wah-wah-wah, engkau terlambat, nona. Dahulu engkau menantang kami untuk merebut pusaka-pusaka istana itu, bukan? Sekarang pusaka-pusaka itu sudah kami kembalikan kepada kaisar. Apa bila engkau menginginkannya, datanglah ke kota raja dan minta saja kepada kaisar. Kami tidak tahu menahu lagi...”
"Aku tidak butuh pusaka! Aku datang untuk menebus kekalahanku sepuluh tahun yang lalu. Aku sudah cukup kaya, akan tetapi kalian telah menghinaku sepuluh tahun yang lalu, meruntuhkan nama dan kehormatanku. Hari ini kalian harus membayarnya!"

"Siancai...! Kalau ada yang terang, mengapa memilih yang gelap? Kalau ada yang jernih mengapa memilih yang keruh? Kalau ada yang tenang, mengapa memilih kekacauan?" Yang berkata itu adalah Dewa Pedang. Kemudian terdengar Dewa Rambut Putih juga bicara dengan suaranya yang lembut sambil tersenyum ramah.
“Nona, sepuluh tahun yang lampau, ketika berhadapan denganmu, kami adalah petugas-petugas utusan kaisar untuk mendapatkan kembali pusaka yang tercuri. Sesudah pusaka itu kami kembalikan, kami sudah mencuci tangan dan mengundurkan diri, dan bagi kami, perlstiwa dengan nona sepuluh tahun yang lalu sudah tidak ada lagi," kata-katanya amat lembut, kemudian disusul kakek ini menyanyikan ayat-ayat yang diambilnya dari kitab To-tik-keng, yaitu kitab suci Agama To.

"Tariklah tali gendewa anda sepenuhnya
gendewa dapat patah dan sesal pun tiada guna.
Asahlah pedang anda setajam-tajamnya
mata pedang dapat aus dan takkan bertahan lama.
Tumpuklah emas permata di kamar anda
dan anda akan bersusah payah menjaganya.
Membanggakan kekayaan dan kehormatan harga diri
hanya menyebar benih kehancuran pribadi.
Undurlah sesudah tugas terlaksana
demikian cara Langit bekerja.”

"Hemm, apa yang kau maksudkan dengan nyanyianmu tadi?" Dewi Ular Cantik bertanya dengan suara mengejek. "Aku datang kesini bukan untuk mendengarkan khotbah!”

Dewa Arak tertawa. "Nona, Dewa Rambut Putih telah menyanyikan ayat suci dari Agama To, kenapa nona tidak mengerti? Maksudnya adalah dalam kehidupan ini seyogyanya kita tidak berlebihan dalam segala hal, hanya memenuhi tugas serta kewajiban tanpa mabok kemenangan atau keberhasilan. Mengenal batas dan tahu diri. Nona agak berlebihan dan terburu nafsu sehingga peristiwa sepuluh tahun yang lampau masih disimpan dalam hati sebagai dendam. Bukankah berarti nona meracuni diri sendiri selama sepuluh tahun ini? Dan semua itu untuk apa? Hanya untuk menebus kekalahan! Hanya untuk menang!”

"Sudahlah, tak perlu berkhotbah lagi. Aku datang untuk menantang kalian. Mau atau tldak kalian harus menerima tantanganku, karena kalau kalian tidak mau menandingiku, maka aku akan menyerang dan kalian akan mati konyol!"
"Nanti dulu, suci!" kata Lili. "Jangan bunuh mereka dulu sebelum memberi tahu kepadaku. Hei, ketiga totiang. Aku mencari anak setan kurang ajar itu. Di mana dia?"
"Anak setan yang mana? Di sini tidak ada anak setan, yang ada hanya anak manusia, nona," kata Dewa Arak.
“Aku mencari Si Kerbau-sapi-kuda-anjing-kucing-babi itu!" kata pula Lili sambil mengepal tinju.

Dewa Arak melongo, memandang kepada gadis cantik itu dan hatinya berkata, "Sungguh sayang, nona begini cantik tapi otaknya miring!"

Melihat kakek itu bengong saja, Lili membentak marah. "Jangan pura-pura! Aku mencari anak laki-laki yang sepuluh tahun lalu bersama kalian. Dia tentu murid kalian! Di mana si keparat itu?"

"Ooohhh, kau maksudkan Sin Wan? Dia sedang pergi."
"Sudahlah, sumoi. Nanti kita cari musuhmu itu, sekarang aku akan membereskan dahulu tiga orang ini!" kata Si Dewi Ular dan dia telah mencabut pedangnya, lalu berkata kepada tiga orang pertapa itu. "Sam Sian, aku Bi-coa Sian-li Cu Sui In menantang Sam Sian maju satu demi satu, tidak main keroyokan seperti pengecut-pengecut liar!"

Tiga orang kakek itu saling pandang dan jelas nampak bahwa mereka itu merasa enggan untuk berkelahi meski sedikit pun tidak merasa takut. Bagi mereka, melayani tantangan Dewi Ular Cantik itu sama saja dengan ikut menjadi gila. Di antara mereka dan wanita itu sebetulnya tidak ada permusuhan apa pun.

Dahulu mereka memang memperebutkan pusaka, akan tetapi sekarang pusaka itu sudah kembali kepada pemiliknya. Tentang kalah menang dalam pertandingan, bagi orang-orang dunia persilatan adalah hal biasa dan tidak pernah mendatangkan sakit hati dan dendam.

"Suci, percuma menantang pengecut. Mereka takut!" kata Lili mengejek.

Sui In mengerutkan sepasang alisnya. “Sam Sian, kalau kalian takut, kalian harus berlutut minta ampun kepadaku, baru akan kupertimbangkan untuk mengampuni nyawa kalian!"

Kata-kata ini sengaja dikeluarkan Sui In untuk menyudutkan mereka. Tentu saja dia tahu bahwa orang-orang seperti Tiga Dewa itu tidak akan merasa takut menghadapi tantangan siapa pun juga. Ia sengaja memanaskan hati mereka supaya mereka segera menyambut tantangannya. Dan usahanya berhasil. Pantang bagi semua tokoh dunia persilatan kalau dikatakan takut.

"Siancai...! Bi-coa Sian-li terlalu memaksa orang. Baiklah, karena engkau telah mencabut pedang, pinto (aku) akan melayanimu sejenak," kata Kiam-sian Louw Sun sambil meraba pinggangnya. 

Tapi alisnya berkerut dan dia segera teringat bahwa tidak ada lagi pedang di pinggangnya. Pedang Jit-kong-kiam (Pedang Sinar Matahari), yang biasanya dililitkan di pinggang, kini tldak ada lagi di pinggangnya karena sudah dia berikan kepada muridnya, Lim Kui Siang! Sedangkan Pedang Tumpul yang diterimanya dari Kaisar, sudah dia berikan kepada Sin Wan. 

Tadinya pedang-pedang itu hanya dipergunakan oleh kedua orang murid itu untuk latihan ilmu pedang, namun kemudian Si Dewa Pedang memberikan pedang-pedang itu kepada mereka karena dia sendiri tidak membutuhkan pedang. Baru sekarang dia teringat, akan tetapi dia tersenyum dan sama sekali tidak menjadi panik.

"Bi-coa Sian-li, maaf, aku tidak memiliki pedang. Biarlah kupergunakan sebatang ranting pohon saja untuk melayanimu bermain pedang," katanya.

Dia pun segera menghampiri sebatang pohon dan mematahkan ranting yang panjang dan besarnya seperti pedang. Setelah itu dia kembali menghadapi wanita itu dengan pedang kayu di tangan!

Wajah wanita itu berubah merah karena dia sudah marah sekali. "Dewa Pedang, engkau sungguh menghina dan berani memandang rendah kepadaku. Baik, kau akan menebus penghinaan ini dengan nyawamu!"

Cu Sui In sudah menggerakkan pedangnya sambil mengeluarkan bentakan nyaring. Sinar pedang menyambar ganas dan Dewa Pedang cepat meloncat untuk menghindarkan diri sambil mengelebatkan pedang kayunya, menusuk atau menotok ke pergelangan tangan lawan yang memegang pedang.

Tetapi Dewi Ular yang cantik itu cepat menarik kembali tangannya, memutar pergelangan tangan dan pedang itu sudah meluncur lagi dengan tusukan dahsyat yang membuat Dewa Pedang terkejut sehingga terpaksa meloncat lagi ke samping untuk menghindarkan diri.

Dewi Ular mendesak terus, kini pedangnya telah berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang menyilaukan mata dan dari gulungan sinar itu terdengar suara bercuitan melengking. Diam-diam Dewa Pedang terkejut bukan kepalang. Dia cepat memutar pedang kayunya sambil mempergunakan keringanan tubuhnya untuk mengelak ke sana sini.....

Dari gerakan pedang lawan tahulah dia bahwa wanita ini sama sekali tak dapat disamakan dengan sepuluh tahun yang silam. Kini ilmu pedangnya matang dan mantap, gerakannya cepat dan ringan sekali sedangkan tenaga sinkang yang terkandung di dalam pedang itu kuat sekali, membuat pedang kayunya selalu terpental dan tangannya tergetar. Tahulah Dewa Pedang bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan yang amat tangguh!

Penglihatan Dewa Pedang memang tidak keliru. Selama sepuluh tahun ini Cu Sui In telah menggembleng diri dengan tekun di bawah bimbingan ayahnya sehingga di samping ilmu-ilmunya menjadi matang, juga ginkang dan sinkang yang dikuasainya menjadi makin kuat. Selain itu ayahnya juga mengajarkan ilmu pedangnya yang baru saja diciptakannya, yang diberi nama Hek-coa Kiam-sut (Ilmu Pedang Ular Hitam).

Si Raja Ular Cu Kiat menciptakan ilmu pedang ini berdasarkan gerakan seekor ular hitam yang sangat beracun, yaitu seekor cobra hitam, kalau binatang itu marah dan menyerang. Untuk menyempurnakan ciptaannya ini dia sudah mengorbankan beratus-ratus ekor cobra hitam dan musang yang diadunya agar dia dapat menangkap inti sari gerakan ular hitam itu. Akhirnya dia berhasil menciptakan Hek-coa Kiam-sut yang terdiri dari delapan belas jurus yang ampuh sekali. Dan ketika puterinya menggembleng diri selama sepuluh tahun, dia mengajarkan ilmu pedang ini kepada puterinya dan kepada muridnya, yaitu Tang Bwe Li.

Sepuluh tahun yang silam tingkat kepandaian Sui In masih kalah setingkat dibandingkan tingkat seorang di antara Sam Sian. Namun sekarang keadaannya sudah berubah sama sekali. Apa bila Sui In selama sepuluh tahun menggembleng diri dan tekun berlatih, maka sebaliknya Tiga Dewa jarang berlatih kecuali hanya kalau sedang mengajar kedua orang murid mereka.

Sekarang tingkat kepandaian Sui In sudah sejajar dengan kepandaian Kiam-sian (Dewa Pedang) atau Pek-mau-sian (Dewa Rambut Putih). Hanya Ciu-sian Si Dewa Arak yang diam-diam sudah merangkai sebuah ilmu yang dia ambil dari inti sari kepandaian mereka bertiga. Biar pun nampaknya ugal-ugalan dan suka main-main, namun sebenarnya Dewa Arak memiliki kecerdikan luar biasa. 

Selama sepuluh tahun ini otaknya bekerja keras. Dia minta kepada dua orang rekannya agar merangkum dasar dari ilmu masing-masing, lantas dia menggabungkan inti sari ilmu mereka bertiga, dijadikan sebuah ilmu yang setiap hari masih terus disempurnakannya.

Dua orang rekannya yang tidak serajin Dewa Arak mengetahui tentang hal itu, akan tetapi tidak punya niat untuk ikut mempelajarinya. Mereka pun tahu bahwa Dewa Arak sengaja menciptakan ilmu gabungan itu bukan untuk dirinya sendiri, namun untuk dua orang murid mereka, yaitu Sin Wan dan Kui Siang.

Sesudah berhasil menciptakan ilmu gabungan ini, diam-diam Dewa Arak menuliskannya dalam sebuah kitab. Dari tahun ke tahun dia terus menyempurnakan ilmu itu dan sampai saat ini belum mengajarkannya kepada Sin Wan mau pun Kui Siang. 

Hal ini adalah karena untuk dapat mempelajari dan melatih ilmu itu, harus memiliki dasar yang amat kuat, dan tenaga sinkang yang cukup. Kalau tidak, ilmu yang aneh ini bahkan dapat menimbulkan bahaya besar, dapat mengakibatkan luka dalam yang parah kepada yang melatihnya. Akan tetapi tingkat kepandaian Dewa Arak dengan sendirinya juga telah meningkat pesat karena menguasai ilmu baru itu.

Pertandingan antara Dewa Pedang dengan Dewi Ular Cantik berjalan semakin seru. Dewa Rambut Putih dan Dewa Arak diam-diam amat menyayangkan bahwa rekan mereka telah memberikan Pedang Sinar Matahari kepada Kui Siang dan Pedang Tumpul kepada Sin Wan. Kalau saja rekan mereka itu memegang satu di antara dua buah senjata pusaka itu, tentu akan lain keadaannya. 

Akan tetapi sekarang Dewa Pedang hanya bersenjatakan sebatang ranting pohon. Kalau menghadapi lawan lain, mungkin sebatang ranting itu sudah cukup ampuh karena tangan Dewa Pedang yang mengandung tenaga sinkang yang kuat itu dapat membuat ranting itu menjadi senjata yang cukup tangguh. Akan tetapi yang kini dihadapinya adalah Dewi Ular Cantik yang ternyata memiliki kepandaian yang demikian tingginya.

Selanjutnya baca
SI PEDANG TUMPUL : JILID-04
LihatTutupKomentar