Asmara Si Pedang Tumpul Jilid 09


Wajah Bhok Cun Ki menjadi pucat sekali. Baginya, pendengaran dan penglihatan ini lebih menyakitkan, laksana ribuan pedang menusuk-nusuk jantungnya. Tanpa tertahankan lagi sepasang matanya menjadi basah dan air mata mengalir ke atas pipinya.

Sekarang baru terbuka kesadarannya bahwa Cu Sui In amat mencintanya, dan dia sendiri pun selamanya mencinta Sui In. Tapi demi menjaga namanya sebagai seorang pendekar besar, ia meninggalkan Sui In dan menghancurkan cinta kasih di antara mereka. Padahal sebagai seorang gadis Sui In sudah menyerahkan segalanya kepadanya, menyerahkan batin dan badannya.

"In-moi... ahh, In-moi... sungguh aku sudah bersikap kejam kepadamu. Aku... aku... apa yang harus kulakukan sekarang In-moi? Aku tidak akan membantah, apa saja akan aku lakukan demi menebus kesalahanku itu...”

Tiba-tiba Sui In menurunkan kedua tangannya. Wajahnya nampak pucat sekali, basah air mata, mulutnya tertarik-tarik pada kedua ujung bibirnya karena dia menahan tangisnya, hidungnya kemerahan dan air mata masih berderai turun ke atas kedua pipinya.

“Lili! Ini perintahku yang penghabisan kepadamu. Gerakkan pedangmu dan bunuh laki-laki ini sekarang juga! Kalau engkau tidak mematuhi perintahku, mulai detik ini juga hubungan di antara kita putus sudah!"
"Suci...!”
"Cepat, kuhitung sampai tiga. Kalau belum kau lakukan, aku akan menyerangmu sebagai seorang musuh besar!" kata wanita itu.

Wajah Lili menjadi pucat, tetapi dia tidak mempunyai pilihan lain, apa lagi ketika terdengar suara suci-nya mulai menghitung, "Satu... dua...”

Lili memejamkan matanya, lalu menerjang ke depan sambil mengayun pedang Pek-coa-kiam. Bagaimana pun juga dia berhutang segalanya kepada suci-nya. Semenjak kecil dia telah dipelihara, dididik dan dilimpahi kasih sayang oleh Cu Sui In. Dia rela mengorbankan nyawanya sekali pun untuk suci-nya, maka biar pun hatinya terasa amat berat, dia akan melaksanakan perintah itu.

"Singggg...!" Pedang Pek-coa-kiam berubah menjadi sinar putih menyambar ke arah leher Bhok Cun Ki, dipandang oleh Cu Sui In yang terbelalak.
"Trangggg...!"

Bunga api berpijar ketika pedang Ular Putih yang menyambar ke arah tubuh Bhok Cun Ki itu tiba-tiba saja tertahan dan tertangkis oleh sebatang pedang yang nampaknya buruk, Pedang Tumpul!

Lili terkejut, membuka matanya dan memandang terbelalak kepada Sin Wan yang sudah berdiri di situ dengan pedang buruknya di tangan.

"Sin Wan...!" teriaknya. "Apa yang kau lakukan ini?"

Sin Wan memandang tajam, sikapnya tegas dan seperti orang marah. "Lili, akulah yang bertanya kepadamu, apa yang kau lakukan ini?"

"Perlu apa kau bertanya lagi?" Lili membantah, "Aku memenuhi perintah suci-ku, hendak membunuh laki-laki yang sudah menghancurkan kehidupan suci, mengapa engkau berani menghalangiku?"
"Kau pandanglah baik-baik laki-laki ini, Lili. Pandanglah dia baik-baik, apakah hatimu tidak tergetar dan membisikkan suatu rahasia kepadamu. Dia ini bukan musuhmu, dia adalah ayah kandungmu, Lili...”
"Aihhh...!" Lili menjerit tak percaya.
"Dan yang menyuruhmu membunuhnya, wanita ini, dia adalah ibu kandungmu!"
"Sui In...!" Kini terdengar jerit dari mulut Bhok Cun Ki dan biar pun kakinya terluka parah, dia merangkak ke depan kaki Sui In.
"Sui In... benarkah dia ini anakku... anak... anak... kita...?”
"Suci...! Apa artinya ini? Benarkah seperti yang dikatakan Sin Wan tadi? Dia ini ayahku dan suci adalah... ibuku...?" Wajah Lili pucat laksana mayat, dan matanya terbelalak liar seperti mendadak menjadi gila.

Sekarang Sui In terisak dan menangis, mengeluarkan suara tangisan mengguguk dan dia pun mengangguk. 

"Benar..., benar... aaaaahhh...!"
"Sui In...!" Bhok Cun Ki merangkul kedua kaki Sui In.
"Ibu...! Kau ibuku...!" Lili menubruk dan merangkul ibunya, menangis di dada wanita yang selama ini dia anggap gurunya, lalu suci-nya. Tiga orang itu menangis semua.
"Aku... aku tak dapat menahan kenyerian... hatiku... aku... aku menderita sekali Cun Ki... ketika kau meninggalkan aku, aku telah mengandung dua bulan... tapi aku sengaja tidak memberi tahu, aku sakit hati sekali, kudidik anak kita... hanya agar dapat melihat dia dan ayahnya saling serang lantas saling bunuh. Itulah hukumanku kepadamu, pembalasanku kepadamu... tapi... tapi... ahh, betapa lemah hatiku...” Dia menangis tersedu-sedu.

Bhok Cun Ki melepaskan kedua kaki Sui In dan merangkul kaki Lili. "Kau... kau anakku... ahh, begini gagah dan cantik, ha-ha-ha-ha... aku bangga sekali, aku senang sekali... kau anakku...!" Pendekar besar atau panglima muda yang gagah itu tertawa dan menangis sambil merangkul kaki Lili.

Gadis itu menjerit, menjatuhkan diri dan jatuh ke dalam rangkulan laki-laki yang baru saja dikenalnya sebagai ayahnya, laki-laki yang sudah dua kali bertanding mati-matian dengan dia, laki-laki yang tadi hampir saja dibunuhnya!

"Ayah...!" betapa manisnya sebutan ini, sebutan yang pertama kali keluar dari mulutnya, sebutan yang didambakannya sejak dia masih kecil di samping sebutan ibu.
"Lili... Bwe Li namamu...? Ha-ha-ha, dan siapa shemu, anakku...?”
"Ayah, ibuku yang selama ini kukenal sebagai guru dan suci, memberi nama Tang Bwe Li kepadaku?"
"Tang...?" Pria itu mengangkat muka lalu memandang kepada Sui In yang masih berdiri sambil menangis. "Aduh, Sui In... betapa selamanya engkau tak pernah dapat melupakan aku. Memang nama kecilku adalah Tang Cun dan kau memberi she Tang kepada anak kita..." ayah dan anak itu saling berangkulan di bawah kaki Sui In. 

Dengan mata basah pula karena terharu dan bahagia, Sin Wan cepat mundur dan hanya menonton pertunjukan yang sangat mengharukan itu dari bawah pohon. Dia terharu dan gembira bukan hanya keluarga itu dapat bertemu dalam keadaan masih hidup walau pun Bhok Cun Ki terluka pahanya, melainkan juga karena dia teringat kepada ayah dan ibu kandungnya sendiri. Lili telah menemukan ayah dan ibu kandungnya, akan tetapi dia telah kehilangan mereka!

"Ha-ha-ha-ha…! Pertunjukan lawak macam apa ini? Benar-benar memalukan sekali anak dan cucuku menjadi orang-orang lemah dan cengeng. Sui In, Lili mundurlah kalian. Kalau kalian begitu lemah, biarlah aku yang mewakili kalian membunuh orang ini!" 

Muncullah See-thian Coa-ong Cu Kiat yang dengan langkah lebar menghampiri mereka.

"Ayah, jangan...!" Tiba-tiba Cu Sui In melompat dan menghadang di depan orang tua itu.

See-thian Coa-ong terbelalak, memandang kepada puteri tunggalnya penuh perhatian. Dia melihat betapa wajah puterinya telah berubah. Muka itu masih basah air mata, hal ini saja sudah luar biasa sekali karena selama ini belum pernah puterinya menangis. Wajah itu masih pucat akan tetapi ada kecerahan aneh, seolah setangkai bunga yang telah lama semakin layu kini mendadak dapat siraman embun pagi yang menyegarkan.

"Apa maksudmu jangan, Sui In? Selama bertahun-tahun secara mati-matian engkau telah mengingkari anak kandungmu sendiri, hanya menganggap dia sebagai murid dan sumoi, mendidiknya dengan sungguh-sungguh agar dia bisa membunuh Bhok Cun Ki! Sekarang, sesudah kalian gagal membunuhnya, akulah yang akan menyempurnakan dendammu ini, tetapi engkau malah mengatakan jangan! Apa maksudmu?"

"Ayah, hampir aku menjadi gila akibat dendam pribadi, karena sakit hati yang kutanggung selama bertahun-tahun hingga aku ingin sekali menghukumnya dengan mengadu antara ayah dan anak kandung. Aku tahu bahwa Lili tidak akan menang, tetapi kalau sampai Lili tewas ditangannya, lalu aku memberi tahu bahwa yang dibunuhnya itu anak kandungnya sendiri, tentu dia akan menderita selama hidupnya. Akan tetapi aku... aku tidak tega... aku masih mencintanya, ayah, tidak pernah aku berhenti mencintanya, dan Lili adalah anakku yang kusayang. Sekarang baru aku tahu bahwa aku sudah menjadi gila karena dendam. Sudahlah, aku memaafkan dia. Lili, mari kita pergi."
"Ibu...!" Lili langsung merangkul ibunya dengan air mata bercucuran. "Tidak, ibu, aku tidak ingin berpisah dari ayah...”

Sui In mengerutkan alisnya, lalu menghela napas panjang. "Engkau benar kalau memilih ayahmu. Dia seorang pendekar, seorang panglima besar yang berkedudukan mulia, yang mempunyai kehormatan dan nama bersih, mana bisa disamakan dengan ibumu, seorang wanita sesat, seorang wanita jahat yang namanya tersohor hitam dan kotor?" 

Seluruh kepahitan hatinya karena ditinggalkan kekasihnya tersalur lewat ucapan itu.

"Tidak, ibu, aku pun tidak ingin berpisah darimu. Aku ingin berkumpul dengan ayah dan ibu!" kata Lili dengan suara mengandung getaran penuh kesedihan dan kerinduan.

Betapa rindunya untuk dapat berkumpul dengan kedua orang yang menjadi ayah ibunya. Seakan-akan dia diciptakan menjadi manusia baru yang tadinya merasa yatim piatu dan kini tiba-tiba menemukan kembali ayah dan ibu kandungnya!

"Sui In, aku mengaku bersalah, aku telah berdosa, aku terlalu sombong dan bodoh, aku sudah menyerah dan rela untuk kau bunuh. Apa bila engkau tidak mau membunuhku, aku bersumpah untuk menebus kesalahanku. Belum terlambat bagiku untuk membahagiakan engkau dan anak kita Lili. Marilah, Sui In, marilah kita hidup bersama anak kita dan tidak saling berpisah lagi...”

Sui In memandang bekas kekasihnya itu dengan sinar mata berkilat, mulutnya mencibir. "Huh, dan aku merampasmu dari isteri dan anak-anakmu? Engkau akan mencampakkan mereka begitu saja? Laki-laki macam apa engkau ini?”

"Tidak, Sui In. Jangan salah mengerti. Aku tidak akan mengulang perbuatanku yang jahat. Maksudku kita akan tinggal bersama menjadi keluarga besar. Marilah, engkau dan Lili ikut bersamaku, tinggal bersama kami menjadi anggota keluargaku."
"Dan setiap hari menghadapi kebencian isterimu dan anak-anakmu?"
"Tidak! Percayalah, Sui In. Isteriku adalah orang yang bijaksana dan selama ini aku tidak pernah mempunyai isteri lain atau selir. Dia pasti akan menerimamu, apa lagi kalau aku berterus terang tentang masa laluku. Kedua orang anakku juga anak-anak yang berbakti dan baik."
"Aku tidak percaya! Aku tidak sudi dari keadaan menderita karena rindu dan kesepian, kini pindah ke dalam keadaan menderita karena dimusuhi keluargamu."

Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita, lemah lembut dan halus. "Bhok Cun Ki berkata benar, enci. Kami telah mendengar semuanya dan aku merasa iba kepadamu dan kepada anakmu. Apa bila kalian berdua suka, datanglah dan tinggallah bersama kami. Kami pasti menerima kalian dengan hati dan tangan terbuka..., bahkan aku rela menjadi isteri kedua karena sesungguhnya engkau yang lebih dahulu menjadi isterinya."

Cu Sui In dan Lili menengok, juga Bhok Cun Ki. Ternyata yang bicara itu adalah nyonya Bhok, isteri panglima itu yang kini berdiri bersama kedua orang anaknya, Ci Han dan Ci Hwa!

Karena merasa khawatir terhadap ayah mereka, dua orang kakak beradik ini lalu memberi tahu kepada ibu mereka. Isteri panglima ini pun khawatir sekali, karena itu dia mengajak kedua orang anaknya untuk cepat menyusul menggunakan kereta.

Mereka turun dari kereta, segera memasuki hutan dan sempat mendengar serta melihat pertemuan yang mengharukan antara Bhok Cun Ki dengan bekas kekasihnya dan anak mereka. Nyonya Bhok adalah seorang wanita yang berperasaan peka dan halus, dan dia merasa terharu sekali, sangat iba terhadap Cu Sui In dan Lili.

Melihat seorang wanita yang lembut dan gerak geriknya halus, seorang wanita bangsawan sejati, Cu Sui In merasa canggung. Ia melangkah menghampiri, dan sejenak kedua orang wanita itu saling pandang.

"Nyonya, sesungguhnyakah kata-katamu tadi, atau hanya sekedar basa-basi dan karena engkau takut kepada suamimu saja?" tanya Sui In.

Wanita itu tersenyum lembut. Dari seri wajah serta senyum itu saja Sui In maklum bahwa meski pun bertubuh lemah tetapi wanita ini memiliki kepribadian yang kuat sehingga tidak mungkin dia takut terhadap suaminya.

"Demi Tuhan, aku bicara dari hati yang tulus, enci. Lagi pula, harap jangan menyebutku nyonya. Aku adalah adikmu, madumu yang lebih muda, dan marilah kita bersama hidup sebagai sebuah keluarga besar."

Sui In merasa demikian terpukul dan terharu sehingga dia tak mampu mengeluarkan kata-kata. Sementara itu Ci Hwa menghampiri Lili dan memegang tangan gadis itu.

"Aih, aku girang sekali mendapatkan seorang cici seperti engkau. Kau harus mengajarkan aku ilmu silatmu yang hebat itu, enci Lili!"

Seperti ibunya, Lili juga merasa tertegun. Tidak disangkanya sama sekali bahwa isteri dan anak-anak ayah kandungnya akan bersikap seperti itu! Ci Han juga tidak mau kalah, maju mendekat.

"Enci Lili, jangan lupa mengajarkan silat kepadaku pula. Kalau hanya Ci Hwa yang kau ajari dan dia lebih menang dariku, tentu dia akan sewenang-wenang terhadap aku!"
"Ihh, Han-ko, engkau ini hanya ikut-ikutan saja!" adiknya menegur. Mau tidak mau Lili jadi tersenyum, kagum dan juga bangga. Adik-adik tirinya ini sungguh mengagumkan!

Terdengar suara tawa bergelak. See-thian Coa-ong yang tertawa, lantas berkata dengan suara lantang. "Ha-ha-ha-ha, seperti adegan wayang panggung saja! Heii, Bhok Cun Ki, apa bila sekali ini engkau tidak benar-benar membahagiakan anak dan cucuku, aku pasti akan datang untuk mematahkan batang lehermu dan seluruh keluargamu!"
“Locianpwe adalah ayah mertua saya, saya persilakan locianpwe untuk tinggal sementara di rumah kami agar locianpwe dapat menyaksikan sendiri apakah saya betul-betul hendak membahagiakan Sui In dan Lili ataukah sebaliknya."

Kembali kakek itu tertawa. Di dalam hatinya dia merasa gembira sekali melihat puterinya agaknya akan mendapatkan kebahagiaannya lagi sesudah selama dua puluh tahun lebih menyiksa diri dan tenggelam dalam duka dan dendam. Juga cucunya akan mendapatkan seorang ayah kandung dan rumah tangga yang pantas. Sebagai puteri seorang panglima, tentu saja Lili akan dihormati orang dan derajatnya naik.

“Ha-ha-ha, tidak perlu aku tinggal di rumahmu. Akan tetapi sewaktu-waktu aku pasti akan singgah untuk menengok keadaan anak dan cucuku."

Lili teringat akan Sin Wan. Dia melepaskan diri dari pelukan Ci Hwa lalu lari menghampiri pemuda yang berdiri agak menjauh itu.

"Hei, Sin Wan, mengapa engkau diam saja di sana?" teriaknya dan setelah tiba di depan pemuda itu, Lili memegang kedua tangannya dengan sikap mesra. "Sin Wan, aku benar-benar berterima kasih kepadamu! Kalau tidak ada engkau yang membuka rahasia, entah bagaimana jadinya. Sin Wan, agaknya kebahagiaan akan selalu menyertaiku bila engkau berada di dekatku!"

Lili memang seorang gadis yang polos, maka dia tak menyembunyikan perasaan hatinya. Semua orang dapat menduga dengan mudah bahwa gadis lincah dan lihai ini jatuh hati kepada pemuda Uighur itu.

Sin Wan juga merasakan keterus terangan Lili yang membuat mukanya berubah merah. Akan tetapi dia hanya tersenyum dan pada saat dia hendak menarik kedua tangannya, Lili mempertahankannya sehingga bagi penglihatan orang-orang di situ, kedua orang muda ini saling berpegang tangan dengan mesra dan enggan melepaskan.

"Lili, jangan berkata demikian. Engkau adalah sahabatku yang pernah menolongku, dan Bhok-ciangkun juga sahabat yang kuhormati. Aku hanya ingin mencegah terjadinya mala petaka kalau anak dan ayah saling serang dan saling bunuh. Aku ikut bergembira bahwa urusan bisa berakhir dengan baik seperti ini. Kuucapkan selamat kepada keluarga ini dan kepadamu Lili."

Bhok Cun Ki merasa berbahagia sekali melihat betapa Sui In dan isterinya nampak saling menyukai, dan kini mereka berdua menghampirinya. Tanpa berkata apa-apa Sui In sudah memeriksa pahanya yang terluka dan memberi obat. Obat dari Sui In amat manjur karena rasa nyeri langsung berkurang banyak sehingga kini dia sudah mampu bangkit berdiri.

"Sebaiknya sekarang kita pulang bersama-sama lalu bicara di rumah. Tidak baik bicara di tengah hutan seperti ini. Bagaimana pendapatmu, Sui In?"

Sui In menatap wajah pria yang tidak pernah dilupakannya itu. Seketika wajahnya menjadi kemerahan dan sinar matanya lembut, malu-malu akan tetapi mulutnya tersenyum manis. "Aku hanya menurut saja...," katanya sambil melirik ke arah Nyonya Bhok.

"Ha-ha-ha, memang sebaiknya begitu. Kalian semua pulanglah, aku masih ingin melihat-lihat kota raja dulu sebelum pergi mempersiapkan pemilihan bengcu di Thai-san. Sewaktu-waktu aku akan singgah di rumah kalian. Nah, aku pergi dahulu!" Kakek itu membalikkan tubuhnya dan berkelebat lenyap ke dalam hutan.
"Lili, kau ajaklah kedua ibumu serta adik-adikmu pulang...," kata Bhok Cun Ki, enak saja menyebut kedua ibumu seolah-olah memang sejak dulu Sui In menjadi isteri dan anggota keluarganya.
"Aku datang membawa kereta. Mari, enci Sui In, kita naik kereta bersama. Juga kalian, Lili dan Ci Hwa...”
"Tidak, ayah sedang terluka. Biarlah ayah yang naik kereta bersama ibu berdua," kata Lili. Gadis ini juga merasa tidak canggung menyebut ibu berdua. Sikapnya sungguh membuat semua orang merasa nyaman dan senang. "Aku bersama kedua adik Ci Han dan Ci Hwa akan berjalan kaki saja, dan engkau juga, Sin Wan. Engkau ikut dengan kami, bukan?"

Sin Wan meragu, akan tetapi Bhok Cun Ki berkata, "Lili benar, Sin Wan. Kita pulang dulu kemudian kita bicarakan tentang kepergian Lili dari istana, tentang semua keributan yang terjadi."

"Baiklah, paman. Aku juga jngin melaporkan beberapa peristiwa yang baru saja kualami bersama... eh, ke mana dia?" Sin Wan teringat akan Ouwyang Kim dan dia pun melompat ke tempat persembunyian mereka tadi sebelum dia keluar dan mencegah Lili membunuh ayah kandungnya. Akan tetapi Akim yang tadi mengintai di balik pohon, tidak nampak lagi bayangannya, Gadis itu telah pergi tanpa pamit!

Tanpa diketahui siapa pun, ketika Lili dan Sin Wan saling berpegang kedua tangan tadi, yang dilihat oleh orang lain seperti suatu kemesraan, ada dua orang gadis yang merasa jantungnya seperti ditusuk. Orang pertama adalah Ci Hwa. Gadis ini telah tertarik kepada Sin Wan, mengaguminya dan ingin bergaul lebih akrab. Ketika melihat adegan itu, Ci Hwa menggigit bibir dan menundukkan muka agar tidak nampak oleh orang lain. 

Orang ke dua yang merasa tertusuk hatinya saat melihat adegan itu adalah Akim! Gadis ini sudah berusia dua puluh tahun, dan meski pun dia belum banyak bergaul dengan pria, namun dia dapat mengetahui isi hatinya. Dia tahu bahwa sejak dia meniupkan pernapasan ke dalam dada Sin Wan melalui mulut dengan mulut, dia sudah jatuh cinta! Maka hatinya merintih melihat kemesraan antara Sin Wan dan Lili, lalu secara diam-diam dia pun pergi meninggalkan tempat itu.

"Engkau mencari siapa, Sin Wan?" tanya Lili.

Ci Hwa yang merasa cemburu mendapat kesempatan untuk melampiaskan cemburunya. "Wan-toako, yang kau cari tentulah enci Akim yang cantik jelita itu, bukan?"

Sin Wan adalah seorang yang berwatak jujur dan tidak memiliki prasangka buruk, maka pertanyaan Ci Hwa itu pun dianggapnya biasa saja karena memang dia meninggalkan rumah keluarga Bhok bersama Akim yang sudah dia perkenalkan kepada kakak beradik itu.

"Benar, tadi dia menanti di sini.”
"Siapa sih Akim yang cantik jelita itu, Sin Wan?" Pancingan Ci Hwa berhasil karena Lili bertanya kepada Sin Wan dengan sinar mata penuh selidik.

Sin Wan mengerutkan alisnya. Pandang mata Ci Hwa dan Lili membuat dia merasa tidak enak. Kedua orang gadis itu memandang kepadanya seperti menuduhkan sesuatu yang tidak baik.

"Sudahlah, dia sudah pergi tanpa pamit. Mari kita berangkat," katanya sambil membantu Cin Han yang memapah Bhok Cun Ki keluar dari hutan itu, menuju ke kereta yang tadi ditumpangi Nyonya Bhok dan kedua orang anaknya.

Kusir bersama lima orang pengawal masih menanti di situ. Mereka merasa heran melihat majikan mereka dalam keadaan terpincang dan luka pada paha yang sudah dibalut, akan tetapi mereka tidak berani bertanya.

Bhok Cun Ki bersama dua orang wanita yang kini menjadi isterinya duduk dalam kereta. Ci Han lalu minta empat ekor kuda kepada para pengawal untuk dia, Ci Hwa, Lili dan Sin Wan. Mereka berempat menunggang kuda mengawal kereta, sedangkan para pengawal yang kehilangan kuda itu terpaksa harus berjalan kaki pulang ke kota raja. 

Di sepanjang perjalanan itu, Bhok Cun Ki yang duduk sekereta dengan kedua isterinya, menceritakan masa lalunya bersama Sui In kepada Nyonya Bhok yang mendengarkannya dengan penuh kesabaran. Mendengar betapa dahulu suaminya adalah kekasih Sui In dan suaminya itu meninggalkan Sui In yang tidak diketahuinya dalam keadaan mengandung, membuat Sui In menderita selama dua puluh tahun lebih, Nyonya Bhok segera menegur suaminya.

“Kalau dahulu aku tahu, tentu aku tidak mau menerima pinanganmu, kecuali kalau engkau juga menarik enci Sui In menjadi isterimu. Akan tetapi sudahlah, semua ini sudah takdir, tidak perlu disesalkan lagi asalkan di kemudian hari engkau dapat menebus kesalahan itu terhadap enci Sui In," demikian isteri yang berbudi luhur ini menasehati suaminya.
"Memang aku sudah merasa bersalah, tetapi sesungguhnya aku sama sekali tidak pernah menduga bahwa Sui In telah mengandung ketika kutinggalkan," kata sang suami.
"Sudahlah," kata Sui In menghibur. "Benar seperti yang dikatakan adik tadi, semua sudah terjadi dan sudah takdir. Kalau saja tidak ada Lili, aku pun tentu akan merasa malu untuk mengganggu ketenteraman rumah tangga kalian."
"Aihh, enci Sui In harap jangan berkata demikian. Demi Tuhan, kami sama sekali tidak merasa terganggu, bahkan merasa berbahagia sekali," kata Nyonya Bhok.

Sui In memandang tajam penuh selidik, sukar untuk dipercaya ada seorang wanita yang sebaik ini. "Engkau mendapatkan seorang madu yang tidak disangka-sangka, bagaimana engkau dapat merasa berbahagia sekali?"

Nyonya Bhok tersenyum dan melirik suaminya. “Banyak keuntungan yang membuat aku merasa berbahagia. Pertama, suamiku tidak lagi terancam musuh yang amat berbahaya, bahkan mengubah musuh itu menjadi orang terdekat. Ke dua, selama ini suamiku selalu merasa berdosa dan tertekan batinnya, akan tetapi kini dia mendapat kesempatan untuk menebus dosa, bukankah itu sangat melegakan hati? Ke tiga, aku sendiri akan merasa kecewa sekali apa bila melihat suamiku menghancurkan kehidupan seorang wanita, dan kalau dia tidak mau menerima enci dan Lili, kiranya aku tidak mungkin mau mendekatinya lagi. Ke empat, dengan adanya enci dan Lili yang demikian lihai, tentu berkurang bahaya ancaman orang-orang jahat yang selalu memusuhi suami kita dan ke lima...”

"Cukup, cukup sudah...” Sui In tersenyum sambil memegang tangan madunya. "Sungguh beruntung sekali aku dapat bertemu dan bersaudara dengan seorang sepertimu.”

Setelah mereka semua sampai di rumah, disambut dengan heran oleh para pengawal dan pelayan, mereka segera berkumpul di ruang dalam, mengelilingi meja besar dengan sikap gembira dan suasana berbahagia. Sin Wan yang tadinya hendak mengundurkan diri ke kamarnya karena merasa tidak berhak hadir dalam pertemuan kekeluargaan yang sangat berbahagia itu terpaksa hadir juga karena ditahan oleh Bhok Cun Ki.

"Sin Wan, pertemuan ini terutama untuk membicarakan peristiwa yang ada hubungannya dengan tugas kita. Lagi pula bukankah engkau hendak menceritakan pengalamanmu yang penting?" demikian Bhok Cun Ki menahannya.
"Benar kata ayah, Sin Wan. Lagi pula rasanya kurang lengkap kalau engkau tidak hadir!" kata Lili dan kembali Ci Hwa menundukkan mukanya yang berubah kemerahan.

Demikianlah, mereka duduk mengelilingi meja, Bhok Cun Ki pada kepala meja, diapit oleh kedua isterinya di kanan kiri. Lili duduk di sebelah kiri ibu tirinya, didampingi Ci Hwa, dan Ci Han duduk bersebelahan dengan Sin Wan.

"Nah, sekarang engkau ceritakan lebih dahulu tentang pengalamanmu di istana Pangeran Mahkota, Lili. Kami hanya mendengar bahwa engkau melarikan diri dari sana dan menjadi orang buruan. Nanti aku akan menghubungi Jenderal Shu Ta untuk membebaskanmu dari buruan, sesudah aku mendengar ceritamu," kata Bhok-ciangkun kepada puterinya yang tadi baru saja hampir membunuhnya.
"Aku pun ingin sekali mendengar bagaimana engkau tiba-tiba saja dapat berada di istana pangeran, kemudian bahkan menjadi buronan. Aku belum mendengar sejelasnya," kata pula Cu Sui In kepada puterinya.

Lili tersenyum. Senang bahwa dia menjadi pusat perhatian, dan merasa lucu bahwa kalau baru saja tadi dia masih menjadi musuh Bhok Cun Ki dan menjadi sumoi Cu Sui In, kini dia menghadapi mereka sebagai ayah dan ibu kandung. Seperti dalam mimpi saja! 

Lili kemudian menceritakan dengan terus terang tentang semua pengalamannya sejak dia pergi meninggalkan Bukit Ular sampai dia yang mencari Bhok Cun Ki ke kota raja, dalam perjalanan bertemu dengan Yauw Lu Ta yang dikenalnya sebagai Yauw Kongcu. Betapa atas bantuan Yauw Kongcu dia lalu diterima menjadi pengawal pribadi Pangeran Mahkota, sedangkan Yauw Kongcu menjadi penasehat dan guru sastra Pangeran kecil Chu Hong, putera Pangeran Mahkota Chu Hui San.

"Ketika Sin Wan menghadap Pangeran Mahkota, masih belum terjadi apa-apa sehingga aku masih menganggap Pangeran Mahkota itu baik dan aku setia kepadanya. Ehh, tidak tahunya, sesudah Sin Wan pergi, pangeran laknat itu memanggilku ke kamarnya dan dia hendak berbuat kurang ajar! Kalau aku tidak ingat bahwa dia itu putera kaisar, pangeran yang menjadi putera mahkota, tentu dia sudah kucekik mampus! Aku marah sekali dan meninggalkannya tanpa menyerangnya. Akan tetapi pangeran gila itu berteriak memanggil pasukan pengawal sehingga aku menjadi buronan. Untung di depan istana aku bertemu dengan suci ehh, dengan ibu dan kongkong (kakek) sehingga dapat lolos dari kepungan pasukan keamanan."
Dia kemudian menceritakan betapa dia, ibunya dan kakeknya yang sedang melarikan diri, ditolong oleh Yauw Kongcu atau Yauw Siucai, bersembunyi dan berhasil keluar dari kota raja dengan menyamar, sampai terjadi peristiwa tadi di dalam hutan.....

Semua orang merasa kagum mendengar pengalaman yang hebat dari Lili itu.

"Wah, enci Lili sungguh seorang pemberani!" puji Ci Han kagum.

Betapa dia tak akan merasa kagum mendengar seorang gadis muda seperti kakak tirinya ini sempat membikin geger istana pangeran mahkota dengan perbuatannya yang gagah berani menentang seorang pangeran mahkota calon kaisar? Sebagai adiknya sungguh dia merasa bangga!

Bhok Cun Ki mengerutkan alisnya. "Hemm, aku juga sudah mendengar akan watak yang kurang baik dari putera mahkota. Akan tetapi dia memiliki kekuasaan besar sekali. Kalau dia tahu bahwa engkau adalah anakku, mungkin dia akan mempergunakan kekuasaannya untuk menuntut agar engkau kuserahkan kepadanya."

"Huh, kalau begitu, biar kubunuh saja pangeran keparat itu, ayah!" Lili berseru.
“Lili, ingat bahwa sekarang kita bukan lagi menjadi penghuni Bukit Ular yang bebas liar sehingga boleh berbuat sesuka hati kita. Ingat bahwa engkau adalah puteri ayahmu yang menjabat pangkat panglima! Kau serahkan saja urusan ini kepada ayahmu, tentu dia akan mengetahui apa yang terbaik untukmu," kata Sui In. 

Kalau orang yang sudah lama mengenalnya, mendengar kata-kata ini tentu akan merasa heran bukan main. Dalam sekejap mata saja wanita yang tadinya terkenal liar dan ganas ini tiba-tiba berubah menjadi seorang ibu yang baik, yang taat dan patuh kepada suami!

"Ibumu benar,” kata Bhok Cun Ki, wajahnya berseri-seri ketika dia memandang kepada Sui In. "Akan tetapi jangan khawatir. Selain kaisar sendiri, orang yang dapat mengatasi pangeran itu adalah atasanku, yaitu Jenderal Shu Ta. Jenderal Shu tentu akan mampu membebaskanmu dari pengejaran dan dia yang berani menegur pangeran mata keranjang dan lemah itu. Sekarang harap engkau suka menceritakan pengalamanmu yang penting itu, Sin Wan."

Sin Wan kemudian bercerita tentang pertemuannya dengan Yauw Siucai di jalan, dan dia melihat sastrawan itu tergesa-gesa memasuki lorong, maka dia segera membayangi dan melihat sastrawan itu hilang di lorong itu. Lalu dia menceritakan betapa dia terjebak oleh Si Kedok Hitam yang pernah dijumpainya di rumah peristirahatan Pangeran Mahkota!

"Saya tentu telah tewas oleh Si Kedok Hitam yang licik dan lihai, paman, kalau saja tidak ditolong oleh Akim." Dia lalu menceritakan tentang pertolongan dara perkasa itu sehingga dia dapat lolos, akan tetapi tidak berhasil menemukan Si Kedok Hitam.

Sesudah dia selesai bercerita, Lili cepat bertanya, "Apakah Akim adalah gadis yang kata adik Ci Hwa cantik jelita dan yang kau cari di hutan itu, Sin Wan? Kalau benar, siapa sih dia yang begitu lihai?"

Pertanyaan yang begitu jujur, akan tetapi kembali membayangkan kecemburuan! Sin Wan mengerutkan alisnya dan menjawab, "Memang benar, panggilannya Akim, dan namanya yang sebenarnya adalah Ouwyang Kim,"

"Ouwyang...?!” Cu Sui In berseru. "Apakah dia ada hubungannya dengan Tung-hai-liong Ouwyang Cin?"

Sin Wan mengangguk. "Memang dia adalah puteri Tung-hai-liong Ouwyang Cin. Tapi bila melihat sepak terjangnya, dia tidak bisa dimasukkan golongan sesat. Lili, aku benar-benar curiga melihat Yauw Siucai itu. Menurut ceritamu tadi, selain ahli sastra, dia juga pandai silat?"

Lili mengacungkan jempol kanannya. "Dia lihai bukan main! Ilmu silatnya tinggi, mungkin tidak kalah olehmu, Sin Wan."

Tentu saja ini hanya bual kosong, mungkin hanya untuk membalas kisah Sin Wan tentang Akim, karena sesungguhnya Lili belum pernah menguji ilmu kepandaian Yauw Siucai. Dia memang dapat menduga bahwa sastrawan itu lihai ketika Yauw Siucai menghukum mati dua orang anak buahnya dengan sekali pancung dan pedangnya sedikit pun tidak bernoda darah.

Mendengar ini Sin Wan mengerutkan alisnya "Kalau begitu sungguh mencurigakan sekali. Tahukah engkau akan asal usulnya, Lili?"

Lili menggelengkan kepala, "Kami bertemu, lalu berkenalan, akan tetapi aku tidak pernah bertanya tentang riwayatnya. Tetapi aku yakin bahwa dia bukan golongan sesat." Kembali ucapan khusus ditujukan untuk membalas pujian Sin Wan tentang Akim tadi.

Bhok Cun Ki juga mengerutkan alisnya. "Memang mencurigakan. Asal-usulnya tak jelas, pandai silat, akan tetapi tiba-tiba saja menjadi guru sastra putera Pangeran Mahkota. Dan sesudah itu Sin Wan melihat Si Kedok Hitam di rumah peristirahatan Pangeran Mahkota, kemudian melihat Yauw Kongcu di lorong itu yang kemudian mempertemukan Sin Wan dengan Si Kedok Hitam lagi. Apakah ada hubungan antara dia dan Si Kedok Hitam? Lili, apakah engkau pernah melihat Yauw Siucai mengadakan hubungan dengan orang yang berkedok hitam itu?"

Lili mengerutkan alisnya, mulutnya cemberut dan menggeleng kepala. "Ayah, kalau perlu aku dapat menemui dia dan dapat kutanyakan dia apakah mempunyai hubungan dengan Si Kedok Hitam."

"Jangan, Lili. Hal itu akan berbahaya sekali bagimu. Bahaya datangnya bukan saja dari Si Kedok Hitam, akan tetapi terutama sekali dari Pangeran Mahkota sendiri. Dia merupakan putera mahkota yang besar kekuasaannya, sehingga menyelidiki keadaannya saja sudah dapat dianggap sebagai pemberontak. Aku akan berunding dulu dengan Jenderal Shu Ta, bagaimana untuk menghadapi pangeran itu, sebab setidaknya hanya Jenderal Shu yang akan mampu membebaskan engkau dari pengejaran pasukan keamanan."

"Paman Bhok, bagaimana pun juga rumah di lorong itu amat mencurigakan dan aku yakin bahwa rumah itu pasti menjadi sarang dari jaringan mata-mata yang beraksi di kota raja. Karena itu, bagaimana pendapat paman kalau saya memimpin pasukan untuk melakukan penggeledahan?"
"Itu baik sekali, Sin Wan. Apa bila aku tidak sedang terluka, tentu akan kupimpin sendiri. Nah, sekarang juga akan kusuruh kepala pengawal mempersiapkan pasukan!" Panglima itu memanggil kepala pengawal dan segera memerintahkan untuk menyiapkan dua losin prajurit untuk dipimpin Sin Wan melakukan penggeledahan dan pembersihan.

Setelah Sin Wan pergi melaksanakan tugas, keluarga itu masih berkumpul dan bercakap-cakap saling menceritakan riwayat dan pengalaman masing-masing, lantas sebuah pesta keluarga yang meriah diadakan untuk menyambut masuknya anggota keluarga baru itu. Cu Sui In merasa bahagia sekali karena sekarang dia dapat membuktikan sendiri betapa besar cinta kasih Bhok Cun Ki kepada dirinya, dan terutama sekali sikap yang amat baik dari madunya dan anak-anak tirinya.

Lili juga merasa amat berbahagia. Nyonya Bhok memang seorang wanita yang bijaksana. Tanpa segan dan dengan rela hati dia mengumumkan kepada seluruh pelayan di dalam keluarganya bahwa nyonya yang baru itu adalah Toa-hujin (Nyonya Pertama) sedangkan dia sendiri adalah Nyonya Kedua. Hal ini dia lakukan dengan penuh kesadaran bahwa Sui In memang lebih dahulu menjadi isteri suaminya, dan Lili adalah anak sulung. 

Sungguh pun merasa heran karena belum pernah mendengar majikan mereka menikah dengan nyonya baru yang telah mempunyai seorang anak yang sudah dewasa itu, para pelayan tidak ada yang berani bertanya atau membicarakan, dan menerima Sui In dan Lili sebagai Toa-hujin dan Nona Lili…..
********************
Sementara itu Sin Wan memimpin dua losin prajurit, memasuki lorong untuk menyerbu rumah besar di mana dia terjebak siang tadi. Para prajurit membawa obor dan rumah itu dikepung lalu diserbu. Mereka bersikap hati-hati sekali dan mentaati semua petunjuk Sin Wan yang tidak ingin melihat pasukan itu menjadi korban perangkap yang dipasang di rumah itu.

Tapi segera mereka mendapatkan rumah itu kosong, tanpa seorang pun penghuni. Tidak ditemukan tanda-tanda adanya jaringan mata-mata di situ, hanya terdapat perabot rumah biasa. Bahkan semua alat perangkap juga tidak bekerja karena sudah dirusak. Agaknya penghuni rumah itu sudah lebih dahulu menghilangkan semua jejak kemudian melarikan diri meninggalkan sarang itu…..

********************
Bhok Cun Ki sendiri, setelah dapat berjalan dan luka di pahanya hampir sembuh, segera pergi mengunjungi Jenderal Shu Ta yang mendengarkan dengan penuh perhatian semua laporannya. Jenderal itu menghela napas panjang dan berkata,

"Sebelum engkau melaporkan, kami sendiri sudah menyuruh seorang penyelidik supaya menyelidiki Yauw Siucai yang tahu-tahu muncul kemudian bergaul dengan amat akrabnya mendekati pangeran mahkota, bahkan sudah diangkat menjadi guru sastra bagi pangeran kecil Chu Hong. Ternyata pangeran pertama kali bertemu dengan sastrawan itu di sebuah rumah pelesir, pada waktu pangeran itu menggoda seorang wanita dan suaminya marah-marah. Hampir saja pangeran mahkota celaka, akan tetapi kemudian muncul Yauw Siucai yang menolongnya. Semenjak itu pangeran lalu mengajak Yauw Siucai ke istananya dan mengangkatnya menjadi guru sastra puteranya. Agaknya tidak ada yang mencurigakan pada diri Yauw Siucai, apa lagi pangeran mahkota demikian percaya kepadanya."

Bhok Cun Ki yang menjadi orang kepercayaan Jenderal Shu Ta itu secara terus terang lalu menceritakan tentang Lili, puterinya yang baru saja dia temukan.

"Bwe Li secara kebetulan bertemu dan berkenalan dengan Yauw Siucai, dan sastrawan itulah yang mengusulkan kepada pangeran mahkota agar puteriku dapat diberi kedudukan sebagai pengawal pribadi. Pada mulanya semua berjalan dengan baik, akan tetapi pada suatu waktu, puteriku hendak dipaksa menjadi selir pangeran. Ia tidak mau lalu melarikan diri dari istana, dan sejak itulah dia dijadikan orang buruan, dikejar-kejar seperti penjahat. Saya mohon bantuan Goanswe (jenderal) agar pengejaran terhadap puteri saya itu dapat dihentikan karena Bwe Li sama sekali tidak bersalah."

Jenderal Shu Ta menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sungguh mengecewakan sekali jika diingat bahwa pangeran mahkota adalah calon kaisar yang baru kalau tiba saatnya nanti. Bagaimana mungkin pemerintahan dipimpin oleh seorang yang kini hanya mengutamakan kesenangan dan pemuasan nafsu-nafsunya saja. Bermain perempuan, tidak segan-segan mengganggu anak isteri orang, pelesir di rumah-rumah pelacuran, bermabok-mabokan, bahkan yang terakhir ini para penyelidik kami melaporkan bahwa beliau mulai menghisap candu. Baiklah, akan kubujuk sang pangeran supaya menghentikan pengejaran terhadap puterimu, tapi berhati-hatilah, ciangkun, jangan sampai menyinggungnya secara langsung karena kalau sampai terjadi dia menuntut seseorang dengan bukti, aku sendiri pun tidak akan mampu mencegahnya. Kita amat-amati saja keadaannya dari jauh dengan waspada, terutama sekali kita awasi gerak-gerik Yauw Siucai. Walau pun belum ada bukti bahwa dia mempunyai hubungan dengan jaringan mata-mata, namun kita harus selalu waspada."

Demikianlah, dengan bantuan Jenderal Shu Ta, Pangeran Chu Hui San membebaskan Lili dan tidak lagi ada pengejaran terhadap gadis itu. Dan karena semenjak itu tidak nampak Yauw Siucai mengadakan aksi apa pun yang mencurigakan, melainkan dengan tekun dia mendidik pangeran kecil Chu Hong, maka Bhok Cun Ki juga tidak memiliki alasan untuk mencurigainya, apa lagi menindaknya…..
********************
“Hwa-moi, mengapa selama ini engkau bermuram durja saja seperti orang yang berduka dan kecewa? Siauw-moi (adik kecil), bukankah hadirnya ibu tiri dan kakak tiri di rumah ini menambah kecerahan kepada kehidupan keluarga kita? Lihat, setelah ibu tiri berkumpul dengan kita, ayah selalu kelihatan riang gembira dan wajahnya selalu cerah, seakan dia menjadi muda kembali. Juga ibu selalu nampak gembira, dan pergaulannya akrab sekali dengan ibu tiri kita. Malah selama satu bulan ini kita sendiri sering kali menerima petunjuk dalam ilmu silat dan dapat berlatih silat di bawah bimbingan enci Lili. Mengapa engkau nampak bersedih, adikku manis?" Ci Han membujuk dan bertanya kepada adiknya ketika pada sore hari itu mereka berdua selesai berlatih silat di taman bunga.

Sekali itu Lili tidak berada bersama mereka. Sesudah tadi memberi petunjuk, Lili langsung meninggalkan dua orang adik tirinya itu sehingga terbuka kesempatan bagi Ci Han untuk menanyai adiknya.

Mendengar ucapan kakakmya itu, Ci Hwa menundukkan mukanya dan diam saja. Akan tetapi kakaknya melihat betapa ada beberapa titik air mata berjatuhan ke atas kedua pipi adiknya. Ci Han terkejut sekali. Tak disangkanya keadaan hati adiknya sudah separah itu, agaknya kesedihannya memang bersungguh-sungguh.

Ci Han duduk pada bangku dekat adiknya, memegang tangan Ci Hwa. "Adikku yang baik, selama ini tidak ada rahasia di antara kita, Katakanlah, apa yang menyusahkan hatimu, adikku? Aku pasti akan membantumu. Katakanlah kepadaku!"

"Koko..." Akhirnya Ci Hwa berkata lirih dan menghela napas panjang, lalu menggunakan punggung tangan untuk menghapus air mata yang membasahi pipinya. "Han-koko, hanya kepadamulah aku tak akan pernah merahasiakan sesuatu. Engkau tentu tahu bagaimana perasaan hatiku terhadap Wan-toako..." Gadis itu menundukkan mukanya dan sepasang pipinya kemerahan.

Mata Ci Han terbelalak. Hampir dia lupa bahwa sekarang adiknya bukan anak kecil lagi! Adiknya ini sudah merupakan seorang gadis dewasa, berusia delapan belas tahun lebih! Tadinya dia menyangka bahwa adiknya, seperti juga dia sendiri, hanya merasa kagum kepada Sin Wan yang lihai dan sudah berjasa besar mempersatukan kembali keluarga ayah mereka. Baru sekarang matanya seperti dibuka sehingga dia dapat melihat bahwa perasaan adiknya terhadap Sin Wan kiranya lebih mendalam lagi, perasaan seorang gadis dewasa terhadap seorang pria yang dikaguminya.

"Hwa-moi, kau... kau cinta kepada Wan-toako?"

Wajah itu semakin merah dan makin menunduk, akan tetapi Ci Hwa masih mengangguk. Ci Han memegang kedua tangan adiknya dan tersenyum lebar. "Aihh, adikku yang manis. Jika engkau cinta kepadanya, kenapa engkau bersedih? Aku yang akan mendekati Wan-toako dan menceritakan tentang cintamu...”

"Jangan, koko!" Kini Ci Hwa mengangkat muka seperti orang terkejut. "Berjanjilah, jangan kau ceritakan kepadanya atau kepada siapa pun juga. Berjanjilah!"

Ci Han menggerakkan pundaknya. "Baiklah, baiklah. Akan tetapi katakan dulu, mengapa cintamu itu membuat engkau bersedih?"

Sampai beberapa saat lamanya Ci Hwa hanya menundukkan mukanya, seolah jawaban pertanyaan itu amat sukar keluar dari mulutnya. Beberapa kali kakaknya mendesak dan akhirnya ia menjawab. "Koko, lupakah engkau akan sikap enci Lili terhadap Wan-twako?"
"Enci Lili... ?" Ci Han mengerutkan alisnya dan dia pun teringat. Tentu saja dia ingat akan sikap itu dan sekarang mengertilah dia mengapa adiknya ini bersedih.
"Mereka... mereka saling mencinta... ahh, koko...!” Dan tak dapat ditahannya lagi Ci Hwa menangis lirih.

Ci Han, pemuda berusia dua puluh tahun yang juga belum berpengalaman dalam urusan cinta, kini hanya duduk diam dengan alis berkerut, merasa kasihan kepada adiknya akan tetapi tidak tahu harus berkata atau berbuat apa. Cemburu! Itulah yang menggoda hati Ci Hwa.

Sudah menjadi pendapat umum bahwa cemburu merupakan hal yang wajar bagi orang yang sedang jatuh cinta. Bahkan ada yang begitu yakin berpendapat bahwa cemburu merupakan kembangnya cinta, bahwa cemburu merupakan pertanda adanya cinta! Kalau pendapat ini dibenarkan, berarti di dalam cinta terkandung cemburu, atau cemburu sama dengan cinta!

Apa bila kita mau membuka mata melihat kenyataan, akan nampaklah bahwa apa yang dinamakan cinta itu, kalau disamakan dengan cemburu, maka cinta itu bukanlah cinta! Cemburu timbul karena nafsu, karena cemburu mendatangkan kekecewaan, kemarahan dan kebencian yang berakhir dengan penderitaan. Bukanlah cinta apa bila mendatangkan kesengsaraan atau penderitaan. Hanya ulah nafsu yang menyeret kita ke dalam jurang penderitaan. 

Cemburu pasti timbul bila terdapat ikatan. Apakah ikatan itu membelenggu kita kepada benda, kepercayaan, kepada cita-cita, gagasan, atau pada seseorang. Ikatan membuat kita merasa berarti, membuat kita merasa memiliki. Kita tidak ingin kehilangan yang kita miliki itu, yang telah terikat kuat di dalam hati kita. 

Jika kita merasa mencinta seseorang, kita terikat kepada orang itu dan kita tidak ingin kehilangan. Kita akan merasa sedih, merasa khawatir kalau-kalau orang yang kita miliki itu direnggut lepas dari diri kita, membuat kita tidak berarti karena tidak memiliki apa-apa lagi. Kekhawatiran inilah yang menimbulkan cemburu! Khawatir akan kehilangan orang yang membuat dirinya berarti. Yang beginikah yang dianggap sama dengan cinta? 

Jika cinta itu bersifat memiliki, menguasai, atau ikatan, lalu mendatangkan kekhawatiran bila kehilangan, maka cinta seperti itu bukan lain adalah cinta nafsu belaka. Kalau cinta nafsu, tentu saja tiada bedanya dengan buah nafsu lainnya seperti ketakutan, kebencian, kemarahan, keinginan untuk senang sendiri, termasuk pula cemburu.

Kalau cinta kasih, bukan nafsu, seperti cahaya terang, maka cemburu adalah kegelapan. Kalau ada cahaya terang, maka takkan ada kegelapan. Kalau ada cinta kasih, tidak ada cemburu. Kalau ada cemburu, jelas nafsulah yang memegang peran, walau pun nafsu itu diberi pakaian indah yang disebut cinta!

"Hwa-moi, sikap mereka yang akrab belum menjadi bukti bahwa mereka saling mencinta. Enci Lili memang mempunyai watak terbuka dan ramah terhadap siapa saja. Aku belum yakin. Siapa tahu Wan-twako diam-diam juga membalas cintamu."

Mendengar ini seolah timbul harapan baru di dalam hati Ci Hwa, dan dia pun menyusut air matanya. "Mudah-mudahan begitu, koko. Akan tetapi kuminta kepadamu supaya jangan memberi tahukan siapa pun, terutama jangan sampai enci Lili mengetahui bahwa aku..."

Ci Han mengangguk-angguk. "Aku tahu, adikku, dan jangan khawatir."

Akan tetapi tentu saja diam-diam Ci Han merasa prihatin melihat keadaan adiknya dan sebagai kakak yang menyayangnya, tentu-saja dia ingin membela adiknya. Beberapa hari kemudian, pada suatu malam terang bulan yang cerah, ketika dia melihat Ci Hwa seorang diri berada di taman bunga, dia cepat menemui Sin Wan.

"Wan-twako, aku sungguh mengharapkan bantuanmu...," begitu bertemu dengan pemuda itu di dalam kamarnya, Ci Han berkata dengan sikap serius.
"Hemm, tentu saja setiap saat aku siap untuk membantumu, Han-te (adik Han). Apakah yang dapat kulakukan untuk membantumu?" Dengan sikap tenang Sin Wan bertanya dan mempersilakan pemuda itu duduk.
"Bukan aku yang membutuhkan bantuanmu, toako, melainkan Ci Hwa."
"Ehh? Apakah yang terjadi dengannya?"
"Selama beberapa hari ini adikku selalu bersedih. Aku sudah berusaha untuk menghibur dia, namun sia-sia. Dia tenggelam ke dalam kesedihan, dan aku khawatir kalau berlarut-larut dia dapat jatuh sakit."
"Ahh, pantas saja wajah Hwa-moi selalu kelihatan tidak gembira. Mengapa dia bersedih Han-te? Apakah yang terjadi?"
"Aku telah berkali-kali membujuk dan bertanya, akan tetapi dia hanya menggeleng kepala dan sekali pernah dia berkata lirih bahwa Wan-twako membencinya."

Sepasang mata Sin Wan terbelalak dan mulutnya tersenyum, tidak percaya dan heran. "Aku...? Membenci Hwa-moi...?”

"Aku juga merasa heran mendengarnya, Wan-twako. Mungkin dia merasa bahwa twako kurang memperhatikannya. Ci Hwa memang kadang masih seperti anak kecil. Tolonglah, twako, hiburlah dia dan katakan bahwa twako sayang kepadanya. Seperti sudah beberapa malam ini, sekarang dia sedang duduk termenung seorang diri di taman, tenggelam dalam kesedihannya. Maukah twako menolongnya?"

Sin Wan tersenyum dan mengangguk. "Tentu saja, Han-te. Aku akan segera menemui dia dan menghiburnya."

Dengan hati girang Ci Han mengucapkan terima kasih, kemudian dia kembali ke dalam kamarnya sendiri. Dia telah melaksanakan tugasnya sebagai seorang kakak, dan kini dia hanya dapat mengharapkan agar adiknya tidak hanya bertepuk sebelah tangan di dalam cintanya. Dia sendiri setuju sepenuhnya apa bila Ci Hwa dapat berjodoh dengan Sin Wan yang dikaguminya…..

********************
Dengan hati merasa heran dan penasaran mengapa Ci Hwa menganggap dia membenci gadis itu, Sin Wan memasuki taman bunga keluarga itu. Malam itu bulan purnama dan cahayanya yang lembut mendatangkan suasana yang romantis.

Pergaulannya dengan keluarga itu sudah sedemikian akrabnya sehingga dia tidak merasa canggung untuk menemui Ci Hwa pada malam hari di taman bunga. Dia merasa bahwa Ci Hwa seperti adiknya sendiri. Hanya terhadap Lili sajalah dia merasa canggung dan tidak enak karena gadis itu bersikap jatuh cinta kepadanya.

Taman bunga keluarga Bhok itu indah karena terawat, apa lagi karena Ci Hwa memang suka sekali memperhatikan keadaan taman bunga itu, sering memberi petunjuk kepada tukang kebun bagaimana sebaiknya mengatur taman itu. Malam itu amat indah dan sunyi di situ, dan udara sejuk dan segar oleh keharuman bunga-bunga yang beraneka warna.

Sin Wan menghampiri Ci Hwa yang sedang duduk melamun seorang diri di atas bangku panjang dekat kolam ikan. Banyak ikan emas di kolam itu, dan Sin Wan melihat gadis itu duduk seorang diri memandang bulan yang berada di dalam air kolam. Gadis itu seolah sedang berada di dunia lain dalam lamunannya sehingga tidak tahu bahwa Sin Wan telah menghampiri dan berdiri di belakangnya.

Pemuda ini melangkah maju lagi sambil memandang wajah itu dari belakang kanan. Dari samping, wajah gadis itu nampak cantik jelita, apa lagi tertimpa cahaya bulan keemasan, membuat wajah itu seperti bercahaya pula.
"Hwa-moi...!" Sin Wan memanggil lirih agar tidak mengejutkan gadis itu.

Ci Hwa terkejut mendengar panggilan ini. Bagaikan baru sadar dari mimpi dia cepat-cepat bangkit berdiri lalu membalikkan tubuhnya. Ternyata Sin Wan telah berdiri di situ dan kini mereka berdiri berhadapan.

"Ahh, Wan-twako...," kata Ci Hwa lirih pula dan mukanya berubah kemerahan.

Mereka saling pandang. Sin Wan tersenyum lalu melangkah maju mendekati.

"Hwa-moi, kenapa malam-malam begini engkau berada di taman seorang diri?"

Ci Hwa sudah bisa menguasai dirinya dan dia pun menjawab, "Aku sedang mencari hawa sejuk dan menikmati keindahan bulan purnama di taman ini, twako."

Sin Wan memperhatikan dan melihat bahwa memang ada perubahan pada diri Ci Hwa. Biasanya Ci Hwa adalah seorang gadis yang lincah jenaka, tetapi kini sikapnya pendiam dan bahkan lebih banyak menundukkan muka.

"Ci Hwa, selama beberapa hari ini setiap aku bertemu denganmu kulihat engkau nampak seperti orang yang bersedih. Kenapakah, Hwa-moi?"

Mendengar pertanyaan yang diucapkan dengan suara lembut itu, keluar dari mulut orang yang menjadi sebab kedukaannya, Ci Hwa merasa hatinya seperti diremas. Dia berusaha untuk menahan diri, tapi rasa iba diri membuat dia bersedih dan lemas. Dia menjatuhkan diri di atas bangku dan menutupi wajahnya untuk menyembunyikan tangisnya.....

Sin Wan terkejut. Benar seperti yang dikatakan Ci Han, gadis ini sedang menderita sedih. Dia pun lalu duduk di atas bangku di sebelah gadis itu, maklum bahwa biar pun gadis itu menahan diri tidak mengeluarkan suara tangis dan menyembunyikan muka di balik kedua tangannya, namun sebenarnya dia sedang menangis. Kedua pundaknya terguncang dan air mata mengalir keluar dari celah jari-jari tangannya.

"Hwa-moi, kenapa engkau menangis? Apa yang membuat hatimu merasa sedih?" tanya Sin Wan dengan hati-hati. 

Tetapi gadis itu tidak menjawab, hanya menggeleng kepala berkali-kali tanpa menurunkan kedua tangan dari depan mukanya. Karena sudah beberapa kali ditanya tetap tidak mau menjawab, Sin Wan teringat akan keterangan Ci Han bahwa gadis yang sedang menangis sedih di depannya ini mempunyai perasaan bahwa dia membencinya. 

Bahkan Ci Han minta kepadanya agar dia menghibur Ci Hwa dan mengatakan bahwa dia sayang kepada gadis ini. Pengakuan seperti itu tidaklah sulit baginya karena memang dia sayang kepada Ci Hwa, gadis yang biasanya lincah jenaka dan baik budi ini.

"Hwa-moi, kalau ada hal-hal yang menyusahkan hatimu, kalau ada persoalan yang sudah mengganggumu, katakan kepadaku. Aku pasti akan membantumu, Hwa-moi. Aku sayang kepadamu, Hwa-moi, dan tidak ingin melihat engkau berduka..."

Mendengar ucapan itu tiba-tiba Ci Hwa membiarkan tangisnya pecah, tidak lagi berusaha membendungnya sehingga dia pun terisak-isak. Sin Wan lalu menyentuh pundak Ci Hwa untuk menghiburnya, dan sentuhan ini makin mengharukan hati Ci Hwa sehingga dia pun tersedu dan merangkul, menyandarkan mukanya di dada Sin Wan sambil sesenggukan.

"Twa-ko... hu… hu… huuhh, twako...," tangisnya.

Sin Wan menahan senyumnya, hatinya lega karena gadis itu sudah mau berbicara.

"Bicaralah, Hwa-moi, sungguh tidak baik menekan kesedihan dalam hati. Katakanlah apa yang menyusahkan hatimu, sayang."

Gadis itu mengangkat muka memandang. Wajah yang cantik itu basah oleh air mata dan suaranya gemetar, "Wan-twako..., benarkah kata-katamu tadi...?”

Sin Wan mengelus rambut kepala gadis itu, merasa seakan dia menghibur hati seorang adik sendiri yang sedang rewel. "Kata-kataku yang mana?"

"Bahwa engkau... sayang padaku...?”

Sekarang barulah Sin Wan percaya kepada keterangan Ci Han yang tadinya dia anggap berlebihan. Gadis ini bersedih karena menyangka dia membencinya, atau setidaknya tidak suka kepadanya.

"Tentu saja, Hwa-moi!" katanya dengan suara tegas. "Tentu saja aku sayang kepadamu. Sejak kita berjumpa aku sudah sayang kepadamu dan akan tetap sayang padamu." 

Apa sulitnya mengobral pernyataan sayang kepada seorang gadis seperti Ci Hwa! Bahkan bersumpah pun dia mau bahwa dia sayang kepada Ci Hwa. Siapa yang tak akan merasa sayang kepada seorang gadis yang begini cantik, lincah jenaka dan berbudi mulia?

Wajah yang masih basah air mata itu kini berseri-seri, mulut itu tersenyum dan mata yang bening itu sekarang bersinar-sinar walau pun masih agak merah oleh tangis tadi. Ci Hwa membenamkan mukanya ke dada itu, dua lengannya merangkul pinggang dan terdengar dia berbisik-bisik.

"Terima kasih, Wan-twako... terima kasih... aku pun sangat sayang padamu, aku... cinta sekali kepadamu...”

Sin Wan terbelalak. Hampir saja dia merenggut lepas dirinya yang dipeluk gadis itu, akan tetapi dia masih menyadari keadaan. Sekarang sudah jelas baginya. Ci Hwa mencintanya! Dengan caranya sendiri, seperti Lili, gadis ini telah jatuh cinta kepadanya. 

Gadis ini salah paham, mengira bahwa sayangnya terhadap gadis ini sama dengan cinta seorang pria terhadap seorang wanita. Padahal dia menyayang Ci Hwa seperti seorang kakak menyayangi adiknya karena dia merasa iba. Maka terpaksa dia mendiamkan saja, karena dia maklum bahwa kalau saat itu dia melepaskan diri lantas mengaku bahwa dia tidak mencinta Ci Hwa tentu gadis ini akan merasa terpukul sekali, akan merasa malu dan mungkin akan putus asa.

Setelah sejenak membiarkan gadis itu tenggelam ke dalam kemesraan, dengan hati-hati dan perlahan-lahan Sin Wan melepaskan dirinya lalu berkata dengan lembut. "Hwa-moi, jangan begini. Kalau terlihat orang lain tentu tidak baik. Mari kita bicara dengan tenang."

Mendengar ini dan merasakan gerakan Sin Wan yang hendak melepaskan diri, Ci Hwa melepaskan rangkulan kedua lengannya dan kini dia duduk menghadapi Sin Wan, kedua pipinya kemerahan bagaikan setangkai bunga mawar yang baru saja bermandikan embun pagi yang sejuk segar.

"Wan-ko, aku tidak akan peduli andai kata ada orang lain yang melihatnya. Yang penting kita berdua saling mencinta...”

Sin Wan merasa betapa kepalanya pening. Celaka, pikirnya, ini kesalah pahaman yang sungguh berbahaya! Maju salah mundur salah! Dia tidak mencinta gadis ini seperti yang dimaksudkan Ci Hwa. Kesayangannya adalah perasaan sayang seorang kakak terhadap adiknya, atau rasa sayang seorang sahabat, bukan cinta kasih seorang laki-laki terhadap wanita yang mengharapkannya menjadi jodohnya.

Menerimanya berarti menjerumuskan diri sendiri ke dalam perjodohan yang pincang, apa lagi dia sama sekali belum memiliki niat untuk mengikatkan diri dengan perjodohan. Kalau dia menolak dan berterus terang menyatakan bahwa dia tidak mencinta gadis itu, berarti dia akan menghancurkan perasaan Ci Hwa. Sungguh serba salah.

Kembali dengan mesra kedua tangan Ci Hwa sudah menggenggam kedua tangannya. Sin Wan terpaksa menarik ke dua tangannya itu dan mulutnya tidak berani mewakili hatinya, hanya mengeluarkan kata-kata, "... tapi... tetapi...”

Tiba-tiba nampak sesosok bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di sana telah berdiri Lili! Gadis ini berdiri memandang kepada mereka seperti sebuah arca, tidak mengeluarkan suara dan hanya memandang dengan alis berkerut.

"Bagus sekali!"

Seruan ini membuat Ci Hwa terkejut, menengok dan terbelalak ketika melihat Lili berdiri di situ. Wajahnya berubah pucat dan dia bangkit berdiri, lalu berkata, suaranya gemetar, 

"Enci, maafkan aku... kami... kami saling mencinta, enci..." Jelas nampak betapa Ci Hwa takut kalau enci tirinya itu marah karena dia tahu bahwa enci-nya ini mencinta Sin Wan pula.

"Ci Hwa, tidak ada yang perlu kumaafkan. Engkau tidak bersalah apa pun."

"Lili, aku... aku... kami..." Sin Wan yang juga terkejut bukan main melihat kemunculan Lili yang tiba-tiba itu, menjadi gugup dan meski pun hatinya ingin sekali menjelaskan keadaan yang sebenarnya, akan tetapi mulutnya tak mampu mengeluarkan pernyataan yang akan menghancurkan hati Ci Hwa itu.

Lili tersenyum. Senyum yang tulus sungguh pun matanya memandang penuh keheranan. "Aku tahu, Sin Wan. Engkau mencinta Ci Hwa! Ingatkah engkau ketika engkau mengobati lukaku dahulu? Ketika itu aku sudah menduga bahwa engkau mencinta Ci Hwa."

"Lili, engkau keliru, dan Ci Hwa juga salah paham. Aku... aku menyayang Ci Hwa seperti adikku sendiri, tidak mencinta seperti yang dimaksudkan..."
"Wan-koko...!" Ci Hwa menjerit sambil terbelalak, memandang kepada pemuda itu seperti melihat setan.

Sepasang alis Lili berkerut makin dalam, ada pun sinar matanya mencorong marah. "Sin Wan, apakah engkau hendak mengecewakan hatiku dan menjadi seorang pangecut yang tidak bertanggung jawab? Mataku sendiri menyaksikan adegan mesra tadi dan sekarang engkau berani mengatakan bahwa engkau tidak mencinta adikku Ci Hwa? Hemmm, Sin Wan. Kalau engkau tidak membalas cintaku, hal itu masih kuanggap ringan karena aku memang seorang gadis liar dan buruk. Akan tetapi engkau hendak menolak Ci Hwa, gadis cantik jelita dan berbudi? Engkau gila! Lantas apa artinya engkau tadi saling rangkul dan bermesraan dengan adikku? Apakah engkau hanya hendak mempermainkannya?"

"Lili, tenanglah dan jangan terburu nafsu. Aku sayang kepada Ci Hwa, sayang seorang kakak kepada adiknya, bukan cinta seperti yang kalian maksudkan."
"Wan-koko...” kembali Ci Hwa menjerit dan sekali ini dia menjatuhkan diri di atas bangku kemudian menangis.

Lili marah bukan main hingga mukanya menjadi merah. "Sin Wan, aku pernah jatuh cinta kepadamu dan engkau tidak menghiraukan aku. Hal itu masih bisa kumaafkan. Tetapi aku akan membunuhmu kalau engkau mempermainkan adikku Ci Hwa!"

"Lili, ini hanya suatu kesalah pahaman saja. Sungguh, aku tidak mempermainkan adik Ci Hwa. Tadi aku melihat dia sedang berduka, aku hanya ingin menghiburnya dan aku tidak pernah mengaku cinta kepadanya."
"Wan-koko...," seru Ci Hwa di antara isaknya. "...mengapa engkau bersikap seperti ini...? Tadi... tadi engkau begitu menyayangku... kurasakan itu dalam rangkulanmu... koko, tapi kenapa begini...?"

Ingin rasanya Sin Wan menampar kepalanya sendiri. Karena perasaan iba dan karena hendak menghibur hati Ci Hwa, dia tadi memperlihatkan kasih sayangnya dan kenapa dia tidak menolak ketika Ci Hwa merangkul dan menangis di dadanya? Tadi pun dia sudah menyadari bahwa adegan itu sangat berbahaya dan tidak benar, akan tetapi mengapa dia tidak tega untuk menolaknya? Dan sekarang dia harus menghadapi akibatnya!

"Tadi aku menyatakan suka dan sayangku kepadamu sebagai seorang sahabat, sebagai seorang saudara, sama sekali tidak terbayangkan olehku perasaan cinta seorang laki-laki terhadap wanita seperti yang kau maksudkan."

Mendengar ucapan ini Ci Hwa hanya mampu menangis dengan hati perih seperti ditusuk-tusuk rasanya.

"Sin Wan, engkau benar-benar sudah keterlaluan! Engkau mempermainkan adikku! Aku tidak bisa membiarkannya saja. Akan kubunuh kau!" Lili mencabut pedang Ular Putih dan hendak menyerang Sin Wan dengan kemarahan berkobar.
"Enci...!” Ci Hwa telah menubruk dan menjatuhkan diri berlutut, merangkul kedua kaki Lili. "Enci Lili jangan... jangan bunuh dia. Bunuh saja aku, enci..." dan dengan hati sedih sekali Ci Hwa menangis tersedu-sedu di depan kaki Lili.

Pada saat itu terdengar suara banyak orang dan muncullah Bhok Cun Ki, Cu Sui In, Bhok Ci Han dan Nyonya Bhok. "Heii, apa yang terjadi ini? Lili, apa yang sudah terjadi?" tanya Sui In sambil meloncat ke dekat puterinya.

"Ci Hwa, apa yang sudah terjadi?" seru Nyonya Bhok kepada puterinya, sesudah melihat puterinya menangis di hadapan kaki Lili yang berdiri marah dengan pedang terhunus di tangan. Ci Hwa bangkit lalu berlari menubruk ibunya sambil menangis.
"lbuu...!" Nyonya Bhok merangkul puterinya yang terisak-isak dan tidak mampu bicara itu.
"Ibu, aku akan membunuh Sin Wan!" teriak Lili marah. "Laki-laki tidak tahu diri ini berani mempermainkan adik Ci Hwa. Kulihat sendiri tadi mereka saling bermesraan di sini, akan tetapi dia tidak mau mengaku cinta, dia mengingkari cintanya terhadap adik Ci Hwa!"
"Apa?" Sui In berseru marah. "Pemuda ini berani menghina anakku Ci Hwa? Kalau begitu, biar aku sendiri yang akan memberi hajaran kepadanya!"

Sekali menggerakkan tubuh, wanita ini sudah melayang ke depan Sin Wan dan mengirim tamparan bertubi-tubi, gerakannya cepat dan amat kuat.

Melihat datangnya serangan yang amat berbahaya sehingga setiap tamparan merupakan cengkeraman maut, Sin Wan yang tidak diberi kesempatan untuk bicara cepat bergerak mengelak dan menangkis. Sampai tujuh kali berturut-turut dua tangan Cu Sui In bertubi-tubi menyambar, namun selalu dapat dihindarkan oleh Sin Wan.

"In-moi, tahan dulu...!” Bhok Cun Ki berseru kemudian meloncat ke depan, melerai dan memegang lengan kiri isterinya. "Harap jangan tergesa-gesa dan terburu nafsu. Kalau ada persoalan, mari kita bicarakan dulu dengan tenang." Karena dicegah suaminya, Cu Sui In terpaksa menurut ketika ditarik mundur ke belakang.

Bhok Cun Ki yang melihat gawatnya persoalan, segera mengambil alih pimpinan dan dia bertanya kepada puterinya. "Ci Hwa, katakan, apa yang telah terjadi di sini antara engkau dan Sin Wan."

Akan tetapi Ci Hwa tidak mampu menjawab, hanya menangis di dalam pelukan ibunya. Melihat betapa Ci Hwa hanya menggeleng-geleng kepala sambil sesenggukan, Sui In lalu bertanya kepada Lili, "Lili, karena adikmu tidak mampu menjawab, engkaulah yang harus menceritakan kepada ayahmu, apa yang telah terjadi!"

Bhok Cun Ki mengangguk ketika Lili memandang kepadanya. Tidak mungkin memaksa Ci Hwa bicara kalau sedang menangis seperti itu. "Ceritakanlah, Lili," katanya.

"Begini, ayah, ibu. Tadi secara kebetulan aku memasuki taman, lalu melihat Sin Wan dan adik Ci Hwa sedang duduk di bangku ini, bermesraan, saling berpelukan. Kedatanganku membuat mereka terkejut dan adik Ci Hwa ketakutan. Tetapi aku mengatakan bahwa aku bahkan bergembira kalau mereka saling mencinta. Eh, ternyata dia ini, laki-laki yang tidak bertanggung jawab ini, dia menyangkal bahwa dia mencinta Ci Hwa! Nah, hati siapa yang tidak menjadi panas melihat adiknya dipermainkan orang!"

Mendengar keterangan Lili ini, Bhok Cun Ki yang biasanya selalu berpikiran panjang dan dapat menahan perasaannya, mau tidak mau mengerutkan alisnya dan mukanya berubah merah. Sebagai seorang ayah, tentu saja dia tidak senang mendengar laporan itu, walau pun dia masih meragukan kebenaran laporan itu karena selama ini dia mengenal Sin Wan sebagai seorang pemuda yang gagah perkasa dan berkelakuan sopan.

Kini Bhok-ciangkun menatap wajah Sin Wan. Bulan sedang terang-terangnya sehingga cuaca menjadi cerah. "Sin Wan, kami harap engkau bersikap sebagai seorang gagah dan suka menceritakan semuanya dengan jujur. Nah, benarkah apa yang diceritakan Lili tadi?"

Sin Wan menghela napas panjang. Keadaan sudah sedemikian rupa sehingga jalan satu-satunya hanya berterus-terang dan tidak lagi merahasiakan sesuatu walau dengan resiko akan menyinggung hati Ci Hwa atau siapa pun juga. Kalau tidak maka suasana tentu bisa menjadi semakin gawat.

"Baiklah, paman Bhok. Memang seharusnya saya berterus terang. Karena ketidak terus-terangan sayalah yang menyebabkan semua ini terjadi. Laporan Lili tadi tidak dapat saya salahkan, karena memang tampaknya benar seperti apa yang dia terangkan. Akan tetapi sebenarnya tidaklah demikian, paman. Biarlah akan saya ceritakan dari awal. Mula-mula, adik Ci Han yang datang menemui saya di kamar saya dan dia menceritakan kepada saya bahwa adik Ci Hwa sedang sedih. Menurut keterangan adik Ci Han, adik Ci Hwa merasa sedih karena menyangka bahwa saya membencinya. Tentu saja saya merasa heran dan terkejut sekali, maka ketika adik Ci Han minta tolong kepada saya untuk menghibur dan mengaku sayang kepada adik Ci Hwa yang sedang berada di taman, tanpa ragu lagi saya lalu menemuinya di dalam taman ini."

"Benarkah semua keterangannya itu, Ci Han?" tanya Bhok Cun Ki kepada puteranya yang sejak tadi hanya mendengarkan saja dengan wajah tegang.
"Benar, ayah. Memang aku yang menceritakan tentang keadaan Hwa-moi kepada Wan-toako dan minta bantuannya supaya dia menghibur Hwa-moi dan mengatakan bahwa dia tidak membencinya, melainkan menyayangnya."
"Hemm, Sin Wan, lanjutkan keteranganmu," kata Bhok Cun Ki kepada Sin Wan.

"Setelah tiba di taman, saya melihat adik Ci Hwa sedang duduk seorang diri dan memang kelihatan amat berduka. Saya kemudian mendekatinya, duduk di bangku dan mengatakan bahwa saya sayang kepadanya dan agar dia tidak berduka. Mendengar pengakuan saya itu, adik Ci Hwa menangis dan merangkul saya, menangis di dada saya dan mengatakan bahwa dia mencinta saya. Pada waktu itu saya sudah menyadari akan adanya kesalah-pahaman, paman. Akan tetapi apa yang harus saya lakukan? Terus terang mengatakan bahwa saya tidak mencintanya? Tentu hal itu akan merupakan pukulan hebat kepadanya dan saya tidak tega melakukannya. Saya menyayang adik Ci Hwa sebagai seorang kakak terhadap adiknya, paman. Dan pada saat itu Lili muncul! Karena keadaan menjadi gawat, maka saya lantas berterus terang bahwa saya tidak mencinta adik Ci Hwa seperti yang mereka sangka, tidak mencinta sebagai seorang pria kepada seorang wanita melainkan hanya rasa sayang seorang kakak terhadap adiknya. Lili marah, dan selanjutnya paman melihat dan mendengar sendiri. Saya memang bersalah karena tak berani berterus terang sehingga terjadi kesalah pahaman yang menyakiti hati adik Ci Hwa. Maafkan saya."

Melihat gawatnya persoalan itu, Bhok Cun Ki menghela napas panjang. Bagaimana pun juga hal ini menyangkut kebahagiaan dan kehormatan diri puterinya, karena itu dia lantas berkata, "Mari kita semua masuk ke rumah, kemudian membicarakan urusan penting ini di dalam saja."

Dua orang isterinya juga maklum akan pentingnya urusan itu, maka mereka mengangguk dan semua orang kemudian meninggalkan taman, memasuki rumah tanpa mengeluarkan suara, hanya masih terdengar isak tertahan dari Ci Hwa yang dirangkul dan digandeng ibunya memasuki rumah. Sin Wan yang berjalan paling belakang merasa seperti seorang pesakitan masuk ke dalam ruangan sidang pengadilan yang akan mengadilinya.

Mereka duduk di ruangan dalam dan tidak ada seorang pun pelayan yang diperbolehkan masuk. Sin Wan duduk di sudut, dihadapi oleh seluruh keluarga itu. Dia bersikap tenang, dengan keyakinan bahwa dia tidak melakukan suatu kesalahan, tidak memiliki niat untuk mengganggu siapa saja, dan urusan yang dihadapinya ini adalah suatu kesalah pahaman belaka.

Begitu mereka duduk, Lili yang semenjak tadi menahan perasaannya, bermacam-macam perasaan, ada kecewa, ada pula kemarahan, bukan karena dia melihat kenyataan pahit bahwa pemuda yang dicintanya ternyata mencinta gadis lain, akan tetapi juga karena kemudian pemuda itu menyatakan tidak menerima cinta kasih Ci Hwa.

"Ayah, adik Ci Hwa mencinta Sin Wan dan dia pun tidak pernah menolak cintanya. Oleh karena itu aku menuntut agar mereka menjadi suami isteri. Kalau Sin Wan menolak maka dia akan kuanggap sebagi musuhku!"
"Aku sendiri pun tidak akan menerima begitu saja kalau anakku Ci Hwa diperhina orang!" kata pula Cu Sui In.

Ibu dan anak ini memandang kepada Sin Wan dengan sinar mata mencorong.

Bhok Cun Ki mengangkat kedua tangannya sebagai isyarat agar isteri dan puterinya itu berdiam diri. Kemudian dia memandang kepada Sin Wan dan suaranya terdengar tenang namun tegas.

"Sin Wan, kami menyadari sepenuhnya bahwa peristiwa ini terjadi karena salah paham di pihak anak kami Ci Hwa. Akan tetapi engkau pun tidak bebas dari pada kesalahan karena sikapmu yang tidak berterus terang. Andai kata pada saat itu engkau berterus terang saja menyatakan isi hatimu yang sebenarnya kepada Ci Hwa, tentu kesalah pahaman itu tidak akan berlarut-larut. Sekarang semua telah terjadi dan engkau pun tentu maklum betapa akan kecewa dan malu hati kami semua kalau Ci Hwa tidak berjodoh denganmu. Oleh karena itu kami mengharapkan kebijaksanaanmu agar suka menyetujui ikatan perjodohan antara engkau dengan Ci Hwa."

Sin Wan mengerutkan alisnya. Bayangan Lim Kui Siang, sumoi-nya itu, lantas berkelebat di hadapan matanya. Selama hidupnya dia hanya mencinta seorang saja, yaitu Kui Siang dan sampai saat ini, biar pun Kui Siang telah berubah menjadi benci kepadanya, dia tidak mampu melupakan gadis itu.

Memang dia tidak lagi mengharapkan untuk dapat berjodoh dengan Kui Siang mengingat betapa Kui Siang sudah memandangnya sebagai musuh, namun bagaimana mungkin dia dapat berjodoh dengan gadis lain bila hal ini bertentangan dengan perasaan hatinya? Dia memang suka dan sayang kepada Ci Hwa, merasa iba kepadanya, akan tetapi tidak ada perasaan cinta di dalam hatinya seperti perasaan cintanya terhadap Kui Siang.

Dengan tulus Sin Wan kini memandang kepada mereka semua, seorang demi seorang, lalu berkata dengan suara lembut namun tegas dan sejujurnya. 

"Paman Bhok, bibi berdua, adik Ci Hwa, Ci Han dan Lili, saya mengerti bahwa terkadang pengakuan sejujurnya mendatangkan kepahitan dan ketidak senangan. Namun saya juga yakin bahwa walau pun kadang menyenangkan, kebohongan akan mendatangkan akibat yang jauh lebih buruk lagi. Apa yang baru saja terjadi di antara saya dengan adik Ci Hwa hanya merupakan suatu kesalah pahaman belaka. Saya menyayang adik Ci Hwa sebagai seorang kakak terhadap adiknya, atau sebagai seorang sahabat yang ikut prihatin melihat sahabatnya berduka sehingga ingin menghiburnya, akan tetapi adik Ci Hwa salah sangka, mengira saya mencintainya sebagai seorang pria mencinta wanita. Dan sekarang setelah semuanya ini kita mengerti, juga saya sudah minta maaf kepada adik Ci Hwa dan kepada semua keluarga, mengapa ikatan perjodohan ini akan dipaksakan dan dilaksanakan juga? Kalau perjodohan seperti ini kelak mengalami kegagalan, bukankah kita semua pula yang akan menanggung derita? Paman, saya tidak ingin kalau kelak akan mengecewakan dan menghancurkan perasaan hati adik Ci Hwa. Karena itu, dari pada nantinya saya terpaksa mengkhianati cinta adik Ci Hwa dan menyusahkan hatinya, lebih baik dari sekarang saya menjauhkan diri. Saya terpaksa tidak dapat memenuhi permintaan paman untuk berjodoh dengan adik Ci Hwa."

Mendengar ucapan ini, Ci Hwa terisak, lalu melepaskan rangkulan ibunya, dan dia pun lari ke kamarnya sambil menangis. ibunya bangkit dan menyusulnya.

"Bagus, kalau begitu engkau harus menebus penghinaan ini dengan nyawamu!" bentak Lili dan dia pun sudah menyerang Sin Wan dengan dahsyat.

Semenjak tadi Sin Wan sudah siap waspada. Dia maklum bahwa kemarahan keluarga itu mungkin saja membuat mereka ingin membunuhnya. Maka begitu Lili menyerangnya, dia pun telah meloncat ke belakang dan menghindarkan diri dari totokan maut yang dilakukan gadis itu.

"Biar aku yang menghajarnya!" bentak Bi-coa Sianli Cu Sui ln.

Nampak sinar hitam berkelebat ketika wanita itu mencabut Hek-coa-kiam (Pedang Ular Hitam) dan menyerang Sin Wan. Juga Lili sudah mencabut Pek-coa-kiam (Pedang Ular Putih) dan siap mengeroyok Sin Wan.

"Tahan!” teriak Bhok Cun Ki yang telah melompat ke depan untuk menghadang isteri dan puterinya. "Simpan pedang kalian dan jangan serang dia. Kita tidak begitu rendah untuk memaksa seseorang yang tidak mau menjadi anggota keluarga kita."

Biar pun dengan alis berkerut, Cu Sui In menyimpan kembali pedangnya dan mengomel, "Akan tetapi dia telah menghina anak kita Ci Hwa!"

Lili juga menyimpan pedangnya dan berkata tak puas, "Dia telah menghancurkan hati adik Ci Hwa dan membuatnya berduka."

Bhok Cun Ki menghela napas panjang. "Semua itu kesalahan Ci Hwa sendiri. Siapa yang menyuruh dia mencinta seorang pria yang tidak membalas cintanya? Sudahlah, mungkin seorang pendekar besar yang memiliki kepandaian tinggi seperti dia merasa terlalu tinggi untuk berjodoh dengan seorang gadis bodoh seperti Ci Hwa. Akan tetapi aku tidak akan sudi memaksanya."

Mendengar ucapan keluarga itu, dan melihat Ci Han duduk saja dengan muka pucat, Sin Wan menghela napas panjang dan memberi hormat kepada mereka, kemudian berkata kepada Bhok Cun Ki.

"Paman Bhok, saya mengerti bahwa semua kata-kata tadi hanya diucapkan dari hati yang kecewa. Saya telah mengecewakan keluarga paman, dan menyusahkan hati adik Ci Hwa. Karena itu saya berpamit, paman. Sekarang juga saya akan meninggalkan rumah ini, dan banyak terima kasih saya ucapkan atas semua kebaikan paman beserta keluarga paman yang telah dilimpahkan kepada saya. Selamat tinggal." 

Sin Wan pergi ke kamarnya, mengemasi pakaiannya lalu pergi meninggalkan rumah itu.

Ci Han yang sejak tadi hanya diam saja, diam-diam merasa menyesal sekali. Dialah yang menjadi biang keladi, keluhnya dalam hati. Dia yang tadi menyuruh Sin Wan menghibur adiknya, namun tidak disangkanya akan berakibat begini. Dia pun meninggalkan ruangan itu, disusul Lili yang juga pergi dari situ.

Kini tinggal Bhok Cun Ki yang masih duduk dan berulang kali menghela napas panjang, ditemani Cu Sui ln. "Aihhh, mengapa cinta selalu mendatangkan duka kepada manusia? Kita berdua, terutama engkau, menderita banyak kesengsaraan karena cinta. Sekarang anak kita, gadis yang masih bersih dari pada noda, terpaksa harus menderita pula karena cinta."

"Walau pun dahulu menderita, tetapi sekarang aku menemukan kebahagiaan. Akan tetapi bagaimana dengan anak kita Ci Hwa? Hemm, kalau kau tidak melarang, sudah kubunuh pemuda yang berani menolak cintanya itu!"

Bhok Cun Ki tersenyum. Wanita yang sejak dahulu dicintanya ini, biar pun hidup sebagai puteri datuk dan selalu terbiasa dengan kekerasan, akan tetapi pada hakekatnya memiliki watak yang baik. Dia menganggap Ci Hwa sebagai puterinya sendiri.

“Hemmm, cinta..., apa sih cinta itu sesungguhnya? Cinta membuat orang hari ini tertawa senang, besoknya menangis susah. Cinta mendatangkan cemburu, kemarahan, bahkan kebencian. Cinta, siapakah sebenarnya kamu dan apa sebenarnya perasaan yang selalu mempermainkan hati setiap orang manusia ini? Tidak peduli pria atau wanita, pintar atau bodoh, kaya atau miskin, semua menjadi permainan cinta dan setiap orang pernah atau akan menderita karena cinta!"

Ucapan Bhok Cun Ki yang seperti ditujukan kepada dirinya sendiri itu membuat isterinya, Cu Sui In, ikut pula duduk termenung. Keduanya tenggelam dalam renungannya sendiri tentang cinta yang kalau diukur lebih dalam dari pada samudera dan lebih tinggi dari pada langit itu.

Renungan mengenai cinta dilakukan orang sepanjang masa, sejak jaman nenek moyang kita dulu sampai kini. Namun, adakah manusia yang pernah menemukan jawabnya yang tepat. Memang ada banyak pendapat orang tentang cinta, akan tetapi apakah pendapat itu telah dapat membuat kita mengenal cinta?

Bila mendatangkan cemburu yang disusul kebencian dan permusuhan, apakah itu cinta? Bila mendatangkan kesenangan disusul kesusahan, apakah itu cinta? Ingin memiliki dan dimiliki sendiri, itukah cinta? Menjadi pembangkit, penyalur dan pemuasan birahi, itukah cinta? Membela dengan mempertaruhkan nyawa, membunuh atau dibunuh seperti dalam perang membela tanah air, itukah cinta? Mengorbankan diri untuk anak dan cucu, itukah cinta? Ataukah cinta mencakup kesemuanya? Apakah cinta merupakan kebalikan dari benci? Apakah benar bahwa cemburu menjadi kembangnya cinta?

Kalau dilanjutkan, masih ada satu macam pertanyaan yang tak terjawab mengenai cinta. Bagaimana mungkin hati yang tidak pernah mengenal cinta dapat mencari apa cinta itu sebenarnya? Hati akal pikiran ini hanya dapat menemukan sesuatu yang pernah dikenal, pernah dialami, dapat menemukan hal yang telah lalu.

Yang mendatangkan cemburu, mendatangkan suka dan duka, mendatangkan kebencian dan permusuhan, yang memuaskan birahi, yang ingin membelenggu dalam ikatan, jelas bukanlah cinta melainkan nafsu. Nafsu selalu menimbulkan keinginan untuk memperoleh kesenangan dan menghindari ketidak senangan. Nafsu selalu mempermainkan manusia, mengombang-ambingkan manusia antara suka dan duka, puas dan kecewa. 

Nafsu membuat kita mencinta seseorang karena daya tarik yang khas, sesuai dengan keinginan nafsu. Kita mencinta seseorang karena kecantikannya atau ketampanannya, karena kekayaannya, kedudukannya, kepintarannya dan sebagainya. Kalau yang menjadi daya tarik itu sudah luntur, maka cinta kita pun ikut luntur karena ikatan itu mengendur.

Cinta yang didorong oleh nafsu membuat kita ingin memiliki sendiri yang kita cinta, baik itu berupa benda, binatang peliharaan, tanaman, atau orang. Bila ini dilanggar maka kita cemburu, kita marah, kita benci. Tetapi kalau kita berhasil memiliki, timbullah rangkaian yang mendatangkan penderitaan pula. 

Memiliki berarti menjaga dan kehilangan! Memiliki bisa menimbulkan kebosanan. Cantik dan indah hanya terasa sebelum didapatkan, atau paling banyak hanya dirasakan untuk jangka waktu yang pendek saja. Sesudah itu, cantik dan indah mulai luntur kalau tidak membosankan malah. Betapa banyaknya pasangan yang cantik dan tampan cekcok atau bercerai. Betapa banyaknya pasangan yang kaya raya, tidak cocok dan menderita.

Cinta yang kita puja-puja pada umumnya hanyalah permainan nafsu belaka. Cinta kita berpamrih seperti menjadi sifat nafsu, dan permainan nafsu tak dapat tidak menyeret kita ke dalam permainan suka duka, yang lebih banyak dukanya dibandingkan sukanya. Kita mencinta untuk mendapatkan sesuatu. Cinta kita merupakan cinta jual beli, dan setiap jual beli selalu mendambakan keuntungan.

Selama nafsu pamrih masih ada, cinta tidak akan ada. Kalau nafsu dan pamrih sudah tidak ada, apakah cinta akan ada? Tak dapat kita mengharapkan cinta, tidak dapat kita mengundang cinta. Cinta akan datang menghampiri kita seperti air suci mengisi cawan yang sudah kosong dan bersih…..!

********************
Selanjutnya baca
ASMARA SI PEDANG TUMPUL : JILID-10
LihatTutupKomentar