Asmara Si Pedang Tumpul Jilid 13


Panglima Bhok Cun Ki yang cerdik itu diam-diam segera menghubungi Jenderal Shu Ta. Tentu saja Jenderal Besar ini terkejut setengah mati mendengar laporan pembantunya. Hampir dia marah-marah karena tidak percaya bahwa pembantunya yang sudah berjasa besar, Jenderal Yauw Ti, dicurigai sebagai pemimpin jaringan mata-mata Mongol.

Benar-benar mustahil, katanya. Tetapi dengan tenang dan sabar Bhok-ciangkun memberi penjelasan secara terperinci, mengumpulkan semua hasil penyelidikan anak buahnya dan hasil penyelidikan Sin Wan, Lili dan juga Akim. 

Mendengar keterangan terperinci itu Jenderal Shu Ta berdiam diri, termenung dengan alis berkerut. Namun dia harus yakin dahulu, pikirnya. Sungguh berbahaya menuduh Jenderal Yauw Ti sebagai pemimpin mata-mata Mongol tanpa ada bukti-bukti yang meyakinkan.

Jenderal Yauw Ti memiliki kekuasaan yang cukup besar, bahkan Kaisar sangat percaya kepada jenderal yang tinggi besar itu. Pendeknya, Jenderal Yauw Ti merupakan orang ke dua sesudah dia yang dekat dan dipercaya Kaisar.

Dia sendiri adalah sute (adik seperguruan) Kaisar, tentu saja hubungannya sangat dekat. Akan tetapi Jenderal Yauw Ti juga sudah melakukan banyak jasa, dan selama ini selalu membuktikan dirinya sebagai seorang jenderal yang cakap dan setia.

"Bhok-ciangkun, dugaanmu ini sangat berbahaya. Engkau harus mampu memperlihatkan bukti, barulah aku berani turun tangan dan berani melapor kepada Sribaginda," akhirnya dia berkata.
"Tentu saja, Shu-goanswe (Jenderal Shu). Saya hanya mohon bantuan paduka, karena tanpa bantuan paduka, bagaimana mungkin saya berani menyelidiki ke dalam rumah dan kantor Jenderal Yauw? Sribaginda telah memberi waktu kepada saya, dan kalau dalam satu bulan saya tidak mampu membongkar jaringan mata-mata ini, seluruh keluarga saya akan menerima hukuman. Saya mohon bantuan paduka."

Jenderal Shu Ta menghela napas panjang. Sering kali dia menghela napas panjang kalau melihat perubahan yang terjadi pada diri suheng-nya yang kini sudah menjadi Kaisar itu. Sekarang Kaisar sudah berubah menjadi seorang yang teramat kejam. Bahkan seorang pembantu yang terbaik dan paling setia sekali pun, dengan mudah akan dijatuhi hukuman mati akibat melakukan kesalahan sedikit saja! Kaisar begitu dipenuhi rasa kecurigaan dan kebencian.

"Baik, aku akan membantumu, ciangkun," kata Jenderal Shu Ta, kemudian mereka bicara dengan sikap serius, mengatur langkah-langkah untuk membongkar rahasia yang sangat membahayakan negara itu.

Sebagai hasil dari rencana siasat mereka itu, pada suatu hari Jenderal Shu Ta, Jenderal Yauw Ti bersama para panglima lainnya dipanggil menghadap Kaisar untuk membicakan tentang keamanan negara. Tentu saja panggilan Kaisar ini adalah hasil dorongan Jenderal Shu Ta yang bermaksud agar Jenderal Yauw bisa mengemukakan pendapat-pendapatnya tentang jaringan mata-mata Mongol yang membahayakan negara, terutama sekali untuk memancing jenderal itu keluar agar Bhok Cun Ki beserta para pembantunya memperoleh kesempatan untuk melakukan penyelidikan ke tempat tinggal dan kantor jenderal yang dicurigai itu. Kaisar tidak mencurigai bujukan Jenderal Shu Ta ini karena memang Kaisar ingin membicarakan mengenai penyerangan terhadap kedua orang puteranya, yaitu Raja Muda Yung Lo dan Pangeran Chu Hui San.

Kesempatan itu digunakan dengan baik oleh Bhok Cun Ki yang segera menugaskan Sin Wan dan Kui Siang untuk melakukan penyelidikan ke rumah keluarga Jenderal Yauw Ti.

Bagi orang biasa, tentu tidak akan mudah memasuki gedung keluarga Jenderal Yauw Ti tanpa ijin. Namun Sin Wan dan Kui Siang mempergunakan ilmu kepandaian mereka, dan begitu pasukan pengawal yang melakukan perondaan siang malam itu lewat, mereka pun berhasil melompati pagar tembok pada bagian belakang. Sekarang mereka berdua sudah menyelinap ke dalam taman bunga milik keluarga itu.

Sebelumnya mereka berdua sudah mendapat penggambaran yang jelas tentang keadaan gedung itu dan juga mengenai keadaan keluarga Yauw Ti, jenderal yang mereka curigai. Di gedung itu Jenderal Yauw Ti tinggal bersama seorang isteri dan tiga orang selir. Dia hanya mempunyai dua orang anak dari para selirnya, dua orang anak laki-laki yang masih kecil, belum sepuluh tahun usianya.

Sin Wan dan Kui Siang menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak, mendekati bangunan besar. Dua orang tukang taman yang sedang bekerja tidak melihat gerakan dua orang pendekar muda itu dan mereka berhasil meloncat ke atas atap dapur bangunan itu, kemudian bersembunyi di balik wuwungan dan bergerak bagaikan dua ekor kucing tanpa mengeluarkan suara apa pun.

Karena sudah mempelajari keadaan dalam bangunan gedung itu, Sin Wan dan Kui Siang dapat berada di atas kamar besar milik keluarga itu. Melihat betapa kamar yang sangat mewah itu dalam keadaan kosong dan sunyi, Sin Wan berbisik-bisik dengan kekasihnya, mengatur siasat kalau sampai mereka ketahuan orang selagi berada di dalam kamar itu, merencanakan jalan keluar dari kamar tanpa diketahui orang.

Kemudian mereka mulai membuka atap dan bagaikan dua ekor burung rajawali, mereka melayang turun dari atas, masuk ke dalam kamar tanpa mengeluarkan suara. Begitu tiba dalam kamar, dua orang pendekar muda yang sejak tadi menutupi muka mereka dengan kedok coklat dan biru, kedok yang sengaja dibuat mirip dengan kedok yang dipergunakan anak buah Si Kedok Hitam, segera bekerja dengan cepat.

Mereka menggeledah dan mencari-cari apa saja yang dapat menjadi bukti bahwa dugaan mereka benar, yaitu bahwa Jenderal Yauw Ti adalah pemimpin, atau setidaknya memiliki hubungan dengan jaringan mata-mata Mongol.

Sampai kurang lebih satu jam mereka menggeledah, membukai almari serta laci-lacinya, memeriksa seluruh ruangan. Tapi mereka tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Memang mereka telah menduga bahwa agaknya, andai kata benar bahwa Jenderal Yauw Ti menjadi pemimpin jaringan mata-mata Mongol, pasti tak seorang pun keluarganya yang mengetahui karena hal itu merupakan rahasia pribadi. Hal ini untuk mencegah terjadinya kebocoran, maka kalau dia menyimpan sesuatu yang dapat membuka rahasianya, tentu barang itu disimpan di lain tempat.

"Ke kantornya," bisik Sin Wan.

Mereka berdua segera meloncat lagi keluar dari kamar itu, membetulkan letak atap yang mereka buka dan tidak lama kemudian mereka sudah keluar lagi melalui taman dan pagar tembok di belakang tanpa diketahui orang.

Tak lama kemudian, dengan bekerja cepat agar jangan sampai kedahuluan oleh Jenderal Yauw Ti, dan hal ini sudan diatur oleh Jenderal Shu Ta agar Jenderal Yauw Ti agak lama berada di istana, Sin Wan dan Kui Siang sudah berada di kamar kerja Jenderal Yauw Ti yang terletak di dalam markas pasukan. Tentu saja mereka berdua tidak begitu ceroboh untuk memasuki benteng seperti yang mereka lakukan di rumah kediaman Jenderal Yauw tadi. 

Mereka sudah membawa bekal surat perintah dan surat kuasa dari Jenderal Shu Ta untuk memasuki kamar kerja Jenderal Yauw Ti dan mengambil barang-barang yang diperlukan dalam persidangan di istana. Dengan bekal surat ini, para petugas jaga di markas itu tentu saja tidak berani menghalangi. 

Surat perintah dari Jenderal Shu Ta sebagai panglima tertinggi lebih ditaati oleh pasukan di situ dari pada surat dari Kaisar sendiri sekali pun. Sebab itu mereka mempersilakan Sin Wan dan Kui Siang masuk, dan tidak lama kemudian dua orang muda perkasa ini sudah melakukan penggeledahan di dalam kamar kerja Jenderal Yauw Ti setelah mereka berdua menggunakan tenaga untuk membuka daun pintu kamar itu secara paksa. 

Untuk menjaga segala kemungkinan, begitu masuk mereka berdua telah mengenakan lagi kedok mereka sungguh pun tadi mereka masuk sebagai utusan Jenderal Shu Ta. Bahkan surat itu pun dibuat oleh Jenderal Shu Ta mempergunakan tanda tangan dan cap palsu. Hal ini untuk menjaga kemungkinan Jenderal Yauw Ti tidak bersalah sehingga dia tidak akan terlibat di dalam penggeledahan itu dan kedua orang muda itu yang akan dianggap sebagai penanggung jawab.

Di ruangan kerja ini pun Sin Wan dan Kui Siang tidak berhasil menemukan sesuatu yang mencurigakan. Mereka hampir putus asa ketika tiba-tiba pintu kamar terbuka lalu sesosok bayangan berkelebat masuk. Ternyata dia adalah seorang yang mengenakan kedok abu-abu!

"Mau apa kalian di sini?!" bentak si kedok abu-abu dengan suara bengis.
"Ahh, kami sedang sibuk hendak membersihkan tanda-tanda yang terdapat di sini karena sebentar lagi tempat ini akan digeledah oleh pasukan istana. Kini Kaisar telah mencurigai Yang Mulia. Di mana Yang Mulia? Apakah belum pulang dari istana?" kata Sin Wan.

Mendengar ucapan itu, si kedok kelabu nampak terkejut. Sepasang mata di balik kedok itu berkilat. "Kalau begitu, aku harus cepat memberi kabar kepada Pangeran!"
"Siapa Pangeran...?" Sin Wan cepat-cepat menghentikan ucapannya, memaki diri sendiri yang terlanjur bicara. Dan benar saja, mendengar Sin Wan ternyata tidak mengenal siapa pangeran yang dia maksudkan, si kedok abu-abu segera mencabut pedangnya.
"Kalian palsu!" Dan pedangnya sudah menyambar dengan ganas ke arah Sin Wan.
Sin Wan yang menyadari kesalahannya segera mengelak, lantas dari samping Kui Siang sudah bergerak ke depan, tangannya menyambar dengan totokan dan si kedok abu-abu itu pun terkulai lemas. Sin Wan merampas pedangnya dan menyambut tubuh itu supaya tidak menimbulkan suara gaduh.

"Inilah bukti yang paling baik," bisiknya kepada Kui Siang.

Tak lama kemudian Sin Wan dan Kui Siang keluar dari kamar kerja Jenderal Yauw Ti. Sin Wan menggendong sebuah karung yang nampak terisi penuh, melangkah dengan tenang keluar dari kamar kerja itu.

Ketika para petugas jaga di luar melihat Sin Wan menggendong sebuah karung, mereka memandang heran, tidak bisa menduga apa isi karung itu tapi juga tidak berani bertanya.

"Kami sudah menemukan barang yang dibutuhkan Jenderal Shu Ta dan Jenderal Yauw Ti," kata Sin Wan tenang dan para penjaga itu pun tidak berani bertanya. Mereka semua mengenal Jenderal Shu Ta sebagai seorang jenderal yang sangat tegas dan berdisiplin, maka mereka tentu saja tidak berani melanggar surat perintahnya.

Tentu saja isi karung itu adalah si kedok abu-abu yang telah ditangkap oleh Sin Wan dan Kui Siang. Mereka cepat membawa tawanan dalam karung itu ke rumah Bhok Cun Ki.

Semuanya berkumpul di situ. Bhok Cun Ki sendiri, Sui In dan Akim yang belum berhasil membongkar rahasia Yauw Siucai yang selalu berdekatan dengan Pangeran Mahkota, Ci Han dan Ci Hwa. Hanya nyonya Bhok yang berada di dalam, tidak mau turut mencampuri urusan yang menggunakan kekerasan dan membutuhkan kepandaian silat itu.

Setelah tawanan itu dikeluarkan dari karung, lantas dipaksa berlutut di atas lantai dengan kedok terbuka, ternyata dia adalah seorang lelaki berusia empat puluh tahun. Dia seorang Han, bukan orang Mongol, bahkan dia seorang anggota pasukan di bawah Jenderal Yauw Ti.

"Dengar baik-baik," kata Bhok Cun Ki yang memimpin pemeriksaan itu. "Jika engkau mau mengaku terus terang, maka hukumanmu akan diperingan. Tetapi jika engkau berbohong dan tidak mau mengaku, maka akan kusuruh tangkap seluruh keluargamu dan kusuruh menyiksa mereka di depan matamu. Nah, jawab yang sebenarnya. Siapa namamu?"

Wajah orang itu menjadi pucat. Tadinya dia bersikap keras dan masa bodoh, akan tetapi ancaman terhadap keluarganya itu mengingatkan dia akan isterinya, tiga orang anaknya yang masih kecil dan ibunya yang sudah tua. Maka luluhlah kekerasan hatinya.

"Nama saya Siauw Jin, ciangkun."
"Katakan, siapa sebenarnya pemimpin para orang berkedok, anggota jaringan mata-mata Mongol itu. Jawab!"
"Saya... saya tidak tahu...."
"Engkau menyebutnya Yang Mulia, bukan?"

Siauw Jin mengangguk. "Kami semua hanya mengenal dia sebagai Yang Mulia, tetapi tak seorang pun di antara kami yang pernah melihat wajahnya. Kami semua tidak tahu siapa sebenarnya Yang Mulia itu."

"Dan siapa yang kau sebut pangeran itu?" tanya pula Bhok Cun Ki.

Wajah orang itu berubah pucat sekali, matanya terbelalak dan dia menggelengkan kepala. "Saya... saya tidak berani…!"

Pada saat itu Sui In menjulurkan tangannya dan jari tangannya sudah menekan tengkuk tawanan itu. Wajah tawanan itu berkerut-kerut sambil keluar rintihan dari mulutnya karena dia merasa betapa tubuhnya seperti ditusuki ratusan batang jarum yang panas, nyerinya tak tertahan lagi. Sui In melepaskan tangannya dan orang itu basah oleh keringat dingin.

"Hayo katakan, siapa pangeran itu!" kini Sui In membentak.
"Atau kau ingin kusuruh tangkap dan menyeret ke sini seluruh keluargamu!" Bhok Cun Ki menambahkan.
"Dia... dia murid Yang Mulia...”
"Hemm, siapa namanya? Di mana?" bentak Bhok-ciangkun lagi.
"Dia adalah Pangeran Yaluta..." 
"Pangeran Mongol?"

Tawanan itu mengangguk, dan tiba-tiba dia menjerit lalu terkulai. Ternyata sebatang paku telah menancap pada punggungnya. Sui In cepat mencabut paku itu dan dia pun berkata kepada suaminya.

"Dia bagian kami! Hayo, Akim!" Kemudian wanita perkasa itu meloncat pergi, diikuti Akim karena memang Pangeran Yaluta merupakan bagian mereka. Mereka yakin bahwa yang disebut Pangeran Yaluta itu bukan lain adalah yang menyamar sebagai Yauw Siucai!

Begitu mencabut paku dari punggung tawanan yang diserang secara menggelap, tahulah Sui In bahwa yang dahulu melukai pundak puterinya dengan paku merupakan orang yang sama, yaitu si penyambit tadi. Masih nampak olehnya bayangan putih berkelebat, karena itu dengan cepat dia pun melakukan pengejaran bersama Akim. Akan tetapi bayangan itu sudah lenyap.

"Hayo, kita langsung saja ke istana Pangeran Mahkota!” kata Sui In. Untuk keperluan ini dia sudah dibekali surat penggeledahan yang ditulis sendiri oleh Jenderal Shu Ta.

Dengan surat perintah dari jenderal Shu Ta itu, benar saja Su In dan Akim tidak menemui kesulitan untuk menerobos masuk ke dalam istana sang pangeran, biar pun para penjaga menjadi bingung dan tak tahu harus berbuat apa. Mereka mengenal tanda tangan dan cap kebesaran Jenderal Shu Ta, dan kedua orang wanita itu tadi mengatakan bahwa mereka hendak bertemu dengan Yauw Siucai. Entah ada urusan penting apa maka Jenderal Shu Ta sampai memberi kuasa kepada dua orang wanita itu untuk menemui Yauw Siucai dan melakukan penggeledahan!

Karena merasa tidak enak hati walau pun tidak berani menghalangi, kepala jaga kemudian memimpin pasukan kecil untuk masuk ke dalam, hendak melihat apa yang akan terjadi dan untuk berjaga-jaga melindungi sang pangeran.

Sui In dan Akim juga telah mendapat gambaran yang cukup jelas tentang keadaan istana sang pangeran, dan mereka tahu di mana letak kamar pangeran mahkota, di mana pula letak kamar puteranya dan kamar Yauw Siucai. Akan tetapi, ketika mereka lewat di kamar pangeran dan kamar Yauw Siucai, sunyi saja di situ. Seorang pengawal yang berjaga di situ memandang penuh curiga sambil melintangkan tombaknya.

Sui In segera memperlihatkan surat kuasa dari Jenderal Shu Ta, membuat pengawal itu berdiri tertegun. "Cepat katakan, di mana Yauw Siucai dan Sang Pangeran?"

Pengawal itu masih tertegun dan tidak dapat menjawab, hanya menunjuk ke arah taman. Sui In menggerakkan tangan menotoknya agar pengawal itu tidak membuat banyak ribut, lalu bersama Akim dia berlari ke dalam taman yang luas dan indah itu.

Berindah-indap mereka menghampiri Pangeran Mahkota yang kelihatan sedang duduk di atas bangku menghadapi Yauw Siucai yang kelihatan marah-marah.

"Jika paduka tetap menolak maka terpaksa aku akan membunuhmu!" katanya kacau dan kadang kasar.
"Pangeran, cepat buatkan surat kuasa untukku dan aku tidak akan membunuhmu!"

Walau pun wajahnya pucat, pangeran yang nampak lemah dan tidak bersemangat itu kini mengangkat kepala dan membusungkan dadanya. "Orang she Yauw! Baru sekarang aku menyadari bahwa engkau bukanlah orang baik-baik. Entah siapa engkau, akan tetapi jelas engkau menyusup ke sini untuk menguasai aku!"

"Ahh, pangeran tolol! Kau sudah bosan hidup agaknya!" Yauw Siucai mengangkat tangan kanan ke atas dan memukul ke arah kepala Pangeran Mahkota untuk membunuhnya.
"Jahanam busuk!" Mendadak terdengar teriakan nyaring. Akim sudah meloncat, langsung memukul ke arah dada Yauw Siucai. Yauw Siucai atau Pangeran Yaluta itu amat terkejut ketika merasakan sambaran angin, dia lalu menggerakkan tangan kirinya menangkis.
"Dukk! Plakk...!"

Baik Pangeran Yaluta mau pun Akim terdorong mundur, namun pukulan Yaluta ke arah kepala Pangeran Mahkota tadi meleset dan hanya mengenai ujung pundak kirinya. Walau pun pukulan itu tidak telak dan hanya menyerempet saja, tetapi cukup membuat pangeran itu terpelanting.

Sekarang Yaluta berdiri berhadapan dengan dua orang wanita itu. Wajahnya agak pucat, mulutnya cemberut dan matanya mencorong. Dia segera mengenal dua orang itu. Dia pun tersenyum mengejek.

"Kiranya Bi-coa Sianli yang datang! Hemm, dahulu ketika bersama ayahmu dan puterimu engkau melarikan diri dikejar-kejar pasukan, aku yang menyelamatkan kalian dan...”
"Tutup mulutmu, jahanam palsu! Ternyata engkaulah yang dahulu sudah melukai pundak Lili! Nih, kukembalikan paku-pakumu yang dulu melukai Lili dan tadi telah membunuh anak buahmu sendiri!"

Tangan Sui In bergerak dan dua batang paku itu menjadi dua sinar hitam menyambar ke arah dada dan leher Yaluta! Namun tentu saja pangeran Mongol ini tidak sudi senjatanya makan dirinya sendiri. Sekali dia bergerak, dia sudah mengelak dan dua batang paku itu meluncur lewat.

"Pangeran, lihat baik-baik. Dua orang wanita ini datang untuk membunuh paduka! Bi-coa Sianli ini adalah ibu dari Lili, tentu dia datang untuk membunuh paduka. Ada pun gadis ini adalah pengawal pribadi Raja Muda Yung Lo, agaknya adik paduka itu memang hendak membunuh paduka maka mengirimnya ke sini. Awas, mereka akan membunuh paduka. Pengawal, cepat kurung dan tangkap kedua orang pembunuh ini. Mereka berdua hendak membunuh sang pangeran!"

Saking bersemangatnya, pengarang sampai bingung membedakan antara Akim dengan Lim Kui Siang he-he-he. Atau Yaluta yang ngaco? Tapi Akim nggak protes kok! Enjoy sajalah...

Belasan orang pengawal yang telah tiba di taman itu menjadi bingung, akan tetapi mereka sudah siap dengan senjata di tangan, menunggu perintah sang pangeran karena perintah dari Yauw Siucai kurang meyakinkan hati mereka.

Akim berkata kepada Pangeran Mahkota. "Maaf, pangeran, apakah paduka masih belum menyadari benar? Tadi orang ini hampir membunuh paduka. Dia adalah seorang mata-mata, dia adalah Pangeran Yaluta, pangeran dari Mongol yang sengaja menyelundup ke sini untuk memimpin jaringan mata-mata Mongol." 

Mendengar ucapan ini, pangeran yang kini sudah sadar benar itu mengangguk kemudian berkata kepada para pengawal.

"Tangkap sastrawan gadungan ini!"
"Jangan!" teriak Sui In. "Biarkan kami berdua saja yang menangkapnya. Kalian jaga saja keselamatan pangeran!"

Yaluta tak dapat mengelak lagi, akan tetapi masih mencoba untuk membela diri. "Betapa lucunya. Jika benar aku adalah mata-mata dan memusuhi sang pangeran mahkota, tentu sudah lama aku menyerang atau membunuhnya karena setiap hari aku selalu berdekatan dengannya. Itu hanya fitnah keji!"

"Yaluta, engkau orang Mongol licik! Engkau mendekati sang pangeran untuk menguasai beliau, juga engkau mengadu domba beliau dengan Raja Muda Yung Lo, engkau bahkan hampir membunuh kedua orang pangeran itu di Cin-an!" Sekarang Akim berkata dengan suaranya yang lantang. "Engkau hendak membuat keluarga kerajaan menjadi lemah dan saling bermusuhan!"

"Sudahlah Yaluta, tak perlu engkau berpura-pura lagi. Engkau bekerja sama dengan Yang Mulia memimpin jaringan mata-mata Mongol!"

Mendengar ini, pucatlah wajah Yaluta. Dia menyangka bahwa gurunya sudah terbongkar rahasianya dan tertangkap. Dia menjadi nekat lantas dia pun tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, benar! Aku adalah Pangeran Yaluta! Aku hendak membangun kembali Kerajaan Mongol yang jaya! Ha-ha-ha, Kerajaan Beng akan hancur, pangeran mahkotanya pun hanyalah seekor kura-kura yang lemah, ha-ha-ha!" 

Semua orang kini merasa yakin. Selagi pangeran Mongol itu masih tertawa, tiba-tiba saja dia sudah menerjang dan menyerang ke arah Pangeran Mahkota yang kini telah dikepung dan dijaga oleh para pengawal. Para pengawal cepat melindungi, dan tiga orang di antara mereka roboh disambar kipas yang digerakkan secara ganas dan dahsyat oleh pangeran Mongol itu.....

Akan tetapi Akim dan Sui In segera menerjang maju dan sudah mencabut senjata pedang mereka. Akim sudah memegang Goat-im-kiam, sedangkan Cu Sui In sudah memegang Hek-coa-kiam yang bersinar hitam.

Sambil tertawa-tawa seperti orang gila, suara ketawa yang menyembunyikan kekecewaan hatinya karena siasatnya telah gagal dan hancur, Yaluta lalu mengamuk dengan kipasnya. Ilmu silat pangeran Mongol ini cukup hebat karena semenjak kecil dia sudah mempelajari segala macam ilmu berkelahi, gulat dan silat, bahkan akhir-akhir ini dia menjadi murid dari Yang Mulia. 
Andai kata Akim seorang yang maju menandinginya, tentu tidak akan mudah bagi gadis itu untuk mengalahkan Yaluta. Akan tetapi di sana terdapat Cu Sui In yang kedudukannya di dalam dunia persilatan sudah tinggi, sebagai datuk. Maka, menghadapi sambaran sinar pedang hitam yang bergulung-gulung, segera Yaluta terdesak hebat.

"Kita tangkap dia hidup-hidup,” kata Cu Sui In kepada Akim.

Akim maklum bahwa calon ibu mertua tirinya ini hendak menangkap pangeran Mongol itu hidup-hidup supaya bisa diseret ke depan suaminya dan agar seluruh jaringan mata-mata itu dapat dibongkar. Maka Akim cepat mendesak dengan pedangnya, membuat pangeran itu sibuk menangkis dan tak sempat menyerang lagi sehingga Akim memberi kesempatan kepada calon ibu mertuanya untuk merobohkan lawan. Dan memang usahanya berhasil baik karena dengan gerakan lengan kirinya yang seperti ular Cu Sui In berhasil menotok roboh Yaluta!

Akan tetapi, ketika dia dan Akim hendak meringkus pangeran Mongol itu, tiba-tiba Yaluta mengeluarkan jeritan lalu mukanya berubah menghitam. Dia tewas seketika! Sui In cepat memeriksanya dengan menekan gerahamnya sehingga mulutnya terbuka dan nampaklah betapa mulut itu penuh dengan cairan menghitam.

Maka tahulah dia bahwa sejak tadi pangeran Mongol itu sudah mempersiapkan diri, sudah memasukkan semacam pil di mulutnya sehingga kalau dia menghendaki, setiap waktu dia dapat menggigit pecah pil itu dan dia pun membunuh diri tanpa dapat dicegah lagi. Yaluta sudah memperhitungkan agar jangan sampai tertawan hidup-hidup, karena hal itu berarti suatu penghinaan baginya. Selain tak mungkin dia diampuni, juga dia tidak ingin para kaki tangannya terbasmi semua.

Pangeran Mahkota jatuh pingsan dan digotong oleh para pengawal ke dalam. Sejak itu dia jatuh sakit. Sejak di Cin-an Pangeran Mahkota ini telah mengalami guncangan batin, dan kini dia bahkan menyadari betapa selama ini dia sudah memperhamba seorang pangeran Mongol, seorang pemimpin mata-mata yang hendak menghancurkan kerajaan ayahnya! Inilah tekanan yang paling berat, yang membuat dia tidak dapat bangkit kembali.

Setelah memesan kepada para pengawal supaya menjaga jenazah Pangeran Yaluta dan memasukkannya ke dalam peti agar jangan sampai ada anak buah orang Mongol itu yang mencoba untuk mencuri mayat, Sui In dan Akim lalu bergegas pulang ke rumah keluarga Bhok.

Setibanya di rumah, mereka melihat Sin Wan dan Kui Siang sudah menanti mereka, lalu menuturkan bahwa Bhok-ciangkun telah menemukan sebuah buku catatan di saku dalam tawanan tadi, dan di buku itu terdapat catatan tentang sarang-sarang yang dipergunakan oleh jaringan mata-mata Mongol. Kini Bhok-ciangkun sedang keluar untuk bekerja sama dengan para panglima lainnya, menyerbu sarang-sarang itu.

Tak lama kemudian Bhok Cun Ki datang, lalu mengajak Cu Sui In, Akim, Sin Wan dan Kui Siang untuk ikut bersama dia, siap membantu kalau diperlukan, kemudian mereka pun pergi ke rumah Jenderal Shu Ta. Kiranya Bhok-ciangkun memang sudah mengirim berita rahasia kepada Jenderal Shu Ta mengenai hasil penyelidikannya dan para pembantunya, juga tentang tewasnya Yauw Siucai yang bukan lain adalah Pangeran Yaluta dari Mongol, tentang jaringan mata-mata yang sekarang sedang diserbu oleh para panglima, kemudian tentang kecurigaannya yang mendalam bahwa Jenderal Yauw Ti terlibat, bahkan mungkin menjadi pemimpin besar jaringan mata-mata Mongol! 

Jenderal Shu Ta yang baru saja keluar dari persidangan, menerima berita rahasia ini dari seorang perwira pengawal istana. Tentu saja dia menjadi terkejut dan girang, namun tidak diperlihatkannya kepada rekan-rekannya, di antaranya Jenderal Yauw Ti yang bersama-sama dia baru keluar dari istana. Bahkan dia mendekati Jenderal Yauw Ti, menggandeng lengannya dan berkata.

"Yauw-goanswe, mari singgah ke rumahku sebentar sebelum kau pulang. Ada hal penting mengenai tugas kita yang harus kurundingkan denganmu sehubungan dengan pertemuan di istana tadi."

Jenderal Yauw Ti yang menjadi pembantu utama Jenderal Shu Ta, menerima undangan itu tanpa curiga sedikit pun. Dua orang jenderal besar ini kemudian naik ke sebuah kereta milik Jenderal Shu Ta, lalu keduanya menuju ke rumah panglima besar itu. 

Tidak terjadi sesuatu ketika mereka tiba di pekarangan rumah sang jenderal, dan sambil bicara keduanya turun dari kereta lalu memasuki gedung itu. Jenderal Shu Ta mengajak tamunya memasuki ruangan tamu yang luas. Sesudah mempersilakan tamunya duduk, Jenderal Shu Ta berkata, suaranya tenang namun tegas.

"Nah, setelah kita duduk, mari kita bicara secara terbuka, Yang Mulia."

Tentu saja Jenderal Yauw Ti terkejut bukan main. Dia mengerutkan alisnya, lalu menatap tajam kepada Shu-goanswe dan bertanya, "Apa maksudmu, Jenderal Shu?"

"Maksudku sudah jelas sekali, Yang Mulia. Bukankah engkau telah terbiasa disebut Yang Mulia?"

Yauw Ti bangkit berdiri, juga Shu Ta bangkit berdiri. Kedua orang jenderal yang selama bertahun-tahun menjadi rekan seperjuangan itu, yang dulu bersama-sama membantu Chu Goan Ciang yang kini menjadi Kaisar Thai-cu mengusir penjajah Mongol dan mendirikan Kerajaan Beng, bahkan keduanya pula yang memimpin pasukan mengejar sisa pasukan Mongol sampai ke utara, menaklukkan seluruh kota Mongol, kini berdiri saling berhadapan dan saling pandang dengan sinar mata penuh selidik.

"Jenderal Shu Ta, jelaskan apa maksudmu dengan ucapan itu?” Kata-katanya juga tegas dan keras.

"Masih kurang jelaskah? Engkau, yang selama ini kukenal sebagai Jenderal Yauw Ti yang gagah perkasa, rekan seperjuangan yang biasa kuhormati, yang sudah menerima banyak anugerah dari Sribaginda Kaisar, setelah menjadi tua sudah berubah menjadi pengkhianat bangsa! Engkau sudah bersekutu dengan orang-orang Mongol, memimpin jaringan mata-mata Mongol di sini, juga engkau menyamar sebagai Si Kedok Hitam yang disebut Yang Mulia! Engkau menyelundupkan Pangeran Yaluta dari Mongol ke dalam istana Pangeran Mahkota untuk meracuni dan merusak sang pangeran. Engkau pula yang mengusahakan adu domba antara Pangeran Mahkota dan Raja Muda Yung Lo, bahkan sudah mengirim pembunuh-pembunuh untuk membunuh mereka berdua. Masih kurang jelaskah?"

Sepasang mata Jenderal Yauw Ti mencorong, sementara mulutnya tersenyum mengejek. Memang luar biasa sekali kekerasan hati Jenderal Yauw Ti. Menghadapi tuduhan sehebat itu, wajahnya tidak berubah sama sekali!

"Hemm, Jenderal Shu Ta. Alangkah mudahnya menuduh orang lain dengan fitnah. Akan tetapi jika engkau tidak dapat menunjukkan bukti-bukti yang memperkuat tuduhanmu itu, sebaliknya aku yang akan melapor kepada Sribaginda Kaisar bahwa engkau melakukan fitnah keji kepadaku! Bahkan aku tidak segan-segan untuk membunuhmu sekarang juga jika fitnah itu tidak berbukti, karena itu berarti bahwa engkau telah menghinaku!" Sikapnya tenang, namun matanya yang mencorong menunjukkan bahwa dia marah bukan main.

Jenderal Shu Ta adalah sute (adik seperguruan) dari Sribaginda Kaisar. Biar pun pernah menjadi murid perguruan Siauw-lim-pai, namun tingkat ilmu silatnya tentu saja jauh kalau dibandingkan dengan Yauw Ti yang dahulu ketika memasuki perjuangan memang sudah menjadi seorang jagoan tingkat tinggi. Maka Jenderal Shu Ta tertawa dan ini merupakan isyarat bagi para pembantunya. 

Nampak bayangan banyak orang berkelebat memasuki ruangan itu dan ketika Yauw Ti memandang, diam-diam dia terkejut bukan kepalang. Dia melihat Bhok Cun Ki, Cu Sui In, Sin Wan, Lim Kui Siang dan Ouwyang Kim berdiri di situ sambil memandang kepadanya dengan sinar mata menyatakan kemarahan mereka.

"Jenderal Shu Ta! Apa artinya semua ini?!" bentaknya marah.
"Yauw Ti, bukankah engkau tadi minta bukti untuk memperkuat tuduhanku? Nah, bukan hanya bukti, melainkan banyak saksi yang akan memperkuat tuduhanku," jawab Shu Ta.

Tiba-tiba Jenderal Yauw Ti tertawa. "Ha-ha-ha, siapa yang tidak tahu mereka ini semua adalah antek-antek dan kaki tanganmu? Jenderal Shu Ta, bukan aku yang pengkhianat, akan tetapi engkau sendiri yang telah mengumpulkan kekuatan dan agaknya engkau yang hendak memberontak. Bhok Cun Ki ini memang semenjak dulu menjadi anak buahmu, dia orang yang licik dan curang! Dan siapakah Cu Sui In ini? Bukankah dia adalah seorang datuk sesat berjuluk Bi-coa Sianli, puteri datuk besar See-thian Coa-ong? Dan gadis ini, bukankah dia bernama Ouwyang Kim, puterinya datuk sesat Tung-hai-liong Ouwyang Cin, datuk segala bajak laut? Gadis yang seorang ini pun amat mencurigakan. Pernah menjadi pengawal pribadi Raja Muda Yung Lo tetapi sekarang berada di sini. Siapa tahu engkau yang mengirim dia ke utara untuk memata-matai raja muda itu! Dan akhirnya pemuda ini. Hah, siapa dia? Seorang biadab bangsa Uighur, putera Si Tangan Api Se Jit Kong, datuk penjahat kelas satu! Engkaulah yang mengumpulkan orang-orang golongan sesat untuk memberontak, dan engkau hendak menuduh aku, dengan mengajukan saksi orang-orang jahat ini?"

"Jenderal Yauw Ti," kata Lim Kui Siang, "engkau tidak dapat mengelabui aku! Pada waktu terjadi penyerangan atas diri Raja Muda Yung Lo dan Pangeran Mahkota, engkaulah yang mendalangi. Hanya begitu melihat munculnya suheng Sin Wan dan adik Lili, juga melihat betapa penyerangan itu gagal, engkau lalu berbalik dan engkau pura-pura sibuk mengatur pertempuran antara pasukanmu dengan pasukan Raja Muda Yung Lo. Padahal engkaulah yang mengatur sehingga terjadi bentrokan itu, untuk memancing para pengawal supaya sibuk bertempur sehingga anak buahmu dapat menyusup dengan mengenakan pakaian seragam, lalu mencoba untuk membunuh kedua orang pangeran itu."

"Huh, fitnah! Dugaan yang tidak berdasar dan berbukti!" kata Yauw Ti mengejek.
"Yauw Ti, jangan kira aku dapat melupakan saat engkau dan orang-orangmu menawanku. Engkau boleh saja berkedok dan mengubah suara, akan tetapi ketika aku dan Sin Wan mengeroyokmu, mestinya engkau telah mampus di ujung pedangku. Tapi perut gendutmu itu palsu! Si Kedok Hitam yang berperut gendut adalah engkau sendiri yang menyamar, dengan membuat perut palsu sehingga tidak terluka walau pun sudah tertusuk pedangku! Engkau berani menyangkal?" kata Akim.

"Huh, menggelikan! Pedangmu itu yang agaknya pedang rombengan sehingga tidak dapat melukai musuhmu, lalu engkau menuduh yang bukan-bukan. Itu bukan merupakan bukti tuduhanmu bahwa aku adalah Si Kedok Hitam!"
"Hemmm, Yauw Ti alias Si Kedok Hitam, tidak perlu engkau bersilat lidah lagi! Muridmu, Pangeran Yaluta dari Mongol yang menyamar sebagai Yauw Siucai itu telah mengaku.”
"Tak mungkin!" Kini Jenderal Yauw Ti menjadi pucat dan dia memotong ucapan Cu Sui In di luar kesadarannya saking kagetnya mendengar ucapan itu.
"Hemm, teriakanmu itu sudah membuka kedokmu, Kedok Hitam! Pangeran Yaluta bukan saja sudah mengaku, akan tetapi dia pun sudah tewas! Ketika kami merobohkannya dan hendak menawannya, dia membunuh diri dengan mengunyah pil racun hitam."

Kini Yauw Ti tidak ragu-ragu lagi dan habislah kesabarannya. Agaknya semua siasatnya yang telah berjalan sedemikian baik dan mulusnya, hari ini sudah mengalami kehancuran total!

"Bukan itu saja, Yauw Ti. Juga semua anak buahmu, jaringan mata-mata yang kau pimpin sudah hancur. Semua perwira yang kau libatkan dalam jaringan itu telah kami serbu dan kami tangkap, di antaranya adalah Perwira Lu, Song, Kui, Gak...”

Jelas nampak betapa semangat Yauw Ti terkulai. Kini dia tidak ragu lagi bahwa semua itu bukan gertakan belaka. Habislah sudah!

"Shu Ta, sekarang kita berdiri sebagai laki-laki. Tak perlu kupungkiri lagi bahwa akulah Si Kedok Hitam. Nah, Shu Ta, kalau memang engkau laki-laki dan seorang jantan, mari kita selesaikan perhitungan ini di ujung senjata!" dan bekas jenderal besar itu meraba gagang pedangnya yang tergantung di pinggang. 

Shu Ta maklum bahwa tantangan itu merupakan akal pula dari Yauw Ti yang tahu bahwa dalam hal ilmu silat, pasti pemberontak dan pengkhianat itu akan menang.

Kini Sin Wan yang maju. "Yauw Ti atau Si Kedok Hitam, akulah lawanmu. Sudah banyak perhitungan di antara kita yang bertumpuk, dan saat ini tiba waktunya bagi kita membuat perhitungan. Shu-goanswe adalah seorang jenderal yang sangat setia terhadap kerajaan, kalau beliau yang bertindak, maka beliau akan mengerahkan pasukan untuk menangkap pengkhianat sepertimu ini. Kalau engkau menghendaki mengadu kepandaian satu lawan satu, akulah lawanmu!"

Kui Siang juga melompat ke depan, ke dekat Sin Wan. "Atas nama Raja Muda Yung Lo yang hampir menjadi korban kecuranganmu, aku juga hendak maju menangkapmu, Yauw Ti!"

Bekas jenderal itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, engkau hendak mewakili Raja Muda Yung Lo, nona? Katakan saja engkau hendak membantu Sin Wan mengeroyokku!"

"Aku membantunya sudah cukup pantas. Dia adalah suheng-ku, juga calon suamiku."
"Ha-ha-ha, bukankah engkau puteri mendiang bangsawan Lim Cun, nona? Puteri seorang bangsawan berbangsa Han, bangsa pribumi asli, hendak menjadi isteri seorang keturunan Uighur yang biadab, putera datuk sesat keji Si Tangan Api, bahkan agamanya pun asing? Sungguh memalukan sekali!" 

Bekas jenderal yang sudah kehilangan harapan itu kini menyebar penghinaan ke mana-mana untuk melampiaskan kedukaan, kekecewaan dan keputus-asaan.

Sin Wan tersenyum saja, sama sekali dia tidak merasa terhina. "Yauw Ti, menilai seorang manusia tidak dapat didasarkan kepada kebangsaannya, agamanya, kedudukannya, atau kekayaan dan kepintarannya, melainkan kelakuan serta sepak terjangnya dalam hidup ini. Boleh jadi engkau bangsa pribumi asli, beragama peninggalan nenek moyang, mempunyai kedudukan tinggi sebagai seorang panglima besar, pintar, kaya raya dan terhormat. Akan tetapi bila engkau menjadi pengkhianat, kalau engkau berkelakuan curang dan licik, kalau sepak terjangmu dalam hidup penuh kekejian dan kepalsuan, tetap saja engkau seorang manusia yang rendah budi!"

"Singggg...!” Nampak sinar terang menyilaukan mata ketika bekas jenderal itu mencabut pedangnya.
"Sin Wan dan engkau nona, majulah kalau ingin mati di tanganku!" tantangnya.

Selain lihai memang dia juga cerdik dan curang sekali karena tanpa menanti kedua orang lawannya mencabut pedang, dia telah menggerakkan pedangnya dan menyerang dengan dahsyat ke arah kedua orang muda itu.

Meski pun belum mencabut pedang, namun sejak tadi Sin Wan dan Kui Siang sudah siap siaga dan waspada, maka begitu pedang menyambar, mereka sudah meloncat ke tengah ruangan yang luas itu.

"Kalian maju dan tangkap pengkhianat itu!" teriak Jenderal Shu Ta yang khawatir kalau-kalau bekas pembantunya yang dia tahu amat lihai itu dapat meloloskan diri.

Mendengar ini, Yauw Ti tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, boleh, boleh! Kalian majulah semua! Meski pun aku akan mati di tangan kalian, aku mati sebagai seorang gagah perkasa yang dikeroyok banyak orang. Sebaliknya, biar pun kalian akan menang, tapi nama kalian akan dijadikan bahan ejekan sebab sebagai tokoh-tokoh persilatan besar, ternyata kalian hanya pengecut-pengecut yang mengandalkan pengeroyokan untuk mencapai kemenangan, ha-ha-ha…!"

"Tak perlu kita maju semua, Shu-goanswe. Sin Wan dan Kui Siang sudah lebih dari cukup untuk mengalahkan pengkhianat itu," kata Cu Sui In.
"Benar, Shu-goanswe, harap tidak khawatir. Sin Wan dan Kui Siang pasti akan mampu menundukkannya," sambung Bhok Cun Ki sehingga legalah hati Jenderal Shu Ta. Mereka semua menonton dan para pengawal sudah mengepung ruangan itu.

Karena maklum bahwa dia tidak mungkin dapat meloloskan diri, dan menyerah pun tidak akan diampuni Kaisar, Yauw Ti menjadi nekat. Dia segera memainkan ilmu silatnya yang sangat aneh, yaitu tubuhnya berpusing seperti gasing, pedangnya mencuat dari pusingan itu menjadi sinar yang menyilaukan seperti kilat menyambar, juga tangan kirinya bergerak mengirim serangan dengan totokan It-tok-ci (Satu Jari Beracun) yang tak kalah ampuhnya dibandingkan pedangnya.

Akan tetapi kali ini dia menghadapi pengeroyokan sepasang orang muda yang amat lihai. Mereka tahu pula betapa lihainya jenderal ini, karena itu begitu mereka mencabut pedang, mereka berdua segera memainkan ilmu mereka yang paling ampuh, yaitu Sam-sian Sin-ciang.

Pedang Tumpul di tangan Sin Wan nampaknya tidak berbahaya, akan tetapi justru Yauw Ti amat gentar menghadapi pedang butut itu karena dia pernah terkejut ketika pedangnya rusak oleh pedang itu. Ada pun pedang Jit-kong-kiam di tangan Kui Siang mengeluarkan cahaya gemilang sesuai dengan nama pedang itu, yaitu pedang Sinar Matahari.

Karena kedua orang muda ini memainkan ilmu pedang yang sama, maka mereka dapat saling mendukung, baik dalam penyerangan mau pun dalam pertahanan, bahkan tenaga mereka berdua seperti tergabung dalam gerakan mereka itu.

"Hati-hati, moi-moi, itu adalah It-tok-ci !" kata Sin Wan memperingatkan kekasihnya akan bahayanya jari beracun lawan itu.
"Baik, koko," kata Kui Siang, lantas pedangnya membuat gerakan menyambut jari yang menotok ke arah tubuhnya. Kalau totokan itu dilanjutkan, jari itu akan bertemu pedangnya dan tentu jari itu akan terbabat buntung!"

Serang menyerang pun terjadi dan benar saja seperti pendapat Bhok Cun Ki dan Cu Sui In tadi. Sebentar saja, tidak sampai tiga puluh jurus, bekas jenderal itu telah terhimpit dan terkurung dua gulungan sinar pedang lawan. Kalau jenderal itu tidak menjadi nekat, tentu dia sudah tidak akan mampu membalas dan hanya bertahan melindungi diri saja. 

Akan tetapi sekarang dia sudah nekat. Biar pun mati, dia harus dapat menjatuhkan lawan, keduanya atau paling tidak seorang di antaranya. Oleh karena itu gerakannya membabi buta dan napasnya terengah-engah karena dia terlalu banyak mengerahkan tenaga dalam dorongan nafsunya untuk membunuh lawan.

Kalau Sin Wan dan Kui Siang berniat membunuh Yauw Ti, kiranya mereka sudah dapat melakukannya sejak tadi. Ilmu silat Sam-sian Sin-ciang memang hebat bukan main, apa lagi dimainkan oleh mereka berdua yang mewarisi ilmu ciptaan Tiga Dewa itu. Akan tetapi mereka maklum bahwa pengkhianat ini harus ditangkap hidup-hidup agar dapat diseret ke pengadilan. 

Oleh karena itu terpaksa mereka membatasi serangan mereka hanya untuk merobohkan tanpa membunuh. Agaknya, sikap kedua orang lawannya ini diketahui Yauw Ti, maka dia mempergunakan kesempatan itu untuk keuntungannya dan dia bahkan yang lebih banyak menyerang mati-matian dengan jurus-jurus maut yang dikuasainya.

"Hyaaatttttt...!"

Ketika mendapat kesempatan, pedang di tangan Yauw Ti menyambar dari atas ke arah kepala Sin Wan. Jenderal ini amat benci karena Sin Wan, bukan hanya karena pemuda ini adalah keturunan bangsa Uighur yang dibencinya, melainkan juga semenjak pertama kali, pemuda ini selalu menghalangi dan mengacaukan siasatnya. Dengan sepenuh tenaga dia membacokkan pedangnya. Melihat ini Sin Wan cepat mengangkat pedangnya menangkis dan sekaligus mengerahkan sinkang untuk disalurkan melalui pedangnya.

"Trakkk!"

Dua batang pedang bertemu di udara dan bekas jenderal itu terkejut karena pedangnya itu seperti menempel pada besi semberani, seperti ada tenaga menyedot yang membuat pedangnya melekat pada Pedang Tumpul. Dia marah sekali, kemudian jari tangan kirinya meluncur, menotok ke arah leher Sin Wan.

Pemuda ini sudah memperhitungkan dan melihat kesempatan bagus untuk mengalahkan Yauw Ti. Melihat tangan itu menyambar, dia pun memutar tubuh, tangan kirinya bergerak melintang dan dia berhasil menangkap pergelangan tangan jenderal Yauw Ti.

"Cepat, moi-moi!" katanya.

Kui Siang memang sudah melihat kesempatan ini! Pedangnya menyambar bagaikan kilat dan menyambar jari telunjuk yang warnanya hijau menghitam itu.

"Crokkk!"

Jari telunjuk yang berbahaya itu terbabat pedang dan putus! Yauw Ti berteriak keras, dan pada saat itu pula Sin Wan sudah menarik pedangnya dan sekali pedangnya meluncur ke depan, pedang yang tumpul itu kini dia gunakan sebagai tongkat dan menotok jalan darah di dada dan pundak lawan. Bekas jenderal itu roboh terkulai dan tak mampu bergerak lagi, hanya matanya melotot sambil mulutnya mendesis menahan rasa nyeri di tangannya yang kehilangan jari telunjuk.

Jenderal Shu Ta merasa terharu juga melihat bekas rekan terbaiknya ini menggeletak tak berdaya. Dia segera menghampiri dan setelah saling pandang dengan bekas rekannya itu, Jenderal Shu Ta lalu berkata,
"Yauw Ti, aku benar-benar tak dapat mengerti. Engkau telah diberi banyak anugerah oleh Sribaginda, diberi kedudukan yang hanya berada di bawah kedudukanku, dipercaya dan dihormati. Kenapa engkau memilih jalan sesat dan menjadi pengkhianat, rela diperhamba oleh orang-orang Mongol?"

Yauw Ti tersenyum mengejek. "Huh! Dia kaisar yang tolol dan tidak adil. Jasaku jauh lebih besar darimu, juga kepandaianku jauh lebih tinggi darimu, tetapi dia mengangkat engkau menjadi panglima tertinggi, bukan aku! Dia pilih kasih dan mengangkat engkau, sute-nya, di atasku. Orang Mongol memberi harapan lebih banyak. Apa bila berhasil, aku sedikitnya menjadi panglima tertinggi, atau raja muda, bahkan Kaisar!"

Jenderal Shu Ta hanya bisa menghela napas panjang. Kemudian, setelah bekas jenderal yang berkhianat itu dibawa ke tahanan, Jenderal Shu Ta lalu mengerahkan pasukan untuk dipimpin Bhok-ciangkun melakukan pembersihan, menangkapi semua pembantu Jenderal Yauw Ti. 

Semua pendekar berkumpul di rumah Bhok Cun Ki, merayakan kemenangan karena apa bila sesudah lewat satu bulan para pemberontak itu tidak dapat dihancurkan, tentu Kaisar akan menghukum keluarga Bhok…..
********************
Kaisar sendiri yang mengadili bekas Jenderal Yauw Ti. Bukan main marahnya Kaisar, apa lagi melihat sikap bekas jenderal itu yang kini tidak mau tunduk kepadanya.

"Seret dia serta seluruh keluarganya, semua isterinya dan anaknya, juga semua pelayan dan penghuni rumahnya, hukum mati mereka semua tanpa kecuali!” perintahnya.

Semua pejabat tinggi terkejut mendengar keputusan hukuman yang berat itu. Seorang di antara mereka, yaitu seorang menteri yang usianya sudah enam puluh tahun, yang sejak Kaisar masih menjadi pemimpin rakyat Chu Goan Ciang sudah ikut membantu perjuangan melawan orang Mongol, yaitu Menteri Coa, maju berlutut.

"Mohon ampun, Sribaginda. Hamba mohon agar paduka mengingat akan jasa-jasa bekas Jenderal Yauw Ti. Memang dia sudah berdosa besar, tapi keluarganya tidak tahu menahu akan dosanya itu. Oleh karena itu hamba mohon agar paduka mengampuni keluarganya dan hanya menjatuhkan hukuman mati kepada dia seorang."

Kaisar membelalakkan matanya dan memukul meja di depannya.

"Brakk…!" dia melotot.
"Menteri Coa, jelas engkau sudah membela pemberontak. Seret dia dan hukum mati, biar dia tetap menjadi pembela si pemberontak di neraka! Dan siapa pun yang berani membela pemberontak, akan menemani keluarga pemberontak memasuki neraka!"

Tentu saja semua orang terkejut. Bahkan Jenderal Shu Ta sendiri lalu menjatuhkan diri berlutut, "Mohon ampun, Sribaginda.....”
"Jenderal Shu Ta! Engkau adalah sute-ku, aku akan merasa menyesal sekali kalau harus menjatuhkan hukuman mati kepadamu dan seluruh keluargamu!" bentak Kaisar sehingga Jenderal Shu Ta tidak berani bicara lagi. Kaisar lalu membubarkan persidangan itu.

Bekas Jenderal Yauw Ti berikut seluruh keluarganya, tidak ada kecualinya, sampai semua hamba sahayanya, dijatuhi hukuman mati. Kaisar memang telah berubah menjadi seorang yang teramat kejam dan tidak mengenal ampun, apa lagi kalau dia mencurigai seseorang. Biar orang itu bekas teman seperjuangan sekali pun, seperti menteri Coa, akan dihukum mati agar hatinya menjadi tenang.

Tidak lama setelah peristiwa itu terjadi, Pangeran Chu Hui San, yaitu Pangeran Mahkota, meninggal dunia. Simpang siur berita tentang kematiannya. Secara resmi dia dikabarkan meninggal dunia karena menderita penyakit, tetapi desas-desus menyiarkan berita bahwa dia sudah dihukum mati secara rahasia oleh Kaisar, ayahnya sendiri, dengan cara disuruh minum racun! 

Kedua berita itu mungkin saja, karena Kaisar menganggap puteranya itu telah berkhianat dengan bergaul bahkan menarik Pangeran Yaluta sebagai penasehat, dan berita kedua, mungkin dia mati karena penyakit karena badannya sudah lemah sekali oleh candu, arak dan pelesir yang tak mengenal batas.

Bhok Cun Ki sendiri juga merasa tidak senang dengan sikap yang amat kejam dari Kaisar. Tidak lama kemudian dia menerima utusan Raja Muda Yung Lo yang melamar Lili untuk menjadi isteri Raja Muda di utara itu. Karena Lili sendiri sudah setuju, maka pinangan itu diterima dengan gembira.

Kedudukan Lili sebagai isteri Raja Muda Yung Lo itu memungkinkan keluarga Bhok untuk pindah sekeluarga ke Peking, dengan alasan Raja Muda Yung Lo yang menjadi mantunya menghendaki agar mereka diboyong semua ke utara. Di Peking Bhok Cun Ki membantu mantunya, dan menjadi panglima yang disegani karena kepandaian dan kecerdikannya.

Mengingat jasa-jasa Sin Wan dan hubungannya yang amat dekat dengan keluarga Bhok, maka Bhok Cun Ki dengan senang hati menjadi wali pemuda itu. Dia kemudian mengirim utusan kepada keluarga Lim, yaitu para paman dan bibi Kui Siang, untuk meminang Kui Siang secara resmi. Karena yang mengirim lamaran adalah Panglima Bhok Cun Ki, tentu saja keluarga Kui Siang yang mata duitan itu menerima dengan senang hati.

Pernikahan antara Si Pedang Tumpul Sin Wan dan sumoi-nya, Lim Kui Siang, dirayakan berbareng dengan pernikahan antara Bhok Ci Han dan Ouwyang Kim, yang dihadiri pula oleh ibunya yang telah menjadi janda. Perayaan pernikahan rangkap itu dirayakan dengan meriah, bahkan Raja Muda Yung Lo dan Lili datang pula menghadiri perayaan.

Tidak lama kemudian seluruh keluarga itu, termasuk Sin Wan dan Kui Siang, berbondong pindah ke utara! Jenderal Shu Ta maklum akan perasaan mereka yang tidak puas akan sikap Kaisar, akan tetapi dia sendiri adalah seorang yang sangat setia kepada kaisarnya, atau suheng-nya, maka bagaimana pun juga jenderal ini tetap tidak pernah meninggalkan Nan-king sampai matinya.

Kaisar Thai-cu yang selalu curiga kepada siapa saja yang dikira akan menjatuhkannya, lalu mengangkat Pangeran Chu Hong, yaitu putera mendiang Pangeran Chu Hui San yang masih kanak-kanak menjadi pangeran mahkota menggantikan ayahnya. Hal ini kelak akan mendatangkan bencana dan terjadi perang saudara yang amat hebat, karena Raja Muda Yung Lo tidak dapat menerima keputusan ayahnya itu. 

Menurut pendapatnya, setelah Pangeran Chu Hui San meninggal dunia, maka sepatutnya dia yang menjadi pengganti kakaknya sebagai pangeran mahkota, bukan keponakannya, Pangeran Chu Hong yang masih kecil itu. Namun keputusan Kaisar Thai-cu sudah resmi, bahkan Pangeran Chu Hong yang masih kecil itu sudah diberi nama kebesaran Hui Ti!

Dengan bantuan para pendekar, Raja Muda Yung Lo menyusun kekuatan di utara. Ada pun di selatan, di Nan-king, keadaan Kerajaan Beng menjadi semakin lemah karena para pejabat merasa tidak puas dan takut kepada Kaisar yang sudah berubah menjadi kejam dan lalim.....

T A M A T

>>>> SERIAL SI PEDANG TUMPUL TAMAT SAMPAI DI SINI <<<<
LihatTutupKomentar