Asmara Si Pedang Tumpul Jilid 07


Di lembah muara Sungai Kuning yang memuntahkan airnya ke teluk Pohai ada beberapa bukit kecil. Di atas puncak sebuah di antara bukit itu terdapat sebuah rumah gedung yang sangat besar. Inilah tempat tinggal seorang datuk persilatan yang terkenal di dunia kang-ouw sebagai datuk yang berkuasa di wilayah timur. Datuk ini dijuluki Tung-hai-liong (Naga Lautan Timur) bernama Ouwyang Cin.

Datuk ini berusia enam puluh enam tahun. Tubuhnya gendut bulat, kepalanya botak dan melihat tubuhnya orang tidak akan menyangka bahwa dia adalah seorang ahli silat yang amat lihai. 

Tung-hai-liong Ouwyang Cin sebenarnya peranakan Jepang. Ayahnya seorang Cina Han dan ibunya seorang Jepang asli. Akan tetapi sejak kecil dia dididik oleh ayahnya sehingga dia tidak lagi kelihatan sebagai peranakan, melainkan sebagai seorang Han asli, baik dari namanya, cara hidupnya serta kebudayaannya. Hanya ilmu silatnya saja yang tercampur dengan ilmu silat dari Jepang, yang dia pelajari dari para pamannya, yaitu jagoan-jagoan samurai dari Jepang.

Ketika masih muda Tung-hai-liong Ouwyang Cin adalah seorang petualang yang dengan perahu layarnya malang melintang di lautan timur. Namanya terkenal sebagai bajak laut yang amat ditakuti, bahkan dia terkenal sampai ke Jepang karena sering pula membajak di perairan kepulauan Jepang.

Bahkan isterinya pun adalah puteri dari seorang jagoan samurai yang takluk kepadanya, sehingga Ouwyang Cin mengenal banyak jagoan Samurai Jepang. Dia menikah dengan gadis Jepang yang berwatak lembut itu, yang telah melahirkan seorang anak perempuan.

Meski pun Tung-hai-liong Ouwyang Cin seorang bajak laut yang hidup dalam kekerasan, namun ternyata dia amat mencinta isterinya. Ketika puterinya berusia sepuluh tahun dan dia sendiri berusia lima puluh lima tahun, dia melepaskan perahunya dan tinggal di bukit lembah muara Huang-ho, tidak lagi berlayar menjadi bajak laut, akan tetapi mulai dikenal sebagai datuk wilayah timur. Semua bajak laut yang malang melintang di teluk Pohai dan lautan timur, tunduk kepadanya dan menganggap dia sebagai datuk para bajak laut.

Puteri Ouwyang Cin bernama Ouwyang Kim dan kini telah berusia dua puluh tahun. Selain gadis ini cantik jelita dan mungil, wajahnya bulat dan kulitnya halus putih kemerahan, juga sikapnya lembut dan ramah sehingga dia nampak lemah. Namun di balik kelembutannya itu sesungguhnya tersembunyi kekuatan yang amat dahsyat.

Gadis ini lihai bukan main sebab semenjak kecil menerima gemblengan ayahnya. Bahkan tingkat kepandaian gadis ini masih lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian suheng-nya yang bernama Maniyoko, pemuda Jepang yang masih keponakan mendiang ibunya dan juga menjadi murid ayahnya.

Demikianlah keadaan keluarga Tung-hai-liong Ouwyang Cin. Di dalam bangunan besar itu hanya tinggal dia dan isterinya, beserta puterinya dan muridnya itu. Jumlah pelayan jauh lebih banyak karena di sana ada sepuluh orang pelayan untuk mengurusi rumah gedung besar itu berikut empat orang penghuninya.

Setiap hari pekerjaan Ouwyang Cin hanya menerima tamu-tamu, kebanyakan para bajak laut yang berkunjung untuk menghormat dan untuk menyumbangkan sebagian dari hasil bajakan mereka sebagai tanda bahwa mereka mengakui kepemimpinan datuk ini. Selain para bajak laut, banyak pula perampok pantai yang mengakuinya sebagai datuk pimpinan. Waktu selebihnya digunakan Ouwyang Cin untuk mengurus perkebunan, peternakan dan beberapa buah perahu besar beserta para nelayannya yang mencari ikan di sepanjang muara. 

Dari hasil semuanya ini, Ouwyang Cin terkenal sebagai seorang yang kaya raya. Dia pun tidak pernah melupakan latihan silat untuk puterinya dan muridnya atau keponakannya, bahkan dia sendiri tak pernah mengendurkan semangatnya untuk berlatih silat karena dia maklum bahwa tanpa latihan kemahiran akan cepat menurun, mengingat bahwa usianya semakin bertambah.

Maniyoko merupakan murid yang baik dan patuh kepada gurunya dan sudah sering kali Ouwyang Cin menyerahkan pekerjaan penting kepada muridnya sebagai wakilnya. Jarang sekali Maniyoko gagal melaksanakan tugas sehingga gurunya menjadi bertambah sayang dan percaya kepadanya. 

Secara diam-diam Ouwyang Cin memiliki niat untuk menarik murid yang juga keponakan isterinya ini supaya menjadi calon suami bagi puterinya. Dia melihat dengan jelas betapa Maniyoko mencinta puterinya. Hanya karena sikap Ouwyang Kim yang nampaknya tidak atau belum membalas cinta muridnya itulah yang membuat Ouwyang Cin sampai saat ini masih belum dapat mengambil keputusan. Dia terlampau sayang kepada puterinya untuk memaksanya dalam urusan apa pun juga.

Pada suatu pagi yang cerah, di taman bunga belakang gedung milik keluarga Ouwyang, nampak seorang gadis sedang berlatih silat dengan seorang pemuda. Mereka merupakan pasangan yang amat sedap dipandang mata.

Pemuda itu berusia dua puluh tujuh tahun, wajahnya tampan dan bulat, kulitnya halus putih dan pakaiannya yang ringkas itu rapi dan mewah. Cambangnya hitam tebal tumbuh dari pelipis sampai ke dagu, terpelihara rapi. Melihat pakaian dan rambutnya yang disisir rapi, ada kesan pesolek pada diri pemuda yang kelihatan tampan dan juga gagah karena cambangnya itu. Tubuhnya agak pendek, hanya sedikit lebih tinggi dari pada gadis yang bertubuh mungil dan tidak tergolong tinggi itu.

Gadis itu pun cantik jelita, wajahnya juga berbentuk bulat, kulitnya putih halus kemerahan seperti kulit seorang bayi. Rambut dan alis matanya hitam sekali hingga membuat wajah itu nampak semakin putih saja. Tubuhnya mungil kecil namun padat dan ramping, dan dia nampak lembut dan lemah gemulai dalam gerakan silatnya. Mereka adalah Maniyoko dan Ouwyang Kim. 

Mereka sedang berlatih silat tangan kosong dan keduanya bergerak dengan gesit bukan kepalang. Dasar gerakan ilmu silat mereka adalah ilmu silat dari selatan, karena sebelum menjadi bajak laut, dahulu Ouwyang Cin adalah seorang ahli silat dari selatan yang sudah mempelajari bermacam-macam ilmu silat dari berbagai aliran, baik dari Siauw-lim selatan mau pun dari Butong-pai. Namun, ilmu silatnya berkembang dan bercampur dengan aliran lain, bahkan telah dikombinasikan dengan ilmu bela diri dari Jepang. 

Dalam latihan itu nampak jelas bahwa gerakan Ouwyang Kim lebih cepat dan ringan, dan gadis ini lebih banyak menyerang dari pada suheng-nya (kakak seperguruannya). Namun gerakan Maniyoko yang mantap dan kokoh dapat membuat pemuda Jepang ini mampu menangkis atau mengelak dari semua serangan lawannya.

Akhirnya dia meloncat ke belakang sambil berseru, "Cukup, sumoi, desakanmu membuat aku repot sekali. Kecepatan gerakanmu benar-benar luar biasa!" pemuda itu memuji dan pandang matanya penuh rasa kagum dan sayang kepada sumoi-nya.

Ouwyang Kim tersenyum. "Aihh, engkau selalu memuji, suheng. Engkau pun sudah maju pesat, kedua tanganmu berat sekali."

"Sumoi, mari kita berlatih pedang. Gerakan di bagian akhir dari ilmu pedang kita sungguh masih terlalu sulit bagiku, belum juga aku mampu melakukannya dengan sempurna." 

Pemuda itu lalu mengambil dua batang pedang yang memang sudah dipersiapkan di situ. Biasanya mereka berlatih di dalam ruangan berlatih silat yang cukup luas dan terletak di bagian belakang gedung. Akan tetapi karena pagi hari yang cerah itu amat panas, mereka memilih untuk terlatih di taman, di udara terbuka.

"Ilmu pedang Raja Matahari yang dirangkai ayah memang merupakan ilmu pedang yang sulit, suheng. Ilmu pedang itu diambil dari jurus-jurus pilihan dari semua ilmu pedang yang pernah dipelajari ayah, lalu dicampur dengan ilmu pedang dari Jepang yang menggunakan pedang samurai. Kalau kita belum pernah mempelajari ilmu-ilmu pedang dari ayah, tidak mungkin kita akan mampu menguasai Jit-ong Kiam-sut (Ilmu Pedang Raja Matahari) ini dengan baik. Kita harus tekun dan bagian yang sukar harus kita latih terus menerus."

Mereka lalu berlatih ilmu pedang itu dan dalam hal ilmu yang baru ini, ternyata Ouwyang Kim jauh lebih unggul dan dia lah yang memberi petunjuk-petunjuk kepada suheng-nya.

Mereka berhenti berlatih ketika dari taman itu mereka melihat sebuah kereta memasuki pekarangan depan. Mareka tertarik karena yang datang dengan kereta itu bukanlah para bajak atau golongan sesat yang biasa datang menghadap Ouwyang Cin. Melihat muka-muka baru, kedua orang muda ini tertarik dan tanpa bicara mereka menghentikan latihan lalu pergi ke depan untuk melihat siapakah para tamu yang datang berkunjung.

Ternyata kereta itu memuat sebuah peti, ada pun tamunya berjumlah empat orang yang sedang diterima oleh pelayan penjaga yang seperti biasa menanyakan siapa mereka dan apa keperluan mereka datang berkunjung. Pada saat empat orang itu melihat munculnya Maniyoko dan Ouwyang Kim, yang tertua di antara mereka, berusia lima puluh tahun lebih dan bertubuh tinggi kurus, segera menghadapi mereka dan bertanya dengan sikap yang sopan.

"Kami mendengar bahwa locianpwe (orang tua gagah) Ouwyang Cin mempunyai seorang murid laki-laki serta seorang puteri yang keduanya gagah perkasa. Apakah (anda berdua) murid dan puterinya itu?"

Ouwyang Kim yang wataknya pendiam dan halus itu tak menjawab, membiarkan suheng-nya yang menjawab. Maniyoko memandang kepada orang yang bertanya itu dan dia pun berkata dengan suara yang angkuh.

"Benar, Tung-hai-liong Ouwyang Cin adalah guruku, dan aku bernama Maniyoko. Sumoi-ku ini adalah puteri suhu bernama Ouwyang Kim. Siapakah paman dan ada keperluan apa datang berkunjung?"
"Nama saya Coa Kun, seorang di antara Bu-tek Cap-sha-kwi (Tiga Belas Setan Tanpa Tanding), bersama tiga orang rekan saya diutus oleh Yang Mulia supaya menghaturkan sedikit bingkisan berikut suratnya kepada locianpwe Tung-hai-liong Ouwyang Cin."

Berbeda dengan Ouwyang Kim yang jarang meningggalkan rumahnya, Maniyoko sudah banyak terjun ke dunia kangouw. Dia mengenal banyak tokoh kangouw, maka tentu saja dia sudah pernah mendengar tentang Bu-tek Cap-sha-kwi. Dia mengamati laki-laki tinggi kurus itu. Melihat pedang yang tergantung di punggungnya, dia pun berkata, "Ahh, kalau begitu tentu kami berhadapan dengan Bu-tek Kiam-mo (Iblis Pedang Tanpa Tanding)!"

"Kongcu mempunyai penglihatan yang tajam sekali!" Bu-tek Kiam-mo memuji.
"Mari, paman, kami akan mengantar paman sekalian menghadap suhu," kata Maniyoko dengan gembira, terlebih lagi mendengar bahwa tokoh kangouw ini diutus oleh seseorang yang disebutnya Yang Mulia. Tentu seorang tokoh besar. Dia segera menyuruh seorang pelayan penjaga untuk memberi laporan kepada gurunya bahwa ada empat orang tamu hendak menghadap diantar oleh dia dan sumoi-nya.

Coa Kun lalu menyuruh tiga orang rekannya untuk menggotong peti yang dimuat di dalam kereta, sedangkan kuda penarik kereta diserahkan kepada pelayan untuk dirawat. Mereka berempat kemudian mengikuti Maniyoko dan Ouwyang Kim memasuki gedung, menuju ke ruangan tamu yang berada di bagian samping kanan.

Di dalam ruangan tamu yang mewah itu telah menanti Tung-hai-liong Ouwyang Cin yang duduk di kursinya dengan sikap yang agung seperti seorang raja yang hendak menerima orang-orang yang hendak menghadap. Biar pun usianya sudah enam puluh enam tahun, tubuhnya gendut dan kepalanya semakin botak, tetapi sinar mata datuk ini masih nampak mencorong dan berwibawa, seperti pandangan mata seseorang yang merasa yakin akan kekuatannya sendiri.

Bu-tek Kiam-mo Coa Kun juga seorang tokoh besar dalam dunia kangouw, akan tetapi dia maklum bahwa kedudukannya kalah tinggi jika dibandingkan kakek yang duduk di kursi dengan angkuhnya itu, maka dia pun segera memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada, diikuti tiga orang rekannya setelah meletakkan peti yang mereka angkut dari dalam kereta tadi.

"Saya Coa Kun beserta tiga orang pembantu datang menghadap locianpwe Ouwyang Cin untuk menyampaikan salam hormat dari Yang Mulia di kota raja," katanya dengan suara lantang.

Ouwyang Cin, juga Maniyoko dan Ouwyang Kim memandang dengan penuh perhatian, karena mereka terkejut dan heran juga mendengar disebutnya Yang Mulia, sebutan yang biasanya hanya diberikan kepada seorang kaisar, raja atau setidaknya pangeran. Akan tetapi tak seorang pun di antara mereka memperlihatkan perasaan heran itu pada wajah mereka.

"Coa Kun, jelaskan siapa yang kau sebut Yang Mulia itu supaya aku mengetahui dengan siapa aku berurusan," suara datuk itu dalam dan parau.
"Saya sendiri tidak tahu siapakah nama pemimpin besar kami itu, locianpwe. Tetapi Yang Mulia mengutus saya menghadap locianpwe, selain menyampaikan salam hormat, juga untuk mengirim sekedar bingkisan dan sebuah surat kepada locianpwe. Harap locianpwe sudi menerimanya." Coa Kun memberi isyarat kepada tiga orang rekannya, dan mereka pun segera membuka tutup peti itu, memperlihatkan isinya kepada tuan rumah.

Dari tempat duduknya Ouwyang Cin dapat melihat bahwa peti itu berisi barang berharga seperti kain sutera yang mahal, barang ukiran kuno, ada pula lukisan indah dan barang-barang perhiasan dari emas dan perak. Sungguh merupakan bingkisan yang amat besar nilainya. Hatinya merasa senang, akan tetapi ini pun tidak nampak pada wajahnya.

"Berikan surat itu kepadaku," katanya.

Coa Kun mengeluarkan sesampul surat dari saku bajunya dan menyerahkannya kepada Ouwyang Cin. Datuk ini membuka sampulnya lalu mengeluarkan sehelai surat yang ditulis dengan huruf-huruf indah. Sebelum membaca isi surat dia melirik ke arah cap di bawah surat sebagai tanda si pengirim surat, dan sekali ini matanya terbelalak tanpa dapat dia sembunyikan lagi saking kaget dan herannya.

Tentu saja dia mengenal cap kebesaran itu, karena dulu pada waktu mudanya dia sering melihat cap itu, yaitu cap kebesaran dari Kaisar Kerajaan Goan atau Mongol! Kerajaan itu sudah jatuh dua puluh tahun yang lalu, akan tetapi bagaimana sekarang ada seseorang yang memakai cap kebesaran itu dan mengirim bingkisan berharga kepadanya? Segera dibacanya surat itu dan dia menjadi semakin terheran-heran.

Surat itu menerangkan bahwa Kerajaan Goan sekarang tengah menyusun kekuatan untuk bangkit dan berjaya kembali, dan tugas itu diserahkan kepada seorang pangeran bersama seseorang lainnya yang bergerak di bawah tanah, menggunakan kedok dan hanya dikenal dengan sebutan Yang Mulia. Dan sekarang Yang Mulia mengajak Ouwyang Cin supaya membantu gerakannya menjatuhkan Kerajaan Beng, dengan janji bahwa kalau berhasil, maka kelak Ouwyang Cin pasti akan diangkat menjadi raja muda yang menguasai daerah timur!

Ouwyang Cin masih terbelalak, akan tetapi kini wajahnya berseri-seri. Menjadi raja muda! Mana mungkin hal itu bisa terjadi kalau tidak bekerja sama dengan kekuasaan besar yang mempunyai bala tentara kuat seperti bekas kaisar Mongol? Dia kini hanya menjadi datuk golongan sesat! Tentu saja jauh berbeda jika dibandingkan dengan menjadi seorang raja muda! Sudah terbayang di pelupuk matanya betapa dia duduk di singgasana, berpakaian sebagai raja muda tulen, dihadap oleh para pengawal dan disembah oleh seluruh rakyat di wilayah timur! 

Bagi Ouwyang Cin, membantu orang-orang Mongol mencoba untuk meruntuhkan Kerajaan Beng bukan berarti memberontak, karena sekarang pun sebagai datuk sesat dia sudah dimusuhi oleh pemerintah. Lagi pula dia seorang peranakan Jepang! Dibacanya sekali lagi isi surat itu dan diliriknya isi peti, kemudian dia mengangguk-angguk dan tersenyum puas.
"Baiklah, Coa Kun. Kami terima bingkisan dari Yang Mulia dengan ucapan terima kasih dan kami setuju untuk bekerja sama, tetapi kami ingin mendengar lebih banyak mengenai rencananya. Kita bicarakan hal itu sambil makan minum, saudara Coa Kun!" Ouwyang Cin dengan gembira lalu menoleh kepada puterinya dan berkata, "Katakan kepada ibumu agar menyiapkan hidangan besar untuk menjamu para tamu kita yang terhormat.”

Ouwyang Kim mengerutkan alisnya, tetapi dia tidak berani membantah dan mengangguk, lantas masuk ke dalam untuk memberi tahu kepada ibunya. Sebagai seorang yang kaya raya, Ouwyang Cin dapat saja membuat pesta setiap hari, karena ternak tinggal potong, bumbu-bumbu sudah sedia, tukang masak pun ada. Segera terjadi kesibukan di dapur, dipimpin oleh Nyonya Ouwyang Cin yang dibantu pula oleh Ouwyang Kim.

"Akim, siapa sih tamu-tamunya maka harus dibuatkan jamuan besar segala?”
"Tamunya adalah salah seorang di antara Bu-tek Cap-sha-kwi, ibu, namanya Coa Kun dan julukannya Bu-tek Kiam-mo, julukan yang mengandung kesombongan besar. Akan tetapi bukan karena dia itu berjuluk Setan Pedang Tanpa Tanding maka dia dijamu ayah, tetapi karena dia mengaku sebagai utusan Yang Mulia."

Wanita cantik yang lembut itu memandang kepada puterinya dengan heran. "Yang Mulia? Siapa itu?"

"Aku tidak tahu, ibu. Coa Kun itu menyerahkan surat berikut barang hadiah yang serba mahal. Setelah membaca surat itu, ayah kelihatan senang sekali dan menjamu Coa Kun yang tadinya sama sekali tidak dihormatinya. Jelas bahwa yang mengutusnya itulah yang dihormati ayah, dan aku tidak tahu siapa itu Yang Mulia."
"Sebutan Yang Mulia hanya ditujukan kepada kaisar atau raja, atau orang yang memiliki kedudukan besar. Kalau Kaisar, kiranya tidak mungkin mengirim hadiah dan surat kepada ayahmu. Ahh, aku khawatir...," wanita itu termenung.
"Khawatir apa, ibu?" Ouwyang Kim bertanya.
"Ayahmu hanya mengenal dua orang kaisar, yaitu kaisar Kerajaan Beng yang baru berdiri dua puluh tahun, dan tentu saja kaisar lama, yaitu kaisar Mongol dari Kerajaan Goan yang telah jatuh. Aku khawatir sekali karena aku sudah mendengar bahwa orang-orang Mongol tengah berusaha untuk membangun kembali pemerintah Mongol yang telah jatuh. Jangan-jangan... ayahmu didekati orang-orang Mongol itu untuk membantu mereka memberontak dan mendirikan lagi Kerajaan Mongol."

Gadis itu mengangguk-angguk. "Mungkin sekali, ibu. Akan tetapi, ayah memang seorang petualang yang tidak pantang untuk melakukan apa saja demi keuntungan...," suara gadis itu terdengar penuh kedukaan. Dia mempunyai pendapat yang sama dengan ibunya, yaitu bahwa pekerjaan seperti yang dilakukan ayahnya, menjadi datuk para bajak laut, adalah pekerjaan yang jahat dan tidak baik.

Pada dasarnya ibu gadis itu seorang wanita Jepang, puteri seorang samurai yang berjiwa lembut dan tidak suka melihat perbuatan jahat serta kekerasan sehingga setelah menjadi isteri seorang datuk seperti Tung-hai-liong yang hidupnya penuh dengan kekerasan, dia pun hidup dalam keadaan batin tertekan dan menderita.

"Akan tetapi menjadi pemberontak? Ini sudah keterlaluan, Akim. Pekerjaan itu berbahaya sekali. Bagaimana mungkin menentang pemerintah yang memiliki ratusan ribu pasukan? Sebaiknya kalau ayahmu tidak melibatkan diri dengan pemberontakan."
“Akan tetapi belum tentu surat itu datang dari pemberontak Mongol, ibu."
"Syukurlah kalau begitu. Akan tetapi hatiku terasa tidak enak, Akim. Engkau harus dapat memperoleh keterangan yang jelas. Kalau benar dugaanku bahwa ayahmu didekati kaum pemberontak, kita berdua harus mencegah dan membujuknya. Maniyoko tidak dapat kita harapkan, karena dia selalu mentaati ayahmu sampai mati."

"Ibu, bagaimana andai kata benar demikian dan kita tidak berhasil membujuk ayah? Ibu tahu akan kekerasan hati ayah."
"Kalau begitu kita harus menentangnya! Maksudku, engkau harus menentangnya karena sejak kecil aku tidak suka belajar ilmu silat. Aku tak suka melihat ayahmu memberontak. Engkau harus berjuang untuk menentang pemberontakan itu sehingga engkau akan dapat mencuci noda karena perbuatan ayahmu. Aku tidak ingin melihat engkau kelak dihukum karena menjadi anak pemberontak. Nah, tidak perlu engkau membantuku di dapur, Akim. Keluarlah dan ikutlah dengan mereka bercakap-cakap. Engkau seorang ahli silat, engkau pantas saja untuk ikut berbincang. Akan tetapi jangan tergesa-gesa mencela ayahmu di depan tamu. Aku ingin engkau mengetahui sepenuhnya siapa Yang Mulia yang mengirim surat kepada ayahmu itu dan bagaimana bunyi suratnya."

Sejak kecil Ouwyang Kim lebih dekat kepada ibunya dari pada ayahnya, kecuali kalau dia sedang berlatih silat. Dia mengangguk, lalu meninggalkan dapur kembali ke ruangan tamu di mana ayahnya masih bercakap-cakap sambil minum arak harum yang membuat lidah mereka lebih lancar berbicara.....

Ketika melihat puterinya muncul, Ouwyang Cin tidak menegurnya. Puterinya itu memang tidak dipingit seperti para gadis lainnya, tetapi dibiarkan bebas dan sudah biasa puterinya hadir kalau dia sedang menerima tamu penting.

"Sumoi, apakah engkau tidak membantu subo yang sibuk di dapur?" Maniyoko bertanya, nadanya tidak menegur melainkan halus. Dia selalu bicara halus kepada sumoi-nya itu.

Mulut Ouwyang Kim cemberut. "Suheng, kenapa aku saja yang harus selalu membantu? Kenapa tidak engkau yang sekarang membantu? Aku ingin mendengar percakapan ayah dengan tamu penting ayah, aku ingin sekali tahu, siapa sih yang disebut Yang Mulia itu? Apakah Kaisar atau Raja?"

Bu-tek Kiam-mo Coa Kun mengerutkan alisnya, khawatir melihat gadis cantik yang bebas itu. Sangat berbahaya membuka sebuah rahasia penting kepada seorang gadis seperti ini, pikirnya. Namun agaknya Ouwyang Cin mengerti akan kekhawatiran tamunya, maka dia pun tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha-ha, saudara Coa Kun, harap jangan khawatir. Anakku Ouwyang Kim ini selain dapat dipercaya, juga dia bukanlah seorang gadis lemah. Dan aku tidak biasa menyimpan rahasia terhadap puteriku sendiri. Akim, yang disebut Yang Mulia itu adalah wakil Kaisar Kerajaan Goan...”
"Bukankah Kerajaan Goan itu Kerajaan Mongol, ayah? Dan bukankah Kerajaan Mongol itu sekarang sudah tidak ada lagi?"
"Ha-ha-ha-ha, kau lihat saudara Coa Kun, betapa cerdiknya puteriku ini. Jangan pandang ringan anakku ini! Benar, Akim, akan tetapi kau keliru kalau menyangka bahwa Kerajaan Goan kini sudah tidak ada. Kerajaan itu masih ada, hanya untuk sementara ini menyingkir karena dikalahkan pemberontak dua puluh tahun yang silam. Sekarang sedang menyusun kekuatan dan menawarkan kerja sama dengan ayahmu."
"Aihh, ayah main-main saja. Aku tidak percaya!" kata Ouwyang Kim cemberut.
"Ha-ha-ha, kau bacalah sendiri suratnya!" Ayahnya melemparkan surat itu.

Ouwyang Kim menyambutnya lalu membacanya cepat sekali. Sesudah selesai membaca dia langsung mengembalikan surat itu kepada ayahnya. Dia sudah hafal akan isinya dan bahkan dia telah mengingat-ingat dan mencatat bentuk tulisan yang indah itu.

"Sekarang aku baru percaya, ayah."
"Dan bagaimana pendapatmu?" tanya ayahnya.

Coa Kun menatap tajam wajah gadis itu karena dia ingin sekali mendengar pendapatnya. Bagaimana pun juga dia lebih percaya kepada Maniyoko dari pada terhadap gadis ini.

Ouwyang Kim memandang kepada Coa Kun dan ketiga orang temannya, lantas menoleh kepada ayahnya dan tersenyum. "Aku tidak mempunyai pendapat, ayah. Urusan itu sama sekali tidak menarik hatiku, yang lebih menarik adalah tamu kita ini." Dia pun memandang kepada Coa Kun sambil tersenyum.

"Ehh? Apa maksudmu, Akim? Hal apakah yang menarik pada diri saudara Coa Kun ini?" Ayahnya bertanya heran, menyangka bahwa puterinya tertarik kepada tamu laki-laki yang usianya sudah lima puluhan tahun lebih itu.
"Yang menarik hatiku adalah pedang di punggungnya dan nama julukannya, ayah. Paman Coa Kun, engkau dijuluki orang Bu-tek Kiam-mo (Setan Pedang Tanpa Tanding)! Tanpa Tanding atau tidak terkalahkan, bukan main! Aku jadi ingin sekali minta pelajaran dalam hal ilmu pedang darimu, paman, karena aku yakin bahwa aku akan mendapatkan banyak petunjuk dari seorang jago pedang yang tak pernah terkalahkan."
"Sumoi...," Maniyoko terkejut mendengar ini.
"Aihhh, harap nona jangan main-main dengan pedang...” Bu-tek Kiam-mo berkata sambil tersenyum lebar, ada rasa bangga mendapat pujian seorang gadis cantik, akan tetapi juga perasaan tidak enak karena yang menantangnya mengadu ilmu pedang adalah puteri tuan rumah.

Akan tetapi Tung-hai-liong Ouwyang Cin bahkan tertawa bergelak, hatinya senang sekali. "Apa yang dikatakan puteriku memang benar. Kami sudah lama mendengar nama besar Cap-sha Bu-tek-kwi, dan kebetulan yang kini datang berkunjung adalah seorang di antara mereka yang ahli pedang. Puteriku memang suka sekali mempelajari ilmu pedang, karena itu harap saudara Coa Kun tidak terlampau pelit untuk memberi sekedar petunjuk kepada puteriku agar dapat menambah pengetahuannya yang dangkal dan pengalamannya yang sempit." 

Ucapan merendah ini bukan timbul karena kerendahan hati, melainkan karena diam-diam kakek datuk ini pun memandang rendah terhadap tamunya, dan dia yakin puterinya akan mampu menandingi Bu-tek Kiam-mo karena dia tahu akan kelihaian puterinya.

Mendengar ucapan itu Bu-tek Kiam-mo merasa seolah-olah kepalanya jadi membengkak besar dan hatinya yang memang sombong itu menjadi senang sekali. Inilah kesempatan untuk pamer, memperlihatkan kepandaiannya tanpa memberi kesan pamer kepada pihak tuan rumah.

"Tapi pedang adalah benda mati, aku khawatir kalau kesalahan tangan sehingga melukai nona." Kembali dalam ucapan ini terkandung kesombongan, seolah-olah dia sudah yakin akan mengalahkan nona itu dan takut kalau sampai melukainya.
"Ha-ha-ha, dalam pertandingan pedang biasalah kalau ada yang terluka. Akan tetapi kami yakin sekali bahwa saudara Coa Kun akan bermurah hati dan tidak sampai melukai Akim terlampau parah," kata pula Ouwyang Cin. 

Mendengar semua ucapan itu, senanglah hati Ouwyang Kim. la memang sengaja mencari akal untuk menantang tamu ayahnya itu, agar dapat membikin malu kepadanya dan untuk melampiaskan hatinya yang dongkol melihat ayahnya dapat terbujuk dalam persekutuan pemberontak dengan orang-orang Mongol.

Melihat ayahnya sudah menyetujui, gadis itu sudah mencabut pedangnya lalu dia berjalan ke tengah ruangan yang luas itu. "Kurasa ruangan ini cukup luas untuk bermain pedang. Suheng, tolong angkut kursi dan meja itu ke tepi agar tempatnya lebih luas."

Ouwyang Cin memberi isyarat supaya Maniyoko melaksanakan permintaan sumoi-nya itu dan dia sendiri memandang kepada Coa Kun dan ketiga orang temannya dengan tertawa. “Marilah, saudara Coa Kun, harap jangan sungkan. Sambil menanti selesainya hidangan, mari engkau memberi petunjuk kepada Akim."

Melihat tempat itu sudah diperluas dengan disingkirkannya meja kursi ke tepi, dan melihat gadis itu sudah siap dengan pedang di tangan, Coa Kun tersenyum dan mengangguk ke arah tuan rumah.

"Kalau memang dikehendaki, baiklah. Mari kita main-main sebentar, nona." 

Berkata demikian, tangan kanannya bergerak ke atas kepala dan tiba-tiba saja dia sudah mencabut pedangnya. Gerakannya memang cepat dan pedang itu mengeluarkan cahaya ketika dia menggerakkannya dan dia telah meloncat ke depan Ouwyang Kim, memasang kuda-kuda yang gagah sekali.

Melihat lawan sudah siap, Ouwyang Kim lantas berseru, "Bu-tek Kiam-mo, bersiaplah dan lihat seranganku!"

Dia pun menggerakkan pedangnya, mulai menyerang dan begitu menyerang dia langsung menggunakan jurus dari Jit-ong Kiam-sut yang sangat hebat. Coa Kun kaget bukan main melihat sinar terang dari pedang gadis itu menyambar deras ke arah dadanya. Pedang itu diputar sedemikian rupa sehingga merupakan gulungan sinar terang yang meluncur cepat ke arah dadanya. Sebagai seorang ahli pedang dia mengenal jurus pedang yang sangat berbahaya, maka dia pun cepat-cepat meloncat ke belakang sambil memutar pedangnya membentuk perisai untuk melindungi dirinya.

"Trangg…! Trangg…! Tranggg...!" berulang kali kedua pedang itu bertemu di udara dan nampak bunga api berpijar menyilaukan mata.
Kembali Coa Kun terkejut setengah mati karena setiap kali pedangnya bertemu pedang lawan, lengannya terasa hampir lumpuh karena terserang getaran yang amat kuat.

Dan Ouwyang Kim tidak menghentikan serangannya, namun menyerang dan mendesak terus dengan ilmu pedang Raja Matahari yang gerakannya asing dan aneh bagi Coa Kun. Hal ini tidak mengherankan karena memang ilmu pedang itu dirangkai oleh Tung-hai-liong dari berbagai ilmu pedang bercampur dengan ilmu samurai Jepang!

Coa Kun mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk melindungi dirinya. Dara itu sama sekali tak memberi kesempatan kepadanya karena terus menyerangnya secara bertubi-tubi dan memang setiap serangan itu sangat berbahaya, Coa Kun hanya mampu mengelak dan menangkis, tanpa mampu membalas satu jurus pun!

Begitu bergebrak, dia terus diserang dan semakin lama serangan gadis itu semakin berat dan berbahaya. Dia maklum bahwa kalau gadis itu menghendaki, sebelum tiga puluh jurus tentu dia dapat dirobohkan dengan dada tertembus pedang atau leher putus! 

Setan Pedang Tanpa Tanding itu sudah mandi keringat dan wajahnya pucat. Betapa akan malunya jika sampai dia terluka. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa gadis puteri datuk itu sedemikian lihainya walau pun dia tahu bahwa ayah gadis ini memang seorang datuk yang sakti. Jangankan baru dia seorang diri, meski dia dibantu tiga orang temannya itu pun belum tentu dia akan mampu mengalahkan Ouwyang Kim. Lebih baik malu sedikit dari pada malu banyak.

"Cukup, nona, saya mengaku kalah!" serunya, lantas dia pun melompat jauh ke belakang. Biar pun merasa malu, akan tetapi setidaknya dia selamat dari menderita luka. Wajahnya pucat dan dia masih mandi keringat.

Ouwyang Kim tersenyum. Gadis ini nampak biasa-biasa saja, tidak berkeringat, dan tidak nampak lelah. Sudah tercapai apa yang ia kehendaki, yaitu membikin malu tamu ini untuk memperlihatkan ketidak senangan hatinya bahwa ayahnya dilibatkan dalam persekutuan pemberontak. Dia lalu menyimpan pedangnya dan mengangguk kepada Coa Kun.

“Terima kasih atas petunjuk Bu-tek Kiam-mo!" Tentu saja ucapan itu dimaksudkan untuk mengejek.

Dengan mengesampingkan rasa malunya, Coa Kun memperlihatkan giginya yang kuning. "Heh-heh, di hadapan locianpwe Tung-hai-liong dan puterinya, saya tidak berani memakai julukan itu. Kiamsut dari siocia amat tangguh dan hebat, belum pernah saya menemukan ilmu pedang sehebat itu!" Dia mengangkat dua tangannya, memberi hormat kepada tuan rumah dan puterinya, lalu berkata lagi, "Sungguh pilihan Yang Mulia amat tepat. Dengan bantuan locianpwe dan nona, tentu kedudukan kita akan menjadi jauh lebih kuat."
"Ah, saudara Coa Kun. Yang Mulia hanya mengajak aku dan aku hanya akan berkunjung bersama muridku, Maniyoko ini. Anakku akan tinggal di rumah untuk menemani ibunya dan menggantikan aku menerima kunjungan para sahabat kami," kata Ouwyang Cin yang tidak ingin puterinya ikut pula dalam pekerjaan besar itu. Lagi pula di rumah itu perlu ada orang yang akan mewakilinya dalam menerima sumbangan sebagai semacam upeti dari para pimpinan gerombolan sesat di perairan atau pun di pantai.

Maniyoko mengatur kembali meja kursi dan kini mereka duduk lagi bercakap-cakap, tetapi kali ini ditemani oleh Ouwyang Kim. Gadis pendiam ini tidak ikut bicara, melainkan hanya sebagai pendengar yang mencatat semua percakapan itu di hatinya.

Maka tahulah dia bahwa ayahnya memang telah menerima uluran tangan dari Yang Mulia, yaitu tokoh yang mewakili Kerajaan Goan atau kerajaan orang-orang Mongol yang sedang mengadakan gerakan rahasia di kota raja dan berniat untuk membangun kembali kerajaan Goan yang sudah jatuh dua puluh tahun yang lalu. 

Singkatnya, ayahnya sudah bersekutu dengan golongan pemberontak dengan janji bahwa jika kelak gerakan itu berhasil, pemerintah Kerajaan Beng dapat digulingkan dan Kerajaan Goan bangun kembali, ayahnya akan diberi pangkat raja muda yang berkuasa di daerah timur. Dan ayahnya akan pergi bersama Maniyoko ke kota raja untuk menghadap kepada Yang Mulia dan menerima tugas. 

Menurut keterangan Coa Kun yang didesak ayahnya, mungkin sekali ayahnya mendapat tugas untuk bekerja sama dengan mereka, merampas kedudukan bengcu atau pimpinan kangouw yang akan diadakan di puncak Thai-san tahun depan, satu bulan sesudah tahun baru, dan membantu orang yang ditunjuk oleh Yang Mulia agar menjadi bengcu.

Pendeknya, ayahnya harus membantu anak-anak buah Yang Mulia untuk mencegah agar kedudukan bengcu jangan sampai terjatuh ke tangan orang yang setia kepada Kerajaan Beng. Apa bila kedudukan itu dapat terjatuh ke tangan orang-orang Mongol, tentu mereka akan bisa mengerahkan seluruh dunia kang-ouw untuk membantu gerakan orang Mongol menggulingkan Kerajaan Beng dan mendirikan kembali Kerajaan Goan!

Percakapan dilanjutkan setelah hidangan dikeluarkan. Sambil makan minum mereka terus bercakap-cakap, dan Ouwyang Kim hanya mendengarkan saja dengan sikap tidak peduli, padahal diam-diam dia memperhatikan dan mencatat semua pembicaraan dalam otaknya.

Setelah selesai makan minum sampai kenyang, Coa Kun dan tiga orang temannya minta pamit, lalu mereka meninggalkan rumah keluarga Ouwyang sambil membawa hadiah yang diberikan secara royal oleh Ouwyang Cin untuk menghormati utusan Yang Mulia dari kota raja itu.

Sesudah para tamu pergi, barulah Ouwyang Kim menceritakan semuanya kepada ibunya. Wanita itu merasa amat khawatir, maka bersama puterinya dia lalu menasehati suaminya agar tidak melibatkan diri dalam pemberontakan.

"Langkahmu sudah terlampau jauh," demikian antara lain isteri yang gelisah itu memberi nasehat, "kenapa tidak kau pikirkan secara mendalam? Menempatkan diri sebagai sekutu pemberontak sungguh sangat berbahaya, menyeret seluruh keluargamu dalam bahaya. Di dunia kang-ouw engkau boleh saja mengandalkan kepandaian untuk menjagoi, tetapi apa dayamu menghadapi bala tentara kerajaan? Sebagai pemberontak kau akan berhadapan langsung dengan pemerintah dan kalau sampai tertangkap, hukumannya hanya satu yaitu mati berikut seluruh keluarga.”

Ouwyang Kim juga membujuk ayahnya. "Mengapa ayah percaya kepada orang semacam Coa Kun itu? Ayah melihat sendiri, omongannya saja besar, julukannya besar, akan tetapi buktinya dia tak ada gunanya. Kalau utusannya seperti itu, tentu yang mengutusnya juga tidak banyak artinya."

"Ha-ha-ha, kalian tidak mengerti. Gerakan ini bukan sekedar pemberontakan biasa. Yang memimpin gerakan ini adalah para pangeran Kerajaan Goan yang berhasil mengungsi ke utara. Kini mereka datang ke selatan dan menyusun kekuatan untuk membangun kembali Kerajaan Goan. Tentang siapa yang berkuasa, apa peduliku? Akan tetapi mereka sudah mengirim hadiah yang amat berharga, dan selain itu mereka pun menjanjikan bahwa kelak kalau gerakan ini berhasil, aku akan diberi kedudukan raja muda yang berkuasa di daerah timur. Kalian dengar? Raja muda! Kalian akan menjadi isteri dan puteri raja muda! Akim, engkau akan menjadi seorang puteri sejati, bangsawan tinggi. Dan tentang Yang Mulia itu, aku sendiri tentu tak akan sudi menghambakan diri kepada orang yang tidak mampu. Aku akan melihat lebih dahulu orang macam apa adanya dia."

Percuma saja ibu dan anak itu membujuk. Nafsu daya rendah memang teramat kuat dan setiap orang manusia selalu gagal menundukkannya. Kebutuhan kita hidup di dalam dunia amat terbatas. Untuk mempertahankan kehidupan ini, cukuplah dengan sandang pangan dan papan sekedarnya. Akan tetapi keinginan atau pengaruh nafsu tak mengenal batas, tidak pernah merasa cukup atau puas.

Nafsu adalah angkara murka, pementingan diri sendiri yang tanpa batas. Segala daya upaya dalam kehidupan diarahkan demi menyenangkan si aku, atau nafsu. Namun nafsu tidak pernah puas, kesenangan yang diperoleh segera terganti kebosanan dan dengan liar mencari kesenangan lain yang belum diperolehnya.

Hati akal pikiran sudah pula digelimangi nafsu sehingga hati dan pikiran selalu membela kepentingan nafsu dengan mengajukan berbagai dalih atau alasan untuk membenarkan tindakan yang didorong nafsu. Pengaruh nafsu selalu menghalalkan segala macam cara demi mencapai tujuan, dan tujuan itu tak lain pasti sesuatu yang dianggap menyenangkan si aku. Nafsu bagaikan api berkobar, semakin diberi umpan semakin besar nyalanya dan semakin tamak ingin melahap segala yang ada.

Nafsu yang timbul dari daya rendah dan disertakan manusia sejak lahir bukan merupakan kutukan. Malah sebaliknya, nafsu merupakan anugerah dari Tuhan yang Maha Pengasih yang sangat mengasihi manusia sebagai ciptaan-Nya. Nafsu mutlak perlu bagi kita dalam kehidupan di dunia ini. Tanpa adanya nafsu maka kita tidak akan hidup seperti sekarang ini, bahkan mungkin saja manusia tidak akan dapat berkembang biak seperti sekarang. 

Nafsu yang bekerja sama dengan hati akal dan pikiran membuat manusia bisa membuat segala benda yang dibutuhkan manusia dalam hidup, dapat membuat kehidupan menjadi menyenangkan. Nafsu yang berada di panca indera yang membuat kita dapat merasakan segala kenikmatan hidup. Yang dinamakan kemajuan dalam bidang apa saja adalah hasil dorongan nafsu pada hati akal pikiran manusia. 

Mata kita dapat menikmati pemandangan indah, hidung kita dapat menikmati penciuman harum, telinga kita dapat menikmati pendengaran merdu, dan selanjutnya. Tanpa adanya nafsu yang menimbulkan gairah, sulit membayangkan bagaimana kehidupan ini. Kosong, hampa dan tidak menarik. Kasih sayang Tuhan terbukti dengan diikut sertakannya nafsu kepada kita.

Seperti api, jika kecil dan terkendali nafsu amat bermanfaat bagi kehidupan. Sebaliknya, kalau membesar dan tidak terkendali, segalanya akan terbakar habis! Jadi masalahnya nafsu harus terkendali! Lalu bagaimana kita dapat mengendalikannya?

Pertanyaan ini selalu diajukan manusia semenjak sejarah tercatat, dan sampai sekarang pun manusia masih selalu berusaha dengan berbagai macam cara untuk menguasai atau mengendalikan nafsunya sendiri. Melalui tuntunan agama, melalui keprihatinan, bertapa, menyiksa diri dan segala macam cara lagi ditempuh manusia agar dapat menguasai dan mengendalikan nafsu. 

Akan tetapi betapa pahitnya kenyataan itu, yaitu bahwa jarang sekali ada manusia yang berhasil dalam usahanya itu. Ada yang sudah bertapa di tempat sunyi sampai bertahun-tahun, tetap saja tak mampu mengendalikan nafsunya. Ketika berada di puncak gunung yang sunyi, tampaknya seolah dia telah berhasil menidurkan nafsunya. Akan tetapi begitu dia turun gunung, nafsunya bergejolak, bahkan menjadi semakin liar, lebih kuat dari pada sebelum dia bertapa. Mengapa demikian?

Semua usaha hati akal pikiran untuk mengendalikan nafsu, sebagian besar gagal karena hati akal pikiran juga sudah digelimangi nafsu. Jadi menggunakan hati akal pikiran untuk menguasai nafsu! Tidak aneh kalau gagal! Pengetahuan dan pengertian hati akal pikiran saja tidak mungkin dapat mengalahkan nafsu.

Semua orang yang melakukan perbuatan tidak baik tentu tahu dan mengerti pula bahwa perbuatannya itu tidak baik, tetapi tetap saja mereka melakukannya dan mengulanginya. Kadang sesal datang setelah berbuat, namun begitu nafsu datang mendorong, tidak ada kekuatan dalam diri untuk menahannya, bahkan akal pikiran dan hati pun tidak berdaya, malah menjadi pembela dari perbuatan yang terdorong nafsu.

Kita dihadapkan pada jalan buntu. Kita tidak dapat hidup tanpa nafsu, akan tetapi kita pun terseret ke dalam dosa oleh nafsu, dan kita tak berdaya untuk mengendalikan. Lalu bagaimana?

Hanya ada satu pemecahannya, yaitu mengembalikannya kepada Sang Maha Pencipta. Tuhan yang menciptakan nafsu, maka hanya Tuhanlah yang akan dapat mengembalikan nafsu kepada kedudukan dan tugasnya yang semula, yaitu menjadi peserta dan pelayan bagi hidup manusia di dunia, bukan sebagai majikan. Hanya Tuhan Yang Maha Kuasa saja yang akan mampu mengembalikan api nafsu itu menjadi api kecil yang terkendali sehingga amat bermanfaat bagi kehidupan manusia.

Oleh karena itu, hanya dengan penyerahan yang tulus ikhlas, dengan penuh kesabaran dan ketawakalan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, maka segalanya akan kembali teratur, sesuai dengan kehendak Tuhan, terjadi karena kuasa Tuhan. Tidak ada cara atau jalan lain! Hati akal pikiran yang merupakan alat seperti juga anggota tubuh lainnya, kita gunakan untuk keperluan lahiriah, bekerja dan sebagainya. Ada pun urusan rohaniah kita menyerah kepada kekuasaan Tuhan.

Sia-sia saja Ouwyang Kim beserta ibunya membujuk dan menasehati Ouwyang Cin yang telah menjadi hamba nafsunya sendiri sehingga akhirnya ibu dan anak itu mengundurkan diri. Bahkan ketika Ouwyang Cin dan Maniyoko berangkat menuju ke kota raja, Ouwyang Kim tidak diperkenankan ikut.

"Engkau di rumah saja, Akim. Engkau mewakili ayah menerima kunjungan para sahabat dan menerima sumbangan mereka kemudian mencatatnya, juga temani ibumu. Pekerjaan mewakili ayah ini pun sangat penting, jadi jangan diabaikan." Demikian pesannya kepada Ouwyang Kim.

Gadis ini tak bisa membantah biar pun sebetulnya dia ingin sekali pergi untuk melindungi ayahnya karena seperti juga ibunya, dia pun merasa sangat khawatir kalau-kalau langkah yang diambil Ouwyang Cin itu akan menjerumuskan diri sendiri kepada bencana.

Setelah Ouwyang Cin pergi, isterinya yang lembut hati itu menangis. Telah terlalu banyak air mata ditumpahkan wanita ini sejak dia menjadi isteri datuk itu. Dia sendiri adalah puteri seorang pendekar samurai yang baik hati dan menentang kejahatan, tapi kini dia menjadi isteri seorang datuk sesat! Dan pukulan paling hebat kini dirasakannya ketika suaminya menjadi sekutu komplotan pemberontak. Melihat ibunya menangis, Akim merangkulnya.

"Ibu, harap ibu jangan khawatir. Aku akan pergi ke kota raja dan aku hendak menentang semua usaha pemberontakan itu. Dengan demikian maka aku akan dapat menebus dosa dan noda yang dilakukan oleh ayah. Syukur kalau aku dapat menyadarkan ayah sebelum terlambat."

Ibunya mengangguk pasrah. Ia tahu bahwa hanya itulah satu-satunya jalan bagi mereka. Dia harus merelakan puterinya karena dia sendiri tidak dapat berbuat sesuatu. Jika usaha mereka dengan bujukan kata-kata tidak berhasil, maka harus dilanjutkan dengan tindakan untuk mencegah suaminya menjadi seorang pemberontak.

"Hati-hatilah, Akim. Ibu selalu mendampingimu dengan doa. Di antara nenek moyangmu tak ada yang menjadi pemberontak, baik nenek moyangmu yang di Jepang mau pun yang berada di negeri ini. Sudah menjadi kewajibanmu untuk menyelamatkan ayahmu, walau dengan taruhan nyawa sekali pun."

Demikianlah, pada hari itu juga, Ouwyang Kim atau Akim berangkat menuju ke Nan-king, ibu kota Kerajaan Beng, menyusul ayah dan suheng-nya…..

********************
Sesosok bayangan berkelebat seperti burung garuda terbang saja di atas atap sebuah rumah makan kecil yang berada di sudut kota raja. Tanpa menimbulkan suara bayangan itu meloncat turun dan beberapa detik kemudian dia sudah berada di jalan raya yang telah sepi karena malam sudah larut. Dia adalah Sin Wan. 

Tadi dia membayangi seorang yang dianggap mencurigakan. Ketika orang itu memasuki rumah makan, tempat itu segera ditutup dari dalam sehingga dia pun mengintai dari atap. Dia melihat orang itu berbisik-bisik dengan tiga orang lain di dalam rumah makan kecil itu. Maka dia cepat meninggalkan tempat itu dan langsung melapor kepada Bhok-ciangkun.

Bhok Cun Ki yang memang selalu menyiapkan pasukan keamanan, cepat mengirim satu regu pasukan yang terdiri dari dua belas orang dan dipimpin sendiri oleh Sin Wan, untuk menggerebek rumah makan itu. Akan tetapi apa yang dia temukan? Hanya sebuah rumah kosong. Tak seorang pun berada di situ dan jelas bahwa penghuni rumah makan itu telah melarikan diri sebelum pasukan tiba. Padahal dia telah bergerak cepat dan tidak ada yang mengetahuinya.

Sin Wan merasa penasaran sekali. Sudah beberapa kali sejak dia berada di rumah Bhok Cun Ki dan melakukan penyelidikan, usahanya menangkap mata-mata atau orang yang dicurigai selalu gagal. Beberapa hari yang lalu, ketika menjelang tengah malam, pernah dia mengejar sesosok bayangan yang mencurigakan dan bayangan itu lenyap begitu saja di dekat pintu gerbang pagar yang membentengi istana!

"Benar-benar aneh sekali," dia mengomel sesudah kembali ke rumah keluarga Bhok dan berunding dengan panglima itu. "Bagaimana mereka bisa mengetahui bahwa tempat itu akan digerebek?"
"Mungkin di antara mereka ada banyak orang pandai sehingga gerakanmu dapat mereka ketahui. Mengapa tadi engkau tidak turun tangan sendiri saja menangkap mereka?" tanya Bhok Cun Ki.
"Saya ingin bekerja secara rahasia agar mereka tidak mengenal saya dan memudahkan penyelidikan saya, paman Bhok. Sekali saja mereka mengenal saya, tentu akan sulit bagi saya untuk melakukan penyelidikan lagi. Sebab itulah saya ingin agar pasukan keamanan yang menangkap mereka."
"Kurasa tidak perlu begitu, Sin Wan. Lambat laun mereka tentu akan mengenalmu juga. Pula, bantuanmu melakukan penyelidikan terhadap jaringan mata-mata di kota raja hanya sementara saja. Tugas kita yang utama adalah mengamati pemilihan bengcu di puncak Thai-san. Tugas keamanan di kota raja akan ditangani sendiri oleh Jenderal Yauw."
"Saya belum mengenal benar Jenderal Yauw. Dia sangat teliti dan keras. Apakah dia lihai sekali?"

Bhok Cun Ki mengangguk-angguk. "Di antara para jagoan kota raja, dialah yang nomor satu. Agaknya aku sendiri akan sulit untuk menandinginya. Dialah yang menjadi guru para panglima muda di kota raja. Hanya dalam urusan perang dia kalah oleh Jenderal Shu Ta. Akan tetapi di dalam hal ilmu silat, dia lihai bukan main. Dia pun sangat keras dan entah sudah berapa orang yang dicurigai sebagai mata-mata disiksa sampai mati kalau terjatuh ke tangannya."

Sin Wan mengerutkan kedua alisnya. Dia sama sekali tidak suka mendengar kekejaman yang dilakukan seseorang terhadap orang lain. Akan tetapi dia maklum bahwa begitulah kenyataannya. Kalau menusia sudah saling bermusuhan, apa lagi di dalam perang, maka di dunia ini tidak ada makhluk lain yang lebih kejam dari pada manusia.

Namun dia sendiri akan selalu menuruti kata hati nuraninya. Dia selalu mendekati Tuhan dengan kepasrahannya, dengan imannya. Dia percaya bahwa Tuhan akan membersihkan perasaan hatinya dari benci, biar terhadap orang yang memusuhinya sekali pun. Memang dia bertekad untuk menentang kejahatan, akan tetapi perbuatannyalah yang dia tentang, bukan manusianya. 

Dia sendiri akan memperlakukan orang yang dianggap jahat tidak dengan kebencian, tapi dengan keadilan, dan dia akan berusaha agar orang yang melakukan penyelewengan itu dapat kembali ke jalan benar. Demikianlah pelajaran yang dahulu sering dia dengar dari mendiang ibunya tersayang, juga dari ketiga orang gurunya, yaitu Sam-sian (Tiga Dewa). Pelajaran itu sesuai dengan suara hatinya. Kalau saja tidak ditugaskan oleh Ciu-sian agar dia mewakili gurunya itu, dia segan untuk melibatkan diri dalam urusan kerajaan.....

Setelah beberapa kali gagal menangkap mata-mata musuh, Sin Wan bertindak lebih hati-hati lagi. Beberapa hari kemudian, pada suatu malam ketika dia melakukan pengintaian sambil bersembunyi, dia melihat bayangan hitam berkelebat cepat sekali di dekat pagar tembok istana.

Tentu saja Sin Wan menjadi curiga, khawatir jika ada mata-mata musuh menyelundup ke istana dan melakukan kejahatan. Biar pun dia tahu bahwa kaisar sendiri dilindungi banyak pengawal yang rata-rata merupakan jagoan istana yang lihai, namun kalau ada orang luar menyelundup masuk ke istana kaisar maka hal itu sangatlah berbahaya bagi keselamatan keluarga kaisar.

Sin Wan cepat membayangi orang itu. Akan tetapi bayangan itu nampak meragu dan tiba-tiba saja dia mengubah tujuan, tidak jadi melompati pagar tembok melainkan membalik kemudian meninggalkan tempat itu.

Sin Wan sudah maklum bahwa orang itu mempunyai ilmu berlari cepat yang tinggi, dan tubuhnya kelihatan ringan bukan main, maka dia menjadi semakin curiga dan ingin sekali mengetahui apakah orang itu termasuk kawan ataukah lawan.

Dia tahu bahwa pemerintah sendiri menyebar banyak penyelidik yang berilmu tinggi, maka melihat bayangan itu, tentu saja dia tidak dapat memastikan apakah orang itu mata-mata pemerintah ataukah mata-mata musuh. Maka dia pun cepat membayangi ke mana orang itu pergi. Sin Wan bergerak dengan hati-hati sekali, karena membayangi seorang yang memiliki gerakan ringan seperti itu sangat berbahaya dan setiap saat dapat saja orang itu memergokinya.

Benar dugaannya. Pada saat orang itu berlari cepat, tiba-tiba saja orang itu berhenti dan membalik. Akan tetapi Sin Wan lebih cepat lagi. Tubuhnya telah bertiarap di tempat gelap sehingga tidak mungkin orang itu melihatnya. Sesudah memandang sekeliling, orang yang dibayanginya itu kembali melanjutkan perjalanannya dan Sin Wan menjadi kagum. 

Sungguh seorang yang cerdik, pikirnya. Kalau dia kurang cepat sedikit saja menjatuhkan diri bertiarap dalam bayangan gelap sebuah rumah, tentu dia akan diketahui dan akan sia-sialah pengintaiannya. Akhirnya dari jarak yang agak jauh dia melihat bayangan itu tiba di luar pagar tembok yang mengelilingi sebuah gedung besar. Bayangan itu lantas membalik lagi, melihat ke sekeliling, kemudian barulah dia meloncat ke atas pagar tembok itu dan menghilang.

Sin Wan lalu termenung. Sebelum melakukan penyelidikan dia sudah mempelajari seluruh keadaan kota raja dan dari Bhok-ciangkun dia memperoleh gambaran mengenai gedung-gedung besar yang penting. Dia tahu bahwa gedung yang dimasuki bayangan itu adalah sebuah gedung peristirahatan di luar istana yang merupakan milik Pangeran Chu Hui San, putera mahkota. 

Dia telah mendengar banyak tentang pangeran itu dari Bhok-ciangkun yang menceritakan dengan bisik-bisik bahwa pangeran yang menjadi calon pengganti kaisar itu adalah orang yang setiap hari hanya berenang dalam lautan kesenangan. Kelemahan putera mahkota itu adalah wanita, dan menurut keterangan rahasia dari Bhok-ciangkun, gedung besar itu merupakan tempat pelesir pangeran itu kalau dia berkencan dengan wanita-wanita yang bukan selir atau dayangnya! 

Dia tidak tahu apakah malam itu sang pangeran berada di gedung itu ataukah tidak, akan tetapi bagaimana pun juga timbul kekhawatirannya. Bukan tidak mungkin ada mata-mata Mongol masuk untuk membunuh pangeran yang menjadi calon kaisar, karena hal ini akan menguntungkan pihak musuh dan akan mengacaukan keadaan.

Berpikir demikian, Sin Wan lalu mendekati pagar tembok, mencari bagian yang gelap dan sepi di sebelah belakang, lalu tubuhnya melayang naik seperti seekor burung garuda saja, melompati pagar tembok dan beberapa detik kemudian dia sudah berada di taman bunga yang berada di belakang gedung.

Sin Wan menggunakan kepandaiannya, mengerahkan ginkang (ilmu meringankan tubuh), menyusup dan menyelinap di antara pohon-pohon dan semak di taman itu. Dia mendekati gedung itu!

Sunyi saja di sekitar gedung dan hal ini dia artikan bahwa malam itu sang pangeran tidak berada di situ. Jika sang pangeran mahkota sedang berada di situ, tentu terdapat pasukan pengawal yang menjaga keamanan. Hatinya sudah merasa agak lega, karena kalau sang pangeran tidak berada di sana, maka keselamatan pangeran mahkota itu tidak terancam bahaya.

Akan tetapi kalau semua bagian gedung itu gelap, pada bagian kiri dia melihat sebuah ruangan yang dipasangi lampu penerangan. Cepat dia menyelinap dan tak lama kemudian dia sudah mengintai di luar jendela ruangan itu. Sebuah ruangan yang luas dan nampak tiga orang duduk berhadapan terhalang meja. Agaknya mereka mengadakan perundingan. Akan tetapi yang membuat dia terheran-heran adalah melihat mereka itu semua memakai kedok!

Orang pertama bertubuh tinggi besar dengan perut gendut dan dia mengenakan pakaian ringkas serba hitam, bahkan topeng yang menutupi wajahnya juga berupa topeng hitam. Hanya nampak sepasang matanya yang mencorong lewat lubang pada topeng atau kedok itu. Agaknya dialah yang memimpin perundingan karena sikapnya sangat berwibawa, ada pun sikap dua orang itu penuh hormat seperti sedang menerima perintah dan sering kali mengangguk-angguk.

"Hamba mengerti, Yang Mulia," kata seorang yang mengenakan kedok hijau.
"Ingat, jika tidak terpaksa, jangan melibatkan diri dalam perkelahian," kata Si Kedok Hitam yang disebut Yang Mulia itu.

Sin Wan terkejut mendengar suara itu. Bukan seperti suara manusia, demikian parau dan dalam, seperti suara yang datang dari alam lain!

"Pusaka apa yang harus didahulukan, Yang Mulia?" tanya orang yang mengenakan kedok biru.
"Apa saja, yang penting pusaka Kerajaan Goan. Kalau ada, dahulukan cap-cap kebesaran atau bendera-bendera tanda kekuasaan, juga pedang-pedang tanda kekuasaan."

Selagi orang berkedok hijau hendak bicara, tiba-tiba Si Kedok Hitam memberi isyarat agar dia diam. Tiba-tiba saja dia memutar tubuh ke kanan, tangannya bergerak dan sinar hitam meluncur dengan cepat sekali ke arah jendela di mana Sin Wan mengintai!

Serangan itu hebat bukan main! Ternyata ada tiga batang paku beracun yang meluncur sedemikian cepatnya sehingga dapat menembus kain jendela kemudian menyerang mata, tenggorokan dan dada Sin Wan!

Tetapi dengan tenang namun lebih cepat dari sambaran senjata-senjata rahasia, pemuda ini sudah melempar tubuh ke samping lantas bergulingan sehingga tiga batang paku itu mengenai dinding di belakangnya kemudian runtuh ke lantai sambil mengeluarkan bunyi berdenting. Ketika dia bergulingan itu dia mendengar suara parau aneh itu memerintahkan dua orang tadi untuk segera pergi.

"Cepat kalian pergi, biar kubinasakan pengintai itu!"

Sin Wan hendak melompat pergi, akan tetapi tiba-tiba saja terdengar suara keras, jendela itu pecah berantakan dan sesosok tubuh yang tinggi besar telah menyerangnya dengan dahsyat. Ternyata dia Si Kedok Hitam dan memang orang ini luar biasa sekali. Begitu tiba di luar jendela tangannya telah meluncur hendak menangkap dan mencengkeram pundak Sin Wan.

Dari sambaran anginnya saja tahulah Sin Wan bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan yang sangat tangguh, yang memiliki tenaga sinkang yang amat kuat. Dia pun cepat menggerakkan dan memutar lengan kanannya, menangkis sambil mengerahkan segenap tenaganya.

"Dukkk!"

Sin Wan merasa tubuhnya tergetar dan kuda-kudanya goyah, akan tetapi Si Kedok Hitam itu pun terkejut dan mengeluarkan suara kaget.

"Uhhh...! Siapakah engkau?!" bentaknya.

Dalam suaranya yang parau dan aneh itu terkandung keheranan dan kekaguman. Tentu saja dia kagum karena selama ini jarang sekali atau bahkan hampir tidak ada orang yang dapat menangkis pukulannya tadi, bahkan membuat dia hampir terdorong mundur!

Sin Wan bersikap tenang. "Siapa adanya aku bukan menjadi masalah lagi karena semua orang bisa melihat diriku dengan baik. Yang menjadi pertanyaan adalah, siapakah engkau yang memakai kedok dan berada di gedung milik Pangeran Mahkota?"

Akan tetapi Si Kedok Hitam tidak menjawab dengan kata-kata, melainkan langsung saja menyerang dengan dahsyat sekali, jauh lebih dahsyat dari pada tadi. Sin Wan mengenal serangan berbahaya, tubuhnya bagaikan sehelai bulu burung ringannya sudah mengelak. Akan tetapi lawannya menyerangnya lagi dan ketika dia mengelak, Si Kedok Hitam yang menjadi semakin penasaran menyerang lagi secara tertubi-tubi. Nampaknya dia hendak memukul roboh dan menewaskan Sin Wan yang dianggapnya berbahaya.

Namun pemuda ini tentu saja bukan merupakan lawan ringan baginya. Sin Wan selalu mengelak dan kadang kalau dia menangkis, mereka berdua terguncang hebat!

Tiba-tiba terdengar orang itu mengeluarkan bentakan parau seperti suara seekor biruang marah, kemudian tubuhnya sudah berpusing seperti gasing. Sin Wan terkejut karena dari pusingan tubuh itu mencuat jari tangan yang menotok secara bertubi-tubi. 

Serangan ini sungguh berbahaya sekali, maka terpaksa dia segera meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri. Pada saat itu pula suara keributan terdengar oleh orang-orang di luar gedung dan terdengar derap kaki orang berlari-larian menuju ke gedung itu.

Dari kesempatan selagi Sin Wan meloncat ke belakang, Si Kedok Hitam sudah meloncat jauh sekali meninggalkan tempat itu. Sin Wan berusaha mengejar, akan tetapi orang itu sudah menghilang seperti ditelan kegelapan malam. Dia pun tidak mempedulikan orang-orang yang berdatangan, lalu meloncat dan menghilang pula.

Sin Wan teringat akan percakapan yang didengarnya tadi, maka dia pun langsung berlari cepat menuju gedung pusaka, di mana tersimpan semua pusaka berharga milik kerajaan. Dari percakapan tadi dia menduga bahwa Si Kedok Hijau dan Kedok Biru agaknya sudah ditugaskan oleh atasannya itu untuk mencuri pusaka dari dalam gedung pusaka. Di mana lagi pusaka-pusaka dicuri kalau bukan di gedung pusaka, demikian pikirnya dan cepat dia pun pergi ke tempat itu.

Dugaannya memang tepat. Ketika dia meloncat naik ke atas gedung pusaka, dia melihat ada bayangan dua orang baru saja melayang keluar dari dalam gedung itu, dan dia pun melihat beberapa orang penjaga diam tak bergerak di tempatnya, ada yang sedang duduk dan ada yang rebah. Mereka itu seperti patung saja dan dia pun dapat menduga bahwa tentu orang-orang yang melakukan penjagaan di luar gedung pusaka itu telah dibuat tidak berdaya oleh totokan dua orang yang lihai itu. 

Cepat dia melompat ke atas, ke bagian yang paling tinggi di mana terdapat dua orang itu, akan tetapi dua bayangan itu segera melarikan diri dengan berpencar. Tentu saja dia tidak mungkin dapat mengejar keduanya, maka secepat kilat dia melompat ke arah bayangan terdekat dan begitu dekat dia segera mengirim serangan dengan jurus paling ampuh dari ilmu Sam-sian Sin-ciang (Tangan Sakti Tiga Dewa). Andai kata orang itu mempunyai ilmu kepandaian beberapa kali lipat dari pada tingkatnya yang sekarang pun belum tentu dia akan mampu menghindarkan diri dari serangan dahsyat ini.

Orang itu hanya mengeluh kemudian roboh, tubuhnya pasti akan terguling kalau saja tidak cepat disambar oleh tangan Sin Wan. Orang itu tidak mampu bergerak, akan tetapi masih dapat berbicara karena jari tangan Sin Wan tadi hanya menghentikan jalan darahnya saja, membuat kaki tangannya lumpuh.

"Barang-barangnya... dibawa... temanku...”

Sin Wan percaya karena dia melihat bahwa orang ini tidak membawa apa-apa. Dia lalu membebaskan totokannya dan segera berkelebat pergi untuk mengejar bayangan ke dua yang katanya membawa barang-barang, tentu benda-benda pusaka yang dicuri dua orang maling itu.

Yang penting adalah mendapatkan kembali benda-benda pusaka yang dicuri, dan dia tak ingin membiarkan orang itu dalam keadaan tertotok di atas atap karena kalau sampai dia jatuh, tentu akan tewas. Yang penting baginya sekarang adalah menangkap orang yang melarikan benda pusaka.

Sin Wan mengerahkan seluruh tenaganya berlari cepat hingga akhirnya dia dapat melihat bayangan itu berloncatan dari atas atap ke atas atap rumah lain, dan dia terus mengejar secepatnya. Ternyata orang itu berlari ke rumah gedung milik Pangeran Mahkota yang tadi!

Berdebar rasa jantung di dada Sin Wan. Kalau Si Kedok Hitam tadi berada di rumah itu, dia akan menghadapi lawan berat. Si Kedok Hitam itu sudah berat, apa lagi kalau dibantu orang-orang lain. Akan tetapi dia tidak merasa takut.

Melihat orang itu menghilang ke dalam gedung, dia pun cepat mengintai dari atas atap. Yang membuat dia heran adalah bahwa kini seluruh gedung dipasangi lampu penerangan, tidak seperti tadi. Dia lalu mengintai ke ruangan tengah dan betapa kaget serta herannya melihat Pangeran Mahkota Chu Hui San berada di situ, duduk menghadapi meja panjang ditemani empat orang wanita muda yang cantik-cantik.

Dari pakaian mereka Sin Wan tahu bahwa empat orang wanita itu pasti bukan selir atau dayang dari istana. Agaknya sang pangeran mata keranjang itu tengah bersenang-senang ditemani empat orang wanita panggilan. Anehnya, mengapa baru sekarang pangeran itu berada di situ sedangkan tadi, hanya kurang lebih dua jam yang lalu, belum ada?

Dan sekarang di sekeiiling gedung itu terdapat pengawal, tidak seperti tadi. Bagaimana si pencuri pusaka dapat masuk ke situ tanpa diketahui pengawal? Kalau bersembunyi, dapat bersembunyi di mana?

Sin Wan meragu. Dia tidak berani lancang turun menemui sang pangeran karena hal itu bisa dianggap dosa besar, mengganggu kesenangan sang pangeran mahkota! Ia menanti hingga setengah jam lamanya, tanpa memandang apa yang dilakukan putera mahkota itu bersama empat orang wanitanya, hanya bersiap siaga kalau-kalau bayangan tadi muncul lantas menyerang sang pangeran, atau kalau-kalau bayangan itu menyelinap keluar lagi. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu. Bayangan tadi, maling yang dikejarnya itu seperti lenyap ditelan bumi.

Karena dia tidak berani mengganggu Putera Mahkota, terpaksa Sin Wan pulang dengan tangan kosong. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia menemui Bhok-ciangkun dan memberi laporan tentang semua yang dilihat dan dialaminya semalam.

Bhok Cun Ki tentu saja tertarik sekali, terutama tentang Si Kedok Hitam yang sangat lihai. "Begitu lihainya dia sampai dapat menandingimu, Sin Wan? Hemmm…, tentu dia seorang tokoh besar dari Kerajaan Goan. Dan dia disebut Yang Mulia? Ini menunjukkan bahwa dia seorang bangsawan tinggi, mungkin keluarga Kaisar Mongol yang telah kalah dan jatuh."

"Akan tetapi yang membuat saya tidak mengerti kenapa Pangeran Mahkota tiba-tiba bisa berada di sana, dan mengapa pula Si Kedok Hitam dan kedua orang anak buahnya yang mencuri dari gedung pusaka dapat berada di sana pula?"
"Hemmm…, hal ini memang tidak masuk di akal. Kalau benar Si Kedok Hitam itu seorang bangsawan Mongol, bagaimana mungkin dia dapat berada di rumah milik Putera Mahkota! Memang aneh sekali. Biarlah sekarang juga akan kuperiksa keadaan di gedung pusaka, apakah ada pusaka yang hilang. Kalau menurut ceritamu tadi, Si Kedok Hitam menyuruh anak buahnya mencuri pusaka milik Kerajaan Mongol, terutama cap-cap dan tanda-tanda kebesaran."

Sebentar saja Bhok Cun Ki memperoleh berita bahwa gedung pusaka memang kecurian barang yang bagi Kerajaan Beng tidak berharga, hanya disimpan di sana sebagai benda sejarah, yaitu tiga buah cap kebesaran kaisar dan sebuah pedang tanda kekuasaan kaisar Mongol.

"Jelas sudah, pencurinya tentulah mata-mata Mongol itu!” seru Bhok Cun Ki. "Akan tetapi bagaimana mungkin jaringan mata-mata Mongol dapat bersembunyi di gedung Pangeran Mahkota? Hal ini perlu penyelidikan, tetapi harus dilakukan dengan hati-hati sekali supaya Putera Mahkota tidak sampai merasa tersinggung. Beliau adalah seorang pangeran yang juga menjadi putera mahkota, calon kaisar. Maka bagaimana pun juga aku tidak percaya kalau beliau mempunyai hubungan dengan bangsawan Mongol yang hendak mendirikan kembali Kerajaan Mongol. Mustahil ini!"
"Saya maklum akan kesulitan paman apa bila harus menyelidiki urusan ini. Paman adalah seorang panglima, tentu tidak akan berani kalau harus melakukan penyelidikan di rumah gedung milik Putera Mahkota. Tetapi saya adalah seorang yang tidak terikat oleh disiplin ketentaraan sehingga saya takkan merasa canggung atau rikuh. Apa lagi saya membawa tanda kekuasaan dari Sribaginda Kaisar yang saya terima dari suhu."

Bhok Cun Ki mengerutkan alisnya. "Tetapi bagaimana kalau Pangeran Mahkota marah? Sekali dia memberi isyarat, para jagoan istana akan mengeroyok dan membunuhmu, dan kalau engkau melawan, berarti engkau telah menjadi pengkhianat dan pemberontak!"

Sin Wan menggeleng kepala dan tersenyum. "Saya kira tidak akan begitu, paman. Saya akan mempergunakan cara yang halus. Seandainya dia bermain kasar maka saya masih mempunyai pelindung, yaitu surat kekuasaan Kaisar dan juga kesaksian saya bahwa ada mata-mata Mongol berlindung di rumah pangeran."

Panglima itu menghela napas panjang. Urusan ini memang penting sekali, maka akan dia bicarakan dengan atasannya, yaitu Jenderal Shu Ta.

"Baiklah, Sin Wan. Akan tetapi berhati-hatilah. Aku amat membutuhkan bantuanmu pada pemilihan bengcu kelak. Dan sebaiknya hal ini kusampaikan dahulu kepada Jenderal Shu Ta."

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Bhok-ciangkun berkunjung ke benteng. Namun ternyata dia tidak bertemu dengan Jenderal Shu Ta yang belum datang, dan di situ hanya ada wakilnya, yaitu Jenderal Yauw Ti.

Sesudah menerima penghormatan Bhok Cun Ki, jenderal Yauw Ti yang tubuhnya tinggi besar dan gagah itu bertanya heran, "Ada kepentingan mendesak apakah yang membuat engkau sepagi ini sudah mencari Jenderal Shu?"

Karena Jenderal Yauw Ti juga merupakan seorang atasannya, maka Bhok Cun Ki segera menerangkan mengenai pengalaman Sin Wan tadi malam. Mendengar ini, wajah Jenderal berubah merah dan alisnya berkerut.

"Hemm... hemmm... engkau bermain dengan api, Bhok-ciangkun," katanya tak senang.
"Betapa beraninya bocah Uighur itu bicara! Jangan-jangan dia malah mata-mata Mongol yang hendak mengacaukan keadaan. Bagaimana mungkin Pangeran Mahkota... ahhh, ini mustahil. Biar aku sendiri yang akan bicara dengan beliau, dan jika ternyata anak Uighur itu berbohong maka terpaksa aku akan menangkapnya dengan tuduhan menghina Putera Mahkota!"

Bhok Cun Ki sangat terkejut. Dia tahu betapa Jenderal ini membenci suku-suku bangsa lain. “Saya harap Yauw-goanswe (Jenderal Yauw) tidak terburu nafsu. Saya akan mohon pertimbangan Jenderal Shu...”

"Heh, apa bedanya? Tak urung dia pun akan bertindak seperti yang kulakukan. Di antara kami tak pernah ada ketidak cocokan. Setiap kali timbul masalah, harus kita tanggulangi dengan secepatnya. Kini Pangeran Mahkota dicurigai, maka harus diselidiki sekarang juga untuk menentukan siapa yang bersalah! Sudahlah, serahkan saja urusan ini ke tanganku dan kembalilah!"

Ucapan itu merupakan perintah, maka Bhok Cun Ki segera pulang dengan tubuh panas dingin. Celaka bagi Sin Wan pikirnya. Jenderal Yauw adalah seorang yang sepenuhnya setia kepada kaisar, apa lagi terhadap putera mahkota, dan dia pun seorang yang keras hati dan keras tangan. Kalau sampai Pangeran Mahkota menyangkal, dan keterangan Sin Wan tidak ada bukti, celakalah Sin Wan!

Setelah tiba di rumah, Bhok Cun Ki cepat memberi tahu Sin Wan tentang pertemuannya dengan Jenderal Yauw. "Wah, repot!" katanya cemas. "Tadi Jenderal Shu belum datang dan aku kepergok oleh Jenderal Yauw. Sukar untuk tidak berterus terang, apa lagi dia pun atasanku, wakil Jenderal Shu. Dan orang yang keras hati itu langsung saja menanggapi, hendak menyelidiki kepada Pangeran Mahkota. Dia berani bertindak keras terhadap siapa pun, dan kalau sampai engkau tidak bisa membuktikan keteranganmu, tentu engkau akan dianggap sebagai orang yang menaruh fitnah kepada Pangeran Mahkota. Jenderal Yauw dapat berbuat hal-hal yang mengejutkan, dan dia selalu keras, akan tetapi dia membela kebenaran, tidak ada yang dapat membantahnya."

"Jangan khawatir, paman. Saya berpegang pada kebenaran dan saya yakin bahwa Tuhan Yang Maha Adil akan selalu melindungi orang yang berada di pihak benar."

Bhok Cun Ki menghela napas panjang. "Akan tetapi semua orang akan mengaku benar, Sin Wan, untuk membela tindakannya."

"Saya mengerti, paman. Manusia dapat dibohongi, akan tetapi Tuhan tidak! Tuhan Maha Mengetahui sehingga akan mengetahui pula siapa benar siapa yang salah. Karena saya yakin bahwa saya benar, tidak melakukan fitnah dan tidak berbohong, maka saya berani menghadapi segala resikonya."

Bhok Cun Ki menghela napas panjang dan memandang pemuda itu dengan rasa kagum. "Engkau seorang gagah sejati Sin Wan. Aihh, kalau dulu ketika muda aku dapat bersikap sepertimu, tentu sekarang tidak akan menanggung akibatnya. Nah, kalau begitu terserah kepadamu, Sin Wan."

Pemuda itu maklum bahwa panglima ini tentu teringat mengenai permusuhannya dengan Bi-coa Sianli Cu Sui In, akan tetapi dia tidak menanggapi urusan yang sangat pribadi itu. "Saya hanya minta agar paman suka mengusahakan supaya sekarang juga saya dapat menghadap Pangeran Mahkota."

"Baiklah, akan kutemui kepala pengawal istana yang telah kukenal baik. Apa lagi engkau memegang tanda kekuasaan dari Sribaginda Kaisar, seharusnya tidak sulit bagimu untuk menghadap beliau."

Benar saja, dengan bantuan Bhok Cun Ki tidak sukarlah bagi Sin Wan untuk memasuki istana dan dia pun segera diantar pengawal menuju ke gedung tempat tinggal Pangeran Chu Hui San, putera Mahkota. Dan suatu kejutan yang sama sekali tak disangka-sangka oleh Sin Wan menyambutnya sesudah dia memasuki kamar tamu dan duduk di ruangan luas itu setelah dipersilakan pengawal untuk menunggu di situ. 

Kejutan itu muncul bersama Pangeran Chu Hui San. Pangeran berusia empat puluh tahun yang tinggi kurus, bermuka pucat dan matanya cekung, pesolek serta tubuhnya nampak lemah itu muncul bersama seorang pria tampan berusia tiga puluh lima tahun, berpakaian sebagai seorang sastrawan, sikapnya lembut dan wajahnya cerah dihias senyum, tangan kirinya memegang sebuah kipas putih yang sesuai pula dengan pakaiannya yang serba putih indah, dengan seorang gadis yang membuat Sin Wan terbelalak karena gadis cantik yang tersenyum simpul itu bukan lain adalah Tang Bwe Li atau Lili!

Sebagai orang yang tahu sopan santun, Sin Wan yang telah mendapat gambaran tentang Pangeran Mahkota dan yakin bahwa dia berhadapan dengan pangeran itu, segera bangkit dari tempat duduknya lalu menjatuhkan diri berlutut dengan kaki kiri memberi hormat.

Pangeran Chu Hui San memandang kepada Sin Wan dengan alis berkerut. Jelas bahwa kunjungan seorang pemuda biasa di pagi hari itu, ketika tubuhnya masih terasa lelah dan malas bangun, sangat mengganggunya. Akan tetapi kepala pengawal mengatakan bahwa pemuda yang mohon menghadap itu adalah orang yang memegang tanda kekuasaan dari kaisar dan mohon menghadap untuk urusan yang teramat penting mengenai keselamatan sang pangeran, maka mau tidak mau dia terpaksa bangun dan menerima tamu itu.

"Sin Wan...! Engkau yang datang ini?" Lili berseru, suaranya mengandung nada terkejut, keheranan dan juga kegembiraan.
"Ehh? Engkau sudah mengenal pemuda ini, nona Lili?" Sang pangeran bertanya heran.

Lili tersenyum manis dan Sin Wan melihat betapa Lili nampak sudah akrab sekali dengan pangeran itu, malah sikapnya tidak terlampau merendah seperti sikap orang lain terhadap seorang pangeran mahkota.

"Tentu saja, pangeran! Sejak berusia sepuluh tahun aku sudah mengenalnya!”

Sin Wan yang masih terkejut dan heran, hanya dapat berkata dengan suara lirih, "Lili, tak kusangka akan bertemu denganmu di sini." Dia memandang kepada lelaki tampan yang berpakaian sastrawan, akan tetapi tidak mengenalnya.

"Aku belum lama berada di sini, Sin Wan, menjadi pengawal pribadi yang mulia pangeran mahkota!"

Melihat kedua orang muda itu saling tegur dan bicara seolah-olah dia sendiri tidak berarti dan sudah dilupakan orang, Pangeran Chu Hui San menjadi marah. Bukan marah kepada Lili yang diperkenalkan kepadanya oleh Yauw Siucai lalu diangkatnya menjadi pengawal pribadinya karena selain gadis itu amat lihai, juga cantik menarik sekali dan dia berharap dara itu sekali waktu akan menyerahkan diri kepadanya. Dia marah kepada Sin Wan yang dianggapnya telah mengganggu waktunya.

“Orang muda," dia menegur dengan suara berwibawa. "Pengawal tadi mengatakan bahwa engkau adalah orang yang memegang tanda kekuasaan dari Kaisar. Benarkah itu? Kalau benar, buktikan kepada kami."

Mendengar perintah ini, Sin Wan yang tadinya berlutut dengan sebelah kaki cepat bangkit berdiri lantas mengeluarkan sehelai bendera kecil, yaitu bendera tanda kekuasaan kaisar yang diberikan kepada seorang utusan yang dipercaya.

Melihat benda ini, sastrawan berpakaian serba putih itu segera menjatuhkan diri berlutut, sementara itu sang pangeran juga membungkuk dengan hormat. Melihat Lili masih berdiri seperti biasa saja, sastrawan itu cepat berbisik,

"Nona Lili, berlututlah untuk memberi hormat!"

Lili memandang heran. "Apa-apaan ini? Mengapa aku disuruh berlutut? Kepada Sin Wan ini?"

"Bukan kepada orangnya, tapi kepada benderanya. Leng-ki itu adalah bendera kekuasaan dari Sribaginda, karena itu kita harus menghormatinya sebagai wakil kehadiran Sribaginda sendiri. Berlututlah, nona...," kata pula sastrawan itu berbisik.

Mendengar ini mau tak mau Lili lalu berlutut, meski pun mulutnya cemberut. Kalau berlutut menghormati kaisar, tentu saja dia akan melakukannya dengan senang hati. Akan tetapi kepada sehelai bendera yang dipegang oleh Sin Wan? Sungguh lucu!

Sementara itu Pangeran Mahkota lalu berkata, "Orang muda, kami sudah melihat bahwa engkau memang memegang sebuah leng-ki. Sekarang simpanlah pusaka itu dan silakan duduk." Sikap pangeran itu kini menjadi hormat.

Sin Wan hanya ingin membuktikan bahwa dirinya memang menjadi wakil Ciu-sian yang mendapatkan leng-ki dari kaisar, bukan bermaksud menggunakan kesempatan itu untuk menyombongkan diri. Dia cepat menggulung dan menyimpan kembali leng-ki, lalu duduk di atas kursi, berhadapan dengan pangeran mahkota. Sesudah sang pangeran duduk, Lili dan Yauw Siucai juga mengambil tempat duduk di belakang pangeran itu.

"Nah, sekarang katakan apa keperluan yang mengenai keselamatan kami itu, dan siapa namamu," kata sang pangeran.

Sin Wan memberi hormat sambil duduk, kemudian berkata, "Sebelumnya harap paduka memaafkan saya yang telah berani menghadap paduka tanpa dipanggil dan mengganggu waktu paduka. Nama saya Sin Wan. Saya mewakili suhu Ciu-sian yang sudah menerima titah dari Sribaginda Kaisar untuk melakukan penyelidikan tentang gerakan jaringan mata-mata Mongol yang merupakan ancaman bagi pemerintah."

“Hemm, kalau engkau melaksanakan tugas seperti itu, kenapa pagi ini datang menghadap padaku? Kami tidak ingin memusingkan kepala dengan segala macam urusan penjagaan keamanan!" Sang pangeran mulai marah lagi karena merasa terganggu.
"Maafkan saya, Yang Mulia. Tidak sekali-sekali saya berani mengganggu waktu paduka kalau saja malam tadi tidak terjadi sesuatu yang amat aneh hingga terpaksa saya harus memberanikan diri menghadap paduka untuk mohon keterangan."

Pangeran Chu Hui San mengerutkan kening dan memandang heran. "Terjadi apakah dan mengapa minta keterangan dari kami?”

Dengan singkat tetapi jelas Sin Wan lalu menceritakan pengalamannya semalam, betapa dia melihat tiga orang berkedok berada di gedung peristirahatan milik pangeran mahkota di luar lingkungan istana, sebelum melihat sang pangeran berada di rumah itu.

"Demikianlah, Yang Mulia. Sekarang saya hanya ingin mohon keterangan, siapakah tiga orang berkedok itu."

Wajah Pangeran Mahkota menjadi merah. "Memang benar semalam kami pergi ke rumah peristirahatan kami di luar istana, dikawal oleh sepasukan pengawal. Akan tetapi di sana tidak ada siapa-siapa lagi. Kami tidak mengerti apa yang kau maksudkan dengan orang-orang berkedok itu!"

Tiba-tiba Lili yang berada di belakang pangeran itu menegur. "Sin Wan, tadi malam aku tidak disuruh mengawal yang mulia pangeran. Kalau engkau memang melihat tiga orang berkedok berada di rumah pangeran, kenapa engkau tidak menangkap mereka?"

"Benar sekali pertanyaan itu," kata sang pangeran. "Engkau bertugas sebagai penyelidik, kenapa engkau tidak menangkap mereka?"
"Mohon maaf, yang mulia. Orang berkedok itu lihai bukan main, dan saya tidak berhasil menangkapnya. Sedangkan si kedok hijau dan si kedok biru yang melakukan pencurian di gedung pusaka, pada waktu saya kejar, dia melarikan diri dan menghilang pula di gedung peristirahatan paduka itu kemudian lenyap. Karena semalam saya melihat paduka berada di sana maka saya tidak berani melakukan pengejaran ke dalam."

Sastrawan berpakaian putih yang kelihatan lembut itu memberi hormat kepada pangeran dan berkata dengan suara halus. "Maaf, pangeran. Urusan yang diceritakan pemuda ini menyangkut nama paduka, oleh karena itu haruslah dibuktikan kebenarannya. Pemuda ini harus dapat memperlihatkan bukti dari apa yang dia ceritakan."

"Tepat sekali! Nah, Sin Wan, apa kau mempunyai bukti bahwa semua ceritamu itu benar-benar terjadi?" tanya sang pangeran.

Pada saat itu pula kepala pengawal masuk, lalu menjatuhkan diri berlutut di ambang pintu ruangan, "Mohon ampun yang mulia. Jenderal Yauw Ti mohon untuk menghadap paduka sekarang juga!"

Sebelum sang pangeran menjawab, jenderal yang tinggi besar itu telah melangkah masuk kemudian dia menjatuhkan diri berlutut dengan sebelah kaki dan memberi hormat kepada pangeran mahkota. Kepala pengawal segera mengundurkan diri dengan hati lega karena kemunculan jenderal itu membebaskan dia dari kemarahan sang pangeran.

"Pangeran, hamba ingin bicara penting dengan paduka sekarang juga!" kata jenderal itu dengan sikap dan suara tegas.

Pangeran mahkota mengerutkan alisnya sambil memandang kepada jenderal itu. Walau pun sikapnya jelas menunjukkan bahwa hatinya tak senang dengan semua gangguan ini, namun dia tahu bahwa jenderal yang datang ini adalah seorang kepercayaan ayahnya dan terkenal jujur dan keras, maka dia pun mengangguk dan berkata.

"Hemm, kiranya engkau, Jenderal Yauw Ti. Ada urusan apakah pagi-pagi begini engkau sudah datang berkunjung?"

Jenderal itu tanpa dipersilakan lalu bangkit dan duduk, kemudian dia memandang kepada Sin Wan dan mukanya berubah kemerahan seperti orang marah. "Yang Mulia, kebetulan sekali urusan yang hendak hamba bicarakan ini adalah mengenai diri pemuda itu. Hamba mendengar dari Bhok-ciangkun bahwa pemuda itu, eh, siapa namanya, Sin Wan? Ya, dia memberi keterangan bahwa dia melihat penjahat dan pencuri yang bersembunyi di dalam rumah peristirahatan paduka. Urusan ini teramat penting, menyangkut nama baik paduka sehingga harus dibikin terang sekarang juga."

"Ahh, kami pun sedang membicarakan urusan itu dengan Sin Wan ini dan kami sedang menuntut agar dia dapat membuktikan apa yang dia ceritakan itu," kata sang pangeran.
"Tepat sekali itu, Pangeran yang mulia!" seru Jenderal Yauw Ti. "Memang hamba sendiri pun merasa penasaran mendengar cerita itu, maka hamba menuntut agar pemuda Uighur yang kebetulan menjadi murid Sam-sian ini membuktikan kebenaran ceritanya."
"Pangeran!" tiba-tiba Lili berseru dengan suara tegas. "Urusan ini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan suku bangsa atau keturunan! Saya memprotes kalau ada orang yang menekankan kepada kesukuan Sin Wan!"

Sin Wan sendiri terkejut. Dia tahu benar bahwa gadis liar ini memang mencintanya, tetapi membelanya secara demikian kasar, di depan Pangeran Mahkota dan seperti menyerang Jenderal Yauw Ti, sungguh merupakan perbuatan yang terlalu berani dan lancang sekali.

Pangeran Chu Hui San hanya tersenyum, agaknya dia sudah mengenal watak pengawal pribadinya yang baru itu sehingga tidak merasa heran melihat peledakan ini. Akan tetapi jenderal Yauw Ti mengerutkan alisnya yang tebal dan memandang kepada Lili dengan mata melotot marah. Namun gadis itu pun memandang kepadanya dengan balasan mata melotot yang tidak kalah sengitnya!

"Yang Mulia, siapakah gadis yang kasar dan lancang ini?" tanya sang jenderal, menahan kemarahannya karena di hadapan Pangeran Mahkota tentu saja dia tidak berani bersikap kasar. Pangeran Mahkota segera menengahi dan menyabarkan Jenderal Yauw Ti.
"Jenderal Yauw Ti, harap jangan marah. Dia ini Lili, eh, nona Tang Bwe Li dan dia adalah pengawal pribadiku yang baru. Dia sangat lihai dan boleh dipercaya, dan yang ini adalah Yauw Siucai. Ehh…, sungguh menarik karena kebetulan nama keluarganya sama dengan margamu. Yauw Siucai ini adalah pengawal juga akan tetapi sekarang dia telah menjadi guru sastra untuk puteraku."

Jenderal Yauw Ti mengangguk-angguk, lalu dia kembali memandang kepada Sin Wan dan berkata, "Seperti hamba katakan tadi, pangeran, tuntutan paduka memang sangat tepat dan pemuda itu harus dapat membuktikan bahwa omongannya itu betul. Nah, Sin Wan, bagaimana jawabanmu?"

Sejak tadi Sin Wan hanya menjadi penonton saja. Dia tidak khawatir terhadap jenderal itu karena tahu bahwa jenderal itu adalah orang yang sangat setia kepada Kerajaan Beng, seorang yang sudah berjasa besar. Ada pun sastrawan itu, kalau dia itu pengawal dan juga guru sastra di istana, tentu merupakan orang yang boleh dipercaya. Hanya dia masih bingung dan heran sekali melihat Lili secara tiba-tiba menjadi pengawal pribadi Pangeran Chu Hui San! Dan kini, menghadapi pertanyaan jenderal galak yang agaknya tidak suka kepada suku bangsa Uighur itu, dengan sikap tenang dia pun menatap wajah jenderal itu.

"Jika sekarang jenderal memeriksa ke gedung pusaka, tentu akan mendengar bahwa ada benda-benda yang hilang dan itu merupakan bukti kebenaran cerita saya. Para penjaga yang tertotok semalam juga akan dapat bercerita. Itulah bukti saksi kebenaran keterangan saya."

"Hemm, itu hanya kesaksian bahwa memang gedung pusaka telah dimasuki pencuri. Hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan nama yang mulia Pangeran Mahkota. Yang kami tuntut pembuktiannya adalah keteranganmu bahwa para penjahat berkedok itu berada di rumah gedung milik beliau. Nah, engkau harus dapat membuktikan itu. Mari kita bersama menggeledah rumah itu untuk mencari orang-orang berkedok yang kau ceritakan itu!"

"Sudah pasti kita tak akan dapat menemukan seorang pun!" Sin Wan membantah sambil tersenyum. "Mereka adalah orang-orang lihai sehingga tak mungkin mereka begitu bodoh untuk tinggal diam saja di sana menunggu untuk ditangkap."
"Orang muda, berhati-hatilah dengan kata-katamu. Engkau telah melempar fitnah dengan mengatakan bahwa ada penjahat yang bersembunyi di rumah milik yang mulia Pangeran Mahkota. Apakah engkau hendak mengatakan bahwa beliau sudah bersekongkol dengan penjahat berkedok itu?"

Sin Wan terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa urusan membelok sedemikian rupa sehingga dia yang kini terancam bahaya!

"Ahh, sama sekali tidak, Jenderal!”
"Kau bilang sama sekali tidak? Akan tetapi bagaimana kalau ada orang yang mendengar bahwa pencuri pusaka lari menghilang ke dalam rumah pangeran, dan mendengar bahwa engkau melihat tiga orang berkedok berada di rumah itu? Apakah tidak didesas-desuskan orang bahwa Pangeran Mahkota menyembunyikan penjahat-penjahat itu di rumah beliau? Hayo katakan, bagaimana engkau dapat membuktikan kehadiran para penjahat di rumah beliau. Kalau tidak, maka terpaksa aku akan menangkap dan menahanmu sebagai orang yang menghina dan melempar fitnah kepada Pangeran Mahkota!"

Sin Wan tak dapat menjawab dan dia semakin terkejut. Kini dia yang terancam bahaya, namun dia tidak menyalahkan kekerasan Jenderal Yauw Ti. Memang sudah sepantasnya kalau jenderal itu mencurigainya. Pria berpakaian sastrawan itu kini berkata dan suaranya tetap terdengar lembut.

"Saudara Sin Wan yang gagah, apa yang dikatakan tay-ciangkun (panglima besar) Yauw memang tak keliru. Sebaiknya kalau engkau bisa membuktikan kebenaran keteranganmu dengan menangkap semua atau salah seorang di antara para penjahat berkedok itu, baru engkau mendapatkan bukti."

Sin Wan menggeleng kepala. '"Bagaimana mungkin saya dapat mencari mereka? Selain lihai mereka pun berkedok sehingga saya tidak mengenal wajah mereka."

"Kalau begitu, kami harus menangkap dan memeriksamu, mengusut perkara ini dengan tuduhan engkau sudah menghina Yang Mulia Pangeran!" Jenderal itu lalu menengok ke arah pintu untuk memanggil pasukan.
"Tunggu...!" Tiba-tiba saja Lili melangkah maju sambil mengeluarkan suara bentakan yang mengejutkan semua orang. "Sin Wan, keluarkan leng-kimu tadi, cepat!"

Sin Wan yang tadinya telah merasa bingung, tiba-tiba teringat bahwa dia memiliki senjata yang ampuh, yaitu bendera tanda kekuasaan dari kaisar itu. Kini, mendengar seruan Lili, demi untuk menyelamatkan diri, dia pun segera mengeluarkan bendera kecil itu kemudian mengangkatnya ke atas kepala.

Lili langsung menjatuhkan diri berlutut menghadap Sin Wan sambil berseru dengan suara lantang. "Banswe, ban-ban-swe (hidup Sribaginda Kaisar)!” 

Seruan ini biasa dilakukan orang apa bila menghadap kaisar untuk memberi hormat dan memujikan kaisar panjang umur sampai selaksa tahun! Melihat ulah gadis ini, mau tidak mau semua orang langsung menjatuhkan diri berlutut dengan satu kaki memberi hormat kepada bendera kekuasaan kaisar itu dengan seruan yang sama.

"Siapa yang menghina pemegang leng-ki sama dengan menghina kaisar sendiri!" seru Lili.

Jenderal Yauw Ti menjadi penasaran. "Leng-ki berada di tangan orang yang salah! Aku harus menangkap Sin Wan ini!"

"Menangkap pemegang leng-ki sama saja dengan menangkap Sribaginda Kaisar! Apakah engkau hendak memberontak terhadap Sribaginda, Jenderal? Kalau begitu halnya maka sebagai hamba yang setia terhadap kaisar, aku akan menentangmu!" Lili juga berdiri dan sikapnya menantang.

Melihat ini, Pangeran Mahkota melerai. "Hentikanlah keributan ini dan kita bicara dengan kepala dingin."

"Pangeran," kata Lili cepat mendahului jenderal itu. "Aku mengenal benar siapa Sin Wan. Dia seorang pendekar yang gagah perkasa, dan aku yakin dia tidak akan melakukan hal yang salah, apa lagi menghina dan menyebar fitnah kepada paduka! Dia pemegang leng-ki, bila kita mengganggunya tentu Sribaginda akan marah sekali." Saking emosinya gadis itu sampai lupa diri dan menyebut diri sendiri aku begitu saja kepada Pangeran Mahkota!

Pangeran Chu Hui San maklum akan kebenaran pendapat Lili, karena itu dia pun segera menyabarkan hati Jenderal yang amat keras itu. "Sudahlah, Jenderal Yauw Ti. Apa yang dikatakan Lili memang benar. Engkau tidak boleh terburu nafsu. Mungkin saja rumahku itu dijadikan tempat persembunyian penjahat di waktu saya tidak berada di sana. Siapa tahu? Penjahat itu lihai dan tentu cerdik. Kalau mereka bersembunyi di sana, siapa yang akan menduga dan menangkap mereka?"

Jenderal itu mengangguk. "Baiklah, Yang Mulia. Akan tetapi hamba akan melaporkan dan memprotes ke hadapan Yang Mulia Sribaginda Kaisar dan mohon agar leng-ki itu dicabut dari tangan bocah Uighur ini." Kemudian dia berpaling kepada Lili dan melotot. "Dan kau... kau..." Sinar matanya yang penuh kebencian seperti menyerang diri Lili.

Gadis itu membusungkan dadanya. "Aku mengapa? Engkau jenderal, dan aku pengawal pribadi pangeran, kita sama-sama mengabdi kepada kerajaan. Kalau aku benar, engkau mau apa? Jangan dikira aku takut padamu, jenderal galak!"
Jenderal Yauw Ti mengepal tinjunya. Rasanya ingin sekali dia menerjang dan sekali pukul menghancurkan kepala gadis yang begitu beraninya memaki dan menentangnya di depan pangeran. Akan tetapi di situ ada pangeran mahkota, ada pun gadis itu adalah pengawal pribadi yang agaknya amat disayangnya, maka tentu saja dia hanya menekan amarahnya dan sesudah memberi hormat kepada sang pangeran, dia pun meninggalkan ruangan itu dengan muka merah padam.....
"Sin Wan, cepat kau pergi dari sini. Selidiki dan sedapat mungkin tangkaplah orang-orang berkedok itu, jangan lagi datang ke sini karena Yang Mulia Pangeran tidak tahu apa-apa tentang mereka," kata Lili. "Biar kuantar engkau keluar supaya jangan diganggu jenderal galak itu!” Lili memberi hormat kepada Pangeran Mahkota. "Pangeran, perkenankan saya mengantar Sin Wan keluar dari istana."

Pangeran itu menghela napas panjang, kemudian menggerakkan tangan memberi isyarat agar mereka pergi. Sin Wan memberi hormat, lalu dia keluar dari ruangan itu bersama Lili.
Dengan mudah mereka melewati semua penjagaan karena para penjaga sudah mengenal gadis cantik yang menjadi pengawal pribadi yang baru dari Pangeran Mahkota. Tak lama kemudian rnereka sudah tiba di luar pintu gerbang istana.

"Nah, selamat jalan, Sin Wan. Berhati-hatilah engkau, agaknya jenderal galak itu sangat membencimu.”
"Terima kasih, Lili. Kenapa engkau melakukan semua ini untukku? Kenapa engkau begini baik kepadaku dan berani menentang seorang jenderal berkuasa untuk membelaku?" Sin Wan bertanya sambil menatap wajah cantik itu.

Sebenarnya tidak perlu lagi dia bertanya, karena dia sudah tahu. Akan tetapi karena dia amat berterima kasih dan merasa terharu, karena tanpa pembelaan Lili mungkin dia telah menjadi tawanan, dia pun mengajukan pertanyaan itu.

"Kenapa, Sin Wan? Engkau masih bertanya lagi, kenapa? Apa engkau sudah lupa bahwa aku cinta kepadamu? Aku rela mengorbankan nyawa untuk membelamu karena aku cinta kepadamu, Sin Wan. Selamat jalan." Gadis itu membalikkan diri dengan cepat kemudian memasuki lagi pintu gerbang daerah istana yang terlarang itu.

Sin Wan berdiri laksana patung, mengamati kepergian gadis itu sampai lenyap di sebelah dalam pintu gerbang. Ia menghela napas, lalu membalikkan tubuh dan pergi dari situ. Dia merasa iba kepada Lili dan merasa rmenyesal mengapa dia tidak dapat membalas cinta kasih yang demikian besarnya. Cintanya masih kepada Lim Kui Siang, namun gadis yang dicintanya dan yang tadinya juga mencintanya itu sekarang berbalik membencinya karena dia dianggap musuh besarnya! Ayah tirinya, yang juga merupakan guru pertamanya, telah membunuh ayah gadis itu.

Sin Wan segera melupakan wajah kedua orang gadis itu dan kembali sadar akan keadaan dirinya. Penyelidikannya telah gagal, bahkan sekarang dia yang terancam oleh kecurigaan Jenderal Yauw Ti. Kalau jenderal itu melapor kepada kaisar, bukan tak mungkin dia akan ditangkap dan dituduh telah menghina pangeran mahkota.

Cepat dia melangkahkan kakinya menuju ke benteng, dan di situ dengan girang dia dapat menghadap Jenderal Shu Ta! Agaknya hanya jenderal inilah yang mampu menolongnya karena jenderal ini adalah atasan jenderal Yauw Ti. Sesudah duduk berhadapan dengan Jenderal Shu Ta, Sin Wan melaporkan segala yang telah dialaminya semalam, kemudian betapa dia tadi diancam oleh Jenderal Yauw Ti yang menganggap dia menghina pangeran mahkota.

Sesudah mendengarkan semua laporan Sin Wan dengan penuh perhatian, Jenderal Shu Ta mengangguk-angguk, "Jenderal Yauw Ti memang berwatak keras, dan sungguh tidak kebetulan bagimu bahwa dahulu dia pernah tertawan oleh bangsa Uighur dan mengalami siksaan sebagai tawanan musuh sehingga sesudah dia berhasil dibebaskan, dia menaruh dendam kebencian kepada bangsa Uighur. Sungguh pun demikian, apa yang dia lakukan terhadap dirimu bukan semata karena dendam kepada bangsamu itu, tetapi berdasarkan perhitungan yang tidak dapat disalahkan. Apa bila tidak ada bukti, memang keteranganmu itu dapat dianggap sebagai penghinaan dan pencemaran nama baik pangeran mahkota. Kurasa pendapat pangeran mahkota memang benar, para penjahat itu sengaja memakai rumah peristirahatannya yang kosong untuk bersembunyi, dan aku sendiri pun tidak akan menyangka bahwa rumah itu akan dijadikan tempat persembunyian penjahat. Sudahlah, aku akan menemui Jenderal Yauw Ti agar dia tidak menghadap Sribaginda Kaisar."

Lega rasa hati Sin Wan. Ketika dia meninggalkan benteng, matahari telah naik tinggi dan dia merasa lapar sebab sejak pagi dia belum makan. Sin Wan lalu pergi ke sebuah rumah makan besar di sudut kota yang tidak begitu ramai. Akan tetapi sebelum sampai di rumah makan itu, ketika melewati sebuah rumah penginapan, tiba-tiba dia melihat dua orang di pekarangan rumah penginapan yang membuat dia cepat menyelinap agar tidak kelihatan oleh mereka. 

Jantungnya berdebar penuh ketegangan ketika dia mengenal seorang di antara mereka. Wanita cantik yang memasuki pekarangan bersama seorang kakek tinggi kurus itu adalah Bi-coa Sianli Cu Sui In, bekas guru Lili yang kini menjadi suci-nya! Dia tidak mengenal kakek itu, akan tetapi melihat Cu Sui In, dia pun teringat kepada Lili dan timbul keinginan tahunya.

Lili sendiri sudah menjadi pengawal pribadi pangeran mahkota. Dia sendiri tidak menaruh curiga sedikit pun terhadap Lili, karena dia yakin bahwa Lili adalah seorang gadis yang pada dasarnya memiliki hati yang baik, walau pun dia kasar dan liar. Akan tetapi lain lagi dengan Bi-coa Sianli! Wanita iblis ini telah menewaskan dua orang di antara tiga gurunya, yaitu Kiam-sian (Dewa Pedang) dan Pek-mau-sian (Dewa Rambut Putih). 

Seorang wanita yang lihai bukan main, juga sangat kejam. Kehadirannya di kota raja ini sungguh mencurigakan. Dan yang lebih menarik hatinya, kini dia tahu bahwa Cu Sui In yang masih tetap cantik dalam usia setengah tua itu dahulu adalah kekasih Bhok Cun Ki. Wanita inilah yang menyuruh Lili untuk membunuh Bhok Cun Ki. Dan kini ia datang sendiri ke kota raja.

Siapa pula kakek yang tinggi kurus itu? Dia harus menyelidiki. Siapa tahu ada kaitannya antara mereka dengan orang-orang berkedok. Andai kata tidak ada kaitannya sekali pun, dia tetap harus menyelidiki demi Lili dan Bhok Cun Ki.

Sesudah melihat kedua orang itu memasuki rumah penginapan, Sin Wan menggunakan kepandaiannya, memasuki rumah penginapan itu dengan mengambil jalan memutar dari kebun belakang. Ketika melewati sebuah kamar yang pintunya tertutup, dia mendengar suara Cu Sui In, atau yang diduganya suara iblis betina itu, suara wanita yang merdu dan dingin.

“Sungguh heran, di mana sumoi? Susah benar mencari jejaknya!"

Lalu terdengar suara parau dan dalam seorang pria, tentu pria yang sudah tua, didahului suara tawanya. "Ha-ha-ha, engkau memang aneh sekali, Sui In! Heran aku mengapa ada kebencian yang dapat kau pendam sedemikian lamanya? Sungguh kebencian yang aneh. Kalau menghendaki dia mampus, apa sukarnya? Engkau malah menyuruh anakmu yang membunuh ayah kandungnya, dan sekarang engkau gelisah sendiri. Ha-ha-ha, sungguh mati, wanita memang makhluk paling aneh di dunia ini."

"Ayah, lebih baik jangan membicarakan tentang itu!"
"Kenapa? Dia itu muridku, juga cucuku satu-satunya!"
“Sudahlah, ayah. Sudah kukatakan, jangan mencampuri urusan pribadiku yang satu ini!”

Sunyi sekali di kamar itu dan Sin Wan cepat menyelinap pergi. Wajahnya berubah penuh ketegangan dan harus menenteramkan hatinya lebih dulu di jalan kecil, lorong di belakang rumah penginapan itu. Mereka bicara tentang Lili! Dan ternyata Lili adalah puteri Cu Sui In, dan laki-laki tua yang disebut ayah oleh Bi-coa Sianli itu, yang mengakui Lili sebagai cucunya, siapa lagi lagi kalau bukan See-thian Coa-ong? Kenyataan ini terlalu hebat bagi Sin Wan, membuatnya terkesima dan seperti kehilangan akal. 

Iblis betina itu mendendam secara aneh kepada Bhok Cun Ki! Dan Lili ternyata puterinya, puteri Cu Sui In dan puteri Bhok Cun Ki! Kini mengertilah Sin Wan. Ketika Bhok Cun Ki meninggalkan kekasihnya, Cu Sui In, wanita itu sedang dalam keadaan mengandung. Hal ini agaknya tidak diketahui oleh Bhok Cun Ki. Pantaslah Cu Sui In demikian mendendam kepada kekasihnya atau ayah dari anaknya.

Akan tetapi betapa kejamnya iblis betina itu. Dendamnya hendak dibalasnya secara aneh, yaitu dia hendak mengadu anaknya agar bermusuhan dengan ayahnya sendiri. Ia hendak membuat ayah dan anak itu saling berbunuhan. Hal ini harus dicegah!

Sin Wan merasa amat iba kepada Lili, gadis yang malang itu, yang sangat mencintanya. Andai kata di sana tidak ada Kui Siang, betapa akan mudahnya dia membalas cinta kasih seorang gadis seperti Lili. Tetapi bagaimana cara mencegahnya? Menasehati mereka tak akan ada gunanya, dan pula, dia pun tidak berhak mencampuri urusan rumah tangga dan urusan pribadi mereka. 

Akan tetapi satu hal sudah jelas, Bi-coa Sianli Cu Sui In dan ayahnya See-thian Coa-ong ternyata tak ada hubungannya dengan orang-orang berkedok yang bersembunyi di rumah peristirahatan pangeran mahkota. Agaknya ayah dan anak itu baru saja tiba dan sekarang mereka mencari-cari Lili yang oleh suci-nya disuruh membunuh Bhok Cun Ki. Gadis yang malang itu sama sekali tidak menyadari bahwa orang yang disuruh bunuh adalah ayah kandungnya sendiri, dan yang menyuruhnya adalah ibunya sendiri!

Sin Wan kemudian teringat. Hampir saja Lili tewas ketika bertanding melawan Bhok Cun Ki, diserang oleh orang lain secara menggelap, kemudian diselamatkan atau ditolong oleh Bhok Cun Ki. Sebaiknya kalau mereka itu saling dipertemukan supaya Lili dapat bercerita kepada suci-nya mengenai sikap Bhok Cun Ki. Mungkin saja kebaikan hati Bhok Cun Ki terhadap Lili akan mencairkan kebekuan hati mendendam di dalam dada wanita itu.

Tidak terlalu lama dia menunggu di depan rumah penginapan itu. Ketika dia melihat ayah dan anak itu keluar dari pintu depan rumah penginapan, cepat dia memasuki pekarangan dan menyongsong mereka. Cu Sui In masih tidak berubah, masih seperti dahulu ketika dia melihatnya pada pertemuan antara pimpinan kai-pang (perkumpulan pengemis) untuk merebutkan kedudukan pimpinan para kai-pang. 

Peristlwa itu terjadi lebih dari setahun yang lalu, ketika dia bersama Kui Siang mengikuti Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki yang akhirnya menjadi pemimpin besar para kai-pang kembali, kedudukan yang sebelum itu juga dipegangnya. Namun dipilihnya Pek-sim Lo-kai adalah karena keputusan atau perintah dari Raja Muda Yung Lo, yang mengakibatkan para calon lainnya terpaksa mundur, di antara mereka terdapat pula Bi-coa Sianli Cu Sui In.

Ketika Sin Wan bertemu pandang dengan kakek yang berjalan di samping wanita cantik itu, diam-diam dia merasa terkejut dan kagum. Sinar mata kakek ini mencorong bagaikan mata seekor naga. Meski pun tubuhnya tinggi kurus namun kakek ini kelihatan gagah dan berwibawa, terutama sekali matanya.

"Harap ji-wi memaafkan saya...” Sin Wan memberi hormat dengan mengangkat kedua tangannya ketika dia berdiri di depan kedua orang itu, menghadang perjalanan mereka.
"Hemm, orang muda, siapa engkau dan mau apa?" tanya See-thian Coa-ong, senyumnya yang selalu menghias mulut seperti orang mengejek itu tidak pernah meninggalkan bibir.
"Heii, bukankah engkau... murid Sam-sian yang bernama Sin Wan itu?" Cu Sui In berseru sambil menudingkan telunjuk kanannya ke arah muka Sin Wan. Dia segera teringat akan pengakuan sumoi-nya. Lili mencinta pemuda ini! "Mau apa engkau menghadang kami? Apakah engkau hendak membalaskan kematian Kiam-sian dan Pek-mau-sian?"
"Tidak sama sekali. Saya hanya ingin memberi tahu kepada ji-wi locianpwe bahwa saya pernah bertemu dengan Lili, dan ketika tadi melihat ji-wi, saya lalu bermaksud memberi tahu."

Cu Sui In menatap tajam. "Engkau bertemu dengan Lili? Di mana dia?" Pertanyaannya dilakukan tergesa-gesa karena hatinya gembira mendengar itu.

"Di dalam istana kaisar!” jawab Sin Wan. 
"Ahhh??" See-thian Coa-ong sendiri dan puterinya mengeluarkan seruan kaget.
“Bagaimana mungkin Lili berada di istana kaisar? Apa maksudmu, Sin Wan?” tanya Bi-coa Sianli Cu Sui In.
"Saya bertemu Lili di dalam istana. Dia tinggal di istana Pangeran Mahkota Chu Hui San sebagai pengawal pribadi beliau. Hanya itu yang ingin saya sampaikan kepada jiwi, untuk selanjutnya terserah kepada ji-wi." Sin Wan lalu membalikkan diri hendak meninggalkan tempat itu.
"Haii, tunggu!" terdengar kakek itu membentak sehingga Sin Wan terpaksa menghentikan langkahnya, membalik dan kembali berhadapan dengan mereka. "Sikapmu mencurigakan sekali. Hayo katakan terus terang apa maksudmu dengan pemberi tahuan ini atau engkau akan kubunuh sekarang juga!"

"Ayah, dia adalah pemuda yang dicinta Lili. Sin Wan, mengapa engkau memberi tahukan tentang Lili kepadaku?"
"Lili telah menyelamatkan saya, saya berhutang budi padanya. Akan tetapi saya khawatir dengan kehadirannya di istana. Amat berbahaya bagi gadis seperti Lili, akan tetapi saya tidak berdaya, tidak dapat mencegahnya. Oleh karena itu ketika saya melihat ji-wi, saya memberi tahu agar ji-wi dapat mengeluarkannya dari istana."

Sin Wan memberi hormat dan sekarang dia pergi tanpa dicegah oleh ayah dan anak itu. Setelah pemuda itu pergi, Cu Sui In berkata kepada ayahnya, "Ayah, sekarang juga kita ke istana, menemui Lili dan mengajaknya keluar. Apa-apaan dia menjadi pengawal pribadi pangeran mahkota segala!"

"Ha-ha-ha-ha, siapa tahu dia ingin menjadi isteri pangeran mahkota supaya kelak menjadi pemaisuri kaisar? Ha-ha-ha-ha…!"

Akan tetapi datuk ini menurut saja ketika puterinya menarik tangannya dan mengajaknya pergi menuju ke istana….!

********************
Selanjutnya baca
ASMARA SI PEDANG TUMPUL : JILID-08
LihatTutupKomentar