Pusaka Pulau Es Jilid 07
Yo Han dan Tan Sian Li tidak dapat membantah atau melarang lagi ketika Yo Han Li menyatakan pendapatnya bahwa ia ingin merantau untuk mencari pengalaman.
“Bukankah Ibu dahulu ketika masih muda juga suka merantau mencari pengalaman di dunia kang-ouw sehingga Ibu dijuluki Si Bangau Merah di dunia kang-ouw? Juga Ayah mendapat julukan Pendekar Tangan Sakti karena perantauannya di dunia kang-ouw. Saya hanya ingin merantau dan meluaskan pengalaman saja. Saya tidak ingin mengejar nama julukan dan saya akan selalu berhati-hati agar tak terpancing dalam permusuhan.”
Demikian ucapan Yo Han Li yang membuat ayah ibunya tidak dapat membantah lagi dan terpaksa memberi ijin kepada puterinya untuk merantau. Siapa tahu justru dalam perantauannya itu puteri mereka akan bertemu dengan jodohnya. Mereka tidak perlu khawatir karena sekarang Han Li sudah memiliki tingkat kepandaian yang sebanding dengan tingkat ibunya, sudah cukup kuat untuk menjaga diri.
“Baiklah, kami mengijinkan engkau untuk pergi merantau meluaskan pengalaman. Akan tetapi engkau harus berjanji tidak akan pergi lebih lama dari satu tahun. Dalam waktu setahun engkau harus sudah pulang,” kata Yo Han. “Di dunia kang-ouw sedang kacau karena partai besar seperti Bu-tong-pai hendak memberontak dan mengajak partai-partai sesat untuk bekerja sama. Engkau jangan terpikat oleh mereka itu. Perjuangan kita lain sifatnya. Kita pantang bekerja sama dengan penjahat dan kita bergerak melihat suasana.”
“Aku berjanji, Ayah,” kata Han Li.
“Hati-hatilah, anakku,” kata Tan Sian Li. “Jangan engkau mencari permusuhan dengan siapa pun. Meski pun engkau harus membela kebenaran dan keadilan, membela yang tertindas dan menentang yang jahat, namun kalau tidak terpaksa sekali jangan engkau membunuh orang. Dan yang harus kau ingat benar, jangan sekali-kali percaya begitu saja kepada mulut manis seseorang, karena di dunia kang-ouw banyak sekali penjahat yang bermuka dan bermulut manis. Engkau harus pandai menjaga harga dirimu, walau pun tidak perlu tinggi hati. Jika sekiranya ada bahaya mengancam, sebut nama julukan ayahmu dan nama julukanku, mungkin dapat menolongmu.”
“Baik, Ibu. Aku akan selalu ingat akan nasehat Ayah dan Ibu.”
Tiga hari kemudian, Yo Han Li berangkat meninggalkan Thian-li-pang yang berpusat di Bukit Naga itu dan turun gunung untuk memulai dengan perantauannya. Ia membawa sebuah buntalan pakaian dan sekantung uang. Tidak lupa ia membawa pula sebatang pedang pemberian ayahnya yang selalu dipakainya untuk berlatih silat pedang.
Ayah dan ibunya mengantar puteri mereka sampai keluar pintu gerbang. Bagaimana pun juga, kedua orang tua ini mengkhawatirkan puteri mereka yang merupakan anak tunggal. Mereka tahu bahwa justru kecantikan gadis itu yang akan banyak memberikan gangguan pada puteri mereka.
Yo Han Li yang berusia delapan belas tahun itu memang cantik. Wajahnya mirip dengan ibunya. Mukanya bulat telur dan kulitnya putih mulus, mata agak lebar dan hidungnya mancung. Mulutnya selalu tersenyum agak mengejek dan dihias lesung pipit di pipi kiri.
Tubuhnya sedang dan ramping. Ia berpakaian sederhana, dari sutera berwarna biru dan kuning. Sepatunya dari kulit berwarna hitam. Ia membawa pedang di pinggangnya dan buntalan pakaiannya berada di punggungnya.
Apa yang dikhawatirkan ayah ibu gadis itu ternyata terbukti, bahkan baru sehari setelah gadis itu meninggalkan rumahnya. Sore itu tibalah Han Li di sebuah bukit yang masih bertetangga dengan Bukit Naga. Dari bukit itu, kalau ia menoleh, ia akan melihat Bukit Naga yang dari situ nampak memanjang dan berlekuk-lekuk seperti tubuh seekor naga, dan karena bentuknya itulah maka bukit itu disebut Bukit Naga.
Ketika Han Li sedang melangkah maju dengan cepat untuk mencari dusun di mana ia dapat melewatkan malam, tiba-tiba muncullah dua belas orang laki-laki yang kelihatan kasar. Pakaian mereka tidak karuan dan sikap mereka kasar sekali, mata mereka liar dan bengis, dipimpin oleh seorang laki-laki tinggi besar yang muka codet, yaitu terdapat cacat bekas goresan senjata pada pipi kirinya.
Melihat seorang gadis berjalan seorang diri, dua belas orang itu tertawa senang dan si muka codet itu tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, sungguh tidak kusangka di tempat sesunyi ini terdapat seorang nona yang cantiknya seperti bidadari! Eh, Manis, engkau siapakah dan hendak pergi ke mana?”
Han Li belum pernah bertemu dengan orang-orang macam itu, akan tetapi dia sudah mendengar banyak cerita dari ayah ibunya mengenai orang-orang kasar yang biasanya menjadi perampok. Maka kini dia pun dapat menduga bahwa dia sedang berhadapan dengan segerombolan perampok.
“Aku seorang gadis perantau yang hendak mencari dusun di depan sana. Harap kalian tidak menghalangiku pergi.”
“Ha-ha-ha, untuk apa mencari dusun? Kalau hanya hendak melewatkan malam, ikutlah bersama kami dan kita bersenang-senang. Kami mempunyai banyak arak dan kami pun telah menangkap beberapa ekor lembu dari dusun yang kami lewati. Kita berpesta pora. Mari, Nona!” kata si codet yang menjadi pimpinan gerombolan perampok itu.
Tangan si codet itu sudah dijulurkan ke depan untuk merangkul pinggang yang ramping itu, tapi dengan cepat Han Li sudah melangkah mundur. Pandang matanya mencorong ketika ia berkata, suaranya masih lembut namun mengandung ancaman.
“Sudah kukatakan, harap jangan halangi dan ganggu aku atau kalian akan menyesal nanti!”
“Ehhh? Engkau mengancam kami? Ho-ho-ho-ha-ha, agaknya karena engkau membawa pedang engkau dapat mengancam kami? Menyerahlah, Nona, dan aku akan bersikap manis padamu. Kalau engkau berkeras, terpaksa aku akan menggunakan kekerasan menangkapmu!”
“Hemmm, sombongnya! Boleh kau coba kalau engkau mampu menangkap aku!” kata Han Li dan seluruh urat syaraf di tubuhnya siap untuk menghadapi penyerangan lawan.
“Heiii, kalian dengar, kawan-kawan? Ia menantangku, ha-ha-ha!”
Semua anak buahnya juga tertawa. “Jangan sampai dia terluka, sayang kalau sampai terluka, Toako!”
“Jangan sampai kulit yang putih mulus itu lecet!”
“Ha-ha-ha, sekali ringkus saja ia pun akan berada dalam pelukanku. Kalian lihat saja!”
Tiba-tiba si codet menubruk dengan amat cepatnya. Kedua lengannya yang panjang dikembangkan dan jari-jari kedua tangannya menyambar ke depan untuk menerkam Han Li.
Namun dengan lincah dan mudah saja Han Li menyelinap dan mengelak dari terkaman itu. Ia melihat bahwa lawannya itu hanya seorang yang mengandalkan kekuatan otot saja dan gerakannya terlalu lamban baginya. Begitu mengelak, ia sudah menyelinap ke belakang si codet dan sekali kaki kirinya bergerak, sepatu hitamnya sudah menendang pantat si codet sehingga tubuh tinggi besar itu jatuh tersungkur!
Semua anak buah kaget bukan main melihat betapa pimpinan mereka tertendang roboh oleh gadis itu hanya dalam segebrakan saja. Akan tetapi si codet menjadi penasaran dan marah sekali karena malu.
Dia merangkak bangun, lalu menghadapi Han Li dengan muka bengis dan kemerahan, kedua tangannya dibuka seperti cakar harimau dan tanpa banyak cakap lagi sekarang dia menyerang dengan pukulan dan tamparan. Sepak terjangnya ganas dan liar seperti seekor harimau.
Namun bagi Han Li gerakan itu terasa amat lambat sehingga mudah sekali baginya untuk mengelak ke kanan kiri dan setelah mendapatkan kesempatan, tangan kirinya menampar, kini mengenai leher si codet yang kembali terpelanting roboh dan sekali ini agak lambat dapat bantuan. Kepalanya terasa pening dan lehernya terasa seperti patah!
Akan tetapi hajaran kedua kali itu agaknya tidak membuat kepala gerombolan perampok itu jera. Dia bahkan mencabut golok besarnya dari pinggang dan memutar-mutar golok itu di atas kepala dengan sikap mengancam. Dia tidak lagi menyayang gadis cantik itu dan kalau perlu akan disembelihnya untuk meredakan kemarahannya.
Melihat cara orang mencabut golok dan memutar-mutar di atas kepalanya, tahulah Han Li bahwa orang ini hanya memiliki ilmu silat biasa saja, maka ia pun tak mau mencabut pedangnya. Dia siap menghadapi serbuan orang bergolok itu dengan tangan kosong saja.
“Bocah setan, mampuslah kau sekarang!” bentak si codet dan dia sudah menyerang dengan ganasnya. Goloknya berayun dari kanan ke kiri membabat ke arah leher Han Li.
Dengan menundukkan kepala Han Li sudah mengelak. Golok lewat menyambar di atas kepalanya, kemudian membalik menyambar dari kiri ke kanan membabat pinggangnya! Dengan geseran kaki ke belakang, kembali Han Li membiarkan golok itu lewat.
Setelah dua kali bacokannya dengan mudah dapat dielakkan lawan, si codet menjadi semakin penasaran.
“Hyaaaattt...!” Dia berteriak nyaring dan kini goloknya menusuk ke arah perut gadis itu.
Han Li menggeser kaki ke kiri. Ketika golok itu lewat di dekat perutnya, dia melangkah maju dan secepat kilat tangannya menampar, kini dengan tenaga yang lebih besar dan tamparan tangannya menghantam bawah leher kepala perampok itu.
“Plakkk... ughhhhh...!”
Tubuh itu terbanting keras dan tak dapat bangun kembali. Tamparan tadi amat hebatnya dan membuat kepalanya seperti remuk, bumi berputar dan matanya menjadi juling.
Sebelas orang anak buahnya melihat betapa pimpinan mereka roboh segera mencabut golok masing-masing dan dengan teriakan-teriakan dahsyat mereka serentak menyerbu dan mengeroyok Han Li yang bertangan kosong dari berbagai jurusan. Akan tetapi mereka terkejut bukan main.
Gadis yang tadi berada di tengah-tengah mereka tiba-tiba melayang ke atas dan sudah berada di belakang mereka. Mereka membalik, tetapi dua kali kaki Han Li melayang dan dua orang di antara mereka roboh.
Han Li mengamuk di antara pengeroyokan gerombolan itu dan membagi-bagi tamparan tangannya yang ampuh dan tendangan. Dalam waktu beberapa menit saja dua belas orang itu sudah jatuh bangun dan akhirnya, dipimpin oleh si codet, mereka melarikan diri seperti sekawanan monyet melihat singa betina mengamuk.
Han Li tersenyum geli dan mengibas-ngibaskan dua tangannya, mengebutkan bajunya supaya bebas dari kotoran debu, kemudian ia pun melanjutkan perjalanan seperti tak pernah terjadi sesuatu. Ia sudah mendapatkan pengalaman yang menarik dan ia sudah memenuhi pesan ayah ibunya, yaitu menentang kejahatan namun tidak sembarangan membunuh orang. Kalau ia menghendaki, kiranya tidak sukar baginya untuk membunuh semua lawan tadi.
Han Li melanjutkan perjalanannya. Yang dituju adalah ke kota raja. Ia sudah mendapat keterangan dari ayah ibunya di manakah adanya kota raja, dan ia ingin sekali melihat kota yang besar dan indah itu. Sudah banyak ia mendengar mengenai keindahan kota raja, namun belum pernah ia melihatnya.
Dengan cepat ia menuruni lereng bukit itu menuju ke sebuah dusun yang dilihatnya dari lereng bukit tadi dan mencari tempat untuk bermalam di dusun itu. Sepasang suami isteri petani yang sederhana dengan senang hati memberikan kamar mereka untuk Han Li yang menyewanya…..
********************
Beberapa pekan telah lewat tanpa ada halangan sesuatu yang mengganggu perjalanan Yo Han Li. Pada suatu pagi tibalah ia di tepi Sungai Kuning di daerah Propinsi Shansi. Niatnya akan pergi ke kota Tai-goan dan dari sana terus ke kota Peking.
Ia berjalan menyusuri sungai besar itu untuk mencari tumpangan perahu yang akan dapat menyeberangkannya. Akan tetapi tepi di mana ia tiba itu sangat sunyi, tidak ada dusun nelayan di situ. Dan perahu-perahu yang sedang berlayar itu berada di tengah sungai sehingga ia tidak dapat menghubungi mereka.
Tiba-tiba ia melihat seorang kakek sedang memancing ikan. Kakek itu duduk di atas sebongkah batu di tepi sungai dan memegangi tangkai pancing dari batang bambu kecil, matanya penuh perhatian memandang joran pancingnya.
Memang itulah nikmatnya seorang pemancing ikan. Memperhatikan joran pancingnya dengan penuh harapan dan begitu joran pancingnya bergerak, begitu tangan yang memegang tangkai pancing itu merasakan sentakan, itu tandanya umpan disambar ikan dan pada saat yang tepat menggerakkan tangkai pancingnya ke atas supaya pancing dapat menusuk mulut ikan!
Han Li tidak mengerti tentang seni memancing ikan. Kalau pemancing ikan sedang mencurahkan segenap perhatian kepada joran pancingnya, dia sama sekali tidak boleh ditegur atau diganggu. Karena tidak tahu, Han Li menghampiri kakek itu dari belakang dan bertanya, “Kakek yang baik, tahukah engkau di mana aku bisa menyewa perahu untuk menyeberangkan aku?”
Kakek yang sedang mencurahkan seluruh perhatiannya kepada joran pancingnya serta melupakan segala yang berada di sekelilingnya itu terkejut dan marah.
“Apakah engkau tidak melihat bahwa aku sedang memancing?!” kakek itu membentak tanpa menoleh.
Han Li sangat terkejut. “Maafkan kalau aku mengganggu. Kalau engkau dapat memberi keterangan padaku di mana aku dapat menyewa perahu, biarlah aku beri sedikit uang agar engkau dapat membeli ikan, dari pada susah payah memancing.”
Tapi kakek itu menjadi lebih marah lagi. “Aku tidak butuh ikannya! Aku membutuhkan ketenangan memancingnya. Kalau aku ingin ikan, tidak usah membeli. Dan kalau hanya menangkap ikan, apa sih sukarnya? Kau lihat!”
Tiba-tiba kakek itu menggerakkan ujung tangkai pancingnya ke dalam air seperti orang menusuk dengan tombak. Ketika dia mengangkat tangkai pancing itu... di ujung tangkai dari bambu itu sudah tertusuk seekor ikan besar yang menggelepar-gelepar.
Han Li terkejut sekali. Ia maklum bahwa kakek ini seorang yang berkepandaian tinggi, maka ia memberi hormat dan berkata, “Harap Locianpwe suka memaafkan kalau aku sudah mengganggu ketenangan Locianpwe.”
“Enak saja mengganggu ketenanganku, engkau bahkan sudah menghilangkan seleraku memancing!”
Kakek itu melemparkan ikan dan tangkai pancingnya ke air, lalu membalikkan tubuhnya sambil melompat berdiri. Ternyata kakek itu gemuk dan pendek sekali, bahkan masih kalah tinggi dibandingkan Han Li. Wajahnya seperti kanak-kanak, telinganya lebar dan matanya kemerahan. Wajah itu mendatangkan rasa ngeri dalam hati Han Li.
Ketika kakek itu melihat Han Li, matanya terbelalak dan mulutnya menyeringai. “Aha, kiranya yang menggangguku adalah seorang gadis yang cantik jelita. Nona, engkau ini manusia ataukah penunggu sungai ini?”
Dalam ucapan dan pandang mata kakek itu terkandung keceriwisan seorang yang mata keranjang, maka Han Li lalu memutar tubuhnya hendak pergi dari situ tanpa menjawab pertanyaan tadi. Akan tetapi ketika ia memutar tubuh dan baru melangkah, tiba-tiba ada bayangan orang melewatinya dan tahu-tahu kakek itu telah berdiri di depannya.
“Ho-ho-ho, nanti dulu, Nona. Engkau sudah menggangguku dan sekarang hendak pergi begitu saja? Tidak bisa, tidak boleh! Engkau harus dihukum untuk gangguanmu tadi.”
“Locianpwe, atas kesalahan itu aku tadi telah minta maaf dan bersedia untuk mengganti kerugianmu. Harap Locianpwe tidak menghalangiku dan biarkan aku pergi melanjutkan perjalananku.”
“Ha-ha-ha, enak saja! Orang yang telah menggangguku selagi memancing, seharusnya dihukum mati. Akan tetapi melihat engkau begini cantik, biarlah hukuman itu kuubah. Engkau tidak akan kuhukum mati, tetapi harus menjadi pelayanku selama satu minggu!”
“Engkau keterlaluan, Locianpwe. Aku tak mau menjadi pelayanmu walau hanya sehari, apa lagi seminggu.”
“Hemmm, keputusan hukumanmu tidak dapat diubah lagi. Mau atau tidak engkau harus menjadi pelayanku selama seminggu.”
“Aku tidak sudi dan harap jangan halangi aku pergi!” kata Han Li dengan marah.
Han Li lalu membalikkan tubuh lagi untuk meninggalkan kakek pendek gemuk itu. Akan tetapi kembali ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu kakek itu kembali telah berada di depannya, mengembangkan kedua lengannya sambil menyeringai.
“Engkau tidak boleh pergi sebelum aku membebaskanmu!” katanya.
Han Li menjadi marah sekali. Dengan tangan kirinya dia mendorong pundak kakek itu sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya. Akan tetapi betapa terkejutnya Han Li ketika tangannya bertemu dengan pundak yang sekokoh baja dan tubuh itu sama sekali tidak tergoyangkan dorongannya!
“Ha-ha-ha, mana bisa engkau menyuruhku pergi?” Kakek itu mengejek.
Dalam kemerahannya, Han Li lalu menggunakan tangan kanannya untuk menampar dada kakek itu. Tamparannya ini kuat sekali karena ia mengerahkan tenaga sinkang.
“Wuuuuuttt...plakkk!”
Untuk kedua kalinya ia terkejut dan merasa heran. Tamparannya tadi demikian kuatnya sehingga akan mampu menghancurkan sebongkah batu. Akan tetapi ketika mengenai dada kakek itu, pukulannya itu tidak berarti sama sekali, tenaga sinkang-nya bagaikan tenggelam dan hilang sendiri. Ini hebat! Karena maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang kakek sakti yang agaknya berniat jahat terhadap dirinya, Han Li lalu menyerang dengan ilmu silat Ang-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Merah) yang dipelajari dari ibunya!
Kakek itu pun mengeluarkan seruan heran dan tubuhnya demikian cepatnya mengelak ke sana sini, lalu dia berseru sambil meloncat ke belakang. “Hei, bukankah ini Ang-ho Sin-kun? Apa hubunganmu dengan Si Bangau Merah?”
Han Li merasa bangga bahwa kakek ini mengenal ilmu silat ibunya. “Beliau adalah ibu kandungku!”
“Ho-ho-ho, kebetulan sekali, tidak dapat menghajar ibunya, anaknya pun boleh mewakili ibunya. Nah, kini hukumanmu ditambah lagi. Engkau harus menjadi pelayanku selama satu bulan penuh. Sama sekali tidak boleh ditawar-tawar lagi dan kelak engkau boleh bercerita kepada Si Bangau Merah bahwa engkau pernah menjadi pelayanku selama satu bulan! Ha-ha-ha!”
“Kakek yang sesat! Kalau ayahku mengetahui hal ini, engkau tentu akan dihajar sampai setengah mampus! Ayah kandungku adalah Pendekar Tangan Sakti Yo Han!”
“Ha-ha-ha, itu aku sudah tahu karena aku pernah mendengar bahwa Si Bangau Merah telah menikah dengan Si Tangan Sakti. Karena itu, sampai hari ini perasaan penasaran di hatiku kupendam saja. Dan sekarang engkau muncul tanpa kusangka-sangka. Biarlah rasa penasaran ini kutumpahkan kepadamu!”
“Apa kesalahan ibuku sehingga engkau hendak membalas dendam melalui penghinaan atas diriku?”
“Dulu, pada waktu mudanya, Si Bangau Merah pernah mencampuri satu urusanku dan membikin malu diriku sehingga belasan tahun aku tak ada muka untuk muncul di dunia kang-ouw. Akan tetapi sekarang, ha-ha-ha, biar dia dibantu suaminya, aku tidak akan merasa gentar. Nah, hayo cepat berlutut dan beri hormat kepada majikanmu!”
“Aku tidak sudi!” jawab Han Li.
“Kalau begitu aku akan memaksamu berlutut!”
Kakek itu kemudian menggerakkan tangan kirinya ke arah pundak Han Li. Han Li cepat mengelak, akan tetapi tetap saja merasa pundaknya dilanda angin yang mengandung hawa panas. Ia meloncat ke belakang dan cepat mencabut pedangnya.
“Kalau engkau tidak menghentikan perbuatanmu, terpaksa pedangku ikut bicara!”
“Ha-ha-ha-ha, pedang mainan kanak-kanak itu hendak kau pakai untuk menakut-nakuti aku? Ha-ha-ha-ho-ho!”
Han Li maklum bahwa kakek ini sudah nekat, maka ia kemudian memainkan ilmu silat Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman) yang ia pelajari dari ibunya pula. Ilmu pedang ini hebat bukan main. Saat ia menggerakkan pedangnya, pedang itu mengaum seperti seekor singa marah. Pedangnya berkelebatan dan membentuk gulungan sinar pedang yang dahsyat.
Ilmu pedang ini berasal dari Lembah Naga Siluman yang dikuasai oleh Kam Hong. Kam Hong mengajarkan kepada puterinya, Kam Bi Eng dan Kam Bi Eng menurunkan kepada Tan Sian Li Si Bangau Merah. Kini Tan Sian Li menurunkan kepada puterinya, Yo Han Li.
Sebetulnya, ilmu pedang ini merupakan gabungan ilmu pedang dan ilmu silat suling dan biasanya Tan Sian Li memainkannya dengan sebatang suling berselaput emas. Akan tetapi Yo Han Li tidak suka menggunakan suling, maka oleh ibunya lalu diganti pedang. Walau pun dengan pedang ilmu itu menjadi Ilmu Pedang Naga Siluman, namun unsur-unsur ilmu Suling Emas masih terkandung di dalamnya, maka kehebatannya luar biasa.
Kakek itu berilmu tinggi karena sesungguhnya dia adalah seorang tokoh datuk selatan yang berjuluk Lam-hai Koai-jin (Orang Aneh Laut Selatan). Walau pun usianya sudah enam puluh tahun namun wajahnya seperti kanak-kanak dan wataknya keras, bahkan dia mempunyai watak mata keranjang pula.
Melihat Han Li yang demikian cantiknya, timbul nafsunya dan ingin dia mempermainkan gadis itu. Apa lagi ketika mendengar bahwa gadis itu puteri Si Bangau Merah, nafsunya makin menjadi.
Dahulu, dua puluhan tahun yang lalu, ketika dia masih bertualang di selatan, pernah dia bertemu dengan Si Bangau Merah dan hendak mempermainkannya. Akan tetapi dia lalu dikalahkan oleh pendekar wanita itu. Karena itu, kini dia hendak membalas dendamnya kepada puteri musuh besarnya itu.
Namun, menghadapi permainan pedang Han Li, kakek itu menjadi sibuk dan kewalahan juga. Setelah berloncatan mundur dan kadang ke kanan kiri untuk mengelak, akhirnya dia menyambar tangkai pancingnya dan dengan senjata istimewa ini dia lalu melakukan perlawanan.
Tangkai pancing dari bambu itu bersiutan menyambar-nyambar dan dapat dipergunakan untuk menangkis pedang lawan tanpa khawatir patah atau putus. Juga tangkai pancing itu lebih panjang dari pedang sehingga kakek itu lebih leluasa menyerang Han Li.
Gadis ini terkejut bukan main. Ia memang sudah menduga bahwa kakek itu lihai sekali, akan tetapi sama sekali tidak mengira bahwa dengan tangkai pancing bambu seperti itu kakek itu mampu melawan, bahkan mendesak dirinya! Ujung tangkai itu kini menyerang dengan totokan-totokan ke arah jalan darahnya. Selain itu, juga tangkai pancing itu terus berputar-putar bagai dayung lebar dan ujungnya seperti seekor lebah yang mengancam kepala dan lehernya.
Pada saat yang amat gawat bagi Han Li, tiba-tiba terdengar suara tawa terkekeh-kekeh, “Heh-heh-heh, datuk Lam-hai Koai-jin sekarang sudah menjadi seorang pengecut yang menyerang seorang gadis yang pantas menjadi cucunya!”
Mendengar suara tawa ini, kakek itu segera menahan gerakan tangkai pancingnya dan kesempatan ini dipergunakan oleh Han Li yang sudah terdesak itu untuk melompat ke belakang.
Ternyata yang datang dan tertawa itu adalah seorang laki-laki berusia enam puluhan tahun. Tubuhnya tinggi kurus seperti orang yang kurang makan, pakaiannya juga penuh tambalan walau pun bersih dan tangannya memegang sebatang tongkat bambu. Dari pakaiannya saja sudah dapat diduga bahwa kakek ini seorang pengemis. Rambutnya yang sudah putih semua dibiarkan tergantung di sekeliling pundak dan lehernya.
Melihat pengemis tua ini, Lam-hai Koai-jin terkejut dan segera mengenalnya.
“Lu Tong Ki, gembel tua bangka busuk, mau apa engkau mencampuri urusanku? Gadis ini telah mengganggu aku yang sedang enak-enak memancing ikan, maka perlu kuberi hukuman. Bukankah itu sudah adil?”
“Memang adil, heh-heh-heh. Akan tetapi bagaimana caranya gadis ini mengganggumu dan hukuman apa yang hendak kau berikan kepadanya?”
“Ia mengganggu ketenanganku memancing ikan.”
“Dia bohong, Kek!” Han Li cepat berkata. “Aku hanya menghampiri dia dan bertanya di mana aku bisa mendapatkan tukang perahu untuk menyeberangkan aku ke seberang sana. Tahu-tahu dia marah dan menyerangku!”
“Heh-heh-heh, dan hukuman apa yang akan kau berikan kepada Nona ini, Koai-jin?”
“Aku hanya minta agar ia menjadi pelayanku selama beberapa hari...”
“Tidak begitu, Kek. Tadi dia minta aku berlutut di depannya sebagai majikanku dan dia hendak menjadikan aku pelayannya selama satu bulan!” kata pula Han Li dengan suara nyaring.
“Wah-wah-wah, ini sudah keterlaluan sekali namanya. Tidak malukah engkau, Koai-jin, menghina dan mengganggu seorang gadis muda seperti itu?”
“Kai-ong (Raja Pengemis), jangan engkau usil dan mencampuri urusanku atau terpaksa aku harus menghajarmu pula!”
Kakek yang bernama Lu Tong Ki yang berjuluk Kai-ong itu tertawa panjang. “He-he-heh! Engkau hendak menghajarku? Sejak kapan engkau berani mengeluarkan kesombongan seperti itu? Dan bagaimana caranya engkau hendak menghajarku? Dengan apa?”
“Tentunya dengan ini!” Lam-hai Koai-jin berteriak marah sambil menggerakkan tangkai pancingnya.
Kalau tadi ketika melawan Han Li dia menggenggam pancingnya sehingga pancing itu tidak akan melukai Han Li. Sekarang dia melepaskan pancingnya sehingga ketika dia menyerang, pancing yang berupa kaitan besi kecil menyambar dahsyat ke arah muka Kai-ong.
Akan tetapi Lu Tong Ki bersikap tenang sekali. Begitu pancing itu menyambar dekat, tongkat bambu di tangannya bergerak.
“Trakkk!”
Pancing itu terpental ketika tertangkis tongkat bambu itu dan selanjutnya kedua kakek itu saling menyerang dan tubuh mereka berkelebatan dengan cepat sekali. Bagi orang biasa yang melihatnya, tentu tidak akan mampu mengikuti gerakan mereka karena dua orang itu seperti berubah menjadi bayang-bayang saja.
Akan tetapi Han Li sudah mencapai tingkat tinggi dalam ilmu silat, karena itu ia dapat mengikuti gerakan mereka dan ia merasa kagum bukan main. Kedua orang kakek itu menggunakan kecepatan gerakan mereka untuk mendapat kemenangan dan agaknya dalam hal ilmu ginkang (ilmu meringankan tubuh) keduanya seimbang. Nampaklah sinar tongkat bergumul dengan sinar tangkai pancing, sedangkan pancingnya sendiri sudah sejak tadi putus talinya.
Karena tidak mampu menang dalam hal kecepatan gerakan, Lam-hai Koai-jin kemudian memperlambat gerakannya dan kini dia menggerakkan tangkai pancingnya dan juga menggerakkan tangan kirinya yang terisi penuh tenaga sinkang. Melihat ini, Lu Tong Ki juga mengimbangi lawan dan dia pun mengerahkan tenaga sinkang untuk menandingi pukulan Koai-jin. Mereka ini saling pukul dan suara pukulan mereka menderu-deru, membuat pepohonan di sekeliling mereka bergoyang dan daunnya runtuh berguguran.
Dengan penasaran sekali Koai-jin melempar tangkai pancingnya, dan kini tubuhnya berjongkok. Tubuh yang pendek itu berjongkok sampai pantatnya hampir menyentuh tanah. Dalam keadaan berjongkok itu dia memukulkan kedua tangannya yang terbuka ke depan, dan dari dalam mulutnya terdengar suara nyaring sekali.
“Kok-kok-kok!”
Han Li merasa geli karena sikap dan suara Koai-jin seperti seekor katak besar yang menggembung perutnya.
Akan tetapi agaknya Kai-ong tidak memandang rendah serangan seperti katak besar ini. Dia pun menancapkan tongkatnya ke atas tanah, menekuk kedua lututnya dan dia juga mendorongkan kedua tangannya untuk menyambut serangan lawan.
Jarak di antara mereka ada sekitar dua meter, akan tetapi ketika dua tenaga dahsyat itu bertemu, Han Li merasa ada getaran hebat melanda dirinya sehingga ia cepat duduk bersila dan mengarahkan sinkang agar jangan sampai terluka. Ia melihat betapa kedua orang kakek itu tergetar, akan tetapi tubuh Koai-jin kemudian terpental dan bergulingan ke belakang, sedangkan tubuh Kai-ong hanya bergoyang-goyang saja.
Lam-hai Koai-jin terpental masuk ke dalam sungai. Terdengar suara berjebur, kemudian tubuhnya lenyap ditelan air. Han Li cepat berlari ke tepi sungai dan melihat. Ternyata tubuh itu tidak tersembul kembali.
“Ahh, dia mati Kek...?” tanyanya kepada Kai-ong yang juga sudah berdiri di dekatnya memandang ke air sungai yang dalam itu.
“He-he-heh, dia mati? Hemmm, agaknya engkau masih belum mengenal siapa adanya Lam-hai Koai-jin. Dia datuk besar Laut Selatan, bagaimana bisa mati tercebur ke dalam sungai? Tidak, saat ini dia pasti sudah muncul jauh dari sini, entah berapa jauhnya karena ketika tercebur tadi, dia menyelam. Dia memang seekor katak buduk besar yang lihai!”
“Ahhh...!” Gadis itu berseru kagum. “Akan tetapi engkau telah dapat mengalahkannya, Locianpwe!”
Han Li menyebut locianpwe untuk menghormati kakek pengemis yang ternyata sangat sakti itu.
“Heh-heh-heh, jangan sebut aku Locianpwe atau aku tidak akan sudi bicara denganmu. Namaku Lu Tong Ki, sebut saja aku kakek atau Kai-ong karena memang itu julukanku. Jelek-jelek aku ini raja lho, walau pun hanya raja pengemis, heh-heh-heh!”
“Baiklah, aku akan menyebutmu Kakek atau Kai-ong. Aku merasa berterima kasih sekali kepadamu, Kakek, karena kalau engkau tidak datang mengusir Katak Buduk itu, entah apa jadinya dengan diriku.”
Kai-ong menggeleng-geleng kepalanya dan mulutnya mengeluarkan suara berdecak, baru kemudian da berkata, “Engkau tentu akan celaka sekali! Katak Buduk itu memang jahat, orang yang paling jahat di selatan dan sampai tua tetap saja dia mata keranjang dan jahat sekali. Akan tetapi aku melihat ilmu pedangmu hebat sekali, dan ilmu pedang seperti itu setahuku hanyalah Koai-liong Kiam-sut. Benarkah demikian?”
“Pandanganmu tajam sekali, Kek. Memang benar aku tadi memainkan jurus-jurus dari Koai-liong Kiam-sut.”
“Aha! Kalau begitu, apa hubungannya dengan Lembah Naga Siluman? Bukankah ilmu itu milik Pendekar Suling Emas dan Naga Siluman, Locianpwe Kam Hong?”
“Beliau adalah kakek buyutku, Kek.”
Raja Pengemis itu nampak girang bukan main. “Kalau begitu sudah tentu engkau puteri Si Bangau Merah dan Pendekar Tangan Sakti, bukan?”
“Benar sekali.”
“He-he-heh, pantas saja Katak Buduk tadi hendak menghinamu karena aku mendengar dia pernah dikalahkan oleh ibumu.”
“Dia tadi juga mengatakan demikian, Kek.”
“Engkau hendak ke manakah dan siapa pula namamu?”
“Namaku Yo Han Li, dan aku sedang dalam perjalanan menuju ke kota raja. Aku tadi mencari tukang perahu untuk menyewa perahunya menyeberangi sungai ini.”
“Wah, kebetulan sekali jika begitu. Aku pun hendak ke kota raja, sudah terlalu lama aku tidak menikmati masakan di dapur istana. Aku mempunyai sebuah perahu kecil. Tuh di sana perahuku. Han Li, maukah engkau menyeberang bersamaku kemudian melakukan perjalanan bersamaku ke kota raja?”
“Tentu saja aku mau, Kek. Akan tetapi...” Ia memandang pakaian kakek itu. “Aku tidak mau kalau kau ajak mengemis. Aku membawa bekal uang cukup banyak.”
"Ha-ha-ha, jangan khawatir. Biar pun pengemis, tetapi aku ini rajanya, tahu? Mana ada seorang raja yang pekerjaannya mengemis?”
“Akan tetapi pakaianmu itu, Kek. Penuh tambalan. Biar nanti kubelikan pakaian yang lebih pantas untukmu.”
“Oho, kau kira yang kupakai ini pakaian apa? Ini adalah pakaian kebesaranku sebagai Raja Pengemis, tahukah engkau? Biar ditukar dengan pakaian kaisar sekali pun, aku tidak akan mau. Dan di dalam buntalan ini masih ada beberapa stel pakaian kebesaran. Jangan khawatir, aku setiap hari mandi dan bertukar pakaian. Biar pengemis, aku bukan pengemis busuk, heh-heh-heh!”
Wajah Han Li berubah kemerahan. “Aku pun tidak mengatakan engkau demikian, Kek. Akan tetapi, orang melakukan perjalanan harus ada hubungannya. Sedangkan aku tidak mempunyai hubungan apa pun denganmu. Bagaimana kalau aku menyebut suhu dan menjadi muridmu? Sebagai suhu dan muridnya, tentu tidak aneh melakukan perjalanan bersama.”
Kakek itu tertawa dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Han Li. “Gadis cerdik, engkau ingin aku mengajarkan ilmu silat kepadamu? Bagaimana kalau kelak Pendekar Tangan Sakti dan Si Bangau Merah mengetahui? Tentu mereka akan menjadi marah kepadaku.”
“Tidak, aku jamin. Kalau orang tuaku bertanya, aku akan mengaku bahwa akulah yang ingin menjadi muridmu, bukan engkau yang minta aku menjadi muridmu.”
“Heh-heh-heh, engkau memang cerdik sekali.”
Melihat kakek itu tidak membantah lagi, Yo Han Li lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek itu sambil menyebut ‘suhu’. Lu Tong Ki segera membangunkan Han Li.
“Sudahlah, tak perlu memakai banyak peradatan. Aku memang suka menerima engkau menjadi murid. Engkau puteri sepasang pendekar besar dan engkau berbakat sekali. Akan tetapi, dari semua ilmuku yang dapat menandingi ilmu-ilmumu hanya sebuah saja, yaitu Ta-kwi-tung (Tongkat Pemukul Iblis). Itulah yang akan kuajarkan kepadamu sambil melakukan perjalanan ke kota raja.”
"Terima kasih, Suhu.”
“Nah, sekarang mari kita seberangi sungai ini, Han Li.” kata kakek itu sambil meloncat ke dalam sebuah perahu kecil yang berada di pantai.
Kiranya kakek itu tadi datang berperahu. Han Li juga menyusul Lu Tong Ki meloncat ke dalam perahu. Kalau tadi ketika kakek itu meloncat, perahu sama sekali tidak bergoyang seolah yang hinggap di perahu itu hanya seekor burung. Tetapi ketika Han Li meloncat, perahu itu bergoyang sedikit. Ini saja menunjukkan bahwa dalam hal ginkang, kakek itu telah memiliki ilmu yang tinggi sekali.
Karena perahu itu hanya mempunyai sebuah dayung, Han Li lalu meminta dayung itu dari gurunya dan sebagai seorang murid yang baik, dialah yang mendayung perahu itu menyeberang ke pantai timur. Lu Tong Ki tidak membantah dan membiarkan muridnya mendayung perahu itu.
Perahu itu pun meluncur dengan cepatnya karena Han Li mengerahkan sinkang untuk mendayung perahu itu…..
********************
Ketika perahu itu tiba di seberang sungai, dari perahu mereka dapat melihat seorang wanita berpakaian putih sedang dikeroyok oleh belasan orang yang memegang pedang. Wanita itu bersenjatakan sabuk sutera putih dan gerakannya ringan bagaikan seekor burung bangau putih.
Namun, belasan orang pengeroyoknya itu membentuk barisan pedang yang lihai sekali sehingga wanita itu agaknya berada dalam keadaan cukup berbahaya. Ke mana pun dia bergerak, selalu dia bertemu dengan pedang para pengeroyok yang sudah mengepung dirinya dengan barisan yang teratur rapi.
Kai-ong Lu Tong Ki berkata kepada Han Li. “Han Li, kalau melihat perkelahian itu, apa yang akan kau lakukan? Kau hendak membantu pihak yang mana?”
Han Li berdiri di perahu dan memandang sejenak.
“Aku akan melerai dan menegur belasan orang yang mengeroyok seorang wanita itu, Suhu. Kalau mereka tidak mau menurut, tentu aku akan membantu wanita itu. Ia amat lihai, akan tetapi para pengeroyoknya menggunakan barisan yang amat kuat.”
“Engkau benar dan lakukanlah!” kata kakek pengemis itu sambil tersenyum.
Mendengar ucapan gurunya, Han Li segera melompat ke darat dan berlari menghampiri mereka yang sedang bertanding. Setelah mencabut pedangnya, Han Li menerjang para pengeroyok sambil berseru, “Tahan senjata!”
Dua orang pengeroyok yang pedangnya bertemu dengan Han Li terkejut karena pedang mereka terpental, hampir terlepas dari pegangan. Yang lain lalu berhenti mengeroyok gadis berpakaian putih yang bukan lain adalah Souw Cu In itu.
“Berhenti dulu!” kata Han Li sambil memandang kepada Cu In. “Kalian ini belasan orang laki-laki mengapa mengeroyok seorang wanita? Itu curang namanya!”
“Siapa kau berani mencampuri urusan kami?”
“Tidak peduli aku siapa, akan tetapi kalau melihat kecurangan aku tidak akan tinggal diam. Kalau kalian ini bertanding satu lawan satu aku tentu tidak akan campur tangan.”
“Perempuan ini lancang. Hajar saja!” terdengar teriakan mereka.
Kembali mereka bergerak dengan teratur dan menggerakkan pedang untuk menyerang. Akan tetapi sekali ini bukan hanya Cu In yang dikeroyok, melainkan juga Han Li.
Han Li menggerakkan pedangnya dan Cu In menggerakkan sabuk suteranya. Gerakan dua orang gadis ini begitu hebatnya sehingga barisan pedang itu mulai menjadi kacau.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. Semua pengeroyok mengundurkan diri mendengar bentakan ini dan di situ telah muncul seorang kakek berusia enam puluhan tahun yang memegang sebatang tongkat dan mendatangi tempat itu dengan terpincang-pincang. Ternyata kaki kiri kakek ini timpang sehingga jalannya terpincang-pincang.
Melihat kakek itu, Cu In amat terkejut karena dia mengenal kakek itu sebagai Toat-beng Kiam-sian Lo Cit yang amat lihai itu. Baru-baru ini dia dan Keng Han dapat meloloskan diri dari pengeroyokan kakek ini bersama anak buahnya.
Tadi ketika menyeberangi sungai dan di daratan timur bertemu dengan belasan orang itu yang mengeroyoknya dengan pedang, dia sudah menduga bahwa mereka tentulah anak buah Kwi-kiam-pang. Agaknya di antara mereka ada yang mengenal dirinya yang pernah bermusuhan dengan Toat-beng Kiam-sian Lo Cit.
“Ha-ha-ha, kiranya engkau!” Kakek itu menuding ke arah Cu In. “Sekarang jangan harap engkau akan dapat lolos dari tanganku!”
Berkata demikian kakek itu lalu menggerakkan tongkat pedangnya menyerang Cu In. Gadis ini mengelak dan Han Li membantu, akan tetapi para anak buah Kwi-kiam-pang sudah maju pula mengeroyoknya.
Serangan Lo Cit terhadap Cu In amat hebatnya sehingga dalam waktu pendek saja Cu In sudah terdesak hebat. Juga Han Li yang dikeroyok anak buah Kwi-kiam-pang yang mernbentuk barisan, kini telah terdesak pula.
Tiba-tiba terdengar suara tawa orang. “Ha-ha-ha, Pangcu dari Kwi-kiam-pang ternyata hanyalah seorang pengecut yang mengeroyok dua orang gadis muda!”
Mendengar ucapan itu, Toat-beng Kiam-sian Lo Cit meloncat mundur untuk melihat. Ketika melihat seorang kakek berpakaian tambal-tambalan, dia mengerutkan alisnya. Dia lalu menudingkan tongkat pedangnya ke arah muka pengemis itu dan membentak, “Bukankah engkau Lu Tong Ki yang di juluki Kai-ong? Mau apa engkau mencampuri urusan pribadiku?!”
“Heh-heh-heh, tentu saja aku mencampuri karena yang dikeroyok itu adalah muridku. Bebaskan kedua orang gadis itu dan aku tidak akan mencampuri urusanmu lagi.”
Lo Cit sebetulnya merasa jeri terhadap kakek yang namanya terkenal sekali di antara para datuk itu, akan tetapi dia berbesar hati karena di situ terdapat belasan orang murid-murid utamanya yang sudah pandai membentuk barisan pedang yang amat lihai.
“Kalahkan dulu kami kalau engkau ingin bebas!” tantangnya.
Dia pun langsung menggerakkan pedang yang tersembunyi dalam tongkatnya itu untuk menyerang Kai-ong. Melihat pimpinan mereka sudah menyerang kakek pengemis yang baru tiba itu, anak buah Kwi-kiam-pang kembali menyerbu ke arah Cu In dan Han Li. Kedua orang gadis itu menggerakkan senjata mereka masing-masing dan bekerja sama melakukan perlawanan.
Pertempuran antara Lo Cit melawan Kai-ong amat ramai dan hebatnya. Ternyata tingkat kepandaian mereka seimbang, hanya Kai-ong mempunyai kecepatan yang lebih dari lawannya sehingga serangan tongkatnya membuat Li Cit agak kewalahan. Biar pun ilmu pedang Lo Cit amat dahsyat, akan tetapi karena gerakannya kalah cepat, dialah yang terdesak.
Sementara itu, setelah kini dibantu Han Li, Cu In mengamuk dan dapat mendesak para pengeroyoknya. Anak buah Kwi-kiam-pang yang membentuk kiam-tin (barisan pedang) mulai kacau dan kocar-kacir diamuk dua orang gadis perkasa itu.
Akan tetapi Kai-ong agaknya maklum bahwa apa bila datang lebih banyak anak buah Kwi-kiam-pang, tentu keadaan mereka akan menjadi berbahaya sekali. Juga dia pun maklum bahwa Dewa Pedang itu mempunyai anak perempuan dan murid yang lihai. Kalau mereka datang mengeroyok, kekuatan mereka bertambah dan tentu dia bersama dua orang gadis itu menjadi repot.
Kai-ong memutar tongkatnya dengan cepat, membuat Lo Cit terkejut dan mundur.....
“Lo Cit, biarlah lain kali saja kita lanjutkan perkelahian ini, aku masih mempunyai banyak urusan. Han Li dan engkau Nona, mari kita pergi!”
Sebetulnya Han Li dan Cu In merasa heran mengapa orang tua itu mengajak mereka pergi, padahal keadaan mereka tidak kalah, bahkan sedang mendesak lawan. Akan tetapi Han Li tidak berani membantah perintah gurunya.
“Enci, mari kita pergi!” ajaknya kepada Cu In.
Cu In sendiri maklum bahwa tanpa bantuan gadis dan gurunya itu, tentu ia akan celaka di tangan musuh. Maka ia pun melompat keluar dari gelanggang perkelahian dan pergi mengikuti Han Li yang sudah melarikan diri bersama gurunya.
Melihat tiga orang itu melarikan diri, Lo Cit yang tahu diri tidak mengejar. Keadaannya tadi sudah sangat terdesak, jelas kekuatan musuh lebih besar. Mengejar berarti mencari penyakit, maka dia pun tidak mau mengejar, dan mengajak anak buahnya untuk kembali ke bukit Kwi-san.
Setelah yakin bahwa mereka tidak dikejar, Kai-ong berhenti berlari dan dua orang gadis itu pun berhenti. Kai-ong tertawa-tawa, “Heh-heh-heh, baru sekali ini aku berlari-larian seperti orang dikejar anjing!”
“Akan tetapi, Suhu. Kita sama sekali tidak kalah, malah kita mendesak lawan, kenapa Suhu mengajak kami melarikan diri?”
“Benar, Locianpwe, orang-orang Kwi-kiam-pang itu adalah orang-orang jahat yang perlu dihajar. Kenapa Locianpwe mengajak kami melarikan diri?” bertanya pula Cu In dengan hati penasaran.
“Heh-heh-heh, kalian tahu? Kalau aku mengajak kalian melarikan diri itu adalah untuk keselamatan kalian! Aku mengenal Kwi-kiam-pang. Selain mereka itu lihai, juga mereka licik dan curang sekali, suka menggunakan alat-alat rahasia dan jumlah mereka banyak. Kalau yang lain-lain berdatangan, bagaimana aku akan mampu menyelamatkan kalian. Lebih baik kita pergi selagi mereka terdesak sehingga mereka tidak berani mengejar, heh-heh-heh!”
“Sudah lama aku mendengar kecerdikan Kai-ong, dan ternyata memang Locianpwe cerdik sekali!” puji Cu In.
“Ehhh? Engkau mengenal nama julukanku?”
“Sudah lama aku mengenalnya, Locianpwe dan hari ini aku beruntung sekali mendapat pertolongan Locianpwe dan Adik ini.”
“Enci, tak ada kata tolong-menolong. Sudah menjadi kewajiban kami untuk turun tangan menentang yang jahat. Enci, namaku Yo Han Li, dan bolehkah kami tahu siapa nama Enci?”
“Hemmm, melihat ilmu pedangmu tadi, engkau tentu puteri dari Pendekar Tangan Sakti Yo Han dan Si Bangau Merah, bukan?”
“Ahh, Enci ternyata berpandangan luas dan mempunyai banyak pengalaman sehingga mengenal pula ilmu pedangku. Siapakah engkau, Enci yang baik?”
“Namaku Souw Cu In dari Beng-san.”
“He-he-heh, engkau dari Beng-san? Melihat sepak terjangmu yang hebat dengan sabuk suteramu, tentu engkau ini murid Ang Hwa Nio-nio. Benarkah?”
Cu In memberi hormat. “Locianpwe berpandangan luas dan tentu mengenal Subo.”
Kai-ong mengerutkan alisnya. “Hemm, siapa yang tidak mengenal Ang Hwa Nio-nio dan muridnya Bi-kiam Niocu yang tanpa berkedip suka membunuhi orang? Nama mereka terkenal sekali!”
Mendengar ini, Cu In juga mengerutkan alis. Ia sendiri harus mengakui bahwa subo-nya dan suci-nya sangat kejam terhadap kaum pria. Salah sedikit saja tentu akan mereka bunuh! Ia sendiri tidak demikian dan selalu menentang perbuatan yang kejam itu, dan karena ini pula ia selalu menyembunyikan mukanya agar tidak dilihat pria dan tidak ada pria yang tertarik kepadanya, agar dia tidak usah menyakiti atau membunuh pria itu.
“Subo dan suci memang tersohor, aku lebih suka tidak dikenal orang,“ katanya perlahan dan suaranya mengandung penyesalan besar. “Sekarang aku harus pergi, dan sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas pertolongan Ji-wi (Kalian)!” Setelah berkata demikian, gadis berpakaian putih itu lalu berkelebat lenyap dari situ.
Han Li menghela napas panjang. “Sayang sekali ia pergi. Padahal aku ingin berkenalan lebih lanjut dan ingin melihat wajahnya, Suhu.”
“Ah, sudahlah. Lebih baik ia lekas pergi dan tidak bersama kita agar kita tidak berurusan dengannya. Ia menyembunyikan mukanya tentu bukannya tanpa sebab, apa lagi kalau mengingat watak suci dan subo-nya.”
“Kenapa suci dan subo-nya, Suhu?”
“Mereka adalah pembunuh-pembunuh kejam. Kalau ada laki-laki berani menegur atau memuji, atau bahkan hanya memandang mereka terlalu lama, laki-laki itu tentu akan dibunuhnya! Mereka itu pembenci kaum pria yang sudah hampir gila barangkali!”
“Ahhh...! Akan tetapi aku melihat enci Souw Cu In tadi begitu lemah lembut dan aku yakin dia pasti memiliki wajah yang cantik sekali.”
“Hemmm, siapa tahu? Menurut pengalamanku, wanita yang memiliki wajah cantik tentu selalu ingin memamerkan kecantikannya itu, bukan malah disembunyikan di balik cadar. Aku ragu apakah ia memiliki wajah cantik seperti yang kau duga!”
“Akan tetapi, wajahnya bagian atas demikian indahnya, terutama sepasang matanya. Tidak mungkin kalau dari hidung ke bawah tidak sempurna.”
“Sudahlah, bagaimana pun juga, ia hendak menyembunyikan dirinya di balik cadar. Itu adalah haknya. Sekarang, mari kita lanjutkan perjalanan kita.”
Guru dan murid ini melanjutkan perjalanan dan makin lama Han Li semakin sayang kepada gurunya. Gurunya bersikap manis budi, lemah lembut dan mengajarkan ilmu tongkat dengan sungguh-sungguh. Dia merasa seolah melakukan perjalanan bersama kakeknya sendiri…..
********************
Para pendekar serta ketua-ketua perkumpulan persilatan besar semacam Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai dan yang lain-lain merasa heran sekali melihat sikap Thian It Tosu, ketua Bu-tong-pai yang secara mendadak begitu bersemangat untuk memberontak terhadap kerajaan Ceng. Dan yang lebih mengherankan mereka lagi adalah betapa ketua ini kini tidak segan-segan untuk bekerja sama dengan perkumpulan-perkumpulan sesat seperti Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai.
Bahkan banyak tokoh Bu-tong-pai sendiri merasa heran akan sikap ketua mereka ini. Akan tetapi karena Thian It Tosu memiliki alasan yang kuat, yaitu untuk berjuang harus menyatukan segala kekuatan, mereka pun tidak berani membantah.
Pada suatu hari Thian It Tosu memanggil para sute dan muridnya dalam suatu rapat. Ketua Bu-tong-pai ini masih merasa badannya kurang enak dan kurang sehat sehingga suaranya juga masih parau.
"Pinto merasa tidak sehat, maka untuk memulihkan kesehatan, pinto harus beristirahat dan bersemedhi. Selama pinto bersemedhi, tidak ada seorang pun boleh mengganggu pinto.”
Para sute dan murid menyatakan setuju dan tidak akan melanggar perintah ketua itu. Thian It Tosu yang bertubuh tinggi besar itu menghela napas lega.
“Masih ada satu pesanan lagi. Kalau dalam beberapa hari ini datang seorang pemuda bernama Gulam Sang, harap kalian menerimanya sebagai seorang tamu kehormatan dan melayaninya sebaik-baiknya. Dia adalah seorang tokoh Lama Jubah Kuning yang berilmu tinggi dan dia sudah menjanjikan kerja sama dengan pinto. Para Lama Jubah Kuning akan menjadi sekutu kita dalam perjuangan.”
Kembali semua orang menyatakan taat akan pesan itu. Dan sejak hari itu Thian It Tosu mengurung diri di dalam sebuah ruangan tertutup untuk bersemedhi.
Pesan Thian It Tosu benar terjadi. Tiga hari kemudian di Bu-tong-pai muncullah seorang pemuda yang gagah dan tampan, bermuka bundar dengan mata lebar, dan mengaku bernama Gulam Sang.
“Aku bernama Gulam Sang berasal dari Tibet. Aku sudah menerima pesan dari Thian It Tosu untuk bergabung di sini. Dapatkah aku bertemu dengan Thian It Tosu?”
“Saat ini ketua kami sedang bersemedhi dan sama sekali tidak boleh diganggu. Akan tetapi beliau sudah memesan kepada kami agar supaya menerima Kongcu (Tuan Muda) sebagai tamu terhormat. Silakan Kongcu menanti di sini sampai suhu keluar dari tempat pertapaannya sehingga dapat bertemu dan bicara.”
“Ah, tidak mengapa kalau begitu. Memang tidak baik mengganggu pangcu (ketua) yang sedang bersemedhi. Baiklah, aku akan tinggal di sini menunggu sampai beliau keluar. Aku bisa melewatkan waktuku dengan berjalan-jalan menikmati keindahan Pegunungan Bu-tong-san.”
Para tosu dan murid Bu-tong-pai diam-diam merasa heran dan tidak senang karena Gulam Sang yang dikatakan seorang tokoh Lama Jubah Kuning itu ternyata minum arak dan makan daging.
Ketika Gulam Sang melihat keheranan mereka, dia lalu tertawa dan memberi alasan. “Dahulu aku memang seorang pendeta Lama yang tentu saja pantang minum arak dan makan daging. Akan tetapi karena sekarang aku menjadi orang biasa, bukan pendeta lagi, maka pantangan itu pun sudah aku tinggalkan.”
Setiap hari Gulam Sang meninggalkan Bu-tong-pai, dan setelah hari mulai gelap baru dia kembali. Tak ada seorang pun mengetahui apa saja yang dikerjakan orang aneh ini.
Tiga hari kemudian, Thian It Tosu keluar dari ruangan semedhinya. Selama tiga hari itu hanya seorang saja diperbolehkan memasuki ruangan semedhi, yaitu Thian Tan Tosu, seorang sute-nya yang bertugas untuk mengirim makanan. Tentu saja begitu keluar dari ruangan semedhinya, Thian It Tosu menerima laporan tentang kunjungan Gulam Sang.
“Biarkan saja kalau dia pergi setiap hari, karena tentu ada hubungannya dengan usaha perjuangan kita. Kalau dia pulang, suruh Thian Tan Tosu mengantarnya masuk kamar semedhiku. Pinto akan menemuinya di sana.”
Tidak lama Thian It Tosu keluar, setelah menerima laporan-laporan, dia pun masuk lagi ke dalam kamar semedhi itu.
Sore harinya, Gulam Sang pulang ke Bu-tong-pai. Para tosu memberi tahu kepadanya bahwa Thian It Tosu tadi memesan agar dia diajak masuk ke ruangan semedhi. Gulam Sang menjadi gembira. Dengan diantar oleh Thian Tan Tosu, dia pun masuk ke dalam ruangan semedhi itu.
Tidak ada seorang pun mengetahui apa yang mereka bicarakan. Bahkan Thian Tan Tosu juga tidak tahu karena setelah membawa Gulam Sang masuk, dia pun disuruh keluar lagi. Sampai jauh malam barulah Gulam Sang keluar dari ruangan itu, kemudian memasuki kamarnya sendiri.
Pada keesokan harinya, Gulam Sang berpamit dari para tosu karena dia hendak pergi ke kota raja untuk mengadakan kontak hubungan dengan sekutunya di sana.
“Malam tadi hal itu sudah kubicarakan dengan Thian It Tosu dan aku sudah berpamit kepadanya. Kalau beliau keluar, katakan saja bahwa aku sudah berangkat ke kota raja,” demikian pesannya kepada para tosu Bu-tong-pai.”
Dan setelah Gulam Sang berangkat pergi, pada keesokan harinya Thian It Tosu sudah keluar dari kamar semedhinya dan memimpin Bu-tong-pai seperti biasa. Akan tetapi banyak terjadi hal yang membingungkan para tosu yang lain.
Thian It Tosu sering kali menerima kunjungan tokoh-tokoh Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai dan bahkan tokoh-tokoh dari dunia sesat! Mereka tidak diijinkan hadir dalam pertemuan itu sehingga tidak tahu apa yang dibicarakan oleh ketua mereka dengan tokoh-tokoh sesat itu. Dan para tosu Bu-tong-pai hanya dapat merasa heran dan khawatir.
Pada suatu hari, terjadilah hal yang menggemparkan para tokoh dan murid Bu-tong-pai. Hari itu kembali Thian It Tosu menerima beberapa orang Pek-lian-pai. Menjelang rapat, terdengar suara gaduh. Para tosu yang berlari menuju ke ruangan sidang yang tertutup itu melihat tubuh seorang tosu terlempar keluar, dan ketika mereka semua melihat, ternyata tubuh itu adalah Beng An Tosu yang telah tewas!
Selagi mereka ramai membicarakan hal itu, Thian It Tosu muncul dengan mata bersinar-sinar penuh kemarahan, “Itulah jadinya kalau ada yang lancang berani mengintai dan mendengarkan percakapan kami. Pinto kira yang mengintai itu tentu mata-mata musuh, maka pinto menyerangnya sungguh-sungguh sehingga dia tewas. Kiranya dia adalah sute (adik seperguruan) Beng An Tosu sendiri! Biarlah hal ini menjadi peringatan bagi kalian agar jangan ada yang berani lancang mendengarkan atau mengintai kami!”
Semua anggota Bu-tong-pai benar-benar merasa heran bukan main. Beng An Tosu merupakan seorang tosu yang jujur dan setia, bahkan biasanya amat dipercaya oleh Thian It Tosu. Dan sekarang Beng An Tosu tewas di tangan ketua mereka sendiri! Mulailah para tosu Bu-tong-pai merasa tidak puas dan menduga bahwa ketua mereka agaknya sudah terlalu dipengaruhi oleh para tokoh sesat itu. Akan tetapi apa yang dapat mereka lakukan?
Pada suatu hari, terlihat banyak tamu yang berdatangan dan berkunjung ke Bu-tong-pai. Mereka disambut oleh Thian It Tosu sendiri. Dan kepada para anggota Bu-tong-pai yang terheran-heran melihat hadirnya para tokoh dan datuk sesat, Thiat It Tosu kemudian memperingatkan mereka bahwa untuk berhasilnya perjuangan, dia tidak mempedulikan golongan dari mana yang akan membantunya. Memang para tamu yang berdatangan di waktu itu sangat istimewa.
Thian Yang Cu dari Bu-tong-pai yang merupakan murid utama dari Thian It Tosu, dan juga Thian Tan Tosu, dipercaya untuk membantu ketua Bu-tong-pai itu menyambut para tamu. Selain dua orang tosu ini, tidak ada orang lain boleh mencampuri dan hanya menjadi penonton dari jauh saja.
Tokoh-tokoh besar dari dunia persilatan golongan sesat berdatangan. Koai Tosu tokoh Pat-kwa-pai bersama beberapa orang temannya anggota Pat-kwa-pai datang lebih dulu. Lalu Thian Yang Ji tokoh Pek-lian-pai juga datang bersama belasan orang kawannya. Kemudian muncul pula Swat-hai Lo-kwi yang sudah tua dan semua rambutnya sudah putih itu! Swat-hai Lo-kwi datang bersama Tung-hai Lo-mo yang tak pernah ketinggalan membawa dayung bajanya. Bahkan Ban-tok Kwi-ong, datuk sesat dari selatan itu juga muncul.
Mereka semua dipersilakan masuk ke dalam ruangan besar tertutup, mengadakan rapat yang penuh rahasia sehingga para anak buah Bu-tong-pai sendiri tidak ada yang boleh mendengarkan.
Thian It Tosu yang memimpin rapat itu nampak bersemangat serta gembira sekali, dan dengan berapi-api dia berkata, “Saudara sekalian, kita tidak perlu mempedulikan para pejuang yang tidak mau bekerja sama dengan kita. Setidaknya mereka itu pasti tidak akan membantu pemerintah Mancu.”
“Pangcu kapan kita mulai bergerak? Aku sudah tidak sabar lagi untuk melihat hancurnya kerajaan Ceng!” kata Swat-hai Lo-kwi.
“Benar, aku pun sudah siap dengan sedikitnya lima puluh orang kawanku untuk mulai bergerak menyerang musuh!” kata Tung-hai Lo-mo.
“Harap saudara sekalian bersabar. Kita harus sabar dan memakai perhitungan yang masak,“ kata Thian It Tosu. “Kalian masih ingat ketika pertemuan dulu itu? Gadis yang memperingatkan kita agar jangan memberontak itu telah kami selidiki dan ternyata dara itu adalah puteri dari Putera Mahkota!”
“Ahhh...!” Semua orang berseru kaget.
“Jangan panik! Karena itu, kita harus berhati-hati karena tentu gadis itu akan bercerita kepada ayahnya dan tentu keadaan kita telah diamati dari jauh dan mungkin pemerintah telah menyebar mata-mata. Kalau kini kita bergerak, baru mengumpulkan banyak orang saja sudah akan ketahuan dan sebelum kita bergerak, tentu kita akan dipukul lebih dulu. Dan kita harus ingat bahwa kekuatan pasukan pemerintah amat besar.”
“Lalu bagaimana kita akan bergerak dan mulai berjuang?” tanya Ban-tok Kwi-ong.
“Sabar! Kita harus mempergunakan siasat. Kami perhitungkan, kalau beberapa orang di antara kita yang memiliki ilmu tinggi, seperti Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lomo, Ban-tok Kwi-ong dan beberapa orang lagi pergi ke kota raja dan berhasil menyusup ke dalam istana, akan mudah bagi kita untuk membunuh kaisar dan Putera Mahkota! Kalau hal itu terjadi, kaisar dan Putera Mahkota dibinasakan, tentu di istana akan terjadi kekacauan. Kita akan berusaha supaya yang menjadi pengganti kaisar adalah orang yang berpihak kepada kita. Semua itu akan diatur oleh sekutu kita yang kini juga sedang berada di kota raja, yaitu Gulam Sang.”
“Ahh, Lama Jubah Kuning itu?” terdengar beberapa orang bertanya.
“Benar, akan tetapi sekarang dia bukanlah pendeta Lama lagi. Dia sudah menghubungi beberapa orang hartawan yang akan membiayai semua rencana kita, juga dialah yang akan berhubungan dengan para pangeran di istana. Apa bila pangeran pilihan kita yang menggantikan menjadi kaisar, tentu segalanya akan mudah diatur selanjutnya.”
“Akan tetapi, tidak mudah untuk menyusup ke dalam istana. Pekerjaan itu berbahaya sekali dan nyawa taruhannya,” kata Swat-hai Lo-kwi.
“Harap Lo-kwi jangan khawatir. Hal itu pun serahkan saja kepada Gulam Sang Kongcu. Dia yang akan mengatur sehingga kalian semua akan menyusup ke dalam istana tanpa dicurigai. Misalnya menjadi guru silat salah seorang pangeran, atau ahli pengobatan dari pangeran lain, atau juga pembantu baru. Pendeknya, kalian akan dapat masuk ke istana dengan berterang, tentu saja dengan menyamar. Semua itu telah direncanakan oleh Gulam Sang Kongcu. Kalian tinggal menanti berita selanjutnya dari kami…..”
********************
Telah lama kita tinggalkan Tao Seng dan Tao San, dua orang pangeran yang dulu telah dijatuhi hukuman buang oleh kaisar karena usaha mereka hendak membunuh Putera Mahkota Tao Kuang, akan tetapi mengalami kegagalan karena Pangeran Tao Kuang dapat ditolong oleh Liang Cun yang berjuluk Sin-tung Koai-jin dan puterinya, yaitu Liang Siok Cu. Seperti sudah diceritakan di bagian depan, Liang Siok Cu kemudian menjadi selir Pangeran Tao Kuang yang kemudian melahirkan Tao Kwi Hong.
Bagaimana dengan kedua orang pangeran yang dibuang itu? Mereka dijatuhi hukuman buang selama dua puluh tahun dan telah dilupakan orang. Akan tetapi, mereka tidaklah lenyap begitu saja. Juga mereka tidak mati dalam pembuangan mereka, meski mereka hidup sengsara. Tidak, mereka masih hidup!
Pada suatu hari, mereka bahkan kembali ke kota raja karena hukuman mereka sudah habis. Keluarga kaisar tidak dapat berbuat apa-apa terhadap kembalinya dua pangeran itu. Akan tetapi, lingkungan istana bersikap tidak acuh kepada mereka yang dianggap telah melakukan kejahatan yang memalukan.
Tao Seng dan adik tirinya, Tao San, kini telah menjadi dua orang laki-laki setengah tua. Tao Seng kini berusia empat puluh lima tahun dan Tao San berusia empat puluh empat tahun. Mereka mengumpulkan harta kekayaan mereka, kemudian menjadi pedagang yang berhasil sehingga mereka menjadi kaya raya.
Untuk membuang riwayat yang memalukan di waktu yang lalu. Tao Seng kini memakai nama Ji dan terkenal dengan sebutan Ji Wan-gwe (Hartawan Ji), sedangkan Tao San menggunakan nama San Wan-gwe (Hartawan San). Hanya keluarga kaisar saja yang tahu bahwa Ji Wan-gwe dan San Wan-gwe adalah bekas Pangeran Tao Seng dan Tao San.
Karena saat dihukum buang mereka masih muda, maka setelah lewat dua puluh tahun, mereka sudah tidak mempunyai keluarga lagi. Setelah menjadi hartawan, keduanya lalu mengambil isteri dan membentuk keluarga baru.
Keliru kalau ada yang menganggap bahwa kedua orang pangeran itu telah menjadi jera atau sadar akan kesalahan mereka. Sama sekali tidak dan sebaliknya malah. Peristiwa hukuman bagi mereka itu mendatangkan dendam kesumat yang membuat mereka tidak segan untuk mencari jalan membalas dendam mereka.
Di dalam pembuangan mereka di barat, pada suatu hari Pangeran Tao Seng bertemu dengan seorang pemuda yang menarik hatinya. Pada saat itu dia berusia empat puluh tahun dan pemuda itu berusia dua puluh lima tahun. Pemuda itu menarik perhatiannya karena pemuda itu memiliki ilmu silat yang tinggi bahkan pandai pula dalam ilmu sihir. Pemuda itu adalah Gulam Sang!
Gulam Sang sendiri adalah seorang pelarian dari Tibet. Dia adalah murid para pendeta Lama termasuk Dalai Lama, akan tetapi akhirnya dia berkhianat dan memihak Pendeta Lama Jubah Kuning untuk memberontak. Maka dia dikejar-kejar dan melarikan diri ke timur sampai bertemu dengan Pangeran Tao Seng.
Mungkin karena nasib sama, mereka segera menjadi akrab, dan akhirnya Pangeran Tao Seng melihat bahwa pemuda itu kelak akan amat berguna baginya, maka dia kemudian mengangkat Gulam Sang sebagai puteranya! Mula-mula Gulam Sang merasa ragu-ragu untuk menerimanya, karena walau pun Tao Seng adalah seorang pangeran akan tetapi pangeran buangan!
Tetapi Pangeran Tao Seng lalu menceritakan ambisinya. Ia hendak membalas dendam dan merebut kekuasaan kaisar! Kalau dia telah berhasil menjadi kaisar, maka dia akan mengangkat Gulam Sang menjadi Pangeran Mahkota yang kelak akan menggantikan dia menjadi kaisar. Janji muluk inilah yang menarik hati Gulam Sang dan akhirnya dia menerima menjadi putera Pangeran Tao Seng.
Demikianlah, setelah hukuman buang mereka habis dan Pangeran Tao Seng bersama Pangeran Tao San kembali ke timur, Gulam Sang juga ikut pergi ke kota raja Peking, di mana dia dikenal sebagai putera Tao Seng yang bernama Tai Lam Sang.
Pada suatu hari, di rumah tempat kediamannya, Tao Seng mengajak Gulam Sang dan Tao San bercakap-cakap tentang rencananya.
“Kita mempunyai cita-cita yang besar,” demikian Tao Seng bicara kepada Tao San dan Gulam Sang. “Akan tetapi jangan dikira mudah saja untuk membuat cita-cita kita dapat menjadi kenyataan. Selama lima tahun ini engkau banyak belajar dariku, Lam Sang. Engkau sudah mempelajari sastra dan budaya sehingga tahu bagaimana untuk menjadi seorang pribumi. Akan tetapi untuk sungguh-sungguh bisa berhasil, engkau harus pergi menghubungi orang-orang di dunia kang-ouw. Terutama sekali hubungilah Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Dalam hubungan itu sebaiknya kalau engkau menggunakan namamu sendiri dan mengaku saja dari Lama Jubah Kuning. Kita harus menyusun kekuatan dan untuk itu, engkaulah yang bertugas mengadakan hubungan-hubungan dengan mereka. Kalau saatnya sudah tiba, barulah kita turun tangan.”
Semua rencana diatur oleh Tao Seng, sedangkan pelaksananya adalah Gulam Sang yang memiliki kecerdikan dan kepandaian luar biasa. Dengan sangat mudahnya, melalui ilmu silatnya yang tinggi dan ilmu sihirnya, dia mampu mempengaruhi Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Didatanginya para pimpinan kedua perkumpulan, itu dan di depan mereka dia membuktikan kehebatan kepandaiannya.
Setelah mendengar bahwa Gulam Sang adalah seorang Tibet dan dari kelompok Lama Jubah Kuning, mereka semua percaya dan menariknya sebagai sekutu dan sahabat. Tercapailah rencana pertama dari Tao Seng, yaitu mencari sekutu yang memiliki banyak anak buah dan yang memusuhi pemerintah.
“Lam Sang, aku tahu benar bahwa orang-orang pribumi bangsa Han pada umumnya tidak suka akan pemerintah Mancu yang mereka anggap sebagai penjajah. Mereka itu mendendam, tetapi mereka belum ada yang sungguh-sungguh bergerak karena merasa kekuatan mereka belum ada. Akan tetapi, begitu kekuatan mereka dianggap cukup, tentu mereka bergerak menyerang pemerintah. Karena itu, tugasmu yang ke dua adalah membujuk partai-partai bersih, para pendekar, terutama dari Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, dan lain-lain. Jika dipersatukan, mereka itu merupakan kekuatan yang amat besar karena mereka memiliki banyak pendekar yang sakti. Nah, engkau harus mencari akal bagaimana cara untuk dapat mempengaruhi mereka sehingga mereka mau diajak bersekutu dan memberontak.”
Kembali Tao Seng membuat rencana. Ditambah dengan kecerdikannya sendiri, Gulam Sang lalu mulai bergerak. Ia melakukan penyelidikan terhadap semua perkumpulan silat besar itu dan mencari kelemahan-kelemahan mereka. Tetapi sukar sekali menemukan kelemahan mereka, sampai akhirnya dia mendengar betapa ketua Bu-tong-pai yang bernama Thian It Tosu berada dalam keadaan yang tidak sehat.
Kekuasaan tosu itu besar sekali. Setiap kata-katanya merupakan hukum bagi para anak murid Bu-tong-pai. Lebih dari itu, Bu-tong-pai amat terkenal di antara semua partai dan sangat dihormati. Betapa besar pengaruh orang yang menjadi ketua Bu-tong-pai, tidak hanya di dalam perguruan itu sendiri, melainkan juga di dunia kang-ouw. Kalau saja dia dapat menguasai Bu-tong-pai!
Dengan pikiran ini dia kemudian mulai mempelajari keadaan Thian It Tosu, kebiasaan-kebiasaannya, tingkah lakunya, caranya berbicara, dan sebagainya. Ketua yang berusia enam puluh tahun itu bertubuh tinggi besar, amat mirip dengan tubuhnya. Ini merupakan modal utama baginya.
Setelah mempelajari semua dengan baik, mulailah dia bertindak. Mula-mula dia menguji diri sendiri. Dengan ilmunya menyamar, dia menggunakan topeng tipis terbuat dari karet yang menutupi mukanya sehingga wajahnya berubah menjadi wajah Thian It Tosu, lengkap dengan jenggot dan kumisnya yang panjang. Topeng itu sedemikian sempurna sehingga kalau tidak dikupas dari mukanya, tidak akan ada orang yang tahu bahwa dia memakai topeng. Pakaiannya pun persis dengan pakaian jubah tosu.
Pada suatu senja, dalam cuaca remang-remang, dia pun berjalan dekat Bu-tong-san dan sengaja berjalan berpapasan dengan lima orang murid Bu-tong-pai. Pada waktu melihat dia, serta merta lima orang murid itu memberi hormat dan menyebutnya suhu.
Dia pun menirukan suara Thiat It Tosu. “Hemmm, sudah larut senja begini baru pulang. Kalian dari mana?”
“Kami pergi berburu dan sekalian mencari kayu bakar, Suhu,” jawab kelima orang murid itu.
Gulam Sang merasa gembira sekali. Ujiannya terhadap dirinya sendiri yang menyamar sebagai Thian It Tosu berhasil baik. Pada lain harinya, dia sengaja muncul di siang hari menemui murid-murid yang sedang bekerja di luar dan tidak ada seorang pun murid yang meragukan bahwa dia adalah Thian It Tosu.
Setelah yakin benar baru dia melanjutkan rencananya. Dia melakukan pengintaian dan pada suatu hari dia melihat Thian Tan Tosu dan Thian Yang Cu sedang pergi berdua turun gunung. Dia sudah menyelidiki dengan jelas siapa adanya dua orang tosu ini.
Thian Tan Tosu adalah sute dari Thian It Tosu sedangkan Thian Yang Cu adalah salah seorang murid utama dari Thian It Tosu. Dia juga telah mempelajari keadaan dua orang tosu ini dan maklum bahwa ia mampu menaklukkannya, baik dengan ilmu silat mau pun dengan ilmu sihirnya. Dengan menyamar sebagai Thian It Tosu, di tempat yang sunyi di lereng bukit dia muncul menghadang dua orang yang sedang melakukan perjalanan itu.
Begitu bertemu dengan Thian It Tosu palsu ini, Thian Tan Tosu dan Thian Yang Cu segera memberi hormat.
“Suheng...!”
“Suhu...!”
“Hemmm, Sute dan Thian Yang Cu, kalian hendak pergi ke mana?” tanya Gulam Sang atau Thian It Tosu palsu itu.
Kedua orang itu memandang heran. “Apakah Suheng sudah lupa lagi? Tadi Suheng yang minta kami untuk mencari sumbangan ke kota, untuk membeli bahan pakaian kita semua.”
“Oh, benar juga, pinto yang lupa. Sute, sudah lama pinto tidak melihat kemajuan ilmu silatmu. Juga engkau Thian Yang Cu. Sebagai murid utama engkau harus memiliki ilmu silat yang tinggi.”
“Saya mohon petunjuk, Suheng,” kata Thian Tan Tosu.
“Teecu (murid) mohon petunjuk Suhu,” kata Thian Yang Cu.
“Baik, sekarang kalian berdua coba untuk bertanding dengan pinto supaya pinto dapat melihat di mana letak kekurangan-kekuranganmu. Maju dan seranglah!”
“Teecu tidak berani, Suhu.”
“Berani atau tidak, engkau harus melawanku bertanding. Kalau tidak, bagaimana pinto mengetahui kelemahanmu dan memberi petunjuk?”
“Suheng, akhir-akhir ini kesehatan Suheng terganggu, sungguh tidak baik mengeluarkan banyak tenaga untuk berlatih.” Thian Tan Tosu juga mencegah.
“Sute, engkau tidak memperoleh banyak kemajuan, untuk melawanmu bertanding, pinto tidak perlu menggunakan banyak tenaga. Kalau kalian sungkan menyerang lebih dulu, baiklah pinto yang menyerang lebih dulu. Lihat pukulan!” Dengan cepat Thian It Tosu menyerang dengan pukulan kedua tangannya ke arah dua orang itu.
Akan tetapi Thian Yang Cu dan Thian Tan Tosu dapat mengelak dengan sigapnya dan kedua orang ini tidak dapat menolak lagi. Mereka harus mengeluarkan kepandaiannya agar dinilai oleh sang ketua.
Akan tetapi serangan mereka dapat dielakkan dengan mudah oleh tosu yang selama ini nampak kurang sehat itu. Gerakannya demikian cepatnya sehingga serangan dua orang tokoh Bu-tong-pai itu hanya mengenai angin saja. Kemudian terdengar Thian It Tosu membentak, kedua kakinya ditekuk rendah, kedua tangan didorongkan ke depan dan akibatnya, Thian Tan Tosu terhuyung ke belakang sedangkan Thian Yang Cu terpental beberapa meter jauhnya!
Dua orang itu terkejut bukan main. Mereka tidak mengenal pukulan sang ketua, pukulan aneh yang dilakukan dengan dua kaki ditekuk itu, akan tetapi daya pukulan itu sungguh dahsyat bukan main. Thian Yang Cu yang ilmu silatnya sudah cukup tinggi langsung merasa sesak dadanya, sedangkan Thian Tan Tosu merasa kepalanya pening.
Thian Yang Cu segera memberi hormat, kemudian berkata dengan malu-malu. “Teecu memang bodoh dan lemah.”
Dia merasa malu sekali bahwa menghadapi gurunya, mengeroyok pula dengan paman gurunya, mereka berdua dikalahkan dalam beberapa gebrakan saja! Itu pun suhu-nya masih menahan tenaganya. Kalau tenaga sinkang yang dahsyat itu dikeluarkan semua, mungkin mereka berdua sudah tidak mampu bangkit lagi.
“Wah, suheng agaknya telah menciptakan jurus pukulan baru yang hebat bukan main!” kata pula Thian Tan Tosu dengan kagum.
“Hemm, pinto tidak menciptakan jurus baru, tapi kalian yang bodoh, kalian yang lemah, tidak ada kemajuan sama sekali. Sungguh menyebalkan dan menyedihkan sekali!”
“Suhu...!”
“Suheng...!”
“Diam! Kalian membuatku kecewa. Bila kepandaian kalian hanya sebegitu saja, padahal kalian merupakan dua orang terpenting di Bu-tong-pai sesudah pinto, apa jadinya nanti dengan Bu-tong-pai? Hanya akan menjadi bahan tertawaan saja. Dengar baik-baik, aku melarang kalian membicarakan lagi tentang latihan kita tadi! Mengerti?”
“Baik, Suheng.”
“Baik, Suhu.”
Thian It Tosu sudah tidak mempedulikan keduanya lagi dan membalikkan tubuhnya, lalu berkelebat cepat lenyap dari situ. Thian Tan Tosu dan Thian Yang Cu saling pandang dengan heran. Mengapa ketua mereka yang biasanya ramah dan tutur sapanya halus lembut itu mendadak menjadi begitu galak? Akan tetapi larangan tadi amat berkesan di dalam hati mereka dan suara ketua itu seolah-olah masih berdengung berulang-ulang di telinga mereka.
“Thian Yang Cu, kau pikir bagaimana baiknya sekarang?”
“Susiok (Paman Guru), sebaiknya kita kembali dan menghadap Suhu, mohon agar kita diajari ilmu pukulan baru yang dahsyat tadi.”
“Kalau dia marah?”
“Biar kita tanggung berdua. Pelajaran itu penting sekali untuk memperkuat Bu-tong-pai, Susiok. Dan memang sudah sepatutnya kalau suhu mengajarkan kepada kita.”
“Akan tetapi karena dia sudah melarang kita membicarkkan hal itu, tentu berarti dia tidak suka terdengar oleh orang lain. Maka, kita harus mencari saat yang tepat selagi suheng berada seorang diri untuk menghadap dan mohon diberi pelajaran itu.”
Kedua orang itu lalu kembali ke Bu-tong-pai. Dan pada sore harinya, ketika Thian It Tosu sedang berjalan-jalan di taman bunga perkumpulan itu seorang diri dan di sekitar tempat itu sunyi tidak nampak seorang pun murid Bu-tong-pai, muncullah Thian Tan Tosu dan Thian Yang Cu, segera berlutut di depan Thian It Tosu sedangkan Thian Tan Tosu memberi hormat dengan membungkuk dan mengangkat kedua tangan ke depan dada.
Thian It Tosu adalah seorang tosu yang ramah dan lembut, akan tetapi dia pun keras memegang disiplin dan semua peraturan Bu-tong-pai harus ditaati. Merasa terganggu ketika berjalan-jalan itu, dia mengerutkan alisnya dan bertanya kepada mereka dengan singkat, “Apa maksudnya ini? Kalian mau apa?”
Kedua orang itu menjadi gentar mendengar pertanyaan singkat itu. Mereka mengira bahwa Thian It Tosu marah, dan sebelum mereka sempat menjawab tiba-tiba terdengar suara lembut di belakang mereka.
“Siancai-siancai-siancai...! Dari mana datangnya orang yang berani menyamar sebagai pinto?”
Ketika dua orang menoleh, mereka terkejut melihat ada seorang Thian It Tosu yang lain berada di situ. Semuanya sama, bentuk tubuhnya, wajahnya, bahkan suaranya. Hanya bedanya, yang baru muncul ini bersuara lembut, sedangkan yang pertama tadi nampak marah.
Dengan sendirinya kedua orang itu berpihak kepada yang baru datang. Yang pertama itulah yang palsu. Mereka berani memastikan hal itu. Bukankah yang pertama bersikap aneh dan keras terhadap mereka bahkan merobohkan mereka dengan pukulan aneh dan ampuh?
“Suheng, orang itu adalah orang yang memalsukan dan menyamar sebagai Suheng!” kata Thian Tan Tosu kepada tosu yang baru muncul.
“Benar, Suhu! Harap Suhu suka memberi hajaran padanya. Akan tetapi dia lihai sekali, Suhu.” kata pula Thian Yang Cu dan keduanya sudah meloncat ke belakang tosu yang baru muncul.
Thian It Tosu yang pertama tercengang. “Ehhh, lelucon macam apa ini? Pinto Thian It Tosu. Saudara siapakah dan mengapa menyamar sebagai pinto?”
“Siancai...! Inilah yang dinamakan maling teriak maling. Sute dan kau Thian Yang Cu, karena kesehatanku masih terganggu, bantulah pinto menangkap maling ini!”
Biar pun gentar menghadapi ketua palsu yang amat lihai itu, namun karena sekarang Thian It Tosu berada dengan mereka, kedua orang itu menjadi berani dan cepat mereka menyerang Thian It Tosu yang pertama.
Kakek itu mengelak dan menangkis, lalu dia berseru, “Sute! Thian Yang Cu, ini adalah pinto, Thian It Tosu! Kalian tertipu!”
“Hemmm, manusia jahat. Engkaulah yang menipu. Sejak dahulu Thian It Tosu adalah pinto!” bentak tosu kedua dan dia pun segera menyerang dan mengeroyok Thian It Tosu pertama.
Tosu itu mencoba untuk melawan, akan tetapi sebuah tamparan tosu kedua mengenai pundak kanannya. Agaknya tosu pertama itu memang sedang terganggu kesehatannya sehingga gerakannya tidaklah setangkas tosu kedua. Dia terhuyung dan kesempatan itu dipergunakan oleh tosu kedua untuk mengirim pukulan tamparan yang sangat kuat ke dadanya.
“Bukkk...!” Tosu itu terpelanting, muntah darah dan pingsan.
“Biarkan pinto yang menangani, mungkin dia masih berbahaya. Kita bawa ke tempat tahanan bawah tanah. Pinto ingin mengetahui siapa saja kawan-kawannya dan apa maksudnya menyelundup masuk menyamar sebagai pinto.” Tosu kedua dengan ringan sekali memanggul tubuh tosu pertama yang pingsan.
Thian Tan Tosu dan Thian Yang Cu mendahului Thian It Tosu pergi ke tempat tahanan bawah tanah yang kebetulan kosong. Tidak ada seorang pun murid Bu-tong-pai yang melihat semua peristiwa ini.
Setelah tiba di dalam kamar tahanan bawah tanah yang berpintu dan berjeruji besi itu, Thian It Tosu menurunkan tawanannya ke atas lantai.
“Biar kita periksa dia dan membuka kedoknya!” kata Thian Tan Tosu.
Thian Yang Cu juga ingin sekali melihat siapa adanya orang yang menyamar sebagai Thian It Tosu, maka bersama susiok-nya dia sudah berjongkok dan keduanya lalu mulai menarik-narik kumis serta jenggot Thian It Tosu yang palsu. Akan tetapi, betapa pun mereka menarik-narik, jenggot dan kumis itu tidak dapat terlepas dan ketika mereka meraba-raba muka tosu itu, juga kulit muka itu asli dan tidak memakai kedok apa pun.
Kedua orang itu saling pandang dan terkejut, lalu meloncat dan membalikkan tubuh menghadapi tosu kedua.
“Dia asli!” kata Thian Tan Tosu dengan muka berubah pucat. “Kalau begitu engkau yang palsu!”
Thian It Tosu palsu yang sebetulnya bukan lain adalah Gulam Sang itu tertawa dan berdiri menghadang di pintu kamar tahanan. “Ha-ha-ha! Memang aku bukan Thian It Tosu. Aku membutuhkan pribadinya hanya untuk beberapa bulan saja. Kalau urusanku telah selesai semua, akan kukembalikan kepada Thian It Tosu. Sementara ini dia harus tinggal di sini sebagai tawananku!”
“Jahanam! Siapa engkau yang begini jahat?” bentak Thian Yang Cu marah.
“Siapa aku kau tidak perlu tahu. Yang jelas, kalian harus menurut semua kehendakku atau kakek ini akan mati di sini, baru kemudian kalian menyusulnya.”
“Kami akan mengadu nyawa denganmu!” Thian Tan Tosu membentak marah dan dia sudah menyerang ke arah ketua palsu itu.
Akan tetapi tangan Gulam Sang menampar sehingga tubuh Thian Tan Tosu terlempar dan roboh. Thian Yang Cu juga menyerang, akan tetapi sama saja, dalam segebrakan saja dia pun roboh. Dan sebelum kedua orang itu bangkit lagi, secepat kilat Gulam Sang menggerakkan jari tangannya menotok sehingga dua orang itu tidak mampu bergerak lagi, rebah telentang di samping tubuh Thian It Tosu yang masih pingsan.
Gulam Sang kini berjongkok di dekat mereka dan suaranya terdengar penuh wibawa. Kiranya dia sedang menggunakan sihirnya untuk mempengaruhi dua orang yang sudah ditotoknya itu.
“Dengar baik-baik, Thian Tan Tosu dan Thian Yang Cu! Nyawa ketua kalian sudah berada di tanganku. Dia sudah kupukul dengan pukulan beracun dan hanya aku yang memegang obat penawarnya. Kalau tidak kuberi obat, dalam waktu sebulan dia akan mati dengan tubuh hancur. Kalau kuberi obat penawar, dia hanya akan menderita sakit, akan tetapi dalam waktu tiga bulan dia akan sembuh sama sekali. Kalian berdua juga berada di tanganku, akan tetapi aku akan membebaskan kalian dan memberi obat penawar kepada ketua kalian kalau kalian berjanji akan taat kepadaku. Kalau tidak taat, kalian bertiga dan semua murid Bu-tong-pai akan kubunuh!”
Walau pun berada di bawah pengaruh sihir, Thian Tan Tosu masih dapat membantah, “Kalau kami harus menaatimu untuk melakukan kejahatan, lebih baik engkau bunuh kami sekarang juga!”
“Ha-ha-ha, siapa yang akan berbuat jahat? Aku bukanlah penjahat, melainkan pejuang. Aku hanya hendak meminjam Bu-tong-pai untuk mempersatukan semua tenaga dan menggerakkan mereka untuk memberontak terhadap penjajah. Bagaimana, maukah kalian berdua berjanji?”
Thian Tan Tosu berpikir sejenak. Kalau memang tidak diharuskan melakukan kejahatan, melainkan untuk perjuangan, lebih baik ia taat agar Thian It Tosu tidak terbunuh. Orang ini sangat licik dan lihai bukan main, sedangkan Thian It Tosu berada dalam keadaan tidak sehat dan lemah sehingga sulit dicari kawan yang dapat mengimbangi orang aneh ini.
“Aku berjanji akan taat asal bukan untuk kejahatan!” katanya dan mendengar ucapan susiok-nya, Thian Yang Cu juga mengikutinya dan mengucapkan janjinya pula.
Gulam Sang tertawa senang, lalu dia membuka jubah Thian It Tosu, memperlihatkan dada tosu itu kepada dua orang tokoh Bu-tong-pai. Ternyata di dada itu terdapat tanda telapak jari lima buah yang menghitam. Orang ini bukan hanya menggertak. Pukulannya memang beracun dan nyawa Thiat It Tosu berada di tangannya.
Gulam Sang lalu memulihkan dua orang tokoh Bu-tong-pai itu dari totokannya. Dia tidak khawatir kalau mereka itu akan memberontak, karena selain mereka telah berjanji, juga mereka telah dipengaruhi kekuatan sihirnya sehingga dia mampu mengendalikan pikiran mereka.
“Gosokkan minyak ini pada gambar telapak tangan hitam di dadanya dan minumkan pil ini padanya. Racun itu perlahan-lahan akan meninggalkannya dan sesudah lewat tiga bulan dia akan sembuh sama sekali.”
Gulam Sang segera mengeluarkan obat yang berupa minyak itu, dan Thian Tan Tosu lalu mengobati suheng-nya. Ketika siuman Thian It Tosu mencoba untuk bangkit duduk, segera ditopang oleh murid dan sute-nya. Dia memandang ke arah Gulam Sang.
“Apa artinya semua ini? Siapakah engkau?”
“Thian It Tosu, aku tidak mempunyai niat buruk. Aku hanya ingin meminjam namamu dan Bu-tong-pai untuk menggerakkan semua tenaga para pejuang untuk mulai dengan pemberontakan terhadap pemerintah penjajah. Apa bila niatku itu sudah terlaksana dan tercapai, akan kukembalikan Bu-tong-pai kepadamu. Akan tetapi jika engkau mencoba untuk menghalangiku, maka engkau akan mati bersama seluruh muridmu. Bu-tong-pai juga akan kuhancurkan!”
“Siancai...! Melakukan pemberontakan sekarang merupakan kebodohan. Engkau tidak akan berhasil...” kata Thian It Tosu lemah.
“Ha-ha-ha, kita sama-sama melihatnya nanti!”
Tiba-tiba Gulam Sang bersuit dan muncullah lima orang yang gerakannya ringan dan cekatan. Mereka adalah tokoh-tokoh Pek-lian-pai yang sudah bersekutu dengan Gulam Sang. Kiranya semenjak tadi mereka melakukan pengintaian dan ketika Thian It Tosu dibawa masuk kamar tahanan bawah tanah, mereka juga membayangi.
“Apa yang harus kita lakukan, Kongcu?” tanya seorang di antara lima orang itu.
“Kalian berjagalah di sini dan begitu ada gerakan untuk memberontak dari orang-orang Bu-tong-pai, kalian lebih dulu bunuh kakek ini!”
“Baik, Kongcu.”
“Nah, Thian Tan Tosu. Engkau setiap hari dua kali harus membawakan makanan dan minuman untuk Thian It Tosu dan lima orang penjaganya. Tidak boleh ada orang lain kecuali kalian berdua yang mengetahui bahwa Thian It Tosu ditawan di sini dan bahwa yang menjadi Thian It Tosu adalah aku.”
Thian It Tosu palsu itu lalu mengajak dua orang yang diakuinya sebagai sute-nya dan muridnya itu untuk keluar dari tempat tahanan tanpa terlihat orang lain, meninggalkan Thian It Tosu bersama lima orang penjaganya.
Demikianlah, mulai hari itu yang memimpin Bu-tong-pai ialah Thian It Tosu yang palsu. Dengan pandainya Gulam Sang berperan sebagai Thian It Tosu, selalu menggunakan alasan bahwa badannya tidak sehat sehingga harus beristirahat dan bersemedhi dalam kamarnya. Kalau sudah berada di kamar semedhinya, dengan mudah dia mengubah dirinya menjadi Gulam Sang yang diterima sebagai ‘tamu terhormat’ dari Bu-tong-pai.
Dengan penyamaran itu pula dia mengundang semua partai besar dan tokoh persilatan, menghasut mereka untuk bekerja sama melakukan pemberontakan. Tentu saja dia juga bersekutu dengan Pek-lian-pai, Pak-kwa-pai serta para tokoh dan datuk sesat, sesuai seperti yang direncanakan Pangeran Tao Seng! Semua itu adalah siasat Pangeran Tao Seng yang dilaksanakan oleh Gulam Sang.
Akan tetapi tepat seperti yang diramalkan Thian It tosu, pertemuan itu akhirnya gagal karena penolakan Yo Han, ketua Thian-li-pang. Apa lagi dengan munculnya Tao Kwi Hong yang mengancam mereka, dan sepak terjang Keng Han yang mencari tahu sebab permusuhan gurunya, Gosang Lama dengan Bu-tong-pai.
Pada saat Thian It Tosu palsu ditanya tentang permusuhan antara Bu-tong-pai dengan Gosang Lama, dia terkejut sekali. Akan tetapi dasar orang cerdik, Gulam Sang pandai mencari alasan tentang sebab permusuhan itu dan dia lalu menjatuhkan kesalahannya di pundak Gosang Lama, atau ayah kandungnya sendiri!
Ketika sebagai Gulam Sang dia bertemu Keng Han yang dianggapnya sebagai teman karena ia adalah putera gurunya, Gulam Sang berhasil pula mengajak pemuda itu untuk bekerja sama, bahkan dia sudah memberi alamat Ji Wan-gwe di kota raja yang banyak mengetahui tentang keadaan Pangeran Tao Seng.
Tentu saja secepatnya dia mengirim utusan dengan pemberitahuan kepada Pangeran Tao Seng atau ayah angkatnya itu bahwa akan datang seorang pemuda bernama Keng Han yang sedang mencari tahu tentang Pangeran Tao Seng, yang diakui oleh pemuda itu sebagai ayah kandungnya. Juga ia memberi tahu bahwa Keng Han mempunyai ilmu silat yang amat lihai sehingga kalau perlu pemuda itu dapat dimanfaatkan.
Yang merasa tersiksa hatinya adalah Thian Yang Cu beserta Thian Tan Tosu. Mereka merasa tidak berdaya karena takut akan ancaman Gulam Sang untuk membunuh Thian It Tosu yang selalu dijaga oleh lima orang jagoan dari Pek-lian-pai itu. Juga mereka tahu betul akan kelihaian Gulam Sang yang mungkin akan melaksanakan ancamannya, yaitu membasmi Bu-tong-pai kalau rahasianya terbongkar.....
********************
Keng Han merasa kagum dan terpesona ketika dia tiba di kota raja. Belum pernah dia melihat bangunan-bangunan sebesar dan seindah itu. Dia benar-benar seperti seorang dusun yang baru pertama kali memasuki sebuah kota besar.
Tidak sukar baginya mencari rumah Hartawan Ji karena nama itu sudah terkenal di kota raja. Dan dia pun mengunjungi rumah itu, sebuah gedung besar yang mempunyai pintu gerbang besar dan tebal, dijaga pula oleh orang-orang yang nampaknya seperti tukang-tukang pukul atau ahli-ahli silat.
Kepada para penjaga pintu ini ia mengaku bernama Si Keng Han dan ingin menghadap Hartawan Ji karena urusan penting. Dia disuruh menanti sebentar sementara seorang penjaga melaporkan ke dalam, dan tidak lama kemudian dipersilakan memasuki kamar tamu yang besar dan mewah. Keng Han memandangi semua keindahan itu. Gambar-gambar, sajak-sajak, hiasan-hiasan dan bahkan meja kursi di situ berukir indah. Oleh pengawal yang mengantarnya dia dipersilakan duduk menanti dan pengawal itu sendiri lalu keluar lagi.
Bunyi langkah kaki membuat jantung Keng Han berdebar amat tegang. Benarkah cerita Gulam Sang bahwa dia akan mendapat keterangan yang lebih jelas tentang ayahnya? Begitu tuan rumah muncul, dia cepat-cepat bangkit berdiri dan memberi hormat sambil mengamati wajah orang itu.
Dia melihat seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun yang masih gagah dan tampan, berpakaian sutera sebagaimana pakaian seorang hartawan. Sebaliknya, tuan rumah itu yang bukan lain adalah Pangeran Tao Seng sendiri juga mengamati pemuda yang kini memberi hormat di depannya. Diam-diam dia merasa kagum dan bangga.
Puteranya! Akan tetapi di dalam hati yang sudah mengeras itu tidak ada rasa keharuan, hanya ada perasaan girang karena mungkin dia akan mendapatkan seorang pembantu yang amat berguna.
“Maafkan, Tuan...”
“Jangan sebut aku tuan, panggil saja paman,” kata Pangeran Tao Seng atau Hatawan Ji ramah.
“Maafkan kalau kedatangan saya ini mengganggu kesibukan Paman.”
“Ahh, tidak mengapa. Silakan duduk dan perkenalkan siapa dirimu dan ada kepentingan apa ingin bertemu denganku.”
Keng Han mengambil tempat duduk. Bantalan kursinya lunak sekali, enak diduduki.
“Nama saya Si Keng Han, Paman, dan nama Paman diperkenalkan kepada saya oleh seorang sahabat yang bernama Gulam Sang.”
“Aha, begitukah? Gulam Sang itu adalah putera angkatku sendiri.”
Baru sekarang Keng Han mengetahui dan dia pun terkejut. Kiranya putera gurunya itu telah diambil anak oleh hartawan ini. “Apa bila begitu, semua keterangannya mengenai Paman tentu benar semua.”
“Keterangan apakah tentang diriku?”
“Bahwa Paman pernah mengenal ayah kandung saya dan mengetahui tentang semua peristiwa yang menimpa diri ayah kandung saya.”
“Siapakah ayah kandungmu?”
“Dahulu ayah kandung saya adalah seorang pangeran, namanya Pangeran Tao Seng.”
“Akan tetapi bukankah namamu Si Keng Han dan nama margamu Si?”
“Itu hanya untuk penyamaran saja, Paman. Tidak baik kiranya kalau saya menggunakan nama keluarga istana, hanya akan menarik perhatian orang saja.”
Tao Seng mengangguk-angguk, menyatakan bahwa dia dapat mengerti. “Lalu apa yang hendak kau tanyakan tentang Pangeran Tao Seng? Siapa pula ibumu dan di mana ia sekarang berada?”
”Saya hendak mencari ayah kandung saya, akan tetapi saya mendengar bahwa ayah saya difitnah orang sehingga dihukum buang. Ibu saya adalah seorang wanita Khitan, puteri kepala suku. Ibu yang mengutus saya pergi mencari ayah kandung saya karena setelah meninggalkan ibu selama dua puluh tahun, sedikit pun dia tidak pernah memberi kabar.”
Ji Wan-gwe sekarang merasa yakin bahwa yang berhadapan dengan dia adalah putera kandungnya, putera Silani. Bahkan dia yang dahulu memesan kepada Silani bahwa jika isterinya itu melahirkan seorang anak laki-laki agar diberi nama Tao Keng Han!
Akan tetapi, kalau ada sedikit getaran pada jantungnya karena terharu bertemu putera kandungnya, ingatannya akan cita-citanya lebih besar dan lebih kuat sehingga dia dapat menekan perasaannya. Dia pun menghela napas besar seperti orang bersedih, padahal napas panjang itu untuk menekan rasa harunya.
“Menyedihkan sekali nasib ayahmu itu, Kongcu. Ketahuilah bahwa saya dahulu menjadi pengawal dari ayah kandungmu. Bahkan ketika Pangeran Tao Seng dibuang ke barat, saya tetap mengikutinya untuk menemani dan melayaninya. Dia memang terkena fitnah, Kongcu.”
“Demikian kata Gulam Sang. Bukankah ayah seorang pangeran mahkota? Bagaimana dia bisa terkena fitnah dan siapa pula yang memfitnahnya?”
“Semua itu terjadi akibat iri hati. Salah seorang pangeran lain yang bernama Tao Kuang merasa iri hati karena ayahmu yang terpilih sebagai pangeran mahkota. Maka dia lalu melakukan fitnah dan menuduh ayahmu hendak memberontak serta membunuh kaisar. Memang ada bukti-bukti karena bukti-bukti itu memang sudah disediakan lebih dulu oleh Pangeran Tao Kuang. Oleh karena dituduh hendak membunuh kaisar dan membunuh Pangeran Tao Kuang, maka ayahmu lalu dihukum buang selama dua puluh tahun. Saya mengikutinya sampai di tempat pembuangannya.”
“Ahh, kasihan sekali ayah kandungku! Dan sekarang dia berada di mana, Paman Ji?”
Hartawan Ji menghela napas lagi. “Agaknya Pangeran Tao Kuang tidak puas karena ayahmu hanya dihukum buang. Ia menghendaki kematian ayahmu maka dia menyuruh orang untuk menyusul ke barat, dan di sana orang-orangnya berhasil meracuni ayahmu sehingga meninggal dunia!”
“Ahhh...!” Keng Han menundukkan mukanya karena tidak ingin kelihatan menangis atau berduka.
Sampai lama keduanya terdiam, kemudian terdengar Hartawan Ji berkata dengan suara yang mengandung kemarahan.
“Akan tetapi kita tidak tinggal diam Kongcu! Dendam sedalam lautan ini harus ditebus dengan kematian Pangeran Tao Kuang dan kaisar!”
“Akan tetapi bagaimana mungkin, Paman? Kita hanyalah orang-orang biasa, bagaimana mungkin dapat menentang kekuasaan yang memiliki ratusan ribu pasukan?”
“Kita tidak bergerak sendiri, Kongcu. Dengarlah. Dengan bantuan anakku Gulam Sang, kita sudah menghimpun persekutuan yang cukup kuat. Banyak partai persilatan besar, para tokoh kang-ouw yang sakti, sudah siap membantu. Kalau engkau suka membantu, kiranya tidak akan sukar untuk membunuh Pangeran Tao Kuang atau bahkan kaisar sekali pun.”
“Tentu saja saya suka membantu. Di mana jenazah ayahku dimakamkan, Pamain Ji?”
“Atas permintaannya sendiri sebelum meninggal, jenazahnya sudah diperabukan, akan tetapi sampai sekarang abunya belum dapat kukubur atau kubuang ke laut. Aku masih takut kalau-kalau ada yang tahu atau pun mengenalku sebagai pengawal ayahmu, bisa celaka aku. Abu jenazah itu masih kusimpan di rumah ini, kubuatkan sebuah meja abu. Kalau Kongcu hendak bersembahyang di depan meja abu, silakan, Kongcu.”
Keng Han berterima kasih sekali dan dia lalu mengikuti tuan rumah memasuki ruangan dalam yang hiasannya lebih indah. Mereka sampai di sebuah ruangan di mana terdapat sebuah meja dan abu itu yang tersimpan di dalam sebuah bejana dari perak. Tidak ada tulisan apa pun di situ dan hal ini dapat dimengerti oleh Keng Han karena hartawan itu tentunya tidak ingin ketahuan bahwa dia bekas pengawal Pangeran Tao Seng.
Keng Han lalu bersembahyang dan berlutut di depan meja abu itu. Dia terkenang pada ibunya dan hatinya seperti diremas. Lima tahun lebih dia meninggalkan ibunya dengan harapan akan dapat bertemu dengan ayahnya. Siapa sangka sekarang dia hanya dapat bersembahyang di depan abunya.
“Ayah, saya bersumpah untuk membalas dendam kematian ayah!" katanya kuat-kuat, yang membuat Hartawan Ji yang berdiri di belakangnya tersenyum penuh arti.
Setelah bersembahyang mereka bercakap-cakap lagi berdua saja, di ruangan lain.
"Untuk membunuh kaisar memang merupakan hal yang sulit sekali karena kaisar selalu terkurung rapat oleh para pengawalnya. Akan tetapi membunuh Pangeran Tao Kuang yang kini menjadi Putera Mahkota itu tentu lebih mudah. Dia tidak terjaga begitu ketat. Hanya saja, Pangeran Tao Kuang memiliki seorang selir yang pandai ilmu silat. Tadinya ayah mertuanya juga berada di sana, akan tetapi setelah ayah mertuanya meninggal, yang perlu diperhitungkan adalah selirnya itu. Apakah engkau berani menyerbu ke sana dan melawan selirnya yang lihai itu?"
"Untuk membalas dendam, saya berani melakukan apa saja, Paman Ji!"
"Bagus! Kalau begitu sebaiknya engkau tinggallah di sini beberapa waktu lamanya untuk mempelajari keadaan dalam Istana Pangeran Mahkota. Setelah hafal akan keadaan di sana barulah engkau bergerak. Apakah engkau membutuhkan bantuan, Tao-kongcu?"
"Tidak dalam hal ini jangan sampai Paman tersangkut. Untuk membalaskan dendam ayah, biar aku sendiri yang bertanggung jawab."
"Baiklah, kalau begitu akan kuusahakan menemukan denah istana pangeran mahkota itu sehingga engkau akan lebih mudah bergerak kalau sudah berhasil masuk ke sana."
Keng Han mengucapkan terima kasih dan merasa gembira sekali. Walau pun dia tidak dapat bertemu dengan ayahnya, kalau dia dapat membalaskan sakit hatinya, dia sudah merasa puas sekali. Tentu hal ini juga akan menjadi hiburan bagi ibunya sesudah kelak mendengar tentang kematian ayah kandungnya…..
********************
Selanjutnya baca
PUSAKA PULAU ES : JILID-08