Kemelut Kerajaan Mancu Jilid 09


Tiga hari kemudian…..
Malam itu hawanya dingin bukan main menembus sampai ke dalam istana sehingga para penghuni istana sudah memasuki kamar masing-masing mencari kehangatan. Sribaginda Kaisar Shun Chi juga sudah memasuki kamar dan duduk bersemedhi seperti yang biasa dia lakukan setiap hari. Suasananya amat sunyi di dalam istana.

Ketika Thaikam Boan Kit yang menjadi kepala para Thaikam bersama dua orang Thaikam lain berjalan melakukan perondaan di bagian dalam istana, para pengawal yang bertugas di dalam istana tidak menaruh curiga. Memang sudah menjadi kewajiban serta kebiasaan kepala Thaikam itu untuk mengadakan perondaan seperti itu.

Ketika Boan Thaikam berjalan menuju ke kamar Kaisar, lima orang prajurit pengawal yang berjaga di luar kamar cepat bangkit dari duduknya dan berdiri tegak, berjajar lalu memberi hormat kepadanya. Boan Thaikam dan dua orang temannya menghampiri mereka.

“Bagaimana keadaan malam ini?” tanya Boan Thaikam sambil mendekat.
“Baik-baik dan aman, Thaijin!” lapor seorang di antara lima pengawal itu.

Tiba-tiba sekali, Boan Thaikam dan dua orang pembantunya bergerak cepat bukan main dan lima orang prajurit pengawal itu roboh tanpa dapat mengeluarkan suara. Mereka telah tertotok dan pingsan.

Boan Thaikam dan kedua orang pembantunya cepat-cepat menyeret mereka ke sebuah taman kecil dekat situ dan menyembunyikan tubuh mereka di balik semak-semak bunga. Sebelum meninggalkan lima orang pengawal itu, Boan Thaikam dan dua orang temannya menggunakan pedang membunuh mereka. Setelah itu mereka menghampiri kamar Kaisar dan hampir tanpa mengeluarkan suara, Boan Thaikam mempergunakan tenaganya untuk membuka daun pintu kamar.

Kamar itu hanya remang-remang karena di meja hanya bernyala sebuah lilin kecil yang ditutup warna kebiruan. Namun mereka dapat melihat dengan jelas Kaisar yang sedang duduk bersila di atas pembaringan, tertutup tirai kelambu tipis dan tembus pandang.

Boan Thaikam menutup kembali daun pintu kamar itu dengan rapat, lalu memberi isyarat kepada dua orang pembantunya untuk berdiri menjaga pada sebuah pintu tertutup yang menembus ke kamar itu. Tanpa mengeluarkan suara, dengan gerakan kaki ringan, dua orang yang berpakaian sebagai Thaikam itu lalu melangkah dan berdiri di dekat pintu yang menembus ke kamar atau ruangan lain.

Mendadak daun pintu tembusan itu terbuka dan sebelum dua orang Thaikam itu sempat berbuat sesuatu, ada empat sinar kecil putih menyambar ke arah mereka. Dua orang itu roboh dan tidak mampu bangun lagi karena tepat pada dahi mereka masing-masing telah menancap dua batang Pek-hwa-ciam (Jarum Bunga Putih) yang membuat mereka tewas seketika.

Pada saat itu Boan Thaikam sedang menghampiri pembaringan Kaisar dan mengangkat pedangnya membacok tubuh Kaisar yang duduk bersila.

Sesosok bayangan berkelebat cepat sekali dan sebatang pedang menangkis pedang yang oleh Boan Thaikam dibacokkan ke arah tubuh Kaisar di balik kelambu.

“Singgg...! Tranggg...!”

Boan Thaikam terkejut bukan main. Cepat dia melompat ke belakang karena tangannya tergetar hebat ketika pedangnya tertangkis tadi. Kini dia melihat seorang prajurit pengawal muda bertubuh ramping dan berwajah tampan berdiri di depannya, memegang sebatang pedang. Ketika dia melihat dua orangnya menggeletak tak bergerak, dia menjadi semakin panik. 

Akan tetapi Thian Hwa yang menyamar sebagai prajurit pengawal itu tidak mau memberi kesempatan kepadanya untuk melarikan diri karena ia sudah menerjang dengan lompatan kilat. Boan Thaikam terpaksa melawan dan mereka pun bertanding dengan seru dan mati-matian di kamar Kaisar itu.

Kaisar Shun Chi sadar dari semedhinya dan dia menonton perkelahian itu. Dia tidak heran melihat Boan Thaikam bertanding melawan Thian Hwa. Tentu Thaikam khianat itu tadinya hendak membunuhnya dan Thian Hwa menghalanginya.

Dia tetap duduk di atas pembaringan dan menonton perkelahian itu. Jantungnya berdebar tegang, khawatir kalau Thian Hwa kalah. Dia tidak khawatir kalau dirinya dapat terbunuh, melainkan mengkhawatirkan keselamatan keponakannya. Akan tetapi kekhawatirannya lenyap ketika dia melihat dua orang Thaikam sudah menggeletak di dekat pintu tembusan dan dalam perkelahian itu dia melihat dengan jelas betapa Thian Hwa sedang mendesak lawannya.

Boan Thaikam yang berusia sekitar lima puluh tahun itu kiranya lihai juga. Ilmu pedangnya cukup hebat sehingga dia mampu mempertahankan diri dan membuat perlawanan sengit kepada Thian Hwa. Akan tetapi setelah Thian Hwa mengubah ilmu pedang Kwan-im Kiam-hoat menjadi Huang-ho Kiam-hoat yang istimewa, pedangnya berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung seperti ombak Sungai Huang-ho, Boan Thaikam menjadi terdesak hebat. Hal ini disebabkan pula karena Boan Thaikam telah menjadi gentar dan panik.

“Hyattt...!” Thian Hwa menyerang dahsyat, pedangnya berputar dan menyambar-nyambar ke arah kepala dan leher lawan.

Boan Thaikam yang tak mampu balas menyerang, hanya menangkis dan mengelak saja. Serangan hebat itu membuat dia menjadi terhuyung ke belakang dan mendadak kaki kiri Thian Hwa mencuat dan menendang perutnya.

“Bukkk...!” Tubuh Boan Thaikam terlempar dan terjengkang.
“Tangkap dia!” terdengar Kaisar Shun Chi berkata kepada Thian Hwa.

Gadis itu segera melompat ke depan hendak menangkap Boan Thaikam. Tetapi Thaikam itu yang maklum bahwa dia tidak mungkin dapat meloloskan diri lagi, tiba-tiba menggorok leher sendiri dengan pedangnya dan tewas seketika!

Melihat ini, Thian Hwa berdiri bengong dan Kaisar Shun Chi turun dari pembaringannya. Peristiwa itu terjadi di dalam kamarnya, tidak terdengar oleh orang lain karena pintu kamar tertutup rapat dan perkelahian tadi sama sekali tidak menimbulkan suara gaduh.

Thian Hwa menyalakan dua batang lilin lain sehingga kamar itu menjadi lebih terang. Dia memandang ke arah mayat Boan Thaikam penuh kebencian.

“Paduka benar, Pamanda Kaisar. Pengkhianat jahanam ini benar-benar hendak berbuat jahat dan keji terhadap Paduka. Biar hamba memanggil kepala pengawal supaya semua orang mengetahui akan pengkhianatan ini!”
“Jangan...!”

Thian Hwa memandang kaisar itu dengan heran.

“Dengarkan, Thian Hwa, ini kesempatan baik bagiku! Lihat, bentuk tubuhnya hampir sama dengan aku. Kalau kita memakaikan pakaianku kemudian mengabarkan bahwa aku telah terbunuh, maka akan mudah bagiku untuk meloloskan diri.”

Kaisar menjelaskan rencananya dan Thian Hwa tidak berani membantah. Kaisar itu lantas memanggil lima orang pelayannya yang paling setia dan dipercaya, kemudian dibantu oleh Thian Hwa, mereka semua bekerja dengan cepat.

Menjelang pagi, selagi semua orang dalam istana masih tidur dengan pulas karena hawa udara amat dinginnya, tiba-tiba terdengar jerit tangis disusul teriakan-teriakan nyaring.

“Pembunuhan! Pembunuhan! Sribaginda Kaisar dibunuh orang!”

Maka gegerlah seluruh istana. Mula-mula para prajurit pengawal istana berlarian datang, lalu keluarga istana, dan akhirnya seluruh penghuni istana terbangun lalu bergerombol di luar kamar tidur Kaisar. Hanya orang-orang penting saja boleh masuk kamar, di antaranya selain keluarga istana juga komandan pengawal dan mereka yang berkedudukan tinggi di istana.

Mereka semua melihat jenazah kaisar di atas pembaringan. Jenazah itu amat mengerikan karena mukanya penuh luka bacokan sehingga tak dapat dikenali lagi. Pakaiannya penuh darah dan lehernya juga hampir putus!

Selain jenazah Kaisar Shun Chi, di dalam kamar itu mereka juga melihat mayat dua orang Thaikam. Karena hanya Thian Hwa yang menjadi saksi peristiwa itu dan bisa menuturkan, maka dia lalu dituntut oleh semua pejabat serta keluarga Kaisar untuk menceritakan apa yang telah terjadi malam itu…..
********************
Pada keesokan paginya…..
Sebuah persidangan, dihadiri oleh para pangeran dan pejabat tinggi. Tentu saja hadir pula pangeran-pangeran adik Kaisar dan para putera Kaisar.

Di ruangan persidangan itu telah berkumpul mereka yang berhak menghadiri persidangan. Para pejabat tinggi termasuk para panglimanya. Para pangeran adik Kaisar, di antaranya Pangeran Ciu Wan Kong, Pangeran Bouw Hun Ki dan beberapa orang pangeran lagi yang hanya merupakan saudara misan. Kemudian pangeran-pangeran putera Kaisar, antara lain yang terpenting adalah Pangeran Leng Kok Cun dan Pangeran Cu Kiong.

Sementara itu Pangeran Kang Shi ditahan oleh pamannya, Pangeran Bouw Hun Ki, sebab dianggap belum dewasa untuk membicarakan persoalan yang merupakan mala petaka itu, dan agar anak itu tidak menjadi kaget jika mendengar cerita kematian ayahnya yang mengerikan.

Ruangan persidangan yang biasa dipergunakan oleh Kaisar untuk bersidang dengan para pejabat tinggi itu sangat luas dan semua yang hadir, lebih dari seratus orang banyaknya, telah duduk di kursinya masing-masing. Yang memimpin persidangan itu adalah Pangeran Bouw Hun Ki.

Dalam hal memilih pimpinan persidangan ini pun terjadi kekacauan karena Pangeran Leng Kok Cun tadinya sempat berkeras mengatakan bahwa dia yang paling berhak memimpin persidangan karena dialah putera Kaisar yang tertua. Akan tetapi banyak suara memilih Pangeran Bouw Hun Ki dengan alasan bahwa selain Pangeran Bouw Hun Ki merupakan adik Kaisar yang paling tua, juga dia menjadi pelindung Pangeran Mahkota dan mewakili Pangeran Kang Shi. Akhirnya Pangeran Leng kalah suara sehingga Pangeran Bouw Hun Ki memimpin persidangan itu.

Setelah semua orang duduk dan suasana tertib dan diam, Thian Hwa diberi kesempatan untuk menceritakan apa yang telah terjadi semalam.

Thian Hwa lalu bercerita, sesuai dengan apa yang telah direncanakan Kaisar Shun Chi. Ia bercerita bahwa ia sudah diperintahkan oleh ‘mendiang’ Kaisar Shun Chi untuk menyamar sebagai seorang prajurit pengawal karena Kaisar sudah mencurigai Thaikam Boan Kit. Ia harus menjaga keamanan sebagai pengawal pribadi Kaisar.

“Nanti dulu! Mengapa Ayahanda Kaisar menaruh curiga kepada Thaikam Boan Kit?” tiba-tiba saja Pangeran Leng Kok Cun bertanya dengan suara berwibawa, seolah-olah hendak menunjukkan bahwa dia adalah putera sulung Kaisar dan karenanya memiliki kekuasaan.

Thian Hwa menatap tajam wajah pangeran itu dengan bibir tersenyum mengejek, teringat betapa dia pernah berurusan dengan pangeran pemberontak ini. Melihat sinar mata Thian Hwa yang mencorong tajam, Pangeran Leng menundukkan pandang matanya, tidak tahan beradu pandang dengan gadis pendekar yang dia tahu amat galak dan lihai itu.

“Kalau Sribaginda Kaisar menaruh kecurigaan, pasti ada sebabnya! Orang yang memiliki niat jahat dapat dilihat dari gerak-gerik dan terutama dari suara dan sinar matanya!” jawab Thian Hwa. Ia lalu melanjutkan ceritanya.

Malam itu dia berada di ruangan yang bersebelahan dengan kamar Kaisar, dihubungkan sebuah pintu tembusan. Ia lalu mendengar suara gaduh di kamar Kaisar, maka dia cepat membuka pintu tembusan dan segera dihadang dua orang Thaikam yang menyerangnya. Ia berhasil merobohkan mereka dengan sambitan Pek-hwa-ciam, akan tetapi ia terlambat menyelamatkan Kaisar.

Dia melihat bayangan Thaikam Boan Kit melarikan diri melalui pintu, tetapi karena ingin melihat keadaan Kaisar, dia tidak sempat mengejar dan ternyata dia mendapatkan Kaisar sudah tewas dengan luka-luka bacokan pada leher dan mukanya sehingga wajahnya tidak dapat dikenali lagi. Ia mencoba untuk melakukan pengejaran, namun Thaikam Boan telah hilang, maka ia lalu berteriak dan memanggil para prajurit pengawal, juga membangunkan seluruh penghuni istana.

Tak lupa ia menceritakan pula bahwa lima orang prajurit pengawal juga ditemukan mati di taman tidak jauh dari kamar Kaisar dan mereka adalah lima orang pengawal yang malam itu bertugas jaga di depan kamar Kaisar. Mudah diduga bahwa mereka tentu dibunuh pula oleh Thaikam Boan Kit dan dua orang pembantunya yang tewas oleh Thian Hwa.

“Demikianlah apa yang terjadi malam tadi!” Thian Hwa mengakhiri ceritanya.

Tentu saja kejadian yang sesungguhnya tidak demikian. Sesudah wajah mayat Boan Kit dirusak dengan bacokan-bacokan pedang supaya tidak dapat dikenal, mayat itu lalu diberi pakaian Kaisar yang seperti pakaian pendeta dan dilumuri darah, kemudian jenazah itu diletakkan di atas pembaringan Kaisar. Setelah itu dengan kepandaiannya, Thian Hwa lalu menyelundupkan Kaisar keluar dari istana, bahkan keluar dari pintu gerbang kota raja.

Sesudah tiba di luar kota raja, dua orang pelayan yang setia sudah menunggu lebih dulu dan Kaisar yang mengenakan jubah pendeta Buddha dan menggunduli rambut kepalanya itu lalu pergi menjauh dari kota raja. Setelah itu barulah Thian Hwa kembali ke istana dan bersama para pelayan yang setia mereka menjerit-jerit sehingga membangunkan seluruh penghuni istana.

Tentu saja cerita Thian Hwa ini segera dipercaya oleh semua orang pendengarnya, apa lagi terbukti adanya jenazah raja. Mereka tidak dapat mengenali wajah jenazah itu, akan tetapi dari bentuk tubuhnya tidak ada yang ragu bahwa itu memang jenazah Kaisar Shun Chi yang sudah dirawat dan dimasukkan peti mati.

“Sudahlah, mala petaka itu sudah terjadi. Mudah saja nanti kita berusaha untuk mengejar dan menangkap Thaikam Boan Kit lalu menghukumnya. Sekarang yang lebih penting, kita tidak boleh membiarkan kerajaan tanpa kaisar! Hal ini dapat menimbulkan kekacauan dan memancing datangnya musuh negara untuk menyerang kerajaan yang sedang lowong tak ada pemimpinnya. Sebab itu, aku mengusulkan agar sekarang juga ditentukan siapa yang berhak menggantikan kedudukan kaisar, menggantikan mendiang Ayahanda Kaisar!” kata Pangeran Leng Kok Cun penuh semangat.
“Ahh, baik sekali itu! Aku juga akan mengusulkan begitu!” kata Pangeran Cu Kiong, tidak kalah bersemangatnya.

Pangeran Bouw sebagai pimpinan sidang menoleh kepada Ciang Taijin, pembesar tinggi yang paling tua, usianya sudah lebih dari tujuh puluh tahun dan ia dikenal sebagai tua-tua keladi yang menjabat sebagai penasihat di istana. Melihat Pangeran Bouw menoleh lalu memandang kepadanya, pejabat tinggi yang sudah tua dan setia ini segera bangkit berdiri lalu berkata dengan suaranya yang halus dan tenang.

“Soal pengganti kedudukan Kaisar, hal itu kami rasa tidak menjadi masalah dan tak perlu dibicarakan lagi, sebab bukankah mendiang Sribaginda Kaisar telah mengangkat seorang Pangeran Mahkota? Menurut hukum yang berlaku, kalau Kaisar meninggal dunia, sudah barang tentu yang menggantikan kedudukannya adalah Pangeran Mahkota, dalam hal ini Pangeran Mahkota Kang Shi!”

“Akan tetapi selama ini Ayahanda belum pernah meresmikan pengangkatannya sebagai pengganti kedudukan Kaisar!” bantah Pangeran Leng Kok Cun. “Oleh karena itu, sebagai putera Ayahanda yang sulung, akulah yang berhak menggantikan kedudukannya sebagai kaisar!”

“Itu tidak benar dan tidak bisa!” teriak Pangeran Cu Kiong. “Meski pun Kakanda Pangeran Leng Kok Cun paling tua, tapi merupakan putera selir ke tujuh! Menurut kepantasan, yang berhak menggantikan kedudukan Kaisar harus dilihat berdasarkan urutan kedudukan para isteri Ayahanda! Memang yang paling berhak adalah Adinda Pangeran Kang Shi karena dia adalah putera dari Ibunda permaisuri, akan tetapi dia masih terlalu kecil untuk menjadi kaisar dan memang benar, Ayahanda tak pernah meresmikan dia menjadi penggantinya. Urutan yang ke dua adalah keturunan selir ke dua, akan tetapi Ibunda selir ke dua hanya mempunyai anak perempuan. Maka urutan berikutnya adalah anak Ibunda yang menjadi selir ke tiga. Jadi, kalau mau menurut aturan dan kepantasan, akulah yang berhak untuk menggantikan kedudukan kaisar!”

“Pendapat Pangeran Cu Kiong itu tidak benar!” bentak Pangeran Leng Kok Cun.
“Pendapat Kakanda Pangeran Leng Kok Cun bahkan lebih tidak benar lagi!” Pangeran Cu Kiong juga membentak marah. Kedua orang pangeran ini sudah bangkit berdiri dan saling pandang dengan mata merah melotot.
“Harap Ananda berdua tenang dulu! Ketahuilah para anggota keluarga kerajaan dan para pejabat tinggi, bahwa kami telah menerima surat wasiat yang ditulis dan ditinggalkan oleh mendiang Kakanda Kaisar Shun Chi. Sekarang akan saya bacakan surat wasiatnya,” tiba-tiba Pangeran Bouw Hun Ki berkata.

“Nanti dulu!” bentak Pangeran Leng Kok Cun. “Surat wasiat itu seharusnya dipegang oleh orang yang dapat mewakili Ayahanda Kaisar. Dan Pamanda Pangeran Bouw Hun Ki tidak mempunyai kekuasaan itu!”
“Benar, Pamanda Pangeran Bouw tidak berhak!” teriak pula Pangeran Cu Kiong.
“Aku yang berhak!” tiba-tiba terdengar suara nyaring seorang wanita.

Semua orang memandang dan ternyata yang bicara tadi adalah Ciu Thian Hwa. Ia sudah bangkit berdiri dengan tegak dan sikapnya gagah sekali. “Akulah yang menjadi wakil dari mendiang Pamanda Kaisar Shun Chi, dan inilah tanda kekuasaanku!” Dia mengeluarkan Tek-pai tanda kekuasaan yang diberikan Kaisar Shun Chi itu dan melihat ini, para pejabat tinggi cepat membungkuk untuk memberi hormat sebab pemegang Tek-pai itu seolah-olah menjadi wakil kaisar sendiri.

Melihat ini Pangeran Leng Kok Cun dan Pangeran Cu Kiong segera terdiam, tidak berani membantah lagi. Mereka memang telah mendengar bahwa gadis liar yang berjuluk Huang-ho Sian-li yang dulu pernah menentang mereka itu adalah puteri Pangeran Ciu Wan Kong, jadi masih keponakan kaisar dan juga keponakan Pangeran Bouw, bahkan masih menjadi saudara mereka sendiri. Mereka tahu pula bahwa Thian Hwa telah menyelamatkan nyawa Kaisar Shun Chi ketika dahulu diserang lima orang pembunuh, maka tidak mustahil kalau kini gadis itu membawa Tek-pai pemberian Kaisar.

Melihat tidak ada yang berani membantah lagi, Thian Hwa menerima surat wasiat itu dari tangan Pangeran Bouw Hun Ki lalu berkata dengan lantang.

“Akulah yang menerima dari tangan mendiang Pamanda Kaisar Shun Chi, Tek-pai serta surat wasiat ini, maka aku pula yang berhak membacanya. Siapa yang berani menentang pesan terakhir mendiang Pamanda Kaisar Shun Chi, silakan maju, atas nama Kaisar aku berhak untuk menghukumnya!” Ucapan itu demikian berwibawa dan tidak ada yang berani membantah.

Tentu saja Pangeran Leng dan Pangeran Cu merasa jengkel dan marah, namun mereka maklum bahwa kalau mereka berani membantah kenyataan ini, semua orang yang berada di situ pasti akan menentangnya.

Melihat tidak ada yang berani membantah, Thian Hwa lalu membaca surat wasiat itu yang isinya, Kaisar Shun Chi menyatakan bahwa dia mengangkat Pangeran Mahkota Kang Shi menjadi penggantinya, yaitu menjadi kaisar baru bila mana dia sudah tidak ada. Setelah ia selesai membacakan surat wasiat itu, Thian Hwa duduk kembali.

Kini Pangeran Bouw Hun Ki bangkit berdiri. “Kami merasa yakin bahwa kita semua pasti akan menghormati dan mentaati perintah terakhir dari mendiang Kakanda Kaisar Shun Chi. Nah, kini telah dipastikan bahwa Pangeran Mahkota Kang Shi yang akan dinobatkan menjadi Kaisar Kerajaan Ceng kita. Pelaksanaannya akan dilakukan sesudah lewat masa perkabungan seratus hari semenjak kematian Kakanda Kaisar Shun Chi, kami kira hadirin semua merasa setuju dan tidak ada yang merasa keberatan.”

Mendadak Pangeran Leng Kok Cun bangkit berdiri lantas bicara dengan lantang. “Paman Pangeran Bouw Hun Ki, mengingat bahwa usia Adinda Pangeran Kang Shi baru sepuluh tahun, masih kanak-kanak, tidak mungkin dia dapat mengatur pemerintahan. Sudah tentu dia membutuhkan seorang pendamping atau penasihat yang dapat dipercaya! Nah, aku sebagai kakaknya yang tertua berhak untuk menjadi pendamping dan penasihatnya, maka dalam sidang ini aku minta agar hal ini dibicarakan dan disetujui semua yang hadir!”

Mendengar ini, Pangeran Cu Kiong cepat memberi tanggapan.

“Aku tak setuju dengan pendapat Kakanda Pangeran Leng Kok Cun! Dia sudah terlalu tua untuk mendampingi Adinda Pangeran Kang Shi! Yang paling tepat untuk mendampinginya adalah aku sebagai calon pewaris ke dua sesudah Pangeran Mahkota, dan usiaku jauh lebih muda dari pada Kakanda Pangeran Leng sehingga dapat bergaul lebih baik dengan Adinda Pangeran Kang Shi.”

Kembali semua orang bicara sendiri, ada yang mendukung Pangeran Leng, dan ada pula yang membenarkan Pangeran Cu. Agaknya dua orang pangeran ini memiliki pendukung masing-masing di antara para pejabat tinggi yang hadir.

Melihat keadaan menjadi ribut, Thian Hwa cepat bangkit lagi lalu berkata dengan nyaring, “Harap Cu-wi (Anda Sekalian) tenang! Saya sebagai pemegang kekuasaan yang diberikan mendiang Pamanda Kaisar, menyatakan bahwa perebutan kedudukan pendamping Kaisar yang baru itu tidaklah tepat. Seorang pendamping Kaisar seyogianya merupakan seorang yang paling dekat dengan Kaisar, dalam hal ini Adinda Pangeran Mahkota Kang Shi. Oleh karena itu sepantasnya dia sendiri yang akan memilih, yaitu nanti setelah dia dinobatkan menjadi Kaisar. Dia sendiri yang akan memilih siapa yang akan menjadi pendamping dan penasihatnya.”

Seperti tadi, ucapan Thian Hwa ini pun tidak ada yang berani membantah karena ucapan itu memang pantas dan cukup adil.

Pangeran Bouw Hun Ki lalu bangkit berdiri dan berkata. “Kami rasa keputusan itu sudah sangat tepat. Nanti sesudah lewat perkabungan selama seratus hari, Pangeran Mahkota Kang Shi akan dinobatkan menjadi Kaisar dan dia yang akan memilih siapa yang menjadi pendamping sekaligus penasihatnya. Sekarang kami minta Adinda Ciu Thian Hwa sebagai pemegang Tek-pai untuk menunjuk seorang yang akan menjadi pejabat Kaisar sementara sebelum Pangeran Mahkota dinobatkan menjadi Kaisar.”

Ciu Thian Hwa bangkit berdiri lagi. “Mengingat bahwa selama ini orang yang paling dekat dengan mendiang Pamanda Kaisar Shun Chi adalah Pamanda Pangeran Bouw Hun Ki sehingga beliau diberi kepercayaan untuk mendidik Pangeran Mahkota, maka atas nama Kaisar, saya memutuskan Pamanda Pangeran Bouw Hun Ki untuk menjabat kedudukan kaisar sementara!”

Pangeran Bouw Hun Ki cepat menanggapi. “Aku tidak keberatan, tapi hanya dengan satu syarat, yaitu aku harus didampingi Ananda Ciu Thian Hwa sebagai pemegang kuasa yang diberikan oleh mendiang Kaisar sendiri.”

“Saya menerima syarat itu. Apakah di antara Cu-wi ada yang tidak setuju?” kata Thian Hwa.

Kembali tidak ada yang berani menolak karena semua yang diajukan itu memang masuk akal dan sesuai dengan aturan. Seorang pemegang Tek-pai seolah menjadi pribadi Kaisar sendiri yang semua ucapannya merupakan perintah yang tidak boleh dibantah oleh siapa pun.

Demikianlah, persidangan itu selesai. Semua orang merasa puas dan lega, kecuali tentu saja Pangeran Leng Kok Cun dan Pangeran Cu Kiong…..!

********************
Dalam perjalanan pulang dari ruangan persidangan, Pangeran Cu Kiong berjalan dengan wajah muram. Tentu saja dia merasa kecewa dan penasaran sekali akan keputusan yang diambil dalam persidangan itu. Selain Pangeran Kang Shi ditentukan menjadi pengganti Kaisar dan akan dinobatkan sebagai kaisar baru, Ciu Thian Hwa yang berwenang memilih pendamping atau penasihatnya, juga ditentukan bahwa pejabat kaisar selama seratus hari ini adalah Pangeran Bouw Hun Ki. Dan dia sama sekali tidak mampu membantah karena Ciu Thian Hwa memegang Tek-pai!

Dia semakin benci kepada Huang-ho Sian-li itu! Dia pernah tertarik, bahkan pernah saling mencinta dengan Huang-ho Sian-li, tapi ketika itu dia bermaksud memanfaatkan kelihaian gadis itu untuk tujuannya merebut tahta kerajaan. Kini gadis itu, yang kemudian ternyata puteri Pangeran Ciu Wan Kong, malah membela Pangeran Mahkota Kang Shi, itu berarti menjadi musuhnya! Pangeran Cu Kiong merasa kecewa, penasaran dan marah sekali.

Mendadak dia merasa ada gerakan orang di belakangnya dan ketika dia menengok, dia melihat ada seorang wanita muda tersenyum kepadanya sambil berjalan melewatinya lalu membalik dan menghadapinya.

“Maafkan saya, apakah Paduka yang bernama Pangeran Cu Kiong?” gadis itu bertanya, suaranya terdengar merdu, gayanya memikat dengan sinar mata yang berkilat tajam dan bibir mungil tersenyum manis sekali.

Pangeran Cu Kiong mengamati gadis itu. Gadis itu tampak sudah matang, berusia sekitar dua puluh tiga tahun dan yang menarik adalah payung merah yang gagangnya dipegang dengan tangan kiri dan payung itu melindungi wajahnya dari terik matahari siang itu.

Bentuk tubuhnya menarik, ramping padat dan matang. Wajahnya bulat dengan mata serta mulut yang sangat menggairahkan seperti menantang. Bajunya kembang-kembang merah dengan celana sutera hijau. Kecantikannya tampak asing, tidak seperti kecantikan wanita Han, juga tidak seperti wanita Mancu, melainkan kecantikan wanita dari daerah selatan yang khas. Pangeran Cu Kiong segera tertarik sekali melihat kecantikan yang berbeda dari wanita lain itu.

“Benar, aku adalah Pangeran Cu Kiong. Dan siapakah engkau, Nona?” tanyanya, tertarik bukan hanya karena kecantikan gadis itu, juga karena dari wajah serta logat bicaranya, jelas bahwa gadis ini datang dari selatan.
“Saya dikenal sebagai Ang-mo Niocu (Nona Payung Merah), dan saya sengaja datang menjumpai Paduka membawa pesan dari Raja Muda Wu Sam Kwi.”

Cu Kiong terkejut bukan main mendengar disebutnya nama Wu Sam Kwi. Memang sudah beberapa lamanya dia mengadakan kontak hubungan dengan Jenderal Wu Sam Kwi yang kini disebut Raja Muda itu. Ternyata gadis ini adalah seorang utusan dari Wu Sam Kwi. Kalau sampai ada orang mengetahui bahwa dia berhubungan dengan Jenderal Wu Sam Kwi, bisa gawat dan berbahaya baginya. Maka cepat dia berkata lirih,

“Nona, datanglah nanti ke istanaku, jangan terlalu menyolok karena suasananya sedang genting.” Sesudah berkata demikian, dia pun cepat-cepat melanjutkan langkahnya pulang ke gedungnya.

Ang-mo Niocu, gadis cantik genit yang pernah kita jumpai ketika ia bertemu dengan Kong Liang dan Thian Hwa itu, maklum akan ucapan Sang Pangeran, maka ia pun cepat pergi ke lain jurusan agar tidak ada yang tahu bahwa ia tadi menghubungi Pangeran Cu Kiong.

Sore itu Ang-mo Niocu datang berkunjung ke gedung Pangeran Cu Kiong yang megah seperti istana. Dia disambut oleh Thio Kwan dan Yu Kok Lun, yaitu dua orang di antara Kam-keng Chit-sian (Tujuh Dewa dari Kam-keng). Empat yang lain dulu telah tewas oleh Ciu Thian Hwa dan Ui Yan Bun, sedangkan yang seorang lagi, yakni Ciang Sun, sudah pergi meninggalkan kota raja.

Memang kedua orang jagoan pembantu Pangeran Cu Kiong itu mendapat perintah dari Sang Pangeran untuk menyambut kalau gadis dari selatan, utusan Jenderal Wu Sam Kwi itu datang berkunjung.

Thio Kwan dan Yu Kok Lun adalah dua orang jagoan yang tak pernah sembuh dari watak mereka yang sombong. Baru julukan mereka saja, ketika masih bertujuh, menunjukkan kesombongan mereka, yaitu memakai julukan Tujuh Dewa!

Sejak dahulu mereka sombong dan merasa paling hebat sendiri, apa lagi karena mereka menjadi jagoan seorang pangeran. Biar pun kini mereka tinggal berdua, namun tetap saja mereka berkepala besar dan dengan sendirinya mereka lantas memandang rendah ketika melihat bahwa utusan Jenderal Wu Sam Kwi itu ternyata hanyalah seorang gadis cantik yang membawa payung merah!

Memang Ang-mo Niocu sama sekali tidak tampak seperti seorang kang-ouw yang pandai ilmu silat. Wajahnya cantik manis, pakaiannya berkembang dan sama sekali tidak terlihat membawa senjata.

Begitu tiba di pintu gerbang gedung besar yang mempunyai halaman depan luas itu, Ang-mo Niocu dihadang dua orang jagoan ini yang sudah menunggu di gardu penjagaan sejak tadi. Belasan orang prajurit berada dalam gardu dan hanya menonton sambil tersenyum kagum melihat seorang gadis cantik memakai payung memasuki pintu gerbang.

Mereka sudah dipesan oleh dua orang jagoan itu agar diam saja dan membiarkan mereka berdua yang menyambut tamu yang dinanti-nantikan oleh Sang Pangeran. Para prajurit itu mengharapkan memperoleh tontonan menarik karena mereka semua maklum bahwa dua orang jagoan itu pasti akan menggoda dan mengganggu seorang gadis cantik seperti itu.

Thio Kwan yang berusia sekitar lima puluh dua tahun, bertubuh tinggi kurus dan mukanya pucat seperti mayat, berdiri sambil bertolak pinggang menghadapi Ang-mo Niocu, ada pun temannya, Yu Kok Lun yang berusia lima puluh tahun lebih dan bertubuh gemuk pendek bermuka hitam, hanya tersenyum-senyum di samping rekannya.

“Apakah Nona ini yang disebut Nona Payung Merah?” tanya Thio Kwan sambil tersenyum mengejek, memandang rendah.

Ang-mo Niocu mengenal laki-laki kurang ajar semacam ini. Akan tetapi ia tetap bersabar mengingat bahwa orang-orang ini tentu anak buah Pangeran Cu Kiong yang tadi ia jumpai di jalan dan yang menarik hatinya karena pangeran yang masih muda itu memang tampan dan gagah sekali.

“Benar, aku Ang-mo Niocu hendak bertemu dengan Pangeran Cu Kiong.”
“Nanti dulu, Nona. Logat bicara Nona terdengar asing. Menurut keterangan Pangeran Cu, Nona datang dari Yunnan-hu yang berada jauh di selatan. Benarkah itu?”

Ang-mo Niocu mengerutkan alisnya. Pembantu pangeran ini cerewet benar. Dia merasa tidak perlu untuk memperkenalkan diri lebih banyak terhadap Si Muka Pucat ini, maka dia cepat menjawab,

“Benar aku dari selatan. Jauh-jauh aku datang untuk bertemu Pangeran Cu Kiong. Cepat kalian laporkan kepadanya.”
“Aihh, Nona. Kenapa Nona jauh-jauh datang dari selatan seorang diri saja? Nona seorang gadis yang cantik jelita begini melakukan perjalanan jauh seorang diri?” kata Yu Kok Lun yang tak dapat menahan keinginan hatinya untuk bicara dengan gadis yang amat menarik ini.

Setelah bicara, memang Ang-mo Niocu tampak menggairahkan sekali. Sepasang bibirnya yang berbentuk indah dan kemerahan itu seolah dapat bergerak-gerak dengan manis dan menantang.....!

“Benar, Nona. Kalau kami tahu, tentu akan kami jemput Nona di selatan sehingga Nona dapat melakukan perjalanan bersama kami. Tentu lebih aman dan menyenangkan!” kata Thio Kwan.

Dua orang jagoan itu berani mengganggu karena mereka memang mendapat pesan dari Pangeran Cu Kiong untuk menguji kelihaian utusan Jenderal Wu Sam Kwi ini.

Ang-mo Niocu bukan seorang gadis yang tidak biasa bergaul dengan kaum pria. Apa bila yang menggodanya itu pemuda-pemuda tampan, pasti ia tidak akan marah malah menjadi gembira sekali. Namun digoda dua orang jagoan yang bertampang buruk, yang seorang bermuka pucat seperti mayat dan yang seorang lagi mukanya hitam seperti pantat kuali, ia pun menjadi marah. Akan tetapi mulutnya masih tersenyum ketika ia menjawab,

“Hemm, diantar dan ditemani dua orang kuli pelayan macam kalian hanya akan membikin aku malu karena muka kalian begitu buruk dan menjijikkan! Sudahlah, cepat laporkan saja kepada Pangeran Cu Kiong bahwa aku telah datang dan ingin berjumpa dengannya. Aku tidak ingin berurusan dengan kalian dua orang monyet jelek ini!”

Belasan orang prajurit pengawal yang berada di dalam gardu hampir tidak dapat menahan tawa mereka mendengar ucapan yang amat mengejek dan menghina kepada dua orang jagoan yang biasanya bersikap sombong itu. Mereka melihat betapa mata kedua orang itu terbelalak mendengar ucapan gadis berpayung merah.

Thio Kwan marah bukan kepalang, akan tetapi tentu saja dia tidak berani menyerang tamu majikannya karena Pangeran Cu hanya berpesan agar dia menguji kelihaian tamu ini.

“Pangeran memang mengutus kami menjemputmu, akan tetapi tidak sopan kalau engkau memasuki gedung dengan memakai payung. Serahkan payungmu!” katanya.

Ang-mo Niocu menutup payungnya yang tadinya berkembang.

“Payung ini tidak boleh terlepas dari tanganku!”
“Hemm, terpaksa aku akan merampasnya!” Setelah berkata demikian, dengan cepat Thio Kwan menggerakkan tangan kanannya dan dia sudah menangkap payung yang berada di tangan kiri gadis itu.

Thio Kwan adalah seorang ahli lweekeh (ahli tenaga dalam) yang mempunyai tenaga kuat sekali. Dia merasa yakin bahwa dengan sekali renggut saja dia akan mampu merampas payung itu dari tangan Ang-mo Niocu. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia merasa betapa payung itu sama sekali tidak dapat dia tarik karena seakan melekat dan berakar pada tangan kiri gadis itu.

Dia mengangkat muka memandang wajah gadis itu. Dengan penasaran sekali dia melihat gadis itu mengedipkan mata sambil tersenyum-senyum kepadanya! Jelas bahwa gadis itu menganggap dia ringan sekali. 

Maka Thio Kwan cepat mengerahkan seluruh tenaganya untuk menarik, tapi tetap sia-sia. Karena marah, dia lalu menggerakkan tangan kirinya untuk mencengkeram pergelangan tangan kiri gadis itu. Akan tetapi cepat bagaikan kilat tangan kanan Ang-mo Niocu sudah mendahuluinya menotok ke arah tangan kanannya yang memegang payung.

Seketika dia merasa lengan kanannya lemas dan pedangnya terlepas. Dengan marah dia melanjutkan cengkeraman tangan kirinya, sekarang tidak ke arah pergelangan tangan kiri lawan, melainkan ke arah pundaknya!

“Plakk!”

Ang-mo Niocu menangkis dengan tenaga saktinya yang demikian kuatnya sehingga Thio Kwan merasa lengan kirinya nyeri sampai menembus tulang.

“Pergilah!” Ang-mo Niocu berseru dengan bentakan nyaring, sambil kakinya mencuat ke arah perut Si Muka Mayat.

“Bukkk...!”

Tubuh tinggi kurus itu segera terlempar dan masih untung Thio Kwan mampu mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga jatuh berjongkok, tidak sampai terbanting!

“Wah, hebat juga engkau, Nona! Coba hadapi siang-kiam (sepasang pedang) ini!” Yu Kok Lan sudah mencabut siang-kiam dari punggungnya karena dia hendak menguji kelihaian gadis itu dalam bertanding senjata. “Keluarkan senjatamu!” tantangnya.

Dan dia sudah memasang kuda-kuda dengan menyilangkan sepasang pedangnya di atas kepala sehingga tampak garang dan gagah sekali.

Ang-mo Niocu tersenyum. Kini ia dapat menduga bahwa dua orang ini agaknya memang disuruh oleh Pangeran Cu Kiong untuk mengujinya. Pangeran yang mengadakan kontak dengan Jenderal Wu Sam Kwi itu tentu ingin merasa yakin akan kelihaian utusan Jenderal Wu Sam Kwi. Maka ia pun tersenyum menghadapi Yu Kok Lun yang tampak gagah itu. Ia menudingkan payungnya yang sebetulnya merupakan pedang ke arah lawan dan berkata,

“Majulah, aku akan melawan sepasang pedangmu dengan payungku ini.”

Tentu saja Yu Kok Lun merasa dihina dan dipandang rendah. Masa siang-kiamnya yang demikian tersohor sehingga dia dijuluki Siang-kiam-sian (Dewa Sepasang Pedang) hanya akan dilawan dengan sebuah payung merah, oleh seorang gadis muda pula? Ini namanya keterlaluan!

“Nona, memalukan kalau aku dengan sepasang pedangku melawan engkau yang hanya memegang sebuah payung. Biarlah aku menggunakan sebelah pedangku saja!” Setelah berkata demikian Yu Kok Lun menyimpan pedang kirinya dan hanya memegang pedang kanannya.
“Terserah engkau mau menggunakan sebatang, dua batang, atau sepuluh batang pedang sekali pun. Aku tetap cukup menggunakan payungku ini saja!”

Yu Kok Lun mulai marah. “Sambutlah pedangku ini!” bentaknya.

Dia pun segera menyerang dengan dahsyat karena dia sudah menggunakan jurus paling ampuh dan berbahaya karena dapat menduga bahwa lawannya ini bukan seorang lemah. Pedangnya berkelebat dengan jurus serangan Kilat Menyambar Atas Kepala. Kini pedang yang bergerak cepat sekali itu berubah menjadi gulungan sinar putih yang menyambar ke arah kepala Ang-mo Niocu dengan bacokan dari atas, seakan hendak membelah kepala itu menjadi dua!

“Wuuuss...!”

Pedang itu hanya membelah udara kosong karena dengan gerakan yang ringan dan cepat sekali Ang-mo Niocu telah mengelak ke samping. Yu Kok Lun menjadi penasaran melihat betapa serangannya yang dahsyat tadi dapat dielakkan dengan sangat mudah oleh gadis itu.

Pedangnya sudah menyambar lagi, kini membabat dari samping ke arah pinggang lawan, dan pinggang yang kecil ramping itu agaknya akan segera terbabat putus oleh sambaran pedang yang dahsyat itu karena pedang itu digerakkan dengan menggunakan jurus Giok-tai-wi-yiauw (Sabuk Kemala Melilit Pinggang)! Serangan yang ke dua ini cukup berbahaya, maka Ang-mo Niocu menggerakkan payungnya menangkis.

“Tranggg...!”

Yu Kok Lun hampir berteriak saking kagetnya ketika pedangnya hampir saja terlepas dari tangannya karena terpental oleh tangkisan yang amat kuat, bahkan kini ada sinar merah menyambar pundaknya. Dia cepat mengelak dan...

“Brettt...!” baju di bagian pundaknya robek tertusuk ujung payung yang runcing!

Maklum bahwa payung itu ternyata merupakan senjata yang ampuh, Yu Kong Lun yang masih merasa penasaran cepat mencabut pedang ke dua dan kini dia menyerang dengan menggerakkan siang-kiam itu secara cepat sekali. Akan tetapi semua serangannya sia-sia karena begitu gadis itu menggerakkan payungnya, segera payung itu menjadi perisai yang kuat sekali.

Ternyata bahwa payung itu terbuat dari semacam kulit yang telah diolah sedemikian rupa sehingga menjadi lentur namun sangat kuat, mampu menahan senjata tajam tanpa robek sedikit pun. Begitu sepasang pedang menyerang, payung lantas berkembang dan begitu sepasang pedang lawan terpental, payung segera menutup lagi kemudian ujung payung itu menyerang dengan tusukan seperti sebatang pedang!

Sebentar saja Yu Kok Lun menjadi kewalahan dan terdesak, kebingungan, maka Ang-mo Niocu tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Selagi lawan bingung oleh serangan payung berpedang, ia mengayunkan kakinya dan seperti juga apa yang dirasakan Thio Kwan tadi, perut Yu Kok Lun terkena tendangan kaki Ang-mo Niocu hingga tubuhnya terlempar dan dia pun jatuh berdebuk di atas tanah.

Dua orang jagoan itu terpaksa harus mengakui kelihaian Ang-mo Niocu, maka sekarang mereka sudah tidak berani main-main lagi. Thio Kwan lalu maju memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan di depan dada, diikuti Yu Kok Lun dan dia berkata,

“Lihiap (Pendekar Wanita), maafkan kami karena sesungguhnya kami diutus Pangeran Cu Kiong untuk menguji kelihaianmu. Sekarang mari kami antarkan Lihiap untuk menghadap Pangeran Cu Kiong yang sudah lama menunggu kedatanganmu.”

Ang-mo Niocu tersenyum mengejek. “Hemmm, beginikah cara Pangeran Cu Kiong dalam menyambut utusan sahabatnya? Aku dapat mengerti akan maksudnya mengujiku, namun yang sangat menyebalkan adalah kalian bukan hanya mengujiku, tetapi juga menghinaku dengan kekurang-ajaran kalian. Maka kalian perlu mendapat hajaran supaya lain kali tidak berani menggangguku! Sambut ini!”

Tiba-tiba kini Ang-mo Niocu menyerang dengan tusukan payungnya yang tertutup. Ujung yang runcing itu meluncur cepat dan menusuk ke arah pundak Thio Kwan. Orang itu amat terkejut dan cepat mengelak. Memang tusukan itu luput, akan tetapi tetap saja dia roboh dan mengeluh kesakitan. Kemudian ujung payung itu menyerang Yu Kok Lun. Ahli siang-kiam yang masih memegang pedangnya ini cepat menangkis.

“Trangg...!”

Payung itu tertangkis, akan tetapi anehnya, Yu Kok Lun juga terkulai roboh dan merintih sambil memegangi pundaknya. Ternyata pundak kedua orang ini terkena tusukan jarum yang terasa panas dan pundak sampai lengan mereka menjadi kaku dan lumpuh!

Jarum beracun! Jarum-jarum itu keluar dari ujung payung dan merupakan senjata rahasia yang sangat ampuh dari gadis suku Yao yang lihai ini. Hal ini tidak mengherankan karena Ang-mo Niocu adalah murid Lam-hai Cin-jin. Datuk Selatan yang sakti.

“Nah, mari antar aku menghadap Pangeran Cu Kiong!” kata Ang-mo Niocu.

Dua orang itu cepat bangkit dengan wajah pucat dan mereka menyeringai karena pundak mereka terasa nyeri bukan main, panas dan ngilu, juga kaku dan lumpuh sampai ke ujung jari tangan. Mereka tidak berani membantah dan segera mendahului menuju ke gedung besar yang megah itu.

Ang-mo Niocu mengikuti mereka dari belakang dan tetap bersikap waspada. Siapa tahu Pangeran Cu Kiong yang tampan gagah itu masih akan mengujinya lagi! Akan tetapi tidak ada rintangan lagi.

Dan sesudah mereka memasuki ruangan tamu, Pangeran Cu Kiong bangkit dari kursinya, tersenyum ramah menyambut gadis cantik dari selatan itu. Akan tetapi dia mengerutkan alisnya ketika melihat dua orang jagoannya masuk dengan wajah pucat dan menyeringai kesakitan dengan sebelah tangan tergantung lumpuh.

“Ada apa dengan kalian? Apa yang telah terjadi?” tanyanya. Karena dua orang jagoannya menundukkan kepala tanpa menjawab, dia lalu memandang wajah Ang-mo Niocu dengan sinar mata bertanya.
“Pangeran, Paduka tanyakan kepada mereka berdua saja apa yang menyebabkan mereka menderita luka.”

Pangeran Cu Kiong memandang dua orang jagoannya dan mereka berdua menjadi amat ketakutan mengingat betapa mereka sudah menggoda gadis itu sehingga menjadi marah dan melukai mereka, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Pangeran Cu Kiong.

“Pangeran, hamba berdua mengaku bersalah. Hamba kalah dan terluka oleh Lihiap ini...,” kata Thio Kwan.

Pangeran Cu Kiong merasa kagum akan tetapi juga tak senang pada gadis itu. Memang dia lihai sekali karena sanggup mengalahkan dua orang jagoannya, akan tetapi mengapa harus melukai mereka sedemikian beratnya.

“Ang-mo Niocu, mereka hanya kami suruh mengujimu, kenapa engkau melukai mereka?” Pangeran Cu Kiong menegur, biar pun ucapannya halus.

Ang-mo Niocu tersenyum. “Pangeran, mereka melanggar perintah Paduka, mereka bukan sekedar menguji akan tetapi juga bersikap tidak sopan kepada saya. Sebab itu saya telah melukai mereka dengan Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah). Apa bila tidak saya beri obat pemunah maka sebelah lengan mereka akan mati selamanya. Biar mereka tidak berani melanggar perintah Paduka lagi!”

Gadis itu memang cerdik. Dia menghukum kedua orang itu dengan alasan karena mereka telah melanggar perintah Pangeran Cu Kiong, bukan karena mereka mengganggunya. Hal ini berarti bahwa dia bertindak untuk membela pangeran itu! Mendengar ini, hati Pangeran Cu Kiong merasa senang dan kini dia membentak dua orang jagoannya itu.

“Hayo cepat kalian minta ampun kepada Ang-mo Niocu!”

Dua jagoan itu tadi mendengar bahwa mereka terluka oleh jarum beracun, maka mereka menjadi semakin panik kemudian cepat-cepat berlutut di depan kaki Ang-mo Niocu.

“Mohon ampun, Lihiap. Kasihanilah kami dan mohon diberi obat pemunahnya!” Mereka memohon bergantian.

Ang-mo Niocu memandang kepada Pangeran Cu Kiong. “Bagaimana, Pangeran?”
Pangeran itu mengangguk. “Harap berikan obatnya, Niocu. Bagaimana pun juga mereka adalah pembantu-pembantuku yang setia kepadaku.”

Ang-mo Niocu lalu menghampiri mereka, menggunakan sinkang (tenaga sakti) menyedot dua batang jarum itu dari pundak mereka menggunakan telapak tangannya, kemudian dia menyerahkan dua butir pil berwarna merah kepada mereka.

“Telan ini dan kalian akan sembuh.”

Thio Kwan dan Yu Kok Lun cepat menerima pil itu dan langsung menelannya. Benar saja, mereka merasa betapa kekakuan dan rasa nyeri panas di pundak mereka berkurang.

“Sekarang keluarlah dan pesan kepada semua prajurit jaga agar kunjungan Lihiap ini tidak sampai diketahui orang luar. Kalau sampai beritanya bocor, ini tanggung jawab kalian dan hukumannya akan berat sekali!”

Dua orang itu membungkuk kemudian keluar dari ruangan tamu. Pangeran Cu Kiong lalu menutup daun pintu sehingga mereka dapat bicara berdua dengan aman, tanpa ada yang dapat melihat atau mendengar mereka.

“Silakan duduk, Niocu. Sekarang buktikanlah lebih dahulu bahwa engkau memang benar-benar utusan dari Jenderal Wu Sam Kwi,” kata Pangeran Cu Kiong sambil menatap wajah cantik itu.

Ang-mo Niocu tersenyum manis sekali, tampak deretan giginya yang putih dan rapi, lalu ia duduk dan mengeluarkan sepucuk surat dari balik bajunya di bagian dada!

“Pangeran, saya sengaja minta surat dari Raja Muda Wu Sam Kwi supaya Paduka tidak ragu lagi.”

Pangeran Cu Kiong menerima kertas yang masih terasa hangat karena lama berada di dada gadis itu. Dia memang seorang pria yang sudah biasa bergaul dan merayu wanita, maka sambil tersenyum dia mendekatkan kertas surat itu ke hidungnya, mengendusnya lalu berkata,

“Ahh... harumnya...!”

Ang-mo Niocu juga bukan seorang gadis yang belum pernah dirayu orang, maka ia tidak menjadi malu, malah senyumnya melebar dan sinar matanya berkilau karena senangnya.

“Saya simpan surat itu baik-baik agar jangan sampai dilihat orang lain, Pangeran.”

Pangeran Cu Kiong membaca surat itu. Surat dari Wu Sam Kwi itu menyatakan bahwa pihaknya telah siap untuk bekerja sama dengan Pangeran Cu Kiong. Untuk memperlancar hubungan mereka, dia mengirim Ang-mo Niocu sebagai utusan dan gadis itu sudah diberi wewenang penuh untuk mengatur rencana bersama Sang Pangeran.

Pangeran Cu Kiong merasa kagum dan juga heran sekali bagaimana seorang gadis muda seperti ini sudah diberi kekuasaan penuh oleh Jenderal atau kini Raja Muda Wu Sam Kwi!

“Niocu (Nona), di dalam surat ini Jenderal Wu Sam Kwi sudah memberi kekuasaan penuh padamu untuk berunding dan mengatur rencana denganku. Niocu, apakah kedudukanmu di sana sehingga dia begitu percaya kepadamu?”

Kembali gadis yang kedua pipinya merah tanpa yanci (bedak pemerah) tersenyum manis. Tentu saja ia tidak mau mengaku bahwa walau pun ia tidak mau dijadikan selir, namun ia adalah seorang kekasih dari Wu Kan, seorang dari para putera Raja Muda Wu Sam Kwi.

“Pangeran, saya adalah murid dari Lam-hai Cin-jin. Datuk Selatan yang menjabat sebagai Koksu (Guru Negara, Penasihat) Raja Muda Wu Sam Kwi. Karena Suhu sendiri memiliki banyak kesibukan dan tidak mungkin terlalu lama meninggalkan jabatannya, maka Suhu minta kepada Raja Muda Wu untuk mengirim saya dan Raja Muda Wu menyetujuinya.”

Pangeran Cu Kiong mengangguk-angguk. Dia sudah mendengar tentang kesaktian Lam-hai Cin-jin. Tidak mengherankan kalau gadis ini demikian lihai, kiranya dia murid Lam-hai Cin-jin! Dia merasa gembira sekali bahwa Jenderal Wu mengirim utusan yang merupakan seorang gadis cantik manis dan lihai ilmu silatnya.

“Baik, kami dapat menerimamu sebagai utusan Raja Muda Wu Sam Kwi. Nah, sekarang lebih dulu kau ceritakan apa kesanggupan Raja Muda Wu untuk membantu kami dan apa pula syarat-syaratnya.”
“Pangeran, Raja Muda kami telah menerima berita dari Pangeran dan beliau setuju untuk membantu Paduka agar dapat merebut tahta kerajaan. Beliau telah mengambil keputusan untuk mengirim dua orang sakti yang dapat diandalkan, yaitu Guru saya sendiri Lam-hai Cin-jin bersama Susiok-couw (Kakek Paman Guru) Ngo-beng Kui-ong (Raja Setan Lima Nyawa) yang memiliki kesaktian tinggi. Dengan adanya mereka yang akan datang ke sini dalam bulan ini juga, saya kira akan dapat mengalahkan semua musuh-musuh Pangeran. Saya juga akan membantu Paduka sekuat tenaga.”

“Hemmm, Jenderal Wu Sam Kwi bersungguh-sungguh hendak membantu kami. Padahal dia membenci bangsa Mancu kami. Tentu bantuan itu diberikan bukan dengan percuma. Apa imbalan yang dimintanya?” tanya pangeran itu secara langsung dan terus terang.
“Aihh, senang bicara dengan Paduka yang terbuka dan jujur. Menurut Raja Muda kami, beliau hanya menghendaki agar kekuasaan beliau diakui oleh Kerajaan Ceng dan daerah kekuasaan beliau diperluas sampai ke daerah selatan Sungai Yang-ce.”

Pangeran Cu Kiong terdiam. Permintaan yang terlampau berlebihan, pikirnya. Masa minta perluasan daerah yang lebih besar dari pada yang sekarang telah dikuasai oleh Jenderal Wu Sam Kwi? Akan tetapi dia membutuhkan bantuan yang sangat kuat. Mudah saja nanti menghadapi Wu Sam Kwi bila sudah tercapai ambisinya, menjadi Kaisar Kerajaan Ceng!

Pula, kalau dia menolak, otomatis gadis itu tentu akan pergi, bahkan akan memusuhinya. Padahal dia demikian cantik jelita dan sikapnya begitu menantang! Ia merasa yakin benar bahwa tidak akan sukar untuk menikmati kesenangan bersama gadis ini! Baru pandangan mata dan senyum bibirnya itu saja sudah mengandung tantangan yang menggairahkan.

“Baiklah, kami menerima permintaan imbalan itu. Jika kami sudah berhasil menjadi Kaisar sebagai pengganti mendiang Ayahanda Kaisar, pasti permintaan itu akan kami penuhi!”
“Nah, sekarang sebaiknya Paduka menceritakan segala keadaan di kota raja, siapa saja musuh-musuh Paduka dan apa yang sudah terjadi, agar kita dapat merundingkannya dan mencari jalan terbaik, mengatur rencana yang tepat untuk mencapai kemenangan.”

Pangeran Cu Kiong tentu saja tidak tahu apa yang terdapat dalam benak Ang-mo Niocu pada saat itu. Dia tidak tahu bahwa gadis itu adalah pengikut Wu Sam Kwi yang setia dan diam-diam membenci Pemerintah Ceng, yaitu Pemerintah Mancu yang menjajah hampir seluruh daratan Cina. Tentu saja ia mendukung Wu Sam Kwi yang tak pernah mau takluk kepada Pemerintah Ceng, bahkan selalu bercita-cita untuk mengusir penjajah Mancu dari tanah air.

Akan tetapi yang dibencinya hanyalah Pemerintah Ceng, sedangkan pribadi Pangeran Cu Kiong yang begitu gagah dan tampan, tentu saja membuat dia tertarik dan dia tidak akan melewatkan kesempatan baik untuk bersenang-senang dengan pria muda setampan dan segagah itu begitu saja. Seorang pangeran lagi! Dan dari sikap dan sinar mata pangeran itu, Ang-mo Niocu yang sudah berpengalaman itu maklum benar bahwa dia tidak bertepuk sebelah tangan!

Pangeran Cu Kiong membutuhkan waktu untuk yakin benar bahwa tidak ada bahayanya apa bila dia menceritakan segala yang terjadi dan semua keadaannya kepada gadis yang baru dijumpainya itu, walau pun dia membawa surat dari Jenderal Wu Sam Kwi. Maka dia lalu tersenyum dan berkata,

“Niocu, sebaiknya engkau mengaso dahulu, mandi dan berganti pakaian. Engkau tampak lusuh dan lelah, maklum baru saja berkelahi. Setelah engkau mandi dan berganti pakaian, barulah kita makan. Sesudah itu kita bersantai dan ketika itu akan kuceritakan semuanya sehingga kita berdua dapat membuat rencana dengan lebih nyaman.”

Pangeran Cu Kiong bertepuk tangan sebagai isyarat untuk memanggil pelayan. Dua orang pelayan wanita memasuki ruangan tamu itu dengan cepat, keduanya masih muda dengan wajah dan bentuk tubuh cukup menarik.

“Kalian persiapkan sebuah kamar tamu yang terbaik untuk Nona ini. Dan layani kalau dia ingin mandi dan berganti pakaian. Setelah selesai antarkan ia ke kamar makan dan suruh para pekerja di dapur menyiapkan pesta kecil untuk menghormati Nona ini. Nah, sekarang antarkan dia ke kamar tamu.” Ia lalu bangkit dan berkata kepada Ang-mo Niocu. “Silakan, Niocu. Sampai jumpa nanti di ruangan makan.”

Gadis itu tersenyum, membungkuk sebagai penghormatan kemudian mengikuti dua orang pelayan itu dengan langkah berlenggang-lenggok lemah gemulai. Pandang mata Pangeran Cu Kiong terus mengikuti dari belakang dan dia tersenyum senang.
Setelah mandi, berganti pakaian dan bersolek sehingga dia tampak semakin cantik, Ang-mo Niocu diantar seorang pelayan memasuki ruangan makan yang luas. Ternyata di situ telah menanti Pangeran Cu Kiong yang juga sudah mandi dan berganti pakaian sehingga kelihatan tampan sekali. Mereka lalu duduk berhadapan terhalang meja yang telah penuh dengan bermacam-macam hidangan masakan, semua masih mengepulkan uap sehingga baunya yang sedap membuat perut menjadi semakin lapar.

Mereka makan minum dengan gembira dan bertambah akrab. Pangeran Cu Kiong senang sekali mendapat kenyataan bahwa gadis itu pun sangat kuat minum arak. Mereka saling menyulangi sampai menghabiskan beberapa cawan arak dan sesudah hawa arak mulai memasuki kepala mereka, keduanya semakin akrab, makan minum sambil tertawa-tawa gembira.

Setelah selesai makan, Pangeran Cu Kiong mengajak gadis itu bicara di dalam ruangan tertutup. Dia mulai menceritakan semua yang sudah terjadi di kota raja, tentang gerakan Pangeran Leng Kok Cun yang menjadi saingannya paling berat, juga mengenai kematian Kaisar Shun Chi yang terbunuh oleh Thaikam Boan Kit, akan tetapi Thaikam itu sempat melarikan diri dan tidak tertangkap.

“Hemm, mengapa Thaikam Boan membunuh Kaisar?”

“Dia juga kaki tangan Pangeran Leng Kok Cun!” kata Pangeran Cu gemas. “Pembunuhan sia-sia, karena sebelum mati ternyata Ayahanda Kaisar sudah meninggalkan surat wasiat kepada puteri Pamanda Pangeran Ciu Wan Kong yang bernama Ciu Thian Hwa. Bahkan Thian Hwa telah menerima Tek-pai dari Kaisar karena ia telah menyelamatkan Kaisar dari serangan lima orang pembunuh yang tentu dikirim pula oleh Pangeran Leng. Karena itu, sesudah Kaisar wafat, Thian Hwa yang memegang Tek-pai dapat mempengaruhi semua orang yang terpaksa harus tunduk. Menurut surat wasiat itu, Pangeran Mahkota Kang Shi yang akan diangkat menjadi kaisar baru. Pengangkatannya akan dilakukan setelah lewat masa perkabungan seratus hari. Sungguh keadaan ini tidak menguntungkan sama sekali!”

“Hemmm, gadis bernama Ciu Thian Hwa itu lihai juga. Padahal dia adalah puteri seorang pangeran.”
“Ya, dia puteri Pamanda Pangeran Ciu Wan Kong, jadi masih terhitung saudara sepupu dengan aku. Sebelumnya ia memang terpisah dari ayahnya dan hidup di dunia kang-ouw sebagai seorang pendekar berjuluk Huang-ho Sian-li.”
“Apa...?!” gadis itu terkejut sekali.
“Ehh? Engkau mengenalnya, Niocu?”

Ang-mo Niocu mengangguk, “Saya pernah bertemu dengannya, Pangeran, malah pernah bertanding dengannya.”

“Engkau kalah...?”
“Ah, tidak mungkin saya dikalahkan oleh Huang-ho Sian-li, Pangeran!” kata Ang-mo Niocu bangga. “Akan tetapi sebelum kami berkelahi lebih lanjut, ada yang melerai. Dia itu murid Siauw-lim-pai bernama Bu Kong Liang.”
“Bu Kong Liang? Hemm, dia termasuk orang yang membantu Pamanda Pangeran Bouw Hun Ki yang melindungi Adinda Pangeran Kang Shi.” Dia lalu menceritakan tentang hasil sidang yang diadakan setelah kaisar wafat.

“Selain Pangeran Kang Shi yang masih anak-anak itu ditetapkan menjadi kaisar menurut surat wasiat, juga pendamping atau penasihatnya ditentukan nanti setelah Pangeran Kang Shi menjadi kaisar. Aku berani memastikan bahwa dia akan memilih Pamanda Pangeran Bouw yang telah melindungi dan mendidiknya sejak kecil. Menggemaskan sekali!”

“Tenanglah, Pangeran. Mari kita melihat posisi Paduka. Jelas sekarang bahwa di sini ada tiga pihak yang bertentangan. Pertama tentu saja pihak Pangeran Bouw yang melindungi Pangeran Mahkota, calon kaisar baru. Pihak ke dua adalah Pangeran Leng, dan pihak ke tiga adalah Paduka sendiri. Benarkah gambaran saya itu?”

“Benar.”
“Nah, sekarang marilah kita melihat kekuatan semua pihak. Pertama kekuatan Pangeran Bouw. Harap Paduka gambarkan kekuatan pihak ini.”
“Pangeran Mahkota sendiri baru berusia sekitar sebelas tahun dan dia tidak ada artinya. Pangeran Bouw Hun Ki juga seorang yang lemah, seorang sastrawan. Mereka didukung beberapa orang panglima dengan pasukannya, meski pun tidak semua. Tetapi Pangeran Kang Shi berada dalam lindungan yang amat kuat. Isteri Paman Pangeran Bouw adalah seorang wanita sakti, kabarnya dulu ketika muda dia juga seorang pendekar berjuluk Sin-hong-cu. Mereka memiliki dua orang anak, yang pertama bernama Bouw Kun Liong dan yang ke dua bernama Bouw Hwi Siang. Pemuda dan gadis saudara-saudara sepupuku ini pun sangat lihai karena digembleng oleh ibu mereka sendiri. Di samping mereka ada pula Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa itu, dan dibantu pula oleh dua orang murid Siauw-lim-pai, yaitu Bu Kong Liang dan Gui Siang Lin. Sudah terbukti bahwa kedudukan mereka amat kuat dan tempat perlindungan Pangeran Mahkota Kang Shi sulit ditembus.”

“Lalu bagaimana dengan kekuatan pihak Pangeran Leng Kok Cun?”
“Menurut para penyelidikku, sebetulnya kekuatan Kakanda Pangeran Leng Kok Cun tidak berapa hebat lagi. Memang ia telah mempunyai dukungan berupa beberapa orang pejabat tinggi dan panglima, akan tetapi kekuatannya itu rontok sesudah Thaikam Bong melarikan diri karena membunuh Ayahanda Kaisar sehingga dia tidak lagi mempunyai sekutu yang berpengaruh di dalam istana. Aku juga heran kenapa dia begitu gegabah menyuruh Boan Thaikam membunuh Kaisar. Setahuku, orang-orang sakti yang mendukungnya sekarang tidak begitu mengkhawatirkan. Mereka hanyalah Pat-chiu Lo-mo, Hui-eng-to Phang Houw, dan Liong-bu-pangcu Louw Cin dengan anak buahnya, para anggota Liong-bu-pang.”
“Hemm, kalau begitu, dia bukan merupakan saingan berat, Pangeran.”

Pangeran Cu Kiong menghela napas panjang. “Bagi kami dia tetap saja berbahaya karena sekarang kami tidak lagi mempunyai pendukung yang kuat. Dulu kami mempunyai Kam-keng Chit-sian, akan tetapi kini tinggal dua orang saja, yaitu Thio Kwan dan Yu Kok Lun yang telah kau robohkan tadi. Juga para pejabat tinggi yang mendukungku tidak sebanyak mereka yang mendukung Pangeran Leng. Sebab itulah maka kami menghubungi Jenderal Wu Sam Kwi dan mengajak bekerja sama.”

Melihat wajah pangeran itu tampak muram, Ang-mo Niocu berkata ramah dan menghibur. “Jangan putus asa, Pangeran. Tak percuma Paduka mengajak kami bekerja sama. Saya kira, hal yang paling penting bagi Paduka sekarang adalah menyingkirkan Pangeran Leng. Jika dia sudah tidak menjadi penghalang lagi, maka kita bisa mencurahkan semua tenaga dan perhatian untuk menghadapi Pangeran Mahkota yang dilindungi Pangeran Bouw. Kita tunggu saja kedatangan Suhu dan Susiok-couw. Percayalah, semuanya pasti beres dan akhirnya Paduka pasti akan menang dan dapat menguasai tahta Kerajaan Ceng.”

Hati Pangeran Cu menjadi lega dan girang sekali. “Ah, Niocu, jika benar kata-katamu dan aku dapat mencapai cita-citaku menjadi Kaisar menggantikan Ayahanda, aku tidak akan melupakan jasamu yang besar dan apa pun yang kau minta, pasti akan kupenuhi!”

Mendengar ini, tentu saja Ang-mo Niocu menjadi gembira sekali. Pangeran ini lebih gagah dan lebih tampan dibandingkan Wu Kongcu atau Wu Kan putera Raja Muda Wu Sam Kwi, apa lagi jika Pangeran Cu dapat menjadi kaisar, tentu kedudukannya menjadi yang paling tinggi.

“Benarkah janji itu, Pangeran?”
“Tentu saja benar, dan janji seorang calon kaisar pasti tidak akan dilanggar. Katakan, apa yang kau minta kalau kelak perjuangan kita berhasil?”
“Maaf, Pangeran, tentu Paduka sudah memiliki isteri, seorang calon permaisuri, bukan?” tanya gadis itu sambil mengerling tajam penuh arti dan tersenyum manis.

Pangeran Cu Kiong tertawa. “Ha-ha-ha, aku belum mempunyai isteri, hanya ada beberapa orang selir, Niocu. Apa maksudmu menanyakan hal itu?”

Wajah yang manis itu berubah kemerahan. “Aihh, tidak apa-apa, Pangeran, saya hanya... ehh, saya juga belum menikah....”

“Ha-ha-ha! Benarkah itu yang kelak kau minta itu? Engkau ingin menjadi isteriku, menjadi calon permaisuri?”
“Seorang manusia harus mempunyai cita-cita yang tinggi, Pangeran. Jika Paduka bercita-cita menjadi kaisar, apa salahnya kalau saya juga bercita-cita menjadi permaisuri?”

Pangeran Cu Kiong gembira sekali. Dia lantas bangkit kemudian maju merangkul gadis itu dan menciumnya. Ang-mo Niocu tidak menolak bahkan membalas dengan mesra.

“Jangan khawatir, Niocu... ehh, siapakah namamu, manis?”
“Nama saya Yi Hong, Pangeran.”
“Yi Hong, aku berjanji bahwa kalau kelak engkau berhasil membantu aku menjadi kaisar, engkau akan kuangkat menjadi permaisuriku. Mari kuperkenalkan dengan para selir dan pelayan di istanaku ini, Hong-moi (Dinda Hong)!” Cu Kiong menggandeng tangan gadis itu dengan mesra dan diajaknya masuk ke bagian dalam gedung itu.

Cu Kiong memperkenalkan Yi Hong atau Ang-mo Niocu kepada lima orang selirnya yang kesemuanya masih muda dan cantik, lalu memperkenalkan pula kepada para pelayan dan pengawal sebagai tunangannya! Dia memerintahkan kepada mereka semua agar selalu menghormati dan menaati semua perintah gadis itu.

“Semua perintah Niocu harus ditaati seperti perintahku sendiri,” katanya. “Siapa saja yang melanggar akan dihukum berat.”

Diam-diam Thio Kwan dan Yu Kok Lun menjadi terkejut bukan main. Tadi mereka bersikap kurang hormat kepada gadis itu dan untung mereka tidak menerima hukuman berat.

Tentu saja Ang-mo Niocu Yi Hong sendiri tidak pernah menduga bahwa pangeran yang tampan dan sangat cerdik itu hanya hendak memanfaatkan dirinya sebagai kekasih yang menggairahkan dan sebagai pembantu yang mempunyai ilmu silat tinggi. Sedikit pun tidak ada niat di hati Pangeran Cu Kiong untuk mengambil seorang gadis kang-ouw yang liar dan kasar sepertinya, apa lagi yang bersuku bangsa Yao, menjadi permaisuri kelak kalau dia berhasil menjadi kaisar…..!

********************
Selanjutnya baca
KEMELUT KERAJAAN MANCU : JILID-10
LihatTutupKomentar