Kemelut Kerajaan Mancu Jilid 10


Belasan hari kemudian…..
Suasana berkabung masih meliputi kota raja. Dalam masa perkabungan selama seratus hari itu tak ada penduduk yang berani mengadakan pesta dan bersenang-senang. Bahkan mereka yang hendak mengadakan perayaan pernikahan anak mereka pun terpaksa harus diundur sampai lewatnya masa perkabungan kematian kaisar itu.

Seperti juga Pangeran Cu Kiong, Pangeran Leng Kok Cun merasa penasaran dan marah sekali. Semua usahanya telah gagal sama sekali. Usahanya membunuh ayahnya sendiri yang dilakukan Thaikam Boan memang berhasil. Kaisar terbunuh dan Thaikam Boan bisa melarikan diri sehingga tidak tertawan dan tidak membongkar rahasianya, tetapi hasilnya sama saja. Sama sekali tidak menguntungkan baginya. Bahkan lebih payah lagi. Ternyata ayahnya sudah meninggalkan surat wasiat yang mengangkat Pangeran Kang Shi menjadi pengganti Kaisar! 

Dan yang lebih celaka lagi, dia tidak dapat memaksa agar dirinya dijadikan pelindung dan pendamping adiknya, Pangeran Kang Shi yang masih kecil itu. Yang menjadi halangan adalah Pangeran Bouw Hun Ki, dan tentu saja Ciu Thian Hwa!

Sialan, sebelum mati ayahnya memberi Tek-pai kepada Ciu Thian Hwa sehingga gadis itu dapat mempengaruhi semua orang yang takut kepada pemegang Tek-pai. Maka dia pun kembali tak berdaya! Kini harapan menjadi pengganti Kaisar telah lenyap, bahkan harapan untuk menjadi pendamping adiknya pun sia-sia! Dia marah sekali dan memutar otak untuk mencari jalan yang baik agar ambisinya tercapai.

Malam itu gelap sekali. Bulan tidak kelihatan, ditambah adanya awan mendung membuat malam itu gelap gulita karena tak ada bintang yang tampak. Langit merupakan kehitaman pekat dan hanya sekali-sekali saja berkelebat cahaya halilintar disusul suara guntur yang terdengar lapat-lapat saking jauhnya.

Pangeran Leng Kok Cun mengadakan rapat dengan para pembantunya di sebuah ruang tertutup dalam gedungnya. Yang hadir adalah Pat-chiu Lo-mo, kakek berusia enam puluh tiga tahun yang tubuhnya kurus bongkok dan mukanya buruk.

Pat-chiu Lo-mo ini bernama Cio Kiat, seorang tokoh sesat dunia kang-ouw bagian Utara. Senjatanya adalah sebatang tongkat, sebuah Yang-liu-san (Kipas Cemara) dan beberapa buah hui-to (pisau terbang) terselip di pinggangnya. Memang tokoh ini sejak dulu menjadi pembantu setia dari Pangeran Leng dan dialah yang mencarikan jagoan-jagoan yang mau mendukung Pangeran Leng dengan janji yang muluk-muluk bila mana usaha pangeran itu berhasil.

Orang kedua yang hadir adalah seorang pembantu baru. Tokoh ini seorang datuk besar yang amat lihai berjuluk Bu-lim Sai-kong (Kakek Singa Rimba Persilatan). Usianya sekitar enam puluh tahun, tubuhnya tinggi besar laksana raksasa, rambut kepalanya kemerahan, sebagian terurai menutupi wajahnya yang merah sehingga wajah itu mirip muka seekor singa. Di pinggangnya tergantung sebatang golok gergaji besar.

Bu-lim Sai-kong ini selain memiliki tenaga besar dan ilmu goloknya berbahaya sekali, juga dia memiliki sinkang yang sangat kuat dan mahir pula menggunakan ilmu sihir. Dia sangat dihormati oleh Pat-chiu Lo-mo yang berhasil menariknya untuk membantu Pangeran Leng karena Pat-chiu Lo-mo yang lihai itu maklum bahwa tingkat kepandaian Si Muka Singa ini jauh lebih kuat dan lebih tangguh dari pada tingkat kepandaiannya sendiri! 

Ada pun dua orang lagi yang hadir adalah Phang Houw yang berjuluk Hui-eng-to (Golok Garuda Terbang) karena dia terkenal dengan ilmu goloknya Hui-eng-to-hoat yang cukup dahsyat. Tubuhnya gemuk pendek dengan wajah bundar kekanak-kanakan, namun gerak-geriknya sombong.

Dan seorang lainnya bertubuh tinggi kurus, usianya sebaya dengan Phang Houw, sekitar empat puluh empat tahun. Si Tinggi Kurus ini bernama Louw Cin dan dia adalah ketua perkumpulan Liong-bu-pang dari kota Tui-lok. Dia pun sudah lama bergabung dengan Pat-chiu Lo-mo, bahkan mengerahkan anak buahnya para anggota Liong-bu-pang sebanyak kurang lebih lima puluh orang yang selalu bersiap membantu Pangeran Leng. Louw Cin ini terkenal dengan senjata ruyung besinya yang berduri dan tampak menyeramkan.

Mereka berlima duduk mengelilingi sebuah meja besar, berunding sambil minum-minum. Pangeran Leng telah mengambil keputusan nekat. Malam itu juga dia akan mengerahkan para pembantunya untuk membunuh Pangeran Bouw Hun Ki dan Ciu Thian Hwa, karena dua orang inilah yang merupakan penghalang utama sehingga dia tidak dapat menguasai kerajaan dengan menjadi pendamping sekaligus penasihat adiknya yang diangkat menjadi kaisar, yaitu Pangeran Kang Shi yang masih kecil.

Kalau dia bisa menjadi pelindung atau pendamping calon kaisar yang masih kanak-kanak itu, sama saja dengan dia sendiri yang menjadi kaisar dan memimpin pemerintah. Kalau sudah begitu, segala hal dapat dia atur sesukanya, bahkan mudah saja untuk kemudian melenyapkan Kaisar Kang Shi yang masih kanak-kanak sehingga dia sebagai kakaknya tentu dapat menggantikannya menjadi kaisar, apa lagi jika dia sudah menjadi pendamping kaisar!

Perebutan kekuasaan selalu terjadi di mana-mana. Setiap orang pasti memiliki keinginan untuk mendapat kekuasaan, baik hal itu terjadi di dalam keluarga, di dalam masyarakat, perkumpulan, perusahaan, di antara karyawan, sampai ke para pembesar dan pejabat.

Manusia bisa berbuat apa saja untuk memperebutkan kekuasaan. Tujuan menghalalkan segala cara! Untuk mencapai tujuan itu, orang melakukan segala cara licik dan kejam. Bahkan terjadi saling bunuh di antara saudara, di antara bangsa, sampai menjalar kepada perang antar bangsa. Semua demi memperoleh kekuasaan!

Siapa yang menang dialah yang berkuasa dan yang berkuasa itu pasti benar dan senang. Jadi memperebutkan kekuasaan itu pada hakekatnya adalah untuk mencari kesenangan dan kesenangan biasanya bisa diperoleh dengan uang. Dengan sendirinya permusuhan, perang, perebutan kekuasaan itu tiada lain hanyalah memperebutkan harta karena harta mendatangkan kesenangan!

Andai kata kekuasaan yang diperebutkan itu tidak mendatangkan uang, adakah kiranya orang yang hendak memperebutkannya? Kedudukan atau kekuasaan sebagai pengurus perkumpulan sosial yang biasanya tidak mendatangkan keuntungan uang, tidak pernah diperebutkan, malah dia yang ditunjuk mencari berbagai alasan untuk menolaknya. Akan tetapi sebuah kedudukan atau kekuasaan yang akan mendatangkan banyak uang, pasti menjadi rebutan!

Kekuasaan bisa membuat orang menjadi gila kekuasaan. Merasa dirinya paling atas dan biasanya hal ini mendatangkan ketinggian hati dan melahirkan tindakan yang sewenang-wenang. Terutama sekali, orang yang memegang kekuasaan biasanya dirubung penjilat-penjilat yang ingin mendapat bagian dari keuntungannya berupa harta. Kenyataan seperti ini terdapat di sepanjang jaman dan terjadi pada para penguasa, semenjak jaman dahulu sampai sekarang.

Pangeran Leng Kok Cun sering membayangkan betapa senangnya apa bila dia menjadi kaisar. Segala keinginannya pasti terkabul, segala perintahnya pasti akan ditaati orang. Kehormatan, kemuliaan, kemewahan, akan berlimpahan memenuhi kehidupannya setiap hari. Ingin memuaskan mata menikmati pemandangan indah, tinggal perintah dan para pembantunya akan menyediakannya. Ingin memuaskan telinga menikmati pendengaran merdu, ingin memuaskan penciuman menikmati harum-haruman, ingin memuaskan mulut menikmati makanan apa saja, semua tinggal perintah dan pasti akan terlaksana. Bahkan ingin wanita cantik yang mana pun, tinggal menggapai pasti akan dimilikinya.

Membayangkan segala kesenangan ini membuat Pangeran Leng semakin bernafsu untuk meraihnya, bila perlu dengan jalan apa pun juga. Membunuh atau menyuruh bunuh ayah kandung sendiri pun sudah dia lakukan!

Pangeran Leng lupa atau buta akan kenyataan, seperti semua orang yang sedang dilanda nafsu keinginan mendapatkan sesuatu, bahwa bayangan dan kenyataan itu berbeda jauh, seperti bumi dengan langit. Lupa bahwa segala macam bayangan kesenangan itu akan hilang tidak ada artinya kalau dia terserang penyakit yang paling sederhana sekali pun, seperti misalnya sakit gigi, kepala pening, sakit perut, sakit mata dan sebagainya. Semua kesenangan itu tidak akan dapat dinikmati lagi, kalah oleh kesengsaraan sebuah penyakit yang paling sederhana! Juga dia lupa bahwa segala macam bentuk kesenangan, baik itu yang dinikmati melalui mata, telinga, hidung, mulut dan indera lainnya, semuanya akan mendatangkan kebosanan. 

Yang paling dapat menikmati sesuatu adalah orang yang belum mempunyai sesuatu itu, dinikmati benar melalui pikiran yang membayangkannya. Akan tetapi bila mana sesuatu itu sudah dimilikinya, maka yang datang adalah kebosanan.

Semua kesenangan duniawi, kesenangan badani pasti mendatangkan kebosanan karena nafsu keinginan itu akan menjangkau yang lain lagi, yang belum dimilikinya! Yang sudah terdapat menjadi bosan dan yang tampak nikmat dan indah adalah sesuatu yang belum didapat! Beginilah ulah nafsu keinginan!

Berbahagialah orang yang dapat menikmati APA ADANYA, menikmati saat demi saat, apa pun yang terjadi padanya, apa pun yang diperolehnya, yang selalu bersyukur dan memuji nama Yang Maha Kasih atas apa saja yang terjadi padanya dan menerimanya sebagai karunia yang dianugerahkan kepadanya, tanpa memperhitungkan untung rugi atau enak tidak enak!

Seperti yang telah disepakati, menjelang tengah malam, Pat-chiu Lo-mo, Bu-lim Sai-kong, Hui-eng-to Phang Houw, Louw Cin dan sekitar lima puluh orang anggota Liong-bu-pang berangkat menuju gedung tempat tinggal Pangeran Bouw Hun Ki. Tugas mereka adalah untuk membunuh Pangeran Bouw Hun Ki dan Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa!

Semula Pangeran Leng Kok Cun memang merasa ragu-ragu. Dia maklum betapa kuatnya mereka yang berada di gedung Pangeran Bouw Hun Ki itu. Akan tetapi Pat-chiu Lo-mo menghiburnya.

“Jangan khawatir, Pangeran. Dengan adanya Bu-lim Sai-kong, yakinlah bahwa malam nanti Pangeran Bouw Hun Ki pasti akan mampus! Ada pun tentang diri Huang-ho Sian-li, biar pun dia merupakan lawan yang cukup tangguh, namun saya yakin kami berdua pasti sanggup membunuhnya. Pula, siasat kita akan membuat mereka itu terpencar sehingga menjadi lemah.”
“Hoa-ha-ha! Pangeran, percayalah kepada saya! Sekali Bu-lim Sai-kong bergerak, pasti leher musuh akan terpenggal oleh golok saya ini, ha-ha-ha!”

Mereka berangkat dengan terpencar. Kegelapan malam itu melindungi mereka sehingga dengan mudah mereka dapat tiba di luar tembok pagar gedung tempat tinggal Pangeran Bouw Hun Ki. Sesuai dengan siasat yang telah mereka atur dan rencanakan sebelumnya secara masak, Phang Houw dan Louw Cin memimpin kurang lebih lima puluh orang anak buah Liong-bu-pang. Sebagian, dipimpin oleh Phang Houw, melepas anak panah berapi ke arah belakang, kanan dan kiri gedung sehingga tidak lama kemudian terjadi kebakaran di tiga tempat itu.

Sesudah terjadi kebakaran dan terdengar kegemparan di sebelah dalam, Louw Cin segera memimpin anak-anak buahnya untuk menyerbu pintu gerbang. Diserang secara serentak dalam kegelapan itu, para prajurit yang melakukan penjagaan di gedung itu menjadi panik juga.

Jumlah para petugas yang bergilir hanya sekitar tiga puluh orang, ini pun dibagi. Ada yang bertugas di pintu gerbang, ada yang bertugas di sekeliling rumah dan ada yang meronda. Maka sekitar lima belas orang yang bertugas menjaga di pintu gerbang, tentu saja terkejut ketika diserbu puluhan orang yang semuanya bersenjata ruyung. Memang semua anggota Liong-bu-pang bersenjata ruyung seperti ketua mereka.

Seluruh isi gedung Pangeran Bouw Hun Ki menjadi sibuk. Sebagian prajurit memadamkan kebakaran di tiga bagian, dan sisanya menyambut serbuan musuh. Kini anak buah Liong-bu-pang yang dipimpin oleh Phang Houw sudah membantu kawan-kawan mereka pula, menyerbu di pintu gerbang sehingga terjadi pertempuran yang tidak seimbang. Lima puluh orang mendesak lima belas orang prajurit!

Akan tetapi tiba-tiba muncul empat orang muda yang gerakannya amat dahsyat. Mereka adalah Bu Kong Liang yang mengamuk dengan siangkek-nya (sepasang tombak pendek bercagak), didampingi Bouw Kun Liong yang bersenjata siang-kiam (sepasang pedang), dan Bouw Hwi Siang yang bersenjata siang-kiam pula didampingi Gui Siang Lin yang juga bersenjata siang-kiam. Munculnya empat orang muda lihai ini membuat para penyerang menjadi kocar-kacir.

Dengan marah Phang Houw menerjang dengan goloknya. Dia segera disambut Bu Kong Liang yang sudah menggerakkan sepasang tombak pendeknya. Tombak kiri menangkis bacokan golok dan tombak kanan membalas dengan tusukan ke arah perut.

Phang Houw terkejut bukan main ketika merasa betapa tangannya yang memegang golok tergetar hebat oleh tangkisan itu. Cepat dia melangkah mundur dan memutar tubuh untuk menghindarkan diri dari tusukan tombak pendek. Goloknya lantas berkelebat menyambar lagi tetapi serangannya selalu dapat ditangkis oleh Bu Kong Liang. Segera mereka berdua bertanding dengan mati-matian.

Liong-bu-pangcu Louw Cin juga penasaran sekali. Bagaimana pun juga dia mengandalkan jumlah anak buahnya yang lebih banyak. Tadi dia mengamuk, akan tetapi melihat di pihak musuh muncul dua orang gadis dan dua orang pemuda yang gerakannya lihai, dia cepat maju untuk membantu Phang Houw. Tetapi ruyungnya bertemu dengan sebatang pedang di tangan kiri Bouw Kun Liong.

“Tranggg...!”

Bunga api berpijar dan Louw Cin terdorong mundur dua langkah. Dia terkejut sekali sebab dari tangkisan tadi dia maklum bahwa lawannya ini adalah seorang pemuda yang memiliki tenaga yang amat kuat. Akan tetapi dia tidak diberi kesempatan untuk berdiam diri karena sepasang pedang di tangan Bouw Kun Liong kini menyambar-nyambar bagaikan dua ekor naga mengamuk. Louw Cin melawan sekuat tenaga dan mereka berdua pun bertanding dengan seru dan mati-matian.

Sementara itu dua orang gadis cantik yang gagah perkasa itu, Bouw Hwi Siang dan Gui Siang Lin, mengamuk bagaikan dua ekor harimau betina yang dikeroyok banyak anjing srigala. Mereka menubruk ke kanan kiri dan depan, terkadang memutar tubuh dan pedang mereka membentuk-sinar bergulung-gulung. Terkadang ada lawan yang terkena sambaran sinar itu dan dia roboh mandi darah.

Pertempuran itu terjadi di pekarangan yang hanya diterangi lampu gantung di depan gardu sehingga cuacanya remang-remang. Hal ini malah menyukarkan bagi para pengeroyok karena gerakan dua orang gadis itu lincah dan cepat sekali.

Saat itu di sebelah dalam gedung, di ruangan yang luas, terjadi pula perkelahian yang tak kalah hebatnya. Tadi, melihat anak buahnya sudah berhasil melakukan pembakaran dan menyerbu pintu gerbang, Pat-chiu Lo-mo dan Bu-lim Sai-kong segera melompati pagar tembok dan mereka berhasil memasuki gedung dari atas atap. Akan tetapi saat itu semua penghuni gedung sudah terbangun oleh keributan itu.

Pangeran Bouw Hun Ki yang maklum bahwa ada penjahat menyerbu dan mereka itu tentu berniat membunuh Pangeran Mahkota, langsung mengajak Pangeran Kang Shi memasuki sebuah ruang rahasia yang sengaja dibangun untuk menyembunyikan Pangeran Mahkota dari ancaman bahaya. Pangeran Bouw Hun Ki lalu tinggal di situ, bersembunyi bersama Pangeran Mahkota.

Akan tetapi Bouw Hujin dan Ciu Thian Hwa mengira bahwa yang diincar para penyerbu itu sudah pasti Pangeran Mahkota Kang Shi, maka keduanya cukup membiarkan Bu Kong Liang, Bouw Kun Liong, Gui Siang Lin, dan Bouw Hwi Siang berempat membantu para prajurit pengawal menghadapi serbuan para penjahat, sedangkan mereka berdua siap dan waspada menjaga ruangan tengah yang luas di mana terdapat pintu tembusan rahasia ke tempat persembunyian Pangeran Kang Shi.

Dua orang wanita perkasa ini sama sekali tidak menyangka bahwa dugaan mereka sekali ini keliru. Bukan Pangeran Kang Shi yang menjadi sasaran pembunuhan, tetapi Pangeran Bouw Hun Ki dan Ciu Thian Hwa yang dianggap sebagai penghalang tercapainya cita-cita Pangeran Leng untuk menjadi pendamping adiknya, Pangeran Kang Shi, bila nanti sudah dinobatkan sebagai kaisar!

Ketika ada dua sosok bayangan melayang turun dari atas atap lantas memasuki ruangan yang luas itu, Bouw Hujin dan Thian Hwa masih menyangka bahwa dua orang itu tentu hendak mencari Pangeran Kang Shi. Thian Hwa segera mengenali seorang dari mereka yang bukan lain adalah Pat-chiu Lo-mo, musuh lama yang pernah dia lawan ketika dahulu membantu Pangeran Cu Kiong yang pada waktu itu disangkanya seorang yang baik budi. Bahkan dalam pertandingan yang seru, dia berhasil mengalahkan Pat-chiu Lo-mo walau pun tidak sampai membunuhnya.

Ada pun orang ke dua yang muncul bersama Pat-chiu Lo-mo sama sekali tak dikenalnya. Lelaki berusia enam puluh tahun itu tampak menyeramkan dengan mukanya yang seperti muka singa, rambut merah riap-riapan, tubuh tinggi serta kekar. Bouw Hujin yang dahulu seorang pendekar wanita juga belum pernah melihatnya.

“Pat-chiu Lo-mo jahanam busuk! Engkau tentu utusan Pangeran Leng untuk melakukan kejahatan, akan tetapi sekarang aku tidak akan mengampuni dan membiarkanmu hidup!” Thian Hwa membentak marah sambil menudingkan pedangnya ke arah muka kakek kurus bongkok itu.

Pat-chiu Lo-mo merasa jeri terhadap Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa yang kelihaiannya sudah dia kenal. Dia lebih memandang rendah kepada Nyonya Bouw Hun Ki. Walau pun dia sudah mendengar bahwa isteri Pangeran Bouw ini juga seorang wanita yang memiliki kepandaian silat tinggi, akan tetapi dia menganggap mustahil jika dia lebih lihai dari pada Huang-ho Sian-li. Maka dia memberi isyarat kepada Bu-lim Sai-kong agar kawannya itu menghadapi Huang-ho Sian-li dan dia yang akan melawan Bouw Hujin.

Akan tetapi Bu-lim Sai-kong yang berwatak sombong sekali dan menganggap bahwa di dunia ini hanya dialah yang paling hebat, memandang rendah dua orang wanita itu dan dia tertawa. Suara tawanya juga aneh sekali, mirip singa mengaum, kepalanya didongakkan, mulutnya dibuka lebar dan terdengar auman yang menggetarkan jantung.

Karena auman itu merupakan pengerahan kekuatan sihir atau ilmu hitam yang memakai tenaga berasal dari roh jahat, yang sengaja dikerahkan dan ditujukan kepada Bouw Hujin dan Thian Hwa, maka kedua orang wanita itu mendadak merasa betapa isi dada mereka terguncang, juga kepala mereka menjadi pening dan kacau! Hampir saja Thian Hwa kena terpengaruh dan terbawa ikut tertawa, dan kalau hal ini terjadi maka berarti ia akan tunduk di bawah pengaruh Sai-kong itu. Akan tetapi tiba-tiba Bouw Hujin berseru nyaring.

“Segala ilmu setan tidak akan dapat mengganggu batin yang bersih!”

Mendengar ini, Thian Hwa sadar bahwa dirinya diserang melalui suara tawa itu dengan ilmu sihir, maka cepat ia mengerahkan tenaga saktinya, memusatkan perhatian menolak pengaruh itu dan seketika pengaruh itu pun menghilang.

Bu-lim Sai-kong merasa penasaran melihat dua orang wanita itu tidak bisa dia pengaruhi, maka dia cepat berkemak-kemik membaca mantera, lalu mengangkat kedua tangannya ke atas seperti kedua kaki depan biruang hendak menerkam. Matanya mencorong seperti mengeluarkan api dan dia berkata dengan suara yang menggelegar.

“Kalian dua orang wanita lemah, hayo berlututlah di hadapan Bu-lim Sai-kong!” Dari kedua tangannya itu seolah keluar hawa yang bergetar kuat.

Kembali Huang-ho Sian-li merasa seolah-olah kedua lututnya gemetar dan hampir saja ia benar-benar menjatuhkan diri berlutut. Kekuatan sihir Bu-lim Sai-kong memang hebat. Ia harus mengerahkan seluruh tenaga untuk melawan pengaruh yang amat kuat itu. Untung baginya bahwa Bouw Hujin kini berada di situ. Nyonya Bouw ini jauh lebih berpengalaman dibandingkan Thian Hwa dalam menghadapi serangan sihir macam itu.

Ketika Bu-lim Sai-kong menyerang dengan sihir untuk kedua kalinya, Bouw Hujin menjadi tidak sabar lagi.

“Pergilah!” bentaknya, dan dari tangannya menyambar tiga sinar putih ke arah Sai-kong itu.

Ternyata jalan pikiran Nyonya Bouw sama dengan Thian Hwa karena Huang-ho Sian-li ini juga sudah menyambitkan Pek-hwa-ciam ke arah Pat-chiu Lo-mo. Hampir berbareng, tiga buah Gin-seng-piauw (Piauw Bintang Perak) dan tiga batang Pek-hwa-ciam (Jarum Bunga Putih) meluncur ke arah Bu-lim Sai-kong dan Pat-chiu Lo-mo!

Akan tetapi dua orang kakek itu juga bukan orang sembarangan. Pat-chiu Lo-mo sudah berhasil menyampok atau mengebut tiga batang jarum yang dilepas Thian Hwa dengan Yang-liu-san (Kipas Cemara) yang berada di tangan kirinya. Sedangkan Sai-kong itu pun berhasil menangkis tiga buah Gin-seng-piauw dengan golok besar di tangan kanannya.

Melihat ilmu sihirnya tidak mampu menundukkan dua orang wanita itu, Bu-lim Sai-kong baru menyadari bahwa mereka berhadapan dengan dua orang wanita yang lihai, terutama Nyonya Bouw. Maka sesudah menangkis Gin-seng-piauw, dia langsung saja menyerang nyonya itu.

Bouw Hujin juga sengaja menghadapi kakek muka singa ini karena dia dapat menduga bahwa Si Muka Singa inilah yang merupakan lawan berbahaya. Mungkin kalau bertanding ilmu silat, belum tentu Thian Hwa akan dikalahkan karena tingkat kepandaian gadis Dewi Sungai Kuning itu tidak jauh selisihnya dengan tingkat kepandaiannya sendiri. Akan tetapi agaknya Thian Hwa belum begitu kuat menghadapi serangan ilmu sihir.

Maka melihat Sai-kong itu menggerakkan goloknya yang menyeramkan, golok yang amat besar dan berat dengan punggung golok berbentuk gergaji, Bouw Hujin cepat memainkan sepasang pedangnya dengan Bu-tong Kiam-sut (Ilmu Pedang Bu-tong-pai) yang terkenal indah dan lembut namun sangat kuat. Menghadapi golok besar yang digerakkan dengan tenaga raksasa itu, Bouw Hujin cepat memainkan kedua pedangnya dengan ilmu pedang Thai-kek-kiam dari Bu-tong-pai.

“Mampus kau!” Bu-lim Sai-kong membentak, bentakan yang tetap mengandung getaran hebat ilmu sihir yang sudah merupakan serangan pendamping, lalu goloknya menyambar dari kanan ke kiri mengarah ke leher Bouw Hujin.

Bouw Hujin bergerak cepat, menggunakan jurus Yancu-pok-cui (Burung Walet Menyambar Air). Ia merendahkan tubuh, agak membungkuk, pedang kanan melintang di depan kedua kakinya, pedang kiri diacungkan ke atas, lantas pedang kanan cepat menyambar ke atas membalas dengan tusukan dari bawah ke arah tenggorokan lawan sambil berdiri dengan kaki kanan, kaki kiri mengangkat lututnya. Gerakannya lembut tetapi mengandung tenaga sinkang dan tahu-tahu pedangnya sudah meluncur ke arah tenggorokan Bu-lim Sai-kong.

Kakek muka singa ini cepat-cepat menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaga untuk membuat pedang itu terpental. Namun, seperti hidup pedang itu mengelak sehingga tidak sampai terpukul golok yang besar dan berat.

Perkelahian berlangsung seru dan menegangkan. Gerakan Bu-lim Sai-kong bagai seekor harimau yang kuat dan kasar, menubruk dan mencengkeram, tetapi Bouw Hujin bergerak perlahan, seakan tanpa tenaga, terkadang diam, bagaikan seekor ular yang menghadapi serangan harimau yang kasar. Meski pun gerakannya tampak perlahan, namun waspada dan semua serangan dapat dihindarkan dengan baik, bahkan serangan balasannya terjadi cepat dan tidak terduga-duga sehingga sering kali Bu-lim Sai-kong berseru kaget.

Sementara itu Thian Hwa yang marah sekali melihat musuh besarnya, sudah menerjang Pat-chiu Lo-mo dengan ilmu pedang Huang-ho Kiam-hoat (Ilmu Pedang Sungai Kuning) yang khas. Ilmu pedang ini gubahan Thian Bong Sianjin, merupakan perkembangan dari Kwan-im Kiam-hoat (Ilmu Pedang Dewi Kwan Im).

Pat-chiu Lo-mo yang memang telah merasa jeri menghadapi Thian Hwa, segera terdesak hebat walau pun dia sudah melawan mati-matian dengan tongkatnya dan kipasnya. Kakek kurus bongkok ini bahkan merasa kaget karena dibandingkan sekitar dua tahun yang lalu, gadis ini ternyata kini jauh lebih lihai lagi! Tentu saja dia tidak tahu bahwa gadis ini sudah memperdalam lagi ilmu silatnya di bawah gemblengan gurunya yang juga menjadi kakek angkatnya!

Lebih panik lagi hatinya ketika dia sempat melirik ke arah temannya. Ternyata Bu-lim Sai-kong yang amat dia andalkan, yang sudah buka mulut besar meyakinkan hati Pangeran Leng bahwa mereka berdua pasti dapat membunuh Pangeran Bouw Hun Ki dan Huang-ho Sian-li, sekarang juga terdesak hebat oleh Bouw Hujin yang agaknya tidak kalah lihai dibandingkan Huang-ho Sian-li!

Sesudah bertanding selama tiga puluh jurus lebih dan mereka berdua semakin terdesak, Pat-chiu Lo-mo maklum bahwa tugasnya telah gagal dan kalau mereka tidak cepat pergi, akan berbahaya sekali bagi mereka.

“Sai-kong, mari kita pergi!” katanya dan dia membanting sebuah benda seperti bola yang meledak dan mengeluarkan asap hitam bergumpal-gumpal!

“Tahan napas dan kejar!” Bouw Hujin berseru.

Thian Hwa maklum. Dia pun cepat menerjang asap dan melakukan pengejaran bersama Nyonya Bouw. Melihat dua bayangan kakek itu berlari ke arah taman, mereka mengejar terus.

Tiba-tiba saja ada dua sinar menyambar ke arah Bouw Hujin dan Thian Hwa. Ternyata itu adalah hui-to (pisau terbang) beracun yang disambitkan Pat-chiu Lo-mo.

Namun dengan mudah dua orang wanita perkasa itu menangkis dengan pedang mereka, lalu seperti diingatkan oleh serangan hui-to tadi, mereka mengejar lagi sambil menyerang, menyambitkan senjata rahasia mereka dengan gencar. Pek-hwa-ciam yang disambitkan Thian Hwa menjadikan Pat-chiu Lo-mo sebagai sasaran, sedangkan Gin-seng-piauw dari Nyonya Bouw menyerang Bu-lim Sai-kong.....

Mendadak Pat-chiu Lo-mo berteriak dan tubuhnya terpelanting. Melihat kawannya roboh, Bu-lim Sai-kong cepat menyambar tubuh kawannya yang terluka kemudian melemparkan dengan tenaga yang kuat sekali ke arah kedua orang wanita yang mengejarnya!

Bouw Hujin dan Thian Hwa terkejut sekali. Cepat mereka mengelak dan pedang mereka berkelebat. Tubuh Pat-chiu Lo-mo roboh dan langsung tewas karena terbabat pedang dua orang wanita perkasa itu. Tetapi bayangan Bu-lim Sai-kong sudah hilang dalam kegelapan malam.

Mereka maklum bahwa tak ada gunanya mengejar dalam gelap, maka mereka lalu cepat berlari ke arah dalam istana dan kemudian ke halaman. Ternyata para penyerbu itu sudah roboh semua. Banyak yang tewas dan yang tertangkap mengaku bahwa mereka adalah anak buah Liong-bu-pang yang dipimpin oleh Phang Houw dan Louw Cin yang juga tewas di tangan Bouw Kun Liong dan Bu Kong Liang.

Tadi Bouw Hwi Siang dan Gui Siang Lin juga mengamuk bagaikan dua ekor naga betina, merobohkan banyak penyerbu. Di pihak Pangeran Bouw, terdapat beberapa orang prajurit yang tewas.

Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa memaksa mereka yang tertawan untuk mengaku, siapa yang mengirim mereka dan apa maksud serbuan itu. Mereka tidak berani menyangkal lagi dan mengatakan bahwa penyerbuan itu adalah siasat yang direncanakan Pangeran Leng Kok Cun bersama Pat-chiu Lo-mo, Bu-lim Sai-kong, Phang Houw dan Louw Cin dengan maksud membunuh Pangeran Bouw Hun Ki dan Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa!

“Hemm sekarang kesempatan bagiku untuk menangkap pengkhianat itu!” kata Thian Hwa marah di depan Pangeran Bouw yang kini sudah keluar dari persembunyiannya, dan yang lain-lain. Gadis ini marah sekali.
“Akan tetapi engkau harus membawa Tek-pai itu supaya dia mau menyerahkan diri tanpa harus menggunakan kekerasan, Thian Hwa,” kata Pangeran Bouw Hun Ki.
“Baik, Paman Pangeran,” kata Thian Hwa lalu malam itu juga ia pergi seorang diri dengan cepat menuju ke gedung tempat tinggal Pangeran Leng Kok Cun.

Bouw Hujin tidak melarang karena wanita ini percaya akan kemampuan Thian Hwa. Para prajurit lalu dikerahkan mengurus mayat-mayat dan membawa musuh yang masih hidup menjadi tawanan ke penjara…..
********************
Pada malam hari itu, sebelum kaki tangan Pangeran Leng Kok Cun menyerbu ke gedung Pangeran Bouw, di rumah Pangeran Cu Kiong, pangeran itu bersama Ang-mo Niocu yang telah menjadi kekasih barunya mengadakan pesta makan minum menyambut kedatangan dua orang penting utusan Jenderal Wu Sam Kwi. Mereka adalah Lam-hai Cin-jin, guru Ang-mo Niocu, dan seorang lagi yang bernama Ngo-heng Kui-ong.

Mereka sengaja datang sebagai utusan Jenderal Wu Sam Kwi, menyusul Ang-mo Niocu yang berangkat lebih dulu, dan mereka ditugaskan membantu Pangeran Cu Kiong yang kini menjadi sekutu Jenderal Wu Sam Kwi.

Lam-hai Cin-jin, Datuk Selatan ini adalah guru Ang-mo Niocu. Dia seorang laki-laki berusia kurang lebih enam puluh tahun dan dia menjadi orang kepercayaan Wu Sam Kwi, bahkan memiliki kedudukan sebagai Koksu (Guru Negara) dari pemerintahan Wu Sam Kwi yang berada di Yunnan-hu.

Lam-hai Cin-jin bertubuh pendek dengan perut gendut sekali, mukanya kekanak-kanakan. Akan tetapi sesungguhnya dia adalah seorang yang sakti dan lihai, memiliki ilmu pukulan beracun yang disebut Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam). Di samping ahli racun yang pandai, Lam-hai Cin-jin juga memiliki ilmu silat tinggi dan tenaga sinkang yang amat kuat. Senjatanya yang berupa ruyung berduri amat berbahaya dan dahsyat.

Orang ke dua yang berjuluk Ngo-beng Kui-ong (Raja Setan Lima Nyawa) bahkan tampak lebih menyeramkan lagi. Usianya telah sekitar delapan puluh tahun dan dia adalah susiok (paman guru) dari Lam-hai Cin-jin. Wajahnya kurus pucat seperti mayat hidup, tubuhnya yang tinggi kurus itu dibungkus kain serba putih.

Kakek tua renta ini tampaknya lemah, akan tetapi sesungguhnya dia memiliki ilmu yang tinggi. Ilmu silatnya aneh dan dahsyat karena mengandung tenaga sihir dan tenaga sakti, dan dalam hal racun, dia malah lebih lihai dari pada Lam-hai Cin-jin.

Setelah mendengar semua penjelasan Ang-mo Niocu tentang keadaan kota raja Kerajaan Ceng, juga tentang rencana yang telah diatur oleh gadis itu dan Pangeran Cu Kiong, dua orang kakek itu menjanjikan bahwa malam itu mereka pasti akan membunuh Pangeran Leng yang menjadi penghalang utama cita-cita Pangeran Cu Kiong.

Pangeran Cu Kiong kemudian menjamu dua orang itu dan mereka sedang makan minum dengan gembira ketika mereka mendengar bahwa para jagoan pembantu Pangeran Leng bersama anak buahnya malam itu sedang menyerbu gedung Pangeran Bouw Hun Ki di mana terdapat Pangeran Mahkota Kang Shi.

“Aha, ini kesempatan yang amat baik!” Pangeran Cu Kiong berseru. “Pangeran Leng tentu mengerahkan seluruh jagoannya ke gedung Pangeran Bouw Hun Ki sehingga dia tinggal sendirian di gedungnya. Kesempatan yang baik sekali bagi kita untuk membunuhnya. Aku sendiri akan ikut ke sana!”
Demikianlah, mereka semua pergi ke gedung Pangeran Leng. Pangeran Cu Kiong diikuti Lam-hai Cin-jin, Ngo-beng Kui-ong, Ang-mo Niocu, dan tidak ketinggalan Thio Kwan dan Yu Kok Lun.

Setelah tiba di pintu gerbang rumah gedung Pangeran Leng Kok Cun, mudah saja mereka masuk. Selain para prajurit penjaga mengenal dan takut kepada Pangeran Cu Kiong, juga mereka yang menentang dengan mudah segera dirobohkan oleh Thio Kwan dan Yu Kok Lun yang selalu menunjukkan ‘kegagahan’ dan kegarangannya kalau berhadapan dengan lawan yang lemah.

Maka dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Pangeran Leng Kok Cun ketika dia melihat Pangeran Cu Kiong dan para pengikutnya memasuki ruangan di mana dia duduk dengan gelisah, menanti berita hasil penyerangan orang-orangnya ke gedung Pangeran Bouw Hun Ki. Dia cepat melompat berdiri dan menyambar pedang yang berada di atas meja.

“Dinda Pangeran Cu Kiong! Apa maumu datang memasuki rumahku dengan rombongan seperti perampok ini?!” bentaknya marah.

Pangeran Cu tersenyum mengejek. “Pangeran Leng Kok Cun,” katanya tanpa menyebut kakanda lagi. “Aku datang untuk menangkapmu. Engkau adalah pengkhianat yang sudah mengirim orang-orangmu untuk membunuh Adinda Pangeran Mahkota Kang Shi di rumah Paman Pangeran Bouw Hun Ki!”

Wajah Pangeran Leng menjadi merah sekali saking marahnya. “Jahanam! Engkau sendiri bagaimana? Engkau juga ingin merebut tahta, engkau lebih pengkhianat, dan kini engkau hendak menangkap aku?” Sesudah berkata demikian dia segera menerjang maju hendak menyerang adik tirinya dengan pedangnya.

Pangeran Cu Kiong cepat melompat ke belakang Lam-hai Cin-jin untuk berlindung karena dia maklum bahwa dalam hal ilmu silat, dia tidak akan menang melawan kakak tirinya ini yang jauh lebih lihai dari padanya.

Ketika Pangeran Leng hendak mengejar, tiba-tiba Ang-mo Niocu melompat ke depan dan cepat sekali tangannya digerakkan untuk memukul pundak Pangeran Leng. Pangeran ini sangat marah dan cepat menggerakkan pedangnya untuk membabat putus lengan gadis itu.

Akan tetapi Ang-mo Niocu yang lihai malah menangkap pedang itu dengan tangannya dan pedang dalam genggamannya itu bagai melekat kuat pada telapak tangannya. Kemudian, selagi Pangeran Leng terkejut dan berusaha menarik lepas pedangnya, tangan kiri gadis itu bergerak menotok ke arah dada Pangeran Leng. Tanpa sempat mengeluarkan suara Pangeran Leng terkulai roboh dan tidak mampu bergerak lagi karena jalan darahnya telah tertotok!

Pada saat itu pula terdengar suara ribut-ribut di luar ruangan itu. Mendengar ini, Pangeran Cu Kiong cepat keluar untuk melihat apa yang terjadi. Dia merasa bahwa sebagai seorang pangeran dia akan dapat menguasai keluarga Pangeran Leng ini tanpa melakukan banyak perlawanan.

Akan tetapi, pada saat tiba di luar, dia melihat kejadian yang membuat wajahnya berubah pucat. Dia melihat Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa sedang mengamuk, dikeroyok belasan orang prajurit pengawal. Dalam waktu sebentar saja semua pengeroyok itu sudah roboh di tangan gadis yang gagah perkasa itu. Pangeran Cu cepat kembali ke ruangan tengah dan memberi-tahu para pembantunya akan kedatangan Huang-ho Sian-li.

“Kebetulan dia muncul, mungkin ingin menangkap Pangeran Leng. Ji-wi Locianpwe (Dua Orang Tua Gagah), tolong tangkap hidup-hidup gadis itu!”

Ang-mo Niocu menyentuh lengan pangeran itu. Dengan kedua alis berkerut dia berbisik, “Pangeran, agaknya Paduka tertarik oleh kecantikan Huang-ho Sian-li?”

“Ihh, tidak begitu, Niocu. Dia memiliki Tek-pai, ingat? Maka kita harus memanfaatkannya. Locianpwe Ngo-beng Kui-ong, tolong tangkaplah gadis itu hidup-hidup. Kami mempunyai rencana yang baik sekali untuk keuntungan kita!”

Ngo-beng Kui-ong saling pandang dengan keponakan muridnya kemudian Lam-hai Cin-jin menoleh kepada muridnya. Ang-mo Niocu mengangguk sebagai isyarat bahwa dia setuju dengan permintaan Pangeran Cu.

“Mundurlah, Pangeran. Biarlah kami menangkapnya dan tunggu sampai ia masuk ke sini, dengan demikian ia tidak akan mampu meloloskan diri,” kata Lam-hai Cin-jin.

Pangeran Cu lalu menyeret tubuh Pangeran Leng yang sudah tidak mampu bergerak atau bersuara itu ke sudut ruangan, ditemani Ang-mo Niocu, Thio Kwan, dan Yu Kok Lun. Ada pun Lam-hai Cin-jin dan Ngo-beng Kui-ong dengan tenangnya menanti dan bersembunyi di dekat pintu.

Mereka tidak menanti lama. Setelah merobohkan semua pengeroyoknya, Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa langsung berkelebat dan melompat masuk ke dalam ruangan besar itu. Dia hendak mencari Pangeran Leng Kok Cun.

Begitu tiba dalam ruangan itu, pandang matanya tertarik ke arah Pangeran Cu Kiong yang berdiri di sudut bersama Ang-mo Niocu, gadis berpayung merah yang pernah dijumpainya, serta dua orang pengawalnya yang juga sudah dikenalnya, yaitu Thio Kwan dan Yu Kok Lun. Ia merasa heran sekali bagaimana bisa menemukan Pangeran Cu Kiong di gedung Pangeran Leng Kok Cun. Akan tetapi ia lalu melihat tubuh Pangeran Leng menggeletak di atas lantai, di belakang Pangeran Cu Kiong.

Ia tidak dapat terlalu lama berheran-heran, juga tidak sempat bicara karena pada saat itu muncul angin yang kuat sekali menyambar dari belakangnya dan ternyata ia diserang oleh seorang kakek pendek gendut yang gerakannya kuat sekali. Kakek itu mencengkeram ke arah pundaknya, agaknya hendak menangkapnya.

Thian Hwa cepat mengelak, dengan cepat maju ke depan, memutar tubuh dan pedangnya sudah menyambar dengan tusukan ke arah lambung lawan. Lam-hai Cin-jin yang tadinya memandang ringan, terkejut sekali dan dia pun cepat-cepat melompat ke samping untuk menghindarkan diri.

Akan tetapi dengan gerakan yang indah namun cepat Thian Hwa sudah menyerang lagi dengan sabetan pedangnya. Begitu dihindarkan dengan elakan, gadis ini menyerang terus secara beruntun dan sambung menyambung!

“Ehhh...?” Lam-hai Cin-jin terhuyung dan terdesak. Dia lalu mencabut senjatanya tongkat atau ruyung berduri dan ketika sinar pedang kembali menyambar, dia menangkis dengan pengerahan tenaga saktinya untuk membuat pedang gadis itu terlepas dan terpental.
“Trangggg...!”

Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika pedang bertemu ruyung. Akan tetapi pedang itu sama sekali tidak terlepas dari tangan Thian Hwa dan ketika terpental, malah membuat gerakan melengkung ke bawah dan kini membabat kaki Lam-hai Cin-jin!

Kembali ruyung itu menangkis, akan tetapi pedang Thian Hwa terus membuat serangan bertubi-tubi. Betapa pun lihainya, Lam-hai Cin-jin memegang senjata yang berat sehingga gerakan ruyungnya tentu saja tidak dapat mengimbangi kecepatan gerakan pedang. Maka untuk menangkis terus, tentu saja dia tidak sempat dan dia harus berloncatan ke sana-sini untuk menghindarkan diri dari sambaran pedang yang amat dahsyat itu!

Lam-hai Cin-jin sama sekali tak mengira bahwa Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa ternyata sedemikian lihainya. Pangeran Cu Kiong memang pernah memberi-tahu bahwa gadis itu lihai sekali, namun ketika melihat bahwa dia hanya seorang gadis muda yang sepatutnya menjadi cucunya, dia menganggap pujian Pangeran Cu Kiong itu terlalu dilebihkan.

Kini dia mendapat kenyataan pahit bahwa gadis itu benar-benar mampu menandingi dan mengimbanginya, bahkan ketika bertanding senjata membuat dia kerepotan! Mulailah dia merasa penasaran dan malu terhadap Ngo-beng Kui-ong dan yang lain-lainnya, rasa malu yang berubah menjadi kemarahan. Dia lupa bahwa dia diminta untuk menangkap gadis ini hidup-hidup.

“Huahhhh...!” Tiba-tiba ia membentak dan tangan kirinya memukul dari jarak jauh dengan dorongan telapak tangannya yang berubah hitam sekali!

Thian Hwa maklum bahwa lawannya menyerang dengan tenaga sakti yang mengandung hawa beracun, maka dia pun cepat mengerahkan semua tenaga saktinya dan menyambut serangan itu dengan dorongan tangan kirinya pula. Hawa dingin yang menyambar keluar dari telapak tangannya menyambut hawa panas yang menyambar keluar dari tangan Lam-hai Cin-jin.

“Wyuuuuttt...! Blarrrrr...!”

Tubuh Thian Hwa terhuyung ke belakang, akan tetapi tubuh Lam-hai Cin-jin juga mundur sampai lima langkah! Ternyata tenaga sakti mereka pun seimbang!

Akan tetapi dalam keadaan terhuyung tadi, terdengar suara tawa meringkik seperti suara tawa seekor kuda dan Ngo-beng Kui-ong telah bergerak maju. Tangan kanannya bergerak sehingga Thian Hwa yang sedang dalam keadaan terhuyung-huyung dan masih tergetar oleh pertemuan tenaga sakti yang dahsyat tadi, tak dapat menghindarkan diri lagi karena gerakan tangan kakek yang seperti mayat hidup ini demikian ringan dan lembut bagaikan angin berhembus dan tahu-tahu pundaknya telah ditotok. Thian Hwa mengeluh dan roboh terkulai, lemas. Pedangnya segera dirampas oleh Lam-hai Cin-jin dan diserahkan kepada Pangeran Cu Kiong.

“Bukan main... hebat juga gadis ini...” Lam-hai Cin-jin memuji.
“Sudah kami ceritakan bahwa dia amat lihai, Locianpwe,” kata Pangeran Cu Kiong sambil menghampiri Thian Hwa dan mengambil kantung berisi Pek-hwa-ciam yang tergantung di pinggang gadis itu.

Kemudian pangeran itu memerintahkan Thio Kwan dan Yu Kok Lun untuk membelenggu kedua pergelangan kaki dan tangan Thian Hwa karena dia khawatir jika gadis yang amat lihai itu dapat meloloskan diri. Atas permintaannya, Ngo-beng Kui-ong menambahi totokan yang membuat Thian Hwa selain tidak mampu bergerak karena lemas, juga tidak mampu mengeluarkan suara!

“Niocu, geledah dia dan ambil Tek-pai yang pasti ada padanya,” kata Pangeran Cu Kiong. Sebagai seorang pangeran, selain sudah biasa memerintah, juga dia tidak mau bertindak kasar dan tidak sopan untuk menggeledah dan meraba-raba sendiri tubuh seorang gadis.

Ang-mo Niocu lalu menghampiri Thian Hwa yang sudah terbelenggu dan rebah telentang. Melihat mata Thian Hwa memandang kepadanya dengan sinar mencorong, Ang-mo Niocu tersenyum. Gadis ini pernah menghinanya dan tidak mau bekerja sama, kiranya sekarang bahwa Huang-ho Sian-li adalah puteri seorang pangeran Mancu! Ia cepat menggerayangi tubuh Thian Hwa dan akhirnya ia dapat menemukan Tek-pai itu yang berada di dalam ikat pinggang. Memang Thian Hwa membawa Tek-pai itu yang tadinya dia maksudkan untuk dipergunakan menangkap Pangeran Leng tanpa harus menggunakan kekerasan.

“Bagus sekali!” Pangeran Cu Kiong menerima Tek-pai itu dengan gembira.

Kemudian ia mengambil tiga batang Pek-hwa-ciam dari kantung senjata rahasia yang tadi dia ambil dari pinggang Thian Hwa, lalu dia menghampiri Pangeran Leng yang tubuhnya masih menggeletak telentang di atas lantai. Tiga kali tangan Pangeran Cu bergerak dan dia sudah menyambitkan jarum-jarum itu dari jarak dekat hingga tepat mengenai ulu hati, tenggorokan dan dahi Pangeran Leng Kok Cun. Tubuh pangeran itu berkelojotan sejenak lalu tewas!

“Mengapa engkau melakukan itu, Pangeran?” tanya Ang-mo Niocu dengan sikap manja kepada Pangeran Cu Kiong.

Melihat sikap gadis ini, tahulah Thian Hwa bahwa Ang-mo Niocu telah bergaul akrab dan bukan aneh kalau kini dia menjadi kekasih pangeran itu. Ada rasa panas di hatinya, tanda bahwa dia masih mempunyai rasa cemburu karena bagaimana pun juga pangeran itu merupakan orang atau pria pertama yang menjatuhkan hati Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa. Akan tetapi kini perasaan cemburu itu bahkan memperbesar rasa bencinya terhadap Pangeran Cu Kiong.

“Mengapa aku melakukan ini? Ha-ha, kini Huang-ho Sian-li datang membunuh Pangeran Leng Kok Cun dan aku sebagai adiknya telah menangkap Si Pembunuh. Bagus, bukan?”
“Ha-ha-ha-ha, siasat yang bagus sekali!” Lam-hai Cin-jin juga tertawa memuji kecerdikan pangeran itu.

Melihat ini semua, diam-diam Thian Hwa sangat terkejut dan merasa ngeri menyaksikan kekejaman dan kejahatan yang terjadi di depan matanya tanpa dia mampu berbuat apa-apa. Demi mencapai keinginannya yang sesat, yaitu menguasai tahta kerajaan, Pangeran Cu Kiong agaknya telah bersekutu dengan Jenderal Wu Sam Kwi, buktinya Nona Payung Merah itu bersamanya. Dan yang lebih keji lagi, dengan tangannya sendiri dia membunuh Pangeran Leng Kok Cun, kakaknya sendiri satu ayah berlainan ibu!

Kini Pangeran Cu Kiong melanjutkan rencananya. Dia segera berteriak-teriak!
“Pembunuhan…! Pembunuhan...!” diikuti pula oleh Thio Kwan, Yu Kok Lun, dan juga Ang-mo Niocu.

Gegerlah para penghuni di gedung itu. Keluarga Pangeran Leng, para pelayan pembantu dan para pengawal berlari-lari ke ruangan itu. Para selir Pangeran Leng dan isterinya, juga beberapa orang anaknya, segera merubung jenazah itu dan mereka menangis hiruk pikuk.

Ketika keluarga itu mendengar bahwa pembunuhnya adalah Ciu Thian Hwa yang sudah tertangkap oleh Pangeran Cu Kiong, mereka hendak menyerang gadis yang seluruh kaki tangannya sudah terbelenggu itu. Akan tetapi Pangeran Cu Kiong mencegah mereka.

“Jangan ganggu dia. Dia sudah kami tangkap dan akan kami ajukan dalam persidangan! Ia harus dihukum berat sebagai pembunuh Kakanda Pangeran Leng Kok Cun dan diusut siapa yang menyuruh ia melakukan pembunuhan terkutuk ini!”

Karena Pangeran Cu Kiong adalah adik Pangeran Leng Kok Cun, bahkan dia yang telah menangkap pembunuhnya, meski pun biasanya kedua orang kakak beradik ini tidak akrab hubungan mereka, maka seluruh keluarga Pangeran Leng menurut saja ketika diatur oleh Pangeran Cu Kiong…..

********************
Kota raja gempar! Ada dua berita yang amat menggemparkan para pejabat dan keluarga kerajaan, malah juga menggegerkan para penduduk. Pertama, berita tentang penyerbuan puluhan orang ke rumah tinggal Pangeran Bouw Hun Ki yang menjadi pelindung Pangeran Mahkota Kang Shi dan akhirnya semua penyerbu tewas atau tertawan. Sedangkan berita kedua adalah terbunuhnya Pangeran Leng Kok Cun dan pembunuhnya, yaitu Huang-ho Sian-li, telah tertangkap!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali semua pejabat tinggi dan keluarga kerajaan telah berkumpul di pendapa gedung Pangeran Leng Kok Cun yang lapang. Jenazah Leng Kok Cun berada dalam sebuah peti mati yang belum tertutup. Di antara para anggota keluarga Pangeran Leng yang berkumpul di sekeliling peti, tampak pula Pangeran Cu Kiong yang bersikap kereng.

Pada pagi itu pendapa ini menjadi tempat pelayatan dan juga perundingan. Sidang darurat diadakan atas permintaan Pangeran Cu Kiong. Pangeran Bouw Hun Ki sebagai pejabat kaisar sementara terpaksa memenuhi permintaan itu karena peristiwa itu mendatangkan kegemparan dan sangat gawat. Apa lagi dengan tertangkapnya Thian Hwa yang dituduh sebagai pembunuh Pangeran Leng.

Persidangan berlangsung di sebuah ruangan yang pintunya menembus ke pendapa. Yang menghadiri persidangan ini adalah semua pejabat tinggi dan para pangeran, seperti yang diadakan ketika mereka membicarakan tentang diangkatnya Pangeran Mahkota Kang Shi sebagai calon kaisar baru.

Setelah semua berkumpul di situ dan suasana sunyi karena semua orang dengan tegang memandang kepada Pangeran Bouw Hun Ki yang duduk tenang di kursi pimpinan sidang, Pangeran Bouw lalu menceritakan terjadinya peristiwa tadi malam.

“Ada serombongan orang melakukan pengacauan di tengah malam. Mereka melakukan pembakaran di rumah kami dengan melepas anak panah berapi, kemudian menyerbu ke dalam. Tentu saja kami melakukan perlawanan sehingga akhirnya semua penyerbu yang jumlahnya sekitar lima puluh orang itu bisa ditumpas, sebagian besar tewas dan ada pula yang tertawan. Mereka dipimpin oleh empat orang tokoh sesat, dan tiga di antara mereka dapat terbunuh. Hanya seorang di antara semua penyerbu yang berhasil meloloskan diri. Dari mereka yang tertangkap hidup kami mengetahui bahwa pimpinan mereka adalah Pat-chiu Lo-mo, Phang Houw, dan Louw Cin yang sudah tewas. Seorang lagi berjuluk Bu-lim Sai-kong yang sempat melarikan diri. Dan mereka itu ternyata diperintah oleh Pangeran Leng Kok Cun untuk mengacau melakukan pembunuhan terhadap kami, dan bukan tidak mungkin juga mereka bermaksud membunuh Pangeran Mahkota Kang Shi.”

“Tidak mungkin!” tiba-tiba saja Pangeran Cu Kiong berdiri dan berseru nyaring. “Kakanda Pangeran Leng Kok Cun tidak memusuhi Adinda Pangeran Kang Shi. Kami adalah kakak beradik, tidak mungkin akan saling bermusuhan dan saling bunuh. Mungkin yang dimusuhi adalah Pamanda Pangeran Bouw Hun Ki dan wanita jahat Huang-ho Sian-li sebab mereka berdua sudah menghalangi kami semua putera-putera mendiang Ayahanda Kaisar Shun Chi memegang tampuk pemerintahan membantu Adinda Kang Shi! Buktinya, malam tadi ketika berkunjung ke rumah Kakanda Pangeran Leng Kok Cun, kami melihat perempuan jahat Huang-ho Sian-li berada di sana. Kami terlambat karena ia telah berhasil membunuh Kakanda Pangeran Leng Kok Cun. Akan tetapi kami dapat menangkap penjahat keji itu!”

“Pangeran Cu Kiong!” Mendadak Pangeran Ciu Wan Kong bangkit berdiri lantas berseru marah kepada keponakannya itu. “Engkau menyebut Huang-ho Sian-li sebagai penjahat keji, padahal dia adalah saudara sepupumu sendiri, puteriku bernama Ciu Thian Hwa! Aku yakin semua ceritamu adalah fitnah belaka! Aku menuntut agar puteriku dihadirkan dalam persidangan ini!”

“Tidak mungkin, Paman Pangeran Ciu! Biar pun dia saudara sepupuku, bila dia demikian jahat dan kejam membunuh Kakanda Pangeran Leng, sudah seharusnya kami tangkap dan kami tahan. Dia berbahaya sekali, dan aku khawatir kalau dia dihadirkan di sini, akan membikin onar dan siapa tahu teman-temannya akan mencoba untuk membebaskannya! Ia harus diseret ke dalam pengadilan, atau kami sendiri yang akan menghukumnya! Kami berhak membalas atas kematian saudara tua kami!”

“Pangeran Cu Kiong, engkau tak boleh berlaku sewenang-wenang menghukum puteriku!” teriak Pangeran Ciu Wan Kong marah. “Pengadilan harus diadakan dengan seadil-adilnya! Semua tuduhan yang tidak ada bukti-bukti dan saksi-saksinya, hanyalah fitnah belaka!”
“Fitnah? Siapa yang mengatakan fitnah? Bukti dan saksi telah lebih dari cukup. Buktinya? Mari kita lihat bersama! Kakanda Pangeran Leng Kok Cun tewas karena diserang jarum oleh Huang-ho Sian-li. Apakah itu bukan bukti yang sangat kuat? Siapa lagi yang memiliki senjata rahasia jarum bunga putih selain Huang-ho Sian-li?”
“Mari kita lihat bersama!” Pangeran Bouw Hun Ki yang merasa penasaran menyetujui.

Maka mereka yang bersidang itu segera berbondong-bondong keluar dari ruangan itu dan menghampiri peti jenazah yang masih belum ditutup. Tampak jelas bahwa ada tiga batang jarum bunga putih menancap di dahi antara kedua alis, tenggorokan, dan menembus baju tepat di ulu hati jenazah itu. Mereka lalu kembali ke ruangan sidang.

“Nah, bukankah sudah terbukti bahwa Kakanda Pangeran Leng Kok Cun tewas oleh tiga batang jarum Pek-hwa-ciam milik Huang-ho Sian-li? Dan tentang saksi, seluruh keluarga Kakanda Pangeran Leng bisa menjadi saksi bahwa yang membunuhnya adalah Huang-ho Sian-li!”
“Bohong! Bukti itu dapat saja dibikin dan para saksi adalah keluarga Pangeran Leng yang memang memusuhi puteriku!” Pangeran Ciu Wan Kong membantah. Terjadi ketegangan dan Pangeran Bouw Hun Ki yang bijaksana cepat menengahi.

“Cukup! Sebagai pejabat kaisar sementara, kami memerintahkan kalian semua agar dapat menghentikan perbantahan ini. Amat tidak bersusila ribut-ribut membuat pertengkaran di rumah duka. Kita harus menghormati jenazah Pangeran Leng Kok Cun. Urusan ini, nanti kita putuskan dengan mengadakan persidangan yang dihadiri oleh semua pejabat tinggi di dalam istana! Pangeran Cu Kiong, walau pun engkau sudah dapat memperlihatkan bukti kematian Pangeran Leng Kok Cun, akan tetapi engkau tidak berhak untuk menghakimi sendiri. Semua harus diserahkan kepada pengadilan untuk memutuskan salah atau tidak dan untuk menjatuhkan hukuman. Siapa pun yang salah pasti akan mendapat hukuman. Sekarang persidangan darurat ini dibubarkan.”

“Nanti dulu!” teriak Pangeran Ciu Wan Kong. “Karena puteriku ditahan oleh Pangeran Cu Kiong, maka aku tekankan bahwa ia harus bertanggung jawab atas keselamatan puteriku Ciu Thian Hwa sampai dia dihadapkan di pengadilan!”

Cu Kiong, pangeran muda yang merasa dirinya sudah memegang kunci kemenangan itu, tersenyum. “Jangan khawatir, Paman Pangeran Ciu Wan Kong. Aku bukan orang jahat, dan aku hanya hendak menuntut pembunuh Kakakku agar diadili. Huang-ho Sian-li tidak akan diganggu sebelum dia diadili di pengadilan!”

Semua orang lantas bubar dan sesudah jenazah Pangeran Leng Kok Cun dimakamkan, Pangeran Bouw Hun Ki memanggil semua kerabat keluarga istana dan para pejabat tinggi untuk mengadakan persidangan di istana. Sebagai pejabat sementara persidangan itu pun dipimpin oleh Pangeran Bouw Hun Ki.

Pangeran Bouw Hun Ki lalu berunding dengan isterinya, kedua anaknya Bouw Kun Liong dan Bouw Hwi Siang, dan dua orang murid Siauw-lim-pai yang membantu mereka, yaitu Bu Kong Liang dan Gui Siang Lin. Empat orang muda yang merasa kagum terhadap Ciu Thian Hwa, dengan penuh semangat mengusulkan untuk menyerbu rumah Pangeran Cu Kiong dan membebaskan Thian Hwa. Tetapi Pangeran Bouw Hun Ki melarang mereka.

“Amat tidak bijaksana bila kita melakukan hal itu. Kekerasan itu malah akan melemahkan pihak kita di sidang pengadilan nanti, dan menguatkan kedudukan Pangeran Cu Kiong,” katanya.

“Ayah kalian benar,” kata Bouw Hujin kepada dua orang anaknya. “Kalau kita melakukan kekerasan membebaskan Thian Hwa, hal itu amat merugikan. Pertama, Thian Hwa tentu disembunyikan dan dijaga ketat sehingga tidak mudah untuk membebaskannya. Kedua, kalau Thian Hwa sampai tertawan, pasti ada orang sakti di pihak Pangeran Cu Kiong yang menjaganya sehingga pembebasan itu tidak akan mudah dilakukan. Ketiga, apa bila kita berkeras membebaskannya, bisa saja Pangeran Cu Kiong yang kejam itu malah langsung membunuhnya. Masih ada lagi hal-hal penting lain, misalnya Tek-pai yang dibawa Thian Hwa. Maka sebaiknya kita menanti sampai diadakannya persidangan di istana itu di mana kita dapat melihat apa yang sesungguhnya dikehendaki Pangeran Cu Kiong. Aku sendiri tetap tidak percaya bahwa Thian Hwa membunuh Pangeran Leng Kok Cun. Bagaimana bisa demikian kebetulan, orang-orang Pangeran Leng menyerbu ke sini dan ketika Thian Hwa pergi hendak menangkap Pangeran Leng, ternyata di sana terdapat Pangeran Cu Kiong? Tentu benar seperti dikatakan Adinda Pangeran Ciu Wan Kong tadi. Puterinya itu tentu difitnah, dan sudah jelas bahwa Thian Hwa tertawan dan hendak dijadikan kambing hitam sebagai pembunuh Pangeran Leng.”

“Akan tetapi, Ibu. Bagaimana mungkin Enci Thian Hwa yang demikian tinggi ilmu silatnya sampai dapat ditawan Pangeran Cu Kiong?” tanya Bouw Hwi Siang penasaran.
“Seperti kukatakan tadi, Pangeran Cu Kiong agaknya memiliki pembantu yang amat lihai. Sekarang aku teringat akan pemberitahuan dari Thian Bong Sianjin ketika dia berkunjung ke rumah kita. Dia menceritakan bahwa Pangeran Cu Kiong bersekutu dengan Wu Sam Kwi dan bahwa Raja Muda Wu Sam Kwi mengirim dua orang yang sakti ke kota raja.”

“Hemm, aku juga teringat. Ketika aku datang melayat di rumah Pangeran Leng, ada dua orang kakek aneh yang duduk tak jauh dari Pangeran Cu. Yang seorang bertubuh pendek gendut berwajah kekanak-kanakan dan berpakaian mewah, sedangkan orang ke dua yang tampak tua sekali berpakaian serba putih, tinggi kurus dan seperti mayat hidup. Agaknya mereka itulah orang-orang sakti yang kini membantu Pangeran Cu.”
“Nah, kita perlu berhati-hati. Aku kira Pangeran Cu tidak akan berani mengganggu Thian Hwa sebelum diadakan persidangan di istana sebab hal itu pasti membuat sebagian besar pejabat tinggi menjadi marah. Semua orang tahu bahwa Thian Hwa adalah pemegang Tek-pai, maka dia dihormati oleh semua orang. Padahal melihat rencananya menguasai tahta kerajaan, Pangeran Cu Kiong membutuhkan simpati dan dukungan para pejabat tinggi,” kata Pangeran Bouw.

Mendengar ini, maka hati mereka yang muda seperti Bouw Kun Liong, Bouw Hwi Siang, Bu Kong Liang, dan Gui Siang Lin menjadi lebih tenang…..

********************
“Hai, Paman Lu, sepagi ini engkau sudah bekerja di ladang sambil bersenandung! Paman Lu, jawablah, apakah Paman merasa bahagia?” tanya seorang pemuda berpakaian serba putih, berwajah tampan gagah, menggendong buntalan pakaian yang memanjang, kepada seorang petani setengah tua yang sedang mencangkul di ladang.

“Bahagia? Apa sih bahagia itu?” jawab Si Petani, menunda pekerjaannya dan memandang pemuda itu dengan heran.

“Semua orang mencari bahagia. Mengapa Paman malah tidak mengerti apa bahagia itu?” pemuda itu bertanya heran.

“Lho, aku memang tidak mengenal dan bahkan tidak butuh bahagia! Untuk apa sih? Apa kau maksudkan bahagia itu senang? Rasa hati senang, tidak susah? Yang penting bukan mencari rasa senang, akan tetapi menyelidiki kenapa hati tidak senang. Jika hati merasa tidak senang kita lalu mencari bahagia supaya perasaan jadi senang. Dalam keadaan hati tidak senang mana mungkin mengubahnya menjadi rasa senang?”

“Hemm, kalau begitu, bagaimana agar hati bisa senang, Paman?”
“Kukira tidak ada caranya mencari rasa senang itu, karena perasaan itu muncul dengan sendirinya. Yang terpenting adalah menghilangkan perasaan tidak senang atau susah itu. Seperti orang sakit mencari sehat, mana mungkin? Yang penting mencari tahu apa yang menyebabkan sakit itu lantas menghilangkannya. Orang sakit memang ingin sekali sehat. Akan tetapi kalau orang tidak sakit, apakah dia membutuhkan sehat? Kalau ada kelilip di mata, jangan mencari mata agar nyaman, tapi cari dan buang kelilip itu.”
“Kalau begitu, engkau orang bahagia, Paman.” Pemuda itu tertawa lalu pergi.

Dia adalah Si Han Bu. Seperti yang kita ketahui, pemuda ini oleh gurunya, Im Yang Sian-kouw, disuruh turun gunung memanfaatkan semua ilmunya untuk berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan sebagai seorang pendekar silat. Selain itu, juga Han Bu dipesan oleh gurunya yang dia hormati dan sayangi seperti kepada ibunya sendiri, untuk mencari ayah gurunya yang bernama Cui Sam, dan mencari puteri subo-nya yang belum sempat diberi nama karena pada saat masih bayi lenyap terbawa arus air Sungai Huang-ho yang sedang banjir. Dia pun telah mendengar semua riwayat gurunya dan tahu bahwa gurunya dahulu menikah dengan seorang pangeran, yaitu Pangeran Ciu Wan Kong di kota raja. 

Karena dia tidak tahu di mana adanya Kakek Cui Sam yang menurut gurunya berasal dari dusun Kia-jung di sebelah selatan Thian-cin, juga sama sekali tidak tahu di mana adanya puteri gurunya yang tanpa nama itu, dia mengambil keputusan untuk pergi saja ke kota raja. Mencari Pangeran Ciu Wan Kong tentu jauh lebih mudah!

Apa lagi Pangeran Ciu Wan Kong dalam keadaan sehat ketika ditinggalkan oleh gurunya secara paksa. Sedangkan saat terpisah dari gurunya, Kakek Cui Sam dan bayi itu dalam keadaan terseret arus air sehingga sedikit sekali kemungkinan masih hidup.

Maka berangkatlah Si Han Bu ke kota raja. Bukan mustahil jika Pangeran Ciu Wan Kong mengetahui di mana adanya ayah mertua dan puterinya itu.

Demikianlah, dengan menunggang kuda yang dibelinya di jalan, yang selalu diganti dan ditukar-tambahkan dengan kuda baru kalau kudanya yang lama sudah terlalu letih, Si Han Bu dapat tiba di kota raja dengan cepat.

Karena sejak kecil tinggal di puncak Bukit Kera dan paling jauh dia pergi ke dusun-dusun di kaki pegunungan, maka selama dalam perjalanan, setiap melewati kota besar, Han Bu tiada hentinya mengagumi rumah-rumah tembok besar dan toko-toko yang penuh dengan barang beraneka macam. Apa lagi begitu memasuki kota raja, dia sering dibuat bengong melihat keindahan gedung-gedung istana para pangeran, bangsawan tinggi dan pejabat tinggi.

Dia seperti seorang pemuda dusun masuk kota raja, berjalan perlahan-lahan menengok ke kanan kiri dengan bengong dan bingung. Kudanya telah dia jual ketika memasuki pintu gerbang kota raja. Di samping kuda itu sudah terlampau letih, juga dia tidak merasa perlu menunggang kuda di dalam kota raja.

Orang-orang yang berpapasan dengannya tidak menaruh perhatian. Dia adalah seorang pemuda tinggi besar gagah dan tampan. Pakaiannya serba putih dengan sedikit garis dan kembang biru, akan tetapi potongan baju itu biasa saja sehingga tidak mencolok.

Dia menggendong buntalan pakaian yang agak memanjang karena dia menyembunyikan pedangnya di dalam buntalan pakaian pula. Gurunya memberi-tahu bahwa kini pemerintah melarang orang membawa senjata, karena itu dia harus menyembunyikan pedangnya di dalam buntalan pakaian.

Ketika matanya melihat papan nama dengan tulisan besar SIN AN LIKOAN (Penginapan Sin An), dia berhenti melangkah. Sebuah rumah penginapan yang tampaknya tidak begitu besar namun cukup teratur rapi dan bersih. Tentu tidak terlalu mahal, pikirnya.

Hari sudah sore dan lebih baik kalau lebih dulu mendapatkan sebuah kamar, pikirnya. Dia lalu memasuki rumah penginapan itu dan seorang pelayan berusia sekitar tiga puluh tahun menyambutnya.

“Kongcu (Tuan Muda) hendak menyewa kamar?” tegurnya dengan sikap kurang acuh.
“Benar, aku ingin menyewa sebuah kamar.”
“Untuk Kongcu sendiri atau...?”
“Sendiri, tentu saja.”
“Kongcu, malam ini dingin sekali. Apakah tidak sebaiknya kalau saya carikan teman?”

Han Bu memandang heran. “Teman? Apa maksudmu? Aku tidak ingin satu kamar dengan tamu laki-laki yang tidak kukenal.”

“Aihh, Kongcu. Tentu saja bukan laki-laki. Ada gadis-gadis manis, Kongcu boleh pilih...”

Han Bu mengerutkan alis. Dia tidak mengerti akan tetapi merasa tak senang. Bagaimana mungkin ada orang menawarkan gadis untuk menemaninya di dalam kamar?

“Ehh, sobat, apakah engkau mabok? Atau agak begini, barang kali?” Han Bu menaruh jari telunjuknya melintang di depan dahi, yang biasanya digunakan orang untuk menandakan bahwa orang itu otaknya miring alias gila.

Pelayan itu melototkan matanya. Akan tetapi pada saat itu pula muncul seorang laki-laki berpakaian mewah seperti pakaian seorang hartawan. Usianya sekitar empat puluh tahun, mukanya hitam akan tetapi agaknya ia mencoba untuk mengurangi kehitamannya dengan bedak!
“Aihh, selamat sore, Loya!” pelayan itu menyambut sambil membungkuk-bungkuk penuh hormat dan Han Bu hampir tertawa karena melihat sikap pelayan itu seperti seekor anjing yang menyambut tuannya dengan mengibas-ngibaskan ekornya.

Tamu itu mengerling kepada Han Bu dengan sikap congkak, lalu berkata kepada pelayan itu dengan nada memerintah. “He, Lo Kaw, siapkan kamar besar untukku, juga sediakan santapan malam yang paling mewah lalu panggil A Bwe dan A Mei untuk melayaniku satu malam. Setelah itu jangan ada yang mengganggu aku, malam ini aku hendak bersenang-senang!”

“Ah, baik... baik, Loya. Silakan, kamar besar telah siap untuk Loya pakai sewaktu-waktu.” Sambil berbongkok-bongkok pelayan itu mengikuti tamu itu masuk. Sesudah tiba di pintu dia agaknya teringat kepada Han Bu lalu menoleh dan berkata perlahan.
“Orang muda, kau tunggu sebentar di sini, aku melayani Loya ini dulu.”

Han Bu merasa dongkol sekali. Dia melihat hal-hal aneh yang membuatnya merasa heran akan tetapi juga penasaran dan dongkol. Sejak memasuki kota raja, dia menyaksikan hal-hal yang amat menyakitkan hati. Rumah-rumah gedung bertingkat mewah, tetapi di gang-gang sempit dia melihat rumah-rumah seperti gubuk kumuh di belakang gedung-gedung itu.

Juga gubuk-gubuk kumuh di tepi sungai dan di bawah setiap jembatan, jelas merupakan tempat tinggal mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sementara di depan gubuk-gubuk itu menjulang tinggi dan besar gedung-gedung mewah laksana istana yang hanya dapat dimiliki oleh mereka yang hidupnya berada di atas garis kaya, bahkan berlebihan. Gedung-gedung seperti itu adalah milik para bangsawan dan hartawan. 

Juga dia melihat orang-orang yang berkereta indah, berkuda besar, berpakaian mewah sekali, di samping orang-orang berpakaian lusuh dan bahkan terdapat pula para pengemis dengan pakaian butut penuh tambalan. Dia merasa heran sekali.

Di dusun-dusun di daerah pegunungan tempat tinggal gurunya, orang-orang mengenakan pakaian sederhana, akan tetapi tidaklah butut penuh tambal-tambalan. Juga rumah-rumah di dusun, tidak ada yang demikian mewah, namun juga tidak ada yang begitu kumuh dan kotor. Perbedaan antara si kaya dan si miskin di kota raja ini demikian jauh seperti langit dengan bumi!

Dan sekarang dia melihat keanehan lain lagi. Pelayan yang menjilat-jilat tamu kaya tetapi sebaliknya memandang rendah tamu miskin, bahkan gadis-gadis yang ditawarkan untuk melayani tamu laki-laki! Ah, agaknya di tempat ini segala sesuatu bisa didapatkan dengan uang! Dia bergidik, lalu cepat meninggalkan rumah penginapan itu.

Akhirnya dia menemukan rumah penginapan merangkap rumah makan yang sederhana. Pelayannya juga bersikap sopan, seorang lelaki setengah tua berusia lima puluhan yang mengantarnya ke sebuah kamar yang sederhana namun cukup bersih.

“Tuan Muda, engkau tentu datang dari tempat jauh. Engkau membawa buntalan pakaian, kelihatan letih dan pakaianmu penuh debu,” kata pelayan itu sesudah membawa Han Bu memasuki sebuah kamar.
“Benar, Paman. Aku ingin mandi kemudian makan, tetapi bisakah aku memesan makan di kamar ini? Aku letih dan lapar sekali.”

Pelayan itu tersenyum sambil mengangguk-angguk. “Tentu saja bisa, Kongcu. Makanan apa yang harus saya sediakan dan antarkan ke sini?”
“Nasi dengan masakan sayur dua macam saja untuk dua orang, Paman.”

Pelayan itu mengerutkan alisnya. “Untuk dua orang? Kongcu membawa teman?”

“Ahh, tidak, Paman. Aku hanya seorang diri.”
“Akan tetapi mengapa makanannya untuk dua orang? Ahh, saya mengerti! Maafkan saya, Kongcu, tentu Kongcu letih dan lapar sekali sehingga perlu makan lebih banyak dari pada biasanya.”

Han Bu tertawa. Suara tawanya demikian riang gembira sehingga pelayan itu tidak dapat menahan diri lantas turut pula tertawa. Mereka berdua tertawa, akan tetapi dengan sebab yang berlainan. Kakek pelayan itu tertawa karena merasa lucu akan keadaan pemuda itu yang gembul dan karena dugaannya tepat. Akan tetapi Han Bu tertawa karena merasa lucu mendengar dugaan pelayan itu yang ngawur.

“Bukan begitu, Paman. Aku makan biasa saja, pesananku itu memang untuk dimakan dua orang.”
“Tapi Kongcu tadi bilang tidak membawa teman?”
“Temannya adalah engkau, Paman. Aku mengundang Paman makan bersamaku karena aku ingin makan sambil bercakap-cakap. Maukah, engkau, Paman?”

Selama belasan tahun menjadi pelayan di situ, belum pernah ia mengalami hal seperti ini. Diajak makan oleh tamunya! Maka pelayan itu kembali mengangguk-angguk seperti ayam makan beras.

“Tentu saya merasa terhormat dan senang sekali, Kongcu. Masakannya tadi dua macam sayuran? Apakah Kongcu sedang melaksanakan Ciak-jai (vegetarian)?”
“Tidak juga, Paman. Hanya saja aku sudah terbiasa makan sayur-sayuran, jarang makan daging sehingga aku tidak begitu suka. Kalau sedikit saja bolehlah.”
“Bagus, bagus sekali! Pantas Kongcu bersikap demikian lembut namun gembira, kiranya seorang yang hidupnya bersih. Tentu tidak minum arak pula, bukan?”
“Minum juga, akan tetapi tidak sampai mabok, Paman.”
“Baik, Kongcu. Sekarang mandilah, saya akan menyiapkan pesananmu.” Setelah berkata demikian, dengan wajah berseri pelayan itu pergi meninggalkan kamar.

Baru sekarang inilah ia merasa senang berhadapan dengan seorang tamu yang sikapnya demikian akrab dan baik. Biasanya para tamu bersikap angkuh dan memandang rendah terhadap para pelayan.

Setelah mandi dan bertukar pakaian, tidak lama kemudian pelayan tadi datang lagi sambil membawakan makanan yang dipesan Han Bu. Keduanya segera makan minum dengan gembira karena Han Bu bicara dengan jenaka dan lucu. Dia mau pula minum arak yang dituangkan pelayan itu ke dalam cawannya, meski hanya mau minum dua cawan saja.

Setelah makan minum, Han Bu mengajak pelayan itu bercakap-cakap, karena sebetulnya itulah yang dikehendaki pemuda ini. Dari kakek pelayan ini dia ingin mencari keterangan tentang Pangeran Ciu Wan Kong.

“Paman, tadi Paman mengatakan bahwa semenjak kecil tinggal di kota raja. Tentu Paman mengetahui segala yang terjadi di kota raja dan tahu pula mengenai para pangeran yang berada di sini. Nah, aku ingin tahu, apakah Paman mengetahui adanya seorang pangeran bernama Pangeran Ciu Wan Kong?”
“Wah, tentu saja, Kongcu. Dia itu orangnya begini!” Dia mengacungkan jempolnya. “Tidak seperti bangsawan lainnya, Pangeran Ciu itu sikapnya halus, tak pernah menghina kaum kecil yang melarat, juga suka menolong mereka yang memerlukan pertolongan dan berani minta kepadanya. Eh, Kongcu, mengapa Kongcu bertanya tentang beliau? Apa hubungan Kongcu dengan beliau?” Pelayan itu memandang dengan alis berkerut.

“Hei, Paman! Mengapa tiba-tiba Paman memandangku seperti itu? Aku tidak mempunyai niat jahat!”
“Maaf, Kongcu. Sekarang ini sedang jaman gila, apa lagi para pembesar dan bangsawan itu agaknya sedang dilanda wabah penyakit gila.”
“Kenapa Paman berkata begitu?”
“Habis, banyak kejadian-kejadian aneh dan gila. Maka saya menjadi curiga ketika Kongcu menanyakan Pangeran Ciu Wan Kong, takut kalau-kalau Kongcu juga memusuhinya.”

Han Bu cukup cerdik. Melihat betapa pelayan ini memuji-muji kebaikan hati Pangeran Ciu Wan Kong, tentu saja dia pun harus memperlihatkan sikap baik terhadap pangeran itu.

“Jangan curiga, Paman. Aku memiliki seorang guru yang menjadi sahabat baik Pangeran Ciu Wan Kong. Sebelum menghadapnya untuk menyampaikan salam dari guruku, terlebih dulu aku ingin mengetahui keadaannya.”

“Hemm, bagus kalau begitu. Seperti saya katakan tadi, para bangsawan tinggi itu sedang dilanda penyakit gila. Terjadi saling permusuhan di antara para pangeran. Apa lagi setelah Sribaginda Kaisar tewas dibunuh orang jahat, keadaannya menjadi bertambah kacau dan sungguh kasihan sekali nasib Pangeran Ciu Wan Kong yang baik hati....”

Diam-diam Han Bu terkejut. Kaisar dibunuh orang?

“Aihh, aku baru datang di kota raja ini, Paman, dan tidak tahu sama sekali tentang semua itu. Maukah Paman menceritakan kepadaku?”
“Sribaginda Kaisar tewas dibunuh orang jahat. Beliau meninggalkan wasiat, mengangkat Putera Mahkota menjadi penggantinya. Lalu terjadilah kekacauan itu. Mula-mula gedung tempat tinggal Pangeran Bouw Hun Ki, paman yang melindungi Putera Mahkota, diserbu penjahat akan tetapi semua penjahat berhasil ditumpas. Pangeran Bouw Hun Ki memang mempunyai isteri dan putera-puteri yang amat lihai, apa lagi mereka dibantu oleh Huang-ho Sian-li yang sakti!”
“Huang-ho Sian-li? Siapakah itu, Paman?”
“Aihh, Kongcu belum mendengar namanya yang terkenal sebagai seorang pendekar yang amat hebat? Pendekar wanita itu berjasa kepada Sribaginda Kaisar, bahkan ia diberi Tek-pai dan ikut pula melindungi Pangeran Mahkota. Dia adalah seorang gadis pendekar yang selain cantik jelita, juga amat gagah perkasa, dan dia masih keponakan Sribaginda Kaisar sendiri karena dia adalah puteri tunggal dari Pangeran Ciu Wan Kong.”

Kalau saja pelayan itu memperhatikan, tentu dia akan melihat perubahan muka pemuda itu. Han Bu merasa betapa jantungnya berdebar dengan tegang.

Dia mulai mendengar berita mengenai Pangeran Ciu Wan Kong, suami gurunya, dan kini malah berita tentang puteri tunggal Pangeran Ciu Wan Kong, berarti puteri gurunya! Ingin sekali dia bertanya lebih dan mendesak keterangan pelayan yang ramah itu, akan tetapi ia takut kalau-kalau desakan itu akan menimbulkan kecurigaan sehingga akibatnya malah pelayan itu tidak mau bercerita sama sekali. Maka dia bertanya dengan suara sambil lalu.

“Apa yang terjadi kemudian, Paman? Sebagai seorang yang baru datang, ceritamu benar-benar menarik sekali.”
“Aihh, sungguh menyedihkan dan membingungkan, Kongcu. Sudah terjadi hal yang sama sekali tidak disangka-sangka dan sangat membingungkan. Baru-baru ini terdengar berita bahwa Huang-ho Sian-li telah ditangkap dan hendak diajukan ke dalam sidang pengadilan kerajaan.”
“Ah, kenapa, Paman? Bukankah dia telah dianugerahi Tek-pai dan berjasa besar terhadap kerajaan seperti yang kau ceritakan tadi?” Han Bu benar-benar merasa heran dan terkejut. “Mengapa dia ditangkap? Apa kesalahannya?”
“Kabarnya Huang-ho Sian-li telah membunuh Pangeran Leng, yaitu seorang putera kaisar yang paling tua.”
“Hemm, aneh sekali. Mengapa dia malah membunuh seorang pangeran?”

Pelayan itu lebih dahulu menoleh ke kanan kiri, lalu berbisik lirih. “Kami tidak heran kalau Pangeran Leng Kok Cun dibunuh karena dia memang terkenal sebagai seorang pangeran yang jahat dan suka bergaul dengan orang-orang sesat. Jika benar-benar Huang-ho Sian-li membunuhnya, saya yakin tentu pendekar wanita itu mempunyai alasan yang kuat!”

“Apakah dia benar-benar membunuhnya?”

Pelayan itu menghela napas panjang. “Agaknya tidak bisa disangkal lagi karena sesudah membunuh Pangeran Leng, Huang-ho Sian-li lantas ditangkap oleh Pangeran Cu Kiong di tempat itu juga, dengan mengerahkan banyak anak buahnya yang terdiri dari orang-orang sesat yang kabarnya menjadi saksi. Tetapi rakyat juga takkan merasa heran seandainya Huang-ho Sian-li benar-benar membunuh Pangeran Leng Kok Cun, karena semua orang mengetahui bahwa yang menjadi sumber keributan adalah Pangeran Leng Kok Cun dan Pangeran Cu Kiong. Kabar angin mengatakan bahwa dua orang pangeran itu diam-diam bersaing untuk menjadi kaisar menggantikan ayah mereka.”

“Paman, lalu bagaimana dengan Pangeran Ciu Wan Kong? Guruku berpesan supaya aku menyampaikan salam kepadanya, tapi kini ada urusan menyangkut puterinya. Siapa saja yang berada di istananya sekarang? Isterinya atau keluarga lain?” Han Bu memancing.

Pelayan itu menggelengkan kepala. “Saya hanya seorang kecil, Kongcu, tidak tahu akan keadaan para bangsawan besar seperti para pangeran itu. Tapi menurut kabar, Pangeran Ciu Wan Kong tidak pernah menikah, tidak mempunyai isteri. Kemudian tahu-tahu orang mengabarkan bahwa dia mempunyai seorang puteri yang terkenal dengan julukan Huang-ho Sian-li.”

“Paman, menurut keterangan guruku, katanya dulu Pangeran Ciu Wan Kong mempunyai seorang pelayan bernama Cui Sam, benarkah itu?”
“Saya tidak tahu, Kongcu.”

Keterangan itu sudah cukup bagi Han Bu. Malam itu dia pergi berjalan-jalan dan sengaja melewati jalan di depan gedung tempat tinggal Pangeran Ciu Wan Kong, juga ia melewati gedung tempat tinggal Pangeran Leng Kok Cun yang kelihatan sepi, lalu melewati gedung tempat tinggal Pangeran Cu Kiong yang terjaga ketat dan nampak menyeramkan…..

********************
Selanjutnya baca
KEMELUT KERAJAAN MANCU : JILID-11
LihatTutupKomentar