Pusaka Pulau Es Jilid 02
Setelah keluar dari perkampungan Khitan, Keng Han tidak langsung menuju ke selatan seperti yang disangka ibunya dan kakeknya, melainkan dia membelok ke timur karena dia hendak lebih dulu pergi ke pantai lautan timur untuk mencari pulau yang diceritakan ibunya itu. Keng Han melakukan perjalanan yang amat sukar, melalui pegunungan yang seolah tidak ada habis-habisnya. Dia naik turun gunung dan bahkan sampai berhari-hari tidak bertemu pedusunan.
Akan tetapi, sebagai seorang Khitan dia sudah berpengalaman hidup menyendiri seperti itu, dapat berburu binatang untuk makan dan bermalam di atas pohon besar. Beberapa kali dia bertemu binatang buas, akan tetapi berkat ketangkasannya, dia selalu berhasil membunuh binatang buas yang mengancamnya.
Akhirnya tibalah dia di pantai lautan timur. Dia bermalam di sebuah dusun nelayan dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah duduk termenung di pinggir pantai. Keadaan pantai masih sepi sekali, para nelayan belum membuat persiapan di hari itu. Pagi masih gelap dan amat dinginnya, membuat orang malas untuk keluar dari rumah.
Akan tetapi Keng Han yang duduk di atas pasir pantai itu terpesona. Dia memandang jauh ke timur, ke arah lautan dan dia melihat pemandangan yang sangat menakjubkan. Mula-mula langit di timur, terutama di atas lautan, nampak merah seolah-olah terbakar. Warna langit yang merah itu bertepi kuning emas dan di sana sini nampak awan putih kebiruan. Indah sekali. Bagaikan pintu gerbang sorga di dalam dongeng.
Kemudian muncullah yang terindah dari segalanya yang terindah di saat itu. Sebuah bola api yang amat besar, warnanya merah darah, tersembul perlahan-lahan keluar dari dalam lautan. Hampir dia lupa bahwa itu adalah sang matahari! Seperti seekor makhluk aneh yang muncul dari dalam lautan.
Bola api merah itu cepat sekali, nampak naik dari permukaan laut, lalu nampak semua. Bulat tanpa cacat, membawa cahaya merah yang masih lembut. Akan tetapi semakin tinggi dia naik, semakin cerah warnanya, bukan darah lagi, melainkan merah bercampur keemasan dan mulai mengeluarkan sinar. Sinarnya kini mulai membuat jalur kemerahan di permukaan lautan yang tenang. Indah sekali. Besar sekali. Agung sekali!
Bersama munculnya Sang Matahari, kehidupan pun mulailah. Nampak binatang malam seperti kelelawar beterbangan di udara, agaknya bergegas pulang ke sarangnya, takut kesiangan karena sinar matahari yang cerah akan membuat mereka buta. Sebaliknya, burung-burung camar mulai beterbangan pula, rendah dipermukaan laut, mencari ikan. Beberapa orang nelayan mulai nampak di tepi laut, berpakaian tebal menahan dingin, ada yang mulai membenahi perahu, membetulkan jala dalam persiapan mereka mencari nafkah di hari itu.
Kekusaan Tuhan bekerja setiap saat, di mana-mana. Kebesaran dan keindahannya dapat disaksikan di mana-mana, di sekeliling kita, di dalam diri kita sendiri.
Sayang sekali, mata kita seolah buta dan tidak melihat semua itu, tidak dapat menikmati dan mensyukuri semua itu. Jiwa kita yang seharusnya selalu kontak dan berhubungan dengan kekuasaan Tuhan, seolah tertutup oleh nalsu, bergelimang nafsu sehingga kita selalu menghendaki yang menyenangkan dan memuaskan nafsu belaka.
Keng Han terpesona, tenggelam ke dalam semua keindahan itu. Dia bahkan sudah lupa akan dirinya sendiri yang seolah-olah kini sudah bersatu dengan semua keindahan itu, bahkan menjadi sebagian dari keindahan itu sendiri.
Keramaian yang makin banyak terjadi di pantai itu, kesibukan para nelayan dan naiknya matahari pagi yang sekarang sinarnya mulai tak dapat tertahankan oleh pandang mata, menyadarkan dirinya dari lamunan. Apa lagi ketika terdengar suara ribut-ribut di sebelah sana.
Ia mengangkat muka memandang. Ternyata suara ribut-rlbut itu terjadi antara tiga orang pendatang yang pakaiannya ringkas seperti ahli-ahli silat dengan belasan orang nelayan yang ribut mulut.
“Kami tidak peduli!” kata seorang di antara tiga pendatang itu. “Kalian harus serahkan sebuah perahu untuk kami pinjam dan sekalian mengantar kami ke pulau itu. Habis perkara!”
“Tapi hal itu tidak mungkin kami lakukan!” bantah seorang nelayan yang masih muda. “Kami adalah nelayan-nelayan yang harus mencari makan setiap hari. Kami pun harus membayar hutang-hutang kami kepada Juragan Lui setiap hari. Bagaimana kami dapat mengantar kalian bertiga ke pulau kosong itu?”
“Kamu berani membantah?” Seorang di antara tiga pendatang itu melangkah maju dan sebuah pukulan mengenai dada pemuda nelayan itu sehingga dia terpelanting roboh. “Siapa yang tidak menurut akan kami hajar dan siapakah yang akan membela kalian? Juragan Lui itu jangan dihiraukan!”
“Hei, siapa berani memandang rendah Juragan Lui?” terdengar seseorang berteriak dan muncullah dua orang yang dari pakaiannya juga bukan nampak sebagai nelayan, tetapi lebih mirip para jagoan dengan pakaian yang ringkas. “Kami yang akan membela para nelayan ini!”
Tiga orang pendatang itu menoleh dan menjadi marah. “Siapakah kalian berdua yang berani mencampuri urusan kami?” Bentak seorang di antara mereka yang hidungnya pesek dan mulutnya besar.
“Kami adalah pembantu Juragan Lui. Kehidupan para nelayan ini sepenuhnya sudah ditanggung oleh Juragan Lui dan hasil tangkapan ikan mereka harus diserahkan kepada Juragan Lui untuk membayar hutang mereka. Kalau kalian mengganggu mereka, bagai mana mereka dapat mencari ikan? Kalian tiga orang asing pergilah dari dusun ini dan jangan membuat ribut di sini, atau kami akan menghajar kalian!”
“Ahhh, kalian ini jagoan-jagoan tukang pukul Juragan Lui agaknya! Hendak kami lihat sampai di mana kelihaian kalian maka berani membuka mulut besar kepada kami!”
Tiga orang itu lalu maju menyerang kedua orang tukang pukul itu sehingga terjadilah perkelahian. Akan tetapi ternyata dua orang tukang pukul itu tidak mampu menandligi tiga orang itu sehingga mereka dipukul jatuh bangun dan melarikan diri, ditertawakan tiga orang pendatang itu. Para nelayan menjadi semakin ketakutan.
“Hayo cepat sediakan sebuah perahu yang baik dan layarkan ke pulau kosong itu!” kata si hidung pesek dengan nada sombong. “Cepat kalian kerjakan, atau kalian ingin kami menghajar kalian semua?”
“Perlahan dulu! Jangan ada yang mengerjakan perintah tiga orang liar ini!” mendadak terdengar seruan dan muncullah seorang pria berusia lima puluh tahun yang memegang sebatang huncwe yang masih mengepulkan uap dari tembakau yang membara.
Disebut tiga orang liar, tiga orang pendatang itu tentu saja marah sekali dan mereka segera menghadapi orang setengah tua itu. Orang itu berpakaian bagus seperti seorang pedagang, tubuhnya tinggi kurus dan pandang matanya tajam.
“Juragan Lui, kami tadi dipaksa untuk melayarkan mereka ke pulau kosong dan mereka memukul kami!” kata nelayan yang tadi dipukul. “Juga dua orang pembantu Juragan Lui telah mereka hajar!”
Mendengar ini, si hidung pesek tertawa. “Ha-ha-ha, kiranya engkau inilah yang disebut Juragan Lui? Tentu engkau ini lintah darat yang menguras tenaga para nelayan untuk mengisi padat kantung uangmu, juga memberi pinjaman dengan bunga berlipat ganda. Dan engkau berani memaki kami orang liar? Engkau sudah bosan hidup rupanya!”
“Hemmm, kalian bertiga inilah yang bosan hidup!” bentak Juragan Lui sambil menyedot huncwe-nya, lalu meniupkan asap tembakau yang berbau apek itu ke arah mereka.
“Keparat, berani kau!” Si hidung pesek itu menerjang dengan pukulan tangan kanannya.
Akan tetapi dengan amat mudahnya Juragan Lui mengelak, lalu menangkap siku tangan yang memukul. Hanya dengan sekali puntir dan mendorong, Si Pesek itu sudah roboh menelungkup mencium tanah.
Dua orang kawannya menjadi marah bukan main.
“Jahanam yang bosan hidup!” bentak mereka.
Mereka meloloskan golok dari pinggang mereka. Juga si hidung pesek yang ketika jatuh menelungkup itu hidungnya menjadi tambah pesek karena membentur tanah, kini sudah meloncat, membersihkan mukanya dari tanah dan mencabut goloknya. Tanpa banyak cakap lagi tiga orang itu lalu menyerang Juragan Lui dengan golok mereka.
Meski pakaiannya seperti pedagang dan tubuhnya tinggi kurus nampak lemah, kiranya Juragan Lui bukan seorang yang lemah. Cepat sekali tubuhnya bergerak dan dia sudah dapat menghindarkan diri dari bacokan-bacokan golok dengan mengelak ke sana-sini. Kemudian dia mengambil huncwe yang panjangnya selengan tangan itu dari mulutnya dan mulailah dia membalas dengan mempergunakan huncwe itu sebagai senjata.
“Trang-tranggg...!”
Dua batang golok tertangkis huncwe dan dua orang pemegang golok itu terhuyung ke belakang. Orang ke tiga yang membacokkan goloknya ke arah leher Juragan Lui justeru terhuyung ke depan ketika goloknya mengenai tempat kosong, dan tiba-tiba saja ujung huncwe telah menyodok dadanya.....
“Dukkk...!”
Orang itu mengaduh, goloknya terlepas dan dia pun roboh bergulingan, nampak amat kesakitan. Dua orang kawannya menjadi marah dan kembali mereka menyerang dari kanan kiri. Akan tetapi gerakan juragan Lui terlalu gesit bagi mereka. Setelah mengelak, huncwe itu berkelebat dua kali. Dua orang pengeroyok itu pun roboh tertusuk huncwe bagian dada dan perut mereka.
Tiga orang itu merangkak bangun dan melarikan diri. Tentu saja kemenangan Juragan Lui membuat para nelayan menjadi lega dan gembira. Mereka memuji-muji kegagahan Juragan Lui yang menjadi sangat bangga.
Sambil menyedot huncwe-nya kemudian mengepulkan asap dari mulutnya, Juragan Lui berkata bangga, “Hemmm, segala macam bangsat kecil berani mengganggu wilayahku. Baru mengenal kelihaian Juragan Lui sekarang! Hayo kalian berkemas dan bekerja!”
Para nelayan lalu sibuk mempersiapkan diri untuk mulai pergi mencari ikan. Akan tetapi Keng Han yang semenjak tadi melihat semua peristiwa itu dengan hati tertarik, melihat datangnya beberapa orang berlarian menuju ke tempat itu dan hatinya merasa khawatir.
Tak lama kemudian, lima orang telah tiba di situ, dipimpin seorang yang mukanya hitam seperti dilumuri arang dan tubuhnya tinggi besar. Orang ini membawa sebatang golok besar telanjang yang berkilauan saking tajamnya. Empat orang kawannya membawa golok juga yang masih tergantung di pinggang masing-masing. Si muka hitam berteriak dengan suara lantang.
“Siapa yang bernama Juragan Lui?”
Para nelayan yang tadinya sibuk bekerja itu menjadi panik melihat munculnya lima orang itu. Akan tetapi Juragan Lui dengan tenang menghampiri mereka dan dengan alis berkerut dia pun menegur.
“Siapakan kalian dan mau apa mencari Juragan Lui? Akulah orangnya yang bernama Juragan Lui!” Dan dia mengepulkan asap huncwe dari mulutnya.
Si muka hitam melangkah maju menghampiri dan mengelebatkan golok besarnya. “Jadi engkau ini yang bernama Juragan Lui? Engkau sudah berani memukul tiga orang anak buahku, maka aku sendiri, Hek Houw (Harimau Hitam) datang untuk menghukummu!”
“Hemmm, bagus! Anak buahmu yang berani melakukan pengacauan di wllayahku dan engkau justru hendak membela mereka? Huncwe-ku tentu tidak akan mengampunimu. Ataukah engkau hendak melakukan pengeroyokan dengan empat orang kawanmu? Aku pun dapat mengerahkan semua orangku untuk mengeroyok. Katakan, engkau hendak main keroyokan banyak orang atau hendak bertanding satu lawan satu sebagaimana layaknya orang gagah?”
“Ha-ha-ha, si lintah darat Lui masih juga dapat bicara tentang orang gagah. Mari kita bertanding satu lawan satu, dan kalau aku menang, engkau harus menyediakan perahu-perahu untuk kami tiga puluh orang pergi ke pulau kosong!”
“Hemmm, kiranya kalian sebangsa perampok. Bagaimana kalau engkau yang kalah?”
“Aku Si Harimau Hitam, kalah olehmu? Ha-ha-ha, jangan mimpi! Kalau aku kalah, aku dan kawan-kawanku tidak akan mengganggu dusun ini lagi.”
“Bagus! Mari kita mulai!”
Dua orang itu lalu memasang kuda-kuda. Si muka hitam, mengangkat goloknya tinggi di atas kepala sedangkan tangan kirinya ditekuk di depan dada. Juragan Lui dengan sikap yang tenang melintangkan huncwe-nya di depan dada.
“Lihat seranganku!” bentak si muka hitam yang menyerang lebih dulu dengan goloknya. Golok itu menyambar dahsyat ke arah kepala Juragan Lui. Yang diserang cepat-cepat menggerakkan huncwe-nya menangkis.
“Tranggggg...!”
Pertemuan antara dua tenaga dahsyat itu hebat sekali. Nampak api berpercikan keluar dari tempat tembakau huncwe itu dan keduanya mundur dua langkah. Ini menunjukkan bahwa kedua orang itu memiliki tenaga yang berimbang.
Agaknya Hek Houw menjadi penasaran sekali. Dia adalah seorang kepala perampok yang sudah terkenal di daerah itu dan baru sekali ini bertemu tanding yang seimbang dalam diri seorang juragan nelayan! Karena marah bukan main, dia lalu menyerang lagi dan menggerakkan goloknya dengan sangat hebat, mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan seluruh ilmu goloknya.
Akhirnya, Juragan Lui terdesak juga oleh permainan golok yang amat cepat dan kuat itu. Senjatanya yang berupa huncwe itu tidak menguntungkan, hanya dapat dipakai untuk menotok saja, sedangkan golok lawan dapat digunakan untuk membacok dan menusuk.
“Sing-sing-singgg...!”
Golok itu menyambar-nyambar sehingga Juragan Lui terpaksa harus terus berloncatan ke sana ke mari untuk menghindarkan diri. Dia tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang lagi saking cepatnya serangan lawan yang bertubi-tubi.
“Trakkk...!”
Mendadak golok itu tertahan di udara oleh sebatang ranting kayu. Si Harimau Hitam merasa betapa tangannya kesemutan dan goloknya seolah tertahan dan melekat pada ranting kayu itu. Dia cepat menarik goloknya, kemudian melangkah mundur.
Ternyata yang memegang sebatang ranting dan yang menahan goloknya itu adalah seorang pemuda remaja yang tampan dan gagah. Pemuda yang usianya paling banyak lima belas tahun, bermata lebar, hidungnya mancung dan mulutnya tersenyum-senyum.
Pemuda itu adalah Tao Keng Han. Tadinya dia hanya menonton saja perkelahian yang terjadi itu. Akan tetapi melihat betapa Juragan Lui terdesak dan terancam, dia tak dapat tinggal diam saja, lalu memungut sepotong ranting dan turun tangan menangkis golok yang menyambar-nyambar itu.
“Keparat! Engkau bocah tak tahu diri, siapa engkau yang berani menangkis golokku?”
Keng Han tersenyum. “Tidaklah penting siapa adanya aku, akan tetapi engkau hendak memaksakan kehendak supaya ditaati orang lain. Itu merupakan perbuatan jahat yang harus kutentang. Orang-orang ini adalah para nelayan yang harus bekerja dan mencari nafkah, mengapa engkau mengganggu mereka dan memaksa mereka mengantarmu berlayar?”
“Anak kecil, kau tahu apa?! Hayo pergi dari sini atau akan kupenggal batang lehermu!”
“Hemmm, hendak kulihat bagaimana caranya engkau akan memenggal batang leherku, sebaliknya aku akan mematahkan batang hidungmu!” kata Keng Han.
Dia tadi sudah menyaksikan pertandingan antara kepala perampok ini dengan Juragan Lui dan melihat betapa dangkal permainannya. Gerakan kepala perampok itu hanyalah mengandalkan tenaga luar saja dan amat lamban baginya, maka dia merasa yakin akan mampu mengalahkannya.
Mendengar ucapan pemuda remaja itu, Harimau Hitam menjadi marah sekali. Dia pun mengayun goloknya dengan penuh tenaga sambil membentak.
“Hyaaaaattt...!”
Akan tetapi bacokan itu luput karena dengan lincahnya Keng Han sudah mengelak. Anak ini sudah menerima gemblengan ilmu silat dari Gosang Lama yang tingkatnya jauh lebih tinggi dari pada ilmu golok penjahat itu, maka Keng Han bisa mempermainkannya. Setelah enam tujuh kali dia mengelak dari sambaran golok kepala perampok itu, Keng Han mulai menggerakkan ranting kayu di tangannya.
“Prattt-prattt!”
Dua kali ranting kayu menyambar dan tak dapat dihindarkan lagi muka kepala perampok itu terkena lecutan ujung ranting kayu sehingga nampak dua jalur merah pada kedua pipinya! Rasa nyeri dan pedih membuat dia semakin marah dan kini mengamuk seperti harimau terluka. Akan tetapi, semakin hebat dia mengamuk semakin sering pula ranting kayu itu melecut dan beberapa kali mengenai batang hidungnya sehingga tulang batang hidung yang tidak keras itu menjadi patah-patah dan berdarah!
Melihat kepala perampok itu tidak menjadi jera, bahkan mengamuk semakin ganas, Keng Han lalu menggerakkan tongkatnya dua kali ke arah lutut. Dia menotok kedua lutut Harimau Hitam itu dan kepala perampok itu jatuh berlutut! Empat orang anak buahnya yang tidak berani mencampuri karena di situ selain terdapat Juragan Lui, juga terdapat banyak sekali nelayan, segera membantu ketua mereka, mengangkatnya bangun dan memapahnya pergi dari situ tanpa banyak cakap lagi.
Para nelayan pun menyambut kemenangan Keng Han dengan sorak dan tepuk tangan. Juragan Lui segera menghampiri Keng Han, kemudian memberi hormat sambil berkata, “Siauw-hiap (Pendekar Muda) sungguh lihai dan mengagumkan sekali. Terima kasih atas pertolonganmu tadi.”
Namun, Keng Han yang tadi telah bertanya-tanya dan mendapat keterangan beberapa orang nelayan siapa adanya Juragan Lui itu, sudah berkata dengan ketus kepadanya, “Engkau juga bukan orang baik-baik, Juragan Lui!”
Mendengar ini, mata Juragan Lui terbelalak dan berseru, “Engkau keliru, orang muda! Aku adalah penolong seluruh nelayan di daerah ini! Siapa yang memberi modal kepada mereka untuk memperbaiki jala dan perahu? Aku! Siapa yang memberi mereka makan dan pakaian di waktu angin besar tidak memungkinkan mereka mencari nafkah? Aku! Kalau tidak ada aku, mereka tentu banyak yang sudah kelaparan!”
“Hemmm, memang baik sekali kalau engkau menolong mereka dari kesukaran. Akan tetapi engkau menolong dengan pamrih untuk menarik keuntungan sebesarnya. Kalau musim menangkap ikan tiba, engkau mengharuskan mereka menyerahkan seluruh hasil tangkapan ikan kepadamu. Engkau lalu memperhitungkan bantuan-bantuanmu sebagai hutang dengan bunga yang berlipat ganda. Itu bukan pertolongan namanya, melainkan pemerasan! Engkau tak ubahnya seperti lintah darat, tidak lebih baik dari pada kepala perampok tadi!”
“Itu filtnah! Engkau lancang mulut dan perlu dihajar, orang muda!” Juragan Lui berkata dengan marah sekali.
“Benarkah? Aku atau engkau yang perlu dihajar?” Keng Han mengejek.
Karena merasa dihina di depan banyak orang, Juragan Lui segera menyerang dengan huncwe-nya. Serangannya cepat dan berbahaya, namun bagi Keng Han serangan itu tidak ada artinya. Dia mengelak dan sekali tongkatnya bergerak, ujung tongkatnya telah menotok pergelangan tangan yang memegang huncwe sehingga pipa tembakau itu terlepas dari pegangan tangan Juragan Lui.
Para tukang pukulnya yang ketika itu sudah berkumpul di situ dan ada belasan orang banyaknya sudah siap membantu juragan mereka. Akan tetapi Keng Han menodongkan ujung rantingnya ke leher Juragan Lui dan membentak,
“Mundur kalian semua! Atau, aku akan membunuh juragan kalian ini lebih dahulu, baru membunuh kalian!”
Juragan Lui yang ditodong lehernya maklum bahwa sekali tongkat itu bergerak menotok maka dia akan tewas. Dengan ketakutan dia lalu berkata, suaranya gemetar.
“Ampunkan aku, Siauw-hiap. Aku akan mentaati semua permintaanmu.”
Keng Han menarik tongkatnya. “Aku tidak menghendaki apa pun darimu, akan tetapi mulai sekarang engkau tidak boleh memeras para nelayan. Kalau memberi pinjaman, mintalah bayaran dengan bunga yang wajar saja sehingga para nelayan berkesempatan untuk menaikkan taraf hidup mereka. Mereka itu manusia, sama dengan engkau dan aku yang membutuhkan kesejahteraan dan kesenangan, bukan sekedar makan saja. Kalau lain kali aku melihat engkau masih memeras mereka, aku akan membunuhmu!”
“Baik, Siauw-hiap. Aku akan melaksanakan perintahmu.”
“Sekarang aku hendak menyewa sebuah perahu berikut tukang perahu yang dapat mengantar aku ke Pulau Es yang muncul belasan tahun yang lalu.”
Wajah Juragan Lui menjadi pucat. “Ah, akan tetapi di antara kami tidak ada yang berani ke sana, Siauw-hiap.”
“Mengapa tidak berani?” tanya Keng Han dengan heran.
“Karena... karena pulau itu berhantu!”
“Berhantu? Apakah ada yang pernah melihat hantu di pulau itu?”
“Melihat sih belum, akan tetapi kabar yang tersiar di mana-mana menyatakan bahwa pulau itu berhantu. Sudah ada beberapa orang nelayan yang berani mencari ikan agak dekat dengan pulau itu kedapatan mati, mati dengan tubuh hangus seperti dibakar! Nah, siapa lagi yang melakukan hal ini kalau bukan hantu? Kami... maafkan, Siauw-hiap, tidak ada di antara kami yang berani...”
“Aku yang menanggung keselamatannya. Orang yang mengantarku ke sana tidak perlu ikut mendarat, cukup mengantar sampai aku tiba di sana saja. Setelah aku mengadakan penelitian di sana, dia boleh mengantar aku kembali, dan untuk itu aku mau membayar sewa perahu dan upah yang memadai.”
Mendengar ini, Juragan Lui lalu menoleh ke belakang, ke arah para nelayan. Kemudian dia bertanya, “Kalian semua telah mendengar permintan Siauw-hiap ini, apakah ada di antara kalian yang sanggup mengantarkan dia ke pulau itu?”
Para nelayan itu nampak ketakutan, saling pandang dan menggelengkan kepala. Akan tetapi, seorang nelayan yang berusia lima puluh tahun segera melangkah maju dan berkata, “Biarlah saya yang akan mengantar Siauw-hiap ini ke sana! Dia sudah melepas budi kepada kami, memperbaiki nasib kami, maka sebagai tanda terima kasih biar saya mengantar dia ke sana!”
Orang-orang bertepuk tangan memuji ketika ada seorang di antara mereka yang berani mengajukan diri. Orang itu bernama Ji Koan, seorang nelayan kawakan yang sejak kecil sudah menjadi nelayan di tempat itu.
“Terima kasih, Paman,” kata Keng Han. “Siapakah nama Paman?”
“Namaku Ji Koan, Siauw-hiap.”
“Paman Ji, berapa sewa perahumu? Aku akan membayarnya lebih dulu.”
“Tidak usah, Siauw-hiap. Soal sewanya mudah, nanti saja jika Siauw-hiap telah berhasil tiba ke pulau itu dan kembali dengan selamat ke sini. Kapan berangkat, Siauw-hiap?”
“Sekarang juga, Paman Ji. Dan jangan sebut aku siauw-hiap. Namaku Tao Keng Han.”
“Baiklah, Tao-kongcu. Nah, saya sudah siap. Itu perahuku yang layarnya kuning,” kata Ji Koan dengan nada gembira dan bangga bahwa dia satu-satunya orang yang berani mengantar pemuda perkasa itu ke Pulau Hantu. Semua ini dia lakukan karena rasa terima kasihnya. Berkat sepak terjang pemuda itu, kehidupan para nelayan di situ akan menjadi jauh lebih baik.
Para nelayan yang lain membantu ketika Ji Koan membuat persiapan dan ketika perahu berangkat berlayar. Semua orang memandang dan mengikuti perahu itu dengan sinar mata penuh ketegangan dan juga kekhawatiran. Tetapi Ji Koan adalah seorang nelayan yang tidak memiliki keluarga, hidup sebatang kara saja di dunia ini sehingga tidak ada anggota keluarga yang mengkhawatirkannya.
Semua penduduk perkampungan nelayan itu dicekam ketakutan kalau ada orang bicara tentang Pulau Hantu, demikian mereka menamakan pulau kosong itu. Karena itu, begitu perahu yang dikemudikan oleh Ji Koan hilang dari pandangan, semua orang yang ada di sana segera bergegas pulang dan menutup pintu rumah mereka rapat-rapat.
Rasa takut adalah suatu perasaan yang timbul apabila orang menghadapi sesuatu yang belum terjadi. Kalau orang membayangkan hal-hal yang hebat, mala petaka yang akan menimpanya di masa depan, maka orang itu akan dicekam perasaan takut.
Takut dan khawatir hanyalah permainan dari pikiran kita sendiri yang membayangkan hal-hal yang belum tiba, memikirkan masa depan dan mengkhayalkan kejadian-kejadian mengerikan yang mungkin menimpa diri kita. Kalau kejadian itu sudah datang menimpa kita, maka rasa takut itu pun tidak akan ada lagi, yang ada rasa takut membayangkan hal lain yang mungkin datang menimpa kita, yang lebih hebat lagi.
Kalau ada wabah mengamuk, kita yang belum terkena penyakit tentu menjadi ketakutan kalau membayangkan bahwa kita akan terkena penyakit itu. Akan tetapi kalau penyakit benar-benar sudah menimpa kita, kita tidak lagi takut menghadapi penyakit yang sudah diderita, yang kita takuti mungkin kematian yang belum tiba. Pendeknya, segala hal yang belum datang dan mungkin menimpa diri kita pada masa depan. Memikirkan atau membayangkan hal itulah yang menimbulkan perasaan takut dan ngeri.
Seperti orang takut akan hantu, setan, iblis dan sebagainya. Karena kita belum pernah melihatnya, belum pernah bertemu, kita lalu membayangkan hal-hal yang mengerikan kalau bertemu benar-benar. Andai kita sudah bertemu dengan iblis seperti kita melihat makhluk-makhluk lainnya, pasti tidak ada lagi rasa takut itu.
Kalau kita tidak membayangkan hal-hal yang belum datang, tidak membayangkan masa depan, maka kita hanya akan menghadapi saat ini, peristiwa yang kita hadapi sekarang ini dan kita bebas dari pada rasa takut akan masa depan. Orang yang begini adalah seorang yang waspada dan pasti akan mampu menghadapi segala hal yang dialaminya, dan orang yang bebas dari rasa takut adalah seorang yang berbahagia.
Lebih baik kita menyerahkan segala hal yang belum datang itu kepada Tuhan, karena Tuhan yang mengatur segala apa yang terjadi di dunia ini! Dengan penyerahan dan kepasrahan yang total kita melangkah dalam kehidupan ini dan tidak takut akan tertimpa apa pun juga. Apa pun yang terjadi, kalau kita menerimanya sebagai kehendak Tuhan kita akan terbebas dari segala penyesalan dan duka.
Namun bukan berarti kita lalu mandeg dan menjadi malas, dan menyerahkan segalanya kepada Tuhan tanpa berusaha. Tidak! Kita berikhtiar sekuat kemampuan kita untuk bisa mendapatkan yang terbaik, tetapi dengan landasan penyerahan seutuhnya sehingga apa pun yang kita hasilkan, itulah anugerah dari Tuhan. Bahkan kegagalan dalam usaha kita pun merupakan anugerah terselubung dan kita harus mencari kesalahannya dalam sepak terjang kita sendiri!
Pagi itu udara amat cerah, matahari pagi hangat dan cerah, langit bersih hanya terdapat sedikit awan putih yang berarak dengan indahnya. Air laut juga tenang sementara angin berhembus lembut, membuat perahu yang ditumpangi Keng Han bisa meluncur dengan sempurna.
Keng Han merasa gembira sekali. Dia teringat akan cerita ibunya pada saat bertamasya dengan ayahnya, juga naik perahu berlayar di sepanjang lautan ini. Ahhh, seperti apa macam pria yang menjadi ayahnya?
Menurut ibunya, ayahnya seorang pangeran yang berwajah tampan dan gagah. Kata ibunya, tubuhnya sedang, dahinya lebar, alisnya tebal dan matanya seperti mata burung Hong. Hidungnya mancung dengan mulutnya selalu tersungging senyuman, pakaiannya indah! Ah, betapa akan bangga hatinya kalau dia bertemu dengan ayahnya.
Dan ayah serta ibunya menyaksikan ketika pulau yang kini disebut Pulau Hantu oleh para nelayan itu lahir! Mendengar kelahiran sebuah pulau dari ibunya saja sudah timbul keinginan tahunya untuk berkunjung ke pulau yang aneh itu, apa lagi sekarang pulau itu bahkan disebut Pulau Hantu oleh para nelayan.
Cerita ini tak membuatnya takut, malah menambah keinginan tahunya. Benar-benarkah ada hantu di pulau itu? Atau bahkan, benar-benarkah ada hantu di dunia ini? Hantu seperti dalam bentuknya aneh-aneh dan mengerikan?
Setelah berlayar selama setengah hari dan matahari sudah naik tinggi, tiba-tiba Ji Koan berseru.
“Itulah dia... Pulau Hantu...” saat menyebut pulau itu, suaranya berubah menjadi bisikan.
Keng Han yang sedang melamun menjadi kaget. Ia cepat memandang nelayan itu yang menudingkan telunjuknya ke kiri. Dia menengok dan melihat sebuah pulau, tak jauh lagi dari situ.
Pulau itu tidak terlalu besar, memanjang dan berwarna hijau kehitaman. Agaknya pulau itu tidak gundul, melainkan ditumbuhi banyak pohon-pohonan. Padahal, ibunya pernah bercerita bahwa kabarnya pulau itu dahulunya disebut Pulau Es yang lenyap di telan air lautan puluhan tahun yang lalu dan lima belas tahun yang lalu lahir atau timbul kembali muncul dari dalam lautan.
Dia tidak bisa mengira-ngirakan apa yang sesungguhnya telah terjadi di dasar lautan itu. Mengapa ada pulau dapat lenyap ditelan air dan kini muncul kembali dalam bentuk lain. Kalau dulu menjadi Pulau Es, kini menjadi Pulau Hantu yang banyak pohon-pohonnya.
“Ahhh, kelihatannya pulau biasa saja, mengapa disebut Pulau Hantu? Paman Ji Koan, arahkan perahu mendekat.”
“Tao-kongcu... saya... saya takut...!”
“Aih, apa yang ditakuti? Mari, biar aku yang mengemudikan perahu!” katanya dan Keng Han mengambil oper kemudi dari tangan Ji Koan.
Tadi dia sudah belajar dari nelayan itu dan karena dia memang seorang pemuda yang cerdik maka sebentar saja dia sudah mampu menguasai kepandaian itu. Sekarang dia mengemudikan perahu mendekati pulau. Setelah dekat baru nampak bahwa pulau itu di bagian tengahnya gundul dan terdapat bagian menonjol seperti bukit, dan pohon-pohon yang tumbuh itu hanya tumbuh di bagian pinggirnya saja.
Karena sudah dekat dengan daratan yang berbatu-batu, Ji Koan menggulung layarnya. Dia pun melanjutkan luncuran perahu dengan menggunakan dayung. Dibantu oleh Keng Han, dia mendayung perahunya ke daratan pulau dengan muka pucat ketakutan. Tiba-tiba dia menuding ke air.
“Kongcu, lihat...!” Dia berseru dengan suara gemetar dan tangannya yang memegang dayung menggigil.
Keng Han melihat ke air dan dia pun bergidik. Terdapat banyak sekali ular berenang di dekat perahu. Ular-ular yang berwarna merah darah, yang kecil sebesar kelingking jari tangan, yang besar seperti ibu jari kaki panjangnya, paling panjang dua kaki. Ular-ular itu berenang dengan cepat dan lincah sekali.
Tiba-tiba dua ekor ular sebesar jari telunjuk meloncat dari air menuju ke atas perahu. Ji Koan berteriak, namun Keng Han menggunakan dayungnya menghantam sehingga dua ekor ular itu terjatuh lagi ke air, menggeliat-geliat sekarat.
Lalu terjadi hal yang mengerikan. Dua ekor ular itu menjadi mangsa kawan-kawannya sendiri, tubuh mereka hancur lebur dibuat rebutan. Agaknya ular-ular laut yang merah ini ganas seperti ikan-ikan hiu yang akan menyerang kawan sendiri kalau kawan ini terluka dan mencium darah. Ji Koan gemetar seluruh tubuhnya.
“Kongcu... mari kita kembali saja...,” dia mengeluh ketakutan.
Akan tetapi pengalaman itu bagi Keng Han justru menambah keinginan tahunya. “Tidak, Paman. Kita terus ke pulau, kita mendarat!” katanya sambil menggerakkan dayungnya dengan penuh tenaga.
Ji Koan tak dapat membantah lagi. Dia terpaksa ikut pula mendayung, biar pun pandang matanya ditujukan ke arah air di mana ular-ular itu masih mengikuti perahu dan bahkan berenang di kanan kiri perahu. Hatinya diliputi rasa ngeri yang hebat sehingga mukanya pucat dan matanya terbelalak.
“Lihat itu, Paman!” tiba-tiba Keng Han menuding ke depan.
Ji Koan memandang dan dia terkejut, juga heran melihat banyak perahu di pantai. Ada tujuh buah perahu kecil dan sebuah perahu besar.
“Saya takut mendarat, Kongcu.”
“Kalau begitu, tinggallah saja di perahu ini di dekat pantai, biar nanti aku sendiri yang mendarat. Akan tetapi Paman harus menunggu, jangan pergi sebelum aku kembali.”
“Baik, Kongcu,” kata Ji Koan yang masih ketakutan.
Keng Han lalu membawa buntalan pakaiannya yang diikatkan pada punggungnya dan meloncat dari perahu itu ke atas sebuah batu besar, lalu dari batu melompat ke batu lain sampai akhirnya dia dapat mendarat. Tadinya, tepi pantai itu terhalang oleh batu-batu besar sehingga dia tidak dapat melihat apa yang terdapat di balik batu-batu itu. Akan tetapi sekarang dia dapat menyaksikan pemandangan yang sangat mengerikan. Juga suara air memecah pada batu-batu karang membuat dia tadi tidak dapat mendengar suara yang keluar dari tempat itu, dan baru sekarang dia dapat mendengarnya.
Di tempat itu terjadi pertempuran. Seorang kakek yang tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, yang semua rambutnya sudah putih bagai kapas, tengah mengamuk dikeroyok oleh kurang lebih tiga puluh orang yang dia kenali dipimpin oleh si Harimau Hitam yang pernah dihajarnya di dusun para nelayan itu. Sungguh mengherankan bahwa mereka dapat demikian cepat tiba di tempat itu, agaknya mereka mendapatkan perahu-perahu entah dari mana dan lebih dulu berlayar sampai ke pulau kosong itu, bertemu dengan raksasa rambut putih dan terjadi pertempuran di antara mereka.
Akan tetapi Keng Han terbelalak melihat pertempuran itu. Kakek raksasa rambut putih itu ganas bukan main. Ke mana saja tangannya menyambar, tentu ada pengeroyok yang roboh dan orang yang roboh ini menggigil seperti kedinginan, lalu berkelojotan dan mati! Seluruh tubuh mereka putih membiru dan berkeriput seperti direndam air es saja. Tidak ada yang sampai dipukul dua kali. Sekali saja sudah cukup membuat mereka tewas. Itu pun bukan pukulan yang langsung mengenai badan, hanya hawa pukulannya saja yang menyambar!
Tiga puluh orang perampok yang dipimpin oleh Hek Houw itu mengeroyok dengan amat nekat, namun satu demi satu roboh dan tewas. Melihat ini, Hek Houw dan tujuh orang sisa anak buahnya hendak melarikan diri karena gemetar menghadapi kakek raksasa yang amat ganas dan lihai itu. Akan tetapi kakek itu tertawa bergelak dan sekali kedua tangannya didorongkan ke depan dengan kedua kaki ditekuk ke bawah, delapan orang itu roboh semua dan berkelojotan, menggigil dan tewas tak lama kemudian.
“Ha-ha-ha-ha, segala macam cacing tanah ini berani melawanku. Aku Swat-hai Lo-kwi (Iblis Tua Lautan Salju), tidak ada yang mampu menandingi! Ha-ha-ha-ha, mampuslah kalian semua, ha-ha-ha!”
Keng Han merasa penasaran sekali. Dia menganggap kakek itu terlalu sombong dan terlalu kejam, dengan begitu saja membunuhi tiga puluh orang. Dia tak dapat menahan kemarahan hatinya dan Keng Han pun segera melompat keluar dari balik batu besar sambil berseru, “Kakek tua, sungguh engkau seorang manusia yang kejam seperti iblis!”
Kakek itu menoleh. Ketika melihat seorang pemuda remaja memakinya kejam seperti iblis, dia tidak menjadi marah, bahkan lalu tertawa bergelak.
“Bagus, aku memang kejam bagaikan iblis, dan memang aku ini Iblis Tua Lautan Salju. Karena engkau telah memujiku, maka aku mengampunimu dan tak akan membunuhmu, ha-ha-ha!”
Akan tetapi Keng Han menjadi semakin marah. “Kakek iblis, bukan engkau yang hendak membunuhku, melainkan aku yang akan membunuhmu. Iblis seperti engkau ini harus dibasmi dari permukaan bumi agar tidak lagi membunuhi manusia!”
Keng Han meloncat ke depan dan menghampiri kakek raksasa berambut putih itu. Dia seperti seekor burung yang baru saja dapat terbang, tidak takut terhadap apa pun. Dia menganggap ilmu silatnya sudah cukup tinggi untuk membela diri, tidak tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang manusia iblis yang selain kejam juga lihai bukan main.
Dengan gerakan cepat, Keng Han sudah menyerang kakek itu dengan kepalan tangan kanannya. Akan tetapi kakek itu hanya tertawa dan sama sekali tidak mengelak atau pun menangkis.
“Bukkk...!”
Pukulan tangan Keng Han mengenai dada kakek itu, akan tetapi bukan kakek itu yang roboh melainkan Keng Han sendiri yang terlempar dan terjengkang ke atas tanah. Dia seperti memukul bukit baja yang mengeluarkan tenaga mendorong amat kuatnya.
“Ha-ha-ha-ha, engkau berani melawan aku? Baiklah, kalau begitu engkau sudah bosan hidup, mampuslah!” Kakek itu lalu mengirim pukulan jarak jauh dengan tangan kirinya.
Melihat ini, Keng Han teringat kepada para perampok yang roboh karena pukulan jarak jauh itu, maka dia tahu alangkah berbahayanya pukulan ini. Cepat dia menggulingkan tubuhnya sehingga hawa pukulan yang menyambarnya itu luput.
Pada saat itu, nampak sinar kecil merah menyambar ke arah kakek raksasa itu.
“Ihhh...!”
Kakek itu mendengus dan sekali tangannya menyampok, ular merah itu terpukul hancur. Dua ular lain melayang dan menyerangnya, akan tetapi juga dua ekor ular ini ditangkis dan jatuh berkelojotan dengan kepala remuk.
Kakek itu merasa penasaran karena melihat pukulannya ke arah Keng Han tadi dapat dielakkan. Dia memburu dengan langkah panjang ke arah Keng Han dan kembali dia melancarkan pukulan jarak jauh.
Kini, biar pun Keng Han sudah melompat ke kiri untuk menghindar, tetap saja tubuhnya dilanda hawa pukulan yang membuat dia terlempar dan terbanting keras. Hawa yang amat dingin menyerang seluruh tubuhnya membuat dia menggigil. Akan tetapi dia masih dapat bangkit berdiri, mengambil keputusan untuk melawan sampai akhir.
Pada saat itu, banyak sekali ular merah yang tadi mengikuti perahu Keng Han mendarat seperti barisan ular yang banyak sekali. Ketika melihat Keng Han bangkit terhuyung ke arah barisan ular, menyongsongnya di luar kesadarannya, langsung saja tiga ekor ular menyerangnya. Dia tidak mampu mengelak atau menangkis sehingga seekor ular telah menggigit lehernya, seekor lagi menggigit tangannya dan seekor lagi menggigit kakinya!
Digigit tiga ekor ular merah itu, Keng Han seperti terkena sengatan halilintar. Matanya terbelalak, tidak menggigil lagi, dan seperti mendadak menjadi gila. Keng Han tertawa dan menangis, lalu merenggut ular yang menggigit lehernya lalu... membuka mulutnya dan menggigit ular itu, dikunyahnya seperti orang makan kue yang lezat saja! Kemudian dia berteriak-teriak sambil berlari ke tengah pulau, masih memegangi tubuh ular yang berlepotan darah sedangkan dua ular masih bergantung kepada tangan dan kakinya.
Sementara itu, kakek raksasa rambut putih kini diserang oleh puluhan, bahkan ratusan ular merah! Dia sibuk berloncatan ke sana sini sambil mengibaskan kedua tangannya.
“Hwe-hiat-coa (ular darah api)...?! Banyak sekali...! Wah, sungguh-sungguh berbahaya. Benar-benar Pulau Hantu...!”
Kakek itu lalu melarikan diri, melompat ke atas sebuah perahu. Kebetulan dia melompat ke perahu yang ditumpangi Ji Koan yang ketakutan. Melihat ada orang di dalam perahu, raksasa itu menendang dan tubuh Ji Koan terlempar ke air dalam keadaan sudah tewas karena tendangan itu kuat bukan main!
Segera kakek itu mendayung perahu ke tengah, mengembangkan layar dan cepat-cepat pergi dari pulau itu dengan wajah membayangkan bahwa dia juga gemetar menghadapi barisan ular yang disebutnya Hwe-hiat-coa itu.
Keng Han seperti telah menjadi gila. Dia berlari terus sambil makan ular itu. Digigitnya sepotong tubuh ular dan dikunyahnya dengan nikmat. Bibirnya berlepotan darah. Tetapi dia berlari terus sambil kadang menangis kadang tertawa, atau berteriak-teriak.
“Panas...! Panas...!” teriaknya.
Akan tetapi tak lama kemudian teriakannya berubah.
“Dingin...! Dingin...!”
Dia berlari terus ke tengah pulau yang merupakan bukit. Dia mendaki bukit gundul itu, tidak tahu dan tak menyadari apa yang sedang dilakukannya. Setelah seekor ular habis dimakannya, dia mengambil lagi ular yang masih bergantung menggigit tangannya dan kembali dia makan ular itu, dimulai dari kepalanya!
Keadaan pemuda remaja itu benar-benar mengerikan sekali. Wajahnya kadang menjadi pucat, kadang merah sekali. Matanya terbelalak lebar, napasnya kadang memburu dan terengah-engah. Akan tetapi ular itu terus dimakannya. Setelah ular kedua habis, dia mengambil ular ketiga yang bergantungan di kakinya sehingga akhirnya tiga ekor ular itu habis dimakannya. Kini dia tiba di sebuah goa, tetapi dia sudah tidak kuat bertahan lagi. Keng Han pun terguling roboh ke dalam goa itu, pingsan!
Keadaan Keng Han sangat mengerikan dan mencemaskan. Tetapi yang jelas, pukulan yang mengandung hawa sinkang amat dingin itu, yang tadi telah membunuh tiga puluh orang dalam keadaan tubuh membeku, ternyata tidak sampai membunuh Keng Han. Dan lebih aneh lagi, gigitan tiga ekor ular merah itu pun tidak membunuhnya. Padahal biasanya, sekali saja tergigit seekor ular darah api itu, orangnya akan tewas seketika dan tubuhnya menjadi hangus seperti terbakar!
Memang kematian seseorang sepenuhnya tergantung kepada kekuasaan Tuhan. Kalau Tuhan menghendaki seseorang itu harus mati, kalau sudah tiba saat kematiannya, apa pun di dunia ini tidak akan dapat mencegahnya. Biar andai kata orang itu bersembunyi ke dalam liang semut, akhirnya sang maut akan datang pula menjemputnya. Sebaliknya kalau Tuhan belum menghendaki seseorang itu mati, biar pun sudah terancam bahaya maut, sudah berada di dalam mulut harimau umpamanya, dia tetap akan dapat lolos dari maut dan selamat.
Banyak orang yang sejak muda sekali menjadi seorang perajurit, sudah ratusan kali berperang dan bertempur, tetapi selalu saja dia lolos dari cengkeraman maut. Setelah tua dan pensiun, berhenti dari pekerjaannya yang penuh bahaya itu, berada di rumah yang aman, datang penyakit dan dia pun meninggal dunia!
Demikianlah, mati hidup seseorang sepenuhnya berada di tangan Tuhan. Apakah kalau sudah mengetahui akan kenyataan ini orang lalu boleh bersikap masa bodoh terhadap keselamatan dirinya, menyerahkan saja kepada kekuasaan Tuhan untuk mengaturnya? Tentu saja tidak! Manusia hidup sudah mempunyai kewajiban semenjak dilahirkan untuk menjaga diri, untuk mempertahankan hidup ini, senang atau pun tidak senang. Ikhtiar itu suatu kewajiban mutlak, keputusan akhir adalah menjadi kekuasaan Tuhan.
Keadaan Keng Han yang mengherankan itu pun bukannya tanpa sebab.
Keng Han tentu sudah tewas akibat menerima pukulan kakek raksasa berambut putih yang menamakan dirinya Swat-hai Lo-kwi itu, pukulan yang mengandung hawa sinkang dingin sekali, membuat orang yang dipukulnya mati beku, karena tenaga sinkang anak itu belum mampu melawannya. Dia tentu sudah tewas kalau saja pada saat itu dia tidak tergigit oleh tiga ekor ular merah!
Dan dia tentu sudah mati pula oleh gigitan ular darah api itu yang mengandung racun panas, yang membuat orang yang digigit mati dengan tubuh hangus, bila saja dia tidak terpukul oleh Swat-hai Lo-kwi. Dan karena ia tergigit oleh tiga ekor ular sekaligus, maka racun ketiga ekor ular itu sebenarnya masih terlalu kuat bagi hawa sinkang dingin yang menyerang tubuh Keng Han.
Akan tetapi dalam keadaan seperti gila karena diombang-ambingkan antara dua hawa dingin dan hawa panas, yang membuat dia menangis dan tertawa, dia telah makan ular-ular itu, hal ini justru merupakan obat penawar yang bukan main hebatnya.
Keng Han tergelimpang di dalam goa, pingsan sampai hari berubah malam. Semalam suntuk dia seperti telah mati, di dalam tubuhnya terjadi pertempuran yang hebat antara dua tenaga yang berlawanan itu. Darahnya keracunan dua macam hawa, maka seluruh tubuhnya dijalari hawa dingin dan panas itu.
Akhirnya, pada esok harinya, setelah matahari mulai memandikan permukaan pulau itu dengan cahayanya yang keemasan, Keng Han mengeluh dan membuka matanya. Dia mengejap-ngejapkan mata, silau karena kebetulan mukanya menghadap ke matahari, lalu menggosok-gosok kedua matanya.
Kemudian dia teringat akan kakek raksasa rambut putih dan ular merah, maka dia cepat bangkit duduk. Ketika membuat gerakan ini, dia terkejut sendiri karena tubuhnya terasa demikian ringan seolah tidak berbobot! Dia lalu duduk bersila dan mengingat-ingat apa yang telah terjadi.
Dia naik perahu bersama Paman Ji Koan nelayan tua itu, menuju ke pulau kosong yang oleh para nelayan disebut Pulau Hantu. Dia telah tiba di pulau dan nampak ada tujuh buah perahu di tepi dekat batu-batu. Lalu ada ular-ular merah menyerangnya. Kemudian dia melompat ke atas batu meninggalkan Ji Koan dan melihat seorang kakek raksasa berambut putih bertempur melawan para perampok yang dipimpin oleh Hek Houw. Dan semua perampok telah dibunuh oleh kakek raksasa. Dia keluar dari balik batu menegur dan dia lalu dipukul oleh kakek itu. Dan dia digigit ular-ular merah!
Hanya itulah yang diingatnya. Dia tidak tahu bagaimana kini dia berada di tempat itu, di sebuah goa yang menganga besar bagai mulut seekor naga raksasa. Mengingat bahwa ia telah terpukul oleh kakek raksasa bernama Swat-hai Lo-kwi yang membuat tubuhnya terasa dingin sekali itu, dan mengingat bahwa dia digigit ular-ular merah, dia terkejut sekali. Kenapa dia tidak mati seperti yang lain?
Dia kemudian memejamkan kedua matanya dan mengatur pernapasan dalam. Ternyata tubuhnya tidak mengalami luka dalam. Dia menyalurkan hawa dari tantian untuk melihat apakah tenaga sinkang-nya masih ada. Dan dia terkejut.
Saat ia mulai mengerahkan tenaga, ada tenaga yang amat dahsyat bangkit membubung ke atas dari tantian dan hampir saja dia tidak dapat mengendalikannya dan tubuhnya terjengkang! Untung dia segera menghentikan pengerahan tenaganya sehingga dia tak sampai terguncang dan terluka oleh hawa sakti itu sendiri.
Tubuhnya mendadak menggigil kedinginan, lalu berubah menjadi kepanasan. Ada dua hawa yang berlawanan berada di dalam tubuhnya dan kedua hawa itu demikian kuatnya mempengaruhi tubuhnya. Dia sama sekali tidak tahu bahwa hawa dingin akibat pukulan Swat-hai Lo-kwi itu menjadi berlipat ganda kuatnya setelah dia makan tiga ekor ular itu, perbuatan yang tidak diingatnya lagi.
Sekarang di tubuhnya ada dua tenaga sakti yang luar biasa dahsyatnya. Hal ini mulai dia rasakan dan ketahui dan diam-diam Keng Han juga dapat menduga bahwa ini tentu akibat pukulan kakek raksasa dan akibat gigitan ular merah. Keng Han adalah seorang pemuda yang cerdik, karena itu dia sudah dapat menduga akan hal ini. Tentu saja dia merasa girang sekali.
Dia lalu bangkit berdiri, keluar dari dalam goa itu dan menghampiri sebuah batu sebesar gajah. Dia memasang kuda-kuda yang kokoh dan mengerahkan tenaga sinkang-nya, kemudian memukul dengan kedua telapak tangan ke depan. Serangkum tenaga yang tadi membuatnya terjengkang keluar melalui kedua tangannya, menghantam batu besar itu dan... batu besar itu meledak-ledak pecah lalu menggelinding sampai jauh!
Keng Han cepat menyimpan kembali tenaganya dan dia memandang kagum. Ahhh, dia harus berhati-hati sekali dan tidak boleh bermain-main dengan tenaganya itu. Dia harus melatih diri untuk dapat menguasai tenaga itu sepenuhnya sehingga dapat dia gunakan seperlunya.
Kemudian dia teringat kepada Ji Koan. Paman itu masih dia tinggalkan di dalam perahu! Teringat akan ini, dia lalu melompat dan berlari turun. Hampir saja dia bergulingan jatuh kalau tidak cepat dia menyimpan tenaganya. Ketika dia mengerahkan tenaganya berlari, tubuhnya terdorong oleh kekuatan yang demikian hebat sehingga dia seolah terbang!
Dia telah lupa lagi! Dia belum menguasai benar tenaga itu sehingga seolah-olah masih liar. Tenaga liar yang menguasai tubuhnya sangatlah berbahaya kalau tidak mampu dia kendalikan. Dia lalu berjalan biasa saja menuruni bukit itu, menuju ke tepi di mana dia mendarat kemarin. Dia pun tidak tahu bahwa semalam telah lewat, disangkanya hari itu masih hari kemarin ketika dia datang.
Pada saat tiba di tempat itu, dia masih melihat tiga puluh orang perampok itu malang melintang dan sudah tewas semua, dan banyak barang berceceran di tempat itu. Golok dan pedang, peti-peti terisi barang berharga, mungkin barang rampokan, segala macam perabot masak dan lain-lain. Akan tetapi raksasa rambut putih itu sudah tidak berada di situ. Hal ini melegakan hatinya dan cepat dia naik ke atas batu-batu di tepi pantai.
Hatinya berdebar penuh ketegangan dan kekecewaan. Bukan saja dia tidak melihat Ji Koan, akan tetapi juga dia tidak melihat sebuah pun perahu di situ! Dan melihat bekas-bekasnya, agaknya, air laut pernah pasang dan menyapu pergi semua perahu yang berada di situ. Bekas air laut sampai naik ke dekat tempat orang-orang itu bertempur dan beberapa buah peti agaknya terbawa air karena dia melihat beberapa buah peti itu terapung di laut.
Tentu perahu-perahu itu telah hanyut oleh air pasang. Atau ada yang membawa pergi? Dia tidak tahu benar dan apa pun yang telah terjadi, kenyataannya bahwa dia ditinggal di situ tanpa perahu! Bagaimana dia akan dapat meninggalkan pulau itu?
Keng Han merasa lemas hatinya dan dia duduk termenung di atas batu, memandang jauh ke laut yang tidak bertepi. Dia tidak percaya kalau Ji Koan, paman nelayan yang baik hati itu, sengaja meninggalkannya! Kakek raksasa yang amat kejam itu! Dan dia mengkhawatirkan nasib Ji Koan.
“Tenangkan hati dan pikiranmu, Keng Han!” katanya kepada diri sendiri. Dalam keadaan seperti itu, dia harus bersikap tenang. Harus dapat menentukan apa yang lebih baik dan lebih dulu harus dia lakukan.
Mayat-mayat itu! Kalau dia dipaksa harus tinggal di tempat itu, lebih dulu mayat-mayat itu harus dikubur dengan baik. Kalau tidak mereka akan membusuk dan menimbulkan penyakit yang membahayakan dirinya. Setelah berpikir demikian, dia segera memilih tempat yang tanahnya agak lunak, menggunakan golok yang banyak terdapat di situ dan menggali beberapa buah lubang yang besar.
Enam buah lubang besar dia gali dan ketika melakukan pekerjaan ini, dirasakan mudah sekali. Tenaganya amat besar dan menggali lubang itu dirasakan ringan saja. Setelah menggali lubang-lubang itu, dia lalu mengubur tiga puluh mayat itu. Lima buah dalam satu liang dan setelah semua dikubur, dia menimbuni liang-liang itu dengan tanah. Setelah selesai, dia mencuci kedua tangan dan kakinya dengan air laut sampai bersih benar. Kemudian kembali dia duduk berpikir. Apa yang harus dikerjakan sekarang?
Mengumpulkan barang-barang yang akan berguna baginya. Kalau dia terpaksa hidup di pulau itu, dia harus memiliki barang-barang yang berguna. Mulailah dia memilih-milih di antara barang yang berserakan, milik para perampok itu.
Dia mengambil dua batang golok yang terbaik, lalu mengambil perabot-perabot masak. Lalu dia mengangkut barang-barang berharga seperti kain dan perhiasan-perhiasan dan mengumpulkan semua itu ke dalam goa di atas bukit. Goa itulah satu-satunya tempat yang baik baginya untuk dijadikan tempat tinggal.
Pekerjaan ini dilakukan sampai malam tiba. Perutnya terasa lapar sekali, akan tetapi karena malam telah tiba dia tidak dapat pergi mencari makanan. Dia membuat api dan membakar api unggun di mulut goa, lalu tertidur beralaskan sehelai permadani yang dia temukan di antara banyak kain dan barang berharga tadi.
Dia merasa heran, mengapa tadi dia tidak melihat ada seekor pun ular merah. Agaknya ular-ular itu pergi bersembunyi ketika air laut pasang, pikirnya. Akhirnya dia pun tertidur saking lelahnya dan lapar di perutnya tidak dirasakannya lagi.
Pada esok harinya, pagi-pagi setelah terang tanah, pertama-tama yang dilakukan Keng Han adalah mencari sumber air di pulau itu. Hal ini amatlah penting sebab tanpa adanya air tawar, bagaimana dia dapat hidup? Dan dia yakin bahwa di pulau di mana terdapat begitu banyak pohon, tentu ada sumber airnya dan dia pun benar.
Dia menemukan sumber air di lereng belakang bukit di mana terdapat hutan. Dengan gembiranya dia membersihkan diri dan minum sepuasnya, baru dia mencari makanan. Akan tetapi ternyata di tempat itu tidak terdapat binatang buruan kecuali burung-burung yang sukar ditangkap.
Dia lalu pergi ke pantai untuk mencari ikan dan sekali ini dia melihat banyak ular merah berenang di pantai, dan ada pula yang berkeliaran di pantai. Dia menjauhi ular-ular yang ganas itu dan ketika itu pula dia melihat banyak tumbuh-tumbuhan semacam jamur di antara bebatuan. Agaknya jamur-jamur itu tumbuh akibat terkena siraman air laut yang kadang-kadang pasang dan terkena sinar matahari. Jamur itu berwarna kecoklatan.
Keng Han sudah mempelajari dari bangsanya cara memilih bahan makanan yang tidak beracun, yaitu dengan cara merasakan bahan itu dengan lidahnya. Kalau terasa keras, menyengat dan berbau keras, janganlah dimakan.
Dia lalu mencoba jamur itu, digigitnya sedikit. Rasanya lunak dan enak! Baunya pun sedap. Dia girang sekali dan mengambil jamur-jamur itu secukupnya, kemudian dia baru mencari ikan dengan goloknya. Banyak terdapat ikan di situ dan ketika melihat ada ular merah berenang di dekatnya, sekali sabet dia membuat kepala ular itu terpisah dari tubuhnya.
Dari pengalaman di dusunnya dia tahu cara memasak daging ular berbisa. Yang berbisa itu adalah kepalanya karena bisa ular berkumpul di kepalanya. Jika kepalanya dibuang, dagingnya dapat dimasak dan dimakan.
Demikianlah, dia mendapat bahan makanan berupa jamur serta daging ular dan ikan. Di daratan dia mendapatkan pula daun-daun muda yang dapat dipakai untuk membuat masakan sayuran. Dan hari itu Keng Han makan masakan yang luar biasa.
Ternyata rasanya enak, terutama jamur itu yang bisa mengenyangkan perutnya. Hatinya girang bukan main. Dua kebutuhan yang paling mutlak sudah ditemukan, yaitu sumber makanan dan sumber air.....
Setelah perutnya kenyang, barulah Keng Han merasa tertarik oleh keadaan goa itu. Sebuah goa yang lebar dan dalam, tidak kurang dari lima meter lebarnya dan dalamnya ada sepuluh meter.
Dia mencoba memasuki goa itu lebih dalam. Ternyata dia menemukan sebuah lorong yang tadinya tertutup batu besar. Setelah dengan mudah dia menggeser batu yang menutupi lorong itu, terbukalah sebuah lorong dalam tanah. Karena lorong itu gelap, dia lalu membuat obor memasuki lorong itu.
Panjang lorong itu kira-kira dua puluh meter dan ketika tiba di ujung lorong, ada sinar menerangi ujung itu. Ternyata ujung itu merupakan ruangan yang lebarnya ada empat meter persegi dan di atasnya ada lubang, maka ada sinar matahari yang masuk. Jadi ruangan itu seperti sebuah dasar sumur yang besar.
Dengan obornya Keng Han memeriksa dinding ruangan itu dan dia terbelalak! Keempat dinding itu penuh dengan huruf-huruf terukir, indah dan masih dapat dibaca jelas. Dan ternyata huruf-huruf itu adalah pelajaran ilmu silat!
Keng Han merasa beruntung sekali bahwa dia pernah mendapat pelajaran dari Gosang Lama mengenai sastra sehingga pengetahuannya cukup mendalam dan dia mampu membaca semua tulisan itu dengan jelas. Mengingat betapa pulau ini pernah tenggelam selama puluhan tahun, dan kalau tulisan itu hanya digurat di tanah liat saja tentu kini telah terhapus habis.
Akan tetapi hebatnya, guratan itu dilakukan orang pada batu yang keras! Ini berarti bahwa penulisnya tentu orang yang memiliki ilmu kepandaian hebat, dan bukan hanya seorang saja. Melihat bentuk tulisannya, Keng Han dapat membedakan dan mengetahui bahwa tulisan itu dibuat oleh tiga orang.
Dugaan Keng Han memang benar. Pulau yang sekarang menjadi pulau yang subur itu dahulunya memang Pulau Es. Dahulu, di situ terdapat Istana Pulau Es yang kemudian telah terbakar rata dengan bumi, dan ketika pulau itu tenggelam, maka segala sisa dari istana itu hilang sama sekali. Akan tetapi di dalam istana itu terdapat sebuah lorong bawah tanah dan lorong itu adalah yang ditemukan Keng Han sekarang ini. Istana itu sendiri kini hanya tinggal sebagai goa itulah.
Dahulu, penghuni Pulau Es ada tiga orang, yaitu seorang pendekar sakti bersama dua orang isterinya. Pendekar itu adalah Suma Han yang terkenal dengan julukan Pendekar Super Sakti atau juga ada yang menyebut Pendekar Siluman karena dia pandai ilmu sihir. Ada pun dua orang isterinya adalah Puteri Nirahai dan yang ke dua adalah Puteri Lulu. Kedua orang isterinya itu adalah keturunan Mancu.
Tulisan itu dibuat oleh ketiga orang ini walau pun ilmu-ilmu mereka sudah diwariskan kepada anak cucu. Maksud mereka adalah bahwa mereka hendak bersikap adil, yaitu tidak hanya menurunkan kepada anak cucu sendiri, akan tetapi kalau ada orang luar yang menemukan tulisan itu dan mempelajarinya, maka hal itu adalah sudah menjadi kehendak Tuhan dan itulah yang dinamakan jodoh. Mereka masing-masing menuliskan inti sari ilmu mereka yang sebetulnya tidak akan mudah dipelajari orang.
Ketika Keng Han secara kebetulan menemukan tempat itu, berarti dialah yang berjodoh mendapatkan Pusaka Pulau Es itu. Memang kebetulan sekali.
Andai kata dia tidak mendapatkan dua tenaga dahsyat yang berlawanan akibat pukulan Swat-hai Lo-kwi dan gigitan ular-ular darah api, belum tentu dia mampu mempelajari dua macam ilmu menghimpun tenaga dalam Swat-im Sinkang (Tenaga Sakti Inti Salju) dan Hui-yang Sinkang (Tenaga Sakti Inti Api) yang dituliskan oleh Pendekar Super Sakti di dinding pertama dan kedua!
Pada dinding ke tiga terdapat pelajaran Ilmu Silat Toat-beng Bian-kun (Tangan Lembut Pencabut Nyawa) yang hanya dapat dilatih oleh orang yang telah memillki sinkang kuat sekali. Dan pada dinding ke empat terdapat goresan tulisan pelajaran ilmu silat Hong-In Bun-hoat (Silat Sastra Angin dan Awan), yaitu semacam ilmu silat yang sangat hebat, berdasarkan tulisan huruf-huruf yang dapat dilakukan dengan tangan kosong mau pun dengan pedang.
Setelah membaca semua tulisan itu, Keng Han yang cerdik berpendapat bahwa dia menemukan tiga orang guru yang dia tidak tahu siapa, maka dia lalu menjatuhkan diri berlutut di tengah ruangan itu dan berkata dengan lantang, “Sam-wi Suhu (Ketiga Guru), teecu menghaturkan terima kasih atas peninggalan ilmu-ilmu ini dan teecu berjanji akan mempelajarinya sampai sempurna!”
Dia tahu bahwa penghimpunan tenaga dalam merupakan inti ilmu silat, maka sebelum mempelajari yang lain, dia lebih dulu mempelajari ilmu menghimpun tenaga dalam Swat-im Sinkang dan Hui-yang Sinkang. Sebetulnya, pelajaran ini amatlah sukar bagi orang lain dan biar pun Keng Han pernah digembleng oleh Gosang Lama, agaknya dia tidak akan mampu menguasai kedua ilmu ini kalau saja dia tidak memiliki dua tenaga yang sudah menjadi inti dari kedua ilmu itu. Dengan mempelajari kedua ilmu itu, berarti dia akan mampu menguasai kedua tenaga mujijat yang terkandung di dalam tubuhnya secara kebetulan sekali itu.
Keng Han sudah bersumpah dalam hatinya akan mempelajari semua ilmu itu dengan sungguh-sungguh sampai sempurna. Ia takkan meninggalkan pulau itu sebelum mampu menguasai semua ilmu itu dengan baik. Pula, bagaimana dia dapat meninggalkan pulau itu kalau tidak ada perahu di situ?
Demikianlah, mulai hari itu Keng Han menjadi penghuni tunggal pulau kosong itu, setiap hari mempelajari ilmu dengan amat tekunnya. Setiap hari dia makan jamur laut, ikan dan daging ular serta daun-daun muda dan buah yang tumbuh di pulau itu dan yang dapat dimakannya.
Tanpa disadari oleh Keng Han, dari makanan itu, terutama jamur laut dan daging ular merah, sudah mendatangkan kekuatan yang semakin hebat dalam tubuhnya. Sekarang tubuhnya telah terbiasa menerima racun, sehingga dia tidak perlu takut lagi akan segala macam racun, betapa pun hebatnya racun itu. Tubuhnya telah menjadi kebal racun!
Untuk berganti pakaian, dia juga tidak kekurangan karena para perampok itu membawa bahan kain yang serba mahal, hasil perampokan mereka. Dia membuat pakaian dari kain, sejadi-jadinya asal dapat membungkus tubuhnya dan tidak menjadi telanjang.
Bertahun-tahun Keng Han tekun belajar. Ternyata ilmu-ilmu itu amat sukarnya sehingga semacam ilmu saja harus dipelajari dan dilatihnya sedikitnya satu tahun…..
********************
Selanjutnya baca
PUSAKA PULAU ES : JILID-03