Si Cantik Dalam Guci

SI CANTIK DALAM GUCI

SINOPSIS
“Wiro, dengar baik-baik” Si kakek kini bicara sungguhan. “Petunjuk mengatakan, seperti gambar yang kulihat ditanah. Untuk membebaskan gadis dalam guci berarti kau harus masuk sendiri kedalam guci itu”

“Gila! Tidak masuk akal...!” ujar murid Sinto Gendeng. “Jangankan tubuhku! Buahku saja tidak mungkin bisa masuk kedalam guci sekecil itu!”
Kakek Segala Tahu tertawa bergelak dan kerontangkan kaleng rombengnya. “Anak muda,” katanya. “Sekarang kau yang bergurau! ha ha ha!”
Si orang tua letakkan ujung tongkatnya dibahu kiri murid Sinto Gendeng. Ujudnya memang tongkat kayu butut. Tapi Wiro merasa bahunya seperti ditiban batu sangat besar hingga tak ampun lagi tubuh sang pendekar miring kekiri!
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Karya Bastian Tito
WWW.ZHERAF.NET
BAB 1
DALAM Episode sebelumnya (Mayat Persembahan) diceritakan bagaimana Iblis Kepala Batu Alis Empat aIias Iblis Kepala Batu Pemasung menculik Sutri Kaliangan puteri Patih Kerajaan. Sementara itu gadis cantik dan alam roh yang dikenal dengan julukan Dewi Bunga Mayat yang aslinya bernama Suci dan panggilan Bunga, masih berada dalam kekuasaannya.

Bunga disekap di dalam sebuah guci tembaga. Pendekar 212 Wiro Sableng yang berusaha menyelamatkan gadis yang mencintainya itu malah secara licik kena dijebak oleh Iblis Kepala Batu, dipendam dan terkubur hidup-hidup di bawah tanah dalam satu ruangan batu.

Dalam ruang gelap pengap dan sunyi Pendekar 212 Wiro Sableng dudukkan diri di lantai. Tubuh dan pakaiannya basah oleh keringat. Wiro coba menenangkan diri, atur jalan darah dan pernafasan agar mampu bertahan dan tidak segera kehabisan tenaga. Lalu pemuda ini coba kerahkan ilmu Menembus Pandang untuk melihat keadaan sekitarnya. Tapi entah mengapa ilmu tersebut tidak bekerja.

“Celaka… tempat apa ini. Mengapa Ilmu Menembus Pandang tidak bisa kuterapkan…”

Wiro lalu ingat, setelah kepalanya ditelan oleh harimau putih peliharaan Datuk Rao Basaluang Ameh, menurut orang tua sakti itu sepasang matanya akan mampu melihat lebihterang di dalam gelap. Namun saat itu Wiro sama sekali tak bisa melihat apapun. Bahkan tidak mampu melihat tangan sendiri yangdiletakkan di depan mata. Dalam gelap Wiro akhirnya pejamkan mata.

“Pasti ada jalan rahasia di tempat ini,” pikir murid Sinto Gendeng. “Kalau tidak, mustahil mahluk keparat berkepala batu itu bisa masuk, keluar lagi dari sini dan menghilang. Jalan rahasia… pintu rahasia. Bagaimana aku bisa mencari, bisa menemukan. Tangan saja tidak kelihatan!”

Pendekar 212 berpikir. “Satu-satunya jalan keluar adalah menjebol dinding ruangan. Kalau aku bisa menghancurkan salah satu dinding, pasti bisa menerobos keluar selamatkan diri. Tinggal memilih pukulan sakti yang mana harus aku pergunakan.” Wiro diam sejenak, mata masih terpejam. “Pukulan Sinar Matahari. Jika aku hantam salah satu dinding ruangan mungkin bisa Jebol…” Wiro membatin. “Tapi kalau dinding bisa bertahan dan sebagian pukulan sakti itu membalik menghantam diriku sendiri...”

Murid Sinto Gendeng jadi bimbang. Dalam gelap dia masih bisa garuk-garuk kepala. “Mungkin dapat juga kujebol dengan pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung, atau Tangan Dewa Menghantam Batu Karang. Tapi…” Lagi-lagi Wiro bimbang. “Dinding bisa jebol, bagaimana kalau bagian atas runtuh dan aku benar-benar terkubur hidup-hidup di tempat celaka ini. Iblis Kepala Batu Keparat!”

Wiro kembali garuk-garuk kepala. Otaknya berpikir terus mencari jalan selamat. “Mungkin dinding bisa kujebol dengan ilmu Sepasang Pedang Dewa…”

Ilmu Sepasang Pedang Dewa didapat Wiro dan Datuk Rao Basuluang Ameh. Ilmu ini berupa sepasang sinar hijau menyerupai pedang luar biasa tajam yang keluar bersilang dari dua matanya. Selama ini tidak ada satu kekuatan lawanpun sanggup bertahan terhadap Sepasang Pedang Dewa. Ilmu ini hanya boleh dikeluarkan sebanyak dua kali selama 12 purnama. Seingat Wiro terakhir sekali dia mempergunakan ilmu tersebut adatah ketika masih berada di negeri Latanahsilam.

Namun lagi-lagi Wiro merasa ragu. Sebelum keadaan menjadi gelap, Wiro sempat memperhatikan. Ruangan di mana dia berada tidak seberapa besar. Lantai dinding danatap terbuat dan batu. Sambaran dua larik sinar pedang, keras dan panjang. Bagaimana kalau larikan sinar berbelok patah hegitu menghantam dinding. Lalu salah satu patahan berbalik rnenghantam dirinya sendiri. Mungkin pula sinar hijau Sepasang Dewa berbalik menembus dua matanya!

Saat itu udara dalam ruangan gelap semakin pengap dan hawa panas terasa seperti bakaran bara api. Wiro masih belum bisa mengambil keputusan. Kemudian diaingat pada Kapak Maut Naga Geni 212 yang terselip di balik pinggang baju putihnya yang telah kuyup dengan keringat.

“Mungkin senjata ini satu-satunya penyelamat paling aman,” pikir Wiro.

Wiro berdiri. Keluarkan kapak sakti lalu melangkah sampai tangan kirinya menyentuh salah satu dinding ruangan. Tenaga dalam dialirkan ke tangan kanan yang memegang kapak sakti. Saat itu juga dua mata kapak memancarkan sinar berkilauan, menerangi seantero tempat, membuat Wiro dapat melihat cukup jelas keadaan ruangan di mana dia berada. Di samping kiri ada sebuah batu berbentuk tempat tidur. Belum sempat dia, memperhatikan dengan jelas, tiba-tiba cahaya terang yang keluar dan dua mata kapak sakti berubah redup.

“Apa yang terjadi?!” pikir Wiro. Dia cepat kerahkan tenaga dalam kembali, dialirkan ke senjata yang dipegangnya. Namun kekuatan tenaga dalam itu tidak menambah terangnya pancaran cahaya malah sebaliknya semakin redup.

“Tenaga dalamku tidak bekeria. Kapak sakti tidak punya daya. Celaka. Jangan-jangan umurku memang habis di tempat in!”

Masih kurang percaya akan kenyataan yang dihadapinya Wiro bahkan kerahkan tenaga luarlalu hantamkan Kapak Naga Geni 212 ke depan. Tak ada kilauan sinar. Tak ada suara seperti tawon mengamuk. Kapak menghantam dinding.

“Traangg!”

Murid Sinto Gendeng keluarkan seruan tertahan. Kapak hampir terlepas dan genggamannya. Di dalam ruangan itu, senjata sakti ini kehilangan kehebatannya. Jangankan menjebol dinding batu, membuat gompal saja tidak mampu! Wiro gigit bibir sendiri, rasa takut makin mencekam dirinya. Dengan tangan gemetar dia sisipkan kapak di pinggang sebelah kiri. Tengkuknya tidak terasa tengkuk lagi, dingin sekali seolah telah berubah menjadi gundukan es!

Perlahan-lahan Wiro jatuhkan diri, berlutut di lanitai batu lalu duduk bersila. Udara terasa semakiri panas dan pengap. Pori-pori di sekujur permukaan tubuhnya didera rasa sakit amat sangat seolah ditusuk oleh ratusan jarum. Untuk bernafas Wiro mulai kesulitan pengap sesak. Dia membuka mulut lebar-lebar. Bernafas melalui mulut. Tapi sia-sia. Dadanya mendenyut sakit, berat seperti ditindih batu besar dan berat. Dia memaksa menarik nafas dalam-dalam. Ada cairan hangat mengucur keluar dan hidungnya. Wiro meraba. Cairan hangat, kental dan lengket. Walau tidak mampu melihat tapi Wiro bisa menduga.

“Darah… Hidungku mengeluarkan darah.”

Bagaimanapun juga, sebagai manusia biasa rasa takut semakin hebat menyusupi hatinya. Harapan untuk hidup agaknya semakin tipis. Tubuhnya bukan saja basah oleh keringat juga dengan darah yang ikut membersit dan poni-pori di permukaan kulit. Sosok sang pendekar mulai terhuyung. Wiro berusaha bertahan. Tapi gagal. Seluruh tenaganya seperti terkuras.

“Blukkk!”

Tubuh Pendekar 212 terbanting kebelakang, terkapar di lantai batu. Tapi kesadarannya belum punah. Batinnya berucap. “Tuhan, saya pasrah kalau memang sudah takdirMu harus mati begini rupa di tempat ini. Tapi Tuhan, apakah Kau tidak hendak menolong diri saya? Saya tahu saya orang banyak dosa. Ampuni semua dosa saya ya Tuhan. Sekali ini Tuhan, saya mohon pertolonganMu. Keluarkan saya dan tempat ini. Selamatkan diri saya. Eyang… Eyang Sinto Gendeng, di mana kau saat ini Eyang. Saya juga banyak dosa padamu Eyang. Mohon maafmu agar saya bisa menghadap Gusti Allah dengan tenang…”

Mungkin begitulah sifat dan harkat semua manusia. Termasuk Pendekar 212 Wiro Sableng. Di kala tak ada lagi daya untuk bisa bertahan hidup baru ingat akan segala dosa, mohon ampun dan minta diselamatkan. Karena memang hanya kepada Tuhan Yang Maha Kuasalah tempat terakhir dan satu-satunya manusia minta tolong.

Wiro terkapar di lantai batu, mata terpejam, tubuh tak bergerak. Dia sendiri tidak tahu apa masih hidup atau tengah memasuki alam maut atau memang sudah mati! Dalam keadaan seperti itu sekonyong-konyong, lapat-lapat seolah datang dan arah kejauhan, terdengar suara memanggil.

“Wiro… Pendekar 212! Wiro… Wiro Sableng!” Alis mata kiri Pendekar 212 bergerak sedikit. “Wiro! Wiro Sableng! Pendekar 212!”

Kembali suara memanggil itu terdengar, sayup-sayup di kejauhan. Walau cuma halus hampir menyerupai ngiangan nyamuk namun Wiro dapat mendengar cukup jelas.

“Siapa yang memanggil? Malaikat maut? Setan neraka…?” Pertanyaan itu muncul di benak murid Sinto Gendeng.

“Wiro! Wiro Sableng!”

Perlahan-lahan Wiro buka matanya yang sejak tadi terpejam.

“Wiro! Kau dengar suaraku?!”

Wiro kerahkan seluruh tenaga. Berusaha bangkit. Dengan susah payah dia berhasil duduk di lantai. Nafas megap-megap. Tubuh terhuyung gontai seolah tidak punya tulang. Kalau salah satu tangannya tidak segera bersitekan ke lantai niscaya sosoknya kembali tergelimpang.

“Wiro! Wiro Sableng! Kau dengar suaraku?!”

Wiro membuka mulut. Berusaha menjawab panggilan orang. Tapi dia tidak mampu keluarkan suara.

“Wiro! Aku tahu kau ada di dalam sana! Aku tahu kau pasti bisa mendengar. Tapi mungkin tak bisa menjawab! Dengar, aku akan menolongmu keluar dan tempat dirimu terpendam. Tapi dengan satu syarat! Apapun yang terjadi kau tidak akan menjatuhkan tangan jahat terhadap Iblis Kepala Batu Pemasung Roh!”

“Mahluk celaka! Siapa kau?! Menolóng pakai syarat segala!” Wiro ingin berteriak tapi dia cuma mampu memaki dalam hati.

“Wiro! Wiro Sableng!”

“Setan alas!” damprat Wiro dalam hati.

Sunyi sesaat. Lalu kembali mengiang suara dan kejauhan itu. “Wiro! Dengar! Dalam ruangan tempat kau terperangkap ada satu tempat tidur batu! Wiro!”

“Aku sudah melihat benda yang dikatakan. Apa tempat tidur batu itu bisa menolongku?! Mahluk sialan! Jangan berani menipu diriku!” Lalu dia menggerendeng sendiri. “Sialan! Kenapa aku tidak bisa bicara. Kenapa suaraku tidak keluar!”

“Wiro! Dengar baik-baik! Segera ikuti petunjukku! Di salah satu sudut atas tempat tidur batu ada satu alat rahasia. Juga terbuat dan batu. Putar alat itu ke kanan atau ke kiri. Tempat tidur batu akan bergeser. Dibawahnya ada satu lubang besar membentuk tangga pendek. Masuk ke dalam lubang, ikuti tangga. Kau pasti selamat! Wiro!”

Wiro membuka mulut lebar-lebar untuk bisa bernafas. Suara seperti mengorok keluar dari tenggorokannya. “Mungkin nafasku sudah habis…” pikir Wiro.

Lalu kembali terdengar suara dari luar. “Wiro! Aku tahu kau mendengar semua ucapanku! Aku harus pergi sekarang! Terserah apa kau mau mengikuti cari selamat atau tidak!”

Suara teriakan lenyap. Keadaan di dalam dan di luar tempat Wiro terkubur sunyi senyap. Wiro kembali membuka mulut lebat-lebar. Berusaha menarik nafas panjang-panjang tapi malah dia terbatuk-batuk beberapa kali. Ludah campur darah meleleh di sela bibirnya. Berbagai perasaan kini menggerayangi Pendekar 212. Terutama rasa takut.

“Siapa yang tadi berteriak. Suaranya aneh… Jangan-jangan setan yang hendak ikut-ikutan menjebakku.” Wiro membatin.

Otaknya dipacu untuk bisa bekerja. Dia coba bangkit berdiri tapi gagal. Akhirnya dia hanya mampu merangkak. Untung sewaktu tadi ruangan diterangi cahaya kapak sakti dia sempat melihat tempat tidur dan batu yang ada di ruangan itu. Wiro merangkak mengira-ngira ke arah tempat tidur. Bahunya membentur sesuatu. Ternyata samping kiri tempat tidur. Tangan kanan diangkat, mengggapai ke atas lalu perlahan-lahan dan tersendat-sendat digerakkan sepanjang sisi atas. Dadanya berdebar ketika jari-jarinya menyentuh sesuatu yang menoniol di salah satu sudut tempat tidur batu.

“Alat rahasia…” pikir Wiro. Dia ingat ucapan orang. Dadanya tambah berdebar. Jari-jari tangan ikut bergetar. Sesuai petuniuk ucapan orang Wiro putar tonjolan batu itu ke kanan. Tidak terjadi apa-apa. Wiro teruskan memutar tonjoan batu sampai benda itu tak bisa lagi diputar. Tidak ada benda bergeser, tidak terdengar selarik suarapun. Wiro jadi gelisah.

“Jangan-jangan orang itu memang menipuku...” pikirnya.

Dia diam sesaat, berpikir. Lalu jari-jari tangannya bergerak, memutar tonjolan batu ke arah berlawanan, ke arah kiri. Mendadak terdengar suara berdesir halus. Lantai ruangan bergetar. Semakin jauh tombol batu diputar ke kiri semakin keras suara desiran serta getaran di lantai. Wiro tercekat. Terlebih ketika dia merasa dan mendengar ada sesuatu bergerak bergeser. Wiro lepaskan jari-jarinya yang memegang alat rahasia. Kini, setengah berjongkok dia pegangi tempat tidur batu dengan dua tangannya. Astaga! Yang bergerak dan bergeser ternyata adalah tempat tidur batu itu!

Seberkas cahaya sangat suram menyeruak keluar dan Iantai di mana sebelumnya tempat tidur batu terletak. Ketika Wiro memperhatikan apa yang dilihatnya sesuai dengan ucapan orang. Sebuah lubang berbentuk empat persegi panjang menganga di lantai ruangan. Bagian dalamnya menyerupai tangga. Wiro terkesiap, tapi hanya sesaat. Di lain kejap Pendekar 212 gulingkan diri masuk ke dalam lubang.

Tubuhnya menggelindirig ke bawah lalu terbanting di lantai satu lorong batu. Wiro merasakan tubuhnya seolah ringsak. Tapi anehnya saat itu dia bisa bernafas lega kembali. Rasa sesak dan berat di bagian dada lenyap. Tusukan yang menyengat sekujur permukaan kulitnya sirna. Walau lutut, tulang pinggul dan tulang bahunya terasa sakit akibat terguling jatuh tadi namun saat itu Wiro merasakan tenaganya luar dalam pulih kembali.

Dengan, cepat dia bangkit berdiri. Ternyata lorong di mana dia berada walau cukup lebar tapi pendek hingga untuk berdiri Wiro terpaksa membungkuk rundukkan kepala. Sementara itu di sebelah atas, dalam ruangan batu, cepat sekali tempat tidur batu bergeser kembali menutupi lubang empat persegi.

Wiro melangkah merunduk sepanjang lorong batu. Matanya menatap tak berkesip ke arah depan di mana terlihat satu cahaya terang. Lorong batu itu ternyata cukup panjang. Ketika Wiro sampai di ujung lorong, jalan keluar ternyata tertutup dan terhalang oleh sederetan pohon bambu kuning.

Begitu hendak menyeruak dan lewat di antara batang-batang bambu, sang pendekar jadi terperangah dan bersurut beberapa Iangkah. Tiga ekor ular besar hitam berbintik putih bergelung pada tiga batang bambu. Kepala tegak terpentang, mulut terbuka menjulurkan lidah bercabang merah laksana kobaran api, siap mematuk ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Hebatnya tiga ular ini memiliki kepala berbentuk empat persegi, berwarna abu-abu menyerupai kepala Iblis Kepala Batu Ails Empat. Dan masing-masing kepala mengepulkan asap tipis kemerah-merahan.

“Ular kepala batu. Binatang jadi-jadian. Pasti bangsat beralis empat itu yang punya pekerjaan!” pikir murid Sinto Gendeng.

Tiga ekor ular keluarkan suara mendesis garang. Dengan kepala tetap terpentang ketiganya luncurkan badan ke bawah sambil mengulur sosok, siap mematuk secara berbarengan ke arah orang di depan lorong batu.

Wiro tak punya waktu untuk berpikir lebih lama. Pada saat tiga ekor ular melesat lepas dari batang bambu, menyerang ke arahnya dia segera lepaskan pukulan Sinar Matahari. Cahaya putih berkiblat. Hawa panas menghampar.

Tiga ekor ular besar serta pohon-pohon bambu laksana dilabrak topan hancur bermentalan melesat bertaburan di udara. Tiga raungan aneh merobek langit berbarengan. Wiro terkesiap. Ketika memandang ke depan dia lebih kaget lagi. Di belakang pohon-pohon bambu itu ternyata ada satu telaga. Hancuran tubuh tiga ekor ular dan hancuran batang-batang bambu melayang berjatuhan ke bawah dan mengambang di atas permukaan air telaga.

Sosok tiga ekor ular yang telah hancur mengepulkan asap secara aneh tiba-tiba bergerak, menyatu kembali satu sama lainnya. Begitu sosok masing-masing utuh membentuk tubuh ular, perlahan-lahan tubuh mereka berubah menjadi sosok manusia berkepala botak plontos tanpa pakaian. Kulit dan daging, mulai dari kepala sampai ujung kaki melepuh hangus mengerikan. Sepuluh kuku jari mereka berubah panjang, merah runcing berkeluk.

Ketiganya tampak megap-megap di permukaan telaga. Lalu keluarkan suara mengorok. Dan mulut, mata, hidung dan telinga tiga mahluk aneh ini mengucur darah. Lalu didahului raungan panjang menggidikkan perlahan-lahan sosok tiga mahluk botak telanjang itu meluncur amblas ke bawah, tenggelam dan akhirnya lenyap dan permukaan telaga seperti tengah sekarat. Air telaga kelihatan kemerah-merahan.

Wiro usap tengkuknya yang terasa dirigin dan keringatan. Suara desau angin yang menggesek daun-daun pepohonan terdengar seperti suara bisikan setan.

“Gila…!” Rutuk Pendekar 212 dalam hati. Dia memandang berkeliling. Seputar telaga sunyi sepi seolah tak ada kejadian apa-apa. Tak berkesip Wiro perhatikan deretan pohon-pohon besar, semak belukar dan satu lamping batu di sebelah kiri telaga. Iblis Kepala Batu Alis Empat alias Iblis Kepala Batu Pemasung Roh dan Sutri Kaliangan tidak kelihatan. Juga orang yang telah menolong dirinya. Tak ada siapa-siapa di tempat itu.

“Orang yang menolongku…” kata Wiro dalam hati. “Dia menolong dengan syarat agar aku tidak menjatuhkan tangan jahat terhadap Iblis Kepala Batu Pemasung Roh. Apa hubungan orang itu dengan jahanam beralis empat. Jangan-jangan…” Wiro menggaruk kepala. “Bukan jangan­-jangan. Tapi aku yakin dia pasti adalah Luhniknik alias Hantu Penjunjung Roh, nenek sakti bermata kerucut dari Latanahsilam! Ketika dia menghadangku beberapa waktu lalu bukankah dia mengatakan kalau Iblis Kepala Batu Pemasung Roh adalah adik kandungnya. Hemmm… Nenek keparat, sekalipun kau banyak menanam budi sewaktu aku berada di Negeri Latanahsilam. Tapi jika kau berkomplot dengan saudaramu untuk mencelakai Bunga, apapun yang terjadi kau akan kuhabisi!"
Mengenai Hantu Ponjunjung Roh harap baca riwayat Pendekar 212 di Negeri Latanahsilam mulai dan Bola-Bola Iblis sampai Istana Kebahagiaan terdiri dari 18 Episode

Wiro berpikir keras. Ketika dia mengejar Iblis Kepala Batu Alis Empat, selain masih menyekap Bunga dalam guci tembaga, manusia satu itu juga telah menculik Sutri Kaliangan, puteri Patih Kerajaan. Kini ketiga orang itu yakni Iblis Kepala Batu, Sutri Kaliangan dan si nenek Hantu Penjunjung Roh lenyap entah ke mana.

“Aku harus mencari ke mana?” pikir Wiro. Sambil menggaruk-garuk kepala dia melangkah sepanjang tepian telaga. Hanya beberapa tombak lagi dia akan mendekati lampingan batu tiba­-tiba ada suara berdesir di alas pohon besar di samping kanannya. Wiro berpaling. Memandang mendongak ke alas pohon Wiro terpedaya. Karena suara desiran di atas pohon hanyalah tipuan belaka untuk mengalihkan perhatian.

Saat itu, tiba-tiba sekali, tanpa Wiro dapat menduga, tanah yang dipijaknya amblas. Sebatas leher ke bawah tubuh Pendekar 212 meluncur masuk ke dalam satu lubang sempit. Tangannya terjepit tak bisa digerakkan. Sosoknya tersembul hanya sebatas leher ke atas. Pendekar 212 berusaha keluarkan diri dan lubang itu tapi tak berhasil. Dia kerahkan tenaga dalam. Dua pukulan sakti dialirkan ke tangan kiri dan kanan yakni pukulan Benteng Melanda Samudera dan Dewa Topan Meriggusur Gunung.

Sambil hujamkan dua kakinya ke dasar lobang, Wiro gerakkan tangan kiri kanan. Kaget murid Sinto Gendeng bukan alang kepalang. Ternyata dia tidak bisa melesat keluar dan dalam lubang dan dua tangannya tidak mampu disentakkan untuk melancarkan pukulan guna menghancurkan tanah lubang yang menjepit tubuhnya. Rasa kaget sang pendekar jadi bertambah ketika tiba-tiba di tempat itu menggelegar suara tawa bergelak.

Satu sosok bertelanjang dada penuh bulu, hanya mengenakan celana komprang hitam, berkulit muka kebiru-biruan muncul di hadapan Wiro. Di pinggang kirinya terikat sebuah guci terbuat dari tembaga. Di bahu kirinya dia memanggul sosok seorang gadis berpakaian ringkas kuning dalam keadaan tertotok. Rambutnya yang hitam panjang tergerai ke mana-mana.

“Sutri Kaliangan…” desis Pendekar 212 menyebut nama puteri Adipati Kerajaan Selo Kaliangan itu.

Mahluk di depan Wiro menyeringai. Taring di ujung bibir kiri kanan mencuat mengerikan. Empat buah alis berwarna merah menghias angker sepasang matanya yang besar merah. Tampangnya tambah mengerikan karena sebatas kening ke atas, batok kepalanya berbentuk empat persegi, berwarna kelabu kehitaman, keras atos seperti batu. Inilah Iblis Kepala Batu Ails Empat alias Iblis Kepala Batu Pomasung Roh.

“Mahluk keparat jahanam! Lepaskan gadis itu’ Lepaskan gadisyang kau sekap di dalam guci tembaga! Aku bersumpah membunuhmu, mencincang bangkaimu sampai lumat kalau kau berani menciderai sedikit saja salah satu dan keduanya!”

Iblis Kepala Batu tertawa tergelak-gelak. “Dasar pemuda sombong! Congkak! Kau tidak mampu membebaskan diri keluar dan lubang itu! Masih bisa bicara ngelantur hendak mencincang diriku! Ha ha ha! Apa tidak sadar kalau ajal sudah di depan mata?!”

Habis berkata begitu Iblis Kepala Batu keluarkan suitan keras. Terjadi satu hal yang tidak disangka-sangka. Dan dalam telaga melesat tiga sosok botak telanjang yang kulit dan dagingnya melepuh hangus terkelupas. Darah mengucur dan hidung, mata, mulut dan telinga.

Seperti diketahui sebelumnya tiga mahluk dahsyat ini adalah perubahan bentuk dan tiga ekor ular yang telah dihantam hancur dengan Pukulan Sinar matahari. Tadi ketiganya amblas kedalam telaga seperti mati. Kini bagaimana bisa hidup dan muncul kembali?

Tiga mahluk botak mendongak ke langit lalu sama-sama keluarkan suara meraung keras. Darah bermuncratan dan mata, hidung, telinga dan mulutnya. Luar biasa mengerikan. Iblis Kepala Batu keluarkan suitan keras.

Tiga mahluk angker hentikan raungan mereka, lalu tegak berjejer dengan tubuh setengah membungkuk. Mata yang tertutup genangan darah diarahkan pada Pendekar 212 Wiro Sableng yang terpendam dalam tanah mulai dan leher ke bawah. Dua tangan diangkat ke atas. Sepuluh jari berkuku panjang merah terpentang ke depan.

“Anak Ketiga! Tunjukkan pada pemuda sombong ini kedahsyatan kuku merah di ujung jari kalian!” Iblis Kepala Batu berteriak.

Tiga mahluk botak telanjang keluarkan suara meraung panjang. Salah seorang dan mereka yang dipanggil dengan nama Anak Ketiga tiba-tiba melesat ke arah lamping batu di tepi telaga sebelah kiri. Tangan kirinya berkelebat. Lima sinar merah membersit dan ujung kuku tangan. Sesaat kemudian terdengar suara...

"Kreekkkk…!

Pada lamping batu di tepi telaga kelihatan guratan panjang sedalamsetengah jengkal, mengepulkan asap merah! Mau tak mau Pendekar 212 jadi bergidik melihat apa yang dilakukan mahluk kepala botak danapa yang terjadi dengan batu besar di tepi telaga. Batu demikiankerasnya sanggup dibuat hancur demikian rupa, apalagi kalau hanyatubuh manusia.

“Agaknya aku yang akan dijadikan sasaran berikutnya,” pikir murid Sinto Gendeng. Tengkuknya mengkirik, dadanya berdegup keras. Dia kerahkan seluruh tenaga luar dalam untuk bisa keluar dari lubang, tapi sia-sia saja.

Sambil menyeringai Anak Ketiga kembali ke tempatnya semula di samping dua kawannya. Tiba-tiba Iblis Kepala Batu berteriak menggeleger. "Bunuh!”

Tiga mahluk botak telanjang memekik keras dan garang. Ketiganya melompat ke arah Wiro. Enam jari tangan berkelebat ke depan. Tiga puluh kuku keluarkan cahaya merah mengerikan, membeset ke arah kepala dan leher Wiro! Iblis Kepala Batu iringi serangan itu dengan suara tawa bekakakan.

Sesaat lagi tiga puluh kuku maut akan merobek menghancurkan batok kepala, muka dan leher Pendekar 212 Wiro Sableng, tiba-tiba dua larik sinar hijau melesat keluar dan sepasang mata Wiro, laksana dua bilah pedang luar biasa tajam dengan kecepatan kilat membabat bersilangan. lnilah Ilmu Sepasang pedang Dewa yang didapat Wiro dan Datuk Rao Basaluang Ameh.

“Craass! Craass! Craass!”

Tiga lolongan dahsyat terdengar berbarengan merobek langit. Tiga tubuh telanjang bermentalan jauh ke udara dalam keadaan terkutung-kutung, berubah menjadi hijau dan mengepulkan asap berbau busuk lalu melayang jatuh ke arah telaga.

Sambaran Sepasang Pedang Dewa tidak hanya menghantam tiga mahluk kepala botak, tapi juga menghajar dua pohon besar dan lamping batu di tepi telaga. Dua pohon tertabas rata, bagian atas roboh menggemuruh. Ranting-ranting sampai ke daun hangus berubah hijau. Lampingan batu di tepi telaga hancur berkeping-keping, juga hangus kehijauan. Di mana-mana asap hijau bertebaran menutup udara.

Sepasang mata merah Iblis Kepala Batu seakan mau melompat dari rongganya melihat apa yang terjadi. Dari mulutnya keluar suaraseperti meratap. Ketika Wiro memutar kepala ke arahnya Iblis Kepala Batu mengira dia akan diserang dengan sepasang sinar hijau itu. Nyalinya bergetar. Tidak tunggu lebih lama, Iblis Kepala Batu segera putar tubuh, membuat tiga kali lompatan dan di lain kejap lenyap dan tempat itu.

“Iblis jahanam! Jangan lari!” teriak Wiro. Dia membuat gerakan hendakmengejar. Lupa kalau sosoknya takbisa bergerak, terjepit di dalam lubang!
********************
WWW.ZHERAF.NET
BAB 2
Kita tinggalkan dulu Pendekar 212 yang bernasib malang, terjepit di dalam lobang tanpa mampu berbuat suatu apa. Kita kembali pada Dewi Bunga Mayat yang bernasib lebih celaka dari Wiro. Di dalam guci tembaga tempat dirinya disekap yang terus bergoyang karena dibawa berlari oleh Iblis Kepala Batu, Bunga gadis alam roh duduk bersila, mata terpejam, dua tangan diletakkan diatas paha.

Gadis ini tengah mengheningkan cipta, mengerahkan segala akal dan daya, berusaha bagaimana caranya agar dia dapat keluar dari dalam guci. Seperti diketahui Bunga yang bernama asli Suci dan mendapat juhukan Dewi Bunga Mayat memiliki ilmu kesaktian tinggi.

Namun di dalam guci dia sama sekali tidak mampu mengerahkan kesaktiannya untuk membebaskan diri. Jangankan keluar dari dalam guci tembaga, mengerahkan tenaga dalam saja dia tidak mampu. Dia sadar cepat atau lambat bahaya besar akan menimpa dirinya.

Dari dalam guci tembaga dia tahu kalau beberapa waktu lalu telah teriadi perkelahian antara Iblis Kepala Batu dengan Pendekar 212.Dia tak mampu melihat, hanya mendengar suara dan membayangkan kira-kira apa yang terjadi. Ada mahluk-mahhuk aneh di bawah kekuasaan Iblis Kepala Batu. Mereka diperintahkan untuk membunuh Pendekar 212. Dari ucapan Iblis Kepala Batu saat itu Bunga mengetahui kalau Wiro berada dalam keadaan tak berdaya, terpendam dalam lobang.

“Aku mendengar suara Iblis Kepala Batu berteriak bunuh!” Bunga membatin, masih dalam keadaan duduk bersila dan pejamkan mata. “Lalu ada raungan dahsyat. Menyusul suara tubuh seperti dicabik-cabik. Gemuruh pohon tumbang. Getaran suara hancurnya bebatuan. Kemudian aku mendengar suara Pendekar 212 berteriak, "Iblis jahanam! Jangan lari!" Agaknya mahluk­-mahluk yang diperintah Iblis Kepala Batu bukan saja tidak mampu melaksanakan perintah membunuh Wiro. Malah mereka menjadi korban. Dibantai Pendekar 212 entah bagaimana caranya, entah dengan apa. Iblis Kepala Batu malarikan diri. Dari ucapan Wiro sebelumnya, rupanya Sutri Kaliangan, puteri Patih Kerajaan masih berada di tangannya…”

Bunga menarik nafas dalam. “Apa yang sekarang terjadi dengan Wiro. Lalu bagaimana dengan nasib diriku sendiri. Aku tak mampu keluar dari sekapan. Di luar sana tidak seorangpun bisa menolongku. Bahkan para mahluk alam rohpun tidak punya daya berbuat sesuatu…” Kembali Bunga menarik nafas dalam. Tubuhnya diam tak bergerak. Alam pikirannya membubung keluar dari guci tembaga. Tiba-tiba sepasang alis dan mata gadis ini bergerak. Ada sesuatu masuk ke dalam benaknya, muncul dalam pikirannya.
Kisah bagaimana bunga sampai kena disekap dalam guci tembaga oleh Iblis Kepala Batu Alis Empat bisa dibaca dalam serial WiroSableng berjudul Gondoruwo Patah Hati

“Beberapa waktu lalu aku pernah menitipkan sekuntum kembang kenanga sakti pada Anggini. Jelas kupesankan padanya agar kembang itu diserahkan pada Wiro.Sebagal pengganti kembang kenanga yang katanya hilang. Kalau Wiro memegang kembang itu sambil pikirannya ditujukan padaku, aku akan mendapat satu kekuatan maha dahsyat, bisa keluar dan dalam guci laknat ini. Wiro sendiri tahu kalau aku disekap lblis Kepala Batu di sini. Mengapa dia tidak berusaha mengambil kembang itu, melakukan sambung rasa terhadapku…”

Lama Bunga merenung. Kemudian hati dan jalan pikirannya bersuara kembali. “Mungkin Anggini belum bertemu dengan Wiro. Mungkin juga mereka telah bertemu tapi Anggini lupa memberikan kembang kenanga itu. Atau...“

Gelisah dan prasangka buruk muncul dalam hati gadis alam roh itu. “Jangan-jangan… bisa saja Anggini sengaja tidak mau memberikan kembang kenanga sakti pada Wiro. Dia tidak ingin aku meneruskan menjalin hubungan dengan pemuda itu. Bodohnya aku ini! Memberi amanat pada orang yang sebenarnya menjadi sainganku. Bukankah Dewa Tuak ingin sekali menjodohkan muridnya itu dengan Pendekar 212? Tapi kabarnya Eyang Sinto Gendeng guru Wiro tidak begitu suka dengan niat Dewa Tuak itu. Wiro sendiri konon bersikap biasa-biasa saja, menganggap Anggini seperti adik sendiri. Tetapi jika diriku dibanding dengan Anggini… Gadis itu memiliki segala-galanya. Bukan cuma kecantikan dan kasih sayang sejati terhadap Wiro, tapi dia adalah insan nyata alam kehidupan manusia. Sedang aku hanya mahluk alam roh. Mana rnungkin bisa bersatu dalam kehidupan manusia. Kalau saja aku bisa kembali menjadi anak manusia seutuhnya…”

Untuk beberapa lamanya Bunga larut dalam kesedihan, lupa kalau saat itu dirinya berada dalam sekapan mahluk jahat Iblis Kepala Batu. “Aku harus melakukan sesuatu. Aku harus mencoba mengadakan hubungan dengan Pendekar 212."

Bunga rangkapkan dua tangan di depan dada. Sepasang mata dipejamkan. Seluruh cita dan rasa ditujukan pada satu orang diluar sana yakni Pendekar 212 Wiro Sableng. Tapi dia hanya menemul kesia-siaan. Dia tidak mampu memasuki aliran gaib yang bisa membuka tabir hubungan tali rasa dengan orang yang dituju.

Guci tembaga dimana dia disekap memiliki satu kekuatan dahsyat yang bukan saja melumpuhkan semua kepandaian yang diinilikinya,tapi juga tak mampu ditembus. Mendadak goyangan guci bertambah keras. Sayup-sayup Bunga mendengar suara berderak-derak.

“Anak tangga. Iblis keparat itu menaiki tangga kayu. Berarti dia tengah menuju satu bangunan tinggi. Terdengar suara pintu terkuak, lalu suara benda diletakkan di satu tempat. “Jahanam itu agaknya membaringkan gadis culikannya dilantai kayu, mungkin juga di atas sebuah ranjang,” pikir Bunga.

Untuk kesekian kalinya guci bergoyang keras kemudian diam, tidak bergerak tidak bergeming. Bunga menduga guci tempat dirinya disekap diletakkan di satu tempat rata. Mungkin sebuah meja. Keheningan hanya sesaat. Tiba-tiba terdengar suara Iblis Kepala Batu.

“Dewi Bunga, gadis alam roh. Aku mau bicara denganmu. Ini untuk terakhir kalinya. Jika kau masih menunjukkan sikap keras kepala, menolak kemauanku, kau akan celaka sampai kiamat!”

Di dalam guci Bunga keluarkan suara mendengus. Lalu terdengar suaranya, kecil seolah datang dari kejauhan. “Aku sudah tahu apa yang hendak kau ucapkan! Kau pernah mengatakan sebelumnya. Jangan membuat aku muntah mendengar ucapanmu untuk kedua kali!”

Iblis Kepala Batu walau marah mendengar kata-kata Bunga, tapi malah umbar tawa bergeIak. ”Jangan berlaku tolol Bunga. Apa kau lupa aku masih membawa tabung bambu berisi asap penyiksa roh...”

“Kau boleh menakut-nakuti diriku! Tapi siapa perduli! Kau pernah mengancam akan menyiksaku dengan asap jahanam itu sampai kiamat! Mengapa tidak kau lakukan?!”

“Kau memang gadis hebat. Itu yang menimbulkan salah satu kekaguman diriku padamu! Maksudku balk. Aku ingin menjadikan dirimu sebagai teman hidupku. Karena aku hanya bisa berhubungan dengan gadis alam roh sepertirnu. Aku tak bisa berhubungan dengan perempuan manusia biasa. Apa salahnya kau kujadikan mahluk peliharaanku? Selama ini kau hanya menempati alam kehidupan mati tidak hidup pun tidak. Bersamaku aku mampu memberikan kebahagiaan yang selama ini tidak pernah kau rasakan.”

Di dalam guci kembali Bunga keluarkan suara mendengus. “Di neraka banyak setan, iblis dan jin. Mengapa kau tidak pergi kesana mencari pasangan yang kau inginkan?!”

“Bunga, jangan membuat aku kehilangan kesabaran…”

“Kau bukan hanya kehilangan kesabaran. Sebentar lagi kau akan kehilangan nyawamu!” sahut Bunga dan dalam guci.

“Aku tahu kau tidak takut segala macam ancaman. Tapi dengar. Di tempat ini ada seorang gadis bernama Sutri Kaliangan. Puteri Patih Kerajaan. Aku telah menggeledah tubuhnya…”

“Iblis jahanam! Perbuatanmu keji dan mesum!”

“Aku bisa seribu kali Iebih keji dan mesum!” kata Iblis Kepala Batu pula. “Jika kau tidak mau memenuhi permintaanku, gadis ini akan kuperkosa lalu kubunuh!”

Dajal jahanam! Aku bersumpah membunuhmu!” teriak Bunga.

Gadis alam roh ini tidak kawatir dengan ancaman Iblis Kepala Batu yang pertama karena sesuai pengakuan Iblis Kepala Batu sendiri diri tidak mampu berhubungan dengan perempuan lain kecuali mahluk alam roh seperti dirinya. Yang dikawatirkan Bunga ialah ancaman kedua yakni niat jahat Iblis Kepala Batu hendak membunuh Sutri Kaliangan.

Di dalam ruangan, di atas rumah panggung terbuat dan kayu yang terletak di satu kawasan rimba belantara, Iblis Kepala Batu yang hanya mengenakan cawat dan tubuh penuh bulu itu menyeringai. Dia lepaskan totokan yang menutup jalan suara di leher Sutri Kaliangan yang saat itu terbaring kaku tak bisa bergerak tak mampu bersuara. Begitu jalan suaranya terbuka dan dia bisa bicara puteri Patih Kerajaan itu langsung menghardik dan mencaci maki Iblis Kepala Batu.

“Iblis keparat! Kau telah dapatkan dan merampas benda yang kau cari! Mengapa masih hendak mencelakai diriku?!”

Sambil terus menyeringai mahluk berwajah kebiru-biruan yang memiliki empat alis berwarna merah ini keluarkan sebilah keris yang mulai dan sarung sampai gagang dan badannya berlapiskan emas. ltulah Keris Naga Kopek pusaka Kerajaan yang pernah dijarah komplotan perampok kemudian berhasil dirampas oleh Damar Wulung.

Ketika Damar Wulung menyerahkan keris itu pada seorang Tumenggung di Kotaraja ternyata dia telah lebih dulu menukar keris dengan yang palsu, hanya sarungnya saja yang masih asli. (Harap baca serial Wiro Sableng berJudul Roh Dalam Keraton)

Keris yang kini berada ditangan Iblis Kepala batu adalah senjata yang berhasil diselamatkandari tangan Damar Wulung (baca serial Wiro Sableng berjudul Senandung Kematian) Seperti diketahui keris ini adalah keris asli sebaliknya sarungnya palsu karena sarung yang asli sudah berada di tangan Sri Baginda di Kotaraja. Iblis Kepala batu tertawa bergumam.

“Aku memang sudah dapatkan Keris Naga Kopek. Tapi ada yang tidak beres. Aku tahu sekali. Sarung senjata ini tidak asli…”

“Perduli setan sarungnya asli atau tidak! Lekas bebaskan diriku!” teriak Sutri Kaliangan.

“Gadis cantik. Tenang… aku masih ingin bersenang-senang dengan dirimu.”

Habis berkata begitu mahluk berwajah biru dan memiliki dua taring ini simpan Kenis Naga Kopek dibalik cawatnya lalu melangkah mendekat Sutri Kaliangan yang bisa bersuara tapi tetap terbaring kaku diatas balai-bahai kayu beralaskan kasur jerami kering.

“Brett!”

Putri Kaliangan memekik keras. “Jahanam! Apa yang kau lakukan?!” teriak Bunga dan dalamguci. Suara robeknya pakaian membuat gadis alam roh ini terkejut. Walau mungkiri Iblis Kepala Batu memang tidak bisa memperkosa Puteri Patih Kerajaan itu tapi dia bisa saja melakukan seribu satu kekejian dan kemesuman lain sebelum membunuh Sutri.

lblis Kepala Batu Alis Empat tertawa panjang. "Dewi Bunga, aku memberi kesempatan sekali lagi padamu. Kau bersedia menjadi gundik peliharaanku atau tidak?!”

DI dalam guci tembaga Bunga terdiam. Dirinya memang dalam bahaya besar. Tapi keselamatan dan kehormatan Sutri Kaliangan yang masih gadis itu diatas segala-galanya. Haruskah dia mengorbankan diri demi keselamatan gadis yang masih suci bersih itu? Agaknya tak ada jalan lain. Apapun yang akan terjadi atas diriinya yang penting Sutri Kaliangan perlu diselamatkan lebih dulu. Apa yang bakal kejadian dengan dirinya sendiri itu urusan nanti, pikir gadis alam roh itu.

“Iblis jahanam! Baik, aku bersedia memenuhi permintaanmu. Tapi dengan satu syarat! Kau harus membebaskan puteri Patih Selo Kaliangan lebih dulu!”

lblis Kepala Batu tertawa mengekeh. “Ha ha ha! Akhirnya kau mengalah juga! Tapi siapa percaya ucapanmu!”

“Brettt!”

Kembali terdengar suara robeknya pakaian. Disusul jeritan dan caci maki Sutri Kaliangan. “Mahluk dajal! aku sudah bersedia memenuhi permintaan kejimu! Mengapa kau masih hendak mencelakai gadis itu!” teriak Bunga. “Keluarkan aku dan dalam guci celaka ini!”

Gelak tawa Iblis Kepala Batu semakin menjadi-jadi.

“Dajal terkutuk apa maumu sebenarnya?!”

“Aku merubah keputusan!” jawab Iblis Kepala

“Apa maksudmu?!”

“Aku ingin bersenang-senang lebih dulu memandangi dan menggerayangi tubuh molek puteri Patih Kerajaan ini. Jika sudah puas, baru kubunuh. Mengenai dirimu, kupikir untuk sementara kau akan kubiarkan dalam guci. Sampai akhirnya kau mau menyerahkan diri tanpa syarat apapun"

“Benar-benar jahanam terkutuk!” Didalam guci Bunga yang tubuhnya secara aneh berubah kecil mengikuti bentuk guci melompat dari duduknya. Gadis alam roh ini menghantam kian kemari, memukul dan menendang. Guci tembaga yang diletakkan di atas meja kayu itu bergoyang-goyang tiada henti.

“Keluarkan semua kehebatan dan kesaktianmu! Habiskan seluruh tenagamu! Sampai kiamat kau tidak akan mampu keluar dan dalam guci!”

Di dalam guci seperti orang kemasukan setan, Bunga mengamuk hingga akhirnya dia capai sendiri kehabisan tenaga dan duduk terkapar di dasar guci. Di luar sana terdengar gelak tawa Iblis Kepala Batu. Lalu terdengar jeritan-jeritan Sutri Kaliangan. Hampir separuh pakaian kuningnya terutama disekitar dada telah tersingkap akibat robekan jari-jari tangan Iblis Kepala Batu.

Ketika Iblis Kepala Batu hendak merobek bagian pinggang pakaian, tiba-tiba satu kilatan panas dan menyilaukan berkiblat disusul letupan keras mengeledek. Dinding kanan bangunan kayu hancur tenggelam dalam kobaran api. Enam tiang besar penyanggah bangunan patah. Selagi bangunan panggung itu siap menggemuruh roboh, satu bentakan menggelegar.

“Dajal Kepala Batu! Jangan harap kali ini kau bisa lolos dari kematian!”

Dua letusan terdengar berturut-turut. Bangunan panggung hancur berantakan sebelum robohannya menyentuh tanah. Ketika tiga bayangan berkelebat dalam kepulan asap tebal dan kobaran api, Iblis Kepala Batu cepat menangkap guci tembaga yang terpental dari atas meja. Lalu secepat kilat dia berkelebat ke arah balai-balai kayu, siap untuk menyambar sosok Sutri Kaliangan yang nyaris bagian atas tubuhnya tidak tertutup pakaian lagi. Namun sebelum maksudnya kesampaian satu tendangan melanda tangan kiri diatas sikunya.

“Kraaak!”

Tulang tangan kiri hancur. Iblis Kepala Batu terpental keluar bangunan lewat dinding yang telah roboh. Jatuh ke tanah dia masih sanggup berdiri di atas dua kaki. Walau tangannya hancur tapi mahluk satu ini tidak mengeluh apalagi menierit kesakitan. Malah Iblis Kepala Batu sunggingkan seringai mengejek. Dengan telapak tangan kanan dia usap tangan kiri yang hancur. Saat itu juga tangan yang cidera sembuh kembali seperti tidak terjadi apa-apa!

Setengah membungkuk, dengan beban tubuh Sutri Kaliangan di bahu kanan, Iblis Kepala Batu siap hendak menghantam. Namun begitu melihat keadaan di depannya serta merta dia batalkan niat. Lebih baik selamatkan diri lebih dulu selagi dia masih bisa menguasai Bunga yang disekap dalam guci tembaga dan puteri Patih Kerajaan.

“Pendekar 212 jahanam…” rutuk Iblis Kepala Batu. Dia melirik ke kiri sambil keluarkan suara menggeram. “Aku kenali bocah berambut jabrik yang muncul bersamanya. Tapi siapa nenek berwajah setan di sebelah sana. Apakah aku pernah melihatnya sebelumnya. Mungkin dia yang dijuluki…”

Iblis Kepala Batu tidak bisa berpikir lebih panjang. Ketika dilihatnya tiga orang itu menerjang ke arahnya dia segera keluarkan sebuah benda bulat berwarna hijau sebesar kepalan lalu dilempar ke udara. Begitu melayang di udara benda itu meledak keras. Saat itu juga asap hijau pekat dan tebal menutupi pemandangan. Dalam keadaan seperti itu, dari balik kepulan asap hitam terdengar suara teriakan perempuan.

“Wiro! Alis kiri sebelah bawah! Alis kiri sebelah bawah….! Hkk!”

Suara teriakan mendadak lenyap karena orang yang berteriak yaitu Sutri Kaliangan dicekik lehernya oleh Iblis Kepala Batu. Saat itu Wiro tidak begitu memperhatikan teriakan itu. Pada dua temannya dia berteriak.

“Kurang ajar! Cepat tutup jalan pernapasan!” Pendekar 212 memaki dan berteriak. Dia kawatir asap hijau itu mengandung racun mematikan. Lalu murid Sinto Gendeng berseru. “Naga Kuning, kejar ke kiri. Nenek, kau ke jurusan kanan!”

Wiro sendiri kemudian menghambur lurus. Jauh di balik asap hijau tiga orang itu bertemu kembali, sama-sama berbatuk­-batuk. Wajah masing-masing kelihatan kemerahan. Ketiganya saling pandang dan uniukkan wajah kesal. Orang yang mereka kejar, Iblis Kepala Batu telah lenyap!

“Kabur lagi! Dia berhasil kabur lagi!” kata Pendekar 212 sambil hentakkan kaki dan garukgaruk kepala.

“Tadi aku mendengar ada perempuan berteriak padamu. Dia menyebut-nyebut alis mata kiri sebelah bawah. Apa maksudnya…”

Naga Kuning yang berdiri di samping Wiro keluarkan ucapan. “Suara yang berteriak kukenali. Itu suara Sutri Kaliangan, puteri Patih Kerajaan. Tapi apa maksudnya tak dapat kuduga,” jawab Wiro Sang pendekar berpaling pada nenek berpakaian serba hitam, berambut kelabu di sebelahnya. Lalu bertanya. “Nek, mungkiri kau bisa menduga…”

“Gadis itu berusaha memberi tahukan sesuatu. Namun saat ini aku tak bisa berpikir panjang...”

“Aku mengerti,” sahut Wiro pula. “Saat ini kau sedang kasmaran sama anak geblek satu ini! Mana bisa memikirkan hal lain!”

Wajah si nenek yang aslinya bernama Ning Intan Lestari namun lebih dikenal dengan julukan Gondoruwo Patah Hati berubah merah cemberut sementara Naga Kuning hanya senyum­-senyum. Dalam keadaan seperti itu, selagi ketiganya tidak tahu mau mengejar Iblis Kepala Batu ke mana, tiba-tiba satu bayangan berkelebat.

Tahu-tahu seorang nenek berpakaian coklat yang di atas kepalanya ada kepulan asap merah berbentuk kerucut terbalik, berdiri di hadapan ke tiga orang itu. Sepasang bola matanya berbentuk segitiga merah, menatap keluar masuk ke arah Wiro dan kawan-kawan. Siapa gerangan adanya nenek aneh ini dan bagaimana ceritanya sampai Wiro bisa berada di tempat itu bersama Naga Kuning serta Gondoruwo Patah Hati, padahal sebelumnya dia dikenal terjebak dalam jepitan lobang?

BAB 3
Kembali pada kejadian sewaktu Pendekar 212 Wiro Sableng masih terjebak dalam lobang tanah. Murid Sinto Gendeng ini tak tahu mau berbuat apa. Dia tidak bisa mengerahan tenaga luar apa lagi tenaga dalam. Dia tidak mampu menggerakkan dua tangan. Hanya sepasang bola matanya yang bisa digerakkan kian kemari. Dan dua mata itu dia bisa mengeluarkan ilmu kesaktian yang disebut Sepasang Pedang Dewa.

Dengan ilmu itu dia berhasil selamatkan diridan serangan tiga mahluk jejadian peliharaan Iblis Kepala Batu. Tetapi ilmu pedang sakti itu tidak mungkin dipergunakan untuk meloloskan diridan dalam jepitan lobang. Salah-salah dia sendiri bisa cidera karena jarak terlalu dekat dengan tubuhnya bila ilmu itu dipergunakan untuk membelah tanah di hadapannya.

Wiro mengeluh dan memaki dalam hati. Kalau saja dia bisa mengeluarkan tangan kanan dan jepitan lobang maka dengan satu pukulan sakti dia bisa menghancurkan tanah di sekelilingnya. Dengan ilmu Pukulan Harimau Dewa yang didapatnya dan Datuk Rao Basaluang Ameh dia bisa mendorong jebol tanah di depannya.

Ingat pada Pukulan Harimau Dewa, Wiro jadi ingat pada Datuk Rao Bamato Hijau yakni harimau putih bermata hijau yang menurut Datuk Rao Basaluang Ameh akan menjadi penjaga dan penolong dirinya dalam kesulitan. Dalam hati Wiro segera membatin memanggil harimau sakti itu. Namun sampai berulang kali tidak terjadi apa-apa. Dan hanya membatin Wiro keluarkan ucapan perlahan. Lalu makin keras.

Akhirnya pendekar ini berteriak keras-keras. Tetapi tetap saja tidak teriadi apa-apa. Harimau yang dipanggil tak kunjung menampakkan diri. Wiro tidak menyadari bahwa ada sejenis hawa aneh di dalam lobang yang bukan saja membuat dia tidak mampu menggerakkan tangan atau kaki, juga tidak dapat mengerahkan tenaga kasar luar dan dalam, tetapi juga menghambat setiap usaha untuk berhubungan dengan mahluk apa saja yang berada di alam lain. Malah selagi dia berteriak-teriak seperti itu tiba-tiba pluuk!

Sebuah benda menghantam bagian belakang kepalanya. Sakit memangtidak tapi kaget serta jengkelnya sang pendekar bukan kepalang. Dalam keadaan, dirinya seperti itu siapa orang yang mau berlaku kurang ajar berani mempermainkan, menimpuk kepalanya.

Wiro berusaha menoleh ke belakang tapi dia tak bisa melihat benda apa yang barusan dilemparkan ke kepalanya selagi dia menoleh ke kiri dan ke kanan, untuk kedua kalinya tiba-tiba ada lagi yang menimpuk. Benda yang ditimpukkan tepat mengenai keningnya lalu jatuh menggelinding di tanah. Wiro delikkan mata. Benda yang dipakai melempar kepalanya ternyata buah jambu yang masih muda.

“Keparat! Setan dari mana berani main-main menyambit kepalaku?!” Membentak Wiro sambil matanya memandang berkeliling. Terdengar suara orang tertawa cekikikan. Ada dua orang.

“Bangsat! Siapa kalian?!” Wiro kembali membentak.

“Plukk!”

Lemparan ke tiga, juga dengan buah jambu mendarat tepat dipuncak hidung. Kalau dua lemparan pertama dia tidak merasa sakit maka lemparan ke tiga ini membut hidungnya terasa pedas dan rasa sakit menjalar sampai ke pipi. Apa lagi buah jambunya lebih besar dan lebih keras.

Dalam marahnya Wiro tak dapat menahan diri. Hampir saja dia melepas Sepasang Pedang Dewa dari ke dua matanya, diarahkan ke sederetan pohon jambu hutan di depan sana di balik mana diduganya salah satu dari dua orang yang melempar bersembunyi.

“Bangsat-bangsat pengecut setan pohon jambu! Unjukkan diri kalian! Berani melempar tapi sembunyikan tampang!”

Kembali terdengar suara tawa cekikikan. Kali ini Wiro bisa mendengar jelas. Orangnya ada dua, satu di sebelah depan satu lagi di sebelah belakang.

“Keparat sialan! Kusumpahi kalian agar dicekik setan telaga!” Baru saja Wiro memaki sekonyong-konyong...

"Braakkk!"

Sebuah benda melayang dan balik pohon besar di depan sana. Ternyata sebuah ketiding hitam lebar berisi air, jatuh di tanah, hanya dua langkah di hadapan kepala Wiro. Ketiding seperti ini biasanya dipergunakan oleh pedagang ikan. Air yang muncrat dan dalam ketiding membasahi rambut dan muka Pendekar 212. Celakanya air ini kotor, berwarna kehitam-hitaman, berbau busuk sekali. Mungkiri air comberan.

Tawa cekikikan kembali terdengar di sebelah depan dan belakang. Wiro tidak dapat menahan diri lagi. Kesabarannya habis. Dua matanya segera di arahan ke pohon jambu besar sebelah tengah di depan sana. Ilmu Sepasang Pedang Dewa siap dihantamkan.

Tapi tiba-tiba sesuatu membuat murid Sinto Gendeng ini jadi mengkeret, mendelik kaget. Dan dalam bakul berair busuk, keluar mahluk panianig hitam berkilat. Mengeliat-geliat lalu meluncur turun ke tanah. Bukan cuma satu dua tapi puluhan banyaknya!

“Gila! Belut penghisap darah!” Pendekar 212 keluarkan seruan tertahan. Dia tercekat setengah mati. Apa lagi ketika dilihatnya belut-belut hitam itu meluncur ke arahnya. Tak ada hal lain yang bisa dilakukan Wiro. Kali ini dia memang harus mengeluarkan llmu Sepasang Pedang Dewa. Siapa mau darahnya disedot habis oleh puluhan belut yang tubuhnya tipis-tipis pertanda binatang-binatang itu sedang haus darah! Tapi terlambat...

”Deeppp!”

Belut pertama tancapkan mulutnya ke leher kiri Wiro. Sang pendekar menjerit setinggi langit. Rasa takut ngeri, sakit dan jijik jadi satu. Terlebih lagi ketika dia merasa darahnya mengalir tersedot Belasan belut hitam meluncur tambah dekat. Dua diantaranya segera tempelkan mulut di sasaran. Satu di bawah tulang belikat, satu lagi pipi kanan.

Wiro kembali menjerit. Tubuhnya seperti mau meledak di dalam lobang tapi dia tak mampu berbuat apa selain menggoyangkan kepala dan leher, berusaha menjatuhkan tiga belut yang menghisap darahnya. Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba Pendekar 212 ingat sesuatu. Puluhan belut siap menyedot habis darah yang ada di dalam tubuhnya. Belut! Belut! Dimana-mana di hadapannya saat itu yang kelihatan hanya belut hitam!

“Gusti Allah!” Wiro berucap setengah berseru. “Aku memiliki limu Belut Menyusup Tanah. Mengapa tidak aku pergunakan untuk selamatkan diri keluar dari dalam lobang? Bodohnya aku ini!”

Tidak tunggu lebih lama murid Sinto Gendeng segera merapal ajian ilmu kesaktian Betut Menyusup Tanah. Dalam lobang itu dia memang tidak bisa mengerahkan tenaga dalam tetapi aji kesaktian yang dirapalnya membuat tubuhnya agak menciut dan permukaan kulitnya seolah berubah licin. Dia mempunyai ruang untuk bergerak kini.

Sementara itu dua belut lagi telah menggigit lehernya. Didahului teriakan menggelegar murid Sinto Gendeng dorongkan dua tangan ke depan. Tidak kepalang tanggung. Dia hantamkan pukulan sakti yang didapatkan dan Datuk Rao Basaluang Ameh dan dipelajarinya dari Kitab Putih Wasiat Dewa dengan tangan kiri kanan sekaligus yakni pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang

Terjadilah hal yang hebat. Tanah di depan Wiro bergetar menggemuruh lalu terbongkar, berhamburan ke udara. Bersamaan dengan lepasnya dia dari jepitan lobang, tenaga luar dan dalam yang dimilikinya kembali bekerja. Hawa sakti mengalir di seantero tubuhnya. Wiro melesat sampai dua tombak. Sambil melayang di udara dua tangannya bergerak menyambar dan membetot lima belut hitam yang melekat di leher dan wajahnya lalu diremas hingga hancur.

Ketika melayang turun dan jejakkan kaki di tanah, Wiro terperangah sendiri, melihat akibatpukulannya. Satu lobang luas hampir menyerupai kolam sedalam satu tombak menganga di hadapannya. Tiba-tiba ada suara menderu keras dari samping kiri. Wiro palingkan kepala. Ternyata air dan telaga di sebelah sana mengalir deras mencurah memasuki lobang besar. Tak lama kemudian kolam itu menjadi satu dengan telaga, membentuk satu telaga baru yang hampir satu setengah kali lebih besar dari aslinya.

Wiro tidak berdiri berlama-lama. Sesaat dia usap leher dan mukanya yang bekas ditancapi lima belut penghisap darah. Lalu begitu dia ingat akan ketiding berisi belut yang dilemparkan dari balik pohon jambu besar, tanpa tunggu lebih lama dia segera melompat ke balik pohon. Tapi dia tidak menemukan siapa-siapa di tempat itu.

Sebaliknya dia mendengar suara orang tertawa dan belakang hancuran lampingan batu. Wiro melesat ke arah lamping batu sambil mendahului gerakannya dengan pukulan Kunyuk Melempar Buah. Tak ampun lagi lamping batu yang memang sudah hancur itu kini tambah porak poranda. Seluruh dinding batu terbongkar berhamburan. Yang kelihatan kini hanya tanah merah kecoklatan.

“Hai! Kami di sini!”

Tiba-tiba ada suara berseru di sebelah belakang, dan balik serumpunan semak belukar. Dalam amarah yang meledak karena dipermainkan dan dicelakai orang, tidak pikir panjang murid Sinto Gendeng balikkan badan, langsung gerakkan tangan kanan untuk melepaskan Pukulan Sinar Matahari, pukulan sakti yang selama ini paling ditakuti golongan hitam rimba persilatan. Tetapi ketika pukulan maut itu hampir melesat dan tangan kanannya yang telah berubah menjadi putih perak menyilaukan, mendadak Wiro keluarkan suara memaki dan batalkan serangan.

“Jahanam kurang ajar! Kalian rupanya!” Di depan sana terdengar suara dua orang tertawa gelak-gelak.

“Bercanda jangan keterlaluan! Kalau kuturuti kemarahan hatiku, sudah kulebur leleh kalian berdua dengan Pukulan Sinar Matahari.”

Di depan sana sambil tertawa-tawa berdiri seorang anak berambut jabrik berpakaian serba hitam yang bukan lain adalah si bocah konyol Naga Kuning. Disampingnya tegak nenek bermuka seram, juga berpakaian serba hitam, rambut kelabu awut-awutan yang dikenal dengan julukan Gondoruwo Patah Hati, kekasih Naga Kuning di masa muda.

“Saudaraku Wiro, jangan kau salah menduga. Aku dan juga Ning Intan Lestari tidak bercanda. Kami…”

Ning Intan Lestari adalah nama sebenarnya nenek seram Gondoruwo Patah Hati. Wiro melangkah besar-besar ke hadapan Naga Kuning. Dipilihnya telinga kiri anak ini hingga dua kaki Naga Kuning berjingkat-jingkat, mulut meringis kesakitan.

“Apa katamu? Tidak bercanda? Kau dengan si nenek kekasihmu itu melempar aku dengan jambu. Itu masih bisa kumaafkan. Tapi kalian juga melemparkan puluhan belut padaku. Lihat!” Wiro menunjuk ke leher dan mukanya. “Lima belut celaka itu mematuk dan menyedot darahku! Itu bukan lagi bercanda tapi punya niat membunuhku! Padahal aku dalam keadaan tak berdaya. Seharusnya kalian menolongku!”

“Justru itulah yang kami lakukan! Menolongmu!” Untuk pertama kalinya Gondoruwo Patah Hati keluarkan ucapan.

“Menolongku?” Pendekar 212 delikkan mata lalu keluarkan suara mendengus. “Mulai saat ini aku tidak mau melihat tampang kalian lagi!”

“Tidak mau melihat tampang kami tak jadi apa,” jawab Naga Kuning sambil senyum cengengesan. “Tapi lihat pantat kami masih mau kan?” Naga Kuning lantas tertawa gelak-gelak. Gondoruwo Patah Hati tekap mulutnya menahan cekikikan. Wiro cemberut kesal.

“Wiro, turunkan amarahmu, buang jauh-jauh dugaan yang bukan-bukan. Maksud kami melemparkan ketiding berisi air comberan dan belut Itu adalah agar kau mampu selamatkan diri keluar dan dalam lobang. Dengan ilmu kepandaian yang kau miliki sendiri...”

“Nenek peot…” ujar Wiro.

“Jangan menghina dirinya!” Naga Kuning menukas. “Kalau kau melihat wajah aslinya kau akan…”

“Akan apa?!” sentak Wiro. “Akan mules perutku, atau ingin kencing atau cuma ingin kentut?!”

Naga Kuning monyongkan mulutnya lalu gelengkan kepala. “Kami sengaja melemparkan satu ketiding belut kehadapanmu, agar kau ingat bahwa kau memiliki ilmu kesaktian bernama Belut Menyusup Tanah. Hanya ilmu itulah satu-satunya yang mampu membebaskan dirimu dari jepitan lobang. Kenyataannya bukankah itu yang terjadi? Kau ingat kau punya ilmu itu. Lalu merapal ajiannya. Dan kau berhasil selamatkan diri, keluar dari dalam lobang. Malah membuat telaga jadi tambah besar! Apa tidak hebat? Ha ha ha!”

“Eh…” Wiro menatap Naga Kuning sambil garuk-garuk kepala, berpaling pada Gondoruwo Patah Hati lalu menoleh kembali pada si bocah. Senyum terkulum di mulut sang pendekar.

“Sekarang aku mengerti…” katanya. Senyumnya berubah jadi tawa bergelak. Tiba-tiba Wiro hentikan tawanya. “Tunggu, kelau memang kalian benaran ingin menolongku, mengapa tidak langsung saja mendatangiku. Lalu mengingatkan ilmu yang kumiliki itu dengan ucapan, bukan dengan puluhan belut keparat! Berarti kalian memang juga punya niat jahil! Lihat, di wajah dan leherku pasti ada lima luka bekas gigitan belut celaka yang kalian lemparkan itu!”

“Wiro...” kata Gondoruwo Patah Hati sambil pegang bahu Pendekar212. “Cara memberi tahu seseorang tidak selamanya dengan ucapan. Kadang-kadang perbuatan lebih dari seribu kata…”

“Seribu kata apa seribu belut!” tukas Wiro. “Kalau dirimu yang digigit belut baru tahu rasa! Tapi, belut mana yang mau menggigit tubuh peot sepertimu. Mau disedot darahnya juga kurasa sudah tinggal ampas!”

Gondoruwo Patah Hati tersenyum sebaliknya Naga Kuning acungkan tinjunya. “Pendekar 212, dengar dulu…” si nenek berucap.

“Nek, aku tak mau berdebat denganmu. Sudah barang tentu kau membeta si jabrik ini. Karena dia kekasihmu!” kata Wiro dengan unjukkan wajah tetap jengkel.

“Wiro, walau bagaimana pun Naga Kuning itu usianya jauh Iebih tua darimu. Dia pantas menjadi kakekmu, aku pantas kau sebut nenek…”

“Siapa sudi!” jawab Pendekar 212.

“Dengar dulu,” kata Gondoruwo Patah Hati dengan suara tetap sabar. “Selain menolongmu, kami yang tua-tua ini juga ingin memberi pelajaran…”

“Pelajaran? Pelajaran apa?! Pelajaran konyol keblinger!” semprot murid Sinto Gendeng.

“Pelajaran bahwa ketika dicekam bahaya seorang yang namanya pendekar itu tidak boleh kehilangan akal sehatnya, apalagi kalau sampat terjebak dalam kemarahan. Aku percaya, kalau kau tetap tenang menghadapi kesulitanmu tadi, mendayakan setiap akal yang bisa kau lakukan, tanpa kami melemparkan seketiding belut kau pasti mampu mengingat bahwa kau memiliki ilmu Belut Menyusup Tanah. Apa gunanya belasan tahun digembleng Sinto Gendeng di puncak Gunung Gede kalau kau sampai melupakan ilmu yang sudah diwarisi. Hanya karena jalan pikiran tertutup rasa galau dan hawa amarah…”

“Soalnya, aku… aku jarang mempergunakan Ilmu itu,” Wiro garuk-garuk kepala. Dia ingat tempo hati waktu terdesak hebat dan hampir celaka di tangan para pengeroyok orang-orang Kotaraja, seseorang juga memberitahu agar dia mempergunakan ilmu itu untuk selamatkan diri. Ketika dia mengikuti ucapan orang ternyata dia memang bisa meloloskan diri.

“Sudahlah, aku tak mau berdebat dengan kalian yang mengaku kakek dan nenek. Aku mengucapkan terima kasih Kek, terima kasih Nek.” Waktu menyebut kata Kek dan Nek Wiro memencongkan mulut dan hidungnya. “Aku tahu, kalian memang telah menolongku walau caranya gila kebangetan!” Habis berkata begitu Wiro lantas balikkan badan hendak tinggalkan tempat itu.

“Eh, kau mau ke mana?” tanya Naga Kuning.

“Mengejar Iblis Kepala Batu. Bangsat itu bukan saja telah menyekap Bunga dalam guci tembaga dan menculik Sutri Kaliangan Puteri Patih Kerajaan. Tapi dia juga yang telah menjebak dan hampir menguburku hidup-hidup di liang batu. Lalu dia pula yang barusan menjebloskan aku dalam lobang keparat itu!”

“Iblis Kepala Batu bukan saja punya ilmu kesaktian tinggi. Tapi juga licik akal busuk hati. Kabarnya dia juga punya ilmu kebal. Tidak gampang menciderainya. Walau bisa dilukai tapi tak bisa dibuat mati!” Memberi tahu Naga Kuning.

“Dari mana kau tahu hal itu?” tanya Wiro.

Naga Kuning menunjuk dengan ibu jarinya pada Gondoruwo Patah Hati. “Dia yang memberitahu…”

“Apa benar iblis itu tidak bisa dibuat mati?” tanya Wiro.

Si nenek menghela nafas dalam baru menjawab. “Setiap yang hidup pasti bisa mengalami kematian. Setiap ilmu kesaktian pasti ada kelemahannya. Atau ada pamungkas untuk menumpasnya. Jika kita tahu kelemahan manusia jahat itu, tidak akan sulit membereskannya…”

“Lalu apakah kau tahu di mana letak kelemahan Iblis Kepala Batu?” tanya Wiro.

Gondoruwo Patah Hati gelengkan kepala. “Itu satu hal yang harus kita selidiki.”

“Kawan-kawan, aku harus pergi…” Wiro tak mau berlama-lama. Dia harus segera mengejar Iblis Kepala Batu.

Si nenek angkat tangannya. “Tunggu. Katamu kau akan mengejar Iblis Kepala Batu. Kawasan ini cukup luas, liar dan buas. Apakah kau tahu ke mana kaburnya Iblis Kepala Batu?”

Wiro tak menjawab. “Iblis Kepala Batu punya banyak tempat kediaman atau sarang rahasia. Salah satu diantaranya terletak di kawasan ini, dalam satu rimba belantara. Aku tahu tempatnya. Kurasa pasti dia membawa gadis culikannya ke tempat itu. Iblis Kepala Batu suka tinggal di rumah panggung yang biasanya terletak di tempat ketinggian seperti sarangnya yang kau hancurkan di dekat air terjun Jurangmungkung.”

“Kalau begitu…” Wiro garuk-garuk kepala. “Ah, sudahlah. Kalian belum berapa lama bertemu setelah saling berpisah puluhan tahun. Kalian pasti masih sama-sama sangat kangen. Aku tidak mau mengganggu kebahagiaan kalian…”

“Wiro, apa maksudmu?” tanya Naga Kuning.

“Aku tahu,” Gondoruwo Patah Hati yang menyahuti. “Wiro ingin meminta bantuanku menunjukkan sarang Iblis Kepala Batu. Tapi merasa segan karena alasan yang disebutkannya tadi. Bukan begitu?”

Wiro hanya menyeringai. Si nenek tersenyum. Dia memandang pada Naga Kuning seolah minta pertimbangan. Dipandang begitu rupa oleh si nenek dan Wiro, bocah konyol ini berkata,

“Wiro, seperti katamu, puluhan tahun kami berdua tidak pernah bertemu. Rasa kangen belum pulih. Keinginan untuk berdua-dua belum terpuaskan. Namun kami tahu. Urusan yang kau hadapi adalah urusan nyawa dan kehormatan manusia. Apalagi puteri Patih Kerajaan ikut menjadi korban. Tak ada pertimbangan lain. Kita harus segera mengejar mahluk keparat itu. Tapi sebelum pergi aku perlu tanya dulu padamu.”

“Kau mau bertanya apa?” tanya Pendekar 212.

Naga Kuning berpaling pada Wiro. “Saat ini, apakah kau masih tidak suka melihat tampang kami? Hanya mau melihat pantat kami?”

“Bocah geblek!” hardik Wiro. Dia memberi isyarat pada si nenek agar segera meninggalkan tempat itu. Ketiga orang tersebut segera berkelebat dengan Si nenek berlari di sebelah depan, Naga Kuning dan Wiro mengikuti di belakang.

BAB 4
Dengan Gondoruwo Patah Hati bertindak sebagai penunjuk jalan Wiro dan Naga Kuning berhasil menemui sarang kediaman Iblis Kepala Batu Alis Empat yang terletak di satu rumah panggung kayu dalam sebuah rimba belantara kecil. Wiro dan kawan-kawannya datang pada waktu yang tepat ketika Iblis Kepala Batu tengah melakukan perbuatan keji terhadap Sutri Kaliangan. Mereka bahkan menghancurkan sarang mahluk jahanam Itu.

Namun sayangnya Iblis Kepala Batu masih dapat melarikan diri membawa Sutri Kaliangan dan juga guci tembaga di mana Bunga alias Suci disekap. Selagi ketiga orang itu berunding mau berbuat apa dan hendak mengejar Iblis Kepala Batu ke mana, tiba-tiba muncul seorang nenek aneh berpakaian coklat. Di atas kepalanya ada kepulan asap merah berbentuk kerucut terbalik. Dua bola mata menyerupai segitiga merah.

Wiro dan Naga Kuning segera kenali si nenek yang bukan lain adalah Luhniknik alias Hantu Penjunjung Roh, yang tersesat dan Negeri Latanahsilam sewaktu meledaknya Istana Kebahagiaan. Wiro diam dan tenang saja. Sebaliknya Naga Kuning langsung berseru,

“Hai Nek, kau ada di sini!”

Sepasang mata Hantu Penjunjung Roh menatap ke arah si bocah berambut jabrik, lalu mata itu dikedip-kedipkan. Bola matanya yang berbentuk segitiga merah bergerak keluar masuk. Naga Kuning tertawa lebar. Melihat sikap ke dua orang ini Si nenek berjuluk Gondoruwo Patah Hati jadi tidak enak kalau tidak mau dikatakan cemburu. Dipegangnya lengan Naga Kuning lalu berbisik ajukan pertanyaan.

“Gunung, kau kenal nenek aneh genit menjijikkan ini?”

“Dia sahabat kami sewaktu di Negeri Latanahsilam,” jawab Naga Kuning yang membuat Gondoruwo Patah Hati jadi tambah tidak enak dan berpikir yang bukan-bukan.

Si nenek kembali nyatakan kecemburuannya dengan pertanyaan. “Dua tahun kau tersesat di negeri gila itu, apa yang telah kau lakukan dengan nenek bermata aneh ini? Sikapnya genit tapi aku tahu hatinya busuk…”

“Aku tidak punya hubungan apa-apa. Tanyakan saja pada orangnya,” jawab Naga Kuning.

“Siapa sudi. Kau yang harus mengaku!” jawab Gondoruwo Patah Hati.

“Tidak ada yang harus kuakui!” sahut Naga Kuning mulai jengkel.

“Kalau kau tidak mengaku, jangan harap aku mau pergi ke mana-mana bersamamu…”

Naga Kuning hendak menjawab tapi saat itu Hantu Penjunjung Roh telah bicara Iebih dulu. Ditujukan pada Pendekar 212. “Wiro, kau telah menyalahi perjanjian!”

“Perjanjian? Perjanjian mana yang telah aku salahi, Nek?” tanya Wiro.

“Sewaktu dirimu tertimbun di lubang batu. Aku menolongmu dengan satu perjanjian. Satu syarat. Yaitu kau tidak boleh menurunkan tangan jahat terhadap Iblis Kepala Batu. Ternyata kau masih mengejarnya, menghancurkan rumahnya mungkin juga telah menciderainya.”

“Memangnya aku pernah berjanji begitu? Menyahutipun aku tidak. Karena sewaktu di dalam timbunan batu, aku tidak bisa keluarkan suara. Tidak bisa bicara.” Kata Wiro pula.

“Betul, tapi kau bisa mendengar suaraku! Bagiku itu sudah Iebih dari cukup. Dan aku telah menolongmu keluar dari timbunan batu dengan menunjukkan alat rahasia di ranjang batu…”

“Aku berterima kasih atas pertolonganmu itu. Tapi urusan dengan Iblis Kepala Batu tidak ada sangkut pautnya…”

“Mengapa tidak. Seperti yang aku pernah bilang, Iblis Kepala Batu adalah adik kandungku. Sejak dia keluar dan Negeri Latanahsilam, aku belum sempat bertatap muka dan bicara dengan dirinya. Saat ini aku terus mengejarnya tetapi selalu selangkah terlambat. Aku berjanji, jika berhasil menemuinya akan kubujuk dia agar melepaskan gadis culikan serta membebaskan gadis di dalam guci tembaga. Karena itu aku minta padamu agar kau tidak melakukan sesuatu atas dirinya. Apalagi sampai membunuhnya.

“Setahuku Iblis Kepala Batu memilikiilmu kebal, tak mempan pukulan dan senjata, tidak bisa dibikin mati. Kalau memang benar apa yang perlu kau takutkan? Malah kami-kami ini merasa kawatir akan keselamatan kawan kami pendekar muda ini. Atau mungkin aku punya dugaan. Saudaramu itu punya satu kelemahan. Sahabatku ini punya satu ilmu yang dapat mencelakainya.” Yang bicara adalahGondoruwo Patah Hati.

Hantu Pemasung Roh putar kepala memandang ke arah Gondoruwo Patah Hati Dua mata saling beradu pandang. Hantu dan Gondoruwo sama-sama saling bersorot mata.

“Kau siapa? Aku menduga wajahmu yang kulihat bukan wajah asli!”

Naga Kuning dan Wiro sama-sama terkejut mendengar ucapan Hantu Penjunjung Roh alias Luhniknik. Terlebih lagi Gondoruwo Patah Hati yang punya diri. Nenek satu ini sampai tersurut satu langkah dan wajah aslinya yang memang terlindung di balik satu topeng tipis jadi berubah.

“Heran, mengapa nenek jelek dan Negeri Latanahsilam ini bisa mengetahui rahasia wajah Intan? Membatin si bocah Naga Kuning yang sebenarnya adalah seorang kakek berusia lebih dan seratus tahun, bernama Gunung, berjuluk Kiai Paus Samudera Biru.

“Aku merasa tidak perlu menjawab pertanyaanmu. Mengenai wajahku itu bukan urusanmu!” Gondoruwo Patah Hati keluarkan ucapan unjukkan rasa tidak senangnya.

Dua bola mata segitiga merah Hantu Penjunjung Roh bergerak keluar masuk. Nenek ini keluarkan tawa perlahan. Dia berpaling pada Wiro lalu berkata. “Aku akan pergi sekarang, kalau kau mau menepati janji, rasanya banyak pihak yang akan selamat. Tapi kalau tidak, semua bisa celaka…”

Habis berkata begitu Hantu Penjunjung Roh mengerling ke arah Naga Kuning dan kedipkan matanya. Naga kuning walau diam tapi mengulum senyum menjawab sikap si nenek. Hal ini membuat Gondoruwo Patah Hati tambah jengkel karena cemburu. Maka dia segera keluarkan ucapan.

“Jangan kau berani mengancam! Kalau adikmu jahat, mungkin kau tidak seberapa beda. Kau cuma mahluk kesasar ke negeri kami. Harusnya kau segera menyadarkan adikmu sebelum kami menjatuhkan hukuman atas dirinya. Malah kau berani hendak berbuat macam-macam!”

Hantu Pemasung Roh hanya tertawa mendengar semprotan Gondoruwo Patah Hati. Dan ucapan dan sikap cemburu si nenek berpakaian serba hitam ini dia sudah bisa menduga kalau antara si nenek dengan Naga Kuning ada jalinan hubungan tertentu. Maka dia sengaja kembali berpaling pada Naga Kuning dan keluarkan ucapan.

“Sobat lamaku, ada beberapa hal semasa di Negeri Latanahsilam yang masih belum tuntas kita bicarakan. Kuharap saat ini kau mau ikut aku untuk membicarakan hal itu.”

Naga Kuning jadi melengak dan berubah wajahnya. “Eh, kurasa…”

“Sudahlah, ikut saja…” kata Hantu Penjunjung Roh sambil tarik lengan Naga Kuning.

Si bocah betot lepas tangannya. Hantu Penjunjung Roh tertawa cekikikan lalu tinggalkan tempat itu.

“Kenapa kau tidak ikut bersamanya?!” tiba-tiba Gondoruwo Patah Hati semburkan pertanyaan pada Naga Kuning.

“Perlu apa aku mengikuti nenek geblek itu?!” jawab Naga Kuning.

“Di sini di hadapanku kau berani menyebutnya nenek geblek. Tapi waktu di Negeri Latanahsilam, apa yang terjadi antara kau dengan dia? Tadi dia berkata ada hal-hal yang belum tuntas. Perlu dibicarakan…”

“Nenek itu ngacok! Otaknya pasti miring!” jawab Naga Kuning. “Kalau kau tidak percaya tanya saja pada Wiro. Memangnya aku pernah bikin apa dengan dia?”

Gondoruwo Patah Hati berpaling pada Wiro. Sang pendekar hanya bisa diam sambil garuk-garuk kepala.

“Temanmu tak bisa bicara, tak bisa menjawab. Berarti memang sudah teriadi apa-apa antara kau denan dia!”

“Bagaimana bisa bicara, bisa menjawab? Dia sendiri selama di Latanahsilarn banyak bermain dengan para gadis bahkan pada janda!” Satu suara menyahuti di balik semak belukar. Yang bicara ternyata Hantu Penjunjung Roh.

“Nenek setan! Mulutmu usil sekali!” teriak Wiro sambil angkat tangan hendak menghantam dengan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam besar.

Tapi si nenek keburu berkelebat lenyap sambil tertawa cekikikan.

“Nah, dugaanku ternyata tidak meleset!” kata Gondoruwo Patah Hati sambil delikkan mata pada Naga Kuning.

“Sumpah! Aku tidak pernah berbuat apa-apa!” kata Naga Kuning pula.

“Bersumpah saja sama setan telaga!” tukas si nenek lalu memutar tubuh hendak berkelebat pergi.

Naga Kuning cepat menghalangi sambil pegang lengan si nenek. Di balik pohon besar tak jauh dan situ Hantu Penjunjung Roh tertawa cekikikan memperhatikan dua orang yang bertengkar itu.

“Rasakan… rasakan…” katanya berulang kali lalu tinggalkan tempat itu. Karena pertengkaran antara si nenek dan Naga Kuning semakin menjadi-jadi, Wiro segera mendatangi mereka untuk melerai.

“Nek, tadi kau menasihati diriku. Sekarang giliranku. Mengapa ucapan nenek gila tadi kau masukkan dalam hati? Bukan mustahil dia sengaja mengadu domba dirimu dengan Naga Kuning. Pergunakan akal sehat, kerahkan segala daya dan pikiran. Jangan terjebak dalam kemarahan. Bukan begitu katamu tadi?”

“Nasihatmu boleh kau telan sendiri, anak muda. Aku sudah tidak percaya pada kalian berdua. Puluhan tahun aku menyiksa diri hanya untuk menunggu orang yang kukasihi. Ternyata orang itu hanya seorang manusia rongsokan berhati culas, mengobral cinta di mana-mana…”

“Intan, jangan kau menuduhku seperti itu. Aku…”

Gondoruwo Patah Hati sentakkan lengannya yang dipegang Naga Kuning lalu tinggalkan tempat itu. Si bocah segera mengejar tapi tangannya cepat dipegang Wiro.

“Sialan! Apa-apaan ini?” teriak Naga Kuning. “Lepaskan tanganku! Jangan ikut campur urusan“

"Tenang manusia rongsokan,” Wiro tirukan ucapan Gondoruwo Patah hati. “Percuma kau mengejar. Nenek itu sedang sewot setengah mati. Biarkan dulu sampai hatinya tenang dan jalan pikirannya jernih nanti juga sadar sendiri…”

“Kau juga manusia rongsokan. Mengapa tadi diam saja, tidak mau membantuku?! Awas! Nanti aku beritahu pada Anggini, Bidadari Angin Timur, Ratu Duyung siapa-siapa saja pacarmu di Latanahsilam!”

“Weeehhh?! Kenapa kau jadi punya otak kotor begitu?” tanya Wiro.

“Habis, kau tidak punya rasa setia teman. Tidak mau menolong teman sendiri!” jawab Naga Kuning gemas lalu tarik tangannya dan mengejar ke arah Ienyapnya Gondoruwo Patah Hati. Pendekar 212 Wiro Sableng hanya bisa berdiri melongo sambil garuk-garuk kepala.

********************
Di Tenggara Samigaluh terdapat satu hutan belantara kecil. Walau letaknya tidak jauh dan Kotaraja dan di dekat situ ada sebuah jalan tanah menuju Purworejo namun hampir tidak ada orang yang berani masuk ke dalam hutan tersebut. Jangankan masuk, berada di sekitar pinggiran hutan saja tidak ada yang mau. Konon di tempat itu bersarang satu komplotan rampok ganas yang telah berkali-kali dikejar untuk ditumpas oleh pasukan Kerajaan namun selalu berhasil lolos.

Memang dalam dua tiga kali penggerebekan beberapa anggota rampok dapat dibunuh namun pimpinannnya, seorang yang dipanggil sebutan Warok Jangkrik selalu dapat meloloskan diri. Bila keadaan telah aman, kembali dia malang melintang melakukan kejahatan dan menjadikan hutan Samigaluh sebagai sarangnya.

Pimpinan rampok itu dipanggil Warok Jangkrik ada sebabnya. Pertama kulit muka dan tampangnya berwarna hitam pekat seperti jangkrik keliongan. Kedua setiap sedang marah dia selalu keluarkan kata-kata makian 'Jangkrik'. Selain keberadaan komplotan rampok pimpinan Warok Jangkrik dihutan belantara Samigaluh juga terdapat binatang buas.

Kabarnya di situ berkeliaran tiga ekor harimau besar. Satu jantan, dua betina dengan beberapa ekor anaknya. Tidak heran kalau keadaan rimba Samigaluh dan sekitarnya selalu diselimuti kesunyian. Bahkan kicau unggaspun nyaris tidak pernah terdengar seolah burung-burung tak ada yang berani datang ke tempat itu.

Namun pagi itu suara kesunyian dipecahkan oleh gemeretak derak roda gerobak. Kendaraan yang sudah reyot ini dikemudikan oleh seorang lelaki berpakaian hitam berloreng putih, celana komprang hitam. Di bawah destar hitam yang ada di atas kepalanya kelihatan tampangnya yang seram, mata besar merah, kumis melintang, cambang bawuk meranggas kasar tak terpelihara.

Tiga orang berkuda bergerak mengelilingi gerobak itu. Dua di kiri kanan, yang ke tiga di sebeIah belakang. Baik pakaian maupun tampang ke tiga orang ini tidak beda dengan tampang lelaki yang bertindak sebagai sais gerobak. Malah yang berkuda di sebelah belakang selain tampak paling garang juga berdandanan aneh. Di lehernya melingkar sebuah kalung.

Mata kalung berbentuk benda empat persegi pipih warna hitam, mungkin ini sebangsa jimat. Lalu dua telinganya dicanteli anting-anting besar bulat warna kuning, terbuat dan emas. Anting-anting yang sama juga meñcantel di cuping hidungnya sebelah kiri yangtebal mekar. Inilah Warok Jangkrik, pimpinan rampok hutan Samigalih.

Seekor kuda tanpa penunggang, diikatkan ke gerobak mengikuti rombongan. Di atas gerobak ada dua orang penumpang. Yang pertama seorang kakek berambut putih, duduk menielepok di lantai gerobak. Wajahnya yang keriputan kelihatan pucat pasi pertanda orang tua ini tengah dilanda satu rasa takut yang amat sangat. Bibirnya bergetar tanda dia tidak henti-hentinya melafalkan sesuatu, memohon perlindungan dan keselamatan dan Yang Maha Kuasa.

Agaknya ada satu bahaya besar yang tengah mengancam dan menakutkan orang tua ini. Di samping si orang tua, di atas gerobak ada seorang anak lelaki berkulit kuning, berwajah cakap. Walau baru berusia sepuluh tahun tapi sosoknya kelihatan tinggi tegap melebihi anak-anak seusianya. Berlainan dengan si kakek, anak ini unjukkan wajah tenang. Mata menatap lurus ke depan, tangan kanan memegang pinggiran gerobak.

Walau gerobak itu berjalan kencang dan sesekali kejeblos masuk ke dalam lobang si bocah tetap saja tenang. Tubuhnya hanya bergoyang sedikit seperti dia memiliki ilmu meringankan tubuh. Berulang kali sikakek menyuruhnya duduk tapi si anak tetap saja berdiri. Sampai di pinggiran hutan Samigaluh lelaki yang berkuda di belakang gerobak angkat tangan dan berseru memerintahkan berhenti. Dua penunggang kuda segera hentikan kuda masing-masing Sais hentikan kuda penarik gerobak.

“Lemparkan dua kunyuk itu keluar gerobak!” Warok Jangkrik berikan perintah.

Dua anggota rampok segera mendatangi gerobak. Satu mencekal si orang tua, satu lagi mencekal Si bocah. Tapi si bocah cepat berkelit hingga dia tak sampai dicekal. Anak ini memegang tangan rampok yang mencekal si orang tua.

“Lepaskan! Jangan sakiti kakekku. Kalau dia harus turun biar saya yang menolong!”

“Bocah setan! Makan tamparanku!”hardik anggota rampok yang mencekal si kakek. Tangannya bergerak. Sesaat lagi tamparan keras itu akan mendarat di si bocah tiba-tiba Warok Jangkrik angkat tangan memberi isyarat.

“Turuti katanya. Biar bocah itu membantu kakeknya turun dan gerobak!” Kata Warok Jangkrik sambil matanya menatap si bocah dan tangan kiri mengusap-usap janggut kasar di dagunya. Ada sesuatu yang terpikir di benak pimpinan rampok ini saat itu.

Dua anak buah Warok Jangkrik, terutama yang barusan hendak menampar jadi heran. Tidak biasanya pimpinan mereka berlaku seperti itu. Warok Jangkrik yang ditakuti di delapan penjuru angin kawasan rimba belantara Samigaluh, hari itu tunduk pada ucapan seorang bocah ingusan!

“Warok…” anggota yang tadi hendak menampar, berjuluk Si Comot keluarkan ucapan. Julukan ini diberikan karena dalam merampok apapun yang kelihatan di matanya mesti dicopot (disikat). Selain itu dia juga suka mencomot (memegangi) tubuh orang-orang perempuan yang menjadi korbannya. Anggota rampok yang satu lagi dipanggil dengan sebutan Si Codet, karena di keningnya ada cacat besar dan panjang bekas hantaman senjàta tajam.

“Comot, ikuti saja kemauan anak itu,” Warok Jangkrik memotong ucapan anak buahnya. Comot tidakberani bicara lagi. Rampok yang mencekal si kakek lepaskan cekalannya. “Kek, mari kita turun. Ayo saya tolong….” Si bocah berkata seraya memegang dua bahu kakeknya. Perlahan-lahan si kakek bangkit berdiri dari lantai gérobak lalu dengan ditolong Si bocah dia turun dan kendaraan itu. Setelah kakek dan cucunya turun, Warok Jangkrik segera melompat turun dari kudanya. Dua anak buahnya, Si Comot dan Si Codet sudah lebih dulu berdiri di kiri kanan kakek dan cucunya. Setelah memandang. kedua orang itu beberapa ketika, Warok Jangkrik membuka mulut.

“Orang tua, kau punya nama Kalimanah, betul?”

Dengan wajah takut-takut Si kakek membungkuk, membenarkan ucapan kepala rampok itu.

“Ki Kalimanah,” Warok Jangkrik bicara agak sopan. Menyebut si kakek dengan panggilan Ki kependekan Aki yang berarti Pak atau Bapak. Kembali dua anak buah Warok Jangkrik terheran-heran melihat sikap pimpinan mereka. Warok Jangkrik meneruskan ucapannya.

“Setahuku kau bekerja di Keraton. Betul?”

Kembali si kakek mengiyakan sambil membungkuk. “Apa tugasmu di Keraton?”

“Saya, saya cuma seorang perawat kuda Sri Baginda.”

“Hemmm… Sudah berapa lama Ki Kalimanah bertugas sebagai perawat kuda Sri Baginda?”

“Sudah lama sekali. Sejak mulai dan almarhum Raja Tua, ayahanda Raja yang sekarang. Sekira lima puluh tahunan…” jawab Ki Kalimanah. Karena orang mengajaknya bicara secara baik-baik, rasa takutnya agak surut. Wajahnya yang tadi pucat kini mulai berdarah.

Warok Jangkrik tertawa lebar. Dia memandang pada dua anak buahnya. “Ketika Ki Kalimanah mulai bertugas jadi perawat kuda Keraton, kalian berdua masih belum lahir. Aku sendiri baru jadi bayi berumur satu tahun! Ha ha ha! Orang tua, sungguh luar biasa pengabdianmu pada Kerajaan…”

“Saya cuma orang kecil Den,” jawab Si orang tua, memanggil si kepala rampok dengan sebutan Raden.

Dipanggil raden Warok Jangkrik jadi senyum-senyum. “Bocah ini, apamu Ki Kalimanah?” tanya Warok Jangkrik.

“Dia cucuku satu-satunya.”

“Bocah, siapa namamu? Berapa usiamu?”

Ditanya orang, dengan sikap tegak Si bocah menjawab. “Nama saya Boma Wanareja Usia sepuluh tahun.”

Warok Jangkrik tersenyum dan angguk-anggukkan kepalanya. “Bocah berani,” katanya dalam hati. Sejak tadi dia memang sudah merasa kagum akan sikap dan gerak-gerik anak ini. “Ki Kalimanah dan kau bocah bernama Boma Wanareja. Kalian tahu hutan apa yang ada di belakang kalian?” tiba-tiba Warok Jangkrik bertanya sambil melangkah mengelilingi ke dua orang itu.

Kalimanah memang sudah tahu kalau saat itu mereka berada di mana. Sebaliknya Boma Wanareja sama sekali tidak tahu apa-apa. Karena itu kalau kakeknya kelihatan mengkerut kecut, si anak malah celingak celinguk melihat-lihat ke dalam hutan.

“Ki Kalimanah, kalau kau tahu harap menjawab!” Suara Warok Jangkrik berubah keras.

Agak gemetar dan terbungkuk-bungkuk si kakek menjawab. “Kalau… kalau saya tidak salah menduga, ini adalah hutan Sarnigaluh…”

Mata Warok Jangkrik membesar. Lalu kepala rampok ini tertawa bergelak. “Bagus, kau sudah tahu berada di mana. Tidak percuma lima puluh tahun jadi perawat kuda Istana kalau tidak tahu apa nama hutan ini!”

Lain halnya dengan Si bocah. Selama ini Boma Wanareja hanya mendengar cerita berbagai cerita seram tentang hutan itu. Benar tidaknya dia tidak pernah tahu. Biasanya anak ini punya sikap yang tidak akan percaya akan sesuatu sebelum menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Itu sebabnya saat itu dalam dirinya tidak ada rasa takut dan dia berdiri acuh-acuh saja.

“Ki Kalimanah, beberapa waktu lalu tersiar kabar bahwa Sri Baginda ketika selesai berkuda telah ketinggalan sebuah benda di kantong perbekalan yang tergantung di leher kuda. Sewaktu kantong itu kau ambil dengan maksud mau diserahkan pada Sri Baginda, tak sengaja kantong terjatuh. Sebagian isinya keluar dan jatuh di Iantai kandang. Salah satu dan benda yang jatuh itu adalah satu lipatan kulit kambing. Kau membukanya. Kau masih ingat kejadian itu Ki Kalimanah…?”

Wajah si orang tua yang baru saja mulai berseri dan rasa takutnya yang perlahan sirna, mendadak sontak kambuh kembali. Ki Kalimanah kelihatan pucat. Degup jantungnya berdetak keras. Tubuh gemetar. Apa yang ditanyakan kepala rampok di hadapannya itu merupakan satu rahasia besar menyangkut Kerajaan.

“Ki Kalimanah, jawab pertanyaanku! Kau masih ingat?”

Si orang tua tak segera menjawab.Dia melirik sebentar pada cucunya. Lirikan ini mempunyai arti bagi Warok Jangkrik.

“Ki Kalimanah, aku sudah tidak sabar menunggu jawabanmu. Jangan bikin aku marah!”

“Saya… saya memang ingat, Den,” Ki Kalimanah akhirnya bicara.

“Bagus, apa yang kau lihat Ki Kalimanah?”

Tubuh si orang tua makiri bergetar. Wajahnya tambah pucat. Bibirnya bergetar.

“Apa yang kau lihat Ki Kalimanah?” bentak si kepata rampok.

“Kek!” tiba-tiba Boma Wanareja berseru. “Jangan kau menjawab! Jangan ceritakan apa yang kau lihat!”

“Jangkrik!” Warok Jangkrik berteriak marah. Beginilah kalau dia sedang marah. Selalu menyemprotkan kata-kata 'jangkrik' yang membuat dia dijuluki Warok Jangkrik. Saat itu sang warok bukan cuma berteriak marah tapi juga melangkah ke hadapan si bocah lalu menjambak rambut Boma Wanareja.

Karena anak ini berambut panjang maka jambakan yang keras oleh tangan yang besar kukuh pasti sakit sekali. Tapi Boma cuma pencongkan hidung, bukan meringis malah kelihatan seperti mengejek!

“Bocah jangkrik! Aku bicara pada kakekmu! Sekali lagi kau berani membuka mulut kupecahkan kepalamu!”

Warok Jangkrik lalu bantingkan tubuh anak itu hingga Boma terhenyak ke tanah. Si bocah menggeliat menahan sakit. Kepalanya digeleng-geleng, mungkin untuk menghilangkan rasa sakit dan pusing. Warok Jangkrik dekati si kakek lalu kembali ulangi pertanyaannya tadi.

“Apa yang kau lihat Ki Kalimanah? Apa yang kau lihat dalam lipatan kulit kambing itu…”

“Saya… saya…”

“Kek!” seru Boma.

“Ki Kalimanah!” bentak Warok Jangkrik.

“Saya… saya melihat gambar…”

“Hanya gambar?”

“A… ada tulisan…”

“Jelaskan gambar apa, tulisan apa?!” bentak Warok Jangkrik.

“Sa… saya tidak tahu, Den…”

“Jangkrik kurang ajar! Jelas tadi kau bilang kau melihat gambar dan tulisan. Sekarang ditanya bilang tidak tahu!”

“Plaakkk!”

Warok Jangkrik tayangkan satu tamparan ke muka Kalimanah hingga kakek ini menjerit kesakitan. Tubuhnya melintir lalu jatuh ke tanah dengan bibir pecah brerdarah.

“Manusia jahat! Kau apakan kakekku!” teriak Boma Wanareja. Tidak menunggu lebih larna bocah usia seputuh tahun ini melompat meneriang ke arah Warok Jangkrik. Tangan kanannya menderu ke kepala pimpinan rampok hutan Sarnigaluh ini.

BAB 5
Jangankan bocah sepuluh tahun seperti Boma Wanareja, cucu Ki Kalimanah, seorang berkepandaian silat tinggi sekalipun tidak bakal mudah menyerang dan menjatuhkan pukulan, apa lagi ke arah kepala Warok Jangkrik. Melihat Si bocah menyerangnya marahlah pimpinan rampok hutan Sarnigaluh ini.

“Bocah jangkrik edan!” maki Warok Jangkrik. Sekali tangan kirinya bergerak dia berhasil menangkap lengan kanan Boma Wanareja. Tetapi satu hal tak terduga teriadi. Kepala rampok itu memang berhasil menangkap tangan yang memukul, namun begitu tangannya kena dicekal Boma Wanareja hantamkan tangan kirinya ke muka Warok Jangkrik.

“Bukkk!”

Jotosan Boma tidak keras dibanding pukulan orang dewasa. Tapi karena yang kena dihajar adalah bagian hidung Warok Jangkrik yang besar lunak, maka rasa sakit cukup menyengat. Malahbagian daging cuping hidung yang diganduli anting-anting bundar terbuat dan emas kelihatan luka serta kucurkan darah.

“Juuaaangkrikkkk!” teriak Warok Jangkrik menggeledek, menahan sakit dan marah. Sekali tanganhya bergerak, jotosannya mendarat di dada Boma.

Anak lelaki usia sepuluh tahun ini mencelat sampal tiga tombak, terbanting jatuh di tanah. Itupun masih terguling-guling sampai beberapa langkah. Sambil pegangi dada dan mengerang menahan sakit Boma Wanareja terhuyung-huyung bangkit berdiri. Dia merasa ada sesuatu yang hangat dan agak asin di bibirnya.

Ketika diusap dengan belakang telapak tangan ternyata darah. Anak ini jadi merinding. Seumur hidup baru sekali itu dia melihat darahnya sendiri. Boma coba berdiri, maju tiga langkah ke arah Warok Jangkrik. Megap-megap dia berkata,

“Manusia jahat! Beraninya hanya pada orang-orang lemah seperti kami! Kau boleh bunuh diriku! Tapi jangan sakiti kakekku!”

“Bocah edan! Warok, biar kuhabisi anak keparat ini!” teriak Si Codet. Dia bergegas handak menghantam batok kepala Boma Wanareja dengan tangan kanannya. Ini bukan pukulan biasa Sekali mengenai sasaran, batok kepala anak itu pasti rengkah!

“Codet! Biarkan dia!” Warok Jangkrik berkata sambil usap hidungnya yang berdarah. Kepala rampok ini lalu dekati si kakek. “Ki Kalimanah!” bentak sang Warok. “Gambar dan tulisan apa yang kau lihat di lipatan kulit kambing itu? Jawab! Jangan berani dusta!”

“Sa… saya tidak tahu Den. Benar-benar tidak tahu. Saya ini buta huruf. Tidak bisa membaca, ora iso nulis…”

“Jangkrik!” Warok Jangkrik hentakkan kaki kiriya ke tanah hingga tanah amblas seperempat jengkal. Dia melangkah mundar-mandir beberapa lamanya lalu berhenti di hadapan Kalimanah…”

“Menurut cerita, setelah melihat lipatan kulit kambing, sebelum kau serahkan pada Sri Baginda, benda itu kau berikan dan kau perlihatkan lebih dulu pada cucumu itu, yang biasa menolongmu di tempat perawatan kuda Istana. Benar?”

“Benar, Den… Tapi dia juga tidak tahu apaapa…” jawab Ki Kalimanah.

“Akan aku lihat!” kata sang Warok pula. Lalu dia melangkah mendekati Boma Wanareja. Langsung menjambak rambut si anak. “Lekas bilang, gambar apa dan tulisan apa yang tertera di kulit kambing itu?!”

Boma gelengkan kepala. “Saya tidak tahu…”

“Plaakkk!” Satu tamparan menghajar mukanya membuat Boma melihat segala sesuatu di sekelilingnya termasuk si kepala rampok seperti berputar. Kalau sebelumnya jotosan Warok Jangkrik telah menimbulkan luka dalam yang mengucurkan darah dan mulutnya, maka kini tamparan menambah banyaknya darah yang mengucur karena salah satu sudut bibirnya tampak pecah. Boma megap-megapmenahan sakit sampai air mata membersit dan ke dua matanya.

“Katakan apa yang kau lihat! Gambar apa?! Tulisan apa?!” Warok Jangkrik membentak.

Boma geleng-gelengkan kepala. Malah seenaknya dia meludah ke tanah. Entah disengaja entah tidak yang jelas sebagian semburan Iudah itu membasahi celana hitam dan kaki Warok Jangkrik.

“Benar-benar bocah jangkrik kurang ajar! Biar kubunuh kau sekarang juga!”

“Aku tidak takut mati! Bunuh saja!” sahut Boma dengan beraninya. Lalu dia berpaling pada Ki Kalimanah yang masih terkapar di tanah. “Kek! Lari kek! Selamatkan dirimu!”

Tapi Ki Kalimanah tidak beranjak dari tempatnya. Malah kakek ini membalas ucapan cucunya dengan berkata pada Warok Jangkrik. “Warok, anak itu tidak punya salah tidak punya dosa! Jika kau ingin membunuh, bunuh saja aku yang sudah tua dan tak ada guna hidup Iebih lama. Tapi aku mohon bebaskan cucuku. Aku berjanji tidak akan mendendam sampai ke liang kubur sekalipun!”

Warok Jangkrik mendengus. “Bangkai tua sepertimu tidak dibunuhpun akan mati sendiri!”

Sang Warok kemudian dekati Boma. Dia letakkan kaki kirinya di atas dada anak ini. Sekali dorong saja Boma jatuh tertelentang. Belum sempat Boma bergerak, kakikanan Warok Jangkrik sudah menginjak dadanya. “Bocah sialan! Sekali aku menggerakkan kakiku dadamu akan ambrol! Tulang dadamu akan amblas, jantungmu hancur! Kau akan mampus. Tahu?!”

Boma Wanareja bukannya takut malah dia menyeringai. “Teruskan niat jahatmu! Aku bersumpah jika mati akan jadi setan dan mengejarmu sampai ke neraka sekalipun!”

“Bocah sombong!” maki Si Codet. “Biar kucabut lidahnya agar tahu rasa!” ucap Si Comot.

Warok Jangkrik tertawa bekakakan mendengar ucapan Boma Wanareja. Diam-diam dalam hatinya rasa yang tadi sudah mampir di pikiran serta hatinya, kembali membayang. “Bocah jangkrik! Kau boleh saja tidak takut mati! Tapi apa kau tidak kasihan pada kakekmu ini? Aku akan menyuruh dua anak buahku menyiksanya sampai tubuhnya jadi lumat. Dagingnya kemudian akan kujejalkan ke dalam mulutmu!”

Bagaimanapun hebatnya keberanian Boma, bagaimanapun tabahnya hati anak ini namun mendengar maksud Warok Jangkrik hendak menyiksa dan membunuh kakek yang sangat disayanginya itu, bergetar juga nyali dan hatinya. Tapi karena satu keyakinan sudah sejak lama tertanam dalam dirinya yakni tidak percaya begitu saja akan sesuatu sebelum melihat dengan mata kepala sendiri maka anak ini menjawab ucapan Warok Jangkrik.

“Terserah padamu. Kau mau menyiksa dan membunuh kakekku, aku tidak perduli. Tapi sampai kiamat dariku kau tidak bakal mendapat keterangan apa-apa!”

“Bocah gendeng!” maki Si Codet seraya dorong bagian belakang kepala Boma dengan tangan kanannya kuat-kuat hingga anak ini tersungkur ke depan.

“Bocah jangkrik! Kau bilang begitu hah? Bagus! Aku mau lihat sampai di mana nyalimu!” Warok Jangkrik berkata. Tiba-tiba...

"Srettt!" Sang Warok hunus golok besar yang selalu disiapkan secara aneh, yakni di bagian belakang pinggangnya. Senjata ini dilemparkannya pada Si Codet. “Tabas leher tua bangka tak berguna itu!” perintah sang Warok.

Anggota rampok yang bernama Si Codet sambuti golok yang melayang di udara. Lalu sekali lompat saja dia sudah berada di hadapan Kalimanah. Tak banyak bicara Si Codet lantas saja babatkan golok besar berkilat ke arah batang leher Ki Kalimanah.

“Tunggu! Jangan bunuh kakekku! Saya mau bicarar" Tiba-tiba Boma Wanareja berteriak.

“Tahan golok!” berseru Warok Jangkrik.

Walau kesal Si Codet terpaksa tahan tabasan golok di tangan kanannya. Tubuhnya sampal terhuyung saking derasnya sabatan yang harus ditahannya.

“Bocah jangkrik. Apa yang hendak kau katakan!” Warok Jangkrik melangkah ke hadapan Boma Wanareja.

“Saya akan katakan gambar dan tulisan apa yang ada pada kulit kambing itu. Tapi saya hanya mau memberi tahu dengan satu syarat!”

“Bocah sinting!” maki Si Comot.

“Katakan apa syaratmu?!” Warok Jangkrik bertanya.

“Bebaskan kakek Kalimanah. Setelah itu baru saya akan memberi tahu.” Jawab Boma.

“Baik. Saat ini juga kakekmu kunyatakan bebas. Dia tidak akan kami apa-apakan!” kata Warok Jarigkrik püIa.

Boma tersenyum dan geleng-gelengkan kepala.

“Jangkrik! Mengapa kau menggeleng-geleng?!” bentak pimpinan rampok.

“Caranya tidak seperti katamu. Siapa percaya ucapanmu!”

“Anak sial! Berani kau menghina pimpinan kami!” Si Comot angkat kaki kanannya. Hendak ditendangkan ke rusuk Boma.

“Comot! Tahan dulu! Aku mau tahu apa maunya bocah jangkrik sialan ini ! Ayo katakan apa maumu!”

“Naikkan kakek Kalimanah ke atas kuda yang tertambat di gerobak itu"

“Bocah sial! Enak saja kau bicara! Itu kudaku!” kata sais gerobak yang juga adalah anak buah Warok Jangkrik. Dia biasa dipanggil dengan sebutan Si Galah Ceking karena tubuhnya kurus tapi jangkung.

“Aku akan turuti permintaanmu. Masih ada kemauanmu yang lain?!” tanya Warok Jangkrik pada Boma Wanareja.

“Warok…” Si Galah Cekirig hendak menyatakan keberatannya. Tapi dibawah pelototan mata Warok Jangkrik, sang anak buab akhirnya hanya bisa bungkam walau hatinya mendumal panjang pendek.

“Naikkan kakek Kalimanah ke atas kuda sekarang juga. Biarkan dia pergi dari sini…”

“Codet! Naikkan tua bangka itu ke atas kuda!” perintah Warok Jangkrik.

Si Codet yang diam-diam juga semakin kesal melihat perbuatan pimpinannya yang mau saja tunduk dan ikuti perintah bocah ingusan itu lakukan apa yang diperintah.

Sebelum naik ke atas kuda Ki Kalimanah memandang pada cucunya lalu berkata, “Boma, nyawaku tidak ada artinya. Mengapa kau berbuat senekad itu. Perampok-perampok jahat ini akan tetap membunuhmu setelah kau menerangkan gambar dan tulisan yang kau lihat. Satu hal yang aku tidak suka Boma. Apa yang kau lakukan adalah satu pengkhianatan besar terhadap Sri Baginda dan Kerajaan.”

“Kek, naiklah ke atas kuda. Pergi selagi ada kesempatan,” kata Boma pula. Tanpa ada lain orang melihat anak ini kedipkan matanya memberi isyarat.

Ki Kalimanah tetap merasa kawatir. Ditolong oleh Si Codet dia akhirnya naik juga ke atas kuda. Si Codet menepuk pinggul kuda. Binatang itu melompat dan menghambur pergi.

“Apa kemauanmu sudah aku penuhi! Kakekmu sudah pergi! Sekarang lekas terangkan mengenai gambar dan tulisan yang kau lihat di kulit kambing.”

Boma mundur beberapa langkah lalu bersandar ke roda gerobak di belakangnya. Dia pejamkan mata seperti tengah mengingat-ingat. sebenarnya dia tengah mengulur waktu agar kakeknya bisa pergi jauh dan tak mungkin terkejar oleh para perampok itu.

“Bocah jangkrik! Kau mau tidur atau bagaimana?! Jangan berani mempermainkan aku!” tiba-tiba Warok Jangkrik membentak.

“Kau telah memenuhi permintaan saya. Kakek Ki Kalimanah dalam perjalanan kembali pulang dengan selamat. Saya berterima kasih pada kebaikanmu. Jika kau berbaik hati seperti itu masakan saya tidak akan membalas budimu…?”

“Bocah setan!” hardik Si Comot. “Tak perlu bicara panjang lebar! Katakan saja gambar dan tulisan apa yang kau lihat. Cepat!”

“Harap kalian mau bersabar,” jawab Boma. “Saya harus mengingat-ingat dulu. Saya tidak mau keliru memberi tahu.”

“Aku beri kau waktu, tapi tidak terlalu lama! Dan ingat! Awas kalau kau menipu! Kucincang tubuhmu sampai lumat!”

Boma mengangguk. Punggungnya disandarkan lagi di roda gerobak. Matanya kembali dipejamkan. Setelah merasa kakeknya sudah cukup jauh maka diapun membuka mata lalu berkata. “Gambar dan tulisan itu. Kecil tapi cukup jelas. Saya sempat melihat walau cuma sebentar karena Kakek cepat-cepat mengambilnya. Di atas kulit kambing kering itu ada empat gambar. Kalian mungkin tidak percaya. Empat gambar yang saya lihat adalah gambar kalian…”

“Hah! Jangkrik! Apa?!” Warok Jangkrik terkejut. Keluarkan suara setengah berseru.

“Warok, bocah ini mengada-ada!” kata Si Comot.

“Dia tengah mempermainkan kita!” ujar Si Galah Jangkung.

“Sejak tadi aku tidak percaya padanya. Lebih baik dihajar sampai dia bercerita apa adanya…”

“Saya memang bercerita apa adanya!” kata Boma pula. “Empat orang dalam gambar itu wajahnya sama dengan kalian. Apa kalian mau saya berdusta mengatakan empat orang Itu bukan kalian?!”

Warok Jangkrik dan tiga anak buahnya saling pandang sesaat. “Sudah, teruskan keteranganmu. Kau melihat gambar empat orang, dengan wajah seperti kami. Lalu apa yang tertulis di bawah empat gambar?” tanya Warok Jangkrik.

“Yang saya baca waktu itu berbunyi begini Empat rampok jahat terkutuk. Calon puntung api neraka!”

“Jangkrik jahanam!” teriak Warok Jangkrik marah bukan main.

“Apa kataku! Kita terlalu mempercayai bocah setan ini!” kata Si Comot.

“Kita sudah kena ditipu!” sambung Si Galah Jangkung.

“Biar aku cincang dia saat ini juga!”kata Si Codet yang masih memegang golok milik Warok Jangkrik.

Saat itu Boma Wanareja yang sejak tadi mengintai kelengahan orang untuk melarikan diri, melihat kesempatan. Segera saja anak ini melompat ke kiri, menghambur lari. Tapi baru kabur empat Iangkah pundaknya sudah dicekal si Galah Jangkung. Begitu kena dicekal rampok ceking jangkung ini lemparkan Si bocah ke arah Si Codet. Selagi Boma terhuyung-huyung, Si Codet bacokkan goloknya.

“Wuttt!” Yang diarah tepat pertengahan kening dan batok kepala Boma.

Sesaat kepala Boma Wanareja nyaris akan terbelah oleh bacokan golok di tangan Si Codet tiba-tiba Warok Jangkrik berteriak.

“Codet! Tahan dulu!”

Seperti tadi untuk ke dua kalinya anggota rampok ini terpaksa tahan bacokannya, itupun hampir melesat. Bagian tajam golok besar di tangannya masih sempat mengikis putus rambut di kening kanan Boma. Anak ini merasa tengkuknya sedirigin es. Lututnya goyah. Muka pucat tubuh bergetar.

“Warok! ini kali kedua kau memberi perintah seperti itu! Apa yang ada di pikiranmu?” Si Codet ajukan pertanyaan yang jelas menunjukkan rasa tidak senangnya.

“Aku tak ingin bocah ini mampus terlalu cepat! Siksa dia lebih dulu sampai tidak tahan dan akhirnya memberi tahu kita gambar dan tulisan apa sebenarnya yang tertera di kulit kambing milik Sri Baginda itu!” Warok Jangkrik melangkah mendekati Si Codet. Setelah dekat dia berbisik.

“Terus terang aku kagum dengan keberanian bocah satu ini. Usianya kira-kira dua tiga tahun di atas anakku Si Praptimadasari. Aku berniat menjodohkan mereka berdua.”

Si Codet sampai menganga karena tidak percaya mendengar apa yang baru dikatakan pimpinannya secara berbisik-bisik. Sementara dua kawannya yang lain ingin tahu apa yang barusan dibisikkan Warok Jangkrik pada Si Codet.

“Warok, aku tidak tahu mau berbuat apa. Harap kau saja yang menangani bocah ini…” kata Si Codet.

“Kau lihat pohon besar itu?” Warok Jangkrik menunjuk pada sebuah pohon besar yang banyak dahannya. “Di gerobak ada tali. Cukup panjang. Gantung anak itu kaki ke atas kepala ke bawah! Biarkan dia tergantung seperti itu sampai akhirnya dia mau bicara!”

“Mencari pekerjaan yang tidak-tidak saja Warok. Padahal tanpa susah-susah sekali tabas saja beres sudah!” kata Si Comot.

Si Galah Jangkung membenarkan. Si Codet yang memegang golok diam saja. Akhirnya dia berikan golok pada Warok Jangkrik lalu melangkah mendekati gerobak. Di dalam gerobak dia memang menemukan seutas tali kasar dan panjang. Dengan cepat Si Codet membuat buhulan pada salah satu ujung tali. Lalu ujung satunya dilemparkan ke salah satu cabang pohon besar. Pada saat itu teriadilah satu hal yang benar-benar tidak terduga dan hampir tidak dapat dipercaya!

Ujung tali yang telah dibuatkan buhul dan tergeletak di tanah tiba-tiba seperti hidup, laksana seekor ular melibat pergelangan kaki kanan Si Codet. “Hai!” Si Codet berteriak kaget. Kaki kirinya ditendang-tendangkan agar libatan tali terlepas.

Baik Warok Jangkrik maupun anggota rampok yang lain menyangka Si Codet tengah bergurau. Tapi mereka semua jadi berseru terkejut ketika tiba-tiba ujung tali yang lain seperti ada yang menarik, membuat kaki Si Codet yang dilibat tali pada ujung satunya tersentak hingga anggota rampok ini terjengkang lalu jatuh terbanting.

Dalam keadaan seperti itu ujung tali di atas pohon kembali bergerak dengan cepat hingga tubuh Si Codet kini terbetot naik lalu tergantung di udara kaki ke atas kepala ke bawah. Ujung tali seperti ada tangan yang tak kelihatan dilibat kencang di atas cabang.

“Tolong! Hai! Tolong!” Si Codet menjerit tiada henti. Dia berusaha menyambar tali yang mengikat pergelangan kakiriya. Tapi tidak berhasil malah kini tubuhnya bergoyang-goyang kian ke mari, membuat ikatan pada kaki kirinya bertambah kuat. Sakitnya bukan main. Jerit Si Codet semakinkeras. Para perampok kirii sadar kalau teman mereka tidak bergurau atau main sulap.

“Jangkrik! Apa-apaan ini?!” teriak Warok Jangkrik. Golok di tangan kanannya dilemparkan ke udara. Senjata itu melesat lalu... trasss! Menebas tali sejarak lima jengkal diatas kaki kanan Si Codet. Begitu tali putus tubuh Si Codet jatuh deras ke bawah. Si codet berusaha jungkir balik agar jatuh ke tanah kaki lebih dulu.

Tapi karena terlalu bingung gerakannya salah. Malah memperderas jatuhnya. Ketika kepalanya menghantam tanah yang keras terdengar suara seperti berderak. Warok Jangkrik dan dua anak buahnya sama-sama palingkan kepala, tidak berani melihat apa yang terjadi. Lalu seperti diberi aba-aba ke tiganya menjauh, takut kalau-kalau tali yang masih menjulai di sebelah sana tiba-tiba berubah hidup dan melibat kaki mereka!

Si Codet terkapar di tanah. Kepala rengkah! Darah mengucur membuat alur merah panjang di tanah. Boma keluarkan suara seperti mau muntah dan tutupkan lengan kirinya di depan mata. Saat itu tiba-tiba lapat-lapat mengumandang satu tawa mengekeh seolah datang dari rimba belantara Sarnigaluh. Makin lama suara tawa itu makin keras membuat tengkuk merinding.

Jangankan Boma si bocah kecil, Warok Jangkrik dan anak buahnya saja jadi tercekat pucat. Di bawah pohon di mana tali maut masih menjulai muncul satu bayangan putih. Mula-mula berbentuk samar seperti asap. Saat demi saat berubah jelas. Maka tampaklah satu sosok orang sangat tua berpakaian selempang kain putih. Wajahnya tidak kelihatan karena tertutup rambut putih panjang yang menjulai, kumis serta janggut juga berwarna putih laksana kapas.

Warok Jangkrik tersurut mundur. Si Comot dan Si Galah Jangkung bergerak ke balik gerobak lalu bergabung dengan pimpinan mereka. Dalam terkesiap tiga penjahat ini mengira tengah berhadapan dengan hantu penghuni hutan Sarnigaluh. Boma Wanareja yang lututnya goyah berusaha gerakkan kaki. Tapi dua kaki kirinya laksana diganduli batu hingga bocah ini tetap berdiri di tempatnya dengan lutut bergoyang dan tubuh gemetar.

Sesaat berlalu. Suara tawa sirap. Warok Jangkrik muncul keberanian.Mulutnya membentak. “Mahluk putih di bawah pohon. Siapa kau? Apa kau yang barusan membunuh anak buahku?!”

Mahluk di bawah pohon tertawa bergelak. “Warok Jangkrik, aku tidak membunuh siapa-siapa. Kau sendiri yang membunuh anak buahmu! Semua orang di tempat ini sama menyaksikan. Kau menabas tali dengan golok hingga orang itu jatuh. Kepaa pecah menghantam tanah. Mati! Bukan begitu kejadiannya? Ha ha ha!”

“Jangkrik!” maki sang Warok.
“Jangkrik?” ucap mahluk di bawah pohon besar lalu kembali tertawa bergelak.
“Ya jangkrik! Kau pasti jangkrik hantu rimba belantara Sarnigaluh!” jawab Warok Jangkrik.

Mahluk di bawah pohon makin keras suara tawanya hingga tanah terasa bergetar. Ranting pepohonan bergoyang, daun-daun berdesir saling gesek. Tiba-tiba mahluk ini gerakkan tangan. Tali yang masih menjulai panjang di atas pohon mendadak sontak bergerak hidup lalu melesat ke arah Warok Jangkrik dan dua anak buahnya. Demikian cepatnya sehingga sebelum sadar apa yang terjadi, sosok Warok Jangkrik, Si Comot dan Si Galah telah terikat erat. Lalu dari arah pohon besar terdengar si mahluk serba putih berucap.

“Sekarang giliran kalian bertiga! Aku tidak punya waktu banyak untuk menyelesaikan kalian satu persatu! Jadi kalian biar mati bersama. Agar ada teman dalam perjalanan menuju neraka!” Terdengar suara dan arah pohon besar. Lalu...

"Sett! Sett! Sett!"

Sosok tiga orang yang terikat jadi satu itu perlahan-lahan naik ke udara, kaki ke atas kepala ke bawah!

“Jangkrik! Jangan!” teriak Warok Jangkrik ketakutan setengah mati. Dua anak buahnya juga ikut berjeritan. Keringat dirigin membasahi sekujur tubuh dan pakaian. Seumur hidup mungkin baru kali ini mereka dilanda rasa takut begitu rupa.

“Tobat! Turunkan! Turunkan!”
“Ampunnnn...!”

Boma Wanareja yang melihat kejadian itu tanpa sadar tiba-tiba keluarkan teriakan. “Kek! Jangan! Jangan mereka dibunuh! Lepaskan! Lepaskan saja!”

Aneh. Suara tawa mahluk di bawah pohon mendadak berhenti. Lebih aneh lagi tiga sosok rampok yang tadi sudah naik ke udara setinggi setengah tombak kini perlahan-lahan turun kembali ke bawah hingga Warok Jangkrik dan kawan-kawannya menjejakkan kaki masing-masing di tanah tapi masih dalam keadaan dilibat terikat tali.

“Tiga manusia sesat dan jahat!” Dari arah pohon terdengar suara mahluk serba putih. “Bocah yang hendak kalian bunuh justru meminta pengampunan bagi diri kalian! Ini satu pelajaran berharga bagi kalian. Ingat hal itu baik-baik. Saat ini kulepaskan kalian. Tapi ingat, jika kalian masih menempuh hidup jahat, aku akan muncul kembali untuk menghukum kalian!”

“Sreettt!”

Tali yang melibat Warok Jangkrik dan anak buahnya tiba-tiba bergerak membuka. Ketiga orang ini serta merta melompat, siap untuk kabur. Tapi di hadapan Boma tiba-tiba Warok Jangkrik jatuhkan diri berlutut dan manggut-manggut berulang kali. Dua anak buahnya meniru apa yang diperbuat pimpinan mereka.

“Bocah jangkrik! Terima kasih... terima kasih! Kau telah menyelamatkan selembar nyawa kami...”

Habis berlutut ke tiga orang itu melompat bangkit. Melirik ke arah pohon besar. Sementara Boma terbengong-bengong Warok Jangkrik dan dua anak buahnya tanpa tunggu lama segera melompat ke atas tiga ekor kuda yang ada lalu menggebrak kabur dan tempat itu.

Tertinggal seorang diri di dekat mayat Si Codet yang pecah kepala dan masih mengucurkan darah dari pecahan kepalanya membuat Boma Wanareja, walau bagaimanapun tabahnya anak ini, malah tadi mampu membuka mulut meminta agar tiga perampok jangan dibunuh, kali ini nyalinya hampir putus.

Lebih-lebih ketika dilihatnya mahluk serba putih di bawah pohon besar bergerak melangkah ke arahnya, dengan langkah yang bukan seperti orang biasa berjalan. Mahluk ini melangkah seolah tidak menginjak tanah. Sesaat kemudian mahluk serba putih itu sudah berdiri di hadapan Boma.

“Kek…” si bocah keluarkan ucapan. Suaranya terdengar tercekat karena lidahnya serasa kelu. “Saya... saya bukan anak jahat. Jangan... jangan saya diapa-apakan Kek. Aduh, saya pingin kencing...”

Dari balik rambut putih yang menjulai panjang menutupi kepala dan muka mahluk serba putih terdengar suara tawa perlahan. Mahluk ini kemudian gerakkan kepala. Rambut putih yang tadi menutupi wajahnya tersingkap ke samping. Boma kini dapat melihat jelas wajah orang itu.

Tadinya dia menyangka akan melihat satu wajah menyeramkan. Ternyata yang disaksikannya adalah wajah seorang tua jernih klimis, dihias sepasang mata bening tajam di bawah dua alis mata putih. Keseluruhan wajah melukiskan sifat arif bijaksana penuh wibawa.

“Kek... kau... kau ini siapa...?” tanya Boma Wanareja.

“Boma Wanareja...” Ternyata si orang tua tahu nama si bocah yang membuat Boma terkejut dan heran. “Aku sudah lama mengikuti dirimu. Memperhatikan tindak tandukmu. Sayang kita tidak bisa bicara banyak dan panjang di tempat ini. Karena itu aku akan mengajak kau ke satu tempat...”

Sambil bicara orang tua itu letakkan tangan kirinya di bahu kanan Boma. Si bocah merasa ada hawa sejuk mengalir memasuki tubuhnya, berkumpul di dada. Saat itu juga rasa sakit akibat pukulan Warok Jangkrik serta merta lenyap. Mengerti kalau orang telah menyembuhkannya secara luar biasa Boma rundukkan tubuh dan berkata,

“Orang tua, terima kasih...”
“Eh, kau berterima kasih untuk apa?”

Boma tersenyum. “Bukankah Kakek barusan telah menyembuhkan cidera luka dalam saya akibat pukulan kepala rampok itu?”

Si orang tua tertawa lebar. Dia angguk-anggukkan kepala. Lalu berkata. “Saatnya aku pergi membawamu, Boma."

“Kek, kau mau mengajak saya ke mana? Saya... saya ingin cepat-cepat pulang ke Kotaraja...”
“Kau nanti akan pulang ke Kotaraja. Tapi tidak sekarang...”
“Kek, saya tidak mau ikut bersamamu. Saya punya kakek yang harus saya bantu...”
Wajah jernih si orang tua tersenyum. “Kakekmu itu. Bukankah dia Kalimanah, perawat kuda Raja di Keraton?”
“Kau… kau kenal kakek saya?”

Si orang tua mengangguk. “Aku juga telah mendapatkan izin dan dia untuk membawamu.”

Boma unjukkan wajah tidak percaya.

“Kau tidak percaya?” tanya si orang tua. “Coba kau lihat ke arah kiri sana…”

Boma palingkan kepala ke arah yang dikatakan si orang tua. Di ujung sana, di dekat serumpunan semak belukar Boma melihat kakeknya duduk di alas seekor kuda, kuda milik anggota rampok yang tadi dipergunakannya sewaktu pergi kembali ke kotaraja. Kalimanah angguk-anggukkan kepala lalu lambaikan tangan pada Boma.

“Aneh,” membatin Si bocah. “Mengapa Kakek masih ada di sini. Padahal seharusnya dia sudah jauh menuju Kotaraja.”

“Apa sekarang kau sudah percaya? Kau saksikan sendiri. Bukankah anggukan kepala dan lambaian tangan kakekmu itu pertanda dia menyetujui dan memberi izin?”

“Saya, saya tidak berpendapat seperti itu.” Jawab Boma yang dalam setiap hal selalu ingin meyakinkan diri lebih dulu. “Saya harus bicara dulu dengan kakek…”

“Tidak perlu, kakekmu sudah pergi,” kata orang tua serba putih. Boma memandang lagi ke arah di mana tadi kakeknya berada di atas kuda. Memang benar. Sang kakek dan kudanya tak ada lagi di tempat semula.

“Kalau begitu saya harus menyusulnya…” kata Boma seraya hendak tinggalkan tempat itu.

Tapi tiba-tiba si orang tua menyambarnya. Sesaat kemudian anak ini merasa dirinya dibawa melayang. Selagi Boma kebingungan atas apa yang terjadi orang tua yang memanggulnya keluarkan suara.

“Boma, sebenarnya aku sudah berada di tempat tadi sejak kau dan kakekmu diturunkan dari atas gerobak. Aku ingin bertanya, mengapa para penjahat itu ingin mencelakaimu dan Kalimanah?”

“Mereka menanyakan sesuatu,” jawab Boma.

“Sesuatu apa?”
“Gambar dan tulisan yang terdapat di selembar kulit kambing kering.”
“Hem... Rupanya gambar dan tulisan itu sangat besar artinya bagi Warok Jangkrik dan komplotannya. Kalau aku boleh tahu, apa gambar dan tuilsan yang tertera di kulit kambing itu?”

“Orang tua, tadi kau bilang sudah berada di tempat itu sejak saya dan kakek diturunkan dan gerobak. Kalau benar, berarti kau mendengar semua ucapan kami. Sekarang mengapa masih bertanya?”

Si orang tua tertawa lebar. “Anak, kau ternyata cerdik juga. Aku cuma ingin menguji.”

“Begitu? Jadi kakek juga ingin tahu gambar dan tulisan di kulit kambing?”
“Kalau kau mau mengatakan.”
“Baik. Di kulit kambing itu ada gambar Warok Jangkrik dan tiga anak buahnya. Lalu ada tulisan di bawah gambar…”

Si orang tua tertawa gelak-gelak. “Sudah-sudah! Aku sudah tahu itu semua karena sempat mendengar apa yang kau katakan pada para perampok. Tapi apakah betul gambar dan tulisan itu yang sebenarnya kau lihat di kulit kambing?”

Boma Wanareja terdiam mendengar pertanyaan orang tua yang membawanya berlari laksana terbang.

“Kau tidak mau menceritakan hal yang sebenarnya padaku?”
“Kek, kau telah menolong saya. Sepantasnya saya membalas budi. Tapi kalau balasan yang kau pinta adalah keterangan tentang gambar dan tulisan yang sebenarnya, saya tidak dapat memberi tahu.”

“Mengapa?”
“lni menyangkut satu rahasia besar dari Kerajaan.”
“Kalau kau mengatakan tidak ada yang tahu. Saat ini hanya kita berdua.”
“Kek, kau mungkin lupa. Tuhan melihat dan mendengar segala perbuatan kita.”

Kini si kakek yang jadi terdiam. “Jadi kau tidak mau mengatakan barang sedikitpun rahasia itu?”

“Saya tidak mau berkhianat pada Sri Baginda dan Kerajaan.” Jawab Boma.
“Kau anak baik, kau anak baik. Sudahlah, aku tidak akan menanyakan tentang gambar dan tulisan itu lagi.” Si kakek mempercepat larinya.

Boma merasa seperti terbang. Dinginnya angin membungkus ubun-ubun dan daun telinganya. “Kek...” tiba-tiba Boma berkata.

“Hemm… Ada apa?”
“Saya jadi tidak enak…”
“Apa yang membuatmu tidak enak?”
“Karena saya tidak mau memberitahu tentang gambar dan tulisan di kulit kambing itu.”
“Kau berubah pikiran, bocah cerdik?”
“Berubah tidak tapi… Maksud saya mungkin saya bisa memberitahukan tapi secara tersamar…”
“Kalau begitu coba kau katakan.”
“Gambar dan tulisan di kulit kambing itu merupakan petunjuk dimana harta karun milik Kerajaan disimpan…”
“Aahhh…” Si kakek keluarkan suara tercekat. “Pantas para perampok inginkan keteranganmu. Pantas pula kau merahasiakan hal itu.”

“Kek…”
“Apalagi?”
“Saya memilih pulang ke Kotaraja daripada ikut denganmu.”
“Baiklah, aku akan membawamu pulang,” jawab Si kakek.

Boma merasakan ada usapan yang lembut di tengkuknya. Entah mengapa sesaat kemudian Boma merasa matanya jadi berat mengantuk. Bocah ini menguap lebar-lebar. Di lain saat Boma sudah tertidur pulas diatas bahu kanan si orang tua.

********************
WWW.ZHERAF.NET
BAB 6
Kiai Gede Tapa Pamungkas menatap wajah anak usia lima belas tahun itu, yang dibalas pula dengan tatapan mata bening oleh si anak. Pada wajah masing-masing jelas kelihatan ada rasa haru. Setelah mengusap janggutnya yang putih menjulai pahanya yang duduk bersila, orang tua itu berucap.

“Boma, usiamu sekarang lima belas tahun. Berarti kau sudah berada dipuncak Gunung Bismo ini selama lima tahun. Waktu lima tahun berlalu singkat untuk menggembleng seseorang menjadi pendekar sakti mandraguna. Karena itu pada hari pelepasanmu ini aku ingin menyampaikan satu pesan, jika tak mau kau anggap sebagai perintah. Jauh di sebelah barat ada sebuah gunung bernama Gunung Gede. Di puncaknya diam seorang nenek sakti mandraguna bernama Sinto Weni, berjuluk Sinto Gendeng. Pergilah ke sana. Aku akan membekalimu dengan sepucuk surat yang sudah sejak lama aku siapkan. Cari dan temui Sinto Gendeng sampai dapat. Kalau dia tidak ada di tempat kediamannya, kau harus menunggu sampai dia kembali. Walau kau harus menunggu sampai kiamat sekalipun, jangan pergi dari tempat itu sebelum kau menemui Si nenek”

“Kakek, orang sakti di puncak Gunung Gede bernama Sinto Gendeng itu, siapakah dia sebenarnya? Mengapa saya harus ke sana menemuinya?” Boma Wanareja yang kini telah jadi seorang pemuda tanggung ajukan pertanyaan.

“Dia adalah salah seorang muridku. Kau menemuinya karena aku hanya memberikan ilmu tenaga dalam dan hawa sakti padamu. Sebaliknya sesuai permintaan yang aku tuliskan di dalam surat, dari Sinto Gendeng kau akan mendapat pelajaran ilmu silat tingkat tinggi serta beberapa pukulan sakti. Salah satu di antaranya adalah Pukulan Sinar Matahari. Jika kau rajin melatih diri, paling cepat kau baru bisa menguasai ilmu pukulan sakti itu dalam waktu empat tahun.”

“Lumayan lama kek. Saya masih ada satu pertanyaan. Nenek sakti di puncak Gunung Gede itu berjuluk Sinto Gendeng. Apakah dia benar-benar gendeng alias sinting? Kalau betul, apakah Kakek tidak keliru mengirim saya pada orang seperti itu?”

Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. “Sinto Gendeng bukan manusia gendeng atau sinting. Tapi jangan heran, sifat dan kelakuannya sewaktu-waktu bisa lebih dari gendeng dari orang gendeng dan lebih sinting dari orang sinting.”

“Saya tidak mengerti,” kata Boma pula.

“Kau akan mengerti setelah bertemu dengan dia…”

"Setelah saya menemui nenek itu, dan berjodoh mendapatkan ilmu silat serta pukulan sakti Sinar Matahari, apakah saya harus kembali ke sini menemuimu Kek?” tanya Boma.

“Tidak usah. Aku akan menyusulmu ke Gunung Gede. Sebenarnya aku ingin mengadakan perjalanan bersamamu tapi ada satu hal penting yang segera harus aku lakukan. Lagi pula puncak Gunung Bismo di mana lima tahun pernah kau diami ini hanya akan tinggal sebagai kenangan.

“Maksud Kakek?” tanya Boma.

“Aku tak pernah menetap selama-lamanya di satu tempat. Kediamanku yang sebenarnya adalah di sebuah telaga yang juga terletak di puncak Gunung Gede, tapi berada jauh dari kediaman Sinto Gendeng.” Kiai Gede Tapa Pamungkas diam sesaat lalu. melanjutkan. “Boma, Gunung Gede jauh dan sini. Sebaiknya kau usahakan mencari kuda tunggangan di desa di kaki gunung. Berjalan sejauh itu seorang diri, apakah kau tidak takut?”

Boma Wanareja tersenyum. “Selama masih berada di bumi Tuhan, kemanapun pergi saya tidak akan merasa takut, Kek.”

Kini si kakek yang tersenyum. “Anak ini luar biasa…” katanya dalam hati. “Ada satu hal yang sejak lama ingin kutanyakan. Ingat peristiwa lima tahun lalu di hutan Sarnigaluh? Waktu aku hendak menghukum Warok Jangkrik dan dua anak buahnya, kau mencegah aku menghabisi mereka. Padahal mereka telah berlaku jahat dan ganas terhadap kau dan kakekmu. Mengapa kau berbuat begitu?”

“Saat itu… Saya merasa apa gunanya membunuh orang. Mungkin bukan pahala yang didapat malah sebaliknya mungkin kemurkaan dari Gusti Allah. Lagi pula, kalau mereka bisa dibuat sadar bukankah itu satu pekerjaan sangat baik? Menghukum seseorang belum tentu membuatnya sadar. Tapi mengampuninya mungkin bisa menyentuh kesadaran yang selama ini jauh di lubuk hatinya, membuat mata hatinya terbuka lalu menempuh hidup di jalan yang lurus dan benar.”

Dua alis putih di atas sepasang mata jernih Kiai Gede Tapa Pamungkas berjingkat ke atas. Hatinya membatin. “Ucapan seperti ini belum tentu aku dengar dari seorang dewasa sekalipun. Anak ini benar-benar luar biasa. Aku tidak salah memilihnya sebagai murid walau untuk waktu begitu singkat.”

“Boma, aku senang sekali mendengar semua ucapanmu tadi. Namun satu hal harus kau ingat. Dalam hidup ini kepercayaan bukan segala-galanya. Kelak kau akan menemui kedustaan dan keculasan serta pengkhianatan datang dari orang-orang di dekat kita yang sama sekali tidak pernah kita duga.”

“Karena itu Kek,” kata Boma pula, “kepercayaan itu harus kita iringi dengan doa kepada Yang Maha Kuasa, Maha Pengasih, agar orang yang kita harapkan bisa sadar itu ditolong Gusti Allah agar benar-benar keluar dan kesesatan”

Kial Gede Tapa Pamungkas terdiam sesaat. Berbagai, perasaan nuncul dalam lubuk hatinya. Rasa senang, kagum bahkan tidak bisa percaya kalau anak seusia Boma bisa mengeluarkan kata-kata seperti itu. Untuk beberapa lamanya onang tua ini duduk bersila dan usap-usap janggutnya yang panjang sambil tak puas-puasnya menatap wajah bocah yang duduk di hadapannya.

“Kek, nenek sakti di puncak Gunung Gede yang harus saya temui itu, seberapakah usianya. Pasti sudah tua sekali ya Kek?”

"Aku tak bisa menyebut pasti,” jawab Kiai Gede Tapa Pamungkas. “Rasa-rasanya jauh di atas delapan puluh. Mungkin saja sudah seratusan. Mengapa kau tanyakan umur nenek itu, Boma?”

“Maaf Kek, saya hanya menghitung-hitung. Kalau nenek Sinto Gendeng yang jadi murid Kakek saja usianya sudah lebih delapan puluh tahun, lalu kakek sendiri sebagai gurunya berusia berapa?”

Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum lebar. Dipegangnya kepada Boma Wanareja seraya berkata. “Buat apa menghitung-hitung usia orang lain? Lebih bermanfaat menghitung usia diri sendiri. Menghitung sambil bertanya dalam hati. Kebajikan dan ibadah apa saja yang telah kita lakukan selama usia itu…”

Boma ikut tertawa dan anggukkankepala. “Terima kasih untuk nasihat itu, Kek,” kata bocah lima belas tahun itu.

Dari balik selempang kain putih yang jadi pakaiannya Kiai Gede Tapa Pamungkas mengeluarkan dua helai daun lontar kering yang telah dibubuhi tulisan. Benda itu diberikannya pada Boma seraya berkata,

“Serahkan surat ini pada Sinto Gendeng. Pergilah sekarang juga. Aku akan menyusulmu begitu urusanku selesai. Begitu kau berangkat pergi, lupakan tempat ini. Anggap tempat di puncak Gunung Bismo di mana kau pernah tinggal bersamaku selama lima tahun sebagai sesuatu yang tak pernah ada.”

Boma mengambil dua helai daun lontar yang diberikan sang guru. Meletakkan dipangkuannya lalu menyalami dan mencium tangan Kiai Gede Tapa Pamungkas. Kepalanya dirundukkan setengah diletakkan di atas pangkuan Si orang tua.

“Anak baik, murid baik. Bocah luar biasa...” kata si orang tua dalam hati berulang kali.
Mengenai riwayat lengkap Kiai Gede Tapa Pamungkas silahkan baca serial Wiro Sableng beriudul Pedang Naga Suci 212
********************
Cahaya fajar yang menyingsing jatuh di atas telaga, membuat tatanan warna indah. Kicau burung-burung masih terdengar disekitar situ. Lalu, di bawah satu pohon besar ada suara orang berucap.

“Malam Jum’at Kliwon sudah berakhir. Orang yang kita tunggu tidak muncul.”

Yang bicara ini adalah seorang kakek bungkuk berpakaian rombeng, memiliki muka sepucat mayat, angker membayangkan kelicikan dan maut. lnilah manusia berjuluk Si Muka Mayat alias Si Muka Bangkai, dedengkot rimba persilatan golongan hitam yang diketahui sebagai guru Pangeran Matahari, musuh bebuyutan Pendekar 212 Wiro Sableng.

Di sebelahnya berdiri seorang nenek bertubuh tinggi semampai yang walaupun sudah begitu lanjut usia tapi masih berdandan menor. Bibir diberi gincu merah menyala, alis kerang hitam, bedak tebal, pipi yang keriput diberi warna merah. Di tangan kanannya nenek ini memegang sebilah golok bersarung perak. Si nenek memandang dulu sekeliling telaga baru membuka mulut menjawab ucapan Si Muka Bangkai.

“Kita sudah menunggu di pondoknya selama dua pekan. Malam Jum'at Kliwon kita mendekam di sini sampai pagi begini. Karena biasanya jika nenek keparat itu berada di sekitar sini pasti dia akan muncul di salah satu tepian telaga untuk bersamadi. Ternyata dia tidak muncul­-muncul. Berarti si keparat itu memang tidak sedang berada di sekitar kawasan Gunung Gede...”

“Lalu perlu apa kita berlama-lama di tempat ini? Lebih baik segera saja angkat kaki dan sini. Bukankah katamu kau masih banyak urusan yang lain?” ujar Si Muka Bangkai pula. Dia memandang ke langit. “Ada awan mendung di langit sebelah barat. Pertanda lebih baik kita meninggalkan tempat ini sekarang juga sebelum hujan turun.”

Tapi si nenek menor gelengkan kepala. “Tunggu sampai tengah hari. Jika dia tidak datang baru kita pergi. Aku Nyi Ragil Tawangalu percuma dijuluki Si Manis Penyebar Maut kalau tidak bisa membunuh manusia satu itu. Dendam kesumat sudah karatan dalam badanku ingin membantai Sinto Gendeng...”

“Gara-gara di masa muda dia pernah merampas kekasihmu lalu meninggalkannya begitu saja...?”

Tampang si nenek kelihatan sengit. Hidungnya keluarkan suara mendengus. “Kejadian Sinto Gendeng merampas kekasihku memang menyakitkan. Tapi bukan itu saja kesalahan tua bangka setan itu. Dia pernah mengobrak-abrik dua perkumpulan rahasia yang aku bentuk untuk meruntuhkan kerajaan. Semua orang-orangku habis dibunuhinya. Yang masih hidup diserahkan pada Kerajaan lalu digantung. Aku sendiri kalau tidak sempat sembunyikan diri di kawasan selatan selama dua tahun tak bakal selamat...”

Si Muka Bangkai perhatikan golok besar di tangan si nenek. “Golok ditanganmu itu, yang kau beri nama Si Penjarah Nyawa, apa betul itu satu-satunya senjata yang mampu menghabisi Sinto Gendeng?”

“Aku punya puluhan, bahkan bisa membuat ratusan golok seperti ini. Kesaktian dan kehebatannya sama. Setiap golok hanya dipergunakan satu kali. Untuk menghabisi satu nyawa. Golok yang satu ini memiliki daya bunuh dua tiga kali lipat dari yang sudah-sudah. Karena itu sengaja kupersiapkan untuk menghabisi Sinto Gendeng. Akan kutancapkan dalam-dalam di jantungnya agar dia tahu rasa bagaimana sakitnya kalau kekasihnya dirampas orang...”

“Setahuku bukankah dia juga pernah ditinggal mentah-mentah oleh salah seorang kekasihnya? Kalau tidak salah oleh Tua Gila Dan Andalas...”

Nenek berdandan menor berjuluk Si Manis Penyebar Maut menyeringai. “Itu salah satu hukum karma baginya. Tapi manusia seperti dia mana ada jeranya. Laki-laki hanya sebagai permainan baginya. Buktinya sampai saat ini dia tidak pernah kawin-kawin! Lagi pula...”

Si Muka Mayat angkat tangannya memberi isyarat. “Tahan bicaramu. Aku mendengar ada suara orang datang...”

Baru saja Si Muka Bangkai berucap tiba-tiba dan arah telaga sebelah timur berkelebat satu bayangan putih.

“Astaga!” seru Si Muka Bangkai. “Kata orang kalau baru disebut orangnya muncul berarti orang itu akan panjang umur! Nyi Ragil, lihat siapa yang muncul di seberang telaga sana.”

Nyi Ragil Tawangalu alias Si Manis Penyebar Maut memandang ke seberang telaga sebelah timur. Saat itu awan mendung di langit barat telah menebar hingga keadaan di telaga dan sekitarnya menjadi agak redup.

“Kata orang memang begitu. Tapi kata aku Nyi Ragil malah sebaliknya. Sinto Gendeng tidak muncul. Orang itu pengganti nyawanya. Bukankah dia Si Tua Gila alias Sukat Tandika kekasih di masa muda yang ditinggal mentah-mentah oleh Sinto Gendeng?”

Saat itu di seberang telaga sebelah timur kelihatan seorang kakek berpakaian serba putih, bermuka cekung, berambut putih, kumis dan janggut panjang juga warna putih. Ciri-ciri dan pakaiannya memang menunjukkan bahwa dia adalah Tua Gila, tokoh silat golongan putih yang punya nama besar dalam rimba persilatan Pulau Andalas dan juga menggegerkan Tanah Jawa. Kakek di seberang telaga mendongak ke langit.

“Mendung. Bakal turun hujan...” katanya. “Sial perjalananku sekali ini. Membuang waktu tapi orang yang dicari tidak bertemu.”

Di tempatnya berdiri Nyi Ragil Tawangalu menyeringai. “Kematian Tua Gila walau bagaimanapun juga pasti akan membuat Sinto Gendeng sakit hati setengah mati. Dia akan sengsara seumur-umur! Muka Bangkai, apa kataku. Jika aku turuti ucapanmu tadi buru-buru pergi dan sini, kita tidak akan dapat rejeki besar ini! Membunuh orang yang pernah mencintai dan dicintai musuh besarku si Sinto Gendeng! Ha ha ha!”

Si nenek berdandan menor timang-timang Golok Si Penjarah Nyawa di tangan kanan. Mukanya yang berselemot dandanan medok membersitkan hawa maut. Di seberang telaga kakek berpakaian putih angkat kepala sedikit. Telinganya dipasang baik-baik.

“Aku seperti mendengar suara orang tertawa di kejauhan. Tapi tak ada siapa-siapa sekitar sini. Ah, mungkin hanya suara siuran angin. Telinga tua ini agaknya mudah tertipu segala macam pendengaran...”

Si kakek tertawa sendiri. Lalu dia mencari tempat yang baik di tepi telaga. Di atas sebuah batu dia duduk. Dan balik pinggang dia keluarkan sebuah seruling. Dengan mata setengah terpejam si kakek mulai meniup serulingnya. Alunan suara seruling turun naik berhiba­-hiba. Rupanya Si kakek tengah membawakan lagu sedih. Mungkin lagu yang menceritakan tentang seorang gadis ditinggal kekasih. Tiba-tiba satu bentakan menggeledek di samping kiri si kakek yang tengah asyik meniup seruling.

“Tua Gila Dari Andalas! Kekasih nenek keparat Sinto Gendeng, kau tak akan pemah bisa menyelesaikan nyanyianmu! Karena aku Nyi Ragil Tawangalu minta nyawamu lebih dulu!”

“Aku Si Muka Bangkai juga minta bagian!” Satu suara lain menghardik dan samping kanan.

Kaget orang tua yang tengah meniup seruling bukan olah-olah. Dia segera cabut serulingnya, melompat mundur sambil tangan kiri kanan dipukulkan ke atas menangkis dua serangan ganas mengarah batok kepalanya!

“Bukkk! Traakk!”

Kakek berpakaian putih terpental setengah tombak, terbanting ke tanah. Suling yang dipakainya untuk menangkis patah sedang lengan kiri menggembung bengkak.

“Kalian siapa? Mengapa menyerangku?” Si kakek berteriak seraya berusaha berdiri.

“Tua Gila! Nasibmu apes! Kau muncul di sini hanya untuk menggantikan nyawa busuk kekasihmu Sinto Gendeng!” kata Nyi Ragil Tawangalu lalu...

"Srett!" Si nenek cabut golok Si Penjarah Nyawa. Di sebelahnya Si Muka Bangkai menyeringai.

“Tua Gila?!” kakek berambut putih yang barusan kena hantaman kiri kanan berdiri termiring-miring dan berseru keras. “Aku bukan tua gila! Aku Datuk Muda Carano Ameh dari Lima Koto, saudara sepupu Tua Gila!”

Nyi Ragil dan Si Muka Bangkai sama-sarna terkejut dan saling pandang. Saat itu langit di atas telaga semakin gelap karena awan mendung bergulung rendah.

“Nyi Ragil, orang mau menipu kita. Jangan percaya mulutnya!” kata Si Muka Bangkai.

“Kakek setan! Sudah mau mampus masih berani menipuku!” bentak Nyi Ragil. Dia maju selangkah.

“Astagfirullah! Kalian salah sangka! Aku benar-benar bukan Tua Gila. Aku Datuk Muda…”

“Tutup mulutmu! Siapapun kau adanya, selagi ada pertalian darah dengan Tua Gila tetap akan aku jadikan bangkai!” Nyi Ragil berteriak keras lalu bacokkan goloknya ke arah si kakek.

Si Muka Bangkai tak tinggal diam. Lancarkan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Pukulan ini bukan lain adalah pukulan Gerhana Matahari, Satu pukulan yang bukan saja menebar cahaya tiga warna yaitu kuning, hitam dan merah, tetapi juga membuat udara menjadi tambah kelam.

Seperti yang dikatakan si kakek berpakaian putih, dirinya memang bukan tua gila. Dia adalah saudara sepupu Tua Gila, bergelar Datuk Muda Carano Ameh, seorang ulama di Lima Koto Andalas yang sepintas lalu memang memiliki ciri-ciri sama dengan Tua Gila. Kakek ini sama sekali tidak tahu segala macam ilmu silat. Karenanya mendapat serangan seperti itu dia tidak mampu menangkis ataupun berkelit selamatkan diri.

Pukulan Gerhana Matahari menghantam Datuk Muda Iebih dulu. Kakek ini menjerit setinggi langit. Tubuhnya mencelat dua tombak, terpental menghantam pohon. Perutnya hancur seperti dikoyak binatang buas. Pakaiannya hangus mengepulkan asap. Terkapar di bawah pohon Datuk Muda masih keluarkan suara erangan. Selagi manusia malang ini melejang-lejang, Nyi Ragil datang dengan goloknya. Si Penjarah Nyawa ditusukkan tepat di arah jantung.

Datuk Muda Carano Ameh keluarkan jeritan sekali lagi. Tapi jeritannya sekali ini terputus mendadak bersamaan dengan melayangnya nyawanya. Datuk Muda menemui ajal dengan tubuh dan pakaian hangus, mata mendelik dan golok besar menancap di dada. Bersamaan dengan putusnya nyawa si kakek, hujan mulai turun di atas kawasan telaga.

Nyi Ragil mendongak, keluarkan suara tawa panjang. Air hujan yang melebat membasahi dan melunturkan dandanan di wajahnya. “Sinto Gendeng! Kalau kau datang ke tempat ini kau akan saksikan kematian manusia ini! Kalau kau sadar, nyawamu hanya tinggal beberapa langkah dan hang kubur! Ha ha ha! Aku akan datang kembali mencarimu! Ha ha ha!”

Nyi Ragil memberl isyarat pada Si Muka Bangkai. Di bawah hujan lebat ke dua orang itu lalu tinggalkan tempat tersebut.
BAB 7
Tak selang berapa lama setelah Nyi Ragil dan Si Muka Bangkai tinggalkan puncak Gunung Gede, dibawah hujan lebat dan arah tenggara muncul seorang anak lelaki menunggang seekor kuda coklat. Melihat ada sebuah pohon besar di tepi telaga anak ini yang bukan lain Boma Wanareja adanya, yang tengah dalam perjalanan mencari nenek sakti Sinto Gendeng segera arahkan kudanya ke sana.

Maksudnya untuk berhenti dan berteduh. Tapi alangkah kagetnya dia ketika tak berapa jauh dan pohon besar itu tergeletak sosok seorang tua yang pakaian putihnya bersimbah darah. Sebuah golok menancap di dadanya. Kuda tunggangan Boma meringkik keras. Anak ini cepat meluncur turun. Setengah berlari dia dekati sosok yang tergeletak di tanah.

Seumur hidup baru kali Boma melihat orangdadanya ditancapi golok besar seperti itu. Dia tak bisa menduga apakah orang tua itu sudah mati atau masih hidup. Rasa takut membuat bulu kuduknya merinding dan lututnya bergetar. Tapi rasa kasihan juga muncul dalam hati Boma. Anak ini tarik dua tangan mayat lau menyeretnya ke bawah pohon agar tidak kehujanan. Golok yang menancap di dada bergoyang-goyang.

Merasa tidak tega, Boma lalu cabut golok besar itu dari dada mayat. Dia jadi ngeri sendiri karena dan luka besar di dada kiri mengalir lebih banyak darah. Saat itu kilat menyambar menerangi kawasan telaga, disusul gelegar suara halilintar. Ketika keadaan terang sekilas tiba-tiba terdengar jeritan membelah langit, menindih kerasnya suara curahan air hujan dan deru angin.

“Bocah setan! Kau membunuh Tua Gila!”

Dalam kagetnya Boma palingkan kepala. Tangannya masih memegang golok Si Penjarah Nyawa yang bergelimang darah. Di depan sana, sejarak tiga tombak dia melihat seorang nenek berwajah seram hitam, dengan kepala ditancapi lima tusuk konde perak, melompat ke arahnya. Tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi. Tangan yang hitam itu kelihatan berubah menjadi putih perak menyilaukan.

Sadar orang hendak menghantamnya dengan satu pukulan sakti, Boma cepat berteriak. “Nek, tahan! Bukan aku yang membunuh orang tua ini!”

“Dajal pendusta! Aku lihat sendiri kau mencabut senjata pembunuh itu dari dada Tua Gila! Mampus! Kau harus mampus!”

“Nek! Tunggu!” Boma melihat ada kilatan cahaya itu menyambar ke arahnya dengan mengeluarkan suara menggelegar disertai hamparan hawa panas luar biasa! Boma melompat selamatkan diri. Tapi terlambat.

“Sinto Weni! Tahan serangan!” Tiba-tiba ada suara orang berteriak, keras menggelegar. Satu bayangan putih menyambar. Selarik sinar kebiru-biruan melesat ke arah Pukulan Sinar Matahari yang barusan dilepaskan Sinto Gendeng, coba menangkis memapakinya tapi kalah cepat.

Tubuh Boma Wanareja terpental jauh, bergulingan di tanah. Golok besar di tangannya mencelat lepas jatuh menghunjam tanah. Sebatas pinggang ke bawah tubuh anak usia lima belas tahun itu hitam melepuh kepulkan asap. Dan mulutnya mengucur darah kental disertai erangan tidak berkeputusan. Dua tangannya bergetar, bergerak-gerak menggapai udara kosong.

Bayangan putih yang tadi lepaskan pukulan tangkisan jatuhkan diri di samping tubuh si anak sambil berteriak “Boma!” Si bayangan putih yang bukan lain adalah Kiai Gede Tapa Pamungkas peluk tubuh Boma Wanareja.

“Kek…” nafas Boma Wanareja megap-megap. Kedua matanya terbuka besar tapi bola matanya mulai memudar. Pandangannya kabur. Masih terdengar suaranya perlahan, tinggal menyerupai desah. “Maafkan saya… Saya tidak dapat menjalankan tugas darimu. Saya belum dapat menemui nenek Sinto Gendeng…”

Ucapan Boma hanya sampai di situ. Nyawanya putus sudah. Kiai gede Tapa Pamungkas rangkul tubuh Boma erat-erat. Air matanya jatuh bercucuran. Di Samping kiri, tegak tertegun seorang nenek berkulit hitam, berwajah cekung keriput. Matanya membeliak besar. Mulutnya ternganga ingin mengeluarkan ucapan tapi tak sepotong katapun bisa keluar. Dua mata yang terpuruk dalam rongga cekung itu tidak mengenali siapa adanya bocah yang ditangisi Kiai Gede Tapa Pamungkas.

Si nenek alihkan pandangannya pada orang tua berambut putih. Tengkuknya mendadak terapa dingin. Dadanya serasa mau meledak oleh debaran jantung yang tiba-tiba meletup dahsyat. Dua matanya yang berada dalam rongga dalam seperti mau melompat keluar. Dia mengenali siapa adanya si orang tua yang telah jadi mayat karena sebelumnya pernah bertemu sampai dua kali.

“Datuk Muda… Bukan Tua Gila… Bukan Sukat Tandika…” desis Si nenek. “Ya Tuhan, apa sebenarnya yang telah terjadi. Siapa anak yang barusan kubunuh ini! Mengapa Kiai memeluk dan meratapi kematiannya. Seumur hidup baru kali ini aku melihat Kiai menangis…”

Si nenek yang bukan lain Sinto Gendeng adanya merasakan sekujur tubuhnya lemas. Sosoknya jatuh berlutut. Gemuruh di dadanya semakin menjadi-jadi. Dia berusaha menahan seperti mau meledak sendiri. Saat itu dia sadar kalau telah melakukan satu kesalahan besar. Tapi apa yang dilihatnya tadi apakah keliru?

Dia melihat sendiri anak lelaki itu mencabut golok besar dari dada si orangtua yang disangkanya Tua Gila. Sinto Gendeng pejamkan matanya. Saat itu dia mendengar suara orang menegur. Suara Kiai Gede Tapa Pamungkas.

“Sinto! Apa kau sadar kalau sudah kesalahan menjatuhkan tangan? Kau melakukan satu kesalahan besar Sinto!”

“Kiai... Mohon ampunmu. Saya Sinto Gendeng sulit meneruskan ucapannya. “Saya tidak Sengaja melakukannya. Saya mengira anak ini membunuh Tua Gila. Semua terjadi secara cepat tanpa saya bisa berpikir. Kiai saya mengaku telah melakukan satu kesalahan besar. Anak ini mungkin tidak punya dosa apa-apa. Saya ingin mati saat ini. Bunuh saya Kiai, bunuh! Hukum diriku ini!”

“Anak ini kuangkat murid lima tahun lalu. Namanya Boma Wanareja. Cucu seorang perawat kuda Sri Baginda di Kotaraja. Aku menyuruh dia menemuimu di puncak Gunung Gede ini. Untuk belajar sejurus dua jurus ilmu silat dan satu dua pukulan sakti. Ternyata kedatangannya ke sini hanya untuk mengantar nyawa. Aku merasa bersalah. Kalau saja aku mendampinginya dalam perjalanan, mengantar sampai ke sini..."

“Saya mengaku bersalah Kiai. Saya yang bersalah. Bukan siapa-siapa terlalu terburu-buru. Saya mengira…” Sinto Gendeng tekap mukanya.

Lama kedua orang itu saling berdiam diri. Sementara hujan masih terus mencurah lebat. Sesekali petir menyambar, guntur menggelegar. Perlahan-lahan sambil menggendong jenazah Boma Wanareja, Kiai Gede Tapa Pamungkas bangkit berdiri. Sesaat dipandanginya Sinto Gendeng dengan pandangan yang menyatakan penyesalan. Lalu perlahan-lahan orang tua ini memutar tubuh, mengayun langkah.

“Kiai, jangan tinggalkan saya dalam keadaan seperti ini. Saya ingin kau menjatuhkan hukuman atas diri saya. Bagaimanapun beratnya akan saya terima. Bahkan saya ikhlas Kiai menjatuhkan hukuman mati!”

"Hukuman bagaimanapun bentuknya tidak akan mengembalikan keadaan seperti sebelumnya. Yang terjadi tetap terjadi. Yang mati tak akan mungkin dihidupkan lagi"

Sinto Gendeng jadi terisak mendengar kata-kata gurunya itu.

“Dengar Sinto, “ kata sang Kiai pula. “Dengan izin Allah mungkin ada satu cara dan jalan bagimu untuk mengobati keperihan hati atas kekeliruan yang telah kau buat…”

“Mohon Kiai sudi mengatakan. Apapun yang Kiai perintah akan saya lakukan, walau menyabung nyawa di lautan api sekalipun.”

Kiai Gede Tapa Pamungkas mendongak ke langit. Mata dipejamkan, bibir bergetar melafalkan beberapa ayat-ayat suci. Masih dengan mata terpejam orang tua ini kemudian berucap. “Sinto, meski teramat samar namun aku masih bisa melihat. Di suatu waktu di masa depan, entah sepuluh tahun mendatang entah seratus tahun lagi, di muka bumi ini akan lahir seorang anak manusia yang oleh kedua orang tuanya dibeni nama Boma. Dengan izin dan kuasa Yang Maha Kuasa kau akan mewariskan ilmu silat dan kesaktianmu kepadanya. Entah bagaimana caranya apakah dia akan merupakan titisanmu, atau apa namanya semua masih menjadi rahasia Yang Maha Kuasa.”

Sinto Gendeng terdiam sesaat mendengar katakata gurunya itu. Lalu dia berkata. “Kiai, agar saya tidak membuat kekeliruan lagi, mengenai anak itu apakah dia memiliki tanda-tanda tertentu?”

Masih dalam keadaan mata terpejam Kiai Gecie Tapa Pamungkas menjawab. “Bagus kau bertanya begitu. Dengar baik-baik. Anak itu memiliki dua tanda yang bisa kau jadikan pegangan. Tanda pertama. Di telapak tangan kirinya ada tanda garis bersilang menyerupai tanda kali. Tanda kedua terdapat di telapak kaki kanannya. Di bagian tumit. Di situ ada satu tahi lalat besar. Sinto kau harus mengingat dua tanda itu baik-baik…”

“Akan saya ingat Kiai,” jawab Sinto Gendeng.

Perlahan-lahan Kiai Gede Tapa Pamungkas membuka matanya. “Aku akan pergi membawa jenazah anak ini. Akan kumakamkan di satu tempat. Kau uruslah mayat saudara Tua Gila itu. Kedukaan dan penyesalan serta kekeliruan adalah bagian dan setiap kehidupan manusia. Dan situ kita banyak mendapat bahan kajian dan pelajaran. Selamat tinggal Sinto…”

Sinto Gendeng angkat kepalanya. Tapi cepat sekali sang Kiai sudah tak ada lagi di tempat itu. Si nenek tarik nafas panjang dan dalam. Mengusap wajahnya yang keriput berulang kali lalu bangkit berdiri. Tak sengaja matanya membentur golok yang tergeletak di tanah becek. Tak jauh dan golok tergeletak pula sarungnya.

Sinto Gendeng melangkah dekati senjata itu. Matanya menyipit memperhatikan, lalu mendeilk besar berkilat-kilat spperti ada nyala api di dalam rongganya yang cekung. Dia bisa mengenali karena pernah melihat golok dan sarung serupa beberapa kali sebelumnya.

“Golok Si Penjarah Nyawa! Nyi Ragil keparat! Kau tunggu pembalasanku!” Saking geramnya Sinto Gendeng tendang golok dan sarungnya hingga mencelat mental ke udara, lenyap dan pemandangan.

Kisah Boma ini dapat pembaca ikuti dalam serial BOMA GENDENG

********************
WWW.ZHER.NET
BAB 8
Di Bukit Menoreh. Di selatan Kotaraja, pada suatu malam purnama, tiga minggu sejak pertemuan terakhir antara Pendekar 212 Wiro Sableng dengan tiga gadis cantik yaitu Anggini, Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung.

Malam itu adalah malam perjanjian bahwa mereka akan bertemu lagi di tempat itu. Namun menunggu sampai larut malam, tiga gadis belum juga muncul. Wiro mulai merasa khawatir. Satu orang bisa saja lupa akan han perianjian. Tapi mustahil kalau ke tiganya sama-sama lupa. Dinginnya udara dan angin malam mulai terasa mencucuk. Bulan purnama empat belas han tepat berada di atas kepala.

Namun mata sang pendekar agaknya tak mau lagi diajak melihat keindahan sang rembulan. Dia menguap berulang kali dan mulai mencari-cari tempatyang baik untuk merebahkan diri. Sewaktu beranjak hendak mendekati sebuah pohon tiba-tiba dia disentakkan oleh suara sesuatu berkerontang di kejauhan.

“Suara itu. Aku mengenal sekali. Tidak bisa tidak pasti dia!” Wiro membatin lalu memandang kejurusan datangnya suara kerontangan. Sunyi. Tak kelihatan apa-apa. Tak terdengar lagi suara kerontangan.

“Celaka, jangan-jangan dia sudah berada jauh di jurusan lain. Bukan menuju ke sini!”

Wiro segera mengejar. Berlari belasan tombak tetap saja dia tidak menemukan siapa-siapa. Dengan perasaan penuh kecewa pernuda ini akhirnya kembali ke puncak bukit Menoreh, dudukkan diri di atas satu gundukan batu. Baru saja dia duduk di atas batu sekonyong-konyong suara berkerontang menggeledek di samping kirinya. Pendekar 212 sampai tenlonjak saking kagetnya. Gelak tawa membahana memenuhi puncak Bukit Menoreh.

“Sahabatku sedang kebingungan! Aku datang sampai tidak melihat! Sungguh keterlaluan! Ha ha ha…! Pendekar 212. Apa kabarmu?”

Wiro palingkan kepala. Astaga! Orang yang tadi dicari dan dikejarnya tahu-tahu kini hanya dua langkah di hadapannya! “Kakek Segala Tahu!” seru Wiro lalu memeluk sosok orang tua dihadapannya sampai caping yang ada di atas kepala orang tua itu tersingkap jatuh ke tanah.

“Kau datang tepat pada waktunya. Pasti Tuhan yang mengirimkan kau ke sini!”

Si kakek yang berpakaian seperti pengemis, compang-camping bahkan banyak tambalannya, dongakkan kepala ke langit. Tangan kanan memegang tongkat. Tangan kiri memegang sebuah kaleng rombeng berisi batu. Di punggungnya ada satu kantong perbekalan. Bola matanya yang putih buta berputar beberapa kali.

“Purnama begitu indah. Sahabat muda menyambut dengan pelukan segala. Pasti ada maunya! Ha ha ha!”

Wiro menyeringai, garuk-garuk kepala. “Kek, lama tidak bertemu. Sekali bertemu memang banyak pertanyaan untukmu. Aku tidak malu-malu mau minta tolong.” Wiro membungkuk mengambil caping yang jatuh di tanah lalu meletakkannya di atas kepala si kakek.

“Pertanyaan pertama Kek, apakah selama ini kau ada baik-baik saja?”ujar Wiro.

Kakek Segala Tahu tertawa lebar. Goyangkan kalengnya hingga keluarkan suara berisik menyakitkan telinga di malam buta begitu rupa. “Ah, itu hanya pertanyaan basa-basi. Buat apa kujawab!”

“Kalau begitu aku mulai saja dengan pertanyan yang bukan basa basi,” kata Wiro pula. “Pertanyaan pertama menyangkut seorang sahabatku yang disekap dalam sebuah guci tembaga oleh seorang kakek jahat berjuluk Iblis Kepala Batu Alis Empat. Aku berusaha membebaskannya tapi selalu gagal. Mungkin kau tahu apa yang harus aku lakukan untuk dapat membebaskan sahabatku itu.”

Kakek Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya. “Yang kau sebut sahabat itu, lelaki atau perempuan.”

“Perempuan, seorang gadis…”

“Sudah kuduga!” ujar Kakek Segala Tahu. “Tapi aku merasa kau seperti mau menipuku. Bagaimana mungkin seorang gadis bisa disekap dalam sebuah guci tembaga. Kurasa tangannya saja tak mungkin masuk ke dalam guci itu!”

“Dia bukan gadis manusia biasa. Dia gadis dari alam roh,” menjelaskan Wiro.

“Ah... Aku ingat sekarang. Bukankah gadis itu bernama Suci, berjuluk Dewi Bunga Mayat?”

“Syukur kalau kau sudah tahu.”

Si kakek goyangkan kalengnya. Lalu mendongak ke langit seolah menatap rembulan dengan sepasang matanya yang putih buta. “Coba kau ingat. Apakah kau pernah menerima sesuatu dari gadis alam roh itu?"

Wiro mengingat-ingat. Tapi otak dan daya ingatnya seperti tak mau bekerja.

“Dia pernah menyerahkan sesuatu padamu. Sesuatu yang bisa membuat engkau mampu memanggilnya dari alam roh ke alam nyata. Pendekar 212 apa otakmu sudah jadi tumpul?”

Dada Wiro berdebar. “Kek!” serunya. “Aku ingat. Dia memang pernah menyerahkan sekuntum bunga kenanga. Tapi bunga itu hilang ketika aku berada di negeri Latanahsilam. Tapi astaga! Tunggu dulu!”

Pendekar 212 mengeruk saku celana putihnya. Tangannya menyentuh sesuatu. ketika dikeluarkan ternyata itulah sekuntum bunga kenanga kuning yang tak pernah layu. “Kek, bunga yang kau maksudkan itu memang ada padaku. Aku ingat, bunga ini dititipkannya pada seorang sahabat bernama Anggini. Jauh sebelum dia masuk dalam sekapan guci tembaga Iblis Kepala Batu!”

Wiro pukul-pukul keningnya sendiri. "Tololnya aku ini! Mengapa selama ini tidak pernah ingat kalau aku punya kembang kenanga sakti yang bisa memanggil gadis alam roh itu!”

Kakek Segala Tahu tertawa lebar lalu goyangkan kaleng rombengnya. “Kembang itu bukan kembang biasa…”

“Aku tahu Kek, aku tahu. Akan segera kucoba mengadakan sambung rasa dengan gadis itu. Mudah-mudahan kita bisa menolongnya. Mudah-mudahan dia bisa keluar dan sekapan guci tembaga.”

Murid Sinto Gendeng lalu genggam kembang kenanga dalam jari-jari tangan kanannya. Dalam pandangan mata dan alam pikirannya dia membayangkan wajah Dewi Bunga Mayat atau Suci. Wiro sendiri lebih suka menyebutnya Bunga. Dalam hati di berkata. “Bunga datanglah. Keluar dan dalam guci, datanglah kepadaku. Bunga..."

Sunyi. Yang terdengar hanya suara desau angin. Biasanya jika dipanggil sekali saja dengan cara seperti yang dilakukan Wiro tadi, dihadapan Wiro akan segera terlihat bayangan samar seperti asap. Bayangan ini perlahan-lahan lalu berubah membentuk sosok Bunga hingga akhirnya menyerupai manusia seutuhnya. Tapi sekali ini tidak terjadi hal seperti itu.

“Bunga, aku Wiro memanggilmu. Keluar dari dalam guci. Datanglah..." kembali Wiro mengulang malah sambil mengerahkan tenaga dalam. Padahal biasanya tanpa pengerahan tenaga dalam dia mampu memanggil dan mendatangkan gadis alam roh itu.

Di satu tempat jauh, di dalam guci tembaga tempat dirinya disekap Bunga mendengar suara Pendekar 212 seperti ngiangan nyamuk di kedua telinganya. Gadis ini tersentak, berseru gembira. “Wiro memanggilku. Bunga kenanga. Bunga itu pasti berada di tangannya..."

Bunga lalu pusatkan rasa dan jalan pikirannya. Ditujukan pada Wiro. Biasanya begitu sambung rasa saling bersentuhan, sosok gadis ini akan melayang laksana kilat ke tempat di mana Wiro yang memanggilnya berada. Namun sekali ini tubuhnya hanya mengalami getaran-getaran halus. Dia tak mampu melesatkan badan. Setiap dia mengerahkan segala daya, seolah ada satu kekuatan menindih.

“Aku tak sanggup menembus guci ini. Ada satu kekuatan dahsyat sulit kutembus. Kalau cuma lapisan tembaga apalah artinya…”

Di tempatnya berada Wiro kembali berucap. “Bunga, datanglah. Keluar dari dalam guci. Temui aku di tempat in Bunga datanglah...”

“Wiro! Aku tak mampu keluar dan guci! Aku tak bisa menemuimu! Aku hanya terkurung oleh ujud kasar guci tembaga. Ada satu kekuatan menyungkup diriku! Tak bisa kutembus! Wiro...!”

Kalau Suci bisa mendengar suara batin Wiro sebaliknya Wiro hanya mendengar suara gadis alam roh itu berupa ngiangan sangat tidak jelas. Ini disebabkan antara keduanya terpisah dalam jarak yang jauh.

Kakek Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya. Suara berisik batu-batu dalam kaleng rombeng memecah kesunyian, membuat Wiro tersentak kaget.

“Kek, kau tahu aku tengah memusatkan daya dan pikiran untuk memanggil gadis itu. Mengapa kau mengganggu dengan suara kaleng rombeng butut sialan itu!” kata Wiro kesal. Saat itu ingin sekali dia merampas kaleng si kakek lalu melemparkannya ke dalam telaga.

Si kakek malah senyum. Dengan tenang dia menjawab. “Gadis itu mungkin bisa mendengar suara batinmu memanggil. Tapi kau tidak bisa mendengar. Berarti jarak kalian terpisah sangat jauh. Aku menduga dia tidak mampu membebaskan diri dari dalam guci sekalipun kau bantu dengan kekuatan sakti bunga kenanga itu. Guci tempat dia disekap memiliki satu kekuatan magis dahsyat. Yang ada di dalam tidak selamanya bisa tembus keluar. Tapi yang dari luar masih ada kemungkiban tembus ke dalam.”

Murid Sinto Gendeng tarik nafas kesal. Garuk-garuk kepala beberapa kali. Lalu bertanya. “Apa yang bisa aku lakukan menolong gadis itu Kek?”

Kakek Segala Tahu mendongak ke langit. Saat itu rembulan tertutup sekelompok awan kelabu hingga sinarnya menjadi redup. Seolah matanya tidak buta si kakek berkata. “Tunggu dulu bulan purnama lepas dari halangan awan gelap...”

Tak lama kemudian kelompok awan kelabu bergerak menjauh hingga bulan purnama kembali terlihat jelas, bulat dan terang. Kakek Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya. Sementara ujung tongkat dicorat-coret ke atas tanah secara sembarangan. Walau sembarangan tapi Wiro melihat guratan ujung tongkat itu membentuk jelas gambar sebuah guci. Bentuknya sama dengan guci milik Ibils Kepala Batu tempat Bunga disekap.

“Anak muda, gambar apa yang kau lihat di tanah?” si kakek bertanya. Matanya masih menatap ke arah rembutan di langit.

“Aku melihat gambar guci,” jawab Wiro.

“Kentut!” dengus si kakek. “Hanya gambar guci? Buka matamu lebar-lebar. Lihat lagi!”

Dimaki kentut Wiro jadi menggerendeng. Tapi dia melakukan juga apa yang dikatakan si kakek, melihat ke tanah kembali. “Astaga, di dalam gambar guci aku seperti melihat bayangan diriku!”

Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh. “Aku sudah mendapat petunjuk. Berarti untuk dapat membebaskan gadis sahabatmu itu... Eh, tunggu, gadis itu sahabatmu atau kekasihmu?”

“Jangan bergurau Kek!”

“Aku tanya sungguhan. Siapa bergurau!”

“Terserah kau mau bilang apa!”

“Soalnya aku jadi bingung!”

“Bingung kenapa?” tanya Wiro heran.

“Kalau dia benar sekedar sahabat tak jadi apa. Tapi kalau dia kekasihmu dan satu ketika kau kawin dengan dia. Lalu dia bunting, melahirkan anak. Nah! Anakmu itu bagaimana jadi dan bentuknya? Seperti manusia biasa? Mahluk jejadian, menyerupai batu, atau hanya berupa angin seperti kentut!”

“Kakek geblek!” maki Wiro.

Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh. “Wiro, dengar baik-baik.” Si kakek kini bicara sungguhan. “Petunjuk menyatakan, seperti gambar yang kau lihat di tanah. Untuk membebaskan gadis dalam guci berarti kau harus masuk sendiri kedalam guci itu!”

“Gila! Tidak masuk akal!” ujar murid Sinto Gendeng. “Jangankan tubuhku! Buahku saja tidak mungkin bisa masuk ke dalam guci sekecil itu!”

Kakek Segala Tahu tertawa bergelak dan kerontangkan kaleng rombengnya. “Anak muda,” katanya. “Sekarang kau yang bergurau! Ha ha ha!” Si orang tua letakkan ujung tongkatnya di bahu kiri murid Sinto Gendeng. Ujudnya memang tongkat kayu butut, kecil dan enteng. Tapi Wiro merasa bahunya seperti ditiban satu batu sangat besar hingga tak ampun lagi tubuh sang pendekar miring ke kiri.

“Sialan! Dalam keadaan seperti ini tua bangka geblek ini masih sempat-sempatnya menjajal tenaga dalamku. Akan kubalas biar dia tahu rasa!”

Diam-diam Wiro mengalirkan kekuatan tenaga dalamnya yang berpusat di bagian pusar lalu dialirkan ke bahu. Begitu tenaga dalam sampai di bahu dia sentakkan bahu kirinya untuk memberi daya dorong berlipat ganda. Aliran tenaga dalam yang dahsyat masuk ke dalam tongkat kayu, bergerak cepat memasuki tubuh Si kakek, berkumpul di bagian perut.

“Aduh biyung!” si kakek mengeluh. “Mengapa perutku terasa kembung! Mulas! Walaah...”

“Buuttt Buutttt...” Kakek Segala Tahu pancarkan kentut bertalu-talu.

Pendekar 212 Wiro Sableng pura-pura tidak tahu. Rangkapkan tangan di depan dada, memandang ke langit pura-pura melihat bulan. Tapi ia tak bisa menahan ketawa.

“Anak sial! Kau membalas! Kau mengerjai aku, hah!” Si kakek cepat turunkan tongkatnya dari atas bahu kiri Wiro. Dia meniup perlahan. Goyangkan kaleng butut. Rasa kembung dan mulas yang ada di perutnya serta merta lenyap. “Anak muda, saatnya kita bicara sungguhan...”

“Dari tadi aku bicara sungguhan. Kau yang mulai jahil,” jawab Wiro.

“Kalau kau tidak menyebut-nyebut soal buah aku tidak terpancing!” kata Kakek Segala Tahu sambil mesam-mesem. “Eh, sampai di mana pembicaraan kita tadi?”

Wiro menggaruk kepala. “Kau bilang untuk bisa membebaskan gadis alam roh aku harus masuk sendiri ke dalam guci.”

“Betul. Memang begitu yang aku lihat.”

“Caranya bagaimana Kek?” tanya Wiro.

“Kau harus jadi kentut!”

“Nah, kau bergurau lagi!” Wiro jadi kesal.

“Tidak, aku bicara sungguhan. Kau harus jadi kentut. Eh, maksudku bukan kentut. Tapi kau harus jadi angin. Kau harus masuk ke dalam alam gaib dengan jalan merubah dirimu. Sukmamu harus mampu meninggalkan tubuh kasar agar bisa masuk ke dalam guci sementara tubuh kasarmu tetap berada di luaran.”

“Sukma itu apa Kek?” tanya Wiro. “Apa tukang dawet di pasar pon?”

Dibercandai si kakek membalas dengan bercanda pula. “Sukma itu si kentut tadi. Angin itu...” katanya lalu tertawa mengekeh. “Sukma adalah ujud halusmu. Katakan saja rohmu.”

“Bagaimana mungkin? Kalau rohku keluar dan tubuh berarti aku sudah mati. Tidak masuk akal. Tidak mungkin.”

“Mungkin saja. Jika kau menguasai ilmu Meraga Sukma.” Jawab Kakek Segala Tahu.

“Ilmu Meraga Sukma? Baru sekali ini aku dengar. Kau punya ilmu itu?”

Si kakek menggeleng. “Aku kenal seorang sakti yang diam di dasar laut pantai selatan. Lurusannya Parangtritis. Namanya Nyi Roro Manggut. Orangnya cantik sekali. Masih muda, mungkin juga masih gadis.” Si kakek hentikan ucapannya, melirik sebentar pada Wiro. Lalu tertawa.

“Kenapa kau tertawa Kek?” tanya murid Sinto Gendeng.

“Begitu aku bilang orangnya cantik sekali, masih muda, masih gadis, aku lihat dua bola matamu langsung bercahaya mengekerelap!Dasar pemuda buaya! Ha ha ha!”

Wiro hanya bisa senyum-senyum sambil garuk kepala. Si kakek melanjutkan keterangannya. "Konon kabarnya dia salah seorang pembantu kepercayaan Nyi Roro Kidul yang sakti itu. Kau harus menemuinya, minta diberikan ilmu itu. Kalau sudah dapat kau pasti bisa menolong gadis alam roh yang disekap dalam guci.”

Wiro diam seperti merenung. “Ada dua hal yang perlu aku tanyakan Kek.” Kata Pendekar 212 kemudian. “Pertama aku ini hanya manusia biasa. Bukan ikan. Bagaimana bisa menyelam masuk ke dasar laut.”

“Tololnya otakmu!” jawab si kakek. “Bukankah kau punya sahabat, eh atau juga mungkin kekasih si Ratu Duyung itu? Minta tolong padanya. Apa susahnya?”

“Ah, kau betul,” Wiro garuk-garuk kepala. “Lalu hal kedua. Aku tidak kenal dengan Nyi Roro Marmut…"

“Manggut! Nyi Roro Manggut! Enak saja kau bilang Marmut!” tukas Kakek Segala Tahu.

Wiro tertawa cengengesan. “Ya... ya, Nyi Roro Manggut. Aku tidak kenal padanya. Jika bertemu apa dia mau memberikan ilmu kesaktian langka bernama Meraga Sukma itu?”

“Kau tak usah kawatir. Jangan takut. Serahkan kaleng ini padanya. Pasti dia akan mau menolongmu. Pasti dia akan berikan ilmu itu padamu. Dan kau pasti akan bisa menolong gadis alam roh itu!” Habis berkata begitu si kakek lalu sodorkan kaleng rombengnya pada Wiro.

Tentu saja Pendekar 212 ragu-ragu menerimanya

“Ayo ambil!” ucap Kakek Segala Tahu.

“Kek, bagaimana mungkin. Hanya dengan memberikan kaleng butut dan bau ini Nyi Roro Manggut akan mau memberikan ilmu kesaktian hebat padaku?”

“Tak usah banyak tanya, tak usah banyak khawatir. Lakukan saja apa yang aku katakan!”

Wiro garuk-garuk kepala pulang balik. “Kalau kaleng itu aku ambil, lantas kau tak punya kaleng itu lagi nantinya.”

“Aku punya banyak kaleng seperti ini. Kau mau berapa?”

Murid Sinto Gendeng jadi tertawa. Akhirnya diambilnya juga kaleng rombeng itu dari tangan si kakek. “Kek, ada satu pertanyaan lagi. Kalau sukma ku keluar dan tubuh kasar lalu tak bisa kembali lagi, apakah nantinya aku bukannya bisa jadi setan penasaran gentayangan tak karuan ujud dan tujuan?”

Si kakek tak menjawab. “Kek…?!”

Wiro angkat kepalanya. Astaga! Ternyata Kakek Segala Tahu tak ada lagi di depannya. Di kejauhan, mungkin sudah di kaki bukit, terdengar suara kerontangan kaleng. Wiro hanya bisa menyengir dan geleng-gelengkan kepala. Tangannya yang memegang kaleng rombeng digoyangkan.

Batu-batu kerikil yang berbenturan dengan dinding kaleng keluarkan suara keras berisik, membuat Wiro pegang sendiri dan tekap salah satu telinganya. Ketika tangannya yang dipakai menutup telinga diturunkan tiba-tiba terdengar suara tawa cekikikan.

“Hari ini ada lagi seorang pendekar mendadak sinting. Kerjanya menggoyang-goyang kaleng rombeng! Hik hik hik!” Satu suara berucap disusul tawa cekikikan.

“Mungkin baginya suara berisik kaleng itu semerdu alunan bebunyian yang bakal mengantar nyawanya ke neraka. Hik hik hik!” Suara lain menimpali.

Murid Sinto Gendeng palingkan kepala. “Sial! Lain yang ditunggu lain yang datang!” maki Wiro...!

T A M A T
Episode Selanjutnya:
LihatTutupKomentar