Pedang Naga Suci 212
PEDANG NAGA SUCI 212
SATU
WALAU saat itu menjelang tengah hari namun puncak Gunung Gede diselimuti kelapan mencekam. Langit hitam kelam ditebali awan hitam mendung gulung. Angin bertiup kencang mengeluarkan suara aneh. Suara deru hujan ras seolah langit koyak terbelah. Udara sangat dingin membungkus puncak gunung. Ditambah dengan gelegar guntur yang sesekali ditimpali sambaran petir membuat suasana benar-benar menggidikkan.
Di tepi sebuah telaga yang terletak di puncak timur Gunung Gede, dua sosok tubuh tampak duduk bersila di tanah yang becek. Sepasang lengan dirangkapkan di depan dada. Mereka tidak bergerak sedikitpun seolah telah berubah menjadi patung tanpa nafas. Sekujur tubuh ke dua orang ini basah kuyup mulai dari rambut sampai ke kaki. Hawa dingin luar biasa membuat tubuh mereka sedingin es!
Dua orang ini tidak sedang bersamadi atau bertapa karena sepasang mata mereka memandang tak berkesip ke tengah telaga yang airnya mengeluarkan riak seolah mendidih dan mengepulkan asap putih. Orang di sebelah kanan adalah seorang pemuda berpakaian dan berikat kepala putih. Wajahnya tampan dan memiliki sepasang mata besar dengan pandangan tajam tak berkesip menyorot ke arah telaga.
Di samping kiri si pemuda duduk tak bergerak seorang dara berpakaian biru muda, berparas cantik dan berkulit hitam manis. Di pinggangnya melilit ketat sehelai selendang merah hingga pinggangnya tampak ramping dan pinggulnya mencuat bagus. Gadis ini memiliki rambut panjang sepinggang yang dijalin lalu dilingkarkandi atas kepala. Seolah hiasan, jalinan rambut ini menambah kecantikan wajahnya.
Sulit diduga apa yang tengah dilakukan sepasang muda mudi itu. Mereka tetap tak bergerak dan tak berkesip walau hujan terus mendera, hawa dingin mencucuk, guntur menggelegar dan kilat membuat darah berulang kali tersirap.
Tiba-tiba si pemuda tampak membuat gerakan. Perlahan sekali kepalanya dipalingkan ke kiri ke arah gadis berpakaian biru. Sesaat dipandanginya gadis itu. Mulutnya bergerak sedikit seperti hendak mengucapkan sesuatu. Namun tak ada suara yang keluar. Orang yang dipandangi tetap diam tak bergerak. Si pemuda sesaat menjadi bimbang. Akhirnya dia memutar kepala, memandang kembali ke arah telaga.
Tapi dia seperti tidak dapat memusatkan perhatian lebih lanjut. Tak selang berapa lama kembali dia menoleh ke kiri, pandangi gadis cantik di sebelahnya itu. Mulutnya bergerak namun tetap saja tak ada suara yang keluar. Hanya di dalam hatinya si pemuda membatin.
“Air mukanya jelas masih membayangkan marah dan dendam. Dia pasti tetap tak akan mau bicara denganku. Tapi kalau aku tidak bicara bisa-bisa lebih salah kaprah... Hemmm. Bagaimana aku harus memulai. Hatinya sekeras batu, sikapnya segarang harimau betina...”
Kilat menyambar. Sekilas puncak Gunung Gede terang benderang. Guntur menggelegar seperti merobek telinga dan menghancurkan jantung. Air telaga tampak beriak keras dan kepulan asap semakin tebal bergulung ke udara. Cahaya kilat lenyap dan tempat itu kembali dibungkus kegelapan.
“Aku harus bicara! Terserah dia mau marahi” Pemuda berwajah tampan ambil keputusan. Dia menarik nafas dalam lebih dulu seolah berusaha mempertabah diri. Lalu terdengar suaranya menegur diantara deru hujan dan tiupan angin.
“Sinto, apa kita tidak salah menghitung hari? Jangan-jangan kita datang terlambat atau terlalu cepat...”
Si pemuda menunggu. Tapi orang yang ditanya jangankan menjawab. Bergerak sedikitpun tidak. Bahkan dua matanya yang tajam bagus terus saja memandang ke tengah telaga tanpa berkedip.
“Sinto, kau mendengar pertanyaanku. Harap kau suka menjawab dan sementara melupakan dulu apa-apa yang menjadi ganjalan di hatimu...”
Pemuda gagah di sebelah kanan si gadis kembali membuka suara. Gadis yang diajak bicara tetap membungkam seribu bahasa. Hujan dan angin terus berkecamuk. Kegelapan dan hawa dingin semakin mencekam.
“Sinto Weni kalau kau...”
“Aku tak pernah salah memperhitungkan segala sesuatu dalam hidupku. Satu-satunya kesalahan adalah kesalahan memperhitungkan dirimu...”
Kata-kata yang tiba-tiba keluar dari mulut si gadis walaupun diucapkan secara lembut tapi membuat wajah pemuda tampan di sebelahnya menjadi berubah. Untuk beberapa lamanya dia terdiam dengan mulut ternganga.
“Sinto Weni adikku...”
“Suaramu tidak sedap masuk ke telingaku. Kalau kau tak mau berhenti bicara lebih baik segera saja angkat kaki dari tempat ini...”
Si pemuda menggigit bibirnya sendiri. “Hatinya bukan saja sekeras batu tapi juga sepanas bara. Tak mungkin aku membujuknya. Dari pada urusan jadi panjang memang lebih baik aku pergi saja. dari sini...”
“Sinto, terus terang aku memang tidak mengharapkan warisan apa-apa dari kiai Gede Tapa Pamungkas. Hanya sebagai murid aku harus patuh. Itu sebabnya aku datang ke sini sesuai pesan Kiai beberapa tahun lalu. Kalau kau tidak menginginkan kehadiranku di sini mungkin memang benar aku harus angkat kaki dari tempat ini. Selamat tinggal Sinto. Urusan di antara kita pasti ada saat penyelesaiannya. Satu hal perlu kau ketahui. Hatiku tidak sejahat yang kau duga. Hanya memang mungkin imanku setipis embun di permukaan daun. Mudah sirna terkena cahaya sang surya...”
Habis berkata begitu si pemuda siap bergerak bangkit. Bagi si gadis apa yang dikatakan pemuda itu sama sekali tidak ada pengaruhnya. Dia tetap tak bergerak dan terus menatap ke arah telaga. Tiba-tiba petir menyambar. Guntur menggelegar. Puncak Gunung Gede bergetar hebat. Si pemuda yang hendak berdiri jatuh terduduk di tanah becek. Tapi hatinya telah bulat, tekadnya telah tetap. Dia kembali bangkit berdiri. Namun sekali lagi gerakannya tertahan. Mendadak di kejauhan terdengar suara orang menyanyi. Demikian halus lembut suara itu hingga sulit diketahui apakah yang menyanyi seorang lelaki atau seorang perempuan.
Hari pertemuan datang sudah
Dua warisan akan muncul di dunia
Benda mati akan membawa manusia
Memilih jalan lurus atau jalan sesat
Memilih sorga atau dunia maksiat
Karena itu manusia diberi otak untuk berpikir
Diberi hati untuk menimbang
Manusia harus menguasai benda
Bukan benda yang harus menguasai manusia
Kalau warisan sudah berbagi
Saat berpisah datang sudah.
Baru saja suara nyanyian sirap tiba-tiba kilat menyambar. Laksana sebilah pedang raksasa yang menderu dari atas langit, kilat menghantam pertengahan telaga. Air telaga berobah menjadi panas, mencuat sampai puluhan tombak! Puncak Gunung Gede laksana dilanda gempa ketika guntur menyusul menggelegar.
Sepasang muda-mudi yang duduk di tepi telaga merasa ada hawa aneh keluar dari tanah lalu menjalar masuk ke dalam tubuh masing-masing. Keduanya tampak bergetar hebat dan terhuyung-huyung. Mereka kerahkan tenaga agar tidak terbanting roboh ke tanah.
Sambaran kilat lenyap. Suara gema guntur sirna. Air telaga beriak tenang kembali seperti semula. Dua orang di tepi telaga masih belum lenyap rasa kejut masing-masing. Wajah mereka masih kelihatan pucat. Dalam keadaan seperti itu sekonyong-konyong terdengar suara bergemuruh di dalam telaga. Lalu seolah ada satu kekuatan dahsyat air di pertengahan telaga muncrat setinggi lima tombak. Bersamaan dengan itu dari dalam telaga mencuat muncul sosok tubuh seorang tua berselempang kain putih.
“Kiai Gede Tapa Pamungkas!”
Pemuda dan gadis di tepi telaga sama-sama keluarkan seruan. Keduanya lalu membungkuk dalam-dalam memberi penghormatan.
Orang tua berselempang kain putih yang dipanggil dengan sebutan Kiai Gede Tapa Pamungkas seolah berdiri di atas air. Kepulan asap putih berhawa dingin membuat sosok dan wajahnya tampak samar. Orang tua ini memiliki rambut putih panjang menjulai yang bukan saja menutupi kepala dan punggungnya tapi juga sebagian wajahnya. Selain dari itu kumis alis dan janggutnya yang putih panjang ikut menyembunyikan mukanya.
Ada beberapa keanehan menyertai kemunculan Kiai Gede Tapa Pamungkas ini. Pertama dia muncul dari dalam telaga. Apakah dia memang diam dalam telaga itu? Manusia mana yang mampu hidup dalam air? Ke dua dia bisa berdiri di atas air telaga merupakan satu kepandaian yang sukar dijajagi. Lalu keanehan ke tiga, walau saat itu hujan terus mendera dan barusan dia keluar dari dalam air telaga namun baik tubuh, rambut maupun pakaian Kiai Gede Tapa Pamungkas sama sekali tidak basah!
Baik si pemuda maupun gadis bernama Sinto Weni sebelumnya tidak pernah melihat kemunculan dan penampilan Kiai Gede Tapa Pamungkas begini hebat!
“Murid-muridku apakah kalian berdua sudah lama menunggu?!” Sang Kiai ajukan pertanyaan. Sampai saat itu dia tetap tidak beranjak dari pertengahan telaga sementara cuaca tetap pekat mengelam.
“Kami belum berapa lama berada di tempat ini Kiai,” menjawab si pemuda.
“Kalau Kiai yang memerintah apapun akan kami lakukan. Berapa lamapun menunggu akan kami nantikan,” berkata Sinto Weni.
Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. “Aku tahu kalian sudah lima hari menunggu ditepi telaga. Tanpa makan tanpa minum. Kehujanan dan kedinginan. Murid-muridku, Tuhan menjadikan hidup manusia ini tidak mudah. Cobaan dan ujian datang silih berganti dalam berbagai bentuk. Tuhan tidak ingin menyusahkan umatNya. Semua cobaan dan ujian itu justru untuk membuat manusia menjadi tabah dan berani menghadapi tantangan. Hanya dengan ketabahan dan keberanian berdasarkan kebenaran manusia menyadari apa artinya hidup ini. Ujian dan cobaan yang kalian alami selama lima hari ini hanya sejumput kecil dari padang luas rimba percobaan. Banyak lagi ujian, cobaan dan tantangan yang kelak akan kalian hadapi. Untuk semua itu sandarkan keberanian dan kekuatan kalian pada kekuatan dan perlindungan Yang Maha Kuasa. Karena hanya keberanian dan kekuatan Tuhanlah yang maha benar dari semua kebenaran. Murid-muridku, Sinto Weni dan Sukat Tandika apakah selama empat tahun tidak bertemu kalian berdua ada baik-baik saja?”
“Berkat doa Kiai dan perlindungan Yang Maha Kuasa kami ada baik-baik saja. Walau empat tahun tidak terlalu lama namun kami merasa mulai mengenal apa artinya hidup dan apa artinya dunia persilatan...”
Yang menjawab adalah pemuda bernama Sukat Tandika. Sinto Weni sang dara berkulit hitam manis hanya berdiam diri memandang ke tengah telaga tepat pada arah sepasang kaki sang Kiai. Di tengah telaga, Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. Sambil melirik pada muridnya yang bernama Sinto Weni dia kembali ajukan pertanyaan.
“Murid-muridku apa kalian berdua ada baik-baik saja selama empat tahun ini?”
“Kami... kami berdua ada baik-baik saja Kiai,” akhirnya si gadis menjawab.
“Bagus kalau begitu,” ujar Kiai Gede Tapa Pamungkas sambil anggukkan kepala walau sebenarnya dia tahu ada sesuatu yang disembunyikan murid perempuannya ini. “Sinto Weni dan Sukat Tandika. Empat tahun kalian terjun ke dalam rimba persilatan bukan satu waktu yang lama. Tidak dapat dijadikan ukuran apakah kalian telah mampu menjadi pendekar-pendekar yang dihormati dan disegani. Namun aku sudah menyirap kabar bahwa ilmu Pukulan Sinar Matahari yang kuwariskan padamu Sinto Weni telah membuat geger dunia persilatan. Lalu aku juga mengetahui bahwa ilmu silat tangan kosong yang kau dapat dariku Sukat Tandika telah membuat orang-orang golongan hitam menjadi mati kutu. Seperti yang pernah aku katakan dulu, hari ini adalah hari pertemuan yang dijanjikan. Hari ini adalah hari dua warisan akan kuserahkan pada kalian. Dan hari ini pula kita akan berpisah untuk selama-lamanya. Entah kalau Tuhan masih mengijinkan bagi kita bertemu. Adapun bentuk warisan yang akan kuberikan pada kalian, akan kalian lihat sendiri nanti. Suka atau tidak suka kalian harus menerimanya sebagai kenyataan. Karena dua benda warisan itu hanyalah titipan anak cucu kalian yang harus dipergunakan untuk menyelamatkan dunia persilatan dari segala macam angkara murka. Waktuku pendek, aku tak mungkin bicara terlalu banyak. Harap kalian tetap duduk di tempat masing-masing. Jangan bicara kalau aku tidak mengajak bicara. Jangan bergerak kalau tidak aku suruh!”
Habis berkata begitu Kiai Gede Tapa Pamungkas lalu kembangkan ke dua tangannya ke samping. Bersamaan dengan itu terdengar, suara menggemuruh yang datang dari dua arah di dasar telaga. Lalu air telaga di kiri kanan si orang tua mencuat setinggi sepuluh tombak. Anehnya air yang melesat ke udara itu tampak mengeluarkan tiga warna yakni putih, merah dan biru. Bersamaan dengan mencuatnya air telaga di dua tempat, mendadak tiupan angin semakin kencang dan hujan mendera bertambah keras!
Sinto Weni dan Sukat Tandika merasakan jantung masing-masing berdebar keras. Mata mereka dibuka lebar-lebar ketika ada suara mendesir di dalam telaga. Lalu dua buah kepala mencuat ke permukaan air. Sepasang muda-mudi ini kalau tidak ingat pesan guru mereka tadi, niscaya saat itu sudah tersurut ke belakang atau keluarkan seruan tertahan ketika melihat dua makhluk yang keluar dari dalam telaga!
DUA
Dua makhluk yang muncul di permukaan air telaga di kiri kanan Kiai Gede Tapa Pamungkas ternyata adalah dua ekor ular besar bermata merah, satu jantan satu betina, memiliki lidah terbelah yang menjulur panjang serta gigi dan taring besar runcing. Di atas kepala sebelah depan ada sebentuk mahkota putih bertabur batu-batu yang memantulkan sinar berkilauan. Di bagian kepala sebelah belakang tampak sebentuk tanduk berwarna hijau.
“Ular naga...” desis pemuda bernama Sukat Tandika dalam hati. “Setahuku binatang ini hanya ada dalam dongeng. Apa yang kulihat ini ular naga sungguhan atau hanya makhluk jejadian ciptaan kepandaian Kiai Gede Tapa Pamungkas?
Kalau si pemuda berpikir seperti itu maka lain halnya dengan gadis bernama Sinto Weni. Dalam hati gadis ini bertanya-tanya. “Permainan apa yang hendak diperlihatkan Kiai padaku? Apa ular raksasa ini yang hendak diwariskannya padaku? Celaka!”
Di tengah telaga Kiai Gede Tapa Pamungkas mendongakkan ke langit. Dua tangannya diangkat sebatas dada dengan telapak membuka menghadap ke atas. Dia seperti tengah membaca sesuatu. Dua ekor naga besar bergulung-gulung di sebelah kiri dan kanan tubuhnya. Tiba-tiba Kiai Gede Tapa Pamungkas rentangkan ke dua tangannya kembali ke samping.
Bersamaan dengan itu dia jentikkan jari-jari tangannya kiri kanan. Mendengar suara jentikan dua ekor ular naga susupkan kepala ke dalam air telaga sementara di sebelan sana air telaga tiga warna terus mencuat di dua tempat. Sekali lagi Kiai Gede Tapa Pamungkas jentikkan jari-jari tangan kiri kanan. Terdengar suara menggemuruh ketika dua naga munculkan lagi kepala di permukaan air telaga. Kali ini di dalam mulut masing-masing mereka menggigit sebuah benda.
Ular naga sebelah kanan yakni ular naga yang jantan mengigit sebuah benda berbentuk kapak yang memiliki dua mata. Kapak ini bergagang putih kekuningan terbuat dari gading. Bagian ujung gagang berbentuk ukiran kepala naga jantan dan ada enam buah lobang kecil seperti lobang seruling. Pada dua mata kapak yang memancarkan sinar berkilauan itu tertera tiga buah angka. 212.
Dalam mulut ular naga kedua yaitu yang betina ada sebuah benda berbentuk seperti gulungan ikat pinggang berwarna putih, memiliki ujung berbentuk kepala naga sama seperti gagang kapak yang ada di mulut naga satunya.
Kiai Gede Tapa Pamungkas kembali jentikkan dua tangannya kiri kanan. Dua ular naga kibaskan ekor masing-masing dengan keras hingga air telaga muncrat tinggi. Lalu binatang ini rundukkan kepala dan meluncur menuju tepi telaga di mana Sinto Weni dan Sukat Tandika duduk bersila tanpa berani bergerak ataupun keluarkan suara. Namun sekali ini begitu dua ular naga meluncur ke arah mereka walau mereka tetap mampu bertahan tanpa keluarkan suara tanpa bergerak rasanya saat itu nyawa masing-masing sudah melayang terbang!
Di tepi telaga dua ular naga jantan dan betina letakkan senjata berbentuk kapak dan gulungan benda putih di hadapan Sinto Weni dan Sukat Tandika. Untuk beberapa lamanya binatang ini menjilati dua benda itu. Lalu keduanya perlahan-lahan meluncur mundur kembali ke dalam telaga.
Kiai Gede Tapa Pamungkas jentikkan lagi jari-jari tangannya. Dua ular naga luruskan badan masing-masing laksana tonggak lalu dongakkan kepala. Dari mulut mereka keluar suara raungan aneh, terdengar antara lolongan srigala dan ringkik kuda, membuat merinding Sinto Weni dan Sukat Tandika. Sang Kiai kembali menjentik. Saat itu juga sosok tubuh sepasang naga perlahan-lahan meluncur turun ke dalam air hingga akhirnya lenyap dari pemandangan.
“Murid-muridku... Dua warisan telah berada di hadapan kalian. Sebelum aku meminta kalian untuk memilih sendiri mana yang kalian suka, aku akan perlihatkan kepada kalian kehebatan dua benda itu.”
Di tengah telaga Kiai Gede Tapa Pamungkas angkat kedua tangannya, diarahkan pada dua benda yang ada di tepi telaga. Ketika dua tangannya disentakkan ke atas, senjata berbentuk kapak bermata dua melesat ke udara mengeluarkan suara aneh seperti ribuan tawon terbang mengamuk. Dari dua mata kapak memancar sinar putih laksana perak. Sinar ini bukan saja sangat menyilaukan tapi sekaligus menghamparkan hawa panas luar biasa.
Untuk beberapa lamanya senjata ini berputar-putar di atas telaga mengikuti gerak putaran tangan kanan Kiai Gede Tapa Pamungkas. Begitu sang Kiai hantamkan tangan kanannya ke kiri, kapak bermata dua melesat laksana kilat ke arah sebatang pohon yang tumbuh di tepi telaga.
“Craasss!”
Batang pohon sebesar pemelukan tangan tertebas putus. Bagian atas pohon besar tumbang dengan suara bergemuruh. Baik pohon yang tumbang maupun Sisa batang yang masih tegak kelihatan berubah menjadi hitam gosong laksana habis dimakan api! Sukat Tandika menyaksikan dengan mata lebarnya bertambah lebar sedang lidahnya berulang kali dijulurkan membasahi bibir. Sinto Weni memandang dengan mata melotot tapi mulut ter-kancing.
Kiai Gede Tapa Pamungkas gerakkan tangannya ke arah tepian telaga. Kapak bermata dua melayang turun dan perlahan-lahan digeletakkan kembali di depan sepasang muda mudi. Kini sang Kiai ganti angkat tangannya yang kiri. Benda putih berbentuk gulungan ikat pinggang melesat ke atas lalu...
"Srettt!” Gulungannya terbuka. Satu cahaya putih yang menghamparkan hawa dingin berkiblat. Di udara saat itu tampak sebilah pedang putih tipis bergagang gading berbentuk kepala naga betina. Pada badan pedang tertera angka 212. Pada bagian ujung pedang yang lancip kelihatan sebuah lobang yang demikian kecilnya hingga sulit dilihat mata telanjang.
Kiai Gede Tapa Pamungkas sentakkan tangan kirinya ke atas. Pedang putih melesat ke udara,. berputar memancarkan cahaya putih menyilaukan, menebar hawa dingin dan mengeluarkan suara berdesing yang membuat liang telinga laksana ditusuk!
“Lihat pedang!” berseru sang Kiai seraya hantamkan tangan kanannya ke arah kanan telaga di mana tumbuh sebuah pohon besar berdaun rimbun. Kiai Gede Tapa putar tangannya di atas kepala berulang kali.
Terdengar suara tebasan tak henti-hentinya. Daun pohon bertaburan di udara lalu melayang jatuh ke tanah dan ke dalam telaga. Dalam waktu beberapa kejapan mata saja pohon yang tadinya rimbun itu kini telah botak, hanya tinggal cabang dan ranting meranggas. Ketika Kiai Gede Tapa Pamungkas meletakkan pedang putih itu di tepi telaga, begitu menyentuh tanah pedang ini kembali menggulung diri secara aneh.
“Sekarang kalian lihat bagaimana kalau dua senjata sakti dari dua sumber yang sama saling baku hantam satu sama lain!” kata Kiai Gede Tapa pula. Lalu dua tangannya sama disentakkan ke atas.
“Sreettt! Wuttt! Wuuutt...!”
Pedang putih tipis melesat ke atas dan lepas dari gulungannya. Kapak bermata dua menyusul melesat lalu membeset gerakan pedang. Dengan lincah pedang tipis membuat gerakan berputar menghindari tebasan kapak. Dalam waktu singkat di udara dua senjata itu berubah menjadi buntalan cahaya yang saling menggempur. Dua cahaya berkilauan saling menyabung. Hawa panas dan hawa dingin berbenturan hebat. Suara mengaung dan suara mendesing seperti seruling seolah merobek langit.
“Traangg!”
Dua senjata mustika sakti beradu di udara. Lidah api mencuat sejauh dua tombak. Suara beradunya kapak dan pedang disusul dengan getaran dahsyat yang membuat tempat itu laksana dilanda gempa. Karena bentrokan dua senjata sakti terjadi berulang-ulang, baik Sinto Weni maupun Sukat Tandika terpaksa tutup telinga masing-masing dengan tangan sementara tubuh mereka yang duduk bersila ditanah terguncang-guncang, aliran darah tersentak-sentak. Kalau bentrokan dua senjata sakti itu tidak lekas dihentikan sepasang muda-mudi ini pasti akan menderita luka dalam yang parah!
Untung Kiai Gede Tapa Pamungkas saat itu membuat gerakan dua tangan ke kiri dan ke kanan. Kapak bermata dua dan pedang tipis lentur serta merta bergerak menjauh. Lalu perlahan-lahan turun ke tanah di hadapan Sinto Weni dan Sukat Tandika. Seperti tadi begitu menyentuh tanah pedang tipis lentur langsung bergelung menggulung.
Untuk ke sekian kalinya dua murid Kiai Gede Tapa itu dibuat terkagum-kagum menyaksikan kehebatan senjata berupa kapak bermata dua dan pedang tipis lentur yang memancarkan cahaya putih menyilaukan itu.
“Murid-muridku, kalian telah menyaksikan kehebatan dua senjata itu. Apa yang barusan kalian lihat hanya sebagian kecil saja dari kehebatan yang tersimpan di dalam dua senjata itu. Inilah dua warisan yang akan aku berikan pada kalian. Senjata berbentuk kapak cocok menjadi pegangan seorang kesatria. Senjata ini bernama Kapak Naga Geni 212. Jika mulut kepala naga yang merupakan gagang kapak ditiup maka senjata itu akan berubah menjadi sebuah seruling yang mampu mengeluarkan suara keras. Membuat kacau jalan pikiran, peredaran darah dan bisa memecahkan gendang-gendang telinga lawan. Bilamana mata naga kiri kanan ditekan maka dari mulut naga akan melesat keluar jarum-jarum putih yang merupakan senjata rahasia ampuh. Siapa saja yang mempergunakan senjata ini dia harus memiliki tenaga dalam tinggi. Tanpa tenaga dalam Kapak Naga Geni 212 hanya merupakan satu benda mati belaka. Berarti senjata ini tidak bisa dipergunakan oleh sembarang orang.”
Kiai Gede Tapa Pamungkas memandang pada Sinto Weni sesaat lalu meneruskan penuturannya. “Senjata yang satunya yakni berupa pedang tipis dan bisa digulung bernama Pedang Naga Suci 212. Keampuhannya tidak kalah dengan Kapak Naga Geni 212 dan cocok sebagai senjata andalan seorang dara perkasa. Di dalam badan pedang tersimpan ratusan senjata rahasia berbentuk jarum putih. Bilamana mulut naga ditiup maka jarum-jarum itu akan melesat keluar lewat sebuah lubang kecil di ujung pedang. Seperti Kapak Naga Geni 212, pedang sakti ini juga bisa ditiup dijadikan seruling yang bunyinya dapat menghantam lawan. Untuk mengeluarkan segala kehebatan yang tersimpan dalam pedang seseorang harus mengerahkan tenaga dalam. Murid-muridku dua senjata ini bukan senjata sembarangan. Diciptakan oleh para pendahuluku hanya dengan satu maksud dan tujuan yakni membela kebenaran dan keadilan, menghancurkan angkara murka dalam rimba persilatan. Inilah warisan yang harus kalian jaga dengan baik, dalam merawat maupun mempergunakannya. Sekali kalian mempergunakan senjata itu di jalan yang salah maka kesaktiannya akan memukul balik pada diri kalian! Murid-muridku, walau tadi aku sebutkan bahwa Kapak Naga Geni 212 cocok untuk seorang kesatria dan cocok untuk seorang pendekar dara perkasa, namun terserah pada kalian masing-masing untuk berunding memilih yang mana. Khusus untuk Kapak Naga Geni 212 memiliki pasangan sebuah batu hitam berbentuk persegi panjang. Jika batu ini digosokkan atau dipukulkan ke mata kapak maka lidah api akan mencuat keluar dan merupakan senjata luar biasa. Dua senjata sakti ini akan menjadi senjata maut bagi semua orang jahat di rimba persilatan, merupakan senjata andalan atau senjata pamungkas bagi kalian masing-masing. Nah murid-muridku sekarang aku persilahkan kalian berunding. Setelah kalian menerima warisan dua senjata mustika sakti itu maka aku akan merasa lega dan segera meninggalkan kalian...”
Dari balik seiempang kain putih yang melilit di tubuhnya Kiai Gede Tapa Pamungkas keluarkan sebuah batu hitam berbentuk empat persegi yang besarnya segenggaman tangan. Batu ini dilemparkannya dan jatuh tepat di samping Kapak Naga Geni 212.
Sukat Tandika bukan seorang pemuda yang suka mementingkan diri sendiri dan tak pernah temahak dalam hal apapun. Karena itu walau sang guru telah berkata demikian dia tetap saja duduk di tempatnya, seolah memberi kesempatan pada adik seperguruannya yaitu Sinto Weni untuk memilih lebih dulu salah satu dari dua senjata mustika sakti itu. Bagaimanapun dia tidak berprasangka buruk dan yakin bahwa Sinto Weni akan mengambil dan dia akan kebagian Kapak Naga Geni 212. Namun dugaan Sukat Tandika keliru.
TIGA
Sinto Weni membungkuk memberi hormat pada Kiai Gede Tapa Pamungkas lalu berkata. “Kiai, jika memang kau memberi izin untuk memilih, saya akan mengambil Kapak Naga Geni 212 dan batu pasangannya!”
Di tengah telaga sang Kiai kerenyitkan kening sedang Sukat Tandika melengak kaget. Sehabis bicara Sinto Weni bergerak cepat mengambil Kapak Naga Geni 212 dan batu pasangannya. Setelah menyimpan dua benda itu dibalik pakaian ringkasnya, dia kemudian menyambar pula Pedang Naga Suci 212.
Kiai Gede Tapa Pamungkas segera menegur. “Sinto Weni, kau hanya boleh mengambil satu dari dua senjata sakti itu. Kau telah mengambil Kapak Naga Geni 212. Mengapa kau juga mengambil Pedang Naga Suci 212?!”
Sinto Weni cepat membungkuk. “Maafkan saya Kiai. Saya memang berlaku lancang mengambil Pedang Naga Suci ini. Bukan untuk memilikinya tapi justru menyelamatkannya.”
Baik Kiai Gede Tapa maupun Sukat Tandika sama-sama heran dan tidak mengerti akan ucapan Sinto Weni. Kalau si pemuda diam saja tak berani bertanya, tidak demikian dengan sang Kiai. Orang tua ini ajukan pertanyaan.
“Apa maksud ucapanmu tadi, Sinto?!”
“Maafkan kalau jawaban saya terdengar, kasar atau keliru. Tapi saya beranggapan, senjata sehebat ini tak layak berada di tangan Sukat Tandika, Saya mempunyai firasat senjata ini kelak akan disalah gunakannya! Jadi biar ini saya bawa dulu. Saya akan menyimpannya dengan baik sampai suatu saat ada seseorang yang lebih pantas memilikinya.”
“Kau berani menilai kakak seperguruanmu seperti itu Sinto?! Kau berani memberikan warisan berupa pedang itu pada orang lain?!” Suara Kiai Gede Tapa Pamungkas tetap lembut namun alunan nadanya jelas menegur keras.
“Kalau saya salah harap maafkan saya Kiai. Kalau ini sebuah dosa mohon kau mau memberi ampun. Kelak waktu yang akan membuktikan ucapan saya!”
Habis berkata begitu Sinto Weni membungkuk lalu dengan gerakan luar biasa cepatnya bersamaan dengan sambaran kilat pada gelegar guntur gadis ini berkelebat dan lenyap dalam kegelapan sementara hujan masih terus mengguyur dan angin terus mendera kencang.
Melihat gurunya diam saja walau menunjukkan wajah masygul Sukat Tandika segera bergerak hendak mengejar. Namun sang Kiai mencegah.
“Sukat! Tak usah kau kejar!”
“Tapi Kiai...”
“Aku tahu kau tak suka melihat orang melarikan warisan milikmu...”
“Bukan hanya itu Kiai. Saya tidak suka melihat perilaku budi pekertinya. Dia begitu merendahkan Kiai...”
Kiai Gede Tapa angkat tangan kanannya dan berkata. “Tetap di tempatmu Sukat. Kita perlu bicara...”
“Sementara kita bicara Sinto Weni telah lari jauh!” memotong si pemuda.
“Kita perlu bicara, Sukat. Setahuku gadis itu memiliki perasaan halus, penuh welas asih walau kadang-kadang suka usil dan bicara ceplas-ceplos. Aku yakin ada sesuatu yang telah membuat dirinya berubah seperti itu. Dan yang tahu mengapa dia jadi begitu hanya, kau seorang. Selama empat tahun kalian berkelana menimba ilmu dan pengalaman di rimba persilatan. Kau mau memberikan penjelasan padaku Sukat?”
Mendengar kata-kata sang guru Sukat Tandika jadi pucat, sesaat dia terdiam. “Saya rasa...”
“Jelaskan padaku terus terang...” Kiai Gede Tapa Pamungkas seperti mendesak.
“Kiai... Sejak dilepas empat tahun lalu, dua tahun pertama kami memang selalu bersama-sama. Pada masa-masa itulah antara kami terjalin hubungan yang sangat akrab...”
“Akrab sebagai teman, saudara seperguruan atau apa?” tanya Kiai Gede Tapa pula. Kembali Sukat Tandika terdiam. Setelah menarik nafas dalam dia baru menjawab. “Kami saling jatuh cinta. Namun sesuatu terjadi...”
“Apa yang kau maksud dengan sesuatu itu?” tanya Kiai Gede Tapa.
“Untuk mencari pengalaman lebih luas pada tahun ke tiga kami setuju saling berpisah. Meneruskan perjalanan sendiri-sendiri. Sinto berkelana di barat, saya sendiri malang melintang ke berbagai penjuru. Saya kemudian bertemu dengan beberapa orang gadis. Saya terpikat dan melupakan Sinto. Saya mengkhianati cintanya... Mungkin itu sebabnya dia menjadi sangat marah dan mendendam pada saya. Saya akan mencarinya...”
“Tidak, kau tetap di sini sampai aku selesai bicara!” tukas Kiai Gede Tapa. “Muridku Sukat Tandika! Bagi seorang gadis cinta adalah sejuta bahagia dalam sejuta kesucian! Kalau dia dikhianati dia bisa sejuta diam dalam sejuta derita. Namun bisa juga dia mendekam sejuta kebencian sejuta dendam. Agaknya Sinto Weni telah memilih dua hal yang terakhir. Kalau kau kejar dia saat ini, selagi bara kebencian dan dendam berkobar hebat dalam dirinya, bukan mustahil dia akan membunuhmu...”
“Saya rela menemui kematian di tangannya...”
Kiai Gede Tapa tersenyum. “Hanya orang tolol yang memilih jalan hidup seperti itu muridku. Jangan menebus ketololan dengan menggadaikan nyawamu! Ketahuilah dalam hidup ini ada tiga hal yang mendatangkan kehancuran pada kaum laki-laki kalau dia menyimpang dari hukum alam yang telah ditentukan. Pertama jabatan, ke dua harta dan ke tiga perempuan. Kau telah membenturkan diri pada salah satu dari tiga hukum alam itu muridku. Apa jawabmu?!”
“Saya mengerti Kiai. Saya telah berbuat sesuatu yang salah terhadap Sinto Weni. Saya harus berani bertanggung jawab. Saya mohon maafmu Kiai...”
Kiai Gede Tapa tersenyum rawan. “Kalau kau hendak mencarinya jangan lakukan sekarang. Sinto Weni membutuhkan waktu bertahun-tahun, mungkin belasan tahun untuk mengobati luka hatinya. Kau harus menunggu dan memilih waktu yang tepat. Jika kau bersikeras dan bertindak ceroboh kau bisa celaka sendiri. Lagi pula aku rasa ada baiknya untuk sementara berada di tangannya. Ketahuilah senjata mustika sakti itu hanya bertuah di tangan seorang yang benar-benar suci lahir bathin dan dipergunakan atas nama kebaikan serta kebenaran. Menyimpang dari itu akan mendatangkan malapetaka bagi orang yang memakainya secara salah...”
“Nasihat Kiai akan saya perhatikan...” kata Sukat Tandika dan dalam hati dia berkata. “Kalau memang begitu tuah mungkin sekali senjata itu tidak cocok bagiku. Selama empat tahun terakhir ini aku banyak melakukan hal-hal yang tidak benar. Agaknya aku harus melupakan pedang sakti itu seumur hidupku.” Sukat memandang ke arah Kiai Gede Tapa.
“Nasihat merupakan hal terakhir yang bisa kuberikan. Selanjutnya kau sendiri yang menentukan jalan hidupmu. Waktuku sudah habis. Aku harus pergi sekarang!”
Habis berkata begitu Kiai Gede Tapa Pamungkas rapatkan telapak tangannya satu sama lain lalu ke dua tangannya diangkat tinggi-tinggi di atas kepala. Kilat menyambar. Guntur menggelegar. Air telaga beriak keras. Asap putih berbuntal-buntal. Perlahan-lahan sosok tubuh Kiai Gede Tapa Pamungkas lenyap masuk ke dalam telaga. Sukat Tandika mengusap wajahnya berulang kali. Walau saat itu udara dinginnya bukan alang kepalang namun hujan yang membasahi wajah dan tubuhnya telah bercampur dengan keringat.
Seperti dituturkan dalam Episode sebelumnya Sukat Tandika malang melintang dalam rimba persilatan sambil berusaha mencari Sinto Weni. Namun dalam pengelanaannya itu justru Sukat Tandika semakin jauh tenggelam dalam kata hati dan bujukan nafsu. Dia mempunyai kelemahan menghadapi gadis-gadis cantik.
Mudah jatuh hati. Sebelum dan sesudah kawin dengan seorang janda cantik puteri Adipati Plered, pemuda itu menjalin hubungan cinta dengan beberapa gadis. Di antaranya Sabai Nan Rancak dan Sika Sure Jelantik. Rata-rata semua gadis itu kemudian ditinggalkannya begitu saja. Sukat Tandika sendiri kemudian melenyapkan diri selama bertahun-tahun.
Ketika dia muncul kembali keadaannya berubah seperti orang kurang waras. Tindak tanduknya menggegerkan rimba persilatan. Dia bukan saja membasmi para tokoh golongan hitam tapi juga menumpas mereka dari golongan putih yang dianggapnya menjadi penghalang. Tak jelas apa yang menjadi tujuan Sukat Tandika. Apa dia ingin menjadi raja di raja dunia persilatan atau semua perbuatannya itu akibat penyesalan sesaat atas segala kelakuannya di masa lalu?
Rimba persilatan memberi beberapa julukan pada Sukat Tandika. Dia disebut sebagai Pendekar Gila Patah Hati dan Iblis Gila Pencabut Jiwa. Dari beberapa gelar yang diberikan orang padanya, dia lebih dikenal dengan julukan Tua Gila. Dalam usia tuanya dia kemudian bertemu dengan Pendekar 212 Wiro Sableng dan mengajarkan ilmu silat Orang Gila ciptaannya sendiri pada Wiro yang sebelumnya telah diambil murid oleh Sinto Weni. Sinto Weni sendiri dikenal dengan nama Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede.
Sinto Gendeng mewariskan Kapak Naga Geni 212 pada Wiro yang dalam dunia persilatan kemudian lebih dikenal sebagai Kapak Maut Naga Geni 212. Sedangkan tetap disembunyikan Sinto Gendeng sekalipun di hari tuanya dia telah bertemu dan berbaik-baik dengan Tua Gila alias Sukat Tandika kekasihnya di masa muda. Sinto Gendeng sendiri tidak pernah mempergunakan Pedang Naga Suci. Mungkin dia menyadari sejak menjalin hubungan dengan Sukat Tandika dan ditinggal pergi.
Setelah cinta dan kesuciannya dirampas begitu saja maka pedang mustika sakti itu tidak mungkin, bisa dimanfaatkannya. Namun bagaimanapun Sinto Gendeng merahasiakan di mana dia menyembunyikan itu, pada akhirnya Tua Gila mengetahui juga dimana senjata itu beradanya. Hal itu kemudian diberitahukannya pada Puti Andini, cucunya sendiri.
Sementara itu di rimba persilatan selain berita besar mengenai Kitab Wasiat Malaikat kini kabar tentang adanya itu telah tersiar santar, membuat para tokoh baik golongan putih maupun golongan hitam sama-sama membuka mata memasang telinga dan mengatur siasat untuk menjejakinya!
********************
WWW.ZHERAF.COM
EMPAT
Badai yang melanda pantai barat Pulau Andalas sekali ini dahsyat bukan main. Sejak tengah malam tadi angin keras mendera tanpa henti, menerabas apa saja yang ada di permukaan laut. Beberapa pulau kecil lenyap seolah amblas ke dasar samudera. Puluhan nelayan menemui ajal, tenggelam bersama perahu mereka. Menjelang pagi walau langit di ufuk timur tampak terang tanda sang surya akan segera terbit, badai masih belum berhenti. Malah bertiup ke arah pantai, menyapu segala yang ada di daratan.
Di puncak barat Gunung Singgalang seorang tua kurus mengenakan jubah hijau yang kebesaran berulang kali mengusap wajahnya yang cekung. Sejak tadi dia melangkah mundar-mandir. Sepasang matanya yang jereng berputar liar kian kemari dan sebentar-sebentar mengerling ke arah mulut goa di dalam mana dia saat itu berada. Semua gerak-gerik orang tua ini memberi pertanda bahwa saat itu dia berada dalam satu kegelisahan. Paling tidak ada sesuatu yang membuatnya tidak sabar.
Bosan mundar-mandir akhirnya orang tua ini duduk di lantai goa. Berusaha bersamadi. Namun sia-sia saja. Sepasang telinganya tidak mampu menghambat suara deru angin yang tiada henti-hentinya di luar sana. Sadar dia tak akan bisa bersama di orang tua ini akhirnya bangkit berdiri. Diluruskannya tubuhnya yang agak bungkuk dimakan usia lalu sambil merapikan letak destar tinggi hijau di atas kepalanya dengan langkah gontai dia berjalan menuju mulut goa yang sebagian tertutup oleh sebuah batu besar.
Si orang tua menyeruak di antara mulut goa dan batu besar. Angin kencang menerpa muka dan tubuhnya. Rambut putihnya yang menjulai di bawah destar, janggut serta kumisnya melambai-lambai. Jubah dan destar hijaunya ikut berkibar-kibar.
“Pertanda apakah yang tengah diberikan alam...” kata si orang tua dalam hati, “Sekian lama diam di pulau besar ini baru sekarang ada badai begini hebat. Alam agaknya mulai tidak lagi bersahabat dengan umat. Atau mungkin ini satu isyarat bagiku untuk segera keluar dari komplotan manusia-manusia aneh tapi jahat itu?"
Orang tua itu kembali mengusap wajahnya yang cekung lalu gelengkan kepala. Beberapa kali menarik nafas dalam, biasanya kalau dia berdiri di mulut goa seperti itu dia akan melihat pemandangan sangat indah di sepanjang lereng sampai kaki Gunung Singgaiang. Namun saat itu dia nyaris tidak dapat melihat apa-apa karena lebatnya curahan hujan ditambah kabut menutup dimana-mana.
tiupan badai semakin menggila. Hujan mendera bumi semakin ganas. Bagian bawah jubah hijau si orang tua tampak basah. Sebelum tambah kuyup orang tua ini melangkah mundur, masuk kembali ke dalam goa. Namun gerakannya terhenti ketika sekonyong-konyong satu bayangan berkelebat di depan goa, tersamar oleh badai dan hujan.
Paras orang tua ini berubah. Sesaat rasa tegang menguasai dirinya. “Orang yang aku tunggu sudah datang...” hatinya berbisik.
“Wuttt!”
Tahu-tahu satu sosok serba hitam dalam keadaan basah kuyup telah berdiri di hadapan orang tua itu. Meski orang yang tegak di hadapannya itu angker luar biasa namun si orang tua bersikap tenang. Sepasang matanya yang jereng memperhatikan orang dengan tak berkesip.
“Hemmm... Ini tampang manusianya. Tak pernah kulihat sebelumnya tapi dari ciri-ciri jelas dia orangnya. Lebih baik aku bertanya dulu untuk memastikan,” kata orang tua berjubah hijau dalam hati.
“Orang tak dikenal, apakah kau tersesat mencari tempat berteduh? Atau memang goaku ini menjadi tujuanmu?”
Orang yang ditegur balas menatap tanpa berkedip. Orang ini bertubuh tinggi besar hingga kepalanya yang berambut kasar seperti ijuk hampir menyondak mulut goa. Kulitnya hitam laksana arang. Pakaiannya yang basah kuyup juga berwarna hitam. Orang ini memiliki alis aneh. Tebal panjang dan bersambung mulai dari pelipis kiri sampai ke pelipis kanan. Di atas alis, pada keningnya terdapat enam buah lobang besar hitam. Lalu di bawah alis terdapat juga enam lobang serupa yakni tiga di pipi kanan dan tiga di pipi kiri. Mungkin sekali dua belas lobang ini diakibatkan oleh penyakit cacar air yang ganas.
“Aku mencari Sutan Alam Rajo Di Bumi! Apakah kau orangnya?”
Orang yang tegak di depan goa menjawab dengan mata tetap tak berkesip memandangi orang tua di hadapannya. Suaranya serak namun dibawah hujan dan badai keras begitu rupa ucapannya itu jelas terdengar ke telinga si orang tua pertanda dia barusan bicara dengan mempergunakan tenaga dalam.
“Di puncak Singgalang ini hanya ada satu goa didiami manusia. Di muka bumi ini hanya ada satu orang bergelar Sutan Alam Rajo Di Bumi. Apakah kau masih ingin bertanya?!”
Si tinggi besar bermuka angker undur selangkah. “Turut yang aku dengar Sutan Alam Rajo Di Bumi adalah seorang yang meski tua tapi berbadan tegap. Selalu mengenakan jubah putih. Kalau kau orangnya maka sungguh lain apa yang kudengar dengan kenyataan.”
Mata jereng orang tua berdestar dan berjubah hijau berputar beberapa kali. Sambil menyeringai dia kemudian berkata, “Berita yang didengar tidak selalu sama dengan kenyataan yang ada. Apakah kau lebih mempercayai ucapan orang ketimbang kenyataan?!”
“Kalau begitu... Hemmm...” Lelaki berpakaian hitam basah kuyup dengan muka berlubang dua belas usap alisnya yang melintang panjang bersambung di atas sepasang mata. “Jadi aku tidak salah saat ini berhadapan dengan Sutan Alam Rajo Di Bumi?!”
“Kau berhadapan dengan orang yang kau cari!” kata orang tua di dalam goa. “Aku sudah tahu kau bakal datang. Lebih dari itu aku juga sudah tahu maksud dan tujuan kedatanganmu. Jika kau memang orangnya yang dijuluki Hantu Balak Anam Dari Sijunjung!”
Agak terkesiap juga si jubah hitam mendengar orang sudah tahu siapa dia adanya. “Kalau kau memang Sutan Alam Rajo Oi Bumi, maka harap kau suka terima salam hormatku!” Hantu Balak Anam Dari Sijunjung letakkan tangan kiri di atas dada lalu melipat lutut sedikit.
Orang tua bergelar Sutan Alam Rajo Di Langit tersenyum dan berkata. “Tampangmu seburuk setan. Namun nyatanya kau cukup punya peradatan, tahu bagaimana menghormati orang tua sepertiku!”
“Kalau bicara soal hormat menghormati masalah usia tidak layak dijadikan pegangan...”
“Eh, apa maksudmu...?” tanya Sutan Alam Rajo Di Bumi dengan senyum masih terkulum di bibirnya.
“Karena usiaku jauh lebih tua darimu...”
Tentu saja orang tua di dalam goa menjadi terkejut. “Aku berusia hampir tujuh puluh tahun. Kau sendiri memangnya berapa umurmu?!” Si orang tua bertanya.
“Tujuh puluh delapan!” jawab si jubah hitam Hantu Balak Anam.
Sesaat Sutan Alam tampak seperti bengong tak percaya. Kalau memang benar bagaimana mungkin orang seusia tujuh puluh delapan tahun masih memiliki tubuh tegap kokoh begitu rupa. Rambutnya pun tak ada yang putih.
“Luar biasa! Kalau kau memang berusia tujuh puluh delapan, walau wajahmu seburuk setan ternyata kau awet muda! Aku si tua bangka ini ingin belajar ilmu apa yang kau pergunakan agar tetap awet muda! Ha ha ha!” Sutan Alam Rajo Di Bumi tertawa mengekeh. Puas mengumbar tawa orang tua ini berucap.
“Lama mendengar nama besarmu. Baru kali ini bertemu dengan orangnya. Aku tak mau berbasa-basi lagi. Silahkan masuk ke dalam goaku. Mari kita bicarakah maksud kedatanganmu!”
Hantu Balak Anam masuk ke dalam goa. Air hujan yang membasahi jubah hitamnya mencurah jatuh ke lantai goa. Di dalam goa dia merasa lebih hangat.
“Silahkan duduk tamu agungku!” kata Sutan Alam Rajo Di Bumi seraya menunjuk pada sebuah batu berbentuk kursi.
“Aku lebih suka berdiri saja...”
“Hemmm... Manusia si Hantu Balak Anam ini agaknya bersikap terlalu waspada atau bercuriga besar. Jangan-jangan dia...” Sutan Aiam Rajo Di Bumi anggukkah kepala dan berkata. “Kau mau duduk atau tidak terserah saja. Seperti kataku tadi, aku sudah menduga apa maksud, kedatanganmu. Sekarang apakah kau mau mulai membicarakannya!”
“Kalau kau sudah maklum maksud kedatanganku, lebih mudah bagiku untuk menjelaskannya,” jawab Hantu Balak Anam. Dia menatap lurus-lurus pada sepasang mata jereng orang tua di hadapannya lalu melanjutkan. “Sejak beberapa bulan belakangan ini beberapa tokoh persilatan di pulau Andalas menemui kematian secara aneh. Tewas mengenaskan. Kematian mereka kemudian diikuti dengan tersiarnya kabar yang membuat dunia persilatan tanah Andalas menjadi geger...”
Sutan Alam Rajo Di Bumi manggut-manggut beberapa kali lalu berkata. “Apa yang kau dengar ternyata tidak beda dengan apa yang sekarang kau katakan. Hantu Balak Anam teruskan penuturanmu!”
“Di Utara ada kabar bahwa Kiai Tanjung Laboh mati dibunuh. Si pembunuh diduga keras adalah seorang gadis sakti bernama Pandansuri yang konon merupakan anak angkat mendiang Raja Rencong Dari Utara. Lalu seorang tokoh silat golongan putih lainnya yang dikenal dengan julukan Sepasang Telapak Putih ditemukan tewas secara mengerikan di tempat kediamannya dilereng Gunung Sihabuhabu. Di Andalas tengah, tokoh silat Magek Bagak Baculo Duo dibunuh orang di tepi pantai. Siapa pembunuhnya belum jelas. Namun tersiar dugaan bahwa si pembunuh adalah Tua Gila. Sementara itu Sabai Nan Rancak seorang tokoh terpandang di Andalas lenyap tak diketahui di mana beradanya. Lalu di selatan seorang tokoh golongan putih yang dikenal dengan julukan Datuk Agung Berbangsa ditemui menemui ajal dalam keadaan tergantung di Baturaja. Pada jubah putihnya si pembunuh menuliskan namanya yaitu Datuk Sunti Belanak. Seorang tokoh silat golongan putih, kawan lama Datuk Agung Berbangsa yang diam di sebuah perguruan silat di Bukit Martapura. Semua peristiwa yang luar biasa ini telah menimbulkan rasa saling curiga antara sesama orang-orang persilatan golongan putih. Konon telah terbentuk satu perserikatan golongan putih untuk memerangi orang-orang golongan putih yang dikabarkan melakukan pembunuhan-pembunuhan tersebut. Dalam pada itu seorang tokoh paling disegani bernama Nyanyuk Amber dikabarkan lenyap dari Gunung Singgalang ini. Ada yang menduga bahwa semua pembunuhan itu didalangi oleh Nyanyuk Amber!”
LIMA
Sutan Alam Rajo Di Bumi sesaat terdiam mendengar penuturan Hantu Balak Anam itu. Dengan suara perlahan dia kemudian berkata. “Apa yang kau katakan barusan semua benar. Terus terang aku merasa risau dengan semua kejadian itu. Bukan mustahil kita pun kelak akan jadi korban pembunuhan aneh itu. Gila, apa yang sesungguhnya terjadi! Orang-orang golongan putih membunuh sesama teman sendiri! Lenyapnya Nyanyuk Amber memang merupakan satu tanda tanya besar. Kau tahu, sejak aku muncul di sini, Gunung Singgalang ini dibagi tiga. Aku menetap di sebelah puncak. Sabai Nan Rancak di bawah pada lereng sebelah timur. Lalu Nyanyuk Amber di lereng sebelah barat. Namun anehnya, tak lama setelah aku menetap di sini Nyanyuk Amber lenyap dari tempat kediamannya. Lalu seperti katamu Sabai Nan Rancak juga tiba-tiba seperti sirna.”
(Mengenai Nyanyuk Amber harap baca serial Wiro Sableng berjudul Raja Rencong Dari Utara)
Orang tua berjubah hijau itu menarik nafas dalam. Dia mendongak menatap langit-langit goa batu lalu terdengar suaranya bertanya. “Dari semua kejadian itu, kedatanganmu kemari pasti membawa satu rencana...”
“Betul sekali Sutan. Aku ingin agar semua tokoh silat golongan putih berkumpul, berunding dan menentukan sikap serta tindakan sebelum jatuh lagi korban-korban berikutnya.”
“Aku mendukung maksud baikmu itu. Karena kau yang datang membawa usul bagaimana kalau kau juga mau bersusah payah untuk mengatur rencana pertemuan itu...”
“Terima kasih atas kepercayaan Sutan. Tapi pulau Andalas bukan pulau kecil. Bagaimana kalau untuk bagian utara Sutan saja yang mengatur. Aku menghubungi para tokoh di bagian tengah. Lalu seorang sahabat akan kuminta pertolongannya untuk mengurusi wilayah selatan. Jika Sutan menyetujui maka saat ini sudah bisa ditentukan kapan dan di mana pertemuan itu akan dilakukan. Makin cepat pasti makin baik...”
“Aku bisa segera menentukan saat yang paling tepat,” kata Sutan Alam Rajo Di Bumi pula. “Namun sebelum hal itu aku katakan ada satu hal yang ingin aku katakan dan tanyakan padamu. Apa kau pernah mendengar riwayat seorang tokoh silat berjuluk Datuk Tinggi Raja Di Langit?”
“Bukankah tokoh satu itu lenyap secara aneh beberapa waktu lalu?”
“Mungkin dia dibunuh oleh orang-orang persilatan golongan putih?”
Hantu Balak Anam gelengkan kepala. “Lenyapnya Datuk Tinggi jauh sebelum peristiwa pembunuhan beruntun itu...”
“Apa mungkin dia sudah menemui ajal?” tanya Sutan Alam Rajo Di Bumi pula.
“Sukar dipastikan. Kalau memang sudah menemui ajal mengapa mayatnya tak pernah ditemukan? Tapi memang ada satu hal yang perlu diteliti...”
“Apa?” tanya Sutan Alam seraya membetulkan letak destarnya yang kebesaran.
“Lenyapnya Datuk Tinggi Raja Di Langit bersamaan dengan tersebarnya kabar kematian Tua Gila, juga bersamaan dengan munculnya seorang pendekar muda dari tanah Jawa yang dikenal dengan julukan Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng!”
Sutan Alam Rajo Di Bumi manggut-manggut beberapa kali lalu dia mundar-mandir di ruangan batu itu. Di hadapan Hantu Balak Anam dia hentikan langkah dan berkata, “Sebenarnya aku telah meminta seseorang untuk menyelidik lenyapnya Datuk Tinggi Raja Di Langit. Namun sampai saat ini belum ada kabar. Dalam pada itu di tanah Jawa pun kudengar peristiwa yang hampir bersamaan dengan kejadian-kejadian di pulau Andalas ini. Beberapa tokoh silat golongan putih dibunuh oleh orang-orang segolongan. Terakhir kudengar kabar bahwa Datuk Angek Garang, tokoh silat pulau Andalas mati dibunuh seorang tokoh aneh dikenal dengan panggilan Si Segala Tahu. Tapi ada juga dugaan, pembunuh sebenarnya adalah Tua Gila...”
“Jika itu benar Sabai Nan Rancak yang diketahui lenyap mungkin sekali telah berada di tanah Jawa. Bukankah sejak lama diketahui bahwa nenek itu ingin membalaskan sakit hatinya terhadap Tua Gila? Dan Tua Gila sendiri kabarnya melarikan diri ke tanah Jawa.”
“Rupanya banyak juga pengetahuanmu tentang apa yang terjadi di rimba persilatan akhir-akhir ini...” kata Sutan Alam Rajo Di Bumi sambil sunggingkan seringai. “Ada satu hal yang ingin aku tanyakan padamu, Hantu Balak Anam. Apa kau mendengar riwayat sebuah senjata berbentuk pedang, bernama Pedang Naga Suci 212?”
Si muka hitam berlubang dua belas gelengkan kepala. “Mendengar namanya mungkin ada sangkut pautnya dengan Kapak Naga Geni 212 milik Pendekar 212.”
“Pedang itu adalah pasangan Kapak Naga Geni 212. Kehebatannya luar biasa. Sejak puluhan tahun pedang itu disembunyikan di satu tempat. Yang tahu di mana letaknya hanya dua orang. Pertama Sinto Gendeng seorang nenek sakti di kawasan barat pulau Jawa yang juga adalah guru Pendekar 212. Orang ke dua adalah Tua Gila.”
“Apakah Sutan berminat terhadap itu?” tanya Hantu Balak Anam.
“Rasanya tak ada satu orang pun dalam dunia persilatan yang tidak ingin memiliki senjata mustika sakti. Termasuk aku dan juga kau tentunya! Namun urusanku di sini banyak sekali. Kurasa sambil mengatur pertemuan para tokoh di kawasan ini kau bisa pergunakan kesempatan untuk menjajagi di mana beradanya itu, lalu membawanya kepadaku.”
Hantu Balak Anam mengangguk. “Akan aku coba melakukan apa yang kau katakan.” Namun dalam hati dia berkata. “Kalau aku berhasil menemukan, pedang mustika sakti itu tidak nanti aku serahkan padamu, keledai tua!”
Di luar goa hujan masih deras dan tiupan badai belum mereda. Sutan Alam Rajo Di Langit batuk-batuk beberapa kali lalu berkata. “Dalam udara dingin begini rupa, meneguk kopi panas tentu nikmat sekali. Tapi sayang minuman seperti itu tidak dapat kusediakan untuk tamu agung sepertimu. Aku masih memiliki dua butir kelapa hutan yang manis. Apa kau tidak berkeberatan kalau aku suguhi minuman kelapa muda itu Hantu Balak Anam?”
“Hujan-hujan dan dingin-dingin seperti ini rasanya kurang cocok meneguk kelapa muda. Tapi kalau tidak ada. minuman lain, apa lagi tenggorokanku memang terasa kering, apa boleh buat!”
Sutan Alam Rajo Di Bumi tertawa mengekeh. Dia masuk ke bagian dalam goa. Tak lama kemudian keluar lagi membawa dua buah kelapa muda. Sebuah kelapa diletakkannya di atas batu berbentuk kursi. Yang sebuah lagi dipegangnya di depan dada. Matanya yang jereng berputar liar. Sepuluh jari tangannya bergerak. Hantu Balak Anam melihat bagaimana sepuluh jari tangan itu menusuk menembus buah kelapa. Lalu...
“Kraakk!” Sekali si orang tua menarik buah kelapa dalam cengkeramannya terbelah dua. Dengan cepat Sutan Alam Rajo Di Bumi membalikkan dua belahan buah kelapa hingga tak ada airnya yang tertumpah. Buah kelapa yang telah terbelah ini kemudian diserahkan pada Hantu Balak Anam.
“Air kelapa hijau punya seribu khasiat untuk kesehatan tubuh. Silahkan meneguknya!” kata Sutan Alam. Lalu dia mengambil buah kelapa satunya yang diletakkan di atas kursi batu. Tapi karena agak terburu-buru, buah kelapa yang telah dipegangnya itu meluncur jatuh lalu menggelinding ke mulut goa dan lenyap di luar sana.
“Ah nasibku sial. Tanda perut tua ini tak akan menikmati air dan daging kelapa yang enak Ku. Bodohnya aku!” Sutan Alam mengumpati diri sendiri. Sepasang matanya yang jereng memandang ke mulut goa.
“Biar aku keluar mengambil kelapa Ku,” kata Hantu Balak Anam pula seraya meletakkan buah kelapa yang sudah terbelah di atas batu berbentuk kursi.
“Hujan masih deras!” mengingatkan Sutan Alam.
“Siapa takutkan hujan. Lagi pula tubuh dan jubah hitamku sudah basah kuyup...”
“Kalau kau memang mau mengambilkan kelapa yang menggelinding keluar goa Ku, aku akan sangat berterima kasih.”
Hantu Balak Anam segera keluar dari goa. Begitu si tinggi besar yang mukanya ada dua belas lobang ini lenyap di mulut goa, Sutan Alam Rajo Di Bumi cepat keluarkan satu lipatan kertas dari dalam jubah hijaunya. Lipatan kertas dibuka lalu sejenis bubuk putih yang ada dalam kertas itu dituangkannya ke dalam air pada dua belahan buah kelapa. Dengan cepat kertas berisi bubuk dilipat kembali dan disimpan di balik jubahnya.
“Ah...! Kau berhasil mendapatkan kelapa itu!” kata Sutan Alam ketika tak lama kemudian Hantu Balak Anam muncul membawa buah kelapa hijau yang jatuh menggelinding keluar goa.
Begitu buah kelapa diserahkan padanya dengan cepat Sutan Alam Rajo Di Bumi cengkeramkah sepuluh jarinya. Seperti tadi, mudah saja dia membelah buah kelapa berkulit dan berbatok keras itu. Lalu seperti orang kehausan tanpa tunggu lebih lama dia segera meneguk habis air kelapa di belahan pertama. Sambil mengusap mulutnya Sutan Alam berpaling pada Hantu Balak Anam. Sambil menyeringai dia menegur. “Apa lagi yang kau tunggu? Ayo lekas habiskan air kelapa itu!”
Hantu Balak Anam balas menyeringai. Dia segera mengambil buah kelapa yang ada di atas kursi batu dan tanpa tunggu lebih lama segera meneguk habis air yang ada di belahan pertama, dilanjutkan dengan air kelapa di belahan kedua.
“Bagaimana rasanya?!” tanya Sutan Alam Rajo Di Bumi. Mata jerengnya kembali berputar.
“Manis dan sejuk!” jawab Hantu Balak Anam lalu meletakkan kelapa di atas kursi batu.
Sutan Alam tertawa mengekeh. “Kau tidak mengupas dagingnya yang putih lembut itu?”
Hantu Balak Anam menggeleng. “Airnya sudah cukup membuat hausku hilang dan perutku kenyang!”
Kembali Sutan Alam tertawa panjang. Buah kelapa yang dipegangnya diletakkahnya pula di atas batu. Sambil menggosok-gosok ke dua tangannya dia bertanya. “Apakah masih ada hal-hal yang hendak kau bicarakan Hantu Balak Anam?”
Hantu Balak Anam berpikir sejenak lalu gelengkan kepala. “Semua sudah aku utarakan,” katanya. “Kalau begitu kau sudah bisa mengatur urusan di bagian tengah dan selatan pulau Andalas. Aku membereskan bagian utara. Yang penting harap kau suka menyirap kabar di mana adanya Tua Gila, sekaligus muridnya bernama Wiro Sableng itu. Lalu mencari tahu di mana tersembunyinya Pedang Naga Suci 212.”
“Akan aku lakukan Sutan!” kata Hantu Balak Anam Dari Sijunjung.
“Ada satu hal lagi yang ingin kau selidiki. Di pulau Andalas beberapa waktu lalu muncul seorang tokoh silat baru, tidak bernama tidak bergelar. Tapi memiliki kepandaian luar biasa. Dia seorang perempuan yang selalu mengenakan pakaian kuning. Wajahnya ditutup dengan sehelai cadar kuning. Sulit diduga berapa usianya apa lagi menduga siapa dia adanya. Orang ini perlu diselidiki karena tindak tanduknya sangat mencurigakan. Bukan mustahil dia yang jadi racun semua pembunuhan atas diri para tokoh golongan putih.”
“Apa yang kau katakan ini memang pernah kudengar,” ujar Hantu Balak Anam. “Kalau ada kesempatan tak ada salahnya aku menyelidiki.”
“Bukan kalau ada kesempatan Sobatku! Tapi harus ada kesempatan untuk menyelidikinya. Kalau tidak rimba persilatan di pulau Andalas dan tanah Jawa tak bakal tenteram...”
Hantu Balak Anam Dari Sijunjung tertawa lebar. Dalam hati dia berkata. “Kau boleh menyuruh memerintah. Aku akan lakukan apa yang aku suka! Aku tidak berada di bawah perintahmu. Aku bukan orang suruhan atau anak buahmu!”
Sutan Alam Rajo Di Bumi menatap ke arah mulut goa. Lalu duduk bersila di atas lantai goa, pejamkan sepasang matanya yang jereng letakkan dua tangan di atas lutut. Seolah Hantu Balak Anam tidak ada lagi di situ orang tua ini mulai bersamadi.
“Tua bangka sialan! Sebetulnya aku tidak suka padamu! Kalau tidak ingin menyelamatkan dunia persilatan di pulau ini tak akan aku datang ke sini!” Hantu Balak Anam memaki dalam hati diperlakukan seperti itu. Dengan cepat dia membalikkan badan lalu tinggalkan goa.
Hanya sesaat setelah Hantu Balak Anam Dari Sijunjung meninggalkan tempat itu, Sutan Alam Rajo Di Bumi buka ke dua matanya yang jereng. Di mulutnya terkulum seringai buruk lalu sambil melompat bangkit dari mulutnya keluar suara tawa bergelak. Dia melangkah ke mulut goa. Bayangan Hantu Balak Anam tak kelihatan lagi. Orang tua berjubah hijau ini palingkan kepala ke belakang lalu berkata dengan suara lantang.
“Sutan Alam Rajo Di Bumi! Aku sudah jalankan tugas sesuai perintahmu!”
Belum lenyap suara gema ucapan si kakek tiba-tiba di sebelah dalam terdengar suara berkereketan. Salah satu dinding goa tampak bergeser. Lalu dari balik dinding yang terbuka secara aneh itu muncul sesosok tubuh tinggi besar mengenakan destar serta jubah putih menjela lantai batu.
********************
WWW.ZHERAF.COM
ENAM
Hantu Balak Anam berlari kencang menuruni lereng Singgalang di bawah hujan yang masih mencurah lebat. Di satu tempat orang ini hentikan larinya dan tegak bersandar ke sebatang pohon besar.
“Aneh... Mengapa tubuhku mendadak terasa letih, padahal aku berlari belum berapa jauh. Dadaku sesak, jantung berdebar keras. Peredaran darah dalam tubuhku sepertinya tidak beres. Aku...” Hantu Balak Anam terbatuk-batuk beberapa kali. Dia merasa ngeri sendiri mendengar suara batuknya. “Apa yang terjadi dengan diriku?”
Diusapnya wajahnya. Dirabanya lehernya. Terasa panas. Lalu dia batuk-batuk lagi. Kemudian dirasakannya ada hawa panas seolah membakar perut dan dadanya. Kepalanya berat seperti mau pecah. Ke dua telapak tangannya dibentangkan. Terkejutlah Hantu Balak Anam ketika melihat bagaimana telapak tangannya kiri kanan telah berubah warna menjadi kebiruan.
“Aku termakan racun...” desis Hantu Balak Anam. Lalu mulutnya dibuka lebar tak kuat menahan batuk. Namun sekali ini dia batuk lagi, ada darah ikut menyembur keluar dari mulutnya. “Jahanam! Ada orang meracuniku! Pasti orang tua di puncak Singgalang itu! Sutan Alam keparat! Berani kau berlaku culas dan keji! Aku bersumpah membunuhmu!”
Dengan dua jari tangan kanannya Hantu Balak Anam menotok tubuhnya di arah lambung, pusar, dada dan pangkal leher. Lalu dia mengeluarkan beberapa butir obat berbentuk bulat yang segera ditelannya. Ketika kepalanya terasa lebih enteng dan debaran jantungnya mengendur dengan cepat dia tinggalkan tempat itu, naik kembali menuju puncak Gunung Singgalang.
“Sutan Alam keparat! Serahkan nyawamu padaku!” teriak Hantu Balak Anam begitu dia sampai di depan goa.
Kaki kanannya ditendangkan. Pinggiran batu mulut goa hancur berentakan. Hantu Balak Anam lalu berkelebat masuk ke dalam. Langkah Hantu Balak Anam tertahan ketika dia melihat di hadapannya berdiri sosok tubuh tinggi besar seorang tua berjubah dan berdestar putih. Dia tidak kenal orang ini dan dia tidak perduli. Langsung saja Hantu Balak Anam membentak.
“Mana dia?!” Sepasang matanya memandang berputar. Rambutnya yang seperti ijuk dan basah kuyup seperti mau berjingkrak dan alisnya yang aneh panjang mencuat pada ke dua ujungnya. Orang tua di hadapan Hantu Balak Anam memperhatikan Hantu Balak Anam dengan tenang lalu menegur.
“Kau memasuki goaku tanpa memberi salam. Begitu masuk langsung membentak. Siapa yang kau cari dan siapa dirimu sendiri?!”
Hantu Balak Anam menindih rasa amarahnya sementara dadanya kembali mendenyut sakit. Sepasang bola matanya memandang sekeliling goa.
“Kau seperti mencari sesuatu. Apa ada binatang peliharaanmu yang tengah kau kejar dan kesasar ke tempatku ini?!”
Hantu Balak Anam tak dapat lagi menahan amarahnya. “Binatang itu bernama Sutan Alam Rajo Oi Bumii Tua bangka berjubah hijau yang telah meracun diriku dengan air kelapa!” Hantu Balak Anam memandang ke arah batu berbentuk kursi. Tadi sebelum pergi di atas batu Ku terletak dua buah kelapa dalam keadaan terbelah. Tapi saat Hu benda Ku tak tampak lagi.
“Aneh sekali ucapanmu sampai di telingaku! Aku adalah Sutan Alam Rajo Oi Bumi! Aku tidak mengenali dirimu, apakah kau mengenali diriku?!” Orang berjubah putih ajukan pertanyaan.
“Jahanam! Apa artinya semua ini!! Belum lama aku meninggalkan tempat ini! Di sini aku menemui seorang kakek berjubah hijau mengaku bernama Sutan Alam Rajo Di Bumi! Kami bicara panjang lebar mengenai dunia persilatan. Dia menjamuku dengan air kelapa yang diberi racun! Sekarang dia tidak ada lagi di sini. Dan kau mengaku Sutan Rajo Di Bumi! Sandiwara apa yang ada di dalam goa celaka ini?!”
“Sobat, agaknya hawa amarah mempengaruhi dirimu. Harap kau suka bersikap tenang dan terangkan apa yang terjadi. Kalau kau memang mencari Sutan Alam Rajo Di Bumi maka akulah orangnya!”
“Lalu siapa tua bangka berjubah dan berdestar hijau yang mengaku bernama Sutan Alam Rajo Di Bumi yang kutemui di tempat ini?!”
“Sobatku, selama puluhan tahun aku tinggal seorang diri di tempat ini. Jika kau tidak percaya silahkan kau memeriksa keadaan goa ini...”
“Aku memang tidak percaya!” tukas Hantu Balak Anam. Matanya memandang liar kian kemari lalu kembali pada orang tua di hadapannya. “Dengar, jika kau tidak menjelaskan dan berusaha menyembunyikan sesuatu aku akan membunuhmu saat ini juga!”
“Malaikat maut datangnya memang tidak terduga,” kata orang tua tinggi besar yang mengaku bernama Sutan Alam Rajo Di Bumi sambil sungging ka n seringai mengejek. “Tapi jika kau muncul dan berkata hendak membunuhku, ini adalah satu keanehan yang sangat mahal harganya!”
“Aku yakin ada hal yang tidak beres di tempat ini! Seseorang mengaku bernama Sutan Alam Rajo Di Bumi telah meracuniku! Kini kau sendiri juga mengaku bernama Sutan Alam Di Bumi! Dari pada susah-susah mengusut perkara biar kau yang aku bunuh lebih dulu!”
Habis berkata begitu Hantu Balak Anam menyergap orang berjubah putih dengan satu pukulan keras ke arah kepala. Yang diserang tentu saja tidak tinggal diam. Sambil membuat gerakan mengelak dia angkat tangan kirinya menepis hantaman lawan.
“Bukkk!”
Dua lengan yang sama-sama terlindung di balik jubah saling beradu keras. Ke dua orang itu sama-sama keluarkan seruan tertahan. Kakek berjubah putih, terpental sampai dua langkah sedang Hantu Salak Anam mencelat dan tersandar ke dinding goa!
Dari akibat bentrokan itu Hantu Balak Anam segera maklum kalau lawan memiliki kekuatan lebih tinggi dari dirinya. Mungkin ini akibat pengaruh luka dalam racun yang menciderai dirinya.
“Kalau kuserang lagi dan terjadi bentrokan luka dalamku bisa tambah parah!” membatin Hantu Balak Anam. “Lebih baik kuhantam dengan ilmu andalanku!” Walau agak susah payah namun Hantu Balak Anam masih sanggup menghimpun hampir tiga perempat tenaga dalamnya yang segera dialirkan ke kepala.
Di sebelah depan orang tua berjubah putih melihat kulit muka Hantu Balak Anam semakin menghitam dan kepalanya seolah bertambah sampai empat kali lebih besar. Dua belas lobang yang ada di wajahnya tampak mengeluarkan cahaya aneh berkilauan. Tiba-tiba dari lobang-lobang itu melesat dua belas larikan sinar hitam panas luar biasa, menderu ke arah dua belas bagian tubuh si jubah putih!
“Dua belas jalur kematian!” teriak si jubah putih penuh kaget begitu mengenali ilmu kesaktian apa yang tengah menyerangnya!
Serta merta orang tua ini lesatkan tubuh ke atas hingga punggungnya menempel rata di langit-langit goa. Dari mulutnya keluar bentakan garang. Sepasang matanya mendadak menjadi merah. Lalu tiba-tiba sekali dari dua bola matanya mencuat keluar dua larik sinar merah dan laksana kilat menghantam ke arah Hantu Balak Anam!
Kejut Hantu Balak Anam bukan olah-olah ketika dia mengenali ilmu kesaktian lawan yang dipergunakan untuk menyerangnya. “Sepasang Api Neraka! Astaga jadi kau benar Sutan Alam Rajo Di Bumi! Tahan!” seru Hantu Balak Anam seraya menyingkir dengan muka pucat. Namun terlambat. Salah satu dari dua sinar merah itu menghantam tubuhnya di bagian bawah bahu sebelah kanan.
“Craaasss!”
Hantu Balak Anam menjerit keras. Bukan oleh rasa sakit akibat hantaman serangan lawan saja tapi juga oleh rasa ngeri ketika melihat bagaimana dada kanannya kini telah geroak membentuk sebuah satu lobang besar mengerikan! Jubah hitamnya di sekeliling lobang mengerikan itu tampak hangus dikobari api.
Terhuyung-huyung Hantu Balak Anam bersurut ke pintu goa. Darah mengucur dari bofongan luka di dada kanannya. Hantu Balak Anam menyadari dalam keadaan seperti itu terlalu berbahaya baginya untuk meneruskan perkelahian. Sambil kertakkan rahang menahan sakit dia berkata,
“Orang tua berjubah putih! Siapapun kau adanya jangan mengira urusan sudah selesai sampai di sini. Aku akan datang lagi mencari dan mengorek nyawa busukmu!”
Orang tua berjubah putih yang saat itu masih menempel di atas langit-langit goa keluarkan tawa mengekeh. “Hantu Balak Anam. tubuh kasarmu boleh pergi dari sini! Tapi tinggalkan dulu nyawamu!”
Habis berkata begitu dua bola mata orang tua ini kembali berubah menjadi merah. Lalu dua larik sinar sakti Sepasang Api Neraka kembali mencuat menghantam ke arah Hantu Balak Anam Dari Sijunjung. Namun orang yang diserang sudah lebih dulu berkelebat pergi. Dua larik sinar merah menghantam lantai dan dinding goa. Goa batu itu menggelegar keras. Pecahan batu dan debu bertaburan di udara.
“Kurang ajar! Dia melarikan diri!” merutuk si jubah putih.
Lalu perlahan-lahan dia melayang turun dari langit-langit goa. Begitu ke dua kakinya menjejak lantai batu kagetlah dia ketika melihat ada tiga buah lobang hitam di jubah putihnya. Ternyata tiga dari dua belas jalur serangan maut Hantu Balak Anam sempat menghantam tubuhnya. Yang pertama pada bagian jubah sebelah bawah yang hanya menghanguskan ke dua pada bagian lengan tangan sebelah kanan yang juga tidak membawa Cidera.
Namun hantaman yang ketiga sempat menyerempet pinggulnya. Orang tua ini cepat robek jubahnya di bagian pinggul dan parasnya berubah ketika melihat bagaimana daging pinggulnya sebelah kanan luka besar dan membengkak berwarna merah kebiruan. Cepat dia membuat tiga totokan di sekitar luka. Lalu dengan terpineang-pincang dia masuk ke bagian dalam goa. Dari sebuah legukan batu diambilnya satu kendi kecil terbuat dari perak. Sejenis cairan yang ada dalam kendi perak ini lalu diguyurkannya pada luka besar di pinggul.
“Wusss!”
Cairan itu seperti menyiram satu benda panas hingga mengeluarkan suara berdengus dan mengepulkan asap. Si orang tua sampai keluarkan keringat dingin menahan sakit. Kendi perak yang telah kosong terlepas jatuh dari tangannya. Tubuhnya disandarkannya ke dinding goa. Ketika dia memandang ke dinding goa di sebelah depannya tampangnya berubah garang. Dari mulutnya keluar teriakan keras,
“Datuk Mangkuto Kamangl Lekas keluar dari balik dinding!”
Belum lagi lenyap gema suara orang tua berjubah putih, dari arah depan terdengar suara berdesir disusul suara berkereketan. Dinding batu di hadapan orang tua itu secara aneh bergeser ke kiri membentuk sebuah pintu di sudut kanan. Dari pintu ini keluarlah orang tua berjubah dan berdestar hijau. Mukanya yang cekung tampak agak pucat. Dia melangkah ke hadapan si jubah putih sementara dinding batu di belakangnya kembali bergeser menutup.
“Datuk Mangkuto, kau sadar bahwa kau telah melakukan satu kesalahan besar?!”
“Saya menyadari Sutan Alam Rajo Di Bumi,” jawab si jubah hijau pada orang tua berjubah putih yang sebelumnya menyamar menjadi Sutan Alam Rajo Di Bumi. Sedang orang tua berjubah putih sendiri adalah Sutan Alam Rajo Di Bumi yang asli.
“Berapa bagian racun dalam bungkusan kertas yang kau berikan pada Hantu Balak Anam Dari Sijunjung? Yang membuatnya tidak segera menemui kematian, malah sanggup kembali ke sini dan hendak membunuhku!”
“Saya hanya memberikan setengah dari isi bungkusan, Sutan...”
“Itu kesalahan besarmu! Kau tahu Hantu Balak Anam bukan orang sembarangan. Setengah bungkus racun tidak akan membuatnya menemui kematian! Bukankah aku memerintahkan padamu agar mempergunakan seluruh racun yang ada?!”
“Saya mengaku salah Sutan. Tapi mengingat racun kala putih itu sulit dicari, mahal harganya dan lagi pula masih ada dua korban lain yang harus dibunuh dengan racun itu, maka saya hanya menaruhkan setengah...”
“Plaakkk!”
Satu tamparan mendarat di pipi Datuk Mangkuto Kamang, Kepalanya laksana dipuntir. Bibirnya pecah dan mengucurkan darah. Destar hijau yang kebesaran di kepalanya tercampak ke lantai goa.
“Sutan, saya sudah mengaku salah. Mengapa kau masih menjatuhkan tangan keras?!”
“Kau berani meradang!” Kau ingin satu tamparan lagi di muka burukmu Mangkuto?!” bentak Sutan Alam Rajo Di Langit.
“Sutan, saya tidak dapat menerima perlakuan ini! Mulai saat ini saya keluar sebagai anggota komplotan kejimu!”
Mendengar kata-kata Datuk Mangkuto Kamang itu tampang gagah Sutan Alam Rajo Di Bumi menjadi berubah merah. Lalu dia tertawa bergelak.
“Jika itu maumu kau boleh pergi Mangkuto. Selamat jalan!” kata Sutan Alam Rajo Di Bumi pula seperti tak acuh.
Tanpa menunggu lebih lama Datuk Mangkuto Kamang segera melangkah ke pintu. Namun sebelum dia sempat keluar dari dalam goa, di sebelah belakang sepasang bola mata Sutan Alam Rajo Di Bumi berubah menjadi merah. Lalu...
“Wuss! Wusss!” Dua larik sinar merah ilmu sakti Sepasang Api Neraka melesat.
Datuk Mangkuto masih sempat berpaling dan berusaha selamatkan diri ketika melihat ada dua larik Cahaya merah menyambar ke arahnya. Namun terlambat. Dua larik sinar merah menghantam tubuhnya, membuat dia mencelat dan terhempas jatuh dua langkah di depan mulut goa. Sebuah lobang mengerikan yang mengepulkan asap terlihat di batok kepalanya. Satu lobang lagi membentang di punggungnya!
********************
WWW.ZHERAF.COM
TUJUH
Pertemuan dengan Anggini membuat Wiro merasa gembira. Bukan saja dia mendapat kawan seiring seperjalanan sambil mengobrol, tapi dia juga merasa mendapat pelindung jika terjadi apa-apa dengan dirinya dalam keadaan seperti itu. Sikap dan cara bicara Anggini jauh berbeda dari masa lalu. Tampaknya gadis ini telah matang oleh pengalaman. Selama perjalanan dia sama sekali tidak menyinggung masalah atau rencana gurunya yang hendak menjodohkan dirinya dengan murid Sinto Gendeng itu.
“Walau menurutmu guruku meninggalkan Pengandaran bersama kekasihnya di masa muda, namun sebagai murid aku tetap merasa was-was. Apa lagi mengingat belakangan ini dikabarkan terjadi saling bunuh antara para tokoh silat sesama golongan putih. Semua kejadian itu dikaitkan pula dengan munculnya komplotan orang-orang aneh yang bermarkas di Lembah Akhirat...”
“Aku juga bertanya-tanya siapa adanya manusia yang disebut dengan panggilan Datuk Lembah Akhirat itu. Kalau saja Pangeran Matahari masih hidup niscaya aku menduga sang Datuk adalah si Pangeran keparat itu! Agaknya rimba persilatan tidak pernah lepas dari manusia-manusia jahat berwatak aneh,” kata Wiro sambil melirik pada gadis berpakaian serba ungu di sampingnya itu.
Saat yang sama Anggini mengerling pula pada si pemuda hingga pandangan mereka saling bertemu. Paras sang dara tampak bersemu merah sementara murid Sinto Gendeng tersenyum sambil garuk-garuk kepala.
“Anggini, apakah kau berniat hendak menyelidik ke Lembah Akhirat?” Wiro ajukan pertanyaan. Lalu pemuda ini menguap lebar-lebar.
“Rencana memang ada. Tapi aku harus tahu dulu di mana guruku Dewa Tuak berada. Sekaligus memastikan bahwa dia tidak tersangkut dengan orang-orang Lembah Akhirat...”
Saat itu hari memasuki petang. Mereka sampai di satu pedataran aneh. Di ujung timur pedataran terdapat legukan menyerupai lembah batu cadas dikelilingi pohon-pohon besar. Di bawah pepohonan bertumbuhan bunga-bunga hutan yang sedang berkembang membentuk satu. pemandangan yang indah. Di salah satu sisi bebatuan cadas tampak air mengucur jernih.
“Indah sekali pemandangan di bawah sana. Ada bunga, ada air. Pasti sejuk. Aku ingin membasahi tenggorokan dan membersihkan diri. Aku ingin ke bawah sana...” kata Anggini.
Wiro memandang ke langit. “Jangan lama-lama, sebentar lagi matahari akan tenggelam. Kau pergilah ke bawah sana. Aku menunggu di sini saja...”
“Apakah tidak terlalu jauh kau menunggu di sini?”
“Kurasa tidak. Kalau terlalu dekat nanti kau salah tingkah seandainya mau membersihkan diri buka baju segala...”
“Ah, penyakit lamamu usil mulut rupanya belum hilang!” kata Anggini. Lalu gadis ini cepat tinggalkan tempat itu.
Wiro duduk bersandar di bawah sebatang pohon. Beberapa kali dia menguap. Belum lagi Anggini sampai di lembah batu cadas murid Sinto Gendeng ini sudah mendengkur!
Di lembah Anggini membasahi wajah, kaki dan tangannya dengan air sejuk yang mengucur jatuh di antara batu-batu cadas. Setelah meneguk air jernih itu sepuasnya dia duduk berjuntai di atas sebuah batu. Ke dua kaki celananya digulung ke atas lalu seperti anak kecil sambil bernyanyi-nyanyi kecil murid Dewa Tuak ini permainkan air dengan ke dua kakinya. Sementara kakinya mempermainkan air Anggini basahi tangannya lalu diusapkan ke balik dada pakaiannya.
Saat itulah dia menyadari kalau dia tidak sendirian di tempat itu. Ada seorang lain tak jauh dari situ. Orang ini mendekam di atas salah satu pohon besar yang mengelilingi lembah cadas. Mula-mula si gadis menyangka orang itu adalah Pendekar 212. Namun ketika diliriknya dengan sudut mata ternyata bukan.
“Pengintip lancang di atas pohon! Lekas turun kalau tidak mau mati!” Anggini berteriak.
Orang di atas pohon tak menjawab. Bergerak pun tidak.
“Bagus! Jadi kau memilih mati dari pada turun!” Tangan kanan si gadis bergerak ke pinggang. Lalu...
“Wuttt!” Terdengar suara menderu. Tiga buah benda berupa paku perak melesat di udara. Menyambar ke arah pohon besar di mana orang yang mengintip berada.
Anggini menunggu suara orang itu terpekik ditembus paku perak yang menjadi senjata rahasia andalannya. Tapi itu tak terjadi. Ketika dia memandang ke arah pohon, orang yang tadi mendekam di salah satu cabang tak kelihatan lagi. Dua dari tiga paku perak yang dilemparkan Anggini menancap di batang dah cabang yang melintang.
“Aneh, tak terdengar suara gerakan. Pohon sama sekali tidak bergoyang! Gerakan orang itu cepat sekali. Jangan-jangan bukan manusia tapi monyet atau orang hutan. Lalu ke mana kaburnya makhluk sialan itu?!” pikir Anggini.
Pandangannya diputar berkeliling ke arah pohon-pohon besar sekitar lembah batu cadas. Tiba-tiba dia mendengar suara bergemerisik di pohon sebelah kanan. Ketika diperhatikan suara gemerisik itu berpindah pada pohon berikutnya. Lalu pindah lagi ke pohon terdekat.
“Wuttt!”
Ada sambaran angin di belakangnya. Begitu Anggini berpaling tahu-tahu di hadapannya telah tegak seorang pemuda berwajah keren, berpakaian bagus berwarna hijau. Di pinggangnya tergantung sebilah pedang sedang di telinga kanannya ada sebuah anting terbuat dari emas.
“Kau yang barusan mengintip orang mandi?!” bentak Anggini marah sekali.
“Jangan salah paham. Aku tidak mengintip...” si pemuda agak tergagau dibentak begitu rupa.
“Lalu mengapa berada di atas pohon?!”
“Dengar, sebelum kau datang ke tempat ini aku sudah lebih dulu berada di pohon itu...”
“Berarti pekerjaanmu memang sengaja menunggu orang datang lalu mengintainya waktu mandi...”
Si pemuda tertawa lebar. “Namaku Panji, siapa namamu...”
“Pemuda kurang ajar! Siapa tanyakan namamu?!” sentak Anggini.
“Ah, aku merasa tidak melakukan sesuatu yang kurang ajar. Malah kau yang sejak tadi membentak-bentakku!”
“Kesabaranku ada batasnya. Lekas tinggalkan tempat ini!”
“Tidak bisa! Aku mau mandi di sini!” jawab pemuda berbaju hijau yang adalah putera Raja Pulau Sipatoka yang juga dikenal dengan nama Datuk Pangeran Rajo Mudo. “Kau saja yang pergi!” Lalu enak saja pemuda itu membuka baju hijaunya hingga tampak dadanya yang bidang penuh otot dan ditumbuhi bulu lebat.
Anggini terbeliak, wajahnya merah sekali dan ke dua kakinya menyurut ke belakang. “Kau memang pemuda kurang ajar! Biar aku beri sedikit pelajaran bersopan santun!” Lalu hampir tak kelihatan tangan kanan gadis itu bergerak menampar ke arah pipi kiri si pemuda.
“Rontok gigimu!” kata Anggini. Tapi...
“Wutttt!” Tamparan yang dipastikannya akan mendarat keras di muka si pemuda ternyata hanya mengenai angin. Malah saking kerasnya dia membuat gerakan menampar tubuhnya terputar setengah lingkaran. Kaki kanannya terpeleset dari atas batu yang dipijaknya. Belum sempat dia mengimbangi diri tahu-tahu tu-buhnya telah jatuh dan masuk ke dalam air setinggi dada!
Pemuda berbaju hijau tampak terkejut sekali. Dia ulurkan tangan berusaha hendak menolong Tapi Anggini justru mencekal lengannya lalu membetotnya kuat-kuat. Tak ampun lagi pemuda itu ikut jatuh masuk ke dalam air. Si pemuda ternyata tak mau dilemparkan orang ke dalam air begitu saja.
Ketika tubuhnya melayang di atas kepala Anggini, tangannya yang dicekal membuat gerakan berputar hingga kini dia juga mencekal lengan si gadis. Akibatnya ke dua orang itu sama-sama jatuh ke dalam air saling tindih tubuh dan muka satu sama lain. Si pemuda di sebelah bawah, Anggini menindih di sebelah atasi.
Selagi Anggini memaki panjang pendek dan pemuda bernama Panji batuk-batuk karena tertelan air, di tepi lembah batu cadas terdengar orang tertawa gelak-gelak.
“Kalian berdua sedang mandi bersama atau bergurau atau lagi apa?!”
Tanpa menoleh Anggini sudah tahu kalau yang tertawa itu adalah Wiro Sableng. Kemarahannya yang meluap ditumpahkannya pada Panji. Sambil melompat keluar dari air kaki kanannya menendang ke arah dada si pemuda!
“Tahan! Kenapa kau menyerangku!” teriak Panji seraya cepat-cepat menghindar dari tendangan si gadis.
Lagi-lagi serangan Anggini hanya mengenai tempat kosong, membuat murid Dewa Tuak ini jadi tambah beringas. Padahal saat itu pakaiannya basah kuyup hingga bentuk tubuhnya seolah tercetak di bawah pakaian yang basah itu!
Mula-mula Panji memang tidak mau melawan. Dia membuat gerakan-gerakan kilat untuk menghindar atau berkelit. Namun serangan si gadis datang bertubi-tubi. Di satu saat ketika dia terdesak ke arah barisan batu-batu cadas setinggi punggung, Anggini gerakkan tangan kanannya ke arah dada si pemuda. Dua jari menusuk dengan deras ke arah jantung. Ini adalah totokan maut yang walau bisa dikelit Panji akan tetap mencelakainya.
“Totokan Seribu Lumpuh Seribu Ajal!” seru Wiro kaget ketika melihat jurus maut yang dilancarkan murid Dewa Tuak itu. Tanpa sadar akan keadaan dirinya sendiri Pendekar 212 Wiro Sableng segera melompat terjun ke dalam air. Dua tangannya memegangi lengan Anggini dan dia sengaja bergantungan di tangan si gadis hingga Anggini tak dapat meneruskan totokan mautnya.
“Apa-apaan kau ini?!” bentak Anggini. “Jangan bergelayutan seperti monyet di tanganku!”
“Sabar Anggini, jangan perturutkan amarahmu! Ayo naik ke atas sana!”
Saking kesalnya Anggini hantamkan tangannya ke bawah. Akibatnya Wiro seperti dihenyakkan dan kecebur masuk ke dalam air. Megap-megap dia keluar. Sambil geleng-geleng kepala dia, menarik ujung baju ungu si gadis. Anggini tak dapat berbuat lain dari pada mengikuti. Kalau dia melawan, pakaiannya yang tertarik bisa robek di bagian dada sampai ke perut!
“Nah duduk bagus-bagus di situ. Katakan apa yang terjadi!“ ujar Wiro sambil menyuruh duduk Anggini di atas sebuah batu tapi sang dara tetap saja berdiri dan menatap Wiro dengan mata berkilat-kilat.
“Kurasa otakmu kejangkitan penyakit lama! Kau membantu orang yang sengaja mengintip aku mandi!” kata Anggini setengah berteriak.
“Dia salah sangka! Aku tidak berbuat serendah itu. Aku tidak mengintip...!” Panji membela diri. Dia merancah air lalu naik ke atas batu-batu cadas tapi sengaja menjaga jarak dengan Anggini karena khawatir gadis itu akan menyerangnya kembali.
“Sobatku beranting emas,” menegur Wiro Sableng. “Apa benar kau mengintipnya ketika sedang mandi?”
Panji menggeleng berkali-kali. “Istrimu itu salah sangka...”
“Pemuda lancang! Enak saja kau bicara! Siapa bilang aku istrinya!” hardik Anggini marah.
Wiro tertawa lebar dan garuk-garuk kepala sementara Panji unjukkan wajah bingung. “Harap maafkan, aku tidak tahu kalau..."
"Sudahlah! Yang jelas dia salah sangka. Aku sudah lama berada di atas pohon sana ketika dia datang ke lembah batu ini. Lagipula dia tidak sedang mandi. Hanya mencuci muka dan duduk-duduk di atas batu. Kalau dia mandi mana mungkin saat ini dia masih berpakaian seperti itu...”
“Anggini, kau dengar ucapan pemuda ini. Dia tidak mengintipmu...”
Anggini palingkan wajah ke jurusan lain dan tampak merengut. “Mungkin saja dia tidak mengintip, tapi mengapa tadi dia hendak membuka baju, hendak bertelanjang di depanku?!”
Wiro jadi melengak. “Saudara, apa ucapan gadis sahabatku ini benar?” tanya Wiro.
“Benar, tapi tidak bermaksud bertelanjang. Aku hanya berniat membuka baju lalu mandi. Mana mungkin aku berani melakukan hal segila itu! Sudahlah, kalau temanmu itu merasa aku memang bersalah, aku minta maaf saja. Tapi aku tetap tidak mau dituduh mengintip perempuan mandi!”
Wiro angkat tangannya lalu berkata. “Kalau aku boleh bertanya, lalu apa yang kau lakukan di atas pohon?!”
“Aku dibesarkan di sekitar laut dan rimba belantara. Menyelam dan memanjat pohon adalah kesukaanku...”
“Berarti kalau kau bukannya keturunan ikan buas pasti keturunan orang hutan!” sergah Anggini.
Mendengar ucapan si gadis, Panji tidak marah malah tertawa lebar. “Sahabatku memang monyet dan ikan! Kami sering berpacu cepat memanjat pohon dan menyelam ke dasar laut!”
“Sahabat beranting emas, kau belum mengatakan apa tujuanmu berada di atas pohon itu,” Wiro mengingatkan.
“Terus terang aku mencari dua sahabat. Karena hari sudah petang aku memilih duduk di atas pohon sambil memperhatikan keadaan sekitar sini,” jawab Panji.
“Sahabat yang kau tunggu itu lelaki atau perempuan?” tanya Wiro.
“Satu perempuan satu lagi lelaki.”
“Apa mereka punya nama?” tanya Wiro sambil senyum-senyum dan melirik pada Anggini.
“Yang satu memang seorang gadis...”
“Jelas bukan sahabatku ini, bukan?”
“Memang bukan, tapi sahabatmu ini lebih cantik dari sahabatku itu!” jawab Panji polos membuat Anggini kembali merengut.
“Siapa nama sahabatmu itu?” tanya Wiro lagi.
Tak bisa kukatakan padamu,” jawab Panji.
Yang dimaksudkan pemuda ini seperti dituturkan dalam Episode sebelumnya jelas adalah Puti Andini yang ditolongnya dari serbuan anjing hutan ketika tergeletak di tengah jalan dalam keadaan pingsan akibat ilmu yang diberikan nenek sakti Sika Sure Jelantik.
“Hemmm... Lalu sahabatmu yang satu lagi siapa dia?”
“Seorang kakek aneh tapi sakti, Namanya Wiro Sableng!”
Murid Sinto Gendeng seperti hendak terlompat mendengar ucapan Panji, Anggini sendiri palingkan kepala dan memandang terheran-heran pada pemuda beranting emas itu.
“Kau yakin sahabatmu itu seorang kakek bernama Wiro Sableng?”
“Eh, kenapa kau bertanya seolah tak percaya. Memang aku cuma bertemu satu kali dengan dia. Tapi pertemuan itu membawa satu riwayat yang panjang...”
“Mengapa kau mencarinya?” tanya Wiro pula.
“Dia seorang sahabat baik walau usianya beberapa kali usiaku. Aku mencari karena dia satu-satunya sahabat baikku di tanah Jawa ini. Waktu berada di pulau dia telah menyelamatkan ayah dan ibuku dari racun jahat mematikan.”
“Sahabat, coba kau jelaskan ciri-ciri kakek bernama Wiro Sableng itu,” ujar Wiro.
“Orangnya agak bungkuk, tidak terlalu tinggi. Rambut panjang putih, kumis dan janggutnya juga putih. Dia mengenakan pakaian putih. Matanya lebar sekali dan mukanya sangat cekung seolah tak berdaging...”
“Tua Gila! Pasti dia!” kata Wiro dalam hati. Dia berpaling pada Anggini, memberi isyarat bahwa dia akan memberi tahu bahwa sebenarnya dialah orangnya yang bernama Wiro Sablengi, Tapi Anggini menggelengkan kepala.
“Sahabatku, kalau kau memang hendak mencari sahabatmu itu lebih baik melanjutkan perjalanan dari pada mendekam di atas pohon...”
Sebenarnya Panji ingin menanyakan siapa adanya Wiro dan teman gadisnya yang berpakaian serba ungu itu. Tapi akhirnya dia memutuskan lebih baik mengikuti nasihat si pemuda yaitu melanjutkan perjalanan.
“Kalau kita berpisah kuharap tak ada lagi salah sangka di antara kita,” kata Panji.
Pemuda ini lalu menjura pada Wiro dan Anggini. Ketika dia hendak bergerak pergi tiba-tiba udara di sekitar lembah batu cadas itu dipenuhi oleh suitan-suitan nyaring. Sesaat kemudian beberapa bayangan berkelebat dan tahu-tahu empat orang telah tegak di atas batu-batu cadas di empat jurusan.
DELAPAN
Orang pertama adalah kakek berwajah lancip mengenakan jubah hitam berbelang putih. Yang membuat wajahnya jadi seram adalah sepasang matanya yang merah sangat besar dan mencuat keluar seolah mau copot. Dia tegak menghadap ke arah lembah batu di mana Panji, Wiro dan Anggini berada, namun kepalanya terus-terusan mendongak ke langit seolah memandang sesuatu di atas sana.
Memperhatikan kakek yang tidak dikenalnya ini Wiro berkata dalam hati. “Tua bangka aneh ini mendongak terus-terusan. Mungkin takut mukanya diluruskan sepasang matanya yang seperti ikan maskoki bisa jatuh menggelinding ke tanah!”
Orang ke dua duduk berjongkok di atas batu cadas paling tinggi. Wajahnya tidak kelihatan karena seperti sengaja disembunyikan di balik ke dua pahanya. Dua tangan berada di samping dengan telapak dikembangkan menekan batu yang didudukinya. Orang ini mengenakan celana panjang dan baju hitam tanpa lengan. Karena tubuhnya tak bergerak sedikitpun tak dapat dipastikan apakah dia saat itu tengah tertidur atau bagaimana.
Pendatang ke tiga tegak dengan sikap keren. Kaki terkembang dan dua tangan berkacak pinggang. Manusia ini memiliki kepala panjang tapi peang, berwajah hijau penuh benjol-benjol seperti ditumbuhi bisul. Rambutnya yang keriting halus tersusun tinggi ke atas seperti sarang tawon. Keanehan manusia ini masih ditambah dengan sepotong tulang yang ditancapi di bibirnya sebelah bawah.
“Baru sekali ini aku melihat makhluk seperti ini. Dedemit pun kalah seramnya!” berucap murid Sinto Gendeng dalam hati. Lalu Wiro perhatikan telapak tangan kanannya yang berwarna hijau. “Pasti kekuatan atau ilmu andalannya ada di tangan kanan itu,” pikir Wiro.
Orang ke empat adalah satu-satunya yang dikenali oleh Pendekar 212 yaitu bukan lain si nenek bernama Sika Sure Jelantik. Seperti dituturkan dalam Episode Tua Gila Dari Andalas semasa berada di pulau Kerajaan Sipatoka dia telah menyamar menjadi seorang dukun yang dikenal dengan panggilan Dukun Sakti Langit Takambang.
Kini karena dia muncul dalam bentuk aslinya maka Panji alias Datuk Pangeran Rajo Mudo tidak bisa mengenalinya. Sebaliknya si nenek memandang pada pemuda itu dengan mata berkilat-kilat. Dulu dia ingin menguasai kerajaan Sipatoka dengan jalan meracuni ke dua orang tua Panji yaitu Rajo Tuo Datuk Paduko Intan dan permaisuri. Namun gagal berkat pertolongan Tua Gila yang tersesat ke pulau Kerajaan itu.
Kini melihat Panji berada di tempat itu, kebencian Sika Sure Jelantik jadi berkobar. “Tak dapat ibu bapaknya, anaknya pun tak jadi apa! Putera Mahkota keparat ini harus disingkirkan dari muka bumi!” kata si nenek dalam hati penuh geram. Lalu dia melirik ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. “Hemmm... Pemuda keparat ini ada di sini pula! Dulu aku sudah berniat membunuhnya! Namun saat itu ada gadis yang kusukai itu. Memandang mukanya dan memenuhi permintaannya aku tidak jadi menghabisinya, tapi sekali ini tanganku sudah gatal untuk merampas nyawanya!”
Habis membatin begitu Sika Sure Jelantik memandang berkeliling pada tiga orang yang datang bersamanya lalu berkata. “Kita berempat tidak satu golongan tapi punya satu tujuan. Siapa yang hendak bicara duluan?!”
Kakek berjubah hitam putih yang matanya memberojol keluar mendehem beberapa kali seolah memberi isyarat bahwa dialah yang ingin bicara lebih dulu.
“Gadis berpakaian ungu bernama Anggini! Dengar baik-baik apa yang aku ucapkan. Karena kalau nyawamu sudah minggat kau tak bakal bisa mendengar apa-apa lagi...!”
Anggini yang berada di telaga dalam lembah batu terkejut sekali mendengar orang tua tak dikenalnya itu menyebut namanya. Si gadis bertanya-tanya siapa adanya kakek ini.
“Beberapa waktu lalu di Pulau Andalas kau telah membunuh seorang bernama Datuk Mangkuto Kamang tanpa sebab tanpa alasan. Seorang gadis sepertimu membunuh seorang tua, sungguh satu perbuatan teramat keji. Apalagi kau dan sang Datuk sesama orang satu golongan putih dalam rimba persilatan.”
Ketika bicara sepasang mata si kakek tampak bergerak bergoyang-goyang. Masih terus dengan kepala mendongak dia lanjutkan ucapannya.
“Sehabis membunuh kau melarikan diri ke tanah Jawa. Kau lupa betapa pun luasnya bumi ini, dalam kejahatan dia akan menjadi sempit. Hari ini kau kutemui. Berarti hari ini kau harus melepas nyawa membayar kematian Datuk Mangkuto Kamang. Aku Datuk Gadang Mentari adalah kakak Datuk Mangkuto Kamang!”
Anggini sampai ternganga mendengar apa yang barusan diucapkan orang tua mengaku bernama Datuk Gadang Mentari itu, Sekilas dia berpaling pada Wiro. Murid Sinto Gendeng dilihatnya tegak garuk-garuk kepala. Si gadis memandang kembali pada kakek berjubah hitam putih itu lalu tertawa panjang.
“Orang tua, aku tidak kenal dirimu. Aku juga tidak kenal saudaramu yang bernama Datuk Mangkuto Kamang itu! Kau muncul dan menuduh aku membunuh adikmu! Apa kau tidak keliru menjatuhkan tuduhan? Apa kau tidak terpesat kesasar ke tempat ini? Apa kau tidak sedang mimpi dan mengigau sementara hari belum lagi malam!”
Sepasang mata yang memberojol dari Datuk Gadang Mentari tampak bergoyang-goyang tanda dia dilanda kemarahan. Tangan kirinya bergerak mengeluarkan sebuah benda berwarna ungu.
“Aku bicara tidak sembarang bicara! Aku menuduh bukan tanpa bukti! Buka matamu lebar-lebar. Benda apa yang aku lemparkan ke hadapanmu!”
Habis berkata begitu sang Datuk lalu lemparkan benda yang dipegangnya ke hadapan Anggini. Benda itu ternyata adalah sehelai selendang ungu yang salah satu ujungnya ada tulisan 212. Terbelalaklah murid Dewa Tuak melihat selendang itu. Bentuknya sangat sama dengan yang dimilikinya dan saat itu melingkar di leher. Orang lain akan sulit membedakan ke dua selendang itu.
Sementara Anggini hanya tertegak menganga Wiro melangkah lalu membungkuk mengambil selendang ungu yang dilemparkan Datuk Gadang Mentari. Selendang itu diperhatikannya sambil diusap-usap dengan jari tangan kiri lalu didekatkannya ke hidung dan diciumnya.
“Pemuda rambut gondrong bermuka pucat!” hardik Datuk Gadang Mentari. “Apa yang kau lakukan?!”
“Hebat juga tua bangka bermata brojol ini!” ujar Wiro dalam hati. “Dia mendongak dan sama sekali tidak melihat ke arahku. Bagaimana bisa tahu kalau aku melakukan sesuatu?!”
“Menurutku selendang ini memang sama dengan milik gadis ini. Tapi tidak serupa alias tidak asli...”
“Aku tidak minta pertimbanganmu!” kembali Datuk Gadang Mentari membentak.
Wiro angkat bahu dan serahkan selendang ungu pada Anggini. Tapi tanpa memperhatikan si gadis langsung saja mencampakkan selendang itu ke tanah.
“Apa yang dikatakan pemuda ini benar! Selendang itu sama warna, sama bentuk dengan yang kumiliki. Tapi tidak asli. Selendangku terbuat dari sutera asli, selendang yang kau bawa terbuat dari sutera tiruan...”
“Selendang sahabatku berbau harum. Selendangmu busuk bau tai ayam!” sambung Wiro pula.
Datuk Gadang Mentari tertawa pendek. Dua bola matanya bergoyang keras. Dari hidungnya terdengar suara mendengus. Lalu mulutnya semburkan ludah. Hebatnya ludah yang disemburkan itu tidak jatuh ke tanah seolah melesat dan lenyap di udara.
“Orang bersalah selalu mengingkari kesalahannya! Selendang itu ditemukan melingkar menjirat leher adikku! Sementara tubuhnya hancur tak karuan! Apa kau masih ingin mencari dalih?!”
“Perlu apa aku mencari dalih! Aku tak pernah membunuh orang bernama Datuk Mangkuto Kamang!” jawab Anggini ketus tapi tegas.
Tenggorokan Datuk Gadang Mentari tampak bergerak cepat turun naik. Dua bola matanya kembali bergerak-gerak. Kepalanya masih terus mendongak. Agaknya memang kepala ini tak bisa diluruskan!
“Aku punya seorang saksi yang mengetahui peristiwa pembunuhan itu dan melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa memang kau yang membunuh adikku!”
“Katakan siapa orangnya!” kata Anggini dengan suara keras.
“Aku tak bisa memberi tahu karena dia bukan seorang tokoh sembarangan.”
“Berarti semua ini adalah fitnah! Kau punya karangan! Katakan terus terang apa maksudmu melakukan sandiwara keji ini?!” Sepasang mata Anggini membeliak dan suaranya lantang membahana.
“Orang yang menjadi saksi perbuatanmu itu bukan orang sembarangan. Dia adalah seorang tokoh di Gunung Singgalang!”
Kening Anggini mengernyit. “Aku mengenal dua orang tokoh yang diam di gunung itu. Seorang kakek buntung sakti bernama Nyanyuk Amber. Namun sejak lama dia melenyapkan diri dari Gunung Singgalang. Orang satunya lagi adalah seorang nenek berkepandaian tinggi bernama Sabai Nan Rancak. Dia...”
“Tidak, tidak!” memotong Datuk Gadang Mentari. “Bukan mereka yang menyaksikan perbuatan kejimu itu...”
“Berarti...”
“Sudahlah, aku tak ingin bicara berpanjang lebar. Dosa dan kesalahanmu sudah jelas. Biar kawan-kawanku yang lain punya kesempatan untuk bicara!” Datuk Gadang Mentari berpaling ke arah Sika Sure Jelantik tapi kepalanya terus saja mendongak.
“Perempuan tua sahabatku harap kau suka memberi tahu kedatanganmu pada calon-calon mayat yang ada di tempat ini!”
“Calon-calon mayat?!” Untuk pertama kalinya Panji membuka mulut. Dia memandang pada Wiro dan Anggini lalu satu persatu pada empat orang yang ada di sekelilingnya. Tak satu pun dari mereka yang dikenali pemuda ini. Maklum saja dia baru sekali ini menginjakkan kaki di tanah Jawa.
“Maksudmu kami bertiga ini yang kau sebut sebagai calon-calon mayat? Kalian hendak membunuh kami?!”
Sika Sure Jelantik tertawa panjang. “Putera Mahkota kerajaan pulau Sipatoka! Kau mewakili ke dua orang tuamu menjadi tumbal kematian! Hik hik hik!”
Terkejutlah Panji mendengar kata-kata si nenek. Matanya melotot tak berkesip menatap wajah bulat keriput si nenek sementara rambutnya yang putih panjang riap-riapan dihembus angin lembah.
“Siapa sebenarnya perempuan tua ini...?” pikir Panji. Matanya turun ke bawah memperhatikan jubah hitam yang melekat di tubuh si nenek lalu pandangannya membentur tangan kiri kanan Sika Sure Jelantik. Sepuluh kuku jari si nenek dilihatnya berwarna hitam dan panjang-panjang. Pemuda ini mencoba mengingat-ingat. “
“Wajahnya tidak sama. Tapi pakaian dan bentuk jarinya tak ada beda. Lalu suaranya. Aku mengenali betul. Tak mungkin salah! Jangan-jangan...”
SEMBILAN
Nenek bermuka bulat dan ada tahi lalat di dagu kirinya itu kembali mengumbar tawa panjang. Sementara Wiro dan Anggini memandang pada Panji terheran-heran karena barusan disebut sebagai Putera Mahkota oleh si nenek.
“Anak muda calon mayat! Aku adalah Sika Sure Jelantik yang dulu kau kenal sebagai Dukun Sakti Langit Takambang!”
“Kau!” seru Panji dengan lidah tercekat tapi wajah langsung merah seperti saga! Dan darah amarah menggelegak!
“Hik hik hik! Kau adalah calon mayat pertama di tempat ini!” hardik si nenek.
Wiro berpaling pada Anggini dan berbisik. “Agaknya siapa calon mayat ke dua di antara kita...?”
“Aku belum mau mati!” jawab Anggini tanpa berpaling pada Wiro.
“Ah, nasibku jelek. Dalam keadaan seperti ini agaknya aku memang ditakdirkan jadi calon mayat ke dua. Lebih dulu menemui ajal darimu!” keluh Wiro sambil garuk-garuk kepala. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan air muka sedih apalagi takut.
Murid Dewa Tuak terkejut mendengar ucapan Pendekar 212 dan baru teringat akan keadaan Wiro. Walau pemuda ini masih membawa Kapak Maut Naga Geni 212, mengenakan jubah sakti Kencono Geni dan dibekali Si Raja Penidur dengan ilmu tidur, namun tetap saja si gadis merasa khawatir. Dia berbisik.
“Jangan jauh-jauh dariku Wiro. Kalau ada apa-apa aku sulit membantumu...” kata Anggini cepat.
Wiro anggukkan kepala dan diam-diam merasa terharu gadis itu memperhatikan keselamatannya.
“Dukun tua keparat! Dulu kau melarikan diri dari pulau. Apa sekarang kau kira bisa lolos dari tanganku? Biar aku yang muda mewakili kedua orang tuaku memuntir putus kepalamu!”
Sika Sure Jelantik tertawa bergelak. “Umur hanya beberapa kali usia jagung! Tubuh masih bau pesing! Ilmu dan pengalaman hanya sejengkal dalamnya comberan busuk! Sombong amat bicara hendak memuntir putus kepalaku!”
“Siapa lagi yang hendak bicara?!” Tiba-tiba Datuk Gadang Mentari buka suara. Dia masih terus mendongak ke langit dan sepasang matanya yang menjorok keluar bergerak-gerak liar.
“Tunggu! Aku masih belum habis bicara!” berteriak Sika Sure Jelantik.
Tenggorokan Datuk Gadang Mentari bergerak turun naik. Bola matanya yang memberojol bergoyang beberapa kali.
“Kau!” tiba-tiba Sika Sure Jelantik menghardik dan menuding dengan jari telunjuk tangan kirinya yang berkuku panjang ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Murid Sinto Gendeng mengambil sikap diam menunggu.
“Terakhir kali nyawamu selamat karena gadis cantik berlesung pipit kekasihmu itu menolongmu! Kali ini jangan harap kau bisa selamat dari kematian!”
Wiro garuk-garuk kepala. Dia melirik pada Anggini dan melihat bagaimana paras gadis ini berubah begitu mendengar si nenek menyebut gadis lesung pipit yang jadi kekasihnya. “Gara-gara mulut lancang nenek sialan ini, apa kini yang ada dalam benak serta hati Anggini...?” membatin Wiro.
“Pendekar 212, apakah saat ini kamu masih belum mau memberi tahu di mana adanya kakek keparat Tua Gila?!”
“Bukankah tempo hari sudah kubilang dimana dia berada?!” ujar Wiro sambil cengar-cengir.
Di sampingnya Anggini yang tiba-tiba jadi kacau pikiran mendengar kata-kata si nenek tadi, bagaimanapun juga tetap tidak ingin melihat Wiro celaka. Maka dia cepat berbisik. “Wiro, jangan berlaku gegabah. Nenek satu ini memiliki kepandaian tinggi...”
Sepasang mata Sika Sure Jelantik mendelik. “Kapan kau memberitahu! Di mana?!”
“Kau sudah tua, tak salah kalau cepat pelupa. Bukankah waktu itu kuberitahu padamu bahwa Tua Gila berada di satu kali kecil. Sedang membuang hajat besar alias berak! Sampai saat ini kurasa dia masih ada di sana. Memang mengherankan. Buang hajat besar saja sampai berminggu-minggu...” Wiro tertawa gelak-gelak.
Anggini menggigit bibir melihat. Wiro abaikan nasihatnya. Datuk Gadang Mentari keluarkan suara menggereng dari tenggorokannya. Orang bermuka hijau yang rambutnya seperti sarang tawon keluarkan suara gemeretak dari rahangnya yang dikatupkan kencang-kencang. Sementara itu terdengar suara tertawa cekikikan tertahan. Yang tertawa ternyata adalah yang duduk dengan menyembunyikan mukanya di atas batu cadas paling tinggi.
Amarah Sika Sure Jelantik menggemuruh. Didahului satu teriakan keras dia siap melompat ke hadapan Wiro. Namun dengan cepat Datuk Gadang Mentari rentangkan tangan kirinya ke samping.
“Wuuttt!” Selarik angin menyambar di depan Sika Sure Jelantik membuat gerakan si nenek tertahan.
“Datuk Gadang! Jangan kau berani menghadang diriku!” teriak Sika Sure Jelantik marah.
“Tenang dan sabar sedikit Sika. Bukankah kita sudah berjanji tidak akan bertindak sendiri-sendiri sebelum semua dari kita bicara?!”
Si nenek saking geramnya bantingkan kaki kirinya. “Kraakkk!” Batu yang dipijaknya retak lalu terbelah dua. Sebelum batu roboh dia telah melompat ke batu lain di sebelahnya.
“Giliran siapa sekarang yang bicara?!” Datuk Gadang Mentari bertanya. Kepala masih mendongak dan sepasang mata terus bergerak-gerak.
Lelaki bermuka hijau letakkan tangan kirinya di atas dada lalu batuk-batuk beberapa kali. Sebelum membuka mulut dia terlebih dulu memandang dengan garang pada Wiro, Anggini dan Panji.
“Aku Pengiring Mayat Muka Hijau! Wakil Datuk Lembah Akhirat! Aku diutus untuk menjadi saksi pemusnahan orang-orang golongan putih yang melakukan kekejian dalam rimba persilatan! Bilamana orang-orang golongan putih tidak bisa diperbaiki maka aku membawa amanat untuk menyingkirkan mereka!”
Wiro pencongkan mulutnya. “Hebat benar tugas manusia ular keket ini!” katanya dalam hati.
Setelah mengusap bibirnya yang ditancapi tulang kecil, Pengiring Mayat Muka Hijau menatap ke arah Wiro lalu berkata. “Jika kau benar orang yang dijuluki Pendekar 212, seperti yang dituntut oleh sobatku Sika Sure Jelantik, aku ingin menanyakan di mana adanya gurumu si Tua Gila itu?”
“Hemm... Apa kau punya keperluan sama dengan kakek itu?” tanya Wiro seenaknya.
Pengiring Mayat Muka Hijau menyeringai. “Gurumu si Tua Gila itu telah membunuh seorang tokoh golongan putih di pulau Andalas. Korbannya adalah Magek Bagak Baculo Duo! Dosa besar ini harus dipertanggung jawabkannya! Kalau kau tidak memberitahu di mana dia berada maka aku akan mewakili dunia persilatan untuk menghabisimu saat ini juga. Tapi mengingat nama besarmu aku bisa memberi pengampunan dengan satu syarat...”
“Asyik juga! Apa syaratmu manusia muka hijau berambut sarang tawon?!” bertanya Pendekar 212 yang kembali membuat Anggini jadi panas dingin.
“Kau ikut dengan aku ke Lembah Akhirat dan menyatakan tunduk pada Datuk Lembah Akhirat masuk menjadi anggota kami!”
“Hemmm... Coba aku pikirkah dulu!” kata Wiro sambil garuk-garuk kepala. “Sebelum aku memberi keputusan mau ikut denganmu atau tidak, apa boleh aku bertanya? Yang namanya Lembah Akhirat itu pasti letaknya di akhirat ya? Walah, perjalanan ke sana pasti jauh sekali. Apa orang harus terbang menuju ke sana atau ada tangganya naik ke langit sana atau bagaimana ya...?” Wiro tutup ucapannya dengan tawa bergelak.
Orang yang duduk menutupi mukanya di atas cadas tinggi ikut-ikutan tertawa. Murid Sinto Gerideng mempermainkan Pengiring Mayat Muka Hijau tidak hanya sampai di sana. Mulutnya kembali menyeletuk.
“Manusia muka ular keket! Kau tahu Tua Gila sejak lama berada di tanah Jawa ini, sedang buang hajat besar. Kapan dia sempat-sempatnya membunuh si Magek Bagak Babiji Duo itu?! Ha ha ha...!”
“Baculo duo! Bukan Babiji Duo!” Orang yang duduk menutup wajah di atas batu cadas membetulkan ucapan Wiro lalu tertawa terkekeh-kekeh.
“Datuk Gadang Mentari! Aku sudah gatal tangan membetot jantung mencabut nyawa orang ini! Harap kau cepat memberi kesempatan pada kawan kita yang terakhir untuk bicara!” kata Pengiring Mayat Muka Hijau dengan pelipis menggembung bergerak-gerak saking mendidih amarahnya.
“Sobatku di atas cadas!” berseru Datuk Gadang Mentari. “Jangan tertawa saja! Kami memberi kesempatan padamu untuk bicara!”
Orang di atas cadas hentikan tawanya tapi tetap saja duduk seperti tadi. Menyembunyikan wajahnya di balik sepasang kakinya yang dilipat. Lalu terdengar suaranya berkata dengan nada rawan.
“Datuk Gadang Mentari, kau tahu siapa dan bagaimana sifatku. Harap kau saja yang mewakili aku bicara!”
“Hemm...” Datuk Gadang Mentari bergumam. Matanya tak lepas memandang ke langit. “Sobatku Iblis Pemalu, jika itu maumu baiklah. Aku akan bicara pada dua kecoak ingusan itu! Pemuda bergelar Pendekar 212 dan gadis bernama Anggini, dengar baik-baik apa yang aku katakan! Akibat ulah kalian berdua seorang tokoh bernama Datuk Bululawang menemui kematian! Malang bagi kalian berdua, Datuk Bululawang adalah kakak kandung sobatku Iblis Pemalu yang saat ini duduk di atas batu cadas sana! Celaka bagi kalian berdua, hari ini akhirnya Iblis Pemalu berhasil menemui kalian di sini setelah sekian lama mencari-cari! Nyawamu mungkin terpaksa kami bagi dua!”
“Mana bisa begitu!” Sika Sure Jelantik menukas. “Kita ada berempat jadi nyawanya harus dibagi empat!” Si nenek lalu tertawa cekikikan.
Wiro memandang ke atas batu cadas di mana lelaki berpakaian serba hitam duduk. Lalu berbisik pada gadis di sebelahnya. “Anggini, apa yang kau ketahui tentang manusia aneh bernama Iblis Pemalu itu?”
“Aku memang pernah mendengar nama manusia satu ini. Dia malang melintang seorang diri. Tidak merangkul golongan mana pun. Kepandaiannya sangat tinggi tapi dia bukan bangsa manusia yang mudah dikecoh oleh orang-orang golongan hitam, Aneh kalau hari ini dia ikut-ikutan dengan tiga manusia kesasar itu! Lekas kau bicara menjelaskan kematian Datuk Bululawang itu!”
“Iblis Pemalu!” Wiro berseru. “Soal kematian kakakmu itu, apakah kau menyaksikan dengan mata kepala sendiri?!”
“Sobatku Datuk Gadang Mentari, harap kau jawab pertanyaannya.” Iblis Pemalu bicara dan tetap sembunyikan wajahnya di balik paha.
“Dia memang tidak melihat sendiri pembunuhan yang kalian lakukan atas diri kakaknya! Tapi dia mendapat penjelasan dari orang lain yang bisa dipercayai”
“Siapa orang lain itu?!” tanya Anggini.
“Agar sesama golongan putih tidak tambah ricuh, harap kau tidak memberi tahu siapa orangnya Datuk Gadang!” Yang bicara adalah Pengiring Mayat Muka Hijau.
“Berarti ada kedustaan besar di balik semua ini!” kata Anggini.
“Iblis Pemalu, harap kau tidak termakan fitnah!” kata Wiro.
Iblis Pemalu tidak menjawab tidak bergerak. Yang buka suara kembali, adalah Pengiring Mayat Muka Hijau, anak buah Datuk Lembah Akhirat. “Kau pandai bicara membela diri! Tapi siapa yang mau percayai Datuk Gadang, apakah kita sudah siap mulai dengan pesta kematian ini?!”
"Tunggu! Aku mau bicara dulu dengan Iblis Pemalu!” teriak Wiro.
Lalu dia naik ke atas batu-batu cadas dan memanjat ke tempat iblis Pemalu duduk. Kalau saja dia masih memiliki kesaktian dan tenaga dalam, Wiro tak perlu susah payah naik ke atas batu itu. Tapi cukup sekali melompat dan melesat saja dia dengan cepat dan mudah bisa sampai di sana.
“Iblis Pemalu, harap kau mau mendengar penjelasanku. Adikmu Datuk Bululawang bukan kami yang membunuh. Dia jadi korban pembalasan sakit hati Sandaka, seorang pemuda berjuluk Manusia Paku. Pemuda itu sendiri adalah korban ilmu hitam Dewi Ular!”
Pengiring Mayat Muka Hijau mendengus. “Nama Sandaka ataupun Manusia Paku tak pernah dikenal. Kalau orangnya memang ada di mana dia sekarang. Juga Dewi Ular. Coba jelaskan di mana perempuan itu berada!”
“Mereka amblas masuk jurang!” menerangkan Anggini.
Pengiring Mayat Muka Hijau tertawa mengejek. “Semua yang kalian katakan tidak masuk akal! Datuk... Bagaimana? Apa kita bisa mulai?”
(Mengenai Sandaka atau Manusia Paku harap baca serial Wiro Sableng berjudul Dendam Manusia Paku)
“Datuk Gadang, kau belum menyampaikan satu permintaanku?” Tiba-tiba Iblis Pemalu berkata.
“Astaga, hampir aku terlupa!” kata Datuk Gadang Mentari. “Kami menyirap kabar, salah satu dari kalian memiliki sebuah peta petunjuk di mana adanya sebilah pedang sakti bernama Pedang Naga Suci 212! Aku dengar kau yang bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 yang menyimpannya. Jika peta itu kau berikan pada Iblis Pemalu maka segala urusan menyangkut dirimu akan dilupakannya!”
“Gila, kenapa urusan jadi panjang bertele-tele seperti ini!” keluh Wiro. “Kalian semua dengar! Aku tidak tahu menahu soal pedang itu! Apalagi menyimpan peta petunjuk!”
“Aku juga!” kata Anggini.
“Aku yang menyimpannya!” Tiba-tiba Panji yang sejak tadi berdiam diri keluarkan seruan.
Pengiring Mayat Muka Hijau, Sika Sure Jelantik palingkah kepala ke arah pemuda itu. Datuk Gadang Mentari memutar tubuhnya sedikit tapi tetap saja mendongak ke langit. Iblis Pemalu tampak menggeser dua tangannya yang sejak tadi bersitekan ke batu.
“Datuk Gadang! Lekas kau rampas peta itu!” Berteriak Iblis Pemalu.
“Jangan-jangan dia hanya menipu!” Pengiring Mayat Muka Hijau berkata.
Panji menyeringai. Dari balik pakaiannya yang bagus dia mengeluarkan secarik kain putih yang telah lusuh. Benda itu diperlihatkannya pada orang-orang yang ada di tempat itu. Lalu dengan cepat dimasukkannya kembali ke balik pakaiannya.
Pengiring Mayat Muka Hijau jadi bimbang. Datuk Gadang Mentari gerak-gerakkan kedua kakinya. Iblis Pemalu keluarkan suara aneh sementara Sika Sure Jelantik merupakan satu-satunya orang yang tampak tidak tertarik dengan urusan itu. Sepasang matanya terus menerus mengawasi Wiro yang sejak tadi diincarnya.
Tiba-tiba Panji berkelebat dari tempat itu. Gerakannya cepat sekali. Tahu-tahu dia sudah berada di salah satu puncak batu cadas. Terus melesat ke atas sebatang pohon besar dan lenyap di balik kerimbunan dedaunan.
“Kejar!” teriak Iblis Pemalu. Tubuhnya melesat ke atas. Mukanya yang tidak tertutup lagi di balik kedua pahanya kini ditutupnya dengan tangan kirinya. Di udara dia membuat gerakan aneh. Di lain kejap laksana terbang dia melesat ke arah pohon besar tempat lenyapnya Panji.
Datuk Gadang Mentari walau tampak tak bisa menguasai diri tapi masih tetap berada di atas batu tempatnya berdiri. Sementara Sika Sure Jelantik tidak melepaskan Wiro dari pengawasannya.
“Sika Sure Jelantik, sementara dua teman kita berusaha mendapatkah peta, bagaimana kalau kita berdua membagi-bagi rejeki?!”
Sika Sure Jelantik tertawa panjang. Dia maklum apa maksud ucapan Datuk Gadang Mentari itu.
“Sika, kau urusi si pemuda, aku biar membereskan yang gadis!” kata Datuk Gadang Mentari pula. Lalu sekali dia menggenjotkan ke dua kakinya, tubuhnya melesat ke arah Anggini. kepalanya tetap mendongak ke langit. Namun tangan kanannya membuat gerakan kilat. Menghantam ke jurusan Anggini.
Si nenek Sika Sure Jelantik keluarkan teriakan keras lalu berkelebat ke arah Pendekar 212!
*******************
WWW.ZHERAF.COM
SEPULUH
Kita ikuti pengejaran atas diri Panji alias Datuk Pangeran Rajo Mudo yang dilakukan oleh Pengiring Mayat Muka Hijau dan Iblis Pemalu. Seperti diketahui putera Rajo Tuo Datuk Paduko iman yano juga merupakan cucu Tua Gila itu memiliki ilmu kepandaian aneh-aneh. Antara lain mampu menyelam dalam waktu lama dalam air. Lalu dia juga sangat pandai dalam soal panjat memanjat. Sekali berkelebat di atas pohon dirinya lenyap seolah berubah jadi angin.
Pengiring Mayat Muka Hijau penasaran setengah mati. Dia memandang berkeliling. Satu bayangan hitam berkelebat. Dia siap menghantam tapi cepat menarik tangannya ketika mengenali orang itu adalah Iblis Pemalu. Sambil tutupi kedua mukanya dengan tangan manusia aneh ini mengawasi keadaan sekelilingnya lewat celah-celah jarinya.
“Ke mana lenyapnya jahanam itu!“ kata Pengiring Mayat Muka Hijau setengah berteriak.
“Aku merasa malu! Lebih baik bunuh diri kalau tidak berhasil menangkap manusia kampret itu!” kata Iblis Pemalu lalu tutup lebih rapat mukanya dengan ke dua tangan.
Pengiring Mayat Muka Hijau tambah jengkel mendengar kata-kata si Iblis Pemalu. “Kau menyelidik ke sebelah kiri! Aku ke jurusan kanan!” kata anak buah Datuk Lembah Akhirat ink Lalu tanpa menunggu jawaban orang si Pengiring Mayat Muka Hijau melompat ke atas pohon besar di sebelah kiri.
Tapi begitu kakinya menginjak salah satu cabang tiba-tiba saja cabang pohon itu amblas. Kalau dia tidak lekas bergayut pada cabang di atasnya paling tidak dia akan terperosok jatuh.
“Jahanam!” maki Pengiring Mayat Muka Hijau. Dia memperhatikan bekas patahan cabang pohon. Ternyata cabang itu tidak patah biasa, melainkan ada tanda bekas dipotong dengan beda tajam.
“Pasti pemuda jahanam itu yang punya, pekerjaan!”
Perigiring Mayat Muka Hijau memaki. “Sobatku dari Lembah Akhirat!” tiba-tiba terdengar suara Iblis Pemalu.
Pengiring Mayat Muka Hijau diam saja. Kembali terdengar suara Iblis Pemalu.
“Aku malu tak dapat mencari pemuda pembawa peta itu! Mengapa kau tidak mengerahkan Ilmu Pukulan Mayat! Sekali kau menerabas semua pepohonan ini akan musnah dan jahanam itu tak bisa lagi bersembunyi! Lekas kau lakukan. Sebentar lagi matahari akan terbenam dan tempat ini akan diselimuti kegelapan!”
Pengiring Mayat Muka Hijau masih diam. Namun dalam hatinya dia membenarkan kata-kata Iblis Pemalu. Maka dia segera kerahkan tenaga dalam ke tangan kanannya yang telapaknya berwarna hijau.
“Wusss!”
Pengiring Mayat Muka Hijau menghantam ke pohon di atasnya. Selarik sinar hijau menderu. Cabang, ranting dan daun-daun pohon di atas sana laksana dikobari api berwarna hijau. Dalam waktu sekejapan saja pohon itu berubah menjadi bubuk berwarna hijau yang kemudian lenyap bertaburan tertiup angin. Di pohon yang kini menjadi gundul itu sama sekali tidak terlihat sosok pemuda yang dikejar. Penasaran Pengiring Mayat Muka Hijau kembali menghantam pohon di samping kiri. Untuk kedua kalinya pohon ini pun menerima nasib sama. Gundul laksana dimakan api! Namun Panji tetap saja tidak kelihatan!
“Jahanam!” Lagi-lagi Pengiring Mayat Muka Hijau menyumpah habis-habisan.
Tiba-tiba seseorang melayang turun dari atas pohon dan tegak di samping Pengiring Mayat Muka Hijau, membuat orang ini terkejut dan kembali menyumpah panjang pendek. Yang datang ternyata adalah Iblis Pemalu.
“Sobatku Pengiring Mayat Muka Hijau!” Iblis Pemalu berbisik. “Aku sudah melihat pemuda itu. Dia sembunyi di pohon sebelah kanan sana. Lekas kau menghantam kembali. Aku tak mau menyerangnya. Aku malu!”
Pengiring Mayat Muka Hijau habis sabarnya. Dia membentak. “Kau malu menyerangnya. Tapi tidak malu menginginkan peta rahasia itu!”
Iblis Pemalu menutup wajahnya dengan dua tangan tambah rapat. “Ah, ucapanmu membuat diriku tambah malu,” katanya tetap dengan suara berbisik. “Ayo cepat kau menghantam pohon itu sebelum dia kabur dari sana!”
“Sialan! Bangsat ini memperalat diriku! Jangan harap kau bakal dapatkan peta itu!” rutuk Pengiring Mayat Muka Hijau. Lalu tanpa berpaling pada orang di sebelahnya dia langsung menghantam ke pohon yang dikatakan.
“Wusss!”
Untuk kesekian kalinya sinar hijau menggebu. Kali ini lebih dahsyat karena Pengiring Muka Mayat menghantam dengan penuh amarah serta pengerahan tenaga dalam tinggi. Pohon besar di sebelah sana bukan saja hancur lebur di sebelah atas tapi setengah dari batangnya ikut berubah jadi arang berwarna hijau yang kemudian lebur ditiup angin!
“Mana dia! Katamu bangsat itu ada di pohon itu! Kau lihat sendiri dia tidak ada di sana!” teriak Pengiring Mayat Muka Hijau marah ketika dia sama sekali tidak melihat sosok Panji.
“Ah, bagaimana ini. Tadi jelas aku lihat dia mendekam di atas sana. Aku jadi malu!” Iblis Pemalu memandang liar kian kemari di antara celah-celah jarinya.
Tiba-tiba terdengar suara bergemeresak di belakang mereka. Iblis Pemalu dan Pengiring Mayat Muka Hijau cepat berbalik. Sesosok tubuh berkelebat dari atas pohon kecil dan satu kaki menendang ke arah Pengiring Mayat Muka Hijau. Demikian cepat datangnya tendangan membuat anak buah Datuk Lembah Akhirat ini tidak dapat berkelit. Meskipun dia tak sempat menghindar namun Pengiring Mayat Muka Hijau tidak diam begitu saja. Tangan kanannya dihantamkan ke arah si penyerang.
“Bukkk! Wusss...!”
Satu tendangan menghantam dada kanan Pengiring Mayat Muka Hijau dengan telak. Selarik sinar hijau berkiblat! Pengiring Mayat Muka Hijau terpental dua tombak dan menyangsrang jatuh di semak belukar. Dada kanannya serasa remuk.
“Memalukan! Ah, kau tidak apa-apa sobatku?!” tanya Iblis Pemalu dan mendatangi Pengiring Mayat Muka Hijau. Tangan kirinya masih ditutupkan ke mukanya. Tangan kanan diulurkan untuk menolong.
Saat itu bukan saja rasa sakit yang diderita Pengiring Mayat Muka Hijau tapi amarahnya pun sudah menggelegak sampai ke ubun-ubun. Dengan kaki kirinya diterjangnya perut Iblis Pemalu hingga orang ini terjengkang tapi cepat bangkit kembali.
Sambil menutupkan ke dua tangannya di wajahnya, Iblis Pemalu berkata. “Memalukan, diantara sahabat terjadi salah paham!”
“Jahanam! Kalau kau tidak lekas menyingkir dari hadapanku akan kubuat jadi debu kau saat ini juga!” teriak Pengiring Mayat Muka Hijau.
“Ah memalukan! Memalukan aku harus pergi!” Iblis Pemalu golengkan kepalanya beberapa kali. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi dia berkelebat ke arah lenyapnya bayangan hijau yang tadi menyerang Pengiring Mayat Muka Hijau.
Dengan susah payah Pengiring Mayat Muka Hijau keluarkan tubuhnya dari semak belukar. Dada kanannya yang cidera terkena tendangan diusapnya berulang kali. Dia memandang ke jurusan lenyapnya Iblis Pemalu.
“Pemuda baju hijau itu tak bakal lari jauh! Aku yakin Pukulan Penghancur Mayat yang aku lepaskan tadi mengenai tubuhnya walau tidak telak...”
Dengan cepat dia mengerahkan tenaga dalam ke dada yang cidera. Lalu begitu selesai mengatur jalan nafas dan peredaran darah dia segera menyadari satu hal.
“Aku harus mengejar mereka. Aku tidak bisa membiarkan Iblis Pemalu mendapatkan peta petunjuk di mana adanya itu! Kalau sampai dia mendahului pasti Datuk Lembah Akhirat akan menjatuhi hukuman berat padaku!”
Memikir sampai di sini Pengiring Mayat Muka Hijau segera berkelebat. Namun gerakannya tertahan karena tiba-tiba saja di tempat itu terdengar suara tawa membahana. Paras anak buah Datuk Lembah Akhirat yang berwarna hijau penuh benjolan seperti bisul ini tampak tegang. Suara tawa itu bukan suara tawa biasa. Kedua kakinya yang menginjak tanah dapat merasakan getaran hebat tanda siapa pun adanya orang yang tertawa pasti memiliki ilmu kepandaian serta tenaga dalam luar biasa.
Berfirasat bakal ada bahaya yang mengancam Pengiring Mayat Muka Hijau cepat menyelinap ke balik sebatang pohon besar sambil mengerahkan tenaga dalam ke tangan kanannya. Menyiapkan Pukulan Maut Penghancur Mayat!
SEBELAS
Mengiring Mayat Muka Hijau jadi tegang sendiri. Karena setelah ditunggu agak lama orang yang tertawa itu belum juga muncul. Padahal suara tawanya begitu keras tanda orangnya tidak berada jauh dari tempat dia bersembunyi. Suasana yang mendadak menjadi sunyi senyap membuat anak buah Datuk Lembah Akhirat ini menjadi salah tingkah. Dia ingin segera keluar dari balik pohon tapi khawatir orang akan membokongnya. Tidak keluar membuat ketegangan semakin bertumpuk.
Si muka hijau ini tergagau ketika tiba-tiba kembali suara tawa meledak. Kali ini datangnya justru dari atas pohon di bawah mana dia berlindung. Mendongak ke atas terkejutlah dia. Seumur-umur baru sekali ini dia melihat pemandangan yang demikian luar biasa. Dia sempat menggosok mata berulang kali untuk memastikan bahwa dia tidak salah lihat atau tengah bermimpi.
“Keanehan apa ini! Sudah terbalikkah dunia hingga ada pemandangan begini rupa?!”
Di atas pohon besar, di salah satu cabang dia melihat seekor keledai pendek kurus. Tegak dengan telinga bergerak-gerak, mata berkedap-kedip dan ekor bergoyang-goyang kian kemari. Di atas punggung keledai kurus kering itu duduk seorang kakek gemuk luar biasa. Rambutnya digulung di atas kepala. Pakaiannya tak berkancing dan kesempitan hingga dada dan perutnya yang gembrot berlemak tersembul. Pengiring Mayat Muka Hijau perhatikan wajah orang di atas pohon itu. Tua dan memiliki sepasang mata sangat sipit.
“Benar-benar edan!” kata si Pengiring Mayat dalam hati. “Keledai bisa berada di atas pohon! Tak masuk akal! Lalu si gendut yang duduk di atasnya! Meski binatang itu kurus tapi cabang pohon tidak mungkin menahan bobot tubuhnya. Apalagi ditambah dengan berat orang tua bertubuh gemuk itu! Tapi cabang tidak patah, bergoyang atau meliuk pun tidak! Siapa adahya dua makhluk aneh ini?!” Tengkuk Pengiring Mayat Muka Hijau mendadak menjadi dingin. Dia tidak bisa menduga pasti. Namun terus memutar otak mengingat-ingat.
Tiba-tiba si gemuk di atas pohon keluarkan suara bersuit. Lalu tertawa bergelak. Ranting-ranting pohon bergemeretak. Daun-daun bergemeresik bahkan ada yang berguguran. “Dasar keledai pandir! Tolol! Bodoh! Hendak kau bawa ke mana aku ini?! Jalan ke sorga bukan di sini! Ha ha ha! Ayo lekas turun! Jangan membuat aku gamang. Bisa-bisa aku ngompo! di celana! Ha ha ha! Ayo turun!”
Si gemuk tepuk-tepuk pantat keledainya. Binatang ini mengeluarkan suara melenguh lalu menggerakkan tubuh sebelah belakangnya ke atas beberapa kali. Si gemuk di atas punggung keledai bergoncang-goncang. Dada dan perutnya yang gembrot bergoyang-goyang.
“Keledai dungu! Apa yang kau lakukan ini! Aku bilang jangan membuat diriku jadi gamang! Nah... nah! Apa kataku! Lihat apa yang terjadi! Rasakan! Habis kau aku kencingi!”
Di bawah pohon Pengiring Mayat Muka Hijau tersentak kaget ketika ada air jatuh membasahi muka dan dadanya. Ketika mencium bau air dan menyadari air apa adanya yang barusan membasahi muka serta pakaiannya menyumpahlah dia habis-habisan.
Sementara itu di atas pohon kakek gemuk kembali tertawa keras. Dia tepuk pantat keledai seraya berkata mengancam. “Keledai geblek! Lekas turun ke tanah! Kalau kau masih membandel akan aku tutup lobang anusmu! Jangan harap kau bisa buang hajat selama satu minggu!”
Entah mengerti ucapan si gemuk entah bagaimana, nyatanya keledai kurus itu melenguh tinggi dan putar-putar. ekornya. Lalu perlahan-lahan selangkah demi selangkah dia meniti cabang pohon. Begitu sampai pada batang pohon keledai ini terus membelok ke bawah dan betul-betul luar biasa! Binatang ini terus menjejakkan kaki pada batang pohon, bergerak turun kebawah!
Pengiring Mayat Muka Hijau yang sudah tak dapat menahan amarahnya sesaat jadi terkesiap. Dia memperhatikan dengan mata mendelik. Ketika dia mengetahui apa sebenarnya yang terjadi kembali dia menyumpah.
“Jahanam gendut itu menipuku! Ternyata kakinya yang menempel di batang pohon. Keledai di bawahnya hanya mengikuti gerakannya saja!”
Walaupun demikian Pengiring Mayat Muka Hijau tetap tercengang melihat kehebatan kakek gemuk yang terus-terusan keluarkan suara tertawa itu.
“Dia memiliki tenaga dalam aneh yang mampu membuatnya meniti pohon dengan tubuh melintang di udara! Telapak kakinya seperti memiliki perekat!”
Keledai dan si gemuk akhirnya menjejakkan kaki di tanah. Kini lebih jelas di mata Pengiring Mayat Muka Hijau. Sebenarnya kakek gemuk itu tidak duduk di atas punggung keledainya karena ke dua kakinya yang panjang buntak menjejak tanah menopang tubuhnya yang berat!
Si gemuk usap-usap perutnya lalu kembali mengumbar tawa yang menggetarkan seantero tempat. “Keledaiku, kau boleh pergi mencari makan. Tapi awas! Jangan jauh. Tempat ini terasa aneh. Banyak pohon gundul berwarna hijau. Aku menunggumu di sini sambil melepas lelah dan bernyanyi-nyanyi!”
Dengan satu gerakan ringan si gendut turun dari keledainya. Begitu binatang itu menyeruak di antara pepohonan si gemuk menghampiri sebatang pohon lalu duduk menjelepok di tanah, bersandar ke pohon. Padahal di sebelah belakangnya tegak bersembunyi Pengiring Mayat Muka Hijau yang barusan dikencinginya!
"Mencari saudara semata wayang
Entah hilang entah nyawa sudah melayang
Lain yang dicari
Lain yang ditemui
Kalau memang bukan maling bukan pencuri
Mengapa sengaja sembunyikan diri Ha... ha... ha!
Enaknya hidup di dunia ini
Bisa tertawa bisa menyanyi Ha ha ha!"
Di balik pohon Pengiring Mayat yang sengaja menahan nafas maklum kalau nyanyi yang dilantunkan kakek gendut itu merupakan sindiran bagi dirinya. Dalam pada itu dia kini sudah bisa menduga siapa adanya orang itu. Maka tanpa tunggu lebih lama dia segera keluar dari balik pohon di belakang si gemuk.
“Bukankah aku berhadapan dengan tokoh dunia persilatan terhormat yang disebut dengan gelaran Dewa Ketawa?” Pengiring Mayat Muka Hijau menegur.
Suara tawa si kakek gemuk langsung berhenti. Sepasang matanya yang sipit memandangi Pengiring Mayat Muka Hijau dari rambut sampai ke kaki. Lalu meledaklah tawa orang ini kembali.
“Kau pandai menerka siapa diriku. Tapi aku agaknya bakalan susah menduga siapa dirimu! Di atas kepalamu ada sarang tawon. Ha ha ha! Mukamu hijau benjal-benjol seperti ulat daun. Tubuhmu ada bau pesingnya! Bibirmu diganduli tulang. Bagaimana kau mencium kekasih atau istrimu! Ha ha ha! Siapa kau ini kira-kira ya? Ha ha ha!”
Rahang Pengiring Mayat Muka Hijau menggembung. Tenggorokannya turun naik. “Orang tua gendut! Aku merasa banyolanmu tidak lucu!”
“Huss! Siapa yang sedang membanyol! Aku tadi cuma menyanyi, bukan membanyol! Jangan-jangan pendengaranmu agak terganggu alias tuli! Ha ha ha!”
“Dewa Ketawa! Kekonyolanmu sudah melampaui batas! Tadinya aku punya rencana baik untukmu! Tapi kini terpaksa aku batalkan!”
“Ah, kalau begitu rejekiku memang jelek. Tapi bagaimana kau bisa membuat rencana baik bagiku kalau dirimu sendiri kejatuhan sial! Barusan bukankah ada setan pohon yang mengencingimu?! Ha ha ha!”
“Dewa Ketawa, kau boleh tertawa sampai lidahmu copot! Jangan kaget kalau aku beri tahu bahwa kakakmu si Dewa Sedih ada di bawah kekuasaan kami orang-orang Lembah Akhirat...”
“Eh, apa...?! Astaga kenapa telingaku tiba-tiba menjadi budek?!” Si gendut Dewa Ketawa ketok-ketok bagian kepala dekat telinganya kiri kanan. “Coba kau ulangi lagi ucapanmu tadi! Aku kurang memperhatikan, kurang mendengar! Kau bilang kakakku mau kawin? Eh...! Ha ha ha! Coba ulangi lagi ucapanmu!”
“Kakakmu si Dewa Sedih berada di bawah kekuasaan kami orang-orang Lembah Akhirat! Tak ada jalan kembali baginya ke dunia luar! Seumur-umur dia akan jadi budak Datuk Lembah Akhirat! Dan jangan menyesal kalau dirimu pun akan segera menerima giliran!”
“Ha ha ha...! Kalau hendak diajak jalan-jalan ke akhirat aku pun suka! Belum pernah aku pergi ke sana. Kapan kita berangkat? Sekarang...?!” Dewa Ketawa bergerak bangkit.
Namun saat itu juga Pengiring Mayat Muka Hijau menendang kakinya hingga si gendut itu jatuh terduduk kembali di bawah pohon.
“Hai! Barusan kau bilang hendak mengajak aku jalan-jalan ke akhirat! Mengapa sekarang menyerimpung kakiku?!” tanya Dewa Ketawa terheran-heran sambil menahan tawa.
"Tadi kakimu! Sekarang mulut besarmu!” bentak Pengiring Mayat Muka Hijau. Lalu tangan kanannya melesat ke depan.
“Bukkk!”
Kepala Dewa Ketawa membentur batang pohon di belakangnya ketika jotosan tangan kanan Pengiring Mayat Muka Hijau mendarat di mulutnya. Bibirnya pecah. Darah mengucur. Tapi si gendut ini masih bisa tertawa sambil seka darah di mulutnya.
“Kau baik hati sekali hanya memecahkan bibirku tidak merontokkan gigiku! Ha ha ha! Untung... Karena dalam mulutku gigiku hanya tinggal dua! Ha ha ha!”
“Berapa nyawa yang ada dalam tubuhmu gendut keparat?!” tanya Pengiring Mayat Muka Hijau.
“Eh, walau nada bertanyamu mulai kasar tapi aneh juga! Kampret cuma punya satu nyawa! Burung hantu alias kokok beluk juga punya satu nyawa! Ular keket yang tampangnya sepertimu hanya punya Satu nyawa. Keledai butut tungganganku juga punya satu nyawa. Lalu apa menurutmu aku bisa punya dua nyawa kalau yang satu aku pinjam darimu?! Ha ha ha...! Untung mukamu hijau. Kalau tidak pasti sudah merah dadu saat ini! Ha ha ha!”
“Gendut edan! Kau akan menyesal sampai ke liang kubur! Nyawamu yang cuma satu itu terpaksa harus kau serahkan padaku saat ini juga!”
Saat itu diam-diam Pengiring Mayat Muka Hijau telah kerahkan tenaga dalam ke tangan kanannya untuk mengeluarkan pukulan sakti Penghancur Mayat. Selagi Dewa Ketawa masih asyik tertawa-tawa tiba-tiba dia hantamkan tangannya ke depan.
“Wuutt! Settt!”
Belum lagi sinar hijau mematikan membersit keluar dari tangan Pengiring Mayat Muka Hijau tiba-tiba tangan kanan anak buah Datuk Lembah Akhirat ini telah masuk dalam cengkeraman tangan kanan Dewa Ketawa. Pengiring Mayat Muka Hijau kaget luar biasa. Dengan cepat dia menarik tangannya. Namun bagaimanapun dia mengerahkan tenaga sampai keluarkan keringat dingin, dia tidak mampu melepaskan tangan kanannya dari cengkeraman si gemuk itu.
Dewa Ketawa tertawa mengekeh. “Apa ceritamu tentang nyawa sudah selesai...” Dewa Ketawa mengejek. “Aku masih punya waktu untuk mendengarkan! Ha ha ha...!”
“Jahanam! Lepaskan cengkeramanmu! Atau kakakmu akan aku suruh bunuh biar jadi setan penasaran!” Membentak Pengiring Mayat Muka Hijau. Tonjolan-tonjolan di mukanya kelihatan seperti membengkak hingga kepalanya jadi tampak lebih besar.
Dewa Ketawa ganda tertawa. “Kasihan, kau kesakitan rupanya. Memang tanganku kasar, tidak sehalus tangan gadis cantik jelita! Ha ha ha! Sudah, tak perlu cengeng. Lihat tanganmu akan aku lepaskan. Ha ha ha!”
Ternyata Dewa Ketawa tidak segera melepaskan cengkeraman tangan kanannya pada tangan Pengiring Mayat Muka Hijau. Acuh tak acuh sambil terus tertawa-tawa lima jari tangannya bergerak meremas. Telapak tangannya menjepit laksana jepitan besi.
“Kreekkk! Kreekk! kreekkk!”
Terdengar suara berderak tiga kali. Pengiring Mayat Muka Hijau menjerit setinggi langit. Ketika Dewa Ketawa lepaskan cengkeramannya kelihatan bagaimana tangan kanan Pengiring Mayat Muka Hijau telah hancur. Tulang-tulangnya mencuat berpatahan!
“Manusia tak tahu diuntung! Tadi kau minta tanganmu dilepaskan. Setelah aku lepaskan bukannya mengucapkan terima kasih malah menjerit-jerit seperti anak kecil!”
“Keparat jahanam! Aku mengadu jiwa denganmu!” teriak Pengiring Mayat Muka Hijau. Tiga jari tangan kirinya melesat laksana tiga mata tombak ke tenggorokan Dewa Ketawa.
Yang diserang sesaat masih tertawa. Tiba-tiba Dewa Ketawa meniup ke depan. Saat itu juga sekujur tubuh Pengiring Mayat Muka Hijau menjadi kaku tak bisa bergerak, tak mampu bersuara! Inilah ilmu totokan dengan cara meniup yang dalam rimba persilatan hanya dimiliki oleh Dewa Ketawa!
“Ha ha ha! Sekarang kau sudah jadi anak baik penurut! Saatnya kau mengantarkan aku ke tempat terletaknya Lembah Akhirat!”
Dewa Ketawa bangkit berdiri. Dua jari tangan kanannya dimasukkan ke dalam mulut. Lalu dari mulut itu keluar suara bersuit tiga kali nyaring sekali. Sesaat kemudian dari balik semak belukar menyeruak datang keledai pendek kurus tunggangannya. Dewa Ketawa tertawa panjang.
“Bagus, sekali ini kau datang cepat. Berarti kau juga senang diajak jalan-jalan ke Lembah Akhirat!”
Dewa Ketawa naik ke punggung keledai itu. Ke dua kakinya menjejak tanah. Dengan tangan kirinya dijambaknya rambut Pengiring Mayat Muka Hijau. Dengan tangan kanan digebuknya pinggul keledai. Binatang dan penunggang sama-sama bergerak. Tubuh Pengiring Mayat Muka Hijau ikut terseret!
********************
WWW.ZHERAF.COM
DUA BELAS
Panji menghentikan larinya ketika dirasakannya tangan kanannya seperti kesemutan. Ketika dia meneliti berubahlah paras pemuda ini. Ujung baju hijaunya mulai dari bahu sampai ke pinggang nampak berlubang besar, berubah jadi bubuk!
“Sedikit saja pukulan itu lebih masuk ke dalam pasti sebagian tubuhku berubah jadi debu!” membatin si pemuda. “Rupanya bukan cerita kosong bahwa orang-orang Lembah Akhirat memiliki ilmu Pukulan Penghancur Mayat yang mengerikan itu! Kalau dibiarkan mereka malang melintang berbuat sekehendak hatinya celakalah dunia persilatan di tanah Jawa ini. Padahal aku baru saja menjejakkan kaki di sini. Belum punya pengalaman, apalagi yang namanya menimba ilmu baru!”
Tiba-tiba ingat pada Anggini dan Pendekar 212. “Dua orang itu agaknya bisa kujadikan sahabat. Apa yang terjadi dengan mereka. Apakah usahaku tadi dapat menolong mereka? Sampai saat ini tak ada yang mengejarku. Kalau mereka sampai dikeroyok empat celaka besar akan mereka hadapi! Aku harus kembali ke lembah batu itu!”
Berpikir sampai di situ Panji berusaha merapikan pakaiannya yang robek hangus itu. Ketika dia belum lama menyusuri jalan yang tadi dilewatinya tiba-tiba di depannya tegak menghadang Iblis Pemalu. Orang ini berdiri dengan kedua tangan menutupi wajah namun di antara sela-sela jarinya Panji melihat sepasang mata memandang tak berkesip padanya.
“Hanya dia seorang yang mengejar. Berarti yang tiga lainnya masih di lembah,” pikir Panji yang tidak mengetahui kalau Pengiring Mayat Muka Hijau telah dibuat tak berdaya oleh Dewa Ketawa.
“Sobatku, mengapa kau menghadangku?” menegur Panji dengan nada bersahabat.
“Aku bukan sobatmu! Aku malu jadi sobatmu! Lekas serahkan padaku peta itu!”
Melihat sikap aneh orang di hadapannya yang terus-terusan menutupi wajahnya Panji memutar otak. “Orang aneh kalau diikuti segala perbuatannya bisa dijadikan sahabat. Tapi kalau meleset bisa membawa kematian. Orang ini jelas memiliki ilmu kepandaian yang bisa membawa bencana bagiku! Aku harus berani ambil keputusan!”
Maka Panji lantas meniru perbuatan Iblis Pemalu. Dengan kedua tangannya dia menutupi mukanya. “Aku jadi malu kau tidak menerima persahabatanku! Daripada malu terus lebih baik aku pergi saja...” Panji lalu memutar diri dan melangkah pergi.
“Tunggu! Jangan pergi!” Tiba-tiba Iblis Pemalu berteriak dan sekali berkelebat dia telah berada di hadapan Panji. “Kalau kau tidak menyerahkan peta itu, aku tidak akan menjadi sahabatmu! Malah aku akan membunuhmu saat ini juga!”
“Celaka! Bagaimana aku harus menjawab!” keluh Panji.
“Mengapa tak menjawab? Apa merasa malu?!” bentak iblis Pemalu.
“Ya... ya! Aku merasa malu. Yang aku perlihatkan di lembah itu sebenarnya bukan peta. Tapi sehelai potongan kain butut!”
“Aku tidak percaya. Jangan membuat aku malu karena tertipu! Keluarkan kain itu! Perlihatkan padaku!” bentak Iblis Pemalu.
“Ah.... Aku benar-benar malu!” ujar Panji. Tangan kirinya diselinapkan ke balik pakaian. Ketika dikeluarkan tampak dia memegang sehelai kain putih yang sudah kusut dan dekil. Kain itu diulurkannya pada Iblis Pemalu.
“Aku malu memegangnya! Kembangkan di tanah!” perintah Iblis Pemalu.
Panji membungkuk. Potongan kain dikembangkannya di tanah. Di atas kain itu memang tidak ada tulisan ataupun peta seperti yang dikatakan Panji.
“Balikkan kainnya!” kata Iblis Pemalu pula.
Kembali Panji mengikuti apa yang diperintahkan. Kain putih dibalikkan dan dikembangkan. Pada bagian ini pun tidak ada apa-apanya.
“Hemmm... Sayang matahari hampir tenggelam. Aku tak bisa mengembangkan kain itu ke arah matahari. Siapa tahu peta itu tersembunyi di dalamnya dan hanya bisa dilihat kalau dikembangkan di bawah penerangan tembus sinar sang surya!”
“Sobatku, kau cerdik sekali,” memuji Panji.
“Jangan membuat aku malu dengan pujian!” hardik Iblis Pemalu.
“Harap maafkan aku. Tapi terus terang sebenarnya aku merasa malu karena telah menipumu...”
“Apa maksudmu? Jangan-jangan kau menyembunyikan peta yang sebenarnya!”
“Aku tidak menyembunyikan apa-apa lagi. Aku sengaja menipu kalian hanya karena ingin menolong dua sahabatku yang sekarang mungkin masih ada di lembah, dikeroyok oleh tiga orang kawan-kawanmu itu...”
“Aku datang ke sana bukan untuk mengeroyok! Mengeroyok adalah perbuatan memalukan! Tunggu, jangan mengalihkan pembicaraan. Kau belum menerangkan tuntas apa maksudmu sengaja menipu!”
“Sekali melihat saja aku sudah tahu bahwa kau dan teman-temanmu adalah orang-orang persilatan berkepandaian tinggi. Aku dan dua kawahku tak mungkin bisa menang menghadapi kalian. Karena itu aku memancing dengan memperlihatkan secarik kain butut yang kebetulan kubawa. Lalu kukatakan saja kain itu adalah peta petunjuk di mana beradanya Pedang Naga Suci 212. Habis berkata begitu aku lalu melarikan diri dengan harapan agar kalian mengejar. Dengan demikian dua sahabatku itu selamat dari keroyokan kalian. Nyatanya yang mengejar aku cuma kau sendiri. Berarti tiga temanmu masih ada di sana! Pasti saat ini tengah terjadi perkelahian hebat di lembah. Aku harus kembali ke sana menolong mereka!”
“Jangan kau berani pergi dari sini!” bentak Iblis Pemalu. Dua matanya berputar-putar memandangi Panji. Lalu dari mulutnya terdengar suara tawa cekikikan.
“Manusia aneh, apa pula yang ditertawakannya!” pikir Panji. “Sobatku, kalau kau tetap menghadang berarti kau melakukan perbuatan yang memalukan. Kau membantu tiga orang itu mencelakai dua temanku!”
“Jangan bicara seenak perutmu! Yang mengejarmu bukan aku sendirian. Tapi manusia bermuka hijau itu juga ikut mengejar. Hanya aku tidak tahu sampai saat ini dia tidak muncul!”
“Kalau kau ingin dipermalukan apa kau mau memberi jalan agar aku segera bisa kembali ke lembah batu?” tanya Panji pula.
“Berarti aku juga harus segera ikut ke sana!”
“Guna membantu tiga temanmu itu?!”
“Jangan bicara memalukan! Mereka bukan temanku! Aku ikut mereka karena diajak oleh Datuk Gadang Mentari, katanya aku akan dipertemukan dengan dua orang yang telah membunuh saudaraku yaitu Datuk Bululawang! Kalau aku tidak ikut mereka bukankah itu satu hal yang memalukan? Tidak melakukan sesuatu terhadap orang-orang yang telah membunuh saudara sendiri?! Kalau aku dibuat malu terus-terusan apakah menurutmu lambat laun kemaluanku tidak tambah besar? Astaga aku mengatakan sesuatu yang salah! Sungguh memalukan! Maksudku...”
“Sudah! Sudah! Aku mengerti maksudmu!” kata Panji sambil tersenyum. “Pasti, tentu saja memalukan jika tidak melakukan sesuatu atas kematian saudara yang dibunuh orang. Aku dapat mengerti perasaanmu. Tapi bakal memalukan lagi kalau ternyata dua orang itu sebenarnya bukan pembunuh saudaramu! Itu hanya akal-akalan Datuk Gadang Mentari saja! Mungkin dia punya maksud tertentu atau disuruh oleh seseorang yang hendak mencari keuntungan darimu...”
Iblis Pemalu terdiam sesaat. Mukanya yang selalu ditutup dengan dua tangan tampak basah keringatan. “Agar aku tidak tambah malu, apa yang harus aku lakukan?”
“Kau teruskan perjalananmu. Aku akan kembali ke lembah batu untuk menolong dua sahabatku itu!”
“Hemm... Kalau mereka sahabatmu, adalah memalukan kalau aku tidak menganggap mereka sahabatku juga. Aku ikut bersamamu!”
Panji terdiam bimbang. “Apakah orang yang kelihatannya kurang waras ini bisa dipercaya?” pikirnya. “Dia dijuluki Iblis Pemalu. Kalau tidak memiliki sifat jahat seperti iblis, tidak mungkin dia digelari seperti itu.
“Kau malu membawa aku ke sana?” bertanya Iblis Pemalu. “Hemm... aku tahu! Jangan-jangan. Ha ha ha!”
“Jangan-jangan apa?!” tanya Panji tak mengerti.
“Kau takut aku merampas gadis cantik berbaju ungu itu! Kau telah jatuh hati padanya! Benar?!”
Panji tertawa gelak-gelak. Tapi wajahnya tampak kemerahan.
Di balik ke dua tangannya wajah Iblis Pemalu tertawa lebar. “Wajahmu merah! Pasti dugaanku betul! Ha ha ha! Dengar sobatku. Eh siapa namamu?”
“Panji.”
“Dengar, jika aku sudah menganggap seseorang sebagai sahabat, walau hatiku bisa berubah sejahat iblis tapi aku tidak akan mengkhianatinya.”
“Terima kasih kau mau menganggapku sebagai sahabat,” kata Panji dengan perasaan lega.
“Aku menduga gadis itu menyukaimu...”
“Kau bicara memalukan saja sobatku. Pemuda yang bersamanya adalah kekasihnya!” kata Panji.
“Bagaimana kau tahu?” tanya ibis Pemalu.
Panji terdiam. “Nah, kau tak bisa menjawab. Berarti dugaanku tidak salah! Ayo lekas kita kembali ke lembah. Sebentar lagi hari akan gelap!”
Iblis Pemalu putar tubuhnya lalu tinggalkan tempat itu. Kalau tadi Panji tidak menginginkan orang aneh itu kembali ke lembah, kini dia yang jadi mengikuti. Ketika sampai di lembah batu matahari telah tenggelam dan keadaan di tempat itu mulai gelap. Mereka tidak menemukan Wiro ataupun Anggini. Sebaliknya di tempat itu menggeletak mayat Datuk Gadang Mentari. Kepalanya pecah. Mukanya hancur dan lehernya hampir putus dijirat selendang berwarna ungu.
“Kita datang terlambat sobatku! Memalukan sekali!” kata Iblis Pemalu.
Panji hanya bisa anggukkan kepala. Dalam udara yang mulai gelap dia memandang berkeliling. Namun tak seorang lain pun tampak di tempat itu. Tiba-tiba Iblis Pemalu mendongak.
“Aku mendengar suara seseorang merintih. Datangnya dari arah sana. Dari balik batu cadas besar. Jangan bertindak yang memalukan. Lekas kita menyelidik ke sana!” Iblis Pemalu berkelebat ke arah batu besar di ujung kanan lembah. Lalu terdengar suaranya berseru. “Sobatku Panji! Lekas kemari!”
Panji melompat ke balik batu besar di mana Iblis Pemalu berada. Dia terkejut ketika menyaksikan sesosok tubuh tergeletak di tanah. Pakaiannya penuh robek. Luka berdarah terlihat di mana di mana-mana.
“Anggini!” seru Panji. “Apa yang terjadi?!”
“Sungguh memalukan!” desis Iblis Pemalu. Sepasang matanya berkilat-kilat memandangi sekujur tubuh Anggini. Lalu dia cepat berkata. “Panji, luka yang diderita sahabatmu tidak seberapa. Tapi racun yang mengendap dalam tubuhnya sangat jahat! Lekas kau suruh dia menelan obat ini!”
Iblis Pemalu angkat tangan kanannya dari wajahnya. Tangan kiri masih menutupi. Dari kantong celana hitamnya dia keluarkan satu lipatan kertas yang segera diserahkannya pada Panji. “Lekas kau masukkan semua obat itu ke dalam mulutnya. Memalukan kalau dia sampai menemui ajal dan kita tidak bisa menolong!”
Panji yang telah percaya penuh pada Iblis Pemalu cepat membuka lipatan kertas di dalam mana terdapat sejenis bubuk berwarna kuning dan menebar bau harum. “Anggini, buka mulutmu. Telan obat ini...”
“Ja... jangan perdulikan di... diriku. Tolong sahabatku Pendekar 212. Dia... dia diculik nenek jahat bernama Sika Sure Jelantik...”
“Kami akan menolongnya nanti. Yang penting kau cepat telan obat ini!” kata Panji pula.
Lalu setengah memaksa ditekannya ke dua pipi si gadis hingga mulut Anggini terbuka. Obat bubuk kuning yang ada dalam lipatan kertas dikucurkannya ke dalam mulut gadis itu. Anggini mengeluarkan suara tercekik lalu batuk-batuk. Panji cepat tekap mulut gadis itu hingga akhirnya obat dalam tubuhnya tertelan masuk ke dalam tenggorokan. Bersamaan dengan masuknya obat ke dalam perut si gadis langsung jatuh pingsan.
“Anggini!” seru Panji yang jadi bingung melihat keadaan si gadis dan menyangka telah menghembuskan nafas terakhir, Dia berpaling pada Iblis Pemalu dan memandang penuh curiga.
“Jangan khawatir. Gadis itu cuma pingan! Aku tidak melakukan sesuatu yang memalukan! Dengar, kau tunggu gadis itu sampai dia siuman. Aku akan coba mengejar nenek yang melarikan sahabatmu itu! Memalukan, sudah tua bangka masih suka-sukanya melarikan anak muda!” Habis berkata begitu Iblis Pemalu segera berkelebat pergi sementara hari merayap gelap.
Apakah yang telah terjadi di lembah batu sepeninggalnya Panji, Iblis Pemalu dan Pengiring Mayat Muka Hijau?
********************
WWW.ZHERAF.COM
TIGA BELAS
Seperti dituturkan sebelumnya yang membunuh Datuk Mangkuto Kamang adalah Sutan Alam Rajo Di Bumi. Namun Sutan Alam kemudian mengarang cerita bahwa murid Dewa Tuak Anggini-lah yang membunuh sang Datuk disertai bukti-bukti palsu. Terhasut oleh fitnah itu maka Datuk Gadang mentari, kakak kandung Datuk Mangkuto Kamang meninggalkan tempat kediamannya di muara sungai Siak.
Sebenarnya Datuk Gadang Mentari sudah belasan tahun tak pernah lagi mencampuri urusan dunia persilatan. Dalam usianya yang telah lanjut itu dia lebih banyak bersunyi diri di tempat kediamannya. Apa lagi dia menderita semacam penyakit yang membuat kedua matanya sedikit demi sedikit keluar dari rongganya. Itu sebabnya dalam keadaan bagaimanapun orang tua ini terpaksa harus mendongakkan kepala agar kedua bola matanya tidak bergayut yang dikhawatirkannya bisa tanggal dan jatuh!
Walau sudah lama tidak turun lagi ke rimba persilatan namun di kawasan timur pulau Andalas orang tua ini tetap dikenal sebagai salah seorang tokoh yang disegani kawan ditakuti lawan. Dengan demikian jelas dia memiliki kepandaian tinggi. Hari itu yang dihadapinya adalah seorang gadis yang meskipun masih muda belia tapi telah mendapat gemblengan hebat serta pengalaman luas. Ketika Sang Datuk melancarkan serangan tangan kosong Anggini langsung balas menghantam dengan selendang ungunya.
“Wuttt! Desss!”
Tangan kanan Datuk Gadang beradu dengan ujung selendang ungu. Sang Datuk tersentak kaget dantersurut dua langkah. Mukanya yang mendongak tampak berobah sedang sepasang matanya bergerak cepat. Walau tangannya tidak cidera namun dari bentrokan tadi dia, segera maklum kalau lawannya yang masih muda itu memiliki tenaga dalam tinggi. Ketika menyerang lagi untuk ke dua kalinya sang Datuk tidak berani memukul langsung tapi kibaskan lengan jubahnya.
Satu gelombang angin menderu ke arah Anggini. Si gadis berteriak keras dan melompat ke atas. Dari atas selendangnya berkelebat menyambar ke arah kepala lawan. Datuk Gadang Mentari lipat ke dua lututnya. Begitu selendang lewat di atas kepalanya dia langsung menghantam dengan dua tangan sekaligus.
Angin laksana topan prahara menyambar tubuh Anggini. Membuat gadis ini terpekik kaget. Dia cepat berputar. Walau sempat mengelak namun tak urung salah satu kaki celana ungunya tersambar robek. Merasa mendapat angin Datuk Gadang Mentari susul dengan serangan berantai hingga Anggini terpaksa melompat ke atas sebuah batu cadas.
Datuk Gadang Mentari agaknya tak mau memberi kesempatan. Belum lagi sepasang kaki si gadis menyentuh batu dia kembali melancarkan serangan tangan kosong-mengandung tenaga dalam tinggi.
“Braaakkk!”
Batu di bawah kaki murid Dewa Tuak hancur berantakan. Anggini kelihatan agak gugup dan terlambat mengatur kuda-kuda. Ketika dia melompat ke kiri, salah satu kakinya tertekuk dan tubuhnya miring. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Datuk Gadang Mentari. Didahului suara menggembor, dengan kepala mendongak dia menerjang dan kirimkan satu tendangan kaki kanan. Anggini gerakkan tangan kanannya yang memegang selendang.
“Wuttt!”
Selarik sinar ungu membeset ke arah kaki Datuk Gadang Mentari yang mencari sasaran di kepala si gadis. Namun serangan sang Datuk ternyata hanya tipuan belaka. Begitu sambaran selendang yang bisa mematahkan kakinya lewat, Datuk Gadang Mentari tekap matanya dengan tangan kiri lalu membuat gerakan berjumpalitan dua kali. Ke dua kakinya mencuat ke udara. Anggini melompat mundur untuk menghindar namun tubuhnya tertahan oleh dinding batu cadas!
Mau tak mau, satu-satunya jalan untuk selamatkan diri adalah melompat ke kiri atau ke kanan. Anggini memilih melompat ke kiri. Sayang gerakannya terlambat. Kaki kanan lawan memang bisa dielakkannya. Kaki itu menghantam batu cadas hingga pecah berantakan. Sebaliknya kaki kiri sang Datuk melesat mengikuti arah gerakan mengelak si gadis.
“Bukkk!”
Anggini terpekik. Tubuhnya terpental ke kanan begitu tendangan kaki Datuk Gadang Mentari menghantam pinggangnya. Di samping kanan telah menunggu dinding batu cadas. Anggini merasa seolah sekujur tubuhnya sebelah kanan hancur remuk begitu beradu keras dengan batu. Selendang sutera ungunya terlepas dari tangan dan jatuh ke dalam telaga kecil. Dia sendiri tersandar menahan sakit di dinding batu. Datuk Gadang Mentari dengan kepala mendongak ke langit melangkah mendatangi.
“Anak gadis, sebenarnya aku dan gurumu si Dewa Tuak pernah bersahabat! Tapi dosamu keliwat besar! Aku terpaksa melupakan persahabatan itu dan membunuhmu saat ini sebagai batasan sakit hati atas pembunuhan yang kau lakukan terhadap saudaraku!”
“Aku tidak membunuh adikmu!” teriak Anggini.
Datuk Gadang Mentari keluarkan tawa mengekeh. Sekali berkelebat dia sudah berada satu langkah dari samping Anggini. Dua tangannya diulurkan cepat sekali dan tahu-tahu sudah mencekal leher si gadis! Anggini merasa nyawanya seolah terbang. Namun dia tidak hilang akal. Dengan siku tangan kirinya dihantamnya rusuk orang tua itu. “Kraaakk!”
Paling tidak ada dua tulang iga Datuk Gadang Mentari yang patah. Selagi sang Datuk mengeluh tinggi kesakitan Anggini luncurkan dirinya masuk ke dalam telaga, dengan cepat mengambil selendangnya yang mengapung di air. Datuk Gadang Mentari yang walau mendongak dan kesakitan masih bisa mengetahui di mana lawannya berada.
Tangan kirinya dihantamkan dengan pengerahan tenaga dalam penuh. Di saat yang sama, sedikit lebih cepat Anggini putar selendang suteranya ke arah kaki Datuk Gadang Mentari. Walau cuma sehelai selendang halus dan dalam keadaan basah, namun di tangan murid Dewa Tuak benda itu bisa berubah seperti ular atau tombak atau pentungan besi!
Datuk Gadang Mentari terjungkal begitu kaki kirinya dihantam selendang. Di dalam air Anggini sudah menunggu dengan hantaman berikutnya karena mengira sang Datuk akan terbanting jatuh ke dalam telaga. Namun lawan berlaku cerdik. Dengan membuat gerakan berputar Datuk Gadang Mentari berhasil melesatkan dirinya ke kanan hingga dia jatuh di antara batu-batu cadas disebelah atas telaga.
Orang tua ini bergerak bangkit dengan cepat. Ketika dilihatnya Anggini muncul di antara dua Celah batu cadas, sang Datuk cepat menghantam salah satu batu di depannya. Hancuran batu berhamburan menghantam ke arah Anggini. Hancuran batu ini bukan sembarangan karena tidak ubahnya dengan puluhan senjata rahasia yang bisa membuat sekujur tubuhnya tercabik-cabik!
Secepat kilat Anggini jatuhkan diri ke tanah. Walau gerakannya sudah demikian cepat namun masih ada hancuran batu yang merobek pakaian dan melukai tubuhnya. Bahkan beberapa diantaranya menggores kening dan pipinya hingga menimbulkan luka berdarah.
Datuk Gadang Mentari bangkit berdiri lebih dulu dari Anggini. Justru inilah kesalahannya. Sebelum dia melancarkan satu tendangan mematikan ke arah kepala si gadis, murid Dewa Tuak hantamkan selendangnya ke bawah perut sang Datuk. Jubah hitam belang putih Datuk Gadang Mentari robek besar. Dari sela robekan kelihatan darah mengucur. Sang Datuk terjajar mundur. Kepalanya masih mendongak namun tersentak-sentak.
“Gadis jahanam! Terima kematianmu!”
Datuk Gadang Mentari kebutkan lengan jubahnya sebelah kiri. Terdengar suara bersiur disusul melesatnya tiga buah benda terbuat dari besi hitam berujung tiga. Seumur hidupnya baru dua kali Datuk Gadang Mentari mengeluarkan senjata rahasia beracun itu. Yaitu pada keadaan sangat terdesak dimana dia tak sanggup lagi menghadapi lawan. Ini adalah kali ke tiga dia terpaksa mengeluarkan senjata itu untuk menyerang lawannya.
Anggini tak tinggal diam. Dengan tangan kirinya dia mengeruk ke dalam sebuah kantong kecil di balik pinggangnya. Ketika tangannya melesat keluar maka setengah lusin paku terbuat dari perak putih berukuran panjang setengah jengkal berkiblat berkilauan dalam udara yang mulai menggelap.
“Trangg! Trangg! Trang!”
Sembilan senjata rahasia berdentrangan di udara disertai memerciknya bunga api. Selagi Datuk Gadang Mentari terkesiap kecut melihat tiga senjata rahasianya dikepung dan dibuat mental oleh enam senjata rahasia lawan, Anggini bergerak menyusup lancarkan serangan. Selendang ungu di tangan kanannya melesat ke udara lalu berputar dan seterusnya laksana seekor kepala ular mematuk ke bawah dua kali berturut-turut. Inilah jurus yang disebut Memecah Angin Memukul Matahari Menghancurkan Rembulan!
“Praaakk! Praaakk!”
Datuk Gadang Mentari keluarkan pekik keras. Darah mengucur dari kepalanya yang pecah dan mukanya yang hancur. Sepasang matanya mencelat mental entah ke mana. Walau cidera berat demikian rupa namun Datuk Gadang Mentari tak segera mati. Terhuyung-huyung dia melangkah menghampiri Anggini. Dua tangan diulurkan seolah hendak mencekik.
Ngeri dan juga khawatir lawan masih memiliki ilmu simpanan yang bisa mencelakainya, murid Dewa Tuak kembali gerakkan tangan kanannya yang memegang selendang. Senjata andalan si gadis melesat deras, laksana seekor ular menggelung leher Datuk Gadang Mentari! Anggini putar pergelangan tangannya. Gerakannya membuat jiratan selendang mengencang dan...
"Kraakkk!” Tulang leher Datuk Gadang Mentari hancur. Kepalanya miring ke kiri. Nafasnya terhenti. Nyawanya melayang!
Belum lagi sempat Anggini melepaskan jiratan selendangnya dari leher si Datuk tiba-tiba ada siuran angin di belakangnya. Lalu...
"Bukkk!” Satu hantaman keras mendera punggung Anggini hingga murid Dewa Tuak ini terpekik dan mencelat sampai dua tombak lalu terhampar di tanah.
“Pengecut pembokong!” teriak Anggini dan cepat berdiri.
Di belakangnya terdengar suara orang tertawa mengekeh!
EMPAT BELAS
Anggini berpaling. Dalam menahan sakit pada punggungnya gadis ini tersurut kaget. Di hadapannya tegak si nenek Sika Sure Jelantik dengan rambut awut-awutan dan jubah robek. Dia memanggul sesosok tubuh yang ketika diperhatikan si gadis membuat dirinya tercekat. Yang dipanggul oleh perempuan tua itu ternyata adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Apa yang terjadi dengan Wiro. Pingsan, dalam keadaan tertotok atau...? Kulihat pakaian putihnya robek dan hangus.” Habis membatin begitu murid Dewa Tuak ini langsung membentak,
“Tua bangka pembokong keji. Ternyata kau bukan cuma seorang pengecut. Tapi juga penculik busuk! Apa yang kau lakukan terhadapnya?!”
Si nenek tertawa panjang. “Kau begitu mengkhawatirkan dirinya! Apa kau mencintainya?! Hik hik hik!”
“Jangan bicara hgacok! Lekas lepaskan pemuda itu!” Hardik Anggini.
“Percuma kau memperhatikan dirinya. Apa kau tak tahu kalau dia dicintai oleh seorang gadis berwajah secantik bidadari?! Nasibmu buruk. Hik hik hik!”
Walaupun wajahnya menjadi merah dari dadanya berdebar namun dalam keadaan seperti itu Anggini tidak terlalu memperhatikan ucapan Sika Sure Jelantik, Hantaman si nenek yang dilakukan secara membokong pada punggungnya membuat sekujur tubuhnya terasa sakit. Tapi dia bersedia bertekad mati demi menyelamatkan Wiro. Secepat kilat Anggini mengeruk kantong senjata rahasianya. Enam buah paku berdesing di kegelapan. Membuat Sika Sure Jelantik terkejut dan hentikan tawanya.
“Gadis sialan! Dari senjata rahasiamu aku bisa menduga siapa kau adanya! Gurumu dan guru pemuda ini masih satu komplotan! Jadi jangan kira aku tidak tega membunuhmu! Terima kematianmu!”
Habis berkata begitu si nenek gerakkan tangan kirinya. Lima sinar hitam menderu ke arah Anggini. Inilah ilmu pukulan sakti yang disebut Kilat Kuku Akhirat. Sebenarnya si nenek memiliki ilmu yang sama namun berdaya kekuatan jauh lebih dahsyat yang disebut Jalur Hitam Bara Dendam. Namun pukulan sakti Jalur Hitam Bara Dendam itu hanya akan dikeluarkannya untuk membunuh Tua Gila. Lagi pula dia menganggap dengan pukulan Kilat Kuku Akhirat sudah cukup bagi si gadis untuk meregang nyawa karena selama ini belum ada musuh yang sanggup bertahan.
Melihat enam paku peraknya yang dilemparkan dengan tenaga dalam tinggi mental berpatahan Anggini segera maklum kalau lima jalur sinar hitam pukulan sakti yang dilepaskan si nenek tidak bisa dibuat main. Serta merta gadis ini jatuhkan diri. Dua jalur sinar hitam masih sempat melabrak pita di kepala dan bagian bahu baju ungu murid Dewa Tuak. Gadis ini memekik keras.
Tubuhnya terbanting ke tanah. Nyawanya serasa terbang. Dia tak berani bergerak ketika si nenek melangkah mendekatinya. Untung saja Anggini terjatuh di bawah bayang-bayang gelap sebuah batu besar hingga si nenek tidak bisa melihat jelas. Mengira Anggini sudah menemui ajalnya Sika Sure Jelantik segera tinggalkan lembah batu itu dengan memboyong Pendekar 212 di bahu kirinya.
********************
WWW.ZHERAF.NET
Sebelumnya telah terjadi perkelahian hebat antara Wiro dengan si nenek. Walau tidak lagi memiliki kepandaian silat serta tenaga dalam namun ilmu tidur yang diberikan Si Raja Penidur serta Jubah Kencono Geni yang dikenakannya membuat Wiro sanggup bertahan sampai dua puluh jurus walau untuk itu dia dibuat babak belur dan megap-megap kehabisan nafas serta tenaga.
Sika Sure Jelantik dua kali melepaskan pukulan Kuku Kilat Akhirat. Sekujur baju putih yang dikenakan Wiro tampak robek hangus dan setiap menerima pukulan itu tubuh Wiro terpental sampai tiga tombak. Asap mengepul.dari tubuhnya! Tapi sungguh mengherankan si nenek, pemuda itu sama sekali tidak menemui ajalnya. Dari marah Sika Sure Jelantik berubah menjadi heran. Dari rasa heran ini timbullah rasa ingin tahu.
“Heran, kesaktian apa yang dimiliki si gondrong bertampang tolol ini! Jelas aku lihat dia sudah babak belur. Tapi pukulan saktiku sama sekali tak sanggup membunuhnya! Aku harus menyelidiki! Aku harus mendapatkan ilmu yang dimilikinya itu! Kalau muridnya punya ilmu sehebat ini, jangan-jangan Tua Gila juga membekal ilmu yang sama! Heran, bagaimana dalam waktu singkat pemuda tolol ini bisa sehebat ini?!” Memikir sampai di situ, Sika Sure Jelantik hampiri Wiro yang tergeletak di tanah.
“Kau ingin membunuhku, lakukan cepat!” kata Wiro tanpa rasa takut seolah sudah pasrah menghadapi kematian.
“Nyalimu boleh juga anak muda! Tidak, jangan kawatir. Aku tak ingin membunuhmu cepat-cepat...”
“Kalau kau mengharapkan keterangan tentang guruku, walau lidahku kau copot aku tak akan memberi tahu!”
“Hemmm... Kau memang murid yang pantas dipuji! Hik hik hik!”
Dua jari tangan kiri Sika Sure Jelantik bergerak cepat ke arah pangkal leher Wiro. Saat itu juga Pendekar 212 tenggelam dalam totokan yang membuatnya tak mampu bergerak ataupun bicara! Si nenek segera menyambar tubuh Wiro, meletakkannya di atas bahu lalu berkelebat pergi dari tempat itu.
Tak lama setelah si nenek kabur Panji dan Iblis Pemalu muncul kembali di lembah batu yang ada telaganya itu. Mereka berhasil menemukan Anggini. Setelah memberikan obat dan meminta Panji menjaga serta merawat gadis itu, Iblis Pemalu segera pergi untuk mengejar Sika Sure Jelantik yang sesuai keterangan Anggini telah melarikan Pendekar 212.
Iblis Pemalu berlari dengan satu tangan menutupi wajahnya. Tidak mudah untuk mencari jejek Sika Sure Jelantik. Selain hari telah gelap dia juga tidak mengetahui ke arah mana si nenek melarikan Wiro.
Ternyata si nenek melarikan Wiro ke arah timur. Meskipun malam begitu gelap dan jalan yang ditempuh terhalang oleh pepohonan serta berkelok-kelok namun dia mampu berlari dengan cepat. Pertanda dia mengenali betul seluk beluk kawasan itu. Sesampainya di satu pedataran tinggi Sika Sure Jelantik langsung mendaki ke lereng timur. Di satu tempat di mana terdapat sebuah gubuk tanpa dinding si nenek hentikan larinya. Tubuh Wiro yang berada dalam keadaan tertotok dilemparkannya begitu saja ke tanah.
“Pendekar 212! Aku memberi kesempatan padamu sampai matahari terbit! Kalau sampai saat itu kau tidak mau memberitahu dimana gurumu si Tua Gila berada maka tamatlah riwayatmu! Apa jawabmu?!” Si nenek membungkuk lalu menotok leher Wiro membuka jalan suaranya. “Kau tidak tuli! Kau mendengar apa yang barusan aku ucapkan! Ayo jawab!”
Setelah menguap lebar-lebar baru Wiro menjawab. “Kau sudah tahu apa jawabku! Aku tidak tahu dimana orang tua itu berada. Kalaupun tahu tak bakal kukatakan!”
“Bagus! Murid dan guru sama saja! Sama-sama keras kepala! Kau sudah menentukan kematianmu sebelum marahari terbit besok pagi-pagi buta!”
“Aku tidak takut mati! Sekarangpun kalau kau mau membunuh silahkan!” jawab Wiro.
Sika Sure Jelantik tertawa panjang. “Aku memang tidak akan membunuhmu cepat-cepat. Biar rasa takut menggerogoti dirimu! Biar kau tersiksa sebelum mampus! Jangan mengharap ada yang bakal menolongmu! Kalaupun gadis berbaju biru berwajah seperti bidadari kekasihmu itu muncul meminta pengampunan untuk ke dua kali bagimu, jangan harap aku bakal mengabulkan!” Yang dimaksud si nenek adalah Bidadari Angin Timur.
“Nek, kurasa kau adalah manusia paling tidak berbudi dan paling tidak bersyukur di muka bumi ini!”
“Jahanam! Lancang betul mulutmu! Apa maksudmu hah?!”
“Ketika kau bercinta dengan guruku paling tidak kau telah merasakah kebahagiaan hidup! Kalau kemudian kalian tidak berjodoh apa itu salah Tua Gila? Tidak! Juga bukan salahmu Nek! Kejadiannya sudah lewat puluhan tahun lalu. Di usia tua seperti ini apa bukan lebih baik kalian berbaik-baik saja? Dengan bersikap garang dan terus mendesak guruku apa yang bakal kau dapat?!”
“Kalau dia mampus di tanganku aku merasa puas selangit!” jawab Sika Sure Jelantik.
“Belum tentu. Rasa puasmu mungkin hanya sesaat. Setelah itu kau mungkin akan dirundung penyesalan sampai malaikat maut memanggilmu masuk ke liang kubur!”
“Anak setan! Kau pandai bicara! Siapa bakal menyesal atas kematian manusia terkutuk seperti gurumu itu?!”
“Nek, aku jauh lebih muda darimu. Katakanlah aku hijau dalam pengalaman. Tapi aku percaya pada satu ujar-ujar yang berkata begini. Kita baru menyadari betapa berartinya seseorang bagi kita setelah dia tidak ada lagi. Kuharap hal itu tidak terjadi dengan dirimu Nek!”
Sesaat mulut Sika Sure Jelantik jadi terkancing mendengar kata-kata Pendekar 212 itu. Hatinya tercekat. Hanya sepasang matanya yang memandang tak berkesip pada Wiro. Apakah ada kebimbangan kini menyeruak dalam dirinya? Ternyata tidak. Tiba-tiba dia membentak keras.
“Jangan kira aku akan terpengaruh oleh ucapan-ucapanmu! Keputusanku tidak berubah! Aku akan membunuhmu besok pagi sebelum matahari terbit!”
“Terserah padamu! Aku capek bicara denganmu! Lebih baik aku tidur saja!” Wiro lalu menguap lebar-lebar.
Sika Sure Jelantik jadi jengkel penasaran dan merasa seolah diejek. Dia membungkuk memperhatikan sosok Pendekar 212. “Dia mampu menahan pukulan Kilat Kuku Akhirat sampai dua kali. Berarti dia memiliki ilmu kebal luar biasa. Aku harus memeriksanya. Mungkin dia punya semacam jimat. Aku harus mendapatkan jimat itu! Hemmm...”
Si nenek pergunakan ke dua tangannya meraba-raba tubuh Wiro. Dia menyentuh sebuah benda keras di balik pinggang si pemuda. Ketika pakaian putih Wiro yang hancur hangus disibakkannya dia melihat Kapak Maut Naga Geni 212 terselip di pinggang pemuda ini.
“Hemmm, senjata ini perlu aku amankan dulu...” kata si nenek lalu kapak bermata dua itu ditariknya dan diletakkan di tanah.
“Kau merabai tubuhku, mengambil senjataku! Ternyata kau seorang tua bangka yang masih menyimpan nafsu kotor! Ini membuktikan bagaimana pun buruknya sifat Tua Gila, dia jauh lebih baik darimu!”
“Plaaaakkk!”
Sika Sure Jelantik layangkan satu tamparan keras hingga darah mengucur dari sudut mulut Pendekar 212. Gilanya yang ditampar malah menguap lebar-lebar. Hal ini membuat si nenek penasaran setengah mati.
“Kau tidak mengerang kesakitan! Bagus! Apa kau mau kutampar sekali lagi sampai mukamu kubikin memar?!”
Murid Sinto Gendeng menyeringai. Si nenek kembali merabai tubuh Wiro. Saat itulah dalam gelap dia menyadari dan melihat bahwa di balik pakaian putihnya Wiro mengenakan satu pakaian berwarna merah. Si nenek dekatkan wajahnya meneliti.
“Pakaian bagus, terbuat dari beludru merah. Ada renda-renda kuning emas. Aneh! Pakaian ini tidak cidera oleh pukulan saktiku! Jangan-jangan...”
“Breeett! Breettt!”
Sika Sure Jelantik tanpa pikir panjang segera merobek baju putih Wiro. Ketika dia hendak menanggalkan pakaian merah yang dikenakan si pemuda yang bukan lain adalah jubah sakti Kencono Geni pemberian Si Raja Penidur mendadak ada suara tertawa cekikikan di belakangnya.
“Setahuku lelaki yang suka menelanjangi perempuan! Sekarang malah terbalik! Ada nenek-nenek hendak membugili seorang pemuda! Dunia sudah terbalik rupanya! Hik hik hik!”
Sika Sure Jelantik tersentak kaget. Dia berpaling ke arah datangnya suara tadi. Namun dia tidak melihat siapa-siapa...!
T A M A T
Episode Selanjutnya: