Raja Rencong Dari Utara
RAJA RENCONG DARI UTARA
SATU
Di simpang Bukit Karang curam itu terletak sebuah bangunan batu yang dikelilingi tembok setinggi sepuluh tombak. Diluar tembok berderet-deret barisan pohon kelapa yang daunnya melambai-lambai ditiup angin laut. Bangunan yang terletak didekat pantai ini terdiri dari sebuah rumah besar yang pada kedua ujungnya terdapat sebuah bangunan bertingkat berbentuk menara. Bangunan ini adalah sebuah pesantren yang dipimpin oleh seorang Kyai bernama Suhudilah. Karena itulah pesantren ini dinamakan Pesantren Suhudilah.
Disamping ilmu agama Kyai Suhudilah juga mengajarkan ilmu silat dan ilmu kesaktian kepada murid-muridnya. Karena Kyai Suhudilah lama sekali bermukim di Turki, maka jurus-jurus ilmu silatnya banyak dipengaruhi oleh jurus-jurus silat Turki. Dengan sendirinya ilmu silat tersebut disamping aneh juga hebat sekali. Pada masa itu nama Pesantren Suhudilah telah terkenal didelapan penjuru angin Pulau Andalas bahkan juga sampai ketanah Jawa.
Saat itu telah rembang petang. Satu dua jam dimuka sang surya segera akan tenggelam, kembali masuk keperaduannya dan baru akan muncul lagi esok pagi. Dibawah menara timur kelihatan dua orang berjubah. Keduanya sama-sama tua dan sama-sama berjanggut putih. Mereka sedang asyik bermain dam. Yang seorang menyodorkan buah damnya kedepan membuat satu perangkap yang tak bisa dihindarkan oleh lawannya.
"Celaka!" kata Iaki-laki tua yang kena dijebak sambil menepuk keningnya. Buah dam yang disodorkan lawannya mau tak mau harus dimakannya dan akibatnya dia akan kehilangan empat biji dam sekaligus!
Lawannya tertawa mengekeh sambil mengelus-elus janggutnya yang putih. "Mana bisa kau mau mengalahkan aku lagi" katanya, "tadi kuberi kau menang hanya untuk memberi semangat saja. Ayo makanlah"
"Tak ada jalan lain" kata si janggut putih yang terjebak. Diulurkannya tangan kanannya. Jari telunjuk dan ibu jari hendak memindahkan buah dam. Tapi aneh! Buah dam yang kecil dan terbuat dari kayu itu tak bergerak sedikitpun! Dicobanya sekali lagi mengangkat buah itu, tapi tak sanggup! Buah dam itu laksana sebuah benda yang sangat berat!
"Heh, kenapa? Ayo jalan!"
"Buah dam ini... tak bisa bergerak! Tak bisa kuangkat"
Kawan Iaki-laki itu menyangka dia berolok-olok. Dan mengulurkan tangan kanan menyentuh buah dam! Terkejutlah dia! Memang betul! buah dam itu tak sanggup digeser, apalagi diangkat. Diam-diam dia kerahkan setengah bagian tenaga dalam dan mencoba lagi mengangkat buah dam! Tetap seperti sedia kala ketika dicobanya mengangkat buah-buah dam yang lain, benda-benda itupun ternyata tak bisa terangkat! Laki-laki ini memandang berkeliling.
"Aneh" desisnya. Dan dikerahkannya kini seluruh tenaga dalamnya. Tangannya tergetar hebat. Keringat dingin memercik dikeningnya dan dadanya terasa sakit!
"Agaknya ada seseorang berilmu tinggi tengah mempermainkan kita"
"Tapi siapa?"
Keduanya memandang berkeliling. Suasana sunyi sepi, jangankan manusia, seekor lalatpun tak engkau kelihatan! Laki-laki itu kerahkan lagi tenaga dalamnya. Tiba-tiba papan dam mencelat mental ke udara! Buah-buahnya berhamburan! Kedua laki-laki tua berjanggut putih tersentak kaget dan berdiri cepat sewaktu kesunyian dirobek oleh gelak tertawa yang hebat, menggetarkan liang telinga dan memukul-mukul dada serta menyendatkan jalan darah ditubuh mereka!
Sesaat kemudian entah dari mana datangnya tahu-tahu sesosok tubuh sudah berdiri dua tombak dihadapan mereka. Orang yang datang ini berpakaian ungu berdestar tinggi dan juga berwarna ungu! Pada bagian muka destar ini terdapat lukisan dua buah rencong kuning yang saling bersilangan! Manusia ini bertampang ganas. Dibawah hidungnya melintang kumis tebal. Bajunya tidak terkancing, mungkin disengaja demikian untuk memperlihatkan dadanya yang bidang dan berbulu!
Pada kedua tangan dan kakinya terdapat gelang akar bahar. Dan dari mulutnya masih terdengar suara tertawanya yang hebat!Meskipun rasa geram menyelimuti hati kedua orang tua itu namun mereka tak mau bertindak gegabah. Suara tertawa yang begitu hebat cukup menjadi peringatan bagi keduanya bahwa manusia berbaju ungu berdestar tinggi itu memiliki ilmu kesaktianyang tinggi.
Salah seorang dari penghuni Pesantren Suhudilah ini menjura hormat dan melayangkan senyum. Lalu menegur, "Tamu dari manakah yang datang ini, tanpa memberi tahu lebih dulu sehingga kami tidak menyambut sepatutnya?"
Orang yang ditegur tak segera menjawab, melainkan tertawa dengan lebih hebat hingga tanah yang dipinjak oleh kedua orang tua berjanggut putih terasa bergetar! Dan mereka mulai merasa tidak enak. Perbuatan sang tamu yang tadi secara diam-diam telah mengerahkan tenaga dalam menahan buah-buah dam yang tengah mereka mainkan sesungguhnya sudah sangat menyakitkan hati, apalagi setelah ditegur hormat begitu rupa sang tamu masih bersikap seenaknya dan penuh kecongkakan!
"Saudara, harap beritahukan siapa kau! Juga maksud kedatanganmu kemari...!"
Sang tamu bertolak pinggang. "Apakah ini Pesantren Suhudilah?" tanyanya dengan suara berat dan serak.
"Betul...!"
"Kalau begitu lekas panggil Pemimpinmu dan bawa kehadapanku!" memerintahkan sang tamu.
"Ah, lebih dulu harap terangkan nama dan maksud kedatanganmu, baru kami bisa menjalani sebagaimana mestinya".
Sang tamu pelototkan mata. "Benar-benar Kalian berdua masih belum tahu berhadapan dengan siapa?!"
"Ya... Kami belum tahu siapa sebenarnya saudara?"
Laki-laki berpakaian ungu menyeringai. "Aku adalah manusia yang bakal menguasai seluruh pulau besar ini, dari utara keselatan, dari barat sampai ke timur! Apa kalian masih belum mendengar gelar Raja Rencong dari Utara?!"
"Ah...!" kedua orang tua berpakaian putih sama-sama menjura mesti hati mereka terkejut dan tergetar hebat sewaktu sang tamu kenalkan gelarnya.
"Nama itu sudah seringkali kami dengar. Tapi karena kami orang pesantrenan jarang mengurus soal-soal diluaran harap dimaafkan kalau tadi kami tidak tahu engkau tengah berhadapan dengan siapa"
Sementara itu yang seorang diam-diam memberi peringatan dengan ilmu menyusupkan suara, "Hati-hati dan waspadalah. Manusia ini adalah bangsa iblis terkutuk yang kekejamannya tiada tara!"
"Raja Rencong Dari Utara, sekarang harap terangkan maksud kedatanganmu kemari"
"Kalian tidak layak bertanya!" sentak Raja Rencong Dari Utara. "Lekas panggil pemimpin kalian!"
"Menyesal sekali! Sebelum kami tahu angin apa gerangan yang membawa Raja Rencong kemari, tak bisa kami memenuhi permintaanmu. Lagi pula pemimpin kami sedang keluar"
"Kurang ajar! Kau berani dusta?!"
"Kami orang agama mana berani berdusta? Kyai Suhudilah pergi sejak pagi tadi"
"Aku tidak percaya! Aku akan geledah seluruh pesantren ini!" Raja Rencong melangkahkan kaki menuju kepintu.
Dikaki menara tapi kedua orang tua berpakaian putih menghalangi. "Harap kau menghormati aturan kami. Tak seorangpun boleh masuk tanpa mendapat izin...!"
"Kurang ajar! Terhadap Raja Rencong Dari Utara tak berlaku segala macam aturan! Masakan untuk masuk kebangunan sarang tikus ini saja perlu minta izin? Persetan!"
Tapi kedua orang tua itu kembali menghalangi langkah Raja Rencong. Maka marahlah Raja Rencong dan dorongkan tangan kanannya! Gerakannya acuh tak acuh dan kelihatannya Iemah saja! Tapi tahu-tahu suatu angin pukulan yang dahsyat sudah menghantam kedua orang dihadapannya!Karena tak menyangka akan diserang mendadak begitu rupa kedua orang tua berjubah putih itu tak sanggup menangkis atau berkelit.
Tak ampun lagi tubuh mereka dilanda angin pukulan Raja Rencong Dari Utara. Keduanya mencelat mental sampai beberapa tombak. Yang satu begitu terhampar ditanah tak berkutik lagi. Yang seorang lainnya masih mencoba bangun terhuyung-huyung. Tubuhnya terbungkuk ke depan, dadanya sakit dan sewaktu dirasakannya seperti mau batuk, yang keluar dari mulutnya ternyata adalah muntahan darah kental berbuku buku!
Laki ini kesaktiannya cuma dua tingkat di bawah Kyai Suhudilah tapi Raja Rencong merubuhkannya dalam satu kali pukulan saja! Namun sebelum meregang nyawa dia masih sempat berteriak memberi tanda bahaya! Sesaat kemudian dua puluh orang anak murid Pesantren Suhudilah sudah berada ditempat itu. Rata-rata mereka memiliki kepandaian silat yang tak bisa dianggap enteng, bahkan tiga diantaranya adalah kakek-kakek tua renta yang tingkat kepandaiannya sama dengan Iaki-laki yang berteriak tadi sebelum sampai ajalnya.
Ketiganya disamping berguru pada Suhudilah juga merupakan tenaga pengajar murid-murid yang masih muda. Melihat dua orang kawan mereka menggeletak dikaki menara tanpa nyawa, semuanya terkejut dan dengan segera mengurung Raja Rencong Dari Utara. Salah seorang dari mereka maju menegur,
"Tamu tak dikenal, alasan apakah yang membuat kau menjatuhkan korban ditempat suci ini?
"Raja Rencong memandang berkeliling dengan pandangan merendahkan semua orang itu. "Mana pemimpinmu?" tanya Raja Rencong. "Engkau jawab dulu pertanyaanku, saudara tamu..."
"Heh apakah kau dan kawan-kawanmu hendak menyusul yang dua orang itu?!" belalak Raja Rencong.
Dengan tenang orang tua tadi menjawab, Musuh tidak dicari, kalaupun datang mana mungkin kami berpangku tangan? Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Kawan-kawan mari tangkap pembunuh ini!"
Serempak dengan itu dua puluh orang segera melompat kemuka. Serangan-serangan bersiuran laksana hujan! Raja Rencong Dari Utara ganda tertawa. Kedua tangannya dipukulkan kemuka menyongsong serangan. Dua gelombang angin menderu. Lima orang disebelah kiri dan lima orang disebelah kanan menjerit lalu tergelimpang rubuh! Delapan diantaranya tiada berkutik lagi. Yang dua menggerang kesakitan muntah darah!
Kejut para murid-muridnya Pesantren Suhudilah bukan alang kepalang! Segera mereka menghunus pedang panjang berkeluk dan menyerbu kembali. Dengan senjata ditangan maka meski jumlah mereka kini tinggal sepuluh orang tapi daya serang mereka jauh lebih hebat. Dan berbahaya dari pada pertama kali tadi!
Raja Rencong Dari Utara diserang demikian rupa masih cengar-cengir tertawa sakan-akan serangan itu adalah satu permainan yang menyenangkannya! "Manusia-manusia tak berharga berani melawan Raja Rencong Dari Utara terimalah mampus!"
Mendengar seruan itu, mengetahui bahwa manusia yang tengah mereka gempur adalah Raja Rencong Dari Utara, tercekatlah hati orang-orang Pesantren Suhudilah! Untuk sesaat lamanya mereka tak jadi teruskan serangan. Namun salah seorang dari mereka berseru,
"Engkau Saudara-saudara ku, kalau betul bangsat ini Raja Rencong Dari Utara mari kita berebut pahala membunuhnya! Kita balaskan sakit hati saudara-saudara kita dan tokoh-tokoh silat yang telah dimusnahkannya!"
Mendengar ini keberanian yang tadi menciut kini berkobar kembali dan kesepuluh orang itu dengan serentak teruskan serangan mereka secara lebih hebat lagi! Sepuluh pedang menderu. Tiga menusuk, empat membabat dan tiga lainnya membacok dari atas kebawah! Dapat dibayangkan bagaimana tubuh Raja Rencong akan tersatai dan terkutung-kutung dilanda serangan sepuluh pedang itu!
Raja Rencong membentak garang. Tanah bergetar! Tubuhnya lenyap dalam satu gerakan yang luar biasa cepatnya. Kemudian terdengar satu suara keluhan yang disusul dengan suara 'trang trang' sampai beberapa kali! Jeritan terdengar susul menyusul. Tiga batang pedang mental keudara, lima buah tangan terbabat putus!
Apakah yang sesungguhnya telah terjadi?!Pada waktu sepuluh pedang berkiblat. Raja Rencong dengan jurus silat yang luar biasa cepat dan hebatnya, menyelinap diantara tusukan, bacokan dan babatan pedang. Kaki kanan menghantam kesamping menendang seorang penyerang yang paling dekat dan berlaku lengah. Begitu tendangan mendarat begitu Raja Rencong rampas pedang ditangan Iaki-laki itu dan pergunakan senjata itu untuk menangkis serangan sembilan pedang lainnya dalam satu jurus ilmu pedang yang teramat lihay!
Tiga buah pedang ditangan tua-tua Pesantren Suhudilah yang berkepandaian tinggi mental sedang lima orang lainnya menjerit keras karena tangan masing-masing terbabat buntung! Meski tahu bahwa Raja Rencong bukanlah tandingan mereka, tapi ketiga orang tua itu bukanlah manusia-manusia pengecut. Lebih baik mati daripada lari atau menyerah!
Setelah saling memberi syarat ketiganya menyerang lagi dari kiri kanan dan depan. Raja Rencong melintangkan pedang yang berlumuran darah dimuka dada. Sengaja ditunggunya sampai tiga serangan lawan berada dekat sekali ketubuhnya baru dia menggerakkan tangan kanan menyelundupkan pedangnya dalam tiga tusukan berantai yang cepat laksana kilat dan sukar diduga!
Ketiga tua Pesantren itu terhuyung bermandikan darah. Yang seorang segera roboh tak berkutik lagi karena tusukan pedang Raja Rencong tepat menembus jantungnya. Yang dua lagi terhuyung-huyung nanar, perut robek usus menjela-jela dan akhirnya roboh pula menyusul kawan-kawannya!
Raja Rencong tertawa gelak-gelak sambil bertolak tangan kiri kepinggang. Tiba-tiba Raja Rencong Dari Utara hentikan tertawanya. Satu suara laksana ngiangan nyamuk menyelusup ditelinganya,
"Demi Tuhan! Pesantren yang begini suci telah jadi korban keganasan! Bangunan suci hendak dimusuhi. Padahal disini tidak terdapat harta berharga emas berbungkah! Sungguh diluar perikemanusiaan!"
Belum lagi Raja Rencong sempat berpaling, tahu-tahu sesosok tubuh berjubah putih melompat turun dari jendela menara sebelah barat! Gerakan orang ini enteng seringan kapas. Orang berjubah putih ini berbadan sangat pendek hingga jubahnya menjelajela ditanah. Dibahu kanannya terselempang sehelai selendang putih berumbai-umbai. Sorbannya besar sekali.
DUA
Melihat kepada keadaan tubuhnya yang masih tegap itu orang akan menaksir dia baru berusia sekitar setengah abad. Tapi sesungguhnya dia telah hidup tujuh puluh tahun lebih diatas dunia ini!
"Kau Kyai Suhudilah?!" bentak Raja Rencong Dari Utara.
Orang pendek berjubah putih tidak menjawab. Diputarnya kepalanya memandang mayat-mayat yang bergelimpangan hanya seorang yang masih hidup yaitu yang pedangnya tadi dirampas Raja Rencong, namun keadaannya juga tak ada harapan karena tendangan Raja Rencong telah mematahkan tulang pinggangnya!
Paras Iaki-laki pendek itu mula-mula tenang sekali. Namun melihat mayat yang demikian banyaknya tak dapat ia menyembunyikan gelora darahnya. Wajahnya yang tertutup kumis dan janggut putih itu kelihatan kelam membesi!
"Demi Tuhan" katanya seakan-akan pada dirinya sendiri. "Dosa apakah yang telah kami buat hingga menerima cobaan yang begini besar?!"
Sejak pertanyaannya tadi tidak dijawab, Raja Rencong merasa dianggap remeh dan menjadi marah sekali. Dan mendengar ucapan si jubah putih Raja Rencong pun berkata dengan suara lantang,
"Manusia katai tolol...! Ini bukan cobaan! Orang-orang itulah yang sengaja mencari mati sendiri karena keliwat berani melawan Raja Rencong Dari Utara!"
"Alasan yang tidak beralasan!" jawab sijubahputih masih tanpa memandang pada Raja Rencong. "Nyawa manusia bukan milik manusia! Kenapa ada"manusia yang berani berbuat sewenang-wenang begini rupa?!"
"Katai! Jangan bicara ngelantur terus-terusan. Katakan kau Kyai Suhudilah apa bukan?!"
"Ada apakah kau mencari Kyai itu?!"
"Tak perlu bertanya! Kalau kau bukan Kyai Suhudilah lekas katakan dimana dia berada"
"Apakah ada dendam kesumat lama yang kau bawa datang kemari? Kyai Suhudilah tak ada disini! Aku wakilnya! Kalau ada keperluan katakan saja nanti kusampaikan!"
Raja Rencong Dari Utara menimang sejenak. Diapercaya kalau orang dihadapannya tidak berdusta bahwa Kyai Suhudilah tak ada di Pesantren saat itu. "Sebagai wakil di Pesantren ini, disamping harus menyampaikan pesanku pada Kyai Suhudilah kurasa ada baiknya kau mengetahui maksud kedatanganku kemari! Katakan pada Suhudilah bahwa pada tanggal satu bulan dimuka dia harus datang ke Bukit Toba membawa lima puluh keping uang emas sebagai tanda tunduk padaku dan masuk kedalam sebuah partai besar yaitu Partai Topan Utara yang bakal kudirikan dan kuresmikan! Katakan juga padanya kalau dia berani menolak, lebih baik bunuh diri saja!"
Paras laki-laki berjubah putih itu tambah kelam membesi. "Kalau aku boleh bertanya, hak apakah yang membuat kau memaksa orang untuk tunduk dan masuk kedalam partai yang hendak kau dirikan?!"
Raja Rencong Dari Utara tertawa tawar. "Itu akan kuterangkan nanti pada hari peresmian berdirinya Partai TopanUtara. Dan jangan lupa, adalah juga menjadi kewajibanmu untuk mematuhi pesanku tadi dan datang ke Bukit Toba!"
Kini si jubah putihlah yang tertawa rawan. "Hendak mendirikan partai dengan main paksa? Hendak mendirikan partai dengan menempuh jalan berlumuran darah? Sungguh keji!"
"Jadi kau menolak untuk tunduk dan datang?!" tanya Raja Rencong. Nada suaranya membayangkan ancaman. "Aku Kyai Hurajang sebagai wakil pemimpin pesantren Suhudilah berhak menolak permintaanmu yang secara memaksa itu, apalagi mengingat apa yang telah kau lakukan disini! Pembicaraan tentang segala macam partai, tentang segala macam tanggal dan tahun, tentang segala macam peresmian kita tutup Sampai disini! Sekarang yang patut dibicarakan ialah tentang pertanggung jawabmu atas dua puluh korban yang berhamparan itu!"
Raja Rencong Dari Utara meneliti paras Kyai Hujarang sejenak lalu tertawa gelak-gelak. "Kukira dengan melihat dua puluh mayat didekat mu. Kukira hidungmu akan menjadi satu peringatan bagimu untuk tidak bicara apalagi bertindak gegabah! Tapi dasar manusia tidak tahu tingginya Gunung Leuser tak tahu dalamnya danau Toba! Dikasih anggur malah meminta racun"
Kyai Hujarang menghela nafas dalam. "Betapapun tingginya gunung lebih bagus tingginya budi. Betapapun dalamnya Danau lebih baik dalamnya jalan Pikiran dan kemanusiaan.Terserahlah kalau disitu menganggap ini suatu penantangan. Bagaimanapun aku tak dapat menerima permintaanmu! Sekarang ulurkan tangan kananmu yang telah menebar maut disini!"
"Kalau ku ulurkan tangan, kau mau berbuat apakah?!" tanya Raja Rencong Dari Utara ingin tahu.
"Siapa yang membunuh hukumannya harus dibunuh! Tapi aku masih memberi ampun padamu cukup hanya dengan memotong tangan kananmu sebatas siku!"
Kembali Raja Rencong Dari Utara tertawa gelak-gelak. "Kyai tak tahu diuntung!" dampratnya. "jika kau sanggup menahan seranganku sampai lima jurus aku bersumpah untuk bunuh diri dihadapanmu!"
"Ajaran agamaku mengatakan balaslah kebaikan dengan kebaikan, tapi balaslah kejahatan dengan keadilan! Akan kulaksanakan keadilan namun sengaja kau minta hukuman yang lebih berat! Ah... mungkin sudah takdir aku harus turun tangan menyelamatkan dunia dari angkara murka yang kau timbulkan!"
"Sudah jangan ngelantur! Terima jurus yang pertama ini!" bentak Raja Rencong Dari Utara.
Tangan kanannya dipukulkan kemuka! Satu angin dahsyat menderu dengan kekuatan setengah tenaga dalam! Melihat datangnya serangan ini Kyai Hurajang salurkan tiga perempat tenaga dalamnya kelengan jubah lalu kebutkan lengan jubah itu! Selarik angin putih menyambar. Tapi betapa terkejutnya Kyai Hurajang sewaktu tenaga dalam mereka saling bentrokan, tubuhnya terjajar kebelakang samai dua tombak!
Nyatalah tenaga dalam lawan jauh lebih hebat! Dan sang Kyai sama sekali tidak tahu kalau Raja Rencong baru cuma mengandalkan setengah bagian saja dari tenaga dalamnya! Melihat sekali hantam saja lawan sudah huyung begitu rupa dengan tertawa Raja Rencong lipat gandakan tenaga dalamnya! Jika saja Kyai Hurajang tidak lekas melompat pastilah tubuhnya akan kena disapu dan terlempar jauh!
Menyadari tenaga dalam lawan lebih hebat maka Kyai Hurajang begitu melompat diudara segera menyambar selendang berumbai-umbai yang terselempang dibahunya! Dan serentak turun ketanah kembali selendang itu dikebutkannya kearah lawan! Raja Rencong terkejut sekali sewaktu merasakanbagaimana kebutan selendang berumbai-umbai itu mendatangkan angin keras yang dingin menyembilu tulang-tulang sekujur badannya!
Tubuhnya tergontai-gontai. Tapi cepat dia menguasai diri dan membuka jurus kedua dengan satu serangan yang luar biasa cepatnya! Kyai Hurajang putar selendangnya sekeliling tubuh melindungi diri dari gempuran dua tendangan dan dua jotosan lawan!
Laksana disapu topan layaknya serangan Raja Rencong menemui kegagalan total! Tergetar juga hati Raja Rencong. Tidak disangkanya selendang lawan mempunyai kehebatan demikian rupa. Tidak menunggu lebih lama dia segera pentang tangan kanan dan kembangkan kelima jari.
"Aku mau lihat apakah kau sanggup menerima pukulan ilmu kuku api ini?" hardiknya. Kelima jari tangan dijentikkan kemuka. Dari kuku-kuku jari tangan itu menderulah lima larik sinar merah! Kyai Hurajang kerahkan seluruh tenaga dalamdan menangkis dengan selendangnya!
"Wuusss...!"
Kyai Hurajang berseru kaget dan lepaskan selendangnya yang dalam kejap itu telah berubah menjadi kepulan api dilanda pukulan kuku api yang dilepaskan Raja Rencong! Muka Kyai ini berubah pucat laksana kertas! Raja Rencong Dari Utara tertawa mengekeh.
"Apakah cuma itu satu-satunya senjata yang kau andalkan hingga kau demikian pucatnya?!" ujar Raja Rencong mengejek!
"Aku masih belum kalah" kata Kyai Hurajang. "Dalam Dua jurus mendatang jangan harap kau bisa lepas dari tanganku!"
Kyai Hurajang rangkapkan kedua tangan dimuka dada, mata meram dan mulut komat kamit Sesaat kemudian wajahnya berubah menjadi biru.
"Ha-ha-ha... ilmu siluman apakah yang hendak kau keluarkan Kyai?!" ejek Raja Rencong Dari Utara.
Kyai Hurajang usapkan telapak tangannya kemuka. Warna biru diwajahnya lenyap dan sebagai gantinya kini kedua tangannya sampai pergelangan berubah menjadi biru legam dan bersinar!
"Bersiaplah untuk menerima kematian!" desis Kyai Hurajang lalu tutup ucapannya dengan hantamkan kedua tangannya kemuka!
Dua larik sinar biru menderu kearah Raja Rencong Dari Utara! Inilah ilmu pukulan kelabang biru yang pernah dituntut Kyai Hurajang dari seorang sakti di Pulau Jawa! Jangankan manusia, batu karang yang bagaimanapun atosnya akan hancur lebur dilanda dua larik sinar biru itu. Jika dipukulkan kepohon besar, maka pohon itu akan menciut mati detik itu juga akibat racun dahsyat yang terkandung dalam larikan sinar biru itu!
Raja Rencong Dari Utara juga sudah pernah mendengar tentang ilmu pukulan kelabang biru dan sudah maklum akan kehebatannya. Karenanya begitu lawan lepaskan pukulan tersebut tak ayal lagi dia segera gerakkan tangan kanan kepinggang! Sekejap kemudian sewaktu dua larik sinar biru itu akan melandanya, selarik sinar kuning yang terang berkelebat kedepan dan terdengarlah satu letusan yang keras sekali sewaktu kedua sinar itu saling beradu diudara!
Kyai Hurajang terjajar kebelakang, tersandar kekaki menara. Dadanya sakit, nafasnya sesak sedang parasnya pucat tiada berdarah. Dilain pihak kelihatan kedua kaki Raja Rencong Dari Utara melesak ketanah sedalam satu setengah dim. Tangan kanannya yang memegang sebilah Rencong Emas masih diacungkan ke udara! senjata inilah tadi yang telah mengeluarkan sinar kuning dan bertubrukan dengan sinar biru pukulan Kyai Hurajang!
Perlahan-lahan Raja Rencong turunkan tangan kanannya dan masukkan Rencong Emas itu kebalik baju ungunya. Dan memandang kemuka. Kyai Hurajang telah melosoh ketanah. Ketika kepalanya terkulai kesamping, nyawanya pun lepaslah!
Raja Rencong Dari Utara tertawa mengekeh. Dari dalam saku pakaiannya dikeluarkannya sebuah benda dan dilemparkannya kearah kepala Kyai Hurajang! Benda itu menancap tepat dikening sang Kyai dan ternyata adalah sebuah bendera kecil berbentuk segitiga berwarna ungu, pada tengah-tengahnya terdapat gambar dua buah rencong kuning saling bersilangan. Pada tiang bendera kecil terikat segulung kertas. Raja Rencong terus juga mengumbar tertawanya. Setelah memandang berkeliling akhirnya ditinggalkannya tempat itu!
TIGA
Pada masa itu di bagian utara Pulau Andalas terdapat satu gerombolan rampok yang sangat ganas dan ditakuti didelapan penjuru angin. Gerombolan rampok ini terdiri dari lima orang yang dipimpin oleh seorang yang bergelar Setan Cambuk. Empat orang anak buahnya masing-masing Setan Pedang, Setan Pisau, Setan Rencong dan Setan Gada. Kelimanya ahli dan lihay memainkan senjata yang sesuai dengan gelar yang mereka pakai!
Dimana-mana mereka muncul pasti timbul keonaran bahkan tak jarang pula mereka menculik perempuan-perempuan untuk dirusak kehormatannya lalu dibunuh. Kelima rampok-rampok ganas yang berkepandaian tinggi itu menamakan kelompok mereka dengan nama 'Gerombolan Setan Merah'. Telah beberapa orang tokoh silat diutara Pulau Andalas turun tangan untuk membasmi Gerombolan Setan Merah!
Tapi tokoh-tokoh silat yang bermaksud suci itu terpaksa korbankan jiwa mereka sendiri karena tidak sanggup menghadapi kelima manusia jahat itu. Lagi pula untuk mencari sarang mereka bukan hal yang mudah. Konon kabarnya Gerombolan Setan Merah itu bersarang disatu rimba belantara yang sangat rapat tak tertembus sinar matahari dan hampir tak pernah dimasuki manusia, bahkan binatang buas pun ngeri diam disana karena sekali masuk kedalam rimba itu sukar untuk dapat keluar lagi!
Dunia persilatan gempar ketika Gerombolan Setan Merah bentrokan dengan seorang anak murid kias satu dari partai silat Bintang Utara. Hal ini terjadi belum lama berselang. Anak murid Partai Bintang Utara yang berkepandaian tinggi itu mula-mula berhasil melukai salah seorang anggota Gerombolan Setan Merah yaitu yang bergelar Setan Pisau, namun nasibnya sial. Gerombolan Setan Merah berhasil menawannya hidup-hidup. Kepalanya dipenggal dan dikirimkan kepada Ketua Partai Bintang Utara.
Pecahlah permusuhan dan ketika Gerombolan. Setan Merah datang mengamuk kepusat kediaman Partai Bintang Utara, tak satupun yang mereka biarkan hidup! Ketua dan Wakil Ketua Partai terbunuh! Seluruh anak murid Partai menemui ajal dan tempat kediaman Partai Bintang Utara mereka musnahkan sama rata dengan tanah. Sejak itu nama Gerombolan Setan Merah semakin ditakuti orang diseluruh pelosok utara Pulau Andalas. Jangankan berhadapan, mendengar namanya pun orang sudah tercekat dan ngeri!
Pada suatu malam yang gelap gulita tiada berbulan dan tiada berbintang, dipuncak sebuah bukit kelihatanlah sesosok bayangan hitam berlari sangat cepatnya. Demikian cepatnya hingga beberapa detik kemudian bayangan itu sudah lenyap dari puncak bukit dan kini kelihatan dengan sebatnya lari menuruni lereng bukit sebelah tenggara menuju kesebuah lembah berbatu-batu. Dipertengahan lembah, diatas sebuah batu besar bayangan ini berhenti dan memandang berkeliling.
Pandangannya tertuju pada rimba belantara hitam pekat ditelan kegelapan yang terletak di ujung lembah. Ketika dia berniat hendak menggerakkan kedua kakinya melanjutkan perjalanan menuju kerimba belantara itu mendadak telinganya menangkap suara kaki-kaki manusia yang tengah berlari dikejauhan. Menurut taksirannya lebih dari tiga orang. Dengan cepat orang ini menyelinap kebalik batu besar dan bersembunyi. Hampir setengah peminum teh kemudian, dari arah timur kelihatan lima titik hitam yang lari dengan cepat memasuki lembah.
Ternyata lima titik hitam ini adalah lima sosok tubuh manusia yang berpakaian merah, berikat kepala merah, berambut gondrong merah bahkan muka merekapun dicat dengan warna merah! Dan kelimanya bukan lain daripada Gerombolan Setan Merah yang saat ini tengah kembali kesarangnya didalam rimba belantara. Dua orang diantara mereka membawa sebuah buntalan. Dipertenganan lembah, tak berapa jauh dari batu besar dimana orang tadi bersembunyi, salah seorang dari kelimanya yaitu Setan Cambuk hentikan lari dan memandang berkeliling.
"Ada apa?" tanya Setan Rencong. Dia dan kawan-kawannya memandang pula berkeliling. Sebagai pemimpin. Setan Cambuk adalah paling tinggi ilmunya. Dia menjawab,
"Aku mendapat firasat ada seseorang yang tengah mengintai gerak gerik kita saat ini!"
"Ah, itu hanya perasaanmu saja, Setan Cambuk!" kata Setan Gada sambil usut-usut dagunya.
"Siapa manusianya yang berani berada ditempat ini? Bangsa iblis jadi-jadian pun tak punya nyali berada disekitar daerah kita ini!"
Setan Cambuk masih kurang enak perasaannya. Dia memandang lagi berkeliling sampai sepasang matanya membentur batu besar yang terletak tiga tombak jauhnya. Tangan kanannya bergerak mengeluarkan senjatanya yaitu sebuah cambuk berwarna merah! Sekali tangan itu menggerakkan hulu cambuk maka terdengarlah suara menggelegar dan batu besar ditengah lembah hancur lebur berkeping-keping!
"Nah kau lihat sendiri Setan Cambuk!" kata Setan Gada. "Jika ada bangsa manusia yang bersembunyi dan mengintai kita dibalik batu itu tentu sudah mencelat hancur lebur tubuhnya! Ayo kita lanjutkan perjalanan!"
Sewaktu Gerombolan Setan Merah itu lenyap didalam rimba belantara, sesosok tubuh yang bertiarap hampir sama rata didekat batu besar yang tadi dihancurkan oleh Setan Cambuk, dengan cepat bangkit. Meskipun batu dimana dia bersembunyi itu dihancur-leburkan oleh cambuk namun keadaan malam yang gelap gulita ditambah dengan rumput-rumput liar yang tinggi masih sanggup menyembunyikannya hingga tidak terlihat oleh Setan Cambuk dan kawan-kawannya.
"Kurang ajar!" maki orang ini. "Sebentar lagi kalian akan rasakan hadiah ku Setan-setan Merah!"
Habis berkata begitu orang ini segera berkelebat kearah lenyapnya Gerombolan Setan Merah. Kira-kira setengah jam memasuki rimba belantara yang gelap gulita itu dia menghentikan larinya dan berjalan dengan perlahan penuh waspada. Sepasang matanya demikian tajamnya hingga meski disekitarnya berada dalam kepekatan gelap gulita tapi diamasih sanggup melihat jelas sejarak lima tombak berkeliling!
Kurang dari sepeminum teh orang ini menghentikan langkahnya. Didepannya berdiri sebuah pohon yang luar biasa besarnya laksana raksasa hitam yang berdiri dengan megah dimalam buta! Ketika mendongak keatas, tertahan oleh cabang-cabang pohon yang besar-besar kelihatanlah sebuah pondok diatas pohon itu. Mulai dari lantai dan dinding sampai keatap pondok ini terbuat dari rotan yang sebesar pergelangan kaki berwarna kuning mengkilap.
Rotan-rotan itu dibuat demikian licinnya hingga jangankan manusia biasa, seekor semut pun pasti akan terpeleset dan jatuh bila menginjaknya. Pintu pondok diatas pohon besar itu kelihatan tertutup. Namun dari celah-celah dinding, atap dan lantai kelihatan menyeruak sinar lampu. Setelah meneliti suasana sekitarnya orang yang berada dibawah pohon lalu melompat keatas pohon dan sesaat kemudian tanpa mengeluarkan sedikit suarapun tahu-tahu dia telah berada diatap pondok rotan.
Seperti telah dijelaskan rotan itu sangat licin sekali hingga jangankan manusia biasa, seekor semut pun akan terpeleset jika merayap diatasnya. Tapi melihat kepada kenyataan bagaimana orang itu sanggup berdiri diatas atap pondok bahkan tanpa suara sama sekali maka jelaslah dia seorang yang berilmu sangat tinggi! Melalui celah-celah atap rotan orang itu mengintip kedalam pondok.
Lima orang berpakaian merah, berambut merah dan berwajah merah duduk mengelilingi meja bukan lain dari Gerombolan Setan Merah. Mereka sibuk menghitung kepingan-kepingan uang emas dan barang-barang perhiasan hasil rampokan mereka malam itu. Tengah asyik menghitung-hitung itu tiba-tiba dengan ilmu menyusupkan suara Setan Cambuk berkata, "Kalian bersiaplah! Ada seseorang diatas atap!"
Keempat orang itu terkejut dan segera bersiap. Setan Cambuk mendongak keatas dan berseru lantang, "Tamu lancang! Kau telah berani datang dan mengintai! Lekas turun serahkan diri!"
Dari atas atap terdengar suara tertawa mengekeh! Tiba-tiba beberapa buah rotan diatas atap menguit dan terbuka lebar. Sesosok tubuh berpakaian gelap melompat turun. Serentak dengan itu Setan Cambuk kiblatkan senjatanya kearah si pendatang! Setan Pisau tak ketinggalan. Sekali tangannya bergerak maka lima buah pisau melesat terbang!
Lima buah pisau menancap dipakaian orang yang turun dan disaat itu pula ujung cambuk melanda membuat sasarannya hancur lebur! Tapi alangkah terkejutnya kelima orang itu melihat apa yang terjadi! Ternyata yang mereka serang bukanlah sosok tubuh seseorang melainkan cuma sehelai pakaian dan celana panjang yang saling dikaitkan satu sama lain!
"Kurang ajar! Siapa yang berani mempermainkan Gerombolan Setan Merah?!"
Terdengar lagi suara mengekeh diatas atap. Sebuah rotan terkuit dan sebuah benda melayang kebawah! Karena takut akan tertipu lagi, kelima manusia berwajah merah itu tak mau menyerang! Tapi ketika benda yang melayang itu menancap diatas meja dihadapan mereka maka kembali kelimanya terkejut! Benda itu ternyata adalah sebuah bendera kecil berbentuk segi tiga dengan gambar dua buah rencong bersilangan dibagian tengahnya!
"Raja Rencong Dari Utara!" seru Setan Pisau
Setan Cambuk meskipun berada disarang sendiri dan lengkap bersama kawan-kawannya namun melihat bendera kecil itu dan mengetahui siapa adanya tamu diatas atap menjadi tercekat lalu lambaikan tangannya dan sekaligus pelita diempat sudut pondokpun padamlah! Suasana gelap gulita kini dan diatas atap terdengar suara tawa bergelak.
"Gerombolan Setan Merah! Beginikah cara kalian menyambut kedatangan tamu?"
Didalam kegelapan Gerombolan Setan Merah sudah cabut senjata masing-masing. Juga dari dalam kegelapan itu terdengar suara jawaban Setan Cambuk. "Raja Rencong! Angin apakah gerangan yang membawa kau datang ketempat kami?! Jika angin baik dipersilahkan turun dengan hormat! Jika angin buruk yang membawa penyakit sebaiknya lekas tinggalkan tempat ini!"
Terdengar suara tertawa gelak-gelak dari orang diata satap yang memang Raja Rencong Dari Utara adanya. Dari celah-celah rotan atap kelihatan melesat empat buah benda bercahaya seperti kunang-kunang yang masing-masing menuju keempat sudut pondok dimana terletak pelita. Sesaat kemudian keempat pelita itupun menyalalah kembali! Lima manusia bermuka merah terkejut bukan main namun mereka menyembunyikan rasa kagum masing-mading.
"Lekas katakan maksud kedatanganmu!" seru Setan Cambuk pula.
"Ah, aku sudah masuk kedalam pondokmu, sungguh keterlaluan kalau kalian tuan rumah sama sekali tidak melihatnya"
Gerombolan Setan Merah terkejut dan serempak berpaling kebelakang. Astaga! Mata mereka terbeliak besar. Tamu yang mereka sangkakan masih di atas atap tahu-tahu sudah masuk kedalam pondok dan berada dibelakang mereka!
EMPAT
Setan pedang adalah yang paling lekas naik darah diantara kelima Setan Merah. Melihat orang berani mempermainkan dirinya dan kawan-kawan serta masuk kedalam pondok dengan petatang-peteteng begitu rupa marahlah dia dan segeram enghunus pedang.
"Raja Rencong. Kau anggap kami ini apakah hingga tak memandang mata sedikitpun terhadap kami?!" bentak Setan Pedang.
Setan Gada menepuk bahu kerabatnya itu dan berbisik, "Jangan kesusu bertindak gegabah. Bangsat ini sangat lihay!"
Sementara itu Setan Cambuk maju selangkah dan berkata, "Harap segera beri tahu maksud kedatanganmu, Raja Rencong!"
Raja Rencong Dari Utara menyeringai dan rangkapkan tangan dimuka dada. "Kedatanganku kesini adalah membawa angin baik dan juga angin buruk!"
Setan Cambuk kerenyitkan kening! "Kami tak mengerti. Harap dijelaskan biar terang!"
Kembali Raja Rencong menyeringai dan membuka mulut, "Pertama jika kalian berlima sedia tunduk padaku dan masuk kedalam Partai Topan Utara yang bakal kuresmikan pada tanggal satu bulan dimuka maka aku datang kesini membawa angin baik. Untuk itu kalian harus menyerahkan masing-masing lima puluh keping uang emas dan pada hari peresmian berdirinya Partai Topan Utara kalian harus datang ke Bukit Toba!"
Kelima Setan Merah saling berpandangan. "Dan kalau kami menolak?" menyeletuk Setan Rencong.
"Berarti kalian sengaja menghendaki angin buruk!" jawab Raja Rencong Dari Utara. "Dan kalian terpaksa kumusnahkan dari atas bumi ini!"
Kesunyian menyeling beberapa saat lamanya. "Bagaimana? Angin yang manakah yang kalian pilih?" terdengar Raja Rencong bertanya.
Setan Cambuk rangkapkan tangan dimuka dada dan menjawab, "Soal mendirikan partai adalah urusanmu. Mengapa kami yang tak ada sangkut pautnya hendak dilibatkan?!"
"Kau tak layak bertanya" bentak Raja Rencong Dari Utara.
"Kalau begitu kau juga tidak layak memaksa!" balas membentak Setan Pedang penuh berangasan.
Raja Rencong memandang Iekat-lekat pada Setan Pedang lalu tertawa sedingin salju dipuncak gunung. "Memang maksudku mendirikan Partai Topan Utara itu banyak mendapat tantangan! Tapi semua yang menantang telah tinggal nama belaka Agaknya hari ini aku berhadapan pula dengan manusia-manusia keras kepala yang ingin tinggalkan nama percuma dimuka bumi ini!"
"Jangan mimpi disiang bolong sobat!" tukas Setan Pedang. "Kami bukan bangsa kacoak yang bisa dipaksa, kami bukan bangsa kroco yang bisa diperbudak siapapun! Sekalipun Raja Dari Akherat!"
Meski hatinya sepanas bara dan mukanya kelam memerah namun Raja Rencong Dari Utara masih saja tertawa seenaknya. "Setan Cambuk! Kau sebagai pemimpin dari Gerombolan Setan Merah harap segera beri jawaban. Mau masuk partai ku atau musnah?!"
"Raja Rencong!" menyahuti Setan Cambuk. "Didunia ini masing-masing manusia berhak hidup menempuh jalannya sendiri-sendiri! Mau malang, mau melintang itu adalah urusan dan kepentingannya sendiri! Maksudmu untuk mendirikan Partai Topan Utara itu tentu saja baik. Tapi untuk masuk kedalamnya harapkau suka memberikan kelonggaran barang satu dua minggu agar kami pertimbangkan dan pikirkan!"
"Aku datang malam ini dan harus dapat jawaban malam ini juga!" kata Raja Rencong tegas.
Mendidihlah amarah Setan Cambuk. "Barangkali kau sudah jemu hidup Raja Rencong?!"
"Kurasa demikian" menimpali Setan Pedang. "Dari Raja Rencong diatas dunia dia hendak minta jadi Raja Neraka dialam akhirat!"
Raja Rencong Dari Utara menyeringai. Dia memandang tak berkesip pada Setan Cambuk dan berkata, "Sekali lagi aku minta jawabanmu yang tegas. Jika menolak kalian tak akan melihat matahari besok hari!"
Setan Cambuk buka kedua tangannya yang sejak tadi dirangkapkan dimuka dada. Dengan tertawa getir dia berkata, "Meski namamu ditakuti dimana-mana tapi nama Setan Merah telah lebih dulu tersohor didelapan penjuru angin! Adalah tidak sepantasnya kalau Setan Merah musti patuh pada Raja Rencong!"
"Jawabanmu sudah cukup jelas! Betul-betul kau dan kambrat-kambratmu sudah jemu hidup!"
"Kami berlima kau seorang diri! Sekalipun kau punya lima kepala sepuluh tangan dan kaki, mana mungkin bisa menang?!" ejek Setan Gada.
"Sebaliknya sekalipun kalian dua kali lebih banyak dan ini jangan harap akan lolos dari lobang jarum kematian!"
"Bangsat rendah! Minggatlah ke neraka!" bentak Setan Pedang. Tak terlihat kapan dia mencabut pedangnya dan tahu-tahu senjata itu sudah berkiblat didepan hidung Raja Rencong Dari Utara!"
"Keparat!" damprat Raja Rencong.
Sesaat sebelum pedang menyambar mukanya lima jari tangannya menjentik! Lima sinar merah kekuningan menderu dan tubuh Setan Pedang mencelat kedinding pondok dalam keadaan hangus, roboh kelantai tanpa bisa berkutik lagi! Bau daging terpanggang memenuhi pondok itu! Kejut Setan Cambuk dan tiga Setan Merah lainnya bukan alang kepalang! Setan Pedang adalah jago nomer dua sesudah Setan Cambuk. Bagaimana dia bisa dibikin konyol dalam satu gembrakan begitu saja?!
Setan Cambuk tak menunggu lebih lama. Begitu juga tiga kawannya. Serentak mereka cabut senjata masing-masing dan menerjang kedepan! Pertempuran hebat segera berkecamuk! Bertempur dalam jarak dekat begitu rupa menyukarkan bagi Setan Cambuk untuk mempergunakan senjatanya. Setelah melipat tiga lebih, dulu cambuknya baru dia menerjang membantu kawan-kawannya. Tiga jurus berlalu dengan cepat.
Menyangka dalam tiga jurus itu dia dan kawan-kawannya segera akan dapat membereskan lawan sebaliknya Setan Cambuk mengeluh dalam hati karena kenyataannya dia berempatlah yang kena didesak. Tiba-tiba Setan Cambuk bersuit memberi tanda. Setan Pisau, Setan Rencong dan Setan Gada melompat pondok. Dan disaat itu terdengar suara menggelegar! Cambuk ditangan Setan Cambuk melesat menghantam ke arah muka Raja Rencong. Dikejap yang sama lima buah pisau menderu dilemparkan Setan Pisau!
Raja Rencong membentak keras hingga pondok rotan itu tergetar hebat! Kelihatan sekilas tangannya yang sebelah kiri bergerak kemudian tubuhnya lenyap. Sekejap kemudian terdengar suara bergedebuk yang disusul suara pekik setinggi langit dan yang terakhir suara seruan tertahan. Apa yang terjadi demikian cepatnya hingga tak sempat seorangpun dari keempat Setan Merah itu dapat melihat dengan jelas. Ketika semua itu telah terjadi barulah mereka sadar dan terkesiap!
Sewaktu diserang oleh cambuk dan lima buah pisau. Raja Rencong jatuhkan dirinya kelantai sambil mempergunakan tangan kiri menyambut bagian belakang dari ujung cambuk! Bukan saja Raja Rencong berhasil menyambut dan menangkap ujung cambuk Setan Cambuk tapi sekaligus begitu jatuhkan diri dia melewatkan lima pisau yang terbang kearahnya dan bergulingan ketempat Setan Pisau yang telah melepaskan kelima pisau itu. Saking cepatnya gerakan itu Setan Pisau sendiri tak tahu kalau dirinya diserang.
Dan tiba-tiba saja satu jotosan yang ratusan kati beratnya telah melanda dadanya! Tulang dadanya hancur! Darah membusah dimulutnya. Tubuhnya rebah kelantai! Dilain kejap Raja Rencong melompat kekiri dan membuat tiga kali putaran. Maka tahu-tahu Setan Cambuk merasakan sekujur tubuhnya telah terikaterat oleh cambuknya sendiri hingga untuk beberapa saat lamanya dia tak bisa bergerak barang sedikitpun!
Raja Rencong Dari Utara tertawa mengekeh!Suara tawanya lenyap ditelan deru dua serangan dari samping yaitu serangan yang dilancarkan Setan Rencong dan Setan Gada! Serangan ini hebat dan ganas sekali karena dilancarkan dengan penuh amarah serta segala kelihayan yang ada! Dan hasil dari serangan itu adalah lebih hebat lagi!
Sekejap senjata kedua Setan Merah itu akan menemui sasarannya maka kelihatanlah kiblatan sinar kuning yang menyilaukan. Rencong dan gada ditangan kedua kawan Setan Cambuk itu terlepas mental. Keduanya terhuyung-huyung dengan memegangi dada yang berlumuran darah tertusuk Rencong Emas ditangan Raja Rencong Dari Utara.
Sesaat kemudian mereka merasa sekujur tubuh mereka panas dingin, jalan darah seperti terbalik dan kepala laksana mau pecah. Sewaktu lutut masing-masing menjadi goyah keduanya bergelimpangan rebah, berkelojotan sejenak lalu tak bergerak lagi alias mati!
Raja Rencong Dari Utara tertawa mengekeh. Sekali dia meniup Rencong Emas maka lenyaplah noda darah pada ujung senjata itu. Sambil memasukkan senjata sakti itu kesarungnya yang tersisip dipinggang Raja Rencong berpaling pada Setan Cambuk yang saat itu telah melupakan untuk membebaskan dirinya dari libatan cambuk karena terkesiap melihat bagaimana keempat anak buahnya satu demi satu menemui ajal ditangan Raja Rencong!
"Bagaimana?! Apakah kau masih punya nyali untuk menghadapi ku?!" tanya Raja Rencong.
Paras Setan Cambuk yang tadi sepucat kertas kini menjadi kelam merah. Sekali dia berontak maka lepaslah ikatan cambuk disekujur tubuhnya!
"Masih mau melawan?!" bentak Raja Rencong seraya siapkan ilmu pukulan kuku api ditangan kanannya. Meski darahnya mendidih, meski amarah bergejolak membakar hatinya namun pada dasarnya Setan Cambuk memang sudah tak punya nyali untuk menempur Raja Rencong. Dia sudah saksikan sendiri kehebatan Raja Rencong! Sudah saksikan pula kematian kawan-kawannya. Berlima dia tak sanggup mengalahkan Raja Rencong, apalagi dengan seorang diri.
"Aku mengaku kalah" desis Setan Cambuk seraya melemparkan senjatanya.
"Mengaku kalah berarti tunduk kepadaku!"
"Aku tunduk!" kata Setan Cambuk dengan hati penasaran.
"Dan harus bersumpah untuk masuk kedalam Partai Topan Utara!"
"Aku bersumpah!" dan Setan Cambuk mengangkat tangan kanannya sebagaimana laku seorang yang tengah disumpah. Tapi tiba-tiba tangannya itu secepat kilat dipukulkan kemuka.
"Wuuttt...!" Selarik sinar hitam menderu kearah Raja Rencong. Kejut dan amarah Raja Rencong bukan main!
"Keparat berani menipuku!" hardik Raja Rencong.
"Bangsat! Mampuslah!" teriak Setan Cambuk seraya hantamkan tangan kanannya sekali lagi!
Tapi yang sekali ini Raja Rencong Dari Utara tidak memberi hati lagi. Lima jari tangan kanannya menjentik. Lima sinar merah kekuningan menderu dan terdengarlah pekik pemimpin Gerombolan Setan Merah itu! Riwayatnya tamat! Tubuhnya hangus kehitaman menghampar bau daging yang terpanggang!
LIMA
Puncak Buki Toba merupakan selimutan hutan belantara yang amat rapat karena jarang diinjak dan didatangi manusia. Delapan penjuru kaki bukit berhubungan dengan pantai yang setiap saat disirami pecahan dan buih ombak sehingga dengan kata lain bukit besar itu adalah sebuah pulau yang terletak di tengah danau yang sangat luas. Dalam tiupan angin siang yang sepoi-sepoi basah, diatas air danau kelihatan meluncur sebuah perahu yang ditumpangi oleh.tiga orang berjubah dan bersorban putih!
Ketiganya tidak memegang sebuah pendayung pun, tapi hebatnya, dengan mempergunakan telapak tangan sebagai pengganti pendayung, ketiganya membuat perahu itu meluncur laksana naga terbang diatas permukaan air danau hingga dalam tempo yang singkat perahu merekapun sudah mendarat dibagian timur pulau, dan mereka melompai dalam gerakan-gerakan yang luar biasa ringannya!
Sewaktu melangkah diatas pasir pantai yang basah, sama sekali kaki-kaki mereka tidak meninggalkan jejak barang sedikitpun Nyatalah ketiga orang ini manusia-manusia berkepandaian tinggi. Salah seorang dari ketiganya yang agaknya menjadi pemimpin rombongan memandang berkeliling, lalu memberi isyarat pada kedua kawannya dan sebentar kemudian ketiganya sudah berlari laksana terbang menuju kepuncak Bukit Toba.
Semakin jauh keatas bukit semakin susah perjalanan karena sangat rapatnya pohon-pohon dan semak beluar. Ketiga orang ini tentu saja tidak mau rusak pakaian mereka terkait ujung ranting dan semak belukar. Karenanya merekapun melanjutkan perjalanan dengan berlari diatas pohon, melompat dari satu cabang kecabang lain dan tanpa mengeluarkan suara barang sedikitpun! Benar-benar amat mengagumkan!
Beberapa lama kemudian ketiganya sampai dipuncak Bukit Toba. Yang terdepan berhenti dicabang paling atas dari sebuah pohon yang besar dan luar biasa tingginya. Kawan-kawannya kemudian berdiri disisi kiri kanan dan mereka sama memandang kedepan. Didepan sana, dikelilingi oleh pohon-pohon besar tinggi terdapat sebuah bangunan berbentuk istana. Tapi bangunan ini sudah sangat tua sekali dan tidak mendapat rawatan sebagaimana mustinya hingga keadaannya amat menyeramkan!
Seluruh bangunan diselimuti debu tebal. Hampir disetiap sudut kelihatan jaring Iaba-laba bahkan juga tampak sarang-sarang burung dan kelelawar! Atap bagian depan miring kekiri. Diatas genting tumbuh pohon-pohon kecil, lumut menyelimut dimana-mana.
:Inikah tempatnya?!" tanya salah seorang Iaki-laki tua diatas pohon.
"Kelihatannya seperti tak pernah didatangi manusia. Mungkin kau salah".
Laki-laki yang berdiri ditengah memandang berkeliling sebentar lalu menjawab, "Kemanapun mata ditujukan hanya itu satu-satunya bangunan yang kelihatan dipuncak bukit ini!"
"Tapi sungguh tak..."
"Diam! Ada orang datang!" kata orang tua yang ditengah.
Sesaat kemudian baru dua orang tua lainnya mendengar suara bergemerisik. Ini sudah cukup menjadi pertanda bagaimanapun tingginya ilmu kedua orang yang belakangan ini tapi masih berada dibawah orang tua yang pertama. Ketiganya cepat memandang berkeliling. Baru saja memutar leher tiba-tiba mengumandang suara bentakan yang sangat keras!
"Tiga tua renta diatas pohon, apakah datang ada membawa kain kafan untuk pembungkus jenazah kalian masing-masing kelak?!"
Ketiga orang tua diatas pohon terkejut bukan alang kepalang. Terkejut bukan karena keras lantangnya suara bentakan itu yang hingga saat itu masih mengumandang keseluruh pelosok bukit, juga bukan karena bentakan yang demikian menganggap rendah bahwa mereka akan menemui ajal! Yang mengejutkan mereka ialah karena suara bentakan itu jelas sekali adalah suara perempuan! Dan belum habis keterkejutan ketiganya suara bentakan itu mengumandang kembali lebih keras dan kali ini bernada memerintah,
"Manusia-manusia berjubah putih! Lekas turun!"
Pertama sekali suara bentakan itu terdengar datangnya dari arah barat, diantara pohon-pohon besar yang rapat. Yang kedua kali tadi bentakan itu datangnya dari arah bangunan tua! Maka ketiga orang tua berjubah putih itupun tanpa melupakan kewaspadaan segera melompat turun kepelataran batu yang terdapat didepan bangunan. Namun tiada terkirakan kejut dan peranjat mereka sewaktu orang yang tadi membentak bukan muncul dari dalam bangunan tua melainkan dari balik pohon besar diatas mana mereka tadi berdiri!
Nyatalah betapa hebat dan lihaynya ilmu memindahkan suara orang itu! Dan yang lebih membuat ketiga orang tua bersorban itu Iebih-lebih kagum ialah orang yang muncul itu adalah seorang perempuan berpakaian ungu. Rambutnya panjang hitam tergerai sampai kepunggung. Parasnya ditutup dengan sehelai kerudung yang juga berwarna ungu. Mendengar kepada suaranya yang tajam menyorot perempuan ini pastilah bersifat keras dan galak!
Ketiga orang tua tak dapat menduga berapa kira2 usia perempuan berkerudung ini. Dan dalam berdiri terpisah sejauh beberapa tombak itu ketiganya dapat mencium bau harumyang keluar dari tubuh dan pakaian perempuan berkerudung!
"Dengan siapakah kami berhadapan?!" tanya orang tua yang bertindak sebagai pemimpin rombongan.
Dari balik kerudung ungu terdengar suara mendengus. "Kalian pendatang-pendatang yang tidak tahu diri danlancang berani datang kemari yang musti terangkan diri!"
Orang tua itu batuk-batuk dan sunggingkan senyum. "Jangan tertawa macam monyet kurang ingatan!" bentak perempuan-berkerudung!
"Kalau sekiranya kau mau membuka kerudung, baru kami akan terangkan siapa kami dan juga maksud kedatangan kami bertiga kesini!"
Terdengar suara gigi-gigi berkeretakan! "Tua bangka keparat! Sudah hampir mampus masih berhati kotor ingin melihat paras perempuan! Apakah itu sifat orang beragama macam kalian!"
Merahlah wajah ketiga orang berjubah putih, apalagi yang tadi bicara. Dia berkata begitu tadi dengan maksud untuk mengetahui dengan siapa sesungguhnya dia berhadapan, tapi si kerudung ungu salah, sangka dan mendampratnya!
"Kami orang-orang tua mana ada pikiran untuk tergoda pada keindahan dunia ini! Justru kedatangan kami kesini adalah untuk menyelamatkan dunia ini dari segala macam kekotoran!"
Perempuan berkerudung tertawa. Suara tawanya cukup merdu tapi juga cukup menyeramkan! "Hebat sekali kalau begitu!" katanya dengan nada mengejek. "Tapi kau kesasar datang kesini, orang-orang tua! Kau kesasar mengantarkan jiwa! Tahukah kau bahwa setiap ada manusia luaran yang berani menginjakkan kakinya dipulau ini berarti mati?! Sekarang lekas beri tahu nama kalian agar setan-setan penghuni pulau lebih cepat mengenal calon-calon kawannya!"
Penghinaan perempuan berkerudung itu sudah melewati batas. Tapi ketiga orang tua berjubah putih tetap berdiri dengan sabar malah yang seorang menjawab, "Aku Kyai Suhudilah dan dua orang kawanku ini Kyai Selawah dan Kyai Tanjung Laboh"
"Hem... jadi kau Kyai Suhudilah! Aku tahu sudah apa maksud kedatanganmu bersama dua kambratmu itu kesini. Pasti untuk membalas dendam karena ayahku telah menghancurkan Pesantrenmu beberapa waktu yang lampau!"
"Jadi kami berhadapan dengan anak perempuan Raja Rencong Dari Utara?!" ujar Kyai Suhudilah.
"Sudah tahu kenapa tidak Iekas-lekas berlutut?!"
Kyai Suhudilah tertawa dingin."Menurut ajaran agama kami, satu-satunya kepada siapa manusia berlutut ialah Tuhan bukan manusia, apalagi manusia macam kau, anak seorang durjana biang penyebab malapetaka dan bencana didelapan penjuru angin! Lekas panggil ayahmu!"
"Tua bangka sialan! Kau tidak layak memerintahku!" bentak perempuan berkerudung ungu.
"Jika demikian" berkata Kyai Selawah, "harap dimaafkan kalau kami mungkin terpaksa memaksamu."
Anak Raja Rencong Dari Utara berpaling kepada Kyai Selawah. "Mulutmu sombong, tapi kau bicara masih punya perasaan. Kelak kematianmu lebih mendingan dari pada kawanmu yang satu ini!" dan dia menuding pada Kyai Suhudilah. Dan setelah meman-dang Kyai Suhudilah dengan sorot matanya, perempuan itu berkata, "Kedatanganmu kesini pasti untuk balas dendam pada ayahku! Sebelum ayahku muncul kunasihatkan agar kau cepat-cepat saja bunuh diri! Itu lebih baik bagimu, orang tua!"
Air muka Kyai Suhudilah kelihatan merah. Bagaimanapun sabarnya seseorang, lambat laun kesabarannya akan luntur juga. "Perempuan, kesombongan dan kecongkakan ayahmu rupanya sudah kau wariskan selagi dia masih hidup! Kuharap kesombongan dan kecongkakan itu segera kau buang bila ayahmu meninggal!"
"Tua bangka bermulut besar! Kau berani menghina aku dan ayah! Makan jariku ini!" Perempuan berkerudung jentikkan lima jari tangan kirinya sekaligus!
"Wuuttt...!" Lima sinar merah kekuningan menderu kearah Kyai Suhudilah!
"Awas pukulan kuku api!" teriak Kyai Suhudilah memperingatkan kedua kawannya. Dia sendiri sambil menghindar kebutkan lengan jubahnya sebelah kanan!
"Wuusssss...!"
Kyai Suhudilah pucat pasi parasnya! Meski kebutan lengan jubahnya berhasil membuyarkan serangan maut itu namun tak urung lengan jubahnya menjadi hangus hitam dan hawa panas menjalar kekulit lengan! Dengan cepat sang Kyai sobek ujung lengan jubahnya. Gadis berkerudung ungu tertawa gelak-gelak.
"Kalau kepandaianmu cuma sedalam sungai yang dangkal, betul-betul hanya mengantarkan jiwa datang kemari! Lebih baik kalian bertiga bunuh diri!"
Kyai Suhudilah mendekam dalam hati, dan berkata, "Kami bukan manusia-manusia bangsa pengecut yang bersedia melawan seorang perempuan! Lekas panggil ayahmu!"
"Benar-benar tidak tahu diri! Diberi kesempatan bunuh diri malah tambah menantang!" Bola mata sigadis menyorot tajam dan sesaat kemudian tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu sudah membagi serangan pada ketiga Kyai dalam satu jurus bernama 'Tiga Ekor Naga Menggempur Sang Surya'.
Kembali ketiga Kyai dikejutkan oleh kehebatan serangan ini! Cepat-cepat mereka menghindar dan setelah saling memberi isyarat serentak maju untuk meringkus anak gadis Raja Rencong itu hidup-hidup! Namun mereka tertipu! Tidak semudah itu untuk menangkap hidup-hidup gadis yang sudah menguasai lebih setengah bagian dari ilmu silat ajaran ayahnya! Begitu ketiga Kyai serempak maju, tubuh sigadis berkelebat dan lenyap!
Lalu terdengar suara lengkingan seperti lengkingan burung raksasa. Lobang telinga ketiga Kyai terngiang sakit! Dan dalam pada itu satu tebasan tepi telapak tangan menderu sekaligus kearah kepala mereka!Kyai Suhudilah dan kawan-kawan terpaksa bersurut undur untuk selamatkan kepala masing-masing! Mereka mengeluh, jika anaknya demikian hebatnya tentu ayahnya bukan lawan enteng meskipun mereka bertiga!
Kyai Suhudilah merenung cepat. Dia adalah seorang yang bermata tajam dan setiap bertempur selalu memperhatikan gerakan-gerakan yang dibuat lawan! Meski baru satu gerakan namun dia telah dapat melihat sifat-sifat gerakan sigadis dan tahu dimana letak kelemahan ilmu silat lawan! Dengan cepat Kyai Suhudilah berkata dengan ilmu menyusupkan suara pada kedua Kyai lainnya,
"Kita serang dia dengan barisan tiga malaikat lenyap kelangit!"
Kyai Salawah dan Kyai Tanjung Laboh mengangguk tanda mengerti. Kyai Suhudilah mengedipkan matanya dan ketiganya pun kemudian menyerbu dari tiga jurusan. Kyai Suhudilah dari depan, Kyai Selawah dari samping kanan dan Kyai Tanjung Laboh dari samping kiri!
"Ilmu silat picisan macam apa yang hendak kalian obral di hadapanku?!" ejek anak gadis Raja Rencong.
Tubuhnya dibungkukkan sedikit dan dengan mengandalkan tumit kaki kirinya, laksana sebuah titiran dia berputar dengan kaki kanan menderu kearah ketiga penyerangnya! Yang sekali ini tidak mudah bagi gadis berkerudung ungu ini untuk memusnahkan serangan ketiga Kyai itu. Karena begitu tubuhnya berputar dan menghantamkan tendangan dalam bentuk lingkaran, ketiga lawannya berkelebat cepat, lenyap dari pemandangannya dan tahu-tahu sudah menyerang lagi dari jurusan yang lain yaitu Kyai Suhudilah dari belakang.
Kyai Selawah dari depan sedang Kyai yang satu lagi dari samping kanan. Tiga buah totokan menderu ke arah tiga jalan darah si gadis. Gadis itu kertakkan geraham tanda penasaran. Kedua kakinya menjejak tanah. Didahului oleh satu lengkingan keras dia melompat ke atas. Kaki kiri dihantamkan kedepan menendang lengan Kyai Selawah. Kaki kanan ditendangkan saperti kuda menendang kearah Kyai Suhudilah yang menyerang dari belakang sedang satu pukulan tangan kosong yangmendatangkan angin keras dihantamkan kebatok kepala Kyai Tanjung Laboh yang menotok dari samping!
Karena tubuh sigadis berada diudara dan lebih tinggi dari ketiga lawannya maka meski bagaimanapun hebatnya serangan para Kyai namun serangan.balasan dari sigadis tak dapat tidak akan berhasil mencelakakan mereka lebih dulu! Anak gadis Raja Rencong menyeringai dibalikkerudungnya sewaktu melhat ketiga penyerangnya menarik pulang tangan masing-masing. Segera dia hendak susulkan dengan tiga serangan berantai yang menurutnya tidak dapat tidak pasti akan mengirim mereka kepintu kematian!
Dengan gelak mengejek maka dia segera lancarkan tiga serangan berantai itu! Tapi hatinya menciut! Parasnya yang, tersembunyi dibalik kerudung berubah total. Peluh dingin mengucur dikeningnya sewaktu entah bagaimana ketiga calon korbannya itu lenyap dari pemandangan dan tahu-tahu tiga pusat jalan darahnya terasa dingin. Sadarlah si gadis bahwa ketiga lawannya sebelum sempat dia menyerang telah lebih dulu mengirimkan totokan-totokan dari jurusan lain yang tak diduganya!
Meski bagaimanapun kehebatan dan kecepatannya untuk mengelak atau menangkis tapi kini sudah kasip! Yang bisa dilakukannya hanyalah memaki dan merutuk dalam hati! Si gadis mengeluh tinggi sewaktu totokan yang pertama melanda jalan darah dipunggungnya. Kedua tangannya dengan serta merta lumpuh. Tubuhnya terhuyung-huyung kemuka. Dalam sedetik lagi dua totokan segera pula akan mendarat susul menyusul di bagian lain tubuhnya!
Dalam keadaan yang demikian kritisnya bagi si gadis tiba-tiba mengumandanglah suara bentakan yang kerasnya laksana gelegar gunung meletus!
"Pandansuri! Siapa yang berani berlaku kurang ajar terhadapmu?!"
Satu gelombang angin yang luar biasa dahsyatnya menderu, membuat ketiga Kyai terhuyung lima langkah dari kalangan pertempuran sedang gelombang angin itu sekaligus melepaskan totokan ditubuh si gadis yang ternyata bernama Pandansuri!
ENAM
Mendengar suara bentakan itu dan merasa totokan pada punggungnya lepas Pandansuri menjadi lega. Sebaliknya ketiga Kyai terkejut bukan main! Mereka adalah orang-orang cabang atas dalam ilmu silat, tapi sekali terpa saja ketiganya telah dilemparkan keluar sejauh lima langkah dari kalangan pertempuran! Mereka sama palingkan kepala dengan cepat!
Seorang Iaki-laki berbadan tinggi tegap berdiri bertolak pinggang dibawah atap bangunan tua! Pakaiannya dan juga destarnya yang tinggi berwarna ungu.Tampangnya yang angker itu dihias dengan kumis hitam melintang. Bajunya yang sengaja tidak dikancingkan memperlihatkan dada yang penuh otot dan berbulu!
"Apakah kami berhadapan dengan Raja Rencong dari Utara?!" tanya Kyai Suhudilah.
Pelipis Iaki-laki itu menggembung. "Sialan! Ditanya malah menanya! Jawab! Apa kalian tidak malu mengeroyok seorang perempuan?!"
"Malu atau tidak malu bukan itu soalnya", jawab Kyai Suhudilah. "Kami datang mencari Raja Rencong! Dan anak gadisnya hendak membunuh kami bertiga! Apakah salah kalau kami tak bisa berpangku tangan?!"
Laki-laki berkumis melintang tertawa sambil usap-dada dadanya yang berbulu. "Baru menghadapi anaknya kalian sudah kewalahan! Bagaimana kalian punya nyali untuk datang kemari dan mencariku?!"
"Ayah! Perlu apa bicara panjang lebar dengan Tua bungka ini! Dia telah menghina kita! Biar kau saksikan bagaimana aku memberi pelajaran caranya mati pada mereka!"
Pandansuri lantas cabut sebilah rencong perak dari balik pakaiannya. Senjata ini berkilauan ditimpa sinar matahari dan adalah sebuah senjata mustika.
Tanpa berpaling pada anaknya Raja Rencong berkata, "Pandan, kau masuklah! Siapkan Arena Topan Utara!"
Meskipun hatinya penasaran sekali diperintah demikian, dengan banting-banting kaki Pandansuri akhirnya masuk kedalam bangunan tua yang berbentuk seperti bangunan tempat kediaman hantu itu!
"Raja Rencong Dari Utara!" kata Kyai Suhudilah. "Banyak hal pertanggungan jawab yang hendak kuminta padamu!"
"Begitu?! Silahkan masuk ketempatku! Kita bicara di Arena Topan Utara!"
"Cukup disini saja" sahut Kyai Suhudilah.
Raja Rencong menyeringai. "Walau bagaimanapun aku masih punya )peradatan dalam menerima kunjungan tamu! Sekalipun tamu-tamu itu datang sengaja untuk mencari mampus!"
Habis berkata begitu Raja Rencong memutar tubuh dan masuk kedalam bangunan tua. Mau tak mau ketiga Kyai terpaksa mengikuti dari belakang! Bangunan itu ternyata panjang sekali. Ketiga Kyai melangkah dibelakang Raja Rencong terpisah sejauh sepuluh langkah. Mereka senantiasa berlaku waspada karena kalau bangunan tua itu betul-betul menjadi sarang Raja Rencong Dari Utara bukan mustahil dilengkapi dengan segala macam alat rahasia yang berbahaya. Dan bukan tidak mustahil pula Raja Rencong tengah hendak menjebak mereka bertiga!
"Kawan-kawan, bagaimana kalau kita serang dan ringkus dia hidup-hidup selagi membelakangi kita ini?!" bisik Kyai Selawah.
Kyai Suhudilah merenung sejenak lalu menggeleng pelahan. "Itu tindakan pengecut" katanya. "Kalau kita menang tak akan terpuji, kalah malah memalukan!"
"Tapi terhadap manusia biang malapetaka macam yang satu ini kurasa tak perlu memakai segala macam ukuran baik dan buruk lagi!" bisik KyaiTanjung Laboh.
"Walau bagaimanapun kita tak bisa bertindak begitu" menyahut Kyai Suhudilah.
Ketiganya melangkah terus mengikuti Raja Rencong. Mereka menuruni sebuah tangga batu. Tangga itu sebenarnya terbuat dari batu marmar yang putih bersih. Tapi karena tak pernah dirawat dan dibersihkan tangga itu telah menjadi hitam diselimuti lapisan debu setinggi beberapa mili. Raja Rencong menuruni anak tangga dengan sikap acuh tak acuh. Ketika Kyai Suhudilah dan kawan-kawan memandang kebawah, pada lapisan debu yang menutupi anak-anak tangga tak kelihatan sedikit jejakpun!
Sebaliknya ketika mereka memandang kebelakang, keanak-anak tangga yang tadi mereka lewati kentaralah jejak-jejak kaki mereka, meskipun tidak membayang jelas! Dan ketiga Kyai ini sama-sama menggigit bibir.
"Kuatkan hati kalian!" bisik Kyai Suhudilah memberi semangat. "Betapapun kejahatan itu tak bisa bertahan lama! Kalaupun kita harus pasrahkan jiwa ditempat ini, kita mati dalam berjuang! Mati syahid!"
Di bagian bawah bangunan tua itu terdapat sebuah ruang batu yang amat luas yang kira-kira dapat menampung lima ratus orang, di keempat tepinya. Ruangan batu ini berbeda sekali dengan seluruh keadaan bangunan yang telah dilihat oleh ketiga Kiai. Keadaannya luar biasa bersihnya hingga bayangan-bayangan tubuh orang yang berada di ruangan itu akan kelihatan samar-samar di lantai dan dinding serta atap. Ruangan itu berbentuk empat persegi. Di bagian tengahnya terdapat pelataran yang agak tinggi, berbentuk lingkaran. Inilah Arena Topan Utara!
Di tengah Arena terdapat sebuah meja kayu jati yang indah berukir-ukir dikelilingi empat buah kursi. Satu dari keempat kursi ini lebih bagus dan besar dari tiga lainnya. Di atas meja terdapat empat buah piala perak. Raja Rencong naik ke atas Arena dan duduk di kursi besar, memandang pada ketiga tamunya dan berkata,
"Silahkan mengambil tempat duduk!"
Ketiga Kiai duduk di masing-masing kursi. Kewaspadaan mereka semakin dipertebal. Tak seorang lain pun yang kelihatan.
"Sebelum kita bicara silahkan minum arak dalam piala!" Raja Rencong lalu mendahului meneguk arak dalam piala di hadapannya. Ketika dia meletakkan piala yang kosong itu di atas meja kembali matanya membeliak, "Kenapa kalian tidak mau minum?"
"Terima kasih! Agama kami tidak memperkenankan meneguk minuman keras macam begini" sahut Kiai Suhudilah.
"Agama mu-agama mu! Di sini kalian harus mengikuti aturanku dan menghormati diriku! Lekas minum!"
"Terima kasih. Lebih baik..."
"Apakah kau kira aku hendak meracuni kalian?!" sentak Raja Rencong mulai beringasan.
"Kami datang ke sini bukan untuk minum-minum" membuka mulut Kiai Tanjung Laboh. "Tapi untuk bicara! Untuk meminta pertanggungan jawabmu"
Raja Rencong menyeringai. Lalu matanya yang garang menyapu paras ketiga Kiai di hadapannya. Dan dari mulutnya mendesis suara pertanyaan, "Bicara hal apa dan pertanggungan jawab apa?!"
"Kurasa kau sudah cukup maklumi" jawab Kiai Suhudilah. "Tapi aku tak keberatan untuk mengatakannya blak-blakan padamu. Selama belasan tahun daerah utara ini aman tenteram! Namun sejak kau muncul maka di mana-mana timbul malapetaka, dimana-mana timbul keonaran! Kalau cuma malapetaka dan keonaran biasa itu bukan apa-apa tapi kau juga sekaligus mempunyai cita-cita untuk mendirikan sebuah Partai yang bertujuan jahat semata-mata!"
Sampai di situ Raja Rencong menukas. "Apakah menjadi hak orang lain untuk tidak tenang dengan cita-cita seseorang?!"
"Memang bukan hak orang lain! Tapi kalau cita-cita itu hendak dicapai dengan mengorbankan nyawa manusia yang tak mau tunduk dan ikut dalam Partaimu dengan jalan membunuh puluhan manusia tanpa kemanusiaan, maka itu adalah hak setiap orang untuk turun tangan. Di samping itu aku pribadi ingin meminta pertanggungan jawabmu atas kematian Wakil serta dua puluh orang penghuni Pesantren Suhudilah!"
Raja Rencong Dari Utara memuntir-muntir kumis kumisnya. Dalam pada itu Kiai Tanjung Laboh berkata pula, "Aku dan Kiai Selawah merasa mempunyai tanggung jawab untuk mengamankan dan menenteramkan daerah utara yang telah dilanda malapetaka besar itu! Karena itulah kami berdua datang menyertai Kiai Suhudilah!"
"Jika begitu katakan saja cara bagaimana kalian bertiga hendak turun tangan terhadap Raja Rencong Dari Utara!" kata Raja Rencong.
"Atas apa yang kau telah buat didunia luar dan di Pesantrenku, aku dan kawan-kawan berhak memisahkan batang lehermu dengan badan! Namun sebagai orang beragama kami masih mau memberikan ampunan dengan jalan hanya memotong kedua tanganmu sebatas siku!"
Raja Rencong Dari Utara kerenyitkan kening, mendelikkan mata lalu tertawa gelak-gelak hingga keempat dinding ruangan itu bergetar! Tangan kirinya mengusap-usap dadanya yang berbulu. Kyai Suhudilah keluarkan sebatang golok besar yang tajam luar biasa. Sehelai rambut yang dimelintangkan diatas mata golok lalu ditiup pelahan pastiakan putus!"
Terima kasih... terima kasih! Sungguh kalian bertiga manusia-manusia beragama yang baik budi dan punya pertimbangan yang adil!" kata Raja Rencong. Lalu sambungnya, "Karena kalian bertiga mau mengampuni jiwaku, maka akupun rela pula untuk tidak mencabut nyawa kalian meskipun akumempunyai aturan bahwa siapa yang berani datang kepulau ini pasti akan kubunuh! Karenanya kalian bertiga Iekas-lekas saja bunuh diri! Bagaimana cara terserah masing-masing kalian! Tentang jenazah kalian tak perlu dikhawatirkan! Danau yang mengitari pulau ini cukup layak menjadi kubur kalian!"
"Raja Rencong" ujar Kyai Suhudilah. "Kejahatanmu akan kami balas dengan keadilan! Itu sudah lebih dari layak! apakah kau masih hendak berkeras kepala mengikuti kesesatannya setan?!"
Raja Rencong Dari Utara berdiri dari kursinya sambil tertawa sedingin es. "Diberi kesempatan untuk bunuh diri, kalian tidak mau melakukan! Terpaksa tanganku yang bertindak. Perlahan lahan Raja Rencong angkat tangan kanannya. Lima jari yang dikembang kukunya kelihatan berubah merah kekuningan!
"Wuutttt...!"
Lima larik sinar merah kekuningan yang panasnya bukan seolah-olah menggempur ke arah tiga Kiai. Baiknya para Kiai ini sudah bersiap sedia sehingga begitu serangan ilmu kuku api dilancarkan maka ketiganya sudah melewat dari kursi masing-masing! Yang menjadi korban ialah tiga kursi bekas tempat mereka duduk. Ketiga kursi itu serta merta menjadi hitam hangus mengebul! Meski hati tergetar hebat melihat kehebatan kesaktian lawan namun ketiga Kiai sudah bertekad bulat untuk berkorban jiwa demi kemusnahan manusia biang malapetaka!
Serentak turun ketiganya langsung mencabut senjata dan menyerang dengan hebat! Kiai Suhudilah menyerang dengan sebuah tasbih Kumala Hijau, sedang tangan kiri memutar golok yang tadi hendak dipakai untuk memotong kedua lengan Raja Recong. Kiai Selawah menggempur dengan sebilah pedang biru sedang Kiai yang ketiga yakni Kiai Tandjung Laboh menghantam dengan sebuah kebutan yang berbentuk seperti sapu kecil.
Raja Rencong Dari Utara berdiri di tempatnya dengan sikap acuh tak acuh meski topan serangan melandanya. Yang hebat ialah jangankan tubuhnya, rambut atau pakaiannya pun tidak berkibar dilanda angin serangan para Kiai. Sesaat tiga ujung senjata akan 'mencium' dirinya, Raja Rencong Dari Utara gerakan tangan kanannya. Pedang, Tasbih Kumala Hijau dan Kebutan Sakti terpental kembali laksana menghantam benda karet yang atos. Berubahlan paras ketiga Kiai.
Raja Rencong Dari Utara tertawa mengejek. Tiba-tiba sekali tangan kanannya bergerak dan dari mulutnya yang tadi tertawa keluar seruan, "Makan jotosan selaksa palu godam ini!"
Meski sebelumnya berseru demikian rupa yang sekaligus memberi peringatan pada calon korbannya namun ketiga Kiai tak dapat melihat gerakan tangan lawan dan yang lebih hebat lagi mereka tak tahu siapa di antara mereka yang menjadi sasaran, demikianlah saking cepatnya gerakan serangan Raja Rencong Dari Utara.
Lalu terdengarlah suara 'Ngek'. Tubuh Kiai Selawah tertekuk ke muka sebentar lalu mencelat mental keluar Arena, menggeletak di lantai batu dengan perut pecah. Kiai Suhudilah dan Kiai Tanjung Lor tertegun terkesiap beberapa ketika lamanya!
"Kenapa termangu?! Kalian tokh akan menerima nasib macam dia pula?!" ujar Raja Rencong pula.
Kedua Kiai kertakan rahang. Pelipis-pelipis keduanya menggembung tanda mereka tak dapat lagim engendalikan amarah yang meluap! Kiai Suhudilah menyerang lebih dahulu dengan jurus silat Turki yang aneh gerakannya.
"Hemm... silat picisan dari negeri orang yang ditontonkan di depanku!" ejek Raja Rencong. "Sanggupkan ilmu silat Turki menerima pukulanku yang ini?!"
Dengan jari-jari tangan mengembang, Raja Rencong Dari Utara dorongkan tangan kanannya ke arah Kiai Suhudilah! Bacokan golok besar dan hantaman Tasbih Kumala Hijau tertahan dan mental. Bersamaan dengan itu satu gelombang angin yang luar biasa hebatnya menerpa tubuh Kiai Suhudilah! Kiai ini mengeluh dan mental ke luar Arena. Begitu terhantar di lantai batu tak berkutik lagi karena meski di luar tubuhnya tak kelihatan rusak namun di dalam dua balas urat-urat yang paling penting telah putus. Itulah kehebatan ilmu pukulan 'Topan Pemutus Urat'!
Semangat Kyai Tanjung Laboh seperti terbang menyaksikan kematian kedua, kawannya itu! Mukanya pucat tiada berdarah. Dan tiba-tiba Raja Rencong berpaling padanya dengan seringai maut bermain dibibir.
"Sesudah melihat tontonan ngeri itu apakah kau masih punya nyali? Bukankah lebih baik bunuh diri saja agar kau bisa mampus dengan enak?!"
"Demi Tuhan! Lebih baik mati dengan senjata ditangan dari pada melakukan kepengecutan" jawab Kyai Tanjung Laboh.
Seluruh tenaga dalamnya telah dialirkan keujung kebutan dan sekali dia menggerakkan senjata itu maka sepuluh jalan darah ditubuh Raja Rencong diancam bahaya maut! Anehnya Raja Rencong cuma ganda tertawa yang membuat darah Kyai Tanjung Laboh tambah meluap-luap! Sekejap lagi sambaran ujung kebutan akan melanda jalan-jalan darah ditubuh lawannya tiba-tiba tangannya terasa kesemutan dan kebutannya terpental lepas dari tangan!
Meski menyadari sepenuhnya bahwa Raja Rencong bukan lawannya namun dengan kalap Kyai Tanjung Laboh yang berhati jantan itu menyambar pedang Kyai Selawah yang tadi terjatuh dan dengan senjata itu dia menggempur habis-habisan! Hujan serangan menelikung tubuh Raja Rencong yang sama sekali tidak bergerak ditempatnya malah menanggapi serangan itu dengan tertawa-tawa.
Kyai Tanjung Laboh penasaran dan juga heran kenapa pedangnya sama sekali tak berhasil menyentuh bagian tubuh manapun dari lawannya! Tengah dia pergigih serangan tiba-tiba Raja Rencong berseru,
"Tiga jurus kau mencak-mencak sudah keliwat cukup! Lihat jotosan, awas kepalamu!" Meski sudah diperingatkan demikian rupa namun sewaktu pukulan 'Selaksa Palu Godam' menyerang kepalanya Kyai Tanjung Laboh tak sanggup berkelit. Dicobanya membabat lengan lawan dengan pedang. Tapi sudah tidak keburu! Kyai yang terakhir ini terbadai dilantai dengan kepala pecah, darah muncrat dan otak berhamburan!
********************
www.zheraf.com
TUJUH
Di atas sebuah batu dalam sebuah goa seorang laki-laki tua berjanggut dan berambut putih duduk bersila meramkan mata tengah bersemedi. Sejak tengah malam tadi dia bersemedi dan sampai matahari terbit di ufuk timur masih juga dia belum bergerak dari tempatnya. Menjelang tengah hari, jadi sesudah dua belas jam lamanya duduk bersemedi perlahan-lahan baru dia membuka kedua matanya.
Aneh dan juga menyeramkan! Ternyata kedua matanya berwarna putih keseluruhannya! Tapi dia tidak buta! Kakek ini menghela nafas dalam. Air mukanya keruh tanda ada sesuatu yang dipikirkannya dan apa yang dipikirkannya itu menimbulkan kesusahan dalam dirinya. Di dunia persilatan orang tua ini berjuluk Datuk Mata Putih.
Umurnya hampir mencapai tujuh puluh lima tahun. Tubuhnya kurus hanya tinggal kulit pembalut tulang. Namun kekuatannya tidak kalah dengan orang-orang yang berumur setengah abad dan menilik bagaimana batu tempat diaduduk bersemedi mencekung dalam, nyatalah bahwa orang tua ini memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi!
Setelah menghela nafas dalam sekali lagi dia berdiri dan melangkah ke mulut goa. Di luar goa pemandangan indah sekali. Betapa bahagianya menikmati keindahan alam ciptaan Yang Kuasa itu. Namun jauh di luar keindahan itu, hampir disegala penjuru Jagat raya bertebaran noda-noda hitam yang merusak keindahan! Noda-noda hitam itu ialah kejahatan, kecurangan, kekejian dan segala macam kemaksiatan!
Dan yang membuat orang tua ini untuk ketiga kalinya menghela nafas panjang dan dalam ialah karena seorang di antara manusia-manusia yang melakukan kejahatan dan kekejian itu adalah muridnya sendiri! Telah tiga bulan ini didengarnya tentang perilaku muridnya itu di luaran. Dan ini membuat dia terkejut serta merasa menyesal telah mempunyai murid seperti itu!
Apakah yang bisa dibuatnya selain meninggalkan pertapaan, mencari murid yang sesat itu lalu menghukumnya? Diam-diam dia merasakan penyesalan tambah mendalam bila dia ingat karena kepercayaan penuh terhadap sang murid, sebelum dilepas dari pertapaan dia telah menyerahkan Rencong Emas, sebuah senjata sakti luar biasa yang merupakan satu dari beberapa buah senjata mustika dunia persilatan!
Beberapa saat kemudian orang tua itupun berlalu meninggalkan pertapaan! Ilmu larinya hebat sekali hingga dalam waktu yang singkat sosok tubuhnya sudah lenyap di kejauhan. Bersamaan dengan lenyapnya sang surya di ufuk tenggelamnya, sesosok tubuh berkelebat dan berdiridi bawah atap bangunan tua yag terletak di Bukit Toba. Tanpa memandang berkeliling, tanpa bimbang ragu sedikitpun, orang ini melangkah cepat memasuki bangunan tua.
Dalam tempo yang singkat dia sudah berada di Arena Topan Utara yang terletak dibagian bawah bangunan tua! Segala sesuatunya diruangan luas itu berada dalam keadaan bersih. Namun orang yang memasuki ruangan tersebut tahu bahwa baru seminggu yang lalu tiga orang Kyai telah menemui kematiannya ditempat itu! Orang itu menggerakkan bibirnya sedikit. Maka menggemalah suaranya yang keras lantang menggetarkan seantero bangunan dan ruangan.
"Hang Kumbara aku datang!"
Belum habis kumandang gema suara itu, dari sebuah pintu didinding kanan muncullah seorang berpakaian ungu. Begitu melihat si orang tua, Iaki-laki berpakaian ungu ini berseru,
"Guru!" Dia melangkah cepat kehadapan si orang tua dan menjura dalam penuh hormat. "Sungguh satu kegembiraan bisa bertemu dengan guru. Mohon dimaafkan kalau murid sudah lama tak menyambangi guru hingga guru sendiri yang sampai berkunjung kesini!"
Orang tua itu atau bukan lain dari pada Datuk Mata Putih meneliti paras muridnya sejenak lalu tertawa rawan. "Kudengar kau sudah mendapat nama besar diluaran", kata Datuk Mata Putih.
"Ah, hanya nama dan gelar yang tak berarti guru. Marilah kita bicara dikamarku" kata Iaki-laki berpakaian ungu yaitu Raja Rencong Dari Utara. "Pandansuri ada disini?"
Sudah sejak sepuluh hari dia meninggalkan Pulau"
"Kalau begitu biar kita bicara disini saja"
"Baik guru. Tapi perkenankan murid menyuguhkan minuman lebih dahulu"
"Tak usah" sahut Datuk Mata Putih.
"Agaknya ada sesuatu hal penting yang amat mendesak hendak guru bicarakan" kata Raja Rencong Dari Utara.
"Hang Kumbara" Datuk Mata Putih menyebut nama asli Raja Rencong, "kurasa kau sudah bisa menduga maksud kedatanganku"
"Ah, murid yang bodoh ini mana mungkin bisa menduga, guru"
"Kedatanganku sehubungan dengan apa yang kudengar di luaran tentang kau. Apakah itu betul?!"
"Apakah yang guru dengar diluaran tentang diriku itu?"
Datuk Mata Putih merasa kurang senang bicara bersilat lidah begitu. Maka diapun berkata secara blak-blakan. "Kulepas kau dari pertapaan beberapa waktu yang lalu hanya dengan dua maksud! Pertama untuk mencari pembunuh ayahmu dan kedua untuk berbuat kebaikan diatas dunia ini! Tapi apa yang kau perbuat kemudiannya? Demi cita-cita besarmu kau membunuh belasan manusia, mendatangkan malapetaka dimana-mana. Nyatalah kau telah sesat dan aku sangat menyesal akan hal ini. Kuharap kau menyerahkan kembali Rencong Emas yang dulu kuberikan dan ikut aku kepertapaan untuk dikurung dalam goa selama sepuluh tahun!"
Sepasang bola mata Raja Rencong Dari Utara membelalak. "Guru apakah sesat namanya jika murid bercita-cita hendak mendirikan sebuah Partai didaerah Utara ini?"
"Tidak. Asal saja kau menempuh cara-cara yang wajar!"
"Murid telah mencobanya. Tapi tokoh-tokoh silat didaerah sini terlalu keras kepala dan tidak memandang sebelah matapun terhadap murid..."
"Kalau mereka tak mau masuk Partai mu, kau tidak layak memaksa, apalagi kalau sampai membunuh orang-orang yang tak berdosa itu!"
"Tapi harap guru maklum kenapa murid bertindak sampai demikian jauh"
"Terangkan alasan mu!" ujar Datuk Mata Putih pula.
"Murid merasa mempunyai dendam terhadap orang-orang dunia persilatan. Karena kalau tidak ada orang-orang pandai itu maka tak akan ayah menemui kematian dalam cara yang mengerikan! Dipenggal lehernya dan kepalanya ditancapkan di atas sebilah tombak di tengah-tengah pasar!"
"Aku tahu hal itu. Dan kau telah berhasil mencari serta membunuh manusia yang telah menewaskan ayahmu! Lantas kenapa kau menjadi tersesat?"
"Murid tidak merasa tersesat, guru! Orang-orang dunia persilatanlah yang telah sesat dan menyebabkan kebencian murid tiada batas lagi ternadap mereka! Sesudah menamatkan riwayat pembunuh ayah, beberapa orang tokoh silat mencari murid hendak balas dendam. Dendam seakan-akan adalah dosa besar bagi murid karena membunuh orang yang telah membunuh ayah! Mereka tak berhasil mencari murid! Dan guru tahu apa yang dibuat orang-orang berkepandaian tinggi itu?! Ibu dibunuh, adik-adikku dipancung satu demi satu! Dua orang adik perempuanku diperkosa lalu ditinggalkan begitu saja sampai mereka bunuh diri! Dan orang-orang pandai itu belum puas rupanya! Sampai-sampai calon istrikupun mereka rusak kehormatannya dan dibunuh! Ketika salah seorang dari mereka berhasil murid pecahkan kepalanya, seluruh keluarga calon istriku ditumpas! Kekejaman dan kebiadaban manakah yang lebih terkutuk dari itu?! Kata mereka, mereka adalah orang-orang pandai, tokoh-tokoh silat utama! Tapi kebejatan yang mereka lakukan! Salahkan kalau murid menanam rasa kebencian terhadap orang-orang pandai itu?! Sesatkah kalau murid membunuh belasan manysia yang bertanggung jawab atas kematian ibu, adik-adikku, calon istriku dan seluruh keluarganya?"
"Orang-orang yang bertanggung jawab atas semua itu jumlahnya hanya seper sepuluh saja dari jumlah manusia yang telah kau bunuh! Apa pertanggungan jawab atau alasanmu atas yang sembilan persepuluh lainnya? Yang kau bunuh tanpa pangkal sebab atau kesalahan atau dosa apapun juga?!"
"Sudah murid katakan bahwa murid bertekad untuk melenyapkan orang-orang pandai di dunia ini! Karena justru merekalah yang menjadi pangkal sebab segala kejahatan!"
"Sungguh picik jalan pikiranmu. Beberapa belas orang yang bersalah dan punya dosa tapi ratusan manusia yang kau jadikan korban! Aku tak dapat menerima alasanmu. Lekas serahkan Rencong Emas dan kau ikut aku kembali kepertapaan!"
Hang Kumbara atau Raja Rencong Dari Utara terkejut.Untuk beberapa ketika lamanya guru dan murid saling pandang memandang. Sekelumit senyum kemudian tersungging di bibir Hang Kumbara.
"Apakah ini suatu perintah, guru?" tanyanya.
"Lebih dari perintah" jawab Datuk Mata Putih tegas.
Senyum itupun lenyaplah dari bibir Raja Rencong. "Mohon dimaafkan. Kali ini murid tak dapat mengabulkan permintaan, tak dapat mematuhi perintah guru"
"Kau sudah tahu hukuman bagi seorang murid yang membangkang?!" tanya Datuk Mata Putih.
Sepasang matanya yang putih memandang tajam-tajam menyorot ke mata muridnya. Jika bukan Raja Rencong pastilah seseorang akan merasa bergidik dipandang begitu rupa oleh Datuk Mata Putih.
"Guru, harap kau mengerti kedudukan murid saat ini. Dalam waktu singkat murid hendak meresmikan berdirinya Partai Topan Utara dimana murid menjadi Ketuanya"
"Aku tidak perduli apa urusanmu, apa kedudukanmu! Sekali aku bilang serahkan Rencong Emas dan ikut kepertapaan maka kau harus patuh!"
Air muka Raja Rencong Dari Utara berubah total. Perubahan ini segera dimengerti oleh Datuk Mata Putih? Dan tanya orang tua ini,
Kau hendak melawan terhadap gurumu sendiri?!"
"Sungguh aneh kehidupan ini!" kata Raja Rencong tanpa memandang pada gurunya. "Tiap-tiap manusia terlalu mengurus kepentingan dirinya sendiri tanpa mau memperhatikan kepentingan orang barang sedikitpun! Karena kau memaksa sedang murid tak dapat mematuhi maka cukup pembicaraan sampai disini guru!" Raja Rencong Dari Utara menjura dan hendak berlalu dari hadapan Datuk Mata Putih.
"Aku menyesal mempunyai murid sesat macammu ini Hang Kumbara!" ujar Datuk Mata Putih.
"Dan murid juga menyesal menghadapi kehidupan macam begini!" kata Raja Rencong pula, lalu sambungnya, "biarlah penyesalan itu sama-sama kita bawa mati bila sudah tiba saatnya!"
"Mungkin memang begitu caranya memupus penyesalan" menyahuti Datuk Mata Putih. "Tapi bagiku penyesalan itu hanya bisa ditebus dengan menjatuhkan hukuman tegas terhadapmu!"
Raja Rencong Dari Utara menghentikan langkahnya dan memutar tubuh. Pandangan matanya tak berkesip. "Hukuman tegas macam apakah, guru?!"
"Mulai detik ini putus hubungan kita sebagai guru dan murid"
"Kalau begitu silahkan kau angkat kaki dari tempatku!" belalak Raja Rencong Dari Utara.
Paras Datuk Mata Putih kelam kemerahan. Dadanya bergejolak dan darahnya seperti mendidih karena marah. "Aku akan angkat kaki Hang Kumbara!" sahut Datuk Mata Putih.
"Tapi setelah lebih dulu memecahkan batok kepalamu!" Raja Rencong Dari Utara rangkapkan keduatangan dimuka dada lalu tertawa gelak-gelak. Arena Topan Utara bergetar dan diam-diam Datuk Mata Putih terkejut. Suara tertawa yang hebat itu berarti hebatnya pula tenaga dalam Hang Kumbara. Rupanya Hang Kumbara sudah maju tenaga dalamnya dari sejak dia meninggalkan pertapaan tempo hari.
"Kalau seorang guru hendak membunuh murid sendiri ditutup dengan topeng alasan sebagai kewajiban! Tetapi kalau seorang murid membuat kesalahan dikatakan murid sesat! Biarlah kau menamakan aku murid sesat karena dalam kesesatan itu kau sendiri sudah kesasar untuk mengantar nyawa kesini Datuk Mata Putih!"
Datuk Mata Putih serasa mau pecah kepala dan dadanya dilanda amarah! Sekali tubuhnya berkelebat maka diapun lenyap dan dua jari tangannya tahu-tahu sudah mendarat di dada Raja Rencong Dari Utara,melontarkan satu totokan yang luar biasa cepat dan lihay! Tapi kejut Datuk Mata Putih bukan olah ketika melihat Hang Kumbara masih berdiri ditempatnya, cuma terhuyung-huyung sebentar dan sambil tertawa mengejek!
Sama sekali tidak menjadi kaku tegang akibat totokan yang dilancarkan tadi! Kalau tidak manusia ini memiliki tenaga dalam yang tinggi mana mungkin dia sanggup menutup jalan darahnya melawan tenaga totokan yang besar itu?! Hanya dalam beberapa bulan saja turun dari pertapaan Hang Kumbara telah demikian jauh maju ilmu kepandaiannya! Tak mungkin hal ini terjadi kalau dia tidak berguru pada seorang sakti lainnya!
Maka sewaktu menyerang kedua kalinya, tak ayal agi Datuk mata Putih mengeluarkan jurus terhebat yang dimilikinya yaitu yang bernama, 'Dua Ekor Naga Keluar Dari Goa'. Jurus ini sengaja dikeluarkannya karena dia bermaksud untuk meringkus Hang Kumbara detik itu juga. Kedua tangan terpentang Iebar-lebar kemudian berkelebat dalam bentuk silang, satu memukul kearah perut dan satu lagi menjambak kearah rambut.
Kaki kanan ditendangkan kemuka untuk menghantam tulang kering lawan. Seseorang yang kena dipreteli. Oleh jurus yang hebat ini pasti tubuhnya bagian bawah akan terlontar kebelakang sedang rambut terJambak dan otot-otot perut menderita sakit yang luar biasa. Dalam keadaan begitu akan mudah untuk meringkus lawan!
Namun untuk kedua kalinya Datuk Mata Putihdibikin kaget. Kaget bukan saja karena Hang Kumbara sanggup mengelakkan serangannya itu tapi begitu mengelak begitu Hang Kumbara menyerangnya dengan jurus yang sama, malah jurus 'Dua Ekor Naga Keluar Dari Goa' yang dilancarkan oleh Hang Kumbara jauh lebih dahsyat dan mendatangkan angin laksana topan prahara!
Ini adalah satu hal yang tak pernah diduga oleh Datuk Mata Putih. Dengan segera sang Datuk keluarkan sehelai selendang putih yang merupakan senjata yang diandalkannya. Sekali kebutkan selendang itu maka musnahlah serangan Raja Rencong Dari Utara! Raja Rencong Dari Utara sudah tahu dan makum akan kehebatan senjata ditangan bekas gurunya. Meski senjata itu tidak sehebat Rencong Emas namuntak bisa dibuat main-main!
Sekali kepala kena terpukul pasti akan rangkah! Karenanya Raja Rencong Dari Utara pun segera mencabut Rencong Emas dari pinggangnya. Sinar kuning menerangi Arena Topan Utara!
"Datuk Mata Putih" kata Raja Rencong dengan seringai bermain dimulutnya. "Seandainya ini kau yang membuat! Hari ini kau sendiri akan menjadi korbannya! Betapa kau akan mampus penuh penyesalan karena telah membuat Rencong Emas ini!"
Ucapan itu membuat Datuk Mata Putih tambah mendidih amarahnya. Dengan cepat dan menyerang kembali. Selendang putih berkelebat kearah dada Raja Rencong kemudian bergerak laksana mematuk ketenggorokan dan sewaktu Raja Rencong mengelak, ujung selendang dengan cepat meliuk melibat Raja Rencong ditangan Raja Rencong Dari Utara!
Raja Rencong Dari Utara ganda tertawa. Bagaimanapun hebatnya selendang putih itu tak akan dapat menandingi Rencong Emas yang sakti. Karenanya begitu selendang hendak melibat senjatanya. Raja Rencong babatkan senjata itu dengan cepat, siap untuk merobeknya. Datuk Mata Putih juga sudah maklum apa yang terlintas dipikiran Hang Kumbara.
Pada saat Rencong Emas membabat, saat itu pula dia menggerakkan lengan kanannya. Ujung selendang laksana seekor ular menyelusup kebawah lalu naik lagi keatas dan menghantam Raja Rencong Dari Utara dengan amat kerasnya. Raja Rencong terbanting kebelakang sampai lima langkah. Dadanya sakit bukan main. Nafasnya sesak, wajahnya merah karena menahan sakit dan amarah.
Bagaimanapun hebatnya akibat pukulan ujung selendang tapi tidaklah sehebat yang diduga Datuk Mata Putih. Jangankan tubuh manusia, batang pohon besarpun akan hancur patah dilanda pukulan selendang itu! Tapi Hang Kumbara boleh dikatakan tidak mengalami sesuatu apapun! Tentu saja ini membuat Datuk Mata Putih jadi penasaran.
Selagi Hang Kumbara mengatur jalan nafas serta darah dan mengerahkan tenaga dalamnya kebagian dada yang sakit maka Datuk Mata Putih telah menyerangnya dengan jurus yang mematikan. Dengan mengandalkan kegesitan ilmu mengentengkan tubuh, Hang Kumbara berkelebat kian kemari dan dalam tempo yang singkat murid dan guru itu sudah bertempur sepuluh jurus!
Sinar putih dari selendang ditangan Datuk Mata Putih bergulung-gulung sedang sinar kuning Rencong Emas ditangan Hang Kumbara mencurah laksana hujan dan kedua senjata itu saling mengeluarkan angin yang teramat hebat. Kalau dalam sepuluh jurus itu Hang Kumbara mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat yang dipelajarinya dari Datuk Mata Putih dan dapat bertahan dengan gigih, maka dalam jurus-jurus berikutnya didahului oleh satu bentakan menggelegar Hang Kumbara merobah permainan silatnya yang jurus-jurusnya serba asing dan aneh bagi Datuk Mata Putih.
Demikian hebatnya jurus-jurus ini hingga dalam tempo yang singkat sang Datuk pun sudah terdesak hebat! Bagaimanapun sebatnya kebutan selendang saktinya, bagaimanapun rapatnya pertahanan namun Datuk Mata Putih tiada sanggup membebaskan diri dari telikungan senjata lawan, apalagi untuk balas menyerang. Dalam jurus kedelapan belas terdengar keluhan Datuk Mata Putih. Ujung Rencong Emas merobek pakaiannya dan melukai jidatnya!
Meski luka itu tidak berapa dalam namun karena Rencong Emas bukan senjata sembarangan maka bekas luka mendatangkan hawa panas yang mengalir kesekujur tubuh dan mempengaruhi gerakan-gerakannya. Dia mulai gugup dalam posisi bertahannya. Tusukan kedua menggores pelipisnya. Darah mengucur menutup mata kanannya. Datuk Mata Putih semakin kepepet. Dalam keadaan putus asa orang tua itu menyerbu dengan kalap.
Selendang menderu, tangan kiri menghantamkan pukulan tangan kosong yang mendatangkan angin ratusan kali beratnya sedang kaki kanan bergerak dalam satu tendangan kearah selangkangan Raja Rencong Dari Utara! Ini betul-betul satu serangan yang mematikan. Jika saja lawan yang diserang tingkat kepandaiannya berada disebelah bawah pastilah dia akan konyol.
Namun keadaan Datuk Mata Putih yang menyerang dengan kalap itu adalah satu hal yang sia-sia. Meski tendangannya berhasil juga menghantamkan pinggul kiri Raja Rencong namun orang tua ini terpaksa menerima satu tikaman yang keras didada kirinya, tepat pada jantungnya. Tak ampun lagi begitu Rencong Emas dicabut begitu Datuk Mata Putih terkapar dilantai.
Kedua matanya yang putih berputar-putar sebentar, kakinya bergerak-gerak. Tapi kemudian tak satu bagian tubuhnya pun yang bisa berkutik lagi. Betapa mengenaskannya seorang guru menemui kematian ditangan muridnya sendiri dan ditusuk dengan senjata ciptaannya sendiri.
********************
www.zheraf.net
DELAPAN
Di lereng Gunung Sinabung ada sebuah bangunan kecil yang atapnya berbentuk puncak mesjid. Itulah tempat kediaman Panglima Sampono, seorang laki-laki berumur enam puluh tahun yang dianggap gagah perkasa dan sakti oleh penduduk disebelah timur daratan Pulau Andalas.
Adapun Panglima Sampono ini dulunya adalah seorang pendatang dari selatan yang telah berjasa besar dalam mengusir pasukan asing yang mendarat dipantai Pulau Andalas sebelah timur, yang bermaksud hendak merampas beberapa daerah subur dan kaya raya.
Sampono kemudian diangkat oleh Sultan Deli menjadi kepala Balatentara dan diberikan pangkat Panglima. Pada umur lima puluh tahun dia mengundurkan diri namun demikian sampai saat itu semua orang dan Sultan sendiri masih menyebutnya sebagai Panglima. Sejak mengundurkan diri Panglima Sampono berdiam dilereng Gunung Sinabung, mempertekun diri dalam urusan akhirat serta memperdalam ilmu silat dan kesaktiannya.
Bila terjadi huru-hara dikesultanan Deli, Sultan mengirimkan utusan untuk minta bantuan Panglima Sampono menumpas huru-hara itu Panglima Sampono tidak jarang pula turun dari Gunung Sinabung secara diam-diam dan menghancurkan manusia-manusia jahat seperti perampok, bajak lautdan lain sebagainya.
Didalam bangunan kecil yang atapnya berbentuk puncak mesjid itu duduklah Panglima Sampono bersama tiga orang tamunya. Ketiganya datang dengan maksud yang sama dan ketiganya adalah tokoh-tokoh dunia persilatan yang cukup terkenal, ditakuti oleh kaum hitam dibagian Utara Pulau Andalas.
Yang pertama ialah Datuk Nan Sabatang, seorang tokoh silat berbadan tinggi besar, berkumis melintang. Dan kedua Lembu Ampel, tokoh silat berasal dari tanah Jawa tapi telah sejak dua tahun menetap di Pulau Andalas. Antara Lembu Ampel dan Datuk Nan Sabatang terjalin hubungan erat karena adik kandung Datuk Nan Sabatang kawin dengan Lembu Ampel. Kemudian orang yang ketiga berasal dari Malaka, bernama Sebrang Lor.
Seperti telah diterangkan diatas kedatangan ketiga orang itu ketempat Panglima Sampono membawa maksud yang sama yaitu yang ada sangkut pautnya dengan merajalelanya perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan oleh Raja Rencong Dari Utara. Berkata Sebrang Lor,
"Petualangan Raja Rencong sudah sampai pula ke Malaka. Empat tokoh silat di Malaka dibunuh dengan kejam ketika mereka menolak untuk tunduk dan masuk kedalam Partai Topan Utara. Entah berapa belas orang lainnya yang juga telah dibunuh oleh Raja Rencong, diantaranya enam orang adalah teman-temanku sendiri. Juga Raja Rencong pernah melarikan dua orang gadis dan kedua gadis itu tak diketahui nasibnya sampai sekarang, apa masih hidup atau sudah mati. Boleh dikatakan pertolongan Tuhanlah yang masih menyelamatkanku sewaktu aku dan beberapa orang kawan bertempur dengan Raja Rencong. Kawan-kawanku mati semua, aku sempat menyelamatkan diri. Tapi beberapa hari kemudian kudengar keluargaku ditumpas oleh manusia laknat itu!"
Sebrang Lor menghentikan penuturannya sebentar untuk menghela nafas dalam dan menenangkan hati serta darahnya yang bergejolak, lalu baruia meneruskan, "Meski mungkin ilmu silatku masih terlalu rendah untuk menghadap Raja Rencong, namun dendam kesumat tak bisa kupendam lebih lama. Itulah sebabnya aku menyeberang kesini mencari beberapa kawan untuk bersama-sama membalas dendam sakit hati. Ternyata kejahatan Raja Rencong di Pulau Andalas sebelah Utara ini lebih hebat dan bejad lagi! Namun demikian aku bersyukur karena telah berhasil menemui Datuk Nan Sabatang serta Lembu Ampel. Dan hari ini berhadapan pula dengan Panglima Sampono! Demi kebenaran dan demi ketenteraman hidup dunia persilatan kiranya Panglima Sampono tidak keberatan ikut bersama-sama kami menumpas biang malapetaka itu!"
Panglima Sampono merenung sejenak lalu menjawab, "Memang kejahatan dan kesewenang-wenangan Raja Rencong Dari Utara sudah sejak beberapa bulan ini kudengar sudah melewati takaran. Tak bisa didiamkan lebih lama. Bahkan mungkin saudara Sebrang Lor tidak percaya kalau kuterangkan bahwa Raja Rencong Dari Utara sudah demikian gilanya sehingga gurunya sendiripun dibunuh!"
Sebrang Lor terkejut, demikian pula Datuk Nan Sabatang serta Lembu Ampel. "Gurunya yang mana, Panglima?" tanya Lembu Ampel.
"Kabarnya dia tidak cuma punya seorang guru!"
"Guru yang pertama. Yang bernama Datuk Mata Putih!" sahut Panglima Sampono pula.
Terbelalaklah mata Seberang Lor. "Datuk Mata Putih ilmu silatnya tinggi dan sakti sekali!" kata Seberang Lor pula dan diam-diam dia membathin bahwa mungkin kalau berhadapan dengan orang tua itu dia cuma sanggup bertahan sampai dua puluh jurus!
"Tapi kita jangan lupa" menyahut Lembu Ampel.
"Disamping Datuk Mata Putih, Raja Rencong juga telah berguru dengan seorang sakti lainnya yang sampai saat ini tidak diketahui siapa adanya"
Seberang Lor mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia memandang berkeliling lalu berkata, "Nyatalah manusia itu tinggi kesaktiannya. Disamping sakti juga berhati luar biasa jahatnya. Namun aku yakin, berempat kita pasti dapat menyingkirkannya dari bumi Tuhan ini!"
"Bukan aku mematahkan semangat kalian" berkata Panglima Sampono, "bukan pula hendak merendahkan ketinggian ilmu silat dan tenaga dalam saudara bertiga. Kemudian bukan pula hendak berpangku tangan, namun sekalipun kita berempat, belum tentu dapat dengan mudah menghadapi Raja Rencong Dari Utara. Ketinggian ilmunya sukar dijajaki! Yang paling berbahaya ialah senjatanya sebilah Rencong Emas dan ilmu pukulan yang bernama ilmu pukulan kuku api!"
Semua orang berdiam diri beberapa lamanya. "Lalu apa daya kita?" bertanya Datuk Nan Sabatang.
Memang diantara mereka Panglima Sampono paling dihormati karena ilmunya yang tinggi dan pangkat yang pernah dijabatnya. Ketiga orang itu mengharapkan jawaban sang Panglima.
"Untuk menghadapi Raja Rencong, tak bisa tidak harus mempergunakan akal. Menurut pengetahuanku Raja Rencong Dari Utara mempunyai seorang anak perempuan yang sudah gadis remaja. Gadis ini senang mengelana seorang diri. Meski dia mendapat pelajaran ilmu silat dan ilmu kesaktian langsung dari Raja Rencong, tapi ilmunya belum berapa tinggi. Kita cari gadis itu dan menawannya hidup-hidup. Lalu kirimkan seorang utusan atau surat pada Raja Rencong dan suruh dia menyerah. Sementara itu kita berusaha pula menemui beberapa orang tokoh silat lainnya untuk menambah kekuatan. Meski anaknya kita tawan tapi manusia macam Raja Rencong bukan mustahil mau mengorbankan keselamatan anaknya agar dapat membasmi kita!"
Semua orang menyetujui akal Panglima Sampono. Setelah dirundingkan lebih masak maka rencanapun diaturlah.
********************
www.zheraf.com
Satu hari kemudian keempat orang itu turun dari lereng Gunung Sinabung. Sinar matahari yang tadi panas terik kini memudar kilauannya. Langit yang tadi cerah kini mendung tertutup awan hitam yang berarak dari jurusan utara ditiup angin keras. Agaknya tak lama lagi akan segera turun hujan lebat. Dikaki bukit yang sebelumnya diselimuti kemendungan dan kesunyian itu Iapat-lapat terdengar suara derap kaki kuda datang dari jurusan timur.
Makin lama makin keras. Dari pengkolan jalan kemudian muncullah seorang penunggang kuda berwarna coklat. Kuda ini agaknya bukan kuda biasa. Disamping tubuhnya yang besar tinggi, larinya pun laksana anak panah lepas dari busurnya. Dalam waktu yang singkat binatang dan penunggangnya sudah meninggalkan pengkolan tadi sejauh dua puluh tombak!
Kini kuda dan penunggangnya siap memasuki lagi sebuah pengkolan tajam. Meski pengkolan itu demikian patahnya namun si penunggang tidak berusaha untuk memperlambat lari kuda coklat. Debu dan pasir beterbangan. Sesaat lagi kuda bersama penunggangnya itu hendak memasuki pengkolan tajam mendadak laksana melihat setan, kuda coklat meringkik keras dan mengangkat kedua kaki depannya keatas tinggi-tinggi.
Sepasang kakinya yang sebelah belakang kaku tak bisa bergerak laksana dua buah patok yang ditancapkan kedalam tanah. Si penunggang yang hampir saja hendak dilemparkan dari punggung binatang itu terkejut bukan main dan cepat-cepat melompat turun. Dia memandang kedepan lalu memandang berkeliling. Tak satu makhluk hidup pun yang tampak. Orang ini kemudian berlutut untuk memeriksa kedua kaki kuda tunggangannya.
Untuk kedua kalinya dia menjadi kaget sewaktu mendapati sepasang kaki kuda disebelah belakang itu berada dalam keadaan kaku tegang akibat totokan-totokan hebat! Ditanah tak jauh dari kaki-kaki kuda kelihatan dua buah jambu klutuk. Pasti benda inilah yang telah dipakai untuk menotok kaki-kaki kuda tersebut. Dengan gemas orang itu melepaskan kedua totokan itu lalu berdiri, memandang berkeliling dan membentak.
"Bangsat rendah yang berani kurang ajar lekas unjukkan diri!"
Suara bentakan itu melengking keras menggetarkan seantero kaki bukit dan itu adalah suara bentakan orang perempuan! Dan memang penunggang kuda coklat berpakaian ungu itu, meski parasnya ditutup dengan sehelai kerudung, namun dari potongan tubuh serta rambut panjang yang menjenguk dikuduknya akan sangat mudah dikentarai bahwa dia adalah seorang perempuan!
Tiba-tiba dari sebuah tebing yang terletak dipengkolan tajam yang tingginya kira-kira delapan tombak berkelebat dua sosok tubuh manusia. Belum lagi kedua orang ini menjejakkan kaki masing-masing ditanah, dari jurusan lain berkelebat lagi dua bayangan manusia dan sesaat kemudian empat orang Iaki-laki telah berada disitu dalam posisi mengurung si baju ungu ditengah-tengah! Si baju ungu mendengus marah dibalik kerudungnya.
"Siapa kalian?!" bentaknya.
Salah seorang dari keempat manusia itu maju selangkah dan berkata, "Jawab dulu apakah kau anaknya Raja Rencong Dari Utara itu atau bukan?!"
Sepasang alis dibalik kerudung mengerenyit dan dua bola mata yang tajam memandang meneliti keempat Iaki-laki dihadapannya. "Ada maksud apa kalian terhadap anak perempuan Raja Rencong?!"
"Jawab dulu pertanyaanku tadi!"
"Keparat!" Aku memang Pandansuri, anak Raja Rencong Dari Utara!" jawab perempuan itu dengan garang. Lalu bentaknya, "Kalian berempat mau apa?!"
"Ah kawan-kawan akhirnya berhasil juga kita menemui gadis ini" kata Iaki-laki tadi yang bukan lain Seberang Lor adanya. "Ketahuilah kami berempat sudah sejak lama mencarimu untuk diculik! Sebenarnya mungkin kau tidak punya salah apa-apa. Tapi akibat dosa-dosa bapakmu, terpaksa kau kami culik!"
"Kalau begitu kalian adalah bangsat-bangsat pengecut yang tak berani berhadapan langsung dengan bapakku!" tukas Pandansuri. "Kalian mau menculik aku silahkan! Tidak semudah itu untuk menculik anak Raja Rencong Dari Utara!"
Seberang Lor dan ketiga kawan-kawannya yaitu Panglima Sampono, Lembu Ampel dan Datuk Nan Sabatang saling memberi tanda lalu menyerbu dari empat jurusan menyerang kesatu sasaran yaitu Pandansuri!
"Dengan keluarkan tertawa mengejek Pandansuri jejakkan sepasang kakinya ketanah dan sekejap kemudian tubuhnya yang ramping itu melesat keatas tinggi lima tombak! Dari atas dia gerakkan kesepuluh jari-jari tangannya sekaligus. Maka sepuluh larikan sinar kuning kemerahan mencurah kearah Panglima Sampono dan kawan-kawan!"
SEMBILAN
"Pukulan Kuku Api" seru Sampono. "Lekas menyingkir!"
Keempat tokoh silat itu sebenarnya bisa balas menghantam langsung keatas namun mereka belum mengetahui sampai dimana ketinggian tenaga dalam lawan. Hingga kalau mereka tak menyingkir dan tenaga dalam lawan lebih tinggi sedikit saja dari mereka pastilah mereka akan celaka. Keempatnya melompat kebelakang sejauh tujuh langkah lalu sekaligus menghantamkan tangan kanan keatas!
Empat gelombang angin keras laksana angin punting beliung menerpa satu jengkal diatas kepala Pandansuri. Panglima Sampono dan kawan-kawan sengaja menyerang bagian satu jengkal diatas kepala sigadis karena mereka hendak memaksa gadis itu turun ketanah kembali untuk kemudian diringkus hidup-hidup.
Pandansuri memang tak ada jalan lain, terpaksa melayang turun kebawah. Tapi dia tidak bodoh dan sudah maklum maksud ke empat lawannya. Maka begitu melayang turun untuk kedua kalinya dia menebar pukulan Kuku Api yang dahsyat itu kearah keempat lawannya.
Kalau tadi Panglima Sampono melompat kebelakang untuk menghindari pukulan maut yang membuat tanah berlobang besar dan hangus itu, maka kini keempatnya melompat kemuka dan serentak dengan itu masing-masing mereka lalu melompat keatas. Datuk Nan Sabatang serta Seberang Lor melancarkan dua buah totokan sedang Panglima Sampono dan Lembu Ampel ulurkan sepasang tangan mereka untuk meringkus Pandansuri hidup-hidup.
Pandansuri tidak menyangka kalau keempat lawan akan berani menyelusup kemuka dibawah deru sinar serangannya. Pada saat pukulan kuku api itu melanda tanah, membuat tanah terbongkar dan hangus hitam maka dia lebih tak menduga lagi karena saat itu cepat sekali tahu-tahu keempat lawannya sudah berada dekat sekali disampingnya melancarkan dua totokan dan dua serangan meringkus!
Padahal posisinya saat itu dalam keadaan yang tak menguntungkan. Sebagai seorang yang menerima langsung pelajaran dari Raja Rencong tentu saja tingkat kepandaian Pandansuri meski tak bisa disejajarkan dengan ayahnya tapi telah mencapai tingkat tinggi. Tahu dirinya sudah kepepet namun gadis ini tak kehilangan akal. Mengelak mungkin kasip dan mungkin salah satu dari serangan lawan akan berhasil juga bersarang ditubuhnya.
Kalaupun dia kena dihantam dia harus pula dapat balas menghantam sekurang-kurangnya seorang dari keempat lawannya. Maka tak ayal lagi Pandansuri kembangkan kedua telapak tangannya lalu tubuhnya berputar laksana titiran, tangannya menyambar seperti baling-baling dari angin laksana topan menderu menerpa keempat tokoh silat. Itulah pukulan 'Selaksa Palu Godam' yang dilancarkan dalam jurus yang bernama 'Titiran Dewa Menjulang Langit'.
Panglima Sampono dan kawan-kawan tiada menduga kalau si gadis akan balas menyerang kalap begitu rupa. Lembu Ampel, Datuk Nan Sabatang dan Seberang Lor yang ragu-ragu untuk mengadakan bentrokan pukulan segera menarik pulang serangan mereka. Sebaliknya Panglima Sampono yang merasa sudah kepalang tanggung lipat gandakan tenaga dalamnya dan membabat lengan Pandansuri! Bentrokan lengan tak dapat dihindarkan lagi.
"Buukkk...!"
Dua lengan beradu mengeluarkan suara keras. Panglima Sampono merasa tangannya sakit bukan main dan tubuhnya terjajar kebelakang sampai lima langkah. Sebaliknya Pandansuri mengeluh dalam hati menahan sakit sedang tubuhnya mental sampai enam langkah!
Kini maklumlah Panglima Sampono dan kawan-kawan. Tingkat tenaga dalam sigadis nyatanya hanya sedikit saja berada dihawahnya! Karena ketiga orang lainnya itu hanya satu tingkat saja lebih rendah tenaga dalamnya dari Panglima Sampono maka ketiganya menjadi bernyali besar dan bersama-sama dengan sang panglima mereka kembali menggempur Pandansuri!
Pertempuran empat lawan satu berkecamuk dengan hebatnya. Berkali-kali Pandansuri merubah jurus-jurus ilmu silatnya. Setiap gerakannya cepat dan aneh serta mempunyai lima sampai delapan pecahan yang hebat. Namun sampai jurus kedua puluh tetap saja gadis ini tak dapat menguasai jalannya pertempuran malah jurus demi jurus selanjutnya dia mulai terdesak.
Hanya kegesitan dan ilmu meringankan tubuhnya yang lebih tinggi tingkatnya dari keempat lawannya itulah yang menyelamatkan Pandansuri dari dilanda hantaman pukulan lawan. Namun sampai berapa lamakah Pandan suri akan dapat bertahan? Sampai berapa jurus dimuka dia bisa mengandalkan kegesitan dan ilmu meringankan tubuhnya? Satu ketika, cepat atau lambat pasti salah satu lawannya akan berhasil menghajarnya dan celakalah dia.
Pada jurus ketiga puluh dua, gadis ini tak sanggup lagi bertahan. Dia segera terdesak total. Sebelum kasip Pandansuri menggerakkan tangannya kepinggang. Sesaat kemudian mencurahlah sinar putih yang mendatangkan angin dingin menggidikkan, membuat keempat tokoh silat tersuruk dan terkejut.
Ketika memandang kedepan ternyata sigadis telah mencabut sebilah rencong perak. Saat itu udara semakin mendung. Awam hitam tebal menutupi hampir seluruh langit disekitar kaki bukit sedang angin bertiup makin besar. Hujan rintik-rintik telah mulai turun.
"Manusia-manusia keparat! Batas kesabaranku sudah lewat. Mulai detik ini jangan harap kalian bisa lolos dari lobang jarum kematian!"
Ucapan Pandansuri itu disusul oleh gelegar guntur yang menggetarkan bumi. Dan dalam kejap itu maka turunlah hujan yang bukan alang kepalang lebatnya! Didahului lengkingan yang tak kalah hebatnya oleh suara guntur. Pandansuri melompat kemuka, menebar empat serangan sekaligus dalam jurus yang dinamakan 'Empat Ekor Naga Menggempur Sang Surya'.
Bagi Panglima Sampono dan kawan-kawan, jurus yang bernama 'Empat ekor naga menggempur sang surya' itu tidak mengkhawatirkan mereka. Yang membuat mereka harus berhati-hati ialah senjata ditangan sigadis. Dari sinar dan hawa yang keluar dari rencong perak itu nyata bahwa senjata itu adalah sebuah senjata mustika yang tak bisa dibuat main. Maka Panglima Sampono segera keluarkan pula senjatanya yaitu sebuah tombak pendek yang ujungnya bercagak dua.
Datuk Nan Sabatang menghunus sebilah keris berwarna biru. Seberang Lor mencabut pedang berkeluk sedang Lembu Ampel meloloskan sebuah rantai berduri. Dibawah hujan lebat yang sekali-sekali diseling oleh suara guntur dan sabungan kilat maka kelima orang itu bertempur dengan hebat! Panglima Sampono dan kawan-kawan meski serangan mereka kelihatan hebat namun keempatnya tidak berniat untuk mencelakai Pandansuri, sebaliknya mendesak sampai akhirnya mereka punya kesempatan untuk meringkus si gadis hidup-hidup!
Dilain pihak Pandansuri yang diam-diam mengetahui maksud Iawan-lawannya itu dan yang tadi bertempur dengan segala kehebatannya yang ada maka kini semakin memperderas serangannya hingga cukup menyukarkan juga bagi Panglima Sampono dan kawan-kawan untuk melaksanakan niat mereka. Tapi itu tidak berjalan lama. Setelah berulang kali dibawah hujan lebat itu terjadi bentrokan senjata maka dalam satu gerakan yang gesit lihay Panglima Sampono berhasil menyusupkan tombak bercagaknya kebadan rencong yang ditangan Pandansuri.
Gadis ini cepat-cepat menarik tangannya tapi terlambat. Cagak dari tombak besi ditangan Panglima Sampono berputar lebih cepat dan terlepaslah rencong perak itu dari tangan Pandansuri. Panglima Sampono menyabut senjata itu dengan tangan kiri!Penuh kalap Pandansuri menyentikkan lima jari tangannya ke arah Panglima Sampono, melancarkan pukulan kuku api! Tapi dari samping menabas pedang berkeluk Seberang Lor. Mau tak mau anak Raja Rencong Dari Utara itu batalkan serangannya kecuali kalau dia, mau kehilangan lima jari tangan kanannya itu!
"Sebaiknya kau menyerah saja!" kata Seberang Lor. "Niscaya kami akan perlakukan kau secara baik-baik!"
"Keparat! Lebih baik mampus dari pada menyerah!" bentak Pandansuri!
Dia melompat kearah sebatang cabang sebesar lengan yang panjangnya kurang dari satu meter dan terus menyerbu Panglima Sampono dan kawan-kawannya. Dengan cabang pohon yang penuh dengan ranting-ranting itu, Pandansuri menyerang dalam jurus 'Raja Naga Mengamuk'
"Dara tolol!" gerutu Panglima Sampono.
Dia memberi isyarat pada ketiga kawan-kawannya dan serentak keempat orang itu menyerbu kembali. Dan dibawah hujan lebih itu dilanjutkanlah pertempuran empat lawan satu yang hebat itu.
Pada waktu langit disekitar bukit tertutup awan gelap dan udara menjadi mendung, dikaki bukit sebelah timur seorang, pemuda berjalan seenaknya. Tampaknya dia cuma lenggang kangkung biasa saja namun luar biasa dalam tempo yang singkat dia sudah meninggalkan kaki bukit sebelah timur itu dan mencapai sebuah jalan buruk. Angin bertiup keras melambai-lambaikan pakaian putih serta rambutnya yang gondrong. Mendongak keatas langit pemuda itu berkata dalam hati,
"Celaka! Kalau hujan turun aku bisa basah kuyup!"
Sambil berjalan cepat itu dia memandang kian kemari mencari-cari tempat yang baik untuk kelak berteduh bila hujan turun. Lapat-lapat jauh dimuka sana telinganya yang tajam mendengar suara ringkikan kuda. Cuma ringkikan kuda, pikir pemuda ini dan dia terus juga lenggang kangkung seenaknya, debu dan pasir jalanan beterbangan dibelakangnya. Semakin jauh menempuh jalan itu telinganya kembali menangkap suara didepan sana. Kali ini bukan suara ringkikan kuda lagi tapi suara bentakan-bentakan.
Si pemuda mempercepat jalannya. Hampir sepeminum teh jelas sudah baginya bahwa ditempat atau diarah yang ditujunya itu tengah terjadi pertempuran karena telinganya menangkap suara beradunya senjata. Ketika dia sampai dekat sebuah tikungan tajam meskipun dia sudah menduga tadi bahwa disitu terjadi pertempuran, tapi adalah tidak disangkanya sama sekali kalau yang bertempur itu adalah seorang perempuan berpakaian dan berkerudung ungu melawan empat orang Iaki-laki.
Melihat kepada potongan tubuh serta kegesitannya si pemuda segera bisa memastikan bahwa perempuan itu masih muda. Meski muda tapi dengan gerakannya yang gesit serta ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi si gadis masih dapat mengimbangi serangan keempat lawannya!Gadis berpakaian ungu itu memegang sebilah rencong perak sedang Iawan-lawannya yang mengeroyok bersenjatakan tombak pendek bercagak dua, pedang,keris dan rantai berduri.
Sewaktu melihat pertempuan ini yang bukan saja tidak seimbang tapi juga karena empat Iaki-laki melawan seorang dara muda, maka memakilah si pemuda berambut gondrong. Hati kesatrianya bergejolak untuk segera turun tangan membantu sigadis. Namun setelah memperhatikan sejenak dan melihat kenyataan bahwa gadis berkerudung ungu itu dengan rencong mustikanya dapat mengimbangi kehebatan ilmu silat empat orang lawannya yang tangguh itu, maka si pemudamembatalkan niatnya dan melompat kesebuah tebing untuk menikmati jalannya pertempuran yang seru itu!
Jurus demi jurus berlalu penuh ketegangan. Si pemuda rambut gondrong diatas tebing melihat bagaimana dara berbaju ungu mulai terdesak oleh tekanan-tekanan serangan keempat lawannya. Sementara itu hujan rintik-rintik mulai turun dan kemudian berganti dengan hujan lebat. Kilat sambar menyambar sedang guntur gelegar-menggelegar! Si pemuda diatas tebing kalau tadi dia cemas akan kehujanan kali ini sama sekali tidak memperdulikan hujan yang mengguyurnya hingga basah kuyup dari rambut sampai kekepala!
Si pemuda mengatupkan mulutnya rapat-rapat ketika dalam satu jurus yang berkecamuk hebat salah seorang pengeroyok yaitu yang bersenjatakan tombak besi pendek bercagak dua berhasil menjepit dan memutar senjata si gadis hingga rencong perak itu terlepas mental dan dirampas. Si gadis agaknya marah sekali melihat senjatanya berhasil dirampas lawan lalu menjentikkan kelima jarinya kemuka. Lima sinar merah kekuningan menderu. Tapi sang dara terpaksa menarik pulang tangannya karena salah seorang lawan menebas dengan pedang.
"Ilmu pukulan gadis itu kelihatannya hebat sekali!" berkata sipemuda diatas tebing dalam hatinya. Dibawahnya sementara itu terdengar suara bentakan salah seorang pengeroyok.
"Sebaiknya kau menyerah saja! Niscaya kami akan memperlakukan kau secara baik-baik"
Si gadis terdengar memaki lalu laksana seekor burung walet melompat ke udara, mematahkan sebuah cabang pohon dan melayang turun kembali menyerbu keempat lawannya!
"Gadis hebat!" kata pemuda diatas tebing. "Nyali besar, kepandaian tinggi sayang parasnya ditutup!"
Dibawah hujan lebat itu pertempuran berkecamuk kembali. Namun bagaimanapun hebatnya si gadis memainkan cabang pohon itu sebagai senjatanya, lambat laun, jurus demi jurus cabang kayu itupun gundul daunnya dan semakin pendek akibat tebasan-tebasan senjata keempat lawannya. Disatu gebrakan yang tegang, Iaki-laki yang memegang rantai berduri berhasil menghancurkan cabang pohon ditangan sigadis hingga untuk kedua kalinya kini sang dara bertangan kosong!
"Apakah kau masih belum mau menyerah secara baik-baik?"
Si pemuda diatas tebing mendengar Iaki-laki yang bersenjatakan tombak pendek bertanya pada sigadis.
"Lebih baik mampus dari menyerah pada tikus-tikus macam kalian!" semprot si gadis lalu menggerakkan kedua tangannya. Sepuluh larik sinar merah kekuningan menderu dibawah lebatnya hujan!
Keempat pengeroyok melompat mundur lalu secepat kilat menyerbu kembali. Dan kali ini sang gadis tak punya daya lagi untuk bertahan. Dalam satu jurus yang penuh ketegangan kaki sang dara terpeleset. Tubuhnya terbanting kekiri. Pemuda rambut gondrong diatas tebing memencongkan hidungnya lalu garuk-garuk kepala. Laksana anak panah lepas dari busurnya dia melesat turun. Suara bentakannya mengalahkan deru hujan lebat,
"Manusia-manusia edan! Masakan beraninya mengeroyok seorang perempuan! sungguh tidak bermalu!"
Keempat orang itu terkejut. Belum habis kejut mereka tahu-tahu satu gelombang angin menerpa dan tubuh mereka terbanting kebelakang sampai lima enam langkah. Gadis baju ungu tak menyia-nyiakan kesempatan segera melompat keluar dari kalangan pertempuran!
SEPULUH
Marah ke empat orang itu bukan kepalang. "Pemuda lancang!" maki Sebrang Lor. "Ada urusan apa kau berani mencampuri persoalan orang lain?!"
Sipemuda garuk-garuk kepalanya yang basah kuyup dan menjawab sambil senyum-senyum seenaknya, "Empat orang Iaki-laki bersenjata mengeroyok seorang perempuan bertangan kosong, apakah itu bukan satu hal yang memalukan?!"
"Apakah itu menjadi hak mu untuk ikut campur?!"
"Lantas hak apakah yang membuat kalian melakukan pengeroyokkan?!" balas bertanya si pemuda.
Saking marahnya Sebrang Lor hendak buka suara mengatakan sesuatu tapi Panglima Sampono memberi isyarat. Panglima Sampono kemudian berkata dengan nada tenang, "Orang muda, barangkali kau ada hubungan apa dengan gadis ini?!"
Si pemuda menggeleng. "Aku menolongnya karena tidak suka melihat tindakan kalian yang terlalu pengecut! Yang sama sekali tidak memegang aturan dunia persilatan!"
Panglima Sampono tersenyum. "Kuhargai hati satriamu, kuhormati nyali jantanmu. Tapi apakah kau tahu siapa gerangan adanya gadis ini?!" ujar Panglima Sampono.
Sipemuda rambut gondrong angkat bahu. Panglima Sampono hendak berkata tapi dari samping datang sambaran sinar merah kekuningan yang sekaligus juga menyerang pada ketiga kawan-kawannya. Dilain kejap terdengar suara dara baju ungu.
"Bergundal-begundal keparat! Aku dan ayahku pasti akan datang mencari kalian! Kalau bertemu jangan harap kalian bakal hidup lebih lama!" Sigadis kemudian melompat keatas kuda coklat.
"Betina sialan! Kau kira bisa lari dari sini?!" teriak Sebrang Lor marah sekali. Dia melompat dan kiblatkan pedang berkeluknya.
Pandansuri untuk kesekian kalinya melepaskan pukulan kuku api membuat tokoh silat dari tanah Malaka itu terpaksa menghindar kesamping. Dan sebelum yang Iain-lainnya bisa turun tangan, Pandansuri telah melesat pergi bersama kudanya. Dengan sendirinya kemarahan total kini tertuju pada pemuda tadi! Panglima Sampono yang sebelumnya masih berlaku lunak kini membentak garang,
"Pemuda sedeng! Kalau tidak karena kau gadis itu pasti tak akan lolos!" Sang panglima menutup kata-katanya dengan melemparkan rencong perak milik Pandansuri dengan tangan kirinya.
Lemparan itu bukan lemparan sembarangan. Senjata itu sampai mengeluarkan suara mendesing saking kencang dan kerasnya daya lemparan! Dua jengkal dari ujung rencong akan mendarat dikeningnya, tiba-tiba si pemuda menggerakkan tangan kanan dan tahu-tahu rencong perak itu sudah dijepit di antara jari tengah dan jari telunjuknya! Kejut Panglima Sampono dan kawan-kawan bukan alang kepalang! Kepandaian menjepit senjata yang dilemparkannya selihay itu bukan kepandaian sembarangan!
"Orang muda berilmu tinggi!" kata Panglima Sampono pula. "Pameran yang kau lakukan tadi cukup menarik! Biarlah aku main-main sebentar dengan kau!"
Sipemuda tertawa tawar. "Apakah kau akan maju berempat dengan kawan-kawanmu itu?!"
Merahlah paras Panglima Sampono. Meski maklum betapa lihaynya pemuda itu, lebih lihay dari Pandansuri tapi untuk tidak kehilangan muka dia menjawab, "Untuk meringkus tikus sombong macammu ini mengapa musti minta bantuan kawan-kawanku?!"
Ucapannya itu ditutup dengan satu tusukan kilat tombak bercagak dua kearah tenggorokan si pemuda. Dengan gesit pemuda itu mengelak kesamping lalu memukul kemuka dari jarak tiga langkah! Panglima Sampono terkejut sekali sewaktu begitu mengelak begitu tamannya talas menyarang. Angin pukulan tawan terata keras laksana sebuah batu besar yang dilemparkan kearahnya. Itulah ilmu pukulan 'Kunyuk Melempar Buah'.
Dan pendekar muda mana lagi yang memiliki pukulan itu kalau bukan Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Seni 212. Dengan amat penasaran Panglima Sampono membentak keras lalu kembali menyerang dengan |urus-jurus silatnya yang hebat dan mengandung tipu-tipu berbahaya! Tubuh Wiro Sableng yang berkelebat terkurung oleh gulungan sinar senjata ditangan sang panglima. Lima jurus berlalu tanpa Panglima Sampono bisa berbuat sesuatu apapun!
Memasuki jurus kesepuluh. Datuk Nan Sabatang, Lembu Ampel dan Sebrang Lor tak dapat tinggal diam lebih lama. Ketiganya segera menyerbu kedalam kalangan pertempuran membantu Panglima Sampono! Namun sebelum ketiga orang itu turun tangan melancarkan serangan. Pendekar 212 Wiro Sableng dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya yang telah mencapai tingkat tinggi melompat ke atas, sekejap kemudian telah berdiri dicabang pohon yang ada ditepi jalan!
"Sebelum meneruskan pertempuran brengsek ini mari kita bicara baik-baik dulu sobat-sobat" kata Wiro dari atas pohon.
"Pemuda lancang! Sesudah kau meloloskan perempuan itu kini kau hendak bicara baik-baik?! Makan ini!" damprat Sebrang Lor. Tangan kanannya dihantamkan keatas. Selarik angin dahsyat menyambar.
"Krakkk!"
Cabang pohon dimana Pendekar 212 berdiri patah pemuda itu sendiri sudah pindah meloncat kecabang yang lain! Dengan sendirinya Sebrang Lor dan kawan-kawannya tambah penasaran! Serentak mereka sama-sama menghantamkan tangan keatas! Terdengar suara berisik! Beberapa cabang pohon patah dan ranting-ranting serta daun-daun berhamburan kian kemari!
Wiro memaki dalam hati, dan melompat ketebing ditikungan jalan. Jarak antara pohon dan tikungan jalan hampir mencapai sepuluh tombak. Tentu saja lompatan yang dibuat Wiro membikin kagum keempat orang yang berada dibawahnya. Namun kekaguman itu segera sirna oleh rasa marahyang menggejolak! Tanpa tunggu lebih lama Panglima Sampono segera melompat keatas tebing diikuti oleh ketiga kawan-kawannya. Diatas tebing Pendekar 212 pintangkan kedua telapak tangan dan memukul kebawah.
Keempat orang yang telah melayang keatas tebing amat terkejut ketika mendapatkan diri mereka merasa ditekan dari atas oleh satu tekanan dahsyat. Bagaimanapun mereka kerahkan tenaga dalam tetap saja tubuh mereka tak bisa melesat keatas. Keempatnya terkatung-katung beberapa ketika lamanya.
"Kurang ajar! Dia lihay sekali!" gerutu Sebrang Lor.
Tokoh silat dari tanah Malaka ini memberi isyarat pada kawan-kawannya. Tiba-tiba keempatnya sama membentak keras dan sama menghantamkan kedua tangan masing-masing kearah Pendekar 212. Delapan gelombang angin menderu laksana topan prahara! Empat buah serangan yang luar biasa dan bukan alang kepalang hebatnya! Diatas tebing Wiro Sableng kerahkan seluruh tenaga dalamnya ketangan dan memukul kebawah!
Bagaimana hebatnya gelegar guntur, hampir seperti itu pulalah hebatnya benturan delapan angin pukulan dengan dua gelombang pukulan 'Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih' yang dilepaskan Wiro Sableng! Sebrang Lor, Datuk Nan Sabatang, Panglima Sampono dan Lembu Ampel berpelantingan kebawah. Untung saja mereka sudah memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi serta tenaga dalam yang sempurna hingga tidak mendapat celaka dan taksampai jatuh tunggang langgang bergedebukan ditanah!
Sebaliknya diatas tebing Wiro Sableng merasakan pula hebatnya serangan keempat tokoh-tokoh silat itu. Tubuhnya terdorong keras lalu terhuyung-huyung lima langkah kebelakang. Tidak sampai disitu tiba-tiba lututnya terasa goyah dan ujung tebing yang dipijaknya hancur berantakan. Tubuhnya mencelat sampai dua tombak dari atas tebing!
"Gendeng betul!" gerutu Wiro Sableng dalam hati.
Setelah memeriksa dan mengetahui tubuhnya dibagian dalam maupun bagian luar tak ada yang terluka maka Pendekar ini bersuit nyaring. Tubuhnya melayang kebawah berkelebat dan lenyap dari pemandangan Panglima Sampono dan kawan-kawan. Dilain kejap terdengar dua keluhan tertahan! Sebrang Lor dan Lembu Ampel merasakan tubuh mereka kejang kaku tak bisa bergerak.
Betapapun mereka mengerahkan tenaga dalam namun tak sanggup membuka jalan darah yang telah ditotok oleh Pendekar 212 Wiro Sableng. Kedua tokoh silat ini memaki habis-habisan! Wiro Sableng malah tertawa cengar cengir.
"Pemuda kurang ajar!" teriak Panglima Sampono marah sekali, "tadi aku cuma berniat untuk meringkusmu hidup-hidup. Tapi mulai detik ini terpaksa kepalamu kupecahkan!"
Habis berkata begitu Panglima Sampono memukulkan tangan kiri ke depan lalu menyusul serangan ini dengan satu tusukan tajam tombak bercagak dua yang saat itu sudah berada kembali dalam tangan kanannya! Dikejap yang sama Datuk Nan Sabatang menggembor dan berkelebat kirimkan serangan dari samping kiri dengan keris birunya! Wiro Sableng ingat pada rencong perak milik gadis baju ungu yang tadi diselipkan dipinggang. Segera pendekar ini mencabut senjata itu. Maka...
"Traanggg-Tranggg...!"
Terdengar dua kali berturut-turut suara beradunya senjata. Bunga api memercik. Datuk Nan Sabatang dan Panglima Sampono terkejut besar, dengan muka pucat sama-sama melompat kebelakang dan memandang dengan mata membeliak pada tangan kanan mereka yang kini kosong karena tangkisan Wiro Sableng tadi telah memukul lepas senjata masing-masing. Jelas bahwa pemuda berambut gondrong itu memiliki tenaga dalam yang luar biasa tingginya dan bukan tandingan mereka.
Namun sebagai tokoh-tokoh silat yangs udah mendapat nama besar dan memegang teguh jiwa kesatria, mana mereka mau menyerah begitu saja. Lebih baik mati dari pada menerima hinaan demikian rupa. Apalagi ketika melihat bagaimana Wiro Sableng tertawa gelak-gelak dan mengejek!Dengan tangan kosong Datuk Nan Sabatang serta Panglima Sampono memasuki kalangan pertempuran kembali. Serangan mereka hebat sekali hingga air hujan yang bergenangan dilobang-lobang jalanan muncrat berhamburan!
"Sobat-sobat! Kalian keliwat menurutkan darah kemarahan!" seru Wiro. "Orang mau ajak bicara baik-baik malah menyerang terus-terusan!"
"Tutup mulutmu pemuda keparat!" bentak Datuk Nan Sabatang.
"Jaga batok kepalamu!" teriak Panglima Sampono.
Tinjunya menderu kekepala Pendekar 212. Lalu terdengarlah suara keluhan! Tubuh Panglima Sampono terbanting kesamping sewaktu angin dahsyat menyambar dadanya. Selagi dia berusaha mengimbangi tubuh tahu-tahu satu totokan mendarat dibahunya dekat leher dan kejap itu juga sang panglima berdiri dengan kaki mengangkang ditanah tanpa bisa bergerak sedikitpun!
Datuk Nan Sabatang juga bernasib sial. Baru saja serangannya bergerak setengah jalan tahu-tahu jari lawan sudah menyelusup dibawah ketiaknya!
"Kurang ajar!" maki Datuk Nan Sabatang.
Tangan kirinya memukul kemuka. Tapi tak ada artinya karena totokan yang dijatuhkan Wiro tadi telah membuat sebagian tubuhnya sebelah kanan menjadi kaku. Lucu sekali keadaan Datuk ini. Tangan kirinya mencak-mencak dan kaki kiri dibanting-bantingkan ketanah sedang mulut memaki-maki habis-habisan tapi seluruh tubuhnya bagian kanan tak dapat digerakkan sama sekali, laksana menjadi batu!
"Sekarang mungkin kita bisa bicara baik-baik" kata Wiro sambil tertawa dan memasukkan rencong perak kebalik pinggang pakaiannya.
Setelah menyapu paras keempat orang itu satu demi satu dengan sepasang matanya maka Wiro melangkah kehadapan Panglima Sampono dan berkata, Bapak, tadi kau bertanya apakah aku tahu siapa adanya perempuan berkerudung itu?"
Panglima Sampono diam saja. Hatinya kesal bukan main dan dadanya bergejolak menahan amarah. Kalau saja tubuhnya tidak ditotok pasti pemuda itu sudah diserangnya kembali! Sebaliknya sambil masih tertawa-tawa Wiro berkata,
"Aku memang tidak tahu siapa dia adanya"
Kalau tidak kenal mengapa kau ikut campur urusan orang?! Gadis itu lolos karena kelancanganmu pemuda sialan!"
Wiro Sableng senyum-senyum saja dimaki pemuda sialan. "Meski aku tidak tahu siapa dia, tapi melihat kalian mengeroyoknya tentu saja aku tak bisa berdiam diri. Apalagi dia bertangan kosong sedang kalian berempat pakai senjata, mendesak gadis itu! Bukankah sayang sekali kalau gadis itu terpaksa mati muda?!"
Hampir saja Panglima Sampono hendak meludahi muka pemuda itu saking gemasnya. Dibukanya mulutnya, "Memang hati satria mu hendak menolong gadis itu patut dihargakan! Tadinya kukira dia gendakmu hingga kau begitu kesusu turun tangan tanpa menyelidik lebih dulu! Sekarang dia telah lolos. Dunia persilatan akan sukar untuk diselamatkan!"
Wiro Sableng kerenyitkan kening. "Harap kau suka menerangkan siapa adanya gadis itu!" kata Wiro pula.
Panglima Sampono mendengus. "Kalau kau mau tahu, gadis itu adalah Pandansuri! Anak Raja Rencong Dari Utara!"
Sepasang mata Pendekar 212 terpentang lebar dan memandang pada keempat orang dihadapannya itu satu persatu. "Anak gadisnya Raja Rencong Dari Utara?" desis Wiro seraya garuk-garuk rambutnya yang basah kuyup oleh air hujan yang sampai saat itu masih juga turun meskipun tidak selebat semula. "Aku sendiri sebenarnya memang tengah mencari-cari si Raja Rencong itu!"
Keempat tokoh silat sama-sama mendengus. Pemuda edan! Kami muak melihat lagakmu! Lekas lepaskan totokan kami dan berlalu dari sini!" Yang bicara adalah Sebrang Lor.
Wiro memandang pada Sebrang Lor sejenak sambil berpikir-pikir Kemudian katanya, "Memang aku turun tangan keliwat kesusu. Tidak menyelidik lebih dulu! Kalau saja aku tahu bahwa gadis itu adalah anaknya Raja Rencong Dari Utara aku akan membantu kalian meringkusnya hidup-hidup"
"Tak perlu bicara ngelantur!" tukas Sebrang Lor gemas. "Semuanya sudah kasip! Gadis itu sudah lolos! Kau telah menghancurkan rencana yang kami susun selama satu bulan! Benar-benar kau kurang ajar dan sialan sekali!"
"Dengar..." kata Wiro, "kalau aku bertemu gadis itu aku akan tawan dia dan menyerahkan pada kalian. Tapi katakan dulu apa rencana kalian"
"Kau tak ada sangkut paut dengan kami! Karenanya tak perlu bertanya!" sahut Panglima Sampono.
"Kalau begitu baiklah! Kuharap saja kalian bisa melupakan kelancanganku tadi" Wiro membalikkan badannya hendak pergi. "Hai tunggu dulu! Lepaskan dulu totokan kami!" teriak Sebrang Lor dan Lembu Ampel hampir bersamaan.
Wiro tertawa. "Sebenarnya aku memang bermaksud hendak melepaskan totokan ditubuh kalian! Tapi karena kalian memakiku terus-terusan seenaknya, biarlah kalian jadi patung-patung hidup sampai beberapa jam di muka!"
"Keparat!"
"Setan Alas!"
"bedebah!"
"Edan kau!"
Begitulah maki-makian yang dilontarkan keempat orang itu. Wiro tertawa gelak-gelak. Sekali dia berkelebat, tubuhnya sudah melesat sejauh sepuluh tombak. Di bawah hujan rintik-rintik akhirnya Pendekar 212 lenyap dari pemandangan keempat orang itu.
********************
SEBELAS
Kedai nasi itu adalah kedai nasi yang paling besar di seluruh daerah selatan. Sebenarnya kurang pantas kalau disebut kedai nasi, lebih tepat agaknya jika dikatakan rumah makan. Karena di samping besar, juga rumah makan itu terkenal kemana-mana. Pemiliknya seorang laki-laki berbadan gemuk pendek persis macam babi buntak.
Kata setengah orang konon kabarnya pemilik kedai yang bernama Dang Lariku itu ada memasukkan sejenis bumbu ke dalam masakannya hingga apa saja yang dijualnya di rumah makan itu terasa enak sekali. Bumbu apa yang dimaksudkan Dang Lariku itu tak seorang pun yang mengetahuinya. Tentu saja Dang Lariku sendiri merahasiakannya agar tidak ditiru oleh lain orang.
Saat itu hari sudah petang, matahari hampir tenggelam. Sore berebut dengan senja. Keadaan dirumah makan Dang Lariku agak sepi. Hanya ada satu dua orang yang duduk bercengkrama sambil menikmati kopi pahit. Dang Lariku baru saja menyalakan sebuah lampu besar di ruangan tengah rumah makan sewaktu didengarnya suara derap kaki kuda yang kemudian berhenti tepat di hadapan rumah makannya.
Dang lariku merasa gembira. Karena suara derap kaki kuda yang berhenti di depan rumah makannya itu berarti datangnya seorang tamu dan berarti uang dalam kasnya akan bertambah pula. Dia memandang ke pintu dan tersenyum hendak menyambut tamunya! Namun begitu sang tamu masuk maka berubahlah paras Dang Lariku dari gembira menjadi pucat seperti kertas!
Tamu yang masuk seorang perempuan berpakaian ungu. Parasnya tak bisa dilihat karena tertutup dengan kerudung biru! gerakannya melangkah menggetarkan lantai rumah makan! Beberapa orang yang tengah asyik mengisi perutnya dalam rumah makan segera berdiri dan dengan ketakutan cepat-cepat angkat kaki lewat pintu belakang!
Siapakah sesungguhnya tamu yang datang ini? Tentu pembaca sudah dapat menduga. Dia bukan lain Pandansuri, anak Raja Rencong Dari Utara. Dan siapakah di daerah selatan yang tidak kenal dengan gadis itu?! Pandansuri sudah terkenal kekejamannya! Menghajar seseorang yang terlalu berani memandang kepadanya sampai setengah mati bukan apa-apa bagi gadis itu!
Membunuh orang-orang yang berlaku kurang ajar sudah menjadi kebiasaannya! Bahkan belakangan ini dia laksana seekor harimau lapar yang sengaja mencari mangsanya. Meski hatinya kecut berdebar dan parasnya sepucat kertas namun dengan semanis dan seramah mungkin Dang Lariku menyabut tamunya, mempersilahkan duduk lalu berteriak pada pelayan agar segera menyediakan hidangan yang paling lezat serta tuak yang paling harum!
Sementara itu Pandansuri duduk di sudut rumah makan, memandang berkeliling dan tersenyum kecil sewaktu menyaksikan bagaimana rumah makan itu menjadi sunyi akibat kedatangannya! Tak lama kemudian Dang Lariku sendiri yang muncul membawakan hidangan dan minuman ke meja Pandansuri. Seorang pelayan membawakan sepiring besar buah-buahan.
"Sungguh satu kehormatan besar lagi bagiku karena puteri Raja Rencong Dari Utara kembali berkenan mampir di rumah makanku yang buruk ini" kata Dang Lariku pula.
Pandansuri tak menjawab. Diputarnya kerudung mukanya sedikit hingga mulutnya bisa menyantap hidangan dengan leluasa. Gadis ini baru menghabiskan setengah bagian dari hidangannya sewaktu sebuah kereta berhenti dan tak lama kemudian dua orang pemuda memasuki rumah makan. Melihat kepada pakaiannya yang serba bagus dapat diduga bahwa kedua pemuda ini adalah anak bangsawan.
Sedang melihat kepada paras masing-masing jelas mereka bersaudara, adik dan kakak. Karena dalam rumah makan itu hanya Pandansuri yang ada maka dengan sendirinya gadis ini menjadi perhatian kedua pemuda. Sambil mencari tempat duduk, mereka tiada berhenti memandang Pandansuri.
"Aneh" kata pemuda yang seorang. Namanya Djebat Seloka.
"Baru kali ini kulihat ada orang berkerudung begini. Bahkan tengah makanpun dia tak mau membuka kain penutup wajahnya itu"
"Bukan aneh" menyahuti pemuda yang seorang. Namanya Gandra Seloka dan dia adalah adik Djebat Seloka.
"Bukan aneh" mengulang lagi Gandra Seloka. "Tapi lucu!"
Kedua pemuda itu tertawa-tawa. Dang Lariku yang sudah berada di dekat meja kedua bangsawan menjadi cemas sekali! Siapa yang berani mengganggu apalagi menghina pasti akan dihajar babak belur bahkan tidak jarang dibunuh oleh Pandansuri. tapi agaknya si gadis kali ini tidak mengambil perduli. Mungkin juga tidak mendengar ucapan-ucapan kedua orang itu karena dia terus saja menyantap makanannya.
"Mungkin juga dia bangsa perampok" berkata lagi Djebat Seloka.
kawannya tertawa. "Kurasa kurang tepat!" Dia menyahuti. "Kalau perampok seperti ini tentu semua orang akan mau menyerahkan barang-barangnya, bahkan dirinya sekaligus!"
Kembali kedua pemuda bangsawan itu tertawa gelak-gelak. Tawa mereka masih belum berakhir tiba-tiba gadis berkerudung menggebrak meja dan tahu-tahu dua buah piring melesat ke arah kepala Gandra dan Djebat Seloka! Kedua pemuda ini kaget bukan main! Dengan cepat mereka melesat dari kursi masing-masing! Dua buah piring menghantam dinding rumah makan hingga pecah berantakan sedang isinya berhamburan di lantai!
Dang Lariku meramkan mata melihat hancurnya kedua piring itu. Dan dia tahu bahwa sebentar lagi bukan hanya kedua buah piring itu saja yang menjadi kerugian baginya!
"Bagus! Kalian tikus-tikus busuk rupanya punya ilmu juga huh?!" bentak Pandansuri. Dia sudah berdiri di depan meja dengan kedua tangan di pinggang sedang matanya menyorot penuh amarah!
"Saudari kau galak sekali!" kata Gandra Seloka dan kembali dia mulai cengar cengir.
Saudaranya menimpali. "Bukalah kerudungmu itu agar kami bisa melihat, betapa cantiknya parasmu kalau sedang marah!"
"Keparat! Kalian minta mampus!" bentak Pandansuri. Kursi di depannya ditendang hingga hancur berantakan dan hancuran kursi itu melesat ke arah dua bersaudara Seloka. Tapi lagi-lagi keduanya bisa mengelak! Ini membuat Pandansuri semakin meluap amarahnya.
"Anjing anjing bermuka manusia! Kalian tahu dengan siapa berhadapan? Aku Pandansuri anak Raja Rencong Dari Utara!"
Kini rasa terkejut kedua pemuda itu bukan rasa terkejut main-main lagi. Lutut mereka menggigil sedang mata mereka membeliak, mulut menganga. Meski mereka menguasai ilmu silat yang dapat diandalkan, tapi berhadapan dengan anak Raja Rencong Dari Utara benar-benar mereka tidak punya nyali, bukan tandingan mereka!
"Celaka kakak" bisik Djebat Seloka, "Baiknya kita segera saja angkat kaki dari sini!"
Gandra Seloka menganggukkan kepala. Lalu. kedua pemuda ini cepat melompat ke pintu.
"Bedebah, mau kabur kemana?!" teriak Pandansuri. Tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu dia sudah menghadang di ambang pintu!
Kedua pemuda laksana kain kafan pucat paras mereka. Djebat seloka bicara tergagau-gagau. "Saudarai ha... harap kau mau mememaafkan Ka... kami tidak mengira kalau kau... adalah anaknya Raja Rencong!"
Di balik kerudungnya Pandansuri mendengus. Dia melompat ke muka. Kedua tangan terpentang lebar dan tahu-tahu kedua pemuda bangsawan itu merasakan rambut mereka dijambak lalu...
"Praakkk...!"
Kedua kepala pemuda bersaudara itu diadu satu sama lain oleh Pandansuri, hingga mengeluarkan suara keras! Batok kepala Djebat dan Gandra Seloka pecah. Darah dan otak bermuncratan.
"Itu hadiah yang paling bagus buat kalian" Kata Pandansuri seraya melepaskan jambakannya.
Tubuh Djebat dan Gandra Seloka melingkar di lantai. Dang Lariku si pemilik rumah makan ketika menyaksikan bagaimana kepala kedua pemuda itu pecah lantas saja roboh pingsan! Para pelayan tak ada seorangpun yang berani menjengukkan muka. Seperti tak ada kejadian apa-apa Pandansuri kembali ke mejanya lalu berteriak memanggil pelayan. Pelayan datang dengan tubuh menggigil muka pucat.
"Hidangkan makanan baru buatku!" kata Pandansuri.
"Ba... baik yang mulia kata pelayan.
Sesaat kemudian Pandansuri sudah duduk pula menyantap hidangannya. Belum lagi waktu berjalan sampai lima menit tiba-tiba di luar terdengar derap kaki kuda banyak sekali dan suara seseorang memberi aba-aba berhenti. Pandansuri tidak mengambil perduli suara berisik di luar rumah makan. Juga tidak menoleh ketika seorang laki-laki bertubuh tinggi besar, berkumis melintang serta membawa sepasang pedang di pinggang, diiringi oleh lima orang yang juga rata-rata berbadan tegap memasuki rumah makan!
"Hai...!" Keenam orang itu sama-sama mengeluarkan seruan dan menghentikan langkah diambang pintu sewaktu mata mereka membentur dua sosok tubuh yang menggeletak di lantai rumah makan dengan kepala-kepala pecah!
"Apa yang terjadi di sini?!" ujar laki-laki paling depan lalu dia memandang seputar ruangan dan sewaktu matanya melihat Pandansuri yang duduk di sudut kanan enak-enak menyantap hidangan kembali laki-laki ini berseru terkejut,
Hai! Dia adalah anaknya Raja Rancong! Musuh besar yang kita cari-cari! Kurung seluruh rumah makan ini!"
Kelima orang di samping laki-laki itu segera memencar dan memberikan perintah beruntun hingga dalam sekejap saja seluruh rumah makan itu telah dikurung lebih oleh dua puluh orang. Siapakah laki-laki berkumis melintang serta pengiring-pengiringnya itu? Dia adalah Dipa Warsyah seorang perwira tinggi balatentara Kesultanan Deli, yang tengah menjalankan tugas Sultan Deli yaitu mencari dan menangkap Raja Rencong Dari Utara baik hidup atau mati!
Karena Raja Rencong sudah dikenal kehebatan dan kesaktiannya, meskipun Dipa Warsyah bukan seorang yang berkepandaian rendah, namun perwira ini tidak mau ambil risiko. Dalam menjalankan tugas Sultan itu maka Dipa warsyah membawa serta lima orang tangan kanannya dan dua puluh orang prajurit-prajurit yang terlatih baik!
Mendengar seruan Dipa Warsyah tadi, Pandansuri berpaling sebentar lalu meneruskan makannyadengan sikap yang kelihatannya tetap acuh tak acuh, tapi diam-diam gadis ini mempertinggi kewaspadaannya karena dia tahu siapa adanya orang-orang itu. Melihat sikap gadis demikian rupa, sang perwira merasa dongkol dan dianggap sepele.
"Anak Raja Rencong! Kau berhadapan dengan perwira Kesultanan Deli!"
Sebelum Dipa Warsyah meneruskan bicaranya, Pandansuri sudah berpaling dan memotong. Apa urusan mu, perwira? Apa mau mengemis ketika orang sedang makan? Hanya pengemis-pengemislah yang suka mengusik orang makan!"
Merahlah paras Dipa Warsyah. Dia berpaling pada kelima bawahannya yang berkepandaian tinggi dan memerintah, Atas nama Sultan Deli tangkap gadis itu!"
Kelima orang yang diperintah segera bergerak. "Tunggu dulu!" seru Pandansuri dengan suara keras dan sambil mencampakkan tulang ayam yang di tangan kanannya ke lantai papan hingga tulang ayam itu menancap di lantai. "Atas alasan apa Sultan kalian menyuruh tangkap aku?" bentak Pandansuri lantang.
Dipa Warsyah menjawab, "Sebenarnya ayahmu yang kami cari! Tapi menangkap anaknya pun cukup berharga!"
"Pandansuri tertawa gelak-gelak. Suara tertawa itu merdu sekali namun kemerduan itu dibayangi oleh sesuatu yang mengerikan. Dia memandang pada kelima bawahan Dipa Warsyah. "Kalian mau menangkap aku? Majulah!"
Mengandalkan jumlah yang banyak serta kepandaian mereka yang tinggi maka tanpa cabut senjata kelima anak buah Dipa Warsyah melompat kemuka. Lima pukulan dan lima totokan menderu bersirebut cepat. Sekejap kemudian mengumandanglah lima pekikan di dalam rumah makan itu!
DUA BELAS
Kedua mata Dipa Warsyah membelalak besar seperti mau melompat dari dari rongganya sewaktu menyaksikan bagaimana kelima bawahannya jatuh bergedebukan di lantai dalam keadaan tubuh hangus dihantam pukulan kukuapi yang dilancarkan oleh Pandansuri.
"Gadis jahanam! Jaga batang lehermu!"
Tubuhnya melompat ke muka dan hampir tak kelihatan kapan dia mencabut sepasang pedangnya, tahu-tahu dua sinar putih telah menyambar pinggang dan leher Pandansuri dari kanan dan kiri. Pandansuri terkejut melihat datangnya serangan hebat dan cepat ini. Lekas-lekas dia menyingkir ke samping lalu menyusupkan satu tendangan ke arah perut sang perwira. Permainan pedang Dipa Warsyah hebat sekali karena begitu serangannya mengenai tempat kosong, sepasang pedang itu laksana kilat menderu ke bawah membuat Pandansuri terpaksa tarik pulang kaki kanannya dan sewaktu dia melancarkan dua jotosan ganas ke dada dan ke kepala lawan, kembali' sepasang pedang membabat ke atas menggagalkan serangannya!
Panaslah hati si gadis. Dia bersuit nyaring dan sekali tubuhnya berkelebat lenyaplah dia dalam jurus-jurus serangan yang ganas! Kedua orang itu berkecamuk dalam pertempuran yang luar biasa hebatnya! Meski sang perwira dalam hal tenaga dalam masih kalah satu tingkat dari Pandansuri namun dengan permainan sepasang pedangnya yang hebat luar biasa dia berhasil memberikan tekanan-tekanan yang berbahaya pada lawannya!
Kalau saja ilmu meringankan tubuh Pandansuri belum mencapai tingkat yang lebih tinggi dari sang perwira, niscaya gadis ini sudah sejak tadi kena celaka tersambar ujung pedang! Melihat lawan begitu tangguh dengan hati memaki Pandansuri mulai keluarkan jurus-jurus simpanannya yang terlihay. Dipa Warsyah terkesiap melihat bagaimana permainan silat si gadis berubah total dan sukar diduga sasaran yang ditujunya. Dengan serta merta perwira ini percepat permainan pedangnya hingga rumah makan itu terbenam dalam deru sepasang pedang.
"Perwira edan! Makan pukulan Selaksa Palu Godam ini!" teriak Pandansuri. Tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu tangan kanannya menyusup di bawah pedang sebelah kiri Dipa Warsyah, menderu ke atas mengarah muka sang perwira. Meski kagetnya bukan alang kepalang, tapi perwira ini tidak kehilangan akal. Dengan sebat pedang di tangan kanannya digerakkan ke atas!
Pandansuri terkejut dan tak menyangka lawannya akan bergerak sekalap dan secepat itu. Namun demikian meskipun pedang datang menyambar gadis ini tidak takut. Sedikit saja dia merubah gerakan pukulannya tadi maka lengannya telah menghantam badan pedang. Pedang itu bukan saja mental dari tangan kanan Dipa Warsyah tapi juga patah dua!
Sambil mengirimkan satu tusukan sang perwiramelompat ke samping kiri dan ke luar dari kalangan pertempuran. Justru ini adalah kesalahan besar. Dengan memisah jarak sejauh itu dia memberi kesempatan pada Pandansuri untuk melepaskan pukulan kuku api yang ganas. Perwira ini berusaha mengelak sambi lmenangkis tapi sia-sia saja. Tubuhnya sebatas dada ke atas hangus dilanda lima larik sinar merah kekuningan yang melesat dari lima kuku jari tangan kanan Pandansuri!
"Perempuan iblis!" teriak seorang kepala prajurit yang mengurung rumah makan.
Sekali dia berteriak maka dua puluh prajurit-prajurit lainnya menyerbu! Rumah makan itupun hiruk pikuklah. Tapi hanya sebentar karena setiap kali Pandansuri berkelebat, setiap kali dia menjentikkan kelima jari tangannya maka sekelompok demi sekelompok prajurit-prajurit itu rebah ke lantai tanpa nyawa dan dalam keadaan tubuh hangus. Akhirnya enam orang sisa-sisa yang masih hidup segera ambil langkah seribu!
Rumah makan itu kini penuh dengan gelimpangan mayat. Suasana yang mengerikan itu ditambah pula bergidiknya oleh beberapa orang prajurit yang masih hidup megap-megap merintih menjelang ajal sampai! Kursi dan meja centang perenang tak karuan. Piring-piring dan gelas berhamburan di-mana-mana. Makanan berhamparan! Satu-satunya meja dan kursi yang tidak berpindah dari tempatnya ialah yang tadi diduduki oleh Pandansuri!
Gadis ini melangkah ke kursi, duduk di situ dan meneguk tuak harum di dalam piala perak beberapakali. Di tengah-tengah suasana yang mengerikan itu dia meneruskan menyantap hidangannya kembali. Pandansuri sudah menyelesaikan makannya dan tengah meneguk tuak sewaktu dari pintu terdengar suara keras menggetarkan seantero ruangan,
"Busyet! Ini rumah makan apa tempat pembantaian manusia?"
Anak gadis Raja Rencong Dari Utara terkejut dan cepat berpaling. "Ah, dia" kata Pandansuri.
Kedua bola matanya bersinar. Dia merasa geli dan juga merasa aneh melihat sikap orang diambang pintu menyaksikan mayat yang malang melintang dalam rumah makan dengan mata membeliak, mulut ternganga dan sambil garuk-garuk kepala! Tiba-tiba orang itu berpaling kepadanya dan...
"Hai kau!" seru pemuda rambut gondrong. Dia melangkah melompati mayat-mayat yang bergelimpangan mendadak dia menghentikan langkahnya ketika salah seorang dari mayat mayat itu dikenalnya. "Ini Dipa Warsyah, perwira pasukan Kesultanan Deli!" katanya setengah berseru dan kembali memalingkan kepala pada Pandansuri. Sambil melangkah ke meja gadis itu dia bertanya,
"Apa yang terjadi di sini?"
"Siapa tanya siapa?!"
"Eh!... si pemuda tertegun. Dua alis matanya yang tebal naik ke atas lalu sekelumit senyum tersungging di mulutnya. "Tentu saja aku bertanya dengan kau saudari, kecuali kalau mayat-mayat itu masih sanggup diajak bicara!"
Pandasuri pelototkan matanya. Si pemuda juga beliakkan sepasang matanya meski senyum tadi masih belum pupus dari mulutnya. "Berlalu dari hadapanku sebelum aku jadi muak!" bentak Pandansuri.
"Saudari, kau galak sekali! Tidak percuma kau jadi anaknya Raja Rencong Dari Utara?"
Pandansuri terkejut. "Dari mana kau tahu aku anak Raja Rencong?!"
"Ah kehebatan ayahmu dan kehebatan mu disampaikan orang dari mulut ke mulut. Dihembuskan angin ke pelbagai penjuru..." Pemuda itu kemudian menyeret sebuah kursi yang terbalik lalu duduk di hadapan Pandansuri dengan sikap seenaknya.
"Pemuda lancang! Kalau kau sudah tahu siapa aku mengapa tidak lekas angkat kaki dari rumah makan ini?!"
Si pemuda tertawa pelahan. "Kau tak punya hak mengusirku! Rumah makan ini bukan milikmu!"
Si gadis mendengus. "Kalau begitu berarti akan bertambah satu mayat lagi di tempat ini!"
Si pemuda yang bukan lain Wiro Sableng si Pendekar 212 adanya tertawa perlahan. "Jadi kau rupanya yang telah membunuhi semua manusia ini?" Wiro gelengkan kepala dan leletkan lidah. "Dan aku yakin mereka bukan manusia-manusia berdosa! Sekali pun punya salah tapi sangat tak berperikemanusiaan menjagal mereka seperti ini!"
"Punya dosa atau tidak, salah atau tidak itu bukan urusanmu! Lekas menyingkir dari hadapanku!" bentak Pandansuri. "Kecuali kalau mau segera mampus!"
Kembali Pendekar 212 tertawa. Dia memandang ke luar lewat pintu rumah makan lalu berkata, "Seekor binatang jika dilepaskan dari bahaya besar, mungkin masih bisa menyatakan terima kasih! Tapi seorang manusia malah sebaliknya!"
"Keparat! Kalau tidak mengingat pertolonganmu tadi, siang-siang aku sudah bunuh kau!" bentakPandansuri. "Soal pertolongan yang tak seberapa itu jangan diungkap-ungkap! Lagi pula siapa yang minta tolong padamu sewaktu aku bertempur melawan empat manusia hina dina itu?!"
"Aku sama sekali bukan bermaksud mengungkap-ungkap pertolongan kecil itu" sahut Wiro. "tapi cuma sekedar membandingkan seorang manusia dengan seekor binatang..."
"Ejekan ini membuat Pandansuri menjadi marah sekali. "Keparat! Kau betul-betul mau mampus cepat-cepat!"
Pandansuri mengangkat tangan kanannya. Lima jadi tangannya siap dijentikkan ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Yang hendak diserang sebaliknya tenang-tenang saja malah tersenyum-senyum. Ketenangan ini membuat Pandansuri menjadi ragu.
"Eh, kenapa maksudmu tidak diteruskan? Bukankah kau mau membunuh aku?" kata Wiro ketika dilihatnya Pandansuri berada dalam kebimbangan.
"Setan alas!" maki Pandansuri geram. Sekali tangan kirinya digerakkan maka meja makan yang dihadapannya melesat ke arah Wiro Sableng. Piring mangkuk dan gelas menyambar lebih dahulu!
"Benar-benar manusia yang tak tahu budi orang!" damprat Wiro Sableng.
Laksana panah lepas dari busurnya tubuhnya mencelat ke atas. Piring mangkuk dan gelas lewat di sampingnya. Begitu meja makan menyusul datang, tanpa tedeng aling-aling Wiro Sableng tendangkan kaki kanannya. Meja itu hancur berantakan. Pecahan-pecahan papan dan kaki-kaki meja yang keseluruhannya berjumlah delapan belas keping langsung menyerang ke tubuh Pandansuri!
Dengan cekatan gadis ini melompat ke atas seraya memukulkan tangan kiri ke muka. Kepingan-kepingan meja yang menyerangnya berpelantingan kian ke mari. Wiro kemudian susulkan dengan satu jotosan ke arah perut si gadis. Dengan gerakan gesit Pandansuri berhasil mengelakkan malah di lain kejap dia berhasil menyambar patahan kaki meja dan menyerang Wiro Sableng dengan benda itu.
"Wuutttt...!"
Wiro membuang diri ke samping kanan. Terlambat sedikit saja pasti pipinya kena disambar ujung kaki meja itu! Melihat serangan untuk kesekian kali luput lagi maka Pandansuri berkelebat cepat dan serangan dahsyat pun bertubi-tubi melanda Pendekar 212 wiro Sableng. Diam-diam Wiro Sableng memuji kehebatan ilmu silat dan kegesitan Pandansuri. Sebelum dirinya kena didesak, Wiro segera berkelebat cepat untuk mengimbangi kegesitan lawan.
Lima jurus pertempuran berkecamuk dengan hebat Kaki meja di tangan Pandansuri merupakan senjata yang ampuh, menderu kian ke mari laksana belasan buah banyaknya dan menyerang dalam gerakan-gerakan yang sukar diduga. Penasaran sekali, wiro Sableng keluarkan sebuah jurus silat tangan kosong yang dipelajarinyadari Tua Gila.
(Mengenai siapa adanya Tua Gila harap baca serial Wiro Sableng yang berjudul Banjir Darah di Tambun Tulang).
Jurus ini bernama 'Ular Gila Membelit Pohon Menarik Gendewa'. Jurus ini sepenuhnya mempergunakan kecepatan gerakan tangan. Bagi Pandansuri yang tak bisa melihat kecepatan tangan lawannya, dan hanya melihat tubuh lawan berada dalam keadaan tak terlindung segera hantamkan kaki meja di tangan kanannya secepat kilat ke arah dada Wiro Sableng.
"Wuuttt...!"
Kaki kursi itu menderu dan diantara dahsyatnya deru tersebut Pandansuri mendengar suara tertawa lawan yang menjengkelkan hatinya. Tenaga dalamnya dilipat gandakan hingga dalam satu kejapan mata lagi akan hancur remuklah dada Pendekar 212 dilanda kaki meja. Namun betapa terkejutnya Pandansuri sewaktu merasakan gerakan tangan kanannya itu tertahan oleh satu kekuatan yang tak kelihatan, dan tahu-tahu kaki meja terlepas dari genggamannya!
Bila dia menyurut mundur dan memandang ke depan dilihatnya Wiro Sableng berdiri tertawa-tawa sambil membolang balingkan kaki meja itu!
"Saudari, kurasa cukup sudah kita main-main. Sekarang kau dengarlah baik-baik! Sewaktu melihat kau bertempur melawan empat orang tokoh silat itu dan berada dalam keadaan terdesak aku telah membantumu! Tapi setelah kau lolos dan tahu siapa kau adanya, nyatalah bahwa aku telah membuat kesalahan besar! Aku berjanji pada keempat orang itu untuk menangkap dan menyerahkanmu kepada mereka. Nah bagaimana tanggapanmu. Menyerah baik-baik atau terpaksa kita musti main-main lagi barang beberapa jurus?"
"Menyerah diri pada manusia macammu lebih baik bunuh diri!"
"Ah jangan! Jangan bunuh diri!" tukas Wiro sambil senyum-senyum. "Kalau kau bunuh diri kekasihmu tentu akan sedih dan menangis, lalu mengamuk macam orang gila! Aku kawatir manusia-manusia tak berdosa akan jadi korban amukannya!"
Pemuda sombong kurang ajar! Aku mengadu jiwa sampai seribu jurus!" teriak Pandansuri. Didahului oleh satu pekikan yang dahsyat maka gadis ini menyerang hebat sekali. Gerakannya jauh berbeda dari jurus-jurus serangan sebelumnya. Sebelum serangan itu sampai anginnya sudah menyambar keras!
Wiro tetap berdiri di tempatnya sambil bolang balingkan kaki meja di tangan kanannya. Dia terkejut sewaktu merasakan angin serangan yang tajam menyelusup ke arah barisan tulang-tulang iga di sisi kanannya! Wiro Sableng sabatkan kaki meja dengan sigap.
"Buukk"
Wiro Sableng mengeluh! Kaki meja terlepas dari tangan kanan sedang tubuhnya terjajar ke belakang sampai tiga langkah! Ketika memandang ke lengannya sebelah kanan lengan itu kelihatan bengkak dan merah. Ternyata tumit kiri Pandansuri telah berhasil menghantam lengan itu!
"Itu baru lenganmu! Sebentar lagi kepalamu yang bakal pecah!"
Wiro keluarkan suara bersiul. Rupanya kau memang tak boleh dibuat main! Baik, kau mulailah!" kata Pendekar 212 Wiro Sableng dan memasang kuda-kuda untuk menyerang.
Namun sebelum dia bergerak tubuh si gadis sudah berkelebat dan lenyap! Angin serangan yang dahsyat menelikung sekujur tubuh Wiro. Untuk mengimbangi gerakan lawan mau tak mau pemuda ini kerahkan ilmu meringankan tubuhnya dan sesaat kemudian tubuhnya itu hanya merupakan bayang-bayang putih saja. Diam-diam Wiro Sableng merasa kagum juga dengan permainan silat Pandansuri. Saat itu mereka sudah bertempur sepuluh jurus lebih.
Meski Pandansuri tak berhasil menjatuhkan serangan kepadanya namun dia sendiri dipaksa untuk bertahan terus-terusan sama sekali tak punya kesempatan untuk balas menyerang. Ini membuat Wiro Sableng menjadi penasaran. Beberapa kali totokannya tak mengenai sasarannya. Kalau saja dia tidak bermaksud untuk meringkus gadis itu hidup-hidup, itu lain perkara, dia bisa turun tangan dengan ganas!
Dalam telikungan serangan yang dahsyat itu mendadak Wiro Sableng menyaksikan berkelebatnya sinar merah kekuningan! Melihat lawan menyerang dengan ilmu pukulan sakti yang berarti menginginkan jiwanya maka Wiro Sableng tentu saja tak mau tinggal diam lagi. Tenaga dalamnya yang sejak tadi sudah disiapkan secepat kilat dialirkan ke tangan kanannya.
Sesaat kemudian tangan itupun di dorongkan ke depan. Gerakan Wiro Sableng ini sekaligus merupakan campuran dari pukulan 'Benteng Topan Melanda Samudrra' dan 'Tameng Sakti Menerpa Hujan'. Terdengar suara letusan yang dahsyat. Langit-langit rumah makan hancur hangus berantakan. Tubuh Pandansuri mencelat sepuluh langkah, terbanting ke dinding. Wiro sableng sendiri terhuyung gontai.
Kejutannya bukan olah-olah sewaktu menyaksikan bagaimana ujung lengan bajunya mengepul hangus terasa panas dan perih! Buru-buru pemuda ini merobek ujung lengan baju itu. Ketika dia memandang ke jurusan dinding dimana tubuh Pandansuri tadi terbanding keras, astaga! Gadis itu sudah lenyap. Wiro melompat ke pintu depan. Kasip sudah! Si gadis tak kelihatan lagi. Wiro memaki dalam hati. Segera pula dia meninggalkan rumah makan itu.
********************
www.zheraf.com
TIGA BELAS
Hari itu tanggal satu, saat peresmian berdirinya Partai Topan Utara. Puluhan perahu kelihatan menyeberangi Danau Toba menuju ke pulau besar yang terletak di tengah-tengah danau. Penumpang-penumpang perahu-perahu itu ialah tokoh-tokoh silat dari pelbagai penjuru yang sengaja datang untuk menghadiri peresmian berdirinya Partai Topan Utara.
Semua mereka ini tiada menduga bahwa kedatangan mereka itu kesana hanya untuk mengantar nyawa karena Raja Rencong yang berhati sejahat iblis itu telah berniat untuk menamatkan riwayat semua tokoh-tokoh silat, tak perduli dari golongan manapun mereka adanya. Di Arena Topan Utara yang terletak di bawah bangunan tua di bukit Toba suasana penuh sesak oleh para tetamu.
Kelihatannya para tamu itu sudah tak sabar lagi menunggu kemunculan Raja Rencong Dari Utara. Namun sampai sedemikian lama sang tuan rumah masih juga belum muncul. Ini menimbulkan kegelisahan di kalangan para tamu.
Sementara itu di lereng bukit kelihatan sekelebatan sosok tubuh manusia. Paras dan perawakannya tidak dapat diteliti dengan jelas karena luar biasa cepat larinya. Dalam tempo yang singkat dia sudah lenyap ke dalam rimba belantara, meneruskan larinya dengan melompat dari atas cabang pohon yang satu ke cabang pohon lainnya hingga akhirnya dia sampai di hadapan bangunan tua, satu-satunya bangunan yang terdapat di Bukit Toba itu.
Suasana kelihatan sepi tapi matanya yang tajam dapat mengetahui bahwa sebelumnya belasan orang telah memasuki bangunan itu. Apalagi sebelumnya dia telah melihat perahu banyak sekali di tepi pantai. Setelah memandang berkeliling, orang di atas pohon ini melompat ke bawah dan tanpa menimbulkan suara dia bergerak ke bagian belakang bangunan.
Berlindung di balik sebuah runtuhan dinding tembok dia meneliti bagian belakang bangunan itu dengan cepat hingga akhirnya pandangannya membentur serumpun semak belukar lebat di hadapan sebatang pohon kelapa. Jika saja dia tidak mendapat penjelasan dari gurunya Si Tua Gila pasti dia tidak mengetahui bahwa di bawah rerumpunan semak belukar itu terdapat sebuah lobang yang merupakan jalan rahasia menuju ke bagian bawah bangunan tua!
Segera orang ini melompat tanpa suara ke arah semak belukar, menarik semak belukar itu ke atas hingga kini kelihatan sebuah lobang yang sangat kotor dan besarnya hanya untuk tempat masuk sesosok tubuh manusia. Tanpa ragu-ragu orang ini masuk ke dalam lobang itu dan menyeret rumpunan semak-semak hingga lobang kembali tertutup seperti sedia kala. Lobang itu ternyata hampir lima belas tombak dalamnya.
Setengah bagian sebelah atas dari tanah sedang setengah bagian sebelah bawah dilapisi dengan batu. Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya, orang yang masuk ke lobang ini menyerosot turun tanpa mengeluarkan sedikit suarapun. Dia sampai di satu lorong sempit dan gelap. Lantai, dinding dan atap lorong yang terbuat dari batu itu penuh dengan debu tebal. Agaknya lorong tersebut tak pernah dilalui orang selama bertahun-tahun.
Ditempuhnya lorong itu hingga dia mencapai sebuah pengkolan. Tepat di pengkolan ini terdapat dua buah pintu Pengkolan itu sendiri buntu. Orang itu menggaruk rambutnya yang gondrong. Rambut gondrong dan kebiasaan menggaruk kepala yang tidak gatal bukan lain dua ciri-ciri khas dari Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Dan memang orang yang menyelinap masuk ini adalah Wiro Sableng!
Dengan penuh hati-hati Wiro mendekati pintu sebelah kiri. Ternyata pintu itu tidak dikunci. Dan ketika dibuka, kelihatanlah sebuah ruangan empat persegi. Di dalam ruangan ini terdapat sebuah roda besi yang amat besar. Bagian pusat dari roda besi ini berhubungan dengan dua puluh helai kawat-kawat halus. Selanjutnya kawat-kawat halus ini menyelusup ke bagian atas ruangan tak diketahui Wiro kemana seterusnya.
"Mungkin sekali ini adalah senjata rahasia" pikir Wiro Sableng.
Ditutupnya pintu itu kembali lalu bergerak ke pintu yang satu lagi. Begitu dibuka maka kelihatanlah sebuah tangga batu pualam yang menuju ke atas. Tak membuang-buang waktu Wiro segera melompat dan sampai di sebuah lorong yang sangat bagus. Dinding-dindingnya penuh dengan lukisan-lukisan sedang sebagian dari gang itu tertutup permadani berbunga-bunga. Pada sisi kiri kanan lorong terdapat masing-masing sebuah pintu. Pintu yang ketiga terletak di ujung gang. Perlahan-lahan dan hati-hati sekali Wiro Sableng bergerak mendekati kedua pintu di kiri kanan lorong.
Tiba-tiba dia menghentikan langkahnya. Dari pintu sebelah kanan terdengar suara orang bercakap-cakap. Seorang laki-laki dan seorang perempuan. Suara yang perempuan ini rasa-rasa pernah didengar Wiro Sableng. Cepat pendekar ini tempelkan telinganya ke daun pintu untuk mendengarkan pembicaraan kedua orang di dalam kamar.
Sementara itu di dalam kamar Raja Rencong Dari Utara duduk di sebuah kursi besar. Dia mengenakan pakaian ungu yang baru bertaburkan mutiara. Di tangan kirinya ada sebuah piala berisi anggur harum. Setelah meraba sebentar kumisnya yang tebal hitam melintang, laki-laki ini bertanya,
"Apakah semua tamu sudah datang?" Pertanyaannya itu diajukan pada gadis berbaju ungu yang berdiri di hadapannya, parasnya cantik jelita dan dia bukan lain Pandansuri anak Raja Rencong sendiri.
"Sudah" menjawab Pandansuri. "Agaknya sudah waktunya bagi ayah untuk keluar"
"Ya sudah waktunya" kata Raja Rencong pula dengan tersenyum. Diteguknya anggur dalam piala. Tangannya yang memegang piala tiba-tiba diturunkan dan dia memandang lagi pada anaknya.
"Pemuda rambut gondrong yang bertempur denganmu di rumah makan Dang Lariku apa juga kelihatan?"
"Sampai saat terakhir saya mengintai dari jendela rahasia di Arena Topan Utara dia tidak kelihatan"
"Panglima Sampono dan ketiga kawannya itu juga hadir?"
Pandansuri mengangguk. Raja Rencong Dari Utara meletakkan piala anggur ke atas meja lalu berdiri. "Segera aku meninggalkan kamar ini, kau cepat menuju ke kamar pesawat rahasia itu. Di mimbar telah kupasang sebuah tombol. Kelak bila tombol itu kutekan pesawat rahasia itu akan berbunyi dan detik itu juga kau harus mencabut dua puluh helai kawat-kawat halus pada pusat pesawat secara sekaligus! Kau mengerti tugasmu, Pandansuri?"
"Mengerti ayah" jawab Si gadis.
Raja Rencong Dari Utara tertawa lalu berkata, "Sekali kawat-kawat itu terlepas dari pusat pesawat,lantai Arena Topan Utara akan ambruk, atau akan runtuh. Semua keparat-keparat yang ada di situ akan tertimbun hidup-hidup! Akan mampus!"
"Dan kita ayah dan anak akan menguasai dunia persilatan di seluruh Pulau Andalas ini!"
"Benar! Benar sekali!" kata Raja Rencong dengan tertawa gelak-gelak. "Namun demikian, meski keparat-keparat di Arena Topan Utara itu sudah berada dalam perangkap kita, segala hal yang tak terduga mungkin saja terjadi. Agar kau dapat menjalankan tugas dengan aman, kau bawalah pedang ini".
Raja Rencong Dari Utara menyerahkan sebilah pedang ke tangan anaknya. "Senjata ini tidak kalah hebatnya dengan Rencong Perakmu yang hilang itu. Pandansuri"
Pandansuri menerima senjata itu. Kemudian dilihatnya ayahnya mengeluarkan sehelai lipatan kertas. "Sekali lagi kukatakan" ujar Raja Rencong pula. "Segala kemungkinan yang tak diingini bisa terjadi. Surat ini kuberikan padamu, anakku. Kelak kau baru boleh membukanya jika aku menemui ajal secara tak terduga di Arena Topan Utara nanti. Jika segala sesuatunya berjalan beres, surat itu musti kau kembalikan padaku"
"Ayah, apakah artinya ini?" tanya Pandansuri. Kata-kata dan surat yang diserahkan ayahnya itu membuat hatinya tidak enak.
Raja Rencong Dari Utara tertawa perlahan. Ditepuknya bahu Pandansuri. Dibukanya mulutnya hendak mengatakan sesuatu tapi mendadak kepalanya dipaling ke pintu kamar. "Seperti ada seseorang yang tengah mencuri dengar pembicaraan kita Pandan"
Pandansuri menoleh ke pintu lalu berkata, "Ah itu cuma perasaan ayah saja. Siapa orangnya yang berani menyusup ke sini dari Arena Topan Utara? Sekali dia memasuki lorong pertama pasti tubuhnya akan tertambus senjata-senjata rahasia meski bagaimana pun tinggi ilmunya!"
Raja Rencong membenarkan hal itu. Namun kekawatiran belum lenyap dari hatinya. "Menyusup dari Arena Topan Utara memang tidak mungkin. Tapi yang aku kawatirkan ialah penyusupan lewat lobang rahasia di bagian belakang bangunan tua. Dari lobang sampai ke lorong dan sampai ke sini sama sekali tidak dirintangi oleh satu senjata rahasia pun!"
"Ayah" kata Pandansuri tertawa. "Menurut keteranganmu satu-satunya manusia yang mengetahui seluk beluk dan jalan rahasia masuk ke tempat ini ialah Tua Gila, Dan orang itu sudah mati belasan tahun yang silam. Apakah dia mungkin hidup kembali dan menggerayang ke sini?!"
Raja Rencong Dari Utara merasa malu pada dirinya sendiri. Namun telinganya yang tajam itu tadi telah mendengar suara hembusan nafas tepat di belakang daun pintu kamar dimana dia berada. Melihat ayahnya masih berada dalam kebimbangan, Pandansuri berkata lagi,
"Kalaupun ada seseorang yang berhasil masuk ke sini, masakan telinga ayah tak sanggup mendengar gerakan langkahnya?!"
"Aku belum puas kalau belum menyelidikinya sendiri" kata Raja Rencong pula. Lalu dengan cepa tmelompat ke pintu!
EMPAT BELAS
Di luar kamar sewaktu mendengar ucapan Raja Rencong bahwa dia merasa ada seseorang yang mendengarkan pembicaraannya maka Wiro segera maklum cepat atau lambat laki-laki itu akan segera ke luar untuk menyelidik. Untuk lari ke ujung lorong yang tadi dilewatinya terlalu besar risikonya karena ujung lorong itu jauh sekali.
Untuk baku hantam menempur Raja Rencong dan Pandansuri baginya bukan halangan. Sekalipun dia harus pasrahkan nyawa dia bisa mati dengan rela. Tapi yang paling penting ialah menyelamatkan jiwa puluhan tokoh-tokoh sakti yang ada di Arena Topan Utara, terutama mereka yang dari golongan putih. Wiro Sableng melangkah cepat ke pintu disamping kiri.
Didorongnya pintu itu tapi ternyata dikunci. Mendobrak pintu itu akan menimbulkan suara berisik dan sama saja dengan memberi tahu terang-terangan kehadirannya di situ pada Raja Rencong. Wiro berkelebat ke pintu di ujung depan lorong. Baru saja dia berdiri di depan pintu itu mendadak terdengar suara macam nyamuk mengiang di telinganya.
"Cepatlah masuk anakku"
Wiro terkejut bukan main. Meski tidak tahu apakah yang bakal ditemui di dalam sana, perangkap yang sangat berbahaya namun tanpa pikir panjang dalam keadaan kepepet begitu rupa Wiro Sableng segera mendorong daun pintu. Pintu itu ternyatatak dikunci. Wiro cepat masuk ke dalam. Ketika daun pintu itu tertutup kembali maka daun pintu dilorong sebelan kanan terbuka.
Raja Rencong Dari Utara ke luar. Matanya meneliti setiap sudut lorong. Tak seorangpun yang kelihatan. Namun Raja Rencong tak yakin bahwa perasaan dan telinganya telah menipunya. Sekali dia melompat maka dia sudah sampai di pintu kamar di ujung lorong dan sekaligus membuka pintu itu!
Sewaktu Wiro masuk ke dalam kamar itu satu pemandangan yang luar biasa membuat dia sangat terkejut hingga sepasang kakinya laksana dipakukan ke lantai. Kamar itu tak seberapa besar. Meski bagian luarnya kelihatan bagus tapi di dalamnya hanya merupakan dinding lantai dan atap batu yang kasar. Seluruh kamar diselimuti debu.
Di beberapa sudut laba-laba telah membuat sarangnya. Di tengah-tengah kamar inilah kelihatan duduk seorang laki-laki tua bermuka biru, berpipi sangat cekung. Tubuhnya yang kurus tertutup sehelai jubah biru yang luar biasa besarnya hingga bagian bawahnya menutupi hampir seluruh lantai kamar. Kedua tangan orang tua ini buntung sebatas siku, salah satu telinganya sumplung.
Pada lehernya terikat sebuah rantai baja yang ujungnya dipantek dengan sebuah paku besar kedinding batu di belakangnya. Sikap orang tua ini yang memeramkan matanya tak ubahnya seperti orang yang tengah bersemedi.
"Orang tua, kau siapa?!" tanya Wiro.
Orang tua itu membuka kedua matanya. Astaga! Wiro merasa tengkuknya dingin. Kedua mata itu hanya merupakan sepasang rongga yang dalam dan mengerikan!
"Anak tolol! Lekas sembunyi dalam jubah dibelakang punggungku!" kata si orang tua.
Wiro Sableng yang sadar akan keadaannya segera mengikuti perintah si orang tua. Namun demikian karena dia tiada mengenal siapa adanya orang tua ini dan bukan mustahil seorang musuh yang hendak menjebak maka sambil menyusup ke dalam jubah biru yang lebar diam-diam Wiro siapkan pukulan sinar matahari di tangan kiri sedang tangan kanan memegang gagang Kapak Naga Geni 212!
"Anak, aku bukan musuhmu! Kenapa musti meraba senjata segala?!" tiba-tiba terdengar suara mengiang di telinga Wiro Sableng.
Suara orang tua itu! Orang ini hebat sekali, tentu sakti luar biasa, pikir Wiro. Tapi mengapa kedua tangannya buntung dan matanya buta sedang lehernya dirantai begitu rupa? Tiba-tiba pintu terbuka dan terdengar bentakan Raja Rencong Dari Utara,
Tua renta buta! Siapa yang masuk ke sini?!"
Si orang tua menghela nafas dalam lalu menjawab. Suaranya kecil sekali seperti suara anak perempuan. "Jika aku sampai tidak mengetahui ada seorang yang masuk ke sini itu bukan karena ketololanku tapi karena mataku memang tak melihat. Tapi jika kau yang punya mata dan telinga tajam sampai tidak mengetahuinya dan malah bertanya padaku itu adalah satu ketololan yang tak ada taranya! Apakah kau lihat ada orang lain di kamar ini?!"
Ejekan itu membuat Raja Rencong Dari Utara memaki habis-habisan. Memang selain orang tua itu tak ada siapapun di situ"
Apakah kau sudah memeriksa, Hang Kumbara?" bertanya si orang tua.
"Tutup mulutmu setan tua!"
Dimaki begitu rupa malah si orang tua tertawa dan menyahuti, "Hari ini hari peresmian berdirinya Partai Topan Utara bukan?!"
"Kunyuk peot! Kau tahu apa tentang Partai Topan Utara!" semprot Raja Rencong.
"Aku memang tidak tahu-tahu apa-apa. Tapi di balik ketidak tahuan itu aku mendapat firasat bahwa Partai mu itu akan runtuh sebelum saat diresmikannya. Dan kau sendiri akan mampus Hang Kumbara!"
"Ya, aku akan mampus!" jawab Hang Kumbara alias Raja Rencong Dari Utara. "Tapi sebelum mampus, untuk yang keseratus kalinya terima dulu tamparanku ini!"
"Plaakkk...!"
Tamparan yang dilayangkan Raja Rencong keras luar biasa. Tubuh si orang tua terhuyung-huyung dirasakan oleh Wiro tapi tidak roboh. Mulutnya mengucurkan darah! Wiro Sableng marah sekali melihat orang tua yang telah tolong menyembunyikan dirinya diperlakukan begitu rupa. Segera saja dia hendak melompat ke luar dari balik jubah.Tapi ditelinganya terdengar suara seperti ngiangan nyamuk,
"Jangan tolol anak!"
Terpaksa Wiro Sableng mendekam terus di belakang punggung orang tua itu. Kemudian terdengar pintu kamar ditutupkan, Raja Rencong telah ke luar.
"Sekarang kau keluarlah!" kata orang tua itu.
Wiro keluar dari balik jubah lalu menjura hormat, "Terima kasih atas budi pertolonganmu, orang tua. Harap kau sudi menerangkan namamu. Kelak di kemudian hari aku harap bisa membalas budi besarmu ini..."
Orang tua itu tertawa. "Sewaktu mendengar langkahmu di bagian belakang bangunan tua, sewaktu kudengar kau mengangkat rerumpunan semak-semak lalu menyusup turun ke dalam lorong hatiku gembira. Ku kira kau adalah Tua Gila. Tapi dari suara langkahmu kuketahui kemudian bahwa kau bukanlah si Tua Gila. Namun demikian aku yakin kau ada sangkut paut dengan orang tua itu. Mungkin sekali kau muridnya. Betul?"
Wiro Sableng melengak. "Aku hanya menerima beberapa jurus ilmu silat dari Tua Gila. Bagaimana kau bisa tahu semua gerak gerikku?" tanya Wiro heran.
"Ilmu yang tinggi adalah seribu mata dengan seribu telinga bagi seseorang" jawab si orang tua. "Tapi semuanya itu berakhir dalam kesia-siaan. Buktinya diriku ini"
"Kenapa kau sampai dirantai begini rupa?" tanya Wiro.
"Muridku sendiri yang melakukannya" jawab si orang tua penuh rawan dan penyesalan.
"Muridmu?!" kejut Wiro.
"Kau terkejut? Tak perlu terkejut atau heran orang muda. Di dunia ini sekarang penuh dengan orang-orang sesat dan murtad!"
"Kalau aku boleh bertanya, siapa muridmu itu?"
"Masakan kau tidak bisa menerka. Hang Kumbara!"
"Maksudmu Raja Rencong Dari Utara?"
"Itu gelarnya"
"Benar-benar terkutuk manusia itu!" geram Wiro. Sekali digerakkannya-tangan kanannya membetot maka tanggallah paku di dinding batu. Dengan cepat Wiro lalu melepaskan rantai yang mengikat leher orang tua itu.
"Terima kasih anak. Tenaga dalammu luar biasa sekali..."
"Aku cuma punya waktu sedikit, orang tua. Harap kau sudi memberikan sedikit keterangan tentang dirimu. Kelak kalau tugasku selesai aku akan membawamu dari tempat terkutuk ini!"
"Terima kasih... terima kasih! Tak perlu kau bawa diriku yang sudah pikun cacat dan tak berharga ini. Dengar anak, namaku adalah Nyanyuk Amber. Dulu aku diam di Gunung Singgalang sampai kedatangannya Hang Kumbara manusia laknat itu. Dia datang mengemis ilmu padaku. Karena kulihat sifatnya baik dan lagi pula dia adalah murid kenalan baikku si Datuk Mata Putih maka aku tak keberatan mewariskan beberapa ilmu yang hebat kepadanya! Tapi siapa nyana kalau manusia itu sesungguhnya sudah sejak lama mendekam maksud jahat hendak menimbulkan bencana di atas jagat ini. Maksudnya mendirikan Topan Utara dan memaksa orang-orang untuk menghadirinya adalah bohong belaka! Sebenarnya dia sengaja untuk menghimpun seluruh orang-orang pandai di sini lalu dibunuh secara masal. Gurunya sendiripun, gurunya yang pertama sebelum aku yaitu Datuk Mata Putih dia juga yang membunuhnya! Benar-benar manusia iblis yang haus darah"
Si orang tua yang bernama Nyanyuk Amber menghela nafas panjang lalu berkata, "Meski bagaimanapun dibandingkan dengan Datuk Mata Putihaku masih bernasib lumayan, tidak dibunuh! Tapi apakah artinya hidup cacat begini rupa?!"
"Apakah Hang Kumbara juga yang telah memutus kedua lengan mu?" tanya Wiro.
"Bukan hanya lenganku anak. Bukan hanya lenganku! Coba kau singkap jubah ini dibagian kakiku"
Wiro menyingkapkan jubah biru Nyanyuk Amber. Astaga, ternyata kedua kaki orang tua itu sebatas lutut juga telah buntung!
"Hang Kumbara yang melakukannya" desis Nyanyuk Amber. "Juga kedua mataku ini dia yang mengorek!"
Benar-benar laknat terkutuk yang kejam luar biasa!" kata Wiro geram. "Orang tua, aku berjanji untuk memecahkan kepalanya demi membalaskan sakit hatimu. Tapi orang tua mengapa dia sampai melakukan kekejaman begini rupa terhadapmu?"
Nyanyuk Amber menghela nafas dalam lalu menjawab, "Seperti Datuk Mata Putih akupun datang ke sini untuk menginsyafkan Hang Kumbara dari kesesatannya! Tapi dengan ilmu yang kuajarkan kepadanya Hang Kumbara menyerangku. Tubuhku berhasil ditotoknya. Kedua tangan dan kakiku dipotong, kedua mataku dicongkel. Dalam keadaan tubuh masih tertotok aku diseret ke sini dan leherku dirantai!"
"Keparat betul manusia itu! Belum pernah aku menemui manusia sejahat dia. Tapi apa pula sebabnya dia mempunyai niat jahat untuk melenyapkan seluruh orang-orang pandai yang kini berada di Arena Topan Utara itu!"
"Panjang kisahnya anak, panjang sekali! Kelak jika sama-sama ada umur akan kututurkan padamu. Sekarang lakukanlah apa yang bisa kau lakukan untuk menyelamatkan jiwa orang-orang yang berada di Arena Topan Utara!"
Wiro mengangguk. Sebelum pergi dilepaskannya totokan di tubuh Nyanyuk Amber. Si orang tua itu mengucapkan terima kasih. Tiba-tiba ingat sesuatu. "Orang tua, kalau sekiranya tak dapat dicegah penghancuran Arena Topan Utara oleh Raja Rencong, mungkin tempat ini turut musnah. Sebaiknya kuselamatkan dulu kau ke tempat yang aman!"
"Ah, kau terlalu memikirkan diriku, anak. Tempat ini cukup jauh dari Arena Topan Utara, tak akan sampai ambruk. Kau pergilah cepat sebelum terlambat"
Mendengar ucapan itu maka Wiro pun meninggalkan kamar itu dengan cepat.
********************
www.zheraf.net
LIMA BELAS
Arena Topan Utara. Ruangan ini penuh sesak oleh manusia. Di Tengah-tengah terletak sebuah mimbar dan berdiri di belakang mimbar itu ialah Raja Rencong Dari Utara. Matanya yang menyorot memandang ke arah tamu-tamu yang hadir. Pada dasarnya semua tamu itu terbagi atas dua golongan yaitu golongan putih dan golongan hitam.
Namun golongan putih telah terpecah menjadi dua hingga dengan demikian semua orang pandai di situ terbagi menjadi tiga golongan. Golongan pertama ialah golongan hitam yang secara mutlak tunduk dan berada di pihak RajaRencong Dari Utara. Golongan kedua ialah golongan putih yang telah ditaklukkan oleh Raja Rencong dan dipaksa untuk masuk serta menghadiri peresmian berdirinya Partai Topan Utara.
Baik golongan hitam maupun golongan putih yang tersebut di atas semuanya telah masuk perangkap Raja Rencong, dicekok dengan pil-pil kematian yang disuruh telan secara paksa oleh Raja Rencong pada saat mereka menyatakan diri bersedia masuk ke dalam Partai Topan Utara.
Golongan putih yang kedua ialah mereka yang sengaja datang ke Bukit Toba bukan untuk menghadiri peresmian Partai tapi untuk membalas dendam, untuk membalaskan sakit hati kawan-kawan mereka yang telah menemui kematian di tangan Raja Rencong Dari Utara atau di tangan anaknya!
Raja Rencong sendiri sudah mengetahui jelasakan golongan-golongan para tamunya. Dalam hati dia tertawa. Tertawa karena dia tak perduli siapapun adanya para tamu itu, apakah dari golongan putih ataupun hitam, yang jelas mereka semua sudah berada di tempat itu yang berarti sudah masuk kedalam perangkap mautnya. Raja Rencong melirik ke sebuah tombol merah yang terletak di kayu mimbar dekat tangan kanannya!
Sekali dia menekan tombol ini maka tubuhnya akan melesat keatas, ke luar dari ruangan tersebut lewat sebuah celah yang terbuka secara otomatis sedang pada detik itu pula lantai Arena Topan Utara akan longsor kebawah, atap runtuh. Begitu semua orang tertimbun hidup-hidup maka seluruh Arena Topan Utara akan meledak hingga jangan diharapkan satu nyawapun bisa selamat dari tempat itu!
Setelah memandang berkeliling. Maka Raja Rencong Dari Utara pun membuka suara, "Saudara-saudara sekalian, pertama sekali aku Raja Rencong Dari Utara, mengucapkan banyak terima kasih atas kedatangan saudara-saudara. Beserta dengan ucapan terima Kasih itu aku sampaikan pula permohonan maaf karena mungkin penyambutan dan layanan terhadap saudara-saudara kurang memuaskan dan juga maaf karena peresmian berdirinya Partai Topan Utara ini tidak disertai upacara dan pesta besar-besaran. Saudara-saudara sekalian, dalam mendirikan Partai Topan Utara ini aku sama sekali tidak melihat kepada asal usul saudara-saudara atau menilai golongan mana adanya saudara. Bagi ku, jika saudara-saudara sudah mau datang dan hadir di sini maka berarti saudara-saudara semua sudah masuk menjadi anggota Partai Topan Utara!"
Ucapan ini membuat tokoh-tokoh silat golongan putih yang datang untuk menuntut balas kematian kawan-kawan mereka menjadi gelisah. Dan diantara kegelisahan itu maka melesatlah ke atas Arena empat sosok tubuh. Mereka adalah panglima Sampono, Datuk Nan Sabatang, Lembu Ampel dan Sebrang Lor. Sementara tiga orang kawannya berdiri berjejer maka Panglima Sampono maju ke hadapan mimbar. Suasana di Arena menjadi sesunyi di pekuburan!
"Manusia-manusia tak tahu aturan!" bentak Raja Rencong marah sekali. "Perbuatan mu naik ke depan mimbar merupakan penghinaan besarbagi semua anggota Partai yang hadir di sini!"
"Raja Rencong!" menyahut Panglima Sampono. "Kami berempat ke sini bukan untuk masuk Partai mu tapi untuk minta pertanggungan jawab atas kematian sobat-sobat kami tokoh-tokoh silat golongan putih!"
"Kalau begitu berarti kalian ingin segera menyusul mereka!" tukas Raja Rencong. Dia berpaling ke Arena sebelah timur dan berseru, "Empat Tombak Sakti! Lenyapkan pengacau-pengacau ini!"
Baru saja seruan Raja Rencong berakhir maka melompatlah empat orang berpakaian ringkas hitam.Tampang-tampang mereka galak buas dan mengerikan! Dalam kejap itu pula empat buah tombak menderu ke arah kepala Panglima Sampono dan ketiga kawannya. Pertempuran antara Empat Tombak Sakti melawan Panglima Sampono, Datuk Nan Sabatang, Sebrang Lor dan Lembu Ampel berjalan seru sekali. Kedua belah pihak agaknya berimbangan.
Serangan-serangan datang silih berganti. Namun walau bagaimana pun seimbangnya satu pertempuran, pada suatu saat tertentu pasti salah satu pihak akan menjadi pecundang. Setelah bertempur hebat selama lima belas jurus maka korban pertamapun robohlah. Korban pertama ini orang ketiga dari Empat Tombak Sakti, meregang nyawa di ujung pedang Sebrang Lor.
Panglima Sampono kemudian berhasil pula merobohkan orang kedua dari Empat tombak Sakti hingga dengan bertempur kini adalah Datuk Nan Sabatang dan Lembu Ampel melawan orang ke satu dan ke empat. Tingkat kepandaian Datuk Nan Sabatang dan Lembu Ampel hanya sedikit lebih rendah dari Panglima Sampono maka setelah lima jurus lagi berlalu kedua orang terakhir dari Empat Tombak Sakti itupun menemui ajalnya pula. Raja Rencong Dari Utara marah luar biasa.
"Tongkat Baja Hijau. Majulah untuk menghancurkan empat bangsat-bangsat rendah ini!"
Sekelebat sosok tubuh berpakaian hijau melesat ke atas Arena. Orang ini berbadan tinggi langsing. Tubuhnya agak bungkuk dan usianya sudah lanjut. Di tangan kanannya ada sebuah tongkat yang hampir sebetis besarnya. Tongkat ini terbuat dari baja asli dan dilapisi racun hijau yang dahsyat!
"Lekas lenyapkan mereka Tongkat Baja Hijau!" kata Raja Rencong.
Tongkat Baja Hijau tertawa mengekeh. Tongkat bajanya diketuk-ketukkan ke lantai Arena. Hebat sekali, semua orang merasa bagaimana lantai yang mereka injak jadi bergetar! Panglima Sampono dan kawan-kawan segera maklum bahwa manusia berjubah hijau ini tinggi sekali ilmunya dan senjata di tangannya sangat berbahaya.
"Tak usah kawatir Raja Rencong" kata Tongkat Baja Hijau. "Manusia-manusia macam kunyuk-kunyuk ini mudah saja dibereskan!" Lalu dia menyapu paras keempat orang di hadapannya dan bertanya, Hai, kalian mau maju satu-satu atau berempat sekaligus? Bagusnya berempat saja biar cepat kubereskan!"
Merah paras keempat tokoh itu. Panglima Sampono bergerak tapi Sebrang Lor mendahuluinya melompat ke hadapan Tongkat Baja Hijau. "Tongkat Baja Hijau. Setahu ku dulu kau adalah seorang tokoh golongan putih! Sungguh disayangkan di samping sesat kau juga mau-mauan masuk menjadi bergundalnya Raja Rencong, murid murtad si pembunuh guru itu! Kau mulailah Mari kita bertempur sampai ratusan jurus!"
Tongkat Baja Hijau mengekeh. "Jika aku tak salah lihat, kau adalah manusia yang bernama Sebrang Lor. Tempatmu jauh ditanah Malaka. Aneh juga kalau kau sampai nyasar ke sini! Orang Malaka jangan jual lagak di sini, kau tahu hanya namamu saja yang kembali ke negeri mu!" Habis berkata begitu Tongkat Baja Hijau menyerbu ke muka. Sinar hijau menderu dari tongkat mustikanya.
Sebrang Lor segera pula kiblatkan pedang berkeluknya. Maka pecahlah pertempuran yang hebat. Tapi kehebatan itu segera berubah menjadi satu pertempuran yang tidak seimbang. Serangan-serangan tongkat hijau datang mencurah laksana hujan. Dalam jurus keempat senjata itu menderu ke bahu Sebrang Lor tanpa bisa ditangkis dan dikelit! Sebrang Lor menjerit! Tubuhnya terguling-guling ke luar Arena, nyawanya lepas!
"Keparat, aku lawanmu!" teriak Datuk Nan Sabatang menggeledek. Tubuhnya berkelebat dan keris biru meluncur dahsyat ke arah tenggorokan Tongkat Baja Hijau!
"Jangan omong besar Datuk!" ejek Tongkat Baja Hijau. Sekali tongkatnya disapukan Datuk Nan Sabatang tersurut sampai lima langkah!
"Ha-ha-ha! Aku muak bertempur satu lawan satu! Ayo Panglima dan Lembu Ampel, kalian berdua majulah!"
Sambil menyerang Datuk Nan Sabatang, Tongkat Baja Hijau sekaligus melancarkan serangan pada Panglima Sampono dan Lembu Ampel! Mula-mula kedua orang ini tak mau ikut turun ke dalam kalangan pertempuran. Tapi karena diserang terus-terusan mau tak mau akhirnya kedua orang ini turun juga ke gelanggang. Bagi orang-orang yang ada di situ nama Panglima Sampono dan kawan-kawannya adalah nama-nama besar.
Namun sewaktu melihat bagaimana dengan seorang diri Si Tongkat Baja Hijau berhasil mendesak ketiga lawannya maka diam-diam semua orang memuji kehebatan Si Tongkat Baja Hijau. Dalam jurus ke sepuluh terdengar pekik Datuk Nan Sabatang. Tubuhnya mencelat mental. Kepala pecah karena tongkat lawan bersarang tepat di kepalanya!
"Tongkat Baja Hijau, yang dua lainnya segera saja dibereskan cepat-cepat!" berseru Raja Rencong.
"Jangan kawatir Raja Rencong" jawab Tongkat Baja Hijau.
Didahului oleh satu bentakan yang menggelegar Si Tongkat Baja Hijau mengeluarkan satu jurus yang lihay luar biasa! Tokoh-tokoh silat golongan putih yang hadir di situ terkesiap dan cemas. Serangan lawan yang hebat tak mungkin dikelit atau ditangkis karena tongkat baja yang dahsyat itu hanya tinggal sejengkal saja lagi dari kepala Panglima Sampono dan Lembu Ampel!
Dalam detik yang tegang itu tiba-tiba berkelebat satu bayangan putih. Satu gelombang angin yang bukan kira-kira dahsyatnya menderu laksana topan menggila. Beberapa tokoh silat yang berada di tepi Arena merasa tubuh mereka tergetar oleh sambaran angin itu dan tahu-tahu terdengar pekik Si Tongkat Hijau!
Orang dan tongkatnya mencelat sampai menghantam dinding Arena. Begitu jatuh nyawanya sudah lepas dengan muka hancur memar. Di tengah Arena semua mata menyaksikan berdirinya seorang pemuda berambut gondrong dengan senyum di bibirnya!"
"Pemuda gondrong! Kau siapa?!" bentak Raja Rencong.
"Siapa aku bukan urusanmu. Terlebih dulu perkenankan aku bicara!"
"Keparat! Kau terlalu berani mampus!" damprat Raja Rencong. Dia berpaling kekanan dan berseru, "Sepasang Pengemis Gila bunuh pemuda ini!" lalu sambil berpaling ke kiri, "Datuk Arak Sakti musnahkan Panglima Sampono dan Lembu Ampel!"
Dari Arena sebelah kanan melesat dua orang berambut acak-acakan dan berpakaian kotor bertambal-tambal. Mereka inilah Sepasang Pengemis Gila. Keduanya sambil berteriak-teriak tak karuan langsung menyerang Pendekar 212 Wiro Sableng. Di kejap yang sama dari samping kiri melompat pula seorang berpakaian merah, dari mulutnya menyembur arak yang menyerang ke seluruh jalan darah di tubuh Panglima Sampono dan Lembu Ampel!
Kedua orang ini terkejut dan cepat-cepat memukul ke depan. Namun di saat itu terjadilah satu peristiwa yang membuat semua orang kaget dan kagum luar biasa! Tiga jeritan terdengar susul menyusul! Tiga tubuh mencelat mental dan terbanting ke dinding lalu roboh di antara orang banyak. Apakah yang telah terjadi?
Sewaktu Sepasang Pengemis Gila dengan berteriak-teriak melompat menyerang Wiro dan sewaktu Datuk Arak Sakti menggempur Panglima Sampono dan Lembu Ampel, Pendekar 212 Wiro Sableng mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah orang-orang yang menyerang itu. Dua pukulan yang dilancarkannya bukan lain pukulan 'Dewa Topan Menggusur gunung' yang dipelajari Wiro Sableng dari Tua Gila.
Pukulan yang luar biasa hebatnya itu, mana sanggup diterima oleh Sepasang Pengemis Gila dan Datuk Arak Sakti. Tak ampun lagi ketiganya terlempar dan mati! Baik tokoh-tokoh golongan hitam maupun golongan putih sama-sama leletkan lidah melihat kehebatan si pemuda. Di lain pihak mata Raja Rencong terbeliak besar-besar. Dua pukulan yang dilepaskan pemuda rambut gondrong itu adalah pukulan 'Dewa Topan Menggusur Gunung.
Dan setahunya hanya satu orang yang memiliki ilmu pukulan dahsyat itu yakni Tua Gila! Tapi si pemuda telah melancarkan ilmu pukulan itu tadi yang berarti dia punya sangkut paut dengan Tua Gila! Rasa kecut membuat dingin tengkuk Si Raja Rencong, Inilah untuk pertama kalinya dia merasa ngeri! Tua Gila sudah lama didengarnya meninggal, dan seumur hayatnya tak pernah punya murid.
Tapi bagaimana sekarang ada seorang pemuda memiliki ilmu pukulan Tua Gila? Apakah Tua Gila masih hidup dan telah mengambil seorang murid? Dan yang lebih mengawatirkannya lagi apakah Tua Gila juga berada di dalam ruangan itu? Dan untuk pertama kalinya Raja Rencong ingat akan kecurigaannya sewaktu berada di kamar bersama Pandansuri tadi. Jika betul pemuda rambut gondrong itu murid Tua Gila, pastilah dia telah menyelusup lewat jalan rahasia di bagian belakang bangunan tua.
Tapi dimana dia bersembunyi sewaktu seluruh tempat diselidikinya tadi? Raja Rencong Dari Utara tak mau berpikir berpanjang-panjang. Saat itu sudah tiba waktunya untuk menekan tombol merah di atas mimbar. Sambil tertawa mengekeh Raja Rencong menggerakkan jari telunjuknya ke tombol merah dan berseru,
"Manusia-manusia tolol, kalian semua pergilan ke neraka!"
Dan jari telunjuk itupun ditekan sekuat-kuatnya pada tombol merah! Mata Raja Rencong membeliak seperti mau tanggal dari sarangnya. Parasnya berobah total terkejut amat sangat! Sewaktu tombol ditekan, atap di atas tidak membuka, lantai Arena Topan Utara tidak ambruk. Seperti tak percaya akan dirinya sendiri Raja Rencong menekan lagi tombol merah itu. Lagi, lagi dan lagi sampai berulang kali. Tetap saja tak satu pun yang terjadi. Tiba-tiba didengarnya suara tertawa bergelak. Ketika dia mengangkat kepala yang tertawa itu bukan lain si pemuda berambut gondrong Wiro Sableng!
"Kau heran dan terkejut melihat ruangan ini tidak amblas, tidak hancur lebur?"
Wiro tertawa lagi gelak-gelak. "Ha-ha-ha! Pesawat rahasia terkutukmu yang hendak membunuh semua orang yang hadir di sini tidak bisa berjalan, Raja Rencong!"
Bukan main marahnya Raja Rencong Dari Utara. Tanpa menunggu lebih lama lagi segera sepuluh jari tangannya dijentikkan!Sepuluh larik sinar merah kekuningan menderu menyambar Pendekar 212. Wiro sudah pernah menyaksikan keganasan ilmu pukulan kuku api yang dimainkan oleh Pandansuri! Kalau Raja Rencong yang mengeluarkannya tentu lebih dahsyat lagi!
Karenanya pemuda ini cepat-cepat melompat ke atas seraya lepaskan pukulan sinar matahari. Ruangan itu laksana mau pecah sewaktu pukulan sinar matahari beradu dengan dahsyatnya dengan pukulan kuku api! Karena tenaga dalam Wiro dan Raja Rencong berada dalam tingkat yang sama maka setelah saling berbentur kedua sinar pukulan sakti itu melesat ke kiri dan buyar keempat penjuru!
Jerit kematian terdengar di bagian itu. Sembilan orang tokoh golongan hitam roboh hangus! Delapan tokoh golongan putih meregang nyawa! Dengan serta merta kacau balaulah suasana! Di antara kekacau balauan itu Wiro berteriak keras,
"Semua tokoh silat yang ada di sini mari bersama-sama mencincang manusia biang malapetaka ini. Sebelumnya dia telah punya rencana untuk mengubur kalian hidup-hidup di bawah ruangan ini!"
Mendengar teriakan itu tak perduli tokoh silat golongan manapun laksana air bah serentak menyerbu Raja Rencong! Raja Rencong adalah tokoh silat sakti luar biasa. Namun melihat lebih dari dua puluh jago-jago ternama menyerbunya ditambah dengan kegugupan, nyalinya jadi meleleh! Dia segera berkelebat melarikan diri. Namun lebih cepat dari itu Wiro Sableng sudah menghadangnya dengan Kapak Naga Geni 212 siap di tangan!
"Keparat! kau kubunuh lebih dulu!" teriak Raja Rencong.
"Sreettt...!"
Raja Rencong cabut Rencong Emas maka sinar kuningpun bertaburlah. Di lain kejap puluhan senjata berkelebat menggempur Raja Rencong dan di depan sekali Kapak Naga Geni 212 menderu laksana seribu tawon mengamuk!
"Tranggg...!"
Rencong Emas dan Kapak Naga Geni 212 beradu. Bunga api berpercikan! Raja Rencong terkejut bukan main. Senjata di tangannya hampir saja terlepas dilanda senjata lawan! Dan rasa terkejut ini masih belum habis sewaktu laksana kilat Kapak lawan kembali menderu di depan hidungnya sementara dari sekelilingnya menggempur puluhan senjata tajam!
Raja Rencong Dari Utara keluarkan jurus yang hebat yang dinamakan jurus 'Sepasang Kincir Sakti Menghadang Bumi'. Kedua tangannya kiri kanan bergerak cepat. Jurus ini bukan saja merupakan jurus pertahanan yang paling tangguh dari ilmu silatnya namun sekaligus juga merupakan jurus serangan yang hebat luar biasa. Sinar kuning Rencong Emas bergulung gulung sedang lima jari tangan kiri tak henti-hentinya dijentikkan melancarkan ilmu pukulan kuku api!
Beberapa orang tokoh silat tergelimpang disambar pukulan jahat itu! Namun betapapun hebatnya Raja Rencong mana mungkin baginya menghadapi tokoh-tokoh kelas wahid yang berjumlah lebih dari dua puluh orang itu. Apalagi sambaran Kapak Naga Geni 212 saat itu sudah menelikung mendesaknya. Angin senjata itu menyakitkan mata dan memerihkan kulitnya. Sesaat kemudian terdengar jeritan Raja Rencong!
Kuping kanannya putus dibabat Kapak Naga Geni 212. Racun yang hebat dari senjata itu mulai mempengaruhi dirinya. Raja Rencong cepat menutup jalan darah penting dibeberapa bagian tubuh lalu dengan sisa kekuatan mengamuk membabat ke arah salah seorang tokoh putih diantaranya Lembu Ampel yang kena sambaran Rencong Emas.
Akan tetapi itu tidak lama karena begitu Pendekar 212 Wiro Sableng menyusup dibalik serangan Raja Rencong, Kapak Naga Geni 212 berhasil membabat putus lengan kiri tokoh silat durjana itu! Tidak sampai disitu saja, sewaktu jerit kesakitan Raja Rencong belum sirna Kapak Naga Geni 212 mengaung dahsyat dan...
"Craasss...!"
Darah muncrat membasahi pakaian beberapa orang tokoh silat. Raja Rencong dari Utara terhuyung-huyung dengan kepala hampir tebelah. Dalam keadaan begitu rupa dia harus menerima tusukan dan sabetan senjata tajam lainnya sehingga tubuhnya tak beda dengan daging yang dicincang-cincang. Sewaktu tubuh yang hancur dari Raja Rencong menggeletak di Arena Topan Utara, Pendekar 212 Wiro Sableng sudah melompat pergi dari ruangan itu.
Sesungguhnya apakah yang telah terjadi sehingga ketika Raja Rencong menekan tombol merah, Arena Topan Utara tidak amblas ke bawah?
Seperti telah dituturkan di atas, sehabis meninggalkan Nyanyuk Amber, Wiro Sableng segera pergi ke kamar di mana senjata rahasia penghancur itu berada. Karena disini sudah berada Pandansuri maka dengan sendirinya pecahlah pertempuran. Kalau sewaktu di rumah makan Dang Lariku, Wiro Sableng masih bisa main-main melayani gadis ini maka kini menghadapi keselamatan puluhan jiwa tokoh-tokoh sakti yang berada di Arena Topan Utara, Wiro tidak bisa main-main lagi.
Meski senyum cengar cengir tetap tersungging di mulutnya, namun Wiro menempur habis-habisan Pandansuri. Hingga dalam tempo tiga jurus akhirnya dia berhasil menotok jalan darah di tubuh si gadis. Dari sini Wiro langsung menuju Arena Topan Utara dan terjadilah kelanjutan sebagaimana yang dituturkan di atas. Kini Pendekar 212 Wiro Sableng kembali ke kamar pesawat rahasia itu. Pandansuri duduk tersandar ke dinding dekat pintu masih dalam tubuh tertotok.
"Saudari, hukuman yang setimpal telah jatuh atas diri ayahmu"
"Maksudmu kau telah membunuh ayahku?!"
Aku dan tokoh-tokoh silat yang ada di ArenaTopan Utara!" sahut Wiro Sableng.
"Keparat! Lepaskan totokanku! Mari kita bertempur sampai seribu jurus!"
Wiro Sableng tertawa. "Apakah kau masih belum melihat jalan terang menuju kehidupan yang baik? Atau mungkin kau mau menerima nasib seperti ayahmu? Sekali aku beritahu pada orang-orang itu bahwa kau berada disini, pasti kau akan mati secara mengenaskan!"
"Silahkan kau beri tahu! Aku tidak takut!" jawab Pandansuri ketus.
Wiro tertawa. "Kau keras kepala tapi kuhargai nyalimu saudari. Dan aku tidak sepengecut yang kau duga untuk memberitahukan kau pada orang-orang itu!"
Pemuda ini melangkah mendekat. "Sebelum pergi aku ingin melihat wajahmu dulu, saudari."
"Keparat kalau kau berani..."
Tapi tangan Wiro Sableng sudah bergerak menarik kerudung ungu yang menutupi wajah Pandansuri. Begitu kerudung terbuka terkejutlah Wiro Sableng.
"Ah, kiranya parasmu cantik sekali saudari." memuji Wiro sejujurnya. "Tapi sayang aku tak bisa lama-lama menikmati kecantikan parasmu. Aku harus pergi dari sini bersama Nyanyuk Amber. Selamat tinggal...!"
"Saudara tunggu dulu!" seru Pandansuri. "Lepaskan dulu totokanku"
"Dan setelah bebas kau akan menyerangku?" ejek Wiro.
"Aku berjanji untuk tidak melakukan apa-apa kecuali hanya untuk membaca sepucuk surat. Selesai membaca kau boleh menotok aku kembali! Membunuh pun aku tak keberatan!"
"Heh, surat katamu? Surat apa? Surat dari pacarmu?" Wiro melihat kesungguhan diparas si gadis. "Baik aku percaya ucapanmu" kata Wiro pula lalu melepaskan totokan di tubuh Pandansuri dan berdiri di ambang pintu kamar pesawat rahasia menjaga segala kemungkinan yang ada.
Sementara Pandansuri mengeluarkan sehelai surat dari balik pakaiannya. Surat ini adalah surat yang diberikan Raja Rencong kepadanya. Dibukanya lipatan surat lalu dibacanya.
Pandansuri, Kalau aku sudah mati maka itulah saatnya aku memberitahukan rahasia besar tentang dirimu melalui surat ini. Sebenarnya kau bukan anak kandungku tapi seorang anak angkat. Jelasnya kau kuculik dari orang tuamu sejak kau masih kecil. Ayahmu Kepala kampung Pasir putih. Kembalilah padanya dan tempuhlah jalan hidup yang baik. Raja Rencong
Wiro Sableng terkejut sewaktu melihat tetesan-tetesan air mata membasahi pipi Pandansuri. Sedang surat yang dibacanya terlepas dan jatuh ke lantai. Wiro mengambil surat itu dan membacanya. Dilipatnya surat itu kembali seraya menghela napas panjang.
"Sekarang jelas bagimu bahwa kau berasal dari orang baik-baik. Karenanya musti kembali ke jalan baik-baik" kata Wiro Sableng. Dikembalikannya surat yang dipegangnya pada Pandansuri dan berkata lagi. "Aku tak akan menotok tubuhmu kembali. Apa yang kau lakukan terserah padamu. Selamat tinggal...!"
"Saudara, kau hendak meninggalkan Danau Toba ini?"
"Ya, menyeberang bersama-sama Nyanyuk Amber" "Keberatan kalau aku ikut bersama kalian?"
"Ah, justru itulah yang aku harapkan" jawab Pendekar 212 seraya senyum dan mengedipkan mata kirinya.
Dan Pandansuri tidak membantah sama sekali sewaktu Wiro Sableng memegang tangannya dan melangkah bersama-sama menuju kamar Nyanyuk Amber...
T A M A T
Episode berikutnya: