Pusaka Pulau Es Jilid 08


Yo Han Li dan Kai-ong Lu Tong Ki memasuki kota raja. Semenjak kecil Han Li tinggal di Bukit Naga dan biar pun dia pernah melihat kota besar, akan tetapi baru sekali ini dara ini melihat kota raja, maka banyak hal yang membuatnya menjadi bengong! Banyaknya toko, rumah penginapan dan rumah makan yang serba besar, taman-taman yang besar dan indah, banyaknya orang berlalu lalang, pagoda-pagoda yang nampak dari jauh di lereng bukit, semua itu membuatnya berulang kali memuji.

"Uhhh, apa sih bagusnya semua itu? Hanya dapat dipandang akan tetapi tidak dapat dirasakan! Lihat nanti kalau kita bisa mendapatkan hidangan kaisar atau pangeran, baru engkau akan benar-benar kagum! Hidangan-hidangan itu bukan hanya dapat dipandang dan dicium sedapnya, akan tetapi juga dapat dirasakan dengan lidah! Wahhh, mulutku menjadi basah mengingat semua itu."

Han Li tersenyum geli. Yang diingat oleh gurunya ini hanya makanan saja. Selama ini, hampir setiap hari ia harus memasak makanan untuk gurunya yang mengatakan bahwa ia pandai memasak dan bahwa masakannya sedap sekali.

"Engkau berbakat seni memasak, Han Li!" pujinya berulang-ulang. "Tahukah engkau bahwa memasak itu merupakan seni yang tinggi nilainya? Cara mengerat daging atau memotong sayurnya, cara membesarkan atau mengecilkan apinya dan berapa lamanya memasak, semuanya itu mengandung seni tersendiri. Bumbu-bumbu sederhana saja di tangan seorang ahli akan dapat mendatangkan kelezatan pada masakan. Apa saja yang dimasak oleh seorang yang berbakat seni memasak, tentu enak!"

Gurunya memang tukang makan. Kalau perlu dia akan mencuri makanan! Pernah ketika mereka melewati sebuah rumah makan yang memamerkan bebek panggang, Kai-ong lalu berjalan di dekat rumah makan itu, dan ketika dia keluar dari situ, di bawah baju rombengnya telah tersembunyi seekor bebek panggang utuh. Di sepanjang jalan bebek panggang itu dilahapnya sambil memberi komentar tentang rasa bebek panggang itu.

Jarang ada makanan yang dipuji kakek ini, ada saja kekurangannya, kurang asin atau terlalu manis, terlalu kering dan sebagainya. Jika sekarang dia sudah memuji setinggi langit sebelum merasakan hidangan istana, Han Li percaya bahwa hidangan itu tentulah benar-benar istimewa.

Ketika mereka berjalan lewat depan sebuah gedung seperti istana, Kai-ong berhenti. "Ahhh, itu rumah Pangeran Mahkota. Aku yakin hidangan masakan di sini tidak kalah lezat dari pada yang berada di istana kaisar. Kaisar sudah terlalu tua, tentu giginya pun sudah banyak yang ompong dan masakannya tentu yang lunak-lunak saja. Berbeda dengan masakan di istana Pangeran Mahkota, tentu lengkap dengan yang agak keras. Han Li, kita makan di dapur Pangeran Mahkota saja!"

Han Li memandang dengan khawatir. Di depan istana itu saja sudah terdapat prajurit pengawal yang berjaga. Tentu istana itu di jaga ketat. Bagaimana mereka dapat makan di dapur istana ini? Han Li merasa ngeri kalau sampai ketahuan dan dikeroyok, apa lagi kemudian ditangkap. Alangkah malunya. Ditangkap sebagai pencuri makanan!

"Akan tetapi gedung itu tentu dijaga ketat, Suhu."
"Heh-heh-heh, tentu saja. Akan tetapi apa artinya segelintir penjaga itu untuk kita. Mari ikuti aku!"

Kai-ong lalu mengambil jalan memutar dan tibalah mereka di luar tembok pagar yang mengelilingi gedung itu bagian belakang. Setelah melihat bahwa di situ tidak ada orang, Kai-ong mengajak muridnya untuk meloncati pagar tembok yang tinggi itu. Mula-mula Kai-ong yang lebih dulu melompat dan dia sudah mendekam di atas pagar tembok. Han Li menyusul. Dengan gerakan ringan bagaikan seekor burung ia melayang naik ke atas pagar tembok dan mendekam di sebelah gurunya. Ternyata di sebelah dalam pagar tembok itu terdapat sebuah taman yang amat indah.

"Nah, sudah kuduga. Tentu dalamnya sebuah taman atau kebun. Mari kita loncat ke dalam dan kau bersembunyi di belakang rumpun bambu di sana itu!" Kai-ong memberi petunjuk dan keduanya lalu berlompatan masuk. Han Li segera lari ke belakang rumpun bambu seperti yang dikehendaki Kai-ong, sementara kakek itu sendiri berindap-indap menghampiri bangunan itu dari belakang.

Bagai sebuah bayangan, Kai-ong menyelinap masuk. Han Li yang disuruh bersembunyi hanya menunggu. Jantungnya berdebar tegang. Bagaimana kalau mereka ketahuan? Ia tidak takut akan ancaman pengeroyokan, hanya merasa malu kalau sampai ketahuan masuk ke rumah orang untuk mencuri makanan!

Tidak lama kemudian, Kai-ong muncul lagi dan memberi isyarat dengan tangan kepada Han Li untuk mengikutinya. Kiranya kakek tadi lebih dahulu menyelidiki di mana adanya dapur istana itu. Han Li berlari menghampirinya dan keduanya lalu menyelinap masuk melalui pintu belakang.

Tiba-tiba Kai-ong menarik tangan Han Li untuk bersembunyi. Baru sekejap saja Han Li bersembunyi di balik tembok, dia melihat tiga orang pengawal yang membawa tombak lewat di dekat mereka. Untung mereka sudah bersembunyi. Kalau terlambat sebentar saja mereka tentu sudah ketahuan!

Setelah tiga orang pengawal itu lewat, kembali Kai-ong mengajak Han Li melanjutkan perjalanan memasuki bagian yang lebih dalam di istana itu. Setibanya di dapur, Han Li melihat ada kesibukan di dalam dapur. Kai-ong memberi isyarat untuk mengikutinya dan kakek itu lalu melayang naik ke atas dapur. Han Li mencontoh perbuatan gurunya dan kini mereka mendekam di atas atap dapur mengintai ke bawah.

Sebelum dapat melihat apa-apa, lebih dulu hidung Han Li disambut bau masakan yang amat sedap. Cepat ia mengintai dan melihat lima orang koki sedang membuat masakan. Bermacam-macam masakan itu.

"Hemmm, udang besar saus tomat itu nampaknya menggapai-gapai kepadaku," Kai-ong berbisik dan dia menjilat bibirnya sendiri.

Han Li merasa geli dan juga heran ketika gurunya mengeluarkan segulung tali yang di ujungnya dipasangi besi kaitan seperti sebuah pancing! Han Li baru mengerti setelah gurunya menurunkan pancing itu ke bawah dan menanti sampai para koki itu lengah, barulah dia mengayun pancingnya dan besi kaitan itu dengan tepat sekali mengait seekor udang goreng saus tomat yang segera ditariknya ke atas. Segera ditangkapnya udang yang masih panas itu dan dimakannya dengan lahap sekali.

"Wah, enaknya bukan main!" Dia memuji dan di lain saat dia sudah mengait seekor lagi yang lalu diberikan kepada Han Li.

Sebetulnya Han Li tidak berselera makan masakan curian itu, akan tetapi ia tidak mau mengecewakan gurunya, maka dimakannya udang itu. Ternyata memang lezat sekali.

Setelah menghabiskan lima ekor udang besar, dan selagi matanya sedang mencari-cari masakan lain, di bawah terjadi keributan. Si tukang masak udang goreng saus tomat itu yang membuat ribut.

"Heiii!! Udangku ke mana? A Sam, jangan main-main kau!" tegurnya kepada temannya yang sedang memasak masakan ayam tanpa tulang. "Tentu engkaulah orangnya yang makan udang-udangku. Kenapa bisa tinggal setengahnya?"
"Ngawur! Siapa makan udang-udangmu? Sejak tadi aku mempersiapkan masakanku sendiri, mana aku ada waktu untuk memperhatikan udangmu, apa lagi mencurinya dan memakannya."
"Akan tetapi udang besar itu tadinya berjumlah belasan ekor, sekarang tinggal delapan ekor lagi! Yang berada di dekatku hanya engkau. Siapa lagi yang mencurinya kalau bukan engkau?"
"Aku tidak mencuri udangmu. Jangan main tuduh sembarangan kau!"

Teman-teman yang lain melerai. "Sudahlah, mungkin dimakan kucing."
"Tidak ada kucing yang masuk ke sini." bantah koki udang yang merasa kehilangan.

Sementara itu, di dalam keributan itu, selagi para koki bicara dan lengah, seekor ayam tanpa tulang sudah melayang naik ke atas. Kai-ong membaginya dengan Han Li dan mereka makan masakan istimewa. Ayam itu masih utuh, akan tetapi ketika digigit, sama sekali tidak ada tulangnya dan ayam itu diisi cacahan daging dengan bumbunya yang sedap.

"Heiii...! Mana ayamku?" tiba-tiba koki ayam yang tadi dituduh mencuri udang, berteriak.
"Ayam apa lagi?!" tanya teman-temannya.
"Tadi masih di sini, baru saja kuangkat dari tempat masak. Semua ada lima ekor, akan tetapi lihat, hanya tingga empat ekor. Yang seekor lagi terbang ke mana?"
"Mana ada ayam tanpa tulang itu dapat terbang?"
"Tentu ada yang mencuri dan menyembunyikan. A-cui, engkau tadi menuduh aku sudah mencuri udang-udangmu. Agaknya engkau kini hendak membalas dendam, kemudian engkau menyembunyikan ayamku!"
"Kau gila! Aku tidak mencuri ayammu!" A-cui membentak.

Dua orang itu sudah saling mengacungkan pisau dapur yang tajam, akan tetapi dilerai teman-temannya. Akhirnya keributan itu pun mereda dan mereka melanjutkan pekerjaan mereka.

Sementara itu, seekor ayam cabut tulang tadi telah habis memasuki perut Kai-ong dan Han Li. Kai-ong menjilati jari-jari tangannya yang berlepotan minyak dan menggumam, "Wah, enak... lezat...!"

"Suhu, aku sudah kenyang. Mari kita pergi dari sini," bisik Han Li.
"Wah, nanti dulu. Baru mencicipi sedikit sudah mau pulang! Dan lagi, makan seperti ini kurang enak. Aku ingin mencicipi masakan rebung kaki biruang itu, dan itu ada swi-ke pemakan burung, dan panggang bebeknya, goreng burung merpati, wah, masih begitu banyak dan engkau telah mengajak pulang? Nanti dulu ah!"

Kai-ong mematahkan ujung genting, diremasnya menjadi potongan kecil-kecil lalu mulai menyambitkan ke bawah.

"Aduh, siapa memukul kepalaku?" teriak seorang koki gendut sambil menggosok-gosok kepalanya yang botak.
"Aduh! Aku juga dipukul. Kamu yang memukul kepalaku, ya?" teriak A-sam dan dia langsung saja menuduh A-cui.

Acui menjadi marah lagi. "Siapa yang memukul? Aduh, siapa mengetuk kepalaku?"

Kemudian terdengar mereka semua mengaduh dan suasana menjadi kacau. Dalam keadaan seperti itu, Kai-ong memberi isyarat kepada Han Li dan mengajak gadis itu melayang turun ke dalam dapur!

Dengan cekatan Kai-ong sudah mengambil semangkok sop ayam muda dan sambil berjongkok dan bersembunyi di belakang meja dia menyambar pula sepasang sumpit dan mulailah dia makan dengan lahapnya. Dia memberi isyarat kepada Han Li supaya meniru perbuatannya.

Tetapi Han Li yang juga ikut bersembunyi di belakang meja menggerakkan pundaknya, lalu menyambar sepotong bak-pauw dan memakannya. Bak-pauw adalah sebuah roti biasa yang berisi daging dan sayur, akan tetapi bak-pauw yang terdapat dalam dapur Pangeran Mahkota ini lain rasanya. Memang enak sekali.

Setelah mencicipi berbagai macam masakan, Kai-ong ingin minum dan merangkaklah dia ke tempat penyimpanan guci-guci arak. Dia membuka sebuah guci dan dituangkan isinya begitu saja ke mulutnya.

"Heiii, ke mana masakan goreng burung merpatiku?"
"Dan kenapa sop ayam muda ini tinggal sedikit?"
"Ca rebung muda kaki biruangku juga tinggal sedikit!"
"Wah, bau arak! Jangan-jangan ada guci arak yang pecah!"

Lima orang koki itu ribut-ribut dan mencari ke sana ke mari. Tentu saja guru dan murid itu sibuk berloncatan ke sana ke mari untuk menyembunyikan diri. Akan tetapi Kai-ong yang keenakan minum arak tidak sempat lagi bersembunyi. Seorang di antara lima koki itu melihatnya dan berteriak, "Wah, ini dia malingnya. Seorang pengemis tua!"

"Celaka, masakan kita diusiknya, banyak yang dimakannya. Apakah keluarga pangeran hanya mendapatkan sisanya?"
"Hayo kita tangkap pencuri itu!"

Dua orang sudah menerjang maju untuk menangkap Kai-ong, akan tetapi Han Li cepat melompat ke depan. Lima orang koki itu terbelalak ketika melihat seorang gadis cantik melindungi kakek itu.

"Paman sekalian, maafkanlah kami yang sudah mencicipi sedikit masakan kalian. Suhu, mari kita pergi!"
"He-he-heh, nanti dulu, Han Li. Kabarnya Pangeran Mahkota adalah seorang yang amat dermawan. Siapa kira, makanan untuk keluarganya demikian mewah, sedangkan di luar istananya banyak rakyat kelaparan!" Kai-ong minum terus dan nampaknya kakek raja pengemis ini sudah mulai mabuk.
"Mari kita lapor ke dalam!" Lima orang koki itu lalu berlarian keluar dari dalam dapur.
"Suhu, mari kita cepat pergi. Para pengawal tentu segera berdatangan!"
"Heh-heh-heh, aku tidak pernah melarikan diri dari dapur sebelum perutku benar-benar kenyang. Mari kita makan dengan leluasa, Han Li. Begini lebih enak. Ini ada nasi dari Hang-ciu, nasinya lembut dan harum sedap."

Kai-ong tidak mau pergi, malah kini duduk menghadapi meja, menyambar mangkok dan sumpit lalu mulai makan dengan lahapnya. Han Li membanting-banting kakinya dengan bingung. Sudah terdengar suara banyak kaki berlari ke tempat itu.

"Wah, ini bagaimana, Suhu? Mereka sudah berdatangan!"
"Biarkan saja. Kalau mereka berani mengganggu aku makan, akan kuhajar! Nih, kau makan nasi, Han Li. Atau ingin buah-buahan segar. Itu di sana banyak anggur, buah leci dan apel. Tinggal pilih mana yang kau suka, heh-heh-heh!"
"Akan tetapi, Suhu...!" Han Li tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu di ambang pintu dapur telah bermunculan pasukan pengawal yang jumlahnya belasan orang.

Seorang komandan pengawal menudingkan goloknya ke arah Kai-ong yang sedang melahap makanan.

"Pencuri busuk, engkau berani mengacau di dapur istana pangeran?"
"Heh-heh-heh, makanan ini datangnya dari perahan keringat rakyat, apakah kami tidak boleh merasakannya? Aku mendengar bahwa Pangeran Mahkota adalah seorang yang dermawan dan bijaksana. Apakah dia tidak mengijinkan kami mencicipi makanan ini?" kata Kai-ong sambil menggigit paha ayam dan menyeringai ke arah para pengawal.
"Keparat, berani engkau...!"
"Tahan dulu, Ciangkun. Biarkan kami bicara dengan mereka!" tiba-tiba terdengar suara lembut dan perwira pengawal itu terpaksa mundur lagi karena yang menegurnya adalah Pangeran Mahkota Tao Kuang sendiri.

Han Li dan Kai-ong memandang penuh perhatian dan melihat munculnya seorang laki-laki bangsawan yang tampan dan berwibawa. Usianya sekitar empat puluh tahun. Di sebelah kanannya berdiri seorang wanita cantik dan di sebelah kirinya berdiri seorang gadis manis. Baik wanita cantik mau pun gadis manis itu membawa sebatang pedang di punggung mereka sehingga mereka nampak anggun dan juga gagah.

Pria itu adalah Pangeran Mahkota Tao Kuang. Gadis manis itu bukan lain adalah Tao Kwi Hong dan wanita cantik itu adalah ibunya. Mereka tadi telah bersiap hendak makan siang saat mendengar laporan para koki bahwa di dapur terdapat kakek pengemis yang mencuri makanan. Pangeran Mahkota Tao Kuang tertarik mendengar ini dan dikawal oleh Tao Kwi Hong dan ibunya, Liang Siok Cu, mereka bergegas menuju ke dapur.

Pangeran Mahkota Tao Kuang memiliki watak seperti kakeknya, yaitu suka bergaul dan menghargai orang-orang kang-ouw. Maka, begitu melihat kakek berpakaian pengemis itu bersama seorang gadis cantik yang mendatangkan kekacauan di dapurnya, dia lalu melarang para pengawal turun tangan.

Dia sendiri lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai pemberian hormat dan berkata dengan lembut, "Apakah kunjungan Locianpwe dan Nona ini hanya untuk mencicipi makanan?"

"Habis, untuk apa lagi? Kami tidak mempunyai urusan dengan Pangeran Mahkota Tao Kuang, heh-heh-heh!" kata Kai-ong.
"Kamilah Pangeran Mahkota Tao Kuang. Kalau memang begitu, biar kami mengundang Locianpwe dan Nona ini untuk makan bersama!" Penawaran ini diajukan dengan sikap yang lembut dan manis sehingga Han Li merasa tidak enak dan malu sendiri.

"Kau dengar itu, Han Li?" Kai-ong berkata sambil tertawa girang. "Sudah sejak lama aku mendengar bahwa Pangeran Mahkota Tao Kuang adalah seorang yang bijaksana dan kini terbukti kebenaran berita itu. Terima kasih, Pangeran, tentu saja kami menerima undanganmu itu, ha-ha-ha!"

Han Li diam saja akan tetapi merasa tidak enak hati. Sejak kecil ia mendengar tentang penjajahan bangsa Mancu terhadap negara dan bangsanya. Dia sendiri adalah puteri ketua Thian-li-pang yang bercita-cita memerdekakan bangsa dan sekarang ia diundang makan bersama oleh keluarga Pangeran Mahkota bangsa Mancu! Akan tetapi, menolak pun tidak mungkin karena gurunya sudah menerima, maka ia pun mengikuti saja ketika mereka dipersilakan masuk ke dalam ruangan makan yang luas.

Setelah mereka duduk menghadapi meja makan, hidangan-hidangan yang paling lezat disuguhkan. Pangeran Tao Kuang memberi isyarat kepada pelayan untuk mengisi arak dalam cawan-cawan perak di depan tamunya kemudian menyulangi dua orang tamunya dengan secawan arak.

"Silakan Ji-wi (Anda Berdua) minum untuk ucapan selamat datang dari kami dan untuk perkenalan ini."

Sambil tersenyum lebar Kai-ong minum secawan arak itu dan Han Li hanya mencontoh gurunya.

Pangeran Tao Kuang memperkenalkan selirnya dan puterinya, lalu bertanya, "Siapakah nama Locianpwe yang terhormat dan siapa pula Nona ini?"

"He-he-heh, Pangeran. Terima kasih bahwa Paduka suka menyambut kami orang-orang biasa dengan ramah tamah. Saya bernama Lu Tong Ki, hanya orang biasa saja, bahkan pengemis yang tidak pernah minta-minta."
"Lu Tong Ki...? Apakah bukan Kai-ong (Raja Pengemis) Lu Tong Ki?" mendadak Liang Siok Cu bertanya dengan kaget.
"Heh-heh-heh, saya hanyalah rajanya para pengemis, Nyonya."
"Mendiang ayahku Liang Cun sering bicara tentang Locianpwe," kata nyonya itu kagum.

Kini sepasang mata Lu Tong Ki terbelalak, "Liang Cun? Ahhh, Sin-tung Koai-jin sudah meninggal dunia dan Nyonya adalah puterinya? Pantas, kalian begini ramah. Kiranya keturunan seorang datuk dari Thai-san!"

"Ha-ha-ha, kiranya kita berada di antara orang sendiri!" Pangeran Tao Kuang tertawa gembira.
"Dan engkau, Enci yang baik, siapakah namamu?" tiba-tiba Kwi Hong bertanya kepada Han Li sambil memandang gadis itu penuh perhatian. "Apakah engkau murid Locianpwe ini?"
"Benar, aku adalah murid Suhu, namaku Yo Han Li," jawab Han Li singkat.

Mereka mulai makan dan minum. Setelah acara makan selesai, di mana Kai-ong dapat memuaskan seleranya, tiba-tiba Raja Pengemis itu tertawa sambil mengelus perutnya. "Aihhh, kalau setiap hari makan begini, dalam waktu sebulan aku akan menjadi orang gendut!"

Semua orang tertawa dan Kai-ong kembali berkata, "Ha-ha-ha, Pangeran tentu tidak menduga siapa adanya nona yang mengakui saya sebagai gurunya ini. Sesungguhnya ia jauh lebih terkenal dari pada saya yang hanya raja kaum pengemis. Ibunya terkenal dengan julukan Si Bangau Merah, ayahnya lebih terkenal lagi dengan julukan Pendekar Tangan Sakti yang juga menjadi ketua Thian-li-pang..."

"Ahhh...!!"

Liang Siok Cu berseru kaget sambil memandang Han Li, sedangkan wajah Pangeran Tao Kuang juga berubah agak pucat. Akan tetapi Kwi Hong berseru girang.

"Aih, kiranya Enci ini puteri Paman Yo? Senang sekali bertemu dengan puteri Paman Yo Han!"
"Kwi Hong, apakah engkau mengenal ketua Thian-li-pang?" tanya Pangeran Mahkota Tao Kuang, sedangkan isterinya bersiap untuk melindungi suaminya kalau-kalau puteri pemberontak itu mempunyai niat jahat.
"Ayah, aku tidak tahu apakah paman Yo itu ketua Thian-li-pang. Yang aku ketahui dia adalah seorang yang gagah perkasa dan dahulu pernah menolongku dari pengeroyokan pemberontak Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Aku kagum sekali kepadanya!"

Han Li tadi terkejut bukan main mendengar gurunya memperkenalkan ayahnya sebagai ketua Thian-li-pang. Akan tetapi dia merasa heran dan juga lega mendengar bahwa Kwi Hong pernah ditolong ayahnya. Ketika dia melirik ke arah gurunya, dia melihat Kai-ong tersenyum-senyum padanya. Dia pun bisa menduga bahwa gurunya sengaja menyebut Thian-li-pang untuk menguji hingga di mana ketulusan hati dan kebijaksanaan Pangeran Mahkota itu!

Dan memang sebenarnya begitulah. Maklum bahwa ucapannya tadi bisa mendatangkan bahaya, maka diam-diam Kai-ong juga sudah bersiap-siap. Dia cerdik sekali dan andai kata disebutnya Thian-li-pang itu membuat Pangeran Mahkota marah dan mengerahkan pasukan pengawalnya, dia tentu akan bertindak menawan sang pangeran terlebih dulu agar dia dan muridnya dapat keluar dari istana itu dengan aman!

Akan tetapi dia pun merasa lega ketika ucapan Kwi Hong membuyarkan suasana yang tegang tadi. Kini Pangeran Mahkota yang berkata kepada Han Li, di dalam suaranya mengandung perasaan heran.

"Aneh sekali! Ketua Thian-li-pang pernah menolong puteriku dan hari ini aku menjamu puterinya! Padahal semua orang tahu bahwa Thian-li-pang adalah sebuah perkumpulan yang berjiwa pemberontak!"
"Ayah saya tidak pernah membenci perorangan, Pangeran. Yang ditentangnya adalah penjajah dan penindasan!" jawab Han Li dengan tegas.
"He-he-heh, dalam anggapan Paduka memang Thian-li-pang pemberontak, Pangeran," berkata pula Kai-ong. "Akan tetapi dalam anggapan kami rakyat jelata, Thian-li-pang berjiwa pendekar dan pejuang."
"Berjuang untuk apa?" Pangeran Mahkota mendesak.
"Berjuang untuk menegakkan kebenaran serta keadilan, berjuang untuk kemerdekaan tanah air dan bangsa," kata pula Kai-ong dan ketika mengucapkan kata-kata ini, dia tidak lagi tertawa melainkan berkata dengan suara dan wajah serius.

"Sama saja, itu pemberontakan namanya, menentang pihak yang berkuasa," Pangeran Mahkota Tao Kuang membantah.
"Harap Paduka mempertimbangkan dengan hati dan kepala yang tenang dan dingin," kata pula Kai-ong. "Coba Paduka tempatkan diri Paduka sebagai rakyat kami. Apakah Paduka tidak mempunyai keinginan untuk memerdekakan tanah air dan bangsa dari belenggu penjajah? Salahkah itu kalau seseorang bercita-cita untuk kebebasan dan kemerdekaan bangsanya?"

Pangeran Tao Kuang mengangguk-angguk. "Mungkin juga kami akan berpendirian yang sama. Akan tetapi kami bukan penindas. Kami menganggap bangsa Han seperti bangsa sendiri. Kami ingin menjalankan pemerintahan yang adil, ingin menyejahterakan rakyat."

"Kami percaya, Pangeran. Tapi yang ditentang oleh para pejuang adalah pemerintahan penjajah, bukan perorangan, seperti yang dikatakan murid saya Han Li tadi."
"Akan tetapi sekarang terbukti bahwa di antara kita tiada kebencian atau permusuhan. Anak kami pernah diselamatkan oleh ketua Thian-li-pang dan anak ketua Thian-li-pang kami undang makan menjadi tamu terhormat kami!" kata Pangeran Tao Kuang sambil tersenyum.
"Ayah, kuharap enci Han Li menjadi tamu kita untuk beberapa waktu lamanya. Aku ingin mengenalnya lebih dekat dan berbincang-bincang tentang ilmu silat dengannya!" kata Kwi Hong kepada ayahnya.

Pangeran Mahkota Tao Kuang mengangguk sambil tersenyum ramah kepada Kai-ong, "Aku tidak keberatan dan mereka ini boleh tinggal di istana sebagai tamu berapa lama pun mereka kehendaki!"

Kai-ong tertawa. "Bagus! Aku suka sekali tinggal di sini beberapa lamanya sampai puas makan enak setiap hari. Han Li, kita tinggal di sini sampai bosan!"

Kwi Hong merasa gembira sekali. Dengan senyum manis ia bangkit menghampiri Han Li dan menggandeng tangan gadis itu. "Mari kita melihat-lihat taman, enci Han Li. Akan kutunjukkan kamarmu di mana engkau boleh tinggal!"

Kedua orang gadis itu pergi dan meninggalkan Kai-ong yang diajak bercakap-cakap oleh Pangeran Tao Kuang. Seorang raja pengemis bersama muridnya menjadi tamu dari Pangeran Mahkota…..

********************
Cu In tidak peduli bahwa dirinya menjadi pusat perhatian orang-orang yang dijumpainya di jalan dalam kota raja. Mukanya yang tertutup sutera putih dari batas hidung ke bawah itulah yang menarik perhatian orang. Akan tetapi tak ada seorang pun mengganggunya. Tentu mereka itu mengira bahwa ia seorang wanita dari Turki atau negara Islam lainnya. Wanita-wanita Islam biasanya menutup mukanya dengan cadar seperti itu.

Tidak sukar bagi Cu In untuk mendapat keterangan di mana adanya rumah Panglima The Sun Tek. The-ciangkun adalah seorang panglima yang terkenal di kota raja. Dialah yang memimpin pasukan ketika memadamkan pemberontakan di selatan. The-ciangkun seorang panglima yang bukan hanya pandai ilmu perang, akan tetapi juga seorang yang memiliki ilmu silat tinggi.

Cu In tidak tahu orang macam apa adanya The Sun Tek. Yang penting baginya adalah bahwa ia harus membunuh orang itu. Menurut gurunya, panglima The itu adalah musuh besar gurunya, dan lebih dari pada itu, panglima The itulah yang membunuh ayah bundanya sehingga ia menjadi seorang yatim piatu sejak masih bayi!

Sejak bayi dia dipelihara oleh subo-nya, maka kini tugas untuk membunuh musuh besar subo-nya itu akan dilaksanakan sebaik mungkin. Bukan hanya untuk membalas budi gurunya, melainkan juga untuk membalas dendam ayah bundanya.

Cu In merasa agak heran namun girang melihat kenyataan bahwa rumah itu tidak dijaga regu keamanan seperti rumah para panglima tinggi lainnya. Rumah itu dari luar nampak sunyi saja. Cu In lalu mengelilingi pagar tembok rumah itu dan ternyata rumah itu memiliki pekarangan dan taman yang luas sekali.

Hari itu panas sekali. Matahari telah naik tinggi. Bagaikan seekor burung saja ringannya, Cu In sudah melompati pagar tembok di bagian belakang rumah itu dan mendekam di atas untuk mengintai ke sebelah dalam pagar. Ternyata di sebelah dalamnya terdapat sebuah taman yang luas, penuh dengan bunga warna warni yang sedang berkembang sehingga suasana di taman itu nyaman dan indah sekali.

Ia melompat turun ke sebelah dalam dan menyelinap di antara pohon-pohon. Agak jauh di tengah taman itu terdapat sebuah pondok dengan dinding rendah dan bagian atasnya terbuka. Semacam tempat untuk duduk bersantai menikmati keindahan taman. Di depan pondok itu terdapat sebuah kolam ikan dengan bunga teratai dan ikan-ikan emas berenang di dalam kolam. Gemercik suara air di kolam yang jatuh dari sebuah pancuran mendatangkan suara yang menyejukkan hati.

Cu In cepat menyusup ke balik rumpun bunga. Ia melihat seorang laki-laki melangkah seenaknya dengan santai menuju ke panggung atau pondok itu, memasukinya dan duduk di atas bangku menghadapi kolam ikan. Cu In mengintai dan melihat bahwa pria itu berusia lima puluh tahun lebih, akan tetapi rambut kepalanya sudah banyak beruban.

Rambut itu dikuncir ke belakang dan diikat dengan sutera biru. Wajah yang mulai berkerut merut itu masih nampak tampan dan gagah. Akan tetapi dalam sinar matanya mengandung duka.

Sampai lama pria itu termenung memandangi kolam ikan, dan berulang kali pula dia menghela napas panjang. Tiba-tiba pria itu menengadahkan mukanya, memandangi awan yang berarak di angkasa, dan dia membaca sajak.

Seperti awan bergerak di angkasa
kita bercanda penuh suka dan tawa
sumpah saling mencinta saling setia
berbahagia memadu asmara

Semua itu hilang musnah
ketika angin datang menerpa
kita berpisah dan merana
yang tertinggal hanyalah air mata!

Cu In tertegun. Dia mengenal betul sajak itu karena gurunya, Ang Hwa Nio-nio, sering menyanyikan sajak itu dalam sebuah lagu yang sedih. Dan sekarang pria itu bersajak yang sama!

Karena perasaan terguncang, tubuh Cu In membuat gerakan. Biar pun gerakan itu tidak menimbulkan suara keras, akan tetapi pria itu sudah memutar tubuhnya dan terdengar suaranya yang lantang,

"Sobat, tiada gunanya lagi engkau bersembunyi. Aku telah mengetahui keberadaanmu di situ!" Pria itu memandang ke arah Cu In.

Cu In terpaksa muncul dari balik rumpun bunga lalu menghampiri pondok itu. Pria itu nampak terkejut dan terheran-heran melihat bahwa yang muncul adalah seorang gadis yang mukanya ditutup cadar putih, pakaiannya juga serba putih.

"Siapa engkau? Apa keperluanmu datang ke tempat ini tanpa diundang?" tanya pria itu dan suaranya mengandung wibawa yang kuat.

Akan tetapi Cu In tidak menjawab, melainkan balas bertanya, "Apakah engkau yang bernama The Sun Tek?"

"Tidak salah, akulah The Sun Tek. Siapakah engkau, Nona?"
"Namaku Souw Cu In dan aku datang ke sini untuk membunuhmu, The Sun Tek!"

The Sun Tek sama sekali tidak menjadi terkejut mendengar pengakuan itu, bahkan dia nampak begitu tenang. Sebagai seorang panglima besar, dia tahu bahwa banyak orang menginginkan kematiannya, terutama untuk membalas dendam karena dia sudah sering menghancurkan usaha pemberontakan di mana-mana sehingga tidaklah aneh jika ada yang mendendam kepadanya.

Sering pula terdapat usaha orang-orang yang memusuhinya untuk membunuhnya. Akan tetapi baru kali ini usaha itu akan dilakukan seorang gadis muda. Hal ini mendatangkan rasa penasaran di dalam hatinya.

"Membunuh orang tentu ada alasannya yang kuat, Nona. Dan kenapa engkau hendak membunuhku? Kita belum pernah bertemu dan di antara kita tidak terdapat urusan apa pun!"
"Kita memang tidak pernah bertemu, akan tetapi engkau keliru kalau mengira di antara kita tidak pernah terdapat urusan apa pun. Alasanku datang untuk membunuhmu ini cukup kuat. Pertama, aku hendak membalaskan dendam kematian ayah bundaku yang dahulu sudah kau bunuh! Dan kedua, aku datang mewakili guruku yang menjadi musuh besarmu!"

The Sun Tek mengerutkan alisnya. Kedudukan dirinya sebagai panglima besar yang memimpin pasukan memang banyak resikonya. Entah berapa banyak orang yang dapat menaruh dendam kepadanya karena orang tuanya terbunuh dalam perang.

"Hemm, siapakah nama ayah bundamu itu, Nona? Aku tidak merasa pernah membunuh orang, kecuali tentu saja dalam perang. Apakah dahulu ayah bundamu itu tewas dalam peperangan melawan pasukanku?"
"Aku tidak tahu siapa ayah bundaku, tidak pernah mengenalnya karena sejak aku masih bayi engkau telah membunuh mereka."
"Lalu bagaimana engkau dapat tahu bahwa aku pembunuh mereka?"
"Guruku yang memberi tahu."
"Aha, gurumu yang kau wakili untuk menghadapi aku sebagai musuh besarnya itu? Dan siapa gerangan nama gurumu itu, Nona?"
"Guruku adalah Ang Hwa Nio-nio!"

The Sun Tek membelalakkan kedua matanya, kemudian wajahnya nampak muram dan mengandung duka.

"Ahhh, Hong Bwe... Hong Bwe, sampai begitu mendalamkah bencimu terhadap diriku? Bertahun tahun aku mencarimu dan kini tiba-tiba muncul muridmu untuk membunuhku."

Cu In tidak mengerti apa yang dimaksudkan pria itu. Ia sudah melolos sabuk suteranya dan berkata, "The Sun Tek, bersiaplah engkau untuk menghadapi seranganku!"
"Nanti dulu, nona Souw. Bersabarlah karena aku tak akan pernah melarikan diri darimu. Engkau tidak dapat membunuh orang begitu saja tanpa alasan yang kuat. Engkau harus yakin benar bahwa aku adalah pembunuh orang tuamu. Dan tentang permusuhanku dengan gurumu Ang Hwa Nio-nio itu, tidakkah engkau ingin untuk mengetahui sebab sebabnya?"

"Aku hanya mendengar tentang kematian ayah bundaku dari guruku, dan kalau guruku sampai menganggap bahwa engkau musuh besarnya, tentulah engkau telah melakukan hal yang amat jahat terhadap subo."
"Tahan dulu dan dengarlah sebentar penjelasanku. Aku melihatmu sekarang ini, tiada ubahnya seperti melihat gurumu ketika itu! Bentuk tubuhmu, matamu itu, dan suaramu! Engkau seperti pinang dibelah dua dengan Hong Bwe! Karena itulah aku ingin engkau mendengar penjelasanku."

Cu In meragu. Dia tidak mengenal siapa itu Hong Bwe, akan tetapi dia pun tidak dapat menolak keinginan orang tua ini untuk menceritakan persoalannya dengan gurunya. Dia pun meragukan, jangan-jangan bukan orang ini pembunuh ayah bundanya. Subo-nya bercerita demikian mungkin hanya supaya dia membenci orang ini.

"Sesukamu, bicaralah, akan tetapi jangan harap aku akan percaya begitu saja terhadap keteranganmu."
"Percaya atau tidak terserah padamu. Terima kasih jika engkau suka untuk mendengar ceritaku. Silakan duduk, nona Souw."

The Sun Tek mempersilakan Cu In duduk. Gadis ini pun lalu mengambil tempat duduk berhadapan dengan panglima itu. Mereka hanya terhalang oleh sebuah meja kecil.

Setelah menghela napas panjang beberapa kali, The Sun Tek berkata, "Aku tidak tahu sampai tingkat apa ilmu silatmu, akan tetapi kalau gurumu sudah mengutusmu untuk membunuhku, aku percaya bahwa engkau tentu cukup lihai. Barangkali nanti aku akan terbunuh olehmu, oleh karena itu aku senang bahwa engkau suka mendengar ceritaku. Terjadinya cerita ini kurang lebih dua puluh tahun yang lalu. Pada saat itu, aku belum menjadi seorang panglima, akan tetapi aku suka bertualang di dunia kang-ouw dan mengenal banyak tokoh kang-ouw. Aku lalu bertemu seorang gadis kang-ouw bernama Sim Hong Bwe. Kami berkenalan dan saling jatuh cinta. Ketika itulah aku melamar pekerjaan sebagai seorang perwira muda. Karena orang tuaku mengenal panglima yang bertugas menerima para perwira muda, maka aku pun dapat diterima sebagai seorang perwira. Orang tuaku lalu mendesakku untuk menikah. Ketika aku memberi tahu bahwa aku telah mempunyai seorang pilihan hati, yaitu Sim Hong Bwe, ayahku menjadi marah. ‘Menikah dengan seorang gadis kang-ouw? Tidak!’ katanya. Karena aku telah memiliki tugas dan kedudukan, aku harus menikah dengan seorang gadis baik-baik, berasal dari keluarga yang terhormat. Aku tidak mampu membantah ayahku, maka terpaksa aku menerima saja dijodohkan seorang gadis puteri seorang bangsawan."

Sampai di sini The Sun Tek menghentikan ceritanya, agaknya dia mengingat kembali peristiwa yang membuatnya selalu berduka itu. Dia memandang kepada Cu In, akan tetapi Cu In tidak mengacuhkannya.

Dia tidak tahu apa hubungannya semua itu dengan tugasnya untuk membunuh musuh besarnya ini.....

"Aku harus menghadapi kemarahan Sim Hong Bwe. Ia tidak mau mendengar alasanku, bahkan ia menolak keras ketika aku mengusulkan supaya ia suka menjadi selirku. Kalau hanya sebagai selir, tentu ayahku tidak akan keberatan. Akan tetapi Hong Bwe menolak dan menuntut supaya aku menikahinya sebagai isteri yang sah. Aku tak mungkin dapat memenuhi permintaannya dan ia menjadi demikian marah sehingga meninggalkan aku begitu saja. Padahal, pada waktu itu ia telah mengandung! Ia mengandung anakku dan sejak itu aku tak pernah dapat menemukannya. Aku selalu mencarinya, bahkan sampai sekarang aku masih terus mencarinya. Akan tetapi ia selalu menghilang begitu aku bisa menemukan tempat persembunyiannya. Aku pun mendengar bahwa ia telah melahirkan seorang anak perempuan, akan tetapi tidak pernah aku melihat anakku itu pula."

Cu In mengamati wajah di depannya dengan tajam dan penuh selidik. Wajah itu nampak jujur dan tidak berbohong. Ia menjadi bingung ketika mulai dapat menangkap bahwa yang disebut Hong Bwe itu tentulah nama kecil subo-nya. Akan tetapi subo-nya tidak mempunyai anak perempuan! Anak laki-laki pun tidak. Subo-nya tidak mempunyai anak!

"Nah, demikianlah keadaannya, nona Souw. Sim Hong Bwe itu ialah gurumu. Aku sudah mendengar bahwa ia memakai nama Ang Hwa Nio-nio karena di rambutnya selalu ada kembang merah. Itu memang kesenangan dan kebiasaan Hong Bwe, selalu menghias rambutnya dengan bunga merah. Sekarang engkau sudah tahu apa sebabnya maka ia membenciku dan kini mengutusmu untuk membunuhku. Tapi aku mencintainya, sampai sekarang pun masih tetap mencintainya. Sekarang isteriku telah meninggal dunia akibat sakit, dan aku mengharapkan Hong Bwe untuk menjadi isteriku. Akan tetapi, agaknya ia tidak dapat memaafkan aku. Nona Souw, engkau muridnya, tentu engkau mengerti bagaimana keadaannya dengan puterinya. Sudah besarkah sekarang anakku itu? Siapa pula namanya?"

Cu In menggelengkan kepalanya. "Subo tidak pernah mempunyai seorang puteri, juga tidak mempunyai putera. Subo tidak pernah menikah dan tidak mempunyai anak."

Ia tidak menceritakan betapa subo-nya sangat benci kepada laki-laki. Bahkan sejak ia masih kecil, ia sudah dilatih untuk membenci dan tidak percaya kepada pria, terutama kepada pria yang mencintanya! Agaknya sakit hati subo-nya terhadap The Sun Tek demikian mendalam, membuat ia menjadi pembenci laki-laki.

"Nah, demikianlah ceritaku. Aku tak pernah membunuh orang begitu saja karena urusan pribadi. Jika aku membunuh orang, tentu hal itu terjadi dalam perang. Maka aku merasa tidak pernah membunuh ayah bundamu. Mungkin dulu ayahmu berada dalam pasukan musuh sehingga dalam perang aku membunuhnya, akan tetapi tak mungkin ibumu juga ikut berperang. Aku yakin bahwa itu hanya suatu akal dari Hong Bwe untuk membuat engkau membenci padaku, kemudian membalas dendam kematian ayah bundamu. Dan melihat keadaan dirimu, walau pun mukamu tertutup cadar, aku hampir yakin bahwa engkaulah anak itu, Nona! Engkaulah anak dari Hong Bwe sendiri. Engkaulah anakku. Perasaanku mengatakan demikian. Suaramu dan pandang matamu itu tidak akan dapat menipuku. Itulah suara dan mata Hong Bwe! Ya Tuhan demikian bencikah ia kepadaku sehingga ia ingin melihat anakku sendiri membunuhku?"

Cu In bangkit berdiri. Mukanya menjadi pucat. Kemungkinan itu menyerbu pikirannya. Besar sekali kemungkinan apa yang diduga orang tua ini benar. Ia sendiri mempunyai perasaan yang aneh terhadap panglima ini. Tidak ada rasa benci, bahkan ada perasaan iba kepadanya. Jangan-jangan dia benar ayahnya!

Pada saat itu terdengar bentakan suara lembut, "Cu In, cepat laksanakan perintahku. Jangan dengar dia dan bunuhlah musuh besar kita itu!"

Yang muncul adalah Ang Hwa Nio-nio. Mukanya kemerahan dan sepasang matanya mencorong penuh kebencian ditujukan kepada The Sun Tek.

Panglima itu melangkah maju menghampiri, "Hong Bwe...! Ahhh, bertahun-tahun aku mencarimu, Hong Bwe. Akan tetapi engkau selalu menyingkir. Kembalilah kepadaku, Hong Bwe dan sekarang aku dapat memenuhi permintaanmu. Engkau dapat menjadi isteriku. Dan anak kita! Bukankah nona Souw ini anak kita? Begitu kejamkah engkau menyuruh anak kita untuk membunuhku?"

"Kejam katamu? Orang seperti engkau ini masih bisa mengatakan orang lain kejam? Engkau yang membuat aku hidup sengsara dan merana selama dua puluh tahun! Engkaulah manusia yang paling kejam di dunia. Cu In, cepat kau bunuh dia!"

Akan tetapi kini Cu In memandang kepada subo-nya dengan sinar mata penuh tuntutan. "Subo, benarkah dia itu ayahku?"

"Hemmm, Cu In, jangan sebut subo kepadanya, melainkan ibu!" kata The Sun Tek, kini dia hampir yakin bahwa gadis itu pasti anaknya dari Hong Bwe.
"Tidak peduli dia itu apamu, engkau harus membunuhnya. Sekarang juga! Hayo, cepat serang dan bunuh dia!" kembali Ang Hwa Nio-nio membentak, suaranya bercampur tangis saking jengkel hatinya.
"Akan tetapi, Su... bo...!"
"Tidak ada tetapi, hayo laksanakan perintahku!"
"Tidak! Kalau benar dia itu ayahku, aku tidak akan membunuhnya!"
"Kau... kau... berani membantah perintahku? Dari kecil engkau kubesarkan, kupelihara, kudidik, hanya untuk melaksanakan keinginanku ini. Kalau engkau tidak mau, aku akan membunuhmu di depan matanya!" Ang Hwa Nio-nio menggertak sambil menghunus pedangnya.
"Jawab dulu, apakah benar dia itu ayahku dan engkau ibuku? Kalau sudah kau jawab, baru aku akan menentukan sikapku."
"Ya atau tidak, engkau harus membunuhnya atau engkau akan kubunuh sendiri!"
"Tidak! Aku tidak mau!"
"Kalau begitu mampuslah kau di depan matanya!" Ang Hwa Nio-nio lalu menggerakkan pedangnya dan menyerang Cu In dengan ganasnya. Cu In meloncat ke belakang akan tetapi pedang gurunya mengejar terus.
"Tranggg...!"

Pedang itu tertangkis dan terpental oleh sebatang pedang lain, yaitu pedang di dalam genggaman tangan The Sun Tek.

"Hong Bwe, tahan dulu! Apakah engkau sudah menjadi gila? Gila oleh dendam yang kau buat sendiri? Hong Bwe, aku memang telah bersalah kepadamu, kesalahan karena keadaan, karena desakan orang tua. Aku bersedia minta maaf kepadamu sejak lama, dan kini aku bersedia menerimamu sebagai isteriku yang sah. Mengapa engkau masih mendendam dan hendak memaksa anak kita membunuhku? Jika dia tidak mau engkau bahkan akan membunuhnya di depan mataku? Begitu kejamkah hatimu, Hong Bwe? Tidak ingatkah engkau betapa dahulu kita saling mencinta dan sampai sekarang pun aku masih mencintamu? Hong Bwe, aku menyesal sekali, aku minta maaf kepadamu, aku mohon ampun kepadamu. Apa bila engkau masih mendendam, nah, inilah dadaku, tusuklah dan aku tidak akan melawanmu. Aku rela mati di tanganmu kalau hal itu akan membahagiakan hatimu. Akan tetapi jangan paksa anakku membunuhku!"

Sim Hong Bwe atau Ang Hwa Nionio tertegun memandang pria itu. Tiba-tiba tangannya gemetar, pedangnya terlepas dari tangannya, lalu telunjuknya menuding ke arah muka The Sun Tek.

"Kau... kau... ahhhhh...!"

Tubuhnya terhuyung dan ia tentu akan jatuh kalau tidak cepat The Sun Tek merangkul dan memapahnya. Akan tetapi Ang Hwa Nio-nio telah jatuh pingsan dalam rangkulan panglima ini.

Cu In memalingkan mukanya. Kedua matanya basah air mata, bukan hanya karena keharuan melainkan karena sedih hatinya bahwa ibu kandungnya sendiri yang hendak memaksa ia membunuh ayah kandungnya. Sungguh ibunya keterlaluan. Karena sakit hati, membuahkan pembalasan dendam yang teramat kejam.

Dendam ibunya kepada ayahnya demikian mendalam sehingga ia tidak puas jika harus membunuhnya sendiri, tapi menyuruh anak kandung mereka yang membunuhnya. Dan pada saat terakhir, ucapan The Sun Tek agaknya membuatnya lemas, lemah lunglai dan tidak dapat menahan jeritan hatinya sendiri bahwa selama ini, sampai kini, ia masih mencintai pria itu! Cu In berlari meninggalkan tempat itu dengan air mata bercucuran.

"Cu In...!" Terdengar The Sun Tek memanggi-manggil, akan tetapi Cu In tidak peduli dan berlari terus, meloncati pagar tembok meninggalkan rumah besar itu.

Sementara itu, Ang Hwa Nio-nio mulai sadar dari pingsannya. Melihat ia berada dalam rangkulan bekas kekasihnya, ia meronta dan meloncat berdiri. The Sun Tek berlutut di depan kakinya.

"Hong Bwe, aku mohon ampun darimu. Lihatlah, aku benar-benar menyesal dan ingin menebus semua kesalahanku kepadamu. Aku akan menghabiskan sisa hidupku untuk membahagiakanmu. Bila perlu aku akan mengundurkan diri dari jabatanku. Seharusnya hal ini sejak dahulu kulakukan. Maafkanlah aku dan terimalah uluran tanganku ini, Hong Bwe."

Wanita itu seperti nanar, memandang sekeliling. "Mana dia...? Mana Cu In anakku...?" Baru sekarang ia terang-terangan menyebut gadis itu sebagai anaknya.

"Ia telah lari. Dapat kubayangkan betapa sakit hatinya melihat ayah dan ibunya sendiri hampir saling bunuh. Ahh, kelak kita harus memberi cinta kasih dan kesayangan kepada anak kita."
"Aku juga telah bertindak keliru menuruti hatiku yang panas dan penuh dendam. Aku sudah membuat ia menjadi pembenci pria dan ia bahkan rela memakai cadar supaya mukanya jangan sampai terlihat pria. Aku mabuk dendam karena engkau..."
"Aku menyesal. Sekarang marilah kita bangun kembali rumah tangga kita, kita hidup bahagia seperti dulu..." The Sun Tek memegang kedua tangan wanita itu.

Ketika itu muncul seorang pemuda berusia dua puluhan tahun, pemuda yang tampan dan gagah. Melihat The Sun Tek sedang bercakap-cakap dengan seorang wanita asing di taman dalam suasana yang begitu akrab, memegang kedua tangannya, dia berhenti melangkah, memandang dan tidak berani bertanya.

The Sun Tek mendengar langkahnya dan menoleh, kemudian berkata kepada Ang Hwa Nio-nio. "Dia ini The Kong, anakku, anak kita karena ibunya telah meninggal. Aku hidup menduda sejak isteriku meninggal dan selalu mengharapkan kedatanganmu. Kong-ji, ini adalah ibumu, pengganti ibumu. Beri hormat kepadanya dan tinggalkan kami berdua di sini!"

The Kong dengan patuh memberi hormat kepada Ang Hwa Nio-nio dengan menyebut ‘ibu’, kemudian pergi dari taman meninggalkan mereka berdua.

"Hong Bwe, seperti sudah kukatakan tadi. Bertahun-tahun aku hidup menduda, tidak mau kawin lagi karena aku mengharapkan engkau. Kini engkau sudah datang, hiduplah bersamaku sebagai isteriku, Hong Bwe. Rumah ini seolah dunia gelap yang mendapat matahari kalau engkau berada di sini. Anakku Kong-ji adalah seorang anak yang baik dan patuh. Tadi pun dia sudah menyebutmu sebagai ibunya, pengganti ibunya."

"Hemmm, kau kira luka di hati yang hancur luluh ini sedemikian mudahnya sembuh? Kalau engkau benar-benar hendak memperisteri aku, engkau harus dapat mencari Cu In dan membawanya pulang kepadaku di Beng-san. Aku hanya mau kau boyong ke sini kalau Cu In bersamaku. Kalau sudah begitu, kita boleh melupakan semua kesalahan masa lalu. Nah, aku pergi dulu dan menunggu kedatanganmu bersama Cu In!" Setelah berkata demikian, wanita itu menyambar pedangnya, melompat dan pergi dengan cepat.

"Hong Bwe...!"

Akan tetapi The Sun Tek maklumi bahwa wanita itu tidak akan mau berhenti. Mau atau tidak terpaksa dia harus melaksanakan permintaan Hong Bwe kalau dia menghendaki hidup sebagai suami isteri dengannya.

Sambil menghela napas panjang karena hatinya merasa lega seolah-olah batu yang amat berat dan yang selama ini menindih hatinya telah diangkat pergi. Harapan baru bagaikan cahaya matahari menggantikannya menyentuh hatinya.

Dia berjanji kepada diri sendiri untuk dapat menemukan Cu In dan membujuknya agar mau pulang ke Beng-san bersamanya…..
********************
Gadis manis dan ayahnya itu dikerumuni banyak orang di depan pasar di kota Leng-an. Mereka adalah seorang gadis bersama dengan ayahnya yang bermain silat, sengaja mempertontonkan kepandaian mereka sehingga menarik banyak perhatian penonton. Setelah gadis itu bersilat dengan sepasang pedangnya dengan gerakan indah dan kuat serta cepat sehingga mendapat tepuk tangan kagum dari para penonton, sang ayah lalu melangkah maju dan memberi hormat kepada semua penonton di sekelilingnya.

"Cu-wi (saudara sekalian) yang mulia. Kami ayah dan anak mohon maaf sebesarnya bila kami berani mempertontonkan ilmu silat kami yang masih rendah. Terutama kepada para eng-hiong (pendekar) yang kebetulan berada di sini, hendaknya dimaklumi bahwa kami sama sekali tidak bermaksud untuk membanggakan kepandaian kami. Kalau kami mempertontonkan kepandaian, tidak lain karena kami kekurangan dan kehabisan bekal dalam perjalanan ini dan mengharapkan sumbangan suka rela dari para penonton, di samping itu juga mengharapkan mudah-mudahan puteriku akan menemukan jodohnya di tempat ini."

Ucapan yang terus terang itu disambut sorak-sorai dan tepuk tangan. Sekarang tahulah semua orang bahwa gadis itu hendak mencari jodohnya melalui pertandingan silat. Tentu nanti akan ramai kalau ada pemuda yang berani mencoba-coba.

Dan dugaan semua orang benar saja. Penawaran jodoh itu menarik perhatian banyak orang. Hal ini tidak aneh karena gadis itu memang manis sekali.

Wajahnya berbentuk bulat telur, dengan anak rambut melingkar-lingkar di pelipis serta dahinya. Rambutnya yang hitam panjang itu digelung ke atas dengan ringkas. Kulitnya agak gelap, akan tetapi menambah kemanisannya.

Matanya tajam dan bersinar-sinar penuh gairah hidup, hidungnya kecil mancung serta mulutnya mengandung daya tarik yang amat kuat. Mulut itu selalu mengandung senyum memikat, dengan lesung pipit di kiri bibir. Mulut dan mata gadis ini yang benar-benar memikat. Usianya pun paling banyak delapan belas tahun.

Namun karena semua orang sudah menyaksikan ketika gadis itu tadi berdemonstrasi silat tangan kosong kemudian silat sepasang pedang, yang berani maju hanya mereka yang merasa dirinya cukup tangguh saja.

Mula-mula seorang pemuda berpakaian ringkas seperti seorang jago silat yang maju. Pemuda berbaju biru ini melompat ke depan dengan sikapnya yang gagah dan semua orang bertepuk tangan ketika mengenalnya sebagai putera seorang guru silat di kota itu. Pemuda itu memang agak menyombongkan kepandaiannya, akan tetapi dia memang belum mempunyai seorang isteri.

"Saya ingin mencoba-coba ilmu kepandaian Nona!" katanya dengan gagah dan terang-terangan sehingga banyak orang tersenyum lebar.

Ayah gadis itu melangkah maju dan bertanya, "Apakah Sicu hendak menyumbang?"
"Saya memiliki sedikit uang untuk menyumbang, akan tetapi saya lebih ingin mencoba ilmu silat puteri Paman. Siapa tahu kami bisa berjodoh." Ucapan ini disambut gelak tawa para penonton dan sang ayah memberi isyarat kepada puterinya untuk maju.

Gadis itu juga bukan seorang gadis pemalu. Dengan sikap tenang ia melangkah maju menghadapi pemuda baju biru dan bertanya, "Aduh, kepandaian yang manakah yang Sicu kehendaki? Tangan kosong atau dengan senjata?"

"Ah, Nona. Kita hanya bermain-main untuk meramaikan suasana, bukan berkelahi untuk saling melukai. Maka sebaiknya kita main-main dengan tangan kosong saja."
"Baiklah. Nah, saya sudah siap, Sicu boleh mulai!" kata gadis itu sambil memasang kuda-kuda.
"Aku seorang laki-laki, Nona boleh menyerang terlebih dahulu!" kata pemuda baju biru, mengambil sikap mengalah untuk menarik perhatian.
"Kalau begitu baiklah. Awas, saya mulai menyerang!"

Gadis itu mengirim pukulan cepat ke arah dada si pemuda. Pemuda itu mengelak ke kiri dan membalas dengan tamparan ke arah pundak, namun dengan mudah tamparan ini dielakkan oleh gadis itu. Segera serang menyerang terjadi dengan seru.

Akan tetapi, bagi mereka yang mempunyai kepandaian, setelah lewat belasan jurus saja sudah ketahuanlah bahwa pemuda itu bukan tandingan si gadis. Dia mulai terdesak dan gerakan gadis itu sedemikian cepatnya, terlalu cepat bagi pemuda baju biru sehingga dia tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk menyerang dan hanya dapat mengelak atau menangkis terhadap serangan gadis itu yang datangnya bertubi-tubi. Belum lewat dua puluh jurus, sebuah tendangan kaki gadis itu mengenai lutut si pemuda dan pemuda itu pun terpelanting jatuh.

Sorak-sorai menyambut kemenangan gadis ini. Pemuda baju biru itu dengan muka merah bangkit kembali dan setelah memberi hormat lalu mundur, mengaku kalah.

Tiba-tiba seorang lelaki berusia kurang lebih empat puluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan mukanya hitam, meloncat ke tengah lingkaran itu. Matanya yang besar memandang kepada gadis itu dan terdengar suaranya yang parau dan lantang.

"Aku Hek-houw (Macan Hitam) Bong Kiat ingin mencoba-coba kepandaian Nona!"

Terdengar seruan-seruan di sana sini ketika Bong Kiat memasuki sayembara memilih suami itu.

"Dia sudah beranak-isteri!"
"Tidak pantas kalau dia ikut!"

Mendengar seruan-seruan itu, Bong Kiat membusungkan dadanya dan memandang ke sekelilingnya. "Aku Bong Kiat memang sudah beranak-isteri, akan tetapi siapa yang bisa melarangku memilih seorang gadis untuk menjadi selirku? Hayo katakan, siapa berani melarang?"

Si Macan Hitam Bong Kiat memang sudah terkenal sebagai seorang jagoan yang biasa malang melintang di kota Leng-an, sering menimbulkan keributan karena memaksakan kehendaknya sehingga semua orang menjadi takut. Tentu saja tantangannya itu tidak ada yang berani menyambut dan para penonton hanya diam saja.

Melihat ini, ayah gadis itu maju menyambut Bong Kiat dengan merangkap kedua tangan depan dada lalu berkata, "Kami Liong Biauw dan anak Liong Siok Hwa ini memang sedang mencari jodoh, namun untuk menjadi seorang isteri yang baik, bukan menjadi seorang selir. Oleh karena itu, harap Sicu suka mengurungkan niatnya untuk mengadu kepandaian."

"Apa kau bilang barusan? Mengurungkan niatku mengadu kepandaian untuk memasuki sayembara ini? Tidak bisa! Engkau tadi sudah mengatakan bahwa siapa yang dapat mengalahkan Nona ini akan menjadi jodohnya, maka sekarang aku hendak mencoba kepandaiannya. Kalau aku kalah, sudahlah, akan tetapi bila aku menang, Nona ini harus menjadi selirku!"

"Tidak ada yang mengatakan begitu, Sicu. Memang tadi aku mengatakan bahwa kami mengharapkan anak kami mendapatkan jodoh di sini, akan tetapi bukan untuk menjadi selir. Dan perjodohan bukan hanya ditentukan oleh kalah menangnya pertandingan, melainkan oleh cocok tidaknya anakku dengan calon jodohnya."
"Aih, tidak peduli! Pendeknya, anakmu harus melayani aku bertanding, atau kalau perlu ayahnya boleh maju mewakilinya. Kalau kalian tidak berani, kalian harus cepat pergi dari kota ini!"

Liong Biauw, sang ayah, tentu saja tidak ingin mencari permusuhan, maka dia pun lalu menghela napas panjang dan berkata kepada puterinya, "Siok Hwa, kemasilah barang-barangnya. Kita pergi saja dari kota ini." Jelas bahwa dia tak ingin melanjutkan keributan dengan Si Macan Hitam.

Akan tetapi, ketika penonton menjadi kecewa karena pertunjukan yang menarik itu akan berhenti, tiba-tiba dari penonton muncul seorang pemuda.

"Tahan dulu!" kata pemuda itu, lalu dia menghadapi Bong Kiat. "Sobat engkau sungguh tak tahu malu. Orang sudah menolak untuk bertanding denganmu karena engkau sudah berkeluarga, mengapa engkau memaksa? Bagaimana kalau aku mewakili Nona itu maju menandingimu?"

Bong Kiat memandang pemuda itu dengan mata penuh selidik. Dia seorang pemuda yang tampan dan gagah, tubuhnya tinggi besar, mukanya bundar dan matanya lebar. Belum pernah dia melihat pemuda ini, akan tetapi watak Bong Kiat memang selalu meremehkan orang lain.

"Tentu saja boleh, kalau engkau memang sudah bosan hidup!"

Pemuda itu lalu memberi hormat kepada Liong Biauw dan berkata, "Paman, sebetulnya saya pun ingin mencoba kepandaian puteri Paman, akan tetapi terdapat gangguan dari orang tidak tahu malu ini. Maka saya mohon perkenan Paman untuk mewakili puterimu memberi hajaran kepadanya."

Liong Biauw merasa tertarik dan suka kepada pemuda ini. Seorang pemuda yang sudah matang, usianya sekitar tiga puluh tahun dan matanya yang lebar itu bersinar tajam. Dia pun mengangguk dan berkata, "Silakan saja akan tetapi berhati-hatilah, dia bukan lawan yang lemah."

Mendengar ini, Bong Kiat menjadi semakin sombong. "Hai bocah tidak tahu diri. Berani engkau mencampuri urusan orang lain. Agaknya tidak mengenal siapa Si Macan Hitam! Perkenalkan namamu sebelum engkau berkenalan dengan tinjuku!"

Pemuda itu tersenyum mengejek dan berkata, "Namaku Ji Lam Sang, dari kota raja."

Pemuda itu sesungguhnya adalah Gu Lam Sang. Setelah diakui sebagai putera angkat oleh Pangeran Tao Seng, dia berhak memakai nama Tao Lam Sang. Akan tetapi karena kini Pangeran Tao Seng sendiri sedang menyamar sebagai hartawan Ji, maka dia pun mengaku marga Ji. Belum tiba saatnya dia menggunakan nama keluarga kerajaan itu. 

Secara kebetulan saja Lam Sang lewat di kota itu dan hatinya tertarik melihat banyak orang melihat pertunjukan silat itu. Dia pun menjenguk pertunjukan itu dan jantungnya berdebar. Dia bukan seorang laki-laki yang mata keranjang, akan tetapi entah mengapa, begitu melihat Liong Siok Hwa, hatinya tertarik sekali. Maka kalau tadinya hanya ingin menjenguk sebentar, dia lalu menjadi penonton.

Ia melihat betapa pemuda baju biru dikalahkan gadis itu. Diam-diam ia semakin kagum. Ilmu silat gadis itu lumayan tinggi. Lalu muncullah Bong Kiat yang hendak memaksakan kehendaknya. Melihat betapa Liong Biauw dan puterinya hendak mengalah dan pergi, dia lalu turun tangan mencampuri.

“Cabut senjatamu, Ji Lam Sang, dan bersiaplah engkau untuk mampus!” kata Bong Kiat yang sudah menghunus sebatang golok besar yang berkilauan saking tajamnya.

Semua orang bergidik melihat Si Macan Hitam sudah menghunus golok besarnya. Akan tetapi Lam Sang sendiri hanya tersenyum menghadapi ancaman golok besar yang tajam itu, bahkan dia berkata dengan nada mengejek.

“Untuk menghadapi golok pernotong ayam itu aku tidak perlu menggunakan senjata apa pun, cukup dengan tangan dan kakiku saja. Nah, aku telah siap, cepat gunakan golok pemotong ayammu itu!”

Bukan main marahnya Bong Kiat mendengar ejekan ini. Kalau saja Lam Sang tadi tidak mengejeknya, dia pun tentu akan menghadapi Lam Sang yang bertangan kosong tanpa senjata, untuk menjaga kehormatannya. Akan tetapi ejekan itu membuatnya marah dan dia ingin cepat-cepat dapat membunuh lawannya! Dia memutar-mutar golok besar yang berat itu di atas kepalanya.

"Sambutlah golokku dan mampuslah!” Bong Kiat membentak dan goloknya meluncur ke depan, membabat ke arah leher Lam Sang.

Akan tetapi, pemuda Tibet itu dengan amat mudahnya mengelak dengan merendahkan tubuhnya, dan ketika golok itu menyambar lewat, kakinya mencuat dengan cepatnya ke depan, menendang ke arah perut Bong Kiat. Serangan yang mendadak ini berbahaya sekali, akan tetapi Bong Kiat juga bukan orang lemah. Dia cepat melangkah mundur sehingga tendangan itu mengenai tempat kosong.

Akan tetapi gebrakan pertama yang sudah dapat dibalas secara kontan oleh lawannya membuat Bong Kiat berhati-hati karena ternyata lawannya memang memiliki ilmu silat yang tangguh. Kini dia mengayun goloknya dan melakukan serangan bertubi-tubi. Golok itu membentuk gulungan sinar terang yang menyambar-nyambar ke arah Lam Sang.

Semua orang merasa ngeri melihat buasnya serangan Bong Kiat. Akan tetapi Liong Biauw mendekati puterinya dan berkata lirih, “Pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dia tentu akan dapat mengalahkan Bong Kiat itu, dan agaknya dia seorang calon jodohmu yang baik sekali.”

Wajah Siok Hwa menjadi kemerahan mendengar ucapan ayahnya itu dan ia menonton dengan penuh perhatian.

Pertandingan masih berjalan dengan seru. Bong Kiat menjadi penasaran sekali ketika goloknya tidak pernah mengenai lawan, bahkan kalau sekali-kali Lam Sang menangkis lengannya, dia merasa betapa lengannya terguncang hebat dan terasa ada hawa panas menyerangnya. Dia mengamuk semakin hebat, akan tetapi justru ini yang dikehendaki Lam Sang. Makin marah dan semakin hebat serangannya, makin lemah pertahanannya.

Ketika goloknya menyambar, membacok kepala Lam Sang dari atas ke bawah, Gu Lam Sang mengelak dan membiarkan golok itu lewat. Secepat kilat jari tangannya kemudian menyambar dan menotok ke arah siku kanan Bong Kiat.

“Wuuuttt... dukkk!”

Bong Kiat mengeluarkan teriakan kaget. Tangan kanannya menjadi lumpuh dan golok itu dengan sendirinya terlepas dari pegangannya dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, tiba-tiba lengan kirinya disambar lawan dan tubuhnya terangkat ke atas. Kiranya Lam Sang memakai kesempatan itu untuk menangkap lengan kiri lawan dan memutarnya sehingga tubuh itu terputar ke atas lalu terbanting ke atas tanah.

“Bukkkkk...!”

Keras sekali bantingan itu. Bong Kiat merasa tubuhnya bagaikan remuk dan kepalanya menjadi pening. Ia mencoba bangkit, akan tetapi roboh lagi karena bumi yang diinjaknya seperti bergelombang.

Lam Sang tersenyum dan penonton menyambut kemenangan mutlak itu dengan tepuk tangan dan sorak-sorai.

“Cepat ambil golok pemotong ayammu dan pergi dari sini!” Lam Sang membentak.

Merasa bahwa dia sudah benar-benar kalah, hati Bong Kiat menjadi jeri. Dengan kepala masih pening ia cepat-cepat memungut goloknya, lalu terhuyung-huyung seperti mabuk meninggalkan gelanggang itu, ditertawakan oleh para penonton.

Lam Sang menghadapi Liong Biauw dan Siok Hwa. Ia menjura dan bertanya, “Bolehkah sekarang saya mencoba ilmu kepandaian Nona?”

Dengan muka kemerahan Siok Hwa mengangguk. “Tentu saja boleh, akan tetapi saya bukan tandinganmu, Kongcu.”

“Ahh, Nona terlalu merendahkan diri. Kulihat tadi ilmu pedang Nona lihai sekali. Nona boleh mempergunakan siang-kiam itu.”

“Engkau sendiri bertangan kosong, bagaimana aku harus menggunakan senjata? Aku pun akan menghadapimu dengan tangan kosong, Kongcu.”

“Terserah kepadamu, Nona. Aku telah siap, harap Nona suka mulai menyerang.”

Siok Hwa melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak memasang kuda-kuda, hanya berdiri saja seperti tidak sedang menghadapi pertandingan. Ia merasa tidak enak dan sebelum menyerang, ia memberi peringatan. “Kongcu sambutlah seranganku ini!” dan ia pun menerjang dengan cepat sekali.

“Bagus!” Lam Sang memuji dan dia cepat mengelak, lalu membalas dengan tamparan tangannya.

Keduanya lalu saling serang dengan seru dan cepat. Gerakan mereka begitu cepatnya sehingga sukar diikuti oleh pandangan mata para penonton, kecuali oleh mereka yang berkepandaian.

Liong Biauw menonton dengan penuh perhatian. Dia segera mengerti bahwa pemuda itu telah banyak mengalah. Pemuda itu agaknya membiarkan Siok Hwa yang memimpin penyerangan. Dia sendiri lebih banyak mengelak dan sesekali hanya membalas dengan serangan sekedarnya saja, tidak bersungguh-sungguh. Kalau dia bersungguh-sungguh, tentu sudah sejak tadi Siok Hwa dapat dikalahkannya.

Hal ini membuat hatinya merasa girang bukan main. Agaknya pemuda itu menaruh hati kepada puterinya maka mengambil sikap mengalah.

Sementara itu, Siok Hwa menjadi bingung sendiri. Semua jurus terampuh ia keluarkan untuk menyerang lawan, akan tetapi selalu berhasil dielakkan atau ditangkis. Dan kalau lawannya menangkis, lengannya bertemu dengan telapak tangan yang lunak. Ia merasa heran sekali. Tenaga sinkang yang ia keluarkan dalam penyerangannya seolah lenyap ketika bertemu dengan tangan yang lunak itu, dan kadang tenaganya membalik.

Ia sudah mulai berkeringat, akan tetapi belum juga ia mampu mendesak lawan. Ia pun mengerti bahwa pemuda itu mengalah. Serangan pemuda itu seenaknya saja, berbeda dengan pertahanannya yang demikian kokoh kuat. Orang yang dapat bertahan seperti itu, kalau dikehendaki, tentu dapat menyerang dengan hebat pula, tidak seperti pemuda itu yang menyerang hanya dengan tamparan-tamparan lemah. Ia mulai menjadi bingung bagaimana caranya untuk mengakhiri pertandingan itu.

Tiba-tiba ia teringat akan sebuah jurus yang belum dipergunakannya. Jurus itu adalah sebuah tendangan yang dilakukan dengan tubuh seolah ‘terbang’ di udara. Tendangan ini ampuh sekali dan jarang ada lawan mampu manghindarkan diri.

“Haiiittt...!”

Siok Hwa membentak. Tubuhnya meloncat ke udara dan kedua kakinya mencuat dan menendang ke arah dada dan kepala Lam Sang!
“Bagus!” Lam Sang memuji.

Ketika kedua tangannya bergerak cepat, tahu-tahu dia telah menangkap kedua kaki itu. Dia mendorong sehingga tubuh Siok Hwa terpental, lalu berjungkir balik beberapa kali sebelum turun kembali ke atas tanah. Indah bukan main gerakan ini dan semua orang memuji.

Akan tetapi gadis itu menjadi kemerahan mukanya, tersipu-sipu malu sedangkan Lam Sang memegang dua buah sepatu gadis itu yang tertinggal di tangannya. Melihat ini, semua orang bersorak memuji.

Liong Biauw menghampiri pemuda itu dan menjura, “Anakku sudah kalah olehmu, Ji Kongcu.”
Lam Sang juga menjura. “Nona telah banyak mengalah, harap maafkan aku.”

Dia lalu mengembalikan sepasang sepatu itu kepada pemiliknya, dan diterima oleh Siok Hwa sambil tersipu dan tersenyum malu-malu.

Liong Biauw segera memberi hormat kepada para penonton. “Cu-wi, terima kasih atas perhatian dan bantuan Cu-wi. Pertunjukan sudah habis dan dihentikan sampai di sini.”

Penonton mulai bubar dan Liong Biauw berkata kepada Lam Sang. “Ji Kongcu, silakan ikut dengan kami ke pondokan kami untuk bicara.”

Lam Sang hanya mengangguk sambil tersenyum. Mereka bertiga lalu pergi ke rumah penginapan di mana ayah dan anak itu menyewa dua buah kamar. Setelah mereka masuk ke rumah penginapan, Lam Sang dipersilakan masuk ke kamar Liong Biauw dan di situ mereka berdua mengadakan pembicaraan. Siok Hwa tinggal di kamarnya sendiri karena maklum apa yang akan dibicarakan ayahnya dengan pemuda itu dan ia merasa malu untuk menghadirinya.

“Ji Kongcu, tentunya engkau sudah dapat menduga apa yang hendak kami bicarakan denganmu, bukan?”

Tentu saja Lam Sang sudah dapat menduganya, akan tetapi dia pura-pura bodoh dan bertanya, “Apakah yang hendak Paman bicarakan? Aku tidak dapat menduganya.”

“Kongcu tentu tadi telah mendengar bahwa kami sedang mencarikan jodoh bagi anakku Liong Siok Hwa dengan mengadakan pertandingan silat. Nah, kini ternyata engkau yang telah mampu mengalahkan Siok Hwa, maka hal itu berarti bahwa engkau adalah jodoh Siok Hwa yang selama ini kami nanti-nanti.”

Lam Sang pura-pura kaget. “Ah, akan tetapi aku sama sekali belum mempunyai pikiran untuk menikah, Paman!”

Liong Biauw mengerutkan alis. “Lalu mengapa engkau tadi mengajak Siok Hwa untuk mengadu kepandaian silat?”
“Aku tadi hanya iseng-iseng karena kagum melihat ilmu kepandaian puterimu, dan aku menandingi Bong Kiat karena tidak suka melihat ulahnya.”
“Ji Kongcu, apakah engkau tidak suka kepada Siok Hwa?”
“Aku kagum kepadanya, Paman, dan tentu saja aku suka kepadanya. Ia cantik manis dan berkepandaian lumayan.”
“Kalau begitu, mengapa menolak? Kami sudah menyatakan setuju untuk menjodohkan ia denganmu.”
“Tidak begitu mudah bagiku untuk menikah, Paman. Harus kutanyakan dulu pada orang tuaku dan aku sendiri belum mempunyai keinginan untuk berumah tangga.”
“Kalau begitu, harap engkau suka memberi tahukan orang tuamu. Dari sini kota raja tak berapa jauh, kami akan menunggu keputusanmu di sini, dalam waktu seminggu engkau tentu sudah dapat kembali ke sini. Bagaimana, Ji Kongcu?”
“Baiklah kalau begitu, Paman. Aku akan memberi tahukan orang tuaku dan dalam waktu seminggu aku akan kembali ke sini,” kata Lam Sang.

Liong Biauw menjadi gembira sekali dan dia segera memanggil puterinya ke kamarnya. Siok Hwa muncul dengan muka kemerahan dan kepala ditundukkan.

“Siok Hwa, kami telah membicarakan tentang perjodohan kalian. Ji Kongcu sekarang hendak pulang ke kota raja untuk memberi tahu tentang hal itu kepada orang tuanya. Kita berdua menanti di sini, dan dalam waktu seminggu dia akan kembali memberikan keputusannya.”

Siok Hwa makin menunduk dan tersenyum malu sambil melirik ke arah Lam Sang. “Terserah kepada Ayah saja...” jawabnya lirih.

Lam Sang memandang gadis itu. Sungguh cantik manis dan menarik sekali. Selama hidupnya belum pernah dia tertarik oleh wanita dan ini merupakan yang pertama kalinya dia terpesona oleh kecantikan wanita.

Akan tetapi dia tidak boleh mengikatkan diri dalam pernikahan. Dia bercita-cita besar, seperti Pangeran Tao Seng yang mengakuinya sebagai putera. Ia ingin ayah angkatnya itu menjadi kaisar dan dia menjadi putera mahkota. Sebelum cita-cita itu tercapai, bagai mana dia boleh mengikatkan diri dalam perjodohan? Tidak mungkin. Akan tetapi gadis ini sungguh menarik hatinya!

Lam Sang lalu berpamit kepada Liong Biauw dan Siok Hwa dan dia pergi meninggalkan rumah penginapan itu, diantar sampai ke pintu luar oleh ayah dan anak itu.

Setelah Lam Sang pergi. Liong Biauw dengan girang berkata kepada anaknya. “Pilihan kita tepat sekali Siok Hwa! Dia bukan hanya lihai dalam ilmu silat, akan tetapi juga tahu aturan dan berbakti kepada orang tua. Engkau menemukan suami yang pilihan dan aku memperoleh mantu yang baik!”

“Mudah-mudahan begitu, Ayah,” jawab Siok Hwa lirih, seperti berdoa.

Dan keduanya pun kembali ke dalam rumah penginapan…..

********************
Malam itu Siok Hwa tidak dapat tidur. Dia terus membayangkan wajah Lam Sang dan kadang ia tersenyum sendiri. Hatinya begitu girang dan penuh harapan manis sehingga dia tak dapat tidur. Kamarnya remang-remang saja, hanya menerima cahaya dari lampu gantung yang berada di luar kamarnya.

Tiba-tiba kamarnya menjadi lebih terang dan terkejutlah dia ketika melihat bahwa yang membuat kamarnya terang itu adalah karena jendela kamarnya telah dibuka orang dari luar sehingga cahaya lampu di luar dapat menerobos masuk. Akan tetapi sinar terang itu hanya sebentar.

Sesosok tubuh orang cepat sekali meloncat memasuki kamarnya melalui jendela dan daun jendela sudah ditutupkan lagi dari dalam. Kini bayangan itu sudah berdiri di tengah kamarnya.

Siok Hwa bangkit duduk dan siap menerjang bayangan itu. Tentu pencuri yang sudah memasuki kamarnya. Cepat tangannya meraih sepasang pedangnya yang diletakkan di atas meja dekat pembaringannya.

“Ssttt... ini aku, Nona...” bisik bayangan itu.

Siok Hwa terkejut. Suara Lam Sang! Saking kaget dan herannya ia tidak mampu bicara, hanya memandang saja bayangan itu dengan tangan kiri di atas sepasang pedang yang masih berada di atas meja.

Bayangan itu mendekatinya. “Ini aku, Nona. Lam Sang, bukan orang lain. Simpanlah pedangmu. Engkau tidak ingin membunuh aku, bukan?”

Barulah Siok Hwa dapat membuka mulutnya. “Engkau... Kongcu? Akan tetapi kenapa... kenapa engkau memasuki kamarku seperti ini?”

“Aku rindu sekali kepadamu, Nona. Tak dapat aku menahan kerinduan hatiku padamu, karena itu aku memasuki kamarmu seperti seorang pencuri. Mungkin pencuri... hati...”

Pemuda itu menghampiri sampai dekat dan duduk di tepi pembaringan, dekat sekali dengan Siok Hwa.

“Tidak... ahh, bukankah engkau tadi sudah berangkat ke kota raja untuk memberi tahu orang tuamu, Ji Kongcu?”
“Sudah kukatakan bahwa aku rindu sekali kepadamu, maka aku kembali. Besok masih ada waktu bagiku untuk pergi ke kota raja. Malam ini aku ingin bersamamu.”
“Tidak... tidak... tadi aku pun terus memikirkanmu, Ji Kongcu. Akan tetapi tidak seperti ini. Jangan...”

Siok Hwa tidak mampu mengeluarkan suara lagi dan tubuhnya telah lemas oleh totokan. Selanjutnya dia hanya mampu menangis sejadi-jadinya dan menyerah kepada pemuda yang kini berubah menjadi ganas melebihi binatang liar itu.

Setelah mengalami penderitaan yang membuat dunianya hancur luluh, Siok Hwa hanya terbaring tanpa dapat mengeluarkan kata-kata. Dan pemuda itu, pemuda yang tadinya diharapkannya menjadi suami yang baik, pemuda yang menarik hatinya dan yang telah merusak kehormatan dirinya itu, sekarang tidur mendengkur di sisinya! Demikian pulas tidurnya seolah-olah dia tidak pernah melakukan suatu kesalahan apa pun!

Kurang lebih tiga jam kemudian barulah totokan pada tubuhnya membuyar dan mulailah Siok Hwa mampu menggerakkan tubuhnya. Ia bingung, bingung bercampur sedih. Akan dibunuhnya orang ini? Akan tetapi dia calon suaminya!

Karena tidak tahu harus berbuat apa, perlahan-lahan ia melangkahi tubuh Lam Sang, lalu berindap keluar dari kamarnya. Ia menghampiri kamar ayahnya dan mengetuk daun pintu kamar ayahnya.

“Siapa di luar...?” tanya Liong Biauw.
“Aku, Ayah. Bukalah pintunya, cepat...!”

Daun pintu terbuka. Liong Biauw melihat puterinya dengan pakaian dan rambutnya yang awut-awutan sedang menangis terisak-isak.

“Ada apa? Apa yang terjadi?” tanya Liong Biauw bingung.
Siok Hwa menubruk ayahnya dan menangis dalam rangkulan ayahnya. “Ayah... dia... dia kembali...”
“Apa...? Siapa...?”
“Ji Kongcu! Dia memasuki kamarku dan... dan dia memperkosaku...” Gadis itu kembali menangis.
Tentu saja Liong Biauw terkejut bukan main mendengar Ini. “Keparat! Di mana dia sekarang?”
“Tertidur di kamarku...”

Liong Biauw berlari memasuki kamarnya mengambil pedang, lalu lari menuju ke kamar Liong Siok Hwa. Karena pintunya sudah dibuka oleh gadis itu ketika keluar tadi, dia langsung menerjang masuk. Dalam cuaca yang remang-remang itu dia melihat sesosok tubuh tidur membujur di atas pembaringan.

Saking marahnya, orang tua ini tidak mengeluarkan sepatah pun kata lagi dan langsung menerjang, membacokkan pedangnya ke arah tubuh itu. Akan tetapi tiba-tiba tubuh itu bergerak menendang, tepat mengenai pergelangan tangan kanan Liong Biauw yang memegang pedang sehingga pedangnya terlepas dari pegangan.

Lam Sang yang tadi terbangun segera meloncat turun. Dengan jari-jari tangan terbuka dia menyerang Liong Biauw. Hebat sekali serangan itu, tidak dapat ditangkis atau pun dielakkan lagi oleh Liong Biauw. Dia berteriak dan roboh berkelojotan. Dadanya terkena hantaman tangan terbuka itu dengan pukulan beracun, pukulan maut.

Liong Siok Hwa melompat masuk.

”Ayah...!” teriaknya, akan tetapi tubuhnya segera lemas tertotok dan dia pun dipanggul oleh Lam Sang yang segera melompat keluar dari tempat itu.

Tidak ada orang menyaksikan peristiwa itu. Baru pada keesokan harinya para pelayan rumah penginapan menjadi gempar melihat pintu kamar terbuka dan tubuh Liong Biauw sudah menjadi mayat, sedangkan puterinya lenyap entah ke mana!

Pagi itu, Siok Hwa diturunkan dari pundak Lam Sang. Gadis itu menangis, lalu meronta dan setelah dapat bergerak, ia langsung menyerang pemuda itu dengan pukulan tangan kanannya. Akan tetapi dengan mudah Lam Sang menangkap pergelangan tangan itu dan sekali puntir dia sudah dapat menangkap gadis itu yang menjadi tidak berdaya.

“Engkau hendak melawanku? Bodoh! Aku justru tidak ingin membunuhmu karena aku suka kepadamu, Siok Hwa,” kata Gulam Sang sambil melepaskan pergelangan tangan itu.
"Kau... jahanam busuk...!” Setelah dilepaskan, kembali Siok Hwa menyerang.

Akan tetapi sekali ini Gulam Sang mengelak dan sekali mendorong dengan tangannya, gadis itu pun terpelanting keras.

“Engkau bukan lawanku, Siok Hwa. Dengar baik-baik, kalau aku hendak membunuhmu, mudahnya seperti membalikkan telapak tangan saja. Akan tetapi aku sama sekali tidak ingin membunuhmu, bahkan aku ingin engkau ikut aku dan membantu usahaku. Kelak, kalau aku menjadi pengeran, engkau akan menjadi seorang selirku yang tercinta.”

Siok Hwa memandang penuh kebencian, dengan air mata bercucuran di atas kedua pipinya. “Engkau...engkau telah membunuh ayahku!”
“Salah! Dialah yang hendak membunuh aku maka terpaksa aku lenyapkan dia. Salahmu juga karena engkau melapor kepada ayahmu. Kalau dia tidak menyerangku, untuk apa aku membunuhnya?”
“Kau... kau jahat...!”
“Kembali engkau keliru. Aku baik sekali padamu, dan aku sayang padamu.” Kini suara Gulam Sang berubah, penuh getaran dan penuh wibawa.

Mendadak saja Siok Hwa merasa dirinya lemas, pikirannya bagaikan melayang-layang. Kiranya Gulam Sang mulai mempergunakan sihirnya.

“Mulai sekarang engkau akan menuruti semua kehendakku. Engkau akan selalu taat kepadaku!”

Siok Hwa menunduk. “Aku... akan taat kepadamu,” katanya lirih dan tanpa tenaga.

Gulam Sang merasa girang sekali karena sudah dapat menguasai Siok Hwa.

“Mulai sekarang, ikutlah ke mana aku pergi kecuali kalau kularang. Sekarang, ikuti aku!”

Gulam Sang lalu membalikan badan dan melangkah pergi. Dan seperti telah kehilangan semangatnya, Siok Hwa lalu mengikutinya. Kalau Gulam Sang berlari, ia pun ikut pula berlari!

Mulai saat itu, Siok Hwa telah berada dalam cengkraman Gu Lam Sang. Sekali waktu, ingatannya kembali dan apa bila dia teringat akan kematian ayahnya dan akan keadaan dirinya, dia menangis.

Akan tetapi ia segera terhibur kalau Gulam Sang sudah mengeluarkan kata-kata hiburan yang mengandung kekuatan sihir.....
********************
Cu In masih menangis tanpa suara ketika ia berjalan seorang diri masih di kota raja, setelah dia meninggalkan rumah The Sun Tek. Pikirannya masih kacau. Hatinya terasa hancur luluh. Padahal, sepatutnya ia berbahagia sekali karena ternyata ayah bundanya masih hidup! Ia bukan anak yatim piatu. Gurunya adalah ibu kandungnya dan The Sun Tek adalah ayah kandungnya. Sepatutnya ia bersyukur. Akan tetapi kenyataannya lain.

Ibunya sendiri mendidiknya sebagai murid hanya untuk diadu dengan ayah kandungnya. Ia harus membunuh ayah kandungnya sendiri! Demikian parah racun dendam merusak hati ibunya sehingga wanita itu ingin melihat kekasihnya terbunuh oleh puterinya sendiri.

Sebuah kereta meluncur berpapasan dengan Cu In. Kereta itu segera dihentikan dan seorang gadis menyingkap tirai kereta dan memanggil-manggilnya.

“Enci Cu In...! Enci Cu In...!”

Cu In membalikkan tubuhnya memandang dan dia segera dapat mengenali gadis yang memanggil dirinya itu. Gadis itu bukan lain adalah Yo Han Li, gadis yang membantunya ketika ia dikeroyok oleh orang-orang Kwi-kiam-pang. Gadis itu beserta gurunya, Kai-ong telah membantunya sehingga ia dapat terlepas dari pengeroyokan yang berbahaya.

Dan dia pun mengenal gadis itu dari ilmu pedangnya bahwa dia adalah puteri Pendekar Tangan Sakti Yo Han dan isterinya, Si Bangau Merah! Biar pertemuan dan perkenalan mereka hanya sebentar, namun berkesan di hati Cu In. Maka ketika melihat bahwa Han Li yang memanggilnya, ia pun segera menghampiri kereta itu.

Han Li sudah meloncat turun dari dalam kereta, diikuti oleh seorang gadis lain yang juga cantik dan berpakaian serba biru.

“Enci Cu In, girang sekali aku dapat bertemu dengan engkau di sini. Perkenalkan, enci Cu In, ini adalah adik Tao Kwi Hong, puteri Pangeran Mahkota. Adik Hong, dia adalah enci Souw Cu In yang pernah kuceritakan kepadamu, ilmu silatnya hebat.”

Mendengar bahwa gadis itu adalah puterinya Pangeran Mahkota, Cu In memberi hormat dan dibalas dengan manis oleh Kwi Hong.

“Aku sudah mendengar tentang dirimu, enci Cu In, dan aku merasa kagum sekali. Mari, kupersilakan untuk singgah di rumahku agar kita bertiga dapat bercakap-cakap dengan leluasa dan gembira.”
“Benar, enci Cu In. Aku bersama suhu sedang menjadi tamu dari keluarga Pangeran Mahkota, sudah beberapa hari aku berada di sini. Marilah singgah sebentar, Enci. Aku ingin mengenalmu lebih dekat.”

Dibujuk oleh dua orang gadis yang ramah dan manis budi itu, Cu In yang sedang bersedih menjadi gembira dan ia pun ikut naik ke dalam kereta yang segera dijalankan menuju ke istana Pangeran Mahkota.

Biar pun Cu In masih memakai cadar dan mukanya tidak dapat dikenali, namun sikap Han Li dan Kwi Hong tetap ramah kepadanya, seolah menutupi muka dengan cadar adalah suatu hal yang biasa saja.

“Enci Cu In, apakah angkau masih berdarah keturunan Turki dan beragama Islam?” tanya Kwi Hong ketika mereka sudah tiba di istana dan mereka bertiga bercakap-cakap di taman bunga yang indah dari istana itu.

“Ahh, tidak. Mengapa?” tanya Cu In heran.
“Cadarmu itu meningatkan aku akan kebiasaan para wanita Islam yang pernah kulihat,” kata pula Kwi Hong dan suaranya terdengar biasa saja sehingga tidak menyinggung perasaan Cu In. Cu In pun mengerti akan kewajaran pertanyaan itu.

Akan tetapi pertanyaan mengenai cadar yang menutupi mukanya itu mengingatkan Cu In akan ibunya! Ibunya yang tadinya dianggap gurunya itulah penyebab ia mengenakan cadar semenjak menjadi gadis remaja. Gurunya selalu menekankan kepadanya betapa palsu dan jahatnya semua pria, dan betapa besar bahayanya kalau ada pria jatuh cinta padanya atau sebaliknya kalau ia mencinta pria. Pria yang demikian itu harus dibunuh!

Karena itulah, untuk mencegah agar jangan ada pria yang jatuh cinta kepadanya, maka ia menutupi mukanya dengan cadar. Ia tidak harus seperti suci-nya yang entah berapa kali harus membunuh pria karena pria itu tertarik dan jatuh cinta kepadanya. Dan ketika teringat akan gurunya, mengingatkan pula ia akan kenyataan bahwa gurunya adalah ibu kandungnya, dan mengingatkan pula bahwa sikap ibunya yang menyuruh ia membenci setiap orang pria itu berdasarkan sakit hati ibunya terhadap ayahnya!

Teringat akan semua ini, hati Cu In menjadi sedih sekali. Dan pada saat itu juga sudah timbul niat di hatinya untuk menentang sikap ibu kandungnya itu. Menentang sikapnya yang membenci setiap orang laki-laki, hanya akibat hatinya pernah disakiti oleh seorang laki-laki. Selama ini dia tidak pernah merasa benci terhadap laki-laki, dan menganggap mereka sama saja seperti para wanita, ada yang jahat dan ada pula yang baik.

Tidak adanya sikap membenci pria ini sudah diperlihatkan ketika dia menyelamatkan Keng Han dari tangan suci-nya, ketika suci-nya hendak membunuh laki-laki itu karena Keng Han tidak mau diajak berjodoh dan minggat. Setelah mendengar pengakuan Keng Han bahwa pemuda itu tidak mencinta suci-nya, sudah cukup menjadi alasan baginya untuk mencegah suci-nya membunuh Keng Han.

Ingatannya melayang-layang ketika ia teringat akan pemuda itu. Teringat betapa ia telah ditolong oleh Keng Han ketika ia tertawan oleh Tung-hai Lo-mo dan Swat-hai Lo-kwi, teringat akan perjalanan mereka bersama, malam-malam di dalam goa, makan minum bersama. Makin terasa di hatinya betapa ia amat tertarik kepada Keng Han, betapa debar jantungnya menjadi cepat kalau ia teringat kepada pemuda itu. Namun selama ini perasaan itu selalu ditekannya karena anggapan yang ditanamkan oleh gurunya sejak kecil dalam perasaannya bahwa semua pria itu palsu dan jahat.

Akan tetapi sekarang, setelah ia mengetahui bahwa gurunya adalah ibunya sendiri yang membenci kaum pria karena disakiti hatinya oleh seorarig laki-laki, maka anggapan itu mengendur. Ia bahkan tidak percaya lagi kepada ibunya yang begitu tega menyuruhnya membunuh ayah kandungnya sendiri!

“Enci Cu In, engkau melamun?” tiba-tiba Han Li menegur sambil menyentuh tangannya. Han Li melihat betapa pandang mata Cu In menerawang jauh dan pandangan mata itu kosong separti orang melamun dan sejak tadi Cu In diam saja.

Cu In tersentak kaget dan baru sadar. Ia teringat bahwa tadi Kwi Hong menyinggung tentang cadarnya dan ia merasa tidak enak kalau tidak menjawab.

“Ah, cadarku ini... sebagai penutup mukaku. Aku tidak ingin orang lain melihat mukaku, aku malu...,” jawabnya terpaksa sekali.
“Malu? Engkau yang begini cantik jelita, tetapi malu kalau orang lain melihat mukamu? Sungguh aneh!” kata Kwi Hong yang memang lincah.
“Aku... sama sekali tidak cantik, aku... mukaku buruk sekali...,” berkata Cu In dengan terpatah-patah.

Melihat sikap yang gugup dari Cu In, Han Li yang juga lincah namun berwatak lembut itu segera berkata, “Sudahlah, enci Cu In. Kalau engkau ingin menyembunyikan wajahmu di balik cadar, itu adalah urusamu sendiri dan menjadi hakmu. Kami tak akan memaksa dirimu untuk memperlihatkan mukamu kepada kami, bukankah begitu, adik Kwi Hong?”

Kwi Hong juga seorang gadis yang meski pun puteri pangeran mahkota, namun sudah lumayan pengalamannya di dunia kang-ouw, maklum betapa orang kang-ouw memang banyak yang aneh-aneh, maka ia pun segera berkata, “Tentu saja. Menggunakan cadar untuk menyembunyikan mukanya adalah rahasia enci Cu In sendiri, meski aku sungguh ingin dapat melihat muka itu.”

“Kelak akan datang waktunya kalian dapat melihat mukaku, akan tetapi sekarang belum waktunya,” kata Cu In.

Ketika mereka akan bercakap terus mendadak nampak Pangeran Mahkota Tao Kuang datang memasuki taman itu, berjalan sambil bercakap-cakap dengan Kai-ong Lu Tong Ki. Ternyata Lu Tong Ki merupakan kawan bercakap-cakap yang menyenangkan bagi putera mahkota itu.

Raja Pengemis itu berpengetahuan luas dan biar pun dia hanya seorang yang berjuluk Raja Pengemis, ternyata dia tidak pernah merasa rendah diri dan dapat melayani sang Pangeran Mahkota bercakap-cakap mengenai banyak hal. Ketika itu, hawa agak panas dan Pangeran Tao Kuang mengajak tamunya untuk barjalan-jalan dalam taman sambil bercakap-cakap.

Melihat putrinya bersama Han Li dan seorang gadis lain yang bercadar sedang berada dalam taman pula, Pangeran Mahkota segera menghampiri.

“Itu ayah datang!” kata Kwi Hong.

Mendengar bahwa yang datang adalah Pangeran Mahkota, Cu In segera berdiri dengan perasaan tidak enak. Ia belum pernah bertemu dengan Pangeran Mahkota dan merasa bahwa kedatangannya hanya mengganggu saja.

“Hai, bukankah itu nona Souw?” Kai-ong Lu Tong Ki berteriak ketika melihat Cu In. Dia masih ingat ketika bersama-sama Han Li membantu Cu In dari pengeroyokan Toat-beng Kiam-sian Lo Cit dan anak buahnya.
“Ayah, ini nona Souw Cu In yang saya undang untuk berkunjung ke mari. Ia seorang yang memiliki ilmu silat yang tinggi sekali, Ayah.”
“Bagus, engkau boleh saja mengajak para sahabatmu yang gagah datang berkunjung, Kwi Hong,” kata Pangeran Mahkota Tao Kuang sambil menghampiri.

Cu In bangkit dan memberi hormat kepada Pangeran Tao Kuang. “Harap Paduka suka memaafkan kalau kedatangan saya ini menganggu,” katanya lembut.

“Ahh sama sekali tidak mengganggu, Nona. Bahkan kami pun mengundang Nona untuk menjadi tamu yang terhomat dari kami karena malam nanti kami akan mengadakan perjamuan makan malam di taman ini untuk menghormati para tamu.”
“Enci Cu In, aku harap engkau suka menghadirinya!” kata Kwi Hong dengan girang.
“Malam ini terang bulan. Kita makan malam di bawah sinar bulan sambil membicarakan tentang ilmu silat. Tentu menggembirakan sekali!” kata Pangeran Tao Kuang.
"Kali ini engkau tidak boleh menolak, Enci. Aku juga ingin sekali engkau menemaniku!” kata Yo Han Li sambil memegang tangan gadis bercadar itu.

Cu In merasa sungkan untuk menolak ajakan mereka yang demikian ramah kepadanya. “Baiklah, aku akan tinggal semalam dengan kalian.”

Pangeran Tao Kuang melanjutkan berjalan-jalan di dalam taman bersama Kai-ong Lu Tong Ki dan tiga orang gadis itu pun melanjutkan percakapan mereka. Akhirnya Kwi Hong mengantar Cu In ke dalam sebuah kamar yang dipesiapkan untuk Cu In tinggal semalam itu.

Malam itu memang terang bulan. Bulan purnama menerangi langit dan bumi. Taman Istana Pangeran Mahkota nampak indah sekali. Bunga-bunga sedang mekar semerbak harum dan di sana sini dipasangi lampu-lampu terang yang beraneka warna menambah semaraknya keadaan di dalam taman.

Malam itu Pangeran Mahkota datang ke taman disertai selirnya, Liang Siok Cu, satu-satunya selir yang cocok untuk mendampinginya waktu pangeran menerima tamu-tamu ahli silat karena selir ini dulu pun seorang tokoh kang-ouw. Kwi Hong yang menemani ayah ibunya nampak cantik dalam pakaian biru tua dan muda, dengan rambutnya yang di gelung ke atas, dihias Bangau Emas dan ujungnya diikat sehelai pita merah.

Cu In segera diperkenalkan kepada Liang Siok Cu dan mereka pun mulai diayani para pelayan yang menghidangkan makan malam yang mewah dan serba lezat. Yang paling gembira adalah Kai-ong Lu Tong Ki. Tanpa sungkan atau malu dia menyantap semua hidangan dengan lahapnya. Dan ketika mereka memperhatikan Cu In, gadis ini makan dengan sikap biasa saja.

Karena sudah terbiasa, maka dia tidak canggung ketika makan, walau pun cadarnya masih menutupi muka bagian bawah itu. Dia membawa makanan yang disumpit ke balik cadar dan makan dengan tenang. Cadarnya ikut bergerak-gerak saat mulutnya dengan perlahan mengunyah makanan.

Ketika Pangeran Mahkota Tao Kuang sedang menjamu para tamunya dengan gembira, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan hitam, dan tahu-tahu tidak jauh dari sana berdiri seorang pemuda yang memegang sebatang pedang bengkok yang terhunus. Pedang itu berkilau terkena sinar lampu gantung.

“Pangeran Tao Kuang, bersiaplah engkau untuk menerima pembalasanku atas segala kecuranganmu!” bentak pemuda itu yang bukan lain adalah Keng Han.

Setelah berkata demikian, tubuhnya melayang dan menerjang ke arah Pangeran Tao Kuang. Pedangnya menyambar ke arah leher sang pangeran.

Sang Pangeran adalah seorang yang mempelajari ilmu silat dari mendiang mertuanya, Sin-tung Koai-jin Liang Cun. Melihat serangan mendadak ini, maka dia pun cepat-cepat merendahkan tubuhnya untuk mengelak.

“Tranggg...!”

Pedang di tangan Keng Han tertangkis oleh tongkat bambu yang tadi digerakkan oleh Kai-ong Lu Tong Ki yang duduk di sebelah kiri pangeran itu.

Ketika serangan pertamanya gagal, Keng Han terpaksa melompati meja. Ia juga merasa terkejut sekali ketika merasakan tenaga hebat terkandung pada tongkat bambu yang menangkisnya. Baru sekarang dia melihat bahwa yang menangkis pedangnya adalah seorang berpakaian pengemis!

Seorang pengemis makan bersama Pangeran Mahkota! Sungguh merupakan hal luar biasa. Disangkanya tadi Pangeran Tao Kuang sedang berpesta dengan para selirnya karena dia melihat beberapa wanita muda cantik menemani pangeran itu makan minum.

Baru sekarang dia sempat memperhatikan wanita-wanita muda itu dan terkejutlah dia ketika dia mengenal dua orang di antara mereka. Kwi Hong dan Cu In! Dia tidak heran melihat Kwi Hong karena dia sudah mengenalnya.

“Han-ko kaukah itu? Han-ko, kenapa engkau hendak membunuh ayahku? Ayahku orang yang baik dan tidak pernah melakukan kejahatan apa pun!” Kwi Hong berseru dan ia pun telah berdiri, memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak.

Keng Han menjadi serba salah. Hubungannya dengan Kwi Hong, biar pun tidak begitu lama, meninggalkan kesan mendalam di hatinya. Bahkan sebelum tahu behwa gadis ini adalah saudara sepupunya satu marga, dia mengira bahwa dia telah jatuh cinta kepada gadis ini. Sekarang, bagaimana dia dapat membunuh ayah gadis itu tanpa memberi tahukan alasannya yang kuat?

“Dulu Pangeran Tao Kuang telah bertindak curang sekali. Dua puluh tahun yang lalu dia melakukan fitnah kepada Pangeran Tao Seng sehingga Pangeran Tao Seng dihukum buang selama dua puluh tahun, padahal Pangeran Tao Seng tidak berdosa apa-apa.”

“Keterangan itu bohong!” Mendadak Liang Siok Cu bangkit berdiri dan berseru. “Aku sendiri yang menjadi saksi ketika itu. Pangeran Tao Kuang sedang berburu dengan dua orang saudaranya, yaitu Pangeran Tao Seng dan Pangeran Tao San. Dan dua orang saudaranya itulah yang tiba-tiba mengeroyok dan hendak membunuh Pangeran Tao Kuang bersama selosin orang pengawalnya yang semua adalah pembunuh bayaran. Akulah yang menolongnya, bersama mendiang ayahku Aku menjadi saksi bahwa Pangeran Tao Kuang tidak melakukan fitnah, melainkan benar-benar hendak dibunuh oleh dua orang pangeran itu sehingga mereka dihukum buang!”

“Aku tidak percaya…!” suara Keng Han sangat lantang, nyaris seperti berteriak.
“Anak muda…” Kai-ong ikut bicara. “Apa alasanmu tidak mempercayai keterangan Tao Toanio tadi?”
“Aku telah mendengar keterangan yang berbeda!” jawab Keng Han, masih dengan nada keras.
“Aha!” Kai-ong kembali bicara. “Jadi ada dua keterangan berlainan yang sudah engkau dengar. Kalau engkau hanya percaya kepada salah satu pihak tanpa mau mendengar pihak lain, itu berarti engkau tidak mau mencari kebenaran, melainkan berpihak dengan dasar penilaianmu sendiri, anak muda.”

Kwi Hong merasa kecewa bahwa keterangan ibunya tidak dipercaya, karena itu ia lalu berkata, “Han-ko, ibuku tidak pernah berbohong, dan kali ini pun ia berkata jujur.”

Sejak tadi Cu In diam tak bergerak, akan tetapi otaknya bekerja keras. Dia memikirkan beberapa hal yang dialaminya sendiri, juga yang sudah dijalaninya bersama Keng Han. Entah apa sebabnya, dalam hatinya ada perasaan aneh terhadap pemuda yang menjadi murid keponakannya itu. Dia tidak ingin melihat pemuda itu celaka!

Sekarang di tempat ini terdapat beberapa orang berkepandaian tinggi. Ada Kai-ong Lu Tong Ki yang tadi jelas sudah menangkis pedang bengkok Keng Han untuk melindungi Pangeran Mahkota. Bersama raja pengemis ini hadir pula muridnya, yang juga adalah puterinya Pendekar Tangan Sakti dan Si Bangau merah, yang kepandaiaannya sudah pernah dilihatnya begitu lihai.

Melawan dua orang ini saja tidak mudah bagi pemuda itu untuk mendapat kemenangan. Apa lagi di situ masih ada Tao Kwi Hong yang memiliki ilmu silat aneh, juga Liang Siok Cu, ibu dara itu yang merupakan puteri Sin-tung Koai-jin Liang Cun, seorang datuk yang memiliki kepandaian tinggi pula.

Sukar bagi Cu In membayangkan murid keponakannya bisa lolos dari empat orang ini, belum lagi jika diingat adanya puluhan orang pasukan penjaga gedung ini yang tentu akan ikut mengepung dan menyerbu pemuda itu. Nasib Keng Han lebih banyak celaka dari pada selamat!

Selain itu, tiba-tiba dia teringat kepada Ang Hwa Nio-nio. Gurunya ini, yang kemudian ternyata adalah ibu kandungnya sendiri, juga pernah memberi keterangan yang salah, menanamkan kebencian terhadap ayah kandungnya, bahkan menyuruhnya membunuh ayahnya sendiri.

Untung pada saat terakhir dia dapat menyadari bahwa semua yang telah didengarnya adalah kebohongan belaka, sebelum terlanjur ia melakukan tindakan yang keliru. Maka, ia pun tidak ingin Keng Han terlanjur melakukan kesalahan karena pernah mendengar keterangan yang tidak benar.

Sementara itu hati Keng Han sedang diliputi oleh kemarahan setinggi langit dan dendam sedalam lautan. Pandangannya seperti dibutakan oleh rasa penasaran. Sekian lama waktu telah dilaluinya serta sekian jauh jarak telah ditempuhnya, dan akhirnya ia hanya menerima keterangan bahwa ayahnya yang bersalah, bahkan sudah tewas pula!

“Aku tetap akan membunuh Pangeran Tao Kuang, apa pun kata kalian. Siapa pun yang menghalangiku, akan kubunuh juga,” katanya. Mata pemuda ini menyorot bengis, penuh nafsu membunuh.

Dengan pedang bengkok yang terhunus, Keng Han melangkah maju ke arah Pangeran Tao Kuang yang berdiri di belakang tiga orang yang melindunginya, yaitu Liang Siok Cu, Kwi Hong dan Kai-ong Lu Tong Ki. Akan tetapi, baru dua tindak dia melangkah, tiba-tiba nampak bayangan putih berkelebat dan tahu-tahu Cu In sudah berdiri di hadapannya, menghalangi dia untuk melangkah lebih jauh.

Walau pun Keng Han tadi sudah sempat melihat keberadaan Cu In di tempat ini, tak urung ia terkejut bukan main melihat bibi gurunya telah berdiri di depannya, seolah-olah hendak menentangnya pula. Sebelum ia sempat bicara, gadis berpakaian putih ini telah mendahuluinya.

“Keng Han, cepatlah engkau pergi dari sini. Jangan melakukan perbuatan bodoh yang kelak akan kau sesali,” Cu In langsung memperingatkan pemuda itu. Kata-kata yang dia ucapkan ini setengah ditujukan kepada Keng Han, separuh lagi bagi dirinya sendiri.
“Su-i, kau… kau…” suara pemuda itu tergagap saking bingungnya.
“Keng Han, pergilah…” kembali Cu In memperingatkan, kali ini dengan suara yang lebih lembut dan halus, nyaris seperti bisikan lirih.

Keng Han merasa sudah kepalang basah, karena itu dengan nekat dia berkata, “Su-i, aku tetap harus membunuh Pangeran Mahkota.”

“Aku melarangmu, Keng Han. Jika engkau tetap hendak berbuat nekat, maka engkau harus melawanku!” kali ini Cu In berkata dengan nada tegas.

Menghadapi gadis bercadar ini, Keng Han menjadi lemas. Tak mungkin dia menentang Cu In dan melawannya. Dia menghela napas panjang lalu melangkah mundur. “Biarlah malam ini kulepaskan dia. Akan tetapi lain kali, dia pasti akan mati di tanganku untuk membalaskan kematian Pangeran Tao Seng.”

“Ha-ha-ha-ha-ha!” Tiba-tiba terdengar Pangeran Tao Kuang tertawa bergelak. “Lelucon macam apa ini? Orang muda, engkau telah dipermainkan orang akan tetapi tidak tahu. Bukan hanya tuduhan bahwa aku melakukan fitnah itu palsu adanya, akan tetapi juga perkiraanmu bahwa Pangeran Tao Seng sudah mati itu bohong belaka. Dia masih hidup dan dalam keadaan segar bugar, bahkan tinggal di kota raja ini. Dia menyembunyikan siapa dirinya sebenarnya dan memakai nama Ji atau yang terkenal dengan sebutan Ji Wangwe.“

Keng Han yang tadinya hendak melarikan diri itu sempat mendengar ucapan ini dan dia benar-benar terkejut. Mukanya berubah pucat dan dia berkata gugup. “Tidak... tidak… tidak benar...!”

“Aku tidak suka berbohong. Kenapa tidak kau selidiki siapa sebetulnya Hartawan Ji itu? Dua bukan lain adalah Pangeran Tao Seng sendiri. Dan engkau ini siapakah, orang muda?” tanya Pangeran Tao Kuang dengan suara halus karena maklum bahwa pemuda ini agaknya sudah dibohongi dan dipermainkan orang.

Keng Han merasa tersudut. Keadaannya sungguh tidak menyenangkan, karena dari keadaan yang menuntut balas dan yang benar, kini berbalik keadaannya menjadi yang bersalah. Ayahnya bukan seorang yang difitnah melainkan yang memfitnah, bukan yang dijahati melainkan yang jahat. Yaitu, kalau keterangan mereka semua itu benar adanya.

Kini ditanya siapa dirinya, terpaksa dia mengaku untuk alasan mengapa dia begitu mati-matian membela Pangeran Tao Seng dan ingin membalaskan dendamnya. Setidaknya mereka semua akan mengerti mengapa dia begitu nekat.

“Aku adalah puteranya. Ibuku puteri kepala suku Khitan!” jawabnya singkat.
"Ahhh, kalau begitu engkau masih keponakanku sendiri! Aku sudah mendengar bahwa kakanda Tao Seng menikah dengan seorang puteri Khitan di utara. Kiranya engkau ini puteranya! Akan tetapi aku jelaskan bahwa engkau sudah menerima keterangan yang sifatnya fitnahan terhadap diri kami. Sebaiknya kalau engkau menemui Ji-wangwe di kota raja ini dan dialah Pangeran Tao Seng yang sebenarnya, masih hidup dan sehat. Dan dari dia engkau tentu akan mendapat keterangan tentang mengapa dia dihukum buang.”

Melihat semua orang kini berdiri menentangnya, Keng Han menjadi semakin ragu akan niatnya membunuh Pangeran Tao Kuang. Bagaimana jika semua keterangan ini benar?

Pula, dia sama sekali tidak menduga bahwa Cu In berada di situ. Dengan adanya Cu In dan kakek berpakaian pengemis itu, masih ada pula Kwi Hong dan ibunya, dan siapa tahu gadis cantik yang berdiri di dekat kakek jembel pengemis itu juga orang yang lihai, agaknya sulit baginya untuk membunuh Pangeran Tao Kuang. Pula, dia akan menyesal setengah mati kalau ternyata benar semua keterangan Pangeran itu bahwa ayahnyalah yang jahat!

Dan hatinya berdebar-debar penuh ketegangan dan penasaran mengingat bahwa ayah kandungnya sendiri menipunya supaya dia mau membunuh Pangeran Tao Kuang yang tidak bersalah. Demikian jahatkah ayah kandungnya? Dia merasa sangat kecewa dan menyesal sekali.

“Sudahlah, aku akan menyelidiki semua itu dan kalau semua keterangan itu benar, aku mohon maaf sebesarnya!” Setelah berkata demikian, sekali berkelebat pemuda itu telah lenyap dalam kegelapan malam di antara pohon-pohon.
“Ha-ha-ha, seorang pendekar memang harus bertindak demi kebenaran, bukan karena mendengar omongan orang!” Kai-ong Lu Tong Ki berseru nyaring dan masih terdengar ucapannya itu oleh Keng Han. Pemuda itu melompat pagar tembok di ujung taman dan keluar dari situ.

Pangeran Tao kuang menarik napas panjang. “Ahhh, sungguh aku tidak mengerti siapa yang melakukan fitnah seperti itu. Kasihan keponakanku yang kini menjadi mata gelap setelah mendengar bahwa ayahnya kufitnah, bahkan kubunuh di tempat pembuangan. Tentu dia merasa sakit hati sekali kepadaku.”

“Ayah, aku mengenal baik Keng Han itu!” kata Kwi Hong.

Tidak ada seorang pun di antara mereka mengetahui betapa hancur rasa hati Kwi Hong! Tadi, pada saat mendengar Keng Han mengaku sebagai putera Pangeran Tao Seng, ia merasa jantungnya seperti ditikam. Ahh, betapa ia sudah tergila-gila dan amat mencinta pemuda itu, dan sekarang, ternyata bahwa pemuda itu adalah kakak sepupunya!

“Aku juga heran mendengar engkau tadi menyebut Han-ko kepadanya,” kata Pangeran Tao Kuang. ”Di mana dan bagaimana engkau dapat berkenalan dengan dia?”
“Beberapa kali dia membantuku ketika aku dikeroyok orang jahat, Ayah. Juga ketika aku bersama Paman Yo Han, ayah enci Han Li ini, dikeroyok orang-orang Pek-lian-pai, dia membantu. Dia bukan orang jahat, Ayah. Sama sekali bukan!”

“Hemmm, kalau engkau sudah mengenal kakak sepupumu sendiri, mengapa tidak kau beri tahukan aku dan Ibumu?”
"Ketika itu, dia mengaku bernama Si Keng Han, bukan she Tao. Demikian pula aku tidak memberi tahukan nama margaku maka dia pun tidak tahu. Akan tetapi ketika pasukan yang menyusul aku itu datang, tentu dia sudah tahu bahwa aku adalah puteri Ayah, tahu bahwa aku adalah adik sepupunya. Hanya aku yang belum tahu.”
“Ia memang bukan orang jahat. Aku juga sudah mengenalnya. Karena itu aku percaya bahwa perbuatannya tadi hanya karena ia mendengar hasutan, mendengar keterangan yang sengaja diatur orang untuk memanaskan hatinya. Buktinya, setelah dia mendengar keterangan di sini, dia pun pergi dan tidak melanjutkan usahanya membunuh.”

“Mungkin dia jeri melihat kehadiran kita semua,” kata Han Li.
“Ahh, tidak, adik Han Li. Dia seorang gagah yang berkepandalan tinggi. Dan lagi, dia itu pewaris ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es!”
“Aihhh..., bagaimana ini, enci Cu In? Kalau dia memang murid keluarga Pulau Es, aku tentu mengenalnya!” kata Han Li.
“Entahlah, akan tetapi dia mahir ilmu-iIlmu Pulau Es, dan Keng Han juga masih terhitung murid keponakanku sendiri karena dia telah menjadi murid suci-ku. Dia pernah bercerita kepadaku bahwa dia memperoleh ilmu-ilmu aneh itu dari Pulau Hantu.”
“Pulau Hantu? Tapi ibu yang pernah mempelajari ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es tidak pernah bercerita tentang adanya Pulau Hantu.”
“Sudahlah, mendengar cerita kalian, aku yakin bahwa Keng Han adalah seorang yang berwatak pendekar. Setelah apa yang dia dengar dari sini tentang Pangeran Tao Seng, dia tentu akan melakukan penyelidikan, dan kalau dia sudah tahu duduknya perkara, aku kira dia tidak akan memusuhiku lagi.”
“Mudah-mudah begitu, Ayah. Kalau dia datang lagi dan berkeras hendak membunuh Ayah, akulah yang akan menghadapinya. Dia boleh membunuh Ayah setelah melewati mayatku!” kata Kwi Hong dengan nada suara mengandung kecewa, penasaran dan juga sedih.

Tidak ada seorang pun tahu apa yang dirasakan gadis ini. Dia sudah terlanjur jatuh cinta kepada pemuda itu, dan sekarang melihat kenyataan bahwa pemuda itu adalah kakak sepupunya sendiri yang hendak membunuh ayahnya!

Setelah makan minum selesai, Pangeran Tao Kuang lalu mengundurkan diri bersama selirnya. Liang Siok Cu yang merasa amat khawatir akan keselamatan suaminya segera memerintahkan pasukan pengawal untuk melakukan penjagaan ketat, untuk menjaga agar tidak ada orang luar dapat memasuki istana. Pasukan pengawal dikerahkan untuk menjaga keselamatan suaminya tersayang.

Cu In juga berpamitan kepada Kwi Hong. “Hatiku merasa tidak enak sekali dengan terjadinya peristiwa ini. Bagaimana pun juga, Keng Han adalah murid keponakanku dan aku ikut bertanggung jawab kalau dia melakukan sesuatu terhadap sang pangeran. Karena itu, aku tidak jadi bermalam di sini. Aku pamit untuk keluar dari istana ini karena aku hendak mencari Keng Han, untuk mengajaknya bicara dan menyadarkannya.”

Tentu saja Kwi Hong tidak dapat menahannya, karena kepergian Cu In adalah untuk mencegah Keng Han mengulangi usahanya untuk membunuh ayahnya. Ia mengantar Cu In keluar dari istana karena seluruh daerah istana telah dijaga pengawal sehingga akan agak sukarlah bagi Cu In atau siapa saja yang datang dari luar untuk keluar dari situ begitu saja.

Dengan pengawalan Kwi Hong, Cu In dapat keluar dengan mudah. Ia lalu melompat dan lenyap di balik pohon-pohon. Kwi Hong memandang ke arah bayangannya dan berulang kali Kwi Hong menghela napas panjang. Kalau saja Keng Han itu bukan kakak sepupunya, kiranya ia pun akan melakukan hal serupa dengan apa yang dilakukan Cu In yaitu membujuk pemuda itu agar tidak melanjutkan niatnya…..

********************

Cu In berdiri diam di bawah sebatang pohon besar, berpikir. Akan tidak mudah baginya untuk mencari Keng Han di kota raja yang sebesar itu, tanpa mengetahui ke mana pemuda itu pergi. Ke rumah Hartawan Ji? Akan tetapi ia tidak tahu di mana rumah Hartawan Ji. Tiba-tiba ia teringat akan The Sun Tek, ayah kandungnya.

Ayahnya adalah The-ciangkun, seorang panglima besar yang kenamaan di kota raja. Sebagai seorang panglima, tentu The-ciangkun tahu benar apa yang terjadi dua puluh tahun yang lalu, tentang Pangeran Tao Seng. Apakah betul Pangeran Tao Seng difitnah oleh Pangeran Tao Kuang, atau apakah dia memang hendak membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang sehingga dia ditangkap dan dihukum buang?

Juga ayah kandungnya itu tentu tahu siapakah sabenarnya Hartawan Ji dan di mana tempat tinggalnya. Ia hampir yakin bahwa Keng Han tentu akan pergi kepada Hartawan Ji untuk mencari tahu mengenai kebenaran apa yang didengarnya dari Pangeran Tao Kuang.

Dengan pikiran ini, Cu In cepat menyelinap dan berkelebat cepat pergi menuju ke rumah The Sun Tek atau The-ciangkun yang baru siang tadi ia tinggalkan. Ia langsung saja mendatangi gardu di mana terdapat beberapa orang tentara melakukan penjagaan dan berkata kepada mereka.

“Harap kalian laporkan kepada The Sun Tek bahwa aku, Cu In, ingin menghadap dan bicara dengannya.”

Para penjaga itu terheran-heran melihat ada seorang wanita bercadar minta bertemu dengan sang panglima. Akan tetapi, melihat sikap yang sungguh-sungguh dari wanita itu, seorang di antara mereka segera menghadap ke dalam untuk melaporkan kepada The-ciangkun.

Kebetulan The Ciangkun masih belum tidur dan sedang bercakap-cakap dengan The Kong puteranya. Yang mereka bicarakan bukan lain adalah tentang Ang Hwa Nio-nio dan The Cu In, puteri Panglima itu. Kalau panglima sudah tidur, tentu penjaga itu tidak akan berani mengganggunya dan akan mengusir Cu In.

“Maafkan saya, Ciangkun, kalau saya mengganggu. Akan tetapi di luar terdapat seorang nona bercadar yang mengaku bernama Cu In dan ingin bertemu dan bicara dengan Ciangkun.”

Tadinya penjaga itu mengira bahwa panglima itu tentu akan marah dan menyuruh dia mengusir wanita pengganggu itu. Akan tetapi dia kecelik ketika melihat pangeran itu dan puteranya bangkit berdiri ketika mendengar pelaporannya.

“Antarkan tamu itu ke sini, cepat!” kata The-ciangkun kepada sang penjaga yang cepat memberi hormat lalu berlari keluar.
“Tapi, Ayah. Jangan-jangan ia akan menyerang Ayah...” kata The Kong khawatir ketika mendengar nama Cu In, kakak tirinya itu.
“Tenanglah, Kong-ji dan jangan khawatir. Kalau ia datang dengan niat buruk, tentu ia tidak akan menemui penjaga, melainkan masuk dengan melompat pagar untuk mencari dan membunuhku.”

Tidak lama kemudian muncullah Cu In, diantar oleh penjaga. The-ciangkun memberi isyarat kepada tentara itu untuk pergi dan dia segera berkata dengan ramah kepada Cu In.

“Cu In, mari duduklah dan katakan apa yang ingin kau bicarakan denganku. Kebetulan sekali aku pun sedang mencarimu. Kalau malam ini engkau tidak muncul, besok pagi akan kukerahkan pasukanku untuk mencarimu di seluruh pelosok kota raja!”

Cu In duduk di atas bangku, berhadapan dengan The-ciangkun dan The Kong lalu dia bertanya, suaranya terdengar masih dingin, “Mengapa engkau hendak mencariku?”

Biar pun ia sudah tahu bahwa pria ini adalah ayah kandungnya, namun masih canggung baginya untuk menyebut ayah.

“Mengapa, Cu In? Engkau adalah puteriku, maka tentu saja aku menghendaki engkau untuk pulang dan tinggal bersama ayahmu. Lagi pula ibumu mengajukan syarat. Aku baru dapat memboyongnya untuk hidup bersama di sini kalau aku membawa engkau kepadanya! Ia amat mencintamu dan sangat menyesal melihat engkau marah padanya. Karena itulah, aku girang sekali melihat engkau datang.”
“Benar, enci Cu In. Engkau harus tinggal bersama kami di sini!” kata pula The Kong, adik tirinya.

Cu In menghela napas panjang. “Belum tiba saatnya aku tinggal di sini. Kedatanganku ini hanya ingin mencari keterangan tentang diri Pangeran Tao Seng.”

“Ehhh? Pangeran Tao Seng? Apa yang ingin kau ketahui tentang Pangeran Tao Seng?” tanya The-ciangkun heran.
“Dua puluh tahun yang lalu Pangeran Tao Seng dijatuhi hukuman buang. Benarkah itu?”
“Memang benar demikian. Dia dihukum buang selama dua puluh tahun.”
“Dan sebabnya? Apakah dia difitnah orang lain?”

“Sama sekali tidak! Aku masih ingat benar. Pada suatu hari, Pangeran Tao Kuang, yaitu Pangeran Mahkota, diajak berburu binatang oleh Pangeran Tao Seng dan Pangeran Tao San. Akan tetapi terjadi keanehan. Mereka pulang dengan diantar Sin-tung Koai-jin Liang Cun bersama puterinya, Liang Siok Cu. Pendekar itu telah menolong Pangeran Mahkota Tao Kuang yang hampir dibunuh kedua pangeran itu bersama anak buahnya. Pangeran Tao Kuang pulang dengan selamat dan Pangeran Tao Seng dan Pangeran Tao San pulang sebagai tawanan, ditawan oleh Sin-tung Koai-jin dan puterinya. Mereka diadili oleh kaisar sendiri dan dijatuhi hukuman buang selama dua puluh tahun.”

Cu In mengangguk-angguk. Ternyata benar apa yang sudah diterangkan oleh Pangeran Mahkota Tao Kuang, seperti yang pernah didengarnya.

“Dan kabarnya Pangeran Tao Kuang mengirim utusan untuk membunuh Pangeran Tao Seng dalam pembuangannya itu? Benarkah demikian?”

The-ciangkun menggelengkan kepalanya sambil tertawa. “Ha-ha-ha, dari mana engkau mendengar berita itu, Cu In? Itu adalah kabar bohong belaka. Tak ada yang membunuh Pangeran Tao Seng dalam pembuangannya. Bahkan sampai sekarang ia masih hidup!”

“Apakah dia sekarang menjadi orang yang disebut Hartawan Ji di kota raja ini?”

The-ciangkun membelalakkan matanya. “Ahhh, engkau sudah tahu pula? Tidak banyak orang mengetahuinya kecuali keluarga kerajaan dan beberapa orang pejabat tinggi. Aku mengetahui juga secara kebetulan saja. Ketika aku pada suatu hari bertemu muka dengan Hartawan Ji, aku tidak ragu lagi bahwa dia adalah Pangeran Tao Seng!”

“Di mana rumahnya?”
“Rumahnya amat mudah dicari. Di jalan raya sebelah selatan taman rakyat ada sebuah rumah besar bercat kuning. Di depan rumah itu terdapat dua arca singa yang besar dan indah. Itulah rumahnya.”

Cu In bangkit berdiri. “Terima kasih atas segala keterangan ini. Maaf, aku harus pergi sekarang.”

The-ciangkun dan puteranya juga cepat berdiri. “Ehhh, Cu In, engkau akan pergi ke mana? Tinggallah saja di sini dan kalau engkau ada urusan, beri tahukan padaku. Aku yang akan mengurusnya sampai selesai.”

Cu In tersenyum di balik cadarnya. Ayahnya ini berhati mulia dan menyayangnya, tidak seperti ibunya. “Terima kasih, urusan ini harus kuselesaikan sendiri tanpa bantuan siapa pun.”

“Tetapi engkau adalah puteriku, Cu In. Aku berkewajiban untuk membantumu dalam segala hal.”
“Benar, enci Cu In. Atau, jika engkau tidak mau tinggal di sini dan hendak mengurusnya sendiri, biarkan aku ikut untuk membantumu!” kata The Kong penuh semangat.
“Terima kasih, aku harus pergi sendiri. Lain kali aku tentu akan datang lagi berkunjung.”

“Nanti dulu, Cu In!” kata The-ciangkun khawatir. “Engkau tadi bertanya-tanya mengenai Pangeran Tao Seng dan Hartawan Ji. Kalau engkau mempunyai urusan pertentangan dengan Pangeran Tao Seng, aku harap engkau berhati-hati, anakku. Ketahuilah bahwa Pangeran Tao Seng adalah seorang yang amat berbahaya. Sekarang pun aku sendiri mencurigainya. Menurut para penyelidik, sudah ada beberapa tokoh dan datuk sesat datang berkunjung ke rumah Hartawan Ji. Aku khawatir dia sedang menyusun suatu rencana jahat dan dia berbahaya sekali. Biar pun sekarang menjadi Hartawan Ji yang nampaknya diam dan tenang, akan tetapi dia seperti seekor ular yang diam, namun setiap saat siap untuk mematuk dan menyebar kematian.”

“Aku mengerti dan sekali lagi terima kasih. Aku tidak akan melupakan sambutan kalian yang begini baik kepadaku. Selamat malam!” Cu In membalikkan tubuhnya dan keluar dari tempat itu, terus keluar dari rumah dan pekarangan rumah itu.

Ayah dan anak itu terus mengikutinya sampai ke tempat penjagaan. Melihat gadis itu keluar diantar langsung oleh The-ciangkun sendiri, para penjaga diam saja tidak berani mengganggunya…..

********************
Selanjutnya baca
PUSAKA PULAU ES : JILID-09
LihatTutupKomentar