Istana Pulau Es Jilid 15
Seorang perwira pengawal yang bermuka pucat bergegas memasuki ruangan itu menghadap Bu-koksu dan melapor dengan wajah serius penuh kegelisahan bahwa pada saat itu, Sian-yang telah kebobolan oleh penyelundup, yaitu mata-mata musuh yang berhasil menyelundup ke dalam kota, bahkan telah berhasil menyamar sebagai tentara dan mempengaruhi prajurit-prajurit penjaga di Sian-yang sehingga timbul pemberontakan dan kekacauan.
“Hemm, berapa jumlah mereka?” Koksu bertanya sambil mengerutkan alisnya.
“Menurut hasil penyelidikan, mereka itu hanya terdiri dari belasan orang yang dipimpin oleh dua orang mata-mata lihai, akan tetapi selain mereka itu terdiri dari orang-orang yang pandai, juga jumlah prajurit kita yang telah dipengaruhi cukup banyak, ada beberapa losin orang yang sekarang memperlihatkan sikap memberontak!”
“Ahhh, Si Keparat! Harus kuhajar sendiri!” Koksu lalu bangkit berdiri lalu menoleh kepada Han Ki yang masih bertanding dengan gadis perkasa itu. “Kam-siauwte, hentikan pertandingan, biar diwakili Si Dampit. Mari ikut aku keluar! Dampit, dan kau semua pengawal, tangkap dua orang itu!”
Mendengar ucapan ini, Han Ki mencelat ke belakang meninggalkan Siauw Bwee, kemudian mengikuti Koksu keluar dari dalam ruangan itu. Siauw Bwee hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba bayangan berkelebat dan empat buah lengan bergerak cepat dan dalam detik yang sama mencengkeram ke arah tubuhnya dari kanan kiri!
Siauw Bwee cepat mengelak dan ketika ia memandang, ternyata sepasang manusia dampit yang tadi enak-enak duduk, kini telah menyerangnya dan ternyata selain gerakan mereka itu cepat sekali, juga mengandung tenaga dahsyat. Kembali Si Dampit menyerang dan Siauw Bwee cepat mengelak lagi, menggunakan gerak kaki kilat.
Pada saat itu, Coa Leng Bu juga sudah diserang oleh Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin. Tentu saja Coa Leng Bu melawan mati-matian sungguh pun dalam beberapa jurus saja dia terdesak hebat. Betapa pun ia berusaha mempertahankan diri, diserang oleh dua orang yang tingkat ilmu kepandaiannya tinggi itu, Coa Leng Bu masih terkena hantaman tangan kanan Pat-jiu Sin-kauw yang mengandung Thai-lek-kang, menyerempet pundaknya, membuat kakek ini terpelanting. Pengawal raksasa yang berpakaian perang telah menubruknya dengan tombak panjang di tangan, menusuk ke arah dada Coa Leng Bu yang sedang terguling itu. Coa Leng Bu dapat mengelak dan menggulingkan tubuhnya, namun terus dikejar dengan tusukan bertubi-tubi.
Mendengar teriakan Coa Leng Bu, Siauw Bwee menoleh dan tahu-tahu dua buah tangan telah menangkap leher dan pundaknya, dua tangan lagi bergerak menotoknya. Siauw Bwee mengerahkan sinkang-nya, maklum bahwa dalam keadaan lengah karena menoleh tadi dia telah tertangkap oleh Si Dampit. Dia menerima totokan kedua tangan itu, akan tetapi dia telah menutup jalan darahnya dan pada detik itu juga, kedua tangannya bergerak cepat.
“Krakkk! Cusss!”
Tangan kirinya dengan jari terbuka menghantam dada Si Dampit yang berada di kanannya, tepat mengenai iga dan mematahkan beberapa batang tulang iga, sedangkan tangan kanannya bergerak ke atas menusuk dengan jari tangannya mengenai leher sehingga leher orang kedua itu tertusuk berlubang dua buah dan mengucurkan darah. Siauw Bwee meronta, pegangan kedua tangan itu terlepas dan ia mencelat mundur sambil menendang dengan kedua kakinya.
“Dess! Bukkk!”
Tubuh Si Dampit terpelanting ke belakang dan terjadilah hal yang mengerikan. Mungkin saking nyerinya, kedua orang dampit yang sebetulnya saling membenci karena keadaan mereka membuat hidup tidak leluasa dan tidak menyenangkan, kini saling menyalahkan. Kebencian mereka memuncak karena mereka menganggap bahwa kalau tubuh mereka tidak saling melekat, tentu mereka tidak sampai terluka seperti itu.
Dengan kemarahan meluap, seorang di antara mereka yang terluka lehernya itu mencekik leher saudaranya sendiri. Orang yang tulang iganya patah tadi juga marah, berusaha melepaskan cekikan, akan tetapi cekikan sepuluh jari tangan itu bagaikan cakar besi menghujam kulit leher dan makin lama makin dalam. Yang dicekik menjadi panik, matanya terbelalak dan dalam saat terakhir ia menghantam tangan kanannya sekuat tenaga tepat mengenal ubun-ubun kepala saudaranya.
“Krekkk!” Seketika pecah kepala itu dan matilah orangnya, namun kedua tangannya sudah mencengkeram terlalu dalam sampai masuk ke dalam leher dan orang kedua ini pun terbawa roboh dan mati dengan mata mendelik!
Sungguh mengerikan sekali kematian sepasang manusia dampit itu. Watak sepasang manusia dampit ini tidaklah aneh, karena memang demikianlah watak manusia-manusia yang belum sadar pada umumnya. Dalam keadaan terancam bahaya, manusia-manusia merasa senasib sependeritaan dan bersatu. Persatuan yang sesungguhnya hanya timbul dari sayang diri, merasa diri ada teman sependeritaan.
Pandang mata batin manusia yang belum sadar diselubungi nafsu mementingkan diri pribadi, sehingga lenyaplah rasa kasih terhadap apa dan siapa pun juga kecuali terhadap tubuh sendiri. Selalu akan merasa terhibur dari kesengsaraan kalau melihat orang lain sengsara! Sebaliknya, dia akan merasa iri hati kalau melihat orang lain bahagia. Kalau ada perkara timbul menimpa dirinya, selalu ia mencari sasaran kepada orang lain untuk menyalahkannya, sama sekali tidak pernah mau menyalahkan diri sendiri.
Demikian pula dengan kedua orang dampit itu. Di waktu mereka menghadapi lawan, mereka dapat bekerja sama seolah-olah dua tubuh mereka dikendalikan oleh satu nyawa, dapat bekerja sama dengan amat baiknya. Akan tetapi kalau tidak ada bahaya mengancam mereka berdua, mereka itu saling menyalahkan sebagai biang keladi keadaan mereka yang tidak menyenangkan. Maka ketika mereka berdua terluka, mereka saling membenci dan kemarahan membuat mereka seperti gila sehingga terjadilah saling bunuh! Betapa banyaknya di dunia ini terjadi seperti halnya sepasang manusia dampit itu!
Perang terjadi semenjak ribuan tahun yang lalu sampai sekarang. Apakah sebabnya? Tiada lain karena manusia tidak pernah mau mengakui kesalahan pribadi, melainkan melontarkan sebab kesalahan kepada orang laln. Karena manusia selalu dipenuhi oleh kehendak, dipenuhi oleh keinginan, dipengaruhi oleh ingatan-ingatan akan kenikmatan duniawi, akan kedudukan tinggi, akan kekayaan, kemakmuran dan lain sebagainya yang sudah dikenalnya dan didengung-dengungkan orang semenjak dia kecil.
Dari kehendak-kehendak yang demikian banyaknya yang dimiliki oleh seluruh manusia, tentu saja timbul pertentangan karena masing-masing hendak mendapatkan apa yang dikehendakinya. Pertentangan inilah yang menimbulkan permusuhan, melahirkan kebencian, memperebutkan kebenaran masing-masing yang sesungguhnya hanyalah kebenaran palsu belaka, dan sebagai pelaksanaannya terjadilah perang!
Betapa jahatnya manusia yang belum memillki kesadaran ini, semua manusia termasuk pengarang sendiri! Untuk kepentingan pribadi, kita melakukan hal-hal yang amat menjijikkan. Untuk kepentingan pemuasan nafsu badani, kita tidak segan-segan mengotori rohani. Dan semua ini masih dilakukan dengan cara yang memuakkan, yaitu dengan dalih muluk-muluk dan suci, seperti menutupi kotoran dengan kain putih! Biar pun di dasar hati, biar pun jiwa kita yang kotor, namun kita makhluk yang mengaku terpandai di antara segala makhluk, mencari alasan-alasan yang bersih untuk menutupi perbuatan kita yang kotor.
Di dalam perang, misalnya. Manusia sampai-sampai tidak segan untuk menarik TUHAN, untuk menggunakan nama-Nya sebagai alasan agar dianggap, sedikitnya oleh hatinya sendiri, bahwa perang yang dilakukannya adalah betul, karena telah diridhoi Tuhan! Dua bangsa yang berlawanan dan saling berperang, sebelum mengangkat senjata untuk membasmi musuh masing-masing lebih dahulu mohon berkah dari Tuhan dan masing-masing berangkat perang dengan semangat bernyala untuk menyembelih sesama manusia karena merasa bahwa Tuhan akan melindunginya!
Mengutuk perang, mengusahakan perjanjian damai, melenyapkan senjata-senjata dan meniadakan pasukan-pasukan tentara tidak akan mungkin berhasil melenyapkan perang di antara manusia. Karena perang hanyalah pencetusan dari pertentangan antar kelompok manusia yang dihidupkan oleh pertentangan di antara manusia-manusia pribadi sendiri. Selama pertentangan antar manusia pribadi ini masih ada, maka pertentangan antar kelompok atau antar bangsa tak mungkin lenyap. Tidak ada perbedaan pokok antara perkelahian antar tetangga dengan peperangan antar negara. Satu-satunya perbedaannya hanyalah dalam bentuk kecil dan besar. Namun bersumber satu, yaitu dari keinginan mementingkan diri pribadi yang dimiliki kedua pihak sehingga timbul pertentangan.
Setelah menyaksikan kematian mengerikan karena saling bunuh dari Si Dampit, Siauw Bwee bergidik dan baru ia teringat akan supek-nya. Ia menengok dan terkejut menyaksikan supek-nya bergulingan dan diancam tusukan tombak bertubi-tubi oleh pengawal berpakaian perang dan kini kawan-kawannya juga mulai ikut mengejar tubuh yang bergulingan itu.
Karena maklum bahwa keselamatan supek-nya terancam hebat, Siauw Bwee mengeluarkan suara melengking tinggi yang menggetarkan jantung para lawan yang berada di situ. Kaki tangannya bergerak dan dalam sekejap mata saja, pengawal bertombak dan Thian Ek Cinjin terpelanting ke kanan kiri dan tubuh Coa Leng Bu telah lenyap karena disambar Siauw Bwee dan dibawa melesat ke luar dari ruangan itu melalui jendela!
Gegerlah para pengawal dan perwira yang berada di ruangan itu. Mereka berteriak-teriak dan melakukan pengejaran, akan tetapi Siauw Bwee dan supek-nya telah lenyap. Ketika semua orang tiba di luar gedung, perhatian mereka tertarik oleh hal yang lebih menggegerkan lagi. Kiranya kota Sian-yang telah menjadi kacau dan geger. Di sana-sini terjadi pertempuran-pertempuran antara tentara yang memberontak dan yang hendak menindas pemberontakan. Pertempuran kacau-balau karena pihak pemberontak hanya ada kurang lebih seratus orang saja, maka tentu saja mereka kewalahan dan terdesak.
Mereka mundur dan menyebar sehingga pertempuran menjadi kacau, berkembang di seluruh pelosok kota. Di sana-sini bahkan terjadi kebakaran sebagai siasat para pemberontak yang mengundurkan diri dan bersembunyi di antara rumah-rumah penduduk yang padat. Tentu saja dengan adanya kebakaran-kebakaran itu keadaan menjadi makin kacau.
Penduduk menjadi panik, mengira bahwa pihak musuh telah menyerbu masuk kota. Mereka berbondong-bondong pergi mengungsi, membawa buntalan pakaian dan perhiasan serta barang-barang berharga yang mudah dibawa, membawa anak-anak mereka hendak keluar dari pintu gerbang kota, mengungsi ke lain tempat. Akan tetapi para pasukan penjaga melarang mereka dan secepat mungkin berusaha menenangkan mereka dengan keterangan bahwa tidak ada musuh menyerbu, hanya ada beberapa pemberontak yang dikejar-kejar.
Siauw Bwee dan Coa Leng Bu berhasil menyelinap di antara banyak orang yang berlari-larian hilir mudik tidak karuan itu sehingga para pengejar mereka kehilangan jejak mereka. Siauw Bwee mengajak Coa Leng Bu untuk menyelidiki apa sebenarnya yang terjadi. Akhirnya mereka mendapat keterangan bahwa yang membikin kacau adalah belasan orang mata-mata Mancu yang menyelundup ke kota Sian-yang dan yang dapat mempengaruhi beberapa losin orang tentara sehingga memberontak.
Dengan marah Bu-koksu sendiri turun tangan mengatur pasukan-pasukan penjaga untuk melakukan pembersihan, menjaga tempat-tempat penting. Ke mana pun dia bergerak, Han Ki selalu mengawalnya. Koksu bersama beberapa orang perwira pembantu, juga Han Ki, menunggang kuda dan berputaran di dalam kota, mengatur pasukan-pasukan yang melakukan pembersihan. Namun karena malam telah tiba dan para mata-mata itu melakukan taktik bersembunyi di antara rakyat, keluar masuk gang-gang dan rumah-rumah rakyat, memancing kekacauan dengan membakar sana-sini, maka Koksu sendiri dan anak buahnya menjadi kewalahan.
Memang benar bahwa para serdadu yang memberontak telah ditundukkan, sebagian tewas dan sebagian lagi ditawan, selebihnya menyerahkan diri. Akan tetapi belasan orang mata-mata itu tetap saja tidak dapat ditemukan biar pun para penjaga telah melakukan penggeledahan di seluruh rumah penduduk kota. Hal ini adalah karena para mata-mata itu amat cerdik, selalu berpindah-pindah dan bersembunyi ke dalam rumah-rumah yang telah digeledah, dengan mengancam penghuninya dan pura-pura menjadi anggota keluarga penghuni rumah itu.
Malam itu merupakan malam yang paling ribut di Sian-yang. Para tentara masih sibuk memeriksa dan mencari ke sana ke mari dan tingkah-polah para anggota tentara yang mencari mata-mata ini menambah kekacauan penduduk. Mereka bersikap keras dan tidak segan-segan untuk memukuli rakyat yang dicurigai menyembunyikan para mata-mata musuh. Semalam suntuk terjadi kebakaran di sana-sini, dan setelah melakukan pembakaran, para mata-mata Mancu yang terdidik itu tentu saja berada di tempat yang jauh dari kebakaran di mana para tentara melakukan penggerebekan dan pemeriksaan ketat.
Semalam suntuk tidak ada seorang pun penduduk yang dapat tidur dan mereka menanti datangnya pagi dengan hati berdebar-debar penuh ketegangan. Berada di dalam kota amat menakutkan, akan mengungsi keluar dilarang oleh para penjaga pintu gerbang.
Paginya, pagi-pagi sekali penduduk tersentak kaget mendengar lonceng tanda bahaya dibunyikan bertalu-talu. Di luar rumah, di jalan-jalan terdengar teriakan-teriakan para anggota tentara yang berlarian menuju ke benteng. Lonceng itu merupakan tanda bahwa ada pasukan musuh menyerbu ke kota Sian-yang! Para penduduk gemetar ketakutan dan tidak berani keluar rumah, anak-anak menangis dalam pelukan ibunya dan orang laki-laki sibuk mengumpulkan senjata untuk melindungi keluarga, menutupi pintu dan jendela kuat-kuat. Gegerlah seluruh kota Sian-yang.
Siauw Bwee dan Coa Leng Bu menyelinap di antara rumah-rumah penduduk mendekati benteng, hendak menyaksikan apa yang sesungguhnya terjadi. Mereka berhasil naik sebuah pohon besar yang tinggi di dekat benteng dan dari tempat yang terlindung daun-daun lebat ini mereka mengintai ke atas benteng dan ke luar benteng. Kiranya dari jauh tampak barisan besar yang terpecah menjadi pasukan-pasukan yang bergerak mengepung kota Sian-yang!
Setiap pasukan mempunyai bendera dan mereka itu dipelopori oleh pasukan berkuda yang gagah. Paling depan tampak beberapa orang prajurit berkuda membawa bendera-bendera, mengiringkan beberapa orang pangllma Mancu yang juga menunggang kuda. Dari tempat sembunyinya, Siauw Bwee dan Coa Leng Bu melihat bahwa di antara para Panglima Mancu itu terdapat seorang panglima wanlta. Jantung Siauw Bwae berdebar aneh.
Dia menduga-duga dengan penuh keheranan siapa adanya panglima wanita Mancu yang demikian gagah itu, yang duduk di atas kuda dengan tegak dan majukan kudanya paling depan mendekati benteng, menuju ke atas pintu gerbang di mana berdiri Koksu dan para panglimanya. Jaraknya terlalu jauh sehingga dia tidak dapat mengenal wajah panglima wanita itu, hanya melihat rambutnya dikuncir panjang hitam melambal-lambai tertiup angin. Pakaian para panglima itu gemerlapan ditimpa sinar matahari pagi, dan senjata-senjata tajam yang dipegang oleh anak buah pasukan itu menyilaukan mata.
Dari tempat sembunyinya yang jauh itu Siauw Bwee dan Coa Leng Bu menyaksikan perang yang dimulai dengan tantangan pihak Mancu yang diajukan dengan bunyi terompet dan tambur, dan disusul majunya seorang panglima berkuda yang bertubuh tinggi besar dan dengan suara seperti geledek menyambar panglima itu memberi aba-aba kepada pasukannya yang bergerak maju pula, sebanyak kurang leblh seribu orang pasukan berkuda dan bergolok panjang yang dikempit dengan lengan kanan.
Melihat ini, Koksu lalu memerintahkan seorang panglimanya untuk menyambut musuh membawa pasukannya. Panglima ini masih muda, bertubuh tinggi kurus dan mukanya kuning pucat, namun sepasang matanya tajam dan gerak-geriknya tangkas. Suaranya kecil namun melengking nyaring ketika dari atas benteng itu dia mengeluarkan aba-aba kepada perwira-perwira pembantunya di bawah. Pasukannya disiapkan, juga berjumlah seribu orang pasukan berkuda, pintu gerbang dibuka, jembatan gantung diturunkan dan pasukan keluar dari dalam benteng. Panglima muka kuning itu memberi perintah kepada pembantunya. Kudanya yang berbulu hitam disiapkan di luar benteng, dan dengan gerakan lincah sekali panglima muka kuning itu melayang turun dari atas benteng!
“Wah, hebat juga ginkang-nya...!” Coa Leng Bu memuji kagum menyaksikan panglima itu melayang turun dan tubuhnya tepat tiba di atas kuda hitamnya di luar benteng!
Seorang pembantunya menyerahkan sebuah tombak panjang dan panglima ini lalu membedal kuda ke depan barisannya dengan sikap gagah. Memang perbuatannya meloncat dari atas tembok benteng itu bukan semata-mata untuk berlagak, melainkan terutama sekali dimaksudkan untuk mengangkat semangat pasukannya dan untuk membikin jeri pihak musuh.
Panglima Mancu yang bertubuh tinggi besar itu mengeprak kudanya maju menyeret golok panjangnya menyambut majunya Panglima Sung yang bermuka kuning. Begitu kuda mereka berhadapan, terdengar bunyi nyaring berkali-kali beradunya golok dan tombak panjang diiringi ringkik kuda dan sorakan pasukan kedua pihak.
Pertandingan itu berlangsung seru sekali dan ternyata bahwa kepandaian kedua orang panglima itu seimbang. Mungkin panglima muka kuning itu lebih gesit, akan tetapi jelas dia kalah tenaga sehingga hal ini membuat keadaan mereka berimbang dan pertandingan mati-matian itu berjalan makin seru.
Sungguh tidak beruntung bagi panglima muka kuning. Ketika lawannya menghantam sekuat tenaga dengan golok panjang dan dia menangkis dengan tombak, hantaman yang amat kuat itu membuat tombaknya hampir terlepas dari pegangan, kudanya meringkik kesakitan karena tertusuk tombak yang hampir terlepas dan kuda itu berjingkrak. Hal ini membuat panglima muka kuning kehilangan keseimbangan tubuhnya sehingga ketika golok lawan menyambar dan ia kembali menggerakkan tombak menangkis, tombaknya menjadi patah. Terpaksa ia mencabut pedang dan dengan senjata yang pendek ia terdesak hebat oleh lawannya yang bersenjata golok bergagang panjang.
Sorak-sorai pasukan Mancu yang menyambut kemenangan panglimanya disambut serbuan tentara Sung di bawah pimpinan para perwira pembantu panglima muka kuning. Tentu saja pasukan Mancu tidak tinggal diam dan menyambut serbuan ini dengan sorak-sorai makian.
Terjadilah perang yang dahsyat antara dua ribu orang perajurlt itu, perang sampyuh di atas kuda yang menggiriskan hati Siauw Bwee dan Coa Leng Bu. Mereka berdua dapat melihat betapa dua ribu orang itu saling bunuh, darah muncrat-muncrat, mayat bergelimpangan terinjak-injak kuda, jerit-jerit kesakitan, teriakan-teriakan kemarahan, tawa dan tangis bercampur-aduk memenuhi udara bercampur debu yang mengebul tinggi!
Pasukan Mancu itu adalah pasukan yang terlatih baik menurut petunjuk Panglima Wanita Maya, maka mereka bertanding dengan semangat tinggi. Kuda mereka pilihan dan mereka mempunyai kerja sama yang lebih baik sehingga akhirnya pasukan dari benteng itu terdesak dan kewalahan. Panglima muka kuning itu tewas dan beberapa orang perwira pembantunya juga tewas, maka sisa pasukan yang kehllangan dua ratus orang lebih itu mundur melarikan diri ke benteng, dikejar oleh pasukan musuh.
Koksu yang marah sekali melihat ini, memerintahkan serdadu-serdadu penjaga di benteng menghujankan anak panah ke arah musuh. Kemudian dia menyuruh muridnya sendiri, Ang-siucai yang kini telah memakai pakaian panglima, memimpin dua ribu orang prajurit menyerbu ke luar.
Pasukan pengejar yang dihujani anak panah itu menghentikan pengejaran, kemudian merekalah yang mengundurkan diri karena ada aba-aba dari belakang agar mereka mundur. Panglima Wanita Maya melihat keluarnya pasukan baru yang jumlahnya dua ribu orang lalu memerintahkan Kwa-huciang, pembantu utamanya menyambut serbuan musuh itu dengan membawa tiga ribu orang prajurit.
Kini terjadilah perang yang lebih hebat lagi, sebagian berkuda, sebagian pasukan berjalan kaki dan makin banyaklah kini darah berhamburan, nyawa melayang dan debu mengebul makin tinggi.
Panglima Maya mempergunakan sisa pasukannya untuk menyerbu ke benteng dan di pihak Sung mengadakan perlawanan, menghujankan anak panah dari atas tembok yang dibawa oleh pihak penyerbu. Karena kalah banyak jumlahnya, akhirnya pihak musuh dapat menyerbu masuk. Koksu yang dilindungi oleh Han Ki membuka jalan darah, melarikan diri dari belakang dengan cara merobohkan pihak penyerbu yang mengurung kota itu dari belakang pula.
Berkat kelihaian Han Ki, akhirnya Bu-koksu, beberapa orang panglima, Kepala Daerah Sian-yang, dapat melarikan diri menunggang kuda dan terus lari ke selatan, menuju ke kota Ta-tung di mana terdapat benteng lebih besar dan kuat lagi sebagai benteng pertahanan dekat kota raja. Pihak pasukan yang mempertahankan kota Sian-yang, sebagian ada pula yang berhasil menyelamatkan diri ke selatan, akan tetapi lebih banyak yang roboh dan tewas menjadi korban amukan tentara Mancu yang bergabung dengan pasukan tentara pemberontak. Penyerbuan kota itu dapat berhasil dengan mudah berkat pengacauan dari dalam yang dilakukan anak buah Panglima Maya.
Dalam keributan ketika pasukan Mancu menyerbu, Siauw Bwee dan Coa Leng Bu yang tadinya bersembunyi di atas pohon itu cepat meloncat turun dan terpaksa melarikan diri memasuki kota dan bersembunyi di dalam sebuah kuil tua di mana ternyata sudah terdapat banyak orang bersembunyi pula.
Sudah menjadi lajimnya manusia-manusia di dunia ini, perang antara manusia mendatangkan mala-petaka hebat di mana peri-kemanusiaan sudah diinjak-injak, nyawa manusia tidak ada harganya, nafsu membunuh, merusak, menyiksa dan kebencian meluap-luap. Di dalam perang biasanya yang menang seperti harimau haus darah, ingin membunuh sebanyak mungkin, ingin menyiksa sepuas hatinya karena selalu teringat olehnya bahwa kalau dia kalah, maka dialah yang akan tersiksa dan terbunuh. Soalnya hanya siapa yang lebih dulu membunuh, dia menang! Kemudian akibat kemenangan ini membuat mereka yang haus darah menjadi kejam sekali, perampokan terjadi di mana-mana, pembunuhan, penyiksaan dan perkosaan!
Dengan dalih ‘pembersihan’, bala tentara Mancu memasuki setiap rumah penduduk dan membunuh siapa saja yang dicurigai, mengambil barang-barang berharga, dan wanita-wanita muda diganggunya, diperkosa atau dibunuhnya kalau melawan! Jerit tangis membubung tinggi di angkasa, rintihan mohon pengadilan dan perlindungan. Namun dalam perang, siapakah yang akan mengadili dan melindungi? Semua hak mutlak berada di tangan yang menang.
Andai kata keadaannya terbalik, pihak yang kalah itu yang menjadi penyerbu dan pemenang, keadaannya takkan berbeda banyak. Memang sudah menjadi sifat manusia pada umumnya. Jika kalah dan menderita minta-minta ampun dan mohon perlindungan Tuhan dan semua dewa, kemudian mengandung dendam kebencian yang hebat. Kalau sedang menang dan jaya lupa akan peri-kemanusiaan, berbuat sewenang-wenang, lupa akan kekuasaan Tuhan dan mabok kemenangan.
Siauw Bwee dan Coa Leng Bu mencari jalan ke luar dari kota itu, namun sia-sia. Atas perintah Panglima Maya yang cerdik, begitu berhasil merampas dan menduduki kota, pihak Mancu lalu mengatur penjagaan ketat, menjadikan benteng rampasan itu menjadi benteng pertahanan, tidak memperbolehkan orang keluar masuk tanpa ijin khusus. Kemudian Panglima Maya dan Pangeran Bharigan yang memimpin langsung penyerbuan itu menjatuhkan perintah kepada semua prajurit, melarang mereka melanjutkan perbuatannya merampok, membunuh dan memperkosa. Kalau ada yang dicurigai supaya ditangkap dan akan diperiksa. Pelanggaran larangan ini akan dijatuhi hukuman berat.
Maya memang cerdik. Pengalamannya ketika ia lari dari Khitan, menyaksikan akibat perang melihat hal-hal mengerikan sebagai akibat perang membuat dia mengerti bahwa pada saat pasukannya berhasil menyerbu kota yang dilakukan dengan taruhan nyawa, maka pesta-pora mereka yang kejam itu hanya untuk melampiaskan nafsu yang berkobar-kobar. Tidaklah bijaksana kalau begitu berhasil lalu menjatuhkan larangan, hal ini akan mengecewakan hati pasukan dan menimbulkan rasa tidak senang sehingga mudah memberontak. Akan tetapi juga tidak baik kalau dibiarkan berlarut-larut. Maka setelah membiarkan pasukannya berbuat sesukanya itu, dua hari kemudian, dia mengumumkan perintah ini.
Pengumuman ini membuat rakyat yang tadinya ketakutan setengah mati menjadi tenang kembali. Penghuni kota diperkenankan bekerja seperti biasa dengan jaminan akan dilindungi oleh pemerintah baru. Betapa pun juga, pemerasan dan perampokan halus-halusan masih terjadi di sana-sini sungguh pun prajurit-prajurit itu tidak lagi berani membunuh orang. Pukulan dan hinaan tentu saja masih ada. Terutama sekali perkosaan yang dilakukan sembunyi-sembunyi dengan ancaman.
Siauw Bwee dan Coa Leng Bu terpaksa meninggalkan kuil ketika kuil itu diserbu belasan orang prajurit Mancu yang galak-galak. Para pengungsi di dalam kuil terdiri dari dua puluh orang lebih dan mereka menggigil ketakutan ketika terdengar suara gaduh masuknya belasan orang prajurit itu. Waktu itu pengumuman dari Panglima Mancu belum ada, maka para prajurit itu segera menyerbu, menendangi orang dan merampas buntalan-buntalan.
Beberapa orang wanita yang sudah tua dan ikut mengungsi ke situ ditendang roboh dan dirampas buntalan mereka. Buntalan dibuka dan isinya dibuang ke sana-sini, hanya yang berharga saja yang diambil. Ketika ada di antara para pengungsi itu hendak mempertahankan barangnya, mereka dibacok roboh. Seorang wanita tua lehernya sampai hampir putus ketika wanita itu mencakar muka seorang para prajurit yang merampas buntalannya. Yang lain-lain menjerit dan berusaha lari, akan tetapi mereka roboh oleh sabetan golok atau tendangan kaki.
Siauw Bwee menjadi merah mukanya dan ia sudah hendak meloncat dan memberi hajaran, akan tetapi lengannya dipegang Coa Leng Bu yang berbisik, “Jangan mencari bahaya. Mereka bukan lawan kita...”
Kemudian Coa Leng Bu menarik tangan Siauw Bwee, diajak keluar dari kuil tua yang kini menjadi tempat penyembelihan manusia dan menjadi tempat perbuatan sewenang-wenang itu. Akan tetapi mereka melihat Siauw Bwee dan segera terdengar seruan-seruan girang.
“Aduhhhh! Ada yang sejelita ini sembunyi di sini! Wah, untung besar kita... ha-ha-ha!”
Seorang perwira Mancu yang agaknya menjadi kepala pasukan kecil ini sudah meloncat menubruk, matanya bernyala penuh gairah nafsu, mukanya beringas. Coa Leng Bu maklum bahwa kalau perwira itu sampai mendekati Siauw Bwee, tentu gadis itu takkan membiarkannya dan menerjang ke depan. Segera ia menyambut perwira itu dengan tendangan yang membuatnya terjengkang!
Melihat betapa supek-nya jelas dengan sengaja tidak mau membunuh orang, Siauw Bwee menjadi sadar. Dia maklum bahwa kota yang sudah diduduki bala tentara Mancu itu merupakan tempat yang amat berbahaya. Mereka tidak dapat lolos ke luar dan jika sampai mereka membunuh tentara lalu dikeroyok, benar-benar merupakan hal yang amat berbahaya bagi mereka. Maka sambil menahan kemarahan, ia pun lalu berkelebat merobohkan para prajurit Mancu yang kini datang mengeroyok mereka berdua. Dalam waktu singkat saja dia dan supek-nya telah berhasil meloloskan diri dari mereka dan cepat melarikan diri, menyelinap di antara banyak orang dan mencari tempat persembunyian baru.
Tiba-tiba terdengar jerit wanita dan Siauw Bwee bersama Coa Leng Bu cepat menuju ke tempat itu, di balik sebuah jalan tikungan di mana tampak orang-orang melarikan diri dan prajurit-prajurit Mancu hilir mudik tertawa-tawa, dan ada yang mabok. Ketika Siauw Bwee dan supek-nya melihat sebuah kereta dikurung belasan orang serdadu yang tertawa-tawa dan dari dalam kereta itu terdengar jerit wanita-wanita tadi, dara sakti ini tak mampu mengendalikan kemarahannya lagi.
Tanpa mempedulikan pencegahan supek-nya dia telah menerjang maju, membuat empat orang prajurit terpelanting ke kanan kiri dan ia cepat membuka tirai yang menutupi kereta. Kiranya ada empat orang prajurit di dalam kereta, sedang tertawa-tawa dan hendak memperkosa dua orang wanita, yang seorang masih dara remaja dan seorang pula adalah ibu dara itu, seorang nyonya setengah tua yang cantik dan berpakaian seperti seorang wanita bangsawan.
Siauw Bwee menggerakkan tangan empat kali dan tubuh empat orang prajurit itu terlempar ke luar dari kereta dengan kepala pecah! Melihat ini Coa Leng Bu terkejut sekali. Akan tetapi Siauw Bwee telah menyambar tubuh ibu dan anak itu, meloncat ke luar dari dalam kereta sambil berseru, “Supek, kita harus selamatkan mareka!”
“Celaka..., hayo cepat lari!” Coa Leng Bu mengomel, akan tetapi dia tidak dapat menyalahkan Siauw Bwee karena menyaksikan peristiwa seperti itu, tentu saja dara sakti itu tak mungkin tinggal diam.
Wanita bangsawan itu berkata, “Nona penolong, bawa kami pergi ke ujung selatan kota di sana ada tinggal seorang adikku, membuka toko obat.”
“Supek, mari kita ke sana!” kata Siauw Bwee.
Dengan cepat mereka itu lenyap menyelinap di antara banyak pengungsi dan akhirnya mereka berhasil tiba di toko obat dan cepat-cepat mereka disembunyikan di ruangan belakang.
Kiranya nyonya itu adalah isteri seorang pembesar di kota itu. Rumahnya sudah habis dirampok dan suaminya mati terbunuh, bahkan sekeluarga mereka, hanya nyonya itu dan anak gadisnya yang berhasil melarikan diri melalui pintu belakang, ditolong oleh kusir mereka yang setia. Akan tetapi sial bagi mereka, di tengah jalan mereka dihentikan oleh pasukan tadi, kusir mereka dibunuh dan hampir saja mereka menjadi korban kebuasan prajurit-prajurit Mancu kalau saja tidak tertolong oleh Siauw Bwee.
Nyonya bangsawan itu bersama puterinya berlutut menghaturkan terima kaaih kepada Siauw Bwee, akan tetapi dara perkasa ini membangunkan mereka sambli berkata, “Dalam keadaan seperti ini, tidak ada tolong-menolong dan sudah semestinya kalau klta yang senasib saling melindungi. Sekarang pun aku dan supek-ku minta perlindungan kalian, agar kami diperbolehkan bersembunyi di rumah ini sampai malam. Menjelang tengah malam, kami akan berusaha menyelundup ke luar kota.”
“Lihiap telah menolong keluarga kami, tentu saja Lihiap boleh sembunyi di sini,” kata adik nyonya bangsawan pemilik toko obat itu.
Coa Leng Bu dan Siauw Bwee mendapatkan dua buah kamar di ruangan paling belakang. Setelah mengisi perut dengan hidangan yang hangat, mereka berdua mengaso dan bercakap-cakap.
“Kita baru dapat keluar kalau keadaan sudah gelap sekali. Kita harus dapat melewati tembok kota dan sebaiknya kalau aku yang lebih dulu mencari jalan ke luar. Tembok kota raja luar terkurung air dan kurasa penjagaan amat ketat. Engkau akan menimbulkan banyak perhatian, apa lagi para serdadu itu seperti serigala kelaparan kalau melihat wanita muda. Kau tunggu saja di sini, aku akan menyamar sebagai seorang pengungsi yang mencari keluarganya yang tercerai dalam keributan dan akan kucari bagian yang paling lemah untuk diterobos. Kau menanti di sini dan beristirahatlah.”
Siauw Bwee tak dapat membantah. Biar pun dia jauh lebih lihai dari pada supek-nya, akan tetapi dia adalah seorang wanita muda yang tentu akan menimbulkan banyak kesukaran dalam usaha itu.
“Baiklah, Coa-supek. Akan tetapi harap Supek berhati-hati. Pihak Mancu mempunyai banyak orang pandai sehingga Koksu sendiri yang dibantu orang-orang sakti sampai dapat dikalahkan dan kota ini diduduki. Memang aku harus keluar dari sini untuk mengejar Kam-suheng.”
Mendengar ini Coa Leng Bu mengerutkan alisnya dan ia teringat akan pemuda tampan yang lihainya bukan main itu, lalu ia menghela napas. “Telah kuperhatikan ketika mendengar engkau menyebut suheng kepada pemuda sakti itu. Sungguh beruntung sekali mataku dapat memandang murid Locianpwe Bu Kek Siansu, penghuni Istana Pulau Es! Akan tetapi menurut penglihatanku berdasarkan pengalaman, suheng-mu itu berada dalam keadaan yang tidak wajar, Khu-lihiap.”
“Itulah yang membingungkan hatiku, Supek. Dia tidak mengenalku, bahkan melawanku! Bagaimana mungkin hal seperti itu terjadi? Apakah dia berpura-pura dan terpaksa bersikap seaneh itu?”
Coa Leng Bu menggeleng kepala. “Tidak, Lihiap. Kalau aku tidak salah duga, suheng-mu itu tentu telah diracuni dengan semacam I-hun-san (bubuk perampas ingatan) sehingga dia lupa akan segala hal yang lalu dan dijadikan pengawal boneka oleh Bu-koksu.”
“I-hun-san...?” Siauw Bwee memandang dengan mata terbelalak penuh kekhawatiran. “Akan tetapi, suheng-ku memiliki ilmu kepandaian yang hebat, bagaimana mungkin dia sampai terkena racun...?”
Kakek itu menghela hapas. “Boleh jadi dia lihai sekali. Menyaksikan sepak terjangnya ketika melawanmu, harus kuakui bahwa selama hidupku belum pernah aku melihat orang sehebat dia. Akan tetapi dia masih muda, Lihiap, dan mungkin ilmu silat yang demikian tinggi cukup untuk melindungi diri dari pada serangan yang kasar, namun untuk dapat melindungi dari tipu muslihat halus, benar-benar membutuhkan pengalaman. Sudahlah, kita akan menyelidikinya kelak, akan tetapi kita harus dapat keluar lebih dulu dari kota yang menjadi neraka ini. Kemudian kita akan menyusulnya, tentu dia menyelamatkan rombongan Koksu keluar dari kota ini. Sekarang aku akan melakukan penyelidikan dan mencari jalan untuk keluar dari tembok kota.”
Siauw Bwee mengangguk dan supek-nya itu lalu meninggalkan rumah tempat persembunyian mereka melalui jalan atas, meloncat ke atas genteng dan mulailah dia melakukan penyelidikan dan mencari jalan yang memungkinkan mereka dapat melarikan diri dengan selamat.
Malam itu Siauw Bwee tak dapat tidur, gelisah di atas pembaringannya. Dia sama sekali tidak mengkhawatirkan diri sendiri yang terkurung di dalam kota itu, akan tetapi dia bingung dan gelisah memikirkan Kam Han Ki, suheng-nya. Memikirkan suheng-nya yang dicintanya itu, selain gelisah hatinya juga panas dan kemarahan membuat dia jengkel sekali. Dia tahu bahwa suheng-nya, seperti juga dia adalah keturunan pendekar-pendekar yang berjiwa pahlawan.
Andai kata tidak terjadi hal-hal yang membuat mereka seolah-olah dimusuhi negara, dianggap orang-orang pelarian, tentu mereka akan menyumbangkan tenaga untuk kepentingan mereka. Suheng-nya adalah keturunan keluarga Suling Emas, akan tetapi kini dianggap sebagai pengkhianat negara dan pemberontak, hanya karena peristiwa hubungan asmara yang tiada sangkut-pautnya dengan kepentingan negara. Dan sekarang tenaga suheng-nya dipergunakan oleh negara secara pengecut dan keji! Marahlah hati dara ini dan andai kata saat itu ia berhadapan dengan Bu-koksu, tentu akan diserangnya pembesar tinggi itu.
“Eiiggghhhh...! Toloooongggg...!” Jeritan suara wanita itu terhenti tiba-tiba seolah-olah mulut yang berteriak itu didekap.
Siauw Bwee tersentak kaget, mencelat turun dari pembaringannya karena jeritan itu terdengar dekat sekali, dari sebelah depan rumah. Tanpa membuang waktu lagi dia meloncat ke luar kamar dan lari ke depan. Dapat dibayangkan betapa marahnya ketika ia melihat tiga orang serdadu Mancu sambil tertawa-tawa membacoki keluarga tuan rumah yang semua sudah menggeletak tewas di atas lantai, termasuk nyonya bangsawan yang ditolongnya.
“Iblis...!” Ia membentak dan menerjang maju.
Tiga orang serdadu itu terbelalak, kagum memandang dara yang muncul ini. Betapa cantik jelitanya! Akan tetapi, bagaikan seekor burung menyambar, tubuh Siauw Bwee sudah mencelat ke depan, kaki kirinya bergerak, tangan kanannya meraih dan tubuh serdadu yang memegang pedang terpental, pedangnya terampas oleh dara perkasa itu. Sebelum mereka bertiga dapat bergerak, pedang di tangan Siauw Bwee telah menyambar seperti kilat dan mereka itu roboh dengan tubuh terbabat putus menjadi dua!
Dari bawah sinar lampu Siauw Bwee melihat bahwa seluruh keluarga telah tewas, kecuali gadis cantik puteri nyonya bangsawan. Mengertilah dia bahwa dara itu tadi yang menjerit, tentu dilarikan serdadu. Dia terus mengejar ke depan dan memasuki sebuah warung kosong di mana ia mendengar suara serdadu tertawa. Dengan pedang di tangan kanan ia menerjang masuk melalui pintu dan apa yang dilihatnya membuat Siauw Bwee seperti hendak meledak dadanya. Matanya mendelik penuh amarah! Dua orang serdadu sedang memaksa gadis puteri bangsawan itu di atas meja. Baju atas gadis itu telah terbuka sama sekali dan sekarang, sambil tertawa-tawa, seorang serdadu hendak merenggut lepas pakaian bawah, sedangkan serdadu kedua memegang lengan gadis itu sambil menampari mulut gadis disuruh diam!
“Anjing busuk!” Siauw Bwee memaki, pedangnya berkelebat.
“Singgg...! Crotttt!”
Punggung serdadu yang hendak menelanjangi gadis itu terbelah dari atas ke bawah. Dia tidak sempat berteriak, hanya matanya saja yang memandang heran, lalu ia roboh mandi darahnya sendiri. Serdadu kedua terkejut. Cepat ia mencabut pedangnya, namun kembali sinar kilat berkelebat dan serdadu itu pun roboh dengan leher putus!
Tiba-tiba dari luar warung itu datang belasan orang serdadu berlari-lari. Mereka adalah pasukan-pasukan yang menjaga daerah ini dan tadi mereka melihat mayat kawan mereka di dalam rumah obat, lalu mereka mendengar keributan di warung itu.
Melihat munculnya dua belas orang serdadu ini, Siauw Bwee yang sudah marah sekali cepat menyambar dengan terjangan pedang rampasannya. Gerakan pedang di tangan Siauw Bwee seperti kilat menyambar-nyambar. Terdengar suara nyaring berturut-turut, pedang dan golok beterbangan disusul robohnya enam orang serdadu Mancu! Yang lain-lain menjadi terkejut dan marah, mereka berteriak-teriak. Siauw Bwee terus menerjang maju, dalam sekejap mata merobohkan dua orang serdadu lagi sehingga dengan mudah ia meloncat ke luar.
Akan tetapi, di luar warung telah berkumpul puluhan orang tentara Mancu yang dipimpin oleh empat orang perwira Mancu yang lihai. Begitu perwira Mancu ini menggerakkan senjata mereka, tahulah Siauw Bwee bahwa empat orang ini lihai, maka dia pun cepat menggerakkan senjatanya yang berkelebat seperti sinar kilat, membuat keempat orang itu cepat-cepat menangkis dan mengelak kaget. Mereka segera mengurung dan memberi aba-aba kepada anak buah mereka. Siauw Bwee dikeroyok dan dikurung ketat, namun dara ini yang sudah marah sekali mengamuk terus, lupa bahwa dia telah mengamuk di kandang harimau dan akan menghadapi bala tentara musuh yang jumlahnya ribuan orang!
Sepak terjang Siauw Bwee menggiriskan hati pasukan Mancu dan dalam pertandingan mati-matian itu kembali Siauw Bwee telah merobohkan belasan orang. Hanya empat orang perwira itu saja yang masih dapat bertahan, dibantu oleh anak buah mereka yang mengurung dari jarak jauh dan dengan sikap jeri. Betapa pun juga, dikeroyok oleh empat orang perwira Mancu yang dibantu oleh pasukan yang kini makin banyak karena bala bantuan datang, Siauw Bwee menjadi lelah dan dia maklum bahwa sukarlah baginya untuk dapat keluar dari kepungan itu.
“Aku akan mengadu nyawa dengan kalian anjing-anjing Mancu!” bentaknya.
Pedangnya bergerak makin cepat, diikuti tubuhnya yang mencelat ke sana ke mari, sukar diikuti pandang mata para pengeroyoknya. Namun. ke mana juga tubuh Siauw Bwee berkelebat, dia selalu dihadapi oleh puluhan orang tentara dan di sebelah luar kepungan masih ada ratusan orang musuh yang bersiap-siap dan berteriak-teriak mengepungnya.
Tiba-tiba kepungan itu agak kacau, terdengar teriakan-teriakan disusul robohnya orang-orang yang mengepung Siauw Bwee. Tadinya dara ini mengira bahwa Coa Leng Bu yang datang membantunya, akan tetapi betapa herannya ketika ia melihat seorang pemuda tampan yang sama sekali tidak dikenalnya. Di bawah sinar penerangan lampu-lampu di depan rumah dan obor-obor yang dibawa oleh para pasukan, dia melihat bahwa pemuda itu tersenyum-senyum, wajahnya tampan pandang matanya tajam, akan tetapi gerakan kedua tangan pemuda itu lihai bukan main. Yang membuat dia terheran-heran adalah gerakan yang dikenalnya baik-baik karena itulah ilmu silat yang dia pelajari dari mendiang Ouw-pangcu, yaitu Ouw Teng ketua kaum liar, dan dia mengenal pula pukulan Jit-goat-sinkang yang dipergunakan pemuda itu, pukulan-pukulan yang mengeluarkan hawa panas dan kadang-kadang dingin.....
“Nona, harap lekas lari melalui pintu gerbang selatan. Cepat, biar aku yang menahan mereka!” Pemuda tampan itu kini sudah bergerak mendekati Siauw Bwee, berdiri saling membelakangi dengan dara ini dan menuding ke selatan.
Biar pun dia tidak mengenal pemuda itu, namun melihat pemuda itu mengamuk dengan gerakan lihai sekali, dia percaya bahwa pemuda ini tentu bermaksud baik, maka dia hanya berkata, “Terima kasih!”
Tubuhnya cepat meloncat dan menerobos melalui kepungan di sebelah selatan yang sudah terbuka karena dikacau oleh pemuda itu. Ketika dia lari melewati tubuh pemuda itu, dia merasakan getaran hawa pukulan Jit-goat-sinkang, dan diam-diam merasa kagum sekali. Hawa pukulan pemuda ini tidak di sebelah bawah tingkat Coa Leng Bu mau pun mendiang Ouw Teng sendiri! Dan kini pemuda itu telah merampas sebatang tombak, mainkan tombak itu dengan gerakan yang amat lincah seolah-olah seekor naga yang mengamuk di antara awan-awan angkasa. Dalam amukannya ini, pemuda itu masih dapat tersenyum memandang Siauw Bwee, bahkan mengejapkan mata kirinya dengan lucu akan tetapi juga menarik sekali!
Kalau saja pemuda itu tidak terbukti telah membantunya ke luar dari kepungan, tentu Siauw Bwee akan marah dan menganggapnya kurang ajar. Dia cepat mengerahkan ginkang-nya dan meloncat jauh ke depan, merobohkan tiga orang serdadu yang menghadapinya. Karena kini empat orang perwira itu dihadapi Si Pemuda yang sengaja mencegah mereka mengejar Siauw Bwee, maka dara perkasa ini tentu saja dengan mudah dapat menerobos ke luar karena hanya dihadang dan dihalangi oleh pasukan yang dapat dibabatnya dengan mudah. Dia lalu berlari cepat ke selatan, dikejar oleh pasukan yang berteriak-teriak.
Ketika tiba di pintu gerbang sebelah selatan, di situ sedang terjadi keributan pula dan dilihatnya supek-nya, Coa Leng Bu sedang mengamuk, dikeroyok para penjaga pintu gerbang. Melihat ini Siauw Bwee menjadi girang dan dia terjun ke dalam medan pertempuran sehingga para pengeroyok Coa Leng Bu menjadi kocar-kacir setelah dalam beberapa gebrakan saja belasan orang di antara mereka roboh oleh pedang rampasan Siauw Bwee. Coa Leng Bu juga mengamuk dengan hebat. Kedua tangannya menyambari tubuh-tubuh para pengeroyok dan melempar-lemparkannya ke arah serdadu lain. Di sekeliling tempat itu sudah penuh dengan tubuh korban yang malang-melintang.
Coa Leng Bu juga girang sekali melihat munculnya Siauw Bwee yang memang sudah dinanti-nantinya, maka dia cepat berkata, “Syukur engkau tidak terlambat datang. Lekas ikut aku, cepat!”
Siauw Bwee maklum bahwa kalau mereka terus mengamuk di situ, para pasukan musuh tentu akan datang membanjiri dan kalau pintu gerbang sudah tertutup dan mereka dikurung oleh ratusan orang serdadu, tidak ada harapan lagi untuk keluar dari kota itu. Apa lagi kalau sampai para panglima Mancu keluar. Baru empat orang perwira yang mengeroyoknya tadi saja sudah memiliki kepandaian yang lihai, apa lagi kalau para panglima seperti yang ia saksikan ketika mereka berperang tanding melawan para Panglima Sung!
Kini mereka berdua menerobos kepungan dan berhasil keluar dari pintu gerbang selatan yang terkurung oleh air yang cukup lebar. Dan jembatan gantung di luar pintu itu tentu saja terangkat naik sehingga tidak ada jalan ke luar lagi meninggalkan tempat itu.
“Bagaimana, Supek?” Siauw Bwee bertanya bingung, pedangnya berkelebat merobohkan dua orang pengejar terdekat.
“Aku sudah siap dengan alat penyeberang di sana itu. Mari!” Kakek ahli obat ini menuding ke kanan.
Siauw Bwee memandang. Di tempat gelap yang terkena cahaya penerangan dari atas benteng, dia melihat sebatang kayu balok yang panjangnya ada tiga meter. Kiranya supek-nya selain telah mendapatkan jalan juga telah siap dengan sebatang balok untuk menyeberang! Biar pun tidak sebaik sebuah perahu, namun cukup untuk menyeberangkan mereka. Maka dia lalu mengikuti supek-nya. Kemudian keduanya meloncat ke atas balok itu dan dengan tenaga tekanan kaki mereka, balok itu meluncur ke tengah!
Baru saja balok yang mereka injak dan mereka dorong dengan tekanan tenaga kaki itu bergerak, berserabutan muncul melalui pintu gerbang itu para serdadu sambil berteriak-teriak dan mengacungkan obor, kemudian mereka berlari mendekati tepi sungai dan mengacung-acungkan senjata.
“Serang dengan anak panah!” terdengar teriakan seorang perwira yang baru datang.
Tak lama kemudian datanglah hujan anak panah dari tepi sungai dan dari atas benteng! Coa Leng Bu yang tidak memegang senjata sudah menanggalkan bajunya. Dengan baju ini dia menangkis semua anak panah yang datang menyerang, memutar bajunya sehingga seluruh tubuhnya tertutup. Siauw Bwee memutar pedang dan sinar pedangnya bergulung-gulung menjadi perisai tubuhnya. Semua anak panah gagal mengenai sasaran dan kini balok itu telah tiba di tengah sungai, penuh dengan anak panah yang menancap di situ.
“Awas perahu-perahu musuh!” Coa Leng Bu berbisik.
Dari kanan kiri meluncurlah perahu-perahu yang ditumpangi oleh serdadu Mancu. Semua ada enam buah perahu, tiga dari kanan dan tiga dari kiri, setiap perahu dipimpin oleh seorang perwira yang kelihatan lihai.
“Supek, cepat dorong balok ke seberang, biar aku yang menahan mereka,” kata Siauw Bwee. Dia menyelipkan pedang rampasannya di pinggang, kemudian kedua tangannya sibuk mencabuti anak-anak panah yang menancap di atas balok, ada puluhan batang banyaknya.
Coa Leng Bu mengerti bahwa murid keponakannya ini memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dari padanya, maka dia mengangguk dan cepat mengerahkan tenaga sinkang ke kaki, mendorong balok itu dengan tekanan kuat, kemudian malah berjongkok dan membantu dengan kedua tangannya yang dipergunakan sebagai dayung. Balok itu meluncur cepat sekali menuju ke seberang yang di malam itu hanya tampak gelap menghitam.
“Wir-wir-wirrr...!” Siauw Bwee kini melontarkan anak-anak panah itu dengan kedua tangannya, menyerang ke arah perahu-perahu musuh yang meluncur dari kanan kiri.
Terdengar teriakan-teriakan dari atas perahu-perahu itu ketika anak-anak panah yang dilontarkan namun kecepatannya tidak kalah oleh luncuran anak panah yang terlepas dari gendewa itu membuat beberapa orang tentara Mancu terjungkal. Tiba-tiba dari atas sebuah perahu yang datang dari kanan, terdengar suara berdesing nyaring. Siauw Bwee terkejut melihat menyambarnya beberapa batang anak panah. Ia maklum bahwa anak-anak panah itu dilepaskan oleh orang yang memiliki tenaga kuat, maka ia berseru,
“Coa-supek, awas anak panah!”
Dengan pedangnya dia sudah menangkis, akan tetapi sebatang anak panah melesat dan kalau saja Coa Leng Bu tidak cepat miringkan tubuh, tentu punggungnya sudah menjadi sasaran. Betapa pun juga, anak panah yang amat cepat dan kuat luncurannya itu masih mengenai pundak kanannya, menancap di bawah tulang pundak dari belakang sampai menembus ke depan! Coa Leng Bu tidak mengaduh, hanya menggigit bibir dan melanjutkan pekerjaannya menyeberangkan balok. Siauw Bwee marah sekali. Dia gerakkan tangan kirinya yang menggenggam lima batang anak panah, dan lima batang anak panah itu melayang ke arah perahu dari mana datangnya anak-anak panah yang cepat tadi.
“Trak-trakk!” Siauw Bwee melihat betapa lima batang anak panahnya runtuh dan lenyap ke dalam air.
Tak lama kemudian dari atas perahu yang sudah mendekat itu, tampak berkelebat bayangan yang meloncat ke arah balok. Karena keadaan gelap, Siauw Bwee hanya melihat tubuh yang langsing dari orang itu. Seorang wanita, pikirnya heran dan kagum. Gerakan wanita itu benar-benar hebat, seperti seekor burung terbang saja, akan tetapi yang mengejutkan hati Siauw Bwee adalah pedang di tangan orang itu karena pedang ini mengeluarkan cahaya kilat yang hebat, juga membawa hawa yang mengerikan hati.
Tentu seorang Panglima Mancu, pikir Siauw Bwee dengan kaget dan heran karena tidak diduganya bahwa yang melepas anak panah tadi dan yang kini melayang ke arah mereka adalah seorang wanita. Namun dia tidak sempat terheran terlalu lama karena tubuh orang yang menyambar dari perahu itu telah berjungkir-balik di udara dan kini menyerangnya dengan pedang yang bersinar kilat dengan tusukan ke arah lehernya!
Siauw Bwee maklum bahwa selain pedang itu amat ampuh, juga tenaga yang mendorong gerakan pedang itu tentu kuat sekali, maka dia tidak berani memandang ringan, lalu mengerahkan sinkang-nya yang disalurkan melalui pedang rampasannya, dan berbareng dia menghantam dengan telapak tangan kirinya, mengerahkan sinkang dan menggunakan pukulan Jit-goat-sinkang!
“Trakkk...! Aiiihhh...!” Jeritan ini keluar dari mulut dua orang wanita, yaitu Siauw Bwee dan wanita yang menyerangnya, karena keduanya terkejut bukan main akan akibat bentrokan pertama ini.
Pedang Siauw Bwee patah menjadi dua ketika bertemu dengan pedang yang bersinar kilat itu, akan tetapi wanita itu pun terkejut setengah mati ketika pedangnya bertemu dengan pedang lawan, tangan kanannya tergetar, apa lagi ketika ada pukulan yang amat dingin menghantam dadanya. Cepat wanita itu mencelat dengan jalan berjungkir-balik di udara, turun ke ujung balok di belakang Siauw Bwee dan ketika Siauw Bwee cepat membalik dan mendorongkan kedua tangannya, kini dengan pengerahan sinkang yang dilatihnya di Pulau Es, wanita lawannya yang berpedang kilat itu telah menggenjotkan kakinya pada balok dan tubuhnya sudah melayang kembali ke atas perahu!
Seorang lawan yang hebat, pikir Siauw Bwee. Namun dia sama sekali tidak menjadi gentar, bahkan menanti dengan pandang mata tajam ditujukan ke arah perahu itu. Akan tetapi agaknya wanita yang berpedang kilat itu pun terkejut dan ragu-ragu untuk menyerang lagi, apa lagi kini balok itu telah tiba di seberang, sedangkan perahu-perahu yang besar itu tidak dapat mepet di tepi sungai yang dangkal.
Siauw Bwee tentu saja tidak pernah menduga bahwa wanita yang menyerangnya tadi adalah Ok Yan Hwa, murid Mutiara Hitam! Tentu saja ilmu kepandaiannya hebat, dan pedang itu tentu saja amat ampuh karena yang dipegangnya adalah sebatang di antara Sepasang Pedang Iblis!
Seperti telah diceritakan di bagian yang lalu, tadinya kedua orang murid Mutiara Hitam, Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa, setelah bertemu dan dikalahkan oleh Kam Han Ki, menaati pesan Han Ki dan meninggalkan tentara Mancu. Akan tetapi, di dalam perjalanan mereka ini selalu berselisih. Selain kehidupan yang mewah dan terhormat di dalam barisan Mancu membuat mereka merasa sengsara setelah berkelana lagi, juga mereka kurang gembira karena tidak dapat mengamuk dan berlomba membunuh musuh dengan pedang mereka! Karena itulah ketika mendengar betapa pasukan-pasukan Mancu yang dipimpin Maya maju terus, mereka kembali lagi dan membantu Panglima Maya menyerbu dan menaklukkan kota Sian-yang.
Hati Siauw Bwee dan Coa Leng Bu menjadi lega ketika mereka meloncat ke darat. Untung bahwa malam itu gelap dan agaknya panglima wanita musuh yang lihai itu menjadi ragu-ragu setelah menyaksikan kelihaian Siauw Bwee, maka tidak mengejar lagi. Dan memang dugaan Siauw Bwee betul.
Ok Yan Hwa adalah seorang wanita gagah perkasa yang berilmu tinggi. Akan tetapi dia pun bukan seorang bodoh yang nekat. Ketika tadi bergebrak dengan Siauw Bwee, hatinya penuh keheranan karena dia tahu bahwa tenaga sinkang-nya jauh di bawah wanita muda itu! Apa lagi ketika menghadapi pukulan dorongan tangan kiri Siauw Bwee, Yan Hwa benar-benar kaget setengah mati, tidak pernah menyangka bahwa di samping Maya, masih ada lagi gadis muda yang lebih lihai dari pada dia!
Karena suheng-nya tidak bersamanya, dan di antara pasukan tidak ada yang dapat diandalkan untuk membantu, maka di dalam kegelapan malam itu dia tidak berani nekat melakukan pengejaran seorang diri saja, apa lagi dua orang yang melarikan diri itu selain lihai juga berada di luar kota. Baru menghadapi wanita itu saja belum tentu dia akan menang, apa lagi harus menghadapi dua orang lawan yang sakti. Dia tidak tahu bahwa sebatang di antara anak panahnya telah berhasil melukai pundak Coa Leng Bu, dan tentu saja dia pun tidak tahu bahwa kakek itu, yang menurut pendengaran para pasukan adalah supek Si Nona Lihai, sebetulnya kalah jauh kalau dibandingkan dengan murid keponakannya.
Setelah melihat bahwa pihak pasukan musuh tidak melakukan pengejaran, Siauw Bwee mengajak paman gurunya berhenti, kemudian dengan hati-hati dia mencabut anak panah yang menancap di pundak Coa Leng Bu. Sebagai seorang ahli pengobatan, tentu saja Leng Bu dapat mengobati luka di pundaknya yang untung sekali tidak merupakan luka parah karena anak panah itu hanya menembus daging, tidak merusak tulang atau urat besar.
Setelah diobati dan dibalut, mereka melanjutkan perjalanan menuju ke selatan. Biar pun pundaknya terluka, semalaman itu Leng Bu mengajak Siauw Bwee berjalan cepat terus ke selatan, dan baru pada pagi harinya mereka memasuki dusun dan berhenti ke dalam sebuah warung untuk makan dan beristirahat.
Di sepanjang jalan malam itu, mereka melewati banyak rombongan orang yang mengungsi, yaitu penduduk dusun-dusun di sekitar kota Sian-yang yang telah direbut pasukan Mancu. Ketika mereka tiba di dusun itu pun sebagian besar penduduk telah berkemas dan bersiap untuk lari mengungsi ke selatan. Hanya mereka yang tidak mampu saja, dan mereka yang enggan meninggalkan usaha mereka, seperti tukang warung itu, yang masih berada di dusun dan tidak tergesa-gesa lari mengungsi.
Warung itu penuh dengan para pengungsi yang ingin beristirahat sambil mengisi perut, dan kedua orang itu diam-diam mendengarkan percakapan para pengungsi tentang jatuhnya kota Sian-yang. Tiba-tiba Siauw Bwee yang sedang makan bubur menelan ludah dan hampir saja tersedak. Coa Leng Bu memandang heran, akan tetapi ketika melihat gadis itu mengerutkan alis dan melirik ke kiri di mana terdapat beberapa orang tamu pria sedang bercakap-cakap. Leng Bu juga mendengarkan dan melanjutkan makan bubur dengan sikap tenang.
“Benarkah keteranganmu itu bahwa bala tentara musuh dipelopori oleh Pasukan Maut?” terdengar orang kedua bertanya sambil berbisik.
“Tidak salah lagi. Keponakanku adalah seorang anggota pasukan pengawal di Sian-yang. Dialah yang menganjurkan kami sekeluarga meninggalkan kota setelah dia ketahui betapa kuatnya pasukan-pasukan musuh,” bisik orang pertama.
“Aihhh, pantas saja Sian-yang tak dapat dipertahankan, biar pun Koksu sendiri kebetulan berada di sana!” kata orang ke tiga. “Aku telah mendengar pula akan kehebatan Pasukan Maut yang kabarnya beranggotakan tentara yang seperti iblis, tidak takut mati dan berkepandaian tinggi, dipimpin oleh orang-orang sakti. Apa lagi Panglima Pasukan Maut, kabarnya Panglima Wanita Maya itu memiliki kepandaian seperti iblis dari belum pernah ada yang mampu mengalahkannya!”
“Hemmm, di antara panglima musuh muncul seorang panglima wanita seperti itu, mengingatkan aku akan ramalan seorang tosu di Kun-lun-san puluhan tahun yang lalu bahwa banyak kerajaan runtuh oleh wanita, bukan hanya oleh kecantikan mereka, akan tetapi juga oleh kelihaian mereka. Apakah Kerajaan Sung yang kini makin terpecah dan mundur ke selatan akan roboh pula karena wanita?”
“Stttt, Twako, jangan bicara seperti itu...!” terdengar suara memperingatkan.
Yang mengejutkan hati Siauw Bwee adalah disebutnya nama Panglima Wanita Maya tadi. Apakah suci-nya yang menjadi Panglima Mancu? Ataukah hanya kebetulan ada persamaan nama belaka? Akan tetapi, melihat kelihaian panglima wanita itu, tidak akan mengherankan kalau wanita itu adalah suci-nya, apa lagi kalau diingat betapa wanita dari perahu Mancu malam tadi pun amat lihai, sungguh pun tidak selihai suci-nya. Pula, suci-nya adalah puteri dari Kerajaan Khitan, sedikitnya masih mempunyai hubungan darah dengan bangsa Mancu, dan dia tahu betapa suci-nya amat membenci Kerajaan Sung karena kerajaan itu dianggap telah menjadi sebab kesengsaraan dan kemusnahan keturunan keluarga Suling Emas.
Hati Siauw Bwee ingin sekali menjumpai suci-nya, akan tetapi dia telah menimbulkan kekacauan di Sian-yang, bukankah hal ini akan membuat suci-nya makin benci kepadanya? Pula, apa perlunya menjumpai suci-nya yang telah menjadi Panglima Mancu? Dia tidak ada hasrat bertemu dengan suci-nya itu sebaliknya dia ingin sekali segera pergi menyusul suheng-nya yang sekarang amat aneh sikapnya dan menurut dugaan Coa Leng Bu, menjadi korban racun perampas semangat dan ingatan. Keadaan suheng-nya amat mengkhawatirkan dan suheng-nya perlu sekali mendapat pertolongannya.
“Supek, mari kita melanjutkan perjalanan,” katanya lirih kepada Coa Leng Bu.
Kakek itu mengangguk, akan tetapi tiba-tiba dia melihat Siauw Bwee memandang ke luar dengan mata terbelalak kaget, kemudian dara itu memberi isyarat kepadanya untuk duduk kembali. Coa Leng Bu melirik ke luar dan melihat serombongan orang memasuki warung.
Mereka terdiri dari sebelas orang, dan yang menjadi pembuka jalan ke warung itu adalah seorang pendek gemuk yang berkepala botak. Melihat orang ini pemilik warung cepat-cepat menyambut dengan membongkok-bongkok penuh penghormatan.
“Selamat datang, Koan-taihiap... sungguh menyesal sekali warungku penuh tamu sehingga saya tidak dapat menyambut dengan sepatutnya.”
Orang yang disebut pendekar besar Koan itu menggerakkan matanya yang lebar memandang ke sekeliling, alisnya berkerut dan dia berkata, “Harus kau sediakan tempat. Tamu-tamuku adalah orang-orang yang lebih penting dari pada siapa pun juga di sini, dan aku sudah terlanjur memuji warungmu yang dapat menyuguhkan makanan enak.”
Tukang warung menjadi bingung dan terpaksa dengan kata-kata halus dia mengusir beberapa orang pengungsi yang sudah lama duduk di situ dan yang sudah selesai makan pula. Dengan muka bersungut-sungut namun tidak berani membantah, beberapa orang meninggalkan warung itu dan meja bangku bekas mereka dibersihkan oleh tukang warung dan pelayan-pelayannya. Kemudian orang she Koan itu bersama rombongannya yang masih menanti di luar warung dipersilakan masuk. Orang she Koan dengan sikap amat ramah, hormat bahkan menjilat, mempersilakan seorang kakek tua yang agaknya menjadi pimpinan rombongan itu untuk duduk di bangku kepala.
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Siauw Bwee ketika mengenal kakek ini dan dia melirik dengan penuh perhatian. Kakek itu sudah tua sekali, tentu sudah ada delapan puluh tahun usianya. Rambutnya sudah putih semua, panjang seperti juga jenggotnya, namun matanya masih berkilat-kilat jernih seperti mata anak kecil dan kulit mukanya masih merah segar seperti orang muda. Pakaiannya seperti seorang sastrawan dan tangannya menggerak-gerakkan sebatang kipas sutera yang terlukis indah. Dia tersenyum-senyum lebar ketika memasuki warung itu.
Biar pun sudah bertahun-tahun tak pernah berjumpa, namun Siauw Bwee segera mengenal kakek ini yang bukan lain adalah Pek-mau Seng-jin, Koksu Negara Yucen yang amat sakti! Juga ia dapat menduga bahwa dengan adanya Koksu Yucen di situ, tentulah rombongan itu terdiri dari orang-orang penting dari bangsa Yucen.
Dugaannya memang tidak salah karena rombongan itu adalah tokoh-tokoh pengawal dan Panglima Kerajaan Yucen, bahkan di antara mereka terdapat Panglima Dailuba yang terkenal, Panglima Besar Yucen yang pandai sekali akan ilmu perang dan ilmu silat, bertubuh tinggi besar, bermuka lebar dan mukanya brewok, usianya sudah enam puluh tahun namun masih kelihatan tangkas dan kuat.
Coa Leng Bu sudah bertahun-tahun mengasingkan diri sehingga dia tidak mengenal rombongan itu, akan tetapi pandang matanya yang tajam dapat mengenal orang pandai. Sekali pandang saja dia dapat menduga bahwa biar pun disebut pendekar besar, orang she Koan itu hanyalah ahli silat biasa saja, akan tetapi kakek berambut putih dan rombongannya itu adalah orang-orang yang sakti. Maka dia bersikap waspada dan memperhatikan wajah murid keponakannya yang jelas kelihatan berubah.
Pek-mau Seng-jin sendiri sekali pandang sudah dapat menduga bahwa wanita muda yang cantik jelita dan seorang kakek berpakaian sederhana yang duduk menyendiri di sudut itu tentulah bukan orang-orang sembarangan, dan bukanlah pengungsi-pengungsi biasa. Koksu ini adalah seorang yang sakti dan cerdik.
Pada waktu itu bangsa Yucen mulai berkembang kemajuannya. Melihat penyerbuan-penyerbuan bangsa Mancu terhadap Kerajaan Sung Selatan, Koksu Yucen sengaja menahan pasukan-pasukannya dan membiarkan pihak lain saling berperang. Hal ini menguntungkan Yucen karena dapat menyusun kekuatan yang kelak dapat digunakan memukul kedua bangsa yang tentu menjadi lemah oleh perang.
Kini bangsa Yucen hanya menjadi penonton, menanti saat baik untuk mengalahkan semua musuh yang sudah lelah karena bertanding sendiri. Kedatangannya di tempat itu selain hendak melihat-lihat keadaan dengan mata kepala sendiri, juga untuk mengadakan hubungan-hubungan dengan golongan-golongan yang kuat untuk membantu gerakan bangsa Yucen kalau waktunya sudah tiba.
Kini melihat Siauw Bwee yang sudah tidak dikenalnya lagi karena telah menjadi seorang dara dewasa yang amat cantik jelita, dan melihat Coa Leng Bu yang juga tidak dikenalnya, namun yang ia dapat duga tentu merupakan dua orang yang berilmu tinggi. Diam-diam dia memperhatikan dan timbul keinginan hatinya menarik kedua orang itu menjadi pembantunya, atau kalau ternyata kedua orang itu berada di pihak musuh, membasminya di saat itu juga sebelum kelak mereka merupakan penghalang dan pembantu-pembantu musuh yang lihai.
Karena dia hanya menduga saja kelihaian dua orang itu dari sikap dan kedudukan tubuh mereka, maka dia ingin menguji. Di atas meja di depannya terdapat taplak meja dari kain. Jari-jari tangan kirinya merobek ujung taplak, lalu dipelintirnya menjadi dua butir kecil dan dengan telunjuknya, ia menyentil kedua butir kain itu ke arah Siauw Bwee dan Coa Leng Bu. Dua butir kain itu melesat dengan cepat luar biasa, tidak tampak oleh pandang mata yang lain, kecuali oleh para panglima yang lihai yang maklum akan niat atasan mereka dan hanya memandang sambil tersenyum.
Sambaran dua butir gulungan kain itu mendatangkan desir angin yang cukup untuk ditangkap oleh pendengaran kedua orang itu. Coa Leng Bu terkejut sekali, maklum bahwa ada senjata rahasia menyambar ke arah lehernya. Cepat dia menjatuhkan sumpitnya dari atas meja dan membungkuk untuk mengambil sumpit itu, padahal gerakan ini adalah gerakan mengelak sehingga benda kecil itu menyambar lewat.
Tentu saja Siauw Bwee yang jauh lebih lihai dari pada Leng Bu, maklum pula bahwa Pek-mau Seng-jin menyerangnya. Dia mengibaskan tangannya mengusir beberapa ekor lalat dari atas meja sambil mengomel, “Ihhh, banyak benar lalat di sini!”
Bagi orang lain hanya kelihatan dara jelita itu mengusir lalat, akan tetapi lalat-lalat itu terbang ketakutan, sedangkan di antara jari tangannya terjepit benda kecil yang tadi menyambar ke arah lehernya! Tadinya Siauw Bwee terkejut dan mengira bahwa Koksu Negara Yucen itu agaknya mengenalnya dan menyerang, akan tetapi ketika ia menangkap senjata rahasia itu dan mendapat kenyataan bahwa benda itu hanyalah segumpal kecil kain, dan yang diserang tadi hanyalah jalan darah yang tidak berbahaya dan hanya akan mendatangkan kelumpuhan tanpa membahayakan keselamatannya, maka tahulah dia bahwa kakek berambut putih itu hanya mengujinya, ingin membuktikan bahwa dia dan supek-nya adalah orang-orang yang lihai.
Maka menyesallah Siauw Bwee. Kalau tahu demikian, tentu dia akan membiarkan saja gumpalan kain itu mengenai lehernya agar jangan menimbulkan kecurigaan. Kini telah terlanjur, maka dia bahkan menjadi mengkal, menoleh ke arah meja rombongan itu dan diam-diam meremas hancur gumpalan kain menjadi debu, kemudian dia meniup tangan kirinya dan... debu itu melayang ke arah meja rombongan Pek-mau Seng-jin.
Para Panglima Yucen terkejut sekali. Tak mereka sangka bahwa dara jelita itu ternyata benar-benar sakti, dan diam-diam mereka pun kagum akan ketajaman pandang mata Pek-mau Seng-jin. Kalau tidak menduga bahwa dara itu lihai, tentu koksu itu tidak sudi sembarangan main-main dengan orang!
Pek-mau Seng-jin tersenyum puas. Tak salah dugaannya. Petani sederhana dan dara jelita itu benar-benar bukan orang sembarangan. Biar pun petani itu hanya pura-pura mengambil sumpit yang jatuh, tidak seperti gadis itu yang sengaja memperlihatkan kepandaiannya, namun jelas bahwa petani sederhana itu bukan ahli silat biasa. Sambitannya tadi tidak mengandung tenaga yang mematikan, namun telah disambitkan dengan kecepatan sentilan jari tangan dan meluncur cepat sekali, tak tampak oleh mata dan karena kecil ringan maka desir anginnya lirih sekali. Namun telah dapat disambut oleh mereka dengan cara mengagumkan!
Orang she Koan sebetulnya hanyalah seorang di antara kaki tangan bangsa Yucen untuk daerah itu dan yang kini bertugas sebagai penunjuk jalan. Ia tidak melihat apa yang baru terjadi. Kini dia disuruh mendekat, dibisiki oleh Pek-mau Seng-jin. Orang itu mengangguk-angguk dan memandang ke arah Siauw Bwee dengan alis berkerut dan sinar mata heran. Bayangkan saja, pikirnya. Koksu minta dia mempersilakan dua orang itu untuk makan bersama sebagai tamu terhormat yang diundang!
Koan Tek, demikian nama orang ini, adalah seorang jago silat yang terkenal di daerah itu, maka dihormati oleh pemilik warung makan. Dia berwatak kasar dan memandang rendah orang lain dan tentu saja orang yang suka memandang orang yang dianggap berada di bawahnya dan selalu menjilat kepada orang-orang atasannya. Mendengar Koksu mengundang dua orang itu yang dianggapnya hanya seorang petani miskin dan seorang gadis cantik, dia merasa penasaran sekali. Sepanjang pengetahuannya, Koksu Yucen dan para panglimanya adalah orang-orang peperangan yang gagah perkasa, tak pernah terdengar mereka itu suka mempermainkan wanita cantik. Apakah sebabnya kini Koksu mengundang kedua orang ini?
Akan tetapi dia tidak berani membantah, dan dengan langkah lebar ia menghampiri meja Siauw Bwee. Karena kedua orang itu merupakan orang yang diundang Koksu, maka dia menjura dengan sikap hormat paksaan sambil berkata, “Ji-wi diundang untuk makan bersama dengan rombongan kami.”
Coa Leng Bu yang maklum akan kekerasan hati Siauw Bwee cepat mendahului murid keponakannya itu dan dia berdiri sambil membalas penghormatan Koan Tek. “Terima kasih atas undangan Sicu. Kami berdua telah makan dan sudah hendak melanjutkan perjalanan. Harap maafkan kami.” Dia memberi kedipan mata kepada Siauw Bwee untuk berdiri dan meninggalkan tempat itu.
Akan tetapi, penolakan yang tak disangka-sangka oleh Koan Tek ini membuat dia mendongkol dan marah. Boleh jadi kedua orang ini tidak mengenal rombongan Koksu dari Yucen, akan tetapi dia yang mengundangnya, mengapa mereka tidak memandang mata kepadanya?
“Loheng, mungkin karena Ji-wi belum mengenal saya maka tidak suka menerima undangan kami,” katanya dengan nada agak keras. “Perkenalkanlah, saya Koan Tek, di sini dikenal sebagai Koan-taihiap dan orang-orang yang kami undang bukanlah orang-orang sembarangan, berarti bahwa kami telah menjunjung tinggi kehormatan Ji-wi. Maka saya ulangi, harap Ji-wi tidak menolak undangan kami untuk berkenalan dan makan bersama!”
Biar pun kata-kata itu bersifat undangan, namun nadanya yang keras itu mengandung tekanan, paksaan dan membayangkan ancaman. Hal ini membuat Siauw Bwee makin marah. Hati dara muda ini memang sudah mengkal dan marah ketika ia melihat Pek-mau Seng-jin yang mengingatkan dia akan perbuatan koksu itu yang dahulu pernah menawan dia dan Maya kemudian menyerahkan dia dan Maya sebagai hadiah kepada Coa Sin Cu di pantai Po-hai.
Mengingat akan hal ini saja sudah membuat tangannya gatal untuk membalas dendam, karena sekarang dia tidak gentar lagi menghadapi koksu yang lihai itu. Kemudian kemarahannya tadi ditambah dengan penyerangan Pek-mau Seng-jin, biar pun penyerangan itu merupakan ujian dan tidak mengandung niat jahat. Kini, ditambah oleh kata-kata dan sikap Koan Tek, tentu saja dia tidak mau menaati isyarat mata supek-nya agar bersabar. Dia sudah bangkit berdiri dan memandang Koan Tek dengan mata berapi.
“Engkau ini mengundang ataukah hendak memaksa orang? Kalau mengundang bersikaplah sebagai pengundang yang sopan, setelah ditolak dengan alasan tepat segera mundur. Kalau mau memaksa, terus terang saja, tak usah bersembunyi di balik sikap manis agar aku tidak usah ragu-ragu lagi memberi hajaran kepada orang yang hendak memaksaku!”
“Ehhh... sudahlah... sudahlah...!” Coa Leng Bu berkata khawatir. Kakek ini cepat berdiri dan menjura kepada Koan Tek. “Harap sicu suka maafkan, kami hendak pergi saja.”
Akan tetapi Koan Tek sudah marah sekali. Dengan mata melotot ia memandang kepada Siauw Bwee dan membentak, “Berani engkau kurang ajar kepada Koan-taihiap. Apakah kau sudah bosan hidup?”
Siauw Bwee menudingkan telunjuknya. “Jangankan baru engkau seorang, biar ada seratus orang macam engkau aku tidak takut! Supek, orang macam dia ini kalau tidak dihajar tentu akan menghina orang lain saja!”
Koan Tek hendak menerjang maju, akan tetapi tiba-tiba ada orang menarik lengannya sehingga dia terhuyung ke belakang. Ketika dia menoleh ternyata yang menariknya adalah seorang kakek tinggi kurus, berpakaian sastrawan dan dia ini adalah seorang di antara para pembantu Koksu, maka dia segera melangkah mundur. Kakek itu dengan sikap sopan sekali menjura kepada Leng Bu dan Siauw Bwee sambil berkata,
“Harap Ji-wi sudi memaafkan Koan-sicu yang bersikap kasar karena memang dia yang jujur selalu bicara kasar. Harap Ji-wi ketahui bahwa kami mengundang Ji-wi dengan niat bersih hendak berkenalan. Di antara kita terdapat nasib yang sama yaitu selagi negara kita diserbu bangsa Mancu, sebaiknya kalau orang-orang gagah seperti kita bersatu menghadapi musuh. Karena itulah maka pemimpin kami, Pek-mau Seng-jin, mengharap Ji-wi sudi datang berkenalan.”
Leng Bu tidak pernah mendengar nama Pek-mau Seng-jin, akan tetapi Siauw Bwee yang tahu bahwa kakek rambut putih itu adalah Koksu Negara Yucen, segera menjawab, “Kami berdua tidak ada sangkut-pautnya dengan segala urusan perang! Apa lagi harus bersekutu dengan pihak ke tiga. Hemm, kami bukan pengkhianat, bukan pula penjilat, lebih baik kalian tidak mencari perkara dan membiarkan kami pergi!” Setelah berkata demikian, Siauw Bwee memegang tangan supek-nya dan diajak pergi.
Akan tetapi baru saja mereka melangkah hendak keluar, terdengar bentakan harus, “Tahan!” Dan tampak berkelebat bayangan orang, tahu-tahu Pek-mau Seng-jin sendiri telah berdiri menghadang mereka sambil tersenyum-senyum.
Tadi ketika mendengar ucapan Siauw Bwee yang menyinggung ‘pihak ke tiga’, Koksu itu menjadi kaget sekali dan ia maklum bahwa dara itu telah mengetahui keadaannya sebagai pihak ke tiga, yaitu bukan golongan Mancu dan bukan pula golongan Sung. Maka dia menjadi khawatir kalau-kalau gadis itu akan membuka rahasianya yang akan menyukarkan penyamaran dan penyelidikannya, juga dia menjadi curiga.
“Nona, siapakah engkau? Dan di golongan manakah engkau berdiri?”
Ingin sekali Siauw Bwee memperkenalkan diri dan menyerang Koksu itu, akan tetapi dia masih menahan diri karena maklum bahwa Koksu ini disertai rombongan orang yang berkepandaian tinggi. Tentu saja dia tidak takut, hanya dia khawatir akan keselamatan supek-nya yang telah terluka pundaknya.
“Aku dan Supek adalah orang-orang perantauan yang tak perlu berkenalan dengan siapa pun juga, tidak mempunyai urusan dengan kalian dan tidak mencari perkara. Sudahlah, harap kau orang tua suka minggir dan membiarkan kami lewat!”
“Ha-ha-ha, benar-benar lantang suaranya! Nona, aku kagum sekali menyaksikan keberanian dan kelihaianmu. Orang-orang di dunia kang-ouw berkata bahwa sebelum bertanding tidak akan dapat saling menghargai dan berkenalan. Oleh karena itu, setelah kebetulan sekali kita saling bertemu di sini, aku menantang Ji-wi untuk saling menguji kepandaian.”
Panaslah hati Siauw Bwee. Betapa pun dia ingin menghindari pertempuran, akan tetapi kalau ditantang terang-terangan seperti itu, mana mungkin dia mundur lagi?
“Hemm, kalian mengandalkan banyak orang untuk menghina?” tanyanya sambil memandang ke arah rombongan itu, tersenyum mengejek. Memang Siauw Bwee memiliki wajah yang amat cantik jelita, maka biar pun dia tersenyum mengejek wajahnya tampak manis dan menarik sekali.
“Ha-ha-ha! Selain tabah dan pandai bicara, juga cerdik sekali. Nona muda, aku akan merasa malu mengeroyok seorang yang patut menjadi cucuku. Tidak sama sekali, kami bukanlah rombongan pengecut yang main keroyok, melainkan orang-orang yang dapat menghargai kepandaian orang lain dan melalui kepandaian itu kami ingin berkenalan dan bersahabat. Bagaimana, Nona? Aku berjanji tidak akan mengeroyok melainkan menguji kepandaian satu lawan satu!”
“Siapa takut? Majulah!” Siauw Bwee diam-diam merasa girang karena kini dia memperoleh kesempatan untuk menghajar musuh yang pernah menawannya ini dan tidak takut akan pengeroyokan karena ucapan yang keluar dari mulut seorang Koksu tentu saja dapat dipercaya.
Pek-mau Seng-jin kembali tertawa. “Hebat! Sebegitu muda sudah memiliki keberanian besar, mengingatkan aku akan kegagahan mendiang pendekar sakti wanita Mutiara Hitam! Tidak, Nona. Dunia kang-ouw akan mentertawakan Pek-mau Seng-jin kalau aku melayani seorang muda seperti engkau. Biarlah aku diwakili oleh...”
“Perkenankanlah hamba menghadapinya!” Tiba-tiba Koan Tek berkata sambil meloncat maju. Dia merasa penasaran dan marah sekali kepada Siauw Bwee yang tadi memandang rendah serta menghinanya. Dia bukan seorang kejam yang suka membunuh orang, akan tetapi karena nama besar dan kehormatannya tersinggung dia ingin memberi hajaran kepada gadis ini.
Pek-mau Seng-jin tersenyum. Orang kasar macam Koan Tek ini perlu juga menerima hajaran, pikirnya, karena dia yakin bahwa Koan Tek bukanlah lawan kedua orang ini.
“Mundurlah, biar aku yang maju lebih dulu!” Leng Bu berkata kepada Siauw Bwee.
Dia maklum bahwa murid keponakannya itu hendak menyembunyikan nama dan keadaannya, maka dia tidak menyebut nama. Sebaliknya Siauw Bwee pun maklum mengapa paman gurunya ini hendak maju biar pun pundaknya sudah terluka. Tentu paman gurunya ini hendak maju lebih dulu sehingga kalau sampai kalah, Siauw Bwee dapat menggantikannya. Kalau Siauw Bwee yang maju lebih dulu dan sampai kalah, tentu Leng Bu pun tidak akan berdaya lagi.
Maka Siauw Bwee segera melangkah mundur dan berkata, “Hati-hatilah, Supek. Pundakmu terluka, mengapa memaksa diri?” dengan ucapan ini Siauw Bwee kembali menghina Koan Tek, seolah-olah dia hendak menonjolkan kenyataan bahwa biar pun pundaknya terluka, kakek petani itu masih berani maju menghadapi Koan Tek yang berarti memandang rendah.
“Petani tak tahu diri, kau sambutlah seranganku!” Koan Tek berseru nyaring dan dia sudah maju menerjang dengan pukulan keras ke arah dada Leng Bu.
Leng Bu tidak dapat terlalu menyalahkan Siauw Bwee yang menyambut tantangan sehingga terpaksa terjadi pertandingan. Dia sendiri tentu saja masih dapat bersabar dan mundur menghadapi tantangan, akan tetapi seorang muda seperti Siauw Bwee, tentu sukar untuk mengelakkan tantangan seperti itu. Maka dia mendahului Siauw Bwee menyambut lawan sehingga seandainya ia dapat menang dan mengatasi hal ini, tidak akan terjadi persoalan yang lebih hebat. Dia khawatir apa bila Siauw Bwee yang maju, tangan dara yang ampuh itu akan terlalu keras dan terjadi pembunuhan. Selain itu, andai kata rombongan ini berniat buruk, kalau sampai dia kalah, masih ada Siauw Bwee yang jauh lebih lihai untuk menghadapi mereka. Pendeknya, biar pun pundaknya luka, dia hendak maju sebagai pengukur keadaan dan iktikad hati mereka ini.
Jotosan tangan Koan Tek itu merupakan serangan yang cukup kuat dan cepat. Leng Bu mengenal juga serangan ini dan tahu bahwa lawannya adalah seorang ahli gwakang yang memiliki tenaga kasar yang besar. Jurus itu adalah jurus Hek-houw-to-sim (Macan Hitam Menyambar Jantung), sebuah pukulan ke arah dada kirinya dengan kepalan tangan diputar ke kanan kiri ketika lengan itu meluncur dari pinggang. Pukulan semacam ini dapat menghancurkan batu!
Coa Leng Bu memiliki tingkat lebih tinggi dari pada Koan Tek yang kasar itu. Hanya dengan melangkah ke belakang saja sudah cukup baginya untuk menghindarkan pukulan itu. Akan tetapi Koan Tek sudah menyambung serangannya dengan jurus serangan berikutnya, yaitu lengan kirinya meluncur ke depan berbareng dengan kaki kiri, memasukkan dua jari tangan kiri ke arah leher lawan. Itulah jurus Sian-jin-ci-lou (Dewa Menunjukkan Jalan), sebuah totokan ke arah kerongkongan yang amat berbahaya dan merupakan serangan maut. Saking cepatnya dan kuatnya gerakan ini terdengar angin bercuitan!
Kini Leng Bu tidak mau mundur lagi, bahkan melangkah maju memapaki serangan ini! Dengan gerakan ringan sekali dia miringkan tubuh sehingga tusukan jari tangan itu meleset lewat dekat lehernya, berbareng dengan itu Leng Bu menggerakkan telapak tangan kirinya mendorong dada lawan. Koan Tek terkejut sekali dan berusaha menangkis dengan lengan kanan, namun biar pun tertangkis, tenaga dorongan itu tetap saja membuat tubuhnya terjengkang ke belakang.
Koan Tek cukup lihai. Biar pun tubuhnya terjengkang, dia masih mengangkat kakinya menendang ke arah bawah pusar! Kembali serangan yang dapat membawa maut. Leng Bu menjadi tak senang menyaksikan betapa lawannya berusaha untuk membunuhnya. Cepat kakinya digeser dan ketika tendangan itu lewat, secepat kilat tangannya menyangga kaki itu dan sekali dia membentak dan mendorong tubuh Koan Tek terlempar ke belakang tanpa dapat dicegahnya lagi. Tubuhnya tentu akan terbanting keras kalau saja sebuah tangan yang kurus tidak cepat menyambar tengkuknya sehingga dia tidak jadi terbanting.
“Hebat...!” kata pemilik tangan kurus yang bukan lain adalah kakek sastrawan pembantu Koksu Yucen.
Sementara itu, para tamu warung yang sebagian besar terdiri dari para pengungsi, berserabutan lari keluar dari warung, sedangkan pemilik warung bersama para pelayannya telah bersembunyi di balik meja dan lemari dengan ketakutan.
“Sungguh mengagumkan sekali dan sepantasnya saya, Tiat-ciang-siucai (Sastrawan Tangan Besi) Lie Bok berkenalan dan ingin mengetahui siapakah nama Enghiong yang perkasa?” Si Kakek Sastrawan bertanya dengan muka tersenyum.
Melihat sikap yang sopan ini, Coa Leng Bu merasa tidak enak dan dia cepat menjura. “Namaku yang rendah adalah Coa Leng Bu dan harap saja Locianpwe suka memaafkan kami dan membiarkan kami pergi karena sesungguhnya, saya dan keponakan saya tidak ingin bertanding dengan siapa pun juga.”
“Ha-ha, bukan bertanding melainkan menguji kepandaian untuk bahan perkenalan, Coa-enghiong. Marilah kita main-main sebentar!”
Leng Bu yang maklum bahwa lawannya sekali ini tentu tidak boleh disamakan dengan Koan Tek yang kasar, cepat menyapu dengan kakinya dan meja kursi di sekeliling tempat itu terlempar ke sudut, disambar hawa tendangan kakinya sehingga ruangan itu menjadi lega. Hal ini saja membuktikan betapa kuat tenaga sinkang kakek ini sehingga orang yang berjuluk Tiat-ciang-siucai mengangguk-angguk kagum.
“Bagus sekali! Engkau benar-benar amat berharga untuk menjadi teman berlatih. Nah, sambutlah, Coa-enghiong!” Setelah berkata demikian kakek sastrawan itu melangkah maju, tangan kirinya menampar kepala dan tangan kanannya dalam detik berikutnya mencengkeram ke arah perut! Itulah jurus Pai-san-to-hai (Menolak Gunung Mengaduk Laut) yang dilakukan dengan tenaga lweekang (tenaga dalam) cukup kuat.
Leng Bu tidak tahu pukulan mana yang merupakan pukulan pancingan dan yang mana yang merupakan serangan sesungguhnya karena kedua tangan yang bergerak hampir berbareng itu memang dapat dipergunakan sesuka Si Penyerang, yang satu dipakai memancing, yang kedua baru merupakan pukulan sesungguhnya. Dia tidak mau terpancing, maka dia menggunakan kedua tangannya menangkis ke atas dan ke bawah.
”Plakk! Dukkk!”
Tiat-ciang-siucai terdesak mundur dua langkah, sedangkan Leng Bu masih berada di tempatnya, akan tetapi wajahnya berubah menyeringai karena pundaknya yang terluka tadi terasa nyeri. Jelas bahwa sinkang-nya lebih kuat, akan tetapi selisihnya hanya sedikit dan luka di pundaknya membuat dia menderita. Namun dia tidak mau mundur, bahkan membalas menyerang dengan pengerahan tenaga Jit-goat-sinkang! Terdengar angin menyambar dari kedua tangannya dan hawa di ruangan warung itu tiba-tiba menjadi panas seolah-olah ada sinar matahari sepenuhnya memasuki ruangan.
Tiat-ciang-siucai berseru kaget dan cepat ia menggunakan kedua tangannya melindungi tubuh, menangkis bertubi-tubi sehingga dua pasang tangan itu saking cepat gerakannya berubah menjadi banyak. Namun kakek sastrawan itu terdesak mundur oleh hawa panas. Tiba-tiba Leng Bu yang ingin segera memperoleh kemenangan itu sudah mengubah gerakannya, ditujukan ke bawah, menyerang tubuh bagian bawah dan tiba-tiba hawa yang panas itu berubah sejuk. Kembali kakek sastrawan terkejut, dan biar pun dia berhasil menangkis serangan yang seperti hujan datangnya, namun perubahan itu membuat dia bingung dan terhuyung ke belakang.
“Heiii! Bukankah itu Jit-goat-sinkang?” Tiba-tiba Pek-mau Seng-jin berseru kaget dan kagum.
Mendengar ini Coa Leng Bu terkejut. Tak disangkanya kakek berambut putih itu mengenal Jit-goat-sinkang yang selama ini tersembunyi dari dunia kang-ouw. Akan tetapi karena sudah terlanjur dikeluarkan, dia lalu menerjang maju dan mengerahkan tenaganya. Dari dorongan telapak tangan kanannya keluar hawa pukulan yang bercuitan ke arah tubuh Tiat-ciang-siucai yang terhuyung. Siucai itu berusaha menahan dengan kedua tangannya, namun tetap saja dia terdorong dan roboh bergulingan.
Leng Bu menghentikan serangannya, meloncat mundur dan menjura. “Harap maafkan kekasaran saya.”
Tiat-ciang-siucai meloncat bangun, matanya terbelalak. “Luar biasa sekali! Saya mengaku kalah!”
Menyaksikan sikap ini, agak lega hati Coa Leng Bu, karena sikap kakek sastrawan itu menunjukkan sikap seorang kang-ouw yang baik, gagah perkasa dan jujur, berani menerima kekalahan dengan hati tulus.
Pek-mau Seng-jin girang sekali. Biar pun belum dapat dikatakan luar biasa, petani tua bertelanjang kaki itu dapat dijadikan seorang pembantunya yang lumayan. Maka dia memberi tanda dengan mata kepada Panglima Dailuba yang tinggi besar, bermata lebar dan bermuka penuh brewok.
“Biarlah aku menguji kepandaianmu, Coa-enghiong!” katanya dengan suaranya yang nyaring besar mengejutkan.
Panglima ini adalah seorang bangsa Yucen tulen, bertenaga besar dan berkepandaian tinggi. Apa lagi setelah dia menjadi pernbantu utama Pek-mau Seng-jin yang melatihnya dengan ilmu-ilmu silat tinggi, panglima ini benar-benar merupakan seorang lawan yang amat tangguh.
Hal ini dapat diduga oleh Siauw Bwee, maka dia berkata, “Supek, biarkanlah saya yang maju karena Supek tentu lelah sekali.”
Akan tetapi Coa Leng Bu menggeleng kepala. Sebelum dia kalah, lebih baik gadis itu jangan turun tangan yang tentu akan menimbulkan persoalan yang lebih berat lagi. Sekali gadis itu turun tangan, dia tidak berani tanggung apakah lawan masih dapat keluar dari pertandingan dengan hidup-hidup. Pula, agaknya yang merupakan lawan terberat hanyalah kakek yang bernama Pek-mau Seng-jin itu, maka biarlah kakek itu nanti bertanding melawan Siauw Bwee.
“Tidak, aku masih belum kalah,” jawabnya dan cepat ia maju sambil berkata, “Sahabat, siapakah nama besarmu?”
Dailuba tertawa bergelak. “Namaku sama sekali tidak terkenal, Coa-enghiong. Namaku adalah Thai Lu Bauw, seorang kasar yang hanya mempelajari sedikit ilmu. Mana bisa dibandingkan dengan engkau yang memiliki Jit-goat-sinkang? Harap kau suka mulai.”
Coa Leng Bu menggeleng kepala. “Bukan kami yang menghendaki pertandingan ini, Thai-sicu. Engkau majulah!”
“Lihat serangan!”
Gerakan Dailuba berbeda dengan gerakan Tiat-ciang-siucai Lie Bok tadi. Gerakan orang tinggi besar ini lambat sekali ketika tangan kanannya yang dibuka itu menyerang dengan dorongan ke arah dada Leng Bu. Akan tetapi, Coa Leng Bu sebagai seorang yang sudah banyak mengalami pertandingan tidak mau memandang rendah dan dugaannya ternyata tepat karena ketika ia menangkis pukulan itu, dia terdorong sampai dua langkah, sedangkan lawannya terus melangkah maju dan mengirim dorongan lanjutan dengan tangan kiri. Ternyata Si Tinggi Besar ini memiliki tenaga yang luar biasa kuatnya!
Terpaksa Coa Leng Bu menangkis dengan pengerahan tenaga Jit-goat-sinkang sehingga dua tenaga raksasa bertemu dan keduanya tergoyang. Ketika Leng Bu hendak menarik kembali lengannya, dia kaget bukan main karena lengannya itu lekat pada lengan lawan, seolah-olah tersedot dan tak dapat dilepas lagi dan pada saat itu tangan kanan Dailuba telah datang lagi menampar ke arah kepalanya!
Tahulah dia bahwa lawannya ini telah melatih sinkang-nya dengan tenaga menyedot dan menempel, maka dia cepat miringkan kepala dan mendahului dengan sodokan tangan kiri ke arah perut lawan.
“Plakkk!”
Lengannya yang tertempel itu terlepas, akan tetapi dapat dibayangkan betapa heran dan kagumnya hati Leng Bu ketika merasa betapa sodokannya ke perut yang mengenai sasaran dengan tepat tadi seolah-olah tidak terasa oleh lawan, bahkan jari tangannya terasa nyeri. Dailuba menggerakkan kakinya yang panjang dan besar menyerang kaki lawan. Leng Bu cepat meloncat ke atas, akan tetapi angin yang menyambar dari kaki Si Tinggi Besar membuat dia hampir terpelanting!
Coa Leng Bu menjadi penasaran sekali, lalu dia menyerang dengan cepat, menggunakan jurus-jurus simpanan dan mengerahkan tenaga Jit-goat-sinkang. Namun, melihat betapa Dailuba dapat menahan serangannya dengan gerakan lambat dan seenaknya, kedua lengan besar yang digerakkan lambat itu telah menciptakan hawa yang merupakan perisai sehingga semua pukulan Leng Bu menyeleweng, maka tahulah Leng Bu bahwa tingkat kepandaian lawannya ini masih jauh lebih tinggi dari pada tingkatnya. Maka dia merasa terkejut dan khawatir, bukan takut kalah, melainkan takut kalau-kalau Siauw Bwee sendiri tidak akan mampu menanggulangi mereka.
Kalau sampai mereka kalah, tentu mereka terpaksa menerima undangan dan perkenalan mereka, padahal dia tahu bahwa Siauw Bwee tidak menghendaki hal itu terjadi. Maka dia lalu mempercepat serangannya dan kini dia menggunakan Im-yang-sinkang.
Sebetulnya Im-yang-sinkang masih kalah setingkat kalau dibandingkan dengan Jit-goat-sinkang yang merupakan latihan sinkang dengan bantuan sinar sakti matahari dan bulan, akan tetapi karena dalam latihan ini Leng Bu belum mencapai puncaknya sedangkan Im-yang-sinkang dia sudah mahir sekali, maka terpaksa dia menggunakan sinkang yang baginya lebih kuat itu. Padahal, untuk menggunakan sinkang ini mengandalkan seluruhnya dari tenaga dalamnya sendiri sedangkan pundaknya sudah terluka, maka hal ini merupakan bahaya baginya. Dia sekarang mempergunakannya dalam keinginannya untuk mencapai kemenangan.
Ketika lawannya membalas serangannya dengan dorongan kedua telapak tangan, dengan pukulan semacam Thai-lek-sinkang yang amat kuat, dia menghadapinya dengan Im-yang-sinkang.
“Bressss!” Tubuh tinggi besar dari Dailuba terlempar ke belakang dan terguling, akan tetapi Leng Bu sendiri terjengkang dan dia mengeluh, pundaknya nyeri bukan main.
”Supek...!” Siauw Bwee menghampiri, akan tetapi Leng Bu telah bangun kembali, wajahnya pucat menahan sakit dan dia memegangi pundaknya yang luka, sebelah lengannya menjadi lumpuh.
Dailuba juga bangkit berdiri, tampak darah dari ujung bibirnya dan dia menjura. “Hebat sekali engkau, Coa-enghiong. Biar pun engkau terluka, engkau masih mampu menahan pukulanku!”
“Ha-ha-ha, karena Coa-enghiong terluka, biarlah kita anggap pertandingan tadi berakhir dengan sama-sama dan mudah-mudahan menjadi jembatan perkenalan di antara kita!” kata Pek-mau Seng-jin.
“Tidak,” Siauw Bwee menjawab lantang. “Kami tetap tidak berkeinginan untuk mengikat tali persahabatan. Kami hendak pergi dan siapa yang menghalangiku, berarti dia hendak memusuhiku!” Dia lalu memegang tangan supek-nya dan berkata, “Marilah, Supek. Kita pergi dari sini dan jangan melayani mereka yang mabok kekerasan ini!”
“Ha-ha-ha, nanti dulu, Nona. Kalau kalian tidak memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada kami, mengapa begini angkuh? Kami hanya ingin berkenalan, kalau engkau menolak berarti engkau menghina kami,” kata Pek-mau Seng-jin sambil menghadang di depan pintu keluar.
“Kalau engkau menganggap aku menghina, habis kau mau apa?”
“Taijin, bocah ini lancang sekali. Biarlah hamba menundukkannya!” kata Dailuba yang tak dapat menahan kesabarannya lagi menyaksikan sikap Siauw Bwee demikian berani terhadap orang pertama sesudah Raja Yucen! Dia sudah melompat maju menghadapi Siauw Bwee.
Dara ini maklum bahwa tanpa memperlihatkan kepandaian, mereka tidak akan mau mundur begitu saja, maka dia melepaskan tangan Leng Bu dan menghampiri Dailuba.
“Kau kira aku takut kepadamu?” bentaknya.
Dailuba tersenyum mengejek. Gadis ini hanyalah murid keponakan Leng Bu. Sedangkan Coa Leng Bu sendiri tidak mampu mengalahkannya, apa lagi murid keponakannya yang hanya seorang dara muda?
“Nona, aku harus mengaku bahwa aku kagum sekali menyaksikan keberanianmu. Akan tetapi, engkau bukanlah lawan kami dan sesungguhnya aku sendiri merasa malu kalau harus bertanding melawan seorang bocah perempuan seperti Nona. Sedangkan supek-mu sendiri yang cukup lihai tidak mampu mengalahkan aku, bagaimana engkau berani menghadapi aku?”
“Tidak perlu banyak cerewet. Kalau kau berani, majulah!” Siauw Bwee menantang.
Dailuba menjadi marah. Akan tetapi dia adalah seorang panglima besar, tentu saja dia dapat menahan diri dan tidak mau menuruti nafsu amarah. Maka sambil tersenyum dia berkata, “Baiklah kalau begitu. Seorang anak bandel seperti engkau ini tentu belum mau mengerti kalau belum mengenal kelihaianku. Nah, kau jagalah sentuhan ini!”
Sambil berkata demikian, Dailuba menampar pundak Siauw Bwee dan hanya mempergunakan seperempat bagian tenaganya saja. Itu pun ia lakukan dengan hati-hati dan perlahan karena khawatir kalau-kalau tulang pundak nona ini akan remuk terkena tamparannya!
Siauw Bwee menjadi makin marah. Dia tentu saja tahu bahwa lawannya ini tidak sungguh-sungguh menyerangnya, dan hal ini selain dianggap sebagai sikap memandang rendah, juga merupakan penghinaan! Cepat sekali tangannya bergerak dan tahu-tahu Dailuba berteriak kaget ketika kedua pundak dan kedua lututnya telah kena ditotok oleh jari tangan dan ujung sepatu nona itu. Kedua pasang kaki tangannya menjadi lumpuh dan di saat selanjutnya, tubuhnya sudah dilemparkan oleh dara itu dengan menyambar tengannya! Tembok warung itu bobol kena bentur tubuhnya, akan tetapi tubuh yang kuat itu tidak terluka dan begitu dia terbanting, totokan-totokan itu telah punah dan Si Tinggi Besar telah meloncat bangun. Merah sekali mukanya dan matanya menjadi merah saking marah. Dia telah dihina di depan Koksu dan para rekannya!
“Keparat! Tak tahu orang mengalah!” bentaknya sambil menubruk maju.
“Siapa minta kau mengalah! Keluarkan semua kepandaianmu!” Siauw Bwee tersenyum mengejek.
Perasaan malu membuat Dailuba lupa diri dan memuncak kemarahannya. Belum pernah selamanya dia menerima penghinaan seperti itu, apa lagi dilakukan oleh seorang gadis muda di depan Koksu! Dia adalah orang kepercayaan dan tangan kanan Koksu, dan semua panglima tunduk kepadanya! Mana mungkin dia menerima saja dipermainkan seorang gadis begitu saja?
Maka begitu ia menubruk maju, dia memukul dengan pengerahan tenaga sekuatnya, tangan kiri menghantam ubun-ubun kepala dan tangan kanan menyodok ke arah pusar. Kedua tangannya melancarkan pukulan maut dan jarang ada lawan tangguh yang mampu menghindarkan diri dari serangan ini. Bahkan Koksu sendiri menjadi terkejut dan menyesal mengapa panglimanya itu hendak membunuh gadis yang demikian lihai, namun dia dapat mengerti akan kemarahan Dailuba dan memandang penuh perhatian.
“Mampuslah! Wuushhh... siuuutt!” Bentakan Dailuba disusul angin sambaran kedua tangannya.
“Haaaiiittt... yyaaaahhhh!”
Pek-mau Seng-jin sendiri sampai terbelalak kagum menyaksikan gerakan Siauw Bwee yang asing baginya. Kedua kaki dara itu bergerak dengan cepat dan aneh, indah sekali seolah-olah kedua kaki dara itu menjadi roda, bergeser ke sana-sini dengan lincah dan ringan, namun tepat sekali sehingga dua pukulan maut itu sama sekali tidak mengenai sasaran.
Padahal dua pukulan itu sukar sekali dielakkan dan Koksu sendiri maklum bahwa jalan satu-satunya menghadapi dua pukulan maut itu hanya menangkis dengan pengerahan sinkang. Betapa mungkin gadis itu dapat mengelak tanpa meloncat pergi, hanya mengegos ke sana-sini seolah-olah pukulan itu merupakan pukulan biasa yang dipandang rendah saja?
Juga panglima tinggi besar itu terkejut, namun rasa marah dan penasaran melampaui kekagetannya dan kemarahan membuat dia tidak mau melihat kenyataan, tidak menyadarkannya bahwa sesungguhnya dia menghadapi seorang lawan yang jauh lebih berbahaya dari pada Coa Leng Bu, bahkan lebih berbahaya dari pada semua lawan yang pernah ia hadapi sebelumnya! Kemarahan dan penasaran membuat dia menerjang lagi dengan gerakan cepat dan lebih kuat, menggerakkan kedua tangannya menyerang bertubi-tubi dan setiap pukulan, tamparan, atau totokan dia tujukan ke arah bagian-bagian yang mematikan!
Siauw Bwee bukan tidak tahu akan hal ini. Dia maklum bahwa lawannya sengaja mengirim pukulan-pukulan maut karena kemarahannya, dan hal ini membuat dia ingin menalukkan orang-orang itu dengan memperlihatkan kepandaiannya. Dia pun bukan seorang gadis bodoh yang hanya menuruti nafsu amarah. Dia mengenal Pek-mau Seng-jin sebagai seorang Koksu Negara Yucen, dan sudah mendengar bahwa bangsa Yucen pada waktu itu merupakan bangsa yang besar dan kuat.
Dia dapat menduga bahwa orang tinggi besar ini tentu bukan orang sembarangan pula, melainkan seorang yang berkedudukan tinggi di Kerajaan Yucen. Mengingat bahwa mereka yang tadi berhadapan dengan Coa Leng Bu bersikap gagah dan tidak bermaksud membunuh supek-nya itu, maka kini dia pun hanya ingin mencari kemenangan dan segera pergi bersama supek-nya melanjutkan perjalanan ke selatan, terutama sekali untuk menyusul suheng-nya, Kam Han Ki.
Kini melihat betapa lawannya menerjang dengan hebat, Siauw Bwee terus menggunakan ilmu gerak langkah kilat yang ia pelajari dahulu dari kaum lengan buntung, mengelak ke sana-sini sehingga tubuhnya berkelebatan ke kanan kiri, menyelinap di antara pukulan-pukulan itu. Makin lama, Dailuba menjadi makin penasaran dan memukul makin cepat.
Tidak mungkin ada orang hanya main mengelak saja dari hujan pukulannya, padahal baru sambaran angin pukulannya saja sudah cukup untuk merobohkan lawan. Namun, pandang matanya sampai berkunang ketika lewat tiga puluh jurus dia menyerang, gadis itu hanya main elak saja dan tak sebuah pun dari pukulan-pukulannya dapat menyentuh ujung baju gadis itu, apa lagi mengenai tubuhnya! Dia makin terheran-heran. Supek gadis ini tadi harus mengakui keunggulannya hanya dalam belasan jurus saja. Bagaimana kini gadis ini menghadapi serangan-serangannya sampai tiga puluh jurus lebih tanpa membalas sama sekali, mempermainkannya seperti seorang dewasa mempermainkan anak kecil?
Kalau tidak ingat bahwa di situ ada Koksu dan para rekannya yang menjadi penonton, tentu panglima tinggi besar ini sudah mengeluarkan senjatanya. Akan tetapi hal itu tidak mungkin dia lakukan di bawah pengawasan Koksu dan para rekannya karena tentu hal itu akan membuat dia menjadi makin rendah dan malu. Maka kini ia hanya menggigit bibir dan melanjutkan serangan-serangannya dengan tenaga sinkang Thai-lek-sinkang.....
Selanjutnya baca
ISTANA PULAU ES : JILID-16