Pendekar Super Sakti Jilid 14
Puteri Nirahai memenuhi janjinya. Lulu diterima di istana dan tidak dituntut oleh kaisar, bahkan Pangeran Ouwyang Cin Kok dan puteranya pura-pura tidak tahu bahwa gadis yang menjadi adik angkat Han Han itu kini kembali ke istana.
Lulu tekun belajar ilmu silat di bawah bimbingan Nenek Puteri Maya yang amat sakti itu, juga Nirahai digembleng oleh nenek ini. Ternyata bahwa yang dilatih oleh Lulu ketika ia berada di Pulau Es adalah Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat, yaitu ilmu silat yang dasar geraknya mengambil dari coretan huruf-huruf indah. Karena ketika berlatih di Pulau Es itu tidak ada yang memimpin, maka Lulu hanya mempelajari secara ngawur saja, sehingga ia hanya menguasai kulitnya, tidak menguasai isinya. Kini setelah digembleng oleh Puteri Mayat baru ia dapat mengerti inti dari Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat.
Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat adalah ilmu silat sakti yang diciptakan oleh Bu Kek Siansu, seorang manusia dewa yang selain sakti dalam ilmu silat, juga seorang ahli dalam ilmu sastra. Oleh kakek dewa ini kedua ilmu itu digabungkan sehingga dalam gerakan ilmu silat itu dimasukkan unsur-unsur keindahan tulisan, seolah-olah yang menggunakan ilmu silat ini sedang mencoret-coret tulisan huruf indah di udara. Karena inilah maka disebut Hong-in-bun-hoat (Ilmu Silat Sastra Angin dan Awan).
Dahulu jika Lulu bersilat, kelihatannya hanya indah sehingga oleh Han Han dikatakan sebagai tarian. Kini setelah mengetahui inti sari ilmu itu, setiap gerakan Lulu adalah didasari goresan menulis huruf. Di jaman dahulu, Ilmu Hong-in-bun-hoat ini oleh Bu Kek Siansu hanya diturunkan kepada pendekar sakti Suling Emas. Kemudian diajarkan pula kepada muridnya yang terkasih, yaitu Kam Han Ki yang kini menjadi Koai-lojin. Oleh Kam Han Ki inilah ilmu itu disusun menjadi kitab yang dipelajari Lulu.
Selain dilatih ilmu silat yang pada dasarnya telah dipelajari Lulu ini, juga Nenek Maya menurunkan ilmu yang amat dahsyat, yaitu ilmu Toat-beng-bian-kun (Ilmu Silat Tangan Kapas) yang kelihatannya dimainkan tanpa tenaga, dengan kedua tangan berubah sehalus kapas, namun mengandung inti tenaga sinkang yang dapat menahan tenaga sinkang lawan yang kuat.
Lulu amat berbakat dan juga amat cerdik sehingga dalam waktu singkat, hanya beberapa bulan saja, ia telah dapat menguasai kedua ilmu itu sehingga tingkat kepandaiannya melonjak cepat bukan main. Hal ini adalah karena ia telah memiliki tenaga sinkang murni yang ia dapatkan ketika bersama Han Han melatih diri di Pulau Es.
Ada pun Nirahai yang memang tadinya sudah lihai bukan main sebagai pewaris ilmu-ilmu dahsyat dari Mutiara Hitam, yang dahulunya menjadi ilmu-ilmu tangguh dari tokoh wanita perkasa Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian ibu kandung Suling Emas, kini setelah digembleng oleh Nenek Maya, kepandaiannya pun meningkat secara hebat sekali.
Bahkan ia telah dilatih untuk mainkan ilmu pedang Pat-sian Kiam-hoat yang dimainkan dengan suling emas yang dipinjamnya dari Gu Toan si kakek bongkok penjaga kuburan Suling Emas. Kini dara perkasa ini menguasai dua ilmu pedang yang sebenarnya berlawanan, yaitu Pat-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Iblis) dan Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa). Dengan penggabungan dari kedua ilmu pedang yang berlawanan ini dapat dibayangkan betapa lihainya Puteri selir Kaisar Mancu ini.
Makin lama Lulu makin betah tinggal di istana yang indah dan mewah, juga yang mencukupi segala kebutuhannya. Apa lagi Nirahai amat baik kepadanya, memperlakukannya sebagai adik sendiri. Dan memang sesungguhnya Nirahai amat mencinta Lulu sehingga Lulu yang halus perasaannya itu membalas kasih sayang suci-nya. Mereka amat rukun dan kerukunan ini mempengaruhi juga pendirian Lulu tentang pertentangan antara Kerajaan Mancu dan pemberontak yang berpusat di Se-cuan. Memang pada mulanya, secara terus terang ia berani menentang Nirahai dengan mengemukakan pendapatnya yang timbul dari pengalamannya.
“Suci, sebetulnya aku tidak ingin mencampuri tugas Suci sebagai puteri Kaisar dan sebagai pemimpin para pengawal. Akan tetapi karena Suci ingin mengajak aku membantu, perlu kuberitahukan kepadamu bahwa aku tidak mempunyai kesan baik terhadap sepak terjang bangsaku sendiri!”
Nirahai memandang tajam dan berkata, “Sumoi, lupakah engkau bahwa keluarga orang tuamu dibasmi oleh para pemberontak? Kalau engkau tidak memiliki kesetiaan dan kebaktian kepada bangsa dan negara, hal itu masih dapat kumengerti karena sejak kecil engkau hidup sebatang-kara bahkan kemudian menjadi adik angkat kakakmu Han Han. Akan tetapi, aku tidak percaya bahwa engkau akan melupakan ayah bundamu yang tewas oleh para pemberontak. Aku tidak percaya bahwa engkau akan tidak berbakti kepada orang tuamu!”
Lulu mengerutkan alisnya yang hitam. Sepasang matanya memandang Nirahai dengan mata terbelalak. “Yang kau katakan pemberontak itu sebetulnya adalah pejuang-pejuang yang baik, Suci. Sebaliknya, dengan mata kepala sendiri aku menyaksikan betapa kejamnya tentara Mancu yang membunuhi rakyat yang tak berdosa, memperkosa, merampok, membunuh seperti sekawanan binatang buas saja.”
“Hemmm, pendirianmu itu salah sungguh pun aku tidak sangsi akan keteranganmu tentang perbuatan sebagian tentara yang kejam. Akan tetapi, apakah kau anggap bahwa perbuatan para pemberontak yang membunuhi ayahmu sekeluarga itu juga tidak kejam?”
“Memang kuakui bahwa mereka telah membunuh orang tuaku bahkan telah kudapatkan pembunuhnya. Akan tetapi ternyata dia seorang gagah yang melakukan pembunuhan itu demi perjuangan, demi pembelaan terhadap bangsa mereka. Sama sekali tidak terkandung hati benci di dada mereka terhadap perorangan, bahkan mereka tidak mengenal orang tuaku yang tewas sebagai akibat perang.”
Nirahai mengangguk-angguk. “Memang aku percaya benar demikian. Akan tetapi engkau pun lupa bahwa aku dan teman-teman yang memimpin usaha penindasan para pemberontak pun terdorong oleh tugas membela bangsa dan negara! Aku seorang bangsa Mancu, kalau aku tidak membela bangsa Mancu, habis bagaimana? Engkau pun seorang gadis Mancu, sudah selayaknya kalau engkau membantu perjuangan bangsa sendiri. Kini para pemberontak yang bersarang di Se-cuan harus dihancurkan, kalau tidak, perang tidak akan pernah terhenti dan penderitaan rakyat pun takkan dapat dihabiskan. Kalau kau menganggap bahwa orang tuamu tewas dalam perang dan engkau tidak menaruh dendam perorangan, engkau pun harus dapat mengerti bahwa perbuatan tentara-tentara kita itu pun adalah akibat perang dan bukan merupakan perbuatan kejam perorangan, melainkan kekejaman perang. Akan tetapi percayalah bahwa pimpinan kita tidak menghendaki hal demikian itu terjadi. Hal itu hanya terjadi sebagai akibat-akibat yang berkelebihan dari perang yang memang ganas.”
Lulu merasa terdesak karena pikirannya yang cerdik dapat menangkap kebenaran-kebenaran dalam ucapan Nirahai.
“Apakah engkau percaya bahwa aku adalah seorang manusia yang begitu curang sehingga sudi mengadu domba Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai kalau bukan karena hal itu kuanggap sebagai taktik perjuangan? Aku tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan mereka, bahkan aku mengagumi tokoh-tokoh dan pendekar-pendekar dari kedua partai itu. Akan tetapi, sebagai pejuang untuk negaraku, aku melihat bahaya besar kalau sampai kedua partai yang kuat itu membantu pemberontak, maka jalan satu-satunya adalah mengadu domba mereka agar mereka tidak berkesempatan membantu pemberontak sehingga kedudukan para pemberontak tidak begitu kuat, mudah dihancurkan. Aku tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan dua tokoh di antara Siauw-lim Chit-kiam yang kukagumi karena kegagahan mereka, akan tetapi aku membunuh mereka sebagai musuh negara, bukan sebagai musuhku!”
“Kalau seorang saudaramu kebetulan memihak pejuang yang menentang kerajaan, apakah engkau juga akan membunuhnya, Suci?”
“Tentu saja! Kalau dia memihak pemberontak, dia berarti menjadi musuh negara! Bagi seorang pejuang yang mencinta bangsa dan negaranya, musuh sendiri bisa dimaafkan, akan tetapi musuh negara tidak!”
“Wah, kejinya! Aku benci...! Aku benci perang!” Lulu mencela, teringat akan kakaknya. Kalau Han Han kebetulan membantu pejuang, apakah dia pun harus memusuhi kakak yang disayangnya itu? Tidak mungkin!
Nirahai merangkul leher Lulu dan mengecup pipinya. “Adikku yang baik, siapakah orangnya yang mencinta perang? Hanya orang gila yang miring otaknya saja yang tidak membenci perang. Aku pun benci dengan perang. Aku pun rindu akan perdamaian di mana hidup manusia ini tenang tenteram, di mana nyawa manusia dihargai, di mana hak hidup seorang manusia lebih terjamin, di mana harga seorang manusia lebih dinilai tinggi. Akan tetapi, perang timbul bukan atas kehendak seseorang, dan kalau sudah timbul dan kita terseret di dalamnya, hanya dengan kemenangan saja perang itu dapat dihentikan! Menang atau kalah! Itulah persoalannya, dan sekuat tenaga tentu saja kita ingin menang. Dengan kemenangan, atau pun dengan kekalahan, perang baru habis dan timbul perdamaian. Percayalah, aku ingin sekali menikmati masa damai di mana kita tidak akan bicara tentang bunuh-membunuh, tentang siasat-siasat curang, tentang taktik-taktik memalukan dan sebagainya. Peri-kemanusiaan akan dijunjung tinggi oleh setiap orang. Akan tetapi untuk mendapatkan perdamaian itu, sekarang kita semua harus mengerahkan tenaga untuk menumpas musuh sehingga perang pun terhenti.”
Lulu termenung. Ucapan suci-nya itu meresap ke dalam hatinya dan diam-diam ia kagum sekali. Suci-nya ini cantik, berkedudukan tinggi, berpengaruh dan berkuasa, juga memiliki pandangan yang luas seperti kakaknya. Han-koko! Ah, alangkah cocoknya kalau Han-koko dapat menjadi suami Nirahai! Pikiran yang tiba-tiba menyelinap di kepalanya yang kecil itu membuat ia serta-merta bertanya.
“Suci, kalau begitu engkau tidak mempunyai rasa benci perorangan kepada bangsa pribumi?”
Nirahai mengangkat alisnya. “Eh? Tentu saja tidak!”
“Juga kepada para pejuang kau tidak benci?”
Nirahai tersenyum dan menggeleng kepalanya. “Tidak sama sekali, Sumoi. Bahkan aku merasa kagum akan kebudayaan mereka, akan kegagahan para pendekar. Bagaimana aku bisa membencinya kalau tokoh-tokoh perkasa yang kukagumi seperti Suling Emas, Mutiara Hitam dan lain-lain adalah bangsa Han juga? Malah aku adalah keturunan Khitan, dan karena Kerajaan Khitan memiliki darah campuran dengan bangsa Han, kaisar wanita Khitan adalah isteri Suling Emas, sedikit banyak ada pula darah Han di tubuhku.”
“Wah, kalau begitu, tentu engkau tidak akan keberatan kalau menikah dengan seorang bangsa Han, bukan?”
Kembali Puteri cantik itu membelalakkan matanya, lalu tertawa geli mencubit pipi dan Lulu. “Huh, engkau menggemaskan dan genit, Sumoi. Bertanya yang bukan-bukan!”
Akan tetapi Lulu mendesak, “Aku tidak main-main, Suci, melainkan benar-benar ingin mengetahui isi hatimu. Bagaimana, andai kata engkau menikah dengan seorang pribumi, apakah engkau akan merasa terlalu rendah?”
Nirahai menghela napas panjang. “Ratu Khitan dahulu menikah dengan Suling Emas seorang pendekar Han. Aku tidak memandang rendah bangsa Han, apa alasanku untuk merasa rendah? Akan tetapi adikku yang nakal, pernikahan harus berdasarkan cinta kasih kedua pihak, tanpa cinta mana bisa hidup bahagia sebagai suami isteri? Pula, aku seujung rambut pun belum memikirkan hal itu. Perang belum berakhir, mana bisa berpikir tentang cinta dan pernikahan?”
Lulu memandang dengan wajah berseri. “Wah, engkau tentu akan menjadi seorang isteri yang hebat, Suci! Dan menurut pandanganku, engkau hanya patut menjadi isteri seorang yang paling mulia di dunia ini!”
“Hi-hik, kau lucu! Siapa yang paling mulia di dunia ini? Raja kahyangan?”
“Bukan, Suci. Bukan raja bukan pangeran. Orang biasa saja, seorang pria sederhana, yang budiman, gagah perkasa, tampan, seorang yang semulia-mulianya di dunia ini...” Pandang mata Lulu merenung jauh, matanya bersinar-sinar.
“Siapa dia?”
“Han-koko!”
“Aihhh..., kakak angkatmu itu? Pewaris pusaka Pulau Es? Hemmm, engkau berkelakar, Sumoi.”
“Tidak, suci. Dia seorang yang semulia-mulianya, tiada keduanya di dunia ini. Dan hanya dialah yang paling patut menjadi suamimu!”
Nirahai tersenyum dan menarik napas panjang. “Sumoi, enak dan mudah saja kau bicara. Aku belum melihat dia, dia pun belum pernah melihat aku. Andai kata kami saling bertemu, belum tentu pula dia dan aku akan saling jatuh cinta.”
“Pasti!” Lulu berteriak. “Pria mana yang takkan jatuh hati melihat engkau? Termasuk kakakku. Dan wanita mana yang tidak akan mencintanya? Sekali bertemu dengan dia, aku tanggung engkau akan terjungkir balik...!”
“Hahhh...? Kau anggap aku selemah itu mudah dijungkir-balikkan?” Nirahai menantang akan tetapi pandang matanya berseri tanda bahwa dia tidak merasa direndahkan oleh sumoi-nya yang nakal itu.
“Eiiit-eiit-eiiitttt, sabar, Suci! Bukan orangnya yang dijungkir-balikkan, akan tetapi hatimu! Engkau tentu akan jatuh bertekuk lutut...”
“Heiiiii...?”
“Yang bertekuk lutut hatimu, engkau akan jatuh cinta...”
“Sudah, sudah... Eh, Sumoi, engkau mencinta betul kepada kakakmu itu, ya?”
Lulu mengerutkan keningnya dan menjawab sungguh-sungguh, “Aku mencintanya dengan seluruh jiwa ragaku, Suci. Tidak ada yang lebih kucinta dari pada Han-koko.”
“Nah, nah... kalau begitu engkaulah yang patut menjadi isterinya!”
Lulu meloncat bangun seperti diserang ular berbisa. “Suci, engkau gila...?”
Nirahai menuding-nuding telunjuknya ke hidung Lulu. “Eh, eh, beginikah sikap seorang Sumoi? Bocah kurang ajar, engkau memaki Suci-mu gila?” Akan tetapi mata yang tajam bening itu masih berseri, tidak marah.
“Eh, eh maaf, Suci. Maksudku, perkataan Suci itu benar-benar tidak masuk akal. Dia itu kakakku, ingat? Jangan bicara begitu, aku marah, Suci!”
“Sudahlah, maafkan aku. Kita lihat saja nanti, apakah kakakmu itu benar-benar sehebat yang kau banggakan dan pamerkan.”
“Aku tanggung engkau akan kagum! Bahkan wanita-wanita pendekar yang cantik jelita tergila-gila kepadanya. Seperti Hoa-san Kiam-li, seperti Enci Sin Lian...” tiba-tiba Lulu terhenti dan teringat, wajahnya menjadi seperti kaget, matanya merenung dan kedua pipinya merah. Ia teringat betapa ia pernah bicara dengan Lu Soan Li tentang kakaknya, bahkan ia telah menawarkan kakaknya itu menjadi suami Lauw Sin Lian. Kini dia menawarkan kakaknya menjadi suami Nirahai! Wah, tanpa disadarinya ia telah menjadi perantara dari tiga orang gadis!
“Ada apakah, Sumoi?” Nirahai bertanya ketika melihat perubahan pada wajah sumoi-nya yang termenung seperti orang bingung.
“Ti... tidak apa-apa, suci.”
“Engkau memang aneh, mari kita berlatih saja agar kelak kalau kakakmu datang, tidak mudah bagi dia untuk menjungkir-balikkan aku, hi-hik!”
Akan tetapi Lulu masih termenung. “Suci, bagaimana kabarnya dengan usahamu menyelidiki tentang dia?”
Nirahai menarik napas panjang. Hampir setiap hari ia dibikin repot oleh pertanyaan Lulu. Tentu saja dia sudah menyelidiki dan malah sudah mendengar tentang keributan yang ditimbulkan oleh Han Han di rumah Pangeran Ouwyang Cin Kok, betapa kemudian Han Han ditangkap ketika dikeroyok oleh Toat-beng Ciu-sian-li dan Gak Liat, lalu dibawa pergi oleh nenek itu.
Dia sudah pula menyuruh orang menyelidiki ke In-kok-san, akan tetapi karena keadaan di situ dapat dikatakan menjadi sarang musuh, amatlah sukar menyelidik ke sana dan tidak ada penyelidik yang tahu apa yang terjadi dengan diri Han Han. Hanya diketahui bahwa pemuda itu lenyap, entah masih hidup entah sudah mati. Tentu saja ia tidak menceritakan semua itu kepada Lulu, hanya menceritakan bahwa ketika dikeroyok Oleh Ma-bin Lo-mo dan Gak Liat seperti yang diketahui Lulu ketika ditangkap Ouwyang Seng, pemuda itu dapat melarikan diri.
“Sampai sekarang belum ada beritanya, sumoi. Kakakmu itu orang aneh sekali, dan entah menghilang ke mana. Akan tetapi aku masih mengirim penyelidik ke semua jurusan.”
Demikianlah, Lulu berlatih terus bersama Nirahai dan ilmu kepandaiannya meningkat secara hebat sehingga diam-diam Nirahai sendiri menjadi kagum. Puteri yang sakti ini maklum bahwa kalau dia sendiri tidak digembleng oleh Maya, kiranya kepandaian Lulu sekarang sudah melampaui tingkatnya ketika ia belum menjadi murid nenek sakti itu.
Setahun mereka berlatih tekun. Pada suatu hari, Nirahai pulang dari pertemuannya dengan para pembantunya, langsung mengunjungi Lulu yang sedang berlatih di depan Nenek Maya di kebun bunga belakang tempat tinggal mereka di lingkungan istana. Wajah Nirahai tampak tegang dan datang-datang berkata.
“Wah, kembali pasukan-pasukan kita terpukul mundur di Se-cuan! Di sana berkumpul banyak sekali orang pandai sehingga kini Kang-thouw-kwi Gak Liat sendiri mengirim berita minta bantuan orang-orang pandai. Agaknya teecu sendiri harus berangkat ke sana, Subo. Dan mengingat bahwa di pihak musuh banyak terdapat orang sakti, teecu mengharap Subo dan Sumoi suka pula membantu.”
Nenek Maya tersenyum. “Aku sudah tua untuk berperang. Engkau berangkatlah bersama Lulu, dan aku sendiri akan keluar dari istana karena sudah bosan di sini. Kelak kalau ada waktu aku akan menyusul ke sana, hanya untuk melihat-lihat.”
Nirahai tidak berani memaksa. “Sumoi, sekali ini, Suci-mu benar-benar membutuhkan bantuanmu. Tentu engkau suka membela bangsa dan negara, bukan? Selain itu, hanya daerah barat yang belum diselidiki. Siapa tahu kita akan dapat mendengar tentang kakakmu di barat.”
Memang Nirahai pandai sekali. Dia mendengar akan munculnya seorang panglima musuh yang berkaki buntung, yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Dia menduga bahwa pemuda buntung itu agaknya Han Han, akan tetapi ia ragu-ragu karena kalau Han Han, mengapa kakinya buntung? Pula, kalau ia menceritakan hal ini kepada Lulu dan sumoi-nya itu kemudian menduga bahwa Han Han membela musuh, agaknya akan sukar mengajaknya untuk membantu.
Lulu mengangguk. “Baiklah, Suci. Biar pun aku juga seperti Subo, tidak suka perang, akan tetapi biarlah aku hitung-hitung membalas budimu.”
Nenek Maya lalu meninggalkan istana dan mendapat kehormatan besar karena kaisar sendiri mengantar keberangkatannya dengan pesta perpisahan. Kemudian tiga hari berikutnya, Puteri Nirahai bersama Lulu berangkat ke Se-cuan, memimpin sebuah pasukan besar. Puteri Nirahai nampak gagah sekali dengan pakaian perangnya, gagah dan cantik jelita. Ada pun Lulu yang tidak mau memakai pakaian perang, tidak mau pula menerima pangkat panglima, berpakaian biasa yang ketat dan dia menunggang kuda di samping Nirahai.
Banyak orang di sepanjang jalan mengelu-elukan keberangkatan Puteri Nirahai yang telah banyak dikenal. Akan tetapi mereka kagum dan heran melihat seorang gadis cantik berpakaian biasa yang berkuda di samping puteri itu, karena memang selama berada di kota raja, Lulu tidak pernah keluar dari istana, juga Puteri Nirahai diam-diam mengatur agar kehadiran Lulu di kota raja tidak sampai diketahui orang. Hal ini untuk menjaga agar gadis itu tidak dicari oleh Han Han atau oleh para pejuang yang menganggap gadis itu sudah menjadi sekutu mereka.....
********************
Bagaimanakah ada berita bahwa pemuda buntung yang amat lihai menjadi panglima musuh di Se-cuan? Siapakah pemuda buntung ini? Dia itu bukan lain adalah Han Han! Seperti kita ketahui, setelah membunuh jai-hwa-cat yang berusaha memperkosa nikouw di Kwan-im-bio, di mana Han Han hancur hatinya menghadapi pertemuannya dengan Kim Cu, pemuda ini lalu melanjutkan perjalanannya ke kota raja.
Mungkin karena kakinya yang buntung, juga karena ketika dahulu berada di kota raja ia tidak menimbulkan kecurigaan kecuali hanya rasa kasihan yang timbul di hati orang yang melihat kakinya yang buntung, akan tetapi kebuntungan kakinya pun tidak menimbulkan keheranan, karena di masa itu perang telah menimbulkan banyak mala petaka sehingga banyak terdapat orang yang buntung kakinya, tangannya, atau cacat tubuhnya.
Pada malam harinya Han Han mempergunakan kepandaiannya. Tanpa terilhat oleh seorang pun penjaga, ia meloncat ke atas rumah enci-nya, yaitu rumah gedung Giam-ciangkun, perwira she Giam, kakak iparnya atau suami enci-nya. Menjelang tengah malam itu keadaan sunyi sekali dan ketika ia mengintai kamar enci-nya yang ia sudah hafal karena ia pernah tinggal di rumah gedung ini, ia menjadi girang melihat enci-nya tidur berdua saja dengan Giam Kwi Hong, puteri enci-nya itu yang kini sudah berusia hampir lima tahun. Cepat ia menyelinap masuk dan dengan hati-hati ia membangunkan enci-nya dengan jalan memijit ibu jari kaki enci-nya.
Sie Leng terbangun, kaget ketika melihat wajah Han Han yang dikenalnya betul, cepat bangkit duduk dan membetulkan pakaiannya. Han Han menaruh telunjuk ke depan bibirnya dan berbisik.
“Leng-cici, aku datang...”
Sie Leng kini sudah sadar betul, melihat adiknya dan matanya terbelalak ketika melihat kaki Han Han.
“Adik Han... kaki... kakimu...!”
“Ssttttt... tidak apa-apa, Enci. Aku hanya ingin bicara denganmu sebentar. Di mana dia... eh... suamimu?” Berat rasa lidah Han Han untuk menyebut Perwira Giam Cu sebagai cihu (kakak ipar).
“Dia... dia sudah sebulan... berangkat ke Se-cuan...” Sie Leng memandang khawatir sekali karena takut kalau-kalau adiknya masih mendendam.
Han Han bernapas lega, kemudian duduk di atas bangku. Sie Leng duduk di ranjang, menengok puterinya. Melihat puterinya tidur nyenyak, ia lega dan menoleh kepada adiknya.
“Han Han, engkau pergi tanpa pamit. Kata cihu-mu, engkau mencari adik angkatmu...”
“Cici, kedatanganku ini memang untuk bertanya kepadamu. Pertama, tahukah engkau tentang Lulu, adik angkatku itu?”
Sle Leng menggeleng kepala. “Adikmu itu aneh seperti engkau. Dia menjadi pelayan istana lalu tiba-tiba lenyap, melarikan diri! Semenjak itu, tidak ada lagi yang tahu di mana dia berada, dicari oleh sepasukan pun tidak dapat ditemukan.”
Han Han tersenyum. Lega dadanya bahwa adiknya tidak berada di istana. Memang ia sudah menduga akan hal ini.
“Sekarang pertanyaan kedua, Enci, dan kuharap Enci benar-benar akan jujur dan memenuhi permintaanku, menjawab pertanyaanku secara jujur. Di manakah tempat tinggal Giam Kok Ma, bedebah yang dahulu memperkosa Ibu kita, perwira muka kuning itu?”
“Han-te...! Apa yang akan kau lakukan?”
“Apa yang akan kulakukan tak perlu kau ketahui, Enci, dan juga bukan urusanmu lagi. Aku bersumpah bahwa engkau tidak akan tersangkut. Katakanlah, di mana dia dan di mana pula lima orang perwira yang lain, yang dahulu ikut bersama suamimu membasmi keluarga kita?”
Pucat wajah Sie Leng. Ia merasa takut kalau-kalau adiknya itu akan mengamuk. Apa dayanya seorang yang buntung? Kalau adiknya tertangkap dan dihukum mati, ahhh... ia merasa ngeri dan otomatis ia menggeleng-geleng kepalanya.
“Enci, dengarlah!” Han Han berkata tak sabar. “Aku sudah melupakan perbuatan suamimu terhadap engkau, aku sudah mengampunkan dia. Akan tetapi aku minta ganti! Enam orang perwira yang lain harus dapat kuketahui tempat tinggalnya, dan engkau harus memberi tahu aku. Harus, kau dengar? Kalau engkau tidak mau memberitahukan di mana adanya enam orang perwira terkutuk itu, demi Tuhan, terpaksa aku akan mencari dan membunuh suamimu!”
“Tidak...! Jangan...!” Sie Leng berteriak, menjerit kecil dan anaknya terbangun. Bocah itu bangkit duduk dan melihat Han Han ia terbelalak memandang.
“Eh, Ibu? Siapakah dia ini? Apa dia mengganggu Ibu? Awas, siapa yang mengganggu Ibu, akan kubunuh!” Kwi Hong yang masih kecil itu sudah berdiri dan mengepal tinjunya. Han Han memandang dengan mata terbelalak penuh kekaguman.
“Lihat, Enci. Puterimu lebih berbakti dari padamu!”
Encinya memangku Kwi Hong, menciumnya dan berbisik, “Husshhhh, dia ini Pamanmu, tidak akan mengganggu Ibu. Tidurlah, Nak...!” Setelah ditepuk-tepuk pahanya, anak yang masih mengantuk itu tertidur kembali dan dibaringkan oleh ibunya.
“Han Han, jangan kira bahwa aku tidak punya semangat. Aku tidak berdaya, akan tetapi kutanamkan sejak kecil di dalam hati Kwi Hong bahwa dia harus menjadi anak yang berbakti, yang akan membela ayah bundanya dengan taruhan nyawa, tidak seperti aku...!” Ia menangis pula.
“Syukurlah kalau begitu. Sekarang katakan, di mana adanya enam orang perwira musuh kita itu?”
“Han Han, apa dayamu menghadapi mereka? Apa lagi kakimu sudah buntung...”
“Jangan khawatir, setelah kakiku buntung, aku malah lebih banyak harapan untuk membalas dendam. Di mana mereka?”
Setelah menarik napas panjang berulang kali, Sie Leng lalu berkata, “Giam Kok Ma berada di kota raja. Gedungnya tidak jauh dari sini, di sebelah utara, gedung besar yang ada arca singa batu di depannya...” Ia berhenti sebentar. “Akan tetapi, engkau tidak akan menemukan dia di gedungnya, dia pun bersama cihu... eh, dengan suamiku, telah berangkat sebulan yang lalu ke Se-cuan. Dia dan suamiku adalah perwira-perwira pasukan tempur yang kini berangkat untuk menggempur Se-cuan.”
Hati Han Han kecewa sekali akan tetapi ia percaya akan keterangan enci-nya.
“Dan siapakah perwira-perwira yang lain, yang lima orang itu? Di mana mereka?”
“Ohhh... Han Han, mengapa engkau berkeras hendak membalas dendam? Mereka adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan besar, banyak pengawalnya dan... dan engkau sudah... sudah buntung begini...”
“Sudahlah, Cici. Lekas katakan. Di mana mereka yang lima orang itu!”
“Ahhh, aku tidak tahu... aku hanya berhasil tahu dari suamiku bahwa seorang di antara mereka itu adalah Su-ciangkun yang kini memimpin pasukan melakukan pembersihan terhadap para pemberontak, entah di mana. Han Han, sungguh... biar pun aku tidak pernah mempunyai harapan untuk menuntut balas kehancuran keluarga kita, namun dengan susah payah aku dahulu selalu membujuk suamiku agar menerangkan nama mereka itu, dan agar suamiku suka membalaskan dendamku. Akan tetapi dia selalu mencelaku dan mengatakan bahwa peristiwa itu sudah jamak terjadi di dalam perang. Maka aku hanya berhasil mengenal Giam Kok Ma dan Su-ciangkun yang tak kuketahui nama lengkapnya itu, orangnya tinggi besar, jalannya agak pincang. ada pun empat orang lainnya aku sungguh tidak tahu.”
Han Han mengerutkan alis. Benar-benar amat sukar membalas dendam keluarganya, pikirnya murung. Yang seorang adalah suami enci-nya sendiri. Yang ke dua sedang pergi ke Se-cuan, yang ke tiga bernama Su-ciangkun tidak diketahui ke mana perginya. Bahkan empat orang yang lain tidak dikenal, tidak diketahui namanya. Akan tetapi ia merasa yakin bahwa sekali bertemu dengan mereka, dia tentu akan mengenal mereka, musuh besarnya itu!
Tidak ada jalan lain. Satu-satunya cara adalah menangkap dulu seorang di antara mereka dan memaksanya mengaku dan menunjukkan siapa adanya teman-temannya yang dahulu melakukan pembasmian terhadap keluarganya. Kalau dia tidak berhasil menangkap seorang di antara mereka, apa boleh buat, ia akan menangkap dan memaksa Giam Cu, kakak iparnya sendiri dan memaksa keterangan tentang enam orang musuh besarnya dari mulut suami enci-nya itu.
“Leng-cici, jagalah dirimu dan anakmu baik-baik. Aku pergi...”
“Han Han...!” Sie Leng mengeluh perlahan, akan tetapi ia hanya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu adik kandungnya yang buntung itu telah lenyap dari kamar itu.
Sie Leng lari ke jendela, melongok keluar, akan tetapi sunyi saja di luar jendela dan tidak ada suara sedikit pun. Mimpikah dia? Atau benarkah Han Han tadi yang datang? Adiknya yang sudah buntung kakinya? Adik kandungnya yang demikian sengsara dan berkeras hendak menuntut balas atas kehancuran keluarga mereka? Sie Leng merintih dan menjatuhkan diri di atas pembaringan, merangkul Kwi Hong dan menangis terisak-isak.
Han Han keluar dari gedung enci-nya dan cepat berkelebat keluar melalui atap-atap rumah di kota raja, menuju ke luar kota raja. Di atas atap rumah yang tinggi ia berhenti sebentar, termenung dan bingung. Rumah-rumah di kota raja demikian indah-indah dan tinggi, namun dalam waktu tengah malam itu amat sunyi seolah-olah kosong. Ke mana ia harus pergi? Dia tidak berhasil menemukan musuh-musuhnya, juga tidak mendengar tentang Lulu, hanya tahu bahwa Lulu telah pergi dari istana seperti yang diceritakan enci-nya. Ke manakah adiknya pergi?
Kalau saja Han Han tahu bahwa pada saat itu, Lulu sedang tidur nyenyak di sebuah kamar di istana bersama Puteri Nirahai! Ternyata kehadiran Lulu di istana dirahasiakan benar oleh Nirahai sehingga Nyonya Giam Cu atau Sie Leng itu sendiri tidak mengetahuinya.
Setelah menghela napas berulang kali, Han Han melanjutkan perjalanannya, dengan ilmu kepandaiannya yang hebat ia berhasil keluar dari kota raja melalui temboknya yang tinggi itu tanpa terlihat oleh para penjaga. Setelah tiba di luar kota raja sebelah barat, ia berlari terus dan akhirnya ia mengaso di sebuah kuil tua yang tidak dipergunakan lagi, yang berada di pinggir jalan dekat hutan yang sunyi. Saking lelah dan kecewa hatinya, sebentar saja Han Han tidur nyenyak.
Menjelang pagi, telinganya yang tajam mendengar suara derap kaki kuda yang membuatnya terbangun. Derap kaki kuda yang datang dari arah kota raja ini berhenti di depan kuil dan terdengar suara dua orang bicara.
“Kenapa berhenti di sini?”
“Aku lelah sekali, kita mengaso sebentar. Celaka, malam tadi semalaman aku tak dapat tidur dan kalau tidak mengaso dan tidur sebentar di sini, aku akan mati kelelahan...”
“Ha-ha-ha, agaknya engkau tidak tidur semalam suntuk di rumah selirmu!”
“Tidak salah. Karena menerima tugas berat, aku berpamit dan dia... ha-ha, dia minta ditemani semalam suntuk. Mana aku tega meninggalkannya?”
“Ha-ha-ha, engkau terlalu. Menghadapi tugas berat masih sempat bersenang-senang. Baiklah, Loheng, akan tetapi jangan terlalu lama berhenti di sini. Kalau kita diketahui, leher kita akan putus!”
Agaknya mereka mengikat kendali kuda di depan. Tak lama kemudian Han Han yang sudah meloncat ke atas dan bersembunyi mendengar suara kaki kuda orang itu memasuki kuil. Cuaca masih gelap sekali, akan tetapi dua orang itu tidak peduli, terus saja masuk dan duduk di ruangan dalam yang merupakan satu-satunya ruangan yang terlindung dari angin dan debu. Seorang di antara mereka terus saja merebahkan diri dan tidur mendengkur, sedangkan yang seorang lagi duduk bersandar dinding.
Kira-kira dua jam kemudian, orang yang duduk itu mengguncang-guncang tubuh temannya. “Loheng, bangunlah. Matahari telah naik tinggi! Ingat, tugas kita amat penting dan kalau kita ketahuan berhenti terlalu lama, benar-benar kita akan dihukum berat!”
Temannya bangun, menguap dan menggosok-gosok kedua matanya yang merah. “Aaaaahhh... sedang enak-enak mimpi dengan dia kau bangunkan, Sam-te!”
“Wah, engkau benar tidak ada puas-puasnya! Sudah bersenang-senang semalam suntuk masih dilanjutkan dengan mimpi lagi! Hayo!”
Mereka berdua segera keluar dari kuil tua, melepaskan kendali kuda, meloncat dan membedal kuda mereka ke selatan. Han Han yang menjadi tertarik melihat bahwa mereka adalah dua orang yang berpakaian pengawal istana, diam-diam membayangi mereka. Dia tidak tahu mengapa ia membayangi mereka, dan apa perlunya. Akan tetapi karena dia sendiri pun bingung ke mana harus mencari musuh-musuhnya dan adiknya, maka ia membayangi dua orang pengawal itu untuk melihat apakah tugas mereka yang begitu penting dan ke mana mereka hendak pergi. Ternyata kemudian olehnya bahwa dua orang pengawal itu membalapkan kuda melalui sepanjang Terusan Besar yang menghubungkan kota raja dengan kota Thian-cin, kemudian terus ke selatan.
Di kota Thian-cin, dua orang pengawal itu hanya berganti kuda, setelah makan mereka melanjutkan perjalanan ke selatan. Han Han yang tidak mempunyai pegangan terus membayangi mereka tanpa kesulitan. Biar pun kakinya buntung sebelah, namun amat mudah bagi pemuda sakti ini kalau hanya membayangi larinya kuda.
Hujan lebat membuat dua orang itu terpaksa menghentikan perjalanan mereka di sebuah hutan. Sebuah pondok butut yang dibangun secara darurat oleh kaum pemburu kini mereka pakai untuk berlindung dari air hujan yang turun seperti dituangkan dari langit. Sambil berlindung mereka bercakap-cakap.
“Eh, Loheng, yakin benarkah kau bahwa Su-ciangkun bermarkas di tepi Huang-ho, di pinggir terusan?”
“Tidak salah lagi. Keterangan yang kudapat di Thian-cin meyakinkan. Memang tadinya Su-ciangkun melakukan operasi di perbatasan Propinsi Shan-tung selatan, akan tetapi kini mulai kembali ke utara dan melakukan pembersihan di sepanjang terusan yang sering mengalami gangguan para pemberontak.”
“Heran benar itu pemberontak, mengapa tiada habis-habisnya? Mereka berpusat di Se-cuan dan Se-cuan sendiri selalu dikurung dan digempur pasukan-pasukan kita. Kenapa masih ada di daerah ini? Sungguh memusingkan!”
“Mereka itu tentulah dikemudikan dari Se-cuan, mereka bertugas sebagai mata-mata dan juga untuk melakukan kekacauan. Kalau Se-cuan sudah dihancurkan, tentu yang bergerak di luar Se-cuan otomatis akan berhenti. Dan aku yakin, kalau Puteri Nirahai sendiri yang turun tangan memimpin pasukan menyerbu Se-cuan, menaklukkan daerah pemberontak itu akan sama mudahnya dengan makan bakpauw!”
“Wah, kau terlalu, Loheng! Sudah terkenal sekali betapa Bu Sam Kwi mempunyai banyak tokoh pandai sehingga beberapa kali pasukan-pasukan pilihan kita mengalami kegagalan dan jatuh banyak korban. Masa kalau Sang Puteri yang memimpin lalu begitu gampang seperti makan bakpauw?”
“Sam-te, kau tidak tahu. Puteri Nirahai amatlah sakti. Selain memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga cerdik sekali. Tentu dia melakukan siasat, entah siasat apa pula maka beliau secara rahasia mengutus kita menyerahkan sepucuk surat kepada Su-ciangkun. Hemmm, aku mau membayar dengan tiga bulan gajiku kalau diperbolehkan membaca isi surat ini!” Orang yang dipanggil Loheng itu, yang bertubuh tinggi kurus dengan mata lebar, menepuk-nepuk saku bajunya.
“Ihhh, hati-hati, Loheng,” kata kawannya yang lebih muda dan berhidung bengkok. “Siapa tahu di sini terdapat mata-mata pemberontak!”
“Ah, andai kata ada, berani apa terhadap kita? Dia tidak tahu kita membawa surat yang penting. Kedua kalinya, dengan golokku ini sepuluh orang pemberontak akan termakan olehku. Belum engkau yang tentu akan mampu makan sepuluh orang lagi.”
“Betapa pun juga, kita harus hati-hati dan hatiku takkan lega sebelum berjumpa dengan Su-ciangkun dan menyerahkan surat itu kepadanya!” kata yang muda. “Hujan sudah mereda, hayo kita berangkat lagi, Loheng.”
Akan tetapi alangkah kaget hati kedua orang prajurit pengawal itu ketika mereka melihat seorang pemuda buntung berdiri di antara kuda mereka. Hanya sebentar mereka kaget karena mereka memandang rendah ketika melihat kaki buntung itu dan menganggap Han Han seorang pengemis.
“Heh, kau mau apa di sini?” bentak Si Tinggi Kurus.
“Bukankah kalian hendak menghadap Su-ciangkun? Aku adalah kepercayaan Su-ciangkun yang ditugaskan menyambut kalian. Bukankah kalian membawa sebuah surat dari Puteri Nirahai untuk beliau? Nah, aku yang disuruh menjemput dan menerima surat itu, karena tempat beliau tidak boleh diketahui orang!”
Dua orang itu terbelalak dan memandang tidak percaya. “Ah, apa tandanya bahwa engkau orang kepercayaan Su-ciangkun?”
Han Han tersenyum, diam-diam merasa geli karena ia sengaja memancing. “Bukankah Su-ciangkun itu orangnya kecil pendek?”
Dua orang itu kembali saling pandang, kemudian Si Tinggi Kurus membentak, “Dia tinggi besar seperti raksasa! Engkau palsu!” Sambil berkata demikian, ia mencabut goloknya dan membacok.
Akan tetapi ujung tongkat Han Han dua kali meluncur dan Si Tinggi Kurus berdiri kaku dengan golok diangkat ke atas sedangkan temannya juga berdiri kaku karena totokan ujung tongkat Han Han. Pemuda itu memang telah amat tertarik mendengar percakapan dua orang utusan Puteri Nirahai itu, apa lagi ketika mendengar disebutnya nama Su-ciangkun.
Maka ia sengaja menghadang dan sengaja memancing sehingga ia akhirnya mendapat kepastian ketika Si Tinggi Kurus menyatakan bahwa Su-ciangkun tinggi besar seperti raksasa. Tidak salah lagi, itulah orangnya yang dicari-cari. Seorang di antara tujuh orang perwira yang membasmi keluarganya! Cepat ia merenggut ke dalam saku baju Si Tinggi Besar yang memandang dengan mata melotot, mengeluarkan surat dari kota raja dan membaca tulisan pada sampulnya. Di atas ditulis dengan huruf-huruf kecil: Perintah Rahasia. Dan di depan sampul itu tercantum nama si penerima: Su Long Tek ciangkun.
Dengan sikap tenang tapi gembira Han Han membuka sampul surat itu, mengeluarkan suratnya dan membaca isinya. Ia terkejut ketika mendapat kenyataan bahwa surat dari Puteri Nirahai itu memerintahkan kepada Su-ciangkun untuk mengerahkan pasukan dan menyerbu tempat persembunyian kepala pemberontak Lauw-pangcu, ketua Pek-lian Kai-pang yang bersarang di lembah Sungai Huang-ho, yaitu di seberang kota Cin-an. Demikian jelas surat perintah itu, bahkan diberi gambar pula yang menunjukkan di mana adanya sarang Lauw-pangcu!
Diam-diam Han Han amat kagum akan ketegasan dan ketelitian surat itu. Lauw-pangcu hendak diserbu! Terbayang ia akan wajah kakek yang budiman itu, kakek yang pertama kali mengambilnya sebagai murid. Dan otomatis terbayang pula wajah Lauw Sin Lian, gadis yang dahulu merupakan seorang kawan bermain yang gembira dan lincah, akan tetapi yang pada pertemuan terakhir ini telah menjadi seorang tokoh Siauw-lim-pai yang berkepandaian tinggi dan yang marah-marah kepadanya.
Girang hati Han Han. Ada kesempatan baik baginya. Pertama untuk membalas dendam kepada Perwira Su Long Tek yang ia duga tentulah seorang di antara tujuh perwira pembasmi keluarganya, kedua ia akan dapat menyelamatkan Lauw-pangcu untuk membalas budinya, dan ketiga ia akan dapat menjelaskan persoalan yang dahulu, kesalah pahaman yang terjadi antara dia dan Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai yang diatur oleh Puteri Nirahai yang amat cerdik.
Han Han sudah mengangkat tongkatnya untuk membunuh dua orang itu. Dia harus membunuh mereka ini kalau hendak melakukan siasatnya, akan tetapi dia menahan tangannya, tidak membunuh mereka melainkan membebaskan totokan mereka. Tak mungkin ia dapat membunuh dua orang lawan yang tak berdaya. Begitu terbebas dari totokan, dua orang pengawal yang melihat betapa surat perintah rahasia itu dirampas segera berteriak marah dan golok mereka berkelebat menerjang Han Han.
Pemuda ini menjadi girang. Kalau sekarang ia melawan dan membunuh kedua lawan ini, hatinya tidak akan menyesal kelak, tidak seperti kalau dia membunuh mereka dengan darah dingin selagi mereka tak mampu bergerak. Dia teringat akan sepak terjang para prajurit Mancu yang banyak menimbulkan kesengsaraan terhadap rakyat yang tidak berdosa.
Begitu melihat golok kedua orang itu menyambar ganas, ia meloncat ke belakang. Tongkatnya bergerak menangkis, menempel kedua golok dan sekali ia menyontekkan tongkatnya, kedua buah golok itu membalik dan membacok kepada pemiliknya sendiri. Terdengar jerit dua kali dan dua orang pengawal itu roboh dengan golok masing-masing menancap dada menembus punggung. Karena tangan mereka masih menggenggam gagang golok, tampaknya mereka itu mati karena membunuh diri!
Sejenak Han Han memandang dan menghela napas. Itulah resiko orang-orang yang menjadi utusan rahasia. Andai kata mereka tidak tewas sekarang, kalau kemudian diketahui bahwa surat perintah rahasia itu hilang, tentu mereka berdua akan dihukum mati juga.
Han Han lalu berkelebat pergi, melanjutkan perjalanan ke selatan sambil membawa surat perintah itu yang dikantonginya. Memang dua orang pengawal itu mempunyai kuda yang baik, akan tetapi bagi Han Han jauh lebih leluasa berjalan dengan kaki buntungnya dari pada menunggang kuda.
Dia mengambil keputusan untuk mencari dulu tempat persembunyian Lauw-pangcu di lembah Huang-ho seperti tersebut dalam surat perintah rahasia itu, maka dengan amat cepat Han Han melanjutkan perjalanan menuju ke kota Cin-an. Menurut surat itu, sarang dari perkumpulan Pek-lian Kai-pang berada di lembah Huang-ho, di seberang kota Cin-an.
Ketika Han Han tiba di lembah Huang-ho dan berjalan menyusuri sungai besar itu di pantai utara, masuk keluar hutan seorang diri sambil menduga-duga di mana kiranya tempat yang dijadikan markas itu, tiba-tiba ia melihat beberapa orang menuju ke sebuah hutan yang besar dan penuh dengan gunung-gunung karang kecil. Melihat cara mereka berjalan cepat, pakaian mereka, dan keadaan mereka, ada yang menunggang kuda, dan sebagian besar berjalan kaki, Han Han dapat menduga bahwa mereka itu tentulah orang-orang kang-ouw. Tempat yang begini liar dan sunyi, bukan tempat bagi kaum pelancong.
Diam-diam ia membayangi beberapa orang yang bicara sambil bercakap-cakap. Karena gerakan Han Han amat luar biasa, dia dapat membayangi mereka tanpa ada yang melihat dan hatinya girang bukan main ketika mendengar percakapan di antara mereka bahwa mereka itu adalah tamu-tamu yang datang berkunjung untuk memberi selamat kepada Lauw-pangcu yang merayakan hari ulang tahunnya yang ke tujuh puluh!
Tak lama kemudian Han Han yang mengikuti orang-orang itu tiba di tengah hutan lebat. Diam-diam ia kagum menyaksikan penjagaan-penjagaan yang dilakukan oleh orang-orang berpakaian pengemis, yang boleh dikata menjaga setiap sudut hutan. Untung bahwa dia datang pada saat lembah Huang-ho itu dikunjungi banyak tamu sehingga kedatangannya itu tidak dicurigai.
Memang nama besar Lauw-pangcu terkenal sampai di mana-mana, terutama sekali di antara para tokoh kang-ouw yang menentang penjajahan bangsa Mancu. Kakek ketua Pek-lian Kai-pang ini selain terkenal sebagai seorang ketua berpengaruh dari perkumpulan pengemis itu, sebagai seorang pendekar budiman, juga akhir-akhir ini namanya menjulang tinggi sebagai seorang patriot yang menentang kaum penjajah dengan mengorbankan banyak sekali anggota Pek-lian Kai-pang.
Ketika mereka semua itu tiba di markas kaum Pek-lian Kai-pang, Han Han menjadi kagum dan juga terharu. Ia kagum menyaksikan kehadiran tamu para tokoh kang-ouw yang ratusan orang jumlahnya, tidak kurang dari dua ratus orang. Dan ia terharu ketika melihat Lauw-pangcu yang sudah amat tua itu menerima para tamu di tempat terbuka dalam hutan, hanya duduk di atas rumput saja! Keadaan kakek yang berpakaian butut itu amatlah miskinnya. Di situ pun hanya terdapat beberapa buah gubuk kecil sederhana. Namun wajah kakek tua ini tampak berseri gembira menyambut para tamu yang terpaksa juga duduk di atas rumput. Ada yang duduk di akar pohon, ada pula yang berjongkok, tidak kurang pula yang berdiri saja. Sungguh sebuah pertemuan yang amat sederhana dan kalau pertemuan ini diadakan untuk merayakan hari ulang tahun, sungguh merupakan sebuah perayaan yang luar biasa sederhananya!
Amatlah mengharukan menyaksikan betapa kakek itu bangkit dan berkali-kali menyambut para tamu dengan membungkuk dan mengangkat kedua tangan di depan dada, menghaturkan terima kasih dan minta maaf bahwa dia tidak dapat menyambut para tamu sebagaimana mestinya, bahkan bangku pun tidak ada!
Akan tetapi lebih mengharukan lagi adanya barang-barang sumbangan yang ditumpuk begitu saja di atas rumput, padahal di antara barang-barang itu terdapat benda-benda yang amat berharga dan mahal harganya. Juga Han Han mengenal Lauw Sin Lian yang cantik jelita dan gagah perkasa, berdiri di samping ayahnya ikut menyambut dan memberi hormat kepada para tamu. Biar pun pakaian Sin Lian juga sederhana, akan tetapi cukup bersih dan tidak penuh tambalan seperti pakaian ayahnya. Pakaian gadis ini ringkas dan ketat, membayangkan tubuh yang ramping padat sehingga para tamu pria yang muda-muda memandangnya penuh kagum.
“Terima kasih... terima kasih, cu-wi sekalian. Cu-wi yang sudi datang dan masih mengingat akan ulang tahun seorang kakek seperti saya, sungguh budi cu-wi sekalian itu bertumpuk setinggi gunung, lebih tinggi dari pada tumpukan barang sumbangan yang saya terima. Cu-wi sekalian, barang-barang sumbangan cu-wi ini tidak akan sia-sia, bukan untuk saya pribadi melainkan akan saya kirimkan ke Se-cuan sebagai penambah biaya perlawanan menentang pemerintah penjajah! Saya sudah tua, dan sejak dahulu seorang pengemis seperti saya tidak membutuhkan apa-apa, yang saya butuhkan hanyalah kebebasan tanah air dari cengkeraman penjajah.”
“Hidup Lauw-pangcu yang gagah perkasa!”
Teriakan-teriakan ini menggegap-gempita dan banyak di antara para tamu merogoh saku dan menguras isi saku untuk ditumpukkan pula di tumpukan barang sumbangan setelah mereka mendengar bahwa semua sumbangan akan dikirim ke Se-cuan untuk biaya perlawanan terhadap penjajah. Melihat ini Lauw-pangcu memandang terharu sampai basah kedua matanya.
Han Han juga terharu. Ketika ia memandang, di antara para tamu terdapat seorang yang mukanya bopeng, penuh bekas cacar burik-burik. Jantungnya berdebar. Ia pernah melihat orang ini. Tak mudah melupakan muka bopeng seperti itu. Akan tetapi ia lupa lagi di mana. Selagi ia mengingat-ingat, Si Muka Bopeng yang membawa pedang di punggungnya itu tiba-tiba melompat ke tengah lapangan, berhadapan dengan Lauw-pangcu, mengangkat tangan kanan ke atas dan berteriak.
“Saudara-saudara seperjuangan, kalian telah tersesat jauh!”
Mendengar seruan yang nyaring sekali ini, semua orang tertegun dan tidak ada yang mengeluarkan suara. Semua mata ditujukan kepada Si Muka Bopeng ini. Juga Lauw-pangcu dan Lauw Sin Lian memandang. Dengan sikap tenang dan sabar, berbeda dengan sikap Sin Lian yang marah, Lauw-pangcu menjura kepada orang itu dan berkata.
“Mohon maaf jika saya tidak mengenal sicu, akan tetapi saya tidak meragukan bahwa sicu tentulah seorang saudara sepaham dan seperjuangan yang menentang penjajah, maka sicu sudi datang di tempat kami ini. Akan tetapi, apakah maksud sicu dengan ucapan tadi?”
“Kita semua adalah kaum pejuang yang gagah perkasa, yang siap mengorbankan apa pun juga demi nusa bangsa, dan akan berjuang terus sampai penjajah dipukul hancur! Bagaimana mungkin kita harus bekerja sama dengan Bu Sam Kwi, seorang pengkhianat bangsa?”
Ucapan itu hebat sekali. Pada waktu itu, satu-satunya kekuasaan yang mati-matian menentang pemerintah Mancu adalah Bu Sam Kwi yang mempertahankan daerah Se-cuan secara mati-matian dan gagah berani, menimbulkan rasa simpati dan kagum di hati semua pejuang. Sekarang, Si Muka Bopeng ini memakinya sebagai pengkhianat bangsa, hati siapa tidak akan kaget?
“Aihhhhh, apa yang kau ucapkan ini, sicu? Bu-ongya adalah seorang raja muda yang merupakan satu-satunya pemimpin kita menentang Mancu! Dan Se-cuan adalah satu-satunya tempat yang dapat menampung kekuatan pejuang.”
“Heh-heh-heh, sungguh picik sekali pendapatmu, Lauw-pangcu! Apa yang dikatakan Ouw Kian itu tepat sekali!” Suara ini amat nyaring dan berwibawa.
Tiba-tiba, setelah ada angin besar menyambar, di tengah lapangan itu muncul seorang kakek yang mukanya seperti muka kuda! Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Lauw-pangcu dan Sin Lian ketika mengenal kakek itu yang bukan lain adalah Ma-bin Lo-mo!
Lauw-pangcu pernah melihat tokoh ini satu kali sedangkan Sin Lian sudah sering kali mendengar nama besar datuk kaum sesat ini yang menjadi majikan atau kepala dari In-kok-san (Lembah Mega) di Gunung Tai-hang-san dan kini dapat menduganya. Tentu saja Han Han segera mengenal Iblis Muka Kuda ini dan sekarang teringatlah ia akan Si Muka Bopeng yang bernama Ouw Kian itu, seorang di antara pembantu Ma-bin Lo-mo ketika ia bersama Lulu ditawan di atas perahu dahulu itu.
Beberapa orang di antara para tamu juga mengenal kakek ini karena biar pun kakek ini termasuk tokoh kaum sesat, namun harus diakui bahwa kakek ini selalu menentang bangsa Mancu sehingga dianggap sebagai teman seperjuangan.
“Kiranya Siangkoan Lee locianpwe yang berkenan datang berkunjung! Sungguh merupakan kehormatan besar sekali bagi kami dan merupakan kebahagiaan besar bahwa kini sekeluarga pejuang dapat bertemu dan berkumpul di sini.” Mendengar ucapan Lauw-pangcu ini, yang menjura dengan penuh kehormatan kepada kakek muka kuda, semua tamu menjadi terkejut sekali, terutama sekali mereka yang baru tahu bahwa kakek bermuka lucu ini adalah tokoh hitam yang sudah amat terkenal itu.
“Memang aku sengaja datang untuk meluruskan yang bengkok, membersihkan yang kotor. Perjuangan kita tidak boleh diselewengkan, dan pendapatmu tadi benar-benar merupakan penyelewengan besar, Lauw-pangcu. Kuulangi lagi bahwa pendapat Ouw Kian tadi tepat sekali. Merupakan penyelewengan besar kalau kita membantu si pengkhianat Bu Sam Kwi yang seharusnya malah kita musuhi! Lauw-pangcu, apakah engkau pura-pura lupa bahwa Bu Sam Kwi merupakan seorang di antara pemberontak-pemberontak dan pengkhianat besar yang menjadi sebab utama jatuhnya Kerajaan Beng? Apakah engkau lupa akan riwayat hitam yang menyelimuti diri Bu Sam Kwi?”
Wajah Lauw-pangcu berubah merah. Dia maklum bahwa yang kini menyerangnya dengan kata-kata adalah seorang di antara datuk-datuk hitam yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, dan maklum pula bahwa Ma-bin Lo-mo adalah seorang penentang penjajah yang gigih. Akan tetapi, ia pun mengenal siapa kakek ini, dan ia cukup mengenal pula siapa Bu Sam Kwi. Maka dengan suara tenang ia menjawab.
“Tentu saja saya tahu, locianpwe. Bu-ongya, yaitu Bu Sam Kwi yang kini merupakan satu-satunya kekuasaan yang masih sanggup bertahan terhadap penjajah dahulu ialah seorang panglima bala tentara Beng yang bertugas menjaga dan mempertahankan tapal batas utara. Jasanya untuk Kerajaan Beng sudah amat besar, jauh lebih besar dari pada jasa para menteri dan pembesar di kota raja yang hanya membesarkan kesenangan diri sendiri.”
“Akan tetapi apa kau pura-pura menutupi pengkhianatannya? Jauh sebelum bangsa Mancu datang, dia telah memberontak! Bu Sam Kwi telah memberontak terhadap Kerajaan Beng dan bergerak dari utara bersama dengan pemberontak Lie Cu Seng yang mengangkat diri sendiri menjadi raja di Shan-si, dan pemberontak Thio Han Tiong yang bersarang di barat. Apakah engkau hendak menyangkal sejarah?”
“Maaf, locianpwe. Saya mengerti akan semua itu, akan tetapi saya pun mengerti mengapa mereka itu memberontak. Pada masa itu, pemerintahan Kerajaan Beng amat buruk dan lemah karena kaisar dan para menterinya mengubur diri dalam kesenangan dan pemuasan nafsu-nafsu duniawi, tidak mempedulikan keadaan rakyat yang hidup sengsara, dari luar ditindas para perampok dan bajak-bajak, dari dalam ditindas oleh para pembesar yang lalim. Kerajaan Beng makin suram dan bobrok, bagaikan sebuah bangunan yang makin lama makin lemah dan rusak karena digerogoti tikus-tikus dan rayap dari dalam! Sebagai orang-orang gagah yang mengingat akan nasib rakyat jelata, mereka bangkit menentang kaisar, akan tetapi malah dimusuhi dan terpaksa mereka memberontak terhadap pemerintah yang bobrok!”
“Huh! Omongan orang yang berjiwa pemberontak! Betapa pun juga alasannya, Bu Sam Kwi sudah terang seorang pemberontak, seorang panglima yang tidak setia kepada rajanya. Dan orang macam itu sekarang hendak kalian bantu? Penyelewengan besar! Tidak ingatkah engkau bahwa selain dia itu pemberontak, dia juga seorang pengkhianat bangsa? Lupakah engkau bahwa Bu Sam Kwi si pengkhianat itulah yang bersekutu dengan bangsa Mancu? Bu Sam Kwi bersekutu dengan Pangeran Dorgan yang waktu itu memimpin barisan Mancu, kemudian bersama-sama menyerang ke selatan, menduduki kota raja yang telah dirampas pemberontak Lie Cu Seng!”
“Maaf, locianpwe. Saya kira hal itu terpaksa dilakukan untuk menundukkan Lie Cu Seng. Hal itu termasuk siasat perang...”
“Ha-ha-ha-ha! Siasat kotor, dan siasat goblok yang sama sekali tidak berhasil! Setelah bersekutu, dia berani memasukkan serigala ke dalam kandang! Kemudian dia sendiri dimusuhi oleh bangsa Mancu dan dikejar-kejar sampai lari terbirit-birit ke barat! Ha-ha-ha, dan orang macam itukah yang hendak kalian bantu?”
“Habis, kalau menurut pendapat locianpwe, bagaimana baiknya?” Lauw-pangcu yang terpaksa mengalah karena terdesak lalu bertanya.
“Kita berjuang sendiri! Kita menghancurkan penjajah Mancu, kalau sudah berhasil, kita membasmi pemberontak-pemberontak macam Bu Sam Kwi. Kita harus menegakkan kembali Kerajaan Beng yang tercinta!”
“Hemmm... kaisar terakhir Kerajaan Beng telah membunuh diri, dan saya tidak melihat adanya keturunan kaisar yang lolos dari maut ketika bangsa Mancu menduduki istana.”
“Masih banyak tokoh-tokoh Beng yang hidup di saat ini! Termasuk aku! Apa sukarnya kelak menentukan pilihan baru untuk kaisar Kerajaan Beng?”
Lauw-pangcu tidak dapat menjawab lagi. Keadaan menjadi sunyi, suasana menjadi tegang. Semua orang menjadi bingung setelah mendengar perdebatan kecil itu, karena sebagian besar dari mereka berjuang mati-matian hanya karena tidak suka melihat tanah air dijajah bangsa asing. Ada pun mengenai urusan Kerajaan Beng yang sudah runtuh, mengenai urusan pemberontakan-pemberontakan yang lalu, mereka sama sekali tidak tahu dan tidak pula memperhatikan.
Mereka berjuang dengan dasar mengusir penjajah dari tanah air. Kini muncul urusan berbelit-belit mengenai negara, mereka tidak mengerti dan menjadi bingung. Apa lagi karena yang berdebat ini adalah Lauw-pangcu yang selama dalam perjuangan ini merupakan pemimpin pejuang yang gigih dan pandai, berhadapan dengan seorang tokoh besar pula, bukan hanya tokoh perjuangan yang selalu melakukan perlawanan terhadap penjajah secara menyendiri sehingga nama pejuang-pejuang In-kok-san amat terkenal, akan tetapi juga tersohor sebagai seorang tokoh kang-ouw yang dianggap manusia iblis!
Melihat ayahnya tak dapat menjawab, agaknya terdesak oleh alasan-alasan yang dikemukakan Iblis Muka Kuda itu, Sin Lian cepat melangkah maju, berkata dengan suara tenang namun nyaring berwibawa kepada kakek itu.
“Siangkoan Locianpwe, sudah lama saya mendengar nama besar locianpwe yang terkenal sebagai Ma-bin Lo-mo. Kalau ada perbedaan pendapat antara locianpwe dengan kami, itu tidak perlu dipersoalkan. Kami adalah golongan pejuang yang tidak mempunyai pamrih untuk diri pribadi, keinginan kami satu-satunya hanyalah untuk menentang kaum penjajah. Soal siapa yang kelak akan memimpin rakyat setelah penjajah berhasil diusir dari tanah air, itu soal nanti, terserah kepada kaum cerdik pandai yang ahli mengenai hal itu. Sudah jelas bahwa Se-cuan merupakan satu-satunya daerah yang menjadi pusat kegiatan menentang penjajah, maka ke sanalah kita menoleh untuk bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan tanah air. Kalau locianpwe suka bekerja sama dengan kami, syukurlah. Kalau tidak pun tidak mengapa. Kita mengambil jalan sendiri dan cara sendiri untuk menghancurkan penjajah!”
Semua tamu mengangguk-angguk mendengar ucapan tegas dari Sin Lian ini. Ma-bin Lo-mo memandang tajam dan mengerutkan keningnya.
“Nona muda, engkau siapakah?”
“Dia adalah Lauw Sin Lian, puteriku,” kata Lauw-pangcu.
Ma-bin Lo-mo mengangguk-angguk, akan tetapi matanya tidak pernah melepaskan wajah gadis itu. Kemudian ia berkata, “Di antara orang-orang yang menjunjung kegagahan, segala pertentangan paham dan perbedaan pikiran hanya dapat diselesaikan melalui pertandingan kekuatan. Siapa kuat dia menang dan benar!”
Lauw-pangcu dan Sin Lian hendak membantah pendapat yang memuja hukum rimba seperti kebiasaan watak kaum sesat itu, akan tetapi sambil tertawa Ouw Kian si Muka Bopeng sudah meloncat maju menghadapi Sin Lian dan berkata.
“Ha-ha-ha, memang harusnya begitu! Dan... eh, Lauw-pangcu, maafkan pertanyaanku. Apakah puterimu ini sudah bertunangan?”
Lauw-pangcu sendiri adalah seorang tokoh kang-ouw yang tidak begitu peduli akan segala sopan santun kosong, maka pertanyaan ini diterima sewajarnya olehnya, tidak dianggap kurang ajar. “Belum, Ouw-sicu.”
“Bagus! Kalau begitu, kebetulan selagi Lauw-pangcu mengadakan perayaan ulang tahun, mengapa tidak sekalian mencarikan jodoh untuk puterimu? Kulihat puterimu sudah lebih dari cukup dewasa. Bagaimana kalau sekarang ditentukan bahwa siapa yang dapat menandinginya berhak meminangnya? Heh-heh, aku pun belum menikah, eh... maksudku sudah duda dan sedang mencari jodoh...”
“Mulut busuk!” Sin Lian membentak marah sekali.
Tadinya, gadis yang sudah menerima gemblengan Siauw-lim Chit-kiam ini, yang sudah matang pengalamannya dan luas pandangannya, mengambil sikap tidak memusuhi Ma-bin Lo-mo yang betapa pun juga adalah seorang kawakan. Tetapi kini melihat sikap Ouw Kian, sebagai seorang wanita muda yang masih panas darahnya, ia menjadi marah sekali dan telunjuknya menuding ke arah hidung yang kulitnya kasar itu.
“Apakah engkau tidak pernah melihat bayangan mukamu yang buruk dan lebih menjijikkan dari pada muka tikus selokan itu? Cih, tak bermalu! Kalau engkau hendak mencoba kepandaian untuk mempertahankan pendirian masing-masing, majulah dan jangan terlalu lebar membuka mulut yang berbau busuk!”
Sin Lian memang pada dasarnya galak dan pandai sekali bicara, maka sekali terbangkitkan kemarahannya, ucapannya amat pedas menusuk jantung, membuat Si Muka Bopeng sebentar merah sebentar pucat. Ia pun marah sekali, apa lagi melihat betapa para tamu banyak yang menahan tawa dengan menyembunyikan mulut di balik lengan baju.
“Bocah sombong! Kau mau mengenal kelihaian tuanmu?” Ia membentak.
“Majulah dan cabut pedangmu!”
Sin Lian sudah melolos pedangnya karena gadis ini tidak sudi beradu lengan dengan Si Muka Bopeng. Kalau ia melayani orang itu bertanding tangan kosong, mau tidak mau ia harus membiarkan lengannya beradu dengan lengan lawan. Ia pun dapat menduga bahwa sebagai kaki tangan Ma-bin Lo-mo, ilmu silat Si Muka Bopeng ini tentulah lihai.
Diam-diam Ouw Kian menjadi girang. Memang dia sendiri adalah seorang jago pedang yang menganggap bahwa ilmu pedangnya adalah yang paling tinggi di dunia. Entah sudah berapa ratus kepala orang terpenggal oleh pedangnya itu selama ia merantau sebagai perampok tunggal, sebelum akhirnya ia ditundukkan Ma-bin Lo-mo dan menjadi pembantu Iblis Muka Kuda.
Cepat ia menggerakkan tangan dan dengan aksi yang boleh juga, tubuh tegak kaki kanan diangkat menempel lutut kiri, tangan kiri menjulang ke atas dengan telunjuk menunjuk langit, tangan kanan mencabut pedang di pinggangnya. Aksinya memang hebat, sayang dia pakai senyum-senyum segala sehingga mukanya yang memang tak dapat dikatakan tampan itu menjadi makin buruk.....
“Lihatlah kiam-sutku yang tiada tandingan!” Ouw Kian membentak lalu pedangnya berkelebatan menyilaukan mata. Dia sudah bersilat pedang, tidak langsung menyerang karena pada pendapatnya, kalau melihat ilmu pedangnya, gadis puteri ketua Pek-lian Kai-pang itu tentu akan menguncup hatinya dan akan menyerah tanpa bertanding lagi.
“Hemmm...!” Sin Lian mendengus sebal dan membentak, “Sambutlah!”
Pedangnya sudah menusuk dengan kecepatan kilat. Dara ini adalah murid dari Siauw-lim Chit-kiam, tujuh orang pendekar Siauw-lim-pai yang sudah terkenal sebagai ahli pedang kenamaan dan Sin Lian sudah mewarisi Ilmu Pedang Chit-seng-sin-kiam (Ilmu Pedang Sakti Tujuh Bintang). Kini menghadapi Si Muka Bopeng yang sombong, gadis itu sudah menusuk, ujung pedang tergetar dan pecah menjadi tujuh sinar, akan tetapi dara itu hanya mempergunakan tiga sinar untuk menusuk ke tiga bagian tubuh lawan yaitu tenggorokan, ulu hati dan pusar. Gerakannya cepat sekali sehingga seolah-olah ada tiga batang pedang yang melakukan penyerangan.
“Trang-trang-cringgg...! Ehhhhh...!”
Ouw Kian kebingungan dan ilmu pedangnya yang dipamerkan tadi menjadi kacau-balau karena secara bertubi-tubi ia harus menangkis tiga sinar itu! Tangkisannya ngawur, akan tetapi karena memang dia seorang yang sudah memiliki ilmu silat tinggi, ia berhasil juga menangkis sambil berloncatan ke belakang, tangannya tergetar setiap kali pedangnya bertemu dengan ujung pedang lawan! Barulah ia terkejut bukan main, sama sekali tidak mengira bahwa gadis muda yang cantik itu memiliki gerakan sedemikian cepat dan kuatnya, tanda bahwa ilmu pedang gadis itu hebat bukan main.
Ouw Kian maklum akan kelihaian lawannya, maka ia tidak lagi berani banyak aksi dan cepat ia menggerakkan pedang, bertanding dengan sungguh-sungguh dan melakukan serangan balasan. Namun tusukan dan bacokan pedangnya mengenai angin dan di detik berikutnya, kembali ujung pedang Sin Lian seperti berubah menjadi lebih banyak lagi, kemudian lima sinar menyambar ke arahnya dengan suara mencicit!
“Aahhh... ayaaaaa... trang-trang-trang...!”
Ouw Kian berhasil menangkis tiga kali, akan tetapi tangkisan yang ke tiga membuat tubuhnya terdesak dan posisinya rusak sehingga susulan dua kali serangan agaknya takkan dapat ia tangkis lagi.
“Hemmm... mundurlah!” Tiba-tiba terdengar seruan Ma-bin Lo-mo dan ujung pedang Sin Lian hanya dapat merobek sedikit kain baju di bagian dada Ouw Kian karena mendadak tubuh Ouw Kian seperti ditiup angin, terlempar ke belakang. Ma-bin Lo-mo setelah menggunakan sinkang mendorong tubuh Ouw Kian dan menyelamatkannya dari pedang Sin Lian, kini berdiri menghadapi gadis itu dengan pandang mata penuh selidik.
“Nona, bukankah itu Chit-seng-sin-kiam yang kau mainkan? Apakah engkau anak murid Siauw-lim-pai?”
“Tidak salah, locianpwe. Aku adalah murid Siauw-lim Chit-kiam!” jawab Sin Lian tenang.
Ma-bin Lo-mo mengangguk-angguk. “Pantas, kiam-hoat-mu lihai. Dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam tewas, kabarnya di tangan puteri Mancu, sudah sepatutnya engkau menentang pemerintah penjajah Mancu. Akan tetapi sungguh sayang sekali kalau murid Siauw-lim-pai sampai menjadi kaki tangan pengkhianat seperti Bu Sam Kwi. Nona Lauw, kurasa guru-gurumu akan marah jika mendengar engkau akan membantu pengkhianat Bu Sam Kwi.”
“Siangkoan-locianpwe, guru-guruku pun kini berjuang bersama kekuatan di Se-cuan bersama-sama menentang Mancu!”
Tiba-tiba Siangkoan Lee tertawa, suara ketawa yang tidak lumrah manusia, lebih mirip suara ringkik kuda marah.
“Hiiyeeeeeh-heh-heh-heh! Sungguh memalukan! Sungguh tersesat dan menyeleweng jauh! Seorang pemberontak dan pengkhianat malah dibantu, apakah dunianya tokoh-tokoh kang-ouw yang menyebut diri kaum bersih dan golongan putih sudah terbalik?”
Sin Lian menjadi marah mendengar guru-gurunya diejek. “Locianpwe, kalau locianpwe tidak setuju dengan pendirian kami, sudah saja. Locianpwe boleh berjuang sendiri. Apa artinya perjuangan yang liar tanpa pimpinan? Tidak peduli apa yang dilakukan oleh Bu-ongya dahulu, namun sekarang kenyataan Bu-ongya adalah satu-satunya tokoh yang gigih melakukan perlawanan terhadap penjajah dan di sanalah berkumpul seluruh orang gagah yang hendak mempertahankan tanah air. Kalau tidak berjuang di bawah benderanya, habis siapa yang akan menjadi pemimpin kami?”
Tiba-tiba terdengar suara ketawa dan tahu-tahu di situ berkelebat bayangan dua orang dan di dekat Sin Lian sudah berdiri dua muda yang memiliki gerakan cepat sekali, juga mengagumkan karena mereka adalan seorang pemuda tampan gagah dan seorang dara cantik jelita. Suara ketawa tadi adalah suara mereka berdua yang meloncat dari kumpulan para tamu, dan kini yang wanita berkata.
“Ma-bin Lo-mo, mengapa engkau memaksa orang lain untuk berjuang demi mencapai cita-cita pribadimu?”
Ma-bin Lo-mo melotot dan membentak. “Bocah lancang mulut! Apa maksudmu?”
Gadis muda yang bersikap lincah dan masih muda sekali, tidak lebih tua dari Sin Lian, tersenyum mengejek, lalu menjura ke arah Lauw-pangcu dan Sin Lian, dan berkata lantang.
“Cu-wi sekalian tidak perlu heran mengapa dia ini menentang Se-cuan. Siapakah yang tidak tahu bahwa Ma-bin Lo-mo adalah bekas menteri Kerajaan Beng, bernama Siangkoan Lee? Siapa yang tidak tahu bahwa dia melatih murid-muridnya di In-kok-san untuk membentuk barisan yang kuat? Berbeda sekali dengan kita yang berjuang tanpa pamrih pribadi, Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee berjuang untuk dapat mengangkat diri sendiri menjadi kaisar menggantikan Kerajaan Mancu. Tentu saja dia menentang Bu Sam Kwi raja muda di Se-cuan!”
Diam-diam Ma-bin Lo-mo terkejut, akan tetapi dia adalah seorang yang angkuh dan percaya kepada diri sendiri, maka dengan mata melotot ia membentak, “Memang benar! Dan mengapa tidak? Aku jauh lebih berharga dari pada si pengkhianat Bu itu! Dan siapa yang menentang pendapat ini, boleh maju membuktikan sendiri bahwa aku lebih patut dijadikan pemimpin dalam perjuangan menentang penjajah dari pada si pengkhianat bangsa Bu Sam Kwi!”
Melihat kakek yang menjadi amat marah dan mengambil sikap menantang-nantang itu, Lauw-pangcu cepat menghadapinya dan menjura penuh hormat. “Harap Siangkoan-locianpwe sudi menghabiskan saja urusan ini. Marilah, silakan duduk sebagai tamu terhormat dan dalam kesempatan ini kiranya tidak perlu kita melanjutkan pembicaraan yang hanya menimbulkan pertentangan itu. Yang penting, garis besar kita semua sama, ialah menentang penjajah Mancu. Silakan!”
“Tidak bisa!” Ma-bin Lo-mo membentak, pandang matanya masih saja membayangkan ketidak-puasan dan kemarahan ditujukan kepada dua orang muda yang baru tiba itu. “Kalau kalian semua masih melanjutkan keinginan hendak mengabdi kepada pengkhianat Bu, tak mungkin aku tinggal diam saja! Dengan demikian kalian berarti menjerumuskan diri ke dalam penyelewengan dan menjadi pengkhianat-pengkhianat bangsa pula! Bagaimana aku, Siangkoan Lee, boleh tinggal diam saja melihat orang-orang mengkhianati Kerajaan Beng?”
Kakek yang menjadi datuk golongan sesat ini lalu melangkah maju menghadapi Lauw-pangcu dan berkata, “Lauw-pangcu, percuma bagiku bicara dengan segala macam bocah lancang. Lauw-pangcu adalah seorang yang sudah tua dan sudah banyak pengalaman, maka kuminta agar mulai sekarang juga insyaf dan membelokkan kembali perjuangan ke arah jalan benar. Jangan lagi membantu pengkhianat Bu Sam Kwi dan marilah kita bekerja sama. Kalau memang ada pahala di kemudian hari setelah perjuangan berhasil, kitalah yang patut menerimanya, bukan pengkhianat Bu itu. Nah, harap putuskan sekarang juga, Lauw-pangcu. Bagaimana pendirianmu?”
Lauw-pangcu menghela napas panjang. “Siangkoan-locianpwe terlalu mendesak, apa boleh buat. Kalau menurut saya pribadi, saya tetap akan membantu Se-cuan, karena berhasil tidaknya perjuangan kita sesungguhnya tergantung kepada kekuatan Se-cuan sebagai tempat pertahanan terakhir.” Ketua Pek-lian Kai-pang itu berhenti sebentar lalu menoleh ke arah para tamu yang memandang tegang. “Tentu saja pendirian saya ini merupakan pendirian Pek-lian Kai-pang pula dan kami tidak akan mempengaruhi pendapat para sahabat pejuang yang saat ini menjadi tamu kami.”
Para tamu berteriak-teriak menyatakan persetujuan mereka dengan pendirian Lauw-pangcu. Mereka bersorak riuh-rendah dan hal ini membuat wajah Ma-bin Lo-mo menjadi merah. Jelaslah bahwa tidak banyak yang mendukungnya.
“Lauw-pangcu! Jikalau begitu, engkau ini bukan lain adalah pemimpin pengkhianat! Pantas... pantas...! Memang semenjak dahulu, jauh sebelum penjajah Mancu datang, Pek-lian Kai-pang (Partai Teratai Putih) memang terdiri dari orang-orang pemberontak dan pengkhianat! Sekarang, sudah menjadi pengemis jembel gelandangan pun masih menjadi pengkhianat! Sungguh tak tahu malu!”
“Ma-bin Lo-mo, siapa yang tak tahu malu?” Lauw Sin Lian membentak marah mendengar ayahnya dimaki-maki. “Engkaulah yang tidak tahu malu! Sebagai tamu seharusnya menghormati dan mentaati peraturan tuan rumah, kalau tidak cocok boleh pergi karena engkau bukanlah tamu yang diundang!”
“Hi-yeh-heh-heh! Lauw-pangcu, kalau engkau memang gagah, marilah kita mencoba-coba kepandaian agar semua tamu terbuka matanya dan melihat siapa di antara kita yang lebih pantas menjadi pemimpin!”
“Siangkoan Lee! Biar sudah tua dan lemah, kalau ditantang aku tidak akan mundur...!” Lauw-pangcu menjadi marah.
“Tahan, Ayah! Biarlah aku yang menghajar anjing tua ini!” bentak Sin Lian dan dia sudah menerjang maju dengan pedangnya.
Karena ia maklum akan kelihaian datuk kaum sesat ini, tentu saja ia tidak memandang rendah seperti ketika menghadapi Ouw Kian si Muka Bopeng tadi, melainkan mengerahkan tenaga dan menggerakkan pedang sehingga ujungnya menimbulkan tujuh sinar yang berturut-turut meluncur ke arah tujuh bagian berbahaya dari tubuh Ma-bin Lo-mo.
Di antara tokoh-tokoh kang-ouw, agaknya tingkat kepandaian Sin Lian sudah amat hebat dan sebagai murid Siauw-lim Chit-kiam, agaknya sukar dicari tandingannya di kalangan orang muda. Akan tetapi sekali ini yang diserang adalah Ma-bin Lo-mo, seorang di antara tokoh-tokoh yang sudah mendapat sebutan datuk, yaitu datuk golongan hitam atau golongan sesat. Ilmu kepandaian Ma-bin Lo-mo jauh lebih tinggi dari pada tingkat Sin Lian. Jangankan hanya dara remaja ini, biar Siauw-lim Chit-kiam maju bersama sekali pun, belum tentu akan dapat mengatasi kepandaian Ma-bin Lo-mo yang tingkatnya dapat disejajarkan dengan ketua Siauw-lim-pai yaitu guru Siauw-lim Chit-kiam!
Melihat sinar pedang gadis itu yang memecah menjadi tujuh sinar, diam-diam Ma-bin Lo-mo terkejut dan kagum, memuji ilmu pedang ciptaan Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai yang telah dikuasai dengan baik oleh gadis ini. Kalau dia menghendaki, tentu saja dengan mudah Ma-bin Lo-mo akan dapat merobohkan Sin Lian dengan ilmu pukulan Swat-im Sin-ciang yang dahsyat.
Akan tetapi dia mempunyai cita-cita lain. Kedatangannya sebetulnya bukan hendak memusuhi Pek-lian Kai-pang, melainkan hendak menarik mereka menjadi sekutu dan membantunya. Kini menghadapi puteri Lauw-pangcu, ia tak mau sembrono menurunkan tangan keji, hanya ingin membuktikan bahwa dia patut menjadi pemimpin dengan kepandaiannya yang paling lihai di antara mereka semua.
“Hi-yeh-heh... kiam-sut yang bagus, akan tetapi tidak ada artinya kalau kau pergunakan untuk menyerangku, Nona Cilik!” Ia mengejek.
Kedua tangannya bergerak ke depan membuat gerakan melingkar-lingkar dan tujuh sinar pedang itu seperti diseret angin puyuh yang amat kuat. Betapa pun Sin Lian mengerahkan tenaganya untuk menahan, tetap saja pedang dan tangannya terseret oleh gelombang hawa yang amat dahsyat dan dingin sehingga gerakan pedangnya kacau dan semua serangannya gagal dengan sendirinya.
“Ma-bin Lo-mo, sungguh tak patut menghina nona rumah!” Tiba-tiba pemuda yang datang bersama gadis jelita tadi menerjang maju. Mereka berdua sudah menerjang dengan pedang mereka dan yang amat hebat adalah ginkang mereka karena gerakan kedua orang muda ini cepat seperti kilat!
Pedang di tangan pemuda dan gadis ini telah menolong Sin Lian karena puteri Lauw-pangcu yang tadinya terancam untuk terputar tubuhnya oleh hantaman angin pukulan Swat-im Sin-ciang yang amat dahsyat, kini berhasil meloncat ke pinggir ketika Ma-bin Lo-mo terpaksa menghentikan gerakan tangannya untuk menghadapi serangan kedua orang muda itu. Ia pun terkejut menyaksikan kecepatan gerakan mereka. Matanya silau menyaksikan sinar dua pedang yang amat cepat datangnya. Kakek ini mengeluarkan suara meringkik dan tubuhnya sudah mencelat ke atas menghindarkan diri dari pada sambaran dua pedang.
Akan tetapi kini Sin Lian sudah maju lagi dengan pedang diputar cepat. Kini murid Siauw-lim Chit-kiam ini bersikap hati-hati karena maklum betapa lihainya kakek bermuka kuda itu. Pedangnya membentuk segulung sinar yang mencuat ke depan amat terangnya, menusuk dada kakek itu yang baru melayang turun. Dua orang muda yang lihai itu pun menyambut turunnya tubuh Ma-bin Lo-mo dengan tusukan dan bacokan pedang.
Ma-bin Lo-mo kembali mengeluarkan suara terkekeh seperti bunyi ringkik kuda. Ujung kakinya tiba-tiba menangkis atau menotol ujung pedang tiga orang muda itu. Dengan ‘meminjam’ tenaga mereka, tubuhnya sudah melesat ke belakang tiga orang lawan. Tiga orang muda itu cepat membalikkan tubuhnya. Mereka kaget sekali karena tidak mengira kakek itu sedemikian lihainya. Juga para tamu terkejut dan menjadi jeri.
Pada saat itu mendadak terdengar suara keras, “Harap hentikan pertandingan! Saya datang membawa berita penting!”
Semua orang menoleh, dan tiba-tiba Ma-bin Lo-mo mengeluarkan suara meringkik aneh, wajahnya berubah pucat ketika memandang kepada pemuda berkaki buntung yang jalan terpincang-pincang maju dibantu tongkatnya. Ma-bin Lo-mo meloncat dan menghadang Han Han sambil berkata.
“Kau... kau masih hidup...?”
Tentu saja Ma-bin Lo-mo sudah mendengar berita di In-kok-san bahwa Han Han dan Kim Cu telah menjalani hukuman yang dijatuhkan oleh Toat-beng Ciu-sian-li kepada dua orang murid itu. Dia mendengar bahwa selain dibuntungi, juga kemudian Han Han dan Kim Cu dilempar ke dalam jurang maut yang tak berdasar! Tentu saja ia menjadi kaget sekali melihat bekas murid ini tahu-tahu muncul di situ!
Karena menyangka bahwa seperti juga dahulu, bocah aneh tentu hanya akan menimbulkan keonaran dan akan menghalangi cita-citanya, Ma-bin Lo-mo tidak mau banyak cakap lagi, setelah menegurnya lalu mengulur tangan kanannya yang menuding tadi, mengerahkan Swat-im Sin-ciang menyerang ke arah jantung Han Han di balik dadanya.
“Siangkoan-locianpwe, engkau banyak baikkah?” Han Han menyoja (mengangkat tangan ke depan dada) untuk memberi hormat.
Tidak ada seorang pun yang menduga bahwa pada detik itu, dua buah tenaga tak tampak yang amat dahsyat bertemu di antara mereka dan akibatnya, wajah Ma-bin Lo-mo menjadi pucat seperti kertas dan ia menahan darah yang sudah naik ke kerongkongannya agar tidak muntah!
Tenaga Swat-im Sin-ciang yang ia lancarkan untuk menyerang Han Han tadi membalik dengan cepat dan tidak terduga-duga olehnya sehingga melukai rongga dadanya sendiri! Memang ia tahu bahwa bocah bekas muridnya yang telah menggembleng diri di Pulau Es ini memiliki kepandaian aneh dan tenaga dahsyat. Akan tetapi ia telah buntung dan betapa dalam waktu tak lama saja telah mampu menangkis Swat-im Sin-ciang tanpa gerakan memukul melainkan hanya bersoja sudah mampu mengembalikan pukulannya? Hal yang tidak diduga-duga oleh Ma-bin Lo-mo ini membuat ia terluka dan jeri. Dengan mulut tertutup rapat ia menggapai Ouw Kian dan pergi dari tempat itu diikuti Si Muka Bopeng yang terheran-heran, juga para tamu menjadi lega ketika melihat bahwa kakek yang ditakuti itu pergi tanpa pamit.
“Han Han...!” Suara ini keluar dari mulut Sin Lian dan pemuda tampan itu secara berbareng.
“Han-twako...!” gadis yang datang bersama pemuda itu pun berseru. Wajahnya menjadi merah, akan tetapi, seperti juga Sin Lian dan pemuda yang datang bersamanya tadi, gadis ini pun memandang ke arah kaki buntung Han Han dengan heran.
Han Han tersenyum, lalu menjura ke arah Sin Lian dan dua orang muda itu yang bukan lain adalah dua orang murid Im-yang Seng-cu, Wan Sin Kiat dan sumoi-nya, Lu Soan Li.
“Lauw-siocia, Lu-siocia, Saudara Sin Kiat, bagaimana keadaanmu bertiga? Kuharap baik-baik saja.”
Tiga orang muda itu tetap memandang ke arah kakinya dan tak dapat mengeluarkan kata-kata. Melihat betapa orang yang mereka kagumi itu kini mendadak muncul dengan kaki buntung, mereka bertiga begitu heran dan kaget sehingga sukar mengeluarkan kata-kata. Leher serasa dicekik keharuan dan kasihan.
“Ah, engkau Sie Han...? Akan tetapi, kenapa dengan kakimu...?” Lauw-pangcu sudah melangkah maju dan memegang pundak Han Han. “Benar, engkau bocah aneh yang dahulu itu, akan tetapi mengapa kakimu itu, Han Han?”
Han Han menjura kepada Lauw-pangcu dan berkata tenang, “Karena kecelakaan kaki saya menjadi buntung, Lauw-locianpwe. Saya merasa girang dapat bertemu dengan locianpwe dalam keadaan sehat dan biarlah saya menggunakan kesempatan ini untuk ikut pula mengucapkan selamat ulang tahun ke tujuh puluh tahun, semoga locianpwe diberkahi panjang usia dan kesehatan!”
Lauw-pangcu tersenyum dan memandang wajah pemuda itu dengan kagum. Ia melihat betapa pemuda ini telah menjadi seorang yang selain tampan dan gagah juga matang, bahkan ada sesuatu yang amat aneh terpancar dari pandang mata pemuda itu. Akan tetapi sebelum ia sempat bicara lagi, Wan Sin Kiat sudah memegang lengan tangan Han Han dan berkata.
“Kebetulan sekali engkau datang, Han Han. Dan di mana... di mana Nona Lulu?”
Ditanya tentang Lulu, wajah Han Han menjadi muram, dan ia menggeleng kepalanya. “Entahlah, aku sedang mencari dia.”
“Mencari Lulu? Ahhh, tadinya kusangka bahwa engkau datang bersama Lu-moi!” kata Sin Lian dan Han Han menjadi terheran-heran mendengar gadis itu menyebut Lulu dengan suara demikian akrab.
Melihat ini, Lauw-pangcu tertawa dan berkata, “Marilah kita bicara di dalam!” Ia memberi perintah kepada seorang anak buah Pek-lian Kai-pang untuk melayani para tamu, kemudian ia mengajak Han Han, Sin Lian, Sin Kiat dan Soan Li memasuki pondoknya.
Setelah mereka duduk di dalam pondok mengelilingi meja dan disuguhi makanan dan arak oleh anak buah kai-pang yang cepat keluar kembali, Lauw-pangcu lalu berkata.
“Agaknya banyak sekali urusan yang harus kita bicarakan, Han Han. Akan tetapi lebih dulu perkenalkanlah dua orang muda perkasa yang membantu kami menghadapi Ma-bin Lo-mo ini.”
“Kiranya Lauw-locianpwe dan Lauw-siocia...”
“Iiihhh, kenapa engkau sekarang berubah seperti ini, Han Han? Masa menyebut aku nona-nonaan segala, apakah aku harus menyebut tuan muda kepadamu?” Tiba-tiba Sin Lian menegur dengan mulut cemberut.
Hati Soan Li yang melirik dan melihat ini menjadi berdebar dan terasa tidak enak. Akan tetapi Sin Kiat dan Lauw-pangcu tertawa menyaksikan sikap Sin Lian ini.
Merah wajah Han Han ditegur gadis itu. “Eh... baiklah. Kuulangi lagi, agaknya Lauw-pangcu dan Sin Lian belum mengenal dua saudara ini. Dia adalah Hoa-san Gi-hiap Wan Sin Kiat dan Nona ini adalah Hoa-san Kiam-li Lu Soan Li!”
“Ah, kiranya murid-murid dari Im-yang Seng-cu? Maaf kalau saya yang tua tidak mengenal dan bersikap kurang hormat.”
Akan tetapi Sin Lian tidak bersikap seperti ayahnya, bahkan memandang kepada dua orang muda itu dengan alis berdiri. Betapa pun juga, di dalam hati gadis ini masih ada bekas luka akibat siasat adu domba antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai.
Soan Li yang cerdik tentu saja dapat mengerti akan sikap Sin Lian ini dan ia cepat berkata, “Nama besar Enci Sin Lian sebagai murid tokoh-tokoh Siauw-lim Chit-kiam telah lama saya mendengarnya. Enci Sin Lian, kedatangan kami berdua ini adalah hendak menghapus segala peristiwa hitam yang timbul di antara Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai yang sesungguhnya ditimbulkan oleh siasat buruk adu domba oleh Pemerintah Mancu. Kiranya Enci sudah pula mendengar akan hal itu, peristiwa yang patut disesalkan sehingga menyeret pula Han-twako yang sama sekali tidak berdosa. Han-twako yang terseret oleh siasat adu domba di antara kedua partai, sampai-sampai mendatangi Pek-eng-piauwkiok dan bertemu dengan tokoh-tokoh Hoa-san-pai, bahkan mengalami penghinaan pula. Sungguh kami merasa menyesal sekali...”
Wajah keruh di muka Sin Lian segera menghilang. Memang pada dasarnya watak Sin Lian adalah lincah dan peramah. Kalau tadi ia berwajah keruh melihat munculnya dua orang tokoh Hoa-san-pai adalah karena ia teringat akan kematian dua orang di antara ketujuh orang gurunya. Ia cepat tersenyum dan berkata.
“Adik Soan Li, aku telah tahu akan hal itu semua. Aku telah mengetahui betapa kalian berdua sampai bentrok dengan orang-orang Hoa-san-pai sendiri. Aku telah diceritakan oleh adikku Lulu yang pandai bercerita sehingga peristiwa di piauwkiok itu seolah-olah dapat kubayangkan dengan mata sendiri!”
“Eh, Non... ehh, Sin Lian, apa artinya semua ini? Adikmu Lulu... bagaimana ini?”
Kembali Lauw-pangcu tertawa, agaknya kakek ini merasa girang sekali dapat bertemu dengan Han Han yang sudah banyak ia dengar dari Lulu. Ia memandang pemuda ini dan diam-diam kakek yang sudah berpengalaman ini dapat mempercayai omongan Lulu yang pernah mengatakan bahwa di dunia ini kakaknya adalah yang paling sakti! Sungguh pun ia maklum bahwa Lulu melebih-lebihkan akan tetapi ia dapat menangkap wibawa yang amat luar biasa dan sinar aneh terpancar keluar dari sepasang mata pemuda itu.
“Ha-ha-ha-ha, agaknya telah terjadi banyak sekali hal yang amat kebetulan dan yang perlu kita saling tuturkan, Han Han. Akan tetapi biarlah kita mulai satu-satu dan lebih dulu kiranya lebih baik kalau kita persilakan dua orang murid Im-yang Seng-cu untuk menuturkan maksud kunjungannya yang terhormat.”
Kini Wan Sin Kiat bicara, suaranya halus dan tegas, “Tadi telah disinggung oleh Sumoi akan maksud kedatangan kami berdua. Tidak lain hanya untuk menemui Nona Lauw sebagai murid Siauw-lim Chit-kiam untuk menjelaskan persoalan salah paham akibat adu domba pihak Mancu antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai. Kami tidak berani lancang menghadap ke Siauw-lim-si, maka mendengar bahwa locianpwe dan Nona Lauw berada di sini dan kebetulan sekali mengadakan pesta ulang tahun, kami sengaja datang menyampaikan selamat ulang tahun dan ingin penjelasan untuk menghapus permusuhan. Siapa mengira bahwa Nona Lauw telah mendengar persoalannya. Kami merasa girang sekali kalau Nona Lauw sudah mengerti bahwa yang melakukan pembunuhan terhadap kedua orang locianpwe dari Siauw-lim Chit-kiam bukanlah orang Hoa-san-pai.”
Sin Lian mengangguk-angguk. “Saya telah menghadap para pimpinan Siauw-lim-pai dan ternyata beliau semua telah mendengar dari keterangan Han Han sendiri yang datang ke sana. Apa lagi setelah saya mendengar penuturan siauw-moi, semua permusuhan antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai telah terhapus dengan sendirinya dan kini kami hanya ingin membalas kematian kedua orang suhu saya itu kepada pihak Mancu.”
Lauw-pangcu menghela napas. “Memang perang adalah peristiwa yang menjijikkan dan menyedihkan. Dan orang-orang Mancu telah menggunakan siasat yang amat busuk! Nah, sekarang biarlah aku menuturkan tentang adikmu, Han Han. Ketahuilah bahwa adikmu Lulu telah menjadi anak angkatku, dan menjadi adik angkat Sin Lian.”
“Aaahhh...!” Han Han membelalakkan matanya dan menjadi bengong. Mana mungkin bisa terjadi hal ini? Bukankah Lauw-pangcu adalah musuh besar Lulu? Bukankah keluarga perwira Mancu, ayah Lulu, telah terbasmi oleh Lauw-pangcu dan anak buahnya? Dia sejak dahulu mengkhawatirkan pertemuan antara Lulu dengan Lauw-pangcu, akan tetapi ternyata kini adiknya itu malah menjadi anak angkat musuh besarnya!
“Aku mengerti, tentu engkau bingung dan heran. Semestinya Lulu datang dan membunuh aku untuk membalas dendam atas kematian keluarganya, bukan? Akan tetapi, ah... adikmu itu adalah seorang manusia yang benar-benar memiliki watak murni dan bersih, dan aku merasa bahagia sekali bisa menjadi ayah angkatnya....”
Lauw-pangcu lalu menuturkan semua pengalaman Lulu semenjak bertemu dengannya sampai menjadi anak angkatnya dan betapa sampai setahun Lulu memperdalam ilmu silatnya di lembah Huang-ho itu.
“Enam bulan yang lalu dia berangkat meninggalkan tempat ini untuk mencarimu, bahkan telah berjanji untuk datang pada saat perayaan ulang tahun Ayah, berjanji untuk datang bersamamu. Akan tetapi mengapa engkau datang sendiri? Mana Lulu?” Sin Lian menutup cerita ayahnya yang didengar oleh Han Han dengan muka terheran-heran dan hati terharu, juga girang. Akan tetapi pertanyaan Sin Lian membuat wajahnya muram kembali dan ia menghela napas panjang.
“Aku mencarinya ke kota raja tanpa hasil...”
Melihat kesedihan Han Han dan karena tertarik dan kagum mendengar penuturan Lauw-pangcu sehingga hatinya yang dahulu sudah terpikat oleh Lulu itu kini menjadi makin kagum, Sin Kiat segera berkata.
“Han Han, jangan khawatir. Aku akan membantumu mencari Nona Lulu sampai dapat!”
Han Han tersenyum mendengar janji yang dikeluarkan dengan suara sungguh-sungguh ini. Dia memandang wajah Sin Kiat, dapat melihat sinar penuh kasih dari mata pemuda gagah itu. Diam-diam ia merasa senang sekali kalau adiknya yang nakal itu kelak dapat berjodoh dengan pemuda ini!
“Terima kasih, Sin Kiat. Aku hanya khawatir kalau sampai terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan menimpa diri adikku. Dia itu terlalu berani dan sembrono...”
“Han Han, engkau tidak tahu bahwa semenjak berlatih di sini selama satu tahun, Lulu bukanlah Lulu yang dahulu lagi. Ilmu kepandaiannya melonjak secara hebat sehingga Ayah sendiri dan aku, kiranya bukan tandingannya lagi!” kata Sin Lian tentu saja ia melebihkan, karena dalam hal kematangan ilmu silat, tentu saja Lulu tidak dapat menandinginya.
“Sekarang tiba giliranmu, Han Han. Ketika engkau muncul tadi, kau katakan bahwa engkau datang membawa berita penting. Akan tetapi sebelum kau ceritakan itu, aku ingin sekali mendengar mengapa... kakimu sampai buntung, Han Han.”
Han Han tersenyum pahit dan memandang ke arah kakinya yang buntung, menghela napas panjang dan kemudian berkata, “Urusan kecil... salahku sendiri dan sudah semestinya buntung. Kakiku buntung akibat hukuman yang dijatuhkan oleh Toat-beng Ciu-sian-li...”
“Iblis betina yang kejam...!” Sin Lian berteriak marah, seperti mengeluarkan api. “Dan... Lulu-moi belum tahu akan hal itu?”
Han Han menggeleng kepala dan memandang. Alangkah kaget dan herannya ketika ia melihat mata Sin Lian merah seperti hendak menahan tangis!
“Hemmm, aku sudah mendengar dari Suhu akan kekejaman iblis betina itu! Sungguh keji sekali! Han-twako, kenapa dia melakukan hal sekejam itu?” Han Han menoleh kepada Soan Li yang wajahnya menjadi pucat.
Ia tersenyum. “Tidak kejam, melainkan sudah menjadi peraturan di In-kok-san begitu. Murid yang melarikan diri akan dihukum buntung kakinya. Dan aku pernah menjadi muridnya, kemudian aku melarikan diri. Ketika akhir-akhir ini tertawan olehnya, kakiku dibuntungi sebelah. Sudahlah, hal ini sudah terjadi, tidak ada gunanya dibicarakan lagi,” Ia terpaksa mengeluarkan ucapan hiburan ini karena melihat betapa Sin Lian dan Soan Li kelihatan marah dan kebencian hebat terpancar keluar dari mata mereka terhadap Toat-beng Ciu-sian-li. “Yang penting adalah keperluan yang membawaku datang ke sini. Lauw-pangcu, saya merampas sebuah surat dari tangan utusan-utusan Mancu yang ditujukan kepada Su-ciangkun, komandan pasukan Mancu yang bertugas melakukan pembersihan. Inilah suratnya, harap Lauw-pangcu dan cu-wi sekalian membaca agar dapat diatur bagaimana baiknya.”
Mata Lauw-pangcu terbelalak ketika ia membaca surat perintah rahasia dari Puteri Nirahai itu dan ketika ia memberikan surat itu kepada Sin Lian, kemudian dibaca pula oleh Sin Kiat dan Soan Li, Sin Kiat berseru, “Ahhh! Puteri Nirahai inilah orangnya yang menjadi blang keladi permusuhan antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai! Dia kabarnya amat lihai dan amat cerdik mengatur siasat-siasat licik! Lauw-pangcu, kalau begitu, keadaan pangcu di sini berbahaya, harus cepat-cepat pindah...!”
Lauw-pangcu tetap tenang dan menggeleng kepala. “Wan-sicu lupa bahwa pasukan Mancu belum menerima surat perintah ini.”
Tiba-tiba kakek itu memukul telapak tangan kirinya dengan kepalan kanannya, wajahnya berseri dan pandang matanya penuh semangat. Biar pun sudah lama sekali ia tidak lagi aktif dalam perjuangan karena selain merasa tua juga setelah menjadi ayah angkat Lulu hatinya menjadi hambar terhadap perjuangan, kini agaknya timbul kembali jiwa kepahlawanannya.
“Ah, ini kesempatan bagus sekali untuk menghancurkan mereka! Surat ini harus disampaikan kepada Su-ciangkun, biarkan mereka melakukan penyerangan ke sini. Kita mengatur barisan pendam, menjebak mereka dan dengan mudah kita akan dapat membasmi mereka! Akan tetapi surat perintah ini harus disampaikan kepada mereka!”
Han Han menerima kembali surat itu dan menyimpannya dalam sampul, kemudian mengantonginya. “Tepat sekali seperti dugaan saya bahwa pangcu akan mengambil keputusan seperti itu, karena itulah maka saya lebih dahulu datang ke sini. Biarlah saya menyerahkan urusan memasang barisan pendam itu kepada pangcu, dan saya akan melanjutkan perjalanan saya mengunjungi Su-ciangkun untuk menyerahkan surat ini.”
“Heeiii...! Ah, itu berbahaya sekali! Han Han, biarlah surat itu diserahkan oleh anak buah Pek-lian Kai-pang!”
“Lauw-pangcu, apakah kalau yang menyerahkan anak buahmu tidak berbahaya?”
“Memang tetap berbahaya, akan tetapi andai kata anak buahku sampai mati sekali pun dia akan mati dengan rela, mati sebagai gugurnya seorang pejuang.”
“Hemmm, pangcu. Apakah saya takut mati? Tidak, saya sendiri yang harus menyerahkan surat ini, bukan sekali-kali untuk membantu perjuangan karena saya masih belum bisa mengikatkan diri dengan perang, melainkan karena alasanku pribadi. Nah, selamat tinggal, aku harus pergi sekarang. Kalau terlalu lama, khawatir kalau-kalau pihak Mancu tahu bahwa utusan mereka telah kubunuh dan pembawa surat ini bukan utusan mereka, melainkan palsu!” Setelah berkata demikian, Han Han menjura dan cepat ia terpincang-pincang keluar dari pondok itu.
Setibanya di ruangan depan, para tamu memandangnya dengan penuh perhatian, akan tetapi Han Han tidak mengacuhkan mereka dan terus keluar dari tempat itu, menuruni puncak. Setelah tiba di lereng puncak itu di mana tidak ada orang lain lagi yang akan melihatnya, Han Han lalu meloncat dan mengerahkan ilmu kepandaiannya yang mukjizat, yaitu gerakan-gerakan kilat yang membuat ia dapat bergerak secara luar biasa, berloncatan seperti terbang.
“Han Han...!” Teriakan ini membuat Han Han cepat membuang ilmunya, mematahkan daya dorongan hebat yang membuat tubuhnya seperti dapat terbang, cepat ia melayang turun ke atas tanah. Kiranya di situ berdiri Sin Lian yang memandang kepadanya dengan mata terbelalak penuh kekaguman.
“Han Han... kau... kau ah, betapa hebat gerakanmu tadi...!”
Wajah Han Han menjadi merah. Ia merasa jengah karena ilmunya terlihat oleh Sin Lian. “Ah, kau terlalu memuji, Si Lian. Ada urusan apakah engkau menyusulku?”
Sin Lian menundukkan muka untuk menghindarkan pertemuan pandang, akan tetapi justru karena menunduk, ia melihat kaki buntung itu dan seperti diingatkan ia merasa kasihan dan terharu sekali. Kini, di luar tahunya orang lain, ia tidak memaksa diri mempertahankan air matanya dan dua butir air mata menitik turun ke atas sepasang pipinya.
“Eh, Sin Lian... kau menangis? Kenapa?”
Sin Lian menggigit bibir. Sukar sekali untuk bicara. Ia hanya dapat menghapus dua butir air mata dari pipinya, namun tanpa disadarinya bahwa ada dua butir lagi menggantikan yang ia hapus. Akhirnya ia dapat berkata lirih, “Aku... aku kasihan melihatmu... ngeri hatiku membayangkan betapa kakimu dipotong...”
Han Han tersenyum. “Ah, semenjak kecil engkau adalah seorang gadis yang amat baik hati, Sin Lian. Berkali-kali engkau membelaku dan sampai sekarang pun engkau masih menaruh kasihan kepadaku. Terima kasih, Sin Lian, engkau benar-benar seorang gadis yang amat berbudi. Aku girang bahwa Lulu telah menjadi adik angkatmu.”
“Han Han, harap kau maafkan aku...”
“Ehhh? Maafkan? Kenapa?”
“Dahulu, aku telah salah sangka, mengira engkau membantu orang-orang Hoa-san-pai untuk memusuhi Siauw-lim-pai sehingga aku menghinamu, menyerangmu.”
Han Han menarik nafas panjang. “Akulah yang harus minta maaf kepadamu, Sin Lian. Aku menganggap saudara-saudaramu orang-orang Siauw-lim-pai sebagai perampok. Ahhhhh, sudahlah, semua adalah akibat siasat busuk Puteri Nirahai. Percayalah kalau aku dapat bertemu dengan dia, akan kuberi hajaran puteri yang jahat itu! Nah, sekarang aku harap kau suka pulang, aku hendak melanjutkan perjalananku.”
Pemuda buntung itu sudah membalikkan tubuh ketika ia mendengar suara Sin Lian memanggil, “Han Han...!”
Ia memutar tubuh. Dua pasang mata bertemu pandang, melekat, terpesona dan Han Han terkejut bukan main melihat betapa sepasang mata Sin Lian itu mengeluarkan sinar yang sama benar dengan sepasang mata Kim Cu! Salahkah penglihatannya? Ataukah... ah, mungkinkah seorang dara seperti Sin Lian ini mempunyai rasa kasih sayang kepada dia seorang buntung? Tentu ia salah menyangka.
Hemmm, sungguh-sungguh tak tahu diri, celanya kepada hatinya sendiri sambil cepat mengalihkan pandang, menunduk. Tak tahu diri, seorang pemuda buntung macammu ini mana mungkin menarik kasih sayang seorang dara seperti Sin Lian? Kalau Kim Cu memang benar mencintanya, akan tetapi cinta kasih Kim Cu terhadapnya timbul sebelum kakinya buntung. Hanya Kim Cu-lah satu-satunya gadis di dunia ini yang dapat mencintanya, tentu saja di samping Lulu, adiknya yang ia tahu merupakan satu-satunya manusia yang ia cinta dan yang mencintanya sepenuh jiwa! Sin Lian mencintanya? Tak mungkin! Hanya dugaan yang timbul dari rasa iba diri.
“Ada apakah, Sin Lian?” tanyanya dan ia berani lagi mengangkat muka memandang setelah berhasil menguasai hatinya. Kini ia tidak melihat lagi sinar aneh dari mata Sin Lian dan diam-diam ia mentertawakan dirinya sendiri yang ternyata telah salah menduga.
“Han Han, biarkan aku pergi menemanimu mengantar surat itu ke markas pasukan Mancu. Aku sudah bilang kepada Ayah.”
Han Han terkejut. “Ahhh, tidak mungkin! Semua orang tentu mengenal engkau sebagai puteri Lauw-pangcu dan hal itu amat berbahaya!”
“Apakah kalau engkau yang pergi ke sana tidak berbahaya? Kalau memang akan menghadapi bahaya, biarlah kita hadapi bersama. Aku tidak takut!”
Han Han tersenyum di dalam hatinya. Kalau sudah berkeras kepala begini, Sin Lian seperti masih kanak-kanak, tidak ada perubahan sama sekali sejak dahulu! Akan tetapi ia segera berkata dengan halus.
“Sin Lian, bukan demikian maksudku. Tentu saja engkau pun tidak takut akan bahaya, dan tentu saja kalau ada engkau, kita berdua akan dapat menghadapi musuh lebih kuat lagi. Akan tetapi, kalau engkau ikut, tentu rusak rencana kita semua. Mana mungkin orang-orang Mancu itu percaya akan surat yang kubawa ini? Mereka tentu akan curiga dan semua siasat yang diatur Ayahmu akan gagal. Percayalah, kalau aku sendiri yang ke sana dan mengaku sebagai kepercayaan Puteri Nirahai, tentu mereka akan percaya dan akan dapat terjebak oleh barisan pendam Ayahmu. Selain itu, ada lagi alasan pribadi mengapa aku sendiri harus menghadap perwira she Su itu, Sin Lian.”
“Akan tetapi...”
“Tidak ada tapi, Sin Lian. Engkau tinggallah di sini, dan Ayahmu amat memerlukan bantuanmu untuk menghadapi para penyerbu nanti.” Ketika melihat betapa sinar mata gadis itu masih berkeras, Han Han cepat menyambung, “Sudahlah, Sin Lian, kalau sudah selesai tugas kita, kelak kita bicara lagi sepuasnya. Selamat berpisah!” Setelah berkata demikian, Han Han berkelebat.
Terkejutlah Sin Lian karena tiba-tiba pemuda buntung itu sudah lenyap dari depannya. Ia mengangkat muka, melihat bayangan pemuda itu mencelat ke atas dan terus berloncatan amat cepatnya seperti terbang saja. Sebentar saja bayangan pemuda itu hanya tampak seperti sebuah titik hitam yang bergerak-gerak seperti seekor belalang berloncatan.
“Han Han...!” Ia mengeluh, penuh kagum, penuh iba melihat kaki buntungnya dan penuh... perasaan aneh di hatinya.
Sejenak Sin Lian memandang sampai bayangan itu lenyap, lalu ia termenung dan menundukkan mukanya, teringat ia akan ucapan Lulu tentang Han Han itu. Betapa secara berkelakar Lulu ingin menjodohkan dia dengan Han Han, betapa Lulu itu secara tepat mengatakan bahwa dia mencinta Han Han. Sin Lian yang berdiri seorang diri itu tersenyum-senyum malu dengan kedua pipi berubah merah sekali, matanya berseri dan sampai lama ia berdiri melamun lupa akan segala.
Dia menjadi amat heran akan sikapnya sendiri, heran akan isi hatinya. Betapa pun tampannya, betapa pun gagahnya, Han Han adalah seorang pemuda cacat, seorang buntung! Mengapa hatinya begini tertarik, lebih tertarik dan suka dari pada dahulu ketika mereka berdua masih kanak-kanak, bahkan lebih tertarik dibandingkan ketika ia mendengar cerita Lulu, padahal ketika itu ia membayangkan Han Han seorang pemuda tanpa cacat? Mengapa tidak ada sedikit pun perasaan kecewa atau terhina melihat pemuda buntung itu, membayangkannya berada di sampingnya sebagai teman hidup? Bahkan ada rasa bangga di hatinya, bangga bahwa biar pun kakinya buntung sebelah, namun Han Han memiliki kepandaian yang amat luar biasa, dan hal itu terbukti dari gerakan pemuda itu yang benar-benar belum pernah ia lihat pada orang lain! Bangga bahwa sebagai seorang buntung kakinya, seorang penderita cacat, Han Han memiliki kelebihan yang banyak sekali kalau dibandingkan dengan orang yang utuh badannya.
Sin Lian sama sekali tidak tahu bahwa bukan hanya dia seorang yang mengenang dan memikirkan pemuda buntung itu. Juga Lu Soan Li, gadis tokoh Hoa-san itu, yang semenjak pertemuan pertamanya dengan Han Han ketika masih belum buntung kakinya dahulu telah jatuh hati. Kini setelah bertemu lagi dengan Han Han yang telah buntung kakinya, ia merasa betapa hatinya bagai ditusuk-tusuk penuh rasa iba dan haru melihat pemuda itu. Dia merasa heran mengapa hatinya seperti itu. Ingin ia menghibur pemuda buntung itu, ingin membela, ingin membahagiakan hidupnya dan mengusir awan kesengsaraan yang seolah-olah menyelimuti wajah tampan yang berambut panjang itu.
“Suheng, aku merasa khawatir sekali kalau-kalau dia akan menemui bencana di markas pasukan Mancu. Dia seorang diri saja dan... kakinya sudah buntung. Ah, Suheng, mengapa kau tadi tidak mencegahnya pergi? Bukankah lebih baik Suheng atau aku yang pergi mewakilinya? Sungguh kita keterlaluan sekali, membiarkan seorang buntung menempuh bahaya di sarang harimau!”
“Engkau maksudkan Han Han?” Sin Kiat bertanya, kemudian ia mengangguk. “Memang berbahaya sekali. Habis, kalau menurut pendapatmu, bagaimana baiknya, Sumoi?”
“Suheng, biarlah secara diam-diam aku membayanginya. Dia berjuang untuk perjuangan bersama, kalau sampai gagal, bukan hanya dia akan celaka, akan tetapi kita di sini semua pun akan mengalami mala petaka. Akan tetapi hal ini lebih baik dirahasiakan, Suheng. Suheng membantu persiapan di sini, membantu Lauw-pangcu yang akan mengatur barisan pendam untuk menjebak pasukan Mancu, sedangkan aku membantu Han-twako...”
Sin Kiat memandang wajah sumoi-nya dengan tajam, kemudian menghela napas dan berkata, suaranya tegas mengandung pertanyaan yang menuntut jawaban sejujurnya.
“Sumoi, engkau jatuh cinta kepada Han Han, bukan?”
Sunyi sejenak. Soan Li menundukkan mukanya dengan kedua pipi merah sekali, tak berani menentang pandang mata suheng-nya yang penuh selidik, kemudian sambil menunduk ia menjawab, suaranya juga penuh tuntutan yang membela diri.
“Suheng, agaknya tidak banyak bedanya dengan perasaan hati Suheng terhadap Lulu.”
Sin Kiat menarik napas panjang, lalu memegang pundak sumoi-nya, memaksa tubuh sumoi-nya menjadi tegak untuk memandang wajah sumoi-nya. “Soan Li, Sumoi-ku yang manis. Engkau tahu bahwa aku adalah sebagai kakakmu sendiri. Aku tidak akan menyalahkan perasaan hatimu, tidak pula hendak menekan kebebasan hatimu. Bahkan aku tidak akan mencela kalau engkau jatuh cinta kepada Han Han, karena memang dia seorang pemuda yang hebat! Aku sendiri amat kagum kepadanya. Dan aku tidak akan menyangkal lagi bahwa aku jatuh cinta kepada Lulu, maka akan amat picik dan liciklah kalau aku mencela Sumoi jatuh cinta kepada Han Han. Akan tetapi, keadaanmu berbeda dengan keadaanku, Sumoi. Engkau telah ditunangkan dengan Tan-siucai (Sastrawan Tan) oleh Suhu. Engkau tidak bebas lagi, menjadi calon isteri orang lain! Karena itu, sebagai wakil Suhu, aku peringatkan kepadamu, Sumoi, agar engkau selalu ingat akan kenyataan itu dan jangan menurutkan perasaan hati yang akan menyeretmu ke jalan sesat.”
Tiba-tiba Soan Li bangkit berdiri dan memandang suheng-nya dengan mata penuh kemarahan. “Suheng, apakah Suheng menilai saya serendah itu?”
“Eh, Sumoi, apa maksudmu?” Sin Kiat juga bangkit berdiri, alisnya berkerut.
“Suheng sendiri mengerti bahwa saya ditunangkan oleh Suhu dan sebagai murid yang tidak mempunyai orang tua lagi, saya harus mentaati kehendak Suhu. Saya belum pernah melihat wajah tunanganku, dan tentu saja saya tidak mencintanya. Kalau sekarang saya mencinta orang lain, adakah itu merupakan pelanggaran? Adakah itu merupakan perbuatan atau perasaan sesat? Aku mencinta Han Han, akan tetapi hal ini hanya merupakan perasaan hati saja. Jangan Suheng mengira bahwa saya akan melupakan kesusilaan, akan melakukan hal-hal yang rendah dan hina, akan mengkhianati ikatan jodoh yang sudah dilakukan Suhu! Jangan sekali-kali Suheng mengira bahwa dengan cinta kasihku ini aku lalu akan melakukan hal-hal yang sesat!”
Melihat sumoi-nya berdiri dengan muka mangar-mangar (kemerahan) saking marah dan penasaran, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan dua butir air mata seperti dua butir mutiara yang perlahan-lahan menetes turun ke atas kedua pipinya yang kemerahan menandakan bahwa hatinya terluka dan berduka, Sin Kiat lalu memegang kedua lengan sumoi-nya dan berkata.
“Maafkan aku... maafkan aku... Sumoi. Sungguh tidak patut aku mencurigai Sumoi-ku yang bijaksana. Ahh, Sumoi, kalau memang sedemikian kuat pendirianmu, aku pun tidak akan ragu-ragu lagi. Memang sebaiknya kalau Han Han dibantu, karena tugasnya amat penting. Silakan, akan tetapi, hati-hatilah, Sumoi.”
Soan Li terisak, saking girangnya dan saking terharu hatinya. Ia menghapus air matanya dan mencengkeram lengan suheng-nya. “Suheng,” katanya gemetar, “terima kasih, Suheng. Akan tetapi berjanjilah jangan sampai rahasia hatiku ini terdengar oleh siapa pun juga... akan kusimpan sebagai rahasia... kubawa mati...”
Melihat sumoi-nya berkelebat hendak pergi, Sin Kiat memanggil. “Sumoi!”
Sumoi-nya menahan kakinya, menengok.
“Sumoi, hati-hatilah, Sumoi...!”
Soan Li tersenyum manis kepada kakaknya, mulutnya senyum akan tetapi berlinangan air matanya. Setelah sumoi-nya pergi, Sin Kiat termenung. Takkan terlupakan selamanya bayangan wajah sumoi-nya ketika menengok tadi. Wajah yang tersenyum manis akan tetapi yang diliputi kedukaan besar, kedukaan yang timbul karena kekecewaan hati, cinta kasih yang takkan dapat tersampaikan karena gadis itu telah terikat oleh jodoh yang ditentukan oleh suhu mereka. Wajah yang manis, akan tetapi betapa menyedihkan senyum di antara linangan air mata!
Berulang kali Sin Kiat menarik napas panjang dan diam-diam ia menyesal, mengapa suhu-nya menentukan jodoh bagi sumoi-nya. Ia merasa yakin bahwa calon suami yang dipilihkan suhu-nya itu tentulah seorang yang benar-benar baik, akan tetapi apakah artinya kebaikan seseorang sebagai calon suami tanpa disertai rasa cinta dari pihak calon isteri?
Sin Kiat mencoba melupakan rasa duka di hatinya itu dengan menyibukkan dirinya membantu Lauw-pangcu yang mulai mengumpulkan anak buahnya bahkan dibantu oleh para tamu mengatur jebakan untuk menyambut serbuan pasukan Mancu.....
********************
Tidaklah terlalu sukar bagi Han Han untuk mendapatkan markas pasukan Mancu yang dicarinya. Markas itu berada di tepi sungai, sebuah dusun yang penduduknya telah diusir dan kini dusun itu diubah menjadi sebuah markas yang terjaga kuat. Ketika ia berjalan terpincang-pincang dan berhadapan dengan puluhan orang tentara penjaga yang segera mengurungnya dengan todongan golok dan tombak, diam-diam Han Han merasa beruntung bahwa dia membawa surat perintah rahasia itu untuk dapat bertemu dengan Su-ciangkun. Tanpa surat itu, biar pun ia sanggup menerobos memasuki markas, namun hal itu tentu saja akan amat berbahaya mengingat betapa ketatnya penjagaan dan bahwa markas itu tentu dihuni oleh ribuan orang tentara yang tak mungkin akan dapat dilawannya sendirian saja.
“Berhenti! Siapa engkau dan mau apa mendekati benteng penjagaan?” bentak seorang pemimpin regu yang mengurungnya sambil menodongkan ujung goloknya di leher Han han.
Han Han bersikap angkuh dan ia menjawab, “Jangan bersikap kurang ajar kalau kalian tidak ingin dihukum oleh Su-ciangkun! Aku adalah utusan pribadi Puteri Nirahai dari kota raja, membawa surat pribadi beliau untuk disampaikan kepada Su-ciangkun!”
Ujung golok itu agak menjauhi lehernya, namun pengurungan masih ketat. Suara kepala regu itu pun tidaklah galak lagi ketika bertanya.
“Hemmm, bagaimana kami dapat tahu bahwa engkau adalah utusan dari kota raja? Masa kota raja mengutus seorang... ehh, pincang... dan apa tandanya bahwa engkau adalah utusan kota raja?”
Han Han tersenyum di dalam hatinya. Biar pun masih memperlihatkan keraguan, setidaknya kepala regu ini sudah berhati-hati sehingga tidak berani menyebutnya buntung, melainkan pincang sungguh pun ia tidak dapat membedakan mana yang lebih merendahkan antara sebutan pincang dan buntung,
“Hemmm, beranikah engkau meragukan utusan Sang Puteri Nirahai? Tidak tahukah engkau, apa pura-pura tidak tahu bahwa Puteri Nirahai terkenal mempunyai banyak pembantu orang-orang kang-ouw sebagai pengawal-pengawal pribadi dan pengawal-pengawal rahasia? Karena sekali ini Puteri Nirahai mengirim perintah rahasia dan pribadi kepada Su-ciangkun, tentu saja mengutus seorang di antara pembantu-pembantu pribadinya, dan tidak mengutus utusan resmi. Mengertikah?”
Tentu saja para penjaga itu mengenal atau setidaknya sudah mendengar akan kekuasaan Puteri Nirahai, karena pemimpin pasukan-pasukan yang bermarkas di situ, Su-ciangkun, adalah anak buah puteri yang amat mereka kagumi dan hormati itu. Akan tetapi karena Han Han hanya seorang pemuda buntung yang sama sekali tidak mengesankan, tentu saja mereka pun ragu-ragu apakah benar orang muda macam ini menjadi utusan pribadi Puteri Nirahai.
“Maafkan kami kalau engkau betul utusan dari kota raja, orang muda. Akan tetapi, betapa pun juga, kami sebagai petugas-petugas yang melakukan penjagan, tidak akan berani memperbolehkan orang luar lewat tanpa lebih dulu yakin bahwa engkau benar-benar utusan dari kota raja.”
“Hemmm, kalian boleh juga, tahu akan kewajiban sebagai penjaga-penjaga yang tertib. Nah, sekarang lihatlah ini, apakah engkau masih ragu-ragu melihat cap dari Sang Puteri?” Ia mengeluarkan surat bersampul dan memang di bagian depan sampul itu, di atas kiri terdapat cap dari puteri yang berwarna merah.
Tentu saja sebagai tentara biasa, para penjaga itu selamanya belum pernah melihat cap sang puteri, hanya mereka merasa malu untuk mengakui kebodohan mereka. Kepala regu mengangguk-angguk dengan hati bingung, lalu berkata, “Baiklah, mari kuajak menghadap Su-ciangkun!”
Dengan hati berdebar Han Han lalu dikawal kepala regu itu memasuki benteng dan diam-diam ia terkejut melihat banyaknya tentara dengan perlengkapan yang hebat. Tidak mengherankan kalau pasukan-pasukan Mancu selalu mendapat kemenangan, kiranya selain bala tentaranya banyak, juga perlengkapan mereka cukup, dipimpin pula oleh orang-orang pandai. Dia dibawa memasuki sebuah gedung besar di tengah markas dan juga di sini terdapat penjagaan yang ketat.
Setelah melalui lima lapisan penjagaan yang makin lama makin kuat, akhirnya Han Han dihadapkan pada seorang perwira Mancu yang bertubuh tinggi besar, bermata lebar dan alisnya tebal sekali. Seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih yang benar-benar patut menjadi seorang pembesar tentara. Melihat wajah perwira ini, jantung Han Han berdebar dan terbayanglah segala peristiwa yang ia lihat belasan tahun yang lalu. Tidak salah lagi, inilah wajah seorang di antara tujuh perwira, wajah yang dulu ikut tertawa-tawa ketika berpesta di dalam rumahnya, dilayani oleh ayahnya yang membongkok-bongkok dan merendahkan diri!
Sungguh pun yang memperkosa enci-nya dan ibunya hanya dua orang perwira yang ia kenal sebagai Giam Cu yang kini menjadi cihu-nya, dan Giam Kok Ma yang kini ia anggap sebagai musuh nomor satu, namun lima orang perwira lain takkan pernah terlupa olehnya. Lima orang perwira lainnya itu pun ikut bertanggung jawab atas terbasminya keluarga orang tuanya! Ia menekan perasaan hatinya yang menegang penuh dendam ketika tiba-tiba perwira tinggi besar itu menegurnya dengan suara parau dan penuh wibawa.
“Heh, orang muda yang buntung! Engkau mengaku sebagai utusan Puteri Nirahai di kota raja! Kalau benar demikian, apa yang ditugaskan padamu?”
Han Han sadar dari lamunannya dan mendengar pertanyaan ini, maklumlah ia bahwa kepala regu yang mengawalnya sudah melaporkan kepada atasannya tanpa ia ketahui karena ia tadi termenung seperti orang mimpi. Segera ia membungkuk dan menjawab.
“Benarkah saya berhadapan dengan Su-ciangkun yang memimpin pasukan untuk melakukan pembersihan di sekitar lembah Huang-ho? Karena saya membawa perintah pribadi Sang Puteri untuk menghadap Su-ciangkun sendiri, maka saya tidak mau kalau sampai salah alamat!”
“Ha-ha-ha-ha! Bukan aku yang mencurigai engkau apakah betul-betul utusan Sang Puteri, malah engkau yang mencurigai apakah aku betul-betul Su-ciangkun. Ha-ha-ha, sungguh lucu!”
Perwira tinggi besar itu menepuk-nepuk meja dan tiba-tiba mejanya amblas ke dalam lantai bersama kursi yang didudukinya dan sebelum ia lenyap ke bawah melalui lantai rahasia, terdengar suaranya, “Tangkap dia dan rampas suratnya!”
Han Han terkejut sekali dan ketika ia memandang, ternyata ia telah dikurung oleh sembilan orang tinggi besar yang memegang golok dan bersikap mengancam. Diam-diam ia merasa heran. Apakah perwira itu mengenalnya sebagai utusan palsu? Kalau benar demikian, mengapa tidak sejak tadi ia ditangkap? Dan kalau memang benar demikian, mengapa dia dipancing ke sini lebih dulu kemudian hanya dikurung oleh sembilan orang ini? Mengapa tidak dikerahkan pasukan besar untuk menangkap atau membunuhnya?
Ah, tak mungkin kalau Su-ciangkun mengetahui bahwa dia adalah seorang utusan palsu. Tentu perwira yang cerdik ini hendak mengujinya karena memang sudah terkenal bahwa para pembantu Puteri Nirahai adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Teringat ia akan Setan Botak dan tokoh-tokoh aneh lain yang hadir ketika ia hendak ditangkap oleh Toat-beng Ciu-sian-li dahulu. Ia lalu tersenyum dan memandang ke sekeliling, kemudian berkata tenang.
“Apakah kalian begini tak tahu diri hendak mengganggu utusan Puteri Nirahai? Apakah kalian ini masing-masing memiliki nyawa rangkap?”
Sembilan orang itu saling pandang, kemudian seorang di antara mereka yang agaknya menjadi pemimpin menjawab, “Kami hanya melaksanakan perintah Su-ciangkun yang bertanggung jawab dan kalau memang engkau benar-benar utusan Sang Puteri, tentu tidak akan gentar menghadapi kami!”
Han Han tertawa dengan hati lega karena yakinlah ia sekarang bahwa perwira tinggi besar itu benar-benar hanya mengujinya. “Ha-ha-ha! Kalian kira begitu mudah akan merampas surat yang dipercayakan kepadaku? Surat ini sama dengan nyawaku, kalau kalian akan merampasnya, jangan harap sebelum dapat membunuhku!”
Tiba-tiba pemimpin itu berseru dan serentak sembilan orang itu maju menyerang Han Han. Pemuda ini maklum bahwa ia harus mengalahkan sembilan orang pengeroyoknya, akan tetapi ia tidak boleh terlalu menonjolkan kepandaiannya agar jangan mengejutkan hati perwira itu yang ia sangka tentulah mengintai dari tempat rahasia. Maka ia pun lalu mengerakkan tongkatnya sambil mengerahkan tenaga, tidak mempergunakan ilmunya gerak kilat. Ia memutar tongkat menghadapi golok mereka, berpusing pada satu kakinya. Tongkatnya berubah menjadi segulung sinar yang bagaikan seekor naga melingkar menangkis sembilan batang golok yang menyerangnya.
Terdengar suara nyaring sekali, sembilan kali berturut-turut, disusul golok-golok itu beterbangan cepat dan robohlah sembilan orang itu seorang demi seorang karena sambungan lutut kanan mereka telah terlepas dicium ujung tongkatnya yang bergerak amat cepat sehingga tak dapat diikuti pandang mata para peiigeroyoknya! Sembilan orang itu saking heran dan kagetnya tidak sempat berteriak dan hanya roboh memegangi lutut dan memandang Han Han dengan mata terbelalak.
Pintu terbuka dari luar dan muncullah Su-ciangkun sambil tertawa bergelak dan mengangkat ibu jari kanannya tinggi. “Ha-ha-ha, bukan main! Para pembantu pribadi Sang Puteri benar-benar hebat dan sicu merupakan seorang di antara yang paling hebat! Merobohkan sembilan orang pengawalku dalam segebrakan saja! Bagaimana mungkin dapat kupercaya kalau tidak menyaksikan dengan mata sendiri? Hebat... hebat...!”
Menurut keinginan hatinya, Han Han bernafsu sekali untuk bergerak membunuh musuh besarnya ini. Akan tetapi dia tidak mau sembrono. Pertama, ia tidak mau kesalahan tangan. Setelah banyak peristiwa hebat terjadi karena kesalahan sangka sehingga akibatnya ia membunuhi orang-orang Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai, kini ia tidak mau bertindak sembrono lagi. Kedua, tempat itu merupakan tempat yang amat berbahaya. Kalau ia dikurung oleh ribuan orang tentara, sangatlah sukar untuk menyelamatkan diri. Maka ia lalu menjura dan berkata sambil tersenyum.
“Ciangkun terlalu memuji. Apakah kini ciangkun percaya bahwa saya adalah utusan pribadi Puteri Nirahai?”
“Percaya... percaya...! Hanya kepandaianmu yang membikin aku percaya, sicu. Kalau bukan pribadi, tentu membawa tanda-tanda dari pasukannya. Akan tetapi aku sudah tahu akan pembantu-pembantu pribadi Sang Puteri yang terdiri dari orang-orang aneh. Hanya di antara mereka itu belum pernah aku mendengar akan seorang pembantu yang... eh, maaf, yang kakinya buntung seperti sicu. Aku mengenal Gak-locianpwe...”
“Maksudmu Kang-thouw-kwi, ciangkun?”
“Benar, dan masih ada lagi tiga orang murid beliau...” Perwira itu berhenti sambil memandang muka Han Han. Pemuda ini tahu bahwa perwira itu lagi-lagi mengujinya, maka tanpa ragu-ragu lagi ia berkata.
“Tentu ciangkun maksudkan Hek-giam-ong, Pek-giam-ong, dan Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio?”
“Aha, kiranya sicu telah mengenal pula mereka. Tentu saja, sebagai pembantu kepercayaan Sang Puteri, sicu tentu mengenal mereka semua. Kini aku tidak ragu-ragu lagi, marilah kita bicara di dalam, sicu.”
Perwira itu lalu menggandeng tangan Han Han dan diajaknya pemuda itu memasuki sebuah kamar di dalam gedung itu. Han Han melihat bahwa di depan tiap pintu dan jendela kamar ini pun dijaga oleh belasan orang pengawal, maka ia menjadi makin berhati-hati lagi. Kamar itu besar dan megah, di dalamnya terdapat tiga orang wanita muda yang pakaian suteranya membayangkan tubuh-tubuh mulus tanpa pakaian dalam. Waduhhh.....
Mereka itu cantik-cantik, namun begitu memasuki kamar, Su-ciangkun lalu menyuruh mereka pergi. Tiga orang wanita itu tadinya melempar pandang mata mesra kepada wajah Han Han yang tampan, akan tetapi ketika melihat ke bawah, ke arah kaki Han Han yang buntung, mereka membuang muka dan segera berjalan pergi dengan langkah-langkah lemah gemulai seperti menari, tubuh mereka yang membayang dari balik sutera tipis itu bergerak menggairahkan, lenyap memasuki kamar lain melalui sebuah pintu yang tertutup tirai sutera merah.
“Silakan duduk, sicu. Siapakah nama sicu?”
“Saya she Suma, ciangkun.” Han Han sengaja menggunakan nama Suma, nama keturunannya yang asli malah, karena ia khawatir kalau-kalau perwira ini telah mendengar nama Sie Han.
Agaknya perwira itu tergesa-gesa ingin membaca surat yang dibawanya, maka tidak menanyakan namanya sehingga legalah hati Han Han yang tidak perlu membohong dan mencari nama palsu lagi. Ia lalu mengeluarkan surat bersampul itu dari sakunya, menyerahkan kepada perwira itu.
Perwira itu menerima surat, mengamati tulisan dan capnya, kemudian membuka sampul dan mengeluarkan suratnya. Setelah membaca surat itu, wajah perwira itu berseri dan ia menepuk pahanya sendiri. “Bagus! Kiranya di sana tempat persembunyian kakek jembel yang telah lama kucari-cari itu? Hemmm, benar-benar Sang Puteri amat hebat dan cerdik, sudah dapat mengetahui tempat persembunyiannya. Sekarang ini akan dapat kuhancurkan sisa-sisa Pek-lian Kai-pang yang sudah banyak membikin pusing para petugas keamanan! Silakan Suma-sicu kembali ke kota raja dan melaporkan bahwa kami akan melaksanakan perintah Sang Puteri sebaik-baiknya. Dan sebaiknya sicu menunggang kuda, akan kuperintahkan menyediakan kuda terbaik dan bekal secukupnya!”
Akan tetapi Han Han mengangkat tangan kanannya dan berkata, “Tidak, ciangkun. Saya menerima tugas dari Sang Puteri untuk menyaksikan sendiri sampai perintah itu dilakukan dengan hasil baik, bahkan saya diperintahkan membantu. Setelah berhasil, baru saya akan kembali ke kota raja dan menyampaikan laporan kepada Sang Puteri.”
“Begitukah? Bagus sekali!” Perwira itu menjadi girang dan wajahnya berseri. “Dengan bantuan sicu yang gagah perkasa, akan lebih cepat para pemberontak itu dihancurkan!” Perwira itu lalu bertepuk tangan dua kali. Masuklah lima orang pelayan wanita yang cantik-cantik. Dengan suara keras dan singkat Su-ciangkun memberi perintah untuk mengeluarkan hidangan.
Han Han merasa sungkan sekali, karena ketika perwira itu mengajaknya makan minum telah memanggil tiga orang wanita cantik setengah telanjang tadi dan menyuruh mereka melayani!
“Ha-ha-ha, jangan sungkan-sungkan, Suma-sicu. Mereka ini adalah selir-selirku yang bertugas mengawani dan melayaniku di sini. Jangan sungkan, kalau sicu menginginkan seorang di antara mereka, tunjuk saja! Ha-ha-ha, aku akan merasa bangga kalau ada selirku yang memenuhi selera seorang seperti sicu.”
“Terima kasih, ciangkun. Ti... tidak... saya... saya amat lelah dan setelah makan akan beristirahat. Perjalanan jauh yang saya lakukan amat melelahkan. Lagi pula, saya rasa ciangkun pasti akan melakukan persiapan secepatnya untuk segera menyerbu para pemberontak itu.”
“Ha-ha-ha-ha! Suma-sicu benar mengagumkan, begini penuh semangat! Baiklah, kalau sicu ingin beristirahat.” Ia memberi tanda dengan tangan kepada seorang di antara tiga orang wanita itu. “Kau antarkan Suma-sicu ke kamar tamu sebelah kanan!”
Han Han menjura kepada perwira itu, menyambar tongkatnya dan terpincang-pincang mengikuti wanita yang berjalan dengan pinggul menari-nari. Wanita itu membawanya ke sebuah kamar yang indah dan terlalu bersih bagi Han Han yang semenjak meninggalkan Istana Pulau Es belum pernah memasuki kamar seindah ini.
“Saya akan menemani taihiap semalam di sini...” Wanita itu tersenyum dan membanting tubuhnya ke atas tempat tidur. Karena ia menjatuhkan diri terlentang, sutera penutup tubuhnya yang memang tidak rapat itu tersingkap dan tampaklah oleh Han Han kulit paha dan perut yang putih kuning. Matanya menjadi ‘silau’ dan ia memejamkan kedua matanya.
“Hi-hi-hik-hik... marilah taihiap... apakah seorang gagah perkasa seperti taihiap takut kepadaku? Hi-hik...!”
Han Han merasa betapa kedua lengan wanita yang telah bangkit itu seperti dua ekor ular merayap melingkari lehernya, tubuh wanita itu menggeser-geser tubuhnya dan bau harum memasuki hidungnya. Han Han mengeraskan hati dan sekali renggut dan mendorong, tubuh wanita itu terhuyung ke belakang dan wanita itu menjerit kecil.
“Maaf...!” Han Han membuka matanya. “Aku... aku mau tidur sendiri.”
Wanita itu tertawa. “Hi-hik, taihiap masih... masih jejaka tulen?”
Han Han memandang tajam dan berkata agak ketus, “Pergilah, aku mau mengaso!”
Ketika bertemu pandang dengan sinar mata pemuda itu, si wanita kaget dan seperti seekor anjing dipukul dia tergesa-gesa pergi dari kamar itu melalui pintu, lupa untuk menggoyang kibulnya seperti biasa!
Selanjutnya baca
PENDEKAR SUPER SAKTI : JILID-15