Pendekar Bodoh Jilid 06
Pertempuran antara Kwee An dan Tan Song segera dimulai. Dalam beberapa gebrakan saja Cin Hai dapat tahu bahwa Kwee An sudah mempelajari ilmu silat dari Kim-san-pai, sebuah cabang persilatan dari Go-bi-san yang mempunyai banyak cabang persilatan itu.
Pernah dulu Bu Pun Su memberi tahu kepadanya tentang cabang persilatan ini yang biar pun kurang ternama, akan tetapi sesungguhnya mempunyai ilmu silat yang tinggi. Dan sekarang Cin Hai membuktikan sendiri hingga dia merasa girang sekali karena Kwee An yang baik hati dan sederhana itu ternyata memiliki kepandaian silat yang tidak saja lebih tinggi dari Lin Lin, akan tetapi agaknya tak kalah dengan kepandaian Si Muka Hitam ini!
Benar saja seperti dugaan Cin Hai semula, Tan Song yang maklum bahwa lawannya yang masih muda ini memiliki kepandaian tinggi dan merupakan lawan yang tangguh, lalu berusaha mencapai kemenangan mengandalkan kedua tangannya yang memiliki tenaga Pek-mo-jiu. Dia segera mengerahkan tenaga dan kepandaian melancarkan seragan kilat yang dapat membawa maut.
Akan tetapi Kwee An berlaku hati-hati sekali. Ginkang pemuda ini sudah mencapai tingkat tinggi dan ia memiliki ilmu meringankan tubuh yang lebih tinggi dari pada lawannya, maka ia menggunakan ginkang-nya untuk bergerak ke sana ke mari demikian cepatnya laksana seekor burung kepinis!
Orang-orang bersorak gembira melihat pertunjukkan ini, karena pertempuran mereka itu seakan-akan seekor ular yang mengejar burung yang terlalu gesit dan cepat untuk dapat dicaploknya. Kwee An mengeluarkan ilmu silat Kim-san-pai yang lihai dan segera balas menyerang dengan totokan-totokan ke arah urat dan jalan darah lawan.
Pernah terjadi kelambatan pergerakan Kwee An yang hampir saja mencelakakan anak muda ini sebab Tan Song menggunakan kesempatan itu untuk mengirim sebuah pukulan maut yang keras ke arah dada Kwee An. Semua orang terkejut, bahkan Ang I Niocu pun mengeluarkan seruan tertahan.
Kwee An merasa betapa angin pukulan Pek-mo-ciang ini seakan mengiris kulit dadanya. Namun berkat kegesitannya, dia segera melempar diri ke belakang sambil menggerakan kedua kakinya menendang ke depan bergantian. Untung saja dia mempergunakan Ilmu Gerakan Kera Jatuh Dari Cabang ini, karena kalau saja ia tidak mempergunakan gerakan ini dan tidak menendangkan kedua kakinya, tentu lawannya akan menubruk maju sambil mengirim serangan ke dua.
Cepat sekali Kwee An menggunakan kedua tangan menekan lantai sehingga tubuhnya dapat mencelat ke atas kembali dan kini ia menghadapi lawannya yang tangguh dengan lebih hati-hati.
Sesudah bertempur seratus jurus lebih, lambat laun Tan Song mulai terdesak. Kwee An yang muda serta bertenaga kuat itu melancarkan serangan-serangan yang terlihai dari Kim-san-pai dan karena cabang persilatan ini memang tidak banyak dikenal orang, maka Tan Song menjadi bingung menghadapi gerakan-gerakan yang aneh ini.
Cin Hai merasa gembira sekali dan ia bersorak-sorak gembira sambil berseru-seru “Hayo, Kwee An, hantam terus... hantam terus...”
Semua penonton melihat dan mendengar Cin Hai ikut merasa gembira karena mereka ini hampir semua berpihak pada tuan rumah dan membenci perwira-perwira Sayap Garuda yang terkenal jahat. Kwee In Liang merasa girang sekali melihat bahwa puteranya yang tadinya disangka bodoh dan paling lemah di antara semua puteranya yang lain, ternyata kini datang-datang membawa pulang kepandaian yang sangat tinggi, bahkan mungkin lebih tinggi dari pada Lin Lin!
Ketika mendapat kesempatan baik, yaitu pada saat lawannya terhuyung mundur karena serangan yang datang bertubi-tubi, Kwee An lalu melangkah maju dan memukul dengan tangan kiri ke arah mata lawan. Tan Song cepat mengelak tetapi segera berteriak kaget karena tiba-tiba saja kaki kanan Kwee An melayang dan menendang lawan yang tidak menyangka dan sedang berada dalam posisi yang lemah itu.
Tak ampun lagi dada Tan Song berkenalan dengan ujung sepatu Kwee An dan perwira pendek itu berteriak kesakitan lalu roboh sambil memegangi dadanya! Kawan-kawannya lalu datang menolong dan mengangkatnya ke pinggir.
Kwee In Liang lalu menghampiri Kwee An. Ayah dan anak ini berpelukan. Lalu Kwee An digandeng oleh ayahnya menuju ke tempat duduk Loan Nio dimana Kwee An disambut oleh Loan Nio dengan terharu dan girang. Juga saudara-saudaranya lalu segera datang menyerbu menghujani pertanyaan dalam suasana gembira. Mereka ini merasa bangga sekali akan kepandaian Kwee An.
“Nah, ini baru disebut kepandaian asli,” kata Kwee Tiong sambil mengerling ke arah Cin Hai, “diam-diam engkau mengeluarkan tenaga dan dengan jujur kau mengalahkan orang she Tan yang tangguh itu. Engkau benar-benar hebat, An!” Kwee Tiong menepuk-nepuk pundak adiknya dengan wajah bangga sekali.
Pada saat itu perwira ke tiga masuk ke dalam arena adu silat. Perwira ini bertubuh tinggi kurus dan gerak-geriknya lambat tetapi penuh mengandung tenaga sedangkan sepasang matanya tajam berpengaruh. Melihat sepintas lalu saja Cin Hai dapat mengetahui bahwa orang ini adalah seorang ahli lweekeh yang tangguh.
Perwira ini sesungguhnya adalah kakak dari Tan Song dan bernama Tan Bu, sedangkan kepandaian ilmu silatnya masih jauh lebih tinggi dari pada Tan Boan Sip. Tetapi adatnya pendiam dan tidak sombong.
Setelah berdiri di tengah-tengah arena, Tan Bu lalu menjura ke arah Kwee In Liang dan berkata dengan suaranya yang besar,
“Kwee-enghiong, puteramu tadi sungguh lihai, apa bila kiranya tidak terlalu lelah dan sudi memberi pelajaran kepdaku yang bodoh, aku akan merasa gembira sekali!”
Kwee An hendak maju lagi, tetapi ia ditahan oleh Kwee In Liang.
“Kau terlalu lelah, baru saja datang sudah bertempur dengan musuh tangguh. Kalau kini kau maju lagi, maka kau akan terlalu letih. Lebih baik beristirahat dulu.”
“Habis siapa yang akan maju melayani perwira itu?” tanya Kwee An.
Tiba-tiba Bhok Ki Sun yang menjadi kawan Kwee In Liang berdiri dan berkata, “Biarlah aku yang tua ikut meramaikan pesta ini dan mencoba-coba tenaga.”
Muka Kwee In Liang berseri. Dia maklum bahwa kepandaian Bhok Ki Sun jago tua dari selatan ini cukup lihai dan lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri, maka dia cepat menjura sambil berkata, “Kalau kau sudi membantu, aku merasa berhutang budi besar sekali.”
Bhok Ki Sun segera bertindak maju dan menghampiri Tan Bu. Jago tua yang berpakaian seperti seorang petani sederhana ini lalu menjura dan berkata,
“Belum tahu siapa nama Ciangkun dan apakah pendirian Ciangkun sama pula dengan pendirian Tan-ciangkun bahwa orang luar tidak boleh membantu tuan rumah? Aku Bhok Ki Sun karena menjadi kawan baik dari Kwee In Liang, maka berkenan mengajukan diri untuk melayanimu.”
Berbeda dengan Tan Song, Tan Bu ini mempunyai pendirian yang lebih adil, maka dia menjawab, “Aku bernama Tan Bu dan maafkan ucapan adikku yang berpikiran pendek tadi. Jika Bhok Lo-enghiong hendak turun tangan, aku merasa gembira sekali dan marilah kita bermain-main sebentar!”
Bhok Ki Sun adalah seorang anak murid dari Kun-lun-pai, maka dia pun memiliki tenaga lweekang yang cukup sempurna. Setelah keduanya menjura dan saling memberi hormat, pertempuran segera dimulai.
Keduanya bergerak lambat-lambatan dan lemas, seperti biasa ahli-ahli lweekeh bergerak. Akan tetapi setelah beberapa kali beradu lengan dan mendapat kenyataan bahwa pihak lawan sama kuatnya, mereka kemudian mempercepat gerakan mereka dan tidak hanya mengandalkan tenaga lweekang semata. Mereka segera mengeluarkan kecepatan dan kelihaian ilmu silat masing-masing, maka pertempuran lantas berubah cepat dan hebat.
Dan beberapa puluh jurus kemudian ternyatalah bahwa Bhok Ki Sun bukanlah lawan Tan Bu karena orang tua itu segera terdesak hebat. Ilmu silat Tan Bu sangat mengagumkan karena di samping sukar diduga, juga mempunyai pecahan dan perubahan gerakan yang banyak sekali macamnya dan yang kesemuanya dilakukan dengan gerak cepat.
Beberapa kali Bhok Ki Sun hampir celaka karena serangan lawan hingga akhirnya ia pikir lebih baik mundur sebelum terluka dalam pertempuran yang sesungguhnya lebih bersifat mengukur kepandaian ini. Dengan gerakan Ikan Hiu Menerjang Ombak Bhok Ki Sun lalu meloncat ke belakang dan berjumpalitan hingga tubuhnya terpental jauh. Ia turun sambil merangkapkan kedua tangannya dan berkata,
“Tan-ciangkun, kepandaianmu sungguh luar biasa dan aku Bhok Ki Sun mengaku kalah!” Dia lalu menjura kepada Kwee In Liang sebagai pernyataan maafnya karena tak berhasil membela nama keluarga Kwee.
Pek I Toanio tertarik sekali melihat kepandaian Tan Bu, karena itu sesudah mendapat perkenan dari gurunya, ia lalu maju menggantikan Bhok Ki Sun.
“Ingin sekali aku merasakan kelihaian Tan-ciangkun bermain senjata,” kata Pek Toanio sambil mencabut pedang di tangan kanan dan mengeluarkan sebuah hudtim (kebutan) di tangan kiri. Nyonya baju putih ini memang pernah mempelajari ilmu memainkan hudtim dan pedang dari gurunya.
“Baik, baik. Aku pun sudah melihat permainanmu yang sangat lihai tadi dan ingin sekali untuk mencobanya,” jawab Tan Bu yang segera mengambil senjatanya, yakni sebatang toya panjang yang ujungnya dipasangi kaitan.
Sesudah saling memberi hormat, maka kedua orang ini segera menggerakkan senjata masing-masing dalam pertempuran, yang jauh lebih hebat dan seru dari pada ketika Tan Bu bertempur melawan Bhok Ki Sun dengan tangan kosong.
Sinar pedang Pek I Toanio bergulung-gulung dibarengi menyambarnya hudtim-nya yang cukup lihai sehingga permainannya mendatangkan pemandangan yang menarik sekali.
Akan tetapi permainan toya dari Tan Bu juga mengagumkan, dan berbareng mengerikan. Toya itu sangat berat dan digerakkan dalam putaran yang demikian cepatnya sehingga mendatangkan angin berkesiur yang dirasakan oleh semua penonton yang duduk di situ! Baru anginnya saja sudah memiliki tenaga hebat hingga bisa menggerakkan pakaian dan rambut orang-orang di sekitarnya, apa lagi kalau terkena kemplang toya yang berat dan digerakkan cepat ini!
Baru bertempur dalam beberapa belas jurus saja, Pek I Toanio telah maklum bahwa jika ia mengadu tenaga, maka ia tentu akan kalah. Maka ia lalu berkelebat ke sana ke mari menghindarkan diri dari sabetan toya, sambil mempergunakan kesempatan-kesempatan baik untuk membalas menusuk dengan pedang atau memukul jalan darah dengan ujung kebutan.
Pada saat Tan Bu menggunakan gerak tipu Hing-sau Chian-kun atau Serampang Bersih Ribuan Tentara dan tiba-tiba memutarkan toyanya ke arah Pek I Toanio sambil berseru keras, nyonya itu melompat ke atas melewati kepala lawannya. Akan tetapi cepat laksana kitiran angin, toya Tan Bu sudah mengejar tubuh yang di atas itu dan cepat menusuk ke arah Pek I Toanio! Serangan ini berbahaya sekali hingga semua orang menahan napas.
Akan tetapi, Pek I Toanio benar-benar memiliki ginkang yang sempurna. Melihat bahwa serangan lawan ini berbahaya sekali dan baginya tiada waktu lagi untuk berkelit, ada pun untuk menangkis dia akan kalah tenaga, maka dia segera memperlihatkan kegesitannya. Pada saat ujung toya menyambar ke arahnya, ia mementangkan kaki dan menggunakan ujung kaki kanannya ditotolkan pada ujung toya itu lalu ia mengikuti gerakan toya yang menyerangnya sambil tidak lupa mengebutkan hudtim-nya ke arah jalan darah kin-hu-hiat di pundak kanan Tan Bu!
Gerakan ini luar biasa indah dan beraninya sehingga Tan Bu sama sekali tidak menduga, tahu-tahu pundaknya kena terpukul dan tertotok oleh ujung hudtim yang tiba-tiba berubah keras, sedangkan tubuh Pek I Toanio terbawa oleh dorongan toya dan mencelat ke atas hingga kepalanya hampir tebentur kepada tiang yang melintang di atas!
Pek I Toanio tidak kalah kagetnya. Totokannya tadi sudah mengenai urat di tubuh lawan dengan tepat sekali, akan tetapi Tan Bu kelihatan biasa saja seakan-akan tidak pernah terpukul, apa lagi terluka!
Cepat nyonya ini meluncur turun dan dia merasa bahwa melawan terus tidak akan ada gunanya, karena harus dia akui bahwa kepandaian lawannya dalam memainkan senjata sungguh-sungguh hebat dan lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri. Maka dia lalu menjura dan berkata,
“Terima kasih atas petunjuk Ciangkun.”
Tepuk sorak ramai terdengar dari pihak para perwira yang merasa senang sekali betapa dalam dua pertempuran berturut-turut Tan Bu telah berhasil mengalahkan lawan! Dengan dua kali kemenangan itu, sekaligus Tan Bu telah membersihkan muka mereka dan dapat menebus kekalahan Tan Song tadi.
“He, Kwee In Liang, jika kau sudah tidak mempunyai jago lain lagi, majukan saja pemuda tolol itu!” Tiba-tiba Boan Sip berseru keras dengan suara menghina.
Semua penonton memandang ke arah Kwee In Liang dengan cemas karena sesudah kedua jago itu kalah, siapa lagi yang hendak maju?
Kwee In Liang tidak berani minta tolong kepada Kwee An. “Sekarang kau, Lin Lin, atau aku sendiri yang maju dan berternpur mati-matian, membela nama kita!”
“Kwee-enghiong, sabar dulu. Biarkan pinni maju menghajar mereka,” kata Biauw Suthai.
Akan tetapi tiba-tiba Ang I Niocu yang merasa marah sekali mendengar Cin Hai dimaki tolol, segera berdiri.
“Biarkan aku saja yang maju!” setelah berkata cepat-cepat tanpa menanti jawaban, lalu sekali melompat tubuhnya telah berada di hadapan Tan Bu!
Orang tidak melihat bagaimana dia mencabut pedangnya, akan tetapi tahu-tahu tangan kanan nona itu telah memegang sebatang pedang yang tajam berkilau.
“Manusia sombong yang membuka mulut besar, kau keluarlah dan marilah kau rasakan tajamnya pedangku!” katanya sambil menggunakan telunjuk kiri menuding ke arah Boan Sip!
Tan Bu maju selangkah dan mengangkat kedua tangan sambil berkata,
“Bukankah engkau ini Ang I Niocu? Ah, sudah lama aku mendengar namamu yang besar, maka betapa beruntungnya hari ini dapat menyaksikan kelihaianmu. Jangan kau hiraukan Boan-sute yang memang berdarah panas, dan marilah kita mencoba-coba kepandaian!”
Ang I Niocu terpaksa menghadapi Tan Bu.
“Orang she Tan! Sungguh harus disesalkan bahwa orang yang mempunyai kepandaian seperti engkau ini telah berlaku sembrono dan mengacau pesta orang lain.”
“Ang I Niocu, kita sama-sama orang luar dan peduli apa dengan segala urusan remeh? Yang paling penting bagi kita sekarang ialah mencoba kepandaian masing-masing pada kesempatan yang baik ini, untuk meluaskan pengetahuan.”
“Baiklah, kalau engkau menghendaki demikian. Nah, engkau majulah!” Ang I Niocu lantas membuat gerakan yang indah dan lemah gemulai dengan pedangnya sehingga semua penonton bertepuk tangan kagum.
Tan Bu maklum akan kelihaian lawan, karena itu dia segera mendahului dan mengirim serangan kilat dengan toyanya yang hebat. Akan tetapi, dengan menari indah Ang I Niocu mudah saja menghindarkan diri dari serangan dan menghadapi lawan tangguh ini dengan tenang serta dengan tarian indah sekali hingga keduanya merupakan dua orang mahluk yang sangat berbeda.
Para penonton merasa kagum sekali. Seumur hidup mereka belum pernah menyaksikan seorang gadis cantik menghadapi ilmu silat toya yang luar biasa ganas itu dengan hanya menari-nari, akan tetapi sedikit pun tidak kena terpukul!
Tidak hanya para penonton yang kurang paham ilmu silat, bahkan Lin Lin, Pek I Toanio, Kwee An, dan yang lain-lainnya memandang dengan melongo dan kagum. Juga Biauw Suthai nampak mengangguk-anggukkan kepala sambil menggunakan sebelah matanya memandang dengan penuh perhatian.
Akan tetapi kegembiraan mereka bercampur dengan kekuatiran karena ilmu toya Tan Bu benar-benar hebat dan dahsyat. Karena telah tahu bahwa kepandaian Ang I Niocu sangat tinggi dan lihai, perwira yang kosen ini lalu mengeluarkan ilmu toyanya yang paling hebat dan berbahaya, jauh lebih hebat dari pada ketika ia menghadapi Pek I Toanio tadi.
Oleh karena ini diam-diam Ang I Niocu merasa terkejut juga dan tak pernah disangkanya bahwa sebenarnya Tan Bu memiliki kepandaian ilmu toya setinggi ini. Dia lalu bertempur dengan hati-hati sekali dan selama itu belum pernah membalas dengan desakan, hanya mempertahankan diri sambil memperhatikan dan mempelajari gerakan lawan.
Melihat keragu-raguan Ang I Niocu ini, Cin Hai merasa tidak puas sekali. Dia yang sudah mempunyai pengertian pokok rahasia segala macam ilmu silat, telah memiliki pandangan tajam dan tahu bahwa gerakan-gerakan toya Tan Bu itu sebenarnya hanyalah ganas dan dahsyat karena toya itu selain berat, juga orang she Tan itu mempunyai tenaga besar dan kalau saja Ang I Niocu mengeluarkan kegesitannya, maka Nona Baju Merah itu tak akan sulit mengalahkan lawannya. Oleh karena itu maka diam-diam Cin Hai lalu mengeluarkan sulingnya.
Lin Lin yang duduk tidak jauh dari Cin Hai, dan semenjak tadi sering kali mengerling ke arah pemuda yang sangat menarik hatinya itu, menjadi kaget dan heran, lalu tanpa dapat ditahan lagi mengajukan pertanyaan, “Ehh, Engko Hai, mengapa kau keluarkan sulingmu pada saat seperti ini?” Ia bertanya sambil tersenyum geli.
Cin Hai juga tersenyum, namun jawabannya menghilangkan senyum gadis yang menjadi sangat terheran itu ketika mendengar Cin Hai berkata,
“Aku meniup suling untuk mengiringi tarian Niocu.”
Sebelum Lin Lin dapat bertanya lebih lanjut, Cin Hai sudah meniup suling maka tiba-tiba terdengarlah tiupan suling yang merdu di ruangan itu. Semua orang menjadi heran sekali, ada pun Kwee Tiong memandang kepada Cin Hai dengan marah. Dia anggap pemuda ini benar-benar tolol dan tidak pantas menyuling! Dia melangkah maju dan hendak melarang Cin Hai menyuling.
Akan tetapi Lin Lin memandang pada Kwee Tiong dengan mata dilebarkan dan berkata, “Engko Tiong, biarkan saja dan jangan ganggu dia!”
Kwee Tiong merasa dongkol sekali, akan tetapi semenjak adik perempuannya ini kembali dengan membawa kepandaian yang tinggi, ia tunduk dan tidak berani melawan. Ia hanya memandang dengan mata marah kepada Cin Hai yang masih terus menyuling dengan asyiknya.
Akan tetapi, tiba-tiba ketika suara suling Cin Hai semakin keras, nyaring dan meninggi, terdengar seruan-seruan orang menyatakan rasa terkejut dan kagum. Ketika Kwee Tiong memandang kepada mereka yang bertempur, ia pun menjadi silau karena ternyata tubuh Ang I Niocu sudah lenyap dan kini gadis itu berubah menjadi bayang-bayang merah yang berkelebat ke sana ke mari dengan luar biasa sekali!
Lin Lin memandang kagum dan diam-diam dia memuji ilmu pedang yang tiada taranya dalam hal keindahan itu. Juga Biauw Suthai merasa kagum dan diam-diam nenek tua yang lihai ini mengerling ke arah Cin Hai. Dia tahu bahwa suara suling itu sangat tepat mengiringi semua gerakan Ang I Niocu sehingga seakan-akan suara suling itulah yang menuntun dan membuat gerakan Dara Baju Merah itu menjadi demikian luar biasa! Oleh karena ini, diam-diam nyonya tua ini memperhatikan Cin Hai dan timbul dugaan di dalam hatinya bahwa pemuda ini hanya berpura-pura tolol, tetapi sesungguhnya berkepandaian tinggi!
Memang sebetulnya Ang I Niocu ketika tadi melayani lawannya dengan gerakan hati-hati sekali, tiba-tiba ia mendengar suara suling yang ditiup Cin Hai. Tiba-tiba hatinya berdebar girang dan timbul semangatnya.
Suara suling itu baginya mempunyai pengaruh seakan-akan orang yang minum arak baik sehingga rasa hangat menjalar di seluruh tubuhnya dan membuat semangatnya seakan bernyala-nyala. Ia lalu tersenyum manis dan tiba-tiba gerakan pedangnya berubah.
Alangkah terkejutnya Tan Bu ketika melihat perubahan ini karena gerakan yang tadinya halus dan lemah gemulai serta hanya mengandalkan kelincahan tubuh dan kelemahan gerakan untuk menghindari serangannya, kini berubah menjadi ganas dan cepat laksana kilat menyambar! Kini Dara Baju Merah itu dengan sinar pedangnya melakukan serangan yang hebat, dan dia merasa betapa sinar pedang lawan ini mengurungnya dari segala jurusan hingga matanya menjadi kabur. Akan tetapi Tan Bu bukanlah orang lemah, dan ia memutar toyanya sedemikian rupa sehingga toya ini merupakan benteng baja yang kuat dan yang melindungi seluruh tubuhnya!
Suara suling yang ditiup Cin Hai makin meninggi dan nyaring, maka makin cepat pulalah gerakan pedang Ang I Niocu sehingga pada suatu saat terdengar suara kain terobek dan tiba-tiba Tan Bu melompat tinggi dan jauh. Bajunya telah terobek ujung pedang dari dada sampai ke lengan, akan tetapi hanya mendapat luka kulit saja di bagian lengannya yang mengeluarkan darah dan terasa perih.
“Ang I Niocu, sungguh kau benar-benar gagah dan nama besarmu bukan omong kosong belaka!” Tan Bu memuji dan mengundurkan diri ke tempat kawan-kawannya di mana dia lalu membalut lukanya setelah memberi obat.
Sesudah menyimpan kembali pedangnya, dengan senyum lebar Ang I Niocu lalu kembali ke tempat duduknya, di mana ia disambut oleh keluarga Kwee dengan pujian dan ucapan terima kasih.
“Niocu tarianmu hebat sekali!” kata Cin Hai tertawa-tawa.
“Hai-ji, terima kasih atas doronganmu dengan suling tadi,” Ang I Niocu menjawab sambil memandang wajah Cin Hai dengan senyum mesra.
Diam-diam Lin Lin memperhatikan mereka berdua dia heran sekali mengapa dada kirinya merasa tidak enak melihat betapa mesra pandangan mata Ang I Niocu kepada Cin Hai dan betapa akrab hubungan mereka berdua. Akan tetapi dia pun heran sekali mendengar sebutan-sebutan mereka. Ang I Niocu menyebut Cin Hai dengan sebutan Hai-ji atau anak Hai! Sebenarnya, sampai di manakah hubungan kedua orang ini? Dia belum mendapat kesempatan untuk bicara banyak dengan Cin Hai.
Pada saat itu dari pihak perwira Sayap Garuda, segera maju perwira ke empat sambil mengangkat dada dan berkata,
“Kami harus mengakui bahwa saudara kami Tan Bu sudah dikalahkan oleh kepandaian Ang I Niocu yang benar-benar lihai. Sekarang aku yang bodoh hendak minta pengajaran dari keluarga Kwee yang gagah perkasa, dan apa bila di antara keluarga Kwee tidak ada yang berani maju, barulah aku terpaksa melayani orang-orang luar yang ingin membela Kwee-enghiong!”
Perwira ke empat ini bernama Un Kong Sian dan kepandaiannya sangat tinggi karena sebetulnya dia merupakan saudara termuda dari Shantung Ngo-hiap atau Lima Jago Dari Shantung yang kesemuanya kini menjadi perwira-perwira kelas tertinggi di kota raja! Un Kong Sian ini bertubuh tinggi besar dan selain mempunyai tenaga ginkang dan lweekang yang mengagumkan, ia juga memiliki tenaga gwakang yang mengagumkan.
Di kota raja Un Kong Sian dan kakak-kakak seperguruan mendapat tugas melatih para perwira lain, sehingga beleh dibilang bahwa dia menjadi seorang di antara guru-guru para perwira di kota raja. Oleh karena ini, maka dapatlah dibayangkan bahwa kepandaiannya tentu jauh lebih tinggi dari pada yang lain-lain.
Ada pun Ma Ing, perwira ke lima yang menjadi suheng-nya, adalah orang ke empat dari Shantung Ngo-hiap, maka tentu saja kepandaian Ma Ing ini masih lebih tinggi dari pada kepandaian Un Kong Sian. Hanya ada sedikit perbedaan di antara kedua perwira tinggi ini. Un Kong Sian lebih memiliki kehebatan tenaga dan kekebalan, dan sebaliknya Ma Ing terkenal mempunyai ilmu silat tinggi, permainan sepasang pedang yang amat hebat, dan kepandaian mempergunakan senjata rahasia mahir sekali.
Mendengar betapa Un Kong Sian menantang keluarga Kwee, Kwee An tak sanggup lagi menahan sabarnya dan dia lalu melompat maju sebelum dapat didahului orang lain,
“Biarlah aku yang muda dan tak tahu diri melayanimu,” kata Kwee An dengan tenang.
Un Kong Sian telah melihat kepandaian Kwee An dan ia merasa sayang kepada pemuda yang sopan santun dan halus budi bahasanya ini maka ia berkata sambil tertawa,
“Anak muda, walau pun harus diakui bahwa engkau adalah murid seorang pandai, akan tetapi kepandaianmu belum matang dan jangan engkau sia-siakan jiwamu menghadapi aku.”
Un Kong Sian adalah seorang yang mempunyai kebiasaan bicara terus terang dan kasar, karena itu kata-katanya sering kali menyakiti hati orang. Kali ini pun ucapannya tentu saja membuat Kwee An menjadi merah telinganya. Dia dipandang ringan sekali, maka sambil tersenyum ia pun menjawab,
“Terima kasih atas rasa sayangmu kepadaku, akan tetapi jiwaku yang tidak berharga ini memang telah kusediakan untuk membela nama Ayahku. Sudahlah, jika engkau memang memiliki kepandaian tinggi, keluarkan saja kepandaianmu itu, hendak kulihat bagaimana hebatnya!”
“Ha-ha-ha! Engkau pemberani, juga, anak muda. Akan tetapi kalau nanti engkau terluka, jangan salahkan aku!”
Sehabis berkata demikian, Un Kong Sian lantas melempar jubah luarnya dan tampaklah kedua lengan tangan yang besar berurat dan yang berkekuatan luar biasa besarnya.
“Nah, majulah, anak muda!” kata Un Kong Sian. “Biarlah kini engkau berkenalan dengan kepandaian Un Kong Sian!”
Mendengar nama ini diam-diam Biauw Suthai terkejut dan memperhatikan, oleh karena ia telah kenal nama ini sebagai saudara termuda dari Shantung Ngo-hiap, maka tentu saja kepandaian orang ini sangat tinggi. Diam-diam dia menguatirkan keadaan Kwee An dan tak terasa lagi dia berkata kepada Cin Hai yang duduknya tidak jauh dari tempatnya,
“Un Kong Sian itu adalah ahli gwakang yang tinggi ilmu silatnya! Engkau carilah akal agar Kwee-kongcu suka mengundurkan diri sebelum mendapat celaka!”
Ternyata bahwa kalau lain-lain orang yang memiliki sepasang mata dapat ditipu oleh Cin Hai dan menganggap bahwa pemuda itu benar-benar bodoh, adalah Biauw Suthai yang hanya memiliki sebuah mata saja segera bisa mengetahui bahwa Cin Hai adalah seorang pemuda yang banyak akalnya, maka sekarang dia minta kepada pemuda itu untuk dapat mencegah Kwee An menghadapi Un Kong Sian.....
Sesudah mendengar ucapan Biauw Suthai, tiba-tiba Cin Hai berlari-lari sambil memegang sulingnya ke arah arena pertempuran dan pada saat itu Un Kong Sian dan Kwee An telah saling berhadapan dan hampir bergebrak.
“Mengetahui kepandaian lawan lebih dahulu baru melayani bertempur bukanlah tindakan gagah berani, tetapi hanya kelakuan seorang yang licin dan curang!” kata Cin Hai sambil menuding Un Kong Sian dengan sulingnya. “Hanya Co Cho saja yang memiliki kelicinan dan kecurangan seperti itu!”
Co Cho yang dimaksudkan oleh Cin Hai itu adalah seorang tokoh cerita Sam Kok yang terkenal curang dan licin sehingga banyak orang membenci dan menghinanya, walau pun Co Cho adalah seorang yang terlalu cerdik.
Un Kong Sian menunda niatnya hendak menyerang Kwee An. Memang dia merasa benci dan mendongkol kepada Cin Hai karena gangguan tadi, maka ia lalu memandang dengan mata dipelototkan.
“Pemuda tolol! Gangguan apa lagi yang hendak engkau lakukan terhadapku?” bentaknya. “Lekas engkau menyingkir sebelum kepalamu kuhancurkan!”
“Memang kau licin, lebih licin dari pada Co Cho!” Cin Hai menyindir lagi, sedangkan Kwee An memandang kepada Cin Hai dengan tidak mengerti dan heran.
“Bangsat tolol, mengapa kau menyebut aku licin dan curang?” bentak Un Kong Sian.
“Engkau sudah melihat sampai di mana tingkat kepandaian Kwee An, namun kami semua belum melihat tingkat kepandaianmu. Ini berarti sebuah kemenangan bagimu, karena kau dapat mengukur sampai di mana kepandaian lawanmu. Kalau kau memang gagah dan adil kau harus memperlihatkan dulu kegagahan dan tenagamu. Apa bila kau bisa meniru perbuatanku barulah kau ada harga untuk melayani Kwee An yang gagah perkasa. Kalau tidak bisa, kau boleh pulang saja jangan mencoba mencari penyakit!”
Semua orang yang hadir kali ini dibikin tercengang dan heran karena sungguh-sungguh mereka tidak mengerti maksud Cin Hai.
”Anak bodoh! Kau mempunyai kebisaan apakah? Coba perlihatkan, tentu aku sanggup meniru dengan baik lagi!”
Cin Hai lalu meniup sulingnya sebentar, kemudian berkata, “Nah, kau bisa tidak meniru kepandaianku tadi?”
Semua orang tertawa geli melihat kebodohan yang tolol ini, ada pun Un Kong Sian marah sekali sampai membanting-banting kaki.
“Tolol! Kepandaian meniup suling saja apakah artinya? Aku tidak sudi menirunya. Kalau kau memperlihatkan demonstrasi atau ilmu silat, baru aku mau menirunya.”
“Ha-ha-ha-ha, agaknya kau bertenaga seperti kerbau jantan! Baik, baik, coba keluarkan senjatamu!”
Meski pun merasa heran, akan tetapi Un Kon Sian lalu pergi mengambil senjatanya, yaitu sebuah toya yang beratnya lebih dari seratus kati. Inilah senjata perwira she Un yang benar-benar hebat itu.
“Nah, ini senjataku, kau mau apa?” bentaknya.
“Aku akan memainkan senjata ini dan kau boleh mencoba untuk menirunya,” kata Cin Hai dengan gagah.
Dengan sikap dibuat-buat ia lalu menerima toya besar dan hebat itu, mengangkat dengan kedua tangan dan mempergunakan sikap seakan-akan ia hampir tidak kuat mengangkat toya itu. Semua orang tertawa geli dan Kwee An memandang dengan wajah pucat. Tak ia sangka bahwa Cin Hai setolol ini.
“Celaka, budak tolol itu kali ini benar-benar membikin malu kita!” kata Kwee Tiong dengan mendongkol sekali.
Tetapi Cin Hai lalu memutar toya itu beberapa kali dan aneh! Ketika ia memutar toya itu, terdengarlah suara mengaung yang sangat hebat. Setelah Cin Hai menghentikan putaran toya dan mengembalikannya kepada Un Kong Sian dengan napas terengah-engah, maka berhentilah suara mengaung itu.
“Nah, kau tirulah perbuatanku tadi. Hendak kulihat apakah tenagamu sebesar tenagaku!”
Kembali semua orang tertawa, akan tetapi mereka masih merasa heran mengapa Cin Hai dapat memutar toya sampai mengeluarkan suara mengaung, padahal baru mengangkat saja sudah hampir tidak kuat. Sebenarnya, dengan diam-diam Cin Hai menyembunyikan sulingnya di belakang toya dan ketika ia memutar toyanya, dengan khikang yang tinggi ia meniup ke arah lubang suling itu hingga menerbitkan suara mengaung.
Un Kong Sian menerima toyanya dan memutarnya begitu cepat sehingga mendatangkan angin keras, akan tetapi mana bisa toya itu mengaung seperti suling ditiup! Paling hebat toya itu hanya mengeluarkan suara mengiuk saja.
“Aha, ternyata engkau kurang kuat, sobat! Engkau tidak mampu memutar toyamu sampai mengeluarkan angin mengaung!”
“Bangsat tolol!” Un Kong Sian marah sekali, lalu ia pergunakan tenaganya menancapkan toyanya yang berat itu pada lantai, dan toya itu menancap sampai setengahnya di lantai yang keras itu! “Lihatlah tenagaku dan siapa yang dapat mencabut toya ini, barulah dia berharga untuk melayani aku!”
Kwee An terkejut sekali melihat kehebatan tenaga gwakang ini dan agaknya inilah yang dimaksudkan oleh Cin Hai.
“Aha, engkau sungguh hebat, Un-ciangkun. Engkau seperti Thio Hwie!” Thio Whie adalah seorang tokoh yang gagah dan kuat sekali dalam cerita Sam Kok. “Di dalam ruangan ini hanya satu orang saja yang dapat menandingi engkau dan orang itu bukanlah Kwee An yang masih muda belia ini!”
“Cin Hai, engkau mundurlah. Walau pun Un-ciangkun kuat dan gagah, aku yang bodoh masih akan mencoba minta pengajarannya,” kata Kwee An dengan berani karena anak muda ini tentu saja tidak sudi memperlihatkan rasa jeri terhadap lawannya.
“Nah, segera mundurlah pemuda tolol! Kwee-kongcu ini jauh lebih berani dan gagah dari pada engkau yang hanya pandai bicara dan mengacau!” kata Un Kong Sian.
“Eh, ehh mana bisa! Engkau sudah berkata bahwa yang bisa mencabut toya inilah yang hendak engkau layani.”
“Akan kucoba untuk mencabutnya!” Kata Kwee An sambil melangkah maju.
Cin Hai menjadi bingung dan sibuk. Celaka, tak disangkanya bahwa Kwee An sekeras itu hatinya dan dia pun percaya Kwee An pasti akan dapat mencabut toya itu. Maklum akan peringatan Biauw Suthai dan tahu pula betapa berbahayanya bagi Kwee An menghadapi orang she Un ini, oleh karena orang she Un ini mempunyai muka yang membayangkan kekejaman, tanda bahwa hatinya telengas sekali, maka kalau mereka bertempur, banyak bahayanya Kwee An akan terluka atau terbunuh!
Dia lalu melangkah maju dan berkata, “Nanti dulu! Aku tadi sudah berkali-kali dihinanya, biarkan aku mencoba dahulu untuk mencabut toya ini! Apa sih susahnya mencabut kayu gapuk ini?”
Dengan lagak dibuat-buat Cin Hai menghampiri toya itu, sedangkan Un Kong Sian segera melangkah mundur dan memandang dengan mata menghina dan kedua lengan tangan bersilang. Cin Hai pura-pura mengerahkan tenaga mencabut. Akan tetapi, jangan kata tercabut, toya itu bergoyang pun tidak. Semua orang yang menonton tertawa geli dan kini mereka mentertawakan Cin Hai yang mukanya menjadi pucat.
Sebenarnya, Cin Hai betul-betul telah mengerahkan tenaga, akan tetapi tenaga lweekang yang disalurkan di kedua tangannya, hingga diam-diam tanpa diketahui siapa pun ia telah dapat mematahkan ujung toya yang terpendam di lantai.
Dia lalu bangun dan menjura kepada Un Kong Sian. “Tenagamu benar-benar hebat. Aku tidak kuat mencabut!” katanya sambil terengah-engah.
Kwee An merasa malu bukan main melihat sikap Cin Hai. Dengan penasaran ia hendak mencuci malu di pihaknya yang ditimbulkan oleh Cin Hai. Ia lantas melangkah maju dan membetot toya itu. Alangkah herannya ketika dia mampu membetot keluar toya itu tanpa banyak mengeluarkan tenaga.
Tepuk sorak riuh menyambut kejadian ini dan semua orang memuji tenaga Kwee An yang dianggap luar biasa dan besar sekali, sedangkan Un Kong Sian juga memandang pucat. Tidak mungkin pemuda itu mempunyai tenaga sedemikian hebatnya. Juga Cin Hai bertepuk-tepuk gembira sambil tertawa dan sama sekali tidak menghiraukan pandangan mata Kwee An yang menyelidik dan ditujukan kepadanya dengan penuh kecurigaan.
Mendadak Un Kong Sian mengangkat kedua tangannya ke atas dan merampas toyanya lalu mengangkatnya tinggi-tinggi. “Cuwi sekalian lihatlah! Kwee-kongcu ini tidak mencabut keluar toyaku, akan tetapi dia telah mematahkannya! Tentu saja hal ini tidak aneh.”
Kwee An tercengang lagi. Dia sama sekali tidak mematahkan toya itu, tetapi benar saja, ketika dia memandang, ternyata bahwa ujung toya itu telah patah. Kini ia dapat menduga bahwa sengaja Cin Hai mencegahnya bertempur melayani orang she Un ini. Akan tetapi, benarkah Cin Hai demikian lihai, dan apa maksudnya bertempur melawan Un Kong Sian?
“Betul, betul!” kata Cin Hai dengan suara keras. “Ujung toya itu telah patah. Jelas bahwa Kwee An tidak dapat mencabut toya itu, maka tidak pantas melayanimu. Ada orang lain yang lebih tepat menghajarmu.”
Bukan main marahnya Un Kong Sian karena toyanya telah patah. “Siapa dia? Suruh maju lekas!” bentaknya.
“Sabarlah orang she Un. Kalau kau mencari lawan, pinni bersedia untuk melayanimu!” Dan tahu-tahu Biauw Suthai sudah berada di situ. Cin Hai cepat membetot tangan Kwee An dan dibawa pergi dari situ.
“Aku hanya melakukan perintah Biauw Suthai.” bisik Cin Hai menjawab pandangan mata Kwee An yang penasaran dan curiga kepadanya.
Sementara itu, ketika melihat seorang tokouw yang berwajah buruk dan mengerikan telah berdiri di depannya, Un Kong Sian lalu merangkapkan kedua tangan dan bertanya,
“Siapakah Toa-suthai yang hendak memberi pelajaran kepadaku?”
“Orang-orang memanggilku Biauw Suthai.”
Diam-diam hati Un Kong Sian berdebar karena dia sudah pernah mendengar nama besar Biauw Suthai, akan tetapi dia sama sekali tidak merasa jeri.
“Kebetulan sekali. Sudah lama aku mendengar nama Biauw Suthai yang tersohor dan ingin sekali merasakan kelihaiannya. Tidak tahu Suthai hendak bertempur dengan tangan kosong atau dengan senjata?”
“Toyamu telah patah, maka tidak adil kalau pinni mengajak kau bermain senjata.”
“Bagus, kalau begitu marilah kita menguji kepandaian tangan!”
Tanpa banyak cakap lagi Un Kong Sian lalu maju menyerang dan kedua tokoh persilatan yang memiliki kepandaian tinggi itu segera bertempur dengan seru.
Dalam hal ilmu silat Biauw Suthai memiliki kepandaian yang tinggi sekali dan pengalaman pertempuran yang luas, akan tetapi terhadap Un Kong Sian yang memiliki tenaga hebat itu, ia telah bertemu dengan tandingannya. Gerakan pukulan dua orang ini mendatangkan angin dan membuat para penonton menahan napas. Juga Cin Hai tidak berani berjenaka lagi oleh karena dia maklum betapa kepandaian kedua orang itu benar-benar hebat dan masing-masing menghadapi lawan yang berat sekali.
Setelah bertempur puluhan jurus, Biauw Suthai yang lihai itu sudah dapat memukul dua kali pada pundak dan dada lawannya, akan tetapi kekuatan tubuh Un Kong Sian demikian hebat hingga perwira itu hanya terhuyung saja dan terus nekad menyerang lagi. Cin Hai merasa terkejut karena dia maklum bahwa meski pun di luar tidak kelihatan terluka parah dikarenakan kekebalan orang itu, akan tetapi pukulan Biauw Suthai yang disertai tenaga lweekang ini tentu telah mendatangkan luka di sebelah dalam.
Juga Biauw Suthai merasa sangat penasaran. Ia gemas sekali melihat kenekatan orang yang sudah terang mendapat luka, maka dia lalu menyerang semakin hebat. Pada suatu saat, ketika Biauw Suthai mendapat kesempatan baik, tokouw itu lalu menggunakan jari tangannya menotok ke arah iga kiri Un Kong Sian.
Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika lawannya itu sama sekali tidak menangkis atau berkelit, bahkan berbareng pada saat itu juga membalas menyerang dengan pukulan Ular Putih Menyambar Burung! Pukulan tangan kanan Un Kong Sian mengarah leher Biauw Suthai dengan hebatnya.
Gerakan kedua orang ini cepat sekali hingga tak mungkin dihindarkan lagi. Biauw Suthai memiringkan tubuh hingga totokannya tidak mengenai tepat, juga pukulan Un Kong Sian meleset dan hanya mengenai pundaknya. Akan tetapi pukulan dua orang ini cukup hebat untuk membuat keduanya terpental mundur.
Biauw Suthai dapat berdiri tegak lagi dengan napas memburu dan wajah pucat. Ada pun Un Kong Sian terhuyung-huyung ke belakang sambil tertawa seram, kemudian dia roboh sambil memuntahkan darah.
Kawan-kawan Un Kong Sian segera maju dan menggotong perwira ini, sedangkan Lin Lin cepat-cepat meloncat menghampiri dan menuntun gurunya kembali ke tempat duduknya. Tokouw ini lantas mengeluarkan sebungkus obat putih dari saku bajunya dan minum obat itu dengan segelas air. Kemudian tokouw yang baik budi ini mengeluarkan tiga butir pil merah dan menyuruh Cin Hai memberikan pil itu kepada Un Kong Sian.
Akan tetapi pemberian obat itu ternyata ditolak oleh Ma Ing yang sudah menyediakan obatnya sendiri bagi sute-nya. Kemudian Ma Ing dengan muka merah karena marah maju ke kalangan.
“Sekarang di pihak kami hanya tersisa aku seorang. Hayo kau keluarkanlah jago-jagomu, Kwee-enghiong, dan kita sudahi adu kepandaian ini!”
Kwee In Liang menjadi bingung sekali. Dia maklum bahwa kepandaian Ma Ing ini sangat tinggi dan kini setelah Biauw Suthai terluka, siapa lagi yang dapat diharapkan bantuannya untuk menghadapi Ma Ing?
Ma Ing agaknya tahu pula bahwa pihak keluarga Kwee sudah kehabisan jago, karena itu dengan sombongnya dia berkata,
“Kalau di pihak tuan rumah tak ada jago yang berani menghadapi aku seorang diri, boleh kamu semua maju berbareng. Boleh kalian lihat aku Ma Ing seorang diri pun cukup untuk melayani kamu sekeluarga!”
Biar pun kepandaian Kwee Tiong dan adik-adiknya belum tinggi, akan tetapi mendengar ucapan sombong ini, sambil berseru keras mereka cepat meloncat maju berbareng! Kwee Tiong, Kwee Sin, Kwee Bun, Kwee Siang sambil memegang pedang maju dan serentak menyerang tanpa dapat dicegah lagi!
Ma Ing mengeluarkan suara menghina dan sekali tubuhnya bergerak, sepasang tangan serta kakinya menendang dan dalam beberapa gebrakan saja keempat batang pedang di tangan Kwee Tiong dan adik-adiknya terpental ke atas lantai! Dengan kaget sekali Kwee Tiong dan adik-adiknya melompat mundur sambil memegangi tangan mereka yang kena pukulan dan tendangan!
“Ha-ha-ha-ha! Segala tikus kecil berani mengganggu kumis macan?” Ma Ing menyindir.
Sikap dan kata-katanya yang sombong ini memanaskan hati Ang I Niocu dan Kwee An. Kedua orang ini tanpa berjanji terlebih dahulu, tahu-tahu meloncat berbareng dan dengan pedang di tangan mereka berdua menyerang Ma Ing!
Ma Ing cepat mencabut pedangnya dan ketiga orang ini segera bertempur. Menghadapi keroyokan Kwee An dan Ang I Niocu yang mempunyai kiam-hoat bagus itu, Ma Ing tidak berani main-main dan melayani dengan sengit, dan dalam waktu sebentar saja dia sudah dapat mendesak kedua anak muda!
Kwee Tiong dan adik-adiknya kembali ke tempat semula dan Kwee Tiong merasa marah dan sebal melihat betapa Cin Hai memandangnya sambil tersenyum dan betapa pemuda itu dengan enaknya duduk memegang-megang sulingnya! Orang lain lagi sibuk melayani musuh, akan tetapi pemuda tolol itu hanya tersenyum mentertawakannya.
“Kenapa kau tertawa?” tegurnya.
“Aku kagum melihat kelihaian orang she Ma itu yang dengan sekali bergerak saja dapat merampas pedang kalian berempat!” jawab Cin Hai.
Kwee Tiong marah sekali dan apa bila ia tidak ingat bahwa di situ banyak orang, tentu ia sudah mengirim kepalannya ke arah Cin Hai.
“Kau sendiri orang tolol hanya duduk diam dan kalau bergerak hanya menimbulkan malu. Coba kau lihat Kwee An, dia pantas sekali bertempur bersama Nona itu melayani musuh. Tidak seperti engkau! Engkau tentulah menjadi pelayan dari Ang I Niocu, bukan?”
“Tiong-ko, jangan kau menghina orang!” Lin Lin menegur kakaknya sambil mendekati Cin Hai. “Engko Hai, Ang I Niocu dan Engko An terdesak, apa daya kita?”
Cin Hai memandang kepada Lin Lin dengan senyum manis. “Adikku yang baik, apakah kau juga ingin melayani orang she Ma itu?”
Lin Lin mengerutkan alisnya yang bagus. Ia sungguh tak dapat segera mengerti maksud kata-kata Cin Hai ini.
“Ahh, sedangkan Ang I Niocu dan Engko An yang memiliki kepandaian amat tinggi masih terdesak olehnya, apa lagi aku! Aku melihat kepandaian orang she Ma itu tidak di sebelah bawah guruku!”
Cin Hai bangun dari duduknya. “Lin-moi, kau siapkan pedangmu dan marilah kau kuantar melawan orang she Ma itu. Kalau kau tidak mampu merobohkannya jangan kau panggil aku Engko Hai lagi!” kata-katanya ini disertai senyum mesra kepada gadis yang masih memandangnya dengan mata terbelalak. “Lin Lin benarkah kau tidak percaya kepadaku?” tanya Cin Hai sungguh-sungguh.
“Aku percaya kepadamu, Hai-ko. Mari kita maju!”
Lin Lin dan Cin Hai lalu maju ke kalangan pertempuran.
“Niocu! Saudara Kwee! Kalian mundurlah, biar aku dan Adik Lin Lin menggantikanmu!”
Mendengar kata-kata ini, Ma Ing menunda serangannya karena heran sekali mendengar bahwa pemuda tolol itu hendak maju. Dan kesempatan ini dipergunakan oleh Ang I Niocu dan Kwee An untuk melompat mundur ke belakang.
“Hai-ji, dia lihai sekali, jangan kau main-main!” kata Ang I Niocu kepada Cin Hai.
“Lin Lin, dia bukan lawanmu!” kata Kwee An memperingatkan Lin Lin.
Akan tetapi, baik Cin Hai mau pun Lin Lin tidak mempedulikan peringatan ini. Lin Lin lalu mencabut pedangnya dan maju bersama-sama Cin Hai yang memegang sulingnya.
“Ehh orang she Ma! Apa kau berani menghadapi aku dan Kwee-siocia ini?”
“Ha-ha-ha! Orang tolol! Kau agaknya sudah bosan hidup! Ingat, sekali ini aku tidak mau mengampuni kau pengacau ini. Majulah! Jangankan baru kalian berdua, biar kau tambah seratus orang lagi, aku Ma Ing tak akan gentar.”
“Nah, kau bersiaplah!” kata Cin Hai.
Dia segera menggerakkan sulingnya dengan sembarangan menusuk ke arah dada Ma Ing! Ma Ing segera melangkah mundur dan tertawa bergelak-gelak.
“Kau bersenjata suling? Ha-ha-ha! Ah, kau benar-benar sudah gila, anak muda. Tukarkan senjatamu dengan pedang atau lain senjata tajam.”
“Tidak usah, orang sombong. Aku tak akan melukaimu karena yang akan menyerangmu hanya Kwee-siocia ini, aku hanya menghalangi serbuanmu saja, untuk apa menggunakan senjata tajam?”
Tidak hanya Ma Ing, akan tetapi semua orang yang berada di situ menggeleng-gelengkan kepala karena menyangka bahwa benar-benar Cin Hai sudah gila! Hanya Biauw Suthai seorang yang berkata kepada Kwee Tiong yang membanting-banting kaki melihat lagak Cin Hai.
“Kwee-kongcu, kau tenanglah sebab sekarang Ma Ing betul-betul akan kehilangan muka!”
Kwee Tiong heran sekali mendengar kata-kata ini. Akan tetapi terhadap guru Lin Lin ini dia tidak berani banyak cakap.
“Cuwi sekalian, semua orang hendaknya menjadi saksi bahwa pemuda gila ini mencari matinya sendiri. Aku tak akan mengganggu Kwee-siocia, akan tetapi kalau hari ini aku tak dapat membunuh anak gila ini, janganlah orang memanggil namaku Ma Ing lagi!” Setelah berkata demikian, Ma Ing lalu menyerang dengan pedangnya.
Benar saja, dia menujukan serangannya yang hebat itu kepada Cin Hai dengan sebuah tusukan kilat ke arah dada kiri pemuda itu! Semua orang menjerit ngeri karena sudah terbayang di depan mata betapa dada Cin Hai akan tertembus pedang.
Akan tetapi Cin Hai juga menjerit, “Ayaaaa...!“
Sambil menggunakan gerakan Monyet Jatuh Dari Cabang, tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan gerakan canggung, akan tetapi tubuhnya terluput dari pada tusukan pedang. Sambil terhuyung-huyung ini Cin Hai berkata,
“Wah, galak... galak...! Lin-moi, lekas kau serang dia!”
Lin Lin tak perlu diperintah lagi karena melihat desakan Ma Ing kepada Ciri Hai, dia sudah merasa khawatir sekali dan cepat mengirim serangan dengan pedangnya. Ma Ing hendak menangkis, akan tetapi mendadak Cin Hai meniru gerakannya tadi dan menusuk ke arah punggungnya dengan suling itu.
Terpaksa Ma Ing mengelak dari serangan Lin Lin dan cepat memutar tubuh menghadapi Cin Hai lagi dan hendak membacok suling itu dengan pedang. Akan tetapi tiba-tiba suling yang ditusukkan itu dirobah lagi dan kini Cin Hai juga membacok ke arah lengan tangan Ma Ing yang memegang pedang. Gerakan pemuda ini sama benar dengan gerakannya dan tiba-tiba tangan Ma Ing terpukul oleh suling yang dibacokkan itu.
Ma Ing terkejut sekali karena meski pun suling itu hanya terbuat dari pada bambu, akan tetapi tangannya merasa sakit sekali. Dia cepat memutar pedangnya dan menyerang Cin Hai dengan serangan kilat. Akan tetapi, tiba-tiba ia memandang dengan mata terbelalak, karena Cin Hai juga bersilat persis ilmu silatnya sendiri.
Semua orang yang menonton menjadi terheran-heran. Mereka menganggap bahwa Cin Hai hanya meniru-niru gerakan Ma Ing saja. Akan tetapi Ma Ing sendiri hampir tak dapat mempercayai matanya karena semua gerakan Cin Hai bahkan lebih sempurna dari pada gerakannya sendiri. Maka dia cepat meloncat mundur dan berseru.
“Tahan dulu! Ehh, pemuda tolol, sebenarnya kau ini murid siapakah dan dari mana kau dapat memainkan Pek-coa Kiam-hoat?” Pek-coa Kiam-hoat adalah ilmu pedang yang tadi dimainkan oleh Ma Ing tadi.
Cin Hai pura-pura memandang heran. “Orang she Ma, kenapa kau masih bertanya lagi? Aku mempelajari ilmu pedang ini darimu sendiri!”
“Bangsat penipu! Kapan aku memberi pelajaran kepadamu?” Ma Ing berseru marah,
“Bukankah baru saja kau telah memperlihatkan ilmu pedangmu?”
Jawaban Cin Hai ini memang sebenarnya saja, oleh karena ilmu silat apa pun juga kalau digunakan untuk menyerangnya, maka otomatis ia akan dapat menirunya karena ia telah kenal akan pokok-pokok dasar segala macam gerakan silat.
“Anak muda, ternyata kau hanya berpura-pura tolol saja. Apa bila kau memang laki-laki, jangan maju keroyokan. Aku kuatir kalau sampai salah tangan dan melukai Kwee-siocia,” kata Ma Ing.
Cin Hai memandang kepada Lin Lin. “Mundurlah kau, Adik Lin, monyet tua ini ternyata takut kepada pedangmu, biarlah aku yang melayaninya sendiri!”
“Tapi, Hai-ko...,” kata Lin Lin ragu-ragu karena ia merasa kuatir sekali.
Tiba-tiba saja Cin Hai mengejapkan matanya kepada gadis itu dan mulutnya tersenyum. “Tidak percaya kau kepadaku?”
Gadis itu tidak menjawab, dia lalu mengangsurkan pedangnya. “Kau pakailah pedangku, Hai-ko!”
“Tak usah, Adikku, cukup dengan suling saja. Jika memang perlu, aku sendiri pun sudah mempunyai sebatang pedang.”
Lin Lin mengundurkan diri, tetapi ia berdiri di pinggir kalangan untuk menjaga kalau-kalau Cin Hai berada dalam bahaya. Ma Ing lantas mengeluarkan seruan keras dan tiba-tiba memutar pedangnya bagaikan kitiran cepatnya sehingga pedang itu lalu berubah menjadi segulungan sinar keputih-putihan yang menyerbu ke arah Cin Hai.
“Bagus!” Cin Hai berseru.
Dia lalu mengikuti gerakan lawan itu. Tubuhnya mencelat ke sana ke mari dan sulingnya diputar cepat hingga pada saat ada angin memasuki lubang suling itu, terdengarlah bunyi melengking yang aneh dan lucu.
Baru sekarang semua penonton maklum bahwa pemuda ketololan ini sesungguhnya lihai sekali. Mereka bersorak-sorak karena heran dan kagum dan keadaan menjadi ramai dan riuh rendah sekali. Bahkan Kwee In Liang, Pek I Toanio, Biauw Suthai dan yang lain-lain lalu berdiri dari tempat duduk mereka agar dapat menonton lebih jelas!
Sebaliknya, Kwee Tiong serta adik-adiknya lalu berdiri melongo penuh keheranan. Kwee An mengangguk-anggukkan kepala sambil berkata, “Ah, kepandaian Cin Hai sepuluh kali lebih tinggi dari pada kebisaanku.”
Ma Ing merasa pusing sekali karena dia tidak berhasil mendesak kepada Cin Hai. Jangan kata mendesak, menyerang pun sulit baginya, sebab pemuda itu secara aneh sekali telah mengetahui semua rahasia penyerangannya sebelum serangan itu sempat dilakukan.
Tiap kali apa bila pedangnya berkelebat hendak menyerang, selalu Cin Hai mendahului serangannya dengan tusukan sulingnya ke arah pundak atau sambungan sikunya hingga serangan-serangannya itu selalu gagal sebelum dilancarkan. Sungguh aneh sekali. Dan yang lebih gila, tiap serangan dibalas oleh Cin Hai dengan serangan yang sama pula.
Ma Ing merasa penasaran sekali. Ia menganggap bahwa pemuda ini tentulah ahli dalam ilmu Pedang Pek-coa Kiam-hoat, karena itu tiba-tiba ia merubah gerakan pedangnya dan mainkan Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat. Akan tetapi, lagi-lagi ia kecele, karena pemuda itu pun telah mengenal baik ilmu pedang ini dan dapat melakukan ilmu pedang ini dengan sama sempurna!
Ia mengubah-ubah terus ilmu silatnya, dari ilmu silat yang terendah sampai yang tertinggi karena Ma Ing memang memiliki banyak sekali ilmu silat yang lihai, akan tetapi kini dia benar-benar tidak mengerti, karena baru saja ia mengganti gerakannya, tiba-tiba pemuda itu pun mengganti ilmu silatnya yang sama dan sedikit pun tidak berbeda. Masih seperti tadi, tiap-tiap serangannya tentu dibalas dengan serangan semacam pula.
Ma Ing merasa seolah-olah ia sedang bertempur melawan bayangannya sendiri di dalam cermin. Dan yang lebih celaka lagi, Cin Hai agaknya mempermainkannya, karena sudah beberapa kali suling itu berhasil memukulnya secara perlahan, baik di kepala, punggung, pundak, dan lain-lain bagian tubuh lagi. Meski pun pukulan ini perlahan sekali, akan tetapi cukup terasa pedas dan yang lebih terasa perih adalah perasaan di dalam hatinya.
“Orang she Ma, sudah beberapa kali engkau kukemplang dengan sulingku, masih belum mau kalahkah engkau?” Cin Hai bertanya dengan ejekannya.
Adapun sorak-sorai penonton semakin riuh sebab sungguh-sungguh mereka sama sekali tidak pernah menyangka bahwa pemuda tolol itu benar-benar berkepandaian sedemikian tingginya sehingga berhasil mempermainkan Ma Ing! Juga Biauw Suthai kini benar-benar kagum sekali dan menyatakan kekagumannya itu dengan kata-kata sehingga terdengar oleh Ang I Niocu dan gadis itu berkata kepadanya.
“Tidak heran bahwa ia demikian lihainya, karena ia adalah murid tunggal dari Bu Pun Su Susiok-couw!”
Mendengar ini, terkejutlah Biauw Suthai dan tokouw ini mengangguk-angguk maklum.
Mendengar ejekan Cin Hai, Ma Ing makin marah dan menyerang dengan nekad. Tiba-tiba Cin Hai lalu berkata, “Ahhh, aku sudah bosan, Ma-ciangkun! Biarlah engkau lelah sendiri, aku hendak mengaso!” Sesudah berkata demikian Cin Hai lalu duduk bersila di tengah kalangan itu sambil meramkan mata seperti orang bersemedhi!
Semua orang merasa heran sekali sehingga mereka memandang dengan mata terbelalak tanpa pernah berkejap karena mereka tidak percaya bahwa Cin Hai hendak menghadapi lawannya dengan duduk bersila sambil meramkan mata!
Juga Ma Ing merasa ragu-ragu. Akan tetapi karena dia telah merasa lelah sekali apa lagi hatinya terasa sakit dan mendongkol karena telah dipermainkan, dia menjadi mata gelap. Dengan mengertak gigi, dia lalu membacok ke arah kepala Cin Hai yang sedang duduk bersila sambil meramkan mata itu.
Kwee An bergerak hendak melompat dan menolong Cin Hai, akan tetapi ia ditahan oleh Biauw Suthai, dan Ang I Niocu yang sudah mengetahui kelihaian Cin Hai. Juga Lin Lin sudah siap dengan pedangnya, akan tetapi tiba-tiba suling di tangan Cin Hai digerakkan dan suling itu tidak menangkis pedang yang menyambar kepalanya, bahkan mendahului gerakan Ma Ing!
Terpaksa Ma Ing menahan gerakannya dan membacok dengan hebat ke arah pundak Cin Hai. Akan tetapi, dengan mata masih meram, sekali gerakkan pundak saja pemuda itu telah berhasil mengelit bacokan itu sambil berkata perlahan,
“Ah, Ma-ciangkun, engkau telah mendapat luka dalam, masih belum insyafkah engkau?”
Ma Ing kaget sekali dan cepat menahan pedangnya. Ia memang merasa betapa di dalam dadanya terasa panas dan yang membuatnya tak enak sekali, seperti orang yang merasa mual dan hendak muntah.
“Rabalah iga kirimu dan engkau akan tahu!” kata Cin Hai lagi.
Seperti dalam mimpi Ma Ing lalu menggunakan tangan kiri meraba iganya dan terkejutlah dia karena iganya terasa sakit sekali dan ketika dia merobek bajunya, ternyata di iga itu terdapat sebintik tanda merah sebesar jempol kaki! Ia maklum bahwa ia telah kena dilukai oleh Cin Hai, maka ia cepat menjura sambil berkata,
“Sungguh mataku bagaikan buta sehingga tidak melihat besarnya Gunung Thai-san yang menjulang di depan mata. Sicu lihai sekali, jadi aku merasa takluk. Tidak tahu siapakah sebenarnya Sicu ini, dan murid siapakah?”
Cin Hai lalu mempergunakan kepandaiannya sehingga dalam keadaan bersila, tahu-tahu tubuhnya dapat mumbul ke atas. Inilah demonstrasi tenaga ginkang yang jarang dipunyai oleh sembarang tokoh persilatan. Setelah berada di udara, Cin Hai melepaskan kaki dan berdiri. Ia membalas pemberian hormat Ma Ing dan berkata sambil tersenyum,
“Ma-ciangkun, siauwte bukanlah orang yang bernama besar. Siauwte bernama Cin Hai, she Sie dan orang memberi julukan kepada siauwte Pendekar Bodoh!”
Orang-orang tertawa dan memuji, menyatakan heran dan kagum karena meski pun telah memiliki kepandaian sehebat itu, namun ternyata Cin Hai tidak menjadi sombong bahkan merendahkan diri serta bersikap ketolol-tololan.
“Kau sangat pandai menyembunyikan kepandaian, Sicu. Siapakah nama Suhu-mu yang mulia?” tanya Ma Ing lagi yang kini benar-benar telah mati kutu dan tidak berani bersikap sombong.
“Suhu-ku lebih bodoh lagi dari padaku, dia tak memiliki kepandaian apa-apa.”
Ma Ing menjadi pucat mendengar ini, karena guru pemuda ini tentu kakek jembel Bu Pun Su yang berarti tidak punya kepandaian! Dia lalu menjura lagi dan berkata “Terima kasih atas pengajaranmu, biarlah lain kali apa bila ada jodoh kita bertemu kembali.” Ma Ing lalu mengajak kawan-kawannya pergi dari situ.
Sesudah kelima orang perwira itu pergi, semua orang lalu merubung dan memuji-muji Cin Hai. Lebih-lebih Lin Lin, gadis ini tanpa malu-malu lagi lalu memegang tangan Cin Hai dan menariknya ke arah ayahnya.
“Ayah, coba lihat Engko Hai ini! Semenjak pertama bertemu aku telah menduga bahwa ia memiliki kepandaian hebat!” kata gadis itu dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar.
Kwee In Liang hanya mengangguk-angguk dan dengan suara terharu ia berkata, “Terima kasih, Hai-ji. Kau telah menyelamatkan kami sekeluarga.”
Loan Nio memeluk keponakannya dengan girang dan terharu. Akan tetapi pada waktu itu dari luar terdengar seruan-seruan kaget dan tiba-tiba saja terdengar suara orang tertawa. Suara ini menyeramkan sekali.
Cin Hai juga merasa kaget sekali karena ia kenal suara ini! Ia cepat melepaskan diri dari pelukan bibinya dan melompat keluar. Ternyata di sana sudah berdiri Hek Moko dan Pek Moko yang tertawa bagaikan dua orang gila!
“Ha-ha-ha! Anak muda, kebetulan sekali kita dapat bertemu di sini. Engkau ternyata telah mewarisi kepandaian Bu Pun Su Si Kakek Gila. Marilah, kita main-main sebentar!”
“Ji-wi Locianpwe,” Cin Hai berkata dengan sabar dan suara sungguh-sungguh. “Kita tidak pernah bermusuhan, untuk apa kita harus bermain-main yang hanya akan menimbulkan buah tertawaan orang belaka?” Suara Cin Hai kini terdengar berpengaruh, tidak seperti tadi ketika dia mempermainkan para perwira itu. Lin Lin dan Ang I Niocu tahu-tahu sudah berdiri di kanan-kirinya.
“Anak muda, tak perlu banyak cerewet!” Pek Moko membentak. “Gurumu telah berhutang kepada kami dan sekarang engkaulah yang harus membayar!” Setelah berkata demikian, mereka berdua mencabut keluar pedang mereka yang mengerikan itu dan juga mereka mengeluarkan senjata tasbeh lalu menyerang dengan hebat ke arah Cin Hai!
Terpaksa Cin Hai mencabut pedang pemberian suhu-nya dahulu, yaitu Liong-coan-kiam, dan dia lalu menggerakkan pedangnya meniru gerakan-gerakan lawannya itu! Tiga orang ini lalu bertempur dengan hebat dan sebentar saja mereka bertiga lenyap dari pandangan mata dan hanya nampak debu mengepul dan tiga bayangan pedang bercampur menjadi satu!
Melihat pertempuran yang luar biasa hebatnya ini, baik Lin Lin mau pun Ang I Niocu tidak berdaya untuk membantu karena kedua-duanya maklum bahwa jika mereka membantu, tidak hanya sangat berbahaya bagi mereka, bahkan itu takkan menolong Cin Hai, bahkan mungkin akan mengacaukan pertahanannya.
Ang I Niocu mengerling ke arah Lin Lin. Ia melihat betapa gadis muda ini meremas-remas kedua tangannya dan dengan wajah pucat serta sepasang mata basah dengan air mata memandang ke arah bayangan-bayangan yang bergulung-gulung itu!
Ang I Niocu merasa betapa hatinya tiba-tiba saja menjadi perih seperti tertusuk pedang. Ia maklum bahwa gadis muda yang manis ini jatuh cinta kepada Cin Hai! Keperihan hati ini membuat ia menjadi nekad. Dengan pedang di tangan ia menyerbu dan kini gulungan sinar pedang itu bertambah dengan sinar merah.
“Niocu, kau mundur!” Terdengar seruan Cin Hai yang berpengaruh sekali.
Tiba-tiba bayangan merah itu terlempar pada waktu pedangnya beradu dengan tasbeh Pek Moko, hampir saja dia mendapat celaka.
Sesudah bertempur agak lama lagi, tiba-tiba saja terdengar teriakan ngeri dan tahu-tahu gulungan sinar pedang Hek Moko dan Pek Moko sudah mengendur dan tiba-tiba kedua iblis itu sambil berteriak-teriak kesakitan lari dari situ! Cin Hai berdiri dengan wajah pucat dan pedang di tangan kanannya bergetar karena tangan yang memegang itu menggigil!
Ang I Niocu memburu, akan tetapi ia kalah dulu dengan Lin Lin. Gadis ini memeluk tubuh Cin Hai yang berdiri bagaikan patung itu sambil berseru berkali-kali,
“Engko Hai... Engko... Hai... kau kenapakah?”
Cin Hai memandang Lin Lin dengan tersenyum, lalu mengerling ke arah Ang I Niocu yang juga sudah mendekatinya, tapi tiba-tiba pemuda ini meringis kesakitan dan jatuh pingsan! Untunglah Lin Lin cepat menyambarnya dan gadis ini tanpa malu-malu lagi lalu segera memondong tubuh Cin Hai dibawa masuk ke dalam rumah.
Para tamu dan tuan rumah menjadi panik dan bingung. Cin Hai sudah mendapat luka di dalam tubuh karena pukulan tasbeh Hek Moko, namun di ujung pedang Liong-coan-kiam juga terdapat tanda-tanda darah yang menyatakan bahwa pemuda ini pun telah berhasil melukai kedua lawannya yang tangguh!
Kwee In Liang lalu minta maaf kepada semua tamunya dan para tamu lalu bubaran dan tiada habis-habisnya mereka membicarakan mengenai Pendekar Bodoh yang luar biasa dan lihai itu! Di dalam perjamuan itu mereka benar-benar telah disuguhi pertunjukan silat yang luar biasa hebatnya…..
********************
Cin Hai dibaringkan di dalam kamar Lin Lin, dan Loan Nio duduk menangis di dekatnya, sedangkan Ang I Niocu juga berdiri di situ dengan wajah pucat. Biauw Suthai yang pandai akan ilmu pengobatan melakukan pemeriksaan pada tubuh Cin Hai dan ternyata bahwa Cin Hai sudah kena pukul tasbeh di pundak kanannya hingga menderita luka dalam yang hebat juga.
“Tidak perlu kuatir,” kata Biauw Suthai, “Kalau orang lain yang terkena luka ini, tentu akan melayang jiwanya. Akan tetapi anak muda ini betul-betul telah mendapat latihan sinkang yang tinggi sehingga luka ini takakan membahayakan jiwanya.”
Dia segera mengeluarkan tiga belas butir pil putih dan memberikan pil itu kepada Lin Lin. “Berikan pil ini sehari tiga butir dan bila mana semua pil telah ditelan habis tentu ia akan sembuh kembali!”
Lin Lin cepat menerima pil itu dan dengan cekatan sekali gadis ini lalu pergi ke dapur mengambil air panas, lalu dengan kedua tangannya sendiri memasukkan pil itu ke dalam mulut Cin Hai dan memberi pemuda itu minum air. Dengan sangat mesra gadis ini lalu menggunakan sapu tangannya untuk menyusut peluh yang berkumpul pada jidat Cin Hai.
Melihat gerakan-gerakan yang mesra ini, Loan Nio tak dapat menahan keharuan hatinya lagi. Dia lalu menangis tersedu-sedu sambil memeluk pundak Lin Lin. Gadis ini merasa heran dan memandang muka bibinya dengan tidak mengerti, akan tetapi ketika melihat betapa semua mata ditujukan padanya, ia lalu menjadi insyaf bahwa telah berlaku terlalu mesra hingga tiba-tiba air mukanya berubah kemerah-merahan karena jengah dan malu!
Tiba-tiba Lin Lin teringat kepada Ang I Niocu karena dia hendak bertanya kepada Dara Baju Merah ini tentang riwayat Cin Hai dan segala pengalamannya. Akan tetapi ketika dia memandang, ternyata Dara Baju Merah ini tidak berada di dalam kamar lagi! Dia cepat mengejar ke luar, akan tetapi tidak terlihat bayangan Ang I Niocu! Lin Lin bertemu dengan Kwee Tiong di ruang depan dan ia bertanya kepada kakaknya ini barang kali melihat Ang I Niocu.
“Dia telah pergi dan minta supaya aku menyampaikan kepada Ayah dan kepada semua orang. Agaknya ia sebal melihat engkau yang begitu tidak tahu malu. Atau barang kali ia cemburu, karena tidak melihatkah engkau betapa mesra dan akrab hubungan antara dia dengan Cin Hai?” Kwee Tiong yang mempunyai hati iri melihat kegagahan Cin Hai, mulai menyebar racun di hati Lin Lin.
Akan tetapi gadis ini dengan muka merah dan pandangan mata bersinar menjawab,
“Engko Tiong, kau tidak berhak ikut campur segala urusanku. Engko Hai adalah keluarga kita sendiri dan dia dengan gagah berani telah berhasil membela nama baik kita. Apakah tidak pantas kalau aku berlaku baik kepadanya?” Dengan muka cemberut gadis ini pergi meninggalkan kakaknya dan kembali ke kamar Cin Hai.
Biauw Suthai bersama Pek I Toanio serta lain-lain tamu lalu berpamit dan meninggalkan rumah keluarga Kwee. Lin Lin dengan telaten sekali menjaga Cin Hai dan tidak menurut perintah ayahnya yang menyuruh dia mengaso. Melihat kebandelan anaknya ini, Kwee In Liang hanya menggeleng kepala dan menghela napas saja, lalu dia meninggalkan kamar itu dengan muka muram.
Benar seperti kata-kata Biauw Suthai, sesudah diberi makan obat pil itu, pada keesokan harinya Cin Hai siuman dari pingsannya. Pemuda ini merasa terharu melihat kebaikan Lin Lin yang sudah memelihara dan menjaganya selama itu. Diam-diam ia merasa bersyukur sekali dan cinta kasih yang bersemi di dalam hatinya terhadap Lin Lin semakin mendalam dan berakar.
Bibinya juga sering kali datang menengok, sedangkan pamannya biar pun tiap hari paling sedikit satu kali datang menjenguk, akan tetapi bersikap dingin. Sedangkan Kwee Tiong, Kwee Sin, Kwee Bun dan Kwee Siang sama sekali tak pernah datang menengok.
Hanya Kwee An yang sering datang. Setiap kali mereka bercakap-cakap, Kwee An selalu memuji-mujinya dan minta supaya kelak Cin Hai suka memberi petunjuk dalam ilmu silat kepadanya.
Pada hari yang ke tiga Cin Hai keluar dari kamarnya dan mencari hawa sejuk di belakang rumah yang mempunyai sebuah taman yang luas dan indah. Ia teringat akan Ang I Niocu dan berpikir dengan heran kenapa gadis itu pergi tanpa pamit. Ketika diberitahu oleh Lin Lin akan kepergian Ang I Niocu dia hanya merasa menyesal mengapa Gadis Baju Merah itu tidak memberitahukan kepergiannya sedangkan ia masih pingsan.
Akan tetapi dia tidak kecewa. Dia tidak mengerti mengapa kini setelah berkumpul dengan ie-ie-nya dan dengan Lin Lin, kerinduannya terhadap Ang I Niocu lenyap. Dia tidak tahu bahwa dahulu dia hidup sebatang kara dan hanya mempunyai teman Ang I Niocu, tetapi sekarang dia telah berada di rumah Loan Nio, bibinya yang sangat cinta kepadanya itu, dan di sini ada pula Lin Lin yang telah dapat merebut hatinya dengan diam-diam.
Pada waktu dia sedang duduk melamun, tiba-tiba terdengar suara merdu memanggilnya, “Engko Hai... Engko Hai...”
Cin Hai tersenyum. Dia mengenal baik suara Lin Lin, akan tetapi ia diam saja, bahkan dia lalu duduk di bawah sebatang pohon di dalam taman itu. Akhirnya suara panggilan Lin Lin terdengar penuh kekhawatiran, maka hati Cin Hai menjadi tidak tega. Dia lalu menjawab, “Aku berada di sini!”
Lin Lin berlari-lari menghampiri. Wajah gadis ini menjadi merah, matanya bersinar, akan tetapi mulutnya cemberut.
“Engko Hai, engkau nakal sekali. Mengapa engkau diam saja dan malah bersembunyi di sini? Kukira engkau...”
“Kau kira apa?”
“Kukira engkau sudah pergi tanpa pamit, seperti Ang I Niocu...“ Lin Lin lalu menjatuhkan diri duduk di dekat Cin Hai.
“Kalau aku pergi, kenapakah?”
“Bila engkau pergi, aku... ahh... ahh, Engko Hai jangan menanyakan yang bukan-bukan. Kau lupa belum menelan pil ini!” Gadis itu lalu mengeluarkan sebutir pil dari sakunya dan memberikan itu kepada Cin Hai.
Cin Hai menerima pil itu sambil memandang wajah Lin Lin yang berada di dekatnya. “Lin Lin... kenapakah engkau... sebaik ini kepadaku...?” suara Cin Hai terdengar menggetar penuh perasaan.
Lin Lin membalas memandang dan ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Cin Hai, dia lalu menundukkan mukanya dengan wajah merah.
“Engkau jangan memandang aku seperti itu, Engko Hai...,” katanya berbisik.
Cin Hai memegang tangan Lin Lin dan merasa betapa tangan dara itu menggigil. “Lin Lin, kenapakah? Kau pandanglah aku dan jawablah pertanyaanku tadi!”
Akan tetapi Lin Lin tidak berani memandangnya dan menyembunyikan mukanya di dada. “Aku... tidak berani, Hai-ko.”
“Lin Lin, kau aneh sekali. Mengapa tidak berani? Katakanlah...”
Tiba-tiba Lin Lin tertawa dan mencoba untuk merenggutkan tangannya yang terpegang, akan tetapi tidak dapat. “Sudahlah, Engko Hai, jangan membikin aku merasa malu sekali. Telanlah piI itu!”
Tetapi Cin Hai tetap tidak melepas tangan gadis itu. “Jawab dulu pertanyaanku…”
Lin Lin makin merasa malu dan kini tubuhnya menggigil. “Sudahlah, Engko Hai lepaskan tanganku dan telanlah pil itu!” katanya memohon.
“Tidak, sebelum kau menjawab pertanyaanku. Cintakah kau padaku?”
“Engkau nakal sekali, Engko Hai!”
“Jawablah dulu!”
Dengan tersenyum kemalu-maluan serta matanya yang indah mengerling tajam, Lin Lin pun mengangguk!
Bukan main senangnya Cin Hai melihat pengakuan gadis ini. “Lin Lin, kini hidup ini berarti bagiku. Alangkah indahnya dunia ini. Lihatlah semua pohon-pohon itu menari-nari girang menyaksikan kebahagiaan kita!”
“Ahh, pohon itu bergerak karena tertiup angin!” bantah Lin Lin.
“Dan daun-daun itu melambai-lambai pada kita. Burung-burung itu pun bernyanyi karena hendak turut menyatakan kebahagiaan mereka! Lin Lin, kau sungguh-sungguh membuat aku berbahagia sekali. Adikku, aku... aku cinta kepadamu...”
“Sudahlah, kau telan pil itu!” kata Lin Lin cemberut, tetapi hatinya berdebar-debar karena gembira dan bahagia.
“Baiklah, akan kutelan. Tapi kau jangan cemberut, karena kalau kau marah dan cemberut wajahmu menjadi makin manis dan aku takkan dapat menelan pil pahit ini!”
“Kau... kau memang nakal!” Lin Lin berkata sambil mencubit lengan pemuda itu.
Cin Hai lalu menelan pil itu dan merasa betapa lukanya telah tak terasa lagi sakitnya. Ia lalu mengeluarkan sulingnya.
“Lin Lin aku akan melagukan sebuah nyanyian indah untukmu.”
Cin Hai segera meniup sulingnya dan karena ia mencurahkan seluruh perasaannya yang mencinta di dalam tiupan suling itu maka terdengarlah suara suling yang indah merayu dan merdu sekali hingga Lin Lin meramkan matanya, karena di dalam suara suling itu, dia seakan-akan mendengar pernyataan cinta kasih Cin Hai kepadanya.....
Sesudah Cin Hai selesai meniup sulingnya, dengan mata basah Lin Lin berkata, “Terima kasih, Hai-ko, aku telah mendengar suara hatimu. Memang engkau semenjak dulu sangat baik padaku. Ingatkah kau betapa dulu kau mati-matian melawan Guruku untuk membela aku? Ahh, aku tidak dapat melupakan semua kejadian itu!”
Cin Hai memandang wajah Lin Lin dengan tersenyum.
“Ha, kau mengingatkanku akan hal-hal dahulu. Dulu kau seorang anak perempuan yang berkuncir dua, yang nakal, bengal, dan bandel bukan main!” Cin Hai tertawa dan matanya memandang penuh menggoda.
Lin Lin cemberut. “Dan kau... kau... ahh, lucu sekali...”
“Aku kenapa...?” Cin Hai menuntut.
“Engkau buruk rupa, kepalamu gundul penuh kudis, dan engkau bodoh... dan nakal...” Lin Lin tertawa geli dan Cin Hai lalu berdiri menangkapnya, tetapi Lin Lin lebih cepat, karena gadis ini telah berdiri dan lari.
Cin Hai mengejarnya sambil berkata, “Awas, kalau kena tangkap, kucubit bibirmu yang nakal itu!”
Lin Lin berlari memutari pohon dan tanaman kembang, Cin Hai mengejar dan mereka pun berkejar-kejaran bagaikan dua orang anak kecil, begitu gembira, begitu mesra dan penuh bahagia.
Tiba-tiba Kwee Tiong muncul dari pintu belakang. Dengan wajah tak senang dia berkata, “Lin Lin Ayah memanggilmu!”
Tanpa menengok kepada Cin Hai, Kwee Tiong lalu masuk kembali ke dalam rumah. Lin Lin memperlihatkan wajah kecewa.
Akan tetapi Cin Hai berkata, “Pergilah, Lin-moi! Tentu ada suatu hal penting maka Ie-thio memanggilmu.”
Lin Lin kemudian masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Cin Hai yang kembali duduk melamun dengan penuh kebahagiaan.
Ketika tiba di kamar ayahnya, Lin Lin melihat ayahnya duduk seorang diri dengan muka muram. Begitu melihat anak gadisnya masuk, ayah ini serta merta menegur,
“Lin Lin sikapmu sungguh tidak patut dan memalukan!”
Lin Lin terkejut dan memandang kepada ayahnya dengan heran, “Ada apakah, Ayah?”
“Engkau bergaul terlalu dekat dengan Cin Hai, hal ini tidak patut sekali.”
Lin Lin tahu bahwa ayahnya ini tentu telah mendapat laporan-laporan dari Kwee Tiong.
“Ayah, apakah salahnya kalau aku bergaul dengan Engko Hai? Bukankah ia keluarga kita sendiri dan bukankah ia juga seorang pemuda yang baik dan gagah serta telah menolong kita?” jawabnya dengan berani.
“Betul, akan tetapi kau harus ingat bahwa engkau telah dewasa dan dia seorang pemuda dewasa pula. Tidak patut kalau engkau berlaku terlalu manis dengan dia. Apa akan kata orang luar kalau melihat?”
“Ayah, mengapa engkau berkata demikian?” Lin Lin bertanya dengan marah. “Engko Hai adalah seorang pemuda baik dan sopan. Aku... aku suka bergaul dengan dia!”
Memang semenjak dulu Lin Lin sangat dimanja oleh ayahnya sehingga ia berani bersikap bandel terhadap ayah ini.
“Lin Lin,” Kwee In Liang menghela napas. “Di dalam hal ini engkau harus taat kepadaku. Engkau sudah cukup dewasa dan setiap saat akan ada orang yang datang melamarmu. Engkau harus memutuskan hubunganmu dengan Cin Hai dan jangan lagi kau bertemu dengan dia kalau tidak ada keperluan penting.”
“Ayah!” Gadis itu berseru.
“Diam!! Engkau harus menurut, atau... apakah engkau ingin menjadi seorang anak yang puthauw (tidak berbakti)?!”
Dibentak seperti ini, Lin Lin menundukkan kepala dan menangis!
“Ayah, kau... kau kejam!” katanya dan ia lalu melarikan diri menuju ke kamarnya, di mana ia membantingkan dirinya di atas pembaringan sambil menangis tersedu-sedu.
Tak lama kemudian, Loan Nio masuk ke kamar itu dengan tindakan perlahan. Ia memeluk tubuh gadis itu dan berbisik mesra,
“Lin Lin, aku sudah tahu akan kemarahan Ayahmu. Anakku, apakah... kau suka kepada Cin Hai? Jawabnya terus terang, anakku, bagaimana kalau aku mengajukan usul kepada Ayahmu agar kau dan Cin Hai... di... jodohkan? Setujukah kau?”
Lin Lin tersentak bangun dan menyusut air mata. Dia lalu memandang kepada Loan Nio dengan mata terbelalak. Tak pernah terpikir olehnya tentang perjodohan dengan Cin Hai, karena itu pertanyaan yang tiba-tiba datangnya ini lantas membuatnya bingung dan malu. Kemudian, sambil terisak ia memeluk ibu tirinya dan menangis lagi.
“Lin Lin.” kata Loan Nio sambil mengusap-usap rambut gadis itu, “kepadaku tak perlu kau menyimpan rahasia hatimu. Kalau kau tidak setuju, katakanlah! Jika kau diam saja, maka akan kuanggap bahwa kau setuju, dan sekarang juga aku akan bicara dengan Ayahmu.”
Lin Lin diam saja, hanya tubuhnya bergoyang-goyang karena menahan isak tangisnya!
“Sudahlah, tenangkan hatimu dan kau serahkan saja persoalan ini padaku.” Dan setelah menepuk-nepuk bahu Lin Lin, nyonya yang baik hati ini lalu meninggalkan kamar Lin Lin dan menuju ke kamar suaminya.
Lin Lin adalah seorang gadis yang berhati keras dan bersemangat. Ia tak dapat menahan sabar menunggu hasil dari pada pembicaraan ibu tirinya dengan ayahnya. Maka, setelah menanti sebentar, lalu dia mempergunakan kepandaiannya melompat keluar dari jendela kamarnya, kemudian dengan hati-hati sekali dia mengintai di atas genteng dan mengintai ke bawah, di mana ayahnya sedang bercakap-cakap dengan Loan Nio!
Pada saat itu Cin Hai dengan hati girang sekali masuk ke dalam rumah untuk memasuki kamarnya. Tiba-tiba telinganya yang tajam dapat menangkap lapat-lapat suara Kwee In Liang seperti orang sedang marah. Maka ia lalu mengambil jalan memutar, keluar lagi ke belakang dan mempergunakan kepandaiannya melompat ke atas genteng.
Alangkah herannya ketika dia mendapatkan Lin Lin sedang mengintai pula, maka secara diam-diam ia cepat menyelinap ke tempat lain dan mengintai dari bagian lain. Ia tak perlu mengintai, hanya mempergunakan ketajaman telinganya untuk mendengarkan.
“Tidak, tidak! Sekali-kali tidak!” kata kata Kwee In Liang keras-keras dan dengan suara marah. “Memang ia seorang yang cukup baik dan cukup gagah, akan tetapi orang jaman dahulu pernah berkata bahwa memilih mantu harus melihat keadaan orang tuanya. Dan apakah orang tua anak itu? Pemberontak! Apakah kau pikir aku harus berbesan dengan seorang pemberontak?”
“Tetapi ayahnya sudah meninggal dunia dan tidak perlu lagi kiranya kita membawa-bawa namanya!” terdengar Loan Nio membantah.
“Hemm, harimau mati meninggalkan kulitnya, manusia mati meninggalkan namanya! Dan nama apakah yang ditinggalkan oleh orang she Sie itu? Nama busuk pula!”
“Pikirlah dengan tenang. Cin Hai berbeda dengan ayahnya, ia adalah seorang anak yang baik. Juga mereka berdua telah saling mencintai!”
“Apa?” terdengar Kwee In Liang berseru marah. “Saling cinta? Bagaimanakau bisa tahu?”
“Lin Lin sudah mengaku kepadaku!”
“Anak keparat! Tidak, tidak boleh! Ia harus menjadi mantu keluarga Gan di See-tok, dan habis perkara!”
Kedua suami isteri yang sedang bertengkar ini tidak tahu betapa di atas genteng terdapat dua orang yang pada saat itu berwajah pucat sekali. Air mata mengalir turun membasahi pipi Lin Lin dan hatinya terasa bagaikan diremas-remas.
Sedangkan Cin Hai berdiri pucat dan air matanya mengalir pula, akan tetapi bukan akibat sedih, hanya sakit hati mendengar betapa ayahnya dan keluarganya dipandang hina dan rendah sekali. Sakit hatinya yang dahulu, yang telah dapat dipadamkan ketika ia bertemu kembali dengan ie-ie-nya dan terutama dengan Lin Lin, kini timbul kembali.
Ayahnya sekeluarga telah ditangkap oleh Kwee In Liang, dan kini bahkan dihinanya lagi! Ayahnya yang telah menjadi tanah itu masih direndahkan!
Timbul keangkuhan serta kemarahan di dalam hati Cin Hai. Kalau saja dia tidak ingat kepada Lin Lin, tentu dia sudah meloncat turun dan menyerbu Kwe In Liang yang berani merendahkan ayahnya!
Dengan hati sangat terluka Cin Hai meloncat turun dan langsung menuju ke kamarnya, mengambil semua pakaiannya dan segera keluar dari situ. Akan tetapi, ketika keluar dari rumah itu, Lin Lin yang berada di atas genteng sambil menangis, dapat melihatnya. Cepat gadis ini meloncat turun pula dan mengejar sambil berseru,
“Hai-ko... kau hendak ke mana...?”
Mendengar suara panggilan Lin Lin, Cin Hai mengeraskan hatinya dan tanpa menengok lagi dia malah mempercepat larinya!
Akan tetapi, karena serangan batin yang amat hebat itu dan karena nafsu marahnya yang menggelora, maka luka di dadanya yang belum sembuh betul itu lalu pecah kembali dan tiba-tiba saja ia merasa betapa dadanya sesak dan panas! Cin Hai mempertahankan rasa sakit ini dan terus berlari cepat, sedangkan Lin Lin tetap mengejar sambil berteriak-teriak dan menangis.
“Engko Hai... tunggu...! Engko Hai...!”
Setelah hampir dua puluh li jauhnya, Cin Hai merasa tidak kuat lagi. Hari mulai gelap dan kebetulan sekali dia melihat sebuah kuil di pinggir jalan. Dia lalu membelok ke sana dan seorang hwesio tua menyambutnya.
“Losuhu, tolonglah beri sebuah kamar padaku. Aku sedang terluka dan tolong kau cegah siapa saja yang memasuki kamarku.”
Hwesio yang baik hati ini membawa Cin Hai ke sebuah kamar di mana terdapat sebuah pembaringan bambu sederhana. Cin Hai kemudian menutup kamar itu dan duduk di atas pembaringan, lalu bersemedhi untuk melawan rasa sakit di dadanya.
Lin Lin yang tidak tertinggal jauh karena selain ia memiliki ilmu berlari yang cukup cepat, juga karena sakit di dada Cin Hai membuat pemuda itu agak lambat larinya, dapat cepat menyusul dan gadis ini girang sekali ketika melihat bahwa Cin Hai memasuki kuil itu. Ia juga masuk ke dalam kuil dan disambut oleh hwesio tua tadi.
“Losuhu, di manakah perginya orang tadi? Aku ingin bertemu dengan dia!”
Hwesio itu dengan muka sabar berkata, “Duduklah dulu, Nona. Tuan tadi sudah berpesan bahwa siapa pun tidak boleh bertemu dengan dia.”
Tetapi Lin Lin menjadi tidak sabar. “Orang lain tak boleh bertemu dengan dia, tetapi aku harus bicara dengan dia!” kata-katanya ini dikeluarkan dengan suara keras sekali.
“Tidak baik memaksa orang yang tidak mau bertemu muka, Nona,” hwesio tadi berkata dengan masih sabar.
Kata-kata ini membangkitkan keangkuhan Lin Lin, maka ia berkata, “Kalau memang tidak mau bertemu, biarlah aku bicara dari luar kamarnya saja!”
Karena gadis ini mendesak terus, akhirnya hwesio itu terpaksa mengantarkan Lin Lin ke kamar Cin Hai.
“Engko Hai...!” Suara Lin Lin mengandung isak ketika ia memanggil dari luar kamar.
Semenjak Lin Lin datang, Cin Hai sudah mendengar suaranya, dan pemuda ini menahan gelora hatinya yang ingin sekali keluar dan bertemu dengan gadis itu. Akan tetapi hatinya berbisik, “Ayahnya telah menghina Ayahku!”
Maka ia lalu menjawab dari dalam, “Lin Lin, ada apakah kau mengejarku? Bukankah kau sudah mendengar sendiri kata-kata Ayahmu tadi?”
Hwesio itu meninggalkan mereka karena ia maklum bahwa gadis ini benar-benar memiliki hubungan dengan orang di dalam kamar.
“Hai-ko, jangan kau samakan Ayah dengan aku!” kata Lin Lin dengan suara memohon.
“Sudahlah Lin-moi, kau pulanglah karena Ayahmu tentu akan marah sekali jika tahu kau menyusul ke sini. Pulanglah dan biarkan aku orang rendah ini merana seorang diri. Kau lupakan aku, aku tidak berharga di hadapan keluarga Kwee yang terhormat. Ingatlah, aku seorang keturunan pemberontak hina!”
“Engko Hai...!”
Lin Lin menangis sedih dan dengan nekat dia lalu mendorong daun pintu kamar Cin Hai. Dia melihat betapa pemuda itu dengan muka pucat sedang rebah di pembaringan bambu dan keadaannya menyedihkan sekali karena pipi pemuda itu basah oleh air mata!
“Engko Hai...!” Lin Lin menubruk dan gadis ini menangis tersedu-sedu sambil mendekap kaki Cin Hai yang tertutup selimut.
Melihat keadaan gadis kekasihnya yang benar-benar menyatakan cinta hati yang sangat tulus kepadanya ini, hati Cin Hai melunak.
“Lin-moi... Lin-moi... jangan kau bersedih, Adikku yang manis...,” katanya dengan penuh kasih sayang.
Lin Lin menyusut kering air matanya, dan di antara air mata yang membasahi bulu mata yang panjang dan bagus itu, ia tersenyum. Hatinya girang lagi mendengar suara Cin Hai yang penuh kasih sayang itu.
“Apa bila kau tidak ingin aku menangis, janganlah kau membenciku dan jangan kau pergi meninggalkan aku, Engko Hai.”
Cin Hai merasa terharu sekali. “Adikku, percayalah, selama hayat di kandung badan, aku takkan sanggup membenci kau. Aku akan tetap mencintaimu, mencinta dengan sepenuh hati dan nyawa.”
Lin Lin memandang dengan sayu. “Hai-ko... kau maafkanlah kata-kata Ayahku tadi. Dia memang kejam... ah, akan kukatakan terus terang kepadanya. Aku tidak sudi dijodohkan dengan orang lain, lebih baik aku mati atau... atau... aku akan minggat dan pergi bersama kau, Engko Hai.”
Cin Hai tersenyum sedih. “Jangan begitu, Lin Lin. Tidak baik seorang gadis gagah dan berbudi seperti engkau melarikan diri.”
“Habis, bagaimanakah baiknya, Hai-ko? Ayah begitu keras hati dan kukuh.”
“Puterinya begini keras hati dan kukuh, kenapa ayahnya tidak?” Cin Hai menggoda. “Kita harus bersabar. Aku tahu bahwa ayahmu bukan seorang jahat, maka biarlah kita menanti sampai dia berubah pendirian dan tidak begitu membenciku.”
“Ayah tidak membencimu, tetapi agaknya membenci Ayahmu.”
Cin Hai menghela napas. “Itulah! Aku ingin sekali mengetahui riwayat Ayahku. Sekarang kau pulanglah agar supaya kemarahan Ayahmu mereda. Percayalah, Lin Lin, aku takkan melupakanmu dan pada suatu hari baik, pasti aku akan datang kembali”
Lin Lin mengangkat mukanya. “Kau akan pergi ke mana, Hai-ko?”
“Aku akan pergi ke kampung kelahiranku dan hendak mencari keterangan tentang orang tuaku.”
“Tetapi... kau pasti akan kembali kepadaku, bukan?”
“Tentu saja, Lin-moi, kau kira aku akan merasa senang berjauhan dengan engkau?”
Lin Lin kembali memeluk lutut Cin Hai yang masih rebah di pembaringan. “Hai-ko, kalau kau tidak kembali, aku akan betul-betul minggat dari rumah dan akan mencarimu sampai dapat!”
Akhirnya Lin Lin meninggalkan tempat itu setelah berkali-kali Cin Hai diharuskan berjanji bahwa pemuda itu benar-benar akan kembali. Akan tetapi, belum berapa lama gadis itu pergi, tiba-tiba saja ia kembali lagi dengan wajah pucat sekali. Dengan terengah-engah ia berkata setelah mendorong pintu kamar Cin Hai.
“Celaka, Hai-ko, celaka...!” Gadis itu tak dapat melanjutkan kata-katanya, akan tetapi lalu menangis dengan sedih.
Cin Hai meloncat dari tempat tidurnya dan cepat memegang kedua pundak Lin Lin.
“Lin-moi, tenanglah. Ada apakah yang terjadi?”
Lama sekali Lin Lin menangis sedih, baru dia bisa berkata,
“Celaka, Hai-ko! Rumah sudah kedatangan musuh. Perwira-perwira jahanam itu kembali datang dan mencelakakan serumah tanggaku! Semua terluka dan... dan Ayah...”
Tanpa banyak cakap lagi Cin Hai cepat menarik tangan Lin Lin dan diajak keluar dari kuil itu. Dia menggunakan kepandaiannya berlari cepat sambil menarik tangan Lin Lin hingga gadis ini seakan-akan terbang. Mereka segera menuju ke rumah keluarga Kwee dan dari jauh mereka telah mendengar suara tangis sedih.
Ketika Lin Lin datang bersama Cin Hai, dengan pedang di tangan Kwee Tiong langsung menyerang Lin Lin dengan hebat. Akan tetapi, sekali melayangkan kakinya, Lin Lin telah berhasil menendang pergelangan tangan Kwee Tiong dan pedang itu mencelat jauh.
“Perempuan rendah! Sundal tak tahu malu!” teriak Kwee Tiong dengan mata beringas. “Engkau main gila di luar, tidak tahu di rumah ditimpa mala petaka! Aku akan mencekik lehermu dengan tanganku sendiri!”
Pemuda yang sudah kalap ini lalu menubruk maju. Akan tetapi Cin Hai lalu mengulurkan jari tangan menotoknya sehingga dia lantas roboh dengan lemas, tak dapat berkutik mau pun berteriak lagi.
“Lebih baik begini, agar dia jangan membuat gaduh lagi,” kata Cin Hai dan bersama Lin Lin dia lalu lari memasuki rumah.
Pemandangan yang nampak di dalam rumah itu membuat sepasang kaki Cin Hai terasa lemas dan memeluk tubuh Kwee In Liang yang rebah di lantai mandi darah! Pada sudut masih nampak banyak orang lain rebah mandi darah, di antaranya Loan Nio, Kwee Sin, Kwee Bun, Kwee Siang, dan Kwee An!
Cin Hai cepat melakukan pemeriksaan. Kwee In Liang menderita luka parah di dadanya karena bacokan pedang dan jiwanya sukar ditolong lagi. Loan Nio ternyata sudah tewas karena bacokan yang tepat mengenai lehernya. Demikian juga Kwee Sin, Kwee Bun dan Kwee Siang telah tewas. Hanya Kwee An yang masih bisa diharapkan karena biar pun ia menderita luka parah di pundak, akan tetapi tubuh pemuda ini jauh lebih kuat dari pada saudara-saudaranya. Sungguh peristiwa yang mengerikan sekali.
Cin Hai tidak tahan dan ikut mengucurkan air mata. Dia mengangkat jenazah-jenazah itu dengan baik-baik dan memanggil para pelayan untuk membantunya. Kemudian ia segera menolong Kwee An dan Kwee In Liang.
Sesudah menotok jalan darah dan mengurut pundak Kwee An, pemuda ini siuman, akan tetapi sangat lemah hingga setelah terbelalak memandang dengan liar untuk mencari-cari musuh-musuhnya, ia lalu rebah lagi dengan lemas dan meramkan mata.
Kwee An kemudian dirawat oleh seorang pelayan yang memberi obat dan membalut luka pemuda itu, sedangkan Lin Lin dan Cin Hai menolong Kwee In Liang. Setelah pundaknya diurut oleh Cin Hai, orang tua ini membuka kedua matanya.
Untuk beberapa saat kedua matanya memandang sayu seakan-akan tak dapat mengenal keadaan di sekelilingnya, akan tetapi lambat laun pemandangan matanya semakin terang sehingga dia dapat mengenal Cin Hai dan Lin Lin. Ia menggerak-gerakkan kedua tangan dan menyuruh kedua anak muda itu mendekat, lalu dia menggerak-gerakkan bibirnya.
Lin Lin dan Cin Hai mendekatkan kepala mereka untuk dapat menangkap kata-kata orang tua ini.
“Lin Lin kau jaga baik-baik dirimu... aku tidak kuat lagi... Cin Hai, kau... kau... balaskan sakit hati ini... jangan kau kawini Lin Lin sebelum kau balaskan sakit hati ini”
Cin Hai serta Lin Lin mengangguk-angguk dan Lin Lin menangis terisak-isak.
“Cin Hai... kau berjanjilah…,” suara orang tua itu makin lemah.
“Aku berjanji, Ie-thio!” kata Cin Hai dengan sungguh-sungguh, karena dia merasa bahwa sudah menjadi kewajibannya untuk membalaskan sakit hati bibinya yang terbunuh secara kejam.
“Aku… aku puas... balaskanlah sakit hati ini, basmi anjing-anjing itu... kalau telah berhasil kau sungguh-sungguh mantuku yang sangat baik…,” setelah berkata demikian, orang tua ini menghembuskan napas terakhir.
Lin Lin menubruk jenazah ayahnya, tetapi akhirnya gadis ini jatuh pingsan! Setelah sadar, dia menangis dengan amat sedihnya sambil menjambak-jambak rambutnya sendiri sebab merasa menyesal mengapa kejadian itu terjadi di luar tahunya!
“Sudahlah, Lin-moi, engkau bahkan harus bersukur bahwa engkau tidak berada di rumah. Karena kalau berada di rumah, tentu engkau pun akan menjadi korban. Kwee An yang begitu lihai pun dapat dirobohkan. Apa bila engkau dan semua menjadi korban, siapakah yang akan dapat membalas dendam?”
Karena hiburan-hiburan Cin Hai, Lin Lin dapat menenteramkan hatinya. Kwee Tiong lalu dibebaskan dari totokan, dan dengan kata-kata tajam Cin Hai dapat mengusir kemurkaan yang menggelora di dada pemuda itu. Kemudian Kwee Tiong menuturkan peristiwa yang hebat itu.
Pada saat Cin Hai dan Lin Lin sedang berkejar-kejaran, datanglah serombongan perwira Sayap Garuda menuju ke rumah keluarga Kwee. Mereka ini adalah lima orang perwira yang dahulu mengganggu pesta keluarga Kwee. Kini mereka datang bersama tiga orang tua, yakni dua orang perwira Sayap Garuda lainnya yang menjadi anggota dari Shantung Ngo-hiap, yaitu orang pertama dan ke dua, ada pun yang ke tiga adalah seorang hwesio gundul yang bukan lain adalah Hai Kong Hosiang adanya!
Kedatangan mereka ini sebenarnya hendak mencari Cin Hai untuk menebus kekalahan mereka yang lalu. Akan tetapi karena Cin Hai tidak berada di situ, mereka lalu mengamuk membabi buta dan membunuh semua keluarga Kwee!
Tentu saja Kwee In Liang dan putera-puteranya melawan dengan nekad, terutama Kwee An yang dengan gagah berani menahan serbuan mereka. Dengan pertempuran hebat ini, Kwee An dapat melukai beberapa orang perwira. Akan tetapi lawan itu terlampau banyak dan terlampau tangguh terutama Hai Kong Hosiang, sehingga pada akhirnya semua kena dirobohkan!
Hanya pelayan-pelayan saja yang tidak dibunuh, sedangkan Loan Nio sendiri pun dengan nekad menyerbu hingga dirobohkan dengan bacokan pedang. Kwee Tiong yang bersifat pengecut dan licin, melihat kehebatan rombongan itu lalu cepat-cepat melarikan diri dan bersembunyi sehingga dia terhindar dari pada kebinasaan!
Mendengar penuturan Kwee Tiong yang tiada hentinya mencela serta mempersalahkan Cin Hai dan Lin Lin, gadis itu kembali menangis tersedu-sedu.
“Sudahlah, Saudara Kwee Tiong, jangan kau persalahkan adikmu lebih jauh. Ketahuilah, sebenarnya aku pergi memang dengan sengaja dan tidak ada maksudku untuk kembali lagi. Sedangkan Adik Lin Lin menyusulku dengan maksud membujuk supaya aku kembali lagi, jangan kau menyangka yang tidak-tidak. Sekarang lebih baik kita urus pemakaman jenazah-jenazah ini dan nanti bila mana Kwee An sudah sadar, kita dapat mendengar penjelasan-penjelasan dari padanya.
Karena ia hanya mengandalkan tenaga Cin Hai untuk membalas dendam, akhirnya Kwee Tiong tidak mengomel lagi dan membantu merawat jenazah-jenazah itu dengan sedih.
Sesudah sadar dari pingsan dan agak kuat bercakap-cakap, Kwee An dengan air mata berlinang dan gigi dikertak karena sakit hati, berkata kepada Cin Hai. “Aku bersumpah untuk membalas dendam ini! Mereka itu adalah kelima perwira yang dahulu mengacau di sini ditambah tiga orang lagi, yakni orang pertama dan ke dua dari Shantung Ngo-hiap, dan yang ke tiga adalah Hai Kong Hosiangl!”
“Hmm, aku pernah bertemu dengan hwesio itu!” kata Cin Hai. “Kau tenangkanlah hatimu, Saudaraku. Besok aku segera berangkat dan demi kehormatanku, aku akan berusaha untuk membasmi delapan orang bangsat kejam itu!”
“Jangan, Cin Hai! Kau jangan berangkat besok, tidak boleh!” Tiba-tiba Kwee An berkata penuh semangat.
“Kenapa?”
“Kau kira aku akan enak saja tinggal diam sedangkan orang lain hendak mengadu jiwa untuk membalas dendam ini? Tidak, dendam ini harus kubalas sendiri!”
Cin Hai tersenyum maklum. “Baiklah, aku akan menunggu sampai kau sembuh dan kita akan pergi bersama!” Setelah mendapat jawaban ini barulah Kwee An merasa lega dan ia lalu jatuh pulas.
Dengan telaten Cin Hai dan Lin Lin menjaga dan melayani Kwee An dan Lin Lin bahkan minta bantuan gurunya untuk mengobati kakaknya ini. Biauw Suthai ikut merasa berduka dan gemas kemudian berjanji akan membantu usaha pembalasan sakit hati itu...
Selanjutnya baca
PENDEKAR BODOH : JILID-07