Ang I Niocu (Nona Baju Merah) Jilid 10
“Bu Pun Su, kau memang seorang pengecut dan tak tahu malu!” Ia memaki dan bibirnya bergerak-gerak akan tetapi tak ada kata-kata lanjutan, saking marahnya ia sampai sukar mengeluarkan kata-kata!
Bu Pun Su tersenyum mengejek, “Kong Mo Taisu, kalau roh suci dari Tat Mo Couwsu melihat betapa ilmu ciptaannya terjatuh ke dalam tangan seekor siluman bulus kemudian digunakan untuk perbuatan sewenang-wenang, tentu beliau akan menangis. I-kin-keng adalah sebuah ilmu yang tinggi dan bersifat suci, ilmu yang termasuk ilmu putih dan yang diajarkan demi kemajuan dan kesehatan manusia. Akan tetapi setelah terjatuh ke dalam tanganmu, berubah menjadi ilmu hitam yang keji!”
“Bu Pun Su manusia rendah! Ternyata watakmu tiada bedanya dengan watak seorang maling hina. Kau sendiri seorang keji yang telah membunuh dua orang cucu muridku dan kini kau masih berusaha untuk membersihkan diri dan juga mencoba-coba menghinaku? Kau tadi juga memperlihatkan sifatmu yang licik dan tak tahu malu. Pinceng bertanding dengan Keng Thian Siansu, mengapa kau membantu dengan cara menggelap? Apakah itu perbuatan seorang laki-laki?”
Bu Pun Su tidak marah mendengar ejekan ini.
“Terhadap lain orang gagah di dunia kang-ouw sama artinya dengan menghadapi orang segolongan sendiri, karenanya memang harus dilakukan aturan kesopanan dan harus menjaga kehormatan diri dengan taruhan nyawa! Akan tetapi menghadapi seekor anjing gila, siapa pun juga boleh menendang, memukul, atau meludahi sesuka hati tanpa aturan kesopanan pula.”
“Jahanam, kau memaki aku anjing?”
”Siapa memaki? Aku hanya menyatakan cengli (aturan) dari dunia kang-ouw. Kong Mo Taisu, benar-benarkah kau datang ini untuk menangkap aku karena kau bilang aku sudah membunuh dua orang cucu muridmu?”
“Bukan hanya menangkap, sekarang pinceng sudah merubah keputusan. Pinceng hanya akan membawa kepalamu saja ke Siauw-lim-si agar dijadikan sam-seng, untuk upacara menyembahyangi roh kedua orang cucu muridku Bok Beng dan Kok Beng.”
Bu Pun Su tertawa geli. “Aduh, alangkah senangnya kalau aku bisa melihat dengan mata kepala sendiri betapa kepalaku dijadikan sam-seng di atas meja sembahyang! Apakah akan direbus lebih dahulu? Akan tetapi sayang, mukaku kurus tidak ada dagingnya, mana ada setan yang suka?”
Kong Mo Taisu menggerakkan rantainya. “Bu Pun Su, bersiaplah kau untuk mampus!”
Bu Pun Su mengangkat tangannya menyetop. “Nanti dulu, Kong Mo Taisu. Sedangkan aku yang hendak kau bunuh tidak tergesa-gesa, mengapa engkau yang mau membunuh begitu tidak sabaran? Kau bilang aku telah membunuh Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang, mengapa sekarang kau yang datang membalas dendam dan bukan Hok Bin Taisu sendiri dan tokoh-tokoh Siauw-lim-si yang lain? Sejak kapan kau menjadi hakim di Siauw-lim-pai? Dan pula, dari siapa kau mengerti bahwa aku telah membunuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu?”
“Tak usah banyak cerewet. Pendeknya, pinceng tahu bahwa kaulah yang membunuh Bok Beng dan Kok Beng, juga membunuh Cin Giok Sianjin dari Kun-lun-pai! Pinceng adalah seorang Siauw-lim-pai, sudah semestinya pinceng yang membalas dendam.”
Tiba-tiba Bu Pun Su tertawa bergelak. Suara ketawanya bergema sampai jauh dan suara ini lapat-lapat mengejutkan binatang-binatang hutan di sekitar puncak, yang dijawab oleh auman binatang-binatang buas!
“Kong Mo Taisu, kau kira aku tidak dapat menduga? Ternyata siluman betina Pek Hoa telah mengunjungi Siauw-lim-si pula! Dan aku percaya, para pendeta di Siauw-lim-si pasti tak mau percaya hawa busuk yang keluar dari bibir merah siluman itu. Kemudian siluman itu lari memasuki goamu dan membujuk rayu dengan matanya yang bening dan bibirnya yang merah. Dan kau... ahhh, mana bisa lain? Kau dengan segala senang hati berkenan melaksanakan permintaannya untuk membunuhku. Bukankah itu cocok sekali?”
Untuk sesaat hwesio itu berdiri tercengang. Kalau mendengar omongan Bu Pun Su itu, seakan-akan kakek sakti ini telah melihat dan menyaksikan semua! Memang dugaan Bu Pun Su ini tepat sekali.
Setelah berhasil memanaskan hati orang-orang Kun-lun-pai, Pek Hoa kemudian langsung menuju ke Siauw-lim-si dan di kuil Siauw-lim-si yang besar dia hanya diterima di ruangan depan sekali, tak diperbolehkan masuk. Di situ wanita ini mengarang cerita, menyatakan bahwa ia telah menyaksikan dibunuhnya Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang oleh Bu Pun Su di Pulau Pek-le-to.
Akan tetapi, ketika para hwesio penyambut menyampaikan hal ini kepada Hok Bin Taisu, hwesio Ketua Siauw-lim-pai yang tidak mau menjumpai Pek Hoa ini menyatakan ketidak percayaannya.
“Apa pun juga yang terjadi, pinceng lebih percaya kepada Bu Pun Su dari pada kepada Pek Hoa Pouwsat. Suruh perempuan itu cepat-cepat pergi meninggalkan Siauw-lim-si!” kata Hek Bin Taisu.
Demikianlah, tepat seperti dugaan Bu Pun Su, Pek Hoa lalu meninggalkan Siauw-lim-si dan mengunjungi tempat pembuangan atau pertapaan Kong Mo Taisu.
Kong Mo Taisu yang mendengar omongan dan ejekan Bu Pun Su, selain terheran-heran, juga ia merasa malu sekali. Terbayang olehnya betapa Pek Hoa Pouwsat memang telah datang ke goanya di mana ia bertapa untuk menebus dosanya terhadap Siauw-lim-si.
Tentu saja tadinya ia menolak keras untuk keluar dari goa dan untuk menolong wanita itu membalas sakit hatinya terhadap Bu Pun Su. Akan tetapi Pek Hoa adalah seorang wanita cantik jelita seperti bidadari, dan pula dalam menggoda, membujuk dan merayu hati pria, dia sudah terlatih dan karenanya pandai sekali. Meski pun Kong Mo Taisu telah menjadi seorang hwesio dan telah bertapa bertahun-tahun, akan tetapi pada dasarnya ia memiliki kelemahan batin.
Digoda hebat oleh Pek Hoa yang cantik, runtuhlah pertahanan imannya dan akhirnya ia kalah juga. Apa lagi ketika dalam bujuk rayunya ini Pek Hoa menyinggung-nyinggung bahwa Bu Pun Su telah membunuh dua orang anak murid Siauw-lim-pai, Kong Mo Taisu serta-merta lalu menyetujui untuk menolong wanita cantik itu!
Demikianlah, dan sekarang Bu Pun Su bicara demikian tepat seakan-akan orang aneh ini melihat dengan mata sendiri. Tentu saja Kong Mo Taisu menjadi heran dan malu yang akhirnya menimbulkan marahnya.
“Bu Pun Su, jangan mencoba berputar lidah. Betapa pun juga, kau telah membunuh dua orang anak murid Siauw-lim-si dan karenanya harus membayar dengan nyawa!” Setelah berkata demikian, rantai di tangannya menyambar ke arah kepala Bu Pun Su.
Bu Pun Su maklum bahwa hwesio ini selain memiliki ilmu silat yang tinggi, juga memiliki tenaga lweekang dan ilmu I-kin-keng, karena itu serangan-serangannya tentu berbahaya sekali. Akan tetapi di samping ini, dia pun maklum bahwa ilmu silat dari Kong Mo Taisu adalah ilmu silat curian, karenanya tentu cara melatih diri tidak sempurna, tidak menurut cara bagaimana mestinya atau boleh juga dibilang secara ngawur.
Dengan gerakan yang seenaknya Bu Pun Su dapat menghindarkan serangan rantai itu, kemudian berkatalah Bu Pun Su,
“Kong Mo Taisu, satu kali kau sudah melakukan pelanggaran dan penyelewengan hingga kau dihukum oleh Siauw-lim-si. Kemudian untuk ke dua kalinya kau berbuat jahat hingga telingamu dibuntungi oleh mendiang Seng Thian Siansu. Sekarang kau belum bertobat bahkan sudah mau diperalat oleh Pek Hoa Pouwsat. Hwesio, kedosaanmu sudah sangat memuncak dan kau perlu diseret ke Siauw-lim-si!”
Kata-kata yang panjang ini diucapkan oleh Bu Pun Su sambil menghadapi serangan bertubi-tubi yang dilakukan oleh Kong Mo Taisu. Serangan-serangan itu hebat dan setiap sambaran rantai atau pukulan tangan dapat mengundang maut, akan tetapi oleh Bu Pun Su hanya dilawan dengan kegesitan dan kelemasan tubuhnya saja.
Sekali saja kakek ini menggeser kaki, memiringkan tubuh atau menundukkan kepalanya, menekuk lutut atau menggoyang pinggang, maka semua serangan itu mengenai tempat kosong belaka, dan hanya sejari terpisah dari anggota tubuh! Dalam penglihatan para tokoh Kun-lun-pai, seakan-akan Bu Pun Su tidak mengelak, melainkan tubuhnya menjadi ringan seperti kapas dan selalu terdorong oleh angin serangan sehingga semua pukulan tidak mengenai sasaran.
“Kong Mo Taisu, tahukah kau apa maksudnya hwesio digunduli kepalanya?” Bu Pun Su bicara terus.
Dia cepat menggunakan tenaga Pek-in Hoat-sut untuk mengebut pergi ujung rantai yang kali ini menyambar cepat sekali ke arah lehernya sehingga tak mungkin dapat dielakkan pula. Ujung rantai itu bagai terdorong oleh tenaga aneh sehingga arahnya menyeleweng dan leher Bu Pun Su terluput dari sabetan.
“Rambut merupakan bagian penting dalam kebagusan rupa manusia, dan sifat pesolek terutama kelihatan dalam cara mengatur rambut. Oleh karena seorang hwesio itu wajib membersihkan hati, maka melenyapkan sifat mempesolek diri menjauhkan nafsu birahi didahului dengan penggundulan rambut kepala.”
Kembali Bu Pun Su mengibaskan ujung lengan bajunya untuk menolak serangan rantai yang hendak membabat pinggangnya, kemudian melanjutkan kata-katanya,
“Akan tetapi kau walau pun kepalamu gundul kelimis, masih saja kau terpengaruh oleh wajah cantik Pek Hoa Pouwsat, benar-benar amat memalukan!”
Dengan kemarahan makin meluap, rantai di tangan Kong Mo Taisu menyambar dengan pukulan dahsyat ke arah kepala Bu Pun Su. Hwesio ini merasa penasaran dan juga kaget bukan main. Ia sudah mempunyai kepandaian yang tinggi dan boleh dibilang di kalangan Siauw-lim-si, kepandaiannya telah mencapai tingkatan yang tertinggi. Mengapa sekarang menghadapi Bu Pun Su yang bertangan kosong saja, serangan-serangannya sampai dua puluh jurus lebih tak pernah berhasil? Apa lagi Bu Pun Su masih ada kesempatan untuk bercakap-cakap dalam menghadapi serangan-serangannya itu!
Sekali ini pukulan rantai ke arah kepala amat kuatnya, dilakukan dengan mengerahkan tenaga I-kin-keng sepenuhnya. Biar pun rantai itu masih jauh, akan tetapi Bu Pun Su sudah merasakan sambaran angin pukulan yang benar-benar dahsyat.
“Siancai... sayang sekali ilmu hebat terjatuh ke dalam tangan jahat...,” kata kakek sakti ini.
Cepat dia mengulur tangan kanannya menangkap ujung rantai yang menyambar ke arah kepalanya. Perbuatan seperti ini kiranya hanya Bu Pun Su seorang saja yang berani melakukannya, karena jangankan kalah besar tenaganya oleh Kong Mo Taisu, andai kata setingkat saja, cara menangkap ujung rantai yang sedang menyambar itu merupakan bahaya maut yang nyata!
Akan tetapi Bu Pun Su bukan manusia dengan kepandaian biasa saja. Untuk masa itu, kiranya tidak ada keduanya. Kakek ini adalah ahli waris tunggal dari kitab pusaka Im-yang Bu-tek Cin-keng, kitab yang sudah diperebutkan oleh seluruh tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw, ketika Bu Pun Su masih menjadi seorang anak kecil.
Dalam menerima dan menangkap rantai lawannya ini, biar pun kelihatannya gerakannya biasa saja, akan tetapi lengan yang digerakkan itu mengeluarkan uap putih dan jari-jari tangannya berbentuk cakar. Ujung rantai yang berat serta menyambar cepat itu dapat ditangkapnya dengan mudah, dan tanpa mengeluarkan suara sedikit pun ujung baja itu sudah digenggamnya.
Di lain saat, rantai itu berbunyi kerotokan dan menegang, gagangnya dipegang oleh Kong Mo Taisu dan ujungnya oleh Bu Pun Su. Benar-benar sangat aneh. Meski pun rantai itu terbuat dari baja, akan tetapi karena bersambung-sambung, tentu saja dapat berbengkok-bengkok.
Anehnya, ketika dua orang sakti itu memegang ujungnya, mereka saling mendorong dan rantai itu menegang seperti sebuah tongkat baja saja! Inilah saluran tenaga lweekang tinggi yang membuat rantai itu menegang. Jangankan rantai, biar pun yang dipegang itu sehelai sabuk sutera, dapat juga menjadi kaku dan keras melebihi baja.
Pertempuran ini benar-benar menegangkan. Semua pendeta Kun-lun-pai yang berada di situ mengerti belaka apa artinya pertandingan ini. Pertempuran yang dilakukan oleh kaki tangan, bahkan dengan senjata sekali pun, masih belum begitu menegangkan laksana pertempuran adu tenaga dalam seperti yang dilakukan oleh Kong Mo Taisu dan Bu Pun Su pada saat itu. Semua ahli silat tinggi maklum belaka bahwa dalam adu tenaga dalam, kalah menang hanya diputuskan oleh kematian seorang di antaranya!
Akan tetapi bagi Bu Pun Su tidak demikian. Kakek sakti ini telah memiliki tingkat yang tak dapat diukur lagi tingginya, maka mengandalkan kepandaiannya ia bisa menundukkan Kong Mo Taisu tanpa membahayakan nyawa lawannya itu.
“Kong Mo Taisu, insyaflah kau akan kesesatanmu dan kalau kau mau berjanji kelak tidak akan melakukan pelanggaran-pelanggaran sebagai seorang pendeta, aku akan lupakan hinaan-hinaan tadi. Kau boleh ambil kembali rantaimu!” Sambil berkata demikian, Bu Pun Su sengaja mengendurkan pegangannya pada ujung rantai, seolah memberi kesempatan kepada Kong Mo Taisu untuk menarik kembali rantainya.
Kalau saja Kong Mo Taisu bukan seorang sombong dan mempunyai dasar yang buruk, tentu ia tahu bahwa kepandaiannya masih kalah jauh oleh Bu Pun Su. Dalam pergulatan mengadu tenaga dalam ini saja, dia sendiri telah mengerahkan seluruh tenaga I-kin-keng yang ada padanya. Akan tetapi sebaliknya Bu Pun Su masih dapat berkata-kata dengan suara seenaknya saja, tanda bahwa di pihak Bu Pun Su, tenaga yang dikerahkan paling banyak hanya setengahnya.
Akan tetapi Kong Mo Taisu ternyata tidak mau menerima usul Bu Pun Su ini. Ia maklum bahwa dengan menarik kembali rantainya, sama halnya dengan mengaku kalah dan hal ini akan menjatuhkan namanya.
Maka, melihat Bu Pun Su mengurangi tenaganya, ia hendak mengambil keuntungan dari kesempatan baik ini dan tiba-tiba sambil berseru keras dia mendorong dengan segenap tenaga yang ada dalam dirinya.....
Semua tosu Kun-lun-pai melihat ini dan mengerti bahaya besar mengancam diri Bu Pun Su.
“Curang...!” Keng Thian Siansu Ketua Kun-lun-pai berseru marah melihat kelicikan Kong Mo Taisu ini. Akan tetapi karena dia maklum bahwa tenaganya jauh kurang kuat untuk dapat menolong Bu Pun Su, kakek Kun-lun-pai ini hanya mencekal tongkatnya erat-erat, siap untuk menyerbu Kong Mo Taisu.
Akan tetapi kekhawatirannya ini sebetulnya tidak perlu. Bu Pun Su adalah seorang yang cerdik dan waspada. Dia tadi mengurangi tenaganya bukan sekali-kali karena bodoh dan lengah, melainkan hendak memberi kesempatan kepada lawannya kalau-kalau lawan itu sadar dan mau merubah wataknya.
Diam-diam dia telah menyediakan tenaga pada pundaknya. Kini melihat betapa Kong Mo Taisu secara nekat mendorong dengan seluruh tenaga, Bu Pun Su segera menyalurkan tenaganya, dari kedua pundak tangan menyambut datangnya tenaga dorongan lawan.
Akibat pertemuan dua tenaga raksasa ini hebat sekali.
“Krek… krek…krek…!” terdengar suara dan satu demi satu mata rantai itu hancur!
Akhirnya Kong Mo Taisu mengeluarkan pekik mengerikan pada saat mata rantai terakhir di dekat telapak tangannya hancur dan tubuhnya seperti didorong ke belakang. Dia jatuh terduduk, wajahnya pucat sekali, kedua lengannya tergantung lemas di dekat tubuhnya, kedua matanya meram.
“Siancai... siancai... Kong Mo Taisu, kau melenyapkan ilmumu sendiri.” kata Bu Pun Su menarik napas panjang.
Keng Thian Siansu yang melihat ini pun menyebut nama Thian dan menggeleng-geleng kepalanya. Walau pun sepak terjang Kong Mo Taisu sangat jahat dan tidak tahu diri, akan tetapi sekarang melihat hwesio itu telah kehilangan seluruh tenaga lweekang-nya, bahkan menderita luka-luka pada pundak dan lengan yang berarti bahwa selamanya dia tak akan dapat menjadi seorang ahli silat lagi, Ketua Kun-lun-pai ini menaruh hati kasihan.
Bu Pun Su lalu melanjutkan perundingannya dengan Keng Thian Siansu. Kedua orang kakek ini akhirnya mencapai persetujuan. Kun-lun-pai menyanggupi permintaan Bu Pun Su untuk melakukan pengawasan serta penjagaan di tapal batas barat untuk mencegah musuh-musuh negara menyerbu dari barat dan memasuki wilayah Tiongkok. Sebaliknya Bu Pun Su juga menyanggupi untuk menangkap dan membawa Pek Hoa Pouwsat ke kuil Kun-lun-pai untuk menerima hukuman.
Setelah perundingan beres, Bu Pun Su berpamit dan turun gunung sambil membawa Kong Mo Taisu. Ia pergi ke Siauw-lim-si, menyerahkan Kong Mo Taisu kepada Hok Bin Taisu Ketua Siauw-lin-pai dan menjelaskan semua persoalan, sampai-sampai mengenai kematian dua orang anak murid Siauw-lim-pai oleh Pek Hoa Pouwsat.
Hok Bin Taisu sudah maklum siapa adanya Bu Pun Su, maka hwesio tua ini percaya penuh. Dengan ramah-tamah pihak Siauw-lim-pai menyanggupi permintaan dari Bu Pun Su untuk membantu menggalang persatuan di antara orang-orang gagah demi menolong rakyat jelata yang terancam bahaya perang. Kemudian Kong Mo Taisu mereka masukkan ke kamar hukuman di dalam kuil. Bu Pun Su tidak lama tinggal di kuil Siauw-lim-si dan segera berpamit pergi, diantar sampai di luar pintu oleh Ketua Siauw-lim-pai sendiri, hal yang jarang terjadi.
Demikianlah pengalaman-pengalaman Bu Pun Su dituturkan dengan singkat. Kakek sakti ini lalu melakukan perjalanan untuk memenuhi janjinya kepada Keng Thian Siansu Ketua Kun-lun-pai, yakni mencari dan kemudian menyeret Pek Hoa Pouwsat ke puncak Kun-lun untuk diadili oleh pihak Kun-lun-pai.
Akan tetapi, di dalam perjalanannya ini, akhirnya Bu Pun Su mendengar berita bahwa Pek Hoa Pouwsat sudah tewas ketika menolong Ang I Niocu Kiang Im Giok dari tengah kaum pemberontak. Bu Pun Su menarik napas panjang dan ia terheran-heran.
Bagaimana siluman wanita itu mau menolong Ang I Niocu Kiang Im Giok yang ia tahu sedang mengantar utusan Kaisar yang bernama Gan Tiauw Ki? Benar-benar aneh sekali. Karena ingin mendengar sendiri dari Im Giok, ia segera menuju ke Sian-koan, di samping hendak menanyakan mengenai Pek Hoa Pouwsat kepada Ang I Niocu, dia juga hendak bertanya kepada Kiang Liat tentang tugas yang diserahkan kepada pendekar itu.
Akan tetapi, alangkah terkejut dan tertusuk perasaan Bu Pun Su ketika tiba di Sian-koan dia mendengar tentang peristiwa hebat yang terjadi dalam keluarga Kiang. Kemudian dia mencari makam Kiang Liat dan di tanah kuburan itu ia melihat Ang I Niocu Kiang Im Giok yang duduk melamun seperti patung.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Ang I Niocu yang kaget mendengar suara teguran Bu Pun Su, lalu segera menjatuhkan diri berlutut sambil menangis tersedu-sedu dan mencurahkan seluruh kesedihan hatinya.
“Susiok-couw... teecu seorang yang put-hauw (tak berbakti), teecu seorang jahat yang mengakibatkan matinya Twako Gan Tiauw Ki, teecu pula yang... membunuh Ayah...“ Dia terisak-isak sampai suaranya tak dapat terdesak lagi.
Bu Pun Su mengejap-ngejapkan matanya karena terharu dan ikut berduka. Sebelum dia menjumpai Im Giok, lebih dahulu kakek ini telah mencari keterangan mengenai terjadinya peristiwa itu, maka tahulah ia apa yang sesungguhnya telah menimpa keluarga gadis ini.
“Susiok-couw... harap Susiok-couw turun tangan menghukum teecu... sirnakan saja teecu dari muka bumi ini… teecu sudah tidak kuat menanggung dosa...,” gadis ini melanjutkan kata-katanya yang dicampur dengan tangis.
“Kiang Im Giok, omongan apakah yang kau keluarkan itu? Bukan demikian sikap seorang yang menjunjung tinggi kegagahan! Bangunkan semangatmu dan usir semua kelemahan yang menyelubungi kegagahanmu seperti mendung menutupi matahari. Angkatlah muka dan dada, arahkan pandangan ke depan. Apa semua kedukaan dan keharuan ini? Bukan engkau saja yang hidup sebatang kara di muka bumi ini. Mengerti?”
Kata-kata Bu Pun Su benar-benar mengandung sesuatu yang gaib, yang membantu Ang I Niocu menemukan kembali dirinya, mengangkatnya dari jurang kedukaan dan lamunan, membuat dirinya sadar kembali. Diangkatnya mukanya yang pucat sekali dan rambutnya yang awut-awutan itu sebagian menutupi mukanya, akan tetapi yang masih luar biasa cantiknya itu, dan ia memandang kepada guru besar di hadapannya dengan mata penuh harap dan tanya.
Melihat gadis ini diam-diam Bu Pun Su merasa sangat kasihan. Dia harus akui bahwa selama hidupnya belum pernah dia melihat seorang gadis yang secantik ini, akan tetapi yang mempunyai nasib seburuk ini.
“Im Giok, seperti kukatakan tadi, di dunia ini bukan hanya engkau yang sebatang kara hidupnya. Aku sendiri semenjak kanak-kanak sudah menjadi seorang yatim piatu dan apa bila dibandingkan dengan aku, nasibmu ini tidaklah terlalu buruk. Aku tahu bahwa kau kehilangan ayahmu dan juga bahwa kau berduka karena kematian Gan Tiauw Ki. Akan tetapi, kita manusia ini dapat berdaya apakah terhadap ketentuan mati dan hidup? Setiap pertemuan pasti akan diakhiri dengan perpisahan, demikian pula setiap perpisahan pasti akan mendatangkan pertemuan lain.”
Im Giok yang mendengarkan ucapan Bu Pun Su dengan perhatian sepenuhnya karena ia sudah sadar kembali, lalu menjawab,
“Teecu mengerti, Susiok-couw. Hanya yang menghancurkan perasaan teecu adalah cara meninggalnya dua orang yang telah merebut kasih sayang teecu di semua orang di dunia ini. Twako Gan Tiauw Ki jauh-jauh datang hendak mengajukan pinangan untuk diri teecu kepada Ayah, akan tetapi siapa sangka, dia tewas dibunuh oleh Ayah. Kemudian Ayah... Ayah meninggal dunia dalam keadaan... sebagai... sebagai musuh teecu...” Mata yang sudah dikuras air matanya itu kembali menjadi basah.
“Semua itu hanya dijadikan lantaran saja, Im Giok. Tentu saja kematian menjadi tidak sewajarnya kalau terjadi tanpa sebab. Dan sebab-sebab ini sudah ada yang mengaturnya lebih dulu, kau tidak perlu penasaran. Ada pun semua sebab-sebab yang mengakibatkan akibat-akibat yang terjadi di dunia ini, merupakan cermin, merupakan contoh bagi yang masih hidup. Kita harus dapat melihat, menangkap intisari semua sebab dan akibat, lalu mempelajari pertalian-pertaliannya sehingga mata kita akan terbuka dan dapat mengatur langkah dalam hidup agar tidak sampai menyeleweng. Semenjak kecil kau dilatih tentang kegagahan, maka kau juga harus memiliki kegagahan lahir batin, berlaku tenang dalam menghadapi semua kejadian, tetap teguh dan kokoh kuat batinnya, inilah sikap seorang gagah. Terseret ke dalam lembah duka dan berlarut-larut menyiksa diri sendiri lahir batin, ini bukanlah sikap seorang gagah, melainkan kelemahan seorang bodoh! Tugas hidupmu masih cukup banyak di dunia ini, kenapa mesti terbenam dalam lamunan dan duka untuk hal-hal yang sudah lenyap, sebaliknya membiarkan saja tugas-tugas suci yang berada di depan mata? Beginikah sikap seorang pendekar?”
Kata-kata ini membangkitkan semangat Ang I Niocu. Dia memberi hormat sambil berlutut lalu berkata,
“Susiok-couw, maafkan kelemahan teecu. Apakah yang teecu selanjutnya harus lakukan? Teecu mohon petunjuk karena hanya Susiok-couw yang menjadi harapan teecu untuk memberi petunjuk.”
“Banyak sekali yang bisa kau lakukan, Im Giok. Kepandaianmu sudah cukup dan kiranya pedangmu itu akan melakukan banyak perbuatan baik, menolong sesama manusia yang tertindas, mengulurkan tangan untuk menarik sesama hidup keluar dari jurang kehinaan dan penindasan, membasmi orang-orang jahat yang banyak berkeliaran di dunia ini.”
“Teecu mohon diberi tugas tertentu agar teecu dapat mencurahkan perhatian seluruhnya terhadap tugas itu, Susiok-couw.”
Bu Pun Su mengerti akan kehendak gadis itu. Memang, melakukan sebuah tugas yang penting, tugas yang sukar, merupakan hiburan yang menarik dan dapat melupakan orang dari kedukaannya, mendatangkan perasaan bahwa dirinya masih penting dan dibutuhkan oleh orang banyak.
“Baiklah, Im Giok. Aku pun tengah membutuhkan bantuanmu, karena itu kebetulan sekali kalau kau menyediakan tenagamu. Tugas ini bukan ringan dan di samping membutuhkan kepandaian lahir, juga perlu sekali dengan sikap yang tepat dan bijaksana. Ketahuilah bahwa pada waktu sekarang, pada saat kita semua harus menggalang persatuan, terjadi suatu hal yang amat mengecewakan. Aku mendengar bahwa antara Bu-tong-pai dengan Kim-san-pai terjadi bentrokan dan pertentangan. Bu-tong-pai adalah sebuah partai besar dan berpengaruh dan Lo Beng Hosiang ketua Bu-tong-pai merupakan seorang berwatak gagah dan menjunjung tinggi keadilan. Sebaliknya, Kim-san-pai kabarnya juga dipimpin oleh orang-orang pandai dan terkenal pula sebagai orang-orang gagah yang mempunyai welas asih karena mereka itu adalah pemuja Kwan Im Pouwsat, Dewi Welas Asih. Aku sendiri masih sangat sibuk mempersiapkan pertemuan besar antara para pemimpin dan tokoh-tokoh kang-ouw, maka kau wakili aku dan pergilah ke Kim-san. Coba kau selidiki mengenai pertentangan antara Kim-san-pai dengan Bu-tong-pai itu dan sedapat mungkin usahakanlah supaya kedua partai itu dapat menyelesaikan urusan mereka dengan jalan damai.”
Im Giok merasa terhibur mendengar perintah ini dan menyatakan kesanggupannya.
“Teecu akan segera berangkat memenuhi perintah Susiok-couw,“ katanya.
Kemudian dengan hati lega ia bersembahyang untuk berpamit di depan makam ayahnya, juga di depan kuburan Gan Tiauw Ki. Ia merasa heran dan juga girang bahwa kini tidak ada lagi kedukaan hebat yang membikin gelap hati serta pikirannya, setelah dia bertemu dan bercakap-cakap dengan Susiok-couw-nya.
“Di mana adanya suci-mu?” tiba-tiba saja Bu Pun Su bertanya sesudah Im Giok selesai bersembahyang.
“Kalau tidak pergi, tentu dia ada di rumah,” jawab Im Giok yang selama ini seakan-akan sudah lupa akan suci-nya itu.
“Hemm, aku ingin bertemu dengan dia.”
Maka pergilah kakek dan gadis itu menuju ke rumah Im Giok di kota Sian-koan, rumah besar yang kini hanya ditinggali oleh dua orang gadis, Im Giok dan Kim Lian, dibantu oleh beberapa orang pelayan.
Setelah tiba di rumah, ternyata Kim Lian tidak berada di situ. Menurut para pelayan, gadis itu sudah pergi sejak dua hari yang lalu, entah pergi ke mana karena tidak memberi tahu kepada siapa pun juga. Ketika Im Giok memasuki kamar, ia mendapat kenyataan bahwa suci-nya itu sudah membawa semua pakaian dan perhiasan, tanda bahwa suci-nya itu pergi jauh dan mungkin sekali tidak akan kembali. Ia menarik napas panjang dan segera keluar lagi dan menceritakan hal ini kepada Bu Pun Su.
“Im Giok, di samping tugasmu ke Kim-san-pai, selanjutnya kau bertugas mengamat-amati suci-mu. Jangan sampai kelak dia melakukan kejahatan-kejahatan dan penyelewengan-penyelewengan yang akan mencemarkan nama baik kita. Betapa pun juga, dia adalah murid mendiang ayahmu dan karena dia mempelajari ilmu silat yang bersumber dari aku dan sute Han Le, berarti bahwa dia itu pun adalah anak muridku. Ini berarti bahwa aku bertanggung jawab pula atas seluruh sepak terjangnya dan karenanya aku sendiri yang akan menghukumnya kalau ia mempergunakan ilmu kita untuk perbuatan jahat.”
Setelah banyak memberi nasehat yang merupakan hiburan dan pembangkitan semangat bagi gadis itu, Bu Pun Su lalu meninggalkan Sian-koan. Sesudah kakek ini pergi, Ang I Niocu kemudian menjual rumah dan seluruh perabot rumah, membagikan sebagian uang pendapatannya kepada para pelayan, kemudian pergilah ia melakukan perjalanannya ke Kim-san.
Im Giok memang tidak ingin kembali pula ke Sian-koan, tempat yang dianggapnya hanya mendatangkan kedukaan belaka, maka dia menjual rumah dan semua isinya. Sekarang yang menjadi cita-citanya hanya merantau, merantau sejauh mungkin, menjelajahi dunia yang masih asing baginya, di samping hendak memperluas pengetahuannya, juga untuk melakukan tugas sebagai seorang pendekar pembela rakyat tertindas.
Kalau semenjak ayahnya meninggal sampai bertemu dengan Bu Pun Su, Kiang Im Giok selalu mengenakan pakaian putih yang sederhana sekali, sekarang dalam perjalanannya, dia kembali mengenakan pakaiannya yang dahulu, yakni serba merah! Kecantikan dan kesegarannya yang dahulu sudah pulih kembali dan setiap orang yang melihat gadis baju merah ini lewat, pasti akan menengok dan memandang penuh kekaguman.
Ang I Niocu memang seorang gadis jelita yang jarang ada keduanya. Mukanya bulat telur dengan dagu meruncing manis dan pipi yang selalu kemerah-merahan tanpa cat, merah sewajarnya yang membayang di balik kulit yang halus. Rambutnya digelung model puteri istana dengan jambul tinggi di tengah atas dan sisa rambut yang panjang itu dibiarkan menggantung di belakang leher.
Untuk mengikat gelung rambutnya, dipasang hiasan-hiasan rambut yang indah, yang dulu selalu dibelikan ayahnya yang sangat memanjakannya. Hiasan ini membuat rambutnya yang hitam mulus itu nampak indah karena batu-batu kemala penghias rambut nampak lebih cemerlang dengan dasar rambut hitam itu.
Sepasang telinganya yang bagian atas tertutup rambut, digantungi anting-anting panjang yang terbuat dari emas bermata kemala. Anting-anting ini selalu bergerak-gerak, seperti bermain-main di antara leher dan dagu yang halus, amat manisnya dipandang mata.
Wajahnya merupakan sesuatu yang selalu menarik pandang mata orang, penuh dengan kemanisan dan keindahan yang tak membosankan. Alis matanya hitam kecil memanjang, bentuknya membayangkan kegagahan, demikian pula sepasang mata yang cemerlang itu.
Sekarang mata ini sedikit berbeda dengan dahulu. Apa bila dahulu selalu membayangkan kejenakaan, kegembiraan, dan juga kegagahan, sekarang di situ terbayang sesuatu yang menjadi cermin kematangan jiwa, sifat yang hanya dimiliki oleh orang yang sudah pernah mengalami kesengsaraan batin yang hebat.
Mungkin dulu orang masih berani memandang rendah kepadanya melihat sinar matanya bagai sinar mata kanak-kanak nakal. Akan tetapi sekarang, lebih dulu orang akan berpikir masak-masak sebelum berbuat sesuatu terhadap dirinya kalau sudah bertemu pandang dengan Ang I Niocu.
Di dalam sorot mata ini tersembunyi sesuatu yang sangat dahsyat, sesuatu yang berupa ancaman dan yang akan membuat orang menundukkan muka dengan hati ngeri karena bagi yang tajam pandang matanya, tentu akan bisa menangkap kekerasan hati yang luar biasa dari sinar mata Ang I Niocu.
Akan tetapi kekerasan ini tersembunyi di balik kejelitaan yang ditimbulkan oleh hidungnya yang kecil mancung, oleh sepasang bibirnya yang kecil penuh dan selalu merah, di mana kadang kala waktu sedikit terbuka nampak berkilauan gigi putih yang selalu bersembunyi. Demikian manisnya bentuk mulut Ang I Niocu sehingga sukarlah ditentukan mana yang lebih indah, matanya ataukah mulutnya.
Baju dalamnya berwarna biru, yang hanya nampak pada bagian leher serta lengan baju. Kemudian bajunya terbuat dari sutera halus berwarna merah muda, amat lemas sehingga membayangkan bentuk tubuhnya yang amat molek. Kemudian pakaian luarnya berwarna merah darah seluruhnya dan pada pinggangnya yang ramping sekali itu diikatkan sabuk berwarna biru terhias benang emas.
Ikat pinggang inilah yang membuat pakaiannya melengket pada tubuhnya dan membuat bentuk tubuhnya nampak nyata, mempesonakan tiap orang yang melihatnya. Akan tetapi, betapa pun menariknya gadis jelita ini, tidak ada orang yang berani sembarangan berlaku kurang ajar oleh karena selain bersikap agung, Ang I Niocu juga selalu membawa pedang yang gagangnya kelihatan, tersembul dari balik pundaknya.
Ang Niocu menjual semua barang-barangnya, kecuali Pek-hong-ma, yaitu kuda bulu putih kesayangannya. Dalam menempuh perjalanan menuju ke Kim-san, ia pun menunggang Pek-hong-ma. Setelah kini meninggalkan Sian-koan, timbul kegembiraan hati Ang I Niocu dan dibalapkannya kudanya.
Kuda Pek-hong-ma memang seekor kuda pilihan yang dahulu dibeli ayahnya dari selatan dengan harga mahal sekali. Kuda ini selain mempunyai kaki yang ringan dan cepat, juga tubuhnya penuh otot-otot yang kuat dan napasnya panjang.
Ketika dahulu Ang I Niocu masih suka bepergian dengan Kim Lian, pernah suci-nya ini yang agaknya mengenal semua orang di Sian-koan, mengumpulkan semua pemilik kuda yang baik-baik di kota itu dan mengajak mereka berpacu kuda! Ternyata tidak ada seekor pun kuda yang dapat menandingi Pek-hong-ma. Hal ini membuat Ang I Niocu semakin sayang kepada Pek-hong-ma.
Pada suatu hari, ketika dia sampai di sebuah dusun, dia mendengar suara orang wanita menangis dan suara laki-laki memaki-maki. Ang I Niocu cepat melompat turun dari kuda kemudian berlari menuju ke arah suara itu. Kuda Pek-hong-ma adalah kuda yang sudah jinak dan mengerti, karena itu dia berani meninggalkannya begitu saja tanpa mengikatkan kendalinya pada pohon.
Ternyata bahwa yang ribut-ribut itu adalah sepasang suami isteri yang masih muda. Si isteri menangis tersedu-sedu di depan pintu, dan si suami berdiri tegak di ambang pintu, menghadang dan agaknya mencegah isterinya masuk.
“Perempuan tak tahu malu! Aku sudah mengusirmu pergi dan kau masih ada muka untuk merengek-rengek? Benar-benar anjing yang tak mengenal malu!” laki-laki itu memaki dan kakinya menendang sehingga perempuan itu roboh terguling.
Akan tetapi perempuan itu merangkak kembali. Di antara tangisnya terdengar ia berkata,
“Suamiku, kenapa kau begini kejam? Setelah kau terpikat oleh perempuan lain, mengapa kau mengusirku? Suamiku, tidak ingatkah kau betapa dahulu kau membujuk rayu ketika hendak meminang aku? Kau menikah lagi, aku pun tidak keberatan, dan aku mau hidup sebagai bujang di rumahmu, asal kau jangan mengusirku. Aku sudah menjadi isterimu, kalau kau mengusirku... di mana aku harus menempatkan mukaku?”
“Cukup! Tutup mulutmu dan pergilah, aku bukan suamimu lagi! Pergi dan ikut saja orang lain, aku tidak sudi melihat macammu lagi!”
Perempuan itu terisak-isak dan sambil berlutut ia berkata, “Suamiku, mengapa kau begitu keji...?”
“Siapa keji? Kaulah yang mendatangkan sial? Kau perempuan yang tidak menyambung keturunanku, kau mendatangkan cemar pada keluargaku. Pergilah!” Kembali laki-laki itu menendang, dan kali ini agak keras sehingga perempuan itu terguling-guling kemudian mengaduh-aduh.
Timbul penasaran dan marahnya. Kini dengan muka meringis menahan sakit perempuan itu merangkak dan berdiri, matanya berapi-api.
“Laki-laki berhati iblis, kau berlaku sewenang-wenang kepadaku. Memang aku seorang lemah, akan tetapi Thian Maha Adil dan Maha Kuasa, manusia iblis macam engkau pasti akan dikutuk oleh Thian...!”
”Jangan banyak cerewet...”
Kata-kata si suami ini terhenti dan dia berdiri melongo ketika tiba-tiba dia melihat seorang gadis baju merah yang cantik luar biasa bagaikan bidadari, tahu-tahu sudah berdiri di depannya dengan alis terangkat dan mata berapi. Selama hidupnya, laki-laki itu belum pernah melihat seorang wanita secantik ini, dan melihat munculnya yang tiba-tiba itu, dia akan percaya kalau ada yang bilang bahwa Si Baju Merah ini adalah seorang bidadari yang baru turun dari kahyangan!
Gadis itu adalah Ang I Niocu yang kini menoleh kepada perempuan yang tersiksa tadi.
“Toaci yang baik, bajingan ini telah berbuat apakah?”
Perempuan itu pun kaget melihat munculnya Ang I Niocu secara tiba-tiba itu, dan sebagai seorang dusun dia pun percaya akan tahyul dan menyangka bahwa Ang I Niocu tentulah sebangsa dewi! Maka ia segera berkata dengan suara ketakutan,
“Ampunkan hamba... dia itu adalah suami hamba. Sekarang dia hendak menikah dengan gadis lain dan gadis itu mengajukan permintaan supaya hamba lebih dulu dicerai. Suami hamba mempergunakan alasan bahwa karena hamba belum juga mempunyai keturunan setelah menikah lima tahun, sekarang hendak mengusir hamba...”
Semenjak tadi pun Ang I Niocu sudah dapat menduga apa yang menyebabkan perlakuan suami yang kejam itu terhadap isterinya. Ia sudah marah sekali dan ingin ia turun tangan membunuh suami yang berlaku sewenang-wenang terhadap isterinya. Akan tetapi Ang I Niocu bukanlah seorang gadis yang berpikiran pendek.
Ia tahu bahwa kalau ia melakukan hal ini, bukan berarti ia memberi pengobatan kepada penyakit itu, karena kalau suaminya meninggal, bagaimana kelak nasib isterinya? Jalan terbaik adalah mengakurkan kembali suami isteri ini dan mencegah si suami menikah kembali dan menyia-nyiakan isteri pertama. Akan tetapi bagaimana jalannya?
“Toaci, apakah kau masih suka menjadi isterinya?”
“Hamba memang isterinya yang sah, bagaimana tidak suka?” perempuan itu bertanya heran.
“Walau pun andai kata dia menjadi buruk rupa atau... sepasang telinganya hilang sekali pun?”
“Apa pun juga yang terjadi dengan dia, dia tetap suamiku dan hamba tetap akan menjadi isterinya...,” jawab isteri yang setia ini.
Ang I Niocu menoleh kepada laki-laki itu dengan mata marah
“Jahanam berhati binatang! Isterimu begini setia, begini mulia hatinya dan kau hendak mengusirnya? Jahanam busuk, kau mengandalkan apamukah? Orang macam engkau ini harus diberi hajaran. Rasakan ini!”
Tiba-tiba laki-laki yang sejak tadi masih bengong itu melihat sinat berkelebat menyilaukan mata. Terpaksa ia menutup matanya dan tiba-tiba ia berteriak keras ketika merasa sakit sekali pada bagian kanan kiri kepalanya. Ketika kedua tangannya diangkat dan meraba pada bagian yang sakit, ternyata bahwa dua buah daun telinganya telah lenyap! Darah mengucur deras dan laki-laki ini sekarang memandang ke bawah, melihat dua buah daun telinganya telah menggeletak di atas tanah.
“Lihat baik-baik daun telingamu!” kata Ang I Niocu sambil menyimpan pedangnya. “Lain kali kalau kau masih hendak menyia-nyiakan isterimu, aku datang mengambil kepalamu!”
Sementara itu, isteri yang melihat suaminya kehilangan dua daun telinganya, menjerit dan menubruk maju. Cepat ia memeluk suaminya yang hendak roboh pingsan dan di lain saat perempuan itu telah menangisi suaminya yang pingsan dengan kepala tergeletak di atas pangkuannya.
Ang I Niocu mengeluarkan bebetapa potong uang perak, memberikannya kepada wanita itu sambil berkata, “Aku sengaja membuntungi telinganya supaya dia kapok. Pula kiraku perempuan yang lain itu takkan sudi lagi ia kawini setelah ia menjadi cacat. Kau rawat dia dan belikan obat untuk lukanya. Selamat tinggal dan mudah-mudahan rumah tanggamu baik kembali.”
Tanpa memberi kesempatan kepada perempuan itu menghaturkan terima kasihnya, Ang I Niocu sudah berkelebat pergi, tidak tahu bahwa perempuan itu saking kaget dan mengira dia betul-betul seorang dewi, berlutut dan mulutnya berkemak-kemik mengucapkan doa seperti kalau ia bersembahyang di depan patung Kwan Im Pouwsat!
Sambil duduk di punggung kudanya yang berjalan perlahan, Ang I Niocu membayangkan seluruh peristiwa yang tadi dilihatnya. Berkali-kali dia menghela napas panjang dan dari bibirnya yang merah itu keluar keluhan-keluhan pendek,
“Hemmm, ngeri kalau melihat suami isteri seperti itu...! Alangkah banyaknya suami isteri yang tidak bahagia hidupnya. Ayah sendiri karena terlalu mencinta ibu sampai menjadi sengsara, Twako Gan Tiauw Ki terbunuh akibat mencintaiku. Perempuan tadi pun karena cintanya kepada suaminya, mengalami perlakuan yang keji.”
Memikirkan ini semua, makin tawar hati Ang I Niocu dan seakan-akan rasa cinta di dalam hatinya telah ikut terbawa mati pula oleh kematian ayahnya dan kematian Gan Tiauw Ki. Diam-diam dia mengambil keputusan untuk tidak menikah selama hidupnya, untuk selalu hidup sebatang kara di dunia ini, melakukan perbuatan-perbuatan besar sebagai seorang lihiap (pendekar wanita).
Pandangannya terhadap cinta kasih menjadi rendah dan remeh, dan di dalam pikirannya timbul kesan bahwa cinta kasih hanya mendatangkan sengsara belaka, bahwa di dunia ini lebih banyak cinta palsu dari pada cinta kasih murni. Cinta kasih murni saja banyak mendatangkan kesengsaraan, apa lagi cinta yang palsu! Bergidik kalau dia teringat akan peristiwa suami isteri yang baru saja dilihatnya tadi.
Perjalanan menuju Kim-san, gunung yang menjadi pusat partai silat Kim-san-pai, melalui daerah perbatasan antara Propinsi Secuan dengan Cing-hai. Daerah ini termasuk wilayah Pegunungan Min-san dan pada waktu itu daerah ini terkenal sebagai daerah yang amat liar dan berbahaya. Tidak saja berbahaya karena jalannya sukar ditempuh dan banyak terdapat binatang buas, akan tetapi terutama sekali karena sudah berpuluh tahun tempat ini dijadikan sarang gerombolan penjahat yang terkenal kejam.
Gerombolan rampok ini dipimpin oleh tiga orang bersaudara yang terkenal dengan nama poyokan Min-san Sam-kui (Tiga Setan dari Bukit Min-san). Tiga orang kepala perampok bersaudara ini terkenal lihai ilmu silatnya dan mereka mempunyai kepandaian tinggi dan keistimewaan masing-masing.
Pernah ada beberapa orang gagah di dunia kang-ouw yang mendatangi Min-san untuk menyerbu Min-san Sam-kui ini. Akan tetapi para pendekar itu akhirnya terpukul mundur dan terpaksa lari turun gunung menderita luka-luka. Selanjutnya tidak ada pendekar yang berani naik lagi.
Orang-orang yang kepandaiannya tanggung-tanggung saja, amat berbahaya kalau berani mengganggu Min-san Sam-kui. Sebaliknya, para tokoh besar juga tak mau mengganggu mereka oleh karena walau pun ketiga orang ini merupakan tokoh-tokoh golongan liok-lim (berandal), tetapi mereka berwatak gagah perkasa dan tidak pernah melanggar peraturan liok-lim atau kang-ouw. Mereka melakukan perampokan tidak membuta tuli dan mereka hanya beroperasi di daerah Min-san saja, tidak pernah mengganggu daerah atau wilayah orang lain.
Orang pertama dari Min-san Sam-kui ini adalah Toa-to Ang Kim, seorang tinggi besar bermuka brewok berusia kurang lebih lima puluh tahun. Sesuai dengan julukannya Toa-to yang berarti Golok Besar, Ang Kim adalah seorang ahli golok yang lihai, bertenaga besar dan mengandalkan tenaga gwakang (tenaga luar) yang amat hebat.
Dengan kedua tangannya, Ang Kim ini sanggup menumbangkan sebatang pohon siong yang besarnya sepelukan orang dan goloknya saja yang sangat tebal besar dan tajam, beratnya tidak kurang dari seratus kati! Dapat dibayangkan betapa besarnya tenaga Ang Kim, karena orang dengan tenaga biasa saja, jangankan harus memainkan golok yang sedemikian beratnya, baru mengangkat saja kiranya sukar dilakukan.
Orang ke dua bernama Kwan Liong berjuluk Pek-ciang (Tangan Putih). Dia ini seorang pemuda berusia tiga puluh tahun yang berwajah putih serta tampan sekali. Juga kedua telapak tangannya berkulit putih seperti kulit tangan wanita, maka dia dijuluki Si Tangan Putih. Sikapnya juga lemah lembut seperti seorang wanita, akan tetapi lebih baik tidak dekat-dekat dengan Kwan Liong kalau dia sedang marah.
Sifatnya yang lemah lembut dapat berubah beringas dan kejam sekali. Berbeda dengan suheng-nya, Ang Kim, pemuda ini adalah seorang ahli lweekang dan pedangnya sangat tangguh dan lihai. Memang dulu guru mereka yang melihat bakat Ang Kim, menurunkan kepandaian yang berdasarkan gwakang kepada Ang Kim, sebaliknya melihat dasar dari Kwan Liong, menurunkan ilmu-ilmu silat berdasarkan lweekang kepada pemuda tampan ini.
Ada pun orang ke tiga adalah adik perempuan Kwan Liong yang bernama Kwan Bi Hoa, seorang gadis berusia dua puluh lima tahun. Seperti juga Kwan Liong, Bi Hoa mempunyai wajah yang cantik dan manis dengan bentuk tubuh ramping berisi yang selalu ditutup oleh pakaian yang ketat dan sepan mencetak bentuk tubuhnya. Bedanya, apa bila Kwan Liong kelihatan pendiam, adalah Bi Hoa amat genit dan suka bicara, lagi pula galak dan telengas.
Hanya dalam satu hal gadis dan kakaknya ini mempunyai watak yang sama, yakni mata keranjang! Walau pun kakak beradik ini belum pernah menikah, namun kekasih mereka banyak sekali. Seperti kakaknya pula, Kwan Bi Hoa adalah seorang ahli pedang, akan tetapi jika Kwan Liong memainkan pedang tunggal, adalah Bi Hoa memainkan sepasang pedang dan oleh karena itu dia diberi julukan Siang-kiam Sian-li atau Bidadari Dengan Sepasang Pedang!
Agaknya kehidupan tiga orang pimpinan gerombolan ini akan berlangsung aman dan tak seorang pun berani mengganggu mereka, kalau saja Ang I Niocu tidak lewat di situ, atau kalau saja Ang I Niocu tidak secantik itu atau Kwan Liong bukan seorang mata keranjang!
Ketika Ang I Niocu menjalankan kudanya perlahan-lahan mendaki jalan yang berliku-liku dan menanjak di pegunungan Min-san, gadis ini merasa tertarik sekali dengan keindahan pemandangan alam di sekitar tempat ini. Dia sengaja membelokkan kudanya ke arah sebuah puncak yang nampak indah penuh dengan pohon Pek dan bunga-bunga merah putih, kemudian ia melompat turun dan menikmati pemandangan indah dan hawa gunung yang sejuk yang bermain-main dengan rambutnya.
“Indah nian tempat ini...” pikirnya dan tak terasa pula Ang I Niocu lalu mengambil tempat duduk di atas sebuah batu.
Jiwa seninya lalu tergugah oleh keindahan tamasya alam yang terbentang luas di depan kakinya dan perlahan-lahan Ang I Niocu bernyanyi. Tanpa terasa serangkaian sajak telah dijalinnya dalam keadaan termenung dan terpesona dengan keindahan alam itu, sambil melihat burung-burung beterbangan di atas jurang.
Berkawan sebatang pedang
Menjelajah ribuan li tanah dan air
Tanpa maksud, tiada tujuan
Hanya mengandalkan kaki dan hati!
Ang I Niocu merasa betapa kata-kata ini cocok sekali, karena itu dengan girang ia lalu mengulang-ulang kata-kata itu. Saking asyiknya menikmati pemandangan-pemandangan indah dan hawa sejuk, ia sampai tidak tahu bahwa semenjak tadi, beberapa pasang mata mengintainya dari balik gerombolan pohon, agak jauh dari situ.
Makin lama orang-orang yang mengintainya ini semakin mendekat, menyelinap di antara pohon-pohon. Sesudah mereka datang agak mendekat, tentu saja mata Ang I Niocu yang berpandangan tajam itu dapat melihat mereka.
Dengan tenang gadis ini tersenyum seorang diri, lalu dia berkata dengan suaranya yang merdu akan tetapi nyaring dan tinggi menusuk telinga,
“Siapakah kalian yang mengintai dari balik batang pohon? Kalau kalian bukan binatang buas, keluarlah dan katakan apa maksud kalian mengintai aku!”
Sampai lama suara ini tidak ada yang menjawab. Kemudian, tiba-tiba terdengarlah suara suitan dan dari balik batang-batang pohon itu berlompatan dua belas orang laki-laki yang bertubuh tegap dan bersikap kasar.
“Kalian ini siapakah dan apa maksud kalian mengintai aku yang sedang duduk seorang diri?”
Seorang di antara mereka, agaknya pemimpinnya, yang bertubuh tinggi dan berhidung hitam, kemudian tertawa bergelak, cengar-cengir bagaikan monyet memandang kepada kawan-kawannya.
“Seorang tamu menegur dan bertanya kepada tuan rumah. Ha-ha-ha-ha, sungguh lucu. Nona, dengan sesuka hatimu kau melanggar wilayah kami, maka terbaliklah apa bila kau yang bertanya siapa kami. Sepatutnya kau yang harus mengaku siapa kau ini dan apa maksudmu memasuki wilayah Min-san. Kau membawa-bawa pedang, tentu kau seorang pandai. Siapakah gurumu dan dari golongan manakah kau?”
Mendengar pertanyaan ini, Ang I Niocu tersenyum dan dua belas pasang mata makin kagum memandangnya karena memang bukan main manisnya kalau gadis ini tersenyum. Beberapa orang sampai menelan ludah dengan hati penuh gairah.
Tiba-tiba saja gadis ini teringat akan kata-kata yang dinyanyikan seorang diri tadi. Maka, kini ditanya nama dan asal usulnya, dia pun membuka bibir bersyair sambil menengadah ke langit.
Berkawan sebatang pedang
Menjelajah ribuan li tanah dan air
Tanpa maksud, tiada tujuan
Hanya mengandalkan kaki dan hati
Kau masih bertanya maksud keperluan?
Tanyalah kepada burung di puncak pohon
Terbang ke sini berkehendak apakah?
Dua belas orang itu adalah anak buah gerombolan perampok di bawah pimpinan Min-san Sam-kui. Tentu saja mereka ini adalah bangsa kasar yang tak peduli tentang sajak. Akan tetapi mereka pun sudah banyak tahu mengenai keanehan orang-orang kang-ouw, maka biar pun mereka merasa mendongkol mendengar jawaban ini, tetap saja mereka masih menahan kesabaran. Pemimpinnya maju selangkah dan berkata dengan suaranya yang parau,
“Nona, kau begini muda, begini cantik seperti bukan manusia, kau seorang diri berada di tempat ini benar-benar merupakan hal yang aneh dan sulit dipercaya. Kalau kami melihat seekor singa betina, atau seekor ular betina atau binatang-binatang buas yang lain lagi, kami takkan merasa heran. Akan tetapi melihat kau seorang diri saja berada di tempat ini benar-benar merupakan hal yang hampir tidak mungkin! Ketahuilah bahwa kami bukanlah orang-orang yang tidak bisa menghargai persahabatan di dunia kang-ouw dan pemimpin-pemimpin kami adalah Min-san Sam-kui yang terkenal gagah perkasa. Mungkin kau juga seorang kang-ouw, melihat lagakmu dan pedangmu, maka kami sudah bertanya dengan baik. Harap kau suka menjawab pertanyaan kami, Nona manis.”
Biar pun kata-kata yang keluar dari mulut orang ini seperti kata-kata sopan dan tahu aturan, akan tetapi pandang mata mereka itu semua menimbulkan muak dalam hati Ang I Niocu, maka ia lalu bangkit berdiri dan berkata singkat,
“Aku tidak peduli tentang Min-san Sam-kui dan aku tidak kenal mereka. Aku tidak ada urusan dengan kalian!” Setelah berkata demikian Ang I Niocu segera berjalan pergi dari puncak itu, kegembiraannya yang tadi lenyap oleh gangguan ini.
Akan tetapi dua belas orang itu serentak mengejar kemudian menghadang di depannya. Pemimpin yang berhidung hitam tadi berkata,
“Nanti dulu, Nona. Mengapa terburu-buru? Kalau kau kenal dengan Min-san Sam-kui, kau pergi begitu saja masih tidak mengapa. Akan tetapi kau sendiri menyatakan tidak kenal. Hemm, kalau begitu kau seorang asing dan karenanya kau harus membayar pajak jalan kepada kami!”
Ang I Niocu mengerti bahwa ia kini berhadapan dengan perampok-perampok kasar, akan tetapi ia tetap tenang. Ia juga mengerti akan peraturan di kalangan liok-lim ini, yakni siapa yang dianggap bukan kawan atau kenalan, apa bila lewat di daerah mereka diharuskan ‘membayar pajak jalan’ atau kasarnya dirampok barang-barang bawaannya!
“Berapa aku harus membayar pajaknya?” tanya Ang I Niocu.
Sebagai seorang pengembara ia harus mengindahkan peraturan-peraturan yang berlaku di dunia kang-ouw supaya jangan dianggap tidak mengerti aturan, maka nona ini sudah bersedia mengeluarkan uang untuk sekadar menyokong mereka.
Akan tetapi, orang-orang itu saling berpandangan dengan muka cengar-cengir, kemudian terdengar seorang di antara mereka majukan usul kepada pemimpin Si Hidung Hitam.
“Twako, minta ia tinggalkan pakaian yang dipakainya!”
“Setuju...! Biar hilang sombongnya!”
“Serahkan kepadaku saja untuk membikin jinak kuda betina liar ini!”
Kata-kata yang tak sopan mulai terdengar dan pemimpin hidung hitam itu menghadapi Ang I Niocu sambil tertawa-tawa dan berkata,
“Kau mendengar sendiri, Nona manis. Kawan-kawanku berlaku murah, karena kau cantik jelita dan masih muda, kami tidak mengharapkan barang-barang bawaan atau bekalmu. Akan tetapi kami hanya menghendaki pakaian yang menempel di badanmu itu supaya kau tanggalkan dan kau berikan kepada kami.”
Kata-kata ini disambut sorak-sorai para perampok itu.
Ang I Niocu tetap tersenyum, akan tetapi bila diperhatikan betul-betul, orang akan melihat belahan bibirnya yang bawah tergetar dan kedua matanya mengecil, mengeluarkan sinar berapi-api. Inilah tandanya bahwa Ang I Niocu menahan amarah yang berkobar-kobar di dalam dadanya.
Dengan gerakan tenang sinar matanya mencari-cari ke bawah. Ia tidak mau menghadapi orang-orang kasar ini dengan tangan, segan ia menggunakan tangan menyentuh mereka. Untuk menggunakan pedang dia malu kepada diri sendiri. Masa menghadapi tikus-tikus busuk macam ini saja ia harus mencabut pedangnya?
Akhirnya matanya melihat sebatang ranting kering yang berada di bawah pohon, maka tersenyumlah ia, senyum manis yang membuat hati dua belas orang laki-laki itu semakin tergiur hatinya.
“Kalian ini tikus-tikus hutan berani bermain gila di depan Ang I Niocu? Bagus, terimalah pembayaran pajakku ini!”
Tiba-tiba dua belas orang itu berseru kaget ketika gadis baju merah itu lenyap dari depan mereka. Sebagai gantinya, nampak berkelebat bayangan merah yang menyambar ranting di tanah, kemudian menjerit-jeritlah mereka, disusul tubuh mereka roboh tumpang tindih.
Si Hidung Hitam tahu-tahu sudah kehilangan sebelah hidungnya dan hidung itu sekarang berubah merah karena darah. Ada pula yang daun telinganya pecah dan juga ada yang lengannya tertusuk ranting, dan sebentar saja dua belas orang itu melarikan diri sambil menjerit-jerit kesakitan dan penuh rasa takut!
Ang I Niocu melemparkan rantingnya, mengebut pakaian yang terkena debu, lalu dengan senyum manis serta langkah tenang dia turun dari tempat itu dan menghampiri kudanya. Dengan perlahan dia menjalankan kudanya menuruni Bukit Min-San. Dia mengira bahwa para perampok itu tentu sudah tobat dan tidak akan muncul lagi. Akan tetapi ternyata dugaannya ini keliru.
Baru saja ia turun dari puncak itu, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dan tahu-tahu dari segala jurusan muncul banyak orang. Mereka ini adalah anak buah perampok yang tentu saja lebih hafal akan keadaan di situ dan dapat mengambil jalan pendek menghadang perjalanan Ang I Niocu. Mereka terdiri dari puluhan orang, dipimpin oleh Min-san Sam-kui yang menghadang di tengah jalan dengan sikap sombong.
Melihat tiga orang yang pakaiannya serba mewah dan sikapnya jauh berbeda dengan para perampok itu, Ang I Niocu segera bersiap-siap dan sengaja melompat turun dari atas kudanya.
“Pek-hong-ma, kau tunggu aku di bawah sana!” katanya sambil menepuk punggung kuda itu.
Kuda Pek-hong-ma ini sudah bertahun-tahun dipelihara oleh Ang I Niocu, maka menjadi amat penurut dan karena dilatih, maka ia mengerti akan kehendak nona majikannya. Mendapat tepukan itu, ia lalu berlari-lari turun gunung! Dengan tenang Ang I Niocu lalu menghadapi para perampok itu, terutama tiga orang yang menjadi pemimpin mereka.
Toa-to Ang Kim dan Siang-kiam Sian-li Kwan Bi Hoa memandang kepada Ang I Niocu dengan mata mengandung kemarahan besar, meski pun kemarahan Ang Kim tercampur dengan keheranan dan kekaguman melihat gadis muda cantik jelita itu. Adalah Pek-ciang Kwan Liong yang berdiri dengan mata terbelalak dan mulut celangap, menahan napas dan dadanya berdebar-debar.
“Demi Iblis!” katanya perlahan dengan mata tidak pernah berkedip menatap wajah dan bentuk tubuh gadis baju merah di depannya itu, penuh takjub. “Kalau dia itu manusia dan bukan dewi kahyangan, tidak tahu lagi aku apa bedanya antara gadis dan dewi!”
Mendengar ini, Bi Hoa adiknya membantah perlahan, ”Apakah dewi kahyangan saja yang memiliki kecantikan luar biasa? Juga siluman rase mempunyai kecantikan yang melebihi kecantikan manusia biasa. Jangan nanti kau salah menduga, siluman rase disangka dewi kahyangan.”
“Biar pun ia siluman rase atau siluman tikus, apa bila bisa mendapatkan dia, aku akan merasa bahagia sekali... alangkah manisnya, ehhh, Bi-moi pernahkah kau melihat bibir semanis itu? Hemm...”
Percakapan antara kakak dan adik yang dilakukan bisik-bisik dan dari jarak cukup jauh ini kiranya tidak akan dapat terdengar oleh telinga Ang I Niocu kalau saja gadis ini bukan seorang pendekar yang memiliki ilmu tinggi. Pendengarannya jauh lebih tajam dari pada pendengaran manusia biasa, maka ia dapat menangkap semua percakapan itu sehingga diam-diam ia tersenyum geli.
Sementara itu, Toa-to Ang Kim sudah menegur dengan kata-kata keras dan ketus, “Nona yang lewat di daerah kami! Kau mengaku berjuluk Ang I Niocu dan secara kejam sudah melukai orang-orang kami. Sesungguhnya siapakah kau, dari golongan mana dan apa maksudmu datang ke wilayah kami melakukan penghinaan? Apakah kau sengaja hendak mencari permusuhan dengan Min-san Sam-kui?”
“Kepala berandal, enak saja kau bicara! Anak buahmu tadi bersikap kurang ajar sekali sehingga terpaksa aku turun tangan memberi hajaran. Kau yang tidak bisa mendidik anak buahmu, tidak menegur mereka dan minta maaf padaku, sebaliknya hendak menegurku? Aku tidak mencari permusuhan dengan siapa pun juga, andai kata aku tidak suka kepada kalian ini orang-orang kasar, agaknya Susiok-couw-ku Bu Pun Su takkan membolehkan aku mencari permusuhan dengan kalian. Akan tetapi ini bukan berarti aku takut! Meski kalian sekali pun kalau bertindak kurang ajar dan keterlaluan, tak urung akan mendapat bagian!”
“Bocah sombong, rasakan pedangku!”
Bi Hoa sudah menjerit marah dan sepasang pedangnya bergerak cepat menyerang Ang I Niocu. Hanya nampak sinar pedang berkelebat, disusul pekik kaget dari Bi Hoa.
Ternyata Ang I Niocu telah mencabut pedang dan menangkis serangannya, tangkisannya demikian cepat dan kuat sehingga pedang di tangan kiri Bi Hoa terlepas dan menancap di atas tanah, sedangkan pedang kedua tentu akan terlepas pula jika saja ia tidak buru-buru melompat ke belakang dengan muka pucat!
“Sumoi, tahan...!” Toa-to Ang Kim yang melihat gelagat berseru keras. Kemudian kepala rampok yang tinggi besar ini maju menjura memberi hormat kepada Ang I Niocu sambil berkata ramah,
“Ahhh, tidak tahunya Lihiap adalah cucu murid Sin-taihiap (Pendekar Sakti) Bu Pun Su! Maaf, maaf, kami mempunyai mata tetapi tidak melihat tingginya Bukit Thai-san. Harap Lihiap sudi memaafkan perbuatan kurang ajar dari para anak buah kami dan kelancangan Sumoi tadi.”
Di antara tiga orang kepala rampok ini, tentu saja Toa-to Ang Kim yang tertua memiliki pandangan yang lebih luas dan sikap yang lebih hati-hati. Tidak saja ia menjadi terkejut bukan main mendengar nama Bu Pun Su disebut-sebut oleh Ang I Niocu, juga melihat betapa sekali gerakan Ang I Niocu sudah dapat merampas sebatang pedang dari tangan sumoi-nya, maklumlah ia bahwa gadis baju merah ini benar-benar tidak boleh dipandang ringan, maka ia cepat-cepat mengeluarkan diplomasinya.....
Ang I Niocu adalah puteri seorang pendekar besar, juga murid dari orang-orang ternama di dunia kang-ouw, maka gadis ini dapat membawa diri. Melihat sikap orang tertua dari Min-san Sam-kui, ia pun merobah sikapnya dan membalas penghormatan itu.
“Jika mau bicara tentang maaf, siauwmoi juga hendak mohon maaf sebanyaknya bahwa kedatangan siauwmoi di Bukit Min-san yang sebenarnya hanya kebetulan lewat belaka, sudah mendatangkan banyak gangguan kepada Sam-wi. Karena kesalah pahaman telah diatasi, perkenankan siauwmoi kini melanjutkan perjalanan turun gunung mencari kudaku yang sudah lari lebih dulu tadi.”
Memang bagi Ang I Niocu, tak perlu dia menanam bibit-bibit permusuhan dengan segala macam penjahat rendah, apa lagi kalau tidak ada sebab-sebabnya yang kuat. Dia takut akan mendapat marah dari Bu Pun Su karena dalam perjalanan berusaha mendamaikan permusuhan antara Bu-tong-pai dan Kim-san-pai, amat tidak baik kalau usaha itu ia mulai dengan permusuhannya dengan golongan lain! Maka dia hendak menghabiskan perkara itu sampai di situ saja dan melanjutkan perjalanan.
Akan tetapi dasar harus terjadi keributan, tiba-tiba saja Pek-ciang Kwan Liong, orang ke dua dari Min-san Sam-kui yang berwajah tampan, dengan sikap halus dan penuh hormat menjura ke depan Ang I Niocu sambil mengeluarkan suaranya yang merdu halus,
“Lihiap Ang I Niocu, aku yang rendah Pek-ciang Kwan Liong, turut menghaturkan terima kasih atas ketinggian budimu yang telah memaafkan anak buahku dan adikku tadi. Kita baru saja berjumpa, akan tetapi kau sudah mendapat kedudukan tinggi dalam pandangan kami. Kelihaian dan pribudimu yang luhur benar-benar membuat kami sangat kagum dan tunduk. Oleh karena itu, atas nama semua kawan-kawan, aku mohon dengan hormat dan sangat, sudilah kiranya Lihiap singgah di tempat kami untuk mempererat perkenalan ini. Siapa tahu kalau kelak kita akan dapat saling membantu dalam urusan besar.”
Ang I Niocu merasa ragu-ragu. Menurutkan suara hatinya, ia harus menolak dan segera pergi dari situ. Akan tetapi, orang sudah mengajukan permintaan demikian penuh hormat dan merendah, tidak enak juga bila ditolak begitu saja. Selagi ia ragu-ragu, ia mendengar ucapan Kwan Bi Hoa,
“Ahhh, Koko, kau ini tidak dapat melihat gelagat. Sungguh pun Ang I Niocu Lihiap sudah memaafkan kita, akan tetapi tadi sempat bermusuh dengan kita, mana ia percaya kepada undanganmu? Tentu disangka kita hendak menjebaknya!”
Merah muka Ang I Niocu mendengar ini. Dengan suara mengejek ia berkata,
“Hemm, sesungguhnya aku hendak menolak undangan ini. Akan tetapi karena khawatir disangka takut akan jebakan, biarlah aku melihat-lihat sarang kalian.”
Berseri-seri wajah Pek-ciang Kwan Liong. Ia segera memberi perintah kepada para anak buah berandal untuk menyiapkan segala sesuatu di ‘pesanggrahan’ untuk menyambut datangnya tamu agung, dan mempersiapkan meja perjamuan!
Sesudah itu, dengan langkah tenang dan gagah Ang I Niocu diiringkan naik ke sebuah puncak tak jauh dari situ, puncak yang penuh dengan pohon-pohon liar. Di tengah-tengah hutan di puncak bukit ini terdapat sebuah rumah kayu yang besar. Inilah tempat tinggal dari Min-san Sam-kui, ada pun para anak buah rampok itu tinggal di sekeliling puncak, di dalam gubuk-gubuk kecil yang dibangun di sana-sini.
Ketika mulai mendaki puncak bukit ini, di kanan kiri lorong berdiri para perampok dengan senjata di tangan, berdiri tegak seperti barisan memberi hormat kepada seorang jenderal yang lewat. Keadaan amat angker dan menakutkan sekali, akan tetapi Ang I Niocu tetap tenang-tenang saja, berjalan tanpa menoleh ke kanan kiri.
Iring-iringan ini masuk ke dalam bangunan besar dan diam-diam Ang I Niocu merasa kagum karena keadaan di dalam bangunan kayu ini jauh bedanya dengan keadaan di luar. Belasan pemuda dan pemudi yang nampak di ruangan tamu dan kelihatan sebagai pelayan-pelayan tidak kasar-kasar seperti para perampok itu, bahkan boleh dibilang para pemudanya rata-rata tampan-tampan dan para gadisnya cantik-cantik.
Sama sekali ia tidak mengira bahwa para pemuda ini adalah orang-orang culikan yang dipaksa dan dibawa ke tempat itu sebagai kekasih Siang-kiam Sian-li Kwan Bi Hoa dan juga gadis-gadis itu adalah orang-orang culikan yang dipaksa menjadi kekasih Pek-ciang Kwan Liong! Mereka ini selain bertugas menghibur hati kakak beradik mata keranjang ini, juga bekerja sebagai pelayan dan selalu berada di dalam bangunan, tidak pernah keluar, apa lagi ikut merampok. Mereka ini pendiam tidak banyak bicara, mukanya pucat-pucat, muka orang-orang yang putus harapan.
Di ruangan tamu yang lebar itu telah disediakan meja panjang penuh dengan hidangan-hidangan lezat. Kembali Ang I Niocu terheran-heran karena bagaimana di tengah hutan dan di puncak gunung itu orang bisa mendapatkan hidangan-hidangan seperti di rumah makan di kota saja?
Ia tidak tahu bahwa memang di tempat ini disediakan bahan-bahan masakan yang serba lengkap, juga di situ terdapat sebuah dapur yang besar dan lengkap, bahkan terdapat pula seorang koki culikan. Kesenangan Toa-to Ang Kim yang terutama adalah makanan enak, maka untuk memenuhi selera dan memuaskan hatinya setiap hari diadakan pesta besar memotong ayam dan babi.
“Untuk menghormati kedatangan Lihiap sebelum kembali melanjutkan perjalanan, kami mengadakan sekedar acara makan minum. Setelah mengaso sebentar baru Lihiap dapat melanjutkan perjalanan,” kata Ang Kim sambil tertawa ramah.
“Mana bisa begitu sebentar? Kami malah berharap Lihiap suka bermalam di tempat kami yang buruk ini barang semalam dua malam,” Kwan Liong menyambung cepat-cepat.
Ada pun Kwan Bi Hoa hanya tersenyum-senyum saja dan kadang-kadang memandang kepada seorang pelayan tampan dengah mata mendelik kalau pelayan ini mengerling ke arah Ang I Niocu dengan pandangan mata kagum. Agaknya perempuan ini besar sekali cemburunya!
“Undangan makan dapat kuterima dengan senang hati dan kuucapkan terima kasih. Akan tetapi untuk bermalam di sini betul-betul tidak mungkin. Aku harus segera melanjutkan perjalanan,” jawab Ang I Niocu dan tanpa malu-malu ia segera mengambil tempat duduk ketika pihak tuan rumah mempersilakannya.
Mereka lalu mulai makan minum. Ang I Niocu berlaku seolah-olah ia makan dan minum semua hidangan tanpa ragu-ragu dan tanpa sangsi-sangsi. Padahal sebenarnya dia amat hati-hati dan waspada, hidungnya bekerja keras, terus mencium bau setiap makanan dan minuman sebelum makanan atau minuman itu memasuki mulut dan perutnya. Akan tetapi ia sengaja tidak pernah mengeringkan cawan araknya sehingga setelah pihak tuan rumah menghabiskan tujuh delapan cawan, ia baru menghabiskan tiga cawan saja.
Tiba-tiba Pek-ciang Kwan Liong yang mukanya sudah mulai kemerahan akibat pengaruh arak berdiri dan tertawa-tawa sambil memegang seguci arak yang baru didatangkan oleh pelayan.
“Lihiap Ang I Niocu mengapa sungkan-sungkan? Arak kami adalah arak simpanan, arak wangi yang sudah puluhan tahun usianya, amat baik untuk menyehatkan tubuh dan dapat menambah semangat. Harap Lihiap sudi menerima secawan arak ini untuk menghormati pertemuan yang amat membahagiakan hati ini!”
Tentu saja Ang I Niocu tak dapat menolak dan memberikan cawannya untuk diisi penuh. Arak kali ini adalah arak berwarna merah yang baunya harum sekali, mengalahkan arak yang tadi-tadi. Ang I Niocu mengikuti mereka mengangkat cawan arak dan meminumnya.
Sebelum arak itu memasuki mulutnya, hidungnya dapat mencium bau keras di antara bau harum, akan tetapi tanpa memperlihatkan tanda sesuatu, Ang I Niocu segera menenggak arak itu. Tiba-tiba dia mengerutkan alisnya, berdiri, kemudian memegang kepala sambil menundukkan mukanya, lalu terhuyung-huyung seperti orang pusing.
Dia mendengar Ang Kim bertanya, “Eh, ehh, Lihiap kenapakah...?”
Juga dia mendengar suara ketawa Kwan Bi Hoa, kemudian dia mendengar suara yang diharap-harapkan, yakni suara Kwan Liong yang berkata perlahan penuh kegembiraan, “Aha, sudah kena... roboh... roboh...”
Ang I Niocu terguling miring dan roboh tak bergerak lagi!
“Sute apa yang kau lakukan?” terdengar Ang Kim membentak sute-nya.
Kwan Liong tidak menjawab, akan tetapi Kwan Bi Hoa yang kemudian menjawab sambil tertawa-tawa genit, “Twa-suheng seperti tidak tahu saja, mana Liong-ko mau melepaskan orang begini cantik?”
“Bi-moi benar, Twa-suheng,” kata Kwan Liong, “selama hidup belum pernah aku melihat seorang gadis secantik ini. Kalau aku tidak bisa mendapatkan dia, tentu selamanya aku akan terkenang dan tergila-gila.”
Ang Kim menarik napas panjang. “Asal kau berhati-hati saja. Dia itu lihai sekali...”
“Jangan khawatir, Suheng. Aku sudah biasa menundukkan singa-singa betina liar. Kalau sekali dia sudah menjadi punyaku, tentu dia akan menjadi penurut dan dia akan menjadi pembantu kita yang amat boleh diandalkan.”
Ang Kim mengomel sambil menghirup araknya. “Sesukamulah, kesukaanmu main-main seperti ini tidak akan menambah panjangnya usiamu. Aku lebih baik makan dan minum...” lalu terdengar ia mengunyah daging dengan lahapnya dan mendorongnya ke dalam perut dengan beberapa teguk arak.
Kwan Bi Hoa yang sudah dalam keadaan setengah mabuk, membelai-belai rambut salah seorang pemuda pelayan yang berlutut di dekatnya, ada pun Kwan Liong sambil tertawa haha-hihi mendekati Ang I Niocu, kemudian berlutut.
Ang I Niocu yang kelihatan seperti orang pingsan tak berdaya itu, tiba-tiba saja membuka mulutnya dan arak tadi menyembur keluar dari mulutnya, mengenai muka Kwan Liong.
“Ayaaa...!” Kwan Liong menjerit sambil melompat mundur dan kedua tangannya menutupi muka yang terasa pedas sekali terkena semburan arak tadi. Akan tetapi di lain saat, sinar pedang berkelebat dan kepala Pek-ciang Kwan Liong sudah terpisah dari lehernya yang terbabat putus oleh pedang di tangan Ang I Niocu!
Dara baju merah ini berdiri dengan mata berapi-api dan pedang di tangan, dan sikapnya mengancam sekali. Toa-to Ang Kim berdiri di atas kursinya laksana patung, terlampau kaget sehingga untuk beberapa lama dia tak dapat bergerak. Siang-kiam Sian-li Kwan Bi Hoa juga segera melompat berdiri dengan mata terbelalak, kaget setengah mati melihat kakaknya sudah menggeletak dengan leher putus.
“Bagus, kalian memang buta, akan tetapi tadinya kukira kalian sudah sembuh dan dapat melihat. Tidak tahunya kalian ini tikus-tikus busuk yang tidak pandai menggunakan mata. Orang-orang macam kalian ini apa bila tidak dibasmi, untuk apa lagi aku semenjak kecil mempelajari ilmu?” kata Ang I Niocu.
Sekali kakinya menendang, sebuah meja penuh piring dan mangkok melayang ke arah Kwan Bi Hoa. Perempuan ini cukup gesit, melompat ke samping dan yang menjerit roboh adalah pelayan yang tadi dibelainya, terpukul meja.
Para pelayan menjerit dan lari ke sana ke mari mencari tempat sembunyi. Para anak buah perampok yang menjaga di luar, cepat menyerbu masuk dengan senjata di tangan. Toa-to Ang Kim dan Siang-kiam Sian-li Kwan Bi Hoa sudah sadar dari kagetnya dan kini Ang Kim memegang goloknya yang besar, ada pun Bi Hoa memegang sepasang pedang siap menggempur Ang I Niocu.
Ang I Niocu mengeluarkan suara ketawa yang merdu, akan tetapi yang membangkitkan bulu tengkuk para perampok ketika gadis ini berkata,
“Rakyat Min-san, saksikanlah aku Ang I Niocu akan membebaskan kalian dari gangguan perampok-perampok Bukit Min-san!”
Pada lain saat tubuh Ang I Niocu berkelebat lenyap berubah menjadi sinar merah yang menyambar ke sana ke mari, dikeroyok oleh Ang Kim, Kwan Bi Hoa, dan puluhan orang perampok yang biasanya berlaku sewenang-wenang kepada rakyat di sekitar daerah itu. Pedang di tangan Ang I Niocu luar biasa sekali ganasnya, setiap kali pedang itu meluncur pasti merobohkan seorang perampok yang tewas di saat itu juga.
Medan pesta berubah menjadi medan pertempuran yang hebat. Meja kursi yang tadinya dipakai pesta, kini melayang ke sana ke mari terkena terjangan dan tendangan. Mangkok piring yang pecah tertumbuk dinding kayu atau jatuh ke lantai menerbitkan suara hiruk pikuk. Ini semua masih ditambah oleh orang-orang berteriak kesakitan. Darah membanjiri ruangan itu.
Akhirnya hanya tersisa lima orang tangan kanan mereka saja yang masih melakukan pengepungan. Yang lain-lain sudah tak ada lagi. Banyak yang menggeletak tanpa nyawa, akan tetapi lebih banyak pula yang melarikan diri karena gentar menghadapi pendekar wanita baju merah yang kosen itu.
Golok besar yang dimainkan oleh Ang Kim cukup kuat dan tangguh. Golok ini lalu diputar hingga mengeluarkan angin dan sinar pedang Ang I Niocu sulit menembus benteng sinar goloknya yang bergulung-gulung. Juga Kwan Bi Hoa berdaya upaya membalas kematian kakaknya, sepasang pedangnya diputar cepat, membalas serangan Ang I Niocu dengan serangan maut. Lima orang perampok yang masih mengeroyok benar-benar merupakan anak buah yang setia, karena sungguh pun mereka ini kewalahan benar, namun mereka tidak mau melarikan diri meninggalkan dua orang pemimpin mereka itu.
Ang I Niocu tadinya mengharapkan mereka ini melepaskan senjata dan minta ampun. Kalau terjadi hal demikian, kiranya dia pun tidak tega untuk membunuh mereka. Asal saja mereka mau berjanji untuk mengubah cara hidup, dia bersedia untuk memberi ampun. Akan tetapi melihat kekerasan kepala mereka, timbul amarah di dalam hatinya.
“Bangsat-bangsat kecil, kalian tak boleh dikasih hati!” bentaknya dan tiba-tiba permainan pedangnya berubah.
Jika tadi permainan pedangnya amat cepat menyilaukan mata, adalah sekarang menjadi lambat dan gerakan tubuhnya menjadi amat indah seperti orang menari-nari. Akan tetapi kini setiap kali pedangnya digerakkan, tidak hanya sebagai main-main belaka, melainkan merupakan serangan yang tak dapat ditangkis lagi.
Sekali pedangnya berkelebat ke arah dua orang perampok. Biar pun dua orang itu sudah menangkis dengan golok, tetap saja pedang itu menyeleweng dan meneruskan serangan tanpa dapat dielakkan lagi. Dua orang itu menjerit dan roboh mandi darah! Ang I Niocu melanjutkan serangannya dan dalam beberapa jurus saja tiga orang perampok yang lain roboh juga.
”Apakah kalian masih belum mau bertobat?!” Ang I Niocu memberi kesempatan terakhir kepada Toa-to Ang Kim dan Siang-kiam Sian-li Kwan Bi Hoa.
Jawaban yang diterimanya justru berupa sabetan golok besar pada lehernya dan tusukan sepasang pedang pada dada dan leher!
“Kalian sudah bosan hidup!” bentak Ang I Niocu.
Tiba-tiba tubuhnya lenyap menjadi bayangan merah yang melesat ke sebelah kiri tubuh Kwan Bi Hoa. Sebelum perempuan cabul ini dapat menangkis, pedang Ang I Niocu sudah memasuki lambungnya, membuat dia terguling roboh. Sebuah jeritan ngeri merupakan perbuatan terakhir yang dapat dia lakukan.
Melihat sumoi-nya roboh, Toa-to Ang Kim menjadi nekat. Goloknya diputar dalam suatu penyerangan mati-matian. Akan tetapi, seorang lawan seorang, dia ini bukanlah lawan tanding dari Ang I Niocu. Dalam tiga jurus kemudian, pedang Ang I Niocu telah memasuki rongga dadanya sehingga matilah kepala rampok yang selama bertahun-tahun ini sudah menumpuk dosa.
Ang I Niocu memandang ke kanan kiri. Tidak kelihatan seorang pun anggota perampok. Ia lalu berjalan memasuki ruangan dalam. Tiba-tiba belasan orang laki perempuan berlari keluar dan berlutut di hadapannya sambil menangis. Mereka ini ternyata adalah pelayan-pelayan tadi yang sudah bersembunyi di belakang dan kini mereka berlutut di depan Ang Niocu dengan ketakutan.
“Mohon ampunkan hamba sekalian, Lihiap. Hamba sekalian hanya orang-orang culikan yang tidak berdosa...,” mereka meratap.
Ang I Niocu menjadi amat terharu. Diam-diam ia mengutuk kejahatan para perampok dan merasa girang bahwa yang dibasminya benar-benar gerombolan orang jahat pengganggu rakyat.
“Jangan takut, aku memang akan menolong kalian. Sekarang kumpulkan semua barang-barang berharga, bagi-bagi di antara kalian, kemudian kalian boleh pulang ke kampung masing-masing.”
Dengan gembira sekali belasan orang laki-perempuan itu lalu berserabutan lari ke dalam kamar-kamar di mana terdapat barang-barang berharga dan tak lama kemudian mereka sudah berkumpul di luar, masing-masing membawa bungkusan besar. Ang I Niocu lalu membakar bangunan besar itu yang sebentar saja menjadi lautan api karena bangunan itu terbuat dari kayu.
“Kalian pulanglah ke rumah masing-masing,” kata pula Ang I Niocu.
Rombongan orang muda itu menjatuhkan diri berlutut untuk menghaturkan terima kasih, kemudian mereka berlari-lari turun gunung dengan perasaan kegirangan yang hanya bisa dirasakan oleh mereka, kegirangan seperti burung-burung yang dilepas dari sangkarnya yang sempit.
Ang I Niocu lalu turun gunung lagi melalui lereng yang tadi, untuk mencari kudanya. Akan tetapi, alangkah heran dan cemasnya ketika ia tidak dapat menemukan Pek-hong-ma. Ia sudah memanggil-manggil nama kuda itu dengan suara keras, akan tetapi Pek-hong-ma tetap saja tidak mau muncul.
“Ehh, kemanakah dia?” Ang I Niocu menjadi cemas. “Apakah di sini ada kuda lain yang menariknya?”
Gadis itu lalu mempergunakan kepandaiannya, berlari cepat ke sana ke mari, melompati jurang-jurang kecil yang kiranya dapat dilompati kudanya. Tiba-tiba ia mendengar suara ringkik Pek-hong-ma di balik gunung kecil. Cepat ia berlari ke tempat itu dan ketika tiba di belokan gunung ini, dia melihat pemandangan yang membuat bibir dan pelupuk matanya gemetar saking marahnya.
Kuda Pek-hong-ma telah rebah miring, dalam keadaan berkelojotan hampir mati. Leher dan dadanya mengucurkan darah. Ketika mata kuda itu melihat Ang I Niocu, binatang ini mengeluarkan suara lagi, terdengar menggelogok. Kakinya lalu berkelojotan keras seperti hendak meronta-ronta, kemudian menjadi lemas. Binatang itu telah menjadi bangkai.
Dengan sinar mata tajam berapi-api, Ang I Niocu memandang kepada orang-orang yang berada di tempat itu, yang semuanya berdiri seperti patung dan memandang kepadanya dengan sinar mata menantang. Di dekat kuda itu berdiri tiga orang wanita, yaitu seorang nenek dan dua orang gadis. Sekali pandang saja Ang I Niocu mengenal mereka.
Nenek itu bukan lain adalah Koai-tung Toanio tokoh besar Kong-thong-pai dan dua orang gadis itu adalah anak-anaknya yang terkenal dengan sebutan Kim-jiu Siang-eng Kwan Ci-moi! Tiga orang wanita itu dahulu pernah bertempur dengannya ketika ia melakukan perjalanan bersama Gan Tiauw Ki.
Apakah kehendak tiga orang wanita yang sekarang datang bersama serombongan orang yang berpakaian seperti pasukan pemerintah? Dulu tiga orang wanita ini sengaja mencari gara-gara dan memusuhinya. Kini, begitu muncul mereka agaknya sengaja membunuh kudanya Pek-hong-ma, apakah artinya semua ini?
Saking marahnya melihat Pek-hong-ma sudah dibunuh orang, Ang I Niocu membentak sambil menudingkan pedang yang sudah dicabutnya ke arah tiga orang wanita itu.
“Kalian ini tiga siluman wanita ibu dan anak mengapa selalu memusuhiku? Dahulu kalian sudah menjadi pecundang, kenapa ada orang-orang begitu tidak tahu malu, menimpakan sakit hati kepada kudaku? Sungguh keji dan pengecut besar!”
Koai-tung Toanio yang dahulu pendiam sekarang nampak marah sekali. Ia menudingkan tongkatnya ke arah Ang I Niocu dan berkata marah,
“Manusia keji Ang I Niocu! Baru saja kau telah membunuh anak-anakku Kwan Liong dan Kwan Bi Hoa, masih saja kau berkata tidak punya kesalahan terhadap kami? Manusia celaka, dulu kau melakukan penghinaan terhadap kami masih boleh kami lupakan, akan tetapi sekarang, kau berani membunuh mati kedua orang anakku beserta kawan-kawan mereka. Benar-benar aku tak bisa hidup bersamamu di muka bumi ini, seorang di antara kita harus mampus sekarang dan di sini juga!”
Ang I Niocu kaget dari baru sekarang ia melihat beberapa di antara pelayan yang tadi ia bubarkan berada di situ, berlutut dan bajunya robek-robek, agaknya tadi dicambuki dan disuruh mengaku. Tidak tahunya dua orang Min-san Sam-kui adalah anak dari Koai-tung Toanio atau kakak-kakak dari dua orang gadis yang sekarang menghadapinya bersama mereka.
Dia menjadi marah. Meski pun tiga orang wanita itu datang bersama pasukan yang terdiri dari tiga puluh orang lebih, semuanya nampak tegap-tegap dan merupakan tentara yang terlatih, dia sama sekali tidak menjadi gentar.
“Pantas... pantas...! Hari ini aku bertemu dengan keluarga besar penjahat dan pengecut! Majulah kalian, biar aku tidak kepalang tanggung dan biar pedangku kenyang dan puas membabat iblis-iblis bermuka manusia!”
Pada lain saat Ang I Niocu sudah dikeroyok dan sebuah pertempuran yang seru segera terjadi di lapangan itu. Saking marahnya melihat kuda kesayangannya dibunuh, kini Ang I Niocu mengamuk hebat.
Dia mengeluarkan ilmu pedangnya Sian-li Kiam-sut atau ilmu Pedang Tari Bidadari, yang nampaknya indah akan tetapi sangat berbahaya bagi lawan. Sukar sekali mata mengikuti gerakan-gerakannya, nampaknya hanya sebagai seorang dewi cantik menari-nari, tetapi pada sekeliling tubuh dewi ini nampak sinar terang. Inilah sinar pedang yang menyambar-nyambar tanpa dapat diketahui ke mana gerakan berikutnya sehingga musuh yang begitu banyaknya itu menjadi bingung dan pengeroyokan menjadi kacau-balau.
Akan tetapi, para pengeroyok sekarang ini jauh bedanya kalau dibandingkan dengan para pengeroyok di puncak gunung tadi. Tadi para pengeroyok Ang I Niocu hanya terdiri dari kaum perampok yang kasar dan dalam pertempuran hanya mengandalkan tenaga besar belaka.
Kali ini para pengeroyok yang membantu Koai-tung Toanio dan kedua orang anaknya itu adalah pasukan terlatih dari Gubernur Lie Kong, yaitu gubernur yang mempunyai cita-cita untuk memberontak di Propinsi Shansi. Mereka ini terdiri dari prajurit-prajurit pilihan yang sedikit banyak mengerti ilmu silat, maka pengepungan dan penyerbuan mereka teratur sekali. Mereka dapat bekerja sama, baik dalam penyerangan mau pun dalam pertahanan sehingga sebegitu lama Ang I Niocu masih belum berhasil merobohkan seorang lawan pun, sedangkan pengepungan makin lama semakin rapat.
Baru beberapa jam yang lalu, Ang I Niocu telah melakukan pertempuran hebat, dikeroyok oleh banyak orang dan di dalam pertempuran membasmi kawanan perampok di Gunung Min-san itu telah membutuhkan banyak tenaga. Oleh karena itu, ia sudah amat lelah.
Sekarang, dia menghadapi keroyokan musuh yang lebih tangguh, tentu saja keadaannya menjadi terancam. Akan tetapi Ang I Niocu adalah seorang gadis yang tak mengenal apa artinya takut. Sedikit pun dia tidak menjadi gentar dan khawatir, bahkan kini pedangnya diputar makin cepat sehingga dalam beberapa gebrakan saja ia berhasil merobohkan tiga orang anggota pasukan yang mengepungnya.
Hasil ini membuat para pengepungnya terkejut dan kacau-balau, ada pun semangat Ang I Niocu justru bertambah besar. Biar pun kaki tangannya sudah terasa lemas, ia memaksa diri, memutar-mutar pedangnya dengan gerakan-gerakan lincah sekali sehingga kembali ia merobohkan dua orang.
“Serbu dan bunuh saja!” Koai-tung Toanio kini berseru keras dengan hati penasaran dan marah sekali.
Tadinya dia memang berpesan kepada anak buah pasukan itu untuk menangkap Ang I Niocu hidup-hidup, karena ia mempunyai maksud untuk menyerahkan gadis baju merah itu kepada majikan mudanya, yakni Lie Kian Tek si putera gubernur. Akan tetapi melihat sepak terjang Ang I Niocu yang demikian hebat, dia lalu merubah niatnya. Orang dengan kepandaian seperti gadis baju merah ini kiranya tidak mungkin ditawan hidup-hidup.
Benar saja, sesudah dia mengeluarkan aba-aba ini, para anak buah pasukan yang juga khawatir akan menjadi korban jika berlaku lemah terhadap gadis cantik jelita yang kosen itu, kini mulai mendesak dengan serangan-serangan maut. Sekarang barulah Ang I Niocu dapat didesak, karena dia betul-betul harus menjaga diri terhadap desakan dan serangan puluhan batang senjata yang melancarkan serbuan-serbuan mengancam keselamatan itu. Betapa pun juga, dia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan dan bila mana saja terdapat lowongan, pasti pedangnya merobohkan seorang dua orang lawan.
Namun, pasukan itu adalah pasukan terlatih dan di dalam ketentaraan Gubernur Shansi, pasukan ini disebut Pasukan Maut. Mereka itu sudah dilatih, tidak saja latihan jasmani, akan tetapi juga dilatih untuk bertempur sampai orang terakhir!
Menghadapi pasukan yang semuanya tidak takut mati ini, Ang I Niocu menjadi kewalahan juga. Akan tetapi ia pun tidak mengenal artinya takut atau mundur. Bagaikan seekor naga betina dia mengamuk, pedangnya berkelebat-kelebat dan tubuhnya menyambar ke sana ke mari, sepak-terjangnya benar-benar hebat.
Meski pun Ang I Niocu mengerti bahwa kalau pertempuran ini dilanjutkan, tak mungkin ia bisa menewaskan sekian banyaknya lawan dan akhirnya ia tentu akan kehabisan tenaga dan roboh, namun ia masih belum mau menyerah dan tidak sudi melarikan diri sebelum tenaganya habis betul-betul!
Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras, “Kaum pemberontak hina dina sungguh tak tahu malu mengandalkan orang banyak mengeroyok seorang dara!”
Muncullah seorang pemuda gagah perkasa yang diiringi oleh belasan orang berpakaian seperti jago-jago silat. Sikap mereka gagah bukan main dan atas isyarat pemuda gagah itu, mereka lantas menyerbu dengan pedang mereka. Permainan pedang mereka serupa, menandakan bahwa mereka ini datang dari satu partai, ilmu pedang yang menyambar-nyambar dari kanan ke kiri dan sebaliknya, dibarengi bentakan-bentakan nyaring.
Ang I Niocu seperti pernah melihat ilmu pedang seperti ini, kalau tidak salah ilmu pedang partai Bu-tong-pai. Sebentar saja pasukan Gubernur Lie menjadi kalang-kabut dan Ang I Niocu kini hanya menghadapi keroyokan Koai-tung Toanio dan dua orang gadisnya saja. Walau pun kedatangan pemuda tampan gagah bersama kawan-kawannya itu merupakan pertolongan baginya, namun diam-diam Ang I Niocu merasa mendongkol sekali.
Gadis ini memang mempunyai watak yang tinggi hati dan tidak mau kalah. Meski pun berada dalam keadaan bahaya dia tidak mengharapkan pertolongan orang lain, apa lagi pertolongan serombongan orang laki-laki yang tidak pernah dikenalnya.
Salah seorang di antara dua gadis puteri Koai-tung Toanio yang melihat datangnya bala bantuan ini, memaki marah dan kecewa, “Dasar perempuan jalang, di mana-mana ada laki-laki yang membantu. Cih, tak tahu malu!”
Mendengar makian ini, naiklah darah Ang I Niocu. Tanpa mempedulikan serangan lain, pedangnya menyambar ke arah orang yang memakinya. Ketika tongkat Koai-tung Toanio menyodok dadanya, ia tidak mengelak dan juga tidak mau menunda serangannya, hanya menyampok dengan tangan kiri.
Tongkat itu terpental, akan tetapi Ang I Niocu merasa lengannya sakit sekali. Ia menggigit bibir, lantas melanjutkan serangannya sampai ujung pedangnya mengenai pundak gadis yang memakinya tadi. Gadis itu memekik dan roboh dengan pundak kanan hampir putus!
Koai-tung Toanio dan puterinya yang seorang lagi cepat mendesak sehingga Ang I Niocu tidak punya kesempatan untuk mengirim tusukan kedua, namun ia telah puas, wajahnya berseri dan ia melayani para pengeroyoknya dengan tenang. Ketika ia melihat pemuda gagah yang membantunya mengamuk hebat dan berada dekat dengan tempat di mana ia bertempur, ia pun berseru kepada pemuda itu, “Aku tidak membutuhkan bantuan kalian. Pergilah!”
Pemuda itu tertegun dan menengok, mengeluarkan seruan kaget dan menjauhkan diri dari pertempuran, berdiri seperti patung memandang kepada Ang I Niocu dengan penuh kekaguman. Agaknya baru kini ia melihat wajah orang yang dibantunya dan penglihatan ini membuat ia tercengang.
Melihat ini, Ang I Niocu makin mendongkol. Gadis ini sudah terlalu sering menyaksikan laki-laki berlaku seperti itu apa bila memandang kepadanya dan ia menjadi mendongkol sekali, di samping keinginan hendak mempermainkan laki-laki yang tergila-gila padanya. Senyumnya penuh ejekan dan ia sengaja memainkan ilmu silatnya dengan gerakan dan gaya yang indah sekali seperti orang menari-nari.
Ada pun Koai-tung Toanio yang melihat betapa pihaknya jadi terdesak dan jatuh banyak korban, segera memberi aba-aba keras dan ia sendiri menyambar tubuh puterinya yang terluka, lalu melarikan diri dari tempat itu.
Ang I Niocu yang sudah lelah bukan main tentu saja tidak mau mengejar. Demikian pula orang-orang yang datang membantunya tidak mau mengejar pula.
Semua orang itu kini menoleh dan memandang kepada Ang I Niocu dengan sinar mata kagum, bukan hanya kagum melihat ilmu silat gadis ini saja, akan tetapi terutama sekali kagum akan kecantikannya yang memang jarang bandingnya itu. Melihat ini, Ang I Niocu tersenyum mengejek lalu memutar tubuhnya dan lari dari tempat itu tanpa mengeluarkan sepatah kata pun kepada mereka!
Melihat ini, pemuda tampan dan gagah tadi segera melompat dan mengejarnya sambil berseru, “Lihiap yang gagah perkasa, harap kau tunggu dulu, mari kita bicara!”
Akan tetapi Ang I Niocu hanya menoleh sebentar dan berkata, “Aku tidak ada urusan dengan kau!” Dan ia berlari terus, kini makin cepat.
Pemuda itu penasaran mengerahkan ginkang-nya. Sekali melompat dia sudah maju dua puluh kaki lebih! Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat gadis itu pun melompat, bahkan lebih jauh dari pada lompatannya.
“Nona yang baik, harap kau berhenti dulu, aku hanya ingin berkenalan!” serunya pula, akan tetapi Ang I Niocu tidak mempedulikannya, bahkan mempercepat larinya.
Pemuda itu masih hendak mengejar sambil mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat, akan tetapi sia-sia. Gadis itu dapat berlari lebih cepat dan sebentar saja sudah lenyap di balik gunung!
Terpaksa kini Ang I Niocu melanjutkan perjalanannya dengan jalan kaki. Setelah melihat bahwa pemuda tampan itu tidak mengejarnya lagi, baru terasa olehnya betapa lelahnya setelah dua kali berturut-turut ia melakukan pertempuran hebat tadi.
Ia berhenti dan duduk beristirahat di bawah sebatang pohon besar. Dengan ujung lengan bajunya, disusutnya peluh yang membasahi leher dan jidatnya. Matahari telah tenggelam di barat dan keadaan sudah mulai gelap. Tak terasa pula senja telah lewat dan malam sudah di ambang pintu.
Di samping kelelahan yang sangat, baru sekarang Ang I Niocu merasa lapar sekali. Sejak pagi ia belum makan dan sehari penuh hanya bertempur saja. Lengan kirinya sekarang terasa sakit sekali, akibat benturan dengan tongkat Koai-tung Toanio tadi. Kemudian ia teringat lagi akan kudanya yang sudah mati.
Celaka sekali! Dengan kehilangan Pek-hong-ma berarti ia pun kehilangan segala-galanya yang menjadi bekal. Pakaian, uang dan lain-lain semua ada di punggung Pek-hong-ma dan sekarang semua itu hilang.
Ang I Niocu mengerutkan keningnya, wajahnya muram. Semenjak ikut ayahnya, ia selalu dimanja dan selalu terpenuhi apa yang menjadi kehendaknya, belum pernah kekurangan makan dan pakaian. Sekarang, dia seorang diri dan lelah serta lapar. Setelah kehilangan segalanya, ia merasa sengsara sekali.
Tak terasa lagi air matanya jatuh bertitik ketika ia tiba-tiba teringat kepada ayahnya dan kepada Gan Tiauw Ki. Ketika masih tinggal di gedung ayahnya, belum pernah ia merasa selelah dan selapar ini. Pada saat ia melakukan perjalanan-perjalanan dengan Tiauw Ki, betapa jauh bedanya dengan sekarang. Dengan Gan Tiauw Ki ia mengalami perjalanan yang penuh madu, penuh kegembiraan dan kebahagiaan.
Tiba-tiba dia bangkit berdiri, “Alangkah bodohku, susiok-couw akan marah kalau melihat aku selemah ini...” pikirnya.
Ia berjalan lagi, menuju ke sebuah dusun yang atap-atap rumahnya sudah kelihatan dari situ. Sebelum cuaca menjadi gelap ia harus sudah berada di dusun itu kalau ia tidak mau tidur di tengah hutan.
Alangkah herannya ketika ia tiba di luar dusun, ia disambut oleh semua penduduk dusun, di sana-sini terdengar seruan!
“Ang I Niocu...! Dia sudah datang... Sambut Ang I Niocu, pendekar kita yang mulia...”
Setelah memandang lebih teliti baru Ang I Niocu tahu bahwa di antara para penyambut itu terdapat bekas-bekas pelayan di pesanggrahan perampok. Tentu mereka inilah yang sudah mengabarkan tentang pembasmian terhadap para perampok itu. Kepala kampung itu, seorang laki-laki setengah tua yang berkumis panjang, mengepalai penyambutan dan menjura dengan penuh hormat kepadanya.
“Lihiap yang mulia, telah bertahun-tahun kami hidup dalam ketakutan dan penindasan kaum perampok di Min-san. Bahkan ada beberapa orang muda dusun kami diculik, selain harta benda kami. Kini muncul Lihiap yang gagah perkasa, yang telah membasmi mereka dan berarti membebaskan kami dari cengkeraman perampok jahat. Benar-benar Thian telah mengirimkan Lihiap sebagai seorang dewi untuk menolong kami yang sudah lama memohon kemurahan dan keadilan Thian.” Setelah berkata demikian, kepala kampung itu berlutut di depan Ang I Niocu, diturut oleh semua orang kampung.
Akan tetapi, ketika mereka mengangkat kepala, ternyata dara baju merah itu telah lenyap! Tentu saja mereka heran dan kagum sekali, dan sekali lagi mereka berlutut, mengira bahwa gadis yang cantik luar biasa dan bisa ‘menghilang’ itu benar-benar seorang dewi kahyangan utusan dari langit! Semenjak hari itu, orang sekampung sering kali memasang hio, memuja kepada dewi penolong baju merah itu…..
********************
Selanjutnya baca
ANG-I NIOCU (DARA BAJU MERAH) : JILID-11