Pendekar Bodoh Jilid 15


Sebagaimana telah dituturkan pada bagian depan, Ang I Niocu mendahului Cin Hai pergi ke Pulau Kim-san-to untuk mencari Lin Lin. Dengan nekat Gadis Baju Merah itu naik ke atas puncak untuk mencari Lin Lin, akan tetapi bukan Lin Lin yang ia jumpai, bahkan ia melihat pemandangan yang amat mengerikan, yaitu seluruh danau di bukit itu terbakar hingga merupakan neraka yang dahsyat.

Ia melihat bayangan Vayami seperti sedang melambai-lambai memanggilnya dari tengah lautan api itu, maka dengan hati ngeri sekali Ang I Niocu mencari-cari Lin Lin, berlari ke sana ke mari dan suaranya sampai serak karena terus-menerus ia memanggil,
“Lin Lin…. Lin Lin….! Di mana kau…?”

Ketika ia sedang berlari menubruk sana menubruk sini memanggil-manggil Lin Lin seperti orang gila, tiba-tiba saja terdengar sebuah letusan hebat dan daya tenaga raksasa yang keluar dari ledakan itu membuat tubuh Ang I Niocu terlempar ke atas udara. Walau pun semangat Ang I Niocu seolah-olah terbang keluar dari tubuhnya karena hebatnya ledakan itu, namun ia masih sempat berteriak lagi memanggil, "Lin Lin…. Lin Lin…. Hai-ji…. "

Ang I Niocu kemudian pingsan selagi tubuhnya masih melayang di udara! Memang mati atau hidup seseorang sepenuhnya berada di dalam kekuasaan dan tangan Yang Maha Kuasa. Kalau Tuhan menghendaki, seorang yang sudah berada di mulut harimau masih akan dapat tertolong dan hidup, sedangkan seorang segar bugar dapat tiba-tiba mati. Hal ini harus diakui oleh semua orang karena banyak terjadi bukti-bukti akan kekuasaan yang besar ini. Tidak ada hal yang tidak mungkin terjadi dalam tangan Tuhan!

Begitu pula dengan nasib Ang I Niocu. Agaknya Tuhan belum menghendaki dia terbebas dari hidup di dunia, maka tubuhnya terlempar ke angkasa tanpa terluka. Hal ini memang tidak begitu aneh oleh karena dapat diketahui sebab-sebabnya.

Kalau sekiranya Ang I Niocu tidak berada terlalu dekat dengan bukit yang meledak itu, seperti halnya para tentara Turki dan tentara kerajaan yang terbasmi habis seluruhnya, tentu Dara Baju Merah itu pun akan tewas juga, termakan oleh api dan minyak panas. Akan tetapi saat ledakan terjadi, tubuh Ang I Niocu berada dekat sekali sehingga sebelum api dapat membakar tubuhnya, hawa letusan yang luar biasa kerasnya itu telah membuat tubuhnya terlempar ke udara!

Karena hebatnya tekanan ledakan itu, pakaiannya yang merah sampai terobek ke sana sini. Potongannya lalu terlempar dan melayang-layang terbawa angin yang didatangkan oleh ledakan hingga sepotong dari pakaian ini kemudian ditemukan oleh Cin Hai di atas laut.

Biar pun pada saat dia terlempar ke udara, Ang I Niocu terhindar dari bahaya api yang mengamuk, akan tetapi dia masih belum terlepas dari bahaya maut sama sekali, karena dia telah menjadi pingsan dan kalau dia jatuh kembali, maka tubuhnya tentu akan hancur dan dimakan api! Akan tetapi, memang Tuhan belum menghendaki kematiannya, maka kembali Yang Maha Kuasa memperlihatkan kekuasaanNya lagi.

Di antara semua makhluk hidup yang berada di atas Pulau Kim-san-to pada saat ledakan terjadi, selain Ang I Niocu yang selamat, masih ada yang lainnya lagi, yakni Sin-kim-tiauw atau rajawali sakti berbulu emas. Kebetulan sekali pada waktu ledakan terjadi, burung rajawali ini sedang terbang tinggi di atas pulau karena ia merasa terkejut melihat sekian banyak orang sedang berperang di atas pulaunya yang biasanya sunyi dan tenteram itu.

Ia terbang berputar-putar di angkasa sambil berteriak-teriak marah, karena perasaannya memberi tahukannya bahwa orang-orang yang sedemikian banyaknya itu bukanlah orang baik-baik. Dia hendak mengamuk serta menyerang, akan tetapi tidak berani dan merasa takut untuk menghadapi sekian banyak orang, maka kini dia hanya terbang tinggi sambil memekik-mekik marah.

Pada waktu terjadi ledakan, Sin-kim-tiauw merasa terkejut sekali dan sambil menyambar-nyambar ke bawah dengan marah, ia pun menjadi bingung dan takut melihat api berkobar hebat membakar pulaunya. Kemudian, tiba-tiba dia melihat tubuh orang yang berpakaian merah melayang ke udara dengan kecepatan luar biasa.

Tadinya burung itu merasa terkejut dan takut, oleh karena belum pernah ia melihat orang yang dapat terbang! Tentu ilmu kepandaiannya lihai sekali, pikirnya. Karena itu dia hanya terbang mengelilingi dan tidak berani menyerang, sungguh pun dia merasa marah sekali.

Akan tetapi, ketika Ang I Niocu menjadi pingsan dan tubuhnya menjadi lemas terkulai dan tubuh itu mulai melayang jatuh kembali ke bawah, Sin-kim-tiauw kemudian menyambar dan mencengkeram tubuh itu. Perlu diketahui bahwa Sin-kim-tiauw bukanlah burung liar sembarangan saja, akan tetapi adalah burung peliharaan yang telah dilatih oleh Bu Pun Su dan adik seperguruannya Han Le, hingga burung ini telah dapat membawa apa saja dalam cengkeramannya tanpa melukai. Maka ketika ia mencengkeram tubuh Ang I Niocu yang pingsan, ia tidak melukai tubuh itu, hanya membawanya terbang menuju ke timur dengan cepat sambil berteriak-teriak girang seperti biasa kalau ia menang berkelahi!

Burung rajawali yang besar itu membawa tubuh Ang I Niocu terus ke timur lalu membelok ke arah tenggara, dan selama itu Ang I Niocu masih saja pingsan tak sadarkan diri sebab ledakan hebat itu betul-betul telah mengguncang jantungnya, sedangkan perasaan kuatir dan takut membuat semangatnya seakan-akan terbang meninggalkan tubuhnya.

Burung rajawali itu terbang terus dan setelah berputar-putaran tinggi di atas pulau yang banyak terdapat di permukaan Laut Tiongkok, dia lalu menyambar turun ke atas sebuah pulau kecil yang penuh dengan pohon-pohon hijau. Ketika ia telah terbang rendah di atas pulau itu, tiba-tiba terdengar suara orang bersuit keras dan Sin-kim-tiauw segera terbang ke arah suara suitan itu.

"Ehh, Kim-tiauw, siapakah yang kau bawa itu?" mendadak terdengar bentakan halus dan seorang lelaki keluar dari sebuah goa memandang pada Kim-tiauw yang terbang rendah itu.
"Lepaskan dia!" teriaknya dan Sin-kim-tiauw dengan taat segera melepaskan tubuh Ang I Niocu dari cengkeraman kakinya.

Tubuh Dara Baju Merah itu melayang ke bawah dan dengan gerakan cepat, laki-laki itu lalu menyambut tubuhnya. Merahlah muka laki-laki itu melihat betapa Ang I Niocu hampir tidak berpakaian lagi karena pakaiannya yang merah sudah robek di sana-sini oleh hawa ledakan tadi! Cepat-cepat laki-laki itu menanggalkan mantelnya, menyelimuti tubuh yang segera dibawanya masuk ke dalam goa itu, kemudian diletakkannya di atas tanah yang bertilamkan rumput-rumput kering.

Dengan hati-hati laki-laki itu lalu memeriksa nadi pergelangan tangan Ang I Niocu, lalu ia menarik napas lega. Dari sudut goa dia segera mengambil bungkusan pakaiannya dan mengeluarkan sebuah kulit buah labu yang telah dikeringkan dan dipergunakan sebagai tempat air. Ternyata bahwa isinya bukanlah air biasa, akan tetapi sari buah-buahan yang mengandung khasiat menguatkan tubuh dan mendatangkan ketenangan pada hati.

Dengan hati-hati, dia lalu membuka bibir dan mulut Ang I Niocu dengan tangan kanan dan menuangkan sedikit isi tempat air itu ke dalam mulut gadis itu. Kemudian, sesudah menyimpan tempat air ke dalam bungkusannya kembali, ia lalu berdiri memandang wajah dara itu dengan penuh perhatian lalu menarik napas panjang dan keluar dari goa.

Burung rajawali melihat kedatangannya, lalu berjalan menghampiri sambil mengeluarkan keluhan panjang.
"Sin-kim-tiauw, dari manakah kau datang dan siapakah gadis itu? Aku mendengar suara ledakan keras dari arah Pulau Kim-san-to dan melihat api berkobar-kobar. Heran sekali, apakah yang telah terjadi?"

Kim-tiauw itu mengeluarkan keluhan keras dan aneh, lalu dia mengembangkan sayapnya dan memukul-mukul tanah, seakan-akan hendak menceritakan peristiwa hebat yang telah menimpa pulaunya. Akan tetapi tentu saja laki-laki itu tidak mengerti sama sekali, hanya dia dapat menyangka bahwa tentu telah terjadi hal yang aneh sekali, karena tidak biasa Sin-kim-tiauw berlaku seaneh ini.

Siapakah laki-laki yang tinggal seorang diri di sebuah pulau kecil yang asing dan tiada berkawan ini? Ia adalah seorang laki-laki yang berwajah cukup tampan, berkening lebar dan sinar matanya tajam berkilat. Tubuhnya tegap dan sedang, ada pun usianya paling banyak tiga puluh lima tahun. Pakaiannya terbuat dari pada bahan kasar berwarna biru dan sebilah pedang tergantung di pinggangnya.

Sesungguhnya orang ini adalah seorang pendekar silat yang mengasingkan diri, seorang berilmu tinggi yang patah hati oleh karena kecewa melihat keadaan dunia yang penuh kepalsuan. Dulu dia tinggal di atas Pulau Kim-san-to, ikut belajar silat kepada suhu-nya yang bukan lain adalah Han Le atau sute dari Bu Pun Su! Mereka tinggal bertiga dengan seorang sute-nya, karena Han Le memiliki dua orang murid, yaitu lelaki ini yang bernama Lie Kong Sian, dan seorang pemuda bernama Song Kun.

Baik Lie Kong Sian mau pun Song Kun, keduanya adalah anak-anak yatim piatu yang menjadi korban keganasan tentara Mongol. Ayah bunda mereka sudah tewas pada saat tentara Mongol menyerbu dusun-dusun dan mereka berdua mendapat pertolongan dari Han Le yang lalu membawa mereka ke atas Pulau Kim-san-to dan mengangkat mereka menjadi murid.

Walau pun Lie Kong Sian mempunyai bakat yang baik sekali sehingga ia dapat mewarisi kepandaian suhu-nya, namun dia masih kalah apa bila dibandingkan dengan Song Kun yang memiliki bakat luar biasa sekali. Bahkan Han Le sendiri pernah berkata kepada Lie Kong Sian yang dipercaya penuh dan disayangi seperti anak sendiri.

"Muridku, kau lihat saja, Song Kun kelak akan mempunyai ilmu kepandaian yang jarang mendapatkan tandingan oleh karena anak itu memiliki tulang dan bakat yang luar biasa. Dalam hal ilmu silat, bakat mempunyai pengaruh hebat sekali oleh karena biar pun ilmu silat yang dipelajarinya sama dengan yang kau pelajari, akan tetapi bakatnya akan dapat membuat ilmu silatnya menjadi lebih lihai dan hebat, karena mendapat tambahan sendiri oleh bakatnya yang baik. Akan tetapi dia masih sangat muda, muridku, dan apa bila aku sudah tidak ada lagi di dunia ini, kaulah yang harus menjadi wakilku untuk menuntunnya ke arah jalan benar."

Bertahun-tahun kedua orang murid ini digembleng oleh Han Le di atas Pulau Kim-san-to, kemudian Han Le mengajak kedua muridnya itu berkelana untuk mencari pengalaman di dunia ramai. Dan hal inilah yang kemudian membuat Song Kun berubah. Kelihatanlah watak aslinya ketika pemuda ini melihat benda-benda berharga dan hal-hal yang terjadi di dunia ramai. Ia mulai menjadi sesat dan pengaruh-pengaruh buruk menguasai hatinya. Sebuah di antara wataknya yang buruk ialah kesukaannya akan wanita cantik.

Baik Han Le mau pun Lie Kong Sian mengetahui hal ini, maka setelah berkelana selama dua tahun, Han Le lalu mengajak Song Kun kembali ke Pulau Kim-san-to dan menyuruh Lie Kong Sian mengembara seorang diri untuk meluaskan pengalaman dan menjalankan pekerjaan sebagai seorang pendekar yang harus menolong sesama hidup yang sedang menderita kesukaran.

Diam-diam Song Kun merasa mendongkol sekali kepada suhu-nya, akan tetapi dia tidak berani menyatakan dengan terus terang, bahkan ia lalu dengan cerdiknya merubah sikap menjadi penurut dan berbakti sekali. Ia melayani suhu-nya dengan amat baiknya, bahkan ketika Bu Pun Su datang berkunjung ke pulau itu, ia dapat pula menipu kakek jembel ini hingga Bu Pun Su juga salah sangka dan memuji murid adik seperguruannya ini, lalu menurunkan semacam kepandaian ilmu silat kepada Song Kun.
Image result for Pendekar Bodoh
Di atas pulau itu, selain Song Kun dan gurunya, sudah ada tiga ekor binatang sakti yang dahulu dipelihara oleh Bu Pun Su, yaitu Rajawali Emas, Harimau Bertanduk dan Merak Sakti. Ketika dulu Bu Pun Su bertapa di pulau itu, ia memelihara ketiga ekor binatang ini dan kemudian meninggalkannya kepada Han Le yang tetap berdiam di pulau itu.

Selama Lie Kong Sian pergi merantau, Song Kun dapat menipu suhu-nya dan membujuk sehingga Han Le lalu memberi pelajaran ilmu silat yang lebih tinggi lagi. Dan pada suatu hari, tanpa memberi tahu kepada suhu-nya, Song Kun minggat dari pulau itu! Han Le terkejut sekali dan mulailah ia merasa sedih dan jatuh sakit berat di atas pulau itu.

Kebetulan sekali Lie Kong Sian datang ke Pulau Kim-san-to untuk mengunjungi suhu-nya dan sute-nya. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat suhu-nya dalam keadaan sakit berat. Cepat-cepat dia menolong serta merawatnya, akan tetapi terlambat. Agaknya memang sudah menjadi takdir bagi Han Le untuk meninggalkan dunia ini di pulau itu! Sebelum ia menutup mata, ia meninggalkan pesan kepada Lie Kong Sian.

“Muridku, kalau aku telah mati, kuburkanlah mayatku di dalam goa ini, dan juga pedangku ini harus ikut ditanam pula, kemudian kau pergilah mencari sute-mu Song Kun. Selidikilah keadaannya karena aku kuatir sekali kalau-kalau ia akan mencemarkan namaku dengan perbuatan rendah. Akan tetapi, kau berhati-hatilah menghadapinya, Kong Sian, karena ilmu silatnya hampir sempurna. Kalau kau perlu bantuan, kau carilah supek-mu Bu Pun Su untuk membantu menangkapnya. Selain supek-mu Bu Pun Su, kukira tidak ada orang lain yang akan dapat melawannya!”

Tidak lama kemudian, sesudah Lie Kong Sian memenuhi pesanan suhu-nya yang telah meninggal, yaitu mengubur jenazah suhu-nya bersama pedangnya di dalam goa yang penuh pasir itu, lalu ia meninggalkan Pulau Kim-san-to. Ketiga ekor binatang sakti masih berdiam di pulau itu dengan sedih dan kesunyian.

Lie Kong Sian berhasil bertemu dengan sute-nya, akan tetapi, biar pun ia melihat bahwa sute-nya ini menyimpang dari perjalanan hidup yang benar, dia tidak tega untuk minta pertolongan Bu Pun Su. Sejak kecil ia hidup di atas pulau, belajar silat bersama sute-nya ini hingga ia pandang Song Kun seperti adik sendiri yang amat ia kasihi, maka ketika ia melihat akan kesesatan Song Kun, ia hanya memberi nasehat.

Akan tetapi, benar sebagaimana dugaan suhu-nya, adiknya itu tak mau menurut bahkan menantangnya hingga mereka lalu berkelahi! Tingkat kepandaian mereka memang sama, akan tetapi Song Kun memiliki kecepatan yang lebih hebat hingga akhirnya Lie Kong Sian dapat dikalahkan dan terpaksa melarikan diri.

Hal ini amat mendukakan hati Lie Kong Sian. Untuk minta bantuan Bu Pun Su, ia tidak tega melihat adiknya terhukum, kalau didiamkan saja bagaimana. Maka dalam keraguan dan kebimbangan, dia lalu kembali ke Pulau Kim-san-to dan menangis di depan kuburan suhu-nya, mengakui akan kelemahannya.

Kemudian dia lalu mengasingkan diri dan bertapa di sebuah pulau kosong tidak jauh dari Kim-san-to, yaitu sebuah pulau kecil yang bernama Pulau Pek-le-to. Sering kali Merak Sakti terbang ke pulau itu untuk mengunjunginya, dan juga beberapa kali Lie Kong Sian mendayung perahu kecil mengunjungi pulau di mana suhu-nya dimakamkan itu.

Demikianlah selama beberapa tahun bertapa di Pulau Pek-le-to, Kong Sian menuntut penghidupan tenteram, sampai pada hari itu ia dikejutkan oleh ledakan yang datang dari arah Pulau Kim-san-to. Kemudian datang pula Sin-kim-tiauw yang membawa tubuh Ang I Niocu yang pingsan, maka tentu saja ia menjadi heran, akan tetapi kepada siapa ia harus bertanya? Sesudah menepuk-nepuk punggung rajawali itu, Kong Sian kembali ke dalam goa.

Seperti tadi, dia berdiri memandang Ang I Niocu lagi dan kembali dia merasa jantungnya berdebar aneh. Ia menjadi terkejut sekali oleh karena belum pernah selama hidupnya dia mendapat perasaan seperti ini, sungguh pun telah banyak ia jumpai wanita-wanita cantik selama ia merantau.

Ia segera maklum pengaruh apa yang mencengkeram hatinya, maka dengan wajah pucat dia segera membuang muka dan tidak mau memandang lagi. Akan tetapi, oleh karena hatinya masih saja berdebar, dia lalu pergi ke sudut goa di mana terdapat sebuah batu besar yang pada bagian atasnya ia tilami jerami kering, lalu duduk dan bersemedhi untuk menenteramkan hatinya yang terguncang!

Tidak lama kemudian, Kong Sian berhasil menekan perasaan hatinya yang bergelora itu, maka ia lalu turun dari atas batu dan menghampiri Ang I Niocu kembali. Dilihatnya betapa wajah dara itu merah sekali dan pernapasannya sesak.

Ia mengulurkan tangan meraba jidat gadis itu dan mendapat kenyataan bahwa gadis itu terserang demam hebat. Maka cepat dia keluar dari goa dan mencari daun obat yang banyak tumbuh di atas pulau Pek-le-to, lalu memeras daun itu dan meminumkan airnya pada Ang I Niocu, kemudian dengan sapu tangan yang dibasahi air ia lalu mengompres kepala Ang I Niocu.

Kekagetan dan ketakutan yang menyerang Ang I Niocu, ditambah lagi dengan pukulan hawa ledakan yang dahsyat itu, membuat gadis itu pingsan dan menderita sakit demam hebat selama tiga hari. Dan selama itu pula, dengan setia dan hati penuh iba Kong Sian terus menjaga di sampingnya, merawatnya dengan penuh kesabaran dan ketelitian. Akan tetapi selama tiga hari itu, beberapa belas kali terpaksa Lie Kong Sian yang biasa berhati teguh dan beriman baja itu harus pergi untuk bersemedhi dan mengatur pernapasannya serta menekan perasaan yang menggelora di dalam dadanya!

Pada hari ke empatnya, tubuh Ang I Niocu sudah mulai bergerak-gerak dengan gelisah, akan tetapi tubuhnya ternyata lemah sekali. Karena gerakan yang gelisah itu, beberapa kali mantel yang menutupi tubuhnya terbuka tapi dengan cepat dan sopan, Kong Sian lalu menutupkannya kembali. Kemudian dia lalu mengurut jalan darah gadis itu hingga Ang I Niocu merasa mendingan dan tidak begitu gelisah lagi, akan tetapi gadis itu masih belum membuka matanya. Sambil bergerak perlahan dengan mata tertutup ia berbisik.

“Lin Lin…. Hai-ji….” Kemudian sambil mengeluarkan ujung lidah yang disapu-sapukan di bibirnya ia berbisik lagi, “Air…. air….”

Ketika Kong Sian meraba jidatnya, maka ternyata panasnya sudah naik lagi. Kong Sian merasa kuatir sekali dan segera mengambil air yang sudah dimatangkannya, lalu dengan sebuah sendok yang terbuat dari kayu, dia menyuapi air matang ke dalam mulut Ang I Niocu yang menelannya dengan lahap sekali. Kong Sian lalu mengambil bubur gandum yang tadi telah dimasaknya, lalu dengan pelan-pelan dia menyuapkan bubur ini sesendok demi sesendok ke dalam mulut gadis itu yang menelannya tanpa membuka mata.

Sesudah diberi makan bubur, gadis itu lalu tertidur kembali dan panasnya menurun. Kong Sian tetap menjaganya dengan perasaan penuh iba. Dalam perawatan ini, timbullah rasa cinta yang amat besar dan mendalam di hati pemuda yang telah berusia tiga puluh lima tahun ini.

Memang tadinya Kong Sian mengambil keputusan untuk tak akan kawin selama hidupnya dan terus tinggal di pulau itu menjadi pertapa, mempelajari ilmu batin, ilmu silat, dan ilmu pengobatan. Akan tetapi semenjak pertemuannya dengan Ang I Niocu dalam keadaan yang ganjil ini, hatinya selalu bergoncang keras dan dia merasa betapa hidup ini baginya menjadi berubah sama sekali. Sering kali ia duduk di dekat Ang I Niocu dan kemudian membayangkan betapa akan hancur hatinya dan kosong hidupnya apa bila gadis cantik ini meninggal dunia karena sakitnya.

Sesudah dirawat dengan sangat teliti serta telaten oleh Kong Sian selama dua hari dua malam dalam keadaan setengah sadar, dan selama itu pula Ang I Niocu belum pernah membuka matanya, maka lenyaplah demam yang menyerang dirinya. Tubuhnya menjadi segar kembali dan biar pun tubuhnya masih agak lemah, akan tetapi ia tidak gelisah lagi.

Pada hari ke tujuh semenjak dia tiba di situ, pagi-pagi hari Ang I Niocu membuka kedua matanya bagaikan baru bangun dari alam mimpi yang sangat dahsyat. Ia bangun sambil tersentak kaget dan begitu membuka mata, dia segera bangun duduk sambil memanggil nyaring.

"Lin Lin…. Hai-ji….. " dan cahaya kekuatiran hebat terbayang pada wajahnya yang cantik.

Akan tetapi, alangkah kaget dan herannya ketika dia mendapat kenyataan bahwa kini dia sedang duduk diatas setumpuk rumput kering di dalam sebuah goa dan melihat seorang laki-laki cakap duduk di dekatnya sambil memandangnya dengan kagum sekali karena setelah kini Ang I Niocu membuka matanya Kong Sian merasa seakan-akan dia melihat seorang bidadari yang duduk di situ. Alangkah indah mata gadis itu!

Ang I Niocu meloncat ke atas karena kagetnya dan terlepaslah mantel penutup tubuhnya sehingga Kong Sian juga buru-buru melompat ke belakang dan memutar tubuhnya untuk membelakangi gadis itu.

"Nona, pakailah mantel itu baik-baik, baru kita bicara!" katanya perlahan dan halus.

Sementara itu Ang I Niocu terkejut bukan main melihat betapa pakaiannya telah robek tak karuan hingga ia hampir telanjang! Buru-buru dan dengan muka merah karena jengah, ia lalu menyambar mantel itu kembali dan menyelimuti tubuh dengan mantel itu dengan ikat pinggangnya yang berwarna kuning emas. Setelah selesai, maka dengan mata bernyala ia lalu menubruk dan menyerang Kong Sian dari belakang.

"Bangsat kurang ajar! Kau berani menghinaku?" serunya.

Mendengar ada sambaran angin pukulan, Kong Sian merasa terkejut sekali dan cepat dia mengelak sambil berkata,
"Ehh, Nona, sabar dulu... aku... aku …."

Walau pun merasa tubuhnya masih lemah, akan tetapi oleh karena marah maka Ang I Niocu tetap menyerang dengan hebat sambil mengeluarkan ilmu silat Kong-ciak Sin-na. Kong Sian merasa terkejut sekali oleh karena tentu saja dia juga mengenal ilmu silat dari suhu-nya ini, maka dengan heran ia lalu melayani Ang I Niocu dengan baik.

Makin kagumlah dia ketika mendapat kenyataan bahwa ilmu gerakan gadis ini ternyata lihai sekali dan biar pun tenaganya masih lemah, akan tetapi ginkang dan lweekang gadis ini menyatakan bahwa dia menghadapi seorang pendekar wanita yang tidak boleh dibuat gegabah.

Ia pikir bahwa gerakan-gerakan ini akan membahayakan kesehatan gadis yang baru saja sembuh itu, maka dengan cepat ia lalu membalas serangan Ang I Niocu dengan totokan- totokan luar biasa dan karena Ang I Niocu belum cepat gerakannya disebabkan tubuhnya yang masih lemah, lagi pula oleh karena ilmu kepandaian silat Kong Sian memang masih lebih tinggi, maka sebentar saja pemuda itu berhasil menotok pundak Ang I Niocu yang segera mengeluh dan roboh dengan lemas!

Kong Sian segera mengangkat tubuh Ang I Niocu dan membawanya keluar goa di mana ia menaruh tubuh gadis itu di bawah sebatang pohon sehingga angin gunung yang sejuk membuat Ang I Niocu merasa nyaman sekali.

"Nona, banyak sekali hal yang perlu kita bicarakan. Harap kau bersabar mendengarkan bicaraku. Pertama-tama yang perlu kau ketahui ialah kau sama sekali keliru menyangka padaku. Aku bukanlah orang jahat dan sama sekali aku tidak mempunyai maksud buruk terhadapmu. Ketahuilah bahwa aku adalah seorang yang mengasingkan diri di pulau ini dan tujuh hari yang lalu, Sin-kim-tiauw datang terbang ke mari sambil mencengkeram tubuhmu yang sedang pingsan! Kemudian kau jatuh sakit tidak sadarkan diri sampai tujuh hari dan aku merawatmu di dalam goa itu!"

Mendengar ucapan ini, lenyaplah sinar marah dari mata Ang I Niocu dan Kong Sian lalu mengulur tangan memulihkan totokannya pada pundak gadis itu sambil berkata, "Biarlah, kalau kau tetap tidak percaya padaku, kau seranglah aku lagi, aku tak hendak membalas untuk menyatakan bahwa kata-kataku tadi benar belaka!"

Setelah sadar dari totokan, Ang I Niocu memandang dengan mata bengong dan dia tidak berkutik dari tempat duduknya. Tubuhnya masih terasa lemah sehingga ia menyandarkan diri saja pada pohon itu.

"Benar-benar masih hidupkah aku?" tanyanya perlahan setengah berbisik, karena kini dia teringat betapa dia sudah dilontarkan ke atas oleh ledakan dahsyat itu dan kemudian dia tidak ingat apa-apa lagi.

Kong Sian tersenyum dan wajahnya yang tadi nampak bersungguh-sungguh itu berubah sesudah dia tersenyum. Sekarang dia tampak tampan dan matanya memancarkan seri gembira.

"Tentu saja kau masih hidup, Nona, kalau tidak bagaimana kau bisa berada di sini? Kau berada di Pulau Pek-le-to dan di pulau ini hanya akulah penghuni satu-satunya."
"Bagaimana seekor rajawali dapat membawaku ke sini?" Di mana burung itu?" tanya Ang I Niocu yang masih merasa ragu-ragu oleh karena ia masih kurang percaya kepada cerita yang aneh itu.

Lie Kong Sian lalu berdiri dan bersuit keras. Dari atas lalu terdengar suara balasan dari seekor burung dan tiba-tiba nampaklah setitik hitam yang tinggi menyambar turun dengan cepatnya. Setelah tiba mendekat, ternyata yang melayang turun itu adalah seekor burung rajawali besar, mengingatkan Ang I Niocu kepada burung rajawali yang dulu menyambar-nyambar dirinya di atas perahu ketika dia masih mencari Pulau Kim-san-to di atas perahu bersama Cin Hai dan Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hwesio. Akan tetapi rajawali ini lebih besar dan bulunya indah sekali. Sin-kim-tiauw terbang rendah lalu turun di hadapan Kong Sian, memandang kepada Ang I Niocu dengan sepasang matanya yang tajam sinarnya.

"Nah, inilah Sin-kim-tiauw yang membawamu ke sini. Sekarang akulah yang ingin minta keterangan kepadamu bagaimana kau bisa terbawa oleh burung sakti ini."
"Aku…. aku berada di Pulau Kim-san-to dan pulau itu terbakar lalu meledak hingga aku terlempar ke udara oleh ledakan itu kemudian aku tak ingat apa-apa lagi. Agaknya ketika tubuhku melayang di udara dalam keadaan pingsan, burung sakti ini menyambar diriku dan membawanya ke sini. Kalau begitu, dia adalah penolong jiwaku!" Sesudah berkata demikian, Ang I Niocu lalu berdiri dan ia berlutut di depan burung itu!

Kim-tiauw itu adalah seekor burung yang luar biasa cerdiknya. Melihat Ang I Niocu, dia agaknya tahu dan sambil mengeluh panjang dia kemudian menundukkan kepalanya dan membelai kepala Ang I Niocu dengan lehernya yang berbulu tebal. Kemudian, sambil memekik gembira burung itu lalu terbang ke atas dan berputaran di udara seakan-akan merasa girang sekali bahwa ada orang yang berterima kasih dan berlutut padanya!

"Kau katakan tadi bahwa aku sudah jatuh sakit dan tidak ingat diri sampai tujuh hari di sini?" tanya Ang I Niocu sambil menghadapi Kong Sian kembali. Mereka masih duduk di atas rumput, saling berhadapan.

Kong Sian mengangguk. "Ya, kau pingsan selama tiga hari tiga malam dan tubuhmu panas sekali. Kau terserang demam hebat dan tiap hari mengigau dalam keadaan tidak ingat orang. Kemudian kau dapat bergerak, akan tetapi kau gelisah dan panas sekali dan sama sekali tidak membuka matamu. Aku telah merasa kuatir sekali dan sudah hampir habis harapanku untuk dapat melihat kau hidup lagi."

Ketika Kong Sian sedang bercerita, Ang I Niocu memandang dengan penuh keheranan. Duduk berhadapan dengan Kong Sian dan mendengar suara orang ini bercerita tentang keadaannya, dia merasa seakan-akan dia telah menjadi kenalan lama, apa lagi ketika dia dapat menangkap nada suara yang penuh getaran karena terharu pada saat pemuda itu menceritakan kegelisahannya melihat dia sakit!

“Kalau begitu, selama tujuh hari aku menderita sakit… akan tetapi… sungguh heran… bagaimana aku masih dapat hidup….?”

Kong Sian merasa segan dan malu untuk menceritakan betapa ia telah merawat gadis ini selama sakit, maka ia hanya menjawab, “Thian itu adil dan selalu melindungi orang-orang baik, maka Thian telah melindungimu dari keadaan yang membahayakan jiwamu itu.”

Ang I Niocu menggelengkan kepalanya. “Betapa pun juga, jika dalam keadaan sakit aku tidak diberi obat dan selama tujuh hari tidak makan apa-apa, tak mungkin aku akan dapat hidup! Siapakah yang merawatku dan siapa yang memberi makan padaku?”

Merahlah wajah Kong Sian mendengar ini. Sikapnya menjadi canggung sekali, ada pun suaranya menjadi gagap ketika ia menjawab, “Memang… aku telah… aku yang memberi obat kepadamu dan… dan melihat kau begitu lemah dan gelisah…. aku memberi bubur gandum kepadamu."

Ketika mendengar ini, terbayang sinar terima kasih yang amat mendalam pada mata Ang I Niocu karena biar pun pemuda itu tidak menceritakannya, ia sudah dapat menduganya. Sikap ragu-ragu untuk memberitahukan bahwa pemuda itu sudah merawatnya, membuat pandangannya terhadap pemuda itu semakin tinggi dan kagum sekali. Sikap ini hanyalah menunjukkan betapa tinggi pribadi orang ini.

Akan tetapi, tiba-tiba Ang I Niocu teringat akan sesuatu dan sinar kemarahan tercampur keraguan membayang kembali pada wajahnya yang menjadi makin memerah.

"Dan... keadaan pakaianku ini…!”

Dia lalu melompat berdiri lagi, kedua tangannya terkepal, "katakanlah terus terang, apa yang terjadi dengan pakaianku? Dan mengapa pula kau menyelimutkan dengan mantel? Mantel siapakah ini?" Pertanyaan ini diucapkan dengan ketus dan marah oleh karena ia merasa bercuriga.

Kong Sian menarik napas panjang. "Nona, kalau saja bukan kau yang bersikap seperti ini dan menyangka yang bukan-bukan terhadap aku, tentu aku akan naik darah dan menjadi amat marah! Kau kira aku Lie Kong Sian ini orang macam apakah? Nona, kau boleh maki padaku, bahkan kau boleh menyerangku, akan tetapi janganlah sekali-kali kau menduga aku sudah berlaku rendah dan biadab terhadap dirimu! Pada waktu Sin-kim-tiauw datang membawamu ke sini, pakaianmu sudah robek semua dan tidak keruan macamnya, maka lalu aku menyelimutimu dengan mantelku. Nah, itulah keadaan yang sebenarnya!"

Sambil berkata demikian, teringatlah Kong Sian akan hal itu sehingga dia menundukkan kepala dengan kemalu-maluan. Kalau saja ia tidak menundukkan mukanya, tentu ia akan melihat betapa Ang I Niocu menjadi merah sekali mukanya dan betapa kedua mata gadis itu mencucurkan air mata!

Tiba-tiba Ang I Niocu lalu menjatuhkan dirinya berlutut di atas tanah di depan pemuda itu sambil berkata dengan suara penuh keharuan, "In-kong (Tuan Penolong), kau maafkan aku yang kasar dan sudah menuduhmu yang bukan-bukan! Kau telah menolong jiwaku, telah merawatku selama tujuh hari, memberi obat, menyuapkan makan, akan tetapi aku yang tertolong bahkan sudah menuduhmu yang bukan-bukan! Maafkanlah aku…" Ang I Niocu mengucapkan kata-kata ini sambil menangis karena tidak saja dia merasa terharu, akan tetapi dia juga teringat akan semua peristiwa dan dia menguatirkan keadaan Lin Lin dan Cin Hai!

Lie Kong Sian lalu berkata dengan halus, "Duduklah, Nona, dan kini legalah hatiku sebab sekarang kau telah percaya kepadaku."

Ang I Niocu bangun, lantas duduk kembali sambil menyusuti air matanya dengan ujung mantelnya. Ia kini merasa sangat jengah dan malu sehingga dia tidak berani memandang langsung kepada pemuda itu.

"Yang amat mengherankan," katanya kemudian, "kenapa tubuhku tak terluka sedangkan aku dicengkeram dan dibawa terbang oleh seekor burung rajawali yang begitu besar dan ganas.”
“Tidak usah kau merasa heran, Nona. Sin-kim-tiauw bukanlah burung rajawali biasa. Dia telah terlatih baik sekali oleh Supek-ku yang sakti, dan mungkin hanya Supek Bu Pun Su saja yang dapat melatihnya.”

Ang I Niocu mengangkat kepalanya dan memandang tajam. “Apa? Jadi kau adalah murid keponakan dari Suhu Bu Pun Su?”

Kong Sian juga memandang heran. “Benar, mendiang Suhu-ku yang bernama Han Le adalah sute dari Supek Bu Pun Su. Nona, ketika kau menyerangku di dalam goa tadi kau telah mainkan Ilmu Silat Kong-ciak Sinna. Dari siapakah kau memperoleh ilmu itu?”

Dengan girang sekali Ang I Niocu berkata, “Kalau begitu, kau masih terhitung seheng-ku (kakak seperguruan) karena aku pernah menerima latihan silat dari Suhu Bu Pun Su! Biar pun sebetulnya Suhu Bu Pun Su masih menjadi susiok couw-ku sendiri karena mendiang ayahku ialah murid keponakannya. Akan tetapi akhir-akhir ini aku juga mendapat latihan Kong-ciak Sinna serta Pek-in Hoat-sut dari Suhu Bu Pun Su sehingga aku boleh juga menyebutnya Suhu!"

Bukan main girang rasa hati Kong Sian "Ahh, ahh, dunia ini memang tidak berapa luas! Siapa tahu bahwa aku sudah menolong seorang saudara sendiri. Sumoi, sungguh aku merasa girang sekali mendengar ini. Akan tetapi, siapakah mendiang Ayahmu?"
"Ayahku adalah Kiang Liat," jawab Ang I Niocu dengan singkat oleh karena dia merasa malu membicarakan ayahnya yang mati karena gila!

Kong Sian mengangguk-anggukkan kepalanya. "Aku sudah pernah mendengar dari Suhu tentang ayahmu itu yang berjuluk Jian-jiu Sianjin (Manusia Dewa Tangan Seribu). Ketika merantau, aku juga pernah mendengar nama besar dari seorang pendekar wanita yang berjuluk Ang I Niocu, apakah kau sendiri orang itu?"

Ang I Niocu mengangguk. "Memang itu nama julukanku yang kosong tak berisi. Namaku adalah Kiang Im Giok, seorang yatim piatu yang hidup sunyi dan penuh penderitaan."
"Sumoi, kata-katamu ini benar-benar menyentuh jiwaku. Aku Lie Kong Sian juga merasa bosan sekali di dunia ramai karena hidupku sebatang kara penuh kesunyian."

Keduanya lalu berdiam sampai lama, dan tenggelam dalam lamunan masing-masing.....
Kemudian Kong Sian minta kepada Ang I Niocu supaya menceritakan pengalamannya sampai dia dapat berada di Pulau Kim-san-to. Dengan panjang lebar Ang I Niocu lalu menceritakan semua pengalamannya dan menyebut nama-nama Cin Hai, Lin Lin, Kwee An, Ma Hoa, Nelayan Cengeng dan juga nama Yousuf dan lain-lainnya. Setelah selesai bercerita, Kong Sian lalu menepuk kepalanya sendiri sambil berkata,

"Ah, memang aku yang percuma dihidupkan di atas dunia ini! Telah terjadi peristiwa yang besar dan demikian banyaknya serta membutuhkan tenaga bantuanku, akan tetapi yang kukerjakan hanyalah duduk melamun di pulau ini! Sampai-sampai Pulau Kim-san-to telah kutinggalkan bertahun-tahun hingga sekarang lenyap dimakan api! Ah, arwah Suhu tentu marah melihat sikapku ini. Memang aku hanya orang yang berjiwa lemah!" Ia menghela napas berulang-ulang dan merasa kecewa terhadap diri sendiri.

"Suheng, kau adalah seorang gagah dan mulia dan melihat gerakanmu saat kau menotok roboh padaku tadi, aku yakin bahwa ilmu kepandaianmu tentu tinggi sekali. Mengapa kau sia-siakan diri di tempat ini? Mengapa kau tidak mau terjun di dunia ramai dan melakukan darma bakti sebagai orang yang berkepandaian? Kalau kau mengasingkan diri di tempat ini, bukankah berarti sia-sia saja kau mempelajari kepandaian sampai bertahun-tahun?"

Seperti biasanya, Ang I Niocu selalu merasa bahwa dia lebih berpengalaman dan lebih ‘berakal’ dari pada orang lain, maka di dalam ucapannya ini terkandung nasehat-nasehat, teguran dan penyesalan, seperti biasa orang-orang tua menasehati anak-anak atau guru menasehati murid. Memang, selama ia menjelajah di dunia kang-ouw, yang disegani oleh Ang I Niocu dan yang membuat ia tunduk hanya Bu Pun Su seorang, sedangkan kepada lain-lain orang ia bersikap ‘lebih tinggi’.

Kong Sian tersenyum mendengar ucapannya ini. "Sumoi, memang demikianlah apa bila dipandang sepintas lalu saja. Akan tetapi, selama kau malang melintang di dunia ramai, apakah yang kau dapat? Hanya permusuhan, kejahatan, dan perkelahian mengadu jiwa, bunuh-membunuh sesama manusia. Aku sudah bosan menghadapi semua itu. Di sini aku mendapatkan ketenteraman jiwa dan tak terpengaruh oleh kejahatan-kejahatan manusia yang terjadi di dunia ramai. Memang, sewaktu-waktu aku tentu keluar dari pulau ini untuk meninjau dunia ramai sehingga tidak terputus hubunganku dengan manusia umum, akan tetapi, tempat ini sudah kupilih untuk menjadi tempat tinggalku yang tetap di mana aku dapat hidup dengan tenteram dan aman sentosa!"

Ucapan ini membuat Ang I Niocu menjadi tertegun. Terutama kata-kata pertanyaan yang diucapkan oleh suheng-nya ini berkesan di dalam hatinya. Apakah yang dia dapat selama ini? Hanya kesedihan, kekecewaan, dan permusuhan belaka.

Demikianlah, kedua orang itu kemudian bercakap-cakap dengan asyiknya, menceritakan pengalaman masing-masing. Ketika mendengar tentang Cin Hai yang menjadi murid Bu Pun Su dan yang kepandaiannya sangat dipuji oleh Ang I Niocu, Lie Kong Sian merasa kagum sekali.

"Ahh, ingin sekali aku bertemu dengan dia itu! Memang sungguh mengagumkan bahwa seorang pemuda yang masih demikian muda telah mewarisi ilmu-ilmu kepandaian pokok dari Supek Bu Pun Su. Dahulu Suhu pernah mengatakan bahwa ilmu pengertian pokok segala gerakan ilmu silat adalah kepandaian tunggal Supek yang membuat dia menjadi seorang yang tak ada lawannya dalam dunia persilatan. Dan dia sudah mampu mencipta sendiri ilmu pedangnya. Mengagumkan sekali." Diam-diam Kong Sian membandingkan anak muda itu dengan sute-nya Song Kun yang juga amat lihai ilmu silatnya.

Sambil merawat dan memulihkan kesehatannya, Ang I Niocu berdiam di pulau itu dan melatih ilmu-ilmu silat bersama Kong Sian. Ia telah menggunakan waktu senggang untuk menjahit kembali pakaiannya hingga kini tak perlu lagi ia menyelimuti diri dengan mantel pemuda itu.

Dalam latihan ilmu silat, ia mendapat kenyataan bahwa ilmu silat pemuda itu benar-benar hebat dan lihai sekali sehingga boleh dikata masih lebih tinggi setingkat dari pada ilmu kepandaiannya sendiri. Oleh karena ini, dia mendapat petunjuk-petunjuk dari suheng-nya ini yang juga merasa kagum sekali melihat kepandaian sumoi-nya.

Ketika mendengar tentang Song Kun, Ang I Niocu menyatakan pendapatnya,

"Suheng sudah terang bahwa sute-mu itu jahat dan membahayakan keselamatan umum, mengapa kau tidak pergi mencari dan menasehatinya?"
“Dulu sudah pernah aku mencarinya, akan tetapi dia tidak mau mendengar nasehatku," jawab Kong Sian dengan suara sedih.
"Kalau begitu, kau harus menggunakan kekerasan. Sudah menjadi kewajiban kita untuk memberantas kejahatan, dan siapa pun juga orangnya yang berlaku jahat, maka harus kita berantas!"
"Kami bahkan pernah bertempur dan aku tidak dapat mengalahkan. Ilmu kepandaiannya walau pun tidak lebih dari pada kepandaianku, namun ia memiliki bakat luar biasa serta kelincahan yang mengagumkan sekali. Dan… dan aku tidak tega melihat dia mendapat celaka. Aku amat menyayangnya seperti adik sendiri, sumoi."

Ang I Niocu memandangnya tajam dan kagum. "Kau memang orang yang berhati mulia, akan tetapi kau terlalu lemah, Suheng. Agaknya, kalau kau sudah mencinta seseorang, kau akan membelanya sampai mati! Sayang tidak ada seseorang wanita yang mendapat kehormatan menerima cinta di hatimu itu, Suheng. Alangkah bahagianya seorang wanita yang mendapat cinta hati seorang mulia seperti kau ini!"

Ucapan ini sebenarnya hanya muncul dari watak yang jujur dari Ang I Niocu karena dia merasa betapa ada persesuaian antara dia dan Kong Sian. Dia sendiri pun kalau sudah mencinta orang, dia rela membelanya dengan taruhan jiwa sekali pun. Seperti halnya Lin Lin dan Cin Hai, ia rela untuk mengorbankan jiwa demi kebahagiaan mereka! Akan tetapi, tanpa disangkanya, ketika mendengar ucapan yang diucapkan sewajarnya ini, mendadak Kong Sian menjadi pucat sekali.

"Suheng, kau….. kau kenapakah?"

Sambil menundukkan kepala dan tak berani menentang mata Ang I Niocu, Kong Sian lalu berkata pelan, "Sumoi, sebetulnya lidahku seolah-olah beku untuk mengeluarkan ucapan ini, akan tetapi biarlah kini aku berterus terang saja. Sebelum bertemu dengan kau, tak pernah terpikir olehku mengenai diri seorang wanita dan aku telah mengambil keputusan untuk hidup menyendiri di pulau ini hingga mati. Akan tetapi, setelah aku bertemu dengan kau… bahkan sebelum aku mengetahui siapa adanya kau, melihat kau menderita sakit tanpa mengetahui apakah kau orang baik-baik atau orang jahat, hatiku sudah… tertarik sekali kepadamu dan… dan…" kemudian ia mengangkat mukanya dan dengan wajah pucat ia memandang kepada gadis itu dengan mata sayu, "Sumoi… maafkan kata-kataku ini… kita sama-sama hidup tidak berisi seakan-akan kosong dan sunyi. Maukah kau... maukah kau menghabiskan sisa hidupmu dengan aku di pulau ini?"

Warna merah menjalar di seluruh muka Ang I Niocu sampai ke telinganya, dan matanya terbelalak ketika dia memandang pemuda itu. "Suheng... apakah maksudmu?" tanyanya dengan suara gemetar.
"Sumoi, kalau kau sudi, marilah kita hidup bersama di pulau ini... maksudku, kita hidup sebagai suami isteri!"
Kini mata Ang I Niocu memandang tajam. “Kenapa, Suheng? Kenapa kau mengajukan usul ini? Apakah yang mendorongmu?"

Sementara itu, Kong Sian sudah dapat menetapkan hatinya yang tadi berguncang hebat. Dengan gagah dia lalu mengangkat muka, memandang wajah Ang I Niocu sepenuhnya. "Sumoi, biarlah kau mendengar pengakuanku. Meski pun kau akan mentertawaiku, akan mencaci, biarlah! Aku cinta kepadamu, Sumoi, sebagai cinta seorang laki-laki terhadap seorang wanita! Belum pernah ada perasaan demikian di hatiku, akan tetapi sesudah aku melihatmu, aku cinta kepadamu, cinta dengan sepenuh jiwaku! Karena itu, sekarang aku mengajukan pinangan kepadamu, Sumoi, apa bila kau sudi, sukalah kiranya kau menjadi isteriku dan kita menghabiskan sisa hidup sebagai suami isteri di pulau ini."

Tiba-tiba saja tanpa dapat ditahan lagi, mengalirlah air mata dari kedua mata Ang I Niocu sehingga Kong Sian menjadi terkejut dan berkata halus,
"Sumoi, kalau aku menyinggung dan melukai hatimu, ampunkanlah aku. Aku tidak akan memaksamu, Sumoi, demi Tuhan Yang Maha Kuasa, apa bila kau tidak suka menerima katakanlah tanpa ragu-ragu atau sungkan-sungkan lagi. Aku takkan menyesal kepadamu, hanya akan menyesali diri sendiri yang bodoh dan tidak tahu diri!"

Sambil menghapus air matanya, Ang I Niocu menggelengkan kepalanya berkali-kali dan berkata, "Bukan demikian, Suheng. Jangan kau salah sangka. Aku... aku hanya merasa terharu sekali mendengar pernyataanmu yang sama sekali tak pernah kusangka-sangka itu. Aku telah menerima budi pertolonganmu yang besar yang selama hidupku tidak akan pernah kulupa. Kau sudah menolong jiwaku dan apa bila seandainya tidak ada kau, aku Kiang Im Giok pasti sudah mati! Dan seandainya aku tidak terjatuh ke dalam tanganmu, akan tetapi ke dalam tangan laki-laki lain ahh... entah nasib apa yang akan kuderita! Kau seorang gagah dan mulia, Suheng, terlalu mulia bagiku... aku... aku seorang yang jahat dan kotor! Ketahuilah, pada waktu aku masih muda, aku telah jatuh cinta yang akhirnya mengorbankan nyawa Ayahku sendiri. Aku tidak berharga bagimu, Suheng."

"Im Giok, aku sudah tahu tentang hal itu dari Suhu-ku. Aku pernah mendengar betapa kekasihmu dibunuh oleh ayahmu sendiri. Akan tetapi, kau tidak bersalah dalam hal itu. Ayahmu meninggal dunia oleh karena serangan penyakit jantung yang berbahaya. Wajar bagi seorang gadis untuk jatuh cinta!"

"Bukan itu saja, Suheng. Semenjak peristiwa itu, aku membenci laki-laki! Banyak pemuda yang jatuh cinta kepadaku, sengaja kupermainkan perasaan cintanya sehingga mereka menjadi seperti gila! Aku berlagak membalas perasaan mereka dan apa bila mereka telah menjadi gila betul-betul, aku pergi meninggalkannya. Banyak yang sudah menjadi korban, bahkan seorang pemuda yang baik budi bernama Kang Ek Sian, yang dulu bahkan telah dipilih oleh Suhu Bu Pun Su sendiri untuk menjadi suamiku, juga telah kupermainkan dan kupatahkan hatinya!"

Kong Sian menggelengkan kepala dan menarik napas dalam. "Memang kau telah berlaku kejam dan sesat, Sumoi, akan tetapi pengakuanmu ini telah meringankan dosamu, tanda bahwa kau sudah insyaf. Aku tidak menyesal mendengar ini dan tidak mengurangi rasa cintaku padamu."

"Masih ada lagi, Suheng... " kata Ang I Niocu sambil mengusap air mata yang menitik ke atas pipinya, "aku... aku yang tidak tahu diri akhirnya telah jatuh hati! Dan aku jatuh hati serta mencinta dengan sepenuh jiwaku kepada seorang pemuda yang usianya jauh lebih muda dariku, padahal ketika aku bertemu dengan dia, aku telah berusia dua puluh tahun lebih dan dia baru berusia dua belas tahun! Aku... aku yang tidak tahu malu ini diam-diam mencinta kepadanya, dan... dan orang itu adalah Cin Hai, murid Suhu Bu Pun Su yang pernah kuceritakan padamu!"

"Hmm, jadi karena itukah maka kau mati-matian hendak mengorbankan nyawamu untuk menolong Lin Lin seperti yang kau ceritakan itu? Sumoi, kau benar- benar seorang mulia yang bernasib malang dan patut dikasihani! Aku dapat membayangkan betapa suci dan mulia rasa cintamu kepada Cin Hai! Melihat pemuda itu mencinta seorang gadis lain, kau tidak sakit hati, bahkan kau berdaya sekuat tenaga hendak mempertemukan mereka! Aku tahu, Sumoi, aku dapat menyelami jiwamu dan aku merasa bersyukur sekali bahwa kau dapat mengatasi perasaan-perasaan yang kurang baik. Sumoi, cerita dan pengakuanmu ini mempertinggi nilai dirimu dalam pandanganku."

Ang I Niocu mengangkat muka dan memandang heran. "Apa? Kau tidak marah padaku, Suheng? Kau tidak memandang rendah terhadapku setelah segala apa yang kuceritakan padamu itu?"

Kong Sian menggeleng-geleng kepalanya sambil tersenyum, dan dari matanya bersinar cinta kasih yang diliputi kekaguman hati. "Pengakuanmu bahkan telah mempertebal rasa cintaku, Sumoi. Sudah wajar bagi tiap manusia untuk melakukan kekeliruan, akan tetapi, setiap kekeliruan akan musnah apa bila orang itu sudah menyadari dan menginsyafinya. Kau adalah seorang mulia."

Mendengar ini, lemaslah seluruh anggota tubuh Ang I Niocu dan dia lalu menjatuhkan dirinya duduk di atas rumput sambil menangis.
"Im Giok, jangan kau merasa berat untuk menolak permintaanku tadi. Aku maklum bahwa aku memang mungkin terlalu tua bagimu dan... "
"Tidak Suheng. Usia kita tidak berselisih jauh."
"Apa?? ]angan kau membohongi aku, Sumoi!" kata Kong Sian dengan heran.

Ang I Niocu tersenyum sedih di antara air matanya. "Aku tidak bohong, Suheng. Memang mungkin aku nampak jauh lebih muda oleh karena aku banyak makan telur dari pek-tiauw (rajawali putih), akan tetapi sesungguhnya aku telah berusia tiga puluh lebih, sedikitnya tiga puluh dua tahun!"

Kong Sian mengangguk-angukkan kepalanya, karena sebagai seorang ahli pengobatan yang menerima warisan kepandaian dari Han Le, ia maklum akan khasiat yang besar dari telur burung rajawali putih.

"Pantas, pantas saja! Dan hal ini lebih-lebih menunjukkan kegagahanmu, oleh karena tak sembarangan orang dapat mengambil telur pek-tiauw! Melihat wajahmu, agaknya engkau paling banyak baru berusia dua puluh lima lebih! Bagaimana Sumoi. Bersediakah kau menerima aku yang bodoh dan buruk rupa sebagai kawan hidupmu?"

Ang I Niocu menggunakan tangan untuk menutup mukanya. Ia merasa bingung sekali. Di dalam hati ia mengaku bahwa mungkin di dunia ini tidak ada seorang pemuda yang layak dan patut menjadi suaminya selain Kong Sian. Kepandaiannya tinggi melebihinya sendiri, rupanya tampan dan sikapnya halus dan sopan santun. Pribadinya tinggi dan hal ini telah ia buktikan ketika pemuda itu mendapatkan dirinya yang berada dalam keadaan setengah telanjang itu dan ketika pemuda ini merawatnya dengan penuh kesabaran.

Semua ini telah menunjukkan bahwa pemuda ini sungguh-sungguh mencintanya dengan sepenuh jiwa. Terutama sekali, di dalam hal usia pemuda ini sebanding dengan dia! Apa lagi? Pemuda ini bahkan telah menolong jiwanya sehingga sampai mati pun belum tentu ia bisa membalas budinya.

Akan tetapi, jika dia menerima pinangan itu, seakan-akan ia terlalu murah memberi harga kepada dirinya! Dia memang berwatak tinggi hati dan keras, dan tidak mau ditundukkan dengan mudah. Akan tetapi, untuk menolak dia pun tidak berani!

"Suheng,” katanya setelah dia berpikir dengan masak-masak, "aku harus menghaturkan beribu terima kasih atas budi kecintaanmu itu. Bagaimana aku dapat menolak pinangan seorang seperti kau? Akan tetapi hal ini terjadi terlalu tiba-tiba sehingga aku belum dapat memutuskannya karena masih merasa bingung! Sekarang begini saja, Suheng. Biarlah kau anggap aku telah menerima pinanganmu itu dan aku pun takkan malu-malu mengaku bahwa aku telah menjadi tunanganmu. Akan tetapi, soal pernikahan antara kita baru bisa terlaksana setelah kau memenuhi beberapa syarat!"

Kong Sian tersenyum dan dari ucapan ini saja ia yang sudah paham akan tabiat manusia, dapat mengetahui bahwa gadis kekasih hatinya ini memiliki adat yang tinggi dan keras! Ia menjawab sambil masih tersenyum. "Sumoi, katakanlah, apa syarat-syaratmu itu?"

"Pertama, kau harus menanti sampai aku bisa bertemu kembali dengan kawan-kawanku, terutama dengan Cin Hai dan Lin Lin. Sebelum aku dapat mempertemukan kedua sejoli ini atau melihat mereka telah berkumpul kembali, tidak mungkin aku dapat mengikat diri dengan laki-laki lain!"

Kong Sian mengangguk-angguk, karena maklum akan isi hati Ang I Niocu.

“Kedua, kita harus mendapat perkenan dari Suhu Bu Pun Su, oleh karena dahulu beliau mempunyai maksud dan kehendak untuk menjodohkan aku dengan Kang Ek Sian, yang biar pun mencintaku, akan tetapi tak kubalas cintanya itu.”

Syarat ke dua ini diam-diam menggirangkan hati Kong Sian, oleh karena dari ucapan terakhir yang menyatakan bahwa gadis ini tidak menerima pinangan Kang Ek Sian oleh karena tidak mencintanya, hampir menyatakan bahwa biar pun sedikit, gadis ini ‘ada hati’ padanya, kalau tidak, tentu ia akan menolaknya pula! Karena itu ia mengangguk-angguk kembali dengan mulut tersenyum.

“Ke tiga,” kata lagi Ang I Niocu, “kau harus keluar dari pulau ini dan turun ke dunia ramai untuk mencari sute-mu Song Kun itu dan memenuhi pesan Suhu-mu, yaitu menasehati dia atau menggunakan kekerasan terhadapnya.”
“Ahh, yang ke tiga ini berat sekali, Sumoi! Kau tahu bahwa aku amat mencintanya dan tidak tega untuk mencelakakannya!”
“Inilah kelemahan yang membuat hatiku tak puas! Kau tidak tega kepada Sute-mu karena kau mencintanya, akan tetapi apakah kau akan bertega hati melihat betapa wanita-wanita diganggunya? Kelemahanmu ini menimbulkan ketidak adilan di dalam hatimu yang tidak layak dan tidak patut dimiliki oleh seorang pendekar silat.”

Kong Sian menghela napas, kemudian menjawab, “Biarlah, hal ini perlu kurenungkan dan kupikirkan baik-baik, sumoi. Masih ada lagikah syarat-syaratmu?”

Pertanyaan ini membuat Ang I Niocu menjadi merah mukanya karena dia merasa telah keterlaluan mengajukan sekian banyak syarat. Akan tetapi, syarat-syarat itu setidaknya dapat ‘mengangkat’ harga dirinya, tidak semurah kalau ia menerimanya mentah-mentah!

“Masih ada satu hal lagi,” katanya dengan muka merah dan menundukkan kepala, “akan tetapi yang terakhir ini baru akan kuceritakan kalau kau telah memenuhi yang ketiga itu.”
“Baiklah, Sumoi. Kuterima semua syarat-syaratmu.” Kemudian Lie Kong Sian meloloskan pedangnya dari pinggang dan memberikan itu kepada Ang I Niocu, lalu berkata, “Sumoi, terimalah Cian-hong-kiam ini sebagai bukti dari pada ikatan yang ada di antara kita, dan biarlah Thian yang menjadi saksi atas pertunangan kita ini.” Kata-kata ini diucapkan oleh Kong Sian dengan suara bergetar hingga mengharukan hati Ang I Niocu yang menerima pedang itu.

Kemudian Ang I Niocu mengambil perhiasan rambutnya yang terbuat dari pada mutiara dan memberikannya kepada Kong Sian. “Aku tidak mempunyai apa-apa, Suheng dan biarlah benda ini menjadi bukti dari pada kesetiaanku.”

Tak ada upacara yang mengesahkan pertunangan mereka itu selain dari pada penukaran benda yang dilakukan dengan sikap sederhana ini akan tetapi diramaikan oleh pertemuan pandang mata mereka yang menembus ke hati masing-masing.

Sesudah itu, Ang I Niocu lalu berpamit hendak pergi mencari Cin Hai dan Lin Lin. Kong Sian segera mengambil perahunya dan ia lalu mengantarkan tunangannya itu sampai ke darat di pesisir Tiongkok. Si Rajawali Emas tidak mau ketinggalan, ikut mengantar sambil terbang di atas perahu itu.

Pada saat keduanya telah mendarat dan Ang I Niocu hendak meninggalkannya, mereka saling pandang dan Ang I Niocu berbisik, “Semoga Thian memberkahi perjodohan kita dan semoga cita-cita kita bersama akan terlaksana, Koko.”

Kedua mata Kong Sian menjadi basah karena terharu dan girang mendengar sebutan ini dan semakin yakinlah dia bahwa diam-diam Ang I Niocu juga mempunyai perasaan yang sama dengan perasaan hatinya.
“Selamat Jalan, Moi-moi, dan biarlah Sin-kim-tiauw mengawanimu.”

Ang I Niocu girang sekali. Ia berkata kepada burung rajawali itu,
“Sin-kim-tiauw, kau ikutlah padaku!”

Burung itu agaknya mengerti ucapan ini, karena dia cepat menoleh kepada Kong Sian seakan-akan minta perkenannya. Dia tak akan berani pergi sebelum mendapat perkenan dari Kong Sian.
“Pergilah kau ikut dia, Kim-tiauw, dan jagalah dia baik-baik!”

Burung itu lalu mengeluarkan bunyi karena girang dan ketika Ang I Niocu berlari cepat meninggalkan tempat itu, dia lalu terbang dan mengejar. Kong Sian kembali ke pulaunya untuk merenungkan peristiwa yang tak tersangka-sangka telah terjadi dalam hidupnya itu.

Demikianlah kisah pengalaman Ang I Niocu yang diduga telah tewas itu. Beberapa bulan lamanya ia merantau mencari-cari Cin Hai dan Lin Lin. Ia kembali ke pesisir dari mana ia menyeberang ke Pulau Kim-san-to, tetapi dia tidak mendapatkan jejak kawan-kawannya sehingga ia segera menuju ke barat. Oleh karena mendengar bahwa Lin Lin ikut dengan seorang Turki dan bahwa pada waktu itu di daerah Kansu banyak terdapat orang-orang Turki, ia lalu merantau ke barat.

Pada suatu hari dia tiba di sebuah bukit di daerah Sui-yan. Dia berlari cepat, akan tetapi Sin-kim-tiauw telah mendahuluinya, terbang rendah sambil mengeluarkan bunyi karena ia merasa girang bahwa Ang I Niocu tidak dapat mengejarnya!

Tiba-tiba burung itu memekik keras dan pekik kemarahan ini mengherankan Ang I Niocu hingga membuatnya mempercepat larinya. Ketika ia tiba di tempat itu, ia menjadi marah sekali oleh karena melihat betapa ada tiga orang-orang tua tengah melempar-lempar batu kecil ke arah Sin-kim-tiauw yang beterbangan dan menyambar-nyambar di atas mereka dengan marah!

Burung itu cepat mengelak dan mengebut sambitan batu dengan sayapnya sehingga tiga orang tua itu berseru kagum, “Burung bagus!”

Ketiga orang tua itu adalah seorang nenek buruk rupa, berhidung panjang dan bongkok seperti hidung kakak tua, dan berpunggung bongkok seperti punggung onta, sedangkan dua orang tua lainnya adalah seorang kakek berjubah hitam dan bersorban dan seorang lagi tosu yang bermata lebar.

Melihat betapa rajawali itu dapat mengelak dari setiap sambitan, bahkan salah satu batu yang dikebut oleh sayapnya berbalik meluncur ke arah nenek itu, Si Nenek Tua yang buruk menjadi marah.
“Burung siluman! Rasakan sambitanku ini!”

Dan ketika ia menggerakkan tangan kanannya, puluhan batu-batu kecil melayang dengan hebatnya ke arah tubuh rajawali emas! Sin-kim-tiauw cepat mengelak sambil mengebut dengan sayapnya, akan tetapi sebuah dari pada batu-batu itu tepat mengenai pahanya sehingga dia merasa sakit sekali dan memekik-mekik kesakitan!

“Nenek jahat! Jangan kau mengganggu burungku!” Ang I Niocu berseru marah sambil melompat ke hadapan nenek itu.

Ketika melihat seorang gadis berbaju merah melompat maju dan menegurnya, nenek itu menjadi marah dan tanpa berkata sesuatu langsung menyerang dengan cengkeraman tangannya ke arah pundak Ang I Niocu! Dara Baju Merah ini segera mengangkat lengan dan menangkis, akan tetapi dia menjadi terhuyung-huyung ke belakang karena ternyata bahwa tenaga lengan tangan nenek itu besar sekali! Melihat kelihaian nenek ini, Ang I Niocu cepat-cepat mencabut pedangnya Cian-hong-kiam pemberian Lie Kong Sian dan dia pun segera menyerang dengan cepat.

Dan pada saat dia bertempur dengan seru melawan nenek bongkok itu, datanglah Kwee An dan Ma Hoa yang terheran-heran melihat Dara Baju Merah yang tadinya disangka telah mati itu!

Dua orang kakek yang tadinya hanya menjadi penonton saja, ketika melihat betapa Nona Baju Merah itu ternyata lihai sekali ilmu pedangnya dan dapat mendesak nenek bongkok, segera berseru keras, dan maju menyerbu dengan kebutan ujung lengan baju mereka yang panjang. Ang I Niocu merasa terkejut oleh karena sambaran angin pukulan mereka ternyata jauh lebih hebat dari pada serangan nenek bongkok itu, terutama pendeta yang bersorban! Maka dia lalu memutar pedangnya dengan lebih cepat lagi dan mainkan ilmu pedangnya Ngo-lian-hoan Kiam-hoat.

Melihat hal ini, Kwee An beserta Ma Hoa langsung menerjang dengan pedang di tangan dan membantu Ang I Niocu. Mereka berdua telah bermufakat untuk diam saja dan tidak menegur Ang I Niocu, untuk membuktikan bahwa benar-benar Dara Baju Merah itu Ang I Niocu.

Saat melihat ada dua bayangan berkelebat membantunya dan ternyata bahwa dua orang penolong itu adalah Kwee An dan Ma Hoa, bukan main girangnya hati Ang I Niocu dan dia segera menegur,
“Ma Hoa...! Kwee An...!”

Berdebarlah tubuh kedua anak muda itu mendengar suara ini karena kini mereka tidak perlu merasa ragu-ragu lagi, terutama sekali Ma Hoa yang tidak dapat menahan isaknya! Sambil menangkis ujung lengan baju pendeta bersorban yang sedang melayang ke arah mukanya, dia berseru dengan isak tertahan,
“Enci Im Giok...!”
Juga Kwee An berseru girang, “Ang I Niocu...!”

Sementara itu, tiga orang tua yang mendengar nama Ang I Niocu disebut-sebut, segera melompat mundur dengan hati terkejut. Kesempatan ini digunakan oleh Ma Hoa dan Ang I Niocu untuk saling tubruk dan saling peluk.

“Enci Im Giok..., kau... kau masih hidup...?”
“Adik Ma Hoa...,” mereka berpelukan sambil mencucurkan air mata karena girang dan keduanya saling pandang dengan tersenyum.
“Ha-ha-ha-ha, jadi kalian adalah Ang I Niocu, Ma Hoa, dan Kwee An?” berkata tosu tadi. ”Kebetulan sekali!”

Juga nenek bongkok itu lalu berkata, “Hmm, memang sudah takdir bahwa kalian harus mampus di tangan kami! Ang I Niocu, ketahuilah bahwa aku adalah Siok Kwat Moli dan kedua kakek ini adalah sahabat-sahabat baikku. Mereka bernama Wai Sauw Pu dan Lok Kun Tojin.” Ia menunjuk ke arah pendeta bersorban lalu ke arah tosu itu. “Tak perlu aku bercerita panjang lebar mengapa kami memusuhi kalian, cukup kalau kuberi tahu bahwa Hai Kong Hosiang yang kalian siksa itu adalah seheng-ku!”

Sekarang mengertilah Ang I Niocu serta kedua orang kawannya, dan mereka maklum bahwa pertempuran mati-matian tak dapat dielakkan lagi.

“Memang burung gagak selalu berkawan dengan burung-burung mayat juga!” kata Ang I Niocu sambil tersenyum sindir. “Hai Kong Hosiang belum terhitung jahat apa bila belum mempunyai seorang sumoi seperti kau ini dan mempunyai sahabat-sahabat yang terdiri dari pendeta-pendeta palsu pula!”

Bukan main marahnya ketiga orang itu mendengar hinaan ini. Sambil berseru keras, nenek itu lalu mencabut keluar senjata yang istimewa, yaitu sehelai sabuk kuning emas yang panjang hingga ketika ia pegang dengan kedua tangan maka merupakan sepasang senjata lemas yang luar biasa.

Wai Sauw Pu pendeta yang bersorban itu adalah seorang dari Sin-kiang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan ia pun telah kena terbujuk oleh Hai Kong Hosiang hingga ikut pula membela pendeta gundul itu. Pendeta bersorban ini mengeluarkan senjatanya yang jarang terlihat, yaitu seuntai tasbeh yang terbuat dari pada gading gajah dan merupakan lingkaran panjang.

Lok Kun Tojin, seorang pertapa yang sakti dari Thaisan, juga mencabut senjatanya yang lebih lihai, yaitu sepasang roda memakai tali sehingga roda-roda itu bila digerakkan bisa berputaran bagaikan kitiran dan membuat bingung kepada lawannya.

Sambil berseru keras, ketiga orang itu lalu menyerbu. Si Nenek bongkok menghadapi Ang I Niocu, pendeta bersorban menghadapi Ma Hoa, dan tosu itu menghadapi Kwee An. Pertempuran hebat segera berlangsung dengan ramai sekali.

Ang I Niocu memegang pedang Cian-hong-kiam pemberian Lie Kong Sian, yaitu sebuah pedang pusaka yang ampuh. Kwee An memegang pedang Oei-kang-kiam pemberian Meilani, juga pedang pusaka hingga ia tidak takut menghadapi roda-roda Lok Kun Tojin. Ada pun Ma Hoa dengan sepasang bambu runcingnya yang dimainkan secara luar biasa itu dapat mengimbangi permainan tasbeh yang hebat dari Wai Sauw Pu!

Setelah bertempur belasan jurus, ketiga orang tua itu baru benar-benar merasa terkejut oleh karena tadinya mereka memandang rendah kepada tiga orang lawan muda itu yang sama sekali tak pernah mereka sangka demikian lihainya.

Ang I Niocu maklum akan kelihaian Kwee An, maka ia tidak perlu menguatirkan keadaan pemuda itu, akan tetapi tadinya dia merasa cemas melihat betapa Ma Hoa menghadapi kakek bersorban yang nampaknya kuat dan lihai sekali. Namun begitu melihat permainan bambu runcing Ma Hoa, diam-diam ia merasa amat kagum dan juga heran, maka dengan hati gembira Ang I Niocu lalu melayani nenek bongkok sambil berkata kepada Ma Hoa,

“Adikku, kau kini hebat sekali!”

Mendengar pujian ini, Ma Hoa lalu mengeluarkan seluruh kepandaiannya yang baru saja didapatnya dari Hok Peng Taisu dan biar pun tasbeh di tangan kakek bersorban itu luar biasa gerakannya, akan tetapi sepasang bambu runcingnya juga merupakan senjata lihai yang gerakannya belum dikenal oleh Wai Sauw Pu!

Ada pun rajawali emas yang terus beterbangan dan berputar-putar di atas kepala mereka yang sedang bertempur, kini mulai menyambar turun dan siap membantu. Yang terutama dibantunya ialah Ang I Niocu dan beberapa kali ia menyerang kepala nenek bongkok itu hingga Si Nenek Bongkok memaki-maki kalang kabut.

“Burung jahanam! Burung siluman! Akan kusembelih lehermu, akan kumakan dagingmu mentah-mentah!” Sambil berkata begitu, dengan tangan kanan menggunakan sabuknya untuk melayani Ang I Niocu ada pun ujung sabuk di tangan kiri beberapa kali mengebut ke arah Sin-kim-tiauw tiap kali burung itu menyambar turun.

Mendadak ketika burung itu menyambar turun, tosu yang berkelahi melawan Kwee An menggerakkan roda pada tangan kirinya dan roda itu terputar cepat menyambar ke arah burung yang terbang di atas kepala nenek bongkok itu! Ternyata bahwa tali yang ada di tengah-tengah roda itu amat panjangnya sehingga roda itu dapat terbang tinggi dan jauh! Hampir saja rajawali itu terkena hantaman roda, baiknya ia cepat mengelak dan terbang ke atas sambil berteriak marah. Kini ia menyambar turun dan menyerang Lok Kun Tojin!

“Sin-kim-tiauw, jangan!” teriak Ang I Niocu oleh karena gadis ini maklum betapa lihainya roda-roda tosu itu.

Akan tetapi rajawali yang sedang marah ini mana mau mendengarkan cegahannya. Dia tetap menyerang dan menyambar-nyambar dengan ganasnya.

“Sin-kim-tiauw, tak maukah kau menurut perintahku?” bentak Ang I Niocu dan suaranya menyatakan kemarahan besar yang terdorong oleh kekuatirannya.

Rajawali itu terkejut mendengar bentakan Ang I Niocu dan pada saat itu, sebuah roda dari Lok Kun Tojin dengan keras mengenai dadanya! Burung itu terpental ke atas udara sambil berteriak-teriak kesakitan. Kemudian, karena merasa dadanya sangat sakit dan pula karena mendongkol mendengar bentakan dan cegahan Ang I Niocu yang dibelanya, ia lalu terbang tinggi sekali dan terus terbang pergi jauh!

Ang I Niocu merasa cemas sekali, sebaliknya Lok Kun Tojin merasa pukulan rodanya tadi amat berbahaya dan keras. Jangankan kulit daging, bahkan batu karang pun akan hancur apa bila terpukul oleh rodanya, akan tetapi burung itu tidak tewas karenanya, bahkan lalu terbang pergi dengan cepat!

Dengan Ilmu Silat Bambu Runcing yang lihai, Ma Hoa dapat membikin jeri hati lawannya yang sebenarnya masih lebih tinggi ilmu silatnya. Sedangkan ilmu pedang Ang I Niocu juga membuat nenek bongkok itu merasa gentar.

Tak pernah disangkanya bahwa musuh-musuh suheng-nya yang muda-muda mempunyai ilmu kepandaian yang begini luar biasa. Tidak heran apa bila suheng-nya yang lihai itu sampai kena dikalahkan.

Sebaliknya, sungguh pun ilmu pedang yang dimiliki Kwee An juga bukanlah ilmu pedang sembarangan, yaitu ilmu pedang Kim-san-pai warisan suhu-nya yang pertama, yaitu Eng Yang Cu, dan Ilmu Pedang Hai-liong Kiam-sut warisan Nelayan Cengeng, akan tetapi sepasang roda di tangan tosu yang menjadi lawannya itu benar-benar luar biasa.

Beberapa kali pemuda ini hampir saja menjadi korban pukulan roda, untung dia masih dapat mengelak sambil mengeluarkan ilmu silat yang dia pelajari dari Hek Mo-ko, hingga Lok Kun Tojin merasa kagum. Jarang sekali tosu ini mendapatkan lawan yang sanggup mengimbangi ilmu kepandaiannya dan sekarang, baru saja ia turun gunung dan bertemu dengan musuh-musuh sahabatnya, ia telah bertemu dengan seorang pemuda yang dapat bertahan melawannya sampai hampir seratus jurus!

Kwee An maklum bahwa apa bila dilanjutkan, ia tak akan menang dan juga kedua orang kawannya belum tentu akan dapat menang pula, maka ketika ia melihat rajawali terbang pergi, ia mendapat akal dan berkata,
“Bagus, Sin-kim-tiauw tentu akan memanggil Suhu-mu!”

Benar saja, ucapan ini membuat ketiga orang tua itu merasa kaget dan kuatir sekali. Baru murid-muridnya saja sudah begini lihai, apa lagi kalau suhu mereka yang datang! Maka, nenek bongkok itu berkata, “Jiwi bengyu, mari kita pergi! Kita jumpai Hai Kong lebih dulu, lain kali mudah untuk mengambil nyawa ketiga tikus kecil itu!”

Ketiga orang tua itu lalu melompat pergi dan segera lari secepatnya meninggalkan tempat itu. Ang I Niocu yang memiliki watak tidak mau kalah itu merasa penasaran dan kecewa, maka ia menegur Kwee An,

”Kongcu, mengapa kau menggunakan akal mengusir mereka?”
“Mereka itu sebenarnya tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan kita, untuk apa berkelahi mati-matian?” kata Kwee An sambil menarik napas lega.
“Akan tetapi, Sin-kim-tiauw telah dilukainya!” kata Ang I Niocu.
“Belum tentu kim-tiauw itu terluka, karena kalau benar terluka, bagaimana ia bisa terbang begitu tinggi dan cepat?” Ma Hoa membela kekasihnya. “Enci Im Giok, mereka itu lihai sekali. Sudahlah jangan membicarakan mereka pula, yang perlu sekarang lekaslah kau ceritakan pengalamanmu. Kami semua, terutama Cin Hai dan Lin Lin, merasa berduka sekali, karena menyangka bahwa kau tentu sudah meninggal di atas Pulau Kim-san-to yang terbakar hebat dan meledak itu.” Sambil berkata demikian, Ma Hoa lalu memegang tangan Ang I Niocu dan ketiganya lalu duduk di bawah sebatang pohon untuk beristirahat dan bercakap-cakap.

Mendengar disebutnya nama Cin Hai dan Lin Lin, lenyaplah rasa kecewa dari wajah Ang I Niocu yang cantik, dan sekarang wajahnya berseri gembira. “Apa katamu? Lin Lin dan Cin Hai, apakah benar-benar mereka itu selamat dan sudah saling bertemu?”

Ma Hoa lalu menuturkan pengalaman-pengalamannya dan menuturkan segala peristiwa yang terjadi semenjak mereka berpisah, juga pengalamannya sendiri ketika terjatuh dari atas tebing bersama Kwee An.

Mendengar cerita itu, Ang I Niocu mengucap syukur karena kawan-kawan baiknya telah terhindar dari bahaya maut. Akan tetapi ketika mendengar betapa kini kedua orang muda itu tidak tahu bagaimana nasib Lin Lin dan Yousuf yang dikejar-kejar orang-orang Turki, di mana pula adanya Cin Hai, ia menghela napas dan berkata,

”Ah, sungguh kasihan sekali Lin Lin dan Cin Hai. Baru saja bertemu, mereka sudah harus berpisah pula. Sekarang kita harus mencari mereka sampai dapat.”
“Memang kami berdua pun sedang mencari jejak mereka, Niocu.” kata Kwee An. “Yang mengejar Lin Lin dan Yo-siokhu adalah orang-orang Turki, maka pada waktu mendengar bahwa di daerah Kansu banyak terdapat orang-orang Turki, kami lalu menuju ke barat untuk menyelidiki di sana. Tidak tahunya kebetulan sekali kita saling bertemu di sini.”
“Sayang sekali Sin-kim-tiauw sudah terbang pergi, entah di mana dia sekarang berada,” kata Ang I Niocu.

Tentu saja ketiga orang muda ini tidak tahu bahwa Rajawali Sakti itu sudah berjumpa dengan Bu Pun Su sehingga nyawanya tertolong, karena kakek jembel ini yang melihat Sin-kim-tiauw terbang tinggi di udara, lalu mengerahkan tenaga khikang-nya memanggil, kemudian ia mengobati luka pada dada burung sakti itu yang selanjutnya mengikuti kakek jembel itu.

Setelah menanti sampai senja dan burung itu tidak juga kembali, Ang I Niocu, Kwee An, serta Ma Hoa lalu melanjutkan perjalanan mencari Lin Lin ke arah barat. Tujuan mereka adalah Propinsi Kansu sebelah barat…..
********************
Cin Hai melarikan Pek-gin-ma dengan amat cepatnya, diikuti oleh burung bangau di atas kepalanya. Dia telah menjelajah di sekitar daerah perbatasan Tiongkok dan Mongol untuk mencari jejak Lin Lin dan Yousuf, akan tetapi sia-sia belaka. Akhirnya, tepat sebagaimana yang diduga oleh Kwee An dan Ma Hoa dia lalu menuju ke barat oleh karena dia pun berpikir bahwa boleh jadi Yousuf melarikan diri ke barat.

Pada suatu hari, ketika dia sedang menjalankan kudanya perlahan sambil merenungkan nasibnya yang selalu terpisah dari Lin Lin, ia merasa seolah-olah ada orang mengikutinya dari belakang. Beberapa kali ia menoleh, akan tetapi ia tidak melihat bayangan seorang pun. Akan tetapi, apa bila ia melanjutkan perjalanannya, kembali ia merasa seakan-akan ada sepasang mata memandang dirinya dan sepasang kaki berjalan cepat dengan amat ringannya di belakang kuda.

Dengan tiba-tiba Cin Hai berpaling lagi, akan tetapi kembali ia kecele, oleh karena ia tidak melihat ada orang. Setankah yang mengikutinya? Atau orang yang berkepandaian tinggi? Seingatnya, yang mungkin mengikutinya secara luar biasa cepatnya dan diam-diam, tidak ada orang lain kecuali suhu-nya saja yang akan sanggup melakukannya. Akan tetapi tak mungkin suhu-nya mengikuti dengan diam-diam.

Cin Hai lalu melarikan kudanya cepat-cepat, akan tetapi kembali dia mendengar tindakan kaki yang amat ringannya mengikutinya dengan cepat pula. Ketika dia menengok, masih saja kosong di belakangnya, tidak nampak seorang pun.

Sungguh mengherankan, dan dengan penasaran dia lalu turun dari kudanya dan berjalan sambil menuntun Pek-gin-ma. Setelah berjalan kaki, Cin Hai merasa makin yakin bahwa benar-benar ada orang yang mengikutinya dari belakang dan orang ini tentu mempunyai kepandaian tinggi sekali oleh karena selain tindakan kakinya yang ringan sekali, juga tiap kali menengok, orang itu tiba-tiba telah dapat melenyapkan diri dan bersembunyi dengan cara yang luar biasa.

Ia bisa menduga bahwa dengan mengandalkan ginkang-nya yang sempurna, tentu orang itu telah melompat ke belakang pohon pada saat ia menengok, oleh karena di sepanjang jalan yang dilaluinya memang terdapat banyak sekali pohon-pohon besar. Oleh karena ini, dia lantas mendapat akal.

Ia sengaja menuntun kudanya keluar dari tempat itu dan melalui jalan yang membelok ke kanan di mana tidak terdapat sebatang pohon juga. Ia hendak melihat apakah orang itu masih berani mengikutinya dan kalau ia menengok, orang itu hendak lari bersembunyi ke mana?

Benar saja, ketika ia melalui jalan yang tidak berpohon, tindakan kaki yang mengikutinya lalu berhenti. Akan tetapi, alangkah terkejut dan herannya ketika ia mendengar lagi suara tindakan kaki itu di belakangnya. Alangkah beraninya orang itu, pikirnya penasaran dan secepat kilat dia menggerakkan kepala berpaling memandang ke belakang. Dan kini dia melihat seorang lelaki yang berpakaian indah sedang berjalan dengan seenaknya, sama sekali tidak gugup atau hendak pergi bersembunyi ketika dia menengok!

“Sobat, kenapa kau mengikuti aku?” tanya Cin Hai gemas.

Orang itu tertawa, suara tawanya sangat nyaring dan tinggi, mengandung ejekan seperti biasanya suara ketawa orang yang berwatak sombong. Orang ini masih muda, usianya paling banyak baru tiga puluh tahun. Tubuhnya sedang, wajahnya tampan serta gagah, keningnya tinggi sedangkan pakaiannya terdiri dari baju warna kuning dan celana biru. Di luar bajunya masih memakai sehelai mantel abu-abu yang indah sekali. Pada rambutnya yang hitam itu nampak hiasan dari batu giok yang merupakan seekor naga terbang.

Cin Hai merasa heran karena setelah dekat, ia melihat betapa pada kedua pipi laki-laki ini nampak warna kemerah-merahan yang tidak asli, seakan-akan pipi itu dibedaki dengan yanci dan bedak yang seperti biasa dipakai wanita bersolek!

Setelah tertawa nyaring laki-laki pesolek ini lalu berkata,
“Aku hendak berjalan di belakangmu atau di depanmu, mau pun di sebelahmu, apakah hubungannya dengan kau? Aku berjalan di atas kedua kakiku sendiri dan jalan ini adalah jalan umum! Padamu tidak ada sesuatu yang menarik hatiku, kecuali kuda putih ini dan burung bangau itu!”

Dia tertawa lagi sambil memandang dengan mata mengandung ejekan. Biar pun hatinya mendongkol, akan tetapi Cin Hai dapat merasakan juga bahwa kata-kata orang ini ada benarnya juga. Ia berjalan sendiri dan tidak mengganggunya, mengapa ia harus merasa penasaran dan gemas? Maka timbul kejenakaannya dan ia menjawab,
“Peribahasa kuno menyatakan bahwa orang harus berlaku waspada terhadap orang yang berada di belakangnya dan tidak perlu takut kepada orang yang berada di hadapannya! Kau selalu berjalan di belakang, bahkan dengan cara bersembunyi, maka teringatlah aku akan peribahasa itu. Bukan maksudku hendak menyebutmu pengecut, namun maksud peribahasa itu bahwa orang harus berhati-hati terhadap orang yang selalu melakukan hal dengan sembunyi-sembunyi karena orang demikian itu adalah seorang yang berbahaya dan berwatak pengecut!”

Ucapan yang diputar-putar ini biar pun tidak langsung memaki, akan tetapi sudah dua kali Cin Hai menyebut orang di depannya itu sebagai pengecut!

Lelaki pesolek itu tidak menjadi marah, hanya tersenyum dibuat-buat. Dia lalu meloloskan sehelai tali yang banyak bergelantungan di ujung bajunya, lalu mempermainkan tali itu di antara jari tangannya.
“Kau pandai berkelakar anak muda, tetapi tetap saja aku menganggap bahwa kuda dan burungmu itu lebih baik dari padamu!”

Pada saat itu burung bangau melayang dari atas. Melihat betapa Cin Hai berhadapan dengan orang asing, ia lalu menyambar ke atas kepala orang itu.

“Ang-siang-kiam, jangan kurang ajar!” seru Cin Hai.

Akan tetapi dengan tenang, seakan-akan tidak diserang oleh seekor burung bangau yang besar dan ganas, orang itu lalu menggerakkan tangannya ke arah burung itu, kemudian ia menjura kepada Cin Hai sambil berkata,
“Ahh, burungmu mulai membosankan aku, anak muda. Selamat tinggal!”

Bukan main terkejutnya hati Cin Hai ketika merasa betapa dari kedua tangan orang yang sedang menjura kepadanya itu, menyambar angin pukulan yang hebat ke arah dadanya! Cin Hai buru-buru membungkukkan tubuhnya dan balas menjura sambil mengerahkan khikang-nya dan ketika kedua tenaga mereka bertemu, keduanya melangkah mundur dua tindak! Ternyata bahwa tenaga mereka berimbang.

Orang itu memandang kepada Cin Hai dengan mulut tersenyum mengejek, akan tetapi kedua matanya mengeluarkan pandangan kagum.

“Bagus, bagus, aku telah bertemu dengan seorang ahli!” Tubuhnya lalu berkelebat dan sebentar saja lenyaplah dia dari pandang mata Cin Hai.

Pemuda ini merasa heran dan kagum. Akan tetapi ketika memandang ke arah burung bangau yang sudah terbang turun, keheranannya berubah kekagetan karena dia melihat betapa burung itu kini sedang bergulingan di atas tanah sambil mencakar-cakar paruhnya sendiri!

Sesudah Cin Hai menghampiri, ternyata bahwa sepasang paruh burung yang bagaikan sepasang pedang merah itu telah terikat menjadi satu oleh tali yang tadi dipegang oleh laki-laki pesolek itu! Dia cepat menggunakan pedangnya memutuskan tali yang mengikat paruh burung bangau, akan tetapi ternyata bahwa tali itu kuat bukan main dan tak mudah diputuskan. Sesudah dia mengerahkan tenaga, barulah tali istimewa itu dapat diputuskan dan burung itu lalu terbang tinggi dengan ketakutan!

Cin Hai mengeluarkan keringat dingin. Bukan main lihainya orang itu yang hanya dengan sehelai tali dapat membuat burung itu tidak berdaya. Orang yang dapat melontarkan tali hingga dapat melibat dan mengikat burung yang sedang terbang menyambarnya, dapat dibayangkan betapa tinggi ilmu silatnya! Masih untung bahwa orang itu tidak turun tangan dan memusuhinya, kalau terjadi demikian belum tentu ia akan dapat mengalahkan lawan yang sedemikian tangguhnya itu!

Teringatlah Cin Hai akan kata-kata suhu-nya dulu, bahwa di dunia terdapat banyak sekali orang-orang pandai. Ia lalu menaiki punggung Pek-gin-ma lagi dan bersuit memberi tanda kepada burung bangau untuk melanjutkan perjalanan menuju ke barat.

Sesudah dia melakukan perjalanan sampai beberapa puluh li jauhnya, hari telah menjadi senja dan ia tiba di luar sebuah kota yang temboknya telah terlihat dari situ. Tiba-tiba ia mendengar suara kaki kuda di sebelah belakang.

Ia berhenti dan alangkah herannya ketika melihat bahwa kira-kira seperempat li jauhnya di sebelah belakang, ada seorang penunggang kuda yang juga menghentikan kudanya! Ia lantas menggerakkan Pek-gin-ma lagi dan ternyata orang itu pun melarikan kudanya pula. Ketika ia berhenti dengan tiba-tiba, orang itu pun berhenti.

“Kurang ajar!” kata Cin Hai sambil membalikkan kudanya dan melarikan kuda mengejar orang yang mengikutinya itu!

Dia sudah merasa bosan untuk diikuti orang saja dan siapa pun juga orang itu, dia akan menghajarnya! Orang itu pun membalikkan tubuh kuda dan melarikan kudanya dengan cepat dan Cin Hai makin merasa heran oleh karena kini ia dapat melihat bahwa orang itu adalah seorang Turki yang tinggi kurus! Orang yang dikejarnya itu melarikan kudanya ke dalam sebuah hutan dan ketika Cin Hai mengejar dan memasuki hutan pula, tiba-tiba dari depan melayang belasan batang anak panah yang kesemuanya mengarah dada, leher, dan perut!

“Pengecut!” ia berseru marah sambil mempergunakan ujung lengan bajunya mengebut ke depan sehingga dia berhasil memukul jatuh semua anak panah, kemudian ia mengeprak kudanya agar berlari lebih cepat.

Akan tetapi tiba-tiba rumput yang diinjak oleh kudanya itu nyeplos ke bawah dan tubuh Pek-gin-ma terjeblos ke dalam lubang perangkap yang besar dan yang tadi ditutup oleh rumput-rumput hijau! Cin Hai cepat melompat dari kudanya hingga tidak ikut terjeblos ke dalam lubang itu. Dia mendengar kudanya meringkik ngeri dan ketika dia memandang ke dalam lubang, ternyata bahwa Pek-gin-ma sudah tertusuk oleh tiga batang tombak yang sengaja dipasang di dalam lubang itu!

Melihat tubuh kudanya berkelojotan, dengan marah dan hati penuh rasa iba, Cin Hai lalu menarik keluar pedangnya dan menusuk punggung kuda itu ke arah jantungnya sehingga kuda itu mati seketika itu juga! Kalau ia tidak melakukan tikaman ini, kuda itu pasti akan mati, akan tetapi harus menderita lebih dulu beberapa lamanya.

Kemudian, Cin Hai memburu ke depan hendak mencari orang Turki tadi, akan tetapi dia tak melihat bayangan orang di dalam hutan itu! Ia mencari-cari terus dan berteriak-teriak memaki-maki akan tetapi setelah hari sudah mulai gelap dan belum juga ia mendapatkan musuh yang curang itu, terpaksa ia pergi meninggalkan hutan dengan hati marah sekali.

Burung bangau yang terbang di atas hutan itu pun tak melihat adanya musuh dan burung ini tidak berani turun seakan-akan dia masih merasa gentar menghadapi lawan yang tadi telah secara aneh dapat mengikat paruhnya!

Cin Hai melanjutkan perjalanan menuju ke kota di depan itu sambil berlari cepat. Hatinya gemas sekali oleh karena dia merasa telah dipermainkan orang. Kota yang dimasukinya adalah sebuah kota yang cukup ramai dan di situ ia melihat banyak orang-orang Mongol, serta orang-orang dari suku bangsa lain.

Setelah mencari kamar di sebuah rumah penginapan, Cin Hai lalu keluar dari kamarnya untuk melihat-lihat dan sekalian mencari jejak Lin Lin, juga ingin sekali bertemu dengan orang Turki tinggi kurus yang dilihatnya tadi.

Ia melihat sebuah rumah makan besar yang penuh tamu, lalu masuk memesan makanan. Pelayan membawanya ke loteng, oleh karena di bagian bawah sudah penuh. Ketika dia memasuki tangga loteng, tiba-tiba saja ia mendengar percakapan tamu di loteng itu yang membuatnya segera menahan tindakan kakinya dan mendengarkan dengan teliti. Salah seorang di antara tamu-tamu itu telah membicarakan dan menyebut nama Yousuf!

“Yousuf sedang sakit dan tidak berdaya. Kalau sekarang kita menyerbu dengan tiba-tiba dan berbareng, apa sukarnya menundukkan gadis itu?”

Hanya sedemikianlah yang dapat didengar oleh Cin Hai, karena ketika pelayan muncul, percakapan itu lalu dilakukan dalam bahasa Turki yang dia tak mengerti sama sekali. Dia berjalan menundukkan muka, akan tetapi dia memperhatikan mereka.

Ternyata bahwa ruang atas itu kosong dan hanya terdapat empat orang sedang duduk mengelilingi sebuah meja penuh mangkok berisi hidangan. Seorang di antaranya adalah seorang laki-laki berbangsa Turki, sedangkan yang tiga orang lainnya adalah seorang nenek bongkok, seorang kakek bersorban, dan seorang pula berpakaian seperti tosu.

Mereka ini bukan lain ialah Giok Kwat Moli si Nenek Bongkok, Wai Sauw Pu si Kakek Bersorban, dan Lok Kun Tojin, tiga orang yang dahulu pernah berjumpa dan bertempur melawan Ang I Niocu, Kwee An, dan Ma Hoa! Akan tetapi Cin Hai belum pernah melihat mereka.

Ketiga orang tua itu ternyata pandai bercakap-cakap dalam bahasa Turki hingga Cin Hai hanya duduk mendengarkan penuh perhatian dan meski pun tidak mengerti sama sekali, akan tetapi beberapa kali ia mendengar nama Yousuf disebut-sebut, hingga diam-diam ia berdebar girang. Tadi mereka menyebut seorang gadis yang hendak mereka keroyok, bukankah gadis yang dimaksudkan itu Lin Lin adanya?

Cin Hai tidak tahu bahwa keempat orang itu merasa mendongkol serta marah karena percakapan mereka terganggu oleh kedatangannya, karena meski pun mereka mengerti bahasa Turki, akan tetapi mereka lebih suka bercakap-cakap dalam bahasa Han tanpa didengar oleh telinga lain orang. Tiba-tiba mereka itu bicara dalam bahasa Han lagi, akan tetapi pembicaraan mereka kini telah berubah dan Cin Hai mendengar tosu itu berkata dengan keras,

“Memang sungguh menyebalkan orang-orang sekarang, terutama anak-anak mudanya. Mereka bisanya hanya bersolek dan menjual lagak belaka. Yang paling kubenci adalah pemuda-pemuda yang berpakaian seolah-olah ia seorang sasterawan pandai, akan tetapi sebetulnya dia tak mengerti apa-apa. Kalau melihat orang pemuda berpakaian pelajar, timbul keinginanku untuk mencekik lehernya!”

Tiga orang kawannya tertawa lebar dan pada saat Cin Hai memandang ternyata bahwa dengan terang-terangan mereka berempat sedang memandang kepadanya. Dia maklum bahwa empat orang itu tentu sengaja menghinanya oleh karena ia memang mengenakan pakaian sebagai seorang pelajar dan pedangnya disembunyikan ke dalam bajunya yang lebar dan panjang. Hanya dia belum mengerti mengapa mereka itu menghinanya tanpa sebab.

“Yang menyebalkan ialah bahwa mereka itu tidak insyaf bahwa kehadiran mereka tidak disukai orang. Dan sama sekali tidak mengerti bahwa kehadiran mereka mengganggu percakapan orang lain!” terdengar suara nenek bongkok.

Kini Cin Hai mengerti bahwa mereka itu merasa terganggu, maka berusaha menakut-nakutinya agar dia segera berpindah tempat ke ruang bawah! Akan tetapi dia tidak peduli dan ketika masakan yang dipesannya datang, dia lalu makan seakan-akan di ruang atas itu tidak terdapat lain orang kecuali dia sendiri!

Tiba-tiba tosu bercambang bauk itu membersihkan kerongkongannya dengan suara yang menjijikkan sekali. Hal ini dilakukan berkali-kali dan dibarengi dengan suara tertawa dari kawan-kawannya hingga Cin Hai hampir tak dapat menahan sabar lagi. Lenyaplah nafsu makannya karena merasa jijik.

Sambil menoleh dan meletakkan sumpitnya, ia berkata,
“Heran sekali, mengapa orang-orang tua dan pendeta-pendeta di sini demikian tidak tahu kesopanan dan bersikap seperti orang-orang liar?”

Ucapan Cin Hai ini membuat Wai Sauw Pu, kakek bersorban itu, marah sekali. Ia bangun berdiri dan tubuhnya yang tinggi besar itu membuat dia nampak garang sekali. Tangan kanannya menyambar sepasang sumpitnya kemudian sekali dia menggerakkan tangan, sebatang sumpit itu menyambar dan menancap di meja Cin Hai sampai setengahnya lebih!

Cin Hai mendongkol sekali karena terang-terangan mereka itu hendak menghina serta mengajaknya berkelahi. Dengan tenang ia lalu memegang sumpitnya, kemudian dengan perlahan ia memukulkan sumpitnya pada sumpit yang tertancap di atas mejanya sambil berseru, “Kakek tua, hati-hatilah kau menggunakan sumpitmu, jangan sampai terloncat ke meja lain!”

Ketika sumpit yang tertancap di atas meja itu kena dipukul oleh sumpitnya, sumpit itu mencelat lantas melayang kembali ke arah Wai Sauw Pu yang masih berdiri di dekat mejanya sendiri. Kakek bersorban itu lalu menangkap sumpitnya yang melayang kembali sambil tertawa bergelak dan berkata,

“Ha-ha-ha, tidak tahunya bukan sembarang kutu buku, dan memiliki juga sedikit punsu (kepandaian). Kau patut menerima penghormatanku. Terimalah sepotong daging sebagai penghormatan!” Sambil berkata demikian, dia menusuk sepotong daging dan ketika dia mengayun tangannya, sumpit berikut daging yang tertusuk itu melayang ke arah mulut Cin Hai.

Pemuda ini merasa marah sekali, maka ia hendak mendemonstrasikan kepandaiannya. Ia tidak mengelak atau menangkap sumpit yang menyambar ke arah mulutnya itu, hanya miringkan kepala sedikit dan pada saat sumpit itu lewat di depan mulutnya, ia membuka mulut dan menggigit ujungnya. Daging dan sumpit dapat tergigit olehnya dan ketika dia meniup, sumpit itu meluncur ke atas lantai dan patah menjadi dua!

Kemudian dia menghadapi Wai Sauw Pu dan sambil mengerahkan tenaga khikang lalu menyemburkan daging dari mulutnya itu kepada kakek itu, disusul dengan kata-kata,
“Kakek yang baik, kubayar lunas penghormatanmu dan terimalah kembali dagingmu yang busuk!” Daging yang disemburkan itu cepat sekali meluncur ke arah mulut Wai Sauw Pu.

Kini terkejutlah kakek ini dan dia segera memiringkan kepala hendak berkelit. Akan tetapi semburan Cin Hai ini selain cepat, juga tidak terduga sehingga biar pun daging itu tidak mengenai mulutnya, akan tetapi masih menyerempet pipinya sehingga terasa pedas dan pipinya ternoda oleh kuah daging itu!

Wai Sauw Pu menjadi marah sekali. Dengan tindakan kaki lebar dia lalu menghampiri Cin Hai yang juga masih tetap duduk dengan tenang.

“Tikus kecil! Berani betul kau berlaku kurang ajar di hadapanku!” teriak Wai Sauw Pu dengan marah sekali.
“Kakek yang baik, pernahkah kau mendengar sebuah ujar-ujar kuno yang sangat baik! Ujar-ujar itu menyatakan, bahwa menghormat orang lain berarti menghormat diri sendiri! Kau dan kawan-kawanmu sengaja menggangguku padahal aku tidak melakukan sesuatu yang salah! Kalau kau tidak mau menghormat bahkan menghina orang lain, bukankah itu artinya menyalahi ujar-ujar itu? Menghormati orang lain berarti menghormat diri sendiri, sebaliknya menghina orang lain berarti menghina diri sendiri karena dengan perbuatanmu yang menghina orang lain itu hanya menyatakan betapa rendahnya martabatmu!”

Mendengar ucapan ini, tertegunlah hati Wai Sauw Pu. Ia mulai menduga bahwa pemuda itu bukanlah orang sembarangan. Namun, untuk daerah barat nama Wai Sauw Pu sudah terkenal sekali, maka tentu saja ia tidak mau mengalah, apa lagi ia dihina oleh pemuda itu di depan ketiga orang kawannya.

“Anak muda, siapakah kau yang berani bermain gila di depan Wai Sauw Pu si Malaikat Tasbeh? Katakan siapa namamu agar supaya aku tidak menghajar segala oang yang tak bernama!”

Cin Hai pura-pura memperlihatkan muka terkejut dan ketakutan mendengar nama yang sesungguhnya belum pernah dikenalnya itu.

“Ahh, kiranya kini aku berhadapan dengan seorang malaikat? Tentu kau masih terhitung keluarga dengan Giam-lo-ong (Malaikat Pencabut Nyawa), karena menurut cerita orang Giam-lo-ong juga bertubuh tinggi besar seperti kau! Aku hanya seorang biasa saja, mana ada kehormatan untuk memperkenalkan nama kepada malaikat? Sudahlah, kakek yang baik, kau maafkan aku saja dan jangan kau mencabut nyawaku!” Ucapan ini dikeluarkan dengan suara sewajarnya dan tidak mengandung ejekan, akan tetapi cukup memerahkan telinga Wai Sauw Pu.

“Boleh, boleh! Kau boleh minta maaf akan tetapi kau harus mencukur gundul kepalamu di hadapanku dulu, baru aku bisa memberi maaf dan tidak menghancurkan kepalamu!”

Cin Hai adalah seorang yang mempunyai kesabaran besar, akan tetapi tidak ada ucapan lain yang akan melebihi rasa sakit di dalam hatinya kecuali menyuruh dia menggunduli kepalanya! Ucapan yang dikeluarkan oleh Wai Sauw Pu tanpa sengaja itu mengingatkan dia akan hinaan-hinaan yang dideritanya pada saat dia masih kanak-kanak dan berkepala gundul. Maka ia lalu menjawab,

“Pikiranmu cocok sekali dengan keinginan hatiku! Aku pun ingin sekali melihat benda apa yang tersembunyi di dalam sorbanmu itu! Ingin sekali aku melihat warna kulit kepalamu, apakah kulitnya sama tebalnya dengan mukamu!”
“Keparat!” teriak Wai Sauw Pu dan tahu-tahu tangannya telah menarik keluar tasbehnya yang lihai, senjatanya yang ampuh itu! Tanpa mengeluarkan peringatan lagi, tahu-tahu tasbehnya sudah meluncur dan menyerang ke arah kepala Cin Hai!

Pemuda ini dengan tenang lalu mengelak, segera mempergunakan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na untuk menghadapi tasbeh kakek itu dengan tangan kosong!

Tak hanya Wai Sauw Pu yang terkejut melihat gerakan pemuda yang luar biasa cepatnya itu, bahkan kawan-kawannya juga memandang dengan hati heran dan kagum. Meski pun tasbeh itu membuat gerakan yang melingkar-lingkar dan mencegah seluruh jalan keluar, namun dengan cepat tubuh Cin Hai dapat berkelebat mengikuti gulungan sinar senjata dan menghindarkan diri dari setiap sambaran tasbeh!

”Kakek yang baik, kau bukalah sorbanmu!”

Sambil berkata demikian, sepasang tangan Cin Hai cepat bergerak dan dengan gerakan Kong-ciak Jio-cu atau Merak Sakti Merampas Mustika, ia mencengkeram ke arah kepala Wai Sauw Pu dengan tangan kirinya!

Kakek itu terkejut sekali dan mengelak ke kanan. Akan tetapi secepat kilat tangan kanan Cin Hai menyusul dan sebelum Wai Sauw Pu sempat berkelit, sorbannya sudah dapat dicengkeram dan direnggutkan dari kepalanya oleh Cin Hai. Tertawalah anak muda itu ketika melihat betapa kepala Wai Sauw Pu ternyata gundul pelontos seperi kepalanya dulu!

“Ha-ha-ha! Pantas saja kau minta aku mencukur gundul rambutku, tak tahunya kau telah mendahuluiku mencukur gundul kepalamu! Ha-ha-ha, alangkah licinnya! Lalat pun akan terpeleset apa bila hinggap di kepalamu!”

Biar pun merasa marah sekali, ketiga kawan Wai Sauw Pu terpaksa menahan ketawa mereka mendengar kata-kata yang lucu ini. Mereka bertiga kemudian meloloskan senjata masing-masing dan menerjang maju hingga Cin Hai terkurung di tengah-tengah.

Melihat gerakan mereka diam-diam Cin Hai terkejut juga karena tidak disangkanya bahwa ilmu kepandaian keempat orang ini ternyata benar-benar tinggi dan hebat! Ia pikir takkan ada gunanya untuk melawan mati-matian kepada mereka itu, karena bukankah mereka ini mempunyai hubungan dengan lenyapnya Yousuf dan Lin Lin? Maka ia lalu melompat ke sana ke mari dan membuat gerakan-gerakan Tarian Bidadari hingga tubuhnya dengan mudah dapat mengelak dari setiap serangan, sambil berkata,

“Aduh, lihai... lihai sekali, aku terima kalah!” Ia lalu melompat ke atas dan cepat pergi dari tempat itu, bersembunyi di tempat gelap di luar rumah makan.

Empat orang itu segera mengejar dan melompat turun dari loteng sehingga semua tamu yang mengenal mereka sebagai orang-orang berilmu tinggi menjadi panik dan berlarian ketakutan!

Dengan perasaan amat marah keempat orang itu mencari-cari, akan tetapi Cin Hai dapat menyembunyikan diri dengan amat baiknya, bahkan lalu mengikuti mereka ketika mereka pergi dengan berlari cepat sekali.

Empat orang yang diikuti Cin Hai itu menuju ke sebelah timur kota dan mereka memasuki sebuah pondok. Cin Hai mempergunakan ilmu ginkang-nya yang tinggi untuk mengintai tanpa diketahui oleh penghuni pondok. Ketika dia memandang, alangkah kagetnya oleh karena empat orang itu ternyata mengadakan pertemuan dengan tiga orang tosu bangsa Han yang bukan lain orangnya adalah Kanglam Sam-lojin, yakni ketiga tokoh besar dari Liong-san-pai yang pernah menjad guru-gurunya dahulu! Giok Im Cu, Giok Yang Cu, dan Giok Keng Cu sudah kelihatan tua sekali akan tetapi mereka masih bersikap gagah!

Ketujuh orang di dalam pondok itu sedang membicarakan tentang pertemuan yang baru dialami oleh keempat orang tua itu dengan Cin Hai. Si Kakek bersorban berkata,

“Jangan-jangan pemuda yang aneh itu adalah kawannya Yousuf, atau jangan-jangan dia adalah seorang penyelidik dari kaisar! Maka lebih baik malam ini juga kita menyerbu ke pondok itu untuk menawan Yousuf!”

Setelah mengadakan permufakatan, ketujuh orang itu lalu keluar dari pondok dan segera berlari menuju ke sebuah hutan yang berada di luar kota. Cin Hai tetap mengikuti mereka dengan hati berdebar.

Betaoa banyaknya orang-orang pandai yang hendak menawan Yousuf! Benar-benarkah yang hendak ditawan adalah Yousuf yang menjadi ayah angkat Lin Lin itu? Dengan hati menduga-duga serta penuh harapan, Cin Hai terus mengikuti mereka masuk ke dalam hutan.

Malam itu terang bulan sehingga mereka dapat berjalan di dalam hutan tanpa banyak susah. Mereka berhenti di luar sebuah pondok kayu sederhana yang agaknya masih baru dibangun di tengah-tengah hutan itu.

“Yousuf! Kau keluarlah dan menyerahlah dengan damai!” Wai Sau Pu berteriak dari luar.

Tiba-tiba saja api penerangan yang tadinya tampak bernyala di dalam pondok itu menjadi padam, dan terdengarlah suara yang merdu dan nyaring dari dalam pondok,

”Kawanan penjahat rendah! Apa kau kira Nonamu akan membiarkan kau mengganggu ayahnya?”

Cin Hai hampir berseru karena girang. Itulah suara Lin Lin! Maka tanpa terasa lagi ia lalu mencabut keluar Liong-coan-kiam dari dalam jubahnya dan siap sedia untuk membantu kekasihnya itu.

Diam-diam Cin Hai lalu mengumpulkan kayu dan daun kering karena ia pikir bahwa kalau keadaan di luar tidak cukup terang, maka akan berbahaya sekali bagi Lin Lin. Apa bila di luar gelap maka pada saat gadis itu keluar, dia mudah diserang dengan senjata rahasia, sedangkan tadi di rumah makan ia sudah mendapat kenyataan betapa kakek bersorban itu pandai sekali menimpuk dengan sumpit, tanda bahwa ia bisa mempergunakan senjata rahasia. Setelah kayu dan daun kering dia tumpuk, lalu dia membuat api dan membakar tumpukan itu hingga berkobarlah api yang membuat tempat itu menjadi terang sekali…..
********************
Marilah kita ikuti sebentar dan secara singkat pengalaman Yousuf bersama Lin Lin yang memaksa mereka berlari meninggalkan tempat tinggal mereka di lereng bukit dekat tapal batas sebelah utara itu.

Sambil menanti berita dari Cin Hai yang pergi mencari jejak Ma Hoa dan Kwee An, Lin Lin setiap hari melatih Ilmu Pedang Han-le Kiam-hoat yang sudah dipelajarinya dari Cin Hai. Di samping itu ia merawat Yousuf yang terluka dengan penuh kesabaran.

Beberapa hari kemudian, selagi ia melatih ilmu pedangnya, dia melihat rombongan orang Turki menyerbu naik bukit itu dan jumlah mereka tidak kurang dari sebelas orang!

“Nona, di mana adanya Yousuf?” tanya seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi besar dan memegang sebuah golok di tangan.
“Ada keperluan apakah kalian mencari Yousuf?” tanya Lin Lin dengan hati-hati
“Kami hendak menawannya!”

Baru saja mendapat jawaban ini, Lin Lin menyambar dengan hebat sehingga pemegang golok itu terpelanting dengan luka pada lengan tangannya!

“Enak saja kau bicara!” Lin Lin membentak. “Siapa pun tidak boleh menawan Ayahku!”

Orang-orang Turki itu merasa sangat heran mendengar bahwa gadis ini ternyata adalah puteri Yousuf sebab sepanjang pengetahuan mereka, Yousuf belum pernah beristeri, apa lagi mempunyai seorang puteri! Mereka segera menyerbu dengan hebat yang disambut dengan marah oleh Lin Lin. Pedang Han-le-kiam di tangannya walau pun hanya pendek, akan tetapi gerakannya benar-benar luar biasa, seolah-olah seekor naga sakti mengamuk kepada para penyerangnya.

Akan tetapi, di antara para penyerbu ini terdapat seorang yang tinggi silatnya, yaitu Lok Kun Tojin serta beberapa orang Turki yang terkenal jago-jago nomor satu di negaranya! Sebentar saja Lin Lin terkurung rapat dan terdesak hebat.

Mendadak terdengar pekik nyaring dari atas dan seekor burung merak besar menyambar turun bagaikan halilintar dan begitu burung sakti itu menggerakkan sayap dan kakinya, dua batang golok musuh telah terpental dan orangnya terpelanting!

Akan tetapi, Lin Lin maklum bahwa pihak lawan kuat sekali, dan apa bila diteruskan, dia akan lelah dan kalah, sedangkan Yousuf masih dalam keadaan lemah! Mengingat bahwa mereka ini datang hendak menawan Yousuf, ia menjadi gelisah sekali maka secepat kilat ia melompat mundur. Ketika pihak musuh mengejar, ia berseru,
“Kong-ciak-ko, kau tahan mereka!”

Merak Sakti agaknya mengerti akan maksud perintah ini karena ia kemudian menyambar-nyambar dan menghalangi mereka yang hendak mengejar Lin Lin. Seorang pengeroyok yang berlaku kurang hati-hati dan terlalu berani, sudah kena dipatuk matanya sehingga menjadi buta!

Lin Lin mempergunakan kesempatan itu berlari cepat ke arah pondok di mana Yousuf sedang duduk dengan wajah muram. Orang tua ini selain menderita karena lukanya, juga dia merasa gelisah sekali apa bila mengingat akan nasib Kwee An dan Ma Hoa yang terjatuh ke dalam jurang!

“Ayah, Ayah... ayo kita lekas lari!” tiba-tiba terdengar suara Lin Lin yang masuk dengan wajah pucat.
“Kau kenapa, Nak?” Yousuf bertanya tenang.
“Musuh datang menyerbu! Rombongan orang-orang Turki yang lihai sekali!”

Yousuf terkejut juga dan akhirnya menurut untuk melarikan diri dari belakang, sementara musuh ditahan oleh Merak Sakti. Akan tetapi, oleh karena pihak musuh memang terdiri dari orang-orang pandai, akhirnya Merak Sakti juga tidak kuat bertahan lebih lama lagi setelah ia mendapat luka-luka ringan karena tusukan golok, hingga sambil berteriak-teriak ia lalu terbang tinggi sekali. Ia melihat dua orang kawannya yang berlari cepat, maka ia lalu melayang dan mengejar mereka.

Ketika rombongan orang Turki menyerbu ke dalam rumah, mereka hanya mendapatkan rumah kosong dan pada saat itu Yousuf dan Lin Lin telah cukup jauh. Dengan gemas orang-orang Turki itu lalu membakar rumah Yousuf serta melaksanakan pengejaran. Di sepanjang jalan mereka melampiaskan rasa marah dan gemasnya kepada rakyat dusun hingga rakyat dusun banyak yang menderita dan menjadi korban keganasan mereka.

Sementara itu, Lin Lin dan Yousuf terus melarikan diri, dikawal dari atas oleh Merak Sakti. Beberapa kali mereka tersusul oleh rombongan pengejar, akan tetapi berkat kegagahan Lin Lin serta pembelaan Merak Sakti yang setia, mereka selalu dapat dipukul mundur hingga akhirnya mereka hanya mengejar dari belakang tanpa berani menyerang lagi.

Akhirnya Lin Lin dan Yousuf tinggal di dalam hutan itu dan mereka menyangka bahwa mereka sudah terlepas dari kejaran orang-orang Turki itu oleh karena telah lama mereka tidak nampak menyerang.

Padahal rombongan itu masih tetap mengintai, bahkan mereka lalu mendatangkan bala bantuan dari orang-orang pandai, di antaranya Si Nenek Bongkok Siok Kwat Moli yang menjadi sumoi dari Hai Kong Hosiang dan yang sudah memberikan kesanggupan kepada suheng-nya itu untuk membalaskan dendamnya kepada Cin Hai dan kawan-kawannya, si kakek bersorban Wai Sau Pu yang gagah perkasa, jago dari Sin-kiang itu, dan masih banyak lagi jago-jago yang mereka datangkan dari Turki.

Ketika pada malam hari itu rombongan musuh menyerbu lagi, Yousuf yang mendengar musuh-musuhnya lalu berkata kepada Lin Lin,

“Lin Lin, anakku yang baik, kau gunakanlah kepandaianmu untuk lari menyelamatkan diri. Tinggalkanlah aku seorang diri, aku sudah tua dan aku berani menghadapi bencana ini seorang diri. Akan tetapi kau, kau jangan sampai terbawa-bawa, anakku. Kau mendapat berkah dan doaku, pergilah Lin Lin. Apa bila kau sampai terkena bencana bersamaku, sampai mati pun aku akan merasa penasaran dan berduka!”
“Tidak, tidak. Bagaimana pun juga aku akan tetap membelamu, Ayah!”

Yousuf merasa terharu sekali melihat betapa anak pungutnya ini bersedia membelanya dengan berkorban jiwa! Tak tertahan lagi air mata mengucur dan membasahi pipinya.

Lin Lin lalu menerjang keluar sambil memutar-mutar pedang Han-le-kiam-nya. Meski pun pedangnya hanya sebuah, akan tetapi ketika dia mainkan Han-le Kiam-hoat, pedang itu seakan-akan berubah menjadi puluhan pedang. Juga pada saat itu, Merak Sakti sudah menyambar keluar dari pintu pondok dan mengamuk tak kalah hebatnya.

Siok Kwat Moli si nenek bongkok yang melihat kehebatan Merak Sakti menjadi marah sekali. Ia lalu mencabut sebatang pisau kecil dan mengayunkan tangannya. Merak Sakti dapat melihat berkelebatnya pisau yang mengancam dada, maka cepat dia menyampok dengan kaki kirinya.

Akan tetapi tidak tahunya, bahwa pisau itu lihai sekali, tidak bergagang dan pada kedua ujungnya tajam. Ketika disampok, pisau itu tidak terpental bahkan lalu melejit dan meleset menancap pada paha burung merak itu. Merak Sakti memekik kesakitan dan terbang tinggi ke atas dengan pisau masih menancap pada pahanya.

Cin Hai segera melompat dan menerjang dengan pedangnya sambil berseru,
“Moi-moi, jangan kau takut, aku datang membantumu!”

Alangkah girangnya hati Lin Lin melihat pemuda kekasihnya ini, maka ia lantas memutar pedangnya makin hebat dan bersemangat sambil berteriak,
“Koko...!”

Sementara itu, empat orang tua yang tadi telah bertemu dengan Cin Hai di rumah makan, menjadi terkejut sekali melihat bahwa pemuda itu kini tiba-tiba muncul dan membantu gadis yang gagah itu.

“Tikus kecil, kau berani muncul kembali?” Wai Sauw Pu membentak dan tasbehnya lalu menyambar.
“Tikus besar, mengapa aku tidak berani?” balas Cin Hai membentak.

Biar pun dikeroyok hebat, hati pemuda ini merasa girang dan gembira sekali karena telah dapat bertemu dengan kekasihnya. Pedang Liong-coan-kiam berkelebatan dan sinarnya menyilaukan mata para pengeroyoknya ketika dia mainkan ilmu pedangnya Daun Bambu yang lihai.

Pada waktu Kanglam Sam-lojin ikut maju mengeroyok Cin Hai, pemuda ini lalu menegur mereka, “Sam-wi Totiang, apakah Sam-wi selama ini baik saja?”

Giok Yang Cu yang tinggi besar dan itu lalu membentak, “Setan kecil, siapakah engkau yang berpura-pura telah kenal kami tiga saudara?”
“Ha-ha-ha, Giok Yang Cu Totiang, lupakah kau kepada Cin Hai si Anak Gundul?”

Bukan main terkejut dan herannya ketiga orang tosu itu mengetahui bahwa pemuda itu benar-benar Cin Hai, anak gundul yang dahulu pernah ikut mereka. Tak mereka sangka bahwa anak yang kelihatan bodoh dan gundul itu, dan kemudian pergi bersama Ang I Niocu, kini telah menjadi seorang pemuda yang demikian lihainya. Mereka lalu berbalik mengeroyok Lin Lin lagi oleh karena mereka merasa tidak enak hati mengeroyok Cin Hai, anak yang dulu pernah menolong jiwa mereka!

Biar pun Cin Hai lihai sekali kepandaiannya dan Lin Lin juga sudah memiliki ilmu pedang yang hebat, akan tetapi oleh karena para pengeroyok itu terdiri dari para tokoh persilatan yang berilmu tinggi, lagi pula karena ilmu pedang Lin Lin belum begitu sempurna dan matang betul, maka terpaksa Cin Hai harus mengerahkan tenaga untuk bersilat di dekat gadis kekasihnya untuk membelanya di waktu perlu, sehingga keadaan keduanya segera terkurung rapat! Celakanya bahwa Sin-kong-ciak yang lihai telah terluka dan tidak berani turun membantu lagi!

Yousuf yang menderita sakit karena selain lukanya belum sembuh, juga kegelisahannya berhubung dengan jatuhnya Kwee An dan Ma Hoa di dalam jurang telah mendatangkan tekanan batin yang hebat, kini menghadapi penyerbuan yang membahayakan ini menjadi bingung sekali. Ia lalu menganggap dirinya berdosa besar, karena perpisahan antara Lin Lin dan Cin Hai pun terjadi oleh karena urusannya.

Kalau rombongan orang Turki itu tidak datang menyerbu untuk menawannya dan Lin Lin tidak membelanya, tentu gadis itu tidak perlu pergi dari lereng gunung di utara itu dan tak akan terpisah dari Cin Hai. Dan sekarang kembali gadis itu berada di dalam bahaya oleh karena membelanya. Kalau gadis itu sampai terbinasa, alangkah besar dosanya! Maka ia lalu paksakan diri keluar sambil membawa sebatang pedang, akan tetapi tubuhnya amat lemas!

Pada saat ia muncul di ambang pintu, matanya lantas terbelalak ketika ia melihat seorang pemuda bertempur membantu Lin Lin dan ternyata bahwa pemuda itu adalah Cin Hai!

“Cin Hai...!” serunya girang, akan tetapi segera dia roboh tertotok oleh Wai Sauw Pu yang telah melompat dan segera menawannya.
“Cuwi, tangkaplah aku akan tetapi jangan kalian mengganggu kedua orang muda itu!” Yousuf masih sempat berteriak sebelum Wai Sauw Pu membawanya lari!

Lin Lin terkejut sekali dan hendak mengejar, akan tetapi para pengeroyoknya tidak mau memberi kesempatan kepadanya. Juga Cin Hai tak dapat meninggalkan Lin Lin seorang diri, maka kedua orang muda itu merasa gelisah sekali.

Dan pada saat itu, terdengar suara ketawa yang nyaring sekali, lalu disusul berkelebatnya bayangan yang gesit sekali ke arah Wai Sauw Pu yang sedang berlari sambil mengempit tubuh Yousuf. Sekali bayangan itu bergerak, Wai Sauw Pu roboh terpelanting dan Yousuf telah dipulihkan kembali dari totokan!

Yousuf dengan lemah lalu merayap ke pinggir dan tiba-tiba terdengar bisikan orang,
“Paman Yousuf, mari ikut aku!”

Yousuf memandang dan ternyata nampak seorang Turki keluar dari tempat gelap. Ketika dia memperhatikan, orang itu bukan lain adalah keponakannya sendiri yang cepat-cepat menggendongnya dan membawanya lari ke dalam gelap!

Sementara itu, penolong yang datang secara mendadak itu kembali tertawa dan berkata, “Kalian ini semut-semut kecil hendak berlagak ganas, melarikan orang sakit dan berani mengeroyok seorang nona manis? Ha-ha-ha-ha, itu namanya tidak memandang mukaku. Sungguh terlalu, terlalu sekali!” Sesudah berkata demikian, orang itu lalu menyerbu dan gerakan kaki tangannya ringan dan cepat sekali!

Bukan main herannya hati Cin Hai pada saat mengenal bahwa orang ini adalah laki-laki pesolek yang tampan dan yang pernah menaklukkan burung bangau secara lihai sekali itu! Dan bukan main terkejutnya ketika ia melihat betapa laki-laki itu lalu bersilat dengan ilmu silat yang hampir sama dengan Pek-in Hoat-sut!

Menghadapi Cin Hai berdua Lin Lin saja, semua pengeroyok sudah merasa sukar untuk menjatuhkannya, apa lagi ditambah dengan seorang yang demikian lihainya. Mereka lalu melompat mundur dan hanya dapat bertahan saja.

Beberapa kali Si Pesolek itu tertawa bergelak sambil bersilat di dekat Lin Lin dan ketika pengeroyok mulai mengendur kurungan mereka, tiba-tiba saja laki-laki itu lalu mengulur tangan dan menotok iga kiri Lin Lin!

Serangan ini adalah sebuah tipu dalam limu Silat Kong-ciak Sin-na yang dilakukan secara baik sekali sehingga Lin Lin yang sama sekali tidak pernah menduga bahwa penolong itu akan menyerang dirinya, tidak sempat mengelak dan tiba-tiba tubuhnya menjadi lemas. Secepat sambaran burung walet, laki-laki itu sambil tertawa lalu mengempit tubuh Lin Lin dan melompat cepat melarikan diri!

Bukan main terkejutnya hati Cin Hai melihat hal ini.

“Orang rendah, kau hendak lari ke mana?” Ia lalu mengejar dengan cepat pula ke arah mana bayangan orang tadi menghilang.

Rombongan orang Turki yang tiba-tiba melihat ketiga lawan mereka menghilang dan juga Yousuf tidak nampak bayangannya, lalu menolong kawan-kawan yang terluka dan cepat meninggalkan tempat itu dengan hati penasaran dan kecewa. Mereka juga bingung dan menduga-duga melihat sepak terjang orang aneh yang tadinya menolong tetapi akhirnya bahkan menculik gadis itu!

Ternyata bahwa laki-laki yang melarikan Lin Lin itu memiliki ilmu lari cepat yang hebat sekali sehingga biar pun Cin Hai telah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, ia hanya dapat mengikutinya saja tanpa dapat merobah jarak antara dia dan orang yang dikejarnya.

Sebaliknya, orang itu pun merasa terheran-heran karena pemuda yang mengejarnya itu ternyata tidak pernah tertinggal jauh, walau pun dia sudah mengeluarkan Ilmu Lari Cepat Jauw-sang-hwe (Terbang di Atas Rumput)! Demikianlah, mereka berkejar-kejaran selama setengah malam penuh sampai fajar menyingsing, dan mereka tetap berlarian melewati hutan-hutan dan melompati jurang-jurang! Tak seorang pun di antara mereka yang mau mengalah!

Sementara itu, ketika pada esok harinya pagi-pagi sekali, burung bangau Ang-siang-kiam beterbangan di atas hutan itu berputar-putar mencari Cin Hai, ia dapat mendengar keluh kesakitan dari Merak Sakti yang berada di atas sebuah pohon tinggi dan berdiri di atas cabang dengan sebelah kaki tertancap pisau. Burung bangau lalu terbang menyambar turun dan ketika melihat Sin-kong-ciak, ia lalu terbang dan hinggap di depannya.

Kedua burung ini sudah mendapat didikan dan dapat membedakan kawan atau lawan. Burung bangau melihat betapa burung merak sedang terluka, lalu mengeluarkan suara mengeluh, dan dia lalu menggunakan sepasang paruhnya yang panjang dan tajam untuk menjepit pisau itu dan mencabutnya. Memang dia sudah mendapat latihan-latihan untuk melakukan pertolongan sehingga dengan mudah dia dapat mengeluarkan pisau itu.

Melihat perbuatan yang menolongnya ini, Sin-kong-ciak tahu bahwa burung bangau ini bermaksud baik, maka ia maklum bahwa Ang-siang-kiam adalah seorang kawan. Setelah pisau yang menancap di kakinya sudah tercabut, keduanya lalu terbang tinggi di udara, merupakan kawan baik dan bersama-sama terbang berputar-putar mencari jejak majikan mereka…..

********************
Selanjutnya baca
PENDEKAR BODOH : JILID-16
LihatTutupKomentar