Pendekar Bodoh Jilid 16
Ang I Niocu, Kwee An serta Ma Hoa melanjutkan perjalanan mereka menuju ke barat untuk mencari Lin Lin dan Yousuf. Pada suatu hari ketika mereka tiba di sebuah hutan, mereka melihat seorang kakek sedang dikeroyok oleh rombongan perampok yang terdiri dari belasan orang bersenjata golok.
Kakek ini gagah sekali, bertempur sambil tertawa bergelak dan memutar-mutar sebatang dayung dengan hebatnya. Tiga orang pengeroyoknya sudah roboh dengan tulang patah dan kulit matang biru, sedangkan sisa pengeroyok-pengeroyok terdesak hebat.
“Nelayan Cengeng!” seru Ang I Niocu.
Ketiga orang muda itu segera menerjang kawanan perampok itu yang segera melarikan diri karena baru menghadapi seorang kakek saja mereka sudah sangat terdesak, apa lagi kini datang tiga orang muda membantu kakek itu!
Ketika melihat kedatangan Ang I Niocu, Ma Hoa dan Kwee An, Nelayan Cengeng tertawa gembira sekali. Ia mengusap-usap rambut Ma Hoa pada waktu gadis itu berlutut di depan suhu-nya, mulutnya tiada hentinya tertawa, akan tetapi sepasang matanya mengalirkan air mata!
“Ma Hoa, alangkah senangnya hatiku dapat bertemu dengan kau di sini. Kau sekarang telah berubah banyak, muridku! Dengan rambutmu terurai seperti ini, apa bila tidak ada Kwee An dan Ang I Niocu, mungkin aku akan pangling!”
Ternyata bahwa Nelayan Cengeng telah menyusul muridnya ke lereng bukit di utara itu, akan tetapi hanya mendapatkan tumpukan puing belaka sehingga dia pun menyusul dan mengejar ke barat. Ketika tiba di dalam hutan itu, dia dikeroyok oleh perampok-perampok yang merupakan makanan lunak bagi dayungnya sehingga dia mempermainkan mereka dengan gembira, tak mengira sama sekali bahwa di situ dia akan dapat bertemu dengan murid yang dicari-carinya itu.
“Ketika aku mencarimu di utara, aku mendengar tentang Lin Lin dan Yo Se Pu sedang dikejar-kejar oleh orang Turki. Di mana mereka itu sekarang? Dan di mana pula adanya Cin Hai? Sungguh tak kusangka tadinya bahwa kalian semua akan terpisah-pisah seperti ini. Dan Ang I Niocu seolah-olah baru saja kembali dari lubang kubur! Ketahuilah, Niocu, bahwa tak seorang pun pernah menduga bahwa kau masih hidup! Syukurlah, semuanya berada dalam selamat, ini menambahkan keyakinanku bahwa kalian adalah orang-orang baik yang berada dalam lindungan Thian!”
Dengan singkat Ang I Niocu menceritakan pengalamannya bagaimana dia sampai dapat tertolong dari pulau yang meledak itu, akan tetapi sama sekali dia tidak menyebut nama Lie Kong Sian. Sedangkan Ma Hoa lalu menuturkan pengalamannya ketika dia dan Kwee An terjerumus ke dalam jurang dan betapa dia mendapat pelajaran dari seorang pertapa bernama Hok Peng Taisu, kakek botak yang telah mengajarkan Ilmu Silat Bambu Kuning kepadanya.
“Hebat, hebat! Kau beruntung sekali, Ma Hoa! Ketahuilah bahwa Hok Peng Taisu adalah seorang tokoh besar dan dulu ketika aku masih muda, pernah aku mendapat pertolongan dari Si Botak itu hingga sampai sekarang gurumu ini masih dapat hidup! Dulu aku pernah dikepung oleh imam-imam dari perkumpulan Agama Ngo-bwe-kauw dan ketika aku telah terdesak hebat dan terancam bahaya maut, Si Botak itu yang datang menolongku. Dan sekarang, kembali dia menolong jiwamu dan bahkan memberi pelajaran ilmu silat yang tinggi kepadamu! Bagus, bagus, sebelum aku mati, aku harus menemui Si Botak itu untuk berlutut menghaturkan terima kasih padanya. Kini kau perlihatkanlah kepandaianmu yang baru itu!”
Ma Hoa menganggap Nelayan Cengeng seperti ayah sendiri, maka tanpa ragu-ragu lagi ia segera mengeluarkan sepasang bambu runcingnya dan bersilat dengan cepat. Melihat betapa gadis itu dengan rambut berkibar melambai-lambai menggerakkan kedua batang bambu runcing hingga kedua batang bambu yang berwarna kuning itu merupakan sinar panjang berbelit-belit bagaikan ratusan ekor ular kuning sedang saling belit dan bergerak-gerak dengan ruwet dan aneh, tidak saja Kwee An memandang dengan kagum dan rasa kasih sayangnya bertambah, juga Ang I Niocu dan Nelayan Cengeng merasa kagum luar biasa. Setelah Ma Hoa selesai bersilat, gurunya kembali tertawa dengan gembira dan air matanya mengucur makin deras!
“Adik Ma Hoa, ilmu silatmu sekarang sudah maju hebat, sungguh membuat aku merasa kagum sekali,” kata Ang I Niocu dengan sejujurnya.
“Ah, Enci Im Giok, jangan kau terlalu memuji. Aku masih banyak mengharapkan petunjuk darimu,” kata Ma Hoa sambil menyimpan kembali kedua batang bambu runcingnya.
Kembali Ang I Niocu mengusulkan untuk mencari Lin Lin dan Cin Hai secara terpisah agar lebih banyak harapan dan lebih cepat bertemu dengan kedua anak muda itu.
“Biarlah Kong Hwat Lojin mengawani kalian berdua, dan aku akan mencari sendiri,” kata Ang I Niocu yang memang lebih suka melakukan perjalanan seorang diri.
Biar pun Ma Hoa merasa agak sayang untuk berpisah lagi dengan wanita pandekar yang disayanginya itu, namun ia anggap usul ini betul juga.
“Akan tetapi kita harus menentukan tempat berkumpul kembali supaya kita tidak saling mencari tanpa mengetahui di mana kita harus saling mengadakan pertemuan,” Nelayan Cengeng berkata.
Lalu mereka mengadakan permufakatan untuk bertemu di rumah Kwee An. Semua orang setuju dan pada waktu mereka hendak melanjutkan perjalanan secara terpisah, tiba-tiba mereka mendengar dengan sayup-sayup suara orang bertempur. Mereka saling pandang dengan heran dan keempatnya lalu lari menuju ke arah dari mana suara itu datang.
Pada waktu itu hari telah mulai menjadi gelap, akan tetapi di udara banyak bintang hingga keadaan tak terlalu gelap. Suara beradunya senjata dan teriakan-teriakan itu datang dari tengah hutan dan ketika mereka tiba, di suatu tempat terbuka, mereka melihat dua orang laki-laki sedang bertempur dengan hebatnya!
Seorang di antara mereka adalah seorang laki-laki gagah perkasa yang berusia kira-kira empat puluh tahun lebih. Dia bersenjata sebuah alat tetabuhan yang memiliki empat tali. Gerakannya sangat hebat dan angin gerakannya membuat daun-daun pohon bergoyang-goyang!
Lawannya juga seorang yang lihai sekali, yaitu seorang pendeta bertubuh pendek gemuk, berjubah merah dan memegang sebuah gendewa sebagai senjata. Gerakannya juga lihai sekali dan setiap kali ujung gendewanya beradu dengan senjata lawannya, bunga api lalu memercik tinggi, tanda bahwa selain kedua senjata itu terbuat dari logam yang keras, juga bahwa tenaga mereka besar dan seimbang!
Mereka berempat, bahkan Nelayan Cengeng sendiri tidak tahu siapa adanya dua orang yang berilmu tinggi itu. Sebenarnya, orang yang bersenjata alat musik itu bukan lain ialah Sie Ban Leng atau paman Cin Hai yang dahulu telah mengkhianati ayah Cin Hai hingga keluarganya terbinasa! Sedangkan pendeta jubah merah itu adalah Sian Kek Losu, yaitu seorang pendeta Sakya Buddha, atau sute dari Thai Kek Losu yang lihai dan menjadi jago nomor dua dari semua tangan kanan Yagali Khan, Raja Muda Mongol itu!
Makin bertambah banyaknya orang-orang Turki yang mendatangi Tiongkok bagian barat, membuat kaisar menaruh curiga, maka kemudian kaisar memerintahkan panglimanya untuk mengirim seorang utusan atau penyelidik. Kam Hong Sin atau Kam-ciangkun yang kini menjadi panglima tertinggi kerajaan ialah seorang yang amat lihai dalam melakukan tugasnya. Ia maklum bahwa tugas seorang penyelidik di barat bukanlah suatu tugas yang ringan dan yang dapat dilakukan oleh sembarang orang saja, karena itu dia lalu minta pertolongan kawan baiknya dengan memberi hadiah dan upah besar. Kawan baiknya ini bukan lain ialah Sie Ban Leng!
Juga Yagali Khan menyebar orang-orangnya untuk melihat gerak-gerik orang Turki yang menjadi musuhnya. Di antara orang-orangnya ini, Sian Kek Losu turut pula melakukan perjalanan ke barat untuk melihat keadaan. Maka bertemulah Sian Kek Losu dengan Sie Ban Leng di tempat ini hingga setelah mengetahui bahwa mereka datang dari pihak yang bermusuhan, bertempurlah mereka dengan hebatnya.
Gerakan serangan Sie Ban Leng benar-benar hebat luar biasa. Senjatanya yang aneh itu menyambar-nyambar dan tak pernah berhenti menyerang karena setiap kali serangannya dapat dielak, senjatanya itu membuat gerakan melengkung lantas terus membabat dan memukul lagi hingga serangan itu dilakukan tanpa pernah tertunda, merupakan serangan bertubi-tubi sehingga membuat pendeta Sakya Buddha itu tersedak hebat.
Tiba-tiba saja pendeta Sakya Buddha itu melompat mundur dan gerakan tubuhnya yang pendek itu amat gesitnya hingga sekali melompat ia telah berada di tempat yang jauhnya tidak kurang dari lima tombak. Ketika Sie Ban Leng melompat untuk menerjang lagi, Sian Kek Losu telah mengeluarkan anak panah yang lalu dipasangnya pada gendewanya dan begitu terdengar suara tali gendewa menjepret, tujuh batang anak panah sekaligus lantas melayang ke arah tubuh Sie Ban Leng di beberapa bagian!
Terkejutlah Nelayan Cengeng beserta kawan-kawannya melihat kehebatan dan bahaya besar yang mengancam orang Han itu. Betapa pun juga, dan biar pun mereka tidak kenal siapa adanya dua orang itu dan mengapa pula mereka bertempur, akan tetapi sebagai orang-orang Han, sedikit banyak mereka memihak bangsa sendiri. Ini merupakan watak manusia pada umumnya, maka melihat bahaya yang mengancam Sie Ban Leng, tanpa terasa pula Nelayan Cengeng mengeluarkan seruan tertahan.
Akan tetapi kalau kepandaian memanah dari Sian Kek Losu hebat, maka kegesitan Sie Ban Leng lebih hebat lagi. Ia berseru keras dan untuk mengelak sambaran tujuh batang anak panah yang dilepas dari dekat dan yang melayang dengan kecepatan luar biasa itu memang sudah tak mungkin, maka tiba-tiba ia mengenjot kakinya dan kaki itu melayang ke atas dengan kepala di bawah.
Dengan demikian, maka tubuh bagian bawah yang terancam oleh panah sudah terhindar dari bahaya dan untuk menjaga kepalanya ia memutar-mutar senjatanya sedemikian rupa sehingga dua batang anak panah yang tadinya mengarah ke mata dan tenggorokannya, dengan suara keras lantas beradu dengan senjatanya.
Sebatang anak panah dapat dipukul jatuh, akan tetapi yang sebatang lagi menancap di perut alat musik itu. Anak panah yang terpukul itu melayang dengan masih cepatnya ke arah Ang I Niocu yang berdiri paling depan.
Dengan tenang Ang I Niocu segera memegang ujung ikat pinggangnya yang melambai ke bawah dan sekali dia menggerakkan tangan, ikat pinggangnya meluncur dan ujungnya dapat menangkis anak panah yang menuju kepadanya hingga jatuhlah anak panah itu di atas tanah.
“Kau berani merusak alat musikku?!” teriak Sie Ban Leng dengan marah dan ia melompat lalu mengirim serangan berupa pukulan hebat ke arah kepala pendeta pendek itu.
Kalau pukulan itu mengenai sasaran, pasti kepala Sian Kek Losu akan menjadi remuk. Akan tetapi Sian Kek Losu sudah siap sedia. Walau pun dia tadi merasa terkejut sekali melihat betapa lawannya sanggup menghindarkan diri dari semua anak panahnya, akan tetapi ketika lawannya menyerbu dengan pukulan senjata, dia lalu maju dan menggempur senjata lawan itu dengan gendewanya. Akan tetapi, sekali ini Sie Ban Leng benar-benar mengerahkan seluruh tenaganya sehingga saat gendewa itu beradu dengan senjatanya, Sian Kek Losu terdorong ke belakang dengan keras!
Sie Ban Leng tidak mau memberi hati dan mendesak terus. Akan tetapi pada saat itu, dari dalam gerumbulan pohon keluarlah tujuh orang pahlawan Mongol, di antaranya nampak Balaki yang lihai. Segera mereka menyerbu dan mengeroyok Sie Ban Leng yang tertawa bergelak dan berkata,
“Majulah! Majulah kalian tikus-tikus Mongol!” dan dia memutar-mutar senjatanya dengan hebat.
Tadi ketika Sian Kek Losu bertempur dengan Sie Ban Leng, Kwee An mengusulkan untuk membantu, akan tetapi dia dicegah oleh Ang I Niocu yang menyatakan bahwa orang Han itu tidak akan kalah.
Akan tetapi kini setelah melihat betapa banyak orang Mongol yang berilmu silat tinggi dan lihai membantu dan mengeroyok orang Han itu, tanpa mendapat komando lagi Nelayan Cengeng lalu menyerbu sambil memutar-mutar dayungnya dengan hebat dan berteriak, “Pengecut, pengecut! Mengapa terjadi pengeroyokan??”
Ang I Niocu, Kwee An dan Ma Hoa juga lalu menerjang maju hingga sebentar saja pihak Mongol menjadi kacau balau karena biar pun mereka itu lihai, namun empat orang yang membantu Sie Ban Leng ini adalah orang-orang yang mempunyai ilmu kepandaian lebih tinggi dari pada mereka, sedangkan pihak mereka yang dapat mengimbangi kepandaian Nelayan Cengeng dan kawan-kawannya hanyalah Sian Kek Losu dan Balaki. Maka atas aba-aba yang dikeluarkan oleh Balaki, mereka lalu melompat mundur dan menghilang di dalam gelap.
“Ha-ha-ha-ha! Hanya begitu saja kelihaian orang-orang Mongol!” Sie Ban Leng berseru dengan suara menyatakan kebanggaannya.
Mendengar kata-kata serta melihat lagak Sie Ban Leng ini, diam-diam Nelayan Cengeng merasa tak suka, apa lagi ketika orang itu memandang ke arah Ang I Niocu dengan mata terbelalak kagum dan bibir tersenyum dibuat-buat. Pandangan ini dapat pula ditangkap oleh Ang I Niocu dan tahulah ia bahwa batin laki-laki ini tidak bersih.
“Cuwi gagah perkasa sekali dan kalau Cuwi tak keburu datang, tentu akan makan waktu lama sebelum aku dapat merobohkan mereka seorang demi seorang,” kata Sie Ban Leng sambil mengerling kepada Ang I Niocu.
Kwee An dan Ma Hoa merasa mendongkol mendengar ucapan sombong ini! Kalau saja mereka tahu bahwa orang yang sudah dibantunya ini demikian sombongnya, belum tentu mereka mau turun tangan.
“Ha-ha-ha, pendeta pendek tadi adalah jago ke dua dari Yagali Khan yang bernama Sian Kek Losu, tak tahunya hanya sebegitu saja kepandaiannya. Kalau kawan-kawannya tidak keburu datang mengeroyokku, pasti kepalanya yang licin itu akan remuk oleh senjataku!” Kembali Sie Ban Leng menyombong. “Kalau terjadi demikian barulah mereka tahu bahwa aku Sie Ban Leng Si Tubuh Baja bukanlah orang yang boleh dibuat permainan!”
Biar pun ucapan ini seakan-akan ucapan yang ditujukan kepada diri sendiri, namun jelas bahwa maksudnya adalah memperkenalkan diri berikut nama julukannya Si Tubuh Baja! Ang I Niocu yang merasa sebal karena beberapa kali dilirik, lalu berkata kepada Nelayan Cengeng,
“Lo-enghiong, mari kita lekas keluar dari tempat yang gelap dan kotor ini dan melanjutkan perjalanan kita!”
Juga Kwee An dan Ma Hoa kemudian membalikkan tubuh dan meninggalkan tempat itu. Nelayan Cengeng tertawa bergelak-gelak hingga keluar air matanya ketika dia bertindak pergi meningalkan Sie Ban Leng sambil berkata, “Sobat, kau cukup gagah perkasa, akan tetapi kalau kau berdiri di tempat terlampau tinggi, ada bahayanya kau akan tergelincir jatuh!”
Sie Ban Leng merasa penasaran sekali oleh karena keempat orang itu, terutama Dara Baju Merah yang cantik bagaikan bidadari itu belum memperkenalkan diri. Akan tetapi oleh karena mereka telah pergi, ia tidak dapat menahan mereka. Diam-diam ia mengikuti mereka dari jauh dan ketika tiba di luar hutan, melihat bahwa Ang I Niocu memisahkan diri dan berpisah dari tiga orang yang lain, hatinya girang bukan main dan diam-diam dia lalu mengejar Ang I Niocu!
Ada pun Kwee An, Ma Hoa dan Nelayan Cengeng, lalu melanjutkan perjalanan mereka ke Kansu. Di sepanjang jalan mereka membicarakan pertemuan mereka dengan Sie Ban Leng yang sombong itu.
“Dulu aku pernah mendengar nama Si Tubuh Baja itu, kalau tidak keliru, beberapa tahun yang lalu dia menjagoi di kota raja dan mempunyai hubungan erat dengan para Perwira Sayap Garuda. Akan tetapi kemudian dia lalu menjelajah ke daerah barat. Mungkin dia inilah orangnya!”
Ma Hoa sendiri biar pun menjadi putera seorang Perwira Sayap Garuda, akan tetapi oleh karena semenjak kecil lebih sering berada bersama Nelayan Cengeng mempelajari ilmu silat, maka ia belum pernah bertemu dengan Sie Ban Leng atau mendengar namanya.
Ketiga orang ini segera melanjutkan perjalanan menuju ke Propinsi Kansu, dan baru saja mereka mulai memasuki Propinsi ini, mereka telah bertemu dengan banyak orang yang terdiri dari berbagai suku bangsa, akan tetapi yang terbanyak adalah suku bangsa Hui. Mereka melanjutkan perjalanan menuju ke ibu kota Kansu, yaitu Lan-couw yang besar dan ramai. Di sinilah terdapat banyak sekali perantau-perantau dari Turki yang menjadi saudagar dan membeli banyak kulit dan bulu onta yang panjang dan tinggi mutunya dari daerah ini…..
********************
Cin Hai terus mengejar pria pesolek yang melarikan Lin Lin sambil mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat. Dia merasa heran sekali karena biar pun ilmu ginkang-nya sudah mencapai tingkat yang tinggi, namun orang itu masih saja belum dapat tersusul olehnya, padahal orang itu berlari sambil mengempit tubuh Lin Lin yang tidak berdaya karena telah tertotok secara lihai sekali!
Akan tetapi ia tidak mau kalah dan andai kata orang itu membawa lari Lin Lin menuju ke lautan api sekali pun, ia akan tetap mengejar! Fajar telah menyingsing dan matahari telah mulai timbul ketika mereka masih saja berkejaran hingga mereka tiba di tanah datar yang kering dan luas.
Akhirnya, orang pesolek itu melarikan diri naik ke sebuah bukit kecil di sebelah kiri, terus dikejar oleh Cin Hai. Melihat betapa pengejarnya tidak mau mengalah, akhirnya pesolek itu lalu berhenti dan sambil mengempit tubuh Lin Lin di dalam pelukan lengan kirinya, dia menunggu dengan mulut tersenyum akan tetapi sepasang matanya memancarkan sinar mengancam hebat!
Cin Hai berlari dan melompat ke hadapannya sambil memaki, “Bangsat berjiwa rendah! Kau masih tidak hendak melepaskan gadis itu?”
“Ehh, bocah kurang ajar, kau ini siapakah maka berani berlaku kurang ajar di depanku? Apakah kau tidak tahu bahwa kini kau tengah berhadapan dengan Kwi-eng-cu (Bayangan Setan) yang berarti akan mendatangkan maut bagimu apa bila kau menentangnya? Dan apakah hubunganmu dengan gadis ini? Kuperingatkan kepadamu agar segera pergi dan jangan ikut mencampuri urusanku!”
“Orang rendah! Ternyata yang kau hias hanya mukamu saja sehingga biar pun di luar kau nampak cakap dan bersih, tetapi sebetulnya di sebelah dalam dari tubuhmu bersembunyi batin yang rendah, buruk dan kotor! Kuakui bahwa kepandaianmu memang tinggi, akan tetapi jangan kau kira bahwa aku takut kepadamu! Aku Pendekar Bodoh, tak pernah takut menghadapi seorang penjahat, betapa pun gagahnya dia! Lepaskan gadis itu kalau kau masih sayang jiwamu sendiri!”
“Ha-ha-ha! Masih baik kalau kau mengaku bodoh, karena memang kau bodoh dan tolol! Mungkin kau memang pendekar, karena kepandaianmu berlari cepat tidak rendah, dan kau memang bodoh karena tidak tahu akan kehendak seorang laki-laki seperti aku! Gadis ini cantik jelita dan manis, ada pun aku seorang laki-laki yang gagah dan tampan, maka sekarang aku menawannya dengan maksud apa? Tentu saja, kau akan mengerti sendiri kalau saja kau tidak sedemikian bodoh! Aku hendak mengambil dara ini sebagai isteriku, isteri yang tercinta, karena gadis seperti inilah yang sejak dulu kucari-cari untuk menjadi jodohku! Nah, sekarang kau sudah mendengar maksudku membawa gadis ini, maka kau pulanglah ke rumah ibumu dan jangan mencari penyakit dengan ikut mencampuri urusan pribadi orang lain!”
“Bangsat cabul!” Cin Hai memaki marah bukan main. “Bukalah telingamu baik-baik! Gadis ini ialah tunanganku! Siapa sudi untuk mencampuri urusanmu yang kotor? Kau lepaskan tunanganku ini dan baru aku mau mengampuni jiwamu yang rendah!”
Mendengar ucapan ini, berdirilah kedua alis orang itu. Hidungnya yang mancung itu lalu berkembang-kempis, dan meski pun mulutnya masih tersenyum, namun Cin Hai melihat betapa sinar matanya bernyala-nyala bercahaya.
“Bagus, kalau begitu mampuslah kau!” tiba-tiba saja orang itu membentak dan sekali saja tubuhnya berkelebat, ia menyerang Cin Hai dengan tangan kanannya! Serangan ini hebat sekali dan dari lengan tangan orang itu mengepul uap putih.
Melihat betapa orang ini mempergunakan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut, kembali Cin Hai terheran dan dia segera melawan dengan Pek-in Hoat-sut juga! Orang itu terkejut sekali melihat gerakan Cin Hai ini, dan cepat ia merobah ilmu silatnya dengan Kong-ciak Sinna. Akan tetapi kembali ia terheran sampai mengeluarkan suara tertahan ketika Cin Hai juga melawannya dengan Ilmu Silat Kong-ciak Sinna yang sama pula!
Kembali orang itu merobah ilmu silatnya dengan berbagai macam pukulan yang lihai dan permainan silat pilihan yang tinggi, namun dengan mempergunakan pengertiannya dalam hal segala macam gerakan tangan dan kaki, Cin Hai melayaninya dengan gerakan yang sama pula.
“Ehg, ehh tahan dulu!” kata orang itu sambil melompat ke belakang.
“Apa kehendakmu?” tanya Cin Hai sambil berdiri tenang dan memandang tajam.
“Kau yang mengerti Pek-in Hoat-sut dan Kong-ciak Sinna serta yang paham akan dasar persilatan, siapakah kau dan siapa pula Gurumu?”
“Aku pun sedang terheran-heran melihat betapa seorang yang pandai Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut dan Kong-ciak Sinna sampai terjerumus ke dalam lembah kehinaan seperti kau! Sebelum aku bertanya, kau sudah mengajukan pertanyaan lebih dahulu, maka dengarlah baik-baik! Aku bernama Sie Cin Hai atau Pendekar Bodoh dan suhu-ku ialah Bu Pun Su!”
Untuk sesaat wajah pesolek itu menjadi pucat dan dia memandang seakan-akan melihat setan, namun dari sinar matanya mengandung ketidak percayaan.
“Maukah kau bersumpah bahwa kau benar-benar murid Bu Pun Su?” tanyanya.
“Bukan hanya aku, bukalah lebar-lebar kedua matamu, karena gadis yang kau tawan itu pun seorang murid Suhu Bu Pun Su pula,” kata Cin Hai.
Tiba-tiba berubahlah wajah orang itu. Dia tersenyum dan tiba-tiba dia mengangkat tangan dengan girang. “Kalau begitu, kau adalah Sute-ku dan gadis ini adalah Sumoi-ku! Lebih baik lagi! Sute, dengarlah bahwa Bu Pun Su adalah Supek-ku (Uwa Guru) karena aku adalah murid dari Guruku Han Le!”
Cin Hai merasa terkejut sekali dan mengertilah dia mengapa orang ini demikian lihainya dan mengerti Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut dan Kong-ciak Sinna dengan baiknya.
“Hm, hmm, kalau begitu kau benar adalah Seheng-ku sendiri. Mengapa Suhu tak pernah menceritakan tentang kau. Siapakah namamu?”
Sambil tertawa orang itu berkata “Namaku adalah Song Kun dan ketika aku mempelajari ilmu silat dari Suhu di atas Pulau Kim-san-to, Supek sering kali datang dan bahkan beliau pernah memberi pelajaran beberapa ilmu kepadaku, dan sekarang aku perintahkan agar supaya kau tinggalkan aku dan Sumoi!”
“Apakah yang hendak kau perbuat kepada tunanganku ini?” tanya Cin Hai dengan suara gemas.
“Sute, dengarlah baik-baik. Sebagai seorang saudara muda yang baik dan berbakti, kau harus mengalah padaku. Sumoi-ku ini hendak kubawa pulang dan hendak kuambil untuk menjadi isteriku. Terus terang saja, semenjak aku melihatnya, timbul cintaku yang besar kepadanya.”
“Tapi dia adalah tunanganku!” kata Cin Hai penasaran.
“Sute, sudah selayaknya apa bila seorang saudara muda mengalah terhadap kakaknya. Suheng-nya belum kawin, mana sute-nya boleh bertunangan? Kau mengalahlah padaku kali ini, Sute. Biar lain kali aku mencarikan jodoh yang manis dan jelita untukmu!”
“Aku tidak mempunyai seorang Suheng seperti macammu!” teriak Cin Hai dengan sangat marahnya. “Kalau kau tidak mau melepaskan Lin Lin, biarlah kita mengadu jiwa di tempat ini!”
Kedua mata Song Kun berkilat. “Apakah benar-benar kau sudah bosan hidup? Dengarlah kau, bocah sombong! Jangankan baru kau, biar Suhu hidup kembali atau Supek datang membantumu, jangan harap kau akan bisa menangkan Kwie-eng-cu!”
“Jangan banyak cakap dan kau cobalah saja!” seru Cin Hai sambil melangkah maju.
Bukan main marahnya Kwie-eng-cu melihat sikap Cin Hai yang menantang ini. Tangan kanannya bergerak dan tahu-tahu sebatang pedang sudah berada di tangan itu. Cin Hai terkejut bukan main melihat pedang ini karena pedang itu mengeluarkan cahaya yang menyilaukan dan sinar merah yang keluar dari pedang itu mendatangkan hawa panas!
Inilah pedang Ang-ho Sian-kiam yang luar biasa dan yang ratusan tahun yang lalu telah menjadi pedang pusaka yang keramat di istana kaisar. Ketika pedang ini jatuh ke dalam tangan Song Kun, maka seakan-akan dia menjadi seekor naga yang tumbuh sayap!
Cin Hai juga mencabut keluar Liong-coan-kiam dari dalam bajunya dan ketika Song Kun melompat dan menerjangnya, dia lalu mengeluarkan ilmu pedangnya Daun Bambu yang lihai! Song Kun terkejut sekali melihat gerakan ilmu pedang ini oleh karena biar pun dia telah mewarisi hampir seluruh kepandaian Han Le, belum pernah ia melihat gerakan ilmu pedang yang sedemikian aneh dan lucunya, akan tetapi berbareng juga lihai sekali.
Dan oleh karena tangan kirinya masih mengempit tubuh Lin Lin maka gerakannya kurang leluasa sekali. Apa lagi ketika selain menggerakkan pedang untuk menyerang, Cin Hai juga menggunakan tangan kiri untuk mengirim pukulan-pukulan ke arah jalan darahnya!
Song Kun lantas memutar-mutar pedangnya dengan ganas dan mencoba untuk mengadu pedangnya itu dengan pedang Cin Hai. Akan tetapi Cin Hai cukup maklum bahwa pedang lawannya ini berbahaya sekali maka ia selalu menghindarkan beradunya kedua senjata, dan bahkan memperhebat serangan tangan kirinya.
Pada suatu kesempatan, tangan kiri Cin Hai mendorong dengan tenaga penuh ke arah pelipis lawannya dan dalam keadaan terdesak, Song Kun terpaksa melemparkan tubuh Lin Lin untuk mengangkat tangan kirinya menangkis. Tubuh Lin Lin terlempar ke kiri dan terus masuk ke dalam sebuah jurang yang curam!
Cin Hai menjerit ngeri melihat betapa tubuh kekasihnya terlempar ke dalam jurang dan saat itu dipergunakan oleh Song Kun yang telah menjadi marah sekali itu untuk mengirim tusukan ke arah dadanya, dibarengi dengan pukulan tangan yang dimiringkan ke arah lambung Cin Hai. Cin Hai merasa terkejut sekali, ia lalu mempergunakan gerakan Awan Putih Mengusir Mendung dengan tangan kirinya, sedangkan pedangnya diangkat untuk menangkis.
Dua batang pedang beradu keras dan terpentallah pedang Liong-coan-kiam dari tangan Cin Hai dalam keadaan patah menjadi dua sedangkan tubuh Cin Hai terhuyung-huyung ke belakang! Ketika ia diserang tadi, semangatnya sedang melayang mengikuti tubuh Lin Lin dan hatinya berdebar kuatir, maka ia menjadi korban serangan berbahaya dari Song Kun Yang lihai itu.
Song Kun tertawa girang dan penuh ejekan, kemudian ia terus menyerang dengan hebat hingga Cin Hai terpaksa menggunakan ginkang-nya untuk mengelak dan mengeluarkan Ilmu Pukulan Kong-ciak Sinna untuk menghadapi lawannya yang lihai bersilat dengan tangan kosong.
Pada saat itu pula, dari jurang di mana tadi Lin Lin jatuh, melayang keluar seorang kakek sambil menggendong tubuh Lin Lin dan ternyata bahwa kakek ini bukan lain ialah Bu Pun Su! Kakek ini langsung melompat ke tempat pertempuran dan sekali dia mengebutkan lengan bajunya yang panjang, pedang di tangan Song Kun kena tertangkis hingga tangan Song Kun menjadi tergetar dan dia melompat ke belakang dengan kaget sekali.
“Suhu...!” kata Cin Hai dengan girang sekali sebab melihat betapa suhu-nya telah berhasil menolong Lin Lin. Saking girangnya, pemuda ini sampai menitikkan dua butir air mata.
“Ahh, kiranya Supek yang datang!” kata Song Kun dengan pedang dilintangkan di dada dan dia tidak mau memberi hormat sama sekali terhadap supek-nya itu.
“Song Kun kau terjerumus ke dalam lembah kesesatan, tidak insyafkah kau?” berkata Bu Pun Su dengan suara kereng.
Song Kun tersenyum dengan penuh ejekan dan kesombongan.
“Teecu tidak tahu akan maksud ucapan Supek ini,” jawabnya.
“Orang tersesat! Baiknya Suhu-mu telah meninggal, kalau tidak, dia tentu akan berduka sekali melihat betapa muridnya yang terkasih menjadi seorang yang berbudi rendah! Song Kun, perbuatanmu yang rendah masih nampak di depan mata, apakah kau masih saja belum mau mengakuinya? Kau menculik seorang gadis dan walau pun kau sudah mengetahui bahwa dia ini adalah seorang Sumoi-mu sendiri tetapi kau masih tetap akan melanjutkan kesesatanmu.”
“Teecu mencinta dia, apakah salahnya itu? Apakah Supek akan merintangi orang muda yang mencinta seorang wanita dan hendak mengambilnya menjadi isteri? Supek, hal ini adalah urusan orang-orang muda dan orang tua tidak berhak mencampurinya!”
Ucapan ini benar-benar kurang ajar sekali hingga Cin Hai merasa betapa dua tangannya gatal-gatal hendak turun tangan menyerang suheng yang jahat itu.
“Sesudah Suhu meninggal, yang berhak mengajar teecu hanyalah seheng-ku, Lie Kong Sian seorang! Akan tetapi, kalau Supek hendak merendahkan dan menurunkan tangan kejam kepada teecu, silakan, teecu sedikit pun tidak merasa takut!”
Kalau kiranya bukan Bu Pun Su yang menerima tantangan ini, tentu dia akan menjadi marah dan tak bersabar lagi. Akan tetapi kakek jembel ini memiliki kesabaran yang luar biasa dan lagi ia merasa tidak tega untuk menurunkan tangan besi kepada seorang murid sute-nya.
“Song Kun, Suhu-mu dahulu sudah keliru memilih murid. Aku tidak sudi untuk mengotori tanganku pada tubuhmu. Akan tetapi, jika kau hendak memaksa dan melanjutkan niatmu ingin menculik muridku perempuan ini, kau majulah dan boleh kau coba-coba kepandaian Supek-mu!” Sambil berkata demikian, Bu Pun Su melangkah maju dan menghadapi Song Kun dengan dada terangkat.
Kalau saja Song Kun mengangkat tangan dan menusuk dengan pedangnya, maka dada kakek itu akan tercapai oleh ujung pedang. Akan tetapi Song Kun tidaklah sedemikian bodoh untuk melakukan hal ini.
Ia maklum bahwa ilmu kepandaian Bu Pun Su amat tinggi dan bahwa saat itu Bu Pun Su sedang memancing-mancing agar ia turun tangan lebih dulu hingga kakek ini mempunyai alasan untuk menghajarnya! Kalau tadi dia mengeluarkan ucapan menantang, itu hanya karena ia merasa yakin bahwa Bu Pun Su takkan mau turun tangan terhadapnya. Maka, sambil tertawa mengejek ia berkata dan memasukkan pedangnya kembali.
“Supek, dunia bukanlah sebesar telapak tangan. Di mana-mana banyak terdapat wanita cantik, maka untuk apakah teecu harus berebut seorang gadis dengan Supek-ku sendiri? Ha-ha-ha, ini amat menggelikan dan akan menjadi buah tutur orang-orang saja! Supek, teecu tidak mau nekat merebut perempuan ini, biarlah kalau Supek menghendakinya, dia boleh diambil! Akan tetapi,” katanya sambil menuding kepada Cin Hai dengan pandangan mata mengancam, “kau telah berani turun tangan kepada aku yang menjadi Seheng-mu, maka awaslah kau! Lain kali bila kita bertemu, jangan harap aku akan dapat mengampuni jiwamu lagi!” Setelah berkata demikian, Song Kun menjura di depan Bu Pun Su sambil tersenyum menyindir, kemudian tubuhnya berkelebat dan lari turun dari bukit itu!
Bu Pun Su menghela napas. “Kasihan sekali bahwa Han Le harus pula menerima nama busuk sesudah mati oleh karena perbuatan muridnya itu! Ahh, begitulah kalau guru salah menerima murid. Tidak heran bahwa jarang ada orang-orang cerdik pandai yang mau mengambil murid. Cin Hai, kau sudah menyaksikan sendiri betapa tinggi ilmu silat Song Kun dan betapa hebat pedang Ang-ho Sian-kiam itu sehingga Liong-coan-kiam sendiri sampai terputus olehnya! Melihat mukanya, orang seperti dia itu tentu akan membuktikan ancamannya, maka mulai sekarang kau harus berlaku hati-hati sekali. Juga Lin Lin berada dalam bahaya, maka baiknya biarlah dia ikut padaku untuk memperdalam ilmu silatnya sehingga cukup kuat apa bila kelak bertemu dengan Song Kun.”
Kakek itu lalu membebaskan totokan yang mempengaruhi tubuh Lin Lin hingga gadis itu dapat bergerak kembali dan berlutut di depannya.
“Lin Lin, kalian sudah menanam bibit permusuhan dengan Song Kun yang merupakan lawan tangguh sekali. Jangankan kau, bahkan Cin Hai sendiri apa bila tidak mempunyai pedang yang mampu melawan Ang-ho Sian-kiam, agaknya akan sukar sekali untuk dapat merobohkan dia. Maka, sekarang kau ikutlah aku untuk memperdalam ilmu pedangmu yang masih mentah. Dan kau, Cin Hai, kau pergilah ke Kansu. Di antara ratusan buah goa yang terdapat di Kansu, yaitu goa-goa Tun-huang, di situ terdapat sebuah goa yang menyimpan sepasang pedang mustika yaitu Liong-cu Siang-kiam atau Sepasang Pedang Mustika Naga. Hanya pedang itulah agaknya yang sanggup dihadapkan dengan Ang-ho Sian-kiam (Pedang Dewa Api Merah) dari Song Kun tadi! Kelak, kau boleh menyusul Lin Lin ke Goa Tengkorak.”
Cin Hai lalu berlutut dan menyatakan bahwa dia hendak mentaati perintah suhu-nya itu. Kemudian Bu Pun Su meninggalkan tempat itu bersama Lin Lin sesudah kedua orang muda itu saling lirik dengan pandangan mata yang mesra.
Cin Hai lalu bangun dan berdiri memandang sampai bayangan dua orang itu terlenyap di sebuah tikungan. Hatinya merasa lega dan gembira, Lin Lin telah tertolong dan selamat dan kini ia tidak perlu merasa kuatir lagi oleh karena di dalam tangan Bu Pun Su, gadis itu akan aman sentosa melebihi dari pada dalam pelukan ibu sendiri!
Ia lalu memikirkan keadaan Yousuf yang lenyap dan menguatirkan keadaan orang Turki yang budiman itu. Akan tetapi, kebetulan sekali dia mendapat tugas mencari pedang di Propinsi Kansu dan dia mengambil keputusan untuk sekalian mencari jejak Yousuf dan apa bila perlu menolong orang Turki itu. Dia hanya menyayangkan bahwa dalam berlari mengejar Song Kun, dia telah meninggalkan hutan di mana Yousuf tinggal itu jauh sekali hingga dia pun tidak tahu di mana adanya burung bangau yang ditinggalkannya di dalam hutan.
Cin Hai tidak tahu bahwa Lin Lin yang menceritakan pengalamannya kepada Bu Pun Su di tengah jalan, lalu minta kepada kakek itu untuk mampir di hutan itu. Mereka mencari jejak Yousuf, kemudian mendengar dari seorang Turki bahwa Yousuf telah dilarikan oleh keponakannya sendiri dan kini entah berada di mana.
Dan di dalam hutan itu juga, Lin Lin mendapatkan kembali meraknya, bahkan di samping Sin-kong-ciak, di situ terdapat pula Ang-siang-kiam si Burung Bangau Besar itu sehingga kedua burung sakti itu lalu dibawa oleh Bu Pun Su ke Goa Tengkorak.....
********************
Cin Hai melanjutkan perjalanannya hingga masuk Propinsi Kansu. Propinsi ini merupakan daerah pegunungan yang tinggi dan terjal letaknya di sebelah utara Propinsi Se-cuan. Di sebelah baratnya adalah Propinsi Cing-hai, dan pada sebelah utaranya terletak Propinsi Ning-sia dan kemudian perbatasan Mongolia.
Tembok besar yang terkenal di Tiongkok itu juga dimulai dari Propinsi Kansu ini dan terus memanjang menuju ke timur. Bahkan Sungai Kuning (Huang-ho) juga melalui propinsi ini dan di sepanjang Sungai Kuning terdapat tanah pertanian yang subur. Iklim di daerah ini istimewa keringnya, hingga dengan adanya sungai Kuning yang lewat di daerah itu maka hal ini merupakan berkah yang besar bagi rakyat yang tinggal di Kansu.
Propinsi Kansu memiliki banyak kekayaan alam dan pemandangan yang cukup indah. Di ibu kota ada Bukit Pagoda Putih dan Pegunungan Cilian yang penuh dengan hutan-hutan yang kaya akan berbagai binatang. Selain pertanian yang hidup subur pada sepanjang lembah Sungai Kuning, juga usaha peternakan amat besar dikerjakan orang di tempat ini. Bulu onta dan daging lembu keluaran daerah ini terkenal sekali karena tinggi mutunya.
Di selatan terdapat padang-padang pengembalaan alam yang luas dan baik, rumputnya subur dan airnya jernih. Goa-goa Tun-huang yang beratus-ratus, bahkan mungkin seribu lebih banyaknya itu, merupakan pemandangan indah peninggalan budaya kuno. Goa-goa ini penuh dengan patung-patung dan lukisan-lukisan dinding Agama Buddha yang dibuat kira-kira pada abad ke empat.
Tidak heran apa bila daerah ini menarik perhatian orang-orang dari luar negeri. Dan yang terbanyak adalah orang-orang Turki yang datang mengembara dan mencari penghasilan di daerah yang kaya ini. Juga di sini terdapat banyak sekali suku-suku bangsa dari barat dan utara.
Pada suatu hari Cin Hai tiba di kota Ling-sia. Kota ini berada di sebelah utara tepi Sungai Huangho. Dengan hati gembira Cin Hai memasuki kota itu, berjalan pelan di sepanjang jalan raya yang penuh dengan bangunan-bangunan besar di kanan kiri.
Tiba-tiba dia mendengar suara suling berbunyi aneh, maka dia segera menghampiri arah datangnya suara itu. Ternyata bahwa yang menyuling itu adalah orang Turki yang sedang bermain sulap di sebuah lapangan terbuka. Banyak orang menonton dan mengelilinginya.
Orang Turki itu sudah tua dan dia duduk bersila di depan sebuah keranjang bambu yang besar sambil meniup sulingnya. Suling yang ditiupnya berbentuk ular dan saat dia meniup sulingnya semakin keras, tiba-tiba tutup keranjang itu terbuka perlahan-lahan dari dalam dan tersembullah kepala seekor ular yang sangat besar! Ular itu mendengar suara suling lalu merayap keluar, melingkar di atas tanah dan lehernya terangkat ke atas.
Ternyata ular itu besar sekali dan di bawah kepalanya melar berupa sendok yang besar. Itulah semacam ular kobra atau ular sendok yang berbahaya, akan tetapi terhadap suara suling itu ia terpengaruh hebat sekali hingga ia mulai menari-nari menggeleng-gelengkan kepalanya dan lehernya pun bergerak-gerak menari mengikuti irama suara suling!
Orang-orang yang menonton menjadi gembira dan mendengar suara kagum di sana-sini, ada juga suara orang yang menyatakan ngeri dan takut! Hati Cin Hai tidak tertarik melihat ular itu, akan tetapi amat tertarik mendengar suara suling dan diam-diam dia mengingat lagu suling ini di dalam hatinya.
Pada saat dia meninggalkan tempat itu tiba-tiba di lain bagian lapangan itu ia mendengar suara gembreng dan tambur, dibarengi suara orang berkata-kata dan gelak suara para penonton. Dan kiranya pada bagian itu, juga terdapat orang yang sedang memperlihatkan kepandaiannya dan ketika ia mendekati, alangkah herannya melihat bahwa yang menjual kepandaian di situ adalah seorang hwesio dan seorang tosu.
Mudah saja baginya mengenal wajah hwesio yang selalu tertawa dengan muka dan perut yang gemuk itu, dan mengenal wajah tosu yang selalu mewek mau menangis! Hwesio itu sedang membadut, perutnya yang gendut dan tidak tertutup dengan pakaian itu sebentar mengempis dan sebentar pula mengembang sampai besar dan gendut!
Pemandangan ini bagi orang-orang biasa merupakan hal yang lucu sekali, akan tetapi bagi orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian, menimbulkan kekaguman. Oleh karena perbuatan Si Gendut itu menunjukkan bahwa ia memiliki khikang yang tinggi hingga perut yang demikian besarnya dapat ditarik ke dalam hingga kempis sama sekali!
“Cuwi sekalian,” kata Si Gendut sambil tidak pernah mengubah tarikan muka yang selalu tersenyum bagaikan sebuah arca Jai-lai-hud yang peramah. “Kepandaian mengempiskan perutku hingga kecil ini banyak sekali gunanya. Di Tiongkok banyak terdapat daerah yang kekurangan makan, sedangkan pinceng adalah seorang perantau. Pada waktu pinceng berada di daerah kering, kalau tidak ada makanan yang boleh dimasukkan perut, pinceng lalu menarik perut ke dalam hingga menjadi kempis dan kecil, sehingga diberi minum air semangka pun sudah kenyang! Sebaiknya, kalau pinceng berada di tempat yang subur seperti Kansu ini pinceng bisa melembungkan perut sebesar-besarnya agar supaya dapat menikmati segala macam makanan. Bahkan daging unta pun dapat masuk ke dalam perutku!”
Sambil berkata demikian, ia mengembang-kempiskan perutnya dan menggeleng-geleng kepalanya yang bulat seperti bal. Kembali orang-orang tertawa geli dan Cin Hai juga ikut tertawa. Meski pun dahulu kedua orang ini pernah membawa lari perahunya, akan tetapi terhadap Si Gendut ini yang selalu tertawa, tak mungkin orang dapat marah kepadanya!
“Akan tetapi,” kata pula hwesio itu, “Saudaraku yang kurus seperti cecak mati ini memiliki kepandaian yang lebih hebat lagi.”
Sambil berkata demikian dia menuding ke arah Ceng To Tosu yang duduk berjongkok dengan muka bagaikan mau menangis. Tidak perlu disertai kata-kata lucu, baru melihat mukanya saja sudah menimbulkan rasa geli di dalam hati sehingga kembali orang-orang tertawa bergelak.
“Jangan Cuwi mentertawakan Suheng-ku ini,” berkata pula hwesio gendut tadi, “banyak orang lihai dan berkepandaian di dunia ini, bahkan banyak pula orang yang mempunyai kekebalan hingga segala macam senjata tajam tidak dapat melukai kulitnya! Akan tetapi, saudaraku ini lebih hebat lagi. Dia tidak bisa mati oleh karena dia ini tidak mempunyai darah!”
Terdengar seruan-seruan tidak percaya. “Kalau orang tidak mempunyai darah, ia akan mati,” terdengar suara seorang penonton mencela.
“Memang kata-kata itu benar,” kata Ceng Tek Hosiang, “akan tetapi saudaraku itu adalah seorang sakti. Kalau Cuwi tidak percaya sekarang hendak kubuktikan!” Sambil berkata demikian, Si Gendut mengeluarkan sebuah pisau belati yang bergagang panjang. Pisau itu putih mengkilap, nampaknya tajam dan baru.
“Nah, lihatlah baik-baik. Pisau ini akan kutusukkan padanya dan akan kutusuk tubuhnya sampai seluruh mata pisau ini terbenam ke dalam dagingnya!” Setelah berkata demikian, ia menghampiri Ceng To Tosu yang masih saja duduk dengan mewek.
Benar saja, hwesio itu menusuk leher tosu itu hingga banyak orang memekik karena cemas. Bahkan Cin Hai merasa terkejut sekali melihat betapa pisau belati itu menancap di leher Ceng To Tosu sampai ke gagangnya! Pada saat Ceng Tek Hosiang mencabut pisaunya, benar saja tidak nampak darah sedikit pun pada leher itu, bahkan luka sedikit pun tidak!
Semua orang memandang dengan mata terbelalak, bahkan Cin Hai sendiri hampir tidak percaya pada kedua matanya sendiri. Bagaimana tosu ini dapat memiliki ilmu kepandaian yang demikian anehnya? Ilmu kekebalan untuk menolak ujung senjata yang menusuk kulit, bukanlah hal yang aneh baginya, akan tetapi kulit dan daging yang sudah tertusuk pisau sekian dalamnya akan tetapi tidak terluka dan tidak mengeluarkan darah sama sekali, adalah hal yang tak mungkin terjadi. Ilmu sihirkah yang dipergunakan oleh kedua orang ini?
Ceng To Tosu lalu membuka bajunya dan tiga kali ia ditusuk dadanya yang kurus seperti kerangka hidup itu, lalu lambungnya, dan bahkan pipinya mendapat tusukan pula. Dan semua tusukan itu biar pun dilakukan dengan kuat hingga pisau sampai menancap habis, namun setelah dicabut kembali, tosu itu sama sekali tidak terluka sedikit pun. Kemudian hwesio gendut itu melempar pisau itu ke arah sebatang pohon dan pisau itu menancap dengan keras sampai ke gagangnya.
“Nah, Cuwi lihat, bahkan batang pohon itu pun tertancap dengan mudah, menunjukkan bahwa pisau pinceng ini benar-benar tajam dan tidak palsu, namun menghadapi ilmu kepandaian Seheng-ku ini, pinceng tidak berdaya.”
“Lihai sekali...,” semua orang berseru.
Hwesio gendut itu lalu menjura sambil berkata, “Pertunjukan kami selesai sampai di sini saja, kalau ada jodoh kita saling bertemu lagi!” Maka semua penonton lalu bubaran dan tiada hentinya mereka membicarakan kelihaian tosu yang kurus kering itu.
Cin Hai yang menyaksikan itu semua, dari rasa heran menjadi rasa penasaran hebat. Ia pernah menyaksikan kepandaian dua pertapa ini dan ternyata bahwa kepandaian mereka biar pun lihai, namun tidak melebihi kepandaiannya sendiri. Akan tetapi ilmu kepandaian yang baru diperlihatkan oleh Ceng To Tosu itu, benar-benar membuat dia kagum dan tak mengerti.
Maka setelah semua orang bubaran, ia lalu bertindak menghampiri dan menjura.
“Jiwi-suhu apakah baik-baik saja?”
Ketika hwesio dan tosu itu melihat Cin Hai, keduanya merasa terkejut, akan tetapi Ceng Tek Hosiang tetap tertawa dan Ceng To Tosu tetap mewek.
“Ahh, ahh, kiranya Sie-taihiap Si Pendekar Bodoh!” kata Ceng To Tosu. “Bagaimana bisa sampai di sini, Taihiap?”
Sementara itu sambil tertawa-tawa, Ceng Tek Hosiang mendahului Cin Hai. “Dulu ketika kau bersama Ang I Niocu melompat ke atas kapal, kami berdua menjadi ketakutan dan terpaksa pergi lebih dulu.”
Cin Hai terseyum. “Tidak apa, hal yang sudah lalu tak perlu digali lagi. Akan tetapi, dulu aku menemukan perahu kalian terbalik di atas laut, bagaimana kalian bisa selamat dan sampai di sini?”
“Thian melindungi orang-orang baik,” hwesio gendut itu berkata, “maka kami terdampar oleh ombak besar dan dilempar ke tepi laut dengan selamat.”
“Dan sekarang jiwi-suhu berada di darat ini sedang apakah?”
“Taihiap sudah menyaksikan sendiri bahwa kami menjual kepandaian sambil merantau,” jawab Ceng To Tosu.
Cin Hai mengangguk-angguk dan keterangan ini memang masuk di akal. “Kepandaianmu tadi benar-benar lihai sekali, Ceng To Totiang,” katanya memuji.
Akan tetapi dengan tertawa ha-ha hi-hi Ceng Tek Hosiang lalu mengeluarkan pisau belati itu dan berkata, “Dengan pisau yang sengaja kami buat secara khusus untuk keperluan ini, apakah yang lihai?”
Cin Hai memegang pisau belati itu dan berkata, “Pisau ini pisau biasa dan tadi pun dapat menancap di pohon, apanya yang aneh? Mungkin kalian telah menggunakan ilmu sihir!”
Tiba-tiba Ceng Tek Hosiang tertawa bergelak sedangkan Ceng To Tosu yang sebetulnya hendak tertawa, akan tetapi mulutnya bahkan makin mewek dan makin menyedihkan!
“Ah, ahh, kami benar-benar merasa puas, puas, dan bangga! Pujian semua orang-orang itu bagi kami tiada artinya, akan tetapi keheranan pada muka Taihiap sungguh-sungguh membikin kami merasa puas dan bangga!”
Ceng To Tosu juga berkata, “Sie-taihiap, pisau kami itu ada rahasianya! Kau lihat besi kecil hitam pada gagangnya itu? Kalau besi kecil itu tidak ditekan, maka pisau ini adalah pisau biasa yang akan melukai orang. Akan tetapi coba kau tekan besi kecil itu, dan kau akan melihat keanehannya!”
Cin Hai melihat besi hitam yang kecil pada ujung gagangnya dan pada saat dia menekan, ternyata pisau itu apa bila ditekan pada sesuatu lalu masuk ke dalam gagangnya yang panjang hingga tidak kelihatan lagi ujungnya! Sungguh sakti.....
Demikianlah akal yang digunakan oleh kedua pertapa itu. Ketika Si Hwesio menusukkan pisaunya pada tubuh tosu itu, ia menekan besi hitam tadi hingga memang kelihatannya pisau itu menancap pada tubuhnya sampai ke gagang, padahal pisau itu ketika menekan kulitnya, lalu masuk ke dalam gagang dan tidak kelihatan lagi, seakan-akan semuanya masuk ke dalam tubuh orang yang ditusuk!
Hampir saja Cin Hai tertawa bergelak karena geli. Dia mengangguk-angguk kagum dan hatinya merasa senang bertemu dengan kedua orang tua ini, karena dari pembukaan rahasia pisau ini saja dapat membuktikan bahwa mereka menaruh kepercayaan padanya.
“Taihiap, sesungguhnya kami berdua sedang melakukan sebuah tugas!” kemudian Ceng Tek Hosiang berbisik.
“Tugas? Tugas apa dan dari siapa?”
“Dari siapa lagi kalau bukan dari pemerintah kita. Kami berdua sekarang telah membantu kerajaan. Panglima besar yang sekarang, yaitu Kam-ciangkun, adalah orang gagah yang budiman, maka kami berdua mau membantunya dan kini kami diutus datang ke propinsi ini untuk semacam tugas!”
Cin Hai mengangguk. “Aku telah mendengar tentang berita menggirangkan itu. Syukurlah jika memang demikian halnya, memang sudah waktunya bagi pemerintah kerajaan untuk mengganti semua panglima yang busuk dengan orang-orang yang betul-betul gagah dan budiman.”
“Memang kata-katamu ini benar sekali, Taihiap, apa lagi oleh karena sekarang keadaan negara sedang dalam bahaya besar.”
Cin Hai terkejut. “Apa maksudmu?”
Dengan suara berbisik Ceng To Tosu berkata, “Terlihat gejala-gejala bahwa orang-orang Turki hendak mengadakan serangan ke wilayah Tiongkok sesudah terjadinya perebutan Pulau Kim-san-to dahulu itu. Dan sikap orang-orang Mongol juga sangat mencurigakan sehingga kita seakan-akan terancam dari dua pihak. Karena inilah maka Kam-ciangkun lalu mengadakan penyelidikan, sebagian ke daerah utara dan sebagian pula ke daerah barat. Kami mendapat tugas untuk menyelidiki keadaan mereka di Propinsi Kansu dan di samping kami berdua, masih banyak pula perwira-perwira yang menyamar dan menjadi penyelidik, bahkan kabarnya Kam-ciangkun sendiri pun hendak datang ke daerah ini oleh karena agaknya pergerakan musuh yang terbesar berada di daerah ini.”
Cin Hai mengangguk-angguk maklum kemudian berkata, “Terima kasih atas kepercayaan kalian kepadaku, Totiang, akan tetapi harap kalian berdua suka berhati-hati dan jangan sembarangan bicara dengan orang lain mengenai hal ini.”
Ceng Tek Hosiang tertawa bergelak-gelak. “Tentu saja, Taihiap, kepadamu kami tak perlu menyimpan rahasia.”
Kedua orang pendeta aneh itu lalu berpamit dan mereka lalu berpisah dari Cin Hai.
Setelah berpisah dengan Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu, Cin Hai berjalan-jalan di luar kota dan pergi ke tepi Sungai Huangho yang airnya kuning. Keadaan di situ sunyi, penuh dengan sawah ladang dan rumput. Di sepanjang tepi sungai amat subur kehijau-hijauan. Keadaan ini membuat Cin Hai merasa girang sekali.
Memang, semenjak pertemuannya dengan Lin Lin, dia merasa sangat gembira dan kini setelah gadis itu pergi dengan Bu Pun Su untuk mempelajari ilmu silat, hatinya merasa tenteram dan aman. Sedikit ganjalan hati yang terbit oleh karena peristiwa yang menimpa diri Ma Hoa dan Kwee An, dia hibur dengan dugaan bahwa kedua orang itu pasti masih hidup oleh karena mayat mereka tak dapat diketemukan. Juga pertemuannya dengan kakek gagu di goa yang berada di bawah tebing di mana Kwee An dan Ma Hoa terjatuh, juga surat yang dikirim oleh seorang sakti dan yang dikirim melalui kaki Merak Sakti dulu itu, mempertebal keyakinannya bahwa kedua orang kawannya itu pasti masih hidup.
Cin Hai duduk di tepi sungai dan ia teringat akan kakek bangsa Turki yang menyuling dan bermain-main dengan ularnya tadi. Ia mengingat-ingat lagu yang ditiup oleh suling kakek itu, kemudian tanpa terasa dia lalu mencabut keluar sulingnya terus ditiup menirukan lagu kakek tadi!
Dia memang pandai sekali meniup suling dan ingatannya kuat sehingga biar pun kurang sempurna namun ia dapat menyulingkan lagu yang didengarnya tadi dengan baik! Makin ditiup makin terasalah kenikmatan irama lagu yang asing itu, maka sebentar saja Cin Hai telah tenggelam dalam permainan sulingnya.
Tidak disangka sama sekali, bahwa suara sulingnya itu telah menarik perhatian sepasang ular sendok yang tinggal di dalam sebuah lubang di tepi sungai itu. Tadinya Cin Hai tidak tahu akan kedatangan kedua ekor ular itu yang datang sambil berlenggak-lenggok tanpa menerbitkan suara. Tahu-tahu kedua ular itu telah berada di hadapannya dengan kepala terangkat tinggi-tinggi dan lidahnya yang merah menjilat-jilat keluar sambil lehernya yang menggembung itu bergerak-gerak ke kanan kiri!
Bukan main terkejut dan ngerinya rasa hati Cin Hai melihat betapa tiba-tiba saja, muncul dua ekor ular sendok besar dan panjang di depannya. Karena merasa terkejut dan jijik, ia menghentikan tiupan sulingnya dengan tiba-tiba. Kedua ekor ular itu nampak marah dan bingung, kemudian dari mulut mereka keluarlah suara mendesis yang keras dan tiba-tiba mereka menyerang Cin Hai yang sedang duduk di atas rumput itu dengan cepat sekali!
Cin Hai berseru keras kemudian menangkis dengan sulingnya. Tangkisannya itu berhasil membuat seekor ular terpental ke samping, akan tetapi yang seekor lagi cepat mengelak dan terus menyerangnya dengan mulut terbuka lebar-lebar!
Terpaksa Cin Hai menjatuhkan diri ke belakang lalu bergulingan sampai jauh dari tempat itu. Ternyata bahwa ular itu pun mengejar dengan cepatnya! Cin Hai lalu melompat berdiri dan dia mulai menjadi marah. Dia melihat betapa ular yang terpental tadi pun kini sudah merayap maju dengan kepala berdiri dan agaknya marah sekali kepadanya.
Ia tidak usah takut menghadapi dua ekor ular itu dan sebetulnya kalau pada saat itu ia lari pergi, kedua binatang itu pun takkan berdaya dan takkan dapat mengejarnya. Akan tetapi Cin Hai sudah marah karena tadi benar-benar dia dikejutkan oleh kedua binatang itu.
Dia tidak mau mengotorkan sulingnya, maka dia lalu menyimpan suling itu dan mencabut sebatang rumput alang-alang yang besar dan yang banyak tumbuh di dekat situ. Ketika ular yang pertama telah datang dekat dan menyambar kakinya, Cin Hai memukul dengan rumput alang-alang itu ke arah kepala ular sambil mengerahkan tenaga lweekang-nya.
Akan tetapi ular itu betul-betul gesit karena dengan merendahkan kepala secara tiba-tiba, ia dapat mengelak dari sabetan Cin Hai! Pemuda itu menjadi kagum dan ia mulai merasa gembira menghadapi dua ekor binatang yang gesit ini! Pada waktu ia hendak menyabet kembali tiba-tiba terdengar seruan orang,
“Jangan bunuh mereka!”
Cin Hai cepat melompat ke belakang dan ketika dia menengok, ternyata seorang Turki yang berkulit hitam dan berambut putih karena sudah tua berlarian mendatangi dengan cepat. Melihat gerakannya yang gesit serta larinya yang cepat, Cin Hai dapat menduga bahwa orang itu tentu memiliki ilmu kepandaian lumayan juga.
“Menawan ular seharusnya bukan dipukul dengan senjata,” katanya pula.
Ia kemudian menghampiri kedua ular itu dengan merangkak di atas kedua pasang kaki tangannya! Ular-ular itu memandang tajam dan marah, lalu ular yang jantan menyambar ke arah lehernya untuk digigit!
Kakek Turki itu lalu mengangkat tangannya dengan gerakan tangan laksana seekor ular juga, dan ketika kepala ular itu sudah datang dekat, mendadak jari-jari tangan kanannya dibuka seperti mulut ular sedang menyerang dan ia menerkam leher ular itu, dipegangnya dengan tepat dan erat-erat! Ular itu membelit-belit lengannya sambil meronta-ronta, akan tetapi dengan cepat sekali tangan kiri orang itu menangkap tubuh ular itu dan dibetot atau diurutnya ke belakang dengan kuat.
Aneh sekali, setelah tubuhnya diurut ke belakang sampai pada ekornya, ular itu menjadi lumpuh dan ketika kakek itu melepaskan punggungnya, ular itu menjadi lemas dan jatuh di atas tanah tanpa berdaya lagi. Ular betina menjadi marah sekali melihat kawannya dikalahkan, maka ia lalu mendesis-desis dan menyerang hebat.
Akan tetapi, kakek Turki yang gesit dan gagah itu kembali mengulangi perbuatannya dan ular betina ini pun dapat tertangkap dan kini kedua ekor ular itu berkelojotan di atas tanah dalam keadaan lumpuh. Setelah itu barulah kakek Turki itu berpaling pada Cin Hai sambil tersenyum.
“Sepasang ular sendok jantan dan betina yang keluar bersama bukanlah hal yang mudah dijumpai. Hal ini menandakan bahwa ular betina ini tentu sedang bertelur dan telur-telur muda yang masih berada di dalam perutnya merupakan obat-obat yang luar biasa dan sukar didapat. Sungguh aku merasa beruntung sekali bertemu dengan kau dan dua ekor ular ini. Kalau tadi kau membunuh ular-ular itu, maka khasiat telur di dalam perutnya akan lenyap tak berguna lagi.”
Cin Hai memandang kagum. “Kau hebat sekali, Lopek,” katanya karena selain dia merasa kagum akan kelihaian kakek ini, juga dia merasa heran mengapa orang Turki ini fasih sekali berbicara dalam bahasa Han, bahkan tak kalah fasihnya dari pada Yousuf sendiri. “Kau tentu seorang ahli penangkap ular.”
Kakek Turki itu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Bukan, aku bukan penangkap ular, akan tetapi aku hanyalah seorang ahli pengobatan bangsa Turki yag sederhana pula.”
“Akan tetapi ilmu kepandaianmu hebat sekali!”
“Tidak ada sepersepuluh bagian dari pada kepandaianmu, anak muda. Pada saat dunia sedang kacau balau dan banyak kejahatan merajalela di mana-mana, apa bila kita tidak memiliki sedikit tenaga, pasti sukar untuk hidup terus.”
Cin Hai terkejut. Orang ini tentu bukan orang sembarangan, pikirnya. Dia teringat akan cerita kedua pendeta yang membantu kerajaan. Apakah kakek ini seorang yang penting dalam rombongan orang Turki yang hendak menyerang Tiongkok? Dia lebih terkejut lagi ketika tiba-tiba kakek itu berkata,
“Anak muda, harap kau jangan menyangka yang bukan-bukan! Kau tentulah Si Pendekar Bodoh, bukan? Aku bukan anggota orang-orang Turki yang akan menyerang negerimu!” Hampir saja Cin Hai melompat tinggi karena kaget dan herannya.
“Ehhh, Lopek, kau... bagaimana kau bisa tahu namaku dan bagaimana pula kau dapat membaca apa yang sedang kupikirkan?”
Kakek itu tersenyum, lalu membungkuk dan menangkap leher ular yang masih bergerak-gerak, lalu dengan cekatan sekali ia menggulung tubuh ular itu seperti orang menggulung sehelai tambang. Lalu ia mencabut rumput alang-alang dan mengikat gulungan tubuh ular itu dengan eratnya.
Ular ke dua pun diperlakukan demikian sehingga tak lama kemudian kedua ular itu telah merupakan dua buah gulungan yang tak bergerak, hanya lidah mereka saja masih sering kali menjulur-julur keluar. Kemudian dia duduk di atas rumput yang tebal dan memberi isyarat agar supaya Cin Hai duduk pula di sampingnya. Dengan penuh keheranan, Cin Hai lalu duduk di sampingnya.
“Taihiap, aku bisa menduga bahwa kau tentu Sie Cin Hai taihiap, oleh karena di samping gerakanmu yang lihai ketika kau diserang ular sendok tadi, juga siapakah orangnya yang pandai bermain suling seperti kau itu? Kau tentu kenal kepada Yousuf, bukan?”
Cin Hai mengangguk cepat. “Di mana dia? Bagaimana keadaannya?” tanyanya.
“Dia sudah diselamatkan dan sekarang berangsur sembuh. Dari dialah maka aku dapat mengenalmu, karena ia telah menceritakan segala pengalamannya dan menyebut-nyebut namamu, juga nama lain-lain sahabat baiknya. Berhari-hari dia mengigau dan menyebut-nyebut nama anak angkatnya Lin Lin, bagaimanakah keadaan anak itu?”
Cin Hai merasa girang dapat bertemu dengan orang yang agaknya menjadi sahabat baik Yousuf. “Lin Lin sudah tertolong dan kini sedang bersama suhu-nya memperdalam ilmu silatnya,” katanya dan kemudian segera disambungnya, “Siapakah Lopek yang terhormat dan masih ada hubungan apakah dengan Yo-pekhu?”
“Yousuf adalah muridku, dan namaku Ibrahim.”
Cin Hai terkejut sekali mendengar bahwa kakek ini adalah guru Yousuf, maka dia cepat berdiri dan menjura dengan hormat sekali. “Ah, tidak tahu bahwa aku berhadapan dengan seorang berilmu tinggi. Maafkan kelancanganku, Locianpwe.”
Ibrahim melambai-lambaikan tangannya. “Jangan terlalu banyak sungkan, anak muda. Aku lebih menyukai kesederhanaan, karena hidup ini sudah terlalu kacau dan menjadi suram karena tertutup oleh kepalsuan segala peradatan dan kesopanan pura-pura!”
Mendengar ucapan ini, Cin Hai lantas teringat akan suhu-nya, Bu Pun Su, yang agaknya mempunyai banyak persamaan dengan kakek ini. Juga Bu Pun Su tidak menyukai segala penghormatan dan kesopanan, serta hidup dengan sederhana sekali. Maka dia makin menaruh hormat kepada kakek ini yang dapat diduga tentu berkepandaian tinggi sekali, oleh karena baru muridnya saja, yaitu Yousuf, telah memiliki ilmu kepandaian yang hebat.
“Locianpwe, aku mendengar desas-desus tentang pergerakan orang-orang Turki, apakah betul berita yang kudengar itu?”
Kakek rambut putih itu menarik napas panjang. “Memang betul, dan inilah yang membuat hatiku gelisah. Ketahuilah anak muda yang gagah, bahwa pada bangsa Turki telah terjadi perpecahan, yaitu di antara para pengikut pangeran muda yang memiliki kehendak untuk memerangi Tiongkok, dan antara pengikut pangeran tua yang tidak menyetujui kehendak ini. Yousuf dan kawan-kawan kami termasuk golongan pengikut pangeran tua, maka kami dimusuhi oleh pengikut-pengikut pangeran muda yang terdiri dari banyak orang gagah di negeri kami, bahkan mereka sudah berhasil membeli tenaga orang-orang kang-ouw dari bangsa Han sendiri! Bagiku sendiri, aku sudah merasa bosan dengan segala kekacauan dunia dan aku tidak mau ikut-ikut, kecuali kalau melihat kejahatan terjadi di depan mata barulah terpaksa aku harus turun tangan!”
Kemudian Ibrahim menuturkan betapa Yousuf telah ditolong oleh seorang keponakannya sendiri dan sekarang berada dalam perawatannya dan tinggal di kota Lan-cou, ibu kota Kansu. Ketika Cin Hai bertanya mengenai pergerakan orang-orang Mongol, kakek itu lalu berkata,
“Memang semenjak dulu, orang-orang Mongol memiliki adat yang tinggi dan memandang rendah bangsa lain. Mereka agaknya merasa sakit hati dan marah sekali karena wilayah mereka dilanggar oleh barisan Turki pada waktu orang-orang Turki mengadakan ekpedisi ke Kim-san-to untuk mencari emas, sehingga kini jago-jago mereka di bawah perintah Yagali Khan hendak mengadakan pembalasan oleh karena mereka tahu bahwa di daerah ini banyak terdapat orang-orang Turki. Ahh, memang di dunia ini banyak sekali terjadi permusuhan yang semata-mata ditimbulkan oleh sifat ingin menang dan kesombongan kosong! Sie-taihiap, kalau kau berada di kota Lan-couw, harap kau suka mampir untuk berjumpa dengan Yousuf. Kami tinggal di luar kota sebelah barat dan apa bila kau keluar dari tembok kota dan bertanya kepada orang-orang di situ, kiranya tidak ada yang tidak kenal namaku.”
Setelah berkata demikian, kakek itu lalu memegang leher kedua ular sendok itu di kedua tangan, menjura kepada Cin Hai dan sekali melompat dia sudah berada di tempat yang jauhnya tidak kurang dari sepuluh kaki dan berlari cepat sekali meninggalkan tepi Sungai Huangho!
Cin Hai diam-diam merasa kagum sekali. Pertemuan dengan Ibrahim ini menggirangkan hatinya, oleh karena selain mendengar bahwa Yousuf telah tertolong dan selamat, juga ia kini semakin terbuka matanya dan dapat mengerti keadaan-keadaan yang terjadi pada masa itu di daerah Kansu.
Diam-diam hatinya berdebar tegang apa bila mengingat betapa pada saat itu, di daerah Kansu terdapat empat rombongan yang berpaham lain dan yang mungkin akan bertemu dan menimbulkan permusuhan hebat, yaitu golongan pertama ialah golongan penyelidik Kerajaan Tiongkok, golongan ke dua adalah golongan orang-orang Mongol, sedangkan golongan ke tiga dan ke empat ialah para pengikut pangeran tua dan pangeran muda dari Turki!
Cin Hai duduk lagi di atas rumput sambil melihat air sungai Huangho mengalir. Ia melihat perahu-perahu nelayan pulang bersama perahu-perahu ikan dan para nelayan duduk di kepala perahu sambil bernyanyi. Lagu yang mereka nyanyikan adalah lagu daerah yang sederhana akan tetapi karena enam buah perahu itu semua ditumpangi oleh orang-orang yang bernyanyi gembira, maka suasana menjadi gembira sekali dan suara nyanyian itu terdengar merdu!
Bunyi riak air di bawah kaki Cin Hai seakan-akan ikut berdendang sehingga hati pemuda itu menjadi gembira sekali. Ia mencabut sulingnya dan bersuling lagi, meniru lagu yang dinyanyikan oleh para nelayan itu!
Mendengar bunyi suling yang merdu, para nelayan memandang ke arahnya dan suara nyanyian mereka terdengar makin bersemangat dan mereka melambai-lambaikan tangan ketika perahu mereka lewat di depan Cin Hai. Ketika perahu itu telah lalu jauh dan suara nyanyian mereka telah terdengar sayup sampai, tiba-tiba saja Cin Hai yang masih meniup sulingnya itu mendengar suara tetabuhan yang mengikuti lagu yang ditiup!
Ketika ia memandang, ternyata suara itu keluar dari sebuah perahu yang ditumpangi oleh seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun dan orang itu sedang memetik semacam alat tetabuhan seperti gitar yang nyaring dan merdu sekali suaranya!
Laki-laki itu ternyata hanya duduk sendirian di dalam perahu yang dijalankan oleh tukang perahu. Agaknya dia adalah seorang pelancong yang menikmati keindahan suasana dan pemandangan di situ. Sesudah lagu yang dimainkan habis, orang itu lantas tertawa dan melambai kepada Cin Hai sambil berkata,
“Anak muda, suara tiupan sulingmu bagus sekali!”
“Masih lebih bagus suara rebabmu itu!” Cin Hai berkata sambil tertawa juga. Wajah orang yang tampan itu mendatangkan rasa suka di dalam hatinya. “Saudara yang baik, kalau kau sudi, naiklah ke sini dan mari kita main bersama,” kata Cin Hai lagi.
“Anak muda, aku hanya menyukai suara sulingmu, akan tetapi mukamu membuat mataku tak sedap melihatnya!” jawab orang tua itu yang membuat Cin Hai memandang dengan penuh keheranan. Mengapa orang ini mendadak menyatakan tidak suka kepadanya? Dia menjadi penasaran sekali karena jawaban itu benar-benar menyakiti hatinya.
“Ahh, sayang, adatmu tidak sebaik suara rebabmu!” jawabnya.
Tiba-tiba orang itu pun berdiri di kepala perahu dan sekali ia gerakkan tubuhnya, ia telah melompat dari perahu dan dengan rebabnya ia menyambar dan memukul kepala Cin Hai yang masih berdiri di tepi sungai! Cin Hai terkejut bukan main melihat hebatnya gerakan ini, maka ia segera mengangkat sulingnya menangkis. Tangkisan ini membuat orang itu merasa betapa telapak tangannya tergetar, maka sambil berseru keras ia melompat jauh dan pergi dari situ tanpa menoleh lagi!
Cin Hai menghela napas. Banyak sekali terdapat orang-orang aneh yang berkepandaian tinggi di daerah ini. Ia melihat bahwa orang tadi adalah seorang Han dan logat bicaranya, menunjukkan bahwa orang itu datang dari Tiongkok Selatan.
Yang sangat mengherankan hatinya adalah mengapa orang yang berwajah tampan dan menyenangkan hatinya itu ternyata mempunyai adat yang buruk serta hati yang kejam. Kalau saja bukan dia yang diserang secara demikian, tentu orang yang diserang itu akan remuk kepalanya!
Dari tangkisannya tadi ia maklum bahwa orang itu memiliki tenaga yang besar dan ilmu kepandaian yang tinggi. Tentu dia tak pernah menduga bahwa orang itu bukan lain ialah Sie Ban Leng, atau pamannya sendiri yang dulu mengkhianati dan mencelakakan orang tuanya! Dan dia tidak tahu pula bahwa Sie Ban Leng sedang mengikuti Ang I Niocu yang kebetulan sekali juga berada di kota Ling-sia.
Melihat betapa Ang I Niocu bermalam dalam sebuah rumah penginapan di dalam kota, Sie Ban Leng lalu melancong ke luar kota dan menyewa perahu hingga tanpa sengaja ia bertemu dengan Cin Hai yang mengejutkan hatinya dan yang membuatnya jeri dengan tangkisan hebat itu!
Cin Hai lalu kembali ke rumah penginapan dan malam itu ia tidak keluar dari kamar. Ia tidak tahu bahwa tak jauh dari rumah penginapannya itu, dalam sebuah penginapan lain, bermalam Ang I Niocu yang telah hampir dilupakannya itu karena disangkanya telah mati!
Ang I Niocu sendiri tidak tahu bahwa semenjak dia berpisah dari Kwee An, Ma Hoa, dan Nelayan Cengeng, dia diikuti oleh Sie Ban Leng yang tergila-gila kepadanya. Dara Baju Merah ini melanjutkan perjalanan dan ketika tiba di kota Ling-sia, dia bermalam dalam sebuah hotel tanpa keluar lagi dari situ.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi benar ia telah keluar dari hotel dan segera melanjutkan perjalanannya menuju ke Lan-cou untuk mencari Lin Lin dan Yousuf, serta bila mungkin, mencari Cin Hai juga.
Dia telah mengambil jalan sebelah selatan sehingga tidak dapat bertemu dengan Cin Hai. Sedangkan Kwee An, Ma Hoa dan Nelayan Cengeng mengambil jalan di sebelah utara, ada pun Cin Hai yang mengambil jalan di tengah-tengah antara keduanya itu tidak dapat bertemu pula dengan rombongan ini.
Jalan yang ditempuh oleh Ang I Niocu dan Cin Hai, bertemu di kota Ling-sia, akan tetapi mereka mendiami dua buah hotel yang berlainan dan tak dapat bertemu pula! Ketika Ang I Niocu melanjutkan perjalanan pada pagi hari itu, Cin Hai masih berada dalam kamarnya!
Hanya seorang yang memperhatikan keberangkatan Ang I Niocu, malah orang ini segera mengikuti dengan diam-diam, yaitu Sie Ban Leng yang selalu mengikuti Dara Baju Merah itu dan mencari kesempatan yang baik untuk menghubunginya.
Ang I Niocu yang melakukan perjalanan dengan amat cepat, sama sekali tak tahu bahwa secara diam-diam ada orang yang mengikutinya. Ketika ia tiba di sebuah jalan yang sunyi dan di kanan-kirinya tampak tanah yang penuh rumput hingga merupakan padang rumput yang luas, hari telah menjadi senja. Para penggembala tengah menghalau ternak mereka untuk pulang ke kandang, sehingga di tempat itu ramai suara lembu menguak dan domba mengembik.
Tiba-tiba, dari jalan simpang sebelah kiri, muncul dua orang pendeta yang ketika dekat segera menghadang di tengah jalan sambil memandang pada Ang I Niocu dengan tajam. Pendeta-pendeta itu bukan lain ialah Sian Kek Losu dan Thai Kek Losu, jago nomor satu dan nomor dua dari Mongol!
Ang I Niocu mengenal Sian Kek Losu sebagai pendeta yang pernah bertempur melawan orang sombong di dalam hutan itu, maka diam-diam dia menjadi terkejut. Dia tidak peduli terhadap mereka dan hendak berjaIan terus, akan tetapi Sian Kek Losu segera berkata kepada suheng-nya,
“Inilah seorang di antara mereka.” kemudian sambil menuding ke arah Ang I Niocu dan sengaja menghadang jalan gadis itu, dia pun membentak,
“Mata-mata kerajaan, kau mau lari ke mana?” Sambil berkata demikian, pendeta pendek ini lalu mengeluarkan gendewanya dan tiba-tiba tiga batang anak panah menyambar ke arah tubuh Ang I Niocu di bagian leher, dada dan lambung!
Ang I Niocu telah menyaksikan kelihaian anak panah pendeta pendek ini, maka dengan cepat dia lalu mengenjot tubuhnya ke atas sehingga tiga batang anak panah itu lewat di bawah kakinya dengan cepat sekali! Sebatang di antara tiga buah anak panah itu terus meluncur cepat dan tepat sekali menancap di punggung seekor lembu hingga binatang itu menguak kesakitan dan berlari menubruk sana-sini, mengacaukan lembu-lembu dan domba-domba lain yang segera berlari cerai berai!
Para penggembala menjadi kaget sekali. Mereka segera mengayun cambuk mereka yang panjang hingga terdengar suara cambuk riuh rendah, dibarengi teriakan-teriakan mereka dalam usaha menenangkan ternaknya dan mengumpulkan sekalian binatang yang kini berlari-larian itu!
Ang I Niocu menjadi marah sekali. “Pendeta pengecut! Kau kira aku takut kepadamu? Rasakan pembalasan Ang I Niocu!”
Secepat kilat Ang I Niocu lalu mencabut pedang Cian-hong-kiam pemberian tunangannya dan maju menerjang pendeta pendek itu! Sian Kek Losu cepat mengangkat gendewanya dan mereka segera bertempur dengan seru!
Sebagai jago nomor dua dari Mongol, tentu saja Sian Kek Losu memiliki ilmu silat yang sudah berada pada tingkat yang tinggi sehingga Ang I Niocu harus mengerahkan seluruh kepandaiannya. Ia lalu mainkan Ilmu Pedang Ngo-lian-hoan Kiam-hoat, dibarengi dengan gerakan-gerakan Sianli Utauw yang lihai dan indah.
“Bagus, bagus sekali!' Thai Kek Losu memuji oleh karena pendeta tua ini merasa kagum melihat ilmu pedang yang amat indah gerakannya itu.
Ia maklum bahwa gadis baju merah ini merupakan lawan yang tangguh, apa lagi setelah ia mendengar bahwa gadis ini bukan lain ialah Ang I Niocu yang telah tersohor namanya sebagai seorang pendekar wanita yang lihai. Maka sambil berseru keras dia segera maju menerjang dan membantu sute-nya.
Hati Ang I Niocu terkejut melihat betapa angin pukulan yang dilakukan dengan kebutan ujung lengan baju Thai Kek Losu luar biasa sekali. Diam-diam dia mengeluh oleh karena untuk menjatuhkan Sian Kek Losu saja dia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya, apa lagi sekarang ada seorang pendeta tua yang luar biasa dan yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian lebih tinggi dari pada pendeta pendek itu. Dia menggigit bibirnya dan mainkan ilmu pedangnya dengan sekuat tenaga.
Pedang Cian-hong-kiam berkelebat cepat merupakan segulung cahaya berkilauan hingga seluruh tubuhnya terkurung rapat. Namun, serangan kedua orang pendeta Sakya Buddha yang berjubah merah itu benar-benar luar biasa, terutama serangan ujung lengan baju Thai Kek Losu berat sekali menekannya hingga beberapa kali pedangnya kena disampok sampai lengannya terasa kesemutan.
Pada saat itu terdengar bentakan orang, “Pendeta-pendeta jahat, jangan kalian berani mengganggu kawan baikku!”
Dan ketika seorang laki-laki melompat dan menggunakan senjatanya yang berupa rebab, tahulah Ang I Niocu bahwa orang ini bukan lain adalah Sie Ban Leng yang berjuluk Si Tubuh Baja itu. Betapa pun tidak sukanya melihat kesombongan orang ini, akan tetapi bantuannya yang datang secara tiba-tiba membuat Ang I Niocu merasa berterima kasih dan bernapas lega.
Dia lalu memutar pedangnya dan menghadapi Thai Kek Losu yang lihai. Sedangkan Sie Bang Leng lalu menyerang Sian Kek Losu hingga kedua orang ini bertempur lagi dengan seru.
Para penggembala yang melihat pertempuran ini menjadi ketakutan dan sebentar saja tempat itu menjadi sunyi karena semua ternak telah dihalau dengar buru-buru oleh para penggembala sehingga kini yang terdengar hanyalah suara rebab Sie Ban Leng beradu dengan gendewa Sian Kek Losu. Memang dua orang ini memiliki ilmu kepandaian yang setingkat tingginya hingga pertempuran mereka merupakan pertempuran yang ramai.
Sementara itu, Thai Kek Losu merasa kewalahan juga menghadapi kelincahan Ang I Niocu yang luar biasa, dan tiba-tiba ia berseru keras dan tahu-tahu ia telah mengeluarkan senjatanya yang mengerikan, yaitu sebuah tengkorak anak kecil yang terikat oleh rantai.
Begitu senjata itu menyambar, Ang I Niocu sudah merasa bergidik bulu tengkuknya dan gerakan pedangnya menjadi kacau. Tidak saja dari tengkorak itu mengeluarkan bau yang membuatnya menjadi muak dan pusing, akan tetapi juga tengkorak yang meringis dan seakan-akan muka anak kecil tengah menangis itu membuat hatinya lemah dan ngeri.
Sebentar saja permainan pedangnya menjadi kalut, dan Thai Kek Losu mendesaknya dengan hebat. Keadaan Ang I Niocu berbahaya sekali, dan hal ini pun mempengaruhi Sie Ban Leng karena ketika dia melihat betapa gadis yang menggiurkan hatinya itu terancam bahaya, perhatiannya terpecah dan kesempatan ini dipergunakan oleh Sian Kek Losu untuk mendesaknya dengan gendewanya yang digerakkan secara luar biasa.
Seperti halnya Cin Hai ketika mengadapi Thai Kek Losu, maka tengkorak yang seperti muka seorang anak-anak sedang menangis itu membuat Ang I Niocu menjadi lemah dan ia tidak berani menggunakan pedangnya untuk menangkis atau membacok tengkorak itu, karena hal ini seakan-akan seperti dia membacok kepala seorang kanak-kanak. Hatinya tidak tega dan berbareng merasa ngeri oleh karena selama hidupnya belum pernah dia menghadapi sebuah senjata sehebat ini.
Orang yang sedang mainkan senjata, apa lagi di waktu bertempur menghadapi seorang lawan tangguh, yang terutama harus berhati tabah, tenang dan seluruh perhatian harus dicurahkan terhadap pertempuran itu. Dengan demikian, barulah ia akan dapat berkelahi dengan baik dan sempurna.
Oleh sebab itu, setelah sebagian besar perhatiannya dikacaukan oleh senjata lawan yang mengerikan itu, maka ilmu pedang Ang I Niocu menjadi kacau balau dan dia pun banyak membuat kesalahan-kesalahan. Sementara itu, desakan-desakan Thai Kek Losu semakin hebat saja! Hanya berkat ketangkasan kaki tangannya yang sudah diperoleh dari banyak pengalaman berkelahi saja yang membuat Ang I Niocu masih dapat bertahan selama itu!
Pada saat keadaan Ang I Niocu sangat berbahaya dan juga Sie Ban Leng ikut terancam pula, tiba-tiba terdengar suara orang ketawa dan dua bayangan tubuh orang berkelebat mendatangi lalu tanpa banyak cakap kedua orang ini lalu menyerbu dan membantu Ang I Niocu dan Sie Ban Leng!
Sesudah melihat bahwa yang datang membantu ini adalah seorang tosu yang mulutnya mewek mau menangis bersama seorang hwesio yang mulutnya menyeringai kegirangan, bukan main herannya hati Ang Niocu. Tak terasa pula ia berseru, “Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu! Bagaimana kalian bisa sampai ke sini? Dari mana Jiwi tiba-tiba datang?” Akan tetapi sambil berseru demikian Ang I Niocu tetap menggunakan kegesitan tubuhnya untuk mengelak dari serangan Thai Kek Losu.
“Ha-ha-ha, Ang I Niocu! Tak nyana kita dapat bertemu kembali di sini!” Ceng Tek Hosiang menjawab. “Tentu saja pinceng datang dari alam kosong!”
Setelah menjawab dengan kelakar ini, Ceng Tek Hosiang lantas membantu Sie Ban Leng menghadapi Sian Kek Losu, ada pun Ceng To Tosu membantu Ang I Niocu menghadapi Thai Kek Losu!
Biar pun dia dapat mendesak Ang I Niocu, akan tetapi Thai Kek Losu maklum bahwa dia tak dapat cepat-cepat menjatuhkan Ang I Niocu yang benar-benar gagah itu, sedangkan Sian Kek Losu hanya bisa melawan Sie Ban Leng dalam keadaan berimbang saja. Maka kini melihat datangnya seorang hwesio dan seorang tosu yang memiliki ilmu kepandaian tinggi juga, diam-diam Thai Kek Losu menjadi gentar.
Sambil tertawa bergelak, Ceng Tek Hosiang berkata “Ehhh, dua orang pendeta merah, bukalah matamu lebar-lebar! Kalian ini anak-anak kemarin sore tapi berani mengganggu kawan-kawan pinceng? Apakah kalian belum kenal akan kesaktianku? Lihat ini!” Sambil berkata demikian, hwesio gendut yang selalu tertawa itu mengeluarkan pisau belatinya yang mengkilap.
Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu bersiap sedia melihat hwesio itu mengeluarkan pisau belati oleh karena mereka menyangka bahwa pisau itu tentunya akan dilontarkan ke arah mereka dan menduga bahwa hwesio itu tentu seorang ahli hui-to (golok terbang). Akan tetapi betapa heran mereka ketika melihat betapa pisau itu diayun, kemudian ditusukkan ke arah perut yang gendut itu hingga pisau itu menancap sampai ke gagangnya! Akan tetapi segera keheranan mereka berubah menjadi terkejut sekali ketika melihat betapa setelah pisau itu dicabut, perut yang gendut itu sedikit pun tidak terluka!
Berkali-kali Ceng Tek Hosiang menancapkan ‘pisau wasiatnya’ ke dalam perut sehingga kedua pendeta Sakya Buddha itu benar-benar merasa heran dan terkejut! Hanya Buddha sendiri yang dapat memiliki ilmu kesaktian seperti itu!
“Cobalah kau tiru perbuatanku tadi, kalau kau sanggup, biarlah pinceng mengalah tanpa berkelahi!” kata Ceng Tek Hwesio sambil melontarkan pisau itu ke arah dada Thai Kek Losu.
Dengan mudah Thai Kek Losu menjepit pisau itu dengan dua jarinya. Karena ia merasa penasaran, ia lalu memeriksa pisau itu seperti apa yang diperbuat oleh Cin Hai ketika ia bertemu dengan hwesio ini. Ketika dia melihat bahwa pisau itu benar-benar pisau tulen dan tidak palsu, maka buru-buru dia menjura sambil berkata,
“Kami yang bodoh telah bertemu dengan seorang sakti. Maafkan kami!”
Maka ia lalu melempar pisau itu dengan perlahan ke arah Ceng Tek Hwesio yang ketika menyambut gagang pisau itu merasa betapa tangannya menjadi tergetar. Akan tetapi pada saat itu Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu yang merasa gentar menghadapi hwesio gendut yang mukanya bulat bagai Jai-lai-hud dan yang kesaktiannya dapat dibandingkan dengan Sang Buddha sendiri itu telah pergi dengan cepat sekali!
Ang I Niocu sendiri hanya berdiri bagaikan patung karena heran dan terkejutnya melihat pertunjukan ini, akan tetapi Sie Ban Leng yang sudah tahu, hanya tertawa bergelak saja. Sebenarnya, kedua orang pendeta ini masih berada di bawah kekuasaan Sie Ban Leng, oleh karena ketika Kam-ciangkun memberi perintah kepada mereka dan perwira-perwira lain, Sie Ban Leng ditunjuk sebagai pemimpin tertinggi sekaligus wakil Kam-ciangkun!
Diam-diam Sie Ban Leng memberi isyarat dengan kedua matanya hingga kedua orang pendeta itu segera menghampiri Ang I Niocu sambil menjura.
“Apakah Niocu selama ini baik-baik saja?” kata Ceng To Tosu sambil mewek.
“Terima kasih, dan atas pertolongan Jiwi, aku tak lupa menyatakan bersyukur dan terima kasih pula.” Sambil berkata demikian, Ang I Niocu masih saja memandang kepada Ceng Tek Hosiang dengan kagum dan heran. Kepandaian seperti yang didemonstrasikan oleh hwesio gendut, biar pun Bu Pun Su sendiri belum tentu akan sanggup melakukannya!
Setelah menjura lagi kepada Ang I Niocu dan Sie Ban Leng, kedua pertapa yang sudah memperoleh perintah untuk pergi dengan isyarat mata dari Sie Ban Leng tadi, kemudian meninggalkan mereka tanpa banyak cakap lagi.
“Mereka itu orang-orang aneh,” kata Ang I Niocu.
“Memang, orang-orang sakti memang bersikap aneh,” Sie Ban Leng berkata sambil maju mendekati Ang I Niocu dengan senyum yang memikat.
Sebenarnya, yang mengherankan hati Ang I Niocu dan yang membuat dia menganggap mereka aneh itu adalah demonstrasi dengan pisau tadi. Dahulu dia pernah bertempur dengan Ceng Tek Hosiang dan tahu sampai di mana kepandaiannya, mengapa sekarang hwesio gendut itu dapat memiliki ilmu kesaktian sehebat itu? Kemudian Dara Baju Merah ini teringat bahwa dia telah ditolong oteh Sie Ban Leng, maka cepat dia menjura sambil berkata,
“Sie-enghiong telah menolongku, banyak-banyak terima kasih!”
Sie Ban Leng membalas penghormatan ini dan berkata sambil tersenyum, “Ahh, Niocu terlalu merendah dan sungkan. Di antara kita sendiri perlu apa harus berlaku sungkan? Jika kita tak saling membantu, apakah patut kita disebut orang-orang gagah? Sebetulnya, kalau aku boleh bertanya, Niocu hendak pergi ke manakah?”
“Aku hendak pergi ke Lan-couw,” jawab Ang I Niocu sejujurnya.
“Kebetulan sekali, aku pun hendak ke ibu kota itu. Apa bila tidak menjadi halangan dan kalau kau sudi, marilah kita jalan bersama-sama agar setiap waktu kalau bertemu dengan orang-orang jahat, kita dapat saling membantu. Di daerah sekitar sini memang banyak sekali terdapat orang-orang Mongol yang jahat, dan ada pula orang-orang Turki yang suka mengganggu bangsa kita.”
Ang I Nocu merasa serba salah. Ia merasa sungkan untuk jalan bersama orang ini, akan tetapi, Ban Leng telah menolongnya dan mereka memang setujuan, bagaimana ia dapat mengeluarkan kata-kata menolak atau menyatakan keberatan?
“Aku tidak takut segala macarn penjahat, biar bangsa apa pun juga!” jawabnya sambil memandang tajam. “Akan tetapi kalau tujuan perjalanan kita sama, tiada salahnya kita jalan bersama.”
Bukan main girang hati Ban Leng oleh karena kesempatan yang dinanti-nanti itu kini telah tiba. Ia tidak perlu lagi mengikuti Dara Baju Merah yang telah menawan hatinya itu! Dan karena Ban Leng memang pandai membawa diri dan cukup cerdik untuk tidak bersikap sombong dan kurang ajar, malah ia selalu memperlihatkan sikap sopan dan menghormat terhadap Ang I Niocu, maka gadis itu pun mulai percaya kepadanya dan menganggapnya sebagai seorang kawan baik.
Ketika Ang I Niocu secara sambil lalu bertanya kepada Ban Leng tentang keperluannya mengembara di barat dan pergi ke Kansu, Ban Leng menarik napas panjang kemudian menjawab,
“Lihiap, sebetulnya hal ini merupakan rahasia besar dan belum pernah kuceritakan pada orang lain.” Semenjak Ang I Niocu menyatakan tidak suka disebut ‘Niocu’ maka Ban Leng lalu mengubah sebutan menjadi ‘Lihiap’.
“Ahh, kalau memang rahasia, tak perlu pula diceritakan kepadaku,” jawab Ang I Niocu.
“Kepadamu aku tidak memiliki rahasia sesuatu, Lihiap. Terus terang saja kuberi tahukan kepadamu bahwa kini aku bekerja untuk kaisar dan kedatanganku ke daerah ini pun atas perintah kerajaan.”
Ang I Niocu tercengang. “Ah, kalau begitu kau adalah seorang perwira yang menyamar?”
“Bukan, aku bukan seorang perwira akan tetapi aku hanya diminta untuk membantu saja, mewakili pekerjaan Kam-ciangin yang sekarang telah menjadi pemimpin perwira kerajaan menggantikan kedudukan Beng Kong Hosiang yang sudah tewas. Oleh karena banyak terjadi hal-hal yang mencurigakan di daerah Kansu ini, dilakukan oleh orang-orang Turki dan Mongol, maka aku mendapat tugas untuk menyelidiki keadaan mereka. Bahkan dua orang yang dahulu menolong kita, Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu, juga menjadi pembantu-pembantuku. Kami bekerja dengan cara diam-diam dan sebelum mendapatkan bukti-bukti, kami tidak mau turun tangan, sesuai dengan perintah Kam-ciangkun.”
Ang I Niocu mengangguk-angguk maklum. “Sebenarnya, apakah yang sedang dilakukan oleh orang-orang Turki dan Mongol itu di daerah ini?”
“Inilah yang lagi kami selidiki, dan menurut laporan-laporan para pembantuku, memang ada hal yang amat menarik hati di samping maksud-maksud serombongan orang Turki yang hendak menyerbu negeri kita. Menurut hasil penyelidikan di daerah Kansu selain menjadi sumber penghasilan bagi perantau-perantau itu, juga di ibu kota terdapat harta terpendam yang luar biasa besar nilainya. Harta terpendam inilah agaknya yang menarik hati jago-jago dari Mongol dan Turki mendatangi tempat ini dalam usaha mereka untuk mencari dan mendapatkannya.”
Ang I Niocu merasa tertarik sekali, akan tetapi ia tidak banyak cakap dan diam-diam ia mengambil keputusan untuk menyelidiki sendiri keadaan ini. Dalam perjalanan bersama ini, makin lama makin nampak jelas sikap Ban Leng yang sering kali memandang dengan mata mengandung perasaan hatinya secara terbuka, bahkan dalam sikapnya juga mudah saja diterka bahwa laki-laki ini ‘jatuh hati’ kepadanya.
Hal ini tidak dipedulikan oleh Ang I Niocu walau pun ada juga sedikit perasaan iba dalam hatinya. Entah bagaimana, dalam penglihatannya, kedua mata Ban Leng mengingatkan dia akan Cin Hai. Sama benar mata Ban Leng ini dengan mata Cin Hai, sama lebar dan sama tajam, hanya sedikit bedanya kalau Cin Hai menggerakkan bola matanya dengan tenang hingga nampak seperti orang bodoh, adalah Ban Leng menggerakkannya dengan lincah, tanda bahwa otaknya bekerja cepat dan wataknya cerdik…..
********************
Sementara itu, Cin Hai tertinggal dua hari oleh Ang I Niocu karena pemuda ini melakukan perjalanan dengan seenaknya dan tak tergesa-gesa. Tiap kali melalui bukit, ia menikmati tamasya alam di daerah itu dan setiap kali melalui dusun atau kota, ia tentu akan berhenti sebentar, malah kadang kala bermalam untuk mengenal tempat itu lebih baik. Kehidupan di daerah itu menarik hatinya, terutama melihat banyaknya macam-macam suku bangsa yang berdiam di tempat itu secara berkelompok-kelompok.
Pada suatu hari Cin Hai melihat serombongan orang Turki terdiri dari lima orang berjalan masuk ke dalam sebuah dusun. Ketika melihat bahwa Wai Sauw Pu, kakek bersorban itu berada di dalam rombongan tadi, timbul keinginan hati Cin Hai untuk mengikuti mereka.
Kelima orang itu masuk ke dalam sebuah pondok dan karena hari itu sudah mulai gelap, dengan berani dan cekatan Cin Hai melompat ke atas genteng dan bersembunyi di atas sambil mengikuti. Akan tetapi alangkah kecewanya saat mendengar pembicaraan mereka dilakukan dalam bahasa Turki yang ia tidak mengerti. Ia hendak meninggalkan tempat itu, akan tetapi pada saat ia mendengar Wai Suaw Pu menyebut-nyebut nama Yousuf, ia lalu membatalkan niatnya itu dan terus mengintai.
Tak lama kemudian, kelima orang itu yang agaknya menunggu sampai malam tiba, lalu meninggalkan pondok dan pergi menuju ke sebuah pondok yang terpencil dan berada di sebelah utara di ujung dusun itu. Wai Sauw Pu lalu mengetuk pintunya dan sesudah pintu dibuka oleh seorang Turki yang sudah tua, kelima orang itu tanpa permisi lalu melangkah masuk.
Cin Hai melihat betapa kedua mata kakek Turki itu terbelalak ketakutan, maka dia segera melompat naik ke atas genteng dan membuka sebuah genteng melakukan pengintaian. Cin Hai melihat betapa kelima orang itu melakukan pertanyaan-pertanyaan dengan wajah bengis, sedangkan kakek itu menjawab dengan takut-takut seakan-akan kelima orang itu sedang mendesak untuk mengakui sesuatu yang disangkal oleh kakek itu, sebab ternyata bahwa berkali-kali ia menggeleng-geleng kepala dan menggoyang-goyangkan tangan.
Kemudian, agaknya Wai Sauw Pu menjadi marah sekali karena dengan tangan kiri dia memegang leher baju orang tua itu sambil membentak-bentaknya. Tangan kanannya lalu menampar sehingga tubuh kakek itu terlempar dan menubruk dinding. Tamparan tangan Wai Sauw Pu ini keras sekali hingga kakek itu mengeluh dengan suara perlahan dan tak dapat bangun pula.
Wai Sauw Pu melangkah maju, hendak menampar pula agaknya. Akan tetapi pada saat itu, sebuah benda melayang dari atas dan hampir saja mengenai tangannya kalau saja ia tidak cepat mengelak. Sambaran benda yang ternyata sepotong genteng itu, disusul oleh melayangnya tubuh Cin Hai dalam pondok, sambil membentak,
“Orang-orang kejam, jangan menyiksa orang tua yang lemah!”
Bukan main terkejutnya hati Wai Sauw Pu ketika melihat bahwa yang melayang turun itu adalah pemuda yang dulu membela Yousuf dan Lin Lin di dalam hutan. Ia telah merasai kelihaian pemuda ini, maka hatinya menjadi gentar.
Tidak demikian dengan keempat orang kawannya yang belum mengenal Cin Hai. Maka, dengan golok di tangan mereka maju menerjang pemuda asing ini.
Cin Hai cepat-cepat menggerakkan kedua tangannya dan oleh karena kawan-kawan Wai Siauw Pu itu ternyata memiliki ilmu silat biasa saja, sekali tubuhnya bergerak, dua batang golok telah dapat dirampasnya dan pemilik-pemilik golok terpelanting roboh! Dua batang golok yang kini berada di tangan Cin Hai itu tiba-tiba dilontarkan ke arah Wai Siauw Pu yang segera melompat ke samping.
Sesudah mengelak dari sambitan golok, kakek bersorban ini langsung melompat melalui jendela dan lari! Kawan-kawannya juga segera melarikan diri keluar dari pintu, sedangkan dua orang yang tadi terpelanting jatuh, merayap-rayap dan kemudian lari pula ke luar. Ternyata bahwa Wai Siauw Pu tidak berani menghadapi Cin Hai seorang diri saja oleh karena kawan-kawannya adalah orang biasa yang tak dapat diandalkan tenaganya.
Cin Hai tidak mau mengejar, hanya menghampiri kakek yang masih rebah di atas lantai sambil merintih-rintih itu.
“In-kong (Tuan Penolong)... terima kasih... terima kasih...,” katanya dalam bahasa Han yang kaku sambil terengah-engah.
Ketika Cin Hai mengangkat tubuh kakek itu untuk dibaringkan di atas dipan, dia menjadi kaget sekali oleh karena melihat betapa kepala kakek itu yang tadi terbentur tembok telah mendapat luka yang besar dan berbahaya sekali.
“Lopek, mengapa mereka itu memusuhimu?”
“Mereka adalah pengikut-pengikut… Pangeran muda... kejam dan ganas...” akan tetapi tiba-tiba wajah yang menyeringai kesakitan itu lalu tersenyum, “akan tetapi jangan harap akan dapat merampas ini... biar mereka membunuhku sekali pun...” Ia lalu mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam bajunya.” In kong... aku sudah tua, lukaku juga berat, tiada gunanya kau tolong aku... kalau kau memang seorang gagah yang berhati mulia... kau tolonglah saja benda ini, jangan sampai terjatuh ke dalam tangannya...”
Cin Hai menerima bungkusan itu dengan perasaan kasihan dan terheran. Tiba-tiba saja ia teringat sesuatu dan bertanya, “Lopek, apakah kau seorang pengikut Pangeran tua dan kenalkah kau kepada Ibrahim dan Yousuf?”
Mata yang sudah layu itu bercahaya kembali. “Tentu saja... Yousuf adalah kemenakanku, kau... kau jagalah benda ini baik-baik... mereka menghendaki benda ini... bangsa-bangsa itu, agaknya berani mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkan benda ini... In-kong, kau boleh pergunakan benda ini dan... dan selain Yousuf atau Ibrahim sendiri, jangan berikan benda ini kepada orang lain!”
“Baiklah, Lopek. Kau tidak keliru memilih, karena terus terang saja, aku adalah seorang sahabat baik dari Yousuf.”
Wajah kakek itu berseri, akan tetapi segera berkata, “Pergilah, lekas pergi!”
Pada saat melihat wajah Cin Hai yang ragu-ragu dan tidak tega meninggalkannya dalam keadaan demikian, kakek itu berkata lagi, “Pergilah lekas dan jangan kuatirkan aku... aku dapat merawat diri sendiri...!”
Terpaksa Cin Hai lantas melompat pergi dari tempat itu dengan benda terbungkus itu di dalam saku bajunya. Ia tidak tahu bahwa belum lama ia pergi, beberapa bayangan orang Turki masuk ke dalam pondok itu dan kemudian setelah mereka meninggalkan pondok, kakek itu telah tak bernyawa pula dengan dada tertusuk pisau!
Sambil melanjutkan perjalanannya, Cin Hai mencoba untuk melihat apakah gerangan isi bungkusan yang demikian dikehendaki oleh Wai Sauw Pu dan kawan-kawannya. Benda itu terbungkus dengan kain kuning dan ketika ia membuka bungkusan itu, ternyata bahwa isinya hanyalah sebuah tutup cawan terbuat dari pada perak!
Cin Hai hampir tak dapat menahan gelak tawanya melihat benda ini. Hanya tutup cawan dari perak yang harganya tidak beberapa banyak! Dia membolak-balik benda itu di atas telapak tangannya dan memandangnya dengan heran.
Tutup cawan itu kecil saja, terbuat dari pada perak bakar dan pada mukanya terdapat ukiran-ukiran berupa bunga-bunga yang tidak dapat disebut indah. Selain ukiran ini, tidak ada apa-apa lagi yang patut diceritakan pada tutup cawan ini. Kalau saja tidak teringat akan permintaan kakek itu, tentu Cin Hai sudah melemparkan benda itu jauh-jauh, karena menurut pendapatnya, apakah harganya sebuah tutup cawan?
Akan tetapi Cin Hai memiliki watak yang setia dan sifat yang gagah, maka sekali berjanji, betapa pun juga tentu akan memegang teguh janjinya itu. Maka sambil tersenyum ia lalu membungkus kembali tutup cawan itu dan memasukkannya kembali ke dalam saku.
Ketika ia melanjutkan perjalanannya, mendadak dari belakang terdengar derap kaki kuda dan ketika enam orang peunggang kuda telah datang dekat, ternyata bahwa mereka itu adalah Wai Sauw Pu dan kawan-kawannya! Wai Sauw Pu melompat turun dari kudanya dan menjura kepada Cin Hai yang memandangnya dengan terheran tanpa membalas penghormatan itu.
“Sicu, kami harap kau suka mengembalikan tutup cawan itu kepada kami.”
“Apa maksudmu?” Cin Hai membentak marah. “Aku tidak mempunyai hubungan sesuatu dengan kalian dan selama hidupku belum pernah aku meminjam atau menerima sebuah tutup cawan dari kalian!”
Wai Sauw Pu tersenyum, akan tetapi matanya memandang tajam.
“Sicu, harap kau maafkan kalau beberapa kali kita bertemu dalam keadaan yang kurang enak. Sebetulnya kami tidak mempunyai permusuhan sesuatu dengan Sicu atau dengan kawan-kawan Sicu. Akan tetapi tutup cawan itu adalah barang pusaka kami yang tercuri oleh kakek tua itu, maka tentu saja Sicu takkan sudi untuk menyimpannya lebih jauh oleh karena kami tahu bahwa maling tua itu telah memberikannya kepadamu.”
“Memang barang itu ada padaku, akan tetapi aku pun telah berjanji kepada kakek tua itu untuk menyimpannya dan tak boleh memberikannya kepadamu!”
“Jadi Sicu lebih percaya kepada maling tua yang jahat itu?”
“Maling tua itu, kalau benar-benar dia maling, tidak lebih jahat dari pada kau beserta kaki tanganmu!” bentak Cin Hai yang marah pada saat teringat betapa kakek bersorban yang tinggi besar ini telah memukul kakek itu dengan kejam.
Mendengar ucapan ini, Wai Sauw Pu menjadi marah sekali dan cepat dia mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu segulung tasbeh dari gading. Juga kawan-kawannya telah mengeluarkan senjata masing-masing.
Ketika Cin Hai memandang, ia melihat bahwa di antara semua kawanan itu, terdapat juga Lok Kun Tojin, tosu yang bersenjata sepasang roda pakai tali itu! Ia maklum bahwa kali ini dia menghadapi lawan yang tangguh. Apa lagi sekarang dia tidak mempunyai pedang dan terpaksa harus melawan mereka dengan tangan kosong saja, paling banyak dengan sulingnya!
“Sicu, sekali lagi dengarlah kata-kataku. Kau masih muda dan gagah, ada pun di antara kita tak ada permusuhan sesuatu. Tutup cawan dari perak itu, apakah harganya bagimu? Apa bila kau suka, kami sanggup mengganti atau menukarnya dengan tutup cawan dari emas tulen!” kata pula Wai Sauw Pu membujuk.
“Ehh, sebenarnya, apakah kehendak kalian dengan tutup cawan itu?” tanya Cin Hai. “Aku mengukuhi benda itu bukan karena ingin memilikinya, akan tetapi hanya karena aku telah berjanji untuk melindunginya. Ini tidak aneh, akan tetapi kalian ini yang benar-benar aneh! Mengapa untuk sebuah tutup cawan jelek dari perak kalian hendak menggantinya dengan sebuah dari emas?”
“Sicu, ini merupakan urusan dan kepentingan pribadi, kepentingan bangsa kami. Sudah kukatakan tadi bahwa benda itu adalah barang pusaka kerajaan kami, maka harap Sicu suka memaklumi hal ini dan mengembalikan barang itu,” kata pula Wai Sauw Pu, bahkan kawan-kawannya pun memandangnya dengan heran.
“Malaikat tasbeh! Kau jangan membohongi aku, karena biar pun aku disebut Pendekar Bodoh, akan tetapi aku bukanlah seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa! Kau tadi menyebut Kerajaan Turki sebagai kerajaan kalian sedangkan aku tahu bahwa kau adalah seorang dari Sin-kiang! Bahkan beberapa orang kawanmu ini pun bukan seorang bangsa Turki. Apakah kau ini seorang belian dari Turki, ataukah sekarang Sin-kiang telah menjadi tanah jajahan Turki? Ha-ha-ha! Wai Sauw Pu, peribahasa kuno menyatakan bahwa anak yang melawan orang tuanya adalah seorang durhaka, tetapi seorang yang mengkhianati negara sendiri adalah orang yang berbatin rendah sekali! Dan kau tentu tidak suka kalau disebut seorang pengkhianat negara?”
“Bangsat bermulut lancang!” Wai Sauw menggerakkan tasbehnya dengan penuh amarah. “Jangan banyak cakap, pendeknya kau kembalikan benda itu atau tidak?”
”Tidak ada persoalan menerima dan mengembalikan,” jawab Cin Hai dengan tenang, “Aku tak pernah menerimanya darimu dan takkan mau pula mengembalikan. Ucapan dan janji seorang gagah lebih berharga dari pada jiwa, tahukah kau?”
“Keparat!” Wai Sauw Pu lalu menggerakkan tasbehnya dan menyerang ke arah Cin Hai!
Dengan sigapnya pemuda ini mengelak. Akan tetapi kawan-kawan Wai Sauw Pu sudah melompat turun lantas menggerakkan senjata masing-masing mengeroyok Cin Hai yang bertangan kosong!
Cin Hai terpaksa mencabut keluar sulingnya karena menghadapi sekian banyaknya orang lihai dengan bertangan kosong adalah hal yang sangat berbahaya. Walau pun sulingnya hanya terbuat dari pada bambu tipis, akan tetapi oleh karena dia mainkan suling itu dalam Ilmu Pedang Daun Bambu, maka ujung sulingnya mengancam jalan-jalan darah semua lawannya sehingga mereka tidak berani mengurung terlalu dekat!
Akan tetapi, tasbeh milik Wai Sauw Pu beserta senjata roda Lok Kun Tojin benar-benar berbahaya dan tiap kali sulingnya yang ringan itu akan terbentur oleh kedua senjata itu, sulingnya terpaksa dia gerakkan untuk menghindari benturan ini karena takut kalau-kalau sulingnya pecah dan rusak!
Sebetulnya apa bila Cin Hai tidak menguatirkan kerusakan sulingnya, ia tak usah merasa gentar, oleh karena yang terlihai di antara semua pengeroyoknya hanyalah Wai Sauw Pu dan Lok Kun Tojin, sedangkan empat orang yang lainnya adalah orang-orang yang hanya memiliki tenaga besar belaka, akan tetapi tingkat ilmu silat mereka masih jauh di bawah dia.
Akan tetapi ia pikir bahwa sebenarnya ia tidak mempunyai permusuhan sesuatu dengan mereka, maka tidak ada perlunya untuk menewaskan mereka atau melayani mereka lebih lama lagi. Dia segera memutar-mutar sulingnya dan memainkan tangan kirinya dengan pukulan-pukulan Pek-in Hoat-sut hingga dua orang pengeroyok dapat dia robohkan tanpa menderita luka hebat, kemudian dia segera melompat keluar dari kurungan mereka dan berlari secepatnya meninggalkan tempat itu!
Lawan-lawannya segera mengejar sambil menunggang kuda. Akan tetapi mereka tidak sanggup mengejar Cin Hai yang mempergunakan Ilmu Lari Cepat Jouw-sang-hui, hingga sebentar saja ia telah meninggalkan mereka jauh-jauh!
Akan tetapi musuh-musuhnya itu tak mau membiarkan dia pergi dengan aman dan sejak saat itu, Cin Hai selalu merasa bahwa dia diikuti orang! Ke mana juga dia pergi, bahkan ketika dia bermalam di hotel-hotel ia merasa pasti bahwa dirinya sedang diintai dan diikuti orang secara diam-diam.
Dia menjadi sangat jengkel dan mulai merasa betapa tugas yang ditimpakan oleh kakek Turki itu ke atas pundaknya, bukanlah tugas yang ringan. Dia maklum bahwa pada suatu saat, orang-orang Turki pengikut pangeran muda itu pasti akan muncul lagi dan kembali mengeroyoknya dengan tenaga sepenuhnya. Karena itu dia menjadi gelisah juga, sebab sedikitnya, walau pun dia tidak pernah merasa takut, hal ini mengganggu tidurnya dan dia tidak dapat menikmati perjalanannya lagi, karena dia selalu harus berlaku waspada serta hati-hati...
Selanjutnya baca
PENDEKAR BODOH : JILID-17