Pendekar Bodoh Jilid 17
Dua hari kemudian, sampailah ia di Lan-couw, ibu kota Kansu. Ketika dia sampai di luar tembok kota, dia melihat ada sebuah rumah terpencil di pinggir jalan. Tadinya dia hendak melewatinya saja, akan tetapi, tiba-tiba dia dapat melihat bayangan beberapa orang Turki berkelebat di rumah itu, maka ia menjadi tertarik dan segera melompat pula menghampiri pondok itu. Ketika dia sampai di dekat jendela pondok yang terbuka, ia mendengar suara orang bicara.
Pada saat itu dia mengalami dua macam hal yang sangat mengejutkan hatinya, bahkan membuat wajahnya menjadi pucat. Yang pertama adalah suara yang keluar dari dalam pondok itu! Jelas terdengar olehnya ada dua orang, seorang laki-laki dan seorang wanita, sedang bicara dan suara wanita itu mengingatkan ia kepada Ang I Niocu!
Hal kedua yang mengejutkan hatinya ialah ketika mendapat kenyataan bahwa rumah itu berikut dirinya, telah dikurung dari segenap penjuru oleh orang-orang Turki yang dipimpin oleh Wai Sauw Pu, Lok Kun Tojin, bahkan Si Nenek Bongkok Siok Kwat Moli juga ikut kelihatan bayangannya!
Akan tetapi dia tak mempedulikan hal yang ke dua ini, yang lebih menarik hatinya adalah suara wanita itu. Dia mendekatkan telinganya pada jendela dan mendengar suara wanita itu berkata dengan suara yang tandas dan nyaring, akan tetapi merdu,
“Jangan kau ulangi lagi ucapanmu tadi!”
“Lihiap... tidak kasihankah kau padaku? Biarlah kau boleh menjadi marah dan boleh pula membunuhku, akan tetapi aku harus selalu mengulangi pernyataanku tadi. Memang aku cinta kepadamu, Lihiap! Apa dayaku? Aku adalah seorang berdosa besar yang tadinya sudah hendak mengasingkan diri dan menyucikan diri untuk menebus dosa. Akan tetapi, semenjak aku melihat wajahmu, timbul kegembiraan hidupku. Lihiap, mungkin di dunia ini tak ada orang yang mencintaimu seperti aku!” terdengar suara seorang laki-laki berkata.
“Cukup, tutup mulutmu! Untuk ucapan ini saja, apa bila aku tidak ingat bahwa kau pernah menolongku, dan tidak ingat bahwa kau mengingatkan aku akan seseorang yang sangat kuhargai, tentu sekarang juga sudah kucabut pedangku untuk menebas batang lehermu!”
“Lihiap, kalau aku melawan, belum tentu kau akan dapat menang, akan tetapi, aku tidak sampai hati mengangkat tangan melawanmu. Kau boleh perlakukan aku sesuka hatimu, akan tetapi kasihanilah aku dan janganlah kausia-siakan cinta kasihku!”
Cin Hai tak dapat menahan lagi gelora hatinya oleh karena ia tak ragu-ragu lagi bahwa itu adalah suara Ang I Niocu! Ia cepat membuka daun jendela dan memandang ke dalam. Benar saja, yang berada di dalam pondok itu adalah Ang I Niocu dan seorang laki-laki. Ang I Niocu berdiri tegak dengan tangan kanan di gagang pedangnya sedangkan laki-laki itu berlutut di depannya!
“Niocu...!” Cin Hai berteriak dengan wajah pucat dan bibir menggigil karena masih belum percaya bahwa dara yang baju merah itu benar-benar Ang I Niocu!
Dara Baju Merah itu berpaling cepat dan mulutnya tersenyum girang ketika ia melihat Cin Hai. “Hai-Ji...!” serunya dengan suara menggetar, lalu tubuhnya melompat keluar jendela.
Mereka berdiri berhadapan, sedangkan Cin Hai memandang dengan mata terbelalak.
“Niocu... Niocu... benar-benarkah kau ini... apakah aku tidak sedang bermimpi...?” Sambil berkata demikian, air mata mengalir ke atas kedua pipi Cin Hai.
Ang I Niocu memegang kedua tangan Cin Hai. “Hai-ji... tidak, kau tidak sedang dalam mimpi. Aku betul Kiang Im Giok yang telah terlepas dari bencana di Pulau Kim-san-to.”
Saking girangnya, ingin Cin Hai memeluk dara ini, akan tetapi sebaliknya pemuda ini lalu menjatuhkan diri berlutut. Ang Niocu mengangkat bangun padanya lalu sambil menaruh kedua tangan pada pundak pemuda itu, dan air mata berlinang di bulu matanya, Ang I Niocu berkata sambil tersenyum penuh keharuan hati dan kegirangan,
“Hai-ji, kau benar-benar sudah dewasa sekarang. Bahkan kau juga telah nampak masak. Di mana Lin Lin?”
“Dia ikut belajar silat dengan Suhu.”
Ang I Niocu mengangguk girang, dan sebelum ia melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba dari jendela itu berkelebat bayangan Ban Leng yang langsung mengayun rebabnya ke atas kepala Cin Hai. Cin Hai berkelit cepat dan sekarang barulah dia mengenali laki-laki ini sebagai orang yang dulu pernah pula menyerangnya di tepi Sungai Huangho.
”Eh, eh, tunggu dulu, kawan!” teriaknya dengan marah dan heran, sedangkan Ang I Niocu membentak pula,
“Saudara Sie Ban Leng, jangan kau sembarangan turun tangan!”
Bukan main terkejut hati Cin Hai mendengar nama ini hingga ia tertegun bagaikan patung dan memandang ke arah pamannya itu dengan mata terbelalak dan mulut celangap. Jadi inilah paman Sie Ban Leng yang dulu mengkhianati ayah bundanya?
Akan tetapi, sebelum ia sempat membuka mulut, tiba-tiba orang-orang Turki yang tadi ia lihat, telah mendatangi dengan cepat dan mengurung rumah itu! Sie Ban Leng terkejut sekali dan tiba-tiba saja ia bersuit keras memberi tanda kepada kawan-kawannya, lalu ia sendiri tanpa banyak cakap lalu memutar-mutar rebabnya menyerang Wai Sauw Pu.
Wai Sauw Pu menggerakkan tasbehnya dan berkata dengan marah, “Tangkap tiga tikus ini!”
Maka majulah semua orang Turki mengeroyok, sehingga Ang I Niocu segera mencabut pedangnya dan Cin Hai juga langsung menggerakkan sulingnya, bertempur menghadapi sekian banyaknya pengeroyok di dekat Ang I Niocu.
Tidak lama kemudian, datanglah kawan-kawan Sie Ban Leng, yaitu perwira-perwira yang menyamar. Bahkan Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu muncul pula hingga sebentar saja terjadi pertempuran hebat antara orang-orang kaisar melawan orang-orang Turki.
“Niocu, sebenarnya mereka ini datang hendak menangkap aku!” Cin Hai berkata sambil menangkis serangan lawan yang sekarang tidak begitu rapat lagi karena datangnya bala bantuan.
“Mengapa?” tanya Ang I Niocu sambil mengirim tendangan kepada seorang pengeroyok hingga orang yang tertendang itu terguling dan tak dapat bangun pula.
“Karena aku membawa sebuah tutup cawan perak yang tidak berharga!” jawab Cin Hai sambil tertawa. Akan tetapi mendengar jawaban ini, tiba-tiba Ang I Niocu memandangnya dengan mata terbelalak.
“Tutup cawan perak yang berukir di atasnya?” tanyanya.
“Betul,” jawab Cin Hai sambil memandang heran. “Bagaimana kau bisa tahu?”
“Hai-ji, cepat! Mari kita keluar dari kepungan ini! Saat yang baik kita pergunakan. Selagi mereka bertempur, kita boleh bekerja cepat!”
Meski pun tidak mengerti akan maksud gadis itu, namun Cin Hai lalu memutar sulingnya dan dengan cepat lalu mengikuti Ang I Niocu yang sudah melompat keluar dari kalangan pertempuran, lalu keduanya lari cepat memasuki kota Lan-couw.
Ternyata Ang I Niocu telah membawanya menuju ke Goa Tun-huang yang beratus-ratus banyaknya itu.
“Coba kau keluarkan tutup cawan itu, Hai-ji,” kata Ang I Niocu.
Pada saat Cin Hai membuka bungkusan tutup cawan dan memberikannya kepada gadis itu, Ang I Niocu juga mengeluarkan sebuah cawan dan ternyata bahwa tutup itu memang pas betul. Ketika tutup cawan itu dipasang di atas cawan, Ang I Niocu memperhatikan gambar ukirannya dengan seksama. Tiba-tiba wajahnya berseri-seri, dan ia berkata,
“Goa ke tiga puluh enam dari kiri! Hayo Cin Hai, jangan membuang waktu!”
Sambil berlari-lari mencari goa ke tiga puluh enam dari kiri Cin Hai tak tahan lagi untuk tidak bertanya tentang rahasia cawan dan tutupnya.
“Ketahuilah bahwa sepasang cawan dan tutupnya ini merupakan peta yang menunjukkan kita ke arah tempat penyimpanan harta pusaka terpendam yang berada di dalam goa-goa ini.”
Cin Hai makin terheran dan ia segera berkata, “Niocu, aku pun mendapat tugas dari Suhu untuk mencari sepasang pedang, yaitu Liong-cu-kiam yang katanya tersimpan di dalam salah satu goa-goa di Tun-huang ini.”
“Nah, itulah,” kata Ang I Niocu girang. “Dan selain sepasang pedang itu, masih terdapat harta yang luar biasa banyaknya!”
Cin Hai hendak bertanya lagi, akan tetapi mereka telah tiba di goa ke tiga puluh enam itu dan segera mereka masuk ke dalam goa yang besar itu.
“Mari kita memeriksa kalau-kalau ada terowongan atau pintu tembusan lain!” kata Ang I Niocu.
Keduanya lalu memeriksa seluruh lantai dan dinding goa yang penuh dengan ukiran dan batu-batu berupa patung-patung Buddha, akan tetapi mereka tidak mendapatkan sesuatu yang mencurigakan. Mereka sudah mendorong-dorong dinding dan membersihkan lantai, juga memeriksa dengan amat teliti, akan tetapi hasilnya nihil.
Cin Hai menjadi hilang sabar. Dia lalu duduk mengaso dan berkata kepada Ang I Niocu yang masih mencari-cari.
“Niocu, untuk apakah tergesa-gesa? Marilah kita duduk bercakap-cakap dahulu dan kau ceritakan semua pengalamanmu. Aku ingin sekali mendengar dan juga kau tentu ingin mendengar pengalamanku semenjak berpisah.”
“Nanti saja, Hai-ji, orang-orang Mongol dan Turki serta orang-orang kaisar juga mencari harta pusaka ini. Kalau mereka tahu kita berada di sini tentu mereka akan segera datang menyerbu,” kata Ang I Niocu sambil masih melanjutkan memeriksa kanan kiri. “Tentang pengalamanmu, sebagian banyak aku sudah mendengar dari Kwee An dan Ma Hoa.”
“Apa?!” Cin Hai melompat memegang lengannya. “Kau sudah bertemu dengan mereka? Masih hidupkah mereka?”
Ang I Niocu tersenyum manis sambil memandangnya. “Kalau mereka sudah meninggal, bagaimana aku dapat bertemu dengan mereka?”
Bukan main girang hati Cin Hai mendengar warta ini. “Aduh, betapa mulia dan besarnya hari ini!” dia berkata sambil memandang ke atas seakan-akan berdoa dan memuji nama Thian Yang Agung. “Melihat Niocu masih hidup, juga mendengar Ma Hoa dan Kwee An selamat…”
Tiba-tiba saja dia melompat bangun dan berkata, “Niocu kita sudah memeriksa lantai dan dinding, mengapa kita lupakan yang di atas?”
“Apa maksudmu?” tanya Ang I Niocu heran.
“Langit-langit itu,” kata Cin Hai sambil menuding ke atas, “Siapa tahu kalau-kalau di situ letak rahasia yang kita cari?”
Ang I Niocu berseri dan pada wajahnya yang cantik timbul harapan baru. Mereka segera memeriksa lagi dengan lebih teliti dan akhirnya mereka harus memeriksa cawan itu lagi dengan segala ukirannya. Setelah memeriksa sampai mata mereka terasa pedas, pada akhirnya mereka mendapatkan sebuah lukisan pada tutup cawan itu yaitu lukisan patung Buddha yang duduk bersila.
“Ahh, aku tadi pernah melihat lukisan ini!” kata Cin Hai dan ia bersama Ang I Niocu mulai mencari-cari kembali dan memeriksa seluruh ukiran yang berada pada langit-langit dan di dinding.
“Itulah dia!” kata Ang I Niocu sambil menunjuk ke atas.
Benar saja, pada ujung kiri dari langit-langit goa ini, terdapat sebuah lukisan yang serupa benar dengan ukiran pada kepala cawan itu, yakni sebuah patung Buddha yang duduk bersila. Mereka lalu meneliti cawan itu lagi, oleh karena masih belum tahu apa maksud persamaan ukiran ini. Dan tahulah mereka kini.
Meski pun ukiran itu campur aduk, akan tetapi apa bila diteliti melihatnya, ternyata bahwa ada setangkai bunga yang menghubungkan Patung Buddha itu ke bawah. Mereka lalu mencari tangkai bunga ini pada dinding goa dan akhirnya mereka dapat menemukannya. Dari ukiran di atas itu terdapat ukiran bunga yang terus menuju ke bawah dan berakhir pada punggung sebuah batu yang berdiri di dekat dinding.
“Jangan-jangan inilah rahasianya!” kata Cin Hai sambil memutar-mutar patung itu, akan tetapi biar pun tidak berapa besar, ternyata patung itu berat sekali.
“Niocu, marilah kita pindahkan patung yang berat ini, siapa tahu kalau-kalau di bawahnya terdapat pintu rahasia!” Ang I Niocu kemudian membantu dan dengan persatuan tenaga mereka, terangkatlah patung itu.
“Awas!” tiba-tiba Ang I Niocu berseru.
Mereka segera menurunkan kembali patung itu dan cepat melompat mundur karena dari atas tiba-tiba terbuka sebuah lubang di atas itu! Ternyata bahwa patung ini dipasangi tali baja yang menghubungkan patung itu dengan sebuah pintu di langit-langit goa. Tali baja ini tidak dapat dilihat oleh karena dipasang di sebelah dalam dinding batu yang sengaja dibuat oleh orang-orang kuno untuk menutupi rahasia ini.
Begitu pintu pada langit-langit terbuka, dari lubang di balik pintu itu segera meluncur turun sebuah barang. Cin Hai dan Ang I Niocu sangat terkejut, dan cepat bukan main keduanya sudah melompat ke belakang sambil bersiap menghadapi segala serangan. Akan tetapi serangan itu tidak pernah datang, yang terjadi adalah tiba-tiba terdengar suara keras saat barang yang tadi meluncur turun, yang ternyata ialah sebuah peti, jatuh menimpa lantai.
Ang I Niocu dan Cin Hai merasa terkejut sekali akan tetapi juga girang. Mereka berdua saling pandang sambil tersenyum dan walau pun hati mereka sangat ingin membuka peti itu, akan tetapi mereka masih berdebar-debar maka untuk beberapa lama mereka hanya berdiri saja.
“Niocu, hayo kita buka peti itu. Siapa tahu di dalamnya penuh dengan emas permata!”
“Jangan-jangan terisi binatang beracun. Bagaimana kalau ada ular berbisa di dalamnya?” kata Ang I Niocu sambil tertawa.
Keduanya lalu maju dan bersama-sama membuka tutup peti itu dan mereka tercengang sekali. Pada saat tutup peti itu dibuka, nampaklah sinar cahaya yang berkilauan gemilang keluar dari dalam peti dan ketika mereka sudah membiasakan mata mereka yang tadinya menjadi kesilauan, mereka melihat bahwa peti kecil itu berisikan dua batang pedang yang indah sekali dan yang mengeluarkan cahaya berkilauan!
“Ah, inilah Liong-cu-kiam!” kata Cin Hai dan Ang I Niocu mengangguk.
“Agaknya benar juga, inilah pedang yang dimaksudkan oleh Susiok-couw Bu Pun Su itu!”
Otomatis mereka lalu mengulurkan tangan dan tanpa disengaja mereka telah mengambil pedang yang sesuai dengan mereka. Cin Hai mengambil pedang yang lebih panjang dan yang pada gagangnya selain tertulis nama pedang itu, yaitu Liong-cu-kiam, juga terdapat huruf ‘jantan’, sedangkan pedang yang terambil oleh Ang I Niocu terdapat huruf ‘betina’!
“Bagaimana Niocu? Harus kita apakan pedang ini?”
“Ehh, anak bodoh!” kata Ang I Niocu dan wajah Cin Hai menjadi merah berseri karena sudah lama dia rindu akan sebutan ini yang keluar dari mulut Ang I Niocu. “Tentu saja dua pedang ini kita serahkan kepada Susiok-couw! Akan tetapi sementara ini biarlah kita membawa pedang ini seorang satu.”
“Niocu, lubang di atas itu besar dan gelap, mungkin di sanalah tersimpannya harta yang kau sebutkan itu.”
Keduanya lalu berdiri dan memandang ka atas, akan tetapi karena lubang itu benar-benar gelap menghitam, mereka tidak melihat sesuatu.
“Marilah kita periksa ke atas, biarkan aku memasukinya,” kata Cin Hai, akan tetapi pada saat itu di luar terdengar banyak suara kaki orang.
“Hai-ji, lekas kita kembalikan patung itu!” Keduanya lalu mengangkat kembali patung tadi ke tempat semula dan aneh! Lubang itu tertutup dengan sendirinya dari atas!
Cin Hai sudah hendak berlari keluar, akan tetapi tiba-tiba tangan Ang I Niocu memegang lengannya, “Jangan keluar dulu, mungkin kalau terlihat oleh mereka, akan menimbulkan kecurigaan!”
Keduanya segera bersembunyi sambil mengintai dari dalam goa dan setelah rombongan orang yang terdengar bunyi kakinya itu lewat, Ang I Niocu dan Cin Hai cepat melompat keluar dari dalam goa dengan pedang Liong-cu-kiam di tangan.
Sesudah tiba di luar goa, keduanya memandang kepada pedang masing-masing dengan amat kagum oleh karena setelah berada di tempat terang ternyata sepasang pedang ini mengeluarkan cahaya yang amat indahnya. Sinar matahari yang menimpa mata pedang, terpantul kembali menimbulkan berbagai warna pada sinar pedang itu hingga keduanya selain merasa kagum, juga merasa girang sekali.
“Lebih baik kita simpan pedang ini, apa bila terlihat orang akan menimbulkan keheranan,” kata Ang I Niocu dan keduanya lalu menyimpan pedang itu di dalam baju masing-masing.
“Sekarang tiba waktunya bagimu untuk menceritakan segala pengalamanmu, Niocu. Aku sudah amat ingin mendengarkannya,” Cin Hai berkata sambil duduk di atas sebuah batu yang besar.
Ang I Niocu duduk di dekatnya dan mulai bercerita tentang segala hal yang dialaminya. Akan tetapi dia masih merasa malu untuk menceritakan tentang pertunangannya dengan Lie Kong Sian. Pada saat dia menceritakan pertemuannya dengan Sie Ban Leng, Cin Hai berkata,
“Dia itu adalah pamanku sendiri yang telah mengkhianati Ayah Bundaku.”
Terkejutlah hati Ang I Niocu mendengar ucapan ini. “Ahh, pantas saja ada persamaan pada mukanya dan mukamu. Hayo, kau sekarang ceritakan pengalamanmu!”
Cin Hai lalu menceritakan semua pengalamannya pula, dan ketika pemuda itu bercerita tentang pertandingannya melawan Song Kun, Ang I Niocu tanpa terasa ia berseru,
“Ah, Song Kun itu adalah Sute-mu yang jahat!”
“Sute siapa?” tanya Cin Hai terheran.
Tiba-tiba wajah Ang I Niocu menjadi merah.
“Sute dia… ehhh, penolongku itu, Lie Kong Sian. Mereka berdua adalah murid-murid dari Han Le Sianjin, adik seperguruan Susiok-couw!”
Akhirnya, mengertilah Cin Hai dan ia berkata,
“Menurut Suhu Bu Pun Su, pedang yang dapat menghadapi pedang Song Kun yang jahat itu hanyalah pedang Liong-cu-kiam ini. Sekarang pedang ini sudah kupegang, maka aku tidak takut lagi menghadapi dia!”
“Jangan kuatir, Hai-ji, aku pun bersedia membantumu untuk merobohkan dia itu, biar pun kepandaianku jauh berada di bawah tingkat kepandaianmu!”
“Ahh, jangan kau terlampau merendahkan diri, Niocu.”
Kemudian, Ang I Niocu lalu minta pada Cin Hai agar supaya pemuda ini memperlihatkan ilmu pedang yang dahulu diciptakan atas bantuannya. Dengan suka hati Cin Hai segera mengeluarkan pedang Liong-cu-kiam, lantas mulai bersilat sehingga Ang I Niocu menjadi kagum sekali.
“Ahh, kepandaianmu makin maju saja,” katanya. ”Sungguh aku merasa gembira melihat kawan-kawan mendapat kemajuan hebat. Terutama sekali yang sekarang menerima ilmu silat luar biasa adalah Ma Hoa. Ia sungguh lihai sekali dan permainannya bambu runcing benar-benar mengagumkan,”
“Tak disangka bahwa Ma Hoa yang tadinya terjerumus ke dalam tebing yang demikian tinggi, tidak saja selamat, bahkan menerima pelajaran ilmu silat tinggi. Sungguh nasib orang tidak tentu. Akan tetapi, selain Ma Hoa, Lin Lin juga bernasib baik oleh karena kini ia mendapat gemblengan dari Suhu.” Ketika membicarakan hal kekasihnya ini, wajah Cin Hai berseri dan matanya bersinar.
“Hai-ji demikian besar kasih sayangmu pada Lin Lin,” kata Ang I Niocu sambil tersenyum, “dan aku percaya bahwa cinta kasih gadis itu kepadamu tidak kalah besarnya. Aku girang sekali melihat kau bahagia, Hai-ji.”
Cin Hai merasa terharu sekali karena teringat akan pengorbanan Ang I Niocu di Pulau Kim-san-to demi kebahagiaannya dan Lin Lin.
Dengan mesra dan suara penuh harapan, Cin Hai memandang Ang I Niocu dan berkata, “Niocu, memang hatimu mulia sekali. Kudoakan sepenuh hatiku semoga kau pun akan dikaruniai kebahagiaan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dan mendapatkan seorang jodoh yang baik, sebagaimana diharapkan pula oleh Suhu.”
Merahlah seluruh muka Ang I Niocu sampai ke telinganya mendengar ucapan pemuda itu. Cin Hai merasa kuatir kalau-kalau Nona Baju Merah itu menjadi marah mendengar kata-katanya yang lancang itu, maka dia buru-buru melanjutkan bicaranya. “Maaf, Niocu, aku tak bermaksud menyinggung perasaanmu...”
Ang I Niocu mengerling padanya dan tersenyum manis. “Mengapa minta maaf? Aku tidak marah dan ucapanmu itu memang berharga untuk dipertimbangkan. Mari kita kembali ke goa itu. Mereka telah pergi dan sekarang kita memiliki kesempatan untuk mencari harta terpendam yang menurut keterangan seharusnya ada di tempat itu.”
Cin Hai merasa girang sekali mendengar ucapan Ang I Niocu tadi, maka diam-diam dia mengharapkan perubahan perasaan Ang I Niocu terhadap Kang Ek Sian, pemuda yang amat mencinta Dara Baju Merah itu.
Mendengar ajakan Ang I Niocu untuk mencari harta terpendam, sungguh pun dia sendiri tidak ingin mendapatkan harta itu, namun tanpa membantah lagi dia lalu bangun berdiri dan mengikuti nona itu kembali ke dalam goa di mana mereka tadi sudah mendapatkan Liong-cu-kiam.
“Niocu, lubang di atas itu kecil dan tak akan dapat dimasuki oleh dua orang, biarlah nanti aku saja yang masuk dan kau menjaga di luar goa, takut kalau-kalau ada orang yang akan melihat kita dan mengetahui rahasia tempat ini.”
“Baik, akan tetapi kau berhati-hatilah karena bukan tidak mungkin bahwa dalam tempat yang aneh terdapat hal-hal yang aneh dan berbahaya pula. Kabarnya pendeta-pendeta yang dulu menyimpan benda-benda ini adalah orang-orang berkepandaian tinggi sekali.”
Cin Hai menjadi tertarik sekali.
“Niocu, sebelum kita bertindak lebih jauh, terlebih dulu harap kau suka ceritakan padaku tentang riwayat harta terpendam itu karena tidak enak mengerjakan sesuatu yang belum diketahui baik keadaannya.”
Ang I Niocu dapat mengerti perasaan dan pendapat Cin Hai ini, maka dia lalu duduk di atas sebuah batu dalam goa itu dan berkata, “Memang seharusnya kau tahu akan hal itu, akan tetapi aku sendiri pun hanya mendengar dari lain orang dan ceritanya hanya berupa samar-samar saja,” Nona Baju Merah itu lalu menceritakan riwayat harta terpendam di dalam goa itu sebagaimana yang ia dengar dari lain orang.
Menurut pendengarannya, diceritakan orang bahwa ratusan tahun yang lalu, pada waktu pendeta-pendeta Buddha mulai memperluas perkembangan agamanya ke daerah timur, mereka mendapat tantangan keras dari orang-orang yang tidak menyetujui pelajaran agama mereka hingga tak jarang terjadi pertempuran hebat yang mengorbankan banyak jiwa orang.
Pada masa itu, di dekat perbatasan Tiongkok sebelah barat laut terdapat suku bangsa Kazak yang amat tangguh dan kuat akan tetapi dipimpin oleh seorang jahat. Orang-orang Kazak ini tiada hentinya menyerang ke wilayah pedalaman serta melakukan perampokan-perampokan yang ganas, mengumpulkan banyak barang berharga sehingga mereka itu memiliki banyak sekali emas dan permata hasil perampokan itu.
Hal ini membuat kaisar menjadi marah dan karena keadaan mereka memang kuat sekali, akhirnya kaisar membaiki para pendeta Buddha dan dapat menggunakan tenaga mereka untuk menyerbu dan menghancurkan bangsa Kazak yang suka merampok itu.
Akan tetapi, sesudah para pendeta Buddha itu berhasil membasmi para perampok serta merampas kembali barang-barang berharga, kaisar berlaku curang dan bahkan kemudian mengerahkan tentara untuk mengusir pendeta-pendeta itu dan merampas barang-barang berharga itu.
Karena tidak pernah menyangka-nyangka, para pendeta itu dapat terpukul hingga cerai berai dan sebagian di antara mereka segera melarikan diri ke goa-goa Tun-huang serta menyimpan harta benda itu di tempat rahasia. Akan tetapi, mereka itu dapat dikejar dan ditewaskan sehingga tiada seorang pun tahu di mana tempat harta pusaka itu disimpan. Hanya ada seorang di antara mereka yang dapat meloloskan diri dan kemudian membuat peta pada cawan dan tutupnya.
“Nah, hanya sekianlah yang kudengar dari keterangan orang-orang, tetapi benar tidaknya entahlah,” kata Ang I Niocu kepada Cin Hai yang mendengarkan dengan hati tertarik.
“Kalau begitu, seandainya kita mendapatkan kembali harta itu, akan kita gunakan untuk apakah?” tanyanya dengan muka memandang bodoh.
Ang I Nicu tersenyum. “Hai-ji, kau benar-benar linglung! Baru kau saja orangnya yang tak tahu harus mempergunakan harta benda untuk apa! Biarlah kita mencarinya dahulu dan kalau sudah berhasil, kita bertanya kepada Susiok-couw yang tentu akan tahu apa yang harus kau lakukan.”
“Tapi, kau sendiri, Niocu? Untuk apakah harta benda itu bagimu?”
“Anak bodoh! Aku sih hanya membantu kau saja. Aku sendiri tidak membutuhkan segala macam barang itu!”
“Aku pun tidak membutuhkan! Kalau begini halnya, mengapa kita berdua harus bersusah payah mencarinya?”
“Hai-ji, ketahuilah. Selain kita, masih banyak pihak yang mencari harta itu dan apa bila harta benda yang besar itu terjatuh ke tangan orang jahat, tentu akan menimbulkan mala petaka belaka!”
Cin Hai mengangguk-angguk dan berkata, “Benar, benar! Sekarang aku ingat akan bunyi ujar-ujar yang menyatakan bahwa harta benda di tangan orang budiman akan merupakan alat hidup yang berguna dan mulia, akan tetapi sebaliknya apa bila harta benda terjatuh di tangan orang rendah budi akan menjadi alat hidup yang jahat dan merusak. Kau benar, Niocu!”
Ang I Niocu tertawa “Ah, kau dan ujar-ujarmu! Hayo kita bekerja dan jangan mencoba menjadi guru sastera di dalam goa ini!”
Cin Hai juga tertawa, kemudian mereka lalu bekerja sama untuk menggerakkan patung yang menjadi kunci pembuka pintu di atas goa. Sesudah lubang di langit-langit goa itu terbuka, Cin Hai segera melompat ke atas dan mempergunakan tangan kanannya untuk menyambar pinggiran lubang dan bergantungan di situ, kemudian dia mengayun kakinya dan masuk merayap ke dalam lubang kecil itu.
“Ahh, gelap sekali, Niocu!” katanya.
“Biasakan dulu matamu di tempat yang gelap itu, aku akan membuat api unggun di dalam goa ini agar cahayanya akan masuk ke situ dan menerangi dalam lubang,” kata Ang I Niocu yang segera mengumpulkan kayu-kayu kering di luar goa.
Tiba-tiba ketika ia sedang mengumpulkan kayu bakar itu, ia melihat dari jauh mendatangi seorang perwira. Cepat dia masuk ke dalam goa dan berkata kepada Cin Hai, “Hai-ji kau cepatlah bekerja, di luar sana ada orang, biar aku pancing dia pergi ke tempat lain!”
Setelah menyalakan api unggun, Ang I Niocu lalu meninggalkan Cin Hai dan berlari ke luar dari goa. Ia mengintai dan melihat betapa perwira itu berjalan dengan langkah lebar menuju ke situ! Ang I Niocu segera melompat jauh dan memapaki orang itu dan setelah dekat sehingga perwira itu melihatnya, dia lalu membelok ke kanan dan memperlihatkan muka takut-takut.
Perwira itu segera merasa curiga melihat seorang wanita di tempat yang sunyi itu yang memperlihatkan sikap takut-takut dan bersembunyi ketika melihatnya. Maka dia segera mengejar dan berseru, “Nona, tunggu dulu!”
Akan tetapi, Ang I Niocu berlari terus menjauhkan diri dari goa di mana Cin Hai sedang mencari harta pusaka dan setelah tiba di tempat yang cukup jauh, ia berhenti berlari dan berdiri sambil bertolak pinggang.
Perwira itu cepat sekali larinya dan sesudah berhadapan muka, dia memandang kepada Ang I Niocu dengan hati heran dan kagum. Tadinya dia mengira bahwa wanita itu adalah seorang penduduk situ, yaitu seorang perempuan suku bangsa Hui. Akan tetapi alangkah herannya ketika sekarang melihat bahwa wanita yang dikejarnya ternyata adalah seorang perempuan yang cantik jelita bagaikan seorang bidadari! Dia memandang dengan mata terbelalak dan lupa untuk menegur karena kagumnya.
Sementara itu, Ang I Niocu juga tercengang ketika menyaksikan betapa perwira itu tadi telah mempergunakan ilmu lari cepat yang cukup mengagumkan, dan tahulah dia bahwa perwira ini bukanlah orang sembarang. Dia lalu memandang penuh perhatian.
Perwira itu memakai topi pahlawan yang indah dan dihias bulu-bulu, ada pun rambutnya yang panjang dan hitam itu dikuncir dan tergantung pada punggungnya. Usianya masih muda, paling banyak baru tiga puluh lima tahun, tubuhnya sedang namun nampak kuat, sedangkan di pinggangnya tergantung sebatang pedang. Sikapnya gagah dan sepasang matanya bersinar tajam berpengaruh.
Ang I Niocu tidak tahu bahwa ia sedang berhadapan dengan panglima tertinggi di seluruh kerajaan pada waktu itu, yaitu Kam Hong Sin, yang kini menjadi panglima nomor satu di kerajaan! Ia datang menyusul para anak buahnya karena menganggap bahwa keadaan di barat sangat genting sehingga perlu turun tangan sendiri. Karena berhak bekerja secara diam-diam, maka perwira ini meninggalkan kudanya dan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki.
“Perwira gadungan!” Ang I Niocu sengaja memaki untuk mencari perkara agar perwira itu tidak melanjutkan perjalanannya dan melihat Cin Hai, “Mengapa kau mengejarku?”
Dimaki demikian itu, Kam Hong Sin hanya tersenyum dan menjawab, “Nona yang cantik, mengapa pula kau melarikan diri dariku? Kau adalah seorang Han, apa pula kerjamu di daerah ini?”
“Kau peduli apa? Pergi!” Ang I Niocu yang segera mengulur tangan kanan mendorong agar perwira itu roboh dan lari ketakutan.
Dorongannya ini bukanlah gerakan sembarangan saja, karena ia menggunakan pukulan dari Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut yang kelihaiannya luar biasa dan tidak mungkin ditangkis oleh orang sembarangan saja.
Akan tetapi bukan main terkejutnya gadis ini ketika tubuh perwira itu tiba-tiba berkelebat dan berhasil mengelak dengan gerakan yang amat cepat! Perwira itu juga terkejut melihat serangan yang demikian hebat dan sudah mendatangkan angin yang terasa panas ketika menyerempet ujung jari tangannya itu!
“Eh, ehh, siapakah kau yang lihai ini?!” teriaknya.
Akan tetapi Ang I Niocu menyerang lagi dengan penasaran sambil membentak, “Peduli apakah kau siapa adanya aku?”
Kini perwira tertinggi di kerajaan itu tidak berani main-main lagi dan ia lalu mengeluarkan ilmu kepandaiannya untuk menghadapi serangan-serangan Ang I Niocu yang tidak boleh dibuat gegabah.....
Ang I Niocu merasa kagum dan terheran-heran melihat seorang perwira kerajaan yang dapat menghadapi ilmu silatnya Pek-in Hoat-sut dan bahkan dapat membalas dengan serangan-serangan yang tak kurang hebatnya! Ilmu ginkang perwira muda itu betul-betul membuat Ang I Niocu tertegun oleh karena gerakannya demikian ringan hingga tubuhnya berkelebat bagaikan seekor burung saja sehingga setiap serangan dari Pek-in Hoat-sut dapat dihindarkannya dengan cepat, bahkan lweekang dari perwira itu pun tidak berada di sebelah bawah tingkatnya sendiri.
Ang I Niocu merasa penasaran sekali melihat betapa semua serangan-serangannya tak mendatangkan hasil, maka sambil membentak marah dia mencabut Liong-cu-kiam yang tersembunyi di dalam jubahnya.
“Perwira gadungan, rasakan kelihaian Ang I Niocu!”
Bukan main terkejutnya Kam Hong Sin mendengar bahwa wanita baju merah ini adalah Ang I Niocu yang tersohor dan yang sudah lama ingin sekali dijumpainya. Ia melompat ke belakang lalu mengangkat kedua lengan sebagai penghormatan.
“Ahh, ahh, tidak tahunya siauwte sekarang berhadapan dengan Ang I Niocu yang sudah menggemparkan dunia kang-ouw. Maaf, maaf, siauwte tidak tahu maka berani berlaku kurang ajar kepada Lihiap.”
“Ciangkun siapakah?” tanya Ang I Niocu heran.
“Siauwte adalah Kam Hong Sin.”
Kini Ang I Niocu yang terkejut karena tidak pernah disangkanya bahwa perwira muda itu adalah panglima tertinggi di kerajaan. Pantas saja kepandaiannya demikian hebat.
“Ah, kiranya Kam-ciangkun yang gagah perkasa. Mengapa Ciangkun meninggalkan kota raja dan berada di tempat asing dan sunyi ini?”
Akan tetapi pada saat itu, kedua mata Kam Hong Sin yang tajam itu sedang memandang dengan penuh perhatian pada pedang Ang I Niocu sehingga ia tak menjawab pertanyaan gadis itu, bahkan membalas dengan sebuah pertanyaan pula,
“Lihiap, bukankah pedang di tanganmu itu pedang Liong-cu-kiam?”
“Ciangkun, di dunia kang-ouw ada peraturan yang tidak membenarkan orang bertanya tentang pedang lain orang.”
Kam Hong Sin tersenyum, kemudian berkata dengan suara tenang, “Siauwte tahu akan peraturan itu. Akan tetapi harap diingat bahwa pada saat ini siauwte bukan berhadapan dengan Lihiap sebagai orang yang menaruh perhatian dan kagum. Kalau kiranya Lihiap merasa keberatan untuk menjawab, siauwte tetap masih akan mengulangi pertanyaan itu dengan mengingat kedudukan siauwte sebagai seorang perwira yang bertugas mencari pedang pusaka kerajaan yang hilang pada ratusan tahun yang lalu. Benarkah pedang di tanganmu itu pedang Liong-cu-kiam?”
Terpaksa Ang I Niocu yang tak mau membohong menganggukkan kepala.
“Dari manakah kau dapatkan Liongcu-kiam ini, Lihiap?”
“Hal ini tak perlu kuberitahukan kepada siapa pun juga,” Ang I Niocu menjawab setengah marah.
Kam Hong Sin tertawa dan berkata, “Biar pun kau tak memberitahukan, aku tahu bahwa pedang ini tentu kau dapatkan di sebuah di antara goa-goa Tun-huang ini. Lihiap, pedang ini adalah pedang pusaka kerajaan dan yang berhak memiliki dan menyimpannya adalah kaisar sendiri. Maka, kuminta kau dengan hormat sukalah kau mengembalikan pedang itu kepadaku agar dapat kuserahkan kepada kaisar.”
Ang I Niocu tersenyum sindir. “Enak saja kau bicara, Ciangkun. Aku yang mendapatkan pedang ini dan akulah yang berhak! Kecuali aku, orang-orang Turki serta Mongol juga mencarinya dan kalau pedang ini terjatuh ke dalam tangan mereka, apakah mereka mau mengembalikan kepadamu?”
Kam Hong Sin memandang tajam, “Lihiap, sudah lama aku mengagumi namamu sebagai seorang pendekar besar, dan aku merasa segan sekali untuk melawanmu, walau pun hal ini bukan berarti bahwa aku merasa takut. Akan tetapi, kalau kau tidak mau menyerahkan pedang itu, sebagai seorang panglima yang setia maka terpaksa aku mesti menggunakan kekerasan!”
Sepasang mata Ang I Niocu yang indah itu bercahaya marah. “Bagus, hendak kulihat bagaimana caramu menggunakan kekerasan!”
“Sudah kukatakan bahwa aku mengagumi padamu, akan tetapi bukan berarti takut!” kata Kam Hong Sin dengan suara masih tenang akan tetapi tiba-tiba ia mencabut pedangnya yang pada gagangnya tergantung sehelai tali hitam panjang. Ia membelitkan tali itu pada pergelangan tangannya dan berkata, “Lihiap, kalau kau tidak mau menyerahkan pedang kerajaan itu dengan jalan damai dan tak mau memberitahukan di mana pula tempat harta pusaka itu, terpaksa aku menggunakan jalan kekerasan dengan pedang di tangan!”
“Siapa takut kepadamu?!” bentak Ang I Niocu dengan marah sambil menyerang dengan pedang Liong-cu-kiam.
Kam Hong Sin lalu berseru keras dan menangkis dengan pedangnya yang juga bukan pedang sembarangan, lalu balas menyerang dengan hebat. Ilmu pedang perwira ini luar biasa sekali karena selain gerakannya cepat dan kuat, juga mengandalkan ginkang-nya yang luar biasa sehingga membuat tubuhnya berkelebat bagaikan halilintar menyambar.
Akan tetapi Ang I Niocu telah memiliki ilmu pedang yang mencapai tingkat tinggi sehingga ia lantas melakukan desakan-desakan hebat dan tubuhnya berputar cepat menggerakkan Liong-cu-kiam yang bercahaya berkilauan itu. Dengan gerakannya yang indah dan cepat, Ang I Niocu mendesak terus sehingga Kam Hong Sin benar-benar merasa terkejut dan kagum.
Sudah lama ia mendengar bahwa ilmu pedang Ang I Niocu telah menggemparkan dunia persilatan dan sudah lama dia ingin bertemu dan apa bila mungkin mencoba kepandaian pendekar wanita itu. Kini keinginannya terkabul sebab bukan saja ia memiliki kesempatan untuk mencoba ilmu pedang gadis itu, bahkan mereka bertempur dengan mati-matian. Terpaksa dia mengandalkan ginkang-nya untuk menghindarkan diri dari rangsekan gadis itu.
Ang I Niocu merasa penasaran karena belum juga dia berhasil merobohkan lawan yang tangguh dan gesit ini, maka lalu maju menyerang dan merobah ilmu pedangnya, meniru gerakan Cin Hai dengan serangan Ilmu Pedang Daun Bambu yang lihai. Biar pun ia tidak mempelajari ilmu pedang ini, akan tetapi pada saat menciptakan ilmu pedang ini Cin Hai mendapat bantuan darinya, maka sedikitnya ada beberapa jurus terlihai yang masih bisa teringat olehnya dan kini dia mendesak sambil mengeluarkan ilmu silat itu.
Melihat hebatnya Liong-cu-kiam yang digerakkan menyambar pinggangnya dari arah kiri ke kanan, Kam Hong Sin merasa terkejut sekali dan sambil bersuara keras ia mengenjot tubuhnya ke udara sambil berputar. Ginkang-nya benar-benar hebat dan mengagumkan sekali.
Dengan gerakan tersebut ia melompat tinggi dengan tubuh berputar beberapa kali hingga terhindar dari serangan dahsyat yang dilancarkan oleh Ang I Niocu. Kemudian, dari atas Kam Hong Sin membalas serangan Ang I Niocu dengan meluncurkan pedangnya ke arah kepala Ang I Niocu dan aneh! Pedangnya itu terlepas dari tangannya dan melayang ke arah kepala Ang I Niocu bagaikan sebatang tombak yang diluncurkan!
Ang I Niocu cepat mengelak dan ketika pedang itu meluncur hendak menyentuh tanah, tiba-tiba saja pedang itu dapat bergerak kembali ke tangan Kam Hong Sin yang sudah melompat turun! Bukan main terkejutnya Ang I Niocu melihat ilmu pedang yang aneh dan lihai ini dan baru dia tahu bahwa tali hitam panjang yang mengikat gagang pedang dan yang dibelitkan di pergelangan tangan perwira itu bukan tidak ada gunanya.
Dengan tali panjang itu, maka pedang dapat disambitkan hingga dapat menyerang lawan dari jarak jauh tanpa kuatir pedang itu akan lenyap karena dapat dibetot kembali pada saat pedang itu tidak mengenai sasaran! Hal ini tidak begitu mengherankan, akan tetapi yang mengagumkan adalah cara Kam Hong Sin menggerakkan pedangnya pada waktu menyambit. Agaknya dia telah mempelajari ilmu pedang yang aneh ini sampai mendalam betul hingga pedang itu dapat dilepas dan ditarik sesuka hatinya.
Menghadapi ilmu pedang yang aneh dan lihai ini, Ang I Niocu berlaku hati-hati sekali dan mengeluarkan ilmu pedangnya yang paling hebat. Mereka lalu bertempur kembali dengan serunya dan kali ini karena mengandalkan pedangnya yang sering kali diluncurkan untuk menyerang dari jauh, Kam Hong Sin dapat mengimbangi permainan pedang Ang I Niocu yang kini menjadi terdesak oleh serangan-serangan aneh dan berbahaya itu.
Dia merasa seakan-akan Kam Hong Sin memiliki ilmu kepandaian kiam-sut yang disebut hui-kiam atau pedang terbang yang sering dia dengar dari dongeng-dongeng yang belum pernah disaksikan. Kini mengertilah Ang I Niocu bahwa yang disebut hui-kiam atau pun pedang terbang itu tentulah ilmu pedang seperti yang dimiliki oleh Kam Hong Sin ini, yaitu pada gagang pedang diikat dengan sehelai tali panjang yang dapat mulur hingga pedang dapat disambitkan, dilayangkan dengan betotan pada talinya.
Akan tetapi, walau pun Ang I Niocu mulai terdesak oleh perwira yang tangguh dan ilmu kepandaiannya benar-benar tinggi itu, dia sama sekali tidak menjadi gentar karena bagi Ang I Niocu, di dalam hatinya tak pernah ada rasa takut menghadapi lawan. Ia melawan dengan gerakan-gerakan tenang dan cukup kuat sehingga sukarlah agaknya bagi Kam Hong Sin untuk merobohkan lawan yang luar biasa ini.
Diam-diam perwira itu mengeluh karena kalau saja ia bisa menarik gadis lihai ini menjadi kawan di pihaknya, maka ia tentu akan merasa lebih yakin akan keberhasilan tugas yang sedang dijalankannya.
Pada saat pertempuran masih berjalan seru, tiba-tiba terdengar suitan tiga kali dari jauh. Kam Hong Sin memperlihatkan muka girang dan membalas bersuit keras tiga kali pula. Tidak lama kemudian, muncullah Sie Ban Leng dan dua orang pertapa yang bukan lain ialah Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hosiang! Melihat betapa Kam Hong Sin bertempur dengan Ang I Niocu, Sie Ban Leng teringat akan sakit hatinya terhadap Dara Baju Merah yang telah menolak cintanya itu, maka ia lalu melompat menghampiri dan berkata,
“Ang I Niocu! Mengapa kau memusuhi Kam-ciangkun pula?”
Melihat datangnya tiga orang ini, Ang I Niocu dan Kam Hong Sin lalu menunda senjata masing-masing dan melompat mundur.
“Ang I Niocu!” seru pula Ceng To Tosu sambil mewek hampir menangis “Mengapa Lihiap bertempur melawan Kam-ciangkun?”
Sementara itu, Ceng Tek Hosiang berpaling kepada Kam Hong Sin kemudian berkata, “Kam-ciangkun, Nona ini adalah Ang I Niocu seorang pendekar gagah dan bukan musuh kita!”
Kam Hong Sin tersenyum. “Sebetulnya aku pun segan melawan dia. Akan tetapi, ia telah mendapatkan tempat itu dan tidak mau memberitahukan kepadaku.”
“Apa...?” Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hosiang berseru keras sambil membelalakkan mata penuh ketidak percayaan.
“Lihat saja, dia telah mendapatkan pedang Liong-cu-kiam, akan tetapi dia juga tidak mau mengembalikan pedang itu kepadaku.”
Tiba-tiba Sie Ban Leng mendapat kesempatan baik untuk membalas dendam.
“Ha-ha-ha, Ang I Niocu, tidak tahunya kedatanganmu di sini karena kau juga mengingini harta pusaka dan pedang itu! Kembalikanlah pedang Liong-cu-kiam kepada kami, kalau kau membangkang berarti kau akan mendapat bencana.”
“Aku tidak hendak menyerahkan pedang ini, habis kalian mau apa?” bentak Ang I Niocu dengan garang.
“Memang kau tidak tahu budi! Kau pernah kutolong, akan tetapi kau bahkan menghinaku dan menolak maksud baikku, sekarang kau mencuri pedang kerajaan pula,” cela Sie Ban Leng dengan gemas.
Tiba-tiba Ang I Niocu menudingkan pedangnya ke arah muka Sie Ban Leng dan memaki. “Sie Ban Leng, manusia tak berbudi! Kau pandai memutar lidah dan kau tak mau melihat mukamu sendiri! Kau seorang yang telah mengkhianati kakaknya, yang sudah membuat kakaknya sekeluarga habis binasa, masih mau bicara tentang budi? Tak tahu malu!!”
Ang I Niocu teringat akan cerita Cin Hai mengenai kejahatan Sie Ban Leng yang sudah menjadi biang keladi kebinasaan seluruh keluarga pemuda itu, sebab itu hatinya menjadi panas dan kalau mungkin pada saat itu juga ia hendak memenggal batang leher Sie Ban Leng.
Sie Ban Leng merasa terkejut sekali hingga wajahnya menjadi pucat.
“Bangsat wanita, jangan kau berbicara yang bukan-bukan!” katanya sambil mengayunkan senjatanya yang hebat, yaitu sebuah rebab yang mengeluarkan suara mengiung ketika ia gerakkan menyambar kepala Ang I Niocu.
“Akan kubalaskan sakit hati mendiang Sie Gwat Leng, kakakmu itu!” teriak Ang I Niocu sambil mengelak dan menyerang dengan hebat.
Pedang Liong-cu-kiam yang tajam luar biasa itu menyambar dan beradu dengan rebab di tangan Sie Ban Leng. Terdengarlah suara keras dan ternyata beberapa helai tali senar rebab yang terbuat dari pada kawat baja itu putus.
Sie Ban Leng merasa terkejut dan marah sekali, maka dia lalu menyerang kalang-kabut. Sementara itu, Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hosiang hanya berdiri memandang dengan bengong, akan tetapi ketika Kam Hong Sin memberi aba-aba supaya mereka membantu, mereka terpaksa mengeluarkan senjata dan mengeroyok Ang I Niocu! Juga Kam Hong Sin berseru sambil menerjang.
“Ang I Niocu, lepaskan pedang Liong-cu-kiam itu!”
Akan tetapi, jangankan baru dikeroyok empat, biar pun dia dikepung oleh ratusan orang, Ang I Niocu takkan merasa gentar sungguh pun kepandaian empat orang pengeroyoknya itu bukan main hebatnya hingga sebentar saja dia telah terkurung dan terdesak hebat!
Dia mainkan ilmu pedangnya Ngo-lian-hoan Kiam-hoat yang cepat dan tubuhnya lenyap terbungkus sinar pedang Liong-cu-kiam, melindungi tubuhnya dari senjata-senjata lawan yang datang bagaikan air hujan itu! Dia hanya dapat bertahan dan melindungi diri saja, tanpa dapat membalas sedikit pun juga…..
********************
Sementara itu, Cin Hai yang ditinggal seorang diri di lubang kecil pada langit-langit goa, setelah membiasakan matanya di tempat gelap dan mendapat sedikit penerangan dari api unggun yang dibuat oleh Ang I Niocu, lalu merangkak maju ke dalam lubang yang ternyata merupakan jalan terowongan kecil itu. Jalan itu besarnya hanya tiba pas saja dengan tubuhnya, maka ia merangkak maju lagi sambil meraba-raba.
Tiba-tiba ia melihat dua benda yang mencorong di sebelah depan, seperti sepasang mata harimau atau binatang buas lain! Ia terkejut sekali dan cepat mempersiapkan pedangnya di tangan, karena jalan mundur tak dapat ditempuhnya cepat-cepat. Dalam tempat yang merupakan lubang sempit itu, tak mungkin membalikkan tubuh dan jalan keluar baginya hanyalah merangkak mundur! Kalau dua benda yang bersinar itu ternyata mata binatang buas, ular besar umpamanya, maka dia terpaksa harus menghadapinya dalam keadaan merangkak!
Berbahaya sekali dalam keadaan demikian melawan seekor binatang buas, apa lagi bila binatang itu berbisa! Akan tetapi, yang aneh sekali, kedua benda bagaikan mata yang mencorong itu, tidak bergerak-gerak dari tempatnya meski pun sinarnya yang mencorong itu tertimpa cahaya api unggun nampak berkeredepan bagaikan mata binatang hidup.
Apakah gerangan benda itu? Untuk beberapa lama Cin Hai mendekam tanpa bergerak, takut kalau-kalau binatang itu jadi terkejut dan menyerang maju. Akan tetapi kemudian ia menduga bahwa boleh jadi binatang itu sudah mati dengan mata terbuka, karena kalau binatang itu masih hidup, mengapa sama sekali tak pernah bergerak? Namun dia masih ragu-ragu karena memang ada juga binatang yang sanggup berdiam lama sekali tanpa bergerak bagaikan mati, seperti halnya seekor ular. Sesudah lama menunggu, timbul pula keberaniannya dan dengan hati-hati sekali dia bergerak maju lagi dengan pedang siap disodorkan ke depan!
Setelah maju kurang lebih lima kaki jauhnya, dia sudah berada dekat sekali dengan dua buah benda yang mencorong itu, lalu benda itu disentuhnya dengan ujung pedangnya.
“Tingg…!”
Ujung pedangnya berdenting dan benda itu bergerak menggelinding. Ternyata benda itu adalah dua potong batu yang pada waktu dipegangnya hanya sebesar telur burung! Akan tetapi batu itu bercahaya dan ketika ia pandang penuh perhatian ternyata olehnya bahwa batu-batu itu bercahaya indah sekali.
Hatinya berdebar keras. Inilah sebagian dari pada harta pusaka itu. Dia maju terus, dan semakin banyak batu-batu bercahaya seperti itu, bahkan kini ia melihat banyak potongan emas dan perak. Yang hebat adalah batu-batu permata itu, karena bertumpuk-tumpuk sangat banyaknya pada suatu tempat, membuat terowongan kecil itu buntu, tertutup oleh benda-benda berharga itu.
Cin Hai merasa girang sekali. Tidak salah lagi, inilah harta pusaka yang dicari-cari. Dia membawa dua buah batu permata yang terbesar, besarnya tidak kurang dari sebutir telur ayam, lalu ia merayap keluar lagi. Ketika ia tiba di mulut terowongan, ia tidak melihat Ang I Niocu dan lalu melompat turun.
Ia mengeluarkan dua buah batu itu dari sakunya dan hampir saja ia berseru keras saking kagumnya. Dua buah batu itu adalah mutiara-mutiara yang besar dan cahayanya sangat indah. Dua butir mutiara besar ini saja sudah tak ternilai harganya, apa lagi yang masih bertumpuk di terowongan itu! Cin Hai cepat memutar patung batu itu sekuat tenaga ke tempat asalnya sehingga lubang pada langit-langit itu tertutup kembali, kemudian setelah menyimpan dua butir mutiara itu, ia lalu berlari keluar mencari Ang I Niocu.
Di luar sunyi saja, maka ia lalu melompat ke atas goa dan berdiri di tempat tinggi. Maka terlihatlah olehnya betapa di tempat yang agak jauh dari situ, ada empat orang sedang mengeroyok Ang I Niocu yang berada dalam keadaan terdesak sekali. Dengan marah dan cemas Cin Hai lalu melompat turun dan berlari cepat ke tempat itu. Kalau saja dia tidak merasa kuatir akan keselamatan Ang I Niocu dan tidak demikian tergesa-gesa, tentu dia akan melihat bayangan seorang pendeta Mongol berkelebat dan mengintai ketika dia keluar dari goa itu!
Begitu tiba di tempat pertempuran, Cin Hai langsung berseru, “Niocu, jangan kuatir, aku membantumu!”
Dan pedang Liong-cu-kiam di tangannya berkelebat secara luar biasa sekali hingga Kam Hong Sin merasa bukan main terkejutnya. Siapakah pemuda yang gagah perkasa dan yang memiliki ilmu pedang sehebat itu.
“Hai-ji, mereka hendak merampas pedang kita!” teriak Ang I Niocu dengan girang melihat datangnya pemuda itu.
Ketika Cin Hai melihat Sie Ban Leng, ia merasa gemas sekali lalu membentak, “Ah, inikah macamnya orang yang telah mengkhianati Ayahku?” Pedangnya menyerang hebat dan dengan suara keras, rebab itu terbelah dua!
Sie Ban Leng terkejut sekali, bukan hanya karena rusaknya senjatanya, akan tetapi juga karena kata-kata Cin Hai.
“Siapakah kau?” bentaknya.
“Kau masih ingat kepada Sie Gwat Leng? Nah, dialah Ayahku!”
Pucatlah wajah Sie Ban Leng mendengar ucapan ini hingga tubuhnya menggigil. Pada pandangan matanya, wajah Cin Hai tiba-tiba berubah menjadi wajah kakaknya yang dulu telah dikhianatinya itu! Dan sebelum dia sempat mengeluarkan sepatah kata pun, pedang Liong-cu-kiam di tangan Cin Hai telah menyambar dengan cepat. Maka robohlah Sie Ban Leng dengan dada kiri tertembus pedang dan tewas pada saat itu juga!
Melihat betapa dengan beberapa gebrakan saja pemuda itu telah berhasil menjatuhkan Sie Ban Leng, bukan main kagetnya hati Kam Hong Sin. Ia lalu bersuit keras sekali dan memutar pedangnya secara hebat untuk menahan serbuan Ang I Niocu mau pun Cin Hai. Maka, secara berturut-turut datanglah beberapa orang perwira kerajaan yang mempunyai kepandaian tinggi sehingga kini yang mengeroyok kedua orang muda itu tak kurang dari sepuluh orang!
Akan tetapi, Ang I Niocu dan Cin Hai memainkan pedang dengan seenaknya saja, karena mereka ini hanya membela diri saja dan tidak berniat untuk menjatuhkan para perwira itu. Terutama sekali mereka tidak tega melukai Ceng Tek Hosiang yang bertempur sambil tersenyum dan Ceng To Tosu yang mewek dengan sedihnya itu.
Pada saat pertempuran masih berjalan dengan serunya, tiba-tiba terdengar teriakan riuh dan muncullah serombongan orang Mongol yang dikepalai oleh Thai Kek Losu, Sian Kek Losu dan Bo Lang Hwesio!
“Pendekar Bodoh, hayo kau serahkan tutup cawan itu kepada kami!” teriak Thai Kek Losu sambil menerjang dan menyerang Cin Hai.
Melihat kedatangan rombongan yang terdiri dari belasan orang pendeta Mongol berjubah merah itu, Cin Hai kemudian memberi tanda kepada Ang I Niocu untuk melarikan diri. Sedangkan para perwira kerajaan ketika melihat pendeta-pendeta Mongol ini pun segera menyerangnya, sehingga terjadilah pertempuran antara perwira-perwira kerajaan dengan pendeta-pendeta Mongol.
Sebenarnya hal ini tidak dikehendaki oleh Kam Hong Sin mau pun oleh Thai Kek Losu, akan tetapi Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu yang sudah mendahului menyerang para pendeta Mongol itu, karena diam-diam mereka berdua ini suka kepada Cin Hai dan Ang I Niocu sehingga ketika para orang Mongol datang menyerang, mereka berdua lalu membantu Cin Hai dan menyerang para pendeta Mongol itu!
Memang di antara kedua golongan ini telah ada rasa benci membenci hingga mudah saja membakar api diantara mereka. Serangan Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu cukup membuat yang lain lain lalu menyerbu dan saling gempur dengan sengitnya!
Sementara itu, Ang I Niocu dan Cin Hai sudah melarikan diri secepatnya meninggalkan tempat pertempuran itu.
“Niocu, harta pusaka itu benar-benar berada di terowongan kecil itu!” kata Cin Hai kepada Ang I Niocu dan secara singkat ia menuturkan betapa banyaknya harta itu bertumpuk di dalam terowongan kecil. Ia memperlihatkan bukti dua butir mutiara itu kepada Ang I Niocu yang memandangnya dengan kagum.
“Kalau kau suka, ambillah, Niocu,” Cin Hai berkata sambil memberikan dua butir mutiara besar itu.
Ang I Niocu menerimanya, akan tetapi lalu ia kembalikan sebutir sambil berkata,
“Simpanlah yang sebutir ini untuk diberikan kepada Lin Lin kelak.”
“Sekarang bagaimana baiknya, Niocu? Pihak Kaisar dan Mongol juga menghendaki harta benda itu, malah pihak Turki juga tak mau ketinggalan. Bagaimana kita harus mengambil harta itu tanpa mereka ketahui dan kalau sudah kita ambil, lalu untuk apa?”
Setelah mendengar banyaknya harta yang terdapat di tempat itu, Ang I Niocu sendiri pun menjadi bingung dan tidak tahu harus menjawab bagaimana.
“Lebih baik kita membuat laporan kepada Susiok-couw saja, Hai-ji. Kau bawalah kedua pedang Liong-cu-kiam ini dan berikan kepada Susiok-couw, sekalian kau ceritakan pula tentang harta pusaka itu dan tentang keadaan di sini.”
“Mengapa hanya aku yang harus menceritakan? Bukankah kita pergi ke sana berdua?” tanya Cin Hai.
“Tidak, kau pergilah sendiri. Aku harus tinggal di sini dan mengamat-amati goa itu, jangan sampai didapatkan oleh lain orang. Apa bila kita berdua pergi dan harta itu diambil orang lain, kita tidak akan dapat berbuat sesuatu.”
Cin Hai mengangguk-angguk, dan bertanya lagi, “Kalau kedua pedang kubawa, habis kau bagaimana, Niocu? Kau perlu memiliki pedang yang cukup baik agar dapat menghadapi bahaya. Tempat ini penuh dengan orang-orang pandai dan jahat.”
Ang I Niocu tersenyum, kemudian menyerahkan pedang Liong-cu-kiam kepada Cin Hai. Dia lalu mencabut pedang Cian-hong-kiam pemberian Lie Kong
“Pedang ini cukup baik dan kuat. Kau lihatlah!”
Ang I Niocu mengayun pedangnya membacok sebuah batu karang hitam di pinggir jalan dan batu terbelah dengan mudah. Cin Hai mengangguk-angguk dan memuji.
“Po-kiam (pedang pusaka) yang bagus!”
Cin Hai lalu berangkat menuju ke tempat pertapaan suhu-nya, yaitu di Goa Tengkorak di mana dulu dia mempelajari ilmu silat dari Bu Pun Su. Sedangkan Ang I Niocu tinggal di Lan-couw untuk menjaga serta mengamat-amati goa rahasia di mana tersimpan harta pusaka yang besar itu.
Cin Hai melakukan perjalanan dengan cepat menuju ke timur. Jarang dia berhenti kalau tidak hendak makan dan beristirahat, sebab dia hendak cepat-cepat sampai di tempat itu, seakan-akan ada besi sembrani yang menariknya, yaitu Lin Lin. Pemuda itu baru saja berpisah beberapa lama, tetapi sudah merasa rindu sekali dan kini ia tergesa-gesa bukan lain ialah karena ingin bertemu dengan kekasihnya itu.
Pada suatu hari ia tiba di sebuah dusun dan tertariklah hatinya melihat betapa penduduk dusun itu seakan-akan sedang mengadakan semacam pesta keramaian. Tadinya ia ingin lewat terus saja, akan tetapi pada waktu melihat beberapa orang dusun memikul sebuah orang-orangan dari kertas yang besar dan rupanya seperti Hai Kong Hosiang, ia menjadi terheran sekali dan menunda perjalanannya.
Ia menduga bahwa persamaan wajah orang-orangan itu dengan Hai Kong Hosiang tentu merupakan hal yang kebetulan saja. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika dia bertanya gambar siapakah yang mereka gotong itu, ia mendapat jawaban,
“Gambar si keparat Hai Kong.”
Cin Hai tertarik sekali dan ingin melihat apakah yang hendak dilakukan oleh orang-orang kampung itu dan mengapa mereka menggotong gambar Hai Kong Hosiang yang mereka maki-maki keparat. Rombongan itu menuju ke sebuah rumah kecil yang sudah dipenuhi orang dan di depan pintu rumah itu terdapat sebuah meja sembahyang.
Setelah orang-orangan itu digotong ke situ, semua orang berdiri dan memaki-maki, “Hai Kong keparat! Hai Kong Hwesio bangsat!” dan makian lain-lainnya lagi yang menyatakan kemarahan mereka.
Kemudian beramai-ramai semua orang mengeroyok orang-orangan itu dengan pukulan serta menghujani dengan senjata tajam hingga orang-orangan dari kertas itu robek-robek dan hancur, kemudian sisa-sisanya dibakar dibawah sorak-sorai yang riuh!
Cin Hai makin terheran-heran dan menonton saja. Kemudian orang-orang dusun itu lalu bersembahyang dan semuanya berlutut di hadapan meja sembahyang itu dengan muka berduka, bahkan ada pula beberapa orang wanita yang menangis! Cin Hai tak dapat lagi menahan keheranannya, maka ia lalu bertanya kepada seorang laki-laki tua yang berada di belakang dan juga ikut bertutut,
“Lopek, mengapa kalian demikian membenci Hai Kong Hosiang dan meja sembahyang siapa ini?”
Kakek itu memandang kepada Cin Hai dengan tajam dan sesudah mengetahui bahwa pemuda itu adalah orang dari luar dusun, ia lalu menjawab,
“Siangkong, ketahuilah. Dulu di dusun kami ini datang seorang hwesio jahat bernama Hai Kong Hosiang yang mengganggu kami, bahkan hampir membunuh seorang anak kecil di dusun ini. Kemudian datanglah dua orang pendekar wanita yang membela kami dan bertempur melawan Hai Kong Hosiang si keparat itu, akan tetapi dua orang pendekar wanita itu tewas di dalam tangan Si Bangsat Gundul. Oleh karena kami berterima kasih sekali terhadap kedua orang pendekar wanita yang sudah mengorbankan nyawa demi pertolongannya kepada kami maka kini kami mengadakan peringatan untuk menghormati jasanya itu.”
Cin Hai merasa amat tertarik mendengar ini. “Lopek, siapakah nama dua orang pendekar wanita yang gagah dan mulia itu?”
“Entahlah, kami juga tidak tahu dan tidak mendapat kesempatan untuk mengetahui hal itu. Akan tetapi senjata kedua pendekar itu masih kami simpan dan sekarang pun kami memuja senjata-senjata mereka itu yang ditaruh di atas meja sembahyang.”
Oleh karena tertarik, Cin Hai lalu menghampiri meja itu, diikuti oleh pandang mata semua orang kampung yang merasa heran dan curiga. Cin Hai mendekati meja dan kemudian memandang. Alangkah terkejutnya ketika dia melihat sebuah hud-tim (kebutan pertapa) warna merah dan sebatang pedang.
Ia melangkah maju untuk memandang lebih teliti lagi dan menjadi pucat saat ia mengenal senjata-senjata itu. Kebutan merah itu adalah senjata Biauw Suthai, ada pun pedang itu adalah pedang Pek I Toanio, guru dan suci dari Lin Lin!
Lemaslah tubuh Cin Hai dan kedua kakinya lantas gemetar. Dia segera berlutut dan ikut bersembahyang bersama semua orang kampung yang kini lenyap kecurigaan mereka melihat pemuda itu pun memberi hormat!
Selesai bersembahyang, Cin Hai segera minta keterangan penjelasan dari kakek tadi dan setelah ia mendengar cerita tentang dua orang pendekar wanita itu, bahwa yang seorang adalah seorang pendeta wanita tua dan yang kedua adalah seorang wanita berpakaian putih yang cantik, dia tidak ragu-ragu lagi. Biauw Suthai dan Pek I Toanio sudah tewas di dalam tangan si jahat Hai Kong! Kalau saja dia tidak melihat bahwa Hai Kong Hosiang sudah menggelinding ke dalam jurang, tentu dia semakin merasa dendam dan sakit hati kepada hwesio jahat itu!
Cin Hai tidak pernah bermimpi bahwa Hai Kong Hosiang yang disangkanya telah mati itu sebetulnya masih hidup dan sebentar lagi akan bertemu dengannya!
Dia lalu melanjutkan perjalanannya dan berpikir-pikir bagaimana ia harus menyampaikan berita sedih ini kepada Lin Lin. Dia maklum bahwa Lin Lin pasti akan merasa berduka sekali mendengar tentang matinya gurunya dan suci-nya yang amat dikasihinya itu.
Pada keesokan harinya, dia telah sampai dekat Goa Tengkorak, hanya tinggal perjalanan beberapa belas li saja. Pada saat ia masuk ke dalam sebuah hutan, tiba-tiba ia melihat serombongan orang berjalan cepat dari depan. Melihat gerakan mereka yang cepat, Cin Hai menjadi heran dan segera dia bersembunyi di balik sebatang pohon besar kemudian mengintai.
Ketika rombongan itu telah datang dekat, tiba-tiba ia membelalakkan kedua matanya dan menggosok-gosok mata itu seakan-akan ia tidak percaya kepada kedua matanya sendiri. Tidak salah lagi, yang berjalan di depan adalah Hai Kong Hosiang! Bentuk badan dan pakaian hwesio itu masih sama dengan dulu, hanya bedanya sekarang matanya tinggal sebelah, yang kanan tertutup dan buta, sedangkan yang kiri terdapat cacat bekas terobek dan menjadi lebih lebar dari biasa! Muka hwesio itu kelihatan buruk dan menyeramkan sekali.
Dan yang lebih mengherankan hati Cin Hai adalah ketika ia melihat Bu Pun Su berjalan di tengah-tengah rombongan itu. Anehnya, gurunya ini nampak sedih dan putus asa, hanya berjalan sambil menundukkan kepala, sebagai seorang tawanan! Aneh sekali! Siapakah orangnya yang dapat menawan dan menundukkan suhu-nya? Tidak mungkin Hai Kong Hosiang!
Cin Hai memandang rombongan itu dan selain Hai Kong Hosiang, ia melihat pula Balaki, perwira Mongol yang dulu sudah pernah dikalahkannya itu, seorang perwira Mongol lain, seorang pendeta Mongol jubah merah, dan seorang wanita tua berbaju putih bercelana hitam dan tidak bersepatu!
Wanita ini nampak aneh karena walau pun nampak tua, akan tetapi rambutnya masih hitam dan meski pun pakaiannya amat sederhana bahkan ia tidak bersepatu, akan tetapi sabuk yang mengikat pinggangnya terbuat dari pada sutera merah yang sangat panjang dan indah, sabuk yang biasanya dipakai oleh nona-nona muda! Pada jidat wanita tua itu nampak garis palang hitam, tepat di tengah-tengah alis namun agak di atas. Nenek aneh ini berjalan di sebelah kiri Bu Pun Su.
Cin Hai menjadi bengong dan terheran-heran. Apakah mungkin orang-orang ini sanggup mengalahkan serta menawan suhu-nya yang demikian sakti? Hampir dia tidak percaya, akan tetapi semua yang dipandang oleh kedua matanya bukanlah terlihat di alam mimpi!
Dari perasaan heran Cin Hai menjadi marah sekali terhadap rombongan itu. Ia mencabut sepasang pedang Liong-cu-kiam, memegangnya erat-erat di tangan kanan kiri, kemudian melompat keluar sambil berseru,
“Hai Kong keparat! Kau berani menghina Suhu-ku?!” bentaknya. Kemudian dia langsung menerjang mereka.
Semua orang sangat terkejut melihat berkelebatnya bayangan Cin Hai yang memegang sepasang pedang yang bersinar dan menggerakkannya secara hebat sekali! Balaki dan pendeta Mongol berjubah merah menyambut serangannya dengan senjata mereka, akan tetapi sekali bentrokan saja senjata kedua orang itu langsung terpental jauh, terlepas dari pegangan!
Cin Hai hendak menyerang Hai Kong dan nenek tua itu, akan tetapi mendadak terdengar suhu-nya berseru keras, “Cin Hai, tahan pedangmu!”
Suara ini menyiram api yang membakar di dalam dada Cin Hai dan ia berdiri memandang kepada suhu-nya dengan heran dan cemas. “Suhu...” katanya menahan napas, “mereka ini... mau apakah?”
“Jangan sembarangan turun tangan!” kata pula Bu Pun Su dengan suaranya yang amat berpengaruh. “Kau pergilah saja ke Goa Tengkorak dan kau tolong Lin Lin.”
“Lin Lin... kenapa dia, Suhu...?” tanya Cin Hai dengan wajah pucat.
Dan aneh sekali, Bu Pun Su menarik napas panjang dengan wajah berduka. Baru kali ini Cin Hai melihat suhu-nya berduka! “Pergilah dan kau akan mendapat penjelasan dari Lin Lin.”
Cin Hai mendengar suara ketawa bergelak dan dia cepat berpaling memandang kepada Hai Kong Hosiang yang masih tertawa sehingga menimbulkan rasa bencinya. Ingin dia menggerakkan pedangnya menusuk dada hwesio yang jahat itu.
“Akan tetapi, Suhu...,” ia mencoba membantah.
“Diam! Dan jangan banyak cakap lagi. Pergilah!” seru Bu Pun Su marah.
Dengan kepala tunduk dan beberapa kali menengok, Cin Hai lalu bertindak pergi.
“Ha-ha-ha-ha! Pendekar Bodoh, kau benar-benar tolol dan bodoh. Bu Pun Su lebih pintar dari padamu! Nyawa Lin Lin kekasihmu itu berada di dalam tanganku, dan tergantung pada Suhu-mu apakah ia menghendaki kekasihmu itu hidup atau mati. Awas, jangan kau berani main-main dengan kami apa bila menghendaki Suhu-mu dan kekasihmu itu dapat hidup! Ha-ha-ha!” Hai Kong Hosiang tertawa bergelak-gelak hingga menggema di dalam hutan itu.
Dari suara tertawanya saja membuktikan bahwa kini ilmu lweekang hwesio itu telah naik berlipat ganda sehingga diam-diam Cin Hai merasa tertegun. Akan tetapi, kepandaian itu masih jauh dari pada cukup untuk mengalahkan suhu-nya!
Dia tidak berani membantah perintah suhu-nya. Apa lagi mendengar ancaman Hai Kong Hosiang tadi, membuat ia merasa gelisah dan cemas memikirkan nasib Lin Lin. Maka ia segera berlari cepat menuju ke Goa Tengkorak diikuti oleh gema suara tertawa Hai Kong Hosiang.
Cin Hai berlari cepat, mengerahkan seluruh kepandaiannya karena benar-benar merasa gelisah sekali. Kalau saja Lin Lin kalian ganggu, pikirnya dengan gemas, awaslah kalian! Saat tiba di depan Goa Tengkorak hatinya merasa berdebar. Ia tidak mendengar sesuatu, keadaan sunyi sekali, membuat hatinya berdebar cemas dan hampir saja ia tidak berani masuk karena merasa takut melihat hal-hal mengerikan yang terjadi pada diri kekasihnya.
Sesudah menetapkan hatinya, dia lalu melompat masuk ke dalam ruang besar di mana tengkorak-tengkorak raksasa masih berdiri dengan megahnya. Bertahun-tahun dia tinggal di tempat ini mempelajari ilmu silat, maka pemandangan ini tak menimbulkan keseraman di hatinya lagi. Ia segera memandang dengan kedua matanya mencari-cari, dan karena tidak melihat Lin Lin di ruang itu, dia lalu berlari masuk ke dalam kamar tempat menaruh hio-louw (tempat hio). Dan di situ ia melihat Lin Lin rebah telentang, pucat tak bergerak bagaikan mayat.
Cin Hai berdiri terpaku di atas lantai, tak kuasa bergerak, wajahnya pucat dan kepalanya terasa pening. Hampir saja dia jatuh pingsan kalau dia tidak menekan perasaannya dan menguatkan hatinya.
“Lin Lin...!” akhirnya dia dapat berseru dan menggerakkan kakinya, menubruk maju dan memeriksa keadaan kekasihnya.
Ternyata bahwa Lin Lin hanya pingsan saja dan pernapasannya masih berjalan, sungguh pun amat lemah. Tidak ada tanda-tanda luka hebat di tubuh Lin Lin, kecuali bintik hijau yang terdapat pada lehernya, dan ketika Cin Hai meraba bintik itu, rasa panas menyerang jari tangannya. Dia merasa terkejut sekali dan dapat menduga bahwa kekasihnya tentu telah terkena senjata jarum yang mengandung racun hebat.
Bukan main marahnya Cin Hai. Kenapa suhu-nya mendiamkannya saja, malah menyerah menjadi tawanan musuh? Cin Hai lalu memondong tubuh Lin Lin dan melompat keluar. Ia tidak mau menerimanya begitu saja. Ia harus mengejar mereka itu dan memaksa mereka agar segera memberikan obat pemunah bagi kekasihnya, atau kalau mereka tak sanggup menyembuhkan Lin Lin, dia hendak mengamuk serta membunuh mereka semua dengan taruhan jiwa.
Biar pun andai kata suhu-nya akan melarang, ia akan nekat dan tidak menurut perintah suhu-nya. Cintanya pada Lin Lin jauh lebih besar dari pada ketaatannya kepada gurunya. Kecemasan telah menggelapkan jalan pikiran Cin Hai dan sambil memondong tubuh Lin Lin yang lemas tak berdaya dan meramkan kedua matanya itu, Cin Hai mempergunakan ilmu berlari cepat, melompati jurang dan mengejar secepatnya.
Akan tetapi, ketika dia tiba di sebuah hutan yang sunyi, tiba-tiba tubuh Lin Lin bergerak-gerak. Pada saat dia memandang, ternyata kekasihnya telah membuka matanya. Cin Hai berhenti berlari dan mendekap kepala Lin Lin sambil berbisik,
“Lin-moi... Lin-moi... kau kenapakah...?”
Untuk sejenak Lin Lin tak menjawab, hanya memandang pada wajah Cin Hai seolah-olah baru sadar dari mimpi, lalu tangannya merangkul leher Cin Hai dan dia mulai menangis terisak-isak di dada pemuda itu.
Cin Hai mendiamkannya saja dan sesudah tangis Lin Lin mereda, dia baru menurunkan tubuh kekasihnya itu, didudukkan di atas rumput, ada pun ia sendiri duduk di sebelahnya. Dia merasa heran melihat betapa tubuh Lin Lin kini pulih kembali seperti biasanya, hanya wajahnya masih nampak sangat pucat. Cin Hai memegang tangan Lin Lin dan bertanya lagi dengan wajah kuatir,
“Lin-moi, kau kenapakah?”
“Hai-ko, syukur sekali kau keburu datang. Telah terjadi mala petaka hebat menimpa Suhu dan diriku.”
Cin Hai mengangguk. “Aku tahu bahwa Suhu telah ditawan oleh keparat itu. Anehnya, ketika aku hendak menolongnya, Suhu bahkan melarangku dan pergi dengan suka rela menjadi tawanan mereka!”
“Kau tidak tahu, Hai-ko. Suhu sengaja mengalah dan menurut menerima hinaan mereka hanya untuk menolong jiwaku.”
Terkejutlah Cin Hai mendengar ini dan teringatlah dia akan kata-kata Hai Kong Hosiang yang mengejek pada saat ia hendak pergi meninggalkan mereka. “Apa... apa maksudmu, Moi-moi...?”
Lin Lin menarik napas panjang lalu bercerita seperti berikut.....
********************
Semenjak ikut pergi dengan Bu Pun Su, Lin Lin memperdalam ilmu pedangnya di bawah pimpinan kakek jembel yang sakti itu. Mereka berdua lebih dulu singgah di dalam hutan dan membawa serta burung Merak Sakti dan Bangau Sakti, hingga kini di Goa Tengkorak itu terdapat tiga burung sakti, yaitu Sin-kong-ciak si Merak Sakti, Sin-kim-tiauw si Rajawali Emas dan Ang-siang-kiam si Bangau Sakti.
Gadis ini melatih diri dengan giat sekali dan sebentar saja dia sudah mencapai kemajuan yang luar biasa sehingga kalau dia memainkan pedang Han-le-kiam dengan ilmu pedang yang diciptakan oleh Cin Hai untuknya, maka gerakannya menjadi luar biasa hebatnya! Bu Pun Su sudah memperbaiki gerakan-gerakannya itu dengan gerakan yang sesuai dan tepat, disesuaikan dengan pedang yang pendek itu.
Pada suatu pagi, selagi Lin Lin berlatih seorang diri di luar goa karena gadis yang rajin ini setiap hari bangun pagi-pagi sekali untuk berlatih seorang diri, datanglah rombongan Hai Kong Hosiang itu. Seperti juga Cin Hai, Lin Lin merasa terkejut dan heran sekali melihat bahwa pendeta jahat itu masih hidup. Dia melihat empat orang lain datang bersama Hai Kong Hosiang, yakni dua orang perwira Mongol, seorang pendeta Sakya Buddha serta seorang nenek tua yang aneh.
“Hai Kong si Jahat! Kau belum mampus?” teriak Lin Lin dengan terheran-heran.
Hai Kong Hosiang tertawa bergelak-gelak mendengar ucapan ini hingga sebelah matanya yang kiri itu melotot dan mengeluarkan air mata!
“Kwee Lin, anak jahat! Kau bersama Pendekar Bodoh yang membuat aku menjadi begini, akan tetapi, Sang Buddha adalah adil dan bijaksana! Kau memaki aku jahat, akan tetapi sebetulnya kaulah yang jahat. Buktinya, walau pun aku sudah menggelundung ke dalam jurang, akan tetapi ternyata Sang Buddha masih melindungiku dan cabang-cabang pohon menangkap dan menolong nyawaku ketika aku tergelincir jatuh ke dalam jurang! Kini aku telah datang kembali dan aku harus mencongkel salah satu matamu sebelum kubunuh mampus kau dan Cin Hai untuk membalas dendamku. Ha-ha-ha!”
“Gundul keparat, jangan sombong!” Lin Lin dengan garang memaki.
Lin Lin sekarang bukanlah Lin Lin dulu, karena sekarang ia telah mempunyai kepandaian yang jauh lebih tinggi apa bila dibandingkan dengan dulu. Setelah membentak, ia segera menyerang dengan pedang Han-le-kiam di tangannya.
Hai Kong memandang rendah dan menghadapi gadis itu hanya dengan tangan kosong, maksudnya hendak dengan satu dua jurus saja bisa menggulingkan gadis itu, akan tetapi kesombongannya ini hampir saja membuat nyawanya melayang!
Pada waktu Lin Lin menyerang dengan gerakan Ilmu Pedang Han-le-kiam yang diberi nama Ang-I To-hwa atau Ang I Niocu Memetik Kembang, pedang pendeknya membacok ke arah jidat yang licin dari hwesio itu dengan cepat sekali. Hai Kong Hosiang tersenyum sindir dan membentak keras, lalu mempergunakan tangan kiri menyambar dari samping ke arah pergelangan tangan Lin Lin untuk merampas pedang, sedangkan tangan kanan mengeluarkan jari telunjuk, ditotolkan ke arah mata kiri Lin Lin untuk mencongkel keluar mata itu.
Tak tahunya, Lin Lin tidak melanjutkan serangannya dan secepat kilat ujung Han-le-kiam telah dibalikkan hingga dari gerakan membacok jidat berubah menjadi tusukan ke bawah mengancam tenggorokan hwesio itu dengan gerakan Cin Hai Membacok Kayu! Ada pun untuk menghadapi tusukan telunjuk Hai Kong ke arah matanya, Lin Lin mengelak sambil merendahkan tubuh dan tangan kirinya tidak mau tinggal diam akan tetapi membarengi gerakan pedangnya mengirim pukulan ke arah dada kiri Hai Kong Hosiang dengan ilmu Pukulan Pek-in Hoat-sut yang dilakukan dengan sepenuh tenaga!
Bukan main terkejutnya hati Hai Kong Hosiang saat melihat perubahan yang tak pernah disangka-sangkanya ini. Kalau saja ia tak memandang rendah dan berlaku hati-hati tentu takkan mudah dibikin terkejut oleh serangan ini, biar pun serangan Lin Lin ini benar-benar merupakan gerakan silat yang tinggi tingkatnya.
Akan tetapi karena tadinya memandang rendah dan tidak menyangka, Hai Kong Hosiang hanya dapat mengelak dari serangan pedang ke arah tenggorokannya saja, yaitu dengan jalan miringkan tubuh ke kiri. Akan tetapi menghadapi pukulan Pek-in Hoat-sut itu, ia tidak keburu berkelit lagi tetapi hanya dapat memutar dada dan menerima pukulan itu yang kini tak mengenai dada kiri, akan tetapi mengenai dada kanannya!
Hai Kong Hosiang berseru kaget lagi dan untung ia telah merasai hebatnya angin pukulan yang panas sehingga telah mengerahkan lweekang-nya ke arah dada kanan, kalau tidak pasti akan pecahlah dadanya! Tubuhnya terpental ke belakang, dan meski pun dia masih dapat mencegah tubuhnya terhuyung dan jatuh, akan tetapi dada kanannya masih terasa panas dan ketika ia melihat, ternyata kulit dadanya telah menjadi biru!
Ia mengeluarkan keringat dingin, karena kalau tadi pukulan itu mengenai dada kiri, pasti jantungnya akan terluka! Dia merasa bergidik memikirkan bagaimana gadis ini sekarang telah mempunyai ilmu kepandaian sehebat itu.
Sedangkan Lin Lin yang melihat betapa pukulan dari Ilmu Pek-in Hoat-sut yang ampuh itu tak dapat merobohkan Hai Kong Hosiang, juga menjadi terkejut dan maklum bahwa ilmu kepandaian hwesio ini telah mencapai tingkat tinggi yang sukar diukur lagi! Dia menjadi nekat dan kembali maju menyerang dengan keras, sedangkan Hai Kong Hosiang yang merasa marah segera mencabut senjatanya yang masih seperti dulu, yaitu tongkat dari tubuh ular kering, akan tetapi ular ini sekarang berwarna hijau dan mengerikan sekali.
Sambil membentak marah Hai Kong Hosiang menyambut terjangan Lin Lin dan mereka pun bertempur dengan serunya. Pendeta Sakya Buddha kawan Hai Kong Hosiang yang melihat betapa gagah gadis itu sehingga mampu mempertahankan diri dari serangan Hai Kong Hosiang dengan baiknya, menjadi habis sabar dan cepat maju mengeroyok sambil mainkan pedangnya yang juga lihai.
Pada saat Lin Lin bertempur dikeroyok dua dengan serunya, terdengar suara dari dalam goa, “Siancai... siancai….” dan muncullah tubuh Bu Pun Su dengan langkah tenang dan perlahan. “Aha, Hai Kong... engkaukah yang kembali datang mengacau? Mundurlah dan jangan bermuka tebal mengeroyok seorang gadis muda!”
Sambil berkata, Bu Pun Su membuat gerakan mendorong dengan tangan kanannya ke arah Hai Kong Hosiang dan pendeta baju merah itu, dan terkejutlah Hai Kong Hosiang serta kawannya karena dorongan ini benar-benar merupakan angin puyuh yang membuat mereka terhuyung mundur.
Lin Lin juga menahan pedangnya dan berdiri sambil memandang suhu-nya, karena pada saat itu terjadi hal yang aneh. Setelah mendorong Hai Kong dan pendeta Sakya Buddha tadi, kini Bu Pun Su berdiri dengan mata terbelalak memandang kepada nenek yang tak bersepatu itu, dan berseru perlahan, “Wi Wi... kau datang juga...?”
Nenek itu tersenyum menyindir, lalu berkata dengan suaranya yang terdengar merdu dan halus bagaikan suara seorang nyonya bangsawan terpelajar, “Lu Kwan Cu, di manakah ada perceraian yang kekal?”
“Wi Wi, tak kusangka bahwa kau masih hidup...”
“Kau sendiri masih betah tinggal di dunia, mengapa aku tidak?”
Melihat sikap Bu Pun Su yang agaknya takut-takut terhadap nenek itu dan mendengar percakapan mereka yang aneh ini, Lin Lin berdiri bengong dengan seluruh perhatiannya tertuju kepada suhu-nya dan nenek itu, hingga ia tidak menduga datangnya bencana dari pihak Hai Kong Hosiang.
Pada waktu melihat gadis yang gagah itu berdiri bengong, pendeta Sakya Buddha lalu mengayun tangannya dan belasan batang jarum hitam segera menyambar ke arah dada dan leher gadis itu.
Lin Lin telah mempunyai perasaan dan pendengaran yang amat halus dan tajam, maka kedatangan belasan batang jarum yang menyambar ke arahnya itu meski tidak dilihatnya tetapi dapat ditangkap oleh telinganya, maka ia menjadi terkejut sekali. Tak ada lain jalan baginya selain menggulingkan tubuh di atas tanah sehingga dengan demikian sambaran jarum-jarum itu mengenai tempat kosong dan ia dapat menghindarkan diri.
Akan tetapi dia tidak menyangka bahwa ketika itu, Hai Kong Hosiang menunjuk dengan tongkat ularnya yang ketika ditekannya segera memuntahkan jarum-jarum hijau ke arah tubuh Lin Lin yang masih bergulingan! Lin Lin mencoba berkelit, akan tetapi datangnya jarum-jarum yang lihai dan cepat itu sukar sekali dikelit atau ditangkis, maka meski pun gerakan Lin Lin cukup cepat, sebatang jarum hijau masih berhasil mengenai leher!
Lin Lin sudah mengerahkan lweekang-nya untuk membuat kulit dan dagingnya mengeras hingga jarum halus itu tidak sampai menancap seluruhnya dan ia segera melompat dan mencabut jarum itu, lalu dengan marahnya hendak menyerang Hai Kong Hosiang. Akan tetapi, tiba-tiba ia merasa pening dan menjerit keras terus roboh tak berdaya. Tubuhnya terasa panas dan lumpuh, sedangkan kepalanya pening sekali.
Ia masih melihat betapa Bu Pun Su menjadi kaget dan marah. Tadi kalau kakek itu tidak sedang terheran-heran dan seluruh perhatiannya tertarik dan hatinya tergoncang karena perjumpaannya dengan nenek itu, pasti dia dapat mempergunakan kepandaiannya untuk menolong Lin Lin.
Akan tetapi, keadaan kakek jembel itu tadi seperti seorang yang kena hikmat dan tidak ingat apa-apa. Bahkan ketika Lin Lin diserang oleh Hai Kong dan pendeta baju merah, ia tidak tahu atau mendengar sama sekali. Setelah Lin Lin menjerit dan roboh, barulah ia sadar dan cepat memandang.
“Hai Kong, pengecut berbatin rendah!” dia berteriak marah sambil menggerakkan kedua tangannya.
Kalau dua tangan Bu Pun Su itu jadi diangkat dan digerakkan ke arah Hai Kong Hosiang, entah nasib apakah yang akan dialami pendeta gundul itu, akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nenek itu dengan halus akan tetapi nyaring.
“Lu Kwan Cu, jangan bergerak!”
Bu Pun Su memandang, kemudian melangkah mundur dengan muka pucat. Kini nenek itu memegang sebatang tusuk konde terbuat dari pada perak yang berbentuk naga indah sekali dan bermata intan, lantas diangkatnya tusuk konde itu tinggi-tinggi sambil matanya memandang ke arah Bu Pun Su dengan tajam. Lemaslah tubuh kakek itu dan dia cepat menurunkan kembali kedua tangannya.
“Wi Wi, kau hendak mempergunakan itu untuk membela kejahatan?” bisiknya.
“Kwan Cu, apakah kau yang sudah tua bangka ini hendak melanggar sumpahmu?”
Bu Pun Su menggelengkan kepala. “Tidak, aku tidak akan melanggar sumpahku biar pun tubuhku akan hancur lebur. Apakah yang kau kehendaki, Wi Wi?”
“Kehendakku yang harus kau turuti adalah kau tidak boleh mengganggu kawan-kawan ini selama mereka berada di sampingku!”
Bu Pun Su menarik napas panjang dan mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baik, baik, aku takkan mengganggu mereka selama mereka berada di sampingmu!” ia berjanji.
Nenek itu tersenyum dan menyimpan kembali tusuk kondenya yang begitu berpengaruh terhadap Bu Pun Su itu. Sedangkan kakek jembel itu dengan muka penuh kecemasan lalu menghampiri Lin Lin yang masih rebah miring dan memandang semua peristiwa itu dengan mata terbelalak heran. Bu Pun Su memeriksa luka di leher Lin Lin dan ketika dia meraba luka bintik warna hijau itu, dia menjadi terkejut sekali.
“Hai Kong, kau kejam sekali!” katanya sambil memandang kepada hwesio gundul yang berdiri sambil tersenyum penuh kepuasan.
“Bu Pun Su, jembel tua! Tahukah kau racun apa yang mengancam jiwa gadis ini?” tanya Hai Kong Hosiang dengan senyum sindir.
“Kau telah mempergunakan racun Ular Hijau yang hidup di Mongolia. Alangkah kejamnya hatimu!” kata Bu Pun Su.
“Ha-ha-ha. Matamu masih cukup awas!” Hai Kong Hosiang menyindir. “Tahukah kau cara bekerjanya racun itu? Ha-ha-ha! Racun Ular Hijau bekerja lambat akan tetapi pasti. Dan tidak ada obat di dunia yang dapat menyembuhkan orang yang terkena racun itu. Gadis ini hanya akan hidup selama seratus hari lagi. Keadaannya akan biasa saja, tidak merasa sakit apa-apa asalkan dia jangan merasa kuatir. Kalau dia merasa kuatir, racun itu akan lebih hebat kerjanya dan akan menyerang jantungnya hingga ia akan jatuh pingsan! Akan tetapi hal itu pun tidak berbahaya, dan pendeknya, ia akan hidup sampai seratus hari lagi. Ha-ha-ha!”
“Hai Kong, demi KeTuhanan dan Perikemanusiaan, janganlah kau sekejam itu. Aku tahu bahwa untuk racun ini ada sejenis obat di Mongolia dan kau yang bermain-main dengan racun ini tentu mempunyai pula obat penyembuhnya. Berikanlah obat itu untuk menolong nyawa muridku ini!”
“Ha-ha-ha-ha! Enak saja kau bicara, pengemis tua!” Hai Kong menjadi berani karena dia maklum bahwa kakek jembel itu berada di dalam kekuasaannya. “Aku tidak begitu bodoh untuk membawa-bawa obat itu bersamaku. Obat itu berada di suatu empat yang aman!”
“Hai Kong, aku minta kepadamu, serahkan obat itu untuk menolong dia! Aku sudah tua dan tak akan lama lagi hidup di dunia. Aku tidak takut akan kematian, akan tetapi dia ini masih muda dan masih berhak untuk hidup lebih lama lagi. Berikanlah obat itu dan aku berjanji hendak melakukan apa saja yang kau minta, asal bukan kejahatan yang harus kulakukan!” kata lagi Bu Pun Su dengan suara mengandung permohonan.
Melihat dan mendengar semuanya ini, Lin Lin segera bangkit duduk dan pada saat itu, agaknya serangan racun di tubuhnya sudah banyak mengurang.
“Suhu, teecu tidak takut mati. Biarlah teecu diancam bahaya maut, tidak apa. Akan tetapi perkenankan teecu mengadu jiwa dengan pendeta rendah budi itu!”
Bu Pun Su menggelengkan kepala. “Jangan, muridku. Bukan saatnya, jangan gunakan kekerasan...” kemudian ia memandang kepada Wi Wi Toanio, nenek yang aneh itu. “Wi Wi, sekarang apakah kehendakmu lagi?”
“Kau harus ikut dengan kami dan membantu kami mendapatkan harta pusaka terpendam di goa Tun-huang.”
“Hanya itukah?”
“Ya, hanya itu dan setelah berhasil mendapatkan harta itu, kau boleh bebas. Akan tetapi ketahuilah bahwa pihak Turki dan juga Kaisar mencari-cari pula harta itu dan kau harus melindungi kami melawan dan mengundurkan mereka!”
“Aku menurut, Wi Wi, akan tetapi hanya dengan satu syarat, tanpa dipenuhinya syarat itu, aku tak akan menurut, biar pun dengan berbuat demikian berarti aku melanggar sumpah! Marilah kita masuk ke dalam goaku dan di sana kita bicarakan hal ini lebih mendalam pula.”
Sambil menuntun tangan Lin Lin, Bu Pun Su mendahului rombongan itu memasuki Goa Tengkorak.
“Lin Lin kau beristirahatiah dalam kamar hio-louw itu dan bersemedhilah dengan tenang, membersihkan pernapasanmu supaya racun yang menyerangmu itu tidak begitu keras jalannya,” katanya kepada Lin Lin tanpa mempedulikan suara ketawa Hai Kong Hosiang yang mengejeknya.
Lin Lin melontarkan pandang mata membenci ke arah pendeta gundul itu, lalu ia mentaati perintah suhu-nya dan masuk ke dalam kamar hiolouw lalu bersila dan mengatur napas. Akan tetapi, ia memasang telinganya dan mendengarkan semua percakapan mereka.
Akhirnya diputuskan oleh Bu Pun Su, Hai Kong Hosiang, dan Wi Wi Toanio, bahwa Bu Pun Su harus membantu mereka mendapatkan harta pusaka itu, kemudian apa bila harta pusaka itu telah jatuh ke dalam tangan mereka, barulah Hai Kong Hosiang akan memberi obat penyembuh racun yang menguasai Lin Lin.
Mendengar percakapan itu, Lin Lin merasa terhina sekali dan dia juga merasa penasaran mengapa Bu Pun Su menjadi sedemikian lemah dan tidak berdaya terhadap nenek itu? Apakah nenek itu lebih lihai dari pada Bu Pun Su? Andai kata lebih lihai juga, mungkinkah suhu-nya bersikap demikian pengecut dan takluk tanpa mengadakan perlawanan terlebih dulu? Ia menjadi gelisah dan duduknya tidak bisa diam.
Tiba-tiba terdengar Bu Pun Su berkata, “Lin Lin, aku tahu mengapa kau merasa gelisah dan penasaran.” Kemudian, kakek yang lihai ini lalu berkata kepada Wi Wi Toanio, “Wi Wi, jangan kau membuat aku dipandang rendah oleh muridku sendiri. Kalau kau tak mau menceritakan riwayat kita berdua hingga terdengar muridku dengan jelas, jangan harap kau akan dapat membawaku ke barat untuk mencari harta pusaka itu.”
“Apa?” nenek itu berseru heran. “Kau tidak takut rahasia kita itu kubongkar?”
“Apakah yang kutakuti lagi? Nama buruk? Biarlah, aku sudah tak bernama lagi,” jawab Bu Pun Su.
“Tidak akan merasa malukah kau?”
“Di manakah letaknya malu? Perbuatan yang sudah dilakukan tak perlu disimpan-simpan! Telah puluhan tahu kita menyimpan rahasia itu, lebih baik sekarang dibuka sebelum kita mati.”
“Tetapi... tetapi mengapa kau masih tunduk kepadaku apa bila kau tidak takut rahasia itu terbongkar?” nenek itu suaranya mengandung gelora penuh keheranan dan kejutan.
Bu Pun Su tersenyum. “Itulah rahasiaku sendiri, Wi Wi. Sekarang ceritakanlah semuanya dengan jelas sebelum kita berangkat.”
Dengan suara gemetar, berceritalah nenek yang aneh itu…..
Dulu ketika muda dan masih berusia dua puluh lima tahun, Bu Pun Su bernama Lu Kwan Cu, muda, tampan, dan gagah. Ilmu kepandaiannya amat tinggi hingga pada masa itu ia menjagoi di seluruh daerah dan merupakan pendekar yang ditakuti para penjahat.
Karena kakeknya, Perdana Menteri Lu Pin, menderita akibat pemberontakan An Lu Shan, maka Lu Kwan Cu membenci semua orang Tartar dan mencari mereka untuk dibunuhnya sebagai pembalasan dendamnya. Yang terutama dicarinya adalah keturunan An Lu Shan yang bernama An Kai Seng dan yang sudah menjadi orang Han semenjak kawin dengan seorang gadis Han yang cantik.
An Kai Seng sendiri biar pun berkepandaian tinggi, namun merasa takut sekali kepada Lu Kwan Cu yang mencari-carinya, hingga diam-diam ia melatih diri bersama isterinya, yaitu yang bernama Wi Wi, seorang gadis Han yang masih berdarah Tartar juga dan yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Akhirnya Lu Kwan Cu berhasil menjumpai mereka dan walau pun dikeroyok oleh banyak kawan-kawan An Kai Seng namun tak seorang pun dapat menghadapinya. An Kai Seng menjadi gelisah dan takut sekali hingga tiba-tiba muncullah isterinya, yaitu Wi Wi Toanio yang cantik.
Melihat suaminya berada dalam bahaya, Wi Wi Toanio lalu menggunakan kecantikannya untuk menggoda hati Lu Kwan Cu dan sengaja memancingnya dan menantangnya untuk mengadu jiwa di dalam sebuah hutan antara pendekar itu dan Ang Kai Seng suami isteri. Tantangan ini tentu saja diterima oleh Lu Kwan Cu dengan baik, dan ketika pendekar muda ini pergi ke hutan itu pada saat yang telah ditetapkan, dia hanya menjumpai Wi Wi seorang diri.
Wi Wi mempergunakan segala kecantikannya untuk memikat dan menjatuhkan hati Lu Kwan Cu dengan cara yang tak patut dituturkan di sini. Pendeknya, tahu sendirilah…
Lu Kwan Cu adalah seorang pemuda yang masih hijau dalam hubungan dengan wanita dan darah mudanya langsung menggelora ketika dia menghadapi Wi Wi yang cantik dan pandai menggairahkan hatinya itu. Keteguhan imannya runtuh dan bagaikan tak sadar ia menuruti kehendak wanita itu bagaikan seekor ikan bodoh yang tidak tahu akan bahaya umpan pancing!
Sejak saat itu, ia jatuh bertekuk lutut di depan Wi Wi yang cantik dan menjadi tergila-gila. Sering kali mereka mengadakan pertemuan rahasia, dan Lu Kwan Cu sama sekali tidak sadar bahwa dia sudah melakukan perbuatan terkutuk dan melanggar kesusilaan dengan isteri orang lain, bahkan isteri musuh besarnya yang tadinya akan dibunuhnya!
Semenjak saat itu, jangankan bercita-cita membunuhnya, bahkan segala permintaan Wi Wi diturutinya belaka. Ini masih belum hebat, yang celaka sekali ialah ketika dia memberi sebatang tusuk konde kepada wanita itu pada saat dia mengucapkan sumpahnya bahwa selama hidupnya, ia akan menurut pada segala perkataan wanita yang juga bersumpah ‘mencintanya’ itu, dan tusuk konde itu menjadi saksi.
Lu Kwan Cu benar-benar mabok asmara dan tergila-gila. Dia percaya sepenuh hatinya bahwa Wi Wi benar-benar mencintainya dengan setulus hati.
Akhirnya, ketika pada suatu hari dia mengadakan pertemuan dengan Wi Wi di hutan, dia mendengar gerakan orang. Cepat dia melompat dan menangkap orang itu yang ternyata bukan lain adalah Ang Kai Seng sendiri yang mengintai. Dia hendak memukulnya, akan tetapi tiba-tiba Wi Wi mengeluarkan tusuk konde itu dan minta dia melepaskan suaminya!
Bukan main terkejut dan herannya hati Lu Kwan Cu melihat akan hal ini. Ternyatalah kini bahwa tanpa terduga-duga sekali, An Kai Seng sudah mengetahui akan perhubungan itu, dan bahkan dengan berani sekali Wi Wi mengeluarkan tusuk konde pemberiannya itu di depan suaminya untuk menolong suami itu.
Terbukalah matanya bahwa agaknya An Kai Seng dengan sengaja merencanakan hal itu bersama isterinya, yaitu sudah menggunakan isterinya yang cantik sebagai umpan untuk menjebaknya! Dalam takutnya, An Kai Seng beserta isterinya sudah menjalankan siasat keji dan rendah itu untuk menyelamatkan jiwa mereka.
Hancurlah hati Lu Kwan Cu melihat kenyataan ini, akan tetapi dia adalah seorang gagah yang selalu menetapi janji. Oleh karena dia sudah berjanji kepada Wi Wi terpaksa dia lalu meninggalkan tempat itu.
Semenjak itu, dia lalu menjauhkan diri dari Wi Wi yang merupakan bahaya besar baginya itu. Ia takut kalau-kalau Wi Wi mempergunakan tusuk konde yang mempunyai kekuasaan besar itu untuk memerasnya dan memaksanya membantu wanita itu melakukan hal-hal yang jahat!
Maka dia melarikan diri dan merantau jauh meninggalkan tempat itu, bahkan lalu beralih nama menjadi Bu Pun Su dan bertapa di sebuah pulau kosong, yaitu Pulau Kim-san-to! Ia menyangka bahwa wanita itu tentu telah mati. Tetapi tidak tahunya, setelah menjadi tua, tiba-tiba saja wanita iblis itu kembali muncul lagi membuat gara-gara hingga terpaksa dia memegang teguh sumpah dan janjinya dulu dan terpaksa membiarkan Lin Lin terluka dan terancam bahaya maut pula.
Setelah Wi Wi Toanio menceritakan semua ini yang tidak saja didengarkan oleh Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya, akan tetapi juga oleh Lin Lin, lantas terdengar Bu Pun Su menarik napas panjang dan berkata,
“Tepat sekali ujar-ujar Nabi Khong Cu yang berbunyi, Pok-hian-houw-in, Bok-hian-houw-bi, Koh-kuncu-sin-ki-tok-ha! (Tidak ada yang lebih jelas dari pada yang tersembunyi, dan tak ada yang lebih tegas dari pada yang paling lembut. Maka seorang budiman selalu berhati-hati terhadap hal yang tersembunyi). Ujar-ujar ini jelas memperingatkan manusia akan bahayanya musuh yang bersembunyi di dalam hati dan pikiran sendiri. Segala hal yang diperbuat oleh lahir, selalu datangnya dari dalam, bagaikan munculnya tunas yang mekar terdorong oleh suatu tenaga yang keluar dari dalam cabang! Hemm, usia muda memang penuh bahaya!”
Setelah berkata demikian, Bu Pun Su lalu berkata kepada Lin Lin,
“Muridku, kau telah mendengar hal itu semua, dan kau tentu mengerti mengapa aku tidak dapat melanggar sumpah sendiri. Kau tenanglah dan tunggu saja di sini dengan baik-baik bersama tiga burung kita, tunggu sampai aku kembali membawa obat penawar lukamu!”
Setelah berkata demikian, pergilah mereka meninggalkan Goa Tengkorak meninggalkan Lin Lin seorang diri di kamar hio-louw itu. Dan di dalam hatinya, Lin Lin merasa berkuatir sekali, bukan kuatir terhadap diri sendiri, karena Lin Lin berhati tabah dan tidak takut mati, akan tetapi dia menguatirkan keadaan suhu-nya. Ia lupa bahwa ia tidak boleh mempunyai perasaan kuatir, maka begitu perasaan itu mendesak jantungnya, ia menjerit keras lantas jatuh pingsan!
Dan kemudian datanglah Cin Hai menemukannya dalam keadaan masih pingsan!
Cin Hai mendengarkan penuturan itu dengan sangat tertarik, gelisah dan terharu. Jarang terdapat orang seperti suhu-nya. Gagah perkasa, memegang teguh sumpahnya, sungguh pun sumpah terhadap seorang jahat, tetapi rela mengorbankan dirinya demi keselamatan muridnya!
“Apa bila demikian halnya, kau harus menenangkan hatimu, Lin-moi. Seratus hari adalah waktu yang cukup banyak bagi kita untuk berusaha mencari obat bagimu. Meski pun aku percaya penuh kepada Suhu bahwa dia tentu akan berhasil membawa obat penyembuh itu, akan tetapi, terlebih baik pula kalau kita tidak tinggal diam dan marilah kita juga pergi ke Kansu untuk menyusul mereka. Jangan kau kuatir, Adikku, aku telah berada di sisimu dan demi Tuhan Yang Maha Agung, kau pasti akan tertolong.”
Lin Lin tidak membantah kehendak Cin Hai. Lagi pula, baginya ke barat tiada bedanya dengan ke timur atau ke mana pun, selama dia berada bersama kekasihnya. Malam itu mereka berkemas dan tidur di Goa Tengkorak, Cin Hai di ruang depan di mana terdapat banyak patung tengkorak sedangkan Lin Lin di ruang hio-louw.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali saat sinar matahari masih berwarna kemerahan, sepasang kekasih itu keluar dari goa, mulai melakukan perjalanan jauh mengejar suhu mereka menuju Kansu di barat sana. Mereka sengaja hendak meninggalkan tiga burung peliharaan mereka karena selain harus menempuh perjalanan jauh, juga mereka belum tahu akan mati hidup diri sendiri. Sesudah berjalan sejauh sepuluh li, mereka mulai keluar dari hutan yang mengelilingi Goa Tengkorak.
Pada saat itu pula, di udara nampak tiga titik hitam yang melayang turun dan tidak lama kemudian, tiga burung yang menjadi kawan Lin Lin, yaitu Merak Sakti, Rajawali Emas, dan Bangau Sakti, menyambar turun dan berdiri di dekat mereka sambil mengeluarkan suara riuh rendah, seakan-akan menegur mereka mengapa meninggalkan begitu saja.
“Marilah kalian ikut kami pergi ke barat,” kata Lin Lin.
Cin Hai lalu melanjutkan perjalanan bersama Lin Lin menuju ke barat, diikuti oleh ketiga burung sakti yang terbang tinggi di atas udara. Mengingat akan keadaan Lin Lin, Cin Hai diam-diam merasa berduka dan gelisah, sedangkan Lin Lin yang mengetahui keadaan kekasihnya itu, menghiburnya dengan berlaku riang gembira dan jenaka hingga Cin Hai merasa terhibur juga.
Melihat sikap Lin Lin, seakan-akan ia tidak menderita sakit apa-apa. Dan memang benar ucapan Hai Kong Hosiang bahwa racun Ular Hijau itu sangat halus kerjanya hingga orang yang terkena seakan-akan tidak merasa apa-apa padahal orang itu makin hari semakin mendekati maut!
Dalam usahanya menghibur Cin Hai, Lin Lin bahkan mempergiat latihan pedangnya. Cin Hai bukanlah seorang pemuda yang berhati lemah dan bersemangat kecil, maka dia pun segera dapat melupakan kekuatirannya. Sikap Lin Lin yang gembira ini banyak menolong Cin Hai, bahkan dia lalu sadar bahwa mestinya dialah yang harus memperlihatkan sikap gembira supaya kekasihnya itu tidak memikirkan keadaan dirinya dan tidak timbul rasa kuatir, perasaan yang menjadi pantangan bagi Lin Lin itu. Maka dengan gembira dia pun lalu membantu dan memberi petunjuk-petunjuk sehingga ilmu pedang Lin Lin kini menjadi semakin maju saja.
Cin Hai tidak mau menceritakan kepada Lin Lin tentang tewasnya Biauw Suthai dan Pek Toanio karena dia maklum bahwa hal ini akan membahayakan kesehatannya. Bahkan dia sengaja mengambil jalan memutar dan tidak mau melalui dusun di mana kedua pendekar wanita itu tewas…..
********************
Kita mengikuti keadaan Ang I Niocu yang ditinggal seorang diri oleh Cin Hai yang pergi memberi laporan kepada Bu Pun Su. Dara Baju Merah itu menanti kembalinya Cin Hai sambil menjaga goa rahasia tempat harta pusaka itu, juga sambil menunggu datangnya rombongan Kwee An, Ma Hoa, beserta Nelayan Cengeng yang juga menuju ke Kansu dengan mengambil jalan lain.
Pada suatu hari, karena merasa kesal tidak ada kawan dan tidak ada sesuatu yang bisa dikerjakan, Ang I Niocu lalu keluar dan pergi berjalan-jalan di sekeliling ibu kota Lan-couw yang sangat ramai.
Daerah Kansu adalah daerah bagian barat daratan Tiongkok dan di sana banyak terdapat suku-suku bangsa, bahkan banyak pula orang-orang asing yang berdagang di situ. Oleh karena ini, maka banyak sekali nampak pemandangan-pemandangan yang ganjil, yaitu jalan-jalan penuh orang-orang yang mengenakan pakaian bermacam ragam dan warna. Banyak pula wanita-wanita suku Hui dan lain-lain yang berwajah manis dengan pakaian mereka yang berbeda dengan pakaian orang-orang Han.
Akan tetapi, pada saat Ang I Niocu berjalan-jalan dengan pakaiannya yang serba merah, langkahnya yang gagah, tubuhnya yang ramping dan wajahnya yang cantik jelita itu, dia merupakan pemandangan yang amat mencolok mata dan yang jarang dapat terlihat oleh orang-orang di sana. Oleh karenanya hampir semua mata memandang Dara Baju Merah itu dengan penuh kekaguman.
Akan tetapi Ang I Niocu sudah terbiasa dengan pandangan-pandangan mata seperti ini. Maka, dia tidak mengacuhkannya sama sekali, seakan-akan mereka semua itu hanyalah patung-patung batu yang memandangnya tanpa berkedip.
Saat lewat di depan sebuah toko yang menjual barang-barang kuno, Ang I Niocu teringat akan cawan tertutup yang menjadi penunjuk jalan baginya dan Cin Hai untuk menemukan rahasia goa rahasia itu. Dia teringat betapa anehnya dia mendapatkan cawan berukir itu, yaitu dari seorang gila!
Ketika itu dia sedang berjalan menuju ke Kansu, yaitu sebelum bertemu dengan Cin Hai. Tiba-tiba dia melihat seorang yang berpakaian tak karuan dan hampir telanjang duduk di tepi jalan, tertawa-tawa seorang diri. Orang itu adalah seorang Turki sudah tua, dan yang amat aneh adalah biar pun pakaiannya compang-camping tidak karuan dan keadaannya menunjukkan kemiskinan yang sangat besar, namun dia memegang sebuah cawan perak yang indah sekali!
Pada saat Ang I Niocu sedang memandang dengan terheran-heran, datanglah tiga orang bangsa Hui yang mendekati orang gila itu dengan mata melirik ke sana ke mari. Melihat bahwa tempat itu sunyi dan hanya ada seorang gadis baju merah berdiri di tempat yang agak jauh, ketiga orang itu lalu maju dan hendak merampas cawan perak itu.
Si Gila lalu berteriak-teriak, berdiri dan menendang-nendang, mencakar-cakar melakukan perlawanan, sambil mulutnya mengomel, “Pergi, pergi! Kalian tidak berhak mendapatkan harta pusaka ini! Pergi!”
Seorang di antara ketiga orang yang hendak merampas cawan itu lalu mengubah siasat dan sambil tersenyum dia berkata,
“Kakek sinting, biarlah kami menukarnya dengan uang untuk membeli nasi!” orang itu lalu mengeluarkan uang perak beberapa potong.
Akan tetapi orang gila itu mendekap cawan itu erat-erat sambil terus memaki. “Perampok-perampok, pergi! Aku tidak butuh uang! Harta pusaka ini milikku!”
Tiga orang itu menubruk hendak merampas cawan, namun tiba-tiba mereka roboh sambil merintih-rintih. Ternyata Ang I Niocu telah bertindak karena kasihan kepada orang gila itu.
Tiga orang laki-laki bangsa Hui itu kembali bangkit dan hendak menyerang, akan tetapi kembali tubuh Ang I Niocu bergerak cepat dan sebelum mereka tahu apakah yang terjadi dan menimpa diri mereka, tahu-tahu ketiga orang itu sudah terlempar lagi dengan tubuh sakit-sakit! Mereka memandang dengan mata terbelalak ketakutan seakan-akan melihat setan di tengah hari, lalu berlari pergi secepat kaki mereka dapat bergerak!
Orang gila itu menghampiri Ang I Niocu dan karena orang itu bertubuh tinggi sekali, maka ketika dia mengulurkan kedua tangannya yang kotor ke atas kepala Ang I Niocu, kedua tangan itu menumpang di atas kepala gadis itu, seakan-akan seorang pendeta memberi berkah.
“Kau gagah, ha-ha, mereka lari pontang-panting, ha-ha-ha! Kau patut menjadi ratu, patut memiliki harta pusaka itu. Ini, kau terimalah harta pusaka yang tak ternilai harganya!” Dia memberikan cawan perak itu kepada Ang I Niocu yang menerimanya dengan heran.
“Untuk apa cawan ini?” tanyanya.
Orang gila itu memandangnya dengan marah. “Untuk apa katamu? Itu bukanlah cawan. Bodoh, menyebut harta pusaka sebagai cawan biasa!” Si Gila itu kemudian pergi dengan langkah lebar dan terdengar ia bernyanyi dalam bahasa Turki yang tidak karuan.
Ang I Niocu mengamat-amati cawan itu dan melihat ukir-ukiran yang indah, hingga timbul rasa sayangnya. Dia lalu memasukkan cawan itu ke dalam saku dan tidak tahu maksud ucapan orang gila itu hingga ia bertemu dengan Cin Hai yang membawa tutup cawannya.
Demikianlah, sambil mengenangkan semua kejadian ini, Ang I Niocu tak sengaja berhenti di depan toko barang antik itu sambil melamun. Tiba-tiba saja dia melihat dua orang Turki berkelebat masuk ke dalam toko dan ketika seorang di antara mereka memandang keluar toko, maka nampak wajahnya yang dibayangi ketakutan hebat!
Ang I Niocu menjadi tertarik dan curiga, maka ia segera melompat ke pinggir rumah dan terus mengintai dari atas genteng. Ia melihat dua orang itu bicara dengan seorang Turki lainnya dan agaknya mereka membicarakan hal-hal yang mengandung rahasia.
Akan tetapi hanya ada sebuah kata saja yang dimengerti oleh Ang I Niocu karena mereka bicara dalam bahasa Turki, yaitu kata-kata mereka ‘Yousuf’! Kata-kata ini cukup untuk membuat ia memperhatikan mereka baik-baik dan ketika ketiga orang itu keluar dari luar rumah melalui pintu belakang lalu berlari-lari cepat, dia segera mengikuti mereka dengan diam-diam.
Dengan mudah ia dapat mengikuti ketiga orang itu tanpa mereka mengetahuinya. Untuk beberapa lama ketiga orang itu masuk keluar hutan hingga kemudian sampai di sebuah perkampungan kecil di mana terdapat banyak rumah-rumah model Turki.
Tiga orang Turki itu masuk ke dalam rumah yang terbesar. Ang I Niocu segera melompat naik ke atas genteng dari bagian belakang dan menuju ke wuwungan di sebelah tengah. Ia membuka genteng dan mengintai ke dalam dengan hati-hati. Dilihatnya ketiga orang tadi masuk ke dalam sebuah ruangan yang kebetulan sekali berada tepat di bawahnya. Di dalam ruangan yang lebar itu nampak duduk dua orang Turki.
Seorang di antara mereka telah tua sekali, dan yang seorang lagi setengah tua, sikapnya gagah. Juga kakek yang sudah sangat tua dan rambutnya sudah putih semua sehingga menimbulkan kontras yang mencolok dengan kulitnya yang hitam, nampak lemah lembut akan tetapi sepasang matanya bersinar tajam berpengaruh.
Setelah melihat mereka, ketiga orang Turki itu segera maju dan memberi hormat dengan membungkukkan tubuh dalam-dalam dengan kedua tangan di depan. Mereka bertiga lalu bicara seakan-akan membuat laporan kepada dua orang itu. Tidak lama kemudian, orang setengah tua tadi menjawab dengan beberapa kalimat yang agaknya memberi perintah, karena setelah mendengar ucapan itu, tiga orang pendatang tadi lalu pergi lagi.
Tiba-tiba, orang setengah tua itu tertawa dan sambil menengok ke atas ke arah genteng yang dipijak oleh kaki Ang I Niocu ia berkata dalam bahasa Han yang lancar, “Sahabat yang berada di atas genteng, harap kau suka turun saja apa bila ada perlu dengan kami.”
Ang I Niocu terkejut sekali. Tidak pernah disangkanya bahwa orang itu dapat melihat atau mendengarkannya, dan selagi dia merasa ragu-ragu, tiba-tiba kakek rambut putih itu juga berkata,
“Nona berbaju merah agaknya Ang I Niocu! Kalau benar, kami persilakan turun karena kita masih kawan sendiri!”
Makin terkejutlah hati Ang I Niocu mendengar ini. Kalau laki-laki setengah tua itu hanya dapat mengetahui bahwa di atas genteng terdapat orang sedang mengintai, adalah kakek berambut putih itu bahkan tahu bahwa yang mengintai adalah seorang gadis baju merah, bahkan dapat menduga namanya dengan tepat! Ang I Niocu masih merasa ragu-ragu untuk turun, maka dia teringat sesuatu dan bertanya,
“Apakah seorang di antara Jiwi ada yang bernama Yousuf?”
Mendengar pertanyaan ini, laki-laki setengah tua itu berseri wajahnya dan sambil berdiri ia menjawab girang. “Akulah yang bernama Yousuf! Kalau begitu Nona tentu benar-benar Ang I Niocu adanya! Lihiap, silakan turun!”
Kini Ang I Niocu tidak merasa ragu-ragu lagi. Ia membuka beberapa potong genteng dan melayang turun sambil berkata, “Mohon dimaafkan sebanyaknya atas kelancanganku!”
Yousuf memandang kepada Nona Baju Merah itu dengan mata kagum, lalu dia menjura sambil berkata girang, “Betul, betul! Kau tentu Ang I Niocu. Aku telah lama mengenalmu dari penuturan anakku Lin Lin!”
Ang I Niocu menjadi girang sekali. “Dan aku pun sudah lama mengenal nama Yo-lopek dari kawan-kawan.”
Mendengar bahwa tanpa ragu-ragu lagi Ang I Niocu menyebut dirinya lopek (uwa) seperti Cin Hai, Kwee An dan yang lain-lain. Yousuf merasa girang sekali.
“Ang I Niocu, kedatanganmu ini bagiku laksana jatuhnya sebuah bintang dari langit! Kau disangka telah tewas di atas Pulau Kim-san-to sehingga melihat kesedihan kawan-kawan kita, aku sendiri merasa sangat berduka. Dan sekarang, tiba-tiba saja kau muncul dalam keadaan yang kebetulan sekali!”
Ang I Niocu memandang ke arah kakek berambut putih yang lihai tadi, lalu dia bertanya, “Siapakah Locianpwe yang terhormat ini?”
Kakek itu tertawa bergelak, kemudian menjawab, “Ang I Niocu, kau tentu belum pernah mendengar namaku, sungguh pun telah sering kali aku mendengar namamu dari muridku ini.”
“Ahh, kalau begitu Locianpwe tentu yang bernama Ibrahim!” kata Ang I Niocu.
Baik Ibrahim mau pun Yousuf menjadi tercengang. “Bagaimana kau bisa tahu, Lihiap?” tanya Yousuf heran.
Ang I Niocu lalu menceritakan pengalamannya, bahwa Cin Hai pernah bercerita tentang pertemuannya dengan guru Yousuf itu ketika Ibrahim menangkap ular.
Bukan main girangnya hati Yousuf pada saat mendengar bahwa Ma Hoa dan Kwee An berada dalam keadaan selamat pula, bahkan kini sedang menuju ke Lan-couw sehingga banyak kemungkinan dia akan bertemu dengan mereka kembali. Kalau tadinya dia masih agak muram wajahnya, kini dia menjadi riang gembira dan berkata,
“Lihiap, tadi kukatakan bahwa kedatanganmu ini seperti bintang jatuh dari langit, akan tetapi sekarang ternyata bahwa kau bukan merupakan bintang saja, bahkan seakan-akan bulan sendiri jatuh di pangkuanku! Kau tidak saja memperkuat fihakku, bahkan kau telah membawa berita yang sangat menggembirakan hatiku. Patut aku mengucap syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Tunggal.” Sambil berkata demikian, orang Turki itu mengangkat kedua tangan ke atas sebagai puji syukur kepada Tuhan.
“Sebenarnya, apakah yang sedang terjadi, Yo-lopek? Tadi aku melihat tiga orang itu dan aku merasa curiga. Ketika mendengar namamu disebut-sebut, aku lalu mengikuti mereka ke sini dan agaknya mereka membuat laporan. Ada apakah?” tanya Ang I Niocu yang sama sekali tak mengerti karena selama ini semua pembicaraan dilakukan dalam bahasa Turki.
Yousuf menarik napas panjang. “Sebetulnya hal yang sedang terjadi dan akan terjadi ini adalah urusan pribadi Turki sendiri. Akan tetapi, karena di sini terkandung juga soal-soal kejahatan, maka kami percaya bahwa kau tentu akan suka membantu kami. Orang-orang Turki yang berada di daerah ini terpecah menjadi dua golongan, yaitu pengikut-pengikut Pangeran Tua yang pada waktu ini masih menjadi raja di Turki, dan sebagian pula ialah pengikut-pengikut Pangeran Muda yang selalu menimbulkan kekacauan. Kami adalah para pengikut Pangeran Tua, kami selalu mengambil sikap baik dan bersahabat terhadap negerimu, akan tetapi politiknya yang bersahabat itu dikacau dan dirusak oleh Pangeran Muda yang selalu mencari perkara. Sekarang para pengikut Pangeran Muda itu bahkan memiliki maksud menyerbu ke pedalaman Tiongkok, dan mereka datang hendak mencari harta pusaka yang bukan menjadi hak orang Turki. Nah, kami para pengikut Pangeran Tua mendapat tugas untuk menghalangi maksud jahat ini, karena kalau maksud mereka itu terus dilanjutkan, yang akan menderita rugi adalah bangsa kami sendiri, karena tentu dianggap jahat oleh bangsamu. Kami bertugas menghalangi niat mereka mencuri harta pusaka itu, dan mencegah mereka melanjutkan usaha menyerbu ke wilayah Tiongkok!”
Ang I Niocu mengangguk-angguk maklum. “Kalau begitu, kau bersama kawan-kawanmu memang orang-orang gagah yang mulia, Yo-lopek. Aku pun pernah mendengar sedikit-sedikit tentang maksud orang-orang Turki itu, akan tetapi tak pernah menyangka bahwa ada dua rombongan yang bertentangan. Di fihak siapakah orang-orang seperti Siok Kwat Moli, Wai Sauw Pu, Lok Kun Tojin dan yang lain-lain itu berdiri?”
Tiba-tiba Ibrahim berdiri dari tempat duduknya dan berkata dengan gemas,
“Nah, itulah yang amat menyebalkan hati kami. Para pengikut Pangeran Muda itu sudah mempergunakan cahaya emas untuk menggunakan orang-orang jahat seperti mereka itu dalam usaha mereka yang rendah. Yang menyebalkan hati, bagaimana orang-orang Han sendiri sudi membantu usaha pengikut-pengikut Pangeran Muda yang memiliki maksud buruk terhadap negeri mereka sendiri?” Ibrahim menarik napas panjang.
Ang I Niocu tersenyum. “Tidak sangat aneh, Locianpwe. Iman yang lemah dikuasai hati, hati yang kotor dikuasai pikiran dan pikiran yang picik dikuasai oleh mata. Apa bila mata mereka sudah silau dan buta karena cahaya harta benda, kejahatan apakah lagi yang pantang bagi mereka?”
Ibrahim mengangguk-angguk. “Kau benar, kau benar...” lalu kakek rambut putih itu duduk melamun tidak mempedulikan lagi keadaan di sekelilingnya.
“Ang I Niocu,” Yousuf berkata, “sekarang kami menghadapi puncak pertentangan antara kami dan mereka. Tadi kawan-kawan sudah melaporkan bahwa para pengikut Pangeran Muda agaknya sudah mendapatkan kunci yang membawa mereka kepada tempat harta pusaka itu! Kabarnya bahwa mereka telah berhasil mendapatkan cawan yang berukirkan peta yang menunjukkan di mana tempat harta itu, yang dirampasnya dari seorang gila. Kalau hal ini betul, kami harus menghalangi mereka!”
Ang I Niocu tersenyum. “Tak usah lagi, Yo-lopek. Harta pusaka itu telah diketemukan dan yang mendapatkannya bukan lain ialah aku sendiri dan Cin Hai.”
Yousuf memandangnya dengan bengong sehingga Ang I Niocu kemudian menceritakan pengalamannya. Yousuf menjadi girang bukan main sehingga ia segera berpaling kepada gurunya dan menuturkan semua cerita Ang I Niocu dengan cepat kepada gurunya dalam bahasa Turki, karena tadi ketika Ang I Niocu bercerita, agaknya kakek itu masih melamun dan tidak mendengar apa-apa! Ibrahim juga merasa girang dan tertawa senang.
“Akan tetapi, Lihiap, kini mereka sedang menuju ke sini untuk menyerbu kami, demikian menurut laporan kawan-kawan. Kami sudah siap sedia menghadapi serbuan mereka dan kalau perlu, kami bersedia untuk bertempur pula.”
“Jangan kuatir, Yo-lopek. Aku telah berada di sini dan aku pasti akan membantu kalian.”
Pada saat itu, dari luar masuklah seorang penjaga dan memberi laporan singkat kepada Yousuf yang segera dijawabnya dengan perintah singkat pula. Orang itu lantas pergi lagi dan Yousuf lalu berkata kepada Ang I Niocu,
“Mereka telah datang dan kuminta pemimpin-pemimpin mereka agar datang ke sini untuk mengadakan pembicaraan.”
“Kalau begitu aku harus mengundurkan diri,” kata Ang I Niocu, yang menganggap bahwa tidak sepantasnya ia ikut bicara tentang urusan negara orang lain, apa lagi kalau mereka bicara dalam bahasa mereka yang tidak dimengertinya sama sekali itu.
Akan tetapi Yousuf mengangkat tangannya. “Tidak usah Lihiap. Kau duduklah saja di sini, mengawani kami berdua. Mereka yang datang ini pun hanya wakil-wakil dan para utusan saja, Semua pembicaraan akan dilakukan dalam bahasa Han, sebab mereka itu sebagian besar juga orang-orang Han yang telah kau kenal tadi.”
Rombongan tamu yang datang itu adalah tujuh orang yang terdiri dari seorang Turki tua yang bersorban merah, diiringkan oleh Siok Kwat Moli, Wai Sauw Pu, Lok Kun Tojin dan ketiga Kanglam Sam-lojn, yaitu Giok Im Cu, Giok Yang Cu dan Giok Keng Cu.
Yousuf menyambut mereka dengan sikap dingin dan angkuh, karena sebagai pemimpin pengikut Pangeran Tua itu dia merasa lebih tinggi derajatnya, sedangkan Ibrahim hanya duduk saja tak mempedulikan mereka sama sekali, ada pun Ang I Niocu duduk dengan tegak dan gagah.
Rombongan itu merasa heran juga ketika melihat bahwa penyambut mereka hanya tiga orang saja, akan tetapi ketika mereka melihat bahwa Ang I Niocu berada di situ, mereka menjadi terkejut.
“Hemm, agaknya kau juga sudah mendapat bantuan seorang Han, Saudara Yousuf yang baik!” pemimpin Turki ini berkata sambil tersenyum sindir. Seperti keterangan Yousuf tadi, orang Turki ini mempergunakan bahasa Han oleh karena para pembelanya menghendaki demikian.
“Nona yang berdiri di pihakku ini adalah seorang pendekar wanita yang selalu membela persahabatan dan keadilan, tidak seperti pembantu-pembantumu yang hanya membela uang dan emas yang kau sodorkan kepada mereka, mana mereka bisa dipersamakan?” jawab Yousuf menyindir hingga wajah enam orang itu menjadi merah karena marah dan malu.
Yousuf segera berkata lagi kepada pemimpin orang Turki itu, “Sahimba, apakah maksud kedatanganmu membawa sekalian tukang-tukang pukulmu ini?”
Sahimba tertawa, kemudian berkata dengan sikap angkuh, “Yousuf, di negeri kami kau boleh berlaku sebagai seorang kepercayaan raja dan kami harus tunduk kepadamu. Akan tetapi sekarang kita berada di negeri orang lain dan kau tidak berhak untuk mencampuri urusan kami! Kami melakukan usaha kami sendiri hendak mencari keuntungan di tempat ini, mengapa kau beserta orang-orangmu begitu tidak tahu malu untuk menghalangi kami sehingga menimbulkan permusuhan di antara bangsa sendiri?”
“Sahimba, jika usahamu itu baik dan jujur, siapa yang akan sudi mencampuri urusanmu? Akan tetapi, kau bahkan menurut perintah dan nafsu jahat dari Pangeran Muda, hendak mengacau negeri lain orang, bahkan hendak mencuri hak lain bangsa. Hal ini tentu saja akan memalukan bangsa kita, dan sebagai seorang patriot, tentu saja kami tidak akan membiarkannya saja! Dengan perbuatanmu yang memalukan bangsa sendiri, kau boleh dianggap sebagai seorang pengkhianat yang merusak nama negara dan bangsa, apakah ini harus didiamkan saja?”
“Yousuf, kau manusia sombong! Kau mengandalkan apakah maka berani berkata begitu? Orang yang mencampuri urusan lain orang dan yang ingin tahu usaha orang lain adalah orang yang rendah! Kuperingatkan kepadamu sekali lagi sebagai orang-orang sebangsa, lebih baik kau lepaskan tanganmu dan jangan ikut-ikut urusan kami, agar kami tak usah merepotkan tangan membasmi kau dan kawan-kawanmu!”
Yousuf menjadi marah sekali, akan tetapi ia tetap tersenyum ketika menjawab, “Sahimba, kau bicara tanpa mempergunakan pikiran sehat! Aku adalah hamba dari Pangeran Tua yang menjadi raja di negeri kita, sedangkan kau adalah pengikut seorang pangeran yang selalu membuat kacau, ada apakah lagi yang dapat dirundingkan antara kita? Jangan kau anggap kami merasa takut akan semua ancamanmu yang hanya merupakan raung anjing di waktu malam terang bulan!”
“Kalau begitu, kita harus putuskan hal ini dengan senjata!” kata Sahimba dengan marah, dan dia bersama keenam orang-orangnya itu meraba gagang senjata!
“Terserah kepadamu, Sahimba!” kata Yousuf sambil menepuk tangan tiga kali dan dari segala lubang pintu muncullah puluhan orang dengan senjata lengkap!
“Kami sudah bersiap sedia!”
Sahimba dan kawan-kawannya memandang ke sekeliling. Ternyata bahwa kawan-kawan Yousuf, yaitu pengikut Pangeran Tua, sudah mengurung rumah itu dan menjaga dengan kuat!
“Kau hendak menggunakan orang banyak dan mengeroyok kami?” kata Sahimba dengan senyum sindir untuk menyembunyikan kegelisahannya.
“Hanya orang-orang macam kaulah yang suka mengeroyok dan mengandalkan banyak kawan!” jawab Yousuf. “Kawan-kawanku siap sedia bukan untuk mengeroyok, akan tetapi untuk menjaga kalau-kalau kau yang berkawan banyak ini berani berlagak!”
“Yousuf!” terdengar si Nenek Bongkok Siok Kwat Mo-li berseru. “Jangan kau sesombong itu! Kalau kau memang laki-laki, marilah kita adu kepandaian, seorang lawan seorang, jangan main keroyok.”
Ibrahim mengeluarkan suara batuk-batuk dan sikapnya masih tenang ketika dia berkata, “Aduh, galak benar! Yousuf, kalau tamu-tamu kita menghendakinya, sebagai tuan rumah seharusnya kita menerima untuk membuktikan keramahan kita terhadap tamu-tamu yang datang tanpa diundang!”
Yousuf lalu menghadapi Sahimba. “Kau telah mendengar sendiri ucapan Guruku dan bila kau menghendaki, boleh kita mengajukan jago-jago untuk mengadu kepandaian!”
“Boleh…, boleh! Inilah kesempatan bagus untuk membikin mampus kalian dalam sebuah pertandingan yang jujur,” jawab Sahimba.
Yousuf kemudian memberi aba-aba dan beberapa orang penjaga langsung masuk untuk membersihkan ruangan yang lebar itu. Meja kursi segera disingkirkan sehingga ruangan itu kini menjadi sebuah tempat yang cukup luas di mana orang boleh bertempur sesuka hatinya.....
Yousuf berkata lagi, “Karena di pihakku hanya ada tiga orang jago, sedangkan aku lihat bahwa kau membawa enam orang tukang pukul, maka kau boleh mengajukan tiga orang tukang pukulmu.”
“Orang sombong, kau anggap kami tukang pukul? Jaga lidahmu baik-baik!” berkata Giok Yang Cu, orang ke dua Kanglam Sam-lojin yang bertubuh tinggi besar.
Yousuf tersenyum dan memandangnya dengan tatap mata mengejek, “Aku adalah tuan rumah, mengapa harus menjaga lidah? Kaulah yang harus menjaga lagakmu baik-baik. Apakah kau merupakan orang pertama yang maju mewakili pihakmu?”
Sebelum Giok Yang Cu menjawab, terdengar suara tertawa bergelak dari luar rumah dan terdengarlah suara orang, “Sahabatku Yo Se Pu, jangan kau borong semua babi-babi itu, berilah kesempatan kepadaku untuk menikmati dagingnya juga!”
Dan dari luar berkelebatlah tiga bayangan orang memasuki rumah itu. Mereka ini bukan lain adalah Nelayan Cengeng yang mengeluarkan kata-kata tadi, diikuti oleh Kwee An dan Ma Hoa!
Bukan main girangnya hati Yousuf melihat Kwee An dan Ma Hoa sehingga dia melompat maju dan memeluk mereka berdua seolah-olah seorang ayah bertemu dengan dua orang anaknya yang telah disangka mati. Kedua mata orang Turki ini basah dengan air mata. Ia pun lalu memegang tangan Nelayan Cengeng dengan hati girang, lantas berkata kepada Sahimba,
“Dasar kau yang sedang berbintang gelap! Dengan kedatangan ketiga orang ini, keadaan kita menjadi berimbang jumlahnya!”
Kemudian, tanpa peduli akan Sahimba dan kawan-kawannya, Yousuf lalu mengenalkan Ibrahim kepada Nelayan Cengeng, Ma Hoa, dan Kwee An sehingga mereka bertiga lalu menjura memberi hormat yang dibalas dengan gembira oleh Ibrahim.
“Nama kalian sudah kukenal lama sekali dan setelah melihat orang-orangnya, aku makin merasa kagum saja!” kata kakek itu.
Sementara itu, Giok Yang Cu yang sudah maju ke depan akan tetapi tidak mendapatkan pelayanan dari tuan rumah yang sebaliknya bahkan sibuk bercakap-cakap dengan ketiga orang pendatang baru itu, menjadi mendongkol sekali.
“Yousuf apakah tidak ada orang yang berani melawanku?” tegurnya marah.
Melihat laku Giok Yang Cu, Nelayan Cengeng tertawa lagi bergelak-gelak dan berkata kepada Yousuf, “Saudara Yo, mengapa kau tidak segera memberi sepotong tulang busuk kepada anjing itu supaya dia tidak melolong-lolong lagi?” kemudian ia tertawa lagi dengan geli hati hingga keluar air mata bercucuran dari kedua matanya!
“Orang gila, jangan kau menghinaku!” seru Giok Yang Cu yang segera mencabut pedang dari sarungnya.
Akan tetapi sebelum dia maju dan menyerang Nelayan Cengeng, Yousuf telah melompat di depannya dan berkata, “Sebagai tuan rumah, biarlah aku turun tangan lebih dulu!”
Orang Turki ini lalu mencabut pedangnya pula dan dua orang ini segera bertempur hebat, disaksikan oleh semua orang yang berada di situ.
Ilmu kepandaian Giok Yang Cu jauh lebih lihai dari pada dahulu oleh karena Ilmu Pedang Liong-san Kiam-hoat telah banyak mengalami perubahan dan kemajuan, ada pun pertapa tinggi besar ini terkenal sebagai ahli gwakang yang memiliki tenaga sebesar gajah, maka ketika ia mainkan pedangnya, pedang itu mendatangkan angin dan mengeluarkan suara.
Akan tetapi selain tinggi ilmu kepandaiannya, Yousuf juga telah mempunyai banyak sekali pengalaman bertempur menghadapi orang-orang pandai, maka ia dapat bergerak dengan tenang menghadapi gempuran-gempuran dahsyat dari lawannya itu. Lagi pula, semenjak dekat dengan Nelayan Cengeng, Lin Lin dan lainnya, Yousuf sudah banyak memahami rahasia-rahasia ilmu silat daratan Tiongkok sehingga pengertiannya menjadi sangat luas dan kepandaiannya banyak maju.
Giok Yang Cu tadinya merasa girang melihat bahwa yang maju menghadapinya adalah orang Turki itu, karena betapa pun juga, ia anggap bahwa kepandaian orang itu tentu tak seberapa tinggi. Akan tetapi setelah bertempur dua puluh jurus lebih dia menjadi terkejut dan diam-diam mengeluh.
Dalam hal kecepatan dan tenaga, orang Turki itu tidak kalah. Bahkan lawannya itu hebat sekali gerakan pedangnya, ada pun tingkat ginkang-nya lebih tinggi dari kepandaiannya sendiri! Akan tetapi dia tidak mau memperlihatkan kejeriannya dan maju mendesak makin hebat dengan serangan-serangan yang ditujukan ke bagian-bagian yang berbahaya.
Yousuf tidak menjadi gugup walau pun desakan lawannya yang menggunakan gerakan terlihai dari Liong-sam-hoat yang dinamakan Naga Liong-san Mengamuk itu hebat sekali. Dengan ketenangannya yang juga diperkuat oleh kekuatan batinnya, Yousuf menghadapi serbuan sambil terus mainkan pedangnya dengan cepat sehingga tubuhnya tertutup oleh gulungan sinar pedangnya.
Tiba-tiba terdengar pekik kesakitan Giok Yang Cu dan Si Tinggi Besar itu roboh dengan dada terluka oleh pedang Yousuf. Sungguh pun luka itu tidak membahayakan nyawanya, akan tetapi cukup membuat ia pada waktu itu tak berdaya lagi dan harus mengundurkan diri sambil dibantu oleh adiknya yaitu Giok Keng Cu. Yousuf juga melangkah mundur dan berkata kepada Sahimba,
“Seorang tukang pukulmu telah kalah, Sahimba!”
Terdengar bentakan keras dan tahu-tahu Giok Im Cu, yaitu saudara tertua dari Kanglam Sam-lojin, telah melompat maju dengan gesit sekali dan tangannya memegang sebatang bambu panjang. Giok Im Cu hendak menebus kekalahan sute-nya, maka tanpa bertanya lagi kepada Sahimba dia telah melompat ke tengah lapangan bersilat.
“Biar pinto menerima pengajaran dari tuan rumah!” katanya.
“Pek-hu, biarkan aku main-main dengan Tosu ini,” kata Ma Hoa yang mendahului Ang I Niocu, karena ia merasa tertarik melihat bahwa tosu itu pun bersenjata sebatang tongkat.
“Kau?” Yousuf memandang ragu-ragu.
Akan tetapi Nelayan Cengeng segera berkata, “Saudara Yo, keponakan Ma Hoa ini telah mempelajari cara memukul anjing, biarkan dia maju!”
Yousuf selamanya tidak pernah meragukan ucapan Nelayan Cengeng, apa lagi dalam hal ini tentu saja Nelayan Cengeng juga tidak akan membiarkan muridnya yang terkasih itu menghadapi bencana, maka dia lalu menganggukkan kepala sambil berkata kepada Ma Hoa,
“Baiklah, akan tetapi kau berhati-hatilah!”
Ma Hoa tersenyum dan segera melangkah maju menghadapi Giok Im Cu yang merasa tak enak sekali. Ia merasa sungkan dan dipandang rendah. Masa ia seorang tokoh besar di kalangan kang-ouw harus menghadapi seorang gadis muda yang cantik dan bertangan kosong ini?
“Nona, dengan senjata apakah kau hendak memberi pengajaran kepada pinto?”
Ma Hoa tersenyum sambil mencabut keluar sepasang bambu runcingnya yang berwarna kuning dan bentuknya pendek itu. “Dengan ini!” jawabnya singkat.
Terbelalak mata Giok Yang Cu memandang senjata yang aneh itu, akan tetapi berbareng pada saat itu juga dia merasa berdebar karena teringat akan seorang sakti yang menjadi ahli dalam permainan sepasang bambu runcing yang pendek. Segera dia menggerak-gerakkan senjatanya dan berkata,
“Mari, mari, majulah!”
Ma Hoa tidak berlaku sungkan lagi dan segera menyerang dengan kedua bambu runcing yang digerakkan secara luar biasa. Yousuf yang belum pernah melihat Ma Hoa bermain bambu runcing itu merasa terheran-heran sehingga tanpa terasa lagi terjatuh ke dalam kursinya, duduk sambil memandang bengong.
Gerakan gadis ini benar-benar lihai dan sangat indah dipandang. Rambutnya yang terurai bergerak-gerak di sekeliling kepalanya, ada pun bambu runcing itu saat digerakkan untuk menyerang, gerakannya demikian cepat sehingga seakan-akan berubah menjadi puluhan batang!
Giok Im Cu tercengang melihat ini dan dia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menghadapi serangan yang sangat aneh ini. Makin keras dugaannya ketika melihat permainan ini karena selama dia hidup, baru sekali dia pernah menyaksikan permainan sepasang tongkat yang luar biasa, yaitu yang dimainkan oleh Hok Peng Taisu, seorang pertapa sakti yang lihai.
Ia mengigit bibir dan sebagai seorang ahli lweekang dia lalu mengerahkan lweekang-nya sehingga setiap sambaran tongkatnya membawa tenaga besar yang ganas. Dia hendak mengandalkan tenaga lweekang-nya untuk mengalahkan gadis yang pandai memainkan bambu runcing itu.
Akan tetapi kembali dia tercengang karena gadis itu dengan pandainya tak mau mengadu tenaga. Dara ini hanya mengandalkan kelincahan untuk berkelebat di antara sambaran tongkat lawannya, dan mengirim serangan-serangan berupa totokan dan tusukan ke arah jalan darah lawan!
Ramai sekali mereka bertempur, dan kini Yousuf tak dapat menguasai kegembiraannya lagi. Berkali-kali dia berseru dengan girang sambil mengeluarkan pujian-pujian.
Lima puluh jurus telah lewat dan Giok Im Cu mulai terkurung oleh pukulan batang bambu runcing yang seakan-akan bergerak berbareng mengurung dirinya itu. Ia mencoba untuk mengirim pukulan maut, akan tetapi, tiba-tiba dia merasa sebelah tubuhnya bagian kanan menjadi lumpuh dan mati sehingga tak terasa lagi tongkatnya terlepas dari pegangan dan jatuh ke atas lantai. Ternyata jalan darah Ta-sen-hiat sudah tertotok oleh ujung bambu runcing Ma Hoa. Gadis itu pun menahan sepasang senjatanya dan memandang sambil mengeluarkan senyuman.
Wai Sauw Pu pendeta bersorban itu segera melompat dan seketika dia mengeluarkan tangan menepuk pundak dan mengurut punggung Giok Im Cu, tosu itu pulih kembali jalan darahnya. Giok Im Cu menjura kepada Ma Hoa dan bertanya,
“Nona, apakah hubunganmu dengan Hok Peng Taisu?”
“Ada perlu apakah kau menanyakan Suhu-ku?”
“Ohh... jadi kau murid Hok Peng Taisu? Pantas... pantas….” dengan kecewa sekali Giok Im Cu mengundurkan diri.
Dia tadi merasa penasaran dan malu sekali karena dikalahkan sedemikian macam oleh seorang gadis muda yang tidak terkenal. Bagi seorang jagoan, jauh lebih baik dikalahkan sampai tewas dalam pertandingan dari pada dikalahkan secara demikian, yaitu tertotok sampai tak berdaya yang hampir sama dengan penghinaan namanya.
Akan tetapi setelah dia mendengar bahwa gadis itu adalah murid Hok Peng Taisu, rasa penasarannya sebagian besar lenyap. Ia telah menyaksikan kepandaian Hok Peng Taisu dan maklum bahwa ilmu kepandaian mainkan bambu runcing itu adalah semacam ilmu yang tak akan dapat dilawannya, biar pun ia akan melatih diri sepuluh tahun lagi!
Dengan gembira sekali, juga disertai kebanggaan hati, Yousuf lalu menghampiri Ma Hoa dan berkata, “Anak nakal, kelak kau harus menceritakan kepadaku dari mana kau bisa mendapatkan ilmu silat yang luar biasa itu!”
Melihat betapa sudah dua kali pihaknya mengalami kekalahan, Sahimba gelisah sekali dan hendak minta kepada Siok Kwat Mo-li yang dianggapnya paling lihai di antara semua pembantunya untuk menebus kekalahan. Akan tetapi, Wai Sauw Pu yang merasa amat penasaran dan marah, telah mendahului dan kini pendeta bersorban yang tinggi besar itu telah berdiri sambil bersedakap dan menantang.
“Dia yang mempunyai kepandaian boleh maju!”
Pendeta dari Sin-kiang ini selain bertubuh tinggi besar, juga sepasang matanya tajam dan berpengaruh sekali. Ia memang sudah mempelajari banyak ilmu kepandaian yang tinggi, diantaranya ia mempelajari pula hoat-sut (ilmu sihir) yang datang dari barat. Pernah ia menghadapi Ang I Niocu dan tahu bahwa dalam hal ilmu silat, belum tentu ia akan dapat menangkan rombongan lawan yang biar pun masih muda-muda akan tetapi memiliki ilmu silat tinggi, maka kini ia mengambil keputusan untuk melawannya dengan ilmu silat yang dipengaruhi sihir! Oleh karena itu, ia memasang kuda-kuda dengan berpangku tangan seperti orang hendak bertapa berdiri!
Ketika Ang I Niocu hendak maju, tiba-tiba Ibrahim berseru, “Ang I Niocu, tahan dulu, yang besar ini adalah bagianku!”
Dengan langkah yang sembarangan bagai orang lelah atau malas, Ibrahim menghampiri Wai Sauw Pu yang memandangnya dengan muka memperlihatkan kegelian hatinya. Si Pendeta Tinggi Besar itu tertawa ketika ia berkata,
“Aku tadi mendengar bahwa kau diperkenalkan sebagai guru dari Yousuf, apakah engkau orang tua yang sudah tinggal menanti saat terakhir ini juga hendak meniru kedunguan muridmu dan mencampuri urusan orang lain?”
“Wai Sauw Pu, sebagai seorang yang mempelajari kebatinan, agaknya kau sudah lupa akan dua perkara. Pertama, bahwa jalan yang ditunjuk Tuhan bagi manusia adalah jalan kebenaran yang berdasarkan amal kebaikan dan bahwa mereka yang berjalan di atas ini saja akan mendapat berkah abadi. Ke dua, bahwa akhir kehidupan tidak tergantung dari pada usia tua, bila mana saja Tuhan menghendaki, setiap manusia, tua mau pun muda, akan berakhir hidupnya! Akan tetapi kau sudah melanggar syarat pertama dan tidak mau berjalan di atas jalan kebenaran, bahkan kau membiarkan hatimu ditunggangi oleh nafsu keduniaan dan menjadi silau oleh sinar emas yang sebenarnya tak ada bedanya dengan tanah lempung biasa! Pula, kau telah mengingkari kekuasaan Tuhan yang berkuasa atas nyawa tiap manusia dengan mengatakan bahwa saat terakhir bagiku sudah dekat, karena menurut pandanganku yang bodoh bila kau tidak lekas-lekas mengubah dan menginsyafi kesesatanmu, agaknya kaulah yang akan mendahului aku masuk ke dalam neraka!”
Tadinya Wai Sauw Pu sengaja mengucapkan omongan menghina itu untuk memancing kemarahan dalam hati kakek tua itu, akan tetapi tidak tahunya sekarang dia sendiri yang menjadi marah mendengar petuah ini! Ia hendak membikin lawan yang akan dihadapinya marah karena ia maklum bahwa kemarahan akan melemahkan batin orang agar mudah dipengaruhi oleh ilmu sihirnya. Ia tidak tahu bahwa ia berhadapan dengan Ibrahim, tokoh tua yang dihormati orang di Turki oleh karena selain pandai ilmu silat dan pengobatan, kakek ini terkenal sebagai seorang ahli kebatinan berilmu tinggi!
“Kalau begitu, hendak kita lihat bersama saja, siapa yang akan mampus terlebih dahulu!” teriak Wai Sauw Pu sambil mengeluarkan senjatanya yang luar biasa, yaitu seikat tasbeh dari gading.
Ang I Niocu, Ma Hoa dan Kwee An pernah merasakan kelihaian Wai Sauw Pu ini, maka mereka memandang dengan penuh kekuatiran. Apakah kakek rambut putih yang terlihat lemah itu dapat menghadapi pendeta tinggi besar itu? Hanya Yousuf seorang yang masih tenang karena dia percaya penuh akan kelihaian gurunya.
Gerakan tasbeh gading di tangan Wai Sauw Pu sekali ini agak berbeda dengan gerakan biasanya, karena kini ia bersilat dengan ilmu sihir sehingga dari sambaran gadingnya itu seakan-akan keluar hawa yang berpengaruh melemahkan semangat lawan dan membuat hati menjadi gentar.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara halus dari Ibrahim dan kakek rambut putih ini pun lalu menarik keluar satu ikat tasbeh kecil yang terbuat dari pada batu-batu kemala putih! Tasbeh ini kecil saja dan digerakkan dengan lambat dan perlahan, akan tetapi aneh, tiap kali tasbeh gading dari Wai Sauw Pu menyambar dan bertemu dengan tasbeh kecil itu, senjata pendeta bersorban itu terpukul dan balik menyambar ke arah muka atau tubuh pemegangnya sendiri!
Wai Sauw Pu terkejut sekali karena dia baru maklum bahwa kakek itu ternyata memiliki ilmu batin yang kuat sehingga ilmu sihir yang dia kerahkan dalam serangan tasbehnya ternyata sudah dikembalikan dan membahayakan dirinya sendiri! Ia cepat menghentikan ilmu sihirnya dan kini menyerang dengan menggunakan seluruh tenaga dan kepandaian silatnya!
Ia bertindak benar. Kalau saja ia melanjutkan serangannya mengandalkan ilmu sihir, dia pasti akan menderita celaka karena di dalam hal ilmu sihir, gurunya sendiri belum tentu akan dapat mengatasi kekuatan Ibrahim! Akan tetapi dalam hal ilmu silat, ternyata bahwa keadaan mereka seimbang.
Ibrahim yang sudah tua itu harus mengerahkan semua kepandaiannya untuk menghadapi lawan yang benar-benar tangguh ini! Kalau saja dia mau, Ibrahim dengan mudah dapat menggunakan kekuatan batinnya untuk merobohkan Wai Sauw Pu tanpa mengeluarkan tenaga tubuh, akan tetapi ia tidak mau melakukan hal ini.
Bila lawannya menggunakan ilmu hitam barulah ia akan menjaga diri dan mengembalikan segala serangan itu. Akan tetapi, oleh karena Wai Sauw Pu kini hanya mengandalkan kepandaian silatnya, Ibrahim yang tidak mau bermain curang itu pun lalu mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk melawan.
Biar pun ilmu silat mereka seimbang, akan tetapi Ibrahim kalah tenaga dan kalah ganas, biar pun ia masih unggul dalam hal ketenangan dan pengalaman. Oleh karena itu, kedua orang itu bertempur dengan ramai sekali, sukar diduga siapa yang akan mendapatkan kemenangan terakhir.
Ang I Niocu, Ma Hoa, Kwee An, dan Nelayan Cengeng menjadi gelisah juga dan merasa kasihan melihat betapa Ibrahim yang sudah tua sekali itu terpaksa bertempur mati-matian menghadapi Wai Sauw Pu yang mempunyai gerakan ganas dan kuat. Akhirnya Nelayan Cengeng tak dapat menahan hatinya lagi dan dengan keras ia berkata,
“Ha-ha-ha-ha! Alangkah lucunya! Seorang tinggi besar dan kuat seperti itu tidak berdaya menghadapi seorang kakek tua renta. Hanya tasbehnya saja gede-gede, segede obrolan dan kesombongannya. Ha-ha-ha. Lihatlah, aku berani bertaruh apa saja, dalam sepuluh jurus lagi ia tentu akan roboh bertekuk lutut!”
Bukan main marahnya Wai Sauw Pu mendengar ejekan ini, karena dia pun tadi sudah merasa penasaran dan panas perut karena kakek rambut putih itu ternyata sukar sekali dijatuhkan. Kini ditambah lagi dengan sindiran Nelayan Cengeng, ia tidak dapat menahan marahnya lagi dan sekali dia berseru, tangan kirinya telah mengayun senjata rahasianya yang lihai sekali, yaitu golok-golok kecil yang disebut Hui-to (Golok Terbang).
Hui-to yang jumlahnya tiga buah itu langsung meluncur cepat ke arah Ibrahim. Hui-to ini selain harus menggunakan tenaga lweekang untuk menyambitkannya, juga disertai ilmu sihir sehingga golok itu seakan-akan hidup dan menyambar bagaikan sedang digerakkan oleh tangan-tangan yang tidak kelihatan.
Ibrahim tertawa bergelak dan berkata, “Wai Sauw Pu, mengapa kau menyerang dirimu sendiri dengan hui-to?”
Dan aneh, sesudah kakek itu mengeluarkan ucapan ini disertai gerakan tangan kirinya, tiga batang golok yang meluncur ke arahnya itu tiba-tiba saja membelok dan membuat gerakan kembali serta menyerang ke arah Wai Sauw Pu sendiri.
Bukan main terkejutnya pendeta bersorban itu ketika melihat betapa tiga batang hui-tonya menyerang dia dan tak dapat dikendalikan oleh kekuatan sihirnya lagi. Maka cepat-cepat dia mengebut dengan tasbehnya ke arah tiga batang golok itu sambil membentak.
“Runtuh!”
Benar saja, ketiga batang golok itu runtuh ke bawah, akan tetapi yang sebatang masih menghantam kakinya sehingga kakinya pun terluka oleh ujung golok.
Tepat pada saat itu, di luar terdengar sorak sorai hebat dan Sahimba dengan senyum menyeringai lalu berseru,
“Yousuf, tibalah saatnya kalian binasa di ujung senjata!”
Sambil berkata demikian, Sahimba lalu mencabut pedang dan menyerang Yousuf, diikuti oleh Siok Kwat Mo-li yang mencabut sabuk kuning emas dan mainkan sabuk itu dengan hebat. Lok Kun Tojin lalu mengeluarkan senjatanya yang lihai, yaitu sepasang roda yang diikat dengan tali. Juga ketiga orang tosu Kanglam Sam-lojin lalu menarik keluar senjata masing-masing dan maju menyerbu kepada Yousuf dan kawan-kawannya.
“Manusia-manusia curang!” Nelayan Cengeng berseru sambil memutar-mutar dayungnya yang hebat bagaikan seekor naga sungai mengamuk.
Ang I Niocu juga lalu mencabut pedang Cian-hong-kiam, Kwee An mencabut pedangnya Oei-hong-kiam yang bercahaya kuning, sedangkan Ma Hoa lantas menggerak-gerakkan sepasang bambu runcingnya!..
Selanjutnya baca
PENDEKAR BODOH : JILID-18