Si Bangau Merah Jilid 06


Siang itu cuaca cerah sekali di Bukit Naga. Matahari amat teriknya. Bahkan hutan di puncak bukit itu yang biasanya gelap karena rindangnya pohon-pohon besar yang telah puluhan tahun umurnya, kini nampak terang ditembusi cahaya matahari yang kuat. Di langit tidak ada mendung, hanya ada awan-awan putih berserakan di sana sini, tidak menghalangi kecerahan sinar matahari, bahkan menjadi hiasan langit yang indah.

Tepat pada tengah hari, nampaklah bayangan-bayangan orang berkelebat memasuki hutan itu. Hutan yang biasanya amat sepi itu tiba-tiba saja diramaikan oleh kunjungan orang-orang yang memiliki gerakan yang amat ringan dan cekatan.

Mula-mula nampak seorang tosu. Umurnya sekitar lima puluh tahun dengan sebatang pedang di punggung. Tosu tinggi kurus itu muncul dengan loncatan yang ringan, berada di atas lapangan rumput yang dikurung oleh pohon-pohon tinggi dan dia memandang ke sekeliling.

Pandang matanya yang tajam sudah melihat adanya beberapa sosok bayangan orang yang bergerak dengan cepat dan sekarang suasana nampak sunyi kembali. Bayangan-bayangan itu agaknya sudah menyelinap dan bersembunyi di balik pohon-pohon besar atau semak belukar.

Setelah memandang ke sekelilingnya, tosu ini tersenyum mengejek, dan ia pun berseru dengan suara lantang karena dia mengerahkan khikang-nya hingga suaranya langsung keluar dari perut dan terdengar melengking nyaring.

"Sejak kapan orang-orang Go-bi-pai menjadi pengecut? Sesudah orang yang diundang datang memenuhi tantangan, kenapa malah bersembunyi-sembunyi? Keluarlah, orang orang Go-bi-pai. Pinto (aku) dari Kun-lun-pai sudah datang memenuhi tantanganmu!"

Belum lagi lenyap gema suara itu, nampak sesosok tubuh melayang turun dari puncak sebuah pohon besar. Dengan ringan sekali tubuh itu berjungkir balik beberapa kali dan seorang kakek berusia enam puluh tahun berpakaian seperti seorang petani sederhana telah berdiri di depan tosu Kun-lun-pai itu. Tubuhnya tegap dan kaki tangannya kokoh kuat seperti biasa tubuh seorang petani yang biasa bekerja keras. Kulitnya juga coklat terbakar matahari.

"Siancai...!" Tosu Kun-lun-pai itu berseru, sedang matanya bersinar penuh kemarahan. "Kiranya Go-bi Nung-jin (Petani Gobi) yang muncul! Hemmm, engkau petani yang biasa berwatak jujur, katakan, sejak kapan Go-bi-pai memusuhi Kun-lun-pai dan mengirim tantangan? Pinto (aku) mewakili Kun-lun-pai untuk menyambut tantangan Go-bi-pai itu!"

"Ciang Tosu, apa artinya kata-katamu itu? Kami tidak pernah dan tidak akan memusuhi Kun-lun-pai. Kedatanganku ke sini pada saat ini bukan sebagai penantang, bahkan aku mewakili Go-bi-pai untuk menyambut tantangan Bu-tong-pai!" Kemudian kakek petani itu memandang ke sekelilingnya dan dengan lantang dia pun berteriak, "Di mana orang orang Bu-tong-pai yang telah berani mengirim tantangan kepada Go-bi-pai? Nah, aku datang mewakili Go-bi-pai untuk menerima tantangan itu!"

Tentu saja Ciang Tosu dari Kun-lun-pai merasa heran bukan main, akan tetapi sebelum ia dapat berkata sesuatu, nampak bayangan berkelebat keluar dari balik semak belukar dan di situ telah berdiri seorang laki-laki gagah perkasa yang berusia empat puluh tahun lebih.

Orang ini berpakaian bagai seorang pendekar dan di pinggangnya tergantung sebatang pedang. Tubuhnya tinggi kurus dan sikapnya gagah, matanya tajam memandang pada kakek petani yang tadi menantang Bu-tong-pai. Sikap orang ini hormat, mungkin karena dia merasa lebih muda. Dia lalu mengangkat kedua tangan di depan dada menghadapi kakek petani Go-bi Nung-jin.

"Go-bi Nung-jin adalah seorang pendekar Go-bi-pai yang amat gagah. Dan selama ini Bu-tong-pai selalu memandang hormat dan menganggap Go-bi-pai sebagai saudara. Kami tidak pernah menantang Go-bi-pai, bahkan saya datang ke sini sebagai wakil dari Bu-tong-pai untuk menghadapi tantangan yang kami terima dari Siauw-lim-pai! Kami tidak pernah menantang Go-bi-pai atau partai persilatan mana pun juga."

Setelah berkata demikian kepada Go-bi Nung-jin yang menjadi terheran-heran, wakil Bu-tong-pai itu pun sekarang memandang ke sekeliling lalu berseru dengan pengerahan khikang-nya.

"Orang-orang Siauw-lim-pai, dengarlah baik-baik! Kalian sudah menantang Bu-tong-pai dan inilah aku, Phoa Cin Su murid Bu-tong-pai mewakili partai kami untuk menerima tantangan kalian!"

Mendengar ucapan wakil Bu-tong-pai ini, Go-bi Nung-jin dan Ciang Tosu lantas saling pandang dengan heran. Dan pada saat itu terdengar suara halus namun terdengar jelas dan menggetarkan.

"Omitohud...! Agaknya dunia sudah akan kiamat! Apa yang terjadi sungguh aneh!" Dan muncullah seorang hwesio berusia lima puluhan tahun.

Phoa Cin Su murid Bu-tong-pai segera memberi hormat. "Kiranya Loan Hu Hwesio yang datang mewakili Siauw-lim-pai yang menantang Bu-tong-pai. Nah, saya yang mewakili Bu-tong-pai untuk menerima tantangan yang membuat kami merasa penasaran sekali itu!" Karena Phoa Cin Su agaknya sudah mengenal benar siapa hwesio Siauw-lim-pai ini, dia pun segera meloloskan pedangnya dari pinggang dan siap untuk bertanding!

Akan tetapi hwesio Siauw-lim-pai itu malah merangkap kedua tangan di depan dadanya. "Omitohud...! Phoa-sicu harap bersabar dulu. Ketahuilah bahwa Siauw-lim-pai selalu memandang Bu-tong-pai dengan hormat dan sebagai rekan, bagaimana Siauw-lim-pai dapat mengirim tantangan? Pinceng (aku) datang ini pun sebagai wakil Siauw-lim-pai yang menerima tantangan dari Kun-Lun-pai!"

Tentu saja wakil-wakil dari empat perkumpulan atau partai persilatan terbesar di seluruh negeri itu menjadi terheran-heran mendengar ini. Kun-lun-pai menerima tantangan dari Go-bi-pai, lalu Go-bi-pai menerima tantangan dari Bu-tong-pai, sedangkan Bu-tong-pai menerima tantangan dari Siauw-lim-pai dan kini Siauw-lim-pai menerima tantangan dari Kun-lun-pai Apa artinya semua ini?

"Siancai...!" Ciang Tosu berseru heran. "Bagaimana kami bisa menantang Siauw-lim-pai yang kami anggap sebagai sahabat dan juga sumber segala ilmu yang kami miliki? Itu tidak mungkin sama sekali!”
“Omitohud, demikian pula Siauw-lim-pai tak pernah menantang Bu-tong-pai," kata Loan Hu Hwesio dari Siauw-lim-pai.
"Saya juga berani memastikan bahwa Bu-tong-pai tidak pernah menantang Go-bi-pai," kata Phoa Cin Su.
"Dan Go-bi-pai juga tidak mungkin menantang Kun-lun-pai!" kata Go-bi Nung-jin.
"Omitohud..." Sekarang hwesio Siauw-lim-pai itu mengangkat kedua tangannya ke atas. "Harap Cu-wi bersabar dulu. Para suhu pimpinan di Siauw-lim-pai tidak mungkin keliru. Ketika mengutus pinceng turun gunung memenuhi tantangan itu, pinceng sendiri melihat surat tantangan yang ditandai dengan cap dari Kun-lun-pai."

Ciang Tosu dari Kun-lun-pai, Phoa Cin Su dari Bu-tong-pai, beserta Go-bi Nung-jin dari Go-bi-pai serempak menyatakan, bahwa mereka pun melihat keaslian surat tantangan yang diterima pimpinan masing-masing. Surat-surat tantangan itu pun memakai tanda cap dari partai yang menantang.

"Omitohud...! Kalau begitu, tentu ada pemalsuan. Ada pihak lain yang sengaja mengirim surat-surat tantangan itu untuk mengadu domba atau hendak mengacau keadaan. Kita harus waspada!"

Tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak. Suara ini bergema ke empat penjuru sehingga sukar diketahui dari mana asal suara itu. Empat orang wakil dari empat perkumpulan silat besar itu maklum bahwa ada orang pandai muncul, maka mereka pun sudah siap siaga.

Phoa Cin Su sudah mencabut pedang. Ciang Tosu juga sudah mencabut pedang dari punggungnya. Sedangkan Go-bi Nung-jin menyambar senjatanya yang istimewa, yaitu sebatang cangkul yang gagangnya lurus seperti toya, dan hwesio Siauw-lim-pai yang tidak pernah bersenjata itu siap dengan pengerahan sinkang dan setiap urat syarafnya menegang. Mereka adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, orang-orang yang memiliki tingkat kedua dari perguruan masing-masing.

"Ha-ha-ha-ha-ha...!" Suara ketawa yang bergema di empat penjuru itu disusul oleh kata-kata yang juga mengandung getaran kuat. "Kalian berempat bagaikan tikus-tikus yang terjepit!"

Tiba-tiba saja muncullah seorang kakek berusia enam puluhan tahun, bertubuh tinggi besar dan bermuka merah. Dia mengenakan jubah lebar yang berwarna merah pula. Pakaiannya seperti seorang pendeta, tapi rambutnya digelung rapi dan mengkilap bekas minyak, dan jepitan rambutnya merupakan perhiasan dari emas permata yang mahal. Akan tetapi di balik jubah merah itu nampak pula baju ketat sulaman benang perak yang gemerlapan.

Di antara empat orang tokoh partai-partai persilatan besar itu, hanya Loan Hu Hwesio yang mengenal orang ini. Hwesio ini menjura dengan sikap hormat kepada kakek tinggi besar bermuka merah itu.

"Ahhh, kiranya Lauw Enghiong (Orang Gagah she Lauw) yang datang. Tidak tahu apa alasannya maka engkau datang-datang memaki kami empat orang wakil partai-partai persilatan?"
"Huhh!" kakek tinggi besar itu mendengus dengan sikap mengejek. "Apa lagi kalian ini jika bukan tikus-tikus pengkhianat bangsa, atau anjing-anjing, penjilat penjajah Mancu?"

Phoa Cin Su, jago dari Bu-tong-pai itu menjadi merah mukanya karena marah. "Loan Hu Hwesio, siapakah orang yang sombong dan bermulut lancang ini?"

Hwesio Siauw-lim-pai itu belum menjawab, kakek tinggi besar itu sudah mendahuluinya. "Kalian wakil-wakil Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, dan Go-bi-pai. Ketahuilah bahwa kini kalian berhadapan dengan aku Lauw Kang Hui, wakil Ketua Thian-li-pang!"

Tiga orang itu terkejut. Tentu saja mereka sudah mendengar nama besar perkumpulan Thian-li-pang, sebuah perkumpulan orang-orang yang menamakan diri mereka patriot dan yang dengan gigih menentang pemerintah, yaitu penjajah Mancu dan memberontak di mana-mana untuk menjatuhkan pemerintah penjajah. Akan tetapi di antara para anak buah Thian-li-pang, banyak pula yang melakukan penyelewengan. Mereka melakukan kejahatan mengandalkan kekuatan mereka, mengganggu rakyat dengan perampokan dan pemerasan. Maka, dari empat buah perkumpulan persilatan besar itu, tentu sudah pernah murid-murid mereka bentrok dengan orang-orang Thian-li-pang yang melakukan kejahatan.

"Siancai, kalau begitu agaknya Thian-li-pang yang membuat undangan palsu kepada kami empat perguruan tinggi. Benarkah begitu?" kata Ciang Tosu dari Kun-lun-pai.

"Ha-ha-ha, memang tepat! Kami yang membuat undangan palsu. Empat perguruan silat seperti perkumpulan kalian itu hanyalah perkumpulan pengkhianat dan pengecut. Kalian tidak menentang penjajah, tidak mau bekerja sama dengan kami, bahkan menentang kami dan banyak sudah anak buah kami yang tewas di tangan kalian!"

"Hemmm, apa anehnya hal itu? Kami bukanlah perkumpulan pemberontak, kami tidak mempunyai urusan dengan pemberontakan. Kalau murid-murid kami menentang murid-murid Thian-li-pang, tentu bukan perkumpulan atau pemberontakannya yang ditentang, melainkan perbuatan jahat yang dilakukan oleh para murid Thian-li-pang. Kami adalah perkumpulan para pendekar yang menentang kejahatan, kapan saja, di mana saja dan dilakukan siapa saja!" kata Go-bi Nung-jin.

"Benar sekali itu!" kata Phoa Cin Su. "Murid-murid kami pernah menentang anggota Thian-li-pang, bukan karena mereka memberontak terhadap pemerintah, tetapi karena mereka itu merampok dan memeras rakyat jelata!"
"Ha-ha-ha, sudah berada di ambang maut, kalian masih berani bermulut besar! Kalian berempat bersiaplah untuk mampus dan kelak menjadi penyebab pertentangan antara perkumpulan kalian sendiri!"

Lauw Kang Hui tertawa dan pada saat itu muncullah seorang wanita cantik yang bukan lain adalah Ang-I Moli Tee Kui Cu dan dua orang suheng-nya dari Pek-lian-kauw, yaitu Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu. Munculnya tiga orang ini disusul munculnya belasan orang Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang yang mengepung tempat itu!

"Omitohud...!" kata Loan Hu Hwesio pada saat melihat orang-orang Pek-lian-kauw yang dapat dikenal dari gambar teratai putih di bagian dada mereka. "Kiranya Thian-li-pang bersekongkol pula dengan perkumpulan siluman jahat dan agama palsu Pek-lian-kauw!"
"Kepung! Bunuh mereka!" Lauw Kang Hui sudah memberi aba-aba.

Dia sendiri sudah mencabut sebatang golok besar dan menyerang Loan Hu Hwesio! Golok besar yang berat itu menyambar dengan cepat, berubah menjadi sinar perak yang amat kuat menyambar ke arah leher Loan Hu Hwesio.

Pendeta Siauw-lim-pai ini cepat mengelak dengan menundukkan muka dan menggeser kakinya sehingga tubuhnya mendoyong ke kanan dan dari jurusan ini, lengan kirinya meluncur dan dari jari tangannya menghantam ke arah lambung lawan. Lauw Kang Hui mengelebatkan goloknya menyambut hantaman ini sehingga terpaksa Loan Hu Hwesio menarik kembali lengannya yang diancam babatan golok, lalu kakinya yang menendang dengan cepat dan kuat ke arah perut lawan.

Hebat memang gerakan silat tangan kosong dari hwesio Siauw-lim-pai ini dan memang ilmu silat Siauw-lim-pai merupakan ilmu silat yang paling tua dan bahkan telah menjadi sumber dari pada ilmu-ilmu silat lainnya.

Tapi Lauw Kang Hui bukan seorang lemah. Dia juga sudah mempelajari banyak macam ilmu silat, di antaranya ilmu-ilmu silat Siauw-lim-pai sehingga ia bisa mengenal gerakan lawan, maka dia dapat menjaga diri dan membalas dengan dahsyat pula.

Terjadilah serang menyerang yang seru antara dua orang ini. Akan tetapi ada beberapa orang anggota Thian-li-pang yang membantu wakil ketua mereka sehingga hwesio dari Siauw-lim-pai ini dikeroyok dan terdesak hebat. Dia hanya bersenjatakan kaki tangan dibantu dua ujung lengan bajunya yang longgar dan panjang.

Ang-I Moli sudah menerjang Phoa Cin Su, jagoan Bu-tong-pai dengan pedangnya. Phoa Cin Su menyambut dengan pedang pula, maka kedua orang ini pun segera bertarung dengan seru. Seperti juga Lauw Kang Hui, wanita ini dibantu oleh lima orang anggota Thian-li-pang sehingga tentu saja Phoa Cin Su segera terdesak. Menghadapi Ang-I Moli seorang saja dia sudah menemukan tanding yang tidak ringan, apa lagi kini dikeroyok!

Ciang Tosu dikeroyok oleh Kwan Thian-cu yang menggunakan golok, bersama Kwan Thian-cu yang masih dibantu oleh lima orang anggota Pek-lian-kauw sehingga tosu dari Kun-lun-pai itu pun terdesak hebat. Sementara itu, Kui Thian-cu dan lima orang anggota Pek-lian-kauw lainnya telah mengepung dan mengeroyok Go-bi Nung-jin yang memakai senjata cangkul.

Memang Lauw Kang Hui yang mengirim surat tantangan kepada empat penguruan itu telah merencanakan siasatnya lebih dahulu sehingga kini empat orang itu terkurung dan dikeroyok sesuai yang telah direncanakan.
Setelah usaha Thian-li-pang untuk membunuh Kaisar gagal, juga usaha mereka untuk mengajak Siang Hong-houw bersekongkol membunuh Kaisar tidak berhasil pula bahkan mereka kehilangan Ciang Sun, tokoh Thian-li-pang yang tewas dalam usahanya untuk membunuh Kaisar, Thian-li-pang kemudian menggunakan siasat lain. Para pimpinannya berkumpul dan mengatur rencana.

Pertama, mereka mengadakan persekutuan dengan Pek-lian-kauw, agama sesat yang juga merupakan perkumpulan yang memberontak terhadap pemerintah. Kedua, mereka merencanakan siasat adu domba untuk mengacaukan dunia persilatan sehingga para pendekar dari empat perguruan silat yang besar akan saling bermusuhan dan tidak ada kesempatan lagi untuk menentang mereka dan membantu pemerintah kalau mereka melancarkan gerakan pemberontakan.

Demikianlah, surat tantangan kepada empat buah perkumpulan besar itu diatur dan kini para wakil empat perkumpulan itu dikepung dan dikeroyok, dipimpin oieh Lauw Kang Hui yang menjadi wakil Ketua Thian-li-pang.

Pek-lian-kauw diwakili oleh Ang-I Moli, Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu dengan sepuluh orang anggota Pek-lian-kauw lainnya untuk membantu gerakan menjebak para tokoh dari empat perkumpulan besar itu.

Seperti kita ketahui, Ang-I Moli dan dua orang suheng-nya itu melarikan diri dari kejaran Gangga Dewi yang dibantu Suma Ciang Bun. Ia menculik Yo Han dan membawa anak itu melarikan diri. Mereka berhasil lolos dari pengejaran dua orang sakti itu dan tiba di sarang Pek-lian-kauw yang kebetulan sekali sedang menerima para pimpinan Thian-li-pang untuk mengadakan persekutuan.

Ketika empat orang wakil pimpinan para perguruan besar itu dikeroyok, Ang-I Moli yang tidak pernah melepaskan Yo Han dari pengawasannya, menggantung anak itu di atas pohon!

Yo Han dapat melihat dan mendengar semua yang terjadi, akan tetapi biar pun hatinya merasa penasaran dan marah, dia tidak berdaya. Kaki tangannya terbelenggu dan dia digantung jungkir balik di cabang pohon yang tinggi itu! Dia hanya dapat menonton dan mendengarkan, dan hatinya seperti ditusuk-tusuk melihat betapa kejahatan mengganas tanpa dia dapat berbuat sesuatu.

Makin nampak olehnya betapa jahat orang-orang yang memiliki ilmu silat, dan betapa celaka orang-orang yang berada di pihak kebenaran apa bila mereka menjadi pendekar silat. Andai kata empat orang itu merupakan orang-orang biasa, petani-petani yang tidak pandai ilmu silat, tidak mungkin kini mereka dikeroyok oleh orang-orang yang baginya nampak seperti serigala-serigala yang haus darah itu!

Akhirnya terjadi apa yang dikhawatirkan Yo Han yang tidak berdaya itu. Mula-mula Loan Hu Hwesio yang roboh.

Seperti juga tiga orang tokoh lainnya, setelah dikeroyok selama lima puluh jurus yang dipertahankannya dengan mati-matian, Loan Hu Hwesio sudah menderita luka-luka. Pada suatu saat yang baik, dia berhasil memukulkan dua tangannya ke arah dada Lauw Kang Hui dengan pengerahan tenaga sekuatnya tanpa mempedulikan lagi perlindungan diri sendiri. Dia ingin mengadu nyawa dengan wakil Ketua Thian-li-pang itu. Pukulannya berhasil mengenai sasarannya dengan tepat sekali.

"Bukkkk...!"

Kedua telapak tangan itu mengenai dada yang bidang dari Lauw Kang Hui. Tetapi dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Loan Hu Hwesio ketika kedua telapak tangannya bertemu dengan benda yang keras dan kuat sekali. Ketika dua tangannya menghantam dada, Lauw Kang Hui sama sekali tidak mengelak bahkan membarengi dengan gerakan goloknya ke arah lambung lawan. Dan hanya sedetik setelah kedua tangan hwesio itu menghantam dada, ujung golok juga menyabet lambung dan merobek lambung perut Loan Hu Hwesio!

Lauw Kang Hui terhuyung ke belakang oleh pukulan itu, akan tetapi Loan Hu Hwesio terkulai roboh mandi darah! Wakil Ketua Thian-li-pang itu tidak terluka karena di balik jubah merahnya dia sudah menggunakan baju ketat dari sulaman benang perak yang membuat tubuhnya kebal!

"Jangan bunuh dulu!" bentak Lauw Kang Hui kepada para pembantunya yang tadinya hendak menghujankan senjata karena marah. Beberapa orang kawan mereka yang mengeroyok juga tadi dirobohkan hwesio yang lihai itu.

Robohnya Loan Hu Hwesio yang terluka parah disusul robohnya Ciang Tosu oleh Kwan Thian-cu dan teman-temannya. Ciang Tosu roboh dengan luka parah pada lehernya, membuat dia roboh pingsan dengan darah mengucur keluar dari luka itu. Phoa Cin Su juga roboh oleh tusukan pedang Ang-I Moli pada dadanya, sedangkan Go-bi Nung-jin yang tadi mengamuk dengan hebat, roboh pula oleh bacokan pedang Kui Thian-cu yang mengenai pinggangnya.

Seperti juga Lauw Kang Hui, tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu melarang anak buah mereka membunuh orang yang dikeroyok dan telah roboh terluka parah. Kemudian, Lauw Kang Hui memberi isyarat kepada tiga orang sekutunya. Mereka mengangguk.

Kwan Thian-cu lalu mengambil cangkul yang tadi dipergunakan Go-bi Nung-jin sebagai senjata dan dengan senjata ini dia lalu menghantam ke arah kepala Ciang Tosu, tokoh Kun-lun-pai yang sudah roboh tak berdaya ini. Tanpa dapat mengeluarkan keluhan lagi. Ciang Tosu yang dihantam cangkul itu tewas dengan kepala luka besar oleh cangkul.

Kini Kui Thian-cu mengambil pedang milik Phoa Cin Su dan dengan pedang itu dia pun menyerang kepala Go-bi Nung-jin. Tokoh dari Go-bi-pai ini pun langsung tewas seketika dengan kepala terluka hebat oleh pedang itu.

Lauw Kang Hui yang tadi merobohkan Loan Hu Hwesio mempergunakan pedang milik Ciang Tosu dari Kun-lun-pai tadi untuk membunuh bekas lawannya itu dengan melukai kepalanya pula. Kini tinggallah Poa Cin Su.

Karena mereka mengatur siasat agar empat orang saling bunuh sesuai dengan bunyi surat tantangan masing-masing, maka seharusnya Phoa Cin Su murid dari Bu-tong-pai terbunuh oleh murid Siauw-lim-pai yang mengirim surat tantangan. Akan tetapi Loan Hu Hwesio tidak pernah menggunakan senjata, maka Ang-I Moli merasa ragu-ragu bagai mana harus membunuh murid Bu-tong-pai itu.

"Mudah saja," kata Lauw Kang Hui sambil tersenyum. "Aku pernah mempelajari ilmu pukulan Kang-see-ciang (Tangan Pasir Baja) dari Siauw-lim-pai. Biarlah aku memukul dia dengan ilmu itu."

Lauw Kang Hui lalu menghampiri tubuh Phoa Cin Su yang sudah tergolek dan terluka parah tanpa mampu bangkit lagi itu. Dia lalu menggerak-gerakkan jari tangan kanannya sehingga terdengar bunyi berkerotokan, lalu dipukulkannya telapak tangan kanannya ke arah kepala Phoa Cin Su. Terdengar suara keras dan kepala itu pun menjadi retak, dan Phoa Cin Su tewas seketika. Ada tanda telapak tangan dengan sebagian jari-jarinya pada pipi dan pelipis yang terpukul!

Walau pun dia harus beberapa kali memejamkan mata karena merasa ngeri, Yo Han dapat melihat semua itu. Dia seorang anak yang cerdik, maka setelah melihat dan mendengar kesemuanya itu, dia pun mengerti apa yang menjadi siasat keji dari orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw. Diam-diam dia merasa penasaran bukan main.

Bahaya besar mengancam keamanan negeri, pikirnya. Tentu dua gerombolan penjahat yang bersekutu itu akan mengirimkan mayat-mayat itu sebagai bukti kepada perguruan masing-masing yang telah menerima surat tantangan, sehingga dengan demikian maka empat perguruan besar itu akan saling bermusuhan! Sungguh tipu muslihat yang amat jahat dan kejam.

Dia melihat betapa mereka membawa pergi mayat-mayat itu, akan tetapi dia tak dapat menahan kemarahannya.

"Ang-I Moli! Engkau sudah membiarkan dirimu terseret ke dalam perbuatan yang paling keji dan jahat yang pernah kulihat! Apakah engkau tidak takut akan akibat dari semua perbuatanmu itu? Tuhan pasti akan menghukummu, Ang-I Moli!"

Suara anak itu lantang sekali, mengejutkan Lauw Kang Hui yang tak pernah tahu bahwa Ang-I Moli datang membawa anak kecil yang kini digantung di pohon. Dia menoleh dan melihat anak yang tergantung dengan kepala di bawah itu. Dia pun terbelalak.....
"Moli, siapa dia?"

Ang-I Moli tersenyum. "Aihh, jangan perhatikan dia. Dia itu punyaku!”

Wanita ini lalu meloncat ke atas pohon, melepaskan ikatan tangan kaki Yo Han dan mengempit tubuh anak itu lalu membawanya meloncat turun.

Sementara itu, pada waktu Ang-I Moli sibuk menurunkan Yo Han tadi, Lauw Kang Hui mendengar dari dua orang tosu Pek-lian-kauw bahwa anak itu adalah seorang anak luar biasa dan Ang-I Moli hendak menghisap darah anak itu untuk memenuhi persyaratan melatih ilmu rahasianya. Lauw Kang Hui merasa tertarik sekali, maka ketika Ang-I Moli sudah menurunkan Yo Han, dia cepat menghampiri.

Kini Yo Han sudah diturunkan dan anak itu berdiri dengan gagah walau pun tubuhnya terasa nyeri semua dan kepalanya masih pening karena terlalu lama digantung terbalik. Lauw Kang Hui melihat sepasang mata yang begitu jernih akan tetapi juga tajam tanpa dibayangi takut sedikit pun.

“Anak baik, siapa namamu?” tanyanya
“Namaku Yo Han. Locianpwe (Orang Tua Gagah) adalah seorang yang berkedudukan tinggi, memiliki ilmu kepandaian yang tinggi pula, tetapi mengapa melakukan perbuatan yang demikian keji dan pengecut?”

Kembali Lauw Kang Hui terbelalak dan memandang penuh kagum. Bukan main anak ini! Begitu beraninya. Dan sinar mata itu demikian jernih. Suara itu demikian lembut.

“Moli, titipkan anak itu kepada kedua suheng-mu. Aku ingin bicara penting denganmu,” kata Lauw Kang Hui.
“Ada urusan apakah, Lauw Pangcu (Ketua Lauw)?” bertanya Moli setelah mereka pergi agak jauh agar percakapan mereka tidak didengarkan orang lain, terutama Yo Han. Biar pun dia wakil Ketua Thian-li-pang, namun dia selalu disebut Lauw Pangcu.
“Kuharap engkau suka berterus terang saja, Moli. Anak itu, Yo Han itu, untuk apakah kau tawan?”

Ang-I Moli tersenyum dan nampak deretan giginya yang putih. “Aih, itu urusan pribadiku, Lauw Pangcu. Kenapa sih engkau ingin sekali mengetahui urusan pribadi orang?” Dia tersenyum dan melirik manja.

“Katakan saja terus terang. Bukankah engkau hendak menghisap darahnya untuk dapat memenuhi persyaratan engkau mempelajari sebuah ilmu rahasia?”

Ang-I Moli terbelalak, lalu menoleh ke arah dua orang suheng-nya yang berdiri di sana sambil menjaga Yo Han.

“Hemmm, tentu dua orang lancang mulut itu yang membocorkannya kepadamu!”
“Apa salahnya, Moli? Kita bukan orang lain. Katakan saja terus terang.”
“Benar, Lauw Pangcu.”
“Kalau begitu, biarlah kutukar dengan seorang anak laki-laki lain untukmu. Yo Han itu berikan saja kepadaku!”

Ang-I Moli menatap tajam wajah wakil ketua itu dengan penuh selidik, lalu dengan alis berkerut ia berkata, “Hemmm, tentu saja aku keberatan, Lauw Pangcu. Anak itu sama harganya dengan dua belas orang perjaka remaja! Sayang dia masih terlalu kecil. Aku harus menanti satu dua tahun lagi...”

“Kalau begitu, biar kutukar dengan dua belas orang pemuda remaja yang tampan dan sehat! Dan akan kupilihkan mereka yang telah agak dewasa sehingga engkau tak perlu menanti sampai satu dua tahun lagi. Anak itu bertingkah aneh, tentu akan repot sekali menawannya selama satu dua tahun. Bagaimana?”

Tawaran ini menarik hati Moli. Memang dia sering kali merasa jengkel dengan Yo Han. Setelah melarikan anak ini selama kurang lebih tiga bulan, dia sampai bosan mencoba menjatuhkan anak ini ke dalam pelukannya. Berbagai macam cara sudah dia gunakan. Dengan sihir bantuan dua orang suheng-nya. Dengan ramuan obat dan racun. Dengan totokan. Dengan siksaan. Semua tidak ada gunanya.

Sihir dan racun agaknya tak mempengaruhi anak itu. Juga ancaman, siksaan dan bujuk rayu tidak mempan! Untuk mendapatkan darah anak itu melalui penghisapan darahnya melalui mulut begitu saja, selain ia merasa muak juga daya gunanya banyak berkurang. Ia membutuhkan hawa murni dari tubuh anak itu.

“Hemmm, usulmu menarik juga, Lauw Pangcu. Akan tetapi kalau aku sudah berterus terang, kuharap engkau juga suka berterus terang. Untuk apakah engkau menginginkan Yo Han?”

Lauw Kang Hui menghela napas panjang. “Engkau tahu siapa kini yang paling tinggi kedudukan atau tingkatnya di Thian-li-pang?”

“Tentu saja Ouw Pangcu, suheng-mu,” jawab Ang-I Moli tanpa ragu lagi. “Kalau bukan Sang Ketua yang paling tinggi tingkat dan kedudukannya, habis siapa lagi?”
“Bukan dia.”
“Ah, aku tahu. Tentu guru kalian, Locianpwe Ban-tok Mo-ko (Iblis Selaksa Racun)! Akan tetapi dia sudah tidak lagi mengurus Thian-li-pang, bukan?”
“Memang Suhu tidak lagi mengurus Thian-li-pang dan tingkatnya lebih tinggi dari pada suheng dan aku. Akan tetapi yang kumaksudkan bukan Suhu.”
“Wah, kalau begitu aku tidak tahu lagi.”
“Yang paling tinggi tingkatnya di antara kami di Thian-li-pang adalah Supek (Uwa Guru) Thian-te Tok-ong (Raja Racun Langit Bumi)!”
“Ahhh...? Tapi... bukankah beliau sudah... sudah tidak ada lagi?”
“Tidak ada di dunia ramai maksudmu. Akan tetapi beliau masih hidup. Dan Supek yang baru-baru ini memesan kepadaku bahwa kalau aku bertemu dengan seorang anak yang berbakat luar biasa, aku harus membawa anak itu menghadap Supek. Nah, ketika aku melihat Yo Han, aku tertarik dan siapa tahu, anak seperti itulah yang dicari Supek.”

“Lauw Pangcu, aku senang sekali dapat membantu Locianpwe Thian-te Tok-ong! Siapa tahu kelak beliau suka membantuku kembali sebagai imbalan jasaku.”
“Hemm, bantuan apakah yang kau kehendaki, Moli?”
“Ilmu rahasia yang akan kulatih merupakan ilmu yang mengandung hawa beracun. Aku hendak memohon bantuan Locianpwe Thian-te Tok-ong supaya mau membuatkan obat penawarnya.”
“Baik, akan kusampaikan kepada Supek kalau dia dapat menerima Yo Han, tentu dia akan suka membantu.”

Tepat seperti yang sudah diduga oleh Yo Han, mayat keempat orang tokoh perguruan-perguruan silat besar itu dikirim ke perguruan masing-masing. Hanya bedanya, bukan seluruh mayatnya yang dikirim, namun hanya kepalanya saja! Kepala-kepala itu diberi obat, dengan cara direndam sehingga tidak membusuk, lalu dimasukkan ke dalam guci besar dan ditutup rapat, kemudian dimasukkan dalam peti lalu dikirimkan ke perguruan masing-masing melalui piauw-kiok (kantor pengiriman barang).

Bisa dibayangkan betapa gemparnya para perguruan itu saat menerima kiriman kepala. Petugas piauw-kiok mengaku sesuai dengan pesanan pengirim peti itu. Pengirim peti ke Siauw-lim-si (Kuil Siauw-lim) mengatakan bahwa orang yang mengirim peti itu mengaku sebagai seorang murid Kun-Lun-pai. Petugas pemgirim peti untuk Kun-lun-pai mengaku disuruh seorang murid Go-bi-pai, dan petugas pengiriman peti untuk Go-bi-pai mengaku disuruh seorang murid Bu-tong-pai, serta petugas pengiriman peti untuk Bu-tong-pai mengaku disuruh seorang murid Siauw-lim-pai.

Tentu saja para murid perguruan-perguruan silat itu menjadi marah bukan main. Mula-mula para ketua masing-masing memang masih meragukan kebenaran keterangan para pengirim barang itu.

Ketika mereka menerima tantangan-tantangan itu, para ketua lalu mengirim murid-murid terpandai untuk memenuhi undangan di Bukit Naga, untuk membuktikan sendiri apakah benar ada tantangan seperti dalam surat yang telah mereka terima. Kini, murid-murid itu kembali hanya tinggal kepala saja dan pada saat mereka melakukan pemeriksaan, jelas bahwa murid-murid itu memang tewas oleh senjata lawan dari perguruan yang mengirim tantangan.

Biar pun sudah terjadi hal ini, tetap saja para pimpinan perguruan-perguruan itu masih belum yakin benar. Mereka adalah orang-orang sakti yang tahu benar bahwa perguruan yang mengirim tantangan adalah dari golongan bersih, para pendekar yang tidak pernah bermusuhan dengan mereka, bahkan bersahabat erat. Bagaimana tiba-tiba saja timbul tantangan, bahkan sekarang melakukan pembunuhan terhadap murid yang mereka utus untuk memenuhi undangan di Bukit Naga itu? Bagaimana pun juga, telah terbukti bahwa murid mereka tewas.

Biar pun para pimpinan masih ragu-ragu, namun para muridnya tak dapat menahan lagi kemarahan dan sakit hati mereka. Mulailah terjadi bentrokan-bentrokan di antara empat partai persilatan besar itu. Setiap kali terjadi pertemuan, maka murid-murid Kun-lun-pai menyerang murid-murid Go-bi-pai, Go-bi-pai akan menyerang Bu-tong-pai, Bu-tong-pai menyerang Siauw-lim-pai dan sebaliknya Siauw-lim-pai menyerang Kun-lun-pai.

Terjadi beberapa kali bentrokan yang mengakibatkan jatuhnya korban, baik yang terluka mau pun yang tewas. Dan sesudah terjadi bentrokan-bentrokan itu, mau tidak mau para pimpinan partai masing-masing ikut pula terseret. Dan mulailah terjadi pertentangan di antara empat partai persilatan besar itu, persis seperti apa yang diinginkan Thian-li-pang yang bersekongkol dengan Pek-lian-kauw…..
********************
Yo Han diserahkan kepada Lauw Kang Hui oleh Ang-I Moli. Sebagai gantinya, wanita iblis itu oleh Lauw Kang Hui disuguhi pemuda-pemuda remaja seperti yang dia janjikan. Remaja-remaja itu satu demi satu mati kehabisan darah dalam pelukan iblis betina itu.

Yo Han diajak ke pusat Thian-li-pang oleh Lauw Kang Hui. Ia diperlakukan dengan baik, bahkan Lauw Kang Hui terus membujuknya dan berusaha menyadarkan anak itu bahwa Thian-li-pang adalah perkumpulan para patriot yang hendak membebaskan bangsa dan tanah air dari tangan penjajah Mancu. Namun, semua itu percuma.

Yo Han tidak dapat melupakan peristiwa mengerikan yang dilihatnya di Bukit Naga dan bagaimana pun juga, dia tetap menganggap bahwa orang-orang Thian-li-pang bukanlah orang-orang baik. Penuh tipu muslihat dan kejam. Dia sudah banyak membaca tentang para pahlawan yang dengan setulusnya hati berjuang membela tanah air dan bangsa, tanpa pamrih untuk diri sendiri.

Akan tetapi, apa yang diperlihatkan orang-orang Thian-li-pang di Bukit Naga itu tak ada hubungannya sama sekali dengan perjuangan membebaskan bangsa dari cengkeraman penjajah! Bahkan Thian-li-pang telah mengadu domba antara perguruan-perguruan silat besar yang terdiri dari bangsa sendiri! Setiap orang pendekar pasti tidak setuju dengan tindakan Thian-li-pang itu.

Dan Thian-li-pang juga bersekutu dengan orang-orang seperti Ang-I Moli dan dua orang suheng-nya, tokoh-tokoh Pek-lian-kauw. Padahal, ia sendiri sudah membuktikan sendiri betapa jahatnya Ang-I Moli! Oleh karena itu, biar pun dia diperlakukan dengan baik oleh Lauw Kang Hui dan dibujuk dengan omongan manis, tetap saja dia tidak percaya pada perkumpulan ini.

Di dalam perkampungan Thian-li-pang Yo Han melihat bahwa perkumpulan itu nampak kuat, dengan perkampungan yang dikelilingi tembok tinggi dan tebal laksana benteng. Perkampungan di lereng bukit itu luas, di dalamnya terdapat banyak bangunan dan tidak kurang dari tiga ratus orang anak buah Thian-li-pang tinggal di situ. Mereka setiap hari latihan silat dan berbaris.

Ketika dia dihadapkan kepada Ketua Thian-li-pang, yaitu Ouw Pangcu (Ketua Ouw) atau Ouw Ban yang berusia enam puluh tahun, kakek itu memandang kepada Yo Han seperti orang menaksir seekor kuda yang akan dibelinya.

“Namamu Yo Han?” tanya Sang Ketua, suaranya parau dan besar.

Yo Han memandang kepada kakek tinggi kurus yang mukanya pucat kekuningan seperti orang berpenyakitan itu. Dia mengangguk. “Benar, namaku Yo Han.”
“Engkau mau menjadi murid Thian-li-pang?” tanya pula ketua itu.

Yo Han memandangnya dengan sinar mata tajam. Dengan tegas dia menggelengkan kepala, lalu menjawab. “Tidak! Aku tidak mau menjadi murid Thian-li-pang yang jahat, kejam dan pengecut!”

Ouw Ban membelalakkan matanya dan menoleh kepada Lauw Kang Hui. “Dan kau bilang anak ini luar biasa?”

Lauw Kang Hui tersenyum. “Suheng, bukankah sikapnya yang luar biasa pemberani ini menunjukkan keluar biasaannya?”

“Huh, kita lihat saja sampai di mana keluar biasaannya. Bocah sombong, cobalah kau sambut ini!”

Mendadak saja tangan kiri kakek itu bergerak menampar dengan cepat bukan main. Saking cepatnya, gerakan tangannya itu bahkan tidak nampak dan tahu-tahu telapak tangan itu telah mengenai tengkuk Yo Han.

“Plakk!”

Tubuh Yo Han yang duduk di kursi itu terjungkal dan anak itu roboh pingsan.

“Suheng! Kau membunuhnya?” tanya Cauw Kang Hui dengan kaget dan dia meloncat lalu berlutut memeriksa anak itu.
“Hemmm, kalau dia mati pun lebih baik dari pada engkau dimarahi Supek. Lihat, anak macam itu kau katakan luar biasa?” kata Ketua Thian-li-pang.

Lauw Kang Hui mendapat kenyataan bahwa Yo Han hanya pingsan saja, maka dia pun bangkit lagi berdiri dan memandang kepada kakak seperguruannya.

“Suheng, keluar biasaan anak ini bukan hanya pada sikapnya yang gagah berani, tabah dan dewasa, akan tetapi juga menurut keterangan Ang-I Moli, anak ini kebal terhadap racun dan tidak dapat dipengaruhi sihir.”
“Ha-ha-ha, apakah engkau tidak mengenal orang macam apa adanya Ang-I Moli, Sute? Engkau dikibuli saja! Masa anak semacam ini ditukar dengan dua belas orang pemuda remaja yang pilihan. Engkau sungguh bodoh, Sute.”
“Kurasa ia tidak berani mempermainkan aku, Suheng. Bagaimana pun juga, biarlah dia kubawa menghadap Supek, dan biarlah Supek saja yang menentukan apakah anak ini memenuhi syarat ataukah tidak.”
“Sute, agaknya engkau berusaha keras untuk menyenangkan hati Supek, ya? Engkau hendak menyuapnya supaya engkau memperoleh hadiah ilmu baru sehingga tingkat kepandaianmu akan melampaui aku?”

Lauw Kang Hui yang tadinya sudah duduk kini bangkit berdiri lagi sambil memandang kepada wajah suheng-nya dengan mata terbelalak. “Ehh? Kenapa engkau menyangka buruk seperti itu, Suheng? Suheng sendiri juga mendengar pesanan Supek itu, untuk mencarikan seorang anak yang luar biasa supaya Supek dapat menggemblengnya dan kelak akan makin memperkuat Thian-li-pang.”

“Kalau begitu, biar kucoba lagi dia! Apakah benar dia kebal racun!” Ketua Thian-li-pang itu mengambil sesuatu dari saku jubahnya.
“Suheng, jangan! Ang-tok-ting (Paku Beracun Merah) itu dapat membunuhnya!” berkata Lauw Kang Hui. “Lebih baik dicoba kekebalannya terhadap sihir saja.”

Lauw Kang Hui maklum bahwa suheng-nya itu merasa iri kalau sampai ada anak lain yang diterima menjadi murid Thian-te Tok-ong karena suheng-nya itu ingin sekali agar puteranya sendiri yang mewarisi ilmu-ilmu yang ampuh dari supek mereka. Akan tetapi supek mereka menganggap bahwa Ouw Cun Ki, putera suheng-nya yang berusia lima belas tahun itu tidak cukup berbakat.

Akan tetapi Ouw Ban yang memang berniat membunuh Yo Han sudah meluncurkan sebatang paku ke arah leher anak yang masih rebah di atas lantai itu. Sinar merah kecil menyambar sehingga Lauw Kang Hui menahan seruannya dan merasa putus harapan karena serangan itu tentu akan membunuh Yo Han.

Akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba saja Yo Han siuman dari pingsannya dan anak yang tadinya sama sekali tidak bergerak itu bangkit duduk dan gerakan yang tidak disengaja ini membuat sambaran paku tidak mengenai sasaran! Paku itu lewat dekat lehernya dan menancap ke lantai, bahkan amblas ke dalam dan tidak nampak lagi!

“Ehhhh...?” Ouw Ban terbelalak kaget, akan tetapi dia juga merasa penasaran sekali. Tangannya bergerak ke saku jubahnya lagi.
“Suheng, tidak cukupkah itu?” Lauw Kang Hui segera memegang lengan suheng-nya, mencegah suheng-nya menyerang lagi. “Tidak kau lihat betapa luar biasanya itu?”
“Huh, hanya kebetulan saja dia siuman!”
“Sama sekali tidak kebetulan. Nampaknya kebetulan akan tetapi justru yang kebetulan itulah yang luar biasa. Suheng, jangan ganggu dia. Kalau Supek menolaknya, barulah Suheng boleh lakukan apa saja terhadap dirinya.”
“Sute, aku masih penasaran!” kata Ouw Ban.
“Suheng, jangan!” cegah Lauw Kang Hui.

Suheng dan sute atau ketua dan wakilnya itu bersitegang dan pada saat itu terdengar suara batuk-batuk di belakang mereka. Dua orang itu mengenal suara ini dan cepat mereka membalik, lalu keduanya menjatuhkan diri berlutut.

“Suhu...! Sudah lama sekali Suhu tidak meninggalkan kamar...”

Karena Yo Han sudah siuman dan berdiri, dia memandang kepada kakek yang baru muncul. Seorang kakek yang usianya tentu sudah tujuh puluh tahun lebih. Rambutnya yang sudah berwarna kelabu itu digelung ke atas seperti rambut pendeta tosu. Yang menyolok pada wajahnya itu adalah sepasang alisnya yang amat tebal dan panjang. Pandang matanya sayu seperti orang mengantuk.

Mendengar dua orang ketua Thian-li-pang itu murid kakek ini, Yo Han maklum bahwa tentu kakek ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi!

“Hemm, Ouw Ban dan Lauw Kang Hui,” kata kakek itu sambil mengelus jenggotnya dan memandang kepada dua orang muridnya itu silih berganti. “Entah mengapa aku ingin sekali keluar kamar, akan tetapi begitu sampai di sini aku melihat kalian bertengkar dan bersitegang. Heran, kalau Thian-li-pang dipimpin oleh kalian berdua, lalu kalian saling bertengkar, apa akan jadinya dengan perkumpulan kita?” Suara kakek itu halus dan ramah, akan tetapi mengandung teguran keras.

“Maafkan, Suhu. Teecu berdua bukan bertengkar, hanya teecu ingin menguji kebenaran keterangan sute tentang anak ini.”
“Benar, Suhu. Sebetulnya tadi teecu hanya ingin mencegah suheng membunuh anak ini karena teecu hendak membawanya menghadap Supek, yang sudah memesan kepada teecu untuk mencarikan seorang anak luar biasa.”
“Anak luar biasa...?” Ban-tok Mo-ko, kakek itu, sekarang memandang Yo Han penuh perhatian. “Apanya yang luar biasa pada anak ini?”
“Itulah, Suhu. Teecu juga menganggap bahwa, anak ini tidak ada apa-apanya yang luar biasa. Sekali tampar saja dia tadi roboh pingsan. Akan tetapi Sute...”
“Suhu, Suheng tidak mau mengerti. Anak ini memang luar biasa. Dia kebal terhadap racun dan pengaruh sihir,” kata Lauw Kang Hui.
“Ehhh? Benarkah?” kata kakek itu dan kini sepasang mata yang sayu itu mengeluarkan sinar ketika dia mengamati wajah Yo Han.
“Teecu hendak menguji kekebalannya itu dengan paku merah, tapi Sute mencegahnya, maka tadi teecu berdua kelihatan seperti bertengkar, Suhu.”

Kakek itu menggerakkan tangan memberi isyarat kepada dua orang muridnya agar tidak bersuara, kemudian diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya. Sepasang mata yang biasanya sayu itu kini mencorong penuh wibawa seperti hendak menembus kepala Yo Han melalui sepasang mata anak itu, kemudian terdengar suaranya menggetar, lirih mendesis, dan jelas sekali.

“Anak baik, siapa namamu?”

Yo Han adalah anak yang sudah mengenal sopan santun. Sudah menjadi kebudayaan sejak jaman dulu untuk menghormati orang yang lebih tua, apa lagi orang setua kakek itu. Oleh karena pertanyaan kakek itu ramah dan halus, ia pun menjawab dengan sikap hormat.

“Nama saya Yo Han, Kek.”

Bagi orang yang sudah biasa mempergunakan kekuatan sihir, jawaban ini saja sudah menunjukkan bahwa korbannya telah masuk perangkap dan tentu akan mentaati segala perintah. Kakek itu memandang lebih tajam dan suaranya semakin berwibawa ketika dia berkata, dengan nada memerintah walau pun masih ramah dan halus.

“Yo Han, kuperintahkan padamu. Hayo cepat engkau berlutut dan menyembah padaku!”

Orang yang terkena pengaruh sihir yang amat kuat ini tentu di luar kehendaknya dan kesadarannya sendiri akan menjatuhkan diri berlutut dan menyembah. Namun betapa kaget dan herannya hati kakek tokoh besar Thian-lipang itu. Anak itu sama sekali tidak mentaati perintahnya, hanya tetap berdiri dan memandang padanya dengan sepasang matanya yang lebar dan jernih.

“Maafkan, Kek, kalau aku tidak dapat berlutut menyembah kepadamu. Engkau bukan guruku, bukan orang tuaku, bahkan bukan pula kakekku.”

Sekarang barulah Ouw Ban percaya akan keterangan sute-nya. Juga Ban-tok Mo-ko menggeleng kepalanya, tak habis heran. Apa kekuatan sihirnya telah punah dan kini dia telah menjadi lemah? Padahal, selama dia mengundurkan diri dari urusan perkumpulan dan berdiam di kamarnya, dia memperbanyak latihan semedhi sehingga sepatutnya kalau kekuatan sihirnya semakin bertambah.

“Lauw Kang Hui dan Ouw Ban, kalian bangkitlah dan pandang aku!”

Dua orang murid itu bangkit berdiri dan memandang kepada suhu mereka dengan patuh. Dan kini kakek itu berseru dengan nada memerintah.

“Lauw Kang Hui dan Ouw Ban, sekarang kalian duduklah di lantai dan menangis!”

Dalam keadaan wajar, walau pun yang memerintah itu suhu mereka sendiri, tentu dua orang itu tidak akan mau mentaati begitu saja. Mereka adalah ketua dan wakil ketua Thian-li-pang, tentu mereka tidak mau kalau disuruh menangis seperti anak kecil tanpa sebab, bahkan seperti orang gila saja. Akan tetapi karena mereka sudah dicengkeram pengaruh sihir yang amat kuat, begitu mendengar perintah Ban-tok Mo-ko, mereka lalu menjatuhkan diri di atas lantai dan keduanya menangis seperti dua orang anak kecil kehilangan barang mainan!

Tentu saja Yo Han yang tidak mengerti apa artinya itu semua, melihat dua orang kakek berusia enam puluh dan enam puluh lima tahun sekarang menangis mengguguk seperti anak-anak kecil tanpa sebab, menjadi terheran-heran dan juga penasaran kepada orang yang memerintah kedua orang ketua itu.

“Kek, sungguh tidak pantas sekali apa yang kau lakukan ini! Mengapa engkau menghina murid-murid sendiri seperti ini?” Yo Han berkata dengan nada menegur.

Ban-tok Mo-ko terkejut dan merasa heran bukan main. Dia menggerakkan tangannya ke arah dua orang muridnya dan berkata dengan suara tenang. “Kalian bangkitlah!”

Dua orang pimpinan Thian-li-pang itu bangkit dan mereka seperti baru bangun dari tidur, nampak bingung dan tidak tahu apa yang telah terjadi.

“Yo Han, katakan mengapa tidak pantas dan menghina?” tanya Ban-tok Mo-ko kepada anak itu.
“Mereka ini adalah ketua dan wakil ketua perkumpulan besar dan juga murid-muridmu sendiri. Akan tetapi mengapa engkau menyuruh mereka menangis seperti anak-anak kecil? Bukankah itu tidak pantas dan menghina namanya?”

Barulah dua orang pimpinan itu tahu bahwa tadi mereka digunakan oleh guru mereka untuk menguji kekuatan sihirnya dan ternyata ilmu sihir suhu mereka masih ampuh. Namun, tadi jelas bahwa ilmu sihir itu tidak mempan terhadap Yo Han! Ban-tok Mo-ko juga menyadari hal ini dan diam-diam dia merasa heran dan kagum bukan main.

“Kang Hui, sebaiknya ajak anak ini menghadap supek-mu. Biar dia yang menentukan!”

Mendengar ini, Lauw Kang Hui merasa gembira sekali. Memang benar seperti dugaan Ouw Ban tadi, dia mengharapkan hadiah dengan menyerahkan anak yang luar biasa ini kepada supek-nya, yaitu hadiah sebuah ilmu baru. Bukan karena dia ingin mengungguli suheng-nya, melainkan untuk kemajuannya sendiri.

“Mari Yo Han, kita menghadap supek!” katanya sambil menggandeng tangan anak itu dan menariknya pergi.

Karena tidak berdaya, meski hatinya menolak, namun Yo Han tidak dapat membantah dan dia pun hanya menurut saja. Anak ini memang memiliki bakat selalu mendekatkan diri kepada Tuhan. Imannya kuat karena sejak kecil dia ditinggal ayah ibunya dan Tuhan menjadi gantungan hidupnya, menjadi tumpuan harapannya dan ia selalu menyerahkan jiwa-raganya ke tangan Tuhan, penuh kepasrahan. Maka, menghadapi apa pun dia tidak merasa gentar karena di dasar hatinya terkandung keyakinan akan kekuasaan Tuhan, bahwa bila Tuhan menghendaki dia harus mati sekali pun, tidak ada kekuasaan lain yang akan mampu menghalanginya. Oleh karena dia telah pasrah dan menghadapi maut pun dia tidak gentar.

Lauw Kang Hui membawa Yo Han ke bagian sudut paling belakang dari perkampungan Thian-li-pang yang ternyata amat luas itu. Bagian belakang itu merupakan puncak bukit yang penuh dengan jurang dan goa. Di depan salah sebuah goa besar, Lauw Kang Hui berhenti sambil tetap memegang tangan Yo Han. Dia tahu akan keadaan luar biasa anak ini, maka dia tidak berani melepaskannya takut kalau-kalau anak itu akan mampu meloloskan diri.

Setelah tiba di depan goa, Lauw Kang Hui menghadap ke arah goa dan menarik tubuh Yo Han untuk bersama dia berlutut di atas tanah. Yo Han tidak mampu membantah karena tangannya ditarik ke bawah, maka ia pun ikut berlutut di sebelah Lauw Kang Hui walau pun ia tidak bermaksud untuk memberi hormat ke arah goa.

Maka ketika wakil ketua Thian-li-pang itu mengangkat-angkat kedua tangannya di depan dada, dia pun diam saja, hanya memandang penuh perhatian ke arah goa. Goa itu lebarnya ada sepuluh meter dan nampak terawat bersih seperti rumah saja. Ada pintu di kanan kiri, akan tetapi di bagian tengah terbuka dan nampak menghitam gelap.

“Supek yang mulia, teecu Lauw Kang Hui datang menghadap!” Tetapi suara itu hanya bergema di dalam goa dan tidak ada jawaban, juga tidak nampak gerakan apa pun.

Lauw Kang Hui menanti sejenak, maklum bahwa supek-nya memang tidak pernah mau diganggu dan tidak pernah mau berhubungan dengan dunia di luar goa kalau tidak ada keperluan yang teramat penting.

“Supek, teecu datang mengajak seorang anak luar biasa seperti yang pernah Supek pesan kepada teecu!”

Kembali hening sejenak. Mendadak terdengar suara angin dari dalam goa dan tiba-tiba saja tubuh Yo Han tersedot ke arah goa. Anak itu mencoba untuk mempertahankan diri, akan tetapi tubuhnya terguling-guling seperti bola saja menggelinding ke arah goa dan lenyap ditelan kegelapan goa.

Tak lama kemudian terdengar suara yang jenaka dibarengi tawa. “Heh-heh-heh, bagus sekali, Kang Hui. Engkau boleh pergi sekarang!”

“Maaf, Supek. Teecu mendapatkan anak ini dari Ang-I Moli, dan teecu sudah berjanji kepadanya untuk mohon bantuan Supek memberikan obat penawar dari hawa beracun pukulan yang sedang dilatihnya.”
“Heh-heh, Si Iblis Betina Cilik Ang-I Moli banyak tingkah! Pukulan apa yang sedang dia latih itu?”
“Katanya ilmu itu disebut Toat-beng Tok-hiat (Darah Beracun Pencabut Nyawa).”
“Wah-wah-wah, keji sekali! Untuk menguasai ilmu itu ia harus memperoleh hawa murni dan darah perjaka-perjaka remaja yang sehat!”
“Tadinya anak ini yang akan dia jadikan korban. Katanya mengorbankan seorang saja cukup karena anak ini lebih berharga dari pada dua belas orang remaja biasa.”
“Huh, iblis betina licik. Akan tetapi kalau sampai tiga hari anak ini masih di sini, berarti aku merasa cocok dengan dia dan boleh kau serahkan obat penawar itu kepadanya. Nah, sekarang pergilah!”
“Maaf, Supek. Kalau Supek berkenan dengan anak yang teecu bawa ke sini, teecu mohon sedikit petunjuk Supek agar supaya teecu mendapat kemajuan dalam ilmu silat teecu.”
“Heh-heh-heh-heh, engkau orang tamak! Tetapi kalau anak ini memang menyenangkan hati, kelak akan kuajarkan sebuah ilmu kepadamu.”
“Terima kasih, Supek. Terima kasih!” kata Lauw Kang Hui sambil memberi hormat lalu dia bergegas pergi sebelum kakek aneh itu membatalkan janjinya.

Sementara itu, Yo Han yang menggelinding seperti disedot tenaga yang amat kuat, kini tiba di dalam goa, masih terduduk di lantai goa di dekat sepasang kaki yang kurus dan telanjang karena celana pemilik kaki itu hanya sampai ke lutut. Kaki itu memakai sandal yang amat sederhana, hanya sepotong kulit tebal diikatkan pada kaki secara kasar, di masing-masing kaki.

Yo Han merasa penasaran dan juga marah sekali. Ia adalah seorang anak yang pernah menjadi murid suami isteri yang sakti, maka biar pun dia tidak pernah berlatih ilmu silat, namun pengetahuannya akan ilmu silat sudah cukup mendalam.

Dia tahu bahwa pemilik kaki ini telah mempergunakan semacam ilmu yang aneh untuk menariknya dari luar goa. Semacam sinkang (tenaga sakti) yang sudah demikian tinggi tingkatnya sehingga Si Pemilik tenaga itu dapat mempergunakan seenaknya saja dapat untuk menyedot seperti tadi! Dan dia pun tahu bahwa orang ini tentu lihai bukan main.

Akan tetapi dia sama sekali tidak takut, bahkan marah karena merasa dipermainkan. Dia hendak bangkit berdiri dan memprotes, akan tetapi sungguh aneh, dia tidak mampu bangkit berdiri!

Baru setelah Lauw Kang Hui pergi, kakek itu terkekeh dan tiba-tiba Yo Han merasa leher bajunya dicengkeram tangan yang kecil, lalu tubuhnya diangkat dan dia pun sudah dijinjing pergi memasuki goa itu yang ternyata di sebelah dalamnya amat luas, seperti sebuah rumah gedung saja dengan dua buah kamar dan berikut pula ruangan duduk, dapur dan kamar mandi lengkap! Juga di sebelah dalam goa itu tidak gelap seperti nampak dari luar karena selain bagian atasnya terdapat lobang sehingga sinar matahari dapat masuk. Juga goa itu menembus ke terowongan belakang dari mana datang pula sinar matahari. Belum lagi adanya lampu-lampu gantung.

Yo Han dibawa masuk ke dalam ruangan yang terang sekali dan dia lalu dilepas oleh tangan yang menjinjingnya. Ketika dia turun, dia membalik dan menghadapi orang yang membawanya ke dalam goa. Baru sekarang dia dapat melihat kakek itu dan diam-diam Yo Han terkejut.

Seorang kakek yang tua renta, ada delapan puluh tahun umurnya. Rambutnya putih seperti kapas, tinggal sedikit saja sehingga di bagian tengah kepalanya botak mengkilat. Tubuhnya kecil pendek. Pakaiannya sederhana seperti pakaian kanak-kanak, dengan celana setinggi lutut dan baju yang lengannya juga hanya sampai di sikunya. Kaki dan tangan yang menonjol keluar itu nampak kecil kurus bagaikan kaki tangan anak-anak. Wajah kakek itu pun kecil tetapi nampak ketuaannya karena keriput. Matanya tajam dan lincah, dan mulutnya selalu menyeringai, memperlihatkan mulut yang ompong tanpa gigi secuil pun!

Mereka saling pandang, berdiri berhadapan dan kakek itu hanya lebih tinggi sekepala saja dibandingkan Yo Han. Sampai lama mereka saling berpandangan dan diam-diam Yo Han merasa heran. Kakek ini sama sekali tidak mendatangkan kesan buruk atau jahat. Sinar mata yang tajam lincah itu nampak demikian lembut. Bahkan kakek ini jauh berbeda di bandingkan Ban-tok Mo-ko.

“Heh-heh-heh, aku dengar dari sini tadi bahwa namamu Yo Han?” tanya kakek itu, dan suaranya seperti suara anak-anak pula, demikian ringan dan belum pecah.

Yo Han kagum. Dari tempat ini, cukup jauh dari tempat dia tadi bicara dengan Ban-tok Mo-ko dan dua orang muridnya, kakek ini dapat mendengarkan!

“Benar, Locianpwe (orang Tua Pandai), namaku Yo Han,” jawabnya dan dia bersikap hormat karena maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang amat sakti.
“Heh-heh, dan engkau anak luar biasa?” tanya kakek itu pula.

Yo Han merasa kesal. Hanya itu saja yang dibicarakan orang! Tanpa diminta dia pun menghampiri sebuah dipan dan naik, kemudian duduk bersila di atas dipan itu, mulutnya cemberut.

“Orang-orang itu mengada-ada saja, Locianpwe. Aku bernama Yo Han. Yatim piatu, hidup sebatang kara saja di dunia ini, tidak bisa apa-apa, dan orang-orang mengatakan aku anak luar biasa, dan aku dijadikan rebutan! Sungguh aneh orang-orang tua di dunia ini, seperti orang gila saja. Aku ini manusia biasa, hanya ingin melanjutkan hidup wajar dan tentram, tidak senang diganggu dan tidak senang pula menggangu.”

Kakek itu terkekeh dan tiba-tiba Yo Han melihat hal yang aneh. Kakek itu tidak membuat gerakan meloncat atau berjalan, akan tetapi tahu-tahu tubuhnya melayang ke atas dipan dan kakek itu sudah pula duduk bersila di depan Yo Han. Akan tetapi anak itu sudah terlalu banyak melihat kehebatan ilmu kepandaian yang dipamerkan orang kepadanya sehingga dia tidak kelihatan heran, bahkan acuh saja.

“Heh-heh-heh, aku yakin Kang Hui tidak akan salah pilih. Dia biasanya cermat dan dia haus akan ilmu baru dariku. Yo Han, engkau diamlah, aku akan memeriksamu.”

Setelah berkata demikian, kakek itu menggerakkan tangannya dan dua tangan itu sudah memegang kepala Yo Han. Anak ini berniat hendak menolak, akan tetapi sungguh amat aneh. Dia tidak mampu bergerak!

Tahulah dia bahwa kakek yang katai ini telah mempergunakan semacam ilmu totok yang amat aneh yang membuat dia tidak mampu menggerakkan kaki tangannya, seperti menjadi lumpuh.

Thian-te Tok-ong, kakek tua renta itu, kini memijit-mijit kepala Yo Han dengan jari-jari tangannya, pijat sana, pijit sini, mengelus-elus bagian belakang kepala yang menonjol, mengukur dengan jari dan berulang-ulang dia mengeluarkan suara lidah seperti cecak berbunyi. “Ck-ck-ck-ck!”

Kemudian, kedua tangan itu meraba ke seluruh tubuh Yo Han, dari kepala leher, dada perut, kaki tangan sampai ke ujung jari kaki! Dan suara seperti bunyi cecak itu semakin sering. Lalu kakek itu menempelkan kedua telapak tangannya di atas dada Yo Han.

Anak itu merasa betapa ada hawa panas dari telapak tangan itu memasuki dadanya. Ia hanya pasrah saja, tidak menerima, tidak pula melawan. Dia merasa yakin sepenuhnya bahwa kalau Tuhan tidak menghendaki, orang yang seribu kali lebih sakti dari kakek ini takkan mampu mencelakainya, sebaliknya kalau sampai dia menderita celaka, apa dan siapa pun penyebabnya, hal itu hanya terjadi karena Tuhan memang menghendakinya. Keyakinan ini membuat hatinya tenteram karena untuk berusaha membela diri pun tidak ada gunanya karena kaki tangannya tidak dapat dia gerakkan.

Yo Han merasa betapa hawa panas dari tangan kakek itu memasuki tubuhnya seperti meraba-raba di bagian dalam tubuhnya, memasuki kepalanya, berputar-putaran, lalu ke dadanya, juga berputar-putar kemudian turun ke arah pusarnya.

Tiba-tiba, ketika hawa panas yang dapat bergerak-gerak itu memasuki rongga bawah pusarnya, hawa panas itu meluncur keluar dan kakek itu pun terlempar sampai ke atas lantai di bawah dipan! Kakek itu meloncat bangun, terbelalak memandang kepada Yo Han yang kini mendadak mampu bergerak lagi, dan kakek itu berseru dengan penuh takjub.

“Wah-wah-wah, apa ini? Apa-apaan ini? Sungguh mati, selama hidupku belum pernah aku melihat yang begini! Heiii, Yo Han! Pernahkah engkau belajar ilmu dan menjadi murid orang-orang pandai?”

Yo Han cemberut. “Locianpwe, aku tahu bahwa Locianpwe adalah seorang tua yang berilmu tinggi. Aku menghormatimu karena kepandaianmu dan karena ketuaanmu. Tapi apa yang kau lakukan terhadap aku yang muda? Meski pun aku pernah menjadi murid orang pandai, akan tetapi jika Locianpwe mengira bahwa aku pernah mempelajari ilmu silat atau ilmu kekerasan lain lagi, Locianpwe keliru. Aku tidak pernah belajar silat!”

“Tapi... tapi... dari pusat tenaga di bawah pusarmu terdapat tenaga yang amat dahsyat!”
“Aku tidak tahu, Locianpwe. Dan apakah anehnya hal itu? Yang menghidupkan manusia adalah kekuasaan Tuhan, dan siapa dapat mengukur kekuatan dari kekuasaan Tuhan? Kekuatan yang mampu menggerakkan bintang dan bulan, mampu menciptakan segala sesuatu di alam maya pada ini? Apa anehnya kalau hanya kekuatan secuil di dalam tubuhku ini?”
“Wahhh! Luar biasa! Memang engkau anak luar biasa. Engkaulah yang sudah lama kunanti, telah lama kurindukan! Engkaulah yang pantas menjadi muridku, engkau yang pantas menjadi orang yang kelak akan mengangkat tinggi-tinggi nama Thian-li-pang, yang akan membersihkan nama Thian-li-pang dan mengharumkan kembali namanya. Ha-ha-ha-heh-heh!”
“Locianpwe, aku pernah membaca pengalaman orang bijaksana jaman dahulu bahwa yang dirindukan itu akhirnya menjadi yang mengecewakan! Kalau yang dirindukan itu kesenangan, maka yang merindukan adalah nafsu pikiran dan di samping kesenangan tentu akan muncul kesusahan, di balik kepuasan bersembunyi kekecewaan. Menurut pengalaman para orang suci, hanya yang dirindukan jiwa sajalah yang berharga dan benar.”

Kakek itu terbelalak, lalu terkekeh. “Heh-heh-heh, kalau tidak melihat bahwa engkau ini seorang bocah, tentu aku mengira yang bicara ini seorang pendeta! Ha-ha-ha! Yo Han, apa itu yang dirindukan jiwa?”

“Apa yang dirindukan oleh setiap tetes air kalau bukan samudera, kembali ke asalnya dan bersatu dengan samudera? Apa yang dirindukan oleh bunga api jika bukan kepada api yang menjadi pusatnya? Demikianlah yang sudah kubaca. Hanya persatuan dengan sumber inilah yang akan membahagiakan hidup, Locianpwe, bukan segala kesenangan yang memuaskan nafsu. Apakah Locianpwe tidak rindu kepada Tuhan?”
“Kepada Tuhan?” kakek itu memandang heran.
“Tentu saja. Bukankah yang dimaksudkan dengan sumber itu adalah Tuhan Yang Maha Kuasa? Bukankah segala sesuatu datang dari padaNya dan sudah sepatutnya kembali kepadaNya?”
“Wah-wah-wah...! Engkau ini siapa sih?” katanya setengah berkelakar.

Akan tetapi Yo Han kini turun dari dipan itu, berdiri tegak dan dengan lantang berkata, “Aku ini seorang anak manusia seperti juga Locianpwe. Aku ini juga setetes air seperti Locianpwe, yang selalu merindukan samudera!”
“Hahhh?”

Kakek itu kini benar-benar tertegun dan termenung. Dia membayangkan tetes-tetes air yang datang dari samudera melalui hujan. Semua air itu berasal dari samudera, tetapi setelah terbawa awan dan diturunkan ke bumi sebagai tetes-tetes air, harus mengalami banyak penderitaan dan kesukaran masing-masing sebelum bisa kembali ke samudera, tempat asalnya atau sumbernya.

Dan lika-liku perjalanan tiap tetes air tidaklah sama. Ada yang dapat lancar kembali ke samudra, ada pula yang harus melalui pencomberan, lumpur dan kotoran. Akan tetapi, semua tetes air itu sesudah akhirnya kembali ke samudra, akan menjadi satu dengan samudra dan tidak ada lagi perbedaan di antara mereka.

“Yo Han, engkau memang bocah ajaib dan aku girang sekali bisa mendapatkan engkau sebagai muridku.”

Locianpwe ingin menjadi guruku, akan tetapi tidak pernah bertanya apakah aku suka menjadi muridmu.”

“Ehh? Hah? Manusia mana tidak suka manjadi murid Thian-te Tok-ong? Bahkan anak Kaisar pun akan suka sekali menjadi muridku!”
“Akan tetapi aku bukan anak Kaisar dan sebelum aku mengatakan suka atau tidak, aku ingin dulu mengetahui. Kalau Locianpwe menjadi guruku, Locianpwe akan mengajarkan apakah kepadaku?”
“Ha-ha-ha, apa saja yang kau ingin pelajari!”

Kakek ini memang cerdik sekali. Dia tahu bahwa seorang anak seperti Yo Han memiliki keteguhan hati dan tidak mengenal takut. Maka dia harus tahu dulu apa yang diinginkan dan tak diinginkan anak ini sebelum menjawab agar supaya dia tidak sampai bertumbuk keinginan dengan anak luar biasa ini.

“Segala macam ilmu baik untuk dipelajari dan aku suka mempelajarinya, Locianpwe, kecuali satu, yaitu ilmu silat. Aku tidak suka berlatih ilmu silat.”

Kalau tidak cerdik sekali, tentu Thian-te Tok-ong sudah terkejut mendengar ucapan itu. Dia ingin mengambil anak luar biasa menjadi muridnya untuk mewariskan seluruh ilmu silatnya dan mendidik murid itu menjadi calon pemimpin Thian-li-pang yang pandai dan yang akan mengangkat nama Thian-li-pang. Dan sekarang, anak yang dipilih itu terang-terangan mengatakan bahwa dia suka mempelajari ilmu apa saja kecuali ilmu silat!

“Heh-heh-heh, bagus! Engkau jujur sekali! Nah, tidak ada orang membenci sesuatu tanpa alasan tertentu. Kenapa engkau tidak suka berlatih ilmu silat, Yo Han?”
“Aku tidak membenci sesuatu, Locianpwe. Hanya aku tidak mau mempelajari ilmu silat karena aku melihat kenyataan betapa ilmu itu mengandung kekerasan, bersifat merusak dan hanya mendatangkan permusuhan dan pertentangan saja dalam kehidupan ini.”
“Heh-heh-heh, cocok! Cocok dengan aku, Yo Han. Tidak, aku tidak mengajarkan ilmu silat kepadamu, hanya akan mengajarkan ilmu tari dan senam olah raga untuk membuat tubuhmu sehat. Bagaimana?”

Yo Han mengamati wajah yang kecil itu. “Tidak akan mengajarkan cara memukul dan menendang orang, apa lagi cara membunuh?”

“Ho-ho-ho, sama sekali tidak! Memangnya kau pikir aku ingin melihat engkau menjadi algojo? Aku suka padamu, maka aku ingin melihat engkau sehat lahir batin dan pandai menari indah!”

Yo Han tersenyum. “Baiklah, kalau begitu aku suka menjadi muridmu.” Dan anak ini lalu menjatuhkan diri berlutut. “Aku akan belajar dengan rajin, Suhu, dan akan melayani Suhu di sini.”

“Ha-ha-ha-ha, bagus, bagus, muridku. Yo Han, hari ini merupakan hari paling bahagia untukku!”

Mulai hari itu, Yo Han tinggal di dalam goa bersama gurunya. Ternyata untuk mereka sudah dikirim makanan dari luar sehingga Yo Han tidak perlu lagi mencarikan makanan untuk gurunya. Dan mulailah Thian-te Tok-ong mengajarkan ‘tari’ dan ‘senam’ kepada Yo Han.

Memang kakek ini pandai sekali. Ilmu silat memang mengandung tiga buah unsur, yaitu pertama tentu saja ilmu bela diri, ke dua ilmu tari dan ke tiga ilmu senam kesehatan, kesehatan lahir batin.

Dia mengajarkan kepada Yo Han gerakan semua binatang yang ada di dunia ini yang dinamakannya Tarian Harimau, Tarian Naga, Tarian Burung, Tarian Monyet, Tarian Ular dan sebagainya. Padahal, dalam gerak tari ini terkandung ilmu silat yang dahsyat.

Yo Han tekun melatih diri dengan ‘tari-tarian’ itu, dan tanpa disadarinya sendiri dia telah menggembleng diri dengan ilmu silat yang tinggi. Dan dalam latihan ini, otomatis ilmu-ilmu silat yang pernah dia pelajari secara teoritis tanpa disengaja keluar dan terkandung dalam gerak ‘tariannya’.

Kurang lebih seminggu setelah dia berada di dalam goa itu, pada suatu malam Yo Han dikejutkan oleh suara yang menyayat jantung, suara mengerikan yang merupakan semacam lolong atau lengking memanjang. Bukan lolong anjing, dan tidak mirip suara manusia, namun dalam lengking itu terkandung semua perasaan duka dan derita yang amat hebat! Seperti tangis bukan tangis, seperti tawa bukan tawa, namun dia yang tidak pernah merasa takut itu sempat terbelalak dan merasa betapa tengkuknya dingin sekali.

Dia segera lari ke kamar Thian-te Tok-ong yang sedang bersemedhi, menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.

“Suhu, suara apakah yang terdengar dari arah belakang itu?” tanyanya kepada kakek itu yang sudah membuka matanya ketika dia berlutut,
“Heh-heh, engkau mendengar juga, Yo Han? Jangan pedulikan. Suara itu sudah sejak lima tahun ini kadang terdengar keluar dari dalam sumur bawah tanah di ujung belakang terowongan ini.”
“Tapi... suara apakah itu, Suhu?”

Thian-te Tok-ong menghela napas panjang. “Kelak engkau akan dapat mengetahuinya sendiri. Agar engkau tidak menjadi penasaran, baik engkau ketahui saja bahwa sumur itu merupakan tempat hukuman bagi seorang manusia iblis yang amat berbahaya. Dan mulai sekarang, setiap hari dua kali biar engkau mewakili aku menurunkan makanan ke bawah sana. Tiap kita mendapat kiriman makanan dan minuman, tentu ada sebungkus untuk dia dan biasanya kulemparkan saja ke dalam sumur.”

“Tapi, siapa dia, Suhu? Dan siapa pula yang menghukumnya? Dan mengapa pula dia dihukum?”
“Panjang ceritanya dan engkau tidak perlu tahu. Yang penting kau ketahui, orang itu seperti iblis atau seperti gila, dengan kepandaian yang dahsyat dan tidak seorang pun mampu menandinginya. Orang lain tidak mungkin dapat menuruni sumur itu, dan andai kata ada yang dapat turun pun tentu akan mati konyol oleh manusia iblis itu. Sudahlah, itu bukan urusanmu, tidak perlu engkau mencampuri. Merupakan urusan rahasia dan pribadi dari Thian-li-pang. Mengerti?”

Yo Han mengangguk kemudian menunduk. Hatinya penuh perasaan iba kepada orang hukuman yang disebut manusia Iblis itu. Akan tetapi suara itu sudah lenyap lagi dan sejak hari itu, dialah yang setiap hari dua kali mengirim sebungkus makanan ke sumur itu.....

Sumur itu kecil saja, bergaris tengah satu meter, akan tetapi sangat dalam. Ketika dia mencoba untuk menjenguk ke dalam, yang nampak hanyalah kehitaman belaka, hitam pekat dan gelap sekali. Pernah dia mencoba untuk memanggil-manggil dengan sebutan ‘locianpwe’ beberapa kali, namun selalu tidak ada jawaban.

Menurut pesan Thian-te Tok-ong, seharusnya dia melemparkan begitu saja bungkusan makanan ke dalam sumur. Karena merasa kasihan dan tidak ingin makanan itu rusak kalau jatuh ke dasar sumur, pernah Yo Han mengikatnya dengan tali dan mengereknya turun. Akan tetapi belum juga dua meter tali yang ujungnya mengikat buntalan itu turun, tiba-tiba tali itu putus dan makanan itu pun jatuh ke bawah seperti kalau dia lemparkan!

Terdorong oleh rasa iba kepada orang hukuman itu, pernah Yo Han mencoba untuk mengukur dalamnya sumur, menggunakan tali panjang. Akan tetapi seperti juga ketika mencoba mengerek bungkusan makanan ke bawah, tiba-tiba tali itu putus tanpa sebab! Dia pun dapat menduga bahwa siapa pun orangnya yang berada di bawah, gila atau tidak, manusia atau iblis, tentu memiliki ilmu yang hebat sehingga entah dengan cara apa, tali yang diturunkan tentu akan putus seperti digunting!

Karena tidak mungkin baginya untuk turun ke dasar sumur, juga kini tidak pernah lagi ada suara mengerikan itu, akhirnya Yo Han menganggap hal itu biasa dan setiap hari mengirim makanan dengan melemparkannya ke sumur.

Yo Han mulai merasa senang di situ karena Thian-te Tok-ong memegang janjinya, yaitu mengajarkan ‘tari-tarian’ yang dianggapnya amat indah. Juga kakek itu mendatangkan banyak kitab dari luar sehingga di waktu senggang, Yo Han dapat memuaskan selera bacanya yang tidak kenal bosan. Segala macam kitab dilahapnya dan di dalam kitab ini dia berkenalan dengan para pahlawan dan para pendekar, juga riwayat partai-partai besar di dunia persilatan. Akan tetapi, gurunya tak pernah mengajaknya bicara tentang dunia persilatan, tidak pernah pula bicara tentang ilmu silat.....

********************
Selanjutnya baca
SI BANGAU MERAH : JILID-07
LihatTutupKomentar