Si Bangau Merah Jilid 07


Kita tinggalkan dulu Yo Han yang belajar ‘tari’ dan ‘senam’ kepada Thian-te Tok-ong, tokoh paling lihai dari Thian li-pang dan marilah kita melihat keadaan keluarga Tan Sin Hong yang ditinggalkan Yo Han.

Setelah ditinggal pergi Yo Han, setiap hari Sian Li menangis dan selalu menanyakan suheng-nya yang amat disayangnya itu. Anak berusia empat tahun itu sejak lahir selalu diasuh oleh Yo Han, selalu bermain-main dengan Yo Han sehingga ia menyayang Yo Han seperti kakaknya sendiri. Oleh karena itu, begitu Yo Han pergi meninggalkannya, siang malam ia rewel saja dan minta kepada ayah ibunya supaya mereka menyusul Yo Han. Bahkan di waktu tidur, sering kali Sian Li bermimpi dan mengigau memanggil-manggil nama Yo Han.

Tentu saja Tan Sin Hong dan Kao Hong Li merasa prihatin sekali. Mereka berdua pun amat sayang kepada Yo Han dan kepergian anak itu sungguh membuat mereka merasa kehilangan sekali. Akan tetapi, demi masa depan Sian Li, mereka terpaksa merelakan Yo Han pergi.

Yo Han bukan anak biasa. Hatinya teguh memegang pendiriannya yang tidak suka akan ilmu silat dan kalau hal ini sampai menular kepada Sian Li, sungguh akan membuat mereka berdua kecewa sekali. Bagaimana mungkin sebagai suami isteri pendekar, mereka mempunyai seorang anak yang tidak suka belajar silat dan menjadi seorang gadis yang lemah kelak?

Hidup memang diisi oleh dua keadaan yang berlawanan. Ada dua kekuatan yang saling berlawanan, akan tetapi juga saling mengadakan dan saling mendorong di dalam dunia ini. Justru adanya dua kekuatan inilah yang membuat kehidupan menjadi ada dan dapat membuat segala sesuatu berputar dan hidup. Ada terang ada gelap, ada panas ada dingin, ada senang ada susah. Ada yang satu tentu ada yang ke dua, yang menjadi kebalikannya.

Bagaimana mungkin ada yang disebut terang kalau tidak ada gelap. Setelah merasakan adanya gelap, baru terang dikenal, atau sebaliknya. Setelah orang mengalami senang, baru tahu artinya susah atau sebaliknya setelah mengalami susah baru mengenal arti senang. Dan segala sesuatu memiliki dwi-muka, dua sifat yang bertentangan.

Kita sudah terseret ke dalam lingkaran setan dari kedua unsur yang berlawanan ini sehingga kehidupan ini diombang-ambingkan antara yang satu dari yang lain. Padahal, semua keadaan itu hanyalah hasil dari pada perbandingan dan penilaian yang selalu berubah-ubah. Hari ini seseorang dapat menerima sesuatu dengan puas, tetapi lain hari sesuatu yang sama hanya mendatangan kekecewaan. Apa yang hari ini mendatangkan kesenangan, besok mungkin menimbulkan kesusahan.

Sebetulnya, susah dan senang hanyalah akibat dari pada penilaian kita sendiri. Hati dan akal pikiran kita sudah bergelimang nafsu daya rendah sehingga pikiran yang licik selalu membuat perhitungan. Semua hal yang menguntungkan kita berarti senang, sebaliknya yang merugikan kita berarti susah! Banyak sekali contohnya.

Kalau hujan turun selagi kita membutuhkan air, berarti hujan itu menyenangkan karena menguntungkan kita. Sebaliknya, jika hujan turun mengakibatkan banjir atau becek atau menghalangi kesenangan kita, maka hujan itu menyusahkan karena merugikan kita.

Demikian pula dengan segala peristiwa yang terjadi di dunia ini. Susah senang, susah senang, perasaan kita dipermainkan antara susah dan senang setiap hari, dipermainkan oleh ulah hati dan akal pikiran yang bergelimang nafsu daya rendah.

Kalau kita sedang bersenang-senang, kita lupa bahwa kesenangan itu hanya sementara saja, dan kesusahan telah siap menggantikannya setiap saat. Demikian sebaliknya, jika kita sedang bersusah-susah, kita merana dan merasa hidup ini sengsara, lupa bahwa kesusahan itu pun hanya sementara saja sifatnya, dan akan tertimbun kesenangan atau kesusahan lain yang datang silih berganti.

Orang yang bijaksana akan menerima segala sesuatu seperti apa adanya. Segala yang terjadi itu wajar karena segala yang terjadi itu adalah kenyataan yang tak dapat dirubah atau dibantah lagi. Orang bijaksana tidak akan menentang arus peristiwa yang datang, melainkan menyesuaikan diri dengan arus itu, mengembalikan semuanya pada Tuhan, kepada kekuasaan Tuhan karena kekuasaanNya itulah yang mengatur dan menentukan segalanya.

Hujan? Banjir? Bencana alam? Kehilangan? Keuntungan dan keberhasilan? Sakit dan mati? Semua itu dihadapi dengan penuh kesabaran dan penuh keikhlasan, berdasarkan kepasrahan, penyerahan kepada Tuhan! Orang yang sudah pasrah lahir batin, secara menyeluruh kepada Tuhan, tidak akan pernah lagi disentuh derita yang berlebihan, tidak akan mabok kesenangan.

Setelah lewat beberapa bulan, Sian Li menjadi kurus dan kurang bersemangat. Melihat keadaan anak mereka ini, Tan Sin Hong serta isterinya, Kao Hong Li, lalu mengambil keputusan untuk mengajak puteri mereka pergi pesiar supaya terhibur hatinya.

Mereka mengajak Sian Li pergi berkunjung ke kota raja Peking yang besar, megah dan indah. Seminggu lamanya mereka tinggal di kota raja, bermalam di salah sebuah rumah penginapan dan setiap hari ayah dan ibu itu mengajak puteri mereka untuk berpesiar mengunjungi tempat-tempat yang indah di kota raja.

Tentu saja Sian Li yang baru berusia empat tahun lebih itu menjadi gembira bukan main dan tak lama kemudian ia sudah melupakan sama sekali kesedihannya karena ditinggal pergi Yo Han!

Senang atau susah memang hanya permainan sementara waktu dari perasaan. Sang Waktu akan menelan habis semua kesusahan atau kesenangan sehingga tiada bersisa lagi. Atau perasaan lainnya akan muncul silih berganti sehingga perasaan yang timbul karena peristiwa lama itu akan tertimbun dan tidak nampak lagi, terganti oleh perasaan yang timbul karena peristiwa baru.

Sejak kita kanak-kanak kecil sampai dewasa, hati dan akal pikiran kita telah digelimangi nafsu yang selalu mencari kesenangan dalam hal-hal atau benda-benda yang baru. Kita selalu haus akan yang baru, karena yang baru selalu memiliki daya tarik yang besar, didorong oleh keinginan tahu. Jika yang didapatkan itu sudah lama, akan membosankan dan perhatian kita akan tertarik oleh hal lain yang baru.

Sejak kanak-kanak, kita mudah bosan dengan barang mainan lama, dan akan tertarik oleh barang mainan baru. Setelah kita dewasa, kita tetap tak berubah, tetap saja tertarik oleh barang mainan yang baru, walau pun bentuk barang permainan itu yang berbeda.

Permainan kita pada waktu masih kanak-kanak tentu saja barang-barang mainan, atau permainan dengan kawan-kawan. Sesudah kita dewasa permainan kita bukan boneka atau barang-barang mainan lain, melainkan permainan berupa harta benda, kedudukan, kekuasaan, dan pemuasan nafsu melalui panca-indrya. Meski pun demikian, tetap saja kita pembosan dan selalu haus akan hal yang baru. Itulah sifat nafsu! Selalu ingin yang baru, yang lebih!

Setelah berpesiar di kota raja, Sian Li sudah melupakan Yo Han dan sama sekali tidak pernah menangis lagi. Kegembiraannya semakin besar ketika dari kota raja ayah ibunya mengajaknya berkunjung ke kota Pao-teng di mana tinggal kakek dan neneknya, yaitu orang tua dari ibunya. Kakek-luarnya itu, Kao Cin Liong adalah putera Naga Sakti Gurun Pasir penghuni Istana Gurun Pasir, sedangkan nenek luarnya yang bernama Suma Hui adalah cucu dalam dari Pendekar Super Sakti penghuni Istana Pulau Es!

Suami isteri keturunan keluarga pendekar sakti itu kini tinggal di Pao-teng, berdagang rempah-rempah. Mereka sudah tua. Kao Cin Liong yang sudah berusia enam puluh tiga tahun sedangkan isterinya, Suma Hui, telah berusia lima puluh tiga tahun.

Semenjak puteri mereka yang menjadi anak tunggal, Kao Hong Li, menikah dengan Tan Sin Hong dan ikut suaminya tinggal di kota Ta-tung, suami isteri ini tentu saja merasa kesepian. Mereka hidup berdua saja bersama tiga orang yang membantu toko rempah-rempah yang juga membantu rumah tangga.

Namun, suami isteri pendekar itu hidup tenteram karena memang mereka sudah lama mengurung diri dan tak lagi mencampuri urusan dunia kang-ouw. Juga tak ada golongan sesat yang berani mengganggu mereka. Bukan saja karena suami isteri ini terkenal lihai sekali, juga karena Kao Cin Liong ketika mudanya pernah menjadi seorang panglima perang yang telah banyak jasanya.

Kini, suami isteri yang sudah mulai tua dan hidup berdua saja ini memiliki penghasilan yang berlebihan bagi mereka berdua. Mereka merupakan orang-orang dermawan yang suka menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Maka, seluruh penduduk kota Pao-teng merasa hormat dan segan kepada mereka.

Dapat dibayangkan betapa gembira rasa hati kakek Kao Cin Liong dan isterinya, nenek Suma Hui, ketika mereka menerima kunjungan puteri mereka bersama suaminya dan anaknya. Kakek dan nenek perkasa ini dulu pernah merana dan berduka sekali melihat keadaan puteri tunggal mereka, Kao Hong Li.

Dulu, sebelum menjadi isteri pendekar Tan Sin Hong, puteri mereka itu pernah menjadi isteri dari Thio Hui Kong, putera seorang jaksa di Pao-teng yang adil dan jujur. Juga Thio Hui Kong merupakan seorang pria yang tampan dan gagah, pandai ilmu silat dan sastra.

Namun sayang, karena pernikahan di antara mereka itu tidak ada cinta, terutama di pihak Kao Hong Li, pernikahan itu gagal. Hong Li tidak pernah mencintai suaminya dan bersikap hambar sehingga Thio Hui Kong yang merasa kecewa kemudian menghibur diri dengan pelesir dan judi. Akhirnya rumah tangga mereka tidak dapat dipertahankan lagi dan mereka bercerai!

Namun dasar sudah jodohnya. Hong Li kemudian bertemu dengan Tan Sin Hong yang sejak dulu dicintanya akan tetapi terputus karena Sin Hong menikah dengan wanita lain. Dalam pertemuan kembali ini, ternyata Tan Sin Hong juga sudah bercerai dari isterinya yang melakukan penyelewengan!

Dua hati yang saling mencinta itu pun bertemu kembali dan menikahlah janda kembang dengan duda muda itu. Tentu saja peristiwa itu membuat Kao Cin Liong dan Suma Hui merasa berbahagia sekali, apa lagi setelah lahir Tan Sian Li, cucu luar mereka.

“Sian Li, cucuku yang manis sekali...!” Nenek Suma Hui mengangkat tubuh cucunya itu tinggi-tinggi, kemudian mendekap dan menciumi kedua pipinya sambil tertawa gembira. “Aduh, engkau makin manis saja, Sian Li. Dan pakaianmu merah! He-he-heh, engkau seperti seekor bangau merah!”

Kao Cin Liong mengelus rambut kepala Sian Li yang berada di pondongan Suma Hui. “Bangau Merah? Ha-ha-ha, memang ia puteri Si Bangau Putih Tan Sin Hong. Si Bangau Merah, nama yang indah. Mari, mari ikut kongkong!” kata kakek itu dan mengambil Sian Li dari pondongan isterinya.

Suma Hui menoleh ke kanan kiri, mencari-cari dengan pandang matanya.

“Ehh? Mana murid kalian? Apakah Yo Han tidak ikut?”

Mendadak Sian Li yang berada di pondongan kakeknya berkata, “Kongkong dan Bo-bo (Nenek), Suheng Yo Han nakal, dia pergi bersama seorang bibi iblis!”

Kakek dan nenek itu terbelalak memandang kepada Sin Hong dan Hong Li. Suami isteri ini memang selalu membujuk Sian Li untuk melupakan Yo Han yang mereka katakan nakal karena Yo Han minggat dan ikut dengan seorang wanita iblis yang jahat. Hal ini mereka tekankan agar Sian Li dapat melupakan Yo Han dan tidak selalu menagisinya.

“Apa yang terjadi dengan dia?” bertanya Kao Cin Liong. Dia dan isterinya juga merasa sayang kepada Yo Han, murid mantu mereka itu.
“Ayah dan Ibu, biarlah nanti kami ceritakan tentang dia,” kata Hong Li. “Kami masih lelah karena baru saja kami datang dari kota raja di mana kami tinggal selama seminggu dan setiap hari kami mengajak Sian Li pesiar.”

Mereka semua lalu masuk dan Sin Hong bersama isterinya mendapatkan kamar yang dahulu menjadi kamar Hong Li. Ada pun Sian Li tentu saja ditahan oleh neneknya dan diajak tidur di kamar neneknya.

Sesudah beristirahat dan makan malam, dan sesudah Sian Li tertidur pulas di kamar neneknya, barulah Tan Sin Hong dan Kao Hong Li bercakap-cakap dengan kakek dan nenek itu, menceritakan tentang Yo Han. Mereka menceritakan semua keanehan yang terdapat pada diri Yo Han, tentang sikapnya yang sama sekali tidak mau berlatih ilmu silat. Kemudian tentang munculnya Ang-I Moli Tee Kui Cu yang mula-mula menculik Sian Li, kemudian betapa Yo Han dapat menemukan wanita iblis itu dan menukar Sian Li dengan dirinya sendiri!

“Demikianlah, Ayah dan Ibu. Yo Han sudah pergi bersama iblis betina itu dan menjadi muridnya. Kami tidak dapat mencegahnya karena dia sendiri memang sudah berjanji untuk menukar Sian Li dengan dirinya sendiri.”
“Ahhh, tetapi mengapa begitu?” nenek Suma Hui mencela puterinya. “Apa artinya janji kepada iblis betina seperti itu? Ia telah berani menculik Sian Li dan kalian membiarkan saja ia pergi membawa Yo Han sebagai muridnya? Iblis betina itu pantas dibasmi!”

“Tidak boleh kita berpendirian begitu,” kata Kao Cin Liong dengan suara tenang. “Sudah jelas bahwa Yo Han bukan anak biasa seperti yang diceritakan Sin Hong tadi. Dia tidak suka akan kekerasan, namun memiliki ketabahan yang luar biasa. Dan kalau dia sudah berjanji kepada Ang-I Moli supaya iblis betina itu membebaskan Sian Li dan sebagai tukarnya dia mau ikut dengan iblis betina itu, tentu saja Sin Hong dan Hong Li tidak dapat memaksa dan melanggar janji yang telah dikeluarkan Yo Han.”

“Apa yang dikatakan ayah itu memang benar, Ibu,” kata Kao Hong Li. “Aku pun tadinya tidak mau mengalah begitu saja dan sudah memaksa iblis betina itu untuk melayaniku bertanding. Dia memang lihai, akan tetapi kalau dia tidak melarikan diri, tentu aku akan dapat membunuhnya. Tetapi betapa pun juga, kami tidak mungkin dapat membunuhnya setelah ia mengembalikan Sian Li dan memperlakukan anakku dengan baik, dan kalau Yo Han ikut dengannya, hal itu adalah karena keinginan Yo Han sendiri. Kiranya anak yang luar biasa itu juga sudah tahu bahwa kami ingin menjauhkan Sian Li darinya, dan agaknya Yo Han memang sengaja ikut iblis itu agar dia dapat menjauhkan diri dari kami tanpa harus melarikan diri, atau tanpa kami harus menitipkannya kepada pendeta kuil seperti yang tadinya kami rencanakan. Dia sudah tahu semuanya, Ibu.”

Kao Cin Liong dan Suma Hui saling pandang, diam-diam merasa aneh dan amat kagum kepada anak itu. “Jadi, dia sengaja mengorbankan diri, sengaja meninggalkan keluarga kalian karena tahu bahwa kalian ingin memisahkan Sian Li darinya?”

Hong Li mengangguk dan menunduk. “Sungguh kami merasa kehilangan dia, Ibu. Kami sayang kepada Yo Han, juga Sian Li amat menyayangnya sehingga dia rewel terus dan terpaksa kami mengajaknya pesiar ke kota raja lalu ke sini. Akan tetapi, kami harus mementingkan masa depan Sian Li. Ia pasti akan terbawa oleh sikap Yo Han bila terus dekat dengan dia.”

Sin Hong menarik napas panjang. “Benar sekali, Ayah dan Ibu. Kami sangat sayang kepada Yo Han, seperti kepada anak sendiri. Akan tetapi, dia amat aneh dan kami tidak ingin melihat Sian Li menjadi seperti dia.”

“Tetapi... bagaimana dengan nasib Yo Han? Apakah tidak berbahaya sekali dia terjatuh ke tangan seorang iblis betina? Jangan-jangan keselamatan nyawanya jadi terancam...” Suma Hui menyatakan kekhawatirannya.
“Aku juga khawatir sekali, Ibu. Akan tetapi ayah Sian Li mengatakan tak perlu khawatir,” kata Hong Li sambil memandang suaminya.

Sekarang mereka bertiga semuanya memandang kepada Sin Hong dan mengharapkan penjelasan yang meyakinkan, karena mereka semua mengkhawatirkan keselamatan Yo Han.

“Sesungguhnya pendapat atau jalan pikiran saya ini saya dapatkan dari Yo Han, betapa pun janggalnya. Saya harus mengakui bahwa dialah yang memberi teladan atau tanpa disengaja memberi pelajaran kepada saya, yaitu bahwa nyawa setiap orang berada di tangan Tuhan. Ia amat yakin akan hal ini, maka ia tidak pernah takut menghadapi apa pun, bahkan ancaman maut sekali pun. Saya merasa yakin bahwa ada sesuatu yang mukjijat pada diri anak itu. Seolah-olah ada suatu kekuatan gaib yang melindunginya. Seperti ketika dia diserang ular berbisa itu. Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, seperti seorang ahli silat yang pandai, tangannya bergerak menangkap ular itu. Tetapi dia tidak membunuhnya, melainkan bicara kepada ular itu, melepaskannya lagi dan ular itu menjadi jinak! Seolah-olah dia menguasai pula ilmu menundukkan ular.”

“Aneh sekali!” kata Suma Hui. “Padahal, walau pun aku sendiri pernah mempelajari ilmu menundukkan ular, akan tetapi tidak begitu menguasainya, dan aku pun tidak pernah mengajarkannya kepadamu, Hong Li.”
“Itulah keanehannya, Ibu,” kata Hong Li. “Lebih aneh lagi, ketika kami semua mencari penculik Sian Li. Kami berdua yang mempunyai kepandaian saja gagal menemukan penculik, akan tetapi kenapa Yo Han dapat menemukannya? Bahkan lebih hebat lagi, dapat membujuk Ang-I Moli untuk membebaskan Sian Li!”

Kakek dan nenek itu menjadi semakin heran dan kagum. Bagaimana pun juga, mereka menyayangkan bahwa Yo Han sampai ikut seorang tokoh sesat seperti Ang-I Moli. “Kalau saja kalian membawa dia ke sini, kami akan suka mendidiknya,” kata Suma Hui dan suaminya juga mengangguk setuju. Akan tetapi semua sudah terlanjur dan Yo Han sudah pergi bersama Ang-I Moli entah ke mana.

Malam itu, karena lelah oleh perjalanan yang jauh, Sin Hong dan Hong Li tidur pulas di dalam kamar mereka. Sian Li tidur bersama neneknya di kamar neneknya, sedangkan kakek Kao Cin Liong yang merasa gembira dengan kunjungan puterinya, mantunya dan cucunya, juga sudah tidur dengan mulut tersenyum.

Kakek dan nenek itu memang merasa amat berbahagia. Betapa tidak? Mereka hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu Kao Hong Li. Pada saat puteri mereka itu menikah dengan Thio Hui Kong kemudian bercerai, mereka merasa prihatin dan berduka sekali. Anak mereka satu-satunya, seorang wanita lagi, dalam usia yang masih demikian muda telah menjadi seorang janda tanpa anak!

Mereka sudah merasa putus harapan karena pada masa itu, derajat seorang janda yang bercerai hidup, apa lagi tanpa anak, dipandang amat hina dan rendah. Sungguh di luar dugaan mereka, kemudian Kao Hong Li berjodoh dengan Tan Sin Hong yang berilmu tinggi, bahkan mereka hidup berbahagia dan mempunyai seorang anak yang menjadi cucu mereka yang mungil!

Menjelang tengah malam, ketika seluruh isi rumah itu tertidur pulas dan juga keadaan sekeliling rumah itu sunyi karena tidak ada lagi orang berada di luar rumah dalam cuaca yang amat dingin itu, terdengarlah seruan di atas genteng kamar kakek Kao Cin Liong.

“Taihiap (Pendekar Besar) Kao Cin Liong, tolonglah pinceng (saya)!” terdengar teriakan di atas genteng kamar itu, lalu terdengar suara gedobrakan di atas genteng itu.

Kao Cin Liong yang sedang duduk bersemedhi bisa mendengar seruan ini dengan jelas. Bahkan dia mengenal suara itu sebagai suara seorang sahabatnya, yaitu Thian Kwan Hwesio ketua kuil di sudut kota Pao-teng, seorang murid Siauw-lim-pai yang termasuk tokoh karena tingkat dan kepandaian silatnya sudah cukup tinggi.

Mendengar suara itu, tubuh Kao Cin Liong meloncat dari atas pembaringan, membuka jendela dan dalam beberapa detik saja dia sudah meloncat naik ke atas genteng di mana dia melihat seorang hwesio sedang didesak dan dihajar dengan pukulan-pukulan oleh dua orang berpakaian jubah pendeta tosu (pendeta To) yang lihai sekali. Karena malam itu bulan hanya muncul secuwil, maka cuaca remang-remang dan dia tidak dapat melihat jelas wajah tiga orang itu. Akan tetapi dia dapat mengenal Thian Kwan Hwesio yang agaknya sudah payah, terhuyung-huyung di atas genteng.

“Tahan...!” seru Kao Cin Liong dan sekali meloncat dia sudah mendekati Thian Kwan Hwesio yang terhuyung, menyambar lengannya.

Hwesio yang usianya sudah hampir tujuh puluh tahun itu nampak lemah sekali dan dia bersandar kepada rangkulan lengan Kao Cin Liong.

“Thian Kwan Suhu, ada apakah? Siapakah mereka ini?”
“Mereka... mereka... orang-orang Bu-tong-pai... uhhh-uhhh!” hwesio itu terengah-engah. “Kami sudah mengalah... akan tetapi... seperti pernah kuceritakan... Bu-tong-pai selalu mendesak dan menyerang kami...” Tubuh hwesio itu terkulai dan dengan lirih dia masih menyebut “Omitohud...!” dan dia pun lemas dan tewas dalam rangkulan kakek Kao Cin Liong.

Kao Cin Liong beberapa hari yang lalu pernah bercakap-cakap dengan ketua kuil itu dan mendengar bahwa kini Bu-tong-pai selalu memusuhi Siauw-lim-pai. Di mana-mana para murid Bu-tong-pai menyerang para murid Siauw-lim-pai sehingga terjadilah bentrokan-bentrokan berdarah. Menurut keterangan Thian Kwan Hwesio, Bu-tong-pai menuduh seorang tokoh Siauw-lim-pai, yaitu Loan Hu Hwesio telah membunuh Phoa Cin Su, tokoh Bu-tong-pai di puncak Bukit Naga. Padahal menurut keterangan kepala kuil itu, justru Loan Hu Hwesio dibunuh oleh seorang tokoh Kun-lun-pai, juga di puncak Bukit Naga!

Dua orang tosu Bu-tong-pai itu maju mendekati Kao Cin Liong yang masih merangkul Thian Kwan Hwesio.

“Dia ini tentu murid Siauw-lim-pai juga, Sute. Kita bunuh dia!” Dan mereka berdua maju menyerang kakek itu dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin pukulan yang dahsyat.

Kakek Kao Cin Liong terkejut dan berseru, “Heiii, tahan dulu!” teriaknya sambil mencoba untuk mengelak.

Akan tetapi karena dia sedang merangkul Thian Kwan Hwesio yang agaknya sudah menjadi mayat, tentu saja gerakannya menjadi lambat. Dia terpaksa melepaskan tubuh hwesio itu dan mengangkat kedua lengannya untuk menangkis.

“Desss...!”

Kakek itu terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa kedua orang tosu itu memiliki tenaga yang kuat bukan main. Kalau saja mereka tidak maju bersama, tentu dia dapat mengatasi tenaga seorang di antara mereka. Akan tetapi mereka maju berbareng dan agaknya mereka telah menggabungkan diri dan mengerahkan tenaga.

Sedangkan ia sendiri karena belum tahu benar akan keadaan dan tak ingin bermusuhan dengan Bu-tong-pai yang para pemimpinnya banyak dikenalnya, dia tidak mengerahkan seluruh tenaganya. Akibatnya, kakinya menginjak pecah genteng di bawahnya dan dua tangannya melekat kepada tangan dua orang tosu itu!

Kao Cin Liong adalah putera Kao Kok Cu, Naga Sakti Gurun Pasir. Meski pun usianya telah lanjut, sudah enam puluh tiga tahun, namun dia telah mewarisi ilmu yang hebat dari Gurun Pasir. Karena dia maklum bahwa dua orang lawannya itu lihai, dan kedua tangannya sudah melekat pada tangan lawan dan kedua kakinya hampir tertekuk, dia lantas mengerahkan tenaga Sin-liong Hok-te (Naga Sakti Mendekam di Bumi). Ilmu ini merupakan satu di antara ilmu-ilmu yang ampuh dari Istana Gurun Pasir.

“Aaarghhhh...!”

Kakek itu mengeluarkan suara yang menyayat hati dan dua orang tosu itu pun langsung terjengkang! Akan tetapi pada saat kakek yang sudah tua itu menghentikan pengerahan Sin-liong Hok-te, dari belakangnya ada dua orang tosu lain yang menghantamkan tapak tangan mereka ke punggungnya.

“Plakkk! Dukkk!”

Dua orang pemukul itu terjengkang dan menjadi terkejut bukan main karena mereka merasa betapa tangan mereka yang menampar itu menjadi nyeri. Akan tetapi kakek Kao Cin Liong sendiri terpelanting dan mengeluh karena dua tamparan pada punggungnya selagi dia menyimpan kembali tenaga Sin-liong Hok-te tadi demikian hebatnya sehingga dia merasa seolah-olah seluruh isi dada dan perutnya dilanda badai hebat!

“Aiihhh...!” Teriakan ini terdengar dari bawah, disusul teriakan seorang anak kecil.
“Kongkong...!”

Suma Hui tadi keluar bersama cucunya karena terkejut mendengar teriakan suaminya. Ia menjerit karena sempat melihat suaminya roboh terpukul dari belakang. Tubuhnya cepat meluncur ke atas seperti seekor burung terbang saja.

Seorang di antara empat tosu itu, yang tubuhnya kurus jangkung, menyambut Suma Hui dengan serangan kilat, dan kini dia mempergunakan sebatang pedang. Tubuh wanita itu masih melayang di udara ketika pedang itu menyambutnya dengan tusukan maut ke arah dada.

Namun, Suma Hui adalah seorang wanita yang lihai sekali. Ia adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, maka serangan yang bagaimana dahsyat pun, bila dilakukan berterang, tentu akan dapat diatasinya.

“Haiiittt...!”

Suara Suma Hui melengking dan tubuhnya berjungkir balik beberapa kali. Dia berhasil menghindarkan dari dari tusukan! Gerakan ini sungguh lincah bukan main, membuat penyerangnya terkejut. Akan tetapi Suma Hui juga kaget karena serangan tadi nyaris mengenai tubuhnya, membuktikan bahwa penyerangnya adalah seorang yang lihai.

Begitu kakinya menyentuh genteng, ia membalik dan mengelak ketika pedang yang tadi sudah menyambar pula. Kiranya tosu tinggi kurus itu sudah menghujankan serangan pedang kepadanya. Suma Hui mempergunakan kegesitan tubuhnya untuk mengelak ke sana sini, lalu membalas pula dengan tamparan-tamparan yang mengandung tenaga Swat-im Sinkang yang dingin.

Karena maklum bahwa suaminya telah terluka dan lawan ini amat lihai, maka ia telah mengerahkan ilmu yang khas dari keluarga Istana Pulau Es itu. Lawannya amat terkejut ketika merasa ada hawa yang amat dingin menyambar dari kedua tangan lawannya, maka ia bertindak hati-hati dan memutar pedang menjaga jarak, melindungi diri dengan sinar pedangnya yang bergulung-gulung.

Pada saat tiga orang tosu yang lainnya hendak maju mengeroyok, tiba-tiba dua sosok bayangan berkelebat dari bawah, melayang ke atas genteng itu seperti dua ekor burung garuda. Mereka ini bukan lain adalah Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li.
Melihat hal ini, dua orang tosu yang tadi memukul Kao Cin Liong secara curang dari belakang, menyambut mereka dengan pedang di tangan. Dan mereka terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan betapa dua orang pria dan wanita muda yang baru datang ini juga amat lihai, terutama sekali yang pria.

Begitu Sin Hong mengelak dan tangannya mendorong, hawa pukulan yang keluar dari tangannya lantas membuat lawannya terhuyung ke belakang! Seorang tosu lain cepat membantu kawannya, dan baru setelah dua orang tosu yang berpedang menghadapi Sin Hong, mereka mampu saling menjaga dan terjadi perkelahian yang agak seimbang.

“Ayah...!” Kao Hong Li yang melihat ayahnya tergeletak di atas genteng, terkejut sekali dan cepat menghampiri ayahnya.

Dengan napas empas-empis Kao Cin Liong berkata, “Hong Li... cepat... kau… bantu... ibumu...”

Hong Li menoleh dan melihat betapa ibunya memang nampak sibuk sekali menghadapi permainan pedang seorang tosu. Suaminya, biar pun kini dikeroyok dua, tidak nampak terdesak. Ia pun cepat meloncat, kemudian membantu ibunya. Kini tosu berpedang itu menjadi repot sekali ketika berhadapan dengan ibu dan anak itu.

Walau pun mereka berdua tidak sempat membawa senjata, namun mereka seperti dua ekor singa betina yang marah dan tosu itu terdesak hebat, hanya mampu memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya dari terkaman dua ekor singa betina itu!

Bahkan tosu itu sempat berteriak. “Sute, bantu...!”

Teriakannya ditujukan kepada tosu ke empat, karena dua orang tosu yang lain hanya dapat berimbang saja mengeroyok Sin Hong yang bertangan kosong. Bahkan kedua orang tosu ini pun sudah mulai terdesak pada saat Sin Hong terpaksa memainkan ilmu andalannya, yaitu Pek-ho Sin-kun.

Ilmu ini adalah ilmu yang sangat hebat, ilmu gabungan dari tiga orang pendekar sakti, yaitu mendiang kakek Kao Kok Cu dan Tiong Khi Hwesio, bersama nenek Wan Ceng. Juga tenaga sinkang yang terkandung dalam ilmu ini amat hebatnya. Sin Hong sendiri mendapat pesan dari tiga orang gurunya itu bahwa kalau tidak terpaksa sekali dia tidak boleh mempergunakan ilmu itu.

Sekarang, melihat ayah mertuanya sudah roboh, dan betapa para tosu itu lihai sekali, ia terpaksa mempergunakan ilmu Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih). Dan begitu dia mengeluarkan ilmu ini, baru beberapa jurus saja, dua orang pengeroyoknya yang berpedang itu sudah terhuyung dan terdesak.

Tiba-tiba terdengar teriakan suara anak kecil, “Ibuuuu...! Ayaahhh...!” Suara ini disusul suara yang parau dan tegas, penuh ancaman.

“Hentikan perkelahian, atau anak ini akan pinto (aku) bunuh!”

Mendengar teriakan anak itu saja, Sin Hong dan Hong Li sudah terkejut, demikian pula nenek Suma Hui. Mereka berloncatan ke belakang dan menengok ke bawah. Di sana, di bawah sinar lampu gantung yang remang-remang, nampak seorang tosu memondong Sian Li dan pedang di tangan kanannya menempel di leher anak itu! Seketika lemaslah tubuh tiga orang ini dan mereka tidak mampu bergerak, tidak berani bergerak dan terpaksa membiarkan tiga orang tosu yang tadi sudah mereka desak itu berloncatan dan menghilang ke dalam kegelapan malam.

“Jangan mengejar kami kalau menginginkan anak ini selamat!” kata pula tosu itu.

Sin Hong dan isterinya seperti terpukau dan tidak berani bergerak, akan tetapi, Hong Li melihat ibunya yang tadi berada di belakangnya telah tidak berada di situ pula, entah ke mana perginya.

“Uhhh...!” Tubuh kakek Kao Cin Liong menggelundung dan tertahan talang, hampir jatuh ke bawah.

Melihat hal ini, Sin Hong cepat meloncat dan menyambar tubuh ayah mertuanya itu, lalu dipondongnya. Sementara itu, melihat betapa tosu yang menawan puterinya itu hendak meloncat pergi, Kao Hong Li meloncat turun dan berteriak.

“Jangan bawa anakku! Kembalikan!”
“Berhenti, atau kubunuh anakmu!” Tosu itu berseru dan mendengar ini, Hong Li yang sudah tiba di atas tanah itu menjadi pucat dan kedua kakinya menjadi lemas. Tak berani ia mengejar.

Tiba-tiba, dari balik tembok samping rumah itu, Suma Hui meloncat dan menubruk tosu itu dari belakang. Gerakan Suma Hui cepat bukan main, dan tahu-tahu pundak kanan tosu itu telah dihantamnya sehingga terdengar tulang remuk dan pedang di tangan yang menjadi lumpuh itu terlepas dari pegangan. Tosu itu terkejut dan begitu merasa betapa anak di pondongan tangan kiri dirampas oleh penyerangnya, dia membalik dan tangan kirinya berhasil menjambak rambut Suma Hui! Wanita ini cepat melempar tubuh Sian Li ke arah Hong Li.

“Terima anakmu!” teriaknya dan tubuh anak itu melayang ke arah Hong Li yang cepat menangkapnya.
“Ibuuu...!”
“Sian Li, engkau tidak apa-apa, nak?” Hong Li memeriksa anaknya dan mendekapnya, menciuminya dengan hati lega.

Akan tetapi, ia terkejut mendengar ibunya menjerit. Ia terbelalak dan pada saat itu, Sin Hong sudah melayang, turun memondong tubuh ayah mertuanya. Hong Li menurunkan Sian Li karena di situ sudah ada Sin Hong dan ia pun meloncat ke arah ibunya yang terhuyung. Empat orang tosu tadi sudah lenyap.

“Ibu...!” Hong Li merangkul ibunya yang terhuyung.
“Aku... berhasil menghajar penculik tadi... tetapi yang lain... membokong dengan curang dari belakang... ahhh... bagaimana... ayahmu...?” Wanita itu terkulai dan tentu segera roboh kalau tidak cepat dipondong Hong Li.
“Cepat bawa masuk. Mari Sian Li, masuk ke dalam!” kata Sin Hong kepada isterinya.

Dia masih memondong tubuh ayah mertuanya, dan Hong Li memondong tubuh ibunya. Mereka masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Sian Li. Anak ini tidak menangis walau pun nampak bingung dan masih belum hilang kagetnya.

Tiga orang pembantu dari kakek Kao Cin Liong yang tinggal di bagian belakang rumah menjadi terkejut mendengar ribut-ribut tadi dan mereka sudah berlarian keluar. Tentu saja mereka kaget bukan main melihat kedua majikan mereka dipondong masuk dalam keadaan luka dan pingsan.

“Cepat kalian undang tabib yang paling pandai di kota ini,” berkata Sin Hong setelah dia merebahkan tubuh ayah mertuanya ke atas pembaringan. Juga Hong Li merebahkan tubuh ibunya di atas pembaringan yang lain.

Sin Hong lalu keluar lagi, melompat ke atas genteng dan menurunkan tubuh hwesio tua yang telah menjadi mayat. Juga tubuh yang sudah tak bernyawa ini dibaringkan di atas sebuah dipan.

Sin Hong memeriksa luka pukulan di punggung ayah mertuanya. Dia mengerutkan alis melihat dua telapak tangan membekas di punggung itu, menghitam. Tahulah dia bahwa ayah mertuanya menderita luka dalam yang amat hebat. Kakek itu masih pingsan, dan napasnya empas-empis, tinggal satu-satu.

Kemudian dia dan isterinya memeriksa luka yang di derita Suma Hui. Keadaan nenek ini tidak lebih baik dari suaminya. Sebuah luka tusukan pedang di lambung, dan di lehernya terdapat luka kecil-kecil yang menghitam, tanda bahwa ada dua benda kecil, mungkin senjata rahasia paku atau jarum, memasuki lehernya, dan jelas bahwa senjata rahasia itu beracun!

Melihat keadaan ayah ibunya, Kao Hong Li mencucurkan air mata tanpa bersuara. Dia terlampau gagah untuk menangis. Dia berusaha menahan gejolak hatinya yang penuh kekhawatiran dan kemarahan.

Dengan pandang matanya Sin Hong menghibur dan menenangkan hati isterinya, lalu dengan lembut dia berkata, “Lebih baik bawa Sian Li tidur lebih dulu. Biarlah aku yang berjaga di sini sampai tabib datang.”

Hong Li maklum akan maksud suaminya. Memang kurang baik membiarkan Sian Li di situ. Anak ini nampak sangat kebingungan memandang ke arah kakek dan neneknya yang rebah di atas dua buah pembaringan di dalam kamar itu, dengan napas empas empis dan wajah pucat, kadang terdengar suara seperti rintihan lirih.

“Mari, Sian Li, kita kembali ke kamar untuk tidur.”

Sian Li digandeng ibunya memasuki kamar mereka. Pada waktu Hong Li merebahkan puterinya di atas pembaringan, anak itu memandang ibunya dan bertanya, “Ibu siapa yang melukai Kakek dan Nenek?”

“Mereka orang-orang jahat, Sian Li.”
“Kenapa Ayah dan Ibu tidak menangkap mereka?”
“Mereka itu lihai dan sempat melarikan diri, bahkan hampir menawanmu, anakku.”
“Tapi, Ibu. Tentu Ibu juga tahu siapa mereka?”

Kao Hong Li menggelengkan kepalanya. “Aku tidak mengenal siapa mereka, akan tetapi sebelum tewas, Thian Kwan Suhu sempat berseru bahwa mereka adalah orang-orang Bu-tong-pai. Tentu mereka itu tokoh-tokoh Bu-tong-pai tingkat tinggi.”

“Kalau begitu, Kakek dan Nenekku dilukai orang-orang Bu-tong-pai?”
“Begitulah. Kenapa engkau menanyakan hal itu, Sian Li.”

Sekarang Sian Li mengepal tinjunya dan bangkit berdiri di atas pembaringannya. “Kalau begitu, kelak aku akan membasmi Bu-tong-pai! Mereka orang-orang jahat!”

“Ssttt, sudahlah. Kau tidur dan jangan banyak memikirkan hal itu. Serahkan saja kepada ayah dan ibumu, Sian Li. Engkau masih terlalu kecil untuk memikirkan urusan macam itu,” ibunya menghibur.

Dan setelah puterinya tidur, Kao Hong Li menemani suaminya yang menjaga ayah dan ibunya. Tabib yang diundang datang, akan tetapi seperti yang telah dikhawatirkan Sin Hong, tabib itu hanya menggeleng kepala dan menarik napas panjang. Luka-luka itu selain parah, juga mengandung racun yang amat berbahaya. Tentu saja Sin Hong dan Hong Li menjadi gelisah sekali ketika tabib itu angkat tangan menyatakan tidak sanggup mengobati luka karena racun itu.

Setelah tabib pergi, Hong Li berkata kepada suaminya. “Kiraku hanya ada seorang saja yang akan mampu menolong, yaitu Paman Suma Ceng Liong. Kita mesti cepat memberi kabar dan mengundangnya ke sini, juga Paman Suma Ciang Bun yang biar pun tidak memiliki kesaktian seperti paman Suma Ceng Liong, namun memiliki pengalaman yang luas.”

Sin Hong setuju dengan usul ini. Karena dia dan isterinya harus menjaga dan merawat ayah dan ibu mertua yang terluka berat, mereka tidak dapat pergi sendiri dan segera mengirim utusan yang melakukan perjalanan secepatnya dengan kuda pergi ke kota Cin-an untuk mengundang Suma Ceng Liong, dan yang satunya pergi Tapa-san untuk mengundang Suma Ciang Bun. Sementara itu, Tan Sin Hong yang menjadi kenalan baik dari Ketua Bu-tong-pai, segera menulis surat protes kepada perkumpulan besar itu tentang terlukanya ayah dan ibu mertuanya oleh serangan orang-orang Bu-tong-pai.

Setelah tiga orang utusan itu berangkat, Sin Hong menjaga ayah dan ibu mertuanya, bersama isterinya. Mereka merasa khawatir sekali dan biar pun Sin Hong dan isterinya sudah berusaha untuk membantu mereka yang terluka itu dengan penyaluran tenaga sinkang, namun mereka berdua tidak berhasil menyembuhkan, hanya mengurangi rasa nyeri dan memperlambat menjalarnya pengaruh pukulan beracun itu saja.

Melihat keadaan orang tuanya, Kao Hong Li mengerutkan alisnya dan berbisik kepada suaminya. Mereka sengaja duduk agak menjauh agar supaya percakapan mereka tidak mengganggu dua orang tua yang sedang menderita sakit itu.

“Para tosu Bu-tong-pai yang keparat!” desis Hong Li sambil mengepal tangannya “Kalau Ayah dan Ibu sudah sembuh, aku pasti akan pergi ke sana untuk meminta pertanggung jawaban mereka. Perbuatan mereka yang melukai Ayah dan Ibu ini sungguh tidak boleh didiamkan begitu saja!”

Tan Sin Hong mengerutkan alisnya. “Kita harus bersabar dan tidak boleh menurutkan nafsu amarah saja. Kita telah sama mengetahui bahwa akhir-akhir ini memang terdapat pertentangan antara Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai hingga sering kali terjadi bentrokan di antara murid-murid mereka. Kita belum mengetahui sebabnya dan ini memang bukan urusan kita. Kalau kini Ayah dan Ibu sampai terluka, hal itu terjadi dalam perkelahian karena mereka turut terlibat dalam perkelahian antara Thian Kwan Hwesio ketua kuil di Pao-teng yang menjadi tokoh Siauw-lim-pai dengan beberapa orang tosu Bu-tong-pai.”

“Akan tetapi hwesio Siauw-lim-pai itu sahabat Ayah dan sudah lari ke sini minta bantuan Ayah. Kenapa mereka masih terus menyerang dan tidak mau memandang muka orang tuaku? Ayah dan Ibu tadinya tentu hanya ingin melerai saja, mengapa Ayah dan Ibu malah mereka serang?”
“Karena itu, aku sudah menulis surat teguran kepada Ketua Bu-tong-pai, dan aku yakin beliau akan memperhatikan teguranku itu dan akan menghukum murid mereka yang bersalah.”

Akan tetapi isterinya menggelengkan kepala. “Aku masih penasaran. Bagaimana kalau Ketua Bu-tong-pai membela muridnya dan tidak akan menghukum mereka? Aku harus membalas perbuatan mereka itu. Ingat saja, mereka itu jahat! Mereka merobohkan Ayah dengan cara yang curang sekali, bahkan merobohkan Ibu juga dengan serangan gelap. Mereka itu patutnya gerombolan penjahat, bukan murid-murid sebuah partai persilatan besar seperti Bu-tong-pai! Atau sekarang Bu-tong-pai telah menyeleweng dan murid-muridnya menjadi pengecut-pengecut yang curang?”

Sin Hong mengangguk-angguk. “Engkau benar. Aku sendiri pun memang ada perasaan curiga terhadap para tosu Bu-tong-pai itu. Cara mereka mengeroyok hwesio itu saja sudah bukan watak pendekar-pendekar Bu-tong. Kemudian, mereka menyerang Ayah dan Ibu secara menggelap dan lebih lagi, mereka menawan Sian Li sebagai sandera, ini pun bukan watak pendekar. Karena itu, aku lebih dahulu mengirim surat kepada Ketua Bu-tong-pai. Kelak, kalau kita sudah selesai di sini, kalau Ayah dan Ibu sudah sehat kembali, tentu aku akan berkunjung ke Bu-tong pai untuk membikin terang perkara ini.”

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sian Li sudah memasuki ruangan kamar kakek dan neneknya.

“Ayah dan Ibu, bagaimana dengan Kakek dan Nenek?” tanya anak itu sambil mendekati pembaringan kakeknya, kemudian neneknya.
“Ssttt, Sian Li. Kakek dan nenekmu masih tidur. Biarkan mereka beristirahat dan engkau bermainlah di luar.”

Sian Li memandang kepada kakek dan neneknya. Alisnya berkerut, mulutnya cemberut. “Kini Kakek dan Nenek tak bisa lagi menemani aku bermain-main. Ini semua gara-gara gerombolan penjahat itu. Kelak aku akan membasmi mereka kalau aku sudah besar!” Setelah berkata demikian, Sian Li berlari keluar.

Ayah dan ibunya saling pandang dan keduanya merasa lega. Puteri mereka itu sudah pasti kelak akan menjadi seorang pendekar wanita yang hebat, seperti yang mereka harapkan. Kalau dekat dengan Yo Han, tentu puteri mereka itu akan mengikuti jejak Yo Han, menjadi seorang wanita yang lemah.

Mereka lalu duduk di dekat pembaringan ayah ibu mereka dan dengan prihatin mereka melihat betapa keadaan kedua orang tua mereka masih seperti malam tadi, dan kembali mereka berusaha untuk menyalurkan tenaga sinkang dengan telapak tangan mereka ditempelkan di punggung si sakit. Walau pun usaha ini belum bisa menyembuhkan, tapi setidaknya dapat memperkuat hawa murni di dalam tubuh ayah dan ibu mereka serta memperlambat kerusakan yang diakibatkan oleh pukulan beracun.....

Dua orang yang terluka itu dalam keadaan tidur atau setengah pingsan. Wajah mereka pucat dan pernapasan mereka lemah. Sin Hong sudah memberi obat luka di lambung dan leher ibu mertuanya. Luka-luka itu tidak berat, akan tetapi racun yang terkandung di luka bagian leher sangat berbahaya. Sedangkan pukulan kedua telapak tangan yang berbekas di punggung ayah mertuanya membuat keadaan ayah mertuanya itu lebih parah lagi.

“Hemm, keadaan mereka ini membuat aku menjadi makin sangsi,” katanya lirih kepada isterinya. “Aku mengenal Bu-tong-pai sebagai partai persilatan bersih, satu perkumpulan orang-orang suci dengan para tosu menjadi pimpinan. Murid-murid mereka adalah para pendekar-pendekar gagah. Biar pun mereka memiliki pukulan ampuh yang mengandung sinkang amat kuat, akan tetapi belum pernah aku mendengar mereka mempelajari ilmu pukulan beracun. Juga, belum pernah aku mendengar mereka mempergunakan racun atau paku beracun seperti yang melukai leher ibumu.”

“Akan tetapi, mendiang Thian Kwan Hwesio dengan jelas menyerukan bahwa mereka adalah para tosu Bu-tong-pai,” kata isterinya dan Sin Hong menjadi bingung.

Memang sukar sekali dimengerti kalau seorang pendeta seperti ketua kuil Pao-teng itu berbohong. Apa manfaatnya berbohong? Akan tetapi, Thian Kwan Hwesio sudah tewas sehingga tidak mungkin, dapat diperoleh keterangan yang lebih jelas darinya.

“Kita harus bersabar. Surat yang kukirim kepada Ketua Bu-tong-pai itu sedikit banyak tentu akan dapat menerangkan kegelapan peristiwa semalam.”

Sementara itu, Sian Li berlari keluar rumah dengan hati kesal. Pada waktu ia datang ke rumah kakek dan neneknya, hatinya gembira karena kedua orang tua itu amat sayang kepadanya dan mengajaknya bermain-main. Tapi sekarang, kakek dan neneknya hanya rebah dalam keadaan sakit. Apa lagi bermain-main dengannya, bicara pun mereka itu tidak dapat lagi. Semua itu gara-gara perbuatan penjahat yang menyerbu malam tadi. Hatinya kesal dan marah, maka ia pun keluar dari halaman rumah, bermaksud mencari teman bermain.

Ada beberapa orang pegawai yang biasanya membantu kedua orang tua itu berdagang rempah-rempah. Mereka, empat orang itu, telah mendengar bahwa dua majikan mereka menderita luka oleh serbuan penjahat. Mereka membuka toko rempah-rempah mewakili majikan mereka dengan wajah khawatir.

Sian Li tidak mempedullkan mereka yang tidak dikenalnya itu, dan ia pun keluar dari pekarangan dan terus berjalan-jalan seorang diri di jalan raya. Hatinya tertarik melihat seorang kakek yang berdiri di tepi jalan, sedang memandang ke arah rumah kakek dan neneknya. Ia pun menoleh dan ikut memandang.

Nampak belasan orang hwesio memasuki pekarangan itu, dan mereka ini adalah para hwesio dari kuil di kota itu, para murid Thian Kwan Hwesio yang sudah diberi kabar tentang tewasnya guru dan ketua mereka di rumah keluarga Kao. Tak lama kemudian mereka mengangkut peti mati untuk dibawa pulang ke kuil mereka. Sian Li melihat pula bahwa ayah dan ibunya mengantar sampai di luar rumah dan belasan orang hwesio itu meninggalkan pekarangan itu sambil memikul peti mati.

Sian Li mengepal kedua tangannya, memandang dan mengikuti perjalanan para hwesio yang mengikuti peti mati sambil membaca doa sepanjang jalan. Hatinya merasa kasihan dan juga penasaran kepada para penjahat yang bukan saja telah membunuh seorang hwesio, akan tetapi juga melukai kakek dan neneknya.

“Penjahat-penjahat kejam, tunggu saja kalian. Kalau kelak aku sudah besar, aku akan membalaskan kematian hwesio itu dan lukanya Kakek dan Nenekku!”

Sian Li tidak tahu betapa kakek yang tadi berdiri memandang ke arah kesibukan para hwesio mengangkut peti mati, kini memandang kepadanya dengan sinar matanya yang penuh selidik dan mulut tersenyum.

Kakek ini berpakaian seperti seorang sastrawan, akan tetapi jelas bahwa dia miskin melihat betapa pakaian itu sudah penuh jahitan dan ada beberapa tambalan, walau pun nampaknya bersih. Dia mirip seorang sastrawan setengah jembel, dengan rambut yang bercampur dengan cambang, kumis dan jenggot yang sudah berwarna kelabu.

Namun wajahnya masih nampak sehat kemerahan belum dimakan keriput, matanya pun masih terang dan senyumnya cerah walau pun mulut itu tidak bergigi lagi. Rambut itu dibiarkan awut-awutan, sampai ke pundak. Tubuhnya jangkung kurus, namun berdirinya tegak. Sebuah caping lebar tergantung di punggungnya, tangan kanannya memegang sebatang tongkat butut sedang tangan kirinya membawa sebuah keranjang obat, terisi beberapa macam akar-akaran dan daun-daunan.

“Nona kecil yang baik, apakah kakek dan nenekmu luka-luka?” Tiba-tiba saja kakek itu mendekat dan bertanya. Sian Li menoleh dan dia memandang kepada kakek itu penuh perhatian.
“Apakah engkau orang Bu-tong-pai?” tiba-tiba ia bertanya dan alisnya berkerut, matanya memandang penuh selidik.
“Kalau betul, kenapa?” kakek itu balas bertanya sambil tersenyum.
“Kalau engkau orang Bu-tong-pai, akan kupanggilkan Ayah dan Ibu. Jangan lari, mereka tentu akan menghajarmu!”
“Kalau aku bukan orang Bu-tong-pai?”
“Kalau bukan, jangan mencampuri urusan kami. Engkau tidak akan dapat menolong, Kek!”
“Ha-ha-ha, anak yang baik, mengapa engkau mengatakan bahwa aku tidak akan dapat menolong?”

Sian Li memandang pada orang itu dengan sinar mata penuh selidik. “Engkau seorang kakek tua, miskin, dan nampak lemah. Andai kata engkau mempunyai ilmu kepandaian pun, bagaimana cara engkau mampu menandingi orang-orang Bu-tong-pai yang lihai, sedangkan Ayah Ibuku saja tidak mampu melindungi Kakek dan Nenekku?”

Kakek itu memandang dengan kagum. Anak kecil ini baru berusia empat tahun, akan tetapi sudah mampu mengolah pikiran seperti orang dewasa saja. Hal ini menandakan bahwa kelak anak ini akan menjadi seorang yang cerdik bukan main.

“Anak baik, engkau tadi bilang mengenai kakek dan nenekmu yang luka-luka. Kebetulan sekali aku mempunyai sedikit ilmu pengobatan. Aku mendengar bahwa ini rumah dari Pendekar Kao Cin Liong, bekas panglima besar yang sangat terkenal itu. Bagaimana kalau aku mencoba kepandaianku untuk menyembuhkan kakek dan nenekmu?”

Mendengar ini, Sian Li menjadi girang sekali. Sejenak ia memandang ke arah keranjang obat di tangan kiri kakek itu, kemudian ia memegang tongkat kakek itu dan menariknya. “Kalau begitu, mari cepat, Kek. Tolonglah Kakek dan Nenekku!”

Dia pun menarik kakek itu berlarian memasuki pekarangan, langsung masuk ke dalam rumah. Empat orang pegawai toko rempah-rempah itu memandang heran, akan tetapi mereka tidak berani menegur.

Kakek itu yang merasa rikuh sendiri dan dia berhenti di ruangan depan. “Anak baik, terlebih dulu beri tahukan orang tuamu bahwa aku datang, tidak sopan kalau aku terus masuk begitu saja.”

“Kakek, memang tidak sopan kalau engkau masuk sendiri. Akan tetapi ada aku yang membawamu masuk, jadi engkau tidak bersalah. Marilah!” Anak itu menariknya masuk dan Sian Li lalu berteriak-teriak, “Ayah! Ibu! Aku datang bersama Kakek yang hendak mengobati Kakek dan Nenek!”

Mendengar teriakan anak mereka. Tan Sin Hong dan isterinya, Hong Li segera berlari keluar. Mereka melihat Sian Li sedang menggandeng tangan seorang kakek tua yang memegang tongkat dan keranjang obat. Sebagai orang-orang yang berpengalaman, sekali pandang saja suami isteri ini bisa mengenal orang luar biasa, akan tetapi mereka belum mengenal siapa dia maka keduanya memberi hormat dengan sopan dan Tan Sin Hong berkata dengan suara lembut.

“Selamat datang, Locianpwe. Kalau benar seperti yang dikatakan puteri kami maka kami berdua menghaturkan banyak terima kasih atas budi kebaikan Locianpwe yang hendak mengobati Ayah dan Ibu kami.”

Kakek itu tertawa bergelak sehingga nampak rongga mulutnya yang sudah tidak punya gigi lagi.

“Siancai... sungguh bukan nama besar kosong belaka bahwa Pendekar Bangau Putih adalah seorang pendekar perkasa yang sangat pandai membawa diri, rendah hati, dan sopan, ha-ha-ha!”

Sin Hong dan isterinya saling pandang, lalu keduanya menatap wajah kakek jangkung itu. “Maafkan kami yang tidak ingat lagi siapa Locianpwe, sebaliknya Locianpwe telah mengenal kami.”

“Ha-ha-ha, tentu saja. Rumah ini adalah rumah Pendekar Kao Cin Liong, putera Si Naga Sakti Gurun Pasir, bekas panglima yang sangat terkenal. Dan isterinya adalah seorang wanita sakti, she Suma masih cucu Pendekar Sakti Pulau Es! Begitu melihat nona cilik pakaian merah ini, aku sudah menduga bahwa tentu ia cucu Kao Cin Liong, dan karena kalian adalah ayah ibunya, siapa lagi kalian kalau bukan puteri dan menantunya bekas panglima itu?”

“Wah, Kakek tidak adil!” tiba-tiba Sian Li berseru, “Kakek sudah mengenal Ayah Ibu dan Kakek, akan tetapi belum memperkenalkan diri. Mana adil kalau perkenalan hanya sebelah pihak saja?”
“Sian Li, jangan kurang ajar!” bentak ibunya.
“Ho-ho, namamu Sian Li, anak merah. Bagus, engkau memang seperti seorang sian-li (dewi) cilik. Tan-taihiap dan Kao-lihiap, saya ini orang biasa saja, bahkan orang yang kedudukannya amat rendah, setengah tukang obat, setengah pengemis, ha-ha-ha!”

Kembali suami isteri itu saling pandang. Biar pun suami isteri pendekar ini masih muda, namun mereka sudah mempunyai banyak pengalaman di dunia kang-ouw dan sudah mendengar akan nama besar banyak orang pandai walau pun belum pernah berjumpa dengan mereka. Setengah tukang obat dan setengah pengemis?

“Kalau begitu, Locianpwe ini tentu Yok-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Obat)!” seru Kao Hong Li.

Kakek itu mengelus jenggotnya sambil tersenyum. “Nyonya muda sungguh mempunyai pemandangan luas!”

“Aihh, maafkan kami berdua yang tidak tahu bahwa yang mulia Yok-sian (Dewa Obat) datang berkunjung!” kata Sin Hong dengan kagum karena dia pun pernah mendengar akan nama besar tokoh ini yang jarang muncul di dunia kang-ouw.

“Ha-ha-ha, alangkah tidak enaknya mendengar nama sebutan Yok-sian (Dewa Obat). Aku lebih suka disebut Lo-kai (Pengemis Tua) saja. Aku mendengar akan keributan yang terjadi di rumah Taihiap Kao Cin Liong, maka sengaja hendak melihat apa yang terjadi. Kebetulan di luar tadi aku bertemu dengan anak ini! Sian Li menarik hatiku dan ternyata ia adalah cucu Taihiap Kao Cin Liong yang sudah kukenal baik. Nah, mari antar aku melihat dia dan isterinya yang kabarnya terluka.”

Bukan main girangnya hati Hong Li dan Sin Hong. Tanpa banyak cakap lagi mereka lalu mengantar tamu itu memasuki kamar di mana Kao Cin Liong dan Suma Hui rebah. Sian Li mengikuti dari belakang.

Kakek itu menurunkan keranjang obat dan tongkatnya yang cepat disimpan oleh Sian Li ke sudut ruangan, kemudian ia menghampiri Kao Cin Liong, memeriksa denyut nadinya sebentar, kemudian memeriksa keadaan Suma Hui. Dia mengangguk-angguk.

“Kabarnya yang menyerang orang-orang Bu-tong-pai?” tanyanya kepada Sin Hong.
“Begitulah menurut pengakuan mendiang Thian Kwan Hwesio yang malam tadi dikejar oleh mereka sampai ke sini. Agaknya hwesio itu hendak minta bantuan Ayah dan Ibu yang sudah menjadi sahabat baik,” kata Sin Hong.

Yok-sian Lo-kai mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. “Pukulan pada punggung Kao-taihiap ini adalah pukulan yang mengandung Hek-coa-tok (Racun Ular Hitam), agaknya tidak mungkin orang Bu-tong-pai, apa lagi yang sudah tinggi tingkatnya, mau menggunakan pukulan keji semacam itu. Juga jarum yang memasuki leher Suma Lihiap itu merupakan senjata rahasia yang biasa dipergunakan orang-orang golongan hitam. Sebaiknya kucoba mengeluarkan jarum-jarum itu lebih dahulu, karena kalau dibiarkan terlalu lama maka akan berbahaya. Tan Taihiap, engkau mempunyai kekuatan sinkang yang besar, marilah kau bantu aku. Kau tempelkan telapak tanganmu ke luka di tengkuk dan menggunakan sinkang untuk menyedot, sedang aku akan menggunakan totokan dan urutan untuk mendorong keluar jarum-jarum itu. Jangan terlampau kuat agar tidak merusak jalan darah. Bila telapak tanganmu sudah merasakan gagang jarum tersembul, langsung hentikan.” Lalu dia menoleh kepada Hong Li dan berkata, “Lihiap, harap kau rebus sebutir telur, kalau sudah matang, bawa ke sini putihnya saja.”

Hong Li meninggalkan kamar itu untuk pergi ke dapur, sedangkan Sin Hong lalu duduk bersila di atas pembaringan, lalu menempelkan tangan kanan ke tengkuk yang terluka jarum, mengerahkan sinkang menyedot. Kakek itu sendiri duduk di tepian pembaringan, jari tangannya menotok di sekitar pundak dan tengkuk, lalu mengurut tengkuk itu sambil mengerahkan sinkang pula. Sian Li duduk di atas kursi, dia diam saja dan memandang penuh perhatian.

Tak lama kemudian, Sin Hong merasakan ada dua batang jarum tersembul menyentuh telapak tangannya. Dia cepat memberi tanda dan Yok-sian Lo-kai menghentikan urutan jari tangannya. Setelah Sin Hong melepaskan tangannya, nampak gagang dua batang jarum tersembul dan kakek itu lalu mencabutnya.

Bekas luka itu nampak hijau kehitaman dan pada saat itu, Kao Hong Li sudah datang membawa putih telur yang sudah dimasak. Yok-sian Lo-kai lalu mencampuri putih telur itu dengan obat bubuk, memupukkan campuran ini di atas dua lubang kecil bekas jarum, lalu membalutnya.

“Dalam waktu satu jam, obat itu boleh diambil dan semua racun sudah akan dihisap keluar,” katanya dan kini dia mulai mengobati Kao Cin Liong yang masih pingsan. Luka senjata tajam pada punggung Suma Hui tidak berbahaya dan sudah diobati oleh Sin Hong dengan obat luka.

Akan tetapi, pukulan tangan yang mengandung racun Hek-coa-tok memang berbahaya sekali. Yok-sian Lo-kai yang memiliki ilmu pengobatan dengan totokan dan tusuk jarum, lalu mulai bekerja. Dia menotok banyak jalan darah di seluruh tubuh Kao Cin Liong, terutama di seputar tempat luka di punggung. Kemudian dia menggunakan tiga batang jarum emas untuk menusuk bagian-bagian tertentu, lalu menggetarkan jarum-jarum itu dengan tenaga sinkang melalui jari-jari tangannya.

Kurang lebih dua jam kakek ini melakukan pengobatan hingga akhirnya, Kao Cin Liong muntah-muntah dan keluarlah darah menghitam dari mulutnya. Melihat ini tentu saja Sin Hong dan Hong Li terkejut dan memandang dengan hati khawatir. Akan tetapi Yok-sian tersenyum nampak lega, dan saat itu terdengar suara rintihan lirih dari pembaringan di mana Suma Hui berbaring.

Mendengar suara ibunya, Hong Li cepat menghampiri dan ternyata ibunya baru saja siuman. Melihat ibunya bergerak hendak duduk, Hong Li kemudian membantu ibunya bangkit duduk.

“Ibu, bagaimana rasanya badanmu?” Hong Li bertanya, hatinya gembira karena wajah ibunya nampak kemerahan.

Suma Hui agaknya baru teringat akan semua keadaan. “Mana ayahmu?”

Ketika ia menengok ke arah kiri, dan mendengar suaminya muntah-muntah, ia hendak meloncat turun dan tentu akan terjatuh kalau saja tidak ditahan oleh puterinya.

“Perlahan, Ibu. Ayah juga terluka dan baru saja ditolong oleh Locianpwe itu.”

Suma Hui kembali duduk dan kini ia memandang ke arah kakek yang mengurut tengkuk dan punggung suaminya yang masih muntah-muntah, akan tetapi tidak sehebat tadi.

“Dia... dia... Yok-sian Lo-kai?” Suma Hui mengenalnya.

Pengemis tua ahli pengobatan itu sudah selesai menolong Kao Cin Liong dan dia pun kini menghadapi Suma Hui sambil tersenyum.

“Suma Lihiap, engkau masih mengenal aku? Bagus! Sudah ditakdirkan Tuhan bahwa kebetulan saja aku sedang hendak berkunjung ke sini ketika aku melihat engkau dan suamimu terluka.”
“Ahhh, terima kasih Lo-kai. Bagaimana suamiku?”
“Aku juga sudah sembuh. Sungguh besar budi Lo-kai kepada kita!” kata Kao Cin Liong yang kini juga sudah bangkit duduk.

Yok-sian Lo-kai tertawa gembira. “Ha-ha-ha, kalian ini suami isteri pendekar sungguh lucu. Apa itu budi dan dendam? Menjadi biang penyakit saja. Kao Taihiap, sejak engkau menjadi panglima dahulu, entah sudah berapa puluh atau ratus ribu keluarga yang selamat karena sepak terjangmu. Apa artinya pengobatan yang kuberikan sekarang ini? Pula, kalau bukan Tuhan menghendaki kalian suami isteri budiman supaya masih hidup, bagaimana mungkin aku dapat kebetulan berada di sini?”

Kao Cin Liong menghela napas panjang dan dia memandang kepada puterinya dan menantunya. “Ketahuilah, dahulu, ketika aku memimpin pasukan ke barat, pernah aku menderita luka beracun yang nyaris membunuhku. Untung saat itu aku bertemu dengan Yok-sian Lo-kai ini dan dialah pula yang menyembuhkan aku.”
“Ha-ha-ha, urusan sekecil itu masih teringat oleh Kao Tahiap, sedangkan cara Taihiap ketika menyelamatkan puluhan ribu orang di dusun-dusun yang dilanda gerombolan pemberontak sama sekali dilupakannyal”
“Kongkong...! Bo-bo...!” Sian Li datang menghampiri kakek dan neneknya. Mereka lalu bergantian merangkul cucu mereka itu. “Kelak aku yang akan membasmi para penjahat yang telah melukai Kongkong dan Bo-bo!” kata Sian Li penuh semangat.
“Siancai...! Kalian mempunyai seorang cucu yang sehat!” Yok-sian Lo-kai memuji. “Sian Li, anak yang baik, kalau saja engkau mempelajari ilmu pengobatan seperti itu, tentu engkau akan mudah saja tadi menyembuhkan kakek dan nenekmu. Apakah engkau tak ingin belajar ilmu pengobatan?”

“Aku suka sekali! Kakek yang baik, kau ajarkanlah aku ilmu mengobati seperti itu!”
“Siancai...! Tentu saja aku suka sekali dan engkau memang berbakat. Akan tetapi, tentu saja keputusannya tergantung kepada ayah ibumu, Sian Li.”

Kao Cin Liong mengangguk-angguk dan berkata kepada puterinya, “Hong Li, kalau saja anakmu bisa dididik oleh Yok-sian Lo-kai, bukan hanya ilmu pengobatan yang akan diwarisinya, akan tetapi juga ilmu totok Im-yang Sin-ci yang tidak ada duanya di seluruh dunia ini!”

Hong Li memandang kepada suaminya. Ia dan suaminya adalah sepasang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Bagaimana mungkin mereka menyerahkan anak tunggal mereka kepada orang lain untuk di jadikan murid? Agaknya Sin Hong dapat mengerti akan isi hatinya, maka Sin Hong cepat memberi hormat kepada kakek itu.

“Locianpwe, kami sebagai orang tua Sian Li menghaturkan banyak terima kasih atas kemurahan hati Locianpwe yang hendak mendidik anak kami. Akan, tetapi karena dia masih amat kecil, biarlah kami akan mendidik dan memberi pelajaran dasar kepadanya lebih dulu. Kelak kalau sudah tiba waktunya, tentu kami akan membawanya menghadap Locianpwe untuk menerima pendidikan dari Locianpwe.”

Kakek itu tersenyum. “Ahhh, bagus sekali kalau begitu, Taihiap. Memang seorang tua bangka yang hidup sebatang kara seperti aku ini, bagaimana mungkin dapat mendidik seorang anak kecil? Biarlah, kelak kalau usiaku masih panjang, setelah Sian Li menjadi seorang gadis dewasa, aku akan mewariskan kepandaianku kepadanya.”

Keluarga yang kini merasa gembira karena kesembuhan Kao Cin Liong dan Suma Hui, menjamu tamu kehormatan itu dengan makan minum dan mereka mempergunakan kesempatan ini untuk bercakap-cakap.

“Engkau adalah orang yang banyak melakukan perantauan, Lo-kai, tentu engkau dapat menjelaskan apa artinya semua peristiwa yang menimpa kami ini,” kata Kao Cin Liong yang sudah mengenal baik dewa obat itu.

Yok-sian Lo-kai menghela napas panjang. “Seperti cerita kalian tadi, ketua kuil yang murid Siauw-lim-pai itu diserang dan dikejar-kejar beberapa orang tosu Bu-tong-pai dan dia lari ke sini sampai akhirnya tewas pula di sini. Bahkan kalian yang hendak melerai dan melindungi hwesio itu juga hampir menjadi korban. Memang aneh sekali. Kalian menderita pukulan beracun, padahal setahuku, Bu-tong-pai pantang mempergunakan ilmu pukulan yang keji, yang hanya pantas dimiliki para tokoh sesat. Bagaimana pun juga, permusuhan antara Bu-tong-pai dan Siauw-lim-pai memang semakin meruncing, seperti juga permusuhan di antara keempat perkumpulan besar, yaitu Bu-tong-pai, Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai dan Go-bi-pai. Aku sendiri merasa heran, bagaimana orang-orang yang mengaku pendekar, bahkan para pemimpinnya terdiri dari pendeta-pendeta, kini bermusuhan, saling serang dan saling bunuh seperti binatang buas, penuh dendam kebencian. Hayaaa, agaknya memang sudah jamannya begini. Jaman penjajahan yang mendatangkan segala macam bentuk kekeruhan.”

“Akan tetapi, Lo-kai, apakah kita harus tinggal diam saja? Kalau didiamkan bukankah permusuhan itu akan makin berlarut-larut dan hal ini amat melemahkan dunia persilatan terutama golongan putih atau kaum pendekar?” kata Sin Hong sambil mengerutkan alisnya.

“Bukan itu saja, bahkan golongan lain yang tidak ikut bermusuhan, dapat terlibat seperti halnya kami sekarang ini,” kata Hong Li. “Kalau menurutkan hati panas, salahkah kalau kita mendatangi Bu-tong-pai kemudian menuntut balas atas apa yang mereka lakukan terhadap ayah dan ibuku yang sama sekali tidak bersalah terhadap mereka?”

“Dalam urusan ini, hati boleh panas akan tetapi kepala harus tetap dingin,” kata pula Sin Hong. “Kita tidak boleh tergesa-gesa mengambil kesimpulan bahwa Bu-tong-pai sudah mencelakai orang tua kita. Maka, aku juga sudah mengirim surat teguran kepada Ketua Bu-tong-pai dan kita lihat saja bagaimana nanti jawaban dari sana.”

“Siancai... Ji-wi (Kalian berdua) adalah sepasang suami isteri pendekar yang tentu tidak kekurangan kebijaksanaan dan tidak akan bertindak sembarangan. Memang, di dalam jaman penjajahan ini banyak terjadi bentrokan disebabkan salah paham. Ada sebagian pendekar yang mendukung pemerintah karena menganggap pemerintah dapat bersikap baik terhadap rakyat jelata, ada sebaliknya yang membenci penjajah karena mereka itu orang asing. Aihhh, urusan negara adalah urusan yang ruwet, bagaimana aku dapat mencampurinya? Biarlah aku sekarang pergi dan kelak, kalau waktunya tiba, aku akan datang menagih janji untuk mewariskan kepandaian yang ada padaku kepada Sian Li.“

Yok-sian Lo-kai pergi meninggalkan rumah keluarga Kao tanpa dapat ditahan lagi. Oleh karena Kao Cin Liong dan Suma Hui masih lemah biar pun sudah sembuh, maka Sin Hong dan Hong Li yang mewakili mereka melayat ke kuil untuk menghadiri upacara pembakaran atau perabuan jenazah Thian Kwan Hwesio.....
********************
Suma Ceng Liong ialah seorang pendekar sakti yang hidup bersama isterinya di dusun Hong-cun, di luar kota Cin-an Propinsi Shan-tung, di lembah Huang-ho yang subur dan indah. Pendekar ini adalah cucu Pendekar Sakti yang paling lihai, putera dari mendiang Suma Kian Bu yang berjuluk Siluman Kecil.

Memang Suma Ceng Liong selain lihai juga amat gagah perkasa. Usianya sudah empat puluh enam tahun namun dia masih nampak gagah, tinggi besar dengan dagu lonjong dan wajah yang selalu cerah gembira. Pendekar ini bukan saja mewarisi ilmu-ilmu dari keluarga Istana Pulau Es, akan tetapi juga dia pernah digembleng oleh Hek I Mo-ong, seorang datuk sesat yang amat lihai.

Juga di samping ilmu silat, dia pernah mempelajari ilmu sihir karena ibunya, Teng Siang In almarhum, adalah seorang ahli sihir yang ampuh. Oleh karena itu, maka pada waktu itu bisa dianggap bahwa di antara semua keturunan keluarga Istana Pulau Es, pendekar Suma Ceng Liong ini merupakan cucu yang paling lihai di antara tiga orang cucu dalam mendiang Pendekar Super Sakti, yaitu Suma Ciang Bun, Suma Hui, dan Suma Ceng Liong.

Pendekar Suma Ceng Liong menikah dengan seorang wanita yang sakti pula, bahkan dalam hal kepandaian silat tingkatnya seimbang dengan tingkat kepandaian suaminya. Wanita ini bernama Kam Bi Eng, puteri dari Pendekar Sakti Kam Hong, pewaris dari ilmu-ilmu hebat dari Pendekar Suling Emas!

Suami isteri ini semenjak menikah hidup bahagia, saling mencinta, saling menghormat dan saling setia. Mereka hanya mempunyai satu orang keturunan, yaitu seorang anak perempuan yang bernama Suma Lian. Puterinya itu juga seorang pendekar yang lihai dan kini sudah menikah dengan seorang pendekar murid Suma Ciang Bun, bernama Gu Hong Beng yang kini tinggal di daerah Heng-san, sebelah selatan Pao-teng.

Demikiandah sedikit riwayat pendekar sakti Suma Ceng Liong. Setelah puterinya yang menjadi anak tunggal itu menikah enam tahun yang lalu, kini Suma Ceng Liong hidup berdua saja dengan isterinya dan kadang merasa kesepian. Untuk melewatkan waktu menganggur, mereka membuka toko obat di dusun Hong-cun itu.

Mereka tadinya bertahan tidak mau menerima murid. Mereka merasa sayang kalau ilmu kepandaian yang mereka peroleh dari keluarga itu, yang merupakan ilmu silat turun temurun, baik dari Suma Ceng Liong mau pun dari isterinya, Kam Bi Eng, akhirnya bisa dipelajari dan dikuasai orang lain yang bukan keluarga mereka.

Akan tetapi, setahun yang lalu, terjadi kebakaran hebat di rumah keluarga Liem di dusun mereka yang menewaskan seluruh isi rumah, kecuali seorang anak laki-laki mereka yang selamat karena kebetulan berada di luar rumah. Suami isteri pendekar itu merasa kasihan sekali kepada Liem Sian Lun, anak laki-laki itu.

Melihat betapa anak laki-laki berusia tujuh tahun itu sedemikian tabahnya menghadapi mala petaka yang menimpa keluarganya sehingga dia menjadi yatim piatu dan sama sekali tidak mempunyai anggota keluarga lagi, melihat anak itu hanya berlutut di depan makam ayah ibunya seperti patung, tidak menangis, tergerak hati mereka.

Suami isteri ini kemudian mengajak Sian Lun pulang. Mula-mula mereka hanya ingin menolong saja, menjadikan Sian Lun sebagai pembantu rumah tangga dan pembantu di toko rempah-rempah milik mereka.

Akan tetapi, melihat betapa anak itu amat pendiam, penurut dan berwatak baik sekali, juga setelah mereka mendapat kenyataan bahwa anak itu berbakat dan bertulang baik, keduanya sepakat untuk mengambil Sian Lun sebagai murid, bahkan dianggap sebagai anak karena setelah Suma Lian pergi mengikuti suaminya, mereka berdua sering kali merasa kesepian.

Biar pun tahu bahwa dia disayang, digembleng ilmu silat bahkan dianggap sebagai anak angkat, Sian Lun tetap bersikap rendah hati dan rajin bekerja sehingga pasangan suami isteri pendekar itu menjadi semakin sayang kepadanya.

Karena sikapnya yang rendah hati ini, walau pun para pegawai toko obat dan rempah-rempah itu tahu belaka bahwa Sian Lun diperlakukan seperti anak angkat oleh majikan mereka, namun tak seorang pun merasa iri. Sian Lun membantu pekerjaan di toko, di rumah, tidak malas dan tidak segan untuk melakukan pekerjaan dan mengepel, bahkan membantu pekerjaan pelayan di dapur. Pendeknya, di mana ada kesibukan, di situ tentu ada Sian Lun, maka dia pun disayang oleh seisi rumah.

Diam-diam pendekar Suma Ceng Liong dan isterinya merasa sayang sekali pada murid ini dan menaruh harapan besar kepada diri anak itu bahwa kelak akan dapat mewarisi kepandaian mereka dan menjunjung tinggi nama mereka sebagai seorang pendekar budiman. Sejak berusia tujuh tahun saja sudah nampak bahwa Sian Lun selain berotak terang, mudah menghafal pelajaran baik sastra mau pun silat, juga bertubuh tinggi dan tegap, pendiam serta tabah sekali, wajahnya pun cerah.

Ketika utusan dari Kao Cin Liong tiba, Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng sedang duduk di ruangan depan. Hari masih pagi dan toko obat mereka masih tutup, para pegawai sedang membersihkan toko dan bersiap-siap untuk membukanya. Sian Lun sejak pagi tadi sudah bangun, sudah menyapu pekarangan dan sekarang sedang sibuk menyirami tanaman kembang kesukaan subo-nya (ibu gurunya).

Penunggang kuda yang memasukkan kudanya ke pekarangan itu, kemudian meloncat turun tergesa-gesa, amat menarik perhatian. Melihat betapa pria berusia empat puluhan tahun itu nampak lelah, pakaiannya penuh debu dan jelas bahwa dia baru melakukan perjalanan yang jauh, Suma Ceng Liong dan isterinya memandang dengan hati tertarik. Bahkan Sian Lun yang sedang menyiram kembang cepat menurunkan ember airnya dan lari menghampiri orang yang meloncat turun dari punggung kudanya.

“Paman mencari siapakah, dari mana Paman datang dan siapakah nama Paman? Aku akan melaporkan kepada Suhu dan Subo,” kata Sian Lun dengan sikap hormat, akan tetapi sepasang matanya yang tajam mengamati wajah pendatang itu penuh selidik.

Mendengar anak itu menyebut suhu dan subo, utusan ini pun bersikap ramah. “Anak yang baik, tolonglah beri tahu kepada Locianpwe Suma Ceng Liong dan Nyonya bahwa saya datang sebagai utusan dari keluarga Kao di Pao-teng dan membawa berita yang sangat penting.”

Dari suhu dan subo-nya, Sian Lun pernah mendengar akan nama para keluarga dan kenalan mereka yang terdiri dari para pendekar. Mendengar bahwa orang ini utusan dari keluarga Kao di Pao-teng, maka dia cepat berlari menuju ke ruangan depan di mana suhu dan subo-nya sedang duduk minum teh pagi.

“Suhu dan Subo, maafkan kalau teecu mengganggu. Akan tetapi penunggang kuda itu mengaku utusan dari keluarga Kao di Pao-teng. Katanya membawa berita yang amat penting untuk Suhu dan Subo.”

Tentu saja suami isteri pendekar itu amat terkejut mendengar bahwa penunggang kuda itu utusan keluarga Kao di Pao-teng. Kalau tidak ada urusan penting sekali, tentu Kao Cin Liong tidak akan mengirim utusan. Isteri Kao Cin Liong, yaitu Suma Hui, adalah kakak sepupu Suma Ceng Liong, maka dia pun cepat bangkit dan memandang ke arah penunggang kuda itu.

“Saudara utusan dari Pao-teng, harap lekas datang ke sini menyampaikan berita itu kepada kami!” Lalu kepada murid mereka Suma Ceng Liong berkata, “Sian Lun, cepat kau rawat kuda itu, beri makan dan minum di kandang kuda!”

Sian Lun mentaati perintah gurunya. Dia menerima kendali kuda yang nampak sangat kelelahan itu, cepat membawanya ke kandang di bagian belakang. Sedangkan tamu itu dengan sikap hormat lalu menghampiri tuan dan nyonya rumah yang menanti di serambi depan.

Setelah dipersilakan duduk dan memperkenalkan diri, tamu itu kemudian mengeluarkan sesampul surat yang ditulis oleh Tan Sin Hong, mantu keponakan mereka dan begitu membaca isinya, suami isteri itu mengerutkan alis dengan kaget. Surat itu memberi tahu bahwa kakak sepupu Suma Ceng Liong, yaitu Suma Hui dan suaminya, Kao Cin Liong, terluka parah karena pukulan-pukulan beracun dari para tosu Bu-tong-pai dan bahwa mereka berdua diminta untuk segera datang berkunjung ke Pao-teng untuk memberi pertolongan.

Suma Ceng Liong memandang utusan enci-nya itu dengan pandang mata penuh selidik dan minta padanya untuk menceritakan sejelasnya apa yang telah terjadi. Pelayan toko itu tidak dapat bercerita banyak.

Dia hanya menceritakan apa yang telah didengarnya saja, yaitu bahwa pada beberapa hari yang lalu, pada waktu malam hari, rumah majikannya diserbu beberapa orang tosu Bu-tong-pai yang berkelahi dengan ketua kuil, yaitu Thian Kwan Hwesio di atas rumah majikan mereka. Majikan mereka suami isteri berusaha melerai akan tetapi mereka juga menjadi korban pemukulan para tosu Bu-tong-pai yang marah itu.

Akhirnya Tan Sin Hong dan Kao Hong Li yang ketika kejadian kebetulan berada di sana berhasil mengusir para tosu Bu-tong-pai. Sekarang kedua orang majikan mereka dalam keadaan terluka parah, sedangkan hwesio Siauw-lim-pai itu tewas.

“Kami akan berangkat sekarang juga!” kata Ceng Liong.

Kepada utusan itu dia sarankan untuk beristirahat lebih dahulu sebelum pulang, dan dia menyuruh seorang pembantunya untuk menyambut tamu itu. Dia memanggil Sian Lun dan memesan kepada anak itu agar baik-baik menjaga rumah karena dia dan isterinya akan pergi ke Pao-teng.

Sian Lun mematuhi perintah suhu-nya tanpa berani banyak bertanya. Namun sesudah suhu dan subo-nya pergi, Sian Lun mendapat banyak kesempatan untuk berbicara dan bertanya-tanya kepada utusan dari Pao-teng itu.

Karena anak itu merupakan murid tuan rumah, utusan itu tidak menganggapnya orang luar dan dia pun menceritakan semua hal yang terjadi. Diam-diam Sian Lun mencatat dalam ingatannya dan merasa heran sekali.

Menurut keterangan suhu dan subo-nya, dalam dunia persilatan terdapat dua golongan, yaitu golongan putih atau para pendekar, dan golongan hitam atau para penjahat. Dan Bu-tong-pai termasuk golongan putih. Mengapa sekarang orang Bu-tong-pai membunuh seorang hwesio Siauw-lim-pai, bahkan juga melukai suami isteri yang terkenal menjadi pendekar itu?

Dia mendengar dari suhu-nya, siapa adanya pendekar besar Kao Cin Liong dan siapa pula isterinya yang bernama Suma Hui. Pendekar Kao Cin Liong merupakan keturunan keluarga Istana Gurun Pasir, dan Suma Hui adalah kakak sepupu suhu-nya, keturunan keluarga Istana Pulau Es!

Kedatangan Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng, disambut dengan gembira oleh Kao Cin Liong dan Suma Hui, juga oleh Tan Sin Hong dan Kao Hong Li yang masih berada di situ. Sebaliknya, Suma Ceng Liong dan isterinya juga girang melihat bahwa kakaknya telah sembuh, demikian pula kakak iparnya.

"Kami masih dilindungi Thian dan bertemu dengan Yok-sian Lo-kai sehingga kami dapat disembuhkan dengan cepat," berkata Suma Hui kepada adiknya, Suma Ceng Liong, setelah dua orang tamu itu dipersilakan duduk di ruangan dalam.

"Yok-sian Lo-kai? Ah, sudah pernah kudengar nama besarnya, Enci Hui, akan tetapi aku belum pernah bertemu dengan dia. Sungguh kebetulan sekali dia dapat mengobati Enci dan juga Cihu. Akan tetapi, bagaimana mungkin kalian sampai terluka oleh penjahat, padahal di sini terdapat pula puteri kalian dan mantu kalian yang amat lihai ini?"

Suma Ceng Liong memandang kepada Tan Sin Hong dan Kao Hong Li, seolah hendak menegur kenapa mereka itu tidak mampu melindungi orang tua mereka.

Kao Cin Liong menghela napas panjang. "Semuanya terjadi di luar persangkaan. Begitu mendadak. Lima orang tosu itu memang amat lihai, dan biar pun demikian, mereka pasti tidak akan mungkin dapat melukai kami kalau saja di samping kelihaian mereka, mereka itu tidak amat licik dan curang. Mereka menggunakan kecurangan sehingga kami lengah dan terluka."

"Hemm, kalau lain kali aku bertemu dengan mereka, akan kuhancurkan kepala mereka itu satu demi satu!" kata Suma Hui yang wataknya keras.
"Tidak, Bo-bo. Bo-bo sudah tua, biarlah aku yang akan mencari mereka dan membasmi mereka yang jahat itu!"

Tiba-tiba terdengar suara anak kecil dan Sian Li memasuki ruangan itu. Semua orang menengok dan Suma Ceng Liong dan isterinya memandang kagum. Anak berpakaian merah itu biar baru berusia empat tahun nampak begitu lincah dan gagah.

"Siapakah anak manis ini?" tanya Kam Bi Eng.

Kao Hong Li segera berkata, "Sian Li, hayo cepat memberi hormat kepada kakek dan nenekmu ini. Kakek Suma Ceng Liong ini adalah adik dari nenekmu dan nenek Kam Bi Eng ini isterinya." Hong Li memperkenalkan paman dan bibinya.

Sepasang mata yang lebar dan bening itu mengamati Suma Ceng Liong serta Kam Bi Eng dengan amat heran. "Ibu, mereka itu masih muda dan gagah, bagaimana aku harus menyebut mereka Kakek dan Nenek? Mereka belum pantas disebut Kakek dan Nenek, pantasnya Paman dan Bibi."

Semua orang tertawa mendengar ucapan yang jujur dan lucu itu. Kam Bi Eng kemudian meraihnya dan merangkul Sian Li, menciumi pipinya.

Sian Li memandang wajah Bi Eng dan berkata, "Bibi ini cantik dan gagah sekali, seperti Ibu!"

Kam Bi Eng tertawa. "Ih, engkau ini perayu. Aku ini nenekmu, usiaku sudah tua, sudah dua kali ibumu. Ibumu adalah keponakanku." Ia membelai tubuh anak itu dan berseru kagum, "Aihhh, anakmu ini memiliki tulang dan bakat yang sangat baik, Sin Hong" Lalu kepada suaminya ia pun berkata, "Cobalah kau periksa sendiri!" Dan dengan lembut ia mendorong anak itu kepada Suma Ceng Liong yang juga merangkulnya.

Suma Ceng Liong mengangguk-angguk. "Kalian memang beruntung. Anak ini memiliki bakat yang amat baik. Hemmm, kami akan merasa berbahagia sekali kalau kelak dapat memberi sedikit bimbingan kepadanya."

"Aihhh, mengapa tidak?" kata Suma Hui. "Kalau adikku Ceng Liong yang memberikan bimbingan, aku yakin kelak Sian Li akan menjadi seorang gadis pendekar yang hebat dan pantas sekali dijuluki Si Bangau Merah Sakti! Sian Li, cepat kau memberi hormat dan terima kasih kepada kakek dan nenekmu itu!"

Sian Li memang seorang anak yang amat cerdik. Ia sudah pernah mendengar bahwa ilmu kepandaian paman kakeknya ini amat hebat, maka mendengar seruan neneknya, ia pun cepat menjauhkan diri berlutut di depan Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng yang duduk bersanding. "Kakek dan Nenek, aku menghaturkan terima kasih kepada Kakek dan Nenek!"

Kao Hong Li dan Tan Sin Hong saling pandang, lalu Sin Hong tertawa.

"Ha-ha-ha, anak kami ini masih kecil, baru berusia empat tahun, tetapi sudah banyak yang menjanjikan akan mengambilnya sebagai murid. Ketika Yok-sian Lo-kai mengobati Ayah dan Ibu, dia pun telah minta agar kelak Sian Li boleh mewarisi ilmu-ilmunya, dan sekarang ini Paman dan Bibi juga menjanjikan demikian."

Kao Hong Li cepat memberi hormat kepada Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. "Paman dan Bibi sungguh berbudi, dan atas nama anakku, aku menghaturkan banyak terima kasih."

Sin Hong juga bangkit memberi hormat dan suasana menjadi gembira sekali. Hal ini tentu saja tak akan mungkin terjadi kalau Kao Cin Liong dan Suma Hui masih terancam bahaya seperti tempo hari. Mereka lalu membicarakan tentang permusuhan yang timbul antara para partai persilatan besar.

"Sungguh menyebalkan sekali kalau diingat," kata Suma Ceng Liong. "Bagaimana sih jalan pikiran para pimpinan partai persilatan besar itu? Bangsa kita dijajah orang Mancu, dan betapa pun besar usaha pemerintah Mancu untuk memakmurkan rakyat jelata tetap saja bangsa kita dijajah, menjadi budak dan para pembesar semua adalah orang-orang Mancu, atau kalau ada orang Han juga mereka adalah anjing-anjing penjilat yang tidak segan menindas bangsa sendiri demi kesetiaan mereka pada pemerintah Mancu. Akan tetapi, kini partai-partai besar bahkan ribut saling bermusuhan sendiri sehingga tentu saja rakyat jelata menjadi semakin menderita, golongan sesat pun merajalela tanpa ada yang menentangnya. Aihh, sungguh menyedihkan sekali!"

"Adik Liong, kenapa engkau bisa bilang begitu? Lupakah engkau bahwa darah kita ini pun merupakan darah campuran. Kakek kita Suma Han memang seorang Han tulen, akan tetapi bagaimana dengan Nenek kita? Puteri Nirahai, Nenekmu, dan puteri Lulu, Nenekku, bukanlah orang Han." Suma Hui memperingatkan.

Suma Ceng Liong mengerutkan alisnya. "Tidak kusangkal akan kebenaran hal itu, Enci. Memang kenyataannya demikian. Akan tetapi, Kakek kita, Ayah kita, semenjak dahulu adalah orang-orang gagah yang menjadi pembela rakyat jelata walau pun tidak pernah mencampuri urusan kenegaraan. Bahkan suamimu, Cihu (Kakak Ipar) Kao Cin Liong juga mengundurkan diri dari jabatan panglima karena sungkan untuk mengabdi kepada orang-orang Mancu. Kita tidak perlu menentang pemerintah Mancu, akan tetapi kita harus tetap menjadi pendekar yang membela kepentingan rakyat jelata yang tertindas, menentang semua penindas tidak peduli dari bangsa apa pun! Kalau kini perkumpulan para pendekar seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, dan Go-bi-pai saling serang sendiri, bukankah itu amat menyedihkan?"

"Sudahlah, hal itu tidak cukup hanya disesalkan saja. Melihat cara para tosu Bu-tong-pai itu melakukan kecurangan ketika menyerang kami, aku yakin bahwa ada suatu rahasia yang tersembunyi di balik ini semua. Aku bahkan mempunyai dugaan bahwa mereka itu bukan orang-orang Bu-tong-pai yang asli!"

"Tetapi, bukankah sudah lama kita mendengar bahwa memang terdapat permusuhan antara Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai?" Suma Hui mencela. "Sebelum tewas pun Thian Kwan Hwesio sendiri mengaku bahwa mereka adalah orang-orang Bu-tong-pai. Bagai mana dia bisa keliru sangka?"
"Keadaan itu memang aneh dan mencurigakan," kata Sin Hong. "Harap Ibu dan Ayah mertua suka menenangkan hati. Sudah menjadi kewajiban saya untuk kelak melakukan penyelidikan. Siapa tahu ada orang luar yang menyelundup ke dalam Bu-tong-pai. Saya mengenal baik para pimpinan Bu-tong-pai dan sudah saya surati ke sana untuk minta pertanggungan jawab mereka."

Dua utusan yang lain beberapa hari kemudian pulang. Yang diutus mengundang Suma Ciang Bun tidak berhasil karena pendekar itu tidak berada di rumah dan tidak seorang pun tahu ke mana perginya. Seperti kita ketahui, Suma Ciang Bun bertemu dengan Gangga Dewi dan keduanya melakukan pengejaran dan pencarian untuk menolong Yo Han yang dilarikan Ang-I Moli dan kawan-kawannya.

Akan tetapi utusan dari Bu-tong-pai datang membawa surat dari Ketua Bu-tong-pai. Seperti telah diduga oleh Sin Hong, di dalam suratnya itu Ketua Butong-pai menyangkal telah menyerang keluarga Kao di Pao-teng!

Memang terdapat sedikit pertentangan dan kesalah pahaman antara Bu-tong-pai dan Siauw-lim-pai, demikian antara lain surat itu mengatakan, akan tetapi itu hanya terbatas di kalangan murid-murid yang tinggal di luar pusat saja. Para pimpinan kedua pihak sedang melakukan penyelidikan dan belum terdapat pertentangan resmi atau berterang. Maka, Ketua Bu-tong-pai menyangsikan bahwa yang membunuh Thian Kwan Hwesio, kepala kuil Pao-teng, bahkan juga melukai pendekar besar Kao Cin Liong dan isterinya, adalah para murid Bu-tong-pai.

Keluarga pendekar itu kini mengadakan perundingan. "Keadaannya sungguh gawat dan perlu penyelidikan," kata Suma Ceng Liong. "Kalau dibiarkan berlarut-larut, tentu akan timbul pertentangan hebat dan akan rusak binasalah para pendekar dari partai-partai besar karena permusuhan yang tidak menentu ujung pangkalnya ini."

"Pendapat Paman itu memang tepat sekali. Saya sendiri sudah mendengar pula bahwa bukan hanya Bu-tong-pai dan Siauw-lim-pai saja yang dilanda pertentangan, bahkan juga Go-bi-pai dan Kun-lun-pai. Agaknya di antara empat partai besar ini timbul suatu kesalah pahaman besar yang membuat mereka saling curiga, dan di antara murid-murid mereka terdapat permusuhan. Saya kira, sudah sepantasnya bila kita semua berusaha mendamaikan."

"Tepat sekali!" Kao Cin Liong juga berseru. "Memang kita harus berusaha menjernihkan segala kekeruhan ini agar tidak berlarut-larut!"

Isterinya, Suma Hui cemberut. "Terlalu enak kalau para pengecut itu didiamkan saja. Bu-tong-pai harus bertanggung jawab dan mencari para pengecut itu sampai dapat, baru aku mau menghabiskan urusan ini dengan Bu-tong-pai!"

Suaminya menghiburnya. "Kita harus bersabar dan tidak makin mengeruhkan suasana. Sudah jelas bahwa Bu-tong-pai dipalsukan orang, tentu saja kita tak bisa menyalahkan Bu-tong-pai. Aku yakin bahwa Bu-tong-pai sendiri akan bertanggung jawab dan akan mencari pengacau itu sampai dapat. Lebih baik kalau kita, keluarga kita, mengundang mereka semua ke sini."

"Bukankah beberapa bulan lagi merupakan hari ulang tahun Ayah yang ke enam puluh empat? Bagaimana kalau kita mengundang mereka untuk menghadiri ulang tahun itu? Dengan demikian tak akan menyolok dan mereka tentu akan datang semua, mengingat akan hubungan baik antara Ayah dan para pendekar," kata Kao Hong Li.

Semua orang setuju dan segera mengatur undangan kepada para tokoh persilatan, terutama empat partai besar itu untuk menghadapi pesta perayaan ulang tahun Kao Cin Liong yang akan jatuh pada tiga bulan lagi.

Setelah bermalam di situ selama satu minggu, Suma Ceng Liong dan isterinya pulang ke dusun Hong-cun di kota Cin-an, sedang Tan Sin Hong, isteri dan anaknya kembali ke Ta-tung setelah mereka berjanji kepada Suma Ceng Liong bahwa kelak puteri mereka Sian Li, akan diantar ke Hong-cun untuk belajar silat dari pendekar sakti itu.....

********************
Selanjutnya baca
SI BANGAU MERAH : JILID-08
LihatTutupKomentar