Kemelut Kerajaan Mancu Jilid 04


Setelah tiba di gedung berupa istana megah itu, Gui Tiong dan Kong Liang dibawa masuk ke dalam sebuah ruangan luas yang diterangi banyak lampu besar dan berisikan perabot rumah yang serba indah. Di situ telah duduk Pangeran Leng Kok Cun. Di luar ruangan itu berjaga banyak prajurit pengawal dan di belakang Sang Pangeran terdapat pula belasan orang yang duduk berjajar. Mereka tampak gagah dan menyeramkan.

Gui Tiong sudah pernah melihat Pangeran Leng Kok Cun, akan tetapi Bu Kong Liang baru sekarang melihatnya/ Dia memandang penuh perhatian.

Pangeran itu mengenakan pakaian yang indah gemerlapan. Usianya sekitar empat puluh tiga tahun. Tubuhnya tinggi kurus dan tampaknya lemah, akan tetapi matanya yang lincah dan tajam itu membayangkan kecerdikan, wibawa, serta kekuatan. Tidak mungkin orang yang memiliki pandang mata seperti itu adalah seorang yang lemah, pikir Kong Liang.

“Kalian berdua duduklah!” kata Sang Pangeran mempersilakan kedua orang itu duduk di atas kursi-kursi yang terdapat di situ.
“Terima kasih, Pangeran.” Mereka berkata dan keduanya lalu duduk berhadapan dengan Sang Pangeran.

Melihat betapa pangeran itu mempersilakan mereka duduk di atas kursi dan berhadapan dengannya, tidak harus berlutut di atas lantai, diam-diam Gui Tiong memuji pangeran ini sebagai orang yang pandai mengambil hati orang. Dia menjadi semakin hati-hati karena sikap ini saja sudah membayangkan bahwa dia berhadapan dengan seorang yang cerdik sekali.

“Apakah kalian berdua sudah mendengar keterangan Locianpwe Pat-chiu Lo-mo tentang mengapa kalian kini dihadapkan kepadaku di sini?” tanya pangeran itu, suaranya lembut dan manis.
“Saya sudah mendengar dan mengerti, Pangeran. Akan tetapi sebelum kita bicara lebih lanjut, saya mohon dapat diperbolehkan melihat apakah benar anak perempuan saya kini berada di sini.”
“Hemm, ternyata engkau seorang yang cerdik dan tidak mudah dibohongi, Gui Kauwsu. Hal ini semakin memperkuat harga dirimu sebagai pembantu kami yang dapat dipercaya. Ketahuilah bahwa kami bukan tukang bohong. Tentu saja engkau boleh melihat puterimu agar yakin bahwa puterimu berada di tangan kami yang menanggung keselamatannya.”

Pangeran Leng memberi isyarat kepada seorang pengawal yang duduk di belakangnya. Orang itu, yang bermuka hitam dan bertubuh tinggi besar, memberi hormat lalu keluar dari ruangan itu. Tidak lama kemudian daun pintu yang menembus ruangan itu terbuka dan di ambang pintu muncul Gui Siang Lin dengan kedua kakinya memakai gelang rantai baja yang panjang dan di belakang gadis itu terdapat lima orang menodongkan pedang mereka ke arah gadis itu!

“Siang Lin...!” Gui Tiong berseru khawatir.
“Tenanglah, Ayah!” kata gadis itu dengan suara lantang dan berani. “Dan jangan sampai Ayah menurut saja bila disuruh melakukan hal yang berlawanan dengan suara hati Ayah. Lebih baik aku mati dari pada Ayah harus melakukan perbuatan jahat. Aku tak takut mati, Ayah!”

Mendengar ini, Pangeran Leng cepat memberi isyarat dan daun pintu itu ditutup kembali. Gui Tiong hanya mendengar suara rantai yang tergantung pada kaki puterinya itu diseret ketika gadis itu meninggalkan ruangan itu.

“Ha-ha-ha, ayahnya naga, puterinya tentu naga pula! Sungguh mengagumkan sekali! Akan tetapi jika engkau tidak mau membantu kami, maka dengan hati berat terpaksa aku akan menyerahkan puterimu kepada puluhan orang prajurit yang boleh berbuat apa saja pada dirinya, bahkan sampai mati! Dia akan tersiksa lahir batin sampai mati, dan kalian berdua juga tidak akan terbebas dari hukuman mati!”

Ancaman ini sungguh hebat. Meski pun tidak takut mati, Kong Liang sendiri menjadi ragu apakah dia akan melawan dengan kekerasan kalau keselamatan Gui Tiong dan Gui Siang Lin terancam. Terutama sekali ancaman terhadap Siang Lin membuat dia bergidik ngeri dan juga membuat mukanya menjadi merah saking marahnya.

“Baik, demi keselamatan anak saya, saya menyerah dan bersedia membantu Pangeran. Akan tetapi, pekerjaan apakah yang harus saya lakukan?” tanya Gui Tiong.
“Nanti dulu, yang kami inginkan adalah agar kalian berdua yang menyerah dan membantu kami, mentaati semua perintah kami. Sekarang engkau belum menyatakan kesediaanmu membantu kami, Bu Kong Liang. Ingat, engkau pernah membunuh prajurit kerajaan. Jika engkau menolak untuk membantu kami, berarti engkau memang seorang pemberontak yang menentang kerajaan kami. Kalau engkau bukan pemberontak, tentu dengan senang hati engkau akan membantu kami!”

Bu Kong Liang mengerutkan alisnya dan merasa tidak berdaya. Sekarang dia tahu bahwa dua orang anak buah pangeran ini, Phang Houw dan Louw Cin yang pernah mengerahkan prajurit mengeroyoknya, tentu sudah melaporkan kepada Pangeran Leng.

Boleh saja dia menyangkal bahwa yang membunuh prajurit bukan dia melainkan Ang-mo Niocu, akan tetapi apa gunanya? Tetap saja dia harus menyerah dan menurut, jika tidak, tentu Gui Tiong dan Gui Siang Lin akan celaka. Maka ia pun diam saja dan menyerahkan percakapan itu kepada susiok-nya.

Sesudah menghela napas panjang akhirnya Gui Tiong berkata, “Baiklah, Pangeran, untuk membuktikan bahwa kami berdua sama sekali bukan pemberontak, kami menyerah dan akan menaati perintah Paduka dan bersedia untuk membantu.”

“Ha-ha-ha, bagus! Kalau begitu, akulah yang akan melindungi kalian dan takkan ada yang berani menuduh kalian pemberontak. Kalian adalah pembantu-pembantuku, tidak mungkin memberontak!”
“Terima kasih, Pangeran. Harap Paduka jelaskan, perintah apa yang harus kami lakukan?” tanya Gui Tiong dengan perasaan amat tidak enak.
“Jangan tergesa-gesa. Malam ini kalian beristirahatlah dahulu. Besok baru akan kami beri-tahukan, apa yang harus kalian lakukan untuk kami.” Pangeran Leng lalu berkata kepada Pat-chiu Lo-mo untuk membawa dua orang murid Siauw-lim-pai itu ke kamar mereka.

Gui Tiong dan Bu Kong Liang lalu dikawal Pat-chiu Lo-mo, Twa-to Ngo-liong dan ditambah empat orang pengawal lain dari mereka yang duduk di belakang Pangeran Leng, masuk ke dalam dan ternyata mereka mendapatkan kamar yang terpisah. Mereka terkejut dan kecewa, akan tetapi tidak dapat menolak.

Begitu memasuki kamar masing-masing, kamar yang tak berapa besar tapi cukup bersih dan perabotnya serba mewah, mereka berdua lantas duduk bersila di atas pembaringan untuk mengendalikan perasaan sambil mengumpulkan tenaga. Dalam keadaan seperti itu mereka harus selalu tenang dan sehat agar jika sewaktu-waktu harus bertanding, mereka sudah siap.

Agak sukar bagi kedua orang itu untuk dapat tidur pulas. Gui Tiong lalu membayangkan puterinya dan hatinya langsung merasa khawatir bukan main. Sedangkan Bu Kong Liang memikirkan nasib ayah dan anak itu.

Mereka tertimpa mala petaka akibat kunjungannya ke rumah mereka. Andai kata dia tidak datang berkunjung, tentu Gui Tiong dan puterinya masih berada di rumah mereka dalam keadaan selamat. Dia merasa menyesal bukan kepalang dan di dalam hatinya mengambil keputusan untuk membela ayah dan anak itu sekuat tenaga.

Pada keesokan harinya mereka belum juga ditemui Pangeran Leng. Mereka diperlakukan dengan baik, bahkan diberi kesempatan bertemu dengan Gui Siang Lin. Gadis itu berada dalam sebuah kamar lain yang pintunya berterali kokoh dan kuat. Dari luar pintu, mereka dapat melihat keadaan dalam kamar itu yang indah dan bersih.

Gui Tiong dapat bicara dengan puterinya melalui daun pintu itu dan diberi waktu beberapa lamanya oleh para prajurit yang mengawal mereka. Lega hatinya ketika Gui Tiong melihat betapa puterinya berada dalam keadaan sehat.

“Engkau baik-baik saja, Siang Lin?” tanya Gui Tiong.

Gadis itu mengangguk. “Mereka menganggap aku sebagai seorang tamu, dan sejauh ini mereka memperlakukan aku dengan baik dan sopan, Ayah. Bagaimana dengan Ayah dan Bu Suheng?”

“Kami pun baik-baik saja,” kata Gui Tiong dan Kong Liang mengangguk kepada gadis itu ketika mereka saling berpandangan.
“Ayah, apa arti penangkapan ini? Apakah rencana Pangeran Leng terhadap kita bertiga?”

Gui Tiong menghela napas panjang. “Kami diminta untuk menyerah dan bersedia menjadi pembantu Pangeran Leng dan menaati semua perintahnya.”

“Perintah apa yang diberikan kepada Ayah dan Suheng yang harus kalian lakukan?”
“Kami belum tahu, belum menerima perintah melakukan sesuatu untuk Pangeran Leng.”

Pada saat itu Gui Tiong merasa betapa lengannya disentuh Kong Liang. Dia menengok dan melihat pemuda itu menujukan pandang matanya ke arah kaki Siang Lin. Cepat Gui Tiong menoleh dan melihat betapa kedua kaki puterinya tidak dibelenggu lagi, dia maklum isyarat apa yang diberikan pemuda itu. Setelah Siang Lin bebas tidak terbelenggu, tentu Kong Liang berpikir bahwa kini mereka bertiga dapat melawan dan melarikan diri dari situ.

Akan tetapi semenjak tadi Gui Tiong sudah melihat sesuatu dan kini dia memberi isyarat kepada Kong Liang dengan matanya mengerling ke atas. Pemuda itu memandang ke atas dan dia pun terkejut karena di atap kamar itu terdapat lubang-lubang dan tidak kurang dari enam batang anak panah tampak sudah siap diluncurkan ke bawah! Ini berarti bahwa di atas atap itu terdapat enam orang pemanah yang selalu siap menyerang Siang Lin.

Agaknya, bagaimana pun lihainya gadis itu, bila berada dalam kamar dan diserang enam batang anak panah dan tentu saja dapat disusul anak panah berikutnya, sukar baginya untuk dapat menyelamatkan diri. Apa lagi Kong Liang melihat betapa mata anak panah itu hijau kehitaman, tanda bahwa mata anak panah itu beracun.....!

Maka maklumlah Kong Liang bahwa Pangeran Leng yang cerdik itu telah mempersiapkan segala-galanya. Tidak mungkin bagi dia dan Gui Tiong untuk melawan karena akibatnya yang pertama adalah kematian Siang Lin akibat dihujani anak panah beracun! Tampaknya untuk sementara ini tidak ada jalan lain lagi kecuali menyerah dan melaksanakan perintah Pangeran Leng!

Waktu yang diberikan kepala pengawal bagi mereka untuk bicara dengan Siang Lin telah habis, dan mereka diminta supaya kembali ke kamar masing-masing. Seharian itu mereka mendapat makan minum yang cukup mewah, diantar ke kamar masing-masing. Mereka diberi kesempatan untuk mandi, bahkan pakaian Gui Tiong serta puterinya sudah diambil dari rumah mereka kemudian diberikan kepada mereka.

Juga buntalan pakaian Kong Liang diambil dari rumah Gui Tiong lantas diberikan pemuda itu. Uang yang terdapat di dalam buntalan itu dan senjata mereka berdua diserahkan juga! Gui Tiong menerima sepasang goloknya dan Bu Kong Liang sepasang siang-kek (senjata tombak pendek bercabang) miliknya.

Mereka berdua dapat menduga bahwa Pangeran Leng tentu merasa yakin akan ketidak-berdayaan mereka berdua. Memang perhitungan pangeran itu tepat sekali. Selama Siang Lin disandera, tentu saja keduanya tidak berani melawan karena hal itu berarti tewasnya Siang Lin!

Malam itu mereka diundang makan malam oleh Pangeran Leng. Sesudah mereka tiba di kamar makan yang luas, di sana telah duduk Pangeran Leng di kepala meja makan dan di situ hadir pula Pat-chiu Lo-mo yang bongkok, lima orang Twa-to Ngo-liong yang bertubuh tinggi besar serta dua orang lain yang membuat Bu Kong Liang menjadi merah mukanya karena marah.

Dua orang itu bukan lain adalah Hui-eng-to Phang Houw yang gemuk pendek dan Ketua Liong-bu-pang Louw Cin yang tubuhnya tinggi kurus! Mereka berdua itu hanya tersenyum ketika melihat Kong Liang memasuki ruangan bersama Gui Tiong.

“Ha, Gui Kauwsu (Guru Silat Gui) dan Bu Enghiong (Pendekar Bu), silakan duduk dan marilah makan bersama kami! Oh ya, perkenalkan ini Hui-eng-to Phang Houw dan Ketua Liong-bu-pang Louw Cin.”

Gui Tiong dan Kong Liang mengangguk dan mereka lalu mengambil tempat duduk di atas dua buah kursi yang agaknya memang disediakan untuk mereka.

“Kita makan dulu baru nanti membicarakan hal penting!” kata Sang Pangeran dan dia lalu bertepuk tangan.

Sepuluh orang gadis pelayan yang muda dan cantik datang bagaikan sepuluh ekor kupu-kupu terbang. Agaknya mereka sudah diatur karena tanpa ragu-ragu mereka lalu masing-masing menghampiri seorang tamu. Dengan gaya yang manis dan lembut sopan mereka menuangkan arak ke dalam cawan sepuluh orang itu.

Mereka lalu makan minum, dilayani masing-masing oleh seorang pelayan yang membuat Bu Kong Liang merasa tak tenang. Dia merasa amat canggung dan malu dilayani seorang gadis, hal yang belum pernah dia alami sepanjang hidupnya!

Setelah selesai makan minum, Pangeran Leng lalu mengajak sepuluh orang itu ke sebuah kamar yang biasa digunakan untuk mengadakan rapat tertutup dan rahasia. Sekarang Gui Tiong dan Kong Liang melihat betapa ruangan-ruangan di mana mereka berdua berada tak lagi terjaga pasukan pengawal dengan ketat. Mereka berdua maklum bahwa memang hal ini tidak diperlukan lagi. Pangeran Leng tentu yakin bahwa selama Siang Lin menjadi sandera, dua orang itu tidak akan berbuat sesuatu untuk menentangnya!

Sesudah semua orang duduk mengitari sebuah meja besar dan semua daun pintu berikut jendela tertutup rapat, Pangeran Leng lalu berkata kepada dua orang ‘pembantu’ baru itu.

“Gui Kauwsu dan Bu Enghiong, malam inilah saatnya kalian berdua membuktikan bahwa kalian betul-betul mau menjadi pembantuku dan menaati semua perintahku. Kalian berdua akan dibantu oleh lima saudara Ngo-liong (Lima Naga) ini untuk melaksanakan tugas dari kami, yaitu membunuh seseorang.”

Pangeran Leng menghentikan kata-katanya dan sepasang matanya menatap pada wajah kedua orang itu dengan penuh selidik, ingin melihat bagaimana tanggapan mereka. Akan tetapi baik Gui Tiong mau pun Kong Liang tidak memperlihatkan perasaan apa pun pada wajah mereka, walau pun hati mereka terkejut mendapat tugas untuk membunuh orang! Mereka juga tidak bertanya siapa yang harus mereka bunuh itu.

“Kalian berdua harus membunuh seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang kini berada di dalam gedung Pangeran Bouw Hun Ki.”

Bu Kong Liang tidak tahu siapa yang dimaksudkan Pangeran Leng, akan tetapi Gui Tiong terkejut dan cepat bertanya. “Siapa anak laki-laki itu, Pangeran?”

“Dia adalah pangeran yang dititipkan kepada Pangeran Bouw Hun Ki untuk dididik, yaitu Pangeran Kang Shi....”
“Ahh...! Dia... dia... Putera Mahkota...?” seru Gui Tiong kaget sekali.
“Benar, Putera Mahkota Kang Shi yang berusia sepuluh tahun. Tugas yang mudah sekali, bukan?”
“Akan tetapi... mengapa harus membunuh Thai-cu (Pangeran Putera Mahkota)?” kata Gui Tiong dengan muka pucat. Tugas itu kalau dilaksanakan merupakan dosa yang teramat besar dan tidak dapat diampuni. Dia dan Bu Kong Liang akan diburu oleh seluruh pasukan Kerajaan Ceng (Mancu)!

Pangeran Leng tersenyum. “Sekarang belum saatnya engkau mengetahui sebabnya, Gui Kauwsu. Kelak engkau akan kami beri-tahu dan akan mengerti. Sekarang yang penting kerjakan dulu perintahku dan jangan khawatir, akulah yang akan menanggung akibatnya. Aku akan melindungi dan membelamu. Nah, berangkatlah kalian berdua ditemani Twa-to Ngo-liong. Ingat bahwa puterimu berada di sini dalam keadaan sehat dan selamat. Kalau kalian berdua berhasil, tidak saja puterimu segera akan mendapat kebebasan, juga kalian berdua akan kami beri kedudukan tinggi. Apa bila engkau gagal, puterimu tetap akan kami bebaskan asal kalian tidak mengaku kepada siapa pun juga bahwa kami yang mengutus kalian membunuh Pangeran Mahkota. Tetapi jika kalian membocorkan rahasia ini, berarti puterimu juga tidak akan selamat.”

Twa-to Ngo-liong sudah bangkit dan yang tertua bermuka penuh brewok berkata kepada Gui Tiong. “Mari kita berangkat sekarang, Pangeran sudah memerintahkan.”

Ketika kedua orang itu memandang kepada Pangeran Leng, Sang Pangeran lalu memberi isyarat dengan pandang mata dan gerakan tangannya agar mereka segera berangkat.

“Jangan lupa membawa senjata kalian!” pesan pangeran itu yang cepat bangkit kemudian masuk ke sebelah dalam istananya yang besar dan megah.
“Kami hendak mengambil senjata kami dulu!” kata Gui Tiong dan bersama Bu Kong Liang dia lalu pergi ke kamar mereka. 

Di dalam perjalanan ini, sebelum mereka berpisah memasuki kamar masing-masing, Gui Tiong berkata lirih, “Kau perhatikan isyaratku nanti bila tiba di atas istana Pangeran Bouw Hun Ki.” Sesudah berkata demikian dengan suara berbisik, Gui Tiong dan Kong Liang lalu memasuki kamar masing-masing.

Twa-to Ngo-liong yang bertugas menemani dan juga diam-diam harus mengawasi mereka berdua, segera mengejar cepat, tetapi mereka masih kurang cepat sehingga tidak sempat mendengar bisikan Gui Tiong kepada Kong Liang tadi. 

Melihat kedua orang murid Siauw-lim-pai itu memasuki kamar masing-masing, lima orang Twa-to Ngo-liong itu menunggu di luar kamar. Tidak lama kemudian Gui Tiong dan Kong Liang sudah keluar dengan mengenakan pakaian ringkas dan membawa senjata masing-masing. Kemudian Twa-to Ngo-liong mengajak keluar melalui pintu rahasia yang berada di taman bunga di belakang istana pangeran itu.

Sesudah berada di luar pagar tembok yang mengelilingi istana, Gui Tiong berkata kepada Twa-to Ngo-liong. “Sesuai dengan perintah Pangeran Leng Kok Cun tadi, kami berdualah yang diberi tugas membunuh, sedangkan kalian berlima hanya menemani dan membantu kami. Oleh karena itu akulah yang memimpin tugas ini dan kalian berlima harus menaati petunjukku karena aku yang bertanggung jawab.”

Twa-to Ngo-liong yang oleh Pangeran Leng dikatakan menemani dan membantu mereka itu sebenarnya ditugaskan mengawasi dua orang itu, maka mendengar ini mereka berlima hanya mengangguk. Tubuh tujuh orang ini berkelebat di dalam kegelapan bayang-bayang pohon yang disinari cahaya bulan yang hampir purnama…..
********************
Gedung Pangeran Bouw Hun Ki tidaklah semegah gedung tempat tinggal Pangeran Leng Kok Cun yang seperti istana. Perabot rumahnya juga tidak terlampau mewah walau pun gedung itu tetap besar dan luas.

Pangeran Bouw Hun Ki adalah seorang sastrawan, usianya sekitar lima puluh tiga tahun, rambutnya telah dihiasi uban tetapi wajahnya masih tampan dan sikapnya gagah sungguh pun pangeran ini tidak pernah mempelajari ilmu silat.

Dia adalah adik Kaisar Shun Chi, juga seorang sastrawan yang sangat tekun mempelajari Agama Buddha, filsafat Guru Besar Khong Cu dan Lo Cu. Tetapi sebenarnya dia adalah pemeluk Agama Buddha yang amat tekun dan mempelajari ajarannya sampai mendalam.

Kaisar Shun Chi sangat percaya akan kebaikan budi dan kesetiaan adiknya itu, maka dia pun menyerahkan Pangeran Kang Shi, yang merupakan Thai-cu (Putera Mahkota) sejak berusia tujuh tahun kepada Pangeran Bouw untuk dididik dalam ilmu tata-negara, sastra, agama dan bahkan di rumah itu pula pangeran kecil itu mendapat pendidikan dasar ilmu silat dari isteri Pangeran Bouw Hun Ki.

Kini Pangeran Kang Shi telah berusia sepuluh tahun dan pangeran kecil ini senang sekali tinggal di rumah pamannya. Di dalam istana dia harus menghadapi banyak peraturan dan peradatan yang membuat anak ini merasa terikat dan tidak bebas. Akan tetapi setelah dia berada di rumah pamannya, Pangeran Bouw Hun Ki, anak ini merasa bebas dan setelah tinggal selama tiga tahun di rumah itu, dia merasa akrab dan sayang kepada penghuni rumah itu.

Pangeran Bouw Hun Ki tidak mempunyai seorang pun selir. Dia sangat mencinta isterinya yang dinikahinya ketika dia berusia dua puluh tahun dan isterinya berusia delapan belas tahun. Sekarang isterinya yang dulu ketika menikah bernama Souw Lan Hui telah berusia lima puluh satu tahun. Akan tetapi Souw Lan Hui atau Nyonya Pangeran Bouw ini masih tampak cantik, tubuhnya masih tampak seperti orang muda.

Hal ini tidak aneh, karena semenjak masa kanak-kanak wanita itu sudah mempelajari ilmu silat sehingga ketika masih gadis dia sudah menjadi seorang pendekar wanita sakti yang dijuluki Sin-hong-cu (Si Burung Hong Sakti)! Ia adalah seorang murid yang pandai dari Bu-tong-pai. Maka tidak mengherankan bila Pangeran Mahkota Kang Shi dapat memperoleh pendidikan silat pula di keluarga Bouw.

Pangeran Bouw dan isterinya mempunyai dua orang anak. Yang pertama adalah seorang anak laki-laki yang diberi nama Bouw Kun Liong, yang kini telah berusia dua puluh empat tahun namun belum menikah. Bouw Kun Liong ini tentu saja mendapat pendidikan sastra dari ayahnya dan ilmu silat tinggi dari ibunya.

Wajahnya tampan mirip wajah ayahnya, ada pun sikapnya gagah perkasa seperti ibunya. Pakaiannya selalu rapi, bersih dan indah sehingga pemuda bangsawan yang tak memiliki selir seperti para pemuda bangsawan lainnya, amat menarik hati banyak orang, terutama para gadis yang pernah melihatnya. Tapi, mungkin karena ayahnya adik kaisar dan ibunya seorang pendekar wanita sakti dan keduanya amat sayang kepadanya, Bouw Kun Liong agak tinggi hati dan angkuh walau pun belum sampai dapat disebut sombong.

Anak mereka yang ke dua adalah seorang gadis yang kini berusia sekitar delapan belas tahun. Anak ini bernama Bouw Hwi Siang, cantik jelita seperti ibunya dan sungguh pun ia juga mendapatkan pendidikan ilmu silat, walau pun tidak setinggi tingkat kakaknya, tetapi sikapnya lembut halus seperti sikap ayahnya. Wajah Bouw Hwi Siang mirip ibunya. Kakak beradik ini belum memiliki tunangan karena keduanya selalu menolak kalau ayah ibunya bicara tentang perjodohan mereka.

Pangeran cilik Kang Shi disayang keluarga Bouw dan sebaliknya dia pun sangat sayang kepada mereka, terutama sekali pada Bouw Kun Liong dan Bouw Hwi Siang, kedua orang kakak misannya itu. Pemuda dan gadis itu pun merasa sangat sayang kepada Kang Shi yang termasuk seorang anak yang cerdas.

Malam itu biar pun terang bulan, hampir bulan purnama, karena hawa udara amat dingin, maka sebelum tengah malam keadaan sudah mulai sunyi. Tidak ada orang berlalu-lalang di jalan raya. Rumah-rumah sudah menutup pintu dan jendela. Bahkan di gedung-gedung para bangsawan juga sudah kelihatan sunyi. Hanya para penjaga malam, prajurit-prajurit pengawal yang masih berada di luar. Akan tetapi mereka pun lebih suka tinggal di dalam gardu penjagaan di mana tidak begitu dingin seperti kalau berada di luar.

Bayangan tujuh orang yang berkelebat di antara pohon-pohon itu sedemikian cepatnya sehingga para penjaga di luar gedung-gedung itu pun tidak ada yang melihatnya. Mereka adalah Gui Tiong, Bu Kong Liang dan lima orang Twa-to Ngo-liong. Mereka menuju ke gedung keluarga Pangeran Bouw Hun Ki.

Setelah berada di belakang bangunan besar itu, Gui Tiong memberi isyarat kepada enam orang temannya untuk melompat ke atas pagar tembok. Akan tetapi ia sengaja melompat lebih dahulu bersama Bu Kong Liang dan sebelum lima orang Twa-to Ngo-liong menyusul, Gui Tiong cepat berbisik kepada pemuda itu.

“Setibanya di atas, kita turun tangan dan bunuh mereka, jangan ada yang sampai lolos!”

Kong Liang terkejut, akan tetapi dia segera dapat mengerti kenapa Gui Tiong mengambil keputusan nekat itu. Kalau mereka berdua menyerang Twa-to Ngo-liong di luar gedung, di jalan raya, besar kemungkinan perbuatan mereka akan terlihat orang. Hal ini berbahaya karena jika sampai ketahuan Pangeran Leng, mereka pasti dikeroyok dan lebih parah lagi, Gui Siang Lin terancam bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut. Kalau lima orang kaki tangan Pangeran Leng ini tidak dibunuh, maka mereka harus melaksanakan tugas membunuh Putera Mahkota, dan hal ini agaknya tidak mau dilakukan Gui Tiong.

Maka dia mengangguk dan setelah lima orang itu menyusul, mereka segera melompat ke atas wuwungan gedung besar itu, didahului oleh Gui Tiong sebagai pimpinan.

Tujuh orang itu mempunyai ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi. Tubuh mereka seolah-olah menjadi bayangan hitam yang berlompatan di atas wuwungan, diterangi cahaya bulan yang cerah. Hawa dingin tidak dirasakan oleh mereka yang berada dalam ketegangan.

Twa-to Ngo-liong merasa tegang karena sebagai anak buah Pangeran Leng tentu saja mereka mengerti betapa kuatnya penjagaan untuk melindungi Putera Mahkota di gedung itu. Mereka pun telah mendengar bahwa biar pun Pangeran Bouw Hun Ki adalah seorang sastrawan yang bertubuh lemah, namun isterinya adalah seorang wanita yang lihai sekali karena Nyonya Pangeran Bouw itu dulunya adalah seorang pendekar wanita yang pernah malang melintang di dunia persilatan dengan julukan Sin-hong-cu.

Penjagaan kuat atas diri Putera Mahkota Kang Shi inilah yang membuat Pangeran Leng sampai lama tidak berani melakukan usaha untuk membunuh pangeran kecil yang sudah ditetapkan sebagai putera mahkota dan kelak akan menggantikan kedudukan Kaisar Shun Chi. Berarti pangeran kecil itu menjadi penghalang utama bagi Pangeran Leng yang amat berambisi untuk menggantikan ayahnya kelak!

Kemudian, pada waktu dua orang pembantunya, Phang Houw dan Louw Cin melaporkan mengenai kegagalan penyerangan mereka terhadap murid Siauw-lim-pai Bu Kong Liang, Pangeran Leng yang cerdik memesan kepada para anak buahnya untuk waspada sambil menyelidiki kalau-kalau pemuda murid Siauw-lim-pai itu masuk ke kota raja. Hal itu benar saja terjadi!

Maka, begitu mendengar bahwa Bu Kong Liang berada di Pek-ho Bukoan (Perguruan Silat Bangau Putih), dia langsung mengatur siasat untuk menangkap Gui Tiong dan Bu Kong Liang. Dengan perantaraan Jaksa Ji, yakni seorang di antara para pejabat yang menjadi anak buahnya, dua orang murid Siauw-lim-pai itu ditangkap. Dan untuk menyempurnakan siasatnya untuk memaksa dua orang itu, Pangeran Leng juga menyuruh orang-orangnya menangkap Gui Siang Lin dan menawannya di gedungnya. 

Sekarang dia berani mencoba untuk membunuh Putera Mahkota Kang Shi, menggunakan tenaga dua orang murid Siauw-lim-pai yang sudah menyerah dan taat untuk melindungi keselamatan Gui Siang Lin. Dengan cara ini, andai kata usaha itu gagal sekali pun, yang akan dipersalahkan adalah Siauw-lim-pai!

Mudah saja dia mengelak dari tuduhan andai kata dua orang Siauw-lim-pai itu mengaku dia yang menyuruh mereka. Bahkan dia dapat membuktikan bahwa dirinya juga diserang oleh puteri Gui Tiong yang berhasil dia tangkap. Dia sendiri dimusuhi murid Siauw-lim-pai, bagaimana mungkin dia dapat menggunakan murid-murid Siauw-lim-pai untuk membunuh Pangeran Mahkota Kang Shi yang adik tirinya sendiri? Oleh karena itu, Twa-to Ngo-liong yang diutus menemani dua orang murid Siauw-lim-pai itu sesungguhnya ditugaskan untuk mengawasi mereka!

Setelah mereka tiba di atas wuwungan rumah induk yang cukup luas, Gui Tiong memberi isyarat kepada Bu Kong Liang dan mereka berdua cepat mencabut senjata mereka. Gui Tiong mencabut sepasang goloknya, ada pun Bu Kong Liang mencabut sepasang tombak bercabang, lalu menyerang lima orang Twa-to Ngo-liong!

Serangan yang dilakukan Kong Liang sedemikian cepatnya sehingga seorang dari Twa-to Ngo-liong yang sama sekali tidak pernah menduga, tidak mampu menghindarkan diri dan dia pun roboh mandi darah karena lehernya tertusuk tombak cagak! Sedangkan orang ke dua yang diserang Gui Tiong, masih mampu mengelak walau pun pundak kirinya tergores golok sehingga baju dan kulit pundaknya terobek dan berdarah.

Tentu saja Twa-to Ngo-liong terkejut bukan main. Mereka dengan waspada mengikuti dua orang itu untuk melihat apakah betul mereka melaksanakan tugas yang diperintahkan oleh Pangeran Leng. Andai kata mereka berdua ketahuan hingga terjadi perkelahian, mereka berlima tidak akan membantu, bahkan akan melarikan diri. Mereka dipesan oleh Pangeran Leng agar tidak melibatkan diri kalau terjadi pertempuran sehingga nama Pangeran Leng tetap bersih.

Maka, ketika dua orang murid Siauw-lim-pai itu mendadak menyerang mereka dan sudah merobohkan seorang dari mereka, tentu saja mereka menjadi terkejut bukan main. Tetapi sebagai ahli-ahli silat berpengalaman, tentu saja mereka dapat bertindak cepat. Mereka sudah mencabut golok masing-masing dan terjadilah perkelahian seru di atas wuwungan gedung tempat tinggal Pangeran Bouw!

Gui Tiong yang dikeroyok dua memutar sepasang goloknya dan pertandingan antara dia melawan dua orang pengeroyok itu terjadi amat serunya. Agaknya dua orang pengeroyok itu pun telah mempunyai ilmu golok yang amat tangguh sehingga perkelahian itu seru dan seimbang.

Akan tetapi, dua orang lain dari Twa-to Ngo-liong yang mengeroyok Kong Liang, begitu saling serang, menjadi terkejut karena pemuda ini memiliki tenaga yang sangat kuat dan gerakannya juga lebih cepat dari pada mereka. Mereka berdua berusaha untuk membela diri mati-matian, akan tetapi sesudah bertahan selama belasan jurus, begitu Kong Liang memperhebat tekanannya, dua orang pengeroyok itu berturut-turut roboh, yang seorang tertusuk lehernya, yang ke dua tertusuk dadanya oleh siang-kek pada kedua tangan Kong Liang. Mereka roboh dan tewas di atas wuwungan.
Kong Liang cepat menoleh untuk melihat keadaan Gui Tiong yang juga sedang dikeroyok dua orang lawan. Dia melihat betapa keadaan mereka seimbang. Pada saat itu, sebelum dia dapat melompat untuk membantu Gui Tiong, terdengar bunyi berdesing nyaring tinggi menusuk pendengaran dan tampaklah tiga sinar putih berkeredepan secara berturut-turut menyambar dari bawah ke arah tiga orang yang sedang bertanding itu.

Kong Liang membelalakkan matanya ketika melihat Gui Tiong roboh bersama dua orang pengeroyoknya!

“Tangkap yang seorang! Jangan bunuh, dia harus dapat memberi keterangan!” terdengar bentakan suara wanita dan tiba-tiba ada tiga bayangan hitam berkelebat dan melayang ke atas wuwungan!

Kong Liang cepat menghampiri tubuh Gui Tiong lalu berjongkok memeriksanya. Ternyata keadaan Gui Tiong parah sekali, dadanya mengeluarkan banyak darah. Ternyata sebuah senjata rahasia berbentuk bintang yang putih mengkilap sudah masuk ke dalam dadanya. Kong Liang terkejut sekali melihat paman gurunya dalam keadaan sekarat dan dia pun mengenal senjata rahasia itu sebagai Gin-seng-piauw (Senjata Rahasia Bintang Perak).

“Ah, Susiok...!” Ia mengeluh sambil menggunakan jari tangannya menotok beberapa jalan darah untuk mengurangi rasa nyeri, akan tetapi dia maklum bahwa nyawa paman gurunya tidak mungkin dapat tertolong.
“Kong Liang... jaga... jaga Siang... Lin...!” Tubuh itu segera terkulai dan Gui Tiong telah menghembuskan napas terakhir setelah meninggalkan pesan itu.....
“Susiok... ahh, ampunkan saya, Susiok! Sayalah yang menyebabkan semua ini...!” Kong Liang meratap penuh penyesalan.
“Orang muda, menyerahlah engkau!” terdengar bentakan di belakangnya.

Sambil memutar tubuhnya Kong Liang melompat ke depan. Dia melihat seorang wanita bertubuh ramping, tapi wajahnya yang cantik menunjukkan bahwa wanita itu tentu sudah setengah tua, berusia sekitar lima puluh tahun, pakaiannya indah seperti pakaian wanita bangsawan. Di punggung wanita itu tampak sepasang pedang dan pada pinggang depan tergantung sebuah kantung merah yang biasanya dipergunakan untuk menyimpan senjata rahasia. Maklumlah Kong Liang bahwa tentu wanita ini yang telah membunuh susiok-nya.

“Engkau sudah membunuh Susiok!” bentaknya dan Kong Liang cepat menyerang dengan sepasang siang-kek di tangannya.

Akan tetapi wanita itu bergerak cepat bukan main sehingga serangannya yang bertubi-tubi itu mengenai tempat kosong! Karena penasaran, Kong Liang menyerang lebih gencar lagi, mengeluarkan jurus-jurus yang paling ampuh.

Namun lawannya berkelebatan dan semua serangannya gagal.

“Heii! Bukankah engkau murid Siauw-lim-pai?” bentak wanita itu.

Kong Liang tidak peduli dan menyerang terus dengan hati semakin penasaran, namun kini wanita itu sudah mencabut sepasang pedangnya dan begitu dia menggerakkan sepasang pedang itu dengan gerakan yang indah dan cepat, Kong Liang terkejut dan terdesak!

“Bu-tong Kiam-sut (Ilmu Pedang Bu-tong-pai)?” katanya kaget dan mendengar ini, wanita itu mempercepat gerakannya.
“Trang-tranggg...!”

Bunga api berpijar dan Kong Liang terhuyung ke belakang. Dia melihat bahwa tidak jauh dari situ terdapat seorang pemuda dan seorang gadis yang berdiri menonton perkelahian itu. Mereka tidak membantu kawannya, dan memang kawannya tak perlu dibantu karena dialah yang terdesak hebat.

Tiba-tiba saja wanita itu mengeluarkan bentakan dan Kong Liang lantas terhuyung ketika wanita itu dapat menotok pundaknya dengan gagang pedang. Sebelum Kong Liang dapat memulihkan kuda-kudanya, pundaknya sudah tertotok lagi dan dia pun lemas, sepasang siang-kek itu terlepas dari pegangan tangannya.

“Kun Liong, jangan bunuh dia!” bentak wanita yang telah merobohkan Kong Liang ketika pemuda yang tadi hanya menonton kini melompat dan menodongkan sebatang pedang ke dada Kong Liang yang roboh telentang dalam keadaan lemas. Pemuda itu tidak berani menusukkan pedangnya.

“Kun Liong, bawa dia ke bawah! Hwi Siang, cepat perintahkan pengawal agar menurunkan mayat-mayat itu!” Setelah berkata demikian, wanita yang sangat lihai itu melayang turun dari atas wuwungan.

Wanita itu bukan lain adalah Nyonya Pangeran Bouw Hun Ki atau Souw Lan Hui yang dahulu ketika masih gadis terkenal di dunia kang-ouw sebagai Sin-hong-cu (Burung Hong Sakti).

Ketika bayangan tujuh orang itu tadi berlompatan ke atas wuwungan, ia telah mengetahui. Cepat ia memberi isyarat kepada para penjaga agar menjaga kamar suaminya dan kamar Putera Mahkota dengan ketat, sedangkan ia sendiri lalu mengajak puteranya, Bouw Kun Liong, dan puterinya, Bouw Hwi Siang, untuk naik ke atas wuwungan.

Dalam keadaan remang-remang itu Nyonya Bouw tidak dapat mengenal orang, tidak tahu mengapa ada yang bertanding di atas wuwungan gedungnya. Baginya, orang-orang yang berada di atas wuwungan gedungnya pastilah bukan orang baik. Maka dia pun tidak ragu lagi untuk menyerang mereka dengan Gin-seng-piauw (Senjata Rahasia Bintang Perak) yang merobohkan Gui Tiong dan dua orang pengeroyoknya.

Melihat bahwa mereka yang berada di wuwungan sudah roboh semua dan hanya tinggal seorang pemuda, maka Nyonya Bouw melarang anak-anaknya untuk menyerangnya, lalu dengan cepat ia sendiri menghampiri Kong Liang dan membentaknya agar menyerah.

Kini Kong Liang yang sudah diikat kaki tangannya dibawa meloncat turun oleh Bouw Kun Liong. Nyonya Bouw dan Bouw Hwi Siang juga sudah berada di ruangan tamu yang luas dan terang benderang. Enam buah mayat juga telah diturunkan dibawa ke dalam ruangan itu pula oleh para prajurit pengawal, direbahkan berjajar di atas lantai.

“Ah, bukankah dia ini... Gui Kauwsu, guru di Pek-ho Bukoan itu...?” kata Bouw Kun Liong ketika melihat mayat Gui Tiong.
“Benarkah?” kata Nyonya Bouw dengan suara heran, lalu dia memandang kepada Kong Liang yang dibiarkan duduk di atas lantai dengan kaki tangan terbelenggu. “Akan tetapi, mengapa murid-murid Siauw-lim-pai memusuhi kita?”

Kini Kong Liang sudah pulih dari totokan tadi. Tubuhnya terlalu kuat sehingga totokan tadi tidak dapat lama mempengaruhinya. Meski dia sudah mampu bergerak, akan tetapi tentu saja tidak dapat menggerakkan kaki tangannya yang terbelenggu. Dan dia pun tidak ingin memaksa diri mematahkan belenggu karena dia tahu bahwa menghadapi wanita setengah tua itu saja dia tidak menang, apa lagi di situ terdapat pemuda dan gadis itu ditambah lagi beberapa orang prajurit pengawal.

Selanjutnya baca
KEMELUT KERAJAAN MANCU : JILID-05
LihatTutupKomentar