Kemelut Kerajaan Mancu Jilid 05
Kini Kong Liang memandang kepada tiga orang yang berada di depannya, duduk di atas kursi dengan penuh perhatian. Nyonya setengah tua ternyata seorang wanita bangsawan, tampak dari pakaian dan gaya gelung rambutnya, berusia sekitar lima puluh tahun.
Pemuda itu berusia sekitar dua puluh empat tahun, gagah dan tampan, sedangkan gadis itu berusia sekitar delapan belas tahun, cantik seperti wanita setengah tua hingga mudah diduga bahwa dia tentu puterinya. Mendengar seruan pemuda itu yang mengenal susiok-nya, Kong Liang lalu berkata dengan suara tenang dan tegas.
“Gui Kauwsu adalah Susiok saya dan kami berdua sama sekali tidak memusuhi penghuni gedung ini, bahkan kami berdua sudah berusaha untuk mencegah niat buruk lima orang itu terhadap Thai-cu yang berada di gedung ini.”
Nyonya Bouw terkejut bukan main. “Hemm, mereka hendak berbuat apa terhadap Thai-cu?” tanyanya lantang.
“Mereka ditugaskan untuk membunuh Pangeran Kang Shi!”
“Siapa yang hendak membunuh Thai-cu?”
Semua orang menengok ke arah pintu. Kong Liang melihat seorang pria berusia sekitar lima puluh tiga tahun, wajahnya tampan dan gagah, sinar matanya begitu lembut namun tajam sekali.
“Ayah, mereka datang dengan rencana membunuh Pangeran Kang Shi. Enam orang telah dapat ditewaskan dan yang seorang ini ditangkap,” kata Bouw Kun Liong.
Pangeran Bouw Hun Ki mengerutkan kedua alisnya. “Siapakah kalian? Orang muda, tidak sadarkah engkau bahwa perbuatan kalian ini merupakan dosa yang amat besar dan dapat membuat engkau dihukum mati?” tanyanya kepada Bu Kong Liang. Lalu ketika ia melihat mayat Gui Tiong, dia berseru kaget. “Ahh, bukankah ini adalah Guru Silat Gui Tiong yang membuka Pek-ho Bu-koan? Bagaimana mungkin dia melakukan ini? Bukankah dia adalah orang Siauw-lim-pai?”
“Orang muda, hayo ceritakan semua dengan jelas! Tak ada gunanya engkau menyangkal atau berbohong!” bentak Nyonya Bouw.
Pandang matanya membuat Kong Liang menundukkan mukanya. Begitu tajam pandang mata itu, laksana menembus jantungnya. Akan tetapi dia segera teringat bahwa dia dan Gui Tiong tidak bersalah, maka dia mengangkat lagi mukanya dan berkata dengan suara tenang dan tegas.
“Seperti yang saya akui tadi, saya bernama Bu Kong Liang dan ini adalah jenazah Susiok (Paman Guru) Gui Tiong. Kami adalah murid-murid Siauw-lim-pai dan tidak mungkin kami memusuhi pemerintah, apa lagi berniat membunuh Pangeran Mahkota!”
“Ceritakan saja dengan jelas, orang muda, apa yang sebetulnya terjadi?” tanya Pangeran Bouw Hun Ki.
Melihat sikap halus pangeran itu, Bu Kong Liang maklum bahwa dia berhadapan dengan orang bijaksana yang dapat diajak bicara, maka dia pun menceritakan dengan sejujurnya.
“Saya mau menceritakan yang sejujurnya, akan tetapi saya juga ingin mengetahui kepada siapa saya akan bercerita.”
Bouw Kun Liong yang biasanya dipanggil Bouw Kongcu (Tuan Muda Bong) menghardik. “Kamu ini penjahat yang tertawan dan menjadi pesakitan, tetapi masih lancang bertanya lagi! Hayo ceritakan dengan sebenarnya!”
Pangeran Bouw Hun Ki mengangkat tangan kanan ke atas sambil memandang puteranya, lalu berkata kepadanya. “Biarlah, Kun Liong, supaya dia mengetahui siapa kita. Bu Kong Liang, aku adalah Pangeran Bouw Hun Ki, adik Sribaginda Kaisar dan ini adalah isteriku. Pemuda ini puteraku Bouw Kun Liong dan gadis ini puteriku Bouw Hwi Siang.”
Mendengar ini, Kong Liang yang duduk di atas lantai cepat membungkukkan badan untuk memberi hormat.
“Pangeran, saya datang dari Kuil Siauw-lim di kaki Gunung Sung-san dan menuju ke kota raja untuk meluaskan pengalaman sambil mengunjungi susiok Gui Tiong dan keluarganya. Tetapi di tengah perjalanan saya dihadang dan diserang oleh Hui-eng-to Phang Houw dan Ketua Liong-bu-pang Louw Cin yang membawa sepasukan prajurit. Saya berhasil selamat dan dua orang itu melarikan diri. Agaknya itulah sumber mala petaka. Ketika saya datang dan mengunjungi Perguruan Pek-ho Bu-koan yang dipimpin oleh Susiok Gui Tiong, datang utusan Jaksa Ji memanggil Susiok Gui Tiong dan saya untuk menghadap. Sesudah kami menghadap, kami langsung ditangkap dan dipenjarakan dengan tuduhan memberontak. Kemudian, malamnya datang para pembantu Pangeran Leng Kok Cun yang mengambil kami dari rumah tahanan dan kami dihadapkan kepada Pangeran Leng Kok Cun. Ternyata yang mengatur penangkapan saya dan Susiok Gui Tiong adalah Pangeran Leng itu.”
Pangeran Bouw Hun Ki saling pandang dengan isterinya, lalu mengangguk-angguk.
“Saya tidak pernah memberontak, begitu pula dengan Susiok Gui Tiong, maka di hadapan Pangeran Leng kami juga menolak tuduhan memberontak itu. Kemudian Pangeran Leng memaksa kami berdua untuk menyerah dan menaati semua perintahnya, kalau tidak dia akan menyeret kami ke pengadilan dengan tuduhan memberontak supaya kami dijatuhi hukuman mati. Pangeran Leng lalu memperlihatkan puteri Susiok Gui Tiong, yaitu Sumoi Gui Siang Lin yang ternyata juga sudah ditawannya kepada kami. Melihat ini, kami berdua merasa tidak berdaya. Kalau kami melawan dan melarikan diri, tentu Sumoi Gui Siang Lin akan dibunuhnya. Dengan gadis itu menjadi sandera, maka untuk sementara waktu kami terpaksa tunduk kepada Pangeran Leng.”
“Lalu apa hubungannya semua itu dengan kedatangan kalian bertujuh ke atas wuwungan rumah kami?” tanya Bouw Hujin (Nyonya Bouw) sambil menatap tajam.
“Malam itu Susiok Gui Tiong dan saya ditugaskan Pangeran Leng Kok Cun untuk datang ke sini dan membunuh Putera Mahkota yang katanya berada di sini.”
“Huh! Dan engkau menaati perintah itu, ya? Hendak membunuh Thai-cu?” bentak Bouw Kun Liong tidak sabar. Agaknya tangan pemuda ini sudah terasa gatal untuk membunuh Kong Liang, saking marahnya setelah mendengar bahwa murid Siauw-lim-pai itu hendak membunuh Pangeran Kang Shi!
“Tidak, kami menaati hanya untuk mencegah dia membunuh Sumoi Siang Lin saja. Kami berdua diikuti Twa-to Ngo-liong, lima orang jagoan pembantu Pangeran Leng. Diam-diam kami berdua bersepakat untuk turun tangan membunuh Twa-to Ngo-liong sesudah tiba di sini, lalu kami akan berusaha membebaskan Sumoi. Maka begitu tiba di atas wuwungan, kami langsung bertindak. Saya berhasil membunuh tiga dari lima orang Twa-to Ngo-liong, sedangkan pada saat itu Susiok Gui Tiong sedang dikeroyok dua orang. Tiba-tiba saya melihat Susiok Gui Tiong dan dua orang pengeroyoknya roboh.”
“Akan tetapi mengapa engkau menyerangku ketika aku minta engkau menyerahkan diri?” tanya Nyonya Bouw sambil mengerutkan alis. Jika cerita pemuda itu benar, dan agaknya tidak dapat diragukan lagi kebenarannya, berarti ia telah salah tangan membunuh Kauwsu Gui Tiong yang tidak berdosa!
“Begini soalnya, Hujin. Karena saya melihat Paduka menyerang Susiok Gui Tiong dengan Gin-seng-piauw, maka saya menyangka bahwa Paduka tentu seorang dari musuh-musuh kami, sebab itu saya menyerang Paduka ketika Paduka menyuruh saya menyerah,” ucap Bu Kong Liang dengan suara yang tenang dan tegas sehingga kebenarannya tidak dapat diragukan.
“Hemmm, kalau benar begitu, sungguh aku merasa menyesal sekali. Aku menyerang tiga orang yang sedang berkelahi di atas wuwungan, tidak tahu siapa kawan dan siapa lawan, maka sangat menyesal aku sudah kesalahan tangan membunuh Gui Kauwsu yang tidak berdosa. Sekarang ada sebuah pertanyaan lagi, Bu Kong Liang! Kenapa engkau dan Gui Kauwsu tidak menaati perintah Pangeran Leng untuk membunuh Putera Mahkota, bahkan berbalik menyerang dan membunuh lima orang anak buahnya?”
“Hujin yang mulia, Susiok Gui Tiong sudah bertahun-tahun tinggal di kota raja. Pernahkah dia melakukan pemberontakan? Saya sendiri baru keluar dari kuil Siauw-lim, ada pun para suhu di sana melarang saya ikut mencampuri urusan mereka yang menentang pemerintah Kerajaan Ceng. Bagaimana bisa kami berdua mau melakukan tugas membunuh Putera Mahkota yang sama sekali tidak saya kenal dan sama sekali tak ada urusan dengan kami berdua? Kalau kami berpura-pura menaati perintah Pangeran Leng, hal itu hanya karena kami ingin menyelamatkan Sumoi Gui Siang Lin yang disandera.”
Tiba-tiba saja Pangeran Bouw Hun Ki berkata kepada puteranya. “Kun Liong, buka ikatan tangan dan kakinya!”
Sesudah mendengar cerita Kong Liang, Bouw Kun Liong juga menyadari bahwa pemuda Siauw-lim-pai ini tidak bersalah, maka mendengar perintah ayahnya, dia lalu melepaskan ikatan kaki dan tangan Kong Liang.
“Duduklah,” kata Pangeran Bouw Hun Ki.
Kong Liang mengucapkan terima kasih lalu duduk di atas sebuah kursi.
Pangeran Bouw Hun Ki lalu menyuruh para penjaga untuk mengurus keenam mayat itu. Lima buah mayat Ngo-liong itu dimasukkan ke dalam peti, akan tetapi jenazah Gui Tiong dirawat baik-baik, dimasukkan peti mati yang tebal dan diatur meja sembahyang di depan peti.
Dengan sedih Kong Liang bersembahyang di depan peti mati susiok-nya. Tidak hanya dia sendiri yang melakukan sembahyang, malah Nyonya Bouw juga ikut bersembahyang dan mengucapkan permintaan maaf karena ia telah salah mengerti dan membunuh Gui Tiong yang tidak berdosa. Tadinya, dengan marah Pangeran Bouw Hun Ki ingin mengirim lima jenazah Twa-to Ngo-liong kepada Pangeran Leng Kok Cun. Akan tetapi Kong Liang sudah cepat mencegah dengan ucapan penuh hormat.
“Saya mohon Paduka suka mempertimbangkan kembali pengiriman lima jenazah Twa-to Ngo-liong itu kepada Pangeran Leng, karena kalau hal itu dilakukan, sudah pasti Sumoi Gui Siang Lin akan dibunuh.”
“Hemm, memang pengiriman itu sebaiknya ditunda lebih dulu, biar aku dan Bu Kong Liang malam ini juga membebaskan gadis itu!” kata Nyonya Bouw.
Malam itu juga, dengan pakaian ringkas berwarna hitam, Bouw Hujin bersama Kong Liang menuju ke gedung tempat tinggal Pangeran Leng. Dalam perjalanan ini Bouw Hujin telah berunding dengan Kong Liang, mengatur siasat bagaimana caranya untuk membebaskan Gui Siang Lin.
Sesudah sampai di belakang gedung tempat tinggal Pangeran Leng Kok Cun yang megah seperti istana, sesuai dengan rencana siasat mereka, Bouw Hujin menanti dalam kebun belakang dan Kong Liang langsung saja memasuki gedung lewat pintu depan. Beberapa orang petugas yang menjaga di situ segera menyambut dan mengenalnya.
Maka Kong Liang diantar masuk menuju ruangan dalam di mana telah menanti Pangeran Leng Kok Cun yang didampingi oleh Pat-chiu Lo-mo, Hui-eng-to Phang Houw, Liong-bu-pangcu Louw Cin dan lima orang lainnya yang berpakaian sebagai perwira tinggi. Agaknya mereka itu adalah perwira-perwira yang mendukung Pangeran Leng.
Begitu Kong Liang memasuki ruangan itu dan prajurit yang mengawalnya meninggalkan ruangan, Pangeran Leng Kok Cun segera menyambut Kong Liang dengan pertanyaan penuh harapan.
“Bagaimana hasilnya tugasmu, Bu Kong Liang? Mana Gui Tiong dan Twa-to Ngo-liong?”
“Pangeran, saya harap Gui Siang Lin segera dibebaskan karena saya telah melaksanakan perintah Paduka,” kata Kong Liang.
“Nanti dulu, jangan tergesa-gesa. Ceritakan dulu kepada kami bagaimana hasil tugasmu itu!” kata Pat-chiu Lo-mo dan Pangeran Leng Kok Cun yang mendengar ini.
“Saya telah berhasil membunuh Pangeran Mahkota.”
“Akan tetapi di mana enam orang lainnya?” tanya pula Pangeran Leng.
“Mereka semua tewas. Kami mendapat perlawanan yang kuat. Saya berhasil masuk dan membunuh pangeran itu seperti yang Paduka perintahkan. Akan tetapi Susiok Gui Tiong dan Twa-to Ngo-liong tewas.” Pemuda itu lalu menoleh ke arah dalam di mana Siang Lin ditahan. “Saya harap sekarang juga Paduka membebaskan Nona Gui Siang Lin. Ayahnya telah melaksanakan perintah Paduka sampai mengorbankan nyawanya.”
“Bagus!” Pangeran Leng Kok Cun tersenyum gembira sekali mendengar bahwa Pangeran Kang Shi yang masih kanak-kanak itu telah berhasil dibunuh. Dia sama sekali tidak peduli mendengar betapa Gui Tiong dan Twa-to Ngo-liong yang membantunya itu tewas.
“Bebaskan gadis itu!” perintahnya kepada Phang Houw dan Louw Cin. “Bawa dia ke sini!”
“Nanti dulu!” Pat-chiu Lo-mo berseru menahan dua orang itu yang hendak melaksanakan perintah Pangeran Leng sehingga mereka berhenti melangkah. “Pangeran, sungguh tidak bijaksana jika membebaskan gadis itu sekarang. Sebaiknya Paduka tunggu sampai berita mengenai kematian Pangeran Mahkota Kang Shi disiarkan besok sehingga keterangan Bu Kong Liang ini benar!”
“Ahh, engkau benar, Lo-mo! Kita tunggu sampai besok pagi!” kata Pangeran Leng sambil memberi isyarat kepada dua orang pembantunya agar membatalkan perintahnya. Mereka pun duduk kembali.
Tahulah Kong Liang bahwa siasatnya yang pertama untuk membebaskan Gui Siang Lin sudah gagal dan dia harus menggunakan siasatnya yang ke dua. Dia mencabut sepasang tombak bercabang kemudian berseru kepada Pat-chiu Lo-mo. “Kakek busuk! Engkau tak percaya kepadaku berarti engkau menghinaku!” Setelah berkata demikian, dia menyerang dengan siang-kek di kedua tangannya.
Pat-chiu Lo-mo cepat melompat ke belakang sambil menggerakkan tongkatnya.
“Kalau engkau laki-laki, mari keluar! Kita bertanding di luar gedung!” Kong Liang berseru lagi sambil melompat ke luar.
“Kejar dia!” Pat-chiu Lo-mo berseru sambil mengejar. “Pangeran, dia menipu kita!”
Mendengar ini, Hui-eng-to Phang Houw, Liong-bu-pang Louw Cin dan lima orang perwira tinggi itu mencabut senjata masing-masing kemudian mengejar keluar.
Pangeran Leng Kok Cun yang mulai curiga terhadap Kong Liang segera memberi tanda kepada para penjaga di istananya untuk membantu Pat-chiu Lo-mo, bahkan dia sendiri juga keluar karena pangeran ini pun bukan orang lemah.
Kong Liang sudah bertanding melawan Pat-chiu Lo-mo dan tak lama kemudian dia sudah dikeroyok banyak orang. Akan tetapi pemuda itu membela diri dengan sangat gagahnya. Sepasang tombak pendek itu digerakkan sedemikian rupa hingga membentuk dua gulung sinar yang mengurung tubuhnya dan semua serangan pengeroyok itu dapat tertangkis.
Pengeroyok yang tidak begitu kuat, begitu senjatanya tertangkis, terhuyung atau bahkan ada yang senjatanya terpental dan terlepas dari pegangannya, karena jago muda Siauw-lim-pai ini mengerahkan tenaga saktinya.
Sementara itu, Bouw Hujin yang berada di atas atap, mendapat kesempatan baik. Selagi semua penjaga lari keluar untuk turut mengeroyok Kong Liang, maka penjaga Gui Siang Lin hanya enam orang pemanah yang berada di atas genteng dan yang siap membunuh gadis itu dengan anak panah mereka kalau ada isyarat Pangeran Leng Kok Cun seperti yang diperintahkannya.
Bouw Hujin yang ketika mudanya menjadi pendekar wanita berjuluk Sin-hong-cu (Burung Hong Sakti) yang mengintai dari atas, begitu melihat Kong Liang dikeroyok banyak orang di luar gedung, segera turun tangan. Beberapa kali kedua tangannya bergerak dan sinar-sinar perak menyambar ke arah enam orang yang memegang busur dan anak panah itu.
Mereka segera roboh dan tubuh mereka terguling dari atap ke bawah. Bouw Hujin cepat membobol atap yang sudah dilubangi bagi para pemanah itu lalu dengan ringan tubuhnya melayang ke dalam kamar.
“Engkau Gui Siang Lin?” tanyanya kepada gadis yang duduk bersila di atas pembaringan. Siang Lin mengangguk.
“Hayo cepat, kita bantu Bu Kong Liang!” Bouw Hujin berkata dan dia segera memegang tangan Siang Lin lalu keduanya melompat ke atas melalui lubang di atas.
Cepat mereka berloncatan ke atas genteng istana itu dan begitu tiba di depan, Bouw Hujin kembali menyambitkan Gin-seng-piauw (Senjata Rahasia Bintang Perak). Hanya dalam waktu singkat saja delapan orang pengeroyok telah tergeletak roboh. Hanya mereka yang berilmu cukup tangguh seperti Phang Houw, Louw Cin dan Pat-chiu Lo-mo yang mampu menghindarkan diri dari serangan senjata rahasia itu, yaitu dengan menangkis sinar perak dengan senjata mereka.
Tetapi melihat betapa para perwira dan penjaga roboh, juga dalam waktu singkat delapan orang sudah roboh, mereka juga terkejut dan cepat berlompatan mundur. Kesempatan ini segera dipergunakan oleh Kong Liang untuk melompat dan menghilang dalam kegelapan malam.....
Memang sebelumnya telah dia atur bersama Bouw Hujin. Dia memancing Pangeran Leng Kok Cun beserta para pembantunya keluar sehingga Bouw Hujin dapat bergerak dengan leluasa meloloskan Siang Lin, kemudian sesudah beberapa orang pengeroyok roboh oleh senjata rahasia Nyonya Pangeran yang amat lihai itu, dia pun tahu bahwa Siang Lin telah dibebaskan, maka dia lalu melompat dan melarikan diri!
“Kejar...!” Teriak Pat-chiu Lo-mo.
Akan tetapi karena malam itu gelap dan para pengejar merasa gentar terhadap serangan senjata rahasia yang ampuh itu, mereka tidak dapat menemukan Bu Kong Liang.
Pangeran Leng Kok Cun marah sekali ketika melihat betapa Gui Siang Lin lolos dan enam orang prajurit yang menodong dengan panah di atap sudah tewas semua. Lebih hebat lagi kemarahannya ketika pada pagi harinya ada yang mengantarkan lima buah peti mati yang terisi mayat Twa-to Ngo-liong!
Dia tahu bahwa dia sudah ditipu Bu Kong Liang dan bahwa Pangeran Mahkota Kang Shi sama sekali belum terbunuh! Akan tetapi dia tidak berdaya dan belum begitu nekat untuk menyerang Pangeran Bouw Hun Ki yang dekat dengan Kaisar.
Sebaliknya Pangeran Bouw Hun Ki juga tidak dapat menuduh bahwa Pangeran Leng Kok Cun hendak membunuh Pangeran Mahkota karena tak ada bukti nyata. Twa-to Ngo-liong sudah tewas, dan Bu Kong Liang tentu saja tidak dapat dijadikan saksi karena dia bukan anak buah Pangeran Leng.
Maka urusan ini hanya diketahui kedua pihak. Kaisar sendiri tidak diberi-tahu sebab selain hal itu akan membuat Kaisar khawatir tentang keselamatan Putera Mahkota, juga belum dapat dibuktikan bahwa Pangeran Leng Kok Cun mengirim orang-orang untuk membunuh Pangeran Kang Shi. Maka diam-diam terdapat permusuhan hebat antara Pangeran Leng Kok Cun dan Pangeran Bouw Hun Ki, atau lebih tepat Nyonya Bouw, karena wanita inilah yang berani menentang Pangeran Leng.
Mulai saat itu Bouw Hujin melakukan penjagaan yang sangat ketat. Bahkan dia membuat bangunan rahasia di bawah tanah agar kalau sewaktu-waktu ada bahaya, Pangeran Kang Shi dapat bersembunyi di situ.
Sementara itu, Gui Siang Lin yang dibawa Bouw Hujin ke istana Pangeran Bouw, setelah tiba di sana dan mendengar bahwa ayahnya telah tewas, ia pun menangis tersedu-sedu di depan peti mati ayahnya.
Bu Kong Liang yang sudah tiba di sana pula segera memberi penjelasan kepada gadis itu. Dia menceritakan betapa dia bersama Gui Tiong terpaksa berpura-pura menurut perintah Pangeran Leng untuk membunuh Pangeran Mahkota sebab mereka berdua melihat Siang Lin ditawan, dan jika mereka tidak menaati perintah Pangeran Leng, maka Siang Lin tentu dibunuh.
“Aih, mengapa Ayah dan engkau mau melakukan perintah Pangeran Leng yang jahat itu, Suheng? Biarlah aku dibunuhnya, aku tidak takut. Akan tetapi tak semestinya kita tunduk kepadanya!” Siang Lin mencela sambil terisak-isak.
“Sumoi, kami menuruti perintah Pangeran Leng hanya sebagai siasat belaka. Kalau sudah meninggalkan istana Pangeran Leng dan tiba di gedung Pangeran Bouw, kami bermaksud akan membunuh Twa-to Ngo-liong yang ditugaskan menemani dan mengawasi kami. Aku sudah berhasil membunuh tiga orang di antara mereka, akan tetapi sayang, pada saat itu Bouw Hujin keluar dan karena mengira bahwa ayahmu seorang di antara penjahat, beliau lalu menyerang dua orang di antara Twa-to Ngo-liong beserta ayahmu sehingga mereka bertiga tewas.”
“Benar, Gui Siang Lin. Akulah yang salah sangka, membunuh tiga orang yang berada di atas genteng gedung kami. Kalau saja aku tahu bahwa yang seorang adalah Gui Kauwsu dari Pek-ho Bukoan, tentu dia takkan kuserang. Akan tetapi malam-malam begitu di atas genteng, tentu saja aku tidak dapat melihat jelas mukanya. Nah, walau pun karena salah duga, namun aku telah kesalahan tangan membunuh ayahmu. Kalau engkau mendendam sakit hati padaku, aku tidak akan menyalahkanmu!” kata Bouw Hujin dengan lembut tetapi gagah.
“Sumoi, Bouw Hujin tidak dapat disalahkan. Tadinya aku sendiri menyangka beliau adalah musuh karena telah merobohkan Susiok. Aku lalu menyerangnya, tetapi aku tertotok dan ditawan. Barulah aku mengerti duduknya persoalan sesudah aku mendapat kesempatan bicara dengan keluarga Pangeran Bouw. Kami yang bersalah, Sumoi. Sebelum tiba di sini semestinya kami turun tangan membunuh Twa-to Ngo-liong, baru kemudian menolongmu. Akan tetapi semua sudah terjadi, dan kematian Susiok sudah merupakan takdir, kita tidak mungkin dapat menyalahkan Bouw Hujin. Beliau tidak bersalah, bahkan beliau yang telah membebaskan engkau dari tawanan Pangeran Leng.”
Hati Siang Lin laksana ditusuk, perih dan sakit. Dengan kedua mata bercucuran air mata dia memandang kepada nyonya itu. Bouw Hujin nampak begitu cantik dan gagah, begitu penuh wibawa yang kuat. Dan wanita setengah tua itu tadi telah menolongnya keluar dari tahanan Pangeran Leng Kok Cun.
Dia tidak dapat membayangkan apa yang akan diderita kalau Pangeran Leng tahu bahwa ayahnya telah mengkhianatinya. Ia bukan hanya akan dibunuh, melainkan disiksa dengan penghinaan yang lebih hebat dari pada maut. Dia tidak boleh mendendam kepada Bouw Hujin.
“Ayaaahhhh...!” Gui Siang Lin menjatuhkan diri berlutut di depan peti mati ayahnya sambil menangis sesenggukan, membuat semua orang yang berada di situ merasa terharu.
“Nona, hentikanlah tangisanmu. Ayahmu tewas sebagai seorang gagah sejati menentang kekuasaan yang jahat. Tiada gunanya ditangisi lagi. Bahkan arwahnya tidak akan tenang melihat engkau membenamkan diri dalam kesedihan,” kata Bouw Kun Liong.
“Akan tetapi sekarang saya... saya... seorang yatim piatu... hidup sebatang kara...!” gadis itu lalu menutupi mukanya dengan kedua tangannya, tidak menyadari siapa yang bicara menghiburnya tadi.
“Nona, kami merasa bertanggung jawab terhadap nasibmu. Ibuku telah salah sangka dan salah tangan membunuh ayahmu, maka anggaplah kami sebagai keluargamu. Ayah dan ibu pasti akan menerimamu dengan hati dan tangan terbuka. Bukankah begitu, Ibu?” kata Bouw Kun Liong kepada ibunya.
Pangeran aBouw Hun Ki dan Nyonya Bouw saling pandang. Kedua orang tua ini maklum bahwa putera mereka itu agaknya telah jatuh cinta kepada Gui Siang Lin! Suaranya ketika menghibur menggetar penuh perasaan iba, itulah tanda mulai berseminya cinta!
“Apa yang dikatakan Liong-ko (Kakak Liong) tadi memang benar, Enci Siang Lin!” Bouw Hwi Siang berkata sambil memegang tangan gadis yang menangis itu. “Mulai sekarang, engkau tinggallah di sini bersama kami. Ayah Ibu pasti menyetujui sepenuhnya!”
Kini barulah Siang Lin menyadari bahwa yang menghiburnya tadi adalah Bouw Kun Liong, pemuda yang tampan gagah itu. Ia mengusap air mata dengan dua tangannya, kemudian mengangkat muka memandang ke arah Pangeran Bouw dan Nyonya Bouw dengan hati ragu.
Bouw Hujin memandang wajah gadis itu dengan senyum, lalu mengangguk dan berkata. “Kedua anakku berkata benar, Siang Lin. Dengan senang hati kami menerimamu dan kau anggaplah kami sebagai pengganti orang tuamu. Kami akan menganggap engkau sebagai anak angkat kami!”
“Benar, Gui Siang Lin, kami senang sekali kalau engkau menjadi anggota keluarga kami,” kata pula Pangeran Bouw Hun Ki.
Mendengar ini, Siang Lin segera menjatuhkan diri berlutut di depan suami isteri itu tanpa mampu mengucapkan kata-kata saking terharu hatinya. Bila mana tidak ada suami isteri bangsawan ini yang menerimanya, bagaimana ia dapat hidup menjadi buruan kaki tangan Pangeran Leng yang pasti akan membalas dendam?
“Aihh, Ibu bagaimana sih? Bukan menjadi anak angkat, akan tetapi menjadi anak mantu, begitu!”
“Hushh, Siang-moi!” Bouw Kun Liong membentak adiknya, lantas dengan muka berubah kemerahan pemuda itu meninggalkan ruangan, diikuti tawa adiknya.
Pangeran Bouw Hun Ki lalu berkata kepada Kong Liang, “Bu Kong Liang, engkau sudah menunjukkan kebijaksanaanmu dengan menentang perbuatan Pangeran Leng yang jahat. Engkau juga sudah mengetahui bahwa kini Pangeran Mahkota dititipkan kepada kami. Ini merupakan tugas yang berat dan berbahaya dengan adanya orang-orang yang bersaing memperebutkan kekuasaan. Oleh karena itu, kalau kiranya engkau tidak keberatan, kami minta agar engkau bersedia membantu kami melindungi keselamatan Pangeran Kang Shi di sini. Bagaimana pendapatmu?”
“Bu-enghiong (Pendekar Bu) adalah seorang pendekar Siauw-lim-pai yang selalu membela kebenaran dan keadilan, juga menentang kejahatan. Sudah sepatutnya jika dia membantu kami melindungi Pangeran Mahkota dari ancaman para pengkhianat dan penjahat,” kata Bouw Hwi Siang yang memang merupakan seorang gadis lincah dan tidak bersikap malu-malu seperti gadis lain. Ia memang berwatak gagah seperti ibunya.
“Hwi Siang!” tegur Nyonya Bouw, akan tetapi sambil tersenyum. “Jangan lancang, biarkan Bu Kong Liang memutuskannya sendiri!”
Bouw Hwi Siang cemberut manja. Bu Kong Liang yang tadi menundukkan mukanya, kini memandang Pangeran Bouw dan Nyonya Bouw, lalu menjawab,
“Mengingat bahwa Pangeran Leng mengumpulkan orang-orang pandai dan merencanakan perbuatan jahat terhadap Pangeran Mahkota, maka saya siap untuk membantu Paduka melindungi beliau. Terima kasih atas kepercayaan Paduka kepada saya.”
Suami isteri itu girang sekali. Mereka sama sekali tak pernah menduga bahwa kesediaan pemuda murid Siauw-lim-pai itu membantu mereka melindungi keselamatan Pangeran Kang Shi, terutama sekali karena di sana ada Bouw Hwi Siang! Hanya Bu Kong Liang sendiri yang merasakan betapa hatinya terpikat oleh gadis bangsawan itu!
Bouw Hujin lantas berkata kepada Hwi Siang. “Hwi Siang, kau ajaklah Siang Lin ke dalam dan suruh pelayan menyiapkan sebuah kamar untuknya. Juga berikan pakaian pengganti untuknya sebelum pakaiannya diambil dari rumahnya.”
“Ahh, Ibu. Mengapa harus susah-susah menyiapkan kamar lain? Biar Enci Siang Lin tidur bersamaku saja!” kata Hwi Siang, kemudian dia menggandeng Siang Lin, diajak masuk ke kamarnya di bagian belakang dan memberikan pakaiannya yang baru untuk dipakai Siang Lin.
Pangeran Bouw memanggil pelayan dan menyuruh pelayan menyiapkan sebuah kamar untuk Bu Kong Liang. Mulai saat itu, Gui Siang Lin dan Bu Kong Liang tinggal di gedung Pangeran Bouw Hun Ki yang besar…..
********************
Berdebar rasa jantung Thian Hwa ketika dia tiba di depan gedung besar tempat tinggal Pangeran Ciu Wan Kong. Tidak seperti gedung tempat tinggal para bangsawan lain yang masih kerabat kaisar, rumah Pangeran Ciu Wan Kong tidak tampak angker, tidak terjaga banyak prajurit. Hanya ada dua orang penjaga yang tidak berpakaian prajurit, melainkan sebagai pengawal biasa. Hal ini memang mengherankan kalau diingat bahwa Pangeran Ciu Wan Kong adalah adik dari Kaisar Shun Chi.
Semenjak ditinggalkan Cui Eng, wanita yang amat dicintanya karena wanita itu diusir oleh kedua orang tuanya, semangat hidup Pangeran Ciu Wan Kong seolah-olah sudah lenyap. Kehidupannya berubah sama sekali. Dia lebih banyak berdiam di dalam kamarnya, atau pergi pesiar dikawal beberapa orang pelayan yang juga menjadi pengawalnya. Bahkan dia tak pernah mempunyai isteri atau selir, hidup membujang dan tidak mempedulikan urusan dunia.
Pada waktu Thian Hwa memasuki pintu gerbang rumah itu, dua orang penjaga langsung menyambutnya.
“Maaf, Nona. Siapakah Nona dan apa keperluan Nona memasuki pintu gerbang gedung ini?” tanya seorang dari mereka dengan sikap sopan.
Melihat sikap dua orang penjaga ini, hati Thian Hwa merasa senang. Dari sikap petugas yang paling rendah pangkatnya dapat diketahui watak majikannya yang tingkatnya paling tinggi. Dua orang penjaga ini bersikap sopan, tentu mereka takut untuk bersikap kurang ajar sebab atasan mereka yang menjunjung tinggi kesusilaan pasti akan menegur bahkan menghukum mereka.
“Tolong laporkan kepada Pangeran Ciu Wan Kong bahwa aku, Thian Hwa, mohon untuk menghadap karena urusan yang teramat penting.”
“Maafkan kami, Nona. Beliau sudah lama tidak mau menerima kunjungan siapa pun. Saya akan melapor, akan tetapi sebaiknya Nona memberi-tahu urusan apa yang hendak Nona sampaikan agar beliau dapat mempertimbangkan untuk menemui Nona atau tidak.”
“Hemm, katakan bahwa aku membawa berita tentang diri seorang wanita yang bernama Cui Eng. Aku yakin beliau pasti akan menerimaku.”
“Baiklah, harap tunggu sebentar, Nona,” kata penjaga itu, lalu salah seorang dari mereka menyeberangi pekarangan yang luas menuju gedung yang besar dan tampak sunyi itu.
Thian Hwa menanti dengan hati tegang. Biasanya gadis yang amat tabah ini tidak merasa gentar atau tegang dalam menghadapi apa pun. Namun kini, menghadapi pertemuannya dengan ayah kandungnya, hatinya berdebar kencang penuh ketegangan. Bagaimana nanti ayah kandungnya itu akan menyambutnya? Apakah Pangeran Ciu akan ketakutan dan melarikan diri seperti dulu? Lalu apa yang akan ia lakukan?
Tidak lama kemudian penjaga yang tadi keluar dari dalam gedung berlari keluar menemui Thian Hwa. “Nona, Pangeran tidak mengenal nama Thian Hwa, tetapi mendengar bahwa Nona membawa berita mengenai wanita bernama Cui Eng, Nona diperkenankan masuk menghadap beliau. Mari saya antarkan, Nona.”
Dengan jantung berdebar keras, Thian Hwa mengikuti penjaga itu memasuki gedung yang besar. Ternyata di ruangan depan juga tidak terlihat pengawal bersenjata seperti lazimnya rumah para bangsawan tinggi. Hanya ada beberapa orang pembantu rumah tangga yang sedang membersihkan perabot di situ dan menyapu lantai. Thian Hwa dibawa ke ruangan tamu dan ketika tiba di pintu ruangan itu, penjaga tadi berkata.
“Beliau menanti di dalam, Nona. Silakan masuk.” Dia lalu keluar lagi.
Thian Hwa memasuki pintu ruangan itu dan ia pun melihat Pangeran Ciu Wan Kong yang pernah ditemuinya dua kali, yaitu pertama kali ketika ia menyelamatkan pangeran itu dari serangan ular, kedua kalinya ketika ia datang ke gedung ini dengan niat membunuhnya. Pangeran yang usianya baru sekitar lima puluh dua tahun itu sudah kelihatan tua karena mukanya kurus dan rupanya sudah putih semua.
Saat Thian Hwa melangkah masuk, Pangeran Ciu Wan Kong yang tadinya menundukkan muka, kini mengangkat mukanya dan memandang. Thian Hwa lega melihat wajah orang tua itu tidak liar ketakutan seperti dahulu, melainkan terheran-heran. Matanya terbelalak, mulutnya ternganga dan dia bangkit perlahan dari kursinya ketika Thian Hwa melangkah menghampirinya.
Thian Hwa berdiri di hadapannya dalam jarak sekitar sepuluh langkah. Pangeran Ciu Wan Kong menggosok-gosok kedua matanya dengan tangan, lalu menggelengkan kepala.
“Tidak mungkin... tidak mungkin... kau... kau Dinda Cui Eng...!” Suaranya gemetar.
Thian Hwa menggelengkan kepalanya. “Bukan, saya bukan Cui Eng....”
“Ah, Dinda Cui Eng, isteriku... kekasihku... jangan engkau membenciku. Aku... ampunkan aku, Cui Eng... engkau sampai terusir dari sini dan aku… aku tidak dapat melindungimu. Ampunkan aku... ampunkan aku yang berdosa padamu....”
Pangeran Ciu Wan Kong memandang dengan air mata menetes membasahi sepasang pipinya yang kurus.
Thian Hwa merasa terharu sekali dan ia khawatir kalau-kalau pangeran itu akan berubah ingatan karena kejutan ini.
“Bukan, saya bukan Cui Eng. Cui Eng mempunyai tahi lalat di atas bibirnya, ingat? Saya tidak mempunyai tahi lalat itu!” Thian Hwa melangkah mendekat agar pangeran itu dapat melihat wajahnya lebih jelas. “Dan Cui Eng sekarang tentu tidak semuda saya, bukan?”
Sepasang mata yang basah itu lalu berkejap-kejap. “Ahh... engkau benar... engkau masih muda walau pun wajahmu persis Cui Eng-ku... dan tidak ada tahi lalat yang manis itu di atas bibirmu... Engkau bukan Cui Eng, lalu engkau... engkau siapa?”
“Saya yang dulu menyelamatkan Paduka dari serangan ular,” Thian Hwa mengingatkan.
Agaknya Pangeran Ciu mulai ingat. “Ya... ya... engkau adalah gadis yang menyelamatkan aku dari serangan ular dan... rasanya aku pernah bertemu lagi... engkau pernah ke sini malam-malam itu, bukan?”
“Benar, saya pernah ke sini,” kata Thian Hwa, merasa lega karena pangeran itu agaknya kini sudah dapat mengingatnya.
“Tapi siapakah engkau yang begini mirip dengan Cui Eng? Dan engkau membawa kabar tentang isteriku Cui Eng? Di mana sekarang isteriku yang tercinta itu?”
“Hemm, kalau Paduka memang mencinta Cui Eng, mengapa Paduka begitu tega untuk mengusirnya, membawa anaknya yang masih bayi? Apakah Paduka tak merasa kasihan kepada ibu dan anak itu?”
Wajah yang kurus itu berkerut penuh perasaan duka. “Ah, jangan kau ingatkan itu, aku... aku tidak berdaya... mendiang orang tuaku yang dulu memaksaku. Aihh, anak yang baik, cepat ceritakan bagaimana keadaan Cui Eng sekarang? Di mana dia?”
“Cui Eng sudah tewas setelah diusir pergi dan naik perahu. Perahunya terbalik di Sungai Huang-ho dan dia lenyap ditelan air!” kata Thian Hwa dengan suara tegas, mengandung teguran.
“Aduh... Cui Eng... ampunkan aku, Cui Eng...! Kalau engkau sudah tewas, bawalah aku. Tidak ada gunanya lagi aku hidup menanggung dosa dan penyesalan...” Pangeran itu kini menangis tersedu-sedu.
Hati Thian Hwa yang tadinya mengeras dan membeku itu sekarang mencair melihat laki-laki setengah tua itu menangis seperti anak kecil. Akan tetapi ia lalu teringat akan ibunya, maka dia cepat-cepat mengeraskan hatinya. Dia dapat membayangkan betapa sengsara ibunya ketika diusir bersama anaknya yang masih bayi.
“Pangeran Ciu Wan Kong, Paduka seorang pangeran berbangsa Mancu, begitu tega dan memandang rendah seorang wanita Han yang katanya engkau cinta. Di manakah peri-kemanusiaanmu?”
“Aku bersalah, aku berdosa... ah, Nona, siapakah engkau yang begini mirip Cui Eng, yang berani datang untuk menghancurkan hatiku seperti ini...?”
“Akulah bayi yang dilahirkan Cui Eng tetapi kemudian engkau usir dari sini!”
Pangeran Ciu Wan Kong terbelalak, sepasang matanya masih merah dan basah karena tangis, tubuhnya gemetar seperti mendadak terserang demam.
“Engkau... engkau anak Cui Eng... ya, ya... engkau benar-benar sama dengan Cui Eng... engkau... engkau anakku...?”
Thian Hwa tidak dapat menahan keharuan hatinya lagi. Ia cepat menubruk kaki ayahnya, berlutut dan menangis.
“Ayah... aku... Ciu Thian Hwa... aku... anakmu...!” katanya tersendat-sendat.
Pangeran Ciu Wan Kong juga berlutut dan merangkul gadis itu, mendekap kepala gadis itu ke dadanya erat sekali, seolah dia menemukan kembali sebuah mustika yang hilang dan dia ingin membenamkan mustika di dalam hatinya agar tidak hilang lagi.
“Anakku...! Ahh, Cui Eng, terima kasih, Eng-moi... agaknya engkau telah mengampuniku dan memberiku anak ini... Thian (Tuhan)... terima kasih bahwa Engkau telah melindungi anakku ini sehingga kini dapat bertemu denganku...!” Ayah dan anak itu berangkulan dan bertangisan.
Sampai lama mereka bertangisan. Akhirnya Thian Hwa lebih dahulu dapat menenangkan hatinya yang tadinya pilu penuh haru. Dia bangkit berdiri membimbing tangan ayahnya, mengusap air matanya dan berkata.
“Ayah, mengapa kita bertangisan? Bukankah sepatutnya kita bergembira oleh pertemuan ini?”
Pangeran Ciu Wan Kong tertawa! Entah sudah berapa lamanya dia tidak pernah tertawa sehingga dia sendiri merasa aneh sekali. Akan tetapi wajahnya kini berseri dan mulutnya tersenyum, matanya yang basah bersinar menemukan kembali gairah hidupnya.
“Ha-ha-ha, engkau benar, Anakku! Mengapa kita menjadi orang-orang cengeng? Padahal anakku Ciu Thian Hwa telah menjadi seorang pendekar wanita! Ya, pendekar wanita yang gagah perkasa. Aku bangga sekali! Sepatutnya kita bergembira. Kita rayakan pertemuan ini!” Pangeran itu bertepuk tangan dan muncullah dua orang pelayan wanita setengah tua.
Mereka berdiri terlongong memandang majikan mereka yang tampak begitu gembira. Hal ini sungguh amat mengherankan hati mereka karena selama bekerja di situ belum pernah mereka melihat pangeran itu bergembira. Kini pangeran itu berdiri, menggandeng tangan seorang gadis cantik dan tampak begitu gembira!
“Hayo cepat siapkan pesta! Kami hendak merayakan kembalinya anakku! Ini puteriku, Ciu Thian Hwa. Kalian harus menyebutnya Ciu Siocia (Nona Ciu)!”
Dua orang pelayan itu terkejut, heran, akan tetapi juga girang sekali. Mereka cepat-cepat memberi hormat kepada Thian Hwa dan menyebut “Ciu Siocia” lalu mereka segera pergi untuk melaksanakan perintah majikan mereka.....
Pangeran Ciu lalu membawa Thian Hwa ke ruangan dalam dan mereka duduk bercakap-cakap.
“Anakku, sekarang ceritakanlah semuanya kepadaku. Benarkah Ibumu, Cui Eng isteriku yang kucinta dan yang bernasib malang, telah meninggal dunia?”
Thian Hwa menghela napas panjang. “Agaknya memang begitu, Ayah, walau pun belum ada buktinya bahwa ibuku telah meninggal dunia. Semua hal tentang diriku juga kudengar dari guruku.”
“Ceritakanlah, ceritakan semuanya, Anakku!”
“Guruku, Thian Bong Sianjin bercerita padaku bahwa sembilan belas tahun yang lalu dia menolong aku yang masih bayi dari air Sungai Huang-ho. Dia tidak melihat orang lain biar pun dia sudah berusaha mencari di sungai itu. Maka dia berkesimpulan bahwa kalau aku pergi dibawa ibuku, tentu ibuku telah meninggal dunia. Aku lalu dipelihara dan dididik oleh guruku itu sebagai muridnya, bahkan diangkat sebagai cucunya. Kong-kong Thian Bong Sianjin memberiku nama Thian Hwa. Dia amat sayang kepadaku dan menurunkan semua ilmu silatnya kepadaku.”
“Ahh, sungguh besar budi kebaikan Thian Bong Sianjin. Ingin sekali aku dapat berjumpa dengan dia agar bisa mengucapkan terima kasihku yang tak terhingga. Akan tetapi, kalau engkau dan Thian Bong Sianjin tak pernah melihat Cui Eng, bagaimana engkau tadi dapat mengatakan bahwa Cui Eng mempunyai ciri tahi lalat di atas bibirnya?”
“Begini, Ayah. Setelah menolongku dari sungai, Kong-kong bermimpi, katanya dia melihat seorang wanita cantik dengan tahi lalat di atas bibir, mohon kepadanya supaya merawat anaknya. Maka Kong-kong berpendapat bahwa wanita cantik itu tentu ibuku.”
“Aih, Cui Eng... jika engkau sudah muncul dalam mimpi... benar-benar engkau telah mati, kekasihku?”
Melihat ayahnya tampak sedih kembali, Thian Hwa berkata menghibur. “Ayah, tenanglah. Menurut perkiraan Kong-kong, ibuku tentu selamat karena jenazahnya tidak diketemukan. Masih ada harapan ibu masih hidup, entah di mana.”
“Mudah-mudahan demikian, Anakku. Sekarang lanjutkan ceritamu. Bagaimana malam itu kau dapat datang di sini dan agaknya engkau... engkau ketika itu seperti mengancamku.”
“Memang benar, Ayah. Ketika itu aku datang ke sini dengan niat untuk... membunuhmu!”
“Ahh, Thian Hwa anakku, silakan jika engkau hendak membunuhku untuk membalas sakit hati ibumu. Sekarang juga aku akan menerimanya dengan rela. Memang aku pantas mati karena dosaku terhadap Cui Eng!”
“Tidak, Ayah. Buktinya aku tidak jadi membunuhmu. Aku tidak tega dan bahkan merasa kasihan kepadamu. Aku tahu bahwa engkau adalah ayahku setelah aku bertemu dengan kakekku, Kong-kong Cui Sam.”
“Ah, Lo Sam! Ia adalah pembantu keluarga di sini yang amat setia dan juga menjadi ayah mertuaku! Di mana dia, Anakku? Aku pun ingin bertemu dan minta maaf kepadanya!”
“Aku bertemu dengan Kong-kong Cui Sam di istana Pangeran Cu Kiong dan dialah yang bercerita mengenai riwayat ibuku. Mendengar betapa ibuku diusir setelah melahirkan aku, aku merasa sakit hati dan hendak membunuhmu, Ayah. Akan tetapi melihat Ayah begitu berduka dan menangisi Ibu, aku menjadi tidak tega.”
“Hemm, tentu engkaulah yang mengambil gambar ibumu itu!” kata Pangeran Ciu. “Tetapi bagaimana engkau sampai berada di istana Pangeran Cu Kiong sehingga dapat bertemu dengan kakekmu?”
Thian Hwa lalu menceritakan semua pengalamannya, dan bagian terakhir ia menceritakan bahwa kakeknya, Cui Sam, kini tinggal di dusun Kia-jung dekat kota Thian-cin.
“Ahh, biarlah aku akan mengirim pasukan menjemput ayah mertuaku Cui Sam. Dia harus ikut bersama kita tinggal di sini, dia sudah banyak menderita sengsara. Kasihan dia. Akan tetapi ceritamu tentang para pangeran itu sungguh mengejutkan hatiku, Anakku. Apa lagi mengenai niat Pangeran Leng Kok Cun yang hendak merebut tahta kerajaan! Ini sungguh gawat, dan meski pun selama ini aku juga sudah menaruh curiga kepadanya, namun tidak ada bukti akan maksud pengkhianatannya. Sekarang kita harus segera mengabarkan hal ini kepada Sribaginda supaya dapat dilakukan tindakan sebelum dia dapat melaksanakan pemberontakannya itu.”
Karena menganggap berita yang dibawa puterinya itu sangat penting, Pangeran Ciu Wan Kong lalu mengajak puterinya makan hidangan yang sudah disiapkan, kemudian bertukar pakaian dan mereka pun berangkat ke istana.
Hal ini merupakan peristiwa yang amat luar biasa bagi para pelayan Pangeran Ciu. Sudah bertahun-tahun pangeran itu hidup terbenam kesedihan, tidak pernah tampak senyum apa lagi tawa pada bibirnya, dan selalu tampak lesu dan muram. Akan tetapi mendadak saja, setelah gadis yang diperkenalkan sebagai puterinya itu datang, wajah Pangeran itu terlihat cerah gembira, matanya berahaya penuh semangat dan gerak-geriknya gesit, tidak loyo seperti biasanya. Dia bahkan tersenyum kepada setiap pelayan yang ditemuinya ketika dia memegang tangan Thian Hwa dan mereka berdua keluar dari gedung besar.
Para pengawal istana tentu saja mengenal Pangeran Ciu Wan Kong dengan baik, karena itu komandan pasukan pengawal segera melaporkan ke dalam akan kunjungan Pangeran Ciu. Laporannya diterima oleh para Thaikam (Orang Kebiri) yang menyampaikan kepada Boan Thaijin, Thaikam yang menjadi penasihat utama Kaisar Shun Chi.
Boan Kit yang sebutannya Boan Thaikam atau Boan Thaijin ini mengerutkan alisnya saat mendengar bahwa Pangeran Ciu Wan Kong minta menghadap Sribaginda Kaisar. Meski Boan Thaijin tidak suka dengan Pangeran Ciu yang sangat setia terhadap kakaknya yang menjadi kaisar, namun dia tidak berani menolak kunjungan ini. Apa lagi dia menganggap Pangeran Ciu sama sekali tidak berbahaya.
Namun ketika Pangeran Ciu dan Thian Hwa disambut Thaikam Boan Kit, penasihat kaisar ini lantas menatap wajah Thian Hwa dengan tajam penuh selidik. Pangeran Ciu telah tahu orang macam apa adanya Thaikam Boan Kit, maka melihat pandang matanya dia segera memperkenalkan.
“Boan Thaikam, dia ini adalah puteriku bernama Ciu Thian Hwa. Karena Kakanda Kaisar belum mengenal keponakan ini, maka kami hendak menghadap Sribaginda Kaisar supaya beliau dapat mengenal keponakannya.”
Boan Thaikam mengangguk dan merasa lega. Kalau hanya pertemuan keluarga saja, dia tidak perlu curiga dan khawatir.
“Harap Pangeran suka menanti sebentar. Saya akan melaporkan kepada Sribaginda yang kini sedang berada di dalam ruangan meditasi. Apa bila beliau sudah selesai bermeditasi, tentu Pangeran berdua dapat menghadap, akan tetapi kalau masih bermeditasi, tentu saja Paduka tidak akan mengganggu beliau.”
“Tentu saja, kami akan menunggu di sini,” kata Pangeran Ciu.
Diam-diam Boan Thaikam merasa heran bukan buatan melihat Pangeran Ciu. Dia sudah melakukan penyelidikan dan mengenal benar keadaan semua pangeran. Menurut laporan dari para penyelidiknya, Pangeran Ciu adalah seorang yang lemah bahkan jiwanya agak terganggu, selalu mengasingkan diri dan tenggelam dalam duka. Tetapi hari ini dia melihat Pangeran Ciu demikian gembira, wajahnya berseri, sinar matanya penuh semangat!
Tak lama kemudian Thaikam Boan Kit sudah datang menemui Pangeran Ciu dan berkata, “Pangeran, kebetulan sekali Sribaginda Kaisar sudah selesai semedhinya dan mendengar bahwa Paduka hendak menghadap, Beliau sangat gembira dan memperkenankan Paduka berdua memasuki Ruangan Meditasi.”
“Terima kasih, Boan Thaikam,” kata Pangeran Ciu.
Tentu saja dia telah mengenal keadaan dalam istana, maka tanpa ragu lagi dia mengajak Thian Hwa menuju ruangan itu.
Ruangan itu luas, akan tetapi tidak terisi banyak perabot yang serba mewah seperti yang terdapat di lorong-lorong dan ruangan lain dalam istana itu. Bahkan ruangan luas ini cukup sederhana bagi ukuran istana. Selain sebuah meja bundar dengan enam buah kursi, d situ hanya terdapat sebuah almari besar dan sebuah dipan ukuran sedang. Tentu saja ruangan itu terlampau luas untuk perabot yang sedikit itu.
Begitu melangkah melewati ambang pintu, Thian Hwa melihat seorang pria berusia sekitar enam puluh tahun lebih sedang duduk bersila di atas dipan dan menghadap ke arah pintu. Wajahnya bersih dari jenggot dan kumis, bahkan rambutnya dipotong pendek. Jubahnya berwarna kuning seperti yang biasa dipakai para pendeta Buddha. Kalau saja kepala itu gundul, maka laki-laki itu jelas seorang hwesio (pendeta Buddha)! Thian Hwa memandang heran. Inikah Sribaginda Kaisar? Seorang pendeta, seorang hwesio?
Begitu melangkah masuk, Pangeran Ciu Wan Kong sudah menjatuhkan diri berlutut dan tentu saja Thian Hwa segera ikut pula berlutut.
“Ban-swe, ban-ban-swe...! Semoga Sribaginda Kaisar panjang umur!” kata Pangeran Ciu dan ucapan ini pun diikuti oleh Thian Hwa.
Secara harafiah penghormatan umum bagi kaisar itu berarti “panjang umur selaksa tahun” dan Thian Hwa yang meniru ayahnya meneriakkan salam penghormatan itu diam-diam merasa geli. Laksaan tahun? Bagaimana kalau harapan itu dikabulkan? Bagaimana rupa kaisar itu nanti kalau usianya mencapai laksaan tahun? Baru enam puluh tahun lebih saja sudah tampak tua! Maka dia tidak dapat menahan geli hatinya dan sambil menggigit bibir dia menahan tawanya sehingga tampak tersenyum aneh.
Terdengar suara Kaisar Shun Chi yang lembut, suara yang penuh kesabaran seperti suara seorang hwesio. “Adinda Pangeran Ciu Wan Kong, adikku yang baik! Menurut keterangan Boan Thaikam, engkau berkunjung bersama puterimu. Ah, ini adalah pertemuan keluarga, bukan persidangan resmi, maka jangan banyak memakai peraturan yang kaku. Sungguh tidak enak kalau antara keluarga berbincang-bincang dengan kaku begini. Ciu Wan Kong, dan engkau keponakanku, kalian bangkit dan duduklah di atas kursi.”
Pangeran Ciu Wan Kong merupakan adik misan Kaisar Shun Chi yang di waktu mudanya sangat akrab dengan kakaknya, mengenal betul watak kaisar itu yang lembut dan bahkan ramah. Dia segera bangkit berdiri, diikuti oleh Thian Hwa.
“Banyak terima kasih, Kakanda Kaisar,” katanya dengan akrab. Mereka lalu duduk di atas kursi menghadap ke arah Kaisar Shun Chi.
“Ciu Wan Kong, sudah bertahun-tahun kami mendengar bahwa engkau tenggelam dalam kedukaan, bahkan engkau seperti mengasingkan diri. Telah lama sekali kami tak bertemu denganmu, akan tetapi hari ini kami melihat engkau berwajah ceria. Syukurlah bila engkau telah bisa mengatasi kedukaanmu. Dan kami mempunyai keponakan sudah begini besar, mengapa selama ini tidak pernah diajak menghadap ke sini?”
“Maafkan saya, Kakanda Kaisar. Sebenarnya saya sendiri baru saja menemukan kembali puteri saya yang hilang sejak dia masih bayi.”
“Omitohud! Menarik sekali itu, kenapa kami tak pernah mendengarnya? Ceritakanlah apa yang terjadi dengan engkau dan anakmu ini, Dinda,” kata Kaisar dan kembali Thian Hwa merasa heran. Mendengar ucapan Kaisar, ia merasa seolah berhadapan dengan seorang hwesio!
Pangeran Ciu Wan Kong lalu menuturkan kepada Kaisar Shun Chi tentang Cui Eng yang diusir orang tuanya sejak melahirkan seorang anak perempuan. Kemudian menceritakan tentang pertemuannya kembali dengan Thian Hwa yang sesudah menjadi seorang gadis pendekar yang lihai lalu mencari ayah ibunya.
“Hemm, kami masih ingat bahwa ibumu, adik ayahku, adalah orang yang berwatak keras. Akan tetapi sungguh tak kusangka ia akan tega terhadap cucunya sendiri. Beginilah kalau manusia membiarkan dirinya terikat pada derajat dan kehormatan. Ikatan menjadi sumber kesengsaraan,” kata Sribaginda Kaisar. “Tetapi sekarang engkau sudah dapat berkumpul kembali dengan puterimu, kami ikut merasa gembira dan bahagia!”
“Terima kasih, Kakanda Kaisar. Akan tetapi saya menghadap Kakanda ini, selain untuk memperkenalkan puteri saya, juga untuk melaporkan keadaan yang teramat gawat, yang didapatkan oleh Thian Hwa.”
Kaisar Shun Chi tersenyum. “Hal gawat apakah itu?”
“Thian Hwa, ceritakanlah kepada Sribaginda Kaisar,” kata Pangeran Ciu kepada puterinya.
Thian Hwa lalu menceritakan pengalamannya ketika dia bertemu dengan Pangeran Leng Kok Cun, mengenai apa yang dia ketahui tentang pangeran yang hendak merampas tahta kerajaan dengan mengumpulkan banyak tokoh sesat dunia kang-ouw dan mengadakan persekutuan dengan para pejabat yang sehaluan.
“Mohon beribu ampun, Yang Mulia. Sebetulnya hamba tak berani menyusahkan perasaan Paduka dengan cerita ini, akan tetapi untuk menaati perintah Ayah, hamba menceritakan juga.” Thian Hwa menutup ceritanya ketika melihat betapa wajah yang penuh kesabaran itu diselimuti kedukaan setelah mendengar ceritanya.
Kaisar Shun Chi menarik napas panjang. “Baik sekali engkau menceritakan hal itu, Thian Hwa. Sesungguhnya urusan seperti itu sudah lama kukhawatirkan, Dinda Ciu Wan Kong. Perebutan kekuasaan, seolah kekuasaan harta benda dapat mendatangkan kebahagiaan! Padahal semua itu bahkan mendatangkan ikatan dengan dunia yang lebih kuat lagi. Jelas bahwa Pangeran Leng Kok Cun menuruti hawa nafsu angkara murka. Memang dia yang paling tua di antara putera-puteraku, akan tetapi dia lahir dari selir sehingga tidak berhak menggantikan aku. Orang pertama yang paling berhak adalah putera bungsuku Pangeran Mahkota Kang Shi. Ah, kedudukan dan harta hanyalah mendatangkan pertengkaran dan perebutan. Keadaan inilah yang membuat aku ingin melepaskan semua itu. Bebas dari pengaruh dunia yang hanya mendatangkan kesenangan palsu dan akan berakhir dengan kesengsaraan. Bebas dari segala persoalan yang hanya menimbulkan permusuhan dan kebencian.” Kaisar itu menghela napas lagi, lalu duduk diam seperti orang melamun.
“Maafkan saya, Kakanda Kaisar. Menurut cerita Thian Hwa tadi, bahaya dan keributan itu baru merupakan ancaman saja, tapi sebaiknya ancaman itu cepat-cepat disingkirkan agar jangan terjadi mala petaka. Ampunkan saya karena saya usulkan ini hanya demi menjaga kejayaan Kerajaan Ceng.”
Kembali Kaisar Shun Chi menarik napas panjang. “Adikku Ciu Wan Kong, bagaimana pun juga, Pangeran Leng Kok Cun adalah puteraku sendiri. Aku akan menasihatinya agar dia insaf dan menyadari kekeliruannya sehingga tidak melanjutkan niatnya yang tak baik itu.”
Mendadak terdengar gerakan orang di pintu. Thian Hwa yang memiliki kepekaan terhadap ancaman bahaya, cepat menengok dan dia melihat lima orang prajurit pengawal masuk ke ruangan itu. Tiba-tiba mereka berlima mengayun tangan, lantas terdengar suara bersiutan ketika lima sinar meluncur ke arah Kaisar!
Dengan gerakan cepat sekali Thian Hwa segera menyambar kursi yang tadi didudukinya, lantas melompat ke depan Kaisar dan menangkis lima batang piauw (senjata gelap) yang menyambar itu sehingga terdengar suara berdentingan pada waktu lima batang piauw itu terlempar ke atas lantai.
Sementara itu, Pangeran Ciu Wan Kong cepat melompat dan memegang tangan Kaisar Shun Chi, menariknya ke belakang almari besar untuk berlindung.
Melihat serangan mereka digagalkan gadis cantik yang berada di sana, lima orang prajurit pengawal itu berlompatan sambil mencabut pedang mereka. Thian Hwa tidak membawa senjata karena hal itu dilarang oleh ayahnya. Menghadap Kaisar memang dilarang keras membawa senjata.
Melihat lima orang itu bergerak demikian gesit, Thian Hwa dapat menduga bahwa mereka itu pasti bukan prajurit pengawal biasa. Mungkin orang-orang kang-ouw yang pandai ilmu silat yang menyamar sebagai prajurit pengawal.
Dia tahu bahwa keselamatan Kaisar tengah terancam, maka dia cepat mengambil jarum-jarum kecil yang disembunyikan di saku bajunya. Kursi yang tadi dipakai menangkis lima batang piauw itu dia lontarkan ke arah lima orang pengawal yang menyerbu masuk.
Tepat seperti dugaannya, lima orang itu dengan mudah menghindarkan diri dari sambaran kursi, bahkan seorang dari mereka menggunakan pedangnya membacok kursi sehingga patah-patah. Akan tetapi serangan dengan lemparan kursi itu dilakukan Thian Hwa hanya untuk mengalihkan perhatian mereka saja. Segera sinar-sinar putih menyusul kursi itu dan itulah jarum-jarum Pek-hwa-ciam (Jarum Bunga Putih) yang meluncur dengan kecepatan kilat ke arah lima orang itu.
Terdengar teriakan mengaduh dan dua orang dari mereka lantas terpelanting roboh akibat terkena jarum yang menyambar dengan sangat cepatnya itu. Tiga orang yang lain masih sempat menghindarkan diri dari sambaran jarum-jarum lembut itu.
Thian Hwa melompat ke depan, disambut serangan tiga orang itu. Memang jelas bahwa mereka itu bukan prajurit biasa karena serangan pedang mereka cukup lihai dan ganas.
Karena Thian Hwa harus melindungi Kaisar, maka ia mengambil tempat melindungi Kaisar yang berada di belakangnya agar dia dapat mencegah tiga orang itu melakukan serangan terhadap Kaisar Shun Chi dan Pangeran Ciu Wan Kong yang berlindung di balik almari. Thian Hwa bergerak dengan ilmu silat tangan kosong Kauw-jiu Kwan Im (Dewi Kwan Im Berlengan Sembilan). Gerakannya ringan dan gesit seperti seekor burung, berkelebatan di antara tiga gulungan sinar pedang pengeroyoknya.
Memang ketiga orang itu mempunyai ilmu pedang yang cukup lihai, terutama sekali yang seorang, yaitu yang bertubuh tinggi kurus. Dialah yang paling lihai dan agaknya orang ini mencari kesempatan untuk menerobos lewat Thian Hwa agar dapat membunuh Kaisar!
Sudah beberapa kali Pangeran Ciu Wan Kong membujuk Kaisar supaya memberi tanda memanggil para pengawal. Akan tetapi Kaisar Shun Chi yang bersikap sangat tenang itu menggelengkan kepalanya dan berkata dengan suara tegas.
“Tidak, Dinda. Aku ingin sekali mengetahui sampai di mana kelihaian puterimu. Kita lihat saja. Aku yakin ia akan dapat mengalahkan mereka.”
Tentu saja hati Pangeran Ciu Wan Kong gelisah sekali melihat puterinya tengah dikeroyok tiga orang yang bersenjata pedang, sedangkan puterinya bertangan kosong! Akan tetapi dia tak berani membantah ucapan Kaisar dan hanya menonton dengan jantung berdebar.
Dugaan Kaisar memang benar. Tingkat kepandaian Thian Hwa jauh lebih tinggi dari pada tingkat tiga orang pengeroyoknya, atau lebih tepat yang dua orang, karena yang seorang itu memang benar lebih tangguh dari pada yang lain.
Sesudah bertanding belasan jurus, dengan tendangan kakinya akhirnya Thian Hwa dapat merobohkan dua orang pengeroyok. Akan tetapi ia sempat terkejut melihat lawannya yang tinggal seorang itu, tiba-tiba saja menyerang ke arah kawan-kawannya sendiri! Empat kali pedangnya menyambar ke arah empat orang yang sudah roboh terluka itu hingga mereka pun tewas seketika.
“Jahanam!” Thian Hwa membentak marah dan dia cepat menyerang dengan pengerahan tenaga saktinya. Orang tinggi kurus itu mencoba memapaki serangan ini dengan bacokan pedangnya.
“Trakkk...!”
Pedang itu terpental lantas terlepas dari pegangan tangannya ketika terpukul oleh tangan Thian Hwa yang terisi penuh tenaga sakti yang amat kuat itu. Kaki Thian Hwa menyusul dengan tendangan dan tubuh orang itu terlempar, menabrak dinding ruangan itu dan jatuh terkulai.
Thian Hwa segera melompat untuk menangkapnya karena dia perlu mengorek keterangan dari satu-satunya lawan yang masih hidup itu agar dapat diketahui siapa yang mendalangi penyerangan itu. Akan tetapi orang itu segera memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya dan tubuhnya menggelepar lalu tewas!
“Keparat! Dia telah menelan racun!” Thian Hwa berseru marah.
Sesudah lima orang penyerang itu tewas semua, barulah Kaisar Shun Chi membunyikan kelenengan sebagai tanda memanggil para pengawal. Belasan orang prajurit pengawal segera berlari masuk, dipimpin oleh Boan Thaikam sendiri yang datang dengan pedang di tangan!
Boan Thaikam adalah seorang yang memiliki ilmu silat tinggi. Dia terbelalak memandang mayat lima orang prajurit pengawal itu dan cepat dia memandang kepada Kaisar Shun Chi yang masih bergandengan tangan dengan Pangeran Ciu Wan Kong dan kini sudah keluar dari balik almari besar.
“Ya Tuhan...!” Thaikam itu berseru sambil memandangi mayat-mayat itu, lalu menyembah kepada Kaisar dengan membalikkan pedang di bawah lengannya. “Sribaginda, apakah yang telah terjadi? Siapa lima orang yang berpakaian seperti pengawal ini dan mengapa mereka mati di sini...?”
Dengan sikap tenang saja Kaisar berkata. “Mereka berusaha untuk membunuhku, namun keponakanku yang gagah perkasa ini sudah dapat menggagalkan niat jahat mereka. Boan Thaikam, cepat perintahkan anak buahmu untuk menyingkirkan mayat-mayat itu dari sini dan membersihkan lantai ruangan ini!”
“Baik, Sribaginda.” Thaikam itu lalu sibuk mengatur orang-orangnya untuk menyingkirkan lima mayat itu, membawanya keluar.
Kaisar Sun Chi lalu berkata kepada Pangeran Ciu Wan Kong dan Thian Hwa. “Mari kita melanjutkan pembicaraan kita di ruangan lain.” Sesudah berkata demikian, dia menekan tombol yang tersembunyi di balik almari dan... terbukalah sebuah pintu di dekat almari itu! Thian Hwa dan ayahnya lalu mengikuti Kaisar masuk ke ruangan lain melalui pintu rahasia itu. Setelah mereka masuk, pintu itu segera tertutup kembali dan dinding itu tampak utuh.
Ruangan itu lain dari ruangan tadi. Tak seluas tadi dan perabotnya seperti di ruangan lain, indah dan mewah. Jelas bukan merupakan kamar tidur karena tidak ada pembaringannya. Hanya ada meja kursi serta perabot hiasan. Sesudah mereka duduk, Pangeran Ciu Wan Kong tidak dapat menahan keingin-tahuannya.
“Maaf, Kakanda Kaisar, saya benar-benar merasa heran dan ingin tahu sekali. Tadi ketika Kakanda terancam oleh lima orang pembunuh itu dan kita berada di balik almari, mengapa Kakanda tidak menggunakan pintu rahasia itu untuk menyelamatkan diri?”
Kaisar Shun Chi tersenyum lebar. “Dan tidak bisa menyaksikan keponakanku yang gagah perkasa ini bagaimana gagahnya dia menggagalkan usaha mereka? Omitohud! Aku tidak begitu bodoh, Dinda Pangeran. Aku ingin melihat buktinya lebih dahulu bahwa Thian Hwa adalah seorang pendekar wanita yang betul-betul pantas kuserahi tugas untuk melindungi Pangeran Mahkota, dan pantas pula kuberi sebuah Tek-pai.”
Pangeran Ciu terbelalak memandang Kaisar. “Melindungi Pangeran Mahkota? Dan diberi Tek-pai (Bambu Tanda Kuasa Kaisar)? Akan tetapi bukankah Pangeran Mahkota sudah dilindungi oleh Kakanda Pangeran Bouw Hun Ki dan keluarganya? Dan puteri saya ini... ia... ia... masih amat muda, sudah pantaskah ia menerima sebuah Tek-pai? Saya mohon Kakanda mempertimbangkan kembali.”
Tentu saja Pangeran Ciu Wan Kong merasa amat khawatir mendengar ucapan Kaisar itu. Melindungi Pangeran Mahkota merupakan sebuah tugas besar yang teramat penting dan melihat betapa para pangeran agaknya merasa iri dan ingin mendapatkan tahta kerajaan menggantikan Sang Kaisar, maka pekerjaan melindungi Pangeran Kang Shi merupakan pekerjaan yang penuh bahaya.
Dan diberi Tek-pai, yaitu sepotong bambu yang ada cap dan tanda tangan Kaisar dengan tulisan bahwa pemegangnya diberi kekuasaan oleh Kaisar, juga berarti memberi tanggung jawab yang teramat berat di atas pundak puterinya, seorang gadis muda! Biasanya yang diberi Tek-pai adalah mereka yang sudah benar-benar dipercaya oleh Kaisar, seorang pejabat tinggi yang setia dan sudah banyak jasanya!
Kembali Kaisar Shun Chi tersenyum. “Adinda Ciu, engkau tahu aku selalu hati-hati dalam mengambil keputusan. Telah kupertimbangkan dengan baik ketika aku mengangkat Thian Hwa menjadi pelindung Pangeran Mahkota Kang Shi. Thian Hwa, engkau akan membantu Pangeran Bouw Hun Ki yang telah kuserahi tugas untuk mendidik dan menjaga Pangeran Mahkota. Engkau bertugas menjaga keselamatannya dan menentang siapa pun juga yang berniat jahat terhadap Pangeran Kang Shi. Untuk itu engkau akan kuberi Tek-pai agar ke mana pun engkau minta bantuan, semua pejabat pemerintah pasti akan menerimamu dan membantumu. Nah, Thian Hwa, keponakanku yang gagah, sanggupkah engkau menerima tugas ini?”
Thian Hwa lalu bangkit dari kursinya dan menjatuhkan diri berlutut menghadap Kaisar.
“Hamba menaati semua perintah Paduka Sribaginda!”
Kaisar Shun Chi tertawa senang. “Ha-ha-ha-ha, engkau pantas menjadi puteri Dinda Ciu Wan Kong yang merupakan adikku yang paling bijaksana dan setia!” Kaisar tertawa lagi. Akan tetapi dia lalu bersikap serius, senyumnya lenyap dan dia berkata lirih.
“Dengar baik-baik kalian berdua yang kupercaya. Sesungguhnya aku telah menduga akan semua yang kalian ceritakan itu. Aku pun sudah tahu akan niat puteraku Pangeran Leng Kok Cun yang tidak sehat itu. Akan tetapi bagaimana pun juga, dia adalah puteraku. Aku akan seperti mencoreng arang di mukaku sendiri jika bertindak terhadap puteraku sendiri. Oleh karena itu aku sudah mengambil keputusan yang sudah sejak lama kurencanakan.” Dengan suara bisik-bisik Kaisar Shun Chi lalu memberi-tahu kepada Pangeran Ciu Wan Kong dan Thian Hwa tentang rencananya.
Keputusan yang diambil Kaisar Shun Chi memang luar biasa dan hebat. Kaisar yang telah lama menekuni Agama Buddha itu sehingga dia tidak acuh lagi terhadap urusan kerajaan, ingin meniru apa yang dilakukan Pangeran Sidharta Gautama yang meninggalkan istana dengan semua kesenangan dan kemewahannya untuk mencari jalan kebenaran sehingga akhirnya menjadi Buddha.
Kaisar Shun Chi juga ingin meninggalkan istana secara diam-diam supaya jangan sampai menggegerkan rakyat, untuk menjadi pendeta Buddha dan menghabiskan hidupnya untuk melepaskan diri dari semua ikatan. Agar tidak sampai menimbulkan kekacauan, mereka yang dekat dengannya dan dipercaya akan mengabarkan bahwa Kaisar Shun Chi sudah wafat!
“Akan tetapi, Kakanda...!” Pangeran Ciu Wan Kong berseru kaget dan heran.
Kaisar Shun Chi mengangkat tangan kanannya ke atas. “Cukup, Dinda Ciu, keputusan ini tidak akan dapat diubah oleh siapa pun juga karena telah menjadi keputusanku. Aku akan meninggalkan surat wasiat bahwa penggantiku haruslah Pangeran Kang Shi. Dinda Ciu Wan Kong, terutama engkau Thian Hwa, sangat kuharapkan untuk membantu Pangeran Bouw Hun Ki serta para menteri dan panglima yang setia agar penobatan Pangeran Kang Shi sebagai kaisar penggantiku kelak berjalan dengan lancar dan tak ada hambatan atau halangan. Ini adalah perintahku yang terakhir! Maukah engkau berjanji, Ciu Thian Hwa?”
Thian Hwa sangat terkejut dan heran mendengar rencana Kaisar yang diucapkan dengan suara tenang namun tegas itu. Ia pun menjawab tanpa ragu.
“Hamba siap melaksanakan semua perintah Paduka, Sribaginda!”
“Bagus, kini hatiku menjadi tenang. Biar pun aku sudah menyerahkan semua harapan dan kepercayaan kepada Pangeran Bouw Hun Ki yang didukung oleh isterinya yang bijaksana dan tinggi ilmunya, namun mereka masih membutuhkan bantuan seorang seperti engkau, Thian Hwa. Surat wasiat itu telah kutulis, tetapi masih kubawa. Tugas pertamamu adalah membawa surat wasiat ini kepada Pangeran Bouw Hun Ki dan menyerahkan surat wasiat ini kepadanya.”
“Maaf, Kakanda Pangeran, apakah Kakanda Pangeran Bouw Hun Ki sudah mengetahui akan rencana Kakanda membuat surat wasiat ini?”
“Sudah, dia sudah mengetahui semua rencanaku. Berikan saja surat wasiat ini kepadanya dan dia akan mengerti.” Kaisar mengambil surat wasiat itu dari balik jubahnya kemudian menyerahkannya kepada Thian Hwa.
Gadis itu menerimanya kemudian menyimpannya baik-baik di balik bajunya sehingga tidak tampak dari luar.
“Nah, sekarang kalian boleh pergi dari sini.”
“Akan tetapi, Kakanda. Ke manakah saya harus mencari bila saya ingin berjumpa dengan Kakanda?” tanya Pangeran Ciu Wan Kong dengan hati pilu.
“Dinda Ciu Wan Kong! Kalau nanti ada berita tentang Kaisar Shun Chi wafat, berarti aku sudah tidak berada di sini. Jangan tanya lagi ke mana aku pergi dan jangan mengharap akan bertemu dengan aku lagi. Anggap saja aku benar-benar sudah mati.”
“Kakanda....”
“Cukup, jangan lemah dan cengeng, Dinda Ciu Wan Kong. Lihat puterimu begitu gagah dan tegar! Laksanakan saja pesanku itu dengan baik dan aku yakin Kerajaan Ceng akan tetap jaya! Sekarang pergilah, kalau kalian terlalu lama berada di sini akan menimbulkan kecurigaan.”
Sesudah menerima Tek-pai dan surat wasiat dari Kaisar Shun Chi, Thian Hwa bersama ayahnya lalu meninggalkan istana dengan hati berat. Terutama sekali Pangeran Ciu Wan Kong. Pertemuannya dengan Kaisar tadi mungkin merupakan pertemuan yang terakhir!
Tapi dengan adanya Thian Hwa di sampingnya, Pangeran Ciu Wan Kong dapat terhibur. Penghidupannya berubah sepenuhnya sesudah puterinya itu tinggal bersamanya. Dia lalu menyuruh orang supaya menjemput Lo Sam yang tinggal di dusun Kia-jung untuk datang dan tinggal di gedungnya, bukan lagi sebagai seorang pelayan seperti dahulu, melainkan sebagai ayah mertua yang dihormati…..!
********************
Selanjutnya baca
KEMELUT KERAJAAN MANCU : JILID-06