Si Bangau Merah Jilid 15
Pada keesokan harinya, setelah mandi dan sarapan pagi, ketika Sian Li dan Sian Lun sudah bersiap-siap pergi meninggalkan rumah penginapan dan melanjutkan perjalanan, seorang laki-laki menghampiri mereka. Dengan sikap hormat ia menyerahkan sesampul surat kepada mereka. Setelah sampul surat itu diterima oleh Sian Li, pembawa surat itu memberi hormat dan segera pergi lagi.
Sian Li cepat membuka sampul dan bersama Sian Lun mereka membaca surat yang ditulis dengan huruf-huruf yang gagah dan indah itu.
Harap Liem Tahiap dan Tan Lihiap suka memaafkan sikap anak buah kami. Karena belum saling mengenal dengan baik maka terjadilah kesalah pahaman. Kalau Jiwi ingin mengetahui lebih baik siapa kami, kami ingin mengundang Jiwi untuk menghadiri pesta pertemuan antara pejuang yang kami adakan sore nanti. Kami akan menjemput Jiwi dengan kereta. Kami bukan golongan jahat, melainkan pejuang-pejuang. Keselamatan Jiwi kami jamin.
Pimpinan Hek-I Lama
"Hemmm, jangan pedulikan surat dari mereka, Sumoi. Jelas bahwa mereka itu orang-orang jahat dan berbahaya. Kita pun baru saja kemarin lolos dari tawanan mereka dan hari ini mereka mengundang kita sebagai tamu? Hemm, ini pasti jebakan belaka. Lebih baik kita berangkat pergi saja meninggalkan tempat ini, Sumoi."
"Suheng, lupakah Suheng akan nasehat dan pesan guru-guru kita? Kita memang harus berhati-hati dan waspada, tapi yang lebih penting adalah bahwa kita tak boleh bersikap penakut! Kita harus berani menghadapi kenyataan, betapa besar pun bahayanya, bukan saja menghadapi, akan tetapi juga menanggulangi dan mengatasinya. Mereka mengirim surat undangan resmi, tidak mungkin merupakan jebakan. Mereka adalah perkumpulan yang besar, kiranya tak akan menggunakan cara serendah itu. Kita memang tidak perlu bersekutu dengan mereka, akan tetapi juga tidak perlu mencampuri urusan mereka dan memusuhi, kecuali kalau mereka mengganggu kita."
"Jadi bagaimana sikapmu menghadapi undangan ini?"
"Aku akan menerimanya dan menghadiri undangan itu."
"Sumoi! Ingat, hal itu akan berbahaya sekali. Engkau seperti mengundang datangnya bahaya!"
"Aku tidak takut, Suheng. Mereka itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Sebagai datuk ilmu silat yang lihai, sudah pasti para pimpinan Hek-I Lama tidak akan begitu merendahkan diri dan mencemarkan nama besar sendiri sengan perbuatan yang hina seperti menjebak orang-orang muda seperti kita. Pula, bukankah kita ini pergi meninggalkan rumah untuk meluaskan pengalaman dan menambah pengetahuan? Kini kita mendapat kesempatan mengetahui lebih banyak tentang Hek-I Lama, kesempatan yang baik sekali karena kita diundang sebagai tamu! Kalau engkau merasa jeri, biarlah aku sendiri saja yang datang ke sana, Suheng."
Sian Li tidak mau mengeluarkan isi hati yang paling dalam, yaitu bahwa kalau terjadi apa-apa dengan dirinya di tempat Hek-I Lama, ia mengharapkan munculnya Sin-ciang Taihiap untuk kembali menolongnya. Dia harus bertemu lagi dengan pendekar itu, harus membuka rahasianya yang aneh, terus mengenal wajahnya dan namanya. Kalau tidak, selama hidupnya ia akan tenggelam dalam penasaran.
Wajah Sian Lun menjadi merah ketika sumoi-nya mengatakan dia jeri. "Sumoi, aku tidak mengkhawatirkan diri sendiri, melainkan mengkhawatirkan keselamatanmu sendiri. Jika engkau berkeras hendak pergi, tentu saja aku akan menemanimu."
Sian Li tersenyum menatap wajah suheng-nya. "Terima kasih, Suheng. Dan maafkan, bukan maksudku mengatakan engkau takut. Tapi aku ingin sekali menghadiri undangan itu dan melihat siapa saja sebetulnya orang-orang itu dan apa pula maksud undangan mereka kepada kita."
Akhirnya Sian Lun terpaksa harus memenuhi kehendak Sian Li dan mereka menunggu kedatangan kereta yang hendak menjemput mereka dengan hati berdebar-debar penuh ketegangan.
Sian Li memang berjiwa petualang. Suasana yang mendebarkan hatinya itu merupakan suatu kenikmatan tertentu bagi seorang petualang. Apa lagi kalau dia membayangkan kemunginan munculnya Sin-ciang Taihiap! Bahkan diam-diam dia mengharapkan terjadi sesuatu dengan dirinya agar pendekar aneh itu akan muncul kembali!
Di luar dugaan mereka, kereta itu muncul setelah lewat tengah hari, tetapi belum sore. Sebagai seorang wanita, tentu saja Sian Li tidak mau pergi dalam keadaan belum mandi dan pakaian belum diganti, maka ia minta kepada kusir kereta yang datang menjemput agar menanti sebentar karena ia ingin mandi dan berganti pakaian lebih dahulu.
Sebaliknya, Sian Lun yang merasa tegang dan selalu diliputi kegelisahan, tidak sempat bertukar pakaian dan mandi. Orang pergi menentang bahaya, untuk apa harus mandi dan berganti pakaian segala, pikirnya. Dia malah menanti sumoi-nya di dekat kereta dan mencoba untuk memancing keterangan kepada kusir kereta.
Akan tetapi, kusir itu selalu menjawab "tidak tahu" untuk segala pertanyaannya, dan mengatakan bahwa ia hanya bertugas menjemput mereka. Akan tetapi, dari gerak-gerik dan sinar matanya yang tajam membayangkan kecerdikan, Sian Lun dapat menduga bahwa kusir ini hanya berpura-pura tolol dan lemah saja. Tentu dia seorang anggota yang sudah dipercaya, dan yang memiliki ilmu kepandaian tangguh.
Akhirnya muncullah Sian Li dengan wajah dan tubuh segar, dengan pakaian bersih dan rambutnya tersanggul rapi. Ia nampak segar dan cantik sekali, membuat hati Sian Lun menjadi semakin gelisah. Kenapa sumoi-nya demikian mempercantik diri? Mereka akan menjadi tamu orang-orang jahat!
Baru Cu Ki Bok, murid Lulung Ma itu saja jelas amat lihai dan pemuda itu mempunyai niat tidak senonoh terhadap diri Sian Li. Juga dari percakapan yang didengarnya ketika mereka ditawan, dia mendengar betapa Sian Li akan dihadiahkan kepada orang yang disebut sebagai Pangeran Gulam Sing! Dengan kecantikan seperti itu, sumoi-nya akan membuat mata orang-orang jahat itu menjadi semakin hijau! Akan tetapi tentu saja dia tidak dapat berkata apa-apa. Mereka pun naik ke dalam kereta yang segera dijalankan oleh kusirnya dengan cepat meninggalkan kota itu.
Kereta itu meluncur keluar kota melalui pintu gerbang sebelah timur, kemudian mendaki sebuah bukit. Berkali-kali Sian Lun bertanya kepada kusirnya, ke mana mereka akan dibawa pergi. Akan tetapi kusir itu tidak pernah mau menjawab! Ketika kereta memasuki sebuah hutan di lereng bukit itu, Sian Lun kehabisan sabarnya.
"Kusir keparat! Kalau tidak kau jawab, aku akan menghajarmu! Hayo katakan ke mana engkau akan membawa kami!" bentaknya dan dia sudah bergerak untuk menyerang kusir yang duduk di depan.
Akan tetapi lengannya ditangkap Sian Li. "Suheng, kenapa tidak sabar?" katanya sambil mengerutkan alisnya. "Dia hanya petugas yang melaksanakan perintah. Tentu saja dia membawa kita kepada yang mengutusnya, yaitu Hek-I Lama yang mengundang kita."
"Nona berkata benar dan kita sudah hampir tiba di tempat yang dituju," kata kusir itu dan Sian Lun terpaksa menelan kemarahannya. Dia merasa terlalu tegang sehingga mudah tersinggung dan marah.
Ternyata di tengah rimba itu terdapat tempat terbuka di mana berdiri sebuah rumah besar. Dan suasananya di sana memang dalam keadaan pesta. Banyak orang sedang membereskan ruangan depan rumah itu yang disambung dengan panggung di depan rumah, merupakan ruangan yang luas dan setengah terbuka. Kursi-kursi yang diatur di situ rapi dan semua menghadap ke dalam, ke arah rumah di mana terdapat meja besar dan kursi-kursi yang mudah diduga menjadi tempat tuan rumah.
Pada saat itu telah banyak orang berkumpul, bahkan di pihak tuan rumah telah duduk banyak pendeta berjubah hitam dan berkepala gundul. Anak buah dari perkumpulan yang dipimpin para pendeta Lama berjubah hitam ini semuanya juga berpakaian serba hitam, dengan kain kepala warna hitam pula sehingga mereka nampak menyeramkan.
Sian Li dan Sian Lun menduga bahwa mereka yang hadir di sana dan tidak berpakaian hitam tentulah tamu-tamu seperti juga mereka. Mereka melihat pula banyak orang Nepal yang bertubuh tinggi besar, bermuka brewok dan menutup kepala dengan sorban putih atau kuning. Mereka melihat pula banyak orang yang mengenakan pakaian Han seperti mereka. Ada pula yang memakai pakaian suku Miao, Hui, Kasak, dan Mongol.
Ketika kakak beradik seperguruan itu tiba di situ, mereka disambut dengan hormat dan hal ini dapat diketahui karena yang menyambut mereka adalah Lulung Lama sendiri bersama muridnya, Cu Ki Bok! Mereka dipersilakan duduk di rombongan orang-orang Han yang kemudian ternyata adalah orang-orang yang dianggap sebagai tokoh-tokoh kang-ouw dan para pendekar.
Pada waktu itu barulah Sian Li dan Sian Lun tahu bahwa Lulung Ma bukanlah pemimpin nomor satu dari perkumpulan Lama Jubah Hitam! Selain dia, masih ada pula seorang suheng-nya yang duduk di kursi terbesar.
Pendeta Lama ini juga berpakaian serba hitam dan dia sudah tua sekali, sedikitnya tujuh puluh lima tahun usianya dan kelihatan seperti seorang pemalas. Dia hanya duduk saja bersandar pada kursinya. Agaknya yang aktip dalam pertemuan itu adalah Lulung Lama dan muridnya, yaitu Cu Ki Bok, peranakan Han Tibet itu.
Walau pun hatinya merasa panas dan marah melihat Cu Ki Bok yang menyambutnya bersama Lulung Lama, akan tetapi Sian Lun menahan diri dan tidak memperlihatkan kemarahannya. Ada pun Sian Li bersikap tenang, bahkan tersenyum-senyum sehingga diam-diam Cu Ki Bok merasa kagum bukan main. Gadis itu selain cantik dan lincah, ternyata memiliki ketabahan yang mengagumkan hatinya.
Kini Sian Li merasa semakin yakin bahwa pihak tuan rumah tidak akan mungkin berani melakukan kekerasan terhadap dirinya dan suheng-nya, melihat bahwa pertemuan itu dihadiri demikian banyaknya orang dari berbagai golongan. Tentu orang macam Lulung Lama takkan merendahkan diri yang hanya akan mencemarkan nama besarnya sendiri selagi di situ berkumpul banyak orang, dengan perbuatan yang curang dan pengecut. Hal ini terbukti pula dengan sikap Cu Ki Bok yang sangat sopan dan hormat, padahal baru kemarin pemuda murid tokoh Hek-I Lama itu bersikap kasar dan tidak sopan.
Akan tetapi, Sian Li dan Sian Lun menjadi pusat perhatian para tamu ketika Lulung Ma dengan suara lantang memperkenalkan tamu baru ini kepada semua orang sebagai dua orang pendekar dari timur yang masih memiliki hubungan erat dengan Puteri Gangga Dewi dari Kerajaan Bhutan.
Agaknya sekarang semua tamu sudah berkumpul. Senja mulai datang, lampu-lampu penerangan dinyalakan dan pesta pun dimulai. Setelah Lulung Lama sebagai wakil pimpinan Hek-I Lama menyuguhkan anggur sampai tiga keliling kepada para tamu dan mempersilakan para tamu makan kue manis yang dihidangkan sebagai pembuka pesta, Lulung Lama lalu bangkit berdiri dan dengan kedua tangan diangkat dia minta agar para tamu tidak berisik dan memberi perhatian kepadanya.
Agaknya bicaranya memang ditujukan kepada orang-orang Han yang menjadi tamu di sana, maka dia menggunakan bahasa Han. Para kelompok suku bangsa lain yang tidak paham bahasa Han terpaksa mendengarkan terjemahannya dari kawan-kawan mereka yang paham.
"Saudara sekalian, Cuwi (Anda Sekalian) yang gagah perkasa dari dunia kang-ouw di timur, kami dari Hek-I Lama mengucapkan selamat datang dan terima kasih atas kehadiran Cuwi yang memenuhi undangan kami. Seperti Cuwi dapat melihatnya, di sini kami berkumpul, dihadiri pula oleh para sahabat dari Nepal terutama sebagai kawan seperjuangan kami, dan para sahabat dari suku Miao, Hui, Kasak dan Mongol yang tak sudi melihat orang-orang Mancu merajalela dan hendak menguasai seluruh daratan. Cuwi kami undang untuk mengadakan perundingan dan kami ajak untuk bekerja sama menentang pemerintah Kerajaan Ceng dari bangsa Mancu. Kalau kita semua bersatu, tentu bangsa Mancu akan bisa kita kalahkan dan kita usir kembali ke asal mereka. Kami mengharapkan sambutan dari Cuwi yang kami hormati sebagai orang-orang gagah di dunia kang-ouw."
Lulung Ma memberi hormat, lalu duduk kembali. Sebelum dari golongan orang Han ada yang menjawab, Pangeran Gulam Sing sudah bangkit dari tempat duduknya di jajaran tuan rumah, di samping Lulung Lama. Dia pun bicara dengan suaranya yang lantang, dalam bahasa Nepal yang langsung diterjemahkan kalimat demi kalimat oleh seorang Han yang duduk di belakangnya.
"Saudara sekalian, kita ini terdiri dari berbagai suku dan bangsa, akan tetapi saat ini kita berkumpul sebagai saudara-saudara senasib, sependeritaan dan seperjuangan! Kita sama-sama sengsara oleh kelaliman bangsa Mancu! Bangsa Mancu tidak saja menjajah seluruh daratan Cina, akan tetapi juga menindas daerah barat, menjajah Tibet, bahkan menjadi ancaman bagi negara-negara tetangga di barat. Kami, Pangeran Gulam Sing, memimpin orang-orang gagah dari Nepal, siap untuk berjuang bersama dengan saudara sekalian untuk menentang pemerintah Mancu!"
Setelah berkata demikian, dibawah sambutan tepuk tangan, pangeran Nepal ini duduk kembali. Dia seorang pangeran Nepal yang berkulit coklat kehitaman, bertubuh tinggi besar, mukanya brewok dan tampan gagah jantan. Matanya lebar dan sinarnya tajam, mulutnya selalu dibayangi senyum yang memikat. Pangeran berusia kurang lebih empat puluh tahun ini memang seorang pria yang jantan dan ganteng sekali.
Di deretan depan dari para tamu golongan Han, nampak seorang wanita bangkit berdiri. Sian Li dan Sian Lun semenjak tadi sudah melihat bahwa di antara para tokoh kang-ouw terdapat beberapa orang wanita, dan yang menarik perhatian adalah adanya tiga orang wanita yang usianya antara dua puluh lima sampai tiga puluh tahun.
Ketiganya cantik menarik, berpakaian serba mencolok berwarna warni akan tetapi selalu dihias kembang teratai putih. Kini, seorang di antara tiga wanita itu, yang tertua, usianya sekitar tiga puluh tahun, bangkit dan tentu saja ia menjadi pusat perhatian ketika ia bicara.
"Para pimpinan Hek-I Lama, apakah aku boleh bicara sekarang?" tanyanya. Suaranya lantang akan tetapi merdu dan gayanya memikat. Matanya bersinar tajam serta genit, dan bibirnya tersenyum-senyum. Pandang matanya terus menyambar-nyambar ke arah Pangeran Gulam Sing.
Lulung Lama segera bangkit dan memberi hormat. "Omitohud! Pinceng sebagai wakil pimpinan Hek-I Lama, berterima kasih sekali kalau Toanio yang datang sebagai utusan dan wakil Pek-lian-kauw memberi petunjuk kepada kami."
Tentu saja perhatian Sian Li dan Sian Lun menjadi semakin besar ketika mendengar ucapan Lulung Lama itu. Kiranya ketiga orang wanita cantik itu adalah orang-orang dari Pek-lian-kauw!
Mereka berdua sudah banyak mendengar tentang Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih), yaitu segolongan orang dengan agama yang aneh dan yang memiliki banyak tokoh lihai. Mereka terkenal sebagai pemberontak-pemberontak yang gigih. Tetapi sayang, biar pun mereka memberontak terhadap pemerintah penjajah, tetapi nama Pek-lian-kauw bukan nama yang bersih dan disuka rakyat.
Banyak tokoh-tokoh mereka yang suka melakukan segala macam kejahatan berkedok perjuangan. Juga agama mereka merupakan agama yang aneh, yang menyimpang dari induknya, yaitu Agama Buddha, dan banyak melakukan tindakan sesat. Inilah sebabnya kenapa Pek-lian-kauw selalu bergerak sendiri, tidak mendapat dukungan para pendekar patriot, lebih dekat dengan tokoh-tokoh sesat di dunia kang-ouw.
"Kami Pek-lian Sam-li (Tiga Wanita Teratai Putih) telah menyerahkan bukti surat kuasa sebagai wakil Pek-lian-kauw kepada pimpinan Hek-I Lama. Maka kami diberi wewenang untuk menghadiri pertemuan ini, menyelidiki serta memutuskan apakah Pek-lian-kauw menganggap patut untuk dapat bekerja sama dengan kalian. Pek-lian-kauw sejak dulu selalu menentang pemerintah penjajah dan kami adalah pejuang-pejuang yang pantang mundur. Maka, kami ingin mengetahui terlebih dulu apakah kalian ini sungguh-sungguh hendak menentang pemerintah Mancu, sebelum kami menyatakan suka bekerja sama."
Kembali Ji Kui, wanita yang merupakan saudara paling tua di antara mereka bertiga itu, mengerling ke arah Gulam Sing yang juga memandang kepada tiga orang wanita itu sambil tersenyum-senyum. Gulam Sing ini terkenal sebagai seorang laki-laki yang selalu haus wanita, maka tentu saja kehadiran ketiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu sejak tadi sudah amat menarik perhatiannya.....
"Ucapan Pek-lian Sam-li wakil dari Pek-lian-kauw itu benar!" mendadak terdengar suara lantang.
Ternyata yang berbicara adalah seorang laki-laki berusia enam puluh tahun lebih yang pakaiannya penuh tambalan. Dia adalah seorang tokoh dari dunia pengemis, bertubuh tinggi kurus dan bongkok, dan ketika dia bangkit berdiri, tangan kanannya memegang sebatang tongkat hitam.
"Kami harus tahu benar apakah yang hadir di sini sungguh-sungguh hendak menentang pemerintah Mancu. Sebelum tiba di sini, kami banyak mendengar dan kami pun merasa heran ketika ada berita bahwa pemerintah Tibet tidak mau menentang Kerajaan Ceng, bahkan kabarnya Dalai Lama sendiri mengakui pemerintahan penjajah Mancu. Kami juga mendengar bahwa pemerintah Nepal yang resmi tidak menentang penjajah Mancu. Maka, apa artinya gerakan yang diadakan oleh Hek-I Lama dan Pangeran Gulam Sing? Sebelum kami menyatakan diri bergabung, kami harus mengetahui dahulu dengan jelas seperti yang diucapkan wakil Pek-lian-kauw tadi."
Sehabis bicara, kakek pengemis itu duduk kembali dan suasana menjadi riuh karena di antara orang-orang Han yang berkumpul di situ, banyak pula yang menyetujui pendapat kakek pengemis itu.
Sian Li memandang ke arah kakek itu dengan hati berdebar. Dia mengenal kakek itu! Nampaknya masih sama saja seperti dulu, kurang lebih lima tahun yang lalu. Tentu saja dia tidak dapat melupakan kakek pengemis itu yang pernah merampasnya dari tangan Hek-bin-houw, bahkan kakek itu membunuh Hek-bin-houw.
Kakek itu adalah Hek-pang Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Hitam). Dahulu, sesudah membebaskan dia dari tangan Hek-bin-houw, kakek pengemis itu hendak mengajaknya pergi untuk menjadi muridnya. Akan tetapi, muncul Nenek Bu Ci Sian yang merampas dirinya. Nenek sakti itu mengalahkan Hek-pang Sin-kai, bahkan melukai paha pengemis itu. Dia ingat benar semua peristiwa itu dan kini dia memandang ke arah pengemis itu penuh perhatian.
Mendengar ucapan kakek pengemis itu, Dobhin Lama, Ketua Hek-I Lama yang sejak tadi duduk melenggut saja, sekarang menegakkan tubuhnya dan membuka matanya. Kemudian terdengar suaranya dan dia bicara tanpa bangkit berdiri.
"Siapa yang bicara itu tadi?"
"Kami adalah Hek-pang Sin-kai, Ketua Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam di daerah selatan!" kata kakek itu dengan berani.
Namun, begitu pendeta Lama yang kelihatan lemah itu mengangkat muka memandang padanya, begitu dua pasang pandang mata bertemu, kakek pengemis itu terkejut bukan main oleh karena pandang matanya bertemu dengan dua sinar mencorong yang seperti menembus sampai ke jantungnya. Dia tidak tahan memandang lebih lama dan segera menundukkan mukanya.
"Omitohud, Ketua Hek-pang Kai-pang meragukan kami? Ketahuilah Sin-kai, meski pun Dalai Lama sendiri mengakui kekuasaan Kerajaan Mancu, akan tetapi kami golongan Hek-I Lama tidak! Biar pemerintah Tibet tidak bergerak, akan tetapi kami akan bergerak dan kami yakin bahwa rakyat Tibet akan mendukung kami!"
Terdengar suara ketawa dan Pangeran Gulam Sing juga berkata dalam bahasa Nepal, diikuti kalimat demi kalimat oleh penterjemahnya. "Ha-ha-ha, agaknya Hek-pang Sin-kai ingin mengetahui keadaan orang lain dan menaruh kecurigaan. Terus terang saja, kami memang tidak sejalan dengan pemerintah kami yang berkuasa sekarang di Nepal. Raja kami terlalu lemah dan tidak berani menentang orang Mancu. Karena itu, kami bergerak sendiri tanpa persetujuan raja. Lalu, apa hubungannya urusan pribadi kami ini dengan perjuanganmu untuk membebaskan tanah air dan bangsa dari tangan penjajah Mancu, Sin-kai?"
"Maaf, Pangeran. Tidak ada hubungannya apa-apa, hanya kami merasa heran melihat betapa negara Bhutan yang demikian kecilnya, tidak turut bergerak seperti Nepal untuk menentang Mancu," kata pengemis tua itu pula.
"Omitohud... agaknya engkau belum mengetahui keadaan di Bhutan, Sin-kai!" terdengar Lulung Lama berkata. "Tentu saja Bhutan tidak mau menentang Mancu, sebab keluarga Kerajaan Bhutan masih ada hubungan darah dengan Mancu! Bahkan yang sekarang menjadi sesepuh di sana, Puteri Gangga Dewi, sudah menikah pula dengan seorang keturunan Pendekar Super Sakti dari Pulau Es yang masih berdarah Mancu pula."
"Keluarga Pendekar Pulau Es bukan hanya berdarah Mancu, juga musuh-musuh yang selalu mengganggu kita!" terdengar teriakan beberapa orang tokoh kang-ouw yang hadir di situ.
"Tentu saja," kata Lulung Ma pula. "Keturunan Pendekar Super Sakti semuanya beribu Mancu, bahkan keluarga itu lalu berbesan dengan keluarga Naga Sakti Gurun Pasir. Dua keluarga itu adalah pengkhianat-pengkhianat bangsa, antek-antek bangsa Mancu yang harus kita basmi!"
Sian Lun sudah bangkit berdiri dengan kedua tangan dikepal, akan tetapi Sian Li segera menyentuh lengannya dan menarik pemuda itu duduk kembali sambil memberi isyarat dengan gelengan kepala. Ia sendiri tentu saja juga marah mendengar betapa keluarga Pendekar Pulau Es dan Pendekar Gurun Pasir dijelek-jelekkan oleh mereka yang hadir.
Sian Li sendiri memang memiliki darah dua keluarga itu! Dari ibunya ia mewarisi darah keluarga Kao keturunan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, sedangkan neneknya ialah keluarga Suma, keturunan Pendekar Super Sakti Pulau Es! Sian Lun sendiri tadi hanya marah karena keluarga gurunya, Suma Ceng Liong, dimusuhi mereka.
Dengan menahan kemarahannya, Sian Lun terpaksa berdiam diri memenuhi permintaan sumoi-nya. Ia duduk cemberut dan kadang-kadang pandang matanya yang ditujukan ke arah pihak tuan rumah bersinar penuh kemarahan.
"Sekarang kami tak meragukan lagi kesungguhan hati para saudara untuk bekerja sama dengan kami dalam menghadapi Kerajaan Mancu di timur. Kami hanya menghendaki kesungguhan hati, agar jangan sampai kami dikecewakan lagi seperti yang telah terjadi dengan Thian-li-pang," kata Ji Kui, orang pertama dari Pek-lian Sam-li.
Semua orang memandang pada wanita itu. Mereka yang hadir tahu belaka perkumpulan apakah Thian-li-pang itu. Selain Pek-lian-kauw, perkumpulan Thian-li-pang merupakan perkumpulan yang terkenal sangat gigih menentang pemerintah Kerajaan Mancu, sejak pemerintah itu menguasai daratan Cina.
Bahkan dua perkumpulan itu diketahui telah bekerja sama dengan baik sekali sehingga sering kali terjadi kekacauan di kota raja, bahkan juga di istana, ditimbulkan oleh mereka berdua. Kenapa sekarang tokoh Pek-lian-kauw itu menjelek-jelekkan Thian-li-pang yang dikatakan telah mengecewakan Peklian-kauw?
"Nanti dulu, Toanio," kata Lulung Lama. "Kami tidak mengerti apa yang kau maksudkan. Bukankah Thian-li-pang selalu berjuang menentang Mancu juga? Dan bukankah selama bertahun-tahun ini Thian-li-pang dikenal sebagai kawan seperjuangan Pek-lian-kauw?"
"Itu memang benar, tapi dahulu. Akan tetapi sekarang, keadaan sudah lain sama sekali. Selama beberapa tahun ini, Thian-li-pang sudah berubah, sudah menyeleweng!"
"Benarkah itu, Nona?" Hek-pang Sin-kai bertanya heran. "Aku masih mendengar bahwa Thian-li-pang tetap berjuang melawan pemerintah penjajah Mancu, bahkan akhir-akhir ini gerakan mereka bertambah kuat."
"Huh, mereka itu orang-orang yang tak mengenal budi, orang-orang yang tidak memiliki perasaan setia kawan. Dahulu, kami dari Pek-lian-kauw yang membantu mereka, kami bekerja sama dengan baik. Akan tetapi sekarang, setelah Lauw Kang Hui yang menjadi ketua, mereka itu menjadi sombong, mereka memisahkan diri dan tidak mau mengakui lagi Pek-lian-kauw sebagai teman seperjuangan. Mereka berlagak pendekar dan suka menghina orang. Tidakkah itu amat mengecewakan? Kami tidak mau lagi kalau sampai kerja sama dengan kalian ini akhirnya kelak hanya akan merugikan dan mengecewakan kami seperti yang dilakukan oleh Thian-li-pang."
"Ha-ha-ha, jangan khawatir, Nona!" Pangeran Gulam Sing berbicara dalam bahasa Han bercampur Nepal, karena baru beberapa tahun ia mempelajari bahasa Han, sehingga ia selalu dikawal seorang penterjemah.
"Kami berjanji akan membantu Nona agar kelak memberi hajaran kepada Thian-li-pang yang sombong dan tidak mengenal setia kawan itu, ha-ha-ha-ha!" Pangeran Nepal yang ganteng itu mengelus-elus kumisnya yang melintang gagah dan matanya bersinar-sinar ditujukan kepada tiga orang wanita tokoh Pek-lian-kauw itu.
Tiga orang wanita muda itu tersenyum. Ji Hwa, orang ke dua yang kulitnya putih mulus dan wajahnya cantik, tersenyum dan suaranya terdengar basah ketika berbicara dengan suara mendesah. "Pangeran, harap jangan pandang rendah Thian-li-pang. Di sana juga banyak terdapat tokoh yang amat lihai!"
"Benar sekali kata Enci ke dua itu, Pangeran," kata Ji Kim, wanita ke tiga yang selain jelita, juga lincah jenaka dan cerdik sekali. "Ketuanya yang bernama Lauw Kang Hui itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, sungguh tidak boleh dipandang ringan!"
Pangeran Gulam Sing tertawa dan nampaklah giginya yang putih dan kuat. "Ha-ha-ha, kami tidak memandang rendah, Nona-nona yang baik. Kami hanya menyatakan hendak membantu kalian menghadapi Thian-li-pang. Dan tentang kelihaian mereka, kita tidak perlu takut karena kita pun bukan orang-orang lemah. Aku sendiri pun, biar pun bodoh, tapi memiliki juga sedikit tenaga untuk disumbangkan membantu kalian dalam segala hal, ha-ha-ha!"
Setelah berkata demikian, pangeran yang tinggi besar dan bertubuh kokoh kuat itu lalu menghampiri sebuah arca singa besi yang berada di sudut ruangan. Singa besi itu jelas amat berat dan sedikitnya membutuhkan tenaga sepuluh orang untuk mengangkatnya! Akan tetapi, Pangeran Gulam Sing membungkuk, memegang benda itu dengan kedua tangannya dan sekali dia mengeluarkan suara bentakan nyaring, benda itu diangkatnya di atas kepala!
Tentu saja semua orang memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan, kaget dan kagum. Setelah pangeran itu menurunkan kembali singa batu di tempatnya semula, dan hanya mukanya menjadi kemerahan serta napasnya agak memburu, semua orang bertepuk tangan memuji. Memang jarang ada orang yang memiliki tenaga gajah seperti pangeran itu. Diam-diam Sian Li dan Sian Lun terkejut juga dan tahulah mereka bahwa pangeran itu akan merupakan lawan yang tangguh dan berbahaya.
Tiga orang wanita Pek-lian-kauw itu pun menyambut dengan tepuk tangan dan mereka tersenyum-senyum gembira. "Aihhh kiranya Pangeran memiliki tenaga yang amat kuat, lebih kuat dari pada kuda!" Ji Kui memuji.
Pangeran itu tertawa. "Ha-ha-ha, setiap saat kami siap menggunakan tenaga kuda kami untuk Nona bertiga!"
Sekarang Lulung Lama bangkit berdiri dan memberi isyarat agar semua orang tenang, lalu ia pun berkata, "Terima kasih, kami gembira sekali melihat bahwa saudara sekalian agaknya telah siap untuk bekerja sama dengan kami. Masih adakah di antara para tamu yang ingin mengemukakan pendapatnya? Silakan!" Lulung Lama sengaja memandang ke arah Sian Lun dan Sian Li.
Akan tetapi kembali Sian Li menyentuh lengan Sian Lun yang sudah gatal mulut untuk bicara itu. Saat itu pula, seorang lelaki Han berusia lima puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus dengan muka kuning, bangkit dan berbicara dengan suaranya yang tinggi seperti suara wanita.
"Bersatu untuk bekerja sama dalam perjuangan menentang pemerintah Mancu memang mudah dibicarakan, akan tetapi pelaksanaannya menentang pemerintah Mancu amatlah berbahaya dan sukar. Kaisar Kian Liong yang sekarang menjadi Kaisar telah berusaha mendekati dan menggandeng para tokoh pendekar di dunia persilatan sehingga mereka sama sekali tidak mau menentang Kaisar, apa lagi membantu usaha perjuangan untuk menumbangkan kekuasaan Mancu. Sekarang ini masih banyak para pendekar yang berubah menjadi penjilat penjajah Mancu. Dan selama para pendekar penjilat itu tidak dibasmi terlebih dahulu, tentu mereka akan menjadi penghalang perjuangan kita."
"Pendapat itu tepat dan benar sekali!" tiba-tiba Ji Kui berseru dengan lantang dan penuh semangat. "Kalau tidak karena ulah para pendekar penjilat, terutama sekali keturunan pendekar Pulau Es dan pendekar Gurun Pasir, tentu telah lama keluarga Kaisar dapat kami basmi! Beberapa tahun yang lalu, ketika Thian-li-pang masih bekerja sama dengan kami, kami telah berhasil mendekati Siang Hong-houw. Bahkan putera kandung Ketua Thian-li-pang telah berhasil diselundupkan ke istana bersama Ang-I Moli, seorang tokoh murid Pek-lian-kauw. Mereka nyaris berhasil membunuh para pangeran kalau saja tidak digagalkan oleh Gangga Dewi dan suaminya, yaitu Suma Ciang Bun, cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es! Jelaslah bahwa orang-orang dari keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir merupakan penghalang besar bagi perjuangan kita!"
Lulung Lama tertawa dan dia bersama muridnya, Cu Ki Bok kini memandang ke arah Sian Lun dan Sian Li.
"Ha-ha-ha, belum tentu, Toanio," katanya. "Belum tentu kalau semua keturunan kedua pendekar itu sudi menjadi antek dan penjilat penjajah Mancu. Di sini hadir pula dua orang muda gagah perkasa yang berhubungan dekat dengan Gangga Dewi. Kami tidak yakin bahwa mereka berdua ini sudi menjadi antek penjilat orang Mancu. Liem-sicu dan Tan-lihiap, bagaimana pendapat kalian?"
Tentu saja semua orang menoleh dan memandang kepada Sian Li dan Sian Lun yang diperkenalkan sebagai orang yang dekat dengan Gangga Dewi dan ada hubungannya dengan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir itu. Sian Lun yang sejak tadi sudah hampir tak kuat menahan kemarahannya mendengar keluarga gurunya dimaki-maki, dan hanya menahan kemarahannya karena dilarang sumoi-nya, kini mendapat kesempatan dan dia pun meloncat berdiri sambil mengepal tinju.
"Kami bukanlah penjilat pemerintah Mancu, juga kami bukan pemberontak-pemberontak yang berkedok perjuangan! Akan tetapi, aku sebagai murid dari keluarga Pulau Es, siap untuk menandingi siapa saja yang berani menghina keluarga Pulau Es!" Setelah berkata demikian, tanpa mempedulikan sumoi-nya, dia sudah melompat ke tengah ruangan itu, di depan meja tuan rumah.
Melihat kenekatan suheng-nya itu, tentu saja Sian Li merasa khawatir karena gadis ini maklum sepenuhnya bahwa di tempat itu berkumpul banyak lawan yang pandai sekali. Maka ia pun harus melindungi dan membela suheng-nya dan ia pun sudah melompat ke dekat Sian Lun.
"Suheng berkata benar!" katanya. "Kalian telah terlalu banyak memandang rendah dan menghina keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir. Nah, ini aku keturunan kedua keluarga itu, siap untuk membela kehormatan dan nama dua keluargaku itu, menandingi siapa saja yang berani menghina!"
Melihat munculnya pemuda dan gadis yang mengaku sebagai keluarga Pendekar Pulau Es dan Gurun Pasir, bahkan yang berani menantang, para tamu yang terdiri dari tokoh-tokoh kang-ouw yang sebagian besar mendendam terhadap kedua keluarga besar itu segera menjadi gaduh.
"Bunuh pengkhianat!"
"Basmi keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir"
"Tangkap mereka, tentu telah memata-matai kita!"
Teriakan-teriakan terdengar dan agaknya mereka semua sudah siap untuk mengeroyok Sian Lun dan Sian Li. Akan tetapi, terdengar seruan Gulam Sing. "Lulung Lama, bagai mana kalau aku saja yang menghadapi nona cantik dan gagah ini? Bukankah dia yang pernah kau ceritakan kepadaku tempo hari?"
Lulung Lama menoleh pada pangeran itu, kemudian mengangguk. "Baiklah, Pangeran. Memang sebaiknya salah seorang di antara kita yang maju. Memalukan jika harus maju keroyokan," katanya.
"Dan pemuda itu serahkan kepada kami untuk menangkapnya!" berkata Pek-lian Sam-li dan tiga orang wanita muda itu sudah berloncatan menghadapi Sian Lun dengan kerling yang memikat dan senyum yang manis.
Melihat ini, Gulam Sing tertawa.
"Ha-ha-ha, tiga orang nona yang jelita! Pemuda itu hanya seorang, bagaimana kalian dapat membaginya? Bukankah sudah ada aku? Ha-ha!" Pangeran yang mata keranjang ini di depan banyak orang tanpa malu-malu mengeluarkan ucapan yang mengandung arti tak senonoh itu.
"Pangeran, mari kita berlomba, siapa di antara kita yang dapat lebih dahulu menangkap lawan tanpa melukai, kami bertiga ataukah engkau!" tantang Ji Kui. "Taruhannya, siapa kalah cepat harus menurut kehendak yang menang. Setuju?"
Melihat pandang mata penuh tantangan dan senyuman penuh ajakan itu, Pangeran Gulam Sing mengangguk, "Setuju!"
Sian Li dan Sian Lun yang maklum bahwa mereka menghadapi lawan tangguh, apa lagi mereka sekarang berada di sarang musuh dan setiap saat mereka dapat menghadapi pengeroyokan, sudah mencabut pedang mereka.
"Pangeran sombong, majulah kalau ingin merasakan tajamnya pedangku!" bentak Sian Li.
Pangeran itu tertawa dan mencabut sebatang golok yang bentuknya melengkung bagai bulan sabit. Melihat lawannya sudah siap siaga dengan golok di tangan, Sian Li sudah meloncat ke depan dan melakukan serangan yang dahsyat sakali.
"Tranggg...!"
Pangeran itu menangkis dengan babatan goloknya, dan biar pun Sian Li sudah maklum akan kuatnya tenaga lawan, ia tetap saja terkejut ketika pedangnya hampir terlepas dari pegangan tangannya. Pedang itu terpental sedangkan telapak tangannya yang berhasil menahan gagang pedang terasa panas. Melihat ini, terdengar suara tawa di sana sini dan pangeran itu pun tertawa bergelak.
Sian Lun yang dihadapi Pek-lian Sam-li, biar mendongkol sekali karena lawan bersikap curang dan belum apa-apa sudah hendak mengeroyoknya, tak mau banyak cakap lagi. Tidak ada gunanya mencela dan memprotes orang-orang macam itu, apa lagi tiga orang wanita ini adalah orang-orang Pek-lian-kauw.
Sambil membentak nyaring pedangnya sudah berkelebat menjadi gulungan sinar yang menyambar ke arah tiga orang wanita itu. Pek-lian Sam-li juga telah mencabut pedang mereka dan mereka pun mengepung dengan membentuk barisan Segi Tiga. Ternyata gerakan mereka lincah sekali dan bagaikan tiga ekor kupu-kupu mengepung setangkai bunga, mereka berloncatan ke sana sini, membuat Sian Lun sukar sekali untuk dapat mengarahkan serangannya.
Sian Li juga segera terdesak karena ia tidak berani mengadu senjata. Hal ini tentu saja membuat pangeran itu menang angin dan dia pun terus mendesak sambil tertawa-tawa karena dia ingin lebih duluan menangkap lawannya untuk mendahului Pek-lian Sam-li. Dengan demikian, dia tidak hanya akan menguasai gadis cantik berpakaian merah ini, akan tetapi juga dia akan membuat tiga orang wanita genit itu membayar kekalahan mereka dengan mentaatinya! Betapa akan senangnya dilayani empat orang wanita itu, pikirnya.
Akan tetapi, sementara itu Sian Lun juga sudah terdesak hebat oleh tiga pedang yang mengepungnya. Tingkat kepandaian pemuda ini tidak jauh selisihnya dengan tiap orang dari Pek-lian Sam-li, maka kini dikeroyok tiga tentu saja dia menjadi kewalahan dan repot sekali melindungi tubuhnya dari sambaran tiga gulungan sinar pedang lawan.
Pada saat yang amat kritis bagi Sian Lun dan Sian Li, setiap saat mereka akan dapat tertangkap, mendadak nampak bayangan berkelebat dan bagaikan seekor rajawali saja bayangan itu menyambar-nyambar. Mula-mula ke arah Sian Li dan Gulam Sing yang sedang bertanding.
Baik Gulam Sing mau pun Sian Li mengeluarkan seruan kaget pada saat bayangan itu menggerakkan tangan dan mereka berdua terdorong ke belakang sampai tiga langkah! Bayangan itu berkelebat ke arah Sian Lun yang dikeroyok tiga dan di sana bayangan itu berputaran. Juga Sian Lun dan tiga orang wanita pengeroyoknya terdorong ke belakang seperti diterjang angin badai.
Otomatis, mereka semua menghentikan serangan dan memandang kepada orang yang tahu-tahu telah berada di situ. Sian Li hampir berteriak saking girangnya.
Ia melihat seorang lelaki yang tubuhnya sedang saja namun tegap, rambutnya panjang dibiarkan riap-riapan ke belakang dan sebagian menutupi muka, membantu tirai hitam yang bergantungan dari atas topi capingnya yang lebar. Sukar melihat wajah orang itu, yang nampak hanya kilatan sepasang mata dari balik tirai dan rambut. Pakaiannya sederhana saja seperti pakaian petani, namun ringkas. Dan dia tidak membawa senjata apa pun.
"Sin-ciang Taihiap...!" terdengar teriakan beberapa orang dan demikian pula teriakan hati Sian Li yang memandang penuh kagum, juga kini mendadak saja ia merasa aman begitu orang ini sudah berada di situ. Lenyap semua kekhawatirannya akan dikeroyok dan ditangkap oleh para pemberontak ini.
Lulung Lama mewakili suheng-nya, Dobhin Lama yang sejak tadi hanya menonton saja. Dengan langkah lebar dia menghampiri laki-laki bercaping lebar yang menyembunyikan mukanya itu. Dia mencoba untuk menembus tirai hitam dan rambut itu untuk mengamati wajahnya, lalu dia mengangkat kedua tangan ke depan dada dan memberi hormat.
"Omitohud...! Kiranya engkau adalah Sin-ciang Taihiap yang selama beberapa tahun ini membuat nama besar di daerah perbatasan Tibet ini? Selamat datang, Taihiap! Apakah engkau datang hendak menghadiri rapat pertemuan yang kami adakan ini?"
Pendekar bercaping itu membalas penghormatan tuan rumah dengan sikap sopan, lalu terdengar suaranya, sangat lembut dan singkat. "Lulung Lama, terserah dengan nama apa orang akan menyebutku. Aku datang bukan untuk menjadi tamu dalam pertemuan ini."
Lulung Lama mengerutkan alis. "Sin-ciang Taihiap, pinceng (saya) yakin bahwa sebagai sama-sama tokoh dunia persilatan yang tahu akan peraturan dunia kang-ouw, engkau tentu maklum bahwa jalan kita bersimpang. Aku tidak pernah mencampuri urusanmu, dan demikian pula kami harap engkau tak akan mencampuri dan mengacaukan urusan kami. Kalau engkau tidak datang untuk menghadiri pertemuan, lalu mengapa engkau menghentikan pertandingan tadi dan apa pula maksudmu datang berkunjung tanpa diundang ini?"
Lulung Lama bicara dengan nada tinggi hati. Hal ini adalah karena dia sebagai tokoh besar Hek-I Lama tentu saja tidak takut kepada pendekar rahasia ini walau pun sudah banyak dia mendengar tentang kelihaian Sin-ciang Taihiap, dan ke dua karena pada saat itu, dia berada di tempat sendiri, mempunyai banyak anak buah, bahkan ada pula suheng-nya yang sakti dan banyak tamu yang dapat diandalkan.
Semua orang menaruh perhatian besar kepada pendatang aneh itu. Suasana menjadi sunyi senyap karena semua orang ingin mendengarkan bagaimana jawaban pendekar yang selama akhir-akhir ini amat terkenal namanya.
Pendekar aneh itu menggerakkan tubuhnya, memandang ke sekeliling, kemudian ia pun menjawab, suaranya masih lembut seperti tadi.
"Lulung Lama, aku tidak ingin mencampuri urusan siapa pun. Kalau pun tadi aku melerai pertandingan adalah karena aku tidak suka melihat orang menyelesaikan persoalan melalui senjata, saling melukai dan saling membunuh. Kedatanganku ini untuk bertemu dan bicara dengan saudara Thong Nam, kepada suku Miao yang aku tahu berada di sini sebagai tamu. Biarkan aku bicara dengan dia, dan setelah selesai urusanku dengan dia, aku akan pergi dari sini."
Lulung Lama mengerutkan alisnya. Bagaimana pun juga, Thong Nam adalah kepala suku Miao, seorang di antara sekutunya yang saat itu menjadi tamunya, maka sebagai tuan rumah dia harus dapat melindungi tamunya.
Akan tetapi, sebelum dia dapat berkata atau berbuat sesuatu, seorang di antara para tamu sudah bangkit berdiri dan berkata lantang dengan suara keras dan logatnya asing. "Akulah Thong Nam, kepala suku Miao. Biar pun kami telah mendengar nama Sin-ciang Taihiap, namun kami belum pernah berurusan dengannya. Sekarang engkau datang mencariku di sini, katakan apa perlunya engkau mencari aku, Sin-ciang Taihiap!"
Pendekar bercaping itu memutar tubuh ke kiri untuk memandang ke arah Si Pembicara. Ternyata orang bernama Thong Nam itu bertubuh pendek dengan perut gendut, namun tubuhnya nampak kokoh kuat dan wajahnya yang bulat itu membayangkan ketinggian hati.
Tidak mengherankan kalau kepala suku Miao ini dengan lantang memperkenalkan diri, karena dia pun terkenal sebagai seorang jagoan di antara suku bangsanya. Dia terkenal mempunyai tenaga kuat, ilmu gulat yang tak pernah terkalahkan, juga dia memiliki ilmu tendangan maut. Selain itu, ia pun tahu bahwa di tempat itu, dia memiliki banyak kawan tangguh yang pasti akan membantunya kalau dia terancam bahaya.
Sejenak pendekar bercaping itu mengamati Si Pendek Gendut dan karena ia diam saja, semua orang menjadi semakin tegang.
"Thong Nam," akhirnya terdengar dia berkata, "aku mencarimu untuk meminta kembali sebutir mutiara hitam. Engkau tak berhak memilikinya dan benda itu harus dikembalikan kepada pemiliknya."
Semua orang tidak mengerti mengenai mutiara hitam itu, akan tetapi wajah Si Pendek Gendut itu berubah merah dan alisnya berkerut, nampak bahwa dia marah mendengar itu.
Otomatis tangan kirinya meraba ke arah dadanya, lalu dia berkata lantang, "Sin-ciang, Taihiap! Mutiara Hitam itu adalah milikku, dan kuterima dari mendiang ayahku. Aku tidak pernah mengambilnya dari orang lain!"
"Kalau begitu, saudara Thong Nam, ayahmu itulah yang sudah mengambilnya. Mutiara Hitam itu milik orang lain, kuharap engkau suka berbesar hati untuk mengembalikannya kepadaku agar dapat kupenuhi pesan pemiliknya."
"Sin-ciang Taihiap, engkau sungguh terlalu mendesak. Orang lain boleh takut padamu, akan tetapi aku tidak! Dan menurut peraturan dunia kang-ouw, untuk memiliki sesuatu dari orang lain haruslah lebih dahulu mengalahkannya."
Kepala suku Miao itu lalu mengambil sesuatu dari balik baju, kemudian menyerahkan sebuah mutiara hitam yang tadi ia pakai sebagai kalung kepada Lulung Lama. "Losuhu, tolong simpan dulu benda ini, aku akan menandingi pendekar yang sombong ini!"
Setelah menyerahkan benda itu kepada Lulung Lama, Thong Nam lalu lompat ke depan pendekar bercaping lebar dengan sikap menantang. Lulung Lama menerima benda itu, nampak tertarik dan segera dia mendekati suheng-nya. Dobhin Lama menerima benda itu kemudian mereka berdua mengamati benda itu sambil berbisik-bisik, pandang mata mereka bersinar-sinar.
Sementara itu, Thong Nam yang merasa diremehkan di hadapan banyak orang, tanpa banyak cakap lagi sudah menyerang pendekar bercaping itu dengan tubrukan ganas, seperti seekor beruang menubruk mangsanya. Agaknya dia hendak mengandalkan ilmu gulatnya untuk menangkap lawan, karena dia yakin bahwa sekali dia dapat menangkap lengan lawan, dia akan mampu membuat lawannya tak berdaya dengan ringkusan atau bantingan.
Sin-ciang Taihiap agaknya tidak tahu akan keistimewaan Thong Nam. Maka dia seperti acuh saja dan bahkan menangkis dengan pemutaran lengan kanan dari kiri ke kanan dan membiarkan lengannya itu tertangkap lawan!
Tentu saja girang hati Thong Nam. Begitu dia berhasil menangkap lengan kanan lawan, dia mempergunakan kedua tangannya, menangkap dengan pengerahan tenaga yang mendadak disentakkan. Dia hendak menekuk lengan itu ke belakang. Sekali dia berhasil menekuk lengan itu ke belakang tubuh, dia akan dapat membuat lawan tidak berdaya dengan mendorong lengan yang tertekuk ke belakang itu ke atas!
Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia sama sekali tak mampu menekuk lengan lawan itu. Jangankan memuntir ke belakang, bahkan menekuk sikunya saja dia tidak mampu. Lengan itu terasa olehnya seperti sebatang baja yang sangat kuat. Padahal, sebatang tongkat atau tombak baja pun akan dapat ditekuknya dengan mudah!
Tiba-tiba pendekar bercaping itu menggerakkan lengannya yang ditangkap dan sedang hendak ditekuk ke belakang dan... Thong Nam tidak mampu bertahan lagi. Pegangan kedua tangannya terlepas dan dia pun terjengkang sampai beberapa meter jauhnya.
Thong Nam tidak terluka, dia hanya terkejut. Dia bangkit kembali dan mukanya menjadi merah sekali. Dia menjadi semakin penasaran dan marah, dan tanpa bicara lagi segera menerjang lawannya.
Sekali ini dia tidak ingin menangkap, melainkan mengandalkan ilmu tendangannya yang memang hebat dan berbahaya. Selain kedua kaki itu dapat bergerak cepat sekali, juga setiap tendangan mengandung tenaga yang amat kuat, apa lagi kedua kaki itu memakai sepatu yang dilapis baja, bagian bawahnya memiliki tepi yang tajam dan ujungnya juga runcing.
Dengan gerakan yang tenang sekali, Sin-ciang Taihiap dapat menghindarkan sambaran dua buah kaki yang melakukan serangkaian tendangan secara bertubi-tubi. Tubuhnya hanya bergerak sedikit saja, namun cukup membuat tendangan itu hanya lewat di dekat tubuhnya.
"Hemm, sepatumu itu terlalu keji, Thong Nam," kata pendekar itu lembut.
Tiba-tiba saja, tubuh Thong Nam kembali terlempar dan terjengkang ke belakang, akan tetapi sekali ini kedua kakinya sudah telanjang karena sepasang sepatu itu tertinggal di kedua tangan pendekar bercaping itu!
Pendekar itu memeriksa sepasang sepatu yang sangat istimewa itu, kemudian jari-jari tangannya bergerak dan... lapisan besi di bawah sepatu itu sudah terlepas semua dan yang tinggal hanya sepasang sepatu kulit biasa. Dia melemparkan sepasang sepatu itu kepada Thong Nam.
Kini wajah Thong Nam berubah pucat. Ia mengenakan sepatunya yang menjadi sepatu biasa itu dan lenyaplah semua ketinggian hatinya. Dia tahu benar bahwa pendekar itu sama sekali bukan lawannya dan jika pendekar itu menghendaki, mungkin dia sekarang telah tewas, atau setidaknya terluka berat.
Sementara itu, Sian Lun yang tadi pertandingannya dihentikan menjadi penasaran. Juga diam-diam, seperti juga Sian Li, kini hatinya menjadi besar setelah munculnya Sin-ciang Taihiap. Dilihatnya betapa tiga orang wanita Pek-lian-kauw tadi masih berdiri dengan pedang di tangan, maka dia segera melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke arah mereka dan pihak tuan rumah.
"Kalian semua mengaku sebagai pejuang-pejuang patriot, tapi sesungguhnya hanyalah penjahat-penjahat dan pemberontak-pemberontak yang berkedok perjuangan! Keluarga Pulau Es dan Istana Gurun Pasir memang selalu menentang dan membasmi penjahat-penjahat seperti kalian!"
Melihat suheng-nya sudah nekat seperti itu, Sian Li juga meloncat ke dekatnya untuk membantu. Melihat ini, Lulung Lama menjadi marah dan dia memberi perintah kepada anak buahnya.
"Tangkap dua orang muda kurang ajar ini!"
"Tahan!" Sin-ciang Taihiap berseru ketika melihat banyak orang sudah bangkit dan siap menyerbu. "Lulung Lama, urusanku dengan Thong Nam belum selesai. Mutiara Hitam belum diserahkan kembali kepadaku, dan mengenai kedua orang muda ini, seyogianya kalau kalian membiarkan mereka pergi. Mereka adalah pendekar-pendekar gagah yang tidak ada hubungannya dengan segala macam pemberontakan."
Kini Dobhin Lama yang masih memegang mutiara hitam itu bangkit berdiri. Tubuhnya nampak semakin kurus dan tinggi ketika dia telah berdiri dan dan memandang kepada Sin-ciang Taihiap.
"Hemmm, Sin-ciang Taihiap. Meski pun engkau menyembunyikan wajahmu, akan tetapi kami tahu bahwa engkau adalah seorang yang masih amat muda. Mengagumkan sekali seorang yang demikian muda sudah mempunyai ilmu kepandaian sepertimu. Alangkah sayangnya kalau kepandaian seperti itu tidak kau gunakan untuk mencapai kemuliaan selagi engkau masih muda. Sin-ciang Taihiap, sebagai seorang Han, apakah engkau tidak prihatin melihat bangsa Mancu menjajah negara dan bangsamu? Marilah engkau bergabung dengan kami. Kami akan memberi kedudukan yang tinggi padamu, bahkan mungkin sekali kami akan mengangkatmu sebagai panglima besar."
Dengan sikap yang sopan pendekar itu memberi hormat kepada Dobhin Lama, lalu terdengar suaranya yang lembut namun lantang dan tegas. "Terima kasih atas uluran tanganmu, Dobhin Lama. Tentu saja aku merasa prihatin dengan adanya penjajahan bangsa Mancu. Aku mengagumi usaha para patriot yang berjuang demi membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah Mancu. Tetapi, Losuhu, perjuangan bukanlah perjuangan murni lagi kalau didasari pamrih untuk kepentingan pribadi, pamrih untuk mendapatkan imbalan jasa bagi diri sendiri. Perjuangan yang benar adalah suatu kebaktian terhadap tanah air dan bangsa, tanpa adanya pamrih untuk pribadi. Kalau ada pamrih, maka perjuangan itu hanyalah menjadi suatu alat, suatu cara untuk mencapai keuntungan pribadi seperti kedudukan, kemuliaan, harta dan segala kesenangan lain sebagai hasil dari kemenangan. Saudara sekalian yang berada di sini tentu dapat pula meneliti diri sendiri, apakah perjuangan kalian itu murni ataukah hanya menjadi suatu cara saja untuk mengejar hasil kemenangan yang akan menyenangkan diri sendiri atau golongan sendiri?"
"Sin-ciang Taihiap, perlukah bicara dengan mereka ini?" Tiba-tiba Sian Li berseru. "Lihat saja siapa adanya mereka ini dan kita akan tahu macam apa perjuangan mereka itu! Perkumpulan Lama Jubah Hitam adalah pemberontak terhadap pemerintah Tibet yang sah. Juga orang-orang Nepal yang bersekutu dengan mereka ini adalah orang-orang Nepal yang memberontak terhadap Kerajaan Nepal sendiri sehingga mereka itu menjadi buronan dan buruan dari kedua kerajaan itu! Dan lihat pula siapa lagi sekutu mereka! Pek-lian-kauw! Tak perlu berpanjang cerita lagi, mereka bukanlah pejuang-pejuang asli, perjuangan itu hanya menjadi kedok untuk menutupi kejahatan mereka!"
"Tangkap mereka!" Lulung Lama berteriak lagi dan dia menghadapi Sin-ciang Taihiap. "Sin-ciang Taihiap, harap jangan mencampuri urusan kami! Atau terpaksa kami akan menentangmu!"
Pek-lian Sam-li berloncatan mengepung Sian Lun dan Ji Kui berkata kepada anak buah tuan rumah, "Biarkan kami bertiga yang menangkap pemuda ini!" Dan mereka pun telah mengepung dan menyerang Sian Lun dengan pedang mereka.
"Gadis ini untukku, ha-ha-ha-ha!" Pangeran Gulam Sing juga membentak dan dia sudah menghadapi Sian Li dengan goloknya yang melengkung. Kembali mereka bertempur, melanjutkan pertandingan tadi yang tertunda oleh kemunculan Sin-ciang Taihiap.
Sebelum Sin-ciang Taihiap bisa mencegah terjadinya pengeroyokan itu, ia sendiri sudah diserang oleh dua orang yang amat lihai, yaitu Cu Ki Bok dan gurunya, Lulung Lama! Begitu pemuda peranakan Han Tibet itu meyerang dengan sabuk baja yang pada kedua ujungnya dipasangi pisau, tahulah pendekar bercaping lebar itu bahwa dia menghadapi seorang lawan yang tangguh. Apa lagi ketika Lulung Lama juga ikut menyerang dengan senjatanya yang aneh, yaitu sepasang gelang roda besar yang warnanya keemasan dan tepinya bersirip tajam.
Pendekar itu pun memperlihatkan kelihaiannya. Tubuhnya berkelebatan seperti seekor burung walet, beterbangan di antara gulungan sinar senjata dua orang pengeroyoknya!
Akan tetapi, tepat seperti yang dikabarkan orang. Sin-ciang Taihiap agaknya tidak mau melukai lawan, apa lagi membunuhnya. Inilah sebabnya mengapa sukar baginya untuk menundukkan dua orang pengeroyoknya yang memiliki kepandaian yang sudah tinggi tingkatnya. Kalau saja dia mau melukai, tentu tidak akan lama pertandingan itu, karena dia tentu dapat merobohkan Cu Ki Bok mau pun Lulung Lama!
Keadaan Sian Lun mau pun Sian Li sangat payah, walau pun kedua orang muda ini melawan dengan gigih. Mereka langsung terdesak hebat, akan tetapi tidak mudah pula bagi lawan-lawan mereka untuk segera meraih kemenangan.
Sian Lun menghadapi tiga orang wanita tokoh Pek-lian-kauw yang sudah memiliki ilmu kepandaian tingkat tinggi. Tiga orang wanita itu merasa kagum bukan main. Baru kini mereka berhadapan dengan seorang lawan muda yang dapat menahan pengeroyokan mereka bertiga!
Memang Sian Lun bukan merupakan lawan yang lunak. Dia telah digembleng oleh dua orang gurunya, yaitu Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Walau pun tidak seluruh ilmu kesaktian dari keluarga para pendekar Pulau Es dikuasainya, akan tetapi dia sudah menguasai Hwi-yang Sinkang dan Soat-Im Sinkang, kedua ilmu menggunakan tenaga sakti yang panas dan dingin, dan juga ilmu pedang Liong-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Naga) yang diajarkan oleh Kam Bi Eng.
Pemuda ini memang belum mempunyai banyak pengalaman bertanding, namun karena dia menguasai ilmu pedang yang dahsyat dan memiliki gabungan tenaga sinkang yang sangat kuat, maka tiga orang wanita dari Pek-liankauw yang bermaksud menangkapnya hidup-hidup tanpa melukainya itu mengalami kesulitan.
Sian Li juga menghadapi lawan yang tangguh. Seperti juga Sian Lun, gadis remaja ini telah menguasai ilmu yang hebat, bahkan dia masih lebih tangguh kalau dibandingkan suheng-nya itu karena gadis ini menguasai pula ilmu Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih) dari ayahnya. Andai kata ia sudah memiliki banyak pengalaman bertanding, tentu ia akan mampu mengalahkan pangeran Nepal itu.
Akan tetapi, karena dia kurang pengalaman menghadapi ilmu golok melengkung dari pangeran asing itu yang gerakan-gerakannya aneh sekali, ia menjadi agak bingung. Biar pun demikian, karena pangeran Nepal itu tidak ingin melukainya dan ingin menangkap gadis itu hidup-hidup, maka pangeran itu tidak mudah dapat menundukkannya.
Sian Lun yang memang sudah terdesak, dengan nekat memutar pedangnya dan sinar pedang yang bergulung-gulung itu bagaikan benteng baja yang sangat kuat, membuat tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu kagum dan juga penasaran. Mereka saling memberi isyarat dan masing-masing mengaluaran sehelai sapu tangan merah.
Tanpa diduga-duga oleh Sian Lun, mereka mengebutkan sapu tangan merah ke arah pemuda itu. Sian Lun memang kurang pengalaman, melihat uap tipis kemerahan itu dia tidak menyangka buruk. Baru setelah dia mencium bau harum yang aneh dan matanya berkunang, kepalanya pening, setelah sangat terlambat, dia baru tahu bahwa tiga orang pengeroyoknya itu menggunakan bubuk beracun.
"Iblis-iblis betina yang curang...!” Dia berteriak dan memaksakan diri untuk menyerang dengan nekat, akan tetapi kepalanya semakin pening dan dia pun terhuyung-huyung.
Ji Kui mengeluarkan suara ketawa mengejek. Sekali menggerakkan tangan menotok, Sian Lun terkulai dalam rangkulannya dan pemuda itu lemas tak mampu bergerak lagi.
Sian Li mendengar teriakan suheng-nya dan cepat menengok. Melihat suheng-nya telah tertawan, ia menjadi marah dan tubuhnya bergerak cepat. Bagai seekor burung bangau dia sudah mengirim tujuh kali tusukan beruntun dengan pedangnya kepada Pangeran Gulam Sing.
Pangeran ini terkejut, merasa seperti menghadapi seekor burung besar. Dia memutar golok dan melangkah mundur. Akan tetapi kesempatan seperti itu dipergunakan oleh Sian Li untuk meloncat ke arah Sian Lun.
Melihat ini, tiga orang wanita Pek-lian-kauw terkejut dan marah. Tangan kiri mereka pun bergerak ke arah Sian Li dan belasan batang jarum halus menyambar ke arah tubuh gadis yang sedang melayang ke arah mereka itu!
Sukar bagi Sian Li untuk dapat menghindarkan diri dari sambaran jarum karena pada saat itu ia sedang meloncat ke arah Sian Lun yang tertawan. Dan Pangeran Gulam Sing juga mengejar dengan lompatan seperti seekor harimau yang menubruk, bukan sekedar melompat, melainkan sambil menggerakkan kaki menendang! Keadaan Sian Li sunggh berbahaya sekali.
Pada saat itu pula, Sin-ciang Taihiap yang melihat keadaan itu secepat kilat mengirim tendangan beruntun kepada dua orang pengeroyoknya. Tendangan itu mendatangkan angin yang bersiutan sehingga Lulung Lama dan Cu Ki Bok terpaksa berloncatan ke belakang dan kesempatan ini dipergunakan olehnya untuk meloncat mendahului Sian Li untuk melindungi gadis itu dari sambaran jarum-jarum halus!
Sian Li yang mendengar gerakan kaki Pangeran Gulam Sing dari belakang, walau pun tubuhnya sedang melayang di udara, dapat berjungkir balik dan pedangnya menyambar ke belakang. Bila kaki pangeran itu dilanjutkan menendang, tentu akan bertemu dengan pedangnya!
Akan tetapi pangeran itu juga berjungkir balik dan turun kembali. Sedangkan Sin-ciang Taihiap dengan ujung lengan bajunya mengebut jarum-jarum halus itu sehingga runtuh dan dia pun sudah menyambar lengan kiri Sian Li dan berseru,
"Mari kita pergi!"
"Tidak, Suheng-ku...!"
Sian Li hendak meronta, akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya dibawa meloncat jauh oleh Sin-ciang Taihiap dan terpaksa dia pun ikut menggerakkan kaki berlari karena ia tidak mau terseret. Cepat bukan main gerakan Sin-ciang Taihiap sehingga biar pun dia ingin meronta, tetap saja dia kalah kuat dan tidak berhasil melepaskan lengan kirinya yang terpegang.
Sian Li merasa penasaran sekali. Akan tetapi karena ia tahu bahwa pendekar aneh ini sudah berulang kali menolongnya, dia pun tidak mau menyerang dengan pedangnya, hanya terpaksa ikut berlari dengan alis berkerut sambil bersungut-sungut. Mengapa pendekar ini mengajaknya berlari? Suheng-nya telah tertawan, dan sekarang ia disuruh melarikan diri! Ia bukan seorang pengecut seperti itu!
Agaknya, semua orang yang sedang mengadakan pertemuan di sana merasa jeri juga terhadap Sin-ciang Taihiap dan mereka tidak berani melakukan pengejaran. Apa lagi, mereka telah berhasil menawan seorang dan tawanan ini dapat menjamin mereka agar Sin-ciang Taihiap dan Tan Sian Li tidak akan berani mengganggu mereka lagi.
"Harap Sam-li jangan sampai melukai atau membunuh pemuda itu," kata Lulung Lama. "Dia masih berguna bagi kita, selain untuk jaminan, juga kalau kita dapat membujuk sandera ini sehingga dia taluk dan dapat membantu, hal itu amat menguntungkan."
Ji Kui yang merangkul Sian Lun yang tak sadarkan diri, mengelus dagu pemuda itu dan tersenyum sambil saling pandang dengan dua orang adiknya.
"Jangan khawatir, Losuhu. Kami pun tidak bermaksud mencelakai pemuda tampan ini. Bahkan kami akan membantu agar dia tunduk dan takluk kepada kita."
Ji Hwa, orang ke dua dari mereka, memandang pada Pangeran Gulam Sing dan sambil tersenyum manis ia berkata, "Pangeran, engkau telah kalah oleh kami. Mengakulah!"
Gulam Sing juga tersenyum. "Ah, kalian memang cerdik, menggunakan bubuk racun itu. Sungguh aku kalah cerdik dan aku mengaku kalah. Perintahkan saja apa yang kalian kehendaki, aku tentu akan mentaati untuk membayar kekalahanku."
"Hi-hik, nanti saja kita bicarakan hal itu di kamar kami, Pangeran!" kata Ji Kim, wanita Pek-lian-kauw termuda.
Mereka bertiga tertawa dan pangeran Nepal itu pun tertawa bergelak. Sudah diduganya. Kalah atau menang, sama saja baginya, tetap akan menyenangkan.
"Pangeran, mengapa tadi tidak mempergunakan sihir untuk mengalahkan Tan Sian Li?" Lulung Lama berkata kepada pangeran itu.
"Hemm, apa kau kira aku begitu bodoh?" Pangeran itu balas bertanya. "Sudah kucoba, akan tetapi gagal, tidak ada pengaruhnya sama sekali! Dan kenapa engkau pun tidak menggunakan sihir untuk menundukkan Sin-ciang Taihiap tadi?"
"Omitohud, kalau begitu sama saja. Pinceng juga sudah mencobanya, akan tetapi tidak ada hasilnya sama sekali," kata Lulung Lama.
"Sungguh mengherankan. Tadi sebelum menggunakan bubuk racun merah, kami juga telah mencoba dengan sihir akan tetapi kekuatan sihir kami seperti tenggelam ke dalam air saja!" kata pula Ji Kui.
Jika semua orang merasa heran, Dobhin Lama justru tertawa. "Ha-ha-ha, kalian seperti anak-anak saja. Sudah jelas bahwa pengaruh ilmu sihir menjadi punah karena adanya Sin-ciang Taihiap di sini. Orang itu berbahaya sekali, karena itu kita harus berhati-hati. Kulihat tadi ketika dia melindungi gadis itu, ada jarum Pek-lian Sam-li yang mengenai pundak kirinya. Dia telah terluka jarum Pek-lian Tok-ciam!"
"Ah, benarkah itu, Losuhu?" Ji Kui dan dua orang adiknya berseru girang. "Kalau begitu, dia tentu tidak akan dapat lolos! Jarum kami mengandung racun yang sukar dilawan."
“Jangan gembira dulu, Sam-li," kata Dobhin Lama. "Pinceng sudah mengenal baik jarum baracun Pek-tlan Tok-ciam. Bukankah siapa yang terkena jarum itu tentu akan lumpuh seketika? Dan melihat betapa Sin-ciang Taihiap masih dapat melarikan diri, hal itu menunjukkan bahwa dia memang lihai bukan main. Belum tentu jarummu akan dapat membuat dia tak berdaya. Bagaimana pun juga kita harus berhati-hati dan suruh anak buah melakukan penjagaan ketat."
Mereka melanjutkan pertemuan itu untuk membicarakan gerakan mereka dan mengatur rencana dan membagi tugas kerja. Sian Lun yang sudah tidak berdaya itu diserahkan kepada Pek-lian Sam-Li untuk menjaga dan menundukkannya. Dan tiga orang wanita itu dengan wajah berseri-seri lalu mengajak Pangeran Gulam Sing dan memondong tubuh Sian Lun, pergi mengundurkan diri.....
********************
"Cukup, berhenti!" Sian Li merenggutkan tangannya dan sekali ini ia berhasil.Mereka kini berada di kaki bukit yang sunyi, dikelilingi hutan-hutan kecil dan rawa-rawa. Orang yang bercaping lebar itu sekali ini tidak mempertahankan pegangannya lagi dan melepaskan lengan kiri Sian Li.
Sian Li menghentikan langkahnya. Matahari sudah condong ke barat, senja menjelang tiba. Dia menghadapi laki-laki itu dengan alis berkerut.
"Kenapa engkau memaksaku berlari-lari, melarikan diri seperti pengecut-pengecut yang ketakutan?" dua kali Sian Li mengajukan pertanyaan ini dengan muka merah karena marah dan penasaran. "Kenapa?"
Orang itu menghela napas panjang beberapa kali, kemudian terdengar suaranya yang lembut, "Karena aku tidak ingin melihat engkau tewas di sana."
"Akan tetapi, aku tidak takut mati!" Sian Li berkata dan membanting kakinya dengan marah.
Pendekar itu tidak menjawab, malah melangkah pergi meninggalkan Sian Li. Gadis itu hendak marah-marah, akan tetapi ia melihat betapa pendekar itu langkahnya gontai dan agak terhuyung. Tentu saja ia menjadi heran dan mengikuti dari belakang.
Orang bercaping lebar itu menuju ke sebuah goa besar yang tertutup rumpum semak-semak berduri, dan agaknya sudah biasa dia berada di situ. Ketika dia memasuki goa, Sian Li mengikuti dan ternyata goa itu terpelihara dan bersih, merupakan ruangan yang terlindung. Begitu memasuki goa, pendekar aneh itu lalu duduk bersila, seolah tidak mempedulikan lagi kepada Sian Li.
Gadis ini tentu saja menjadi semakin marah. Orang ini biar pun pernah beberapa kali menolongnya, akan tetapi sekali ini telah bertindak keterlaluan. Sudah memaksa dirinya melarikan diri, sekarang malah mengacuhkannya sama sekali.
"Heiiii! Engkau ini ternyata hanyalah seorang pendekar yang mempunyai pikiran tidak senonoh!" bentaknya semakin marah.
Pendekar itu menggerakkan kepalanya yang tadi bertunduk, akan tetapi tidak langsung menghadapkan mukanya yang tertutup rambut dan tirai.
"Kenapa engkau menuduh demikian?" tanyanya, masih lembut dan penuh kesabaran.
"Buktinya, engkau hanya melarikan aku sendiri saja. Kalau memang hendak menolong, kenapa hanya aku yang kau tolong, dan meninggalkan Suheng di sana?"
"Dia sudah tertawan. Kalau kubiarkan, engkau akan tertawan pula.”
“Aku tidak takut! Suheng telah ditawan, aku pun harus menolongnya, tidak peduli aku akan tertawan pula atau mati sekali pun!"
Sejenak orang itu tidak berkata-kata, kemudian terdengar suaranya lirih, "Engkau tentu amat… sayang kepada suheng-mu itu."
"Tentu saja! Dia Suheng-ku, kalau bukan aku yang menolongnya, lalu siapa lagi?"
"Kalau engkau tadi tewas atau tertawan, lalu bagaimana engkau akan dapat menolong suheng-mu?"
Ucapan itu menyadarkan Sian Li dan ia pun termangu.
Sin-ciang Taihiap lalu berkata lagi, "Mereka terlalu banyak dan juga banyak orang lihai. Karena terpaksa aku mengajakmu melarikan diri dari sana supaya kita dapat mengatur siasat untuk dapat menolong suheng-mu..." Ucapan itu tidak dilanjutkan, tetapi berhenti tiba-tiba dan pendekar itu lalu menundukkan mukanya.
Sian Li masih curiga, apa lagi melihat orang itu tiba-tiba menghentikan ucapannya dan sikapnya seperti orang yang menyembunyikan sesuatu. Ia tidak mengenal siapa orang ini, belum tahu pula bagaimana wataknya. Siapa tahu semua itu hanya siasat saja dan orang yang selalu menyembunyikan mukanya itu memang mempunyai niat yang tidak baik.
"Sudahlah, aku harus kembali ke sana sekarang juga untuk membebaskan Suheng!" katanya dan ia pun hendak meninggalkan tempat itu.
Akan tetapi, pendekar bercaping itu sudah mendahuluinya bergerak dan menghadang di depannya.
"Jangan! Sekarang belum boleh..."
Benar saja dugaannya. Orang ini mempunyai niat yang tidak baik, pikir Sian Li kecewa. Sebelum ini, ia selalu mengenang Sin-ciang Taihiap yang pernah menolong dirinya dan suheng-nya, membuat dia kagum dan ingin sekali bertemu. Akan tetapi setelah jumpa, kekagumannya menghilang karena ulah pendekar itu yang amat mencurigakan, dan kini ia malah menjadi marah sekali.
“Siapa pun tidak boleh melarang aku menolong Suheng-ku!" bentaknya.
Dia pun maju terus dan mendorong pendekar yang menghadang itu dengan tangan kiri. Tangan kirinya mengenai dada orang itu dan... pendekar itu terdorong ke belakang, terhuyung-huyung, lalu roboh!
Tentu saja Sian Li merasa heran dan terkejut bukan main. Mengapa orang itu menjadi demikian lemah? Dia cepat menghampiri dan keheranannya bertambah ketika melihat bahwa orang itu sudah pingsan! Wajahnya masih tertutup rambut dan tirai, akan tetapi napasnya terengah-engah. Ketika dia menyentuh lengannya, terasa amat panas!
Sian Li menjadi khawatir sekali. Sebagai murid Yok-sian Lo-kai yang sudah mempelajari ilmu pengobatan dari Dewa Obat itu, sekali pegang nadi orang itu tahulah dia bahwa tubuh orang itu sudah keracunan secara hebat! Racun yang berhawa panas, pikirnya dengan lega.
Racun yang mengandung hawa panas masih lebih mudah untuk diobati dibandingkan racun berhawa dingin. Jelas bahwa pendekar ini keracunan dan teringatlah dia ketika Sin-ciang Taihiap tadi membantunya. Ia diserang jarum-jarum oleh Pek-lian Sam-li dan pendekar ini yang melompat dan meruntuhkan jarum-jarum itu dengan lengan bajunya, gerakan yang membuat ia kagum bukan main.
Jangan-jangan ada jarum yang mengenai tubuh pendekar ini. Tangannya meraba-raba dan akhirnya ia tahu bahwa memang benar racun itu berpusat di pundak kirinya. Tanpa ragu lagi Sian Li merobek baju di pundak kiri dan benar saja. Ada bintik kehijauan di situ, kecil sekali dan ia pun tahu bahwa tentu jarum itu memasuki bagian tubuh itu dan meracuni darah.
Sebagai murid Yok-sian Lo-kai yang pandai, Sian Li tahu apa yang harus dilakukannya. Lebih dahulu dia menotok jalan darah di sekitar pundak untuk mencegah menjalarnya racun, lalu dengan ujung pedangnya yang tajam dia menoreh bintik hijau itu sehingga kulit dan dagingnya terbuka, dan ia mencongkel keluar sebatang jarum hitam kehijauan.
Kemudian, ia menyedot luka itu dengan mulutnya, menghisap keluar darah yang sudah keracunan, lalu menaruh obat bubuk pada luka di pundak. Setelah itu, ia mengeluarkan jarum emas serta perak yang dia dapatkan dari Yok-sian Lo-kai, kemudian melakukan pengobatan dengan tusuk jarum di beberapa bagian tubuh untuk memunahkan sisa-sisa hawa beracun yang mengeram di tubuh Sin-ciang Taihiap.
Kurang lebih setengah jam dia memberi pengobatan sampai dia merasa yakin benar bahwa pendekar itu telah terbebas dari racun. Ia memulihkan jalan darah pendekar itu. Pernapasannya mulai normal kembali dan tubuhnya tidak panas seperti tadi.
Melihat pendekar itu masih rebah telentang dalam keadaan tak sadar, timbul keinginan hati Sian Li untuk melihat wajahnya. Dia masih pingsan, apa salahnya kalau ia melihat wajahnya sebentar saja? Orang ini selalu menyembunyikan muka. Kenapa? Cacadkah dia? Atau ada rahasia lain?
Sekarang ia tahu bahwa tadi kecurigaannya tidak beralasan sama sekali. Pendekar ini jauh dari pada apa yang ia curigakan. Sama sekali tidak mempunyai niat buruk, apa lagi tak senonoh. Pendekar ini sedang menderita luka beracun yang amat parah ketika tadi menolongnya.
Karena itulah maka pendekar itu memaksanya melarikan diri, karena kalau tidak, tentu mereka berdua sudah tertawan pula, atau bahkan terbunuh. Dan memang benar. Kalau pendekar itu tidak memaksanya melarikan diri, tentu mereka bertiga sudah tertawan dan tidak ada kesempatan sama sekali untuk menolong suheng-nya.
Pendekar ini benar. Ia yang terburu nafsu dan terlalu mencurigainya. Dan sekarang, apa salahnya kalau ia memandang sebentar saja wajahnya yang penuh rahasia, mengambil kesempatan selagi dia belum siuman?
Dengan jari-jari tangan gemetar karena tegang dan juga diam-diam merasa malu pada diri sendiri bahwa dia sudah mencuri dan membuka rahasia orang, Sian Li menyingkap tirai di depan muka itu, lalu menyingkap rambutnya yang terurai awut-awutan menutupi muka. Ia melihat sebuah wajah yang tampan.
Muka itu berbentuk lonjong dengan dagu runcing dan ujung dagu berlekuk, alis yang tebal hitam dengan mata terpejam, dahinya lebar, hidung mancung dan bentuk muka yang amat dikenalnya. Dia terbelalak, tak bergerak seperti patung, lalu bibirnya berbisik berulang-ulang, seolah tidak percaya kepada pandang matanya sendiri.
"Yo Han...? Suheng... Kakak Yo Han...?"
Akan tetapi ia membantah sendiri. Tidak mungkin ini adalah suheng-nya yang selama bertahun-tahun dirindukannya itu. Suheng-nya itu selamanya tidak pernah suka berlatih silat. Suheng-nya sangat baik kepadanya, seperti kakak kandungnya sendiri, akan tetapi sama sekali tidak pandai silat biar pun ayah ibunya berusaha untuk menggemblengnya. Sedangkan pendekar ini memiliki ilmu silat yang amat tinggi.
Akan tetapi wajah ini...! Bagaimana mungkin ia bisa salah? Wajah ini hampir tak pernah meninggalkan lubuk hatinya. Biar pun kini telah menjadi seorang laki-laki dewasa, tetapi bentuk muka itu tidak berubah. Dahi itu, hidung mulut dan dagu itu! Ah, ia teringat akan sesuatu.
Pernah ketika suheng-nya ini mandi di sungai kecil dan bertelanjang tubuh bagian atas, ia melihat sebuah tahi lalat sebesar kedelai di dada suheng-nya itu, tepat di tengah ulu hatinya. Semenjak itu, sering kali dia menggoda dan memperolok suheng-nya dengan tahi lalat itu.
Dengan jari tangan menggigil Sian Li membuka kancing baju pendekar itu untuk melihat dadanya. Ia membuka baju itu dan... di sanalah, tepat di tengah ulu hati, bertengger tahi lalat itu.
"Kakak Yo Han...!" Kini ia tidak ragu lagi dan ia pun merangkul, menangis!
Pendekar itu membuka matanya. Ketika melihat Sian Li menangis di atas dadanya, dia mendorongnya dengan halus dan bangkit duduk. "Nona... kau..."
Tetapi dia tidak melanjutkan ucapannya karena Sian Li sudah memandangnya dengan mata yang berlinangan air mata, akan tetapi mulut gadis itu tersenyum, sinar matanya penuh kebahagiaan.
"Han-suheng (Kakak Seperguruan Han), Han-koko (Kakanda Han), kenapa engkau jadi bersikap begini terhadap aku? Benarkah engkau tidak mengenal aku lagi? Aku Sian Li, Tan Sian Li...!"
Akan tetapi Yo Han, yang selama beberapa tahun ini berkeliaran di perbatasan Tibet sehingga dijuluki Sin-ciang Taihiap oleh mereka yang pernah ditolongnya, tidak merasa heran. Tentu saja sebelumnya dia sudah tahu atau dapat menduga siapa adanya gadis remaja berpakaian serba merah itu.
"Sian Li... Sumoi..." katanya dan sinar matanya mengandung kasih sayang sedemikian mendalam sehingga Sian Li teringat akan masa lalu, ketika ia merasakan benar kasih sayang suheng-nya ini kepadanya.
"Suheng...!" Dan lupa akan segala, lupa bahwa ia bukan lagi kanak-kanak, ia menubruk dan merangkul Yo Han, menangis di dalam rangkulan pendekar itu!
Yo Han membiarkan saja dan mengelus rambut yang halus itu, maklum bahwa di saat seperti itu, semua peraturan sudah terlupakan, yang ada hanyalah peluapan perasaan. Pada saat itu, dia tahu bahwa perasaan gembira, terharu dan bahagia meluap di hati Sian Li.
Ia sendiri pun merasa terharu dan tanpa terasa kedua matanya menjadi basah. Betapa sering ia membayangkan dan mengenang Sian Li dengan hati penuh kerinduan. Hampir dia tidak dapat percaya akan tiba saat seperti sekarang ini, di mana dia merangkul Sian Li yang menangis di dadanya.
Setelah gejolak perasaan itu mereda, dengan lembut Yo Han mendorong kedua pundak gadis itu, bahkan terus memegangi kedua pundak itu dan mengamati wajahnya sambil tersenyum. Sepasang matanya mencorong sehingga diam-diam Sian Li terkejut dan amat kagum. Jika ada perubahan pada diri suheng-nya ini, barangkali hanya pada sinar matanya itulah. Ia pun membalas, mengamati wajah Yo Han.
"Aihhh, adikku yang dahulu begitu bengal, tabah, keras hati dan pemberani, mengapa sekarang telah berubah menjadi seorang gadis yang cantik dan cengeng?"
Seketika sinar mata itu bernyala. "Aku tidak cengeng! Aku menangis karena haru dan bahagia! Aihhh, Han-ko, selama ini engkau ke mana sajakah? Kenapa pula engkau tega meninggalkan aku sampai bertahun-tahun? Bagaimana pula engkau tahu-tahu sudah menjadi seorang pendekar sakti dan berjuluk Sin-ciang Taihiap? Mengapa pula engkau selalu menyembunyikan muka dan tidak ingin dikenal orang? Apa yang menyebabkan engkau menjadi seorang petualang di daerah ini dan mengapa tidak kembali kepada kami?"
Diberondong pertanyaan-pertanyaan seperti itu, Yo Han tersenyum dan memandang wajah Sian Li penuh kasih sayang. Sian Li masih cerewet, masih lucu seperti dulu!
"Panjang ceritanya, Li-moi. Akan tetapi... apakah engkau sudah melupakan suheng-mu yang ditawan oleh gerombolan Lama Jubah Hitam?"
Sian Li seperti baru teringat kepada Sian Lun. "Ahhh, engkau benar juga, Han-ko. Kita harus cepat menolong dan membebaskannya, sekarang juga!"
Yo Han mengangguk, diam-diam hatinya merasa girang. Adik seperguruan yang sejak kecil sudah dianggap seperti adiknya sendiri dan yang sangat disayangnya ini ternyata merupakan seorang gadis gagah perkasa yang bertanggung jawab dan juga setia.
"Tidak akan ada gunanya kalau kita menyerbu ke sana sekarang. Malam hampir tiba dan selain di sana banyak terdapat orang lihai, juga penjagaan amat kuat dan dipasangi banyak jebakan berbahaya. Kita memang harus membebaskannya, akan tetapi bukan sekarang. Besok pagi aku akan berkunjung ke sana dan minta kepada Dobhin Lama, Ketua Lama Jubah Hitam, agar suheng-mu dibebaskan.”
"Tapi... kenapa harus menanti sampai besok? Bagaimana kalau kita telambat dan terjadi apa-apa dengan Suheng? Mungkin saja dia dibunuh!"
"Jangan khawatir, Li-moi. Aku sudah tahu akan sepak terjang gerombolan Lama Jubah Hitam. Mereka tidak memusuhi para pendekar, bahkan ingin merangkul dan mengajak para pendekar bersekutu. Mereka membutuhkan kerja sama dan bantuan orang-orang pandai dalam usaha mereka merebut tahta kekuasaan di Tibet. Perjuangan melawan pemerintah Mancu hanya sebagai sarana untuk memperoleh dukungan para pendekar saja. Pada hakekatnya, yang terpenting bagi mereka adalah menguasai Tibet, seperti juga orang-orang Nepal itu bercita-cita untuk merampas kekuasaan di Nepal dan kini mereka mencari sekutu agar kelak dapat membantu mereka. Sebab itu jangan khawatir, suheng-mu tak akan dibunuh, mungkin bahkan dibujuk untuk mau bekerja sama dengan mereka."
Hati Sian Li merasa sangat lega. Ia percaya sepenuhnya kepada Yo Han, bukan hanya percaya karena Yo Han adalah suheng-nya yang sejak dahulu paling disayangnya dan dipercayainya, akan tetapi juga karena ia ingat bahwa sudah lama Yo Han bertualang di daerah ini dan tentu mengenal benar keadaan di sini sehingga keterangannya tadi pasti benar.
"Baiklah kalau begitu, aku menyerahkan kepadamu supaya Suheng dapat terbebas dari tangan mereka. Sekarang, harap kau ceritakan semua pengalamanmu sejak kita saling berpisah, Han-ko."
Yo Han merasa girang bahwa Sian Li menyebut dia koko (kakak), bukan suheng (kakak seperguruan) karena bagaimana pun juga dia tidak pernah dengan sungguh-sunggguh belajar silat dari ayah ibu Sian Li.
"Memang sebaiknya malam ini kita lewatkan dengan saling menceritakan pengalaman, Li-moi. Akan tetapi aku ingin tahu lebih dulu, bagaimana engkau dapat mengobati luka beracun di pundakku? Kurasakan racun itu cukup berbahaya, jika harus menggunakan kekuatan sendiri untuk mengusirnya dan menyembuhkan luka beracun itu, tentu akan memerlukan waktu paling sedikit sepuluh hari. Akan tetapi sekarang aku telah sembuh sama sekali! Bagaimana engkau dapat mempunyai kepandaian pengobatan yang begini hebat?"
Biasanya, Sian Li tidak haus pujian, bahkan ia akan menganggap seorang pria merayu kalau memujinya. Akan tetapi entah bagaimana sekali ini menerima pujian dari Yo Han, ia merasa amat girang dan bangga.
"Aku telah mempelajari ilmu pengobatan dari Yok-sian Lo-kai," katanya sederhana untuk menyembunyikan rasa bangga dan senangnya.
"Ahhh, begitukah? Pantas saja kalau begitu. Aku sudah mendengar nama besar Dewa Obat itu. Dan kulihat ilmu silatmu juga hebat, agaknya engkau telah menguasai benar Pek-ho Sin-kun dari Suhu, akan tetapi aku melihat gerakan lain yang bukan dari ayah ibumu."
Sian Li mengangkat telunjuk kanan dan mengamangkannya kepada Yo Han. "Nah, nah, engkau mau mengakali aku, ya? Engkau belum menceritakan sedikit juga mengenai pengalamanmu dan engkau sudah memancing-mancing agar aku menceritakan segala tentang diriku."
Yo Han tertawa. Sudah lama dia tidak pernah merasakan kegembiraan hati seperti saat itu. Dan dia bersyukur kepada Tuhan bahwa dia dipertemukan dengan Sian Li di tempat yang sama sekali tidak pernah disangkanya ini, apa lagi melihat Sian Li telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita, manis budi dan gagah perkasa.
Yo Han menceritakan pengalamannya dengan singkat saja. "Setelah aku meninggalkan tempat tinggal orang tuamu di Ta-tung..."
"Nanti dulu, ceritakan dulu kenapa engkau meninggalkan aku, meninggalkan kami dan sampai selama ini tidak pernah kembali, Han-ko!"
Yo Han menatap wajah gadis itu dan menarik napas panjang. Sekali lagi dia harus menghadapi suatu kenyataan dalam hidup ini, bahwa meski pun membohong adalah perbuatan tidak baik, namun ada waktunya perlu sekali orang membohong! Membohong bukan dalam arti menipu demi keuntungan pribadi, melainkan membohong agar jangan sampai menyinggung atau menyakiti perasaan orang yang dibohonginya!
Kalau sekarang dia berterus terang bahwa dia meninggalkan keluarga gadis itu karena mendengar ayah ibu gadis itu menyatakan keinginan hati supaya Sian Li jauh darinya, tentu cerita ini akan mengguncang perasaan Sian Li dan bukan hanya menyinggung, namun menyakitkan dan membingungkan. Maka, dia harus berbohong!
"Lupakah engkau, Li-moi? Aku menggantikanmu menjadi tawanan Ang-I Moli. Aku telah berjanji kepadanya bahwa kalau dia mengembalikan engkau kepada orang tuamu, aku akan menggantikanmu menjadi muridnya." Lega rasa hati Yo Han setelah dia mulai memberi keterangan. Bagaimana pun juga, dia tidaklah berbohong, hanya tidak berterus terang menceritakan keadaan selengkapnya.
Tentu saja Sian Li masih ingat akan semua itu. Bahkan dahulu ketika Yo Han pergi, hampir setiap hari ia menangis dan menanyakannya. Ia pun teringat akan pembelaan Yo Han kepadanya terhadap Ang-I Moli.
"Han-ko, jadi engkau telah menjadi murid iblis betina itu?"
"Tidak, Li-moi. Ia jahat bukan main, jahat dan kejam. Aku tidak suka menjadi muridnya. Aku berhasil lolos darinya dan aku lalu mendapatkan seorang guru di tempat rahasia. Guruku itu kini telah tiada, dan aku merantau ke sini adalah untuk memenuhi pesan terakhir guruku."
"Mencari mutiara hitam itu?"
"Benar, Li-moi. Benda mustika itu dahulu adalah milik guruku yang hilang dicuri orang. Aku hanya ingin merampasnya kembali untuk memenuhi pesan mendiang Suhu."
"Dan engkau malang melintang di daerah barat ini sebagai Sin-ciang Taihiap?”
Yo-Han menarik napas panjang. Selama bertahun-tahun ia berhasil menyimpan rahasia dirinya, akan tetapi sekali ini rahasianya terbuka. Bukan oleh orang lain, bahkan oleh Sian Li!
"Ternyata tak mudah mencari mutiara hitam seperti yang menjadi pesan terakhir Suhu," dia bercerita. "Suhu hanya mengatakan bahwa benda pusaka itu berada di daerah barat ini. Sampai hampir lima tahun aku berkeliaran di sini, bahkan sudah menjelajah sampai ke daerah Tibet, namun belum berhasil. Dalam penjelajahan itulah aku bertemu dengan hal-hal yang menggerakkan hatiku untuk turun tangan menentang kejahatan. Aku tidak ingin dikenal orang, karena itu aku selalu menyembunyikan mukaku dan tidak pernah memperkenalkan diri. Orang-orang memberi julukan Sin-ciang Taihiap. Aku membiarkan saja dan tidak ada seorang pun tahu bahwa akulah Sin-ciang Taihiap. Baru hari ini ada yang tahu, yaitu engkau Li-moi."
Sian Li tertawa dan suasana menjadi akrab sekali ketika dara itu tertawa. Yo Han lalu teringat akan masa lampau. Suara tawa Sian Li itu bagaikan bunyi musik merdu yang mendatangkan perasaan bahagia dalam hatinya. Seperti tetesan air hujan pada hatinya yang selama ini seperti tanah kering. Terasa demikian sejuk den segar dan dia pun tak dapat menahan timbulnya senyum lebar penuh kebahagiaan yang membuat wajahnya berseri.
"Hi-hi-hik, heh-heh-heh, engkau ini sungguh aneh dan lucu sekali, Han-ko. Engkau ingin menyembunyikan diri dan tidak ingin dikenal orang, ataukah engkau bahkan sengaja ingin mempopulerkan julukanmu atau penyamaranmu itu? Dengan penyamaranmu itu, maka semakin terkenallah Sin-ciang Taihiap sebagai seorang pendekar yang rambutnya riap-riapan, bercaping yang ditutupi tirai! Sebaliknya, kalau engkau tidak menyamar lagi, tidak menyembunyikan diri, siapa yang akan tahu bahwa engkau ini adalah Sin-ciang Taihiap? Kenapa mesti menyamar lagi, Han-ko?"
Yo Han mengangguk-angguk. "Engkau benar, Li-moi. Aku sudah begitu khawatir untuk dikenal orang, maka aku bahkan membuat Sin-ciang Taihiap semakin terkenal karena dipenuhi rahasia. Mulai sekarang aku akan menanggalkan penyamaran diriku sebagai Sin-ciang Taihiap, dan aku akan menjadi Yo Han biasa saja...”
Setelah berkata demikian, Yo Han yang sudah menanggalkan capingnya itu kemudian menggelung rambutnya, tidak lagi dibiarkan riap-riapan. Dia menggelung rambut, tidak dikuncirnya karena dia tidak senang harus mentaati peraturan pemerintah Mancu agar semua orang Han menguncir rambutnya. Peraturan itu dianggapnya menghina.
"Tapi caping itu jangan dibuang, Han-ko. Pertama, benda itu memang berguna untuk melindungi kepalamu dari panas dan hujan, dan ke dua, siapa tahu kadang-kadang kau perlukan juga tokoh Sin-ciang Taihiap itu."
"Li-moi, sudah cukup aku menceritakan pengalamanku, sekarang engkaulah yang harus menceritakan kepadaku keadaanmu semenjak kita saling berpisah. Engkau kini sudah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik jelita, lincah dan juga lihai ilmu silatnya. Tentu sekarang usiamu sudah dewasa, Li-moi."
"Ketika engkau pergi, usiaku empat tahun, Han-ko. Kita saling berpisah selama tiga belas tahun lebih, Jadi usiaku sekarang hampir delapan belas tahun. Aku belajar ilmu silat dari Ayah dan Ibu, kemudian aku menerima gemblengan dari Paman Kakek Suma Ceng Liong dan isterinya di dusun Hong-cun dekat kota Cin-an. Di sana aku bertemu dengan Suheng Liem Sian Lun, murid Paman dan Bibi. Selain itu, juga aku belajar ilmu pengobatan dari Yok-sian Lo-kai."
"Wah, engkau beruntung sekali, Li-moi, mendapat ilmu-ilmu dari banyak orang sakti. Akan tetapi bagaimana engkau dan suheng-mu itu dapat berada di sini, amat jauh dari tempat tinggal orang tuamu?"
"Aku dan Suheng Sian Lun sedang dalam perjalanan pulang. Kami baru saja berkunjung ke Bhutan, Han-ko."
"Bhutan? Kenapa pergi ke tempat yang demikian jauh?"
Sian Li lalu bercerita tentang Gangga Dewi dan paman kakeknya Suma Ciang Bun, tentang perjalanan mereka yang jauh, juga tentang pengalamannya ketika bertemu dan bertentangan dengan Lulung Lama dan sekutunya.
Dua orang muda yang merasa amat berbahagia dalam pertemuan yang sama sekali tak pernah mereka sangka-sangka itu, bercakap-cakap sampai larut tengah malam. Mereka makan malam secara amat sederhana, dari persediaan makanan yang disimpan Yo Han di dalam goa. Mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing, menjawab semua pertanyaan.
Setelah lewat tengah malam, baru mereka istirahat dan tidur sesudah saling mengetahui hampir semua keadaan diri masing-masing. Hanya ada satu hal yang masih membuat Yo Han sangsi dan ragu, yaitu tentang hubungan batin antara Sian Li dan suheng-nya.
Mereka adalah kakak beradik seperguruan, akan tetapi apakah tidak lebih dari pada itu? Mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis tidak ada hubungan darah, dan keduanya tampan dan cantik, melakukan perjalanan berdua saja. Tak ada anehnya bila mereka itu saling mencinta, bahkan agaknya tidak wajar kalau tidak ada perasaan cinta di antara mereka.
Yo Han tidak berani bertanya akan hal itu, akan tetapi dia menduga bahwa Sian Li agaknya amat mencinta suheng-nya itu. Dan dia pun tidak akan merasa heran. Suheng Sian Li itu memang seorang pemuda yang tampan dan gagah, sudah sepatutnya kalau menjadi jodoh Sian Li. Hanya saja, dia merasa heran dan tidak enak, mengapa hatinya menjadi pedih kalau membayangkan kakak beradik seperguruan itu saling mencinta dan menjadi jodoh?
Bahkan bayangan ini menghantuinya, membuat dia gelisah dan tidak dapat pulas. Baru setelah jauh lewat tengah malam, dia dapat mengusir gangguan itu dan tidur pulas.....
********************
Selanjutnya baca
SI BANGAU MERAH : JILID-16