Pendekar Sakti Jilid 05


Baiklah kita tinggalkan dahulu Siang Pok yang sedang digembleng oleh suhu-nya, yakni Hek-i Hui-mo di Pegunungan Tibet, juga kita biarkan dulu Sui Ceng yang tekun menerima latihan-latihan dari gurunya, Kiu-bwe Coa-li di Pegunungan Wu-yi-san di daerah selatan. Sekarang lebih dahulu kita menengok keadaan Lu Kwan Cu yang melakukan perantauan bersama gurunya, Ang-bin Sin-kai.

Kekalahannya yang berturut-turut menghadapi The Kun Beng dan Gouw Swi Kiat, kedua murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai, kemudian kekalahannya pula dari Lu Thong murid dari Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, tidak mengecewakan hati Kwan Cu, bahkan seakan-akan menjadi dorongan kepadanya untuk berlatih makin giat dan tekun. Juga dia melanjutkan perjalanan menuju ke Bukit Liang-san untuk mencari goa tempat mendiang Gui Tin dulu menyimpan buku-bukunya. Ang-bin Sin-kai menuruti saja kehendak muridnya yang ingin mencari gunung itu.

“Kitab-kitab macam apa yang dapat ditinggalkan oleh seorang sastrawan kepadamu?” hanya demikian kata-katanya mencemoohkan. “Paling hebat hanyalah kitab-kitab Su-si Ngo-keng dan kitab-kitab kuno penuh oleh tulisan kosong tentang adat-istiadat, tentang peri kebajikan dan peri kemanusiaan yang kosong melompong!”

Mendengar omongan gurunya ini, Kwan Cu menyatakan tidak setujunya.

“Suhu, mengapa soal-soal mengenai peri kebajikan dan peri kemanusiaan Suhu anggap pelajaran yang kosong melompong? Bukankah manusia di dunia ini perlu sekali akan pelajaran serupa itu agar hidupnya tidak terlalu tersesat dan jahat?”

Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak mendengar ucapan muridnya ini.

“Kwan Cu, pelajaran mengenai peri kebajikan memang kosong melompong dan hanya merupakan pekerjaan orang-orang malas yang mengaku diri suci dan berjasa terhadap manusia. Siapakah orangnya yang tak tahu bahwa mencuri dianggap jahat? Akan tetapi tetap saja mereka mengambil barang lain orang. Siapa yang tak tahu bahwa membunuh dianggap jahat? Namun tetap saja mereka membunuh sesama hidup dengan hati enak saja. Apakah dengan munculnya pelajaran-pelajaran mengenai peri kebajikan itu dunia menjadi makin bersih? Lihat saja, makin kotorlah batin manusia. Jika kitab-kitab itu tidak memberi pelajaran tentang jahatnya mencuri, manusia juga tak akan mengenal kata-kata mencuri dan tidak akan ada pencuri di muka bumi ini. Kalau orang tidak membaca dan mendengar tentang pelajaran peri kebajikan yang menyatakan bahwa membunuh itu tak baik, orang tidak akan mengenal kata-kata membunuh dan tidak akan ada pembunuh. Kalau saja orang tidak mendengar sebutan kejahatan dari dalam kitab, orang tidak akan mengenal pula kata-kata kejahatan dan tidak akan ada kejahatan di dalam dunia ini!”

Kepala Kwan Cu yang gundul itu menjadi semakin kelimis karena dia mempergunakan otaknya untuk membuka arti ucapan gurunya yang sukar dimengerti itu. “Kalau begitu dunia akan kacau, Suhu. Tanpa ada pengertian tentang kejahatan, orang tak akan takut berbuat sekehendak hatinya!”

“Bodoh, berbuat sekehendak hati bukan perbuatan yang jahat! Kau kira dengan pelajaran yang memenuhi otak-otak tentang kejahatan dan segala macam omong kosong itu, akan membuat dunia menjadi baik dan aman? Tengok saja, di manakah terjadinya kejahatan-kejahatan besar? Bukan di dusun-dusun yang ditempati oleh orang-orang yang pikiran dan hatinya masih amat sederhana, yang belum banyak mengenal tentang pelajaran peri kebajikan yang di dalam pandangan orang-orang kota masih dianggap bodoh! Di dalam ketidak mengertian mereka tentang kejahatan itu, mereka bersih!”

“Suhu terpengaruh oleh filsafat Lo Cu!” tiba-tiba saja Kwan Cu berseru karena anak yang cerdik ini memang sudah hafal akan semua isi kitab kuno dan pelajaran tentang filsafat dan kebatinan.

“Bukan terpengaruh, hanya aku setuju dengan pendirian Lo Cu tentang itu. Orang-orang besar yang membuat kitab-kitab itu sudah berlaku terlalu sombong, hendak mendahului kehendak alam, hendak menggantikan kedudukan alam mengadakan perubahan besar dalam watak manusia. Padahal watak manusia itu memang baik seperti watak seluruh isi alam yang suci. Watak manusia seperti air telaga yang tenang, bila sekali dikacau, akan bergelombanglah air itu dan menjadi kacau dan tidak aman lagi. Pengertian tentang apa yang disebut baik dan jahat, menimbulkan nafsu dalam diri manusia dan pada sekarang ini, dunia kemanusiaan dirajai oleh maha raja nafsu, manusianya sendiri hanya menjadi hamba sahaya dan hulubalang yang taat dan setia kepadanya! Nafsulah yang menjadi penggerak manusia mencuri, membunuh, menipu, serta melakukan kejahatan-kejahatan lain, dan nafsu ini dipupuk dan diperkuat oleh pengertian tentang baik dan buruknya yang diajarkan oleh kitab-kitabmu itu! Anggaplah emas seperti batu karang, siapa yang sudi mencuri emas? Dengan pengertian tentang baik buruk, tentang dosa dan suci, manusia telah dibentuk menjadi makhluk yang paling kotor dan jahat di dunia ini.”

Kwan Cu mengerutkan keningnya. “Akan tetapi, Suhu, bukankah itu sebaliknya? Manusia merupakan makhluk yang paling pandai dan baik. Bukan hanya di antara manusia terjadi saling bunuh, bukankah binatang juga sering kali membunuh sesamanya?”

Ang-bin Sin-kai memandang kepada muridnya dengan mata terbelalak lebar. “Anak tolol, kau tahu apa? Binatang-binatang membunuh tidak seperti manusia membunuh! Manusia membunuh sesama manusia hanya terdorong oleh iblis, terdorong oleh dendam, benci, marah, dan sakit hati karena dirugikan, baik nama mau pun hartanya. Pernahkah kau mendengar binatang membunuh karena perasaan-perasaan jahat ini? Harimau boleh jadi setiap hari membunuh binatang lain, akan tetapi itu adalah kehendak alam yang telah memastikan bahwa harimau tidak bisa makan rumput, melainkan harus makan daging atau darah.”

“Akan tetapi, Suhu. Kalau semua manusia menurutkan ajaran Lo Cu semenjak dahulu, teecu kira dunia akan menjadi sunyi, dan tidak akan terdapat kemajuan seperti sekarang ini. Manusia mungkin masih menjadi makhluk-makhluk telanjang yang hidup di goa-goa, tiada lain kerjanya hanya makan dan tidur!”

“Kau sombong!” Ang-bin Sin-kai berteriak dan muka yang merah itu menjadi semakin merah. “Berani kau mendahului pertumbuhan alam? Memang mungkin sekali tidak akan ada kemajuan duniawi seperti sekarang, akan tetapi juga tak akan ada kejahatan seperti sekarang! Tentang kemajuan, orang mengenalnya hanya setelah kata-kata itu diciptakan. Coba kau tengok pohon siong itu. Ribuan tahun yang lalu keadaannya masih sama saja seperti sekarang, akan tetapi, katakan, hai bocah gundul sombong, siapakah yang dapat menyatakan bahwa pohon itu tidak mempunyai kemajuan? Lihat burung yang terbang itu. Seribu tahun yang lalu bangsanya pun berbuat seperti itu. Apakah sekarang dia kelihatan sudah terlalu kuno dan tidak menarik lagi? Kwan Cu, kau hanya memandang kulit saja, tetapi tidak melihat isi. Kemajuan lahir saja tiada artinya tanpa dibarengi kemajuan batin, karena lahir itu tidak kekal adanya.”

Sekarang Kwan Cu benar-benar kelihatan pusing dan teringatlah Ang-bin Sin-kai bahwa Kwan Cu hanyalah seorang kanak-kanak yang tentu saja masih belum dapat menerima semua filsafat hidup ini. Ang-bin Sin-kai menarik napas panjang dan dia seolah-olah baru kembali ke atas bumi dari perantauannya di awang-awang yang membuatnya lupa akan segala itu.

“Sudahlah, Kwan Cu. Mari kita melanjutkan perjalanan. Kalau dipikir-pikir, aku sendiri pun ingin sekali tahu buku-buku apa saja yang disimpan oleh mendiang Gui Tin di atas Bukit Liang-san itu.”
“Buku-buku yang lainnya, teecu pun tidak menghendakinya, Suhu. Hanya sebuah buku yang perlu sekali bagi teecu karena sudah dipesankan oleh Gui-sianseng kepada teecu. Yakni buku sejarah kuno di mana teecu akan membaca tentang kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli! Dari buku itulah teecu akan mendapat petunjuk di mana teecu dapat mencari kitab rahasia itu.”

Ang-bin Sin-kai tertegun dan mukanya berubah.

“Kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng?” Ia mengulang setengah tidak percaya.

Kwan Cu mengangguk. “Memang kitab yang dahulu itu adalah kitab tiruan yang sengaja dipalsukan, Suhu. Aslinya masih disimpan baik-baik, kata Gui-sianseng, kitab itu berada di atas suatu pulau kosong yang sulit dicari. Hanya bisa didapatkan dengan pertolongan kitab sejarah yang disimpan oleh Gui-sianseng.”

“Kwan Cu, jika begitu kau benar-benar berjodoh dengan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng! Hayo kita percepat jalan agar segera dapat menemukan kitab itu, muridku!”

Ketika Ang-bin Sin-kai memandang kepada muridnya dan bertemu pandang, mukanya yang merah berubah pucat karena dia marah sekali.

“Kwan Cu! Kau kira aku mempunyai pikiran buruk? Aku sudah bersumpah tidak akan mempelajari Im-yang Bu-tek Cin-keng dan aku Lu Sin selamanya akan memegang teguh sumpahku!”

Kwan Cu kaget sekali dan buru-buru dia berlutut minta maaf. Pandangan mata suhu-nya benar-benar tajam sekali, karena memang tadi dia memandang dengan curiga kepada suhu-nya yang disangkanya menginginkan kitab itu.

“Sudahlah, tak ada salahnya kau mencurigaiku, karena kalau tidak ingat akan sumpahku, memang aku ingin sekali melihat kemudian mempelajari Im-yang Bu-tek Cin-keng. Siapa orangnya yang tidak ingin? Sudah berpuluh tahun aku merindukan kitab itu, seperti juga tokoh-tokoh persilatan yang lain. Akan tetapi, aku sudah tua dan tidak ada gunanya aku mempelajari ilmu silat lain lagi. Kaulah yang perlu mempelajarinya, maka kerinduanku sekarang bukan untuk aku sendiri, melainkan melihat kau dapat mempelajari kitab aneh itu.”
“Terima kasih atas budi kebaikanmu, Suhu.”
“Phuah, budi kebaikan macam manakah? Hayo kita lekas pergi. Aku tahu di mana kau akan dapat melatih gwakang dan memperdalam Sam-hoan-ciang dan Pai-bun Tui-pek-to yang sedang kau pelajari.”

Guru dan murid ini kemudian berangkat dan berlari cepat menuju ke Liang-san. Tiga hari kemudian tibalah mereka di sebuah hutan besar. Ang-bin Sin-kai segera menghentikan larinya dan berkata,
“Nah, di sini kita dapat beristirahat sambil mencari lawan untuk melatih ilmu silatmu.”

Hutan itu besar dan sunyi sekali. Di mana ada lawan untuk melatih ilmu silat? Kwan Cu memandang ke sana ke mari, akan tetapi keadaan sunyi saja, hanya bergeraknya daun pohon tertiup angin menimbulkan suara gemerisik. Pohon-pohon raksasa menimbulkan bayangan yang amat teduh dan silir angin membuat mata mengantuk.

Lapat-lapat terdengar suara binatang hutan. Kwan Cu merasa amat heran kenapa suara binatang hutan, kecuali burung dan ayam, yang kedengaran hanyalah geraman harimau belaka.

“Heran sekali, ke manakah perginya keluarga raja hutan?” kata Ang-bin Sin-kai perlahan. “Biasanya setiap kali aku datang, mereka itu sudah beramai-ramai menyambut dengan gigi dan kuku yang runcing!”

Tiba-tiba, seolah-olah menjadi jawaban dari kata-katanya, terdengarlah bunyi lengkingan suling bambu yang aneh sekali suaranya. Lengking ini amat tinggi dan panjang, tiba-tiba kemudian berubah menjadi irama rendah dengan irama terputus-putus seperti geraman harimau marah.

Berubah wajah Ang-bin Sin-kai mendengar ini.

“Ahh, kiranya dia berada di sini. Pantas saja harimau-harimau itu tidak nampak di sini.”
“Suhu, siapakah peniup suling yang aneh bunyinya itu?”
“Orang aneh... orang aneh, dan sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan kita. Dia itulah Hang-houw-siauw Yok-ong (Raja Obat dengan Suling Penakluk Harimau)!”

Akan tetapi Kwan Cu belum pernah mendengar julukan orang yang terdengar aneh ini. Julukan Yok-ong (Raja Obat) saja sudah hebat, apa lagi ditambah dengan julukan kedua ini. Bagaimana bisa orang menaklukan harimau dengan suling? Atau, bagaimana suling bisa dipergunakan menjadi penakluk harimau?

Jawabannya segera terlihat olehnya. Dari jurusan barat, kelihatan seorang laki-laki tua berpakaian jubah panjang menutupi kedua kakinya hingga sebagian jubah itu terseret di belakangnya, sedang berjalan dengan tindakan perlahan. Ia memegang sebatang suling bambu yang ditiupnya sambil berjalan. Kedua matanya memandang lurus ke depan tidak mempedulikan kanan kiri. Juga sama sekali tidak dia mempedulikan apa yang terjadi di belakangnya, kejadian yang membuat Kwan Cu membuka mata selebar-lebarnya!

Ternyata olehnya bahwa di belakang kakek itu, berbaris belasan ekor harimau besar dan buas. Mereka berjalan merupakan barisan di belakang kakek ini dan sebentar-sebentar mengeluarkan geraman. Melihat keadaan ini, tahulah Kwan Cu bahwa binatang-binatang buas itu ternyata telah tertarik dan berada di bawah pengaruh suara suling yang aneh itu. Pantas saja di sebut Hang-houw-siauw (Suling Penakluk Harimau).

Kwan Cu benar-benar merasa aneh sekali. Dia sudah sering kali mendengar mengenai suling yang suaranya dapat mempengaruhi ular, akan tetapi harimau?

“Ha-ha-ha, Hang-houw-siauw Yok-ong betul-betul tabah sekali!” Ang-bin Sin-kai memuji. “Hanya dengan suara suling mampu menundukkan belasan raja hutan, benar-benar aku Ang-bin Sin-kai tidak mampu melakukannya!”

Melihat munculnya seorang anak laki-laki gundul bersama Ang-bin Sin-kai, untuk sesaat kakek berjubah panjang itu lupa meniup sulingnya dan dia memandang kepada kakek pengemis itu.

“Aha, kiranya Ang-bin Sin-kai si manusia sadar!” Memang Yok-ong ini amat mengagumi Ang-bin Sin-kai dan selalu menyebutnya manusia sadar. “Selagi jalan halus sempat dan dapat dipergunakan, mengapa memakai jalan kasar?”

Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, Hang-houw-siauw Yok-ong! Enak saja kau bicara begitu! Dengan sulingmu, tentu saja kau sanggup menundukkan harimau dengan jalan halus, akan tetapi aku yang tak mengerti caranya, bagaimana harus menundukkan harimau? Aku takkan dapat membujuk mereka dengan kata-kata halus. Lihat, bagaimana aku harus menghadapi mereka ini?”

Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai menunjuk ke arah belakang Hang-houw-siauw Yok-ong. Kakek ini menengok dan melihat betapa belasan ekor harimau buas itu mulai gelisah dan kini mereka memperlihatkan gigi runcing dan muka buas, siap siaga untuk menyerang! Harimau-harimau itu kini sudah tidak berada di bawah pengaruh suara suling lagi dan mereka mengeluarkan geraman hebat lalu menubruk maju, menyerang Ang-bin Sin-kai, Yok-ong dan Kwan Cu!

Lu Kwan Cu terkejut sekali, akan tetapi dia sudah memiliki ketabahan dan ketenangan, maka ketika seekor harimau menubruk kepadanya, dia cepat melompat ke pinggir. Lain harimau segera menerkamnya, akan tetapi kembali dengan menggeser kaki menurutkan gerakan Pai-bun Tui-pek-to, dia dapat menyelamatkan diri.

Ada pun Hang-houw-siauw Yok-ong, juga berbuat seperti Kwan Cu. Kakek ini memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi hatinya amat lemah dan tidak tega melukai siapa pun juga. Ia adalah seorang ahli pengobatan dan hatinya sudah tercurah pada watak menyayang dan memelihara sesuatu yang sakit, mana sanggup dia melukai harimau-harimau itu? Ia bergerak ke sana ke mari dan sungguh mengagumkan, walau pun gerakannya nampak lambat saja, namun tak pernah ada kuku harimau yang dapat menyentuh jubahnya yang panjang itu.

Hebat adalah sepak terjang Ang-bin Sin-kai. Berbeda dengan Kwan Cu yang mengelak terus karena tidak mampu membalas serangan harimau dan Yok-ong yang sengaja tidak mau mengganggu bintang-binatang itu, Ang-bin Sin-kai tidak mau mandah saja dirinya diserang. Tiap kali kaki dan tangannya bergerak, terdengar harimau yang terpukul atau tertendang mengeluarkan gerengan kesakitan, dan tubuh harimau bergulingan di atas tanah saking kerasnya serangan Ang-bin Sin-kai.

Melihat ini, Hang-houw-siauw Yok-ong berteriak-teriak,
“Ang-bin Sin-kai, jangan berlaku kejam! Ampunkan nyawa harimau-harimau ini!”

Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak. “Aku memandang mukamu dan tak akan mengganggu mereka lagi,” katanya dan sekali tubuhnya berkelebat, dia telah melompat ke atas dan tahu-tahu dia telah duduk di atas sebatang ranting pohon yang tinggi!

Ada pun Kwan Cu yang melihat perbuatan suhu-nya, segera melompat pula, akan tetapi dia tidak melompat ke atas pohon, melainkan melompat ke belakang Hang-houw-siauw Yok-ong mencari perlindungan!

Raja obat itu lalu meniup sulingnya dan... benar mengherankan sekali, tiba-tiba binatang-binatang yang buas dan sedang marah itu menghentikan serangan mereka, kemudian berdiri berkumpul di depan Yok-ong dengan kepala tunduk dan telinga digerak-gerakkan seakan-akan senang sekali medengar suara suling yang bagi telinga Kwan Cu terdengar menyakitkan anak telinga!

Suara suling yang ditiup oleh Yok-ong makin lama semakin meninggi, dan makin sakitlah telinga Kwan Cu sehingga anak ini tidak dapat tahan lagi lalu menggunakan ibu jari untuk menyumpal lubang telinganya. Dan benar-benar hebat!

Harimau-harimau itu seolah-olah mendengar bunyi perintah yang tak dapat dibantah lagi. Serentak mereka membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu! Masih agak lama Yok-ong meniup sulingnya, kemudian setelah tidak terdengar lagi geraman harimau, dia menghentikan tiupannya dan menoleh kepada Ang-bin Sin-kai yang masih duduk di atas pohon.

“Ang-bin Sin-kai, terima kasih atas kemurahan hatimu terhadap harimau-harimau itu. Jika tadi diteruskan, tentu aku menjadi sibuk memelihara serta mengobati luka-luka mereka. Untuk kebaikan hatimu itu, kau patut diberi hadiah. Aku adalah orang miskin yang hanya mempunyai sebatang suling. Nah, terimalah barang pusakaku ini.” Dia melempar suling yang tadi ditiupnya ke arah Ang-bin Sin-kai yang cepat mengulur tangan menerimanya.

Hang-houw-siauw Yok-ong lalu berpaling kepada Kwan Cu. Untuk beberapa lamanya dia memandang anak itu dengan tajam.

“Hebat!” tiba-tiba saja dia berkata. “Dari mana kau memperoleh anak seperti ini?” Ia lalu mendekati Kwan Cu. “Coba ulur tangamu, anak yang baik.”

Kwan Cu segera mengulur tangan kanannya dan Yok-ong cepat memegang pergelangan tangan Kwan Cu. Untuk beberapa lamanya dia mengangguk-angguk dan berkatalah dia dengan suara keras.

“Benar-benar hebat! Darah yang luar biasa kuatnya, yang ditambah oleh semacam darah liar yang mempunyai kekuatan tekanan tiga kali lipat dari pada tekanan darah manusia, membuat seluruh urat di tubuhmu dipenuhi oleh aliran darah yang kuat dan cepat sekali. Berkat tulang dan dagingmu yang kuat dan bersih, hal itu akan menguntungkan dalam usahamu mempelajari bu (ilmu silat). Akan tetapi, urat halus dalam otak dapat terganggu karenanya. Anak baik, aku kasihan kepadamu, maka biarlah aku memberimu Liong-kak Hian-tan (Pil Darah Tanduk Naga) yang jarang kupergunakan.”

Ia lalu merogoh saku jubahnya yang lebar sekali dan mengeluarkan bungkusan dari kain kuning yang bersih. Ketika bungkusan itu dibuka, di dalamnya terdapat beberapa butir pil merah yang berbau amis.

“Untuk ketabahan dan kemurahan hatimu ketika menghadapi harimau-harimau tadi, kau kuberi hadiah tiga butir Liong-kak Hian-tan. Telanlah sehari sebutir, dan dalam tiga hari kau akan merasakan khasiatnya.”

Kwan Cu merasa ragu-ragu untuk menerima, tetapi tiba-tiba terdengar suara dari atas pohon,
“Murid goblok! Tidak lekas diterima dan menghaturkan terima kasih, mau tunggu kapan lagi?”

Sebenarnya bukan karena Kwan Cu merasa kurang percaya terhadap kakek Raja Obat itu, melainkan karena dia menjadi murid Ang-bin Sin-kai, maka dia merasa tidak patut tanpa ijin gurunya jika dia menerima pemberian orang lain. Sekarang mendengar ucapan suhu-nya, dia menjadi girang sekali, dan sesudah menerima tiga butir pil itu, dia cepat berlutut di depan Hang-houw-siauw Yok-ong dan menghaturkan terima kasihnya.

Yok-ong tertawa bergelak dan menengok ke atas pohon. “Ang-bin Sin-kai, muridmu ini benar-benar tahu menghargai guru dan orang-orang tua. Itu bagus sekali! Nah, sampai bertemu kembali!”

Sesudah berkata demikian, Hang-houw-siauw Yok-ong kemudian menyimpan bungkusan obatnya. Seperti main sulap saja, ketika dia merogoh saku di tangannya telah memegang sebatang suling lagi! Ia lalu berjalan pergi sambil meniup sulingnya!

Kwan Cu dan gurunya mendengarkan suara suling itu yang makin melenyap, kemudian terdengar suara suling lain. Pada waktu Kwan Cu menengok, ternyata suhu-nya sedang meniup suling pemberian Yok-ong tadi! Kwan Cu tercengang ketika mendengar tiupan suling suhu-nya amat merdu. Ternyata gurunya itu juga pandai sekali meniup suling melagukan sebuah lagu kuno!

“Bagus, Suhu pandai sekali bersuling!” Kwan Cu memuji.

Gurunya menghentikan tiupannya dan tertawa girang.

“Masih tak sepandai Hang-houw-siauw Yok-ong. Kau telanlah sebutir Liong-kak Hian-tan itu seperti yang dipesan oleh Yok-ong. Aku mau mencoba memanggil harimau dengan suling ini!”

Kwan Cu cepat-cepat menelan sebutir pil yang terasa masam dan amis sekali, kemudian menyimpan yang dua butir lagi di dalam saku bajunya. Pada saat itu, gurunya sedang mencoba untuk meniru tiupan suling Yok-ong ketika menundukkan harimau tadi. Akan tetapi tiupan sulingnya tidak karuan bunyinya sehingga mengusir burung-burung di atas pohon yang menjadi kaget ketakutan mendengar suara melengking yang aneh luar biasa itu!

Sampai capai bibir meniup suling, tapi harimau-harimau itu tidak juga datang! Kwan Cu tertawa geli melihat usaha suhu-nya tidak mendatangkan hasil itu.

“Jangan tertawa, lihat belakangmu!” tiba-tiba Ang-bin Sin-kai berseru.

Kwan Cu terkejut dan cepat menengok. Benar saja di belakangnya telah berdiri seekor harimau muda yang nampaknya juga terpesona dan bingung mendengar suara suling yang lucu dan aneh tadi. Kini, menghadapi Kwan Cu, dia mulai merendahkan tubuhnya dan menggaruk-garukkan kakinya, siap untuk menerkam.

“Kwan Cu, hadapi dia dengan Pai-bun Tui-pek-to! Jangan hanya mengelak saja, lawan dia dan kalahkan dia. Sekarang waktunya untuk menguji kepandaian. Dia ahli gwakang (tenaga luar), awaslah!” kata Ang-bin Sin-kai dengan gembira sekali.

Harimau itu mengaum lalu menubruk dengan kuat sekali. Kwan Cu sudah bersiap sedia. Dengan lincahnya dia melangkah ke kiri, membiarkan tubuh harimau itu menyambar lewat, kemudian memberi pukulan keras ke arah lambung harimau itu. Harimau terjatuh tunggang-langgang sambil menggereng.

Akan tetapi tubuh harimau muda itu terlampau kuat sehingga baginya pukulan Kwan Cu tadi hanya merupakan dorongan kuat belaka, sama sekali tidak melukainya. Ia menubruk lagi dan seperti juga tadi, Kwan Cu menghadapi dengan mengelak sambil memukul atau menendang.

Pertempuran seperti ini berjalan lama. Ang-bin Sin-kai hanya meniup suling seakan-akan mengiringi pertempuran itu dengan lagu perang, akan tetapi matanya memandang penuh perhatian. Akhirnya, sesudah berpuluh kali menubruk tanpa hasil bahkan beberapa kali menerima tendangan atau pukulan, harimau itu menjadi lelah. Demikian pula Kwan Cu. Ia telah mengerahkan benar tenaga untuk memukul dan menendang, akan tetapi sedikit pun tak dapat merobohkan lawannya.

“Kau harus dapat mengalahkan dia!” seru Ang-bin Sin-kai berkali-kali dengan suara tidak puas. Masa muridnya, murid Ang-bin Sin-kai tidak mampu mengalahkan seekor harimau yang masih muda?

Kwan Cu mengerti bahwa apa bila dia melanjutkan perkelahian secara ini, tidak mungkin dapat mengalahkan harimau itu. Maka dia mencari akal dan ketika harimau itu untuk ke sekian kalinya menubruknya, dia lalu mengelak dan menyambar ekor harimau.

Sekuat tenaga dia lantas mengayun tubuh harimau itu dan membantingnya. Akan tetapi karena tubuh harimau itu berat sekali dan dia telah merasa lelah, maka dia terbawa oleh bantingan ini sehingga terpelanting di atas tanah!

Harimau itu nanar seketika, akan tetapi segera berdiri kembali dan melihat tubuh Kwan Cu di dekatnya, dia segera menubruk! Kwan Cu sudah siap dan cepat menggulingkan tubuhnya mengelak, kemudian dia mendahului menerkam dan mencekik leher harimau itu dalam kempitan lengannya yang kecil akan tetapi kuat!

Harimau itu lalu meronta-ronta, akan tetapi Kwan Cu memutar lehernya sehingga kaki harimau tidak dapat mencakarnya. Makin lama harimau itu mejadi semakin lemah dan sebentar lagi dia tentu takkan berdaya.

Tiba-tiba terdengar auman keras sekali dan seekor harimau yang besar sekali keluar dari semak-semak, merunduk dan siap menerkam Kwan Cu yang mencekik anaknya! Ang-bin Sin-kai yang sedang enak-enakan meniup sulingnya saking gembira melihat kecerdikan Kwan Cu mengalahkan lawannya, melihat harimau besar itu, langsung berseru keras dan tubuhnya melayang turun.

Pada saat itu, harimau besar telah melompat menubruk Kwan Cu. Akan tetapi, tiba-tiba tubuhnya terjengkang kembali ke belakang akibat dorongan tangan Ang-bin Sin-kai yang memapakinya di tengah udara! Sekarang pertempuran terpecah menjadi dua. Kwan Cu dengan cepat dapat membuat harimau muda itu pingsan karena tidak dapat bernapas, kemudian anak ini menonton pertempuran antara suhu-nya dan harimau besar.

Bukan main kagum hati Kwan Cu ketika melihat betapa suhu-nya menghadapi harimau itu dengan senjata suling. Ternyata suling yang ditiupnya dengan merdu tadi kini disulap menjadi sebatang senjata yang lihai sekali. Ke mana juga harimau itu menubruk, selalu dia tertotok oleh suling di bentulan lehernya.

Sesudah empat lima kali tertotok suling, harimau itu merasa kesakitan luar biasa dan segera membalikkan tubuh lalu berlari cepat sambil menggereng kesakitan! Sementara itu, harimau muda yang tadi pingsan, juga telah siuman kembali dan kini berlari menyusul harimau besar!

“Suhu, indah sekali permainan suling tadi. Teecu ingin belajar bersilat dengan suling.”

Ang-bin Sin-kai tertawa. “Memang indah dan mudah saja dilihat, akan tetapi jangan kira mudah dipelajarinya. Ketahuilah bahwa semakin sederhana bentuk senjata, makin sukar dipelajarinya dan semakin lihai permainannya. Kelak akan tiba saatnya kau belajar ilmu silat dengan suling.”

Guru dan murid ini lalu melanjutkan perjalanan ke Liang-san. Semenjak mengalahkan harimau muda itu, semangat Kwan Cu menjadi makin besar saja. Dan tiga hari kemudian setelah dia menghabiskan tiga butir pil merah pemberian Hang-houw-siauw Yok-ong, dia merasa kepalanya dingin dan dadanya tenang. Pikirannya makin kuat saja dan kini dia tidak terganggu oleh rasa pening yang sering kali datang di kala dia melatih diri dengan pengendalian napas dalam semedhinya. Dia merasa girang dan Ang-bin Sin-kai berkata sambil menarik napas panjang.

“Karena itulah ketika dulu aku melihat dia memberi pil ini kepadamu, aku cepat menyuruh kau menerimanya. Hang-houw-siauw Yok-ong dulunya adalah seorang tabib istana yang amat terkenal, bukan saja karena ilmu pengobatannya, akan tetapi terutama karena ilmu silatnya yang tinggi dan pribadinya yang luhur. Mungkin sekali tingkat kepandaiannya tak akan menang dari tokoh-tokoh persilatan dari empat penjuru, akan tetapi mengenai ilmu pengobatan dan pribadi mulia, kiraku di dunia ini sukar mencari keduanya!”

“Yang diberikan kepada teecu itu, disebut olehnya Liong-kak Hian-tan (Pil Darah Tanduk Naga), apakah benar-benar terbuat dari pada darah yang berada di tanduk naga, Suhu?”

Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak. “Orang-orang pembuat obat dan masakan sama saja, keduanya seperti orang gila! Untuk memudahkan mereka mengingat namanya dan untuk membuat obat atau masakannya terkenal, mereka itu suka sekali memberi nama yang aneh-aneh! Nama liong (naga) atau burung hong (burung dewata) selalu dibawa-bawa dalam pemberian nama pada obat. Siapa percaya tentang liong kalau belum melihatnya sendiri?”

“Apakah liong itu tidak ada, Suhu?”
“Aku sendiri percaya bahwa naga itu memang ada, hanya terus terang saja aku belum pernah melihat dengan mata sendiri. Memang telah kulihat banyak ular-ular besar sekali, bahkan ada pernah kulihat ular bertanduk lunak di kepalanya, akan tetapi, ular itu tidak berkaki seperti naga yang sering kali disebut-sebut! Betapa pun juga, aku percaya bahwa naga itu memang ada. Kalau tidak ada, kenapa rakyat di empat penjuru bisa melukiskan rupa dan bentuk tubuhnya? Pasti ada, seperti adanya pula burung hong!”
“Kalau begitu, obat Liong-kak Hian-tan itu benar-benar terbuat dari pada darah tanduk naga, Suhu?” kata Kwan Cu dengan suara tetap.

Ang-bin Sin-kai kembali tertawa. “Hal inilah yang meragukan, sebab biar pun kepandaian yang dimiliki oleh Hang-houw-siauw Yok-ong itu cukup lihai, mana dapat dia pergunakan untuk menangkap seekor liong dan mengambil darah dari tanduknya? Sudahlah, hal ini tidak penting, muridku. Yang paling penting adalah kenyataan bahwa obat itu memang kupercaya amat baik bagimu.”

Sesudah sampai di lereng bukit Liang-san di sebelah barat, mereka mulai bertanya-tanya kepada orang kampung mengenai Gui Tin yang di tempat itu dahulu mengaku bernama Gui-lokai.

Beberapa orang sudah ditanya oleh Kwan Cu, akan tetapi tak ada seorang pun mengaku pernah kenal dengan Gui-lokai (pengemis tua Gui).

“Anak bodoh, mengapa kau tanya hanya orang-orang muda saja? Tanyalah kau kepada orang tua, dan wanita pula, karena yang biasa memberi derma kepada para pengemis kebanyakan hanya orang-orang wanita,” kata Ang-bin Sin-kai mencela muridnya.

Kwan Cu menganggap kata-kata suhu-nya benar, maka dia lalu bertanya pada seorang wanita dusun yang sudah agak tua akan tetapi masih rajin sekali bekerja. Wanita ini tengah memikul air bersama beberapa wanita lain.

Kwan Cu merasa tidak enak kalau langsung menghentikan orang yang sedang bekerja, apa lagi nampaknya wanita-wanita itu tergesa-gesa. Maka dia lalu ulurkan tangannya ke arah pundak wanita yang berada di depan dan dalam sekejap mata saja pikulan itu telah berpindah ke atas pundaknya sendiri! Tentu saja wanita itu terkejut dan amat heran, akan tetapi bocah gundul itu tersenyum kepadanya sambil berkata,
“Bibi, aku kasihan melihat kau bersusah payah memikul air yang berat ini. Biar aku yang membawakan ke rumahmu.”

Tentu saja wanita itu girang sekali dan tertawalah dia, memperlihatkan deretan gigi yang jarang dan kecil-kecil.

“Anak baik, terima kasih,” katanya sambil melanjutkan perjalanan di sebelah Kwan Cu.

Dua orang wanita di belakangnya juga memandang heran pada Kwan Cu, bocah gundul yang baik hati itu. Setelah menurunkan pikulan di depan rumah wanita itu, barulah Kwan Cu mengajukan pertanyaan,
“Bibi, pernahkah engkau mengenal seorang pengemis tua di daerah ini yang dipanggil Gui-lokai?”
“Gui-lokai...?” Wanita itu mengerutkan keningnya yang sudah mulai keriputan, “Ah, kakek yang gila itu? Siapa yang tidak mengenalnya? Dia adalah seorang tua yang malas dan gila, tidak mau bekerja, hanya menulis dan membaca saja kerjanya. Baiknya dia masih suka memberi pelajaran kepada beberapa orang anak, akan tetapi pelajaran membaca dan menulis, untuk apakah di dusun ini? Lebih baik belajar mencangkul tanah dari pada menggerakkan pit menulis!”

Bukan main girangnya hati Kwan Cu.

“Tahukah kau di mana adanya dia? Dan di mana tempat tinggalnya ketika dia berada di daerah ini?”
“Tempat tinggalnya? Di mana saja orang mau menerimanya. Kadang-kadang dia bahkan tidur di pinggir sawah, di tempat terbuka. Benar-benar orang aneh. Ehh, anak baik, kau pernah apakah dengan Gui-lokai maka kau mencarinya?”

Pada saat itu, seorang kakek tua yang mendatangi tempat itu mendengar kata-kata ini lalu menyambung,
“Aneh sekali! Baru kemarin sore ada juga dua orang lainnya yang menanyakan tentang Gui-lokai!”

Mendengar ini Kwan Cu merasa terheran.

“Lopek, siapakah mereka yang bertanya tentang Gui-lokai?”
“Seorang hwesio gemuk sekali dan seorang muridnya. Mereka pergi ke batu karang yang berbentuk menara dan berada di lereng barat untuk mencari goa yang dulu ditinggali oleh Gui-lokai,” jawab kakek itu.
“Di manakah batu karang itu, Lopek? Aku pun ingin sekali pergi ke goa tempat tinggal Gui-lokai!” Kwan Cu bertanya cepat-cepat.

Kakek itu ragu-ragu, akan tetapi wanita yang ditolongnya membawa air tadi cepat-cepat menudingkan jari telunjuknya ke arah puncak bukit yang tidak jauh dari situ. “Di sanalah tempatnya. Di sana terdapat sebuah batu karang yang menjulang tinggi, bentuknya mirip seperti menara. Di sekitar tempat itulah adanya goa tempat tinggal Gui-lokai ketika dia masih berada di daerah ini.”

“Terima kasih!” jawab Kwan Cu dan dua orang dusun itu menjadi bengong dan saling pandang ketika tiba-tiba Kwan Cu melompat dan lenyap dari depan mereka.
“Suhu, cepat, Suhu! Ada orang mendahului kita!” kata Kwan Cu ketika dia kembali ke tempat di mana Ang-bin Sin-kai menantinya.
“Siapa orangnya yang mendahului kita?” tanya Ang-bin Sin-kai dengan muka terheran.
“Entahlah, kata orang dusun itu, ada seorang hwesio gemuk dan muridnya juga mencari goa tempat tinggal Gui-siucai!”

Berubah wajah Ang-bin Sin-kai mendengar ini.

“Hemm, jangan-jangan Jeng-kin-jiu dan Lu Thong yang mendahului kita.”
“Mari cepat, Suhu. Goanya berada di puncak itu,” berkata Kwan Cu dan bocah gundul ini mendahului suhu-nya berlari ke arah puncak itu. Ang-bin Sin-kai menyusul dan guru ini pun merasa gelisah kalau-kalau kitab yang dikehendaki oleh muridnya itu sudah dicuri orang lain.

Sebentar saja mereka telah tiba di puncak bukit di mana terdapat batu karang berbentuk menara. Mudah saja mendapatkan goa bekas tempat tinggal Gui Tin, karena goa ini besar dan panjang. Kwan Cu segera membuat obor dan bersama gurunya dia memasuki goa itu.

Tak salah lagi, inilah bekas tempat tinggal Gui-lokai, karena dindingnya banyak terdapat pahatan dan ukiran, tentu Gui Tin mempergunakan waktunya untuk membuat sajak-sajak ini. Kwan Cu mencari terus hingga akhirnya dia mendapatkan lubang di mana tersimpan sebuah peti.

Dengan hati berdebar girang, Kwan Cu mengeluarkan peti itu dan segera membawanya keluar. Setelah tiba di luar, dia membuka peti tadi, akan tetapi tiba-tiba pundaknya di tarik orang dan ternyata suhu-nya yang menarik tadi.

“Hati-hati, Kwan Cu. Keliru sekali kalau berlaku tergesa-gesa seperti itu menghilangkan kewaspadaan. Aku masih bersangsi kenapa Gui-siucai semudah ini menyimpan petinya yang berisikan kitab-kitab yang lebih disayangnya dari pada harta benda lain. Aku sangsi kalau-kalau ada orang yang sudah mendahului kita dan sengaja memasang perangkap. Biarkan aku yang membuka peti ini!”

Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai menggunakan sulingnya untuk mencokel tutup peti dan benar saja dugaannya, begitu tutup peti terbuka, dari dalam menyambar keluar kepala seekor ular kehijauan yang mendesis dan menjulurkan lidahnya.

Kwan Cu tertawa. “Ahh, ular kecil seperti itu saja, apa sih bahayanya?”

Ang-bin Sin-kai mengerutkan keningnya dan memandang tajam kepada Kwan Cu.

“Salah, salah! Sama sekali salah kalau kau memandang rendah soal-soal kecil. Kau mau tahu tentang ular ini? Inilah yang di sebut Jeng-tok-coa (Ular Racun Hijau) yang bisanya jauh lebih berbahaya dari pada seekor ular sendok. Sekali pagut saja, tidak ada obat di dunia ini yang akan menyembuhkan dan menolong orang yang dipagutnya! Biar pun kau sendiri yang sudah mempunyai darah penolak racun di tubuhmu, agaknya akan bergulat dengan maut apa bila tadi kau membuka peti dan kena digigit oleh ular ini!”

Mendengar ini, Kwan Cu meleletkan lidahnya saking kaget dan ngerinya. Sekarang ular itu bergerak-gerak dan gerakannya betul-betul cepat sekali sehingga dapat dibayangkan kalau ular ini menyerang orang.

Ang-bin Sin-kai menggerakkan sulingnya. Sekali terbentur suling, pecahlah kepala ular itu, mengeluarkan lendir berwarna hijau yang berbau amis keharum-haruman dan yang membuat kepala menjadi pening ketika hidung mencium bau itu.

Ang-bin Sin-kai segera mengangkat peti itu menjauhi bangkai ular, kemudian barulah dia memperkenankan Kwan Cu memeriksa isi peti. Peti itu ternyata terisi banyak buku-buku tebal dan kuno.

Dengan jari-jari tangan gemetar saking menahan gelora hatinya, Kwan Cu memeriksa buku-buku itu satu demi satu. Buku-buku sajak, buku-buku tentang bintang-bintang dan kitab-kitab kebatinan yang amat kuno. Tetapi tidak ada sebuah pun kitab sejarah tentang Im-yang Bu-tek Cin-keng!

“Heran sekali..., kitab yang dimaksudkan Gui-sianseng itu tidak ada... !” kata Kwan Cu setelah untuk kelima kalinya dia membuka dan memeriksa lagi buku-buku itu satu demi satu.
“Hemm, benar ada orang yang mendahului kita,” kata Ang-bin Sin-kai, “kau lihat di sana itu!”

Kwan Cu segera memandang dan dapat melihat bayangan dua orang berlari cepat sekali menuruni gunung itu. Bayangan seorang berkepala gundul yang gemuk bundar bersama seorang anak laki-laki yang sebaya dengan dia!

“Keparat!” Kwan Cu memaki dan hendak mengejar. Akan tetapi Ang-bin Sin-kai menahan dan memegang pundaknya.

Tiba-tiba Kwan Cu membalikkan tubuhnya dan memandang kepada suhu-nya dengan mata basah dan muka pucat.

“Suhu, kau benar-benar tidak adil dan berat sebelah!” katanya dengan tangan terkepal.
“Ketika Suhu memberi pelajaran Ilmu Silat Kong-jiu Toat-beng (Dengan Tangan Kosong Merenggut Nyawa) kepada Lu Thong, teecu sudah tahu bahwa betapa pun juga, Suhu lebih memberatkan keluarga sendiri! Sekarang terbuktilah dugaan teecu. Sudah terang yang mencuri kitab dari Gui-siucai adalah Lu Thong dan gurunya, akan tetapi Suhu tidak mengejar mereka, bahkan melarang teecu mengejar. Suhu, sesungguhnya Suhu hendak berlaku bagaimanakah terhadap murid?”

Mendengar ucapan Kwan Cu yang sifatnya menegur dan menuntut ini, sepasang mata Ang-bin Sin-kai mengeluarkan cahaya berkilat.

“Tutup mulutmu! Bila sekali lagi kau berkata demikian terhadapku, betapa pun besar rasa sayangku kepadamu dan betapa pun baiknya bakatmu untuk menjadi muridku, kau akan kutinggalkan! Tuduhanmu hanya karena terdorong oleh rasa iri hati dan putus asa. Iri hati melihat aku menurunkan Kong-jiu Toat-beng kepada Lu Thong, perasaan iri hati yang tak berdasar. Dia adalah cucu luarku, kenapa aku tidak boleh memberi sesuatu kepadanya? Dan kau putus asa melihat kitab peninggalan Gui-siucai dicuri orang. Juga perasaan putus asa ini bodoh sekali. Kau tadi melihat sendiri betapa ilmu lari cepat hwesio gundul itu hebat sekali, tidak kalah olehku? Dikejar pun tidak akan ada gunanya, karena mereka sudah meninggalkan kita. Aku masih ragu-ragu... apakah betul Jeng-kin-jiu yang mencuri kitab itu, Si Gundul dari selatan itu tidak demikian hebat lari cepatnya. Aku lebih condong menduga kepada Hek-i Hui-mo!”

Kwan Cu menjatuhkan diri berlutut di hadapan gurunya. “Ampunkan kelancangan mulut teecu, Suhu. Sesungguhnya, teecu bingung sekali melihat kitab itu sudah tidak ada lagi. Bagaimana kita harus berbuat sekarang, Suhu?”

“Tenanglah dan kita perlahan-lahan menyelidiki siapakah orangnya yang sudah mencuri kitab itu. Bukankah kau dulu bilang bahwa kitab itu ditulis dalam bahasa kuno yang sukar dimengerti dan yang hanya diajarkan mendiang Gui-siucai kepadamu?”
“Memang benar, Suhu. Akan tetapi siapa tahu kalau orang lain yang dapat membacanya. Menurut mendiang Gui-sianseng, pujangga-pujangga besar seperti Tu Fu dan Li Po pasti bisa membacanya. Hwesio gundul tadi terlalu jauh dari kita hingga sukar untuk mengenal mukanya, akan tetapi teecu yakin bahwa dia tentulah Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu.”
“Bagaimana kau bisa memastikannya?”
“Karena hanya Jeng-kin-jiu yang memiliki seorang murid laki-laki sebesar teecu. Setahu kita, Hek-i Hui-mo tidak mempunyai murid.”

Ang-bin Sin-kai mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku pun berpikir demikian. Namun, masih terlalu pagi untuk menuduh tanpa bukti. Sebaiknya kita menyusul ke kota raja dan bertanya terang-terangan kepada Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu!”

Kwan Cu girang sekali karena ternyata bahwa suhu-nya benar-benar mau membantunya merampas kembali kitab itu. Mereka lalu berangkat dengan cepat, turun dari Liang-san menuju ke kota raja untuk mencari Jeng-kin-jiu yang mereka sangka telah mencuri kitab sejarah peninggalan Gui Tin.

Di dalam perjalanan menuju ke kota raja, mereka melalui kota Po-keng yang ramai dan terkenal sebagai tempat berkumpulnya para sastrawan dan orang-orang gagah.

“Kita mampir dulu ke rumah Kwa-pangcu (Ketua she Kwa), dia seorang sahabatku yang baik,” kata Ang-bin Sin-kai kepada Kwan Cu.

Yang disebut Kwa-pangcu oleh Ang-bin Sin-kai adalah Kwa Ok Sin, yakni seorang ahli silat Bu-tong-pai yang di samping memiliki ilmu pedang yang lihai, juga terkenal sebagai seorang ahli sastra terkemuka. Kwa Ok Sin atau Kwa-pangcu merupakan ketua dari perkumpulan Bun-bu-pang (Perkumpulan Ahli Silat dan Sastrawan) yang didirikan oleh para ahli sastra dan ahli-ahli silat di seluruh daerah Po-keng. Kwa Ok Sin dipilih karena memang dia memenuhi syarat, tidak saja ahli dalam bun (sastra), akan tetapi juga tinggi ilmu kepandaiannya dalam bu (silat).

Kwa Ok Sin yang memang keturunan kaya raya, amat besar rumahnya dan gedung ini selain dijadikan tempat tinggalnya, juga menjadi rumah perkumpulan Bun-bu-pai. Papan nama yang tergantung di depan rumahnya benar-benar amat indah.

Papan itu berukir dan berukuran besar sekali, ditulis dengan huruf-huruf yang amat indah dan gagah ‘RUMAH PERKUMPULAN BUN BU PAI’. Hal ini tidak mengherankan, karena sebagai perkumpulan ahli sastra, tentu saja tulisannya juga hebat!

Tak seorang pun di kota Po-keng yang tidak mengenal rumah ini, karena perkumpulan Bun-bu-pai memang dihormati oleh setiap orang. Bahkan dengan adanya perkumpulan ini, di daerah Po-keng bersih dari pada semua penjahat. Penjahat manakah berani main gila di kedung naga dan goa harimau?

Karena itu, tidak mengherankan apa bila nama Bun-bu-pai di Po-keng ini amat terkenal dan namanya dipuji-puji hingga jauh di luar daerah Po-keng. Bahkan, pujangga-pujangga besar dan ternama semacam Li Po dan Tu Fu sendiri tidak jarang datang berkunjung ke Bun-bu-pai untuk bercakap-cakap dengan Kwa Ok Sin dan para anggota lain. Juga para locianpwe, ahli-ahli silat tingkat tinggi dari seluruh Tiongkok apa bila lewat Po-keng selalu memerlukan untuk mampir.

Sungguh sangat kebetulan sekali, ketika Ang-bin Sin-kai dan Kwan Cu tiba di Po-keng, Bun-bu-pai tengah penuh dengan para anggotanya. Hari itu dari berbagai tempat mereka sengaja datang berkumpul sebab ada beberapa hal yang amat penting dan mesti mereka rundingkan. Bahkan banyak tokoh-tokoh dari jauh datang mengunjungi pertemuan itu.

Kwan Cu dan gurunya berdiri di depan gedung Bun-bu-pai, dan Kwan Cu amat kagum melihat papan nama yang ditulis amat indah itu.

“Alangkah indahnya tulisan itu, Suhu,” kata bocah gundul itu dengan kagum.

Ang-bin Sin-kai tersenyum. “Apa sih indahnya tulisan macam itu? Marilah kita masuk dan kau akan melihat tulisan yang jauh lebih indah dari pada ini.”

Mereka masuk melalui pintu gerbang dan ketika tiba di ruang depan, benar saja. Di sana tergantung tulisan-tulisan dan lian-lian (tulisan berpasangan dan merupakan sajak indah) yang ditulis dengan indah sekali dalam berbagai-bagai bentuk.

Selama hidup belum pernah Kwan Cu menyaksikan sekumpulan tulisan demikian indah, baik gaya mau pun isinya, maka tiada bosannya dia membaca dan menikmati tulisan itu satu demi satu. Hal ini memang tidak mengherankan oleh karena yang tergantung di situ adalah hasil karya pujangga-pujangga terkemuka. Bahkan Tu Fu dan Li Po sendiri pun menyumbang ruangan ini dengan tulisan-tulisan dan sajak-sajak mereka!

Tidak seperti rumah perkumpulan lainnya, di situ tidak ada penjaga. Memang, siapakah orangnya yang akan berani mencuri atau membikin ribut di tempat ini? Karena itu tidak perlulah diadakan penjagaan.

Ketika Kwan Cu sedang enak-enak dan asyiknya membaca tulisan-tulisan itu, tiba-tiba terdengar suara halus, “Anak baik, sekecil ini sudah dapat menghargai tulisan baik!”

Pada saat Kwan Cu menengok, dia melihat seorang laki-laki tinggi tegap berusia kurang lebih empat puluh tahun dan sungguh pun pakaiannya seperti seorang ahli silat, namun gerak-geriknya sangat halus dan sopan. Orang itu kini menghadapi Ang-bin Sin-kai, lalu menjura dan berkata,

“Sungguh kebetulan sekali Ang-bin Sin-kai locianpwe datang berkunjung. Memang kami sedang berkumpul dan ada sesuatu yang hendak disampaikan kepada Locianpwe.”

Ang-bin Sin-kai tertegun. Orang yang menyambutnya ini adalah Kwa Ok Sin sendiri, sang ketua dari Bun-bu-pai. Biasanya, tidak beginilah sambutan Kwa-pangcu yang sudah lama menjadi sahabat baiknya. Sambutan kali ini mengapa begini dingin dan pada wajah ketua ini seakan-akan terbayang kekurang senangan dan juga kegelisahan?

“Selamat bertemu, Kwa-pangcu! Apakah gerangan yang telah terjadi?”
“Silakan masuk saja dan kau orang tua akan mendengarnya sendiri nanti,” Kwa-pangcu menjawab dengan muka masih tetap dingin dan beberapa kali dia melirik ke arah Kwan Cu seakan-akan dia pernah mendengar sesuatu mengenai bocah gundul yang pandai membaca sajak itu.

Ang-bin Sin-kai lalu memberi tanda kepada muridnya untuk masuk ke dalam. Di ruang ke dua, Kwan Cu kembali kagum sekali melihat lukisan-lukisan indah tergantung di dinding, ada pun di bawah terdapat tempat senjata penuh dengan senjata-senjata persilatan yang delapan belas macam banyaknya. Senjata-senjata yang ada di situ semuanya terdiri dari senjata-senjata pilihan belaka, sehingga bukan hanya Kwan Cu, bahkan Ang-bin Sin-kai sendiri memandang sambil mengeluarkan suara pujian.

Akhirnya tibalah mereka di dalam ruang tengah. Ruang ini luas sekali, dan di sana telah berkumpul lebih dari dua puluh orang. Melihat orang-orang ini Kwan Cu tertegun.

Sesungguhnya memang aneh karena tempat itu dipenuhi orang-orang yang berpakaian beraneka macam. Ada yang mirip seorang sastrawan dan bersikap lemah lembut sekali, ada yang berpakaian seperti ahli silat atau guru silat, bahkan ada pula pendeta-pendeta dan hwesio kepala gundul atau tosu-tsou yang rambutnya digelung di atas kepala.

Pendeknya, di tempat ini berkumpul ahli-ahli sastra dan ahli-ahli silat yang agaknya tidak memiliki kepandaian kepalang tanggung. Sikap mereka saja sudah menjelaskan bahwa baik ahli sastra mau pun ahli silat yang berkumpul di sana rata-rata memiliki kepandaian yang sudah tinggi tingkatnya di bidangnya masing-masing.

Baik nama mau pun orangnya, Ang-bin Sin-kai sudah amat terkenal di antara para tokoh persilatan dan sastrawan itu. Akan tetapi, jika biasanya mereka menyambut kedatangan Ang-bin Sin-kai dengan muka girang dan kata-kata ramah, adalah pada saat itu tidak ada seorang pun yang berdiri dari tempat duduknya dan hanya memandang dengan sinar mata dingin.

Tentu saja Ang-bin Sin-kai menjadi heran dan tidak enak hati sekali, akan tetapi dia tetap bersikap tenang dan mengambil tempat duduk di atas sebuah bangku, lalu memandang ke kanan kiri menentang pandang mata semua orang yang duduk di situ. Pandang mata Ang-bin Sin-kai sangat tajam dan berpengaruh, karena itu siapa pun juga yang bertemu pandang dengan dia, lalu menundukkan muka atau mengalihkan pandang matanya.

Kwa-pangcu duduk kembali ke bangkunya yang berada di kepala meja. Di kanan kirinya duduk dua orang tokoh besar yang sudah amat terkenal, yakni sebelah kiri adalah Pouw Hong Taisu, ketua dari Thian-san-pai yang berilmu tinggi. Ada pun di sebelah kanannya duduk Bin Kong Siansu, seorang tokoh besar ketua Kim-pan-sai.

Diam-diam Ang-bin Sin-kai sudah merasa amat heran melihat dua orang tokoh besar ini, karena tidak biasanya ketua-ketua dari Thian-pan-sai dan Kim-pan-sai duduk di tempat ini. Tidak mungkin kehadiran mereka itu hanya hal yang kebetulan saja, sebab apa bila memang begitu, tentu dua orang kakek itu telah menyambutnya dengan ramah sebagai orang-orang segolongan yang bertemu jauh dari tempat kediaman masing-masing.

“Cu-wi sekalian, karena ada saudara yang baru datang, maka kuharap soal-soal penting yang tadi telah dibicarakan, diulangi lagi laporannya,” Kwa Ok Sin berkata dengan suara kereng.

Semua orang kemudian menyatakan setuju. Dari ujung kiri berdirilah seorang muda yang nampaknya gagah. Dia adalah Lie Seng, anak murid Go-bi-pai yang memiliki kepandaian cukup tinggi dan sudah terkenal sebagai seorang pendekar muda yang banyak menolong rakyat.....

Karena semua orang telah mendengar penuturannya, kini Lie Sieng memandang kepada Ang-bin Sin-kai dan berkata,
“Tadi sudah siauwte ceritakan bahwa kemarin hari ketika siauwte bersama pujangga Tu Fu, tiba-tiba ada seorang tinggi gemuk yang berkepala gundul, malam-malam datang dan menculik Tu-siucai. Gerakan orang itu cepat sekali dan ketika siauwte berusaha untuk menolong Tu-siucai, dengan sekali dorong saja siauwte roboh tak sadarkan diri. Karena cepatnya gerakan orang itu, siauwte tak sempat mengenal mukanya, hanya tahu bahwa kepalanya gundul dan pakaiannya seperti pakain pendeta. Tubuhnya gemuk sekali.”
“Apakah bajunya hitam semua?” tiba-tiba Ang-bin Sin-kai bertanya.

Lie Seng menggelengkan kepalanya. “Entahlah, karena sebelum menyerang, orang itu melambaikan tangan ke arah lampu yang menjadi padam seketika.”

Kwa Ok Sin berdiri kemudian berkata, “Demikianlah persoalan pertama yang kita hadapi. Ternyata bahwa Tu-siucai telah diculik orang jahat yang lihai, entah dengan maksud apa. Karena kita semua sudah mengenal Tu-siucai sebagai seorang sastrawan yang berjiwa gagah, maka sudah menjadi kewajiban kita semua untuk menggunakan kepandaian dan mencoba menolong Tu-siucai dari tangan orang jahat.”

Warta ini menggirangkan hati Kwan Cu. Tanpa dapat ditahan lagi dia berkata dengan suaranya yang kecil nyaring.
“Penculiknya pasti Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu!”

Semua orang terkejut.

“Ehh, anak gundul, bagaimana kau berani menuduh Kak Thong Taisu?” terdengar suara keras dan yang membentak ini adalah Pouw Hong Taisu ketua dari Thian-san-pai yang semenjak tadi memandang kepada Ang-bin Sin-kai dengan mata membenci.

Tak senang hati Kwan Cu mendengar suara yang galak ini, maka dia menjawab dengan suara kasar juga. “Karena hanya si gundul itulah yang mempunyai alasan untuk menculik seorang sastrawan besar!”

“Diam kau, Kwan Cu!” Ang-bin Sin-kai menegur.

Ketika guru dan murid ini saling bertemu pandang, tahulah Kwan Cu akan kesalahannya sendiri. Ia maklum bahwa urusan Im-yang Bu-tek Cin-keng ini tidak perlu diketahui oleh orang lain, maka dia lalu menundukkan muka dan menutup mulut.

“Muridku ini memang panjang lidah,” kata Ang-bin Sin-kai kepada semua orang.
“Tuduhannya tadi hanya kira-kira saja, karena memang muridku sudah pernah melihat Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu yang berkepala gundul dan bertubuh gendut. Betapa pun juga, aku akan pergi ke kota raja untuk menyelidiki apakah benar-benar Jeng-kin-jiu yang menculik Tu-siucai.”
“Syukurlah, memang sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk menyelidiki dan coba menolong Tu-siucai,” kata Kwa Ok Sin, kemudian dia berpaling kepada Pouw Hong Taisu ketua Thian-san-pai sambil berkata,
“Karena masalah pertama telah dibicarakan, maka lebih baik sekarang Taisu menuturkan lagi persoalan kedua yang Taisu bawa jauh-jauh dari Thian-san!” Sambil berkata begini, Kwa Ok Sin lalu duduk kembali dan kini semua mata memandang kepada Pouw Hong Taisu yang sudah bangkit berdiri dengan muka merah.

Pouw Hong Taisu bertubuh jangkung, mukanya lonjong dan rambutnya yang digelung di atas kepala itu masih hitam sekali sungguh pun usianya tak kurang dari lima puluh tahun. Di punggungnya kelihatan gagang sepasang golok, karena memang tokoh Thian-san-pai in terkenal sekali sebagai seorang ahli ilmu silat siang-to (sepasang golok).

“Cu-wi sekalian, sesungguhnya bukan hanya pinto (aku) seorang saja yang membawa persoalan ini seperti yang telah kuceritakan tadi. Soal yang kubawa juga persoalan dari sahabatku Bin Kong Siansu dari Kim-san-pai. Kami mempunyai persoalan yang sama, karena muridnya dan murid pinto sudah terbunuh mati oleh seorang saja.” Sampai di sini Pouw Hong Taisu memandang kepada Ang-bin Sin-kai dengan mata bernyala. Agaknya orang tua ini sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi.

Pouw Hong Taisu lantas menggebrak meja dan aneh sekali. Cawan arak yang tadinya disuguhkan kepada Ang-bin Sin-kai dan berada di hadapan Pengemis Sakti ini, tiba-tiba mencelat ke atas tinggi sekali. Benar-benar hebat demonstrasi tenaga lweekang dari tokoh Thian-san-pai ini, karena begitu banyak cawan arak di atas meja, namun begitu dia menggebrak meja yang mencelat hanyalah cawan arak milik Ang-bin Sin-kai saja, tepat seperti dikehendakinya!

Melihat ini, terkejutlah Ang-bin Sin-kai karena dia maklum bahwa orang sedang marah kepadanya. Akan tetapi dengan tenang sekali dia mengulur tangan menerima kembali cawannya dan meletakkannya lagi di hadapannya.

“Tenang, Pouw Hong Taisu, ceritakanlah dengan jelas persoalannya lebih dahulu, jangan marah-marah seperti anak kecil!” kata Ang-bin Sin-kai untuk melampiaskan kedongkolan hatinya.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa dari Bin Kong Siansu yang juga sekarang telah berdiri di dekat Pouw Hong Taisu. Tokoh Kim-san-pai ini lalu berkata mengejek.

“Pinto merasa heran sekali melihat ketenanganmu, Ang-bin Sni-kai! Kau bahkan masih dapat memberi nasihat kepada Pouw Hong Taisu untuk berlaku tenang. Sungguh berani mati dan tak tahu malu sekali!”

Sambil melontarkan kata-kata ini, Bin Kong Siansu mengerakkan tangan kanannya ke arah cawan arak di depan Ang-bin Sin-kai dan...

“Praaaakk!”

Cawan itu pecah berkeping-keping seperti telah dipukul dengan palu besi! Padahal yang menyerang cawan arak itu hanya angin pukulan tangan saja dari Bin Kong Siansu. Dari sini saja sudah dapat diukur sampai bagaimana hebatnya kepandaian tokoh Kim-san-pai ini.

Kwan Cu tertawa geli mendengar ucapan suhu-nya. Dia tadi sudah menyaksikan sikap kedua orang tosu itu, dan sudah mendengar pula kata-kata mereka, maka karena selama ini dia selalu berada dengan suhu-nya dan merasa yakin bahwa suhu-nya tidak pernah melakukan hal yang tidak patut, dia dapat menduga bahwa tentu terjadi kesalah fahaman dari fihak mereka.

Oleh karena ini, anak ini pun merasa tenang-tenang saja, bahkan ada kegembiraan di dalam hatinya. Dia bahkan mengharapkan agar suhu-nya dapat bertanding melawan dua orang jago tua dari Kim-san-pai dan Thian-san-pai itu agar di dalam pertempuran yang hebat, dia mendapat pemandangan yang bagus dan penambahan pengalaman!

“Bin Kong dan Pouw Hong dua tua bangka yang sudah pikun. Apa sih harganya untuk main-main seperti ini? Lebih baik kau bicara terus terang, sebetulnya ada urusan apakah maka kalian seperti kemasukan setan dan marah-marah padaku?” kata Ang-bin Sin-kai sambil memandang kepada dua orang tosu itu.

“Pengemis busuk, kau masih berpura-pura tidak tahu? Kau sudah membunuh mati Ong Kiat, murid yang pinto tahu betul belum pernah melakukan pelanggaran dan yang selalu bersikap sebagai seorang pendekar yang patut menjadi kebanggan Thian-san-pai. Akan tetapi, mengapa kau seorang tua yang sudah mendapat nama baik malah menurunkan tangan kejam dan membunuhnya? Tak perlu banyak cakap lagi, sekarang kebetulan kau datang sehingga memudahkan pinto untuk membalas dendam dan menagih hutang. Kini bersiaplah! Mari kita mengadu nyawa, tua sama tua, jangan hanya berani mengganggu orang-orang muda!” Sambil berkata begitu, tokoh Thian-san-pai ini mencabut sepasang goloknya yang ternyata berwarna kebiruan menyilaukan mata.

Inilah sebuah tantangan terbuka dan kini semuanya memandang ke arah Ang-bin Sin-kai untuk melihat bagaimana tokoh besar dari timur itu bersikap. Akan tetapi Ang-bin Sin-kai masih bersikap tenang dan kini kakek pengemis ini memandang kepada Bin Kong Siansu sambil berkata,

“Bin Kong Siansu, baru saja Pouw Hong Taisu dari Thian-san-pai sudah melontarkan tuduhannya. Agar dapat sekaligus membereskan persoalan ini, cobalah kau menuturkan pula tentang muridmu yang katanya kubunuh itu.”

Melihat sikap Ang-bin Sin-kai, Bin Kong Siansu merasa ragu-ragu, akan tetapi akhirnya dia menjawab juga.

“Benar-benarkah kau tidak tahu atau hanya berpura-pura, Ang-bin Sin-kai? Seperti juga murid Pouw Hong Taisu, muridku, atau lebih tepat cucu muridku yang bernama Pek-cilan Thio Loan Eng yang menjadi isteri dari Ong Kiat anak murid Thian-san-pai, juga terbunuh olehmu secara sewenang-wenang? Karena itu, sekarang engkau pun harus menghadapi sebatang pedangku untuk menentukan siapa yang harus membayar nyawa muridku!” Bin Kong Siansu lalu menggerakkan tangan kanannya dan tahu-tahu sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kuning emas telah berada di tangannya.

Tiba-tiba terdengar orang menjerit dan Kwan Cu sudah melompat maju menghadapi Bin Kong Siansu.

“Siapa bilang Thio-toanio mati? Bohong! Bohong semua! Thio-toanio tidak mati...!”
“Hmm, anak gundul, otakmu sudah agak miring rupanya. Kami sendiri telah menyaksikan kuburan dari Thio Loan Eng. Dia dibunuh oleh gurumu, kau masih mau main sandiwara untuk menutupi kedosaan gurumu?!” Bin Kong Siansu membentak diikuti tangan kirinya menyambar menempiling kepala Kwan Cu yang gundul.

Gerakan itu cepat sekali sehingga meski pun Kwan Cu mengelak, tetap saja dia terkena kemplangan tangan kiri tosu itu. Tubuh Kwan Cu mencelat dan bergulingan menabrak meja kursi, akan tetapi anak ini tidak apa-apa, lalu bangkit berdiri lagi.

“Thio-toanio mati...? Terbunuh...? Ahhh, Suhu, kita harus membalaskan sakit hatinya...” katanya setengah menangis sambil menghampiri suhu-nya.
“Bocah lancang, kau diamlah saja, jangan turut campur,” kata Ang-bin Sin-kai menghibur.

Kakek ini maklum bahwa mendengar tentang kematian Pek-cilan, kesedihan muridnya mungkin masih lebih besar dari pada kesedihan dan kemarahan Bin Kong Siansu, tokoh Kim-pan-sai itu.

“Bin Kong dan Pouw Hong, apa kalian berdua menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa aku membunuh murid-murid kalian?” tanya Ang-bin Sin-kai.
“Apa bila kami melihat dengan mata kepala sendiri, apakah kau kira masih dapat hidup sampai sekarang?!” bentak Pouw Hong Taisu marah.

Ketua Thian-san-pai ini memang wataknya sedikit sombong. Berbeda dengan Bin Kong Siansu yang agak jeri menghadapi Ang-bin Sin-kai, ketua Thian-san-pai ini menganggap kepandaian sendiri akan dapat mengatasi kepandaian Pengemis Sakti Muka Merah.

“Kalau begitu, siapakah yang memberi tahu kepada kalian bahwa aku sudah membunuh murid kalian?”

Bin Kong Siansu dan Pouw Hong Taisu saling pandang, kemudian Bin Kong Siansu yang menjawab,

“Ang-bin Sin-kai, kami mendengar dari seorang yang boleh dipercaya benar-benar, dan kami sudah bersumpah tidak akan memberitahukan namanya kepada siapa pun juga.”
”Hm, hem, hemm, jadi kalian percaya penuh kepadanya?”
“Tentu saja kami percaya! Dia orang terhormat, tidak seperti engkau!” Pouw Hong Taisu membentak sambil melangkah maju dengan sepasang goloknya siap untuk menyerang.

Bersinar sepasang mata Ang-bin Sin-kai. “Kalau aku bilang bahwa aku tidak membunuh murid-muridmu, apakah kalian tidak percaya padaku?”

Bin Kong Siansu ragu-ragu, akan tetapi Pouw Hong Taisu membentak,
“Siapa bisa percaya kepada seorang yang telah membunuh mati muridku?”

Akan tetapi Bin Kong Siansu lalu cepat-cepat berkata, “Ang-bin Sin-kai! Orang yang telah memberi tahukan mengenai pembunuhan itu adalah seorang yang ternama dan dia telah bersumpah. Maka apa bila kau juga mau bersumpah bahwa kau tidak membunuh anak muridku, aku Bin Kong Siansu berjanji hendak menyelidiki lebih lanjut urusan ini.”

Ang-bin Sin-kai makin marah. Ia menggebrak meja di depannya dan empat kaki meja itu melesak ke dalam sampai setengahnya, akan tetapi semua cawan arak yang berada di atas meja tidak ada satu pun yang terguling!

“Kalian percaya omonganku atau tidak, habis perkara! Kalian kira aku ini orang macam apakah? Kalian percaya, bagus. Tidak percaya pun boleh, siapa pusing? Hayo Kwan Cu, kita pergi!”

Ang-bin Sin-kai menggandeng tangan muridnya, bangkit meninggalkan bangkunya. Akan tetapi sebelum dia meninggalkan ruangan itu, tiba-tiba menyambar tubuh dua orang dan tahu-tahu Bin Kong Siansu dan Pouw Hong Taisu telah berdiri menghadang di depannya.

“Jembel pembunuh! Enak saja kau mau minggat dari hukuman mati!” bentak Pouw Hong Taisu yang langsung menyerang dengan sabetan sepasang goloknya yang kebiruan.
“Kwan Cu, menyingkir ke sana!” kata Ang-bin Sin-kai.

Secepat kilat kaki kanan Ang-bin Sin-kai menendang pantat muridnya sehingga tubuh Kwan Cu mencelat seperti bal karet ke pojok ruangan di mana terdapat tumpukan meja yang agaknya memang kelebihan dan ditumpuk di situ supaya tidak memenuhi ruangan. Sambil berpoksai dan berjumpalitan dengan gerakan Koai-liong Hoan-sin (Naga Siluman Balikkan Badan), bocah gundul itu lalu mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga dia dapat turun ke atas meja itu dengan baik, lalu menonton dengan enaknya!

Ada pun Ang-bin Sin-kai yang menghadapi sabetan sepasang golok dari kanan dan kiri, berlaku tenang akan tetapi cepat sekali. Ia maklum akan kelihaian ilmu golok dari ketua Thian-san-pai ini, maka melihat dua sinar kebiruan menyambar dari kanan kiri mengarah leher dan perut, dia lalu menggenjot tubuhnya mencelat mundur menghindarkan diri.

“Ang-bin Sin-kai, makanlah golokku!” Pouw Hong Taisu mengejar sambil menghujankan serangan bertubi-tubi yang kesemuanya amat berbahaya.

Permainan golok kakek Thian-san-pai ini memang sangat hebat. Tingkat kepandaiannya sudah mencapai puncak, maka sepasang goloknya itu menyambar-nyambar merupakan sepasang tangan maut. Nampak dua gulungan sinar biru yang terang sekali bergulung-gulung mengepung tubuh Ang-bin Sin-kai!

Melihat permainan golok ini, Kwan Cu menjadi kagum sekali dan dia memuji dari tempat duduknya yang tinggi.

“Bagus, bagus! Sinar golok yang bagus sekali!”

Anak ini terlalu percaya terhadap suhu-nya sehingga seruannya tadi sama sekali tidak tercampur rasa kekhawatiran terhadap keselamatan gurunya. Dalam hal ini dia memang benar, karena betapa pun hebat ilmu golok dari tokoh Thian-san-pai itu, namun gerakan Ang-bin Sin-kai lebih hebat dan cepat lagi.

Kakek ini nampaknya seperti tengah menari-nari di antara gulungan sinar biru itu. Yang membuat Kwan Cu menjadi bengong dan kagum adalah ketika dia mendapat kenyataan bahwa dalam menghadapi sepasang golok tokoh dari Thian-san-pai itu, suhu-nya hanya mempergunakan Ilmu Silat Pai-bun Tui-pek-to (Atur Pintu Tahan Ratusan Golok) yang telah dia pelajari!

Ahhh, betapa tadinya dia memandang rendah ilmu silat tangan kosong ini! Betapa buta matanya yang menganggap gurunya berat sebelah karena telah memberi pelajaran Ilmu Silat Kong-jiu Toat-beng (Dengan Tangan Kosong Mencabut Nyawa) kepada Lu Thong. Dan sekarang dia menyaksikan dengan matanya sendiri betapa ilmu silat yang telah dia pelajari dengan baik itu, yakni Pai-bun Tui-pek-to, ternyata oleh gurunya telah dimainkan dan dapat dipergunakan untuk menghadapi amukan Pouw Hong Taisu dengan sepasang goloknya!

Pada saat dia memperhatikan permainan kedua tangan dan kaki suhu-nya, dia menjadi makin heran. Pai-bun Tui-pek-to yang dimainkan oleh suhu-nya itu sama sekali tidak ada bedanya dengan permainannya sendiri, bahkan gerakan suhu-nya itu nampaknya terlalu lambat. Bagaimana dapat dipergunakan untuk menghadapi lawan yang begitu tangguh?

Ketika dia mencurahkan perhatiannya, barulah dia tahu. Setiap kali senjata golok Pouw Hong Taisu menyambar, kalau suhu-nya tidak sempat lagi untuk mengelak, suhu-nya lalu menggunakan tangan untuk dipukulkan ke arah golok itu dan benar-benar heran sekali, golok itu selalu terpukul oleh angin keras sehingga menjadi mencong dan menyeleweng arahnya!

Ia maklum bahwa dalam mainkan Pai-bun Tui-pek-to, perbedaan antara dia dan gurunya adalah bahwa gurunya hanya bergerak dengan perhitungan yang tepat sekali menunggu perkembangan serangan lawan. Tiap gerakan suhu-nya bukan hanya gerakan percuma, melainkan gerakan yang penuh isi, tak mau bergerak dengan sia-sia atau untuk selingan belaka. Maka bocah gundul ini mengangguk-anggukkan kepalanya dan tahulah dia kini akan arti kata-kata suhu-nya yang sering menyatakan bahwa semua ilmu silat itu lihai, tergantung orang yang menggerakkan atau memainkannya!

Setelah ‘mengukur’ tingkat ilmu golok dari Thian-san-pai itu, Ang-bin Sin-kai sudah dapat menguras semua gerakan ilmu golok ini dan diam-diam Pengemis Sakti ini mencatat di dalam hatinya beberapa gerakan golok yang dianggapnya luar biasa serta sangat baik untuk dijadikan penambah pengetahuan ilmu silatnya.

Beginilah sikap seorang jagoan besar. Di dalam setiap pertempuran menghadapi lawan tangguh dia selalu membuka matanya untuk memetik beberapa gerakan yang baik dari lawannya. Dengan sikap seperti ini maka tokoh-tokoh besar dunia persilatan selalu makin tinggi saja kepandaiannya dan semakin tenar namanya.

Kalau Ang-bin Sin-kai mau, sebetulnya dengan mudah saja dia akan dapat merobohkan Pouw Hong Taisu. Akan tetapi betapa pun juga, tokoh besar dari timur ini dahulunya adalah seorang sastrawan. Maka masih ada sifat-sifat sopan dan halus di dalam dirinya dan dia merasa tidak seharusnya dia merobohkan tokoh pertama dari Thian-san-pai di hadapan orang banyak.

Selain hal ini akan menjatuhkan nama Pouw Hong Taisu, juga akan menimbulkan akibat dendam dan bibit permusuhan dengan partai Thian-san-pai yang besar. Lagi pula, ketua Thian-san-pai ini menyerang dirinya karena menduga bahwa dia membunuh anak murid Thian-san, karena itu tidak seharusnya ketua ini dirobohkan. Ia hanya mau merobohkan seorang yang memang jahat dan ketua Thian-san-pai ini biar pun agak keras kepala dan sombong, namun sekali-kali bukan orang jahat!

“Pouw Hong Taisu, biarlah pinto menggantikanmu menghadapi Ang-bin Sin-kai!” tiba-tiba Bin Kong Siansu berkata keras.

Pedangnya berubah menjadi sinar yang panjang dan gemerlapan, mengalahkan cahaya sepasang golok ketua Thian-san-pai itu. Ternyata bahwa tokoh dari Kim-san-pai itu telah turun tangan menyerang Ang-bin Sin-kai dengan hebatnya.

Tadi dia telah menyaksikan kehebatan Ang-bin Sin-kai dan tahu bahwa kawannya itu tak akan dapat menangkan Pengemis Sakti yang benar-benar amat luar biasa itu. Ia sendiri pun masih sangsi apakah dia akan sanggup mengalahkan Ang-bin Sin-kai, akan tetapi karena dia tidak boleh memperlihatkan kelemahannya, dia sengaja maju sebelum Pouw Hong Taisu dirobohkan untuk menolong kawan ini.

Akan tetapi Pouw Hong Taisu benar-benar berhati keras. Walau pun dia maklum bahwa lawannya ini lihai sekali dan sukarlah baginya untuk menang, akan tetapi kalau mundur, berati dia mengalah atau kalah.

“Tidak, Bin Kong Siansu. Aku harus menjatuhkan pengemis ini!” jawabnya dan sepasang goloknya langsung diputar semakin hebat dalam gerakan-gerakan terlihai dari ilmu golok Thian-san-pai.
“Ha-ha-ha, tua bangka pikun. Majulah kalian berdua, mari kita tua sama tua main-main sebentar!” Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak.

Tiba-tiba tubuhnya lenyap dan berubah menjadi bayangan yang cepat sekali gerakannya menyambar-nyambar di antara sinar golok dan pedang! Baru kini kakek ini menunjukkan kelihaiannya.

Tidak saja dua orang pengeroyoknya yang sangat terkejut karena seakan-akan mereka berdua mengeroyok sesosok bayangan setan, akan tetapi juga Kwan Cu duduk dengan bengong karena matanya yang terlatih masih tidak mampu mengikuti gerakan suhu-nya yang demikian cepatnya! Sekarang dia betul-betul melihat suhu-nya dengan kepandaian yang sesungguhnya, yang membuat hatinya berdebar bangga dan kagum.

Tiba-tiba Kwan Cu merasa tubuhnya terikat oleh sesuatu yang kuat sekali dan sebelum dia sempat memberontak, tubuhnya sudah terlempar naik ke atas melalui genteng yang sudah dilobangi dan nyeplos terus ke atas genteng! Ketika dia membuka matanya yang terheran-heran, ternyata dia telah berdiri di depan Kiu-bwe Coa-li dan Bun Sui Ceng!

“Ehh..., apa artinya ini...?” tanyanya sambil memandang muka Sui Ceng yang manis dan kini bersinar seperti sepasang bintang pagi.
“Artinya, jika aku tak memerlukanmu, pada saat ini juga aku tentu sudah menghancurkan batok kepalamu yang gundul ini sebab ternyata kau adalah seorang penipu cilik, seorang pembohong pandai yang kurang ajar sekali!”

Kwan Cu memandang kepada nenek sakti itu dengan kedua matanya dibuka lebar-lebar. “Eh, ehh, ehhh…! Suthai, mengapakah datang-datang marah besar kepada teecu? Apa kesalahanku?”

“Kau tahu tempat kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli, mengapa dahulu tidak mau memberi tahu kepadaku?”
“Itulah rahasiaku sendiri, Suthai. Kenapa harus dibuka kepada orang lain? Dan aku yang menutup rahasiaku sendiri, Suthai anggap pembohong dan penipu? Dalam hal apakah teecu membohong dan perbuatan mana pula yang merupakan penipuan?”

Dilawan dengan amat tabah oleh bocah gundul ini, Kiu-bwe Coa-li tertegun dan tak dapat menjawab!

“Sudahlah tak perlu banyak cakap. Sekarang kau harus ikut pinni dan membawa pinni ke tempat disimpannya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, kalau kau masih ingin hidup lebih lama lagi di dunia ini. Kalau kau menolak, sekarang juga kuhancurkan batok kepalamu.”
“Teecu masih mau hidup karena di dalam hidup teecu masih ada dua hal yang harus teecu penuhi, yakni pertama mempelajari Im-yang Bu-tek Cin-keng, dan kedua kalinya, membalaskan sakit Thio-toanio yang telah terbunuh orang!” Sambil berkata demikian, dia memandang kepada Sui Ceng.

Anak perempuan ini tiba-tiba mengucurkan air matanya dan membalas pandangan Kwan Cu dengan penuh arti. “Terima kasih, Kwan Cu, akan tetapi aku sendiri yang kelak akan menghancurkan kepala si keparat Toat-beng Hui-Houw!” kata Sui Ceng.

“Apa...?! Pembunuh ibumu Toat-beng Hui-houw?” muka Kwan Cu menjadi girang sekali. “Dan suhu di bawah dikeroyok orang karena disangka suhu yang membunuh ibumu!”

Mendengar ini, Kiu-bwe Coa-li langsung menotok pundak Kwan Cu yang segera menjadi lemas tak berdaya lagi!

“Sui Ceng, cepat bawa bocah gundul ini ke luar kota dan tunggulah aku di pingggir hutan sebelah utara. Biar aku lebih dahulu membereskan Ang-bin Sin-kai si manusia pelanggar sumpah!”

Sui Ceng mengangguk dan dia segera memondong Kwan Cu dan meloncat pergi! Biar pun seluruh tubuhnya lumpuh, namun panca indera Kwan Cu masih bekerja baik, maka kagumlah dia melihat kemajuan ilmu lari Sui Ceng yang walau pun menggendongnya, masih dapat berlari dengan ringan dan cepat sekali.

Ada pun Kiu-bwe Coa-li setelah melihat Sui Ceng membawa Kwan Cu pergi jauh, lalu menyambar turun ke dalam ruangan di mana Ang-bin Sin-kai masih dikeroyok dengan hebat oleh dua orang kakek tua Kim-san-pai dan Thian-san-pai.

Menghadapi ilmu pedang Kim-san-pai yang betul-betul ganas dan gerakannya amat kuat, Ang-bin Sin-kai menjadi kagum dan gembira. Tak mungkin lagi baginya untuk main-main seperti tadi ketika menghadapi Pouw Hong Taisu seorang, karena kini keroyokan kedua orang tokoh besar itu benar-benar tidak boleh dipandang ringan begitu saja.

Oleh karena itu, begitu tubuhnya berkelebatan untuk menghindari serangan lawan, ia pun mulai membalas dengan pukulan-pukulannya yang sangat lihai. Beberapa kali dia hampir saja berhasil memukul runtuh senjata lawan, akan tetapi kedua orang kakek yang cukup mengenal kelihaiannya, bertempur dengan hati-hati dan saling membantu.

“Tar! Tar! Tar!”

Pada saat itu tiba-tiba saja terdengar bunyi nyaring sekali dan tahu-tahu sembilan sinar menyambar ke arah medan pertempuran! Inilah pecut ekor sembilan dari Kiu-bwe Coa-li yang telah turun tangan. Bagai sembilan ekor ular sakti, bulu-bulu cambuk itu melayang-layang dan setiap helai merupakan senjata maut yang luar biasa lihainya.

Pada saat itu, karena kini Ang-bin Sin-kai membalas serangan kedua orang lawannya, Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu mencurahkan seluruh perhatian pada serangan Ang-bin Sin-kai dan tidak bisa menjaga datangnya ‘ular-ular hidup’ ini. Maka tanpa dapat dicegah pula, sepasang golok di tangan Pouw Hong Taisu serta pedang di tangan Bin Kong Siansu, gagangnya telah terkena libatan bulu-bulu cambuk dan ditarik oleh Kiu-bwe Coa-li sehingga senjata-senjata itu terlepas dari pegangan!

Ada pun Ang-bin Sin-kai, biar pun dia menghadapi keroyokan dua orang yang lihai, tetapi memang tingkat kepandaiannya masih jauh lebih tinggi, maka kedatangan Kiu-bwe Coa-li ini dia ketahui baik-baik. Apa lagi saat terdengar bunyi bergeletar tadi, tahulah dia bahwa senjata istimewa dari Kiu-bwe Coa-li telah beraksi. Ia tidak berani lengah dan ketika tiga helai bulu cambuk menyambar ke arahnya, dia segera menggulingkan tubuhnya sambil menghantamkan kedua tangannya ke arah tubuh Kiu-bwe Coa-li!

Ang-bin Sin-kai sengaja mengerahkan tenaga membalas dengan pukulan maut, karena tiga helai bulu cambuk tadi pun menyerangnya dengan maksud membunuh. Dia merasa heran dan juga marah mengapa datang-datang Kiu-bwe Coa-li hendak membunuhnya, sedangkan terhadap dua orang tokoh Kim-san-pai dan Thian-san-pai itu, iblis wanita ini hanya merampas senjata mereka saja.

Pukulan yang dilancarkan Ang-bin Sin-kai mengandung hawa yang dahsyat sekali dan biar pun jarak antara Ang-bin Sin-kai dan Kiu-bwe Coa-li ada tiga tombak, namun nenek sakti itu merasakan datangnya hawa pukulan yang menyambar ke arah lambung dan ulu hatinya! Terpaksa ia menarik cambuknya sambil melompat ke kanan menghindarkan diri dan dengan demikian, dia gagal menyerang Ang-bin Sin-kai, namun berhasil merampas senjata-senjata Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu!

Ketua Kim-pan-sai dan ketua Thian-san-pai menjadi marah sekali. Akan tetapi mereka juga amat terkejut menyaksikan kelihaian nenek sakti yang dikenal baik namanya namun belum pernah disaksikan kepandaiannya itu.

“Suthai, apakah maksud kedatanganmu ini dan mengapa kau mencampuri urusan kami?” kata Pouw Hong Taisu dengan mata bernyala merah.

Kiu-bwe Coa-li menjebikan bibirnya dengan mengejek, “Hemm, tua bangka tak tahu diri! Kalau aku tidak datang turun tangan, apakah kau kira akan dapat mengalahkan Ang-bin Sin-kai? Ada dua hal yang mengharuskan aku turun tangan. Pertama, karena kalian telah menyerang orang yang tidak berdosa, ke dua, karena aku sendiri yang akan memberi hajaran pada Ang-bin Sin-kai, si manusia pelanggar sumpah!”

“Kiu-bwe Coa-li!” Pouw Hong Taisu membentak marah, “Kau tidak tahu, pengemis jahat ini telah membunuh murid-murid kami!”
“Bodoh, kalian tua bangka-tua bangka bodoh! Pembunuh Pek-cilan Thio Loan Eng dan Ong Kiat bukanlah Ang-bin Sin-kai, melainkan Toat-beng Hui-houw dan hal ini pinni (aku) telah menyaksikan sendiri!”

Mendengar kata-kata ini, tentu saja dua orang tokoh persilatan itu kaget sekali dan muka mereka menjadi pucat. Mereka telah melakukan kesalahan luar biasa besarnya terhadap Ang-bin Sin-kai dan hal itu bukan urusan yang kecil saja. Akan tetapi pada saat mereka menengok kepada Ang-bin Sin-kai, orang tua ini hanya tersenyum-senyum saja.

“Nah, terimalah senjata-senjatamu kembali, kalau kalian tidak bisa menerima dan binasa karenanya, jangan salahkan aku, anggap saja sebagai hukumanmu!” kata Kiu-bwe Coa-li dan begitu ia menggerakkan cambuknya, sepasang golok itu terlepas dan meluncur ke arah Pouw Hong Taisu sedangkan pedang itu meluncur ke arah Bin Kong Siansu!

Luncuran ini hebat sekali, cepatnya melebihi anak panah ada pun tenaganya melebihi tusukan seorang ahli silat! Kedua ketua Kim-san-pai dan Thian-san-pai itu terkejut sekali.

Dengan gerakan Monyet Sakti Memetik Bunga, Bin Kong Siansu dapat mengelak ke kiri dan tangannya menyambut pedangnya sendiri pada gagangnya. Dia berhasil menerima pedangnya itu akan tetapi dia merasa telapak tangannya pedas sekali.

Yang lebih hebat adalah Pouw Hong Taisu karena tosu ini menghadapi serangan dari sepasang goloknya yang meluncur ke arah tenggorokan, akan tetapi tangan kirinya agak terlambat menyambar yang meluncur ke lambung. Terpaksa dia melemparkan tubuh ke kiri sehingga golok itu meluncur terus mengancam seorang tamu muda yang duduk di belakangnya!

Keadaan amat berbahaya bagi tamu muda itu, akan tetapi tiba-tiba tubuh Ang-bin Sin-kai berkelebat dan sekali tendang saja, golok itu terlempar ke atas dan menancap pada tiang melintang di atas hingga separuhnya. Gagang golok itu bergoyang-goyang, tanda bahwa luncuran tadi amat kuatnya!

Pouw Hong Taisu menjadi pucat, demikian pula semua tamu. Ternyata bahwa gedung Bun-bu-pang telah kedatangan dua orang tamu yang mempunyai kepandaian luar biasa sekali.

Walau pun mereka sudah mendengar dan mengenal Ang-bin Sin-kai dan Kiu-bwe Coa-li sebagai tokoh-tokoh besar yang tiada taranya, akan tetapi baru hari ini mereka kebetulan bisa menyaksikan kepandaian mereka yang betul-betul hebat. Keringat dingin mengucur pada jidat mereka, terutama sekali Bin Kong Siansu dan Pouw Hong Taisu yang sudah merasa bersalah terhadap Ang-bin Sin-kai yang mereka tuduh secara keji sekali.

Kini Kiu-bwe Coa-li menghadapi Ang-bin Sin-kai. Sepasang matanya menyatakan bahwa nenek sakti ini sedang marah bukan main.

“Ang-bin Sin-kai, pengemis hina dina. Kau benar-benar berjiwa pengemis rendah dan tidak merasa jijik untuk menelan ludah sendiri yang sudah kau keluarkan di atas lumpur busuk! Orang lain boleh kau bodohi begitu saja, akan tetapi pinni tidak sudi kau tipu!” sambil berkata demikian Kiu-bwe Coa-li menggerakkan cambuknya dan sembilan helai bulu cambuk itu mengancam sembilan jalan darah di tubuh Ang-bin Sin-kai!

Ang-bin Sin-kai kaget sekali menghadapi serangan yang hebat ini. Ia sebenarnya terkejut bukan karena jeri melainkan heran kenapa iblis wanita ini betul-betul menyerang dengan niat membunuh. Kesalahan apakah yang sudah diperbuatnya? Agaknya hari ini dia sial benar-benar, semua orang menuduhnya yang bukan-bukan dan menghendaki jiwanya!

Menghadapi Kiu-bwe Coa-li jauh sekali bedanya dengan menghadapi keroyokan Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu, karena dia maklum bahwa nenek ini benar-benar lihai dan sangat berbahaya. Cepat Ang-bin Sin-kai menggunakan ginkang-nya untuk mencelat mundur sehingga bulu-bulu cambuk yang panjang itu tidak sampai mengenai tubuhnya.

Ia mengangkat kedua tangan sambil berkata keras, “Eh, ehh, ehhh, nanti dulu, Kiu-bwe Coa-li! Kau agaknya tidak lebih waras dari dua orang yang menyerang aku tadi. Katakan lebih dulu kenapa kau menganggap aku si tua bangka ini sebagai si pelanggar sumpah?”

“Bagus, jembel siluman masih hendak berputar lidah! Mengakulah bahwa kau dahulu pernah bersumpah tidak akan mempergunakan Lu Kwan Cu untuk mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Betul tidak?”
“Betul,” jawab Ang-bin Sin-kai dengan suara tenang.

Kiu-bwe Coa-li tersenyum mengejek. “Dan bila mana kau melanggar sumpahmu itu, kau bersumpah akan mampus seperti anjing, betulkah?”
“Memang begitulah kira-kira bunyi sumpahku.”

Mata kiu-bwe Coa-li mendelik. “Jahanam! Dan sekarang kau ternyata bersama Kwan Cu mencari kitab peninggalan Gui Tin untuk mencari tahu di mana disimpan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng! Karena itu, kau harus mampus seperti anjing di bawah cambukku.” 

Terbelalak mata Ang-bin Sin-kai memandang nenek sakti itu. “Eh, ehh, ehhh, nanti dulu. Dari manakah kau bisa mengetahui semua ini?”

“Semua orang sudah tahu. Empat tokoh besar di seluruh penjuru sudah tahu, mengapa aku tidak?”
“Kiu-bwe Coa-li, siluman perempuan yang galak. Memang betul Kwan Cu mencari kitab peninggalan itu atas pesanan mendiang Gui-siucai, apakah hubungannya dengan aku? Ingat, sumpahku adalah apa bila aku mempergunakan dia mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Kini soalnya lain lagi, bukan aku yang mencari, melainkan anak itu. Dia berhak mendapatkannya, karena bukankah dia hanya memenuhi pesanan terakhir dari gurunya yakni Gui-suicai?”
“Bohong! Kau sengaja memutar balikkan kenyataan untuk menutupi kesalahanmu. Apa kau takut mampus?”

Ang-bin Sin-kai mulai marah. “Kiu-bwe Coa-li, alangkah sombongmu. Kau kira aku takut kepadamu? Kau boleh menuduh apa pun juga, aku tidak takut dan kau mau apa?”

“Bangsat tua, mampuslah!” Kiu-bwe Coa-li menggerakkan cambuknya.
“Tar! Tar! Tar!”

Cambuknya berbunyi keras sekali sehingga semua orang yang berkumpul di situ menjadi jeri dan tak terasa pula segera mindur mepet ke tembok, takut kalau-kalau terkena ujung cambuk yang lihai itu.

Kiu-bwe Coa-li mengamuk seperti iblis. Ujung cambuknya kalau mengenai bangku, maka pecahlah bangku itu seperti dibacok kapak tajam. Sengaja dia menggunakan cambuknya menangkap meja dan bangku, lalu dilontarkannya meja bangku itu ke pinggir sehingga sibuklah orang-orang yang berada di situ untuk mengelak dari hujan bangku yang tadi mereka duduki.

Yang celaka adalah kaum sastrawan, karena berbeda dengan kaum persilatan yang bisa menangkis atau mengelak, mereka ini tertimpa meja serta bangku sehingga menderita benjol!

Ruangan yang luas itu kini bersih dari meja dan bangku, dan tanpa membuang waktu lagi, Kiu-bwe Coa-li serentak menyerang dengan cambuknya. Ang-bin Sin-kai yang tahu kelihaian lawan tidak mau berlaku sembrono menghadapinya dengan tangan kosong.

Memang biasanya kakek ini tidak pernah mempergunakan senjata dalam pertempuran menghadapi siapa pun juga. Akan tetapi karena dia tahu bahwa cambuk dari Kiu-bwe Coa-li amat berbahaya, sekarang dia mencabut suling pemberian dari Hang-houw-siauw Yok-ong untuk menangkis.

Pertempuran antara kedua orang tokoh besar ini berlangsung amat hebatnya. Biar pun orang-orang yang berkumpul di situ telah berdiri mepet pada tembok, namun sambaran angin yang keluar dari cambuk dan kedua tangan Ang-bin Sin-kai masih terasakan oleh mereka yang membuat rambut dan pakaian mereka berkibar dan kulit terasa dingin!

Suara yang mengiringi pertempuran ini pun terdengar amat mengerikan. Tidak saja suara bersiutnya bulu-bulu cambuk yang sembilan helai banyaknya itu diselingi dengan suara menjetar yang menulikan telinga, juga suara dari suling yang dimainkan oleh Ang-bin Sin-kai menimbulkan suara angin yang mengerikan. Karena suling ini digerakkan secara cepat sekali, angin yang memasuki lubang-lubang suling menimbulkan suara bagaikan seekor binatang buas menangis.

Semua orang bergidik mendengar suara-suara ini dan kaburlah pandangan mata mereka melihat betapa bayangan dua orang tokoh besar itu lenyap sama sekali. Di ruangan itu kini hanya terlihat gulungan sinar yang tak tentu ujudnya, yang bergerak-gerak ke sana ke mari sehingga sukar untuk diduga siapa yang menang siapa yang kalah.

Melihat cara Kiu-bwe Coa-li mainkan cambuknya, Ang-bin Sin-kai merasa terkejut bukan main. Pernah dia menyaksikan permainan cambuk lawannya ini, yaitu dulu ketika mereka berebutan kitab palsu Im-yang Bu-tek Cin-keng dan biar pun dia sendiri belum pernah menghadapi Kiu-bwe Coa-li, namun dia sudah dapat mengukur kelihaian lawan ini. Akan tetapi sekarang permainan cambuk itu sudah maju dengan pesat sekali. Berat dan aneh.

Tiba-tiba dia teringat akan tenaga lweekang yang pernah didapat bocah gundul itu dalam mempelajari lweekang dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu. Maka mengertilah dia bahwa entah dengan cara bagaimana, iblis wanita ini sudah pula mempelajari ilmu lweekang dari kitab palsu itu!

Menduga tentang ini, otomatis Ang-bin Sin-kai menoleh ke arah tumpukan meja di mana tadi dia melemparkan Kwan Cu supaya terhindar dari pada gangguan lawan. Alangkah kagetnya ketika dia tidak melihat muridnya berada di situ. Ia sudah tahu akan ketaatan muridnya ini dan tak mungkin Kwan Cu berani pergi dari situ tanpa perkenannya. Tentu telah terjadi sesuatu dengan anak itu.

Pikiran ini membuat Ang-bin Sin-kai marah sekali dan tiba-tiba dia berseru keras sekali. Begitu kedua tangannya bergerak dia telah dapat memegang tiga helai bulu pecut dan direnggutnya sekuat tenaga!

Kiu-bwe Coa-li sangat terkejut dan cepat dia mempergunakan bulu pecut yang lain untuk dipukulkan ke arah kepala Ang-bin Sin-kai. Dia maklum bahwa untuk lain orang, sekali pukulan dengan ujung sehelai bulu pecut saja sudah cukup untuk merobohkan lawan. Akan tetapi menghadapi Ang-bin Sin-kai, belum tentu dia mampu merobohkan kakek ini dengan semua bulu pecutnya dirangkap menjadi satu kalau tidak mengenai bagian yang penting seperti ubun-ubun kepala!

Ang-bin Sin-kai marah sekali dan begitu dia menarik, tiga helai bulu pecut itu copot! Akan tetapi serangan enam helai bulu pecut sudah menyambar ubun-ubun kepalanya, maka cepat-cepat dia mengelak sambil miringkan tubuhnya. Betapa pun cepat gerakannya, dia terlambat dan beberapa helai bulu pecut masih mengenai pundaknya yang menimbulkan rasa sakit dan ngilu.

Dia mengerahkan tenaga lweekang untuk melawan pecutan ini dan tubuhnya mendadak menubruk maju dengan kedua tangan dipentang. Ternyata dalam kemarahannya Ang-bin Sin-kai sudah mengeluarkan tipu serangan yang sangat berbahaya, yakni pukulan yang disebut Pukulan Ombak Mengamuk! Kakek muka merah ini telah dapat menangkap dan meniru inti pukulan serangan ombak terhadap batu karang pada waktu dia masih suka bermain-main dengan ombak di pinggir Laut Po-hai!

Kiu-bwe Coa-li berseru kaget ketika hawa pukulan lawan membuat semua bulu pecutnya terpental kembali dan membuat tubuhnya terhuyung ke belakang! Ia kembali berseru dan tiba-tiba tubuhnya melayang naik untuk menghindari serangan lawan.

Kesempatan itu dipergunakan oleh Ang-bin Sin-kai untuk melompat naik dan nyeplos dari genteng yang sudah berlubang, di atas meja di mana tadi Kwan Cu berada. Ia maklum bahwa muridnya keluar dari tempat ini.

“Kwan Cu...!” Ia berteriak di atas genteng sambil memandang ke kanan dan kiri. Namun keadaan di situ sunyi saja, tak nampak bayangan seorang pun manusia.
“Kwan Cu...! Hai... Kwan Cu bocah gundul, kau di mana?!” kembali kakek ini berseru memanggil sambil mengerahkan tenaga khikang-nya sehingga seruan ini tentu akan bisa terdengar oleh Kwan Cu seandainya anak itu berada dalam jarak beberapa lie saja dari tempat itu.

Dan memang betul, Kwan Cu dapat mendengar suara gurunya yang memanggil ini, akan tetapi dia tidak berdaya karena dia telah lumpuh dan pada saat itu dia rebah di bawah pohon ditunggu oleh Bun Sui Ceng yang mendongeng kepadanya tentang Pek-cilan Thio Loan Eng yang terbunuh oleh Toat-beng Hui-houw!

“Jangan kau khawatir, Kwan Cu. Biar pun kelihatan galak, guruku berhati mulia dan kau pasti tak akan diganggunya, asal saja kau mau memberi petunjuk kepadanya bagaimana untuk mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng,” kata Sui Ceng kepada bocah gundul itu.

Ada pun Ang-bin Sin-kai, setelah memanggil beberapa kali dan tidak mendapat jawaban, menjadi semakin gelisah dan bingung. Ia berpikir sejenak dan timbul dugaannya bahwa Kwan Cu tentu telah diculik oleh Kiu-bwe Coa-li pada saat dia masih dikeroyok oleh dua Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu! Akan tetapi, siapa tahu kalau-kalau anak itu bersembunyi di dalam rumah?

Ia lalu melompat kembali turun ke tengah ruangan itu dan dia tidak melihat lagi bayangan Kiu-bwe Coa-li. Orang-orang yang berada di situ tadi melihat Ang-bin Sin-kai melayang naik melalui atap yang bolong, dan Kiu-bwe Coa-li setelah mengeluarkan suara tertawa yang nyaring dan mendirikan bulu tengkuk, lalu berkelebat pergi dari pintu. Semua orang menahan napas. Dan sekarang melihat Ang-bin Sin-kai melayang turun kembali, mereka memandang penuh perhatian.

“Di mana adanya muridku?” tanya Ang-bin Sin-kai kepada mereka.

Tak seorang pun menjawab.

“Hai...! Tulikah kalian semua? Di mana adanya Kwan Cu muridku yang tadi duduk di atas tumpukan meja itu?”

Bin Kong Siansu dan Pouw Hong Taisu melangkah maju. Dua orang kakek ini segera merangkap dua tangan dan memberi hormat dengan muka nampak malu dan menyesal.

“Muridmu sudah diambil oleh Kiu-bwe Coa-li ketika kau tadi bertempur melawan kami,” kata Pouw Hong Taisu dengan suara menyesal. “Semua adalah kesalahan kami, Ang-bin Sin-kai dan kami mohon maaf sebanyaknya. Benar-benar tadi kami semua berlaku amat buruk terhadapmu. Maaf, maaf...,” kata Bin Kong Siansu dengan hati tidak enak sekali.

“Marah, menyesal! Ahh, orang-orang seperti kalian masih bisa diombang-ambingkan oleh perasaan dan nafsu, sungguh lucu dan menggelikan sekali!” kata Ang-bin Sinkai gemas. “Ehh, orang she Kwa, apakah kau pun tidak malu menjadi ketua Bun-bu-pang?” Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai lalu melompat pergi meninggalkan rumah perkumpulan Bun-bu-pang itu. Semua orang saling pandang dan menghela napas.

“Biarlah hal ini merupakan pelajaran bagi kita sekalian,” kata Kwa Ok Sin sambil menarik napas panjang. “Lain kali kita harus berlaku hati-hati sekali dalam memutuskan sesuatu urusan, harus melakukan penyelidikan sedalam-dalamnya dan tidak percaya begitu saja kata-kata orang lain.”

Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu menjadi merah mukanya. Diam-diam mereka mengutuk Hek-i Hui-mo, karena sebenarnya Hek-i Hui-mo yang membakar hati mereka dan Hek-i Hui-mo yang memberi tahu mereka bahwa Ang-bin Sin-kai yang membunuh murid-murid mereka.

“Kiu-bwe Coa-li, hati-hati kau! Apa bila sampai kau ganggu muridku, aku Ang-bin Sin-kai belum mau mati sebelum mencabuti sembilan ekormu,” sepanjang jalan Ang-bin Sin-kai berkata begini meski pun hatinya tak begitu mengkhawatirkan akan keadaan muridnya.

Ia tahu bahwa Kiu-bwe Coa-li menculik Kwan Cu ada maksudnya, yakni hendak mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Akan tetapi oleh karena kitab sejarah peninggalan Gui Tin yang dapat memberi petunjuk di mana adanya kitab sakti itu telah dicuri orang, tentu Kwan Cu akan berkata terus terang dan Kiu-bwe Coa-li tentu akan berusaha merampas kembali kitab sejarah yang tercuri.

“Betulkah Jeng-kin-jiu yang telah mencurinya? Tak salah lagi, karena Kwan Cu menduga Jeng-kin-jiu, tentu Kiu-bwe Coa-li akan menyusul pendeta gundul gendut itu ke kota raja. Hemm, tiada jalan lain, aku pun harus menyusul ke sana. Betapa pun juga, kitab sejarah itu tidak boleh terjatuh ke dalam tangan orang lain, harus menjadi milik Kwan Cu yang memang berhak.”

Setelah mengambil keputusan begini, Ang-bin Sin-kai lalu berlari cepat menuju ke kota raja…..

********************
Pada masa itu yang menjadi kaisar kerajaan dari Kerjaan Tang adalah Kaisar Hian Tiong yang terkenal sebagai seorang yang doyan pelesir. Kaisar ini selalu tenggelam dalam kesenangan, memelihara banyak sekali selir yang cantik-cantik, setiap hari menghibur diri di tengah-tengah selir-selirnya sambil melihat tari-tarian dan nyanyian merdu, sama sekali tidak mau peduli akan pemerintahannya dan juga tidak mau peduli akan keadaan rakyat jelata yang banyak menderita.

Istana-istana indah dan megah dibangun di mana-mana, menghamburkan banyak uang yang mengalir masuk dari hasil keringat rakyat petani. Istana-istana indah di mana selalu dihias dengan perabot-perabot mahal dan juga ‘perabot-perabot hidup’ berupa dara-dara jelita yang dikumpulkan dari berbagai daerah!

Tidak mengherankan jika pujangga besar Tu Fu menjadi naik darah dan sedih juga ketika pada suatu hari di musim dingin dia pulang dari perjalanan dari Tiang-san dan melewati Bukit Li-shan. Di situ, yaitu di puncak Bukit Li-shan di mana terdapat sebuah di antara istana-istana kaisar yang disebut Istana Hwa Ceng, Tu Fu mendengar bahwa kaisar Hian Tiong sedang berpesta pora, berpelesir mendengarkan musik dan nyanyian, menonton tari-tarian dan bersenang-senang dengan para selirnya.

Teringatlah Tu Fu akan keadaan rakyat jelata yang sangat sengsara dan menderita di dalam angin dingin dan kelaparan, rakyat yang menggeletak kelaparan dan kedinginan di atas jalan-jalan raya di Tiang-san. Maka menulislah pujangga patriot ini kata-kata yang sampai kini masih dihargai oleh seluruh rakyat.

Di belakang pintu gerbang
merah indah cemerlang
anggur dan daging berlebih-lebihan
hingga masak membusuk!

Di luar pintu gerbang
Kotor sunyi melengang
Berserakan tulang rangka
Sisa korban dingin dan lapar!

Memang, Kaisar Hian Tiong terlalu banyak mengumbar kesenangan jasmani atau boleh juga disebut terlalu menurutkan nafsu hewan. Di dalam istana di kota raja, selirnya tidak terhitung banyaknya, terdiri dari gadis-gadis cantik jelita yang didatangkan dari berbagai daerah.

Ada yang memang diserahkan oleh orang tuanya dengan hati bangga, akan tetapi tidak kurang pula yang didapatkan oleh kaisar dengan jalan keras, yaitu dengan paksaan dan sebagian besar adalah ‘hadiah’ yang diberikan oleh para pembesar untuk mengambil hati sang junjungan. Yang paling hebat, di antara sekian banyaknya selir itu, ada pula yang tadinya telah menjadi isteri orang, yang direnggut dari suaminya untuk dipaksa melayani kaisar, orang terbesar di dalam negeri, orang yang dianggap sebagai ‘Pilihan Tuhan’!

Di antara para selirnya ini, terdapat seorang wanita muda yang amat cantik jelita. Kaisar pernah tergila-gila kepada selirnya ini yang diberinya nama Bi Lian atau Teratai Jelita kepada selirnya ini. Untuk menggambarkan betapa cantiknya Bi Lian, seorang ahli sajak di dalam istana atas perintah kaisar telah membuatkan sajak pujian kepada Bi Lian yang ditempel di kamar selir cantik ini. Beginilah sajak itu,

Rambut panjang hitam dan halus.
Melebihi kehalusan benang sutera.
Diikal menjadi mahkota hidup.
Terhias bunga cilan dengan dua kuncup
Sisir emas jadi penahan,
Sedap, wangi, semerbak harum!
Wajah indah jelita berbentuk telur
Berkulit halus dan betapa putihnya,
Putih kuning seperti susu.
Dua alis melengkung hitam
Menghias sepasang mata burung hong.
Kering tajam lunak menikam kalbu
Hidung kecil mancung berbentuk sempurna
Bagaikan ukiran batu kemala.
Mulut kecil mungil, merah membasah
Di balik bibir manis
Tersembunyi gigi mutiara!
Tubuh ramping
Mengalahkan batang yang-liu (cemara)
Tertiup angin
Melenggak-lenggok mempesona
Tangan kaki kecil mungil
Seperti kuncup bunga,
Setiap gerakan
Menyedapkan pandangan mata
Di dalam dunia memang banyak wanita jelita
Namun siapakah dapat menyamai bunga istana
Teratai Jelita (Bi Lian) kekasih raja?

Namun cinta kasih seorang laki-laki seperti Kaisar Hian Tiong tidak bertahan lama, tidak tahan uji. Hanya dicinta dan dipuja kala masih baru. Setiap kali berganti kekasih, datang yang baru lupa yang lama. Demikian pun halnya dengan Bi Lian. Belum cukup setahun menjadi kekasih kaisar yang paling dicinta, kaisar mulai bosan dan kini jarang lagi datang ke kamarnya.

Semenjak dibawa dengan paksa ke kota raja dan menjadi penghuni harem kaisar, remuk redamlah hati Bi Lian. Dia telah memiliki seorang tunangan, seorang pemuda terpelajar yang sedianya menjadi suaminya. Akan tetapi nasib buruk menimpa dirinya dan dari kota Hang-ciu ia dibawa secaa paksa, bagai seekor domba muda dibawa ke penjagalan untuk di sembelih!

Dengan hati hancur dia harus melayani segala kehendak kaisar yang sangat buas dalam pandangannya itu. Memang tadinya dia agak terhibur ketika dirinya dihujani benda-benda mahal dan indah, ketika dia hidup dalam kemewahan, selalu dilayani oleh para pelayan. Akan tetapi, setelah kaisar mulai bosan dengan dia, dia lalu teringat kembali kepada Can Kwan tunangannya. Dia merasa rindu bukan main, dan setiap hari dia menangis di dalam kamarnya.

Pada malam hari itu, seperti biasa Bi Lian duduk di dalam kamarnya seorang diri. Sore tadi pelayannya datang dan hendak memandikannya serta membereskan pakaian dan rambutnya seperti biasa. Namun Bi Lian menolak dan menyuruh pelayan itu mundur.

Dia duduk termenung dalam kamarnya, mendengarkan suara tetabuhan yang dibunyikan orang di bagian lain dari istana yang luas itu. Bunyi suling dan yang kini membuat hatinya semakin hancur dan berduka. Dia memandang ke arah sajak pujian untuk dirinya yang tergantung dekat pembaringannya. Bunyi sajak itu bahkan membuat Bi Lian terharu dan sedih, mengingatkan dia akan sajak yang pernah dibacanya dahulu.

Aduh sayang, setangkai mawar indah
terbawa hanyut oleh air bah!
Air buas mengalir terus tanpa peduli
mawar yang malang
tertinggal di atas lumpur!

Teringat akan bunyi sajak ini, tak terasa pula dua titik air mata bagaikan dua butir mutiara menitik turun di atas sepasang pipinya yang putih halus kemerahan.

“Can Kwan...” keluh-kesah yang berkali-kali dibisikkan oleh hati wanita muda itu sekarang keluar dari bibirnya, merupakan keluh kesah yang amat menyayat hatinya, dan tak dapat ditahan lagi berderailah air matanya.
“Cui Hwa...” tiba-tiba saja terdengar suara panggilan perlahan dari luar jendelanya yang menembus ke dalam taman bunga yang sengaja dibuat oleh kaisar di luar kamarnya atas permintaannya beberapa bulan yang lalu.

Bi Lian terkejut bukan main. Nama Cui Hwa adalah nama aslinya sebelum ia dibawa ke istana kaisar dan nama ini hampir setahun tidak pernah disebut orang. Namanya sudah berganti menjadi Bi Lian. Maka dapat dibayangkan betapa heran dan terkejutnya ketika ia mendengar nama lama itu disebut orang. Terutama sekali yang membuatnya terkejut adalah suara itu! Suara orang yang tak pernah dapat dilupakannya, bahkan suara orang yang pada saat itu sedang memenuhi pikiran dan hatinya... Can Kwan!

Seperti dalam mimpi, Bi Lian atau Cui Hwa berjalan menghampiri jendela dan membuka jendela itu. Sesosok bayangan orang melompat masuk dan dengan cepat telah berada di dalam kamar Bi Lian. Wanita ini memandang dan...

“Can Kwan...!” serunya sambil berdiri memandang dengan mata terbelalak serta mulut ternganga.

Ada pun orang yang masuk itu, seorang pemuda yang tampan dan berpakaian seperti seorang pelajar, juga berdiri dengan pandangan mata kagum menyaksikan kecantikan wanita yang berdiri di hadapannya.

“Cui Hwa...”

Walau pun dahulu mereka belum pernah bersentuh tangan, hanya bicara secara sopan sebagaimana lazimnya orang bertunangan, namun pada saat itu suara hati mereka yang bicara dan perasaan rindu dendam yang hebat mempengaruhi jiwa raga. Tanpa dapat dicegah lagi oleh akal sadar, keduanya saling menubruk dan berangkulan.

“Cui Hwa... kekasihku...”
“Can Kwan, alangkah senangnya bertemu denganmu walau hanya dalam mimpi...”
“Cui Hwa, siapa bilang dalam mimpi?” Can Kwan segera melepaskan rangkulannya dan memegang kedua pundak wanita muda itu, memandang dengan mata penuh cinta kasih mesra. “Kau lihatlah baik-baik, bukankah aku Can Kwan tunanganmu? Aku benar-benar datang kekasihku.”

Namun Cui Hwa menggeleng-gelengkan kepalanya yang cantik.

“Tidak mungkin! Benar-benar tidak mungkin! Bagaimana kau dapat masuk ke sini? Istana dikurung pagar tembok yang tinggi, terjaga kuat oleh pasukan! Sedangkan kau adalah seorang pelajar yang lemah, yang hanya kuat menggerakkan tangkai pena dan membalik lembaran buku. Kau tak mungkin dapat datang ke sini, kecuali kalau... kalau...”

Tiba-tiba pucatlah muka Cui Hwa atau Bi Lian. Ia hampir menjerit ngeri, tetapi buru-buru menutupkan mulutnya dengan tangan, lalu bertindak mundur sampai tiga langkah.

“Cui Hwa, mengapa kau?”
“Can Kwan... tak salah lagi... kau tentu telah mati...! Rohmu yang datang mengunjungiku. Ahh, Can Kwan. Kalau kau sudah mati, tenanglah, aku pasti akan menyusulmu. Sudah tidak tahan lagi aku berada di sini, terpisah darimu!” Bi Lian lalu menangis tersedu-sedu.

Can Kwan melangkah maju kemudian merangkulnya kembali. Dia tertawa perlahan dan membelai rambut kepala Bi Lian.

“Cui Hwa, pernahkah engkau mendengar roh dapat memelukmu seperti yang kulakukan sekarang ini? Lihatlah aku baik-baik, aku belum mati. Aku adalah Can Kwan yang masih hidup, masih berdarah masih berdaging. Ketahuilah, semenjak kau dibawa ke sini, aku lalu melepaskan pena dan berlatih giat sekali mempelajari ilmu silat dari seorang gagah. Akhirnya, pada malam ini aku berhasil melampaui penjaga-penjaga itu dan naik melalui pagar, walau pun dengan susah payah namun aku berhasil sampai ke kamarmu.”

“Can Kwan...! Can Kwan…!” Bukan main girang dan terharunya hati Bi Lian mendengar ucapan kekasihnya ini. “Akan tetapi, apa gunanya...? Kau bisa masuk ke sini, akan tetapi bagaimana keluarnya? Bagaimana pula kalau nanti kau ketahuan oleh penjaga? Ssstt... bersembunyilah, pelayanku datang...”

Akan tetapi, Can Kwan tidak bersembunyi, sebaliknya dengan sekali lompatan dia telah berada di depan pelayan wanita itu dan menotok pundak wanita itu. Pelayan itu roboh tak sadarkan diri lagi.

“Can Kwan, kau... mem... membunuhnya?” tanya Cui Hwa dengan kaget dan ngeri.

Can Kwan tersenyum. Bukan main tampannya wajah pemuda itu dalam pandangan Cui Hwa. “Tidak, Cui Hwa, aku hanya membikin dia tak berdaya untuk beberapa jam saja. Ia tidak apa-apa.”

“Can Kwan, setelah kau datang ke sini... apa kehendakmu?”

Can Kwan memegang kedua tangan kekasihnya. “Cui Hwa, mari kita pergi dari sini, mari kita mulai hidup baru sebagai suami istri, jauh dari sorga dunia yang merupakan neraka bagi batin kita ini.”

“Can Kwan! Bagaimana mungkin? Kau… kau pasti akan tertangkap dan mereka akan membunuhmu! Ahh, Can Kwan... biarlah aku seorang yang menderita, aku tidak tahan melihat kau mereka bunuh! Pergilah, kau cari seorang isteri lain yang bijaksana, biarlah, aku... aku tak berharga lagi menjadi... isterimu. Tak boleh kau mendapat bencana karena aku... tinggalkanlah aku, Can Kwan. Kedatanganmu ini sudah merupakan bahagia yang sebesarnya bagiku dan akan menghiburku sampai aku mati. Akan kuingat sebagai tanda cintamu...”

“Hushh, Cui Hwa, jangan mengeluarkan omongan bodoh! Kini aku sengaja datang untuk membawamu keluar dari sini.”
“Bagaimana caranya?”
“Akan kubawa kau melompati pagar tembok, keluar dari istana.”
“Kalau kau diketahui oleh penjaga?”
“Akan kubuka jalan darah, biar mati bersamamu!”
“Tidak, Can Kwan...” Cui Hwa menangis dan memandang dengan muka ngeri. “Kau tidak boleh mati karena aku...! Apa dayamu menghadapi para pengawal yang jumlahnya amat banyak itu? Biar aku sengsara, biar aku mati asal kau bahagia, asal kau hidup...”
“Cui Hwa...!”

Pada saat itu pula terdengar bentakan-bentakan dari luar.
“Penjahat! Pencuri!”
“Tangkap, tangkaaaap!”

Cui Hwa menjadi pucat. “Celaka, Can Kwan, mereka sudah datang!”

Wajah Can Kwan yang tampan menjadi beringas dan pemuda ini mencabut pedangnya, lalu melompat keluar. Ia langsung disambut oleh belasan orang pengawal yang segera mengepungnya.

Can Kwan memang sudah mempelajari ilmu silat dengan tekunnya dari seorang pandai, dan pedangnya bergerak laksana naga mengamuk. Beberapa orang pengawal sebentar saja sudah roboh mandi darah di bawah sabetan pedangnya.

Akan tetapi makin banyak pengawal datang mengeroyok sambil berteriak-teriak, dan biar pun Can Kwan pernah belajar silat secara amat tekun, namun sampai di manakah tingkat kepandaian seorang yang baru belajar ilmu silat selama setahun? Dia mulai merasa lelah dan telah mendapat beberapa luka ringan.

“Can Kwan...!” Terdengar seruan Cui Hwa menyayat kalbu.

Pemuda itu menengok dan alangkah kagetnya melihat tubuh kekasihnya itu terhuyung-huyung mandi darah! Sebuah pisau menancap di ulu hati Bi Lian atau Cui Hwa.

Ternyata bahwa ketika melihat betapa kekasihnya dikeroyok dan tidak melihat jalan lain untuk melarikan diri, dan tahu pula bahwa pertemuannya dengan Can Kwan itu tentu akan mengakibatkan bencana hebat bagi dirinya dan pemuda itu, wanita muda itu telah mengambil keputusan pendek membunuh diri.

“Cui Hwa...!” Can Kwan tak mempedulikan lagi keroyokan para pengawal dan menubruk tubuh kekasihnya yang segera dipeluknya.

Akan tetapi tubuh Cui Hwa sudah lemas dan manita muda ini hanya dapat membuka mata sebentar memandang kepada Can Kwan sambil berbisik lemah,
“Aku... menunggumu...” dan tewaslah dia.
“Cui Hwa...!”

Para pengeroyok cepat meloncat maju, beberapa belas batang tombak dan golok datang bagaikan hujan ke arah tubuh pemuda itu. Sudah jelas nasib Can Kwan, karena biar pun dia mempunyai kepandaian sepuluh kali lipat dari pada kepandaiannya yang sekarang, belum tentu dia akan dapat menyelamatkan diri dari serangan hebat itu.

Mendadak berkelebat bayangan yang cepat sekali, menyambar ke arah para penyerang yang hendak membunuh pemuda itu. Terdengar suara keras sekali, senjata beterbangan dibarengi pekik kesakitan dan tidak kurang dari tujuh orang pengeroyok terguling roboh! Seorang kakek berpakaian tambal-tambalan telah berdiri di depan Can Kwan dan dialah yang menolong pemuda ini.

Can Kwan sudah berdiri dan kini dengan muka pucat serta menyinarkan sakit hati yang hebat, dia menerjang kepada para pengeroyok. Akan tetapi, kakek itu lalu menggerakkan tangannya dan sekali rampas saja pedang Can Kwan telah berpindah tangan!

“Tak perlu melawan lagi, kau tidak akan menang!” kata kakek ini.
“Kalau tidak bisa menang, biarlah aku mati bersama Cui Hwa kekasihku!” jawab pemuda yang sudah nekat itu.
“Bodoh!” kakek itu mencela dan tubuhnya berkelebat ke arah Can Kwan.

Pemuda ini hendak mengelak, akan tetapi gerakan kakek itu amat cepatnya sehingga tahu-tahu dia telah dikempit dan dibawa meloncat tinggi ke atas genteng. Para pengawal istana berteriak mengejar, akan tetapi sebentar saja kakek itu telah menghilang bersama pemuda yang dikempitnya.

Can Kwan hanya merasa sambaran angin dingin meniup mukanya sehingga dia terpaksa meramkan kedua matanya. Tak lama kemudian, kakek itu membawanya meloncat turun dan ketika Can Kwan membuka matanya, tahu-tahu dia telah berada di atas tanah, jauh di luar istana!

“Locianpwe, kenapa kau menghalangi kehendakku mengamuk? Aku ingin mati bersama Cui Hwa!” kata Can Kwan penasaran, karena dia tidak menghendaki pertolongan kakek ini.

Kakek ini tertawa bergelak. “Pikiran muda mendekati kegilaan, sebab selalu dikendalikan oleh nafsu! Orang muda, kau benar-benar sudah gila. Aku yang sudah tua bangka, masih tidak begitu gila untuk mengakhiri hidup yang membosankan ini, apa lagi kau yang masih begini muda. Nyawa adalah kurnia Thian, kenapa hendak dipermainkan? Kau mengacau di istana kaisar, bukankah itu termasuk pelanggaran dan pemberontakan?”

“Siapa yang mau menghargai kaisar lalim? Dia sudah merampas tunanganku dan aku memang sudah setahun mengandung maksud merampas kembali Cui Hwa!”

“Kau keliru! Kalau memang bermaksud melawan kehendak kaisar, mengapa tidak sejak dahulu sebelum tunanganmu menjadi selir kaisar? Sekarang tunanganmu sudah menjadi selir terkasih, sudah hidup bahagia namun kau datang-datang mendatangkan bencana padanya. Kalau kau tidak datang, apa kau kira tunanganmu itu akan mati? Kau bertindak menurutkan nafsu hati tanpa menggunakan akal budi dan pikiran sehat. Andai kata kau tadi berhasil membawa lari bekas kekasihmu itu, apa kau kira akan dapat bersembunyi dari para petugas kaisar? Ke mana pun kau pergi, kau tentu akan bertemu dengan kaki tangan pemerintah dan akhirnya kau akan dibekuk juga! Kalau kau yang menderita dan kena bencana, itu tak mengapa karena memang kau sengaja, akan tetapi kau menyeret wanita itu ke jurang kecelakaan! Bahkan, kalau kau masih mempunyai keluarga, seluruh keluargamu akan terseret juga.”

Mendengar ucapan terakhir ini Can Kwan nampak lemas. Dia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil menangis. ”Teecu memang mengaku bahwa teecu seorang anak puthauw (tidak berbakti), mohon petunjuk dari Locianpwe.”

“Hmm, bagus! Lebih baik menghadapi seorang yang menyesali perbuatannya yang salah dari pada menghadapi seorang yang menyombongkan perbuatannya yang baik! Anak muda, jangan dikira bahwa seandainya kau berhasil membawa lari wanita itu, hidupnya akan bahagia. Ah, orang muda seperti kau selalu tertipu oleh nafsu hati. Sekarang wanita itu telah tewas, sudahlah. Dia telah terbebas dari pada penderitaan hidup, yaitu kalau dia memang menderita di dalam istana itu. Lebih baik kau pulang dan rawat orang tuamu baik-baik, menikah atas pilihan orang tuamu sebagai seorang anak berbakti. Apa bila kau berjalan di atas kebenaran, pasti kelak kau akan berbahagia.”

“Terima kasih, Locianpwe. Teecu mohon tanya, siapakah adanya Locianpwe yang telah menolong teecu?”
“Aku? Aku adalah pengemis miskin dan orang menyebutku Ang-bin Sin-kai!”

Can Kwan terkejut sekali. Ia sudah tentu pernah mendengar nama tokoh besar ini, maka dengan girang dia berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kalau Locianpwe sudi, teecu mohon diterima menjadi murid…”

Akan tetapi karena tidak ada jawaban, Can Kwan mengangkat mukanya dan alangkah herannya ketika melihat bahwa kakek itu sudah lenyap dari situ! Dengan hati kecewa dia lalu berdiri dan berjalan pulang, kedukaan hatinya banyak terobati oleh nasehat-nasehat dari Ang-bin Sin-kai.

Memang, kakek itu adalah Ang-bin Sin-kai. Seperti sudah dituturkan pada bagian depan, Ang-bin Sin-kai pergi menuju ke kota raja hendak mencari Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. Setibanya di kota raja, diam-diam dia pergi ke rumah keponakannya, yaitu Lu Seng Hok, karena dia tahu bahwa Jeng-kin-jiu tinggal di rumah muridnya, Lu Thong atau putera dari Lu Seng Hok.

Akan tetapi dia merasa kecewa sekali sebab Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu dan Lu Thong belum pulang dari perantauannya. Ang-bin Sin-kai lalu menyelidiki kota raja untuk melihat kalau-kalau Kiu-bwe Coa-li yang menculik Lu Kwan Cu telah berada di sana, akan tetapi ternyata iblis wanita itu pun belum nampak berada di kota raja.

Untuk menghilangkan kekesalan hatinya, sambil menunggu kemunculan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu atau Kiu-bwe Coa-li, timbul seleranya untuk makan hidangan istana serta melihat-lihat kebun bunga di istana yang luar biasa indahnya itu.

Dahulu memang sering kali dia melancong dan bersuka ria di istana kaisar, tanpa ada seorang pun yang melihat dirinya. Ia bermain-main di taman bunga, tidur di kamar-kamar besar yang indah sesudah mengunci dan mengganjal pintu kamar dari dalam sehingga tak ada orang yang dapat membukanya, atau memasuki dapur istana dan menyikat habis hidangan-hidangan untuk raja yang paling lezat. Ada kalanya pula dia menikmati bacaan buku-buku di perpustakaan istana atau minum anggur terbaik di gudang minuman.

Kebetulan sekali pada malam hari itu, ketika memasuki istana, dia melihat Can Kwan di keroyok, maka dia menolong pemuda itu setelah mengetahui sebab-sebab pertempuran. Diam-diam dia menaruh hati kasihan kepada pemuda itu, dan makin besar rasa jemunya terhadap kaisar yang merampas tunangan orang lain. Akan tetapi, kalau dia tidak berlaku keras dan mengeluarkan nasehat-nasehat seperti yang telah diucapkan kepada pemuda itu, dia tidak akan dapat menimbulkan semangat hidup baru di dalam hati Can Kwan.

Karena itu, setelah meninggalkan Can Kwan, kembalilah Ang-bin Sin-kai ke istana lagi. Keadaan di istana untuk sesaat gempar dengan peristiwa tadi dan kini jenazah Bi Lian atau Cui Hwa telah dirawat sebagaimana mestinya dan kaisar yang diberi tahu tentang hal itu, hanya mengeluarkan perintah untuk menangkap pemuda yang tidak dikenal siapa adanya.

Ang-bin Sin-kai langsung menuju ke dapur istana. Di depan pintu-pintu dapur itu terjaga kuat-kuat, namun dengan menggunakan ilmu kepandaiannya yang tinggi, Ang-bin Sin-kai melompat ke atas genteng dan membuka beberapa buah genteng, kemudian mengintai ke dalam. Dia melihat tukang-tukang masak sedang sibuk menyiapkan hidangan malam untuk kaisar. Di atas sebuah meja yang besar sudah berjajar hidangan yang lengkap, masakan-masakan istimewa dan yang masih mengebulkan asap.

Ang-bin Sin-kai beberapa kali menelan ludahnya. Uap masakan yang sedap menyerang hidungnya, membuat perutnya yang hampir kempis itu berkeruyukan. Di antara semua masakan yang ada di atas meja, yang paling menimbulkan air liurnya adalah masakan daging burung dara kebiri dan daging ikan emas.

Ingin sekali dia cepat-cepat menyerbu ke bawah dan menghabiskan masakan-masakan itu. Akan tetapi dia tidak mau menimbulkan keributan, karena kalau terjadi hal demikian, tentu para pengawal akan datang mengeroyok dan akan mengganggu makannya.

Tukang-tukang masak dan pelayan yang bekerja di dalam dapur istana ada lima orang. Semuanya bertubuh gemuk, oleh karena mereka ini adalah orang-orang yang setiap hari galang-gulung dengan masakan enak, sehingga banyak juga gajih dan daging memasuki mulut mereka sehingga tubuh mereka menjadi gendut dan gemuk.

Mereka bekerja sambil bercakap-cakap gembira, diselingi dengan percakapan mengenai Bi Lian. Siapa orangnya yang takkan merasa sayang melihat selir yang demikian cantik jelita membunuh diri?

Tiba-tiba, lima potong benda hitam melayang cepat dari atas tanpa menimbulkan suara dan sungguh aneh sekali. Lima orang tukang masak itu mendadak menjadi kaku seperti mereka tiba-tiba menjadi patung! Yang memegang mangkok masih tetap berdiri dengan mangkok di tangan, yang memasak masih tetap berdiri di depan api. Bahkan seorang pelayan yang secara diam-diam mencuri sepotong daging, masih berdiri dengan daging di tangan mendekati mulutnya yang sudah ternganga siap mencaplok daging itu!

Apa yang terjadi? Ternyata bahwa Ang-bin Sin-kai sudah menggunakan kepandaiannya yang luar biasa. Dengan pecahan genteng, dia menyabit lima orang itu dan dengan tepat sekali menotok jalan darah tai-twi-hiat mereka sehingga lima orang itu menjadi kaku dan tak dapat bergerak sama sekali.

Pada saat itu, Ang-bin Sin-kai melayang turun dengan kecepatan seperti seekor burung walet. Gerakannya sukar diikuti dengan mata dan di dalam kekakuan mereka, lima orang itu hanya melihat bayangan besar menyambar turun dan lenyap lagi. Kemudian, kembali lima potong benda hitam menyambar dari atas dan berbareng dengan ini, lima orang itu dapat bergerak kembali! Mereka saling pandang dengan mata terbelalak.

“Apa yang terjadi?”
“Kenapa tadi semua badanku menjadi kaku?”
“Apakah kau melihat bayangan menyeramkan tadi?”
“Setan! Tentu ada setan yang mengganggu kita...”

Lima orang itu menjadi kacau balau, akan tetapi karena tidak melihat sesuatu, mereka tidak berani membikin ribut, takut kalau mendapat teguran dari atasannya. Sebaliknya, mereka mempercepat pekerjaan mereka supaya dapat segera meninggalkan dapur yang luas dan yang kini kelihatan menyeramkan itu. Tidak lama kemudian, masakan-masakan itu pun sudah selesai. Pelayan-pelayan dipanggil untuk mengangkut hidangan ke kamar makan kaisar.

“Hee, mana masakan burung dara?”
“Ahh, masakan ikan emas juga telah lenyap!”
“Celaka... tentu iblis tadi yang mengambilnya...”
“Ssttt, jangan keras-keras! Masih bagus dia hanya mengambil masakan, tidak mengambil nyawa kita!”

Dengan cepat, masakan-masakan itu lalu dibawa keluar dan lima orang tukang masak itu bekerja cepat-cepat dengan bulu tengkuk berdiri. Ingin mereka segera pergi dari tempat itu.

Sesudah semua orang pergi dan pintu dapur ditutup kembali, dari atas melayang turun tubuh Ang-bin Sin-kai sambil tertawa-tawa. Pada kedua tangannya terlihat dua mangkok masakan daging burung dara dan daging ikan emas yang lenyap tadi.

“Ha-ha-ha, sekarang aku bisa berpesta. Sayang masakan-masakan ini telah agak dingin karena dibawa ke atas. Harus dipanaskan dulu!”

Dengan enaknya, dia lalu menyalakan api dan memanaskan dua macam masakan itu. Kemudian tubuhnya berkelebat keluar dari atas genteng dan sebentar kemudian dia telah datang kembali membawa tiga guci arak wangi yang diambilnya dari gudang minuman! Tidak lama kemudian, Ang-bin Sin-kai berpesta-pora, makan minum di dapur itu dengan senangnya.

Dia sama sekali tidak tahu bahwa seorang di antara para tukang masak tadi, yang agak besar nyalinya, menyelinap di balik pintu dan mengintai ke dalam. Ketika tukang masak ini melihat seorang kakek sedang makan minum, diam-diam dia lalu pergi dari sana dan membuat laporan kepada kepala penjaga.

“Di dalam dapur ada seorang maling...” kata tukang masak itu dengan tubuh gemetar dan mukanya pucat.
“Apa? Mengapa tidak kau tangkap?”

Tukang juru masak yang gemuk itu terbelalak matanya. “Ditangkap? Bagaimana aku bisa menangkapnya? Dia sakti sekali!” Kemudian dia menceritakan bagaimana dia bersama kawan-kawannya telah mengalami hal yang aneh terjadi.

Kepala penjaga ini adalah seorang tua bernama Song Cin atau yang biasa disebut Song Ciangkun. Sebetulnya dia memang seorang perwira yang telah banyak berjasa sehingga setelah dia tua, dia lalu ditarik oleh kaisar menjadi kepala pengawal atau penjaga istana. Song Cin mempunyai kepandaian silat dan ilmu pedang yang tinggi sehingga di kalangan kang-ouw namanya sudah terkenal sekali. Ketika mendengar penuturan tukang masak ini, dia mengerutkan keningnya.

“Apakah dia sudah tua, tingkahnya seperti orang gila dan pakaiannya penuh tambalan?” tanyanya menegas.
“Betul, betul, Song Ciangkun. Pakaiannya seperti pengemis!”

Song Cin mengangguk-angguk. “Sudahlah, jangan ribut-ribut. Kau mengasolah, biar aku yang membereskan orang itu.”
“Song Ciangkun... apakah... apakah dia adalah setan penjaga dapur?” Tukang masak itu bertanya.

Song Cin mengangguk. “Betul, dan kau tidak boleh mengganggunya kalau kau sayang kepada nyawamu.”

Mendengar ini, tukang masak itu cepat-cepat pergi dan tanpa mencuci tangan lagi, ia lalu merayap ke bawah selimut di dalam kamarnya!

Ada pun Song Cin sudah merasa yakin bahwa orang yang mengganggu dapur tentulah Ang-bin Sin-kai. Sudah beberapa kali kakek aneh itu menyerbu dapur dan dia tahu pasti bahwa dia sendiri beserta semua anak buahnya bukanlah lawan bagi Ang-bin Sin-kai. Oleh karena itu, dia langsung menuju ke kamar makan kaisar.

Kaisar tengah duduk makan minum dengan beberapa selirnya. Tidak seperti biasanya, pada waktu itu kaisar sedang menjamu dua orang yang berpakaian layaknya panglima perang besar. Kedua orang ini berpakaian seperti panglima perang suku Tajik, sebuah kerajaan yang pada masa itu menjadi besar dan kuat di samping Kerajaan Tibet.

Song Cin tahu siapa adanya dua orang panglima ini, karena sore tadi dia sendiri yang menerima mereka dan menghadapkan mereka kepada kaisar. Mereka adalah dua orang panglima-panglima besar dari Kerajaan Tajik yang datang membawa surat dari Panglima An Lu Shan.

Sudah lama bangsa Tajik mengadakan penyerbuan-penyerbuan ke selatan dan kekuatan mereka memang besar sekali. Akan tetapi tiba-tiba setelah An Lu Shan diangkat menjadi panglima di utara oleh kaisar, serbuan-serbuan ini mengecil dan akhirnya, pada hari itu, dua orang panglima bangsa Tajik datang menghadap kaisar membawa surat dari An Lu Shan yang memberi laporan kepada kaisar bahwa bangsa Tajik kini sudah menyatakan damai! Dua orang panglima Tajik itu merupakan utusan dari bangsa Tajik untuk memberi penghormatan kepada kaisar.

Tentu saja kabar girang ini lalu diterima oleh Kaisar Hian Tiong dengan gembira sekali. Ia menganggap semua ini sebagai jasa besar dari An Lu Shan sehingga untuk menyatakan kegembiraannya, dia mengundang makan malam kedua orang panglima besar Tajik ini. Oleh karena sedang berpesta gembira, tentu saja kaisar mengerutkan kening tanda tidak senang ketika Song Cin datang mengganggunya tanpa dipanggil.

“Song Ciangkun,” kata kaisar dengan suara tak senang, “apa keperluanmu menghadap tanpa dipanggil?”
“Mohon beribu ampun apa bila hamba mengganggu kesenangan Baginda dan para tamu agung,” kata Song Ciangkun dengan sikap merendah, “tapi hamba terpaksa melaporkan karena pada saat ini, kembali dapur istana didatangi oleh Ang-bin Sin-kai. Kami menanti keputusan Baginda!”

Berubah air muka baginda kaisar mendengar laporan ini. Sungguh aneh, biar pun Song Cin dan kaisar tidak melihatnya, namun muka kedua orang tamu agung Panglima Tajik itu juga berubah dan nampak mereka saling menukar pandang, nampaknya kaget sekali. Namun kaisar dapat menentramkan hatinya lagi dan tiba-tiba tertawa.

“Bagus! Orang aneh itu menambahkan kegembiraan kami! Song Ciangkun, undang dia secara baik-baik untuk menemani kami minum arak!”

Song Cin tidak heran mendengar ini, karena memang kaisar mengagumi Ang-bin Sin-kai yang sebetulnya masih kakak dari menteri setia Lu Pin. Akan tetapi dua orang tamu Tajik itu benar-benar nampak terkejut sekali. Setelah memberi hormat, Song Ciangkun segera mengundurkan diri dan berlari menuju ke dapur istana.

Song Cin mengetuk pintu dapur dan berkata keras, “Ang-bin Sin-kai Locianpwe, siauwte Song Cin mohon bertemu, membawa perintah hong-siang (raja)!”

“Masuklah, Song Ciangkun.”

Song Cin masuk dan dia melihat kakek aneh itu masih duduk menghadapi meja sambil minum arak. Cepat dia memberi hormat dan berkata,
“Siauwte membawa titah hong-siang mengundang Locianpwe untuk menemani baginda minum arak.”

Ang-bin Sin-kai tertegun, kemudian tertawa bergelak.
“Bagus, memang masakan di sini kurang lengkap. Baik, aku pergi menghadap baginda!” Sehabis berkata demikian, tubuhnya berkelebat.

Song Cin hanya merasa ada angin menyambar dan bayangan berkelebat di sisinya, dan kakek itu telah lenyap! Ia menghela napas dan mengagumi kelihaian kakek itu, kemudian melakukan penjagaan seperti biasa.

Pada saat melihat Ang-bin Sin-kai muncul di ambang pintu, baginda kaisar melambaikan tangan sambil tersenyum.
“Mari, mari, Lu-koai-hiap (pendekar aneh she Lu), kau duduklah di sini bersama kami.”

Ang-bin Sin-kai menjura tanda menghormat.
“Terima kasih, sungguh merupakan kehormatan besar sekali bahwa Baginda yang mulia sudi mengundang hamba.”

Tanpa ragu-ragu lagi dia lalu melangkah maju dan menduduki sebuah bangku kosong, berhadapan dengan dua orang tamu itu. Sepasang matanya memandang tajam sekali sehingga dua orang Tajik itu merasa tidak enak sekali.

“Ha-ha-ha, Jiwi Ciangkun. Perkenalkanlah, ini adalah orang aneh dari timur yang disebut Ang-bin Sin-kai. Dan Lu-koai-hiap, kedua orang tamu ini adalah panglima-panglima Tajik yang mewakili pemerintahannya menyatakan perdamaian dengan negeri kita.”

Ang-bin Sin-kai hanya menerima perkenalan ini dengan sikap dingin, kemudian tanpa sungkan-sungkan lagi dia mempergunakan sumpitnya yang panjang untuk menjangkau mangkok-mangkok masakan yang paling enak. Baginda Kaisar tertawa melihat ini dan memberi isyarat kepada pelayan untuk menambah arak.

Walau pun nampaknya bersikap acuh tak acuh, akan tetapi diam-diam Ang-bin Sin-kai memperhatikan gerak-gerik dua orang tamu itu, panglima-panglima yang bertubuh tinggi besar itu. Mendadak mukanya berubah pucat, kemudian perhatiannya tercurah kepada tangan-tangan kedua orang tamu itu yang memegang sumpit.

Pada saat mereka telah minum kosong cawan arak dan baginda nampak gembira sekali. Seorang di antara dua tamu itu mengambil guci arak dengan tangan kanan dan mengisi cawan kosong baginda kaisar. Kemudian dia pun memenuhi cawan Ang-bin Sin-kai dan cawannya sendiri beserta kawannya.

“Hamba menyuguhkan secawan arak untuk keselamatan kaisar. Hidup Baginda Kaisar, semoga panjang usianya!” katanya sambil mengangkat cawan araknya.

Kaisar Hian Tiong tertawa sambil mengangkat cawan araknya. Akan tetapi sebelum dia meneguk araknya, tiba-tiba tangan Ang-bin Sin-kai bergerak dan cawan itu terlempar dari tangan baginda!

“Lu-koai-hiap...!” kaisar menegur marah.

Akan tetapi Ang-bin Sin-kai memandang kepada penyuguh arak itu dengan marah sekali. “Kalian bukan orang Tajik! Kalian adalah jahanam-jahanam pembunuh! Hayo mengaku, siapa kalian?!” Ang-bin Sin-kai berdiri dan sikapnya mengancam sekali.

Kaisar Hian Tiong pucat dan mengira bahwa pengemis sakti itu sudah menjadi mabuk. Selagi dia hendak menegur, tiba-tiba dua orang tamunya itu menggerakkan tangan dan berkeredepan benda-benda yang menyambar ke arah tubuh kaisar serta Ang-bin Sin-kai. Benda-benda ini adalah pisau-pisau mengkilat, semacam senjata rahasia yang sangat tajam, runcing dan dilemparkan dengan tenaga kuat sekali.

Kaisar memekik kaget dan hendak membuang diri ke belakang untuk mengelak, namun Ang-bin Sin-kai sudah mendahuluinya, menggerakkan sepasang sumpitnya mengibas. Maka, runtuhlah empat buah pisau yang menyambar baginda. Ada pun empat buah lagi yang menyambar ke arah Ang-bin Sin-kai, dipukul runtuh dengan tangan kirinya!

“Celaka...!” Seorang di antara dua orang Tajik itu mengeluh.

Akan tetapi pada saat itu Ang-bin Sin-kai telah melompat dan tubuhnya menyambar ke arah penyuguh arak dengan sepasang sumpit menusuk matanya!

Panglima Tajik itu cepat mengelak, tetapi sumpit di tangan Ang-bin Sin-kai seakan-akan bermata, karena sumpit itu mengejar terus dan akhirnya terdengar jerit mengerikan ketika sepasang sumpit daging itu menancap pada mata panglima yang tadi menyuguhkan arak kepada kaisar! Tubuhnya terguling dan dia berkelojotan.

Tiba-tiba kembali menyambar pisau-pisau terbang dan kali ini pisau-pisau itu mengenai tubuh orang yang sudah terluka matanya ini, menancap di ulu hati dan leher sehingga orang itu seketika tewas tanpa dapat bersambat lagi. Orang Tajik ke dua itulah yang tadi melepaskan pisau membunuh kawannya sendiri dan kini tubuhnya berkelebat lari ke arah pintu.

“Bangsat hina, hendak lari ke mana kau?!”

Ang-bin Sin-kai melompat mengejar. Akan tetapi gerakan penjahat itu benar-benar cepat sekali sehingga sebentar saja dia telah melompat ke atas genteng. Namun, mana mau Ang-bin Sin-kai memberi hati kepadanya? Kakek sakti ini pun melompat dan mengejar terus dengan kecepatan melebihi anak panah.

Kaisar Hian Tiong bertepuk tangan memberi tanda kepada para penjaga, maka tak lama kemudian ramailah keadaan di situ. Ruangan itu segera penuh dengan para penjaga dan pengawal kaisar. Song Cin mengepalai para penjaga untuk melakukan pengejaran pula dan dia sendiri lantas melompat ke atas genteng mengejar Ang-bin Sin-kai yang masih berlari-lari menyusul tamu Tajik tadi.

“Bangsat pengkhianat, kau hendak lari ke mana?” Ang-bin Sin-kai berseru keras, tangan kanannya menjangkau ke depan hendak mencekik tengkuk penjahat.

Karena merasa tiada gunanya melarikan diri dari kakek sakti itu, penjahat ini mendadak membalikkan tubuhnya dan dua tangannya terayun. Maka, delapan buah pisau terbang menyambar kepada Ang-bin Sin-kai.

Boleh jadi kepandaiannya melempar pisau terbang itu untuk orang lain amat berbahaya, akan tetapi terhadap Ang-bin Sin-kai, serangan ini tidak ada bedanya dengan permainan kanak-kanak belaka. Dengan menggerakkan kedua tangannya, delapan pisau itu telah tertangkap semua oleh Ang-bin Sin-kai!

Penjahat itu terbelalak memandang kehebatan lawannya ini dan dia lalu berlaku nekat. Ketika Ang-bin Sin-kai menubruk, tubuh penjahat itu tanpa sebab telah terpelanting jatuh dan menggelundung di atas genteng.

Ang-bin Sin-kai merasa amat heran dan cepat menyambar tubuh orang yang akan jatuh ke bawah itu, karena dia ingin menangkapnya hidup-hidup untuk ditanyai keterangan. Akan tetapi ternyata bahwa orang itu telah mati dengan sebatang pisau menancap di ulu hatinya!

Melihat kedatangan Song Cin, Ang-bin Sin-kai lalu melemparkan tubuh penjahat yang sudah menjadi mayat itu kepada kepala penjaga ini, kemudian dia berlarian kembali ke ruang makan. Ternyata bahwa penjahat yang pertama juga sudah mati.

“Lu-koai-siap, bagaimana kau bisa tahu bahwa mereka bukan orang Tajik dan mereka mengandung maksud tidak baik kepada kami?” tanya kaisar kepada Ang-bin Sin-kai.

Kakek ini tersenyum. “Mudah saja. Ketika tadi hamba makan bersama mereka, hamba melihat cara mereka memegang sumpit tidak seperti kebiasaan orang-orang Tajik yang hamba ketahui baik-baik. Sumpit ke dua mereka pegang di antara ibu jari dan telunjuk seperti cara kita, sedangkan kebiasaan orang-orang Tajik memegang sumpit ke dua di antara telunjuk dan jari tengah. Kemudian, ketika penyuguh arak tadi menuangkan arak dari guci ke cawan Paduka, hamba sempat melihat dia melepaskan bubuk putih secara pandai dan tidak kentara, maka tahulah hamba bahwa dia mencampuri racun ke dalam arak itu dan hamba segera bertindak mencegah Paduka meminumnya.”

Kaisar mengangguk-angguk. “Sungguh heran sekali mengapa mereka dapat membawa surat dari An-ciangkun!”

“Hemm, kalau hamba yang mengurus perkara ini, akan hamba selidiki keadaan An Lu Shan itu! Paduka terlampau banyak mencari hiburan dan kesenangan hingga lalai dalam memperhatikan keadaan para petugas. Dan juga kematian selir Paduka belum lama ini, adalah akibat dari kelalaian Paduka sendiri. Maafkan kelancangan hamba ini, akan tetapi hamba hanya mau membuka mulut bukan semata untuk mencela, akan tetapi ini demi kebaikan Paduka dan negara! Sekarang ijinkanlah hamba pergi!” Tanpa menanti ijin dari kaisar, Ang-bin Sin-kai berkelebat dan lenyap dari situ.

Akan tetapi pada keesokan harinya, datang serombongan perwira utusan An Lu Shan yang menyatakan bahwa cap kebesaran An Lu Shan sudah tercuri orang dan bahwa kini panglima itu meminta cap baru dari kaisar. Pemberitahuan ini dilakukan karena khawatir kalau-kalau cap yang lenyap itu disalah gunakan oleh orang lain!

Dengan adanya pemberitahuan ini, lenyaplah semua kecurigaan kaisar terhadap diri An Lu Shan dan inilah kesalahan kaisar. Kalau saja dia menyuruh orang menyelidiki lebih teliti, tentu akan diketahuinya bahwa memang diam-diam An Lu Shan memiliki cita-cita memberontak dan sebenarnya kedua orang yang mengaku sebagai perwira-perwira Tajik itu adalah kaki tangannya yang diberi tugas untuk membunuh kaisar…..
********************
Kita ikuti perjalanan Lu Kwan Cu, bocah gundul yang diculik Kiu-bwe Coa-li. Biar pun dia merasa dongkol sekali atas perbuatan Kiu-bwe Coa-li terhadap dirinya namun berada di dekat Sui Ceng yang bicara dengan lucu dan menghibur dengan kata-kata membesarkan hati, Kwan Cu berlaku tenang dan mulai memutar otaknya.

Dia dapat menduga apa maksud wanita sakti itu menculiknya. Tentu ada hubungannya dengan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, pikirnya. Kalau tidak untuk kitab itu, apa perlunya Kiu-bwe Coa-li menculiknya.

Tak lama kemudian setelah Bun Sui Ceng menggendong dan meletakkannya di pinggir hutan, datanglah Kiu-bwe Coa-li dan sekali menepukkan tangannya ke pundak Kwan Cu, bocah gundul ini terbebas dari totokannya. Diam-diam Kiu-bwe Coa-li memuji anak ini, karena begitu terbebas, Kwan Cu sudah lantas melompat berdiri, seakan-akan dia tidak terpengaruh sama sekali oleh bekas totokannya itu.

Padahal, untuk orang biasa, kalau habis mengalami pengaruh totokannya, tentu sampai beberapa lama akan menjadi kaku tubuhnya dan setelah digerak-gerakkan beberapa kali baru dapat bergerak seperti biasa. Akan tetapi anak ini begitu terbebas, lantas saja bisa melompat berdiri.

“Suthai, kau benar-benar keterlaluan sekali!” Dengan mata bersinar marah segera Kwan Cu menegur Kiu-bwe Coa-li! “Kalau ada keperluan dengan aku, mengapa tidak bertanya dengan baik-baik saja? Akan tetapi kau malah tiba-tiba menyerang dan menculik, apakah perbuatan ini boleh dibuat bangga?”

Untuk sejenak Kiu-bwe Coa-li memandang bengong. Selama ini belum pernah ada orang yang berani menegurnya seperti itu! Kemudian timbul marahnya.

“Anak setan, kau berani menegurku?” Tangan kirinya bergerak dan ujung lengan bajunya yang panjang menyambar ke arah pipi Kwan Cu.
“Plakk!”

Kwan Cu merasa seakan-akan kepalanya disambar petir dan dia roboh berguling-guling, kemudian dia melompat dengan berdiri pula dengan tegak, sedikit pun tidak takut. Juga rasa sakit tadi hanya di pipi saja dan sekarang tidak terasa lagi.

“Kiu-bwe Coa-li merupakan nama besar yang sering kali kudengar dipuji-puji oleh semua orang gagah di dunia kang-ouw. Akan tetapi, belum pernah aku mendengar bahwa tokoh besar ini hanya mempunyai kesukaan memukul anak kecil yang tak mampu melawan!”

Mendengar ucapan ini, Kiu-bwe Coa-li menjadi marah dan sepasang matanya memancar sinar yang aneh sekali. Memang benar-benar hebat sekali keberanian Kwan Cu, dia tidak saja menegur, bahkan sekarang dia mencela tokoh besar yang ditakuti oleh semua orang gagah di dunia kang-ouw ini!

“Bocah setan penipu busuk!” Kiu-bwe Coa-li memaki sambil melompat maju dan kedua tangannya menggigil dalam nafsunya hendak menghancurkan mulut kecil yang berani mencelanya itu. “Tidak kuhancurkan kepalamu juga sudah untung kau! Kau telah berani menipuku, kemudian menegur, bahkan sekarang mencela! Berapa banyak sih cadangan nyawamu maka berani main gila memutar lidah?”

Pecut di tangan Kiu-bwe Coa-li menggigil dan Sui Ceng memandang dengan khawatir sekali. Gurunya ini memang baik, akan tetapi kalau sudah marah agaknya tidak ada iblis yang dapat melebihi keganasannya! Maka ia tahu bahwa kali ini nyawa Kwan Cu takkan tertolong lagi. Cepat ia melompat maju ke depan gurunya dan berkata,

“Suthai, harap jangan bunuh Kwan Cu. Teecu kasihan padanya, lagi pula, kalau dia mati, siapa yang akan dapat menunjukkan di mana adanya Im-yang Bu-tek Cin-keng?”

Mendengar ini, cambuk yang sudah diangkat tadi turun kembali dan Sui Ceng bernapas lega. Akan tetapi, alangkah kagetnya anak perempuan ini ketika tiba-tiba dia mendengar isak tangis dan ternyata bahwa Kwan Cu kini telah duduk di atas tanah sambil menutup mukanya, menangis!

Tentu saja Kiu-bwe Coa-li menjadi terheran, bahkan Sui Ceng sendiri pun merasa heran sekali atas sikap Kwan Cu. Dipukul, dimaki, dihina tidak pernah meruntuhkan air mata, sekarang tiada hujan tiada angin menangis sedih!

Memang hal ini aneh sekali, karena tidak biasanya Kwan Cu menangis. Anak ini berhati keras dan amat berani, bersemangat baja sehingga baginya merupakan pantangan untuk mengeluarkan air mata, apa lagi air mata karena takut atau bingung. Akan tetapi, pada saat itu, hatinya merasa amat terharu dan berduka.

Kwan Cu masih merasakan kasih sayang yang diberikan oleh Loan Eng kepadanya, dan kepada nyonya itu dia sudah menganggap seperti ibunya sendiri. Tadinya dia pun sudah merasa hancur hatinya mendengar betapa Pek-cilan Thio Loan Eng dan suaminya telah terbunuh orang, akan tetapi dia masih dapat menahan kedukaan hatinya. Kini, tiba-tiba dia melihat Sui Ceng bersikap membela dan berkasihan kepadanya, maka tanpa dapat ditahan lagi Kwan Cu teringat akan kebaikan dan cinta kasih ibu anak ini terhadap dia dan keharuan besar karena sikap manis Sui Ceng membuat dia terisak-isak!

Sui Ceng menjadi gelisah sekali dan bingung melihat bocah gundul itu menangis begitu sedihnya. Ia khawatir kalau-kalau pukulan tangan gurunya tadi telah membuat otak Kwan Cu menjadi rusak dan atau miring! Ia cukup maklum akan keganasan dan kehebatan tangan gurunya kalau memukul.

Sui Ceng maju mendekat dan mengulurkan tangan untuk meraba kepala Kwan Cu yang gundul, untuk melihat apakah kepala itu terasa panas. Ternyata tidak terasa panas dan tidak apa-apa.....
“Sui Ceng, apa kau mengira bocah ini gila?” Kiu-bwe Coa-li berkata dan hampir tak dapat menahan senyumnya saking geli melihat perbuatan Sui Ceng.

Akan tetapi Sui Ceng seperti tidak mendengar ucapan gurunya, bahkan dia lalu bertanya kepada Kwan Cu dengan suara halus,

“Kwan Cu, apamukah yang sakit? Kenapa kau menangis begitu sedih? Sudahlah, Kwan Cu, untuk apa menangis terus? Sebenarnya dipikir-pikir hidup tidak begitu menyedihkan!” dalam usahanya menghibur Kwan Cu, anak gadis yang masih kecil ini mengeluarkan kata-kata yang lucu.

Mendengar ini, Kwan Cu mengangkat mukanya. Dengan kekerasan hatinya dia sudah dapat menahan air matanya dan kini dia berkata perlahan,

“Sui Ceng, aku tidak menyedihkan sesuatu, hanya hatiku merasa sakit apa bila teringat akan kematian ibumu. Aku harus membalaskan dendamnya, walau aku akan berkorban nyawaku yang tak berharga!”

Sesudah mendengar ucapan Kwan Cu ini, tiba-tiba saja Sui Ceng mengeluh dan anak perempuan inilah yang sekarang menangis sedih, tersedu-sedu menutupi muka dengan dua tangannya! Sekarang Kwan Cu yang memegang pundaknya dan menghibur, seperti seorang kakak kepada adiknya.

“Siauw-pangcu, jangan menangis. Tak pantas seorang ketua perkumpulan besar seperti engkau meruntuhkan air mata!” kata Kwan Cu.

Seketika keringlah air mata di mata Sui Ceng yang bening. Ia memandang Kwan Cu dan kini wajahnya berseri.

“Kau benar! Aku harus seperti mendiang ayahku. Aku akan menahan derita ini dengan tabah dan sebagai seorang Siauw-pangcu (ketua cilik), aku tidak boleh menangis. Akan tetapi, bukan kau yang berhak membalaskan sakit hati ibuku, Kwan Cu. Kedua tanganku sendiri yang akan menghancurkan kepala Toat-beng Hui-houw!” Setelah berkata begitu, Sui Ceng bangkit berdiri sambil mengepalkan kedua tangannya yang kecil.

“Cukup semua itu, Sui Ceng! Apa sih sukarnya untuk mencari dan membunuh Toat-beng Hui-houw? Jangan bersikap lemah seperti bukan muridku saja! Hayo lekas kau ceritakan, Kwan Cu. Di mana adanya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli? Awas, jangan kau membohong, karena sekali kau membohong, kepalamu akan hancur oleh cambukku dan pinni tak mau mengampunimu lagi, biar pun Sui Ceng sayang kepadamu.”

Mendengar disebutnya tentang Sui Ceng sayang kepadanya, Kwan Cu segera menoleh kepada anak perempuan itu. Dia berkata mesra dengan wajah berseri, lalu mengangguk-anggukkan kepala yang gundul.

“Sui Ceng memang manis dan baik sekali, seperti ibunya...”
“Bocah gundul, jangan nyeleweng. Jawab pertanyaanku!” Kiu-bwe Coa-li membentak tak sabar.

Kwan Cu memandang kepada wanita sakti itu, sama sekali tidak nampak takut.

Sambil menahan kegemasannya, Kiu-bwe Coa-li berkata, “Di manakah adanya kitab asli Im-yang Bu-tek Cin-keng?”

“Jika begitu pertanyaan Suthai, teecu tidak bisa menjawab karena memang teecu sendiri tidak tahu di mana adanya kitab asli Im-yang Bu-tek Cin-keng.” Suara anak ini terdengar tegas, sepasang matanya memandang jujur dan tabah.

Maka kecillah hati Kiu-bwe Coa-li. Tadinya dia mengharapkan akan mendengar petunjuk anak gundul itu agar bisa memperoleh kitab pelajaran ilmu silat yang diidam-idamkannya semenjak lama sekali. Akan tetapi mendengar jawaban Kwan Cu, ia tahu bahwa anak ini tidak membohong dan kecewalah hatinya.

Sesudah menentang pandang mata anak gundul itu sekian lamanya, Kiu-bwe Coa-li lalu berkata,
“Aku mau percaya omonganmu. Akan tetapi, kau dan gurumu mencari apakah di Bukit Liang-san?”

Tertegunlah Kwan Cu mendengar pertanyaan ini.

“Eh, eh, ehh, bagaimana Suthai dapat saja mengerti dan tahu akan segala gerakan teecu dan suhu? Apakah Suthai selama ini mengikuti kami dan diam-diam menyelidiki segala kelakuan kami?”

Sepasang mata Kiu-bwe Coa-li bernyala lagi. Tangannya sudah merasa gatal-gatal untuk menampar kepala gundul yang bicaranya selalu menusuk dan mengganggu hatinya itu.

“Kwan Cu, jawablah sebenarnya saja kepada Suthai,” Sui Ceng memberi nasehat karena gadis cilik ini merasa khawatir kalau-kalau gurunya akan marah dan menyiksa Kwan Cu lagi.

Senang hati Kwan Cu mendengar kata-kata Sui Ceng ini. Betapa pun juga di dunia ini masih ada orang-orang yang menaruh hati kasihan kepadanya. Sepasang matanya yang lebar lalu memandang kepada Kiu-bwe Coa-li dan berkata,

“Suthai, agaknya tidak perlu pula kusembunyikan lebih lama lagi. Pertama-tama karena Suthai sangat bernafsu untuk mendapatkan tempat di mana disimpannya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng dan kedua karena agaknya teecu memang tidak bernasib bagus untuk mendapatkan kitab itu. Ketahuilah bahwa teecu mengajak suhu ke Liang-san disebabkan teecu hendak mencari kitab sejarah peninggalan guru teecu mendiang Gui-siucai. Kitab sejarah itu ternyata telah dicuri orang!”

“Hemm, jangan bicara kacau balau! Apa perlunya kau bercerita mengenai kitab sejarah? Apa hubungannya dengan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng?”
“Sebetulnya, jika orang hendak mencari di mana adanya kitab rahasia yang diperebutkan itu, orang harus membaca kitab sejarah peninggalan Gui-siucai, karena di situ terdapat petunjuk-petunjuk tentang Im-yang Bu-tek Cin-keng.”

Kiu-bwe Coa-li nampak bernafsu kembali. “Begitukah? Siapa yang sudah mencuri kitab sejarah itu? Hayo katakan cepat!”

“Teecu bersama suhu sedang menyelidiki hal ini pula. Menurut penuturan orang dusun di lereng Liang-san, yang datang adalah hwesio gundul gemuk sekali bersama muridnya, dan teecu sendiri ketika berada di lereng, juga melihat bayangan mereka. Agaknya, tidak salah lagi, yang mencuri itu tentunya Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu bersama muridnya. Kalau bukan mereka, siapa lagi?”

Kiu-bwe Coa-li menyumpah-nyumpah. “Keparat gundul!”
“Ehh, mengapa Suthai memaki teecu? Apa salahku?”
“Tolol! Bukan kau yang kumaki. Melainkan Jeng-kin-jiu!”

Sui Ceng tertawa. “Kwan Cu, apa kau kira di dunia ini hanya kau sendiri yang gundul?”

Memang Sui Ceng mempunyai watak jenaka, di mana saja ada kesempatan, dia selalu memperlihatkan wataknya ini. Kwan Cu juga tersenyum mendengar godaan ini.

“Kwan Cu, coba jelaskan sekali lagi, benar-benarkah di dalam kitab sejarah itu adanya petunjuk-petunjuk mengenai tempat tersimpannya Im-yang Bu-tek Cin-keng? Kau tidak bohong?” tanya Kiu-bwe Coa-li, sekarang suaranya tidak begitu galak lagi.

“Teecu bersumpah bahwa demikianlah yang teecu dengar dari mendiang Gui-sianseng. Betul tidaknya, bagaimana teecu bisa memastikannya kalau teecu sendiri belum pernah melihat kitab sejarah itu? Sebelum meninggal dunia, Gui-sianseng pernah meninggalkan pesan kepada teecu untuk mencari kitab itu dan kemudian menurut petunjuk ini mencari tempat disimpannya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Akan tetapi, sekarang teecu tidak bernafsu lagi untuk mendapatkan kitab aneh itu.”

“Mengapa?” Kiu-bwe Coa-li memandang tajam.
“Karena menurut mendiang Gui-sianseng, Im-yang Bu-tek Cin-keng disimpan di sebuah pulau kosong yang sukar sekali didatangi orang. Sekarang orang-orang gagah di seluruh dunia yang berkepandaian tinggi seperti Suthai sendiri dan yang lain-lain, sudah turun tangan memperebutkan kitab itu. Bagaimana seorang bodoh seperti teecu ada harapan? Tidak, teecu tak begitu bodoh untuk membuang waktu memperebutkan kitab yang belum tentu berguna bagi teecu sendiri.”
“Bagus, memang sebaiknya kau jangan membuang nyawamu untuk mencarinya. Lebih baik kau membantu aku mencarinya. Hayo kita menyusul si gundul Jeng-kin-jiu ke kota raja!”

Demikianlah Kiu-bwe Coa-li membawa Kwan Cu dan Sui Ceng menuju ke kota raja. Akan tetapi karena wanita sakti ini maklum bahwa Ang-bin Sin-kai tentunya tidak akan tinggal diam dan pasti berusaha mencari muridnya, maka dia mengambil jalan memutar melalui hutan-hutan besar agar jangan sampai bertemu dengan Ang-bin Sin-kai.

Bukan sekali-kali Kiu-bwe Coa-li takut menghadapi pengemis sakti itu, melainkan dia tak ingin usahanya untuk mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng terganggu. Kalau dia sudah mendapatkan kitab itu, dia tidak akan peduli siapa pun juga akan mengganggunya. Dia sedang mencari kitab sejarah yang menurut Kwan Cu dicuri oleh Jeng-kin-jiu. Sedangkan menghadapi Jeng-kin-jiu seorang pun sudah merupakan hal yang tidak boleh dipandang ringan, apa lagi kalau harus ditambah gangguan dari Ang-bin Sin-kai!

Karena itulah maka biar pun Ang-bin Sin-kai melakukan perjalanan cepat, pengemis sakti ini tidak bertemu dengan muridnya yang diculik oleh Kiu-bwe Coa-li.

Pada suatu hari, Kiu-bwe Coa-li mengajak dua orang anak itu berhenti di sebuah hutan yang luas. Kiu-bwe Coa-li adalah seorang wanita sakti yang memiliki kesenangan aneh sekali, yakni memancing ikan! Dan di dalam hutan itu terdapat sebuah telaga, terdengar suara air bercipakan dan kelihatan perut-perut ikan yang mengkilap ketika ikan-ikan itu bercanda dan timbul di permukaan air. Melihat semua ini, keinginan Kiu-bwe Coa-li untuk memancing tak dapat ditahan lagi!

Kesenangan ini bukan karena Kiu-bwe Coa-li terlampau doyan makan daging ikan, sama sekali bukan. Dia senang memancing karena kesenangan atau kenikmatan yang hanya dapat dirasa oleh para pemancing ikan, yakni kesenangan yang dirasakan pada waktu pancing atau kail digondol ikan. Ketegangan, harapan dan kepuasan terasa di dalam hati apa bila ujung kail disambar ikan.

Kiu-bwe Coa-li membuat gagang pancing dari ranting bambu dan tak lama kemudian kaki wanita sakti ini duduk di atas sebuah batu besar di pinggir telaga, memegang gagang pancing, diam tak bergerak dan sama sekali lupa akan keadaan sekelilingnya, juga tidak mempedulikan lagi kepada Sui Ceng dan Kwan Cu.

Dua orang anak itu menjadi bosan juga menunggui wanita itu memancing ikan, maka keduanya lalu pergi berjalan-jalan di dalam hutan. Sui Ceng paling suka akan kembang-kembang indah, maka ia mengajak Kwan Cu mencari bunga-bunga yang banyak tumbuh di dalam hutan. Mereka berjalan-jalan sambil bercakap-cakap.

“Lihat, Sui Ceng... Di sana ada kembang cilan!” tiba-tiba Kwan Cu berseru girang sambil menudingkan telunjuknya ke arah serumpun pohon bunga cilan.

Akan tetapi kegembiraan hati Kwan Cu segera lenyap dan mukanya menjadi menyesal sekali ketika dia melihat wajah Sui Ceng. Gadis cilik ini menjadi pucat sekali dan berdiri seperti patung, sedangkan sekelompok bunga yang tadi dipetik dan dipegangnya, tanpa terasa pula jatuh ke atas tanah.

“Aduh, maaf... Sui Ceng... maafkan aku. Aku tidak sengaja mengingatkan kau...,” berkata Kwan Cu sambil memegang tangan Sui Ceng. Seperti seorang kakak yang menghibur adiknya, Kwan Cu menggunakan tangan untuk menghapus air mata yang mengalir di pipi Sui Ceng!
“Sudahlah, Sui Ceng, kematian ibumu tak perlu selalu disedihkan. Aku bersumpah akan mencari kemudian memecahkan kepala Toat-beng Hui-houw manusia jahanam itu untuk membalas sakit hati ibumu!”

Kwan Cu tahu bahwa tentu Sui Ceng teringat kepada ibunya ketika melihat bunga cilan, karena ibunya sangat suka akan bunga ini, bahkan ibunya mendapat julukan Pek-cilan (Bunga Cilan Putih) karena sering memakai bunga cilan sebagai penghias rambutnya.

“Apa yang kau katakan?” Sui Ceng membelalakkan kedua matanya memandang kepada Kwan Cu seperti orang marah. “Keparat jahanam Toat-beng Hui-houw tidak boleh dibikin mampus oleh orang lain. Aku sendiri yang akan membelek dadanya dan mengeluarkan jantungnya, lalu memenggal kepalanya untuk kupergunakan sembahyang kepada ibu!”
“Ha-ha-ha! Dua ekor anak domba berdaging empuk lagi bersombong hendak membunuh seekor harimau jantan. Ha-ha-ha!” tiba-tiba terdengar suara ketawa.

Suara ini begitu menyeramkan, besar dan serak sehingga Kwan Cu dan Sui Ceng kaget bukan main. Kedua orang anak ini cepat menengok dan alangkah terkejut hati mereka ketika di hadapan mereka telah berdiri seorang kakek yang bentuk tubuh dan wajahnya aneh sekali. Apa lagi Sui Ceng yang mengenal kakek ini, wajahnya lantas menjadi pucat seketika.

Kakek ini tubuhnya agak bongkok, kepala penuh cambang bauk berwarna putih dan yang mengerikan adalah kedua tangannya, karena sepuluh jari di tangannya berkuku panjang melengkung seperti cakar harimau. Ada pun kedua kakinya telanjang sama sekali.

“Toat-beng Hui-houw...!” seru Sui Ceng yang pernah bertemu dengan siluman ini.

Mendengar disebutnya nama ini, serentak Kwan Cu mengepal tinjunya dan memandang dengan mata marah. Sama sekali dia tidak menjadi takut lagi melihat wajah yang sangat menyeramkan itu. Jadi inikah pembunuh dari Pek-cilan Thio Loan Eng?

Kembali Toat-beng Hui-houw tertawa bergelak.

“Bocah gundul jelek! Kau tadi bilang hendak memecahkan kepala Toat-beng Hui-houw? Ha-ha-ha! Akulah yang akan memecahkan kepalamu dan kumakan otakmu yang kental membeku! Dan kau... kuncup bunga yang cantik, jantungmu tentu empuk dan darahmu hangat manis, lebih hangat dan lebih manis dari pada darah ibumu. Ha-ha-ha!”

Sui Ceng dan Kwan Cu yang sudah tak dapat menahan kemarahannya pula, telah maju berbareng dan menyerang dengan pukulan mereka yang biar pun dilakukan oleh lengan tangan kecil, namun mendatangkan angin pukulan yang hebat juga.
Melihat gerakan ini, Toat-beng Hui-houw menjadi gembira sekali.

“Anak-anak baik... bertulang bersih... ha-ha-ha!”

Dia lalu mainkan ilmu silatnya dengan cepat, mempergunakan sepasang tangannya yang berkuku panjang untuk menangkap tangan kedua anak itu yang menyerang.

Akan tetapi, baik Sui Ceng mau pun Kwan Cu adalah murid-murid orang pandai, maka mereka tidak main seruduk saja dan di dalam ilmu silat mereka sudah mendapat latihan dasar yang tinggi. Melihat bentuk kuku dan gerakan tangan manusia yang seperti iblis itu, mereka tidak membiarkan tangan mereka terpegang. Keduanya menggunakan ginkang untuk bergerak ke sana ke mari menjauhi jangkauan tangan lawan sambil menyerang ke arah bagian-bagian tubuh yang berbahaya dan lemah.

Namun kedua orang anak ini masih terlalu muda dan tenaga mereka kurang kuat. Biar pun sudah dua kali Kwan Cu berhasil menggunakan ilmu pukulan dari Ilmu Silat Pai-bun Tui-pek-to dan menghantam lambung Toat-beng Hui-houw, akan tetapi pukulannya yang keras dan mengandung tenaga lweekang itu seolah-olah mengenai benda dari karet saja dan terpental kembali membuat tubuhnya sendiri terhuyung-huyung!

Juga Toat-beng Hui-houw terkejut sekali karena pukulan anak ini antep sekali. Baiknya dia telah menduga bahwa mereka ini adalah murid-murid orang pandai, maka semenjak siang-siang dia sudah mengerahkan lweekang pada tubuhnya ketika menerima pukulan-pukulan yang cepat itu sehingga dia dapat menolak pukulan itu dan tidak menderita luka.

Juga Sui Ceng memperlihatkan kecepatannya. Pernah dua jarinya menotok jalan darah di punggung kakek ini, namun ternyata bahwa jarinya mengenai kulit lemas dan daging yang tak berurat. Ia kaget dan maklum bahwa kakek seperti iblis ini telah menggunakan Ilmu Pi-ki Hu-hiat (Menutup Hawa Melindung Jalan Darah) sehingga totokannya itu gagal sama sekali.

Tapi Sui Ceng benar-benar memiliki gerakan seperti burung walet cepatnya. Tangannya yang kecil itu meluncur laksana seekor ular dan tahu-tahu dua jarinya dipentang lantas menusuk sepasang mata Toat-beng Hui-houw!

Harimau Terbang Pencabut Nyawa ini mengeluakan seruan tertahan. Hebat bukan main serangan anak perempuan ini, karena kalau matanya terkena tusukan jari tangan, tentu dia akan menjadi buta. Maka dia cepat melompat ke atas untuk menghindarkan tusukan ke arah matanya.

Tidak tahunya Sui Ceng benar-benar cerdik sekali. Pada saat tangannya tidak berhasil menusuk mata lawan yang melompat tinggi, cepat ia menjambret jenggot dan membetot dengan gentakan keras.

“Aduuuuuuhhh...!”

Toat-beng Hui-houw menjerit lalu menggereng bagai seekor harimau dicabut jenggotnya. Sebagian dari bulu jenggotnya telah tercabut oleh tangan Sui Ceng! Bukan main sakitnya sehingga matanya sampai mengeluarkan air mata. Pedas dan perih.

Hal ini mendatangkan marah yang luar biasa. Begitu dia menubruk sambil mengeluarkan suara mengerikan, Kwan Cu dan Sui Ceng tidak dapat mengelak lagi dan kedua orang anak ini telah tertangkap!

Kwan Cu dan Sui Ceng tak mau mengalah begitu saja dan cepat menggerakkan tangan memukul, namun segera mereka menjadi lemas dan habislah seluruh tenaga pada waktu Toat-beng Hui-houw menekan pundak mereka dengan tangan yang berkuku panjang.

Toat-beng Hui-houw tertawa bergelak dan beberapa kali dia mempergunakan tangannya mengelus-elus kulit leher Sui Ceng yang halus, seakan-akan seorang anak kecil melihat kulit buah leeci yang halus dan menggairahkan!

Sui Ceng yang tidak berdaya menutup matanya dengan ngeri karena dia teringat betapa leher ibunya juga sudah digigit dan dihisap darahnya oleh manusia siluman ini! Ada pun Kwan Cu yang dielus-elus kepalanya, merasa bergidik pula karena kepalanya tentu akan dipecahkan dan otaknya dilalap oleh setan ini seperti ancamannya tadi.

“Ha-ha-ha! Sukar untuk memilih, makan otak dulu atau minum darah dulu. Sama-sama enaknya, sama-sama manisnya!” kakek ini bicara seorang diri seperti seorang kelaparan menghadapi arak wangi dan daging muda, bingung untuk mengambil keputusan, makan dulu atau minum dulu!
“Toat-beng Hui-houw, kau boleh membunuhku, akan tetapi jangan kau mengganggu Sui Ceng. Tidak kasihankah kau melihat dia? Tidak malukah kau membunuh seorang anak perempuan kecil seperti dia?” kata Kwan Cu.

Meski dia dan Sui Ceng berada di bawah pengaruh totokan yang lihai sehingga menjadi lumpuh, akan tetapi kedua orang anak ini tadi mengumpulkan tenaga lweekang sehingga mereka dapat melindungi penapasan dan tidak kehilangan suara mereka sehingga masih dapat bicara.

Kwan Cu hendak menolong Sui Ceng, dia sendiri rela mati. Akan tetapi tak disangkanya, anak perempuan itu mempunyai keberanian yang tidak kalah olehnya. Sui Ceng bahkan menjadi marah dan membentak,
“Kwan Cu, kau kira aku takut mati? Biarkan iblis ini membunuhku, nyawaku akan selalu mengejarnya. Sebelum menghancurkan kepalanya, nyawaku akan terus menjadi setan penasaran!”

Toat-beng Hui-houw tertawa ha-ha-he-he sambil memandang bergantian kepada kedua anak itu.

“Hemm, aku tidak suka melihat matamu melotot terus memandangku. Kau akan kumakan dulu otakmu!” katanya kepada Kwan Cu sambil mendekati anak itu.
“Bagus, Toat-beng Hui-houw, mau bunuh lekaslah bunuh, aku tidak takut! Akan tetapi kalau kau berani mengganggu Sui Ceng, hemm... kurasa kau tidak akan lama sanggup mempertahankan kepalamu yang botak itu, karena gurunya, Kiu-bwe Coa-li, tentu selalu akan mengejar-ngejarmu!”

Benar saja, mendengar nama ini, berubahlah wajah Toat-beng Hui-houw. Dia memang tahu bahwa Sui Ceng adalah murid Kiu-bwe Coa-li, nenek sakti yang ditakutinya, dan tadi dia lupa sama sekali akan nenek ini. Matanya segera jelalatan ke kanan kiri, mencari-cari kalau-kalau nenek itu berada di dekat situ.

“Aku harus cepat-cepat membereskan kalian!” katanya dan tangannya sudah diangkat tinggi untuk memukul pecah kepala gundul itu.

Akan tetapi, kata-kata Kwan Cu tadi mengingatkan Sui Ceng akan gurunya, maka ia lalu mengumpulkan tenaga dan menjerit keras sekali.

“Suthai...! Tolong teecu!”

Mendengar jeritan itu, Toat-beng Hui-houw terkejut sekali. Ia tidak jadi memukul kepala Kwan Cu, bahkan sebaliknya dengan sekali meloncat dia telah berada di dekat Sui Ceng dan kedua tangannya mencekik leher anak itu.

“Jangan membuka mulut, kau...!”

Akan tetapi, jeritan Sui Ceng tadi sudah membangunkan Kiu-bwe Coa-li dari keadaannya yang seperti sedang mimpi di pinggir telaga. Pada saat itu, pancingnya sedang digondol ikan dan ia tengah menikmati perjuangan ikan itu yang hendak melepaskan pancing yang mengait mulutnya. Mendadak dia mendengar jerit muridnya dan bagaikan seekor burung garuda yang dikagetkan oleh sesuatu, tubuhnya berkelebat ke arah suara muridnya.

“Toat-beng Hui-houw, lepaskan muridku kalau kau tak ingin mampus!” bentaknya marah dan disusul oleh bunyi bergeletar keras sekali.

Dalam kemarahannya, Kiu-bwe Coa-li telah mengeluarkan cambuknya dan kini sembilan helai bulu cambuk menyambar-nyambar mengancam di atas kepala Toat-beng Hui-houw.

Kakek berkuku panjang itu melepaskan cekikannya, akan tetapi dia memegangi tangan Sui Ceng dan berkata menyeringai.
“Kiu-bwe Coa-li, siapa mau mengganggu muridmu? Aku hanya main-main saja.”
“Bangsat tua bangka! Siapa tidak mengenal watakmu yang curang? Hayo kau lepaskan muridku. Berlaku lamban berarti kepalamu akan hancur oleh cambukku!” Kiu-bwe Coa-li mengancam dengan sikap garang sekali.

“Ha-ha-ha! Bila aku curang, apakah kau juga boleh dipercaya? Muridmu berada di dalam tanganku dan cobalah kau bergerak kalau berani. Sebelum aku terkena cambukmu, pasti nyawa muridmu akan melayang lebih dulu!”
“Apa yang kau kehendaki manusia jahat?” Kiu-bwe Coa-li ragu-ragu untuk menyerang, karena maklum bahwa Toat-beng Hui-houw bisa membuktikan ancamannya itu.
“Aku mau melepaskan muridmu ini, akan tetapi bocah gundul ini akan kubawa. Otaknya bagus sekali untuk punggungku yang suka sakit pada musim dingin karena sudah kurang isinya! Dan pula, sebelum aku melepaskan muridmu, lebih dulu kau harus berjanji tidak akan menyerangku!”

Kiu-bwe Coa-li memutar otaknya. Dia lebih menyayangkan nyawa muridnya dan tentang Kwan Cu, ia tidak peduli akan anak itu. Maka ia lalu berkata dengan suara dingin,

“Kau mau bawa anak gundul itu, bukan urusanku. Kalau kau melepaskan muridku, aku pun tak sudi berurusan dengan orang macam kau lagi!”

Tadinya memang Kiu-bwe Coa-li sangat membutuhkan bantuan Kwan Cu. Akan tetapi sekarang anak itu sudah memberi tahu tentang kitab sejarah yang menjadi petunjuk di mana adanya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, dan kitab itu sudah dicuri oleh Jeng-kin-jiu, maka untuk apa lagi membawa anak itu? Membikin repot saja!

Setelah mendengar kata-kata gurunya ini, Sui Ceng terkejut sekali.

“Suthai, jangan berikan Kwan Cu kepadanya! Siluman itu hendak memecahkan kepala Kwan Cu dan hendak makan otaknya!”
“Peduli amat! Aku tidak perlu lagi dengan anak itu!” jawab subo-nya.

Ada pun Toat-beng Hui-houw, sesudah mendengar janji yang dikeluarkan oleh Kiu-bwe Coa-li, menjadi girang dan segera melepaskan Sui Ceng. Kemudian dia melompat dan mengempit tubuh Kwan Cu, pergi dari situ sambil berkata,

“Selamat tinggal, Kiu-bwe Coa-li!”
“Siluman jahat, lepaskan Kwan Cu!” Sui Ceng membentak dan hendak mengejar.
“Sui Ceng, jangan kejar dia!” Gurunya mencegah.
“Suthai, dia hendak membunuh Kwan Cu! Dan dialah pembunuh ibuku! Bagaimana teecu harus diam saja?” Kembali Sui Ceng menggerakkan kedua kakinya hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba gurunya memegang pundaknya sehingga dia tidak dapat bergerak lagi.
“Tidak, Sui Ceng. Aku telah memberi janjiku tak akan mengganggunya. Soal pembalasan dendam, mudah saja. Lain kali kalau kita bertemu dengan dia, pasti dia tidak akan kuberi ampun lagi. Kali ini aku terpaksa melepaskannya, karena kalau tidak, kau tadi tentu akan dibunuhnya.”

Sui Ceng memandang ke arah bayangan Toat-beng Hui-houw yang membawa Kwan Cu dan air matanya membanjir keluar.

“Kwan Cu...! Kwan Cu...!” Ia menjerit-jerit dengan hati perih.

Kwan Cu yang dikempit oleh Toat-beng Hui-houw dan dibawa lari cepat, merasa sangat mendongkol kepada Kiu-bwe Coa-li.

“Kiu-bwe Coa-li benar-benar orang bong-im-pwe-gi (orang tak kenal budi). Walau pun dia mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, mana dapat dia membacanya? Dan orang macam Toat-beng Hui-houw ini dengan kepandaiannya yang rendah dan sifatnya yang pengecut, mana bisa dia menjagoi di dunia kang-ouw?”

Mendengar kata-kata ini, Toat-beng Hui-houw cepat-cepat melepaskan kempitannya dan menurunkan Kwan Cu di atas tanah.

“Kau bicara apa tadi?” tanyanya.
“Aku bicara sendiri, apa hubungannya dengan kau?”
“Aku hendak makan otakmu, akan tetapi jika otakmu miring, jangan-jangan aku akan ikut menjadi gila. Kau bicara seorang diri, bila tidak miring otakmu, apa lagi? Kau sebut-sebut Im-yang Bu-tek Cin-keng, kau tahu apakah tentang kitab itu?”

“Toat-beng Hui-houw, kau bermimpi! Kiu-bwe Coa-li membawaku, ada perlu apakah jika tidak menghendaki kitab itu? Hanya aku seorang yang akan bisa mendapatakan kitab itu. Sayang kitab itu akan terjatuh ke dalam tangan orang yang tidak pandai membacanya, karena mendiang Gui-siucai hanya mengajarkan tulisan itu kepadaku seorang,” Kwan Cu dengan cerdik menggunakan akal untuk menarik perhatian orang menyeramkan ini.

“Apa maksudmu? Apakah di dunia ini sungguh-sungguh terdapat kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng?”
“Tentu saja ada! Lima tokoh besar dunia sedang memperebutkan kitab itu dan siapa saja yang mendapatkannya dan bisa membacanya, tentu akan mempunyai kepandaian yang tak terlawan oleh siapa pun juga di dunia ini. Akan tetapi kau, yang mempunyai kesukaan makan otak dan darah, perlu apa bertanya-tanya? Mau bunuh padaku, lekas bunuh, agar aku tidak dipaksa-paksa oleh para tokoh kang-ouw untuk mencarikan kitab itu dan untuk menterjemahkannya!”

“Benarkah kau bisa mencarikan kitab itu, bocah gundul? Di mana adanya kitab itu?”
“Mau apa kau bertanya-tanya?”
“Setan cilik! Bila kau sanggup mendapatkan kitab itu untukku, aku mau menukar dengan kepalamu!”
“Sukar, sukar...! Untuk mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, hanya ada sebuah petunjuk yang terdapat di dalam kitab sejarah peninggalan Gui Tin siucai.”
“Di mana adanya kitab sejarah itu?“ Toat-beng Hui-houw mendesak dan Kwan Cu girang sekali melihat umpannya mulai berhasil.
“Kitab itu telah dicuri oleh Ang-bin Sin-kai!”

Terbelalak mata Toat-beng Hui-houw mendengar ini.

“Sukar kalau begitu!” Ia menggeleng-gelengkan kepalanya yang botak, lalu memandang ke arah Kwan Cu yang gundul kelimis, agaknya mulai tertarik lagi dengan otak di dalam kepala gundul itu.

Kwan Cu cepat berkata, “Apa sukarnya! Memang, kepandaian Kiu-bwe Coa-li amat tinggi dan seandainya kitab itu berada di tangannya, akan sukarlah bagimu merampasnya. Akan tetapi Ang-bin Sin-kai...? Kakek yang berpenyakitan itu? Ahh, menghadapi Kiu-bwe Coa-li saja dia kalah jauh dan tidak dapat menahan serangan nenek itu lebih dari sepuluh jurus!”

“Apa katamu? Ang-bin Sin-kai terkenal dengan kepandaiannya yang amat tinggi!”
“Toat-beng Hui-houw, kalau tidak percaya, sudahlah. Aku tidak mau banyak bicara lagi.”

Toat-beng Hui-houw mulai tertarik lagi melihat sikap Kwan Cu.

“Bocah gundul, betul-betulkah kata-katamu itu?”
“Siapa membohong? Ang-bin Sin-kai mendapatkan kitab itu atas bantuanku. Kemudian dia dan aku bertemu dengan Kiu-bwe Coa-li dan aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa dia melarikan diri setelah dihajar oleh cambuk Kiu-bwe Coa-li. Kini dia lari dan dikejar-kejar oleh Kiu-bwe Coa-li, dan hanya aku yang tahu di mana Ang-bin Sin-kai dengan kitab sejarah yang dibawanya itu?”
“Di mana?”
“Di kota raja!”

Toat-beng Hui-houw berpikir-pikir sejenak. Apa salahnya kalau dia pun mencoba-coba mendapat kitab sejarah itu untuk kemudian mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng! Sudah lama dia mendengar tentang kitab pelajaran yang tiada bandingannya di dunia ini dan apa bila benar-benar dia dapat mendapatkan kitab itu atas bantuan anak gundul ini, bukankah dia akan menjagoi di seluruh permukaan bumi? Ia tidak akan perlu takut lagi menghadapi Kiu-bwe Coa-li dan tokoh-tokoh lain.

Sedangkan anak ini... andai kata dia membohong, masih belum terlambat baginya untuk memecahkan batok kepalanya dan makan otaknya. Dan lagi, apa salahnya kalau kelak setelah dia bisa mendapatkan Im-yang Bu-tek Cin-keng atas bantuan anak ini, dia makan juga otaknya?

“Kalau begitu, mari kita menyusul ke kota raja,” katanya kemudian.
“Apa kau tidak mau makan otakku lagi?” tanya Kwan Cu berani.
“Tidak, otakmu perlu kupergunakan untuk mencari Im-yang Bu-tek Cin-keng. Akan tetapi awas, apa bila tidak berhasil mendapatkan kitab itu, tidak hanya otakmu yang kumakan, juga darahmu kuminum habis-habis!”

Kwan Cu mengangkat pundak, acuh tak acuh. “Apa bedanya? Kalau aku mati, otakku akan dimakan cacing dan darahku diminum semut! Masih jauh lebih baik kalau dimakan dan diminum oleh seorang manusia seperti kau sekali pun!”

Akan tetapi Toat-beng Hui-houw tidak mau banyak cakap lagi dan setelah membebaskan Kwan Cu dari totokannya, dia segera menggandeng tangan anak ini dan diajaknya berlari cepat sekali menuju ke kota raja.

“Kita harus mendahului Kiu-bwe Coa-li ke kota raja, kemudian merampas kitab sejarah itu dari tangan Ang-bin Sin-kai!” Kwan Cu berkata

Ucapan ini lalu membuat Toat-beng Hui-houw membawanya berlari seperti di kejar setan cepatnya. Menuju ke kota raja…..
********************
Ang-bin Sin-kai sudah mulai tidak sabar dan gelisah sekali memikirkan keadaan Kwan Cu, karena selama dia berada di kota raja, belum juga kelihatan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu datang. Juga belum kelihatan bayangan Kiu-bwe Coa-li.

Sudah beberapa hari dia berada di kota raja, tiga kali dia masuk ke dalam dapur istana menikmati masakan-masakan yang langka terdapat di luar istana. Bahkan dia pernah mendatangi gedung Lu Pin adiknya secara diam-diam untuk melihat apakah Jeng-kin-jiu sudah kembali ke kota raja. Dari gedung adiknya dia pergi ke rumah Lu Seng Hok ayah Lu Thong, akan tetapi juga di situ sunyi tidak kelihatan Jeng-kin-jiu atau Lu Thong.

Ia sudah mulai bosan menanti dan pada malam ke empat, kembali dia memasuki dapur istana lalu mabuk-mabukan seorang diri di dalam dapur itu. Tiba-tiba saja dia mendengar suara genteng dibuka orang dan tahu-tahu berkelebat bayangan seorang kakek yang melayang turun dengan seorang anak laki-laki gundul. Anak itu bukan lain adalah Kwan Cu dan kakek itu adalah Toat-beng Hui-houw.

“Ang-bin Sin-kai, lekas kau serahkan kitab sejarah peninggalan Gui-siucai itu kepadaku!” Toat-beng Hui-houw membentak.

Kakek berkuku panjang ini masih belum percaya betul kepada Kwan Cu dan ketika dia merhadapan dengan Ang-bin Sin-kai, dia masih memegangi pergelangan tangan Kwan Cu. Kalau anak ini ternyata membohong, dia akan membunuhnya terlebih dulu.

Kwan Cu juga maklum akan hal ini. Karena itu dia memandang kepada Ang-bin Sin-kai dengan muka khawatir sambil memutar otaknya.

“Kitab sejarah yang mana?” Ang-bin Sin-kai menjawab sambil mengerutkan keningnya. “Toat-beng Hui-houw, apakah kau sudah menjadi gila? Kau membunuh anak-anak murid Kim-san-pai dan Thian-san-pai sehingga menyusahkan kepadaku, sekarang kau datang menuduh yang bukan-bukan lagi! Benar-benar kau sudah miring otakmu!”

Mendengar jawaban ini, Toat-beng Hui-houw sudah menekan lebih keras di pergelangan tangan Kwan Cu, membuat anak itu kesakitan sekali dan hampir memekik. Akan tetapi Kwan Cu menahan rasa sakit, lalu menudingkan jari telunjuknya kepada Ang-bin Sin-kai.

“Ang-bin Sin-kai, kau orang tua benar-benar licik sekali! Bukankah kitab itu dahulu selalu kau bawa-bawa? Kenapa sekarang tidak mengaku?”

Selagi Ang-bin Sin-kai memandang terheran-heran, Kwan Cu berkata kepada Toat-beng Hui-houw,

“Locianpwe, mengapa kau begitu bodoh dan mau percaya pada omongannya? Dia telah membohongimu! Lihat saja, mukanya sudah berubah merah sekali, itulah tandanya dia membohong. Aku percaya bahwa kitab itu tentu berada di dalam saku bajunya. Lekas serang dia dan rampas kitab itu!”

Toat-beng Hui-houw ragu-ragu dan memang otaknya agak bodoh maka dia mau percaya omongan anak ini. Dia melepaskan cekalannya pada pergelangan tangan Kwan Cu dan memandang kepada Ang-bin Sin-kai dengan mata terbelalak.

Sebaliknya, Ang-bin Sin-kai adalah seorang yang cerdik dan sekelebatan saja dia dapat melihat betapa pergelangan tangan Kwan Cu yang dipegang oleh Toat-beng Hui-houw tadi menjadi matang biru, maka dia lalu tertawa bergelak sambil berkata,

“Toat-beng Hui-houw, kalau kau goblok, adalah anak gundul itu pintar sekali tidak kena ditipu. Misalnya benar kitab itu berada di tanganku, habis kau mau apa?”
“Berikan kepadaku!” Toat-beng Hui-houw membentak kemudian serentak menubruk maju sambil mengulur sepasang tangannya yang berkuku panjang seperti cakar harimau.
Ang-bin Sin-kai mengelak cepat sambil tertawa-tawa.
Sekarang Kwan Cu cepat melompat ke pinggir dan berubahlah air mukanya, kini gembira sekali.

“Suhu, pukul batang hidungnya! Kemplang kepala botaknya! Siluman ini tadinya hendak makan otak teecu, sehingga terpaksa teecu membawanya ke sini kepada Suhu!”

Dengan keterangan ini, semakin jelaslah bagi Ang-bin Sin-kai bahwa entah bagaimana, muridnya itu terjatuh ke tangan Toat-beng Hui-houw dan dengan mempergunakan akal, Kwan Cu berhasil memancing siluman ini untuk mencari dirinya dengan alasan hendak merampas kitab sejarah yang dapat menunjukkan tempat kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Mengingat akan hal ini, makin besarlah suara ketawa Ang-bin Sin-kai.

Ada pun Toat-beng Hui-houw saat mendengar Kwan Cu menyebut Suhu kepada Ang-bin Sin-kai, sadar bahwa dia telah ditipu oleh bocah gundul itu, akan tetapi sekarang dia tak memiliki kesempatan lagi untuk menyerang Kwan Cu, karena Ang-bin Sin-kai juga sudah membalas serangan-serangannya dan mendesaknya dengan hebat.

Segera Toat-beng Hui-houw mengeluh dalam hatinya ketika beberapa kali ia menyerang tetapi selalu dapat dielakkan oleh Ang-bin Sin-kai dengan amat cepatnya, bahkan kakek pengemis itu melayaninya sambil tertawa-tawa dan bahkan berani menangkis tangannya yang berkuku panjang dan yang mengandung racun!

“Ang-bin Sin-kai, kau tua bangka busuk bersama muridmu anjing kecil gundul itu hari ini harus mampus dalam tanganku!” bentaknya.

Toat-beng Hui-houw lantas menerkam sambil menggunakan ilmu silatnya yang paling dia andalkan, yaitu Ilmu Silat Hui-houw Lo-lim (Macan Terbang Mengacau Hutan). Sepuluh kuku jari tangannya tiba-tiba mulur panjang dan runcing, dan gerakkannya tiada bedanya dengan seekor harimau yang ganas sekali.

Tidak hanya kedua tangannya yang bergerak mencakar-cakar seperti harimau, juga dua kakinya yang telanjang itu menendang-nendang bagai kaki harimau yang mencakar! Dari tenggorokannya keluar suara gerengan-gerengan yang menggetarkan tiang-tiang dapur istana itu, bahkan Kwan Cu yang berdiri di pinggir berdebar jantungnya mendengar suara yang mirip suara harimau besar ini.

“Toat-beng Hui-houw, seekor harimau pun tidak sebodoh dan seganas kau tua bangka tak tahu malu!” Ang-bin Sin-kai balas memaki.

Tetapi dia segera menghadapi serangan-serangan yang bukan main ganasnya. Ang-bin Sin-kai memang belum pernah bertempur melawan kakek berkuku panjang ini. Sungguh pun kedua orang kakek ini sudah pernah bertemu, namun baru kali ini mereka mendapat kesempatan mengadu kepandaian dan mengukur tenaga masing-masing!

Kwan Cu menonton pertempuran itu dengan hati gembira. Ia berdiri bertolak pinggang dan berkata, “Suhu, pukul kepalanya yang botak itu! Dia sudah membunuh Thio-toanio secara keji! Dia benar-benar siluman jahat yang menjelma manusia!”

Mendengar suara Kwan Cu tadi, bukan main mendongkol dan marahnya hati Toat-beng Hui-houw. Dia telah dipermainkan, ditipu dan diejek oleh bocah gundul ini. Kalau saja dia bisa merobohkan Ang-bin Sin-kai, dia tentu akan menangkap bocah gundul itu dan akan mencari jalan yang paling mengerikan untuk membikin mampus setan gundul!

Maka dia kemudian mengeluarkan serangan yang luar biasa cepat dan hebatnya. Kedua tangannya yang berkuku panjang itu menyerang bergantian secara bertubi-tubi laksana ilmu tendangan Lian-hoan-twi. Dari sepuluh kuku jarinya itu tersebar bau yang amat amis memuakkan, menyambar ke arah muka Ang-bin Sin-kai.

Tetapi Ang-bin Sin-kai yang kini telah dapat mengukur inti kepandaiannya dari lawannya, hanya tersenyum-senyum saja dan seperti seorang anak kecil, dia menjatuhkan diri ke belakang lantas berpoksai (membuat salto berjungkir-balik), menggelundung ke belakang seperti bal ditendang.

Inilah gerakan yang di sebut Trenggiling Turun Gunung, yang gerakannya begitu cepat dan wajar sehingga Kwan Cu merasa amat kagum. Dengan gerakan seperti ini, serangan yang bagaimana hebat pun dapat dielakkan dengan mudahnya.

Beberapa jurus lamanya Toat-beng Hui-houw terus menerus mengejar dan menyerang, akan tetapi tiba-tiba Ang-bin Sin-kai tidak merasa lagi adanya sambaran angin serangan lawan. Pada waktu kakek ini melompat berdiri, dia terkejut sekali melihat kini Toat-beng Hui-houw melakukan pukulan maut!

“Manusia curang!” Kwan Cu membentak.

Ang-bin Sin-kai mainkan Ilmu Silat Pai-bun Tui-pek-to untuk mengelak, akan tetapi tetap saja dia terdesak hebat bukan main, meski pun dalam beberapa jurus dia masih berhasil menghindarkan diri dari serangan lawan yang ganas itu.

“Tua bangka tak tahu diri!” Ang-bin Sin-kai memaki.

Dia menggerakkan dua tangan memukul. Sambaran angin pukulannya hebat sekali dan sambaran ini mampu mematahkan dan menumbangkan batang-batang pohon dari jarak jauh.

Toat-beng Hui-houw terkejut bukan main ketika merasa pinggangnya sakit, maka cepat dia membalikan tubuhnya dan mengerahkan lweekang untuk melawan pukulan Ang-bin Sin-kai yang lihai. Kemudian dia menerkam dan kuku-kukunya mencengkeram hendak mencekik leher kakek pengemis itu.

Akan tetapi Ang-bin Sin-kai sekarang telah menjadi marah sekali. Ia mengibaskan kedua tangannya ke arah kuku lawan dan…

“Kraakk!” terdengar suara, maka patah-patahlah semua kuku di ujung tangan Toat-beng Hui-houw dan tubuh kakek ini sendiri terpental, membentur tembok dan roboh pingsan!

Ang-bin Sin-kai memandang kepada Kwan Cu. “Kau mau membalas dendam keamtian Pek-cilan? Nah, sekarang mudah bagimu untuk melakukan hal itu.”

Kwan Cu menengok dan memandang pada Toat-beng Hui-houw yang masih tergeletak pingsan di atas lantai. Memang mudah sekali baginya, hanya dengan sekali pukul atau sekali tendang saja dia dapat membunuh Toat-beng Hui-houw, membalaskan sakit hati Pek-cilan Thio Loan Eng.

Dengan hati gemas Kwan Cu melangkah maju mendekati tubuh Toat-beng Hui-houw yang menggeletak di situ. Dia memegang leher baju kakek itu dan menyeretnya ke arah meja, kemudian dia menarik tubuh Toat-beng Hui-houw dan didudukkan di atas bangku menyandar tembok menghadapi meja. Toat-beng Hui-houw yang masih pingsan itu tidak berdaya dan kini dia terduduk bersandar tembok seperti orang tidur.

Kwan Cu mengambil semangkok besar masakan. Dengan gemas sekali dia memasang mangkok itu di atas kepala botak Toat-beng Hui-houw bagai topi! Masakan yang kuahnya kuning itu mengalir turun ke atas muka kakek ini sehingga kelihatan lucu sekali.

“Tidak, Suhu. Teecu tidak dapat membunuh orang yang sudah tidak berdaya seperti ini,” kata Kwan Cu sambil meninggalkan musuh besar itu.

Diam-diam Ang-bin Sin-kai menjadi girang sekali mendengar ucapan muridnya ini, sebab tadi dia memang hanya mencoba saja untuk menguji sifat kegagahan muridnya.

“Jika begitu, hayo kita lekas pergi dari sini. Mungkin Jeng-kin-jiu sekarang sudah pulang.” Setelah berkata demikian, Ang-bin Sin-kai melompat keluar melalui genteng yang tadi di buka oleh Toat-beng Hui-houw diikuti oleh Kwan Cu yang merasa girang bisa berkumpul kembali dengan suhu-nya.

Pukulan dari Ang-bin Sin-kai tadi betul-betul hebat sekali dan Toat-beng Hui-houw selain menderita patah semua kukunya yang diandalkan, juga menjadi pingsan sampai selama satu malam! Hawa pukulan itu demikian kerasnya sehingga melumpuhkan semua urat di dalam tubuhnya.

Ketika keesokan harinya seorang pegawai dapur istana membuka pintu, dia menjerit dan segera berlari keluar kembali ketika melihat seorang kakek yang aneh sekali duduk di atas bangku menghadapi pintu!

“Tolong... toloooong... ada siluman!” teriaknya sambil berlari-lari.

Seorang penjaga yang mendengar ini ikut berteriak-teriak hingga sebentar saja keadaan menjadi geger. Di antara para penjaga yang kini berkumpul, ada juga yang berhati tabah. Sesudah mendengar penuturan pegawai dapur bahwa di dalam dapur terdapat seorang siluman sedang duduk menghadapi meja dan makan minum, dia cepat membuka pintu dapur dan sambil memegang goloknya dia melangkah masuk.

Kawan-kawannya menjenguk dari pintu dan tidak berani ikut masuk. Ketika penjaga yang tabah ini melihat ke dalam dapur, dia terkejut sekali dan meremanglah bulu tengkuknya. Memang menyeramkan sekali makhluk yang kelihatan duduk menghadapi meja itu. 

Seorang kakek botak yang wajahnya menyeramkan dan bersikap aneh sekali, bertopi mangkok dan mukanya penuh benda cair berwarna kuning, membuat muka itu nampak makin mengerikan.

“Siluman dari manakah yang berani mengacau di dapur istana?” Penjaga ini membentak sambil melangkah maju, siap dengan goloknya di depan dada.

Akan tetapi pada saat itu, Toat-beng Hui-houw baru saja siuman kembali dari pingsannya dan kepalanya masih terasa pening. Dia membuka matanya, akan tetapi merasa malas untuk bergerak. Dia terus mengejap-ngejapkan matanya karena masih mengingat-ingat akan peristiwa semalam.

Munculnya penjaga di depan pintu dan diikuti teguran penjaga yang memegang golok di depannya itu mengingatkan Toat-beng Hui-houw akan semua pengalamannya dan ingat kembalilah dia bahwa dia masih berada di dalam dapur istana. Dia merasa heran sekali kenapa Ang-bin Sin-kai atau bocah gundul itu tidak membinasakannya, padahal dia telah pingsan tidak berdaya!

Sementara itu, ketika penjaga yang memegang golok tadi telah datang dekat dan melihat bahwa ‘siluman’ itu sesungguhnya seorang kakek botak dan bahwa keseraman mukanya diakibatkan oleh kuah masakan yang mengalir turun dari mangkok yang dijadikan topi, agak lenyap rasa takutnya. Ia menyangka bahwa kakek ini tentulah seorang yang miring otaknya, kalau tidak bagaimana dia memakai mangkok yang penuh masakan sebagai topi?

“Bangsat tua, dari mana kau berani sekali mengacau di sini? Hayo lekas berlutut dan menyerah, kalau tidak golokku akan makan kepalamu!” bentak penjaga itu.

Tetapi Toat-beng Hui-houw masih termenung saja, seakan-akan tidak mendengar seruan penjaga ini. Ada pun para penjaga lainnya ketika mendengar kawannya memaki-maki ‘siluman’ itu, menjadi besar hati dan mulailah mereka memasuki dapur.

Melihat kawan-kawannya sudah ikut masuk, penjaga tadi makin tabah hatinya dan kini membentak keras, “Lihat kupenggal kepala siluman ini!”

Sambil berkata demikian, benar-benar dia mengayunkan goloknya yang tajam itu dan membacok kepala Toat-beng Hui-houw! Akan tetapi, alangkah terkejutnya dia, juga para penjaga yang sudah memasuki dapur saat melihat keajaiban yang mengejutkan.

Ketika golok itu menyambar kepala botak yang kelimis, terdengar suara berdetak seperti golok menyambar batu dan dan bukan kepala botak itu yang terbelah, melainkan gagang golok itu terpental dan terlepas dari pegangan penjaga yang tadi membacoknya karena penjaga itu merasa tangannya sakit!

Kejadian aneh ini disusul oleh suara kakek itu tertawa bergelak menyeramkan sekali, lalu ketika kakek itu berdiri, meja yang berada di depannya mendadak terbang melayang ke arah para penjaga yang berkerumun di depan pintu!

Tentu para penjaga menjadi kaget dan ketakutan. Mereka cepat bergerak mengelak atau menangkis meja yang tiba-tiba hidup dan menyambar kepala mereka itu. Ketika akhirnya meja itu dapat dilemparkan ke pinggir dan mereka memandang, ternyata bahwa kakek botak itu telah lenyap dari dapur itu!

“Celaka, benar-benar siluman...!” kata mereka.

Sayang sekali pada hari sepagi itu kepala penjaga Song Cin masih belum hadir sehingga tak dapat menyaksikan peristiwa ini. Sebenarnya, hanya Song Cin seorang yang kiranya akan dapat menghadapi siluman itu.

Ketika Song Cin diberi tahu, perwira ini mengerutkan kening dan menggeleng-gelengkan kepala. Ia juga merasa bingung karena dia tahu bahwa tidak mungkin kakek yang dikira siluman oleh anak buahnya itu Ang-bin Sin-kai adanya. Siapakah kakek yang aneh ini? Pertanyaan ini selamanya hanya akan tetap tinggal sebagai teka-teki yang tidak pernah terjawab olehnya.....

********************
Selanjutnya baca
PENDEKAR SAKTI : JILID-06
LihatTutupKomentar