Pendekar Sakti Jilid 06


Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu baru saja datang dari perantauannya bersama muridnya, Lu Thong. Ayah Lu Thong, yakni Lu Seng Hok dan isterinya, girang sekali melihat putera mereka kembali dengan selamat. Sesungguhnya, Lu Seng Hok dan isterinya tidak suka melihat putera mereka diajak merantau oleh hwesio itu, karena tentu saja mereka merasa khawatir kalau-kalau putera tunggal mereka itu tak akan pulang kembali.

Dengan sikap hormat dan tidak memperlihatkan ketidak senangan hatinya, Lu Seng Hok berkata kepada Jeng-kin-jiu yang tengah makan minum dengan gembira.

“Twa-suhu, kami harap sukalah kiranya Twa-suhu melatih ilmu silat kepada Thong-ji di sini saja dan tidak membawanya ke luar kota, karena kami selalu merasa gelisah dan khawatir. Segala keperluan untuk latihan itu, tinggal Twa-suhu katakan saja maka kami akan sediakan semua.”

Mendengar ini, Kak Thong Taisu tertawa bergelak, lalu minum araknya dari cawan besar sebelum dia menjawab. “Lu-taijin tidak tahu bahwa ilmu silat baru dapat sempurna kalau latihan-latihan itu disertai pula dengan pengalaman pertempuran. Apa gunanya memiliki ilmu silat bila tanpa ada pengalaman-pengalaman pertempuran menghadapi orang-orang pandai? Ilmu silat itu akan mentah, tidak berisi.”

“Betapa pun juga, Twa-suhu, kami berdua lebih-lebih ibu anak itu merasa amat gelisah dan rindu kalau terlalu lama Twa-suhu dan Thong-ji tidak pulang.”

Lu Thong yang hadir pula di situ, lalu berdiri dari bangkunya dan mengerutkan keningnya sambil berkata manja, “Ayah... kenapa ayah melarangku pergi dengan Suhu? Bila mana Suhu pergi merantau, aku harus ikut serta! Ayah tidak tahu betapa senangnya merantau di luar, di dunia bebas, tidak seperti di sini, terkurung dan sempit sekali!”

“Ha-ha-ha!” Jeng-kin-jiu tertawa bergelak, “Memang lebih enak menjadi seperti burung di udara dari pada terkurung dalam sangkar emas!”
“Thong-ji!” Lu Seng Hok membentak anaknya. “Apakah kau sudah tidak mau menuruti omongan ayahmu lagi? Untuk mencapai kedudukan tinggi tidak hanya belajar silat, akan tetapi kau pun harus belajar ilmu surat dengan baik!” Dengan uring-uringan ayah ini lalu meninggalkan ruangan itu setelah memberi hormat kepada Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu yang hanya tertawa saja.

Setelah Lu Seng Hok pergi, Jeng-kin-jiu berkata dengan suara bersunguh-sungguh pada muridnya, “Lu Thong, kata-kata ayahmu tadi ada benarnya. Lihatlah aku ini, selamanya menjadi seorang perantau yang tidak memiliki rumah tangga yang baik. Bahkan menjadi hwesio pun tidak mempunyai kelenteng untuk tempat tinggal. Kau keturunan orang besar dan apa bila kelak tidak menduduki pangkat tinggi, tentu akan mengecewakan hati para leluhurmu.”

“Akan tetapi teecu lebih senang belajar ilmu silat dari pada ilmu surat, Suhu. Teecu ingin mempunyai kepandaian silat yang paling tinggi!” bantah Lu Thong.

Jeng-kin-jiu tertawa. “Enak saja kau bicara. Apa kau kira belajar ilmu silat itu ada batas tingginya sampai mencapai tingkat tertinggi? Tak mungkin. Gunung Thai-san yang begitu tinggi pun masih ada langit di atasnya, apa lagi kepandaian orang. Kecuali kalau kau bisa mempelajari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng...”

Lu Thong tertarik sekali. Akan tetapi sebelum dia mengajukan pertanyaan, tiba-tiba saja terdengar bentakan halus.
“Tua bangka gundul, lekas kau serahkan kitab sejarah peninggalan Gui-siucai padaku!”

Bentakan ini lantas disusul melayangnya tubuh Kiu-bwe Coa-li bersama Sui Ceng yang memasuki ruangan itu. Sikap Kiu-bwe Coa-li mengancam sekali, di tangannya telah siap cambuknya yang lihai sehingga Jeng-kin-jiu menjadi amat terkejut dan tak berani berlaku sembrono. Dia melompat bangun sambil menyambar toyanya yang tadi disandarkan di tembok dekat tempat duduknya.

“Kiu-bwe Coa-li, kau setan betina dari selatan! Kau datang-datang bicara mengacau tidak karuan, apakah aku terlihat seperti seekor cacing buku maka kau bilang aku menyimpan kitab sejarah? Lebih baik simpan cambukmu yang menjijikkan itu dan mari kita minum arak wangi!”

“Gundul busuk! Siapa sudi minum arakmu yang masam? Tak usah berpura-pura suci dan pinni tidak mempunyai banyak waktu untuk mengobrol. Kau sudah mencuri kitab sejarah peninggalan Gui Tin di dalam goanya di lereng Liang-san. Sekarang lebih baik lekas kau serahkan kitab itu kepada pinni kalau kau tak ingin kepalamu yang gundul itu retak-retak oleh cambukku!”

Mendengar ucapan ini, darah Jeng-kin-jiu langsung naik ke ubun-ubun saking marahnya. Sepasang matanya yang bundar itu melotot hampir keluar dari ruangnya. Hidung serta bibirnya bergerak-gerak seperti bibir kuda mencium asap.

“Kau... kau... benar-benar kurang ajar sekali, Kiu-bwe Coa-li! Kau tidak ingat bahwa kita sama-sama dari selatan? Apa kau mau merendahkan jago-jago selatan?”
“Tutup mulutmu dan serahkan kitab itu!” kata Kiu-bwe Coa-li yang memang wataknya keras luar biasa.
“Ayaaa...!” Jeng-kin-jiu menggelengkan kepalanya yang bundar, “kau benar-benar sudah kemasukan iblis-iblis dari laut selatan! Pinceng tidak membawa kitab itu, juga andai kata ada, tak mungkin kuserahkan kepadamu!”

Pada saat itu, Lu Thong yang semenjak tadi memandang kepada Kiu-bwe Coa-li dengan mata terbelalak dan perasaan mendongkol berkata, “Suhu, inikah Kiu-bwe Coa-li yang sering kali Suhu sohorkan? Apa bila hanya seperti ini, mengapa banyak tanya-tanya lagi, Suhu? Orang sombong biasanya rendah kepandaiannya!”

Sui Ceng marah sekali dan melompat ke depan Lu Thong, lalu menampar pipi Lu Thong. Oleh karena pakaian Lu Thong seperti anak bangsawan dan terpelajar, maka Sui Ceng mengira bahwa anak ini tidak pandai ilmu silat. Akan tetapi siapa sangka bahwa sekali menggerakkan kepalanya saja, Lu Thong telah dapat mengelak dari serangannya!

“Bangsat mewah, kau memang patut diberi hajaran!” Setelah berkata demikian, Sui Ceng melompat dan menerjang Lu Thong yang segera menyambutnya gembira.
Memang Lu Thong amat suka menghadapi lawan tangguh. Kini bertempur melawan anak murid Kiu-bwe Coa-li, sungguh merupakan ujian yang bagus sekali baginya. Jeng-kin-jiu memandang kepada dua orang anak yang sudah bertanding itu, lalu tertawa bergelak-gelak.

“Kiu-bwe Coa-li, kau tunggu apa lagi? Lekaslah turun tangan atau lekas minggat saja dari sini!” sambil berkata demikian, toyanya digerakkan sehingga meja bangku yang membuat ruangan itu menjadi sempit, beterbangan ke kanan kiri. Baru sambaran angin toyanya saja sudah dapat membuat meja bangku terlempar jauh, dapat diduga betapa besarnya tenaga gwakang hwesio gendut ini.
“Jeng-kin-jiu, mampuslah kau hari ini!”

Kiu-bwe Coa-li menggerakkan cambuknya dan sembilan helai bulu cambuk itu memenuhi ruangan karena menyambar ke arah Jeng-kin-jiu dari segala jurusan! Kakek gundul ini melompat menjauhi lawannya karena dia anggap tidak baik bertempur di dekat tempat dua orang anak itu bertanding.

Maka pertempuran terpecah pada dua tempat dan begitu Jeng-kin-jiu memutar toyanya, angin dingin menyambar-nyambar dan selalu mampu menahan datangnya ujung cambuk yang ekornya ada sembilan itu. Namun sebaliknya, toyanya juga tidak diberi kesempatan menyerang, oleh karena gerakan sembilan ekor cambuk itu benar-benar cepat sekali dan datang secara bertubi-tubi.

Ada pun Lu Thong yang bertanding dengan Sui Ceng, merasa kagum bukan main. Dari pembawaannya, Sui Ceng memang anak yang mempunyai kelincahan serta kecepatan gerakan tubuh. Kemudian, sesudah dilatih oleh Kiu-bwe Coa-li, maka ginkang dari anak perempuan ini menjadi luar biasa sekali. Tubuhnya berkelebatan menyambar-nyambar laksana seekor tawon yang licah sekali.

Akan tetapi, Lu Thong juga mempunyai kepandaian yang cukup tinggi. Biar pun matanya agak kabur karena kecepatan gerakan Sui Ceng, namun dia selalu dapat mengelak atau menangkis serangan gadis cilik itu.

Tadi begitu melihat Sui Ceng serta mendengar gadis cilik ini berbicara, diam-diam Lu Thong merasa kagum dan sayang. Hatinya yang sudah mulai dewasa itu tertarik oleh Sui Ceng bagaikan sebatang jarum tertarik oleh besi sembrani. Dia menganggap Sui Ceng demikian lincah, lucu dan sangat manis, apa lagi sesudah kini dia menyaksikan kelihaian Sui Ceng, benar-benar Lu Thong suka sekali pada gadis ini.

Oleh karena itu, dia tidak mau membalas serangan Sui Ceng dengan hebat dan hanya menangkis atau membalas sekedarnya untuk menjaga jangan sampai dia terdesak hebat saja. Karena sesungguhnya, biar pun kepandaian mereka seimbang atau bahkan boleh dibilang Sui Ceng menang cepat, namun tenaga Lu Thong besar dan kini pemuda cilik ini sudah pandai sekali memainkan Ilmu Silat Kong-jiu Toat-beng (Dengan Tangan Kosong Mencabut Nyawa), yaitu ilmu silat yang diwarisinya dari Ang-bin Sin-kai melalui gurunya sebagaimana telah dituturkan di bagian depan dari cerita ini.

Oleh karena itu, pertempuran antara Sui Ceng dengan Lu Thong juga ramai sekali dan seimbang. Seperti juga pertempuran antara Kiu-bwe Coa-li dan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, sukar dikatakan siapa yang akan menang di antara dua orang murid ini.

Orang-orang di gedung itu mulai geger setelah mereka mengetahui bahwa di ruangan ini terjadi pertempuran hebat sekali. Para penjaga datang, akan tetapi Lu Thong membentak mereka supaya jangan ikut campur. Pula, bagaimana para penjaga itu berani campur tangan kalau dari gerakan toya dan cambuk itu anginnya saja cukup kuat untuk membuat mereka terdorong mundur? Juga Lu Seng Hok berdiri menonton dengan hati gelisah.

Sambil menggerakkan toyanya yang hebat, Kak Thong Taisu berkali-kali memaki dan mentertawakan Kiu-bwe Coa-li yang dianggapnya sebagai orang yang lagi kemasukan iblis, yang menuduh orang sesuka hatinya dan lain-lain.

Kalau semua orang yang menyaksikan pertempuran ini merasa gelisah, ada dua orang lain yang berada di atas genteng dan menyaksikan pertempuran itu dengan hati merasa geli. Mereka ini adalah Ang-bin Sin-kai dan Kwan Cu!

“Tua bangka-tua bangka di bawah itu sudah gila semua. Ha-ha-ha, kini mereka sedang memperebutkan sumur tak berair! Tak salah dugaanku, tentu yang mencuri kitab sejarah itu adalah Hek-i Hui-mo. Pantas saja larinya dahulu itu cepat bukan main,” kata Ang-bin Sin-kai.

“Akan tetapi, Suhu. Bukankah Hek-i Hui-mo tidak pernah membawa-bawa muridnya dan sepanjang pengetahuan kita, dia tidak mempunyai murid?”
“Siapa tahu? Aku pun tadinya tak pernah berpikir punya murid sebelum bertemu dengan kau. Sudahlah, hayo kita pergi menyusul Hek-i Hui-mo!”

Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai melompat pergi dari situ, diikuti oleh Kwan Cu. Akan tetapi, Kwan Cu adalah seorang anak yang memiliki pribudi tinggi. Melihat betapa Kiu-bwe Coa-li bertempur mati-matian dengan Jeng-kin-jiu hanya untuk memperebutkan sesuatu yang kosong, dia merasa tidak tega.

Terutama sekali terhadap Jeng-kin-jiu, hwesio gendut yang dahulu sudah memberi nama kepadanya itu. Lebih-lebih lagi karena dia pun melihat betapa Sui Ceng ikut bertempur hebat melawan Lu Thong. Maka sebelum dia melompat untuk menyusul suhu-nya, dia bernyanyi dengan suara keras karena dia mengerahkan khikang-nya.

Anjing-anjing bodoh berebut tulang
tanpa ingat bahaya kehilangan nyawa.
Tak tahunya serigala belang
membawa lari tulang sambil tertawa.

Tadi ketika Ang-bin Sin-kai dan Kwan Cu berada di atas genteng, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu dan Kiu-bwe Coa-li tentu saja dapat mendengar, terutama sekali suara tindakan kaki Kwan Cu yang belum begitu tinggi ginkang-nya seperti Ang-bin Sin-kai.

Akan tetapi oleh karena kedua orang yang bertempur ini menghadapi lawan yang amat berat, mereka tak dapat dan tidak berani memecah perhatian yang berarti memperlemah pertahanan sendiri. Mereka hanya tahu bahwa di atas genteng ada orang-orang pandai yang mengintai dan menonton pertempuran mereka.

Akan tetapi ketika mendengar suara nyanyian Kwan Cu yang keras itu, mereka menjadi terkejut dan otomatis mereka menarik senjata masing-masing.

“Sui Ceng, berhenti!” seru Kiu-bwe Coa-li kepada muridnya.

Ada pun Jeng-kin-jiu yang juga mendengar nyanyian itu, tertawa bergelak. “Ha-ha-ha! Si gundul Kwan Cu benar-benar tepat sekali memaki kita! Memang kita anjing-anjing bodoh berebut tulang. Ehh, Kiu-bwe Coa-li, apakah kau masih belum insyaf bahwa kau sudah memperebutkan sesuatu yang kosong dan yang sudah dibawa lari oleh serigala belang seperti dinyanyikan Kwan Cu tadi?”

“Jadi Kwan Cu yang bernyanyi tadi?” Sui Ceng berkata dan wajahnya tiba-tiba berubah girang bukan main. Cepat anak ini melompat keluar dan melayang ke atas genteng untuk melihat.
“Bodoh, mereka telah pergi!” kata Kiu-bwe Coa-li.

Hal ini memang benar, karena ketika Sui Ceng tiba di atas genteng, di atas sunyi tidak nampak bayangan seorang manusia pun. Gadis cilik itu pun turun kembali.

Melihat wajah Sui Ceng nampak girang, Lu Thong menjadi iri hati dan cemburu. Ia tidak tahu bahwa Sui Ceng merasa girang bukan main mendengar suara Kwan Cu, karena itu hanya berarti bahwa Kwan Cu sudah berhasil menyelamatkan diri dari bahaya maut di tangan Toat-beng Hui-houw yang menyeramkan!

Lu Thong mengira bahwa Sui Ceng suka kepada Kwan Cu, maka dia pun berkata, “Ahh, pengemis kecil gundul itukah? Sayang, jika dia tidak pergi, tentu akan kuberi kesempatan untuk dia menebus kekalahannya dariku dahulu.”

“Sombong! Orang macam kau akan dapat mengalahkan dia?” bentak Sui Ceng. Biar pun dia mengerti bahwa Lu Thong memang lebih pandai dari pada Kwan Cu, namun dia tidak senang mendengar Kwan Cu dihina.

Ada pun Kiu-bwe Coa-li, sesudah mendengar nyanyian Kwan Cu tadi, timbul keraguan di dalam hatinya. Siapa tahu kalau dia telah ditipu oleh bocah gundul itu dan sengaja diadu dengan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu? Maka ia lalu bertanya dengan suara bersungguh-sungguh.

“Jeng-kin-jiu, benar-benarkah pinni telah salah sangka dan telah berlaku sembrono?”

Hwesio itu melebarkan matanya dan tertawa. “Bukan hanya sembrono saja, malahan tadi kukira kau telah kemasukan iblis laut selatan! Pinceng bukan kutu buku, mana pinceng menyimpan kitab-kitab? Kalau kitab suci pelajaran Nabi Buddha, tentu saja ada dan jika kau masih ingin memperdalam pengetahuanmu dalam pelajaran itu, bolehlah kau pinjam dari pinceng dengan cuma-cuma tanpa bayar!”

Mendengar ini, Kiu-bwe Coa-li menjadi merah mukanya. “Kalau begitu, maafkan pinni, Jeng-kin-jiu. Memang benar pinni sudah tertipu oleh anak setan itu. Sui Ceng, hayo kita pergi!” kata Kiu-bwe Coa-li kepada muridnya.

Lu Thong buru-buru berkata Sui Ceng. “Nona yang baik, meski pun gurumu minta maaf kepada guruku, namun aku hendak minta maaf kepadamu bahwa tadi aku sudah berani bertempur melawanmu. Harap kau tak berkecil hati dan kita dapat menjadi sahabat baik.”

“Cih, manusia tak tahu malu!” jawab Sui Ceng yang segera melompat menyusul gurunya yang sudah pergi lebih dulu.

Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tertawa bergelak. “Lu Thong, apa kau suka kepada anak itu?” tanyanya.

Tentu saja Lu Thong tak berani menjawab dan mukanya menjadi merah karena malunya. Sementara itu, ayahnya datang menghampiri mereka dan bertanya dengan muka kurang senang.

“Siapakah mereka tadi dan kenapa kalian bertempur di sini?” matanya tajam memandang anaknya seperti hendak menyatakan betapa tidak baiknya hidup sebagai ahli silat yang bisanya hanya bertempur dan membunuh orang.
“Ayah, mereka itu adalah orang-orang gagah. Nenek tadi adalah Kiu-bwe Coa-li yang sudah tersohor sebagai ahli silat dari selatan yang berilmu tinggi. Kalau bukan Suhu yang menghadapinya, dalam beberapa jurus saja orang lain tentu akan tewas kalau diserang olehnya.”

Lu Thong mengucapkan kata-kata ini dengan muka girang dan penuh kegembiraan, tadi seolah-olah dia bukan berkelahi mati-matian, melainkan menari dalam sebuah pesta dan berjumpa dengan seorang anak perempuan yang manis. Lu Seng Hok ayahnya hanya menggeleng-gelengkan kepala saja dan menarik napas.

Akan tetapi Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tertawa bergelak lalu tubuhnya ‘menggelinding’ ke kamarnya di sebelah belakang, di mana dia terus melempar tubuhnya yang bundar ke atas pembaringan dan sebentar saja terdengar dia mendengkur seperti kerbau.

Ketika melihat kesempatan baik ini, Lu Seng Hok dan isterinya membujuk-bujuk kepada Lu Thong agar supaya anak ini, biar pun menjadi murid Jeng-kin-jiu dan belajar ilmu silat kepadanya, namun jangan mencampuri urusan pertempuran hwesio gundul itu.

“Akan tetapi, ingat. Kau adalah seorang anak dari keluarga berpangkat dan bangsawan, bagaimana kau dapat bercampur gaul dengan segala orang-orang kang-ouw yang kotor dan jahat? Apakah kelak kau akan mencemarkan nama nenek moyangmu?”

“Ayah, bukankah Ang-bin Sin-kai itu juga keluarga kita?”
“Bodoh, kau mau meniru hal yang buruk? Coba kau lihat, alangkah jauhnya perbedaan antara Ang-bin Sin-kai dan Kongkong-mu Lu Pin!”
“Ang-bin Sin-kai lebih terkenal!” bantah Lu Thong.
“Tetapi bukan terkenal kebaikan dan kebesarannya, melainkan tersohor karena jahatnya dan kurang ajarnya. Ahh, Lu Thong, jangan kau mengecewakan hati orang tuamu...”

Melihat ayahnya sudah mulai marah dan ibunya meruntuhkan air mata, Lu Thong cepat menutup mulutnya kemudian menundukkan kepala. Akan tetapi di dalam hatinya, anak ini mentertawakan orang tuanya.

Dan pada malam harinya, pada saat Lu Thong telah tidur, tiba-tiba dia merasa tubuhnya digoyangkan orang dan ketika dia membuka matanya, ternyata suhu-nya telah berdiri di luar jendelanya yang terbuka sambil melambaikan tangan, memberi isyarat kepadanya supaya ikut keluar! Lu Thong tidak sangsi lagi, lalu melompat keluar dari kamarnya.

“Kita pergi sekarang juga!” kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. “Tak usah membawa bekal atau pakaian.”

Melihat kesungguhan muka gurunya yang biasanya selalu tersenyum-senyum dan lucu, Lu Thong agak tertegun. “Baiklah, Suhu. Akan tetapi, kenapa berangkat malam-malam? Ada keperluan amat pentingkah?”

“Kiu-bwe Coa-li telah datang dan menyerangku mati-matian, tentu kitab yang dicarinya itu amat penting. Juga Ang-bin Sin-kai berkeliaran, itu berarti di dunia luar ini terjadi sesuatu yang patut diperhatikan. Apakah kau kira aku suka terbenam di dalam gedung ini saja?”

Maka berangkatlah guru dan murid ini malam-malam, meninggalkan gedung keluarga Lu, tanpa memberi tahu atau berpamit kepada Lu seng Hok dan isterinya yang tentu saja menjadi gelisah setengah mati pada keesokan harinya…..
********************
Ang-bin Sin-kai memang benar-benar merasa sayang kepada Kwan Cu. Hal ini terbukti dari usahanya menyusul Hek-i Hui-mo ke barat, yakni ke Tibet! Baginya sendiri, dia tidak nanti sudi melanggar sumpahnya dan dia tidak akan mau mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng untuk diri sendiri, melainkan karena dia ingin agar supaya muridnya itu dapat mempelajari ilmu kepandaian dari kitab itu.

Padahal, perjalanan ke Tibet bukanlah semudah orang melihat gambar peta bumi saja! Apa lagi pada jaman dahulu, di mana tidak ada jalan sama sekali. Jangankan jalan besar dan rata, bahkan jalan atau lorong kecil pun belum ada.

Perjalanan ke Tibet merupakan perjalanan yang puluhan ribu li jauhnya, melalui gurun, padang pasir bergaram, tanah tandus yang beratus atau beribu li luasnya. Juga melalui gunung-gunung yang luar biasa tingginya, hutan-hutan yang liar dan belum pernah dilalui manusia. Bila sedang melalui gurun pasir, panas membakar kulit, akan tetapi sebaliknya kalau melalui puncak bukit yang tinggi, hawa dingin menggerogoti tulang iga!

Guru dan murid ini melakukan perjalanan selama berbulan-bulan. Dengan amat sulit dan banyak susah payah, akhirnya mereka tiba di Pegunungan Kun-lun-san. Memang kalau orang hendak pergi ke Tibet melalu jurusan utara, maka dia harus melewati Pegunungan Kun-lun-san yang termasuk daerah Tibet Utara.

Namun semua kesukaran perjalanan itu sama sekali tidak terasa oleh Kwan Cu. Bahkan anak ini merasa sangat gembira. Perjalanan yang luar biasa jauhnya ini mendatangkan pengalaman-pengalaman baru yang hebat-hebat dan di sepanjang perjalanan, Ang-bin Sin-kai tidak pernah lalai untuk melatih ilmu silat kepada muridnya.

Kni Kwan Cu sudah mulai menerima gemblengan ilmu-ilmu silat tingkat tinggi sehingga kepandaiannya maju dengan pesat sekali. Di samping itu, juga Ang-bin Sin-kai mengajak muridnya mampir di tempat tinggal para tokoh besar dunia kang-ouw dan selalu mencari kesempatan untuk memperlebar dan memperluas pengetahuan muridnya itu tentang ilmu silat.

“Lihatlah baik-baik, muridku,” katanya jika berhasil minta kepada seorang ahli silat untuk menunjukkan kepandaiannya. “Betapa pun jauh perbedaan gaya dalam permainan silat, tetapi semuanya berdasarkan kekuatan mereka atas kedudukan tubuh dan pemasangan kaki. Memang ini sangat penting, Kwan Cu. Betapa pun bagus dan lihai gerakan serta gayanya, tapi tanpa keteguhan dan kedudukan kaki, dia bukanlah seorang ahli silat yang kuat.”

Pegunungan Kun-lun-san penuh dengan puncak-puncak yang tertutup salju dan di setiap tempat terdapat sungai-sungai es. Melalui daerah seperti ini orang harus berlaku hati-hati sekali. Hampir saja Kwan Cu menemui bencana ketika mereka melewati sebuah sungai es yang lebar.

Permukaan es itu tampak mengkilap kebiru-biruan, yaitu bayangan-bayangan langit yang tercermin ke dalam permukaan es. Pada mulanya Kwan Cu merasa gembira sekali dan berlari-larian di atas es yang licin itu. Ia telah memiliki ginkang tinggi dan juga tubuhnya sudah kuat sehingga dia tidak khawatir terpeleset jatuh.

Akan tetapi, sungguh di luar dugaannya bahwa es itu belum lama membeku sehingga permukaannya masih tipis. Ketika dia berlari dan tiba di bagian yang amat tipis, tiba-tiba pecahlah permukaan kaca es itu dan tubuhnya terjeblos ke bawah.

Air yang luar biasa dinginnya menerima tubuh Kwan Cu dan seketika anak ini menjadi kaku seluruh tubuhnya! Dia cepat menahan napas dan mengerahkan tenaga serta hawa tubuh untuk membuat tubuhnya hangat dan untuk membuat aliran darah pada tubuhnya menjadi lebih cepat. Akan tetapi, hawa dingin dari air yang setengah membeku itu luar biasa sekali dan kalau gurunya tidak cepat turun tangan, pasti nyawa anak ini tidak akan tertolong lagi.

Ang-bin Sin-kai yang sudah banyak pengalamannya tidak mau mengejar ke tempat itu karena kalau dia sendiri sampai terjeblos, walau pun kepandaiannya tinggi, namun belum tentu dia akan dapat melawan serangan hawa dingin yang luar biasa itu. Dia lalu cepat mempergunakan lweekang-nya untuk mencabut sebatang akar yang sangat panjang dari pohon besar yang sudah habis daunnya dimakan salju dan dengan akar ini dia kemudian menolong Kwan Cu.

Anak gundul ini meski pun tubuhnya sudah hampir beku, namun pikirannya masih sadar. Begitu melihat akar, dia cepat menangkapnya dan memegangnya erat-erat, sungguh pun jari-jari tangannya sudah kaku dan sukar digerakkan lagi dan kulit tangannya sudah mati rasa!

Memang, sesungguhnya kakek ini sudah amat tua. Pada waktu Ang-bin Sin-kai masih kanak-kanak, kakek ini telah menjadi seorang tokoh besar dalam dunia persilatan. Tidak saja ilmu silatnya yang tinggi, juga dia terkenal sebagai seorang pendeta yang berpribudi tinggi sehingga namanya terkenal di seluruh dunia.

Sudah menjadi lajim pada jaman itu, ahli-ahli silat datang dari atas gunung atau tempat-tempat sunyi, atau lebih tepat lagi, puncak-puncak gunung yang sunyi paling disuka oleh ahli-ahli silat untuk dijadikan tempat tinggal mereka. Hal ini sudah sewajarnya, karena pada masa itu, ilmu-ilmu silat yang tinggi dimiliki oleh ahli tapa dan pendeta suci.

Ilmu silat yang tinggi memang tidak boleh dipisahkan dengan ilmu batin, maka tentu saja para pendeta yang mempelajari ilmu batin dan memiliki tenaga batin yang kuat dan suci dapat menciptakan ilmu silat yang tinggi. Dan pendeta-pendeta ini memang paling suka bertempat tinggal di puncak gunung-gunung yang sunyi untuk bertapa. Di samping ini, mereka tidak mempunyai pekerjaan sehingga dalam mempelajari ilmu silat, mereka amat tekun dan rajin sehingga memperoleh kemajuan luar biasa.

Seperti juga gunung-gunung besar lainnya, pegunungan Kun-lun-san menjadi perhatian para pertapa. Di puncak-puncak yang tinggi itu banyak sekali bersembunyi orang-orang yang mempunyai kepandaian lihai. Di antaranya, puncak yang tertinggi dijadikan tempat tinggal oleh Seng Thian Siansu. Beberapa tahun kemudian, menyusul tiga orang saudara seperguruannya, yakni Seng Te Siansu, Seng Jin Siansu serta Seng Giok Siansu atau yang disebut Kun-lun Sam-lojin (Tiga Kakek dari Kun-lun-san).

Seng Thian Siansu sudah sangat tua dan memang kalau dibandingkan, usianya berbeda jauh sekali dengan sute-sute-nya, ada sekitar lima puluh tahun selisihnya! Bersama para sute-nya ini, Seng Thian Siansu lalu membentuk partai yang disebut Kun-lun-pai. Mereka telah banyak menerima murid-murid yang berbakat baik sehingga beberapa belas tahun kemudian, nama Kun-lun-pai meningkat dan menjadi harum akibat perbuatan-perbuatan para anak murid mereka yang gagah perkasa dan budiman.

Setelah Seng Thian Siansu merasa dirinya terlalu tua, usianya sudah seratus dua puluh tahun, dia mencuci tangan dan Kun-lun-pai lalu dipegang oleh tiga orang sute-nya yang kemudian terkenal dengan sebutan Kun-lun Sam-lojin itu. Semenjak saat itu, Seng Thian Siansu hanya bertapa saja di dalam goa, sama sekali tak mau mencampuri urusan dunia lagi.

Mengapa sekarang kakek yang sudah tua dan lemah sekali ini memaksa diri keluar dari goa dan bertemu dengan Ang-bin Sin-kai? Mari kita dengarkan percakapannya dengan Ang-bin Sin-kai.

“Benar kata-katamu, Locianpwe. Teecu adalah Lu Sin dan sesungguhnya teecu lewat di Kun-lun-san karena hendak menuju ke Tibet. Akan tetapi, sungguh teecu merasa heran sekali melihat Locianpwe berada di sini dalam keadaan hawa yang sedingin ini. Hendak ke manakah Locianpwe, kalau kiranya teecu boleh bertanya?”

Seng Thian Siansu tersenyum dan kembali Kwan Cu terheran. Bukan hanya matanya yang masih nampak ‘muda’, bahkan gigi kakek ini masih lengkap dan putih rapi!

“Ang-bin Sin-kai, kau ternyata masih belum melupakan sifat-sifatmu yang baik! Memang agaknya sudah dikehendaki oleh Yang Maha Kuasa, maka hari ini pinto terpaksa harus meninggalkan tempat pertapaan dan nasibkulah yang buruk, sehingga tua-tua terpaksa membereskan urusan penasaran.”
“Ah, Locianpwe, urusan apakah gerangan yang memaksa Locianpwe harus turun tangan sendiri? Kalau sekiranya teecu boleh membantu, harap Locianpwe beri tahukan kepada teecu, tentu teecu bersedia membantu sekuat tenaga.”

Kakek itu tersenyum lagi. “Kau masih tetap gagah! Terima kasih, Ang-bin Sin-kai. Marilah kita duduk di sana, nanti kuceritakan apa yang telah mengeruhkan suasana Kun-lun-san yang sunyi bersih ini.”

Ang-bin Sin-kai dan Kwan Cu mengikuti kakek itu yang duduk di atas sebuah batu hitam yang bertumpuk pada sebelah kiri lereng itu. Sesudah duduk dan menaruh tongkatnya di sebelahnya, mulailah Seng Thian Siansu bercerita.

Kurang lebih setahun yang lalu, di Pegunungan Kun-lun-san datanglah lima orang aneh yang memiliki kepandaian amat tinggi. Mereka menyebut diri sebagai Ngo-eng Kiam-hiap (Pendekar-pendekar Pedang Lima Garuda) dan sesudah memilih puncak yang berada di sebelah kanan puncak di mana Seng Thian Siansu mendirikan Kun-lun-pai, mereka lalu menambah sebutan menjadi Kun-lun Ngo-eng (Lima Garuda dari Kun-lun-san)!

Hal ini masih tidak dapat menggoncangkan hati dan pikiran fihak Kun-lun-pai yang selalu mengutamakan kebenaran dan perdamaian. Akan tetapi, pihak Kun-lun Ngo-eng ternyata bukanlah orang-orang yang suka hidup tenteram dan mereka ini tidak puas bahwa di situ ada puncak yang menjadi pusat dari partai Kun-lun-pai yang terkenal.

Beberapa kali mereka sengaja melanggar wilayah atau daerah puncak Kun-lun-san yang didiami oleh Kun-lun-pai, bahkan mereka pernah menghina dan memukul seorang anak murid Kun-lun-pai yang sedang turun gunung. Akan tetapi, tetap saja Kun-lun Sam-lojin berlaku sabar dan menekan marah, karena mereka tidak mau cekcok dengan ‘tetangga’!

Agaknya dari fihak Kun-lun Ngo-eng juga tak berani gegabah terhadap Kun-lun-pai. Oleh karena itu, setelah didiamkan saja, akhirnya mereka juga tinggal diam, tidak melanjutkan kekurang ajaran mereka terhadap Kun-lun-pai.

Akan tetapi, diam-diam Kun-lun Sam-lojin merasa mendongkol dan marah sekali ketika mendengar laporan dari para murid Kun-lun-pai bahwa sebenarnya ‘tetangga’ mereka itu bukanlah orang baik-baik. Bahkan ada beberapa orang anak murid yang melihat dengan mata sendiri betapa kelima orang aneh yang usianya telah tua-tua itu pernah menculik orang-orang muda, laki-laki dan perempuan, dan dibawa ke atas puncak!

Kun-lun Sam-lojin, yaitu Seng Te Siansu, Seng Jin Siansu dan Seng Giok Siansu, hampir tak dapat menahan kemarahan hati mereka dan siap untuk menyerbu. Akan tetapi, ketika Seng Thian Siansu mendengar akan maksud tiga orang sute-nya ini, ia cepat mencegah mereka. Tiga orang tua dari Kun-lun-san ini memang sangat patuh kepada Seng Thian Siansu yang bukan saja menjadi suheng mereka, bahkan boleh di bilang menjadi wakil guru mereka, maka mereka menahan sabar dan mencoba untuk melupakan hal Kun-lun Ngo-eng itu.

Akan tetapi, beberapa hari yang lalu terjadi sesuatu yang menggoncangkan Pegunungan Kun-lun-san. Hal ini terjadi setelah Hek-eng Sianjin, yakni orang termuda dari Kun-lun Ngo-eng, menculik seorang gadis dari dusun yang menjadi tempat tinggal suku bangsa Hui, seorang gadis cantik jelita yang menjadi kembang dusun itu, bahkan ia adalah puteri dari kepala suku bangsa itu.

Tentu saja suku bangsa Hui yang jumlahnya lebih tiga puluh keluarga itu menjadi marah sekali. Mereka mengumpulkan orang-orang lelaki dan empat puluh orang lebih laki-laki tua muda membawa senjata menyerbu ke puncak gunung yang ditinggali oleh Kun-lun Ngo-eng. Akan tetapi, mana bisa mereka menang? Hek-eng Sianjin seorang diri keluar dan begitu pendeta berjubah hitam ini memainkan pedangnya yang lihai, belasan orang langsung roboh dan tewas, sedangkan yang lain-lain lalu melarikan diri.

Tangis riuh-rendah di dalam dusun orang-orang Hui ini menarik perhatian seorang kakek pendek kecil yang kebetulan lewat di dusun itu bersama dua orang anak laki-laki. Kakek ini bukan lain adalah Pak-lo-sian Siangkoan Hai bersama Gouw Swi Kiat dan The Kun Beng murid-muridnya!

“Ehh, ada apakah ribut-ribut ini?” tanyanya pada orang Hui itu.

Kepala suku bangsa Hui segera maju dan berlutut kepada Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Ia dapat melihat bahwa yang datang ini adalah seorang kakek yang luar biasa dan tentunya memiliki kepandaian tinggi.

“Lo-enghiong, kami keluarga Hui tertimpa mala petaka hebat...! Anakku perempuan telah diculik oleh saikong siluman dari puncak Kun-lun-san, dan pada saat aku serta saudara-saudaraku menyerbu ke sana untuk menolong, belasan orang saudaraku bahkan tewas oleh saikong siluman...”

Siangkoan Hai mengerutkan keningnya dan memandang tak percaya.

“Aneh, siapa orangnya yang berani berbuat jahat di sini? Bukankah puncak sebelah barat itu pusat dari Kun-lun-pai yang tersohor? Mengapa kau tidak minta tolong ke sana?”
“Sudah, Lo-enghiong. Kami sudah menghadap Kun-lun Sam-lojin, akan tetapi mereka tak mau turun gunung menolong...”

Siangkoan Hai membelalakkan matanya. “Aneh, aneh! Mengapa begitu?”
“Suhu, lebih baik kita menolong dulu nona yang diculik itu!” kata The Kun Beng tak sabar.
“Memang kita harus lekas menolong, dan hendak kulihat siapakah orangnya yang berani berlaku jahat seperti itu. Baru kemudian aku hendak menegur Kun-lun Sam-lojin kenapa tidak mau menolong mereka ini.” Siangkoan Hai lalu berkata pada orang-orang itu.
“Hayo bawa kami ke tempat saikong siluman itu!”

Demikianlah, beramai-ramai orang-orang Hui itu lalu mengantar Siangkoan Hai dan dua orang muridnya menuju ke puncak tempat tinggal Kun-lun Ngo-eng. Di atas puncak itu terdapat sebuah bangunan besar yang terkurung pagar tembok. Orang-orang Hui yang pernah dihajar oleh Hek-eng Sianjin, tidak berani datang lebih dekat dan hanya menanti dari jauh. Mereka melihat betapa kakek yang pendek kecil ini berjalan menuju ke pintu gerbang, diikuti oleh dua orang muridnya yang berjalan dengan gagahnya.

Ketika mereka sudah tiba di dekat pintu, Siangkoan Hai dan dua orang muridnya merasa heran karena ternyata bahwa pintu gerbang itu terjaga oleh tiga orang pemuda dan dua orang gadis yang semuanya berwajah elok. Usia mereka antara tujuh belas sampai dua puluh tahun, pakaian mereka mewah sekali.

“Orang-orang muda, beritahukan kepada Kun-lun Ngo-eng bahwa Pak-lo-sian Siangkoan Hai sudah datang minta bertemu!” kata kakek tokoh besar utara itu kepada para penjaga remaja tadi.

Lima orang muda itu lalu berlari masuk setelah menutup pintu gerbang rapat-rapat!

Pak-lo-sian Siangkoan Hai tertawa tergelak. “Kun-lun Ngo-heng! Apakah pintumu terbuka untuk angin dan setan yang tak nampak, akan tetapi tertutup bagi tamu manusia? Kalau kalian melarang aku masuk, keluarlah menemuiku di luar. Aku Pak-lo-sian Siangkoan Hai perlu sekali bicara dengan kalian!”

Tiba-tiba di atas tembok yang mengurung bangunan itu, tersembullah lima buah bendera yang berwarna putih, kuning, hijau, merah dan hitam! Bendera-bendera ini berkibar-kibar tertiup angin gunung, merupakan pemandangan yang indah beraneka warna. Kemudian, terdengar suara dari balik tembok itu.

“Kami tak mengenal Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan tidak mempunyai urusan dengan dia! Orang tua pendek kecil harap jangan mencari penyakit dan lekas pergi dari sini!”

Mendadak kelima buah bendera yang berkibar di atas tembok itu berubah arah kibarnya, yaitu kalau tadi berkibar ke kanan, sekarang berkibar ke kiri, padahal angin masih jelas terasa berkibar ke kanan!

Siangkoan Hai maklum bahwa orang-orang di bawah tembok sana telah memperlihatkan kepandaiannya. Dia juga tahu bahwa bendera itu berkibar karena ditiup oleh orang yang mempunyai tenaga khikang yang luar biasa tingginya. Agaknya Kun-lun Ngo-eng hendak menggertaknya dan mendemonstrasikan kepandaian supaya dia menjadi ketakutan dan segera pergi.

Kembali Pak-lo-sian Siangkoan Hai tertawa bergelak dan sesudah melihat ke kanan kiri, kakek pendek ini lalu menghampiri sebatang pohon yang tinggi. Sekali dia mengerahkan tenaga, akar pohon itu telah tercabut dari tanah! Dia lalu menghampiri tembok bangunan itu dan melemparkan pohon tadi ke atas. Pohon itu melayang dan tepat berdiri di atas tembok di dekat bendera-bendera itu dan tentu saja pohon itu jauh lebih tinggi dari pada bendera-bendera tadi.

“Ha-ha-ha! Kun-lun Ngo-eng. Jangan dikira bahwa bendera-benderamu itu paling tinggi di dunia ini!”

Perbuatan Siangkoan Hai ini menimbulkan kegemparan pada sebelah dalam bangunan, karena terdengar seruan-seruan memuji dengan kagum. Siangkoan Hai dan kedua orang muridnya mendengar bahwa yang memuji itu adalah suara-suara banyak orang-orang muda, bahkan ada yang suaranya menyatakan masih suara anak-anak.

Lalu terdengar suara wanita yang merdu dan nyaring.
“Pak-lo-sian Siangkoan Hai! Tak perlu kau memamerkan kepandaian seperti anak kecil! Kalau kau mampu, masuklah saja, tembok kami tidak terlalu tinggi kiranya!” inilah suara Jeng-eng Mo-li, orang ketiga dari Kun-lun Ngo-eng.

Siangkoan Hai tertawa bergelak mendengar ini, kemudian berbisik kepada Kun Beng dan Swi Kiat kedua orang muridnya.

“Kalau sampai murid-murid mereka menyerang, kalian layani mereka akan tetapi jangan sampai membunuh orang.”

Kun Beng dan Swi Kiat mengangguk. Mereka sudah mengerti akan kehendak suhu-nya ini. Kemudian, dua orang anak muda ini lalu ikut suhu mereka melompat ke atas tembok. Dari atas tembok ini mereka memandang ke bawah dan terlihatlah lima orang aneh serta belasan orang anak-anak muda yang elok-elok.

Lima orang ini terdiri dari tiga orang kakek dan dua orang wanita. Usia mereka antara empat puluh sampai lima puluh tahun, akan tetapi mereka masih nampak muda. Apa lagi dua orang wanita, meski dari muka mereka mudah dilihat bahwa mereka telah setengah tua, namun muka itu masih dibedaki tebal dan di beri pemerah bibir dan pipi.

Pakaian mereka juga aneh sekali, karena seorang berpakaian warna putih, orang kedua berpakaian kuning, lalu hijau, merah dan hitam! Untuk lebih mengenal mereka, marilah kita memperhatikan seorang demi seorang.

Orang pertama yang berpakaian putih adalah kakek Pek-eng Sianjin atau orang tertua dari Kun-lun Ngo-eng. Pek-eng Sianjin memang usianya paling tua dan rambutnya telah bercampur uban, pakaiannya dan juga gelung rambutnya menandakan bahwa dia adalah seorang tosu. Pedangnya menempel pada punggung dan tubuhnya yang jangkung kurus membuat dia nampak amat gesit. Orang tertua inilah yang di sebut Pek-eng atau Garuda Putih!

Orang kedua adalah seorang wanita berusia kurang lebih empat puluh lima tahun. Inilah Ui-eng Suthai atau Garuda Kuning, pakaiannya juga berwarna kuning seluruhnya. Akan tetapi bentuk pakaiannya sama dengan Pek-eng Sianjin, yakni potongan pakaian yang biasa di pakai oleh pendeta atau tokouw. Walau pun pakaiannya seperti pertapa wanita, namun bedak dan pemerah pipi dan bibirnya menonjolkan sifat-sifat aslinya.

Tak dapat disangkal bahwa sewaktu mudanya, Ui-eng Suthai ini tentulah seorang wanita yang amat cantik. Mudah dilihat dari bentuk mata, hidung dan mulutnya. Meski sekarang telah ada gurat-gurat usia tua pada pinggir mata dan mulut, akan tetapi dia masih tetap mempunyai penarik sebagai seorang wanita.

Seperti juga suheng-nya, dia memakai pedang di punggungnya. Hanya bedanya, gagang pedangnya memakai ronce-ronce benang emas warna kuning, ada pun gagang pedang Pek-eng Sianjin memakai ronce-ronce benang sutera putih.

Orang ketiga juga seorang wanita, berpakaian hijau seluruhnya. Usianya beberapa tahun lebih muda dari Ui-eng Suthai, akan tetapi orang ketiga ini nampaknya jauh lebih muda. Namanya Jeng-eng Mo-li (Iblis Wanita Garuda Hijau) dan melihat potongan tubuhnya yang langsing, air mukanya yang ramah berseri, mulutnya yang selalu tersenyum, mudah diduga bahwa dia adalah seorang perempuan yang berwatak gembira. Akan tetapi, kalau orang melihat sepasang matanya yang liar mengerling penuh nafsu, akan dapatlah dilihat iblis yang tersembunyi di dalam tubuh lincah ini.

Dandanannya jauh lebih ‘aksi’ dari pada suci-nya yang oleh karena potongan pakaiannya bukan potongan pakaian pendeta wanita, maka kelihatan lebih menarik dan sangat ketat mencetak tubuhnya yang memang bentuknya bagus sekali. Rambutnya disanggul bagai dara-dara muda dan pedangnya yang beronce hijau tergantung di pinggang kirinya.

Biar pun bentuk air muka Jeng-eng Mo-li tidak sebaik muka Ui-eng Suthai, namun karena Jeng-eng Mo-li lincah, genit dan gembira, maka boleh dibilang dia jauh lebih menarik dari pada suci-nya. Iblis Wanita Garuda Hijau inilah yang tadi mengeluarkan suaranya ketika menantang Pak-lo-sian Siangkoan Hai untuk memasuki tempat tinggal mereka.

Orang keempat bernama Ang-eng Sianjin yang berpakaian bagai pendeta tosu, berwarna merah seluruhnya, usianya sebaya dengan Jeng-eng Mo-li. Demikian pun orang ke lima yang bernama Hek-eng Sianjin bertubuh gemuk dengan perut besar seperti perut arca penjaga dapur, adalah Hek-eng Sianjin bertubuh tinggi besar, tubuh seorang gagah yang bertenaga kuat. Keduanya juga memakai pedang pada punggungnya.

Maka ketahuanlah sekarang bahwa Kun-lun Ngo-eng terdiri dari tiga orang tosu, seorang tokouw serta seorang perempuan genit. Mereka ini kelima-limanya adalah ahli-ahli ilmu pedang dari satu cabang perguruan dan kelimanya merupakan ahli Ilmu Pedang Sin-eng Kiam-hoat (Ilmu Pedang Garuda Sakti).

“He-he-he, seperti anak wayang saja!” seru Pak-lo-sian Siangkoan Hai melihat lima orang yang pakaiannya aneh itu. “Apakah kalian hendak main sandiwara Ngo-koai-jio-kaw-kut (Lima Setan Memperebutkan Tulang Anjing)?”

Sudah tentu saja tidak ada cerita yang berjudul seperti itu dan ucapan ini dikeluarkan oleh Singkoan Hai hanya untuk mengejek mereka saja, sebagai pembalasan atas sikap mereka yang sombong. Pak-lo-sian Siangkoan Hai terkenal seorang kakek gagah yang berwatak sombong dan tidak mau kalah, maka ketika dia melihat sikap mereka ini, sejak tadi darahnya telah naik ke kepalanya!

Sedangkan orang yang paling galak di antara Kun-lun Ngo-eng, adalah Ui-eng Suthai, pertapa wanita berpakaian kuning itu. Mendengar ejekan Pak-lo-sian Siangkoan Hai itu, mukanya langsung menjadi merah dan sekali tangan kirinya bergerak, lantas tersebarlah jarum-jarum rahasia tujuh belas batang banyaknya, menyambar ke arah Siangkoan Hai dan kedua orang muridnya!

Jarum rahasia yang dilepaskan oleh Ui-eng Suthai bukanlah senjata rahasia biasa saja. Jarum-jarum ini disebut Toat-beng-ciam (Jarum Pencabut Nyawa) dan amat halus serta kecilnya sehingga apa bila jarum-jarum ini mengenai sasaran, dapat menyusup ke dalam kulit daging dan kemudian masuk ke dalam jalan darah dan terbawa oleh darah!

Dalam penggunaan jarum-jarum ini, orang yang melontarkannya harus memiliki tenaga lweekang yang tinggi dan melihat betapa sekali lempar dapat menyerang lawan dengan tujuh belas batang jarum, dapatlah dinilai betapa hebatnya tenaga lweekang dari Ui-eng Suthai!

Orang biasa saja bila diserang oleh jarum-jarum ini, akan celakalah dia karena nyawanya takkan tertolong lagi. Bahkan ahli-ahli silat yang kurang pandai sukar membebaskan diri dari sambaran jarum-jarum itu, terlebih lagi dalam keadaan sedang berdiri di atas pagar tembok yang lebarnya hanya pas saja dengan kaki!

Namun, yang diserang adalah Pak-lo-sian Siangkoan Hai, Si Dewa Tua dari Utara, mana dia jeri menghadapi jarum-jarum halus ini? Entah kapan diambilnya, tahu-tahu di kedua tangannya sudah terpegang sepasang kipas hitam putihnya dan kini sambil tersenyum mengejek, Pak-lo-siang Siangkoan Hai mengebutkan kipas putih pada tangan kirinya ke arah jarum-jarum yang menyambarnya ke atas itu. Aneh sekali, ketika terkena sambaran angin kebutan kipas putih, jarum-jarum kecil itu tiba-tiba membalik dan runtuh semua ke bawah.

“Ha-ha-ha, siluman rase! Hendak aku mengukur dengan jarum-jarummu sampai berapa dim tebalnya bedak di mukamu!” Siangkoan Hai tertawa sambil cepat mengebutkan kipas hitam di tangan kanannya.

Hebat sekali akibatnya! Jarum-jarum yang belasan batang banyaknya itu kini terbawa hawa kebutan kipas hitam dan meluncur, seluruhnya menuju ke muka Ui-eng Suthai.....

Ui-eng Suthai menjerit marah dan segera memutar pedangnya, memukul runtuh semua jarum-jarumnya sendiri. Melihat kelihaian lawan, memang sejak tadi dia sudah mencabut pedangnya dan bersiap sedia. Kemudian, sambil mengeluarkan pekik nyaring, tokouw ini lantas menggerakkan tubuhnya yang cepat melayang ke atas dan menyerang Siangkoan Hai dengan pedangnya.

Akan tetapi, terdengar suara ketawa bergelak dan tiba-tiba Siangkoan Hai sudah lenyap dari atas tembok itu, karena ketika tadi Ui-eng Suthai melayang naik, dia telah membetot tangan kedua muridnya dan membawa mereka melompat turun ke dalam.

“Bangsat tua, bagus sekali kau mengantarkan nyawa!” Pek-eng Sian-jin membentak dan segera menyerang dengan pedangnya.

Melihat serangan ini, segera tahulah Siangkoan Hai bahwa ilmu pedang Pek-eng Sianjin benar-benar lihai dan tenaganya bahkan lebih kuat dari pada Ui-eng Suthai. Maka ia pun tidak berani berlaku ayal.

Tanpa dapat terlihat saking cepatnya, dia sudah menyimpan kembali sepasang kipasnya dan kini Pak-lo-sian Siangkoan Hai mengeluarkan tombaknya! Ia mainkan tombak itu dan pandangan mata Pek-eng Sianjin segera berkunang-kunang saat melihat ujung tombak di tangan kakek pendek kecil itu berubah menjadi puluhan banyaknya!
Tombak itu tergetar dan mengaung dengan suara yang menyakitkan telinga, sedangkan setiap kali pedangnya terbentur oleh ujung tombak, hampir saja pedangnya terpental dan terlepas dari pegangan. Pada waktu secara nekat Pek-eng Sianjin melompat ke atas lalu menukik ke bawah sambil membabat dengan pedangnya ke arah leher lawan, Siangkoan Hai memutar tombaknya sehingga pedang lawan tertempel dan ikut terputar.

“Turun kau!” bentak Siangkoan Hai.

Benar saja, tanpa dapat menahan diri lagi Pek-eng Sianjin terbetot turun dan pedangnya menancap di atas tanah dengan tubuhnya masih di atas! Untuk sejenak, seakan-akan Pek-eng-Sianjin berubah menjadi sebatang tongkat panjang, dengan tangan memegang gagang pedang yang tertancap di atas tanah dan kakinya lurus ke atas. Akan tetapi dia segera dapat melompat dan membalik sehingga dia dapat berdiri kembali, lalu mencabut pedangnya.

“Nanti dulu sebelum kalian melanjutkan permainan wayang ini!” Pak-lo-sian Siangkoan Hai berseru. “Aku datang bukan untuk mencari permusuhan, sungguh pun aku tidak akan menolak setiap pertempuran yang menggembirakan. Namun, sebenarnya kedatanganku ini untuk bertanya kepada kalian, mengapa kalian suka menculik anak-anak muda? Di mana mereka itu semua dan mengapa melakukan kejahatan itu?”

Pek-eng Sianjin tertawa mengejek. “Hemm, pernah pinto mendengar nama Pak-lo-sian Siangkoan Hai sebagai seorang gagah, tidak tahunya hanyalah seorang kakek kate yang lancang mulut lancang tangan dan tukang mencampuri urusan orang lain! Kami memilih dan mengumpulkan murid-murid kami supaya dapat mewarisi ilmu pedang kami, lalu ada sangkut paut apakah dengan kau orang tua?”

Mendengar ucapan ini. Pak-lo-sian Siangkoan Hai terkejut dan tertegun. Kalau demikian halnya, dia telah salah duga! Ia melirik ke kanan kiri dan melihat di situ terdapat belasan orang-orang muda laki-laki dan perempuan yang semuanya berwajah tampan dan cantik sekali. Mereka ini dengan pedang di tangan sudah pula mengurung Kun beng dan Swi Kiat! Sikap mereka itu semua bermusuh, seolah-olah mereka tidak suka ada orang-orang mengganggu lima orang guru mereka!

Akan tetapi, pandangan mata Siangkoan Hai amat tajam dan dari sinar mata orang-orang muda yang layu dan keluar dari wajah yang kepucatan, dia pun tahu bahwa orang-orang muda itu menderita sekali di dalam batin mereka. Entah apa yang telah terjadi dengan mereka, namun Siangkoan Hai tahu bahwa ada sesuatu yang tidak wajar dengan semua orang muda itu. Ia segera teringat akan sesuatu dan bertanya lagi,
“Ah, begitukah gerangan kenapa kalian berlima mengumpulkan pemuda-pemuda tampan dan dara-dara cantik?” dia menghitung dengan matanya, lalu bertanya lagi, “Jadi semua murid-muridmu berjumlah tujuh belas orang?”

Pek-eng Sianjin mengangguk sambil tertawa. “Murid-muridku hebat semua, bukan? Hee, Pak-lo-sian, kau juga mempunyai dua orang murid yang baik, tidak perlu kau merasa iri hati.”

Pak-lo-sian Siangkoan Hai mengangguk-anggukkan kepala seakan-akan merasa setuju dengan omongan ini. Akan tetapi dia lalu berkata keras sambil menepuk kepalanya.

“Ucapanmu benar sekali! Akan tetapi, melihat murid-muridmu banyak yang perempuan dan manis-manis pula, tiba-tiba saja timbul keinginanku untuk mempunyai seorang murid perempuan pula! Eh, Kun-lun Ngo-eng, kalian berlima seperti garuda-garuda yang suka menyambar anak-anak ayam, berikanlah seorang anak murid perempuan kepadaku!”

Kun-lun Ngo-eng main mata dan saling pandang sambil tersenyum. Tidak tahunya kakek pendek kecil yang lihai ini tidak banyak bedanya dengan mereka! Ang-eng Sianjin yang berpakaian serba merah itu tertawa bergelak lalu berkata,

“Ha-ha-ha, orang tua pendek kecil, ternyata kau rakus juga ya? Karena kau telah datang dan berhasil masuk ke sini, nah... kau lihatlah murid-murid kami yang cantik-cantik, dan pilihlah yang paling jelita menurut penglihatanmu!”

Ang-eng Sianjin memang cerdik dan dapat berpikir cepat. Dia tadi sudah menyaksikan kelihaian kakek kecil ini dan tahu bahwa biar pun mengeroyok lima, belum tentu dia dan saudara-saudaranya akan sanggup menang, maka lebih baik kehilangan seorang ‘murid’ dari pada harus menghadapi resiko yang lebih berbahaya.

Ada pun Kun Beng dan Swi Kiat pada saat mendengar percakapan ini, merahlah muka mereka dan dengan mata melotot mereka memandang kepada suhu mereka. Dua orang anak ini sudah mengenal baik kebersihan hati suhu mereka, lalu mengapa suhu-nya kini berkata seperti itu? Sudah miringkah otak guru mereka ini?

Hampir saja Swi Kiat yang berwatak keras ini membuka mulut, akan tetapi tangannya disentuh oleh Kun Beng. Bocah ini masih tidak percaya dan menduga bahwa suhu-nya tentu main-main saja dengan lima orang aneh itu.

Pak-lo-sian Siangkoan Hai memang betul main-main dan sengaja mengeluarkan ucapan tadi untuk memancing saja. Kini dia memandang kepada murid-murid perempuan yang cantik dan berpakaian mewah itu, lalu menggelengkan kepalanya dan berkata,

“Tidak ada yang cocok! Kembang-kembang ini sudah terpengaruh oleh pelajaran kalian, aku tidak mau. Aku ingin yang masih bersih, yang masih baru. Ehh, Kun-lun Ngo-eng, bukankah kemarin kalian menculik anak perempuan kepala suku bangsa Hui? Di mana dia? Mengapa tidak ada di antara mereka? Coba kau keluarkan yang itu, mungkin cocok menjadi muridku!”

Berubahlah wajah lima orang aneh itu ketika mendengar ini. Mereka tahu bahwa ternyata kakek ini datang untuk mencari perkara. Terdengar Kun-lun Ngo-eng berseru keras dan lima batang pedang dicabut serentak.

“Kau memang mencari mampus!” bentak Pek-eng Sianjin dan segera memimpin empat orang saudaranya menyerang.

Siangkoan Hai tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, terbukalah kedokmu sekarang! Kau kira aku tidak tahu bahwa anak-anak ini sudah terpengaruh oleh racun dan kehilangan kehendak sendiri? Kalian benar-benar iblis yang harus mampus!”

Setelah berkata demikian, dia menggerakkan tombaknya secara luar biasa sekali cepat dan kuatnya sehingga lima orang lawannya mencelat mundur untuk menghindarkan diri dari sambaran hawa pukulan tombak itu!

Belasan orang anak murid Kun-lun Ngo-eng juga serentak bergerak menyerang Kun Beng dan Swi Kiat. Dua orang anak muda ini cepat melawan. Kun Beng mempergunakan tombaknya dan Swi Kiat mempergunakan sepasang kipasnya.

Ternyata bahwa orang-orang muda itu merupakan makanan lunak bagi Kun Beng dan Swi Kiat karena mereka itu hanya pandai beraksi belaka dengan pedang mereka, namun tidak mempunyai ilmu kepandaian yang berarti. Sebentar saja beberapa orang di antara mereka sudah roboh tunggang-langgang. Baiknya dua orang murid Pak-lo-sian ini sudah dipesan oleh suhu mereka supaya tidak menewaskan nyawa lawan, kalau tidak tentulah mereka akan mengamuk, terutama sekali Swi Kiat yang sudah merasa marah sekali.

Ada pun Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang sekarang sudah tahu akan rahasia lima orang lawannya yang betul-betul jahat dan merupakan penjahat-penjahat cabul yang berkedok pakaian pendeta, menjadi marah sekali. Permainan tombaknya makin lama makin kuat sehingga lima orang lawannya benar-benar terdesak hebat.

Ilmu pedang mereka memang luar biasa, namun menghadapi jago tua tokoh besar dari utara ini, mereka benar-benar kalah pengalaman, kalah latihan dan juga kalah tenaga. Pak-lo-sian memang mempunyai dasar watak yang amat baik dan berbudi tinggi, namun sekali dia marah, dia bisa berubah menjadi ganas di samping kesombongannya dan sifat yang tidak mau kalah oleh siapa pun juga dalam hal ilmu silat!

Makin lama, gerakan ilmu pedang lima orang Garuda Kun-lun-san itu makin mengendur dan kini mereka berkelahi sambil mundur, masuk ke dalam ruangan depan bangunan itu. Akan tetapi Pak-lo-sian Siangkoan Hai mana mau memberi ampun dan melepaskan lima orang itu?

Dengan ganasnya dia menyerbu terus dan mengejar mereka masuk ke dalam bangunan. Pada saat itu, kakek kate yang sedang marah ini agak kehilangan kewaspadaannya dan dengan nekat dia menyerbu. Niatnya hanya satu, yaitu membasmi kelima orang ini dan membalaskan dendam orang-orang muda yang terjatuh dalam tangan Kun-lun Ngo-eng dan menjadi seperti boneka-boneka hidup itu.

Lima orang Garuda Kun-lun itu tidak kuat menghadapi amukan Siang-koan Hai, maka mereka segera meloncat ke dalam serta menutup pintunya. Sekali ayunkan tombaknya, terdengar suara keras dan pecahlah pintu itu!

Pak-lo-sian Siangkoan Hai menyerbu masuk dan mendadak dari atas turun batu besar menimpa kepalanya! Namun Siangkoan Hai tidak akan mendapat sebutan Dewa Utara dan tidak akan disebut tokoh terbesar di utara kalau dia tidak dapat menghadapi bahaya serangan mendadak ini.

Batu yang beratnya seribu kati itu menimpa kepalanya dari atas secara mendadak dan agaknya tak dapat dielakkan pula. Siangkoan Hai tidak menjadi gugup, bahkan dia hanya mempergunakan tangan kirinya, mendorong batu itu dari samping sehingga batu itu tidak menimpa kepalanya, sebaliknya terlempar ke depan ke arah lima orang lawannya!

Kun-lun Ngo-eng terkejut bukan main. Mereka cepat meloncat mundur sehingga batu itu menimpa lantai dan sambil menerbitkan suara gaduh, lantai itu pecah dan berhamburan! Ketika debu yang tebal itu menipis, Siangkoan Hai tak melihat lawan-lawannya lagi yang sudah melenyapkan diri melalui tirai debu tadi.

“Lima ekor anjing busuk, kalian jangan harap akan dapat melepaskan diri dari tombakku!” bentak Siangkoan Hai yang menjadi makin marah.

Kakek ini lantas meloncat dan menendang roboh pintu terusan sehingga daun pintu itu pecah. Ia tiba di sebuah ruangan yang aneh bentuknya dan yang membuat dia bingung untuk sejenak. Pintu ruangan ini dipasangi cermin sehingga dia melihat bayangannya sendiri di dalam cermin-cemin itu. Tiba-tiba cermin itu terbuka dan dari situ menyambar puluhan anak panah.

Siangkoan Hai hendak memutar tombaknya, akan tetapi tiba-tiba lantai yang diinjaknya merosot turun membawa tubuhnya ke bawah pula! Dia tidak dapat keluar dari kurungan ini, karena semua pintu menyemburkan anak panah, maka terpaksa dia hanya bersiap sedia menghadapi segala bahaya. Lantai yang turun ini akhirnya berhenti dan Siangkoan Hai mendapatkan dirinya terkurung di dalam sumur yang dindingnya terbuat dari pada besi tebal dan keadaan di situ gelap sekali!

Terdengarlah suara orang-orang tertawa, disusul oleh suara Jeng-eng Mo-li yang merdu dan nyaring.
“Siangkoan Hai, kau boleh bertapa di situ sampai mampus. Murid-muridmu akan menjadi murid kami dan sewaktu-waktu kau boleh melihat mereka. Ha-ha-ha!”

Pak-lo-sian Siangkoan Hai hanya bisa memaki-maki gemas, akan tetapi Kun-lun Ngo-eng sudah pergi meninggalkan tempat itu. Suara tertawa mereka makin lama makin menjauh. Siangkoan Hai memukul-mukulkan tongkatnya di sekitarnya, akan tetapi yang nampak hanya bunga api berpijar. Dia benar-benar tidak berdaya lagi! Dewa Utara yang gagah perkasa itu kini seperti seekor naga yang terkurung dan tidak berdaya keluar.

Kun Beng dan Swi Kiat masih mengamuk di halaman depan dan kini para murid Kun-lun Ngo-eng yang berpakain mewah itu telah dibikin kocar-kacir.

“Suheng, jangan berlaku kejam kepada mereka. Kulihat mereka ini seperti orang-orang mabuk.” Berkali-kali Kun Beng memperingatkan suheng-nya.

Kalau sudah marah, Swi Kiat tidak peduli lagi kepada orang lain dan tidak kenal kasihan. Di sana-sini nampak tubuh para murid itu bergelimpangan, mengerang kesakitan karena pukulan dan tendangan dua orang muda itu.

Tiba-tiba muncul lima orang aneh yang tadi bertempur dengan Siangkoan Hai. Melihat mereka, Kun Beng dan Swi Kiat menjadi pucat, karena munculnya lima orang ini berarti bahwa suhu mereka tentu telah mengalami bencana.

“Di mana Suhu-ku?” seru Swi Kiat sambil melompat ke tempat mereka.

Pek-eng Sianjin tertawa bergelak, dan Ui-eng Suthai menghampiri Swi Kiat, memandang tajam dengan mata kagum.

“Kau benar-benar gagah, orang muda,” katanya.

Ada pun Jeng-eng Mo-li juga melompat ke depan Kun Beng, mengulurkan tangan untuk meraba pipi pemuda itu. Kun Beng mengelak, akan tetapi dia kalah cepat dan pipinya telah disentuh oleh wanita berpakaian hijau ini.

“Kau tampan sekali,” kata Jeng-eng Mo-li.

Melihat sikap mereka, Kun Beng tak dapat menahan sabar lagi dan mencabut tombaknya yang tadi sudah disimpan. Apa lagi Swi Kiat. Dengan muka merah dan dada berombak, pemuda cilik ini mengeluarkan kipasnya dan serentak menyerang Ui-eng Suthai yang berada di depannya. Juga Kun Beng segera mengerjakan tombaknya untuk menyerang Jeng-eng Mo-li sambil mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.

“Bagus, pemuda yang tampan dan gagah, memiliki kepandaian yang berisi juga!” berkata Ui-eng Suthai sambil mengelak dari serangan Swi Kiat.
“Benar, Suci (Kakak Seperguruan). Pemuda yang ini pun ilmu tombaknya tidak tercela. Benar-benar pemuda yang menawan hati!” Jeng-eng Mo-li berkata sambil terus tertawa ha-ha-hi-hi dan menghadapi Kun Beng dengan tangan kosong.

Memang, kepandaian Swi Kiat dan Kun Beng sudah tinggi dan boleh dibilang luar biasa kalau dibandingkan dengan pemuda-pemuda yang sebaya dengan mereka. Akan tetapi kini mereka menghadapi dua orang tokoh kang-ouw yang selain memiliki kepandaian tinggi, juga sudah matang pengalamannya.

Beberapa jurus kemudian, setelah menghindarkan diri dari serangan dua orang pemuda itu tanpa membalas sedikit pun, Ui-eng Suthai lalu mencabut keluar sehelai sapu tangan kuning dari saku bajunya dan sekali ia mengebutkan sapu tangan itu ke arah muka Swi Kiat, pemuda ini mencium bau yang amat wangi dan yang membuatnya lemas dan pening. Tak tertahankan lagi dia terhuyung-huyung dan roboh pingsan di dalam pelukan Ui-eng Suthai!

Hampir berbareng, Jeng-eng Mo-li juga mengebutkan sapu tangannya yang berwarna hijau dan juga Kun Beng roboh pingsan dalam pelukannya. Sambil tertawa-tawa dengan pipi menjadi merah, kedua orang wanita cabul ini lalu memondong tubuh korban mereka dan membawanya lari ke dalam, diikuti pandangan mata tiga orang saudara seperguruan mereka yang tersenyum-senyum geli. Demikianlah perangai Kun-lun Ngo-eng yang bejat moralnya!

Tertawannya Pak-lo-sian Siangkoan Hai, menimbulkan kemarahan besar pada Kun-lun Sam-lojin. Mereka menganggap bahwa kini Kun-lun Ngo-eng berlaku keterlaluan sekali. Kun-lun Sam-lojin mengenal Pak-lo-sian sebagai tokoh besar di dunia kang-ouw, dan jika sekarang orang tua itu sampai mendapat celaka di Kun-lun-san, bukankah itu membuat buruk nama Kun-lun-pai?

“Mereka sudah terlalu berani. Apa bila didiamkan saja, akhirnya kita jugalah yang akan mendapatkan nama buruk. Kejahatan merajalela di depan mata, apakah kita harus diam saja?” berkata Seng Giok Siansu, orang termuda dari Kun-lun Sam-lojin. Memang orang termuda dari Kun-lun Sam-lojin ini beradat paling keras di antara saudara-saudaranya.

“Habis apakah yang harus kita lakukan? Twa-suheng Seng Thian Siansu melarang kita mencampuri urusan mereka dan mencari permusuhan. Apa bila kita turun tangan, tentu twa-suheng marah sekali,” kata Seng Te Siansu hati-hati.

“Memang sukar,” kata Seng Jin Siasu, “menurutkan twa-suheng dan tinggal peluk tangan saja, hati dan pribadi tidak mengijinkan. Jika menyerbu Kun-lun Ngo-eng dan melanggar larangan twa-suheng, berarti pembangkangan terhadap saudara tua. Akan tetapi, kurasa lebih baik kita melanggar larangan dari pada melanggar peri kemanusiaan dan kewajiban sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi peri kebajikan! Sekarang twa-suheng lagi bersiulian (bersemedhi) dan tidak mungkin diganggu. Bagaimana kalau diam-diam kita pergi ke sana dan mengusir orang-orang jahat sambil menolong Pak-lo-sian? Kalau kelak twa-suheng marah, biarlah kita beramai mohon maaf dan memberi alasan yang tepat.”

Akhirnya dua orang saudaranya menyetujui, dan berangkatlah mereka bertiga menyerbu bangunan besar tempat tinggal Kun-lun Ngo-eng. Terjadi pertempuran amat hebat antara Kun-lun Ngo-eng dan Kun-lun Sam-lojin. Akan tetapi, ternyata bahwa ilmu pedang dari Kun-lun Ngo-eng lihai sekali dan jumlah mereka juga lebih besar.

Dalam pertempuran mati-matian, Seng Giok Siansu, orang ketiga dari Kun-lun Sam-lojin akhirnya roboh lantas tewas oleh jarum dari Ui-eng Suthai yang disebut Toat-beng-ciam (Jarum Pencabut Nyawa). Ada pun dua orang tokoh Kun-lun-pai yang lain, yaitu Seng Te Siansu dan Seng Jin Siansu, terluka dan dapat ditawan!

Sesudah terjadi peristiwa yang hebat ini, barulah Seng Thian Siansu keluar dari tempat pertapaannya dan turun gunung. Dia memaksa diri biar pun tubuhnya sudah tua serta lemah, dan berniat hendak mengadu nyawa dengan Kun-lun Ngo-eng. Agaknya, biar pun kepandaiannya lihai, kakek yang sudah amat tua ini akan menghadapi bencana di depan bangunan tempat tinggal Kun-lun Ngo-eng. Baiknya di tengah jalan dia bertemu dengan Ang-bin Sin-kai dan Kwan Cu!

Mendengar penuturan kakek tua renta itu, Ang-bin Sin-kai menjadi marah sekali.

“Locianpwe, mereka itu sungguh-sungguh jahat dan layak sekali dibasmi. Kiranya tidak perlu Locianpwe sendiri yang mengotorkan tangan, biar teecu mewakili Locianpwe untuk membereskan persoalan ini, menolong Pak-lo-sian serta sute-sute dari Locianpwe,” kata Ang-bin Sin-kai.
“Terima kasih, Ang-bin Sin-kai, terima kasih. Apa bila bukan engkau yang mengajukan penawaran membantu, agaknya aku takkan percaya dan terpaksa turun tangan sendiri, meski tenagaku sudah lemah. Akan tetapi aku pecaya penuh padamu dan kau wakililah aku. Kelak sebelum mati mungkin sekali aku akan dapat meninggalkan sesuatu bagimu.”

Ang-bin Sin-kai tersenyum, lalu menoleh kepada Kwan Cu. “Kwan Cu, kau mendengar sudah bahwa Locianpwe hendak memberi hadiah sesuatu. Kelak kalau ada kesempatan, kau wakililah gurumu menerima hadiah itu.”

Sesudah itu, Ang-bin Sin-kai memberi hormat kepada Seng Thian Siansu, lalu mengajak muridnya cepat-cepat menuju ke tempat tinggal Kun-lun Ngo-eng…..

********************
Pada saat siuman kembali, Kun Beng mendapatkan dirinya sedang rebah di atas sebuah pembaringan yang ditilami dengan kain sutera hijau. Pembaringan itu indah sekali dan bantalnya disulam benang emas, berbau harum sekali. Kamar itu pun sangat indahnya, dihiasi dengan dinding yang dipenuhi gambar-gambar pemandangan dan bunga, dengan perabot-perabot yang serba mahal dan indah seperti kamar seorang puteri bangsawan.

Semua ini masih belum mengherankan hati Kun Beng yang masih merasa pening. Akan tetapi ketika mendengar suara ketawa merdu di dekatnya dan dia menengok, serentak dia melompat turun dari pembaringan kemudian berdiri di atas lantai. Ternyata bahwa di dekatnya tadi duduk Jeng-eng Mo-li yang tertawa-tawa manis kepadanya.

Perempuan ini sekarang tak kelihatan galak lagi, melainkan telah berhias dengan bedak dan gincu tebal. Lagaknya tersenyum-senyum dengan mata melirik-lirik itu benar-benar membuat Kun Beng merasa bulu tengkuknya berdiri dan muak sekali. Pemuda yang baru menjelang dewasa ini masih belum paham akan segala kemesuman perempuan cabul seperti Jeng-eng Mo-li, akan tetapi dia telah dapat merasakan dan mengerti akan sikap perempuan itu dan karenanya dia merasa muak sekali.

Seketika itu juga teringatlah dia akan semua peristiwa yang terjadi dan tahulah dia bahwa dia telah tertawan dan dibawa ke kamar perempuan rendah ini. Wajahnya menjadi merah sekali saking jengah dan marahnya.

“Anak yang baik, kau telah berada disini. Berlakulah manis kepadaku dan kau akan hidup sebagai seorang pangeran di tempat ini,” kata Jeng-eng Mo-li dengan suara dibuat-buat agar terdengar menarik merdu.
“Siluman jahat!” Kun Beng membentak.

Pemuda ini hendak melompat keluar dari kamar itu. Akan tetapi, baru saja tiba di pintu, lengan kanannya telah ditangkap oleh Jeng-eng Mo-li dan perempuan itu menariknya kembali ke dalam kamar.

“Kalau kau keluar, kau akan menjumpai maut. Di luar menanti kematian dan di dalam kamar kau akan hidup penuh kesenangan,” kata Jeng-eng Mo-li dengan suara bernada membujuk.
“Anjing hina-dina, lebih baik aku mati!” seru Kun Beng dan kali ini pemuda ini mengayun tangan kanan memukul ke arah kepala Jeng-eng Mo-li!

Akan tetapi, dengan mudah saja Jeng-eng Mo-li miringkan kepala mengelak dari pukulan ini. Bahkan sekali menggerakkan tangan, dia telah bisa menangkap pergelangan tangan Kun Beng dan sebelum pemuda itu sempat bergerak, lengan kedua sudah ditangkap pula sehingga Kun Beng sama sekali tidak berdaya lagi!

“Bodoh, kau menurutlah saja. Aku sangat sayang kepadamu karena kau lain dari pada pemuda-pemuda yang lemah itu. Kalau kau mau berlaku manis dan tidak membandel, kau akan kujadikan pangeran di antara mereka semua dan kau tidak usah diberi minum arak pembius. Kau lihat, orang-orang muda yang berada di sini dipaksa dengan minum obat sehingga mereka seperti boneka hidup. Aku tidak suka akan boneka-boneka hidup, aku ingin seorang kekasih yang betul-betul suka kepadaku. Nah, berlakulah manis, kau tentu akan hidup bahagia di sini.”

Namun, sebagai jawaban atas bujukan ini, kaki Kun Beng bergerak-gerak cepat sekali dan tahu-tahu dia telah mengirim tendangan yang amat kuat dan berbahaya sekali bagi keselamatan Jeng-eng Mo-li! Karena Jeng-eng Mo-li sedang memegangi kedua tangan Kun Beng dengan dua tangannya sendiri, maka tendangan yang tiba-tiba dan datangnya dari jarak dekat ini tak dapat ditangkis.

Terpaksa dia melepaskan pegangannya dan melompat mundur. Namun Kun Beng yang sudah menjadi marah dan benci sekali kepada perempuan ini, cepat menyambar meja di depannya dan dengan meja di tangan, dia menyerang Jeng-eng Mo-li dengan hebatnya!

“Bocah tak kenal budi!” Jeng-eng Mo-li membentak keras karena dia pun merasa jengkel sekali menghadapi pemuda yang nekat ini.

Dengan sebuah bangku di tangan, dia menangkis serangan Kun Beng dan terdengarlah suara keras ketika meja dan bangku beradu. Patah-patah kaki meja yang dipegang Kun Beng dan pemuda ini sendiri terlempar oleh benturan pukulan ini. Namun Kun Beng tidak takut dan dia melangkah maju lagi dengan kedua tangan terkepal, siap untuk menyerang dan melawan mati-matian.

Kalau saja Kun Beng tidak memiliki wajah yang tampan dan yang menarik hati Jeng-eng Mo-li, tentu perempuan ini telah menggunakan kepandaian untuk membunuhnya. Meski Jeng-eng Mo-li merasa amat tersinggung dan juga kecewa, akan tetapi ia masih sayang kepada pemuda ini. Maka, ketika Kun Beng menyerbu lagi, cepat ia mengebutkan sapu tangan hijaunya dan robohlah Kun Beng untuk kedua kalinya!

Sama halnya dengan Kun Beng, di kamar lain Swi Kiat sedang digoda dan dibujuk oleh Ui-eng Suthai. Pemuda yang berangasan ini memaki-maki dan memberontak sehingga terpaksa Ui-eng Suthai menotoknya dan memberinya minum semacam arak yang sudah dicampur dengan bisa yang amat luar biasa.

Bisa ini seketika itu juga membuat lumpuh semangat dan menutup semua pikiran hingga Swi Kiat seakan-akan menjadi boneka hidup yang hanya mempunyai satu maksud, yakni menurut serta mentaati segala kehendak dan perintah yang dikeluarkan Ui-eng Suthai! Namun sebelum Swi Kiat berada dalam keadaan lumpuh itu, satu pikiran terkandung di dalam otaknya, yakni pikiran membenci perempuan karena dia merasa muak dan benci kepada semua lagak dan kelakuan Ui-eng Suthai.

Ada pun Pak-lo-sian Siangkoan Hai orang aneh yang wataknya juga luar biasa sekali itu, setelah mendapat kenyataan bahwa dia tidak dapat keluar dari sumur kering, bukannya menjadi gelisah atau bingung. Sehabis memaki-maki Kun-lun Ngo-eng dengan kata-kata kotor, bahkan dia lalu bernyanyi-nyanyi dengan suara keras sehingga gemanya keluar dari sumur dan terdengar sampai jauh dari bangunan besar itu! Akan tetapi, tidak lama kemudian suaranya tidak terdengar lagi, agaknya orang tua ini telah tidur pulas. Betulkah Siangkoan Hai dapat tidur dalam keadaan seperti itu?

Sama sekali tidak! Kakek yang aneh ini ketika bergerak-gerak dan meraba-raba di dalam sumur kering, tiba-tiba tangannya menyentuh tulang-tulang manusia. Ketika dia meraba terus, ternyata bahwa tulang-tulang itu masih utuh, bahkan ada pula tengkoraknya. Dan di tangan rangka manusia ini, dia mendapatkan selembar benda terbuat dari pada kulit.

Siangkoan Hai mengambil benda itu, kemudian disimpannya pada saku bajunya, hendak diselidikinya apa bila dia dapat keluar dari kurungan itu. Ia percaya penuh bahwa tentu suara nyanyiannya yang keras dapat terdengar oleh orang-orang gagah yang berada di Kun-lun-san, maka setelah menyimpan benda itu, kembali dia bernyanyi-nyanyi keras.

Kakek ini tidak merasa khawatir karena menghadapi kepandaian Kun-lun Ngo-eng, dia tak usah takut. Mereka berlima tidak dapat mengganggunya walau pun dia telah tertawan di dalam sumur.

Ada pun soal makan, Pak-lo-sian Siangkoan Hai ini adalah seorang yang aneh. Pernah dia tidak makan sampai sebulan lamanya dan sekali dia ‘membuka puasanya’ dia dapat menghabiskan belasan kati daging dan beberapa guci arak besar! Selama dia sanggup mempertahankan diri, tentu akan datang orang gagah menolongnya, pikir kakek ini.

Tidak seperti Ui-eng Suthai yang sudah tidak sabar lagi dan terus saja memberi minum arak pembius kepada Swi Kiat, Jeng-eng Mo-li masih merasa sayang kepada Kun Beng. Bila pemuda ini siuman, beberapa kali dia membujuk dengan kasar dan halus, kemudian membuat pemuda ini pingsan kembali dengan kebutan sapu tangan hijaunya. Namun, Kun Beng berjiwa gagah dan bersemangat pendekar, mana dia sudi menuruti kehendak perempuan cabul yang berjiwa kotor itu?

“Kau benar-benar bandel dan agaknya kau lebih suka menjadi seekor anjing hidup!” kata Jeng-eng Mo-li marah dan jengkel sekali.

Ia keluar dari kamar dan tak lama kemudian ia datang kembali diikuti oleh seorang gadis muda yang cantik dan seorang pemuda yang tampan, akan tetapi wajah dua orang muda ini pucat dan sinar matanya lenyap seakan-akan tidak bercahaya lagi.

Melihat mereka ini, Kun Beng bergidik karena kini dia pun maklum bahwa yang dianggap murid-murid Kun-lun Ngo-eng, tidak tahunya hanyalah orang-orang muda yang berada di bawah pengaruh obat pembius sehingga mereka ini lebih tepat disebut boneka-boneka hidup!

Jeng-eng Mo-li berkata kepada Kun Beng,
“Anak bodoh, kau lihat ini. Sukakah kau menjadi seperti mereka?” Kemudian wanita jahat itu menoleh kepada sepasang pemuda-pemudi yang berdiri seperti patung di situ, sambil memandang tajam dan membentak keras,
“Kalian berdua sekarang menjadi anjing. Hayo merayap di atas empat kakimu!”

Sesudah mendengar ucapan ini, dua orang muda itu segera berlutut dan merangkak-rangkak memutari kamar itu bagaikan dua ekor anjing jantan dan betina! Sambil tertawa genit Jeng-eng Mo-li kemudian mengambil dua potong kue dari atas meja yang tadinya dipergunakan untuk membujuk dan menjamu Kun Beng, melemparkan dua potong kue itu di atas lantai dan berkata lagi,

“Makan kue itu seperti anjing makan, pergunakan mulutmu!” Dan benar saja, dua orang muda itu lalu makan kue itu seperti dua ekor anjing saja!
“Keluar dari sini!” Jeng-eng Mo-li membentak dan berlarilah keluar dua orang muda itu seperti anjing-anjing dipukul!

Menyaksikan pertunjukan yang hebat ini, Kun Beng menjadi pucat sekali dan segera mukanya berubah merah.

“Perempuan iblis, kau harus mampus!” Sambil berkata demikian, pemuda ini melompat dan menerkam Jeng-eng Mo-li, hendak mencekik leher perempuan jahat ini.

Akan tetapi memang kepandaiannya kalah jauh, beberapa gebrakan saja dia telah kena ditotok jalan darahnya dan tak dapat berkutik lagi. Jeng-eng Mo-li kini sudah marah sekali dan habis kesabarannya.

“Kalau kau tidak mau menurut kepadaku, baik! Kau akan menjadi boneka hidup!”

Setelah berkata demikian, dia lalu mengambil sebotol arak berwarna hitam dan ketika dia membuka tutup botol itu, bau yang keras sekali memenuhi kamar. Dia menghampiri Kun Beng yang sudah di atas pembaringan tak dapat bergerak lagi dan hendak menuangkan isi botol ke dalam mulut pemuda itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan keras dari luar kamar.

“Perempuan iblis!”

Dan menyambarlah angin pukulan yang demikian kerasnya sehingga ketika Jeng-eng Mo-li mengelak, botol di tangannya itu terpukul oleh angin pukulan dan terlepas dari pegangan! Botol itu jatuh pecah di atas lantai, dan bau yang keras itu makin menghebat.

Jeng-eng Mo-li terkejut sekali karena suara itu adalah suara Pak-lo-sian Siangkoan Hai! Dia cepat melompat keluar kamar dari pintu rahasia. Pak-lo-sian Siangkoan Hai tidak mempedulikannya, sebaliknya lebih dulu membebaskan muridnya dari pengaruh totokan, kemudian dia mengajak Kun Beng melompat keluar.

Bagaimanakah Pak-lo-sian dapat keluar dari sumur kering dan dapat menolong Kun Beng pada saat yang amat tepat? Mudah diduga bahwa ini tentulah hasil usaha Ang-bin Sin-kai, akan tetapi sesungguhnya bukan hasil kerja kakek sakti ini, melainkan muridnya yang menolong Pak-lo-sian Siangkoan Hai.

Seperti sudah dituturkan pada bagian depan, dengan cepat sekali Ang-bin Sin-kai dan muridnya berlari cepat menuju ke tempat tinggal Kun-lun Ngo-eng atau Lima Garuda dari Kun-lun-san itu. Tak seperti Siangkoan Hai yang menantang dari depan, Ang-bin Sin-kai mengambil jalan dari atas! Dia sudah dapat menduga bahwa orang seperti Pak-lo-sian itu kalau sampai kalah, tentu di situ terdapat tempat-tempat rahasia dan jebakan-jebakan.

Dia memegang tangan Kwan Cu dan mengajak muridnya melayang naik ke atas pagar tembok yang tinggi. Kemudian, dengan menggenjotkan sebelah kaki ke atas tembok, dia dapat melompat terus genteng dengan gerakan sedemikian ringannya sehingga sedikit pun tidak terdengar oleh orang-orang yang berada di bawah.

Dalam percakapan dengan Seng Thian Siansu, Ang-bin Sin-kai sudah mendengar bahwa di dalam bangunan itu, orang-orang yang berbahaya hanyalah Kun-lun Ngo-eng saja, sedangkan para ‘murid-muridnya’ tidak memiliki kepandaian berarti.

“Kwan Cu, kau lihat baik-baik. Pada saat aku sudah di keroyok oleh lima orang Kun-lun Ngo-eng itu, kau baru boleh turun dan segera cari orang-orang yang perlu ditolong,” kata pengemis sakti itu kepada muridnya.

Kemudian, guru dan murid ini sampai di tengah-tengah bangunan itu di mana terdapat sebuah ruangan di bawahnya. Mereka melihat tiga orang laki-laki tua dan seorang wanita setengah tua yang cantik dan genit duduk menghadapi meja dan sedang makan minum dengan senangnya.

Mereka ini adalah Pek-eng Sianjin, Ang-eng Sianjin, dan Hek-eng Sianjin sedangkan yang perempuan adalah Ui-eng Suthai. Ada pun Jeng-eng Mo-li tidak kelihatan karena wanita busuk ini sedang membujuk dan mengancam Kun Beng di dalam kamarnya sendiri!

Mereka ini dilayani oleh anak-anak muda laki-laki dan perempuan yang bergerak seperti patung hidup. Kwan Cu terkejut sekali ketika melihat Swi Kiat berada di antara para anak muda yang melayani empat orang tokoh jahat itu. Seperti anak-anak muda yang lain, Swi Kiat juga berwajah pucat dan pandang matanya tak bersinar.

Tadinya Ang-bin Sin-kai hendak menunggu sampai lima tokoh jahat itu berkumpul semua supaya dia dapat menyerang mereka dan memberi kesempatan kepada muridnya untuk menolong Pak-lo-sian, murid-muridnya, dan lain orang yang ditawan di situ. Akan tetapi saat kakek pengemis ini menyaksikan keadaan orang-orang muda itu, seketika mukanya menjadi merah padam dan alisnya berdiri. Kemarahannya memuncak, karena kakek ini mengerti apakah yang menimpa pada diri anak-anak muda itu!

Pada saat Ang-bin Sin-kai yang sudah marah sekali itu hendak turun tangan, tiba-tiba berkelebat bayangan yang gesit sekali dan juga amat ringannya, kemudian disusul oleh suara orang menyuling lagu kuno yang indah!

“Hang-hong-siauw Yok-ong datang...,” Ang-bin Sin-kai berkata perlahan pada muridnya. Kemudian dia berkata kepada bayangan yang datang itu.
“Yok-ong (Raja Obat), kebetulan sekali kau datang. Banyak pekerjaan mulia untukmu!” Setelah berkata demikian, dengan hati girang dan besar, Ang-bin Sin-kai melompat turun dan segera melayang ke atas meja di tengah ruangan itu.

Ketika tadi mendengar suara suling dari Hang-hong-siauw Yok-ong, empat orang tokoh Kun-lun Ngo-eng itu terkejut sekali dan masing-masing melompat bangun dari tempat duduknya, apa lagi ketika mereka mendengar suara Ang-bin Sin-kai yang belum mereka kenal.

Tentu saja mereka amat kaget ketika mendengar suara orang di atas ruangan. Bagai mana ada orang bisa berada di atas genteng tanpa mereka dengar sama sekali suara kakinya? Padahal mereka rata-rata memiliki pendengaran yang amat tajam!

Oleh karena itu, dapat dibayangkan alangkah hebat kekagetan mereka ketika tiba-tiba bertiup angin kencang dibarengi berkelebatnya bayangan manusia dan tahu-tahu di atas meja yang mereka hadapi tadi, kini telah berdiri seorang kakek pengemis yang rambut dan jenggotnya panjang dan pakaiannya tidak karuan macamnya. Ketika dari atas, kakek ini melayang ke atas meja dan kini berdiri di atas dua buah mangkok sayur, memandangi masakan-masakan di atas meja sambil tersenyum-senyum lalu berkata mengejek,

“Masakan busuk... aku tidak doyan...!”

Pek-eng Sianjin tahu bahwa tempat tinggalnya kedatangan orang pandai yang tentu telah mengetahui akan semua peristiwa yang belum lama terjadi. Memang dia sudah merasa tidak enak sekali dengan tertawannya Pak-lo-sian dan juga Kun-lun Sam-lojin, dan tentu saja dia dapat menduga bahwa kedatangan kakek pengemis ini tentu ada hubungannya dengan orang-orang kang-ouw yang tertawan itu.

Maka dia lalu memberi tanda rahasia kepada tiga orang saudaranya dan serentak empat orang ini mengepung serta menyerang tubuh Ang-bin Sin-kai yang masih berdiri di atas meja dengan kedua kaki di atas mangkok. Yang diserang hanya menggerakkan kedua kakinya dengan sangat tenang dan melayanglah empat buah mangkok berisi sayuran ke arah empat penyerangnya!

Ketika Pek-eng Sianjin dan ketiga orang saudaranya melihat mangkok melayang ke arah mereka, cepat mereka memukul dengan pedang dan alangkah kaget hati mereka ketika telapak tangan mereka terasa sakit dan panas walau pun mangkok-mangkok itu berhasil dipukul pecah.

Mereka mendesak maju dan mengurung meja. Tetapi dengan mangkok-mangkok di atas meja, Ang-bin Sin-kai melayani mereka dengan cara menendangi mangkok-mangkok itu ke arah empat pengeroyoknya.

Sementara itu, Hang-hong-siauw Yok-ong juga melayang turun, akan tetapi raja obat ini sama sekali tidak ikut bertempur. Bahkan dia tertawa geli melihat cara Ang-bin Sin-kai melayani keempat orang lawannya. Untuk beberapa lamanya Hang-hong-siauw Yok-ong menonton sambil tertawa-tawa.

Kemudian dia menotok roboh semua orang muda yang tadi melayani Pek-eng Sianjin dan saudara-saudaranya. Tubuh para orang muda itu oleh Yok-ong dikumpulkan di sudut ruangan yang lebar itu, dibaringkan saja berjajar di atas lantai, lalu dia mencari-cari lagi anak-anak muda lainnya yang memang banyak terculik oleh lima orang jahat itu.

Setelah melihat suhu-nya dikeroyok oleh empat orang lawan di dalam ruangan itu, Kwan Cu lalu melompat turun ke bagian belakang. Tugasnya ialah menolong orang-orang yang tertawan di situ, akan tetapi di manakah tempat untuk menyimpan para tawanan?

Ketika dia tengah mencari, tiba-tiba dia mendengar suara orang bernyanyi. Ia mengenal suara Pak-lo-sian Siangkoan Hai, maka cepat-cepat dia menghampiri tempat dari mana suara itu datang, yakni dari dalam sebuah sumur yang amat dalam dan gelap.

“Pak-lo-sian Locianpwe...!” Kwan Cu memanggil dari atas sumur.

Suara nyanyian itu berhenti dan tak lama kemudian terdengar suara tertawa.
“Ha-ha-ha, bocah gundul. Bukankah kau murid Ang-bin Sin-kai? Lekas kau cari tambang yang panjang dan masukkan ujungnya ke dalam sumur. Ujung yang lain kau ikatkan saja kepada tiang agar aku dapat naik!”
“Baik, Locianpwe, tunggulah sebentar.”

Kwan Cu lalu berlari-lari ke belakang untuk mencari tambang yang cukup panjang. Dia bertemu dengan beberapa ‘murid’ Kun-lun Ngo-eng yang segera menyerangnya. Akan tetapi, sebetulnya para murid ini hanya mengerti ilmu silat kembangan saja dan mereka itu bertempur bagai orang-orang yang digerakkan oleh mesin, maka sebentar saja Kwan Cu sudah dapat meloloskan diri dari kepungan.

Anak gundul yang cerdik ini dapat melihat sikap mereka yang aneh, maka dia menjadi curiga dan tidak mau memukul atau merobohkan mereka, hanya menangkis saja yang membuat mereka terpental mundur. Akhirnya Kwan Cu dapat menemukan tambang yang panjang dan cepat dia membawa tambang itu ke tempat di mana terdapat sumur tadi.

“Locianpwe, tangkap tambang!” serunya ke dalam sumur sambil mengulur tambang itu ke dalam sumur yang amat gelap itu.

Kwan Cu tidak mengikatkan ujung tambang pada tiang, kan tetapi memeganginya dan membelit-belitkan pada dua tangannya. Tak lama kemudian tambang itu bergerak-gerak dan dengan cepatnya tubuh Pak-lo-sian Siangkoan Hai merayap naik melalui tambang bagaikan seekor kera saja.

Ketika tiba di atas dan melihat betapa tambang itu dipegangi oleh Kwan Cu, Pak-lo-sian tertawa memuji. Akan tetapi Kwan Cu berkata,
“Cepat, Locianpwe, teecu mendengar suara Kun Beng memaki-maki di kamar belakang sebelah kiri. Agaknya dia dalam bahaya!”

Memang pada waktu mencari tambang tadi, Kwan Cu mendengar suara Kun Beng yang sedang memaki-maki Jeng-eng Mo-li. Bocah gundul ini tidak berani menolong karena dia dapat menduga bahwa orang kelima dari Kun-lun Ngo-eng sangat boleh jadi berada di kamar itu dan dia maklum bahwa kepandaiannya sendiri masih jauh untuk menghadapi lawan tangguh.

Mendengar ini, Pak-lo-sian Siangkoan Hai segera melompat dan lenyap dari situ. Seperti sudah dituturkan di bagian depan, dengan tepat sekali Pak-lo-sian Siangkoan Hai dapat menyelamatkan Kun Beng dari bahaya terkena obat bius yang amat berbahaya. Ada pun Jeng-eng Mo-li setelah berlari keluar dan melihat empat orang saudaranya mengeroyok Ang-bin Sin-kai namun kelihatan amat terdesak, segera membantu.

“Ha-ha-ha! Kini lengkap Kun-lun Ngo-mo (Lima Iblis Kun-lun-san)! Bagus, bagus!” Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai menggerakkan kakinya.

Terdengar teriakan kaget dan tubuh Ui-eng Suthai terlempar ke arah Yok-ong yang kini berada di sudut, menjaga orang-orang muda yang semua telah ditotoknya dan sekarang dibaringkan berjajar di atas lantai, belasan orang jumlahnya.

Sambil meniup sulingnya, Yok-ong semenjak tadi menonton pertandingan antara Ang-bin Sin-kai dikeroyok lima orang. Nampaknya dia gembira sekali dan sulingnya ditiup keras, menyanyikan lagu perang sehingga sesuai sekali dengan jalannya pertempuran. Karena inilah maka Ang-bin Sin-kai merasa mendongkol sekali dan sengaja menendang seorang lawannya ke arah Yok-ong.

Melihat tubuh wanita jahat itu melayang ke arahnya, Yok-ong tidak menghentikan suara sulingnya. Dia hanya mengangkat kaki kirinya dan sekali mendupak, tubuh Ui-eng Suthai telah dikirim kembali ke tengah medan pertempuran!

Pak-lo-sian Siangkoan Hai sebelum membawa Kun Beng ke tempat itu, terlebih dahulu menolong dan membebaskan Seng Te Siansu dan Seng Jin Siansu, dua orang tokoh Kun-lun-pai yang ditawan di dalam sebuah kamar besi. Kemudian beramai-ramai mereka menuju ke ruang tengah di mana terjadi pertempuran antara Ang-bin Sin-kai dikeroyok lima.

Pak-lo-sian marah sekali ketika mendengar dari Kun Beng mengenai kejahatan Kun-lun Ngo-eng. Apa lagi ketika tiba di ruang itu dia melihat muridnya yang pertama, Swi kiat, rebah bersama orang-orang muda lain dengan muka pucat.

“Harus kubikin mampus kelima Kun-lun Ngo-eng!” katanya penuh geram.

Ang-bin Sin-kai yang sedang mempermainkan lima orang lawannya kebetulan sekali bisa melihat betapa Pak-lo-sian Siangkoan Hai masuk melalui sebuah pintu, diikuti oleh Kun Beng dan dua orang kakek Kun-lun-pai. Kakek pengemis ini segera berkata,
“Hee, Pak-lo-sian, mari kau ikut main-main!” serunya dan kembali seorang pengeroyok, kini Hek-eng Sianjin, terlempar tubuhnya terkena dorongannya.

Tubuh Hek-eng Sianjin berputar-putar di tengah udara dan melayang menuju ke tempat Pak-lo-sian Siangkoan Hai berdiri. Kakek sakti dari utara yang telah merasa amat gemas dan marah kepada lima orang jahat itu, mengulur tangan kanannya. Sekali sambar dia sudah dapat menangkap leher Hek-eng Sianjin.

“Mampuslah kau!” serunya dan tubuh itu dia lemparkan ke arah dinding.

Terdengar suara keras ketika kepala Hek-eng Sianjin pecah beradu dengan dinding batu yang keras itu. Tubuhnya menggeletak di bawah tembok dan darah mengalir membasahi lantai.

Yok-ong menghentikan tiupan sulingnya dan berkata memuji,
“Memang begitulah seharusnya menghukum orang jahat. Kalau tidak dihabiskan jiwanya, iblis yang mengeram di dalam tubuhnya tak akan mau pergi!”

Namun baru saja dia menutup mulutnya, Ang-bin Sin-kai telah menangkap lengan Ui-eng Suthai yang ternyata masih dapat mengeroyok juga sesudah tadi digunakan sebagai bal oleh Yok-ong dan Ang-bin Sin-kai, kemudian sambil membetot dia melemparkan tubuh Ui-eng Suthai ke arah Yok-ong!

“Ini bagianmu!” seru Ang-bin Sin-kai lantang.
“Eh, eh, ehh, aku tidak biasa menghancurkan kepala orang!” kata Yok-ong gugup karena tidak tersangka bahwa dia harus menewaskan seorang di antara Kun-lun Ngo-eng.

Dia seorang Raja Obat, kesukaannya menyembuhkan orang sakit dan mencegah orang tercengkeram dan dibawa oleh Giam-lo-ong (Raja Maut). Bagaimana ia bisa membunuh orang? Maka setelah tubuh Ui-eng Suthai itu melayang ke dekatnya, dia lalu mendorong kembali sehingga tubuh wanita itu terpental ke arah Pak-lo-sian Siangkoan Hai.....

Pak-lo-sian Siangkoan Hai dapat menduga bahwa muridnya, yaitu Swi Kiat, pasti menjadi korban perempuan ini karena perempuan kedua Kun-lun Ngo-eng, yakni Jeng-eng Mo-li, dilihatnya tadi menggoda Kun Beng. Maka marahnya tidak dapat dikendalikan lagi dan melihat perempuan ini, dia pun mengangkat kaki kanannya menendang ke arah lambung Ui-eng Suthai.

Wanita ini menjerit ngeri. Tubuhnya terlempar ke arah dinding, terbentur keras dan roboh di atas tubuh Hek-eng Sianjin dalam keadaan tidak bernyawa pula. Yang membunuhnya adalah tendangan tadi karena Pak-lo-sian tak mau berlaku kepalang tanggung dan telah mengerahkan seluruh tenaga dalam tendangannya. Karena itu, mana Ui-eng Suthai kuat menahan tendangan itu?

Sesudah menewaskan dua orang jahat itu, Pak-lo-sian Siangkoan Hai menjadi semakin buas. Dia memang paling benci kepada orang-orang jahat, apa lagi setelah dia melihat keadaan orang-orang muda itu, terutama sekali keadaan muridnya yang disayanginya.

Sambil mengeluarkan seruan keras dia melompat maju dan menyerang tiga orang lain yang masih dipermainkan oleh Ang-bin Sin-kai. Bagaimana tiga orang itu dapat bertahan menghadapi serangannya? Sedangkan hanya menghadapi Ang-bin Sin-kai seorang saja mereka sudah menjadi sibuk dan terdesak hebat. Kini Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang kepandaiannya setingkat dengan Ang-bin Sin-kai ikut pula menyerbu, tentu saja mereka tak dapat mempertahankan diri lagi.

Jeng-eng Mo-li yang mula-mula menjadi korban dari kipas hitam di tangan Pak-lo-sian. Kipas ini menyambar bagaikan seekor burung gagak liar, dan meski pun Jeng-eng Mo-li berusaha sedapat mungkin untuk menangkis dengan pedangnya, namun sia-sia belaka. Pedangnya patah menjadi dua dan kepalanya terkena totokan gagang kipas.

Terdengar jerit mengerikan dan tubuh Jeng-eng Mo-li roboh kemudian ketika Pak-lo-sian menendangnya, tubuh itu terlempar ke sudut ruangan, bertumpuk dengan tubuh Ui-eng Suthai dan Hek-eng Sianjin!

Pek-eng Sianjin menjadi pucat ketakutan dan dia mencoba untuk terus bertahan. Ilmu pedangnya memang paling kuat di antara saudara-saudaranya, maka dia masih mampu mempertahankan diri.

Akan tetapi Ang-eng Sianjin tak dapat menangkis lagi. Ketika Pak-lo-sian Siangkoan Hai menggunakan kipasnya untuk menyerang, dia berusaha melompat pergi, namun kipas itu seperti ada matanya dan hidup. Dengan kecepatan luar biasa kipas itu mengikutinya dan tahu-tahu belakang lehernya terkena pukulan.
Terdengar suara keras dan patahlah tulang leher Ang-eng Sianjin sehingga ia pun roboh tak bernyawa lagi. Pak-lo-sian menendangnya pula hingga mayatnya bertumpuk dengan mayat saudara-saudaranya.

Habislah keberanian Pek-eng Sianjin sesudah melihat empat orang adik seperguruannya tewas dalam keadaan amat mengerikan itu. Timbul kegetiran hatinya dan dalam keadaan ketakutan, dia lalu berlutut dan melempar pedangnya.

“Pinto (aku) Pek-eng Sianjin mohon ampun dan minta hidup,” Pek-eng Sianjin berkata dengan bibir gemetar.

Mendengar ini, Yok-ong lalu mengeluarkan suara ejekan dari hidungnya. Tokoh besar ini merasa jemu dan muak melihat sikap pengecut dari Pek-eng Sianjin ini, karena itu dia lantas membalikkan tubuh dan menghampiri para anak muda yang masih rebah tertotok olehnya. Dia kini mulai memeriksa keadaan mereka dan mempersiapkan obat-obat untuk menolong orang-orang muda yang sudah menjadi boneka hidup akibat obat pembius dari Kun-lun Ngo-eng.

“Dia harus mampus!” seru Seng Te Siansu dan Seng Jin Siansu yang merasa sakit hati mengingat akan kematian adik seperguruan mereka, yakni Seng Giok Siansu.

Sedangkan Pak-lo-sian Siangkoan Hai dengan wajah beringas sudah mendekati Pek-eng Sianjin. Tanpa banyak cakap lagi dia mengangkat kipasnya untuk menotok kepala ketua Kun-lun Ngo-eng itu agar nyawanya menyusul adik-adiknya memasuki pintu neraka.

Akan tetapi Ang-bin Sin-kai berseru, “Pak-lo-sian, tahan!”

Pak-lo-sian Siangkoan Hai menoleh kepada kakek pengemis itu. Kedua matanya merah dan masih menyinarkan kemarahan besar.

“Mengapa kau menahanku, Ang-bin Sin-kai? Apakah tidak sepatutnya anjing macam ini dilenyapkan dari muka bumi?”
“Nanti dulu, Pak-lo-sian. Aku akan merasa menyesal sekali kalau kau sampai membunuh seorang yang sudah menyerah. Pembunuhan macam itu tidak patut dilakukan oleh orang gagah.” Kemudian pengemis sakti ini bertanya kepada Pek-eng Sianjin.
“Berdasarkan apakah kau mohon ampun dan minta hidup? Apakah kau sudah bertobat dan tidak akan melakukan kejahatan lagi?”
“Pinto sudah bertobat dan berjanji akan hidup melalui jalan benar,” jawab Pek-eng Sianjin dengan suara sungguh-sungguh karena timbul harapan akan mendapat ampun.
“Bohong!” bentak Pak-lo-sian Siangkoan Hai sambil mengangkat lagi kipasnya, “Ucapan manusia semacam ini tidak boleh dipercaya, karena mulutnya, seperti juga pikiran dan hatinya, telah dikuasai oleh iblis. Dia harus mati!”
“Benar sekali, dia harus mati!” berkata pula Seng Te Siansu dan Seng Ji Siansu, setuju dengan pendapat Pak-lo-sian Siangkoan Hai.

Ang-bin Sin-kai mengangkat tangan dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Ingatlah ujar-ujar guru besar Khong Hu Cu dalam kitab Lun Gi bahwa kejahatan barulah disebut kejahatan sesungguhnya apa bila orangnya tidak berusaha untuk mengubah atau memperbaiki kejahatan dan semua kesalahannya itu! Pek-eng Sianjin telah berjanji akan mengubah cara hidupnya dan melakukan kebaikan untuk menebus dosa-dosanya, maka dia berhak hidup.”
“Ang-bin Sin-kai, kau gegabah sekali! Beranikah kau menanggung bahwa dia kelak tidak akan berbuat kejahatan? Bila kelak dia berbuat jahat, bukankah itu sama halnya dengan kau sendiri yang berbuat kejahatan?” bentak Pak-lo-sian marah.

Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak, “Pak-lo-sian, aku adalah seorang laki-laki sejati, sekali bicara tidak akan kutelan kembali! Tentu saja aku berani bertanggung jawab, akan tetapi apakah kepalamu yang putih itu sudah sedemikian bodoh?” Kakek itu tidak melanjutkan keterangannya, melainkan berkata kepada Pek-eng Sianjin,

“Kau tadi berjanji akan mengubah jalan hidupmu dan melakukan kebaikan, apakah kau berani bersumpah?”

Pek-eng Sianjin mengangguk.

“Nah, kalau begitu bersumpahlah, biar kami menjadi saksi.”
“Jika aku, Pek-eng Sianjin, tidak bertobat dan kembali melakukan kejahatan, biarlah aku dan semua keturunan atau anak muridku binasa oleh orang-orang gagah!”

Baru saja Pek-eng Sianjin menutup mulutnya, Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak kemudian berkata,
“Nah, kau pergilah!”

Sambil berkata demikian, kedua tangan Ang-bin Sin-kai bergerak cepat dan tahu-tahu jari tangan kirinya menotok punggung, ada pun jari tangan kanan memencet pinggang ketua Kun-lun Ngo-eng itu.

Pek-eng Sianjin menjerit kesakitan dan tubuhnya bergulingan di atas lantai. Sesudah dia dapat mengumpulkan tenaga dan napas, sambil meringis menahan rasa sakit di seluruh tubuhnya, dia pun bangkit berdiri. Ternyata bahwa tubuhnya sudah menjadi bongkok dan kedua tangan kakinya tak mungkin dapat digunakan untuk memukul orang lagi! Dia telah kehilangan dasar-dasar tenaganya dan menjadi orang biasa yang bertubuh lemah!

“Ha-ha-ha, Ang-bin Sin-kai, kau benar-benar lihai dan cerdik luar biasa!” kata Pak-lo-sian Siangkoan Hai.

Dia tahu bahwa Pek-eng Sianjin tak dapat berlaku jahat lagi. Meski pun ingin melakukan kejahatannya, namun tenaganya sudah habis dan dia tidak merupakan orang berbahaya lagi. Juga kedua orang tosu dari Kun-lun-pai, mengangguk-angguk memuji dan merasa lega melihat hajaran yang diberikan kepada Pek-eng Sianjin.

“Hemmm, dia tidak mungkin dapat diobati lagi dan selama hidupnya akan tinggal menjadi orang bercacad,” kata Yok-ong sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Sementara itu, sambil meringis menahan kesakitan Pek-eng Sianjin memandang kepada Ang-bin Sin-kai dan berkata penuh dendam.

“Ang-bin Sin-kai, ternyata kau kejam sekali dan tidak percaya terhadap sumpahku. Kau sudah membuat aku menderita selama hidupku. Baik, kau tunggu saja, kelak tentu akan ada orang yang membalaskan sakit hatiku ini, apa bila tidak kepadamu, tentulah kepada murid-muridmu!” Sesudah berkata demikian, Pek-eng Sianjin segera berjalan terpincang-pincang pergi dari tempat itu.

Terdengar Pak-lo-sian Siangkoan Hai tertawa bergelak.
“Pengemis bangkotan, kau mencari penyakit! Kalau tadi kau membiarkan dia kubunuh, tentu dia sudah menjadi setan dan tak akan bisa mengeluarkan ancaman lagi. Sekarang kau harus berhati-hati, karena kau menambah adanya seorang yang berbahaya.”
“Biarlah,” jawab Ang-bin Sin-kai tenang, “kalau dia memenuhi ancamannya, tak bisa lain berarti dia melanggar sumpahnya sendiri.”

Semua orang lalu mencurahkan perhatiannya kepada Yok-ong yang mulai mengeluarkan kepandaiannya untuk mengobati para orang muda yang masih tergeletak di tempat itu. Seorang demi seorang diurutnya di bagian belakang kepala, lalu diberi minum sebutir pil putih yang sudah dicairkan dengan arak obat.

Setiap anak muda yang mengalami pengobatan ini lantas muntah-muntah dan keluarlah arak hitam yang membuat mereka seperti boneka hidup. Kemudian sadarlah mereka dan setelah dibebaskan dari totokan, ramailah di situ karena mereka mulai menangis sedih!

Juga Swi Kiat mengalami pengobatan. Karena pemuda ini sudah mempunyai dasar yang kuat dan sudah berlatih lweekang secara mendalam, sebentar saja kesehatannya sudah pulih kembali. Dia memandang kepada suhu-nya, kemudian berlutut dan walau pun tidak terdengar menangis, namun mukanya menjadi merah dan dari kedua matanya melompat keluar dua titik air mata.

“Swi Kiat, tak usah kau memikirkan hal yang sudah lewat. Memang pengalaman pahit ini membuat kau kehilangan dasar kekuatan di dalam tubuhmu, akan tetapi kalau kau tetap giat berlatih, kau akan mendapatkan kembali tenagamu,” gurunya berkata dengan suara mengandung keharuan.

“Teecu bersumpah takkan mendekati wanita selama hidup teecu!” suara ini terdengar keras dan mengandung kebencian besar terhadap wanita, yang ditimbulkan oleh Ui-eng Suthai.

Setelah semua orang menerima tiga butir pil putih dari Yok-ong, lalu kedua orang tokoh Kun-lun-pai diberi tugas untuk mengurus semua anak muda dan mengantarkan mereka kembali ke rumah dan dusun masing-masing.

Setelah pengobatan itu beres semua, barulah Ang-bin Sin-kai teringat kepada muridnya. “Ehh, mana Kwan Cu?” tanyanya sambil memandang ke sana-sini dan baru dia merasa khawatir karena ternyata bahwa semenjak tadi tidak kelihatan Kwan Cu di tempat itu.

“Muridmu yang gundul itu?” kata Pak-lo-sian Siangkoan Hai. “Tadi dia menolongku keluar dari sumur.”

Tak hanya Ang-bin Sin-kai yang merasa khawatir, bahkan Pak-lo-sian Saingkoan Hai dan juga Hang-houw-siauw Yok-ong turut mengkhawatirkan keadaan anak itu. Jangan-jangan anak itu mengalami bencana yang tidak mereka ketahui. Beramai-ramai mereka segera pergi ke tempat di mana tadi Kwan Cu menolong Pak-lo-sian Siangkoan Hai.

“Kwan Cu...!” Ang-bin Sin-kai berteriak nyaring sekali sambil mengerahkan khikang-nya sehingga suaranya dapat terdengar dari tempat jauh di sekitar tampat itu.

Tidak lama kemudian, setelah gema panggilan itu lenyap, tiba-tiba terdengarlah jawaban Kwan Cu.
“Teecu berada di sini, Suhu!”

Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang diikuti oleh Swi Kiat dan Kun Beng lalu Ang-bin Sin-kai dan Hang-houw-siauw Yok-ong, saling pandang dengan heran karena suara Kwan Cu itu tidak dapat ditentukan dari mana datangnya.

“Ehh, Kwan Cu, kau di manakah?” kembali Ang-bin Sin-kai bertanya.
“Teecu di sini, Suhu. Di bawah sini, tunggulah sebentar, teecu akan segera keluar!”

Baru semua orang tahu bahwa Kwan Cu sedang berada di dalam sumur di mana tadinya Pak-lo-sian Siangkoan Hai terkurung! Oleh karena dia berada di bawah, maka suaranya terdengar bergema ke atas dan tidak dapat ditentukan dari mana datangnya.

“Ha-ha-ha-ha-ha! Ang-bin Sin-kai, muridmu itu benar-benar lucu dan aneh! Mengapa dia memasuki neraka ini? Ha-ha-ha, benar-benar anak ajaib, tapi di samping kebodohannya harus kupuji ketabahan hatinya. Agaknya dia turun mempergunakan tambang yang tadi dipakai untuk menolongku,” berkata Pak-lo-sian sambil menunjuk ke arah tambang yang ujungnya diikatkan pada tiang dan ujung yang lain menjulur masuk ke dalam sumur kecil yang gelap sekali itu. Semua orang kini memandang ke arah sumur, menanti munculnya Kwan Cu bocah gundul yang aneh itu.

Memang betul, Kwan Cu telah memasuki sumur itu. Bocah ini selain mempunyai pikiran yang aneh-aneh, juga sangat tabah dan cerdik. Dia tahu bahwa suhu-nya pasti sanggup menghadapi para pengeroyoknya, apa lagi tadi dia melihat ada Yok-ong yang sekarang ditambah pula dengan Pak-lo-sian. Dia tidak khawatir kalau orang-orang tua itu tak akan dapat menolong semua korban Kun-lun Ngo-eng.

Karena itu, ketika dia melihat sumur kecil yang gelap itu, timbul keinginan hatinya hendak memeriksa di bawah! Tadi dia mendengar Pak-lo-sian bernyanyi-nyanyi di bawah sumur, tentu di sana tempatnya enak, maka dia merasa penasaran kalau belum melihat apakah sebetulnya yang ada di dalam sumur itu.

Sebelum memasuki sumur, lebih dahulu dia mengambil alat pembuat api yang terletak di atas meja dalam ruang yang berdekatan. Kemudian, setelah mengikatkan ujung tambang pada tiang dan membawa alat pembuat api itu, dia lalu merayap turun melalui tambang.

Ketika kakinya menyentuh dasar sumur, mula-mula yang terinjak olehnya adalah benda keras. Ia melepaskan tambang dan segera meraba-raba benda itu yang ternyata adalah tulang-tulang manusia! Dari rabaan ini Kwan Cu bisa menduga bahwa benda itu tentulah tulang-tulang, namun dia tidak mengira bahwa tulang-tulang yang diinjaknya tadi adalah tulang rangka manusia.

Dengan tenang dia lalu menyalakan alat pembuat api dan membakar lilin yang memang sengaja dibawanya dari atas. Matanya menjadi silau karena tempat yang gelap pekat itu tiba-tiba menjadi terang. Pertama-tama yang ditemui penglihatannya ialah tulang-tulang itu dan biar pun dia memiliki ketabahan luar biasa, dia merasa seram juga saat mendapat kenyataan bahwa yang diraba-rabanya tadi kiranya adalah tulang belulang manusia yang masih utuh semua, lengkap dengan kepalanya.

Di bawah penerangan lilin, Kwan Cu memeriksa rangka itu dan dia mendapat kenyataan bahwa kepala rangka itu telah pecah! Dia lalu memeriksa keadaan di sekitarnya.

Tempat itu lebarnya kira-kira tujuh kaki dan ketika dia memeriksa ke sana ke mari, dia melihat benda putih di sudut kiri. Sesudah diambilnya, ternyata bahwa benda itu adalah sebuah kitab yang sudah tidak ada sampulnya lagi. Berdebar hati anak ini, karena setiap melihat kitab, dia teringat akan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang tengah dicari-carinya. Dia meleletkan lilin di atas tanah yang lembab, lalu duduk dan membuka-buka kitab itu.

Hampir saja dia berseru kegirangan karena melihat huruf-huruf yang tertulis di kitab itu ternyata adalah huruf-huruf kuno yang sama dengan huruf-huruf di dalam kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu, yang dulu diperebutkan oleh lima orang tokoh besar! Segera anak ini membaca kitab itu. Kegembiraannya bertambah ketika dia mendapat kenyataan bahwa inilah kitab sejarah peninggalan Gui-siucai yang telah dicuri orang dari goa tempat tinggal mendiang Gu-siucai itu!

Mendapatkan kitab ini, segera dia hendak naik kembali sambil membawa kitab itu. Akan tetapi tiba-tiba dia teringat bahwa Pak-lo-sian Siangkoan Hai tadi pun berada di tempat ini! Dan sampul kitab itu sudah lenyap, siapa tahu kalau-kalau Pak-lo-sian Siangkoan Hai juga melihat kitab ini? Berbahaya sekali kalau terjadi hal seperti itu, karena kalau dia tiba di atas membawa kitab itu, tentu Pak-lo-sian Siangkoan Hai tidak akan tinggal diam dan tentu akan berusaha merampasnya!

Ia teringat betapa tokoh-tokoh besar yang lain seperti Kiu-bwe Coa-li juga mencari kitab ini, maka akan besarlah bahayanya kalau dia membawa kitab itu. Ia tidak memerlukan membaca seluruh isi kitab sejarah ini, hanya perlu mengetahui tentang rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng dan tempat kitab itu. Pikirannya bekerja cepat dan ia segera mengambil keputusan untuk membaca bagian itu saja di tempat tersembunyi ini.

Ia cepat membuka-buka kitab itu dan matanya bergerak-gerak mencari tulisan mengenai Im-yang Bu-tek Cin-keng. Akhirnya usahanya berhasil karena di tengah-tengah buku, di halaman ke dua puluh empat, dia menemukan tulisan mengenai kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng! Setelah pandang matanya berlari-lari membaca bagian ini, lalu dia membaca berulang-ulang bagian yang terpenting, yang berbunyi seperti berikut:

‘Kitab ini terkutuk dan menjadi alat perusak dunia kalau terjatuh ke dalam tangan orang jahat. Sebaliknya menjadi kitab suci yang akan membangun kebajikan apa bila terjatuh ke dalam seorang manusia berbudi. Tertulis oleh manusia dewa dan ketika pada saat terakhir terjatuh ke dalam tangan Liu Pang (kelak menjadi Kaisar Kao Tsu) dan khawatir kalau-kalau kitab rahasia ini terjatuh ke dalam tangan orang jahat, Liu Pang kemudian menyembunyikannya ke dalam tempat rahasia di atas pulau kosong.

Ketika menyembunyikan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, dia menuju ke kota di mulut Sungai Yalu, lalu naik perahu yang dibawa oleh air sungai itu ke laut. Dari sini menuju ke kanan, melalui pulau-pulau besar dan di antara pulau-pulau itu terdapat sebuah pulau kecil yang bentuknya bulat, ditumbuhi oleh pohon-pohon berdaun putih. Di sinilah kitab itu disimpan. Dia yang berjodoh tentu akan mendapat tuntunan tangan Thian Yang Maha Kuasa untuk mendapatkan kitab ini.’

Hanya bagian itulah yang dibaca berkali-kali oleh Kwan Cu, terutama sekali dia berusaha mengingat-ingat keterangan tentang disimpannya kitab itu. Hatinya berdebar girang dan dia terkejut sekali ketika mendengar suara gurunya memanggilnya. Dia cepat menjawab dan karena khawatir akan ditemukannya kitab itu oleh orang lain, dia lalu membakar kitab itu dengan lilinnya!

Orang-orang yang menunggu di atas sumur, tiba-tiba melihat asap keluar dari sumur itu. Tentu saja semua orang menjadi heran dan terutama Ang-bin Sin-kai merasa khawatir sekali.

“Ehh, Kwan Cu! Apa yang terjadi? Ada kebakaran di dalam?” tanyanya hilang sabar.
“Teecu sekarang juga keluar, Suhu,” jawab Kwan Cu dari dalam.

Setelah melihat betapa kitab itu terbakar habis, anak ini kemudian merayap naik melalui tambang. Begitu dia muncul di permukaan sumur, Kun Beng lantas tertawa bergelak, dan orang-orang lain juga tersenyum geli. Ternyata bahwa muka Kwan Cu tanpa disadarinya sudah menjadi hitam penuh angus. Hal ini terjadi karena kitab itu agak basah dan ketika dibakar, maka menimbulkan asap hitam yang menghanguskan mukanya!

“Ehh, Kwan Cu, apa kau berubah menjadi setan bumi?” tanya Ang-bin Sin-kai berkelakar karena melihat muridnya yang terkasih ini.

Sebaliknya, Pak-lo-sian Siangkoan Hai memandang penuh kecurigaan kepada Kwan Cu. Kakek ini maklum bahwa di dalam kepala yang gundul itu terdapat hal-hal rahasia yang banyak sekali dan yang di antaranya ingin dia ketahui, apa lagi yang berkenaan dengan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!

“Kwan Cu, apakah yang kau bakar di dalam sumur tadi?” tanyanya penuh kecurigaan.
“Di dalam gelap sekali, Locianpwe, maka teecu membakar kayu-kayu kering dan lain-lain yang berada di sana yang dapat di bakar.”
“Kau menemukan apa di sana?” tanya pula Pak-lo-sian Siangkoan Hai dengan pandang mata tajam.
“Sama seperti yang telah ditemukan Locianpwe tentunya,” jawab Kwan Cu cerdik. “Apa lagi yang bisa teecu ketemukan di dalam sana selain yang telah dilihat oleh Locianpwe?” Jawaban ini menyimpang.

Ang-bin Sin-kai tahu akan hal ini, juga Pak-lo-sian dapat menduga bahwa tentulah ada ‘apa-apanya’ yang disembunyikan oleh bocah gundul ini.

Ang-bin Sin-kai tertawa dan berkata kepada Kwan Cu. “Kwan Cu, sudahlah jangan kau layani obrolan Pak-lo-sian, tentu tak akan ada habisnya. Mari kita pergi.” Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai melompat keluar, diikuti oleh Kwan Cu.

Sesudah tiba di luar, Ang-bin Sin-kai bertanya dengan sungguh-sungguh, “Kwan Cu, kau menyembunyikan sesuatu dari Pak-lo-sian. Apakah itu?”

“Suhu, sebetulnya teecu telah menemukan kitab sejarah dari Gui-siucai di dalam sumur itu! Dan teecu telah membakarnya menjadi abu.”
Saking terkejut dan herannya, Ang-bin Sin-kai menahan larinya dan berdiri memandang muridnya.
“Kau bakar...?”

Kwan Cu tersenyum. “Tentu saja setelah teecu membaca tentang kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!”

Berubahlah wajah Ang-bin Sin-kai dan dia nampak agak gelisah.

“Kau tunggu di sini, jangan pergi sebelum aku kembali!”

Belum juga Kwan Cu sempat bertanya, Ang-bin Sin-kai telah melompat dan lenyap dari hadapan muridnya ini. Dia cepat berlari kembali ke rumah besar tempat tinggal Kun-lun Ngo-eng dan mengintai di atas ruangan di mana tadi Pak-lo-sian Siangkoan Hai berada. Ia bergerak hati-hati sekali karena maklum bahwa jika Pak-lo-sian berada di situ, banyak sekali kemungkinan kakek sakti dari utara itu akan tetap saja mendengar kedatangannya.

Akan tetapi, ternyata dugaannya tidak salah. Ia tidak melihat Pak-lo-sian Siangkoan Hai di sana. Dua orang tokoh Kun-lun-pai sedang mengatur untuk mengantar para pemuda dan pemudi, sedangkan Hang-houw-siauw Yok-ong tidak nampak di situ lagi. Yang ada hanyalah Swi Kiat dan Kun Beng yang berdiri dekat sumur dan melihat ke dalam sumur itu. Tidak salah lagi, tentu Pak-lo-sian Siangkoan Hai sedang menyelidiki di dalam sumur karena merasa curiga kepada Kwan Cu!

Memang tepat sekali dugaan ini. Tadi sesudah Ang-bin Sin-kai pergi bersama Kwan Cu, Pak-lo-sian mengambil sampul buku dari sakunya dan ketika melihat bahwa sampul itu bertuliskan huruf-huruf besar ‘BUKU SEJARAH KUNO’, dia cepat pergi ke dalam sumur dan memeriksa sambil membawa lilin!

Ang-bin Sin-kai cepat-cepat kembali ke tempat di mana dia meninggalkan muridnya tadi. Dia mendapatkan Kwan Cu tengah duduk di bawah pohon dan menyuling!

“Ehhh, dari mana kau mendapat suling itu?” tanya Ang-bin Sin-kai dengan hati berdebar karena dia mengenal suling bercahaya hijau itu adalah suling Hang-houw-siauw Yok-ong!

“Dari Yok-ong Locianpwe,” jawab Kwan Cu. Lalu dia menceritakan bahwa tadi Yok-ong lewat di situ dan memberikan suling itu kepadanya sambil berkata,

“Kau anak baik. Di antara semua murid-murid tokoh besar, agaknya hanya kau yang ada harapan. Kau simpan suling ini dan mudah-mudahan kelak kita dapat bertemu pula.”

Ang-bin Sin-kai menarik napas lega. Ternyata Raja Obat itu mempunyai pandangan mata yang sangat tajam, pikirnya. Hanya Raja Obat itu saja yang dapat melihat bahan baik dalam diri Kwan Cu yang diejek dan dihina oleh lain-lain tokoh besar.

“Kwan Cu, ternyata dugaanku benar. Pak-lo-sian sedang memeriksa di dalam sumur dan kalau dia melihat abu kitab yang kau bakar, tentu dia akan berusaha menyusul kita dan akan menggunakan kekerasan. Hayo kita cepat-cepat pergi, aku segan untuk berurusan dengan kakek yang berkepala keras itu!”

Karena ingin menghindar dari kejaran Pak-lo-sian, Ang-bin Sin-kai segera menggendong Kwan Cu, dibawa pergi ke puncak sebuah gunung yang berada di sebelah timur puncak Kun-lun-san, sebuah puncak gunung yang liar, penuh hutan belukar dan jarang sekali didatangi manusia.

“Perjalanan yang kau hadapi penuh bahaya, muridku. Tidak saja kau harus melakukan perjalanan jauh, akan tetapi juga kau akan menghadapi tokoh-tokoh besar yang selalu tidak mau tinggal diam sebelum mereka dapat merampas kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Oleh karena itu, sementara kita tinggal dulu di tempat sunyi ini dan kau harus berlatih giat untuk mempertinggi kepandaianmu. Mulai hari ini, kita takkan turun gunung sebelum kau menguras habis kepandaian yang kumiliki.”

Demikianlah, mulai hari itu Ang-bin Sin-kai mengerahkan seluruh perhatian serta tenaga untuk mendidik dan menggembleng Kwan Cu. Sebaliknya Kwan Cu juga berlatih dengan giat sekali. Tak pernah terlihat anak ini menganggur, meski suhu-nya sedang beristirahat, dia selalu melatih diri dengan ilmu-ilmu silat yang baru dia pelajari dari suhu-nya.

Bertahun-tahun Kwan Cu dan suhu-nya seolah-olah terasing dari dunia luar dan hidup di tengah-tengah hutan, di puncak sebuah bukit yang sangat tinggi. Mereka hanya makan buah-buahan dan kadang-kadang binatang hutan yang mereka tangkap. Di waktu makan masakan sederhana itu dan mendengar gurunya mengeluh panjang pendek oleh karena gurunya itu sudah sangat rindu akan arak dan masakan enak, Kwan Cu menjadi terharu sekali.

“Suhu, sungguh teecu tidak mengerti mengapa suhu sampai menyiksa diri hanya untuk melatih ilmu kepada teecu. Ahh, budi yang begini besar, dan apakah teecu akan dapat membalasnya?”

Mendengar ucapan ini, lenyaplah keluh kesah dari bibir Ang-bin Sin-kai dan dia berseri.

“Kwan Cu, pembalasaan yang kuharapkan hanya kalau kau kelak dapat menjadi seorang gagah yang menjunjung tinggi peri kebajikan, bisa berbuat banyak terhadap orang-orang lain. Akan tetapi, kau tak mungkin dapat menjadi seorang gagah tanpa tandingan kalau kau tidak dapat menemukan Im-yang Bu-tek Cin-keng! Kepandaianku belum cukup untuk menjagoi di seluruh dunia dan tetap saja kalau kau hanya menerima latihan dari aku, kau sewaktu-waktu akan bertemu dengan orang jahat yang lebih pandai dari padamu! Oleh karena itu, pelajaran yang kau terima dariku ini anggaplah sebagai bekal bagimu untuk mencari kitab itu. Aku sendiri sudah terlalu tua untuk ikut mencarinya, kau akan mencari sendiri, muridku, dan karenanya, aku mana bisa rela membiarkan kau pergi menempuh perjalanan sukar itu sebelum memiliki kepandaian yang boleh diandalkan?”

Mendengar ini makin kuatlah hati Kwan Cu dan semakin giatlah dia. Dia menjadi terharu sekali ketika gurunya pada suatu hari pergi turun gunung seorang diri dan ketika kembali membawa beberapa stel pakaian baru untuknya! Suhu-nya sendiri tidak pernah berganti pakaian, kecuali kalau pakaian yang menempel pada tubuhnya itu sudah benar-benar hancur.

Atas kehendak gurunya yang ingin melihat dia berpakaian pantas, sekarang Kwan Cu memakai pakaian yang cukup baik dan sepatu yang baru pula, pemberian suhu-nya yang amat mengasihinya.

Beberapa tahun kemudian, kepandaian Kwan Cu sudah cukup tinggi. Dia sudah berusia lima belas tahun, akan tetapi setiap kali gurunya menyuruh dia menggunduli kepalanya! Ia kelihatan seperti seorang hwesio kecil yang bertubuh sedang dan padat, penuh berisi tenaga yang luar biasa. Wajahnya yang tampan menjadi makin halus dan kemerahan, berkat dari hawa gunung yang sejuk dan latihan-latihan silat yang tiada henti-hentinya.

Kembali beberapa bulan yang telah lewat. Pada suatu hari Kwan Cu berlatih seorang diri. Hari masih pagi sekali dan suhu-nya masih belum bangun dari tidurnya di dalam sebuah goa. Akhir-akhir ini, suhu-nya nampak malas dan bangunnya pun apa bila matahari telah naik tinggi. Tubuh suhu-nya nampak makin kurus dan kakek ini beberapa kali mengeluh dan menyatakan bahwa dia telah menjadi amat tua.

“Aku sudah sangat tua, Kwan Cu, tiada nafsu lagi untuk melakukan sesuatu. Keinginanku satu-satunya hanya bertemu sekali lagi dengan adikku Lu Pin yang tercinta,” demikianlah berkali-kali kakek pengemis yang sakti ini mengeluh.

Pagi hari itu Kwan Cu melatih ilmu silat Sin-ci Tin-san (Jari Sakti Menggetarkan Gunung), yaitu ilmu silat paling lihai yang pernah dia pelajari dari gurunya. Ilmu silat ini dilakukan dengan menggunakan jari-jari tangan, merupakan ilmu tiam-hoat (menotok) yang luar biasa lihainya yang merupakan ilmu pukulan dengan jari tangan yang luar biasa kuatnya.

Sudah berbulan-bulan dia terus melatih ilmu silat ini, akan tetapi hasilnya masih kurang memuaskan hatinya. Pada pagi hari ini, sesudah pada malam tadi mendapat wejangan dari gurunya yang membentangkan semua kouw-koat (teori silat) dari pada ilmu pukulan Sin-ci Tin-san ini, dia melatih diri sebaiknya. Yang dijadikan sasaran adalah pohon-pohon kecil yang tumbuh di situ.

Pada saat bersilat dengan ilmu silat Sin-ci Tin-san, dia kelihatan lincah sekali. Tubuhnya mencelat ke sana kemari serta kedua tangannya terbuka dengan dua jari tangan, yakni telunjuk dan jari tengah, ditusukkan ke sana ke mari dan sepasang kakinya melakukan langkah-langkah yang amat teratur.

Kemudian mulailah dia menyerang pohon-pohon yang besarnya sama dengan tubuhnya sendiri. Dan bukan main hebatnya kepandaian anak muda yang usianya baru lima belas tahun ini. Tiap kali jari tangannya baik yang kanan mau pun yang kiri, menusuk ke batang sebuah pohon, terdengar suara berderak kemudian pohon itu patah dan tumbang berikut semua daunnya!

Kalau ada orang lain yang melihat hal ini, tentu menjadi kagum sekali. Akan tetapi aneh, wajah Kwan Cu kelihatan tidak puas, bahkan kecewa. Mulutnya berkali-kali berkata,
“Tidak baik, tidak baik! Gwakang-ku lebih besar keluarnya dari pada tenaga lweekang!”

Kembali dengan tangan kirinya dia menusuk sebatang pohon yang langsung patah dan tumbang.

“Kau terlalu terburu nafsu, Kwan Cu. Nafsumu itu yang memperbesar tenaga gwakang sehingga tidak seimbang dengan tenaga dalam!” terdengar orang bicara dan ketika Kwan Cu menengok, ternyata bahwa suhu-nya sudah berdiri di belakangnya.

Kwan Cu berlutut. “Suhu, mohon petunjuk dari suhu yang mulia.”

Ang-bin Sin-kai tersenyum. “Dalam menghadapi segala macam hal, terutama sekali saat menghadapi perlawanan dari musuh yang tangguh, pantangan yang paling utama adalah timbulnya nafsu yang menguasai diri sendiri. Dalam keadaan seperti itu, kau harus dapat menguasai dirimu seluruhnya, dari semua urat-urat besar sampai urat-urat saraf, pikiran dan hati. Kau harus dapat mengatur semua panca inderamu, dan sadar serta tak sadar harus waspada betul-betul. Kekuatan yang tenaganya tampak seperti pukulanmu kepada pohon itu, hanya boleh digunakan untuk menakut-nakuti anak kecil atau membikin gentar lawan yang bodoh. Akan tetapi sama sekali tidak ada gunanya kalau kau menghadapi lawan yang tangguh. Ingatlah, segala yang tenang, tidak bergerak dan diam itulah yang betul-betul kuat.”

“Mohon suhu memberi penjelasan mengenai Sin-ci Tin-san, karena sesungguhnya teecu belum dapat melakukannya dengan baik.”

Ang-bin Sin-kai menghampiri sebatang pohon dan dia menggunakan satu jarinya untuk menusuk pohon itu seperti yang dilakukan oleh Kwan Cu tadi. Pohon itu tidak bergerak sedikit pun juga, bahkan tiada sehelai pun daun yang rontok. Akan tetapi ketika Ang-bin Sin-kai menggunakan telapak tangan mendorongnya perlahan, ternyata bahwa pukulan atau lebih tepat tusukan jarinya tadi telah membuat hancur batang pohon di balik kulitnya dan sekali dorong perlahan saja pohon itu lantas tumbang ke tanah!

“Dalam pukulan Sin-ci Tin-san, kau harus mengerahkan tenaga lweekang. Akan tetapi, kau harus tenang dan jangan sampai pikiran dan hati dikuasai nafsu, tenaga lweekang itu akan berubah menjadi tenaga gwakang yang kasar.”

Demikianlah, Kwan Cu digembleng terus oleh suhu-nya sehingga setahun kemudian dia telah memiliki tenaga lweekang yang kuat sekali, ginkang yang memungkinkan dia berlari seperti terbang, serta ilmu silat yang lihai. Suling yang didapatnya dari Yok-ong ternyata merupakan senjata yang amat ampuh. Suling ini terbuat dari pada baja hijau dan kuatnya bukan main.

Ang-bin Sin-kai melatih ilmu pedang tunggalnya yang membuat dia dapat menjagoi dunia kang-ouw puluhan tahun yang lalu, yakni ilmu pedang Hun-kai Kiam-hoat (Ilmu Pedang Memecah dan Membuka). Ilmu pedang ini dilatih oleh Kwan Cu menggunakan sulingnya dan ternyata cocok sekali.

Selain pandai memainkan suling sebagai pedang, juga pemuda ini pandai sekali meniup lagu-lagu merdu dari sulingnya, juga kepandaian ini dia dapat dari Ang-bin Sin-kai yang tahu akan teori meniup suling sungguh pun ia sendiri kurang berbakat. Sebaliknya Kwan Cu amat berbakat dan dia dapat meniup banyak lagu-lagu yang dikenal oleh gurunya.

Dua tahun kemudian, setelah berusia delapan belas tahun, Kwan Cu di panggil gurunya.

“Muridku, kini kiranya sudah cukup kepandaianmu untuk kau pakai sebagai bekal dalam perjalanmu mencari Im-yang Bu-tek Cin-keng. Kau pergilah menuruti petunjuk yang kau baca dalam kitab sejarah. Berhati-hatilah, muridku, aku hanya memberi bekal doa restu kepadamu. Kuharap saja kelak kalau kau sudah mendapatkan ilmu silat yang paling lihai dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, aku masih belum mati sehingga aku dapat menyaksikan kelihaianmu. Nah, pergilah, Kwan Cu.”

Kwan Cu yang berlutut di depan suhu-nya merasa sangat berat untuk berpisah dan pergi meninggalkan suhu-nya yang kini nampak tua sekali.

“Semenjak dahulu memang teecu bercita-cita mencari kitab itu. Akan tetapi suhu sudah amat tua dan siapakah yang akan melayani suhu kalau teecu pergi?” katanya ragu-ragu.
“Kwan Cu, apakah kau akan memanjakan gurumu seperti memanjakan seorang kakek tua renta yang kekanak-kanakan? Aku masih kuat dan aku tak membutuhkan pelayanan orang lain.”
“Akan tetapi... kalau teecu rindu kepada suhu dan hendak bertemu, ke manakah teecu harus mencari suhu?”
“Aku akan ke kota raja mencari Lu Pin adikku, setelah itu, aku tak akan jauh dari tempat kau mencari kitab itu, Kwan Cu karena aku hendak tinggal di pantai Laut Po-hai!”

Setelah mendapat wejangan dan nasehat-nasehat yang kiranya cukup berharga untuk dia bawa sebagai bekal menempuh hidup dan perjalanan seorang diri, akhirnya Kwan Cu lalu mulai turun gunung dan mulai dengan perjalanannya yang amat jauh, yakni ke pantai sebelah timur dari Tiongkok.

Ia melakukan perjalanan cepat melalui propinsi-propinsi Cing-hai, Kang-su, Shen-si, lalu mengikuti sepanjang tapal batas Mongolia, terus menuju Timur…..

********************
Selanjutnya baca
PENDEKAR SAKTI : JILID-07
LihatTutupKomentar