Pendekar Bodoh Jilid 14
Karena Cin Hai melakukan perjalanan dengan mempergunakan ilmu lari cepat dan jarang berhenti dalam kerinduannya hendak segera bertemu kembali dengan Lin Lin, sambil tidak lupa mencari-cari jejak Kwee An dan Ma Hoa yang lenyap tak meninggalkan bekas itu, maka beberapa hari kemudian sampailah dia di kaki bukit tempat tinggal Yousuf. Dia merasa heran sekali melihat betapa dusun-dusun di sekitar bukit itu sudah kosong dan tiada bermanfaat lagi!
Dengan hati berdebar cemas dia berlari ke atas bukit dan betul saja seperti apa yang dia khawatirkan, rumah Yousuf sudah roboh dan nampak seperti bekas dibakar! Dengan hati cemas dan wajah pucat Cin Hai mencari dan membongkar tumpukan puing, akan tetapi dia menjadi lega oleh karena tidak melihat tanda-tanda bahwa kekasihnya dan Yousuf menjadi korban api yang membakar rumah. Dia berdiri di depan tumpukan puing dengan tubuh lemas, dan tiba-tiba dia mendengar suara ringkik kuda dari jauh.
“Pek-gin-ma!” ia berseru dan melompat terus lari cepat mengejar ke arah suara itu.
Dan di dalam sebuah hutan dia melihat kuda itu sedang makan rumput dan kadang kala meringkik sedih seolah-olah kehilangan kawan dan merasa kesunyian. Pada saat Cin Hai lari menghampiri, ia lalu mengangkat kepalanya dan meringkik lagi, seakan-akan hendak menceritakan sesuatu.
Cin Hai memeluk leher kuda itu dan merasa menyesal sekali mengapa dia tidak menjadi kuda saja supaya dapat mengerti apa yang hendak diceritakan oleh Pek-gin-ma tentang kekasihnya!
“Pek-gin-ma, apakah yang telah terjadi pada mereka? Pek-gin-ma, kalau kau tahu tempat mereka, bawalah aku kepada Lin Lin...”
Akan tetapi, kuda itu hanya menggaruk-garuk tanah dengan kedua kaki depannya.
Sementara itu, burung bangau yang ikut datang bersama Cin Hai, terbang berputaran di atas melihat-lihat daerah yang asing baginya itu. Cin Hai lantas menunggang Pek-gin-ma dan bersuit memanggil Ang-siang-kiam yang segera meluncur turun dan mengikuti ke mana pemuda itu melarikan kudanya.
Cin Hai turun dari lereng dan memeriksa dusun-dusun di sekitar daerah itu. Pada saat dia sedang berdiri di tengah dusun yang kosong sambil menuntun Pek-gin-ma, tiba-tiba dia mendengar suara tindakan kaki. Dia segera melompat ke belakang sebuah pohon besar dan dapat menangkap lengan tangan seorang penduduk dusun yang hendak melarikan diri. Orang itu masih muda dan meronta-ronta, kemudian setelah merasa bahwa ia tidak kuasa melepaskan diri lalu menjatuhkan diri berlutut sambil memohon.
“Ampun, Hohan, jangan bunuh aku,” katanya dengan tubuh menggigil.
“Berdirilah, sahabat. Aku bukan orang jahat, dan aku hanya hendak bertanya kepadamu apa yang sudah terjadi di pegunungan ini. Ke mana perginya semua penduduk dusun ini dan tahukah kau ke mana perginya orang Turki dan nona yang dulu tinggal di lereng itu?”
Ketika melihat bahwa Cin Hai bukanlah orang yang ditakutinya, pemuda dusun itu lalu bercerita bahwa beberapa hari yang lalu, pegunungan itu didatangi serombongan orang Turki yang terdiri dari puluhan orang banyaknya, sambil menunggang kuda-kuda besar mereka menyerang dusun-dusun seperti orang-orang gila.
Kemudian orang-orang Turki ini menyerbu naik ke atas bukit untuk menangkap Yousuf. Terjadilah pertempuran hebat dan orang-orang dusun yang bersembunyi lantas melihat betapa Yousuf, Lin Lin dan Merak Sakti melarikan diri dari situ dengan cepat, dikejar-kejar oleh rombongan orang Turki itu!
“Entah ke mana mereka melarikan diri, agaknya mereka tidak kuat menghadapi serbuan orang-orang Turki itu!” pemuda dusun tadi mengakhiri ceritanya.
Cin Hai merasa terkejut sekali. Kalau Yousuf, Lin Lin dan Merak Sakti sampai tidak kuat menghadapi rombongan itu, tentu di dalam rombongan itu terdapat orang-orang pandai, pikirnya. Ia heran sekali, siapakah orangnya yang dapat mengalahkan Lin Lin yang sudah dilatihnya dengan ilmu-ilmu silat tinggi itu? Dia benar-benar tak mengerti dan kemudian turun gunung dengan hati cemas dan pikiran bingung, diikuti oleh burung bangau yang dengan setia terbang rendah di atas kepalanya…..
********************
Marilah kita ikuti pengalaman Kwee An dan Ma Hoa semenjak mereka terguling ke dalam jurang tebing yang amat curam itu.
Telah diceritakan pada bagian depan bahwa Kwee An terkena dorongan hawa pukulan Angin Taufan dari Ke Ce yang lihai hingga dia terguling ke dalam jurang, sedangkan Ma Hoa cepat melompat menyusul kekasihnya itu sehingga mereka berdua ketika jatuh ke dalam jurang saling berpegangan tangan dan mendapat kekuatan batin luar biasa karena sentuhan tangan ini!
Akan tetapi betapa pun juga, merasa betapa tubuhnya meluncur turun dengan cepatnya ke dalam jurang yang luar biasa dalamnya itu tanpa berdaya sedikit pun, Ma Hoa merasa ngeri sekali hingga ia menjadi pingsan! Sebaliknya, Kwee An biar pun juga tidak berdaya, tetapi ia masih sadar dan di dalam jatuhnya, ia masih berusaha menggerakkan tubuhnya dan mengulur tangan untuk mencari pegangan!
Akhirnya ia pun berhasil dan sebelah tangannya dapat menangkap sebatang pohon yang tumbuh pada permukaan jurang yang curam itu. Akan tetapi, tiba-tiba dia merasa betapa tangan Ma Hoa yang memegangnya menjadi lemas dan ketika pegangan tangannya di cabang pohon itu menahan luncuran tubuhnya, pegangan pada tangan Ma Hoa itu lalu terlepas tanpa dapat ia tahan lagi hingga tubuh Ma Hoa terus ke bawah, terpisah darinya!
Kwee An merasa betapa tangannya yang memegang pohon itu sakit, dan seakan-akan sambungan tulang pada pundaknya terlepas oleh karena sentakan tenaga luncurannya yang tiba-tiba tertahan itu keras sekali. Dia berpegang kuat-kuat pada pohon itu sambil memandang ke bawah dengan penuh kengerian. Melihat betapa tubuh kekasihnya itu terus meluncur ke bawah hingga lenyap tertutup halimun tebal, ia mengeluh keras-keras.
“Ma Hoa...”
Kemudian ia pun roboh pingsan! Untung baginya bahwa di mana ia berada itu memiliki banyak cabang dan daun, sehingga pada saat tubuhnya terkulai karena ia roboh pingsan, tubuhnya tertahan oleh ranting-ranting pohon dan tidak sampai jatuh ke bawah.
Setelah beberapa lama berada dalam keadaan pingsan, lambat laun dia siuman kembali dan teringat akan nasib Ma Hoa, Kwee An menangis sedih di atas dahan pohon itu. Dia ingin melemparkan dirinya ke bawah untuk ikut mati bersama Ma Hoa, akan tetapi masih belum putus harapan. Siapa tahu kalau Ma Hoa juga tertolong jiwanya? Lebih dulu dia harus menyelidiki dengan teliti.
Maka dia segera merangkak dengan hati-hati sekali di antara cabang pohon. Dia melihat betapa pohon itu tumbuhnya melintang dan bahwa permukaan jurang itu lurus ke atas dan tak mungkin dilalui. Dengan amat hati-hati dia lalu menggunakan batu-batu menonjol di pinggir atau dinding tebing itu untuk merayap ke atas.
Dengan pertolongan batu-batu karang dan akar-akar pohon, dia dapat juga meninggalkan pohon di mana dia tersangkut tadi dan akhirnya dia mendapatkan sebuah goa di dinding tebing. Karena merasa lelah sekali, dia lalu masuk ke dalam goa kecil itu dan beristirahat.
Semalaman penuh dia beristirahat di dalam goa itu, memikirkan nasib Ma Hoa dengan gelisah dan akhirnya ia mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanannya merayap dan mencari jalan keluar dari dinding tebing yang curam dan luas itu, kemudian mencari kekasihnya.
Sementara itu, tubuh Ma Hoa meluncur ke bawah dengan kecepatan makin besar. Tak dapat disangsikan lagi, jika tubuh dara ini jatuh menimpa batu atau tanah, pasti tubuhnya akan hancur lebur. Akan tetapi, Thian Yang Maha Agung mempunyai kekuasaan yang tak terbatas. Bila belum dikehendakinya, ada saja jalan atau penolong yang menyelamatkan nyawa seseorang dari kematian.
Pada saat tubuh Ma Hoa telah meluncur mendekati tanah, tiba-tiba saja terdengar orang mengeluarkan seruan kaget, “Ya Tuhan Yang Maha Agung!” seruan ini dikeluarkan oleh seorang kakek berkepala botak.
Secepat kilat kakek botak ini segera menanggalkan mantelnya dan ketika tubuh Ma Hoa jatuh hendak menimpa tanah, dia menggerakkan mantel itu yang menangkap tubuh Ma Hoa, dan sekali mantel disentakkan, tubuh Ma Hoa yang tadinya meluncur ke bawah, lalu tenaga luncurannya dibelokkan ke kiri, kemudian diteruskan ke atas sehingga tubuh itu melayang ke atas! Inilah cara luar biasa untuk mematahkan tenaga luncuran yang keras itu.
Ketika tubuh Ma Hoa melayang lagi ke bawah, dengan tenaga yang telah patah sehingga daya luncurannya jauh berkurang, kakek botak itu lalu menangkapnya dan membawanya masuk ke dalam sebuah goa yang berada tak jauh dari tempat itu.
Setelah memeriksa keadaan Ma Hoa, kakek botak itu menarik napas lega oleh karena ia tahu bahwa gadis itu pingsan bukan karena menderita luka, akan tetapi akibat kengerian, ketakutan dan juga karena tekanan hawa yang menyesakkan pernapasannya ketika dia jatuh dari tempat yang luar biasa tingginya itu tadi!
Maka kakek botak itu lalu membiarkan saja Ma Hoa pingsan, karena memang sebaiknya gadis itu dibiarkan sampai siuman sendiri. Dia hanya mengangkat kedua tangan Ma Hoa beberapa kali, dan mengurut-urut leher gadis itu untuk memulihkan jalan pernapasannya kembali, kemudian ia membiarkan gadis itu terlentang di atas tanah, lalu ia duduk di atas batu hitam yang bundar dan lebar untuk bersemedhi, seakan-akan tidak terjadi sesuatu.
Tidak lama kemudian, dari luar goa masuklah seorang tua lain yang tinggi kurus. Ketika melihat tubuh Ma Hoa yang rebah terlentang di atas tanah, di belakang kakek botak yang duduk bersemedhi, orang tua tinggi kurus ini membelalakkan matanya dan mengeluarkan suara, “Ah, ah, uh, uh...“ lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya. Ternyata bahwa dia adalah seorang kakek gagu!
Kakek botak itu membuka matanya dan tersenyum melihat lagak Si Gagu.
“A Tok! Jangah kau heran! Gadis ini bukan turun dari langit, akan tetapi dia terjatuh dari atas tebing itu. Ia mempunyai tulang dan bakat baik sekali untuk menjadi muridku, maka sejak sekarang, dia menjadi sumoi-mu! Keluarlah kau mencari Daun Siu-hwa putih untuk mengobati pengaruh kaget dan takutnya.”
A Tok yang gagu itu lalu terkekeh-kekeh girang dan pergi dari situ. Akan tetapi, tak lama kemudian dia sudah kembali lagi sambil tangannya membawa beberapa helai daun yang berwarna putih dan tangannya lalu bergerak-gerak serta dikembangkan ke kanan dan kiri meniru gerakan burung dan mulutnya tetap mengeluarkan suara, “ah, ah, uh, uh” seperti tadi.
“Hmm, burung besar? Biarlah aku keluar melihatnya, A Tok!”
Kakek botak itu lalu bertindak keluar dengan tenang. Dan benar saja, dia melihat seekor burung merak yang besar dan indah melayang turun dengan kedua mata mencari-cari seperti lakunya seekor rajawali mencari mangsa. Ini adalah Sin-kong-ciak yang disuruh oleh Lin Lin untuk mencari Kwee An dan Ma Hoa.
Ketika melihat kakek yang berdiri di depan goa itu, Sin-kong-ciak lalu turun menyambar dengan cepat, kedua kakinya siap mencengkeram dan patuknya siap menotok.
“Ha-ha-ha, burung merak yang lihai!” kata kakek botak itu sambil menggerakkan tangan kanannya.
Dari tangan itu lalu menyambar hawa yang kuat dan yang mendorong merak itu hingga terpental kembali ke atas. Merak Sakti maklum bahwa kakek itu lihai sekali, maka dia hanya memekik-mekik keras sambil terbang berputaran di atas kepala kakek botak itu.
Sedangkan kakek itu kemudian mengeluarkan kertas dan menulis beberapa huruf yang dicoret-coret, kemudian dia mengambil sehelai tali yang mengikat batu karang kecil pada ujungnya.
“Merak baik, kau kembalilah dan berikan surat ini kepada orang-orang yang menyuruhmu turun!”
Ia lalu menyelipkan kertas bersurat itu pada tali dan sekali ia menggerakkan tangan, batu karang berikut tali dan surat itu melayang bagaikan seekor ular terbang menuju ke arah Merak Sakti!
Sin-kong-ciak menyangka bahwa kakek itu menyambitnya dengan batu atau senjata lain, maka dia cepat mengelak. Akan tetapi aneh sekali, ternyata bahwa kakek itu menyambit dengan cara yang luar biasa sehingga ketika merak itu mengelak, ujung tali membelit sebuah kakinya dan batu itu terputar-putar sedemikian rupa hingga tali membelit dengan erat pada kaki itu! Sin-kong-ciak biar pun tidak merasa sakit, akan tetapi ia terkejut sekali sehingga kembali ia memekik-mekik keras, kemudian ia terbang ke atas karena takut dan ngeri menghadapi kakek botak yang luar biasa itu! Demikianlah, kakek botak itu memberi tahu kepada Cin Hai dan Lin Lin dengan suratnya sebagaimana yang telah dituturkan di bagian depan.
Ketika akhirnya Ma Hoa siuman kembali dan membuka kedua matanya, ia merasa heran mendapatkan dirinya rebah di atas tanah yang lembek dan berada di dalam sebuah goa yang gelap. Ia lalu bangun duduk dan timbul perasaannya bahwa ia mungkin sudah mati karena segera terbayang kembali peristiwa tadi.
Ia memandang ke sekeliling untuk mencari Kwee An, dan alangkah herannya ketika dia melihat bahwa di atas dua buah batu besar dua orang kakek sedang duduk bersemedhi. Kakek botak itu mendengar gerakannya, lalu membuka mata dan turun dari atas batu.
“Anak, jangan kau kaget, kau berada di tempat yang aman,” katanya halus.
“Teecu... berada di manakah... dan siapakah Locianpwe?”
“Kau tadi terjatuh dari atas dan kebetulan sekali bertemu dengan aku hingga aku berhasil mencegah tubuhmu dari kehancuran. Kau makan dulu daun-daun ini untuk melenyapkan rasa kagetmu.” Sambil berkata demikian, kakek botak itu memberi lima helai daun-daun kecil yang berwarna putih dan yang tadi dia suruh A Tok mencari.
Tanpa ragu-ragu lagi Ma Hoa menerima daun-daun itu dan memakannya. Rasanya agak masam, akan tetapi karena memang dia merasa betapa dada kirinya berdenyut-denyut keras, dia lalu makan habis daun itu dan aneh, denyutan keras itu segera mengurang dan akhirnya lenyap. Dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek botak itu dan berkata,
“Locianpwe, teecu menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Locianpwe. Dan mohon tanya, bagaimanakah nasib seorang kawanku yang jatuh bersama teecu?” Sambil berkata demikian Ma Hoa memandang kepada wajah kakek botak itu dengan cemas.
“Seorang kawanmu?” kakek itu berkata, “aku tidak melihat orang lain kecuali kau yang melayang jatuh dari atas.”
“Ahh... kalau begitu, biarlah teecu mencarinya,” kata Ma Hoa sambil berdiri.
“Nanti dulu, Nak. Sebetulnya siapakah kau ini dan siapa pula kawanmu yang ikut jatuh? Mengapa pula kau dan kawanmu sampai terjatuh dari tempat setinggi itu?”
Biar pun hatinya ingin sekali lekas keluar dari goa itu untuk mencari Kwee An, akan tetapi karena dia telah tertolong jiwanya oleh kakek itu, maka Ma Hoa lalu menuturkan singkat pengalamannya, betapa dia dan kawannya bertempur melawan Bo Lang Hwesio dan Ke Ce. Kakek botak itu mengangguk-angguk dan berkata,
“Pantas saja kau dan kawanmu kalah melawan Bo Lang Hwesio yang pernah kudengar namanya ketika aku masih muda dan masih menjelajah di dunia kang-ouw. Akan tetapi, tiga bulan saja kau mempelajari Ilmu Silat Bambu Kuning dari aku, tak usah kau takut lagi menghadapi mereka!”
Ma Hoa terkejut mendengar ini, karena kata-kata itu menyatakan bahwa kakek botak ini hendak mengambil dia sebagai muridnya! Maka dia segera menjatuhkan diri berlutut dan berkata, “Lo-cianpwe, bukan teecu tidak tahu terima kasih, akan tetapi mengenai belajar silat ini lebih baik ditunda setelah teecu dapat mencari kawanku yang jatuh itu.”
“Hemm, tidak boleh! Kau berjodoh untuk menjadi muridku dan ketahuilah, kalau tidak atas kehendakku sendiri, biar orang berlutut dan bermohon di depanku sampai dia mati, tidak mungkin dia dapat menjadi muridku. Tentang kawanmu itu, percayalah bahwa selain kau tak ada lagi orang lain jatuh dari atas. Maka menurut dugaanku, kawanmu itu tentu telah dapat menolong jiwanya sendiri dan telah selamat, oleh karena bila dia memiliki ginkang yang tinggi, pada waktu jatuh dia dapat menangkap cabang-cabang pohon yang banyak tumbuh di samping tebing itu.”
Mendengar ucapan ini Ma Hoa menjadi lega juga dan ia percaya penuh bahwa kakek luar biasa ini tidak berbohong. Ia pun merasa girang mendengar janji kakek ini bahwa setelah mempelajari ilmu silat tiga bulan saja, dia akan dapat melawan Bo Lang Hwesio dan Ke Ce! Ingin sekali ia mencari dan membalas kedua orang yang hampir saja menewaskan dirinya itu. Maka ia lalu mengangguk-anggukkan kepala dan berkata,
“Suhu, teecu Ma Hoa menurut perintah dan petunjuk Suhu!”
Kakek botak itu tertawa bergelak-gelak karena girangnya. “Bagus, bagus! Ketahuilah, aku bernama Hok Peng Taisu, dan kakek gagu ini adalah seheng-mu bernama A Tok!”
Ma Hoa lalu menjura kepada suheng-nya yang sudah tua itu hingga A Tok menjadi girang dan membalas pemberian hormat itu sambil berseru “Ah, ah… uh, uh…” dan tangannya bergerak-gerak.
“Tempat ini kurang baik untuk belajar silat,” kata Hok Peng Taisu, “mari kau ikut aku ke Hong-lun-san!”
Ma Hoa menurut dan kedua guru serta murid itu berlari cepat meninggalkan tempat itu, menuju ke sebuah bukit lain yang dari sana nampak puncaknya. Ma Hoa mengerahkan ilmunya berlari cepat, akan tetapi meski pun suhu-nya hanya kelihatan berjalan perlahan saja, namun dia selalu tertinggal di belakang! Maka dia merasa girang sekali oleh karena mendapat kenyataan bahwa suhu-nya yang baru ini sungguh-sungguh mempunyai ilmu kepandaian tinggi.
Setelah tiba di Hong-lun-san, Ma Hoa menjadi kagum melihat bahwa di puncak bukit ini terdapat pondok suhu-nya dan pemandangan di situ tidak kalah indahnya dengan tempat tinggal Yousuf. Semenjak saat itu, ia mendapat latihan IImu Silat Bambu Kuning yang luar biasa dari suhu-nya, Hok Peng Taisu.
Ilmu silat ini dimainkan dengan menggunakan dua batang bambu kuning yang runcing. Sepasang bambu runcing ini pendek saja sehingga merupakan siangkiam atau sepasang pedang yang aneh karena terbuat dari bambu biasa dan tidak tajam, ujungnya runcing.
Biar pun hanya sepasang bambu runcing kering, akan tetapi senjata ini hebatnya tidak kalah dengan senjata-senjata lain yang terbuat dari besi atau baja. Hok Peng Taisu telah menggunakan waktu bertahun-tahun untuk mencipta ilmu silat ini dan di waktu mencipta, dia telah memasukkan segala kemungkinan menghadapi senjata lawan yang bagaimana pun.
Kemudian, pada waktu muda dia telah merantau puluhan tahun tanpa dapat menemukan tandingan yang dapat merobohkan ilmu silatnya ini. Setelah dia mengundurkan diri dan bertapa, dia bahkan memperdalam lagi Ilmu Silat Bambu Kuning dengan cita-cita untuk menurunkannya pada seorang murid yang berbakat dan baik. Dan secara kebetulan dan tak terduga sekali, pilihannya jatuh pada Ma Hoa.
Ma Hoa sudah memiliki dasar-dasar ilmu silat yang tinggi dari Nelayan Cengeng, bahkan ilmu pedangnya Hai-liong Kiamsut lihai sekali. Dan oleh karena ginkang-nya sudah cukup tinggi maka kini ia dapat mempelajari Ilmu Silat Bambu Kuning dengan tak banyak susah lagi.
Sesudah mempelajari ilmu silat yang aneh itu selama tiga bulan, maka dia sudah dapat mainkan dua batang bambu runcing itu dengan sempurna dan hanya tinggal melatih dan mematangkannya saja. Oleh karena maklum bahwa muridnya ini sangat menguatirkan keadaan Kwee An, Hok Peng Taisu tidak menahannya lagi ketika Ma Hoa menyatakan keinginannya untuk turun gunung dan mencari kekasihnya. Kakek ini hanya memesan agar Ma Hoa berhati-hati dan jangan lupa untuk sewaktu-waktu mengunjunginya.
Ma Hoa langsung menuju ke bukit tempat tinggal Yousuf, oleh karena dia merasa pasti bahwa kalau Kwee An tertolong dari bahaya maut dan masih hidup, tentu pemuda itu akan kembali ke tempat tinggal orang Turki itu. Akan tetapi, alangkah kecewa dan cemas hatinya ketika tiba di tempat itu ia melihat rumah Yousuf telah menjadi tumpukan puing dan keadaan di situ sunyi sekali.
Dengan cepat Ma Hoa lalu turun dari bukit dan menemui penduduk dusun yang kini telah berangsur-angsur kembali lagi ke rumah masing-masing. Gadis itu mendapat keterangan tentang adanya penyerbuan rombongan orang Turki yang hendak menangkap Yousuf.
Seperti juga Cin Hai, ia merasa heran mengapa Yousuf, Lin Lin dan Merak Sakti dapat dikalahkan dan sampai melarikan diri dari serbuan rombongan itu. Pada waktu ia mencari keterangan tentang Kwee An dan Cin Hai, tak seorang pun dapat menceritakannya, oleh karena memang Kwee An tidak pernah datang ke tempat itu, sedangkan ketika Cin Hai datang, orang-orang kampung sedang lari mengungsi.
Bukan main bingung hati Ma Hoa, karena tidak saja dia tidak tahu akan nasib Kwee An, bahkan kini dia tidak tahu pula bagaimana keadaan kawan-kawan lainnya serta di mana mereka sekarang berada. Maka dia lalu meninggalkan tempat itu dan setelah memeriksa tempat di mana dia dan Kwee An terjatuh dari tebing, ia lalu turun gunung dan mengambil keputusan hendak mencari Kwee An di sekitar gunung ini…..
********************
Setelah bermalam di dalam goa, pada keesokan harinya Kwee An terjaga dari tidurnya dengan tubuh terasa panas sekali. Ketika ia menggerakkan tubuhnya, ia menjadi terkejut karena seluruh tubuhnya terasa kaku dan sakit. Ternyata bahwa pukulan Angin Taufan dan kemudian kejatuhan itu mendatangkan akibat yang hebat juga.
Ia menderita sakit dan agaknya keadaan goa yang kotor dan kekurangan hawa segar itu telah mendatangkan demam kepadanya! Terpaksa ia rebah di dalam goa itu dan selama tiga hari panas tubuhnya meningkat hingga ia rebah dalam keadaan sakit dan mengigau karena panasnya.
Keadaannya berbahaya sekali karena selain tidak ada yang merawatnya, juga dia tidak dapat makan sesuatu. Akan tetapi, pada hari ke empat, panasnya berkurang sehingga ia dapat menggerakkan tubuhnya merangkak perlahan ke mulut goa. Ia melihat tetumbuhan kecil di mulut goa itu dan oleh karena dia merasa lapar sekali, dia mengambil daun-daun muda dan memakannya!
Demikianlah, dia hidup dengan sengsara sekali selama berbulan-bulan di dalam goa itu, hanya makan akar-akar pohon dan daun-daun yang ada di dekat goa. Setelah tubuhnya menjadi kuat kembali, barulah dia merayap-rayap dengan jalan mencari pegangan pada akar-akar pohon dan menginjak batu-batu karang yang menonjol, berupaya keluar dari tempat tahanan alam ini!
Sesudah dia dapat menginjak tanah datar lagi, ternyata bahwa tempat itu jauh berbeda dengan keadaan lereng gunung di mana Yousuf tinggal. Bagian bukit ini penuh dengan hutan-hutan liar dan tanpa dia sadari dia telah tiba di bagian utara gunung itu, sedangkan tempat tinggal Yousuf adalah di bagian selatan. Dia juga tidak ingat lagi bahwa dia telah berada di goa itu selama tiga bulan lebih!
Kwee An lalu memasuki sebuah hutan yang terdekat, kemudian mencari buah-buah yang banyak tumbuh dari pohon-pohon besar di sana, dan makanlah dia sepuas-puasnya dan sekenyangnya.
Namun, baru saja dia turun dari pohon, mendadak dari hutan muncul serombongan orang yang segera datang mengurungnya sambil berteriak-teriak. Orang-orang ini mengenakan pakaian aneh, setengah pakaian Han dan setengah Mongol. Potongan tubuh serta wajah mereka bagus dan tidak ada banyak bedanya dengan orang-orang Han biasa, akan tetapi bahasa mereka terdengar aneh dan mirip bahasa Mongol.
Mereka ini adalah kelompok sisa dari bangsa Haimi yang telah dipukul pecah dan diusir oleh bangsa Mongol. Orang-orang Haimi ini sebenarnya masih memiliki darah campuran, yaitu darah Han dan Mongol dan mereka mempunyai potongan muka yang boleh disebut tampan.
Kwee An merasa terheran-heran melihat bahwa semua orang yang aneh ini mempunyai kumis indah yang panjang dan dilingkarkan ke atas. Akan tetapi mereka semua mencukur habis jenggot mereka, bahkan yang sudah agak tua pun tidak memelihara jenggot, hanya memelihara kumis yang melintang di bawah hidung! Lebih aneh lagi, bahkan orang-orang setengah dewasa yang berada di antara mereka, juga memelihara kumis pula!
Rombongan orang berkumis melintang ini lalu mengepung Kwee An sambil mengajaknya bercakap-cakap dalam bahasa mereka yang sama sekali tidak dimengerti olehnya.
“Apakah yang kalian kehendaki? Aku tak mengerti,” kata Kwee An kepada mereka sambil tersenyum dan mengangkat pundak. Betapa pun juga, dia melihat sikap mereka bukanlah seperti orang-orang liar yang hendak mencelakakan atau menyerangnya, maka hatinya menjadi lega.
Tiba-tiba salah seorang di antara mereka yang telah putih rambutnya, akan tetapi masih memiliki kumis yang hitam indah melintang di bawah hidungnya, maju menghampirinya dan bertanya dalam bahasa Han campuran yang kaku.
“Siapakah kau dan dari mana kau datang?”
Kwee An merasa girang sekali. Dia cepat menjura memberi hormat kepada orang tua itu dan menjawab, “Syukur sekali engkau bisa bicara bahasa Han, Lopek. Siauwte bernama Kwee An dan aku datang ke sini bukan disengaja, hanya kebetulan saja. Tempat apakah ini dan siapakah kalian ini?”
Dengan sukar sekali kakek ini lalu menjawab. “Kami adalah bangsa Haimi yang mengikuti pemimpin kami dan sekarang tinggal di hutan ini. Telah bertahun-tahun kami tak bertemu dengan orang Han, maka kami merasa heran sekali dapat bertemu dengan kau di sini.”
“Mengapa kalian mengurungku?” tanya Kwee An dengan hati tidak enak juga.
“Kau harus ikut kami menghadap kepada pemimpin kami di dalam hutan.”
Biar pun tidak merasa keberatan untuk bertemu dengan pemimpin orang-orang Haimi ini, akan tetapi Kwee An merasa tidak senang juga sebab ia seolah-olah hendak dipaksa dan dijadikan tawanan pula. Apa perlunya ia harus menghadap pimpinan mereka?
Ada pun orang-orang yang mengelilinginya, terutama yang muda-muda, memandangnya seakan-akan dia adalah seorang yang lucu. Dia merasa betapa pandang mata mereka ini semua ditujukan pada hidungnya sehingga diam-diam Kwee An merasa amat heran dan beberapa kali ia lalu menggunakan ujung lengan baju untuk menggosok-gosok hidungnya karena kuatir kalau-kalau tanpa disengaja ia telah mengotorkan hidungnya. Ia tidak tahu bahwa para pemuda berkumis panjang itu memandangnya dengan tertawa-tawa karena geli melihat ia tidak berkumis sama sekali!
Bagi mereka, melihat seorang pria tidak berkumis sama dengan melihat harimau yang tak berkumis atau kera tak berbulu! Salah seorang di antara mereka yang berwajah tampan dan mempunyai kumis kecil panjang melingkar ke atas sedangkan usianya paling banyak baru lima belas tahun, bahkan maju mendekatinya. Sambil menunjuk ke bawah hidung Kwee An, ia tertawa-tawa berkata dalam bahasanya.
Semua orang tertawa mendengar ucapan pemuda tanggung ini dan biar pun tak mengerti bahasa mereka, namun Kwee An dapat merasa, bahwa ia dijadikan bahan olok-olok.
“Tidak, aku tidak mau pergi menghadap pemimpinmu!” kata Kwee An yang merasa sebal dan marah juga.
Orang tua itu melangkah mundur dua tindak dan bicara dalam bahasanya sendiri, yang maksudnya memberi tahu kepada semua kawannya bahwa orang asing ini tak mau pergi menghadap kepala mereka.
Tiba-tiba sikap orang-orang yang tadinya tertawa-tawa itu berubah. Mereka lalu mundur dan ketika tangan mereka bergerak, mereka semua sudah mencabut golok kecil dengan tangan kiri dan melepaskan seutas cambuk panjang dengan tangan kanan. Sikap mereka mengancam sekali.
“Ehh, ehh, apakah kalian hendak memaksaku?” tanya Kwee An kepada kakek tadi yang juga sudah mencabut keluar seutas cambuk panjang berwarna merah dan sebilah golok kecil yang tajam sekali.
Kakek itu mengangguk. “Apa bila kau tidak mau menghadap dengan suka rela, terpaksa kami akan memaksamu. Siapa pun orang yang lewat di sini, harus menghadap kepada pemimpin kami karena daerah ini menjadi daerah kami dan berada di bawah kekuasaan kami! Jangan kau mencoba untuk melawan, anak muda, karena kau takkan keluar dari tempat ini dengan bernyawa kalau kau tidak menuruti permintaan kami!”
Tiba-tiba, anak muda belasan tahun yang tadi memperolok-oloknya, melompat maju ke hadapan Kwee An sambil memutar-mutar cambuknya ke atas. Cambuk itu berbunyi keras sekali dan menyambar-nyambar ke atas dengan ganasnya sehingga diam-diam Kwee An menjadi terkejut dan juga kagum. Tak mudah menggerakkan cambuk seperti itu jika tidak mempunyai kepandaian dan tidak melatih diri dengan baik. Cambuk itu dapat merupakan senjata yang berbahaya!
“Siapakah anak ini dan apa kehendaknya?” tanya Kwee An kepada kakek itu.
Orang tua itu lalu berkata dengan suara dingin. “Dia adalah putera pemimpin kami yang merasa tak puas melihat sikapmu. Ia menganggap kau tidak menghormat ayahnya maka sekarang ia menantang kau untuk mengadu cambuk!”
“Mengadu cambuk? Apa artinya itu?”
“Ini merupakan semacam adu kepandaian yang menjadi tradisi bangsa kami. Orang yang mengadu kepandaian memegang cambuk di tangan kanan dan golok di tangan kiri. Yang boleh digunakan untuk menyerang hanyalah cambuk itu saja, sedangkan golok itu hanya digunakan untuk mencoba membabat putus cambuk lawan. Siapa yang cambuknya bisa dibuat putus berarti kalah. Apa bila keduanya dapat menjaga sehingga cambuk masing-masing tidak terputus, maka siapa yang terbanyak mendapat luka cambukan, ia kalah.”
Kwee An mengangguk-angguk dan ia pun memandang kepada pemuda belasan tahun itu dengan kagum. Sikapnya memang gagah sekali. Tubuhnya kuat dan sepasang matanya menyinarkan keberanian yang besar, sedangkan kedua tangan yang memegang senjata itu nampak tetap dan sigap.
“Aku terima tantangannya,” kata Kwee An dengan wajah berseri karena dia ingin sekali mencoba sampai di mana kepandaian anak muda yang tampan itu.
Ketika kakek itu memberi tahu bahwa Kwee An menerima tantangan pemuda itu, sikap mereka berubah lagi. Kalau tadi mereka bersungut-sungut dan marah, sekarang mereka bersorak dan bergembira, karena mereka memang menghargai kegagahan.
Melihat bahwa Kwee An berani melawan pemuda yang menjadi jago di antara mereka itu, mereka merasa kagum! Segera mereka berpencar dan duduk di atas rumput mengelilingi mereka dan memberi tempat yang cukup luas untuk dua orang yang hendak bertanding itu. Sedangkan kakek itu lalu memberi pinjaman sebatang cambuk panjang dan sebuah golok kepada Kwee An.
Sebetulnya Kwee An tak gentar untuk menghadapi pemuda tanggung itu dengan tangan kosong. Akan tetapi oleh karena dia kuatir kalau-kalau dianggap memandang rendah, ia lalu menerima kedua senjata itu dan memegang di tangan dengan sembarangan saja.
Tentu saja sikapnya ini menjadikan buah tertawaan lagi oleh karena bagi mereka, dari cara memegang kedua macam senjata itu saja sudah menunjukkan tingkat kepandaian pemegangnya. Menurut teori mereka, memegang cambuk itu harus di atas kepala dan selalu diayun-ayun dan diputar-putar, sedangkan tangan kiri yang memegang golok harus membalikkan golok itu dengan bagian yang tajam di atas agar mudah menangkis dan memutuskan cambuk lawan. Akan tetapi Kwee An memegang cambuk yang tergantung ke bawah, sedangkan goloknya ia pegang seperti orang memegang golok untuk bersilat.
Pemuda tanggung itu tiba-tiba berseru keras dan Kwee An maklum bahwa itu tentu tanda bahwa lawannya hendak mulai menyerang, maka dengan tenang dan waspada ia berdiri memasang kuda-kuda dan memandang tajam. Benar saja, cambuk pemuda itu tiba-tiba berbunyi keras dan berkelebat menyambar ke arah lehernya.
Kwee An segera mengelak sambil merendahkan tubuhnya. Akan tetapi ternyata bahwa yang menyambar lehernya adalah bagian tengah cambuk itu, sedangkan ujungnya yang kecil lemas dan masih panjang itu tiba-tiba saja dapat bergerak ke arah dadanya.
Hanya dengan pengerahan lweekang cukup tinggi yang dapat menggerakkan cambuk itu pada ujungnya seakan-akan cambuk itu hidup. Melihat ini, Kwee An merasa kagum juga dan cepat ia mengelak lagi dengan lompatan cepat ke samping.
Kwee An terlepas dari pada serangan pertama dan semua orang yang duduk mengelilingi tempat itu dan menonton, mengeluarkan seruan-seruan karena mereka merasa sangat heran melihat cara Kwee An mempertahankan diri.
Memang, mereka itu biasanya tidak mengandalkan kecepatan tubuh untuk mengelak dari serangan dan biasanya ketika diserang, mereka akan menggunakan golok di tangan kiri untuk menangkis dan mencoba memutuskan cambuk lawan, sedangkan cambuk sendiri harus segera dikerjakan untuk mengirim serangan balasan. Jadi ilmu cambuk mereka itu pada hakekatnya didasarkan atas kecepatan membalas serangan lawan serta ketepatan menangkis dengan golok.
Gerakan Kwee An yang cepat itu membuat mereka terheran-heran. Akan tetapi ketika pemuda itu menyerang terus bertubi-tubi hingga cambuknya menyambar-nyambar sambil memperdengarkan suara keras mengurung seluruh tubuh Kwee An, dan betapa Kwee An lalu mempergunakan ginkang-nya berkelebat ke sana ke mari di antara sinar dan ujung cambuk, semua orang menjadi bengong karena tiba-tiba saja mereka tidak melihat lagi tubuh Kwee An dan hanya melihat bayangannya saja berkelebatan. Bahkan kakek tua itu pun tiada habisnya mengeluarkan seruan memuji.
Tiba-tiba pemuda tanggung itu menghentikan serangannya. Dengan muka merah karena penasaran dan marah, ia bicara dengan suara keras kepada Kwee An yang juga berdiri tenang.
Kakek itu lantas berkata dari tempat duduknya, “Dia merasa penasaran karena kau tidak menggunakan cara bertanding yang biasa. Kau mempergunakan cara berkelahi terhadap musuh, sedangkan permainan ini sama sekali bukan berkelahi, namun hanya mengadu kepandaian. Sekarang kau pilih, hendak berkelahi mengadu jiwa atau hendak bertanding mengadu kepandaian? Kalau hendak bertanding, kau harus membalas dengan cara yang sama dan menyerang dengan cambukmu!”
Kwee An terkejut. Tanpa sengaja ia telah melukai perasaan pemuda tanggung itu, maka ia pun cepat-cepat berkata, “Baiklah, aku akan membalas dengan serangan cambuk. Aku akan merampas cambuk dari tangannya!”
Ketika kakek itu memberitahukan hal ini kepada pemuda itu. Dia lalu tersenyum senang dan mulai menyerang lagi. Kini Kwee An tidak mau mempergunakan ginkang-nya lagi, dan ketika cambuk lawan menyambar, dia pun lalu menggerakkan cambuk di tangannya dan menggerakkan tenaga lweekang-nya hingga cambuknya kemudian membelit cambuk lawan. Ketika dia berseru keras dan membetot, tanpa tertahan lagi pemuda tanggung itu berteriak kaget dan terlepaslah cambuk itu dari tangannya.
“Nah, aku menang, karena cambuknya telah dapat kurampas!” kata Kwee An kepada kakek itu yang duduk sambil memandang cara tadi dengan mata terbelalak heran.
Semua orang, termasuk pemuda tanggung itu, merasa heran sekali. Bagaimana cambuk dapat dipakai untuk merampas senjata sedemikian mudahnya? Akan tetapi, pemuda itu melangkah maju lantas kembali mengeluarkan kata-kata keras dengan muka penasaran. Sesudah dia habis berkata-kata, terdengar semua orang yang duduk mengelilingi mereka itu tertawa bergelak.
“Ada apa lagi?” tanya Kwee An kepada kakek yang menjadi juru bahasa itu.
Kakek itu tersenyum geli mendengar kata-kata anak muda tadi. “Ia bilang bahwa laki-laki tanpa kumis memang seperti seorang perempuan yang berhati lemah. Dia menganggap kau tidak tahan melihat darah seperti seorang perempuan, dan karena kau tak berkumis, maka tentu saja kau berhati curang dan tadi mempergunakan ilmu sihir yang jahat untuk mengalahkannya. Ia tidak merasa kalah karena selain cambuknya masih belum terputus oleh golokmu, dia pun tidak mendapat satu pun luka dari cambukmu. Dia menantangmu bertanding secara laki-laki, jangan seperti seorang perempuan!”
Merahlah muka Kwee An mendengar ini. Ia lalu melempar cambuk yang dirampasnya itu kepada pemuda tadi, dan setelah berseru keras, ia mulai menyerang dengan cambuknya yang disabetkan ke arah pinggang pemuda itu!
Pemuda itu berseru gembira dan mengangkat golok, dengan membabat keras dan cepat sekali dengan niat memutuskan cambuk Kwee An yang berarti bahwa ia akan mendapat kemenangan!
Kwee An terkejut juga melihat gerakan golok itu, oleh karena ternyata ketika menangkis pemuda tanggung itu mempergunakan gerakan silat golok Bidadari Memalang Pintu! Ia maklum bahwa sabetan golok itu berbahaya sekali bagi keselamatan cambuknya, maka ia menggerakkan tangannya hingga cambuk memutar kembali lalu menyerampang kedua kaki pemuda itu dengan gerakan cepat.
Ia menyangka bahwa pemuda itu tentu tidak memiliki ilmu ginkang sehingga lemah pada pergerakan kaki dan kegesitannya. Akan tetapi ia kecele karena dengan cepat, pemuda itu melompat ke atas dan dari atas cambuknya segera menyambar ke arah kepala Kwee An! Kembali Kwee An terkejut. Gerakan melompat tadi adalah gerakan ilmu silat bernama Ikan Melompati Ombak!
Maka dia tidak berlaku sungkan-sungkan lagi dan menerjang dengan cambuknya yang diputar cepat sekali mengurung tubuh pemuda itu! Pemuda tanggung itu nampak makin gembira dan melawan dengan hebat, dan ternyata bagi Kwee An bahwa ilmu kepandaian bermain cambuk dari pemuda ini benar-benar lihai!
Sekarang para penonton bersorak dengan girang sekali karena mereka kini menyaksikan pertandingan main cambuk yang benar-benar hebat dan ramai! Bahkan kakek tadi sudah mengeluarkan sebuah huncwe (pipa tembakau) yang pendek, lalu mengepulkan asap dari huncwe-nya dan dia duduk menonton dengan asyiknya seakan-akan yang sedang berlangsung di depannya adalah pertunjukan yang amat indah menarik!
Betapa pun pandai permainan cambuk anak muda itu, namun ia bukanlah lawan Kwee An yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi. Untuk menangkis tiap sabetan lawan, Kwee An tidak perlu menggunakan goloknya, karena cambuknya sudah cukup digunakan untuk menangkis. Sedangkan tiap kali pemuda itu menyabet cambuknya, dengan mengerahkan lweekang-nya, Kwee An dapat membuat cambuknya menjadi lemas, licin dan kuat hingga pada waktu beradu dengan mata golok, cambuknya hanya terpental saja dan tidak dapat diputuskan!
Ia mulai mengirim cambukan dan mula-mula ia hanya mencambuk punggung pemuda itu saja. Bukan main herannya semua penonton ketika melihat betapa setiap kali Kwee An mengayun cambuk, selalu ujung cambuknya mengenai punggung lawannya!
Juga pemuda tanggung itu merasa heran dan penasaran karena tidak dia sangka sama sekali bahwa pemuda asing tanpa kumis ini ternyata adalah seorang jago cambuk yang luar biasa! Dia adalah seorang jago yang nomor satu di antara para pemuda dan telah lama dikagumi, tak nyana bahwa sekarang dia menjadi korban cambuk seorang pemuda tanpa kumis dan sama sekali tak dapat membalas!
Maka ia menjadi marah dan penasaran sekali, lalu menyerang terus dengan nekad walau pun bajunya pada bagian punggungnya telah robek semua oleh ujung cambuk Kwee An! Memang Kwee An tidak bermaksud melukai pemuda itu sehingga tiap kali cambuknya mengenai sasaran, dia selalu menyimpan tenaga dan tidak membuat kulit lawan menjadi terluka, hanya merobek-robek bajunya saja.
Tadinya Kwee An bermaksud agar supaya pemuda itu menginsyafi kelemahannya dan suka mengaku kalah. Akan tetapi sesudah melihat betapa pemuda itu bahkan mendesak makin nekad, maka dia menjadi penasaran juga. Ia mulai menambah tenaga pada ujung cambuknya sehingga pecahlah kulit punggung pemuda itu terkena ujung cambuk. Darah mengalir membasahi bajunya yang sudah sobek.
Alangkah heran hati Kwee An ketika tiba-tiba semua orang bersorak melihat darah itu, seakan-akan menyaksikan peristiwa yang sangat menggembirakan dan yang menambah keindahan pada pertandingan itu! Kwee An mengirim beberapa kali cambukan lagi yang membuat kulit punggung lawannya penuh dengan darah karena kulit itu terpukul pecah.
Sungguh pun Kwee An tak bermaksud melukainya terlalu dalam, akan tetapi seharusnya cambukan-cambukan itu cukup menyakitkan. Akan tetapi anehnya, pemuda itu bukannya menyerah, bahkan menjadi makin nekad dan menyerang semakin hebat!
Kwee An menjadi kewalahan juga. Melihat dari sikap pemuda ini dan sorak-sorakan para penonton yang menjadi gembira, dia maklum bahwa pemuda tanggung yang gagah ini tentu mengambil keputusan hendak melawan sampai darahnya habis atau sampai tidak kuat lagi, sedangkan para penonton semakin merasa gembira saja. Ketika ia mengerling dan memandang ke arah kakek tua tadi, ternyata bahwa kakek itu pun sedang menonton sambil mengepul-ngepulkan asap huncwe-nya, seolah-olah dia menikmati pemandangan yang menyenangkan hati!
Maka Kwee An lalu mendapat akal. Ia mulai mengeluarkan ilmu silat yang berdasarkan ilmu silat warisan Hek Mo-ko. Tubuhnya berkelebat dan melompat ke atas dan bergerak mengelilingi pemuda itu yang menjadi pening dan kabur matanya.
Tiba-tiba, tanpa terlihat orang lain, Kwee An mengulurkan jari tangan dan dengan tepat sekali menotok jalan darah thian-hu-hiat sehingga pemuda itu roboh dengan lemas tanpa dapat bergerak lagi.....
Melihat pemuda itu roboh dengan tubuh lemas, semua orang mengira bahwa pemuda itu tentu telah amat lelah dan terlalu banyak mengeluarkan darah, maka dianggap kalah dan semua orang lalu menolongnya! Kwee An juga pura-pura menolongnya, akan tetapi saat dia mengangkat pundak pemuda itu, dia menekan dengan jarinya hingga totokannya tadi dapat dilenyapkan, hingga kesehatan pemuda itu pulih kembali.
Pemuda itu hanya memandang dengan heran dan kagum, kemudian tiba-tiba dia berdiri, memeluk leher Kwee An dan menciumi pipinya! Inilah tanda dari rasa persahabatan dan kekaguman sehingga tadinya Kwee An merasa heran sekali. Tetapi setelah dia mendapat keterangan dari kakek itu, dia merasa lega dan sangat senang.
Semua orang tiada habisnya memuji serta mengagumi Kwee An dan seketika itu juga Kwee An mendapatkan julukan Malaikat Cambuk! Betapa tidak? Pemuda tanggung itu adalah putera pemimpin mereka yang memiliki ilmu cambuk tertinggi di antara anak-anak muda di situ, dan sekarang Kwee An dapat mengalahkannya tanpa menderita cambukan sekali pun!
Sekarang semua orang bukan memaksa, akan tetapi membujuk-bujuk Kwee An supaya menemui pemimpin mereka. Melihat keramahan mereka ini, Kwee An merasa kurang enak hati untuk menolaknya, maka ia lalu ikut mereka masuk ke dalam hutan yang liar itu.
Kedatangan mereka disambut oleh banyak orang dan kembali Kwee An terheran-heran, oleh karena semua orang laki-laki di kampung itu berkumis! Kumis mereka semodel, yaitu panjang melintang dan dipilin ke atas, membuat mereka nampak gagah dan kereng! Akan tetapi yang membuatnya benar-benar tak mengerti adalah bahwa anak-anak muda yang baru dua belas atau tiga belas tahun pun mempunyai kumis macam itu!
Pada saat melihat ada seorang anak laki-laki paling banyak berusia sebelas tahun sudah kumisan, Kwee An tidak terasa pula mengulurkan tangan untuk memeriksa apakah kumis itu tulen. Akan tetapi ketika dia mencabutnya perlahan, anak itu berteriak kesakitan dan semua orang menjadi heran melihat kelakuan Kwee An itu!
Hanya kakek juru bahasa tadi saja yang mengerti akan maksudnya, maka ia pun berkata, “Semua kumis yang kami pakai adalah kumis tulen, kumis yang tumbuh dengan wajar dari kulit!”
“Tapi... tapi anak kecil itu... usianya baru sebelas tahun!” berkata Kwee An dengan heran sekali.
Kakek itu tertawa. “Kenapa tidak? Usia sebelas tahun sudah dewasa! Menurut kebiasaan kami, anak laki-laki yang telah berusia sepuluh tahun, dianggap dewasa dan padanya lalu dikenakan upacara tumbuh kumis, yakni dengan perayaan gembira, anak itu dinyatakan dewasa dan di atas bibirnya kemudian digosok dengan obat tumbuh kumis. Dalam waktu setahun saja kumisnya akan tumbuh dengan baiknya seperti yang kau lihat pada anak tadi.”
Kwee An baru mengerti setelah mendengar penuturan ini. Pantas semua orang di sana memelihara kumis. Yang lebih mengherankannya lagi ialah ketika orang-orang wanitanya muncul. Mereka ini rata-rata berkulit halus putih dan walau pun potongan muka hampir sama dengan orang-orang Han, namun mata mereka lebar-lebar dan bagus. Akan tetapi ketika wanita-wanita itu tertawa, Kwee An terkejut oleh karena gigi mereka yang kecil dan berderet rapi itu ternyata berwarna hitam mengkilat! Diam-diam Kwee An mengeluh dan menyayangkan mengapa wanita-wanita cantik manis itu bergigi hitam!
Kwee An dibawa menghadap pada seorang Haimi yang bertubuh tinggi besar dan yang mempunyai kumis indah dan panjang sekali. Matanya lebar berpengaruh, usianya belum tua benar, paling banyak empat puluh tahun. Ketika melihat Kwee An, dia lalu turun dari tempat duduknya dan menyambutnya dengan ramah.
“Sahabat, kunjungan seorang Han merupakan kehormatan besar sekali bagi kami!”
Bukan main dan herannya hati Kwee An mendengar betapa pemimpin Haimi ini dapat bicara bahasa Han dengan amat baiknya! Ia lalu menjura dan berkata girang,
“Akulah yang mendapat kehormatan besar sekali kini dapat bertemu dengan orang-orang gagah bangsa Haimi, dan girang sekali hatiku karena ternyata bahwa selain kakek itu kau pun pandai berbahasa Han!”
Tempat di mana Kwee An disambut oleh kepala suku bangsa Haimi itu adalah sebuah pondok yang cukup besar terbuat dari pada kayu-kayu hutan. Pada saat itu, dari ruang dalam muncul seorang wanita muda dan ketika Kwee An memandang, ia menjadi kagum.
Dara ini cantik sekali, terutama sepasang matanya yang lebar dan sangat indah. Dengan gerakan lemah lembut dan tanpa sungkan-sungkan lagi, dara muda itu mengambil tempat duduk di dekat pemimpin itu kemudian memandang Kwee An dengan sinar mata kagum, menatap secara langsung tanpa malu-malu seperti biasa kelakuan para gadis bangsanya sendiri! Oleh karena dipandang secara demikian itu, Kwee Anlah yang merasa malu dan sungkan!
“Ini adalah puteriku yang bernama Meilani,” kata pemimpin itu kepada Kwee An dan gadis itu tersenyum kepadanya.
Kembali datang rasa kecewa dalam hati pemuda itu ketika melihat betapa senyum manis itu dikacaukan oleh cahaya gigi yang hitam berkilau itu. Kenapa orang merusak gigi yang bagus itu?
Pemuda yang tadi dikalahkan oleh Kwee An, lalu menghampiri ayahnya dan menuturkan tentang pertandingan tadi kepada ayahnya sambil menggerak-gerakkan dua tangannya. Ia memandang kepada Kwee An dengan kagum dan agaknya ia memuji-muji kepandaian Kwee An karena Kwee An melihat betapa pemimpin itu lalu memandangnya dengan mata terbelalak, sedangkan Meilani bahkan lalu berdiri dari tempat duduknya dan menghampiri dia sambil memandangnya penuh perhatian dari kepala sampai ke kaki, seperti seorang memeriksa dan menaksir-naksir benda yang indah menarik!
Kwee An sama sekali tidak berani bergerak ketika didekati oleh dara ini, dan pada waktu gadis ini mendekatinya dia mencium keharuman yang ganjil, seperti bau bunga mawar!
Ketika Kwee An mengerling ternyata ruang yang luas itu sudah penuh orang-orang, lelaki dan wanita, serta kanak-kanak yang semuanya memandang kepadanya dengan kagum! Dikelilingi oleh sekian banyak laki-laki berkumis sedangkan dia sendiri tidak, juga sekian banyak wanita-wanita cantik yang bergigi hitam, ia merasa seolah-olah ia sedang berada di dunia lain!
“Anak muda, ketahuilah bahwa aku adalah Sanoko, yaitu pemimpin rombongan bangsaku yang terdiri dari dua ratus jiwa lebih. Meilani adalah puteriku dan pemuda yang tadi kau kalahkan adalah puteraku. Kau siapakah dan di mana kau mempelajari ilmu cambuk yang begitu hebat hingga sudah mengalahkan puteraku?” pertanyaan ini diajukan dengan mata memandang kagum.
“Aku bernama Kwee An, dan tentang ilmu cambuk itu, sesungguhnya aku belum pernah mempelajarinya. Hanya sedikit ilmu silat bangsaku pernah kupelajari sehingga aku dapat mempertahankan diri terhadap serangan cambuk puteramu.”
Tiba-tiba gadis yang bernama Meilani itu bicara kepada ayahnya, dan ternyata suaranya sangat merdu dan nyaring.
Ayahnya tertawa bergelak, lalu bertanya kepada Kwee An, “Kwee-taihiap, apakah engkau juga pandai bermain golok?”
Mendengar bahwa kepala suku bangsa Haimi ini tiba-tiba menyebutnya taihiap (pendekar besar), Kwee An merasa sungkan juga, maka sambil merendah ia menjawab,
“Aku pernah mempelajari sedikit ilmu pedang, akan tetapi sayang sekali pedangku sudah hilang di jalan.”
Ketika Sanoko menterjemahkan ucapan Kwee An kepada anak perempuannya, tiba-tiba gadis itu berlari masuk ke dalam rumah dan keluar kembali sambil membawa sebatang pedang yang terbungkus kain kuning. Ia lalu menyerahkan pedang itu kepada Kwee An yang ketika menerima dan melihat pedang itu, menjadi terkejut sekali karena pedang itu bukan pedang sembarangan, akan tetapi sebuah pedang mustika yang ringan sekali dan tajam serta mengeluarkan cahaya kekuningan! Meilani lalu bicara kepada ayahnya yang menjelaskan pada Kwee An,
“Anakku Meilani dulu pernah menemukan golok dan pedang ini di dalam sebuah goa dan oleh karena kami tidak pernah mempelajari ilmu pedang, hanya mempelajari sedikit ilmu golok, maka pedang ini tidak ada yang dapat menggunakannya. Maka karena anakku juga pernah belajar main golok, ia sekarang minta supaya kau suka melawannya dengan pedang ini dan apa bila kau dapat mengalahkannya, maka pedang ini akan dihadiahkan kepadamu!”
Bukan main girang hati Kwee An, oleh karena ia maklum bahwa ini benar-benar pedang yang ampuh dan tajam. Pada tempat di dekat gagang dia melihat ukiran dua huruf ‘OEI KANG’ yang berarti ‘Baja Kuning’. Akan tetapi, ketika itu ia tidak sempat memperhatikan keadaan Oei-kang-kiam itu terlebih teliti lagi oleh karena dia merasa terkejut mendengar bahwa dara cantik bergigi hitam itu mengajaknya pibu! Tak pernah disangkanya bahwa gadis itu pun pandai ilmu golok.
Ketika dia melihat golok itu, dia maklum pula bahwa golok itu pun terbuat dari pada logam yang sama dengan pedangnya, karena juga mengeluarkan cahaya kekuningan. Sebagai seorang ahli silat, tentu saja Kwee An tidak menolak ditantang pibu, maka dia pun segera menjawab,
“Baik, hanya kuharap saja Nona Meilani akan berlaku murah hati kepadaku.”
Setelah mendengar jawaban pemuda itu, Meilani lalu bertindak keluar dari pondok, diikuti oleh ayahnya dan adiknya. Kwee An juga keluar dari tempat itu sambil membawa pedang Oei-kang-kiam, dan semua orang lalu keluar pula dengan wajah berseri gembira, mereka seakan-akan hendak menghadiri pesta perayaan yang menarik hati.
Sesudah berada di halaman pondok yang luas, Meilani lantas melompat dengan gerakan yang ringan dan lincah sambil membawa goloknya. Gadis ini kemudian mempererat ikat pinggangnya, mengikat pula dua kuncir rambutnya yang lalu diselipkan di dalam baju di belakang punggung. Setelah itu, dengan gagah dan cantik, dia berdiri menanti Kwee An dengan golok di tangan kanan dan senyum manis menghias bibirnya.
Ketika melihat gerakan gadis yang melompat tadi, Kwee An merasa kagum juga karena Meilani ternyata memiliki gerakan yang gesit. Maka dia menjadi gembira juga dan sambil memegang pedang Oei-kang-kiam di tangan kanan, ia lalu membuat gerakan Naga Sakti Menembus Awan, melompat ke hadapan gadis itu. Ia telah melompat cepat dari tempat yang jauhnya kira-kira lima tombak, maka gerakannya ini disambut dengan tampik sorak oleh semua penonton yang secara cepat sekali mengelilingi tempat adu silat itu!
Melihat bahwa pemuda ini sudah melompat ke hadapannya, Meilani berseru nyaring yang maksudnya memberitahu bahwa ia hendak mulai menyerang. Ia langsung menggerakkan goloknya, diputar-putar di atas kepalanya seperti gerakan orang Haimi bermain cambuk, kemudian tubuhnya menerjang dengan sebuah lompatan cepat dan golok itu menyambar ke arah leher Kwee An!
Seperti juga pedang Oei-kang-kiam, golok di tangan gadis itu tipis dan tajam, akan tetapi ringan sekali hingga gerakan Meilani cepat sekali datangnya. Kwee An hendak mencoba pedangnya, maka dia lalu mengangkat pedang menangkis. Terdengar suara nyaring dan ketika dua batang senjata itu beradu, dari pedang dan golok yang terbuat dari logam yang sama itu keluarlah bunga-bunga api berwarna hijau. Meilani berseru kaget karena ketika goloknya beradu dengan Oei-kang-kiam, hampir saja senjata itu lepas dari pegangannya!
“Hebat sekali tenagamu!” katanya dalam bahasa yang tak dimengerti oleh Kwee An, akan tetapi yang membuat para pendengarnya, terutama Sanoko, menjadi kagum, karena dia tahu bahwa puterinya itu sudah diberi latihan tenaga dalam yang cukup tinggi, karena itu dengan sekali tangkis saja dapat membuat puterinya memuji, tentu pemuda tanpa kumis itu benar-benar lihai!
Meilani lalu memutar-mutar goloknya dan mainkan ilmu golok yang cukup hebat. Golok di tangannya lalu berubah menjadi sinar kuning yang bergulung-gulung laksana gelombang menderu mengancam diri Kwee An. Akan tetapi Kwee An lalu mengeluarkan ilmu pedang Hai-liong Kiam-sut yang dulu dia pelajari dari Nelayan Cengeng.
Melihat betapa pemuda itu berkelebat cepat sekali seolah-olah menerobos di antara sinar goloknya dan kadang-kadang lenyap dari pandangan matanya, Meilani menjadi terkejut sekali. Sedangkan semua penonton menjadi melongo keheranan melihat kehebatan ilmu sitat Kwee An dan pertandingan yang seru itu membuat mereka menahan napas dan lupa untuk bersorak.
Sanoko juga merasa kagum sekali karena puterinya yang tadinya menggerakkan golok hendak mengurung, kini bahkan kena dikurung oleh pedang Kwee An. Saking tegangnya, dia sampai berdiri dari tempat duduknya kemudian memandang dengan penuh perhatian. Gerakan pedang Kwee An benar-benar bagai seekor naga laut yang mengamuk hingga diam-diam Sanoko mengakui bahwa belum pernah ia menyaksikan ilmu silat sedemikian lihainya.
Kwee An yang merasa sangat gembira karena mendapatkan pedang yang baik sekali, segera mendemonstrasikan ilmu pedangnya tanpa bermaksud melukai lawannya, hanya mengurung dengan pedangnya saja. Apa bilas dia mau, dengan mudah saja dia dapat menjatuhkan Meilani, akan tetapi mana hatinya tega untuk melukai gadis cantik yang tak bermaksud buruk terhadap dirinya itu.
Dikurung oleh sinar pedang Kwee An yang lihai, lambat laun Meilani merasa pening dan pandangan matanya kabur. Mendadak dia berseru keras dan segera tubuhnya melompat tinggi dan jauh. Ketika ia turun, ia berdiri memandang dengan wajah kemerah-merahan, kemudian setelah memandang dengan kagum kepada pemuda itu dia lalu melemparkan goloknya kepada Kwee An yang disambut dengan baik oleh tangan kiri Kwee An!
Melihat hal ini, semua orang bersorak riang dan bahkan ada beberapa orang yang cepat menghampiri Kwee An, memeluk dan menciumi pipinya hingga pemuda itu merasa geli sekali karena merasa betapa kumis-kumis mereka itu seakan-akan mengitik-itiknya.
Kakek yang dapat berbahasa Han itu pun menghampirinya dan menjura sambil berkata, “Kionghi, kionghi, (selamat, selamat)...!”
Kwee An hanya mengira bahwa kakek itu memberi selamat atas kemenangannya, maka alangkah terkejutnya ketika Sanoko datang menghampirinya, memeluknya sambil berkata dengan suara yang penuh keharuan.
“Kwee An, puteriku sudah memilih jodohnya dan aku merasa gembira sekali mendapat seorang mantu seperti engkau!”
“Apa...? Apakah maksudmu...?” Ia bertanya sambil memandang dengan mata terbelalak heran.
“Meilani telah memberikan goloknya dan kau pun telah menerimanya dengan baik, masih ingin bertanya apa lagi? Harap kau berlaku seperti seorang laki-laki sejati dan jangan berpura-pura atau malu-malu. Upacara pernikahan dilakukan besok pagi dan sementara itu, kau boleh mengadakan persiapan dan akan dibantu oleh pamanku ini!” kata Sanoko sambil menunjuk kepada kakek penghisap huncwe yang ternyata adalah paman Sanoko sendiri. Kemudian ia masuk ke dalam rumah dengan tindakan kaki gagah.
Kwee An berdiri bagaikan sebuah patung dan ketika kakek itu menarik dirinya menuju ke sebuah pondok tak berjauhan dari tempat itu, Kwee An segera bertanya, “Lopek, apakah maksudnya ini semua?”
“Barang kali kau tidak tahu, anak muda. Sudah menjadi kebiasaan kami bahwa apa bila seorang gadis memberikan goloknya pada seorang pemuda dan pemberian itu diterima, maka itu berarti bahwa mereka telah mengikatkan diri menjadi jodoh masing-masing. Tadi Meilani telah memberikan goloknya kepadamu dan kau telah menerimanya, maka berarti bahwa kau adalah jodoh Meilani. Kau boleh merasa bangga dan berbahagia oleh karena Meilani merupakan gadis tercantik di antara bangsa kami dan telah banyak pemuda yang merindukannya. Di samping memiliki kepandaian tinggi dan menjadi puteri kepala kami, dia juga berilmu tinggi dan berbudi baik. Tidak kau lihatkah betapa cantik jelitanya dia?”
Pucatlah wajah Kwee An mendengar ini. “Tapi… tapi… bukan maksudku untuk menerima dia sebagai… sebagai… jodohku. Aku tidak tahu akan kebiasaan menerima golok itu. Dia melemparkan goloknya kepadaku, sudah tentu saja kusambut dengan tanganku. Lopek, tolonglah aku karena aku sungguh-sungguh tak dapat menerima perjodohan ini!”
Wajah kakek itu berubah tak senang. “Mengapa begitu? Apakah dia kurang cantik? Anak muda, ingatlah bahwa di seluruh daerah ini tak mungkin kau akan mendapatkan seorang gadis seperti Meilani. Dia telah memilihmu tanpa mempedulikan wajahmu yang tak patut karena tidak berkumis, semata-mata karena dia kagum melihat kelihaian ilmu pedangmu. Sanoko juga telah menyetujuinya, maka kau tidak boleh menolak. Penolakanmu ini akan berarti penghinaan pada kami seluruh suku bangsa Haimi, dan tentu kau akan dikeroyok dan dibunuh kalau kau berani menolak. Untung bahwa penolakanmu ini hanya terdengar olehku yang masih dapat berpikir panjang, kalau terdengar oleh orang lain terutama oleh Sanoko, tentu kau akan dibunuh!”
Bukan main terkejut hati Kwee An mendengar keterangan ini. Ia segera berdiri dan sambil menyerahkan kembali golok Meilani kepada kakek itu, ia lalu berkata, “Lopek, tolong kau kembalikan golok ini dan sampaikan salam serta rasa hormatku kepada Sanoko, dan juga penyesalan serta permohonan maafku kepada Meilani, karena kalau memang demikian halnya, sekarang juga aku mau pergi agar jangan timbul hal-hal yang tidak diinginkan.”
Akan tetapi begitu menerima kembali golok baja kuning itu kakek ini lalu melompat berdiri dengan sikap mengancam. ”Tidak bisa, anak muda! Ketahuilah bahwa perbuatanmu ini hanya akan membuat Meilani malu sekali sehingga dia pasti akan membunuh diri sesuai dengan adat kami. Karena ini, sebagai paman kakek gadis itu, aku tak akan membiarkan kau pergi! Kau baru bisa meninggalkan tempat ini setelah melewati mayatku!”
“Jangan, Lopek, biarkan aku pergi!” kata Kwee An dengan gugup.
Akan tetapi, kakek itu lalu menyerangnya dengan golok di tangan! Penyerangannya hebat sekali, jauh lebih lihai dari pada gerakan golok Meilani, sehingga Kwee An terpaksa harus mengeluarkan ilmu silat yang dia pelajari dari Hek Mo-ko. Dan sekali tubuhnya berkelebat dan tangannya diulurkan, golok itu telah terampas olehnya!
“Kau benar-benar lihai, nah, kau bunuhlah dulu aku sebelum pergi dari sini!”
Lemaslah tubuh Kwee An. Ia merasa bingung sekali. Kalau sampai benar-benar gadis itu membunuh diri karena dia tinggal pergi, dia merasa tidak tega sekali. Karena itu dia lalu memandang kakek itu dengan mata mengandung permintaan tolong.
“Kakek, aku... tidak dapat melukaimu. Kalian sudah berlaku sangat baik kepadaku, begitu ramah tamah, bagaimana aku sampai hati mendatangkan mala petaka? Tapi perkawinan itu sungguh-sungguh tidak mungkin kulakukan. Ketahuilah bahwa aku sudah mempunyai seorang tunangan. Aku tidak bisa kawin dengan gadis lain.”
Mendengar ini, kakek itu berpikir keras. “Kalau menurut kebiasaan kami, tiada halangan bagi seorang pemuda untuk memiliki dua orang isteri, sungguh pun hal itu sangat jarang terjadi. Aku maklum akan penolakanmu, dan ternyata kau memang seorang yang baik budi. Baiknya diatur begini saja, yang terpenting bagi seorang gadis kami ialah upacara pernikahan. Apa bila upacara itu sudah dilangsungkan, kau tidak berhalangan untuk pergi meninggalkan isterimu walau pun tidak menjadi isteri dalam arti sesungguhnya. Setelah upacara selesai, kau boleh pergi kalau itu benar-benar kau kehendaki dan Meilani hanya akan merasa malu dan membunuh diri. Dengan demikian, kau tidak menghina bangsa kami dan tidak menghina Meilani.”
“Akan tetapi, Lopek, tentu Meilani akan memandang aku sebagai seorang laki-laki berhati rendah dan seakan-akan menipunya kalau setelah melakukan upacara pernikahan aku lalu pergi meninggalkannya!” Kwee An membantah.
“Jangan kuatir, sebelum upacara dilangsungkan, malam ini juga aku akan memberi tahu kepadanya bahwa kau menjalankan upacara ini hanyalah untuk melindungi mukanya dari perasaan rendah dan malu, dan bahwa kau tidak mungkin menjadi suaminya karena kau telah mempunyai calon istri lain.”
Kwee An memegang tangan kakek itu dengan pernyataan terima kasihnya oleh karena ia anggap itu adalah cara terbaik.
Malam itu, lima orang gadis yang berwajah manis-manis serta bergigi hitam mengkilap, menyerbu masuk ke kamarnya di pondok kakek itu. Sambil tertawa-tawa dan bicara tidak karuan karena tidak dimengerti oleh Kwee An, gadis-gadis itu menghampiri Kwee An. Ada yang memegang tangannya dan menarik-nariknya, ada yang memegang kepalanya, dan ada pula yang hendak menggunakan sesuatu untuk digosokkan di bawah hidungnya. Kwee An terkejut sekali dan dengan hati berdebar ketakutan dia lalu memberontak dan melepaskan diri dari serbuan kelima orang gadis itu!
“Ehh, ehh, kalian pergilah! Keluarlah dari kamar ini! Apakah kalian sudah gila dan hendak menggangguku?” katanya dengan keras dan mata terbelalak.
Akan tetapi oleh karena kelima orang gadis itu tidak mengerti ucapannya, mereka hanya tertawa saja dan menghampirinya kembali! Kwee An berlarian ke sana ke mari di dalam kamarnya, akan tetapi terus dikejar-kejar oleh para gadis itu sambil tertawa-tawa! Karena merasa ngeri dan takut, Kwee An berteriak dan tidak lama kemudian, datanglah kakek penghisap huncwe itu ke dalam kamarnya untuk melihat apakah yang terjadi di situ.
Melihat betapa Kwee An telah melompat ke atas pembaringan dan berdiri mepet di sudut sambil memandang lima orang gadis yang mengurungnya dengan mata terbelalak bagai seekor tikus melihat lima ekor kucing, tak tertahan lagi kakek itu tertawa bergelak! Girang sekali hati Kwee An melihat kedatangan kakek itu dan ia lalu melompat turun dan lari ke belakang tubuh kakek tadi.
“Lopek, tolonglah aku. Mereka ini apakah tiba-tiba menjadi gila?”
“Ini pun termasuk upacara perayaan pernikahan yang akan dilangsungkan besok. Mereka ini datang untuk menggodamu dan untuk menggosok hidungmu dengan obat penumbuh kumis!”
“Apa?” Kwee An berseru sambil menutupi hidungnya dengan tangan kanan, seolah-olah merasa ngeri sekali bahwa hidungnya tadi telah terkena obat itu dan tumbuh kumis! “Aku tidak mau... aku tidak mau, Lopek. Usirlah mereka keluar!” Sedangkan di dalam hatinya, Kwee An berkata, “Alangkah akan kagetnya Ma Hoa kalau ia kelak melihat aku berkumis panjang menjungat ke atas!”
Kakek itu kemudian mengucapkan perkataan kepada para gadis itu yang lalu pergi sambil terkekeh-kekeh, akan tetapi pada waktu mereka memandang Kwee An, mereka merasa kecewa sekali! Kwee An menghela napas panjang karena hatinya lega ketika melihat gadis-gadis itu sudah pergi.
“Bagaimana Lopek, apakah kau memberi tahu dan berterus terang kepada Meilani?”
Kakek itu mengangguk dengan muka sedih.
“Dan marahkah dia kepadaku?”
“Tidak, tidak marah. Hanya kecewa dan berduka. Kau... kau memang kejam.”
“Ehh, mengapa kau berkata demikian, Lopek? Pernikahan ini terjadi karena salah sangka dan bukan terjadi atas kehendakku. Bahkan upacara ini pun terpaksa kulakukan hanya untuk menolong dia.”
Kakek itu mengangguk-angguk dan kembali dia menghela napas. “Alangkah baiknya bila kau benar-benar menjadi suami Meilani dan menjadi anggota keluarga kami. Kepandaian yang kau miliki lihai sekali dan kau dapat kami harapkan untuk membantu kami mengusir para pengganggu kami, keparat-keparat Mongol itu!”
Tergerak hati Kwee An melihat wajah kakek yang telah keriputan itu nampak sedih sekali. “Lopek, untuk membantu kalian, tidak perlu aku harus menjadi keluarga. Kalau memang terdapat kesulitan dan aku mampu membantu, pasti aku akan membantu sekuat tenaga. Katakanlah, apakah yang sudah terjadi dan apa pula yang diperbuat oleh orang-orang Mongol terhadap bangsamu?”
Sesudah berulang kali menghela napas, kakek itu lalu bercerita, “Bangsa kami, yaitu suku bangsa Haimi, adalah bangsa yang besar dan memiliki kebudayaan tinggi. Akan tetapi, oleh karena kami merupakan bangsa perantau dan tidak punya tempat tinggal yang tetap, maka inilah yang merupakan kelemahan kami. Selama beberapa tahun ini, kami selalu mendapat pukulan dan gangguan dari bangsa Mongol yang hendak memperluas daerah kekuasaan mereka. Banyak anggota keluarga kami dibinasakan, wanita diculik, dan harta benda kami dirampas! Hinaan-hinaan ini terpaksa kami terima dengan cucuran air mata dan dengan helaan napas, oleh karena kami tak berdaya. Makin banyak kami melakukan perlawanan, makin banyak jatuh korban di pihak kami hingga makin lama makin kecillah jumlah keluarga kami, oleh karena pihak Mongol memang jauh lebih kuat dari pada kami. Telah lama kami mengimpikan datangnya bintang penolong, dan setelah kini kau datang, maka besarlah harapanku dan harapan Sanoko bahwa engkaulah orangnya yang mampu menolong kami membalas dendam kepada orang-orang Mongol serta mengusir mereka kalau berani datang mengganggu lagi. Akan tetapi, memang nasib bangsaku yang buruk, kau bahkan mengecewakan kami, juga menghancurkan hati puteri kami yang bernasib malang...”
Setelah mengucapkan kata-kata itu, dari kedua mata kakek itu mengalirlah beberapa butir air mata! Kwee An merasa terharu sekali dan ia segera memegang lengan kakek itu.
“Lopek, janganlah kau kuatir. Aku bersumpah bahwa aku akan mengusir dan menghajar orang-orang Mongol yang berani mengganggu kalian. Tunjukkan di mana mereka berada, akan kudatangi dan kuhajar mereka!” kata-kata ini diucapkan dengan penuh semangat sehingga kakek itu dapat tersenyum lagi.
“Hal itu mudah, nanti apa bila upacara perkawinan sudah dilanjutkan akan kutunjukkan padamu di mana keparat-keparat itu berada.”
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, kakek itu telah memberi sesetel pakaian Haimi yang indah kepada Kwee An, lengkap dengan ikat kepala yang lebar. “Pakailah ini, hanya untuk memenuhi syarat upacara adat.”
Agar supaya tidak melukai perasaan kakek itu dan semua orang, terpaksa Kwee An lalu mengenakan pakaian itu.
“Ahh, kau memang gagah sekali. Apa bila kau membiarkan kumismu tumbuh, kau akan menjadi pemuda yang paling tampan di antara kami dan kau akan menjadi suami yang cocok sekali bagi Meilani! Sayang... sayang...,” kata kakek itu sambil memandang dengan kagum.
Kemudian, sambil menabuh gendang dan tambur, serombongan anak gadis ‘mengambil’ pengantin laki-laki dan diiringkan menuju ke pondok pengantin perempuan. Ketika kedua mempelai dipertemukan, Kwee An melihat betapa wajah ‘isterinya’ itu basah dengan air mata dan diam-diam dia lalu menghela napas panjang dan terkenanglah dia kepada Ma Hoa. Ahhh, alangkah baiknya kalau yang menjadi mempelai wanita itu Ma Hoa.
Seorang pendeta Haimi membaca doa-doa dalam bahasa Haimi, namun dari cara-cara ia membaca doa, tahulah Kwee An bahwa upacara adat ini berdasarkan Agama Buddha yang telah berubah, disesuaikan dengan kepercayaan nenek moyang mereka.
Kwee An harus mengakui kecantikan Meilani yang benar-benar jelita itu, akan tetapi bila mengingat gigi yang dihitamkan itu, ia merasa sayang sekali. Ketika upacara dilakukan, tiba-tiba seorang pemuda Haimi datang dengan tergesa-gesa dan melaporkan sesuatu kepada Sanoko. Mendengar laporan ini, ributlah orang-orang yang berada di situ. Bahkan Meilani lantas membuka penutup mukanya dan segera mengambil goloknya yang sudah dikembalikan oleh Kwee An.
“Apakah yang telah terjadi?” Kwee An bertanya kepada Sanoko yang memberi aba-aba dan mengatur orang-orangnya yang telah berkumpul dengan senjata di tangan.
“Seorang Perwira Mongol yang kosen dan yang sering mengganggu kami sudah datang dengan seorang kawannya. Dia sudah menculik dua orang gadis serta membunuh tiga orang pemuda kami!”
“Keparat!” Kwee An memaki sambil mencabut Oei-kang-kiam. “Hayo tunjukkan di mana ia berada!”
“Kami hendak mengeroyoknya, karena kepandaiannya tinggi sekali!” kata Sanoko dengan ragu-ragu.
“Jangan kuatir, biar aku yang menghadapinya!” Maka semua orang segera mengiringkan pemuda itu, berlari keluar dari hutan.
Akan tetapi ketika mereka tiba di tempat yang dimaksudkan, ternyata bahwa dua orang gadis yang diculik itu telah tertolong oleh orang lain! Dan pada saat itu, kedua orang jahat itu sedang bertempur melawan seorang gadis yang gagah perkasa.
Hampir saja Kwee An menjerit karena girang, terkejut dan heran. Ternyata bahwa dua orang pengacau yang dimaksudkan itu adalah Ke Ce sendiri dan Bo Lang Hwesio! Ada pun gadis berambut riap-riapan yang cantik jelita dan yang memainkan sepasang bambu runcing dengan amat hebatnya melawan dua orang kosen itu, bukan lain adalah Ma Hoa sendiri!
“Hoa-moi...!” Kwee An berseru dan dia segera menerjang maju pedangnya.
Ketika Ma Hoa memandang, dia terbelalak heran melihat kekasihnya berada di tempat itu dan mengenakan pakaian yang aneh itu.
“Koko, marilah kita gempur bangsat-bangsat ini dan membalas dendam!” katanya sambil tetap mengerjakan kedua batang bambu runcingnya dengan hebat dan luar biasa.
Walau pun merasa heran sekali melihat betapa kekasihnya itu dapat memainkan senjata aneh secara lihai itu, namun Kwee An tidak sempat bertanya. Ia lalu memutar pedangnya dan menyerang Bo Lang Hwesio yang bersenjata sebatang pedang pula karena merasa kewalahan menghadapi Ma Hoa dengan tangan kosong saja.
Melihat munculnya Kwee An, Ke Ce menjadi jeri karena dia maklum bahwa setelah kini gadis itu mempunyai ilmu silat yang sedemikian lihainya, maka ditambah dengan bantuan Kwee An yang juga lihai sekali, tidak mungkin pihaknya akan memperoleh kemenangan. Apa lagi ia melihat bahwa serombongan besar orang-orang Haimi dengan golok mereka di tangan juga ikut datang pula. Orang Mongol yang licik ini lalu berseru keras dan segera melompat pergi dengan maksud melarikan diri.
Akan tetapi, Ma Hoa tentu saja tidak mau melepaskannya. Sambil berseru nyaring, dara itu lalu melompat ke atas sebuah batu besar dan ketika Ke Ce lari, ia segera menyambar turun dengan kedua bambu runcing di tangan, bagai seekor burung rajawali menyambar korbannya. Ke Ce menjadi terkejut sekali ketika tiba-tiba dari atas terdengar bentakan Ma Hoa yang halus tapi nyaring,
“Bangsat keji hendak lari ke mana?”
Ke Ce menengok ke belakang dan mempercepat larinya oleh karena tadi ia telah merasa betapa lihai sepasang bambu runcing di tangan gadis ini hingga ia merasa percuma saja untuk melawan terus. Ia hendak menggunakan ginkang-nya yang tinggi untuk melarikan diri, akan tetapi Ma Hoa mengejar sambil berlompatan sehingga sebentar saja dia sudah melompati kepala Ke Ce dan berdiri menghadang di depan pemuda Mongol itu!
“Kalau mau lari, hanya boleh lari ke neraka untuk menerima hukuman!” kata lagi Ma Hoa sambil mengirim tusukan dengan kedua bambu runcingnya, yang kiri ke arah leher lawan, sedangkan yang kanan ke arah jalan darah di dada!
Ke Ce terkejut sekali melihat betapa ginkang gadis ini sudah sedemikian sempurnanya dan terlebih kaget lagi ketika dia menghadapi serangan berbahaya itu. Ia membuang diri ke kiri, bergulingan di atas tanah sampai beberapa kaki jauhnya lalu melompat berdiri dan cepat menggerakkan dua tangannya hendak mengirim pukulan Angin Topan yang hebat!
Akan tetapi Ma Hoa sudah siap menghadapi ilmu pukulan yang pernah membuat dia dan Kwee An terjungkal ke dalam jurang itu. Maka sambil berseru keras dia melompat ke kiri dan cepat sekali tangan kanannya bergerak.
Bambu runcing di tangan kirinya lantas meluncur dengan kecepatan melebihi anak panah terlepas dari busur dan sebelum Ke Ce dapat berkelit, kembali bambu runcing di tangan kanannya meluncur menyusul bambu pertama!
“Cepp…! Cepp…!”
Kedua bambu runcing itu menancap di tubuh Ke Ce, yang sebatang di tengah dada dan sebatang lagi di lehernya. Tubuh orang Mongol itu roboh dan nyawanya melayang pergi meninggalkan tubuh pada saat itu juga!
Terdengar sorak sorai riuh rendah dari orang-orang Haimi ketika melihat betapa musuh besar mereka itu binasa! Ma Hoa segera menghampiri tubuh Ke Ce dan mencabut keluar kedua bambu runcingnya serta membersihkan ujung bambu itu pada pakaian lawannya. Kemudian ia menghampiri rombongan orang Haimi yang menyambutnya dengan berlutut.
Ma Hoa mendekati Meilani dan mengangkat bangun gadis yang cantik itu. Akan tetapi ketika dia bertanya, gadis itu menjawab dengan bahasa yang asing baginya. Gadis itu hanya menunjuk ke arah Kwee An dan Ma Hoa menengok.
Ternyata bahwa Kwee An tengah bertempur dengan hebatnya melawan Bo Lang Hwesio. Kepandaian Bo Lang Hwesio benar-benar lihai sekali, karena meski pun Kwee An sudah mengeluarkan Ilmu Pedang Hai-liong Kiam-sut, akan tetapi hwesio itu sanggup menahan serangannya secara baik dan bahkan dapat membalas dengan serangan yang tak kalah hebatnya!
Kwee An lalu mengeluarkan ilmu silat yang dulu dia pelajari dari Hek Mo-ko, dan setelah mainkan ilmu silat ini dengan tangan kiri, barulah ia dapat mengimbangi desakan Bo Lang Hwesio. Akan tetapi, dalam lweekang dia masih kalah setingkat sehingga tiap kali pedang mereka bertemu, Kwee An merasa betapa tangannya gemetar! Untungnya ia memegang pedang Oei-kang-kiam yang ampuh, kalau dia memegang pedang biasa tentu pedangnya akan bisa dipatahkan oleh pedang Bo Lang Hwesio yang di samping merupakan pedang mustika, juga digerakkan dengan tenaga lweekang yang tinggi itu.
Melihat ini, Ma Hoa berseru, “An-ko, jangan kuatir, aku membantumu!”
Tubuh gadis ini lalu berkelebat dan segera kedua batang bambu runcingnya menyerang secara hebat bukan main. Bo Lang Hwesio harus mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya, karena baru menghadapi Kwee An seorang saja biar pun dia tidak akan kalah akan tetapi sudah amat sulit merobohkan anak muda itu, sekarang ditambah pula dengan permainan kedua bambu runcing Ma Hoa dalam gerakan Ilmu Silat Bambu Kuning yang luar biasa, maka dia menjadi sibuk sekali!
Dengan perlahan akan tetapi tentu, Ma Hoa serta Kwee An mendesak hwesio itu hingga keringat dingin mulai mengucur keluar dari jidat Bo Lang Hwesio. Kwee An merasa girang sekali oleh karena ia mendapat kenyataan betapa gerakan ilmu silat Ma Hoa amat lihai.
Sedangkan Bo Lang Hwesio amat gelisah menghadapi serangan sepasang orang muda yang lihai ini. Dia pun sangat heran menyaksikan ilmu silat gadis itu karena dia teringat bahwa yang memiliki ilmu Silat Bambu Kuning ini hanyalah seorang pertapa sakti yang bernama Hok Peng Taisu! Kenapa tiba-tiba gadis ini dapat memiliki ilmu kepandaian ini?
Ketika Ma Hoa mendesak makin hebat, akhirnya ujung bambu di tangan kirinya berhasil menusuk pundak Bo Lang Hwesio yang berteriak kesakitan oleh karena sungguh pun dia memiliki lweekang yang membuat kulitnya menjadi kebal, namun tetap saja ujung bambu yang tajam itu telah melukainya. Sambil berseru hebat ia memutar pedangnya dan ketika kedua lawannya mengelak, dia lalu melompat ke belakang dengan cepat dan kabur dari tempat itu. Ma Hoa hendak mengejar, akan tetapi Kwee An mencegahnya dan berkata,
“Yang mencelakai kita dulu adalah Ke Ce. Biarlah kita ampuni jiwa rendah hwesio itu!”
Ma Hoa dan Kwee An berdiri saling pandang dan sekarang setelah musuh pergi, mereka saling pandang dengan perasaan terharu sekali. Tanpa terasa lagi dari mata mereka lalu mengalir air mata karena rasa girang dan terharu, seakan-akan melihat kekasihnya baru bangkit dari lubang kuburan! Bagaikan ditarik oleh tenaga mukjijat, keduanya lalu saling rangkul sambil berbisik,
“Koko...”
“Moi-moi..., serasa dalam mimpi dapat berjumpa dengan kau lagi...”
“Koko...,” kata Ma Hoa setelah melepaskan diri dari rangkulan Kwee An dan memandang kepada pemuda itu dengan mata basah tapi bibir tersenyum, “kau... kelihatan lucu sekali! Dari mana kau peroleh pakaian seperti itu?”
“Untung saja kau tidak melihat aku berkumis seperti mereka itu!” Kwee An berkata sambil menahan ketawanya.
Ma Hoa heran sekali mendengar ini dan ketika ia menengok, orang-orang Haimi telah lari menghampiri mereka, dan Meilani lalu memegang tangan Kwee An dengan mesra, oleh karena ia tidak tahu bahwa Ma Hoa adalah wanita yang menjadi tunangan pemuda ini. Hati Meilani terlalu girang, karena Ke Ce terbunuh mati dan terlampau bangga karena betapa pun juga, pemuda yang gagah berani dan yang telah berhasil mengusir musuh itu adalah ‘suaminya’.
“Engko An, siapakah gadis manis ini?”
“Dia adalah isterinya, lihiap!” Sanoko menjawab, “dan aku adalah pemimpin suku bangsa Haimi, juga menjadi ayah mertua Kwee An!”
Bukan main terkejut hati Ma Hoa mendengar keterangan Sanoko ini dan ia memandang kepada Kwee An dengan wajah pucat. Kwee An memegang tangan Ma Hoa dan berkata, “Tenanglah, Moi-moi, hal ini memerlukan penjelasan!”
Kemudian ia berkata kepada Sanoko dengan suara tegas, “Dengarlah Sanoko! Kau tentu sudah mendengar keterangan dari Pamanmu dan ketahuilah kini bahwa Nona ini adalah tunanganku yang kuceritakan itu!”
Oleh karena di situ terdapat banyak orang-orang Haimi, meski pun mereka tidak mengerti percakapan mereka, akan tetapi Kwee An merasa tidak enak karena kalau sampai terjadi salah paham, maka Ma Hoa tentu akan marah sekali dan Meilani akan tersinggung, maka ia lalu memberi isyarat kepada Sanoko dan kakek penghisap huncwe untuk ikut bicara di tempat yang agak jauh dari mereka. Meilani hanya memandang dengan heran dan tidak mengerti, akan tetapi ia tidak berani ikut bicara mencampuri pembicaraan mereka yang dilakukan dalam bahasa Han yang tidak dimengertinya.
“Lopek, sekarang harap kau suka ceritakan hal ini terus terang kepada tunanganku, agar tidak sampai terjadi kesalah pahaman,” kata Kwee An kepada kakek itu sesudah mereka berada jauh dari rombongan itu.
“Lihiap, kata-kata Kwee-taihiap ini memang benar. Walau pun dia terpaksa menjalankan upacara pernikahan dengan Meilani, akan tetapi hal itu hanya untuk menjaga kehormatan puteri kami itu saja. Kwee-taihiap tadinya juga bersikeras menolak, akan tetapi akhirnya menyetujui untuk melakukan upacara pernikahan berdasarkan menolong gadis itu.”
Maka dengan panjang lebar kakek itu lalu menuturkan bagaimana sudah terjadi kesalah pahaman ketika Kwee An menerima golok dari Meilani, dan betapa bila pemuda itu tidak mau memenuhi kebiasaan adat mereka, maka gadis itu tentu akan membunuh diri karena malu.
Ma Hoa mendengarkan semua ini dengan terharu. Tadinya dia marah sekali, akan tetapi setelah tahu akan duduknya perkara, dia malah merasa kasihan sekali kepada Meilani.
“An-ko, apa bila kau memang suka kepada gadis itu, kawinlah dengan dia dan jangan kau pikirkan aku lagi!”
“Ehh, ehh, Moi-moi, mengapa kau berkata demikian? Selain dengan kau aku tidak mau kawin dengan wanita lain! Sesudah mendengar keterangan tadi, apakah kau masih juga merasa cemburu kepadaku?”
“Bukan cemburu, akan tetapi aku merasa kasihan sekali kepada Meilani!” Kemudian Ma Hoa lalu bertindak menghampiri Meilani dan memeluknya.
Biar pun Meilani tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, akan tetapi oleh karena dia sudah mendengar dari Kwee An bahwa pemuda itu tidak bisa menjadi suaminya karena telah bertunangan dengan seorang gadis Han, maka ia dapat juga menduga.
Ketika melihat hubungan antara Ma Hoa dengan Kwee An, ia dapat menduga pula bahwa tentu gadis inilah yang menjadi tunangan Kwee An. Ia tidak hanya kagum akan kelihaian Ma Hoa, akan tetapi juga kagum melihat kecantikannya, sehingga dia merasa bahwa memang gadis itu lebih cocok menjadi calon isteri Kwee An. Ketika Ma Hoa memeluknya, ia hanya dapat mengalirkan air mata saja.
Sanoko juga sudah tahu akan hal itu dan dia pun tidak merasa kecewa karena ternyata bahwa ‘gadis saingan’ puterinya adalah seorang pendekar wanita yang bahkan memiliki kepandaian yang lebih hebat dari pada Kwee An sendiri. Bahkan gadis itu juga sudah meneewaskan seorang musuh yang telah banyak membunuh bangsanya!
Maka ketika kedua orang muda itu berpamit, dia hanya menghaturkan selamat jalan dan terima kasih. Meilani tidak kuat melihat Kwee An pergi, maka ia mendahului lari masuk ke dalam hutan dan menangis di dalam pondoknya dengan hati hancur.
Ada pun semua orang Haimi, ketika melihat Kwee An pergi meninggalkan ‘isterinya’ yang baru saja menikah dengannya, merasa tidak puas. Akan tetapi mereka tak berani banyak bertanya, hanya merasa berduka mengingat akan nasib Meilani.
Demikianlah, Ma Hoa dan Kwee An meninggalkan orang-orang Haimi itu dengan diikuti pandangan mata mereka yang merasa kagum sekali melihat betapa kedua orang muda bangsa Han itu berlari cepat sekali melebihi larinya rusa! Tentu saja Kwee An dan Ma Hoa merasa bahagia sekali dapat bertemu dalam keadaan selamat, bahkan pada waktu mendengar dari Ma Hoa bahwa dara itu telah mempelajari Ilmu Silat Bambu Kuning yang luar biasa dari Hok Peng Taisu, Kwee An menjadi gembira dan girang sekali.
Sebaliknya, pada waktu Kwee An menceritakan betapa dia telah menderita sakit sampai berbulan-bulan di dalam goa dengan keadaan amat menderita dan sengsara, kekasihnya menjadi terharu dan merasa iba sekali. Namun, masih saja dalam perasaan hati Ma Hoa merasa tidak enak oleh karena peristiwa yang terjadi dengan Kwee An ketika terpaksa menikah dengan Meilani itu.
"Koko," katanya di tengah perjalanan, "agaknya kau suka kepada gigi hitam! Bagaimana kalau aku membikin hitam gigiku.”
Kwee An tersenyum pahit. "Sudahlah, Hoa-moi, jangan kau menggoda terus. Sebenarnya aku merasa ngeri tiap kali teringat akan gigi hitam dan kumis melintang!"
Ma Hoa tertawa. "Bila kubayangkan sungguh lucu. Kau berkumis panjang melintang yang ujungnya melingkar ke atas, sedangkan aku bergigi hitam mengkilap!"
"Betapa pun juga, bangsa Haimi itu adalah orang-orang baik, akan tetapi nasib mereka buruk sekali. Moi-moi, biarlah kita jangan berbicara tentang mereka lagi. Sekarang yang terpenting ialah, ke mana kita harus mencari Lin Lin, Cin Hai dan Paman Yousuf?"
“Lin-lin dan Paman Yo dikejar-kejar oleh orang-orang Turki yang datang dari barat daya. Sebelum bertemu dengan kau, aku banyak mendengar orang bercerita bahwa di daerah Kansu dan Cinghai di barat kini terdapat orang-orang Turki yang menjadi pedagang. Aku mendengar bahwa di Kansu pemandangannya amat indah dan di sana terdapat goa-goa kuno yang terkenal. Jika hendak mendengar tentang Lin Lin dan Paman Yo, baiknya kita merantau ke barat dan menyelidiki orang-orang Turki itu, sekalian melihat pemandangan di kedua daerah itu. Bagaimana pendapatmu?”
Bagi Kwee An, jangankan dia harus pergi merantau dan menikmati perjalanan ke daerah-daerah yang indah dan menarik hati, biar pun harus ke neraka sekali pun, kalau bersama Ma Hoa, dia akan pergi dengan senang hati.
“Dugaanmu ini memang berdasar juga. Mudah-mudahan saja Cin Hai juga berpendapat sama dan pergi ke barat pula,” katanya.
Demikianlah, kedua sejoli itu lalu mulai melakukan perjalanan ke barat melalui sepanjang tapal batas Mongolia Dalam, menyeberangi Propinsi-propinsi Sui-yuan dan Ning-sia…..
********************
Siapa yang pernah melakukan perjalanan dengan seorang tunangan atau kekasih yang dicinta dan mencinta, tentu akan maklum pula bahwa di dalam perjalanan itu yang terasa hanyalah kegembiraan besar. Segala benda di dunia ini nampak seakan-akan bercahaya gemilang dan berseri, setiap daun dan bunga tersenyum manis, setiap suara terdengar bagaikan nyanyi indah dan merdu!
Pendek kata, Ma Hoa dan Kwee An melakukan perjalanan berdua dengan hati dipenuhi kebahagiaan dan kegembiraan. Apa lagi mereka melakukan perjalanan ke daerah-daerah yang sama sekali belum pernah mereka kunjungi sehingga pemandangan yang ganjil di daerah itu menambah kegembiraan mereka.
Suatu hari di tapal batas daerah Sui-yuan, ketika mereka sedang berjalan cepat melalui sebuah daerah yang berbukit, tiba-tiba mereka mendengar seruan seperti yang biasanya dikeluarkan oleh orang yang sedang berkelahi. Mereka menjadi tertarik dan segera berlari menuju ke arah suara itu. Ketika mereka tiba di sebuah tikungan, mereka melihat dua orang sedang bertempur dengan luar biasa hebatnya.
Ketika mereka telah tiba agak dekat, tiba-tiba Ma Hoa memegang lengan tangan Kwee An dan pemuda ini merasa betapa jari-jari tangan Ma Hoa menggigil. Ia segera menatap wajah kekasihnya yang tiba-tiba berhenti itu, dan melihat betapa wajah Ma Hoa menjadi pucat sekali.
Sepasang mata gadis itu memandang ke arah orang-orang yang sedang bertempur itu dengan terbelalak penuh keheranan dan tampaknya amat terkejut bagaikan melihat setan di tengah hari! Kwee An segera memandang dan memperhatikan pula dua orang yang bertempur itu. Tiba-tiba dia pun memandang dengan mulut celangap.
Ma Hoa menggosok-gosok kedua matanya dan bibirnya bergerak mengeluarkan bisikan, "Koko... apakah kau juga melihat apa yang kulihat?"
Kwee An hanya berkata perlahan, "Heran…. heran….. bukankah nona yang berpedang itu benar-benar dia?"
"Siapa lagi? Walau pun lupa akan wajah dan bentuk badannya, aku tak akan melupakan gerakan dan ilmu silatnya. Dia benar-benar Enci Im Giok!"
"Mari kita membantunya!" kata Kwee An, akan tetapi Ma Hoa menjawab,
"Jangan dulu! Enci Im Giok paling tidak suka dibantu apa bila keadaannya tidak terdesak. Lihat, dia sedang mendesak lawannya, dan dua orang pendeta yang menonton itu, entah mereka itu kawan atau lawan. Sebaiknya kita menonton sambil bersembunyi dan melihat gelagat."
Keduanya lantas mengintai dari balik pohon. Ternyata bahwa yang bertempur itu adalah seorang nenek tua yang mengerikan. Tubuhnya bongkok karena punggungnya tinggi dan di sana terdapat daging yang menonjol, merupakan punggung onta. Rambutnya digelung dan diikat dengan sapu tangan bersulam yang kecil. Telinganya memakai anting-anting yang besar melingkar. Nenek itu sedang bertempur dengan tangan kosong menghadapi seorang dara jelita berpakaian merah yang memegang pedang.
Nona ini cantik sekali dan sekali pandang saja orang yang sudah pernah melihatnya tak akan ragu-ragu lagi bahwa dia ini bukan lain adalah Ang I Niocu! Apa bila gerakan Ang I Niocu indah menarik dan gesit sekali hingga nampaknya seperti sedang menari dengan pedangnya, gerakan nenek itu tidak kalah hebatnya.
Tubuh nenek itu berlompatan ke atas sambil menyerang dahsyat dengan cengkeraman-cengkeraman tangan yang jari-jarinya ditekuk bagaikan cakar burung garuda! Di dekat tempat pertempuran itu, dua orang kakek berdiri menonton dengan tertarik. Seorang di antara mereka bertubuh tinggi besar, berjubah hitam panjang dan kepalanya ditutup oleh sebuah sorban. Kakek ke dua adalah seorang tosu yang mukanya penuh cambang bauk.
Pada waktu itu, Ang I Niocu sedang mendesak hebat dengan ilmu pedangnya. Apa bila gerakan nenek itu boleh diumpamakan sebagai seekor garuda yang ganas menyambar-nyambar korbannya, Ang I Niocu merupakan seekor burung merah yang indah dan luar biasa gesitnya.
Di samping memiliki ginkang yang tinggi dan sempurna, ternyata nenek itu juga memiliki tenaga dalam yang hebat karena selain serangan mencengkeram yang mirip dengan Ilmu Silat Eng-jiauw-kang dari ahli silat Tiongkok Selatan, juga kadang-kadang dia mengirim pukulan-pukulan yang anginnya saja membuat rambut Ang I Niocu berkibar dan menjadi awut-awutan!
Akan tetapi, pedang Ang I Niocu sangat lihainya, sinar pedangnya dapat mendesak terus sehingga nenek itu terpaksa berkelahi sambil mundur. Pada saat nenek itu mundur dan melompat ke atas sebuah batu karang, Ang I Niocu membabat dengan pedangnya ke arah kaki lawannya dengan gerakan Bidadari Menyebar Bunga hingga hampir saja kaki nenek itu terbabat.
Akan tetapi, dengan cepat sekali nenek itu lantas melompat ke atas sambil mengeluarkan teriakan keras, dan ketika tubuhnya masih berada di atas, tiba-tiba saja kedua tangannya digerakkan dan berhamburanlah hancuran batu menyerang ke arah Ang I Niocu!
Ternyata bahwa ketika tadi nenek itu meloncat ke atas batu karang, kedua tangannya lalu mencengkeram batu karang hingga hancur di dalam kedua tangannya dan sekarang dia menggunakan hancuran batu karang itu untuk menyerang Ang I Niocu! Hancuran batu karang yang menjadi kerikil kecil-kecil ini tak boleh dipandang ringan, oleh karena tenaga lemparan yang disertai tenaga khikang ini membuat batu-batu kecil itu dapat menembus kulit dan daging, dan setiap potongan kecil merupakan sebuah senjata rahasia yang lihai!
Akan tetapi Ang I Niocu yang berkepandaian tinggi tidak gentar menghadapi serangan hebat ini. Dengan tenang dia segera memutar pedangnya hingga tubuhnya seakan-akan terlindung oleh dinding baja dan semua potongan batu kecil itu dapat terpukul jatuh.
Kembali mereka bertempur seru, masing-masing mengeluarkan ilmu kepandaian mereka yang paling tinggi. Meski pun Ang I Niocu selalu mendesak, namun agaknya tidak mudah menjatuhkan nenek yang lihai itu.
Sebelum kita maju lebih lanjut dengan cerita ini, lebih baik kita ikuti dulu pengalaman Ang I Niocu semenjak dia berada di Pulau Kim-san-to, karena pembaca tentu merasa heran bagaimana Ang I Niocu bisa muncul di sini sedangkan dulu ia berada di Pulau Kim-san-to ketika pulau itu terbakar dan meledak? Baiklah kita mundur sejenak supaya selanjutnya cerita ini dapat diikuti dengan lancar...
Selanjutnya baca
PENDEKAR BODOH : JILID-15