Pendekar Sakti Jilid 15


Pada suatu hari, ketika Kwan Cu dan Sui Ceng baru saja keluar dari sebuah hutan di selatan kota raja, tiba-tiba dari atas pohon menyambar turun tujuh batang anak panah. Kwan Cu dan Sui Ceng telah bersiap sedia untuk menangkis atau mengelak, akan tetapi ternyata tidak ada sebatang pun anak panah yang mengenai mereka dan ketika mereka memandang, ternyata bahwa tujuh batang anak panah itu hanya menancap pada tanah di sekeliling mereka.

Sui Ceng terkejut dan diam-diam ia mengagumi orang yang melepaskan anak panah itu, karena dapat menancap rata pada jarak yang sama di sekeliling mereka. Akan tetapi bagi Kwan Cu, kepandaian seperti itu bukan apa-apa dan dia berdongak ke atas sambil berkata tenang,
"Sahabat dari manakah bermain-main seperti ini dengan kami?"

Sebetulnya, sejak tadi pun Kwan Cu sudah tahu bahwa di atas pohon itu bersembunyi empat orang, akan tetapi dia sengaja diam saja agar tidak mengagetkan hati Sui Ceng yang sesungguhnya masih belum sembuh benar dari pada lukanya yang diderita dalam pertempuran di puncak Tai-hang-san.

Baru saja kata-kata ini selesai dikeluarkan oleh Kwan Cu, dari atas pohon menyambar turun empat orang yang gerakannya amat ringan dan gesit sehingga kembali Sui Ceng terkejut. Akan tetapi baik dia mau pun Kwan Cu tidak mengenal orang-orang ini.

Sesudah mereka berdiri berhadapan dengan Kwan Cu dan Sui Ceng, gadis ini segera memandang penuh perhatian dan orang yang ke empat dari rombongan ini mempunyai wajah yang seperti pernah dilihatnya, akan tetapi ia sudah lupa lagi entah di mana.

Orang itu adalah seorang pemuda yang ganteng serta bersikap sopan santun. Pakaian dan gerak-geriknya yang halus menunjukkan bahwa ia adalah seorang sastrawan muda. Sepasang matanya tajam dan tubuhnya jangkung. Usianya sebaya dengan Kwan Cu.

Ada pun orang ke dua adalah seorang kakek yang kecil bongkok, orang ke tiga seorang kakek bermuka hitam bertubuh tinggi besar. Adapun orang ke empat yang berdiri paling depan adalah seorang nikouw (pendeta wanita) yang berjubah kuning.

Melihat bahwa sebagian besar yang datang merupakan orang-orang tua, Kwan Cu cepat menjura dan bertanya,
"Entah apakah yang menjadi kehendak Cu-wi sekalian maka menghadang perjalanan kami?"
"Apakah kau yang bernama Lu Kwan Cu murid Ang-bin Sin-kai?" tanya nikouw itu sambil memandang tajam.

Juga tiga orang kawannya memandang tajam kepada Kwan Cu tanpa melirik ke arah Sui Ceng sehingga pemuda ini maklum bahwa mereka tentu pernah mendengar namanya di puncak Tai-hang-san.

"Siauwte memang benar bernama Lu Kwan Cu, tidak tahu Suthai dan yang lain-lain ini siapakah? Dengan maksud apa menghentikan perjalanan siauwte?"

Mendengar bahwa pemuda di depan mereka itu benar-benar Lu Kwan Cu yang namanya ramai disebut-sebut oleh semua orang gagah di dunia kang-ouw, sebab anak-anak murid Bu-tong-pai dan Kim-san-pai sudah menceritakan peristiwa menggemparkan yang terjadi di atas puncak Tai-hang-san itu, empat orang ini memandang dengan mata menyatakan kekaguman, akan tetapi juga kurang percaya. Mungkinkan seorang pemuda sederhana yang terlihat tidak memiliki kepandaian ini sudah dapat mengalahkan semua tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw?

"Pinni adalah Lui Kong Nikouw dari Thian-san-pai."
"Aku bernama Bu Kek Sian dari Go-bi-pai," jawab kakek kecil bongkok.
"Aku yang bodoh dan kasar adalah Kong Seng Kak Hwesio dari Siauw-lim-pai," jawab kakek tinggi besar bermuka hitam.

Mendengar ini, Kwan Cu merasa heran sehingga dia memandang lebih tajam. Ternyata bahwa kakek yang memakai topi ini memang benar kepalanya gundul, sehingga biar pun pakaiannya seperti petani, namun dia adalah seorang hwesio.

Kong Seng Kak tertawa bergelak melihat sinar mata heran dari Kwan Cu.

"Pinceng memang sengaja menyamar sebagai petani biasa. Bila pinceng memakai jubah pendeta dan berada di antara para pejuang rakyat, bukankah nama Siauw-lim-si akan dicap hitam oleh kerajaan dan kuil kami akan mengalami serangan hebat?"

Kwan Cu kagum sekali mendengar bahwa hwesio kasar ini ternyata membantu rakyat, maka dia cepat menjura dan berkata,
"Kong Seng Kak Twa-suhu benar-benar seorang patriot sejati, siauwte merasa kagum sekali."

Tiba-tiba terdengar suara halus berkata memperkenalkan diri. "Aku yang rendah adalah Lai Siang Pok."

Mendengar nama ini, Sui Ceng tiba-tiba teringat dan dia melangkah maju setindak, lalu berkata, "Ehh, bukankah kau murid pujangga Tu Fu yang dahulu dibawa lari oleh Hek-i Hui-mo?"

Pemuda itu tersenyum dan wajahnya semakin menarik. "Bun-lihiap benar-benar bermata tajam dan mempunyai ingatan kuat sekali. Siauwte memang benar Lai Siang Pok dan Hek-i Hui-mo adalah guruku." Setelah berkata demikian Lai Siang Pok lalu menundukkan muka dan menutup mulut.

Diam-diam Sui Ceng berpikir, sampai di mana tingkat kepandaian pemuda murid Hek-i Hui-mo ini. Teringat dia akan semua pengalamannya pada waktu dia masih kecil, ketika gurunya, Kiu-bwe Coa-li memperebutkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang ternyata palsu itu dengan Hek-i Hui-mo.

Seperti pernah dituturkan di bagian depan, dahulu Tu Fu dipaksa membaca kitab itu dan pendengar-pendengarnya adalah Hek-i Hui-mo yang dibantu oleh pemuda Lai Siang Pok itu, sedangkan Kiu-bwe Coa-li dibantu oleh Sui Ceng. Setelah membaca, kitab itu lalu dibakar, demikian menurut perjanjian dan syarat yang diajukan oleh pujangga Tu Fu.

Kemudian, sesudah mendengarkan bersama Lai Siang Pok, Hek-i Hui-mo lalu menculik Siang Pok dan dipaksa untuk menjadi muridnya. Sekarang Hek-i Hui-mo telah tewas oleh Kwan Cu, apakah maksud kedatangan pemuda ini?

Kwan Cu tentu saja dapat menduga akan maksud ini, maka dia lalu tersenyum sambil bertanya,
"Setelah memperkenalkan nama Cu-wi, perlu kiranya siauwte memperkenalkan sahabat ini pula, ialah Bun Sui Ceng murid dari Kiu-bwe Coa-li suthai."

Akan tetapi mereka tidak mempedulikan Sui Ceng, bahkan sebaliknya Lui Kong Nikouw lalu berkata,
"Lu-taihiap, tentu kau ingin mengetahui maksud kami menghadangmu di sini, bukan?"

Muka Kwan Cu menjadi merah disebut taihiap (pendekar besar), akan tetapi sebetulnya panggilan ini memang dengan hati tulus, sebab siapakah kini yang tidak menganggapnya sebagai seorang pendekar besar setelah apa yang dia lakukan di puncak Tai-hang-san?

"Siauwte tidak sabar lagi mendengar keterangan Suthai," jawab Kwan Cu.
"Pinni sengaja datang untuk bertanya, kenapa Taihiap yang gagah perkasa telah berani mempermainkan dan mengganggu muridku, Wi Wi Toanio?"

Sui Ceng mengerutkan kening dan Kwan Cu terkejut bukan main. "Mempermainkan dan mengganggu bagaimana, Suthai?" tanyanya penasaran.

Lui Kong Nikouw tersenyum dan tampaklah bahwa dulu pada waktu mudanya nikouw ini tentu berwajah cantik, ada pun senyumnya masih membayangkan kegenitan mirip yang dipunyai oleh Wi Wi Toanio.

"Taihiap, muridku itu adalah seorang wanita muda yang paling cantik di seluruh wilayah timur, sudah sepatutnya dan dapat dimengerti kalau hati laki-laki tergila-gila kepadanya. Akan tetapi Taihiap harus dapat menahan nafsu dan paham bahwa dia adalah seorang yang telah menjadi isteri orang lain. Perbuatan Taihiap sungguh tidak patut."

Bukan main marahnya Kwan Cu, sedangkan wajah Sui Ceng menjadi merah sekali.

"Suthai, kau mengeluarkan omongan yang membikin orang penasaran! Aku Lu Kwan Cu tidak pernah mempermainkan wanita!"

Akan tetapi ketika dia membayangkan wajah dan tubuh dari Wi Wi Toanio, hatinya jadi berdebar. Di dalam hati kecilnya, dia tidak dapat menyangkal bahwa isteri dari An Kai Seng itu benar-benar menarik hatinya. Akan tetapi Kwan Cu tahu bahwa kata-kata dari Lui Kong Nikouw tadi merupakan racun yang akan merusak hubungan baiknya dengan Bun Sui Ceng, maka cepat-cepat dia melanjutkan.

"Wi Wi Toanio adalah isteri dari An Kai Seng musuh besarku yang harus kubunuh karena An Kai Seng adalah keturunan An Lu Shan, yaitu musuh besar kongkong-ku dan guruku. Bagaimana aku bisa mempermainkannya? Pada waktu itu memang benar dia membela suaminya dan kalah dalam pertempuran olehku, apakah hal ini dianggap mengganggu?" setelah berkata demikian, Kwan Cu tanpa disengaja melirik ke arah Sui Ceng.

Lui Kong Nikouw mengeluarkan, suara jengekan. "Huhh, siapa percaya mulut laki-laki? Mengganggu atau tidak, kau sudah mengalahkan muridku yang berarti penghinaan besar bagi nama Thian-san-pai, maka sekarang pinni sengaja menunggumu di sini untuk minta pengajaran darimu."

"Nanti dulu, Lui Kong Nikouw!" kata Bu Kek Sian, "Pertandinganmu melawan Lu-taihiap mempunyai dasar permusuhan, maka harus dilakukan nanti sesudah aku mencoba dulu kepandaiannya. Jauh-jauh aku datang dari Go-bi karena tertarik mendengar kegagahan Lu-taihiap, maka biarlah aku yang hendak minta petunjuk lebih dulu."

"Betul! Demikian pula pinceng, karena murid Siauw-lim-pai tidak akan dapat melewatkan kesempatan bagus menerima petunjuk dari orang pandai!" menyambung Kong Seng Kak Hwesio.

Sambil tersenyum Kwan Cu menoleh kepada Lai Siang Pok dan berkata,
"Dan Lai-enghiong ini tentunya hendak membalaskan kematian gurunya, bukan?"

Dengan muka kemalu-maluan pemuda itu menjawab. "Sudah menjadi kewajiban seorang murid untuk berusaha membalas pembunuh gurunya. Akan tetapi karena kepandaianku sangat terbatas, biarlah siauwte minta pengajaran paling akhir saja."

Bu Kek Sian si kakek kecil bongkok tertawa terkekeh-kekeh dan melompat maju. Tangan kanannya telah mengeluarkan sebuah rantai baja yang panjang, lebih panjang dari pada tinggi tubuhnya.

"Lu-taihiap, harap kau tidak terlalu pelit untuk menunjukkan beberapa jurus ilmu silatmu yang lihai agar lebih terbuka mataku yang sudah agak lamur," sambil tertawa-tawa kakek bongkok itu berkata.

Walau pun dia kelihatan lucu dan bicara merendah, akan tetapi di dalam kata-katanya itu terkandung nada yang sombong. Melihat gerak-gerik orang ini, Kwan Cu merasa bahwa Sui Ceng saja akan dapat menandinginya.

Semua orang ini tidak memandang mata kepada Sui Ceng, kecuali Lai Siang Pok, maka diam-diam Kwan Cu merasa tidak puas. Melihat diri sendiri dipuji-puji dan orang-orang itu mengesampingkan Sui Ceng, dia merasa bahwa hal ini amat merendahkan derajat gadis itu. Sambil tersenyum, dia melirik ke arah Sui Ceng dan berkata,
"Sui Ceng, Lo-enghiong dari Go-bi ini pandai menggunakan sabuknya dan melihat sabuk yang hebat ini hatiku sudah gentar sekali. Kau pernah mempelajari ilmu mainkan sabuk, sukakah kau sedikit mengeluarkan tenaga membagi tugas yang berat menghadapi para orang gagah ini?"

Kwan Cu sengaja hendak memberi kesempatan kepada Sui Ceng untuk memperlihatkan kepandaiannya menghadapi orang sombong ini, karena memang rantai panjang itu tadi dilibatkan di pinggangnya seperti sabuk.

Sui Ceng mengerti kehendak Kwan Cu. Memang nona ini sudah merasa dongkol sekali. Ia diperkenalkan sebagai murid Kiu-bwe Coa-li, akan tetapi orang-orang itu kecuali Siang Pok, tidak mempedulikannya. Bukankah itu sama halnya dengan tidak memandang mata kepada gurunya?

Sebenarnya bukan demikian. Orang-orang ini tentu saja sudah mendengar nama besar Kiu-bwe Coa-li sebagai tokoh yang mempunyai kepandaian mengagumkan. Akan tetapi kejadian di puncak Tai-hang-san itu telah terdengar oleh mereka dan mereka tahu bahwa Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian sudah kalah oleh fihak Kiam Ki Sianjin, maka mereka tak begitu menaruh perhatian lagi.

"Kalau saja tokoh besar yang perkasa dari Go-bi-pai ini tidak menganggap terlalu rendah untuk menghadapiku, tentu saja aku mau mewakili kau," jawab Sui Ceng.

Kwan Cu menghadapi Bu Kek Sian dan berkata, "Bu Kek Sian Lo-enghiong. Fihak yang hendak mengujiku ada empat orang dan kalau aku hanya maju seorang diri, itu tidak adil namanya. Juga kurang memandang mata kepada nona ini sebagai murid Kiu-bwe Coa-li. Hanya yang meragukan hatiku, apakah ada yang berani menghadapi murid dari Kiu-bwe Coa-li?"

Bu Kek Sian terkekeh. "Siapakah yang belum mendengar nama besar Kiu-bwe Coa-li? Tentu saja aku tidak berani memandang rendah, akan tetapi setelah aku melayani nona ini beberapa jurus, aku masih mengharapkan sedikit petunjuk darimu."

Kata-kata ini saja telah menunjukkan kesombongan Bu Kek Sian, sebab dengan ucapan ini seakan-akan dia mau menyatakan bahwa dalam beberapa jurus saja dia pasti akan dapat mengalahkan nona muda ini. Kalau dia menganggap bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan dan sebaliknya dia yang akan kalah, tentu saja orang yang sudah kalah tidak berani maju lagi!

Sui Ceng menjadi panas perutnya. Tangannya bergerak cepat dan tahu-tahu sinar merah berkelebat pada waktu dia sudah meloloskan ang-kin (sabuk merah) yang melibat pada pinggangnya.

"Bu Kek Sian Lo-sicu, marilah kita mengadu senjata," tantangnya.

Bu Kek Sian terkejut dan heran sekali. Benar-benarkah nona ini akan menghadapi rantai bajanya dengan sehelai sabuk sutera? Akan tetapi dia pun bukanlah seorang yang tidak dapat mempergunakan pikirannya. Kalau seorang lawan sudah berani berlaku demikian berani, tentulah lawan itu memiliki kepandaian yang tinggi. Pula, nona ini menggunakan sabuk sutera atas kehendaknya sendiri, maka sangat kebetulan sehingga dia tidak usah terlalu banyak mengeluarkan tenaga.

"Baiklah, kau sambut seranganku, Nona!"

Bu Kek Sian lalu menggerakkan tangannya. Rantai baja itu meluncur dengan lengkungan lebar menyerang kepala Sui Ceng. Gadis ini merendahkan tubuhnya kemudian mengelak ke kiri karena ia tahu bahwa setelah luput menghantam kepala, rantai yang panjang itu ujungnya masih akan menghantam tubuh bagian lain.

Benar saja dugaannya. Ujung rantai itu melayang lantas dari pinggir menotok ke arah iganya. Sambil mengelak cepat, sabuk merah meluncur bagaikan ular merah yang hidup, gerakannya tak terduga dan berlenggang-lenggong, cepat menotok ke arah leher tokoh Go-bi-pai itu.

Bu Kek Sian kagum melihat gerakan nona yang cepat ini. Ia segera menyendal rantainya sehingga ujung rantai yang tak berhasil menotok iga, tiba-tiba tertarik kembali dan cepat menyambar ke arah sabuk merah. Bu Kek Sian sengaja mengerahkan tenaganya agar supaya sabuk merah itu akan terbetot putus oleh rantai bajanya.

Akan tetapi, sabuk merah itu bergerak memecut dan terdengarlah suara geletar dua kali seperti bunyi cambuk seorang penggembala sapi. Kemudian ujung sabuk merah yang terbentur rantai itu melayang kembali dan dengan lengkungan yang amat manis, ujung sabuk ini menotok ke arah jalan darah Im-yang-hiat yang berada di ulu hati kakek ini.

Bu Kek Sian mengeluarkan seruan kaget dan dia cepat melempar dirinya ke belakang. Bukan main hebatnya serangan itu dan alangkah ganasnya! Baru menggunakan sehelai sabuk saja, gadis ini sudah sedemikian lihainya, apa lagi gurunya, Kiu-bwe Coa-li yang mempergunakan pecut dengan sembilan ekornya! Bu Kek Sian menjadi hati-hati sekali dan kini dia memutar rantainya cepat sekali untuk mendesak Sui Ceng.

Akan tetapi, Sui Ceng merupakan murid terkasih dari Kiu-bwe Coa-li, tentu saja dalam hal kesaktian ia telah mewarisi kepandaian gurunya. Karena itu, dengan mudah ia dapat mengimbangi gerakan senjata lawan, bahkan ia kini bergerak demikian cepatnya hingga tubuhnya lenyap dan yang kelihatan hanyalah bayangannya saja yang didahului dengan berkelebatnya sinar merah dari sabuk suteranya.

Beberapa jurus kemudian, terdengar suara rantai terlepas di atas tanah dan Bu Kek Sian melompat mundur dengan muka pucat. Sambungan sikunya telah terkena totokan ujung sabuk yang menyebabkan tangannya lumpuh dan rantainya terlepas.

Kakek ini memandang kepada Sui Ceng dengan mata terbuka lebar-lebar, kemudian dia menepuk kepalanya sendiri sambil mengomel,
"Aku Bu Kek Sian sungguh manusia tidak berguna! Bagaimana masih berani menantang Lu-taihiap? Bagaimana mataku buta tidak melihat bahwa murid Kiu-bwe Coa-li demikian hebatnya?"

Melihat kekalahan Bu Kek Sian oleh nona muda yang cantik itu, Kong Seng Kak Hwesio kagum sekali. Dia melompat maju dengan tangan memegang sebatang toya hitam dan berkata gembira,

"Benar-benar menyenangkan sekali hari ini pinceng bertemu dengan orang-orang muda yang lihai. Bagus, bagus, biar pinceng menerima beberapa jurus untuk menambah bekal membasmi iblis penjajah!"

Melihat gerakan hwesio Siauw-lim-pai ini, Kwan Cu dapat menduga bahwa tentu hwesio ini berkepandaian tinggi dan tenaganya amat besar. Selain ini, juga seorang patriot yang gagah perkasa. Oleh karena itu, dia segera maju sendiri, khawatir kalau-kalau Sui Ceng kesalahan tangan melukai hwesio kosen ini.

"Losuhu, biarlah boanpwe yang menerima kehormatan ini," katanya dan memberi tanda dengan mata agar Sui Ceng mundur.

Gadis ini pun tidak ada nafsu lagi untuk bertempur, karena demikianlah watak Sui Ceng yakni ia akan makin bersemangat kalau menghadapi lawan-lawan yang tangguh, namun sebaliknya, kepandaian Bu Kek Sian dianggapnya masih belum cukup tinggi sehingga ia pun memandang rendah hwesio muka hitam ini.

Kong Seng Kak Hwesio berseri wajahnya. "Bu Kek Sian Bengyu tak punya peruntungan baik, berbeda dengan pinceng yang kini mendapat kesempatan belajar satu dua jurus ilmu silat dari Lu-taihiap." Sambil berkata demikian, toyanya diputar di atas kepalanya bagaikan kitiran cepatnya, akan tetapi hwesio ini tidak segera menyerang.

"Mulailah, Losuhu," kata Kwan Cu.

Sebaliknya dari menyerang, hwesio muka hitam itu bahkan menurunkan kembali toyanya dan menggeleng-geleng kepalanya. "Taihiap harap segera mengeluarkan senjata."

Kwan Cu semakin kagum melihat hwesio ini. Sudah terang hwesio ini sudah mendengar akan sepak terjangnya di Tai-hang-san dan juga tahu bahwa dia telah mengalahkan para tokoh besar, akan tetapi hwesio ini masih merasa tidak adil kalau menghadapi dia yang bertangan kosong. Timbul rasa sukanya dan dia mendapat kenyataan bahwa memang jago-jago Siauw-lim-pai adalah orang-orang yang gagah.

"Kita hanya hendak mencoba tenaga, berbahaya sekali apa bila bertanding mengunakan senjata. Apakah tidak lebih baik jika kita menguji tenaga dengan saling mendorong atau membetot toya itu? Masing-masing boleh berusaha dengan cara bagaimana pun juga, boleh menonjok atau memukul, pendeknya siapa yang melepaskan toya atau roboh, dia terhitung kalah."

Kong Seng Kak Hwesio merasa girang sekali. Memang dia agak jeri menghadapi ilmu silat pemuda ini yang dikabarkan sangat lihai dan aneh, akan tetapi dalam hal tenaga gwakang mau pun lweekang, dia sudah terkenal sekali. Masa dia akan dikalahkan oleh pemuda yang kelihatannya tidak bertenaga besar itu?

Usul yang diajukan oleh pemuda itu menguntungkan dirinya dan kalau dia bisa menang, mski pun dalam cara adu tenaga yang sederhana, bukankah namanya akan terangkat tinggi sekali karena dapat mengalahkan Lu-taihiap yang demikian tersohornya? Dengan cepat dia segera menerima usul ini.

Kwan Cu memegang tongkat yang diangsurkan kepadanya. Kedua orang itu memegang ujung toya dan memasang kuda-kuda.

"Lu-taihiap, bersiaplah, pinceng mulai!" seru Kong Seng Kak Hwesio.

Dia segera mengerahkan tenaganya dan tiba-tiba mendorong toya yang dipegangnya itu dengan tenaga sepenuhnya. Kwan Cu merasa betapa tenaga hwesio ini memang hebat sekali dan tahu pula bahwa Kong Seng Kak Hwesio mempergunakan tenaga gwakang, maka dia lalu menahan dorongan itu dengan pengerahan tenaga lemas sehingga hwesio Siauw-lim-pai itu merasa seluruh lengannya gemetar.

Tiba-tiba Kong Seng Kak Hwesio melakukan gerakan membetot secara mendadak dan disentakkan untuk mencabut toya agar terlepas dari tangan Kwan Cu, atau jika pemuda itu berusaha menahan, agar tubuh Kwan Cu terbawa ke depan. Akan tetapi kembali dia kecelik karena sedikit pun pemuda itu tidak bergeming.

Ia tak menyangka bahwa hanya dengan melihat pundaknya saja, Kwan Cu sudah dapat mengetahui terlebih dulu gerakan apa yang hendak dia lakukan, maka pemuda itu dapat berjaga-jaga lebih dulu.

Mendadak hwesio itu mengeluarkan seruan keras sekali dan tubuhnya merendah. Lalu, dengan pengerahan tenaga luar biasa dia mendorong toya ke atas untuk mengangkat tubuh Kwan Cu atau untuk memaksa pemuda itu melepaskan toya.

Kwan Cu terkejut sekali. Tidak disangkanya bahwa tenaga gwakang dari lawannya ini benar-benar besar sekali. Ketika dia melirik ke arah wajah hwesio itu, tahulah dia bahwa apa bila dia melawan dengan lweekang, maka tak dapat tidak tenaga gwakang itu akan memukul kembali dan dapat mendatangkan luka pada Kong Seng Kak Hwesio.

Oleh karena itu, Kwan Cu mengambil jalan lain. Dia menyimpan tenaganya dan ketika lawannya menyontekkan toya ke atas, dia menurut saja sehingga tubuhnya terbawa ke atas! Akan tetapi, biar pun begitu, Kwan Cu masih memegangi ujung toya dan keadaan tubuhnya masih tetap dalam kuda-kuda seperti tadi.

Tidak hanya Kong Seng Kak Hwesio, juga yang lain-lain merasa kagum sekali. Hwesio itu menggerak-gerakkan toyanya dengan tenaga besar, mengobat-abitkan toya dengan maksud agar pegangan Kwan Cu terlepas, tetapi sia-sia belaka. Agaknya tubuh pemuda itu sudah menjadi satu dengan toya yang dipegangnya.

Tiba-tiba saja Kwan Cu berseru nyaring dan kedua kakinya bergerak di udara, tubuhnya melengkung dan dengan sekali menggenjotkan kaki, dia melompat dengan toya masih dipegangnya.

Kong Seng Kak Hwesio merasa betapa tenaga betotan itu luar biasa sekali. Akan tetapi dia mengerahkan tenaga dan memegangi ujung toya seeratnya. Oleh karena ini toya yang dipegangnya itu terputar dan tubuhnya ikut terputar-putar.

Kwan Cu bergerak terus. Dia mengerahkan tenaga dan ginkang-nya sehingga bagaikan seekor burung yang kakinya diikat tali yang dipegang oleh Kong Seng Kak Hwesio, dia ‘terbang’ mengelilingi hwesio itu.

Sesudah beberapa belas kali putaran, akhimya Kong Seng Kak Hwesio tidak kuat lagi menahan. Dia terpaksa melepaskan pegangan toyanya dan meramkan mata mengatur napas untuk bisa melenyapkan rasa pening di kepalanya. Kemudian dia memberi hormat kepada Kwan Cu sambil menerima kembali toyanya.

"Aduh, nama besar Lu-taihiap bukan omong kosong belaka. Pinceng mengaku kalah."

Melihat betapa dua orang kakek itu sudah dikalahkan oleh Kwan Cu dan Sui Ceng dalam pertandingan persahabatan dan mendengar pemuda itu dipuji-puji, Lui Kong Nikouw lalu melompat ke depan Kwan Cu. Sepasang pedang yang berkilauan telah berada di kedua tangannya.

"Lu Kwan Cu, mendengar pujian-pujian itu kau menjadi makin sombong dan kepala besar saja. Marilah kau bersiap menghadapi pinni untuk menebus dosa dan kekurang ajaranmu terhadap muridku."
"Suthai, aku tidak hendak mencari permusuhan."
"Jadi kau bersedia minta maaf dan berjanji tak akan mengganggu muridku lagi?"
"Terhadap muridmu itu aku tidak akan mengganggu seujung rambutnya. Akan tetapi An Kai Seng suaminya adalah musuh besarku dan harus kubunuh!"
"Kau berjanji tidak akan mengganggu muridku, akan tetapi mau membunuh suaminya? Bagus! Omongan apa ini? Hayo kau keluarkan senjata!"

Walau pun berkata demikian, namun tanpa menanti orang mencabut senjata, Lui Kong Nikouw sudah menggerakkan pedangnya menyerang. Sepasang pedang itu menyerang berbareng dengan gerakan indah dan cepat dari Ilmu Pedang Thian-san Kiam-hoat, tidak memberi kesempatan pada lawan untuk melepaskan diri karena segera pedang-pedang itu mengurung dengan gulungan sinamya yang berkilauan.

Diam-diam Sui Ceng sangat kagum melihat keindahan ilmu siang-kiam-hoat ini. Sebagai seorang wanita yang suka akan segala sesuatu yang indah, dia segera memperhatikan secara diam-diam dan ingin memetik beberapa bagian yang terindah. Akan tetapi, ia pun merasa bahwa ia sendiri sanggup menghadapi nikouw itu.

Sebaliknya, Kwan Cu tetap tidak mau mencabut senjata dan hanya melayani nikouw itu dengan kedua tangan kosong. la mengandalkan ginkang-nya untuk mengelak ke sana ke mari dan bahkan ikut berputaran mengimbangi gerakan dua pedang yang amat cepat itu. Sampai puluhan jurus kedua batang pedang itu belum mampu menyenggol badan Kwan Cu, bahkan sekarang pemuda itu mulai menggunakan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na untuk mencoba merampas pedang lawan.

Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na memang lihai sekali dan juga belum pernah muncul di dunia kang-ouw, maka ilmu ini sama sekali tidak dikenal oleh Lui Kong Nikouw. Hanya dalam beberapa gebrakan saja, pedang di tangan kirinya sudah kena dirampas oleh Kwan Cu.

Nikouw itu hanya merasa jari tangan kirinya menggigil dan tahu-tahu pedangnya lenyap berpindah ke tangan Kwan Cu. la terkejut bukan main dan cepat berseru,
"Suheng, mengapa kau tidak lekas-lekas membantuku? Marilah kita membalas sakit hati suhu!"

Kwan Cu merasa terheran-heran karena semenjak tadi dia tidak pernah melihat suheng (kakak seperguruan) dari nikouw ini. Keheranannya bertambah ketika tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan sebatang tongkat yang aneh gerakannya sudah menyerangnya dari samping.

Ketika dia menengok, ternyata olehnya bahwa yang menyerangnya dengan sebatang tongkat itu bukan lain adalah pemuda bemama Lai Siang Pok tadi. Kalau saja dia tidak sedang diancam oleh tongkat dan pedang kanan nikouw, tentu Kwan Cu akan berdiri bagaikan patung saking herannya. Bagaimana seorang pemuda yang baru berusia dua puluhan tahun disebut kakak seperguruan oleh nikouw tua ini?

Akan tetapi kenyataannya memang demikian. Seperti diketahui, Lai Siang Pok adalah murid dari Hek-i Hui-mo dan pemuda ini dapat mewarisi ilmu tongkat yang tinggi dari Hek-i Hui-mo karena dia pun ikut menghafal bunyi isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu. Kemudian gurunya itu bertemu dengan Lui Kong Nikouw dan diam-diam di antara dua orang pendeta tua ini terdapat hubungan yang tidak bersih.

Untuk menutupi rahasia ini, Lui Kong Nikouw yang menjadi seorang tokoh Thian-san-pai yang tersesat dan tidak diakui oleh partai Thian-san lagi, diaku murid oleh Hek-i Hui-mo. Karena sebagai murid baru, tentu saja menurut peraturan dia harus menyebut suheng kepada Siang Pok.

Hal ini pun dilakukan oleh Lui Kong Nikouw dengan girang, karena dia bekas wanita genit sekali. Tentu saja dia merasa senang menyebut seorang pemuda ganteng sebagai kakak seperguruannya, walau pun pemuda itu lebih patut menjadi cucunya! Akan tetapi dasar kepandaian Lui Kong Nikouw adalah dasar ilmu silat Thian-san-pai, sedangkan dari Hek-i Hui-mo ia hanya menerima beberapa macam ilmu pukulan saja.

Lai Siang Pok adalah seorang pemuda pendiam, maka dia melakukan serangan tanpa mengeluarkan sepatah pun kata. Akan tetapi pada waktu Kwan Cu menangkis sambaran tongkat itu dengan pedang rampasannya, pemuda ini diam-diam kagum karena tenaga Siang Pok bahkan lebih besar dari pada tenaga nikouw itu.

Hal ini adalah karena Siang Pok melatih diri dengan lweekang menurut petunjuk Im-yang Bu-tek Cin-keng yang pernah didengarnya dari pujangga Tu Fu. Namun, kalau suhu-nya sendiri tidak kuat melawan Kwan Cu, apa lagi dia?

Sebentar saja, ketika Kwan Cu mengerahkan tenaga dan membabat dengan pedangnya, tongkat di tangan Siang Pok patah menjadi dua dan pedang di tangan Lui Kong Nikouw terbang entah ke mana! Dua murid Hek-i Hui-mo ini menjadi pucat dan memandang dengan tercengang.

"Lu-taihiap benar-benar tangguh. Sedikitnya siauwte harus belajar dua puluh tahun lagi baru berani mengukur tenaga kembali," kata Siang Pok sambil menjura kepada Kwan Cu, lalu dia melompat dan pergi tanpa pamit kepada Lui Kong Nikouw.

Pemuda ini memang tidak suka kepada nikouw itu karena dia sudah dapat mengetahui hubungan antara suhu-nya dan ‘sumoi’ ini. Selain itu, juga Siang Pok tidak suka kepada suhu-nya yang dianggap jahat dan membantu penjajah. Bahkan diam-diam pemuda ini membantu perjuangan rakyat dan sebagai seorang pemuda Han bekas murid pujangga Tu Fu, darah patriot masih mengalir di tubuhnya. Kelak pemuda ini akan menjadi seorang yang berilmu tinggi dan mendapat nama besar di dunia kang-ouw.

Lui Kong Nikouw juga tidak berkata apa-apa apa lagi. Dengan muka merah dia segera menggerakkan kedua kakinya, pergi dari situ tanpa pamit.

Terdengar tertawa terbahak-bahak dan yang tertawa adalah Kong Seng Kak Hwesio.
"Ha-ha-ha! Memang benar, gurunya naga muridnya tentulah naga pula. Ang-bin Sin-kai adalah seorang perkasa yang berjiwa gagah, muridnya pun demikian. Lu-taihiap, sebagai seorang pemuda yang memiliki ilmu tinggi, mengapa kau tidak mau lekas-lekas turun tangan membantu perjuangan rakyat mengusir penjajah?"

Kwan Cu menjura. "Aku yang muda dan bodoh, meski pun tidak secara terang-terangan membantu perjuangan, akan tetapi sesungguhnya aku masih harus melakukan tugasku membalas dendam atas kematian suhu dan kongkong Lu Pin. Losuhu, kau yang sering kali berada dalam peperangan, pernahkah kau mendengar nama Ngo Lian Suthai ketua dari kuil Kwan-im-bio?"

"Ahh, dia? Benar-benar dia seorang wanita gagah perkasa yang berjiwa suci. Dia dan muridnya berada di tempat pertempuran tidak jauh dari sini, setiap hari dia dan muridnya mengurus dan merawat para pejuang yang terluka."
"Losuhu, di manakah tempat itu?" Sui Ceng ikut bertanya dengan penuh keinginan tahu.
"Di sebuah bio tua di dusun Kiang-cee sebelah barat hutan ini. Semua pejuang mengenal tempat itu baik-baik, dan setiap orang yang terluka dalam pertempuran melawan barisan kerajaan, selalu diantarkan ke tempat itu untuk dirawat."

Mendengar ini, Sui Ceng kemudian berkata kepada Kwan Cu, "Mari kita cepat pergi ke Kiang-cee!"
"Baik," jawab Kwan Cu.

Keduanya segera memberi hormat kepada dua orang tua yang gagah itu, lantas cepat berlari menuju ke barat. Dua orang tua dari Go-bi-pai dan Siauw-lim-pai itu memandang penuh kekaguman.....

********************
Dusun Kiang-cee sudah bukan merupakan dusun lagi karena semua penghuninya sudah pindah, meninggalkan dusun yang menjadi kosong dan sunyi. Hal ini disebabkan karena dusun itu termasuk daerah pertempuran antara para pejuang dan tentara kaisar, maka penduduk menjadi ketakutan dan lari mengungsi.

Banyak pula di antara penduduk laki-laki yang masih muda menggabungkan diri dengan para pejuang rakyat yang sebagian besar terdiri dari kaum petani yang dipimpin oleh orang-orang gagah di dunia kang-ouw yang berjiwa patriot. Dusun itu dijadikan markas kalau malam dan kalau siang menjadi kosong karena semua penghuninya maju perang. Setelah kedatangan Ngo Lian Suthai dan muridnya yang tidak lain adalah Gouw Kui Lan, sebuah kuil kuno yang besar lalu dijadikan semacam ‘hospital’.

Semenjak tinggal di kuil Ngo Lian Suthai, Kui Lan mendapat banyak petuah dan akhimya dia membuka semua rahasianya kepada wanita suci itu. Ngo Lian Suthai menghibumya dan menyatakan bahwa dosa itu hanya dapat ditebus dan dicuci dengan jalan melakukan perbuatan-perbuatan baik lahir batin sebanyak mungkin. Maka dengan suka rela Kui Lan kemudian menjadi muridnya dan turut membantu perjuangan dengan jalan merawat para pejuang yang terluka dalam peperangan.

Pada hari itu di dalam dusun kedatangan dua orang pemuda yang datang dari jurusan yang berbeda. Pemuda pertama adalah The Kun Beng. Setelah mendengar bahwa Kui Lan berada di situ, orang muda ini langsung menuju ke kuil. la merasa amat menyesal akan semua perbuatannya dan ingin minta ampun kepada Kui Lan.

Akan tetapi karena seluruh cinta kasihnya sudah dicurahkan kepada Sui Ceng, sesudah mendapat pengampunan dia akan pergi lagi bertapa. Dia tahu bahwa tidak mungkin dia menjadi suami Sui Ceng setelah rahasianya terbongkar dan dia tidak mau pula menjadi suami Kui Lan karena memang dia tidak mencinta gadis ini.

Kebetulan sekali, baru saja dia tiba di depan kuil, dari lain jurusan datang Gouw Swi Kiat, suheng-nya!

"Bagus, Kun Beng, kau datang menebus dosa! Lekas-lekas kita menemui Lan-moi dan pernikahan akan dapat dilakukan di sini juga," kata Swi Kiat girang. Hati kakak ini tak lain hanyalah ingin menolong keadaan adiknya yang namanya tentu akan rusak apa bila tidak menjadi isteri Kun Beng.
"Bukan itu maksud kedatanganku, Suheng. Aku memang sengaja datang untuk mohon ampun dari adikmu, akan tetapi aku tak akan menikah dengan siapa pun juga."

Tentu saja Swi Kiat menjadi marah sekali, mukanya merah dan alisnya berdiri.

"Orang she The!" bentaknya menudingkan telunjuknya. “Apakah sampai saat ini, setelah rahasiamu diketahui oleh suhu, kau masih membandel dan tak berani mempertanggung jawabkan perbuatanmu? Kau harus mengawini adikku, apa bila tidak, terpaksa aku akan mengadu nyawa denganmu untuk menebus hinaanmu!" Dengan sangat marah Swi Kiat mencabut keluar senjatanya, yakni sepasang kipas maut yang amat lihai.

Walau pun menghadapi ancaman ini, Kun Beng sudah bulat hatinya. la menghela napas dan menjawab,
"Meski pun kau akan membunuhku, aku tak dapat memilih jalan lain, suheng. Kalau aku memaksa diri dan mengawini adikmu, aku hanya akan membikin dia menderita selama hidupnya, karena terus terang saja, aku tidak mencinta adikmu. Dahulu perbuatan kami dilakukan karena kami sudah mata gelap dan terdorong oleh nafsu jahat."
"Keparat, jadi kau mencinta Sui Ceng?"

Pada saat pertanyaan ini diajukan, datanglah Kwan Cu dan Sui Ceng, akan tetapi Kwan Cu cepat menarik tangan Sui Ceng, diajak bersembunyi di belakang tembok kuil sambil mengintai dan mendengarkan. Hati Sui Ceng berdebar ketika mendengar percakapan yang menyangkut namanya itu.

"Benar, Suheng. Aku mencinta Sui Ceng."
“Jahanam!"
"Mungkin aku memang jahanam, Suheng. Akan tetapi itulah suara hatiku dan aku tidak bisa melakukan sesuatu di luar suara hatiku."
"Pengecut besar, anjing tak kenal budi, kalau begitu biarlah kita mengadu nyawa di sini!" bentak Swi Kiat yang cepat menggerakkan sepasang kipasnya dan menyerang dengan hebat.

Kun Beng tentu saja sudah tahu benar akan kelihaian suheng-nya dan akan bahayanya sepasang kipas maut itu, maka sambil melompat mundur dia pun mencabut tombaknya.

Memang Pak-lo-sian Siangkoan Hai mempunyai dua macam keahlian yang membuat namanya terkenal sekali di kalangan kang-ouw, yakni permainan sepasang kipas maut dan permainan tombak. Sesuai dengan bakat masing-masing, kakek ini menurunkan pelajaran ilmu tombak kepada Kun Beng dan ilmu kipas kepada Swi Kiat. Akan tetapi tentu saja walau pun sudah mempunyai keahlian masing-masing, kedua orang muda itu mengenal baik ilmu senjata yang dua macam itu.

Pertandingan antara kakak beradik seperguruan ini berjalan hebat luar biasa, akan tetapi masih berat sebelah. Swi Kiat menyerang secara nekat dan dengan kemarahan yang meluap-luap. Hatinya terasa sakit sekali melihat Kun Beng yang sudah merusak nama baik adiknya dan kini tidak mau bertanggung jawab untuk membersihkan nama adiknya. Tujuannya hanya satu, membunuh atau terbunuh.

Sebaliknya, Kun Beng telah merasa akan kesalahan dan dosanya sehingga hatinya amat bersedih. Oleh karena itu tidak mengherankan apa bila permainan tombaknya tak selihai biasanya, bahkan boleh dibilang agak kalut. la selalu berada di fihak yang terserang dan segera terdesak hebat.

Saat yang membuka kesempatan baik bagi Swi Kiat tidak disia-siakan dan kipas tangan kirinya telah menotok pundak Kun Beng. Baiknya pemuda ini cepat mengelak sehingga hanya tulang pundaknya saja yang putus, karena apa bila mengenai urat nadi, pasti dia akan langsung tewas.

Semenjak tadi Sui Ceng memandang pertempuran itu dengan muka pucat. Dia terharu mendengar bahwa Kun Beng amat mencintanya, cocok dengan perasaan hatinya sendiri, akan tetapi dia pun penasaran menyaksikan sifat pengecut dari bekas tunangannya itu.

Ketika pertempuran terjadi, dia hanya memandang saja. Akan tetapi melihat Kun Beng terluka, hatinya tidak tega. Betapa pun juga harus ia akui bahwa ia mencinta pemuda ini dan tanpa dapat dipertahankan lagi, pada saat melihat Kun Beng terdesak hebat, ia lalu melompat dan pedangnya sudah menangkis kipas Swi Kiat.

Pemuda ini tertegun, akan tetapi melihat bahwa yang datang adalah Sui Ceng, marahnya makin menjadi. Wanita inilah yang menjadi gara-gara sehingga Kun Beng menolak untuk mengawini adiknya. Tanpa banyak cakap lagi dia segera menyerang Sui Ceng dengan pukulan-pukulan maut dari sepasang kipasnya.

Akan tetapi sekarang dia menghadapi lawan yang amat tangguh, karena seperti juga dia, Sui Ceng amat marah dan melawan dengan sama hebatnya, tidak seperti Kun Beng tadi yang banyak mengalah.

Diam-diam Kwan Cu amat kagum melihat ilmu kipas yang dimainkan oleh Swi Kiat. Dari gerakannya, tahulah Kwan Cu bahwa sepasang kipas itu digunakan dengan dua tenaga yang berlawanan. Kipas kiri lemas dan halus gerakannya, mengandung tenaga Im yang mengandalkan lweekang tinggi, sedangkan kipas kanan kasar dan ganas, penuh tenaga Yang.

Perbedaan yang bertentangan inilah yang biasanya menyukarkan lawan, seakan-akan lawan menghadapi dua orang lawan yang berbeda kepandaian dan tenaganya. Pantas saja bahwa ilmu kipas ini disebut Im-yang Po-san dan kehebatannya tak ada keduanya dalam ilmu silat kipas pada masa itu.

Akan tetapi Sui Ceng bukanlah lawan yang empuk. Gadis ini adalah murid terkasih dari Kiu-bwe Coa-li dan ilmu pedangnya hebat serta ganas. Apa lagi kini Sui Ceng juga sudah mengeluarkan sabuk merahnya sehingga dengan sepasang senjatanya ini, ia dapat pula mengimbangi senjata lawan. Sabuknya merupakan senjata yang lemas akan tetapi dapat pula dipergunakan untuk menotok jalan darah sehingga amat tepat untuk dipergunakan menghadapi senjata kipas di tangan Swi Kiat. Maka pertempuran yang terjadi sekarang lebih seru dari pada tadi.

Kwan Cu menjadi bingung dan juga berduka sekali. Pada saat dia mendapat kenyataan betapa Sui Ceng mencinta Kun Beng sehingga kini melupakan sakit hati dan masih mau membantu ketika melihat Kun Beng terancam bahaya, dia merasa sedih sekali. Apa lagi ketika dia mendengar bahwa Kun Beng tidak mau menikah dengan Kui Lan yang berarti Sui Ceng juga tidak akan menikah selamanya, hatinya langsung tertindih perasaan duka dan kecewa yang hebat. Maka kini bingunglah dia.

Melihat Swi Kiat, dia amat kasihan dan kalau saja Swi Kiat tadi membunuh Kun Beng, tentu Kwan Cu takkan mau peduli. Sekarang dia melihat Swi Kiat bertempur mati-matian dengan Sui Ceng, bagaimana dia harus bertindak? Menghentikan pertempuran dengan Sui Ceng, pemuda ini tentu berkukuh hendak membunuh Kun Beng, dan Sui Ceng pasti akan melindungi Kun Beng dengan mati-matian. Apa akalnya?

Sebelum Kwan Cu yang kebingungan karena melihat pertempuran makin menghebat itu dapat mengambil keputusan, tiba-tiba berkelebat sosok bayangan dan terdengar seruan Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
"Berhenti, tahan senjata!"

Mendengar suara suhu-nya ini, Swi Kiat cepat-cepat melompat ke belakang dan segera menjatuhkan diri berlutut.
“Suhu…!"

Sui Ceng juga menahan senjatanya, tanpa menghormat namun berdiri tegak. Sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi-api dan ia sama sekali tidak merasa takut biar pun menghadapi kakek yang luar biasa itu.

"Swi Kiat, apa artinya ini? Mengapa kau bertempur melawan Bun-siocia murid Kiu-bwe Coa-li?" tanya kakek itu sambil menyapu keadaan di situ dengan matanya. Melihat Kun Beng berada di situ dan terluka pundaknya, dia makin tidak mengerti.
"Suhu, teecu bertemu dengan Sute di sini lantas teecu minta pertanggungan jawabnya terhadap Lan-moi. Ketika Sute menolak, teecu berdua lalu bertempur mati-matian."
"Bagus, manusia macam Kun Beng memang harus dibikin mampus,” kata Pak-lo-sian, akan tetapi dalam suaranya terdengar nada sedih.
"Teecu berhasil melukainya, akan tetapi tiba-tiba muncul Bun-siocia yang membelanya dan teecu terpaksa melawannya."

Pak-lo-sian Siangkoan Hai menoleh kepada Sui Ceng dengan pandangan mata terheran-heran, kemudian dia menarik napas panjang dan berkata, "Sungguh hebat dan patut dipuji kesetiaan nona Bun. Melihat bangsat Kun Beng mengkhianati pertunangannya, dia masih tetap mencinta. Sukar dicari cinta kasih yang demikian besar!"

Wajah Sui Ceng menjadi merah sekali sampai ke telinganya. "Locianpwe, jangan bicara sembarangan! Dia itu bekas tunanganku yang dipilih oleh mendiang ibu, maka melihat dia hendak dibunuh orang dengan alasan dipaksa menikah, tentu saja aku tidak tinggal diam!"

Pak-lo-sian mengeluarkan jengekan dari hidungnya. "Hemm, dia itu bukan tunanganmu lagi dan dia adalah muridku yang murtad. Urusan antara kami guru dan murid, kau murid Kiu-bwe Coa-li ada sangkut-paut apakah? Bila aku mau membunuh muridku sendiri yang berdosa, kau mau apa?”

Setelah berkata demikian dengan langkah lebar Pak-lo-sian menghampiri Kun Beng yang melihat gurunya demikian marah, segera berlutut dengan kepala tunduk.

"Kun Beng kau sudah tahu akan dosamu?"
"Sudah, Suhu. Teecu berdosa besar dan menanti hukuman mati di tangan Suhu."
"Bangsat rendah! Mengapa kau tidak mau mempertanggung jawabkan kesalahanmu atas adik suheng-mu?"
"Apa bila teecu menikah dengan adik Suheng, teecu hanya akan merusak hidupnya dan hidup teecu sendiri. Di dalam dunia ini hanya dengan satu orang teecu mau menikah, yakni dengan tunangan teecu. Kalau tidak, lebih baik teecu tidak menikah. Kini terserah kepada Suhu memutuskannya."

"Busuk... busuk sekali! Kalau begitu, mengapa kau merusak nona Gouw Kui Lan? Hayo jawab!" bentak Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan nada suaranya menunjukkan bahwa tiada pengampunan bagi Kun Beng.

Dengan kepala masih tunduk, pemuda itu menjawab lemah,
"Teecu sudah mengaku dosa, harap Suhu segera menjatuhkan hukuman."
"Hemm, kalau begitu matilah dengan tenang."

Pak-lo-sian Siangkoan Hai lalu mengangkat kipasnya dan hendak menjatuhkan pukulan kematian kepada muridnya.

“Tak boleh kau membunuh orang begitu saja!" tiba-tiba Sui Ceng membentak marah dan pedang serta sabuk merahnya bergerak cepat menyerang jalan darah di punggung kakek itu.

Terpaksa Pak-lo-sian menunda pukulan kepada muridnya, karena serangan Sui Ceng ini sungguh-sungguh berbahaya sekali. Sambil memutar tubuhnya, kipas yang tadi hendak dipergunakan untuk membunuh Kun Beng, bergerak cepat dan seketika itu juga pedang di tangan Sui Ceng terlempar jauh sementara sabuk suteranya putus menjadi dua!

"Pergilah dan jangan mencampuri urusan orang lain!" bentak Pak-lo-sian.

Akan tetapi, melihat kenekatan Kun Beng, Sui Ceng tidak tega untuk membiarkan saja pemuda yang dicintanya itu terbunuh. Dia menyerang kakek itu dengan pukulan tangan kanannya.

"Bukkk!"

Tangan Sui Ceng tepat membentur dada Pak-lo-sian, akan tetapi bukan Pak-lo-sian yang roboh, melainkan Sui Ceng sendiri yang terguling dan pergelangan tangannya terlepas sambungannya!

"Bun-siocia, jangan kau membelaku. Terima kasih banyak atas budimu, dan sampai mati aku orang she The tak akan melupakanmu," kata Kun Beng terharu.

Pak-lo-sian kembali mengangkat kipasnya untuk memukul Kun Beng, akan tetapi baru sampai di tengahnya, tiba-tiba kipasnya tertahan. la terkejut sekali karena merasa bahwa ada sambaran angin dahsyat yang memukul ke arah kipas itu sehingga tertahan.

Ketika dia menoleh, ternyata bahwa Lu Kwan Cu telah berdiri di hadapannya. Pak-lo-sian terkejut dan tahulah dia bahwa pendekar sakti yang masih muda ini yang telah menahan pukulan kipasnya.

"Orang muda, biar pun kau telah memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi tidak patut kalau kau mencampuri urusanku dengan muridku sendiri. Apakah kau masih belum mengerti tentang aturan dan kepantasan sebagai seorang gagah? Apakah kau belum mengerti bahwa orang gagah tidak akan mencampuri urusan rumah tangga lain orang? Manusia jahanam ini adalah muridku sendiri, berarti dia termasuk keluargaku pula dan aku boleh melakukan apa saja terhadapnya tanpa campur tanganmu!"

"Maaf, Locianpwe. Boanpwe sudah berani turut mencampuri urusan Locianpwe karena boanpwe sangat kagum terhadap kegagahan dan sepak terjang Locianpwe yang sering kali dipuji-puji oleh mendiang suhu. Akan tetapi hari ini tanpa disengaja boanpwe akan melihat Locianpwe menurunkan tangan kejam pada murid sendiri. Locianpwe, boanpwe pernah mendengar ujar-ujar emas yang menyatakan bahwa orang yang tidak mencoba untuk memperbaiki kesalahan dalam perilaku hidupnya, dialah orang yang benar-benar salah. Kun Beng memang pernah melakukan perbuatan yang salah, akan tetapi dia telah mengakui hal itu dan benar-benar menyesal, maka tidak pantas kalau sampai dihukum mati."

"Kau tahu apa tentang hati manusia? Seorang manusia yang sudah mandah disesatkan oleh nafsu buruk hanyalah manusia lemah yang selalu akan mengotorkan dunia karena batinnya kurang teguh dan selalu akan menjadi korban nafsu iblis. Dia ini harus mati!"
"Boanpwe tidak bisa membiarkan saja Locianpwe melakukan pembunuhan pada seorang yang sudah bertobat, apa lagi murid Locianpwe sendiri," bantah Kwan Cu.

Bergerak-gerak jenggot Pak-lo-sian yang panjang. "Aha, kau sungguh sombong sekali, bocah she Lu. Kau kepala batu seperti si jembel Ang-bin Sin-kai gurumu itu. Mari, mari! Kita coba-coba sebentar dan kalau kau dapat menangkan aku, biarlah aku memandang mukamu memberi ampun kepada anjing ini."

Kwan Cu maklum bahwa dia tidak dapat mundur lagi. Dia telah bertindak terlalu jauh dan kini terpaksa dia harus melayani kakek ini yang dia tahu memiliki kepandaian tinggi sekali dan tidak boleh dibuat main-main. Akan tetapi apa boleh buat, dia melakukan semua ini sebenarnya bukan karena dia sayang kepada Kun Beng, melainkan karena dia hendak membela Sui Ceng, atau pendirian gadis ini. Dia tahu akan cinta kasih yang besar dalam hati Sui Ceng terhadap Kun Beng, maka dia merasa sangat berdosa telah memisahkan gadis ini dari tunangannya dan saat ini dia pergunakan untuk menebus dosanya.

Ketika Pak-lo-sian mengebutkan kipasnya ke arah mukanya, Kwan Cu cepat melangkah mundur dan mencabut sulingnya. Dia tidak mau mempergunakan pedang karena selain dia tidak mempunyai niat untuk bermusuhan dengan kakek ini, juga senjata kipas kakek itu lebih tepat dihadapi dengan senjata yang lebih halus dan lemas seperti sulingnya itu.

Ada pun Pak-lo-sian Siangkoan Hai, di dalam hati kecilnya memang dia tidak tega untuk menewaskan Kun Beng karena di antara dua orang muridnya Kun Beng lah yang amat disayangnya. Tetapi sebagai seorang gagah, tentu saja dia merasa kurang adil terhadap Swi Kiat kalau dia tidak berbuat seolah-olah hendak membunuh Kun Beng.

Kini melihat campur tangannya Kwan Cu, diam-diam dia merasa girang sekali. Tidak saja dia mempunyai alasan kuat untuk membatalkan niatnya membunuh Kun Beng, tapi juga idam-idaman hatinya hari ini akan tercapai. Idam-idaman hati ingin menguji kepandaian pemuda yang aneh ini.

Sejak dia menyaksikan sepak terjang Kwan Cu, melihat betapa dengan amat mudahnya pemuda ini menggulingkan tokoh-tokoh besar seperti Hek-i Hui-mo dan Coa-tok Lo-ong, dia merasa kagum bukan main. Ia merasa yakin bahwa pemuda ini tentu sudah mewarisi kepandaian dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang tersohor itu. Maka ingin sekali dia mengukur kepandaian dan tenaga dengan ahli waris kitab itu.

Karena tahu bahwa Kwan Cu sudah memiliki kepandaian luar biasa dan bahkan lebih tinggi tingkatnya dari pada kepandaiannya sendiri, Pak-lo-sian tidak merasa malu-malu atau sungkan-sungkan lagi. la segera melakukan serangan dengan hebat, mengeluarkan seluruh tenaganya. Maka bukan main dahsyatnya gerakan sepasang kipasnya.

Tanpa terasa pula Sui Ceng dan dua orang murid Pak-lo-sian sendiri melangkah mundur untuk menjauhi tempat pertempuran, karena hawa pukulan yang keluar dari sepasang kipas itu terasa menyakitkan kulit muka, sebentar panas lantas sebentar dingin. Yang dingin keluar dari gerakan kipas kiri, yang panas dari kipas kanan. Inilah Im-yang Po-san yang dimainkan oleh seorang ahli yang telah mencapai puncak kesempurnaan ilmu kipas ini!

Kwan Cu diam-diam terkejut bukan main. Lihai sekali Dewa Utara ini, masih lebih lihai dari pada Hek-i Hui-mo kiranya. Biar pun di dalam goa di Pulau Pek-hio-to terdapat pula lukisan-lukisan tentang orang bersilat yang hampir sama dengan gerakan kakek ini, tapi harus dia akui bahwa gerakan kakek ini jauh lebih aneh dan hebat, sehingga biar pun dia berlaku waspada serta mainkan sulingnya dengan cepat, tetap saja dia terkurung oleh angin pukulan yang bergelombang datangnya dan tidak tentu sifatnya itu!

Kalau saja Kwan Cu tidak memiliki tubuh yang sudah penuh dengan tenaga murni atau sinkang yang tinggi, serta tidak mempunyai kewaspadaan sehingga dia dapat menduga tujuan setiap gerakan lawan, tentu dia harus mengakui keunggulan lawan.

Dengan mengumpulkan semangat dan mengerahkan seluruh tenaganya, Kwan Cu cepat memainkan sulingnya secara hebat, menurutkan tipu-tipu lihai dari isi pelajaran Im-yang Bu-tek Cin-keng, sedangkan tangan kirinya lalu bergerak-gerak mainkan Pek-in Hoat-sut. Dari kaki sampai ke jidatnya mengebulkan uap putih yang menyelimuti seluruh tubuhnya!

Pak-lo-sian menahan seruan tertahan saking kagum dan herannya. Kakek ini tahu bahwa pukulan kipasnya tadi disertai tenaga sepenuhnya, tenaga lweekang yang sudah dia latih berpuluh tahun. Jaranglah orang dapat menahan sambaran angin pukulan kipas ini, akan tetapi anehnya, ketika angin pukulannya menyambar ke arah jalan darah di tubuh Kwan Cu, hawa itu terpental kembali jika bertemu dengan uap putih itu.

"Hebat sungguh Im-yang Bu-tek Cin-keng!" katanya perlahan.

Akan tetapi kini Kwan Cu betul-betul memperlihatkan ‘tanduknya’! Sulingnya digerakkan dengan sepenuh kegesitannya, sehingga jangan kata baru Pak-lo-sian seorang, biar pun dia dikeroyok oleh sepuluh orang Pak-lo-sian, kiranya sepuluh orang ini kepalanya akan pening dan pandangan matanya kabur.

Tubuh pemuda ini benar-benar lenyap dari pandangan mata, yang kelihatan hanya uap putih mengebul di sekeliling Pak-lo-sian dan diselingi oleh kelebatan sinar mengkilap dari sulingnya. Tak lama kemudian terdengar suara dua kali…

"Krakkk! Krakkk!"

Pak-lo-sian melompat mundur, tubuhnya terhuyung-huyung serta keningnya penuh peluh dingin, napasnya terengah-engah. Ketika Sui Ceng, Kun Beng dan Swi Kiat memandang, kakek ltu hanya memegang gagang kipas yang sudah hancur!

Kwan Cu menjura. Pemuda ini hanya merah mukanya dan dari kepalanya masih saja mengebul uap putih, akan tetapi dia tenang dan napasnya biasa saja.

"Pak-lo-sian Locianpwe benar-benar tidak bernama kosong."
"Cukup," Pak-lo-sian terengah-engah, "tak perlu kau merendahkan diri lagi. Benar-benar hebat! Selama hidupku baru kali ini aku menghadapi lawan seperti kau. Sungguh hebat! Kalau saja yang mengalahkan serta merusak kipas-kipasku ini bukan seorang ahli waris Im-yang Bu-tek Cin-keng, tentu aku si tua Pak-lo-sian ini akan langsung menghancurkan kepala sendiri."

"Locianpwe telah berlaku mengalah...," kata Kwan Cu.

Pada saat itu, dari jauh terdengar bunyi bergeletar dan hampir berbareng Pak-lo-sian dan Kwan Cu berkata,
"Kiu-bwe Coa-li datang "

Benar saja, sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu wanita sakti itu telah berada di situ dengan cambuknya yang menggemparkan dunia kang-ouw, terayun-ayun di telapak tangannya. Dia melirik ke arah Kwan Cu, lalu berkata kepada Pak-lo-sian,

"Tua bangka utara, apa yang terjadi dengan kedua kipas mautmu?”

Terang sekali ucapan ini merupakan ejekan, akan tetapi Pak-lo-sian tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, Kiu-bwe Coa-li. Sudah berpuluh tahun kau tidak berhasil mengalahkan kedua kipasku, sebaliknya aku pun tidak berhasil mengalahkan cambukmu. Akan tetapi, hari ini aku mengaku bahwa ilmu kipasku masih amat rendah dan perlu diperbaiki lagi."

Kiu-bwe Coa-li melirik ke arah Kwan Cu dan tiba-tiba ia melihat Sui Ceng ada di situ. la tertegun. Tadi ia melihat pertandingan dari jauh dan saking tertariknya ia sampai tidak melihat kehadiran Sui Ceng.

"Sui Ceng, ada apa kau di tempat ini?" la melirik pula ke arah Kun Beng dengan mata marah.
"Kiu-bwe Coa-li, muridmu itulah yang sudah menjadi gara-gara. Aku hendak membunuh muridku yang murtad, namun dia menghalangi sampai-sampai dia berani menyerangku. Akhimya kejadian itu memancing datangnya Lu-siauwhiap dan rusaknya kedua kipasku."
"Sui Ceng, ke manakah mukamu? Tidak tahu malu, urusan orang lain kau berani turut bercampur tangan. Tua bangka utara mau membunuh muridnya, biarlah jangan kita ikut campur. Hayo, sekarang kau harus pergi bersamaku!"
"Tidak, Suthai. Sebelum Pak-lo-sian Locianpwe berjanji tak akan membunuh orang yang sudah menderita batinnya, teecu tidak akan pergi dari sini."

Pak-lo-sian kembali tertawa bergelak, dan Kiu-bwe Coa-li marah dan malu bukan main. la menggerakkan pecutnya dan pecut yang berekor sembilan itu serentak melayang lantas memukul ke arah sembilan jalan darah di tubuh Sui Ceng.

"Kau pergi atau tidak?" bentak wanita sakti itu dengan suara menyeramkan.
"Suthai, jangan bunuh dia!" Tiba-tiba Kun Beng berseru keras dan meloncat ke depan, menghadang antara cambuk dan tubuh Sui Ceng.

Oieh karena itu, cambuk ini tidak jadi menuju di tubuh Sui Ceng, melainkan menghantam tubuh Kun Beng. Pemuda ini lantas terpental dan bergulingan sampai lima tombak lebih. Baiknya Kiu-bwe Coa-li tidak mau membunuh murid orang lain dan hanya ingin memberi hajaran saja, maka walau pun tubuhnya sakit-sakit dan terlempar jauh, Kun Beng tidak sampai terluka hebat.

"Sui Ceng, hayo kita pergi!" bentak pula Kiu-bwe Coa-li.

Sekarang suaranya lebih menyeramkan lagi karena nenek tua ini sudah hampir tak dapat menahan kesabaran hatinya lagi. Dibantah dan dibangkang oleh muridnya di hadapan orang lain benar-benar merupakan hal yang amat tidak enak dan memalukan.

Kwan Cu berkata, "Sui Ceng, kau pergilah. Pak-lo-sian Locianpwe sudah berjanji takkan membunuh Kun Beng…"

Kata-kata ini adalah untuk membujuk supaya Sui Ceng mau pergi karena Kwan Cu tahu benar bahwa sekali lagi menolak, Sui Ceng pasti akan menerima pukulan yang mungkin akan merenggut nyawanya oleh Kiu-bwe Coa-li.

Akan tetapi Sui Ceng benar-benar menggelengkan kepala lagi!

"Sebelum bertemu dengan Kui Lan, aku belum mau pergi."

Baru saja kata-kata ini selesai diucapkan, terdengar bunyi cambuk menyakitkan telinga. Kwan Cu melompat dan Pak-lo-sian Siangkoan Hai berseru kaget.
Ternyata bahwa sembilan ekor ujung cambuk dari Kiu-bwe Coa-li telah menyambar tepat ketika Sui Ceng menyatakan penolakannya untuk pergi tadi, akan tetapi Kwan Cu cepat melompat menghadang di jalan hingga ujung-ujung cambuk itu bukan menyambar pada Sui Ceng, melainkan ke tubuhnya seperti yang telah dilakukan oleh Kun Beng tadi.

Akan tetapi kalau gerakan Kun Beng tadi masih bisa dilihat oleh Kiu-bwe Coa-li sehingga nenek ini keburu mengubah arah cambuknya, adalah gerakan Kwan Cu sekarang begitu cepatnya, maka nenek itu tidak keburu lagi menahan pukulannya. Sembilan cambuk itu melayang dan menghajar sembilan jalan darah kematian di tubuh Kwan Cu.

Karena inilah Pak-lo-sian Siangkoan Hai berseru kaget. la maklum bahwa pukulan yang dilakukan oleh Kiu-bwe Coa-li ini adalah jurus yang paling berbahaya dari ilmu pecutnya dan tidak seorang pun tokoh persilatan di dunia ini yang berani menerima serangan jurus ini yang dia kenal sebagai jurus Kiu-coa Toat-beng (Sembilan Ular Pencabut Nyawa).

Bahkan Kiu-bwe Coa-li sendiri juga terkejut. Akan tetapi dia tidak dapat menarik kembali sambaran sembilan ujung cambuk itu, dia hanya dapat mengurangi tenaganya sehingga hanya dua pertiga tenaganya saja yang tersalur di ujung senjatanya yang lihai.

Akan tetapi seruan kaget Pak-lo-sian berubah menjadi seruan tertahan saking herannya, demikian pula Kiu-bwe Coa-li menjadi pucat setelah sembilan ujung cambuk itu tiba di tubuh Kwan Cu, ternyata tidak berakibat apa-apa!

Kwan Cu tetap tersenyum saja seakan-akan serangan hebat ini tidak terasa sama sekali olehnya. Padahal, secara diam-diam Kwan Cu tadi sudah mengerahkan seluruh tenaga dan sinkang-nya yang telah menjadi satu dengan perasaannya, otomatis menolak tenaga pukulan ini dan dia menambah perisai tubuhnya dengan pengerahan ilmu menutup jalan darah dan mengumpulkan hawa murni yang terasa hangat mengelilingi seluruh tubuh secara cepat sekali. Namun, tetap saja dia merasa kulit tubuh di mana cambuk itu tiba, panas-panas!

"Terima kasih atas petunjuk Suthai," kata Kwan Cu sambil menjura dan membungkukkan tubuhnya.

Gerakan ini amat diperlukan karena dengan membungkuk, dia bisa menggerakkan tubuh dan sinkang-nya berjalan lebih cepat untuk mengusir bekas-bekas pukulan yang betapa pun juga akan mendatangkan bahaya kalau tidak segera dilenyapkan.

Sampai lama Kiu-bwe Coa-li membelalakkan matanya. Belum pernah dia mengalami hal sehebat ini. Pukulan dengan jurus Kiu-coa Toat-beng diterima tanpa berkejap mata oleh pemuda ini!

"Sudahlah, aku sudah tua dan tak tahu malu! Lu-sicu, lain kali bila aku masih hidup, aku hendak mencoba kelihaianmu sekali lagi!" katanya sambil menggerakkan kedua kaki dan lenyaplah wanita sakti itu dari situ.

Kwan Cu menarik napas panjang. "Hemm, apakah artinya semua keributan ini? Orang yang dicurangi dan yang paling menderita dalam urusan ini adalah nona Gouw Kui Lan. Orang-orang berlancang hendak mengambil keputusan sendiri tanpa bertanya padanya. Benar-benar tidak adil!"

Kata-kata ini menyadarkan Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Memang tepat sekali ucapan ini. Mereka ribut-ribut karena Kun Beng telah melakukan hal yang amat tidak baik terhadap diri Gouw Kui Lan dan kini orang ramai-ramai datang untuk menghukum Kun Beng tanpa bertanya kepada nona Kui Lan sama sekali!

"Mari kita temui dia di dalam!" kata Pak-lo-sian Siangkoan Hai.

Semua orang mengikutinya masuk ke dalam kuil yang amat besar itu. Keadaan kuil sunyi saja dan pintu depan yang amat kuat dan tebal itu sukar sekali dibuka, agaknya dipalangi dari dalam. Tapi, dengan sekali dorong saja Pak-lo-sian berhasil mematahkan palangnya di sebelah dalam sehingga pintu pun terbuka!

Semua orang tertegun dan berdiri di ambang pintu, tidak bergerak seperti patung. Kalau di luarnya sunyi saja, di sebelah dalam kuil itu penuh orang. Sedikitnya ada tiga ratus orang terbaring di situ, orang-orang yang terluka dalam peperangan melawan penjajah.

Beberapa orang perawat sibuk sekali melayani mereka ini, dan di antara mereka yang paling sibuk adalah Ngo Lian Suthai dan... Gouw Kui Lan. Akan tetapi, ketika melihat Kui Lan, terdengar seruan dari mulut Swi Kiat.

"Lan-moi …!”

Nona itu menengok. Dia telah menjadi seorang nikouw muda (pendeta wanita) berkepala gundul. Melihat kakaknya, dia tersenyum. Akan tetapi mukanya berubah ketika ia melihat Kun Beng berada pula di situ.

"Kui Lan, mengapa kau telah menjadi nikouw...? Apa maksudmu?” teriak Swi Kiat sambil berlari menghampiri adiknya. “Aku datang untuk mengusahakan pernikahanmu dengan Kun Beng "

Merah wajah nikouw muda itu, akan tetapi bibirnya tetap tersenyum penuh kesabaran dan ketenangan.

"Hushhh... Kiat-ko, omongan apa yang kau ucapkan itu? Lihatlah baik-baik, aku adalah seorang nikouw, bagaimana kau bisa bicara tentang pernikahan?”

Swi Kiat merasa ditampar mukanya, dia tak dapat menjawab dan menjadi bingung. Juga Kun Beng merasa terharu sekali. Penglihatan ini menikam ulu hatinya dan dia merasa betapa dosanya makin besar. Ia tahu bahwa masuknya Kui Lan menjadi nikouw adalah karena perbuatannya. Dua titik air mata tak terasa lagi turun membasahi pipinya.

Sui Ceng berdebar. Kemarahannya terhadap Kui Lan lenyap seketika, terganti oleh rasa kasihan. Ada pun Kwan Cu memandang dengan penuh kekaguman.

Di dalam kesunyian ini, terdengar Kui Lan berkata, suaranya lantang dan biasa saja, penuh kesabaran.

"Kiat-ko, Kui Lan yang dahulu sudah mati. Yang ada sekarang adalah Kui Lan Nikouw murid Ngo Lian Suthai. Tidak ada urusan sesuatu antara pinni (aku) dengan The-taihiap atau siapa pun juga."
"Adikku!" teriak Swi Kiat.
"Kiat-ko, aku sudah bersumpah menjadi orang beribadat, aku melupakan kehidupan lalu. Sudahlah, harap Cu-wi sekalian suka keluar dan jangan mengganggu orang-orang yang menderita luka, mereka ini adalah para pejuang rakyat, dan ..."

Tiba-tiba dari luar menerobos masuk beberapa orang laki-laki yang membawa senjata. Mereka ini adalah para prajurit pejuang rakyat yang cepat berkata,
"Ngo Lian Suthai, celaka. Pasukan kita terpukul hancur dan sebarisan musuh menuju ke sini. Mereka sudah mendengar bahwa kawan-kawan yang terluka berada di sini!"

Seorang di antara mereka menyambung. “Kita harus segera membawa kawan-kawan ini pergi dari sini, pertahanan sudah bobol dan kawan-kawan ini tentu akan menjadi korban semua!”

Tiba-tiba Kwan Cu berkata nyaring, "Pak-lo-sian Locianpwe! Kun Beng! Swi Kiat dan Sui Ceng. Kita semua harus malu! Rakyat berjuang melawan penjajah, bahkan nona Gouw sendiri membaktikan diri untuk membantu bangsa yang tertindas, sebaliknya kita semua ribut-ribut urusan tetek bengek! Dalam menghadapi bahaya bagi bangsa, urusan pribadi harus dilupakan, hayo kita gempur musuh!"

Kata-kata ini bagai aliran listrik menggetarkan jiwa kepahlawanan dalam diri orang-orang gagah itu. Pak-lo-sian berseru nyaring. "Mana musuh?! Akan kuhancurkan kepalanya!"

Beramai-ramai mereka lalu lari bersama para prajurit pejuang itu yang menjadi petunjuk jalan.

Benar saja, di tengah jalan mereka bertemu dengan puluhan pejuang yang melarikan diri, dikejar oleh barisan musuh yang lebih besar jumlahnya. Banyak di antara mereka yang terluka.

Pak-lo-sian segera memimpin mereka dan mengatur pertahanan. Teriakan disertai sorak sorai musuh sudah terdengar dekat. Pak-lo-sian mengatur kawan-kawan pejuang supaya bersembunyi di balik pohon-pohon, menghadang di dalam hutan.

Ketika barisan musuh yang terdiri dari dua ratus orang lebih itu tiba, Pak-lo-sian memberi aba-aba dan menyerbulah mereka, menghantam musuh. Kwan Cu, Kun Beng, Swi Kiat dan Sui Ceng mengamuk hebat! Tiap kali senjata mereka bergerak, tentu ada seorang serdadu penjajah roboh tak bemyawa lagi.

Biar pun kepandaian Kwan Cu lebih tinggi dari pada Pak-lo-sian, namun sepak terang pemuda ini tidak sehebat Pak-lo-sian, karena di dalam hatinya Kwan Cu penuh welas asih dan dia tidak tega menyebarkan maut, biar pun kepada musuh bangsanya. Maka dia hanya menotok dan merobohkan mereka tanpa merampas nyawanya.

Sebaliknya, Pak-lo-sian benar-benar hebat. Sepasang kipasnya sudah rusak oleh Kwan Cu dan kini ujung lengan bajunya menyambar laksana sepasang kupu-kupu. Akan tetapi jangankan sampai terkena ujung lengan baju ini, baru terkena sambaran anginnya saja, para musuh terlempar dengan mata mendelik dan napas putus!

Para pejuang yang mendapat bantuan lima orang sakti ini terbangun semangatnya dan mereka juga turut mengamuk, bahkan yang sudah terluka masih ikut pula menghantam musuh. Sebentar saja, lebih separuh jumlah musuh sudah roboh malang melintang dan bertumpang tindih. Sebagian lagi segera melarikan diri dengan muka pucat, tidak tahan menghadapi para pendekar itu.

Akibat terbangun semangatnya oleh Gouw Kui Lan yang membaktikan dirinya untuk nusa bangsa, Pak-lo-sian dan empat orang muda itu tidak berhenti sampai di situ saja. Mereka bahkan menunda keperluan lainnya dan semenjak saat itu, Pak-lo-sian terkenal sebagai pemimpin pejuang yang amat disegani. Mereka segera menggabungkan diri dengan para pejuang lain untuk membasmi barisan-barisan kaisar.

Berkat perlawanan pejuang rakyat yang gagah perkasa, akhirnya tumbanglah kekuasaan penjajah. Kaisar Si Cung, yakni pengganti Kaisar Sin Cong, juga mengerahkan barisan dan dengan bantuan suku bangsa Uighur, akhimya dapat merebut kembali kota raja dan mengusir penjajah.

Beberapa tahun kemudian, bangsa Tartar hanya merupakan kelompok kecil yang cerai berai dan melakukan kekacauan yang tidak berarti di sana-sini…..

********************

Sesudah melakukan tugas membantu perjuangan rakyat beberapa tahun lamanya, para orang gagah yang tidak gugur dalam peperangan kembali lagi ke tempat masing-masing, termasuk Pak-lo-sian yang mengajak Swi Kiat kembali ke utara.

Kun Beng yang mendapat pukulan batin hebat karena peristiwa dengan Gouw Kui Lan, melenyapkan diri, agaknya untuk menebus dosa.

Sui Ceng lalu menyusul gurunya, Kiu-bwe Coa-li untuk memperdalam ilmu silatnya serta mempelajari kebatinan. Hatinya masih terluka dan dia masih menderita patah hati serta duka, mengandung cinta kasih yang tidak tercapai.

Bagaimana dengan Kwan Cu, pendekar sakti itu? Pemuda ini menderita batinnya. Cinta kasihnya terhadap Sui Ceng mengalami kegagalan, membuat dia makin merasa jemu terhadap kehidupan. Meski pun usianya baru dua puluh empat tahun, namun dia seperti seorang yang jauh lebih tua.

Namun, semangat membalas dendam masih terkandung dalam hatinya, terhadap An Kai Seng, musuh besar yang tinggal satu-satunya itu. Oleh karena itu, setelah peperangan selesai dan pemerintah Tang berdiri kembali, Kwan Cu lalu mulai melakukan perjalanan untuk mencari musuh besarnya ini. Akhirnya dia mendapat berita bahwa An Kai Seng tinggal di kota An-keng di Propinsi An-hui. Segera dia menuju ke selatan untuk mencari musuh besarnya ini…..

********************

Kota An-keng terletak di tepi Sungai Yang-ce-kiang dan merupakan kota yang besar dan ramai. An Kai Seng tinggal di kota besar ini bersama isterinya dan tetap menggunakan nama Tan Kai seng. Tak seorang pun pernah mengira bahwa Tan Kai Seng ini adalah cucu dari An Lu Shan, si pemberontak yang sudah mendatangkan banyak sekali mala petaka kepada rakyat jelata.

Setelah mengetahui bahwa musuh besarnya, yakni Lu Kwan Cu yang amat lihai, begitu menghendaki nyawanya, An Kai Seng beserta isterinya telah memperdalam ilmu silatnya sehingga kepandaiannya jauh lebih maju kalau dibandingkan dengan dahulu ketika dia bertemu dengan Kwan Cu. Isterinya bahkan kembali belajar dari gurunya, yakni Lui Kong Nikouw, sedangkan An Kai Seng belajar dari beberapa orang guru silat yang pandai.

Tidak demikian saja, bahkan An Kai Seng yang kaya raya itu kini mendatangkan banyak jago-jago silat untuk menjadi pengawalnya dan menjaga keselamatannya. Juga Lui Kong Nikouw kini ditarik olehnya dan tinggal di kota An-keng.

Di samping Lui Kong Nikouw, masih ada tiga orang lagi yang dia amat andalkan, yakni tiga jago yang disebut Sin-to Sam-eng (Tiga Orang Gagah Bergolok Sakti). Mereka ini adalah murid-murid Siauw-lim-si yang diusir dari partai itu karena melanggar peraturan. Dengan pandainya mereka dapat menyelundup ke Go-bi-san dan menjadi murid partai Go-bi-pai pula, akan tetapi lagi-lagi mereka diusir karena memang mereka bukan orang baik-baik.

Akan tetapi, sesudah menerima pelajaran ilmu silat dari kedua partai ini, ditambah pula dengan pengalaman-pengalaman mereka dan pergaulan mereka dengan kaum hek-to (penjahat), kepandaian tiga orang ini benar-benar amat lihai.

Yang tertua bemama Ang Kian dan berjuluk It-to-cilan (Setangkai Bunga Cilan), seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang ditakuti orang. Tiap kali melakukan perbuatan terkutuk, dia selalu meninggalkan sebatang cilan-piauw, yakni semacam senjata rahasia berbentuk bunga cilan, maka dia mendapat nama julukan It-to-cilan.

Orang ke dua bernama Yap Ki, seorang ahli mempergunakan racun sehingga dijuluki Tok-ong (Raja Racun), sedangkan orang ke tiga adalah adiknya sendiri bernama Yap Ek yang paling lihai ilmu goloknya di antara dua orang kawannya.

Tiga orang penjahat ini dengan menggabungkan ilmu silat Siauw-lim-si dan Go-bi, dapat menciptakan ilmu golok yang kemudian mereka namakan Sin-sam To-hiap (llmu Golok Tiga Serangkai Yang Sakti), nama yang benar-benar menggambarkan betapa sombong adanya tiga orang ini. Akan tetapi, memang ilmu golok mereka jarang ada yang dapat menandingi dan hal ini membuat mereka makin sombong dan tinggi hati.

Hanya dengan harta bendanya yang banyak serta senyum dan lirikan mata Wi Wi Toanio yang menggiurkan, maka An Kai Seng baru berhasil menarik ketiga orang ini menjadi sahabatnya atau lebih tepat disebut pengawal pribadinya. Ia juga maklum bahwa antara isterinya dan It-to-cilan Ang Kian yang berwajah tampan ada terjalin hubungan yang tidak seharusnya, akan tetapi An Kai Seng hanya dapat mengelus dada saja.

Kepandaian isterinya lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri, sedangkan Ang Kian juga mempunyai kepandaian yang tidak mampu dilawannya. Apa lagi Ang Kian bersama kawan-kawannya merupakan pelindung-pelindungnya, maka dia merasa bahwa menjaga keselamatan diri sendiri lebih penting dari pada kebahagiaan rumah tangganya. Karena itu dia tidak mempedulikan lagi kepada isterinya, bahkan ditemani oleh kawan-kawannya ini, dia mulai mencari hiburan di luar dan memelihara banyak selir di luaran.

Selain melakukan penjagaan yang sangat kuat di rumahnya, juga di kota An-keng dan di sekitarnya, dia melepas banyak kaki tangan untuk menyelidiki kalau-kalau ada datang Kwan Cu musuh besarnya. Akan tetapi sampai beberapa tahun tidak ada kabar ceritanya tentang diri Kwan Cu. Paling akhir dia mendengar bahwa musuhnya itu membantu kaum pejuang, maka dia menganggap bahwa pemuda itu tentu telah gugur dalam peperangan. Hatinya mulai lega dan tenang.

Akan tetapi, alangkah terkejut hatinya ketika pada suatu hari dia mendapatkan kabar dari pengurus hotel Liok-an yang menjadi kaki tangannya pula bahwa di hotel itu telah datang seorang pemuda yang mengaku bernama Lu Kwan Cu! Kalau ada geledek menyambar pada waktu tengah hari, Kai Seng agaknya takkan sekaget itu. Cepat dia mengumpulkan jago-jagonya dan mengadakan perundingan.

"Belum tentu kalau yang datang itu adalah musuh besarmu, Tan-wangwe," kata Ang Kian menghibur. "Sebaiknya kita semua pergi ke hotel itu dan kau melihat sendiri apakah dia betul-betul musuh besarmu itu. Kalau ternyata betul, tak usah banyak ribut lagi kita terus membunuhnya.” Memang Ang Kian amat sombong dan memandang rendah pada musuh besar majikannya ini.
"Tak bisa, tak bisa!" kata Kai Seng yang sudah ketakutan. "Kalau benar dia Lu Kwan Cu, begitu melihat aku, tentu dia akan menyerangku!"
"Takut apa? Kita membawa kawan-kawan dan tak mungkin dia dapat mengalahkan kita," kata Yap Ki.
"Tidak tepat," lagi-lagi Kai Seng mencela, "lebih baik lekas panggil Kwa-sianseng."

Yang disebut Kwa-sianseng adalah seorang kaki tangannya yang selalu berpakaian mirip seperti sastrawan, dan memang betul ia merupakan seorang terpelajar yang terkenal ahli dalam melukis. Kalau melihat sesuatu, dia dapat melukisnya cepat dan cocok sekali.

Selain kepandaian ini, dia pun mengerti ilmu silat cukup tinggi sehingga di kota An-keng dia dijuluki Bun-bu Siang-pit. Senjatanya adalah siang-pit (sepasang pit) yang tidak saja lihai kalau digunakan untuk menggambar, akan tetapi juga lihai kalau dimainkan sebagai senjata.

Orang she Kwa ini dipanggil dan segera mendapat tugas untuk menyelidiki pemuda di hotel Liok-an yang bemama Lu Kwan Cu itu. Kwa-sianseng menerima tugas ini dengan senyum menyeringai, karena tiap kali mendapat tugas dari hartawan she Tan ini, selalu dia akan pulang dengan kantong penuh uang.

Pemuda yang datang di hotel Liok-an itu memang benar Lu Kwan Cu. Biar pun pemuda ini dapat menduga bahwa tentu di kota ini An Keng Seng mempunyai banyak kaki tangan dan mata-mata, namun dia sengaja menuliskan nama asli di buku tamu.

Apa yang dia takutkan? Pemuda ini merasa yakin akan kepandaiannya sendiri dan dia sudah merasa pasti bahwa betapa pun juga akhimya dia akan berhadapan muka dengan musuh besarnya. Sesudah membersihkan diri, dia segera pergi ke rumah makan untuk makan siang.

Seperti juga di hotel Liok-an, di rumah makan itu terdapat banyak pelayan yang amat memperhatikan dia. Dengan pandangan matanya yang sudah awas itu, Kwan Cu dapat membedakan perhatian orang biasa dan perhatian orang yang mengandung maksud tertentu. Akan tetapi dia pura-pura tidak melihat dan makan dengan tenang, sungguh pun dia amat berhati-hati dan mencoba setiap masakan lebih dulu, menjaga kalau-kalau fihak musuh menaruh racun.

Di dalam rumah makan itu hanya ada beberapa orang tamu yang makan siang. Akan tetapi di antara mereka, hanya seorang yang menarik perhatian Kwan Cu dan diam-diam dia mengawasi gerak-gerik orang ini.

la melihat orang ini sebagai seorang sastrawan dan biar pun orang itu kelihatan makan minum seorang diri, namun dia tahu bahwa orang itu amat memperhatikannya. Tiba-tiba dia melihat orang itu mencorat-coret sehelai kertas dengan pitnya. Melihat pit itu, makin besar kecurigaan hati Kwan Cu. Pit itu gagangnya terbuat dari pada kuningan dan lebih tepat kalau dipergunakan sebagai senjata.

Akan tetapi Kwan Cu pura-pura tidak melihatnya dan mempercepat makannya. Setelah beres membayar, dia lalu keluar. Akan tetapi pada saat dia sengaja lewat di dekat meja sastrawan itu dan melirik ke atas mejanya, dia menjadi terkejut dan heran sebab biar pun orang itu cepat-cepat menutupi kertas yang dicoret-coretnya, tapi sekelebatan dia masih sempat melihat bahwa di atas kertas itu tergambar wajahnya sendiri!

Namun Kwan Cu dapat menekan perasaannya dan cepat melangkah keluar. Dia segera menyelinap dan bersembunyi di tempat yang agak jauh sambil memasang mata. Apakah kehendak sastrawan itu yang dapat menggambar mukanya demikian cepat dan demikian cocok?

Tidak lama kemudian dia melihat orang itu keluar, menengok ke kanan kiri lalu berjalan dengan tindakan kaki tergesa-gesa ke kiri. Kwan Cu mengikutinya dari jauh. Orang itu masuk ke dalam rumah gedung yang mewah dan terjaga kuat. Di pintu pekarangan saja dia melihat lima orang laki-laki yang sikapnya seperti tukang pukul, sedang duduk sambil bercakap-cakap. Melihat sastrawan itu, lima orang penjaga menjura sambil tertawa.

"Lopek, bukankah rumah gedung itu adalah tempat tinggal Kwan-wangwe (hartawan she Kwan)?" tanya Kwan Cu kepada seorang tua yang memikul tahu.

Kakek itu menggerakkan alisnya heran. "Ehh, anak muda, masa kau tidak tahu bahwa itu adalah gedung dari Tan-wangwe?"

Kwan Cu berdebar girang, akan tetapi dia tak memperlihatkan kegembiraannya, bahkan nampak kecewa. "Aku mencari rumah hartawan Kwan."

"Entahlah, aku tidak tahu di mana rumah hartawan Kwan. Kalau gedung itu memang rumah hartawan Tan Kai Seng, siapa orangnya tidak mengenal rumahnya?" Tukang tahu itu lalu pergi lagi setelah Kwan Cu menghaturkan terima kasihnya.
"Hemm, tidak salah lagi. Di situlah tempat tinggal anjing she An itu," pikimya dan tanpa membuang waktu lagi dia segera melangkah lebar menuju ke pintu gerbang pekarangan gedung itu.
"Siapa kau? Mau apa menyelonong ke sini?" bentak seorang di antara lima penjaga pintu pekarangan.
"Katakanlah kepada Tan-wangwe bahwa ada seorang sahabat dari jauh hendak bertemu dengan dia," jawab Kwan Cu tenang.
"Tan-wangwe sudah memesan kepada kami bahwa hari ini dia tidak mau terima tamu. Kau lekas tinggalkan nama dan alamat biar nanti kami yang menyampaikan. Besok pagi boleh datang lagi menerima keputusan."
"Hm, dia hendak menyembunyikan diri? Tidak apa, aku bisa masuk sendiri menemuinya."

Sambil berkata demikian, Kwan Cu tidak mempedulikan lagi para penjaga itu dan terus berjalan masuk.

"Heiii, kau ini bangsat dari mana begini tidak tahu aturan? Berhenti!" Lima orang penjaga mengejar, akan tetapi Kwan Cu berjalan terus memasuki pekarangan.
"Kau harus dilempar keluar!" seorang di antara mereka berteriak sambil mencengkeram pundak Kwan Cu dan hendak melemparkan pemuda itu keluar dari pekarangan. Akan tetapi, segera dia berseru kaget ketika tiba-tiba tubuhnya sendiri yang terpelanting keluar dari pekarangan, jatuh di jalan raya mengeluarkan suara berdebuk!

Empat orang penjaga yang lainnya menjadi marah dan mereka lalu memukul. Terdengar suara berdebukan dan bukan yang dipukul yang jatuh, melainkan para pemukulnya yang memekik kesakitan dan terguling roboh!

Jeritan para penjaga pintu itu terdengar oleh orang-orang yang berada di dalam gedung. Tidak lama kemudian keluarlah berlarian beberapa orang dan Kwan Cu menjadi girang bukan main, karena di antara sekian banyak orang itu dia mengenal An Kai Seng dan Wi Wi Toanio!

"Bangsat she An, bersiaplah untuk terima mampus!" bentak Kwan Cu sambil menghunus pedang Liong-coan-kiam dari pinggangnya.

Akan tetapi sekali berkelebat, Kai Seng dan Wi Wi Toanio lenyap di dalam gedung dan ketika Kwan Cu hendak mengejar, dia dihadang oleh lima orang. Orang pertama adalah si sastrawan tadi yang bukan lain adalah Kwa-sianseng. Orang ke dua adalah Lui Kong Nikouw yang sudah dikenal oleh Kwan Cu. Sedangkan tiga orang lainnya adalah Sin-to Sam-eng yang belum dikenalnya.

Melihat Kwan Cu mengejar majikan mereka, lima orang ini maju mengeroyoknya. Akan tetapi begitu Kwan Cu menggerakkan Liong-cuan-kiam, maka terdengarlah suara nyaring pada saat pedangnya mengenai salah satu pit milik Kwa-sianseng dan sebatang golok di tangan It-to-cilan Ang Kian, orang pertama dari Sin-to Sam-eng.

Lima orang yang senjatanya tidak terbabat putus oleh Liong-cuan-kiam itu terkejut sebab merasa betapa tangan mereka tergetar hebat, tanda bahwa tenaga dari pemuda itu jauh mengatasi tenaga mereka yang dipersatukan.

Kwan Cu mengamuk terus dengan ilmu pedangnya yang luar biasa, dibarengi dengan gerakan tangan kiri. Dia berhasil merobohkan It-to-cilan dengan sebuah pukulan tangan kiri yang tepat mengenai jalan darah di lehernya.

Lui Kong Nikouw membabat dengan pedangnya, disusul oleh tiga orang kawannya yang menggerakkan senjata dengan cepatnya. Akan tetapi gerakan Kwan Cu lebih cepat lagi sehingga sebelum mereka sadar apa yang terjadi, mendadak Lui Kong Nikouw menjerit dengan pundak terluka dan Yap Ki si Raja Racun terlempar kena ditendang oleh Kwan Cu.

Bukan main kaget dan marahnya para pengeroyok ini.

Tok-ong Yap Ki berseru keras dan sambil melompat berdiri tangannya bergerak-gerak. Beberapa tok-ciam (jarum beracun) menyambar ke arah Kwan Cu, akan tetapi sekali saja Kwan Cu mengibaskan tangan kirinya, jarum-jarum itu lantas terpental kembali, ada yang langsung menyerang Yap Ek dan si sastrawan dan lebih hebat lagi, ada yang kembali dan menyerang Yap Ki sendiri!

Yap Ek dan si sastrawan roboh akan tetapi Yap Ki dapat menyelamatkan dirinya. Si Raja Racun ini kaget sekali melihat jarum-jarumnya mengenai saudaranya dan kawan sendiri, karena dia tahu bahwa jarum-jarum beracun itu amat berbahaya dan siapa yang terkena akan binasa dalam beberapa menit saja bila tidak lekas-lekas dia beri obat pemunahnya.

Pada saat itu, dari dalam gedung keluarlah belasan orang bersenjata, sedangkan dari luar gedung masuk pula lebih dari dua puluh orang dengan senjata di tangan. Mereka ini adalah jagoan-jagoan dan kaki tangan An Kai Seng yang telah mendengar bahwa musuh besar majikan mereka datang mengamuk.

Kwan Cu segera dikepung dan dikeroyok. Akan tetapi apakah artinya puluhan jagoan-jagoan murah itu? Dengan enaknya Kwan Cu menyimpan kembali pedangnya, lalu dia menggerakkan kaki dan tangannya untuk merobohkan mereka seperti orang membabat rumput saja.

Yap Ki sendiri tidak dapat membantu pengeroyokan itu, karena dia sibuk memberi obat pemunah kepada si sastrawan Kwa dan Yap Ek agar nyawa mereka ini bisa tertolong. Kemudian, dia lalu maju menerjang lagi dengan goloknya.

Selagi Kwan Cu mengamuk hebat, dari luar datang lagi serombongan orang dan mereka ini ternyata adalah sepasukan penjaga keamanan kota yang jumlahnya tiga puluh orang! Sebagai hartawan yang terkenal dengan nama Tan-wangwe dan seringkali menyumbang sehingga memiliki hubungan yang amat baik dengan para pembesar, tentu saja An Kai Seng segera ditolong oleh penjaga-penjaga keamanan ketika mereka mendengar bahwa di rumah Tan-wangwe terjadi keributan dengan datangnya seorang pengacau.

Kwan Cu menjadi gemas. Tetapi pemuda ini tidak mau sembarangan membunuh orang. Dengan kepandaiannya yang sangat tinggi dia mampu membikin para pengeroyoknya itu roboh seorang demi seorang dengan tulang-tulang yang patah atau luka-luka yang tidak menimbulkan bahaya bagi keselamatan nyawa mereka. Dan tak lama kemudian, jumlah pengeroyok hanya tinggal belasan orang lagi dan sebagian besar sudah rebah malang melintang tak berdaya.

"Bangsat she Lu, kau keterlaluan!" tiba-tiba saja terdengar bentakan nyaring dan seorang berpakaian panglima maju menerjang dari luar.

Kwan Cu memandang dan melihat bahwa yang datang adalah Panglima Kam Cun Hong, maka sambil menangkis serangan pedang di tangan panglima ini dengan sulingnya yang sudah dia cabut secepat kilat, dia pun segera tertawa mengejek.

"Hemm, bukankah kau adalah panglima yang dahulu sama-sama datang dengan Kiam Ki Sianjin? Bagus kau belum mampus oleh para pejuang, sekarang kau mengantar jiwa!"

Kata-kata Kwan Cu ini mengejutkan hati Kam Cun Hong. Panglima ini memang sudah melarikan diri dari kota raja dan di kota ini minta perlindungan dari An Kai Seng yang sudah dikenalnya. Walau pun dahulunya mereka ini bermusuhan, yakni Kam Cun Hong membantu Si Su Beng sedang An Kai Seng adalah keturunan An Lu Shan, namun karena sama-sama mempunyai rahasia yang harus disembunyikan, maka An Kai Seng tidak menolaknya dan bahkan memberi rumah kepada bekas panglima ini.

Mendengar ucapan Kwan Cu, Panglima Kam takut kalau-kalau rahasianya diketahui oleh rakyat, maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu melompat dan melarikan diri.

Beberapa orang roboh lagi dan sisanya, hanya tujuh orang lagi termasuk Yap Ki si Raja Racun, menjadi gentar dan segera melarikan diri! Kwan Cu tertawa mengejek dan ia pun segera melompat ke dalam gedung hendak mengejar musuh besarnya. Semua kamar dibukanya, namun gedung yang amat besar itu sudah kosong melompong. Tak seorang pun pelayan berada di situ, agaknya sudah lari cerai-berai ketika keributan terjadi.

Memang sebelumnya An Kai Seng sudah mengatur terlebih dahulu dan membubarkan semua pelayan supaya tidak akan ada pelayan yang dapat dipaksa oleh Kwan Cu untuk memberi tahukan tempat sembunyinya.

Kwan Cu penasaran dan mencari terus. Setiap kamar yang tertutup pintunya, didobrak dan dibukanya. Ketika tiba di ruang belakang, dia melihat sebuah kamar yang tertutup pintunya. Didengarnya berkereseknya kain di dalam kamar, tanda bahwa di dalam kamar itu ada orangnya, maka tanpa ragu-ragu lagi dia mendorong pintu kamar yang tebal itu. Sekali dorong saja pecahlah daun pintunya dan dia segera melompat masuk.

“Ayaaa… kurang ajar sekali...!” terdengar pekik seorang wanita.

Kwan Cu merasa mukanya panas. Warna merah menjalar sampai di telinganya. Ternyata bahwa di dalam kamar itu terdapat Wi Wi Toanio yang agaknya sedang berganti pakaian, karena wanita cantik ini hanya memakai pakaian dalam yang amat pendek dan ringkas. Bukan main cantik dan menariknya wanita itu, sehingga untuk sesaat Kwan Cu berdiri bagaikan patung.

“Mana suamimu?” Kwan Cu berusaha untuk membikin suaranya terdengar kasar, akan tetapi dia tidak sanggup menekan suaranya yang agak gemetar.

"Laki-laki tak bermalu! Kau... kau melihat apakah? Cih, kurang ajar benar!" kata Wi Wi Toanio. Meski mulutnya berkata begini, namun sepasang matanya berseri dan mulutnya tersenyum manis!

Kwan Cu cepat membalikkan tubuhnya dengan perasaan amat jengah dan hati berdebar.

"Lekas kau berpakaian, baru kita bicara!" katanya.

Diam-diam dia merasa cemas kalau-kalau ada orang yang melihat dia berada di dalam kamar seorang wanita yang hanya memakai pakaian seperti itu, apa akan kata orang?

Terdengar wanita itu tertawa kecil dengan suara genit, lalu terdengar pula dia memakai pakaian. Waktu yang dipergunakan oleh Wi Wi Toanio untuk berpakaian amat lamanya, sehingga Kwan Cu menjadi hilang sabar.

"Cepatan sedikit!" bentaknya.

Akan tetapi Wi Wi Toanio hanya tertawa mengejek saja. Kemudian tercium bau yang amat harum, kiranya wanita itu dalam berdandan bahkan bersolek, berbedak segala!

Tiba-tiba Kwan Cu memiringkan tubuhnya dan tiga batang piauw menyambar lewat di samping tubuhnya.

"Jangan berlaku curang, takkan ada gunanya," dia mengejek tanpa menoleh.

Benar-benar lihai pemuda ini, tanpa menoleh dia tahu bahwa dia diserang oleh Wi Wi Toanio mempergunakan piauw.

"Hemm, kau mengambil pedang untuk apa? Kau tidak akan menang melawan aku," kata pula Kwan Cu.

Wi Wi Toanio terkejut bukan main sehingga tangannya yang memegang pedang menjadi gemetar. Bagaimana pemuda itu bisa tahu bahwa ia mengambil, pedang? Sementara itu, mengetahui bahwa wanita itu sudah mengambil pedang, tentu ia sudah berpakaian rapi, maka Kwan Cu lalu membalikkan tubuhnya memandang.

Bukan main, Wi Wi Toanio memang benar-benar seorang wanita yang paling cantik yang pernah dilihatnya, dan pandai bersolek pula. Harus diakui oleh Kwan Cu bahwa belum pernah dia melihat wanita yang kecantikannya dapat menandingi kecantikan wanita ini.

“Kau mau apa?" tanya Wi Wi Toanio yang sudah memegang sebatang pedang, mulutnya tersenyum-senyum memikat.

Kwan Cu masih bodoh dalam menghadapi kelincinan wanita, maka dia tidak tahu bahwa tadi sebenarnya Wi Wi Toanio memang sengaja menantinya di dalam kamar itu untuk mulai dengan siasatnya, memikat hati pemuda yang tak mungkin bisa dikalahkan dengan kekuatan senjata ini.

"Jangan berpura-pura bodoh!" bentak Kwan Cu. "Aku mencari suamimu, lebih baik kau berterus terang saja, di mana dia? Kalau aku sudah membalas dendam kepadanya, aku tak akan mengganggu dan tak peduli lagi dengan keadaanmu. Hanya An Kai Seng yang kucari dan aku tidak ingin mencari permusuhan dengan orang orang lain."

"Kau benar-benar hebat dan gagah," Wi Wi Toanio memuji, "jauh berbeda dengan Kai Seng dan kawan-kawannya yang tidak punya guna. Orang segagah engkau, yang masih begini muda, kenapa mengotori hati dan pikiran dengan permusuhan? Apakah tidak lebih baik kalau kita bersahabat saja? Aku ingin sekali menjadi sahabatmu, bahkan kalau kau sudi, aku suka berlutut dan mengangkat kau sebagai guruku."

"Tak usah banyak cakap, di mana suamimu?"

Melihat Kwan Cu tidak berhasil dibujuknya, Wi Wi Toanio tidak menjadi kecewa. Sebagai seorang wanita yang berpengalaman, dari sinar pandang mata Kwan Cu saja tahulah dia bahwa dirinya tidak kalah sama sekali. Tahu bahwa pemuda itu betapa pun juga sudah tertarik padanya, sudah mengagumi kecantikannya, karena itu ia menarik muka semanis mungkin.

"Lu Kwan Cu, apa boleh buat, agaknya kau tidak dapat dibujuk lagi untuk melenyapkan permusuhan. Kalau kau memang menghendaki pertempuran, mari kita lakukan secara terang-terangan dan secara orang gagah. Aku dan suamiku hendak menantangmu untuk mengadakan pertempuran sampai mati di dalam hutan dekat rawa maut di sebelah barat kota ini. Beranikah kau?"

"Mengapa tidak berani? Biar pun suamimu akan mengumpulkan semua jagonya di sana, aku tak akan takut seujung rambut pun! Akan tetapi, siapa yang tidak tahu akan kelicikan suamimu? Siapa yang percaya bahwa suamimu benar-benar akan berada di sana?"

"Lu Kwan Cu, kau menghinaku! Bukan suamiku, akan tetapi akulah yang menantangmu! Kau tidak percaya padaku? Datanglah besok pada pagi hari, aku dan suamiku pasti akan berada di sana, tanpa seorang pun kawan! Di sana kita bertiga akan menentukan siapa yang harus mampus. Kalau kau berani datang, tanda bahwa kau benar seorang jantan, akan tetapi kalau kau tidak mau dan tidak percaya kepadaku, terserah, mau bunuh aku boleh bunuh. Jangan harap kau dapat menemui Kai Seng sebelum besok pagi di hutan itu."

Kwan Cu berpikir sejenak, hatinya penuh keraguan.

"Lu Kwan Cu, apakah kau kira akan mampu memaksaku? Ketahuilah bahwa aku masih menaruh hati kasihan kepadamu, kalau tidak demikian, andai kata sekarang aku menjerit minta tolong dan merobek-robek pakaianku, di mana lagi kau akan menaruh mukamu?"

Kwan Cu terkejut sekali. Memang hebat ancaman ini dan kalau dilaksanakan, namanya tentu akan hancur .

"Baiklah, andai kata suamimu tidak datang dan lari sembunyi, apa sih sukarnya mencari dia? Akhirnya aku pasti akan datang di hutan itu." Sesudah berkata demikian, Kwan Cu lalu melompat pergi dan keluar dari gedung itu.

Setelah Kwan Cu pergi, Kai Seng muncul dari balik pintu rahasia yang berada di bawah tempat tidur. Mukanya pucat sekali, tubuhnya masih menggigil dan dia menarik napas berulang-ulang.

"Baiknya kau pandai sekali mengusir dia, hanya saja aku merasa kurang senang melihat gayamu di depan musuh besar kita," katanya kepada isterinya.

Wajah manis dari Wi Wi Toanio tiba-tiba menjadi berkerut dan dia memandang kepada suaminya dengan marah. "Apa katamu? Kalau kau sendiri becus mengusirnya, mengapa kau menyuruh aku? Sudah, sudah, besok kau boleh menghadapinya sendiri, aku lebih baik tinggal di rumah!"

Kai Seng segera menghampiri isterinya dan memegang lengannya.

"Jangan marah, isteriku yang manis. Nyawaku berada di tanganmu dan hanya engkau saja kiranya yang dapat menolongku, dapat menghadapi pemuda yang kepandaiannya seperti siluman itu."

Wi Wi Toanio menarik tangannya dan tersenyum puas. "Kau lihat saja nanti. Aku bukan wanita kalau tidak dapat membikin dia bertekuk lutut di hadapanku. Lebih baik lagi, aku akan mencari tahu akan rahasia kepandaiannya dan kalau saja aku dapat membujuknya sehingga dia mau menurunkan kepandaiannya itu, bukankah amat menguntungkan bagi kita? Akan tetapi kalau kau cemburu…" sinar mata yang jernih itu mengancam.

Kai Seng memeluk isterinya. "Tidak, isteriku. Demi keselamatan kita semua, aku tak akan cemburu... terserah kepadamu bagaimana kau akan menghadapinya."

"Nah, kalau begitu, kau dengarlah baik-baik…"

Isteri yang cantik dan juga sangat licin ini lalu membisikkan rencana dan siasatnya untuk menghadapi Kwan Cu, didengarkan oleh Kai Seng sambil mengangguk-angguk seperti ayam sedang makan padi…..
********************

Hutan di sebelah barat kota An-keng tidak berapa besar akan tetapi amat liar, karena di tempat itu banyak terdapat rawa-rawa yang sangat berbahaya. Para penggembala tidak berani membawa binatang peliharaan mereka mendekati rawa, karena sekali tergelincir ke dalam rawa itu, tidak mungkin tertolong lagi.

Rawa itu airnya tidak dalam, tapi di bawah air terdapat lumpur yang dapat mengisap apa saja yang jatuh ke dalamnya. Di atas rawa penuh pohon-pohon dan pemandangan di situ memang sangat indah. Rumput-rumput hijau segar, akan tetapi kalau orang melihat ke bawah, orang akan bergidik dan merasa ngeri.

Pagi-pagi sekali Kwan Cu telah berlarian memasuki hutan, mencari-cari musuh besarnya, yakni Kai Seng dan Wi Wi Toanio yang sudah berjanji hendak mengadu kepandaian dengannya di tempat itu. Dia tidak begitu mengharapkan akan bertemu dengan mereka, karena dia masih sangsi apakah benar-benar seorang wanita seperti Wi Wi Toanio mau memegang janjinya. Sampai lama dia mencari ke sana ke mari, akan tetapi tidak melihat bayangan seorang pun manusia.

"Hm, biar pun kau bersembunyi di mana saja, akhirnya aku pasti akan dapat mencarimu," kata Kwan Cu seorang diri, “dan lain kali aku takkan mendengarkan omongan wanita itu."

Baru saja dia hendak meninggalkan hutan, tiba-tiba dia melihat bayangan Wi Wi Toanio di pinggir rawa. Wanita ini menggunakan tangan kiri mencekik seorang laki-laki sambil memaki.

"Apa kau kira aku mudah saja menjadi kaki tanganmu? Sudah lama kau menyakiti hatiku dan sekaranglah pembalasanku!"

Tangan kanan wanita itu melayang, menghantarn dada laki-laki itu yang terjengkang dan tanpa dapat mengeluarkan suara lagi laki-laki itu terlempar masuk ke dalam rawa!

“Apa yang kau lakukan itu?" teriak Kwan Cu terkejut dan seperti terbang dia lantas berlari rnenghampiri tempat itu.

Wi Wi Toanio kelihatan berdiri seperti patung, mukanya pucat memandang ke arah lelaki yang sudah terjungkal ke dalam rawa. Ketika Kwan Cu melihat, ternyata bahwa laki-laki itu jatuh ke dalam rawa dengan kepala lebih dulu sehingga yang kelihatan hanya kedua kakinya sampai ke pinggang saja. Kaki yang sudah lemas dan tak bergerak lagi, agaknya laki-laki itu sudah tewas. Yang sangat mengagetkan hatinya adalah ketika dia mengenal pakaian laki-laki itu sebagai pakaian An Kai Seng, musuh besarnya!

"Dia... dia An Kai Seng... apakah yang telah kau perbuat?" Kwan Cu memandang Wi Wi Toanio dengan heran.

Dengan perlahan Wi Wi Toanio membalikkan tubuh dan memandang Kwan Cu. Mukanya pucat, rambutnya awut-awutan menambah kecantikannya dan di atas pipinya terdapat butiran-butiran air mata. Setelah pandang matanya bertemu dengan pandang mata Kwan Cu, tiba-tiba Wi Wi Toanio menangis.

"Eh, ehh, ehh, ada apakah...? Mengapa kau membunuh suamimu sendiri?"

Wi Wi Toanio tidak dapat menjawab, bahkan lalu berlutut di depan kaki Kwan Cu. Tentu saja pemuda ini menjadi bingung sekali. Dia menyangka akan sesuatu yang tidak beres, maka sekali memegang kedua pundak wanita itu, Wi Wi Toanio telah dipaksanya berdiri lagi.

"Katakan, sandiwara apa ini? Kenapa kau mendahuluiku membunuh musuh besarku itu?"
"Lu Kwan Cu..., apakah hanya kau saja yang mempunyai sakit hati dan dendam? Apakah hanya kau saja yang membencinya? Aku… aku lebih sakit hati terhadap dia, aku lebih membencinya seperti membenci racun busuk! Dan kesempatan ini, selagi kami berada berdua di sini, kupergunakan untuk membalas sakit hatiku, sebelum kau mendahuluiku."

Kwan Cu tertegun. "Apa maksudmu? Bagaimana kau dapat sakit hati terhadap suami sendiri?"

"Aku… aku seorang wanita malang... dahulu aku dipaksa oleh manusia busuk itu menjadi isterinya. Aku tidak berdaya, orang tuaku dibelinya. Aku... aku tidak suka padanya, aku benci padanya! Kemudian kau datang, Taihiap. Kau seorang pendekar besar yang amat kukagumi, yang sudah lama ingin kujumpai, ehhh…, ternyata kau adalah musuh besar suamiku. Ternyata kau pun sudah dibikin sakit hati oleh manusia jahanam itu! Tidak itu saja, permusuhannya denganmu berarti menyeret aku pula ke dalam permusuhan ini, permusuhan dengan seorang pendekar pujaanku. Aku tidak tahan lagi, aku mengusulkan supaya dia dan aku menantangmu di sini dan dalam keadaan berdua saja ini, kugunakan kesempatan untuk membalas dendam. Karena itulah kubunuh dia!"

Wi Wi Toanio menudingkan telunjuknya yang runcing itu ke arah mayat yang kini tinggal kelihatan kaki sebatas lutut saja, lalu menangis lagi.

Kwan Cu merasa tertarik sekali, tidak hanya tertarik oleh penuturan ini, namun terutama sekali tertarik oleh kecantikan Wi Wi Toanio, oleh olah bicaranya yang demikian menarik, demikian manis sehingga pemuda ini seperti mabuk.

Baru saja Kwan Cu mengalami patah hati karena Sui Ceng. Hati mudanya haus akan sifat lemah lembut seorang wanita, haus akan kasih sayang seorang wanita, terlebih lagi setelah dia digagalkan dalam cinta kasih pertamanya dengan Sui Ceng.

Melihat Wi Wi Toanio, timbul kasihan di dalam hatinya. Alangkah malangnya nasib wanita ini, wanita yang secantik ini, seperti bidadari!

Wi Wi Toanio bukanlah seorang wanita luar biasa kalau dia tidak dapat membaca pikiran Kwan Cu dari sinar matanya. Tiba-tiba dia makin terisak dan dipegangnya kedua tangan Kwan Cu sambil berlutut di depan pemuda itu!

"Lu-taihiap, setelah membunuh An Kai Seng, aku... aku yang sebatang kara ini sudah lama mengagumi Taihiap. Sudilah Taihiap menerima perasaan hatiku... biar sampai mati aku Wi Wi seorang sengsara takkan merasa penasaran. Jangan takut, Taihiap, perkara pembunuh Kai Seng ini tentu semua orang mengira bahwa taihiap yang melakukannya, akan tetapi selama aku berada di sampingmu, tidak seorang pun berani mengganggumu. Aku akan mengatakan bahwa Kai Seng tewas dalam pertempuran yang jujur. Dan kau boleh berdiam di gedungku, Taihiap. Atau, apa bila Taihiap menghendaki, aku juga rela meninggalkan gedung itu untuk mengikutimu merantau. Sampai mati aku ingin berada di sampingmu, Taihiap."

Mendengar kata-kata yang diucapkan dengan suara merayu-rayu ini, luluh hati Kwan Cu. Musuh besarnya sudah tewas, dan dia tidak mempunyai permusuhan sesuatu dengan wanita ini, bahkan wanita ini pun menjadi korban dari musuh besarnya.

Suara yang merdu merayu ini, wajah yang cantik jelita, tangan halus yang memegangi tangannya, semua ini terlampau kuat dan berpengaruh bagi batin Kwan Cu yang biar pun amat kuat akan tetapi masih hijau dalam menghadapi wanita. Hampir saja dia memeluk wanita yang sudah menyerahkan diri dan nasib kepadanya.

Akan tetapi rasa jengah membuat dia membetot tangannya dan cepat melompat mundur. Wajahnya sebentar merah sebentar pucat. Belum pernah dia menghadapi wanita yang terang-terangan menyatakan cinta kasih kepadanya, apa lagi seorang wanita secantik Wi Wi Toanio.

Hatinya yang kosong dan kecewa karena kegagalan cinta kasihnya terhadap Sui Ceng menuntut isi. Dan sekarang, tiba-tiba saja wanita ini melemparkan diri ke dalam hatinya!

"Jangan...," suaranya gemetar dan berbisik, "jangan begitu Wi Wi Toanio..., ini… ini tidak baik...," katanya dan dia merasa heran sendiri karena napasnya menjadi terengah-engah dan tubuhnya lemas.
"Mengapa tidak baik?" Wi Wi Toanio bangun berdiri dan kembali dia memegangi kedua tangan pemuda itu. "Kita sama-sama bernasib malang, dan aku... aku juga rela menjadi muridmu, menjadi bujangmu... asal saja kau menerima perasaan hatiku, Lu-taihiap...”

Bayangan wajah wanita-wanita yang pernah mendekati hatinya terbayang di depan mata Kwan Cu. Pek-cilan Thio Loan Eng, Liyani gadis raksasa, Malita dan Malika dua gadis katai, Gouw Kui Lan. Akan tetapi tidak ada yang secantik Wi Wi Toanio, tidak ada yang demikian menariknya, bahkan melebihi Sui Ceng. Tidak ada pula di antara mereka yang menyatakan cinta kasih sebulatnya seperti Wi Wi Toanio.

"Jangan..., biarkan aku pergi saja!" Hati nurani Kwan Cu masih memberontak dan sekali renggut dia melepaskan diri, lalu melompat dan hendak lari pergi, lari dari tempat yang dianggapnya amat asing, amat berbahaya namun yang mendebarkan hatinya ini.
"Kau kejam, Lu-taihiap. Kalau begitu, biarlah aku Wi Wi yang malang nasibnya binasa di saat ini juga!" sambil berkata demikian, wanita muda yang cantik jelita itu melompat ke dalam rawa di mana suaminya kini hanya kelihatan sepasang kaki sebatas lutut saja.

Kwan Cu belum pergi terlalu jauh, tentu saja pendengarannya yang luar biasa tajamnya itu dapat mendengar suara tubuh wanita itu terjatuh ke dalam lumpur berair.

"Wi Wi...!" teriaknya dengan muka pucat dan dia cepat melompat ke pinggir rawa.

Dilihatnya Wi Wi sudah tenggelam sampai ke pinggangnya, di dekat mayat suaminya itu! Muka wanita itu memandangnya sedemikian rupa sehingga Kwan Cu tak dapat menahan hatinya lagi.

"Wi Wi..., kau bertahan dulu, aku akan menolongmu..."
"Kalau kau meloncat ke sini, kita berdua akan mati, Taihiap."
"Tunggu, aku akan mencari akal."
"Tidak usah kau menolongku, hidup juga percuma saja. Kalau kau tidak mau menerima perasaan hatiku, aku tidak mau ditolong!"

Kwan Cu tak mau menjawab lagi, hatinya ngeri melihat betapa tubuh wanita itu melesak makin dalam, sekarang lumpur telah mengisapnya sampai ke dada. Bagaimana ia dapat menolongnya? Biar pun kepandaiannya tinggi, akan tetapi kalau dia melompat ke dalam rawa, dia pun akan terisap oleh lumpur itu dan tidak berdaya.

Tiba-tiba dia mendapat akal. Didorongnya sebatang pohon sehingga roboh dan batang pohon ini dia lemparkan ke dalam rawa di dekat Wi Wi Toanio. Air memercik ke atas hingga membasahi seluruh muka wanita yang kini kelihatan lemas. Isapan lumpur sudah rnenyesakkan dada dan membuat ia hampir tak dapat bernapas.

"Taihiap... Aku… aku mati... selamat tinggal...," katanya lemah.
"Wi Wi, tahankan, aku akan menolongmu!”
“Percuma...," kata Wi Wi Toanio dan kini ia semakin tenggelam sampai ke leher.
"Wi Wi, pegang cabang pohon itu!"
"Tidak, biar aku... mati...”
“Jangan, Wi Wi... aku kasihan padamu, aku akan menolongmu."
"Katakan, kau cinta padaku atau tidak?"

Kwan Cu tertegun, mukanya merah sekali dan dadanya berdebar.

"Katakan, Kwan Cu, sebelum lumpur ini memasuki mulutku, memasuki telingaku..."

Kwan Cu melihat betapa sekarang air sudah sampai ke dagu wanita itu, maka secara setengah terpaksa dan dengan suara gemetar dia menjawab, "Aku... cinta padamu, Wi Wi."

Setelah berkata demikian, tanpa membuang waktu lagi Kwan Cu segera melayang turun ke dalam rawa itu. Kakinya menotol batang pohon yang tadi dilemparnya, dan dengan mengerahkan ginkang-nya agar batang itu tidak bergerak seperti dihinggapi oleh seekor burung saja, tangannya menyambar baju di pundak Wi Wi Toanio.

"Brettt!" Baju robek akan tetapi tubuh Wi Wi Toanio telah terbetot sedikit sehingga kini air hanya sampai di pundaknya.
"Keluarkan lenganmu dari lumpur itu!" kata Kwan Cu yang cepat mengimbangi tubuhnya karena batang pohon itu bergoyang-goyang.

Wi Wi Toanio menggerakkan tangannya dan tangan kirinya dapat terlepas dari isapan lumpur.

"Hati-hati, aku akan menarikmu keluar!" kata Kwan Cu lagi.

Dia cepat menyambar pergelangan tangan wanita itu, lalu dengan pengerahan tenaga lweekang yang hebat, dia dapat melawan isapan lumpur dan sedikit demi sedikit tertarik keluarlah tubuh Wi Wi Toanio dari bawah permukaan air. Kini tangan kanan Wi Wi Toanio merangkul pinggang Kwan Cu dan dia membantu pemuda ini menarik dirinya.

Gerakan ini sebetulnya tidak perlu, karena kalau dia diam saja, Kwan Cu akhirnya tetap akan dapat menariknya keluar. Bahkan dengan gerakan ini Wi Wi Toanio sudah merusak keseimbangan tubuh Kwan Cu sehingga ketika batang pohon itu bergoyang-goyang, dia tidak dapat menahan diri lagi sehingga keduanya terpeleset dan... tercebur ke dalam air!

"Celaka !" Wi Wi Toanio menjerit.

Akan tetapi dengan tenang Kwan Cu lalu menyambar cabang pohon dan sekali menarik dirinya, dia telah berdiri kembali di atas batang pohon.

Ia segera menangkap tangan Wi Wi Toanio lagi dan menariknya kuat-kuat. Ia berhasil! Kini Wi Wi Toanio dengan pakaian basah dan kotor, berdiri di atas batang pohon dengan menggigil, mendekap pinggang Kwan Cu yang pakaiannya juga basah dan kotor.

Tiba-tiba Wi Wi Toanio mengeluh panjang dan dia pingsan di dalam pelukan Kwan Cu. Pemuda ini terkejut dan setelah memeriksa ketukan nadi, tahulah dia bahwa wanita ini pingsan karena mengerahkan lweekang-nya sendiri.

Tadi di dalam lumpur, kalau Wi Wi Toanio tidak mengerahkan lweekang sekuatnya, tentu tubuhnya telah terisap semua dan dadanya terhimpit lumpur sampai tak dapat bernapas. Dan kini setelah terbebas, jalan darahnya langsung lancar kembali dan ini mendatangkan goncangan kepada jantungnya, terutama karena baru saja dia mengalami kekhawatiran hebat!

Kwan Cu lalu memanggul tubuh wanita itu dan melompat ke darat. Akan tetapi, ketika dia meloncat ke darat, batang pohon itu bergerak sehingga lenyaplah sebagian besar tenaga loncatannya. Hal ini karena sekarang ia memanggul tubuh Wi Wi Toanio dan pula batang pohon itu mengambang di atas air, maka amat mudah bergoyang.

Kwan Cu tidak berhasil melompat sampai ke darat, melainkan jatuh lagi ke dalam rawa! Baiknya dia terjatuh di bagian pinggir, di mana lumpur terdapat tanah keras sehingga dia selamat. Dengan tubuh Wi Wi Toanio di atas pundaknya, Kwan Cu berjalan naik dengan memegang dahan-dahan pohon sebagai bantuan. Akhirnya dia selamat sampai di darat dan Wi Wi Toanio mengeluh panjang, tanda siuman kembali dari pingsannya.

Begitu membuka mata, wanita ini segera menubruk dan memeluk leher Kwan Cu sambil menangis terisak-isak. Kwan Cu memandang wajah wanita itu, kemudian sambil tertawa dia berkata,

"Jangan kau menangis, bukankah kita sudah selamat? Lihat, mukamu dan mukaku serta pakaian kita penuh lumpur!"

Wi Wi Toanio mengangkat mukanya, dan wajahnya yang cantik manis tersenyum geli di antara air matanya.

"Mari kita mencuci pakaian kita," katanya. "Di tengah hutan ini terdapat sumber air, biar aku yang akan mencuci pakaianmu."
"Apakah kau tidak lebih baik pulang dan berganti pakaian? Aku… aku…"

Akan tetapi Wi Wi Toanio tidak memberi kesempatan padanya untuk banyak membantah, karena wanita ini sudah memegang tangannya dan menariknya ke tengah hutan. Kwan Cu hanya menurut saja.

Dengan bujukan-bujukan, rayuan-rayuan dan tipu muslihat yang semenjak jaman purba dimiliki oleh pihak wanita untuk merobohkan hati pria yang bagaimana kuat pun, Wi Wi Toanio berhasil membikin Kwan Cu bertekuk lutut!

Pemuda yang masih hijau ini akhirnya jatuh dalam perangkap, roboh di bawah pengaruh Wi Wi Toanio yang memang amat cantik lahirnya, akan tetapi amat kotor batinnya itu. Kwan Cu mengalami pengalaman yang membuat dirinya seolah-olah sudah buta dan tuli, membuat dia seperti menjadi seekor domba yang lunak dan jinak, yang menuruti segala kehendak dan kemauan Wi Wi Toanio yang amat pandai mengambil hati.

Sampai tiga hari mereka berada di tengah hutan, akhirnya mereka bermufakat untuk mengadakan pertemuan di hutan itu setiap hari. Kemudian, barulah Wi Wi Toanio pulang ke kota An-keng dan Kwan Cu juga kembali ke rumah penginapan. Pemuda ini berani kembali ke kota karena Wi Wi Toanio menanggung bahwa tidak akan ada yang berani mengganggu dirinya.

Benar saja, ketika Kwan Cu tiba di hotel, pengurus hotel berlaku amat hormat dan manis kepadanya, dan dia memuji kekasihnya yang ternyata tidak berkata bohong. Wanita itu yang sudah pulang terlebih dulu agaknya sudah mengatur segala-galanya, bahkan untuk makannya, pengurus hotel menyediakannya dengan hidangan-hidangan istimewa…..

********************
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kwan Cu sudah pergi ke hutan itu. Semalam dia tidak bisa tidur, pikirannya penuh dengan Wi Wi Toanio. Ia merasakan kebahagiaan yang luar biasa dan diam-diam dia harus mengakui bahwa meski pun perbuatannya itu tidak tahu malu, namun bagaimana lagi karena dia telah jatuh cinta kepada Wi Wi Toanio.

Dia mencinta wanita itu dengan seluruh jiwa raganya. Perasaan cinta kasihnya terhadap wanita-wanita lain, juga terhadap Bun Sui Ceng berubah menjadi cinta kasih terhadap Wi Wi Toanio. Sama sekali dia tidak tahu bahwa Wi Wi Toanio sedang mempermainkannya, dan dia hanya mengira bahwa Wi Wi Toanio benar-benar cinta kepadanya dengan suci murni!

Dia segera membuat rencana dalam hidupnya yang akan datang. Wi Wi Toanio sudah menyatakan hendak ikut pergi dengan dia, hendak menjadi suami isteri sampai tua dan hidup penuh kebahagiaan serta melupakan segala hal yang sudah lalu.

Bahkan Wi Wi Toanio tidak merasa keberatan untuk pergi ikut dengan dia tinggal di pulau kosong, yaitu Pulau Pek-hio-to di mana dia telah mempelajari ilmu silat dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Wanita itu bahkan menyatakan hendak ikut pula mempelajari ilmu ini dari Kwan Cu, dan keduanya hendak memperdalam ilmunya di pulau itu, jauh dari dunia ramai, hidup berdua penuh cinta kasih.

Wi Wi Toanio pulang lebih dulu karena harus membersihkan nama, harus menyatakan kepada dunia ramai bahwa Kai Seng telah meninggal dunia karena terjerumus ke dalam lumpur. Setelah itu, barulah mereka dapat menjadi suami isteri yang sah, karena sebagai seorang janda, Wi Wi Toanio berhak menikah lagi dengan pria pilihannya.

Bagi orang-orang biasa, tentu saja hal ini merupakan hal yang tidak masuk di akal. Tidak ada seorang janda yang menikah lagi. Akan tetapi Wi Wi Toanio bukanlah wanita biasa. Dia dapat dianggap sebagai seorang wanita gagah di dunia kang-ouw yang tidak kukuh mempertahankan tradisi lama, maka tentang perkawinan lagi dari seorang janda bukan apa-apa lagi.

Sebelum Kwan Cu berangkat ke hutan, pengurus hotel menemuinya sambil membawa sebungkus barang.

"Taihiap, perkumpulan orang-orang hartawan di kota ini yang mendengar bahwa Taihiap adalah seorang gagah yang amat terkenal, telah mengirim barang-barang sebagai tanda penghormatan. Harap Taihiap suka menerimanya."

Kwan Cu terheran, akan tetapi dia menerima bungkusan itu dan membukanya. Alangkah kagetnya ketika dia melihat sejumlah barang-barang perhiasan yang indah-indah, terbuat dari pada emas dan permata, juga terdapat pula potongan-potongan uang emas.

"Ahh, bagaimana aku dapat menerima sumbangan sebanyak ini? Aku tidak mengenal mereka. Harap Lopek mengembalikan saja.”
"Jangan begitu, Lu-taihiap. Penolakan tentu akan mendatangkan rasa tidak enak dan malu. Harap Taihiap menerimanya, biar pun tidak semua."

Kwan Cu menganggap bahwa kata-kata ini ada betulnya juga. Pula, dia memang amat tertarik melihat benda-benda ini, karena alangkah senangnya apa bila dia bisa memberi ‘hadiah’ kepada kekasihnya. Dia lalu mengambil sebatang tusuk konde yang terbuat dari pada perak yang berukirkan atau berbentuk naga indah sekali dan bermata intan.

"Biarlah aku mengambil tanda mata ini saja. Selebihnya harap kau kembalikan, diiringkan ucapan terima kasihku."

Demikianlah, dengan tusuk konde itu di dalam sakunya, dia pergi ke hutan. Dia melihat kekasihnya sudah berada di situ dan tanpa banyak cakap lagi mereka kemudian saling berpelukan dengan mesra.

"Aku tunggu-tunggu kau setengah mati. Aku gelisah kalau-kalau secara diam-diam kau sudah meninggalkan aku," kata Wi Wi Toanio dengan sikap manja.
"Mengapa kau khawatir kutinggalkan? Demikian besarkah cintamu kepadaku, Wi Wi?"

Wi Wi Toanio menjatuhkan kepala di atas dada pemuda itu. "Aku akan bunuh diri kalau kau tinggalkan, kekasihku."

Kwan Cu tersenyum bangga. Hatinya sebesar gunung dan dia merasa amat berbahagia. Diambilnya tusuk konde yang tadi dia terima dari sumbangan para hartawan, kemudian diperlihatkan kepada Wi Wi Toanio.

"Wi Wi, lihat, aku membawa hadiah untukmu."

Wi Wi Toanio pura-pura memandang dengan penuh kekaguman. Padahal ‘sumbangan’ tadi sebetulnya adalah dia sendiri yang menyuruh pengurus hotel mengantarkan kepada Kwan Cu dengan maksud dan siasat tertentu.

"Pasangkan pada rambutku, Koko," katanya dengan suara mesra.

Kwan Cu memasang tusuk konde itu pada rambut Wi Wi Toanio yang hitam panjang dan halus serta berbau harum itu.

"Koko, apakah artinya tanda mata ini? Apakah sekedar untuk penghias rambut?"
"Tentu saja, habis apa lagi kegunaannya?" tanya Kwan Cu.
"Apa benar kau mencintaku seperti aku mencintamu, Koko? Mencinta dengan sepenuh jiwa ragamu?"
"Wi Wi, apakah kau masih bersangsi lagi? Lu Kwan Cu adalah orang gagah yang selalu memegang teguh janjinya."
"Kalau begitu, berjanjilah bahwa kau akan menuruti segala kemauanku, Koko."

Tanpa bersangsi-sangsi lagi, sambil memeluk tubuh itu erat-erat, Kwan Cu berbisik. "Aku bersumpah untuk menuruti segala kehendakmu, kekasihku. Biar tusuk konde naga perak ini menjadi saksi."
"Bagus! Girang sekali hatiku!"

Kegirangan Wi Wi Toanio benar-benar besar dan luar biasa. Sepasang matanya yang indah laksana mata burung hong itu bersinar-sinar, mukanya berseri-seri, akan tetapi di balik seri mukanya ini terbayang kekejaman yang hebat bukan main.

Tiba-tiba Kwan Cu melompat ke belakang dan bajunya pada lambung kiri berdarah. Kulit lambungnya terluka sedikit ketika dia melompat tadi karena Wi Wi Toanio telah menusuk lambungnya dengan tusuk konde yang dicabutnya perlahan-lahan.

Kwan Cu membelalakkan matanya, memandang wajah cantik yang tersenyum itu.

"Wi Wi... kau..." Akan tetapi kata-katanya ini dia hentikan dan secepat kilat tubuhnya melompat ke kanan.

Ia mendengar gerakan orang di balik rumpun dan sekali dia melompat, dia melihat orang itu hendak melarikan diri. Dengan gerakan kakinya, Kwan Cu dapat menendang bagian belakang lutut orang itu dengan cepat sehingga orang itu tidak sempat mengelak lagi, segera roboh terguling.

Kwan Cu menubruk maju dan menotok jalan darah orang itu. Ketika dia melihat wajah orang itu, tiba-tiba Kwan Cu menjadi pucat sekali dan tubuhnya menggigil. Tak terasa lagi dia mundur tiga tindak. la melihat bahwa orang ini bukan lain adalah An Kai Seng.

“Kau... An Kai Seng...??”

An Kai Seng yang tidak jadi tertotok, bangkit duduk karena sambungan lututnya sudah terlepas. Dia menyeringai dan berkata mengejek,
"Memang aku An Kai Seng dan kau adalah pendekar besar Lu Kwan Cu yang telah main gila dengan isteri orang lain. Cih, manusia macam kau ini hidup juga hanya mengotorkan dunia. Bunuhlah aku kalau kau hendak bunuh, lebih baik mati dari pada hidup dengan nama busuk!"

Kwan Cu merasa seakan-akan dunia ini kiamat. Dia menoleh dan melihat Wi Wi Toanio memandangnya dengan mata menyatakan kemenangan besar! Tiba-tiba saja Kwan Cu menjadi mata gelap. Segera dicabutnya Liong-coan-kiam dan dia hendak mencincang tubuh musuh besarnya. Akan tetapi tiba-tiba terdengar seruan Wi Wi Toanio.
"Lu Kwan Cu, tahan senjatamu!"

Suara yang lunak dan halus ini memang amat besar pengaruhnya terhadap Kwan Cu. Tanpa terasa lagi, dia kembali menurunkan pedangnya.

Wi Wi Toanio melompat ke tempat itu sambil memegang tusuk kondenya yang tadi gagal membunuh Kwan Cu.

"Kwan Cu, lupakah kau akan sumpahmu tadi? Aku menghendaki agar kau mengampuni Kai Seng dan selamanya kau tidak boleh membunuhnya! Lihatlah, tusuk konde ini yang menjadi saksi akan sumpahmu. Kau harus mentaati segala kehendakku!"

Kwan Cu menjadi makin pucat. Mengertilah dia sekarang bahwa semua ini adalah tipu muslihat dari Wi Wi Toanio. Selama ini An Kai Seng memang masih hidup, dan yang didorong masuk ke dalam rawa-rawa sampai mati mungkin hanyalah salah seorang kaki tangan mereka yang sengaja dikorbankan untuk siasat ini! Jadi selama ini Kai Seng tahu bahwa isterinya sengaja menjual diri kepada Kwan Cu dan selama itu mungkin sekali Kai Seng bersembunyi di dalam hutan, mengintai semua perbuatannya!

"Kau... kau merencanakan tipu busuk ini…”

Wi Wi Toanio mengangguk. "Kau terlalu lihai untuk dilawan dengan senjata," jawabnya sederhana.

Kwan Cu tidak dapat berkata apa-apa lagi. Sebagai seorang gagah dia harus memegang teguh sumpahnya. Selamanya dia tidak dapat membunuh Kai Seng kalau Wi Wi Toanio tidak menghendakinya.

"Kwan Cu, berjanjilah bahwa kau tak akan membunuh Kai Seng," kata pula Wi Wi Toanio dan suara yang biasanya terdengar mesra itu kini terdengar oleh Kwan Cu seperti suara setan.
"Baik, baik, aku menyerah kalah."

Dan akhirnya, sambil mengeluarkan teriakan setengah tertawa dan setengah menangis, pendekar muda yang sakti ini lalu berkelebat dan lenyap dari situ!

Kai Seng memeluk isterinya. "Wi Wi, aku berhutang nyawa kepadamu. Kau benar-benar seorang isteri yang setia!"

Biar pun mulutnya berkata demikian, namun di dalam perutnya Kai Seng merasa panas sekali kalau dia mengingat akan cara bagaimana isterinya menyelamatkan nyawanya. Dia merasa amat sakit hati kepada Lu Kwan Cu.

Wi Wi Toanio tahu akan isi hati suaminya, maka ia menghiburnya, "Jangan kau kecewa. Biarlah perlahan-lahan kita mencari Kwan Cu dan dengan pengaruh tusuk konde itu, kita akan dapat membunuhnya kalau dia bertemu dengan kita lagi."

Akan tetapi usaha suami isteri yang curang ini selalu gagal.

Di dunia kang-ouw tidak pernah terdengar nama Lu Kwan Cu lagi, yang ada hanyalah Bu Pun Su (Tidak Ada Kepandaian). Semenjak munculnya pendekar yang berjuluk Bu Pun Su, dunia kang-ouw tergoncang hebat.

Dan Bu Pun Su ini bukan lain adalah pemuda Lu Kwan Cu yang menderita pukulan hebat sekali seperti orang gila, namun dia selalu bertindak sebagai seorang pendekar penolong mereka yang sengsara.....

T A M A T

>>>>   DARA BAJU MERAH (ANG-I NIOCU)   <<<<
(Bagian Ke-2 Serial BU PUN SU)
LihatTutupKomentar