Kemelut Kerajaan Mancu Jilid 06


Kita tinggalkan dulu Thian Hwa yang sekarang tinggal bersama ayahnya di kota raja dan mengemban tugas yang penting dan berat dari Kaisar. Mari kita ikuti pengalaman Ui Yan Bun yang sudah hampir dua tahun kita tinggalkan.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Yan Bun membantu Thian Hwa yang dikeroyok oleh Kam-keng Chit-sian (Tujuh Dewa dari Kam-keng), yaitu para pengawal Pangeran Cu Kiong. Thian Hwa yang tadinya terdesak hebat, dengan bantuan Yan Bun berbalik dapat merobohkan empat orang pengeroyok hingga tewas. Tiga yang lain melarikan diri. Ketika Yan Bun hendak mengejar dan membunuh Pangeran Cu Kiong, Thian Hwa melarangnya. Kemudian gadis itu meninggalkan Yan Bun karena ketika itu dia hendak mencari kakek angkat atau gurunya, yaitu Thian Bong Sianjin.

Sebagai orang yang berperasaan peka, pada waktu Thian Hwa mencegah dia membunuh Pangeran Cu Kiong yang tampan gagah itu, Yan Bun sudah dapat menduga akan isi hati Thian Hwa. Gadis itu agaknya jatuh cinta kepada Sang Pangeran!

Tentu saja hal ini menusuk hatinya. Dia yang sejak dahulu amat mencinta Thian Hwa kini mendapat kenyataan betapa gadis itu tidak membalas cintanya, bahkan mencinta laki-laki lain, yaitu Pangeran Cu Kiong!

Dengan hati kecewa dan sedih karena harus berpisah dari gadis yang dicintanya, Yan Bun lalu meninggalkan kota raja dan menuju ke Lam-hu di selatan. Dia hendak mengunjungi Ui Tiong, yakni pamannya yang juga menjadi gurunya yang pertama, yang tinggal di sana. Pek-hunya (Paman Tuanya) itu membuka sebuah toko obat di Lam-hu karena selain ahli silat yang cukup pandai, Ui Tiong juga pandai tentang ilmu pengobatan.

Kota Lam-hu merupakan kota yang cukup ramai. Letaknya di dekat sebuah telaga yang besar. Kota itu dinamakan Lam-hu yang sebenarnya nama dari telaga itu, yakni Lam-hu (Telaga Selatan). Kota Lam-hu berseberangan dengan sederetan bukit-bukit yang rimbun dengan hutan.

Pada saat matahari sudah mulai panas dan orang-orang mulai bekerja, menggarap sawah ladang, mencari ikan di telaga, ada pula yang mengumpulkan hasil hutan di pegunungan itu, masuklah Ui Yan Bun ke kota Lam-hu. Dia mengenal benar kota ini karena dahulu dia tinggal di rumah pamannya selama tidak kurang dari tujuh tahun, membantu pekerjaan Ui Tiong yang berdagang obat sambil belajar silat dari pamannya itu. Ui Tiong dan isterinya amat sayang kepada Yan Bun karena mereka sendiri tidak mempunyai anak.

Begitu memasuki kota Lam-hu, Yan Bun merasa gembira. Seakan tidak ada perubahan sama sekali setelah dia meninggalkannya selama beberapa tahun ini. Dia membayangkan betapa akan senangnya paman dan bibinya menyambut kedatangannya.

Ketika lewat di jalan yang berada di dekat telaga, dia berhenti sebentar dan memandang ke permukaan telaga dengan wajah berseri. Teringatlah dia betapa dulu dia sering main-main naik perahu atau berenang dengan kawan-kawan di telaga itu.

Indah sekali pemandangan di telaga. Dari tempat dia berdiri, dia melihat pegunungan yang hijau itu membayang pada permukaan air di seberang. Perahu-perahu nelayan hilir mudik perlahan. Tampak beberapa nelayan menebarkan jala dan banyak pula yang memegang tangkai kail untuk memancing ikan di bagian yang airnya tenang.

Yan Bun yang berpakaian serba biru, berwajah tampan dan bertubuh tegap, melanjutkan langkahnya dengan hati merasa gembira. Kini dia telah dapat melupakan kekecewaan dan kesedihannya memikirkan Thian Hwa yang seolah tidak mempedulikannya, dan dia ingin segera bertemu Ui Tiong dan isterinya.

Akan tetapi ketika dia tiba di rumah Ui Tiong, dia segera melihat keanehan itu. Matahari telah naik tinggi, akan tetapi toko obat itu belum dibuka! Ini aneh sekali, karena biasanya paman dan bibinya itu amat rajin dan dulu selama dia berada di situ, tidak sehari pun toko itu ditutup. Maka dia pun cepat mengetuk daun pintu rumah yang berada di samping toko. Ketika pelayan membuka daun pintu, dia disambut tangis memilukan oleh isteri Ui Tiong!

“Bibi, apa yang terjadi?” Yan Bun bertanya.
“Pamanmu... Pamanmu....” Nyonya itu menangis semakin sedih.
“Pek-hu (Paman Tua) kenapa? Di mana dia?”

Wanita itu tidak dapat bicara lagi, hanya menangis sesenggukan. Yan Bun menghiburnya dan setelah tangisnya reda, barulah wanita itu dapat menceritakan apa yang telah terjadi dan menimpa Ui Tiong, suaminya.

Nyonya Ui Tiong segera menceritakan apa yang menimpa suaminya. Terjadinya baru tadi malam. Ketika itu toko obat sudah ditutup dan Ui Tiong bersama isterinya sedang makan malam ketika tiba-tiba saja pintu rumah mereka terbuka lalu muncul seorang gadis cantik.

“Hei, siapakah engkau dan apa keperluanmu, Nona?” Ui Tiong yang sudah selesai makan menegur dengan alis berkerut karena perbuatan gadis itu memang tidak sewajarnya dan kurang ajar, memasuki rumah orang begitu saja dan tahu-tahu berada di dalam.

Tetapi dia masih bersabar karena menyangka bahwa gadis itu tentu sedang resah karena ada keluarganya yang sedang sakit parah dan sekarang datang hendak minta tolong atau mencari obat. Yang membuat Ui Tiong dan isterinya merasa heran adalah karena melihat bahwa gadis itu seorang yang sama sekali tidak mereka kenal. Padahal, suami isteri ini sudah tinggal di kota Lam-hu selama belasan tahun dan dapat dikatakan bahwa mereka mengenal semua penduduk kota itu.

Gadis itu berusia sekitar sembilan belas tahun, tubuhnya tinggi semampai, pinggangnya ramping dan wajahnya cantik manis dengan setitik tahi lalat hitam pada dagu sebelah kiri. Pakaiannya indah dan mewah seperti pakaian seorang puteri bangsawan. Dengan sinar matanya yang tajam ia menatap Ui Tiong dan isterinya, kemudian bertanya dengan sikap angkuh, ditujukan kepada Ui Tiong.

“Apakah engkau yang bernama Ui Tiong, pemilik rumah obat ini?”
“Benar, Nona,” jawab Ui Tiong singkat. “Silakan duduk, Nona.”
“Tidak perlu duduk. Apakah engkau juga memiliki kepandaian mengobati orang sakit?”
“Sedikit-sedikit aku mengerti tentang pengobatan.”
“Bagus, kalau begitu marilah ikut denganku untuk mengobati orang sakit,” ajak gadis itu dengan suara mendesak.
“Nona, sebaiknya si sakit itu engkau bawa ke sini, aku akan memeriksanya dan kalau aku mampu, akan kuobati dia.”
“Tidak bisa! Engkau harus ikut denganku dan memeriksanya di rumah kami!”

Ui Tiong mengerutkan alis. Gadis ini bersikap demikian angkuh dan hendak memaksanya! Akan tetapi sebagai seorang yang berpengalaman, dia mampu menahan kesabarannya.

“Nona, maafkan karena malam ini aku tidak dapat ikut. Besok pagi saja aku akan datang ke rumahmu. Di manakah rumahmu, Nona?”
“Tidak, harus sekarang! Rumahku di seberang telaga, kuberi-tahu juga engkau tidak akan menemukannya. Marilah Ui Sinshe (Tabib Ui), engkau ikut denganku sekarang. Aku telah menyediakan seekor kuda untukmu!”

Ui Tiong menggelengkan kepala. “Tidak bisa, Nona. Kalau orang sakit itu dibawa ke sini, malam ini juga akan kuperiksa dia, kalau aku yang harus pergi ke sana, besok pagi baru dapat kulakukan.”

“Engkau harus pergi bersamaku sekarang juga!” gadis itu berkata dengan suara tegas.

Ui Tiong mengerutkan alisnya. Dia adalah seorang murid Thai-san-pai yang cukup lihai, bahkan ilmu silatnya lebih mendalam dibandingkan ilmu pengobatannya. Kini ada seorang gadis muda seakan hendak memaksa pergi, tentu saja dia merasa penasaran sekali dan yakin bahwa gadis ini tentu bukan penduduk Lam-hu maka tidak mengenal dia sebagai seorang ahli silat.

“Hemm, siapa yang berhak mengharuskan agar aku pergi bersamamu, Nona?” tanyanya dengan senyum seorang tua menghadapi seorang anak yang nakal.

Gadis itu segera mengerutkan alisnya dan pandang matanya tampak mencorong. “Akulah yang mengharuskan! Tabib Ui Tiong, engkau harus pergi bersamaku, kalau perlu kuseret engkau!”

“Heh, bocah kurang ajar! Jaga sikap dan bicaramu!” Ui Tiong membentak marah.

Sekarang Nyonya Ui mencampuri. “Nona yang baik, harap jangan memaksa. Sebaiknya cepatlah bawa si sakit ke sini, siapa tahu suamiku dapat menyembuhkannya.” Nyonya itu melangkah maju untuk mencegah terjadinya keributan antara suaminya dan gadis itu.

“Pergi kau, jangan mencampuri!” Tiba-tiba gadis itu membentak dan sekali tangan kirinya bergerak, ia telah mendorong Nyonya Ui sehingga terjengkang jatuh!
“Gadis jahat!” Ui Tiong berseru marah dan dia pun cepat menggerakkan tangannya untuk mendorong pundak gadis itu. Akan tetapi gadis itu menggerakkan tangan menangkis.
“Dukk!” Tubuh Ui Tiong terdorong ke belakang.

Tentu saja murid Thai-san-pai ini sangat terkejut dan semakin penasaran, akan tetapi dia juga menyadari bahwa gadis itu bukan orang sembarangan. Ketika dorongannya ditangkis tadi, terbukti bahwa gadis itu memiliki tenaga sakti yang amat kuat! Melihat kelihaian dan sikapnya yang demikian angkuh, Ui Tiong dapat menduga bahwa gadis itu tentu seorang gadis kang-ouw (sungai telaga atau dunia persilatan) golongan sesat.

Di dunia persilatan memang terdapat orang-orang dari berbagai golongan. Yang pertama tentu saja dari golongan pendekar yang mempergunakan kepandaian silatnya selain untuk menjaga, membela dan melindungi diri sendiri dan orang lain dari gangguan orang jahat, juga untuk menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan. 

Golongan ke dua adalah yang disebut golongan hitam atau golongan sesat, yaitu mereka yang biasa mempergunakan kepandaian silatnya untuk menjadi jagoan dan memaksakan keinginan mereka sendiri pada orang lain, suka mengganggu, menindas, dan melakukan kejahatan-kejahatan seperti perampok, bajak, atau tukang-tukang pukul bayaran.

Ada pun golongan ke tiga adalah mereka yang menggunakan kepandaian silatnya untuk memperoleh pekerjaan sebagai prajurit atau penjaga keamanan seperti piauwsu (pengawal kiriman barang) atau pengawal-pengawal para bangsawan atau hartawan.

Masih ada satu golongan lainnya, yaitu mereka yang menjadi pendeta atau pertapa, yang jarang mencampuri urusan dunia tapi memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi sehingga mereka ini banyak dicari orang muda untuk dijadikan guru mereka.

Menduga bahwa gadis itu hendak memaksakan kehendaknya secara kasar, Ui Tiong lalu menjadi marah sekali sehingga dia pun membentak,

“Gadis liar, pergilah!” Ui Tiong menyerang dengan jurus Lim-houw-to-yo (Harimau Rimba Menyambar Kambing).

Sebagai murid Thai-san-pai, tentu saja Ui Tiong bukan seorang yang lemah. Ilmu silatnya cukup lihai, juga dia mempunyai tenaga murni yang kuat karena hidupnya bersih dan dia seorang ahli pengobatan. Meski pun tidak dilakukan dengan niat melukai atau membunuh, namun serangannya itu cukup kuat.

“Wuuutttt...! Takk!”

Kembali tubuh Ui Tiong tergetar dan terdorong ke samping ketika gadis itu menggunakan jurus Sin-ho-liang-ci (Bangau Sakti Pentang Sayap). Gerakannya amat ringan, cepat dan mengandung tenaga sakti yang kuat ketika ia memutar tubuh dengan merentangkan dua lengannya menangkis serangan Ui Tiong. Dengan cepat pula ia lantas balas menyerang.

Maklum bahwa gadis itu lihai juga liar dan ganas, Ui Tiong mengerahkan seluruh tenaga untuk melawan. Terjadilah perkelahian di depan toko obat itu dan Ui Tiong terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan betapa gadis itu sungguh amat lihai. Biar pun dia sudah mengeluarkan semua kepandaiannya, tetap saja dia terdesak terus.
Ui Tiong masih dapat bertahan sampai lima puluh jurus. Itu juga karena gadis itu agaknya tidak ingin melukai atau membunuhnya. Andai kata tidak demikian halnya, kiranya dia tak akan mampu bertahan sampai sekian lamanya.

“Haiiitt, robohlah!” gadis yang semenjak tadi telah mendesaknya itu tiba-tiba saja berhasil menyarangkan totokan jari tangannya ke pundak Ui Tiong hingga laki-laki ini terpelanting roboh dan lemas tidak mampu bergerak lagi!

Gadis itu menoleh ke belakang dan ternyata ia tadi diiringkan oleh empat orang pengikut, semuanya lelaki yang berusia sekitar empat puluh tahun dan bertubuh tegap. Ia memberi isyarat dan empat orang itu segera datang sambil menuntun lima ekor kuda.

Tanpa banyak cakap lagi mereka langsung mengangkat tubuh Ui Tiong ke atas punggung seekor kuda dan seorang duduk di belakangnya. Kemudian mereka semua, juga gadis itu, meloncat ke atas punggung kuda masing-masing lalu mereka membalapkan kuda pergi meninggalkan kota Lam-hu.

Nyonya Ui hanya dapat menangis. Ia adalah isteri seorang laki-laki gagah, maka biar pun merasa khawatir akan keselamatan suaminya, tapi ia tidak berteriak minta tolong melihat suaminya dibawa pergi. Pertama, karena ia tahu benar bahwa para tetangganya tidak ada yang akan mampu menolong suaminya, dan ia pun khawatir bahwa apa bila dia menjerit, gadis liar itu mungkin malah akan menjadi marah dan mencelakai suaminya. Selain itu ia pun tahu bahwa gadis itu hanya ingin minta pertolongan suaminya untuk mengobati orang sakit, walau pun caranya minta tolong dengan paksaan dan kekerasan.

Ia hanya dapat mengingat-ingat keadaan gadis itu, supaya kelak ia dapat mengenalnya. Ketika Ui Yan Bun, keponakan suaminya datang, Nyonya Ui Tiong menceritakan semua peristiwa itu.

Yan Bun mengerutkan alisnya, merasa penasaran sekali bagaimana seorang gadis muda dapat bersikap demikian kasar, memaksa pamannya untuk pergi memeriksa orang sakit.

“Bibi, apakah gadis itu tidak memberi-tahu siapa namanya dan ke manakah ia membawa Pek-hu Ui Tiong?”
“Ia tidak menyebutkan namanya, hanya mengatakan bahwa rumahnya berada di seberang telaga. Yan Bun, tolonglah Paman tuamu, susul dan carilah dia. Aku khawatir sekali akan keselamatannya karena gadis itu demikian liar, ganas dan berkepandaian tinggi.” Nyonya itu berkata sambil menyusut air matanya.
“Tentu aku akan mencarinya, Bibi. Akan tetapi, ke mana aku harus mencari? Di seberang telaga, sebelah mana? Telaga itu demikian luas dan di sana terdapat daerah perbukitan. Tanpa ada petunjuk yang jelas, tentu akan sulit sekali menemukan tempat kemana Pek-hu mereka bawa.”

Malam itu Yan Bun menginap di rumah Ui Tiong. Maksudnya besok pagi barulah dia akan mencoba untuk mencari pamannya yang diculik gadis liar itu.

Tetapi pada keesokan harinya, baru saja dia selesai mandi lalu menyantap sarapan yang disediakan bibinya, tiba-tiba pintu toko yang tertutup itu diketuk keras dari luar. Nyonya Ui terkejut dan tampak takut, maka Yan Bun cepat bangkit lalu membuka pintu depan. Yang mengetuk pintu itu adalah seorang laki-laki tinggi besar yang berpakaian ringkas dan pada punggungnya terdapat sebuah golok besar.

Melihat wajah yang membayangkan kekerasan dengan sepasang mata lebar melotot itu, Yan Bun mengerutkan alisnya. Tetapi dia menahan kesabarannya dan bertanya dengan lembut.

“Siapakah saudara dan ada keperluan apakah engkau mengetuk pintu kami?”

Laki-laki itu memandang ke arah Nyonya Ui yang muncul di belakang Yan Bun.

“Aku datang untuk membeli obat!” Dia menyodorkan sehelai kertas bertuliskan resep obat, bukan kepada Yan Bun, melainkan kepada Nyonya Ui.

Yan Bun hendak menegur sikap kasar itu, akan tetapi Nyonya Ui segera menerima resep obat itu dan Yan Bun hanya melihat betapa bibinya mulai melayani permintaan itu, dengan jari-jari tangan gemetar mengumpulkan rempah-rempah yang tertulis pada resep. Setelah lengkap, ia membungkusnya dan menyerahkannya kepada laki-laki itu.

Laki-laki itu menerima bungkusan obat, mengambil sepotong uang perak dari kantungnya, lalu menyerahkannya kepada Nyonya Ui. Wanita itu menolak dan berkata dengan suara agak gemetar.

“Tidak perlu bayar, obat ini saya beri cuma-cuma, bawalah,” katanya.
“Uang ini harus diterima!” bentak laki-laki itu. “Aku diharuskan menyerahkan uang ini dan harus engkau menerimanya!”
“Ini terlalu banyak....” Nyonya Ui membantah.

Akan tetapi laki-laki itu sudah melempar potongan perak ke atas meja lantas melangkah keluar, melompat ke atas punggung kudanya dan melarikan kuda dari situ.

“Dia seorang dari mereka...” bisik Nyonya Ui kepada Yan Bun.

Mendengar ini Yan Bun segera mengejar keluar.

“Jangan khawatir, Bibi. Aku akan mencari dan membawa pulang Pek-hu!”

Dengan menggunakan ginkang-nya yang tinggi, Yan Bun lalu mengejar penunggang kuda itu dan membayangi dari jauh. Dia yakin bahwa orang itulah yang akan menjadi penunjuk jalan ke tempat di mana pamannya dilarikan para penculik itu. Biar pun pembeli obat tadi kini membalapkan kudanya menuju ke Telaga Lam-hu, kemudian setibanya di tepi telaga dia mengambil jalan menyusuri pinggir telaga dan agaknya hendak mengitarinya, Yan Bun dapat terus membayanginya dengan menggunakan ilmu berlari cepat Hong-yang-liap-in (Tiupan Angin Mengejar Awan)…..

********************
Kita tinggalkan dulu Ui Yan Bun yang membayangi pembeli obat itu. Mari kita melihat Ui Tiong yang dalam keadaan tertotok dilarikan oleh gadis liar bersama para pembantunya.

Gadis liar itu bernama Wan Kim Hui, berusia sembilan belas tahun. Dia berwajah manis dengan tahi lalat kecil pada dagunya. Pakaiannya mewah seperti yang biasa dipakai para puteri bangsawan.

Dia adalah puteri dari seorang tokoh besar kang-ouw daerah selatan yang bernama Wan Cun dan di dunia kang-ouw dikenal sebagai Lam-ong (Raja Selatan). Di Propinsi Se-cuan di selatan, namanya amat terkenal. Ibu dari Wan Kim Hui, yaitu Nyonya Wan, juga adalah seorang tokoh kang-ouw yang terkenal lihai. Maka tidaklah mengherankan kalau Wan Kim Hui yang digembleng oleh ayah ibunya menjadi seorang yang amat lihai pula.

Mungkin karena terlalu dimanja oleh ayahnya, Wan Kim Hui menjadi seorang gadis yang berwatak liar, galak, nakal dan agak tinggi hati, selalu menuntut agar keinginannya dapat dipenuhi. Akan tetapi sesungguhnya ia mewarisi watak ayahnya yang gagah dan patriotik, juga watak ibunya yang adil dan menentang kejahatan.

Seperti tercatat dalam sejarah, ketika bangsa Mancu mulai membangun kekuatan besar di utara, di luar Tembok Besar yang menjadi benteng pertahanan, Kerajaan Beng mulai lemah dengan adanya pemberontakan-pemberontakan. Bahkan akhirnya Kerajaan Beng tamat riwayatnya, kaisarnya yang terakhir menggantung diri pada saat Peking diserbu dan diduduki oleh pemberontak Li Cu Seng.

Mendengar hal ini, Jenderal Wu Sam Kwi yang menjadi panglima pasukan yang menjaga tapal batas kerajaan di sebelah utara Peking, mengadakan persekutuan dengan Pangeran Dorgan yang menjadi raja atau wakil raja bangsa Mancu yang sudah mendirikan Kerajaan Ceng dan menguasai seluruh Mancuria, kemudian persekutuan ini menyerbu Peking. Li Cu Seng melarikan diri ke barat, dikejar-kejar Wu Sam Kwi hingga akhirnya Li Cu Seng tewas dibunuh sendiri oleh para petani yang menjadi pengikutnya.

Sesudah Kerajaan Beng, kerajaan terakhir yang dikuasai pemerintah pribumi jatuh, maka Kerajaan Ceng yang dikuasai bangsa Mancu mulai menjajah Cina. Jenderal Wu Sam Kwi tentu saja menentang bangsa Mancu yang tadinya merupakan sekutunya. Akan tetapi dia kalah dan terpaksa melarikan diri ke daerah Se-cuan, di mana dia mempertahankan diri mati-matian dari serangan Pemerintah Ceng (Mancu). Di Se-cuan, Wu Sam Kwi menjadi Raja Muda dan masih banyak orang-orang pandai mendukungnya sehingga tidak mudah bagi Pemerintah Mancu untuk menaklukkannya.

Kisah ini terjadi sekitar tahun 1660. Pada masa itu yang menjadi Kaisar Kerajaan Ceng (Mancu) adalah Kaisar Shun Chi (1644-1661), dan putera mahkotanya adalah Pangeran Kang Shi yang baru berusia sepuluh tahun. Sementara itu Jenderal Wu Sam Kwi yang kini menjadi Raja Muda di Se-cuan, masih belum dapat ditundukkan.

Kita kembali kepada keluarga Wan. Wan Cun bersama isteri dan puterinya Wan Kim Hui, sejak dahulu juga tinggal di Se-cuan. Akan tetapi dia sama sekali tidak mau mencampuri urusan politik, tidak mau ikut dalam perebutan kekuasaan. Maka dia pun tidak mau ketika Jenderal Wu Sam Kwi menawarkan kedudukan kepadanya.

Wan Cun yang berjuluk Lam-ong itu lebih suka bebas. Hal ini membuat dia tidak disukai oleh para datuk kang-ouw lainnya yang mendukung Wu Sam Kwi. Bahkan seorang datuk yang terkenal dengan nama Lam Hai Cin-jin, yang dulunya menjadi sahabat baiknya, kini menjauhinya.

Lam-hai Cin-jin, Datuk Selatan itu pun menjabat kedudukan tinggi di dalam pemerintahan Jenderal Wu Sam Kwi. Dia diangkat menjadi Koksu (Guru Negara) yang bekerja sebagai penasehat Raja Muda Wu Sam Kwi.

Wan Kim Hui yang cantik manis serta pandai ilmu silat membuat banyak pemuda tergila-gila. Tetapi sebagian besar dari mereka yang tidak pandai ilmu silat dan bukan merupakan putera hartawan atau bangsawan, hanya berani memandang dan mengaguminya dari jauh saja. Hanya ada beberapa orang pemuda putera bangsawan yang berkedudukan tinggi saja yang berani mendekati Kim Hui. Akan tetapi selama ini gadis itu menghadapi mereka dengan sikap acuh tak acuh. Belum ada satu orang pun di antara mereka yang menarik perhatian gadis ini.

Seorang dari mereka yang paling berani mendekati Wan Kim Hui adalah Wu Kongcu, seorang di antara putera-putera Raja Muda Wu Sam Kwi. Wu Kongcu (Tuan Muda Wu) ini bernama Wu Kan, seorang pemuda yang tampan akan tetapi terkenal sebagai seorang kongcu hidung belang dan tukang pelesir. Usianya dua puluh lima tahun dan biar pun dia belum menikah, namun selirnya sudah ada belasan orang!

Wu Kan tergila-gila kepada Wan Kim Hui. Dia ingin sekali mendapatkan Kim Hui sebagai isterinya. Selain Kim Hui cantik manis, juga gadis itu lihai, pandai ilmu silat, sehingga jika menjadi isterinya berarti dia mempunyai pelindung yang boleh diandalkan. Wu Kan sendiri memiliki kepandaian silat, namun dibandingkan Wan Kim Hui, dia tertinggal jauh sekali.

Ketika Wu Kan memberi-tahukan ayahnya bahwa ia ingin berjodoh dengan Wan Kim Hui, Raja Muda Wu Sam Kwi merasa setuju karena kalau gadis itu menjadi mantunya, maka dapat diharapkan ayah gadis itu, Wan Cun yang sakti, bisa membantunya.

Pinangan lalu diajukan, tetapi sungguh membuat Raja Muda Wu Sam Kwi dan puteranya merasa penasaran sebab lamaran itu dengan halus ditolak oleh keluarga Wan! Tentu saja penolakan ini berdasarkan penolakan Wan Kim Hui, dan orang tuanya tak mau memaksa puteri tunggal mereka menikah dengan laki-laki yang tidak disukainya.

Wu Kan marah sekali mendengar pinangannya ditolak. Semua gadis di seluruh Se-cuan, siapakah yang akan menolak pinangannya? Semua tentu akan senang menjadi isterinya, menjadi mantu Raja Muda Wu Sam Kwi! Akan tetapi ternyata pinangannya terhadap Wan Kim Hui ditolak mentah-mentah!

Dalam keadaan mabok sambil dikawal belasan orang jagoannya, Wu Kan lalu mendatangi rumah keluarga Wan. Pada saat itu kebetulan suami isteri Wan Cun sedang tidak berada di rumah dan yang ada hanyalah Wan Kim Hui.

Gadis itu segera keluar ketika melihat Wu Kan datang dikawal dua belas orang. Karena orang tuanya tidak berada di rumah, ia tidak ingin pemuda itu memasuki rumahnya, maka dia langsung keluar dan menyambut pemuda itu di pekarangan rumahnya.

“Wu Kongcu, mau apa engkau datang berkunjung? Ayah dan Ibuku sedang tidak berada di rumah,” kata Kim Hui, suaranya mengandung perasaan tidak senang mengingat bahwa beberapa hari yang lalu pemuda itu ‘berani’ mengirim orang untuk meminangnya.

Wu Kan yang sedang mabok dan memang merasa marah dan penasaran atas penolakan pinangannya, segera menudingkan telunjuknya ke arah muka gadis itu.

“Wan Kim Hui, gadis yang sombong dan bodoh! Engkau berani menolak pinanganku! Jika engkau tidak mau menjadi isteriku, lalu ingin menjadi isteri laki-laki macam apa? Apakah engkau ingin menjadi isteri seorang laki-laki kang-ouw yang tidak punya kedudukan tidak punya harta, seorang gelandangan dan pengemis?”

Muka yang manis itu berubah merah. Dengan suara galak ia berseru, “Wu Kan, tidak ada yang mengundang kau datang ke sini! Pergilah dan jangan lanjutkan mengeluarkan kata-kata busuk atau terpaksa aku akan menghajarmu!”

Wu Kan menjadi semakin marah. Sejak kecil belum pernah ada orang yang bicara seperti itu kepadanya. Kalau dia tidak sedang mabok, kiranya dia masih berpikir-pikir dulu untuk bersikap kasar terhadap Wan Kim Hui. Akan tetapi dalam keadaan mabok dan sakit hati karena lamarannya ditolak, Wu Kan lupa diri dan membentak marah.

“Gadis brengsek! Engkau ini siapa sih? Apa yang kau andalkan berani mengancam aku, putera Pangeran Muda Wu Sam Kwi, pahlawan bangsa yang gagah berani dan dihormati seluruh bangsa? Engkau perempuan rendah berani hendak menghajar aku....”

Belum habis dia bicara, tubuh Wan Kim Hui berkelebat cepat sekali kemudian tangannya menyambar seperti kilat.

“Plak! Plak!”

Kedua pipi pemuda itu sudah ditamparnya. Demikian kuat tamparannya hingga tubuh Wu Kan terpelanting dan dia roboh pingsan dengan kedua pipi bengkak dan kedua ujung bibir berdarah karena giginya banyak yang copot!

Dua belas orang pengawal itu terkejut. Mereka pun tadi minum-minum sehingga setengah mabok dan keadaan ini membuat mereka menjadi lebih berani. Melihat majikan mereka dipukul roboh, mereka segera mencabut golok lantas menyerang Wan Kim Hui.

Tetapi bagaikan seekor burung rajawali marah, tubuh gadis itu berkelebatan menyambar-nyambar, membagi pukulan dan tendangan. Dalam waktu singkat saja dua belas orang itu sudah terpelanting roboh. Mereka menjadi ketakutan, bangkit dan tertatih-tatih mereka menolong Wu Kongcu lalu membawanya pergi dari situ!

Ketika Wan Cun dan isterinya pulang, kemudian mendengar keterangan Kim Hui tentang apa yang terjadi, Wan Cun mengerutkan alisnya dan menegur puterinya.

“Ah, Kim Hui, engkau telah membuat gara-gara. Biar pun kita tidak takut tetapi perkara ini tentu akan berekor panjang dan akhirnya akan mencelakakan kita semua. Tidak mungkin kita melawan Jenderal Wu Sam Kwi yang memiliki pasukan besar. Mari kita menghadap Jenderal Wu Sam Kwi. Kalau kita melaporkan apa yang terjadi sesungguhnya, tentu dia mempunyai cukup keadilan untuk melihat bahwa puteranya yang mencari gara-gara dan mau menghabiskan urusan itu sampai di sini saja.”

Wan Cun mengajak puterinya untuk pergi menghadap Raja Muda Wu Sam Kwi. Kim Hui yang menyadari bahwa ia telah bertindak agak terlalu keras kepada Wu Kan yang sedang mabok, bersedia ikut ayahnya dan minta maaf kepada Raja Muda Wu Sam Kwi. Mereka berdua berangkat, meninggalkan Nyonya Wan Cun di rumah.

Akan tetapi ketika mereka sampai di istana, para pengawal istana memberi-tahu mereka bahwa Raja Muda sedang mengadakan persidangan dengan para panglimanya sehingga tentu saja tidak dapat menerima kunjungan mereka yang hendak menghadap. Wan Cun dan Wan Kim Hui terpaksa menunda niat mereka menghadap, segera pulang ke rumah mereka.....

Alangkah kaget hati mereka ketika mereka melihat ada banyak prajurit mengepung rumah mereka sementara di depan rumah tampak Nyonya Wan Cun sedang berkelahi melawan seorang kakek pendek gendut yang lihai sekali. Pada waktu Wan Cun dan Wan Kim Hui berlari cepat seperti terbang ke rumah mereka, mereka melihat lawan Nyonya Wan Cun berjongkok dan menyerang dengan pukulan jarak jauh dan dia mengeluarkan suara kok-kok-kok seperti seekor katak buduk. Nyonya Wan Cun terjengkang roboh!

“Lam-hai Cin-jin, apa yang kau lakukan itu?!” Wan Cun membentak. Sekali melompat dia sudah melompati kepala para prajurit dan langsung dia menyerang kakek pendek gendut itu dengan dahsyat.

Kakek pendek itu menyambut serangan dengan tangkisannya.

“Wuuuttt...! Dukkk...!”

Tubuh kedua orang laki-laki itu terdorong ke belakang sampai lima langkah!

Wan Kim Hui juga melompat, tetapi ayahnya cepat berseru, “Kim Hui, cepat selamatkan dan bawa pergi ibumu!”

Kim Hui cepat tanggap apa yang dimaksudkan ayahnya. Ia mengenal siapa adanya kakek pendek gendut itu yang bukan lain adalah Lam-hai Cin-jin, datuk yang terkenal di selatan dan sekarang menjadi Koksu kerajaan kecil Raja Muda Wu Sam Kwi.

Ia tahu betapa lihainya orang itu dan dibantu demikian banyaknya prajurit, sungguh bukan merupakan lawan yang sepadan bagi dia dan ayahnya. Dia pun dapat menduga bahwa penyerangan itu tentu akibat pukulannya terhadap Wu Kan, putera Raja Muda Wu Sam Kwi. Sekarang yang terpenting memang menyelamatkan ibunya yang sudah terluka oleh pukulan Lam-hai Cin-jin yang lihai. 

Cepat ia berlari dan memondong ibunya yang pingsan, lalu membawa ibunya lari dari situ. Dengan mudah Kim Hui segera merobohkan para prajurit yang mencoba menghadangnya dengan pedangnya. Tangan kiri memanggul tubuh ibunya di atas pundak, ada pun tangan kanan ia pergunakan untuk mengamuk dengan pedangnya.

Para prajurit yang berani menghadangnya roboh mandi darah dan sebentar saja sudah ada belasan orang prajurit yang roboh. Hal ini membuat prajurit lain ketakutan dan Kim Hui cepat melompat kemudian berlari cepat keluar dari kota.

Lam-hai Cin-jin tidak dapat mencegah gadis itu melarikan ibunya karena dia sendiri sibuk menghadapi Wan Cun yang menyerang dengan ganas. Sebetulnya dia diperintah oleh Wu Kongcu untuk menangkap dan menyeret Wan Kim Hui kepadanya, akan tetapi ketika dia datang bersama tiga losin prajuritnya, Kim Hui dan ayahnya tidak berada di rumah.

Ketika dia memaksa hendak menggeledah ke dalam rumah, Nyonya Wan Cun langsung melarangnya sehingga mereka berdua pun berkelahi. Tapi ilmu kepandaian Nyonya Wan ternyata masih belum cukup tangguh untuk melawan Lam-hai Cin-jin. Biar pun ia melawan mati-matian, akhirnya ia terkena pukulan Hek-tok-ciang dari lawannya sehingga roboh dan pingsan.

Lam-ong Wan Cun masih mengamuk, dikeroyok oleh Lam-hai Cin-jin serta para prajurit. Raja Selatan ini menggunakan sebuah pedang yang besar panjang dengan ujung pedang bercabang dua. Dengan pedang ini dia mampu dengan mudah merampas senjata lawan. Kalau senjata lawan dapat tertangkap di tengah ujung yang bercabang itu lalu pedangnya diputar dengan tenaga sentakan, maka senjata lawan tentu akan patah atau terlepas dari pegangan lawan.

Beberapa orang prajurit telah kehilangan golok atau roboh oleh sabetan pedang di tangan Wan Cun. Akan tetapi karena dia juga harus menghadapi serangan Lam-hai Cin-jin yang mempergunakan sebuah ruyung baja berduri diselingi pukulan Hek-tok-ciang, maka tentu saja Wan Cun mulai terdesak hebat. Sukar juga baginya untuk bisa melarikan diri, karena dia telah dikepung banyak prajurit dan Lam-hai Cin-jin merupakan seorang lawan tangguh yang tingkat kepandaiannya seimbang dengan tingkatnya sendiri.

Mendadak nampak bayangan berkelebat dan terdengar seruan lantang. “Ayah, mari kita basmi anjing-anjing busuk ini!” Dan Wan Kim Hui telah berada di situ, mengamuk dengan pedangnya. Begitu ia bergerak, empat orang prajurit lantas terjengkang mandi darah dan gadis itu kemudian membantu ayahnya menghadapi Lam-hai Cin-jin yang dibantu banyak prajurit.

Munculnya gadis yang lihai itu membuat Lam-hai Cin-jin menjadi gentar. Dia tahu bahwa gadis itu memiliki ilmu silat yang hampir menyamai tingkat ayahnya!

Tetapi melihat puterinya datang membantu, Wan Cun menjadi khawatir akan keselamatan isterinya. “Kim Hui, mari kita pergi!” katanya sambil menggerakkan pedangnya menyerang Lam-hai Cin-jin yang segera melompat ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan ayah dan anak itu untuk melompat keluar dari kepungan dan mereka lalu melarikan diri keluar kota.

Setelah tiba di luar kota, Wan Cun bertanya. “Di mana ibumu?”
“Ibu selamat walau pun terluka, Ayah. Kutitipkan di rumah seorang petani di sana.”

Mereka lalu berlari cepat menuju ke dusun kecil itu. Wan Cun menemukan isterinya rebah dalam keadaan masih pingsan di dalam rumah sederhana milik seorang petani. Dia cepat memeriksa keadaannya.

Ternyata isterinya terkena pukulan Hek-tok-ciang dari Lam-hai Cin-jin. Pada lambungnya terdapat tanda tapak jari hitam. Dia cepat membantu isterinya dengan penyaluran tenaga sinkang untuk mencegah menjalarnya hawa beracun pukulan itu. Isterinya siuman namun keadaannya lemah.

“Ayah, mari kita kembali dan bunuh jahanam Lam-hai Cin-jin itu!” Kim Hui berkata sambil mengepal tinju.

Ayahnya menggelengkan kepala. “Tidak mudah membunuhnya. Dia dilindungi Raja Muda Wu Sam Kwi dan kita akan berhadapan dengan pasukan yang berjumlah besar. Lagi pula sekarang yang paling penting bukanlah membalas dendam, melainkan mencarikan obat untuk menyembuhkan ibumu.”

Demikianlah, untuk menjaga supaya prajurit-prajurit Raja Muda Wu Sam Kwi tidak dapat menemukan mereka, Wan Cun dan Wan Kim Hui membawa lari Nyonya Wan keluar dari daerah Se-cuan dan akhirnya mereka tiba di sebuah bukit tidak jauh dari Telaga Lam-hu.

Bukit itu dikenal sebagai Bukit Siluman. Tidak ada penduduk yang tinggal di sekitar Lam-hu berani mendaki bukit itu karena dikabarkan bahwa bukit itu menjadi tempat tinggal para setan dan siluman! Mendengar ini, Wan Cun menganggap bahwa bukit itu adalah tempat yang baik untuk menyembunyikan diri.

Tetapi ketika mereka bertiga sedang mendaki bukit itu, mereka dihadang oleh sekitar dua puluh orang. Mereka adalah gerombolan penjahat di bukit itu yang dipimpin oleh seorang laki-laki tinggi besar bermuka penuh brewok yang mengaku berjuluk Tiat-thouw-ciang (Si Kepalan Besi). Terjadilah perkelahian, namun dengan mudah saja Wan Cun dan Kim Hui membunuh Tiat-thouw-ciang dan lima orang anak buah yang menjadi pembantunya. Lima belas orang anak buah lain melihat pemimpin mereka tewas, segera berlutut minta ampun dan takluk.

Karena dia membutuhkan anak buah untuk membangun rumah tinggal di situ, maka Wan Cun menerima lima belas orang ini menjadi anak-anak buahnya dan menggunakan rumah bekas tempat tinggal Tiat-thouw-ciang sebagai tempat tinggalnya.

Akan tetapi luka dalam yang diderita Nyonya Wan makin parah. Usaha pengobatan Wan Cun tidak mampu menyembuhkannya, hanya dapat mencegah luka itu menjalar semakin parah. Dari anak buahnya, Wan Cun mendengar bahwa di kota Lam-hu terdapat seorang ahli pengobatan yang membuka toko obat bernama Ui Tiong. Maka dia segera mengutus puterinya untuk mengundang Ui Tiong ke Bukit Siluman untuk memeriksa dan mengobati isterinya.

Demikianlah, seperti diceritakan di bagian depan, Wan Kim Hui mengajak lima orang anak buahnya, menunggang kuda pergi ke kota Lam-hu. Karena Ui Tiong tidak mau diundang dan minta agar yang sakit dibawa ke tokonya, Wan Kim Hui yang menjadi semakin galak karena khawatir akan keadaan ibunya, lalu memaksanya, menotoknya dan menculiknya, dibawa ke Bukit Siluman!

Setelah tiba di rumah perkampungan kecil di puncak bukit, Ui Tiong lalu dibebaskan dari totokan. Dia memeriksa si sakit dan terkejut. Ternyata luka dalam yang diderita Nyonya Wan sungguh hebat.

“Hemm, lukanya sungguh berat. Aku hanya dapat memberi obat pencegah rasa nyeri dan pembersih darah supaya darahnya jangan sampai dikotori oleh hawa beracun itu.” Dia lalu menulis resep obat dan seorang anak buah Bukit Siluman segera diutus untuk membeli obat di rumah Ui Tiong.

Ketika utusan itu membeli obat lalu pergi naik kuda, kesempatan itu segera dipergunakan Ui Yan Bun yang datang berkunjung ke rumah pamannya untuk membayanginya. Pemuda itu merasa penasaran dan marah sekali mendengar cerita bibinya betapa seorang gadis liar menculik pamannya dan memaksanya untuk mengobati orang sakit.

Penunggang kuda itu sama sekali tidak tahu bahwa dia dibayangi Yan Bun. Setelah tiba di perkampungan itu, dia langsung menyerahkan bungkusan obat itu kepada Ui Tiong yang segera memasaknya dan meminumkannya kepada Nyonya Wan. Agaknya obat itu amat manjur karena setelah minum obat itu, rasa nyeri tidak begitu menyiksa Nyonya Wan Cun lagi.

Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di luar rumah. Mendengar ini, Wan Kim Hui langsung berlari keluar dan dia melihat lima orang anak buahnya sedang mengeroyok seorang pemuda.

Sambil menghindarkan diri dari serangan lima orang itu dengan gerakan mengelak yang ringan dan cepat, pemuda itu berseru, “Aku tidak ingin mencari permusuhan! Aku hanya ingin melihat apakah Paman Ui Tiong dalam keadaan baik-baik saja dan ingin mengajak dia pulang!”

Setelah berkata demikian, dengan gerakan yang sangat cepat dia pun balas menyerang. Kedua tangan dan kakinya bergerak, dan berturut-turut lima orang itu berteriak dan golok yang mereka pegang itu telah terlepas karena pergelangan tangan mereka kena pukulan atau tendangan.

“Kalian mundur semua!” bentak Kim Hui.

Mendengar bentakan gadis itu, lima orang anak buah cepat mundur dan para anak buah lain yang berdatangan juga tidak berani mendekat. Kini Wan Kim Hui berhadapan dengan Ui Yan Bun. Keduanya saling pandang, dan sepasang alis pemuda itu berkerut. Yan Bun lantas teringat akan cerita bibinya tentang seorang gadis cantik yang menculik pamannya dan mendorong roboh bibinya. Gadis liar dan kasar!

“Nona, apakah engkau yang telah menculik pamanku Ui Tiong?” tanyanya dengan suara ketus.

Diam-diam kemarahan Ui Tiong bercampur dengan rasa heran. Gadis itu cantik manis dan pakaiannya mewah, sama sekali tidak tampak liar. Tetapi mengapa gadis seperti ini dapat memaksa dan menculik pamannya?

Sementara itu Wan Kim Hui juga tertegun ketika berhadapan dengan Yan Bun. Ia melihat seorang pemuda yang berpakaian serba biru, usianya kurang lebih dua puluh dua tahun dan bertubuh tegap, wajahnya tampan gagah dan sinar mata serta sikapnya lembut. Akan tetapi pertanyaan yang agak ketus itu membuat ia mendongkol juga. Ia tersenyum manis sekali walau pun senyum itu dibarengi pandang mata yang mengejek.

“Kalau benar, engkau mau apa? Siapa sih engkau ini?”
“Aku bernama Ui Yan Bun dan yang kau culik adalah pamanku Ui Tiong! Siapakah engkau ini seorang wanita muda berani melakukan kekerasan memaksa paman ikut denganmu?”
“Aku bernama Wan Kim Hui dan memang aku memaksa pamanmu karena dia tidak mau pergi dengan suka rela.”
“Aku datang untuk menjemput pamanku. Di mana dia? Bebaskan dia atau....”
“Atau apa?” Kim Hui tertawa.
“Atau terpaksa aku akan menggunakan kekerasan!”

Senyum Kim Hui melebar. “Engkau? Hendak menggunakan kekerasan? Hemm, aku ingin sekali melihat bagaimana engkau akan melakukannya.”

“Nona, kuharap engkau suka membebaskan pamanku supaya dapat kuajak pulang. Aku datang bukan hendak mencari permusuhan. Akan tetapi kalau engkau menolak, terpaksa aku akan mengimbangi perbuatanmu. Engkau memaksa pamanku ikut denganmu dan kini terpaksa aku pun hendak memaksa mengajaknya pulang!”
“Tidak perlu banyak cakap! Perlihatkan kepandaianmu kalau memang engkau mempunyai kepandaian!”

Tentu saja Yan Bun tidak mau menyerang seorang gadis. Dia lalu menggunakan ginkang-nya untuk berkelebat cepat menuju ke pintu rumah itu, dengan niat untuk masuk ke dalam mencari pamannya.

Akan tetapi mendadak tubuh gadis itu pun sudah berkelebat dan sebelum Yan Bun tiba di depan pintu, gadis itu telah menghadangnya dan begitu dekat, tangan Kim Hui menyerang dengan tamparan ke pundak pemuda itu.

Yan Bun kagum juga melihat betapa gadis itu bisa mendahuluinya, dan melihat tamparan yang mendatangkan angin pukulan kuat itu dia cepat mengelak lantas balas menyerang dengan tamparan pula. Kim Hui menangkis dengan cepat.

“Dukk!”

Keduanya sama terdorong ke belakang tiga langkah, menandakan bahwa tenaga mereka amat seimbang. Hal ini mengejutkan keduanya karena mereka tak mengira bahwa lawan masing-masing sedemikian kuatnya!

Kim Hui merasa penasaran dan dia menyerang lebih ganas. Yan Bun harus bersikap hati-hati karena kini dia pun dapat mengerti mengapa pamannya dapat ditawan gadis ini yang ternyata amat lihai.

Perkelahian tangan kosong berjalan dengan seru. Meski pun keduanya membawa pedang di punggung mereka, akan tetapi keduanya tidak mencabut pedang, hanya saling serang dengan tangan kosong.

Yan Bun memang hanya ingin menjemput pamannya, sama sekali tidak ingin bermusuhan dengan gadis itu, maka dia tidak mau menggunakan senjata tajam. Sebaliknya Kim Hui yang biasanya ganas dan galak itu, sekali ini juga tidak menggunakan pedangnya karena dia ingin menguji sampai di mana hebatnya ilmu silat tangan kosong pemuda yang secara diam-diam amat menarik hatinya itu. Baru pertama kali ini ia merasa tertarik oleh seorang pemuda!

Setelah bertanding sekitar empat puluh jurus, diam-diam Yan Bun menjadi semakin kaget. Lawannya benar-benar hebat. Semua serangannya dapat dipatahkan dengan mudah dan sebaliknya, kadang-kadang serangan gadis itu membuat dia terdesak sehingga terpaksa mundur!

Tiba-tiba terdengar bentakan suara yang parau dan dalam. “Kim Hui, minggir kau!”

Sesosok bayangan menyambar dan Yan Bun terkejut sekali. Dia cepat menangkis sebuah tangan yang mencengkeram ke arah pundaknya.

“Dukkk!”

Tubuhnya tergetar dan terhuyung ke belakang! Kini di hadapannya berdiri seorang laki-laki bertubuh tinggi besar, mukanya brewok mirip muka singa dan sepasang matanya bersinar mencorong. Kini laki-laki itu yang bukan lain adalah Wan Cun sudah menerjang lagi tanpa mengeluarkan kata-kata.

Yan Bun membela diri sedapat mungkin. Namun dia hanya dapat bertahan sepuluh jurus saja karena tanpa dapat dia hindarkan, pundaknya terkena totokan yang ampuh dan dia pun terguling roboh dengan tubuh lemas lunglai.

Wan Cun mencengkeram punggung baju pemuda itu lantas menjinjingnya, membawanya masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Kim Hui yang mengambil pedang dari punggung Yan Bun.

Setelah tiba di ruangan dalam di mana Ui Tiong sedang menunggu si sakit sambil duduk di atas kursi, barulah Wan Cun melepaskan tubuh Yan Bun sehingga pemuda itu terkulai dan rebah telentang di atas lantai.

“Yan Bun...! Engkau di sini...?” Ui Tiong memandang dengan mata terbelalak heran dan khawatir.

Melihat Pek-hu (Paman Tua) itu dalam keadaan baik-baik saja, Yan Bun yang tak mampu menggerakkan kedua kaki tangannya namun masih dapat mengeluarkan suara, berkata lega, “Syukurlah Pek-hu dalam keadaan selamat.”

Tiba-tiba Nyonya Wan terbatuk-batuk, lalu muntah-muntah. Wan Cun, Ui Tiong dan juga Kim Hui cepat menghampiri si sakit. Setelah muntah-muntah, nyonya itu tampak lelah dan napasnya terengah-engah. Ui Tiong cepat-cepat memeriksa denyut nadi dan pernapasan Nyonya Wan, lalu dia menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menghela napas panjang. Melihat ini, Wan Cun cepat bertanya.

“Bagaimana keadaan isteriku?”
“Ah, terpaksa sekali saya katakan bahwa keadaan nyonya ini berat sekali. Hawa beracun dalam dadanya sukar untuk dibersihkan, bahkan kalian dapat lihat, obat yang diminumnya tadi banyak yang dimuntahkannya kembali. Hawa beracun itu sungguh ganas dan jahat sekali.”

Tentu saja keterangan ini membuat ayah dan anak itu menjadi gelisah sekali. “Engkau harus dapat menyembuhkan dia! Harus dapat menyembuhkan dia!” bentak Wan Kim Hui dan kedua mata yang bersinar tajam itu menjadi basah dengan air mata.

Melihat sikap dan mendengar ucapan gadis yang liar dan galak itu, Ui Tiong mengerutkan alisnya dan sambil memandang keponakannya yang masih menggeletak telentang di atas lantai, dia berkata dengan hati kesal.

“Hemm, kalian ini orang-orang kang-ouw akan tetapi sama sekali tidak menghargai sopan santun dan peraturan orang-orang dunia kang-ouw. Kalian telah memaksa aku ke sini dan kini kalian malah menangkap keponakanku. Apa sih kehendak kalian ini?”

Wan Cun menghela napas kemudian berkata, “Kami bukan tidak tahu aturan, akan tetapi keadaanlah yang memaksa kami berbuat seperti ini. Isteriku terluka, keluarga kami terusir dan karena khawatir akan keselamatan ibunya, anakku sudah bersikap kasar kepadamu. Keponakanmu ini datang dengan maksud mengajakmu pulang, maka terpaksa kutangkap pula agar dia jangan membikin kacau. Kami hanya menghendaki agar isteriku sembuh.”

Ui Tiong menggelengkan lagi kepalanya. “Sulit, Lam-ong,” katanya.

Wan Cun memang sudah memperkenalkan nama dan julukannya kepadanya sebelum dia mengobati, karena itu dia mengetahui bahwa ayah dari gadis yang menculiknya ini adalah seorang datuk persilatan dari Selatan.

“Terus terang saja, aku sendiri tidak ada kemampuan untuk menyembuhkan isterimu. Dan kukira di seluruh daerah ini tidak ada orang yang akan mampu menyembuhkannya. Satu-satunya orang yang kukira dapat memberi obat yang dapat menyembuhkannya hanyalah Bu Beng Kiam-sian (Dewa Pedang Tanpa Nama) yang berada di Beng-san. Dia saja yang dapat menyembuhkan segala luka dari pukulan beracun yang amat jahat seperti Hek-tok-ciang yang hawa beracunnya berasal dari katak hitam raksasa ini.”

Mendengar ini, ayah dan anak tampak semakin bingung, bahkan Kim Hui mulai menangis sambil memeluk ibunya. Melihat ini timbullah rasa iba di hati Yan Bun. Ayah dan anak ini lihai bukan main, terutama ayah yang berjuluk Lam-ong (Raja Selatan) itu. Kalau mereka bertindak kasar dan tampak sewenang-wenang hanya karena mereka berdua gelisah dan bingung. Keinginan satu-satunya bagi mereka hanyalah menyembuhkan ibu dari gadis itu.

“Aku sanggup menghadap Bu Beng Kiam-sian untuk mencarikan obat itu,” katanya.

Mendengar ini, Lam-ong cepat menghampiri pemuda yang masih rebah telentang di atas lantai itu dan sekali ia menekan punggung Yan Bun, pemuda itu terbebas dari totokan. Dia lalu bangkit berdiri dan Kim Hui dengan tak sabar cepat bertanya.

“Benarkah engkau dapat mencarikan obat untuk ibuku?” tanyanya sambil menatap wajah Yan Bun dengan pandang mata penuh harapan, sepasang mata yang masih basah.
“Orang muda, betulkah kata-katamu bahwa engkau sanggup mintakan obat untuk isteriku kepada Bu Beng Kiam-sian di Beng-san?” tanya Wan Cun pula.
“Yan Bun, bagaimana engkau menyanggupi semudah itu? Beng-san merupakan gunung yang tinggi dan sukar didaki, juga Bu Beng Kiam-sian adalah seorang manusia aneh yang tidak mudah berhubungan dengan manusia lain,” kata Ui Tiong.
“Pek-hu, saya sanggup karena dahulu saya pernah diajak oleh Suhu Thian Bong Sianjin berkunjung ke sana. Karena saya sudah pernah berjumpa dengan Bu Beng Kiam-sian, maka saya berani menyanggupi pekerjaan itu.”
“Bagus! Orang muda, siapakah namamu?” tanya Wan Cun dengan suara gembira karena dia mendapatkan harapan baru.
“Nama saya Yan Bun, Locianpwe (sebutan hormat orang tua).”
“Nah, Ui Yan Bun, kalau memang sanggup untuk mencarikan obat untuk menyembuhkan isteriku, minta kepada Bu Beng Kiam-sian di Beng-san, kami sekeluarga akan berterima kasih sekali kepadamu, dan kami juga akan mohon maaf atas pemaksaan kami terhadap pamanmu, juga terhadap dirimu yang telah kutangkap tadi,” kata Wan Cun.

“Tidak mengapa, Locianpwe. Sesudah saya mengetahui apa yang menyebabkan puterimu memaksa Pek-hu untuk ikut ke sini, maka hal itu hanyalah merupakan salah paham saja. Akan tetapi saya baru akan berusaha mencarikan obat itu jika Locianpwe suka memenuhi permintaan saya.”
“Hei, Ui Yan Bun, engkau mengajukan syarat, ataukah hendak memeras ayahku?” Wan Kim Hui bertanya penasaran.
“Aku hanya ingin mendapat imbalan untuk tugas yang berat ini, demi kesembuhan ibumu, Nona,” kata Yan Bun.
“Katakanlah, orang muda. Apakah yang kau minta dariku bila mana engkau telah berhasil mendapatkan obat dari Bu Beng Kiam-sian?” Wan Cun bertanya, penuh harapan.
“Saya hanya minta agar Locianpwe suka mengajarkan ilmu silat kepada saya.”
“Boleh! Aku berjanji kalau engkau berhasil mendapatkan obat dan isteriku sembuh, maka engkau akan menjadi muridku dan akan kuberikan semua ilmuku kepadamu!”

Tanpa mengeluarkan ucapan apa pun, Wan Kim Hui lalu menyerahkan pedang Yan Bun yang tadinya ia rampas. Akan tetapi pada saat pandang mata mereka bertemu, Yan Bun melihat bahwa sinar mata gadis itu kini tidak galak lagi, bahkan kedua pipi Kim Hui terlihat kemerahan!

Untuk membuktikan niat baiknya, Wan Cun memberi kebebasan kepada Ui Tiong. Tabib ini boleh pulang ke Lam-hu, dengan janji bahwa setiap hari ia akan datang menjenguk dan memeriksa keadaan Nyonya Wan.

Pada hari itu juga Ui Yan Bun segera berangkat, dengan membawa buntalan pakaian dan pedangnya. Dia melakukan perjalanan cepat sekali karena ingin segera sampai di Beng-san. Nyonya Wan Cun harus bisa disembuhkan, bukan hanya karena dia ingin menerima pelajaran ilmu silat tinggi dari Lam-ong Wan Cun, tapi terutama sekali supaya pamannya segera terbebas dari ancaman dan agar hati Wan Kim Hui menjadi senang melihat ibunya dapat disembuhkan!

Tetapi baru saja dia meninggalkan Bukit Siluman sejauh belasan kilometer, tiba-tiba ada bayangan berkelebat melewatinya dan tahu-tahu Wan Kim Hui telah berdiri di depannya! Gadis itu menggendong sebuah buntalan pakaian dan pedangnya juga tergantung pada punggungnya, tanda bahwa gadis itu hendak melakukan perjalanan jauh.

“Ehh, engkaukah ini, Nona Wan...?” Yan Bun menegur heran.
“Tidak usah nona-nonaan, Ui Yan Bun! Namaku Kim Hui, sebut saja namaku!” gadis itu memotong cepat.

Yan Bun tersenyum dan menarik napas panjang. Gadis ini benar-benar bersikap terbuka, polos dan agak liar.

“Baiklah, Kim Hui. Ke manakah engkau hendak pergi, kalau aku boleh bertanya? Atau... engkau memang mengejarku dan kalau begitu, ada kepentingan apakah?” Mendadak dia merasa betapa jantungnya berdebar tegang karena terpikir olehnya bahwa jangan-jangan ibu gadis itu meninggal!
“Aku hendak ikut denganmu ke Beng-san!” kata Kim Hui singkat.

Yan Bun terkejut. “Ehh? Kenapa? Aku yang akan mencarikan obat itu, Kim Hui, dan aku tidak memerlukan bantuan.”

Kim Hui cemberut, sinar matanya menyambar marah. “Yan Bun, yang sakit adalah ibuku, ibu kandungku! Aku lebih berhak mencari obat untuknya dari pada engkau! Dan lagi, aku bukan ingin membantumu, aku ingin mencari sendiri kalau engkau tidak suka melakukan perjalanan bersamaku!”

Melihat betapa gadis itu amat marah, Yan Bun cepat berkata, “Sama sekali bukannya aku tidak ingin melakukan perjalanan bersamamu, Kim Hui. Aku malah senang sekali karena engkau lihai dan dapat diandalkan, akan tetapi....”

“Akan tetapi apa lagi? Apa bila engkau tidak keberatan melakukan perjalanan bersamaku, sudahlah jangan banyak cakap. Mari kita segera melanjutkan perjalanan agar dapat cepat memperoleh obat itu!”

Yan Bun harus mengakui bahwa gadis ini dapat merupakan bantuan besar sekali baginya karena kelihaian gadis ini bahkan melampauinya sehingga kalau dia bertemu penghalang di jalan, gadis ini dapat membantu mengatasinya. Lagi pula, tentu saja gadis ini memang mempunyai hak dan kewajiban untuk berusaha mencarikan obat bagi ibunya. Dia khawatir kalau-kalau Kim Hui akan menjadi semakin marah jika dia membantah lagi, maka dia lalu berkata,

“Baiklah, mari kita pergi.”

Mereka lalu melanjutkan perjalanan, dengan cepat mereka berlomba lari…..!

********************
Beng-san merupakan pegunungan yang amat panjang, terdiri dari banyak bukit-bukit dan puncaknya menjulang tinggi menembus awan. Di atas puncak sebuah di antara bukit-bukit itu, yaitu Bukit Kera, tinggal seorang pertapa wanita berjuluk Im Yang Sian-kouw. Wanita ini berusia sekitar empat puluh satu tahun, masih tampak cantik dan lembut, berpakaian jubah pendeta yang longgar berwarna putih.

Di puncak itu dia mempunyai sebuah pondok kayu yang cukup besar dan dia mempunyai seorang pelayan wanita setengah baya berusia lima puluh tahun. Selain itu ia mempunyai pula seorang murid laki-laki, seorang pemuda berusia dua puluh dua tahun yang bernama Si Han Bu yang merupakan murid tunggalnya.

Pada suatu pagi yang cerah, walau pun matahari masih tampak merah dan bulat besar di ufuk timur, terlihat seorang pemuda sedang berlatih silat di lapangan yang datar di puncak Bukit Kera. Dia berlatih silat di antara tanaman bunga-bunga yang merupakan taman di belakang pondok dan di tengah taman itu memang sengaja dibuat sebuah lapangan untuk berlatih silat.

Pemuda itu berusia sekitar dua puluh dua tahun, bertubuh tinggi tegap dan wajahnya yang berkulit putih itu tampan. Sepasang matanya bersinar terang membayangkan semangat hidup dan kegembiraan, mulutnya mengandung senyum nakal. Tetapi wajahnya membuat orang yang memandangnya sukar untuk menjadi marah karena wajah itu tampak ramah sekali. Pakaiannya sangat sederhana dan baik celana mau pun bajunya terbuat dari kain berwarna putih bersih.

Pada saat itu pemuda yang bernama Si Han Bu ini tengah berlatih silat. Tangan kanannya memegang sebatang pedang dan dengan gerakan indah ia memainkan pedang itu, mula-mula lambat saja, kemudian semakin cepat hingga pedangnya berubah menjadi gulungan sinar putih.

Tiba-tiba dari dalam pondok itu muncul seorang wanita yang berpakaian serba putih pula. Wanita ini adalah Im-yang Sian-kouw. Walau pun usianya sudah empat puluh satu tahun lebih, namun dia masih tampak cantik dengan wajahnya yang lembut, sepasang matanya yang bersinar lembut tapi terkadang mencorong penuh wibawa, kulitnya yang putih mulus, rambutnya yang panjang hitam dan mulutnya yang selalu tersenyum ramah biar pun ada garis-garis kedukaan membekas di kedua ujung mulutnya. Tubuhnya juga masih tampak ramping padat.

Dengan langkah perlahan Im-yang Sian-kouw keluar dari pintu belakang menuju ke dalam taman di mana murid tunggalnya, Si Han Bu, sedang berlatih silat pedang. Dia duduk di atas bangku tidak jauh dari lapangan berlatih silat itu, menonton dengan penuh perhatian lalu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Hemm, begitulah seharusnya Im-yang Kiam-sut (Ilmu Pedang Im Yang) dimainkan, Han Bu. Coba sekarang imbangi dengan Im-yang Po-san (Kipas Im Yang)!”

Tanpa menghentikan gerakan pedangnya, Si Han Bu mencabut sebuah kipas lebar yang mukanya berwarna putih akan tetapi belakangnya berwarna hitam, kemudian tangan kiri yang memegang kipas itu membuat gerakan silat melengkapi gerakan pedangnya hingga tampak dua buah senjata yang saling menunjang dan saling melindungi. Indah dan juga berbahaya sekali bagi lawan permainan kombinasi pedang dan kipas itu!

Sesudah pemuda itu berhenti berlatih dan berdiri di hadapan gurunya, Im-yang Sian-kouw berkata lembut namun dengan nada suara bersungguh-sungguh.

“Han Bu, kalau ilmu pedangmu sudah baik sekali, tetapi permainan kipasmu masih terlalu lemah. Kipasmu itu hanya mengambil bagian pertahanan saja, padahal jika engkau selingi dengan serangan tiba-tiba, dapat membuat lawan terkejut dan bingung. Engkau mainkan kipasmu seperti sedang menari saja, hanya mementingkan segi keindahannya dari pada kegunaannya dalam pertandingan.”

Pemuda itu tersenyum lebar. “Maafkan, Subo (Ibu Guru), teecu (murid) tadi memang lebih banyak mempergunakan kipas ini untuk mengipasi tubuh teecu yang panas berkeringat. Maklum, sudah sejak pagi sekali tadi teecu berlatih sehingga teecu merasa gerah sekali. Maaf, Subo.”

Dia kini menggunakan ujung lengan bajunya untuk mengusap keringat yang membasahi muka dan lehernya. Melihat lagak muridnya yang lucu itu, Im-yang Sian-kouw tersenyum. Ia sangat menyayang muridnya itu dan menganggapnya seperti puteranya sendiri.....

Sebenarnya yang menemukan Si Han Bu adalah gurunya, yaitu Bu Beng Kiam-sian yang kini sudah meninggal dunia sekitar setahun yang lalu. Bu Beng Kiam-sian menemukan Si Han Bu yang sudah yatim piatu, ketika anak yang baru berusia sepuluh tahun itu bersama ayah ibunya meninggalkan dusun karena pergi mengungsi setelah terjadi perang.

Dalam pengungsian mereka di kaki pegunungan Beng-san, mereka lalu bertemu dengan pasukan pengikut Jenderal Wu Sam Kwi dan melihat ibu Si Han Bu yang cantik, mereka hendak mengganggunya. Ayah ibu Si Han Bu melawan sampai akhirnya mati dikeroyok dan Han Bu yang berusia sepuluh tahun melarikan diri dikejar beberapa orang prajurit. 

Untung pada saat yang gawat dan berbahaya bagi keselamatan anak itu, muncul Bu Beng Kiam-sian yang langsung menghajar para prajurit dan menolong anak itu. Bu Beng Kiam-sian lalu mengubur jenazah ayah ibu Han Bu dan membawa anak itu ke Bukit Kera.

Demikianlah, sejak berusia sepuluh tahun Han Bu menjadi murid Im-yang Sian-kouw atau cucu murid Bu Beng Kiam-sian. Setelah Bu Beng Kiam-sian meninggal, maka di puncak Bukit Kera itu tinggal Im-yang Sian-kouw, Si Han Bu, dan nenek pelayan yang menempati pondok itu.

“Han Bu, ingatlah bahwa engkau tidak boleh jumawa, jangan dikira bahwa kepandaianmu sudah paling hebat. Tidak ada batas bagi tingkat kepandaian manusia. Yang pandai ada yang lebih pandai lagi, yang tinggi ada yang lebih tinggi lagi. Engkau harus selalu rendah hati karena hanya orang yang rendah hati sajalah yang memiliki kesempatan besar untuk meningkatkan kepandaiannya. Sebaliknya orang yang merasa dirinya paling hebat takkan dapat maju, bahkan kesombongannya ini akan menjatuhkan dirinya sendiri. Engkau harus terus belajar, tidak ada kata akhir bagi orang belajar, bahkan sampai mati pun kita harus tetap belajar.”

Han Bu menggaruk-garuk bagian belakang telinganya biar pun tidak terasa gatal, “Waduh, alangkah akan lelahnya kalau harus belajar terus selama hidup, Subo!”

Im-yang Sian-kouw tertawa. “Hush, bukan hanya belajar silat terus menerus. Hidup bukan sekedar belajar silat saja, Han Bu. Hidup ini sendiri merupakan proses belajar, sejak lahir sampai akhir usia. Belajar dari kehidupan ini agar engkau bukan hanya mahir memainkan pedang dan kipasmu untuk melindungi diri sendiri dan orang lain, untuk mempertahankan dan membela kebenaran serta keadilan, akan tetapi banyak hal-hal yang perlu kau pelajari sehingga engkau dapat mengerti benar apa artinya hidup ini dan apa kewajibanmu dalam kehidupan. Jangan sekali-kali merasa dirimu pandai.”

Han Bu tertawa. “He-he-he, Subo telah sering mengatakan bahwa tidak ada orang pandai di dunia ini! Tadinya teecu bingung. Masa tidak ada orang pandai? Bukankah mendiang Sukong (Kakek Guru) dan Subo sendiri juga orang-orang pandai? Akan tetapi sekarang teecu telah mendapatkan jawabannya kenapa Subo mengatakan bahwa di dunia ini tidak ada orang pandai.”

Sambil tersenyum melihat cara muridnya bicara yang lucu, Im-yang Sian-kouw berkata, “Hemm, benarkah engkau sudah mengerti mengapa? Coba katakan pendapatmu.”

“Memang tidak ada orang pandai di dunia ini, Subo. Sepandai-pandainya orang, dia masih amat bodoh. Buktinya, orang yang bagaimana pandai pun, tidak dapat mengatur apa yang menempel di tubuhnya sendiri. Tidak dapat menghentikan tumbuhnya rambut, tidak dapat mencegah kuku menjadi panjang, apa lagi menghitung rambutnya sendiri. Maafkan, Subo, teecu berani bertaruh bahwa Subo sendiri juga tidak dapat menghitung berapa banyaknya rambut yang berada di kepala Subo. Maka, benarlah kalau Subo mengatakan bahwa tidak ada orang pandai di dunia ini!”

Im-yang Sian-kouw tertawa dan menutupi mulutnya. “Karena itu jangan sekali-kali engkau menjadi sombong dan merasa dirimu pandai. Kepandaian manusia terbatas sekali. Yang Maha Pandai hanyalah Thian Yang Maha Kuasa. Apa yang dapat dilakukan oleh manusia hanyalah merupakan karunia yang diberikan oleh Thian, bukan karena si manusia sendiri yang pandai. Nah, sudahlah, Han Bu, kalau bicara denganmu aku selalu menjadi geli dan ingin tertawa. Berlatihlah lagi sampai Im-yang Po-san dapat kau mainkan dengan sebaik-baiknya. Aku akan bersemedhi dan kalau engkau ingin sarapan lagi, minta saja kepada Sun-ma (Ibu Sun) di dapur, tidak perlu menunggu aku karena aku tidak ingin makan pagi ini.”

“Wah, Subo tentu selalu memegang pedoman Subo, yaitu tidak makan kalau tidak lapar, tidak minum kalau tidak haus, tidak tidur kalau tidak mengantuk!”
“Tentu saja, anak bodoh. Mengerjakan lebih dari apa yang dibutuhkan badan merupakan pemborosan tenaga dan pengrusakan kepada diri sendiri.” Setelah berkata demikian, Im-yang Sian-kouw meninggalkan tempat itu, kembali memasuki pondok dengan bibir masih menahan senyum.

Hidup dekat pemuda itu orang tidak mungkin dapat menahan tawa dan gembira. Ia amat bersyukur kepada Tuhan bahwa terdapat seorang murid seperti Han Bu yang dianggapnya putera sendiri yang selalu mendatangkan seri gembira di dalam hidupnya, menghiburnya dari duka nestapa yang pernah dia alami di masa mudanya.

Han Bu memandang gurunya yang berjalan santai menuju pondok sampai gurunya lenyap di balik pintu belakang pondok. Dia tersenyum dan hatinya merasa bangga sekali kepada ibu gurunya yang dia anggap sebagai ibunya sendiri.

Betapa bahagianya dia! Biar pun sejak kecil kehilangan ayah ibunya yang terbunuh oleh para prajurit dari Selatan, namun dia memperoleh penggantinya. Sebelum meninggal, Bu Beng Kiam-sian juga amat baik padanya. Biar pun kini kakek itu sudah meninggal, namun dia mendapatkan pengganti ayah ibunya dalam diri Im-yang Sian-kouw!

Si Han Bu amat menyayang ibu gurunya, menyayangnya seperti ibunya sendiri. Ia selalu menyanjung gurunya, mengagumi kecantikannya, kelembutannya, kebijaksanaannya, dan kepandaiannya. Terkadang dia juga dapat merasakan betapa ada sesuatu yang membuat gurunya itu seolah menderita batin yang selalu ditahan-tahannya.

Tentu ada hubungannya dengan riwayat subo-nya ketika masih muda. Akan tetapi subo-nya tidak pernah menceritakan riwayat hidupnya dan dia pun tidak berani bertanya.

Si Han Bu mulai berlatih lagi. Kini dia hanya melatih ilmu silat kipasnya saja. Setelah dia berlatih dengan gaya yang indah tapi lucu sampai puluhan jurus dan mulai merasa gerah, tiba-tiba berkelebat dua sosok bayangan orang. Han Bu cepat menghentikan permainan silat kipasnya.

Ketika dia memandang, di situ telah berdiri seorang pemuda berpakaian serba biru yang berwajah tampan gagah dan seorang gadis berpakaian mewah seperti puteri bangsawan yang berwajah manis dengan tahi lalat hitam kecil di dagu kirinya. Melihat mereka berdua membawa pedang di punggung, Han Bu dapat menduga bahwa mereka tentulah orang-orang kang-ouw yang pandai ilmu silat.

Melihat gadis cantik manis yang sikapnya angkuh, berdiri sambil menegakkan kepala dan membusungkan dada yang telah mulai dewasa itu, timbullah kenakalan Han Bu. Dia lalu tersenyum cengar-cengir mengamati dua orang itu, terutama gadis yang manis itu, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

Mereka adalah Ui Yan Bun dan Wan Kim Hui. Melihat pemuda yang cengar-cengir dengan senyum yang seolah-olah menertawakan itu, Kim Hui sudah naik darah. Ia cemberut dan sepasang alisnya berkerut, sinar matanya berkilat. Tadi dia sempat melihat pemuda yang cengar-cengir itu bersilat dengan kipas, gayanya seperti seorang badut menari.

“Hei, kamu tukang kebun, ya?” tegurnya.

Han Bu tidak marah melihat orang demikian galak dan memandang rendah. “Benar, Nona yang cantik manis. Aku tukang kebun di sini.”

“Heh, lancang mulut kamu! Berani menyebut aku Nona yang cantik manis! Kamu hendak kurang ajar, ya?” bentak Kim Hui.

Sedangkan Yan Bun hanya melihat saja karena dia merasa betapa Kim Hui terlalu kasar dalam bertanya. Selama melakukan perjalanan bersama Kim Hui, Yan Bun sudah dapat mengenal watak gadis itu. Gagah berani dan terbuka, juga mempunyai perasaan adil dan menentang yang jahat, akan tetapi galaknya bukan main!

Si Han Bu membelalakkan matanya dan mulutnya terbuka, lantas bibirnya dimonyongkan meruncing.

“Maafkanlah aku, Nona yang jelek dan pahit,” katanya sambil membungkuk dengan sikap hormat.

Sikap dan ucapan Han Bu ini bagaikan minyak disiramkan kepada api. Mukanya menjadi merah, matanya berapi, kedua tangannya dikepal lalu dia menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka pemuda itu.

“Monyet kurang ajar! Pantas saja bukit ini disebut Bukit Kera, tentu karena monyet busuk seperti kau berada di sini! Keparat busuk kau, berani mengatakan aku jelek dan pahit!” Kim Hui membanting kakinya lalu mencabut pedangnya.
“Eiitt, tenang dulu, Nona. Engkau ini bagaimana sih? Aku jadi bingung. Tadi kusebut Nona yang cantik dan manis, engkau marah. Lalu aku mengubah sebutan menjadi Nona yang jelek dan pahit, engkau malah semakin marah. Lalu aku harus menyebutmu bagaimana?”
“Cerewet! Engkau memang kurang ajar dan pantas sekali dihajar. Biar kurobek mulutmu yang lancang itu!”

Gadis itu sudah menerjang dan menyerang Han Bu dengan pedangnya. Pedang meluncur ke arah mulut pemuda itu.

“Kim Hui, jangan...!” Yan Bun berteriak mencegah, akan tetapi serangan telah dilakukan.
“Tranggg...!”

Cepat sekali Han Bu sudah mencabut pedang lantas menangkis serangan itu. Keduanya melangkah mundur karena pertemuan dua batang pedang itu terasa menggetarkan tangan mereka. Kim Hui memandang kepada pemuda di depannya itu dengan marah.

Han Bu berdiri dengan pedang di tangan kanan, ada pun tangan kirinya masih memegang kipasnya yang sekarang dia pergunakan untuk mengipasi tubuhnya. Dia tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Aduh-aduh, baru kali ini aku bertemu orang yang segalak ini! Datang-datang mengamuk seperti kerbau kehilangan tanduk....”
“Engkau yang anjing! Engkau yang kerbau, babi, monyet, kadal busuk!” Kim Hui memaki-maki marah. “Kau maki aku kerbau, ya? Mampuslah!” Kim Hui menyerang dengan marah, kini menyerang untuk membunuh.
“Kim Hui, jangan...!” Yan Bun kembali berseru.

Akan tetapi dalam keadaan marah seperti itu, Kim Hui tak mempedulikan siapa pun juga. Dia menyerang dengan mengerahkan tenaga dan menggunakan jurus-jurus terampuhnya. Akan tetapi ia makin penasaran karena ternyata Han Bu dapat mengelak atau menangkis semua serangannya!

Akan tetapi secara diam-diam Han Bu terkejut bukan main karena gadis yang galak dan dianggapnya sombong itu ternyata bukan lawan yang ringan! Dia harus berhati-hati sekali dan mempergunakan pedang serta kipasnya untuk membela diri! Bahkan dia harus balas menyerang karena jika dia terus membela diri saja, akhirnya dia pasti akan terluka. Gadis itu memiliki tingkat kepandaian yang tidak berada di bawah tingkatnya sendiri!

Perkelahian itu seru sekali dan Yan Bun sudah menjadi bingung. Sukarlah untuk melarang seorang gadis seperti Kim Hui yang keras hati. Kalau dia turun tangan melerai, maka dia khawatir kalau-kalau pemuda yang senang bergurau dan nakal itu akan salah sangka dan mengira dia mengeroyoknya. Maka dia hanya dapat berseru berulang kali.

“Kim Hui, berhentilah! Berhentilah kalian berkelahi!”

Akan tetapi karena Kim Hui yang merasa penasaran terus saja menyerang, terpaksa Han Bu membela diri sehingga perkelahian itu tidak dapat dihentikan.

Tiba-tiba tampak bayangan putih berkelebat.

“Tarrr-tarrr...!” Segulung sinar putih menyambar.

Kim Hui berseru kaget dan pedangnya hampir saja terlepas dari tangannya ketika bertemu sinar putih. Ia cepat melompat ke belakang, sementara Han Bu segera menyimpan kedua senjatanya dan memberi hormat kepada Im-yang Sian-kouw yang sudah berdiri di antara dua orang yang tadi berkelahi.

“Subo, teecu terpaksa membela diri dan tidak dapat berhenti karena dia yang amat galak ini terus mendesak teecu dan tidak mau berhenti menyerang.”
“Tentu saja aku menyerangmu, engkau laki-laki kurang ajar! Engkau memaki aku kerbau!” teriak Kim Hui.

Dia memandang kepada wanita berpakaian serba putih yang kini memandangnya. Wanita itu tadi telah melerai perkelahian menggunakan sehelai pita putih dan dia merasa terkejut sekali betapa pita sutera putih itu demikian kuat sehingga hampir saja pedangnya terlepas ketika terbentur pita yang berubah menjadi sinar putih. Tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan seorang wanita yang memiliki tingkat kepandaian tinggi sekali.

Ui Yan Bun juga maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang yang sangat lihai, dan diam-diam ia merasa heran sekali. Mengapa dia merasa seolah pernah bertemu dengan wanita ini? Bahkan dia merasa seolah dia telah mengenalnya dengan baik. Akan tetapi dia tak ingat lagi di mana dan kapan pernah bertemu dengannya. Cepat dia memberi hormat kepada wanita itu.

“Locianpwe, saya mohon maaf atas kelancangan kami berdua yang sudah mengganggu ketenangan di sini.”

Im-yang Sian-kouw memutar tubuh menghadapi pemuda itu dan ia pun tersenyum. Begitu wanita itu tersenyum, jantung Yan Bun berdebar aneh. Dia merasa yakin pernah bertemu dengan wanita ini, akan tetapi tetap saja dia tidak ingat di mana dan kapan.

“Baik, orang muda. Aku yakin bahwa kalian berdua bukan orang-orang sesat yang hendak membuat kacau tempat ini. Apa yang terjadi dengan muridku tadi tentu hanya merupakan kesalah-pahaman belaka. Maklumlah, muridku Si Han Bu ini memang nakal dan senang bergurau! Nona muda, kau maafkan muridku,” katanya sambil menoleh kepada Kim Hui.

Wan Kim Hui memang seorang gadis yang liar dan galak, namun ia memiliki keadilan dan bila berhadapan dengan orang yang lembut dan ramah, kekerasan hatinya akan mencair seperti salju dibakar.

“Bibi yang baik, aku juga minta maaf, akan tetapi harap engkau suka mengajar muridmu itu agar dia bersikap sopan kepada seorang gadis.”

Mendengar suara gadis itu yang kini melembut dan sama sekali tidak tampak marah atau mendongkol, Si Han Bu tersenyum.

“Aku yang bersalah, Nona yang... baik dan lihai sekali, maafkan aku.”

Kim Hui tersenyum dan semua orang tersenyum. Im-yang Sian-kouw kini berkata kepada Yan Bun. “Orang muda, siapakah kalian dan apakah maksud kalian datang berkunjung ke rumah kami?”

“Locianpwe, saya bernama Ui Yan Bun dan Nona ini bernama Wan Kim Hui. Kami datang dari Lam-hu dan sesungguhnya jauh-jauh kami berkunjung ke Beng-san ini adalah untuk menghadap Locianpwe Bu Beng Kiam-sian.”
“Aih, sungguh sayang, kedatangan kalian berdua sia-sia karena Suhu Bu Beng Kiam-sian sudah wafat sekitar setahun yang lalu,” kata Im-yang Sian-kouw dengan suara menyesal karena ia merasa kasihan kepada dua orang muda yang datang dari jauh dengan sia-sia itu.
“Aduh, celaka... Yan Bun...!” Tiba-tiba Kim Hui berseru dan dia pun menangis.

Hampir saja Si Han Bu berseru saking herannya, akan tetapi ditahan ketika ingat betapa galaknya gadis itu. Yang membuat dia bengong terheran-heran adalah melihat gadis yang demikian galaknya kini dapat menangis tersedu-sedu!

“Ui Yan Bun, apa yang terjadi? Mengapa kalian mencari mendiang Suhu Bu Beng Kiam-sian dan mengapa pula Kim Hui ini menangis sedih ketika mendengar beliau telah tiada?”
“Locianpwe, kami berdua dari Lam-hu berkunjung ke sini untuk menghadap Locianpwe Bu Beng Kiam-sian dan mohon pertolongan beliau untuk menyelamatkan nyawa ibu dari Adik Wan Kim Hui ini. Akan tetapi ternyata beliau sudah wafat, maka habislah harapan kami untuk mendapatkan obat itu...,” kata Yan Bun dengan nada sedih.
“Ah, mengapa langsung putus harapan? Nona Wan Kim Hui, hentikan tangismu. Biar pun Kakek Guru Bu Beng Kiam-sian telah wafat setahun yang lalu, tapi masih ada yang dapat mengobati ibumu!” kata Si Han Bu dengan suara lantang mengandung hiburan.

Mendengar ini, seketika Kim Hui menghentikan tangisnya dan Yan Bun juga memandang pemuda yang riang itu dengan penuh harapan baru.

“Benarkah? Engkau dapat mengobati ibuku?” Kim Hui bertanya dan dia melangkah maju menghadapi pemuda itu.

Si Han Bu tersenyum. “Tenanglah, Nona dan jangan kau khawatir. Bukan aku yang dapat mengobati ibumu, tetapi Subo Im-yang Sian-kouw ini adalah murid mendiang Sukong Bu Beng Kiam-sian dan Subo telah mewarisi semua kepandaian mendiang Sukong. Beliau ini yang akan mampu menyembuhkan ibumu.”

“Si Han Bu! Engkau sudah lupa akan pesanku agar engkau tidak menyombongkan diri?” tegur Im-yang Sian-kouw kepada muridnya.

Han Bu tersenyum dan memberi hormat kepada gurunya. “Maaf, Subo, akan tetapi teecu bukan menyombongkan diri, hanya membanggakan Subo. Apa itu tidak boleh?”

Sulitlah untuk marah kepada seorang seperti Han Bu. Im-yang Sian-kouw tersenyum lalu berkata kepada Yan Bun dan Kim Hui.

“Kalian hendak bertemu dengan mendiang guruku, biarlah aku mewakilinya. Mari, silakan masuk dan kita bicara di dalam pondok.”

Setelah berkata demikian Im-yang Sian-kouw memasuki pondoknya. Ketika Yan Bun dan Kim Hui tampak ragu-ragu, Han Bu memberi isyarat agar mereka berdua ikut masuk. Dia mengiringkan dari belakang.

Setelah berada di dalam pondok, mereka berempat duduk mengelilingi meja dan Sun-ma, pelayan tua itu, menghidangkan air teh.

“Nah, sekarang ceritakanlah apa yang sudah terjadi dengan ibumu, Wan Kim Hui,” kata wanita cantik yang berpakaian pendeta itu kepada Kim Hui.

Kim Hui memandang kepada Yan Bun lalu kepada nyonya rumah dan berkata, “Bibi, biar Ui Yan Bun yang menceritakannya karena dialah yang bertugas mencari obat. Aku hanya menemaninya saja. Yan Bun, ceritakanlah kepada Bibi Im-yang Sian-kouw seperti yang pernah kuceritakan kepadamu tentang keluargaku.”

Yan Bun memang telah mendengar dari gadis itu tentang semua peristiwa yang menimpa keluarga Wan Cun. Maka dia pun lalu menceritakan kepada Im-yang Sian-kouw apa yang telah terjadi di daerah Se-cuan, yang menimpa keluarga Wan sehingga Nyonya Wan Cun mengalami luka dalam yang parah dan mereka bertiga terpaksa melarikan diri dari daerah yang dikuasai pemerintahan Raja Muda Wu Sam Kwi.

Im-yang Sian-kouw dan Si Han Bu mendengarkan dengan penuh perhatian sampai Yan Bun mengakhiri ceritanya. Sesudah pemuda itu selesai bercerita, Im-yang Sian-kouw lalu memandang kepada Kim Hui dan bertanya.

“Kim Hui, ayahmu bernama Wan Cun. Bukankah dia yang berjuluk Lam-ong?”

“Benar, Bibi. Ibuku terluka oleh pukulan Hek-tok-ciang dari Lam-hai Cin-jin, harap engkau suka memberi obat untuk menyembuhkannya.”

Im-yang Sian-kouw mengangguk-anggukkan kepala. “Aku pernah mendengar nama Lam-ong dan juga Lam-hai Cin-jin. Kabarnya Lam-hai Cin-jin menjadi Koksu (Guru Negara) dari Raja Muda Wu Sam Kwi. Hemm, keluargamu dimusuhi karena engkau memukul putera Raja Muda Wu Sam Kwi?”

“Pemuda itu kurang ajar sekali, hendak memaksa aku menerima lamarannya, Bibi. Kalau aku tahu akan berekor panjang sehingga ibuku terluka, tentu pemuda she Wan itu bukan hanya kuhajar, melainkan sudah kubunuh dia!”

Im-yang Sian-kouw menghela napas panjang. “Dan engkau, Yan Bun, mengapa engkau yang mencarikan obat untuk Nyonya Wan? Ada hubungan apakah antara engkau dengan keluarga Wan?” wanita itu bertanya sambil melirik ke arah Kim Hui karena muncul dugaan bahwa tentu ada hubungan antara gadis cantik itu dengan pemuda she Ui ini.

Kim Hui sudah mengerutkan alisnya. Ia khawatir kalau-kalau Yan Bun akan menceritakan tentang ia yang menculik Ui Tiong untuk dipaksa mengobati ibunya. Yan Bun memandang kepadanya dan mengerti akan kegelisahan hati Kim Hui, maka dia tersenyum dan berkata kepada Im-yang Sian-kouw.

“Begini, Locianpwe. Sebenarnya saya tidak mempunyai hubungan dengan keluarga Wan, bahkan saya bukan penduduk Lam-hu. Ketika saya mengunjungi Paman saya Ui Tiong di Lam-hu, Paman Ui Tiong sedang berusaha untuk mengobati Nyonya Wan. Akan tetapi luka beracun yang diderita Nyonya Wan itu amat parah dan Paman Ui Tiong tidak mampu menyembuhkannya. Paman saya lalu mengatakan bahwa orang yang mampu mengobati hanyalah Locianpwe Bu Beng Kiam-sian. Karena itu saya yang pernah bertemu dengan Locianpwe Bu Beng Kiam-sian lalu memberanikan diri untuk membantu keluarga Wan.”

“Ahh, kiranya engkau pernah bertemu dengan mendiang Suhu,” kata Im-yang Sian-kouw. “Kenapa aku tidak pernah melihatmu?”
“Dulu saya pernah diajak Suhu Thian Bong Sianjin berkunjung ke sini, Locianpwe, ketika Locianpwe Bu Beng Kiam-sian masih hidup. Ketika itu, sekitar lima tahun yang lalu, beliau tinggal seorang diri di pondok ini.”

“Lima tahun yang lalu? Ah, ketika itu aku bersama muridku Si Han Bu ini memang masih tinggal di lereng bukit. Aku mengenal nama Thian Bong Sianjin. Jadi engkau muridnya? Baiklah, Yan Bun dan Kim Hui, aku suka menolong Nyonya Wan. Keterangan Han Bu tadi bukan bualan belaka, memang aku sudah mewarisi ilmu pengobatan dari mendiang Suhu dan kebetulan sekali aku menyimpan obat yang amat langka untuk menyembuhkan luka beracun berbahaya seperti akibat pukulan Hek-tok-ciang itu.” Wanita itu lalu menghampiri almari kayu, mengambil sebuah bungkusan dan menyerahkan kepada Yan Bun. 

“Ini adalah Jamur Salju Putih. Masak jamur ini dengan air tiga mangkok, biarkan mendidih sampai tinggal satu mangkok, lalu minumkan kepada si sakit. Kemudian ampasnya boleh diulang lagi, masak dengan dua mangkok air sampai tersisa satu mangkok, diulang pagi dan sore selama tiga hari. Kalau Thian menghendaki, hawa beracun itu pasti dapat terusir bersih!”

Yan Bun dan Kim Hui merasa girang sekali. Mereka mengucapkan terima kasih kemudian berpamitan. Han Bu mengantar mereka sampai menuruni puncak dan tiba di lereng paling bawah. Yan Bun menghentikan langkahnya dan berkata kepada Han Bu.

“Saudara Si Han Bu, kami kira cukuplah engkau mengantar kami sampai di sini. Banyak terima kasih atas kebaikanmu dan sampaikan terima kasih kami yang sedalam-dalamnya kepada gurumu.”
“Ah, Yan Bun dan Kim Hui, setelah tadi aku bertanding dengan Kim Hui kemudian kalian bertemu dengan Subo dan diberi obat, bukankah kita bertiga kini sudah menjadi sahabat? Setelah menjadi sahabat, di antara kita tidak perlu ada sungkan-sungkanan lagi, bukan?”

Melihat wajah yang cerah dan ramah itu, Yan Bun tertawa. “Ahh, tentu saja, Han Bu. Aku senang dan bangga menjadi sahabatmu!”

Han Bu memandang kepada Kim Hui. “Lho, kenapa engkau cemberut, Kim Hui? Apakah engkau tidak suka menjadi sahabatku? Apakah sekarang engkau masih menganggap aku seorang pemuda kurang ajar?”

“Selama engkau menganggap aku galak, aku juga akan menganggap engkau kurang ajar,” jawab Kim Hui tanpa senyum.
“Aih, Kim Hui, ternyata engkau masih belum dapat memaafkan aku? Sekarang aku tidak menganggap engkau galak lagi. Engkau manis.... budi, maksudku engkau baik hati dan aku bangga sekali menjadi sahabatmu! Sekali lagi maafkan aku dan jangan engkau benci padaku, Kim Hui.”
“Siapa yang benci? Aku tidak benci padamu!” kata Kim Hui, kini tidak lagi cemberut.
“Bagus! Kalau begitu engkau sayang padaku?”
“Apa?! Sayang...?”
“Maksudku, sayang sebagai sahabat. Kalau tidak benci berarti sayang, bukan? Wah-wah, jangan marah lagi, sobat.”

Kim Hui tersenyum. Memang harus ia akui bahwa sukarlah untuk marah kepada pemuda yang periang ini. “Aku tidak benci kepadamu, itu saja sudah cukup dan aku menganggap engkau sahabatku. Nah, sekarang, selamat berpisah dan jangan ikuti kami lagi.”

“Baiklah, aku berhenti mengantar sampai di sini. Yan Bun, selamat berpisah dan selamat jalan. Kim Hui, selamat jalan dan mudah-mudahan kita segera akan saling berjumpa lagi. Harap jaga dirimu baik-baik, sahabatku tersayang.” Han Bu melambaikan tangan kepada mereka berdua yang melanjutkan perjalanan.

Yan Bun juga melambaikan tangan sementara Han Bu menanti-nanti, akan tetapi Kim Hui berjalan terus, tidak menengok. Dia mengerutkan alisnya, benar-benarkah gadis itu sama sekali tidak mempedulikannya? Akan tetapi sebelum mereka membelok, tiba-tiba gadis itu membalikkan tubuhnya, lalu tersenyum dan melambaikan tangan sambil berseru.

“Han Bu, sampai jumpa dan jaga dirimu baik-baik!”

Setelah mereka berdua menghilang di belokan, Han Bu meloncat-loncat kegirangan. “Ha-ha-ha, ia suka padaku! Suka padaku!” Dia lalu berlari cepat mendaki Bukit Kera…..

********************
Selanjutnya baca
KEMELUT KERAJAAN MANCU : JILID-07
LihatTutupKomentar