Kemelut Kerajaan Mancu Jilid 07
Sementara itu, Ui Yan Bun dan Wan Kim Hui melakukan perjalanan secepatnya kembali ke Bukit Siluman di dekat Lam-hu. Ketika mereka sampai di tempat tinggal keluarga Wan, mereka melihat betapa penyakit yang diderita Nyonya Wan sudah makin parah. Kebetulan sekali hari itu Ui Tiong juga datang menengok dan memeriksa si sakit, maka kedatangan kedua orang muda itu disambut dengan gembira dan muncul kembali harapan dalam hati Wan Cun.
Kim Hui segera memasak obat itu seperti yang dipesankan Im-yang Sian-kouw, kemudian sesudah tersisa satu mangkok dan agak dingin, obat itu lalu diminumkan kepada ibunya. Sesudah minum obat itu, benar saja wajah Nyonya Wan menjadi agak merah dan dia pun siuman dari pingsannya. Begitu siuman ia mengatakan bahwa dadanya tak terasa terlalu nyeri dan sesak lagi.
Semua orang bergembira dan setelah obat itu diminum pagi sore sampai tiga hari, nyonya itu sembuh sama sekali. Tanda telapak tangan menghitam itu pun lenyap dan suami isteri itu mengucapkan terima kasih kepada Ui Yan Bun.
Setelah Nyonya Wan sembuh, mulailah Yan Bun dilatih ilmu silat oleh Lam-ong Wan Cun dan Yan Bun tinggal di Bukit Siluman sampai selama satu tahun…..
********************
Pangeran Bouw Hun Ki adalah adik kaisar yang setia mendukung Kaisar Shun Chi. Dia sendiri seorang sastrawan yang berwatak gagah berani menentang kelaliman biar pun dia tidak pernah mempelajari ilmu silat tinggi. Akan tetapi dia mempunyai seorang isteri yang amat lihai. Isterinya atau Bouw Hujin (Nyonya Bouw) dahulu bernama Souw Lan Hui dan di dunia kang-ouw ia terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang berjuluk Sin-hong-cu (Burung Hong Sakti). Memang agak aneh bila dua orang yang berlainan keahlian ini, yang laki-laki ahli sastra yang wanita ahli silat, dapat saling jatuh cinta lalu menikah.
Sekarang Pangeran Bouw Hun Ki berusia lima puluh empat tahun, masih terlihat tampan dan gagah dengan rambut tercampur uban. Ada pun isterinya, Bouw Hujin, berusia sekitar lima puluh satu tahun, masih cantik dan tubuhnya ramping padat. Meski gerak-gerik dan suaranya lembut seperti seorang wanita bangsawan karena dia isteri seorang pangeran, namun sinar matanya terkadang mencorong penuh wibawa dan kekuatan.
Suami isteri ini mempunyai dua orang anak. Yang pertama bernama Bouw Kun Liong, kini berusia dua puluh empat tahun, wajahnya tampan seperti ayahnya dan pakaiannya indah, sikapnya agak galak tapi dia menghargai kejujuran dan kegagahan.
Yang ke dua adalah seorang gadis berusia sekitar delapan belas tahun bernama Bouw Hwi Siang, cantik seperti ibunya. Dua orang anak ini juga menerima gemblengan ilmu silat ibu mereka dan juga mempelajari sastra dari ayah mereka.
Karena maklum bahwa di antara para pangeran banyak yang ingin memperebutkan tahta, maka Kaisar Shun Chi merasa khawatir akan keselamatan putera mahkota, yaitu putera dari permaisuri, Pangeran Kang Shi yang ketika itu baru berusia sekitar sebelas tahun. Karena dia percaya sepenuhnya kepada Pangeran Bouw Hun Ki, terutama sekali karena dia maklum bahwa Panglima Bouw Hun Ki memiliki isteri dan dua orang anak yang amat lihai dan boleh diandalkan, maka Kaisar Shun Chi menitipkan Pangeran Mahkota Kang Shi pada keluarga Pangeran Bouw agar dididik dan dilindungi.
Bouw Hujin amat berhati-hati menjaga keamanan Pangeran Mahkota. Ia membuat sebuah ruangan rahasia di bawah lantai gedung sehingga kalau sewaktu-waktu ada bahaya yang mengancam, ia dapat mengungsikan dan menyembunyikan pangeran itu ke dalam ruang rahasia itu.
Kini, setelah terjadi percobaan pembunuhan terhadap kaisar, dan percobaan pembunuhan terhadap Pangeran Mahkota seperti yang dilakukan oleh Pangeran Leng Kok Cun yang mengutus Gui Tiong dan Bu Kong Liang yang dibayangi Twa-to Ngo-liong, maka keluarga Bouw menjadi semakin waspada dan berhati-hati. Kini penjagaan dilakukan dengan ketat. Terlebih lagi kini mereka mendapat bantuan dari Bu Kong Liang dan Gui Siang Lin yang diminta tinggal untuk sementara di gedung keluarga Bouw dan ikut menjaga keselamatan Pangeran Kang Shi.....
Setelah Kong Liang dan Gui Siang Lin yang masih adik seperguruannya itu tinggal kurang lebih satu bulan di gedung keluarga Bouw, keduanya menjadi akrab dengan putera dan puteri Pangeran Bouw. Bouw Hwi Siang tertarik sekali kepada Bu Kong Liang yang gagah perkasa, sopan, jujur dan tegas penuh kejantanan itu. Ada pun Bouw Kun Liong juga jatuh cinta kepada Gui Siang Lin, sebaliknya gadis yatim piatu itu pun tertarik kepada pemuda bangsawan yang tampan dan gagah itu.
Pada suatu pagi yang cerah, Pangeran Bouw Hun Ki bercakap-cakap dengan isterinya di serambi sambil minum teh. Mereka berdua tadi melihat putera dan puteri mereka bersama Bu Kong Liang dan Gui Siang Lin pergi ke lian-bu-thia (ruang berlatih silat) dengan wajah gembira.
Setiap pagi empat orang muda itu berlatih ilmu silat dan mereka saling menguji dan saling memberi petunjuk sehingga dapat saling mengisi dan saling melengkapi. Kong Liang dan Siang Lin adalah murid-murid Siauw-lim-pai, ada pun Kun Liong dan Hwi Siang keduanya menerima pelajaran silat Bu-tong-pai dari ibu mereka. Padahal dahulu ilmu silat Bu-tong-pai juga bersumber kepada ilmu silat Siauw-lim-pai, maka kedua aliran itu memang dapat saling mengisi dan melengkapi.
“Lihatlah, Pangeran, keakraban anak-anak kita dengan pemuda dan gadis itu!” kata Bouw Hujin kepada suaminya.
Pangeran Bouw mengangkat muka, memandang ke arah ruangan belajar silat, kemudian memandang isterinya. “Kalau mereka akrab, lalu apa salahnya?”
Bouw Hujin tersenyum dan untuk ke sekian kalinya Pangeran Bouw merasa kagum dan heran bahwa sampai sekarang setiap kali isterinya tersenyum, jantungnya bergetar penuh kasih sayang.
“Tentu saja tidak salah, bahkan saya akan merasa senang sekali kalau Kun Liong dapat berjodoh dengan Siang Lin dan Hwi Siang dapat berjodoh dengan Kong Liang. Bukankah gagasan ini baik sekali, Pangeran?”
Akan tetapi Pangeran Bouw menggelengkan kepala dan mengerutkan alisnya. “Hemm…, gagasan itu sungguh tidak tepat!”
Pandang mata Bouw Hujin berubah tajam ketika dia menatap wajah suaminya. Dia pun mengerutkan kedua alisnya dan suaranya biar pun tetap halus tapi mengandung teguran, “Pangeran, apakah engkau tidak setuju karena mengingat bahwa pemuda dan pemudi itu tidak berdarah bangsawan? Apakah mereka itu dianggap terlampau rendah untuk menjadi jodoh anak-anak kita?”
Pangeran Bouw balas memandang isterinya dan dia tersenyum lebar. “Isteriku yang baik, engkau tahu betul bahwa aku bukan orang yang mempersoalkan keturunan. Buktinya aku menikah denganmu dan kita menjadi suami isteri yang berbahagia sampai sekarang.”
“Kalau begitu, mengapa gagasan saya tadi dikatakan tidak tepat?”
Kembali pangeran itu tersenyum lebar. “Karena dengan demikian kita mendahului mereka, isteriku yang baik! Apakah engkau ingin menjodohkan anak-anak kita tanpa persetujuan mereka terlebih dahulu? Kalau begitu, aku tidak setuju. Mereka harus menentukan sendiri dengan siapa mereka akan berjodoh.”
Nyonya Bouw atau Souw Lan Hui tertawa dengan hati lega. “Aihh, tentu saja, Pangeran! Yang saya maksudkan tadi, saya akan senang sekali kalau kedua orang anak kita dapat berjodoh dengan Bu Kong Liang dan Gui Siang Lin. Tentu saja yang menentukan adalah mereka sendiri.”
“Yah, mudah-mudahan anak kita dapat menentukan pilihan yang tepat sehingga mereka akan dapat hidup berbahagia dengan jodoh masing-masing,” kata Pangeran Bouw.
“Ya, seperti kita,” kata isterinya.
Pada saat itu seorang prajurit pengawal yang bertugas menjaga di gapura depan, datang memasuki serambi itu kemudian memberi hormat kepada Pangeran Bouw dan isterinya. Dengan sikap hormat dia melapor bahwa di luar terdapat Pangeran Ciu Wan Kong yang datang berkunjung.
Sejak Pangeran Mahkota berada di gedung keluarga Pangeran Bouw, tempat itu memang selalu dijaga pasukan pengawal. Hal ini untuk menambah penjagaan supaya keselamatan Pangeran Mahkota dapat terjamin.
Mendengar bahwa yang datang berkunjung adalah adik tirinya, Pangeran Ciu Wan Kong, Pangeran Bouw cepat-cepat memerintahkan agar para penjaga mempersilakan tamu itu memasuki ruangan tamu yang berada di sebelah kiri gedung. Mereka berdua sendiri lalu meninggalkan serambi menuju ke ruangan tamu untuk menyambut tamu.
Belum lama suami isteri itu duduk di ruangan tamu, Pangeran Ciu Wan Kong memasuki ruangan itu bersama puterinya, Ciu Thian Hwa. Pangeran Bouw Hun Ki cepat bangkit dan menyambut Pangeran Ciu Wan Kong dengan gembira.
“Aihh, Dinda Pangeran Ciu Wan Kong! Sungguh berbahagia sekali hati kami menerima kunjunganmu. Selamat datang, Dinda, engkau tampak sehat dan gembira!” kata Pangeran Bouw yang menyambut bersama isterinya dengan perasaan heran dan gembira.
Selama ini dia tahu bahwa adik tirinya ini selama bertahun-tahun hidup tidak wajar, selalu tenggelam dalam kesedihan, tidak pernah tersenyum, tidak pernah keluar dari gedungnya, bahkan ada pula yang mendesas-desuskan bahwa Pangeran Ciu Wan Kong telah menjadi seorang linglung yang miring otaknya. Akan tetapi sekarang pangeran itu muncul bersama seorang gadis cantik dan tampak demikian cerah gembira penuh semangat!
Pangeran Ciu Wan Kong memberi hormat kepada kakak tirinya serta kakak iparnya, dan sesudah mereka semua duduk mengelilingi meja, Pangeran Ciu berkata, “Maafkan saya, Kanda Pangeran Bouw Hun Ki, sudah lama saya tidak pernah datang menghadap. Hari ini saya sengaja datang, selain sudah merasa rindu, juga untuk memperkenalkan anak saya ini, Ciu Thian Hwa.”
Thian Hwa cepat memberi hormat. Pangeran Bouw beserta isterinya memandang dengan hati tertarik, akan tetapi juga dengan perasaan heran. Mereka tahu bahwa Pangeran Ciu tidak pernah menikah, bahkan selir pun tidak punya, bagaimana sekarang tahu-tahu telah mempunyai seorang anak perempuan yang sudah dewasa? Melihat sikap dan pandangan mata kakak tirinya yang terheran-heran, Pangeran Ciu Wan Kong berkata.
“Maaf, Kanda Pangeran, saya akui bahwa selama ini saya hidup dalam keadaan seperti di dalam mimpi, penuh penderitaan dan menyimpan rahasia. Sesungguhnya hidup ini tidak ada artinya lagi bagi saya sesudah wanita yang saya cinta, terpaksa meninggalkan saya sambil membawa anak kami. Tetapi secara tiba-tiba anakku, anakku tersayang, Ciu Thian Hwa ini, muncul! Ahh, betapa bahagia rasa hati saya, Kakanda. Saya seolah bangkit dari jurang kematian. Saya hidup lagi! Dan anak saya ini sudah menjadi seorang yang memiliki ilmu silat yang amat tinggi! Baru saja kami berdua menghadap Sribaginda untuk memberi laporan tentang beberapa hal rahasia yang diketahui anak saya, dan di sana, Thian Hwa ini sudah menyelamatkan Sribaginda Kaisar dari usaha pembunuhan lima orang penjahat. Dia telah membunuh mereka!”
“Ahh, lalu bagaimana dengan Kakanda Kaisar?” tanya Pangeran Bouw.
“Kakanda Kaisar selamat, kemudian beliau memberi tugas yang sangat penting kepada Thian Hwa, dan mengutus kami menyerahkan surat ini kepada Kanda.”
Pangeran Ciu Wan Kong mengeluarkan surat dari kaisar, lantas menyerahkannya kepada Pangeran Bouw Hun Ki yang segera membacanya lalu menyerahkannya kepada isterinya untuk dibaca. Di dalam surat itu Kaisar Shun Chi memberi-tahu kepada mereka bahwa dia sudah memberi Tek-pai (tanda kuasa) kepada Ciu Thian Hwa dan memerintahkan gadis perkasa itu untuk membantu Pangeran Bouw Hun Ki melindungi Pangeran Mahkota dan menjaga agar penobatan Putera Mahkota Kang Shi sebagai kaisar baru berjalan lancar.
Sesudah membaca surat itu, suami isteri itu memandang kepada Thian Hwa dengan rasa kagum. “Ciu Thian Hwa, aku merasa kagum dan bangga mempunyai seorang keponakan sepertimu. Seorang gadis muda sepertimu ini sudah mendapatkan Tek-pai dari Sribaginda Kaisar, sungguh luar biasa,” kata Pangeran Bouw.
“Sekarang aku jadi ingat,” kata Bouw Hujin. “Baru-baru ini aku mendengar bahwa di dunia kang-ouw muncul seorang gadis pendekar yang namanya amat terkenal sebagai Huang-ho Sian-li (Dewi Sungai Kuning). Engkaukah Huang-ho Sian-li itu, Ciu Thian Hwa?”
Thian Hwa yang telah mendengar dari ayahnya bahwa Nyonya Pangeran Bouw ini adalah seorang wanita sakti yang mempunyai ilmu silat tinggi sehingga mendapat kepercayaan kaisar untuk mendidik dan melindungi Pangeran Mahkota, memberi hormat.
“Memang saya yang dimaksudkan, akan tetapi julukan yang diberikan orang kepada saya itu terlalu dilebih-lebihkan.”
“Thian Hwa, coba engkau ceritakan kepada kami rahasia penting apa yang sudah engkau sampaikan kepada Kakanda Kaisar,” kata Pangeran Bouw.
Dengan singkat tetapi jelas Thian Hwa bercerita kepada suami isteri itu tentang Pangeran Leng Kok Cun yang memiliki ambisi untuk memberontak dan merebut kedudukan Kaisar dengan menyingkirkan saingan-saingannya, antara lain Pangeran Cu Kiong dan tentu saja Pangeran Mahkota Kang Shi. Juga ambisi Pangeran Cu Kiong yang hendak merampas kedudukan pengganti kaisar dari tangan Putera Mahkota Kang Shi.
Mendengar keterangan Thian Hwa, Bouw Hujin mengangguk-angguk dan berkata, “Dinda Pangeran Ciu dan Thian Hwa, sebenarnya kami sendiri sudah lama mengetahui tentang mereka yang tidak setia itu. Akan tetapi Kakanda Kaisar selalu melarang untuk bertindak karena bagaimana pun juga, mereka adalah putera-puteranya sendiri. Apa bila mereka itu ditindak dan terdengar rakyat, tentu akan mencemarkan nama keluarga kerajaan sendiri.”
Pangeran Bouw Hun Ki menyambung. “Benar, kami dan juga Kakanda Kaisar sudah tahu bahwa Pangeran Leng Kok Cun dan Pangeran Cu Kiong sedang membujuk para pejabat tinggi agar mendukungnya. Pangeran Cu sendiri kabarnya diam-diam mengadakan kontak dengan Jenderal Wu Sam Kwi di selatan. Namun Kakanda Kaisar selalu menutup-nutupi kesalahan para puteranya, bahkan sekarang beliau mengambil keputusan yang luar biasa, yaitu hendak meninggalkan kerajaan dan menghilang.”
“Hemm, agaknya Kakanda Pangeran Bouw sudah tahu pula tentang keinginan Kakanda Kaisar yang luar biasa itu. Sesungguhnya saya sendiri merasa tidak setuju. Bagaimana Kakanda Kaisar yang masih hidup dan sehat dikabarkan mati? Dan bagaimana mungkin beliau yang sudah tua akan merantau sebagai seorang pendeta?” kata Pangeran Ciu Wan Kong dengan terharu.
“Sesungguhnya hal itu tidak aneh, Dinda Pangeran Ciu. Seperti kita ketahui, beliau dalam kemuliaannya sebagai Kaisar, penuh kekuasaan dan kemuliaan, ternyata malah jauh dari kebahagiaan dengan adanya perebutan kekuasaan di antara para puteranya. Lalu beliau melihat kenyataan bahwa kekuasaan dan harta benda, segala kesenangan duniawi tidak mendatangkan kebahagiaan malah mendatangkan penderitaan batin. Karena itulah beliau malah memilih meninggalkan semua itu untuk mencapai kebahagiaan dan ketenteraman. Dengan cara meninggal dan menunjuk Pangeran Mahkota sebagai penggantinya, berarti melenyapkan pula keraguan dan perebutan kekuasaan di antara para pangeran lainnya.”
“Akan tetapi bagaimana jika keputusan itu memancing timbulnya pemberontakan dari para pangeran yang merasa tidak puas melihat Putera Mahkota yang masih kecil diangkat menjadi kaisar?” tanya Pangeran Ciu dengan khawatir.
“Kalau ada pemberontakan, maka pemerintah tentu akan menumpasnya! Karena itulah Sribaginda telah memberi kekuasaan kepada kami dan kini malah dibantu oleh Ciu Thian Hwa. Kami telah menghubungi semua panglima dan mereka semua sepakat mendukung Putera Mahkota apa bila diangkat menjadi kaisar. Setiap pemberontakan pasti akan dapat kita hancurkan,” kata Pangeran Bouw.
“Jika ada penyerangan terhadap pribadi Pangeran Mahkota, kami yang bertanggung jawab untuk melindunginya. Di sini sudah kami persiapkan untuk melindungi beliau. Saya sendiri dibantu oleh kedua orang anak kami sudah siap, dan kami malah mendapat bantuan dua orang pendekar muda yang boleh diandalkan. Mereka adalah murid-murid Siauw-lim-pai yang lihai. Dan sekarang ada lagi Ciu Thian Hwa ini yang membuat tenaga perlindungan Putera Mahkota menjadi semakin kuat. Kita tidak perlu khawatir.”
“Dinda Pangeran Ciu dan Thian Hwa. Kalian berdua sudah maklum bahwa rencana yang hendak dilakukan Sribaginda Kaisar merupakan rahasia yang hanya boleh diketahui oleh kita berempat dan mereka yang diberi kepercayaan di istana oleh Sribaginda saja. Oleh karena itu kita berempat harus merahasiakannya, bahkan kepada anak-anak kita pun tak perlu kita ceritakan. Biarlah rencana Sribaginda yang mulia itu menjadi rahasia bagi orang lain,” kata Pangeran Bouw dan mendengar ini, Pangeran Ciu mengangguk.
“O ya, biar kupanggil anak-anak itu ke sini. Mereka harus berkenalan dengan Thian Hwa!” kata Bouw Hujin. Kemudian, saking girangnya dan menghendaki anak-anaknya serta dua orang murid Siauw-lim-pai itu segera datang ke situ, ia mengerahkan tenaga saktinya dan berseru. “Anak-anak, kalian berempat ke sinilah, ke ruangan tamu, cepat!”
Suaranya lirih saja tetapi membuat Thian Hwa terkejut karena dalam suara itu terkandung getaran yang amat kuat sehingga dia dapat menduga bahwa orang-orang yang dipanggil itu, biar pun berada di tempat jauh, tentu dapat mendengarnya dengan jelas.
Benar saja dugaannya. Tidak lama kemudian berkelebat empat bayangan orang dan tahu-tahu di dalam ruangan tamu itu telah berdiri dua orang pemuda dan dua orang gadis yang semua masih berkeringat di leher dan muka mereka. Thian Hwa terkejut, akan tetapi juga girang ketika mengenal seorang di antara dua orang pemuda itu yang bukan lain adalah Bu Kong Liang. Akan tetapi tentu saja dia hanya diam dan memandang mereka.
“Anak-anak, perkenalkan, dia ini adalah paman kalian, Pangeran Ciu Wan Kong, dan ini puterinya, Ciu Thian Hwa yang terkenal dengan julukan Huang-ho Sian-li. Thian Hwa, ini adalah anak-anak kami, Bouw Kun Liong dan Bouw Hwi Siang, dan inilah dua orang murid Siauw-lim-pai yang membantu kami, Bu Kong Liang dan Gui Siang Lin.”
Mereka yang diperkenalkan saling memberi hormat. Di dalam kesempatan ini Kong Liang menyapa Thian Hwa. “Hwa-moi, aku girang dapat berjumpa kembali denganmu di sini.”
“Aku juga tidak mengira akan bertemu denganmu di sini, Liang-ko,” jawab Thian Hwa.
“Ahh, kiranya kalian sudah saling mengenal?” kata Bouw Hujin sambil tersenyum.
Kong Liang lalu bercerita kepada mereka tentang pertemuan dan perkenalannya dengan Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa. Setelah bercakap-cakap, Thian Hwa segera dapat akrab dengan kedua orang putera dan puteri Pangeran Bouw dan juga dengan Gui Siang Lin.
Karena mereka semua merupakan orang-orang yang menerima tugas penting yang sama, yaitu melindungi Pangeran Mahkota Kang Shi dan menjaga terlaksananya pengangkatan Pangeran Mahkota menjadi kaisar, maka mereka mengadakan perundingan bagaimana baiknya tugas itu bisa dilaksanakan. Lalu diambil keputusan bahwa untuk sementara, Bu Kong Liang dan Gui Siang Lin tinggal di rumah keluarga Pangeran Bouw sebagai tamu, ada pun Ciu Thian Hwa tetap tinggal di rumah ayahnya, akan tetapi selalu mengadakan kontak dengan keluarga Pangeran Bouw, bahkan setiap pagi datang ke gedung keluarga itu. Pangeran Bouw Hun Ki juga mengadakan hubungan dengan para panglima yang setia terhadap Kaisar.
Biar pun pada waktu itu hampir seluruh daratan Cina dijajah oleh orang Mancu, dan hanya sedikit daerah Barat Daya yang masih dikuasai Jenderal Wu Sam Kwi, tetapi kebanyakan kaum pendekar akhirnya mendukung Kerajaan Ceng. Hal ini terutama sekali karena para pemimpin Mancu menggunakan siasat yang amat pandai.
Mereka melihat betapa kebudayaan pribumi Cina (Han) sangat tinggi dan luhur, dan satu-satunya cara untuk menarik perhatian serta rasa suka rakyat adalah dengan menghargai budaya dan adat istiadat mereka. Karena itu para bangsawan Mancu lalu mengikuti adat dan kebudayaan pribumi Han.
Selain itu mereka juga menerima dan menghargai orang-orang pribumi yang mau bekerja kepada pemerintah Kerajaan Mancu, memberi mereka kedudukan-kedudukan penting di bagian tata negara dan urusan sipil. Hanya kedudukan di kemiliteran yang tidak diberikan kepada pribumi Han, melainkan tetap dipegang oleh bangsa Mancu sendiri.
Penyebab lain yang membuat rakyat pribumi tak banyak menentang pemerintah penjajah Mancu adalah karena tak ada lagi yang menjadi penerus Dinasti atau Kerajaan Beng yang telah jatuh oleh pemberontak-pemberontak bangsa pribumi sendiri hingga akhirnya negara jatuh ke tangan bangsa Mancu.
Satu-satunya pihak yang menentang Kerajaan Ceng (Mancu) sampai waktu itu hanyalah yang dipimpin oleh Jenderal Wu Sam Kwi yang berpusat di Yunnan-hu. Akan tetapi Wu Sam Kwi bukanlah pewaris Kerajaan Beng, bahkan dia adalah seorang panglima Kerajaan Beng yang memberontak terhadap Kerajaan Beng sehingga dia boleh dikata menjadi satu di antara penyebab jatuhnya Kerajaan Beng. Karena itu, meski dia merupakan penentang Kerajaan Mancu yang paling gigih dan bertahan lama, tapi tetap saja rakyat menganggap dia sebagai pemberontak dan tidak mendapat banyak dukungan rakyat.
Dunia kang-ouw, yaitu dunia kaum persilatan, pada waktu itu juga terpecah belah menjadi beberapa kelompok, tetapi yang terbesar adalah mereka yang mendukung tiga kelompok. Pertama tentu saja orang-orang yang mendukung Kerajaan Ceng (Mancu) atau yang setia kepada Kaisar Shun Chi, terdiri dari para pendekar Han dan Mancu sendiri. Kedua adalah mereka yang mendukung Pangeran Leng Kok Cun yang berambisi untuk merampas tahta kerajaan, yang didukung oleh para tokoh kang-ouw golongan sesat. Sedangkan yang ke tiga adalah mereka yang mendukung dan bekerja sama dengan Jenderal Wu Sam Kwi, termasuk Pangeran Cu Kiong dan sekutunya.
Demikianlah keadaannya pada waktu itu. Karena sedih dan bingung melihat ada di antara putera-puteranya yang mempunyai niat jahat untuk memperebutkan tahta kerajaan, maka Kaisar Shun Chi yang sudah tua dan menjadi pemeluk Agama Buddha yang taat, lantas mengambil keputusan untuk berpura-pura mati dan mengundurkan diri secara rahasia, meninggalkan surat wasiat dan pesan kepada Pangeran Bouw Hun Ki dan para pendekar yang membantunya…..
********************
Beberapa malam kemudian…
Malam itu bulan purnama bersinar cemerlang karena tak ada awan yang menghalanginya. Akan tetapi hawa yang amat dingin membuat orang tidak betah lama-lama di luar rumah. Sebelum tengah malam, keadaan sudah sunyi sekali di kota raja.
Akan tetapi justru malam yang dingin sepi namun terang dan indah itu Thian Hwa keluar dari gedung ayahnya. Tadi, ketika ia bercakap-cakap dengan ayahnya, tanpa disengaja ia membicarakan tentang Bouw Hujin yang memiliki ilmu silat tinggi, yang membuat ia amat kagum.
“Aku merasa heran, Ayah. Pangeran Bouw Hun Ki itu....”
“Dia adalah Pamanmu, Thian Hwa, Paman tuamu (Kakak Ayahmu)!” tegur Pangeran Ciu Wan Kong.
“Oh ya, Paman Pangeran Bouw itu, bagaimana dapat memiliki isteri yang demikian gagah perkasa dan tinggi ilmu silatnya? Apakah Bibi Bouw itu juga seorang wanita bangsawan Mancu?”
“Bukan, Thian Hwa. Ia seorang wanita pribumi Han, dan memang sejak dulu dia seorang pendekar wanita yang amat terkenal dengan julukan Burung Hong Sakti.”
Mendengar julukan ini Thian Hwa memandang ayahnya dengan mata terbelalak. “Ah, Sin-hong-cu, Ayah? Julukannya Sin-hong-cu?”
Kini Pangeran Ciu yang memandang anaknya dengan hati heran. “Benar, julukannya Sin-hong-cu. Kenapa, Thian Hwa?”
Thian Hwa tidak ingin membuka rahasia gurunya, biar kepada ayahnya sekali pun. Akan tetapi ia ingat benar bahwa gurunya, Thian Bong Sianjin dulu pernah bercerita kepadanya bahwa gurunya itu dahulu saling mencinta dengan seorang pendekar wanita berjuluk Sin-hong-cu, akan tetapi kemudian pendekar wanita itu menikah dengan seorang pangeran! Kini dia tidak sangsi lagi bahwa Bouw Hujin yang lihai itulah yang dahulu menjadi kekasih gurunya!
“Tidak apa-apa, Ayah. Aku hanya pernah mendengar nama julukan itu.”
Ayahnya mengangguk. “Tidak aneh karena memang dahulu namanya sebagai pendekar wanita terkenal sekali.”
Demikianlah, oleh karena hatinya amat tertarik mendengar bahwa Bouw Hujin adalah Sin-hong-cu bekas pacar gurunya, malam itu Thian Hwa keluar dari gedung ayahnya dengan niat mengelilingi gedung keluarga Pangeran Bouw. Dia memang merasa ikut bertanggung jawab akan keselamatan Pangeran Mahkota yang berada di gedung itu dan setiap pagi ia pasti datang ke gedung itu. Akan tetapi ada baiknya kalau sewaktu-waktu ia berkunjung di waktu malam, menyelidiki dan menjaga kalau-kalau ada bahaya mengancam pada waktu malam.
Sementara itu, di malam bulan purnama yang dingin itu, Bouw Hujin keluar dari kamarnya dan menuju ke taman bunga seorang diri. Pangeran Bouw Hun Ki, suaminya, sudah tidur pulas. Ketika melihat sinar bulan melalui jendelanya, ia lalu keluar dari dalam kamar, ingin menikmati malam yang amat indah itu.
Biar pun usianya sudah lima puluh satu tahun, Nyonya Bouw atau Souw Lan Hui ini masih tampak cantik dan tubuhnya masih ramping padat. Diterangi sinar bulan purnama, berada di tengah taman bunga itu, ia seolah-olah seorang bidadari yang sedang menghibur diri di taman.
Ia berjalan-jalan sebentar, lalu duduk di atas bangku dekat kolam ikan, memandangi ikan-ikan yang berenang hilir mudik di kolam air yang jernih itu. Terkadang ada ikan emas yang membalikkan tubuh sekilas dan tampak perutnya mengkilap terkena sinar bulan purnama.
Tiba-tiba kedua tangan Bouw Hujin bergerak menyambit ke arah kiri dan dua sinar perak meluncur cepat sekali ke arah bayangan orang yang bersembunyi di balik semak-semak pohon kembang. Akan tetapi bayangan itu segera miringkan tubuhnya dan dengan kedua tangannya dia menangkap Gin-seng-piauw (Senjata Rahasia Bintang Perak) yang datang menyambar ke arah tubuhnya itu.
“Gin-seng-piauw-mu sungguh masih hebat dan berbahaya sekali!” seru bayangan itu yang ternyata seorang laki-laki berpakaian serba putih bertubuh tinggi kurus, dan dari gelung rambut serta pakaiannya dapatlah diketahui bahwa dia adalah seorang tosu (Pendeta To), berusia sekitar lima puluh tujuh tahun.
“Kui Thian Bong...!” Bouw Hujin berseru ketika melihat laki-laki itu.
Laki-laki itu ternyata adalah Thian Bong Sianjin yang dulu bernama Kiu Thian Bong, guru Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa.
“Hui-moi (Adik Hui)... ehh, maksudku Bouw Hujin, maafkan kalau aku sudah mengejutkan dan mengganggumu,” kata Thian Bong Sianjin sambil memberi hormat.
“Bong-ko (Kakak Bong), aku sudah mendengar bahwa engkau menjadi seorang tosu. Ah, aku memang kaget sekali melihatmu, akan tetapi aku... aku amat senang melihat engkau sehat. Tapi... tapi... mengapa engkau kini menjadi seorang tosu?” kata Bouw Hujin sambil bangkit dari tempat duduknya.
Thian Bong Sianjin melangkah maju menghampiri hingga mereka kini berhadapan dalam jarak sekitar dua tombak. Sejenak mereka saling pandang dan dalam sinar mata mereka terdapat keharuan yang mendalam. Bagaimana pun juga, mereka berdua dahulu adalah sepasang kekasih yang saling mencinta. Namun hati Souw Lan Hui kemudian tertarik oleh Pangeran Bouw Hun Ki yang meski pun tidak sangat lihai tetapi terkenal sebagai seorang yang gagah berani.
Akhirnya Souw Lan Hui menikah dengan pangeran Bouw yang dianggapnya lebih dapat menjamin kehidupannya kemudian, memberinya kemuliaan serta kehormatan di samping cinta kasih yang mendalam. Jauh lebih meyakinkan bila dibandingkan keadaan Kui Thian Bong yang hidup sebagai seorang pendekar yang keras, tidak tentu keadaan dan tempat tinggalnya.
Dan ternyata pilihannya itu benar karena dia hidup berbahagia di samping suaminya dan kedua orang anaknya, hidup terhormat dan mulia, juga amat dicinta suaminya yang meski pun seorang pangeran namun tidak mengambil isteri atau selir lain. Walau pun demikian, kini melihat bekas kekasihnya muncul secara tiba-tiba dan sudah menjadi seorang tosu, hati Souw Lan Hui merasa terharu sekali.
Mendengar pertanyaan itu, Thian Bong Sianjin tersenyum. “Siancai.... apa salahnya kalau menjadi seorang tosu, Bouw Hujin? Pinto sekarang bukan Kui Thian Bong yang dulu lagi, melainkan Thian Bong Sianjin, dan engkau adalah Nyonya Pangeran Bouw Hun Ki yang terhormat.”
“Akan tetapi... mengapa engkau tidak... menikah dan berumah tangga...?” Hati wanita itu merasa terharu karena kini baru ia merasa betapa ia yang memutus cinta telah membuat laki-laki ini tidak mau menikah bahkan menjadi seorang pendeta! Mengingat hal ini, kedua mata wanita itu menjadi basah. Dia merasa kasihan dan berdosa sudah menghancurkan kebahagiaan hidup bekas kekasihnya. “Maafkanlah aku... Bong-ko...,” katanya dan wanita itu terisak.
“Siancai, tidak ada yang perlu dimaafkan, Bouw Hujin. Bahkan pinto harus berterima kasih kepadamu karena keputusanmu itu ternyata membuat kita menjadi orang-orang bahagia. Pinto mendapatkan kebahagiaan sebagai seorang tosu dan pinto mendengar pula bahwa engkau pun menjadi seorang ibu yang berbahagia. Sungguh pinto patut bersyukur.”
Ucapan tulus dari Thian Bong Sianjin itu memancing keluarnya air mata lebih banyak lagi sehingga Bouw Hujin terisak.
Pada saat itu pula terdengar bentakan nyaring. “Keparat, berani engkau mengganggu ibu kami!”
Tiba-tiba Bouw Kun Liong dan Bouw Hwi Siang sudah melompat dekat lantas menyerang Thian Bong Sianjin dengan senjata siang-kiam (sepasang pedang) mereka! Serangan ini dahsyat sekali. Empat batang pedang menyambar ke arah tubuh Thian Bong Sianjin!
Tosu itu maklum akan serangan yang cukup berbahaya, maka dengan sekali berkelebat tubuhnya sudah cepat melompat ke belakang sehingga serangan dua orang muda itu tak mengenai sasaran. Akan tetapi pemuda dan gadis itu segera berlompatan mengejar dan menyerang lagi dengan hebatnya. Karena serangan itu memang berbahaya sekali, Thian Bong Sianjin terpaksa mencabut pedangnya dan memutar pedang itu sehingga berubah menjadi sinar pedang yang menggulung menyelimuti dirinya.
“Trang-trang-trang-trang...!”
Empat batang pedang yang menyerang itu bertemu dengan sinar pedang Thian Bong Sianjin dan tampaklah bunga api berpijar menyilaukan mata. Dua orang muda itu terkejut karena sepasang pedang mereka terpental oleh tangkisan yang amat kuat itu.
“Kun Liong! Hwi Siang! Berhenti dan mundur!” Tiba-tiba Bouw Hujin membentak dan dua orang muda itu cepat menahan pedang mereka kemudian mundur ke dekat ibunya sambil memandang dengan heran mengapa ibunya melarang mereka menyerang penjahat itu.
“Siancai! Mereka ini tentu putera-puterimu. Hebat, mereka gagah dan lihai seperti ibunya,” kata Thian Bong Sianjin sambil menyimpan kembali pedangnya.
“Benar, Totiang (Bapak Pendeta), ini adalah Bouw Kun Liong dan Bouw Hwi Siang, kedua orang anakku. Kun Liong dan Hwi Siang, tosu ini adalah Thian Bong Sianjin, bukan musuh dan tidak boleh kalian menyerangnya.”
“Benar sekali, dia bukan penjahat, bukan musuh. Dia adalah sahabat baik ibumu, sahabat baik kami berdua!” Tiba-tiba terdengar suara Pangeran Bouw Hun Ki dan dia pun muncul kemudian menghampiri isterinya.
Muka Thian Bong Sianjin menjadi merah. Segera dia memberi hormat kepada Pangeran Bouw Hun Ki. “Maafkan pinto, Pangeran, kalau kehadiran pinto di tengah malam ini tidak pantas dan mengganggu.”
“Ah, tidak mengapa, Totiang. Totiang adalah sahabat lama kami yang sangat baik, karena itu kedatanganmu akan selalu kami sambut dengan senang hati. Mari, silakan masuk ke dalam di mana kita dapat berbicara lebih leluasa,” kata Pangeran Bouw Hun Ki dengan ramah.
Dalam hatinya Thian Bong Sianjin merasa girang melihat bahwa pangeran ini benar-benar berhati bersih dan berbudi baik, sehingga dia pun yakin bahwa Souw Lan Hui pasti hidup bahagia di samping suami yang bijaksana itu. Sejak dahulu Pangeran itu memang sudah mengenalnya.....
“Terima kasih, Pangeran. Pinto tidak dapat lama di sini. Sebenarnya kedatangan pinto ini hendak menyampaikan hal yang amat penting, dan maafkan kalau pinto terpaksa datang malam-malam begini dengan alasan supaya tidak diketahui oleh mereka yang akan pinto laporkan. Mereka itu sangat lihai dan kalau mereka tahu pinto datang ke sini melaporkan, tentu usaha pinto akan gagal dan keluarga di sini terancam bahaya besar.”
“Thian Bong Sianjin! Siapakah mereka itu dan apa yang sudah terjadi?” tanya Bouw Hujin yang terkejut sekali karena tentu saja dia khawatir kalau-kalau ada bahaya mengancam Pangeran Mahkota yang dilindunginya.
“Ketika pinto merantau ke daerah selatan, ke daerah Se-cuan di mana Jenderal Wu Sam Kwi menjadi raja muda, pinto mendengar akan persekutuan antara Jenderal Wu Sam Kwi dengan seorang pangeran di sini yang merencanakan untuk merebut kekuasaan Kerajaan Ceng dengan cara membunuh Pangeran Mahkota. Pinto lalu mendengar bahwa Pangeran Mahkota yang masih kecil berada dalam perlindungan keluarga Pangeran Bouw Hun Ki, maka pinto sengaja datang ke sini untuk melaporkan ancaman bahaya itu. Jenderal Wu Sam Kwi sudah mengirim dua orang bawahannya yang lihai untuk melaksanakan tugas pembunuhan itu, dan pinto khawatir kalau mereka tahu bahwa pinto melaporkan ke sini, tentu rencana mereka akan diubah dan kita tidak tahu lagi apa yang akan mereka lakukan dan hal itu akan jauh lebih berbahaya dari pada kalau kita mengetahui lebih dulu apa yang hendak mereka lakukan.”
“Hemmm, mereka mau coba-coba membunuh Pangeran Mahkota di sini? Boleh mereka coba!” kata Souw Lan Hui dengan sikap gagah.
“Nanti dulu, Totiang, dapatkah engkau memberi-tahu kami, siapakah pangeran yang telah bersekutu dengan Jenderal Wu Sam Kwi itu?” tanya Pangeran Bouw Hun Ki.
“Dia adalah Pangeran Cu Kiong, Pangeran,” jawab Thian Bong Sianjin yang lalu menjura dengan hormat kepada ayah ibu serta dua orang anak mereka itu sambil berkata. “Nah, semua sudah pinto laporkan, legalah hati pinto karena pinto percaya bahwa Pangeran dan Bouw Hujin akan dapat menjaga dan melindungi Pangeran Mahkota dengan baik. Selamat tinggal!” Setelah berkata demikian, tubuh tosu itu berkelebat dan lenyap dari situ.
“Bukan main! Dia lihai sekali!” kata Bouw Kun Liong melihat ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat itu.
“Ibu, tadi saya melihat Ibu menangis, mengapa Ibu menangis terisak-isak ketika bertemu Thian Bong Sianjin tadi sehingga kami berdua menyangka dia mengganggu Ibu kemudian kami menyerangnya?” tanya Bouw Hwi Siang sambil menatap wajah ibunya.
Mendengar pertanyaan ini wajah Bouw Hujin menjadi agak kemerahan, akan tetapi sambil tersenyum ia menjawab. “Aku terkejut sekali dan sama sekali tidak pernah bermimpi akan bertemu dengan dia, Hwi Siang. Dia adalah seorang sahabat baikku dan kami berdua dahulu bersama-sama berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan di dunia kang-ouw. Melihat dia muncul dan sudah menjadi seorang pendeta, hatiku terharu maka aku sampai menangis.”
“Ibumu benar, dahulu Thian Bong Sianjin adalah seorang pendekar yang gagah perkasa dan menjadi sahabat baik kami.” Pangeran Bouw yang bijaksana menolong isterinya.
Dia tahu benar bahwa dulu hubungan isterinya dengan pendekar itu memang amat dekat, dan dia tahu bahwa Kui Thian Bong sangat mencinta isterinya ketika dia masih seorang gadis pendekar. Akan tetapi Souw Lan Hui memilih dia sebagai suaminya, hal yang amat membahagiakan hatinya. Kemudian dia mengalihkan perhatian dan percakapan.
“Keterangan Thian Bong Sianjin tadi betul-betul mengejutkan. Kita mencurahkan perhatian terhadap Pangeran Leng Kok Cun yang jelas berniat memberontak, malah kita tidak syak lagi bahwa tentu dia juga yang mengirim lima orang pembunuh ke istana untuk membunuh Sribaginda. Dia telah berniat membunuh Pangeran Mahkota pula seperti yang diceritakan Kong Liang. Siapa tahu kini ternyata justru Pangeran Cu Kiong yang merupakan ancaman bahaya yang lebih besar karena dia bersekutu dengan Jenderal Wu Sam Kwi.”
“Sebaiknya mari kita berbicara di dalam saja,” ajak Souw Lan Hui atau Bouw Hujin yang merasa tidak enak berada di sana, karena mengingatkan dia akan pertemuannya dengan bekas pacarnya dulu.
Mereka semua lalu memasuki gedung dan setelah berada di dalam, mereka melanjutkan percakapan, sekarang ditambah dengan hadirnya Bu Kong Liang dan Gui Siang Lin yang mendengar suara keluarga itu. Mereka duduk di ruangan dalam, mengelilingi meja besar.
Pada waktu Bu Kong Liang mendengar keterangan Pangeran Bouw Hun Ki akan laporan Thian Bong Sianjin bahwa Pangeran Cu Kiong bersekutu dengan Jenderal Wu Sam Kwi dan mengancam akan membunuh Pangeran Mahkota, dia segera berseru.
“Ahh, sekarang saya ingat, Paman Pangeran! Ketika baru turun gunung, saya berjumpa dengan seorang gadis yang lihai ilmu silatnya. Ia adalah seorang gadis yang menjadi kaki tangan Wu Sam Kwi dan ia menuju ke kota raja. Mungkin sekali ia merupakan mata-mata dari Jenderal Wu Sam Kwi dan kedatangannya di kota raja untuk menghubungi Pangeran Cu Kiong!” Pemuda murid Siauw-lim-pai ini lalu menceritakan pertemuannya dengan gadis yang dikenalnya sebagai Ang-mo Niocu itu.
“Hemm, memang sangat boleh jadi,” kata Bouw Hujin. “Thian Bong Sianjin menceritakan bahwa persekutuan itu mempunyai rencana untuk membunuh Pangeran Mahkota, maka mulai sekarang kita harus lebih berhati-hati dan waspada.”
“Ibu benar,” kata Bouw Kun Liong. “Penjagaan kita masih kurang kuat. Apa bila ada orang berilmu tinggi masuk, ternyata para penjaga tidak dapat mengetahui, seperti ketika Thian Bong Sianjin tadi masuk, tahu-tahu telah berada di taman!”
“Paman Pangeran,” kata Bu Kong Liang. “Kalau boleh saya mengetahui, mengapa para pangeran itu mempunyai niat yang demikian buruk? Padahal mereka itu semuanya adalah putera Sribaginda Kaisar. Akan tetapi kenapa seolah-olah saling bermusuhan dan bahkan hendak membunuh Pangeran Mahkota yang masih kecil?”
Pangeran Bouw Hun Ki menghela napas panjang. “Hal ini sungguh memalukan dan amat menyedihkan. Aku yang menjadi paman mereka pun merasa sedih. Sebenarnya pewaris tahta kerajaan tentu saja adalah Pangeran Mahkota Kang Shi. Akan tetapi dia masih kecil sehingga kalau dia tidak menjadi pengganti kaisar atau sampai terbunuh mati, maka yang berhak mewarisi tahta adalah Pangeran Cu Kiong yang menjadi putera dari selir ke tiga karena selir ke dua hanya memiliki seorang puteri. Mungkin karena itulah maka Pangeran Cu Kiong berniat jahat membunuh Pangeran Kang Shi dan karena merasa kurang kuat, ia lalu bersekutu dengan Jenderal Wu Sam Kwi. Ada pun Pangeran Leng Kok Cun, biar pun dia itu putera dari selir ke tujuh tetapi dia merupakan pangeran yang paling tua, maka dia agaknya merasa bahwa dia yang paling berhak mewarisi tahta. Karena Sribaginda Kaisar sudah memutuskan mengangkat Pangeran Kang Shi yang masih kecil menjadi Pangeran Mahkota, maka diam-diam dia merasa penasaran dan berniat memberontak. Demikianlah keadaan yang amat menyedihkan itu. Aku merasa kasihan sekali kepada Kakanda Kaisar, karena beliau yang paling menderita batin melihat keadaan para puteranya.”
Sesudah bercakap-cakap, Bouw Hujin memerintahkan para panglima yang setia kepada kaisar untuk memperketat penjagaan dan memasang para perwira yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi untuk bergiliran melakukan penjagaan…..
********************
Selanjutnya baca
KEMELUT KERAJAAN MANCU : JILID-08