Ang I Niocu (Nona Baju Merah) Jilid 07
Kita tunda dulu perjalanan sepasang teruna remaja yang baru pertama kali dibuai asmara ini, dan mari kita menengok keadaan Giok Gan Niocu Song Kim Lian yang ditinggalkan oleh Kiang Im Giok dan berada bersama Bu Pun Su. Kakek ini setelah melihat Im Giok pergi dengan Tiauw Ki, lalu berkata kepadanya dengan suara kereng,
“Nah, sekarang kau boleh pulang. Cepat-cepatlah kau pulang ke rumah gurumu, jangan menyeleweng ke mana-mana!”
Hati Kim Lian tak senang sekali mendengar ucapan kasar ini, karena biar pun dia hanya murid Kiang Liat, namun biasanya dia diperlakukan dengan manis. Akan tetapi dia dapat berbuat apakah? Bahkan untuk menjawab saja ia tak sempat sebab tahu-tahu berkelebat bayangan yang membuat ia terkesiap dan terasa angin menyambar. Ketika ia membuka mata, kakek sakti itu telah lenyap dari situ!
Kim Lian menghela napas dan berkata seorang diri,
“Hebat sekali kepandaian Susiok-couw Bu Pun Su, seperti bukan manusia saja.”
Ia bergidik kalau mengingat sinar mata yang mengandung ancaman pada saat kakek itu memandangnya. Sinar mata itu begitu berpengaruh dan agaknya segala kehendak kakek itu tidak mungkin ditentang. Maka ia segera cepat melangkah, kemudian di lain saat dia sudah berlari cepat yang jauh melampaui kepandaian ahli-ahli silat biasa.
Bahkan ilmu lari cepatnya sudah mengimbangi kepandaian gurunya sendiri sungguh pun harus ia akui bahwa ia masih kalah kalau dibandingkan dengan kepandaian Im Giok. Ini pun tidak begitu mengherankan karena Im Giok berlatih sejak kecil, sedangkan dia baru belajar ilmu silat setelah dewasa. Kalau tidak demikian halnya, seandainya ia pun berlatih sejak kecil dan sama lamanya dengan Im Giok, belum tentu sumoi-nya itu akan dapat mengalahkannya. Dalam hal bakat, kecerdikan, dan ketekunan, kiranya Kim Lian tidak kalah oleh Im Giok.
Kali ini Kim Lian benar-benar heran dan kagum sekali melihat kelihaian susiok-couw-nya. Meski pun ia sudah pergunakan ilmu lari cepat yang tak sembarang orang dapat imbangi, ketika ia tiba di rumah gurunya di Sian-koan, ternyata Bu Pun Su sudah berada di situ, bercakap-cakap dengan Kiang Liat! Dan begitu datang dengan kulit muka agak merah dan peluh tipis membasahi jidat dan lehernya, Bu Pun Su sudah menegurnya,
“Kau harus banyak berlatih lari, jangan menunggang kuda saja! Ilmu lari cepat Yan-cu Hui-po yang kau lakukan tadi masih jauh dari sempurna!”
Kim Lian kaget sekali. Kakek ini berlari lebih dulu, bagaimana bisa tahu tentang ilmu lari cepatnya? Memang benar tadi ia menggunakan ilmu lari Yan-cu Hui-po ajaran suhu-nya. Melihat suhu-nya juga bersikap sangat hormat kepada Bu Pun Su, Kim Lian cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
“Teecu yang bodoh mohon petunjuk Susiok-couw.”
Sikap ini menyenangkan hati Bu Pun Su, maka setelah menarik napas panjang kakek sakti ini berkata,
“Ketahuilah, dulu gurumu ini menerima Yan-cu Hui-po dari pendekar wanita sakti Bun Sui Ceng. Ilmu lari cepat Yan-cu Hui-po (Lari Terbang Burung Walet) ini adalah ciptaan dari tokoh besar wanita Kiu-bwe Coa-li dan merupakan ilmu lari cepat yang tingkatnya tinggi sekali di dunia persilatan. Kau secara kebetulan telah menjadi cucu muridku, oleh karena secara kebetulan pula gurumu ini menjadi murid atau murid keponakanku. Jadi, selain mewarisi ilmu-ilmu yang berasal dari aku, kau telah mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi warisan keluarga Kiang, ditambah pula warisan dari aku dan sute-ku Han Le. Oleh karena itu, selain kau harus tekun dan rajin agar ilmu-ilmu silat yang bersih dan tinggi itu dapat kau kuasai sebaiknya, juga kau harus selalu menjaga agar kepandaian itu tidak dipergunakan untuk jalan sesat.”
“Teecu akan memperhatikan segala petunjuk dari Susiok-couw,” jawab Kim Lian dengan suara perlahan.
“Nah, sekarang mundurlah, aku hendak bicara dengan gurumu.”
Kim Lian lalu mengundurkan diri. Hatinya ingin sekali mengetahui apakah gerangan yang hendak dibicarakan oleh guru besar ini dengan gurunya. Tetapi tentu saja dia tidak berani mengintai. Dengan kepandaian setinggi itu, susiok-couw-nya tentu akan mengetahui jika diintai orang.
Maka Kim Lian tak berani muncul dan mengaso di dalam kamarnya, lalu membayangkan peristiwa yang baru terjadi. Di dalam hatinya ia merasa iri sekali terhadap Im Giok.
“Dia untung,” pikirnya, “melakukan perjalanan dengan sastrawan muda yang tampan itu. Tentu menyenangkan sekali...“
Gadis ini lalu merebahkan diri, melamun jauh, membayangkan pemuda-pemuda tampan yang pernah dilihatnya, kadang-kadang tersenyum manis seorang diri dan akhirnya dia pun tertidur…..
********************
“Kiang Liat, kulihat anak perempuanmu Im Giok itu mempunyai bakat baik dan semangat besar. Dia boleh diharapkan,” kata Bu Pun Su setelah Kim Lian mengundurkan diri. “Juga muridmu ini bakatnya amat bagus, aku tidak menyalahkan engkau menurunkan pelajaran kepada seorang yang demikian baik bakatnya. Hanya aku merasa khawatir sekali kalau melihat sifat-sifatnya. Aku tidak hendak mendahului Thian, akan tetapi kelak mungkin sekali muridmu ini akan menimbulkan hal-hal yang mencemarkan nama baik kita. Oleh karena itu, kau harus berhati-hati mengawasi tingkah lakunya dan gerak-geriknya.”
Sebetulnya, Kiang Liat sama sekali tidak ada nafsu untuk memikirkan hal-hal lain kecuali mengenangkan isterinya yang sampai sekarang sering kali terbayang dan seperti hidup di depan matanya. Sudah semenjak lama sekali Kiang Liat seakan-akan menjadi pertapa, menjauhkan urusan dunia dan tak peduli akan segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Akan tetapi sekarang ia berhadapan dengan Bu Pun Su, orang yang paling disegani di dunia ini, terpaksa ia menjawab,
“Baiklah, Supek. Akan teecu perhatikan.”
Bu Pun Su menarik napas panjang. Kakek ini mempunyai penglihatan dan pendengaran yang luar biasa tajamnya. Sekali saja mendengar suara Kiang Liat, dapatlah ia menduga apa yang menjadi isi hati Kiang Liat.
“Kiang Liat, tak kusangka batinmu demikian lemah sehingga sampai sekarang kau masih terus menghukum diri, menyesali perbuatan sendiri secara berlebihan dan menyedihkan sesuatu yang sudah lewat. Perbuatan salah tak cukup disesalkan dengan jalan menyiksa diri sendiri, akan tetapi bahkan sedapat mungkin harus ditebus dengan perbuatan baik sebanyak mungkin dan membatasi diri sedapatnya agar jangan lagi menyeleweng seperti yang sudah-sudah. Obat hati luka tidak dapat kau temukan di dalam kamar. Dengan jalan bersunyi, justru sakit di hati makin parah. Kau kurang pandai menghibur diri sendiri.”
Kiang Liat menundukkan mukanya dan mengeraskan hatinya agar matanya yang mulai panas itu jangan sampai mengeluarkan air.
“Teecu sudah melakukan dosa besar terhadap seorang wanita mulia, bagaimana teecu tidak akan merasa sedih selalu? Rasanya teecu rela dihukum mati untuk menebus dosa.”
Tiba-tiba saja Bu Pun Su tertawa, suara ketawanya nyaring sehingga biar pun Kiang Liat sudah tahu bahwa supek-nya ini mempunyai watak yang aneh sekali, namun tetap saja ia terheran. Keadaannya amat menyedihkan, patutkah ditertawakan?
“Ha-ha-ha, bocah tolol! Manusia di dunia ini siapakah yang takkan mampus? Akan tetapi banyak sekali jalan ke arah kematian dan di antara sekian banyaknya cara untuk mati, kiraku cara mati bersedih di dalam kamar bukanlah cara yang baik, apa lagi bagi seorang yang menjunjung tinggi kegagahan. Banyak sekali cara untuk melewati hidup dan untuk menanti datangnya maut yang pasti akan tiba, kenapa memilih cara rendah? Mati ngenes adalah kematian yang hina. Kau sudah mempelajari ilmu dan mengutamakan kegagahan, mengapa tidak mencari kematian yang gagah? Mengapa tidak menumpas musuh besar dalam hati sendiri dengan terjun ke dunia ramai dan menumpas kejahatan?”
“Teecu tidak punya semangat, tidak punya nafsu, dan pula, teecu harus berada di rumah untuk mendidik Im Giok dan Kim Lian.”
“Mereka sudah cukup pandai. Kiang Liat, kebetulan sekali aku datang ini untuk memberi tugas kepadamu. Tugas yang penting demi kepentingan negara. Kau tentu senang kalau mati dalam melakukan tugas ini, berarti mati dalam perjuangan selaku seorang patriot, bukan?”
Karena dibakar dengan kata-kata bersemangat, timbul kegembiraan di dalam hati Kiang Liat yang sudah hampir kering.
“Tugas apakah, Supek? Tentu teecu siap sedia menerima perintah Supek.”
“Bagus! Sekarang dengarlah baik-baik.”
Bu Pun Su lalu menceritakan mengenai keadaan negara. Betapa banyak gubernur yang kini membelakangi pemerintah dan betapa pendatang-pendatang asing, yakni suku-suku bangsa yang dulu membantu pemerintah mengusir pemberontak An Lu Shan, sekarang merajalela, dan betapa sukar dan lemahnya kedudukan Kaisar.
Di mana-mana timbul gejala pemberontakan, dan di propinsi yang jauh dari kota raja, para pembesar saling bermusuhan sebab ada yang pro dan ada yang kontra pemerintah. Demikian pula kedudukan orang-orang gagah di dunia kang-ouw yang menjadi goncang. Mereka terpecah belah karena terpengaruh oleh gubernur-gubernur atau para pemimpin pemberontak di daerah masing-masing.
Bu Pun Su adalah keturunan keluarga Lu yang sejak dulu terkenal sebagai patriot-patriot sejati dan pembesar-pembesar yang setia kepada negara. Biar pun Bu Pun Su hanyalah cucu angkat dari Menteri Lu Pin, akan tetapi kiranya semangat serta jiwa kepahlawanan ikut mengalir pula di dalam tubuhnya sehingga kakek sakti ini tidak tega melihat keadaan negara yang demikian kalut.
“Demikianlah, Kiang Liat,” katanya sambil menghela napas. “Negara sangat kalut, perang saudara mengancam, perpecahan di antara orang-orang gagah berada di ambang pintu. Kalau sampai semua ini meletus, yang menderita tak lain hanyalah rakyat jelata. Negara kalut, keamanan tak terjamin, maka orang-orang jahat muncul merajalela dan mengacau kehidupan rakyat kecil. Apa bila timbul perang, rakyat pula yang menderita, terpukul dari kanan kiri. Apa lagi bila dibayangkan perpecahan yang akan terjadi di antara orang-orang gagah, benar-benar menyedihkan sekali. Oleh karena itu, aku mengambil prakarsa untuk mengadakan pertemuan orang-orang kang-ouw di puncak Bukit Kauw-san. Aku hendak mengajak mereka membela negara dan mencegah timbulnya perang saudara yang pasti takkan pernah ada habisnya, melihat betapa banyak orang yang hendak memperebutkan kedudukan dan kekuasaan. Hanya kau beserta gurumu Han Le yang kiranya akan dapat membantuku.”
“Bagaimana teecu dapat membantu Supek?” tanya Kiang Liat.
“Ancaman yang paling hebat bagi negara kita adalah bahaya yang datang dari utara dan barat. Karena itu, untuk membendung pengaruh ini, kita harus menghubungi tokoh-tokoh Kun-lun-pai dan Thian-san di barat, juga tokoh-tokoh Gobi-san di utara. Kau wakililah aku pergi ke Go-bi-pai di utara dan berikan suratku kepada Twi Mo Siansu Ketua Go-bi-pai. Aku sendiri hendak mencari Han Le dan menyuruhnya pergi kepada Thian It Cinjin di Thian-san, sedangkan aku akan pergi ke Kun-lun-pai menemui Keng Thian Siansu.”
Kiang Liat menerima baik perintah ini. Memang ia pun sudah amat rindu akan dunia luar kampungnya. Setelah membuatkan surat untuk Ketua Go-bi-pai Bu Pun Su minta kepada Kiang Liat supaya segera berangkat.
“Kau tak usah menanti datangnya Im Giok karena ia sedang mengantar utusan Kaisar ke Tiang-hai. Kalau dia datang, Kim Lian dapat memberi tahu kepadanya ke mana kau pergi. Pertemuan yang kurencanakan itu akan terjadi tiga bulan lagi, maka kita harus bekerja cepat.”
Maka berangkatlah Kiang Liat menuju ke utara, ke Go-bi-san yang jauh. Ada pun Bu Pun Su, sesudah meninggalkan pesan kepada Kim Lian supaya berhati-hati menjaga rumah, lalu pergi menuju ke Pulau Pek-le-to mencari Han Le…..
********************
Dengan menggunakan kepandaiannya yang tinggi, beberapa pekan kemudian Bu Pun Su telah tiba di pesisir Pulau Pek-le-to. Alangkah kagetnya ketika ia mendaratkan perahu, ia melihat jenazah tiga orang menggeletak di pinggir laut. Dan lebih-lebih terkejut hatinya ketika ia mengenal jenazah-jenazah itu, yakni Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang tokoh-tokoh Siauw-lim-pai dan ketiga Cin Giok Sianjin tokoh Kun-lun-pai! Agaknya belum lama mereka ini tewas, paling lama dua hari.
“Omitohud...!” Bu Pun Su berseru kaget dan cepat ia memeriksa.
“Celaka...!” serunya sambil melompat mundur pada waktu ia mendapat kenyataan bahwa ketiga orang ini semua mempunyai bekas pukulan ilmu Pek-in Hoat-sut!
Ia tahu bahwa di dunia ini yang memiliki ilmu pukulan Pek-in Hoat-sut hanya dia sendiri, sedangkan Han Le juga dapat, akan tetapi hanya beberapa bagian setelah mempelajari gambar-gambar di dalam goa.
Ia terkejut sekali karena tahu bahwa tiga orang ini telah bertempur dan terluka oleh Han Le. Terang bahwa mereka ini dirobohkan oleh Han Le, sungguh pun mereka tewas bukan karena pukulan itu, akan tetapi karena tikaman pedang yang tepat menembus pada ulu hati mereka.
“Tokoh-tokoh Kun-lun dan Siauw-lim dimusuhi oleh Han Le? Apa artinya ini?” Bu Pun Su menjadi cemas memikirkan sute-nya, maka cepat ia berlari ke tengah pulau mencari Han Le.
Han Le tidak berada di dalam goa. Bu Pun Su mencari terus dan akhirnya dia melihat pemandangan yang membuat wajahnya menjadi pucat, hampir saja ia tidak percaya akan penglihatannya sendiri sehingga Bu Pun Su sejenak berdiri terpaku, memandang ke arah dua orang yang duduk di bawah pohon. Apa yang dilihatnya?
Han Le sedang rebah telentang di atas rumput, dan kepalanya terletak di atas pangkuan seorang wanita yang cantik jelita yang dikenalnya sebagai Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat! Sambil menundukkan muka dan membisikkan kata-kata rayuan, Pek Hoa membelai-belai rambut kepala Han Le yang setengah tertidur.
Melihat ini, timbullah amarah di dalam hati Bu Pun Su. Juga berbareng terbayanglah di depan matanya peristiwa dahulu ketika ia terjerumus ke dalam perangkap Wi Wi Toanio. Juga dia pernah tergila-gila dan roboh oleh kecantikan wanita, pernah menurutkan nafsu hati dan lupa diri, melakukan hal yang amat rendah memalukan.
Akan tetapi, dengan Wi Wi Toanio ia hanya melakukan kebodohan, bukan kejahatan. Ia tidak membunuh siapa-siapa, sedangkan Han Le, tak salah lagi, tentu Pek Hoa siluman wanita yang cantik itu sudah membujuk Han Le untuk merobohkan tokoh-tokoh Siauw-lim-pai dan Kun-lun!
“Han-sute...!” Bentakan yang menggeledek ini mengejutkan Han Le dan Pek Hoa.
Mereka cepat-cepat melompat berdiri dan memandang kepada Bu Pun Su dengan mata terbelalak. Pek Hoa agak pucat, akan tetapi bibirnya yang manis tersenyum. Sedangkan Han Le merah sekali mukanya, merah sampai ke telinganya.
“Sute, kesesatan apa yang kau lakukan ini?”
Han Le mengangkat muka, akan tetapi dia tidak kuat menatap pandang mata Bu Pun Su sehingga menundukkan kepalanya lagi. Tiba-tiba terdengar suara ketawa perlahan, suara ketawa yang merdu dan sedap didengar, kemudian Pek Hoa yang tertawa itu melangkah maju menghadapi Bu Pun Su.
“Bu Pun Su, kebetulan sekali kau datang. Kenapa kau tidak mau membawa Wi Wi Toanio ke sini agar kita dua pasang manusia berbahagia mencari kesenangan hidup di pulau ini?”
“Apa katamu?!” Bu Pun Su membentak dan mukanya berubah pucat.
Pek Hoa Pouwsat tersenyum manis sekali sehingga Bu Pun Su diam-diam merasa heran sekali. Kalau diingat, perempuan ini usianya sudah tidak muda lagi, sedikitnya lima puluh tahun. Akan tetapi mengapa cantik jelita seperti gadis berusia dua puluh lebih?
“Bu Pun Su, kau seorang laki-laki, demikian pula Han-ko seorang jantan. Kau bisa jatuh cinta, mengapa Han-ko tidak boleh? Kau pernah tergila-gila kepada Wi Wi Toanio isteri orang lain, kenapa Han-ko tidak boleh jatuh hati kepada aku, seorang yang masih bebas belum bersuami? Kau benar-benar aneh dan di manakah keadilanmu, Bu Pun Su?”
Pendekar sakti itu merasa seolah-olah kepalanya disambar petir. Tak disangkanya bahwa siluman wanita ini juga sudah mengetahui rahasianya, dan tahulah ia bahwa tentu Wi Wi Toanio yang membuka rahasia ini di depan Pek Hoa.
Teguran wanita ini memang tepat sekali sehingga ia tidak dapat menjawab! Akhirnya Bu Pun Su berpaling kepada Han Le dan berkata dengan suara dingin,
“Han Le, mengapa kau membunuh tokoh-tokoh Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai?”
Suara Bu Pun Su mengandung ancaman dan amarah besar, membuat Han Le menjadi pucat dan nampak ia takut sekali,
“Suheng, siauwte... siauwte tidak membunuh mereka...”
“Jangan memutar lidah sesuka hatimu, Han Le. Setidaknya kau yang telah merobohkan mereka!” Bu Pun Su mendesak dan Han Le tak dapat menjawab.
Melihat kekasihnya terus didesak, Pek Hoa lalu menjawab, “Memang benar, Han-ko yang merobohkan mereka. Akan tetapi akulah yang sudah membunuh mereka. Mereka adalah musuh-musuh besarku dan mereka datang untuk membunuhku, maka Han-ko melindungi dan mengalahkan mereka. Apa salahnya dalam hal ini? Tidak tepatkah orang melindungi kekasihnya yang terancam oleh orang lain? Bu Pun Su, kau mau apakah? Han-ko dan aku hidup bahagia di sini, sebagai suami isteri yang saling mencinta. Apakah kau merasa iri hati? Apakah kau merasa iri melihat Han-ko hidup berbahagia sedangkan kau tidak? Kalau kau merasa iri, carilah sendiri seorang kekasih dan bawa ke sini, bukankah itu baik sekali dari pada kau datang dan marah-marah seperti ini?”
“Siluman keparat, tutup mulutmu!” Bu Pun Su membentak dan amarahnya meluap.
Belum pernah Bu Pun Su semarah itu. Selama ini ia telah bisa menguasai seluruh dirinya lahir batin, akan tetapi sekarang menghadapi kebodohan Han Le yang dipermainkan oleh siluman wanita ini, ia benar-benar lupa diri.
Bu Pun Su maklum siapa adanya Pek Hoa Pouwsat dan orang macam apa wanita ini. Jauh lebih cabul dan lebih jahat dari pada Wi Wi Toanio, jauh lebih berbahaya. Dan dia tahu pula bahwa Han Le adalah seorang laki-laki beriman teguh, seorang laki-laki yang hampir ‘jadi’ karena semenjak muda tidak mau mendekati wanita.
Celakanya, sekarang Han Le tergoda dan tergelincir, tidak kuat menghadapi bujukan dan cumbu rayu dari Pek Hoa, siluman wanita yang cantik sekali dan genit. Dan ia tahu pula bahwa hal ini harus dicegahnya, kalau tidak akan mendatangkan bahaya besar. Han Le berkepandaian tinggi, kalau sudah tercengkeram oleh orang perempuan seperti Pek Hoa, kelak dapat dibujuk untuk membunuh siapa saja yang dibenci oleh Pek Hoa!
“Bu Pun Su, kau mau apakah?” Pek Hoa menantang sambil membusungkan dadanya yang montok.
“Kau harus pergi meninggalkan pulauku ini, lekas!”
“Kau hendak mengusir kami?” tanya Pek Hoa sambil menggandeng tangan Han Le dan menyandarkan kepalanya ke pundak laki-laki itu.
“Aku mengusir kau, perempuan jahat! Lekas pergi dari sini kalau kau tidak ingin melihat aku melemparkanmu ke dalam laut! Han Le tidak boleh ikut!”
Pek Hoa menyandarkan kepala makin dekat dan berbisik di dekat telinga Han Le, “Kau dengar itu kekasihku? Sudah semenjak dulu aku bilang bahwa suheng-mu ini jahat sekali, akan tetapi kau tidak percaya. Aku bilang bahwa sebenarnya dia tergila-gila dan suka padaku dan ia menjadi benci padaku karena cintanya kutolak, dan kau tidak percaya lagi. Sekarang kau melihat sendiri, bukan? Dia iri hati padamu, iri hati dan cemburu, kau tahu? Dia ingin melihat aku mati dari pada jatuh ke dalam tangan orang lain, ingin melihat aku mati dan kau menderita. Kekasihku, ayah anakku, apakah kau akan tinggal diam saja melihat isterimu yang mencintamu dengan seluruh tubuh dan nyawa?” Suaranya makin merayu dan dua titik air mata meloncat keluar dari mata Han Le.
“Pek Hoa, dia... dia suheng-ku... tak dapat aku melawan Suheng...,“ bisiknya.
Pek Hoa menarik dirinya dengan sentakan, sepasang matanya bersinar-sinar, nampak sangat marah.
“Aha, jadi kau lebih berat kehilangan suheng dari pada kehilangan isteri?”
“Bukan begitu, Pek Hoa... aku... aku tidak berani...”
“Hemm, jadi kau takut? Baiklah, Han-ko. Kalau kau takut membantuku, biar aku sendiri mengadu nyawa dengan Bu Pun Su!”
Pek Hoa sudah mencabut siang-kiam-nya (sepasang pedangnya), kemudian melompat maju.
“Bu Pun Su, kau benar-benar menghinaku. Kau hendak melemparkan aku ke dalam laut? Boleh kau coba, laki-laki gagah perkasa tukang menghina wanita!”
Menghadapi Pek Hoa yang berdiri dengan sepasang pedang di tangannya dan bersikap amat gagah itu, yang menantangnya dengan kulit muka kemerahan sehingga menambah kecantikannya, Bu Pun Su menjadi serba salah. Ia tahu sedalam-dalamnya betapa jahat perempuan ini, betapa palsu hatinya dan betapa berbahayanya. Apa bila dibandingkan dengan mendiang Thian-te Sam-kauwcu guru dari Pek Hoa, kiranya perempuan ini lebih berbahaya. Akan tetapi melemparkan dia begitu saja ke laut? Kiranya tak akan mampu ia lakukan.
“Pek Hoa, aku harap kau suka pergi dari sini dengan baik-baik dan tidak melawan. Aku sungguh malu harus melawan wanita.”
Pek Hoa sudah mendengar dari Han Le bahwa Bu Pun Su tak pernah menyerang orang sebelum diserang. Oleh karena inilah maka tadi ia menahan sabar dan menanti supaya Bu Pun Su menyerang dulu. Sekarang ia sengaja hendak memanaskan hati Bu Pun Su.
“Pengecut! Laki-laki pengecut, kau sebenarnya suka kepadaku, bukan? Maka tidak mau menyerangku. Kau hanya iri hati dan cemburu. Ehhh, Bu Pun Su, apa bila sekarang aku menyatakan bahwa aku suka ikut denganmu dan meninggalkan Han-ko, tentu kau tidak marah lagi, bukan? Akan tetapi aku tidak sudi! Dengar, aku tidak sudi, aku tidak suka padamu, aku benci padamu. Muak perutku melihat mukamu, tahu kau?”
Bu Pun Su tersenyum. Ia tidak mendapat julukan Pendekar Sakti kalau ia tidak tahu akan siasat ini. Dan ia bukanlah seorang yang gemblengan kalau dia tidak tahan menghadapi serangan batin ini.
Tadi untuk sebentar ia menurutkan nafsu amarah karena kecewa melihat kegagalan Han Le menghadapi rayuan wanita. Sekarang ia sudah dapat menguasai diri lagi, karena itu ia tenang-tenang dan tersenyum saja dalam menghadapi siasat lain dari Pek Hoa.
“Pek Hoa, bagaimana kau bisa bilang bahwa aku tergila-gila kepadamu? Hanya laki-laki yang berhati lemah saja yang dapat jatuh cinta kepada seorang perempuan cabul seperti engkau. Kau menggoda aku tidak berhasil, menggoda Kiang Liat dapat pula kugagalkan, menggoda tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw kau sudah tidak laku sebab mereka semua sudah tahu bahwa kau ini seorang siluman yang lebih jahat dari pada Tat Ki (siluman wanita dalam dongeng Hong Sin Pong). Karena itu sekarang kau sengaja menggoda Han-sute. Akan tetapi ini pun hanya untuk sementara, karena tidak lama lagi Sute tentu akan insyaf dan tahu bahwa wanita yang dipuja-pujanya itu bukan lain adalah seekor siluman betina...”
“Jahanam, lihat pedang!”
Dua cahaya kemilau dari sepasang pedang Pek Hoa menyambar dalam serangan yang dahsyat. Ternyata, ia kalah dalam adu urat-syaraf, karena Bu Pun Su tadi membuatnya marah sekali.
Bu Pun Su tersenyum, akan tetapi dia tidak berlaku lambat atau sembrono karena ia tahu betul akan kelihaian ilmu pedang wanita ini. Cepat ia mengelak dan di lain saat keduanya sudah bertempur hebat.
Mula-mula Pek Hoa mengeluarkan ilmu pedangnya berdasarkan kecepatan dan semua serangan-serangannya ditujukan untuk menewaskan lawan. Akan tetapi menghadapi Bu Pun Su, ia ketemu gurunya.
Dengan tenang saja Bu Pun Su menghindarkan diri dari setiap serangan lawan dengan totokan-totokan ke arah jalan darah yang kalau mengenai sasaran tentu akan mengakhiri pertempuran itu. Sebentar saja Pek Hoa terdesak hebat oleh kakek sakti itu dan tiba-tiba ia tertawa merdu kemudian ilmu silatnya mendadak berubah.
“Ayaaa...!” Bu Pun Su berseru kaget sekali ketika ia menyaksikan ilmu pedang ini.
Pek Hoa telah mainkan ilmu pedangnya yang hebat, ilmu pedang Bi-jin Khai-i. Ilmu silat yang mengandung daya sihir ini dapat melumpuhkan setiap orang lawan berjenis laki-laki, membuat lawan itu seperti terkena hikmat. Gerakan ilmu silat ini mengandung sifat cabul dan genit, menarik hati laki-laki dan meruntuhkan semangat perlawanannya.
Tak heran apa bila Bu Pun Su menjadi kaget sekali karena pendekar ini pun merasa dan menjadi terpengaruh oleh hawa mukjijat yang terkandung dalam gerakan ilmu silat yang dimainkan oleh Pek Hoa.
Pek Hoa gembira sekali melihat hasil ilmunya dan dia segera memperindah gerakannya untuk merobohkan atau mengalahkan Bu Pun Su. Akan tetapi, kali ini ia kecele. Ia bukan menghadapi manusia sembarangan melainkan seorang manusia gemblengan lahir batin.
Bu Pun Su sadar bahwa ia menghadapi ilmu mukjijat, maka ia lalu meramkan mata dan menandingi serangan-serangan lawannya hanya mengandalkan ketajaman pendengaran saja. Dengan cara meramkan mata, ia tidak usah melihat gerakan tubuh lawan dan tidak terpikat. Di samping itu, kini ia mainkan ilmu silatnya yang ampuh, Pek-in Hoat-sut.
Begitu Bu Pun Su mengerahkan sinkang dan menggerakkan tubuh, dari kedua lengannya mengebul uap putih yang makin lama semakin tebal sampai akhirnya seluruh tubuhnya, terutama di bagian ubun-ubun, mengepul uap putih yang menolak semua hawa pukulan dan hawa mukjijat dari ilmu pedang lawannya. Sesudah merasa diri kuat terlindung oleh Pek-in Hoat-sut, baru Bu Pun Su membuka matanya dan mulai mendesak lawan.
Pek Hoa mengeluh. Harapan untuk berhasil kini sudah buyar pula, bahkan sebaliknya ia terancam hebat oleh hawa pukulan yang beruap putih itu. Ia hanya dapat memutar-mutar pedang sambil main mundur. Akhirnya ia mengeluh,
“Han-ko, apakah kau tega melihat aku mati tanpa membantu?”
Sebetulnya semenjak tadi Han Le telah menonton petempuran itu dengan hati kebat-kebit tidak karuan. Ia merasa cemas sekali akan keselamatan kekasihnya, dan ingin sekali ia membantu. Akan tetapi ia merasa sungkan terhadap suheng-nya ini. Oleh karena itu ia hanya berdiri dengan kedua tangan dikepalkan erat-erat, keningnya berkerut dan bibirnya digigit, akan tetapi kedua kakinya seperti terpaku pada tempat ia berdiri. Kini melihat Pek Hoa terdesak hebat, hampir-hampir ia tak dapat bertahan lagi.
“Han-ko...!” Pek Hoa menjerit sayu ketika tangan kirinya terserempet tamparan tangan Bu Pun Su. Pedang kirinya terlempar dan tangan menjadi lumpuh.
Akan tetapi Pek Hoa masih melawan dengan pedang kanannya, melawan nekat sambil berseru,
“Bu Pun Su, kau tamatkanlah nyawaku. Han-ko tidak mau membantu, apa artinya hidup bagiku?”
“Suheng, sudahlah...!” Han Le tiba-tiba melompat dan pedangnya menyambar di tengah-tengah untuk menghalangi Bu Pun Su menyerang Pek Hoa.
“Han Le, pergi kau jangan ikut-ikut!” bentak Bu Pun Su marah.
“Suheng, jangan melukai dia... aku cinta padanya...,” jawab Han Le sambil menghadang di tengah.
“Han-ko, dia bukan suheng-mu lagi. Dia manusia kejam. Mari kita bunuh bersama. Lihat, tangan kiriku sudah lumpuh. Balaskan sakit hatiku ini, Han-ko!” Pek Hoa berkata dan ia mulai menyerang Bu Pun Su lagi dengan pedang kanannya.
Kini Han Le tak bicara lagi, akan tetapi memutar pedang di tangannya secara cepat untuk melindungi Pek Hoa dari serangan Bu Pun Su.
Kakek sakti itu menarik napas panjang. “Han Le, kau sudah tersesat jauh. Apa boleh buat, aku lebih rela melihat sute-ku binasa dalam tanganku dari pada melihat dia tersesat dan menjadi seorang jahat!”
Begitu kata-kata ini habis diucapkan, Bu Pun Su segera mempercepat dan memperkuat gerakannya. Memang bukan hal yang mudah menghadapi keroyokan orang-orang selihai Pek Hoa dan Han Le, yang keduanya selain memiliki ilmu silat tinggi sekali, juga memiliki keistimewaan masing-masing.
Kalau saja tokoh yang dikeroyok bukannya Bu Pun Su yang sakti, agaknya sukar sekali mengalahkan keroyokan dua orang ini. Dan andai kata Pek Hoa tidak lebih dulu sudah terluka tangan kirinya, agaknya Bu Pun Su juga tidak akan mudah mengalahkan mereka. Apa lagi Bu Pu Su merasa gelisah dan kecewa sekali melihat sute-nya yang sekarang bertempur secara mati-matian mengeluarkan seluruh kepandaian untuk membela wanita jahat itu!
“Han Le, mundur kau!” berkali-kali Bu Pun Su berseru.
Akan tetapi Han Le seperti sudah tuli, tidak mendengar seruan ini bahkan memperhebat gerakan pedangnya.
“Bagus, Han-ko, kekasihku. Tikam dia, bunuh jahanam ini!” sebaliknya berkali-kali pula Pek Hoa membujuknya.
Setelah tiga kali Bu Pun Su memberi peringatan kepada sute-nya tanpa ada perhatian, pendekar ini menjadi marah dan membentak,
“Han Le, kalau begitu robohlah kau!”
Ia lalu mengirim serangan hebat ke arah sute-nya sendiri. Han Le terkejut menghadapi pukulan Pek-in Hoat-sut ini. Ia mencoba untuk menangkis dan miringkan tubuh sambil membalas dengan tusukan pedang. Akan tetapi akibatnya, pedangnya terpental dan ia terguling roboh, sambungan tulang pundaknya terlepas karena pukulan Pek-in Hoat-sut yang lihai.
Han Le meringis kesakitan dan tak dapat bangun lagi karena sambungan tulangnya telah terlepas. Juga ia menderita luka di sebelah dalam yang membuat ia tak mungkin bangun lagi.
“Keparat, rasakan pembalasanku!” Pek Hoa menjerit dan pedangnya menyambar ke arah bawah pusar Bu Pun Su.
“Siluman betina, kau harus mampus!” bentak Bu Pun Su yang merasa muak menghadapi serangan yang keji ini.
Tangan kirinya bergerak ke bawah menyampok pedang sehingga pedang itu terlepas dari pegangan, kemudian secepat kilat, sebelum Pek Hoa menarik kembali tangan kanannya, Bu Pun Su mendahului dengan ketokan telunjuknya ke arah sambungan tulang siku.
Pek Hoa menjerit dan tangan kanannya lumpuh pula seperti tangan kirinya! Akan tetapi wanita ini memang sudah nekat. Bagai seekor singa betina, ia menerjang maju, sekarang mempergunakan kedua kakinya, melakukan tendangan bertubi-tubi. Tetapi dengan sekali sampok dengan ujung lengan bajunya, Bu Pun Su berhasil membuat dia roboh terguling dan merintih-rintih kesakitan.
“Kalau orang macam kau tidak mati, hanya akan mengacaukan dunia saja!” kata Bu Pun Su sambil melangkah maju, agaknya hendak menewaskan Pek Hoa.
“Suheng, tahan...!”
Sambil merangkak dan setengah menggulingkan tubuh, Han Le menghampiri Bu Pun Su, lalu berlutut di depan Bu Pun Su sambil menangis, “Suheng, ampunkan dia, biar dia pergi meninggalkan pulau ini, akan tetapi jangan bunuh dia, Suheng. Kalau Suheng bernafsu hendak membunuh orang, biar siauwte saja Suheng bunuh sebagai penebus nyawanya.”
Bu Pun Su serentak kaget. Baru ia sadar bahwa hampir saja ia melakukan pembunuhan dengan mata terbuka. Musuh sudah kalah, tak perlu didesak lagi, pikirnya.
“Dan kau tetap hendak pergi bersama dia?”
Han Le menggeleng-geleng kepalanya. “Siauwte sudah mengaku salah. Siauwte terlalu menurutkan nafsu hati dan akhirnya siauwte jatuh cinta. Kini siauwte bersedia menebus dosa, biar siauwte merana di sini, biar siauwte berpisah darinya, siauwte rela. Siauwte takkan meninggalkan pulau ini selamanya.”
Kemudian Han Le berpaling kepada Pek Hoa, berkata dengan suara perlahan, “Pek Hoa, selamat berpisah. Pergilah kau meninggalkan pulau ini, meninggalkan aku. Jangan kau kembali lagi selamanya. Kita tak usah bertemu lagi selamanya.”
Sebetulnya, ketika Pek Hoa memikat hati Han Le, niat terutama di dalam hatinya adalah mencari kawan untuk membalaskan dendam kepada musuh-musuhnya. Hal ini pun telah terlaksana dengan terbunuhnya tiga orang tokoh Kun-lun dan Siauw-lim. Bahkan ia sudah berhasil lebih jauh lagi, yakni ia telah dapat mewarisi sebagian dari ilmu silat Han Le.
Yang hebat, hampir saja ia berhasil mengadu dombakan Han Le melawan Bu Pun Su. Akan tetapi setelah rencananya tidak berhasil dan akibatnya bahkan Han Le dan dia sendiri terluka, dan ternyata Bu Pun Su terlampau kuat baginya, hati Pek Hoa menjadi dingin dan putus harapan.
Ia menguatkan diri untuk bangun dan berdiri, mukanya pucat kedua lengannya lumpuh. Ia memandang kepada Bu Pun Su dengan mata penuh kebencian. “Bu Pun Su, banyak aku membenci orang, akan tetapi tidak seperti aku membencimu. Kelak akan tiba saatnya aku membalas penghinaan ini, kalau tidak oleh tanganku sendiri, tentu oleh tangan anakku atau tangan Wi Wi Toanio!” Setelah berkata demikian, dia berpaling kepada Han Le dan berkata,
“Kau jembel busuk, jembel tua, kau kira aku benar-benar mencintamu? Hah, tak tahu diri! Aku menyerahkan diri kepadamu dengan harapan agar supaya kau mau membalas budi kecintaanku, dapat membalaskan sakit hatiku terhadap musuh-musuh besarku. Namun ternyata, menghadapi orang ini saja kau menunjukkan ketidak gunaanmu. Hah, sungguh kau memualkan perutku!”
Setelah berkata demikian, dengan terhuyung Pek Hoa meninggalkan tempat itu menuju ke pantai, makin lama makin jauh merupakan sosok bayangan orang yang putus asa.
“Wanita yang berbahaya sekali. Hmm, lihai dan berbahaya melebihi setan. Pada akhirnya masih tega menghancurkan hati Han-sute,” kata Bu Pun Su perlahan.
Tiba-tiba keningnya berkerut ketika dia menoleh dan melihat Han Le pucat sekali dan air mata bercucuran keluar dari sepasang matanya.
“Ehh, Han-sute, kau sudah dihina olehnya. Apakah kepergiannya masih bisa membuat hancur hatimu? Di mana sifat jantanmu, Sute?”
Han Le menggeleng-geleng kepalanya. “Suheng, siauwte memang harus dipukul, bahkan sudah sejak dulu siauwte mengerti bahwa dia hanya... mempermainkan siauwte belaka. Namun, siauwte sudah dicengkeram oleh nafsu. Akhir-akhir ini... bagaimana siauwte bisa membencinya? Dia... dia telah mejadi calon ibu anakku...”
Bu Pun Su terkejut sekali, sampai berubah air mukanya.
“Apa katamu?! Betul-betulkah begitu?”
Han Le mengangguk. “Siauwte tidak sayang kepadanya, melainkan kepada anak yang dikandungnya. Suheng, siauwte sudah bersumpah tak akan meninggalkan pulau ini, akan menanti di sini hingga maut datang mencabut nyawa, untuk menebus dosa-dosa siauwte. Akan tetapi anak itu... ah, Suheng, kalau sudah terlahir dan berada di bawah asuhan Pek Hoa, akan menjadi apakah? Oleh karena itu, siauwte mohon bantuan Suheng, kalau anak itu terlahir, harap Suheng suka merampasnya dan memberikan kepada orang lain supaya dididik menjadi manusia baik-baik. Jangan sampai keturunan siauwte menambah dosa siauwte sehingga membuat siauwte tak dapat mati dengan mata meram.”
Bu Pun Su mengangguk-angguk. Hatinya terasa pilu. Ia sendiri belum pernah merasakan bagaimana perasaan seorang calon ayah. Akan tetapi ia dapat membayangkan betapa hancur hati Han Le pada saat itu.
“Baikiah, Han-sute. Tadinya aku datang untuk meminta bantuanmu, akan tetapi melihat keadaanmu sekarang, tak usahlah. Bahkan, sesudah terjadi peristiwa antara kau dengan tokoh-tokoh Kun-lun dan Siauw-lim, amat tidak baik kalau kau sendiri yang muncul. Biar aku yang akan membereskan hal itu dan menjernihkan keadaan. Kau rawat baik-baik tiga jenazah itu, jangan dibiarkan begitu saja. Meski pun kau tak akan meninggalkan pulau ini selamanya, percayalah, sewaktu-waktu aku akan datang menemanimu di sini.”
Han Le menghaturkan terima kasih dan tidak lama kemudian Bu Pun Su meninggalkan Pulau Pek-le-to dengan hati penuh iba kepada adik seperguruannya itu. Tidak pernah dia menyangka bahwa Han Le akan bernasib sedemikian buruk, jauh lebih buruk dari pada nasibnya sendiri…..
********************
Debu mengebul tinggi ketika dua ekor kuda berlari congklang menuju ke gerbang pintu kota Tiang-hai yang letaknya hanya tinggal berjarak beberapa li lagi. Waktu itu musim panas sedang teriknya, jalan-jalan mengering dan debu mengebul tinggi setiap kali jalan itu dilalui kuda atau kendaraan yang ditarik kuda. Pohon-pohon nampak mengering dan sawah ladang kuning kosong.
Namun alam di sekitar tempat itu yang sama sekali tidak menimbulkan pemandangan indah, tak mengurangi seri muka gembira dari dua orang muda yang menunggang kuda. Mereka ini adalah Gan Tiauw Ki dan Kiang Im Giok.
Sebagaimana diketahui, Gan Tiauw Ki menuju ke kota Tiang-hai untuk menyampaikan surat dari Kaisar untuk seorang berpangkat huciang bernama keturunan Suma di kota itu, dan untuk melakukan penyelidikan. Ada pun Im Giok mendapat tugas dari Bu Pun Su untuk mengawal pemuda ini.
Di sepanjang perjalanan, Tiauw Ki memperlihatkan bahwa dia adalah seorang pemuda yang terpelajar tinggi, hafal akan bunyi sajak-sajak gubahan para pujangga jaman dahulu yang berjiwa patriot, hafal akan sejarah, pandai pula membuat sajak-sajak bersemangat dan indah-indah. Selain ini, ia pandai bernyanyi dan meniup suling sehingga beberapa kali di waktu mereka beristitahat, pemuda ini mengeluarkan suling peraknya dan mainkan beberapa lagu.
Im Giok tertarik sekali. Hatinya tambah suka terhadap Tiauw Ki melihat sikap pemuda ini amat sopan, biar pun ramah tamah, dan kadang-kadang gembira, namun sikapnya selalu sopan dan menyenangkan, tidak pernah memperlihatkan pandang mata kurang ajar atau kata-kata yang tidak sopan. Dalam diri pemuda ini Im Giok melihat orang yang sangat bersemangat, berjiwa patriot dan gagah, jujur, setia dan sopan-santun.
Sebaliknya, selama hidupnya baru sekali ini Tiauw Ki berjumpa dan berkenalan dengan seorang gadis seperti Im Giok. Memang pemuda itu sudah banyak pengalaman kota-kota besar, sudah banyak melihat puteri-puteri istana, puteri-puteri bangsawan yang tersohor cantik jelita dan pandai, akan tetapi ia harus akui bahwa baru kali ini hatinya jatuh oleh kecantikan seorang gadis. Tidak saja ia kagum sekali melihat wajah jelita dari Im Giok, juga ia kagum sekali akan kegagahan gadis ini.
Oleh karena kedua pihak merasa saling tertarik dan suka, maka tentu saja perjalanan itu merupakan pengalaman yang amat menyenangkan, tak pernah memperlihatkan pandang mata sayang, tidak memperlihatkan apa yang terkandung dalam hati, akan tetapi jauh di lubuk hati, mereka tahu bahwa hidup akan kurang sempurna apa bila mereka berpisah.
Makin dekat dengan kota Tiang-hai, semakin sering mereka bertemu orang dan makin banyak mereka melihat orang-orang mendatangi Tiang-hai.
“Heran, mereka itu datang ke Tiang-hai ada apakah?” kata Tiauw Ki perlahan pada saat melihat serombongan orang berkuda mendahului mereka.
Rombongan ini terdiri dari tujuh orang. Melihat pakaian dan sikap mereka, dapat diduga bahwa tujuh orang ini adalah orang-orang berkepandaian tinggi.
“Mereka siapakah?” tanya Im Giok.
Gadis ini merasa lebih heran lagi sebab ia tahu bahwa tujuh orang itu adalah orang-orang kang-ouw. Bagaimana seorang sastrawan seperti Gan Tiauw Ki bisa mengenal mereka?
“Mereka itu adalah panglima-panglima ternama dari Gubernur Shansi. Mereka menyamar seperti orang-orang biasa dan datang di Tiang-hai, apakah kehendak mereka?” Tiauw Ki berkata perlahan.
Ketika tidak mendapat jawaban, Tiauw Ki menengok.
“Ada apakah, Nona?” tanyanya ketika Im Giok memandang kepadanya dengan penuh keheranan dan kecurigaan.
“Bagaimana kau dapat mengenal orang-orang seperti itu?” tanya Im Giok.
Tiauw Ki tersenyum merendah.
“Apa sukarnya? Badan penyelidik dari istana sudah memperlihatkan gambar tokoh-tokoh terpenting dari mereka yang dianggap sebagai orang-orang yang hendak memberontak. Gubernur Shansi dan Honan melopori pemberontakan-pemberontakan atau sikap yang anti Kaisar, maka panglima-panglima ternama dari kedua gubernur itu tentu saja sudah kukenal gambarnya. Inilah sebabnya maka aku dapat mengenali mereka tanpa mereka tahu siapa aku.”
Im Giok mengangguk-angguk kagum. “Gan-kongcu, otakmu benar-benar sangat tajam, dapat mengingat semua orang dalam gambar.”
“Bukan aku yang berotak tajam, melainkan tukang lukisnya yang benar-benar pandai. Hanya dengan beberapa coretan saja ia dapat melukis muka orang demikian tepatnya. Benar-benar aku makin kagum saja kepada pelukis Ong dari istana itu.”
Im Giok lalu bertanya tentang pelukis itu dan mereka bercakap-cakap dengan asyik. Dan kembali Ang I Niocu Kiang Im Giok mendapat kenyataan bahwa pemuda ini mempunyai kepandaian lain yang menarik, yakni melukis. Pemuda ini sendiri seorang pelukis pandai akan tetapi dia memuji-muji pelukis Ong Pouw di istana, menandakan bahwa wataknya memang sopan dan suka merendahkan diri sendiri.
Tiba-tiba terdengar seruan dari belakang, “Minggir! Minggir!”
Im Giok terkejut. Suara ini terdengar nyaring, disusul oleh suara derap kaki kuda yang berlari cepat. Orang yang dapat mengirim suara mendahului suara derap kaki kuda tentu seorang yang memiliki kepandaian tinggi.
Tiauw Ki tentu saja tidak tahu akan hal ini dan ia hanya berkata, “Datang orang kasar, baik kita minggir. Jangan sampai terjadi ribut-ribut.”
Im Giok maklum bahwa tugas yang amat penting dari Tiauw Ki memang harus dilindungi dan sebaiknya apa bila mereka tidak memancing permusuhan sebelum tugas itu selesai. Maka ia pun lalu menggebrak kudanya dan minggirkan kuda untuk memberi jalan kepada serombongan orang berkuda yang mendatangi dengan cepat.
Rombongan kali ini adalah orang-orang dengan pakaian indah serta gagah, akan tetapi yang paling menarik adalah orang pertama yang berada di depan. Orang ini masih muda, wajahnya tampan sekali, sikapnya gagah, pakaiannya indah dan mewah. Jelas nampak bahwa dia adalah seorang pesolek besar, dan kudanya pun bukan kuda biasa melainkan kuda pilihan berbulu putih. Ia membalapkan kudanya, sedikitnya seperempat li di depan rombongannya sambil tertawa-tawa.
Kuda yang ditunggangi oleh Im Giok juga kuda pilihan, demikian pula kuda Kim Lian yang ditunggangi oleh Tiauw Ki. Tidak hanya manusia yang suka memilih golongan, kuda pun agaknya mengenal kawan dan mengenal bulu.
Tiba-tiba saja kuda yang ditunggangi oleh Im Giok dan Tiauw Ki mengeluarkan ringkikan keras. Mereka menjadi gembira, kedua kaki depan diangkat tinggi dan mereka melompat ke tengah jalan menghadang datangnya kuda putih yang ditunggangi pemuda tampan itu!
Terdengar Tiauw Ki memekik kaget. Ternyata tubuh pemuda ini sudah dilemparkan oleh kudanya ketika kuda itu berdiri di atas dua kaki belakang. Gerakannya demikian kuat dan cepat sehingga Tiauw Ki tidak dapat menguasai diri dan terjengkang ke belakang.
Tentu tubuhnya akan terbanting di atas batu di jalan kalau saja Im Giok tidak cepat-cepat melompat dan menyambar. Dengan gerakan cekatan dan lincah bagaikan seekor burung terbang, gadis ini hanya kelihatan sebagai bayangan merah dan tahu-tahu Tiauw Ki telah disambar lengannya. Di lain saat, pemuda ini sudah berdiri di tengah jalan dan lengannya dipegang oleh Im Giok.
“Bagus sekali!” terdengar suara orang memuji.
Ketika itu, pemuda tampan gagah yang berada di atas kuda putih sudah datang dekat, agaknya hendak menubruk Tiauw Ki dan Im Giok. Im Giok sudah bersiap sedia, sedikit pun tidak khawatir karena ia maklum bahwa jika perlu, dengan mudah ia akan mendorong tubuh kuda putih itu ke samping.
Akan tetapi Im Giok tidak perlu turun tangan karena tiba-tiba saja kuda itu berhenti sambil meringkik keras, kedua kaki depan diangkat, ada pun kaki belakangnya merendah hampir berlutut.....
Im Giok kagum sekali. Penunggang itu sudah memperlihatkan kepandaiannya, tidak saja kepandaian menunggang kuda, tapi juga kepandaian ilmu lweekang yang tinggi sehingga pada saat itu ia dengan cepat dapat membikin berat tubuhnya kemudian mempergunakan kekuatannya untuk menahan larinya kuda sendiri.
Tiauw Ki yang sudah lenyap kagetnya, berkata sambil merengut,
“Mengapa melarikan kuda cepat-cepat amat? Membikin kuda orang lain kaget setengah mati?”
Pemuda itu memandang sejenak ke arah Tiauw Ki, senyumnya berubah mengejek dan menghina, sinar matanya memandapg rendah seperti seekor harimau memandang anjing buduk.
Kalau tadinya Im Giok merasa tertarik dan kagum melihat pemuda tampan dan gagah ini, sekaligus rasa kagum dan sukanya lenyap bagaikan awan tertiup angin badai. Melihat senyum mengejek serta pandang mata yang membayangkan kesombongan besar penuh penghinaan kepada Tiauw Ki, sekaligus hati Im Giok mendongkol dan timbul rasa tidak sukanya kepada pemuda tampan ini.
Memang harus diakui bahwa dalam segala hal, pemuda asing ini jauh melebihi Tiauw Ki. Dia lebih tampan, jauh lebih gagah, dan juga pakaiannya lebih indah. Akan tetapi ia tidak mempunyai apa yang dimiliki Tiauw Ki, yakni kepribadian yang menarik, gaya sewajarnya yang penuh kecerdikan, kejujuran, dan kesetiaan.
Pemuda itu tidak lama memandang ke arah Tiauw Ki, sebaliknya cepat ia mengalihkan pandang matanya kepada Im Giok. Senyumnya berubah, tidak menyeringai penuh ejekan seperti tadi, akan tetapi senyum penuh madu memikat, senyum yang membuat parasnya makin tampan, dan sepasang matanya berseri penuh kagum dan terpikat.
“Pek-in-ma (Kuda Awan Putih) yang kutunggangi ternyata bisa mengenal keindahan dan kegagahan! Di dunia ini jarang terdapat paduan yang tepat, indah dan gagah. Nona, kau tidak saja memenuhi syarat paduan ini, bahkan melebihi…, jauh melebihi sehingga tidak berlebih-lebihan kalau kukatakan bahwa aku Lie Kian Tek selama hidupku baru sekali ini melihat paduan yang demikian sempurna!”
Im Giok maklum akan pujian ini, akan tetapi ia berpura-pura tidak mengerti dan berkata,
“Apakah maksud kata-katamu ini?”
Pemuda tampan ini tertawa sambil menoleh kepada kawan-kawannya yang sudah tiba di sana pula. “Cuwi (Tuan-tuan sekalian), berhenti sebentar dan lihatlah, pernahkah kalian melihat seorang yang begini cantik dan gagah?”
Lima orang yang mengawal pemuda ini, yang semuanya orang-orang setengah tua yang berpakaian indah dan bersikap gagah, memandang dan tersenyum.
“Memang cantik sekali akan tetapi kegagahan, hmm... banyak sekali orang yang berlagak gagah akan tetapi tiada guna, seperti gentong kosong dipukul bersuara namun tak berisi,” demikian kata seorang di antara mereka.
Pemuda itu tertawa, nampak giginya yang berbaris rapi dan putih bersih. “Ha-ha-ha, kau betul sekali, Ciang-lopek. Akan tetapi kau tidak tahu betapa nona ini tadi dengan gerakan indah dan luar biasa sudah menyelamatkan nyawa seorang yang benar-benar tidak ada gunanya! Eh, Nona, maksud kata-kataku tadi kalau disalin dengan lain kalimat berarti aku kagum sekali melihatmu sebab kau betul-betul cantik jelita dan gagah perkasa. Bolehkah aku mengetahui namamu, Nona? Dan kau hendak ke manakah?”
Ujung hidung yang kecil mancung itu bergerak, perlahan sekali dan hanya dapat terlihat oleh orang yang memperhatikan. Dan yang memperhatikan ujung hidung Ang I Niocu ini hanya Tiauw Ki seorang.
Pemuda ini cepat mengulur tangan dan menyentuh lengan Im Giok, lalu katanya kepada pemuda tampan itu, “Tuan, harap jangan mengganggu kami lagi dan hendaknya menjaga tata susila antara kaum pria dan wanita, pula memberi kebebasan kepada kami sebagai orang-orang yang bertemu di tengah perjalanan. Nona ini tidak bersalah, kenapa hendak diganggu?”
Pemuda itu menengok dan memandang kepada Tiauw Ki dari atas kudanya.
“Hah! Siapa yang mengajak bicara orang macam engkau?”
Im Giok sementara itu sudah bisa menekan perasaannya, maka ia lalu membalas isyarat Tiauw Ki dengan sentuhan perlahan pada tangannya, kemudian ia menjawab,
“Cuwi sekalian hendak mengetahui namaku? Aku she Kiang, seorang yang tak ternama. Aku hendak pergi ke Tiang-hai...”
“Ke Tiang-hai?” pemuda yang mengaku bernama Lie Kian Tek itu memotong, “Kiang-siocia, kebetulan sekali! Aku, Lie Kian Tek bersama kawan-kawanku ini pun hendak pergi ke Tiang-hai. Kau hendak memberi selamat kepada Suma-huciang untuk ulang tahunnya yang ke enam puluh ini, bukan?”
“Ulang tahunnya yang ke enam puluh?” tanya Im Giok merdu. “Ya, benar, begitulah! Akan tetapi aku pergi bersama dia ini, tidak bersama engkau.”
“Ha-ha-ha, alangkah lucu dan janggalnya! Kiang-siocia, kudamu dan kudaku patut jalan berdampingan, kau dan aku pun kiranya patut menjadi sahabat seperjalanan. Tetapi dia ini? Hmm, biar pun kudanya bagus, akan tetapi ia tidak patut menunggang kudanya itu, buktinya tadi belum apa-apa sudah jatuh dari kudanya. Ha-ha-ha!”
“Tuan Lie, kau akan menjadi tamu dari pamanku, kenapa kau menghina keponakannya?”
“Kau keponakan Suma-huciang?” tanya Lie Kian Tek sambil memandang dengan tajam.
“Aku yang bodoh memang keponakan luar dari Suma-huciang,” Gan Tiauw Ki menjawab dingin.
Pemuda yang mewah itu nampak tercengang dan mukanya segera berubah. Ia bertukar pandang dengan kawan-kawannya, kemudian dia menjura kepada Tiauw Ki dan berkata, “Maaf, maaf, kami tidak tahu bahwa Tuan adalah keponakan dari Suma-huciang. Sampai bertemu di dalam pesta.”
Sesudah berkata demikian, Lie Kian Tek membalapkan kudanya, diikuti oleh lima orang kawannya. Debu mengebul di belakang mereka sehingga Tiauw Ki dan Im Giok harus menutupi mulut dan hidung dengan ujung lengan baju.
“Manusia sombong...!” kata Ang I Niocu Kiang Im Giok.
“Sombong juga sudah sepatutnya karena dia adalah putera dari Gubernur Lie di Shansi,” jawab Tiauw Ki sambil menghapus debu dari mukanya sehingga kulit mukanya menjadi merah.
“Gan-kongcu...”
“Nona, harap kau jangan menyebut kongcu kepadaku, aku hanyalah seorang pemuda miskin biasa saja. Aku malu menerima sebutan ini.”
Im Giok tersenyum manis.
“Habis, aku harus menyebut bagaimana?” tanyanya.
“Walau pun kita baru tiga hari berkenalan, akan tetapi aku merasa seperti sudah seabad mengenalmu,” kata Tiauw Ki.
“Aduh, sudah berapa abadkah usiamu?” Im Giok menggoda.
Tiauw Ki tersenyum. “Sesungguhnya, Nona. Aku merasa seakan-akan sudah lama sekali mengenalmu.”
“Aku pun demikian, Gan-kongcu,” jawab Im Giok jujur. “Agaknya memang watak kita yang cocok.”
“Kita seperti saudara saja,” kata pula Tiauw Ki.
“Memang kau baik sekali.”
“Kalau begitu, mengapa kau tidak menyebut aku twako (kakak besar) saja? Dan aku akan menyebutmu adik, bukankah ini lebih tepat dan lebih enak didengarnya?”
Im Giok memandang. Tiauw Ki memandang. Dua pasang mata bertemu pandang, bibir tertutup, hati terbuka mengalirkan rasa yang hanya dapat ditangkap melalui sinar mata.
“Baiklah, Gan… Twako. Ehh, ya, aku lupa. Kau tadi mengaku di depan orang she Lie tadi sebagai keponakan Suma-huciang, bukankah kau telah membohong?”
“Memang aku tadi berbohong. Nama Suma-huciang amat disegani orang, biarpun dia itu putera seorang gubernur, tetap saja saja dia tidak berani bersikap kurang ajar terhadap Suma-huciang. Karena itu, ketika melihat dia hendak kurang ajar padamu, aku terpaksa membohong untuk menutup mulutnya dan mengusir dia pergi.”
Im Giok tersenyum “Bagaimana nanti kalau dia bercakap-cakap dengan Suma-huciang dan menyebut-nyebutmu?”
“Tidak apa, selain aku tidak takut, juga tadi aku tak sudi menyebut nama, bagaimana dia bisa bicara tentang orang yang tak bernama?”
“Gan-twako, lain kali kau tak perlu mencoba melindungiku dengan jalan membahayakan dirimu sendiri. Aku tidak takut akan gangguan she Lie itu. Apa bila tadi aku mau, hemm... aku dapat membuat dia jungkir balik dari atas kudanya!” kata Im Giok gagah.
“Nona...”
“Lho, kau sendiri yang merubah sebutan, Twako...”
“O, ya! Maaf, begini, Siauw-moi...”
“Kenapa kau menyebutku Siauw-moi (Adik Cilik)? Aku tidak kecil lagi, Twako...”
“Ehh ya... Kiang-moi, sebenarnya aku pun percaya dan mengerti bahwa kau tidak takut kepadanya. Akan tetapi, orang she Lie itu amat terkenal lihai ilmu silatnya, sedangkan kalau terjadi keributan, hal itu amat tidak baik bagi tugasku.”
Im Giok mengangguk-angguk. “Aku mengerti, Twako, kalau tidak demikian, dan kalau aku tidak ingat akan tugasmu yang amat penting, apakah kau kira aku masih dapat menahan sabar menghadapi ocehan manusia sombong macam Lie Kian Tek itu?”
Dua orang muda itu melanjutkan perjalanannya menuju ke kota Tiang-hai. Tidak lama kemudian mereka memasuki kota itu, sebuah kota yang besar dan ramai. Setelah mereka memasuki kota, nampak makin banyak orang yang agaknya datang dari luar kota, ada yang berkuda, berkereta, banyak pula yang berjalan kaki.
Mata Im Giok yang tajam dapat melihat betapa banyak orang-orang yang kelihatannya berkepandaian tinggi, seperti orang-orang kang-ouw. Akan tetapi karena ia sendiri belum terkenal, maka ia tidak dikenal orang dan hal ini melegakan hatinya.
“Gan-twako, mengapa kau tidak bilang bahwa hari ini Suma-huciang sedang merayakan hari lahirnya yang ke enam puluh tahun?” Im Giok menegur kawannya.
“Aku sendiri pun baru tadi mendengar dari mulut Lie Kian Tek,” jawab Tiauw Ki. “Akan tetapi hal ini lebih baik, aku dapat menghadap Suma-huciang dengan dalih menghaturkan selamat serta menghaturkan barang persembahan tanpa dicurigai orang lain. Agaknya Suma-huciang sengaja mengadakan pesta untuk mengumpulkan orang-orang, dan untuk mengetahui siapa lawan siapa kawan.”
Im Giok memuji kecerdikan Gan Tiauw Ki. “Kalau begitu, kurasa kau akan menghadapi banyak bahaya, Gan-twako. Kulihat orang-orang yang datang ke kota ini hampir semua adalah orang-orang kang-ouw, dan di antaranya tentu banyak yang jahat. Ada baiknya kalau aku pun menghadiri pesta itu dan untuk memberi hormat dan selamat pula kepada Suma-huciang. Ada pun untuk barang hantaran, biarlah aku memberikan ini.”
Im Giok mencabut tusuk kondenya yang terbuat dari emas dihias kemala indah. Melihat barang ini, Tiauw Ki berubah air mukanya dan kulit mukanya menjadi merah sekali. Im Giok tertegun.
“Ehh, Gan-twako, kau kenapakah?” tanyanya.
Muka Tiauw Ki makin merah. “Kiang-moi, alangkah tajamnya pandang matamu. Sedikit saja ada apa-apa terasa dalam hatiku, kau sudah tahu!”
Im Giok tertawa. “Kau pun tajam pandang matamu, Twako. Ketika aku marah dan hendak mendamprat orang she Lie, kau menyentuh tanganku dan melarangku marah-marah.”
“Mudah saja, kulihat ujung hidungmu bergerak-gerak, aku sering kali melihat kau berhal seperti itu kalau merasakan sesuatu, maka aku dapat menyangka bahwa kau tentu akan marah terhadap orang she Lie itu.”
“Begitukah? Apakah ujung hidungku suka bergerak-gerak? Alangkah lucu dan anehnya. Tentu seperti hidung kuda!”
“Ahh, tidak Kiang-moi, bahkan lucu dan... dan manis sekali,” kata Tiauw Ki.
“Aah, sudahlah. Kau memang pandai memuji. Kau sendiri pun mudah dilihat. Mukamu merah seperti udang direbus, bagaimana aku tidak tahu bahwa kau memikirkan sesuatu? Lebih baik sekarang kau mengaku, kau sedang berpikir apakah?”
“Tusuk kondemu itu, Kiang-moi. Sayang sekali kalau diberikan kepada Suma-huciang.”
“Ahh, ini benda tidak begitu berharga, Twako.”
“Mungkin harganya tidak begitu tinggi, akan tetapi selama ini sudah menghias rambutmu, jadi... jadi... begitulah, amat berharga dalam pandanganku. Karena itu jangan diberikan sebagai hadiah, kalau hendak memberi hadiah, lebih baik kita beli saja di toko emas di kota ini, aku membawa bekal banyak uang Kiang-moi.”
Tiba-tiba muka Im Giok menjadi merah dan gadis ini merasa amat girang.
“Twako, aku sendiri tidak membawa uang. Tetapi aku tidak mau kalau kau membelikan barang hadiah itu untukku. Aku lebih suka memberikan tusuk konde ini dari pada aku harus menyusahkanmu membeli di toko.”
“Begini saja, Kiang-moi. Kalau kau begitu angkuh dan tidak mau menerima uangku untuk membeli barang tanda mata, bagaimana kalau... kalau... aku tukar saja tusuk kondemu itu? Sebagai gantinya aku membelikan barang hadiah yang jauh lebih mahal harganya untuk diberikan kepada Suma-huciang?”
Kembali dua pasang mata beradu dan keduanya bermerah muka.
“Sesukamulah, bagiku benda ini jatuh di tangan siapa saja pun tidak ada bedanya. Tentu saja… kalau berada di tanganmu lebih baik lagi.”
“Mengapa lebih baik, Kiang-moi?” Tiauw Ki mendesak.
“Mengapa? Ahh... kau mendesak dengan pertanyaan yang bukan-bukan.”
“Mengapa, Kiang-moi? Mengapa lebih baik?” kembali pemuda itu mendesak.
“Sstt, lihat, banyak orang memperhatikan kita. Mari kita pergi ke rumah penginapan dan berganti pakaian, lalu mengunjungi rumah Suma-huciang.”
Keduanya lalu mencari rumah penginapan, menyewa dua buah kamar, lalu berkemas. Tak lama kemudian keduanya keluar lagi dengan pakaian sudah ditukar pakaian bersih. Mereka pun mandi lebih dahulu sehingga sepasang orang muda itu nampak bersih dan tampan, benar-benar merupakan pasangan yang amat sedap dipandang.
Dengan diantar oleh Tiauw Ki, Im Giok mencari barang hadiah di toko emas dan akhirnya setelah memilih-milih lalu membeli sebuah kotak kuno berukir yang indah sekali dari toko perhiasan. Ia hendak memberikan tusuk kondenya kepada Tiauw Ki, akan tetapi pemuda itu menolak dan mengatakan nanti saja.
Kemudian dua orang muda itu pergi ke gedung pembesar Suma-huciang yang berada di tengah kota. Gedung itu besar dan bentuknya kuno, sebab semenjak beberapa keturunan Suma-huciang memang sudah menjabat pangkat dan berjasa kepada Kaisar. Jadi bukan semata karena kedudukannya maka Suma-huciang disegani oleh para pembesar lainnya, akan tetapi terutama sekali karena nama keluarganya yang semenjak dulu menjadi tokoh besar yang disayang oleh Kaisar karena setia dan berani mati membela negara.
Ketika mereka tiba di situ, ternyata sudah banyak sekali tamu memenuhi ruangan depan. Keadaan sungguh ramai dan meriah. Tambur, canang, suling dibunyikan orang, didahului suara biduan pria yang parau dan nyaring.
Di ruangan depan sebelah kiri ramai orang bermain judi, di sebelah kanan serombongan orang-orang tua bertanding minum arak sehingga suasana di kanan kiri ruangan itu amat ramai. Hanya di ruang tengah yang luas sekali itu berkumpul orang-orang muda yang duduk mengobrol sambil menghadapi makanan dan minuman.
Tuan rumah, Suma-huciang yang sudah berusia enam puluh tahun namun nampak masih gagah bermuka merah bagai muka Kwan Kong (tokoh Sam Kok yang terkenal), bertubuh tinggi besar, memakai pakaian kebesaran dengan pedang pemberian Kaisar tergantung pada pinggangnya, duduk di ruangan sebelah dalam di mana berkumpul tamu-tamu yang dipandang sebagai golongan tinggi dan terhormat.
Banyak sekali pelayan hilir mudik mengatur kelancaran pesta itu. Setiap orang tamu yang datang tentu disambut oleh pelayan yang berpakaian indah. Tamu baru ini dibawa masuk dan diantar menghadap Suma-huciang yang duduk di ruangan dalam, kemudian tamu ini menghaturkan selamat sekalian memberi hormat serta memberikan barang hadiah yang dibawanya, kemudian oleh pelayan ia dipersilakan duduk di ruangan yang tepat baginya. Pelayan penyambut ini adalah orang yang berpengalaman luas dan mengenal hampir semua tamu sehingga ia maklum ke mana ia harus membawa tamunya duduk.
Barang-barang sumbangan diletakkan di atas sebuah meja besar panjang yang ditilami sutera merah, diatur berjajar seakan-akan berlomba keindahannya dan kemahalannya. Tamu-tamu wanita yang jumlahnya paling banyak dua puluh lima orang, amat sedikit apa bila dibandingkan dengan jumlah tamu pria, duduk di dekat tempat sumbangan.
Ada pula beberapa orang tamu wanita yang duduk semeja dengan tamu-tamu pria. Tamu wanita seperti ini pasti orang-orang kang-ouw dan para ahli silat, mudah dilihat dari gerak gerik mereka, pakaian, dan pedang mereka. Bagi wanita yang sudah biasa merantau di dunia kang-ouw, tidak ada lagi pantangan hubungan dalam pergaulan dengan kaum pria, sungguh pun hubungan ini amat terbatas oleh tata susila yang tetap dipegang teguh.
Tiauw Ki dan Im Giok disambut oleh pelayan penyambut yang menjura dengan senyum ramah-tamahnya.
“Selamat datang, Tuan Muda beserta Nona. Harap Ji-wi (Tuan Berdua) sudi memberi tahukan nama dan alamat agar dapat melaporkan kedatangan Ji-wi kepada Taijin.”
“Terima kasih, Lopek. Tolong beri tahukan kepada Suma-taijin bahwa keponakannya she Gan dari kota raja datang berkunjung bersama seorang sahabat, yaitu Nona Kiang. Kami datang dari jauh sengaja hendak menghaturkan selamat,” jawab Tiauw Ki dengan suara tenang sewajarnya.
Pada saat pelayan itu mendahului mereka menuju ke ruangan dalam, Tiauw Ki berbisik kepada Kiang Im Giok sebagai jawaban atas pandang mata keheranan dari nona ini.
“Agar Suma-taijin mengerti bahwa yang datang tentu seorang yang istimewa dari kota raja.”
Diam-diam Im Giok memuji ketabahan dan kecerdikan pemuda ini mengatur siasat. Tiap meja yang dikelilingi tamu terdiam apa bila mereka lewat dekat, baru kemudian terdengar bisikan-bisikan disertai suara ketawa ketika mereka sudah lewat, tanda bahwa mereka menjadi pusat perhatian.
Baik Tiauw Ki mau pun Im Giok maklum bahwa lagi-lagi yang menjadi pusat perhatian para tamu pria ini, tentu Im Giok yang cantik! Akan tetapi gadis itu tak ambil peduli sama sekali, hanya ketika ia mulai masuk ke ruang dalam, sepasang matanya bergerak penuh perhatian dan terlihatlah olehnya putera gubernur yang bernama Lie Kian Tek bersama kawan-kawannya berada di dalam ruangan ini.
Ruangan ini paling lebar dan luas, dan di tengah-tengah terdapat sebuah panggung yang menempel pada dinding, dihias dengan kain sutera dan langkan-langkan indah. Agaknya akan diadakan pertunjukan di atas panggung, pikir Im Giok yang kemudian memindahkan perhatiannya kepada seorang tua yang berdiri mendengarkan laporan pelayan, kemudian menyambut kedatangan Tiauw Ki dengan wajah berseri dan melambaikan tangan.
“Aha, kiranya Gan-hiantit yang baru datang! Bagaimana keadaan ayahmu di kota raja? Baik-baik sajakah?”
Im Giok sampai menahan berdebarnya jantung ketika mendengar ini. Apakah Tiauw Ki betul-betul keponakan Suma-huciang, ataukah pembesar tua itu yang ikut-ikutan bermain sandiwara secara cerdik sekali?
“Terima kasih, Paman, terima kasih. Ayah baik-baik saja dan dari jauh menghaturkan selamat atas ulang tahun Paman disertai doa semoga Paman panjang usia dan hidup bahagia. Ada pun siauwtit sendiri pun menghaturkan selamat dan membawa sebuah benda tak berharga untuk sekedar sumbangsih dari siauwtit, mohon diterima.”
Pemuda itu mengeluarkan bungkusan dari saku bajunya, bungkusan sutera kuning yang besarnya hanya dua tiga kepalan tangan orang. Suma-huciang tertawa sambil menerima bungkusan itu.
“Aah, kau terlalu sungkan, Gan-hiantit, akan tetapi terima kasih atas kebaikanmu.”
Suma-huciang lalu memberikan bungkusan itu kepada seorang pelayan yang memang sudah berdiri di situ dan bertugas menerima barang-barang hadiah, kemudian pelayan itu menaruh bungkusan itu di tengah-tengah meja bersama dengan lain-lain hadiah.
Im Giok yang berpendengaran tajam sekali tiba-tiba saja merasa aneh. Suara berisik dari orang-orang bercakap-cakap di ruangan itu tiba-tiba menjadi sunyi sejenak, dan ketika ia menyapu ruangan dengan kerling matanya, ia melihat betapa semua orang mengarahkan pandang mata kepada bungkusan itu!
Akan tetapi dia mendengar suara Tiauw Ki memperkenalkannya kepada Suma-huciang, maka cepat dia menjura kepada pembesar itu dan berkata,
“Saya yang bodoh kebetulan sekali bertemu dengan Saudara Gan di tengah perjalanan. Mendengar bahwa Suma-taijin hendak merayakan hari ulang tahun ke enam puluh, saya memberanikan diri ikut dengan Saudara Gan dan ikut pula menghaturkan sedikit tanda mata yang tidak berharga.”
Dia mengeluarkan bungkusannya, yakni kotak kayu yang indah yang dibelinya dari toko perhiasan. Kembali kotak itu diterima oleh Suma-huciang dan segera dioperkan kepada pelayannya lalu disimpan di atas meja.
“Terima kasih, Kiang-siocia. Kau sungguh baik sekali. Silakan kalian orang-orang muda memilih tempat duduk yang enak. Maafkan aku tidak dapat melayani lebih lama karena harus menerima tamu-tamu baru yang datang.”
Tiauw Ki dan Im Giok menjura, lalu mengundurkan diri. Pelayan hendak mempersilakan mereka duduk di ruangan luar, akan tetapi Tiauw Ki berkata,
“Aku ingin duduk di ruangan ini, di dekat pamanku.”
Pelayan itu tak berani membantah karena betapa pun juga pemuda ini adalah keponakan Suma-huciang dan kiranya seorang keponakan sudah patut disejajarkan dengan ‘orang-orang besar’ di situ. Juga Im Giok sudah memilih tempat di sudut yang masih kosong dan kebetulan sekali, kursi yang dia duduki itu berada tepat di depan panggung yang masih kosong. Tiauw Ki duduk di seberang meja.
“Kau lihat kalau-kalau bungkusan tadi diambil orang,” bisiknya perlahan kepada Im Giok.
Nona ini maklum dan mengangguk dengan pandang matanya. Baginya hal ini mudah saja karena memang dia duduk dengan muka menghadap meja besar tempat menaruh barang-barang sumbangan.
Tamu-tamu baru masuk memberi selamat dan barang-barang sumbangan makin banyak sehingga memenuhi meja. Akhirnya habis juga aliran tamu, ada pun semua tempat sudah penuh oleh tamu. Hidangan-hidangan lezat dan arak-arak wangi dikeluarkan.
Kemudian salah seorang pengawal dari Suma-huciang angkat bicara mewakili pembesar itu menghaturkan selamat datang dan terima kasih atas kedatangan para tamu, kemudian mengumumkan bahwa untuk menghibur para tamu, akan dimainkan tari-tarian oleh para penari yang sengaja datang dari kota raja sebagai sumbangan dari Kaisar!
Pengumuman ini mendapat sambutan gempar dari semua hadirin, karena hal ini adalah sesuatu yang istimewa. Tidak sembarang orang pernah menonton pertunjukan luar biasa ini, yaitu para penari cantik jelita dari dalam istana!
Suma-huciang menjadi gembira sekali melihat sambutan para tamu maka pembesar tua ini bangkit berdiri, menjura dan berkata,
“Saudara-saudara sekalian, memang hal ini amat menggembirakan. Aku telah menerima karunia besar sekali dari Hongsiang, karunia yang sangat mengharukan hatiku dan yang selama hidup tidak akan kulupa. Dalam keadaan seperti ini Hongsiang masih mengingat hambanya yang sudah tua seperti aku, benar-benar hal yang amat menggembirakan dan mengharukan. Alangkah mulia hati Hongsiang.”
Suma-huciang menghentikan kata-katanya untuk menahan suaranya yang mulai bergetar saking harunya. Kemudian disambungnya lagi, kini air mukanya berseri.
“Ada kabar yang baik sekali, Saudara sekalian. Sebelum tari-tarian dari kota raja dimulai, Lie-kongcu putera dari Paduka Gubernur di Shansi, berkenan memberi hiburan dengan menyumbangkan tarian silat di hadapan suadara-saudara. Kiranya semua orang sudah mengenal atau mendengar betapa pandainya Lie-kongcu bermain silat. Nah, Lie-kongcu, silakan!”
Suma-huciang membungkuk ke arah Lie Kian Tek yang sudah bangkit berdiri disambut tepuk-sorak oleh para hadirin yang berada di situ. Kini semua tamu wanita memandang ke arah pemuda tampan ini dengan mata bersinar dan bibir tersenyum-senyum.
“Sebetulnya siauwte merasa amat malu menunjukkan kebodohan, akan tetapi demi untuk meramaikan pesta Suma-taijin, apa boleh buat!” katanya tersenyum manis.
Mendadak, sekali dia bergerak, tubuhnya melayang naik ke atas panggung! Jarak antara tempat dia berdiri dengan panggung ada enam puluh tombak, dan dia dapat melompat sedemikian rupa melewati kepala para tamu, betul-betul merupakan demonstrasi ginkang yang tak boleh dipandang ringan!
Tukang pemukul tambur, canang dan suling sudah siap dan kini terdengar suara musik dipukul gencar. Akan tetapi Lie Kian Tek memberi isyarat dengan tangan ke belakang sehingga tiba-tiba suara musik dipukul perlahan sekali.
“Cuwi sekalian, perkenankan siauwte masuk dulu untuk berganti pakaian,” kata pemuda ini dengan lagak dibuat-buat, kemudian dia berlari masuk melalui pintu sutera di dekat rombongan pemain musik.
Para tamu menjadi ribut, berebutan memilih tempat dekat panggung.
“Tamu wanita di depan!” terdengar suara orang.
Terpaksa tamu-tamu pria mengalah dan sebentar saja terciumlah bau harum serta suara berkereseknya pakaian ketika tamu-tamu wanita berlari-lari kecil memilih tempat duduk di depan panggung. Tentu saja otomatis Im Giok terkurung di tengah-tengah.
Sebelum para tamu wanita itu datang Tiauw Ki sudah berbisik, “Adik Im Giok, aku hendak mendekati Suma-huciang.”
Dan pemuda ini segera berdiri lalu pergi dari situ ketika para tamu wanita datang di depan panggung. Tidak hanya Tiauw Ki yang meninggalkan tempat itu, juga banyak tamu-tamu pria yang meninggalkan tempat duduknya lalu diberikan pada para tamu wanita, kecuali beberapa orang laki-laki yang bermuka tebal dan tidak tahu malu, tetap saja duduk di situ bahkan merasa kebetulan sekali! Oleh sebab itu, maka kepergian atau kepindahan Tiauw Ki ini tidak menarik perhatian orang.
Setelah semua orang mengambil tempat duduk, dengan kerling matanya Im Giok melihat bahwa Tiauw Ki benar-benar sudah dapat duduk di dekat Suma-huciang, bahkan juga di dekat panggung, sebelah kiri panggung di mana orang menyediakan tempat khusus bagi tuan rumah.
Sementara menanti munculnya Lie Kian Tek yang jelas sekali pada malam itu menarik hati orang banyak, terutama sekali hati para wanita yang hadir di sana, para penabuh musik membunyikan alat musik masing-masing sehingga keadaan menjadi ramai sekali.
Secara diam-diam Im Giok memperhatikan Tiauw Ki. Ia melihat pemuda itu menggerak-gerakkan tangan sambil bercakap-cakap asyik sekali dengan Suma-huciang yang tampak mengangguk-angguk.
Karena semua orang, atau hampir semua, boleh dibilang sedang mempercakapkan Lie Kian Tek yang menjadi populer itu, tentu orang mengira bahwa Tiauw Ki juga berbicara tentang pemuda itu dengan Suma-huciang. Apa lagi dalam kebisingan suara tambur dan canang, suara mereka sama sekali tidak dapat terdengar oleh orang lain.
Tidak lama kemudian terdengar tepuk tangan ketika Lie Kian Tek muncul dari belakang pintu sutera. Im Giok memandang dan diam-diam gadis ini harus mengakui bahwa Lie Kian Tek kelihatan gagah dan tampan sekali.
Dandanan Lie Kian Tek sebagai seorang pendekar besar pada jaman dulu benar-benar pantas sekali untuk wajahnya yang gagah tampan dan potongan tubuhnya yang tegap berisi. Pendeknya, pemuda she Lie itu potongan pendekar benar, pendekar seperti yang sering kali dijadikan kembang mimpi oleh para gadis remaja.
Irama musik berubah setelah pemuda ini muncul. Sekarang semua orang terdiam dan hanya memandang penuh perhatian ketika Lie Kian Tek memulai pertunjukannya dengan menjura ke arah Suma-huciang, kemudian kepada semua hadirin. Ketika pandangan matanya tertuju ke arah para penonton wanita, ia memberi kedipan mata kepada Im Giok.
Gadis ini membuang muka, akan tetapi dia melihat semua wanita muda yang berada di sana tertawa cekakak-cekikik sambil saling cubit, bersikap genit sekali. Im Giok menjadi sebal. Dia tahu bahwa Lie Kian Tek secara kurang ajar berkedip kepadanya dan para wanita itu masing-masing merasa diajak bermain mata oleh Lie Kian Tek sehingga timbul suasana yang menggelikan dan menjemukan itu.
Musik ditabuh dengan irama lambat dan Lie Kian Tek mulai bersilat. Pada mulanya dia bergerak lambat, ada pun pedangnya masih tergantung di pinggang. Pemuda ini memang pandai sekali dan berbakat sehingga setiap gerakannya merupakan tarian indah. Kadang kala tangannya memegang atau menyambar ujung ikat pinggang berkembang kemudian bergerak amat gagahnya.
Im Giok secara terus terang harus mengakui bahwa dia sangat tertarik dan suka melihat gerak-gerik pemuda itu, juga ilmu silat yang dimainkan itu bukanlah ilmu silat biasa, akan tetapi ilmu silat yang mempunyai dasar tinggi. Namun digerakkan secara lembut-gemulai sedap dipandang.
Dasar Im Giok sendiri seorang ahli seni atau seorang seniwati yang suka akan tari-tarian, kini menonton orang bermain silat seperti menari, karuan saja ia tertarik sekali. Ketika Lie Kian Tek kebetulan menghadap ke arah tempat dia duduk, pemuda itu kembali berkedip dan tersenyum kepadanya.
Im Giok mendongkol sekali, mengerutkan kening dan tanpa terasa tangan kirinya naik ke mulutnya untuk menahan bibirnya yang sudah hendak memaki marah. Akan tetapi dia dapat menekan perasaan mendongkolnya, bahkan dapat memaksa bibirnya tersenyum seakan-akan dia tertarik seperti orang-orang lain dan tidak melihat adanya isyarat-isyarat kurang ajar dari pemuda itu.
Lie Kian Tek bersilat semakin cepat dan tidak lama kemudian di atas panggung bagaikan ada beberapa orang yang bersilat. Gerakannya cepat sekali, dan semua itu tambah indah menarik karena diiringi suara musik yang gencar dan ramai. Tepuk tangan menyambut permainannya yang memang indah.
Lie Kian Tek makin bangga. Tiba-tiba dia berseru keras dan orang melihat berkelebatnya sinar pedang yang menyilaukan mata. Ternyata pemuda itu sudah mencabut pedangnya dan kini bersilat pedang dengan gerakan indah dan cepat. Pedang di tangannya berubah menjadi sinar bergulung-gulung menyelimuti seluruh tubuhnya.
Akan tetapi Im Giok yang bermata tajam dapat mengikuti setiap gerakannya dan biar pun ia harus memuji bahwa ilmu pedang pemuda itu cukup baik, akan tetapi tidak begitu lihai kalau dilawan, atau pendeknya ia sanggup untuk menandingi pemuda itu dalam ilmu silat.
Mendadak Lie Kian Tek berseru keras dan mengakhiri ilmu pedangnya dengan gerakan menyambit. Inilah gerakan Sin-liong Hian-bwe (Naga Sakti Mengulur Ekornya) semacam gerakan yang sukar dilakukan dan biasanya di dalam pertempuran hanya dilakukan oleh orang yang sudah sangat terdesak atau sudah terluka sehingga gerakan terakhir adalah dengan menimpukkan pedangnya. Pedang di tangan Lie Kian Tek meluncur cepat sekali dan tahu-tahu telah menancap di atas tiang yang berada di depan Suma-huciang, kurang lebih satu kaki di atas kepala pembesar itu!
Tadinya semua orang terkejut karena menyangka bahwa pedang itu ditimpukkan ke arah Suma-huciang, akan tetapi segera meledak tepuk tangan memuji ketika Suma-huciang tertawa-tawa sambil bertepuk tangan pula! Tiauw Ki yang duduk di dekat pembesar itu menjadi pucat dan dia kagum bukan main melihat ketenangan Suma-huciang yang masih dapat bertepuk tangan memuji, padahal baru saja dia mengalami kekagetan yang cukup menegangkan hati. Ia sudah biasa dan memiliki kepandaian silat tinggi pula, akan tetapi Tiauw Ki yang belum melihat kepandaiannya bersangsi apakah pembesar yang sudah tua ini mampu menandingi kepandaian Lie Kian Tek yang muda dan lihai.
“Kepandaian hebat, Lie-kongcu.” Suma-huciang berkata sambil tertawa kepada Lie Kian Tek yang masih membungkuk-bungkuk menerima pujian dan tepuk tangan. “Akan tetapi sayang, timpukanmu kurang keras sehingga pedang hanya menancap setengahnya saja pada tiang kayu. Apa bila dipergunakan dalam perang, kiranya tak akan dapat menembus baju perang musuh yang terbuat dari besi!”
Sambil berkata demikian, pembesar ini berdiri dari kursinya, menggunakan dua buah jari tangan kanan, yakni jari tengah dan telunjuk menjepit pedang yang menancap di tiang itu dan sekali betot pedang itu telah tercabut keluar! Lalu sambil tertawa ia memuji,
“Pedang bagus! Pedang bagus!”
Kemudian sambil menjura ia mengembalikan pedang itu kepada Lie Kian Tek, lalu duduk kembali di kursinya.
Tepuk tangan riuh menyambut demonstrasi tenaga lweekang yang hebat ini. Tiauw Ki memandang dengan melongo dan hampir saja pemuda ini menjulurkan lidahnya saking kagum dan heran. Im Giok tertegun. Tenaga lweekang seperti itu tidak mudah dilakukan oleh sembarang orang, pikirnya dan ia gembira bahwa pembesar yang menjadi ‘sahabat’ Tiauw Ki itu ternyata bukanlah orang lemah dan kiranya tidak kalah kalau dibandingkan dengan Lie Kian Tek.
Lie Kian Tek mengerutkan kening dan wajahnya yang tampan itu mulai berubah muram. Ia lalu menerima pedangnya dari tangan Suma-huciang, kemudian sambil menyeringai ia berkata, menjura kepada pembesar itu,
“Ahhh, nama besar Suma-taijin bukanlah nama kosong belaka, membuat siauwte takluk sekali. Hari ini adalah hari gembira sekaligus hari baik, maka untuk menambah meriah suasana, aku sangat mengharapkan supaya Taijin sudi menunjuk seorang jagoan untuk menunjukkan kepandaiannya di panggung ini. Selain untuk menambah pengalaman kami orang-orang Shansi, juga untuk sekedar perbandingan kegagahan antara kawan-kawan kita.”
Kata-kata ini sebenarnya bukan semata untuk menyatakan ketidak senangan hati putera Gubernur ini sebab tadi telah menerima celaan dari Suma-huciang, tapi pada hakekatnya mengandung segi politis yang mendalam.
Suma-huciang adalah seorang pembesar yang sangat setia kepada Kaisar, dan yang di daerah ini merupakan satu-satunya orang yang disegani oleh para pembesar yang korup dan yang hendak memberontak, karena mereka tahu bahwa Suma-huciang akan menjadi penghalang besar dan akan membela negara dengan nyawa. Dan para pemberontak itu pun tahu bahwa selain diri sendiri lihai. Suma-huciang mendapat dukungan banyak orang pandai di dunia kang-ouw, karena itu sejauh ini para pemberontak belum berani turun tangan mengganggu Suma-huciang.
Ada pun Lie Kiang Tek adalah putera Gubernur Shansi, gubernur di samping gubernur Propinsi Honan, merupakan orang terkemuka dan tokoh besar yang anti Kaisar! Tidak mengherankan kalau di dalam hati mereka terkandung rasa permusuhan besar, sungguh pun pada lahirnya kedua pihak belum berani berterang menyatakan rasa kebencian dan permusuhan.
Kini mendapatkan kesempatan baik, Lie Kian Tek sengaja mengeluarkan kata-kata untuk memancing keluarnya jago pembela Suma-huciang sehingga di samping untuk mengenal siapa pembela pembesar setia raja ini, juga untuk mengukur sampai di mana kelihaian mereka! Dilihat dari sini, ternyata bahwa Lie Kian Tek bukan hanya lihai ilmu silatnya, akan tetapi juga cerdik dan licin.
Suma-huciang bukan seorang pembesar kawakan yang sudah banyak pengalaman kalau kalau ia tidak mengerti akan maksud hati putera Gubernur ini. Sambil senyum ia berkata,
“Terima kasih kepada Lie-kongcu yang sudah begitu memperhatikan untuk memeriahkan pestaku ini.”
Suma-huciang lalu memberi isyarat kepada seorang tamu yang cepat berdiri dan menjura kepadanya. Orang ini adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi kurus, sikapnya tenang dan matanya bersinar tajam.
Dia ini adalah seorang piauwsu (pengawal barang) di kota Tiang-hai yang sangat terkenal dan juga amat setia terhadap Kaisar, karena itu selalu membela Suma-huciang. Sesudah memberi hormat kepada Suma-huciang, dia segera berjalan menghampiri panggung dan dengan gerakan ringan melompat naik, menjura kepada Lie Kian Tek lalu berkata,
“Hamba Chi Liok menerima tugas dari Suma-huciang untuk memenuhi usul Lie-kongcu. Harap saja kebodohan hamba tak akan menjadi tertawaan para Enghiong dari Shansi.”
Lie Kian Tek tersenyum mengejek, “Aha, kiranya Chi-piauwsu yang akan menjadi wakil Tiang-hai. Bagus, sudah lama kami ingin menyaksikan kelihaian Chi-piauwsu. Silakan.”
Sesudah berkata begitu, Lie Kian Tek melepaskan penghias kepala dan melompat turun, memilih tempat duduk tidak jauh dari tempat duduk Im Giok, menoleh atau melirik sambil tersenyum kepada gadis itu, kemudian melepaskan jubah luarnya sehingga sekarang dia kembali memakai pakaiannya yang tadi sebelum ia bermain di atas panggung.
Para wanita melirik-lirik, kerling memikat menyambar-nyambar ke arahnya dan senyum simpul menghujani pemuda itu! Kian Tek melempar senyum dan membagi kerling kepada para wanita yang mengaguminya itu, lalu duduk dengan sikap angkuh, memandang ke arah panggung.
Sementara itu, musik sudah dibunyikan pula dan Chi Liok mulai bersilat tangan kosong. Gerakannya lambat saja dan jauh kalah menarik kalau dibandingkan dengan pertunjukan Lie Kian Tek tadi, maka di sana-sini lantas terdengar suara ejekan. Bahkan di antara para penonton wanita ada yang terkekeh menertawakan. Akan tetapi Im Giok melihat bahwa piauwsu itu adalah seorang ahli lweekeh yang tak boleh dipandang ringan.
Setiap gerak tangan mengandung tenaga lweekang yang cukup kuat, sedangkan bhesi kakinya bukan main. Sesudah menyelesaikan babak permainan ilmu silat tangan kosong, Chi-piauwsu segera mengeluarkan senjatanya, yakni sebatang joan-pian (ruyung lemas) yang berwarna hitam.
Dia lalu bersilat dengan joan-pian ini. Kembali gerakannya lembut dan perlahan, namun joan-pian itu kadang-kadang mengeluarkan suara mengiuk, tanda bahwa gerakan senjata itu cepat dan mengandung tenaga besar.
Setelah selesai bersilat, Chi-piauwsu menjura kepada penonton dan berkata, ”Aku orang she Chi sudah memperlihatkan kebodohan, harap jangan ditertawakan mengingat bahwa aku naik ke panggung ini atas perintah Suma-taijin.” Ia lalu melompat turun dan kembali duduk di tempatnya semula.
Lie Kian Tek memberi isyarat dengan tangannya kepada seorang bermuka kuning yang tadi ikut mengantar ia datang, yakni salah seorang di antara lima orang kawannya. Orang bermuka kuning ini mengangguk sambil menyeringai, kemudian berseru keras,
“Suma-taijin, hamba mohon diberi kesempatan mewakili Shansi!”
Sebelum Suma-huciang menjawab, tubuhnya sudah melayang ke atas panggung dengan gerakan indah. Ternyata orang ini datang-datang mendemonstrasikan ginkang yang lihai.
Suma-huciang tertawa. “Boleh, boleh! Tak usah bertanya lagi, karena memang tiba giliran pihak Shan-si,” jawabnya.
Si Muka Kuning tersenyum lalu menjura kepada penonton, kemudian berkata, suaranya lantang tinggi.
“Siauwte bernama Coa Keng, menerima titah Lie-kongcu mewakili Shansi. Akan tetapi, siauwte bukanlah seorang yang suka pamer. Ada banyak orang yang suka memamerkan sedikit kepandaian yang tak berarti, sebaliknya banyak pula orang yang tak perlu banyak pamer. Kalau orang berkepandaian seperti Lie-kongcu, patutlah jika diperlihatkan kepada orang banyak, karena memang indah dan mengagumkan, sedap dipandang. Akan tetapi ketika melihat Saudara Chi Liok tadi bersilat, betul-betul siauwte diam-diam menggeleng kepala. Siauwte tak mau berlaku seperti Saudara Chi Liok, mempertontonkan keburukan dan kebodohan sendiri.”
“Eh, Coa-kauwsu, kau naik ke panggung mau bersilat atau berpidato?” terdengar Chi Liok menegur. Orang-orang tertawa dan kali ini yang ditertawakan adalah Coa Keng sehingga muka yang kuning itu menjadi hijau.
“Chi-piauwsu, bermain silat seorang diri kurang menggembirakan. Untuk membuktikan bahwa kau tadi hanya menjual keburukan dan kebodohan sendiri, silakan kau naik ke sini dan mengawani aku bermain-main sebentar. Tentu akan lebih menggembirakan suasana, bukan? Ataukah, kau... takut?”
Inilah tantangan hebat. Chi Liok mendongkol sekali, akan tetapi piauwsu ini tidak berani sembarangan bergerak. Sikap Si Muka Kuning itu dia anggap kurang ajar sekali, akan tetapi ia tidak berani bersikap seperti itu di depan Suma-huciang. Maka ia memandang ke arah pembesar ini.
Bukan saja Chi Liok tidak berani bersikap kurang ajar, juga ia tahu siapa adanya Lie Kian Tek dan kawan-kawannya. Ribut dengan mereka hanya berarti memancing kekacauan besar, dan memancing timbulnya pertentangan besar antara mereka yang anti Kaisar dan pihaknya yang pro Kaisar yang memang sudah lama sekali diam-diam saling membenci.
Semenjak tadi sebelum keadaan meruncing, Suma-huciang telah bertukar pikiran dengan Tiauw Ki, bahkan sudah menerima pesanan Kaisar dan para pembesar tinggi di istana. Di antara beberapa nasehat yang dibawa oleh Tiauw Ki, juga pemuda ini menyampaikan kehendak kaum berkuasa di istana bahwa Suma-huciang diberi tugas untuk memancing sampai di mana tingkat pemberontakan Gubernur Shansi dan Honan terhadap Kaisar dan sampai di mana pula kekuatan mereka.
Kini dia menghadapi tantangan, tantangan untuk timbulnya keributan hebat, yang dia tahu sengaja dicetuskan oleh Lie Kian Tek. Agaknya memang pemuda putera gubernur itu datang hanya berdalih memberi selamat, akan tetapi sebetulnya sudah mendapat tugas dari ayahnya.
Inilah kesempatan baik, pikir Suma-huciang. Kesempatan untuk menguji serta melihat ‘isi hati’ musuh-musuhnya tanpa menimbulkan kesan bahwa keributan itu terjadi dikarenakan perasaan pribadi. Maka ia lalu mengangguk kepada Chi Liok.
Setelah melihat isyarat dari Suma-huciang bahwa dia boleh melayani Coa Keng, piauwsu itu menjadi gembira sekali. Tidak seperti tadi ketika mendemonstrasikan kepandaian di atas panggung ia bermain lambat-lambatan, kini sekali melompat dia sudah melayang ke atas panggung menghadapi Coa Keng!
Ia menjura, dibalas oleh Coa Keng. Dua jago berhadapan dan saling mengukur ‘isi’ lawan dengan pandangan mata. Penonton memandang tegang.
“Saudara Coa Keng, betulkah kau mengundang aku naik ke panggung untuk melayanimu bermain silat?” tanya Chi Liok, suaranya masih tenang.
Coa Keng tersenyum mengejek. “Kenapa tidak betul? Untuk meramaikan suasana pesta dan sebagai penghormatan kepada Suma-taijin, sudah sepatutnya bila kita bermain-main sebentar. Asal saja kau tidak takut, karena dalam permainan silat bersama kita berdua pasti maklum bahwa kemungkinan terluka besar sekali, bahwa ada kemungkinan terpukul tewas.”
“Ini sebuah tantangan!” Chi Liok menegur gemas.
“Kau takut?” Coa Keng menggerakkan alis, menghina.
“Orang sombong, kau sajakah yang memiliki keberanian? Baik, kuterima tantanganmu. Di sini banyak sekali yang melihat alangkah kurang ajarnya sikapmu, dan bahkan aku hanya membela diri, membela kepentingan nama taijin, nama daerah dan namaku sendiri. Kau mulailah!”
Coa Keng mengeluarkan suara nyaring dan mendadak dengan suara licik, sambil masih tertawa, ia langsung mengirim pukulan kilat ke arah lambung Chi Liok!
“Bukkk!”
Tubuh Chi Liok terpental dan hampir saja piauwsu ini roboh apa bila ia tidak lekas-lekas berpoksai dan berdiri lagi. Mukanya agak berubah, tapi pukulan tadi tidak mendatangkan luka dalam yang hebat karena ia masih keburu mengerahkan lweekang ke arah bagian yang akan terpukul.
“Kau curang!” bentaknya.
“Bukankah kau menyuruh aku mulai? Baru sekali pukul saja hampir roboh. Ha-ha-ha!”
“Rasakan ini!” Chi Liok menyerang tiba-tiba sebelum lawannya berhenti tertawa.
Pukulannya hampir saja mengenai leher di bagian yang berbahaya kalau saja Coa Keng tidak lekas-lekas miringkan tubuh sehingga yang terpukul hanya pundaknya. Namun ini cukup membuat Coa Keng terhuyung ke samping sebanyak tiga tindak sambil meringis karena pundaknya terasa sakit sekali.
“Kurang ajar kau!” bentaknya.
Dan di lain saat dua orang ini sudah saling gebuk, saling tendang dan bertanding secara kasar sekali.....
Sebetulnya ilmu silat mereka juga tidak terlalu rendah akan tetapi oleh karena watak Coa Keng amat kasar, cara berkelahinya juga kasar sehingga mereka lebih sering memukul tanpa membahayakan lawan dari pada mengirim serangan yang betul-betul berbahaya bagi keselamatan lawan.
Pertempuran itu berjalan seru. Bagi orang-orang yang tidak tahu ilmu silat atau yang ilmu kepandaiannya masih rendah, memang pertandingan itu terlihat ramai dan menegangkan sekali. Akan tetapi bagi orang-orang yang kepandaiannya tinggi, makin lama pertempuran itu nampak makin menjemukan. Akhirnya terdengar suara teriakan sakit dan tubuh Coa Keng terlempar terkena tendangan Chi Liok dan menggelundung keluar dari panggung!
Orang-orang wanita yang tadinya masih menonton dengan muka khawatir mengeluarkan jeritan dan cepat-cepat mereka berbondong pergi meninggalkan panggung untuk duduk di tempat semula, menjauhi panggung. Hanya ada empat orang wanita termasuk Im Giok yang tidak beranjak pergi dan karena ini Im Giok dapat menduga bahwa tiga orang wanita di dekatnya itu tentulah orang-orang yang mengerti ilmu silat.
Dia melirik dan melihat bahwa tiga orang ini adalah seorang wanita tua yang memegang tongkat dan rambutnya diikat kain putih, sedangkan dua orang lainnya adalah gadis-gadis yang berpakaian sederhana akan tetapi cukup manis. Sikap mereka memang tak seperti orang-orang sembarangan dan Im Giok ingin sekali tahu siapa gerangan mereka bertiga ini.
Sementara itu, di atas panggung terjadi hal lain yang menggemparkan. Begitu tubuh Coa Keng terguling meninggalkan tempat itu, lantas berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di hadapan Chi-piauwsu sudah berdiri seorang kakek. Kakek ini satu kali menggerakkan tangan ke depan, Chi Liok langsung memekik dan terlempar keluar panggung!
“Orang-orang macam ini berani betul menjual lagak di atas panggung, benar-benar tidak menghormat kepada Suma-taijin, harap disuruh keluar tokoh Tiang-hai yang betul-betul memiliki kepandaian untuk bermain-main dengan aku. Barangkali Taijin sudah lupa lagi, aku adalah Ceng-jiu Tok-ong dari barat dan kini mewakili Shansi.”
Im Glok terkejut bukan main. Tadi ia tidak melihat kakek ini dan tiba-tiba kakek itu naik ke panggung, tentu untuk mengacau. Teringat olehnya bahwa Giam-ong-to Kam Kin, murid kakek ini pun sudah menjadi seorang komandan pasukan, tentu pasukan dari Gubernur Shansi! Kalau demikian, tentu Ceng-jiu Tok-ong menjadi kaki tangan Lie Kian Tek.
Mengingat sampai di sini, Im Giok lalu menengok ke arah Kian Tek. Akan tetapi ia tidak melihat pemuda itu dan kursinya kosong. Otomatis Im Giok teringat akan bungkusan yang disumbangkan oleh Tiauw Ki kepada Suma-huciang, maka dia menengok ke arah meja tempat menaruh barang-barang sumbangan.
Pada lain saat, tubuh Im Giok sudah lenyap, yang tampak hanya bayangan merah yang amat cepat. Gadis ini tadi melihat Lie Kian Tek berada di dekat meja dan tengah menegur seorang laki-laki yang dengan gerakan cepat sekali mengulur kedua tangan mengambil barang-barang berharga yang kecil-kecil dari atas meja!
Kedatangan Im Giok tak terlihat oleh mereka dan tahu-tahu orang laki-laki yang bertubuh kecil pendek itu berseru kaget ketika pundaknya ditotok orang. Akan tetapi dia ternyata lihai bukan main karena dia masih sempat mengelak dan walau pun totokan itu masih mengenai pundaknya, akan tetapi tidak berakibat apa-apa.
Im Giok yang tadi menotok merasa kaget dan sama sekali tak mengira orang itu demikian lihai, maka ia menyerang terus sambil membentak,
“Bangsat kecil, kau hendak mencuri apa?”
Dua kali lm Giok menyerang dan dua kali gagal karena Si Kate Kecil itu dengan amat lincahnya dapat mengelak dan hendak melarikan diri. Akan tetapi tiba-tiba Lie Kian Tek menendangnya sambil berseru,
“Kau hendak lari ke mana?”
Kembali secara mengagumkan sekali Si Kate itu mengelak dan mencoba untuk lari terus. Dua kali lagi Im Giok berusaha menangkapnya, sedangkan Lie Kian Tek sudah tiga kali mencoba untuk merobohkannya dengan serangan maut, namun semua dapat dielakkan oleh Si Kate itu.
“Copet, kau bikin gara-gara saja, tidak tahu kalau sedang kucari-cari!” tiba-tiba terdengar teguran orang.
Mendengar suara ini Si Kate lalu melesat dan tahu-tahu ia telah berada di belakang orang ini dan mencari perlindungan di belakang tubuhnya! Pada saat Im Giok dan Lie Kian Tek menengok, ternyata orang yang datang ini adalah Suma-huciang!
“Lie-kongcu, apakah kesalahan dia maka kau serang dia?” tanya Suma-huciang kepada Lie Kian Tek.
“Aku melihat dia menggeratak di meja dan hendak mencuri barang-barang sumbangan,” kata putera gubernur itu.
Suma-huciang menengok kepada Im Giok, “Dan kau, Nona, mengapa pula kau hendak menangkapnya?”
“Aku melihat dia mengambil barang-barang dari atas meja, Taijin,” jawab In Giok sambil mengerling ke arah Tiauw Ki yang juga menengok dan memandang ke arah mereka dari tempat duduknya di belakang panggung.
Suma-huciang tertawa. “Harap kalian memaafkan dia ini. Dia dijuluki Sin-touw-ong (Raja Copet Sakti) dan di Tiang-hai sudah terkenal. Dia nakal akan tetapi tak pernah membawa pergi barang orang lain. Copet, kau mengambil apa saja? Hayo lekas keluarkan!”
Sin-touw-ong yang kate sekali tubuhnya itu tersenyum-senyum gembira seperti seorang pelawak, kemudian dia mengeluarkan banyak sekali benda dari sakunya yang ternyata banyak pula.
Benda-benda itu lalu dikeluarkan satu demi satu seperti tukang sulap dan Im Giok sendiri sampai terheran-heran karena sukar dipercaya bagaimana seorang kate seperti itu dapat menyimpan benda sebanyak itu tanpa kelihatan dari luar. Juga, yang membikin ia cemas, di antara benda-benda itu tidak terdapat bungkusan sumbangan Tiauw Ki yang ternyata telah lenyap dari atas meja!
“Segera kembalikan barang-barang itu, dan mari kau wakili Tiang-hai di atas panggung, Touw-ong,” kata Suma-huciang yang tidak pedulikan semua itu dan tidak memperhatikan barang apa yang mungkin hilang.
Sin-touw-ong cepat mengembalikan barang-barang itu di atas meja, kemudian ia berjalan menuju ke panggung bersama Suma-huciang. Im Giok memandang kepada Lie Kian Tek dengan penuh curiga, akan tetapi mukanya menjadi merah ketika dia melihat pemuda itu tengah memandangnya sambil tersenyum penuh arti!
“Nona, kau betul-betul gagah. Kau benar-benar mengagumkan dan dibandingkan dengan engkau, semua wanita yang berada di sini, juga yang berada di mana saja, semua tiada artinya! Nona, pertemuan ini benar-benar dapat dinamakan jodoh. Kau dan aku berjodoh, maukah kau ikut aku keluar dari tempat ini dan kita bercakap-cakap di tempat yang lebih sunyi dan dingin? Hubungan kita perlu dipererat dan...”
“Jahanam, tutup mulutmu!” Im Giok memaki marah.
Gadis ini lalu pergi ke tempat duduknya. Mukanya terasa panas sekali dan kedua pipinya merah sekali. Dia mendongkol bukan main. Kalau tidak ingat bahwa dia berada di tempat orang lain dan kalau saja ia tidak ingat akan tugasnya mengawal Tiauw Ki dan melakukan perintah Susiok-couw-nya, tentu dia tadi sudah memukul putera gubernur yang bermulut lancang itu.
Sementara itu, di atas panggung Ceng-jiu Tok-ong sekarang sudah berhadapan dengan Sin-touw-ong. Ceng-jiu Tok-ong tertawa bergelak dan berkata lantang,
“Ha-ha-ha, Suma-taijin bagaimanakah ini? Benar-benarkah Taijin mengajukan dia ini ke atas panggung?”
Ketika ia melihat pembesar itu mengangguk sambil tersenyum, Ceng-jiu Tok-ong menjadi marah. Dia merasa terhina sekali karena harus menghadapi seorang demikian tak berarti. Ditatapnya wajah Sin-touw-ong seperti seekor harimau menatap tikus.
“Kau ini manusia tiada guna, benar-benarkah kau sudah bosan hidup? Kau manusia tidak ternama, tahukah kau dengan siapa kau berhadapan?”
Raja copet yang kate itu cengar-cengir laksana seorang badut. Ia memiliki bentuk muka yang lucu. Tubuhnya pendek kecil, matanya lebar dan hidungnya dapat bergerak-gerak. Apa lagi berhadapan dengan Ceng-jiu Tok-ong, benar-benar bagaikan seorang raksasa yang berhadapan dengan seorang katai.
“Aku memang tidak terkenal, akan tetapi kau... kau ini siapakah?” tanyanya memicingkan mata.
“Setan pendek, dengar baik-baik. Aku adalah Ceng-jiu Tok-ong!”
Si Kate menggerakkan kedua pundaknya. “Aku tidak ternama, kau pun tidak terkenal,” dia berkata acuh tak acuh.
“Bangsat, aku adalah tokoh besar dari barat. Di dalam dunia kang-ouw, siapakah yang tidak mengenal namaku?” Ceng-jiu Tok-ong membentak.
“Setan besar, kau tak mengenal namaku, aku pun tak mengenal namamu, siapa di antara kita yang paling tidak terkenal? Kau berjulukan Ceng-jiu Tok-ong (Raja Racun Bertangan Seribu), dan aku berjuluk Sin-touw-ong (Raja Copet Sakti), sungguh kalau dibilang kita ini tidak terkenal, akan tetapi sebetulnya kau dan aku adalah raja-raja besar!”
Meledak suara ketawa para hadirin di situ mendengar kata-kata ini.
“Lo-enghiong, mengapa tidak lekas-lekas ratakan setan pendek itu dengan tanah? Injak saja kepalanya, habis perkara!” seorang kawan dari Lie Kian Tek berseru tak sabar lagi melihat jagonya dipermainkan oleh raja copet itu.
“Ya, ya, injaklah! Injaklah!” Sin-touw-ong mengejek.
Dia lantas memasang kuda-kuda rendah sekali di depan Ceng-jiu Tok-ong, seakan-akan mempersiapkan diri untuk diinjak. Kembali terdengar suara orang tertawa riuh, sungguh pun mereka yang telah mengenal kelihaian Ceng-jiu Tok-ong, juga merasa khawatir akan keselamatan Si Kate itu.
“Bangsat tukang copet, bersiaplah kau untuk mampus!” Ceng-jiu Tok-ong yang tak dapat menahan sabarnya lagi sudah maju menyerang.
Serangannya keras dan cepat sekali sehingga Sin-touw-ong terkejut setengah mati. Raja copet ini bukan orang biasa. Ia adalah seorang kang-ouw yang telah berpengalaman dan sebagai seorang maling dan copet, dia memiliki kepandaian istimewa, yakni kepandaian menjaga diri. Ia licin bagaikan belut dan gerakannya lincah, ditambah pula dengan bentuk tubuhnya yang pendek kecil, sukarlah bagi lawan untuk menyerangnya.
Tentu saja ia sudah pernah mendengar nama besar Ceng-jiu Tok-ong, akan tetapi ia tak mengira bahwa serangan lawannya akan sehebat itu. Cepat raja copet itu mengelak.
Akan tetapi Ceng-jiu Tok-ong adalah seorang tokoh besar dunia persilatan yang sudah lebih berpengalaman, maklum pula apakah yang diandalkan oleh lawannya. Maka ia tidak mau memberi kesempatan dan terus menyerang dengan cepat dan bertubi-tubi. Setiap serangannya merupakan pukulan atau tendangan maut. Jangankan baru seorang seperti Sin-touw-ong, biar pun lebih tinggi kepandaiannya tak akan kuat menerima pukulan ini.
Im Giok memandang semuanya ini dengan hati berdebar. Gadis ini pernah bertemu dan bertempur dengan Ceng-jiu Tok-ong, maka dia tahu sampai di mana kelihaian kakek ini. Dan menurut pandangannya, walau pun Si Raja Copet memiliki kegesitan luar biasa dan ilmu silat yang berdasarkan pertahanan dan penjagaan diri, akan tetapi bila dibandingkan dengan Ceng-jiu Tok-ong, dia masih jauh sekali.
Ia dapat menduga bahwa Si Kate itu biar pun seorang pencopet, tentulah termasuk orang atau pembela Suma-huciang, jadi masih segolongan dengan pemuda pelajar Tiauw Ki. Lagi pula dia ingin sekali menyelidiki siapakah yang mengambil bungkusan Tiauw Ki yang disumbangkan kepada Suma-huciang karena tadi sudah lenyap dari atas meja. Si Kate itulah yang mengambilnya dan belum mengembalikannya? Ataukah Lie Kian Tek?
Melihat Sin-touw-ong sudah terdesak hebat, Im Giok lalu berlari mendekati panggung dan melompat ke atas panggung. Sekali ia mengulur tangan, ia telah dapat memegang leher baju Sin-touw-ong dan membawanya lompat ke dekat tempat Suma-huciang. Gerakan ini cepat sekali.
Ceng-jiu Tok-ong yang mengenal gadis itu seketika menjadi berubah air mukanya. Kakek ini merasa sangsi. Kepada gadis itu biar pun ia tahu amat lihai, ia masih belum jeri. Akan tetapi kalau ia teringat akan Bu Pun Su yang pernah menolong gadis itu, bulu tengkuknya langsung berdiri!
Semua orang menjadi gempar pada waktu melihat seorang gadis baju merah yang cantik, secara aneh telah menahan Si Raja Copet dan membawanya ke dekat Suma-huciang. Akan tetapi Im Giok tidak mempedulikan semua itu dan kepada Suma-huciang ia berkata,
“Taijin, tadi kulihat barang sumbangan dari Gan-twako telah lenyap, mungkin sekali dicuri oleh tukang copet itu!”
Tiauw Ki dan Suma-huciang saling bertukar pandang, kemudian pembesar itu tersenyum kepada Im Giok.
“Terima kasih, Nona. Jika Nona tidak maju, kiranya nyawa pencopet ini sudah melayang. Touw-ong, lekas kau haturkan terima kasih kepada penolongmu!”
Sin-touw-ong cengar-cengir, kemudian ia menjura berkali-kali di hadapan Im Glok sambil berkata,
“Nona yang cantik dan gagah perkasa, mataku sungguh buta tidak dapat melihat Bukit Thai-san! Akan tetapi aku tidak kalah terhadap setan beracun itu.”
“Kau tidak kalah? Jangan main-main!” Suma-huciang berkata menegur orangnya.
Si Tukang Copet mengeluarkan sebuah benda dari sakunya yang aneh dan segera Im Giok terkejut. Ternyata bahwa pencopet ini sudah berhasil mencopet golok pusaka milik lawannya, yakni, Cheng-tok-ong (Golok Racun Hijau).
“Inilah buktinya bahwa tadi aku tidak kalah dan ini pula, Nona. Kiranya ini obat penolak racun!” Kembali dirogohnya saku bajunya dan. keluarlah obat bubuk dalam botol tanah.
Im Giok merasa kagum bukan main. Biar pun ilmu silatnya belum begitu tinggi akan tetapi dalam hal ilmu mencopet, kiranya orang kate ini memang patut disebut Raja Copet Sakti!
Sementara itu, di atas panggung terdengar Ceng-jiu Tok-ong berteriak-teriak, “Ha-ha-ha, begitu sajakah jagoan dari Tianghai? Segala tukang copet dan tukang maling! Ha-ha-ha. Hayo, mana lagi jago Tiang-hai? Suma-taijin, apakah pertunjukan silat disudahi sampai di sini saja dengan pengakuan kalah dari pihakmu? Kalau begitu, biarlah kini kita menikmati pertunjukan tari-tarian dari kota raja. Ha-ha-ha!”
“Hemm, manusia itu menghina sekali,” kata Sin-touw-ong.
“Biarlah, lebih baik kita sudahi keributan ini,” usul Tiauw Ki.
Suma-huciang menghela napas. “Kalau saja aku bukannya tuan rumah dan tidak pantas sekali apa bila aku sendiri yang naik ke panggung, aku ingin sekali belajar kenal dengan kepandaian manusia sombong kaki tangan Gubernur Lie itu!”
Sambil berkata demikian, pembesar itu memandang kepada Im Giok. Gadis ini dapat menangkap arti pandang mata Suma-huciang. Kiranya pembesar ini bermata amat tajam. Sekali saja melihat bagaimana gadis itu menangkap Sin-touw-ong, ia maklum bahwa Im Giok memiliki kepandaian tinggi dan pasti dapat melawan Ceng-jiu Tok-ong. Akan tetapi karena baru saja dia kenal dengan gadis ini, apa lagi baru saja gadis ini telah bebaskan Sin-touw-ong dari ancaman bahaya maut di tangan lawannya, maka ia tidak berani minta kepada Im Giok untuk mewakilinya di atas panggung.
“Taijin, kalau memang Taijin menghendaki supaya aku mencuci nama Taijin yang dikotori oleh manusia itu, akan kulakukan sekarang juga.”
“Ahh, aku akan membikin repot saja, juga tidak enak terhadap Gan-siucai, karena kau dibawa olehnya,” kata pembesar itu.
“Tidak apa, Taijin. Justru karena Gan-twako mempunyai hubungan baik dengan Taijin, maka orang menghina Taijin seperti menghina Gan-twako dan berarti pula menghina aku sendiri,” kata Im Giok.
Ia kemudian cepat menghampiri panggung sambil membawa golok rampasan. Lebih dulu dengan sangat cepat gadis ini mengoleskan sedikit bubuk rampasan itu di bawah hidung sehingga ia lantas mencium aroma yang wangi sekali.
Dengan gerakan ringan Im Giok melompat ke atas panggung, disambut tepuk sorak para penonton. Dari atas panggung Im Giok dapat melihat muka Lie Kian Tek berubah pucat. Im Giok tidak pedulikan itu semua dan langsung dia menghadapi Ceng-jiu Tok-ong yang masih ragu-ragu karena mengira gadis ini datang dikawal oleh Bu Pun Su!
“Apa kau datang hendak melanjutkan pertandingan dahulu itu? Asal saja kau berani maju sendiri, jangan bawa-bawa orang tua!” katanya perlahan, hanya terdengar oleh Im Giok.
Gadis itu tersenyum, lalu berkata keras kepada orang banyak, “Si Sombong ini mengira bahwa dia telah menang dalam pertempuran melawan Sin-touw-ong. Padahal, kalau aku tidak datang dan membawa pergi Sin-touw-ong, kiranya Raja Copet itu kini telah berhasil mencopet isi perutnya tanpa ia mengetahui!”
“Bohong! Omongan apa ini? Dialah yang hampir saja mampus!” bantah Ceng-jiu Tok-ong marah.
Kiang Im Giok tersenyum manis. Dia lalu memperlihatkan golok yang dibawanya dengan mengacungkan senjata itu ke atas agar kelihatan oleh semua orang yang hadir.
“Tok-ong, kau lihat baik-baik, golok siapakah ini? Dan bungkusan obat penawar racun ini, punya siapa pula?”
Ceng-jiu Tok-ong kaget bukan main dan meraba pinggangnya, ternyata golok di pinggang dan bungkusan obat di dalam saku telah lenyap!
“Bagaimana bisa berada di tanganmu?” tanyanya heran dan mukanya berubah merah.
“Siapa lagi kalau bukan Sin-touw-ong yang mengambilnya? Nah, kalau dia menghendaki, apakah dia tidak sanggup mengambil nyawamu dari pada mengambil dua benda ini dari tubuhmu? Benar-benar kau tak tahu diri. Apakah masih saja kau tidak mau terima kalah?” Dalam kata-kata ini Im Giok mengancam, lalu ia melemparkan golok dan bungkusan obat itu ke atas lantai panggung.
Ceng-jiu Tok-ong ragu-ragu. Dia masih jeri menghadapi Im Giok yang ilmu pedangnya amat lihai, juga ia takut setengah mati kalau memikirkan apakah Bu Pun Su tidak sedang bersembunyi di tempat itu dan akan muncul kalau sampai dia mendesak Im Giok. Kini, secara aneh sekali Si Kate itu telah berhasil mencopet golok beserta bungkusan obatnya. Benarkah Si Copet itu yang melakukan hal aneh ini?
Dia tadi sudah mendesak hebat, apa mungkin Si Kate itu sempat mencuri senjatanya? Siapa tahu kalau-kalau ini pun perbuatan Bu Pun Su, kiranya tidak ada hal tak mungkin! Mengingat sampai di sini, Ceng-jiu Tok-ong bergidik dan dia pikir lebih baik cepat mundur sebelum celaka. Sekarang ada kesempatan baik baginya untuk mundur tanpa mendapat malu.
Ia lalu membungkuk, mengambil senjata dan obatnya, lalu berkata sambil menjura, bukan kepada Im Giok melainkan kepada Sin-touw-ong.
“Kepandaian Sin-touw-ong lihai sekali, sungguh membuat orang kagum!” Setelah berkata begitu, Ceng-jiu Tok-ong lalu melompat turun dari panggung.
Im Giok tersenyum puas. Memang dia tidak menghendaki kalau pesta ulang tahun dari Suma-huciang itu berubah menjadi gelanggang pertempuran yang akan mengorbankan nyawa. Baiknya ia dapat mengusir mundur Ceng-jiu Tok-ong hanya dengan kata-kata dan gertakan belaka, tanpa menurunkan tangan keras, karena ia maklum bahwa bila sampai terjadi pertempuran, walau pun ia tak akan kalah, akan tetapi juga bukan hal yang mudah untuk mengalahkan Ceng-jiu Tok-ong!
Gadis ini melompat turun dari panggung dan menghampiri Suma-huciang dan Gan Tiauw Ki. Pembesar itu menyambutnya dengan muka berseri.
“Baiknya ada Lihiap yang mencuci bersih nama kota Tiang-hai yang hendak dihina oleh orang lain,” katanya, kemudian pembesar ini berkata dengan suara lantang,
“Terima kasih kepada semua enghiong yang sudah menyumbangkan tenaga untuk turut meramaikan pesta ini. Sekarang tibalah gilirannya para penari yang akan memperlihatkan keindahan tarian mereka!”
Terdengar musik dibunyikan orang dan tak lama kemudian, tujuh orang gadis penari yang cantik jelita muncul di atas panggung, menari-nari dengan gerakan tubuh yang indah dan gemulai, membuat darah orang-orang muda yang hadir di sana tersirap ke muka serta denyut jantung menjadi cepat sekali. Perhatian semua tamu tercurah kepada para penari dari kota raja ini. Hal ini membuat Im Giok leluasa bicara dengan Tiauw Ki.
“Tidak apa, Giok-moi,” kata pemuda itu setelah mendengar akan kekhawatiran gadis itu tentang hilangnya bungkusan barang sumbangan.
“Bungkusan itu kosong tidak berisi suatu apa pun yang berharga. Surat dari Kaisar yang sesungguhnya tidak berada di situ, akan tetapi kuserahkan kepada Suma-huciang ketika kami bercakap-cakap tadi.”
Im Giok menjadi lega dan dia memandang dengan wajah berseri. Ia kagum sekali akan kecerdikan pemuda ini. Dengan demikian, surat rahasia itu tidak terampas oleh orang lain dan ini berarti tugas Im Giok mengawal pemuda serta suratnya berhasil baik. Kini surat sudah berada di tangan Suma-huciang, orang yang berhak, maka sudah tidak ada tugas apa-apa lagi di tempat itu.
“Kalau begitu, tugas kita sudah selesai. Kapan kita meninggalkan tempat ini?” tanyanya.
“Sebetulnya aku sendiri pun tidak suka tinggal terlalu lama di sini,” jawab Tiauw Ki sambil melempar kerling ke arah Lie Kian Tek seakan-akan hendak menyatakan bahwa ketidak senangan itu disebabkan oleh kehadiran putera gubernur itu. “Akan tetapi, Suma-taijin minta kepadaku untuk bermalam di sini malam ini dan besok hari baru kita meninggalkan tempat ini. Kuharap kau tidak keberatan, Adik Im Giok.”
“Keberatan sih tidak, asal saja malam ini tidak akan terjadi sesuatu atas dirimu,” kata Im Giok mengerutkan kening.
“Giok-moi yang baik, dengan adanya kau di sini, aku takut apakah?” Kata-kata ini disertai senyum dan pandang mata penuh arti, yang hanya dapat dimengerti oleh Im Giok.
Tiba-tiba gadis ini merasa jengah, mukanya kemerahan dan untuk sesaat ia tidak berani memandang langsung kepada Tiauw Ki.
“Aku hanya memenuhi perintah Susiok-couw...,” katanya kemudian perlahan.
Karena takut kalau-kalau keadaan mereka diperhatikan oleh orang lain, lalu mengalihkan pandang mata ke atas panggung di mana para penari sedang menunjukkan kepandaian mereka dengan indahnya.
Demikianlah, pesta berjalan terus dengan sangat lancar dan kejadian sebelum tari-tarian diadakan agaknya telah dilupakan orang. Bahkan dari pihak Lie Kian Tek sendiri agaknya tidak ada aksi-aksi selanjutnya.
Sesudah tari-tarian berhenti dan diganti dengan biduan-biduan istana yang menyanyikan lagu-lagu merdu, berangsur-angsur para tamu mengundurkan diri, berpamit kepada tuan rumah sambil menghaturkan terima kasih. Akhirnya Suma-huciang sendiri yang sudah tua merasa lelah dan minta maaf kepada para tamu yang masih hadir, mengundurkan diri untuk mengaso.
Setelah minta maaf kepada tamu-tamu yang tersisa tak berapa banyak lagi dan menjura, Suma-huciang lalu mengajak Gan Tiauw Ki masuk ke dalam. Kepada Im Giok ia berkata, “Nona, kalau Nona hendak mengaso, sebuah kamar sudah tersedia. Silakan.”
Im Giok menjura kepada tiga orang wanita yang masih berada di situ, yakni nenek yang duduk dengan dua orang wanita muda dan nampak bukan orang-orang sembarangan itu. Semenjak tadi mereka diam saja, maka Im Giok juga tak mempedulikan mereka dan tidak tahu siapakah gerangan mereka ini.
Ketika tiga orang ini berjalan menuju ke ruangan dalam, mereka melewati tempat duduk Lie Kian Tek dan kawan-kawannya. Pemuda putera gubernur Shansi ini nampak tengah bercakap-cakap dengan Ceng-jiu Tok-ong. Suma-huciang berhenti dan menjura.
“Lie-kongcu, maafkan aku tak dapat melayani lebih lama karena terlalu lelah dan hendak mengaso. Kamar untuk Lie-kongcu beserta rombongan telah dipersiapkan di penginapan terbesar di kota ini. Silakan Kongcu bersenang-senang menikmati nyanyian di sini dan bila mana Kongcu ingin beristirahat, perintahkan saja kepada pelayan untuk menyediakan kendaraan.”
Lie Kian Tek tersenyum dan menjura, akan tetapi matanya melirik ke arah Im Giok.
“Terima kasih, memang sebentar lagi kami pun hendak beristirahat pula. Selamat tidur, Suma-taijin.”
Suma-huciang yang diiringi oleh Tiauw Ki dan Im Giok melanjutkan langkahnya menuju ke ruang dalam. Setelah tiba di ruangan yang sunyi ini, pembesar itu lalu berkata kepada Tiauw Ki,
“Gan-siucai, tentu kau masih ingat akan semua pesanku, bukan? Ada sedikit pesanku lagi harap disampaikan kepada Hong-siang, yaitu bahwa bahaya yang datang dari Shansi tidak begitu besar apa bila dibandingkan dengan bahaya yang mengancam dari Honan. Karena itu, terhadap Honan (Propinsi Honan) hendaknya ditaruh perhatian sepenuhnya dan jangan diabaikan.”
Tiauw Ki mengerutkan keningnya dan matanya memandang heran. Namun sebelum dia mengeluarkan pertanyaan, ia telah didahului oleh pembesar itu.
“Aku tahu mengapa engkau merasa heran, Gan-siucai. Memang nampaknya keadaan di Honan tenang-tenang saja, akan tetapi percaya sajalah, di dalamnya terdapat pengaruh yang kelak akan membahayakan kedudukan Kaisar. Aku tak dapat bicara panjang lebar lagi, harap kau mengaso dan besok segera menyampaikan pesanku. Hong-siang akan mengerti apa yang kau maksudkan.”
Terpaksa Tiauw Ki tidak membantah. Ia menjura dan berkata, “Baiklah, Taijin, akan saya perhatikan dan sampaikan semua pesan Taijin. Besok pagi-pagi saya serta Kiang-lihiap akan berangkat. Kalau tidak sampai berpamit, harap Taijin sudi memaafkan.”
Suma-huciang menoleh kepada Im Giok, tersenyum berkata, “Kau amat mengagumkan, Kiang-lihiap. Aku harus berterima kasih kepadamu. Benar-benar kau patut menjadi cucu murid Bu Pun Su, seorang sakti yang semenjak dulu aku kagumi. Tolong kau sampaikan hormatku kepada pendekar sakti itu kalau kau bertemu dengan dia.”
Im Giok menjadi jengah mendengar pujian ini dan dia cepat memberi hormat. Kemudian pembesar itu memasuki kamarnya, sementara kedua orang muda itu pun pergi ke kamar masing-masing yang sudah disediakan, sesudah mereka berjanji akan berangkat besok pagi-pagi pada waktu ayam jantan berkokok...
Selanjutnya baca
ANG-I NIOCU (DARA BAJU MERAH) : JILID-08