Ang I Niocu (Nona Baju Merah) Jilid 08
Malam hari itu Im Giok tak dapat tidur. Dia gelisah di dalam kamarnya. Ada kekhawatiran kalau-kalau akan terjadi sesuatu pada malam hari itu, sesuatu yang akan menimpa diri Suma-huciang atau Gan Tiauw Ki.
Ancaman terhadap diri Suma-huciang masih belum menggelisahkan hatinya. Akan tetapi kalau dia teringat bahwa tugas yang dibawa oleh Tiauw Ki bukanlah tugas ringan dan keselamatan anak muda itu selalu terancam, Im Giok menjadi gelisah. Bagaimana kalau ada bahaya mengancam diri pemuda itu?
Malam itu ia selalu memikirkan Tiauw Ki. Tiap saat hanya pemuda inilah yang memenuhi pikirannya. Tanpa disengaja bayangan Tiauw Ki selalu tampak di depan matanya, gema suara pemuda itu selalu berdengung di telinganya!
“Aku harus melindunginya, biar pun aku harus bertaruh nyawa!” pikir gadis yang sedang tergoda asmara ini.
Keputusan ini membuat Im Giok tidak berani merebahkan diri. Ia lalu duduk bersila di atas pembaringan dan beristirahat dengan cara bersemedhi. Menjelang subuh dia mendengar suara berkeresekan di atas genteng. Ia cepat membuka mata dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Akan tetapi karena selanjutnya tidak ada suara apa-apa.
Dia pun tidak mau lancang mengejar keluar, takut kalau-kalau hanya akan menimbulkan keributan belaka. Sayang sekali gadis ini tidak keluar, kalau ia melakukan hal ini, mungkin ia akan mencegah terjadinya hal yang mengerikan!
Tak lama kemudian, terdengar ayam jantan berkokok, saling sahut ramai sekali. Im Giok melompat turun dari pembaringan, menggantungkan pedang di pinggang, mengikatkan buntalan pakaian di punggung dan siap untuk berangkat. Karena ia tidak tidur, maka ia dapat bersiap-siap dengan cepat, bahkan tanpa menyisir rambutnya yang digelung indah, cukup memperkuat tali dan tusuk rambutnya saja.
Dia mendengar langkah kaki di luar pintunya. Cepat daun pintu kamarnya dia buka dan ternyata Tiauw Ki sudah berdiri di situ, juga sudah siap untuk berangkat.
Dua orang pelayan menghampiri mereka dan menjura sambil berkata, “Selamat pagi, Siauw-ya dan Siocia! Apakah berangkat sekarang?”
“Benar, Lopek. Tolong suruh tukang kuda mengeluarkan kuda kami dan menyediakan di depan.”
“Baik, Siauw-ya,” jawab pelayan-pelayan itu dengan girang sambil menerima dua potong uang perak sebagai hadiah dari Tiauw Ki.
Dua orang muda ini lalu berjalan menuju ke luar dari gedung yang besar dan panjang ini.
“Enak tidurkah kau malam tadi, Giok-moi?” tanya Tiauw Ki kepada Im Giok.
“Enak juga. Dan kau?”
“Aku gelisah saja, entah mengapa. Agaknya karena hawa terlalu panas,” jawab Tiauw Ki.
Im Giok teringat akan bunyi di atas genteng. Kamar pemuda ini letaknya tidak jauh dari kamar Suma-huciang, maka dia lalu bertanya, “Twako, apakah kau tidak ada mendengar suara apa-apa malam tadi? Kalau kau tidak dapat tidur, tentunya kalau ada apa-apa kau mendengarnya.”
Tiauw Ki menggeleng kepala. “Tadinya aku pun takut kalau-kalau terjadi sesuatu, akan tetapi sukurlah, sampai aku tertidur, aku tidak mendengar apa-apa.”
Diam-diam Im Giok merasa lega, akan tetapi ia tidak puas dan masih curiga. Pemuda ini tidak mengerti ilmu silat, bagaimana ia dapat mendengar suara gerakan penjahat yang tinggi ilmu silatnya? Ia malam tadi mendengar suara yang ia tahu adalah suara kaki orang menginjak dan berjalan di atas genteng, orang yang ilmu ginkang-nya sudah tinggi sekali. Ataukah barangkali pendengarannya salah? Karena selanjutnya tidak ada suara apa-apa, ia tidak menyelidik lebih lanjut.
Sementara itu, pelayan-pelayan tadi sudah membawa kuda mereka ke depan gedung. Maka berangkatlah Tiauw Ki dan Im Giok pada pagi hari itu dalam keadaan cuaca masih remang-remang dan segala apa nampak berwarna kelabu.
Sampai lama mereka melarikan kuda berdampingan tanpa mengeluarkan sepatah kata. Keduanya amat muram. Tanpa kata-kata mereka merasakan peristiwa duka yang mereka hadapi, yakni perpisahan.
Im Giok sudah selesai tugasnya mengawal pemuda itu menghadap Suma-huciang dan menyampaikan pesanan Kaisar, karenanya dia harus memisahkan diri. Tidak selayaknya seorang gadis seperti dia terus-terusan melakukan perjalanan bersama seorang pemuda tanpa ada alasan yang kuat. Sekarang dia harus pulang ke Sian-koan, sedangkan Tiauw Ki tentunya hendak ke kota raja. Terpaksa mereka harus berpisah. Tak ada alasan untuk melakukan perjalanan bersama karena berbeda tujuan.
Tanpa berkata-kata keduanya maklum bahwa perjalanan mereka bersama hanya akan sampai di sungai kecil yang berada kurang lebih lima belas li di depan, di mana terdapat jalan simpangan dan di sana keduanya akan berpisah untuk melanjutkan perjalanannya masing-masing. Semakin dekat dengan sungai itu, otomatis keduanya memperlambat lari kudanya sehingga di lain saat kuda mereka hanya berjalan saja!
“Adik Im Giok, selanjutnya kau akan ke mana?” Tiauw Ki bertanya.
Sebuah pertanyaan yang aneh dan lucu karena keduanya sudah sama-sama mengetahui ke mana gadis itu akan pergi kalau tidak pulang ke rumah ayahnya di Sian-koan! Dan dari pertanyaan ini saja telah membayangkan keadaan hati pemuda itu, dan Im Giok maklum pula akan hal ini.
Memang cinta kasih itu aneh sekali. Biar pun pemuda dan gadisnya sama-sama selama hidupnya belum pernah mengalami buaian asmara dan baru kali itu mengalami perasaan yang amat aneh ini, akan tetapi keduanya seakan-akan sudah berpengalaman, keduanya sudah dapat menangkap maksud hati masing-masing hanya dengan rasa.
Kerling mata mengandung seribu bahasa mesra, senyum tipis membayangkan perasaan hati berdebar, gerak-gerik mengisyaratkan suara hati. Demikian tajamnya perasaan orang yang menghadapi pujaan hatinya, seakan-akan antara keduanya sudah ada kontak yang timbul oleh getaran-getaran perasaan.
Sungguh pun Im Giok maklum mengapa pemuda itu masih juga bertanya ke mana dia hendak pergi, ia menjawab juga perlahan sambil menundukkan muka,
“Aku hendak pulang ke Sian-koan. Dan kau... ke manakah, Twako?”
“Tentu ke kota raja... tugasku belum selesai. Sayang...”
Lama tidak terdengar mereka berkata-kata dan sunyi di pagi hari yang indah itu. Matahari belum kelihatan, akan tetapi cahayanya telah mulai mengusir kabut fajar dan menggugah alam yang terlelap dalam mimpi. Yang terdengar hanya suara kicau burung, diseling oleh derap kaki dua ekor kuda yang berjalan perlahan di atas jalan berbatu.
“Mengapa sayang, Twako?” Im Giok sudah membolak-balik pertanyaan ini beberapa kali di dalam hati sebelum ia mengeluarkan melalui bibirnya. Hatinya berdebar-debar menanti jawab, seperti seorang penjahat menanti pengucapan hukuman oleh hakim.
“Sayang karena... karena terpaksa kita harus berpisah.” Suara pemuda itu menggetar.
Tiba-tiba Im Giok menjadi merah mukanya, merah sampai ke telinganya. Mengingat akan keadaan dirinya sendiri, tiba-tiba Im Giok mengerahkan tenaga batinnya untuk mengusir perasaan malu dan jengah yang luar biasa ini, kemudian ketabahannya yang luar biasa dapat membuat dia menguasai diri lagi. Ia tersenyum dan dengan wajah ayu memandang Tiauw Ki.
“Twako, kau ini aneh. Ada waktu bertemu pasti ada pula waktu berpisah. Bukankah ada kata-kata para cerdik pandai di jaman dahulu bahwa bertemu itu artinya berpisah? Atau jelasnya bahwa pertemuan adalah awal perpisahan?”
Tiauw Ki yang tiba-tiba menjadi lemas melihat senyum yang demikian manisnya, wajah yang berseri dan mata bersinar-sinar sehingga membuat baginya seakan-akan matahari sudah muncul setinggi-tingginya, menjadi seperti orang linglung.
“Mengapa demikian?”
Pertanyaan ini tak karuan juntrungnya, padahal sebagai seorang sastrawan, sudah tentu pemuda ini hafal akan semua filsafat kuno, tidak kalah oleh Im Giok. Akan tetapi pada waktu itu, otaknya seakan-akan tertutup dan ia tidak sadar apa-apa, yang ada hanyalah wajah yang luar biasa cantik jelitanya dari gadis yang berada di sampingnya.
Melihat betapa pemuda itu duduk di atas kudanya sambil memandang bengong padanya seperti orang kena sihir, Im Giok tersenyum makin lebar.
“Mengapa? Ehh, Gan-twako, tentu saja pertemuan adalah awal perpisahan, karena kalau tidak bertemu lebih dulu, bagaimana bisa berpisah?”
Jawaban yang merupakan kelakar ini membikin sadar Tiauw Ki dari lamunan. Ia menarik napas panjang dan berkata,
“Tepat sekali kata-katamu, Giok-moi. Dan inilah yang menyakitkan hatiku. Bagiku... berat sekali perpisahan ini. Kalau boleh aku ingin membuang jauh-jauh ucapan kuno itu, ingin kuganti...”
Im Giok mengangkat alisnya dan memandang lucu. “Ehm, apa kau ingin menyaingi para pujangga kuno dan merubah kata-kata mereka?”
“Ya, khusus tentang pertemuan itulah. Dengar aku merubahnya, dan ini terutama sekali untuk kita berdua, Adikku. Pertemuan bukanlah awal perpisahan, akan tetapi pertemuan adalah awal persatuan abadi. Bagaimana kau pikir, bukankah ini lebih tepat dan lebih baik?”
Im Giok menutup mulutnya menahan ketawa, kemudian melarikan kudanya.
“Ada-ada saja kau ini, Twako,” katanya seperti marah.
Akan tetapi suara ketawanya berlawanan dengan kata-kata yang seperti marah ini, maka Tiauw Ki juga membalapkan kudanya mengejar.
“Adik Im Giok, tunggu...! Kita tidak akan berpisah selamanya!” Tiauw Ki berani berteriak menyatakan perasaan hatinya ini saking gembiranya. Akan tetapi Im Giok yang timbul kembali rasa malu dan jengah, tidak mau menghentikan kudanya.
Karena kuda dibalapkan, sebentar saja tahu-tahu sudah sampai di sungai yang melintang di depan. Im Giok tersentak kaget dan menghentikan kudanya dengan tiba-tiba. Melihat sungai itu ia tersadar bahwa semua tadi bukan main-main, melainkan sungguh-sungguh perpisahan telah berada di depan mata! Dan ia pun menjadi berduka.
Alisnya berkerut, kegembiraannya lenyap sama sekali. Dia telah merasakan kebahagiaan luar biasa di dalam hatinya selama dekat dengan Tiauw Ki. Sekarang perpisahan dengan pemuda itu mendukakan hatinya.
“Giok-moi...!” Tiauw Ki juga sudah tiba di situ. Pemuda ini melompat turun dari kudanya. “Giok-moi, harap jangan tergesa-gesa. Begitu girangkah hatimu untuk meninggalkan aku maka kau tergesa-gesa?”
Im Giok melompat turun dari kudanya pula dan berkata, “Twako, janganlah kau berkata begitu...” Dalam suaranya kini terkandung sedu-sedan.
“Marilah kita gunakan saat terakhir ini untuk bercakap-cakap dan memberi kesempatan kepada kuda kita beristirahat,” kata Tiauw Ki yang membawa kudanya ke pinggir sungai di mana terdapat rumput yang hijau dan gemuk.
Im Giok meniru perbuatannya dan sesudah kedua ekor kuda itu makan rumput dengan lahapnya, mereka lalu mencari tempat duduk. Kebetulan sekali tidak jauh dari sana, di pinggir sungai kecil terdapat sebatang pohon yang teduh dan di bawah pohon terdapat batu-batu sungai yang besar dan bersih licin. Ke situlah dua orang ini berjalan perlahan.
Tiauw Ki duduk di atas sebuah batu besar, merenung ke arah air sungai. Im Giok juga duduk di atas batu tak jauh dari tempat pemuda itu duduk, bermain-main dengan ujung daun pepohonan yang tumbuh di dekatnya.
“Adik Giok, rasanya janggal dan aneh sekali jika kita harus berpisah di sini. Benar-benar heran sekali, bagiku terasa seakan-akan kita telah berkumpul selamanya, telah semenjak kecil, semenjak lahir... Giok-moi, benar-benar berat untukku harus berpisah darimu, tak sampai hatiku...”
“Habis, bagaimana, Twako. Kita harus mengambil jalan masing-masing. Kau ke kota raja dan aku pulang ke Sian-koan.”
“Memang semestinya demikian. Akan tetapi... ahh, rasanya sedikit pun juga aku tidak ada keinginan sama sekali untuk pergi ke kota raja. Kalau saja kau dapat pergi bersamaku ke kota raja atau aku pergi bersamamu ke Sian-koan...”
Im Giok melirik, mukanya merah dan hatinya berdebar senang.
“Mana boleh begitu, Gan-ko? Kau mempunyai tugas penting. Apa sih sukarnya? Kau ke kota raja dahulu dan sesudah tugasmu selesai, bukankah kau dapat mengunjungi aku di Sian-koan?”
Di dalam kata-kata ini terkandung sindiran yang dalam, seolah-olah Im Giok menyatakan bahwa ia akan menanti kedatangan pemuda itu di Sian-koan! Tiauw Ki yang cerdik dapat mengerti arti yang terkandung dalam kata-kata ini, maka saking girang perasaannya, dia menangkap kedua tangan gadis itu.
“Giok-moi…,” suaranya gemetar.
Selama hidupnya baru kali ini Im Giok merasakan sesuatu yang aneh di dalam hatinya. Menurut kata hatinya, ingin ia menarik kembali kedua tangannya yang dipegang oleh jari jemari tangan yang gemetar dari pemuda itu, akan tetapi ia tak kuasa menarik tangannya seakan-akan semua tenaganya telah hilang! Dia hanya menundukkan muka dan bibirnya tersenyum malu.
“Giok-moi, betulkah kau akan menerimaku bila aku sewaktu-waktu datang ke Sian-koan!” suara Tiauw Ki perlahan dan halus penuh perasaan.
“Mengapa tidak?” Im Giok hanya menjawab singkat karena dia sendiri takut untuk bicara terlalu panjang, mendengar betapa suaranya sendiri gemetar!
“Tidak… tidak ada halangannya kalau… kalau aku…” Tiauw Ki tak dapat lagi melanjutkan kata-katanya.
“Ada apakah, Gan-twako? Lanjutkanlah, mengapa begitu sukar?”
Tiauw Ki makin gagap menerima teguran ini. Ia mengigit bibirnya menenangkan hatinya lalu berkata nekad, “Bagaimana kalau kelak aku datang ke Sian-koan... dan...”
“Dan apa...?”
“Aku... aku hendak... meminangmu!” Lega hatinya setelah kata-kata yang mengganjal di kerongkongannya ini akhirnya terlepas juga.
Im Giok sejak tadi sudah menduga, akan tetapi setelah kata-kata itu diucapkan, mukanya yang cantik itu menjadi merah sekali, membuat sepasang pipinya kemerahan bagai buah tho masak, membikin dia nampak makin cantik jelita. Memang jarang ada gadis secantik Im Giok, apa lagi kalau yang memandangnya seorang yang jatuh hati kepadanya, dia laksana bidadari dari kahyangan saja!
“Bagaimana, Giok-moi...?” tanya Tiauw Ki.
Dengan sudut matanya Im Giok mengerling kepada pemuda itu, bibirnya yang manis itu tersenyum malu, lalu ia menundukkan muka kembali sambil berkata lirih, “Entahlah...”
Tiauw Ki menjadi makin berani melihat sikap gadis itu. Ia menggenggam kedua tangan yang kecil halus itu dengan erat dan menarik Im Giok mendekat. Karena gadis itu duduk di atas batu yang lebih rendah, maka setelah ditarik ia bersandar kepada paha Tiauw Ki.
“Giok-moi, bagaimana? Apakah kau keberatan kalau kelak kupinang?”
Bukan main malunya Im Giok dan ia pun tidak dapat membuka mulut menjawab. Sambil tersenyum-senyum malu dan wajah ditundukkan, dia hanya menjawab dengan gelengan kepala perlahan.
Tiauw Ki merasa diayun di sorga ke tujuh. Ingin dia melompat turun dari atas batu dan menari-nari kegirangan atau ingin dia mengangkat tubuh Im Giok dalam pondongannya dan diputar-putar.
Akan tetapi sebagai seorang pemuda terpelajar yang sopan ia tidak berani melakukan hal ini. Sebagai seorang pemuda yang tahu akan arti kesopanan dan kesusilaan, Tiauw Ki hanya memandang kepada wajah kekasihnya dengan mata bersinar, wajah berseri dan penuh kasih sayang.
“Terima kasih, Moi-moi, terima kasih. Akan tetapi, bagaimana kalau saudara-saudaramu tidak suka kepadaku dan tidak mau menerima?” Di dalam ucapan ini terkandung suara yang penuh kecemasan.
Maka Im Giok cepat mengangkat muka dan berkata tegas,
“Aku tidak mempunyai saudara kandung. Aku anak tunggal. Yang ada hanya suci-ku Giok Gan Niocu Song Kim Lian!”
Tiauw Ki tersenyum lega, lalu tertawa kecil. “Ahh, suci-mu itu benar-benar seorang gadis yang gagah perkasa dan berhati mulia, biar pun agak galak. Akan tetapi tentu saja tidak melawan kau baik dalam hal kegagahan, kemuliaan mau pun kecantikan.”
Im Giok hanya melempar senyum menghadiahi pujian kekasihnya ini.
“Akan tetapi, bagaimana kalau... kalau ayah bundamu tidak suka kepadaku? Ayahmu seorang gagah, tentu dia tidak suka mempunyai calon mantu seorang pemuda sekolah yang lemah...!” Kembali dalam suara pemuda itu terkandung kekhawatiran besar.
“Ibuku sudah tidak ada, dan Ayah... dia sangat sayang kepadaku, tidak mungkin Ayah membiarkan aku kecewa dan berduka.” Im Giok mengambil tusuk kondenya, kemudian memberikan benda itu kepada Tiauw Ki dengan suara halus, “Koko, inilah tusuk kondeku, harap kau simpan baik-baik.”
Tiauw Ki menerima benda itu dan menekannya di dada, lalu menciumnya dengan penuh kasih sayang. “Terima kasih, Moi-moi. Benda ini selamanya takkan berpisah dariku, akan kuanggap sebagai penggantimu. Dengan adanya tusuk konde ini, Moi-moi, hatiku akan terhibur. Hanya menyesal sekali, aku adalah seorang yang bodoh dan miskin pula, tidak mempunyai sesuatu yang berharga untuk diberikan kepadamu kecuali ini...”
Pemuda itu mengeluarkan sebuah kipas yang tidak begitu baik dari dalam saku bajunya. Sudah menjadi kebiasaan para siucai untuk selalu menyimpan kipas di sakunya.
“Kipas ini tadinya masih kosong, Moi-moi, seperti kosongnya hatiku. Sekarang kipas ini tidak seharusnya dibiarkan kosong seperti juga hatiku yang kini sudah penuh...”
Sambil berkata begitu, pemuda itu ‘menyulap’ keluar sebatang pit dan arang tintanya dari dalam saku bajunya. Diambilnya sedikit air dari sungai untuk membasahi arang tinta dan di atas batu itu dia menulis huruf-huruf indah di atas kipasnya yang putih bersih.
Im Giok hanya memandang saja semua yang dilakukan oleh kekasihnya ini dengan bibir tersenyum dan hati bungah. Dengan hati berdebar Im Giok membaca tulisan yang indah gayanya itu:
Tusuk konde dan kipas
menjadi saksi
bertemunya dua hati
di bawah pohon, di tepi sungai...
semoga cinta kasih kita
kekal abadi takkan berpisah,
sehidup semati...
Tiauw Ki memberikan kipas itu kepada Im Giok yang menerimanya dengan wajah berseri.
“Aduh indahnya tulisanmu, Koko...” katanya.
Akan tetapi Tiauw Ki hanya menatap wajahnya, nampaknya berduka.
“Kau mengapa, Twako?”
“Sayang pertemuan seindah ini harus diputuskan oleh perpisahan...” kata Tiauw Ki sambil memegang pundak gadis itu, ditariknya sehingga kembali Im Giok bersandar kepadanya.
“Hanya untuk sementara waktu, Koko. Bukankah kau segera akan ke Sian-koan setelah tugasmu selesai? Aku selalu menantimu di sana, Koko...”
Kata-kata ini terdengar begitu manis dan merdu oleh Tiauw Ki sehingga saking terharu hatinya, kedua mata pemuda itu sampai basah. Didekapnya kepala gadis itu ke dadanya lebih erat lagi dan sampai lama mereka tak bergerak, tenggelam ke dalam lautan madu asmara.
Biar pun keduanya diam tak bergerak, biar pun suasana di sekitar mereka sunyi senyap, namun suara daun pohon tertiup angin dan air sungai mengalir bagi mereka seperti suara musik mengiringi nyanyian surga yang amat merdu. Pohon, daun, batu, apa saja yang nampak di sekeliling mereka seakan-akan tertawa-tawa dan ikut beriang gembira.
Tiauw Ki dan Im Giok bagaikan mabuk oleh buaian ombak perasaan yang paling indah di antara segala macam perasaan, tapi keduanya masih sadar sepenuhnya dan ingat akan kesopanan dan kesetiaan.....
Sungguh mengagumkan mereka ini, teladan bagi muda-mudi beradab. Meski pun mereka juga diombang-ambingkan oleh ombak asmara yang memabukkan, akan tetapi mereka pantang melakukan pelanggaran dan mereka teguh bagaikan karang di pantai samudra.
Apa pun juga yang terjadi, mereka berpegang kepada semboyan nenek moyang mereka, yang bagaimana pun juga, ATURAN (Lee) di atas segala apa! Kesopanan dan kesusilaan termasuk dalam Lee ini dan karenanya mereka tetap sadar dan menjaga jangan sampai mengecewakan hati kekasihnya dengan pelanggaran tata susila yang dijunjung tinggi!
Dalam keadaan bagaikan setengah pulas itu, ternyata kelihaian Im Giok tidak berkurang. Pendengarannya memang amat tajam sehingga Tiauw Ki menjadi terheran ketika secara tiba-tiba Im Giok merenggutkan kepalanya yang tadinya bersandar pada dadanya sambil berkata,
“Koko, ada penunggang kuda datang...”
Tiauw Ki memperhatikan dan sampai lama setelah suara itu semakin mendekat baru dia mendengar derap kaki kuda.
“Ada tiga orang penunggang kuda,” kata pula Im Giok.
Dia sudah dapat membedakan suara itu sebelum orang-orangnya kelihatan, siap karena mengira bahwa yang datang ini tentu pihak musuh yang selalu mengancam keselamatan Tiauw Ki. Akan tetapi setelah tiga orang penunggang kuda itu muncul, ia bernapas lega.
Mereka itu ternyata adalah tiga orang wanita yang membalapkan kuda dan membuktikan bahwa ketiganya adalah ahli-ahli penunggang kuda yang mahir. Apa lagi ketika tiba di dekat Tiauw Ki dan Im Giok, ketiga orang penunggang kuda itu dapat menghentikan kuda mereka dengan serentak, hal ini lebih-lebih membuktikan bahwa mereka bertiga memiliki lweekang yang cukup kuat.
Setelah mereka mendekat, barulah Im Giok dan Tiauw Ki melihat dan mengenal mereka sebagai tiga orang wanita yang malam tadi ikut hadir pula dalam pesta yang diadakan di rumah Suma-huciang, yakni nenek yang pada kepalanya diikat kain putih dan memegang tongkat, bersama dua orang gadis manis yang sikapnya galak. Kini kedua orang gadis itu memandang kepada Tiauw Ki, lalu kepada Im Giok dengan pandangan mata terbelalak dan mengandung sinar kebencian.
Pada saat itu, Im Giok sedang berada dalam keadaan gembira dan bahagia, maka tentu saja muka cemberut dari dua orang gadis itu tidak terlihat olehnya. Sebaliknya, dengan senyum manis ia lalu menjura kepada mereka sambil berkata,
“Selamat bertemu di tempat ini! Apakah Sam-wi baru pulang dari rumah Suma-taijin?”
Nenek itu menjawab cepat-cepat, “Kau bermalam di rumah Suma-taijin. Kami bermalam di rumah penginapan.”
Im Giok menggerakkan alis agak heran melihat sikap ini, akan tetapi tetap tersenyum dan melanjutkan katanya dengan ramah,
“Ah, maaf. Maksudku, tentu Sam-wi baru meninggalkan Tiang-hai dan hendak ke mana?”
Tiba-tiba seorang di antara dua gadis itu, yang ada tahi lalatnya di dagu, membentak,
“Siapa sudi bicara dengan segala perempuan gila lelaki!”
Tiauw Ki menjadi pucat saking marahnya, dan Im Giok menjadi merah mukanya. Kedua matanya yang indah itu kini menyambar bagaikan cahaya kilat ke arah gadis itu. Meski suaranya tetap halus dan ramah, akan tetapi di dalam suara ini terkandung sesuatu yang dingin dan tajam menembus jantung.
“Cici yang baik, kau bilang apa?”
“Aku bilang kau perempuan cabul, gila lelaki!” Gadis bertahi lalat dagunya itu membentak lagi sambil mengangkat hidungnya, mengejek.
Im Giok masih tersenyum lebar.
“Alasannya?”
“Dari semula kau datang, kau sudah berdua dengan pemuda ini, sungguh memalukan. Kemudian kau bermanis-manis terhadap Suma-huciang, bahkan kau mencoba pula untuk memikat hati Lie-kongcu. Menyebalkan sekali!”
Im Giok memang cerdik luar biasa. Dari ucapan ini saja dia sudah dapat menerka apa yang menyebabkan gadis ini marah-marah seperti kemasukan setan. Senyumnya makin lebar dan sinar matanya berseri.
“Ahh, Cici yang baik, kau memutar balikkan kenyataan. Jelas sekali kulihat bahwa kaulah yang tergila-gila kepada Lie-kongcu, akan tetapi ia tidak memperhatikan tahi lalatmu yang menjijikkan itu, kau jadi marah-marah kepadaku!”
Mendengar ini, wajah gadis itu menjadi pucat, tetapi sebentar kemudian berubah merah. Mulutnya terbuka, matanya terbelalak, dan saking marahnya ia sampai-sampai tak kuasa mengeluarkan kata-kata. Sesudah menenangkan hatinya, akhirnya dapat juga suaranya keluar. Diangkatnya cambuknya ke atas, dipukulkan kepala Im Giok didahului makiannya,
“Perempuan rendah, kau berani sekali memaki aku! Tidak tahu kau sedang berhadapan dengan siapa?”
“Hei, jangan pukul dulu!” Im Giok membentak, suaranya demikian berpengaruh sehingga wanita bertahi lalat itu menjadi kaget dan otomatis cambuk yang sudah diangkat itu tidak dipukulkan! “Teruskan dulu keteranganmu, sebenarnya siapakah kalian ini yang bersikap demikian tengik?”
Wanita itu menahan marahnya dan sengaja memperkenalkan nama dengan maksud agar Im Giok menjadi ketakutan. “Buka telingamu lebar-lebar, kami berdua adalah Kim-jiauw Siang-eng Kwan Ci-moi (Kakak Beradik Kwan yang Berjuluk Sepasang Garuda Berkuku Emas)! Dan dia itu adalah ibu kami Koai-tung Toanio. Siapa yang tidak mengenal kami dari Kong-thong-pai?”
Im Giok merasa geli sekali melihat gadis yang dogol dan otak-otakan ini, akan tetapi dia mengangkat kedua mata seakan-akan orang terkejut dan ketakutan.
“Aduh... tak tahunya aku berhadapan dengan tiga orang sakti dari Kong-thong-pai...,” kata Im Giok.
“Ji Kim, jangan menyombong!” tegur nenek itu yang mengerti bahwa Im Giok tadi hanya pura-pura saja ketakutan, sebetulnya sikap gadis baju merah itu adalah ejekan belaka.
“Hayo lekas berlutut dan minta ampun kepadaku!” gadis bertahi lalat yang bernama Kwan Ji Kim itu membentak, masih belum mengerti bahwa Im Giok hanya pura-pura takut saja.
“Kau datang-datang lantas memaki orang dan bersikap sombong, bagaimana aku harus berlutut? Jangankan kau baru Garuda berkuku emas, biar pun tahi lalatmu berubah emas aku tetap tak sudi berlutut!” jawab Im Giok, kini tidak berpurap-pura lagi.
Ji Kim marah sekali dan kini cambuk kudanya diayun cepat menghantam kepala Im Giok. Akan tetapi, Ang I Niocu Kiang Im Giok hanya miringkan tubuh dan secepat kilat tangan kirinya menyambar, dan pada lain saat cambuk itu telah berpindah ke tangannya. Sambil tersenyum Im Giok mempergunakan cambuk itu menghajar kedua kaki depan kuda yang ditunggangi oleh Kwan Ji Kim sehingga kuda itu roboh bertekuk lutut dan terpaksa Kwan Ji Kim melompat untuk menjaga diri agar tidak jatuh terjungkal!
“Kudamu lebih tahu adat!” Im Giok mengejek. “Tahu akan kesalahan nonanya sehingga mintakan maaf kepadaku.”
Kwan Ji Kim marah bukan main. Dicabutnya pedang yang tergantung pada pinggangnya, lalu diserangnya Im Giok dengan sengit. Namun, melihat gerakan nona ini, Im Giok hanya tersenyum dingin. Dengan gerakan indah sekali tubuhnya melenggok ke kiri, kemudian tangannya menyambar ke arah pipi lawan.
“Plakk...!”
Pipi gadis bertahi lalat itu telah kena ditampar sehingga ia terhuyung-huyung ke belakang setelah mengeluarkan jerit kesakitan. Sesudah ia dapat menguasai keseimbangan badan dan kembali berdiri tegak, ternyata pipi kanan Kwan Ji Kim telah bengkak menggembung sehingga muka yang manis itu kini menjadi lucu dan jelek!
“Setan betina, kau berani menyakiti adikku?!” Gadis ke dua melompat turun dari kuda dengan pedang terhunus pula.
Gerakan pedang ini jauh lebih cepat dari pada Kwan Ji Kim dan tusukan pedangnya lebih kuat lagi. Namun ia bukan lawan Im Giok, karena dengan amat mudahnya Im Giok dapat menghindarkan diri dari tusukan pedang itu. Tiba-tiba saja Im Giok merasa ada sambaran angin dingin dari kanan. Cepat ia melompat ke belakang dan tahu-tahu sebatang tongkat menyambar dengan dahsyatnya.
Im Giok maklum bahwa nenek yang memegang tongkat itu mempunyai kepandaian tinggi dan merupakan lawan berat, maka cepat ia pun mencabut pedangnya sambil berkata,
“Koai-tung Toanio! Kalau kau betul-betul seorang tokoh kang-ouw yang mengerti aturan dan seorang ibu yang baik, mengapa kau tidak menegur anak-anakmu yang kurang ajar sebaliknya bahkan ikut-ikut menyerangku? Ada permusuhan apakah di antara kita maka kalian begini mendesak padaku?”
Nenek itu menyeringai, kemudian berkata, suaranya tinggi serak, “Kemarin kau begitu sombong memamerkan kepandaian dan aku tidak sempat membuktikan. Sekarang ingin aku melihat sampai di mana kelihaianmu, jangan kau hanya berani menghina dua anakku yang bodoh. Majulah!”
Im Giok mengerti bahwa nenek ini bukan hanya hendak menjajal kepandaiannya, akan tetapi jika tidak membela anaknya yang sudah ia tampar tadi, tentu tersembunyi maksud lainnya. Ia pun tidak sudi memperlihatkan kelemahannya. Setelah orang menantangnya, ia harus melayani dan memperlihatkan kepandaiannya. Apa lagi di situ ada Tiauw Ki yang menyaksikan. Dicabutnya pedangnya dan dengan tenang dia berdiri memandang kepada tiga orang lawannya.
“Kalian hendak mencari perkara? Boleh saja, Ang I Niocu Kiang Im Giok bukan seorang pengecut dan tak pernah menolak tantangan.”
Im Giok menanti serangan, tidak mau ia mendahului bergerak karena memang ia tidak mempunyai permusuhan dengan tiga orang ini.
Koai-tung Toanio mengeluarkan seruan keras, lantas tongkatnya diputar bagaikan kitiran cepatnya dan diterjangnya gadis baju merah yang berdiri tenang di hadapannya. Anaknya yang sulung, Kwan Twa Kim, juga maju menyerang dengan pedangnya.
Sekilas pandang saja tahulah Im Giok bahwa kepandaian nenek itu memang lihai, jauh lebih lihai dari pada puterinya, maka menghadapi pengeroyokan dua orang ini, lebih dulu ia harus mengalahkan yang lemah agar seluruh perhatiannya dapat dicurahkan kemudian kepada yang kuat.
Oleh karena itu pedangnya segera bergerak, merupakan tarian indah dan dengan halus gerakannya itu terbagi dua, yakni bersifat lembek apa bila menghadapi serangan tongkat Koai-tung Toanio, akan tetapi keras dan kuat menghadapi Kwan Twa Kim. Siasatnya ini berhasil baik sekali karena sebentar saja Kwan Twa Kim telah terdesak hebat, sedangkan tongkat Koai-tung Toanio belum juga dapat mendesaknya, bahkan beberapa kali tongkat di tangan nenek itu terbetot dan ‘diselewengkan’ sehingga membentur pedang anaknya sendiri apa bila bertemu dengan pedang Im Giok!
Beberapa jurus kemudian, terdengar suara keras dan pedang di tangan Kwan Twa Kim terlempar, disusul pekik kesakitan dari gadis ini. Ternyata bahwa lengan kanannya sudah keserempet pedang dan mengeluarkan darah.
“Twa Kim, mundur kau...!” ibunya berkata marah dan memperhebat gerakan tongkatnya, menyerang Im Giok dengan mati-matian.
“Toanio, kita tidak bermusuhan, mengapa kau begini nekat?” Im Giok menegur, hatinya tak senang melihat sikap nenek yang terlalu mendesak ini.
“Tutup mulut dan lihat tongkatku!” bentak Koai-tung Toanio yang dari penasaran menjadi marah sekali mengapa begitu lama belum juga ia dapat mengalahkan gadis muda ini.
Timbul kemarahan di hati Im Giok. Tadinya ia tidak suka merobohkan nenek ini yang tak mempunyai permusuhan sesuatu dengannya. Seorang tokoh kang-ouw sangat menjaga nama besarnya dan tahu bahwa kalau nenek itu sampai kalah olehnya, hal ini merupakan penghinaan besar bagi nenek yang keras hati ini. Tadinya dia mengharapkan nenek ini akan melihat gelagat dan mundur sendiri setelah menyaksikan kelihaiannya, tak tahunya nenek ini bahkan berlaku nekad dan menyerang mati-matian.
“Kau tidak boleh diberi hati!” Im Giok mencela.
Kini tiba-tiba saja gerakan pedangnya berubah. Pedangnya menyambar-nyambar dalam gerakan yang amat indah dan halus. Namun di dalam kehalusan ini tersembunyi gerakan-gerakan menyerang yang dahsyat bukan main. Inilah Sian-li Kiam-hoat atau ilmu pedang bidadari yahg indah dilihat namun berbahaya sekali dilawan.
Koai-tung Toanio tidak mau menyerah kalah begitu saja. Sungguh pun dia terkesiap juga menyaksikan ilmu pedang yang aneh ini, namun dia memutar tongkat semakin cepat dan mengerahkan segala kepandaian untuk rnengalahkan lawan. Tetapi, betapa pun juga ia berusaha, tetap saja sinar pedang yang perubahannya sukar diduga-duga itu, makin lama makin mendesak sinar tongkatnya dan makin lama ia merasa makin terkurung oleh sinar pedang yang bergulung-gulung dan yang membuat pandangan matanya berkunang.
“Pergilah!” terdengar seruan Im Giok.
Dengan gerakan cepat tangan kirinya sudah berhasil mencengkeram tongkat lawannya dan jika saja ia mau, pedangnya dapat ditusukkan. Akan tetapi Im Giok tidak bermaksud membunuh lawannya, maka sebagai gantinya pedang, ia hanya menendang.
Tubuh Koai-tung Toanio terlempar dan tongkatnya terampas. Namun kepandaian nenek ini memang tinggi. Biar pun ia sudah terluka oleh tendangan itu dan tubuhnya terlempar, ia masih mampu menjaga diri sehingga jatuhnya berdiri! Ia memandang kepada Im Giok dengan mata melotot marah. Kemudian ia melompat ke atas kudanya, diikuti oleh kedua orang puterinya.
“Toanio, ini tongkatmu ketinggalan!” Im Giok tertawa sambil melontarkan tongkat itu ke arah Koai-tung Toanio.
Tanpa menoleh nenek itu menghantam tongkatnya sendiri dengan tangan kanan. Segera terdengar bunyi keras dan tongkat itu patah menjadi dua, meluncur ke bawah kemudian menancap di atas tanah!
Im Giok menarik napas panjang. “Kepandaiannya tinggi dan mengagumkan, tapi sayang wataknya tidak patut sekali.”
Tiauw Ki menghampiri Im Giok dan memegang lengannya.
“Moi-moi, bukan main hebatnya engkau ini. Benar-benar aku kagum sekali melihatmu dan makin terasalah olehku betapa tiada gunanya aku ini. Aku seorang laki-laki yang lemah, sedangkan kau... ahh, kau benar-benar seorang bidadari yang sakti...”
“Husshhh, Twako. Ada pasukan berkuda datang!” Suara Im Giok terdengar agar khawatir pada waktu mengucapkan kata-kata ini dan merenggut lengannya terlepas dari pegangan Tiauw Ki.
Pemuda itu menoleh dan benar saja, segera terlihat debu mengepul tinggi mengiringkan pasukan berkuda yang datang dengan cepat. Setelah dekat, Im Giok dan Tiauw Ki saling pandang dengan muka berubah melihat bahwa pasukan berkuda terdiri dari empat puluh orang lebih itu dipimpin oleh Lie Kian Tek, Ceng-jiu Tok-ong, dan juga terdapat banyak perwira-perwira pembantu Suma-huciang, di antaranya terlihat juga Sin-touw-ong Si Raja Copet. Mereka semua kelihatan marah dan sekarang mereka telah berhadapan dengan Im Giok dan Tiauw Ki.
“Pembunuh keji, menyerahlah supaya kami tak usah menggunakan kekerasan!” kata Lie Kian Tek sambil mencabut pedangnya.
“Eh, tikus, kau memaki siapakah?” Im Giok membentak dengan marah. Ia masih merasa benci kepada kongcu yang ceriwis ini.
Lie Kian Tek tertawa bergelak dan menengok kepada kawan-kawannya.
“Lihat, pandai benar perempuan ini bermain sandiwara, seakan-akan dia suci bersih dan tidak tahu apa-apa. Ha-ha-ha!” kemudian dia memandang kepada Tiauw Ki dan berkata, “Pengkhianat pengecut! Kau mengaku sebagai keponakan Suma-huciang, tidak tahunya kau adalah penjahat besar yang datang dengan niat buruk. Kau tidak segera menyerah dan mengakui dosamu?”
Tiauw Ki mengerutkan kening dan bertanya,
“Kedosaan apakah yang telah kuperbuat?” dan terhadap Sin-touw-ong Siauw Hap, Raja Copet yang kate itu ia pun bertanya, “Siauw-sicu, sebetulnya ada apakah maka kau juga datang menyusulku? Apakah ada pesanan sesuatu dari Suma taijin?”
Si Kate yang sudah dikenal sebagai pembantu setia dari Suma-huciang itu terlihat amat bingung menghadapi Tiauw Ki dan Im Giok. Kemudian dia berkata dengan suara duka, “Suma-taijin telah meninggal dunia, tadi kami mendapatkan beliau sudah rebah di lantai kamarnya dengan leher putus!”
“Apa katamu...?!” Tiauw Ki meniadi pucat mukanya dan juga Im Giok terkejut bukan main.
Terdengar suara ketawa dingin dari Lie Kian Tek. “Gan Tiauw Ki penjahat besar, jangan kau berpura-pura kaget. Kami bukan anak-anak kecil dan kami juga sudah tahu bahwa pembunuhan atas diri Suma-taijin adalah perbuatanmu dengan pengawalmu yang cantik. Malam tadi semua tamu pulang atau kembali ke rumah penginapan, hanya kau bersama pengawalmu saja yang bermalam di rumah Suma-taijin. Ada pula yang bermalam akan tetapi pada bagian lain, tidak seperti kalian yang bermalam di dekat kamar Suma-taijin di bawah satu wuwungan! Dan pula, kalau tamu-tamu lain masih ada pagi hari ini, kau dan pengawalmu tanpa pamit telah minggat pergi. Bukti-bukti sudah jelas apakah kau masih hendak menyangkal?”
“Bohong! Fitnah belaka!” Tiauw Ki memaki marah. “Siapa percaya akan tuduhan dusta ini? Aku dan nona ini sama sekali tidak tahu-menahu tentang pembunuhan itu dan malam tadi kami pun sudah berpamit kepada Suma-taijin!”
Lie Kian Tek tertawa bergelak. “Tidak ada pembunuh mengaku sudah membunuh orang, seperti juga tidak ada maling mengaku telah mencuri barang. Hayo tangkap orang ini, kita harus menyeretnya ke pengadilan!”
Didahului oleh Ceng-jiu Tok-ong, pasukan itu lalu bergerak menyerang. Gerakan Ceng-jiu Tok-ong cepat sekali dan sekali kakek ini melompat turun dari kudanya menubruk, di lain saat Tiauw Ki sudah diringkusnya dan sebuah totokan membuat pemuda itu lemas tidak berdaya lagi.
“Lepaskan dia!” Im Giok berseru.
Gadis ini marah sekali melihat perlakuan orang terhadap kekasihnya. Ia menerjang dan menyerang Ceng-jiu Tok-ong.
Kakek ini cepat-cepat menggerakkan tangan menangkis sambil mencabut goloknya yang bersinar hijau. Juga orang-orang lain sudah mencabut senjata, sedangkan Lie Kian Tek berteriak,
“Perempuan pemberontak, kaulah yang membunuh Suma-taijin!” Kata-kata ini membuat Im Giok marah sekali dan pada lain saat ia telah dikurung oleh banyak orang.
“Nona, lebih baik kau menyerah!” kata Sin-touw-ong Siauw Hap.
Dia merasa sayang sekali kalau sampai gadis ini terluka. Sebetulnya Raja Copet ini pun meragukan bahwa Im Giok telah membunuh Suma-huciang, akan tetapi bukti-buktinya memang memberatkan Tiauw Ki dan Im Giok sehingga sebagai alat negara ia pun harus ikut membantu menangkap pembunuh Suma-huciang.
Im Giok mengamuk. Gadis ini maklum bahwa keselamatan Tiauw Ki terancam bahaya besar sesudah terjatuh ke dalam tangan orang seperti Lie Kian Tek, karena itu ia hendak menolong pemuda kekasihnya itu dengan kekerasan.
Sebentar saja ia dikurung hebat sekali oleh Ceng-jiu Tok-ong, Sin-touw-ong dan perwira-perwira lain yang cukup tinggi kepandaiannya. Akan tetapi Im Giok tidak gentar. Untuk menolong Tiauw Ki, dia rela mengorbankan nyawa. Lebih baik mati bersama dari pada dia membiarkan kekasihnya dibikin celaka orang.
Akan tetapi keadaan lawan terlampau berat. Menghadapi seorang Ceng-jiu Tok-ong saja masih sulit ia mengalahkan, apa lagi dikeroyok pula oleh belasan orang. Memang, selain Ceng-jiu Tok-ong dan Sin-touw-ong, yang lain-lain hanya menyerang dari jarak jauh dan tidak berani terlalu mendekat, akan tetapi cara ini bahkan melelahkan Im Giok.
Gadis ini tak dapat merobohkan mereka yang mengeroyoknya dari jarak jauh, sedangkan untuk mengerahkan kepandaian melayani Ceng-jiu Tok-ong dan Sin-touw-ong, dia selalu diganggu oleh para pengeroyok yang menyerangnya dari jauh, baik dari kanan, kiri mau pun belakang.
“Giok-moi, menyerah saja, Giok-moi. Kita tidak berdosa, biar mereka membawa kita ke pengadilan!” Tiauw Ki berseru kepada Im Giok karena pemuda ini merasa gelisah sekali melihat kekasihnya dikeroyok oleh banyak orang dan terdesak hebat.
Mendengar ini, Im Giok pikir betul juga. Belum tiba saatnya buat melakukan pertempuran mati-matian. Mereka hanya diduga menjadi pembunuh dan di depan pengadilan mereka dapat menyangkal. Kalau nanti mereka tetap saja difitnah dan tidak ada jalan keluar lagi, barulah dia akan mempergunakan pedangnya. Maka cepat dia melompat keluar kalangan pertempuran dan membentak,
“Aku akan menyerah dengan syarat bahwa Gan-twako dan aku diberi kebebasan ikut ke tempat pengadilan. Aku tidak sudi dijadikan tawanan dan diikat!”
“Enak saja kau bicara!” Ceng-jiu Tok-ong membentak dan hendak menyerang lagi.
Akan tetapi Lie Kian Tek berkata, “Locianpwe, biar kita menerima syaratnya!”
Mendengar ini, Ceng-jiu Tok-ong membatalkan niatnya dan memandang dengan muka merah. Lie Kian Tek lalu menghadapi Im Giok dan berkata,
“Kami menerima syaratmu. Mari kau ikut dengan kami. Aku berjanji bahwa kalian berdua akan diperiksa dengan adil.”
Sambil berkata demikian, Lie Kian Tek tersenyum ramah kepada Im Giok. Dia berusaha mengambil hati gadis ini dengan wajahnya yang tampan dan sikapnya yang manis. Akan tetapi Im Giok sama sekali tidak tertarik.
“Bebaskan Gan-twako terlebih dahulu!” katanya sambil menunjuk ke arah Tiauw Ki yang lemas terduduk di atas tanah. Pemuda ini sudah tertotok dan biar pun dapat bicara, akan tetapi tak mampu menggerakkan kaki tangannya!
“Locianpwe, harap bebaskan dia!” kata Lie Kian Tek kepada Ceng-jiu Tok-ong.
Kakek ini nampak ragu-ragu. Maka, Im Giok lalu melompat maju menghampiri Tiauw Ki dan sekali menepuk punggung pemuda itu, Tiauw Ki terbebas dari pengaruh totokan dan dengan bantuan Im Giok dapat berdiri lagi.
Wajah Tiauw Ki merah sekali karena diam-diam pemuda ini menyesal mengapa ia begitu lemah. Ia memandang kepada Im Giok dan meski pun mulutnya tidak berkata sesuatu, tapi sinar matanya menyatakan bahwa ia akan menyelamatkan mereka berdua apa bila mereka dihadapkan ke depan pengadilan. Im Giok maklum pula akan hal ini sebab ia pun tahu bahwa pemuda ini adalah kepercayaan Kaisar dan tentu saja mempunyai pengaruh terhadap para hakim.
Lie Kian Tek berkata kepada Sin-touw-ong dan beberapa orang perwira yang datang dari Tiang-hai untuk pulang saja dan memberi laporan kepada para pembesar di Tiang-hai bahwa dua orang pembunuh sudah menyerah.
“Aku hendak membawa mereka ke kota raja,” berkata Lie Kian Tek. “Urusan membunuh Suma-huciang adalah urusan besar dan karenanya mereka harus diadili di kota raja!”
Karena kalah pengaruh dan kalah kedudukan, Sin-touw-ong serta para perwira menurut saja. Mereka lalu kembali ke Tiang-hai seperti yang diperintahkan oleh Lie Kian Tek.
Lie Kian Tek bersama Ceng-jiu Tok-ong dan anak buahnya lalu membawa Im Giok dan Tiauw Ki melanjutkan perjalanan. Tiauw Ki beserta Im Giok menunggang kuda di tengah-tengah rombongan sehingga mereka seakan-akan dikurung terus.
Wajah Tiauw Ki nampak berseri dan beberapa kali ia memandang kepada Im Giok sambil tersenyum geli. Im Giok membalas senyumnya. Gadis ini juga merasa geli akan ketololan Lie Kian Tek. Tiauw Ki datang dari kota raja dan menjadi kepercayaan Kaisar. Sekarang pemuda ini ditangkap dan hendak dihadapkan di depan pengadilan di kota raja! Ini sama halnya dengan menangkap seekor ikan dari kolam untuk dilepaskan di sungai besar!
Oleh karena inilah maka Im Giok juga tidak peduli ketika dia dikurung rapat-rapat dan memang sukar kalau sekaligus para pengurung itu menyerangnya. Juga dia tidak peduli ketika kurang lebih lima li kemudian, di sebuah persimpangan jalan muncul serombongan pasukan terdiri darl lima puluh orang lebih yang temyata adalah anak buah dari Lie Kian Tek pula dan yang kini menggabungkan diri menjadi barisan besar.
Akan tetapi, ketika mereka tiba di persimpangan jalan lagi dan Lie Kian Tek memimpin pasukannya membelok ke kiri, Tiauw Ki berseru keras,
“Hee! Mengapa ke kiri? Jalan ke kota raja adalah terus ke utara!”
Tiba-tiba pasukan itu bergerak dan lebih dari lima puluh batang tombak panjang sudah ditodongkan ke arah Im Giok! Terdengar Lie Kian Tek tertawa bergelak.
“Gan Tiauw Ki, kalau kau ingin selamat, keluarkan surat dari Suma-huciang untuk Kaisar dan berikan kepadaku!” kata putera gubemur itu.
Im Giok terkejut. Ia kini dapat menduga semuanya. Tak salah lagi bahwa Suma-huciang tentu dibunuh oleh kaki tangan orang she Lie ini dan kini teringatlah dia akan tiga orang wanita yang sudah bertempur dengannya tadi. Besar sekali kemungkinannya bahwa tiga orang wanita itulah yang membunuh Suma-huciang dan mereka itu tentulah kaki tangan orang she Lie ini pula.
Kemudian Lie Kian Tek sengaja menuduh Gan Tiauw Ki dan dia sehingga para perwira di Tiang-hai dapat ditipunya dan diajaknya menangkap Tiauw Ki. Kemudian putera gubernur yang amat licin itu sengaja menyuruh Sin-touw-ong dan lain perwira dari Tiang-hai untuk kembali ke Tiang-hai dan memberi tahu bahwa dia hendak mengantar Tiauw Ki ke kota raja untuk diadili! Hemm, kalau dilihat begini, ternyata bukan Lie Kian Tek yang bodoh, melainkan Tiauw Ki dan dia yang mudah ditipu dan sebaliknya orang she Lie itu ternyata cerdik dan penuh siasat!
Im Giok mencabut pedangnya, akan tetapi segera belasan ujung tombak yang runcing telah menempel pada tubuhnya dari kanan kiri dan depan belakang, demikian pula tubuh Tiauw Ki telah ditodong oleh belasan mata tombak!
Kembali terdengar Lie Kian Tek tertawa terbahak-bahak.
“Ha-ha-ha, Nona manis! Sebelum kau bergerak, kau dan sahabatmu ini lebih dahulu akan menjadi mayat. Gan Tiauw Ki, lekaslah kau menjawab, pesanan apa yang kau dapat dari Suma-huciang untuk Kaisar?!”
Sudah gatal-gatal mulut Tiauw Ki untuk mengumpat cacian kepada putera gubernur itu. Ia tidak takut mati dalam menunaikan tugasnya. Akan tetapi pemuda ini menengok ke arah Im Giok dan gemetarlah seluruh tubuhnya.
“Lie Kian Tek, kau bebaskan dahulu Nona itu. Biarkan dia pergi dari sini. Dia tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan kita dan dia bersamaku hanya kebetulan saja. Bebaskan dia dan aku akan mengaku semuanya kepadamu.”
“Bebaskan dia? Ha-ha-ha, kau kira aku begitu bodoh? Jika dia dibebaskan tentu dia akan menimbulkan keributan lagi.”
“Tidak! Aku yang tanggung kalau dia tidak akan menimbulkan keributan,” kata Tiauw Ki cepat-cepat dan pemuda ini menoleh kepada Im Giok sambil berkata, “Giok-moi, kuminta dengan sangat agar kau jangan mencampuri urusanku dan lebih baik kau segera pulang ke tempatmu sendiri.”
Im Giok menjadi pucat mukanya. Ia merasa menyesal dan kecewa sekali melihat betapa pemuda pujaan hatinya kini tiba-tiba menjadi begitu lemah, mudah saja hendak mengaku seolah-olah sudah takut akan kematian. Pemuda macam ini tak patut menjadi kekasihnya dan dia merasa kecewa bukan main. Dua titik air mata membasahi matanya dan sudah akan menetes turun kalau saja dia tidak lekas-lekas mengerahkan tenaga batinnya untuk menekan perasaan.
“Jadi kau hendak mengaku semuanya? Hemm, baiklah, dan antara kita sudah tidak ada apa-apa lagi...,” katanya dengan suara sayu sambil memasukkan kembali pedangnya ke dalam sarung pedang.
Hatinya sakit sekali. Ia siap sedia mengorbankan nyawa untuk melindungi kekasihnya ini yang sedang menunaikan tugas penting dan mulia. Tidak tahunya sekarang kekasihnya menggigil menghadapi ancaman tombak!
“Lie Kian Tek, lekas kau bebaskan dia!” kata Tiauw Ki kepada putera gubemur itu tanpa mempedulikan sikap Im Giok.
Lie Kian Tek ragu-ragu. Ia tergila-gila kepada Im Giok dan mengaku di dalam hatinya bahwa ia jatuh cinta kepada gadis baju merah itu yang memiliki kecantikan begitu luar biasa sehingga baginya baru pertama kali ini selama hidupnya ia bertemu dengan gadis sejelita ini. Akan tetapi, dia pun perlu sekali memancing keterangan dari mulut Tiauw Ki tentang pesanan Suma-huciang.
“Lie Kian Tek, kalau kau tak mau membebaskannya, jangan harap kau dapat mendengar pengakuanku!” kata pula Gan Tiauw Ki kepada Lie Kian Tek.
Tiba-tiba Im Giok menjadi marah dan ia memandang kepada Tiauw Ki dengan mata yang berapi-api.
“Orang she Gan! Apakah kau kira aku takut mati? Tak perlu keselamatanku ditebus oleh pengakuanmu! Kalau aku mau pergi, siapa berani menghalangiku?”
Sambil berkata demikian, Im Giok menggerakkan kepala kudanya, lantas menerjang para pengepungnya sehingga para anggota pasukan itu cepat-cepat menyingkir.
Mereka semua merasa lega bahwa Lie Kian Tek tidak memberi aba-aba sesuatu, karena semua pengepung, kecuali Ceng-jiu Tok-ong, merasa kagum dan sayang sekali apa bila mereka harus turun tangan melukai gadis yang demikian cantik jelita. Ketika tadi mereka diharuskan menodongkan mata tombak kepada gadis itu, mereka merasa seolah-olah bersiap untuk disuruh merusak setangkai bunga yang amat cantik dan indah dipandang, bunga yang harum dan menimbulkan kasih sayang.
Sebaliknya, Im Giok merasa makin mendongkol karena Lie Kian Tek ternyata diam saja. Ia sengaja berlaku begini untuk memancing supaya Lie Kian Tek mengeluarkan aba-aba menangkapnya dan dia akan mengamuk mati-matian.
Memang Im Giok maklum bahwa seorang diri saja tidak mungkin ia dapat menang dalam menghadapi Ceng-jiu Tok-ong yang dibantu oleh lima puluh orang prajuritnya. Akan tetapi untuk melindungi dan membela Tiauw Ki, ia siap mengorbankan nyawanya.
Kedongkolannya terutama sekali dikarenakan sikap Tiauw Ki yang seakan-akan hendak menolongnya dengan jalan menjadi pengkhianat! Memang sikap ini dapat dilakukan oleh seorang pemuda yang amat mencintanya, tetapi oleh Im Giok dianggap bukan perbuatan seorang gagah.
Membela kekasih boleh saja dengan taruhan nyawa, akan tetapi sama sekali tidak boleh mempertaruhkan kesetian terhadap negara dan mempertaruhkan nama kehormatan! Bila Tiauw Ki hendak menolongnya dengan jalan berkhianat, baginya itu bukan pertolongan, akan tetapi penghinaan besar!
Sebagai seorang kepercayaan Kaisar, seorang pemuda yang berjiwa patriot, seharusnya Tiauw Ki mengerti baik akan hal ini. Maka dengan hati marah dan mendongkol Im Giok lalu membalapkan kuda meninggalkan tempat itu!
Untuk sejenak Tiauw Ki memandang ke arah bayangan merah di atas kuda itu dengan muka pucat dan wajah muram. Akan tetapi setelah bayangan Im Giok tidak kelihatan lagi, wajahnya menjadi tenang dan pemuda ini kelihatan lega dan puas. Tadinya dia memang merasa sakit hati sekali melihat betapa Im Giok marah kepadanya, akan tetapi sesudah gadis itu pergi, hatinya sedikit terhibur.
Biarlah, pikirnya, apa pun juga yang menimpaku, asal dia itu selamat. Ia lalu memandang kepada Lie Kian Tek dengan mata bersinar dan mulut tersenyum mengejek.
“Gan Tiauw Ki, dia sudah kami bebaskan. Hayo kau lekas membuat pengakuanmu!” kata putera gubemur itu. Ia ingin Tiauw Ki menjawab cepat-cepat karena masih ada harapan di dalam hatinya untuk nanti mengejar dan menawan bunga cantik itu!
Sebaliknya dari menjawab cepat-cepat, Tiauw Ki tertawa bergelak.
“Lie Kian Tek, kau telah menyuruh orang membunuh Suma-huciang, lalu kau menangkap aku dan hendak memaksa aku mengaku tentang pesan Suma-huciang. Perbuatanmu ini benar-benar sudah melewati batas. Tidak tahukah kau, apakah hukuman untuk seorang pemberontak?”
“Bangsat besar!” Lie Kian Tek memaki dan tangannya menampar hingga Tiauw Ki yang pipinya kena ditampar hampir saja jatuh terguling dari kudanya. “Jangan banyak cakap, kau ingin hidup atau mampus? Kalau ingin hidup, lekas kau mengaku!”
Kembali Tiauw Ki tertawa. Bekas tamparan yang membuat pipinya menjadi matang biru itu tak dirasakannya. ”Pemberontak she Lie, kau kira aku tidak mengetahui akal bulusmu? Biar pun aku mengaku, kau tetap akan membunuhku juga.”
“Jahanam, apakah benar-benar kau tidak mau mengaku? Tadi kau sudah berjanji hendak mengaku bila aku membebaskan perempuan itu. Aku sudah membebaskannya, dan kau tidak bisa melanggar janji.”
“Siapa yang melanggar janji? Lie-siauwjin (manusia rendah she Lie), aku seorang laki-laki sejati, tidak biasa melanggar janji. Dengarlah, Suma-huciang berpesan kepadaku supaya terhadap manusia macam engkau aku menutup mulut dan jangan mengatakan apa-apa. Nah, begitulah pesannya kepadaku!”
“Keparat, kau menipuku!”
“Kau berani bicara tentang menipu? Kiranya aku hanya mencontoh perbuatanmu, orang she Lie. Kau membunuh Suma-huciang kemudian menghasut para perwira Tiang-hai dan menuduhku, kemudian kau menyuruh mereka kembali ke Tiang-hai dan pura-pura akan membawaku ke kota raja, semua itu bukankah akal busuk dan tipuan jahat? Aku hanya minta kau membebaskan Kiang-siocia agar supaya ia selamat dari tanganmu yang kotor dan jahat! Sekarang kau mau apa? Mau membunuhku? Bunuhlah, memangnya aku takut mampus? Mau siksa? Hayo, kau boleh lakukan apa saja. Pendeknya yang nyata, Kiang-siocia selamat dan rahasia Suma-huciang dengan Kaisar juga selamat!”
Bukan main marahnya Lie Kian Tek. Tangannya yang memegang cambuk kuda diayun. Terdengar ledakan keras dan Tiauw Ki terguling dari kudanya. Ketika ia merayap bangun, jidat dan lehernya terdapat bekas cambukan, merah biru dan mengalirkan darah.
Akan tetapi bibir pemuda ini masih tetap tersenyum, matanya bersinar-sinar dan ia berdiri tegak menanti datangnya siksaan selanjutnya yang akan mengantar nyawanya ke tempat asal. Sedikit pun ia tidak mengeluh dan sedikit pun tidak takut.
“Jahanam she Gan, kau masih tidak mau mengaku!”
Lie Kian Tek melompat turun dari kuda, diikuti oleh para pembantunya. Kini pasukan itu mengundurkan kuda-kuda yang berada di situ dan duduk menonton mengelilingi Tiauw Ki merupakan lingkaran yang lebar.
Tiauw Ki hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. Lie Kian Tek menggulung lengan baju sebelah kanan dan menggenggam erat-erat gagang cambuknya.
“Kau mau mengaku atau tidak?” sekali lagi putera gubemur ini membentak.
Tiauw Ki yang berdiri di depannya hanya menggeleng kepala sambil tersenyum tabah. Lie Kian Tek mengangkat dan mengayun cambuknya.
“Tar! Tar! Tar!”
Tiga kali bertubi-tubi cambuk itu mengenai muka Tiauw Ki dan darah muncrat dari bibir serta hidung pemuda she Gan itu, namun dia masih berdiri tegak dan sedikit pun tidak mengeluh.
“Jahanam, kau masih keras kepala?” Sekali lagi Lie Kian Tek mengayun cambuknya, kini ke arah mata Tiauw Ki.
Tiauw Ki terhuyung. Sepasang matanya tak dapat dibuka lagi, pelupuk matanya menjadi bengkak! Lie Kian Tek terus memukul, bahkan kini tangan kirinya ikut pula meninju, maka robohlah Tiauw Ki.
Walau pun menggeliat-geliat saking sakitnya, tidak sedikit pun pemuda ini mengeluh dan masih mencoba untuk berdiri. Akan tetapi dia terjatuh lagi dan menunjang tubuh dengan kedua lengannya yang ditahan pada tanah.
Pukulan cambuk masih menghujani tubuhnya dan pakaiannya bagian atas sudah robek dan hancur. Nampak kulit punggung dan dadanya yang putih dan kini darah memenuhi kulit itu, membasahi pakaiannya yang compang-camping.
Akhirnya Lie Kian Tek menghentikan siksaannya. Diam-diam ia merasa ngeri juga melihat kekerasan hati Gan Tiauw Ki. Ia merasa lelah dan melempar cambuknya.
“Bedebah, benar-benar menggemaskan!” gerutunya. “Ceng-jiu Tok-ong Locianpwe, harap kau gantikan aku memaksa jahanam ini mengaku. Periksa dulu semua isi sakunya!”
Ceng-jiu Tok-ong melangkah maju dan cepat mengeluarkan semua isi saku baju Tiauw Ki. Akan tetapi dia tidak mendapatkan sesuatu yang penting. Isi saku pemuda ini hanya dua buah kitab sajak serta beberapa helai kertas dan alat tulis. Dan akhirnya dari saku baju bagian dalam dikeluarkannya sebuah tusuk konde perak.
“Kembalikan itu kepadaku!” Tiauw Ki berseru marah sambil mengulurkan tangan hendak merampas tusuk konde itu, benda keramat pemberian Im Giok.
Akan tetapi mana dapat dia merampas benda yang berada di tangan Ceng-jiu Tok-ong? Sekali saja kakek itu menggerakkan tangan, Tiauw Ki telah didorong roboh dan benda itu diberikan kepada Lie Kian Tek yang menerimanya sambil tersenyum mengejek,
“Hemm, agaknya kau punya kekasih, ya? Bagus, apakah kau tidak ingin hidup untuk bisa bertemu lagi dengan kekasihmu itu?” Sambil berkata demikian, Kian Tek menekuk-nekuk tusuk konde dan agaknya hendak ia patahkan.
Terdengar gerengan marah dan tahu-tahu Tiauw Ki telah menubruknya dan secara nekat merampas kembali tusuk konde itu! Saking nekatnya, dia menjadi lupa akan segala dan kekuatannya bertambah. Hal ini tidak disangka oleh Lie Klan Tek dan kawan-kawannya sehingga Tiauw Ki yang lemah itu berhasil merampas kembali tusuk konde pemberian Im Giok.
“Kau boleh saja merampas segala yang ada padaku, akan tetapi benda ini hanya akan berpisah denganku bersama nyawaku!” kata Tiauw Ki sambil memegang tusuk konde itu dengan kedua tangannya dan menekannya di dekat dada kiri. Melihat kelakukan pemuda ini, Lie Kian Tek tertawa terbahak-bahak.
“Locianpwe, kaulah yang memaksa dia bicara. Kau tentu ada akal yang baik!” katanya.
Ceng-jiu Tok-ong menyeringai sambil menghampiri Tiauw Ki. Kakek ini lalu mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya dan ternyata bahwa yang dikeluarkannya itu ialah seekor ular berwarna hitam! Ular itu menggeliat-geliat di antara jari-jari tangannya dan lidah berwarna kemerahan terjulur keluar masuk.
“Orang she Gan, sekali aku melepas ular ini dan menggigitmu, kau akan mengalami rasa nyeri yang tak pernah dialami orang lain. Tubuhmu akan sakit-sakit semua selama sehari penuh dan kau akan menderita sepenuhnya karena kau tidak akan pingsan atau pun mati sebelum sehari penuh. Maka lebih baik kau mengaku, rahasia apakah yang harus kau sampaikan kepada Kaisar. Kau hanya mengaku saja, tak seorang pun akan melihat atau mendengar pengakuanmu ini. Apa sih sukarnya?”
“Siluman tua, aku tidak takut mati! Sejak semula aku tidak takut akan ancaman kalian dan tadi aku bersikap lemah hanya untuk memberi kesempatan kepada Giok-moi menjauhkan diri. Setelah dia selamat, keberanianku lebih besar lagi. Kau mau siksa, mau bunuh, mau apa pun, sesukamulah, aku tetap pada pendirianku. Aku seorang laki-laki dan kematian hanya berarti kebebasan dari pada berdekatan dengan siluman-siluman semacam kalian ini!”
Wajah Ceng-jiu Tok-ong menjadi merah dan ia marah sekali.
“Kau memang tidak boleh dikasihani. Rasakanlah hukumanku!”
Akan tetapi, pada saat itu pula terdengar beberapa orang menjerit dan dua orang prajurit roboh ketika ada bayangan merah berkelebat menerjang lingkaran itu. Bayangan merah ini dengan gerakan luar biasa cepatnya sudah tiba di dalam lingkaran dan sinar pedang yang berkilauan menyerang Ceng-jiu Tok-ong. Kakek ini terkejut dan dalam gugupnya ia menangkis dengan ular hitam tadi.
“Crakk!” Tubuh ular itu terbabat putus dan Ceng-jiu Tok-ong berseru marah.
“Ang I Niocu, kau berani datang lagi?”
Memang, yang datang itu adalah Im Giok. Dengan cepat gadis ini lalu melompat ke dekat Tiauw Ki dan berlutut. Air matanya mengucur deras ketika ia melihat keadaan pemuda itu yang memandangnya dengan bibir tersenyum.
“Koko...,” katanya perlahan.
“Giok-moi, mengapa kau kembali...?”
“Koko, aku akan mencarikan kebebasan untuk kita berdua, kalau tidak... kita akan mati bersama.”
Im Giok cepat merangkul leher pemuda yang sudah berlepotan darah itu dan Tiauw Ki mengeluarkan suara sedu sedan yang tadi ditahan-tahannya. Ia terharu bukan main dan berbisik,
“Terima kasih, Moi-moi, hati-hatilah…”
Im Giok melepaskan pelukannya, lalu mendukung tubuh kekasihnya yang sudah lemas itu, disandarkannya di batang pohon yang tumbuh di situ. Semua orang melihat gerakan gadis ini dengan senjata siap-siap di tangan. Ada pula yang terharu menyaksikan adegan ini.
Kemudian Im Giok berdiri, pedang melintang di dada, mata berapi-api dan ia berkata,
“Sudah kulihat dan kudengar semua semenjak tadi. Lie Kian Tek, kau ternyata seorang pengkhianat dan pemberontak yang berhati buas laksana srigala. Lekas kau bebaskan Gan-twako, atau aku akan membuka jalan darah! Andai kata usahaku gagal, maka aku dan Gan-twako akan mati bersama di tempat ini, tetapi kiraku tidak sedikit orang-orangmu yang akan menghadap Giam-kun (Malaikat Maut) terlebih dulu sebelum aku roboh!”
Memang, tadi setelah dengan hati gemas dan mendongkol Im Giok meninggalkan Tiauw Ki bersama pasukan Lie Kian Tek, di tengah jalan Im Giok merasa tidak enak hati dan menyesal. Dia sudah menyerahkan hatinya kepada Tiauw Ki dan dia sudah percaya betul akan sifat jantan dalam diri kekasihnya itu. Mengapa tiba-tiba Kiauw Ti berubah menjadi seorang pengecut? Mengapa Tiauw Ki tidak percaya kepadanya dan apakah artinya mati kalau tidak mati berdua? Mengapa Tiauw Ki menyuruhnya dan membiarkannya pergi dan mengalah hendak membuka rahasia, hendak menjadi seorang pengkhianat?
“Tidak mungkin! Tidak mungkin dia mau berbuat itu,” pikir Im Giok dan ia menghentikan larinya kuda.
Setelah berpikir sejenak ia lalu melompat turun dari kudanya, menambatkan kendali kuda itu pada sebatang pohon dan berlarilah Im Giok ke tempat tadi. Ia mempergunakan ilmu lari cepat, dengan kepandaiannya yang luar biasa ia dapat mendekati pasukan itu sambil bersembunyi dan menyelinap di antara pohon-pohon yang tumbuh di sekitar tempat itu.
Ia sempat menyaksikan Tiauw Ki disiksa dan sempat mendengarkan kata-kata Tiauw Ki, melihat pula betapa kekasihnya secara nekat merampas kembali tusuk konde pemberian darinya. Melihat semua ini, Im Giok tak dapat menahan mengalirnya air matanya.
Tepat seperti yang diduganya semula, Tiauw Ki tadi hanya menipu Lie Kian Tek untuk memberikan kesempatan kepadanya menyelamatkan diri. Pemuda itu sama sekali bukan seorang pengecut dan sama sekali bukan pengkhianat pula, bahkan telah membuktikan bahwa dia seorang yang berani mati, seorang gagah dan yang mencintanya sampai di saat terakhir!
Demikianlah, Im Giok lalu menghunus pedang dan menerjang masuk, dan kini dia sudah menghadapi Lie Kian Tek dan pasukannya dengan sikap tenang dan gagah. Ia tidak takut apa-apa karena maklum bahwa andai kata ia gagal, ia akan mati bersama kekasihnya!
“Kepung dan tangkap dia! Boleh lukai jangan bunuh!” Lie Kian Tek berseru.
Serentak Im Giok dikepung, didahului oleh Ceng-jiu Tok-ong yang menyerang dengan golok hijaunya.....
Sekali lagi Im Giok mengamuk. Tubuhnya berkelebat merupakan sosok bayangan merah, pedangnya menyambar-nyambar lebih dahsyat dari pada amukannya yang sudah-sudah karena sekarang di samping hati gadis ini amat sakit melihat kekasihnya tersiksa, juga ia nekad untuk mati bersama kekasihnya.
Para pengeroyoknya menjadi kewalahan. Terlena sedikit saja atau terlalu dekat sedikit saja, pasti pedang di tangan Im Giok mendapatkan mangsa dan seorang pengeroyok langsung roboh. Mereka mengepung dari jauh dan Lie Kian Tek memberi aba-aba.
Maka tombak-tombak panjang dan jaring lebar segera dikeluarkan. Dengan dua macam senjata yang biasanya dipergunakan untuk menangkap harimau atau lain binatang buas ini, Im Giok kini dikepung! Timbul kegembiraan para prajurit itu dan seperti kalau mereka menangkap harimau, kini mereka bersorak-sorak dan mendesak Im Giok dengan tombak-tombak panjang dan jaring yang amat kuat itu.
Lie Kian Tek memang suka sekali memburu binatang, bukan untuk dibunuh akan tetapi ditangkap hidup-hidup. Maka setiap kali pergi dengan pasukannya, selalu anak buahnya tidak lupa membawa alat-alat menangkap binatang buas ini, yakni jaring serta tombak-tombak panjang.
Menghadapi serangan istimewa ini, Im Giok menjadi marah sekali, juga amat bingung. Ia mengamuk bagaikan singa betina, pedangnya menyambar-nyambar dan banyak tombak telah dapat ia patahkan dengan pedangnya. Akan tetapi pihak pengeroyok terlalu banyak.
Im Giok merasa gugup juga menghadapi pengeroyok yang bersorak-sorak itu. Karena itu, setelah melawan mati-matian, akhirnya ia tidak dapat mengelak lagi ketika jaring yang lebar dan kuat dilempar dan menimpanya dari atas. Bagaimana ia dapat mengelak kalau di depan belakang dan kanan kirl belasan tombak menghadangnya?
Ia membabat dengan pedangnya, akan tetapi jala atau jaring kedua kembali menimpa sehingga gadis itu kini benar-benar seperti seekor singa betina tertangkap! Saat Im Giok meronta terdengar suara kain robek dan terkejutlah gadis ini ketika mendapat kenyataan bahwa di sebelah dalam jaring ini dipasangi kaitan-kaitan kecil dari baja sehingga kalau ia berani meronta, tentu pakaiannya akan robek semua dan juga kulitnya akan terkait dan luka-luka. Oleh karena itu, terpaksa dia tidak berani bergerak dan memasang kuda-kuda setengah duduk, di atas tanah, di dalam jaring-jaring itu.
Para prajurit bersorak-sorak gembira sekali. Terdengar pula suara Lie Kian Tek tertawa terbahak-bahak.
“Keluarkan dia dan ikat kaki tangannya!” perintahnya dan suaranya terdengar gembira sekali.
Akan tetapi perintah ini hanya mudah diucapkan, sebaliknya sangat sukar dilaksanakan. Para prajurit yang ingin sekali memegang dan membelenggu gadis jelita itu tadinya pada berebut maju. Celaka bagi mereka, lima orang menjerit roboh dan tak dapat bangun lagi. Seorang roboh ditendang, seorang terpukul oleh tangan kiri dan tiga orang lagi tertusuk pedang! Biar pun berada di dalam jaring, namun Im Giok masih tetap lihai dan sangat sukar didekati.
Melihat ini, Ceng-jiu Tok-ong menjadi marah sekali. Dia melompat maju dan secepat kilat tangannya bergerak mengirim totokan ke arah jalan darah di punggung Ang I Niocu Kiang Im Giok. Dia mengira bahwa kalau diserang dari belakang, gadis yang berada di dalam jaring itu tentulah sukar mengelak lagi. Akan tetapi, akibatnya dia sendiri yang memekik kesakitan dan telapak tangannya terluka mengeluarkan darah.
Dalam keadaan terjepit seperti itu, hanya dengan mendengarkan suara angin pukulan, Ang I Niocu dapat menyusupkan pedangnya melalui bawah lengan kiri dan menyambut totokan lawan itu dengan ujung pedang!
Karuan saja telapak tangan Ceng-jiu Tok-ong menjadi terluka dan kakek ini berjingkrak-jingkrak saking marahnya. Ia lupa akan pesan Lie Kian Tek agar supaya gadis itu jangan dibunuh. Dalam kemarahannya, Ceng-jiu Tok-ong mencabut golok hijaunya yang beracun dan mengayun golok itu ke arah tubuh Ang I Niocu!
“Traaang...!”
Golok di tangan Ceng-jiu Tok-ong terpental membalik, bahkan hampir saja terlepas dari tangannya, membuat kakek ini melompat mundur dengan terkejut sekali. Pada saat itu, seorang nenek tua yang entah dari mana datangnya dan yang tadi telah menangkis golok Ceng-jiu Tok-ong dengan sepasang pedang yang berkilauan tajamnya, kini membabat jaring yang menutupi tubuh Im Giok.
Gadis ini sendiri pun dengan bersemangat lalu mengerjakan pedangnya, membabat dari dalam sehingga sebentar saja jaring itu rusak dan ia dapat melompat keluar. Di beberapa bagian tubuhnya terluka oleh kaitan, akan tetapi Im Giok tidak mempedulikannya.
Baik Im Giok mau pun Ceng-jiu Tok-ong dan semua orang yang berada di situ tak ada yang mengenal siapa gerangan nenek yang memegang sepasang pedang ini. Wajahnya keriputan, rambutnya sudah putih semua, namun gerakan-gerakannya masih sangat gesit dan lincah.
“Serbu...! Bunuh siluman ini!” Lie Kian Tek berseru keras.
Akan tetapi dia cepat mengangkat pedangnya ketika tiba-tiba nenek itu menyambar dan menyerangnya dengan pedang kiri, sedangkan pedang kanannya merobohkan dua orang prajurit yang menghalang di jalan! Lie Kian Tek cepat menangkis, tapi tangannya tergetar dan pedangnya terlempar! Sinar putih meluncur ke arah lehernya dan putera gubernur ini sudah meramkan mata.
Baiknya Ceng-jiu Tok-ong cepat datang menolong. Ditusuknya lambung nenek itu dengan golok hijaunya sehingga nenek itu terpaksa menarik kembali serangannya pada Lie Kian Tek, kemudian menghadapi Ceng-jiu Tok-ong. Mereka segera bertempur dengan hebat.
Ada pun Im Giok kini sudah dikepung lagi. Para prajurit sekarang maklum bahwa kalau tidak dibunuh, nona baju merah yang cantik jelita ini amat berbahaya, apa lagi sekarang tiba bantuan seorang nenek yang seperti setan. Mereka lalu beramai mengeroyok, yang pandai maju di depan, yang kurang pandai hanya membantu di belakang dengan tombak atau toya panjang.
Im Giok memutar pedangnya, kini dia menyerang dengan ganas dan sebentar saja lima orang pengeroyok roboh bergelimpangan. Oleh karena Ceng-jiu Tok-ong tidak dapat ikut mengeroyok, tentu saja bagi Im Giok para pengeroyok itu merupakan makanan lunak! Apa lagi gadis ini merasa sakit hati dan marah sekali telah menerima hinaan, sekarang pembalasan yang ia lakukan benar-benar hebat sehingga membuat para pengeroyoknya kalang kabut.
Pertempuran antara nenek itu melawan Ceng-jiu Tok-ong yang dibantu oleh enam orang perwira juga dahsyat sekali. Kepandaian nenek itu tinggi bukan main, kedua pedangnya menyambar-nyambar amat ganasnya. Telah banyak orang yang roboh olehnya dan para perwira yang membantu Ceng-jiu Tok-ong sudah beberapa kali berganti orang.
Diam-diam Ceng-jiu Tok-ong amat kaget ketika memperhatikan permainan pedang nenek ini. Ia mengenal gerakan-gerakan ilmu pedang itu, akan tetapi jika ia melihat wajah yang keriputan ini, ia menjadi ragu-ragu.
“Tahan! Toanio, siapakah kau dan mengapa engkau memusuhi kami?” Ceng-jiu Tok-ong berseru.
Terdengar nenek itu tertawa dan semua orang menjadi terheran-heran mendengar suara ketawanya, begitu merdu seperti suara ketawa seorang gadis belasan tahun!
“Ceng-jiu Tok-ong, kini kau sudah menjadi kaki tangan pemberontak dan berani sekali menghina muridku. Benar-benar keterlaluan!” Seperti juga suara tawanya, kata-katanya ini diucapkan dengan suara yang merdu sekali!
Mendengar suara ini, Ceng-jiu Tok-ong dan Ang I Niocu hampir berbareng berseru,
“Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat...”
Nenek yang berambut putih dan berwajah keriputan itu sekali lagi tertawa merdu, namun nadanya mengejek.
“Pek Hoa... mengapa kau menyerangku? Dia itu muridmu, akan tetapi mengapa berani sekali melawanku? Biar pun demikian, kalau kau menghendaki, aku bisa mengampunkan dia. Mari kita bicara baik-baik, Pek Hoa...”
Akan tetapi Pek Hoa Pouwsat atau nenek buruk itu hanya tertawa terkekeh-kekeh dan tiba-tiba saja sepasang pedangnya bergerak secara aneh sekali! Gerakan ini disusul oleh seruan kaget dari para pengeroyoknya dan dalam beberapa gebrakan saja empat orang pengeroyoknya telah roboh dan tewas!
Ceng-jiu Tok-ong kaget setengah mati, apa lagi ketika ia menyaksikan sepasang pedang dari bekas muridnya ini yang benar-benar luar biasa sekali, gerakannya demikian indah dan halus, dan nenek yang tubuhnya masih nampak langsing itu bergerak-gerak seperti orang menari secara amat menggairahkan!
Meski hal ini nampak lucu karena nenek itu tua, namun tetap saja masih mendatangkan pengaruh yang luar biasa terhadap para pengeroyoknya. Inilah ilmu pedang ciptaan Pek Hoa Pouwsat yang dinamakan ilmu pedang Bi-jin Khai-i, ilmu pedang yang mengandung kekuatan sihir dan bahkan sudah berhasil merobohkan pendekar sakti seperti Han Le!
Juga Im Giok terheran-heran. Tidak salah lagi pendengarannyag suara itu adalah suara bekas gurunya, Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat. Akan tetapi dahulu Pek Hoa Pouwsat adalah seorang wanita yang amat cantik jelita bagai bidadari, kenapa sekarang menjadi seorang nenek-nenek tua sekali yang buruk?
Betapa pun juga, melihat kelihaiannya, kedatangan nenek yang membantunya ini sudah membuat hati Im Giok menjadi besar dan pedangnya menjadi cahaya bergulung-gulung bagai naga mengamuk. Untuk mengimbangi keindahan permainan sepasang pedang Pek Hoa Pouwsat, Ang I Niocu lalu mainkan limu pedangnya yang seperti tarian indah, akan tetapi kehebatannya luar biasa sekali sehingga tiap kali berkelebat tentu ada lawan yang roboh!
Betapa pun juga sepak terjang Im Giok masih belum ada artinya apa bila dibandingkan dengan Pek Hoa Pouwsat. Nenek ini benar-benar mengerikan sekali sepak terjangnya. Tiap kali pedang kanan atau kiri di tangannya berkelebat, bukan satu orang yang roboh, sedikitnya ada tiga orang yang roboh tak bernyawa lagi. Sebentar saja tempat itu berubah menjadi tempat yang mengerikan, di mana nampak mayat bertumpuk-tumpuk dan darah membanjir.
Ceng-jiu Tok-ong semakin terdesak hebat oleh sepasang pedang bekas muridnya sendiri itu. Ngeri dia memikirkan betapa dia terancam bahaya maut di tangan bekas muridnya sendiri. Terbayanglah semua peristiwa yang terjadi dahulu pada waktu Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat masih menjadi muridnya.
Pek Hoa adalah seorang anak perempuan yatim-piatu, oleh karena ayah bundanya yang menjadi kepala penyamun sudah tewas di dalam tangan Ceng-jiu Tok-ong. Melihat bocah perempuan yang berkulit halus putih dan berbibir merah itu, Ceng-jiu Tok-ong tertarik lalu membawanya pulang dan bocah berusia tujuh tahun ini diambil menjadi muridnya.
Pek Hoa lalu menjadi dewasa dalam asuhan orang yang berwatak bejat, bahkan Ceng-jiu Tok-ong tidak malu untuk mempermainkan muridnya sendiri sehingga semenjak kecil Pek Hoa telah diajarkan segala macam perbuatan buruk dan tak tahu malu. Akhirnya Pek Hoa pergi meninggalkannya dan kemudian ia mendengar bahwa bekas murid, dan juga bekas kekasihnya itu sudah menjadi murid Thian-te Sam-kauwcu dan memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya.
Sekarang teringat akan ini semua, Ceng-jiu Tok-ong lantas mengeluarkan keringat dingin. Sangat boleh jadi bahwa Pek Hoa yang kini sudah kenyang dengan pengalaman di dunia kang-ouw, dapat menduga bahwa dialah yang dulu telah membunuh ayah bunda dari Pek Hoa. Boleh jadi sekali bekas muridnya ini sekarang datang untuk membalas dendam!
Teringat akan semua ini, Ceng-jiu Tok-ong lalu berlaku nekad dan secara diam-diam dia mengeluarkan jarum-jarumnya yang beracun, juga mengeluarkan Cheng-tok-see (Pasir Hijau Beracun). Ia maklum bahwa ia tidak akan mendapat ampun dan pula tidak mungkin baginya untuk melepaskan diri lagi.
Maka, ketika Pek Hoa Pouwsat kembali merobohkan empat orang kawannya sehingga yang lain-lain menjadi gentar dan menjauhkan diri, Ceng-jiu Tok-ong cepat menggunakan kesempatan selagi Pek Hoa mencabut pedangnya dari tubuh lawan yang dirobohkan, segera menyerang bertubi-tubi. Jarum dan pasir beracun disambitkannya dan semua ini dibarengi dengar serangan golok Cheng-tok-to secara nekad dan mati-matian.
Pek Hoa Pouwsat terkejut juga menghadapi serangan ini. Dia berhasil menangkis golok dan mengelak ke kiri, terus menusukkan pedangnya yang tepat mengenai ulu hati bekas gurunya. Akan tetapi tiga batang jarum juga tepat mengenai leher, pundak, dan dadanya!
Tiga batang jarum ini adalah Cheng-tok-ciam dan Pek Hoa tahu bahwa nyawanya takkan tertolong lagi. Ia membiarkan jarum-jarum ini menelusup memasuki dagingnya dan sambil tertawa terkekeh-kekeh melihat gurunya berkelojotan lalu tewas, ia mengamuk terus!
Di lain pihak, dalam amukannya Im Giok melihat Lie Kian Tek berlari mendekati Tiauw Ki dengan pedang terangkat tinggi. Gadis ini maklum akan maksud putera gubemur ini, pasti hendak membunuh kekasihnya yang masih duduk tak berdaya karena luka-lukanya.
Cepat ia melompat laksana terbang dan tepat sekali datangnya ini. Terlambat sedikit saja tentu kekasihnya tidak dapat ditolong pula. Dengan perasaan gemas ia menangkis sambil mengerahkan tenaga.
Terdengar suara keras dan pedang di tangan Lie Kian Tek terbabat putus. Pada lain saat tubuh putera gubernur itu terlempar jauh terkena tendangan kaki Im Giok! Im Giok masih marah dan hendak mengejar tubuh Lie Kian Tek yang sudah pingsan itu supaya dapat dibunuhnya, akan tetapi ia dihadang oleh belasan orang perwira sehingga ia mengamuk lagi.
Para prajurit dan perwira-perwiranya melihat betapa Lie Kian Tek telah terluka hebat dan Ceng-jiu Tok-ong sudah tewas, menjadi lenyap semangat mereka. Apa lagi sudah terlalu banyak teman mereka yang tewas. Karena itu, sambil membawa tubuh Lie Kian Tek yang pingsan, mereka segera melarikan diri ke atas kuda dan membalapkan kuda tunggangan mereka!
Im Giok sudah merasa terlalu lelah untuk mengejar mereka. Sebaliknya, dia melihat Pek Hoa Pouwsat mengeluh, melepaskan sepasang pedangnya dan terhuyung-huyung mau roboh. Cepat Im Giok melompat dan memeluk wanita itu.
Melihat betapa Pek Hoa kini telah menjadi seorang wanita yang mukanya tua dan buruk seperti iblis, dan melihat pula betapa bekas gurunya ini sekarang menderita luka berat dalam usahanya menolong nyawanya, hati Im Giok menjadi terharu sekali. Kini semua kebencian yang timbul di hatinya terhadap bekas guru ini lenyap, berganti dengan kasih sayang yang hangat seperti yang dulu terkandung di hatinya terhadap bekas guru ini.
“Enci Pek Hoa...” bisiknya sambil memondong tubuh bekas gurunya itu, dibawa ke tempat yang bersih dari tumpukan mayat. Tiauw Ki menguatkan tubuh dan setengah merangkak ia pun menghampiri tempat itu.
Pek Hoa Pouwsat membuka matanya. Terlihatlah oleh Im Giok bahwa nenek ini memang benar-benar Pek Hoa Pouwsat gurunya. Sepasang mata yang bersinar-sinar dan bening bagus itu memang mata Pek Hoa. Tidak ada wanita kedua yang memiliki mata sebagus mata Pek Hoa, demikian pikir Im Giok. Ketika pandang matanya melihat luka pada leher, pundak, dan dada yang mengeluarkan darah hijau, Im Giok menahan isak.
“Enci Pek Hoa...!” bisiknya lagi.
Pek Hoa tersenyum dan terbukalah mulutnya yang ompong. Im Giok bergidik. Dahulu gigi Pek Hoa bukan main indahnya, berderet rapi dan putih bersih laksana mutiara.
“Im Giok, anak baik, kau makin cantik saja...”
Kemudian ia muntahkan darah yang wamanya hijau pula.
“Im Giok..., aku... aku takkan lama lagi dapat bertahan... kau cantik, sayang sekali kalau lenyap kecantikanmu... kau pergilah ke Pek-tiauw-san (Gunung Rajawali Putih), carilah telur Pek-tiauw... campur dengan obat ini... kau minum setengah tahun sekali... selama hidup kau akan tinggal muda dan cantik...”
Pek Hoa menghentikan kata-katanya dan tangannya mengeluarkan sebuah bungkusan, kemudian ia tertawa ha-ha-hi-hi, tampaknya geli dan seperti ada sesuatu yang amat lucu, tertawa terus akan tetapi suara ketawanya makin lama makin lemah sehingga akhirnya terhenti sama sekali!
“Enci Pek Hoa, kau mati karena aku... terima kasih...” bisik Im Giok di dekat telinga bekas gurunya dan tak tertahan pula dua titik air mata menetes di kedua pipinya.
Sayang sekali Im Giok tidak sempat mendengar tentang pengalaman Pek Hoa, tidak tahu mengenai riwayatnya sehingga dia menyimpan obat pemberian bekas gurunya itu tanpa ragu-ragu lagi. Kalau saja ia tahu... kiranya ia akan membuang obat itu jauh-jauh dengan ngeri hati.
Sebagaimana sudah dituturkan di bagian depan, setelah dikalahkan oleh Bu Pun Su dan terusir dari Pulau Pek-le-to, Pek Hoa Pouwsat pergi dengan hati perih sekali. Dia tidak berdaya menghadapi Bu Pun Su kakek sakti itu dan betapa pun sakit hatinya, ia tak dapat berbuat apa apa.
Yang lebih menyakitkan hatinya adalah karena ia sudah mengandung. Ia mendekati dan menggoda Han Le bukan sekali-kali karena ia mencinta pada pengemis sakti itu. Tadinya ia bermaksud menundukkan Han Le agar cita-citanya membalas dendam tercapai, agar ia mendapat pembantu yang lihai.
Memang ia berhasil, karena bukankah ia sudah berhasil menewaskan Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang dua orang tokoh Siauw-lim-pai, dan juga menewaskan Cin Giok Sianjin tokoh Kun-lun-pai atas bantuan Han Le! Sayang sekali bahwa biar pun mendapat bantuan dari Han Le, tetap saja ia tidak mampu mengalahkan Bu Pun Su yang amat lihai itu. Dan semua itu dibelinya dengan penghinaan hebat.
Tadinya ia hendak mengganggu Han Le, tidak tahunya ada juga rasa kasih sayang di dalam lubuk hatinya terhadap Han Le, apa lagi ia telah mengandung! Dan kini ia terusir dari pulau itu, terpisah dari Han Le dan sama sekali tidak dapat membalas dendamnya.
Bukan main marah dan kecewanya hati Pek Hoa. Ia bersembunyi di dalam hutan lebat, menanti saat kelahiran anak yang dikandungnya. Wanita ini memang berhati keras dan merupakan seorang yang luar biasa sekali. Tanpa bantuan siapa-siapa, dan hanya berkat lweekang-nya yang tinggi serta kepandaiannya yang sudah sampai di tingkat puncak, dia dapat melahirkan anak yang dikandungnya dengan selamat.
Akan tetapi apa yang terjadi? Setelah anaknya terlahir, terjadilah perubahan hebat pada dirinya! Kulitnya mengeriput, rambutnya yang hitam panjang berubah menjadi putih, dan sebaliknya kulitnya yang putih menjadi hitam dan tubuhnya menjadi kurus kering!
Sejak kecil Pek Hoa Pouwsat mengutamakan kecantikan. Untuk menjaga kecantikannya dia bahkan setengah tahun sekali makan telur Pek-tiauw yang dicarinya dengan susah payah. Dengan obat ini dia memang tidak pemah menjadi tua dan selalu tetap cantik dan muda.
Sekarang dia berubah menjadi sedemikian tua dan buruk, tentu saja hal ini merupakan pukulan yang hebat sekali baginya. Dia tidak mengira sama sekali bahwa khasiat obat itu akan musnah, bahkan sebaliknya merusak semua kecantikannya apa bila dia mempunyai anak!
Kini baru dia tahu dan saking marah dan sedihnya, Pek Hoa Pouwsat seperti orang gila lalu membanting mati anaknya sendiri! Kemudian ia lalu berlari-larian seperti orang gila, merantau ke sana ke mari sampai akhimya ia bertemu dengan Im Giok yang dikeroyok oleh Ceng-jiu Tok-ong dan orang-orangnya.
Melihat Ceng-jiu Tok-ong, timbullah kenang-kenangan lama yang membuat hatinya sakit, maka ia mengambil keputusan untuk membunuh bekas gurunya ini. Juga melihat Im Giok yang cantik jelita, Pek Hoa tersenyum seorang diri dan berkata,
“Dia harus menggantikan aku..., ha-ha, anak Kiang Liat harus merasai seperti aku pula...”
Demikianlah, Pek Hoa Pouwsat lalu menyerbu dan berhasil membunuh Ceng-jiu Tok-ong juga berhasil memberikan obatnya kepada Im Giok, sungguh pun untuk tercapainya dua maksud ini dia harus mengorbankan nyawanya.
Setelah Pek Hoa Pouwsat meninggal, Im Giok lalu menghampiri kekasihnya. Keduanya berpelukan dan keduanya mengeluarkan air mata.
“Aduh, Giok-moi, sama sekali aku tak mengira bahwa kita dapat bertemu dalam keadaan hidup,” kata Tiauw Ki.
Im Giok meraba muka Tiauw Ki yang penuh dengan luka-luka kecil akibat cambukan Lie Kian Tek, menjamah luka-luka itu dengan jari-jarinya yang halus, penuh kasih sayang.
“Kasihan sekali kau, Koko... kau maafkan aku yang telah meninggalkanmu seorang diri...”
“Tidak ada yang harus dimaafkan, adikku sayang. Aku memang sengaja membikin kau marah dan pergi, agar kau selamat...”
“Aku tahu, Koko, aku mengerti... alangkah besarnya kasih sayangmu kepadaku.”
“Aku mencintamu lebih dari mencinta jiwaku sendiri, Giok-moi...“
Sesudah keharuan mereka mereda, Tiauw Ki bertanya, “Nenek yang menolong kita itu, siapakah dia?”
“Dahulu, di waktu kecil, dia pemah menjadi guruku. Tadinya dia yang berjalan sesat, akan tetapi selalu aku tahu bahwa di dalam hatinya, ia sangat sayang kepadaku. Dan ternyata benar...” Suara Im Giok menjadi lambat penuh keharuan. “Dia mengorbankan nyawanya untukku... Aku harus merawat jenazahnya baik-baik, Twako. Ia harus dikubur baik-baik...”
Tiauw Ki menyetujui dan sibuklah mereka menggali lubang untuk mengubur mayat Pek Hoa Pouwsat.
“Bagaimana dengan mereka itu? Sudah sepatutnya mereka itu dikubur pula, bukankah mereka juga manusia?” Tiauw Ki menuding ke arah tumpukan mayat yang berserakan di sana-sini dan suaranya gemetar. Ngeri dia melihat mayat manusia yang jumlahnya dua puluh orang lebih itu. Benar-benar hebat amukan Ang I Niocu dan Pek Hoa Pouwsat.
Im Giok memandang dan menarik napas panjang. “Tak mungkin, Koko. Bagaimana kita berdua sanggup mengubur mayat sebanyak itu? Apa lagi tanpa ada alat untuk menggali lubang.”
“Akan tetapi hatiku tidak menginginkan kalau mereka itu ditinggalkan begitu saja menjadi makanan binatang buas...,” Tiauw Ki membantah.
“Jangan khawatir, Koko. Penduduk di sekitar tempat ini tentu akan mengurusnya. Pula, mereka itu adalah anggota pasukan dari Lie Kian Tek, tentu kawan-kawan mereka akan datang kembali untuk mengurus mayat mereka. Terlebih lagi, kita harus cepat-cepat pergi meninggalkan tempat ini. Apa bila mereka datang lagi membawa bala bantuan, celakalah kita. Aku sudah kehabisan tenaga dan tak mungkin dapat melawan lagi...”
Kebetulan sekali mereka masih dapat menemukan dua ekor kuda yang tadinya telah lari kacau-balau. Maka, cepat mereka menunggang kuda ini dan melarikan kuda menuju ke utara, ke kota raja.
Di tengah perjalanan, Tiauw Ki berkata,
“Giok-moi, aku ingin sekali lekas-lekas menyelesaikan tugasku dan bersamamu pergi ke Sian-koan menemui ayahmu. Kalau... kau sudah menjadi isteriku, kau harus membuang jauh-jauh pedangmu dan selanjutnya kita hidup dalam damai dan tenteram. Aku tak bisa membiarkan isteriku merenggut nyawa manusia sedemikian banyaknya...!”
Im Giok tersenyum. Hatinya membantah, sebab dalam hal pertempuran, membunuh atau terbunuh adalah hal biasa. Akan tetapi ia tidak mau membantah dengan mulut karena maklum bahwa kekasihnya yang lemah itu baru saja terlepas dari bahaya maut dan baru mengalami sesuatu yang betul-betul menakutkan.
Perjalanan kemudian dilakukan secara cepat. Pada saat mereka lewat di sebuah kota, Im Giok membeli obat di toko obat untuk mengobati luka-luka kecil pada tubuh Tiauw Ki…..
********************
Kiang Liat yang melakukan perjalanan ke Go-bi-san untuk menyampaikan surat dari Bu Pun Su kepada Ketua Go-bi-pai tidak mengalami rintangan dan sampai di puncak gunung itu dengan selamat. Ia menghadap ciangbunjin dari Go-bi-pai, yakni Twi Mo Siansu, yaitu seorang kakek berusia tujuh puluh tahun lebih dan sikapnya halus, tubuhnya tinggi kurus dan alisnya putih semua. Setelah membaca surat dari Bu Pun Su, kakek ini mengangguk dan tersenyum.
“Bu Pun Su benar-benar mengagumkan sekali. Sudah tua masih berhati muda, bergelora dan bersemangat. Jatuh-bangunnya sebuah kerajaan berada di tangan Thian Yang Maha Kuasa, orang-orang seperti kita ini mau bisa apakah?”
Mendengar kata-kata ini, di dalam hatinya Kiang Liat tidak setuju sama sekali. Alangkah lemah dan pikunnya ketua Go-bi-pai ini, pikirnya. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani bilang apa-apa, hanya terus mendengarkan lebih lanjut. Juga para murid Go-bi-pai yang berada di situ, yang jumlahnya belasan orang, tidak ada yang mengeluarkan suara.
Tiba-tiba terdengar suara yang nyaring dan mengandung tenaga.
“Maafkan teecu, Susiok. Teecu sudah berani berlancang mulut dan ikut-ikutan berbicara dalam urusan yang sama sekali teecu tak berhak mencampuri. Akan tetapi, sungguh pun teecu tunduk dan setuju akan kata-kata Susiok tadi bahwa apa pun yang diusahakan oleh manusia, akhirnya keputusan berada di tangan Thian. Akan tetapi, sebagai manusia yang berakal budi, apa lagi yang menjunjung tinggi keadilan dan kegagahan seperti kita, teecu rasa sudah sepatutnya kalau kita berusaha demi keadilan dan kebajikan. Ada pun akibat dan keputusannya, memang terserah kepada Thian Yang Maha Kuasa. Maafkan kalau pendapat teecu keliru dan selanjutnya mohon petunjuk, Susiok.”
Semua orang memandang kepada pembicara ini, juga Kiang Liat. Ia melihat bahwa yang berbicara itu adalah seorang pemuda yang bertubuh tegap dan berwajah tampan gagah, patut sekali menjadi seorang pendekar. Pakaiannya amat indah, pedangnya tergantung di pinggang, alisnya hitam dan matanya berapi-api. Usianya paling banyak dua puluh lima tahun.
Jika Kiang Liat memandang dengan kagum dan tertarik kepada pemuda ini, adalah murid lain-lain Go-bi-pai yang berada di sana memandang dengan muka merah dan ada yang khawatir. Mereka menduga bahwa Twi Mo Siansu pasti akan marah sekali, karena sudah merupakan peraturan perguruan di situ bahwa para anak murid tidak sekali-kali boleh ikut mencampuri percakapan antara guru besar ini dengan tamu yang datang. Apa lagi untuk urusan yang besar dan yang belum dimengerti oleh para anak murid.
Akan tetapi pemuda ini sudah berlancang mulut. Dia tidak saja mencampuri percakapan, bahkan terang-terangan berani mencela pendirian Twi Mo Siansu!
Suasana menjadi sunyi…..
Tadinya Twi Mo Siansu menjadi merah mukanya, sepasang mata yang masih amat tajam berpengaruh itu memandang pada pemuda gagah itu dengan marah. Akan tetapi, ketika bertemu dengan wajah yang tampan terbuka, mata yang berani menentangnya penuh pengertian itu, wajah kakek ini melembut kembali dan ia tersenyum.
“Bagus sekali, Liem Sun Hauw. Meski pun pendirianmu itu pikiran orang muda dan tidak sejalan dengan pikiranku, akan tetapi aku setuju sekali! Kau murid Go-bi-pai dari luar kuil, tentu tidak tahu akan peraturan di dalam kuil, karena itu kelancanganmu itu masih dapat kumaafkan. Sayang Suheng sudah meninggal, kalau tidak tentu dia akan bangga sekali mendengar ucapan muridnya di depanku.” Kakek ini lalu tertawa dengan girang.
“Harap maafkan, Susiok. Sebenarnya teecu tadi sudah lancang bicara tanpa dipikir dulu, harap banyak maaf.”
“Tidak apa, tidak apa. Bahkan kebetulan sekali. Aku sedang berpikir-pikir siapa gerangan orangnya yang dapat mewakili aku. Sudah kukatakan tadi bahwa biar pun tidak sejalan dengan pikiranku, tapi aku setuju sekali dengan pendirianmu. Karena itu aku pun setuju dengan pendapat Bu Pun Su. Pendekar Sakti itu minta bantuanku agar supaya kita dari Go-bi-pai ikut mengamati-amati kalau-kalau ada pihak penyerang mendatangi dari utara, karena menurut pendapat Bu Pun Su, negara berada dalam bahaya dari ancaman musuh berbagai pihak. Hal ini bisa dilakukan oleh semua anak murid yang berada di sini dengan melakukan penjagaan di sepanjang tapal batas sebagai pengawas. Akan tetapi tentang permintaan yang kedua dari Bu Pun Su agar supaya aku turun gunung dan menghubungi kawan-kawan untuk memperkokoh persatuan dan melenyapkan pertikaian antara kawan sendiri, sungguh tidak dapat kulakukan. Kaulah, Sun Hauw, kau yang harus mewakili aku turun gunung!”
“Teecu siap sedia menjalankan perintah Susiok. Mohon nasehat dan petunjuk selanjutnya agar teecu dapat melakukan tugas dengan baik,” jawab pemuda itu dengan suara tegas dan bersemangat.
“Kau hubungi semua tokoh besar dunia kang-ouw dan katakan bahwa aku sendiri sudah menyatakan setuju sekali dengan pendapat Bu Pun Su bahwa pada saat seperti ini kita semua harus bersatu. Jangan sampai ada perpecahan di antara kita dan kalau misalnya ada, urusan itu harus diselesaikan dengan cara damai. Persatuan harus ditujukan untuk melindungi negara dan rakyat dari bahaya. Apa bila benar-benar terjadi perang, tentu akan muncul manusia-manusia jahat dan perlu sekali kita melindungi rakyat jelata dari penindasan mereka ini. Sampaikanlah salamku kepada mereka dan pertama-tama lebih tepat kalau kau pergi ke Bu-tong-san mengingat bahwa partai Bu-tong-pai pada waktu ini sedang ada urusan percekcokan dengan Kim-san-pai. Katakan kepada Lo Beng Hosiang ciangbunjin dari Bu-tong-pai bahwa jika dia mau mengadakan pertemuan damai dengan pihak Kim-san-pai, boleh mempergunakan kuil kita di Go-bi-san sini.”
“Teecu sudah ingat akan semua pesan dari Susiok dan akan mentaati,” kata Sun Hauw, pemuda gagah itu.
Seorang di antara para anak murid Go-bi-pai yang duduk di sana, tiba-tiba berdiri dan berkata dengan suara lantang,
“Maaf, Suhu. Teecu merasa kurang puas dengan diangkatnya Liem-sute sebagai wakil Suhu. Hal ini menyangkut nama baik partai kita, maka teecu merasa ragu-ragu apakah kelak nama baik partai kita tidak akan terancam bahaya. Liem-sute baru saja datang di Go-bi-pai, baru tiga hari, dan Suhu tahu bahwa dia adalah murid Thian Mo Siansu Supek hanya menurut pengakuannya sendiri. Bagaimana kalau dia itu sebenamya bukan murid Supek? Sungguh pun andai kata dia itu benar-benar murid Supek, masih belum boleh dia dianggap sebagai anak murid Go-bi-pai, mengingat bahwa antara Suhu dan Supek...”
“Cukup!” Twi Mo Siansu membentak.
Murid yang bicara tadi, yaitu seorang tosu pula yang berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, tak berani melanjutkan kata-katanya dan duduk kembali.
“Tek Sin, aku mengerti akan maksud kata-katamu. Tapi kita telah menerima tugas untuk menjadi tukang menggalang persatuan, bagaimana kita masih teringat akan perpecahan sendiri? Tidak, bagaimana pun juga, murid Suheng adalah murid Go-bi-pai pula. Ada pun keraguanmu tentang kemampuan Sun Hauw, memang tepat. Baiklah kau kuserahi tugas mengujinya apakah benar dia itu anak murid Go-bi-pai, dan apakah kiranya dia sudah cukup kuat untuk melakukan tugas mewakili aku.”
Tek Sin Tojin terkejut. Tak disangkanya bahwa ucapannya tadi membuat suhu-nya marah dan dia kini diharuskan menguji Liem Sun Hauw! Tek Sin Tojin adalah murid pertama dari Twi Mo Siansu dan tadi mendengar tugas mewakili suhu-nya diberikan kepada pemuda itu, tentu saja ia merasa tidak senang. Sekarang, ada jalan baginya untuk menunjukkan bahwa pandangannya tepat dan bahwa gurunya telah berlaku keliru menyerahkan tugas sepenting itu kepada seorang pemuda seperti Liem Sun Hauw yang baru saja datang dan mengaku sebagai murid Thian Mo Siansu.
“Teecu tidak berani menolak perintah Suhu,” katanya sambil berdiri, lalu katanya kepada Liem Sun Hauw. “Liem-sute, tentunya kau telah mendengar sendiri perintah Suhu bahwa pinto harus mengujimu. Oleh karena itu, marilah kita pergi ke lian-bu-thia (tempat berlatih silat).”
Liem Sun Hauw tersenyum dan menjura kepada tosu yang tubuhnya tinggi besar ini.
“Twa-suheng, siauwte mana berani menolak? Hanya mengharap belas kasihan Suheng supaya jangan berlaku terlalu keras terhadap siauwte yang masih hijau.” Sambil berkata demikian, Liem Sun Hauw lalu bersiap mengikuti Tek Sin Tojin pergi ke lian-bu-thia.
“Tidak usah ke lian-bu-thia, ruangan ini pun sudah cukup lebar jika hanya untuk menguji kepandaian saja, Tek Sin, kau coba kepandaian Sun Hauw ini di sini saja,” kata Twi Mo Siansu.
Semua anak murid Go-bi-pai lalu mengundurkan diri dan berdiri di pinggir untuk memberi tempat yang lega bagi dua orang yang hendak mengadu kepandaian itu. Juga Kiang Liat yang sebagai tamu tidak berani turut bicara lalu minggir.
Ia melihat Tek Sin Tojin sebagai seorang tosu tinggi besar yang jelas sekali mempunyai tenaga kuat dan dari pandang mata tosu ini dia dapat mengetahui bahwa Tek Sin Tojin mempunyai lweekang dan kepandaian yang tinggi. Maka diam-diam ia mengkhawatirkan keadaan pemuda tampan itu. Kiang Liat yang sudah berpengalaman itu maklum bahwa Tek Sin Tojin merasa iri hati kepada Sun Hauw dan dalam ujian silat ini tentu saja tosu itu akan berusaha untuk membikin malu dan merobohkan Sun Hauw.
Liem Sun Hauw menanggalkan jubah luarnya dan kini ia berpakaian ringkas, menambah kegagahannya karena nampaklah bentuk tubuhnya yang bidang dan tegap. Dia berdiri di tengah ruangan menghadapi Tek Sin Tojin dengan tubuh sedikit direndahkan dan kepala ditundukkan, tanda menghormat kepada saudara tua.
“Liem-sute, pinto melihat ada pokiam (pedang pusaka) tergantung di pinggangmu. Dalam ujian ini, apakah kau hendak mempergunakan pedang?”
Liem Sun Hauw cepat menjura. “Siauwte menyerahkan pada kebijaksanaan Suheng saja, bagaimana cara Suheng hendak menguji, siauwte siap mentaati perintah.”
“Hemm, kalau begitu cabut pedangmu. Biar aku menghadapi pedangmu dengan tangan kosong saja.”
Liem Sun Hauw patuh. Dia menghunus pedangnya dan nampak sinar putih berkilauan, tanda bahwa pedang itu adalah pedang yang baik. Dia lalu memutar pedangnya dengan gerakan indah dan cepat, tahu-tahu pedang itu kini sudah dipegang di bagian pucuknya dan gagangnya disodorkan ke arah Tek Sin Tojin, tangan kiri dibuka terpentang di depan dada.
Melihat ini, Kiang Liat tahu bahwa meski pun kelihatannya aneh sekali memegang ujung pedang secara terbalik, akan tetapi gerakan ini bukanlah gerakan sembarangan dan tentu saja mempunyai arti tertentu.
“Ketika Suhu memberikan gin-kiam (pedang perak) ini kepada siauwte, Suhu berpesan supaya siauwte jangan sekali-kali mempergunakan pedang ini untuk menghina orang dan melawan orang bertangan kosong dalam pibu,” kata pemuda itu dengan sikap hormat.
Twi Mo Siansu mengangguk-angguk girang. “Ah kiranya Suheng masih ingat akan pesan Sucouw, masih ingat untuk mengajarkan peraturan ini kepada muridnya.”
Memang Go-bi-pai terkenal keras dengan peraturan-peraturannya. Di antaranya, seorang murid sama sekali tak boleh memamerkan ilmu pedangnya, juga tidak boleh menghadapi lawan dalam pibu (pertandingan persahabatan) yang bertangan kosong dengan pedang. Kalau terjadi lawan itu bertangan kosong menantang, ia harus menyerahkan pedang itu dengan sikap dan gerakan tertentu sebagaimana yang dilakukan oleh Sun Hauw ini. Tadi memang Tek Sin Tojin menguji apakah pemuda ini mengerti akan peraturan ini dan ternyata Sun Hauw mengerti baik!
“Kau hendak memberikan pedangmu padaku? Baik, kuterima dan awas terhadap caraku mengembalikannya!” kata Tek Sin Tojin.
Tangan kanannya menyambar dan pada lain saat pedang itu sudah berpindah ke dalam tangannya. Tosu tinggi besar itu lalu membuat gerakan melompat ke belakang, berjungkir balik tiga kali, kemudian pada jungkiran terakhir, ia menggerakkan tangannya dan pedang itu meluncur seperti anak panah menyambar ke arah dada Liem Sun Hauw!
Pemuda itu cepat meloloskan sarung pedangnya dan dengan gerakan yang indah namun cepat sekali ia menyambut pedang yang meluncur ke dadanya itu dengan sarung pedang dan... tepat sekali pedang itu masuk ke dalam sarungnya sehingga mengeluarkan suara keras! Indah sekali gerakan dua orang itu.
Tek Sin Tojin melakukan gerakan menyambit yang merupakan jurus terakhir dari ilmu pedang Go-bi-pai, yakni gerakan yang disebut Sin-liong Kian-hwe (Naga Sakti Mengulur Ekor) yang dimaksudkan untuk dipergunakan pada saat terakhir atau pada saat sudah amat terdesak oleh lawan yang lebih tangguh. Timpukan pedang yang tidak terduga-duga ini akan dapat menolong diri, kalau tidak berhasil merobohkan lawan, sedikitnya memberi kesempatan untuk melarikan atau menjauhkan diri!
Ada pun Sun Hauw yang sudah menduga lebih dulu, telah meloloskan sarung pedangnya dan cepat memperlihatkan kelihaiannya sebagai anak murid Go-bi-pai, melakukan jurus ilmu silat yang disebut Sin-liong Siu-cu (Naga Sakti Menyambut Mustika). Memang, dari gerakan ini saja sudah dapat dilihat bahwa Sun Hauw benar-benar seorang anak murid Go-bi-pai yang jempol.
Ada pun Kiang Liat yang juga seorang ahli pedang terkemuka, melihat petunjukan ilmu pedang ini, diam-diam dia merasa kagum sekali. Ia sudah tahu bahwa Go-bi-pai memang sebuah perguruan yang memiliki ilmu pedang indah dan aneh-aneh, maka menyaksikan demonstrasi tadi, ia merasa gembira dan memuji,
“Bagus sekali!”
Ia tidak tahu bahwa memang di dalam ilmu pedang cabang Go-bi-pai terdapat pelajaran terakhir, yaitu bersilat dengan sarung pedang. Hal ini dipelajari untuk berjaga kalau-kalau pedang terampas lawan, maka biar pun dengan sarung pedang, masih dapat anak murid Go-bi-pai melakukan perlawanan hebat.
Sementara itu, sekarang Tek Sin Tojin dan Liem Sun Hauw sudah mulai bertempur dengan tangan kosong. Gerakan mereka cepat dan indah, setiap pukulan ditangkis atau dielakkan dengan tepat dan cepat. Dilihat sepintas lalu, mereka seakan-akan dua orang anak murid Gobi-pai yang sedang berlatih silat, akan tetapi sebenarnya bukan demikian, karena Tek Sin Tojin mendesak dan menyerang dengan sungguh-sungguh.
Sekali saja Liem Sun Hauw meleset dalam menangkis atau mengelak, dia akan terpukul dan mendapat luka di dalam tubuh yang tidak ringan! Akan tetapi ternyata Liem Sun Hauw hafal akan semua jurus serangannya sehingga pemuda ini dapat menangkis atau mengelak dengan tepat, kemudian melakukan serangan balasan sebagaimana mestinya dalam jurus dan gerak yang dilakukannya menghadapi suheng-nya ini.
Kalau tadi Kiang Liat merasa kagum melihat demonstrasi ilmu pedang, sekarang melihat ilmu silat tangan kosong yang diperlihatkan, ia tidak merasa heran atau kagum. Ilmu silat itu memang cepat dan indah, lagi kuat gerakannya, akan tetapi tidak terlalu hebat dan Kiang Liat merasa bahwa ilmu silatnya sendiri, ilmu silat keturunan keluarga Kiang atau ilmu silat yang ia dapat dari Han Le dan Bu Pun Su, tidak usah kalah menghadapi ilmu silat yang dimainkan oleh kedua orang itu.
Lima puluh jurus telah lewat dan belum juga Tek Sin Tojin dapat mendesak sute-nya, apa lagi mengalahkannya! Tiba-tiba saja tosu itu merubah gerakannya dan kagetlah Liem Sun Hauw. Biar pun ia sudah menerima latihan ilmu-ilmu silat Go-bi-pai, tapi baru kali ini ia melihat ilmu silat yang sekarang dimainkan oleh Tek Sin Tojin. Ilmu silat ini hebat sekali. Gerakannya seperti seorang kakek tua memberi pelajaran menulis dengan telunjuknya. Sebentar saja Liem Sun Hauw terdesak.
Akan tetapi pemuda ini mengeluarkan seruan keras dan ia pun merubah gerakannya. Kini Twi Mo Siansu sendiri sampai mengeluarkan seruan kaget ketika melihat ilmu silat yang cepat sekali gerakannya akan tetapi sama sekali bukan ilmu silat dari Go-bi-pai! Tadinya ia sudah hendak menegur murid kepala karena mengeluarkan ilmu silat ‘simpanan’. Ilmu silat yang sekarang dimainkan oleh Tek Sin Tojin adalah ilmu silat Go-bi-pai yang khusus diajarkan kepada murid kepala yang kelak dicalonkan menjadi ketua apa bila ketua yang sekarang meninggal dunia, maka tidak boleh sembarangan dikeluarkan.
Bahkan Thian Mo Siansu sendiri pun tidak pernah diberi pelajaran ilmu silat ini, maka tentu saja Liem Sun Hauw tidak mengenalnya. Akan tetapi Twi Mo Siansu yang merasa senang melihat kegagahan Sun Hauw, tadinya ingin sekali tahu sampai berapa lama Sun Hauw dapat mempertahankan diri. Alangkah kagetnya pada waktu ia melihat pemuda itu mengeluarkan ilmu silat yang luar biasa dan yang agaknya dapat menandingi ilmu silat simpanan Go-bi-pai itu!
“Tahan! Tek Sin dan Sun Hauw, cukuplah ujian ini!” seru Twi Mo Siansu. Dia khawatir kalau-kalau sampai terjadi korban dan dia merasa malu kalau sampai akhirnya Tek Sin Tojin kalah, apa lagi di sana terdapat seorang tamu.
“Tek Sin, bagaimana pendapatmu? Sudah puaskah kau?”
Tek Sin Tojin adalah seorang jujur. Dia cepat berlutut di depan suhu-nya dan berkata, “Dalam hal ilmu silat Go-bi-pai, Liem-sute sudah memperlihatkan bahwa dia benar-benar anak murid Go-bi-pai dan tidak kalah oleh teecu sendiri. Bahkan agaknya Liem-sute telah mempelajari ilmu silat-ilmu silat lain yang lebih hebat!” Kata-kata ini mengandung sindiran bahwa sebagai murid Go-bi-pai, tidak selayaknya Sun Hauw menjadi murid partai lain tanpa seijin Ketua Go-bi-pai.
“Liem Sun Hauw, apakah kau juga menjadi murid dari partai lain?” tanya Twi Mo Siansu dengan suara kereng.
Sun Hauw berlutut, “Teecu hanya menjadi murid Suhu Twi Mo Siansu saja, tidak menjadi murid partai lain.”
“Sute, jangan kau berbohong! Kalau menjadi murid partai lain, lebih baik mengaku saja, mungkin Suhu masih dapat mempertimbangkan!” tegur Tek Sin Tojin.
“Mana siauwte berani membohong di depan Susiok, Suheng?”
“Ilmu silatmu dalam jurus-jurus terakhir bukanlah ilmu silat Go-bi-pai! Apakah kau hendak menyangkal?”
“Memang bukan ilmu silat Go-bi-pai, akan tetapi siauwte menerima pelajaran ilmu silat itu dari Suhu pula, dan Suhu katanya menerima ilmu silat itu dari seorang tokoh yang sakti bernama Hok Peng Taisu di Hong-lun-san.”
Twi Mo Siansu terkejut mendengar nama ini. Nama itu adalah nama seorang di antara tokoh-tokoh terkemuka yang dianggap sebagai tokoh-tokoh sakti di samping Bu Pun Su dan Han Le.
“Sun Hauw, mengapa kau tadi mengeluarkan ilmu silat itu? Apakah kau sengaja hendak memamerkannya dan menganggap bahwa ilmu silat itu lebih unggul dari pada ilmu silat Go-bi-pai?”
“Tidak sekali-kali teecu berani beranggapan demikian, Susiok. Tadi tiba-tiba saja teecu menghadapi serangan jurus-jurus ilmu silat yang sama sekali belum teecu kenal, yang amat hebat dan membingungkan teecu. Karena merasa bahwa tidak ada jurus ilmu silat Go-bi-pai yang teecu kenal bisa menghadapi serangan Suheng itu, maka terpaksa teecu mengeluarkan ilmu silat lain itu... harap Susiok sudi memaafkan.”
Twi Mo Siansu menarik napas panjang. “Sudahlah. Di dunia ini memang banyak sekali ilmu silat tinggi, mana bisa Go-bi-pai berani mengangkat dada mengagulkan kepandaian sendiri? Hanya pesanku, Sun Hauw, apa bila kau mengeluarkan ilmu silat yang tadi, kau sekali-kali tak boleh mengaku sebagai anak murid Gobi-pai! Pantangan besar bagi murid Go-bi-pai untuk mengandalkan penjagaan diri bukan dengan ilmu silat Go-bi-pai.”
”Teecu mentaati perintah Susiok,” kata Sun Hauw.
Twi Mo Siansu berpaling kepada Kiang Liat. “Sicu, sampaikan kepada sahabat baik Bu Pun Su bahwa permintaannya sudah kuterima dan kusetujui. Mengenai penjagaan di bagian utara, aku berianji akan mengerahkan anak murid Go-bi-pai. Dan tentang usaha mempersatukan sahabat-sahabat segolongan, kau lihat murid Liem Sun Hauw mewakili aku dan dia akan berusaha untuk mendamaikan urusan antara Kim-san-pai dan partai Bu-tong-pai.”
“Terima kasih, Locianpwe. Sesudah melihat sikap saudara muda Liem ini, saya merasa kagum dan tertarik. Karena perjalanan menuju ke Bu-tong-san sejalan dengan perjalanan saya, maka ingin sekali saya menemani Saudara Liem di perjalanan,” kata Kiang Liat.
Setelah membuat persiapan dan minta diri dari Twi Mo Siansu, maka berangkatlah Kiang Liat dan Liem Sun Hauw turun gunung…..
********************
Selanjutnya baca
ANG-I NIOCU (DARA BAJU MERAH) : JILID-09