Pusaka Pulau Es Jilid 05


Bukit Menjangan berada di Pegunungan Cin-ling-san. Disebut demikian karena di bukit itu memang banyak terdapat binatang kijang dan menjangan. Tadinya banyak pemburu yang mencari binatang itu di Bukit Menjangan sehingga jumlah binatang itu makin lama semakin berkurang.

Akan tetapi, pada suatu hari datanglah seorang datuk yang memilih tempat itu sebagai tempat tinggalnya. Semenjak dia tinggal di situ, tidak ada lagi pemburu berani naik ke Bukit Menjangan. Tadinya memang ada yang naik, akan tetapi setiap kali ada pemburu berani naik ke bukit itu, dia pasti turun lagi dengan digotong karena terluka parah.

Karena penyerangnya tidak nampak, hanya bayangannya saja yang terlihat berkelebat, dan pemburu yang terluka itu menggigil kedinginan, maka segera tersiar berita bahwa penyerangnya tentu siluman dan sejak itu tidak ada lagi yang berani berburu binatang di Bukit Menjangan. Pegunungan Cin-ling-san sangat luasnya dan terdapat puluhan bukit sehingga mereka mengalihkan ladang perburuan mereka ke bukit-bukit lainnya.

Sebetulnya siapakah datuk yang kini bertempat tinggal di Bukit Menjangan itu? Kalau saja ada yang berani dan mampu naik menyelidiki, dia akan melihat sebuah pondok bambu berada di puncak bukit, dan yang tinggal di situ adalah seorang laki-laki raksasa yang rambutnya sudah putih semua dan usianya sudah tujuh puluh lima tahun lebih. Dia bukan lain adalah Swat-hai Lo-kwi yang dahulu pernah menyerang Keng Han pada saat pemuda itu pertama kali datang ke Pulau Hantu.

Sebagai seorang datuk besar, Swat-hai Lo-kwi juga tertarik dengan munculnya Pulau Hantu. Ia telah melakukan penyelidikan ke sana dan telah berkelahi melawan tiga puluh orang pimpinan Harimau Hitam yang kemudian dibunuhnya satu demi satu. Bahkan dia pun sudah melukai Keng Han dengan pukulannya yang mengandung racun berhawa dingin.

Akan tetapi kemudian dia merasa jeri menyaksikan betapa pulau itu dihuni oleh ular-ular merah yang amat berbahaya. Dan melihat pulau itu kosong tidak ada apa-apanya yang berharga, dia lalu pergi meninggalkan Pulau Hantu. Karena tertarik oleh pemandangan di Bukit Menjangan, akhirnya dia memilih tempat itu sebagai tempat tinggalnya.

Sejak dia tinggal di situ, dia tidak memperkenankan siapa pun juga naik ke bukit. Yang berani naik tentu dipukulnya dengan pukulannya yang membuat orang lantas menggigil kedinginan sehingga akhirnya tidak ada yang berani mengunjungi tempat itu dan dia tidak lagi merasa terganggu.

Swat-hai Lo-kwi mencari tempat pengasingan yang tidak terganggu orang lain bukan karena ingin bertapa, melainkan karena dia sedang melatih diri dengan semacam ilmu silat yang amat hebat dan dia tidak ingin ada orang lain melihatnya.

Swat-hai Lo-kwi memang memiliki sinkang yang berhawa dingin sekali. Kini dia melatih diri untuk menyempurnakan sinkang-nya itu sehingga kalau dia menyerang orang, dia dapat membuat lawannya itu menjadi beku darahnya dan tewas seketika! Kurang lebih setahun lamanya dia melatih ilmu itu dan kini dia telah berhasil. Yang menjadi kelinci percobaan ilmunya itu adalah binatang-binatang kijang dan menjangan yang berada di bukit itu.

Kini, dari jarak kurang lebih sepuluh meter, dia mampu memukul binatang-binatang itu dengan pukulan jarak jauhnya sehingga membuat binatang itu roboh dan tewas dalam keadaan darahnya beku! Bukan main hebatnya ilmu ini dan Swat-hai Lo-kwi merasa dirinya yang paling jagoan di antara para ahli silat mana pun.

Pada suatu pagi yang amat dingin, Swat-hai Lo-kwi sedang menghangatkan diri dengan membuat api unggun dan memanggang daging kijang untuk sarapan pagi. Mendadak ia menjadi waspada dan matanya mengerling ke kiri karena dari arah itu ia mendengar suara langkah orang.

Langkah itu demikian ringan sehingga dia merasa heran sekali. Orang yang datang ini pasti seorang yang berilmu tinggi, pikirnya. Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan masih saja memanggang paha kijang itu dengan tekun sambil menghangatkan tubuh dari serangan hawa dingin pagi itu.

“Ha-ha-ha, sudah kuduga bahwa tentu engkau Iblis Lautan Es yang berada di tempat ini karena orang-orang yang terpukul itu mati kedinginan!” Tiba-tiba terdengar suara.

Ketika Swat-hai Lo-kwi menoleh, ia melihat seorang kakek tinggi kurus yang memegang sebatang dayung baja berdiri di situ sambil bertolak pinggang dengan tangan kirinya dan bersandar pada dayungnya. Melihat kakek yang datang itu, Swat-hai Lo-kwi juga tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha-ha, kiranya Setan Lautan Timur yang datang berkunjung. Setan tua, mau apa engkau mengganggu ketenteraman hidupku di tempat ini?” Kata-katanya yang terakhir itu mengandung tantangan.
“Wah, sejak kapan Swat-hai Lo-kwi menerima kedatangan seorang sahabat seperti ini? Aku, Tung-hai Lo-mo (Setan Tua Lautan Timur) tidak pernah datang ke suatu tempat tanpa urusan penting. Aku sengaja mengunjungimu untuk urusan penting sekali, penting bagi kita berdua.”
“Nanti dulu, aku kini tak mau sembarangan bicara dengan orang yang belum kuketahui sampai di mana tingkat kepandaiannya. Marilah kita main-main sebentar, hendak kulihat apakah selama ini engkau maju atau bahkan mundur dalam ilmumu, Lo-mo!” tantang Swat-hai Lo-kwi sambil bangkit berdiri.
“Bagus, bagus! Engkau masih saja belum berubah, Lo-kwi. Engkau selalu tinggi hati dan menganggap diri sendiri terpandai. Baiklah, majulah dan coba rasakan hebatnya dayung bajaku!”
“Awas seranganku!” Lo-kwi berseru dan dia sudah menyerang dengan tangan kirinya.

Serangkum hawa yang sangat dingin menyambar. Akan tetapi Lo-mo adalah datuk dari timur yang kepandaiannya juga sangat tinggi. Dia menghindar dan dayungnya meluncur menyapu ke arah pinggang Lo-kwi.

Lo-kwi menggunakan tangannya menangkis, lalu menyerang lagi lebih hebat dari pada tadi. Akan tetapi, Lo-mo juga dapat menangkis serangannya dan tidak terpengaruh oleh hawa dingin yang menyambar itu. Keduanya sudah bertanding dengan seru sekali dan sebentar saja lima puluh jurus telah lewat.

Merasa betapa lawannya benar-benar tangguh, Lo-kwi lalu menyerang dengan pukulan jarak jauhnya, yang selama setahun ini dilatihnya di bukit itu.

“Hyaaaaattt... ahhhhh!”

Dia berseru dengan suara melengking dan dari kedua telapak tangannya nampak sinar putih kebiruan menyambar ke arah lawan.

Tung-hai Lo-mo agaknya maklum akan hebatnya serangan jarak jauh ini. Dia pun cepat menancapkan tongkatnya di atas tanah, lalu dia pun mengerahkan tenaga sinkang-nya dan dalam keadaan setengah berjongkok dia menyambut pukulan jarak jauh itu.

“Wuuuttttt... desss...!”

Keduanya terdorong ke belakang dan Tung-hai Lomo agak menggigil kedinginan, akan tetapi dia segera dapat mengusir hawa itu dengan pengerahan sinkang-nya.

“Hebat! Pukulanmu tadi hebat sekali. Orang lain mana akan mampu menahannya? Aku kagum sekali padamu, Lo-kwi!” kata Lo-mo yang merasa kalah kuat dalam adu tenaga ini.

Lo-kwi juga tertawa. “Ha-ha-ha, engkau juga telah memperoleh kemajuan pesat, Lo-mo. Nah, engkau memang pantas berunding denganku, lekaslah katakan apa yang menjadi keperluanmu datang berkunjung ini.”

“Ha-ha-ha-ha, bicara sih mudah, akan tetapi perut lapar ini perlu diisi. Kulihat panggang daging kijang itu sudah matang.”

Mereka kemudian makan daging panggang di dekat api unggun tanpa bicara apa-apa. Lo-mo mengeluarkan sebuah guci arak dan menenggaknya, lalu menyerahkan kepada Lo-kwi.

“Ini arak pilihan dari Hang-ciu. Engkau pantas minum bersamaku, Lo-kwi!” katanya.

Swat-hai Lo-kwi tanpa sungkan-sungkan lagi menerima guci itu lalu menuangkan isinya ke dalam mulutnya sampai terdengar bunyi menggelegak. Setelah itu barulah keduanya bicara.

“Nah, sekarang bicaralah!” kata Swat-hai Lo-kwi.
“Begini, Lo-kwi. Orang dengan kepandaian seperti kita ini, apakah cukup harus begini saja? Tinggal di tempat sunyi dan tidak dipandang orang? Padahal, orang-orang macam kita ini sudah sepatutnya kalau memegang kedudukan tinggi, dihormati dan dipandang orang, hidup penuh kemuliaan dan kemewahan.”

Swat-hai Lo-kwi mengerutkan alisnya dan memandang kepada Tung-hai Lo-mo dengan alis berkerut. “Lo-mo, kalau engkau mengharapkan agar aku suka menghambakan diri kepada penjajah Mancu untuk memperoleh kedudukan tinggi, engkau mimpi!”
“Siapa yang hendak mengabdikan diri kepada bangsa Mancu? Aku pun tidak sudi. Akan tetapi persoalannya lain sama sekali. Kita bahkan membantu untuk menjatuhkan Kaisar Mancu yang sekarang ini.”

Mendengar ucapan itu, Lo-kwi mulai tertarik. “Aku pun tidak mau membantu dan juga tak sudi menjadi antek perkumpulan-perkumpulan pemberontak semacam Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai, Thian-li-pang dan sebagainya.”

“Ahh, tidak sama sekali. Dengar dulu baik-baik, Lo-kwi. Di kota raja terdapat dua orang pangeran yang pernah dihukum buang oleh kaisar karena mereka hendak membunuh pangeran mahkota. Sekarang dua orang pangeran itu telah bebas dan kembali ke kota raja. Nah, mereka berdua itulah yang menghubungi aku dan minta agar aku juga minta bantuanmu. Merekalah yang ingin memberontak dan hendak menjatuhkan kaisar yang sekarang bertahta.”
“Hemmm, sama saja. Kalau mereka berhasil, tentu mereka yang menjadi penguasa dan berarti kita harus mengabdi kepada bangsa Mancu. Apa bedanya?”
“Engkau belum mengerti maksudku. Kita membonceng saja, dan kalau pemberontakan ini berhasil dan kaisar dapat dibunuh, kita akan rebut kedudukan kaisar itu dari tangan mereka! Kita mempunyai harapan menjadi kaisar atau setidaknya menjadi Koksu atau Menteri!”

Lo-kwi semakin tertarik. “Akan tetapi, apa artinya tenaga kita berdua?”

“Kita berdua menjadi pembantu utama. Sekarang kedua orang pangeran itu sudah mulai menyusun kekuatan. Kita dapat membujuk partai-partai lain untuk mau bekerja sama. Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai sudah terbujuk. Juga Bu-tong-pai! Dan Bu-tong-pai bahkan hendak mengadakan pertemuan dengan seluruh perkumpulan dan perorangan yang berjiwa patriot untuk diajak bekerja sama. Juga kita harus menghubungi para Pendeta Lama Jubah Kuning yang tentu siap membantu. Pendeknya, gerakan ini harus berhasil baik. Dan kita berdua yang menjadi pembantu utama kedua orang pangeran itu tentu dapat mengatur bagaimana sebaiknya untuk kita berdua. Coba pikir, dari pada engkau hidup seperti ini, makan daging kijang panggang dan hidup seperti orang liar, bukankah lebih baik menggunakan kepandaianmu untuk mencari kedudukan setinggi mungkin?”

Swat-hai Lo-kwi mulai terbujuk. Dia menyatakan kesanggupannya untuk bekerja sama dengan Lo-mo membantu gerakan Pangeran Tao San dan Pangeran Tao Seng.

Seperti kita ketahui, kedua orang pangeran ini dihukum buang selama dua puluh tahun dan sekarang mereka telah bebas. Mereka kembali ke kota raja dan nampaknya mereka telah bertobat. Akan tetapi, ternyata diam-diam mereka kini sedang menyusun kekuatan untuk memberontak.....

********************
Pegunungan Bu-tong-san merupakan pusat dari perguruan silat Bu-tong-pai yang amat terkenal. Semenjak dahulu Bu-tong-pai memiliki pendekar-pendekar yang amat tangguh sehingga namanya menjadi terkenal dan dihormati oleh semua perguruan lain dan juga para pendekar.

Biasanya, Bu-tong-san nampak sunyi saja karena memang para penduduknya hanya orang-orang dusun yang bersahaja. Akan tetapi pada hari itu, Pegunungan Bu-tong-san menjadi ramai dengan kunjungan banyak orang dari bermacam-macam golongan. Ada yang berpakaian seperti hwesio, ada pula tosu, ada yang berpakaian seperti pengemis dan ada pula yang seperti seorang hartawan. Ada yang sikapnya lemah lembut seperti kaum sastrawan, akan tetapi ada pula yang berpakaian ringkas dan sikapnya gagah perkasa seperti kaum persilatan.

Undangan yang, dilakukan oleh Butong-pai ternyata mendapat banyak sambutan. Siapa tidak mengenal Bu-tong-pai? Kalau Bu-tong-pai mengundang semua tokoh kang-ouw, berarti tentu ada keperluan yang sangat penting. Bahkan mereka yang tidak diundang sekali pun, hanya karena mendengar saja bahwa Bu-tong-pai mengundang orang-orang kang-ouw, banyak pula yang turut datang untuk melihat perkembangan, menonton dan menambah pengalaman. Mereka ini dapat menduga bahwa yang diundang oleh pihak Bu-tong-pai tentulah para jagoan-jagoan yang berilmu tinggi dan yang hanya mereka dengar namanya saja.

Ketika itu yang menjadi ketua Bu-tong-pai adalah Thian It Tosu, seorang tosu berusia enam puluh tahun yang bertubuh sedang, berjenggot dan berkumis panjang. Ada pun pembantunya adalah dua orang murid utamanya, yaitu Thian Yang Cu dan Bhok Im Cu yang dahulu pernah datang berkunjung ke rumah Pendekar Tangan Sakti Yo Han untuk menyampaikan surat dan undangan.

Di antara para tamu itu terdapat pula Yo Han. Isterinya dan puterinya tidak ikut. Yo Han datang ke Bu-tong-pai dengan hati diliputi perasaan penasaran dan juga keheranan. Dia tak mengerti akan sikap Thian It Tosu. Kenapa mendadak tosu itu hendak mengobarkan pemberontakan? Karena khawatir bahwa pertemuan itu akan mendatangkan keributan, maka dia melarang isteri dan puterinya untuk ikut serta. Kalau terjadi keributan, biar dia sendiri yang akan menghadapinya.
Image result for PUSAKA PULAU ES
Seperti para tamu lainnya, Yo Han juga disambut oleh dua orang murid utama itu. Para tamu dipersilakan duduk di sebuah ruangan yang luas sekali dan mereka mendapatkan tempat duduk yang diatur menurut kedudukan masing-masing. Ada tempat bagi para ketua perguruan dan para tokoh tingkatan tua, dan ada tempat bagi yang muda-muda.

Yo Han sebagai seorang pendekar yang amat terkenal mendapat tempat kehormatan di antara para ketua perguruan yang terkenal. Tentu saja Yo Han bertemu dengan muka-muka lama yang sudah dikenalnya sehingga terjadilah pertemuan dalam suasana yang cukup menggembirakan di antara mereka.

Anehnya, Thian It Tosu sendiri belum kelihatan menyambut. Ketika ada orang yang menanyakan kepada Thian Yang Cu, atau Bhok Im Cu, kedua orang tosu ini menjawab bahwa suhu mereka sedang semedhi dan nanti kalau sudah tiba saatnya tentu akan keluar menyambut para tamu.

Setelah para tamu datang memenuhi ruangan itu, barulah Thian It Tosu muncul. Yo Han yang sudah mengenal baik tosu itu melihat betapa wajah tosu itu agak pucat, seperti orang yang sedang menderita sakit.

Thian It Tosu mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat kepada para tamu dan berkata dengan suara parau, “Harap Cu-wi maafkan, saya sedang sakit batuk dan serak.”

Lalu dia mempersilakan semua orang duduk dan dia sendiri duduk di kursi ketua yang sudah disiapkan. Thian Yang Cu lalu berdiri dan memberi hormat kepada semua orang yang hadir.

“Harap Cu-wi semua suka memaafkan. Agaknya Suhu mendadak menderita sakit batuk dan suaranya hampir hilang. Karena itu, pinto yang ditunjuk sebagai wakil pembicara.”

Semua orang mengangguk-angguk dan maklum. Betapa pun lihainya seseorang, apa lagi kalau sudah tua, dapat saja terserang penyakit. Dan penyakit yang diderita Thian It Tosu itu meski pun tidak berat, namun membuat dia tidak mampu mengeluarkan suara sehingga sudah sepantasnya kalau diwakili oleh murid utamanya.

“Seperti yang Cu-wi semua ketahui dari undangan Suhu, Cu-wi diminta berkumpul untuk menyatakan persetujuan atas usul Suhu, yaitu mempersiapkan diri untuk menyerang kota raja dan menggulingkan kedudukan kaisar Mancu. Sudah tiba saatnya bangsa kita dibebaskan dari belenggu penjajah bangsa Mancu. Kita semua yang berkumpul di sini adalah kaum patriot yang mencinta tanah air dan bangsa. Melihat bangsa kita dijajah oleh penjajah Mancu, apakah kita harus berpangku tangan saja? Kita harus bergerak, dan sekaranglah saatnya, selagi kaisar yang memegang tampuk pemerintahan seorang yang lemah. Kalau kita bersatu dan menyerbu kota raja, tentu kita akan menang dan dapat merampas istana, mengakhiri penjajahan!”

Ketika Thian Yang Cu berhenti bicara, suasana menjadi gaduh sekali karena mereka masing-masing saling berbicara sendiri. Thian It Tosu membiarkan mereka berunding sendiri, lalu memberi isyarat dengan tangannya kepada Thian Yang Cu, membisikkan sesuatu. Thian Yang Cu lalu bangkit berdiri lagi dan mengangkat kedua tangan ke atas.

“Mohon tenang, saudara sekalian. Kami percaya bahwa Cu-wi (Saudara sekalian) yang berwatak patriot tentu menyetujui pendapat dan usul ketua kami. Yang setuju, tinggal mempersiapkan diri saja, kalau waktunya sudah tiba tentu akan diberi tahu. Terutama sekali para ketua perkumpulan, harap menyiapkan anak buahnya untuk sewaktu-waktu menerima panggilan dan bergabung dengan kami. Kalau ada yang hendak menyatakan pendapatnya, silakan, akan tetapi satu-satu saja, agar mudah didengar.”

Mendadak terdengar suara lembut. “Omitohud...!”

Semua orang memandang dan ternyata yang bicara itu adalah seorang hwesio tinggi besar yang mewakili Siauw-lim-pai.

“Kami dari Siauw-lim-pai tidak begitu setuju dengan usul dari Bu-tong-pangcu. Memang benar kami semua berjiwa patriot dan ingin melihat bangsa kita terbebas dari belenggu penjajahan. Akan tetapi apa yang dapat kita perbuat dalam keadaan seperti sekarang ini? Biar pun kita semua hendak berjuang, akan tetapi harus diketahui dengan siapa kita berjuang dan bagaimana pula keadaan kekuatan kita. Pinceng melihat di sini banyak pula perkumpulan yang hanya berkedok pejuang akan tetapi tidak segan melakukan kejahatan terhadap rakyat, Bekerja sama dengan mereka itu merupakan pantangan bagi kami. Bu-tong-pangcu tentu mengerti siapa-siapa yang kami maksudkan itu dan sebaiknya kalau mereka itu tidak diajak berunding tentang perjuangan.”

Setelah berkata demikian hwesio itu duduk kembali. Seperti tadi, mereka semua lantas saling bicara sendiri dengan gaduhnya.

Pada saat itu, Yo Han yang sejak tadi sudah merasa penasaran sekali melihat hadirnya perkumpulan-perkumpulan sesat seperti Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai dan lain-lainnya, juga sudah bangkit berdiri. Suaranya terdengar lembut namun lantang sehingga mengatasi semua suara dan semua orang terdiam mendengarkan.

“Kami dari Thian-li-pang ingin bicara!”

Thian It Tosu sendiri berdiri dan memberi isyarat dengan tangan mempersilakan Yo Han untuk bicara.

“Thian It Totiang, Totiang bukanlah kenalan baru dari kami dan kami sudah mengenal bahwa Bu-tong-pai ialah sebuah perkumpulan yang berjiwa patriot di samping berwatak pendekar. Oleh karena itu, saya tidak menganggap aneh kalau Bu-tong-pai mengajak untuk bangkit melawan penjajah meski sekarang belum tiba saatnya, melihat kekuatan musuh dan kekuatan kita sendiri yang masih terpecah belah. Akan tetapi melihat betapa Bu-tong-pai juga mengundang perkumpulan-perkumpulan sesat, sungguh ini amat tidak sesuai dengan kependekaran Bu-tong-pai. Kami setuju dengan pendapat Losuhu dari Siauw-lim-pai tadi bahwa banyak perkumpulan yang berkedok pejuang tapi sebenarnya hanya merupakan perkumpulan sesat yang suka mengganggu rakyat. Selama mereka itu masih mencampuri urusan kami, maka tentu akan timbul kekacauan. Kami mohon Thian It Tosu mempertimbangkan kembali dan mengusir golongan sesat dari pertemuan ini, barulah kita bicara tentang perjuangan. Selama mereka itu hadir, kami tidak suka ikut dalam pertemuan ini!”

Thian It Tosu kembali berbisik kepada Thian Yang Cu dan wakilnya ini lalu berdiri dan bicara, “Yo-pangcu dari Thian-li-pang harus suka bicara terus terang. Siapakah di antara kita ini yang disebut golongan sesat? Justru dalam perjuangan, semua kekuatan harus dipersatukan. Harap dijelaskan siapa yang dianggap golongan sesat supaya persoalan menjadi terang.”

Karena ditantang untuk berterus terang, Yo Han tanpa ragu-ragu lalu berseru dengan suara gagah, “Perlukah hal itu disebutkan lagi? Semua orang gagah di sini mengetahui siapa-siapa tokoh sesat yang turut hadir di sini. Dan mengenai perkumpulan golongan sesat, siapa belum tahu bahwa Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai merupakan perkumpulan sesat? Mengapa mereka menerima undangan pula? Bagaimana pun juga, kami tidak dapat bekerja sama dengan mereka itu!”

Sekarang Thian It Tosu bangkit berdiri dan dengan suaranya yang parau dia berkata, “Yo-pangcu bicara tidak adil! Bukankah tadi Yo-pangcu sendiri yang mengatakan bahwa pihak musuh terlalu kuat sedangkan pihak kita masih terpecah belah. Mengapa kita tak mengajak dua perkumpulan itu turut berjuang? Dalam keadaan begini kita harus bersatu padu, menghilangkan kepentingan sendiri demi perjuangan!”

“Tidak mungkin! Perjuangan kita akan diselewengkan oleh mereka yang memang sesat itu. Selain perjuangan akan gagal, juga nama baik kita sebagai pendekar akan menjadi rusak. Semua orang akan menyangka kita juga melakukan perampokan dan pencurian terhadap rakyat seperti mereka!” kata Yo Han dengan lantang pula.

Dari pihak Pek-lian-pai muncul Thian Yang Ji, seorang tosu tokoh Pek-lian-kauw yang berusia lima puluh tahun lebih dan dia sudah memegang pedang telanjang di tangan kanannya. Telunjuk kirinya menuding ke arah Yo Han sambil berteriak,

“Yo-pangcu dari Thian-li-pang sungguh terlalu menghina kami dari Pek-lian-pai. Sudah lama pinto mendengar akan kehebatan ilmu dari ketua Thian-li-pang. Kalau sekarang engkau menghina kami berarti menantang kami. Mari kita selesaikan urusan ini di ujung pedang.”
“Benar, Yo-pangcu juga menghina Pat-kwa-pai, kami juga menantang Yo-pangcu untuk menyelesaikan urusan di ujung pedang!” terdengar seruan dan seorang laki-laki berusia empat puluh tahun tokoh Pat-kwa-pai juga berdiri sambil menghunus pedang.

Yo Han tersenyum mengejek. “Kita adalah tamu-tamu. Aku tidak mau menghina tuan rumah dengan bertindak semauku sendiri. Kecuali kalau tuan rumah mengijinkan, aku akan menerima tantangan kalian dan kalian berdua boleh maju bersama!”

Akan tetapi Thian It Tosu segera bangkit berdiri dan berseru dengan suaranya yang parau, “Harap Sam-wi suka melihat muka pinto dan tidak mengadakan keributan serta perkelahian di sini! Yo-pangcu, kami sungguh tidak dapat menyetujui pendapat Pangcu itu. Pada saat seperti sekarang ini, kami membutuhkan sebanyak mungkin tenaga untuk menentang pemerintah, baik dari golongan mana pun juga, tidak pandang bulu. Kecuali mereka yang tidak mau bekerja sama dengan kami, terpaksa kami tolak kehadirannya di sini. Semu pihak yang mau membantu dan bekerja sama untuk berjuang, kami anggap tamu kehormatan kami.”

Pada saat itu Keng Han juga berada di antara para tamu golongan muda. Dia datang ke Bu-tong-san untuk menuntut ketua Bu-tong-pai tentang permusuhan ketua itu dengan mendiang gurunya, Gosang Lama, seperti yang sudah dipesan oleh gurunya itu. Ketika dia sedang mendengarkan perbantahan tadi, tiba-tiba lengannya disentuh orang.

Pada waktu dia menoleh, dia terbelalak heran, juga kaget dan senang karena yang menyentuh lengannya itu bukan lain adalah Kwi Hong, gadis yang pernah dia jumpai di kota Tung-san ketika gadis itu menghajar para murid Pek-houw Bu-koan yang bersikap kurang ajar kepadanya.

“Hong-moi, kau di sini?”
“Han-ko, engkau juga di sini, mau apakah? Apa engkau juga hendak memberontak?”
“Ahh, tidak. Aku mempunyai urusan pribadi dengan ketua Bu-tong-pai.”
“Hemmm, tentu karena pesan gurumu itu, bukan? Berbahaya sekali, Han-ko. Dia lihai bukan main dan kau lihat sendiri, di sini banyak temannya yang juga terdiri dari orang-orang tua angkatan tinggi yang lihai bukan main.”
“Aku tidak takut. Bahkan biarlah orang sebanyak ini bisa menjadi saksi akan kejahatan Bu-tong-pai yang memusuhi guruku yang tidak berdosa.”
“Jangan, Han-ko. Biar aku membubarkan dulu mereka ini, baru engkau bicara dengan ketua Bu-tong-pai.”

Setelah berkata demikian, gadis itu berdiri dan dengan lantang dia berkata, ditujukan kepada ketua Bu-tong-pai yang baru saja menjawab ucapan Yo Han tadi.

“Heiii, apa yang aku dengar ini? Bu-tong-pai hendak memberontak terhadap pemerintah dan membujuk semua orang untuk memberontak? Apakah tidak takut akan bala tentara kerajaan yang tentu akan membasmi kalian semua? Janganlah bertindak begitu bodoh!”

Semua orang terkejut bukan main mendengar ucapan itu. Kwi Hong sendiri agaknya lupa bahwa dia sedang menyamar, bukan sebagai puteri Pangeran Mahkota, melainkan sebagai gadis kang-ouw biasa! Beberapa orang murid Bu-tong-pai sudah mengepung tempat itu dan siap untuk turun tangan.

Melihat ini, Yo Han yang mengkhawatirkan keadaan gadis itu segera berseru, “Tahan dulu! Gadis itu hanya memberi peringatan dan ucapannya memang betul. Kita ini bukan apa-apa jika sudah berhadapan dengan pasukan pemerintah. Apa artinya beberapa ribu anggota kita semua yang dikumpulkan jika melawan ratusan ribu pasukan pemerintah? Hanya akan mati konyol dan bunuh diri belaka. Sudah kukatakan bahwa masih belum waktunya bergerak, bukan berarti bahwa aku tidak suka berjuang membebaskan rakyat dari penjajahan!”

“Nah, itu baru kata-kata yang bijaksana. Yo-pangcu memang benar sekali. Kalau kita ketahuan pemerintah, kita tentu akan terbasmi habis. Karena itu sebaiknya sekarang kita bubaran saja sebelum ada pasukan pemerintah yang datang!” kata pula Kwi Hong dengan suaranya yang lantang.

Ucapan Kwi Hong dan terutama Yo Han itu berpengaruh sekali. Mereka yang diam-diam merasa tak setuju dengan tindakan Bu-tong-pai yang tergesa-gesa, segera cepat-cepat meninggalkan tempat itu! Dan akhirnya hanya tinggal Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai beserta beberapa rombongan kaum sesat saja yang tinggal. Perkumpulan para pendekar seperti Siauw-lim-pai dan lain-lainnya telah pergi meninggalkan tempat itu, menganggap bahwa Bu-tong-pai lancang dan tidak mengenal keadaan.

Hal ini membuat Thian It Tosu marah sekali. Dia memandang ke arah Kwi Hong dengan mata melotot. Akan tetapi pada saat itu, Keng Han sudah melangkah maju menghadapi ketua Bu-tong-pai itu dan berkata dengan suara nyaring,

“Bu-tong Pangcu, saya bernama Si Keng Han. Saya datang bukan untuk segala macam urusan pemberontakan, melainkan untuk bertanya kepada Bu-tong-pai. Apa sebabnya Bu-tong-pai memusuhi guruku yang tidak bersalah?”

Thian It Tosu mengelus-elus jenggotnya. “Siancai, siapakah gurumu?” tanyanya dengan suara yang parau.

“Guruku bernama Gosang Lama!”
“Gosang Lama, Pendeta Lama Jubah Kuning itu? Akan tetapi kami tidak memusuhinya!” jawab Thian It Tosu, kelihatan bingung sekali.

Thian Yang Cu yang maju dan melanjutkan keterangan ketuanya. “Gosang Lama tidak ada sangkut pautnya dengan kami, akan tetapi ia sudah berani melukai beberapa orang murid kami. Karena itulah kami melawannya dan berhasil mengusirnya dari sini. Jadi benar ucapan Pangcu tadi, bukan kami yang memusuhi, tetapi Gosang Lama sendiri. Dan karena engkau muridnya, tentu engkau akan membalaskan kekalahan gurumu itu!”

Thian Yang Cu melompat ke depan diikuti Bhok Im Cu dan kedua orang tosu ini berdiri di depan Keng Han dengan sikap menantang.

“Kalian mundurlah!” kata Thian It Tosu kepada dua orang murid utamanya, kemudian ia berdiri dan menghadapi Keng Han. “Gosang Lama yang memusuhi kami dan kami yang bertanggung jawab atas kekalahannya dari kami. Oleh karena itu, kalau engkau hendak membalas atas kekalahannya itu, pinto yang akan menghadapimu, orang muda!”

Keng Han merasa tidak enak kalau hanya berdiam diri. Bagaimana pun juga, dia harus menghormati pesan terakhir dari gurunya. Dia telah gagal melaksanakan pesan gurunya untuk membunuh Dalai Lama, apakah sekarang dia juga harus gagal memenuhi pesan yang kedua? Setidak-tidaknya, dia kini harus memperlihatkan sikapnya yang memusuhi Bu-tong-pai seperti diharapkan gurunya.

“Bagus! Hendak kulihat sampai di mana kelihaian Bu-tong-pai yang telah mengalahkan guruku!” katanya sambil memasang kuda-kuda untuk menghadapi Thian It Tosu.
“Ha-ha-ha, siancai...! Walau pun badanku sedang sakit, akan tetapi engkau tidak akan mampu mengalahkan aku, orang muda. Sebaiknya kalau engkau menyadari kesalahan gurumu dan tidak menuntut balas agar engkau tidak sampai tewas atau terluka.”

Yo Han memandang heran. Kenapa Thian It Tosu sekarang bersikap seperti itu? Kata-katanya bernada angkuh, padahal biasanya Thian It Tosu orangnya penyabar dan tentu tidak mau melayani tantangan seorang pemuda seperti itu. Dia mulai merasa tidak senang. Thian It Tosu kini sudah berubah. Agaknya dia telah terbujuk oleh orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai sehingga kini bukan saja berniat untuk memberontak, akan tetapi juga sikapnya mulai keras.

Di samping itu, dia juga merasa sayang kalau sampai pemuda itu tewas di Bu-tong-pai, hanya untuk membela seorang guru yang berada di pihak yang bersalah. Dia pun sudah mendengar tentang pemberontakan Lama Jubah Kuning di Tibet, maka kalau memang guru pemuda ini seorang Lama Jubah Kuning, mungkin Lama itulah yang berada di pihak yang bersalah.

Akan tetapi dia sudah terlambat karena Keng Han sudah menyerang dengan cepatnya kepada tosu itu. Namun serangannya dapat dielakkan oleh Thian It Tosu. Pemuda itu menyerang lagi dan begitu dia memainkan ilmu silatnya, Yo Han hampir berseru saking kagetnya.

Dia sendiri tidak mempelajari ilmu silat itu, akan tetapi dia mengenal ilmu silat itu, karena isterinya juga menguasainya. Itulah Hong-in Bun-hoat, ilmu silat yang mencorat-coret di udara seperti orang menuliskan huruf dengan gerakan silatnya! Itulah ilmu keturunan keluarga Pulau Es.

Keng Han yang maklum akan kelihaian ketua Bu-tong-pai, segera melakukan pukulan jarak jauh dengan tenaga sinkang-nya. Kakek itu menahan dengan kedua tangan pula dan akibatnya, keduanya terpental ke belakang.

Yo Han makin terkejut. Dia maklum akan kelihaian ketua Bu-tong-pai itu, akan tetapi pemuda itu mampu membuat ketua itu terdorong ke belakang walau dia sendiri pun juga terdorong ke belakang.

Sementara itu, Thian It Tosu juga terkejut bukan main dan menjadi sangat penasaran. Dia sudah meloncat maju lagi dan kini dia mencabut sebatang pedang yang berkilauan sinarnya, dan itulah pedang pusaka Pek-coa-kiam (Pedang Ular Putih).

Yo Han maklum benar betapa bahayanya kalau Thian It Tosu sudah mencabut pedang. Selain pedang itu merupakan pusaka yang ampuh, juga ketua itu memang mempunyai keahlian dalam permainan pedang. Maka, tanpa ragu lagi dia lalu melompat dan berdiri di antara mereka yang hendak berkelahi.

“Harap tahan dulu!” serunya lantang.

Thian It Tosu sudah amat marah itu menegur, “Yo-pangcu, apakah engkau hendak turut mencampuri urusan Bu-tong-pai?”

“Tidak sama sekali, Totiang. Aku hanya ingin memperingatkan bahwa tidak semestinya Totiang melayani pemuda ini. Gurunya boleh jadi bersalah terhadap Bu-tong-pai, tetapi pemuda ini tidak bersalah apa-apa. Dia hanya ingin membalaskan kekalahan gurunya dan tidak perlu sampai Totiang mencabut pedang dan membunuhnya! Bukankah sudah sewajarnya jika yang tua dan yang lebih tinggi tingkatnya mengalah dan menggunakan kesabaran?”

Thian It Tosu mengerutkan alis. “Siancai, kata-katamu memang masuk akal, Pangcu. Akan tetapi engkau tadi tentu melihat dan mendengar sendiri betapa bocah ini yang menantang, bukan kami yang memulai.”

“Mungkin karena dia tidak mengerti dan biarlah saya yang mencoba menyadarkannya, Totiang.”

Setelah berkata demikian, Yo Han kemudian menghadapi pemuda itu dan sejenak dia memandang penuh perhatian. Dari sinar mata pemuda itu dia dapat menduga bahwa pemuda itu bukan orang jahat, melainkan seorang yang pemberani dan keras hati.

“Orang muda, dengarlah nasehatku baik-baik. Apa yang sedang kau lakukan ini sama sekali keliru dan menyimpang dari kebenaran.”

Keng Han mengerutkan alisnya memandang. Dia tadi sudah merasa amat suka kepada Yo Han yang menentang kehendak Bu-tong-pai yang mengajak memberontak terhadap pemerintah. Apa bila ayah kandungnya sekarang telah menjadi kaisar, bukankah berarti pemberontakan itu ditujukan kepada ayahnya? Atau setidaknya pemberontakan ini akan ditujukan kepada keluarganya karena ayahnya adalah Pangeran Mahkota. Tentu saja niat memberontak Bu-tong-pai itu sudah membuat hatinya tak senang dan dia condong menyetujui pendapat Yo Han yang menentang niat itu.

“Paman, harap Paman tidak turut campur urusan kami. Bagaimana Paman tadi dapat mengatakan perbuatanku keliru dan menyimpang dari kebenaran? Bukankah memang sudah selayaknya kalau seorang murid membela gurunya yang sudah mati? Sebelum meninggal dunia, guru saya memesan agar saya membalaskan permusuhannya dengan Bu-tong-pai.”

“Membalas dendam itu sendiri adalah perbuatan yang tidak benar, hanya menurutkan nafsu kebencian dan amarah. Setelah engkau mendapat keterangan bahwa gurumu berada di pihak yang bersalah, apakah engkau akan melanjutkan balas dendammu itu? Bukankah jika begitu berarti engkau akan menambah beban dosa gurumu? Sepatutnya engkau menebus kesalahan gurumu dengan perbuatan yang benar, bukan menambah besar dosa itu dengan perbuatan yang tidak benar. Engkau masih amat muda dan perlu banyak belajar dari kehidupan, jangan menurutkan nafsu. Apa yang dapat kau lakukan terhadap perkumpulan Bu-tong-pai yang besar? Ketahuilah, aku sendiri menjadi saksi bahwa perkumpulan Bu-tong-pai terdiri dari pendekar-pendekar yang berilmu tinggi dan tidak biasa melakukan kejahatan.”

Kembali Keng Han merasa terpukul sekali. Nasehat itu hampir sama dengan nasehat yang diterimanya dari Dalai Lama.

Pada saat itu, Kwi Hong sudah berada di sampingnya. “Apa yang diucapkan Paman ini semua benar, Han-ko. Marilah kita pergi dari tempat ini. Arwah suhu-mu tentu akan mengampunimu kalau dia sudah menginsafi kesalahannya.”

Kwi Hong menarik tangannya dan Keng Han tidak membantah lagi ketika ditarik pergi oleh Kwi Hong.

Ada pun Yo Han merasa senang sekali melihat pemuda itu sudah mau meninggalkan tempat itu. Dia sendiri lalu memberi hormat kepada Thian It Tosu dan berkata, “Terima kasih atas undangan Totiang, dan saya mohon diri karena merasa tidak pada tempatnya kalau saya menghadiri pertemuan ini.” Melihat dua orang tokoh dari Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai yang tadi menantangnya, dia lalu menambahkan sambil menoleh ke arah mereka. “Bila masih ada yang merasa penasaran dengan pendapatku tadi dan hendak menyelesaikan urusan dengan kekerasan, saya dapat melayaninya di kaki gunung, di luar wilayah Bu-tong-pai.”

Setelah berkata demikian, Yo Han pun langsung melangkah pergi dan setelah dia pergi, lebih banyak lagi orang yang meninggalkan tempat itu. Terpaksa sekarang Thian It Tosu melanjutkan perundingannya hanya dengan orang-orang yang sebagian besar berasal dari golongan sesat…..

********************

“Orang muda, perlahan dulu!”

Keng Han yang sedang berjalan bersama Kwi Hong, terkejut dan menahan langkahnya, lalu memutar tubuhnya. Kiranya yang menegurnya adalah ketua Yo Han yang tadi telah menasehatinya.

“Ada keperluan apakah Paman menyusul perjalananku?” tanya Keng Han dengan sikap hormat.
“Aku sengaja mengejar karena ada sesuatu yang ingin sekali kubicarakan denganmu. Bukankah namamu tadi Si Keng Han? Dan Nona ini siapakah?”
“Namaku Kwi Hong, Paman,” kata Kwi Hong ramah. “Paman berani sekali menentang para pemberontak itu, untung tadi tidak terjadi perkelahian.”
“Engkau lebih berani lagi, Nona. Engkau bahkan mengancam mereka semua sehingga dapat menyadarkan banyak orang.”
“Aku hanya bicara sebenarnya. Di waktu yang aman ini, kenapa orang bicara tentang pemberontakan? Jika ketahuan pemerintah, bukankah itu mencari penyakit namanya?”
“Paman,” kata Keng Han. “Urusan apakah yang hendak Paman bicarakan dengan aku?”
“Begini, Keng Han. Benarkah gurumu itu Gosang Lama?”
“Benar sekali.”
“Akan tetapi aku melihat gerakan ilmu silatmu tadi sama sekali tidak asing bagiku. Bukankah engkau tadi menggunakan ilmu silat Hong-in Bun-hoat, ilmu dari keluarga Pulau Es? Apakah engkau masih keluarga atau murid keluarga Pulau Es?”
“Sama sekali bukan, Paman. Terus terang saja, aku mempelajari ilmu itu dari Pulau Hantu, melalui coretan-coretan di dinding goa di sana.”
“Ahhh, engkau telah mewarisi ilmu yang menjadi pusaka Pulau Es!”

Akan tetapi tiba-tiba mereka menghentikan bicara mereka karena mereka mendengar gerakan orang. Dan tak lama kemudian tempat itu sudah penuh dengan orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, jumlah mereka tidak kurang dari lima puluh orang, dan dipimpin oleh Thian Yang Ji, tokoh Pek-lian-kauw itu dan seorang tosu bernama Koai Tosu tokoh Pat-kwa-pai. Di dekat mereka masih terdapat seorang pemuda yang amat gagah perkasa, tinggi besar dan berwajah tampan, matanya lebar sekali menambah ketampanan wajahnya yang bundar.

“Yo-pangcu, engkau tadi menantang kami. Nah, sekarang kami datang untuk mencoba kepandaian ketua Thian-li-pang!” kata Thian Yang Ji dengan marah.
“Ketua Thian-li-pang ternyata hanya seorang penakut yang pura-pura menjadi patriot, tidak berani diajak berjuang melawan penjajah!” kata pula Koai Tosu.

Yo Han memandang dengan senyum mengejek. Sikapnya yang tenang membuat Keng Han dan Kwi Hong kagum sekali. Dikepung lima puluh orang lebih masih bisa demikian tenangnya. Ketua Thian-li-pang ini benar-benar seorang gagah perkasa. Diam-diam Keng Han mengambil keputusan untuk membela ketua Thian-li-pang ini sekuat tenaga.

“Mempergunakan banyak orang untuk menggertak, apakah ini yang dinamakan gagah perkasa? Mengandalkan pengeroyokan untuk mendapat kemenangan, anak kecil pun bisa dan terutama orang-orang yang curang sekali!” kata Kwi Hong dengan lantang.

“Gadis lancang mulut! Tadi pun di sana engkau bicara seakan-akan engkau membela kerajaan Mancu. Apakah engkau adalah seorang antek atau mata-mata Mancu? Untuk melawanmu, tidak perlu keroyokan, pinto sendiri saja pun cukup untuk melawanmu!” kata Koai Tosu menantang gadis itu.

“Bagus! Siapa takut kepada segala macam tosu bau? Jubahmu saja seperti tosu dan pertapa, akan tetapi siapa tidak tahu di dalamnya? Engkau seperti buaya berkulit ikan emas, di luarnya bagus di dalamnya busuk. Aku tidak takut kepadamu!” kata Kwi Hong sambil mencabut pedangnya. Gadis yang pakaiannya serba biru ini lalu membusungkan dada dan memandang dengan mata bersinar-sinar.

“To-yu, hati-hatilah. Melihat hiasan rambut gadis itu, agaknya dia yang disebut orang Si Bangau Emas!” kata Thian Yang Ji memperingatkan kawannya.

“Wah, kebetulan sekali kalau begitu. Benarkah engkau Si Bangau Emas, Nona?” tanya Koai Tosu.
“Kalau benar, mau apa? Lekas engkau minggat dari sini kalau takut!”
“Ha-ha-ha, masih muda tetapi mulutnya tajam sekali dan lagaknya seperti seekor naga. Bagus, mari kita main-main sebentar, Nona!” Koai Tosu juga mencabut pedangnya.

Kwi Hong segera menyerang dengan hebatnya. Demikian ganas serangannya sehingga lawannya terkejut dan tidak berani memandang ringan lagi. Apa lagi ketika Kwi Hong memainkan Ngo-heng Sin-kiam, tosu itu segera terdesak dan terpaksa harus memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya dari serangan yang dahsyat sekali itu.

Sementara itu, Thian Yang Ji berkata kepada Yo Han, “Yo-pangcu, mari kita selesaikan urusan di antara kita dengan senjata!” kata-kata ini dilanjutkan dengan tangannya yang cepat mencabut pedangnya.

“Majulah, Totiang. Senjataku hanyalah kaki tanganku yang diberikan Tuhan kepadaku!” jawab Yo Han dan memang ketua Thian-li-pang ini tidak pernah menggunakan senjata. Selain dia mengandalkan kaki tangannya, juga ilmu kepandaiannya sudah sedemikian tingginya sehingga apa pun yang dipegangnya dapat dijadikan senjata!
“Bagus, engkau sendiri yang mengatakan, jangan bilang bahwa pinto curang!” kata tosu itu sambil menyerang dengan pedangnya, namun dengan mudahnya Yo Han mengelak sambil membalas serangan tosu yang cukup lihai itu.

Keng Han melihat betapa lihainya lawan Kwi Hong sehingga dia merasa khawatir akan keselamatan nona ini.

“Hong-moi, biarkan aku saja melawan tosu itu!” katanya.

Akan tetapi pemuda tinggi besar dan gagah itu sudah maju menghadapinya. “Sobat, engkau adalah lawanku. Mari majulah kalau engkau memang memiliki kegagahan!”

Sebetulnya Keng Han enggan berkelahi dengan orang itu tanpa alasan apa pun. Maka dia ragu-ragu dan tidak menjawab, hanya memperhatikan Kwi Hong yang sebenarnya bertemu lawan yang tangguh. Meski gadis ini memiliki ilmu pedang Ngo-keng Sin-kiam yang ampuh, akan tetapi ia kalah pengalaman sehingga setelah tosu itu mulai mengenal gerakannya, gadis itu berbalik terdesak mundur.

Oleh karena tidak ditanggapi oleh Keng Han, pemuda itu juga memperhatikan jalannya perkelahian antara Yo Han dan Thian Yang Ji. Alisnya berkerut melihat betapa Yo Han mempermainkan Thian Yang Ji. Meski ketua Thian-li-pang itu hanya bertangan kosong saja dan Thian Yang Ji bersenjata pedang, namun jelas nampak betapa dalam belasan jurus saja Thian Yang Ji mulai terdesak hebat. Melihat ini, pemuda itu mengeluarkan teriakan mengguntur dan melompat dekat lalu menyerang Yo Han dengan pukulan jarak jauh yang mendatangkan angin besar.

Yo Han tekejut dan menangkis. Tangkisan itu membuat dia mundur dua langkah, akan tetapi pemuda itu pun terhuyung mundur. Melihat pemuda itu melakukan pengeroyokan, Keng Han menjadi penasaran.

“Jangan curang!” Keng Han berseru dan dia lalu menyerang pemuda itu.

Pemuda itu menangkis dan kembali dua tenaga yang dahsyat bertemu. Akibatnya Keng Han terdorong mundur, akan tetapi pemuda itu pun terhuyung. Keduanya sama-sama terkejutnya dan maklum bahwa lawan memiliki tenaga yang kuat sekali.

Kini pertandingan menjadi tiga pasang. Kwi Hong masih terdesak oleh Koai Tosu yang lihai sekali ilmu pedangnya. Untung Kwi Hong sudah menguasai Ngo-heng Sin-kiam sehingga ia masih mampu melindungi dirinya sehingga pedang lawan tak pernah dapat menembus pertahanannya. Kalau tidak tentu sudah sejak tadi ia roboh.

Sebaliknya, perkelahian antara Yo Han melawan Thian Yang Ji justru membuat tosu itu terdesak. Walau pun dia berpedang dan Yo Han tidak, namun dia hampir tidak kuat lagi menghadapi ilmu Bu-kek Hoat-keng dari Yo Han yang amat hebat.

Akan tetapi yang paling ramai dan dahsyat adalah pertandingan antara Keng Han dan pemuda itu. Mereka ternyata memiliki tenaga yang seimbang. Keng Han memainkan ilmu-ilmu yang diperolehnya dari Pulau Hantu, yaitu Hong-In Bun-hoat dan Toat-beng Bian-kun, bahkan mengerahkan tenaga panas dan dingin yang berada di tubuhnya.

Akan tetapi, pemuda itu masih dapat mengimbanginya dengan ilmu silat yang aneh dan bentakan-bentakan yang mengandung kekuatan sihir. Bila saja Keng Han tidak memiliki sinkang yang kuat sekali berkat latihan Hwi-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang, tentu dia terpengaruh oleh bentakan-bentakan yang mengandung kekuatan sihir itu.

Tiba-tiba Thian Yang Ji yang terdesak itu berseru dan anak buahnya maju mengeroyok, demikian pula dengan anak buah Koai Tosu. Lima puluh orang maju mengeroyok tiga pendekar itu.

Tentu saja Yo Han, Kwi Hong dan Keng Han harus mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya menghadapi pengeroyokan itu. Mereka sudah merobohkan beberapa orang pengeroyok, akan tetapi karena lawan mereka tangguh sekali, pengeroyokan itu membuat mereka sibuk juga. Terutama Kwi Hong.

Menghadapi Koai Tosu seorang saja ia sudah repot, apa lagi dikeroyok belasan orang. Ia mulai main mundur dan lelah karena harus menangkis sekian banyak senjata yang menyerangnya. Keadaan gadis itu mulai gawat, sedangkan Yo Han dan Keng Han tidak berdaya menolongnya karena mereka sendiri repot dengan pengeroyokan itu.

Pada saat yang gawat itu, tiba-tiba terdengar suara kaki kuda yang banyak sekali, dan tidak lama kemudian muncul pasukan pemerintah yang tidak kurang dari seratus orang banyaknya. Seorang perwira yang memimpin pasukan itu berseru, “Tuan puteri dalam bahaya! Cepat selamatkan beliau!”

Dia sendiri sudah menyerbu dengan pedangnya membantu Kwi Hong yang dikeroyok oleh banyak orang. Para anak buah pasukan itu pun serentak menyerbu dan kini anak buah Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai berbalik menjadi kalang kabut dan langsung terdesak hebat oleh pasukan yang dua kali lipat banyaknya itu.

Melihat ini, Thian Yang Ji terkejut bukan main. Ia cepat memutar pedangnya, melompat mundur dan melihat keadaan yang tidak menguntungkan itu, ia berteriak, “Gulam Sang, cepat melarikan diri!”

Pemuda tinggi besar yang masih melawan Keng Han mendengar seruan ini, kemudian melompat ke belakang. Sementara Keng Han sendiri tertegun mendengar suara Thian Yang Ji tadi sehingga dia tidak mengejar. Gulam Sang?

Dia teringat akan pesan mendiang gurunya, Gosang Lama supaya kelak bekerja sama dengan putera suhu-nya itu yang bernama Gulam Sang! Jadi pemuda tinggi besar itu putera gurunya! Menurut penjelasan Dalai Lama, putera gurunya itu telah menjadi murid Dalai Lama. Tidak mengherankan bila dia mempunyai ilmu yang tinggi sehingga dalam pertandingan tadi dia tidak mudah mengalahkannya.

Koai Tosu juga melarikan diri bersama Thian Yang Ji, lalu diikuti teman-temannya yang belum roboh. Dalam sekejap saja kedua orang ini sudah lenyap dari pandangan.

“Jangan kejar!” teriak Kwi Hong kepada komandan pasukan itu.

Perwira itu menghampiri Kwi Hong dan memberi hormat. “Tuan Puteri tidak apa-apa? Tidak terluka?”

“Sama sekali tidak. Untung kalian muncul membantu, jika tidak tentu kami akan celaka. Bhok-ciangkun, bagaimana engkau dapat muncul bersama pasukanmu di sini?”
“Kami mendapat tugas dari Yang Mulia Pangeran Mahkota untuk mencari Tuan Puteri. Sudah sebulan lebih kami mencari dan kebetulan saja kami mendapatkan Paduka di sini. Kami pikir bahwa mungkin sekali Paduka pergi ke Bu-tong-san.”

Sementara itu, Yo Han dan Keng Han mendengar semua percakapan itu. Wajah Keng Han berubah pucat saking kagetnya mendengar ucapan panglima itu terhadap Kwi Hong. Tuan puteri? Pangeran Mahkota? Apa artinya ini? Jadi Kwi Hong adalah seorang puteri istana dan masih ada hubungannya dengan Pangeran Mahkota?

Yo Han juga tercengang dan dia lalu memberi hormat kepada Kwi Hong. “Kiranya Nona adalah Tuan Puteri dari istana. Maafkan kalau saya bersikap kurang hormat.”

“Ahh, Paman Yo. Puteri atau bukan aku tetap saja sama, dan aku yang berterima kasih. Kalau tidak ada Paman tadi, tentu aku sudah celaka di tangan mereka.”

Keng Han memandang gadis itu dan Kwi Hong juga memandangnya. Dua pasang mata bertemu pandang, dan melihat pemuda itu diam saja tanpa mengeluarkan suara, Kwi Hong tersenyum dan berkata, “Han-ko, mengapa engkau diam saja?”

“Engkau... engkau adalah puteri istana... dan aku...” Keng Han tidak dapat melanjutkan kata-katanya.

Dia tadinya hendak berkata bahwa dia pun putera Pangeran Mahkota. Untung dia masih ingat dan menyimpan rahasianya. Sebelum dia bertemu dengan ayahnya, dia tidak akan membuka rahasianya.

“Benar, aku memang puteri Pangeran Mahkota dan namaku Tao Kwi Hong, lalu kenapa, Han-ko? Aku masih Kwi Hong yang biasa itu bagimu.”
“Akan tetapi, Tuan Puteri...”
“Aihh, sebut aku Hong-moi seperti biasa, Han-ko. Kita masih tetap sahabat, bukan?”
“Benar, Hong-moi, kita tetap bersahabat.”

Pada saat itu, Bhong-ciangkun memberi hormat kepada Kwi Hong dan berkata, “Sudah berbulan Paduka meninggalkan istana. Yang Mulia Pangeran amat gelisah, maka harap Paduka segera mengikuti kami untuk pulang ke kota raja.”

“Itu benar sekali, Tuan Puteri. Sebaiknya Tuan Puteri segera mengikuti pasukan ini dan pulang ke kota raja,” kata Yo Han yang ikut merasa tidak enak sekali. Tanpa disengaja, dia malah melindungi puteri pangeran penjajah!

Keng Han merasa tidak enak jika diam saja. “Memang itu yang paling tepat, Hong-moi. Orang tuamu tentu cemas memikirkan keselamatanmu.”

“Engkau ikutlah dengan kami ke kota raja, Han-ko. Bukankah dulu engkau mempunyai niat melihat-lihat kota raja?”
“Tidak sekarang, Hong-moi. Lain kali bila aku ke kota raja, aku tentu akan mencarimu.”
“Benarkah, Han-ko? Datang saja ke istana ayahku. Ayahku adalah Pangeran Mahkota dan semua orang tahu di mana istananya.”

Keng Han merasa terharu. Jangan-jangan gadis ini adalah saudaranya seayah!
“Baik, Hong-moi.”

Kwi Hong lalu diberi seekor kuda yang bagus dan berangkatlah ia dikawal pasukan itu meninggalkan kaki Pegunungan Bu-tong-san. Setelah gadis itu pergi dan derap kaki kudanya tidak terdengar lagi, bayangannya tidak nampak lagi, Keng Han terharu dan menghela napas panjang.

Yo Han agaknya mengerti akan isi hati pemuda itu dan dia pun menghibur, “Ada waktunya berpisah dan ada waktunya bertemu, Sobat Muda. Aku melihat gadis itu baik sekali padamu sehingga kelak kalian tentu akan dapat saling berjumpa kembali.”

Tiba-tiba timbul keinginan di dalam hati Keng Han untuk minta keterangan dari Yo Han ini. Sebagai ketua Thian-li-pang dan seorang pendekar kenamaan yang dihormati, tentu Yo Han mengetahui banyak tentang keluarga kaisar.

“Paman Yo, kalau boleh aku bertanya, siapakah nama Pangeran Mahkota itu?”

Pertanyaan yang diajukan sambil lalu ini tidak menarik kecurigaan Yo Han dan dianggap pertanyaan biasa seorang yang ingin tahu karena Pangeran Mahkota itu ayah dari gadis yang menjadi sahabat pemuda itu.

“Namanya Pangeran Mahkota Tao Kuang.”

Keng Han menyimpan keheranannya. Tadinya dia menduga bahwa Pangeran Mahkota bernama Tao Seng. Ataukah ayahnya itu kini telah menjadi kaisar?

“Dan siapakah nama kaisar sekarang, Paman?”
“Ahh, engkau belum tahu? Agaknya engkau belum banyak merantau di dunia ramai, Keng Han. Nama kaisar adalah Kaisar Cia Cing.”

Kembali Keng Han termenung. Kalau kaisar dan putera mahkotanya bukan ayahnya, lalu di mana adanya ayahnya dan apa pula kedudukannya? Dengan amat hati-hati agar jangan sampai kentara bahwa dia menaruh perhatian, dia lalu bertanya,

“Memang saya belum banyak merantau di dunia ramai sehingga tidak tahu apa-apa, Paman. Tetapi saya pernah mendengar tentang seorang pangeran bernama Pangeran Tao Seng. Adakah nama pangeran yang demikian itu?”
“Pangeran Tao Seng?” Yo Han mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. “Kalau aku tidak salah, dua puluh tahun yang lalu Pangeran Tao Seng itu bersama Pangeran Tao San telah menerima hukuman buang. Mereka dihukum karena berselisih dengan Pangeran Mahkota Tao Kuang.”
“Ahhh, dibuang? Ke manakah?”
“Mana aku tahu? Bahkan mungkin juga dia sudah meninggal dunia sekarang. Orang yang dihukum amat berat, apa lagi dihukum buang di tempat terasing, jarang yang kuat bertahan.”

Hampir saja Keng Han meloncat saking kaget dan sedihnya mendengar ini. Ayahnya yang disangkanya menjadi pangeran mahkota atau bahkan kaisar itu, telah meninggal dalam pembuangan!

“Kenapa, Keng Han? Kenapa engkau menanyakan pangeran itu?”
“Ahh, tidak apa-apa, Paman. Hanya aku pernah bertemu seorang yang dahulu pernah ditolong oleh Pangeran Tao Seng, dan dia minta tolong kepadaku untuk menyampaikan hormatnya kalau aku kebetulan bertemu dengannya.”
“Ohh, begitukah? Keng Han, aku tertarik sekali melihat engkau ketika tadi berkelahi melawan pemuda tinggi besar yang lihai sekali itu. Engkau dapat menahan pukulannya dan engkau menggunakan ilmu-ilmu Pulau Es. Agaknya aku sempat melihat engkau mempergunakan ilmu Toat-beng Bian-kun pula. Benarkah?”

Keng Han juga kagum sekali. Orang ini dapat mengenal ilmu pukulannya, padahal dia sendiri dalam keadaan sedang dikeroyok oleh banyak orang. “Benar, Paman. Memang di Pulau Hantu itu aku menemukan dua ilmu silat itu yang kupelajari dengan tekun.”

“Dan tenagamu itu! Coba kau terima pukulanku ini, Keng Han!”

Yo Han segera mendorongkan kedua tangannya ke arah Keng Han. Serangkum angin yang dahsyat lantas menyambar sehingga Keng Han amat terkejut. Cepat dia menerima dengan kedua tangannya dan secara otomatis dua hawa yang berlawanan di dalam tubuhnya bekerja.

“Wuuuttttt... dessss...!” Keduanya terdorong ke belakang dan Yo Han berseru kaget.
“Ahh, bukankah kedua tanganmu itu tadi menggunakan tenaga Hwi-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang?”

Karena sudah terlanjur ketahuan, terpaksa Keng Han membenarkan. “Memang aku juga mempelajari sinkang itu dari coretan di dinding goa.”

“Bukan main! Kalau begitu engkau benar-benar telah mewarisi pusaka Pulau Es, Keng Han! Berhati-hatilah engkau dan pergunakan ilmu-ilmu itu untuk kebaikan. Ketahuilah bahwa keluarga para pendekar Pulau Es adalah para pendekar yang gagah perkasa. Kalau engkau keliru menggunakan ilmu-ilmu itu ke arah kejahatan, pasti mereka semua akan mencari dan membinasakanmu. Ilmu-ilmu pusaka Pulau Es tidak boleh digunakan untuk kejahatan.”
“Semoga Tuhan menghindarkan aku dari perbuatan jahat, Paman!” Keng Han berkata penuh semangat. Ia adalah putera bangsawan. Ayahnya seorang pangeran Mancu dan ibunya adalah puteri kepala suku Khitan, bagaimana mungkin dia bisa menjadi seorang penjahat?

Mereka lalu berpisah. Yo Han kembali ke Thian-li-pang di Bukit Naga dan Keng Han melanjutkan perjalanannya. Akan tetapi dia menjadi bingung. Bagaimana kalau ayahnya benar-benar telah tewas seperti diduga oleh Yo Han tadi?

Bagaimana pun juga, dia harus menyelidiki ke kota raja dan kalau benar ayahnya telah mati, dia harus membalas kematian ayahnya itu! Pantas selama ini ayahnya tak pernah menengok ibunya. Kiranya ia telah dihukum buang. Dua puluh tahun yang lalu, jadi tidak lama setelah ayahnya meninggalkan ibunya.....
********************
Keng Han berjalan dengan wajah muram. Dia tengah teringat kepada Kwi Hong. Harus diakuinya bahwa dia tertarik sekali pada Kwi Hong yang bersikap amat baik kepadanya. Hampir dia menduga bahwa dia telah jatuh hati kepada gadis itu. Tetapi kenyataannya membuat dia muram dan berduka.

Kwi Hong adalah Tao Kwi Hong, masih saudara sepupunya! Mereka bermarga Tao yang sama, maka sudah tentu tidak mungkin mereka saling jatuh cinta dan berjodoh. Makin dikenang semakin sedih hatinya.

Selagi dia berjalan perlahan-lahan, tidak peduli ke mana dia pergi asal ke timur, tiba-tiba pendengarannya yang tajam mendengar langkah kaki orang. Cepat dia menyelinap dan bersembunyi ke balik semak belukar. Tak lama kemudian dia melihat dua orang kakek berjalan dengan langkah panjang.

Salah seorang di antara mereka segera dikenalnya sebagai kakek yang dahulu pernah memukulnya ketika mereka bertemu di Pulau Hantu. Kakek raksasa berambut putih itu tidak akan pernah dilupakan.

Ada pun kakek kedua adalah seorang berusia enam puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus, tangan kanan memegang sebatang dayung baja dan lengan kirinya memanggul tubuh seorang wanita yang pakaiannya serba putih dan mukanya tertutup topeng sutera putih pula.

Jantung Keng Han berdebar tegang! Itulah gadis berpakaian putih yang menjadi sumoi dari Bi-kiam Niocu! Jelas bahwa gadis itu telah tertotok. Tubuhnya amat lemas ketika dipanggul oleh kakek tinggi kurus itu.

Kakek yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih itu memang benar adalah Swat-hai Lo-kwi, kakek yang dahulu bertemu dengan Keng Han di Pulau Hantu. Ada pun kakek kedua yang menawan Souw Cu In, gadis berpakaian putih itu adalah Tung-hai Lo-mo. Kedua orang kakek ini sedang berjalan seiring menuju ke Bu-tong-san.

Bagaimana gadis berpakaian putih itu sampai jatuh ke tangan Tung-hai Lomo? Gadis itu adalah murid Ang Hwa Nio-nio, murid ke dua. Akan tetapi karena ia lebih berbakat dan lebih disayang oleh Ang Hwa Nio-nio maka dalam hal ilmu silat, ia justru lebih lihai dari suci-nya, Siang Bi Kiok atau Bi-kiam Niocu. Akan tetapi, ia yang begitu lihai bagaimana sampai dapat ditawan dua orang kakek datuk sesat itu?

Terjadinya tadi pagi. Ketika itu Souw Cun In sedang berjalan seorang diri dan melewati sebuah dusun. Di dusun itu sedang diadakan keramaian karena ada pesta pernikahan di rumah kepala dusun. Tentu saja semua penduduk dusun itu berdatangan sehingga suasana dusun itu ramai dan meriah sekali.

Selagi orang ramai merayakan pesta itu, datanglah dua orang kakek memasuki tempat pesta. Mereka berdua disambut sebagai tamu walau pun tidak ada yang mengenalnya, dan memang demikianlah kebiasaan di dusun itu. Setiap kali ada pesta, siapa pun yang datang akan dianggap sebagai tamu dan disuguhi hidangan.

Dua orang kakek itu bukan lain adalah Swat-hai Lo-kwi dan Tung-hai Lo-mo. Dasar dua orang datuk sesat, mereka tidak merasa puas hanya dilayani sebagai tamu biasa.

“Hai, tidak tahukah kalian siapa yang datang ini? Kami adalah dua orang datuk dan kami minta pelayanan istimewa. Hayo keluarkan arak pengantin yang terbaik dan hidangan yang paling lezat, kemudian sepasang pengantin harus melayani kami makan minum!” Demikianlah kata Tung-hai Lo-mo yang berwatak mata keranjang itu. Swat-hai Lo-kwi hanya tertawa saja melihat ulah kawannya.

Tentu saja suasana menjadi gempar. Tuan rumah, si kepala dusun, datang menemui mereka dan berusaha untuk membujuk mereka supaya jangan membuat kacau pesta pernikahan. Mereka akan dilayani sebagai tamu terhormat seperti yang lain.

“Tidak, pengantin wanita harus melayani kami makan minum!” Tung-hai Lomo berkata dengan nada membentak.

Kepala dusun itu menjadi marah. Bersama beberapa orang pemuda dia menghampiri dua orang tua itu dan berkata dengan suara tegas.

“Kami tidak bisa menuruti kehendak kalian yang tidak pantas itu. Kalau mau, terimalah pelayanan kami apa adanya, atau pergi dari sini dan jangan menimbulkan kekacauan!”

Lo-mo menoleh kepada Lo-kwi. “Mereka belum mengenal siapa kita, karena itu berani sembarangan. Mereka harus dihajar agar mengenal siapa kita!”

Kedua orang kakek itu lalu menerjang maju dan kepala dusun bersama enam orang pemuda itu sudah terlempar ke sana sini!

Orang-orang muda di dusun itu menjadi sangat marah. Mereka lalu maju mengeroyok, akan tetapi hasilnya mereka sendiri yang terlempar malang melintang terkena tamparan dan tendangan kakek itu.

Pada saat itu terdengar bentakan nyaring tapi lembut. “Dari mana datangnya dua orang kakek yang begini jahat?” Dan muncullah seorang gadis berpakaian putih yang wajah bagian bawahnya tertutup kain putih pula. Demikian cepat gerakannya sehingga tidak ada orang yang melihatnya datang.

Lo-kwi dan Lo-mo juga ikut menengok dan menghadapi gadis itu. Mereka tertawa dan Lo-mo berkata, “Haa! Mengapa gadis secantik kamu menutupi mukamu dengan kain? Engkau pun harus melayani kami makan minum bersama mempelai wanita, jadi ada dua orang pelayan untuk kami berdua.”

“Ji-wi (kalian berdua) tentulah termasuk datuk yang tingkatnya sudah tinggi dalam ilmu silat. Mengapa masih tidak malu mengganggu orang dusun? Harap Jiwi menghentikan perbuatan yang akan mencemarkan nama besar Ji-wi sendiri.” Gadis itu berkata lagi. Sepasang matanya yang tidak ditutupi itu nampak bening dan bersinar tajam menyapu kedua orang datuk sesat itu.

“Nona, siapakah engkau? Apa lagi baru seorang gadis muda sepertimu, bahkan kalau gurumu sendiri datang ke sini, kami tidak akan gentar menghadapinya!”

“Guruku adalah seorang pendeta wanita bernama Ang Hwa Nio-nio. Jika beliau melihat perbuatan kalian, kalian tentu tidak akan diberi ampun!”

Dua orang kakek itu bangkit berdiri. “Aha, kiranya murid Ang Hwa Nio-nio?” seru Lo-kwi. “Bagus, kini aku mendapat kesempatan baik untuk membalas penghinaan yang pernah kuterima dari Ang Hwa Nio-nio!”

“Dan Nona ini tentu cantik luar biasa, sayang kalau dilewatkan begitu saja!” kata Lo-mo sambil menyeringai.
“Kiranya kalian adalah orang-orang yang sesat dan memang patut diberi hajaran!” kata gadis itu yang bukan lain adalah Souw Cu In yang kebetulan lewat di dusun itu.
“Lo-kwi, biarkan aku yang menangkap gadis ini!” berkata pula Lo-mo yang sudah tergiur hatinya melihat bentuk tubuh dan juga muka bagian atas dari Souw Cu In. Lo-kwi hanya tersenyum dan menenggak arak dari guci yang berada di atas meja.

Tung-hai Lo-mo memandang rendah gadis berkedok itu, maka dia tidak menggunakan dayungnya yang ia sandarkan pada meja. Dia lalu menerjang dengan kedua tangannya yang panjang itu, menerkam dari kanan dan kiri. Agaknya dengan sekali tubruk saja dia hendak menangkap gadis itu.

Akan tetapi dia kecelik sama sekali. Tangannya hanya menerkam angin belaka karena Souw Cu In sudah dapat mengelak dengan sangat mudah, dan dengan geseran kakinya sudah berada di belakang lawan. Lo-mo membalik dengan cepat dan kini menyerang lagi dengan pukulan yang dilanjutkan cengkeraman tangannya.

Souw Cu In cepat menangkis. Tangkisan itu membuat tangan yang mencengkeram itu terpental dan gadis itu langsung membalas dengan tamparan yang kuat ke arah muka kakek tinggi kurus itu.

Lo-mo menjadi terkejut sekali. Tamparan itu keras dan mendatangkan angin, maka dia lalu meloncat ke belakang untuk menghindarkan dirinya. Tiba-tiba ada sinar kecil putih meluncur ke arah mukanya. Lo-mo terkejut dan cepat hendak mengelak, akan tetapi ujung sabuk sutera putih yang panjang itu masih mengenai pundaknya.

“Prattt...!”

Dan dia terhuyung ke belakang. Baju di pundaknya robek dan kulit pundaknya terasa perih. Bukan main marahnya. Disambarnya dayung baja yang disandarkan pada meja tadi dan kini dia menyerang dengan ganasnya kepada gadis berpakaian putih itu.

Para tamu menjadi geger. Medan pesta menjadi medan perkelahian! Kepala dusun dan para orang muda yang tadi sempat berkenalan dengan kelihaian Lo-mo hanya dapat menonton sambil berdoa semoga gadis berpakaian putih itu mendapatkan kemenangan.

Perkelahian berlangsung seru dan seimbang. Lo-mo memainkan dayungnya yang terus menyambar-nyambar. Akan tetapi gadis itu lincah sekali gerakannya sehingga setiap sambaran dayungnya selalu dapat dihindarkan. Bahkan lecutan sabuk suteranya yang meledak-ledak itu kadang mengacam kepalanya karena terus mengirim totokan ke arah jalan-jalan darah di tubuhnya. Biar pun pertandingan berjalan seimbang, namun karena Lo-mo kalah dalam hal kecepatan bergerak, dia lebih banyak menerima serangan dan kelihatan terdesak.

Melihat temannya tidak mampu mengalahkan gadis itu, Lo-kwi tidak mau tinggal diam. Dia masih mendendam kepada Ang Hwa Nio-nio yang pernah mengalahkannya dalam pertandingan. Maka kini dia hendak melampiaskan dendamnya kepada murid Ang Hwa Nio-nio itu. Dia segera maju dan melancarkan pukulannya yang mengandung sinkang dingin.

Merasa ada hawa dingin menghantamnya dari samping, Souw Cu In amat terkejut dan maklum bahwa kakek ke dua membantu temannya. Dia mengelak dengan loncatan ke kiri sambil memutar sabuk suteranya yang melingkar dan membalik menyerang Lo-kwi. Akan tetapi Lo-kwi lalu menangkisnya dengan pukulannya yang ampuh sehingga ujung cambuk itu terpental.

Pada saat itu dayung di tangan Lomo telah menyambar lagi. Souw Cu In mengelak akan tetapi pukulan Lo-kwi kembali menyambar dengan dahsyatnya. Kembali Cu In melompat ke belakang untuk menghindarkan diri.

Sebetulnya, tingkat kepandaian Souw Cu In sudah tinggi sekali dan kalau dibandingkan dengan Lo-kwi atau Lo-mo, tingkatnya seimbang. Akan tetapi karena kedua iblis tua itu maju bersama mengeroyoknya, tentu saja Cu In menjadi kewalahan! Akhirnya, sebuah pukulan dari Lo-kwi menyerempet pundaknya, membuat ia terhuyung dan kesempatan itu dipergunakan oleh Lo-mo untuk menotoknya sehingga dia menjadi lemas dan tidak mampu bergerak lagi.

Lo-mo tertawa puas dan memanggul tubuh yang ramping itu, lalu mengambil sabuk sutera putih itu dan menggunakannya untuk mengikat kedua tangan Cu In.

“Mari kita pergi dari sini!” katanya kepada Lo-kwi.

Karena merasa tidak enak bahwa semua orang dusun sudah memusuhi mereka, Lo-kwi menyambar seguci arak dan segera pergi mengikuti temannya yang sudah lebih dahulu melangkah pergi sambil memanggul tubuh Cu In.

“Hei, tunggu dulu!” berkata Lo-kwi setelah mereka meninggalkan dusun itu. “Untuk apa engkau menawannya?”
“Heh-heh-heh, untuk apa? Tentu untuk bersenang-senang. Gadis ini cantik sekali!”
“Bodoh. Apakah kau tidak mau melihat dulu mukanya yang ditutupi itu? Bukan tidak ada sebabnya ia selalu menutupi mukanya!” kata Lo-kwi.

Mendengar ini, Lo-mo lalu menurunkan tubuh Souw Cu In ke atas tanah dan tangannya menyingkap kedok putih itu. Dia terbelalak dan Lo-kwi tertawa mengejeknya.

“Kalau begitu, kita bikin mampus saja bocah setan ini. Untuk apa dibawa-bawa?” kata Lo-mo dengan marah.
“Nanti dulu. Aku pernah dihina oleh Ang Hwa Nio-nio, pernah dikalahkannya walau pun selisihnya sedikit saja. Aku ingin membawa muridnya kepadanya untuk menghinanya.”
“Kalau ia marah dan menyerangmu?”
“Ha-ha-ha, sudah kukatakan tadi bahwa aku hanya kalah sedikit saja olehnya. Jika ada engkau yang membantuku, tentu kita berdua akan mampu membunuhnya dengan amat mudah!”
“Engkau hendak membawa aku bermusuhan pula dengannya?” Lo-mo membantah.
“Ehhh, Kawan. Bukankah kita sudah bersekutu untuk membantu Bu-tong-pai? Kalau kita ini sekutu, dalam segala hal haruslah bersatu, bukan?”

Lo-mo menarik napas panjang. “Baiklah, mari kita pergi.”

Dia lalu mengambil lagi tubuh Cu ln dan memanggulnya, akan tetapi tidak lagi lembut dan mesra seperti tadi, melainkan dengan kasar dia memanggul tubuh itu. Keduanya kemudian melanjutkan perjalanan, hendak menuju ke tempat tinggal Ang Hwa Nio-nio dan Lo-kwi yang menjadi penunjuk jalan.

Demikianlah mereka tidak tahu bahwa mereka sudah diintai oleh Keng Han yang lalu membayangi mereka dari belakang. Setelah hari menjadi sore, kedua orang datuk itu beristirahat di dalam sebuah goa dan mereka menaruh tubuh Cu In di atas tanah, di ujung goa itu. Kemudian mereka mengeluarkan bekal roti kering dan minum anggur yang tadi dibawa oleh Lo-kwi dari rumah pengantin.

Keng Han mendekati mereka. Setelah tiba di balik semak dekat goa, dia lalu mengambil beberapa buah batu kerikil. Dia membidik dan menyambitkan batu-batu kerikil itu ke arah tubuh Cu In yang menggeletak di sudut goa. Bidikannya tepat dan dengan mudah dia sudah membebaskan Cu In dari totokannya.

Gadis ini terkejut dan juga girang. Dia tahu bahwa ada orang yang menolongnya, telah membebaskan totokannya dengan sambitan batu-batu kerikil. Akan tetapi karena kedua tangannya masih terbelenggu sabuknya sendiri, dia pura-pura tak bergerak. Diam-diam dia mengerahkan sinkang-nya dan perlahan-lahan dia dapat meloloskan tangannya dari ikatan sabuknya. Setelah tangannya bebas, ia pun meloncat bangun, sabuk sutera yang menjadi senjata ampuhnya itu telah berada di tangannya.

Mendengar gerakan ini, dua orang kakek itu menengok dan alangkah kaget hati mereka melihat gadis itu telah bebas dan juga telah siap menyerang dengan sabuknya! Mereka meloncat berdiri dan bersiap pula. Bahkan Lo-mo sudah menyambar dayung bajanya.

Akan tetapi, pada saat itu ada bayangan orang melayang dan tahu-tahu sudah berada di depan goa. Keng Han segera mengenal Swat-hai Lo-kwi, kakek raksasa rambut putih yang dulu pernah memukulnya ketika mereka bertemu di Pulau Hantu. Maka dia segera menghadapinya.

“Kakek tua, sebetulnya seorang yang sudah tua sepertimu ini sebaiknya mencari jalan terang dengan perbuatan-perbuatan yang baik agar kelak mendapat pengampunan dari Tuhan, bukan malah menumpuk kejahatan!“ kata Keng Han.

Lo-kwi tidak mengenal Keng Han. Pada saat mereka bertemu dahulu, Keng Han baru berusia lima belas tahun, masih remaja dan sekarang pemuda remaja itu telah menjadi seorang pemuda dewasa.

Akan tetapi Souw Cu In mengenal Keng Han yang pernah hendak dibunuh suci-nya. Ia tahu bahwa pemuda itu yang menolongnya, akan tetapi ia pun menjadi khawatir akan keselamatan pemuda itu. Kalau pemuda itu melawan suci-nya saja kalah, bahkan diakui murid oleh suci-nya, bagaimana mungkin dia akan menandingi Swat-hai Lo-kwi?

Maka, untuk menolong pemuda itu, ia sudah cepat menyerang dengan sabuk suteranya ke arah Lo-mo sambil berseru, “Sobat, kau cepat lari dari sini!”

Akan tetapi Keng Han tidak lari, bahkan dia pun lalu menyerang Lo-kwi! Serangannya mendatangkan angin yang amat kuat sehingga Lo-kwi terkejut dan mengelak, kemudian membalas dengan pukulannya yang dingin.

Menghadapi pukulan dingin ini, Keng Han menangkis dengan tangan kanannya sambil mengerahkan hawa panas dari Hwi-yang Sinkang.

“Wuuuttttt... desssss...!”

Akibatnya, tubuh kakek raksasa itu lantas terpental ke belakang. Bukan main kagetnya Swat-hai Lo-kwi karena ketika tangannya tertangkis tadi, ada hawa yang panas sekali menyusup ke tubuhnya melalui lengannya sehingga membuyarkan tenaga dingin yang tadi dikerahkannya. Dia lalu menerjang lagi dengan ilmu silatnya yang aneh dan Keng Han melayaninya dengan Hong-in Bun-hoat sehingga terjadilah perkelahian yang seru di antara mereka.

Sementara itu, Cu In juga sudah menyerang Lo-mo kalang-kabut karena kemarahannya kepada kakek yang tinggi kurus ini. Sabuk sutera putihnya menyambar-nyambar dan meledak-ledak di atas kepala lawan dengan totokan-totokan yang berbahaya.

Ang Hwa Nio-nio memang seorang ahli totok yang lihai sekali, dan ia telah menurunkan ilmu totoknya itu kepada kedua orang muridnya. Hanya bedanya, kalau Siang Bi Kiok atau Bi-kiam Niocu diajar menotok dengan jari tangan, Souw Cu In melakukan totokan-totokan dengan ujung sabuk suteranya! Karena kini tidak lagi dibantu Lo-kwi yang sibuk sendiri melawan pemuda itu, Lo-mo menjadi kewalahan dan segera terdesak oleh gadis berpakaian putih itu.

Keng Han juga sama sekali tidak mau memberi kesempatan kepada lawannya. Ketika lawannya lengah, sebuah hantaman dengan tangan kirinya mengenai pundak lawan. Tangan kirinya mengandung Swat-im Sinkang dan kakek yang ahli ilmu tenaga sinkang dingin itu kini menggigil kedinginan. Dia menjadi jeri dan berteriak kepada kawannya.

“Lo-mo, mari kita pergi!”

Teriakan itu sudah dimengerti oleh Lo-mo bahwa kawannya itu tak mampu menandingi lawan, maka dia memutar dayungnya dengan cepat dan dahsyat. Menghadapi serangan dahsyat ini, terpaksa Cu In mundur dan kesempatan ini dipergunakan oleh Lo-mo untuk meloncat dan melarikan diri bersama kawannya.

Cu In yang masih marah sekali kepada kakek itu hendak mengejar, namun Keng Han berkata, “Tidak menguntungkan mengejar lawan yang sudah kalah. Apa lagi mereka berdua!”

Mendengar ini, Cu In tidak melanjutkan pengejarannya. Dia berdiri memandang pemuda itu dengan sinar matanya yang tajam sambil menggulung kembali sabuk suteranya dan menyelipkan di pinggangnya.

“Kenapa engkau membantuku?” Pertanyaan itu pendek akan tetapi seperti suara orang yang menuntut.

Keng Han menjadi bingung. “Kenapa? Kenapa, ya? Barangkali karena melihat seorang wanita sedang ditawan oleh dua orang datuk sesat, atau barangkali juga karena engkau pernah menyelamatkan nyawaku ketika aku akan dibunuh oleh Bi-kiam Niocu.”

“Aku tidak menyelamatkanmu, tapi menghindarkan suci dari perbuatan yang keliru. Aku tidak menghutangkan budi apa pun padamu. Lalu kenapa engkau menolongku? Jawab yang jelas!” Wanita itu kembali bertanya dengan suara sungguh-sungguh.
“Jawabannya mudah saja. Melihat seorang wanita ditawan orang jahat, tentu saja aku menolongnya.”
“Bagaimana kalau wanita itu bukan aku?”
“Aku tetap akan menolongnya, tidak peduli orang itu engkau atau siapa pun juga. Sudah menjadi tugas kewajibanku untuk menolong orang yang tertindas dan menentang orang yang jahat. Nah, puaskah engkau dengan jawaban itu?”

Souw Cu In menghela napas panjang, mukanya nampak lega. “Cukup puas. Jadi itu berarti bahwa engkau menolong tanpa pamrih, bukan menolong aku pribadi, melainkan aku sebagai wanita yang terancam bahaya.”

“Tentu saja. Pula, andai kata aku menolong karena engkau, itu pun tidak aneh, bukan? Engkau pernah menyelamatkan aku, sudah semestinya kalau sekarang aku membalas budi itu.”
“Tidak! Jangan kau lakukan itu. Tidak ada budi di antara kita. Aku adalah wanita biasa bagimu, bukan? Engkau tidak tertarik kepadaku karena aku pernah menolongmu, atau karena keadaan diriku?”

Keng Han merasa betapa anehnya pertanyaan wanita ini. Kemudian dia teringat akan keterangan Bi-kiam Niocu.

Guru kedua orang gadis itu adalah nenek yang amat kejam itu, melarang kedua orang muridnya berhubungan akrab dengan pria. Mereka dilarang jatuh cinta atau dicinta oleh seorang laki-laki. Kalau ada laki-laki yang jatuh cinta kepada mereka, mereka harus membunuh pria itu!

Karena itulah agaknya wanita berkedok ini bertanya kepadanya untuk melihat apakah dia menaruh perhatian atau jatuh cinta kepadanya. Diam-diam dia bergidik! Kalau dia mengaku tertarik, mungkin wanita ini akan membunuhnya!

“Engkau aneh sekali, Nona. Aku menolongmu tanpa pamrih apa pun!”

Mendengar jawaban yang tegas itu, baru Souw Cu In kelihatan tenang. Matanya berseri dan sinarnya tidak setajam tadi, melainkan lembut.

“Siapakah namamu?”
“Namaku Si Keng Han.”
“Jadi engkau telah menjadi murid suci-ku?”
“Benar, subo mengajarkan ilmu menotok kepadaku.”
“Kalau begitu aku ini su-i-mu (bibi gurumu) maka sudah semestinya engkau menyebut bibi guru kepadaku.”
“Akan tetapi engkau masih begini muda, tidak pantas aku menyebut bibi guru!”
“Keng Han, engkau murid suci-ku, bukan? Apakah suci-ku sudah begitu tua sehingga ia menjadi gurumu?”

Keng Han teringat dan dia pun memberi hormat sambil berkata, “Baiklah, Su-i!”

“Bagaimana engkau tadi dapat melihat aku dibawa dua orang datuk itu? Engkau hendak pergi ke manakah?”
“Aku sedang melakukan perjalanan ke timur, ke kota raja, dan tadi aku melihat kedua orang datuk itu lewat. Melihat mereka menawanmu, aku lalu membayangi mereka dan setelah mereka tiba di sini, aku turun tangan menolongmu.”
“Pantas engkau pandai membebaskan totokan pada tubuhku, kiranya sudah belajar dari suci. Akan tetapi, aku lihat kepandaianmu tidak di sebelah bawah tingkat suci, mengapa engkau menjadi muridnya? Benarkah engkau tidak mempunyai perasaan suka dan cinta terhadap suci?”
“Tidak sama sekali, Su-i. Aku suka menjadi muridnya mempelajari ilmu totokan, karena selain aku memang suka mempelajari segala macam ilmu, juga subo sudah lebih dulu menunjukkan kemahirannya dengan mengalahkan aku, yaitu dengan totokan itu.”
“Untung engkau tidak mencintanya, jika engkau mencintanya berarti engkau harus mati di tangannya. Jangan sekali-kali engkau jatuh cinta kepada orang-orang seperti kami, karena itu merupakan keputusan hukuman mati bagimu.”
“Aku... aku tidak berani...!” kata Keng Han ngeri.

Akan tetapi dia tak dapat membohongi dirinya bahwa berbeda dengan perasaan hatinya terhadap Niocu, terhadap nona berpakaian putih ini lain lagi. Hatinya amat tertarik dan dia ingin mengenalnya lebih dekat lagi.

“Nah, sekarang kita harus berpisah di sini, Keng Han,” kata Souw Cu In.
“Su-i, setelah aku menyebutmu bibi guru sungguh tidak masuk akal kalau aku tidak mengetahui namamu?”
“Namaku Souw Cu In. Sudahlah, aku harus pergi sekarang!”
“Su-i, sungguh berbahaya pergi sekarang. Hari sudah hampir gelap, tentu engkau akan kegelapan dalam perjalanan. Dan itu berbahaya sekali. Bagaimana kalau kedua orang kakek iblis tadi masih berada di sekitar tempat ini?”

Gadis itu nampak membelalakkan matanya dan memandang ke arah depan, lalu alisnya berkerut. “Lalu bagaimana baiknya?”
“Yang terbaik adalah melewatkan malam di goa ini, Su-i. Di sini aman, tidak terganggu angin malam yang dingin dan kita dapat membuat api unggun. Selain itu, apakah Su-i tidak merasa lapar?”

Souw Cu In termenung. Baru sekarang terasa olehnya betapa perutnya memang lapar sekali. “Begitu pun baik, tetapi di tempat seperti ini bagaimana kita bisa mendapatkan makanan?”

“Jangan khawatir, Bibi Guru yang baik. Aku akan mencari binatang buruan untuk kita panggang dagingnya. Dan tentang minuman, sayang aku tidak punya.”
“Aku masih mempunyai seguci arak,” berkata Souw Cu In sambil melepaskan buntalan pakaiannya.
“Kalau begitu, sungguh beruntung kita. Nah, aku pergi sebentar untuk mencari binatang buruan, Su-i!” Setelah berkata demikian, Keng Han melompat pergi dengan cepat.

Dia harus cepat mendapatkan binatang buruan karena sebentar lagi malam tiba dan sukar baginya untuk memperoleh binatang buruan. Senja menjelang malam itu menjadi waktu bagi burung-burung untuk terbang kembali ke sarangnya dan inilah yang menarik perhatian Keng Han.

Dia pergi ke sebatang pohon besar di mana nampak banyak burung terbang berputaran. Dengan beberapa buah batu dia menyambit dan berhasil mengenai empat ekor burung yang berjatuhan ke bawah. Dia girang sekali. Burung ini cukup besar sehingga seorang makan dua ekor saja tentu sudah kenyang.

Cepat dia pun berlari kembali ke goa tadi dan melihat betapa Cu In sudah membuat api unggun.

“Ini hasil buruanku, Su-i!” katanya bangga sambil memperlihatkan empat ekor burung yang sudah mati itu.

Dengan pedang bengkoknya dia membersihkan burung itu, membuang isi perut dan semua bulunya, kemudian menusuknya dengan bambu dan siap memanggangnya di api unggun.

“Bagaimana mungkin makan panggang burung tanpa dibumbui? Tentu rasanya tidak enak. Aku membawa bumbu untuk itu!” kata Cu In dan ia mengeluarkan dari buntalan pakaiannya beberapa bungkusan terisi bumbu seperti garam, merica, bawang dan lain-lainnya.

Keng Han merasa girang sekali. Mereka bekerja menaruh bumbu pada daging burung yang lalu dipanggangnya. Tercium bau sedap pada saat daging burung itu terpanggang. Tentu saja yang dapat membuat daging itu mengeluarkan bau sedap adalah bumbunya, terutama bawangnya.

Sebentar saja empat ekor daging burung itu matang dan mereka lalu makan. Ketika Keng Han memandang untuk mencuri lihat wajah yang tertutup kedok itu, dia kecelik. Gadis itu makan daging burung tanpa sedikit pun memperlihatkan mulutnya. Tangannya yang membawa daging itu ke balik topeng sutera dan yang kelihatan hanya kain itu bergerak-gerak ketika mulutnya makan.

Keng Han merasa penasaran sekali. Ia yakin bahwa gadis ini tentu berwajah cantik jelita luar biasa. Baru dilihat dari rambutnya yang hitam panjang dan ikal mayang, melihat sinom (anak rambut) yang melingkar-lingkar di dahi dan pelipisnya, dahi yang halus dan putih mulus, alis yang seperti dilukis seorang pelukis pandai, melengkung dan kecil hitam, mata yang bagaikan sepasang bintang kejora, tulang pipi yang agak menonjol dan selalu kemerahan bukan oleh pemerah muka, itu semua saja sudah menunjukkan kecantikan yang luar biasa. Hidung dan mulutnya tidak nampak, juga dagunya, akan tetapi Keng Han berani bertaruh bahwa hidung dan mulut itu tentu indah sekali.

Setelah makan daging burung panggang, Cui In mengeluarkan seguci anggur. Ia lalu membawa mulut guci ke balik topengnya dan menengadah, minum anggur itu langsung dari mulut guci ke mulutnya. Kemudian ia menyerahkan guci itu kepada Keng Han.

“Nah, kau minumlah. Anggur ini tidak keras, hanya sebagai penyegar setelah makan.”

Keng Han tertegun. “Tapi... mana cawannya, Su-i?”
“Cawan? Untuk apa? Aku tidak mempunyai cawan.”
“Untuk minum tentu saja. Kalau tidak ada cawannya, bagaimana aku dapat minum?”
“Bodoh! Minum saja dari mulut guci, apa sukarnya?”

Jantung dalam dada Keng Han berdebar. Mulut guci itu baru saja beradu dengan mulut nona itu, dan sekarang nona itu menyuruh dia minum dari mulut guci pula!

“Akan tetapi, mana aku berani? Bukankah guci anggur ini milikmu, Su-i? Bagaimana aku berani mengotori dengan minum dari mulut guci?”

Gadis itu memandang keheranan, matanya bersinar-sinar tertimpa cahaya api unggun. “Engkau ini kenapa? Apakah mulutmu mengandung penyakit? Apakah engkau sedang menderita sakit batuk yang parah?”
“Tidak, Su-i.”
“Nah, kalau begitu minumlah dari mulut guci!”

Jika gadis itu merasa heran melihat kesungkanan Keng Han yang agaknya terlalu sopan santun itu, sebaliknya Keng Han bahkan terheran-heran melihat keterbukaan nona itu yang wataknya begitu polos dan bersih! Maka dia lalu menenggak anggur itu dari mulut guci dan memang rasanya segar sekali. Setelah merasa cukup dia mengembalikan guci kepada pemiliknya dan Cu In menutupkan kembali mulut guci, menyimpannya dalam buntalannya seolah tidak pernah terjadi sesuatu yang janggal.

Kemudian Keng Han teringat. Bibi gurunya itu perlu beristirahat dan tempat itu demikian kotornya. Ia segera mencari daun-daun kering untuk membersihkan dan menyapu lantai goa yang paling rata. Kemudian dia baru mempersilakan Cu In untuk duduk atau rebah di situ.

“Silakan Bibi Guru mengaso di sini, tempat ini sudah bersih. Aku akan menjaga di luar goa sambil menjaga agar api unggun tidak padam.”

Cu In mengikuti pekerjaan Keng Han dengan penuh perhatian. Kemudian pada waktu ia dipersilakan mengaso, ia pun mengangguk, lalu bangkit dan melangkah ke dalam goa. Langkahnya! Alangkah indah lenggangnya, bagaikan seekor harimau betina melangkah, demikian lemah gemulai akan tetapi juga demikian kokoh kuat!

Cu In duduk di tempat yang sudah dibersihkan itu, kemudian dia merebahkan diri miring berbantalkan buntalan pakaiannya. Sebentar saja gadis itu sudah tertidur pulas. Hal ini diketahui oleh Keng Han dari pernapasannya yang lembut dan teratur.

Keng Han merasa berbahagia sekali. Dia sendiri merasa heran. Pernah dia merasakan kebahagiaan seperti ini, yaitu ketika dia bertemu dengan Kwi Hong. Dia juga merasa tertarik dan suka sekali kepada dara itu. Akan tetapi semenjak dia mengetahui bahwa Kwi Hong bermarga Tao, puteri Pangeran Mahkota, masih saudara sepupunya sendiri, hatinya terasa perih dan dia mencoba melupakan gadis itu.

Kemudian dia melakukan perjalanan bersama Bi-kiam Niocu. Harus diakuinya bahwa dia juga suka sekali kepada Niocu, akan tetapi rasa sukanya itu sekedar bersahahat, bahkan dia menjadi muridnya. Maka ketika Niocu bertanya tentang cinta, terus terang dia mengatakan bahwa dia tidak mencinta Niocu sebagai seorang pria mencinta wanita, melainkan sebagai murid mencinta guru atau seorang sahabat mencinta sahabatnya.

Dan sekarang... perasaannya lain lagi. Dia tertarik kepada Souw Cu In, tertarik dengan kepribadiannya dan dia merasa amat berbahagia dapat bersama dengan gadis itu walau pun hanya semalam!

Keng Han termenung memandangi api unggun dan menambah kayu pada api unggun. Dia sama sekali tidak tahu betapa Cu In juga kini membuka matanya dan memandang kepadanya dengan penuh perhatian. Gadis ini merasa gelisah sekali ketika ia merasa bahwa hatinya tertarik kepada pemuda ini. Seorang pemuda yang lain sekali dari pada pemuda lain.

Kaum lelaki yang dijumpainya selalu ingin membuka kedoknya, selalu memujinya cantik dan selalu mengeluarkan cumbu rayu seribu satu macam untuk menarik perhatiannya. Akan tetapi Keng Han sama sekali tidak! Bahkan ketika disuruh minum anggur dari mulut guci, jelas pemuda itu merasa rikuh sekali. Pemuda ini sungguh sopan dan pandai membawa diri.

Di samping itu, juga pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Tadi sudah dibuktikannya ketika dia melawan Swat-hai Lo-kwi. Pemuda ini memiliki tenaga sinkang yang luar biasa kuatnya dan ilmu silatnya juga aneh sekali. Namun, sikapnya demikian biasa, bahwa begitu rendah hati seolah dia seorang pemuda yang lemah dan bodoh sehingga mau mempelajari ilmu totokan dari suci-nya! Dan wajahnya! Sungguh tampan dan gagah.

Mendadak Souw Cu In memejamkan matanya kuat-kuat untuk mengusir perhatiannya terhadap pemuda itu.

Tidak! Ia tidak ingin tertarik kepada pemuda itu. Ia tidak ingin harus membunuh pemuda itu. Dan ia menghela napas panjang. Ia dan suci-nya sudah bersumpah kepada subo mereka untuk tidak jatuh cinta, dan kalau ada pria yang jatuh cinta kepada mereka harus mereka bunuh!

Semua lelaki jahat, demikian subo mereka selalu menekankan ke dalam hati mereka. Semua lelaki itu jahat dan palsu, bagaikan kumbang yang selalu mendekati kembang dengan suaranya yang merayu-rayu. Akan tetapi setelah dia menghisap madu kembang itu sampai habis, lalu ditinggalkannya kembang itu begitu saja!

Dan, kalau menurut keterangan gurunya itu, tidak ada laki-laki yang baik. Berarti Keng Han juga bukan seorang yang baik. Mungkin sikapnya yang baik itu hanya merupakan akal untuk merayunya belaka! Tidak, ia tidak boleh tertarik kepadanya!

Lewat tengah malam, Souw Cu In terbangun dari tidur. Ia menggeliat karena tubuhnya terasa kaku akibat tidur di lantai yang kasar itu, lalu menutupi mulut dari luar topeng untuk menahan nguapnya, dan ia bangkit berdiri. Dihampirinya Keng Han dan ia berkata dengan suara yang kasar.

“Sekarang engkau boleh mengaso dan tidur, giliranku berjaga,” katanya.

Keng Han merasa heran sekali mendengar ucapan yang bernada ketus itu. Dia pun lalu memandang dan berkata. “Tak perlu, Su-i. Su-i mengaso dan tidurlah, biar aku berjaga di sini sampai malam lewat.”

“Tidak!” suara Cu In membentak karena dalam perasaannya, sikap baik pemuda ini hanya akal untuk merayunya saja. “Kau kira aku ini orang macam apa? Engkau sudah berjaga setengah malaman, maka setengah malam yang lain menjadi bagianku untuk berjaga!”

Melihat sikap gadis itu demikian galak dan tegas, Keng Han merasa heran sekali. “Kalau bagitu, biarlah aku juga berjaga di sini saja. Aku tidak merasa mengantuk.”

Cu In duduk di dekat api unggun berhadapan dengan pemuda itu terhalang api unggun. Mereka saling pandang dan Keng Han tak dapat menyembunyikan perasaan kagumnya. Wajah yang meski hanya kelihatan bagian atasnya saja itu demikian indahnya tertimpa sinar api unggun, kemerahan dan begitu halusnya dahi itu. Ditambah lagi anak rambut yang berjuntai melingkar-lingkar itu. Begitu manisnya!

“Kau melihat apa?” bentak gadis itu dan Keng Han baru menyadari bahwa terlalu lama dia menatap wajah itu.
“Tidak apa-apa, Su-i. Hanya aku heran mengapa Su-i tidak tidur saja mengaso. Malam sudah larut dan biarkan aku yang berjaga di sini.”
“Tidak, aku tidak mau tidur.”
“Kalau begitu, kita berdua tidak tidur,” kata Keng Han bersikeras.
“Engkau bandel!”
“Bukan cuma aku yang bandel.”

Keduanya diam dan terasa amat heningnya malam itu. Yang terdengar hanya suara api makan kayu kering.

Keng Han maklum bahwa gadis ini berwatak aneh sekali. Bukankah Niocu juga pernah berkata betapa sumoi-nya ini lebih kejam darinya? Akan tetapi dia tak percaya. Seorang gadis dengan sinar mata selembut itu tidak mungkin berhati kejam.

“Engkau berasal dari mana?” tiba-tiba gadis itu bertanya dan nada suaranya sambil lalu saja, seolah pertanyaan itu hanya untuk mengisi kesepian.

Terhadap Souw Cu In, entah apa sebabnya, Keng Han tidak ingin menyembunyikan rahasianya. “Aku berasal dari daerah Khitan.”

“Engkau orang Khitan?”
“Peranakan Khitan. Ibuku orang Khitan, tapi ayahku orang Han.” Ia masih belum berani mengakui ayahnya sebagai seorang pangeran Mancu.
“Pantas. Aku sudah menduga bahwa engkau seorang peranakan. Di mana orang tuamu sekarang?”
“Ibuku masih di Khitan bersama kakekku akan tetapi ayahku...”
“Bagaimana dengan ayahmu? Sudah matikah?”

Keng Han menggelengkan kepalanya dan menghela napas panjang. “Aku belum pernah melihat ayahku. Semenjak aku di dalam kandungan ibu, ayah telah pergi meninggalkan ibu dan sejak itu tidak pernah kembali.”

Souw Cu In melempar sepotong kayu di api unggun sehingga bunga-bunga api terbang membubung ke atas.

“Huh!” katanya gemas. “Benar juga kata subo. Lelaki adalah makhluk yang palsu dan kejam!”
“Akan tetapi aku memang sedang mencari ayahku, Su-i. Dia harus menjelaskan kenapa dia tidak pernah pulang menengok ibu. Kalau memang benar dia telah melupakannya dan mengkhianatinya, aku sendiri yang akan menghajarnya!”
“Hemmm, apa lagi yang terjadi kalau bukan ayahmu bertemu dengan wanita lain yang lebih cantik lalu ayahmu mengawini wanita itu dan melupakan ibumu?”

“Belum tentu. Kurasa ayahku tidak sejahat itu! Akan tetapi, aku ingin mencarinya sampai dapat! Dan engkau sendiri, Su-i. Maukah engkau bercerita tentang dirimu? Dari Niocu aku sudah tahu bahwa engkau juga murid Ang Hwa Nio-nio, dan bahwa engkau pun memiliki pendirian yang sama dengan Bi-kiam Niocu tentang pria. Selain itu, aku tidak tahu apa-apa tentang dirimu. Maukah engkau bercerita?”
“Hemm, untuk apa bercerita tentang diriku padamu?” Sepasang mata itu menatap tajam penuh selidik.

Keng Han menghela napas panjang. “Bukan apa-apa, Su-i. Akan tetapi engkau adalah bibi guruku, dengan adanya hubungan ini, tidak pantaskah kalau aku mengenalmu lebih baik lagi? Agar engkau tidak menjadi seperti orang asing lagi bagiku.”

“Engkau sudah mengetahui namaku.”
“Ya, aku masih ingat. Nama Su-i adalah Souw Cu In, hanya itu yang kuketahui.”

Aku juga seperti engkau. Hidup keluargaku tidak bahagia. Ayah ibuku telah meninggal dunia, terbunuh musuh. Ketika itu aku baru berusia lima tahun, lalu aku diambil murid oleh subo. Nah, hanya begitu saja riwayatku. Aku pun sedang mencari-cari seseorang untuk membalas kematian ayah ibuku.”

“Musuh besar yang membunuh ayah ibumu itu?”
“Benar. Ahhh, sudahlah. Kenapa aku menceritakan semua ini kepadamu?” Dia seperti menegur diri sendiri. “Oh ya, ke mana engkau hendak mencari ayahmu itu, Keng Han?”

Mendengar gadis itu tiba-tiba membelokkan arah percakapan, tahulah Keng Han bahwa gadis itu tidak mau lagi bercerita tentang dirinya. Maka dia pun menjawab sejujurnya, “Aku hendak mencari ayahku di kota raja.”
“Ahhh...!”
“Kenapa Su-i terkejut mendengar itu?”
“Tujuan perjalananku juga ke kota raja!”

Bukan main girangnya hati Keng Han mendengar ini.

“Kalau begitu kebetulan sekali, Su-i. Kita dapat melakukan perjalanan bersama.”
“Tidak! Besok pagi kita harus berpisah, melakukan perjalanan sendiri-sendiri. Jika subo mengetahui, baru malam ini saja kita berada di sini berdua, sudah cukup bagi subo untuk menuduh yang tidak-tidak dan membunuhku!”
“Gurumu amat kejam terhadap laki-laki, Su-i!” Keng Han memprotes.
“Tidak! Guruku sudah sangat adil. Engkau tidak tahu betapa hatinya telah dihancurkan, kehidupannya sudah dilumatkan, oleh kaum pria! Ia hanya membalas dendam! Aku pun mencari musuh besarku itu, juga sekalian untuk mencari musuh besar yang dulu telah menghancurkan kebahagiaan hidup guruku. Orangnya sama!”
“Ahhh...!”

Keng Han bukan hanya terkejut mendengar ucapan itu, akan tetapi dia juga terkejut mendengar suara lain, suara gerakan orang-orang di sekitar mereka! Akan tetapi karena malam itu gelap sekali dan api unggun itu tidak terlalu besar, dia tidak melihat apa-apa.

“Engkau dengar tadi?” Souw Cu In bertanya. Keng Han mengangguk dan keduanya lalu waspada.

Tiba-tiba terdengar ledakan-ledakan keras di sekitar mereka. Mereka terkejut dan cepat meloncat berdiri, tidak tahu harus berbuat apa karena musuh masih belum nampak dan ledakan-ledakan masih terjadi di sekeliling mereka. Agaknya musuh menyerang mereka dengan bahan ledakan yang mengeluarkan asap tebal.

Kedua orang itu tidak berani sembarang bergerak karena khawatir kalau-kalau diserang musuh yang tidak kelihatan. Akan tetapi tiba-tiba keduanya mencium bau keras sekali dan Souw Cu In berseru.

“Tahan napas...!”

Tetapi sudah terlambat. Keduanya sudah menghisap asap terlalu banyak dan mereka terbatuk-batuk, lalu roboh terkulai dan pingsan. Kiranya bahan peledak itu mengandung racun pembius yang kuat sekali.

Tubuh Keng Han memang sudah kebal terhadap racun, berkat dia makan daging ular merah. Akan tetapi yang kebal adalah tubuhnya sehingga andai kata dia terkena makan racun atau dilukai oleh racun, tentu hawa beracun dalam tubuhnya akan menolak dan membuatnya kebal. Akan tetapi sekali ini dia terkena racun pembius berupa asap yang memasuki paru-parunya, maka dia pun tidak dapat bertahan dan roboh pingsan seperti Souw Cu In.

Beberapa bayangan orang yang memakai kedok tebal berkelebatan memasuki tabir asap itu dan menghampiri kedua orang yang sudah pingsan itu. Akan tetapi ketika empat orang itu menghampiri Keng Han dan Cu In, Cu In melompat dan dua orang roboh tewas seketika terkena pukulan Tok-ciang (Tangan Beracun).

Kiranya Cu In belum pingsan seperti keadaan Keng Han. Ketika wanita ini tahu bahwa ada musuh menggunakan asap beracun, ia meneriaki Keng Han, akan tetapi Keng Han yang terlambat. Ia sendiri baru sedikit menghisap asap beracun. Untuk menyelamatkan diri, ia menjatuhkan diri agar tidak terpengaruh asap yang membubung ke atas.

Setelah ada empat orang datang, Cu In cepat menyerang dan setelah merobohkan dua orang, dia pun melompat menjauh, keluar dari tabir asap itu. Dua orang berkedok lain menggotong Keng Han dan membawanya pergi dari situ.

Souw Cu In merasa khawatir sekali, akan tetapi tidak dapat mencegah dengan adanya tabir asap pembius yang menghalanginya. Setelah tabir asap menipis dan mulai hilang, barulah ia melakukan pengejaran. Akan tetapi dia tidak menemukan jejak mereka, apa lagi malam itu gelap sekali dan api unggun yang mereka buat malam tadi sudah hampir padam.

Terpaksa dia duduk kembali dekat api unggun dan menambahkan kayu bakar sehingga api unggun itu membesar kembali. Akan tetapi dia sudah tidak mungkin dapat tidur lagi. Sambil menanti lewatnya malam, ia duduk bersila dekat api unggun dan memperhatikan sekelilingnya dengan pendengarannya.

Hatinya amat gelisah memikirkan Keng Han. Ia menduga-duga siapa yang menangkap pemuda itu dan apa alasannya. Juga dia mengingat-ingat siapa tokoh dunia kang-ouw yang suka mempergunakan alat peledak yang mengandung racun pembius itu.

Ia lalu teringat kepada seorang datuk sesat dari selatan yang berjuluk Ban-tok Kwi-ong (Raja Iblis Selaksa Racun). Datuk inikah yang melakukannya? Akan tetapi rasanya tidak mungkin. Seorang datuk seperti dia itu biasanya memiliki ketinggian hati, tidak mungkin kalau hanya hendak menangkap seorang pemuda saja harus menggunakan peledak racun pembius.

Siapa pun yang menangkap pemuda itu, Keng Han berada dalam bahaya dan dia harus menolong pemuda itu.....
********************
Selanjutnya baca
PUSAKA PULAU ES : JILID-06
LihatTutupKomentar