Ang I Niocu (Nona Baju Merah) Jilid 09


Mereka merupakan dua orang jantan yang sama-sama gagah perkasa, hampir seimbang kokoh kekar bentuk badannya, sama-sama tampan dan gagah, hanya bedanya, Kiang Liat sudah setengah tua, rambutnya sebagian sudah putih dan mukanya telah berjenggot dan berkumis, sedangkan Liem Sun Hauw masih muda, mukanya masih halus.

Kiang Liat sengaja mengerahkan ilmu lari cepat dan Liem Sun Hauw yang muda tahu bahwa dirinya di’jajal’ oleh utusan Bu Pun Su ini. Sudah lama Liem Sun Hauw mendengar nama besar Bu Pun Su yang sering dipuja oleh mendiang suhu-nya, Thian Mo Siansu. Karena itu sekarang dia girang sekali dapat berkenalan dengan seorang yang masih ada hubungan dengan Bu Pun Su.

Mengetahui dirinya tengah diuji, ia pun mengerahkan ginkang dan berlari secepat terbang mengimbangi kecepatan lari Kiang Liat. Mereka menuruni Gunung Go-bi-san, melompati jurang dan melalui jalan yang sukar dengan enak saja bagaikan orang berlari-lari di atas tanah rata.

Kiang Liat pernah menerima latihan ilmu lari cepat Yan-cu Hui-po dari pendekar wanita sakti Bun Sui Ceng, maka dalam ilmu lari cepat, dia sudah mencapai tingkat tinggi. Oleh karena ini, biar pun Liem Sun Hauw juga lihai, pemuda ini masih kalah setingkat. Namun Kiang Liat juga tidak bermaksud membikin malu pemuda itu, maka sengaja mengurangi kecepatannya agar mereka dapat jalan berendeng.

Sesudah bercakap-cakap, keduanya semakin merasa cocok, Liem Sun Hauw yang tahu bahwa ilmu lari cepat orang tua ini masih melampauinya, merasa amat kagum. Ia makin merasa suka karena Kiang Liat ternyata tidak meninggalkannya dan tidak memamerkan kemenangannya.

Tiba-tiba, pada sebuah tikungan jalan mereka melihat seorang tosu gemuk pendek berdiri menghadang di tengah jalan. Mereka menghentikan perjalanan dan sesudah dekat, Liem Sun Hauw mengenali tosu ini sebagai murid ke dua dari Twi Mo Siansu. Melihat sikap tosu yang bermuka kuning dan bertubuh gemuk pendek ini, diam-diam Sun Hauw merasa tak enak hati.

“Agaknya Suheng ada keperluan penting maka menanti siauwte di sini,” kata Sun Hauw sambil memberi hormat. 
“Memang ada keperluan penting sekali,” kata tosu itu, suaranya tinggi dan menggetar.

Mendengar suara ini dan melihat muka yang kekuningan dan pucat itu, diam-diam Kiang Liat terkejut karena maklum bahwa tosu yang kelihatannya tidak seberapa ini ternyata adalah seorang seorang ahli lweekeh yang memiliki tenaga lweekang tinggi.

“Barang kali kau belum tahu, pinto adalah Tek Le Tojin, murid ke dua dari Ciangbunjin (ketua) Gobi-pai.” 

Melihat sikap tosu ini, Sun Hauw merasa mendongkol bukan main. Sikap ini menunjukkan seakan-akan dirinya tak dianggap sebagai murid Go-bi-pai, melainkan dianggap sebagai tamu.

“Siauwte sudah mengerti, sekarang apakah kehendak Ji-suheng?” 
“Kau dipercaya oleh Suhu untuk memikul tugas yang berat. Tadi pinto telah menyaksikan kepandaianmu, akan tetapi sayang, Suhu buru-buru menahan. Karena tugasmu penting sekali, pinto masih merasa penasaran dan hendak meyakinkan apakah kau benar-benar akan sanggup melakukan tugas itu karena apa bila kiranya kau tidak patut menjadi wakil Suhu, masih belum terlambat kau mengembalikan tugas itu kepada Suhu.”
“Apa maksud Suheng?” tanya Sun Hauw tak senang. 
“Menguji apakah betul-betul kau patut menjadi wakil Suhu!” jawab Tek Le Tojin tegas. 

Mendengar ucapan tosu muka kuning yang bertubuh pendek gemuk itu, Liem Sun Hauw mengerutkan kening, hatinya tidak senang sekali. 

“Suheng Tek Le Tojin, mengapa Suheng melakukan ini? Bukankah Suheng sendiri sudah menyaksikan bahwa Susiok telah memberi kekuasaan kepada siauwte untuk melakukan tugas ini?”

Tek Le Tojin tersenyum menyeringai. “Suhu selalu bersikap lemah dan pemurah. Akan tetapi sekali ini pinto sungguh-sungguh meragukan apakah kepercayaan Suhu kepadamu bijaksana. Kau bocah kemarin sore yang belum tahu tentang seluk beluk dunia kang-ouw, bagaimanakah kau dapat menyelesaikan tugas dengan baik? Apa lagi bila diingat bahwa tugas ini amat pentingnya, yakni menjadi pendamai antara dua partai besar, Bu-tong-pai dan Kim-san-pai. Pinto sendiri yang sudah banyak makan garam dunia masih ragu-ragu, apakah pinto akan berhasil menunaikan tugas itu, apa lagi seorang bocah macam kau. Hemmm, apakah yang kau andalkan? Maka majulah, pinto hendak mencobamu agar hati pinto tenteram kalau kau pergi. Bagimu mungkin nama besar Go-bi-pai tidak ada artinya, namun bagi pinto dan para anak murid Go-bi-pai amat besar artinya dan harus dijaga baik-baik, kalau perlu bahkan dibela dengan taruhan nyawa!”

Sun Hauw merasa mendongkol. Dia dapat memaklumi dan dapat pula mengagumi sifat tosu yang jujur ini, yang meragukan keputusan Ketua Go-bi-pai sekali-kali bukan dengan maksud untuk menghinanya atau untuk membandel terhadap keputusan Twi Mo Siansu, akan tetapi untuk menjaga nama baik Go-bi-pai yang kini mengutus seorang anak murid yang bukan langsung belajar di Go-bi-san. Pendeknya, tosu ini masih tidak percaya akan kepandaiannya.

Kali ini aku harus memperlihatkan kepandaianku. Pikir pemuda ini dengan hati gemas.

“Baiklah, Suheng. Kau adalah saudara tuaku, maka sebagai saudara muda, mana berani aku membantah kehendakmu? Biarlah Kiang-lo-enghiong ini menjadi saksi bahwa ujian kepandaian ini merupakan kehendakmu dan sama sekali bukan aku yang menghendaki. Maka kalau sampai Susiok marah, aku tidak mau memikul tanggung jawabnya.”
“Baik, baik, biarlah Sicu ini menjadi saksi. Nah, Liem-sute kau bersiaplah!”

Sambil berkata demikian, Tek Le Tojin segera memasang kuda-kuda menghadapi Liem Sun Hauw. Kuda-kudanya biasa saja, kuda-kuda ilmu silat Go-bi-pai, akan tetapi nampak kokoh kuat seakan-akan kedua kakinya telah berakar ke dalam tanah.

Melihat pasangan kuda-kuda ini, di dalam hatinya Sun Hauw tertawa geli. Bagaimana sih tosu ini? Sudah disaksikan oleh Twi Mo Siansu sendiri ketika ia dicoba oleh murid kepala Go-bi-pai, ia dapat melayani Tek Sin Tojin dengan baik. Sekarang murid kedua ini hendak mengujinya lagi dengan ilmu silat serupa. Mungkinkah ada murid kedua lebih pandai dari pada murid pertama?

“Baiklah, Suheng. Siauwte menunggu pelajaran dari Suheng!” Sun Hauw berkata sambil memasang kuda-kuda pula menghadapi tosu itu. 

Tek Lojin mulai menyerang sambil berseru, “Awas serangan!”
Tangannya memukul ke arah dada Sun Hauw.

Pemuda ini dengan tenang kemudian memindahkan kaki sambil menangkis. Akan tetapi dia kaget sekali pada waktu lengannya beradu dengan lengan tosu itu, karena dia merasa lengannya menjadi linu dan sakit, bahkan tenaga serangan tosu ini sedemikian kerasnya sampai-sampai tubuhnya mendoyong!

Ahh, sekarang tahulah dia. Ji-suheng-nya ini adalah seorang yang mempunyai lweekang tinggi sekali, mungkin lebih kuat dari pada Tek Sin Tojin. Sun Hauw berlaku awas dan kini tak berani lagi ia menerima pukulan suheng-nya dengan tangkisan langsung, sebaliknya dia mengandalkan kelincahan untuk mengelak dan balas menyerang. Dia memang lebih lincah, selain tubuhnya memang lebih baik bentuknya, juga pemuda ini menerima latihan ginkang istimewa dari mendiang gurunya.

Akan tetapi lagi-lagi ia terkejut sekali karena kini setiap pukulan tangan Tek Le Tojin, biar pun tidak mengenai tubuhnya, tapi sudah mendatangkan angin pukulan yang panas dan dahsyat! Dia tidak tahu bahwa tingkat ilmu lweekang dari Tek Le Tojin sudah amat tinggi dan bahwa tosu ini telah memahami ilmu pukulan berdasarkan lweekang tingkat tinggi yang disebut Pek-lek-ciang (Si Tangan Kilat). 

Biar pun ilmu silat yang dimainkan adalah ilmu silat Go-bi-pai, namun dalam tiap pukulan Tek Le Tojin mempergunakan tenaga Pek-lek-ciang dalam usahanya untuk mengalahkan Sun Hauw.

Sun Hauw benar-benar terdesak hebat. Dalam hal menguji dirinya, ternyata Tek Le Tojin ini bahkan lebih kejam dari pada Tek Sin Tojin, karena Tek Le Tojin terus mendesaknya dengan pukulan-pukulan yang mengandung hawa panas dan kalau mengenai tepat pada sasarannya kiranya akan mendatangkan akibat hebat! 

Oleh karena tidak tahan menghadapi serangan dengan pukulan Pek-lek-ciang, Sun Hauw berseru keras dan kembali ia mengeluarkan ilmu pukulan yang ia pelajari dari mendiang suhu-nya, yakni ilmu pukulan dari Hok Peng Taisu! Benar saja, baru tiga jurus ia melawan dengan ilmu silat ini, ia dapat membuyarkan desakan Tek Le Tojin.

“Bocah lancang! Kau sudah lupa akan pesan Suhu dan kembali berani mempergunakan ilmu silat iblis ini?!” bentak Tek Le Tojin! 
“Suheng yang mulai lebih dulu!” bantah Sun Hauw. “Mengapa Suheng mempergunakan hawa pukulan yang panas itu? Di dalam ilmu silat Go-bi-pai tidak ada pukulan macam itu!”
“Begitu? Baik, kau tahanlah pukulanku dengan ilmu iblismu itu!”

Setelah membentak begini, Tek Le Tojin kemudian memukul dengan penggunaan tenaga sepenuhnya sehingga Sun Hauw cepat-cepat harus menggunakan kelincahannya untuk mengelak. Kemudian, dengan luar biasa cepatnya dan tidak kalah hebat, dia membalas dengan serangan-serangan yang gerakannya tak dikenal oleh Tek Le Tojin sehingga tosu ini menjadi kelabakan.

Dalam marahnya, pada saat kedua tangan Sun Hauw memukul dengan sepasang lengan dilonjorkan lurus ke muka, Tek Le Tojin langsung menyambut pukulan itu dengan telapak tangannya.

“Plakkk!”

Dua pasang telapak tangan bertemu. Sun Hauw tidak kuasa menarik kembali sepasang tangannya! Ia terkejut sekali dan mencoba untuk membetot kedua tangannya, akan tetapi sia-sia belaka. Sepasang telapak tangan Tek Le Tojin seakan-akan menyedot tangannya, membuat dua tangan Sun Hauw menjadi menempel. Perlahan-lahan Sun Hauw merasa betapa hawa panas mengalir dari kedua tangan suheng-nya itu menyerang ke dadanya melalui sepasang lengannya!

Ia makin terkejut dan gelisah karena sebagai seorang ahli silat tinggi maklumlah pemuda ini bahwa suheng-nya sedang menyerang dirinya dengan tenaga lweekang tingkat tinggi, menyerang secara keji karena serangan ini apa bila sampai melukai jantungnya berarti mengantar ia menghadap Giam-lo-ong (Raja Maut)! Untuk melepaskan diri tak mungkin, maka Sun Hauw lalu mengerahkan seluruh lweekang-nya untuk melawan serangan ini.

Baiknya ia pun sudah mendapat latihan lweekang dari mendiang suhu-nya dan biar pun dalam hal tenaga lweekang tingkatnya masih kalah banyak oleh suheng-nya ini, namun setidaknya tenaganya bisa menolak kembali serangan itu dan ia dapat mempertahankan diri untuk sementara waktu. Ia hanya mengharapkan saja bahwa tosu ini takkan berlaku kejam dan akan menyudahi serangannya yang keji.

Akan tetapi harapannya ternyata kosong belaka. Tek Le Tojin sedikit pun tak mengurangi serangannya, bahkan mengerahkan tenaga Pek-lek-ciang untuk rnencelakai pemuda itu. Bahkan untuk memamerkan keunggulannya dalam adu tenaga lweekang itu, dia masih membuka mulut menyindir,

“Hemm, begini sajakah orang yang hendak mewakili Go-bi-pai? Sungguh mengecewakan dan memalukan sekali!”

Dia memperhebat tenaganya sehingga kini muka Sun Hauw sudah penuh keringat dan kedua lengan tangannya sudah mulai gemetar!

“Sungguh mengherankan sikap tokoh Go-bi-pai!” Tiba-tiba terdengar suara menggeledek.

Sun Hauw merasa pundaknya ditepuk orang dari belakang. Seketika itu juga, ada tenaga yang dahsyat mengalir melalui kedua lengannya dan menyerang Tek Le Tojin sehingga tosu itu merasa kedua lengannya kesemutan dan otomatis tenaga tempelannya lenyap. Sun Hauw mempergunakan tangan mendorong sambil melompat ke belakang. Tubuhnya terhuyung-huyung dan tentu akan roboh saking lemasnya kalau saja tidak ada Kiang Liat yang cepat menahan punggungnya.

Tek Lek Tojin memandang Kiang Liat dengan sepasang mata terbelalak lebar dan mulut tersenyum masam.

“Sudah menerima pelajaran dari Kiang-sicu, sungguh mengagumkan...!”

Memang, yang membantu Sun Hauw tadi bukan lain adalah Kiang Liat karena pendekar ini tidak tega melihat pemuda itu diancam bahaya maut oleh tangan suheng-nya sendiri. Ia merasa penasaran, dan biar pun urusan itu bukan urusannya melainkan urusan antara dua orang murid Go-bi-pai, akan tetapi dia tidak bisa membiarkan pemuda itu terbunuh begitu saja.

Sesudah berkata demikian sambil menjura kepada Kiang Liat, tosu gemuk pendek itu lalu berlari naik ke puncak lagi dengan cepat. 

“Sungguh berbahaya...” Sun Hauw berkata sambil menarik napas panjang, “Baiknya ada Kiang-lo-enghiong yang menolongku tadi, kalau tidak, entah bagaimana jadinya dengan nasibku. Terima kasih banyak, Kiang-lo-enghiong.” 
“Sudahlah, aku tidak bisa membiarkan dia berbuat kejam begitu saja. Dia seorang jujur dan pandai, sayang sekali terlalu keras. Pantas saja Twi Mo Siansu memilih Tek Sin Tojin sebagai calon pengganti ketua, padahal Tek Le Tojin masih lebih berbakat untuk menjadi seorang ahli silat tinggi.”

Karena tekanan Tek Le Tojin tadi sudah menyerang hebat dan baru saja Sun Hauw harus mengerahkan seluruh tenaga lweekang-nya, maka ia perlu beristirahat untuk memulihkan kekuatannya. Kiang Liat mengajaknya beristirahat di bawah pohon dan sambil beristirahat mereka bercakap-cakap. Kiang Liat makin suka kepada pemuda ini, sebaliknya Liem Sun Hauw makin menghormat karena kini baru dia tahu betul bahwa utusan Bu Pun Su ini adalah seorang berkepandaian tinggi.

“Agaknya Suheng Tek Le Tojin, seperti juga Suheng Tek Sin To tidak senang kepadaku sebab aku adalah murid Thian Mo Siansu. Dalam hal ini terdapat hal tertentu,” Sun Hauw bercerita, “Dahulu Suhu-ku, Thian Mo Siansu, menjadi ketua dari Go-bi-pai dibantu oleh Susiok Twi Mo Siansu. Peraturan dari partai Go-bi-pai amat keras dan ketinggalan jaman, maka anak murid Go-bi-pai menjadi kaku-kaku dan cara hidupnya bahkan jauh melebihi pendeta-pendeta yang selama hidupnya dikeram di dalam kuil. Suhu-ku tidak menyetujui peraturan-peraturan ini dan setelah ia menjadi ciangbunjin, sedikit demi sedikit ia hendak merubahnya. Pendeknya Suhu hendak menjadi pencipta aliran baru untuk menyesuaikan keadaan partai kami dengan kemajuan jaman. Akan tetapi, Susiok Twi Mo Siansu adalah seorang yang amat kukuh dan penganut aliran lama dalam peraturan Go-bi-pai sehingga mulailah terjadi bentrokan paham antara Suhu dengan Susiok. Perubahan yang hendak dilakukan oleh Suhu antara lain bahwa Suhu ingin mengembangkan ilmu silat Go-bi-pai ke dunia ramai agar ilmu dari Go-bi-pai tidak hanya dimiliki oleh para pendeta saja, akan tetapi dapat digunakan oleh orang-orang untuk membasmi kejahatan di dunia kang-ouw. Hal ini ditentang keras oleh Susiok yang khawatir kalau-kalau ilmu silat partai Go-bi-pai akan terjatuh ke dalam tangan orang jahat dan akhirnya orang itu akan merusak nama baik Go-bi-pai. Pendirian Susiok ini disokong oleh hampir semua tosu di dalam kuil.”

Kiang Liat mengangguk-angguk. “Dua macam pendirian, akan tetapi keduanya memiliki kebenaran masing-masing. Suhu-mu benar sebab apalah artinya dahulu para guru besar Go-bi-pai susah payah menciptakan ilmu-ilmu yang tinggi kalau hanya disimpan di dalam kuil dan tidak dipergunakan untuk kebaikan umat manusia? Sebaliknya, susiok-mu juga benar karena memang bahaya yang dikhawatirkan itu mungkin sekali terjadi. Akan tetapi, sebetulnya perbedaan faham dapat dipecahkan dengan jalan tengah, misalnya, biar pun boleh menerima murid dari luar, akan tetapi dilakukan pemilihan yang keras dan setiap murid diharuskan belajar di puncak Go-bi-san.”

“Sayang dahulu tidak ada Lo-enghiong yang memberi nasehat kepada Suhu dan Susiok. Akan tetapi, pertikaian itu pun tidak berlarut-larut karena Suhu yang amat sayang kepada Susiok, lalu meninggalkan Go-bi-san dan menyerahkan kedudukannya kepada Susiok. Suhu sendiri lalu turun gunung merantau dan menerima beberapa orang murid di dalam perantauannya, di antaranya aku sendiri menjadi muridnya yang terakhir sampai Suhu meninggal di kampungku.”

“Di manakah kampungmu?” 
“Kampungku Pek-kan-mui terletak di Propinsi Shansi, di lembah Sungai Huang-ho. Suhu tinggal di sana sampai selama tujuh tahun. Aku murid tunggal dan terakhir. Bahkan Suhu tinggalnya juga di rumahku, di mana aku tinggal berdua dengan Ayah yang telah menjadi duda. Ibuku sudah meninggal dunia semenjak aku berusia lima tahun. Kemudian karena sakit dan sudah amat tua, Suhu meninggal dunia dan berpesan agar supaya aku naik ke Go-bi-san dan memperkenalkan diri kepada Susiok serta memberi tahu tentang kematian Suhu.”

Kiang Liat tertarik sekali mendengar penuturan Sun Hauw. Apa lagi ketika mendengar keadaan pemuda ini yang tidak memiliki ibu lagi. Diam-diam ia membandingkan keadaan pemuda ini dengan keadaan puterinya.

Timbul rasa sayang dan suka di dalam hatinya kepada pemuda ini dan timbul keinginan hatinya untuk mengambil Sun Hauw sebagai menantunya, dijodohkan dengan Kiang Im Giok. Sebaliknya, Sun Hauw yang merasa sangat kagum kepada Kiang Liat, juga ingin mengetahui keadaan rumah tangga Kiang Liat lebih jelas.

“Kalau aku boleh bertanya, Lo-enghiong tinggal di manakah dan sebenamya Lo-enghiong yang lihai ini murid siapakah?” 

Kiang Liat tersenyum. “Aku ahli waris ilmu silat keluarga Kiang dan selain itu, juga aku pernah menjadi murid Suhu Han Le, dan pernah pula menerima pelajaran dari pendekar wanita sakti Bun Sui Ceng. Supek Bu Pun Su juga pernah memberi pelajaran kepadaku.” 

“Aduh, pantas saja Lo-enghiong demikian lihai...” Sun Hauw berseru kagum dan menjura memberi hormat. “Harap maafkan kalau siauwte tadi berlaku kurang hormat.” 
“Hushhh, mengapa banyak sungkan-sungkan? Apa sih artinya kepandaian? Betapa pun tinggi Gunung Thai-san, masih ada langit yang berada di atasnya! Betapa pun pandainya seseorang, pasti ada yang lebih pandai dari padanya. Kita sudah menjadi sahabat apa perlunya berlaku sheji (sungkan)?” 

“Terima kasih atas kepercayaan Lo-enghiong padaku yang muda dan bodoh. Di manakah Lo-enghiong tinggal? Siapa tahu kelak kalau ada waktu, aku akan datang berkunjung.”
“Rumahku di Sian-koan dan di sana aku hanya tinggal berdua dengan puteri tunggalku. Ibunya sudah meninggal dunia semenjak anakku masih kecil sekali...” Kiang Liat menarik napas panjang dan meramkan mata karena teringat akan isterinya yang tercinta.
“Ahhh aku ikut menyesal sekali akan nasibmu yang malang, Lo-enghiong...,” cepat-cepat Sun Hauw menghibur melihat keadaan Kiang Liat.

Pendekar ini membuka kedua matanya, bibirnya memaksa tersenyum akan tetapi kedua matanya basah. “'Terima kasih, kau baik sekali, Liem-sicu.”

“Namaku Sun Hauw, harap Lo-enghiong jangan sungkan-sungkan menyebut namaku dan menganggap aku sebagai sahabat baik atau keluarga sendiri. Sungguh tidak enak kalau mendengar Lo-enghiong bersungkan dan menyebutku Liem-sicu!”
“Baiklah Sun Hauw, engkau memang seorang pemuda yang baik. Mudah-mudahan saja hidupmu bahagia, jangan seperti aku...” 

Melihat betapa Kiang Liat kembali akan terbenam dalam kesedihannya, Sun Hauw yang amat pandai membawa diri itu berkata, dengan maksud menghibur Kiang Liat, membawa orang tua itu kepada kenangan yang menggembirakan.

“Lo-enghiong, kau begini gagah perkasa, sudah tentu puterimu juga memiliki kepandaian tinggi, bukan?” 

Maksud Sun Hauw berhasil. Kini sesudah diingatkan akan puterinya, berserilah lagi wajah Kiang Liat, matanya bersinar-sinar gembira. Bukan sekedar dapat membikin Kiang Liat untuk sementara waktu melupakan isterinya yang telah meninggal, bahkan pertanyaan ini menimbulkan kembali niatnya semula, yakni memungut mantu pemuda yang tampan dan gagah lagi menyenangkan hati ini.

“Kau maksudkan puteriku Im Giok? Ha-ha-ha, orang sudah memberi julukan Ang I Niocu kepadanya! Salahnya sendiri, semenjak kecil dia suka memakai pakaian serba merah sih. Kepandaiannya? Ah, dia memang beruntung, bahkan Supek Bu Pun Su sendiri berkenan memberi beberapa ilmu silat yang luar biasa kepadanya. Tentang kepandaiannya pada waktu ini kalau mau diukur, tingkatnya malah lebih tinggi dari pada tingkat kepandaianku!”

Diam-diam Sun Hauw terkejut. Bukan main! Kepandaian Kiang Liat sudah begini hebat, namun sekarang Kiang Liat sendiri mengaku bahwa kepandaian puterinya yang bernama Ang I Niocu Kiang Im Giok itu lebih tinggi lagi!

“Lo-enghiong benar-benar berbahagia dan keluarga Lo-enghiong adalah keluarga gagah perkasa. Benar-benar membuat siauwte tunduk dan kagum,” kata Sun Hauw. 
“Sun Hauw, kau sendiri apakah sudah menikah?” 

Ditanya tentang ini secara tiba-tiba, pemuda itu membuka lebar-lebar matanya, kemudian mukanya berubah merah dan ia menggeleng kepala. 

“Belum Lo-enghiong.”
“Hemm, usiamu kurasa sudah lebih dua puluh dan sudah sepatutnya jika telah memiliki jodoh.”
“Siauwte berusia dua puluh dua tahun, akan tetapi siauwte yang miskin ini mana berani menyeret anak orang lain dalam jurang kesengsaraan dan kemiskinan?” 

Jawaban ini menyenangkan hati Kiang Liat. 
“Kata-katamu itu mencerminkan watakmu yang baik, Sun Hauw. Sebagai seorang gagah harus berani bertanggung jawab atas semua perbuatannya. Namun ucapanmu tadi tidak betul. Bukan kemiskinan yang akhirnya mendatangkan kesengsaraan dalam perjodohan, akan tetapi ketidak rukunan atau ketidak cocokan keadaan dan watak. Sudah lama sekali aku mencari-cari calon jodoh puteriku, akan tetapi karena aku takut kalau-kalau wataknya tidak cocok, karena itu sampai sekarang aku masih belum menemukan orangnya. Anakku mempunyai kepandaian ilmu silat yang cukup tinggi, tentu dia mengutamakan kegagahan seperti semua keluarga kami. Selain ini, tentang muka, hmmm… bagiku, di muka bumi ini, kecuali mendiang ibunya, tidak ada wanita yang secantik dia! Sun Hauw, aku Kiang Liat paling suka bicara terus terang. Sampai sekarang belum pernah aku bertemu dengan seorang pemuda yang patut menjadi jodoh Im Giok. Dan sekarang aku bertemu dengan engkau. Aku suka sifat-sifatmu, aku melihat kau seorang pemuda yang cukup tinggi ilmu silatmu, bakatmu baik, dan kau mengutamakan kegagahan pula. Kau tampan dan gagah, kiranya pantas sekali menjadi calon jodoh puteriku.”

Mendengar ucapan ini bukan main bingung dan jengahnya pemuda itu. Mukanya menjadi merah seperti udang direbus dan ia hanya tersenyum malu-malu dan tak berani langsung menatap wajah Kiang Liat.

“Bagaimana, anak muda? Apakah kau bersedia menjadi calon suami puteriku?”

Didesak begini, Sun Hauw tidak dapat menjawab, hanya memandang ragu dan bingung. Akhimya dapat juga ia menjawab,
“Maaf, Lo-enghiong. Urusan ini datangnya begini tiba-tiba sehingga aku tidak tahu bagai mana harus menjawab. Kiranya hal ini perlu dipikirkan lebih masak dan sekembaliku dari Bu-tong-san aku akan singgah ke Sian-koan dan memberi jawaban keputusan.”

Kiang Liat mengangguk-angguk gembira.
“Baiklah, tentu saja demikian! Asal ada kesanggupan darimu, hatiku sudah sangat puas. Memang, syarat dalam perjodohan bukan hanya tergantung dari persamaan watak, akan tetapi juga kecocokan hati! Aku tahu keadaan hati orang-orang muda jaman sekarang. Dan tentu saja kau belum puas mendengar kata-kataku kalau kau belum melihat sendiri orangnya. Ha-ha-ha! Baiklah, Sun Hauw, aku menunggu kedatanganmu secepat mungkin dan aku berani bertaruh potong kepala bahwa sekali kau melihat Im Giok, kau tidak akan dapat tidur nyenyak lagi. Ha-ha-ha!”

“Aku yang bodoh ini menghaturkan banyak-banyak terima kasih atas budi kecintaan dari Lo-enghiong yang dilimpahkan kepadaku. Semoga Thian menjaga sehingga aku kelak tidak akan mengecewakan hati Lo-enghiong yang berbudi mulia, dan selama nyawa di kandung badan, aku tak akan melupakan Lo-enghiong. Aku bersumpah untuk datang ke Sian-koan setelah selesai tugas yang diserahkan kepadaku.”

Demikianlah, dengan hati girang dan penuh harapan, Kiang Liat berpisah dari Sun Hauw. Dia pulang menuju ke Sian-koan, sedangkan Sun Hauw melanjutkan perjalanannya ke Bu-tong-san.

********************
Semenjak kecilnya, Giok Gan Niocu Song Kim Lian memang sudah memiliki sifat-sifat kurang baik dari seorang gadis, yakni centil genit dan kadang-kadang bersifat cabul. Di dalam hatinya ia boleh dibilang gila lelaki dan pikirannya penuh oleh bayangan pemuda-pemuda tampan.

Selama ia tinggal bersama gurunya dan sumoi-nya, ia masih tak dapat berbuat sesuka hatinya karena takut kepada gurunya, juga takut dan segan kepada Kiang Im Glok. Akan tetapi, setelah gurunya dan sumoi-nya pergi dalam waktu berbareng, yakni Im Giok pergi mengantar Gan Tiauw Ki ke Tiang-hai sedangkan Kiang Liat oleh Bu Pun Su disuruh ke Go-bi-san, keadaan Song Kim Lian laksana kuda betina liar tidak dipasangi kendali lagi!

Dia bersuka-suka dan bermain-main dengan para pemuda kota Siang-koan yang boleh dibilang semua memujanya karena dia memang cantik jelita lagi genit. Setiap hari Kim Lian pergi pesiar sambil bergurau gembira bersama serombongan pemuda tampan yang kerjanya hanya hilir mudik menjual tampang, pemuda-pemuda anak orang kaya yang tak memiliki pekerjaan lain kecuali mengatur pakaian dan merawat muka seperti perempuan.

Penduduk-penduduk tua di Sian-koan menggeleng kepala menyaksikan kejanggalan ini, akan tetapi siapakah berani menegur Giok Gan Niocu Song Kim Lian yang selain memiliki kepandaian tinggi juga merupakan murid Jeng-jiu-sian Kiang Liat, pendekar besar di kota Sian-koan?
Perjalanan Im Giok dan Kiang Liat memakan waktu lama. Hal ini diketahui baik oleh Kim Lian dan karenanya membuat dia menjadi semakin berani dan binal. Gadis yang merasa tidak ada orang yang akan berani menegurnya ini bahkan menjadi demikian binal sampai-sampai pada suatu hari ia mengundang belasan orang pemuda pemogoran untuk datang di taman bunga gedung gurunya untuk berpesta dan bergembira!

Para pelayan di rumah gedung keluarga Kiang tentu saja tidak ada yang berani menegur, bahkan mereka juga ikut bergembira. Para pemuda itu menikmati hidangan dan arak, dan puncak kegembiraan itu adalah pada saat dengan pakaian yang ringkas mencetak bentuk tubuhnya yang indah menggairahkan, Kim Lian keluar kemudian bermain silat pedang di tengah-tengah taman.

Dengan gerakan-gerakan indah dan tubuhnya yang lincah, Kim Lian sengaja berpamer, tidak saja memamerkan ilmu pedangnya, akan tetapi terutama sekali untuk memamerkan kecantikan dan keindahan bentuk tubuhnya kepada belasan pasang mata laki-laki yang memandang dengan kagum sehingga beberapa di antaranya hampir copot dan melompat keluar dari kepala!

Terdengar tepuk tangan riuh-rendah disertai sorak-sorai gembira setiap kali menyambut jurus atau gerakan yang dianggap indah. Kim Lian sengaja tak mau bersilat dengan gerak cepat, melainkan bersilat perlahan-lahan dan lambat-lambatan supaya setiap gerakannya dapat ‘dinikmati’ oleh pandang mata kawan-kawannya.

Selagi para pemuda itu ketawa-tawa dan bertepuk tangan memuji Kim Lian yang sedang bersilat dengan bibir merah tersenyum-senyum manis serta mata jeli melirik-lirik genit, tiba-tiba berkelebat bayangan merah yang tidak terlihat oleh para pemuda itu, akan tetapi terlihat oleh mata Kim Lian yang terlatih. Seketika wajah Kim Lian memucat dan gerakan silatnya berhenti.

“Suci...!”

Setelah terdengar suara ini, barulah semua pemuda yang berada di situ menengok dan memandang ke belakang dan di situ telah berdiri seorang gadis berpakaian merah, gadis cantik jelita yang sudah lama menjadi idaman para pemuda itu, yang sudah lama pula menjadikan mereka merindu, akan tetapi tidak berani menyatakan karena Ang I Niocu Kiang Im Giok bukan gadis sebangsa Kim Lian. Dengan adanya Im Giok, kecantikan Kim Lian yang tadi dikagumi menjadi layu.

“Pergi kalian orang-orang tak beradab!” bentak Im Giok sambil menghunus pedang untuk menggertak rombongan pemuda itu. 

Maka pergilah mereka seorang demi seorang dengan kepala tunduk dan kaki menggigil, bagaikan anjing-anjing diusir dan diancam dengan pecut. Kalau saja mereka itu berekor tentu masing-masing menyembunyikan ekor di bawah kaki belakang. Para pelayan juga bubar ketakutan, mengerjakan pekerjaan masing-masing. 

“Sumoi... kau sudah datang? Ahh, mereka itu... ehh, aku... aku kesepian setelah kau dan Suhu pergi, maka hendak mengadakan sedikit pesta...” 
“Mengapa mendatangkan orang-orang lelaki melulu? Suci, kau benar-benar keterlaluan. Kalau tidak merubah sifat macam ini, aku khawatir sekali kelak kau akan terjerumus...” 
“Mereka... mereka mengagumiku, mengagumi ilmu pedangku, mengagumi kepribadianku dan aku... aku senang sekali mereka kagumi. Apa salahnya itu, Sumoi?” Kim Lian masih mencoba membantah.

Im Giok menghela napas, dia kehabisan akal. Memang dia sudah tahu akan sifat kakak seperguruannya ini yang agak ‘mata keranjang’.

“Sudahlah, masih baik aku yang mendapatkan kau mengundang mereka itu ke sini. Kalau Ayah yang datang tidak saja kau akan mendapat marah besar, mungkin mereka itu akan ditampar seorang demi seorang.”
“Hi-hi-hi, aku ingin melihat muka mereka kalau ditampar oleh Suhu. Tentu sekali tampar menjadi bengkak seperti semangka,” kata Kim Lian genit. “Sebetulnya aku pun tidak suka dengan pemuda-pemuda lemah seperti mereka. Akan tetapi di manakah mencari pemuda gagah seperti Suhu pada waktu muda? Karena tak ada yang demikian, mereka itu untuk kawan pun... bolehlah...”
“Cukup! Suci, kenapa bicaramu seperti itu? Sudah, aku tidak sudi mendengar lagi. Lekas kau berganti pakaian yang pantas dan membantu aku melayani tamu yang kini sudah duduk di ruang tamu.”
“Siapa?” tanya Kim Lian terheran. 

Wajah Im Giok berubah merah. Baiknya waktu itu hari sudah mulai gelap sehingga warna kemerahan yang menjalar kedua pipinya itu tidak kelihatan oleh Kim Lian. 

“Dia adalah Gan-siucai.” 
“Oh, diakah? Yang kau antarkan ke Tiang-hai? Yang dulu pernah kita tolong dari tangan perampok?”

Im Giok mengangguk. “Benar, dia datang mengunjungi kita untuk bertemu dengan Ayah dan menghaturkan terima kasih atas pertolongan Susiok-couw Bu Pun Su. Lekaslah kau berganti pakaian.”

“Apa Suhu belum pulang juga?” tanya Kim Lian. 
“Kalau dia tidak berada di sini tentu berarti belum pulang. Aku baru saja datang, mana aku bisa tahu?” jawab Im Giok yang masih mendongkol melihat kelakuan suci-nya yang ditinggal seorang diri di rumah. Perlahan-lahan dia akan membicarakan tentang sikap dan watak suci-nya ini dengan ayahnya, karena kalau dibiarkan saja, bisa berbahaya nasib hidup suci-nya ini.

Sesudah Kim Lian muncul lagi, Im Giok semakin mendongkol saja. Suci-nya benar-benar terlalu. Sekarang menghadapi Tiauw Ki, suci-nya telah berganti pakaian indah dan baru, mukanya diberi bedak tebal dan bibir serta pipinya dimerah-merah! Dengan gerakan genit menarik Kim Lian memberi hormat kepada Tiauw Ki yang juga sudah berdiri dan memberi hormat, lalu Kim Lian berkata dengan suara halus merdu,

“Ah, kiranya Gan-siucai yang menjadi tamu agung! Gan-siucai, apakah kau masih ingat kepadaku?” 

Tiauw Ki tersenyum “Tentu saja Lihiap. Bagaimana aku bisa lupa kepada Lihiap yang pernah menolong nyawaku!” 

Kim Lian mengeluarkan suara ketawa, “Ahh, bisa saja kau, Gan-siucai. Bukan kau yang harus berkata demikian, sebaliknya akulah yang harus berterima kasih kepadamu. Kau telah memperlihatkan pembelaan besar sekali kepadaku di hadapan Susiok-cow Bu Pun Su. Budimu yang demikian besarnya itu, sampai mati pun aku Song Kim Lian tidak akan dapat melupakannya!”

Sambil berkata demikian, ia tersenyum dan pandang matanya menyambar dalam kerling yang penuh arti. Memang sepasang mata gadis ini amat indah dan tajam, maka aksinya ini tentu amat menarik hati, karena keindahan matanya maka ia diberi julukan Giok Gan Niocu (Nona bermata Kemala). 

Melihat sikap Kim Lian ini, diam-diam Tiauw Ki merasa kurang senang dan tidak enak hati, akan tetapi pemuda ini lalu merendahkan diri dengan sikap sopan. Kemudian ia pun berkata kepada Im Giok, 

“Karena Kiang-lo-enghiong belum pulang, biarlah aku pergi dahulu dan aku akan menanti kedatangannya di rumah penginapan. Mudah-mudahan saja dia akan datang tidak lama lagi.”

Im Giok juga mendongkol melihat sikap suci-nya, karena itu memang lebih baik apa bila kekasihnya itu lekas-lekas pergi dari depan Kim Lian. Maka katanya,

“Baiklah Gan-ko. Rumah penginapan Liok-nam di ujung barat kota ini merupakan rumah penginapan terbesar dan terbaik, harap kau bermalam di sana. Nanti kalau Ayah sudah pulang, tentu akan kuberi kabar kepadamu.”

Tiauw Ki memberi hormat lalu meninggalkan gedung keluarga Kiang. Setelah pemuda itu pergi, Kim Lian lalu memegang tangan Im Giok. 

“Ehh, Sumoi yang manis. Agaknya ada apa-apanya antara dia dan kau!”

Wajah Im Giok menjadi merah sekali. 

“Jangan main-main, Suci. Betapa pun juga, aku dan dia tetap menjaga kesopanan.” 
“Aha, jadi benar ada apa-apanya? Nah, aku dapat membayangkan... aduh, aku tahu, aku dapat menduga... hi-hi-hi-hi...!” 
“Suci, jangan sembarangan bicara! Apa yang kau ketahui? Apa yang kau bayangkan dan kau duga?”
“Ahh, begitu mesra, adduuuhhh...” Kim Lian menggoda sambil menaruh kedua tangan di kanan kiri pipinya.
“Suci, jangan membuat aku marah. Jangan kau menduga yang bukan-bukan! Aku bukan perempuan macam itu. Apa yang kau duga?” 
“Sumoi, apa salahnya kalau kau suka dia yang tampan dan dia suka kau yang cantik?” 
“Kau menyangka keliru!” 
“Yang betul bagaimanakah?” Kim Lian memancing. 
“Tak akan kuceritakan padamu!” Im Giok berpura-pura marah. 

“Ah, begitu? Adikku yang baik, kalau begitu aku tetap menduga yang bukan-bukan. Kalau kau tak bercerita terus terang kepadaku, bagaimana aku dapat menghentikan dugaanku sendiri? Hmmm, dapat kubayangkan betapa mesranya...” kembali Kim Lian menggoda. 
“Suci Kim Lian, jangan kau main-main. Dia datang mau bertemu dengan Ayah untuk... meminangku. Ini sungguh-sungguh, bukan main-main!” 
“Aaaahh... begitukah?” Kim Lian memeluk sumoi-nya. “Adikku yang manis, kini kau harus menceritakan semua pengalamanmu kepadaku bagaimana kau sampai mengikatkan diri dan begitu mudah menjatuhkan pilihan?” 

Keduanya memasuki kamar dan di dalam kamar itu dua orang gadis ini kemudian bicara kasak-kusuk. Im Giok menceritakan pengalaman-pengalamannya dengan Tiauw Ki yang penuh bahaya.

“Dia adalah seorang berbudi mulia, Suci. Sudah terbukti berkati-kali cinta kasihnya yang besar pada diriku, dan sudah beberapa kali ia rela mengorbankan keselamatannya demi untuk menolongku. Kurasa di dunia ini tidak ada orang ke dua sebaik dia.”

Terdengar isak tangis dan Kim Lian memeluk adiknya sambil menangis. 

“Ehh, Suci, mengapa kau menangis?” tanya Im Giok terheran sambil memegang pundak suci-nya. 
“Adikku... aku gembira sekali... akan tetapi, apakah kau tidak terlalu tergesa-gesa? Kalau kau... menikah dan pergi, lalu bagaimana dengan diriku? Sumoi-nya sudah menikah dan suci-nya belum, apa akan kata orang...?”

Tahulah kini Im Giok mengapa Kim Lian menangis. 

“Suci, apa salahnya hal itu? Kita bukan saudara kandung, dan hubungan kita hanyalah sumoi dan suci dari keluarga lain. Siapa yang lebih dahulu keluar pintu tidak merupakan halangan apa-apa.” Im Giok menghibur.

Diam-diam di dalam hatinya berdebar karena ia sendiri masih belum dapat menentukan apakah ayahnya akan menerima pinangan Tiauw Ki. 

Anehnya, semenjak Im Giok datang, Kim Lian selalu kelihatan tidak gembira, bahkan tiap hari dia keluar tanpa mengajak Im Giok, menunggang kuda seorang diri. Tadinya Im Giok menaruh curiga dan diam-diam dia mengikuti suci-nya, akan tetapi ternyata sesudah Im Giok pulang, Kim Lian tak berani main gila lagi.

Kepergiannya hanya untuk menunggang kuda keluar kota lalu kembali lagi, hanya untuk memuaskan keinginan dan kesenangannya menunggang kuda. Akan tetapi diam-diam Im Giok mengerti bahwa suci-nya itu tidak senang hati, mungkin sekali iri hati karena melihat hubungannya dengan Tiauw Ki. Akan tetapi apakah yang dapat ia lakukan.

Setiap hari Im Giok menyuruh salah seorang pelayan untuk pergi ke rumah penginapan Liok-nam, mengantar makanan atau apa saja kepada Tiauw Ki. Padahal, ini hanya untuk alasan saja, sebenarnya ia ingin mendengar dari pelayannya bahwa keadaan pemuda itu baik-baik saja, dan yang terutama sekali bahwa kekasihnya itu masih berada di rumah penginapan Liok-nam!

Pada hari ke lima, menjelang senja, ia mendengar suara ayahnya di luar rumah. Cepat Im Giok berlari keluar dan benar saja, ia melihat ayahnya sudah pulang dan agaknya tadi bertemu di tengah jalan dengan Kim Lian, karena pulangnya bersama suci-nya itu. Wajah Kiang Liat muram sekali dan begitu mereka memasuki ruangan dalam dan di mana tidak ada pelayan hadir, Kiang Liat memandang kepada puterinya dan bertanya,

“Im Giok, apa sih artinya hubunganmu yang gila-gilaan dengan manusia kutu buku she Gan itu?” Suaranya menyatakan bahwa orang tua itu menahan-nahan kemarahannya. 

Im Giok kaget sekali dan menoleh kepada Kim Lian, pandangan matanya tajam menusuk. Kim Lian tersenyum dan berkata kepadanya, 

“Benar, Sumoi. Sudah tak tahan lagi hatiku maka aku menceritakan kabar gembira itu kepada Suhu tadi...”
“Kabar gembira...? Gila betul! Kim Lian, keluarlah kau, biar aku bicara sendiri dengan Im Giok!” kata Kiang Liat makin marah mendengar kata-kata ini.

Kim Lian membungkuk dan berkata, “Baiklah, Suhu.”

Kemudian dia keluar dari kamar itu dan dari samping Im Giok dapat melihat bayangan senyum di sudut bibir suci-nya.

Setelah Kim Lian pergi, Kiang Liat menjatuhkan diri di atas kursi dan berkatalah dia, suaranya kini agak sabar, 
“Coba kau beri penjelasan, Im Giok. Kuharap saja cerita Kim Lian tadi tidak betul adanya. Benarkah kau mempunyai hubungan dengan seorang siucai she Gan dan yang sekarang datang untuk melamarmu?”

Muka Im Giok sebentar pucat sebentar merah. Macam-macam perasaan teraduk-aduk dalam hati dan pikirannya. Akan tetapi ia segera dapat menetapkan hatinya, dan ia pun berkata dengan suara tenang, 

“Ayah, harap kau suka tenangkan hati dan bersabar. Hal ini ada ceritanya panjang lebar.”
“Tidak peduli aku akan cerita panjang lebar, pendeknya apakah benar kau ada hubungan dengan kutu buku terkutuk yang bisanya cuma membaca menulis dan menjual tampang itu?” 

Mata Im Giok menjadi merah. Ia tahu bahwa kadang-kadang ayahnya suka marah-marah seperti itu pula, akan tetapi belum pernah ayahnya marah-marah tanpa alasan terhadap dia. Sebaliknya, semenjak kecil dia dibawa oleh Pek Hoa Pouwsat dan sesudah kembali bersama ayahnya, ia dimanja secara luar biasa oleh ayahnya, maka ia pun agak berani membantah ayahnya.

“Ayah, bagaimana kau bisa memaki-maki orang yang sama sekali tidak pernah kau lihat dan kenal?” kini gadis itu membantah marah.

Biasanya, apa bila sudah melihat puterinya berdiri menentangnya dengan alis terangkat, mata berapi-api dan dada dibusungkan ini, hati Kiang Liat menjadi lemah. Alangkah besar persamaan wajah Kiang Im Giok dengan Song Bi Li, isterinya! Dan biasanya apa bila Im Giok sudah menentang dan marah, Kiang Liat selalu mengalah dan menuruti kehendak gadis itu. Akan tetapi sekarang tidak demikian, Kiang Liat bahkan berkata keras,

“Tidak usah dilihat, tidak usah dikenal! Laki-laki kutu buku dan cacing tinta tidak ada yang baik, semua berhati palsu bermulut manis tak dapat dipercaya! Jangan kau dekat-dekat dengan dia!”

“Akan tetapi, Ayah. Gan-siucai bukan orang macam itu. Dan aku bahkan diberi tugas oleh Susiok-couw untuk mengantarnya ke Tiang-hai!” 

Kiang Liat tertegun. Dia sudah mendengar dari Bu Pun Su ketika kakek sakti itu datang mengunjunginya bahwa Im Giok memang diberi tugas untuk mengawal utusan Kaisar ke Tiang-hai? Jadi utusan Kaisar itu pemuda inikah?

“Hemmm, mana ada utusan Kaisar kutu buku yang lemah?” dia berkata kepada Im Giok, agak tak percaya.

“Ayah terlalu mengandalkan kepandaian menggerakkan pedang! Sesungguhnya di antara para penggerak pensil juga tak kurang terdapat orang-orang bersemangat api dan berjiwa kesatria! Gan-siucai betul-betul utusan Kaisar walau pun dia memang tidak mengerti ilmu silat sama sekali. Akan tetapi jiwanya besar, Ayah.”

Melihat ayahnya diam saja, Im Giok lalu menuturkan pengalaman-pengalamannya ketika dia mengantar Gan Tiauw Ki ke Tiang-hai lalu ke kota raja. Semua pengalamannya itu dituturkan dengan singkat dan terutama sekali dia menonjolkan sikap kekasihnya yang gagah berani dalam membelanya.

Kiang Liat tidak kelihatan tertarik. Ia hanya beberapa kali menggelengkan kepala, bahkan memberi komentar tidak puas setelah penuturan puterinya selesai.

“Kalau dia bukan kutu buku, kalau dia seorang yang berkepandaian tinggi, tidak mungkin kau sampai dihina orang, dan tak mungkin kau menghadapi ancaman bahaya besar. Dan sekarang dia datang hendak melamarmu?”

Im Giok menundukkan mukanya, lalu menjawab lirih. “Demikianlah kehendaknya.” 

“Tidak bisa! Kau suruh saja pelayan memberi tahunya bahwa ia boleh lekas-lekas pulang dan jangan sekali-kali berani datang lagi ke sini!”

Mendengar kata-kata ini, wajah Im Giok menjadi pucat.

“Ayaaaahhh...!” serunya, setengah marah setengah terkejut.

Ayahnya menggeleng-geleng kepalanya. “Tidak bisa, kau sudah mempunyai calon suami. Kau sudah kujodohkan dengan seorang pemuda yang gagah perkasa, murid terpandai dari Go-bi-pai yang bernama Liem Sun Hauw. Dia gagah perkasa, berkepandaian tinggi, berwajah tampan, pendeknya tidak kalah oleh ayahmu di waktu muda. Dia patut menjadi suamimu, sama rupawan, sama perkasa. Apa itu kutu buku yang lemah, terkena angin sedikit saja jatuh sakit? Tidak...!”

Makin lama sepasang mata Im Giok makin berapi-api ketika ia mendengarkan kata-kata ayahnya. 

“Tidak...!” katanya keras sekali sambil membanting kakinya ke atas lantai, dan saking kerasnya gadis ini mengerahkan tenaga, lantai itu sampai hancur dan kakinya melesak ke dalam. “Sekali lagi tidak! Aku tidak sudi menikah dengan dia!” 
“Im Giok…!” 
“Aku yang hendak menikah, bukan Ayah! Kalau Ayah memaksa, aku akan lari, minggat bersama Gan-siucai!”

Setelah berkata demikian, sambil terisak menangis Im Giok lari memasuki kamarnya di mana dia membanting tubuhnya di atas pembaringan, menyembunyikan muka di bawah bantal dan menangis tersedu-sedu.

Kiang Liat berdiri tak bergerak seperti patung, mukanya pucat dan matanya memandang ke arah pintu kamar anaknya tanpa berkedip. Kata-kata ‘lari minggat meninggalkannya’ amat menusuk hatinya dan mendatangkan rasa sakit bukan main. Lalu menimbulkan rasa takut dan khawatir kalau-kalau anaknya benar akan pergi meninggalkannya.

Dengan langkah terhuyung-huyung ia pergi ke kamar anaknya, memasuki kamar itu dan hampir saja ia terguling apa bila tidak cepat-cepat ia menjatuhkan diri berlutut di tengah kamar, dekat pembaringan anaknya. 

Pikirannya tak karuan rasanya. Matanya dipejamkan dan di dalam otak ia merasa segala sesuatu berputar-putar. Jantungnya berdenyut-denyut keras sangat nyeri, dan telinganya penuh oleh suara seperti angin badai mengamuk. Bibimya bergerak-gerak dan terdengar kata-katanya seperti mabuk,

“Jangan tinggalkan aku... jangan tinggalkan aku seorang diri...!”

Im Giok sudah duduk di atas pembaringan dengan muka pucat. Tangisnya dalam sekejap berhenti dan kini ia memandang kepada ayahnya. Tadinya ia tidak tahu apa artinya sikap ayahnya seperti ini, akan tetapi akhirnya ia mengerti. 

Selama ini ayahnya memang bersikap aneh, bahkan kadang kala mendekati sikap gila, menangis dan tertawa seorang diri di dalam kamar. Kadang-kadang memanggil-manggil nama ibunya. Dan sekarang, ayahnya bersikap seperti ini sebab ia hendak meninggalkan ayahnya!

“Ayaah...!” Im Giok menubruk dan menangis di dada ayahnya “Ayaah, tidak… aku tidak akan meninggalkanmu, Ayah…”

Dua titik air mata turun membasahi pipi Kiang Liat ketika ia kembali membuka matanya. Didekapnya kepala anaknya itu pada dadanya erat-erat, seperti orang yang merasa takut kalau-kalau mustikanya dirampas orang.

“Im Giok, anakku sayang. Benar-benar kau tidak akan meninggalkan aku...?” tanyanya dengan suara berbisik.

Im Giok terisak menahan tangisnya. “Tidak Ayah, asal saja Ayah jangan memaksa aku menikah dengan Liem Sun Hauw murid Go-bi-pai itu...” 

Kiang Liat menarik napas panjang, lalu menarik anaknya bangkit berdiri. Dipandangnya wajah anaknya dan bentuk tubuhnya, lalu ia menghela napas lagi.

“Im Giok, kau serupa benar dengan ibumu... Aku tidak rela memberikan engkau kepada orang yang tidak pantas menjadi suamimu...” 
“Tapi aku tidak mau menikah dengan anak Go-bi itu, Ayah,” kata Im Giok manja. 

Kiang Liat tersenyum pahit. “Dan kau masih suka kepada cacing buku itu?” 

Im Giok tidak berani menjawab, hanya menundukkan muka. Kembali Kiang Liat menarik napas panjang, lalu menjauhkan diri dari anaknya dan berkata perlahan, 

“Sebagai ayah aku harus menjaga agar kelak kau hidup bahagia, anakku. Baiklah, akan kulihat bagaimana macamnya kutu buku itu...” Ia lalu keluar dari kamar meninggalkan Im Giok yang duduk melamun di atas pembaringannya.

Diam-diam gadis ini berdoa mudah-mudahan ayahnya akan suka melihat Tiauw Ki dan ia percaya bahwa kekasihnya itu akan cukup pandai membawa diri di hadapan ayahnya sehingga menimbulkan rasa suka dalam hati ayahnya.....
Sekarang ayahnya masih belum tenang, karena itu Im Giok tidak berani memberi kabar kepada Tiauw Ki, sebab dia pikir belum tepat waktunya bagi pemuda itu untuk menemui ayahnya. Malam itu Kiang Liat terdengar mendengkur di dalam kamarnya sehingga hati Im Giok menjadi lega.

Pada keesokan harinya, Kiang Liat memanggil Im Giok dan berkata-kata, “Im Giok, aku hendak pergi ke rumah penginapan Liok-nam.” 

“Apakah tidak sebaiknya dia kuundang ke mari, Ayah?” tanya Im Giok. 
“Tak usah. Jika dia datang berarti dia akan meminang dan aku tidak ingin mengecewakan hatimu. Lebih baik kulihat lebih dulu sebelum mengambil keputusan.” 

Bila menurutkan kehendak hatinya, ingin sekali Im Giok juga ikut pergi dengan ayahnya. Akan tetapi kesopanan melarangnya, karena sungguh tidak patut kalau dia ikut ayahnya mengunjungi Tiauw Ki di rumah penginapan. Terpaksa dia menanti di rumah dengan hati berdebar dan dia merasa kecewa tidak melihat Kim Lian, karena kalau ada suci-nya itu tentu ada kawannya bercakap-cakap untuk menekan berdebarnya hatinya.

Dengan langkah lebar Kiang Liat menuju ke rumah penginapan Liok-nam yang berada di ujung kota sebelah barat. Semalam suntuk Kiang Liat tak bisa tidur nyenyak. Dengkurnya itu bukan tanda bahwa tidurnya enak, bahkan sebaliknya.

Dengkurnya bukan dengkur sewajarnya dan dulu ketika baru-baru ia kehilangan isterinya lalu pergi merantau mencari Im Giok yang diculik orang, setiap malam dia mendengkur seperti itu. Boleh dibilang bahwa dengkur itu adalah tanda bahwa penyakitnya yang lama kambuh pula.

Ia seperti orang mabuk dan sinar matanya juga sudah berbeda dengan biasanya. Hal ini adalah karena ia merasa kecewa dan bingung sekali menghadapi persoalan puterinya, soal perjodohan yang sama sekali tidak mencocoki hatinya. 

“Dia harus kuusir jauh-jauh, kuancam agar jangan berani menemui anakku lagi!” Pikiran inilah yang semalaman tadi memenuhi otaknya dan kini Kiang Liat berjalan cepat tanpa menghiraukan orang-orang yang sudah kenal dengannya dan yang memberi salam di sepanjang jalan.

Sesudah tiba di penginapan Liok-nam, Kiang Liat disambut oleh seorang pelayan. Kiang Liat sudah terlalu terkenal maka sekali pandang saja pelayan itu mengenalnya. Dengan sangat ramah tamah dan penuh hormat, pelayan itu menyambut dan menjura,

“Selamat pagi, Kiang-taihiap. Sepagi ini Taihiap sudah datang mengunjungi penginapan kami, sungguh sebuah penghormatan besar sekali. Apakah yang bisa kami lakukan untuk Taihiap?”
“Apakah di sini ada seorang tamu bernama Gan Tiauw Ki?” 

Pelayan itu mengerutkan kening, menempelkan telunjuk pada ujung hidungnya bagaikan orang yang sedang mengumpulkan ingatan. Kemudian dia menurunkan telunjuknya dan tersenyum lebar, memperlihatkan gigi yang tidak rata, kuning-kuning kehitaman.

“Ah, ada... ada... Taihiap. Tentu yang kau maksudkan Gan-siucai yang muda dan tampan wajahnya.” 
“Ya, lekas kau panggil dia keluar menemuiku.” 
“Baik, silakan Taihiap menanti di ruangan tamu,” kata pelayan itu sambil mempersilakan pendekar itu duduk di ruangan depan.

Kiang Liat mengambil tempat duduk karena ia merasa kedua kakinya gemetar dan dada kirinya sakit menghadapi ketegangan ini. Macam apakah pemuda sastrawan yang telah memikat hati puterinya? 

Sementara itu, pelayan mengetuk pintu kamar Tiauw Ki. Begitu pintu itu dibuka, pelayan itu cepat memberi hormat dan berkata dengan muka menjilat, 

“Ah Gan-kongcu mengapa tidak sejak dulu memberi tahu bahwa Kongcu adalah sahabat baik atau sanak dari Kiang-taihiap? Kalau kami tahu tentulah kami akan memberi kamar yang lebih baik. Harap Kongcu maafkan apa bila selama ini kami melakukan kesalahan atau berlaku kurang hormat karena sungguh mati kami tidak mengira bahwa Kongcu adalah kerabat Kiang-taihiap.”

“Eh, Lopek. Apakah sepagi ini kau mengetuk pintu kamarku hanya untuk menyatakan hal ini saja?” Tiauw Ki berkata agak kurang senang karena dari kata-katanya saja pelayan ini telah jelas menunjukkan bahwa dia bukan orang yang berwatak baik, melainkan seorang penjilat yang menjemukan. 
“Mana hamba berani begitu kurang ajar memanggil Kongcu apa bila tidak ada peristiwa amat penting?” Pelayan itu tertawa dan kulit-kulit di pinggir kedua matanya ikut tertawa. “Kongcu didatangi oleh seorang tamu agung.”

“Siapa dia?” Tiauw Ki bertanya penuh gairah. Memang sudah lama dia mengharapkan kedatangan pelayan dari Im Giok yang membawa berita bahwa ayah gadis itu sudah pulang.
“Masa Kongcu tidak dapat menduga siapa?” tanya pelayan itu dengan sikap mengajak berkelakar untuk menyenangkan hati tamunya.
“Dari keluarga Kiang?” tanya Tiauw Ki tak sabar lagi.

Pelayan itu tertawa sambil mengeluarkan jempolnya. “Kongcu menebak jitu, benar-benar cerdas sekali!”

“Suruh dia lekas ke sini!” seru Tiauw Ki. 
Pelayan itu melenggong. “Suruh ke sini? Dia...” 

Mendengar suara dan melihat sikap pelayan ini, Tiauw Ki terkejut dan cepat bertanya, “Bukankah dia itu seorang pelayan dari rumah keluarga Kiang?” 
“Ahh, bukan... bukan...! Dia adalah Kiang-taihiap sendiri, yang minta agar Kongcu keluar. Dia menanti di ruangan tamu di depan!”

Kalau ada petir menyambarnya, belum tentu Tiauw Ki akan sekaget itu. Kiang Liat ayah Im Giok sendiri datang mengunjunginya? Benar-benar ia hampir tak dapat mempercayai kata-kata pelayan ini. 

“Harap Kongcu cepat menyambutnya, aku takut kalau-kalau Kiang-taihiap marah padaku apa bila Kongcu terlambat,” kata pelayan itu yang cepat pergi lagi ke depan.

Tiauw Ki yang ditinggal sendiri merasa tubuhnya panas dingin. Sudah semenjak tadi dia bangun, akan tetapi belum sempat bertukar pakaian karena memang tidak mempunyai maksud pergi ke mana-mana. Untuk menghadap ayah kekasihnya dalam pakaian kumal seperti itu, ia merasa malu.

Karena itu dia cepat-cepat berganti pakaian yang paling baru dan menyisir rambutnya. Kemudian tergesa-gesa ia keluar dari kamarnya menuju ke ruang tamu. Hatinya berdebar saat ia melihat seorang laki-laki setengah tua bertubuh tinggi tegap dan berwajah kereng duduk di atas bangku dalam kamar tamu itu.

Ia cepat-cepat maju menjura dengan amat hormat dan berkata,

“Mohon dimaafkan sebanyak-banyaknya sebab boanpwe telah membuat Taihiap menanti sampai lama.”

Kiang Liat perlahan-lahan berdiri dan dia memandang dengan mata terbelalak dan kening berkerut. Mulutnya pun terbuka perlahan. Ia mengangkat tangan ke atas dan menggosok gosok kedua matanya seakan-akan tidak percaya kepada penglihatannya sendiri.

Akan tetapi sesudah dia memandang lagi, penglihatannya tidak berubah. Tak salah lagi, pemuda sastrawan yang halus dan lemah-lembut yang kini memberi hormat kepadanya, bukan lain adalah Cia Sun! Cia Sun sastrawan yang dulu mempermainkan isterinya dan yang sudah dibunuhnya! Baik wajah mau pun bentuk badan dan gerak-geriknya pemuda sastrawan di hadapannya sekarang ini tidak ada bedanya dengan mendiang Cia Sun.

“Kau... Cia Sun...” tanpa terasa lagi Kiang Liat berkata perlahan, dadanya berdebar dan jantungnya terasa sakit.
Tiauw Ki memandang heran. “Boan-pwe adalah Gan Tiauw Ki...” 
“Jadi kau yang diantar oleh anakku Im Giok ke Tiang-hai?” 
“Betul, Taihiap.”
“Dan kau... kau yang hendak meminang anakku sebagai calon jodohmu...?” Suara Kiang Liat setengah berbisik, sementara itu sepasang matanya memandang dengan cara yang menakutkan sekali.

Tiauw Ki memandang dengan hati berdebar gelisah. Kemudian dia mampu menetapkan hatinya dan berkata dengan suara tegas,

“Apa bila Taihiap tidak menolak, memang boanpwe hendak mohon persetujuan Taihiap untuk meminang tangan Adik Kiang Im Giok...”
“Kau...?! Kau Cia Sun jahanam keparat sekarang telah menjelma pula di dunia ini untuk mengganggu kepadaku? Kau masih belum puas dengan kematian isteriku dan hancurnya hidupku? Kau bahkan masih hendak merusak hidup anakku?” Sambil berkata demikian Kiang Liat berjalan maju, perlahan-lahan menghampiri Tiauw Ki, sikapnya mengancam dan amat menyeramkan.

Tiauw Ki melangkah mundur, “Kiang-taihiap, apa artinya ucapanmu itu? Boanpwe adalah Gan Tiauw Ki dan boanpwe tidak kenal siapa itu Cia Sun...”

“Jahanam! Biar pun kau memakai nama siapa pun juga, aku selamanya akan mengenal macam mukamu. Kau boleh pianhoa (berganti muka) seribu kali, namun aku Kiang Liat akan tetap mengenalmu dan membunuhmu!”

Setelah berkata demikian, sambil mengeluarkan suara keras Kiang Liat menubruk maju, kedua tangannya bergerak cepat bertubi-tubi memukul dada dan kepala Tiauw Ki.

Kasihan sekali nasib pemuda ini. Dia seorang sastrawan yang bertubuh lemah. Seorang jagoan sekali pun belum tentu akan mampu menghindarkan diri dari serangan Kiang Liat itu, apa lagi seorang pemuda lemah seperti Tiauw Ki.

Dia tak berdaya sama sekali. Sekali terkena pukulan pada dada dan kepalanya, ia hanya dapat mengeluarkan keluhan lemah, lalu tubuhnya terlempar ke belakang dan menumbuk dinding kemudian roboh tak berkutik lagi. Nyawanya sudah melayang berbareng dengan keluhannya tadi!

“Ha-ha-ha, anjing Cia Sun! Anjing macam kau ini hendak melamar puteriku? Ha-ha-ha!” Sambil tertawa-tawa lebar di sepanjang jalan, Kiang Liat berjalan pulang.

Para pelayan menjadi kaget dan gemparlah keadaan di rumah penginapan itu. Sebentar saja ruangan tamu itu sudah dikerumuni banyak orang untuk melihat pemuda sastrawan yang rebah tak bernyawa di atas lantai.

Di antara para penonton ini terdapat gadis menerobos masuk. Orang-orang memberi jalan ketika melihat bahwa gadis ini bukan lain adalah Giok Gan Niocu Song Kim Lian. 

Kim Lian hanya memandang sebentar dan mukanya berubah. Kemudian dia cepat-cepat berlari pulang, napasnya terengah-engah. Langsung dia berlari memasuki kamar Im Giok di mana gadis itu tengah bersisir menghadapi cermin.

“Sumoi, celaka besar...!” Kim Lian segera memeluk adik seperguruannya dan menangis terisak-isak.

Im Giok biasanya memiliki watak yang tenang dan tabah, namun akhir-akhir ini sesudah bertengkar dengan ayahnya mengenai kekasihnya, ia menjadi gampang gugup. Mukanya berubah pucat melihat keadaan suci-nya itu, maka tanyanya tak sabar lagi,

“Suci, apakah yang terjadi?” 

Akan tetapi Kim Lian hanya menangis terisak-isak sehingga hilang kesabaran Im Giok. Digoyang-goyangnya dua pundak Kim Lian.

“Apa yang terjadi?” 
“Celaka... Sumoi... Gan-siucai... oleh Suhu...” 
“Apa? Gan-siucai mengapa? Bagaimana Ayah...?” Im Giok mendesak, wajahnya pucat, jantungnya berdebar keras. 
“Suhu telah membunuh Gan-siucai di rumah penginapan...” 

Im Giok mengeluarkan suara menjerit, akan tetapi cepat dia mendekap mulutnya sendiri. Kemudian, bagaikan kilat dia melompat keluar dan berlari seperti gila menuju ke rumah penginapan Liok-nam. Ruang depan atau ruangan tamu dari rumah penginapan itu masih dikerumuni orang ketika Im Giok tiba di situ.

“Minggir...!” serunya dan kedua tangannya membuka jalan sehingga empat orang laki-laki terpelanting ke kanan kiri.

Im Giok terus menerjang masuk dan ia berdiri terpaku di atas lantai pada saat ia melihat tubuh kekasihnya menggeletak miring di dekat dinding ruangan itu. Dengan isak tertahan ia menghampiri, berlutut dan sekali raba saja tahulah ia bahwa kekasihnya sudah tewas, kepalanya retak dan tulang dadanya patah-patah.

“Gan-ko...,” bisiknya.

Dipejamkannya kedua matanya dan ditahannya napasnya karena pukulan hebat sekali mengguncangkan jantungnya. Apa bila tidak kuat-kuat dia menahan tentu Im Giok sudah roboh pingsan!

Sampai lama dia berlutut sambil memejamkan mata, kemudian sesudah kepalanya yang pening menjadi sembuh kembali, ia baru membuka matanya. Bagaikan hujan gerimis, air matanya bertitik turun, menetes melalui pipi dan dagu dan ada yang jatuh bertitik di atas muka Tiauw Ki. Dilihat sekelebatan, dengan air mata di atas pipi, mayat pemuda itu bagai ikut menangis. 

“Koko...,” kembali Im Giok berbisik.

Air matanya turun semakin deras ketika dia teringat betapa besar cinta kasih pemuda ini kepadanya. Dan kini, dalam menghadapi keputusan perjodohan mereka, pemuda ini telah terbunuh oleh ayahnya.

“Ayah...!” Im Giok menahan isaknya ketika ia teringat kepada ayahnya.

Tubuhnya berkelebat dan kembali tiga orang pemuda terguling roboh pada waktu gadis itu mendesak keluar dengan cepat lalu berlari-lari menuju ke rumah gedungnya. Tanpa mempedulikan kepada Kim Lian dan para pelayan yang memandangnya dengan mata terbelalak, Im Giok berlari terus menuju kamar ayahnya.

Pintu kamar ayahnya terpentang lebar-lebar dan Im Giok melompat ke ambang pintu, berdiri di sana dengan kedua kaki terpentang lebar dan mata berapi-api memandang ke dalam. Dia melihat ayahnya sedang duduk di atas kursinya sambil memegang pedang terhunus yang dipukul-pukulkan ke atas meja! 

“Ayah...!” Suara Im Giok terdengar nyaring, penuh sesal dan nafsu amarah. 

Ayahnya memandang. Dua pasang mata berpandangan, dua pasang mata yang sama tajam, sama berapi-api pandangannya.

Sunyi di situ. Hanya terdengar ketukan-ketukan pedang pada meja, makin lama makin melambat. 

“Kau mau apa?” akhirnya terdengar juga suara Kiang Liat, lambat-lambat dan setengah digumam, seakan-akan lidah dan bibirnya sukar digerakkan.
“Ayah, mengapa kau membunuh Gan-siucai?” Suara Im Giok nyaring tinggi dan tergetar.

Kiang Liat diam saja untuk beberapa saat, kemudian secara tiba-tiba dia bangkit berdiri, membacokkan pedangnya ke arah meja yang menjadi terbelah dengan mudah dan roboh menimbulkan suara berisik.

“Ha-ha-ha, memang kubunuh mampus anjing itu! Ha-ha-ha, alangkah mudahnya, dengan hanya sekali pukul saja jahanam keparat pemakan tinta itu mampus!” 
“Ayaahhh...!”

Im Giok tidak dapat menahan kemarahan hatinya lagi. Tangan kanannya digerakkan dan tahu-tahu pedangnya telah dia cabut. Tangan yang memegang pedang itu menggigil.

“Kau... kau pengecut besar! Kau... kau membunuh dia yang tidak berdosa. Kau manusia tidak tahu malu, membunuh orang yang kau tahu tak dapat melawan, seorang yang tidak mempunyai kepandaian ilmu silat. Kau pengecut!” Bagaikan gila Im Giok memaki-maki ayahnya sendiri. 

Untuk sejenak ayahnya memandang kepadanya dengan mata terbelalak, kemudian mulut pendekar itu meringis, seakan-akan ia merasa sakit yang hebat sekali. Mukanya menjadi pucat sekali. Kemudian ia membuka matanya dan mata itu sekarang berputaran sangat mengerikan. Dari bibirnya keluar busa dan ia tertawa kembali terbahak-bahak. 

“Ha-ha-ha, cacing buku yang busuk itu hendak menikah dengan puteriku? Ha-ha-ha-ha, menjadi tukang membersihkan lantai kamarnya saja masih terlalu rendah. Hah! Memang dia patut mampus, anjing Cia Sun itu harus mampus meski pun beberapa ratus kali dia menjelma. Puteriku harus menjadi isteri Liem Sun Hauw pemuda gagah perkasa...”
“Tidak sudi! Kau manusia keji, kau dan Liem Sun Hauw itu harus masuk neraka!” 

Mendengar makian ini, Kiang Liat menjadi marah sekali. Di dalam pandangan matanya, yang berdiri di hadapannya itu sudah bukan anaknya lagi, melainkan seorang yang berani menentangnya.

“Kau hendak membunuh aku dan Sun Hauw? Ha-ha-ha-ha, bocah lancang, kaulah yang akan mampus terlebih dahulu!” Sambil berkata demikian, Kiang Liat menyerang puterinya sendiri.

Pada saat itu Im Giok juga sudah seperti orang kemasukan iblis dan sudah tidak ingat apa-apa lagi. Dia tahunya hanya marah dan duka, teraduk menjadi satu di dalam hatinya. Melihat ayahnya menyerangnya, dia pun segera menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaganya.

Maka terjadilah pertempuran yang amat hebat di dalam kamar itu antara ayah dan anak gadisnya sendiri! Kepandaian mereka berimbang, bahkan Im Giok kini telah memperoleh kemajuan pesat sehingga dia bahkan telah melampaui ayahnya.

Hal ini adalah karena ilmu-ilmu silat yang diturunkan oleh Bu Pun Su kepada Im Giok melalui Kiang Liat, oleh Kiang Liat hanya dipelajari teorinya saja, akan tetapi tidak berani dia melatih diri dengan ilmu itu. Karena itu tentu saja Im Giok yang dapat memetik sari pelajaran ilmu silat tinggi dari Bu Pun Su itu, sedangkan Kiang Liat hanya tahu ‘kulitnya’ belaka. Maka makin lama pedang Im Giok mendesak semakin hebat, dan gulungan sinar pedangnya makin menekan gulungan sinar pedang ayahnya.

Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan terdengar pekik, “Im Giok!” 
Akan tetapi dua orang yang sedang bertempur ini seakan-akan tidak mendengar pekik ini dan melanjutkan pertempuran mereka dengan hebat dan mati-matian. 
“Im Giok...!”

Orang itu yang bukan lain Kim Lian adanya, mengeluarkan suara jeritan lagi, dan kali ini ia malah menerjang masuk ke dalam gelanggang pertempuran dengan nekat. Pedangnya menangkis gulungan pedang Im Giok dan terkejutlah ia karena ia terpental ke belakang. 

“Im Giok... Sumoi... apakah kau sudah gila hendak melawan ayahmu sendiri...?” Kim Lian menegur dengan suara nyaring.

Tangkisan dan jeritan ini membuyarkan permainan pedang Im Giok dan ayahnya yang tadinya sudah saling menempel. Apa lagi seruan ini membuat Im Giok segera sadar dari keadaannya yang bagaikan kemasukan iblis tadi, akan tetapi masih belum melenyapkan kemarahan dan nafsu membunuhnya.

Ia melompat mundur dan masih memasang kuda-kuda dengan jari-jari tangan kiri terbuka menengadah ke atas dan tangan kanan memegang pedang di depan dada, dalam sikap hendak menusuk. 

Ada pun Kiang Liat juga berdiri sambil memasang kuda-kuda laksana patung, tangan kiri menempel pada dada kiri dan tangan kanannya memegang pedang melintang di dada. Wajahnya meringis seperti orang kesakitan dan hidungnya kembang kempis. 

“Sumoi, kau gila! Bagaimana engkau menyerang ayahmu sendiri? Lepaskan pedangmu!” teriak Kim Lian.

Akan tetapi Im Giok bagaikan sedang di alam mimpi, tidak mau melepaskan pedang dan tetap memandang ke depan dengan mata terbelalak marah.

“Sumoi, lekas lepaskan pedang! Kalau tidak terpaksa aku akan menyerangmu, aku harus membantu Suhu!” teriak pula Kim Lian dengan suara keras.

Kim Lian melangkah maju dengan pedang di tangan. Dia maklum bahwa kepandaiannya masih kalah apa bila dibandingkan dengan sumoi-nya, akan tetapi dalam keadaan seperti ini ia harus berani membantu suhu-nya.

Ketika Im Giok tetap tidak bergerak, Kim Lian bergerak menyerang sambil berkata, “Kau membandel? Baik, lihat serangan pedangku!” 

“Traangg...!”

Pedang di tangan Kim Lian terlepas dari pegangan dan gadis itu berseru kaget. 

“Kim Lian, pergi kau! Jangan ikut-ikut!” Kiang Liat membentak setelah menangkis pedang muridnya sehingga terlepas.

Dengan wajah kecewa dan juga gelisah Kim Lian terpaksa mengundurkan diri keluar dari kamar itu. 

Sementara, tadi ketika menangkis pedang muridnya, Kiang Liat sudah sadar kembali dari keadaan gilanya sehingga mukanya menjadi biasa kembali, bahkan dia nampak berduka bukan main. Sepasang matanya memandang sayu dan mulai membasah akibat air mata, bibirnya bergerak gemetar seperti menahan isak tangis.

Melihat ini, Im Giok tiba-tiba sadar dan teringat betapa kurang ajarnya kelakuan melawan ayahnya ini. Ia bahkan terkejut sekali kenapa ia sampai bisa menyerang ayahnya seperti itu. Melihat ayahnya seperti orang hendak menangis, runtuhlah hatinya dan ia tak berani memandang lebih lama lagi. Ia berdiri seperti patung dan memejamkan matanya, lalu air matanya bercucuran bagaikan hujan.

“Ayah... aku telah berdosa... kau bunuhlah aku... Ayah, jangan kepalang tanggung, tusuk dadaku... biar aku ikut kekasihku.”

Im Giok melepaskan pedangnya yang jatuh berkerontangan di atas lantai, kemudian dia melangkah maju sambil meramkan mata, memasang dada untuk ditusuk pedang.

“Gan-koko... kau tunggulah aku...,” bisiknya sayu. 

Akan tetapi tusukan yang dinanti-nantinya tidak kunjung tiba. Bahkan terdengar keluhan panjang, disusul oleh suara muntah-muntah dan robohnya tubuh yang berat di atas lantai. Im Giok segera membuka matanya dan… ayahnya telah menggeletak, dan dari mulutnya mengalir darah yang dimuntahkannya tadi.

“Ayaaaahhh...!” jerit Im Giok menubruk dan memeluk tubuh ayahnya.

Diangkatnya kepala ayahnya yang sudah lemas itu dan dipangkunya, tidak peduli betapa darah yang dimuntahkan oleh ayahnya tadi menodai sekujur pakaiannya. Diraba-rabanya jidat ayahnya kemudian dadanya.

“Ayaaaahhh…!”

Dunia serasa gelap, kamar itu seperti terputar-putar dan Im Giok roboh pingsan di dekat ayahnya yang kiranya telah putus nyawanya. Akibat tekanan batin yang luar biasa, Kiang Liat yang semenjak ditinggal mati isterinya sudah menderita sakit jantung, tidak kuat lagi menahan, jantungnya pecah dan ia meninggal dunia pada saat itu juga. 

Kim Lian cepat datang berlari-lari dan menubruk Im Giok sambil menangis. Diperiksanya keadaan Kiang Liat dan ia pun memanggil-manggil dengan suara mengharukan. 

“Suhuuu...!”

Kali ini Kim Lian benar-benar berduka. Di dalam hatinya dia memang memuja suhu-nya dan menganggap suhu-nya sebagai pengganti orang tuanya. Bahkan lebih dari itu, dulu pernah dia mengagumi suhu-nya dan ‘ada hati’ terhadapnya. Sekarang melihat keadaan suhu-nya yang meninggal dunia secara demikian menyedihkan, bagaimana hatinya tidak merasa hancur?

Setelah puas menangisi Kiang Liat dan semua pelayan sudah datang bertangisan pula, Kim Lian lalu menubruk dan memeluki sumoi-nya. Dia amat sayang kepada Im Giok yang sejak kecil menjadi saudara seperguruannya, kawan bermain-main dan dianggap sebagai adik kandungnya sendiri. Kini dia hanya hidup berdua dengan Im Giok, tak berayah tak beribu, tidak berhandai taulan pula. Dengan hati hancur Kim Lian memondong tubuh adik seperguruannya, dibawa ke kamarnya dengan langkah sempoyongan.

Setelah siuman dari pingsannya dan mendapatkan dirinya berada di dalam pelukan Kim Lian di atas pembaringan, Im Giok teringat akan semua yang terjadi dan cepat ia bangkit duduk dan bertanya,

“Ayah…? Bagaimana…?” 

Kim lian tidak dapat menjawab, bahkan tangisnya makin menjadi sambil memeluk pundak Im Giok. Im Giok seketika menjadi ingat akan semuanya dan ia melompat turun dari atas pembaringan. 

“Ayaaaahhh…!” 

Akan tetapi Kim Lian cepat memeluk Im Giok dan sambil menciumnya berkata, “Adikku… adikku sayang… tenangkanlah hatimu, ayahmu sudah… meninggalkan kita dan sekarang sedang dirawat. Tenanglah Sumoi, tenanglah, pergunakan kekuatan batinmu…”

Im Giok memejamkan matanya. Ia teringat bahwa bukan laku seorang gagah untuk kalap terhadap desakan hati, maka dia lalu mengatur napasnya dan kedua orang gadis dengan berdiri saling berpelukan untuk beberapa lamanya diam tak bergerak. Akhirnya Im Giok berkata lemah,

“Suci, aku harus dekat dengan jenazahnya…” 

Kim Lian mengangguk dan dengan masih saling peluk dua orang gadis ini lalu berjalan ke ruangan tengah di mana jenazah Kiang Liat sedang dirawat. Mereka duduk berlutut dan memandang dengan wajah pucat, mata sayu dan kadang-kadang air mata menggelinding keluar.

Sampai jenazah dimasukkan peti mati, Im Giok dan Kim Lian tidak meninggalkan tempat itu, bahkan malamnya mereka tidak mau pergi dari situ, biar pun dibujuk-bujuk oleh para pelayan dan tetangga yang datang melayat. Lewat tengah malam, setelah para penjaga mengundurkan diri dan sebagian yang bertugas menjaga duduk di ruangan luar, di dalam ruangan jenazah itu hanya tinggal Im Giok dan Kim Lian berdua!

Mereka duduk di dekat peti mati, menjaga agar hio tidak padam, demikian pun api lilin. Kemudian terdengar mereka berbisik-bisik, 

“Suci, sekarang aku tahu...” 

Kim Lian memandang kepadanya, matanya bertanya-tanya.

”Aku tahu mengapa Ayah membunuhnya.” Air matanya mengucur deras dan cepat-cepat ia mempergunakan sapu tangan untuk menyusut air matanya. 
“Mengapa, Sumoi?” 
“Aku ingat akan riwayat ibuku dahulu. Kematian Ibu yang membuat Ayah seperti menjadi gila itu adalah karena perbuatan seorang siucai bernama Cia Sun. Oleh karena itu Ayah membenci para siucai dan kiranya... kiranya wajah Gan-siucai itu hampir serupa dengan wajah Cia Sun.” Im Giok menutupi mukanya dengan kedua tangannya. 

Kim Lian tidak berkata apa-apa, karena dia tidak tahu bagaimana harus menghibur adik seperguruannya. Dia tahu betapa hebat derita batin yang menimpa perasaan sumoi-nya.

“Aku berdosa besar terhadap Ayah... dahulu sering kali Ayah batuk-batuk dan sering kali dadanya terasa sakit... tentu Ayah telah menderita penyakit jantung semenjak kehilangan ibu. Dan tadi... ahhh...” Im Giok kembali menutupi mukanya seperti orang merasa ngeri membayangkan kejadian tadi pagi, “walau pun ayah meninggal karena penyakit itu, akan tetapi sesungguhnya aku yang membunuhnya... Ayah, ampunkan anakmu yang berdosa, Ayah...” Im Giok lalu berlutut dan memeluk peti mati ayahnya, menangis tersedu-sedu. 

Kim Lian memeluknya dan menariknya. “Sudahlah, Sumoi, segala kejadian di dunia telah ditentukan oleh Thian.”

Im Giok mengangguk-angguk dan mengerahkan tenaga batinnya untuk menenteramkan hatinya yang berguncang keras.

“Aku berdosa kepada Ayah... akan tetapi Ayah... Ayah juga berdosa terhadap Gan-koko... kasihan sekali Gan-koko yang tidak punya kesalahan apa-apa. Dibunuh dalam keadaan penasaran. Ahh, Suci, tolong kau menyuruh seorang pelayan untuk mengirim hio dan lilin secukupnya, kirimkan ke rumah penginapan Liok-nam. Biar arwah Gan-ko tahu betapa aku menderita karena kematiannya...”

Kim Lian mengangguk dan perlahan meninggalkan sumoi-nya untuk segera melakukan permintaan sumoi-nya itu. Ada pun Im Giok, sepeninggal Kim Lian lalu berlutut di depan peti mati ayahnya dan diam tak bergerak seperti patung. Hanya bayangannya saja yang bergerak-gerak akibat api lilin pun bergerak perlahan tertiup angin yang dapat menerobos masuk ke dalam ruangan itu…..

********************
Enam bulan sudah berlalu semenjak peristiwa itu terjadi. Akan tetapi hingga kini Im Giok masih saja berkabung. Dia berpakaian serba putih sederhana sekali dan setiap hari orang tentu mendapatkannya di tanah pekuburan, di mana ia bersembahyang di depan kuburan ayahnya atau di depan kuburan Gan Tiauw Ki secara bergiliran.

Kadang-kadang nampak dia menangis tersedu-sedu di depan dua kuburan itu atau hanya duduk bengong seperti orang kehilangan semangat. Hiburan-hiburan yang diberikan oleh Kim Lian sama sekali tak ada artinya karena tidak pernah diacuhkan. Selama enam bulan ini Im Giok tidak mempedulikan pula makan dan tidur sehingga hidupnya tidak teratur, mukanya kurus pucat dan rambutnya awut-awutan.

Sebaliknya, Kim Lian dengan cepat dapat melupakan kesedihannya. Sesudah lewat tiga bulan, dia sudah melepaskan pakaian berkabung dan kembali memakai pakaiannya yang indah-indah. Bahkan kini ia kembali menjadi binal karena tidak ada yang mengawasinya. Suhu-nya sudah meninggal dan Im Giok, orang satu-satunya yang disegani, keadaannya seperti gila dan tidak peduli. Maka kembali Kim Lian menyeleweng dan melakukan hal-hal yang tidak patut dilakukan oleh seorang gadis baik-baik.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Im Giok sudah kelihatan duduk di atas batu di hadapan bong-pai (batu nisan) kuburan ayahnya, duduk bengong sama sekali tak pernah bergerak sehingga dari jauh kelihatan seperti sebuah arca penghias bong-pai. Ia tenggelam dalam lamunannya sendiri sampai-sampai tidak tahu apa yang terjadi di sekelilingnya.

Gadis ini tak dapat melupakan wajah kekasihnya mau pun wajah ayahnya. Dua orang ini adalah orang-orang yang dicintanya, dan sekarang keduanya telah meninggalkan dirinya, dan keduanya tewas dalam keadaan yang amat menyedihkan.

Tiba-tiba terdengar suara halus di belakangnya, “Im Giok, kau masih hidup, tapi mengapa semangatmu berkeliaran di alam baka? Kembalilah ke dunia!”

Kalimat terakhir ini diucapkan sebagai perintah dan suaranya mengandung tenaga serta pengaruh yang luar biasa sekali sehingga Im Giok bagaikan disambar petir dan seketika itu juga lantas tersadar. Gadis ini terkejut dan menengok.

“Susiok-couw...!” Im Giok menjatuhkan diri berlutut di depan seorang kakek yang ternyata bukan lain adalah Bu Pun Su.

Kakek ini mengelus-elus jenggotnya sambil menundukkan muka memandang pada gadis yang bercucuran air mata di depannya itu. Terdengar helaan napasnya sampai tiga kali. 

“Hemmm, memang banyak hal-hal yang aneh di dunia ini, keanehan yang merupakan kekuasaan indah dari kekuasaan Thian! Manusia boleh berdaya upaya sekuat tenaga, akan tetapi tak dapat keluar dari ikatan karena yang menimbulkan nasib tersendiri.” 

Im Giok masih menangis terisak-isak dan Bu Pun Su tidak mengganggunya karena kakek sakti ini maklum bahwa obat yang paling baik di saat itu bagi Im Giok adalah menangis sepuasnya, tangis yang sungguh-sungguh sebagai peluapan perasaan yang mendesak memenuhi dada, sebagai pelepas hawa berbahaya yang mengancam isi dada.

Bu Pun Su sendiri mengenang segala peristiwa yang dia hadapi selama enam bulan ini dan berkali-kali dia menghela napas. Seperti sudah dituturkan pada bagian depan, dalam usahanya untuk menolong negara dan mencegah pemecah belahan antara orang-orang gagah supaya tenaga dapat disatukan untuk memperkuat keadaan negara dan menjaga negara dari ancaman musuh, Bu Pun Su menyuruh Kiang Liat pergi ke Go-bi-pai untuk menemui Twi Mo Siansu.

Ia sendiri lalu pergi ke Pulau Pek-le-to untuk mencari Han Le yang hendak ia suruh pergi ke Thian-san dengan maksud yang sama, karena setelah itu ia pun hendak pergi menuju Kun-lun-pai. Dan seperti telah dituturkan di bagian depan, dia menemui kekecewaan luar biasa di Pulau Pek-le-to, di mana ia mendapatkan Han Le berada di bawah pengaruh Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, dijadikan kekasihnya dan bahkan dengan bantuan Han Le, Pek Hoa Pouwsat telah berhasil membunuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai dan seorang tokoh Kun-lun-pai di Pulau Pek-le-to!

Kemudian, dalam marahnya Bu Pun Su menghajar Han Le dan akhirnya mengusir Pek Hoa Pouwsat, kemudian menghukum Han Le tidak boleh keluar dari pulau itu selamanya. Setelah ini dengan hati sangat mengkal Bu Pun Su pergi melakukan perjalanannya ke Kun-lun-san. Akan tetapi, baru saja dia tiba di kaki pegunungan Kun-lun-san, dia bertemu dengan serombongan tosu Kun-lun-pai yang begitu melihat dia segera saja mengepung dan menyerangnya!

Tosu-tosu Kun-lun-pai ini adalah tosu-tosu tingkat tinggi yang berkepandaian lihai, jumlah mereka ada tiga puluh orang. Bu Pun Su terkejut sekali. 
“Tahan...! Aku Bu Pun Su mempunyai kesalahan apakah?” serunya.

Akan tetapi dia harus mengelak ke sana ke mari karena pedang dan golok beterbangan menyambarnya dari segala jurusan dalam gerakan yang luar biasa cepatnya.

Para tosu Kun-lun-pai ini sudah mendengar tentang kelihaian Bu Pun Su, maka mereka tak mau memberi hati, tak mau memberi kesempatan dan mendahului dengan serangan serentak. Akan tetapi mereka kecele jika mengira bahwa dengan mengandalkan banyak orang akan dapat merobohohkan Bu Pun Su begitu saja.

Melihat betapa para tosu itu tidak ada yang mau menjawabnya dan bahkan melanjutkan serangan-serangan mereka yang dahsyat, timbul penasaran dalam hati kakek ini. Ia lalu mulai menggerakkan ilmu silatnya yang aneh dan luar biasa.

Tangan kanannya digerakkan dengan jari tangan terbuka merupakan cakar burung, yang aneh sekali gerakannya dan setiap kali menyambar dan menyambut pedang atau golok, senjata itu dengan mudah kena dirampasnya dan dicengkeram sampai patah-patah! Ada pun tangan kirinya digerakkan dengan gerakan berlainan lagi, lambat-lambat dan seperti orang menulis huruf-huruf besar, akan tetapi dari tangan ini keluar uap putih mengepul dan tiap kali senjata lawan terlanggar oleh hawa pukulan tangan kiri ini, menjadi terpental dan orangnya menjerit kesakitan lalu melompat mundur!

Inilah dua macam ilmu silat yang tiada keduanya di dunia persilatan waktu itu. Tangan kanan Bu Pun Su telah bergerak dan mainkan ilmu silat ciptaannya sendiri yang bernama Kong-ciak Sin-na (Ilmu Silat Burung Merak Sakti) sedangkan tangan kirinya memainkan bagian ilmu silat Pek-in Hoat-sut (Ilmu Sihir Awan Putih). Dua tangan dapat sekaligus memainkan dua macam ilmu silat yang amat berlainan sifat dan gerakannya, benar-benar hanya Bu Pun Su seorang yang kiranya dapat melakukannya!

Akan tetapi, sesuai dengan sifatnya, Bu Pun Su sama sekali tidak ingin melukai para pengeroyoknya, kalau pun ada yang terluka, itu hanya luka di kulit yang tidak berarti saja. Tetapi tetap saja para pengeroyok menjadi kacau-balau sebab pedang dan golok mereka dengan cara yang aneh sekali dapat terampas, dipatahkan atau dibikin terpental entah ke mana.

Sedangnya ribut-ribut dengan para tosu mulai gencar, tiba-tiba dari puncak bukit berlari seorang kakek tua. Kakek ini adalah seorang tosu yang rambut dan jenggotnya sudah putih semua, pakaiannya sederhana dan terlihat seperti seorang tua renta yang sangat lemah.

Akan tetapi kalau melihat cara ia menuruni bukit itu, orang akan terheran-heran karena biar pun ahli silat yang bertubuh tinggi tegap tidak akan mungkin dapat melakukan hal ini. Bagaikan terbang cepatnya kakek itu berlari cepat, seakan-akan kedua kakinya tidak lagi menginjak bumi dan jubahnya berkibar-kibar di belakangnya saking cepatnya ia lari.

“Bu Pun Su, apakah kau hendak memamerkan kepandaianmu di Kun-lun-san?” Kakek itu menegur setelah tiba di tempat pertempuran dan para murid Kun-lun-pai itu cepat-cepat berdiri di pinggiran sambil memberi hormat. 

Bu Pun Su tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, Keng Thian Siansu. Baru bertemu pertama kali kau sudah mengenalku, benar-benar lihai sekali matamu.”

“Kau pun datang-datang sudah dapat mengenalku, Bu Pun Su. Sekali lagi aku bertanya, apakah kau datang-datang hendak memamerkan kepandaianmu di Kun-lun-san?”
“Ha-ha-ha-ha, Keng Thian Siansu, alangkah jauh bedanya antara engkau dan mendiang Seng Thian Siansu sahabat baikku yang sudah mendahului kita kembali ke alam bebas itu. Agaknya kau harus banyak belajar dari mendiang suheng-mu Seng Thian Siansu itu, meneliti diri sendiri sebelum menyalahkan lain.”

“Apa maksudmu?” 
“Sudah puluhan tahun semenjak Seng Thian Siansu masih hidup, aku tidak pernah lagi menginjakkan kaki di sini. Akan tetapi sekarang, dengan maksud baik aku datang. Ehhh, tidak tahunya kau sudah menyambut kedatanganku secara berlebihan, dengan tiga puluh orang lebih anak murid Kun-lun-pai, bahkan masing-masing menghadiahi sebatang golok atau pedang! Bukankah kau sudah membadut secara berlebihan sekali?”

Ucapan Bu Pun Su ini memang merupakan sindiran karena ia merasa mendongkol juga, tiada hujan tiada angin tahu-tahu ia telah diserang begitu hebat oleh begini banyak tosu Kun-lun-pai, tanpa diberikan kesempatan untuk membela diri. Kalau saja dia tidak pandai menghindarkan diri dari serangan-serangan itu, bukankah tubuhnya sudah hancur dan nyawanya menghadap Giam-kun tanpa mengetahui apa kesalahannya?

Keng Thian Siansu tersenyum sindir sambil memukul-mukulkan tongkat di depan kakinya. Para tosu yang lain juga memandang penuh nafsu amarah terbayang di pandangan mata mereka. Melihat ini, diam-diam Bu Pun Su terkejut dan tidak mau main-main lagi, akan tetapi mendengarkan dengan penuh perhatiannya apa yang akan diucapkan oleh Ketua Kun-lun-pai.

“Bu Pun Su, sudah lama pinto mendengar bahwa engkau adalah seorang pendekar sakti yang bijaksana dan pembela keadilan. Akan tetapi sekarang pinto merasa kecewa. Tadi kau menyatakan bahwa orang harus meneliti diri sendiri sebelum menyalahkan orang lain, bukankan begitu?”
“Benar, Kheng Thian Siansu.” 
“Kalau begitu mengapa kau menyalahkan anak murid Kun-lun-pai dan tidak lekas-lekas mengakui dosa-dosamu?”

Bu Pun Su tercengang, akan tetapi ia masih tersenyum ramah. 

“Ehh, ehhh, jangan kau main-main, tosu tua! Memang aku banyak dosa, manusia hidup siapakah yang tidak menumpuk dosa? Akan tetapi kalau dosa-dosaku tidak ada sangkut pautnya dengan kau, apakah aku harus mengakui semua dosaku dan rahasia hidupku yang dulu-dulu dihadapanmu? Memangnya siapakah kau ini? Wakil dari Giam-lo-ong?”
“Bu Pun Su, tidak perlu kau membadut untuk menutupi kedosaanmu terhadap kami! Kau sudah membunuh murid keponakan pinto Cin Giok Sianjin, dan kau masih berani bilang tidak mempunyai dosa terhadap Kun-lun-pai?”

Bu Pun Su memiliki kecerdikan yang luar biasa dan jalan pikirannya amat tangkas dan cepat, maka seketika tahulah ia bahwa ini tentu ada hubungan dengan kematian Cin Giok Sianjin di pantai Pulau Pek-le-to! Akan tetapi bagaimanakah Kun-lun-pai demikian cepat mendengar tentang hal ini dan mengapa pula menuduh dia? Padahal yang membunuh tokoh Kun-lun-pai itu adalah Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, dibantu oleh Han Le. Karena ia merasa bahwa betapa pun juga, Han Le ikut bersalah dalam hal ini dan Han Le adalah adik seperguruannya, terpaksa ia mengalah dan berlaku sabar.

“Keng Thian Siansu, nanti dulu. Aku bisa memberi penjelasan tentang kematian Cin Giok Sianjin. Akan tetapi yang aneh sekali, bagaimana kalian bisa tahu begitu cepatnya? Dan mengapa pula menuduh aku yang melakukan perbuatan itu?”
“Dari mana pinto mengetahui, bukanlah persoalan. Pendeknya kami tahu bahwa Cin Giok Sianjin telah tewas olehmu di dalam pulau di mana dahulu kau bertapa.”

Bu Pun Su menarik napas panjang. Dia dapat menduga setelah otaknya yang luar biasa bekerja cepat.

“Hemm, siluman betina itu tentunya baru saja meninggalkan puncak Kun-lun-san! Keng Thian Siansu, apakah kau begitu mudah mau percaya omongan seorang seperti Pek Hoa Mo-li (Iblis Wanita Pek Hoa) itu?” Bu Pun Su sengaja merubah sebutan Pek Hoa Pouwsat menjadi Pek Hoa Mo-li. Pouwsat berarti Dewi sedangkan Mo-li berarti Iblis Betina.

“Apakah ketika dia bercerita bahwa aku yang membunuh Cin Giok Sianjin, dia berbicara sambil menggoyang-goyangkan tubuh seperti pohon yang-liu tertiup angin musim chun, matanya mengerling-ngerling bagaikan bintang-bintang di langit dan bibirnya tersenyum-senyum manis sehingga semua orang yang mendengarnya menjadi percaya penuh?”

Wajah Keng Thian Siansu menjadi merah sekali. Memang, biar pun agak berlebih-lebihan semua dugaan Bu Pun Su ini cocok dengan keadaannya. Pagi hari itu memang Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat mengunjungi Kun-lun-san dan bercerita dengan sikapnya yang genit sekali bahwa Cin Giok Sianjin dibunuh oleh Bu Pun Su, dan bahwa Pek Hoa Pouwsat sendiri yang hendak mencegah perbuatan itu sampai terluka pula oleh Bu Pun Su! 

“Bu Pun Su, pinto sendiri memang masih meragukan keterangan dari Pek Hoa Pouwsat. Akan tetapi selain kau, siapakah yang sanggup membunuh Cin Giok Sianjin bersama dua orang tokoh Siauw-lim-si yang berkepandaian tinggi? Dan pula, apa perlunya Pek Hoa Pouwsat datang-datang ke Kun-lun-san dan membohong? Ditambah lagi kedatanganmu di sini, benar-benar semuanya menimbulkan kecurigaan kami. Kalau kau beri penjelasan, katakanlah apa yang terjadi di Pek-le-to. Apakah betul-betul Cin Giok Sianjin terbunuh?”

“Betul, sayang sekali karena kedatanganku ke Pek-le-to terlambat,” jawab Bu Pun Su. Keterangan ini disambut oleh suara menyatakan marah dari para tosu Kun-lun-pai. 
“Siapa yang membunuhnya?” tanya Keng Thian Siansu. 
“Ketika aku mendarat di Pek-le-to, aku melihat tiga mayat orang yang setelah kuperiksa ternyata adalah jenazah-jenazah dari Cin Giok Sianjin beserta dua orang tokoh Siauw-lim-pai. Dan orang yang saat itu tinggal di Pulau Pek-le-to itu kulihat adalah Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat sendiri!”

Keng Thian Siansu mengeluarkan suara ketawa aneh.

“Bu Pun Su, jangan kau main-main. Pinto bukan anak kecil yang mudah dibohongi. Orang macam Pek Hoa Pouwsat itu bagaimana bisa membunuh Cin Giok Sianjin bersama dua orang tokoh Siauw-lim-pai?” 
“Memang ada yang membantu...,” kata Bu Pun Su, suaranya mengandung kepahitan dan kekecewaan.
“Siapa...?” Keng Thian Siansu mendesak.

Bu Pun Su menarik napas panjang lalu memandang kepada wajah Ketua Kun-lun-pai itu. 

“Keng Thian Siansu, aku datang dengan maksud yang amat penting, apakah kau hanya menyambut aku seperti ini saja? Haruskah kita bercakap-cakap sambil berdiri di tempat panas ini? Ahh, benar-benar tak kusangka bahwa Kun-lun-pai sekarang merupakan tuan rumah yang tidak manis budi...” 

Keng Thian Siansu tersadar dan wajahnya berubah merah. Ia menjura dan berkata, 

“Maaf, maaf, pinto terlalu pusing memikirkan soal Cin Giok Sianjin sehingga lupa akan tata susila. Mari, Bu Pun Su, silakan kau naik, menjadi tamu kami di Kun-lun-san!”

Bu Pun Su balas menjura. “Terima kasih!”

Dan cepat tubuhnya berkelebat dalam perjalanannya naik ke puncak. Melihat ini, semua tosu Kun-lun-pai meleletkan lidah saking kagum menyaksikan ilmu meringankan tubuh dan ilmu lari cepat yang sedemikian hebatnya.

Keng Thian Siansu berseru, “Kau memang hebat Bu Pun Su.”

Akan tetapi tubuhnya sendiri juga berkelebat menyusul dan sekejap mata dua orang itu telah lenyap dari pandangan mata para tosu yang saling berpandangan dan kemudian beramai-ramai naik ke puncak.

Setelah berada di kuil Kun-lun-pai di puncak gunung itu, Bu Pun Su diterima oleh Keng Thian Siansu di ruangan tengah yang amat luas. Selain Keng Thian Siansu terdapat pula tiga orang tokoh Kun-lun-pai yang ikut mendengarkan penuturan Bu Pun Su. Mereka ini yang dua orang merupakan murid Keng Thian Siansu, sedangkan yang seorang lagi adik seperguruan dari Cin Giok Sianjin. Dengan terus terang Bu Pun Su menuturkan tentang peristiwa di Pulau Pek-le-to. 

Dia tidak menyembunyikan kenyataan bahwa Han Le telah terpikat dan terbuai oleh Pek Hoa Pouwsat sehingga mau membantu siluman betina itu merobohkan dua orang tokoh Siauw-lim-pai dan seorang tokoh Kun-lun-pai yang mendarat di Pulau Pek-le-to.

“Hemm, kalau begitu sute-mu itu yang menjadi pembunuh!” kata Keng Thian Siansu. 
“Bukan, sahabatku, bukan Han Le. Memang benar bahwa Han Le yang mengalahkan dan membuat tak berdaya Cin Giok Sianjin dan dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu, akan tetapi pembunuhnya adalah Pek Hoa Pouwsat yang sudah datang ke sini dan menipu kalian di sini. Bukan aku hendak membela sute-ku yang juga berdosa, tetapi harus diingat bahwa sute-ku telah roboh bukan hanya oleh kecantikan Pek Hoa dan oleh karena pandainya ia bergaya, melainkan terutama sekali oleh semacam ilmu sihir yang luar biasa. Pernah siluman betina itu mencoba ilmunya kepadaku, dan memang benar-benar hebat. Apa bila orang tidak memiliki ketabahan dan kebersihan hati ditambah tenaga batin yang sangat kuat, kiraku pasti akan roboh, seperti halnya Han Le. Mengingat bahwa Han Le sudah membantu Pek Ho Mo-li dan membuat roboh ketiga orang itu di Pulau Pek-le-to dalam keadaan tidak sadar seperti di bawah pengaruh sihir dari Pek Hoa Mo-li, maka aku telah menghukum sute-ku melarang dia keluar selamanya dari Pulau Pek-le-to. Apakah kau tidak menganggap hukuman itu sudah cukup berat baginya?”

Kiang Thian Siansu serta anak-anak muridnya mengangguk-anggukkan kepala. Mereka terpaksa mengaku bahwa hukuman itu memang berat, cukup berat. Hukuman itu sama dengan hukuman buang selama hidup, karena selama hidupnya, Han Le tak akan dapat melihat dunia ramai lagi, takkan dapat bertemu dengan orang lain lagi. Hukuman ini pada hakekatnya bahkan lebih berat dari pada hukuman mati.

“Bu Pun Su, kami memang telah mendengar penuturanmu dan kami percaya sepenuhnya kepadamu. Akan tetapi masih ada satu hal dan engkaulah satu-satunya orang yang harus membereskannya. Yakni tentang Pek Hoa Pouwsat. Apa bila memang betul dia itu yang membunuh Cin Giok Sianjin dan benar-benar sudah datang ke sini untuk memburukkan namamu, maka untuk membuktikan kebenaran semua penuturanmu, kau harus mencari dan membunuh Pek Hoa Mo-li!”

Bu Pun Su nampak terkejut. “Keng Thian Siansu! Aku sudah lama melakukan pantangan membunuh!”

“Kalau begitu cari dan tangkap dia, seret ke sini agar pinto dapat mendengar pengakuan dosanya. Kalau kau melakukan itu, barulah selamanya Kun-lun-pai percaya kepadamu, Bu Pun Su.”

Bu Pun Su tertawa bergelak, “Ha-ha-ha, kau memang orang cerdik, Keng Thian Siansu. Akan tetapi tidak apalah, aku akan menangkap siluman betina itu untukmu dan sekarang kuharap tamu agung Kun-lun-pai yang sejak tadi berdiri di luar sudi masuk. Keng Thian Siansu, mengapa kau tidak menyambut datangnya tamu?”

Keng Thian Siansu juga tersenyum dan berkata, “Saudara dari Siauw-lim-si berlaku amat sungkan-sungkan di luar, bagaimana pinto berani menyambut sembarangan?” 

Tiga orang tosu lain yang hadir situ kaget sekali dan memuji kelihaian penglihatan Bu Pun Su dan Keng Thian Siansu, karena mereka bertiga tidak melihat sesuatu pun, juga tidak mendengar sesuatu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dan berkelebat sesosok bayangan orang tinggi besar memasuki ruangan itu dengan gerakan yang cepat, akan tetapi walau pun kedua kakinya tidak menimbulkan suara apa-apa ketika menginjak lantai ruangan itu, ternyata bahwa semua orang merasa lantai tergetar hebat seolah-olah dijatuhi benda yang ribuan kati beratnya!

Semua orang memandang. Orang yang baru muncul ini adalah seorang hwesio gundul yang badannya tinggi tegap, kepalanya gundul licin, demikian pula mukanya licin kelimis seperti kedok. Kulit mukanya berwarna putih seperti dikapur dan yang membuat rupanya menjadi amat buruk adalah telinga kirinya yang sudah buntung tidak ada sisanya sama sekali. Mulutnya selalu cemberut dan sepasang matanya nampak seperti orang murung dan duka. Sebenarnya usianya sudah enam puluh tahun lebih, akan tetapi oleh karena muka dan kepalanya guncul licin, ia nampak lebih muda.

Melihat hwesio ini, diam-diam Bu Pun Su dan Keng Thian Siansu merasa heran. Melihat gerakannya tadi, tak dapat disangkal lagi bahwa hwesio ini tentulah seorang ahli silat dari Siauw-lim-pai, akan tetapi siapakah orang ini? Bu Pun Su dan Keng Thian Siansu sudah banyak mengenal tokoh Siauw-lim-pai, bahkan ada pertalian persahabatan dengan ketua Siauw-lim-pai, Hok Bin Taisu. Akan tetapi hwesio ini belum pernah mereka kenal.

Kalau yang datang ini adalah seorang anak murid Siauw-lim-pai yang rendah tingkatnya, tidak mengherankan apa bila dua orang sakti ini tidak mengenalnya. Akan tetapi melihat lweekang serta ginkang yang baru saja diperlihatkan oleh tamu ini, mudah sekali dilihat bahwa dia adalah seorang yang mempunyai kepandaian tinggi sekali, jadi bukan seorang murid rendahan saja dari Siauw-lim-pai.

“Bu Pun Su,” hwesio itu berkata dengan muka yang tidak berubah akan tetapi suaranya menggeledek dan menggetarkan anak telinga. “Biar pun kaum Kun-lun-pai telah berlaku lemah, akan tetapi pinceng dari Siauw-lim-pai tak nanti melepaskan kau begitu saja! Kau menyerahlah untuk pinceng bawa ke Siauw-lim-pai, kemudian menerima hukuman atas dosa-dosamu!”

Kata-kata ini diterima oleh Bu Pun Su dengan adem saja, akan tetapi membuat panas hati Keng Thian Siansu bersama tiga orang muridnya. Sikap hwesio ini mereka anggap keterlaluan sekali.

Mereka tidak ambil pusing dengan apa yang hendak dilakukan oleh hwesio itu terhadap Bu Pun Su, akan tetapi sikap hwesio itu yang sama sekali tidak mempedulikan pihak tuan rumah, betul-betul telah melanggar peraturan kang-ouw dan peraturan kesopanan antara partai-partai besar.

Hwesio itu telah masuk ke Kun-lun-pai tanpa memberi tahu terlebih dulu dan tentu telah menggunakan kepandaiannya, sehingga dapat melampaui para penjaga dan bisa sampai di ruangan lian-bu-thia tanpa terlihat. Hal ini saja merupakan pelanggaran pertama.

Ke dua, hwesio ini sama sekali tak mengacuhkan Keng Thian Siansu yang menjadi ketua Kun-lun-pai dan hal ini benar-benar merupakan kekurang ajaran yang menyinggung rasa kehormatan ciangbunjin dari Kun-lun-pai. Bukan ini saja, bahkan, datang-datang hwesio ini hendak menangkap Bu Pun Su yang saat itu menjadi tamu Kun-lun-pai, hal ini berarti bahwa hwesio itu sama sekali tak memandang mata kepada Kun-lun-pai dan merupakan pelanggaran ke tiga.

Sun Giok Sianjin, murid keponakan dari Ketua Kun-lun-pai yang ikut hadir di situ, menjadi marah dan cepat dia melompat berdiri menghadapi hwesio itu. Tanpa banyak peradatan lagi dia menudingkan jari telunjuknya ke arah dada hwesio itu sambil berkata,

“Kami mengenal Hok Bin Taisu Ketua Siauw-lim-pai sebagai seorang yang menjunjung tinggi kegagahan, keadilan, dan peraturan. Juga kami tahu bahwa Siauw-lim-pai adalah partai persilatan di kolong langit yang paling menjaga peraturan sehingga memasuki Kuil Siauw-lim-si kabarnya sama sukarnya dengan memasuki pintu langit! Akan tetapi kenapa kau ini hwesio yang mengaku dari Siauw-lim-si begini tidak tahu aturan dan menganggap Kun-lun-pai sebagai tempat apakah?”

Hwesio itu memandang kepada Sun Giok Sianjin dengan mata mencorong, dan tak lama kemudian terdengar suaranya yang keras dan parau,

“Apakah kau ini yang bernama Keng Thian Siansu Ketua Kun-lun-pai?” 

Sun Giok Sianjin tersenyum mengejek.

“Hwesio, kelirunya dugaanmu ini saja telah membuktikan bahwa kau bukan seorang yang banyak mengenal dan dikenal di dunia kang-ouw! Pinto sudah banyak mengenal hwesio di Siauw-lim, akan tetapi selamanya belum pernah bertemu dengan kau. Ketahuilah, pinto adalah Sun Giok Sianjin, dan kau ini siapakah?”
“Pinceng Kong Mo Taisu. Orang seperti kau ini mana mengenal pinceng?”

Sesudah berkata demikian hwesio itu tertawa bergelak dan terkejutlah Sun Giok Sianjin karena kedua telinganya terasa sakit sekali. Makin lama hwesio itu ketawa, makin sakit telinganya sampai hampir tidak tertahankan lagi. Baiknya dia cepat-cepat mengerahkan lweekang-nya untuk menjaga keselamatan bagian halus di dalam telinganya supaya tidak mengalami kerusakan akibat suara yang mengandung getaran tenaga lweekang ini.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa halus yang sekaligus membuyarkan tenaga serangan merusak dari suara ketawa Kong Mo Taisu. Yang ketawa ini adalah Bu Pun Su. Dalam suara ketawanya yang halus, Bu Pun Su sudah mengerahkan tenaganya sehingga dapat menolak tenaga serangan Kong Mo Taisu yang disalurkan melalui suara ketawanya. 

“Pernah dahulu Suhu-ku Ang-bin Sin-kai bercerita kepadaku tentang seorang bocah yang menjadi kacung di Siauw-lim-si dan kemudian pada suatu hari bocah itu mencuri sebuah kitab simpanan peninggalan Tat Mo Couwsu. Sampai belasan tahun bocah tersebut bisa mempelajari isi kitab itu tanpa persetujuan para ketua Siauw-lim-si. Akhirnya ia diketahui juga dan dijatuhi hukuman, yakni selama hidupnya tidak boleh mempergunakan ilmunya untuk memperkenalkan diri di dunia kang-ouw dan di samping itu dibuang ke luar kuil dan bertapa seorang diri dalam goa di hutan. Sekarang tahu-tahu muncul seorang hwesio tak ternama yang memiliki tenaga I-kin-keng begini tingginya. Eh, hwesio, apa hubunganmu dengan bocah bengal itu?” tanya Bu Pun Su di akhir penjelasannya.

Juga Keng Thian Siansu mengeluarkan seruan kaget.

“Pinto juga teringat akan sebuah dongeng yang pinto dengar dari mendiang Suheng Seng Thian Siansu. Puluhan tahun yang lalu, bersama beberapa orang sahabatnya, Suheng bertemu dengan seorang hwesio yang melakukan perbuatan tidak patut di sebuah dusun tidak jauh dari Siauw-lim-si. Hwesio itu mengganggu seorang gadis kampung dan tentu saja Suheng dan sahabatnya tidak membiarkan hal itu terjadi. Hwesio keparat itu ditegur dan terjadilah pertempuran hebat. Dari pertempuran ini tahulah Suheng bahwa hwesio itu mempunyai sari kepandaian dari Siauw-lim-si. Akhirnya hwesio itu dapat dikalahkan oleh Suheng beserta sahabat-sahabatnya, dan biar pun tidak dapat dibinasakan, tetapi hwesio itu sudah diberi peringatan dengan terbabatnya sebuah daun telinga sebelah kiri. Entah apa hubungannya hwesio cabul itu dengan saudara yang sekarang hadir dan mengaku bernama Kong Mo Taisu!”

Hwesio itu mukanya tidak berubah, akan tetapi sinar matanya makin berapi-api.

Tiba-tiba Sun Giok Sianjin tertawa bergelak, “Aha, kiranya kaulah yang telinganya sudah dibuntungi oleh Suhu!” 
“Sun Giok Sianjin, awas!” teriak Bu Pun Su.

Tosu ini cepat-cepat melompat ke belakang ketika merasa ada angin mendesir. Ternyata bahwa hwesio gundul itu sudah menyerang dengan sebuah pukulan tangan kanan yang mendatangkan angin pukulan luar biasa sekali.

Sun Giok Sianjin adalah seorang tokoh Kun-lun-pai yang berkepandaian tinggi, setingkat dengan kepandaian Cin Giok Sianjin tetapi lebih tinggi tingkatnya dari pada kepandaian para murid Keng Thian Siansu. Akan tetapi menghadapi pukulan dari Kong Mo Taisu tadi, ia terkejut bukan main.

Biar pun ia dapat menghindarkan diri, namun ia maklum bahwa lweekang dari Si Gundul ini masih jauh melampaui tingkatnya. Segera tangan kirinya bergerak dan tahu-tahu dia telah mencabut pedang yang tadinya menggemblok pada punggungnya. Sun Giok Sianjin terkenal sangat lihai dengan senjata pedang yang dimainkan dengan tangan kirinya.

Memang tosu ini adalah seorang kidal yaitu seorang yang semenjak kecilnya lebih trampil mempergunakan tangan kiri dari pada tangan kanannya. Oleh karena itu, dalam hal ilmu pedang, ia juga selalu menggunakan tangan kiri. Namun hal ini menambah kelihaiannya karena bagi lawan memang merupakan suatu kesukaran jika menghadapi seorang yang memainkan senjata dengan tangan kiri.

Terdengar Kong Mo Taisu tertawa bergelak lagi. Benar-benar mengerikan muka hwesio telinga buntung ini. Biar pun suara ketawanya bergelak, akan tetapi hanya mulutnya saja yang terbuka sedangkan lain-lain bagian mukanya sama sekali tak memperlihatkan gerak ketawa, seperti sebuah mayat tertawa saja!

“Tosu bulukan kau mengandalkan pedangmu? Lebih baik kau mundur dan biarkan Keng Thian Siansu saja menghadapi pinceng. Kau lebih baik pulang dan belajar sepuluh tahun lagi, barulah menghadapi pinceng!” Bukan main marahnya Sun Giok Sianjin mendengar ejekan ini.
“Hwesio siluman lihat pedang!”

Secepat kilat pedangnya di tangan kiri menyambar dengan gerak tipu Hek-in Koan-goat (Awan Hitam Menutup Bulan), yang lalu disusul oleh gerakan berantai Ngo-cu Sam-kiam (Lima Kali Tikaman Berantai).

Akan tetapi, sambil mengeluarkan suara ketawa aneh, Kong Mo Taisu menggerakkan kedua tangannya dengan lembut ke arah pedang dan ke mana saja pedang di tangan tosu itu menyerang, begitu bertemu dengan hawa pukulan dari kedua tangan hwesio itu, lalu mandeg serangannya, tertolak oleh hawa pukulan yang dahsyat sekali.

Sun Giok Sianjin terkejut sekali dan sesudah semua serangannya dapat dielakkan dan disampok oleh hawa pukulan ahli lweekang I-kin-keng ini, ia kemudian berseru keras dan tiba-tiba dari samping pedangnya meluncur cepat menyabet ke arah pundak dan leher! Sambil melakukan bacokan ini, Sun Giok Sianjin mengerahkan seluruh tenaga lweekang sehingga apa bila hwesio itu berani menangkis, sungguh pun tidak dapat dia menangkan tenaga lweekang hwesio itu, akan tetapi kecepatan gerakan dan ketajaman pedangnya paling tidak tentu akan melukai tubuh lawannya!

Akan tetapi hwesio itu benar-benar amat lihai. Sambil merendahkan tubuhnya yang tinggi besar itu, ia mengelak cepat dan begitu pedang telah menyambar lewat, tangan kirinya menyusul pedang dengan dorongan ke bawah. Inilah gerakan tangan kosong semacam Siok-lui Kak-teng (Petir Menyambar di Atas Kepala) yang dahsyat, akan tetapi bukan digerakkan untuk menyerang lawan, melainkan untuk menindih pedang. Benar-benar luar biasa sekali.

Biar pun hanya didorong oleh hawa pukulan, betapa pun Sun Giok Sianjin berusaha, pedang itu tidak dapat ditariknya kembali, terus terdorong ke atas lantai dan di lain saat kaki kiri hwesio itu telah menginjak pedang, tenaga lweekang dikerahkan dan…

“Krakk!” pedang itu telah patah-patah empat potong di atas lantai!

Di lain saat kaki kanan hwesio itu menendang dan tubuh Sun Giok Sianjin terlempar dan terbanting pada dinding ruangan itu yang jauhnya ada empat tombak lebih! 

Kong Mo Taisu tertawa bergelak, sedangkan Sun Giok Sianjin yang tidak menderita luka berat merangkak bangun dengan muka pucat. Dalam waktu kurang dari sepuluh jurus dia telah dikalahkan oleh hwesio itu. Ini adalah hal yang benar-benar sangat mengherankan, memalukan dan juga membuktikan bahwa hwesio itu benar-benar luar biasa lihainya.

Hal ini diketahui pula oleh Keng Thian Siansu. Dia sendiri biar pun tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi dari pada murid keponakannya itu, namun apa bila disuruh mengalahkan Sun Giok Sianjin dalam waktu kurang dari sepuluh jurus, ia masih tidak sanggup. Maka ia tahu bahwa hwesio itu merupakan lawan yang amat berat.

Akan tetapi sebagai seorang ciangbunjin dia harus menjaga nama dan kehormatan partai Kun-lun-pai. Apa lagi yang datang mengacau ini bukanlah wakil Siauw-lim-pai, melainkan seorang hwesio Siauw-lim yang murtad. Sambil tersenyum pahit dia bangkit dari kursinya dan menggerak-gerakkan tongkatnya yang panjang.

“Hwesio, harap kau bicara terus-terang. Kedatanganmu ini untuk keperluan apakah?” 

Kong Mo Taisu memandang tajam. “Engkau yang bernama Keng Thian Siansu ketua dari Kun-lun-pai?”

“Betul dugaanmu. Kau ini hwesio murtad dari Siauw-lim-pai, sekarang datang memancing keonaran, sebenarnya apakah kehendakmu? Pinto tidak bisa turun tangan tanpa dasar yang kuat dan alasan yang tepat,” Keng Thian Siansu menyeringai. 

“Bagus, Keng Thian Siansu, kau masih tanya-tanya lagi? Kau tak tahu malu, yang sudah kehilangan anak murid terbunuh oleh Bu Pun Su, akan tetapi sekarang, setelah Bu Pun Su datang, karena takut padanya kau bahkan bersobat dengan dia, kau masih ingin tahu apa maksud kedatangan pinceng? Pertama-tama memang pinceng hendak mengetahui sampai di mana tingginya puncak Kun-lun-san dan sekedar memuaskan hatiku menebus hinaan pada waktu dahulu. Kedua, sengaja pinceng hendak menangkap Bu Pun Su atas kedosaannya membunuh dua orang cucu muridku!”

Orang yang tidak tahu, tentu akan heran dan mengira hwesio itu bicara sombong ketika mengaku bahwa dua orang tokoh Siauw-lim-pai, yakni Bok Beng Hosiang yang dianggap sebagai tokoh ke dua dan ke tiga, murid-murid Hok Bin Taisu Ketua Siauw-lim-pai itu, sebagai cucu muridnya. Akan tetapi sebetulnya dalam hal ini hwesio ini berkata benar.

Memang Kong Mo Taisu memiliki kedudukan ilmu silat yang lebih tinggi tingkatnya dari pada Hok Bin Taisu sendiri. Kalau menurut keadaan pelajaran ilmu silat mereka, Ketua Siauw-lim-pai itu bahkan masih menyebut susiok kepadanya.

Hal ini adalah karena Kong Mo Taisu yang telah berhasil mencuri kitab-kitab peninggalan Tat Mo Couwsu dan mempelajari isinya yang tidak sembarang murid Siauw-lim-pai dapat melihatnya, tingkat kepandaiannya menjadi seimbang atau boleh disebut sebagai murid seperguruan yang setingkat dengan guru dari Hok Bin Taisu, yang membuat Kong Mo Taisu pernah paman guru Ketua Siauw-lim-pai. Sudah barang tentu Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang murid-murid Hok Bin Taisu ini boleh disebut cucu-cucu muridnya. 

Keng Thian Siansu menjadi mendongkol sekali mendengar betapa hwesio ini terus terang menyatakan ingin mengetahui sampai di mana tingginya puncak Kun-lun-san. Kata-kata ini mengandung sindiran dan yang dimaksudkan tinggi itu bukan puncak bukitnya, akan tetapi puncak kepandaiannya, yaitu tentu saja kepandaian Keng Thian Siansu yang boleh dibilang puncak kepandaian Kun-lun-pai pada saat itu. Kata-kata ini sama halnya dengan menantangnya.

Apa lagi setelah ditambah bahwa hwesio itu ingin memuaskan hatinya menebus hinaan di waktu dulu. Tentu yang dimaksudkan adalah hinaan potong telinga yang sudah dilakukan oleh mendiang suheng-nya, Seng Thian Siansu.

“Hwesio, kau sombong sekali. Pantas saja mendiang suheng-ku membuntungi telinga kirimu. Kini kau mau membalas dendam masa lalu? Baiklah, di sini pinto bersiap mewakili mendiang Suheng untuk menyelesaikan pekerjaannya dulu yang belum sempurna, yaitu membuntungi telinga keledaimu yang sebelah lagi!”

Keng Thian Siansu biasanya tidak suka berkelakar, tidak pula menjadi wataknya untuk bersombong dan menghina orang. Tapi kali ini ia sengaja mengeluarkan kata-kata pedas, bukan saja untuk membalas kesombongan Kong Mo Taisu, akan tetapi juga sengaja ingin memanaskan hati dan membuat hwesio itu menjadi marah, karena hanya bila hwesio itu marah-marah kiranya ia akan dapat menghadapinya dengan harapan menang.

Bagi para ahli silat tinggi yang mendasarkan kekuatan perlawanan terhadap musuh berat pada tenaga lweekang, nafsu amarah adalah pantangan besar karena nafsu amarah ini dapat mengurangi banyak tenaga. Dalam keadaan marah, sulit sekali untuk menghimpun hawa di dalam tubuh dan karenanya hawa sinkang di dalam tubuh pun buyar tidak dapat terkumpul sehingga akibatnya tenaga pun banyak berkurang.

Ejekan tentang telinga itu kiranya betul-betul tepat melukai hati Kong Mo Taisu, membuat hwesio ini marah bukan main. Kedua matanya sampai melotot lebar dan sambil berseru keras dia mencabut senjatanya yang tadinya tidak kelihatan dari luar, yakni sebatang ring rantai yang dijadikan ikat pinggang. Rantai ini terbuat dari baja lembek, panjangnya tiga kaki, besarnya sekepalan tangan warnanya hitam.

“Tosu keparat, mampuslah kau menyusul suheng-mu!” Hwesio itu membentak sambil dia mengirim serangan.

Bukan main hebatnya serangan ini. Ketika Keng Thian Siansu mengelak dan melompat ke belakang, ujung rantai menghantam lantai hingga debu berhamburan ke atas karena lantai yang terpukul menjadi hancur lebur! Hwesio ini terus mendesak dengan serangan lain yang ditujukan kepada kepala Ketua Kun-lun-pai.

“Traangg...!”

Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika rantai itu ditangkis oleh tongkat pada tangan Keng Thian Siansu. Keng Thian Siansu adalah seorang yang tinggi ilmu kepandaiannya. Kalau ia tidak memiliki kepandaian tinggi, tidak nanti ia dapat menjadi Ketua Kun-lun-pai yang besar.

Kiranya tidak sembarang orang kang-ouw mampu menyamai kepandaiannya, baik dalam hal ilmu silat, tenaga lweekang, mau pun ginkang yang semua sudah mendekati puncak kesempurnaan. Namun kali ini begitu tongkatnya beradu dengan rantai Kong Mo Tosu, tosu tua ini maklum bahwa benar-benar lawannya memiliki tenaga warisan I-kin-keng dari Tat Mo Couwsu yang luar biasa hebatnya.

Telapak tangannya menjadi panas sekali dan kalau saja dia tidak memiliki sinkang yang sangat kuat tentu kulit serta daging tangannya sudah robek dan pecah-pecah. Rantai itu mengandung getaran tinggi yang hampir tidak terasa, akan tetapi yang mendatangkan hawa panas bagaikan api membara.

Rantai itu sudah menyambar lagi, kini menyabet ke arah kaki Keng Thian Siansu. Ketika Ketua Kun-lun-pai itu melompat ke atas sehingga rantai itu lewat di bawah kakinya, rantai itu tahu-tahu sudah menghadang pula dan kini meluncur ke arah kepalanya! Benar-benar Ketua Kun-lun-pai dibikin kagum oleh gerakan ini. Kecepatan perubahan gerakan rantai yang dari serangan ke arah kaki tiba-tiba dapat dirubah menjadi serangan ke arah kepala ini benar-benar luar biasa dan berbahaya sekali.

Keng Thian Siansu tidak berani berlaku lambat dan ia segera mengeluarkan ilmu tongkat yang berdasarkan ilmu silat Kun-lun Kun-hoat. Ujung tongkatnya tergetar mengeluarkan bunyi berdering dan ujung itu kanan kiri tergetar menjadi tujuh bagian.

Pertempuran menjadi makin sengit dan seru karena Kong Mo Taisu juga tidak mau kalah. Dia mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaganya.

Karena maklum bahwa tenaganya kalah jauh, Keng Thian Siansu segera mengandalkan kegesitan tubuhnya. Tujuh getaran tongkatnya itu yang lima bagian dipergunakan untuk pertahanan diri, sedangkan ia membalas serangan lawan yang hanya dengan dua bagian saja. Hal ini adalah karena hanya dengan pengerahan tenaga sekuatnya saja baru dia sanggup menangkis serangan lawannya yang tentu saja menggunakan sistem setengah bertahan setengah menyerang. Karena kepincangan ini, maka segera kelihatan betapa Ketua Kun-lun-pai itu hanya berada pada pihak penahan belaka, dan hanya sedikit sekali melakukan serangan, itu pun kalau benar-benar ada lowongan. 

Seratus jurus telah lewat dengan cepatnya. Kini tempat itu sudah terkurung oleh puluhan orang-orang Kun-lun-pai yang datang menonton dan telah siap sedia menghadapi semua perintah ketua mereka. Kini mereka semua merasa gelisah karena sebagai ahli-ahli silat tinggi mereka maklum bahwa ketua mereka menghadapi bencana.

Akan tetapi di antara mereka sudah ada kesepakatan, bahwa apa bila Ketua Kun-lun-pai sampai roboh binasa, tentu hwesio gundul itu tak akan dapat keluar dari tempat itu dalam keadaan selamat. Walau pun hwesio itu lebih kosen lagi dan ditumbuhi sepasang sayap, takkan mungkin dia sanggup menghadapi pengeroyokan puluhan orang tosu Kun-lun-pai yang rata-rata berkepandaian tinggi itu.

Mereka pun takkan ragu-ragu atau malu-malu untuk mengeroyok dan membunuh hwesio itu kalau sampai ketua mereka tewas, oleh karena kedatangan hwesio itu bukan sebagai seorang tamu terhormat, tetapi sebagai seorang pencuri yang datang secara sembunyi-sembunyi. Kalau hwesio itu adalah tamu terhormat dan pertandingan itu adalah pibu yang sewajarnya, tentu kalah menang, mati hidup tak akan dipersoalkan lagi oleh semua kaum Kun-lun-pai. Akan tetapi sekarang lain lagi soalnya, maka mereka bersiap-siap dengan senjata di tangan.

Ada pun Kong Mo Taisu yang sampai seratus jurus belum dapat mengalahkan lawannya, menjadi penasaran bukan main. Dahulu memang ia kalah oleh Seng Thian Siansu, akan tetapi ia kalah karena dikeroyok oleh lima orang, yakni Seng Thian Siansu beserta empat orang lain yang kepandaiannya juga tinggi. Kalau hanya Seng Thian Siansu seorang diri yang maju, dahulu Seng Thian Siansu juga pasti kalah olehnya.

Padahal setelah menderita hinaan itu, ia telah berlatih lagi sampai belasan tahun, melatih I-kin-keng sampai hampir sempurna. Kini ia mendapat kenyataan bahwa ia sudah salah duga. Ternyata, hanya dengan tenaga dalam I-kin-keng yang luar biasa saja dia tak akan dapat memenangkan musuh kalau ilmu silatnya tidak bisa mengatasi kepandaian lawan. Ia harus akui bahwa dengan tenaganya dia dapat menangkan Keng Thian Siansu, hanya saja dalam ilmu silat, ternyata ketua dari Kun-lun-pai ini masih mengatasinya!

Aku harus menangkan dengan adu tenaga, pikirnya dan tiba-tiba ketika ia melihat tongkat menyambar dengan sodokan ke arah dada, dia tidak mengelak, bahkan dia melibat ujung tongkat itu dengan ujung rantainya sambil mengerahkan lweekang.

“Bukkk!”

Ujung tongkat menotok dada, akan tetapi seakan-akan menotok bola baja saja, licin dan keras sehingga meleset tanpa mendatangkan akibat apa pun. Namun sebaliknya, ujung tongkat itu telah kena dilibat oleh rantai. Betapa pun Keng Thian Siansu mencoba untuk membetotnya, sia-sia belaka.

Tiba-tiba saja terdengar suara ketawa keras dari mulut Kong Mo Taisu, dibarengi dengan kepalan tangan kirinya yang datang menyerang dengan jari-jari terbuka, mencengkeram ke arah batok kepala tosu Kun-lun-pai!

Keng Thian Siansu tadinya sudah membetot-betot tongkatnya. Tongkat itu adalah senjata merangkap lambang kekuasaan sebagai ketua partai, maka tentu saja kehilangan tongkat yang terampas oleh lawan sama artinya dengan kehilangan nyawa.

Akan tetapi sekarang melihat datangnya cengkeraman ke arah batok kepala, terpaksa ia mengangkat tangan kanannya, mempergunakan gerak Hauw-jiauw-kang (Cengkeraman Harimau) menyambut tangan kiri hwesio itu sehingga di lain saat jari-jari kedua tangan itu telah saling cengkeram!

Kini pertandingan dilanjutkan mengandalkan lweekang. Sebelah tangan berebut tongkat yang terlibat rantai, tarik-menarik, dan sebelah lagi saling cengkeram.

Muka hwesio itu tetap tidak berubah, hanya matanya mengeluarkan sinar bengis. Tangan kirinya yang mencengkeram makin lama makin kuat sehingga kuku-kukunya telah mulur menancap pada kulit tangan Keng Thian Siansu, sedangkan rantainya makin lama makin hebat tarikannya sehingga tangan kiri Ketua Kun lun-pai sudah gemetar. Muka tosu itu sudah berpeluh dan pucat, dan dari kepalanya sudah mengepul uap, tanda pengerahan lweekang sekuatnya dan keadaannya berbahaya sekali.

Tenaga lweekang dari hwesio itu yang diperoleh dari latihan I-kin-keng secara mendalam sekali, memang masih menang setingkat lebih. Maka, setelah kini pertandingan dilakukan dengan cara mengandalkan tenaga lweekang, sudah bisa dipastikan bahwa nyawa Ketua Kun-lun-pai itu tidak akan tertolong lagi! Pertandingan lweekang biar pun dilakukan tanpa mengeluarkan suara dan tanpa bergerak, namun bahayanya melebihi pertandingan silat.

Dalam pertandingan silat, setiap serangan dapat ditangkis, dielakkan, bahkan kalau tetap mengenai tubuh juga, asal tidak telak belum tentu akan menewaskan. Sebaliknya dalam pertandingan lweekang, orang bertanding dengan mengandalkan tenaga di dalam tubuh, hawa kekuatan yang ‘tidak kelihatan’ namun yang amat berbahaya karena serangannya dapat dilawan dengan kekuatan di dalam tubuh pula dan siapa yang kalah pasti ia akan menderita luka parah di sebelah dalam tubuh yang tentu saja akan mendatangkan maut.

Bu Pun Su pasti maklum akan hal ini. Kalau saja Ketua Kun-lun-pai itu mau melepaskan tongkatnya, kemudian tangan kirinya membantu tangan kanan, mendorong atau memukul hwesio itu, kiranya cengkeraman itu akan dapat dilepaskan dan sungguh pun tongkatnya lenyap, tetapi ia akan selamat nyawanya.

Akan tetapi ketua itu tidak mau dan hal ini pun Bu Pun Su mengerti, maka diam-diam ia merasa kagum terhadap Keng Thian Siansu yang lebih menghargai kehormatan sebagai ketua partai besar dari pada nyawanya!

Sambil batuk-batuk Bu Pun Su bangkit dari duduknya. Batuknya makin keras dan kakek sakti ini tiba-tiba meludah. Ludahnya menyambar ke depan dan mengenai tubuh hwesio yang sedang mengerahkan tenaga lweekang hendak membunuh Ketua Kun-lun-pai itu.

Kong Mo Taisu terkejut setengah mati. Air ludah yang mengenai kedua pundaknya itu seakan-akan mengandung tenaga listrik yang membuat kedua lengannya kesemutan dan otomatis tenaganya yang dikerahkan ke arah kedua lengan menjadi buyar tidak karuan! 

“Ayaaaa...!” Ia berteriak sambil melepaskan cengkeraman, menarik kembali rantainya dan melompat ke belakang.

Dengan demikian maka Keng Thian Siansu selamat dari bahaya maut. Tubuh tosu tua ini terhuyung-huyung dan ia cepat menuju ke sudut ruangan di mana ia lalu duduk bersila, meramkan mata dan mengatur napas. Tadi ia telah menggunakan lweekang melampaui batas kemampuannya sehingga di antara urat yang kurang kuat ada yang pecah dan ia menderita luka dalam yang berat namun tidak membahayakan nyawanya.

Sekarang Kong Mo Taisu menghadapi Bu Pun Su, matanya melotot dan mulutnya agak terbuka, nampaknya seperti iblis yang marah sekali. ..

Selanjutnya baca
ANG-I NIOCU (DARA BAJU MERAH) : JILID-10
LihatTutupKomentar