Dewi Sungai Kuning Jilid 05


Ketika malam hari itu Thian Hwa keluar dari kamarnya dan berjalan-jalan di taman bunga, ternyata bahwa di belakang semua bangunan besar itu masih ada sebuah kebun bunga yang amat luas dan indah, bahkan di tengah-tengah taman terdapat kolam air yang lebar dan dalam serta airnya jernih sekali.

Thian Hwa adalah seorang gadis yang sejak kecil tumbuh besar di atas air Sungai Huang-ho, maka kini melihat air yang jernih itu, tidak dapat menahan lagi keinginan hatinya untuk mandi. Dia melihat betapa keadaan di situ sunyi tiada orang, maka segera dia tanggalkan pakaian luar sehingga kini hanya memakai pakaian mandi yang ringkas. Setelah itu ia lalu terjun ke dalam air yang dingin itu!

Ia berenang ke sana ke mari sambil menangkapi ikan-ikan emas yang menjadi kaget dan ketakutan karena tiba-tiba saja tempat mereka terganggu oleh suatu makhluk aneh yang menangkapi mereka lantas dilepas lagi berulang-ulang!

Thian Hwa merasa amat gembira. Ia tersenyum-senyum sambil memetik setangkai bunga teratai putih yang mekar berseri di permukaan kolam itu. Dia tidak tahu mengapa hatinya begitu girang dan bahagia. Ia merasa seakan-akan ada sesuatu yang mendatangkan rasa nikmat di dalam hatinya dan bayangan Pangeran Cu Kiong yang tampan dan tersenyum-senyum itu tidak pernah meninggalkan bulu matanya!

Ah, alangkah baiknya orang-orang bangsawan ini, pikirnya. Tentu ayah ibunya juga sebaik Cu Kiong, dan dia percaya penuh pangeran yang baik hati itu tentu akan sanggup mencari keterangan tentang ayah ibunya.

Ia tidak tahu bahwa dari balik sebatang pohon, sepasang mata memandangnya dengan penuh gairah dan kagum. Kemudian orang yang mengintai itu keluar, seakan-akan tidak dapat menahan dorongan hatinya lagi. Ia bertindak mendekati kolam, lalu berseru kaget.

“Ah, Thian Lihiap! Kiranya kau. Sungguh aku kaget sekali. Kukira siapa yang pada malam sekali begini mandi di sini!”

Thian Hwa kaget sekali dan cepat-cepat menengok. Ternyata Pangeran Cu Kiong sedang berdiri sambil memandangnya dengan mata kagum. Biar pun pada saat itu yang tampak hanya kepalanya saja, tetapi Thian Hwa merasa begitu malu sehingga dia pun buru-buru menyelam! Cu Kiong tertawa geli lantas membalikkan tubuh memandang ke lain jurusan, tetapi masih berdiri di tempat itu.

Di dalam air Thian Hwa merasa betapa dadanya berdebar keras dan napasnya terengah-engah. Ia merasa malu sekali untuk muncul lagi. Namun akhirnya ia tidak kuat menahan napasnya lalu munculkan kepalanya dengan perlahan dan hati-hati di belakang daun-daun dan bunga teratai. Dia melihat betapa Cu Kiong berdiri membelakanginya dan pemuda itu berkata,

“Nona, kalau kau sudah muncul lagi, katakan apakah aku harus pergi? Sebenarnya aku ingin sekali bicara dengan kau! Tapi kalau kau menghendaki supaya aku pergi, aku akan segera meninggalkan tempat ini.”

Thian Hwa berkata dengan suara lemah. “Kongcu, jangan kau melihat ke sini dulu!”

Terdengar pemuda itu tertawa dan menjawab, “Ha-ha-ha, kau anggap aku orang rendah macam apakah?”

Thian Hwa girang sekali mendengar ini. Ternyata pemuda itu benar-benar orang sopan dan baik. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia keluar dari air dan cepat-cepat berganti pakaian di balik pohon kembang dekat kolam itu. Pakaiannya yang basah ia letakkan di atas sebuah batu yang merupakan patung barongsai. Kemudian, sesudah mengenakan pakaiannya, ia keluar dan berkata sambil tertawa.

“Sekarang kau boleh melihat, aku sudah selesai.”

Cu Kiong cepat memutar tubuhnya dan memandang gadis itu dengan mata kagum. Sinar bulan menyinari wajah yang ayu itu. Thian Hwa menggunakan teratai yang dipetiknya tadi untuk menghias rambutnya yang hanya diikat ke atas secara sembarangan saja sehingga kecantikannya yang asli benar-benar mempesonakan.

Cu Kiong maju beberapa tindak dengan perlahan. Setelah dekat dengan gadis itu, barulah dia berhenti dan menatap wajahnya sambil berbisik, “Nona kau... kau... cantik sekali...”

Kalau saja yang berkata itu orang lain, tentu Thian Hwa akan marah sekali. Tetapi yang memujinya adalah pemuda yang memang selalu membayang di depan matanya, pula Cu Kiong mengucapkan pujian itu dengan sungguh-sungguh, bukan dengan maksud kurang ajar, maka Thian Hwa hanya menundukkan muka dengan malu-malu.

Cu Kiong maju setindak lagi dan tahu-tahu dengan halus perlahan ia pegang dua tangan Thian Hwa sambil berkata, “Sungguh, Nona, selama hidupku belum pernah aku melihat seorang secantik kau...”

Thian Hwa merasakan betapa seluruh tubuhnya menggigil dan dadanya berdebar keras. Mukanya terasa panas dan kepalanya pening. Dia hendak menarik tangannya namun tak kuasa menggerakkan tangan itu dan terasa olehnya betapa mesra dan lembutnya tangan pemuda itu memegang tangannya.

Tiba-tiba telinganya yang tajam dapat menangkap tindakan kaki orang, maka cepat sekali Thian Hwa menarik tangannya dan meloncat menghadapi orang yang datang itu. Betapa kagetnya melihat bahwa yang datang adalah Pat-chiu Lo-mo dan tiga orang lain dengan senjata di tangan dan sikap mengancam.

Melihat ini terkejutlah Cu Kiong dan dia segera bertepuk tangan tiga kali. Akan tetapi para pembantunya tidak muncul dan Iblis Bongkok itu tertawa mengejek.

“Ha-ha-ha! Kaki tanganmu tak mungkin datang, mereka sendiri sedang sibuk membela diri dan menjaga supaya nyawa mereka jangan melayang!” Kemudian Pat-chiu Lo-mo segera maju dan menggerakkan tongkatnya ke arah Cu Kiong.

Tapi Thian Hwa berseru nyaring dan ia maju menotok iga iblis itu dengan hebat. Terpaksa Si Bongkok menarik kembali tongkatnya dan kini dia melayani Thian Hwa. Kemudian tiga orang lainnya yang bersenjata pedang maju pula mengeroyok Thian Hwa sehingga gadis itu menjadi sibuk sekali, tetapi dia masih ingat untuk berseru kepada Cu Kiong.

“Kongcu, lekas kau pergi, biar aku menahan mereka ini!” Thian Hwa khawatir kalau-kalau pangeran itu mendapat celaka karena dia maklum bahwa kepandaian pemuda itu masih terlampau rendah untuk melayani para penyerbu yang ternyata berkepandaian tinggi ini.

Namun Cu Kiong tidak mempedulikan teriakan Thian Hwa, bahkan dia cepat mengangkat sebuah bangku yang terdapat di kolam itu lalu menggunakan barang ini sebagai senjata. Dia meloncat menerjang pengeroyok Thian Hwa sambil berseru. “Niocu, jangan takut, aku bantu kau!”

Thian Hwa menjadi sibuk sekali karena untuk menjaga diri sendiri dengan tangan kosong terhadap empat pengeroyok saja sudah sangat sukar baginya, apa lagi kini dengan turut campurnya Cu Kiong, gerakannya makin kalut karena ia harus menjaga pemuda itu pula!

“Kongcu, pergilah kau!” teriaknya sekali lagi, tetapi Cu Kiong bahkan menyerang Pat-chiu Lo-mo dengan hebat!

Si Bongkok itu melihat datangnya serangan bangku, cepat menangkis dengan tongkatnya sedemikian rupa sehingga bangku itu terpental kembali dan menghantam dada Cu Kiong yang terpental jauh dan tercebur ke dalam kolam!

Melihat ini, hampir saja Thian Hwa menjerit ngeri dan ia lalu mengeluarkan pukulan Kwan Im yang hebat. Dengan gerakan yang tak terduga-duga sama sekali oleh lawan-lawannya, tubuhnya bergerak secepat kilat hingga mata para lawannya menjadi kabur dan tahu-tahu seorang pengeroyok sudah kena tertotok pundaknya hingga tubuhnya menjadi lemas dan roboh.

Pengeroyok yang lain menjadi terkejut dan segera meloncat mundur, dan kesempatan ini dipergunakan oleh Thian Hwa untuk meloncat terjun ke dalam kolam. Dia menyelam dan memegang tubuh Cu Kiong yang telah lemas dan tenggelam kemudian cepat mengangkat pemuda itu keluar dari kolam. Karena para lawannya tidak pandai berenang, maka mereka hanya menanti dengan senjata di tangan.

Melihat hal ini, Thian Hwa lantas melihat ke kanan kiri dan ia melihat sebuah besi tempat gantungan lampu di tengah kolam. Besi itu sengaja dipasang untuk dipakai menggantung lampu dan memperindah kolam itu.

Thian Hwa lalu menggunakan tangan kanannya mencabut besi itu dan dengan tangan kiri memeluk tubuh Cu Kiong yang pingsan, ia cepat berenang ke tepi kolam. Tetapi musuh-musuhnya telah menunggu di situ dengan senjata mengancam sehingga ia menjadi sibuk sekali.

Tiba-tiba Thian Hwa membawa tubuh pemuda itu menyelam sehingga tidak nampak oleh musuhnya. Sejenak kemudian tahu-tahu dia sudah muncul di tepi lain sambil mengangkat tubuh Cu Kiong ke pinggir, dan dia sendiri lalu meloncat ke tepi dengan besi itu melintang di kedua tangan.

Pat-chiu Lo-mo dan kawan-kawannya cepat mengejar dan kini Thian Hwa dapat melayani mereka dengan baik karena besi itu merupakan senjata tongkat yang amat hebat. Karena bingung dan marah sekali melihat Cu Kiong terluka, ia langsung mengamuk hebat dengan mengeluarkan seluruh kepandaiannya.

Dengan gerakan-gerakan kilat akhirnya dia berhasil menyerampang kaki seorang lawan. Sebelum rasa kaget mereka hilang, tahu-tahu ujung besi di tangannya dengan gerak tipu Heng-cia-jip-te atau Kauw-ce-thian Masuk ke Dalam Tanah dia menyerang lutut Pat-chiu Lo-mo dari atas. Serangan ini hebat bukan main karena menyambarnya besi sukar untuk ditangkis.

Terpaksa Si Bongkok yang menjadi kaget sekali itu meloncat tinggi untuk menghindarkan kaki atau lututnya dari serangan orang. Tetapi pada saat tubuhnya masih di tengah udara, Thian Hwa yang menjadi sengit sudah memutar tongkatnya dan menggunakan ujung yang sebelah lagi untuk menghantam dada Si Bongkok yang lihai itu.

Pat-chiu Lo-mo tak dapat berkelit mau pun menangkis, sudah tak keburu karena gerakan gadis itu luar biasa cepatnya. Maka dia lalu mengumpulkan lweekang-nya di bagian dada sambil menahan napas.

“Bukkk!”

Ujung besi yang melanggar dada itu menjadi bengkok! Tapi tubuh Si Bongkok itu terpental jauh dalam keadaan roboh pingsan karena dia mendapat luka di dalam dadanya!
Kedua pengeroyok lain melihat hal ini lalu meloncat mundur karena jeri, tetapi Thian Hwa tidak mempedulikan mereka lagi. Ia lalu menghampiri Cu Kiong yang masih rebah dengan memejamkan mata.

“Kongcu... Kongcu...” dengan bingung Thian Hwa menggoyang-goyang tubuh Cu Kiong, tapi pemuda itu tidak bergerak dan wajahnya pucat sekali.

Thian Hwa tidak tahu bahwa kedua musuhnya yang belum roboh masing-masing segera memondong seorang kawan yang terluka dan sudah meninggalkan tempat itu karena jeri terhadapnya.

Dengan bingung dan sedih gadis itu lalu memondong tubuh Cu Kiong dan membawa lari ke dalam kamarnya. Ia merebahkan tubuh itu di atas pembaringan kemudian memeriksa dadanya setelah merobek baju pemuda itu. Ia baru bernapas lega setelah melihat dada itu hanya mendapat luka di kulit saja hingga mengeluarkan sedikit darah dan menjadi matang biru. Yang membuat pemuda itu pingsan adalah akibat tenggelam ke dalam air tadi.

Thian Hwa memanggil-manggil pelayan tapi tak seorang pun yang muncul, karena semua pelayan agaknya sudah lari bersembunyi! Ia lalu melenyapkan semua perasaan malu dan menggunakan kain tilam pembaringan yang dirobeknya untuk membalut dada pemuda itu. Ia bingung sekali karena pakaian pemuda itu dan pakaiannya sendiri basah kuyup.

Pada saat itu Cu Kiong siuman dari pingsannya. Dia heran dan bingung sekali, tetapi dia segera teringat akan kejadian tadi. Cepat sekali dia meloncat bangun lalu melihat ke arah dadanya yang telanjang dan kini telah dibalut. Akhirnya dia memandang Thian Hwa yang pakaiannya basah kuyup, sama dengan pakaiannya sendiri.

“Thian Hwa... Nona... kau... kau telah menolong jiwaku...?”
“Sudahlah jangan ribut-ribut, kau perlu istirahat,” kata Thian Hwa dengan wajah merah dan mendekati pemuda itu yang segera ia pegang pundaknya untuk didorong agar tidur lagi.
“Eh, di manakah Kam-keng-chit-sian, mengapa mereka tidak muncul?” tiba-tiba Cu Kiong teringat akan para pengawalnya yang benar saja tidak muncul. Segera Thian Hwa teringat juga.
“Bukankah Si Bongkok tadi berkata bahwa mereka juga diserang? Tentu sekarang terjadi pertempuran hebat di atas gedung! Biar aku pergi melihatnya!”

Tapi Cu Kiong cepat memegang tangan Thian Hwa sambil berkata lirih, “Biarlah, Moi-moi, jangan tinggalkan aku lagi...”

Sekali lagi gadis itu menjadi lemas dan kepalanya terasa pening, tidak kuasa melepaskan diri dari pegangan tangan pemuda itu.

“Kongcu, kau perlu berganti pakaian yang kering, kau bisa sakit dalam pakaian basah ini,” katanya perlahan.
“Kau sendiri bagaimana?” kata Cu Kiong berbisik. “Pakaianmu sendiri juga basah kuyup.” Suaranya mengandung kasih sayang yang memabukkan kepala Thian Hwa.

Pada saat itu terdengar suara seorang di antara Kam-keng-chit-sian di luar pintu kamar. “Thaijin, apakah kau selamat saja?”

Tanpa membuka pintu atau bangun dari pembaringan Cu Kiong menjawab, “Aku tidak apa-apa, bagaimana dengan kalian?”

“Musuh telah terusir pergi, hanya seorang di antara kami mendapat luka.”
“Sudahlah, besok saja kita bicarakan!” pangeran itu berkata dan semua pengawal itu pergi lagi ke kamar masing-masing…..
********************
Pada keesokan harinya, ketika matahari telah naik tinggi, Thian Hwa bangun dari tidurnya dengan kepala terasa berat. Tapi ia lalu duduk bersemedhi dan mengatur napas sehingga sebentar saja ia merasa sehat dan segar kembali. Pintu kamarnya diketuk dari luar dan ia lalu turun membuka pintu.

Pelayan-pelayan yang kemarin itu masuk sambil membawa segala keperluan untuk mandi dan berganti pakaian. Thian Hwa minta mereka keluar dan ia sendiri lalu berganti pakaian dan mencuci muka. Kemudian ia keluar dan ternyata hidangan pagi telah disediakan. Para pelayan itu dengan ributnya lantas bercerita betapa malam tadi datang orang-orang jahat yang baiknya dapat diusir oleh para pengawal.

“Kalian ke mana saja malam tadi, mengapa tidak muncul?” Thian Hwa bertanya.
“Siapa yang berani keluar, Siocia. Kami terus bersembunyi di bawah pembaringan kami, menjadi satu dan tak berani bergerak sama sekali,” jawab seorang pelayan dan yang lain segera menyambung,
“Jangankan bergerak, bernapas pun kami tidak berani.”

Setelah Thian Hwa selesai makan mendadak datang Losam, kakek pelayan yang kemarin melayaninya. Setelah memberi salam dan memberes-bereskan makanan, Losam berkata kepada Thian Hwa, “Siocia, harap kau suruh pergi dulu semua pelayan ini. Aku ingin bicara empat mata dengan Siocia.”

Thian Hwa heran, tetapi ia menyuruh semua pelayan pergi. Pelayan-pelayan itu lalu pergi meninggalkan mereka berdua setelah melotot secara main-main kepada Losam.

“Siocia, kalau aku tidak salah mendengar, kemarin kau berkata kepada Thaijin bahwa kau sedang mencari Ibumu?”

Thian Hwa berdebar hatinya dan dia segera mengangguk.

“Coba kau katakan lagi riwayatmu secara singkat, mungkin aku bisa memberi keterangan padamu.” Dan kedua mata tua itu memandang Thian Hwa dengan mesra dan terharu.

Thian Hwa lalu menceritakan riwayatnya, betapa ia ditolong oleh Thian Bong Sianjin dari bencana air dan bahwa ibunya adalah seorang puteri bangsawan yang cantik dengan tahi lalat kecil di atas bibir kiri.

Tiba-tiba bibir Losam gemetar dan wajahnya menjadi pucat. “Benar... benar... tidak salah lagi... kau... kau adalah anak Cui Eng... kau adalah cucuku sendiri...”

Terkejutlah Thian Hwa mendengar ini. Ia meloncat berdiri lantas memegang kedua lengan orang tua itu.

“Apa katamu? Hayo kau ceritakan yang betul!” Wajah gadis itu pucat, matanya bersinar-sinar.
“Benar, benar! Seperti pinang dibelah dua! Cui Eng juga begini ketika masih gadis dulu, sama benar dengan kau!”

Sesudah dapat menenteramkan gelora hatinya, kakek itu lalu bercerita. Dulu, sebelum dia menjadi pelayan dari Pangeran Cu Kiong, dia adalah seorang kepala pelayan dari seorang pangeran she Ciu. Di samping itu, anak perempuannya yang bernama Cui Eng dan amat cantik, juga menjadi pelayan di gedung itu. Ternyata antara Cui Eng dengan Pangeran Ciu yang masih muda belia dan cakap, terjalin tali asmara yang erat, sehingga mereka telah berjanji sehidup semati.

Namun sungguh celaka, orang tua Pangeran Ciu ternyata tidak suka menerima Cui Eng sebagai menantu mereka. Pangeran Ciu yang amat mencintai Cui Eng mempertahankan kekasihnya dan membujuk orang tuanya untuk menerima gadis itu sebagai selir.

Orang tuanya, terutama ibunya, berkeras tidak setuju karena dianggap rendah sekali bila puteranya mengambil selir dari keluarga pelayan sendiri. Tetapi kemudian, setelah diberi-tahu bahwa dari hubungannya itu Cui Eng sudah mengandung, ibu Pangeran Ciu berjanji bahwa jika Cui Eng melahirkan seorang anak laki-laki, maka ia diterima menjadi selir, tapi jika melahirkan anak perempuan, dia harus pergi dari gedung itu! Celakanya, ternyata Cui Eng melahirkan seorang anak perempuan! Maka gadis yang bernasib malang itu terpaksa diusir keluar dari gedung dengan membawa anaknya yang masih bayi!

Losam sebagai ayahnya tidak tega melihat Cui Eng dan mengantar gadis itu untuk pulang saja ke kampung, yaitu di selatan. Tapi nasib memang amat kejam. Ketika menyeberangi Sungai Huang-ho, ternyata tempat itu menjadi kuburan bagi Cui Eng dan anaknya, karena ketika itu Sungai Huang-ho sedang buas dan besar sehingga perahu yang ditumpanginya terbawa air dan terbalik! Untung Losam masih dapat menyelamatkan diri dan dengan hati sedih kembali ke kota raja lalu bekerja pada keluarga Pangeran Cu, sedang Cui Eng dan anaknya dia anggap telah mati!

Sesudah mendengar cerita ini, Thian Hwa tidak ragu lagi. Dia menubruk kakeknya itu dan menangis terisak-isak. Kemudian ia menjadi marah sekali dan berkata, “Kongkong, lekas kau tunjukkan padaku di mana adanya Pangeran Ciu yang telah merusak hidup Ibuku itu. Orang macam itu harus dibunuh mampus!”

“Kau benar, Cucuku. Memang aku pun sangat sakit hati terhadap mereka! Tapi Ayah Ibu pangeran itu sudah meninggal, dan yang ada kini hanya Pangeran Ciu itu saja. Dia tetap saja tidak beristeri, hanya memelihara selir sebagaimana biasa semua pangeran.”

Pada saat itu pula muncul Cu Kiong dengan pakaian yang indah. Agaknya lukanya sudah sembuh, karena wajahnya tampak berseri dan sepasang matanya yang jernih itu bersinar-sinar, kelihatan cakap sekali. Ketika melihat pangeran ini, Thian Hwa cepat menundukkan muka, tapi matanya mengerling dan bibirnya tersenyum.

“Moi-moi, biarlah hari ini aku akan mengerahkan semua orang untuk mencari keterangan tentang orang tuamu.”
“Koko... ehh, Kongcu...” Thian Hwa buru-buru mengubah sebutan itu sambil memandang kepada kakeknya, “Tak usah Kongcu repot-repot karena aku sudah mendapat keterangan yang sangat penting dari kakekku ini.”

Kemudian dia menceritakan kembali cerita Losam tadi. Cu Kiong girang sekali.

“Ahh, kau hendak membalas dendam ibumu? Memang, memang mereka itu jahat sekali, jahat dan kejam terhadap Ibumu. Sudah sepantasnya jika mereka itu kau bunuh! Tapi...” Pangeran itu mengerling ke arah Losam dan menyuruh pelayan itu pergi.

Setelah Losam pergi, Cu Kiong memegang kedua tangan Thian Hwa.

“Moi-moi, perkara membalas dendammu kepada keluarga Ciu adalah soal mudah karena Pangeran Ciu itu adalah seorang yang tidak mau memelihara pengawal sehingga mudah saja untuk memasuki gedungnya. Tapi yang membuat aku selalu bingung adalah keadaan Pangeran Leng. Dia ini jahat sekali dan mempunyai banyak kaki tangan. Kau sendiri telah mengetahui betapa ia membenci dan memusuhiku. Aku ingin sekali minta pertolonganmu, Moi-moi.”

Thian Hwa memandang wajah yang tampan itu dengan pandangan mesra. “Katakanlah, Koko. Apa yang kau kehendaki?”

“Moi-moi, aku menghendaki serupa barang milik Pangeran Leng itu. Yakni sebuah kotak berisi surat-surat penting yang akan dapat membuka rahasianya dan menjatuhkannya di hadapan Kaisar. Kalau kau bisa menolong aku untuk mendapatkan barang itu, ahh... Moi-moi, selama hidupku aku akan selalu berterima kasih kepadamu!”

Kembali gadis itu runtuh menghadapi kecakapan Cu Kiong dan sikap yang lemah lembut penuh kasih mesra dari pemuda itu. Ia dimabuk cinta dan agaknya untuk membalas dan menyenangkan hati Cu Kiong, ia rela mengorbankan apa saja.

Pada malam harinya, setelah mendapatkan petunjuk-petunjuk yang perlu, Thian Hwa lalu pergi menuju gedung Pangeran Ciu yang terletak di sebelah utara kota raja. Gedung itu sederhana, tapi cukup besar dan kokoh kuat. Benar saja, di situ tidak terdapat pengawal-pengawal bersenjata sebagaimana biasa terdapat di gedung-gedung para pangeran dan bangsawan tinggi. Dan gedung itu sunyi saja.

Thian Hwa melihat sebuah kamar yang lampunya masih bersinar terang, maka dia segera mengintai dari sebuah jendela yang terbuka. Tampak olehnya seorang laki-laki setengah tua duduk membelakanginya dan laki-laki itu sedang memandang sehelai gambar, yakni gambar seorang wanita yang kertasnya sudah kuning, tapi gambar itu tidak tampak nyata dari luar jendela. Laki-laki itu lalu menjatuhkan kepalanya di atas meja dan tampak susah sekali, karena berkali-kali dia menghela napas panjang.

Melihat pakaian orang itu, Thian Hwa tidak ragu-ragu lagi bahwa inilah Pangeran Ciu yang telah merusak kehidupan ibunya dulu. Dia lalu menggunakan kedua tangan menolak daun jendela dan sekali meloncat dia telah berada di dalam kamar itu.

Laki-laki itu mendengar suara jendela terbuka, cepat dia meloncat bangun dan berdiri, lalu membalikkan tubuh memandang Thian Hwa. Tiba-tiba saja kedua matanya terbelalak dan mulutnya ternganga heran. Dia mengucek-ucek mata seakan-akan takut kalau-kalau telah menipunya, tapi benar-benar yang berada di depannya adalah seorang gadis muda yang cantik jelita dan sedang menatapnya dengan mata tajam dan berapi-api.

“Kau... kau...?” laki-laki itu berkata tergagap.

Thian Hwa merasa heran dan terkejut sekali karena mengenal bahwa orang ini bukan lain adalah Pangeran Ciu Wan Kong yang dulu pernah ditolongnya dari serangan ular air! Tapi pada saat itu dalam hati Thian Hwa tidak ada perasaan apa-apa selain benci dan dendam terhadap orang tua ini!

Ia tersenyum mengejek dan berkata perlahan. “Ya... aku... dan kenalkah kau kepada Cui Eng...?”

Wajah pangeran itu tiba-tiba saja menjadi pucat bagaikan mayat dan ia terhuyung-huyung limbung lalu berpegang pada sebuah kursi. Bibirnya gemetar dan matanya terbelalak.

“Kau... Cui Eng... ahh... sudah kuduga... gadis itu... gadis itu tentu Cui Eng sendiri, Cui Eng-ku... Cui Eng kau... kau datang padaku...?”

Makin gemaslah hati Thian Hwa. “Ya, aku Cui Eng dan aku hendak membalas dendamku karena perbuatanmu yang pengecut!” Sambil berkata demikian Thian Hwa lalu mencabut pedangnya dan perlahan-lahan bertindak maju.

Tapi sebaliknya dari takut pangeran itu kini tampak segar kembali. Dia berdiri gagah dan memajukan dadanya kepada Thian Hwa. “Cui Eng, boleh... boleh...! Kau tusuklah dadaku, awas jangan meleset, tusuklah yang sebelah kiri, ke arah jantung ini agar aku lekas mati! Ha-ha-ha, Cui Eng, mengapa kau ragu-ragu? Tusuklah, kekasihku, tusuklah dadaku. Aku tahu pasti kau memang akan datang membawaku ke sana. Cui Eng... ha-ha-ha!”

Tiba-tiba wajah orang tua itu berubah, ia tertawa terbahak-bahak dan sepasang matanya memandang seakan-akan Thian Hwa tidak berada di situ lagi, seakan-akan benar-benar dia melihat Cui Eng di situ. Pangeran Ciu Wan Kong telah menjadi gila!

Melihat keadaan orang yang sebenarnya adalah ayahnya sendiri ini, Thian Hwa tidak kuat menahan gelora keharuan hatinya. Ia memasukkan pedangnya di sarung pedang kembali kemudian ia menubruk ayahnya.

Tetapi ayahnya membentak, “Pergi kau! Jangan halang-halangi aku bertemu dengan Cui Eng. Eh, Cui Eng...! Tunggu...! Mau ke mana, kekasihku?” Dan dengan terhuyung-huyung orang tua itu meninggalkan gadis yang tadi berlutut memeluk kakinya.

Thian Hwa segera berdiri dan melihat ke atas meja. Ternyata yang tadi terus dipandangi oleh ayahnya adalah gambar seorang wanita cantik yang serupa benar dengan dia dan di atas bibir kiri terdapat sebuah tahi lalat kecil yang menambahkan manisnya!

“Ibu... Ibuku... kau telah membalas dendammu sendiri...” demikian ia berbisik.

Thian Hwa menggulung lukisan itu, kemudian keluar dan meloncat ke atas genteng, pergi meninggalkan tempat itu! Ia hendak kembali ke gedung Pangeran Cu Kiong, tapi tiba-tiba ia teringat akan pesan pemuda itu.

Ia berhenti di atas sebuah wuwungan rumah lantas termenung. Cu Kiong adalah seorang pemuda yang baik dan sangat mencintainya, dan dia juga mencintai pemuda bangsawan itu. Tapi bukankah dia telah berlaku sembrono menyerahkan cintanya begitu saja kepada seorang pemuda yang sama sekali belum diketahuinya? Apakah pemuda itu benar-benar patut menjadi jodohnya? Ah, ia tak perlu ragu-ragu karena ia tahu pasti bahwa pemuda itu sangat mencintanya! Dengan hati ringan dan gembira ia lalu menuju ke gedung Pangeran Leng untuk menjalankan pesan kekasihnya.

Gedung itu masih terjaga ketat, tapi karena Pat-chiu Lo-mo yang paling lihai telah terluka dan pulang ke tempatnya sendiri untuk berobat, maka mudah saja bagi Thian Hwa untuk mencuri masuk. Ia menotok seorang penjaga lantas menyeretnya ke dalam kebun, dan di situ ia memaksa untuk mendapat keterangan tentang kotak terisi surat-surat penting.

Dengan kecewa ia mendapat keterangan bahwa kotak itu telah dititipkan kepada Pat-chiu Lo-mo yang pulang ke kampungnya dan dia tahu dari pengawal ini bahwa surat-surat itu adalah surat-surat untuk menghubungi orang-orang yang disiapkan untuk segera bergerak dari segenap penjuru bila waktunya tiba untuk merebut mahkota kerajaan!

Thian Hwa lalu meninggalkan tempat itu dan dia menjadi bingung. Mengapa ada segala macam urusan yang ruwet ini? Dan mengapa pula Cu Kiong turut campur dalam perkara ini? Ia menganggap perkara berebut kekuasaan di antara kalangan bangsawan ini sangat menjemukan dan kotor, maka dia kecewa sekali mendapat kenyataan bahwa kekasihnya agaknya juga ikut bermain dalam persaingan itu.

Ketika tiba di atas genteng gedung milik Cu Kiong, mendadak Thian Hwa ingin menyelidiki keadaan rumah kekasihnya ini. Ia tidak lekas meloncat turun, tapi dengan hati-hati sekali ia membuka genteng dan mengintai.

Kebetulan sekali yang ia buka itu adalah genteng di atas ruang dalam di bangunan tengah yang belum pernah dilihatnya. Di situ ia melihat Cu Kiong bersama ketujuh pengawalnya sedang duduk mengelilingi meja dan bercakap-cakap.

“Thaijin, mengapa kau menyuruh dia yang pergi melakukan pencurian itu? Dan mengapa pula dia harus membunuh Pangeran Ciu, ayahnya sendiri?” seorang di antara Kam-keng-chit-sian berkata, “Kami rasa Thaijin terlalu mempercayainya. Dia masih sangat muda dan orang baru, bagaimana kalau dia nanti membuka rahasia kepada orang lain?”

Wajah Cu Kiong yang tampan itu tertawa manis sekali. “Kalian jangan khawatir. Gadis itu lihai ilmu silatnya dan dia bisa dipercaya. Lagi pula dia akan menjadi seorang selirku yang tercinta! Ia harus membunuh Pangeran Ciu karena pangeran itu terlampau jujur sehingga tidak mau memihak kepada kita. Ia tak dapat dipercaya maka lebih baik ia mati, dan oleh tangan anaknya sendiri pula! Tentang pencurian barang di gedung Pangeran Leng, hal itu memang kusengaja. Gadis itu mencintaiku, tetapi aku hendak menguji kesetiaannya dulu. Kalau ia benar-benar setia, maka pantaslah ia menjadi selirku nomor satu.”

Ketujuh pengawal itu mengangguk-angguk dan pada saat itu Thian Hwa merasa betapa tubuhnya menjadi lemas. Hampir saja dia tidak mampu menahan tangisnya karena semua ucapan yang keluar dari mulut Cu Kiong itu terdengar oleh telinganya bagaikan kata-kata yang sangat keji dan menghina, sehingga rasanya bagaikan ujung pisau yang menusuk-nusuk jantungnya. Tapi ia dapat menguasai dirinya dan dengan hati-hati sekali ia turun ke kamarnya.

Dia segera memanggil pelayan dan memerintahkan agar memberi-tahu kepada Pangeran Cu Kiong bahwa ia telah datang dan meminta bertemu. Dengan wajah pucat Thian Hwa menanti datangnya Cu Kiong ke kamarnya. Dia merasa terhina sekali. Menjadi selir yang tercinta? Diuji kesetiaannya baru pantas menjadi selir? Selir? Bangsat benar! Alangkah hinanya!

Ia masih dapat menetapkan gelora hatinya pada saat Cu Kiong bertindak masuk ke dalam kamarnya sambil tersenyum-senyum dan dia segera mencegah ketika pemuda itu hendak memeluknya.

“Koko, coba katakan dengan terus terang, apakah kau sudah kawin?” tanyanya dengan suara sedapat-dapatnya dibuat tenang.

Cu Kiong terkejut sekali melihat perubahan sikap gadis ini. Dia tersenyum lantas duduk di atas sebuah kursi sambil memandang wajah Thian Hwa yang bersandar ke dinding. “Kau tahu bahwa aku belum kawin.”

“Tapi... tapi kau sudah mempunyai selir?”

Cu Kiong tertawa keras. “Ha-ha-ha, Niocu! Apakah kau cemburu? Itu kan hal biasa, tiap pangeran mempunyai selir! Tetapi selirku tidak sebanyak mereka, hanya ada lima orang dan kau...”

“Dan aku akan kau jadikan selir? Selir ke berapakah?” Suaranya terdengar menyeramkan dan tangis telah memenuhi kerongkongannya.

Cu Kiong berdiri dan hendak memegang tangannya, tapi Thian Hwa menolaknya sehingga pangeran itu duduk lagi. “Thian Hwa, kau tahu bahwa aku cinta padamu. Kau tentu akan menjadi selirku nomor satu!”

“Dan kau kata akan menjadi isterimu.”
“Apakah bedanya, Niocu? Tidak mungkin untuk menjadi isteri pertama, karena semenjak kecil aku sudah bertunangan dengan puteri seorang bangsawan dalam keraton.”

Merahlah wajah Thian Hwa. “Bagus sekali! Jadi kau pun hanya seorang bangsat rendah yang berkedok bangsawan belaka!”

“Moi-moi! Apa katamu? Mengapa demikian? Sudah lazimnya seorang pangeran memiliki banyak selir, kau tak perlu cemburu!”
“Bangsat, siapa yang cemburu?” Thian Hwa mengulur tangan menampar dan karena tidak sempat berkelit, maka pipi Cui Kong kena ditampar keras sekali. “Kalau aku tidak ingat bahwa semua ini terjadi karena kebodohanku sendiri, kau tentu akan kubunuh!”
“Niocu, jangan begitu. Bukankah kita saling mencinta? Kalau kau kehendaki, biarlah kau menjadi selirku yang sah, isteri ke dua!”

Thian Hwa merasa hatinya tertusuk sekali dan dia tidak tahan lagi sehingga air matanya mengucur deras. “Kau... kau... menghinaku! Kau sangka aku ingin mendapat kedudukan sebagai isteri pangeran? Kau kira aku mencinta kau karena pangkatmu, karena hartamu? Ahh... manusia rendah budi, tadinya kukira cintamu semurni cintaku, tak tahunya engkau hanya tukang mempermainkan hati wanita belaka. Kau gunakan wajahmu yang tampan itu untuk menutup wajah aslimu yang sesungguhnya hanyalah seekor srigala yang kejam dan jahat! Nasib Ibu terulang lagi...”

Cu Kiong maju dan hendak merayu, tapi Thian Hwa mencabut pedangnya. “Pergi! Pergi sebelum kutebas batang lehermu!”

Tapi Cu Kiong berkata, “Thian Hwa, aku cinta padamu dan harus menahanmu. Aku cinta padamu dan aku akan mendapatkan dirimu, meski pun harus kugunakan kekerasan untuk itu!”

“Bangsat besar!”

Tetapi pada saat itu Cu Kiong sudah meloncat keluar dan bertepuk tangan. Ketika Thian Hwa tiba di luar, ketujuh pengawal sudah berada di situ mengurungnya.

“Thian Hwa, kau tidak boleh pergi.”
“Cu Kiong, dengar baik-baik! Aku tidak membunuhmu karena aku menyesali kebodohanku sendiri. Aku pun cinta padamu, biarlah keempat kaki tanganku ini mendengar dan menjadi saksi. Tapi aku bukan perempuan serendah yang kau duga. Aku lebih baik mati dari pada duduk di sampingmu dan menderita karena pengertian bahwa kau hanya mempermainkan diriku! Terkutuklah semua lelaki semacammu ini!”
“Thian Hwa, aku telah berlaku baik kepadamu, apakah kau malah akan mengkhianatiku? Manakah barang yang kau rampas dari Pangeran Leng?”
“Hm, kau masih menduga serendah itu! Aku tidak sudi mencampuri urusanmu yang kotor! Barang yang hendak kau rampas itu telah dibawa pergi oleh Pat-chiu Lo-mo! Kau carilah sendiri. Nah, aku hendak pergi dan selama hidup akan kukutuk kepalsuanmu!”

Thian Hwa lalu meloncat ke atas, tapi Cu Kiong berteriak kepada pengawalnya.
“Tangkap dia!”

Thian Hwa lalu dikurung oleh ketujuh pengawal itu. Ternyata kepandaian ketujuh orang itu hebat juga sehingga tidak heran jika mereka dijuluki Kam-keng-chit-sian atau Tujuh Dewa dari Kamkeng. Pedang mereka dimainkan bergabung menjadi satu dan benar-benar Thian Hwa dibuat sibuk dan terdesak.

Apa lagi pada saat itu perasaan hati gadis ini sedang hancur luluh karena asmara gagal, maka gerakannya menjadi lemah dan kurang gesit. Kedukaan hatinya yang patah cinta itu membuat Thian Hwa kurang bersemangat. Maka ia langsung terdesak hebat oleh ketujuh orang pengeroyoknya yang tangguh.

Selagi ia terdesak dan keadaannya gawat sekali, terancam maut, tiba-tiba saja terdengar bentakan nyaring.
“Moi-moi, aku datang membantumu!”

Sesosok bayangan hitam berkelebat dan dengan gerakan yang sangat cepat dan kuat dia memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga kepungan tujuh orang Kam-keng-chit-sian menjadi kacau, apa lagi ketika seorang pengeroyok tertusuk pundaknya lalu roboh sambil menjerit. Akan tetapi pedang Si Bayangan Hitam itu masih berkelebat dan orang itu pun tak dapat bergerak lagi, lehernya terbabat pedang dan dia tewas seketika!

Thian Hwa menjadi girang sekali ketika mengenal bayangan itu yang bukan lain adalah Ui Yan Bun, putera Ui Hauw, pemuda yang menjadi sahabat dan juga kakak seperguruannya karena pemuda itu juga menerima gemblengan Thian Bong Sianjin.

“Bun-ko (Kakak Bun), kau datang?” seru Thian Hwa dan kini semangatnya bangkit lagi.

Mereka berdua lalu menggerakkan pedang dengan dahsyat sehingga permainan pedang lawan yang tinggal enam orang itu menjadi kacau. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, pedang di tangan Thian Hwa sudah merobohkan dua orang pengeroyok dan pedang Yan Bun telah merobohkan seorang lagi.

Melihat betapa dalam waktu singkat empat orang kawan mereka roboh dalam keadaan tewas, tiga orang yang lain menjadi jeri dan mereka berlompatan melarikan diri.

Yan Bun melompat dan mengejar Pangeran Cu Kiong yang hendak lari ke dalam. Dia bisa mencengkeram lengan pangeran yang tampan itu, akan tetapi sebelum dia turun tangan lebih lanjut, tiba-tiba terdengar Thian Hwa berseru keras.
“Twako, jangan bunuh dia!”

Yan Bun melepaskan lengan pemuda itu lalu memandang kepada Thian Hwa dengan rasa heran.

“Bukankah dia majikan mereka?” tanya Yan Bun.

Akan tetapi Thian Hwa tidak menjawab, hanya melompat ke hadapan Pangeran Cu Kiong dan menatap wajah pangeran itu. Pemuda bangsawan itu menjadi pucat sekali, tubuhnya menggigil ketakutan, sedangkan Thian Hwa memandang dengan kedua mata penuh air mata dan ia menggigit bibir sendiri menahan tangis. Kemudian, setelah memandang lama sekali, dia lalu membalikkan tubuh dan meloncat ke atas genteng sambil berkata dengan suara terisak.
“Twako... hayo... kita pergi!”

Mendengar ini, Yan Bun segera melompat dan mengikuti gadis itu dengan hati menduga-duga…..
********************
Thian Hwa dan Yan Bun berdiri di atas air Sungai Huang-ho. Mereka seakan-akan berdiri di atas air, padahal sebenarnya mereka menginjak sepasang papan terompah air. Seperti biasa, Thian Hwa mengenakan pakaian serba putih seperti pakaian berkabung. Biar pun dia telah bertemu dengan ayah kandungnya, namun dia masih menganggap dirinya yatim piatu sehingga dia akan berkabung selama hidupnya.

Yan Bun mengenakan pakaian serba biru, warna kesukaannya sejak dahulu. Wajah Thian Hwa yang cantik jelita itu muram, diliputi kesedihan. Memang gadis itu sudah mengalami kenyataan yang menyedihkan.

Pertama ia sudah menemukan ayah kandungnya, akan tetapi ayah kandung macam apa! Ayah kandungnya adalah seorang pangeran, namun juga seorang laki-laki yang menyia-nyiakan ibunya hingga ibunya diusir kemudian hanyut di Sungai Huang-ho! Dan kini ayah kandungnya itu malah menjadi gila!

Pukulan batin ini ditambah dengan pukulan lain yang lebih menyakitkan hatinya. Dia jatuh cinta kepada Pangeran Cu Kiong yang ternyata merupakan laki-laki yang sama palsunya dengan Pangeran Ciu Wan Kong, ayah kandungnya yang telah menyia-nyiakan ibunya!

Pangeran Cu Kiong yang dicintanya itu ternyata hanya ingin memanfaatkan dirinya, untuk dijadikan seorang selir yang tenaganya bisa digunakan untuk bersaing dan saling berebut kekuasaan dengan para pangeran lain. Ia merasa terhina sekali dan terjadi pertentangan hebat dalam hatinya antara cinta dan benci terhadap Pangeran Cu Kiong.

Dalam usianya yang delapan belas tahun ini, baru pertama kalinya dia jatuh cinta, yaitu kepada Pangeran Cu Kiong, namun ternyata ia telah salah pilih dan kegagalan cintanya ini sungguh menyakitkan sekali!

“Hwa-moi (Adik Hwa), apakah engkau benar-benar akan meninggalkan aku dan tak akan kembali?” tanya Yan Bun dengan kedua alis berkerut membayangkan kekecewaan serta kedukaan atas keputusan gadis yang dicintanya itu.

Thian Hwa mengangguk. “Benar, Bun-ko, aku hendak mencari Kongkong (Kakek) Thian Bong Sianjin dan mengajak dia merantau sepanjang Sungai Huang-ho.”

“Hwa-moi... maafkan kalau aku bicara lancang, tetapi... sesungguhnya... aku dan ayahku mengharapkan agar engkau... dapat menjadi... kawan hidupku untuk selamanya.”

Thian Hwa memandang wajah pemuda itu dengan hati terharu. Dalam hatinya dia harus mengakui bahwa Yan Bun adalah seorang pemuda yang sangat baik. Sukarlah mencari seorang pemuda sebaik dia. Akan tetapi luka di hatinya karena kegagalan cinta pertama masih terasa nyeri dan dia tidak ingin mengulangi kesalahannya telah jatuh cinta kepada seorang pemuda, kepada seorang laki-laki, setelah melihat betapa palsunya cinta laki-laki seperti cinta ayah kandungnya terhadap ibunya dan cinta Pangeran Cu Kiong terhadap dirinya.

“Maafkan aku, Twako. Menyesal sekali bahwa terpaksa aku tak dapat menerimanya. Bun-twako, engkau adalah seorang pemuda yang tampan, gagah perkasa dan berbudi mulia, sedangkan aku... aku seorang yang tak berharga... aku yatim piatu, tidak pantas menjadi pendampingmu...”
“Ahh, jangan merendahkan diri seperti itu, Hwa-moi. Kata-katamu menikam perasaanku. Bagiku engkau adalah gadis yang paling mulia di dunia ini. Dan engkau tentu mengetahui dan merasakan bahwa aku... aku mencintamu, Hwa-moi.”
“Ahh, Twako. Harapanku agar engkau jangan berpikir tentang itu karena aku... aku sama sekali belum berpikir tentang cinta dan jodoh, Twako. Maafkan aku.”
“Hwa-moi, harap kau suka berterus terang. Apakah engkau... mencinta pangeran muda itu? Katakanlah terus terang, aku pasti dapat memaklumi dan tak akan menyalahkanmu!” Wajah pemuda itu berubah agak pucat ketika dia menyambung, “Maafkan, Hwa-moi, aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu,”

Thian Hwa tersenyum getir, menghela napas lalu berkata dengan suara tegas. “Memang benar, Twako. Aku cinta kepadanya, akan tetapi aku juga benci kepadanya! Nah, selamat tinggal, Twako!”

Thian Hwa menggerakkan tubuhnya dan papan terompah yang menjadi semacam papan selancar itu meluncur dengan cepatnya, mengikuti aliran Sungai Huang-ho. Sebentar saja dia sudah berada di kejauhan dan hanya tampak seperti sebuah titik putih.

Yan Bun berdiri memandang ke arah titik putih itu sampai akhirnya titik itu menghilang. Ketika dia membalikkan tubuhnya untuk kembali ke perkampungan ayahnya, kedua mata pemuda itu basah dan mukanya pucat sekali.....!

T A M A T

Bagian Ke-02 SERIAL DEWI SUNGAI KUNING
LihatTutupKomentar