Pendekar Bodoh Jilid 02
Giok Keng Cu berlari bagaikan terbang cepatnya sambil memondong tubuh Cin Hai yang segera menutup mata karena angin kencang menderu-deru di kedua telinganya. Akhirnya tosu ini membawa Cin Hai ke sebuah kuil rusak yang jauhnya beberapa li dari situ.
Baru saja tiba di pekarangan kuil, ia telah berteriak ke dalam.
“Twa-suheng (Kakak Seperguruan tertua)! Ji-suheng (Kakak Seperguruan Ke Dua)! Coba keluar dan lihat siapa yang kubawa ini!”
Baru saja ucapan itu habis dikatakan, dari dalam kuil rusak itu berkelebat dua bayangan orang dan tampaklah Giok Im Cu si tinggi kurus dan Giok Yang Cu si tinggi besar yang brewokan. Untuk sesaat mereka tak dapat mengenali anak kecil berlumpur itu, tetapi Giok Yang Cu segera ingat akan kepala gundul itu, maka cepat ia berkata girang.
“In-kongcu (tuan penolong muda)!”
Cin Hai segera turun dari pondongan Giok Keng Cu dan memandang kepada ketiga tosu itu dengan muka bodoh. “Samwi-totiang (Ketiga Bapak Pendeta) mengapa menyebut aku penolong? Apakah memang cara-cara pendeta memutar balikkan kenyataan? Sebetulnya aku telah ditolong, tapi sebaliknya malah disebut penolong, bagaimanakah ini?”
Ketiga tosu ini saling pandang, lalu ketiganya berdongak dan tertawa bergelak.
“Kau tidak tahu, anak baik. Ketika kami bertiga bertempur melawan Hai Kong Hosiang di depan Kelenteng Ban-hok-tong, kami bertiga terdesak dan dikurung oleh kelima ularnya yang berbahaya dan lihai sekali. Nah, ketika itu kalau tidak ada kau penolong kami yang membunyikan suling dan mengacaukan pertahanan ular-ular itu, tentu sekarang Kanglam Sam-lojin sudah tidak ada lagi! Kepada Hai Kong si hwesio itu kami tidak gentar, tetapi barisan ular sungguh lihai!”
Barulah Cin Hai mengerti kenapa ia disebut sebagai tuan penolong, tetapi ia lalu tertawa dan berkata,
“Sungguh aku gembira sekali telah dapat menolong Sam-wi Totiang, tetapi sungguh mati ketika itu aku tidak sengaja menolong, hanya karena mendengar suara melengking dari Hai Kong Hosiang, aku merasa telingaku sakit lantas kugunakan sulingku untuk melawan suara itu. Tidak tahunya suara itu sudah dapat menolong Sam-wi, maka Sam-wi tak perlu berterima kasih kepadaku, melainkan seharusnya kepada suling ini!” Dia lalu mengangkat dan mengacung-acungkan suling barunya.
“Anak baik, kata-katamu betul juga,” kata Giok Im Cu, tosu tertua yang tinggi kurus, lalu tiba-tiba tosu ini menyanyikan sebuah syair dengan suara tinggi nyaring,
“Tun Hek Ki Jiak Phak, Kong He Ki Jiak Kak, Huk He Ki Jiak Tak!”
Syair ini bukan sembarangan syair, tetapi merupakan syair dari kitab To-tek-keng yang merupakan kitab pelajaran dari Nabi Lo Cu atau nabinya para penganut agama To-kauw, yang mempunyai arti seperti berikut,
Berlakulah sopan jujur seperti balok. Berwataklah sunyi agung seperti jurang dalam. Dan bersikaplah seperti air keruh!
Cin Hai semenjak kecil telah dijejali bermacam-macam ujar-ujar, dari ujar-ujar Kitab Suci dari Khong Cu dan berbagai kitab-kitab Nabi Lo Cu dan lain-lain kitab kuno lagi. Di kala mempelajari segala ujar itu, dia hanya hafal seperti burung beo saja, dapat mengucapkan tanpa mengerti isi dan maksudnya.
Jangankan baru seorang kanak-kanak sekecil Cin Hai, sedangkan orang-orang dewasa pun tak akan mudah begitu saja menyelami arti ujar-ujar kuno yang biar pun singkat jika dipecahkan dan direnungkan panjang tiada habisnya dan makin mendalam. Oleh karena hafalan-hafalan ini, tiap ada kalimat yang dipetik dari buku dan kitab ujar-ujar itu, Cin Hai dapat ingat sambungannya. Mendengar syair ujar-ujar yang dinyanyikan oleh Giok Im Cu, ia tahu bahwa ujar-ujar itu diambil dari kitab To-tek-keng, maka cepat dan otomatis ia pun lalu menyanyikan ujar-ujar sambungan atau lanjutan dari pada ujar-ujar yang dinyanyikan tosu itu tadi.
“Siok Ling Tok I Ci, Cing Ci Ji Jing, Siok Ling An I Kiu, Tong Ci Ji Seng! (Siapa dapat bersikap seperti air keruh lama-lama menjadi jernih, siapa bisa berlaku sabar lambat laun memetik buahnya)”
Maka terbelalaklah mata Giok Im Cu mendengar syair ini dinyanyikan oleh Cin Hai. Harus diketahui bahwa Giok Im Cu adalah seorang pendeta To-kauw yang sejak muda sangat tekun mempelajari ujar-ujar nabi Lo Cu, maka tentu saja ia sangat pandai dan hafal akan segala macam ujar-ujar suci itu. Kini mendengar ujar-ujar itu disambung dengan tepatnya oleh Cin Hai, ia pun menjadi kagum dan heran. Diangkatnya anak kecil itu dengan penuh kasih sayang dan tiada hentinya ia menyebut,
“Siancai, siancai (damai, damai,) anak baik, anak baik!”
Sesudah cukup memuji-muji Cin Hai, ketiga tosu itu lalu berkata kepadanya, “Anak baik, sebenarnya siapakah namamu dan kau she apa? Kau pernah apakah dengan pembesar she Kwee itu?”
Cin Hai bermuka sedih ketika menjawab, “Teecu (murid) she Sie bernama Cin Hai. Kedua orang tua teecu telah terhukum mati oleh kaisar, entah apa salahnya. Kwee-hujin adalah Ie-ie teecu, tetapi karena seluruh penghuni gedung itu kecuali Ie-ie tidak ada yang suka kepada teecu, teecu lalu mengambil keputusan untuk pergi saja!” Juga kepada tiga tosu ini Cin Hai tidak mau membuka rahasia dan menceritakan sebenarnya tentang keadaan Kwee-ciangkun dan apa yang telah terjadi baru-baru ini.
“Tidak apa, tidak apa, Cin Hai. Karena kau yatim piatu dan pernah menolong kami, sudah selayaknya kalau kami membalas jasamu. Kau ingin menjadi orang pandai? Bagaimana kalau kau menjadi murid kami bertiga?”
Girang sekali Cin Hai mendengar ini. Memang semenjak dulu ia ingin sekali belajar silat, hanya sayang tidak ada kesempatan baginya. Kini ketiga orang yang berilmu tinggi dan luar biasa kepandaiannya itu hendak mengangkat dia sebagai murid, tentu saja hal ini menggembirakan sekali.
Kedua matanya telah bersinar dan mukanya berseri-seri, tetapi tiba-tiba dia teringat akan janjinya kepada seorang jembel yang telah lebih dahulu menjadi suhu-nya, yakni Bu Pun Su Si Jembel Tak Berkepandaian! Oleh karena ini, ia lalu menjura dan berkata,
“Besar sekali rasa terima kasih dan kebanggaan teecu menerima budi kecintaan Sam-wi Totiang, tetapi terpaksa teecu tidak berani menjadi murid Sam-wi.”
“Ehh, mengapa?” Giok Yang Cu yang tinggi besar memelototkan matanya karena heran. Tosu tinggi besar ini adatnya kaku tapi amat jujur. “Apa kau anggap kami bertiga kurang berharga untuk menjadi gurumu?”
“Bukan demikian, Totiang. Tetapi sesungguhnya teecu sudah mempunyai seorang guru. Dan seorang saja sudah cukuplah!”
“Siapa? Siapa suhu-nya itu?” ketiga tosu itu serentak bertanya.
Cin Hai menundukkan kepala, karena sesungguhnya ia malu untuk mengaku. Akan tetapi keangkuhannya yang menentang segala rasa rendah itu bangkit membuat ia mengangkat mukanya dan berkata gagah, “Guruku itu adalah seorang jembel tua yang tidak memiliki kepandaian apa-apa!”
Di luar dugaannya, biar pun ia tidak menyebut namanya, ketiga tosu itu tiba-tiba menjadi pucat dan Giok Keng Cu si pendek kecil bahkan memandang ke kanan kiri seakan-akan ada yang ditakutinya.
“Gurumu adalah Bu Pun Su Sianjin? Celaka, Sute, kita selalu didahului oleh orang tua aneh itu!”' kata Giok Im Cu menyesal.
“Jadi, Sam-wi Totiang sudah kenal kepada suhu-ku. Di mana dia sekarang?” tanya Cin Hai dengan girang.
Tetapi ketiga tosu itu menggeleng-gelengkan kepala menyatakan bahwa mereka pun tak tahu. Kemudian, karena agaknya mereka ini tidak suka membicarakan tentang orang tua itu, Cin Hai pun tidak mau bertanya lebih jauh.
”Dan sekarang, bila kau tidak bisa menjadi murid kami, cobalah kau mengajukan sebuah permintaan, akan kami penuhi. Kau boleh ajukan semacam permintaan kepada seorang di antara kami sehingga jumlahnya tiga macam permintaan, ini adalah untuk pembalas jasamu yang telah menolong kami.”
“Tetapi teecu tidak minta dibalas, Sam-wi, ujar-ujar yang mengatakan bahwa pertolongan yang dilakukan sambil mengharapkan balasan bukanlah pertolongan namanya, tapi ialah utang-piutang! Dan teecu tidak suka menjadi tukang kredit!”
Kembali Giok Im Cu kagum dan pada dugaannya tentu anak ini memang sudah paham akan ilmu batin. Padahal sebenarnya Cin Hai hanyalah banyak menghafal belaka dan dia selalu menggunakan ujar-ujar hafalan itu untuk diucapkan pada saat yang tepat dengan maksud dipakai sebagai pembela diri!
“Biar pun kau tidak merasa menghutangkan kepada kami bertiga, tetapi kami akan selalu merasa mempunyai utang jika kau belum minta apa-apa dari kami,” jawab Giok Yang Cu. Karena didesak-desak akhirnya Cin Hai mengajukan ketiga permintaan.
“Pertama,” katanya, “teecu sudah lapar sekali dan belum makan sejak sore kemarin!”
Ketiga tosu itu tertawa bergelak, lalu Giok Yang Cu lari ke belakang kuil untuk mengambil kue kering dan sepotong daging yang telah digarami. Tanpa sheji (sungkan) lagi Cin Hai lalu menyikat makanan itu dan karena lupa bahwa dia tidak berpakaian, ia menggunakan lengan tangan dan menyapu-nyapu mulutnya yang berminyak setelah makanan itu habis. Perutnya sudah kenyang dan perasaannya enak.
“Permintaan teecu yang ke dua adalah minta diberi seperangkat pakaian karena teecu semenjak malam kemarin bertelanjang bulat dan merasa dingin sekali.”
Sekali lagi tiga orang tosu itu saling pandang dan sinar mata mereka berubah ragu-ragu karena ternyata anak ini mengajukan permintaan remeh dan menyia-nyiakan ketika ada kesempatan bagus. Benar-benar tolol dan bodoh anak ini, pikir mereka. Mengapa tidak minta harta atau senjata pusaka atau ilmu kesaktian?
Tapi karena permintaan Cin Hai yang ke dua sudah diucapkan, terpaksa mereka segera mencarikan pakaian. Kini giliran Giok Keng Cu yang mencarikannya. Ketiga tosu itu tak pernah membekal pakaian, maka Giok Keng Cu lalu pergi mencari. Tak lama kemudian ia kembali dan membawa seperangkat pakaian warna putih.
Pada saat dengan girang Cin Hai mengenakan pakaian itu, ternyata baik celana mau pun jubahnya terlalu besar! Karena pakaian itu adalah pakaian pendeta hwesio yang sangat kebesaran, maka tubuh Cin Hai yang kecil itu lenyap di dalam lubang-lubang pakaian yang longgar dan besar itu.
Sambil tertawa-tawa ketiga tosu itu lalu membantunya dan mengikat yang terlalu longgar. Akhirnya pakaian itu dapat juga dipakai, walau pun potongannya sangat kebesaran dan lengan bajunya melompong terbuka sehingga terpaksa dibelit-belitkan pada lengannya!
Betapa pun juga Cin Hai merasa senang sekali dengan pakaian itu. Ia sama sekali tidak tahu bahwa Giok Keng Cu mendapatkan pakaian itu dengan jalan mencuri dari sebuah kelenteng yang berdekatan karena hendak membeli, beli di mana?
Setelah merasa tubuhnya hangat perutnya kenyang hingga matanya menjadi mengantuk sekali, akhirnya Cin Hai mengemukakan permintaannya ke tiga,
“Permintaan teecu yang ketiga, jika Sam-wi Totiang tak keberatan teecu mohon diijinkan ikut dan belajar silat dari Sam-wi!”
Sekali ini ketiga tosu itu tertawa girang. Mereka merasa puas karena ternyata akhirnya bahwa anak ini bukannya gendeng dan tolol.
“Jika begitu, sekarang juga kau lekas berlutut mengangkat guru kepada kami!” kata Giok Keng Cu.
Tetapi ketiga orang tua itu kaget karena Cin Hai menggeleng-geleng kepala. Kemudian anak itu berlutut tetapi tidak menyebut suhu, bahkan berkata,
“Sam-wi Totiang, tadi sudah teecu katakan bahwa teecu tak dapat mengangkat lain guru. Teecu hanya ingin ikut dan belajar silat, tetapi tidak ingin mengangkat guru!”
“He?! Mana bisa? Ini tak mungkin!” kata Giok Yang Cu.
Cin Hai mengangkat muka memandang, “Bukankah tadi teecu sudah mengatakan bahwa teecu tak ingin minta balasan dan tak ingin apa-apa? Kenapa Sam-wi Totiang mendesak? Sekarang permintaan teecu yang ke tiga ternyata tidak dapat dikabulkan, padahal tidak berapa berat! Totiang, pernahkah mendengar ujar-ujar yang berkata bahwa sekali orang gagah mengeluarkan kata-kata, seribu ekor kuda pun tidak akan mampu mengejar, iya? Bukankah ujar-ujar ini berarti bahwa satu kali seorang budiman berludah, tak akan ia jilat kembali?”
“Ha-ha-ha! Anak baik, anak baik! Kau telah menjatuhkan ji-sute! Biarlah kami mengaku kalah. Semenjak sekarang, kau boleh ikut kami ke goa kami dan belajar silat sampai kau menjadi bosan dan melepaskan diri sendiri!”
Tapi pada saat itu Cin Hai sudah tak kuat menahan kantuknya lagi. Semalam suntuk dia tidak tidur dan berlari-larian hingga dia sangat lelah dan mengantuk. Kini menghadapi tiga tosu yang mengajak dia berbantahan saja itu, membuat dia semakin lelah dan semakin mengantuk. Setelah mendengar betapa permintaannya yang ke tiga lulus juga, ia menjadi begitu girang dan lega sehingga tiba-tiba saja kedua matanya dimeramkan dan tak dapat dibuka lagi karena ia telah pulas sambil duduk!
“Kasihan, anak yang baik!” kata Giok Im Cu, “Ji-sute, kau pondonglah dia dan mari kita berangkat.”
“Anak yang tolol!” sambil mengomel Giok Yang Cu yang tinggi besar segera memondong tubuh Cin Hai yang telah mendengkur itu.
Ketiga tosu itu lalu meninggalkan tempat itu dengan menggunakan Ilmu Lari Hui-heng-sut mereka. Karena tingginya kepandaian mereka, maka sepasang kaki mereka seakan-akan tidak menginjak tanah dan mereka seperti orang melayang terbang saja.
Karena tidur nyenyak di dalam pondongan Giok Yang Cu yang tinggi besar dan kuat, Cin Hai tidak tahu bahwa ia telah dibawa lari puluhan li jauhnya. Saat ia sadar dan membuka matanya, ia merasa kepalanya yang gundul dingin sekali dan karena kepalanya berada di dekat dada dan perut Giok Yang Cu yang gemuk berdaging dan hangat, tanpa disengaja ia lalu menyusupkan kepalanya ke dalam jubah orang! Tetapi tiba-tiba ia merasa betapa dirinya tidak dibawa lari lagi. Cepat dia mengeluarkan kepalanya yang gundul dari balik jubah pendeta itu dan memandang keluar.
Ternyata mereka telah tiba di sebuah padang rumput di lereng gunung yang tinggi. Tidak heran bahwa hawa demikian dinginnya. Tetapi yang membuat Cin Hai merasa heran ialah ketiga tosu itu berdiri diam dan memandang ke satu tempat dengan muka tegang. Ia pun lalu menengok dan tampak olehnya dua orang sedang bertempur seru!
Karena kesukaannya melihat orang bersilat dan berkelahi, segera Cin Hai melorot turun dari pondongan Giok Yang Cu dan hendak menonton lebih dekat, tetapi tiba-tiba tangan Giok Im Cu memegang pundaknya.
“Jangan mendekat!” Tosu tinggi kurus itu berbisik dengan suara yang menyatakan bahwa larangannya itu sungguh-sungguh.
Cin Hai merasa heran akan tetapi dia tidak berani banyak ribut melihat sikap ketiga tosu demikian tegang. Maka dia lalu duduk di atas rumput dan menonton orang yang sedang bertempur.
Ternyata yang bertempur adalah seorang wanita dengan seorang laki-laki. Yang wanita berbaju hijau bercelana putih, mukanya cantik tapi kelihatan galak dan kejam sedangkan rambutnya yang hitam bagus itu beriap-riapan ke belakang memenuhi punggungnya.
Usianya paling banyak tiga puluh tahun tetapi karena ia memang cantik, orang yang baru melihat pertama kali dan tidak mengetahui keadaannya pasti mengira dia seorang dara berusia belasan tahun. Ilmu silatnya hebat sekali karena gerakan-gerakannya cepat dan lincah bagaikan seekor burung kepinis.
Laki-laki yang menjadi lawannya juga aneh, karena pakaiannya bagaikan seorang siucai (pelajar sastra) dan mukanya cakap. Usianya paling banyak dua puluh lima tahun dan mukanya putih agak kepucat-pucatan.
Kedua orang itu bersilat dengan tangan kosong, tetapi agaknya tidak kurang hebat dari pada kalau orang bertempur dengan senjata tajam. Buktinya serangan-serangan mereka hebat sekali dan setiap pukulan atau tendangan selalu merupakan serangan maut yang berbahaya sekali.
Kepandaian mereka berimbang. Tiba-tiba laki-laki itu berseru keras dan dua kakinya lalu bergerak bagaikan kitiran angin! Kedua kakinya itu mengirim serangan berupa tendangan bertubi-tubi dan tiada hentinya karena kaki kiri kanan bergantian bergerak menendang saling susul sehingga agaknya sukar sekali untuk dihindarkan atau ditangkis!
“Celaka, Totiang! Kouwnio (Nona) itu tentu kena tendang!” dengan gembira tetapi cemas Cin Hai berkata sambil memegang tangan Giok Im Cu, “Mengapa tidak kau tolong dia?”
Namun Giok Im Cu menekan tangannya dan menjawab perlahan, “Ssttt! Jangan berisik, kau lihat saja!”
Memang tadinya wanita baju hijau itu tampak terdesak hebat dan agaknya ia tentu akan tertendang roboh. Tetapi tiba-tiba ia tertawa, suara tawanya nyaring dan merdu, bernada menyeramkan karena setengah merupakan jerit tangis mengharukan.
“Hi-hi-hi! Kang Ek Sian! Akhirnya kau tidak tahan juga dan terpaksa harus mengeluarkan tendanganmu yang terkenal lihai! Inikah ilmu Tendangan Chit-seng-twie (Ilmu Tendangan Tujuh Bintang) yang kau sohorkan itu? Hi-hi, orang she Kang, keluarkanlah yang lain lagi, yang lebih lihai!”
Sambil menyindir-nyindir, wanita itu meloncat tinggi dan berkelit ke sana ke mari dengan gerakan yang aneh karena bagaikan sedang menari-nari, tetapi setiap gerakannya selalu berkelit atau menghindari serangan kedua kaki lawan!
Tiba-tiba wanita itu balas menyerang. Gerakannya masih seperti menari-nari, tetapi kalau tadi kedua lengannya bergerak-gerak ke atas dengan gaya yang luar biasa lemas sambil mengelit serangan lawan, sekarang ia menggerakkan kedua tangannya ke belakang dan depan. Jari-jari tangannya masih bergerak lemah gemulai, tetapi sebenarnya ini adalah serangan yang sangat lihai karena ujung sepuluh jarinya dapat digerakkan untuk menotok jalan darah lawan. Akhirnya lelaki yang dipanggil Kang Ek Sian itu tak tahan menghadapi lawannya dan main mundur saja.
“Pengecut, rebahlah kau!” Tiba-tiba wanita itu berseru.
Dan benar saja, pundak Kang Ek Sian kena tertepuk oleh tangan wanita itu yang biar pun kelihatannya dilakukan perlahan sekali, namun cukup membuat laki-laki itu roboh! Wanita yang rambutnya riap-riapan itu lalu menggeleng-gelengkan kepala sambil tertawa ha-ha hi-hi, mukanya tampak manis tetapi suara ketawanya menyeramkan perasaan.
Tiba-tiba perempuan aneh itu menengok dan memandang ketiga tosu yang masih berdiri tak bergerak. Ia memandang dengan matanya yang bening dan bersinar tajam, kemudian mengembangkan hidung dan mengedikkan kepalanya.
“Baiknya tidak ada yang lancang tangan, kalau tidak demikian, tentu aku terpaksa harus merobohkan beberapa orang lagi!” Wanita itu berkata seakan-akan kepada diri sendiri, tetapi cukup keras sehingga terdengar oleh Giok Im Cu dan kedua kawannya.
Giok Im Cu menjura ke arah wanita itu dan berkata perlahan, juga seperti kepada diri sendiri, “Kami Sam-lojin (Tiga Orang Tua) bukanlah orang-orang usilan.”
Maka tertawalah wanita itu dan kini suara tawanya seperti mengejek. Lalu pergilah dia berlari turun gunung dengan cepat sekali sehingga bajunya yang hijau itu berkibar-kibar ke belakang di bawah rambutnya yang hitam, yang juga ikut berkibar-kibar tertiup angin di belakangnya. Dipandang dari jauh, ia laksana seekor kupu-kupu besar melayang-layang. Suara ketawanya lambat laun lenyap dari pendengaran.
Giok Im Cu menghela napas. “Mengapa iblis wanita itu bisa berada di sini?” dia berkata perlahan seakan-akan kepergian wanita itu membuat dadanya merasa lega.
“Totiang, siapakah perempuan yang pandai menari itu?”
Giok Yang Cu tertawa mendengar ucapan ini. “Dasar kau tolol! Sehari penuh tidur terus, dan kini setelah bangun bicara tidak karuan. Kau anggap dia itu menari-nari? Ha-ha-ha!”
Giok Im Cu lalu berkata sambil menghela napas lagi. “Mana kau tahu? Tarian itu justru kepandaiannya yang membuat ia ditakuti orang dan sukar sekali dilawan. Itulah ilmu silat yang disebut Tari Biang Iblis! Oleh karena kepandaiannya ini maka dia disebut Giok-gan Kuibo (Biang Iblis Bermata Kumala) dan namanya menggemparkan seluruh permukaan bumi.”
“Tetapi mengapa Sam-wi takut kepada iblis itu?” tanya Cin Hai penasaran.
“Takut sih tidak,” jawab Giok Keng Cu yang semenjak tadi diam saja, “hanya saja, kita tidak tahu seluk-beluk urusan mereka, mengapa harus ikut campur dengannya?”
Tetapi pernyataan Cin Hai ini membuat ketiga tosu itu teringat akan laki-laki yang masih rebah di atas tanah, maka buru-buru mereka segera menghampiri. Laki-laki yang rebah terlentang dengan wajahnya yang telah pucat itu kini makin kuning dan kedua matanya meram.
Ketika Giok Im Cu perlahan meraba pundak orang itu, tahulah ia bahwa orang itu telah mendapat luka dalam yang cukup hebat, biar pun tidak dapat dikatakan membahayakan jiwanya. Maka Giok Im Cu lalu menggunakan kepandaiannya menotok serta mengurut pundak yang terluka oleh tangan Giok-gan Kuibo yang halus putih tetapi ganas lihai itu!
Laki-laki itu siuman dan membuka matanya. Ia tersenyum pahit ketika melihat tiga orang tosu itu.
“Kanglam Sam-lojin?” tanyanya perlahan.
Giok Im Cu mengangguk. “Sicu siapakah dan mengapa sampai bertempur dengan dia?”
Laki-laki itu kembali tersenyum lalu duduk. “Siauwte Kang Ek Sian sungguh tak mengukur kepandaian sendiri dan telah berani menempur Giok-gan Kouwnio (Nona Bermata Intan), sungguh tidak tahu diri!” jawaban ini merupakan tangkisan terhadap pertanyaan Giok Im Cu, maka orang tua itu pun maklum bahwa orang tak suka menceritakan sebab musabab pertempurannya.
“Untung bagimu dia masih berlaku murah hati dan tidak menjatuhkan maut,” dia berkata singkat lalu mengajak kedua kawannya dan Cin Hai untuk meninggalkan tempat itu.
“Totiang, sebenarnya sampai di manakah kelihaian iblis wanita itu? Kulihat dia hanyalah seorang perempuan cantik yang lemah lembut, galak dan aneh sikapnya,” kata Cin Hai yang sungguh-sungguh tak mengerti kenapa seorang perempuan seperti itu ditakuti oleh tokoh-tokoh yang berilmu tinggi ini.
“Ha-ha-ha, anak tolol, dengarlah!” kata Giok Yang Cu.
Cin Hai segera berjalan mendekatinya. Ia memang gemas dan mendongkol sekali disebut tolol dan bodoh oleh tosu tinggi besar ini tetapi sebaliknya ia senang karena Giok Yang Cu selalu berterus terang kepadanya.....
“Perempuan yang kau anggap lemah-lembut tadi, yang disebut orang-orang kang-ouw sebagai Biang Iblis Bermata Intan, dengan kedua tangan kosong dan seorang diri saja telah naik ke Cin-liong-san dan mengobrak-abrik sarang berandal The Kok, menewaskan lebih dari dua puluh tauwbak dan kepala berandal dan membasmi lebih dari tiga puluh liauwlo (anak buah perampok), dan yang seorang diri saja sudah mendatangi hampir seluruh jagoan di daerah selatan untuk dicoba kepandaiannya. Dan tahukah kau, bahwa selama itu hanya baru beberapa kali saja ia tidak dapat merobohkan orang? Pendeknya, jarang ada orang yang dapat mengalahkan dan karena tangannya yang terkenal ganas, banyak orang merasa segan untuk berurusan dengan dia!”
“Dan lagi,” sambung Giok Keng Cu si Tosu Pendek, “coba kau lihat yang seorang lagi. Lebih hebat lagi!” Dan tiba-tiba Si Pendek itu memperlihatkan muka jeri.
“Yang satu lagi siapakah itu?” tanya Cin Hai dengan ingin sekali tahu.
Kini Giok Yang Cu yang melanjutkan kata-kata sute-nya. “Yang dimaksudkan oleh Sute tadi adalah seorang wanita lain yang sifatnya sangat berlainan dengan Giok-gan Kuibo. Wanita ini adalah Sumoi-nya (Adik Perempuan Seperguruan) yang berjuluk Ang I Niocu (Si Nona Baju Merah) dan yang selalu berpakaian merah. Nona ini masih muda dan ilmu kepandaiannya mungkin masih berada di atas kepandaian Suci-nya (Kakak Perempuan Seperguruan) itu! Ang I Niocu seorang diri pernah naik ke Bu-tong-san dan menantang adu tenaga dengan semua tokoh Bu-tong-pai dan ternyata ilmu pedangnya belum pernah dikalahkan orang!”
Mendengar kelihaian-kelihaian sedemikian hebatnya itu, Cin Hai meleletkan lidah saking kagumnya. “Hebat sekali!” serunya kagum.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan dan Cin Hai yang digandeng tangannya oleh Gak Im Cu, merasa tubuhnya tergantung dan tidak menginjak tanah, tetapi ia maju cepat sekali sehingga angin dingin berkesiur di kanan-kiri kepalanya. Jurang-jurang yang tidak berapa besar dilompati begitu saja oleh ketiga orang tosu itu hingga berkali-kali Cin Hai terpaksa meramkan mata karena ngeri memandang ke bawah.
Ia diam-diam berpikir bahwa di dunia ini ternyata banyak sekali orang pandai yang luar biasa. Baru ketiga tosu ini saja kepandaiannya sudah demikian hebatnya, padahal tadi ia mendengar betapa mereka ini masih memuji-muji kepandaian orang lain, maka dapatlah dibayangkan betapa hebatnya kepandaian orang-orang yang mereka puji itu! Karena itu timbullah keinginan di dalam hatinya untuk belajar keras supaya ia pun bisa mempunyai kepandaian itu sehingga kelak tidak ada lagi orang di dunia ini yang berani memaki dan menghinanya.
Di sepanjang jalan, orang-orang yang melihat Cin Hai pasti tertawa geli karena di dalam pakaian yang besar dan longgar itu, Cin Hai yang gundul memang nampak lucu dan aneh sekali.
“Mungkin anak gila,” terdengar orang berkata.
“Mungkin karena tololnya maka memakai pakaian demikian besarnya,” kata orang lain.
Ketiga tosu merasa kasihan dan berkata kepada Cin Hai untuk membiarkan pakaiannya diubah, dikecilkan dan dijahit pula. Namun dengan keras hati dan bersungut-sungut Cin Hai menjawab.
“Tidak, biarkan sajalah! Biarkan saja anjing-anjing itu menggonggong, mereka tidak akan menggigit! Biarkanlah, teecu tidak merasa sakit dengan gonggongan mereka!”
Tiga orang tosu itu saling pandang dan mereka kagum akan kekerasan serta ketabahan hati anak ini. Dan untuk memperlihatkan bahwa ia benar-benar tak peduli kepada semua orang yang mentertawakannya itu, Cin Hai mengeluarkan suling bambunya dan sambil berjalan dengan para tosu itu, ia meniup sulingnya memainkan beberapa lagu merdu!
Tiga hari kemudian sampailah mereka di daerah Kanglam.
Dengan menggunakan ilmu lari cepat, Kanglam Sam-lojin itu membawa Cin Hai ke dalam sebuah hutan yang sangat liar dan luas. Di tengah-tengah hutan itu terdapat sebuah lapangan rumput bersih dan indah permai, berbeda dengan tempat yang penuh rumput, alang-alang, dan pohon-pohon tua dan liar.
Di tengah-tengah padang rumput itu terdapat sebuah gunung kecil yang ditumbuhi oleh pohon-pohon liu, ada pun bunga-bunga berwarna tumbuh di kaki gunung itu. Di sebelah kiri terdapat mulut goa yang lebar dan gelap. Inilah tempat tinggal Kanglam Sam-lojin.
Benar-benar tempat yang indah menyenangkan. Di dekat goa terdapat sumber air yang memancar keluar dan mengalir merupakan beberapa anak sungai kecil yang airnya bagai berdendang tiada hentinya, bermain-main dengan batu-batu yang hitam dan halus. Ada pun burung-burung memenuhi pohon-pohon dan tiada hentinya berkicau.
Cin Hai merasa senang sekali berada di tempat itu. Biar pun mulut goa itu tampak gelap, akan tetapi sesudah masuk ke dalam, terdapat penerangan matahari yang masuk melalui beberapa lubang di kanan kiri yang menembus atas gunung.
Semenjak hari itu, Cin Hai mulai menerima latihan silat tingkat permulaan dari ketiga tosu itu dengan bergantian. Sering sekali ketiga pendeta itu keluar dari sana dan pergi untuk berbulan-bulan lamanya, kadang-kadang hanya seorang yang pergi, kadang kala berdua, ada kalanya bertiga dan Cin Hai ditinggal seorang diri.
Kanglam Sam-lojin, tiga orang tua dari Kanglam itu merupakan tiga saudara seperguruan, sebab itu kepandaian mereka berasal dari satu cabang persilatan, yaitu cabang persilatan Liong-san-pai. Hanya saja ketiganya mempunyai keistimewaan khusus, yaitu seperti telah diketahui pada permulaan cerita ketika mereka bertempur menghadapi Hai Kong Hosiang pendeta pemelihara ular itu.
Giok Im Cu yang tinggi kurus adalah ahli lweekeh (tenaga dalam) yang sudah mencapai tingkat tinggi sehingga pada waktu bertempur, segala macam benda jika terjatuh di dalam tangannya akan berubah menjadi senjata yang amat ampuh. Oleh karena mengandalkan tenaga lweekang-nya, Giok Im Cu tak pernah memegang senjata. Dulu pun pada waktu menghadapi Hai Kong Hosiang ia cukup menggunakan sebatang ranting kayu.
Sebaliknya dari pada suheng-nya, Giok Yang Cu adalah seorang tosu tinggi besar yang memiliki tenaga luar (gwakang) yang luar biasa dan kulitnya telah dilatih sedemikian rupa sehingga menjadi kebal dan keras. Di samping itu, dia mahir sekali memainkan pedang yang digerakkannya secara luar biasa cepat dan kerasnya. Tentu saja ilmu pedangnya ini adalah Liong-san Kiam-hoat yang memang dikenal memiliki gerakan-gerakan yang cukup lihai.
Tosu ke tiga jika dipandang begitu saja memang dapat menimbulkan pandangan rendah sebab tubuhnya yang kecil itu kelihatan tak bertenaga. Tapi janganlah orang memandang rendah padanya, karena tosu kate ini kepandaiannya tidak kalah oleh kedua suheng-nya! Keistimewaannya ialah melepas piauw (senjata rahasia) yang bersayap di kanan kirinya sehingga disebut hui-piauw atau piauw terbang! Di samping ini, dia memiliki ginkang yang paling sempurna dibandingkan kedua suheng-nya sehingga gerakannya lincah, cepat dan ringan sekali.
Walau pun Cin Hai bukan termasuk anak luar biasa yang mempunyai kecerdasan hebat, namun dia pun tidak sangat tumpul otaknya, dan baiknya ia memiliki ketekunan terhadap sesuatu yang disukainya. Justru ia suka ilmu silat dan sudah semenjak dulu ia ingin sekali mempelajarinya. Apa lagi ketika dia sering menerima pukulan serta hinaan, keinginannya untuk belajar silat lebih bernafsu lagi.
Kini, ketika sekaligus dia mendapat didikan dari tiga orang lihai, tentu saja dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Tanpa mengenal lelah dia menerima pelajaran dan berlatih siang malam hingga kadang-kadang lupa makan lupa tidur.
Karena ketiga tosu itu memang bukan ahli mendidik dan pula karena mereka memberi pelajaran kepada Cin Hai hanya semata-mata karena merasa berhutang budi dan hendak membalasnya, bukan berdasarkan kasih sayang seorang guru terhadap muridnya, maka mereka memberi pelajaran tanpa mengenal waktu dan tanpa memakai peraturan lagi!
Mereka berganti-gantian memberi pelajaran silat Liong-san Kun-hoat secara cepat sekali, padahal Ilmu Silat Liong-san-pai ini mempunyai seratus delapan jurus dan setiap jurus mempunyai pecahan-pecahan sedikitnya tiga macam, hingga seorang anak-anak seperti Cin Hai yang menerima pelajaran ini secara bertubi-tubi mana dapat mengingatnya?
Selain itu, Ilmu Silat Liong-san-pai bukan ilmu silat sembarangan yang dapat digerakkan oleh sembarang orang. Untuk mempelajari satu jurus dengan masak dan sempurna saja membutuhkan latihan-latihan keras berhari-hari. Memang karena penolakan Cin Hai yang tidak mau mengangkat mereka sebagai guru, membuat ketiga tosu itu menjadi kurang perhatian dan kurang mengacuhkan anak itu lagi. Mereka pikir bahwa jika anak itu diberi kepandaian asli sampai sempurna, padahal ia bukan anak murid Liong-san-pai maka jika kelak menodai nama Liong-san-pai mereka tidak berhak melarangnya, karena dia bukan anak murid Liong-san-pai.
Oleh karena tindakan ketiga tosu ini, Cin Hai menjadi bingung sekali dan dia tidak dapat berlatih dengan baik. Baru saja dia mempelajari beberapa jurus dan sama sekali belum sempurna, lain tosu sudah memberi pelajaran pula jurus-jurus berikutnya! Dengan begitu, maka jurus-jurus pertama yang belum dihafalnya benar-benar telah terlupa lagi!
Meski pun masih kecil, tetapi ternyata berkat ujar-ujar para cendekiawan dan ahli filsafat yang dipelajarinya dahulu, dia menjadi perasa sekali dan sikap ketiga tosu itu dapat juga ditangkap dan dirasainya. Ia lalu memutar otaknya dan segera melakukan hal yang cerdik juga.
Dengan diam-diam dia mempergunakan kepandaiannya menulis dan menggambar untuk mengumpulkan semua jurus-jurus yang dipelajarinya itu di atas selembar kertas! Tiap kali menerima pelajaran jurus baru, dia segera mengingat baik-baik dan malamnya pada saat berada seorang diri dalam kamarnya di goa itu, ia segera mencatat semua gerak tipu dan menggambar gerakan-gerakan yang dilakukan oleh tosu yang mengajarnya tadi!
Demikianlah dua tahun telah lewat dan dari seratus delapan jurus Ilmu Silat Liong-san-pai itu telah dapat ditulis dan dilukis sampai lebih dari delapan puluh jurus oleh Cin Hai. Tapi, sebenarnya kalau disuruh berlatih silat, paling banyak ia hanya bisa mainkan dua puluh jurus dengan agak baik, belum sempurna betul.
Melihat ketololan anak itu, ketiga tosu diam-diam merasa girang karena mereka tak perlu khawatir lagi, akan tetapi di luar mereka memperlihatkan muka tidak senang dan sering memaki-maki Cin Hai yang dikatakan tolol dan bodoh. Kelambatan ini sebenarnya bukan karena Cin Hai terlalu tolol, tetapi adalah karena waktunya banyak dia pergunakan untuk memperbaiki catatan dan lukisannya yang disimpannya baik-baik secara rahasia.
Seperti semua anak-anak di dunia ini, seorang kanak-kanak sekecil Cin Hai masih haus akan permainan dan kesenangan. Anak-anak lain tentu akan mencari teman-teman untuk bermain-main atau mencari segala macam barang permainan untuk menyenangkan hati, tetapi bagi Cin Hai semua itu tak mungkin. Ia berdiam di dalam goa dan kalau ia keluar dari goa, yang ada hanya hutan betantara yang penuh pohon-pohon besar dan binatang-binatang buas.
Pernah terjadi ketika pada beberapa bulan yang lampau dia pergi agak jauh dari goa dan memasuki hutan yang agak gelap tiba-tiba seekor harimau yang besar menghadang jalan pulangnya! Cin Hai terkejut sekali, kedua kakinya gemetar dan dadanya berdebar-debar. Tetapi anak itu dapat menetapkan hatinya dan berlaku waspada.
Sambil mengeluarkan gerengan hebat, harimau itu loncat menerkam. Pada saat itu Cin Hai sudah mempelajari jurus Ilmu Silat Liong-san-pai. Maka, melihat datangnya terkaman harimau itu, otomatis kakinya bergerak dengan tipuan Lo-wan Tong-ki atau Monyet Tua Meloncati Cabang sehingga ia terhindar dari terkaman harimau. Setelah berhasil berkelit, Cin Hai segera lari hendak pergi dari sana, tetapi terdengar auman keras dan harimau itu menubruk dari belakang!
Biar pun matanya tak melihat, akan tetapi ternyata latihan-latihan silat yang dipelajarinya telah membuat telinganya dapat menangkap angin sambaran tubuh harimau itu. Cepat ia berkelit sambil meloncat ke samping, dan dengan gerakan membalik, pada saat harimau itu lewat di sampingnya, ia lalu memukul dengan telapak tangan terbuka ke arah lambung harimau!
Namun apakah artinya pukulan tangan seorang kanak-kanak yang baru saja berlatih silat kurang dari dua tahun? Harimau itu sedikit pun tidak merasa sakit dan begitu keempat kakinya menginjak tanah, cepat tubuhnya berbalik dan meloncat menubruk lagi!
Cin Hai benar-benar terdesak dan ia hanya dapat menggunakan segala kepandaian yang dipelajarinya untuk bergerak ke sana-sini. Ia sama sekali tak menyangka bahwa biar pun baru mempelajari beberapa belas jurus dari Liong-san Kun-hoat, ia telah dapat bertahan dari seekor harimau besar sampai beberapa lama! Apa bila ia tidak memiliki kepandaian silat itu, tentu sekali tubruk saja ia sudah menjadi mangsa binatang itu.
Tiba-tiba Cin Hai teringat akan pelajaran meloncat yang didapatnya dari Giok Keng Cu. Tosu kate itu adalah seorang yang suka dipuji-puji dan tahu pula akan adatnya, maka Cin Hai sengaja memuji-mujinya sehingga tosu itu lantas menurunkan semacam kepandaian loncat tinggi kepadanya!
Ilmu loncat ini merupakan pecahan dari ilmu lari loncat jauh yang disebut Liok-te Hui-teng Kang-hu yang jika sudah dipelajari secara sempurna dapat dipergunakan untuk meloncat jauh sambil menggunakan kedua tangan sebagai imbangan badan sehingga tampaknya seperti melayang! Tetapi tosu kate itu hanya memberi pelajaran pada bagian loncat tinggi saja, yakni tipu gerakan Cian-liong Seng-thian (Naga Naik ke Langit).
Demikianlah, sesudah teringat dengan pelajaran meloncat ini, Cin Hai perlahan-lahan lalu menggeser kakinya dan tiap kali berkelit ia sengaja meloncat mendekati sebatang pohon yang memiliki cabang rendah dan berada di atas kepalanya. Ketika harimau itu meloncat lagi menubruknya untuk kesekian kalinya, Cin Hai menerobos ke bawah tubuh harimau yang menyambar itu dan secepatnya ia lalu meloncat ke atas cabang pohon di atasnya dengan gerakan Cian-liong Seng-thian yang sudah dipelajarinya itu!
Ia berhasil dan tubuhnya melayang ke atas cabang, lalu cepat ia menggunakan tenaga kaki mengenjot diri pula dari cabang itu ke cabang yang lebih tinggi. Untung sekali dia berbuat demikian, karena baru saja ia meninggalkan cabang terendah itu, tiba-tiba saja si harimau yang tahu maksud calon mangsanya yang hendak lari, segera meloncat pula ke atas cabang itu yang segera patah sambil mengeluarkan bunyi keras! Tubuhnya segera jatuh lagi ke atas tanah dan harimau itu lalu berdongak memandang ke arah Cin Hai yang telah berada di cabang tinggi dengan aman.
Anak itu dengan hati geli dan senang mentertawakan harimau itu, memaki-makinya, serta meludahinya dan melemparinya dengan cabang-cabang kering yang dia dapatkan di atas pohon-pohon! Harimau itu mengaum-ngaum dan meraung-raung, mengeluarkan suara keras sekali untuk melampiaskan hatinya yang marah dan kecewa.
Untuk beberapa lamanya binatang itu terus mendekam di bawah pohon, menanti calon mangsanya itu sambil kadang-kadang mendongakkan kepalanya memandang ke atas dengan hidung kembang-kempis. Tetapi Cin Hai tetap memaki-maki, bahkan anak itu lalu membuang air kencing di atas kepala harimau itu!
Entah karena jengkel dan kesal menanti, atau karena tersiram air kencing itu, si harimau segera berdiri dan setelah berdongak sambil mengaum keras dan panjang sekali lagi, lalu pergi meninggalkan tempat itu dengan tindakan perlahan.
Cin Hai tak berani segera turun karena takut kalau-kalau harimau itu masih bersembunyi di dekat situ. Ia menanti lagi sampai hampir setengah hari, barulah ia berani turun dan lari pulang ke goa. Semenjak pengalamannya itu Cin Hai tahu akan manfaat kepandaiannya, maka ia mempergiat latihannya dan ia tidak berani lagi meninggalkan goa terlalu jauh.
Pada suatu hari, ia ditinggalkan oleh ketiga tosu itu. Seperti biasa, jika merasa kesepian, Cin Hai lalu bermain-main dengan sulingnya. Ia berdiri di mulut goa lalu meniup sulingnya dengan asyik. Anak itu memang mempunyai bakat bermain suling.
Selama berdiam di goa itu sampai dua tahun, kepalanya selalu digundul karena penyakit kudis itu selalu timbul tiap kali rambutnya tumbuh agak panjang. Juga pakaiannya masih yang dulu, yakni jubah hwesio yang terlalu besar itu!
Ketika dia sedang asyik meniup suling, dari jauh datanglah setitik bayangan merah yang makin lama makin membesar. Tahu-tahu bayangan itu setelah dekat merupakan seorang wanita berpakaian serba merah. Dia berdiri di depan goa, tidak jauh dari tempat Cin Hai berdiri, dan memandang dengan mata tak berkedip dan tubuh tak bergerak.
Cin Hai juga melihat kedatangan orang itu. Namun dia tetap saja menyuling tanpa ambil peduli sama sekali, karena yang datang adalah seorang wanita asing.
Wanita itu adalah seorang gadis yang masih muda, paling banyak berusia delapan belas tahun. Wajahnya luar biasa cantik jelitanya, dengan sepasang mata lebar bersinar-sinar dan mulut yang sangat manis dengan sepasang bibir yang berbentuk indah dan berwarna merah. Pakaiannya serba merah dan bersih sekali, juga sepatunya berkembang indah. Di punggungnya tampak gagang pedang.
Dara baju merah itu agaknya tertarik sekali oleh tiupan suling Cin Hai dan ia mendengar dengan penuh perhatian. Memang Cin Hai pandai meniup suling dan ia tahu banyak akan lagu-lagu klasik karena gurunya yang mengajar dahulu, yaitu Kui-sianseng, memang ahli menyuling dan dari mendengarkan gurunya itu bersuling, maka dapatlah Cin Hai meniru lagunya.
Makin lama makin merdu dan merayu suara suling Cin Hai sehingga Dara Baju Merah itu tanpa terasa pula lalu berjalan mendekati dan duduk di atas sebuah batu karang hitam. Melihat gadis itu duduk di dekatnya dan melihat pula pedang di punggung gadis itu, Cin Hai menjadi tertarik sekali dan menghentikan tiupan sulingnya.
Dara muda itu terlihat kecewa dan berkata, “Hwesio cilik! Tiupan sulingmu bagus sekali, mainkanlah lagi beberapa lagu untukku, nanti kuberi hadiah uang perak.” Suaranya halus dan merdu dan ketika bicara kedua matanya bergerak-gerak indah.
Cin Hai merengut ketika disebut ‘hwesio cilik’. Ia menjawab tak senang. “Kira-kira dong kalau memanggil orang! Aku bukan hwesio kecil.”
Melihat anak itu marah, Dara Baju Merah itu tersenyum geli. Dia memang merasa aneh dan ganjil bertemu dengan seorang anak kecil berpakaian hwesio dan kepalanya gundul berada di tengah-tengah hutan liar seorang diri, dan anak ini pandai bersuling pula! Kini melihat lagak Cin Hai ia makin tertarik.
“Saudara kecil, kalau kau memang bukan seorang hwesio, kenapa kepalamu gundul dan pakaianmu jubah hwesio?”
Baru kali ini Cin Hai merasa tidak senang ada orang menyebutnya gundul dan mencela pakaiannya. “Aku gundul kepalaku sendiri, apa hubungannya dengan engkau? Kau cantik juga cantikmu sendiri, perlu apa kau mencela keburukan orang?”
Walau pun kata-kata Cin Hai itu kasar, tetapi karena anak itu menyebutnya cantik, Dara Baju Merah itu tidak marah, malah memperlihatkan senyum yang agaknya akan membuat hati Cin Hai jungkir balik kalau saja dia sudah dewasa. Namun senyum nona itu hanya membuat Cin Hai merasa senang saja, karena ia menganggap nona itu berhati sabar dan tidak mudah marah.
“Engko cilik, apa bila aku berkata salah, kau maafkanlah. Sekarang aku mohon padamu, tiuplah lagi sulingmu, aku suka sekali mendengarnya.”
“Boleh, asal saja kau suka menari menurut lagu sulingku.”
Mendadak gadis itu meloncat bangun dan bertanya dengan suara kaget, “Dari mana kau tahu bahwa aku pandai menari?” Pertanyaan ini mengandung ancaman supaya Cin Hai mengaku.
Cin Hai merasa heran dan menjawab, “Siapa yang tahu kalau kau pandai menari? Hanya menurut pendapatku, seorang wanita yang cantik jelita seharusnya pandai menari.”
Maka tertawalah Gadis Baju Merah itu. “Baiklah, kau tiup sulingmu dan aku akan menari untukmu.”
Cin Hai merasa girang sekali. Ia berdiri di tengah-tengah mulut goa yang gelap sehingga pakaiannya yang putih dan kepalanya yang gundul nampak nyata di depan latar belakang goa hitam gelap itu. Ia mulai meniup suling sebaik-baiknya. Gadis Baju Merah yang cantik itu melolos pedangnya dan mulai menari pedang.
Sambil menyuling Cin Hai memandang gadis itu dan dia bagaikan kena pesona. Bukan main indah tarian itu. Gerakannya halus, lemah gemulai dan seakan-akan tarian seorang bidadari! Pedang di tangannya itu menambah keindahan tarian dan membuatnya nampak cantik dan gagah sekali!
Dara Baju Merah itu memulai tariannya dengan perlahan dan halus gerakannya, dengan gerakan-gerakan leher yang lemas, diikuti gerakan tubuhnya yang indah menggairahkan. Tetapi makin lama gerakannya makin cepat menuruti irama suling yang ditiup Cin Hai dan pada saat Cin Hai meniup sulingnya dalam lagu perang, maka tubuh Dara Baju Merah itu lenyap dan yang tampak hanyalah gundukan sinar pedang yang berwarna putih dengan sinar merah dari bajunya!
Cin Hai kagum sekali dan setelah merasa betapa lehernya kaku karena tiada hentinya meniup suling, barulah dia berhenti dan Dara Baju Merah itu pun menghentikan tariannya yang luar biasa dan indah itu.
“Hebat sekali permainan sulingmu!” dengan senyum manis sekali gadis itu memuji.
“Lebih hebat adalah tarianmu!” Cin Hai memuji sambil memandang dengan dua matanya yang lebar.
“Kau menyukai tarianku?” tanya gadis itu.
“Suka sekali, dan tentu jauh lebih dari pada sukamu kepada suara sulingku,” kata Cin Hai cepat-cepat dan sejujurnya.
Gadis itu tersenyum. “Engko kecil, siapakah namamu?”
Cin Hai menjawab sambil tersenyum juga, “Namaku Cin Hai, tetapi orang tua itu lebih suka menyebutku Tolol atau Bodoh!”
Gadis itu untuk beberapa lama menatap wajahnya, memandang kepalanya yang gundul dan besar, kemudian ke arah pakaiannya yang terlalu besar itu. Setelah memandang, dia lalu menganggukkan kepalanya dan berkata pasti,
“Memang kau kelihatan tolol dan bodoh!”
Cin Hai mengangguk-angkuk dan berkata seperti lagak seorang tua, “Memang aku bodoh dan tolol, pula buruk rupa, sedangkan kau pandai dan cantik. Tetapi harus diingat, bodoh itu dasar kepintaran dan buruk itu tempat akhir kecantikan.”
Si Nona Baju Merah mengerutkan alisnya yang kecil memanjang. “Apa maksudmu? Aku tidak mengerti.”
“Bukankah sebelum pintar harus bodoh dulu? Nah, karena itulah maka pintar itu berdasar pada bodoh. Dan kecantikan macam apakah yang tak akan lenyap dan berakhir dengan keburukan? Lihat saja cahaya matahari berganti malam yang gelap lagi buruk. Lihat saja kembang segar indah yang menjadi layu dan membusuk, lihat saja wajah nenek-nenek keriput ompong padahal tadinya mereka itu nona-nona cantik jelita.”
“Stop segala omongan ini!” Nona Baju Merah itu berseru ngeri mendengar tentang nona cantik yang berubah menjadi nenek keriput ompong, “kau anak kecil tetapi bicara seperti pendeta, dari siapakah kau mempelajari semua ini?”
Cin Hai tertawa. “Dari ujar-ujar para nabi dan orang cerdik pandai.”
“Jadi kau ini benar-benar murid pendeta yang tak makan daging?”
Cin Hai cepat-cepat menggelengkan kepalanya, “Aku bukanlah pendeta, dan mengenai pakaian…” dia menundukkan kepalanya dan memandang pakaiannya, “apa daya, hanya ada satu yang terpaksa kupakai.”
Dara Baju Merah itu tertawa geli. Sepasang matanya yang seperti bintang pagi itu tampak berseri-seri, karena ia suka sekali kepada anak yang gundul, lucu dan pandai bersuling ini.
“Engko gundul, kau sebenarnya tinggal dengan siapakah di tempat liar ini?”
“Aku dibawa oleh orang tua yang berjuluk Kanglam Sam-lojin.”
“Ahh? Jadi mereka itu suhu-suhu-mu?”
Cin Hai cepat menggeleng kepalanya, “Bukan, bukan guru, hanya kenalan saja. Dan kau ini siapakah? Aku pernah mendengar tentang wanita berbaju merah yang disebut Ang I Niocu…”
Nona itu meloncat dengan amat kaget. “Siapa yang memberi tahu engkau tentang Ang I Niocu?”
Cin Hai menghela napas. “Semua orang agaknya takut kepada Ang I Niocu, dia itu orang macam apakah? Bahkan kau sendiri juga takut agaknya. Aku mendengar tosu-tosu itu bercerita.”
Gadis itu tersenyum pula. “Kau betul-betul suka akan tarianku tadi?”
Cin Hai mengangguk.
“Kalau begitu, mari kita bertukar saja. Kau kuberi pelajaran menari dan aku ingin sekali belajar menyuling.”
Cin Hai mengangkat mukanya dan memandang wajah yang berkulit halus putih kemerah-merahan itu. Sungguh wajah yang luar biasa cantiknya. Maka anak itu berseri-seri karena mendengar bahwa orang hendak memberi pelajaran menari padanya.
“Boleh, boleh!” katanya. “Tetapi siapakah namamu, Nona?”
Sambil tersenyum gadis itu menjawab, “Akulah Ang I Niocu.”
Kini Cin Hai lah yang terkejut dan mukanya berubah. Tetapi sambil tertawa geli gadis itu berkata, “Mengapa? Apakah kau juga takut kepada Ang I Niocu? Apakah mukaku begitu menyeramkan?”
“Tidak, tidak!” Cin Hai cepat-cepat menjawab sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Mukamu halus dan cantik. Aku tidak takut kepadamu.”
“Dan tidak takut kepada Ang I Niocu?” dara itu menegaskan.
“Dan tidak takut kepada Ang I Niocu!” Cin Hai berkata tetap.
“Kalau begitu, lekas kau kumpulkan barang-barangmu. Sekarang juga kita pergi.”
Cin Hai memandang pada wajah yang halus cantik dan mata yang bening bersinar tajam itu. Ia memandang dengan muka bodoh dan berkata,
“Barang-barangku?” Ia lantas memandang ke arah suling yang dipegangnya dan pakaian hwesio yang dipakainya. “Barangku hanya suling dan pakaian ini.”
Pandangan mata Ang I Niocu mengandung perasaan iba. “Jadi kau tak berbohong ketika tadi berkata bahwa kau tidak mempunyai lain pakaian?”
“Membohongi orang lain berarti membohongi diri sendiri,” jawab Cin Hai menirukan bunyi sebuah ujar-ujar, “dan aku tidak mau membohongi diriku sendiri.” Ia lalu mengosok-gosok kepalanya yang gundul.
“Kalau begitu mari kita berangkat!”
Cin Hai mengangguk.
Namun pada saat itu, dari bawah gunung melayang naik tiga bayangan orang. Gerakan mereka sedemikian cepatnya sehingga sebentar saja, sebelum Cin Hai dan Dara Baju Merah pergi jauh, tiga bayangan itu telah tiba di situ. Mereka ini bukan lain ialah Kanglam Sam-lojin yang baru pulang dari perantauan mereka.
Melihat bahwa Cin Hai berjalan pergi dengan seorang gadis, mereka segera memanggil dengan suara keras. Namun Cin Hai hanya menoleh sambil tertawa, lalu melambaikan tangan sebagai salam berpisah! Tentu saja Kanglam Sam-lojin merasa penasaran dan segera mengejar. Karena Ang I Niocu dan Cin Hai hanya berjalan biasa saja, dengan beberapa loncatan mereka telah dapat menyusul.
“Hai, Tolol, kau hendak minggat ke mana?” tegur Giok Yang Cu yang brewok dan tinggi besar dengan suara mengguntur.
“Ji-totiang, teecu hendak pergi belajar menari!”
“Apa? Belajar menari? Kepada siapa dan di mana?” Giok Keng Cu si pendek bertanya dengan heran.
“Belajar kepada Nona ini, dia pandai sekali menari dan belajar di mana saja, di sepanjang jalan, bukankah begitu, Nona?”
Ang I Niocu hanya tersenyum manis dan mengangguk-anggukkan kepala. Ketiga tosu itu memandang ke arah Ang I Niocu dengan penuh perhatian. Mendadak ketiganya saling berbisik dan Giok Im Cu lalu berkata dengan hati-hati.
“Kami bertiga pernah mendengar nama Ang I Niocu, apakah sekarang kami berhadapan dengan Nona yang gagah itu?”
“Sam-wi Totiang, kalian memang mempunyai pandangan yang sangat tajam. Aku betul Ang I Niocu.”
Kalau dilihat sungguh mengherankan, oleh karena begitu mendengar nama Ang I Niocu, tiga tokoh kang-ouw yang telah berusia lanjut ini lalu nyata sekali tampak terkejut dan dari jauh mereka mengangkat tangan memberi hormat.
“Sungguh pinto merasa terhormat sekali mendapat kunjungan Lihiap. Tidak tahu apakah keperluan yang membawa Lihiap sampai datang di tempat kami yang sunyi ini?”
Ang I Niocu tersenyum dan wajahnya yang jelita menjadi makin manis ketika sepasang lesung pipit menghias sepasang pipinya yang kemerahan. Dia kemudian bersyair sambil memandang ke langit.
Berkawan sebatang pedang,
Menjelajah ribuan li tanah dan air
Tanpa maksud tiada tujuan,
Hanya mengandalkan kaki dan hati.
Kau masih bertanya maksud keperluan?
Tanyalah kepada burung di puncak pohon,
Terbang ke sini berkehendak apa?
“Bagus, bagus sekali!” Cin Hai bersorak girang. “Niocu, syairmu ini bagus sekali, biar aku nanti buatkan lagunya yang merdu!”
Ang I Niocu mengangguk-angguk sambil tersenyum manis kepada Cin Hai lalu menjawab kepada tiga tosu itu,
“Totiang, seperti kukatakan dalam syairku tadi, aku hanya kebetulan lewat saja di sini dan bertemu dengan engko cilik ini. Kami telah bermufakat untuk saling menukar kepandaian tari dan permainan suling!”
Kanglam Sam-lojin tidak senang mendengar keterangan ini, karena bagaimana pun juga, mereka sudah menganggap Cin Hai sebagai murid yang tentu saja tidak boleh diambil orang lain sedemikian mudahnya yang berarti akan merendahkan derajat mereka. Akan tetapi terhadap Ang I Niocu yang mempunyai nama besar, mereka masih ragu-ragu untuk menggunakan kekerasan.
Akan tetapi, Giok Keng Cu si pendek gesit yang memang memiliki watak agak sombong, melihat bahwa Ang I Niocu tak lain hanyalah seorang dara muda cantik jelita yang berkulit halus dan bersikap lemah lembut lalu memandang rendah sekali.
“Eh, Ang I Niocu! Banyak orang bilang bahwa kau adalah seorang tokoh dunia kang-ouw yang gagah dan namamu telah menggemparkan empat penjuru. Tidak tahunya hanyalah seorang anak muda yang masih hijau dan tidak tahu peraturan kang-ouw! Ataukah kau sengaja tidak memandang mata kepada kami tiga orang tua dan berbuat kurang ajar?”
Sungguh pun Ang I Niocu tampaknya baru berusia tujuh belas atau delapan belas tahun saja, akan tetapi sebetulnya ia telah berusia dua puluh tahun dan selama lima tahun lebih namanya sudah menggegerkan dunia kang-ouw karena selain kepandaiannya yang luar biasa, juga ia terkenal sebagai seorang dara yang sangat berani dan dapat menyimpan perasaannya.
Kini mendengar betapa ada orang memandang rendah kepadanya, ia hanya tersenyum manis, karena walau pun Giok Keng Cu memandang rendah, namun persangkaan kakek pendek itu bahwa dia masih sangat muda merupakan pujian baginya! Wanita mana di dunia ini yang tidak ingin disebut muda dan ditaksir jauh lebih muda dari usianya yang sebetulnya.
Karena inilah maka Ang I Niocu dengan suara tetap merdu dan sabar bertanya,
“Totiang, bicaramu agak berlebihan. Mengapa kau anggap aku tidak memandang kalian orang tua dan berbuat kurang ajar?”
“Anak tolol itu adalah murid kami, mengapa tanpa minta ijin kau kini hendak menculiknya begitu saja? Bukankah hal itu melanggar aturan namanya?” berkata Giok Ken Cu dengan marah.
Sebelum Ang I Niocu menjawab, Cin Hai mendahuluinya dengan suaranya yang nyaring.
“Ehh, ehh, semenjak kapan Totiang memungut teecu sebagai murid? Harap Totiang ingat bahwa teecu bukanlah murid Totiang, maka tidak baik membohong kepada Niocu!”
Sementara itu, Ang I Niocu yang tadinya mengira bahwa Cin Hai yang membohonginya, kini melihat betapa anak gundul itu berani berkata sedemikian rupa terhadap tosu itu, menjadi lega karena menganggap bahwa anak ini benar-benar berhati tabah dan jujur. Maka ia tertawa girang sambil memandang muka Giok Keng Cu yang menjadi kemerah-merahan karena malu dan untuk beberapa lama tidak dapat menjawab kata-kata Cin Hai.
Melihat keadaan sute-nya yang terdesak, Giok Yang Cu yang tinggi besar berkata keras,
“Ang I Niocu! Betapa pun juga, tidak boleh kau membawa anak itu begitu saja. Biar pun dia bukan murid kami, tetapi dia sudah ikut kami dan tidak boleh diambil oleh orang lain tanpa ijin kami!”
Giok Yang Cu sengaja berkata keras karena dia hendak menghilangkan rasa malu yang diderita oleh sute-nya, apa lagi memang dia tidak puas melihat sikap Ang I Niocu dan Cin Hai yang sama sekali tidak mengindahkan mereka bertiga!
“Kalian ini orang-orang tua jangan bicara seenaknya saja,” kata Ang I Niocu yang mulai merasa sebal. “Siapa yang menculik anak ini? Ia hendak ikut aku dengan suka rela dan aku pun tidak keberatan, habis kalian mau apa?”
Kini Giok Im Cu yang menjawab sesudah mengeluarkan suara melalui lubang hidungnya seperti biasa dikeluarkan orang yang hendak menghina lawan.
“Hm, Ang I Niocu, melihat sikapmu maka benarlah kata para sahabat di dunia kang-ouw bahwa kau adalah seorang yang tinggi hati dan sombong. Apa bila kau berkeras hendak membawa anak ini, biarlah kami bertiga lebih dulu menerima petunjuk-petunjuk darimu!” Ini adalah kata-kata yang maksudnya menantang atau hendak mengajak pibu (mengadu kepandaian).
“Begini lebih bagus, tak usah membuang kata-kata dan obrolan kosong!” kata Ang I Niocu dengan senyum manis dan wajahnya berseri gembira ketika dia mencabut pedang dari pinggangnya.
Ketiga pendeta tua itu pun lalu mencabut senjata masing-masing. Giok Im Cu memungut sebatang ranting kayu dari bawah pohon, Giok Yang Cu mencabut pedangnya dan Giok Keng Cu meloloskan goloknya.
Melihat mereka hendak bertempur, Cin Hai yang memang paling doyan melihat pibu atau pertandingan silat, lalu duduk di bawah pohon besar. Ketika melihat betapa ketiga tosu semua mencabut senjata, ia segera berkata,
“He, Sam-wi Totiang, apa kalian bertiga hendak maju bersama dan mengeroyok seorang gadis muda seperti Ang I Niocu? Aneh, sungguh aneh!”
Ang I Niocu sambil tertawa berkata, “Hai-ji (Anak Hai), biarlah mereka sekaligus maju bertiga agar gembira kau menonton!”
Sebenarnya ketiga tosu tadi merasa ragu-ragu. Untuk maju seorang saja, mereka takut kalau-kalau tidak kuat melawan Nona Baju Merah yang sudah tersohor kelihaiannya ini, tetapi maju mengeroyok pun mereka merasa sungkan sekali. Kini mendengar kata-kata Cin Hai, mereka otomatis tidak berani maju bersama. Akan tetapi sesudah mendengar kata-kata Ang I Niocu, kegembiraan mereka timbul karena jelas bahwa gadis itu sendiri yang menantang mereka untuk maju bersama, sehingga mereka kini tidak perlu sungkan-sungkan lagi!
Akan tetapi, Giok Im Cu tetap berlaku sungkan dan berkata,
“Ang I Niocu, benar-benarkah kau menantang kami untuk maju bertiga? Apakah kau nanti tidak akan mengatakan kami keterlaluan, tiga orang tua mengeroyok seorang muda?”
“Totiang, kau majulah saja bertiga, untuk apa berlaku sheji-sheji (sungkan) segala?” kata Ang I Niocu sambil memalangkan pedang di dada.
Kini marahlah ketiga tosu itu dan mereka maju bersama mengeroyok dengan serangan-serangan mereka yang sangat berbahaya! Tetapi begitu pedangnya bergerak, sekaligus tiga senjata lawan dapat tertangkis oleh Ang I Niocu.
Ketiga orang tosu itu terkejut sekali melihat gerakan pedang yang luar biasa cepat dan anehnya ini. Mereka kemudian memainkan senjata mereka dengan hati-hati sekali sambil mengerahkan ilmu silat mereka dari cabang Liong-san-pai. Mereka sengaja mengurung nona itu dari tiga jurusan, berupa kepungan segi tiga yang sebentar-sebentar berubah gerakannya, karena mereka bertiga selalu berpindah-pindah tempat! Inilah keistimewaan Kanglam Sam-lojin yang dapat maju bersama dengan secara kompak sekali.
Akan tetapi, dengan tenang dan senyum manisnya tak pernah meninggalkan bibir, Ang I Niocu menghadapi mereka dengan pedangnya yang luar biasa sekali gerakannya. Gadis ini seakan-akan tidak sedang menghadapi tiga orang yang mengeroyok dirinya dari tiga penjuru, karena ia tak pernah mengubah kedudukan tubuhnya yang menghadap ke utara, tetapi ujung pedangnya bergerak sedemikian rupa hingga tiap kali senjata lawan datang dari arah mana pun, selalu dapat tertangkis. Bahkan ia masih sempat mengirim tusukan dan serangan-serangan pembalasan yang tidak kalah hebatnya!
Cin Hai yang melihat jalannya pertempuran itu, menahan napas saking kagumnya. Dia melihat betapa tiga orang tosu itu berputar-putar dan tubuh mereka tak tampak lagi hanya merupakan tiga bayangan orang yang berkelebat menjadi putaran cepat sekali. Tetapi di tengah lingkaran itu ia melihat Ang I Niocu bergerak-gerak dengan tenang dan dengan gerakan indah, bahkan dalam pandangannya gadis cantik itu tidak seperti orang sedang bertempur, karena ternyata bahwa Nona Baju Merah itu sedang menari-nari! Tarian yang indah dengan gaya yang lemas dan amat sedap dipandang.
Ia tidak tahu bahwa itulah limu Pedang Tarian Bidadari yang tidak ada keduanya di dunia ini! Tarian pedang ini dilakukan dengan gerakan yang halus dan nampak lambat karena memang kecepatannya hanya terdapat dari tenaga dan kecepatan lawan saja hingga Ang I Niocu sendiri tak perlu mengeluarkan tenaga dan kecepatan.
Tiap kali ada serangan lawan yang datang, dengan gerakan cepat sekali, cukup ia sentuh sedikit dengan ujung pedang, maka senjata lawan itu pasti lantas menyeleweng arahnya. Sedangkan dengan pinjaman tenaga dan kecepatan senjata musuh, pedangnya dapat ia pentalkan dengan luar biasa cepatnya dalam serangan balasan! Juga ia melakukan tarian luar biasa ini dengan tenaga lweekang yang tinggi sehingga setiap kali ujung pedangnya membentur senjata lawan, maka lawannya akan merasa betapa tangan mereka tergetar!
Cin Hai menonton dengan mata terebelalak kagum dan mulut ternganga. Saking asyiknya menonton pertempuran luar biasa itu, ia tidak merasa betapa seekor lalat beterbangan menyambari mukanya.
Pikiran anak ini terlalu senang dan gembira karena ia mendapat kenyataan bahwa gadis baju merah yang berlaku manis kepadanya itu ternyata memiliki kepandaian yang lebih hebat dan lihai dari pada Hai Kong Hosiang, hwesio gundul yang memelihara ular itu.
Ketika Hai Kong Hosiang dulu dikeroyok oleh tiga tosu ini di depan Ban-hok-tong, hwesio itu tidak kuat melawan mereka sehingga akhirnya terpaksa melepaskan ular-ularnya.
Akan tetapi kini, walau pun dikeroyok dengan hebat, ternyata Ang I Niocu masih sempat menari-nari dengan bibir tersenyum. Mendadak lalat yang beterbangan dan menyambar-nyambar hidung Cin Hai itu tersesat kemudian salah masuk ke dalam mulut Cin Hai yang ternganga!
Anak itu baru sadar dan dengan marah ia lalu menyumpah-nyumpah dan meludah-ludah serta memaki-maki lalat itu. Lalu dia teringat akan sesuatu. Tarian yang dilihatnya ketika gadis itu menari di depan goa. Sayang kalau tarian seindah ini tidak dihiasi dan diiringi nyanyian suling. Maka dia lalu meniup sulingnya, meniup lagu yang merdu dan bernada tinggi.
Benar saja, ketika mendengar suara suling, Ang I Niocu tertawa senang dan tiba-tiba saja gerakan pedangnya berubah semakin hebat! Apa lagi ketika Cin Hai meniup sulingnya dengan nada meninggi dan irama cepat, maka gadis itu bersilat makin cepat lagi hingga sebentar saja orang dan pedangnya lenyap terganti gundukan sinar putih dan di tengah-tengah gundukan sinar itu tampak warna merah pakaiannya!
Tentu saja perubahan ini membuat tiga tosu itu terkejut sekali. Hampir saja ujung pedang gadis itu berhasil melukai mereka dengan cepat dan tak terduga serta dalam waktu yang bersamaan sehingga ketiganya juga meloncat mundur berbarengan!
“Ang I Niocu, kau memang lihai bukan main! Kini kami mengakui bahwa ilmu pedangmu benar-benar lihai,” kata Giok Yang Cu dengan jujur.
“Kau memang cukup pantas untuk menjadi guru anak tolol ini, Nona,” kata Giok Keng Cu dengan suara mengandung ejekan.
“Hemm, Cin Hai, kalau kau baik-baik belajar silat dari Ang I Niocu, kelak kau tentu akan mencapai kemajuan hebat,” kata Giok Im Cu.
Namun Cin Hai tidak mempedulikan semua omongan itu karena hatinya sangat gembira melihat betapa Nona Baju Merah itu ternyata benar-benar lihai dan berkepandaian jauh lebih tinggi dari pada tiga tosu itu digabung menjadi satu!
Sementara itu, mendengar kata-kata ketiga pendeta itu, Ang I Niocu lalu berkata sambil tetap tersenyum,
“Sam-wi Totiang, aku bukan guru engko cilik ini dan juga tidak akan menjadi gurunya.”
Mendengar kata-kata ini, Cin Hai mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul dan berkata cepat, “Betul, betul! Ada nyanyian kuno menyatakan bahwa guru yang terpandai berada di dalam diri sendiri! Nona perkasa ini belajar menyuling dari aku, dan aku sendiri belajar menari darinya, siapakah yang disebut guru dan siapa murid?”
Ang I Niocu tertawa manis mendengar ucapan ini dan keduanya lalu menjura ke arah tiga tosu yang memandangnya dengan bengong, lalu keduanya berjalan dengan perlahan dan pergi meninggalkan tempat itu.
Setelah beberapa bulan lamanya mengikuti Ang I Niocu, maka kini mengertilah Cin Hai bahwa ketika dara baju merah itu dahulu bersyair di depan Kanglam Sam-lojin, maka itu adalah syair yang memang menggambarkan keadaan hidupnya. Gadis itu tidak memiliki tempat tinggal yang tetap, berkelana, merantau bagaikan seekor burung, terbang ke sana ke mari, tanpa maksud atau tujuan tertentu dan pergi ke mana saja mengandalkan kaki dan hati!
Akan tetapi, karena Cin Hai juga sebatang kara dan tak mempunyai tujuan hidup tertentu, maka perantauan ini tak menyusahkan hatinya. Bahkan ia merasa bahagia sekali karena Ang I Niocu benar-benar baik sekali kepadanya.
Wanita muda itu selain sangat pandai menari, juga pandai bernyanyi dengan suaranya yang merdu. Setiap waktu bila mereka singgah di tempat yang baik dan menyenangkan, Ang I Niocu segera meminjam suling milik Cin Hai dan mulai belajar meniupnya dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk anak gundul itu.
Sebaliknya, dengan gembira Cin Hai mulai mempelajari tari yang sebenarnya bukan lain adalah ilmu silat luar biasa yang disebut Sian-li Kun-hoat atau Ilmu Silat Bidadari. Tetapi pada mulanya dia mengalami kesukaran karena betapa pun juga, ia adalah seorang anak laki-laki dan tentu saja tubuhnya tak selemas tubuh perempuan, padahal Sian-li Kun-hoat membutuhkan tubuh yang lemas dan gaya yang lemah lembut.
Akan tetapi dengan sabar serta telaten Ang I Niocu melatih lweekang kepada Cin Hai hingga tenaga anak gundul ini bertambah cepat sekali, apa lagi juga memberi latihan Ilmu Jui-kut-kang yaitu ilmu untuk melemaskan badan hingga Cin Hai dapat juga memainkan Sian-li Kun-hoat, biar pun masih agak kaku.
Sementara itu Cin Hai tidak lupa untuk mempelajari Ilmu Silat Liong-san Kun-hoat yang telah dicatat dan dilukis sebanyak depalan puluh jurus itu.....
Melihat bahwa Cin Hai mempelajari Liong-san Kun-hoat, Ang I Niocu hanya tersenyum dan berkata,
“Jangankan baru kau pelajari delapan puluh jurus, biar pun kau bisa mempelajari sampai tamat yaitu seratus delapan jurus, tetap ilmu silat ini tak kan mampu mengalahkan Sian-li Kun-hoat.”
Cin Hai juga tersenyum. Dia maklum bahwa Ang I Niocu tidak akan melarangnya karena memang dara itu tidak berhak melarangnya. Ia bukan murid Gadis Baju Merah itu! Dan ia tetap mempelajari Liong-san Kun-hoat sampai dia hafal semua delapan puluh jurus yang telah dicatatnya.
Sudah lima tahun Ang I Niocu berkelana seorang diri dan hampir selalu bertemu dengan orang-orang jahat dan orang-orang yang membuat dia jemu. Hampir semua laki-laki yang berjumpa dengan dia selalu memperlihatkan pandangan mata yang mengandung maksud tidak baik, hingga ia benci melihat orang laki-laki.
Akan tetapi perasaannya terhadap Cin Hai lain lagi. Pandangan mata anak ini demikian jujur, demikian mesra dan demikian menimbulkan perasaan iba di dalam hatinya, hingga dia tertarik dan suka sekali kepada Cin Hai. Oleh karena ini, maka sungguh pun dia tidak menganggap Cin Hai sebagai muridnya, tapi dengan sungguh hati ia hendak menurunkan Sian-li Kun-hoat yang merupakan tarian indah dan sangat digemari oleh Cin Hai itu.
Juga Ang I Niocu sangat tertarik akan kepandaian Cin Hai meniup suling dan bakatnya mencipta lagu-lagu luar biasa. Pula, dia kagum akan pengertian Cin Hai tentang sastera, tentang sejarah kuno, dan tentang segala macam ujar-ujar yang sangat indah didengar. Apa lagi nyanyian To-tik-keng sangat menarik hatinya hingga setiap kali ada kesempatan tentu ia menghapalkan sebuah ayat dari pada kitab peninggalan Nabi Locu yang sangat bijaksana itu.
Sebaliknya, Cin Hai merasa sangat berterima kasih dan suka kepada Ang I Niocu, karena sikap gadis yang lemah lembut, kata-katanya yang halus merdu serta pandang matanya yang kadang-kadang sayu itu mengingatkan dia akan Loan Nio, Ie-ie-nya (bibinya), yang dianggap satu-satunya orang yang cinta padanya.
Akan tetapi bibinya terikat kepada keluarga Kwee-ciangkun sehingga dia maklum bahwa rasa suka di hati bibinya terhadap dia masih terbagi-bagi, sedangkan Ang I Niocu hidup sebatang kara seperti dia. Oleh karena inilah maka timbul rasa suka dan bakti yang besar sekali di dalam hati Cin Hai. Kini ia menganggap Ang I Niocu sebagai satu-satunya orang yang patut ia sayangi, patut ia bela dan patut ia ikuti.
Pernah pada suatu saat Dara Baju Merah itu bertanya tentang riwayatnya yang dijawab oleh Cin Hai dengan terus terang akan tetapi karena pengaruh ujar-ujar yang telah masuk ke dalam kepala, Cin Hai sama sekali tidak mau menyebut-nyebut segala kejahatan dan siksaan yang telah dilempar orang lain kepadanya.
Ia teringat akan ujar-ujar yang menyatakan bahwa keburukan orang lain tak perlu disebut-sebut, sedangkan kesalahan sendiri harus selalu diingat dan diperbaiki! Karena inilah, maka dia tidak pernah menceritakan kepada Ang I Niocu mengenai kenakalan-kenakalan Kwee Tiong beserta adik-adiknya, tidak menceritakan kebencian guru silat Tan Hok yang hampir saja membunuhnya.
Akan tetapi, pada waktu Cin Hai bertanya mengenai riwayat Ang I Niocu, gadis itu hanya tersenyum sedih dan untuk beberapa lama sinar matanya yang biasanya berseri-seri itu tiba-tiba menjadi suram.
“Ah, Niocu, kalau kau tidak suka mengenang kembali atau menceritakan riwayat hidupmu padaku, sudahlah. Lebih baik kita berlatih saja, engkau berlatih meniup suling, sedangkan aku berlatih menari.”
Ang I Niocu kembali tersenyum dan lenyaplah kenang-kenangan sedih tadi. Ia menatap Cin Hai dengan rasa terima kasih terkandung di dalam sinar matanya, lalu dia mengambil suling itu dan mulai meniupnya. Cin Hai juga segera meloncat dan menggulung lengan bajunya serta mengencangkan ikat pinggangnya, lalu mulai bergerak menari!
Memang berkat kerja sama mereka, maka tarian itu dapat disesuaikan dan diselaraskan dengan lagu tiupan suling hingga dengan demikian pelajaran menari menjadi lebih mudah diingat oleh Cin Hai. Biar pun pada saat itu ia telah mempelajari tari lebih dari setengah tahun, namun dia baru saja mampu memainkan beberapa belas jurus tarian dengan baik, sedangkan selanjutnya gerakannya masih sangat kaku dan tidak tepat! Karena itu dapat dimengerti betapa sukarnya mempelajari Sian-li Kun-hoat itu.
Juga karena sebagian besar dari tarian itu dilakukan dengan berdiri di atas ujung jari kaki, maka tentu saja membutuhkan tenaga kaki yang lebih besar sehingga bila orang kurang latihan tentu tidak akan sanggup menarikannya sampai lama.
Sehabis latihan, Ang I Niocu berkata,
“Gerakan yang ke tiga dan ke delapan masih kurang sempurna. Hanya jurus satu, dua, empat sampai tujuh dan sembiIan sampai lima belas yang sudah lumayan. Akan tetapi selebihnya, mulai jurus ke enam belas, masih sangat jauh untuk dapat disebut lumayan. Gerak-gerakkanlah jari tanganmu dengan hidup, karena gerakan-gerakan jari itulah yang akan menghidupkan jurus gerak tipu Burung Surga Membuka Sayap. Kau harus mengerti bahwa Burung Surga adalah burung yang biasa ditungganggi Bidadari, karena itu semua gerakannya mengandung arti dan maksud tertentu. Dalam gerakan ini jari-jari kita akan merupakan ujung-ujung sayap yang harus digerak-gerakkan dalam menghadapi lawan, maka gerakan-gerakan jari ini sangat penting karena dapat membingungkan lawan dan dapat menyembunyikan maksud gerakan satu serangan kita yang sesungguhnya. Kau tentu masih ingat bahwa sepuluh jari tangan kita dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah lawan dalam berpuluh macam gerakan. Apakah kau masih hafal semua?”
Demikianlah Ang I Niocu memberi petunjuk-petunjuk yang didengar dan diturut oleh Cin Hai dengan penuh perhatian. Dan dari uraian Ang I Niocu itu dapat diketahui betapa sulit dan lihainya Ilmu Silat Sian-li Kun-hoat itu, karena satu jurus saja mempunyai pecahan demikian banyak dan hebat!
Setelah berlatih, mereka beristirahat di bawah pohon besar dan pada kesempatan ini Ang I Niocu menuturkan mengenai tokoh-tokoh besar yang pernah dijumpai Cin Hai. Memang Cin Hai menceritakan pengalamannya ketika ia berada di atas genteng Kuil Ban-hok-tong dan melihat Kanglam Sam-lojin berkelahi mati-matian melawan Hai Kong Hosiang!
“Kau sungguh mujur dan beruntung sekali dapat terlepas dari tangan Hai Hong Hosiang. Ketahuilah, hwesio ini memang jahat sekali dan berwatak kejam, walau pun ia bukanlah seorang penjahat kecil yang suka melakukan segala perbuatan jahat yang tidak berarti. Kalau ia melakukan sesuatu kejahatan, maka kejahatan besar dan hebat sekali. Dan kau sungguh boleh dibilang lebih-lebih beruntung lagi, oleh karena telah tertolong dan bahkan diterima menjadi murid oleh seorang kakek yang mengaku bernama Bu Pun Su atau Tiada Kepandaian itu. Tahukah kau siapa adanya kakek itu? Dia adalah Su-siok-couw-ku (Kakek Paman Guru) sendiri!”
Cin Hai sangat terkejut mendengar ini. “Astaga! Jembel tua itu adalah Susiok-couw-mu? Hebat, hebat dan tidak masuk akal. Kau yang berkepandaian begini tinggi hanya menjadi cucu muridnya? Kalau begitu, kepandaiannya tentu hebat sekali?”
Ang I Niocu menganggukkan kepalanya. “Memang beliau adalah Susiok-couw-ku, karena mendiang ayahku adalah murid keponakannya. Dan tentang kepandaiannya, ahhh, sukar untuk diukur sampai berapa tingginya. Kalau tidak ada Susiok-couw, maka tiga gerobak emas itu tentu telah dirampas oleh Hai Kong Hosiang atau Kanglam Sam-lojin, atau oleh beberapa orang gagah lain yang mengingini harta besar itu!”
“Tiga gerobak emas yang mana, milik siapa?” Cin Hai bertanya heran.
“Emas sisa simpanan ahala Beng yang belum terampas oleh Kaisar Boan dan berhasil dilarikan oleh beberapa orang patriot yang gagah berani, disimpan di sebelah kuil kuno di dekat kota Tiang-an, ternyata hal itu dapat diketahui oleh Pemerintah Boan yang segera berusaha merampasnya. Tapi hal ini sudah lama diketahui oleh orang-orang gagah yang masih setia pada Pemerintah Han sehingga mereka cepat-cepat mengambil harta itu dan berusaha mengungsikannya ke utara untuk dipergunakan bila mana saat pemberontakan tiba. Tetapi selain musuh-musuh dari pihak Kaisar, para patriot itu menghadapi musuh yang lebih berbahaya lagi, yaitu orang-orang kang-ouw semacam Hai Kong Hosiang dan lain-lain, karena mereka ini pun mempunyai telinga yang tajam sehingga mendengar pula tentang harta karun itu dan berusaha pula merampasnya! Karena inilah, maka mereka ini berkumpul di Tiang-an dan kebetulan sekali Hai Kong Hosiang yang pernah bermusuhan dengan Kanglam Sam-lojin berjumpa di depan Kuil Ban-hok-tong dan bertempur sebagai mana yang kau lihat itu. Sedangkan semua orang kang-ouw yang ingin merampas emas, semua ketakutan dan lari pada saat melihat Bu Pun Su yang sengaja turun gunung untuk membantu para patriot mengungsikan emas itu. Dan secara kebetutan sekali, kau dapat ditolong olehnya dan diaku sebagai muridnya, bukankah ini hal yang aneh sekali?”
“Dia orang pandai dan suka mengaku murid kepadaku apakah anehnya?”
Ang I Niocu tersenyum. “Mana kau tahu? Susiok-couw adalah orang yang adatnya sangat kukoai (ganjil) dan selama hidupnya belum pernah memiliki seorang murid pun. Menurut kata-kata Ayahku dulu, Susiok-couw benci sekali pada orang-orang yang berkepandaian silat, karena menurut beliau, kepandaian silat itu hanya mendatangkan mala petaka saja! Agaknya orang tua itu sudah pikun dan lupa bahwa dia sendiri adalah seorang di antara tokoh-tokoh yang tingkatnya paling tinggi di dunia ini! Dan sekarang secara tiba-tiba saja dia mengangkat engkau sebagai muridnya. Bukankah ini aneh sekali?”
“Tetapi aku tidak senang menjadi muridnya!” tiba-tiba Cin Hai berkata.
“He, mengapa?” Ang I Niocu bertanya.
“Entahlah, tetapi rasa hatiku, aku lebih senang belajar darimu dari pada harus belajar dari kakek jembel yang aneh adatnya itu. Bukankah kalau belajar padanya aku harus berpisah darimu?”
Ucapan ini dikatakan dengan hati jujur seorang kanak-kanak, akan tetapi Ang I Niocu mendengarkan dengan hati terharu sekali.
“Berjanjilah, Niocu, kau tak akan meninggalkan aku!” Cin Hai mendesak.
Ang I Niocu mengangguk-angguk dan berkata lirih, “Jangan kuatir, aku tidak akan pernah meninggalkan kau.”
Sebenarnya kurang pantas bagi Cin Hai untuk memanggil Ang I Niocu dengan sebutan ‘Niocu’ yang biar pun artinya ‘nona’ namun biasanya hanya dilakukan oleh seorang suami atau seorang kekasih. Akan tetapi, karena nona itu memang mempunyai gelaran Ang I Niocu, maka Cin Hai lalu menyebutnya ‘niocu’ begitu saja, karena hatinya yang jujur tidak dapat mencari lain sebutan yang lebih tepat. Sedangkan Ang I Niocu juga tidak peduli akan sebutan ini.
Ketika Cin Hai yang pernah mendengar dari Kanglam Sam-lojin tentang Giok-gan Kui-bo Si Biang Iblis Mata lntan yang pernah dilihatnya ketika bertempur melawan seorang yang berpakaian sasterawan, mengajukan pertanyaan kepada Ang I Niocu.
Kemudian Gadis Baju Merah itu menjawab, “Kanglam Sam-lojin berkata benar. Memang dia itu adalah cici-ku, yaitu Suci (Kakak Seperguruan), karena dia adalah murid Ayahku.”
Tetapi Cin Hai juga tidak mendesak lagi karena anak ini selalu kuatir kalau-kalau hati Ang I Niocu akan menjadi sedih. Dari pandang matanya yang amat tajam, anak yang berusia paling banyak sepuluh tahun ini dapat melihat keadaan orang dan seakan-akan ia dapat membaca isi hati gadis yang gagah perkasa itu!
Demikanlah, Cin Hai diajak merantau ke selatan sampai ke daerah Lam-hu yang panas. Ketika mereka memasuki kota Nam-tin, maka dua tahun sudah berlalu semenjak Cin Hai ikut Ang I Niocu merantau.
Anak ini sekarang tidak gundul lagi, rambutnya tumbuh dengan subur, tebal dan hitam sekali. Keningnya lebar dan tubuhnya makin tegap dan tinggi. Tadinya memang Cin Hai tidak berniat memelihara rambut, sebab setiap kali rambutnya sudah agak panjang, selalu timbul lagi kudis di kulit kepala.
Akan tetapi ketika ia hendak mencukur rambutnya, Ang I Niocu melarangnya.
“Kau bukan seorang hwesio, kenapa harus mencukur rambutmu?” tanya dara baju merah itu.
“Siapa yang tidak suka memelihara rambut yang hitam dan panjang? Aku pun tidak suka menjadi hwesio kecil, tapi apa daya, setiap kali rambutku memanjang, timbullah penyakit kudis yang gatal sekali di kepalaku!”
Dengan tertawa geli Ang I Niocu berkata, “Coba kau pelihara rambutmu baik-baik, kau cuci setiap hari sampai bersih, tentu penyakit gatal itu lenyap!”
Dan benar saja, setelah mendapat perawatan Ang I Niocu yang setiap hari menyikat kulit kepala Cin Hai dengan air panas sampai bersih, penyakit gatal itu tidak mau timbul lagi! Tentu saja Cin Hai menjadi girang sekali dan ia lalu memelihara rambutnya yang tumbuh subur dan hitam.
Juga Ang I Niocu mencarikan pakaian untuk Cin Hai, sebuah celana putih dan sepotong baju biru. Setelah mengenakan baju biru dan memelihara rambut, maka Cin Hai tampak cakap dan tampan sekali, hanya sepasang matanya yang mengeluarkan sinar kejujuran itu membuat mukanya selalu nampak bodoh!
Selanjutnya baca
PENDEKAR BODOH : JILID-03