Si Bangau Merah Jilid 11
"Suhu, bagaimana keadaan Suhu?" pemuda itu bersila di dekat tubuh yang tergolek di atas lantai tanah keras dan dia meletakkan telapak tangan kirinya di atas dada itu.
Kakek itu menghela napas panjang. "Kini telah tiba bagiku saat terbebas dari segala penderitaan hidup. Tidak ada obat di seluruh dunia ini yang akan dapat memperpanjang usia manusia yang sudah tiba di garis akhirnya."
"Tapi, Suhu...!"
"Hushhh! Tidak senangkah hatimu melihat gurumu, satu-satunya orang di dunia ini yang mencintamu, sekarang terbebas dari hukuman yang membuat hidupnya amat sengsara ini? Inginkah engkau melihat hukuman dan siksaan terhadap gurumu diperpanjang lebih lama lagi?"
Pemuda itu menunduk. Dia seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang bertubuh sedang namun tegap. Wajahnya lonjong dengan dagu meruncing dan berlekuk, alisnya tebal berbentuk golok, dahinya lebar, hidung mancung dan mulutnya membayangkan keramahan dan kelembutan meski dagu yang berlekuk itu membayangkan ketabahan tanpa batas,
Pakaiannya sederhana seperti pakaian petani namun bersih, dan ikat pinggang yang diikatkan kuat-kuat itu memperlihatkan bentuk pinggang yang ramping. Tubuhnya padat walau tidak memperlihatkan kekuatan otot. Rambutnya hitam dan panjang, diikat secara sederhana saja dan dibiarkan tergantung di belakang punggung.
Dilihat sepintas lalu, dia seorang pemuda biasa saja, seperti seorang di antara ribuan pemuda seperti dia di perkampungan, pemuda petani atau pemuda yang bekerja kasar. Bukan seorang pemuda hartawan atau pemuda bangsawan, apa lagi terpelajar. Tetapi kalau orang melihat dengan perhatian, akan nampak bahwa sinar matanya mencorong namun lembut, dan dalam setiap gerak-geriknya terdapat ketenangan dan kemantapan yang mengagumkan.
Kalau pemuda itu nampak seperti pemuda dusun biasa, kakek yang rebah telentang itu sama sekali tidak dapat dibilang seperti kakek biasa, bahkan juga tidak seperti manusia biasa pada umumnya. Kakek itu hanya terdiri dari kepala, leher dan badan saja. Tanpa kaki tanpa tangan! Rambutnya yang putih panjang itu lebih panjang dari badannya dan kini menyelimutinya seperti sehelai selimut kapas.
Mereka berdua pun bukan berada di sebuah pondok atau rumah, melainkan berada di dasar sumur! Pemuda itu bukan lain adalah Yo Han, sedangkan kakek buntung kaki dan lengannya itu adalah kakek Ciu Lam Hok, kakek sakti dalam sumur yang menjadi guru terakhir Yo Han.
Pada waktu pertama kali memasuki sumur di dalam goa di sebelah belakang sarang Thian-li-pang di mana Thian-te Tok-ong, tokoh besar Thian-li-pang bertapa, Yo Han berusia lima belas tahun. Kini dia telah berusia dua puluh tahun. Ini berarti bahwa dia telah tinggal di dalam sumur itu selama lima tahun.
Setiap hari dia digembleng ilmu yang aneh-aneh oleh kakek yang buntung lengan dan kakinya itu sehingga tanpa disadarinya sendiri, Yo Han telah menguasai ilmu yang amat hebat. Dia kini sudah menyadari bahwa dia dilatih ilmu silat yang amat hebat.
Karena dia mulai dapat melihat bahwa baik buruknya ilmu tergantung dari manusia yang menggunakannya, maka dia tidak lagi menolak dan bahkan mempelajari ilmu-ilmu yang diajarkan gurunya dengan tekun dan penuh semangat. Dia hanya akan menggunakan ilmu-ilmu itu demi kebaikan, bukan untuk mencelakai orang.
Dalam waktu empat tahun, Yo Han sudah menguasai ilmu-ilmu yang menjadi dasar, bahkan kini dia dapat melihat betapa apa yang tadinya dianggap ilmu ‘tari’ dan ‘senam’ yang dipelajarinya dari Thian-te Tok-ong, sesungguhnya adalah ilmu silat yang hebat. Dan di bawah bimbingan kakek buntung, semua ilmu itu telah dapat dilatihnya dan di perdalam sehingga matang.
Lalu, satu tahun yang lalu, selama setahun penuh kakek aneh itu menurunkan ilmunya yang dikatakan sebagai ilmu segala ilmu silat tinggi, diberi nama Bu-kek Hoat-keng yang pernah diperebutkan oleh seluruh tokoh dunia persilatan.
"Bahkan karena ilmu ini pulalah aku disiksa oleh dua orang Suheng-ku. Mereka begitu menginginkan ilmu Bu-kek Hoat-keng ini sehingga mereka tega untuk membuntungi kaki tanganku, dan menyiksaku di dalam sumur. Kini, ilmu itu telah kuwariskan kepadamu Yo Han. Hatiku lega sudah dan kuharap, dengan ilmu ini engkau akan memulihkan nama baik Thian-li-pang, bisa mencuci bersih Thian-li-pang dari unsur-unsur jahat, menjadikan perkumpulan itu sebagai perkumpulan para pahlawan yang berjuang demi tanah air dan bangsa."
Demikianlah katanya setelah dia mengajarkan seluruh ilmu itu kepada Yo Han. Selama setahun kemudian barulah Yo Han dapat menguasai ilmu itu dengan baik, hanya tinggal mematangkannya melalui latihan saja.
Dan semenjak menurunkan ilmu itu kesehatan kakek Ciu Lam Hok mundur sekali. Dia jatuh sakit dan biar pun Yo Han sudah membantunya dengan penggunaan ilmu Bu-kek Hoat-keng yang dapat pula dipergunakan untuk melancarkan jalan darah dengan cara menyalurkan tenaga sakti dari ilmu itu yang amat dahsyat itu. Namun karena usia tua ditambah penderitaan dari siksaan yang luar biasa, kakek itu tetap saja menjadi lemah dan sakit-sakitan.
Penderitaan yang ditanggung kakek Ciu Lam Hok memang luar biasa. Kalau bukan dia yang sudah menguasai ilmu Bu-kek Hoat-keng, kiranya tidak mungkin dapat bertahan sampai sepuluh tahun lebih di dalam sumur itu!
Demikianlah, pada hari itu, Yo Han merasa bersedih melihat keadaan gurunya semakin payah. Ketika dia menempelkan telapak tangannya di dada gurunya, tahulah dia bahwa jantung gurunya bekerja lemah sekali. Sungguh amat mengherankan.
Ketika gurunya melatih Bu-kek Hoat-keng, gurunya demikian penuh semangat dan tidak mengenal lelah. Kini, seolah-olah tenaganya habis setelah setahun penuh melatih ilmu itu. Ketika dia mendengar ucapan gurunya yang terakhir dia pun menunduk.....
"Suhu memang berkata benar. Akan tetapi, Suhu, hidup kita ini sudah dicengkeram dan dipengaruhi oleh peradaban serta tata susila yang sudah diterima oleh semua orang. Bagaimana mungkin teecu mengemukakan kata hati melalui mulut, mengatakan bahwa teecu akan lebih senang melihat Suhu terbebas dari siksaan melalui kematian? Seluruh dunia akan mengutuk teecu kalau teecu berani mengatakan hal seperti itu."
Mendengar ini, kakek itu masih dapat tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, sejak dahulu aku sudah tahu bahwa engkau hebat, muridku. Matamu yang ketiga selalu terbuka sehingga engkau lebih awas dan lebih waspada dari pada orang biasa. Engkau melihat segalanya seolah menembus dan engkau dapat melihat intinya. Engkau melihat segala kepalsuan yang dilakukan manusia! Ha-ha-ha, dibandingkan engkau, aku ini bukan apa-apa. Kalau engkau sudah tahu, aku akan mati dengan mata terpejam dan tidak ada rasa penasaran apa pun. Ya, Tuhan, hamba telah siap!" kata kakek itu dan kembali dia tertawa bergelak. Akan tetapi, suara ketawanya itu makin lama semakin surut dan akhirnya berhenti sama sekali. Kedua matanya terpejam.
Yo Han cepat meraba dada gurunya kembali, dan tahulah dia bahwa tubuh itu sudah menjadi mayat. Dia menunduk dengan sikap amat hormat untuk menghormati jenazah suhu-nya. Dia tidak menangis, tak perlu berpura-pura karena di situ tidak ada orang lain. Juga karena suhu-nya ini, walau pun kaki tangannya buntung, namun kewaspadaannya tidak buntung dan suhu-nya tahu bahwa andai kata dia menangisi kematian suhu-nya, maka tangisnya itu palsu.
Tangisnya itu bukan bersedih untuk suhu-nya, melainkan bersedih untuk dirinya sendiri, karena ditinggalkan, karena kehilangan. Bahkan mungkin tangisnya terdorong perasaan agar tidak menganggap diri sendiri keterlaluan, tak mengenal budi!
Dia tidak menangis karena memang tak ada hal yang perlu ditangisi, tidak ada hal yang perlu disedihkan. Bahkan kalau dia mau jujur, ada perasaan lega dalam hatinya bahwa gurunya, yang diam-diam amat dikasihinya itu, kini bebas dari penderitaan. Selain itu, dengan meninggalnya kakek itu, berarti dia bebas pula untuk meninggalkan sumur itu!
Gurunya pernah berpesan agar kalau dia mati, jenazahnya supaya diletakkan di lantai kamar yang kecil dan yang terlindung atasnya, merupakan goa batu di dalam sumur itu. "Engkau tahu, tempat itu sangat kusukai. Setiap kali melakukan siu-lian (semedhi) aku selalu menggunakan kamar itu. Biarlah kelak aku beristirahat di kamar itu selamanya, maksudku, badanku," demikian pesannya.
Dengan hati dipenuhi rasa iba terhadap kakek yang meninggal di tempat terasing itu, tanpa ada yang berkabung, tanpa disembahyangi, tanpa dijenguk keluarga mau pun kawan, Yo Han memondong tubuh tanpa kaki tanpa lengan itu dan membawanya ke dalam goa, lalu merebahkannya di dalam goa itu.
Kemudian dia mengumpulkan semua bahan yang masih ada, roti dan daging kering, dan beberapa potong pakaian. Dia tidak lupa mengambil beberapa potong batu emas dari dinding sumur dan memasukkan semua itu di dalam buntalan. Kemudian, dia pun mengikatkan buntalan di punggungnya, dan memasuki goa, berlutut di depan jenazah gurunya.
"Suhu, sesuai dengan pesan terakhir Suhu, teecu membaringkan jenazah Suhu di sini, dan sesuai pula dengan perintah Suhu, teecu segera meninggalkan tempat ini untuk melaksanakan pesan Suhu. Suhu, untuk terakhir kalinya, teecu menghaturkan terima kasih melalui ucapan yang keluar dari sanubari teecu."
Dia memberi hormat delapan kali di dekat jenazah gurunya, kemudian dia keluar dari dalam goa kecil. Sekali lagi dia meneliti di sepanjang dinding sumur dan terowongan. Setelah yakin bahwa tidak ada sisa coretan dan lukisan yang dibuat suhu-nya dengan sepotong besi yang digigitnya, untuk menggambarkan pelajaran Bu-kek Hoat-keng yang amat sulit, baru Yo Han menuju ke dasar sumur dan merayap naik.
Dengan tingkat kepandaiannya yang sekarang, mudah saja dia merayap naik, seperti orang mendaki tangga saja. Dengan cepat tibalah dia di dalam goa di atas tanah, goa yang menjadi jalan masuk ke sumur itu. Dari dalam goa yang tertutup semak-semak yang rimbun dan penuh duri itu, lapat-lapat dia mendengar suara orang. Maka, dia pun menanti di goa itu, duduk dengan santai sambil melamun. Dia mengingat kembali pesan terakhir dari gurunya.
Pertama-tama, dia sudah dipesan untuk pergi mencari keluarga gurunya. Menurut kakek Ciu Lam Hok, dia berasal dari keluarga kerajaan! Ayahnya seorang panglima yang dulu membantu perkembangan kerajaan baru Mancu. Karena dia gagah perkasa dan berjasa besar, maka dia menerima hadiah yang besar, diangkat menjadi panglima, bahkan lalu dinikahkan dengan seorang puteri adik Kaisar Kang Hsi.
Akan tetapi karena dia melihat bangsa Mancu yang tadinya berjanji akan memperbaiki nasib rakyat melanggar janji, banyak di antara pejabatnya yang bahkan menindas rakyat dan menghina rakyat Han, maka Ciu Wan-gwe, Jenderal Ciu Kwan menjadi marah dan memberanikan diri untuk mengajukan protes keras. Melihat ini, Kaisar marah dan dia pun ditangkap, dituduh memberontak dan dihukum mati.
Ciu Kwan yang beristeri seorang puteri Mancu itu mempunyai dua orang anak. Yang pertama adalah Ciu Lam Hok, sedangkan yang ke dua seorang wanita bersama Ciu Ceng. Sejak muda, Ciu Lam Hok mewarisi watak ayahnya, yaitu berdarah pendekar dan pembela rakyat.
Meski pun ibunya dan dia bersama adik perempuannya diampuni Kaisar dan tidak ikut dihukum, tetapi diam-diam Ciu Lam Hok mendendam kepada Kerajaan Mancu. Dia pun pergi meninggalkan ibunya yang masih tinggal di istana, karena puteri adik Kaisar itu diampuni dan masih dianggap keluarga istana. Ciu Lam Hok sangat mencinta adiknya, akan tetapi terpaksa dia meninggalkan ibu dan adiknya karena dia tidak sudi tinggal di dalam istana, bahkan dia menaruh dendam atas kematian ayahnya yang dianggapnya sebagai seorang pahlawan besar.
Demikianlah, setelah puluhan tahun lamanya mempelajari ilmu silat dengan amat tekun, bersama dua orang suheng-nya Ciu Lam Hok mendirikan Thian-li-pang yang bertujuan untuk menentang kekuasaan pemerintah penjajah Mancu. Akan tetapi, seperti pernah diceritakan oleh kakek sakti itu kepada muridnya, dua orang suheng-nya setelah bergaul dengan orang-orang Pek-lian-kauw yang menamakan diri mereka pejuang pula, mulai menyeleweng ke jalan sesat. Dia menentang mereka sehingga akhirnya dia disiksa dan menderita selama bertahun-tahun di dalam sumur.
Sering kali kakek buntung itu mengenang keluarganya. Dia merasa rindu sekali kepada ibunya, terutama sekali adik perempuannya karena dia dapat menduga bahwa ibunya tentu telah amat tua dan telah meninggal dunia. Karena perasaan rindunya ini, maka dia membebankan tugas di pundak muridnya supaya sesudah muridnya keluar dari dalam sumur, pertama-tama Yo Han harus mencari adiknya yang bernama Ciu Ceng, seorang puteri di istana dan mengenal keluarga adiknya itu.
Bahkan dia meninggalkan pesan bahwa Yo Han harus melakukan sesuatu yang baik bagi keluarga Ciu Ceng sebagai tanda kasih sayang kakek Ciu kepada adiknya. Kalau perlu, Yo Han harus melindungi keluarga Ciu Ceng dengan taruhan nyawa!
"Pesanku ini merupakan tanda kasih sayangku yang terakhir buat adikku, yaitu saudara kandungku yang tunggal itu, maka aku sungguh mengharapkan agar engkau akan bisa melaksanakannya dengan baik, Yo Han," demikian kakek itu menutup pesannya yang pertama.
Pesan ke dua dari gurunya adalah bahwa setelah dia menyelesaikan tugas pertama, dia harus pergi mencari Mutiara Hitam, yaitu sebuah pusaka berupa mutiara yang berwarna hitam dan yang mempunyai khasiat yang amat hebat. Mutiara itu pernah dimiliki kakek Ciu, akan tetapi dalam perebutan dengan tokoh-tokoh dunia persilatan, benda mustika itu lenyap dan kabarnya dikuasai oleh seorang kepala suku Miao di selatan.
Yo Han mendapat tugas untuk mencari dan merampas kembali benda itu yang bukan saja sangat penting karena khasiatnya, juga hal ini untuk mengangkat kembali nama besar Ciu Lam Hok sebagai seorang tokoh besar dunia persilatan.
Ada pun pesan ke tiga dari gurunya adalah supaya dia membersihkan Thian-li-pang dari tangan-tangan kotor, kemudian mengembalikan kedudukan Thian-li-pang sebagai suatu perkumpulan orang-orang gagah yang ingin membebaskan rakyat dari tangan penjajah Mancu berdasarkan kebenaran serta keadilan, bukannya dibawa menyeleweng seperti sekarang ini.
"Aku tahu bahwa kedua suheng-ku itu menyeleweng sesudah mereka bergaul dengan orang-orang Pek-lian-kauw. Karena itulah Thian-li-pang harus dibersihkan dari pengaruh Pek-lian-kauw dan menjadi perkumpulan para pahlawan, para patriot kembali. Di antara para murid Thian-li-pang masih banyak yang bersih, hanya saja mereka takut kepada pimpinan mereka yang sudah dicengkeram pengaruh Pek-lian-kauw. Engkau bersihkan Thian-li-pang, muridku. Sesungguhnya untuk Thian-li-pang maka aku menderita seperti ini. Kalau engkau berhasil membersihkan Thian-li-pang, berarti semua penderitaanku ini tidak sia-sia."
Yo Han mengepal tinjunya. Dia harus melaksanakan pesan ini terlebih dahulu. Apa pun resikonya, dia harus dapat dan mampu membersihkan Thian-li-pang. Apa lagi kini dia memang berada di daerah Thian-li-pang, maka untuk sementara dia harus melupakan dua tugas yang lain, dan berusaha melaksanakan tugas membersihkan Thian-li-pang dari pengaruh jahat.
Setelah orang-orang Thian-li-pang yang lewat di depan goa itu pergi menjauh, dia pun menyelinap keluar dari goa. Dari balik semak-semak dia melihat betapa Thian-li-pang agaknya tengah melakukan suatu kegiatan sebab para anggotanya terlihat berbondong-bondong menuju ke pekarangan rumah induk.
Dia sudah mengenal baik tempat itu dan tahu bahwa tentu akan ada pertemuan besar di pekarangan. Hanya pada saat ada rapat besar yang melibatkan seluruh anggota, maka pertemuan itu diadakan di pekarangan yang luas di depan rumah induk. Dia pun mulai menyusup mendekat dan kemudian mengintai.
Memang benar dugaan Yo Han. Pada hari itu sedang diadakan pertemuan penting di Thian-li-pang. Semua anggota yang berada di pusat, yang jumlahnya tidak kurang dari dua ratus orang, berkumpul di pekarangan yang luas itu.
Anggota Thian-li-pang tersebar di banyak tempat, puluhan ribu orang jumlahnya, terbagi dalam cabang-cabang dan ranting-ranting. Kini yang hadir dalam rapat itu adalah ketua-ketua cabang, kepala-kepala ranting, dan para anggota di pusat.
Pertemuan itu amat penting. Selain dihadiri oleh ketuanya, yaitu Ouw Ban dan wakilnya, yaitu Lauw Kang Hui, juga dihadiri pula oleh dua orang kakek yang selama ini jarang muncul dan mereka menjadi penasehat dan pujaan para pimpinan Thian-li-pang, yaitu Ban-tok Mo-ko guru ketua dan wakil ketua, serta suheng-nya, yaitu Thian-te Tok-ong yang selama bertahun-tahun bersembunyi dan bertapa di dalam goa. Kalau dua orang ini sampai muncul di dalam rapat itu, tentu rapat itu istimewa sekali. Dan hadir pula di situ dua orang tokoh Pek-lian-kauw sebagai tamu undangan, yaitu Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu, dua orang yang sudah lama bekerja sama dengan Thian-li-pang bersama Ang-I Moli.
Sesudah semua orang hadir lengkap, Ouw Ban sebagai Ketua Thian-li-pang bercerita secara singkat akan gagalnya usaha mereka untuk membunuh para pengeran di istana. Bahkan dalam usaha itu, puteranya, Ouw Cun Ki, dan Ang-I Moli tokoh Pek-lian-kauw, ditangkap dan dihukum mati bersama banyak anggota Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw yang menyusup sebagai anak buah Ouw Cun Ki.
"Kita tidak boleh membiarkan saja kejadian itu!" Ouw Ban berseru dengan suara keras karena hatinya diliputi kemarahan dan kedukaan akibat kematian puteranya. "Kita akan mengumpulkan semua kekuatan dan kita serbu istana, kita bunuh Kaisar serta seluruh keluarganya!"
Ucapan yang penuh semangat itu disambut sorakan gegap gempita oleh para anggota Thian-li-pang. Juga dua orang tosu Pek-lian-kauw bertepuk tangan gembira dan setelah sorakan itu mereda.
Kwan Thian-cu yang bertubuh gendut itu tertawa, "Ha-ha-ha, Pangcu dari Thian-li-pang sungguh gagah sekali! Memang pendapatnya itu tepat sekali. Perjuangan kita tak akan berhasil sebelum kita membunuh Kaisar Kian Liong dan para pangeran. Kalau mereka terbunuh, tentu pemerintahan mereka akan kacau balau dan kita gunakan kesempatan itu untuk mengerahkan pasukan menghancurkan mereka!"
Kembali ucapan ini disambut sorakan. "Hancurkan penjajah Mancu!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Diam...!"
Semua orang terdiam, lalu memandang orang yang mengeluarkan bentakan nyaring itu. Yang membentak adalah Ban-tok Mo-ko. Meski pun kakek yang usianya sudah delapan puluh tiga tahun ini biasanya halus dan ramah, akan tetapi bentakannya mengandung getaran yang amat kuat sehingga semua orang langsung terdiam dan suasana menjadi hening sehingga suaranya terdengar cukup jelas walau pun suara itu bernada lembut.
"Ouw Ban," berkata Ban-tok Mo-ko dengan suara yang berpengaruh. "Sebelum engkau mengemukakan usul baru, sebaiknya kalau kita membicarakan mengenai kedudukanmu sebagai ketua. Tahukah engkau kenapa kali ini aku sampai ikut menghadiri pertemuan ini, bahkan Suheng Thian-te Tok-ong juga keluar dari goanya?"
Ouw Ban memandang wajah gurunya dengan alis yang berkerut dan sinar mata penuh pertanyaan. "Teecu tidak mengerti apa yang Suhu maksudkan."
"Ouw Ban, apakah engkau masih juga belum menyadari kesalahanmu? Sebagai ketua engkau tidak becus! Semua langkah yang kau ambil sudah gagal, bahkan merugikan Thian-li-pang yang telah kehilangan banyak murid. Dan sekarang engkau malah hendak membunuh lebih banyak murid Thian-li-pang lagi dengan menyuruh mereka menyerbu istana?"
Ouw Ban nampak penasaran sekali. "Akan tetapi, Suhu. Semua ini teecu lakukan demi perjuangan!"
"Hemmm, perjuangan bukan sekedar menuruti dendam dan kemarahan. Harus dengan perhitungan. Akan tetapi sepak terjangmu amat ngawur. Sejak engkau menyelundupkan Ciang Sun ke istana, menghubungi Siang Hong-houw, engkau telah banyak melakukan kesalahan yang amat merugikan perjuangan kita. Dan sekarang engkau akan menyuruh banyak murid bunuh diri dengan menyerbu istana yang terjaga kuat sekali? Ouw Ban, karena engkau muridku, aku menjadi sangat malu. Engkau tidak patut menjadi Ketua Thian-li-pang!"
Wajah Ouw Ban menjadi merah. Ia sedang berduka karena kematian putera tunggalnya, karena kegagalan usahanya membunuh para pangeran, dan sekarang gurunya bahkan mamarahinya di depan semua ketua cabang dan kepala ranting, bahkan di depan dua orang tokoh Pek-lian-kauw!
Dia segera ingat bahwa dialah Ketua Thian-li-pang sehingga di dalam perkumpulan itu, dia orang pertama yang paling tinggi kedudukannya, bahkan lebih tinggi dari kedudukan gurunya dan supek-nya yang hanya merupakan penasehat!
"Suhu lupa bahwa akulah Ketua Thian-li-pang!" katanya. Suaranya kini kasar dan penuh kemarahan. "Aku berhak memutuskan apa yang harus dilakukan oleh Thian-li-pang, dan aku sudah mengambil keputusan untuk menyerbu istana, membunuh Kaisar Kian Liong! Tidak ada seorang pun yang boleh menghalangi rencanaku ini!"
Semua orang menjadi terkejut dan memandang dengan hati tegang melihat timbulnya pertentangan antara guru dan murid ini. Ouw Ban memandang kepada gurunya dengan mata bersinar-sinar.
“Ouw Ban, engkau hanya menuruti perasaan hatimu yang penuh dendam dan sakit hati karena kematian anakmu! Engkau sudah bertindak demi kepentingan diri pribadi, bukan lagi untuk kepentingan Thian-li-pang!"
"Ha-ha-ha-ha, Sute Ban-tok Mo-ko, muridmu ini memang sudah tidak patut lagi menjadi Ketua Thian-li-pang. Singkirkan saja dia dan kita ganti dengan murid lain!" kata Thian-te Tok-ong.
Mendengar ini, Ouw Ban menjadi semakin marah. Biar pun dia menghormati suhu dan supek-nya, tetapi sekarang dia adalah seorang ayah yang mendendam karena kematian puteranya.
Dia memang maklum akan kelihaian suhu dan supek-nya, dan takut kepada mereka. Tapi sekarang, melihat keinginannya membalas dendam kematian puteranya dihalangi, bahkan kedudukannya sebagai Ketua Thian-li-pang akan digeser, dia pun tak mengenal takut lagi. Apa pula suhu dan supek-nya adalah dua orang kakek yang sudah tua renta, betapa pun lihainya, tentu sekarang sudah lemah, pikirnya. Bangkitlah dia dari tempat duduknya dan dia menghadapi suhu dan supek-nya.
"Dahulu aku diangkat menjadi Ketua Thian-li-pang oleh semua ketua cabang dan kepala ranting, juga oleh semua anggota setelah aku menunjukkan bahwa akulah yang paling kuat dan paling tepat menjadi ketua. Kalau sekarang ada yang ingin mencopot aku dari kedudukan ketua, siapa pun juga dia, harus dapat mengalahkan dan merobohkan aku!"
"Heh-heh-heh-heh, muridmu ini memang bejat, Sute! Biar aku yang menghajarnya!"
Wajah Ban-tok Mo-ko menjadi pucat, lalu merah sekali. Dia adalah seorang datuk yang biasanya bersikap halus dan ramah, akan tetapi saat ini dia benar-benar sangat marah. Dia melangkah maju menghadapi muridnya dan berkata kepada suheng-nya,
"Suheng, dia muridku, maka akulah yang bertanggung jawab atas penyelewengannya. Aku yang harus menghajarnya. Ouw Ban, engkau murid murtad, cepatlah berlutut dan menerima hukuman!"
Akan tetapi Ouw Ban yang sudah marah sekali itu tidak mau berlutut, bahkan menatap wajah suhu-nya dengan berani. Suhu-nya sudah berusia delapan puluh tiga, tubuhnya sudah nampak kurus dan lemah sehingga dia sama sekali tidak merasa gentar. Apa lagi dia tahu bahwa hampir seluruh ilmu yang dikuasai suhu-nya sudah dipelajarinya.
"Memang, aku adalah murid Suhu, akan tetapi di Thian-li-pang, bahkan Suhu pun harus tunduk terhadap perintah Ketua Thian-li-pang!"
"Ouw Ban, berani engkau menentang dan melawan gurumu?!" sekali lagi Ban-tok Mo-ko membentak.
"Bila terpaksa, siapa pun juga akan kulawan. Aku harus mempertahankan kedudukanku sebagai ketua dengan taruhan nyawa!"
"Kalau begitu, engkau akan mati di tanganku sendiri, Ouw Ban!" kata kakek itu.
Tiba-tiba dia menyerang dengan tamparan tangan kirinya. Ouw Ban memang telah siap siaga, maka dia pun menangkis dan langsung balas menyerang pula!
Semua orang memandang dengan hati tegang. Tiada seorang pun berani mencampuri atau melerai karena kedua orang itu adalah guru dan murid, bahkan Ketua Thian-li-pang dan seorang tokoh tua perkumpulan itu. Namun, jelas nampak bahwa usia tua membuat Ban-tok Mo-ko kewalahan menghadapi muridnya.
Muridnya itu pun sudah tua. Usia Ouw Ban sudah tujuh puluh tiga, akan tetapi gurunya tetap sepuluh tahun lebih tua. Dan kalau Ouw Ban masih giat bergerak dan berlatih silat, Ban-tok Mo-ko lebih banyak bersemedhi dan tak pernah berlatih. Oleh karena itu, meski dalam hal tenaga sinkang Ban-tok Mo-ko masih kuat, tetapi dia kehilangan kegesitannya dan kalah cepat oleh muridnya sehingga tak lama kemudian dia terdesak oleh muridnya itu!
Pada saat untuk kesekian kalinya Ban-tok Mo-ko meloncat ke belakang menghindar dari desakan muridnya, Ouw Ban mengeluarkan bentakan nyaring. Dua tangannya berubah merah dan dia pun memukul ke depan dengan dorongan kedua tangan terbuka. Itulah ilmu pukulan Ang-tok-ciang (Tangan Racun Merah) yang amat dahsyat!
Melihat hal ini, Ban-tok Mo-ko juga mengerahkan sinkang-nya dan menggunakan ilmu pukulan yang sama, menyambut dorongan, kedua tangan itu.
"Plakkk!"
Dua pasang tangan itu saling bertemu dan telapak tangan mereka lalu saling melekat. Keduanya mengerahkan tenaga sinkang, saling dorong dan sebentar saja nampak uap mengepul dari kepala mereka, tanda bahwa mereka telah mengerahkan seluruh tenaga sinkang mereka. Suasana menjadi semakin tegang karena semua orang tahu bahwa guru dan murid ini sedang mati-matian mengadu sinkang yang berarti mereka mengadu nyawa. Yang kalah kuat akan roboh den tewas!
Akan tetapi tiba-tiba Thian-te Tok-ong bergerak ke depan dan tangan kirinya menepuk punggung sute-nya. "Murid macam itu tidak perlu diampuni lagi!"
Begitu punggung Ban-tok Mo-ko kena ditepuk tangan kiri Thian-te Tok-ong, serangkum tenaga dahsyat membantu kedua telapak tangan Ban-tok Mo-ko dan tiba-tiba saja tubuh Ouw Ban terlempar ke belakang dibarengi gerengannya dan dia pun roboh terbanting dan muntah darah, matanya mendelik dan nyawanya putus seketika!
Ban-tok Mo-ko memejamkan dua matanya, kemudian duduk bersila dan menarik napas panjang beberapa kali untuk memulihkan tenaganya. Sementara itu, Thian-te Tok-ong tertawa dan berkata kepada para murid Thian-li-pang, "Singkirkan mayat murid murtad itu agar kita dapat bicara dengan tenang."
Beberapa orang murid maju dan mengangkat mayat Ouw Ban, lalu dibawa ke belakang. Jenazahnya akan dikubur tanpa banyak upacara lagi karena dia telah dianggap sebagai seorang murid murtad.
Ban-tok Moko lalu berkata kepada semua orang dengan suaranya yang lembut. “Para anggota Thian-li-pang, murid-murid yang setia. Oleh karena Ouw Ban telah murtad dan disingkirkan, maka sekarang yang berhak memimpin pertemuan ini adalah wakil ketua, yaitu Lauw Kang Hui. Kang Hui, kau pimpin pertemuan ini dan sebaiknya jika diadakan pemilihan ketua baru lebih dulu, baru kita akan mengambil langkah-langkah berikutnya.”
Lauw Kang Hui memberi hormat kepada suhu-nya dan supek-nya, lalu dia menghadapi semua orang.
“Saya merasa menyesal sekali dengan sikap terakhir yang diambil mendiang Suheng Ouw Ban. Hendaknya peristiwa ini bisa dijadikan contoh bagi semua murid Thian-li-pang supaya jangan ada lagi yang mementingkan urusan pribadi di atas urusan perkumpulan. Sekarang, saya persilakan saudara-saudara sekalian untuk mengajukan usul-usul bagai mana sebaiknya untuk memilih seorang ketua baru.”
Ramailah sambutan para ketua cabang dan kepala ranting. Banyak yang mengusulkan agar masing-masing kelompok besar mengajukan seorang calon ketua baru, kemudian diadakan pemilihan di antara para calon itu.
Akan tetapi, Lauw Kang Hui merasa tidak setuju. Dia mengangkat kedua tangan ke atas dan menggeleng kepalanya. “Saudara sekalian, kurasa perkumpulan kita Thian-li-pang memerlukan bimbingan orang yang berpengalaman dan berilmu tinggi. Jika diserahkan kepada yang muda-muda, aku khawatir akan terjadi penyelewengan yang kelak akan melemahkan perkumpulan kita. Maka, aku mengusulkan supaya pimpinan Thian-li-pang kita persembahkan saja kepada tokoh-tokoh utama yang kita junjung tinggi, yaitu Supek Thian-te Tok-ong atau Suhu Ban-tok Mo-ko!”
Semua orang yang berada di sana menyambut usul ini dengan sorak-sorai gembira. Memang, mereka akan merasa lega kalau yang memimpin langsung adalah dua orang kakek yang sakti itu. Hal itu akan membuat mereka berbesar hati.
Dua orang kakek itu saling pandang dan mereka menggeleng kepala. Ban-tok Mo-ko dapat membaca isi hati suheng-nya maka dia pun bangkit dan berkata, “Kami berdua adalah orang-orang tua renta yang sudah tidak ada semangat lagi untuk merepotkan diri mengurus hal-hal yang memusingkan. Tugas kami hanya mengawasi agar semua murid melakukan tugasnya dengan baik. Kami berdua tidak dapat menerima kedudukan ketua karena kami merasa sudah terlalu tua. Oleh karena itu, kami mempunyai usul supaya jabatan ketua dipegang oleh murid kami Lauw Kang Hui. Dia boleh memilih wakilnya dan para pembantunya. Apakah semua setuju?”
Tepuk tangan dan sorakan menyambut usul ini sebagai tanda bahwa sebagian besar dari para anggota Thian-li-pang bisa menyetujui pengangkatan Lauw Kang Hui sebagai ketua. Selama ini, sebagai wakil ketua, Lauw Kang Hui telah menunjukkan jasa-jasanya, bahkan untuk urusan luar yang mengandung bahaya, dia jauh lebih aktip dibandingkan suheng-nya Ouw Ban yang telah tewas itu.
Akan tetapi, tiba-tiba semua orang merasa heran melihat Lauw Kang Hui mengangkat kedua tangannya ke atas, memberi isyarat kepada semua orang untuk tenang. Setelah semua orang menjadi tenang kembali, Lauw Kang Hui kemudian berkata dengan suara lantang, sambil memberi hormat lalu berdiri menghadap ke arah suhu dan supek-nya.
“Harap Suhu dan Supek suka memaafkan teecu. Semua yang akan teecu katakan ini bukan berarti bahwa teecu tidak mentaati perintah Jiwi (Anda Berdua), melainkan untuk mengeluarkan semua perasaan penasaran yang telah lama menekan hati teecu.”
“Lauw Kang Hui, dalam pertemuan besar seperti ini, memang sebaiknya jika kita bicara secara jujur, mengeluarkan semua isi hati kita. Bicaralah!” kata Ban-tok Mo-ko.
Lauw Kang Hui lalu menghadapi semua anggota yang mencurahkan seluruh perhatian kepadanya.
“Saudara-saudara sekalian. Terima kasih bahwa Cuwi (Anda Sekalian) telah menerima saya sebagai ketua baru. Akan tetapi untuk menerima kedudukan itu, saya mempunyai satu syarat, yaitu agar semua sepak terjang Thian-li-pang kita tentukan sendiri. Selama ini, sepak terjang Thian-li-pang seolah-olah sudah dikendalikan oleh Pek-lian-kauw, dan ternyata banyak kegagalan yang kita alami. Oleh karena itu, saya hanya mau memimpin Thian-li-pang sebagai ketua kalau mulai saat ini juga kerja sama dengan Pek-lian-kauw ditiadakan. Biarlah Thian-li-pang mengenal Pek-lian-kauw sebagai rekan seperjuangan melawan penjajah Mancu, akan tetapi kita mengambil jalan dan cara masing-masing, tidak saling mencampuri.”
Kini terjadi perpecahan di antara para murid Thian-li-pang. Ada sebagian yang setuju dengan pendapat Lauw Kang Hui, ada pula yang tidak setuju. Mereka yang tidak setuju itu tentu saja para murid yang sudah menikmati keuntungan akibat kerja sama mereka dengan Pek-lian-kauw. Ada para anggota yang menganggap bahwa kerja sama dengan Pek-lian-kauw itu baik, ada pula yang sebaliknya.
Tentu saja pendapat baik atau buruk ini timbul karena adanya penilaian, dan penilaian selalu berdasarkan kepentingan diri sendiri. Apa saja yang menguntungkan diri sendiri akan dinilai baik, sedangkan yang merugikan akan dinilai buruk. Oleh karena itu maka timbul pertentangan, yang diuntungkan menganggap baik dan yang tidak diuntungkan menganggap buruk.
Dua orang tokoh dari Pek-lian-kauw yang hadir sebagai tamu tentu saja saling pandang dengan alis berkerut saat mendengar ucapan calon ketua baru itu. Kwan Thian-cu yang gendut dan pandai bicara segera bangkit berdiri dan suaranya terdengar lantang.
“Siancai...! Pendapat dari Lauw-pangcu (Ketua Lauw) sungguh membuat kami merasa penasaran sekali! Bukankah selama ini Pek-lian-kauw merupakan kawan seperjuangan yang setia? Ingat, kami pun sudah mengorbankan banyak anak buah dalam membantu Thian-li-pang. Bahkan sekarang kami pun siap membantu apa bila Thian-li-pang hendak menyerbu istana dan membunuh Kaisar Mancu! Mengapa tiba-tiba saja Lauw-pangcu bisa mengatakan bahwa pihak kami hanya menggagalkan sepak terjang Thian-li-pang? Sungguh penasaran sekali dan kami tidak dapat menerimanya.”
“Hemm, Kwan Thian-cu Totiang (Pendeta) harap tenang dan suka mempertimbangkan ucapan kami. Selama ini, mendiang Suheng Ouw Ban selalu mendengarkan nasehat pihak Pek-lian-kauw, bahkan kegagalan yang baru saja kami alami juga atas prakarsa Pek-lian-kauw. Kami hanya minta agar Pek-lian-kauw tidak mencampuri urusan kami dan mengenai perjuangan, biarlah kita mengambil jalan dan cara masing-masing tanpa saling mencampuri. Oleh karena itu, mengingat bahwa pertemuan ini adalah pertemuan pribadi perkumpulan kami, maka dengan hormat kami harap supaya jiwi Totiang (Anda Berdua Pendeta) suka meninggalkan pertemuan ini.”
Dua orang pendeta dari Pek-lian-kauw itu menjadi marah bukan main. Mereka baru saja kehilangan Ang-I Moli yang merupakan andalan mereka. Wanita itu telah dihukum mati sebagai akibat kegagalan kerja sama mereka ketika hendak membunuh para pangeran. Dan sekarang, mereka diusir begitu saja oleh ketua baru Thian-li-pang.
“Sungguh keterlaluan sekali! Thian-li-pang tak mengenal budi,” teriak Kui Thian-cu yang bertubuh kecil kurus dan pendek. Mukanya yang keriputan itu nampak semakin tua.
Banyak anggota Thian-li-pang yang mendukung kerja sama dengan Pek-lian-kauw juga nampak gelisah dan penasaran sekali sehingga nampak sikap permusuhan antara dua kelompok yang mendukung sikap Lauw Kang Hui dengan mereka yang menentang.
“Hemmm, agaknya ketua yang baru sekarang hendak membawa Thian-li-pang menjadi pengkhianat, ingin membantu pemerintah penjajah untuk memusuhi Pek-lian-kauw yang selamanya anti penjajah?” teriak pula Kwan Thian-cu, sikapnya sudah amat menantang.
“Jiwi Totiang! Kalian hanyalah tamu, apakah hendak menantang tuan rumah?!” bentak Lauw Kang Hui yang sudah marah.
Agaknya perkelahian tak akan dapat dihindarkan lagi, sedangkan dua orang kakek sakti dari Thian-li-pang yang masih duduk, hanya menonton saja dengan sikap tenang.
Pada saat yang gawat itu, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di antara mereka berdiri seorang pemuda yang bermata tajam mencorong dan sikapnya tenang namun lembut. Tubuhnya yang sedang tapi tegap itu mengenakan pakaian yang bersih namun sederhana. Pemuda ini bukan lain adalah Yo Han!
Agaknya, Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong masih mengenal pemuda itu, demikian pula Lauw Kang Hui. Thian-te Tok-ong terbelalak dan berseru, “Heii, bukankah engkau Yo Han...?!”
Yo Han menghampiri Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong, memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada dan membungkuk sambil berkata, “Jiwi Supek (Kedua Uwa Guru), saya Yo Han memberi hormat, dan harap maafkan karena melihat keadaan, terpaksa saya ingin ikut bicara sedikit.”
Tanpa menanti jawaban kedua orang kakek yang memandang bengong itu, segera Yo Han menghadapi semua orang Thian-li-pang. Kedua orang kakek itu bengong karena merasa terheran-heran. Bukankah Yo Han telah tewas di dalam sumur bersama Ciu Lam Hok? Bagaimana mungkin anak itu kini muncul kembali sebagai seorang pemuda yang tampan dan gagah, dengan pakaian yang pantas pula?
Suara Yo Han terdengar lantang ketika dia bicara.
“Saudara-saudara sekalian, para murid dan anggota Thian-li-pang, dengarkan baik-baik. Seluruh dunia kang-ouw tahu belaka bahwa dahulu Thian-li-pang adalah perkumpulan orang-orang gagah yang selain menentang kejahatan dan menentang penjajahan, juga menegakkan kebenaran dan keadilan. Tetapi akhir-akhir ini, semua orang tahu belaka bahwa telah terjadi penyelewengan-penyelewengan dan penyimpangan dari jalan benar yang dilakukan Thian-li-pang. Nama baik Thian-li-pang tercemar dan terkenal sebagai perkumpulan yang menentang pemerintah penjajah akan tetapi juga yang suka berbuat jahat! Langkah yang diambil Thian-li-pang mengikuti jejak langkah Pek-lian-kauw yang sejak dulu terkenal menyeleweng dari pada kebenaran dan banyak orang Pek-lian-kauw melakukan kejahatan dengan dalih perjuangan. Betapa pun mulia cita-citanya, namun kalau pelaksanaan atau cara mengejar cita-cita itu kotor, maka hasilnya akan menjadi kotor pula. Yang penting sekali adalah pelaksanaannya. Kalau pelaksanaannya bersih, maka yang dicapai juga bersih. Pelaksanaan adalah benihnya, dan tiada benih buruk mendatangkan buah yang baik. Saya menghormati dan setuju sekali pendapat Suheng Lauw Kang Hui tadi, yang bertekad untuk menegakkan kembali Thian-li-pang sebagai perkumpulan orang-orang gagah, perkumpulan pendekar pahlawan!”
Mereka yang tadi mendukung Lauw Kang Hui, bersorak menyambut ucapan ini, walau pun mereka sekarang juga terheran-heran mengenal Yo Han, yang lima tahun yang lalu pernah mereka lihat sebagai seorang anak yang diambil murid oleh Thian-te Tok-ong. Lauw Kang Hui sendiri pun terheran, akan tetapi karena ucapan Yo Han sejalan dengan pendapatnya, dia pun diam saja dan hendak melhat perkembangan selanjutnya.
Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu, dua orang tosu Pek-lian-kauw itu, segera mengenal Yo Han sebagai anak laki-laki yang pernah mereka tawan pada saat mereka membantu Ang-I Moli. Melihat sikap dan mendengar ucapan Yo Han, kedua orang tosu ini marah bukan main. Keduanya sudah melangkah maju sambil memandang kepada Yo Han dengan mata melotot. Mereka ingat bahwa anak ini dahulu kebal terhadap sihir, maka mereka pun tidak mau mempergunakan ilmu sihir.
“Pemuda sombong! Berani engkau menjelek-jelekkan Pek-lian-kauw seperti itu? Siapa pun yang berani menghina Pek-lian-kauw, tak berhak hidup. Kami akan membunuhmu sekarang juga!”
Dua orang tosu itu sudah siap untuk menyerang Yo Han. Pemuda itu bersikap tenang saja dan dia menatap kedua orang tosu itu secara bergantian.
“Jiwi Totiang (Kalian Berdua Pendeta) mengaku sebagai pendeta-pendeta, berjubah dan berpakaian sebagai pendeta. Namun, baik buruknya seseorang bukan tergantung dari pakaian atau sikapnya, melainkan dari perbuatannya. Jiwi Totiang sudah banyak melakukan kejahatan, maka jubah dan sikap Jiwi sebagai pendeta itu hanyalah kedok belaka. Apa yang saya katakan tadi adalah kebenaran, dan bukan bermaksud menjelek-jelekkan atau menghina siapa pun.”
“Keparat, kau makin kurang ajar saja! Rasakan pukulanku!” bentak Kwan Thian-cu yang marah sekali dan tiba-tiba tokoh Pek-lian-kauw yang gendut ini telah menerjang dengan pukulan maut dari kedua telapak tangannya.
“Desss...!”
Pukulan kedua tangan tosu Pek-lian-kauw yang gendut itu disambut oleh kedua tangan Lauw Kang Hui yang meloncat ke depan melindungi Yo Han. Dua pasang tangan itu bertemu dengan tenaga sinkang sepenuhnya, dan akibatnya, Kwan Thian-cu yang kalah kuat terdorong, terjengkang dan tubuh yang gendut itu terguling-guling sampai beberapa meter jauhnya.
Kui Thian-cu cepat menghampiri saudaranya dan membantunya bangkit. Masih untung bagi Kwan Thian-cu bahwa Lauw Kang Hui tak berniat membunuhnya, maka tadi ketika menangkis, tidak menggunakan serangan balasan. Namun karena tosu Pek-lian-kauw itu memang kalah kuat, begitu kedua tangannya bertemu dengan tangan calon ketua baru Thian-li-pang, tubuhnya seperti diterjang gajah dan terjengkang ke belakang.
“Totiang, jika kami tidak memandang Pek-lian-kauw sebagai rekan seperjuangan, tentu saat ini engkau sudah tak bernyawa lagi. Kami hanya menghendaki agar Pek-lian-kauw tidak mencampuri urusan rumah tangga kami. Silakan meninggalkan tempat ini,” kata Lauw Kang Hui dengan tegas.
Kedua orang tosu itu bangkit, memberi hormat dan pergi tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Mereka merasa malu, tetapi juga maklum bahwa melawan pun tiada gunanya. Mereka tahu pula bahwa para pimpinan Pek-lian-kauw pasti tidak menghendaki mereka mencari permusuhan dengan Thian-li-pang yang jelas menentang pemerintah penjajah.
Setelah dua orang tosu itu pergi dan tidak kelihatan lagi bayangannya, Thian-te Tok-ong berkata dengan nada suara yang penuh kemarahan. “Yo Han, engkau ini anak masih ingusan sudah berani berlagak di Thian-li-pang! Di sini ada aku, ada sute, ada pula Lauw Kang Hui, dan engkau membikin malu kami dengan sepak terjangmu seolah-olah engkau yang paling hebat di sini!”
“Maaf, sebelumnya teecu sudah minta maaf kepada Jiwi Susiok (Uwa Guru Berdua),” kata Yo Han sambil menghadapi dua orang kakek itu dan memberi hormat.
“Bocah lancang, engkau berani memandang rendah kepada kami, ya?” Ban-tok Mo-ko juga membentak. “Tanpa perintah kami, engkau telah berani mencari gara-gara dengan Pek-lian-kauw atas nama Thian-li-pang. Engkau tidak berhak untuk bertindak atas nama Thian-li-pang. Kelancanganmu ini meremehkan kami dan harus kuhukum kau!”
Setelah berkata demikian Ban-tok Mo-ko menerjang maju menyerang Yo Han. Melihat serangan gurunya itu, Lauw Kang Hui terkejut. Gurunya sudah melancarkan serangan pukulan maut kepada Yo Han. Biar pun dia membenarkan tindakan Yo Han tadi, namun karena Yo Han bukanlah apa-apa baginya, dia tidak berani lancang melindunginya dari serangan gurunya yang hebat itu. Dia hanya memandang dengan mata terbelalak, juga semua anggota Thian-li-pang memandang dan mereka semua merasa yakin bahwa Yo Han pasti akan roboh tewas karena mereka semua mengenal kesaktian Ban-tok Mo-ko yang merupakan seorang sesepuh atau locianpwe dari Thian-li-pang.
“Maaf, Supek!” kata Yo Han.
Ketika Yo Han melihat serangan yang mendatangkan angin pukulan dahsyat itu datang menyambar dirinya, ia pun menggerakkan dua tangannya yang mula-mula menyembah ke atas, terus turun ke bawah melalui depan dahi, hidung, mulut terus ke ulu hati, lalu kedua lengan dikembangkan dan tangan ke kanan kiri, terus ke arah bawah membentuk lingkaran, lalu bertemu di bawah dalam keadaan menyembah lagi dan kedua tangan ini dengan kedua telapak tangan terbuka kemudian menghadap ke depan dan lengannya diluruskan.
Tiada hawa pukulan keluar dari kedua tangan Yo Han ini, akan tetapi tiba-tiba Ban-tok Mo-ko mengeluarkan seruan kaget karena dia merasakan betapa hawa pukulan kedua tangannya membalik dan biar pun dia sudah bertahan, tetap saja dia terpelanting oleh kuatnya hawa pukulannya sendiri yang membalik!
“Ho-ho, anak ini memang perlu dihajar!” kata Thian-te Tok-ong, kaget dan juga tertarik sekali melihat betapa sute-nya yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian yang hanya di bawah tingkatnya, sampai terpelanting jatuh.
Dia pun mengebutkan lengan baju kanannya. Dia memukul dari jauh, mempergunakan hawa pukulan yang amat dahsyat, lalu tongkat di tangan kirinya menyusul, menotok ke arah pusar Yo Han.
“Maaf, Supek!” kata pula Yo Han.
Yo Han tahu betapa dahsyatnya serangan ini, maka kembali dia menggerakkan kedua tangannya sesuai dengan ilmu yang baru saja dilatih di bawah petunjuk kakek Ciu Lam Hok, yaitu ilmu yang disebut Bu-kek Hoat-keng.
Begitu dua tangan Yo Han membuat gerakan memutar dan menyambut tamparan dan totokan tongkat, seperti yang terjadi pada Ban-tok Mo-ko tadi, tiba-tiba Thian-te Tok-ong juga berseru kaget dan biar pun dia tidak terpelanting seperti sute-nya, akan tetapi dia terhuyung ke belakang dan dua serangannya tadi membalik, tangan kanan menampar kepalanya sendiri dan tongkatnya membalik ke arah pusarnya sendiri!
“Hemmm, Bu-kek Hoat-keng...!” seru kakek bertubuh pendek kecil ini sesudah mampu mengembalikan keseimbangannya, mukanya agak pucat karena dia tadi merasa kaget bukan main ketika kedua serangannya membalik secara aneh sekali
“Yo Han!” bentak Ban-tok Mo-ko. “Betapa beraninya engkau mencampuri urusan pribadi Thian-li-pang?”
Yo Han memberi hormat kepada dua orang kakek itu. “Jiwi Supek (Uwa Guru Berdua), harap maafkan saya. Sebagai murid Suhu Ciu Lam Hok, maka saya pun mempunyai hak mencampuri urusan Thian-li-pang dan semua yang saya lakukan ini adalah untuk memenuhi pesan dari Suhu. Semenjak dahulu Thian-li-pang adalah perkumpulan para pendekar yang berjiwa patriot. Akan tetapi sejak Thian-li-pang dibawa bersekutu dan bersahabat dengan Pek-lian-kauw, apa jadinya? Thian-li-pang melupakan sumbernya, dan anak buahnya banyak yang mengikuti jejak Pek-lian-kauw, tidak segan melakukan kejahatan dengan kedok perjuangan. Suhu pesan kepada saya untuk mengembalikan Thian-li-pang ke jalan yang benar.”
“Ciu Lam Hok itu... di mana dia sekarang? Engkau dapat keluar, tentu dia pun dapat. Katakan, di mana Ciu Lam Hok?” Thian-te Tok-ong bertanya.
Yo Han menarik napas panjang, teringat betapa suhu-nya itu hidup menderita karena perbuatan dua orang kakek yang menjadi supek-nya ini.
“Suhu telah meninggal dunia dalam keadaan tubuh menderita namun batinnya bahagia.”
“Ahhhh...!” Thian-te Tok-ong berseru, juga Ban-tok Mo-ko mengeluarkan seruan kaget.
“Jiwi Supek yang membuat Suhu hidup tersiksa!” berkata pula Yo Han dengan suara mengandung teguran dan memandang tajam kepada dua orang kakek itu.
Dua orang kakek itu menundukkan muka. Agaknya baru mereka kini melihat betapa kejam mereka terhadap sute sendiri. Mereka telah menyiksa sute mereka dan berlaku curang hanya karena iri hati dan ingin menguasai ilmu sute mereka yang lebih tinggi dari pada ilmu mereka.
Entah bagaimana, ketika Ciu Lam Hok masih hidup dan merana di dalam sumur, dua orang kakek ini sama sekali tidak pernah menyesali perbuatan mereka, bahkan raungan dan teriakan Ciu Lam Hok yang mereka dengar, membuat mereka semakin penasaran dan membenci karena sute itu tidak mau membagi ilmu-ilmunya kepada mereka.
Akan tetapi kini mendengar bahwa sute itu sudah meninggal dunia, mendadak mereka kehilangan, dan merasa menyesal. Karena tidak ada lagi harapan untuk mendapatkan ilmu-ilmu dari orang yang sudah mati, maka sekarang seolah-olah yang teringat hanya perbuatan mereka terhadap sute itu, dan betapa mereka bertiga merupakan pendiri Thian-li-pang yang dahulu hidup rukun dan saling setia.
“Aihhh, Sute, kami sudah berdosa kepadamu...” Tiba-tiba saja Thian-te Tok-ong berseru dan kakek ini menangis! Dan Ban-tok Mo-ko juga menangis.
Melihat dua orang kakek yang menjadi sesepuh Thian-li-pang itu menangis seperti anak kecil, semua anggota Thian-li-pang terheran-heran, dan Lauw Kang Hui menundukkan kepalanya. Wakil ketua ini pun menyadari betapa Thian-li-pang memang sudah jauh menyeleweng, anak buahnya banyak yang tak segan-segan melakukan perbuatan jahat bersama anak buah Pek-lian-kauw yang dalam hal penyelewengan sudah menjadi guru mereka.
Tiba-tiba Ban-tok Mo-ko maju menghampiri suheng-nya dan menudingkan telunjuknya ke arah muka suheng-nya.
“Suheng, semua ini gara-gara engkau! Engkau sudah membuntungi kaki tangannya, engkau telah berlaku kejam kepada Sute! Kini Sute sudah meninggal, tentu arwahnya akan menuntut kepada kita! Suheng, engkaulah penyebab semua ini. Aihhhh, Sute... maafkan aku, Sute. Semua ini Suheng kita yang menjadi biang keladinya!”
Thian-te Tok-ong menghentikan tangisnya dan dia pun menghadapi sute-nya dengan mata berkilat dan alis berkerut.
“Apa kau bilang? Sute, jangan seenaknya saja kau bicara. Engkaulah yang memberi siasat itu kepadaku! Engkau yang menganjurkan aku untuk turun tangan terhadap Sute Ciu Lam Hok! Dan aku menyesal telah menuruti kemauanmu. Sute Ciu Lam Hok, inilah orangnya yang menjadi penyebab kematianmu, bukan aku!”
“Suheng, Jangan menyangkal! Engkau melakukan kekejaman terhadap Ciu Sute karena engkau murka, karena engkau menghendaki ilmunya, terutama ilmu Bu-kek Hoat-keng. Engkaulah yang menanggung dosa terbesar, Suheng!”
“Keparat, engkau pun berdosa besar, bahkan aku tertarik oleh bujukanmu!”
“Bohong!”
“Engkau pengecut, tak berani bertanggung jawab. Aku memang berdosa terhadap Sute Ciu Lam Hok, akan tetapi engkau pun lebih berdosa lagi!”
“Engkau biang keladinya!”
Dua orang kakek, yang satu gendut yang satu kurus itu, saling maki dan akhirnya, tanpa dapat dicegah lagi, saling serang dengan penuh kemarahan! Suheng dan sute ini sama-sama merasa menyesal, merasa berdosa terhadap sute mereka yang sekarang sudah meninggal dunia.
Karena saling menyalahkan, duka dan menyesal, mereka lupa diri dan akhirnya saling serang dengan hebatnya. Karena keduanya merupakan orang-orang sakti, maka tidak ada anggota Thian-li-pang yang berani melerai. Maju melerai berarti membahayakan nyawa sendiri. Di seputar kedua orang itu, angin pukulan menyambar-nyambar dengan dahsyatnya sehingga Lauw Kang Hui sendiri terpaksa mundur menjauh supaya tidak sampai terkena serangan hawa pukulan.
Pertandingan antara dua orang tokoh yang sakti dan yang usianya sudah sangat tua, tidak lagi mengandalkan kecepatan gerakan, tidak mau membuang waktu dan mereka segera mengeluarkan ilmu simpanan masing-masing, dan mengerahkan sinkang untuk mengalahkan lawan.
Di lain saat, setelah lewat belasan jurus saja, keduanya sudah berdiri dengan dua kaki terpentang, kedua tangan saling tempel dan saling dorong dengan pengerahan tenaga sinkang. Uap mengepul dari kepala mereka dan semua orang tahu bahwa pertandingan ini merupakan pergulatan mati hidup.
Lauw Kang Hui mengerti pula dan dia menjadi sangat khawatir. Dia pun tahu bahwa gurunya, Ban-tok Mo-ko, masih kalah kuat dibandingkan supek-nya, dan bahwa gurunya terancam maut. Namun, tentu saja dia tidak berani mencampuri, tidak berani melerai. Dia tadi teringat akan Yo Han yang telah mampu merobohkan suhu-nya dan supek-nya, maka timbul harapannya.
Cepat dia menghampiri Yo Han dan dengan suara sungguh-sungguh dia berkata, “Sute Yo Han, tolonglah mereka. Cepat pisahkan mereka agar jangan sampai saling bunuh.”
Yo Han yang sejak tadi menonton, menoleh kepadanya dan menggelengkan kepalanya. “Kurasa tidak ada gunanya lagi, Suheng. Mereka sudah saling serang mati-matian dan andai kata aku dapat memisahkan mereka pun, tentu mereka telah terluka dalam...“
Lauw Kang Hui memandang kepada dua orang kakek itu. Dia merasa gelisah melihat betapa dari ujung bibir gurunya sudah mengalir darah dari dalam mulut, tanda bahwa gurunya telah menderita luka dalam. Dan walau pun di bibir Thian-te Tok-ong belum nampak darah, akan tetapi wajah kakek yang kecil pendek itu pucat sekali.....
“Mereka sudah terluka, akan tetapi setidaknya, jangan mereka itu tewas selagi mengadu tenaga. Sute, tolonglah, pisahkan mereka, biar pun mereka sudah terluka.”
Yo Han menarik napas panjang. Dia sudah melihat betapa keadaan dua orang kakek itu sudah payah sekali, dan jika dia memisahkan mereka, dia harus menggunakan sinkang untuk mematahkan dua tenaga yang sudah saling lekat itu. Bukan pekerjaan mudah, bahkan berbahaya baginya, akan tetapi dia pun tidak dapat menolak karena dia tidak dapat membiarkan mereka itu mengadu tenaga sampai seorang di antara mereka mati di tempat.
“Jiwi Supek, maafkan saya!” katanya dan dia pun meloncat mendekati dua orang kakek itu.
Kedua tangannya bergerak-gerak membentuk lingkaran dan tiba-tiba, dengan bentakan nyaring sehingga terdengar suara melengking, dia mendorongkan kedua tangannya ke tengah-tengah antara dua pasang tangan yang sedang melekat itu.
Dua orang kakek itu mengeluarkan suara keras, kemudian tubuh mereka terdorong ke belakang. Ban-tok Mo-ko roboh terguling dan Thian-te Tok-ong terhuyung-huyung, lalu dia cepat duduk bersila sambil memejamkan mata. Ban-tok Mo-ko juga bangkit duduk dengan susah payah, kemudian bersila pula. Wajah keduanya pucat dan napas mereka terengah-engah.
Yo Han memeriksa dengan menempelkan tangan di punggung mereka, dan diam-diam dia pun terkejut. Kiranya, kedua orang kakek itu menderita luka dalam yang jauh lebih parah dari pada yang disangkanya. Ban-tok Mo-ko yang kalah kuat oleh suheng-nya, telah menderita parah sekali dan sukar diselamatkan.
Akan tetapi ketika Yo Han memeriksa keadaan Thian-te Tok-ong, dia pun amat terkejut. Kakek ini memang memiliki tenaga yang lebih kuat, akan tetapi agaknya usianya yang sudah delapan puluh delapan tahun itu membuat tubuhnya lemah dan karena itu, ia pun menderita luka hebat!
Ban-tok Mo-ko yang membuka mata lebih dulu, mata yang sayu dan ia pun memandang kepada Thian-te Tok-ong yang masih duduk bersila dan terdengar suaranya yang lemah gemetar.
“Suheng, aku girang dapat mati di tanganmu...” kemudian dia memandang ke angkasa, terbatuk dan gumpalan darah keluar lebih banyak lagi dari dalam mulutnya. “Sute, aku telah siap menerima pembalasanmu...” Kakek itu memejamkan kembali kedua matanya dan kepalanya menunduk.
Thian-te Tok-ong membuka matanya dan dari kedua matanya itu mengalir air mata. “Aku telah membunuh Sute Ciu Lam Hok, dan aku pula yang membunuh Sute Ban-tok Mo-ko. Kedua adikku, tunggulah aku...!” Dan dia pun memejamkan kedua matanya dan menundukkan kepala. Dua orang kakek itu tak bergerak lagi.
Yo Han berbisik kepada Lauw Kang Hui. “Lauw-suheng, kedua orang Supek kini telah tewas...!”
“Haaa...?!”
Lauw Kang Hui cepat menghampiri gurunya dan menyentuh pundak gurunya. Disentuh sedikit saja, tubuh yang tadinya duduk bersila itu terguling roboh. Demikian pula tubuh kakek Thian-te Tok-ong…..
********************
Lauw Kang Hui menangis di depan makam gurunya dan supek-nya, juga para murid tingkat tinggi Thian-li-pang menangisi kematian dua orang tua yang menjadi sesepuh Thian-li-pang itu.
Yo Han ikut pula dalam upacara sembahyangan dan dalam kesempatan itu dia berkata kepada Lauw Kang Hui dan para murid lainnya.
“Karena saya telah menjadi murid mendiang Suhu Ciu Lam Hok, bahkan juga pernah berguru pada Supek Thian-te Tok-ong, maka sedikit banyak saya mengenal hubungan dekat dengan Thian-li-pang. Saya harap peristiwa ini dapat menjadi cermin bagi kita semua. Tiga orang sesepuh Thian-li-pang itu dahulu yang mendirikan Thian-li-pang, dan sejak berdiri, Thian-li-pang terkenal sebagai perkumpulan para pendekar yang berjiwa patriot. Namun, sayang sekali, agaknya mendiang Supek Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong terseret oleh arus duniawi yang membuat mereka melakukan penyelewengan. Apa lagi pada saat Thian-li-pang dipimpin mendiang Suheng Ouw Ban, hubungan baik dengan Pek-lian-kauw membuat banyak murid yang ikut melakukan perbuatan yang tak sesuai dengan jiwa perkumpulan kita. Hendaknya kita semua selalu ingat bahwa musuh yang paling besar, paling berbahaya dan paling tangguh adalah dirinya sendiri. Sekali kita mampu menundukkan napsu sendiri, maka batin kita menjadi kokoh kuat dan tidak mudah terseret ke dalam kesesatan. Seperti berlayar di tengah samudera, yang paling penting adalah memiliki perahu yang kokoh kuat sehingga tidak khawatir menghadapi badai dan taufan. Kepandaian tinggi bahkan dapat mencelakakan kalau tidak disertai batin yang kuat dan bersih, karena kepandaian itu bahkan dapat kita pergunakan untuk melakukan kejahatan.”
Lauw Kang Hui memandang kepada pemuda itu. “Yo Sute, terima kasih atas nasehatmu itu. Kami sudah mengalami cukup banyak kepahitan sebagai akibat dari penyelewengan yang sudah kami lakukan. Aku berjanji akan mengembalikan Thian-li-pang ke jalan yang benar, akan bertindak disiplin dan tegas sehingga Thian-li-pang akan kembali menjadi perkumpulan pendekar yang bukan saja memusuhi penjajah tanah air, akan tetapi juga memusuhi perbuatan jahat yang dapat mencelakai orang lain demi kesenangan diri dan pemuasan nafsu sendiri.”
“Bagus, aku girang sekali mendengar ini, Lauw-suheng. Aku hanya akan menjadi saksi bahwa pesan terakhir Suhu Ciu Lam Hok akan terlaksana dengan baik.”
Yo Han lalu berpamit dari semua murid Thian-li-pang, meninggalkan tempat itu dengan hati lapang. Satu di antara pesan suhu-nya telah dapat dia laksanakan dengan baik. Kini dia akan melaksanakan tugas kedua yaitu mencari keluarga mendiang suhu-nya, yaitu adik suhu-nya yang bernama Ciu Ceng atau keluarganya karena tentu adik suhu-nya itu sudah menjadi seorang nenek yang sudah tua sekali.
Dia pun meninggalkan Thian-li-pang dan menuju ke kota raja.....
********************
Mendiang kakek Ciu Lam Hok memang mempunyai seorang adik perempuan yang bernama Ciu Ceng. Ketika dia sendiri pergi meninggalkan kota raja, adiknya itu masih seorang gadis yang cantik dan tinggal bersama ibunya di lingkungan istana.
Kemudian, Ciu Ceng menikah dengan seorang panglima muda she Gan. Pernikahan ini membuahi seorang anak laki-laki yang diberi nama Gan Seng. Panglima Gan sendiri gugur ketika memimpin pasukan membasmi gerombolan pemberontak. Gan Seng yang mendapatkan pendidikan tinggi, telah mendapat pangkat yang lumayan, yaitu sebagai pejabat yang mengelola gedung pusaka istana. Jabatan ini penting sekali karena hanya orang yang dipercaya sepenuhnya oleh Kaisar saja yang dapat menduduki pangkat ini.
Gan Seng, putera Ciu Ceng itu, kini telah berusia lima puluh tahun dan dia hidup serba kecukupan dengan isterinya dan puteri tunggalnya yang bernama Gan Bi Kim dan yang pada waktu itu berusia tujuh belas tahun. Juga nenek Ciu Ceng yang sudah tua tinggal bersama puteranya dan keluarga ini hidup cukup berbahagia.
Tak begitu sulit bagi Yo Han untuk menyelidiki dan mendengar tentang nenek Ciu Ceng ini. Girang hatinya ketika dia mendapat keterangan bahwa nenek itu tinggal bersama puteranya yang menjadi kepala gedung pusaka istana, dan keluarga Gan itu tinggal di luar istana, walau pun Gan Seng bertugas di lingkungan istana, yaitu di gedung pusaka.
Maka, pada hari itu, pagi-pagi dia meninggalkan rumah penginapan dan mendatangi rumah gedung tempat tinggal Gan Seng. Untuk memenuhi pesan mendiang suhu-nya, dia harus berkunjung dan menceritakan mengenai meninggalnya kakek Ciu Lam Hok kepada nenek Ciu Ceng dan memastikan bahwa keluarga itu dalam keadaan sehat dan baik-baik saja. Baru kemudian dia akan melaksanakan tugas ke tiga, tugas yang paling sukar, yaitu mencari dan merampas kembali mustika mutiara hitam di daerah barat.
Akan tetapi, alangkah herannya ketika dia tiba di rumah gedung itu. Dia melihat suasana yang amat sunyi dan ketika seorang pelayan keluar untuk menyapanya, pelayan tua itu nampak seperti orang yang berduka sekali.
“Saya kira Kongcu datang berkunjung pada saat yang kurang tepat,” kata pelayan itu. “Gan-taijin sekeluarga sedang dalam keadaan prihatin dan tidak akan suka menerima tamu, bahkan memesan kepada saya untuk menolak setiap orang tamu yang datang berkunjung.”
Tentu saja Yo Han merasa heran bukan main. Gurunya berpesan agar dia mengunjungi nenek Ciu Ceng dan membela nenek itu sekeluarganya, kalau perlu dengan taruhan nyawa, karena dirinya ingin membuktikan rasa sayangnya kepada adiknya itu melalui muridnya.
“Paman yang baik, tolong sampaikan bahwa aku datang mohon menghadap Nyonya Besar Ciu Ceng, ibu dari Gan-taijin. Katakan bahwa aku membawa kabar yang penting sekali dari kakak nyonya besar yang bernama Ciu Lam Hok. Kalau laporanmu itu tidak mendapat tanggapan, aku tidak akan mendesak lagi.”
“Tapi... tapi... Nyonya Besar Tua sedang menderita sakit...”
“Ahh...!” Yo Han terkejut. “Kalau begitu, lebih penting lagi berita itu. Mungkin laporanmu tentang kakaknya akan dapat menyembuhkan sakitnya dan engkau akan berjasa besar, Paman.”
“Benarkah?” Pelayan itu meragu, kemudian berkata, “Baik, engkau tunggulah sebentar, Kongcu (Tuan Muda), aku akan melapor ke dalam.”
Yo Han menunggu dengan sabar, akan tetapi hatinya gelisah juga mendengar bahwa orang yang dicarinya itu, adik mendiang gurunya yang bernama Ciu Ceng, sedang menderita sakit. Karena panyakitnya itukah maka keluarga Gan dalam keadaan prihatin seperti yang dikatakan pelayan tadi?
Tentu saja akan mudah baginya untuk melakukan penyelidikan sendiri pada malam hari. Namun dia menghormati adik mendiang suhu-nya dan tidak mau menggunakan cara seperti seorang pencuri untuk menyelidiki keadaan nenek itu, kecuali bila dia tidak dapat menghadap secara berterang.
Tidak lama kemudian, pelayan itu sudah datang lagi dan sekali ini wajahnya berseri. “Kongcu, dugaanmu tadi amat tepat! Aku memberanikan diri untuk menghadap Nyonya Besar Tua dan begitu ia mendengar bahwa Kongcu datang membawa berita tentang kakaknya, ia seketika bangkit dan wajahnya gembira, bahkan ia minta kepada Kongcu untuk segera menghadap ke dalam kamarnya!”
Bukan main girangnya hati Yo Han mendengar ini. Dia pun segera mengikuti pelayan itu memasuki rumah, gedung yang besar. Setelah melalui beberapa ruangan besar serta lorong berliku-liku, pelayan itu lalu mengantarnya masuk ke dalam sebuah kamar yang besar. Dua orang pelayan wanita muda segera mundur ketika melihat ada tamu pria yang masuk.
Ketika memasuki kamar itu, Yo Han memandang ke arah pembaringan di mana rebah seorang nenek yang sudah tua. Nenek itu rebah telentang dan nampak kurus dan pucat. Ketika Yo Han masuk, ia menoleh dan memandang kepada pemuda itu, lalu terdengar suaranya lemah.
“Orang muda, siapakah engkau dan berita apa yang kau bawa mengenai kakakku Ciu Lam Hok?”
Yo Han menjatuhkan dirinya berlutut menghadap ke arah nenek yang masih rebah di atas pembaringan itu. “Saya bernama Yo Han dan saya muridnya.”
Nenek itu mengeluarkan seruan girang dan dia pun bangkit duduk. Dua orang pelayan wanita cepat-cepat menghampiri dan membantunya duduk. Setelah duduk, nenek itu memandang kepada pemuda yang masih berlutut.
“Bangkitlah dan duduklah, Yo Han. Lekas ambilkan kursi untuk pemuda itu,” perintahnya kepada pelayan yang segera mengambilkan sebuah kursi dan Yo Han lalu duduk di atas kursi berhadapan dengan nenek Ciu Ceng yang wajahnya nampak berseri.
“Engkau ini muridnya? Ahhh, bagaimana dengan kakakku? Dan mengapa engkau yang datang ke sini, bukan dia sendiri? Betapa rinduku kepada kakakku itu!”
Yo Han melihat bahwa nenek yang sudah tua itu dalam keadaan sakit dan lemah, maka dia pun tidak berani mengabarkan tentang kematian gurunya.
“Saya datang untuk memenuhi pesan dari Suhu Ciu Lam Hok. Saya disuruh mencari adiknya yang bernama Ciu Ceng, dan saya disuruh menyelidiki keadaan keluarganya dan diharuskan membantu kalau keluarga itu membutuhkan bantuan.”
“Aihh, kalau saja kakakku sendiri berada di sini, tentu dia akan dapat menolong kami. Akan tetapi engkau muridnya, engkau hanya seorang yang masih muda begini, bagai mana akan mampu menolong kami? Kami sedang dilanda mala petaka.”
“Harap suka memberi tahukan kepada saya, dan saya akan membantu sekuat tenaga, walau pun dengan taruhan nyawa, demi memenuhi perintah Suhu!” kata Yo Han dengan sikap tenang dan suara bersungguh-sungguh.
“Benarkah itu?” Nenek itu berseru dan suaranya mengandung harapan.
Akan tetapi pada saat itu, beberapa orang memasuki kamarnya. Mereka itu ternyata adalah puteranya, Gan Seng, menantunya, dan cucu perempuannya, Gan Bi Kim yang cantik.
Melihat betapa ibunya yang sedang sakit itu duduk di atas pembaringan dan bercakap-cakap dengan seorang pemuda asing, tentu saja Gan Seng menjadi heran sekali. Tadi dia menerima laporan dari seorang pelayan bahwa ibunya kedatangan seorang tamu, maka dia bersama isteri dan puterinya yang merasa khawatir akan kesehatan ibunya, segera pergi ke kamar ibunya. Kini tahu-tahu ibunya sudah duduk dan bercakap-cakap dengan seorang pemuda.
“Siapakah pemuda ini?” tanya Gan Seng dengan alis berkerut karena dia menganggap pemuda itu mengganggu ibunya yang perlu beristirahat.
Akan tetapi, melihat keluarganya memasuki kamarnya, nenek itu lalu memperkenalkan dengan wajah berseri, “Anakku, pemuda ini adalah Yo Han, dia murid pamanmu Ciu Lam Hok yang sering kuceritakan kepada kalian.”
“Ah, begitukah?” Gan Seng tertegun dan merasa heran mengapa pamannya yang tentu sudah tua sekali, mempunyai murid yang masih begini muda.
Yo Han sendiri cepat bangkit berdiri dan memberi hormat kepada Gan Seng, isterinya, dan juga kepada gadis cantik itu. Nenek Ciu Ceng segera memperkenalkan mereka kepadanya.
“Yo Han, ini adalah puteraku Gan Seng, ini mantuku, dan itu cucuku Gan Bi Kim!”
Sambil memberi hormat, Yo Han berkata kepada Gan Seng. ”Mohon maaf sebanyaknya kepada Taijin bahwa saya telah berani lancang mengganggu. Saya hanya memenuhi perintah Suhu, untuk mencari adik Suhu...”
Gan Seng menggelengkan kepala. “Tidak mengapa, tidak mengapa, hanya...”
Dia mengerutkan alisnya karena memang pada waktu itu dia sedang menghadapi hal yang amat memusingkan, bahkan ibunya sampai jatuh sakit karena mala petaka yang menimpa dirinya itu.
“Seng-ji (Anak Seng), Yo Han ini diutus oleh gurunya untuk datang berkunjung dan dia mewakili gurunya untuk menolong kita dari kesukaran! Siapa tahu, dia akan mampu mengangkat kita keluar dari kesulitan ini!”
“Ibu, mana mungkin...?” kata Gan Seng meragu.
Melihat sikap mereka, Yo Han kembali memberi hormat. “Harap Taijin suka memberi tahu pada saya, kesulitan apa yang dihadapi keluarga Taijin. Saya telah berjanji kepada Suhu untuk membantu keluarga adik Suhu kalau menghadapi kesulitan, dan saya akan mentaati perintah Suhu, membantu keluarga Taijin, kalau perlu dengan taruhan nyawa.”
“Ceritakanlah kepadanya, Seng-ji. Siapa tahu justru pemuda inilah yang akan mampu membebaskan kita dari kesulitan ini,” bujuk nenek tua itu.
“Baiklah, Ibu. Sekarang Ibu beristirahatlah, dan mari Yo Han, kita bicara di ruangan dalam,” kata Gan Seng.
Yo Han menoleh kepada nenek Ciu Ceng. “Harap Paduka beristirahat dan saya ingin menyampaikan pesan Guru saya bahwa Suhu mengutus saya membantu keluarga Paduka untuk membuktikan bahwa Suhu sayang kepada Paduka.”
Mendengar ini, nenek Ciu Ceng menangis dan merebahkan dirinya. Tetapi suaranya terdengar gembira bercampur haru ketika ia berkata, “Ahhh, Hok-koko (Kakak Hok), ternyata engkau masih teringat kepada adikmu ini! Kakakku yang baik, aku pun selalu terkenang kepadamu dan aku sayang kepadamu...” Ia menangis dan tertawa sekaligus dan berita yang diucapkan Yo Han ini merupakan obat yang mujarab bagi nenek itu.
Dengan hati lega Gan Seng lalu menggandeng tangan Yo Han, diajaknya keluar dari kamar itu, diikuti oleh isterinya dan oleh Gan Bi Kim.
Setelah mereka semua duduk mengelilingi sebuah meja besar, Gan Seng yang masih meragu dan belum yakin benar bahwa pemuda yang usianya paling banyak dua puluh tahun, bersikap sederhana itu akan mampu menolong keluarganya dari mala petaka yang menimpa, segera mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang dirinya.
“Sebelum kami menceritakan persoalan yang menyulitkan keluarga kami, terlebih dulu kami ingin mendengar keteranganmu tentang Paman Tuaku itu dan bagaimana engkau yang masih muda ini akan mampu menolong kami. Nah, ceritakan di mana adanya Paman Tuaku itu.”
Kalau terhadap nenek Ciu Ceng yang sedang sakit Yo Han belum berani berterus terang tentang kematian suhu-nya, terhadap keluarga ini dia merasa lebih baik untuk berterus terang. “Taijin...”
“Nanti dulu, Yo Han. Kalau engkau benar murid pamanku, tidak semestinya engkau menyebut aku taijin (orang besar). Usiamu masih amat muda. Kau pantas menjadi keponakanku, maka sebut saja paman kepadaku, agar lebih enak kita bicara. Namaku Gan Seng dan engkau boleh menyebut aku paman, dan menyebut isteriku bibi. Nah, lanjutkan ceritamu.”
Wajah Yo Han berubah merah. Tentu saja dia merasa canggung sekali. Yang dia hadapi adalah seorang yang berkedudukan tinggi, bagaimana dia dapat menyebut mereka demikian akrab? Akan tetapi, dia pun tidak berani membantah.
“Terima kasih atas keramahan Paman dan Bibi. Sesungguhnya di depan Nyonya Besar Gan...”
“Ahhh, kalau engkau menyebut aku paman, maka engkau sebut saja nenek kepada Ibuku.” Pembesar itu memotong.
Diam-diam Yo Han kagum. Keluarga suhu-nya ini memang orang-orang bijaksana. Biar pun berkedudukan tinggi namun tidak angkuh. “Begini, Paman. Di depan Nenek, saya tidak berani berterus terang karena melihat beliau sedang sakit. Sebetulnya, Suhu Ciu Lam Hok telah meninggal dunia...”
“Hemm, bagaimana meninggalnya?” Gan Seng bertanya.
Yo Han merasa tidak ada perlunya menceritakan apa adanya. Kalau dia menceritakan bagaimana suhu-nya disiksa oleh dua orang suheng dari suhu-nya yang juga sudah tewas, maka ceritanya yang terus terang itu hanya akan mendatangkan penyesalan dan sakit hati. Tidak ada perlu dan gunanya.
“Suhu meninggal dunia dengan baik, karena sudah tua. Dan sebelum meninggal, Suhu meninggalkan pesan kepada saya supaya saya mencari adik Suhu yang bernama Ciu Ceng, dan supaya saya membantu keluarga adik Suhu itu dengan segala kemampuan saya. Karena itulah maka saya datang menghadap dan menawarkan bantuan. Apa lagi kalau Paman sedang menghadapi kesulitan. Katakan apa kesulitan itu, Paman, dan saya, demi pesan Suhu, akan membantu sekuat tenagaku.”
“Akan tetapi, kesulitan kami ini amat hebat dan sukar diatasi. Bagaimana seorang muda seperti engkau akan mampu menolong kami? Bahkan pasukan penyelidik yang sudah kami kerahkan juga tidak berhasil menolong kami, apa lagi engkau? Apa yang telah kau pelajari dari mendiang Paman Tua?”
“Mendiang Suhu sudah mewariskan ilmu-ilmu silatnya kepada saya, Paman, dan saya akan mengerahkan segala kemampuan saya untuk membantu Paman, tentu saja kalau Paman percaya kepada saya dan suka menceritakan kesulitan yang Paman hadapi itu kepada saya.”
“Sebaiknya ceritakan saja kepada Yo Han,” desak isteri pembesar itu kepada suaminya. “Biar pun para komandan yang bersahabat telah mengerahkan pasukan mereka untuk melakukan penyelidikan, tidak ada salahnya kalau Yo Han mencoba untuk menyelidiki pula. Semakin banyak yang menyelidiki dan mencari-cari pusaka yang hilang, semakin baik pula.”
Gan Seng menarik napas panjang, lalu mengangguk-angguk. “Dengarkan baik-baik, Yo Han, siapa tahu, Tuhan mengutusmu datang ke sini untuk mengangkat kami dari mala petaka ini.” Pembesar itu lalu bercerita.
Dia menjadi pembesar yang bertanggung jawab akan semua pusaka milik istana, dan dia diserahi mengurus gudang pusaka. Selama bertahun-tahun dia bertugas, dibantu pasukan penjaga yang kuat, tidak pernah terjadi sesuatu.
Akan tetapi, dua minggu yang lalu, dua buah pusaka lenyap dari dalam gudang pusaka itu. Dua buah pusaka yang amat penting, yaitu sebuah cap kebesaran Kaisar Kang Hsi, kakek dari Kaisar Kian Liong yang sekarang, dan sebuah bendera lambang kekuasaan Kaisar pertama Kerajaan Mancu, telah hilang!
Gegerlah istana karena kedua benda itu merupakan pusaka yang amat penting sekali, sebagai tanda kebesaran Kerajaan Ceng-tiauw. Dan sebagai penanggung jawab, tentu saja Gan Seng segera dihadapkan Kaisar untuk mempertanggung jawabkan kehilangan itu.
Gan Seng menjadi sibuk sekali karena Kaisar memberi waktu sebulan kepadanya untuk menemukan kembali dua buah pusaka yang hilang. Gan Seng sudah memerintahkan para komandan jaga untuk melakukan penyelidikan dan pemeriksaan, namun setelah lewat dua minggu, hasilnya tetap sia-sia belaka. Pencuri itu memasuki gudang tanpa merusak kunci atau jendela, bahkan tidak ada genteng yang pecah. Dua buah pusaka itu lenyap secara aneh sekali, tidak meninggalkan bekas!
Gan Seng tahu bahwa mala petaka akan menimpa keluarganya kalau dua buah benda itu tidak diketemukan. Dia akan dihukum berat, bahkan keluarganya mungkin akan turut tersangkut.
“Demikianlah mala petaka yang menimpa kami, Yo Han. Semua usaha sudah kami lakukan, akan tetapi sampai hari ini tidak ada hasilnya. Padahal, waktu yang diberikan Kaisar tinggal dua minggu lagi! Ibuku jatuh sakit karena memikirkan keadaan kami. Nah, bagaimana engkau akan dapat menolong kami, Yo Han? Pasukan keamanan sudah dikerahkan tanpa hasil,” kata pembesar itu dengan nada kesal dan putus asa menutup ceritanya.
Yo Han mengerutkan alisnya. Memang tidak mudah mencari pusaka yang hilang dari dalam gudang pusaka, tanpa diketahui siapa yang mengambilnya! Jika para komandan pasukan, yang lebih hafal akan keadaan di kota raja tidak mampu menemukan dua buah pusaka itu, apa lagi dia yang sama sekali asing dengan keadaan di situ!
Akan tetapi, dia akan mencoba, dia tidak putus asa. Dia yakin bahwa Tuhan pasti akan menolongnya, seperti yang sudah-sudah. Ia akan menyerahkan segalanya pada Tuhan, dan dengan penyerahan secara total, maka semua tindakannya tentu akan dibimbing oleh kekuasaanNya.
Bila Tuhan menghendaki, apa sih sukarnya menemukan kembali dua buah benda yang hilang? Tetapi jika tidak dikehendaki Tuhan, apa pun yang dilakukan, benda-benda itu tidak akan dapat ditemukan kembali. Tuhan Maha Kuasa. Segala kehendak Tuhan pun jadilah! Demikian bisik hatinya.
“Maaf, Paman dan Bibi, apakah sama sekali tidak ditemukan jejak ke mana lenyapnya dua buah benda pusaka itu?”
Gan Taijin menghela napas panjang dan menggelengkan kepala.
“Apakah tidak ada orang yang dapat dicurigai? Misalnya, adakah orang-orang yang memusuhi Paman selama ini? Siapa tahu, perbuatan itu merupakan perbuatan yang disengaja untuk menghancurkan keluarga Paman.”
Suami isteri itu saling pandang, dan tiba-tiba saja isteri pejabat itu berkata, “Sebaiknya kuceritakan saja kepadanya!”
Suaminya mengangguk dan wanita itu lalu berkata kepada Yo Han. “Memang ada orang yang merasa tidak senang kepada kami dan bukan tidak mungkin bahwa dia melakukan perbuatan itu untuk mencelakakan kami. Akan tetapi karena tidak ada bukti-bukti, bagai mana kami dapat menuduh dia?”
“Maaf, Bibi. Sedikit keterangan saja akan sangat berarti dan penting bagi saya untuk melakukan penyelidikan. Saya pun tidak akan sembarangan saja menuduh orang, akan tetapi setidaknya, saya dapat melakukan penyelidikan.”
Gan Seng menarik napas panjang. “Memang ada yang kami curigai, akan tetapi tidak ada bukti, dan dia seorang yang berkedudukan tinggi sehingga tidak ada orang yang akan berani menyelidikinya.”
Yo Han memandang dengan wajah berseri. “Ahh, siapakah dia orangnya, Paman? Dan mengapa Paman mencurigai dia?”
“Dia seorang panglima yang dipercaya oleh Kaisar, seorang jagoan istana she Coan. Coan Ciangkun ini terkenal lihai dan berkedudukan tinggi. Bagaimana kita akan dapat membuktikan bahwa dia yang melakukan perbuatan itu? Tiada yang berani menyelidik ke sana. Rumahnya saja dijaga oleh pasukan keamanan yang kuat!”
“Hemm, mengapa Paman mencurigai dia? Apakah alasan Paman dan Bibi mencurigai panglima itu?”
“Coan Ciangkun pernah melamar puteri kami, Bi Kim,” kata ibu gadis itu.
Yo Han memandang kepada Bi Kim dan gadis itu menundukkan mukanya yang berubah merah, akan tetapi bibir gadis itu bergerak dan berkata lirih, “Manusia tak tahu malu itu!”
“Tentu saja kami menolak pinangan yang merendahkan kami itu,” kata pula Gan Seng. “Bayangkan saja, panglima yang usianya sudah empat puluh tahun lebih itu sekarang sudah mempunyai sedikitnya lima selir, dan dia masih menghendaki anak kami untuk dijadikan selir! Menghina sekali!”
Yo Han mengangguk-angguk. Alasan itu memang cukup kuat. Mungkin saja akibat sakit hati karena lamarannya ditolak, panglima itu lalu melakukan pencurian pusaka untuk mencelakakan keluarga Gan. Akan tetapi, alasan ini pun tidak begitu meyakinkan. Kalau hanya ditolak lamarannya, bagaimana panglima itu sampai melakukan perbuatan yang juga amat berbahaya bagi dirinya sendiri itu? Dan apa manfaat dan keuntungannya bagi dia?
“Maaf, Paman dan Bibi. Apakah tidak ada alasan lain yang lebih kuat dari itu sehingga Paman dan Bibi mencurigai Coan Ciangkun?”
“Ada... ada...,” berkata Gan Seng. “Semenjak dua buah pusaka itu lenyap, beberapa kali sudah ia menghubungiku dan mengatakan bahwa jika aku suka menerima lamarannya, dia akan membantu sampai dua buah benda pusaka itu ditemukan kembali. Nah, aku hampir yakin bahwa setidaknya dia tahu siapa yang mencuri benda pusaka itu.”
“Ah, terima kasih, Paman. Sekarang, tolong beri tahukan di mana adanya tempat tinggal Panglima Coan itu, saya akan melakukan penyelidikan ke sana.”
“Akan tetapi, itu berbahaya sekali, Yo Han!” kata Gan Seng.
Yo Han tersenyum. “Harap Paman dan Bibi jangan terlalu khawatir. Mendiang Suhu telah mengajarkan banyak ilmu kepada saya, dan dengan bimbingan Tuhan Yang Maha Sakti, saya kira saya akan berhasil menyelidiki dan mendapat tahu apakah panglima itu benar yang melakukan pencurian itu ataukah bukan. Semoga kecurigaan Paman dan Bibi benar sehingga tidak akan sukar lagi untuk mengatasi urusan ini.”
“Akan tetapi, para panglima saja yang dimintai bantuan Ayah tidak sanggup menyelidiki orang itu, apakah kau tidak hanya akan mengantar nyawa ke sana?” tiba-tiba Bi Kim berkata dengan nada suara khawatir.
Yo Han memandang gadis itu dan tersenyum. “Harap engkau tidak merasa khawatir, Nona. Saya akan menjaga diri baik-baik.”
Setelah mendapatkan keterangan jelas dari Gan Seng mengenai tempat tinggal Coan Ciangkun, Yo Han lalu berpamit. Tuan rumah sekeluarga mencoba untuk menahannya dan menghidangkan makan minum, akan tetapi Yo Han menolak dengan halus.
“Masih banyak waktu bagi kita untuk bercakap-cakap dan makan bersama, yaitu setelah tugas ini selesai dengan baik. Nah, selamat tinggal, Paman, Bibi dan... Nona.”
“Adik, bukan nona!” Bi Kim memotong.
“Baiklah, Adik Bi Kim. Saya pergi dahulu dan mudah-mudahan kalau datang lagi saya akan membawa kabar baik untuk Paman sekeluarga.”
Untuk bisa meyakinkan hati mereka, Yo Han sengaja berkelebat dan lenyap dari depan mereka. Tentu saja ayah, ibu dan anak itu terkejut dan sejenak tertegun. Pemuda itu dapat menghilang begitu saja dari depan mata mereka! Setelah Yo Han pergi, tiada hentinya mereka bertiga membicarakan pemuda itu dan timbul harapan di hati mereka bahwa pemuda yang luar biasa itu akan berhasil menolong mereka.....
********************
Selanjutnya baca
SI BANGAU MERAH : JILID-12